KARAKTERISTIK BENANG KITOSAN YANG TERBUAT DARI KITIN IRADIASI DAN TANPA IRADIASI
MEYLIA ANJAYANI 104096003089
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M / 1430 H
KARAKTERISTIK BENANG KITOSAN YANG TERBUAT DARI KITIN IRADIASI DAN TANPA IRADIASI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains ProgramStudi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
OLEH: MEYLIA ANJAYANI 104096003089
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M / 1430 H
ABSTRAK
Meylia Anjayani, Karakteristik Benang Kitosan dari Kitin Iradiasi dan Tanpa Iradiasi. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Gatot Trimulyadi Rekso, M.Si dan Dr. Mirzan T. Razzak, M.Eng, APU.
Telah dilakukan penelitian tentang Karakteristik Benang Kitosan dari Kitin Iradiasi dan Tanpa Iradiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum larutan kitosan dan jenis larutan penggumpal untuk pembuatan benang kitosan. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin menggunakan 50% NaOH larutan pada suhu 80 0C. Saat ini sedang dikembangkan kegunaan dari kitosan pada bidang kedokteran sebagai benang operasi. Benang kitosan dibuat dari larutan kitosan dengan larutan penggumpal yang berbeda-beda kemudian dicuci dengan air dan dikeringkan. Larutan penggumpal yang digunakan adalah 3% NaOH, 5% Na2CO3, dan campuran antara 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1). Terhadap benang kitosan yang tebentuk dilakukan karakterisasi pengukuran swelling degree dan kekuatan tarik. Dari pengukuran swelling degree didapatkan 57, 5% dan nilai kekuatan tarik 348,4 kg/cm2 untuk pengukuran benang kitosan 7% dari kitin tanpa iradiasi menggunakan larutan penggumpal 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1). Konsentrasi optimum benang kitosan dari kitin iradiasi adalah 9% menggunakan penggumpal 3% NaOH nilai swelling degree yang didapatkan adalah 57,7% dan nilai kekuatan tarik 423, 3 kg/cm2. Dari dua kondisi pengukuran didapatkan nilai perpanjangan putus yang sama yaitu 30%.
Kata kunci: Kitin, Kitosan, Benang Kitosan, Iradiasi.
xiii
ABSTRACT
Meylia Anjayani, The Characteristic of Chitosan Yarn from Irradiated and Unirradiated Chitin. Advisors Dr. Ir. Gatot Trimulyadi Rekso, M.Si and Dr. Mirzan T. Razzak, M.Eng, APU.
The Characteristic of Chitosan Yarn from Irradiated and Unirradiated Chitin have been carried out. The aim of this research was to find out optimum concentration of chitosan solution and to study the type of coagulant reagent to make of chitosan yarn. Chitosan is a product of the deacetylation of chitin using 50% NaOH solution at temperature 80 0C. Today chitosan is being developed to be used in medicine, particulary as a suture yarn. The chitosan yarn was prepared by treating of chitosan solution with different coagulant solution and then washed out with water and dried. The coagulant solution are 3% NaOH, 5% Na2CO3, and mix solution 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1). The obtained chitosan yarn was characterized by measurement of the swelling degree as well as the tensile strength. It was found that the swelling degree of 57, 5% and the tensile strength of 348,4 kg/cm2 were measured for chitosan yarn that made from 7% unirradiated chitin which was coagulated by 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1) coagulated solution. The optimum concentration of 9% irradiated chitin are 3% NaOH were found to be useful to obtain 57,7% swelling degree and tensile strength of 423,3 kg/cm2. The two conditions of the preparation, of the chitosan yarn show the similary elongation at break of 30%.
Key word : Chitin, Chitosan, Chitosan Yarn, Irradiation
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki perairan yang luas sehingga mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penunjang kehidupan berbagai jenis ikan. Udang merupakan salah satu jenis hasil perikanan yang cukup penting dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor komoditi non-migas. Disamping harganya mahal, pemasarannya pun cukup luas di pasaran internasional. Udang umumnya di ekspor hanya bagian daging dalam bentuk beku tanpa kepala dan kulit. Dari proses pengupasan udang menyisakan kulit dan kepala udang yang bisa mencapai 40-60% dari bobot utuh.1 Hasil pengupasan udang tersebut dianggap sebagai limbah dan merupakan bahan pencemar lingkungan yang potensial karena mudah busuk dan berbau amis apabila tidak dilakukan pengolahan secara baik. Selama ini baru sebagian kecil limbah udang di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai pencampur ransum pakan ternak, bahan campuran pembuat terasi, petis dan kerupuk udang. Sementara di negara maju seperti Amerika dan Jepang, limbah udang telah digunakan sebagai bahan mentah penghasil kitin dan kitosan yang berdaya guna serta bernilai tinggi. Hasil pengolahan ini dapat digunakan dalam bidang industri kedokteran, farmasi, kosmetika, pertanian, pangan dan bioteknologi.2
1
Kitin adalah polimer alam, poli- β -(1,4)-2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa atau N-asetil- β -(1,4)-glukosamin. Sedangkan kitosan, poli- β -(1,4)-2-amino-2deoksi-D-glukosa yang dihasilkan dengan cara pemanasan pada suasana basa pekat.3 Kitosan merupakan turunan kitin yang dideasetilasi menggunakan 50% natrium hidroksida karena bahan tersebut efektif untuk memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin. Kitosan memiliki sifat tidak larut air tetapi larut dalam asam organik seperti asam asetat dan asam format. Salah satu pengembangan kitosan dalam bidang kedokteran adalah dapat digunakan sebagai benang operasi. Keunggulan benang kitosan ini adalah bersifat biokompatibel dapat diurai, dapat diserap dalam jaringan tubuh dan tidak bersifat toksik. Berdasarkan penelitian di Vietnam, diketahui bahwa dengan iradiasi dapat diperoleh derajat deasetilasi optimum dalam waktu yang lebih singkat. Semakin besar derajat deasetlasi kitosan maka akan semakin besar pula kelarutannya dalam asam encer. Pada penelitian ini digunakan dua jenis kitosan yaitu kitosan dari kitin iradiasi dengan dosis 20 kGy dan kitosan dari kitin tanpa iradiasi. Fungsi iradiasi pada penelitian ini adalah agar kitin terdegradasi dan molekul rantai panjangnya lebih pendek. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan benang kitosan dari kitin iradisai dan tanpa iradiasi dengan variasi konsentrasi kitosan dan variasi penggumpal. Pada penelitian terdahulu, benang kitosan setelah dicetak dalam keadaan basah dapat digumpalkan dengan 5% larutan natrium hidroksida.4 Pada penelitian ini konsentrasi larutan kitosan divariasikan dan digumpalkan dengan tiga jenis
2
penggumpal yaitu 3% natrium hidroksida, 5% natrium karbonat
dan 3%
campuran antara natrium hidroksida dan natrium karbonat (1:1).
1.2. Rumusan Masalah 1. Berapakah konsentrasi optimum larutan kitosan pada pembuatan benang kitosan? 2. Manakah basa yang baik untuk menggumpalkan larutan kitosan setelah dicetak?
1.3. Batasan Masalah Penelitian ini meneliti konsentrasi optimum larutan kitosan dari kitin iradiasi dan tanpa iradiasi, basa yang digunakan untuk menggumpalkan larutan kitosan serta sifat fisika dan kimianya dari benang kitosan. Jenis penggumpal yang digunakan NaOH, Na2CO3, campuran dari keduanya.
1.4. Tujuan Penelitian 1. Memanfaatkan limbah kulit udang yang mengandung kitin yang dapat dideasetilasi menjadi kitosan. 2. Mengetahui konsentrasi optimum larutan kitosan untuk pembuatan benang kitosan sebagai benang operasi. 3. Mengetahui jenis penggumpal yang baik untuk larutan kitosan dari kitin iradiasi dan tanpa iradiasi. 4. Mengetahui perbedaan sifat fisik dan kimia benang kitosan dari kitin iradiasi dan tanpa iradiasi.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Polimer Polimer merupakan suatu senyawa yang terdiri dari dua atau lebih molekul dengan rantai yang panjang. Serta memiliki bobot molekul yang besar. Unit-unit molekulnya dikenal sebagai monomer-monomer yang berikatan berangkairangkai. Monomer ini bisa berulang berkali-kali. Jika ada dua monomer disebut dimer, jika tiga trimer, dan seterusnya. Polimer dapat berupa alamiah maupun sintetik. Polimer alami misalnya protein-protein atau polisakarida, sedangkan yang sintetik misalnya PVC, polistrirena, PTFE, karet, plastik dan sebagainya.. Dalam beberapa tahun terakhir ini muncul sejumlah kemajuan penting dalam sains polimer seperti menciptakan polimer-polimer yang dapat terurai (degradabel), yang dapat membantu mengurangi volume sampah plastik yang menyesakan pandangan. Ada pula polimer untuk aplikasi-aplikasi medis yang berspektrum luas, mulai dari jahitan operasi dapat urai sampai ke organ-organ buatan.5
2.2. Deskripsi Udang Udang seperti halnya Chrustacea yang lainnya adalah binatang air beruasruas yang setiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Taksonomi udang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
4
Filum
: Arthopoda
Sub filum
: Mandibulata
Kelas
: Chrustacea
Sub kelas
: Malacostraca
Seri
: Eumalacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub Ordo
: Natantia
Famili
: Penaeidae
Sub famili
: Penaeidae
Genus
: Panaeus merquensis de man
Spesies
: Panaeus latisuccatus : Panaeus merquensis : panaeus monodon : Panaeus semiculatus
6
Secara morfologis tubuh udang dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: chepalotorax atau bagian kepala dan dada serta abodemen atau perut. Bagian kepala udang mencapai 36-49% dari seluruh berat badan, daging keseluruhan 2441%, kulit dan ekor antara 17-23%. Seluruh bagin tubuh udang terbungkus oleh lapisan kulit yang keras yang mengandung kitin. Lapisan tersebut sering dinamakan kerapas. Skema susunan tubuh udang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
5
Gambar 1. Skema tubuh udang
Keterangan : 1. Cucuk Kepala (Rostrum)
7. Usus (Gut)
2. Mata Majemuk ((Proventriculus)
8. Perut
3. Antena
9. Hepato Pancrease
4. Mulut
10. Ekor (Uropoda)
5. Kaki Jalan (Periopoda)
11. Telson
6. Kaki Renang (Pleopoda)
12. Anus
Untuk kebutuhan ekspor udang beku, bagian tubuh udang yang dibekukan adalah bagian badan (abdomen) hingga ekor (uropoda). Bagian kepala dan dada (chepalotorax) yang dibungkus oleh kulit keras merupakan bagian yang dibuang oleh industri pembekuan udang. Limbah udang merupakan bahan yang mudah membusuk, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan,
6
karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk.7
2.3. Kitin Kitin adalah homopolisakarida yang mempunyai bobot molekul tinggi dan merupakan
polimer
linier
dari
2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukosa
yang
dihubungkan dengan ikatan 1,4-β-glikosidik atau disebut juga N-asetil-β-Dglukosamin dengan rumus molekul (C8H13NO5)n.8 Kitin berbeda dengan selulosa hanya pada atom C2 dengan tambahan gugus amino yang terasetilasi. Fibril kitin hampir sama dengan selulosa dan juga tidak dapat dicernakan oleh hewan vertebrata.9 Kitin merupakan komponen utama penyusun rangka antropoda, serangga, udang dan dinding sel jamur, dan kemungkinan merupakan polimer organik alami kedua terbanyak setelah selulosa.10 Sedangkan selulosa merupakan komponen utama penyusun pada tumbuhan. Struktur selulosa dan kitin dapat dilihat pada Gambar 2 berikut: HO
HO
HO O
HO
O
O
O OH
O
HO
OH
O
HO
OH
(a) HO
HO
HO
O HO
O
O
O
O
O HO
HO
NH
NH
NH
C O CH3
C O CH3
C O CH3
(b) Gambar 2. (a) Struktur selulosa, (b) Struktur kitin
7
Kitin tidak larut dalam air, larutan basa yang encer atau pun pekat, dan larutan asam encer. Akan tetapi kitin larut dalam asam-asam mineral pekat seperti asam klorida, asam sulfat asam nitrat, asam fosfat dan asam asetat anhidrat.11 Kitin diperoleh melalui proses penghilangan mineral atau demineralisasi menggunakan asam klorida 1 N selama 24 jam. Lama waktu perendaman 24 jam merupakan waktu yang optimum untuk proses demineralisasi. Perendaman dilakukan agar mineral dalam kulit udang benar-benar terlarut sempurna. Mineral utama pada kulit udang adalah CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)2.12 Pada proses demineralisasi senyawa kalsium akan bereaksi dengan asam klorida menghasilkan kalsium klorida yang larut dalam air, asam karbonat akan terurai manjadi gas CO2 dan air, serta asam fosfat yang dapat larut dalam air. Reaksi yang terjadi sebagai berikut: CaCO3
+
2HCl
H2O
H2CO3
CaCO3 Ca3(PO4)2
CaCl 2
+ +
H2CO3 CO2
+ 2HCl
CaCl 2 + H2O
+
3CaCl2
6HCl
+
+
CO2
3H3PO4
Proses selanjutnya adalah deproteinasi menggunakan natrium hidroksida 1 N pada suhu kamar selama 24 jam. Deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein yang terdapat dalam kulit udang. Proses isolasi kitin dari kulit udang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
8
Kulit udang
Pencucian dan pengeringan
Demineralisasi
HCl 1N 24 jam
2x perlakuan
NaOH 1N 24 jam
2x perlakuan
Pencucian sampai pH netral
Deproteinasi
Pencucian sampai pH netral
Pengeringan di bawah sinar matahari
Kitin
Gambar 3. Diagram alir metode isolasi kitin dari limbah udang
9
2.4. Kitosan Kitosan merupakan derivat kitin dengan rumus molekul (C6H11NO4)n. Kitosan tersusun oleh monomer 2-amino-2-deoksi-D-glukosa dengan ikatan glikosida pada posisi β(1,4) sehingga kitosan merupakan polimer rantai panjang glukosamin. Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:
HO
HO
HO
O
O
O
O HO
HO
O
O HO NH2
NH2
NH2
Gambar 4. Struktur kitosan
Kitosan diperoleh dengan cara deasetilasi menggunakan 50% natrium hidroksida. Deasetilasi maerupakan suatu proses perubahan kitin menjadi kitosan dengan cara merubah gugus asetil pada kitin. Proses deasetilasi dilakukan pada kondisi basa yang pekat dan suhu tinggi. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
CH2OH
CH2OH H
H OH
O H
H O
+ NaOH
H2O
H OH
O H
H
NHCOCH3
NH2
n
CH3COOH
+ CH3COOH
H
H H
O
+
NaOH
n
CH3COONa
+ H2O
Gambar 5. Reaksi deasetilasi kitin menjadi kitosan
10
Kitosan merupakan polimer multi fungsional karena memiliki gugusgugus fungsional sepereti amino, gugus hidroksil primer dan sekunder pada stuktur glukosamin. Dibandingkan dengan kitin, kitosan lebih mudah larut. Karena ikatan hidrogen pada kitosan tidak cukup kuat untuk membentuk struktur kristal yang kaku seperti pada kitin.13 Kitosan tidak dapat larut dalam air, pelarut-pelarut organik seperti alkohol, aseton, asam klorida, asam nitrat, asam sulfat dan alkali tetapi dapat larut dengan asam asetat encer. Kitosan mengandung gugus amina pada rantainya yang menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berbeda dengan polisakarida lainnya. Kitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk ion netral.
2.5. Aplikasi Kitosan Sejak tahun 1970 pemanfaatan kitosan semakin berkembang. Sebagai contoh dari tahun 1978 sampai 1983 produksi kitosan di Jepang meningkat 37%. Total setiap tahun mencapai 311 ton pada tahun 1985 dan 1.270 ton pada tahun 1986. Multiguna kitosan tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat alami tersebut dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan biologi. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain: merupakan polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai gugus amino pada rantai karbonnya
11
sehingga bermuatan positif. Sifat biologi kitosan antara lain: bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable), dapat berikatan dengan sel mamalia, bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, anti tumor, anti kolesterol, bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran, dan serat yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya. Dalam dunia medis, kitosan dipakai sebagai bahan benang operasi. Di Malaysia, sudah dikembangkan pemanfaatan kitosan untuk pelapis luka. Manfaatnya lebih baik jika dibandingkan dengan perban, termasuk bioplasenta yang sedang dikembangkan.10 Aplikasi kitosan dalam berbagai bidang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
12
Tabel 1. Pemanfaatan Kitosan Bidang
Pemanfaatan
Pangan
Senyawa penyerap lemak Flavour Flavour enhancer Pembentuk tekstur Emulsifier Penjernih minuman
Medis
Contact lens Membran untuk dialisis darah Antitumor Benang operasi
Kosmetik
Lingkungan dan pertanian
Bioteknologi
Lain-lain
Krim pelembab Produk Hair care Cat kuku Lotion Penjernih air Menyimpan benih Fertilizer dan Fungicide Imobilisasi enzim Sparasi protein Kromatografi Immobilisasi sell Pertumbuhan sell Proses finishing kertas Menyerap warna pada produk cat
2.6. Benang Operasi Benang operasi merupakan benda yang tertanam dalam jaringan tubuh selama proses penyembuhan. Agar benang tidak menjadi benda asing, ada beberapa kualitas benang yang perlu diperhatikan yaitu bahan-bahan yang digunakan dalam penjahitan harus aseptik, tidak menyebabkan infeksi sehingga mempercepat proses penyembuhan, mudah digunakan, ukuran yang sesuai dengan
13
penggunaan, efek terhadap pembengkakkan jaringan minimal, dan dapat diterima jaringan secara optimal. Benang jahit luka (benang operasi) dibagi dalam dua kategori, yaitu benang operasi dapat diserap oleh tubuh (absorbable suture) dan benang operasi yang tidak dapat diserap oleh tubuh ( non absorbable suture).
2.6.1. Benang operasi dapat diserap oleh tubuh (Absorbable suture) Benang operasi absorable suture adalah benang operasi serap steril, yang jika dimasukkan ke dalam organisme hidup, dimetabolisme dan diserap oleh organisme. Biasanya benang operasi ini dibuat dari kolagen yang diambil dari selaput mamalia. Sesudah dibersihkan, selaput usus dipotong memanjang menjadi potongan pita kecil dengan lebar yang berbeda-beda.14 Saat ini telah dikembangkan salah satu benang operasi yang dapat diserap oleh tubuh terbuat dari kitosan yang diisolasi dari kulit udang. Yang termasuk benang operasi absorable suture adalah: catgut suture, polyglycolic acidsuture, polydioxanon, polyglyconat.
2.6.2. Benang operasi yang tidak dapat diserap oleh tubuh (Non absorbable suture) Benang operasi non absorable suture adalah benang operasi yang jika dimasukkan ke dalam organisme hidup, tidak dimetabolismekan oleh organisme. Benang operasi non absorable suture dapat berupa benang sintetsis yang terdapat sebagai monofilamen silinder atau multifilamen.15
14
Benang operasi yang bersifat tidak dapat diserap oleh tubuh (non absorbable suture) digunakan untuk menyatukan luka jahitan kulit (luar) dan harus dilepaskan setelah terjadi penyembuhan luka atau luka sudah kering. Jenis benang ini bersifat lembut atau tipis, tidak kusut, tidak mudah hancur, dan harus dilepaskan setelah 7-8 hari pasca pembedahan. Yang termasuk benang operasi tidak dapat diserap (non absorbable) adalah: silk suture, nylon suture, polipropylene suture, braided polyester suture, polybutester, cotton.
2.7. Radiasi Radiasi adalah pancaran energi atau partikel berenergi oleh suatu sumber. Sedangkan iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian radiasi secara sengaja dan terarah. Ada dua sumber iradiasi yang sering digunakan dalam proses iradiasi yaitu isotop C0-60 sebagai sumber sinar gamma dan mesin berkas elektron. Isotop Co60 dihasilkan dari C0-59 dengan menembakkan neutron dalam reaktor nuklir, dan dapat mengemisikan dua jenis sinar gamma dengan energi masing-masing 1.17 MeV dan 1.33 MeV.16 Isotop Co-60 ini memiliki waktu paruh 5,27 tahun. Akibat peluruhan isotop ini setiap bulan kehilangan aktivitas sekitar 1,1%. Satuan dosis iradiasi yang biasa digunakan adalah Rad (Radiation adsorbed dose) yang sama dengan suatu energi absorbsi dari 100 erg per g sampel (1 Rad = 100 erg/g). Umumnya dosis radiasi dalam sistem SI dinyatakan dalam Gray (Gy). Gray menyatakan sejumlah energi sebesar 1 Joule yang diserap tiap 1 kg bahan (1 Gy = 1 j/kg).
15
2.7.1. Interaksi Sinar Gamma Dengan Materi Secara umum bila suatu materi berinteraksi dengan sinar gamma akan terjadi tiga peristiwa yaitu: efek foto listrik, efek Compton, dan produksi pasangan ion. Efek foto listrik terjadi bila sinar gamma yang berenergi rendah (10-100 keV) berinteraksi dengan orbit elektron dari atom, yang berakibat elektron tersebut terpelanting keluar. Sinar yang berinteraksi dengan bahan tersebut sebagian energinya diserap sedangkan sisanya diubah menjadi energi kinetik. Akibat keluarnya elektron dari orbit, maka akan diisi oleh elektron dari orbit lain dengan memancarkan energi yang berupa sinar X. Pengaruh ini disebut efek Auger. Bila sinar X ini dapat mendesak elektron lain keluar dari orbitnya, maka elektron ini disebut elektron Auger.
Ek γ
e
γ
e
e
e
γ
Eγ
γ
e
E
Eγ sinar X e
b. Efek fotolistrik
a. Efek compton
positron c. Efek produksi pasangan
Gambar 6. Interaksi sinar gamma dengan materi Efek Compton terjadi bila sinar gamma dengan energi sedang (0,1-1,0 MeV) menumbuk elektron bebas atau elektron yang ikatannya dengan inti lemah. Selanjutnya sinar dihamburkan dan elektron tersebut dilepaskan dari ikatannya dan bergerak dengan energi tertentu.
16
Efek produksi pasangan ion terjadi apabila sinar gamma yang berenergi lebih dari 1,022 MeV mengenai inti atom, sinar tersebut akan lenyap dan sebagai gantinya timbul sepasang elektron dan positron. Positron adalah partikel yang massanya sama dengan elektron dan bermuatan listrik positif yang besarnya juga sama dengan muatan elektron.17
2.7.2 Efek Radiasi Pada Polimer Radiasi pada polimer dapat menyebabkan terjadinya degradasi polimer atau dapat pula terbentuknya ikatan silang pada polimer. Perubahan kimia dan fisika. Perubahan ini dapat diamati pada timbulnya warna, pembentukan gas, berkurangnya ikatan tidak jenuh serta terbentuknya ikatan tak jenuh yang baru. a. Degradasi Secara umum degradasi polimer didefinisikan sebagai kerusakan stuktur kimia, fisika atau bentuk dari polimer tersebut. Degradasi polimer juga dapat dijelaskan sebagai suatu perubahan sifat fisik yang disebabkan oleh reaksi kimia yaitu pemutusan ikatan pada rantai utama makro molekul.18
+
Sinar γ + +
Gambar 7. Skema reaksi degradasi pada polimer
17
Polisakarida mengalami pemutusan rantai terutama pada ikatan 1,4-βglikosida selama proses iradiasi. Bobot molekul polisakarida dapat dimodifikasi serendah mungkin dengan radiasi degradasi. Radiasi degradasi adalah pemutusan rantai yang terjadi secara acak sepanjang rantai molekul polimer. b. Pembentukan ikatan silang Pembentukan ikatan silang terjadi antara dua molekul polimer yang bergabung secara kimia membentuk molekul yang lebih besar. Seiring terbentuknya ikatan silang, polimer juga mengalami sejumlah perubahan yang ekstrim. Perubahan ini ditandai dengan naiknya berat molekul, kekuatan mekanik, kenaikan titik leleh dan jika polimer tersebut sebelumnya sukar larut maka akan menjadi semakin sukar larut lagi. Selain itu proses ini juga menjadikan sifat kaku dan keras pada polimer.5 Pada polimerisasi terjadi tiga peristiwa yaitu: inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada proses inisiasi akan terbentuk radikal bebas ketika monomer diiradiasi dengan sinar gamma. Propagasi, pada tahap ini radikal-radikal yang dihasilkan oleh reaksi inisiasi tumbuh dari satu molekul menjadi molekul yang lebih besar. Selanjutnya adalah terminasi, reaksi ini terjadi bila dua radikal bebas bertemu satu sama lain. Proses polimerisasi berikatan silang umumnya mengikuti mekanisme sebagai γ /e
berikut:
RH
inisiasi
H2O
R
propagasi
OH RH
terminasi
γ /e
R
+
R +
H
H +
RH
+
RH
+
H
R
OH
RH R R R
R
+ e
+ R + H2O +
H2
(pengikatan silang)
18
Tabel 2. Daftar polimer yang mengalami degradasi dan pengikatan silang berdasarkan srtukturnya Polimer degradasi
Polimer berikatan silang
Polibutilen
Polimetilen
CH3
CH3
CH2 C CH2 C CH3
CH3
CH2 CH2 CH2 CH2 Polipropilen CH2 CH CH2 CH
Polimetaakrilat
CH3 CH3
CH3
CH3 Poliakrilat
CH2 C
CH2 C
COOR
COOR
CH2 CH CH2 CH COOR
COOR
Polimetaakrilamid Poliakrilamid CH3 CH2 C
CH3 CH2 CH CH2 CH
CH2 C
CONH2
CONH2
COONH2 COONH2 Polivinil klorida
Polivinilidine klorida Cl
Cl
CH2 C
CH2 C
Cl
CH2 CH CH2 CH Cl
Cl
Plovinil alkohol
Cl
Selulosa dan derivatny
CH2 CH CH2 CH OH
OH
HO
Poliamida
O
HO
O OH
n
Polyester polivinilpirolidine
2.8. Spektrofotometri Infra Merah Spektrofotometri infra merah merupakan instrument yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang gelombang. Daerah panjang gelombang yang digunakan pada alat spektrofotometri infra
19
merah yaitu pada panjang gelombang 2,5- 50µm atau pada bilangan gelombang 4000-200 cm-1. Satuan yang sering digunakan dalam spektrofotometri infra merah adalah bilangan gelombang. Fourier Transform Infrared merupakan spektrofotometri yang dilengkapi interferometer. Interferometer merupakan suatu alat yang dapat memecah radiasi menjadi dua bagian dan menggabungkannya kembali sehingga variasi intensitas yang keluar dapat diukur oleh suatu detektor. Sistem optiknya dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Radiasi dibagi oleh pembagi berkas menjadi dua bagian, lalu diferleksikan ke cermin diam dan cermin bergerak. Setelah setiap berkas direfleksikan kembali ke arah pembagi berkas, sebagian direfleksikan dan sebagian lagi diteruskan, sehingga berkas yang telah melewati cermin diam maupun bergerak mencapai detektor. Detetor mengukur beda intensitas antara kedua macam berkas tadi pada tiap-tiap panjang gelombang dan meneruskan informasi ini keperekam yang menghasilkan spektrum.19 Skema instrumen dapat dilihat pada Gambar 8 berikut:
1. Sumber cahaya
6. Spektrum
2. Interferometer
3. Sampel
4. Detektor 5. Komputer
Gambar 8. Skema instrumen FT-IR
20
Sumber radiasi yang paling umum digunakan adalah Nernest atau lampu Glower yang terbuat dari oksida-oksida zirkonium. Sampel yang digunakan dapat berupa padat, cair dan gas. Keunggulan identifikasi menggunakan FT-IR adalah: 1. Resolusinya tinggi, serapannya kuat 2. Dapat digunakan untuk sampel yang memiliki serapan yang lemah 3. Dapat digunakan untuk sampel dalam jumlah kecil. Radiasi infra merah hanya terbartas pada perubahan energi setingkat molekul. Setiap molekul memiliki harga energi yang tertentu. Bila suatu senyawa menyerap energi dari sinar infra merah maka tingkatan energi di dalam molekul itu akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Sesuai dengan tingkatan energi yang diserap, maka yang akan terjadi pada molekul itu adalah perubahan energi vibrasi yang diikuti dengan perubahan energi rotasi. Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Vibrasi molekul sangat khas untuk suatu molekul tertentu dan biasanya disebut finger print. Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan, yaitu: 1. Vibrasi ulur (Stretching) yaitu vibrasi yang dapat menyebabkan perubahan jarak antara dua atom dalam satu molekul. Vibrasi ulur ini terbagi atas simetris dan asimetris. 2. Vibrasi tekuk (Bending) yaitu vibrasi yang dapat menyebabkan perubahan sudut antara dua ikatan. Vibrasi ini terbagi atas scissoring, rocking, wagging, dan twisting.
21
Vibrasi yang digunakan untuk identifikasi adalah vibrasi tekuk yang berada di daerah bilangan gelombang 2000-400 cm-1. Karena di daerah antara 4000-2000 cm-1 merupakan daerah yang khusus yang berguna untuk identifikasi gugus fungsional. Daerah ini menunjukan absorbsi yang disebabkan oleh vibrasi ulur. Dalam daerah 2000-400 cm-1 tiap senyawa organik mempunyai absorbsi yang unik, sehingga daerah tersebut sering juga disebut sebagai daerah sidik jari (finger print). Meskipun pada daerah 4000-2000 cm-1 menunjukan absorbsi yang sama, pada daerah 2000-400 cm-1 juga harus menunjukan pola yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa dua senyawa adalah sama. Sampel yang akan dianalisis dengan spektrofotometri infra merah kadangkadang memerlukan perlakuan khusus tetapi dapat pula langsung dianalisis tergantung bentuk sampel yang akan dianalisa. Zat dapat diperiksa dalam bentuk pasta (mull), tablet transparan (disc, pellet) atau sebagai film. Dalam penentuan analisis kuantitatif dengan infra merah digunakan hukum Beer. A = log Po/P
Dimana:
P = Intensitas sinar masuk Po = Intensitas sinar keluar
Adanya sinar hamburan pada suatu waktu membuat hukum Beer tidak dapat digunakan, terutama pada nilai absorbansi yang tinggi. Oleh karena itu digunakan metode empiris.
22
Metode base line adalah untuk menyeleksi pita absorbsi yang dianalisis yang tidak jatuh kembali pada pita komponen yang dianalisis. Po menunjukan intensitas sinar yang didapat dengan cara menarik garis lurus tangensial pada kurva spektrum yang dianalisis. P diukur dari titik absorbsi maksimum.20
%T
Po P
Gambar 9 . Contoh spektrum infra merah pada perhitungan dengan metode base line
2.9. Bobot Molekul Kitosan Bobot molekul merupakan variabel yang penting, sebab berhubungan langsung dengan sifat-sifat fisika polimer. Pada umumnya polimer dengan bobot molekul yang lebih tinggi bersifat lebih kuat. Namun bobot molekul yang terlalu tinggi menyebabkan kesukaran dalam memproses polimer tersebut.5 Metode yang mudah untuk penetapan bobot molekul adalah metode viskositas larutan menggunakan alat viskometer dengan cara menghitung perbandingan antrara waktu alir larutan polimer terhadap waktu alir pelarut murni. Kelebihan metode viskositas dari pada metode lain, yaitu lebih cepat, lebih mudah, alatnya murah, serta perhitungan hasilnya lebih sederhana.
23
Pengukuran tidak bergantung pada volume cairan yang dipakai, karena viskometer dirancang untuk bekerja dengan cairan mengalir melalui kapiler tanpa cairan di bawahnya. Pengukuran dilakukan dengan viskometer berada dalam pemanas air bersuhu tetap untuk mencegah naik-turunnya viskositas akibat perubahan suhu.21 Jenis-jenis viskometer dapat dilihat pada Gambar 10 berikut:
(a)
(c)
(b)
Gambar 10. Jenis- jenis viskometer kapiler (a) Ostwald (b) Ubbelohed (c) Cannon fenske Satuan viskositas biasanya dinyatakan dalam poise. Kenaikan fraksi dalam viskositas dinyatakan dalam viskositas spesifik (η sp). Jika viskositas larutan polimer adalah η dan viskositas pelarut murni adalah ηo , maka dapat dinyatakan dengan persamaan: η sp =
η − ηo ηo
Karena massa jenis berbagai larutan yang dipakai dalam suatu percobaan hampir sama dengan massa jenis pelarut, maka sebagai pendekatan dapat diandaikan viskositas tiap larutan hasil pengenceran berbanding lurus dengan waktu alirnya, sehingga persamaan menjadi:
24
η sp =
t1 − t 0 t0
t1 ialah waktu alir larutan, sedangkan t 0 waktu alir pelarut. Untuk menghilangkan efek konsentrasi, maka viskositas spesifik tersebut dibagi dengan konsentrasi sehingga dihasilkan viskositas intrinsik. η sp c
= [η ]
Dari persamaan di atas Mark dan Houwink mengungkapakan viskositas intrinsik dapat dihubungkan dengan berat molekul melalui persamaan:
[η ] = k.M a Dimana:
[η ] = viskositas intrinsik M = Berat molekul
k dan a adalah tetapan yang khas untuk setiap polimer dan pelarut tertentu.22
2.10. Kekuatan Tarik (Tensile Strength, TS) Kekuatan tarik (TS) adalah beban persatuan luas yang dikenakan pada sampel, pada saat sampel yang diuji putus. Kekuatan tarik (TS) suatu bahan ditetapkan dengan membagi gaya maksimum dengan luas penampang awal. Kekuatan tarik dihitung dengan rumus : TS = Dimana :
ML A
ML = Beban maksimum yang tercatat pada alat (kg) A = Luas penampang (cm)
25
Karena luas penampang berbentuk lingkaran maka dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: A= π r2 Dimana:
π = 3.14 r = Jari-jari lingkaran
Untuk mengukur kekuatan tarik spesimen uji dijepit pada kedua ujungnya. Salah satu ujung dibuat tetap, dan diaplikasikan suatu beban yang naik sedikit demi sedikit keujung lainnya sampai sampel tersebut patah. Spesimen serat dan elastomer bentuknya berbeda tetapi pada prinsipnya diuji dengan cara yang sama.5
2.11. Swelling Degree (Derajat Pengembangan) Swelling adalah kondisi dimana suatu polimer mengembang karena air atau pelarut masuk ke dalam jaringan polimer. Swelling degree adalah banyaknya air atau pelarut lain yang dapat masuk ke dalam kerangka jaringan polimer. Swelling degree dapat dideterminasi dengan cara metode gravitasi dan dihitung dengan persamaan berikut:23 Swelling degree (%) = Dimana:
( M − m) x 100% M
M = Bobot sampel setelah perendaman (gr) m = Bobot sampel kering(gr)
26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama lima bulan di Laboratorium Proses Radiasi PATIR, BATAN, Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Dimulai pada bulan Maret 2008 sampai dengan Agustus 2008. Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium.
3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: kitin yang berasal dari kulit udang putih, Natrium hidroksida (NaOH), asam asetat (CH3COOH) dan Natrium karbonat (Na2CO3).
3.2.2. Alat dan Instrumen Alat yang digunakan adalah: Alat-alat gelas, spuit suntikan, penangas air, viskometer Cannon-Fenske, timbangan analitik Mettler Toledo AB204, oven vakum Teraeus, Spektrofotometer (FT-IR) PERKIN ELMER, Tensile Strength STROGRAPH-R1.
27
3.3. Rancangan Penelitian
50 gr kitin ditempatkan dalam dua wadah berbeda Wadah 1
Wadah 2
Kitin iradiasi (Co-60, 20 kGy)
Kitin tanpa iradiasi
Deasetilasi dengan larutan 50% NaOH
Deasetilasi dengan larutan 50% NaOH -
kitosan
-
Pengukuran derajat deasetilasi Pengukuran bobot molekul
kitosan
Kitosan dilarutkan dalam 2% asam asetat
Kitosan dilarutkan dalam 2% asam asetat
Dibuat variasi konsentrasi larutan: 5%, 7%, 9%
Dibuat variasi konsentrasi larutan: 3%, 5%, 7%
Masing-masing larutan dimasukkan ke dalam spuit suntikan kamudian disuntikkan memanjang ke dalam 3 wadah yang berisi basa masing-masing adalah: 3% NaOH, 5% Na2CO3, dan 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1). Didiamkan beberapa saat hingga menggumpal dan dapat diangkat
Dicuci hingga bersih dan dikeringkan pada udara terbuka
Benang kitosan
Pengujian karakteristik benang kitosan
Uji kekuatan tarik
Uji Swelling degree
Gambar 11. Bagan rancangan penelitian
28
3.4. Cara Kerja 3.4.1. Persiapan Sampel Kitosan Kitin dari kulit udang dimasukkan dalam beaker glass 500 ml ditambahkan natrium hidroksida; NaOH 50% sampai terendam seluruhnya dipanaskan dalam penangas air selama 4 jam pada suhu 100 0C. Kemudian disaring dan dicuci dengan air panas sampai bersih dan tidak licin, terakhir dicuci dengan aquades sampai pH netral. Kitosan dikering anginkan pada udara terbuka selama 24 jam dan dimasukkan dalam oven vakum dengan suhu 50 0C untuk menghilangkan sisa-sisa air yang masih ada pada kitosan.
3.4.2. Penentuan Gugus Fungsi dan Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan Menggunakan Spektrum Fourier Transform Infrared (FT-IR) Untuk uji ini dilakukan menggunakan metode cakram KBr dengan cara mencampurkan 1 mg sampel kitosan dengan 100 mg KBr kering lalu digerus hingga homogen dalam lumpang agate. Setelah itu dimasukkan dalam pencetak khusus. Pencetak khusus dihubungkan dengan handy press. Cakram KBr dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam KBr disholder. Spektrum kitosan dibuat dengan FTIR dan derajat deasitilasi dihitung dengan menggunakan metode base line, puncak tertinggi diukur dan dicatat dari garis yang diperoleh, maka absorbsi dapat dihitung dengan rumus: A = log Dimana :
Po P
P = Intensitas sinar masuk Po = Intensitas sinar keluar
29
Untuk menentukan derajat deasetilasi, dilakukan perbandingan absorbsi pada bilangan gelombang sekitar 1655 cm-1 dan absorbsi pada bilangan gelombang 3405 cm-1 dengan rumus: Derajat deasetilasi = Dimana:
1-
A1655 1 X 1,33 A3405
X 100%
A1655 = Nilai absorbansi pada 1655 cm-1 (menyatakan gugus karbonil pada gugus asetil) A3405 = Nilai absorbansi pada 3403 cm-1 (menyatakan gugus amina primer) 1,33 = Perbandingan A1615 dengan A3400 pada derajat deasetilasi 100%
3.4.3. Pengukuran Bobot Molekul (BM) Kitosan Pengukuran ini dilakukan menggunakan metode viskomertri dengan alat viskometer Cannon-Fenske. Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 0,1 M yang mengandung 0,2 M natrium asetat. Dibuat variasi konsentrasi larutan kitosan 0,1%; 0,2%, 0,3%; dan 0,4%. 10 ml pelarut dimasukkan ke dalam viskometer, kemudian larutan dihisap hingga melewati tanda batas dibagian atas viskometer, waktu alir larutan ketika melewati batas atas hingga batas bawah dihitung menggunakan stopwatch. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali. Langkah yang sama dilakukan untuk larutan kitosan 0,1%; 0,2%; 0,3%; dan 0,4%. Bobot molekul kitosan dihitung dengan persamaan Mark-Houwink sebagai berikut:
30
[η ]= k.Ma η = Viskositas intrinsik
Dimana
M = Masa molekul kitosan (g/mol) k dan a = Tetapan khas untuk polimer dan pelarutnya (K= 1.181 x 10-3 dan a = 0.93 pada suhu 25 0C)
3.4.4. Pembuatan Benang Kitosan Kitosan dilarutkan dengan 2% asam asetat diaduk hingga larut kemudian didiamkan agar terbentuk larutan sempurna. Larutan kitosan dimasukkan ke dalam spuit suntikan, kemudian disuntikan memanjang ke dalam wadah yang masing-masing berisi larutan 3% NaOH, 5% Na2CO3, dan 3% (NaOH + Na2CO3 , 1:1). Didiamkan hingga menggumpal dan dapat diangkat. Setelah itu dicuci sampai bersih untuk menghilangkan basa yang masih menempel. Dikering anginkan pada udara terbuka sampai kadar air benar-benar hilang dan membentuk seperti benang.
3.4.5. Uji Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Spesimen uji (benang kitosan) dijepit pada kedua ujungnya. Salah satu ujung dibuat tetap dan diaplikasikan sebuah beban yang naik sedikit demi sedikit ke ujung lainnya sampai sampel tersebut patah. Jarak perjalanan pendulum setelah sampel patah diambil sebagai ukuran kekutan tarik. Kekuatan tarik ini dilakukan menggunakan alat tensile strength. Nilai kekuatan tarik dihitung dengan rumus:
31
TS = Dimana :
ML A
ML = Beban maksimum yang tercatat pada alat (kg) A
= Luas penampang (cm)
3.4.6. Uji Swelling Degree (Derajat Pengembangan) Sampel dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 50 0C selama 24 jam, ditimbang bobot awal sampel hingga bobot konstan (m). Kemudian direndam dalam 25 ml air pada suhu 25 0C dengan interval waktu 30, 60, 90, 120 menit. Setelah itu disaring hingga air pada permukaan sampel bersih. Bobot sampel setelah perendaman ditimbang hingga bobot konstan (M). Nilai Swelling degree dihitung dengan persamaan: (%) = Dimana:
( M − m) x 100% M
M = Bobot sampel setelah perendaman (gr) m = Bobot sampel kering (gr)
32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sampel Kitosan Kitin merupakan senyawa yang memiliki struktur seperti selulosa sehingga akan mengalami degradasi bila diradiasi. Iradiasi pada kitin akan memutus ikatan pada rantai kitin yang terjadi pada ikatan 1,4-β-glikosida sehingga terjadi penurunan derajat polimerisasi.24
4
O
1 HO
HO
HO
HO
O
O
O
O
HO
O HO
NH
NH
NH
C O CH3
C O CH3
C O CH3
Gambar 12. Tempat pemutusan rantai kitin
Untuk merubah kitin menjadi kitosan dilakukan melalui proses deasetilasi. Dari proses deasitilasi diperoleh bobot kitosan dari kitin tanpa iradiasi 39,7 g dan kitosan dari kitin iradiasi 38,8 g. Bobot tersebut lebih kecil dari bobot kitin sebelumnya yaitu 50 g. Rendemen kitosan dihitung berdasarkan perbandingan antara berat kitosan dengan berat kitin menggunakan rumus : Rendemen = (berat kitosan/berat kitin) x 100% Sehingga diperoleh nilai pada Tabel 3 berikut:
33
Tabel 3. Perolehan kitosan dari kitin No
Sampel kitosan
Perolehan (%)
1.
Dari kitin tanpa iradiasi
79,4 %
2.
Dari kitin iradiasi
77,6 %
Hasil yang diperoleh lebih kecil dari pada berat sebelumnya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah, beberapa senyawa organik pada kitin yang terlarut dalam natrium hidroksida, terjadi perubahan stuktur kimia pada kitin menjadi kitosan, selain itu dapat pula disebabkan karena ada yang terbuang pada saat pencucian. Jika dilihat dari bentuknya antara kitin dan kitosan tidak memiliki perbedaan yang nyata namun jika diperhatikan secara teliti warna kitosan tampak lebih putih dan mengkilat selain itu bentuk kitosan lebih lembut dibandingkan dengan kitin. Pada proses deasetilasi kitin digunakan basa kuat natrium hidroksida dengan konsentrasi tinggi yang berfungsi memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin yang memiliki struktur kristal tebal dan panjang.11 Proses deasetilasi kitin seperti Gambar 13 berikut: O
H
C
N
CH3
R + OH
CH3
O
H
C
N
R
OH
O
H
CH3 C
N R
OH
O H CH3 C
+ N R
H
O CH3 C
O+ H
N R
OH
Gambar 13. Mekanisme reaksi deasetilasi kitin menjadi kitosan
34
4.2. Analisa Gugus Fungsi Kitosan dan Penetapan Derajat Deasetilasi Kitosan Menggunakan FT-IR a. Analisa gugus fungsi kitosan menggunakan FT-IR Identifikasi gugus fungsi kitosan dari kitin iradiasi dan tanpa iradiasi dilakukan menggunakan FT-IR. Hasil analisa menunjukan bahwa adanya absorbsi gugus amina –NH2 dan ikatan amida C-N yang merupakan absorbsi spesifik dari kitosan. Pada kitosan dari kitin iradiasi, vibrasi ulur O-H dan -NH2 berada pada bilangan gelombang 3400.8 cm-1, vibrasi tekuk C=O berada pada 1651.1 cm-1, vibrasi tekuk C-N berada pada 1379.6 cm-1 dan vibrasi tekuk O-H primer pada C6 berada pada 1021.9 cm-1. Spektrum FT-IR kitosan dari kitin iradiasi dapat dilihat pada Gambar 14 berikut:
Laboratory Test Result
31.5 30 28 26
6272.07
2346.79 1651.17
%T 24
1379.66
1021.93
660.80
22 20 3400.87
18 17.0 4000.0
2914.14 Chitosan radiasi
3000
2000
1500
1000
450.0
cm-1
Gambar 14. Spektrum kitosan dari kitin iradiasi
35
Analisa gugus fungsi kitosan dari kitin tanpa iradiasi menunjukan vibrasi ulur OH dan -NH2 berada pada daerah bilangan gelombang 3403.5 cm-1, vibrasi tekuk C=O berada pada daerah 1657.4 cm-1, vibrasi tekuk C-N berada pada daerah 1421.3 dan vibrasi tekuk O-H primer pada C6 berada pada daerah 1011.6 cm-1. Spektrum FT-IR kitosan dari kitin iradiasi dapat dilihat pada Gambar 15 berikut: Laboratory Test Result
18.9 18 17 2335.98
16 %T 15
2367.02
1011.63
1657.42
3403.53
666.67
1421.35
14 13 Chitosan non radiasi
12.0 4000.0
3000
2000
1500
1000
450.0
cm-1
Gambar 15. Spektrum kitosan dari kitin tanpa iradiasi b. Derajat Deasetilasi Kitosan Derajat deasetilasi adalah persentase banyaknya gugus asetil yang hilang dan berubah menjadi gugus amina. Hasil proses deasetilasi mengubah kitin menjadi kitosan yang sifatnya dapat larut dalam asam asetat encer. Derajat deasetilasi kitosan diukur menggunakan metode base line dengan menghitung serapan pada bilangan gelombang sekitar 1655 cm-1 dan 3405 cm-1. hasil perhitungan diperoleh pada Tabel 4 berikut:
36
Tabel 4. Derajat deasetilasi kitosan No
Sampel kitosan
Derajat deasetilasi
1.
Dari kitin tanpa iradiasi
59,9%
2.
Dari kitin iradiasi
71,2%
Dari tabel di atas dapat dilihat iradiasi berpengaruh terhadap peningkatan derajat deasetilasi yang lebih tinggi. Iradiasi memutus ikatan hidrogen dan rantai panjang dari kitin (1,4 glikosida). Menurunnya ikatan hidrogen dan bertambah pendeknya rantai kitin maka pengaruh efek sterik semakin rendah. Sehingga basa kuat lebih mudah masuk ke dalam matriks kitin dan memutus gugus asetil dari atom nitrogen pada rantai kitin. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil yang terdapat dalam kitosan tersebut semakin sedikit.12
4.3. Bobot Molekul Kitosan Bobot molekul dapat berpengaruh pada sifat fisika polimer seperti kelarutan dan kekentalan. Bobot molekul kitosan dapat diukur dengan metode viskositas menggunkan alat viskometer Cannon Fenske. Keuntungan metode ini antara lain lebih cepat, lebih mudah dan perhitungannya sederhana. Prinsip pengukuran menggunakan metode ini adalah dengan mengukur waktu yang dibutuhkan oleh sejumlah cairan tertentu untuk mengalir melalui pipa kapiler pada jarak tertentu dan gaya yang disebabkan oleh berat cairan itu sendiri. Setelah dilakukan pengukuran diperoleh nilai pada Tabel 5 berikut:
37
Tabel 5. Bobot molekul kitosan No
Sampel kitosan
Bobot molekul
1.
Dari kitin tanpa iradiasi
9,0 x103 g/mol
2.
Dari kitin iradiasi
2,2 x 103 g/mol
Berdasarkan nilai yang diperoleh terlihat bahwa iradiasi menyebabkan bobot molekul yang dihasilkan semakin kecil dibandingkan tanpa iradiasi sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena terjadi pemutusan rantai kitin pada ikatan 1,4 glikosida sehingga menjadi kitin dengan rantai yang lebih pendek. Semakin pendek jumlah rantai polimer menyebabkan bobot molekul semakin rendah. Polimer dengan rantai panjang memiliki bobot molekul yang tinggi dan memiliki viskositas yang tinggi pula. 25 Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pemotongan rantai polimer sehingga menyebabkan turunnya viskositas adalah perlakuan iradiasi, suhu, enzim-enzim tertentu dan basa kuat.
4.4. Benang Kitosan Kitosan tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam encer seperti asam asetat. Adanya gugus karboksil dalam asam asetat akan memudahkan pelarutan kitosan karena terjadinya interaksi hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina.26 Peningkatan kelarutan berbanding lurus dengan peningkatan derajat deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasi maka kitosan semakin mudah larut. Sampel kitosan dari kitin iradiasi dan tanpa iradiasi masing-masing dilarutkan dengan 2% asam asetat. Dibuat tiga variasi konsentrasi larutan kitosan
38
dari kitin tanpa iradiasi 3%, 5% dan 7% sedangkan untuk kitosan dari kitin iradiasi dibuat larutan dengan konsentrasi 5%, 7% dan 9%. Larutan dimasukkan ke dalam spuit suntikan dan sebelumnya telah disiapkan tiga wadah yang masingmasing berisi 3% NaOH, 5% Na2CO3 dan 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1). Pada pembuatan benang kitosan terdapat perbedaan konsentrasi antara larutan kitosan dari kitin tanpa iradiasi dengan kitosan dari kitin iradiasi. Pada kitosan dari iradiasi tidak menggunakan larutan dengan konsentrasi 3%, karena kelarutan kitosan dari kitin iradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan kitosan dari kitin tanpa iradiasi sehingga ketika dilarutkan dalam asam asetat akan lebih cepat larut dan dihasilkan larutan yang sangat encer serta larutan ini sulit untuk digumpalkan dalam basa. Oleh karena itu konsentrasi yang digunakan untuk kitosan dari kitin iradiasi 5%, 7% dan 9% yang kelarutannya hampir sama dengan kitosan dari kitin tanpa iradiasi pada konsentrasi 3%, 5% dan 7%. Penelitian terdahulu yang di lakukan oleh G.W.Urbanczyk di Polandia, pembuatan benang kitosan digumpalkan dengan 5% NaOH. Pada penelitian ini digunakan 3% NaOH, 5% Na2CO3, dan campuran dari 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1). Karena aplikasi dari benang ini digunakan sebagai benang operasi maka penggunaan basa perlu diminimalisir agar tidak bersifat toksik bagi tubuh. Pembuatan benang ini dilakukan dalam skala laboratorium dengan menggunakan spuit suntikan. Untuk skala industri pembuatan benang dilakukan menggunakan alat extruder yang terlihat seperti pada Gambar 16 berikut:
39
5
1 4 3
2
Spinning unit : 1. Dope reservoir 2. Coagulating bath
4. Crome roller 5. Winder
3. Drawing bath
Gambar 16. Skema alat extruder4 4.4. Swelling Degree ( Derajat Pengembangan) Swelling menunjukkan kemampuan benang untuk mengembang karena air masuk ke dalam struktur benang. Aplikasi dari benang ini adalah sebagai benang operasi, maka perlu diketahui seberapa besar kemampuan dari benang ini untuk mengembang. Untuk itu perlu dilakukan uji swelling degree dengan cara benang kitosan sepanjang 5 cm direndam menggunakan air pada temperatur ruang dengan empat variasi waktu mulai dari 30 menit hingga 120 menit. Banyaknya air yang masuk ke dalam struktur benang, tergantung dari kerapatan molekul yang terdapat pada struktur benang. Iradiasi dapat berpengaruh pada bobot molekul polimer. Kitosan dari kitin iradiasi memiliki bobot molekul yang lebih rendah, dan setelah dilakukan uji swelling degree nilai yang dihasilkan relatif lebih besar karena tingkat kerapatan molekul pada struktur benang kitosan dari kitin iradiasi lebih rendah. Sehingga air lebih mudah masuk ke dalam struktur benang. Kitosan dari kitin tanpa iradiasi memiliki bobot molekul yang lebih tinggi, setelah dilakukan uji swelling degree nilai yang dihasilkan relatif lebih kecil karena tingkat kerapatan molekul pada benang kitosan dari kitin tanpa
40
iradiasi lebih tinggi sehingga air sukar masuk ke dalam struktur benang kitosan. Untuk aplikasi sebagai operasi dibutuhkan benang dengan nilai swelling degree yang lebih rendah agar luka lebih cepat rapat dan mengering. Hasil nilai swelling degree benang kitosan menggunakan air adalah sebagai berikut:
a. Nilai swelling degree benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi: 1. Nilai Swelling degree pada benang kitosan 3% Tabel 6. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan 3% dengan waktu perendaman dalam air
Waktu (Menit) 30 60 90 120
3% NaOH 79,5 82,0 83,7 83,9
Nilai Swelling degree (%) 5% 3% Na2CO3 (NaOH + Na2CO3, 1:1) 85,5 77,8 86,9 79,5 88,2 80,7 88,3 80,8
Setelah dilakukan perendaman dalam air selama 120 menit didapatkan nilai swelling degree benang kitosan 3% menggunakan penggumpal NaOH yaitu 83,9%, benang kitosan dengan penggumpal Na2CO3 adalah 88,3%, dan benang kitosan 3% menggunakan penggumpal campuran dari NaOH dan Na2CO3 adalah sebesar 80,8%. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan dengan waktu perendaman dapat dilihat pada pada Gambar 17 berikut:
41
Nilai swelling degree (%)
92 88
3% NaOH 5% Na2CO3
84
3% (NaOH + Na2CO3, 1:1)
80 76 0
30
60
90
120
150
Waktu perendam an (m enit)
Gambar 17. Grafik hubungan swelling degree benang kitosan 3% dengan waktu perendaman dalam air.
Pada grafik hubungan nilai swelling degree benang kitosan dengan waktu perendaman, pada menit ke-90 sampai menit ke-120 nilai swelling degree mendekati nilai yang relatif stabil. Nilai swelling degree benang kitosan 3% yang paling tinggi adalah dengan menggunakan penggumpal Na2CO3 dan Nilai swelling degree terendah dengan menggunakan penggumpal NaOH.
2. Nilai Swelling degree pada benang kitosan 5% Tabel 7. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan 5% dengan waktu perendaman dalam air
Waktu (Menit) 30 60 90 120
3% NaOH 71,0 74,4 76,6 76,9
Nilai Swelling degree (%) 5% 3% Na2CO3 (NaOH + Na2CO3, 1:1) 83,9 74,6 84,3 76,6 86,9 77,8 87,2 78,0
Nilai swelling degree benang kitosan 5% menggunakan penggumpal NaOH adalah 76,9%, benang kitosan 5% menggunakan penggumpal Na2 CO3 adalah 87,2%, dan benang kitosan 5% menggunakan penggumpal campuran dari
42
NaOH dan Na2CO3 adalah 78,0%. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan
Nilai swelling degree(%)
dengan waktu perendaman dapat dilihat pada pada Gambar 18 berikut: 100 80 3% NaOH
60
5% Na2CO3
40
3% (NaOH + Na2CO3, 1:1)
20 0 0
30
60
90
120
150
Waktu perendam an (m enit)
Gambar 18. Grafik hubungan swelling degree benang kitosan 5% dengan waktu perendaman dalam air
Pada benang kitosan 5% nilai swelling degree paling tinggi dihasilkan pada penggumpal Na2CO3 dan nilai swelling degree terendah menggunakan penggumpal NaOH.
3. Nilai Swelling degree pada benang kitosan 7% Tabel 8. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan 7% dengan waktu perendaman dalam air
Waktu (Menit) 30 60 90 120
3% NaOH 53,2 55,7 57,0 57,9
Nilai Swelling degree (%) 5% 3% Na2CO3 (NaOH + Na2CO3, 1:1) 65,6 48,1 66,6 55,2 72,2 57,0 72,9 57,5
Nilai swelling degree benang kitosan 7% menggunakan penggumpal NaOH adalah 57,9%, benang kitosan 7% menggunakan penggumpal Na2 CO3 adalah 72,9% dan benang kitosan 7% menggunakan penggumpal campuran dari
43
NaOH dan Na2CO3 adalah 57,5%. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan
Nilai swelling degree (%)
dengan waktu perendaman dapat dilihat pada pada Gambar 19 berikut: 80 70 60 50 40 30 20 10 0
3% NaOH 5% Na2CO3 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1)
0
30
60
90
120
150
Waktu perendam an (m enit)
Gambar 19. Grafik hubungan swelling degree benang kitosan 7% dengan waktu perendaman dalam air Pada benang kitosan 7% nilai swelling tertinggi dihasilkan benang kitosan dengan penggumpal Na2CO3 dan nilai terendah menggunakan penggumpal campuran antara NaOH dan Na2CO3. Berdasarkan data yang diperoleh, benang yang digumpalkan dengan Na2CO3 memiliki nilai swelling degree yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena kemampuan Na2CO3 untuk menggumpalkan larutan kitosan kurang baik sehingga dihasilkan struktur benang yang memiliki kerapatan molekulnya rendah. Maka ketika dilakukan perendaman, air lebih mudah masuk ke dalam struktur benang. Benang kitosan yang digumpalkan dengan NaOH dan campuran antara NaOH dan Na2CO3 dihasilkan nilai swelling degree yang lebih rendah. Hal tersebut dapat terjadi karena larutan NaOH serta campuran larutan NaOH dan Na2CO3 memiliki kemampuan yang cukup baik untuk menggumpalkan larutan
44
kitosan sehingga dihasilkan struktur benang yang memiliki kerapatan molekulnya tinggi. Ketika dilakukan perendaman, air sulit masuk ke dalam struktur benang maka nilai swelling degree yang dihasilkan rendah.
b. Nilai swelling degree benang kitosan dari kitin iradiasi 1. Nilai Swelling degree pada benang kitosan 5% Tabel 9. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan 5% dengan waktu perendaman dalam air
Waktu (menit) 30 60 90 120
3% NaOH 76,0 78,6 84,2 84,4
Nilai Swelling degree (%) 5% 3% Na2CO3 (NaOH + Na2CO3, 1:1) 86,7 82,6 89,0 85,4 90,4 88,2 90,5 88,2
Nilai swelling degree benang kitosan 5% menggunakan penggumpal NaOH sebesar 84,4%, benang kitosan 5% menggunakan penggumpal Na2CO3 nilai swelling degree sebesar 90,5%, dan benang kitosan 5% menggunakan penggumpal campuran dari NaOH dan Na2CO3 nilai swelling degree sebesar 88,2%. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan dengan waktu perendaman
Nilai swelling degree (%)
dapat dilihat pada pada Gambar 20 berikut: 92 90 88 86 84 82 80 78 76 74
3% NaOH 5% Na2CO3 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1)
0
30
60
90
120
150
w aktu perendam an (m enit)
Gambar 20. Grafik hubungan swelling degree benang kitosan 5% dengan waktu perendaman dalam air
45
Grafik di atas menujukkan nilai swelling degree benang kitosan 5% yang tertinggi adalah dengan menggunakan penggumpal Na2CO3. Nilai swelling degree terendah dengan menggunakan penggumpal campuran NaOH.
2. Nilai Swelling degree pada benang kitosan 7% Tabel 10. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan 7% dengan waktu perendaman dalam air
Waktu (menit)
3% NaOH 74,1 76,1 78,4 78,6
30 60 90 120
Nilai Swelling degree (%) 5% 3% Na2CO3 (NaOH +Na2CO3, 1:1) 73,4 85,9 75,5 86,9 79,0 88,0 79,0 88,0
Nilai swelling degree benang kitosan 7% menggunakan penggumpal NaOH adalah 82,8%, benang kitosan 7% menggunakan penggumpal Na2 CO3 adalah 88,0%, dan benang kitosan 7% menggunakan penggumpal campuran dari NaOH dan Na2CO3 adalah 79,0%. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan
Nilai swelling degree (%)
dengan waktu perendaman dapat dilihat pada pada Gambar 21 berikut: 100 80 3% NaOH
60
5% Na2CO3
40
3% (NaOH + Na2CO3, 1:1)
20 0 0
30
60
90
120
150
w aktu perendam an (m enit)
Gambar 21. Grafik hubungan nilai swelling degree benang kitosan 7% dengan waktu perendaman dalam air
46
Pada benang kitosan 7% nilai swelling degree tertinggi dihasilkan pada basa penggumpal Na2CO3 dan nilai swelling degree terendah benang kitosan menggunakan penggumpal NaOH.
3. Nilai Swelling degree pada benang kitosan 9% Tabel 11. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan 9% dengan waktu perendaman dalam air
Waktu (menit) 30 60 90 120
3% NaOH 52,0 54,7 56,7 57,7
Nilai Swelling degree (%) 5% 3% Na2CO3 (NaOH +Na2CO3, 1:1) 65,0 52,7 68,5 55,5 72,1 58,0 74,6 58,3
Nilai swelling degree benang kitosan 9% menggunakan penggumpal NaOH sebesar 57,7%, benang kitosan 9% menggunakan penggumpal Na2CO3 adalah 74,6%, dan benang kitosan 9% menggunakan penggumpal campuran dari NaOH dan Na2CO3 adalah 58,3%. Hubungan nilai swelling degree benang kitosan
Nilai swelling degree(%)
dengan waktu perendaman dapat dilihat pada Gambar 22 berikut:
80 70 60 50
3% NaOH
40 30 20
5% Na2CO3 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1)
10 0 0
30
60
90
120
150
Waktu perendam an (m enit)
Gambar 22. Grafik hubungan nilai swelling degree benang kitosan 9% dengan waktu perendaman dalam air
47
Pada benang kitosan 9% nilai swelling degree tertinggi pada benang kitosan menggunakan penggumpal Na2CO3 dan nilai swelling degree terendah pada benang kitosan menggunakan penggumpal NaOH. Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa semakin lama waktu perendaman, volume air yang masuk ke dalam struktur benang semakin sedikit dan nilai menjadi stabil karena kemampuan benang untuk membengkak telah mencapai titik yang maksimum. Berdasarkan uji swelling degree yang telah dilakukan pada benang kitosan dari kitin iradiasi dan tanpa iradiasi dengan variasi konsentrasi larutan dan penggumpal, didapatkan nilai swelling degree terendah benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi pada benang kitosan 7% menggunakan penggumpal campuran antara NaOH dan Na2CO3 berkisar 57,5%. Sedangkan benang kitosan dari kitin iradiasi nilai swelling degree terendah dihasilkan pada benang kitosan 9% menggunakan penggumpal NaOH dengan nilai swelling degree berkisar 57,7%. Ketika air masuk ke dalam struktur benang dalam keadaan kering, molekul air pertama kali terikat pada gugus polar, gugus hidrofilik, dan gugus dengan ikatan hidrogen. Setelah semua gugus terikat dengan molekul air, kemudian air bebas mengisi pori-pori pada benang. Pembengkakan selanjutnya terjadi karena persaingan osmotik sampai proses pembengkakan seimbang. Banyaknya volume air yang dapat masuk ke dalam struktur benang tergantung dari banyaknya pori dan ukuran pori dimana banyaknya pori dan ukuran pori dipengaruhi oleh komposisi polimer.
48
Konsentrasi kitosan yang semakin besar akan meningkatkan derajat pengikatan silang yang mengakibatkan semakin rapat atau ukuran pori semakin kecil. Sehingga volume air yang masuk semakin sedikit, dengan kata lain swelling degree semakin rendah. Demikian pula sebaliknya.
5.5. Kekuatan Tarik Benang Kitosan Kekuatan tarik merupakan salah satu sifat mekanik dari polimer. Kekuatan tarik diukur mengunakan alat tensile strength. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan didapatkan nilai kekuatan tarik benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi dan kitin iradiasi pada Tabel 12 dan 13 berikut:
a. Kekuatan tarik benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi Tabel 12. Nilai kekuatan tarik benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi
No.
Basa penggumpal
Konsentrasi larutan kitosan dari kitin tanpa iradiasi 3% 5% 7% TS EB TS EB TS EB (kg/cm2)
(%)
(kg/cm2)
(%)
1.
3% NaOH
429,8
-
434,3
10
2.
5% Na2CO3
148,2
-
227,6
-
3.
3% NaOH + Na2CO3 (1:1)
283,2
-
315,0
-
TS EB
(kg/cm2)
437,5 282,0 348,4
(%)
30
= Tensile Strength (kg/cm2) = Elongation at break (perpanjangan putus, %)
Kekuatan tarik maksimum (Tensile Strength) adalah beban maksimum dibagi luas penampang lintang awal benda uji. Nilai kekuatan tarik tertinggi benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi adalah 437,5 kg/cm2 terdapat pada benang dengan kandungan kitosan 7% menggunakan basa penggumpal NaOH dan nilai
49
kekuatan tarik terendah 148,2 kg/cm2 pada benang dengan kandungan kitosan 3% menggunakan penggumpal Na2CO3. Pada uji sifat mekanik, selain tensile strength (kekuatan tarik) terdapat juga persen perpanjangan putus (elongation at break). Perpanjangan putus merupakan salah satu cara dalam pengukuran elastisitas suatu bahan yang diperoleh dari uji tarik. Nilai perpanjangan putus tertinggi yaitu 30% pada benang dengan kandungan kitosan 7% menggunakan penggumpal campuran antara NaOH dan Na2CO3 dan nilai persen perpanjangan terendah yaitu 10% pada benang dengan kandungan kitosan 5% menggunakan penggumpal NaOH.
b. Kekuatan tarik benang kitosan dari kitin iradiasi Hasil pengukuran kekuatan tarik benang kitosan dari kitin iradiasi ditampilkan pada tabel berikut: Tabel 13. Nilai kekuatan tarik benang kitosan dari kitin iradiasi
No.
1. 2. 3. TS EB
Basa penggumpal 3% NaOH 5% Na2CO3
Konsentrasi larutan kitosan dari kitin iradiasi 5% 7% 9% EB EB EB TS TS TS (kg/cm2) (%) (kg/cm2) (%) (kg/cm2) (%) 418,3
20
420,1
10
423,3
30
127,2
-
175,1
-
187,4
-
-
268,4
-
3% NaOH + Na2CO3 243,4 260,4 (1:1) = Tensile Strength (kg/cm2) = Elongation at break (perpanjangan putus, %)
Nilai kekuatan tarik tertinggi benang kitosan dari kitin iradiasi yaitu 423,3 kg/cm2 pada benang dengan kandungan kitosan 5% menggunakan penggumpal
50
NaOH. Nilai kekutatan tarik terendah yaitu 127,2 kg/cm2 pada benang dengan kandungan kitosan 5% menggunakan penggumpal Na2CO3. Nilai perpanjangan putus terendah 10% pada benang dengan kandungan kitosan 7% menggunakan penggumpal NaOH. Sedangkan nilai persen perpanjangan tertinggi yaitu 30% pada benang dengan kandungan kitosan 9% menggunakan penggumpal NaOH. Pada tabel di atas terlihat nilai kekuatan tarik benang kitosan iradiasi lebih rendah dibandingkan dengan nilai kekuatan tarik benang kitosan tanpa iradiasi. Hal ini dikarenakan benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi tidak mengalami pemutusan ikatan, dan rantai molekul kitin lebih rapat. Sehingga ketika dilakukan uji kekuatan tarik dihasilkan nilai yang tinggi. Pada benang kitosan dari kitin iradiasi nilai kekuatan tarik yang dihasilkan relatif lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh perlakuan iradiasi pada kitin, yang mengakibatkan rantai molekul kitin menjadi lebih renggang sehingga ketika dilakukan uji tarik lebih cepat putus dan nilai kekuatan tarik yang dihasilkan lebih rendah. Pada uji kekuatan tarik terdapat pengukuran yang tidak menghasilkan nilai elongation at break (perpanjangan putus) hal ini karena sampel terlalu kaku ketika dilakukan uji tarik sampel tidak memiliki elastisitas sehingga langsung terputus. Untuk aplikasi sebagai benang operasi diperlukan benang yang memiliki nilai kekuatan tarik tidak terlalu tinggi dan elastisitas yang cukup. Hal ini dimaksudkan agar benang lebih cepat terdegradasi dalam tubuh (in vivo) yang
51
menghasilkan produk akhir yang bersifat biocompatible (tidak bersifat racun) bagi tubuh yang akan mengalami metabolisme dengan tubuh.26 Nilai tersebut didapat pada benang kitosan 7% dari kitin tanpa iradiasi dengan penggumpal campuran antara NaOH dengan Na2CO3 dengan nilai kekuatan tarik 348,4 kg/cm2 dan nilai perpanjangan putus 30%. Sedangkan untuk benang kitosan dari kitin iradiasi, diperoleh pada konsentrasi benang 9% dan penggumpal yang digunakan NaOH, dengan nilai kekuatan tarik 423,3 kg/cm2 dan nilai perpanjangan putus 30%. Kekuatan suatu bahan dipengaruhi oleh ikatan kimia penyusunnya. Ikatan kimia yang kuat bergantung pada jumlah ikatan molekul dan jenis ikatannya. Ikatan kimia yang kuat sulit untuk diputus karena diperlukan energi yang cukup besar untuk memutus ikatan tersebut. Hal ini sering disebut dengan affinitas. Affinitas merupakan suatu fenomena dimana atom atau molekul tertentu memiliki kecenderungan untuk bersatu atau berikatan.27 Menurut hasil penelitian yang dilakukan G. W. Urbanczyk: terhadap benang kitosan 4% dengan menggunakan penggumpal 5% NaOH nilai kekuatan tarik berada pada rentang 888 kg/cm2 sampai 1200 kg/cm2, nilai elongation at break 30-47%, dan nilai swelling degree dalam air sebesar 57-58%.4,11 Sedangkan nilai yang dihasilkan penulis pada penelitian ini, nilai yang mendekati untuk benang kitosan dari kitin tanpa iradiasi yaitu pada konsentrasi kitosan 7% menggunakan penggumpal campuran larutan 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1) dengan nilai kekuatan tarik sebesar 348,4 kg/cm2, nilai perpanjangan putus 30%, dan nilai swelling degree sebesar 57,5%.
52
Untuk kitosan dari kitin iradiasi nilai yang mendekati didapat pada kitosan 9% menggunakan penggumpal 3% NaOH dengan nilai kekuatan tarik 423,3 kg/cm2, nilai perpanjangan putus 30%, dan nilai swelling degree sebesar 57,7%. Jika diamati, nilai swelling degree benang kitosan berbanding terbalik dengan nilai kekuatan tariknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh konsentrai dari kitosan tersebut. Semakin tinggi konsentrasi maka, susunan molekul pada benang semakin rapat sehingga memiliki susunan pori-pori yang rapat, ikatan yang kuat dan sulit untuk diputuskan. Itulah sebabnya semakin rendah nilai swelling degree maka nilai kekuatan tarik semakin tinggi. Berdasarkan hasil yang diperoleh nilai kekuatan tarik untuk untuk benang kitosan masih kurang, maka untuk meningkatkan nilai tersebut perlu ditambahkan aditif yang tentunya aman bagi tubuh.
53
BAB V KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan: 1. Perlakuan iradiasi pada proses awal, memberikan pengaruh yang positif, diantaranya adalah: dapat mengurangi efek sterik pada struktur kitin sehingga pada proses desaetilasi basa lebih mudah masuk dan memutuskan ikatan pada struktur kitin dan dihasilkan nilai derajat deasetilasi kitosan yang lebih tinggi (71,2%) dibandingkan kitosan dari kitin tanpa iradiasi (60,4%). 2. Iradiasi juga dapat menurunkan bobot molekul kitosan seperti yang dihasilkan pada penelitian ini, bobot molekul kitosan dari kitin iradiasi lebih rendah (2,2 x 103 g/mol) sedangkan kitosan dari kitin tanpa iradiasi (9,0 x 103 g/mol). Kitosan dengan bobot molekul rendah dapat memudahkan dalam proses pelarutan dan memudahkan pada proses pencetakan benang. 3. Konsentrasi optimum larutan kitosan untuk pembuatan benang dari kitin tanpa iradiasi adalah 7% dan basa penggumpal yang digunakan adalah campuran antara 3% (NaOH + Na2CO3, 1:1) dengan nilai kekuatan tarik 348,4 kg/cm2 , nilai perpanjangan putus 30% dan nilai swelling degree berkisar 57,5%.
54
4. Konsentrasi optimum larutan kitosan untuk pembuatan benang dari kitin iradiasi adalah 9% dan penggumpal yang digunakan adalah 3% NaOH dengan nilai kekuatan tarik 423,3 kg/cm2, nilai perpanjangan putus 30% dan nilai swelling degree 57,7%. 5.2. Saran Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar ditambahkan aditif (yang aman bagi tubuh) untuk memperbaiki sifat kekuatan tarik dan nilai elastisitas dari benang kitosan agar tidak mudah rapuh.
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Peranginangin, Rosma. Prospek Pengenbangan Produk Baru Dari Limbah Hasil Perikanan Sebagai Bahan Baku Skunder. Badan Riset Kelautan Dan Perikanan. 2004. hal 35. 2. Wahyuningsih, Sri et al. Percobaan Pendahuluan Pemisahan Kitin Dari Limbah Kulit Udang. Yogyakarta: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Maju. 2002. 3. Kartini. Z, Achsanah; Siti, Hartatik. Studi Tentang Mutu Chitin, Chitosan yang Dihasilkan dari Limbah Kulit Kepiting, [lap.penelitian]. Malang: Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. 1997. hal 5. 4. East, George. C, Mcintyre, j. Eric. The Production Fiber From Chitosan. Proc. Departement of Textile Industries. University of leeds. England. 1982. p 757-763 5. Stevens, Malcom, P. Kimia Polimer. cet.1. PT Pradnya Paramita. Jakarta; 2001. hal 7-8, 110. 6. Koswara, B. Stok Udang Jerbung (Panaeus merquensis de man) di Perairan Cirebon dan Pengolahannya [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 1985. hal 7-8. 7. Kurnia, Wiji Prasetiyo. Biomaterial. Bogor: S Hut UPT Balitbang LIPI Cibinong; 2002. 8. Suryaningrum, Dwi, et all. Pengaruh Konsentrasi Asam Monokloro Asetat dan Jenis Pelarut Sebagai Bahan Pengendap Terhadap Produksi Karboksimetil Kitin. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia vol 11, no 4; Balai Riset Kelautan dan Perikanan. 2005. hal 89. 9. Lehninger, AL; Nelso DL; Cox MM. Principles of Biochemistry. New York: Worth Publisher. 1993. 10. Tokura, Seiichi; Nishi, Norio. Spesification and Characterization of Chitin and Chitosan. Environmentally Friendly Modern Materials. 1995. hal 1-2.
56
11. Dunn, ET. EW. Applications and Properties of Chitosan, Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic. Basel: Pub. 1997. p 9-30, 281-295. 12. Bastaman. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from prown Shells. The Queen’s. University of Belfast England. 1989 13. Suhartono, M. T. Pemanfaatan Kitin dan Kitosan, Kitooligosakarida; Foodreview 1 (6). 2006. hal 33. 14. SNI 16-3366-1994. Benang Oprasi Serap Kolagen Sekali Pakai (Absorbable Suture). Jakarata: Badan Standarisasi Nasional- BSN. 1994. 15. SNI 16-3346-1994. Benang Oprasi Tanserap Sekali Pakai (Non Absorbable Suture). Jakarata: Badan Standarisasi Nasional- BSN. 1994. 16. Utama, Marga. Komposit Lignoselulosa. Jakarta: BATAN. 2007. hal 59-60. 17. Anonimous. Interaksi Radiasi. Jakarta: PDIN (Pusat Diseminasi Iptek Nuklir). 2007. 18. Anonimous. Biodegradable Polymer. Council: Environment and Plastic Industry. 2000. 19. Fessenden, Ralp J; Joan S Fessenden. Kimia Organik, edisi Ketiga, Jilid 1. Jakarta. Erlangga. 1986. hal 315-316. 20. Khopkar, S.M. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI press. 1990. hal 241-243. 21. Callister, William. D. Jr. Material Science and Enggineering an Introduction, 7th edition, John Willey & Sons. Inc. Utah: Univesitas or Utah. USA. p 655. 22. Cowd. Kimia Polimer; terjemahan Harry Firman. Bandung: ITB press. 1991. hal 43-44. 23. Lee, Kee Chang; Seong Gil yoon., et al. Swelling Behavior of Chitosan Hidrogel in Ionic Liquit-Water Binary System. Materials Research Society, symposium, Prociding. Vol 915. Seuol: Hanyang University. Korea. 2006. 24. Kolodzjieska, I. A; Wojtasz-Pajak, G. Ogonoskwa dan Z.E. Sikorski. Deacetylation of chitin in two-stage chemical and enzymatic process, Bul. Sea. Fisheries Inst. 2000. p 15-24.
57
25. Dwityono, Basmal, J dan Mulyasari. Pengaruh Suhu dan Esterifikasi Terhadap Karakteristik Karboksimetil Kitosan (CMCts). J. Panel. Perik. Indonesia. Edisi Pasca panen. 2004. 10(3): 67-73 26. Meddieton, J. C; Tipton, A. J; Synthetic Biodegradable Polymer as Medical Divices, Medical Plastics and Biomaterials Magazine. 1998. 27. Utari, Sri Maya; Yuli Darni dan Herti Utami. Pemanfaatan Agar-Agar Gracilarna Coronapifolia dan Kitosan Untuk Pembuatan Plastik Biodegradabel Dengan Gliserol Sebagai Plasticizer, dalam Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II Universitas Lampung, 1718 November. Lampung. 2008.
58