KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG DAN KERIPIK BEBERAPA GENOTIPE UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) HASIL PEMULIAAN
TENGKU MIA RAHMIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015
Tengku Mia Rahmiati F152120171
RINGKASAN TENGKU MIA RAHMIATI. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan Dibimbing oleh Y. ARIS PURWANTO, SLAMET BUDIJANTO dan NURUL KHUMAIDA. Ubi kayu memiliki peranan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan pada kondisi rawan pangan dan pengembangan industri. Ubi kayu merupakan komoditas agroindusti yang sangat potensial dan banyak dijadikan bahan baku berbagai industri diantaranya industri pangan, pakan, farmasi, tekstil dan kertas. Komoditas ubi kayu kayu lebih lanjut dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar alternatif (biofuel) pengganti bahan bakar. Perbedaan periode pemanenan, jenis varietas kondisi penanaman, kelembaban, suhu tanaman ubi kayu menyebabkan perbedaan perbedaan sifat fisik dan kimia. Perbedaan ini menyebabkan sifat fungsionalnya pun berbeda sehingga mengakibatkan perbedaan produk akhir yang dihasilkan. Sifat fisik dan kimia ubi kayu sangat penting untuk peningkatan kualitas hasil panen dan pengembangan produk ubi kayu. Karakterisasi sifat fisik dan kimia ubi kayu salah satunya ditentukan oleh sifat pati yang merupakan komponen utama dari ubi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengkarakterisasi sifat fisikokimia 20 genotipe ubi kayu hasil pemuliaan tim crop improvement ubi kayu IPB. Karakterisasi fisikokimia dilakukan dengan cara melakukan analisis kimia (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, total pati, kadar amilosa) dan fisik (karakteristik pasta (pasting properties) dan pengukuran derajat putih). Dari hasil karakterisasi diperoleh bahwa setiap genotipe ubi kayu memiliki sifat fisiko-kimia tepung yang berbeda. Kadar air tertinggi dimiliki genotipe V4D0 11.48%, kadar abu tertinggi 1.89% (U10), kadar lemak tertinggi 1.83% (U1) dan protein tertinggi 5.13% (U9). Genotipe U2 memiliki kadar amilosa tertinggi yaitu 24.21% sedangkan yang terendah dihasilkan oleh genotipe V2D1-1(3) yaitu 13.13%. Genotipe V2D0 memiliki total pati tertinggi yaitu 88.67% dan yang terendah adalah genotipe U4 yaitu 71.20%. Hasil pengukuran niali derajat putih genotipe V1D0 memiliki nilai terbaik yaitu 93.13%. Pada pengujian pasting properties genotipe V2D1-1(3) memiliki viskositas puncak terendah yaitu 4006 cP dan viskositas akhir yang tinggi terjadi pada genotipe U1 yaitu 2774 cP. Analisis kerenyahan keripik, menunjukkan bahwa genotipe U3, U10 dan V4D0 memiliki nilai kerenyahan yang mendekati karakteristik keripik komersial yang umum dijual di pasaran. Kata kunci: genotype, karakterisasi, keripik, pati, tepung, ubi kayu
SUMMARY TENGKU MIA RAHMIATI. Characterization of Physicochemical Properties of Cassava (Manihot esculenta Crantz) Flour and Chips from Different Genotypes. Supervised by Y. ARIS PURWANTO, SLAMET BUDIJANTO and NURUL KHUMAIDA. Cassava has the major role to fulfill the food needs during the insecure condition and industrial development. Cassava is a potential agroindustrial commodity and widely used for raw material in various industries such as; food, feed, pharmacy, textiles and papers. Furthermore, the commodity of cassava can be used as source of biofuel. The differences in harvest time, varieties, growth conditions, humidity, and temperatures of cassava leads to the differences in physical and chemical properties of it, which will be impacted to the differences in functional properties and the final product. The physical and chemical properties of cassava are very important to improve the crop quality and its development. These characteristics are determined by starch properties which is the main component of cassava. This study was aimed at evaluating and characterizing the physicochemical properties of 20 cassava breeding genotypes, produced by IPB cassava crop improvement team. The physicochemical characterization was performed by analyzing the moisture, ash, protein, fat, carbohydrate, pasta characteristics (pasting properties), starch total, amylose content, and whiteness measurement. The results showed that each genotype had different chemical content, and gelatinization properties. The highest water content was produced by genotyping V4D0 is 11.48%, the highest ash was 1.89% (U10), the highest fat was 1.83% (U1) and the highest protein was 5.13% (U9). Genotype U2 has the highest amylose was 24.21% and the lowest produced by genotype V2D1-1 (3) was 13.13%. V2D0 genotype had the highest total starch was 88.67% and the lowest was U4 genotypes 71.20%. Results of measurement values whiteness genotype V1D0 has the best valueis 93.13%. On testing pasting properties Genotype V2D11(3) lowest viscosity was 4006 cP. The high value of last viscosity occured in 277 cP by genotype U1. For analyzing the crispness of chips, genotype U3, U10 and V4D0 found that had crispness value approaching characteristics of commercial chips. Keywords : characterizing, cassava, chips, flour, genotype, starch
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG DAN KERIPIK BEBERAPA GENOTIPE UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) HASIL PEMULIAAN
TENGKU MIA RAHMIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Judul Tesis : Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan Nama : Tengku Mia Rahmiati NIM : F152120171
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc Ketua
Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr Anggota
Dr Ir Nurul Khumaida, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 4 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Juni 2014 ini ialah Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan. Terlaksananya penelitian dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan berbagai pihak terkait yang juga memberikan motivasi serta dukungan secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr selaku pembimbing kedua serta Ibu Dr.Ir. Nurul Khumaida, MS selaku pembimbing ketiga, yang tiada henti memberikan saran, arahan, motivasi dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyusunan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr selaku dosen penguji, yang telah banyak memberikan masukan, saran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini. 3. Seluruh pengajar di Program Studi Ilmu Pangan dan Teknologi Pascapanen yang telah memberikan bekal ilmu bagi penulis. 4. Para teknisi di laboratorium Technopack, laboratorium ITP dan laboratorium TPPHP yang telah memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 5. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua tercinta yaitu Ayahanda Tuanku Maimun dan Ibunda Cut Sakdiah yang telah memberikan do’a yang tulus, motivasi dan perhatian yang tidak ternilai harganya hingga penulis dapat menyelesaikan studi master ini. 6. Terima kasih juga disampaikan untuk kakanda tercinta Tuanku Mohammad Iqbal beserta Istri Nurul Inayah dan adindaku tersayang Tuanku Ihsan Munawar serta seluruh keluarga atas segala do’a, cinta dan kasih sayang serta dukungan yang diberikan kepada penulis. 7. Sahabat-sahabatku tercinta Uni Asmeri Lamona, Uni Fahma Yuliwardi, Kak Vonny Tiara, Sari Mustika, Kak Nur Pratiwi Rasyid, Fachrurrazi,Virna Muhardina. Teman-teman IPN 2012, TPP 2012 dan TPP 2013 atas bantuan dan kerjasamanya selama menempuh study serta telah memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. . Bogor, Oktober 2015
Tengku Mia Rahmiati
DAFTAR ISI
PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
ii iii v vi vii
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesa Penelitian
1 1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu Tepung Pati Gelatinisasi Pati Keripik
2 2 3 4 5 6
METODELOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Alat Penelitian Tahapan Penelitian Pembuatan Tepung Ubi Kayu Pembuatan Keripik Ubi Kayu Prosedur Analisis Rancangan Percobaan
7 7 7 7 7 9 10 10 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Ubi Kayu Karakteristik Kimia Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin 20 Genotipe Ubi Kayu Karakteristik Pasta Tepung 20 Genotipe Ubi Kayu Nilai Derajat Putih Keripik Ubi Kayu
15 15 15 17 19 23 24
SIMPULAN DAN SARAN
25
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
26 30
DAFTAR TABEL 1 Komposisi kimia ubi kayu 2 Perbandingan komposisi kimia berbagai jenis tepung 3 Komposisi kimia dan derajat putih tepung 10 genotipe ubi kayu generasi pertama 4 Komposisi kimia dan derajat putih tepung 10 genotipe ubi kayu generasi kedua 5 Kandungan pati, amilosa dan amilopektin 10 genotipe tepung ubi kayu generasi pertama (% bahan kering) 6 Kandungan pati, amilosa dan amilopektin 10 genotipe tepung ubi kayu generasi kedua (% bahan kering) 7 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi pertama 8 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi kedua 9 Hasil pengukuran kerenyahan keripik 20 genotipe ubi kayu dan keripik pembanding yang beredar dipasaran (komersial)
3 4 15 16 18 18 20 22 25
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Perubahan bentuk granula pati selama gelatinisasi Diagram keseluruhan tahapan penelitian Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu Diagram alir pembuatan keripik ubi kayu Grafik perubahan viskositas (amilograf) pada tepung beras Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi pertama 7 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi kedua
6 8 9 10 16 20 21
DAFTAR LAMPIRAN 1. Tabel rekomendasi pemanfaatan 20 genotipe ubi kayu ................................. 30 2. Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi pertama ........................................................ 32 3. Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi kedua ........................................................... 37
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ubi kayu merupakan salah satu sumber karbohidrat selain padi dan jagung yang dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pada kondisi rawan pangan nasional. Ubi kayu terbukti dapat mengatasi kebutuhan pangan masyarakat dunia (FAO 2011) karena sangat potensial digunakan sebagai bahan baku pada berbagai industri pangan. Selain itu ubi kayu juga dapat dimanfaatkan pada industri pakan ternak, tekstil, farmasi dan sebagai perekat pada industri kertas serta dapat menjadi sumber bahan bakar alternatif (biofuel) karena tingginya kandungan pati yang dapat dijadikan bioetanol. Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar tunggal atau subtitusi pada bensin dan premium (Sugiyono 2005). Pesatnya perkembangan berbagai industri berbasis ubi kayu menyebabkan kebutuhan ubi kayu semakin meningkat, namun ketersediaan ubi kayu masih terbatas karena rendahnya produksi. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut, petani dan pemulia terutama tim crop improvement ubi kayu IPB kemudian mengembangkan berbagai varian ubi kayu yang memiliki potensi produktivitas yang tinggi dengan berbagai metode pengembangan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Khumaida et al. (2015) diperoleh varian ubi kayu yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dengan kandungan pati yang tinggi pula sehingga diharapkan dapat mendukung ketersediaan bahan baku industri berbasis ubi kayu. Ubi kayu memiliki jenis dan varietas yang beragam, akibatnya ubi kayu yang dihasilkan memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda – beda (Moorthy 2002). Selain jenis dan varietas, periode pemanenan, kondisi penanaman, kelembaban dan suhu lingkungan tanaman ubi kayu juga menyebabkan perbedaan karakter fisik dan kimia umbi yang dihasilkan. Karakterisasi sifat fisik dan kimia umbi ubi kayu salah satunya ditentukan oleh sifat pati yang merupakan komponen utama dari umbi ubi kayu. Sifat fisik dan kimia pati terdiri dari bentuk dan ukuran granula, kandungan amilosa dan kandungan komponen non-pati. Perbedaan karakter fisikokimia ubi kayu akan mempengaruhi produk akhir yang dihasilkan karena terjadinya ketidakkonsistenan pada bahan baku (Syamsir et al. 2011) sehingga perlu dilakukan pengkarakterisasian dari berbagai varian atau genotipe ubi kayu. Pengkarakterisasian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemulia untuk mengklasifikasikan genotipe ubi kayu agar sesuai dengan tujuan pengolahan ubi kayu dan membantu dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas serta kuantitas hasil panen ubi kayu hasil pemuliaan yang telah dilakukan oleh tim crop improvement ubi kayu. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi sifat fisikokimia tepung (kadar air, protein, lemak, karbohidrat, pati, amilosa, amilopektin) dan keripik ubi kayu (kerenyahan) dari beberapa genotipe ubi kayu,
2 sehingga dapat menjadi umpan balik kepada pemulia untuk mendapatkan genotipe yang sesuai dengan tujuan pengolahan ubi kayu. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi karakter fisik dan kimia tepung serta keripik ubi kayu sebagai bahan pertimbangan bagi pemulia untuk menentukan genotipe ubi kayu yang sesuai dengan tujuan pengolahan ubi kayu. Selain itu sebagai sumber informasi dan rekomendasi bagi produsen untuk memilih genotipe yang tepat dalam pengolahan ubi kayu sehingga menghasilkan produk sekunder yang bernilai jual tinggi. Hipotesa Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah genotipe ubi kayu yang berbeda mempunyai karakteristik sifat fisikokimia yang berbeda. Genotipe ubi kayu yang berbeda ini akan berpengaruh terhadap karakteristik produk sekundernya.
2 TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang tumbuh dan berkembang di daerah tropis dan sub tropis. Umbi ini juga mampu bertahan dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang ektrim, seperti kondisi tanah masam (pH rendah), tanpa pemupukan dan daerah dengan curah hujan yang bervariasi seperti pada curah hujan rendah (<500 mm), ataupun tinggi (5000 mm), namun curah hujan optimum untuk ubi kayu berkisar antara 760-1015 mm per tahun (Suharno et al. 1999). Indonesia merupakan negara keempat dari lima negara terbesar penghasil ubi kayu. Berdasarkan data FAO (2011) hampir 60 % produksi ubi kayu dunia berpusat pada lima negara yaitu Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia dan Kongo. Dilihat dari urutan negara penghasil ubi kayu terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi dalam memproduksi ubi kayu. Ubi kayu juga merupakan komoditas tanaman pangan yang menjadi bahan baku berbagai industri pangan, pakan, kimia, tekstil atau menjadi produk yang lebih bernilai jual tinggi yaitu bioetanol sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak bumi. Sebagai sumber bahan pangan, ubi kayu kaya akan karbohidrat sehingga dapat dijadikan sebagai pangan pokok atau cadangan (buffer stock) pangan serta sumber kalori ketiga setelah beras dan jagung. Secara umum, ubi kayu segar mengandung air sekitar 60 %, pati sebesar 25-35 % dengan kandungan protein, mineral, serat, kalsium dan fosfat dalam jumlah kecil. Adapun komposisi kimia ubi kayu yang lebih rinci dapat dilihat dari tabel berikut ini (Tabel 1).
3 Tabel 1 Komposisi kimia umbi ubi kayu Komponen Persentase Air (%) 62.8 Energi (kJ 100/g) 58.0 Protein (%) 0.53 Lemak (%) 0.17 Pati (%) 31 Gula (%) 0.83 Serat (%) 1.48 Abu (%) 0.84 Mineral (mg/100 g) Kalsium 20 Kalium 302 Fosfor 46 Magnesium 30 Besi 0.23 Sumber: Bradburry and Holloway 1988 in Westby (2002) Sebagai bahan baku industri, ubi kayu dapat diolah menjadi tepung ubi, tapioka (pati), berbagai jenis alkohol, glukosa cair, dektrin, high fructose syrup (HFS), MSG, sorbitol dan lain sebagainya. Ubi kayu selain dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan (food) dan biofuel juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak (feed). Sifatnya yang mudah tumbuh dan berkembang di kondisi tanah dan cuaca ekstrim menyebabkan ubi kayu sangat potensial untuk dikembangkan. Pada umumnya, umbi ubi kayu dimanfaatkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat (54.2 %), industri tepung tapioka (19.70 %), industri pakan ternak (1.80 %), industri nonpangan lainnya (8.50 %) dan sekitar 15.80 % diekspor (Adrizal 2003). Tingginya angka pemanfaatan tersebut menyebabkan limbah pengolahan yang dihasilkan juga tinggi, sehingga dianggap cukup potensial digunakan untuk pakan ternak. Tepung Tepung ubi kayu memiliki kandungan pati yang tinggi. Menurut Suhartono (1990) tepung ubi kayu mengandung pati 83.8 %, lemak 0.9 %, protein 1 %, serat 2.1 %, abu 0.7 %. Kekurangan dari ubi kayu adalah rendahnya kandungan protein. Tepung ubi kayu mempunyai warna, tekstur dan aroma yang menyerupai tepung terigu. Selain kompenen gizi, ubi kayu juga mengandung berbagai komponen nongizi atau bahkan bersifat toksin, yaitu asam sianida (HCN). Kandungan HCN dalam umbi ubi kayu tergantung pada varietas, lokasi dan kondisi pertanian. Sianida dalam ubi kayu berikatan dengan senyawa linamarin atau glukosida aseton sianohidrin (Winarno 2002). Tepung ubi kayu dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan seperti biskuit, cake, roti, kue-kue tradisional dan lain sebagainya. Selain diolah sebagai produk pangan, tepung ubi kayu juga dapat diolah menjadi produk nonpangan seperti bioetanol dan metil alkohol. Beberapa perbedaan perbandingan
4 komposisi kimia komoditi pangan sumber karbohidrat antara tapioka, mocaf, tepung beras dan tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan komposisi kimia berbagai jenis tepung Tepung Tepung Tepung Tepung Tepung Komposisi Tapioka Maizena Beras (%)2 Mocaf (%)2 Terigu (%)2 (%)1 (%)3 Air 15 12.0 6.9 12.0 10.9 Kabohidrat 85 tt tt tt 82.0 Protein 0.5 - 0.7 7.0 1.2 8-13 5.8 Lemak 0.3 1.5-2 0.4 1.5-2 0.9 Kada Pati Tt tt 87.3 60-68 68.2 Sumber: 1Grace (1977) ; 2Sunarsi et al. (2011); 3Juniawati (2003), tt: tidak tersedia
Pati Pati adalah polisakarida homoglikan yang disusun oleh monomer α-Dglukopiranosil yang berikatan dengan ikatan glikosidik α-1.4 dan atau α-1.6 dengan penghilangan air. Granula pati ubi kayu memiliki beragam bentuk (bulat, oval, lenticular, poligonal) dan ukuran (diameter 2–100 μm). Polisakarida utama penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin pati ubi kayu bervariasi, umumnya sekitar 25:75 (Bemiller dan Whistler 1996). Pati dari sumber yang berbeda memilki susunan amilosa-amilopektin yang berbeda pula, Pati jagung, gandum dan sorghum memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi (± 28 %) dibandingkan dengan kelompok umbi-umbian seperti ubi kayu dan kentang yang memiliki kandungan amilosa sebesar 20 % (Swinkels 1985). Variasi komponen amilosa dan amilopektin tergantung dari hasil biosintesis pati (Copeland et al. 2009). Pati ubi kayu memiliki sifat yang unik dengan warna dan flavor netral. Keunikan sifat ini menyebabkan pati ubi kayu dimanfaatkan sebagai ingredien dan aditif pada industri pangan, diantara pemanfaatan tersebut adalah untuk memperbaiki ekspansi produk ekstrusi, bahan pengisi dalam produk makanan bayi olahan dan bahan pengikat pada produk-produk biskuit dan konfeksioneri (Tonukari 2004). Di Thailand, Cina dan Afrika, pati ubi kayu dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam berbagai industri, diantaranya sebagai bahan tambahan pangan. Bahan baku untuk memproduksi pemanis, pembuatan tepung berkualitas tinggi sebagai penganggati tepung terigu, alkohol, kayu lapis, obat-obatan, kertas, tekstil dan sebagai bahan baku pembuatan etanol untuk produksi biofuel. Di Indonesia ubi kayu telah dimanfaatkan dalam berbagai industri seperti bahan baku pembuatan tapioka, mocaf, gamplek, keripik, perekat pada arang briket, pakan ternak, kertas, tekstil dan sebagainya. Pada industri pangan, pati dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. diantaranya: (1) Pengental (saos, sup krim, pengisi pie); (2) Penstabil (salad dressing); (3) Moisture retention (toping pada kue); (4) Pembentuk gel (gum); (5) Pengikat (wafer, es krim); (6) Penyalut (permen) (Pomeranz 1985); (7) Edible Coating; (8) Pemanis (dextrose, sirup fruktosa, Maltosa, maltodektrin dan glukosa
5 cair); (9) Kemasan Biodegradable (Nanda et al. 2002); (10) Bahan campuran dalam pembuatan MSG (Tungphaisal 2002; Rhicana et al. 2002); (11) Etanol; (12) Mie; (13) Cake, biskuit dan berbagai makanan tradisional lainnya (Rhicana et al. 2002). Selain pada industri pangan pati ubi kayu juga dimanfaatkan pada industri tekstil, kertas, farmasi, pembuatan lem, plywood (plywood) (Tungphaisal 2002). Sebanyak 60 % kegunaan pati adalah untuk pangan dan 40 % untuk nonpangan (Copeland et al. 2009). Untuk memenuhi kebutuhan berbagai indutri tersebut, pengkarakterisasian dilakukan untuk mempermudah dalam pemilihan genotipe ubi kayu yang sesuai dengan kebutuhan. Pati ubi kayu juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan kenampakan pangan menjadi lebih menarik, memperbaiki tekstur atau mouth-feel, mencegah pemisahan ingridien dan sebagai carrier komponen flavor. Aplikasi pati dalam pangan sangat luas yaitu digunakan bulking agent untuk mengontrol konsistensi dan memperbaiki tekstur (Collado dan Corke 2003). Selain itu pati ubi kayu juga dapat digunakan untuk membuat sirup fruktosa, dektrin dan formula untuk kapsul gelatin. Sirup fruktosa dan dektrin dimanfaatkan dalam industri kembang gula, pengalengan buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Menurut Tonukari (2004), ampas tapioka juga banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak. Pati termodifikasi (modified starch) merupakan bentuk olahan lebih lanjut pati ubi kayu. Dalam bentuk pati termodifikasi pemanfaatan pati menjadi lebih berkembang sehingga banyak dipergunakan dalam pembuatan makanan modern seperti makanan instan (instant food), permen dan produk olahan daging seperti chicken nugget. Dalam bidang nonpangan pati termodifikasi ini banyak dimanfaatkan untuk industri seperti tekstil, kertas, bahan perekat, dekstrin, pemanis, sabun, kosmetik, obat-obatan dan lain-lain (Balagopalan et al. 1988). Pada produk olahan ubi kayu lainnya, kandungan pati dalam ubi kayu juga dapat mempengaruhi tekstur dan kerenyahan dari keripik ubi kayu yang akan dihasilkan. Kandungan pati dalam ubi kayu akan mengalami proses gelatinisasi selama penggorengan akibat perlakuan suhu tinggi sehingga menyebabkan garnula pati yang semula utuh akan pecah dan akan membentuk tekstur yang mengembang. Selain akibat gelatinisasi pati, protein yang terdenaturasi atau mengalami koagulasi juga akan mempenagruhi tekstur produk pangan gorengan yang dihasilkan (Muchtadi dan Sugiyono 2013). Gelatinisasi Pati Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu sehingga granula membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible). Suhu saat granula pati pecah disebut suhu gelatiniasi. Setiap jenis pati memiliki suhu gelatinisasi berbeda-beda, misalnya pada jagung 62-70 C, beras 68-78 C, gandum 54.5-64 C, kentang 5866 C dan tapioka 52-64 C (Winarno 2002). Selain air dan suhu proses gelatinisasi juga dapat dipengaruhi oleh sumber pati, pH, konsentrasi pati, ukuran granula, gula, lemak dan protein, enizim dan proses pengadukan. Akibat dari terjadinya gelatinisasi pati akan kehilangan sifat birefringent dan terjadinya pelarutan pati dan perubahan viskositas (Kusnandar 2010).
6 Pada proses gelatinisasi pati mula-mula mengalami hidrasi dan swelling (pengembangan), kemudian berangsur-angsur kehilangnya sifat birefringent sehingga terjadi peningkatan kejernihan pada pati. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula pati dakam air panas dan diakhiri ketika pati telah kehilangan sifat kristalnya. Selanjutnya pati akan mengalami peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak (Pomeranz 1991; Kusnandar 2010). Grafik perubahan pada granula pati dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Perubahan bentuk granula pati selama gelatinisasi (Angela 2001) Keripik Kripik adalah makanan ringan (snack food) yang tergolong jenis makanan crackers, yaitu makanan yang bersifat kering, renyah (crispy) dan kandungan lemaknya tinggi (Sulistyowati 1999). Kriteria kripik yang baik menurut Astawan dan Wahyuni (1991) memiliki rasa gurih, aroma yang harum, memiliki tekstur yang kering dan tidak tengik, warrnanya menarik serta berbentuk tipis, bulat dan utuh dalam arti tidak pecah. Kerenyahan merupakan faktor penentu rasa dan mutu produk-produk chip (keripik). Kerenyahan juga berpengaruh terhadap rasa keripik yang dihasilkan, meskipun kualitas bumbu yang sama pada kerenyahan keripik yang berbeda dapat memberikan penilaian yang berbeda terhadap rasa keripik tersebut. Kripik singkong merupakan bahan makanan yang mudah rusak akibat pengaruh lingkungan, faktor luar yang dapat memicu terjadinya reaksi yang akan menurunkan mutu makanan adalah suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya. Proses pengemasan yang tepat akan menghambat terjadinya proses kerusakan yang dapat mengakibatkan semakin meningkatnya laju penurunan mutu. Makanan kering seperti kripik mengalami kehilangan kerenyahan dengan tekstur yang tidak dapat diterima pada aw antara 0.35- 0.50. Saat aw meningkat, maka akan terjadi rekristalisasi (pembesaran air) khususnya pada makanan yang mengandung gula atau karbohidrat. Keadaan ini mempengaruhi tekstur dan mutu secara nyata. Nilai aw mempengaruhi proses pengawetan maupun penyimpanan makanan seperti oksidasi lipid dan pencoklatan non enzimatik. Keterlibatan uap air pada jenis makanan berminyak akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisa pada minyak menjadi asam lemak bebas dan gliserol
7 yang akan menimbulkan ketengikan. Adanya gas (oksigen) menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak atau lemak sehingga terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas. Senyawa aldehida ini akan menimbulkan ketengikan (Ketaren, 1989).
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan di laboratorium F-Technopark, laboratorium kimia pangan dan L3, laboratorium biokimia, laboratorium pengolahan pangan dan L2 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, laboratorium SEAFAST Center dan laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 genotipe ubi kayu, yang dikembangkan oleh tim peneliti ubi kayu Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, terdiri dari 10 genotipe hasil generasi pertama, yaitu U1, U2, U3, U4, U5, U6, U7, U8, U9, U10 dan 10 genotipe generasi kedua, yaitu V1D0, V1D1-1(1), V2D0, V2D1-1(3), V3D0, V3D1(1), V4D0, V4D2-1(2), V5D0, V5D2(1) dengan umur panen yang seragam yaitu 9 bulan setelah tanam (BST). Bahan kimia untuk analisis komposisi kimia dan sifat fungsional antara lain etanol, NaOH, CH3COOH (asam asetat), Iodine, HCl, Luff schoorl, indikator phenolptalein (pp), H2SO4, KI, Na2S2O3, amilosa standard dan glukosa murni. Alat Alat - alat yang digunakan dalam percobaan meliputi: Chooper Philips HR7620, cabinet dryer, oven tanur, Rapid Visco Analyzer (RVA Tecmaster), spectrophotometer Shimadzu UV-160, Whiteness Meter (Kett Electric Laboratory), soxlet dan TAXT2i texture analyzer, serta peralatan pendukungnya. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahapan: (1) tahap penanganan pascapanen, yaitu ubi kayu yang baru dipanen disortasi terlebih dahulu agar tidak terdapat ubi yang rusak. Selanjutnya ubi kayu dicuci dan dibersihkan dari segala kotoran yang menempel, kemudian ubi kayu dikupas bersih sehingga menjadi bahan baku yang siap diolah. Tahap dua (2) pembuatan tepung dan keripik. Kedua
8 pengolahan ini langsung dilakukan setelah ubi dipanen, tujuannya agar ubi yang digunakan masih dalam keadaan baik dan segar. Keseluruhan tahap penelitian disajikan dalam diagram alir pada Gambar 2.
20 genotipe ubi kayu
Sortasi, pengupasan dan pencucian
Analisis : Kadar air
Daging Umbi
Pembuatan Keripik Ubi Kayu
Pembuatan Tepung Ubi Kayu
Analisis : Kerenyahan
Analisis : Proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), analisis pati, amilosa dan amilopektin, karakter pasta pati (RVA), dan derajat putih
Produk Pangan
Gambar 2 Diagram keseluruhan tahap penelitian
9 Pembuatan Tepung Ubi Kayu Proses pembuatan tepung ubi kayu dilakukan dengan cara umbi ubi kayu yang telah dikupas dan dicuci bersih dengan air mengalir. Selanjutnya dicacah dengan chooper (Philips HR7620). Cacahan ubi basah yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam cabinet driyer selama 10 jam pada suhu 60 C. Setelah kering cacahan digiling dengan menggunakan alat penepung. Hasil dari penggilingan diayak menggunakan ayakan ukuran 80 mesh. Selanjutnya setiap tepung yang dihasilkan dari setiap genotipe dianalisis secara kimia dan fisik (Gambar 3). 20 genotipe ubi kayu
Sortasi, pengupasan dan pencucian
Pencacahan menggunakan chooper Philips HR7620
Pengeringan dalam cabinet dryer pada suhu 60 C ± 10 jam hingga kering
Penepungan dilakukan dengan mesin penepung
Pengayakan dilakukan dengan ayakan 80 mesh
Tepung ubi kayu
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu
10 Pembuatan Keripik Ubi Kayu Umbi ubi kayu disortasi, dikupas, kemudian dicuci bersih dengan air mengalir. Umbi ubi kayu yang sudah bersih selanjutnya diiris tipis dengan ketebalan ± 1.10 mm -1.40 mm. Ubi kayu yang terlah diiris kemudian digoreng dengan metode deep rying selama ± 2 menit pada suhu 160 C, kemudian keripik ditiriskan dan diinginkan (Gambar 4).
20 genotipe ubi kayu
Sortasi, pengupasan dan pencucian
Kulit ubi kayu
Pengirisan dengan ketebalan± 1.1-1.40 mm
Penggorengan dengan deep frying pada suhu 160 C selama ± 2 menit
Diriskan dan didinginkan
Keripik ubi kayu Gambar 4 Diagram alir pembuatan keripik ubi kayu
Prosedur Analisis Analisis proksimat Analisis proksimat yang dilakukan terhadap 20 genotipe tepung ubi kayu mencakup analisis kadar air dengan metode oven (AOAC 2006), abu (AOAC 2006), protein dengan metode Kjeldahl (AOAC 2006), lemak metode Soxhlet (AOAC 2006) dan karbohidrat (ditentukan menggunakan by difference). Kadar air (AOAC 2006) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 gram dalam cawan (B).Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam.Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu
11 didinginkan dan ditimbang.Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Perhitungan kadar air ditentukan dengan rumus : 𝐵 − (𝐶 − 𝐴) 𝑥 100%𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 (% 𝑏𝑘) 𝐵 𝐵 − (𝐶 − 𝐴) = 𝑥 100% 𝐶−𝐴
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 (% 𝑏𝑏) =
Kadar abu (AOAC 2006) Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap.Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C). 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 (% 𝑏𝑏) =
𝐶−𝐴 𝑥 100% 𝐵
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 (% 𝑏𝑘) =
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 (𝑏𝑏) 𝑥 100% 100 − 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 (𝑏𝑏)
Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC 2006) Sampel sebanyak ± 100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3.8 ± 0.1 ml H2SO4. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel dididihkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus : 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑁 (%) =
𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑥 𝑁 𝐻𝐶𝑙 𝑥 14.007 𝑥 100 𝑚𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 (% 𝑏𝑏) = % 𝑁 𝑥 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 (5.95) 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 (% 𝑏𝑘) =
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 (𝑏𝑏) 𝑥 100% 100 − 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 (𝑏𝑏)
12 Kadar lemak (AOAC 2006) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan.Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A).Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak.Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor.Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak. 𝐶−𝐴 𝑥 100% 𝐵 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 (𝑏𝑏) 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 (% 𝑏𝑘) = 𝑥 100% 100 − 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 (𝑏𝑏) 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 (% 𝑏𝑏) =
Kadar karbohidrat by difference (SNI 01-2891-1992) Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan perhitungan: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 (% 𝑏𝑘) = 100 − (𝑃 + 𝐴 + 𝐿) Keterangan: P=kadar protein (% bk); A= kadar abu (% bk); L=kadar lemak (%bk) Analisis total pati, amilosa dan amilopektin Analisis Total Pati (Motode Anthrone) Pengukuran kadar pati dilakukan dengan cara menimbang 1 g contoh. kemudian dimasukkan kedalam tabung ulir 50 ml lalu tambahkan 5 ml HCl 25 %. Hidrolisis selama 2 jam dalam waterbath mendidih. Dinginkan dan netralkan dengan NaOH 40 %. kemudian tambahkan 5 ml Pb asetat. Saring suspensi pati kedalam labu ukur 100 ml dan encerkan sampai tanda batas lalu tambahkan Natrium Oksalat. Pipet 5 ml filtrat yang diperoleh kedalam tabung reaksi dan tambahkan reagen anthrone 5 ml. Didihkan selama 10 menit dalam waterbath. Dinginkan dengan segera pada air mengalir.kemudian diukur absorbansinya pada λ = 630 nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar.Kadar pati dihitung berdasarkan hubungan absorbansi contoh dengan kurva standar. (y−a)
Kadar pati = Keterangan :
a b c y
b
x FP x 0.9
c x 1000
𝑥 100%
= koefisien x dari persamaan kurva standar = konstanta dari persamaan kurva standar = berat contoh awal (mg) = absorbansi sampel
13 Analisis Kadar Amilosa (AOAC. 1995) Analisis kadar amilosa dilakukan dengan cara menimbang 1 g contoh, kemudian dimasukkan kedalam tabung ulir 50 ml lalu tambahkan 9 ml NaOH 1 M dan 1 ml ethanol lalu divortex. Larutan kemudian dipanaskan di waterbath selama 30 menit. Larutan diencerkan ke dalam labu takar 100 ml. selanjutnya diambil 0.25 ml ke dalam labu takar 10 ml lalu ditambahkan dengan CH3COOH dan KI/Iod masing-masing 0.5 ml dan ditambahkan dengan aquades sampai batas tera. Campuran dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya pada λ = 620 nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar. Kadar amilosa dihitung berdasarkan hubungan absorbansi contoh dengan kurva standar. Kadar amilosa (%) =
𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝐹𝑃 𝑊
𝑥 100
Keterangan : C : Konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V : Volume akhir contoh (ml) FP : faktor pengenceran W : berat contoh (mg) Kadar Amilopektin Kandungan amilopektin dapat ditentukan sebagai selisih antara kandungan pati dengan amilosa. Kadar amilopektin = Pati – Amilosa Analisis Karakteristik Pasta (Pasting Properties) (AACC 2009) Karakteristik pasta dari sampel diukur menggunakan Rapid Visco-Analyser dengan metode AACC 61-02.01. Secara berturut-turut 25 ml air destilata dan 3 g sampel (kadar air disesuaikan 14 %) dimasukkan ke dalam RVA canister. Kemudian canister dimasukkan ke dalam alat dan dilakukan pengadukkan sampel dan air dengan kecepatan 960 rpm selama 10 detik. Pada tahap pengukuran awal campuran diaduk dengan kecepatan 160 rpm dan suhu dipertahankan pada 50 oC selama 1 menit. Suhu kemudian dinaikkan dari 50 oC ke 95 oC dalam 3.5 menit dan dipertahankan pada kondisi tersebut selama 2.5 menit. Suhu diturunkan kembali ke 50 oC dalam 3.5 menit dan kemudian dipertahankan selama 5 menit. Parameter-parameter yang diukur meliputi peak viscosity (PV= viskositas tertinggi selama pemanasan), suhu gelatinisasi (SG = suhu awal gelatinisasi), trough (T= viskositas paling rendah setelah VP tercapai), breakdown (BD = PV – V), final viscosity (FV= viskositas pada akhir pemanasan) dan setback (SB = FV – PV). Semua nilai dinyatakan dalam cP dan setiap sampel diukur sebanyak 2 kali. Adapun ilustrasi perubahan viskositas pasta yang tercatat pada alat RVA dapat dilihat pada Gambar 5.
14
Gambar 5 Grafik perubahan viskositas (amilograf) pada tepung beras (Hung dan Morita 2005) Analisis Fisik Analisisi Kerenyahan Keripik (texture analyzer) Keripik ubi kayu diuji kerenyahannya dengan menggunakan texture analyzer TA-XT2i. Setiap keping keripik ditekan pada bagian tengah menggunakan probe tipe spherical ball berdiameter 0.25 inch dengan kecepatan/ gaya (force) probe 1 gf dan jarak (distence) 3 mm. Pada layar komputer akan ditampilkan profil tekstur dari sampel yang dianalisis dalam bentuk kurva deformasi gaya yang meunjukkan hubungan antara gaya dan jarak. Data yang tercatat berupa gaya (gf) dan jarak (mm) pada puncak profil tekstur yang dihasilkan. Tekstur dievaluasi sebagai kerenyahan yang merupakan rataan dari perkalian antara gaya yang diperlukan untuk menghancurkan sampel. Semakin besar nilai gaya maka semakin rendah nilai kerenyahan sampel. Analisis Derajat Putih Derajat putih diukur dengan Whitnes Meter (Kettih Electric Labory). Kalibrasi dilakukan dengan standar warna putih BaSO4 yang memiliki derajat putih 100% (110.8). Sejumlah contoh dimasukkan ke dalam wadah khusus. dipadatkan. ditutup. Kemudian dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar atau terbaca pada alat (A). A x 100% Derajat Putih (%) = 100 Rancangan Percobaan Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis statistik deskriptif menggunakan penelitian kuantitatif. Data kuantitatif yang diperoleh melalui analisis karakteristik kimia dan fisik yang dilakukan dengan melakukan analisis sebanyak dua kali ulangan untuk setiap pengujian. Kemudian dibahas atau dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa berdasarkan data-data yang diperoleh.
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Ubi Kayu Karakteristik Kimia Kadar Air Mengacu pada SNI 01-2997-1992 tentang tepung ubi kayu, kadar air dari 20 genotipe (Tabel 3 dan Tabel 4) ubi kayu yang dikembangkan memiliki kadar air kurang dari 9 %, yang sesuai dengan standar, yaitu maksimal kadar air 12 %. Kandungan air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi keawetan dan mutu bahan pangan. Tingginya kadar air dalam bahan menyebabkan bahan pangan mudah rusak akibat aktivitas mikrobiologis dan reaksi kimia. Pada tepung, penurunan mutu ditandai dengan meningkatnya kadar air bahan akibat penyerapan uap air dari lingkungan, sehingga menyebabkan tepung menjadi menggumpal dan lengket (Kusnandar 2010). Kadar Abu Kadar abu dari 10 genotipe generasi satu (U) tepung ubi kayu berkisar antara 1.34±0.02 - 1.89±0.02% (Tabel 3), sedangkan kadar abu dari 10 genotipe generasi kedua (V) tepung ubi kayu adalah 1.23 ± 0.02 % - 1.83 ± 0.02 % (Tabel 4). Pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 20 genotipe tepung ubi kayu yang dikembangkan, 5 genotipe diantaranya memiliki kadar abu diatas standar batas maksimum kadar abu tepung ubi kayu yaitu 1.70 % (SNI 01-2997-1996). Besarnya kadar abu dalam tepung berpengaruh terhadap hasil akhir produk seperti warna produk dan kestabilan adonan. Semakin tinggi kadar abu maka semakin buruk kualitas tepung yang dihasilkan. Kadar abu juga dapat mempengaruhi aktivitas fermentasi, kekuatan adonan, gizi, warna, dan rasa produk akhir roti. Tabel 3 Komposisi kimia dan derajat putih tepung 10 genotipe ubi kayu generasi pertama (berat kering) Genotipe U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10
Kadar Air (%) 7.60 ± 0.04 7.47 ± 0.09 8.58 ± 0.01 7.79 ± 0.20 8.70 ± 0.11 7.63 ± 0.11 8.70 ± 0.19 6.15 ± 0.50 8.27 ± 0.19 8.65 ± 0.14
Kadar Abu (%) 1.68 ± 0.00 1.34 ±0.04 1.61 ± 0.06 1.51 ± 0.01 1.76 ± 0.03 1.34 ± 0.02 1.35 ± 0.01 1.63 ± 0.01 1.61 ± 0.07 1.89 ± 0.02
Lemak (%) Protein (%) 1.83 ± 0.15 1.52 ± 0.02 0.62 ± 0.02 1.51 ± 0.01 1.04 ± 0.01 0.76 ± 0.06 0.80 ± 0.00 0.76 ± 0.02 0.62 ± 0.02 0.68 ± 0.05
3.52 ± 0.01 4.70 ± 0.18 4.76 ± 0.07 4.52 ± 0.00 2.82 ± 0.13 4.63 ± 0.04 4.82 ± 0.14 5.41 ± 0.04 5.13 ± 0.08 4.23 ± 0.14
Karbohidrat (%) 83.70 ± 0.10 84.95 ± 0.25 84.42 ± 0.16 84.66 ± 0.17 85.68 ± 0.19 85.63 ± 0.03 84.32 ± 0.04 86.04 ± 0.48 84.37 ± 0.02 84.55 ± 0.31
Derajat Putih (%) 88.33 ± 0.26 90.08 ± 0.25 83.83 ± 0.24 90.37 ± 0.24 83.52 ± 0.35 85.12 ± 0.26 88.73 ± 0.40 87.88 ± 0.19 85.65 ± 1.18 76.75 ± 0.47
16 Kadar Lemak dan Protein Tepung ubi kayu memiliki kandungan lemak yang relatif rendah, sehingga sering disebut kandungan komponen minor. Hasil analisis lemak sepuluh genotipe ubi kayu generasi pertama (Tabel 3) berkisar antara 0.62 % - 1.83 %. Sedangkan hasil analisis lemak sepuluh genotipe ubi kayu generasi kedua (Tabel 4) menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu berkisar antara 0.60 % - 1.62 %. Kadar lemak pada genotipe yang dikembangkan lebih tinggi dibandingkan kadar lemak yang dilaporkan Juwita (2014) untuk ubi varietas Adira-4, Adira-1, UJ-5 dan Malang-4 berturut-turut yaitu 0.49%, 0.63%, 0.78 % dan 0.52%. Kadar protein dari sepuluh genotipe generasi pertama dan kedua diperoleh berkisar antara 2.82 % -5.41 % dan 1.77 % - 4.73 %. Hasil pengujian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Adira-4, Adira-1, UJ-5 dan Malang-4 berturut-turut yaitu 1.98%, 2.38%, 3.14 % dan 2.09 % (Juwita 2014). Secara umum tepung ubi mengandung protein dan lemak lebih tinggi dibandingkan pati, hal ini disebabkan proses ektraksi dan pencucian akan menghilangkan protein dan lemak. Tepung dengan kandungan protein dan lemak yang tinggi dalam bahan dapat mengurangi kekuatan gel dan berpengaruh terhadap karakteristik gelatinisasi serta kekentalan bahan pada saat diolah (Hidayat et al. 2009). Kandungan komponen minor dalam tepung ubi kayu seperti kadar abu, lemak dan protein dapat mengganggu sifat pasting yang dihasilkan (Copelan et al. 2009). Lemak yang terdapat pada bahan yang mengandung pati akan mengganggu proses gelatinisasi akibat terbentuknya kompleks amilosalemak. Pembentukan kompleks tersebut dapat mengurangi kecendrungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan teretrogradasi, sehingga menghambat peningkatan viskositas selama pemanasan (Suarni et al. 2013). Sedangkan interaksi protein dengan pati akan membentuk kompleks pada permukaan granula pati sehingga kekuatan gel menjadi rendah dan viskositas pati menjadi menurun (Mohamed 2003). Hal ini kurang diharapkan karena pada aplikasi pemanfaatannya, pati banyak digunakan sebagai thickening. Tabel 4 Komposisi kimia dan derajat putih tepung 10 genotipe ubi kayu generasi kedua (berat kering) Genotipe
% Air
V1D0 8.58 V1D1-1(1) 9.51 V2D0 10.70 V2D1-1(3) 9.48 V3D0 8.98 V3D1 (1) 10.07 V4D0 11.48 V4D2-1(2) 8.39 V5D0 9.33 V5D2 (1) 11.37
± 0.09 ± 0.03 ± 0.10 ± 0.02 ± 0.17 ± 0.24 ± 0.12 ± 0.04 ± 0.13 ± 0.18
% Abu 1.40 ± 0.07 1.67 ± 0.03 1.74 ± 0.03 1.82 ± 0.09 1.24 ± 0.03 1.23 ± 0.02 1.58 ± 0.10 1.38 ± 0.03 1.41 ± 0.01 1.83 ± 0.02
% Lemak % Protein % karbohidrat 1.62 ± 0.01 0.6 ± 0.04 0.98 ± 0.00 1.53 ± 0.00 0.96 ± 0.02 1.20 ± 0.08 1.37 ± 0.61 1.17 ± 0.09 0.78 ± 0.00 1.62 ± 0.93
2.51 ± 0.27 2.78 ± 0.13 2.11 ± 0.01 2.63 ± 0.16 3.66 ± 0.15 4.73 ± 0.19 2.24 ± 0.01 1.77 ± 0.05 2.19 ± 0.08 2.28 ± 0.00
85.89 ± 0.28 85.44 ± 0.15 84.48 ± 0.36 84.53 ± 0.72 85.17 ± 0.03 82.77 ± 0.33 83.33 ± 0.60 87.29 ± 0.05 86.28 ± 0.20 82.90 ± 0.76
% Derajat Putih 93.13 ± 0.22 90.55 ± 0.11 89.13 ± 0.49 86.68 ± 0.34 91.18 ± 0.30 86.48 ± 0.19 77.28 ± 0.40 88.25 ± 0.76 91.13 ± 0.29 88.50 ± 0.12
17 Kadar Karbohidrat Dari hasil analisis kandungan karbohidrat (by difference) tepung ubi kayu dari sepuluh genotipe generasi pertama yang dihasilkan berkisar antara 83.70 ± 0.10 % – 86.04 ± 0.48 % (bk) (Tabel 3). Sedangkan hasil pengukuran karbohidrat tepung ubi kayu dari sepuluh genotipe generasi kedua (Tabel 4) berkisar antara 82.90 ± 0.76 % – 87.29 ± 0.05 %. Kadar karbohidrat pada genotipe yang dikembangkan tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kadar karbohidrat hasil penelitian Juwita (2014) untuk ubi varietas Adira-4, Adira-1, UJ-5 dan Malang-4 berturut-turut yaitu 89.27%, 87.15%, 87.72% dan 87.96%. Kandungan utama dari ubi kayu adalah karbohidrat. Karbohidrat dalam bentuk paling sederhara adalah dari kelompok monosakarida (glukosa, sukrosa dan fruktosa). Monosakarida umumnya berperan sebagai pemanis dan sumber energi, sedangkan kelompok polisakarida (pati) merupakan bentuk karbohidrat yang komplek, sehingga lebih berperan kepada pengental, penstabil dan pembentuk gel (Kusnandar 2010). Dalam indutri pengolahan pangan, karbohidrat sederhana umumnya ditambahkan sebagai formulasi dalam proses pengolahan, tujuannya adalah untuk meningkatkan kemanisan, membetuk warna dan flavor serta meningkatkan stabilitas produk. Pada produk olahan berbentuk keripik atau chips, kandungan karbohidrat terutama pati dapat mempengaruhi tekstur dan kerenyahan dari produk yang akan di hasilkan. Kandungan karbohidrat yang tinggi dalam ubi kayu dapat diubah menjadi pemanis seperti dextrose, sirup fruktosa, maltosa, maltodektrin dan glukosa cair. Tingginya kandungan karbohidrat dalam ubi kayu hasil pemuliaan memungkinkan ubi kayu selain dimanfaatkan sebagai pengental dan pembentuk gel juga dapat dimanfaatkan menjadi salah satu sumber bahan baku produksi gula. Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Polisakarida utama penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati ubi kayu bervariasi (BeMiller dan Whistler 1996). Pati pada kelompok serealia seperti gandum dan sorghum memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi (±28%) dibandingkan dengan kelompok umbi-umbian seperti ubi kayu dan kentang yang memiliki kandungan amilosa sebesar 20%. Variasi komponen amilosa dan amilopektin tergantung dari hasil biosintesis pati (Copeland et al. 2009). Hasil pengukuran kadar amilosa tepung ubi kayu sepuluh genotipe pertama tertinggi (Tabel 5) dimiliki oleh genotipe U6, yaitu 25.15 ± 2.02 % dan yang terendah adalah genotipe U10, yaitu 18.54 ± 0.80 %. Sedangkan hasil pengukuran amilopektin yang diperoleh menunjukkan genotipe U3 memiliki kadar amilopektin tertinggi yaitu 59.96 ± 0.89 % dan terendah adalah genotipe U2 yaitu 47.84 ± 4.86 %. Kandungan amilosa umumnya berkisar 20-30 % dan amilopektin 70-80 % (Chaplin 2009). Perbedaan rasio ini kemudian dijadikan sebagai parameter dalam pemilihan sumber pati dan jenis pengolahan pangan yang sesuai dengan karakter produk yang diinginkan (Kusnandar 2010).
18 Tabel 5 Kandungan pati, amilosa dan amilopektin 10 genotipe tepung ubi kayu generasi pertama (% bahan kering) Genotipe U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10
Pati (%)
Amilosa (%)
82.14 ± 4.27 72.04 ± 4.72 78.80 ± 0.11 71.20 ± 1.81 78.08 ± 3.26 73.64 ± 2.45 75.75 ± 2.24 76.98 ± 3.37 77.21 ± 1.55 77.21 ± 3.48
22.36 ± 5.31 24.21 ± 0.13 18.84 ± 0.99 22.78 ± 0.86 21.27 ± 2.49 25.15 ± 2.02 18.43 ± 1.53 22.56 ± 0.49 19.29 ± 1.83 18.54 ± 0.80
Amilopektin (%) 59.78 ± 1.04 47.84 ± 4.86 59.96 ± 0.89 48.42 ± 2.67 56.81 ± 0.76 48.49 ± 4.48 57.32 ± 0.72 54.42 ± 3.04 57.92 ± 3.38 58.67 ± 2.68
Hasil pengukuran kadar amilosa dari sepuluh genotipe generasi kedua (Tabel 6) tertinggi dimiliki oleh genotipe V1D1-1(1) yaitu 23.33 ± 0.04 % dan terendah adalah genotipe V5D0, yaitu 16.35 ± 0.04 %. Berdasarkan hasil pengukuran amilopektin, diperoleh bahwa genotipe V5D0 memiliki kadar amilopektin tertinggi yaitu 72.22 ± 1.60 % dan terendah adalah genotipe V4D21(2), yaitu 54.22 ± 5.29 %. Perbedaan rasio amilosa dan amilopektin dalam pati berpengaruh terhadap sifat fisikokimia pati. Pati dengan kandungan amilosa tinggi, memiliki banyak gugus hidroksil dengan ikatan hidrogen pada strukturnya sehingga mempunyai kemampuan menyerap air dan mengembang lebih baik dibandingkan amilopektin (Kusnandar 2010). Selain itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi bersifat kurang rekat dan kering dibandingkan pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi yang bersifat rekat dan basah (Hidayat et al. 200). Tabel 6 Kandungan pati, amilosa dan amilopektin 10 genotipe ubi kayu generasi kedua (% bahan kering) Genotipe V1D0 V1D1-1(1) V2D0 V2D1-1(3) V3D0 V3D1 (1) V4D0 V4D2-1(2) V5D0 V5D2 (1)
Pati (%) 86.33 ± 3.67 78.85 ± 8.34 88.67 ± 0.68 78.68 ± 0.11 84.05 ± 5.03 79.93 ± 5.81 86.19 ± 2.01 76.26 ± 2.81 88.57 ± 1.57 74.43 ± 5.22
Amilosa (%) 22.11 ± 1.98 23.33 ± 0.04 17.96 ± 0.54 23.33 ± 0.98 21.73 ± 0.99 23.21 ± 1.41 20.17 ± 0.12 22.02 ± 0.25 16.35 ± 0.04 19.78 ± 0.07
Amilopektin (%) 64.22 ± 5.66 55.52 ± 8.29 70.71 ± 0.14 65.72 ± 0.60 62.32 ± 6.02 56.72 ± 7.22 66.02 ± 1.88 54.22 ± 2.56 72.22 ± 1.60 54.65 ± 5.29
Tinggi rendahnya rasio amilosa dan amilopektin di dalam pati memberi pengaruh besar pada produk yang dihasilkan. Penggunaan sumber pati sebagai
19 pembentuk gel atau pembentuk film memerlukan jenis pati yang mengandung amilosa lebih tinggi. Amilosa berperan penting dalam pembentukan gel dan film karena kemudahan amilosa untuk membentuk ikatan hidrogen pada saat pasta pati dihasilkan. Hasil analisis kadar amilosa dari 20 genotipe yang dikembangkan, lima diantaranya memiliki kandungan amilosa yang tinggi (23.21 % - 25.15 %) yaitu U2, U6, V1D1-1(1), V2D2-1(3) dan V3D1 (1). Pati dengan kadar amilosa tinggi umumnya diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film pembuatan kapsul, pembuatan sohun, bihun dan mie. Pati dengan kandungan sekitar 25-30 % (misalnya pati beras dan jagung) umumnya dapat memberikan karakter gel pati yang kompak. Sebagai contoh, dalam pembuatan sohun, bihun, dan mie diperlukan tepung dengan kandungan amilosa yang cukup tinggi karena akan berpengaruh pada kekuatan tekstur gel dari untaian mie yang dihasilkan. Diantara kelima gentipe yang memiliki kadar amilosa tinggi genotipe U6 merupakan genotipe yang memiliki kandungan amilosa tertinggi yaitu 25.15 ± 2.02 %, sehingga genotipe ini dapat dijadikan bahan baku dalam pembuatan sohun dan mie. Namun demikian, pati dengan amilosa rendah seperti U3, U7, U9, U10, V2D0 dan V5D0 dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas dan bahan pengental (Hartati dan Prana 2003; Kusnandar 2010). Pada industri non-pangan, karbohidrat komplek (polisakarida) yang terkandung di dalam bahan dapat diolah menjadi sumber energi nabati atau biofuel. Kandungan karbohidrat atau pati yang tinggi dalam ubi kayu memungkinkan ubi kayu menjadi bahan baku pembuatan biotenol karena kandungan patinya yang tinggi merupakan substrat yang baik untuk menghasilkan glukosa sebagai produk antara pada pembuatan etanol. Bioetanol (C2H5OH) merupakan hasil fermentasi karbohidrat (pati) dengan bantuan mikroorganisme. Hasil pengukuran kadar pati tepung ubi kayu sepuluh generasi pertama berkisar antara 82.14 ± 4.27 % - 71.20 ± 1.81 % dan kadar pati sepuluh generasi kedua berkisar antara 88.67 ± 0.68 % 74.43 ± 5.22 %. Karakteristik Pasta Tepung Ubi Kayu Perilaku gelatinisasi dan profil pemastaan dari campuran tepung-air dan pati-air dapat dimonitor dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA). RVA merupakan viskometer yang menggunakan metode pemanasan dan pendinginan sekaligus untuk mengukur resistansi sampel terhadap penanganan dengan pengadukan terkontrol. Prinsip pengukuran RVA sama dengan Brabender Amilograf hanya saja waktu pengukurannya lebih singkat (15-20 menit). RVA digunakan untuk memberikan simulasi proses pengolahan pangan dan untuk mengetahui pengaruh proses tersebut terhadap karakteristik fungsional struktural dari campuran tersebut (Copeland et al. 2009).
20
Gambar 6 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi pertama yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA). Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi pertama memiliki pola gelatinisasi yang sama pada perlakuan suhu yang sama, meskipun memiliki viskositas puncak yang berbeda akibat kadar amilopektin dan protein pati yang dimilikinya (Syamsir et al. 2011). Berdasarkan data pada Tabel 7, viskositas puncak 10 genotipe generasi pertama tersebut berkisar antara 3775 cP hingga 4586 cP. Viskositas puncak terendah terjadi pada genotipe U10 yaitu 3775 cP, keadaan ini berbanding lurus dengan kandungan amilosa paling rendah yang dimilikinya yaitu 18.54 ± 0.80 % (Tabel 5). Tabel 7 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi pertama Genotipe U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10
Suhu Pasting (°C) 72 52.9 71.25 71.65 71.7 70.85 71.2 71.25 72.05 71.65
Viskositas Puncak (cP) 4314 4340 3994 4586 4544 4083 4457 4038 4053 3775
Viskositas Breakdown (cP) 2787 2956 2515 3152 3117 2704 2982 2777 2620 2453
Viskositas Akhir (cP) 2774 2487 2571 2591 2782 2505 2570 2082 2192 2481
Viskositas Setback (cP) 1247 1103 1092 1157 1355 1126 1095 821 759 1159
21
Gambar 7 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi kedua yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA). Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi kedua memiliki pola gelatinisasi yang sama pada perlakuan suhu yang sama. Berdasarkan data pada Tabel 8, viskositas puncak 10 genotipe tersebut berkisar antara 4006 cP hingga 5600 cP. Viskositas puncak terendah terjadi pada genotipe V2D1-1(3), yaitu 4006 cP, keadaan ini berbanding lurus dengan kandungan amilosa paling rendah yang dimilikinya yaitu 13.13±0.48 % (Tabel 6). Lee et al. (2002) menyatakan bahwa viskositas puncak dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan lemak. Menurut Faridah et al. (2014), pati yang memiliki profil gelatinisasi dengan puncak viskositas yang cukup tinggi dan diikuti dengan penurunan viskositas (breakdown viscosity) yang cukup tajam selama pemanasan menunjukkan pati tersebut kurang tahan atau kurang stabil pada proses pemanasan. Profil gelanisasi (gambar 6) genotipe U3 dan U10 menunjukkan kencendurangan ketidakstabilan pada proses pemasanan, hal ini terlihat dari rendahnya nilai breakdown viscosity yang dimiliki pada suhu yang tinggi. Kestabilan pasta pati selama pengolahan baik pada suhu tinggi maupun rendah ditunjukkan dengan nilai viskositas breakdown dan setback-nya (Maulani et al. 2012). Pati dengan profil tersebut tidak cocok untuk diaplikasikan sebagai pengental pada produk yang harus disterilkan atau pada produk dengan pengolahan suhu tinggi. Viskositas setback merupakan suatu parameter yang dipakai untuk melihat kecenderungan retrogradasi dan sinersis suatu pasta pati (Pangesti et al. 2014; Maulani et al. 2012). Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi, sedangkan sineresis adalah keluarnya cairan dari suatu gel pati (Winarno 2002). Hasil analisis menunjukkan viskositas setback pati dari genotipe U5 memiliki nilai yang tinggi (1355 cP) dibandingkan pati dari genotipe yang lain. Tingginya nilai viskositas setback ini menunjukkan pati cenderung lebih mudah mengalami retrogradasi, sehingga semakin tinggi kecenderungan membentuk gel selama pendinginan. Hal ini berbanding lurus dengan tingginya nilai viskositas akhir yang dimiliki genotipe U5 yaitu 2782 cP. Begitu pula halnya dengan genotipe V5D2 (1), tingginya nilai viskositas setback (1045 cP) sesuai dengan tingginya nilai viskositas akhir yaitu 2655 cP. Contoh produk eskream, yogurt dan sebagainya. Nilai viskositas balik yang tinggi menunjukkan bahwa gel cenderung
22 mengeras pada akhir proses pemasakan, sehingga produk olahannya tidak mudah hancur (Munarso 2004). Viskositas setback diperoleh dari selisih antara viskositas akhir dengan trough. Semakin tinggi nilai setback maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel selama pendinginan (Agustin 2011). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Dari hasil pengujian sepuluh genotipe generasi pertama (Tabel 7) viskositas akhir 10 genotipe generasi pertama tersebut berkisar antara 2481 cP – 2782 cP, genotipe U1 dan U3 memiliki nilai viskositas 2774 cP dan 2782, berbanding lurus dengan tingginya kandungan amilosa yang dimiliki tepung yaitu 22.36 ± 5.31% dan 21.27 ± 2.49 %. Tabel 8 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi kedua Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas Suhu Genotipe Puncak Breakdown Akhir Setback Pasting (°C) (cP) (cP) (cP) (cP) V1D0 V1D1-1(1) V2D0 V2D1-1(3) V3D0 V3D1 (1) V4D0 V4D2-1(2) V5D0 V5D2 (1)
69.65 70.05 68.45 69.20 69.60 69.65 52.45 68.20 51.05 69.65
5420 4806 4956 4006 4402 4437 4507 5350 5605 4504
3941 3391 3371 2765 3761 3597 2976 3776 4049 2894
2438 2431 2553 2117 1072 1485 2563 2592 2563 2655
959 961 968 876 431 645 1032 1018 1007 1045
Data pada Tabel 8 dapat dilihat, genotipe V4D2-1(2) memiliki viskositas akhir yang tinggi yaitu 2592 cP berbanding lurus dengan tingginya kandungan amilosa yang dimiliki tepung tersebut yaitu 22.03 ± 0.25 % (Tabel 6). Viskositas akhir berbanding lurus terhadap kandungan amilosa pada tepung. Tingginya kandungan amilosa pada suatu tepung maka akan mempengaruhi tingginya nilai viskositas akhirnya (Lin et al. 2011), sehingga membentuk gel yang mudah mengalami sineresis pada saat didinginkan dan disimpan. Pati dengan kondisi demikian tidak cocok untuk diaplikasikan pada produk yang disimpan dalam kondisi dingin seperti es kream, cheese cake dan sebagainya. Kusnandar (2010) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat pola gelatinisasi yaitu suhu pemasakan dan pengadukan. Profil pasting adalah salah satu metode untuk memperkirakan sifat fungsional tepung yang dimiliki sehingga dapat menjadi dasar penentuan pengembangan produk secara tepat (Chen 2003).
23 Nilai Derajat Putih Pengujian karakteristik warna dilakukan karena warna tepung ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku pada pengolahan aneka produk pangan akan sangat mempengaruhi kenampakan produk akhir yang dihasilkan. Hasil pengujian karakteristik warna tepung dari genotipe generasi pertama menunjukkan nilai derajat putih terbaik dihasilkan oleh genotipe U4 yaitu 90.37 ± 0.24 %. Sedangkan hasil pengujian pada generasi kedua menunjukkan bahwa tepung ubi kayu genotipe V1D0 memiliki karakteristik derajat putih lebih tinggi 93.13 ± 0.22 % dibandingka 9 genotipe ubi kayu lainnya. sebaliknya genotipe V4D0 memiliki karakteristik derajat putih yang paling rendah 77.28 ± 0.40 %. Hasil pengamatan warna tepung 20 genotipe ubi kayu menggunakan alat whitenessmeter yang telah dikalibrasi, disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Perbedaan nilai derajat putih ini tidak hanya dipengaruhi oleh karakter dan warna awal umbi ubi kayu, akan tetapi juga dipengaruhi oleh proses suhu pemanasan pada tahap pengeringan umbi dalam tahap pembuatan tepung. Suhu pemanasan yang tinggi dan tidak meratanya panas mengakibatkan tingkat kecerahan warna sawut ubi mengalami penurunan. Selain itu komponen kimia dalam bahan dapat mengalami perubahan akibat reaksi yang terjadi antara bahan pangan dengan senyawa lain yang ada di lingkungan misalnya oksigen, uap air dan sebagainya. Kecepatan perubahan ini dapat dipengaruhi oleh pH, aktivitas air bahan, keberadaan enzim atau katalisator. Perubahan warna yang terjadi pada bahan pangan yang mengandung karbohidrat tinggi selama pengeringan dan pemanasan dapat disebabkan oleh reaksi pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis. Diantara penyebab perubahan warna pencoklatan ini dapat disebabkan oleh reaksi hidrolisis. Reaksi ini menyebabkan pemecahan komponen pati yang ada di dalam polisakarida menjadi glukosa dengan bantuan suhu, asam dan enzim. Gula sederhana yang terbentuk akan mengalami karamelisasi selama proses pengeringan dan pemanasan pada suhu tinggi sehingga akan terjadi pembentukan warna coklat, perubahan flavor dan tekstur (Kusnandar 2010). Reaksi pencoklatan pada bahan pangan tidak hanya disebabkan oleh kandungan karbohidrat dalam bahan akan tetapi juga disebabkan karena adanya protein. Reaksi non enzimatis yang umum terjadi akibat adanya protein ini sering disebut dengan reaksi maillard. Reaksi Maillard terjadi akibat proses pemanasan yang dilakukan selama pengolahan. Asam amino yang menjadi penyusun utama peptida dan protein akan bereaksi dengan gula pereduksi yang mengandung gugus aldehid atau keton, akibatnya akan terbentuk warna coklat. perubahan flavor dan aroma pada bahan pangan tersebut. Perubahan ini akan berlangsung cepat apabila disertai proses pemanasan dan kondisi aw (aktivitas air) yang sesuai (aw = 0.5-0.8) (Belitz et al. 2009; Kusnandar 2010). Reaksi Maillard akan berlangsung cepat selama proses pengolahan pada suhu tinggi seperti penyangraian, penggorengan, pemangganan dan pemasakan, namun akan berlangsung lebih lambat selama penyimpanan (Kusnandar 2010).
24 Keripik Ubi Kayu Kerenyahan merupakan salah satu atribut mutu mutu yang sangat penting untuk diterimanya suatu produk kering berbahan dasar pati. Kandungan pati dalam ubi kayu dapat mempengaruhi tekstur dan kerenyahan dari keripik ubi kayu yang di hasilkan. Kandungan pati dalam ubi kayu mengalami proses gelatinisasi selama penggorengan akibat perlakuan suhu tinggi sehingga menyebabkan granula pati yang semula utuh akan pecah dan akan membentuk tekstur yang mengembang. Selain itu, protein yang terdenaturasi atau mengalami koagulasi juga akan mempengaruhi tekstur produk pangan gorengan yang dihasilkan (Muchtadi dan Sugiyono 2013). Kandungan protein dalam bahan dapat membantu pengembangan produk serta menjadikan produk lebih renyah (Moraru dan Kokini 2003). Tinggi rendahnya rasio amilosa dan amilopektin di dalam pati memberi pengaruh besar pada produk yang dihasilkan. Perbedaan rasio amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalam ubi kayu dapat mempengaruhi tingkat kerenyahan dari suatu keripik. Kandungan amilopektin dalam bahan dapat meningkatkan kerenyahan, sedangkan kandungan amilosa dapat meningkatkan kekerasan produk yang dihasilkan (Gimeno et al. 2004). Hasil pengujian 20 genotipe ubi kayu menunjukkan bahwa kerenyahan keripik 20 genotipe tersebut bervariasi (Tabel 9). Tampak bahwa terdapat perbedaan tingkat kerenyahan yang dihasilkan, nilai kerenyahan keripik hasil pemuliaan generasi pertama berkisar antara 383.1 gf – 707.2 gf. Pada 10 genotipe ubi kayu generasi kedua tingkat kerenyahan bervariasi antara 290.2 gf - 668.3 gf. Kerenyahan keripik dipengaruhi oleh kandungan polisakarida yang tinggi seperti pati, pektin, selulosa dan hemiselulosa (Hartuti dan Sinaga 1998), serta adanya proses gelatinisasi yang terjadi selama penggorengan. Pada proses gelatinisasi granula pati pecah akibat air yang masuk, pati akan mengalami retrogadasi di mana terjadi pembentukan kembali ikatan hidrogen oleh amilosa terputus akibat proses gelatinisasi. Semakin tinggi tingkat retrogadasi pati, semakin rendah tingkat kerenyahan dari bahan berpati setelah digoreng. Hal ini diduga akibat jaringan dari ikatan hidrogen yang dibentuk oleh amilosa setelah keluar dari granula pati yang pecah (Kingcam 2008). Jaringan tersebut akan mengikat air di dalamnya membentuk gel pati. Gel pati yang semakin padat akan menghambat penguapan air dari dalam jaringan pati pada saat penggorengan (Martin et al. 2011). Selain dari faktor retrogadasi pati, kerenyahan pada keripik juga dipengaruhi oleh kadar air dari keripik yang digoreng. Keripik yang memiliki kadar air lebih tinggi akan memiliki kerenyahan yang lebih rendah (Roudaut et al. 2002). Lemak yang berasal dari minyak yang digunakan untuk menggoreng dapat mempengaruhi peningkatan kerenyahan keripik dan memberikan rasa gurih pada makanan.
25 Tebel 9 Hasil pengukuran kerenyahan keripik 20 genotipe ubi kayu hasil pemuliaan dan keripik pembanding Generasi Pertama Hardness (gf) Genotipe U1 707.5 U2 566.6 U3 375.4 U4 543.7 U5 576.4 U6 470.7 U7 675.9 U8 707.2 U9 628.4 U10 383.1 Keripik Komersial Merek 1 425.6 Merek 2 408.6
Generasi kedua Genotipe Hardness (gf) V1D0 290.2 V1D1- 1 (1) 541.0 V2D0 491.3 V2D1 - 1 (3) 300.1 V3D0 668.3 V3D1 (1) 587.2 V4D0 431.5 V4D2 - 1 (2) 482.1 V5D0 614.3 V5D2 (1) 624.1 Keripik Curah Curah 1 278.0 Curah 2 407.0
Berdasarkan Tabel 9 terlihat nilai kekerasan dari keripik yang telah umum beredar dipasaran (komersial) nilai kekerasannya seragam berkisar 408.0 – 425.6 gf. Bila dibandingkan dengan hasil keripik dari 20 genotipe ubi kayu yang dikembangkan hanya empat genotipe yang memiliki nilai kekerasan atau kerenyahan yang mendekati nilai kekerasan dari keripik komersil yaitu genotipe U3, U10 dan V4D0 berturut-turut yaitu 383.3 gf, 375.4 gf dan 431.5 gf. Hal ini menunjukan bahwa keripik ubi kayu dari genotipe yang dikembangkan memiliki karakteristik sebagai keripik yang dikomersilkan dipasaran.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Genotipe U2, U6, V1D1-1(1), V2D2-1(3) dan V3D1 (1) memiliki kadar amilosa yang tinggi (23.21 % - 25.15%), sehingga dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film, pembuatan kapsul, pembuatan sohun dan mie. 2. Pada pembuatan sohun dan mie diperlukan tepung dengan kandungan amilosa yang cukup tinggi karena akan berpengaruh pada kekuatan tekstur gel dari untaian mie yang dihasilkan, genotipe U6 memiliki kandungan amilosa tertinggi dibandingkan 19 genotipe lainnya yaitu 25.15 %.
26 3. Genotipe yang memiliki kadar amilosa rendah seperti U3, U7, U9, U10, V2D0 dan V5D0 dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas dan bahan pengental. 4. Genotipe U3 dan U10 menunjukkan kencendurangan ketidakstabilan pada proses pemasanan, hal ini terlihat dari rendahnya nilai breakdown viscosity yang dimiliki pada suhu yang tinggi tidak cocok untuk diaplikasikan sebagai pengental pada produk yang harus disterilkan. 5. Genotipe V4D2-1(2) memiliki viskositas akhir yang tinggi yaitu 2592 cP, sehingga mudah terjadi sineresis pada saat didinginkan dan disimpan. Pati dengan kondisi ini tidak cocok diaplikasikan pada produk seperti es kream, cheese cake dan sebagainya. 6. Tingginya kadar pati yang terkandung di dalam tepung ubi kayu hasil pemuliaan generasi kedua (V1D0, V2D0, V4D0 dan V5D0) memungkinkan untuk diolah menjadi bioetanol. 7. Genotipe U3, U10 dan V4D0 memiliki nilai kerenyahan 383.3 gf, 375.4 gf dan 431.5 gf, karakteristik keripik tersebut mendekati nilai kerenyahan mendekati nilai keripik komersial yaitu berkisar 408.0 gf – 425.6 gf. Saran Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap karakteristik pati ubi kayu bukan pada tepung, karena saat ini pati lebih umum digunakan dalam berbagai industri pengolahan pangan, pakan, kimia dan sebagainya. Pengujian pati dilakukan pada umur 9,10 dan 11 bulan setelah tanam, sehingga dapat dijadikan pebandingan kuantitas dan kualitas pati yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA [AACC] American Association for Clinical Chemistry. 2009. AACC International Approved Methods of Analysis (Method 32-40. 61-02.01). 11th edn. AACC International. St. Paul MN. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analitycal Chemists. Washington. DC: AOAC. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington. DC: AOAC. Andrizal. 2003. Potensi, tantangan dan kendala pengembangan agroindustri ubi kayu dan kebijakan industri perdagangan yang diperlukan. Pemberdayaan Agribisnis Ubi Kayu Mendukung Ketahanan Pangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Astawan M, Wahyuni MA. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Jakarta (ID) : Akademika Prassindo. Balagopalan C, Padmaja G, Nanda SK, Moorthy SM. 1988. Cassava in food, feed, and industry. Florida, USA. CRC Press Boca Raton. Pages. 205. Bemiller JN dan Whistler RL. 1996. Carbohydrates. In: Food Chemistry (O. R. Fennema. ed.). Marcel Dekker. Inc. New York. Pages. 157-223.
27 Belitz HD, Gorsh W, Schieberle P. 2009. Carbohydrate in Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. Pages 270-274. Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. [Thesis]. The Netherland Wageningen University. Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang MC. 2009. Form and functionality of starch. Food Hydrocolloid 23: 1527-1534. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. The cassava transformation in Africa". The Food and Agriculture Organization ofthe United Nations (FAO). Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan Structur Pati Garut (Maranta arundinaceae) Sebagai Akibat Modifikasi Hidrolisis Asam, Pemotongan Titik Percabangan dan Siklus Pemanasan-Pendinginan. J.Teknol dan Industri Pangan 19(2):135-142. Gimeno E, Moraru CI, Lokini JL. 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC on the Structure and Texture of Corn Flour Pellets Expanded by Microwave Heating. American Association of Cereal Chemistry. J Cereal Chem. 81(I) : 100 – 107. Grace MR. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of United Nations, Roma (IT). Hartati NS dan Prana TK. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas (Colocasia esculenla L. Schott). Jurnal Irvatur Indonesia. 6(1) : 29-33. Hartuti N dan Sinaga RM. 1998. Keripik Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang, Bandung (ID). Hidayat BA, Ahza B, Sugiyono. 2007. Karakterisasi Tepung Ubi Jalar (Ipomea batatas L) Varietas Shiroyutaka Serta Kajian Potensi Penggunaanya Sebagai Sumber Pangan Karbohidrat Alternatif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 18(1) : 32-39. Hung PV dan Morita N. 2005. Physicochemical properties and enzymatic digestibility of starch from edible canna (Canna edulis) gown in Vietnam. Carbohydrate Polymers 61: 314 – 321. Juwita FS. 2014. Pengaruh Varietas dan Umur Panen Terhadap Sifat fisikokimia Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ketaren S. 1989. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): UI Press. Khumaida N, Ardie SW, Dianasari M, Syukur M. 2015. Cassava (Manihot esculenta Crantz.) Improvement through Gamma Irradiation. Procedia Food Science 3 : 27 – 34. doi: 10.1016/j.profoo.2015.01.003 Kingcam R, Devahastin S, Chiewchan N. 2008. Effect of starch retrogradation on texture of potato chips produced by low-pressure superheated steam drying. Journal of Food Enginering. 89: 72–79. doi:10.1016/j.jfoodeng.2008.04.008 Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan: Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Lin QL, Xiao HX, Fu XJ, Tian W, Li LH, Yu FX. 2011. Physico-chemical properties of flour. starch and modified starch of two rice varieties. Agricultural Science in China 10(6): 960-968.
28 Lee MH, Baek MH, Cha DS, Park HJ, Lim ST. 2002. Freeze-thaw stabilization of sweet potato starch gel by polysaccharide gums. Food Hydrocol. 16: 345352. Martin CP, Deventer HV. 2011. Deep-fat fried battered snacks prepared using super heated steam (SHS): crispness and low oil content. Food Res Int. 44:442–448. doi:10.1016/j.foodres.2010.09.026. Maulani RH, Fardiaz D, Kusnandar F, Sunarti TC. 2012. Sifat Fungsional Pati Garut Hasil Hidroksipropilasi dan Taut Silang. J.Teknol.dan Industri Pangan. 2(1):60-67. ISSN : 1979-7788. Mohammed B, Isah A, Ibrahim MA. 2009. Influence of compaction pressures on modified cassava starch as a binder in paracetamol tablet formulation. Nigerian Journal of Pharmaceutical Sciences. 8(1): 80-88. Moorthy SN. 2002. Physicochemical and Functional Properties of Tropical Tuber Starches: A Review. Starch. 54(12): 559–592. Moraru CI dan Kokini JL. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion and Microwave Heating of Cereal Foods. Dept. of Food Science and Center for Advanced Food Technology. J Food Science. 2:147-165 Muchtadi TR dan Sugiyono. 2013. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan. Bandung (ID): Alfabeta. Munarso dan Joni S. 2004. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses Modifikasi Ikat-Silang. J.Pascapanen 1(1): 22-28. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor (ID). Nanda SK, Balagopalan C, Padmaja G, Moorthy SN, Sajeev MS. 2002. PostHarvest Management of Cassava for Industrial Utilization in India. Proceeding : Cassava Research and Development in Asia : Exploring New Opportunities an Ancient Crop. Thailand 28 Oktober – 1 November 2002. Pangesti YD, Pamanto NH, Ridwan A. 2014. Kajian Fisikokimia Tepung Bengkuang (Pachyrhizus erosus) Dimodifikasi Secara Heat Moisture Treatment (HMT) Dengan Variasi Suhu. Jurnal Teknosains Pangan 3(3):72-77. ISSN: 2302-0733. Pomeranz Y. 1985. Functional Properties of Food Components. Academic Press. Inc. Richana NJ, Wagiono, Nasir S. 2002. Recent Developments In Cassava Starch and Derived Products Used In Food Processing In Indonesia. Proceeding: Cassava Research and Development In Asia. Thailand 28 October – 1 November 2002. Roudaut G, Dacremont C, Pa’mies BV, Colas B, Meste ML. 2002. Crispness: a critical review on sensory and material science approaches. Trends Food Sci & Tech. 13 (2002) :17–227. doi:10.1016/S0924-2244(02)00139-5. Sugiyono A. 2005. Pemanfaatan Biofuel dalam penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Proceeding : Teknologi untuk Negeri, Volume I: Bidang Teknologi Energi, hal. 78-86. ISSN 1411-9927. BPPT. Jakarta. 22 Desember 2005. Suharno D, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budidaya Ubi Kayu. Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Kendari (ID). Sulistiyowati, A. 1999. Membuat Kripik Buah Dan Sayur. Jakarta (ID) : Puspa Swara.
29 Sunarsi S, Sugeng SA, Wahyuni S, Ratnaningsih W. 2011. Memanfaatkan Singkong Menjadi Tepung Mocaf untuk Pemberdayaan Masyarakat Sumberejo. Di dalam: Wijayava R, Komariah A, editor. Seminar Hasi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Veteran Bangun Nusantara. 2011 Desember 7; Sukoharjo, Indonesia. Sukoharjo (ID): LPPM Univet Bantara Sukoharjo. hlm 306-310. Suryadi T, Darwanto DH, Masyhuri, Widodo S. 2012. Pendugaan Model Permintaan Ubi Kayu Di Indonesia. Sriroth K, Santusopari V, Petchalanuwat C, Kurotjanawong K, Piyachomkwan K, Oates CG. 2009. Cassava starch granule structure-function properties: infuence of time and conditions at harvest on four cultivars of cassava starch. Carbohydrate Polymers 38: 161-170. Syamsir E, Hariyadi P, Fardiaz D, Maulida N, Kusnandar F. 2011. Karakteristik Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu (Manihot utilisima Crantz) Asal Lampung. Jurnal Agriteknologi 5(1):93-105. ISSN: 1978-1555 Swinkels JJM. 1985. Sources of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: Beydum GMAV dan Roles JA, editors. Starch Conversion and Technology. Marcel Dekker, Inc. New York (US). Tonukari NJ.2004. Cassava and the future of starch. Journal of Biotechnology 7(1):5-7. Electronic Journal of Biotechnology. ISSN: 0717-3458. Tungphaisal M. 2002. Tapioka Products and Trade In Thailand. Proceeding : Cassava Research and Development In Asia. Thailand 28 October – 1 November 2002. Westby A. 2002. Cassava utilization, storage and small-scale processing. In RJ Hillocks, JM Thresh, AC Belloti, eds, Cassava: Biology, Production and Utilization. CAB International Publishing, Wallingford, UK, pp 281–300 Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
30 Lampiran 1 Tabel rekomendasi pemanfaatan 20 genotipe ubi kayu
Genotipe
Rekomendasi 1. Memiliki kandungan pati yang tinggi, sehingga U1 memungkinkan menjadi sumber substrat pada produk antara yang menghasilkan etanol pada pembuatan bioetanol. 2. Memiliki kadar amilosa yang tinggi (24.21 %) sehingga dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk U2 film pada biodegradable film, pembuatan kapsul, pembuatan, sohun, bihun dan mie. 3. Dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas, bahan pengental dan keripik, namun tidak cocok untuk U3 diaplikasikan sebagai pengental pada produk yang harus disterilkan. 4. Sebagai substrat pada produk antara yang menghasilkan etanol pada pembuatan bioetanol U4 5. Dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film, pembuatan kapsul, pembuatan, sohun, bihun dan mie. 6. Memiliki kandungan pati yang tinggi, sehingga U5 memungkinkan menjadi sumber substrat pada produk antara yang menghasilkan etanol pada pembuatan bioetanol. 7. Memiliki kandungan amilosa tertinggi dibandingkan 19 U6 genotipe lainnya yaitu 25.15 %, sehingga genotipe ini dapat dijadikan bahan baku dalam pembuatan, sohun dan mie. 8. Dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas U7 dan bahan pengental. 9. Dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas U8 dan bahan pengental. 10. Dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas U9 dan bahan pengental. 11. Bila diaplikasikan dalam pembuatan keripik akan menghasilkan keripik dengan tingkat renyahan yang mendekati keripik komersial yang ada dipasaran. U10 12. Dapat diaplikasikan sebagai pengental, namun tidak cocok untuk diaplikasikan sebagai pengental pada produk yang harus disterilkan. V1D0 13. Memiliki kandungan pati yang tinggi (86.33%) sehingga memungkinkan menjadi sumber substrat pada produk antara yang menghasilkan etanol pada pembuatan bioetanol. V1D1- 1 (1) 14. Dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film, pembuatan kapsul, pembuatan, sohun, bihun dan mie
31 Lampiran 1 Tabel rekomendasi pemanfaatan 20 genotipe ubi kayu Genotipe V2D0
Rekomendasi 15. Dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas dan bahan pengental. 16. Memiliki kandungan pati yang tinggi (88.67%) sehingga memungkinkan menjadi sumber substrat pada pembuatan bioetanol. V2D1 - 1 17. Dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk (3) film pada biodegradable film, pembuatan kapsul, pembuatan, sohun, bihun dan mie. V3D0 18. Memiliki kandungan pati yang tinggi (84.05%) sehingga memungkinkan menjadi sumber substrat pada pembuatan bioetanol. V3D1 (1) 19. Dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film, pembuatan kapsul, pembuatan, sohun, bihun dan mie V4D0 20. Bila diaplikasikan dalam pembuatan keripik akan menghasilkan keripik dengan tingkat renyahan yang mendekati keripik komersial yang ada dipasaran. 21. Memiliki kandungan pati yang tinggi (86.19%) sehingga memungkinkan menjadi sumber substrat pada pembuatan bioetanol. V4D2 - 1 22. Dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk (2) film pada biodegradable film, pembuatan kapsul. V5D0 23. Dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas dan bahan pengental. 24. Memiliki kandungan pati yang tinggi (88.57%) sehingga memungkinkan menjadi sumber substrat pada pembuatan bioetanol. V5D2 (1) 25. Dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film, pembuatan kapsul.
32 Lampiran 2 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi pertama
"U1 UL1" "U1 UL2"
Peak 1 Trough 1 4314 1527 4013 1385
Breakdown Final Visc 2787 2774 2628 2569
Setback 1247 1184
Peak Time 6.53 6.4
Pasting Temp 72 71.65
a. Profil gelatinisasi genotipe U1 ubi kayu
"U2 UL1" "U2 UL2"
Peak 1 Trough 1 4381 1394 4340 1384
Breakdown 2987 2956
Final Visc 2481 2487
Setback 1087 1103
Peak Time 6.4 6.27
b. Profil gelatinisasi genotipe U2 ubi kayu
Pasting Temp 71.2 52.9
33 Lampiran 2 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi pertama
"U3 UL1" "U3 UL2"
Peak 1 Trough 1 Breakdown 2606 3995 1389 3994 1479 2515
Final Visc 2561 2571
Setback 1172 1092
Peak Time 7.47 7.33
Pasting Temp 71.2 71.25
c. Profil gelatinisasi genotipe U3 ubi kayu
"U4 UL1" "U4 UL2"
Peak 1 Trough 1 Breakdown 4599 1476 3123 4586 1434 3152
Final Visc 2592 2591
Setback 1116 1157
Peak Time 6.4 6.33
d. Profil gelatinisasi genotipe U4 ubi kayu
Pasting Temp 71.65 71.65
34 Lampiran 2 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi pertama
"U5 UL1" "U5 UL2"
Peak 1 Trough 1 4603 1449 4544 1427
Breakdown 3154 3117
Final Visc 2777 2782
Setback 1328 1355
Peak Time 6.47 6.73
Pasting Temp 71.65 71.7
e. Profil gelatinisasi genotipe U5 ubi kayu
"U6 UL1" "U6 UL2"
Peak 1 Trough 1 4140 1374 4083 1379
Breakdown 2766 2704
Final Visc 2534 2505
Setback 1160 1126
Peak Time 6.4 6.47
f. Profil gelatinisasi genotipe U6 ubi kayu
Pasting Temp 70.45 70.85
35 Lampiran 2 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi pertama
"U7 UL1" "U7 UL2"
Peak 1 Trough 1 Breakdown 4329 1428 2901 4457 1475 2982
Final Visc 2510 2570
Setback 1082 1095
Peak Time 6.4 6.53
Pasting Temp 71.25 71.2
g. Profil gelatinisasi genotipe U7 ubi kayu
"U8 UL1" "U8 UL2"
Peak 1 Trough 1 3964 1275 4038 1261
Breakdown 2689 2777
Final Visc 2051 2082
Setback 776 821
Peak Time 6.4 6.53
h. Profil gelatinisasi genotipe U8 ubi kayu
Pasting Temp 70.8 71.25
36 Lampiran 2 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi pertama
"U9 UL1" "U9 UL2"
Peak 1 Trough 1 3918 1404 4053 1433
Breakdown 2514 2620
Final Visc 2194 2192
Setback 790 759
Peak Time 6.6 6.73
Pasting Temp 72.05 72.05
i. Profil gelatinisasi genotipe U9 ubi kayu
"U10 UL1" "U10 UL2"
Peak 1 Trough 1 3644 1257 3775 1322
Breakdown 2387 2453
Final Visc 2418 2481
Setback 1161 1159
Peak Time 6.67 6.67
j. Profil gelatinisasi genotipe U10 ubi kayu
Pasting Temp 71.25 71.65
37 Lampiran 3 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi kedua
"V1D0 U1" "V1D0 U2"
Peak 1 Trough 1 5420 1479 5447 1509
Breakdown 3941 3938
Final Visc 2438 2485
Setback 959 976
Peak Time 6.13 6.07
Pasting Temp 69.65 69.6
k. Profil gelatinisasi genotype V1D0 ubi kayu
"V2D0 U1" "V2D0 U2"
Peak 1 Trough 1 4956 1585 4862 1595
Breakdown 3371 3267
Final Visc 2553 2541
Setback 968 946
Peak Time 7.07 7.33
l. Profil gelatinisasi genotype V2D0 ubi kayu
Pasting Temp 68.45 51.1
38 Lampiran 3 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi kedua
"V3D0 U1" "V3D0 U2"
Peak 1 Trough 1 4402 641 4482 660
Breakdown 3761 3822
Final Visc 1072 1140
Setback 431 480
Peak Time 5.73 5.67
Pasting Temp 69.6 69.2
m. Profil gelatinisasi genotype V3D0 ubi kayu
"V4D0 U1" "V4D0 U2"
Peak 1 Trough 1 4507 1531 4495 1521
Breakdown 2976 2974
Final Visc 2563 2502
Setback 1032 981
Peak Time 7.87 7.87
n. Profil gelatinisasi genotype V4D0 ubi kayu
Pasting Temp 52.45 60.05
39 Lampiran 3 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi kedua "V5D0 U1" "V5D0 U2"
Peak 1 Trough 1 5605 1556 5527 1490
Breakdown 4049 4037
Final Visc 2563 2544
Setback 1007 1054
Peak Time 6 6.07
Pasting Temp 51.05 52
o. Profil gelatinisasi genotype V5D0 ubi kayu Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback "V1D1-1(1)U1" 4806 1415 3391 2376 961 "V1D1-1(1)U2" 4868 1414 3454 2431 1017
Peak Time 6.6 7
p. Profil gelatinisasi genotype V1D1-1(1) ubi kayu
Pasting Temp 70.05 70
40 Lampiran 3 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi kedua Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc 2765 2117 1241 "V2D1-1(3) U2" 4070 1268 2802 2172
"V2D1-1(3) U1" 4006
Setback 876 904
Peak Time 7.2 6.67
Pasting Temp 69.2 69.2
q. Profil gelatinisasi genotype V2D1-1(3) ubi kayu
"V3D1(1) U1" "V3D1(1) U2"
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback 4437 840 3597 1485 645 4510 855 3655 1531 676
Peak Time 5.87 6.07
r. Profil gelatinisasi genotype V3D1(1) ubi kayu
Pasting Temp 69.65 69.65
41 Lampiran 3 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) generasi kedua Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc "V4D2-1(2) U1" 5350 1574 3776 2592 3747 2588 "V4D2-1(2) U2" 5325 1578
Setback 1018 1010
Peak Time 6.4 6.4
Pasting Temp 68 68
s. Profil gelatinisasi genotype V4D2-1(2) ubi kayu
"V5D2(1) U1" "V5D2(1) U2"
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback 4504 1610 2894 2655 1045 4519 1628 2891 2657 1029
Peak Time 7.73 7.87
t. Profil gelatinisasi genotype V5D2(1) ubi kayu
Pasting Temp 69.65 69.6
42
RIWAYAT HIDUP Tengku Mia Rahmiati dilahirkan di Sigli pada tanggal 8 Oktober 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan H Drs Tuanku Maimun dan Hj Cut Sakdiah, SP. Penulis menamatkan sekolah dasar di MIN Model I Banda Aceh pada tahun 1999, dan melanjutkan ke MTsN Model I Banda Aceh lulus pada tahun 2002. Tahun 2005, penulis lulus dari SMA Negeri 4 Banda Aceh. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan sarjana melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dengan mengambil pilihan program studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala - Aceh dan lulus tahun 2010. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan studi magister di Program Studi Teknologi Pascapanen, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut pertanian Bogor dengan bantuan Beasiswa Unggulan (BU) DIKTI. Sebagian dari isi tesis ini telah dikirim ke jurnal AGRITECH UGM untuk dipublikasikan dengan judul Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Dari 10 Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan.