Karakterisasi Beberapa Sifat Pati Ubi Kayu ....................................... Augustyn, dkk
KARAKTERISASI BEBERAPA SIFAT PATI UBI KAYU (Manihot esculenta, Crantz) Characterization of some properties of cassava (Manihot esculenta Crantz) starches Oleh : Augustyn G.H1, Polnaya F.J1 dan Parinusa A2 1 Staf Pengajar PS. Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura 2 Alumni PS. Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura ABSTRACT
I
n this study, moisture, ash, amylose content, crude fiber, swelling power, solubility and color of starches properties isolated from cassava (Manihot esculenta Crantz) storage organs were evaluated. The result showed that moisture, ash and crude fiber of cassava starch was range between 11.69-13.52%, 0.090.10% and 0.015-0.024%, respectively and amylosa content was 22.37-30.16%. Swelling power and solubility of cassava starch was 31.87-40.19 g/g dan 16.77-20.49%, respectively. Color of starch according to L value was 67.4669.30. Swelling power of starch influenced by amylosa content. The highest of amylosa content made decreased of starch swelling power. Key words : cassava starch, starch properties, moisture, ash, crude fiber, amylosa, swelling power and solubility, color. PENDAHULUAN Pati merupakan salah satu bahan yang paling banyak dan luas terdapat dalam alam sebagai karbohidrat cadangan pada tanaman. Tempat penyimpanan pati pada bagian tanaman adalah pada akar, umbi, biji, buah dan umbi lapis. Simpanan cadangan pati tersebut berada dalam bentuk granulagranula kecil yang tidak larut dalam air. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tempat penyimpanan pati pada bagian akar dan merupakan bahan yang potensial bagi masa depan dalam tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Ubi kayu selain sebagai bahan pangan, dapat juga digunakan sebagai bahan baku industri dan obat-obatan. Sebagai bahan pangan, pati ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai substitusi terigu dan mengurangi ketergantungan terhadap beras, karena mengandung karbohidrat dalam jumlah tinggi. Adebowale & Lawal (2002) mengemukakan bahwa aplikasi pati dalam sistem pangan sangat ditentukan oleh gelatinisasi, pasta, kelarutan, kemampuan menggelembung, warna dan kedapatcernaan. Sifat-sifat fisik-kimia bahan pati memiliki peranan penting dalam upaya pengendalian proses pengolahan. Pengendalian proses pengolahan ini tidak hanya didasarkan pada pengalaman secara tradisional, namun selebihnya diperlukan suatu penelitian berupa analisis terhadap sifat-sifat fisik maupun kimia dari bahan pangan, dalam hal ini ubi kayu yang telah diolah dalam bentuk pati.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi sifat fisiko-kimia pati ubi kayu. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi ilmiah tentang pati ubi kayu. METODOLOGI PENELITIAN Bahan Bahan baku ubi kayu diperoleh dari pasar lokal di Kota Ambon. Semua bahan kimia yang digunakan untuk keperluan analisis adalah puree analysis seperti NaOH, etanol, asam asetat, amilosa starndar dan iodin, semuanya berasal dari Merck dan bahan kimia lainnya. Ekstraksi Pati Metode yang digunakan untuk ekstraksi pati dapat dilihat pada Gambar 1. Tahapan proses pembuatan pati ubi kayu diawali dari proses pengupasan dan pencucian yang bertujuan untuk membersihkan umbi dari akar, kulit maupun kotoran yang melekat pada umbi tersebut, dilanjutkan dengan perendaman sekitar 1 jam yang dimaksudkan untuk melunakkan jaringan umbi agar lebih mudah diparut. Setelah perendaman ubi kayu, kemudian dilakukan pemarutan. Hal ini dimaksudkan untuk merusak jaringan umbi dan sel-sel umbi agar pati mudah keluar. Dilanjutkan dengan ekstraksi yang bertujuan untuk memisahkan pati dengan ampas. Peremasan dan tekanan dilakukan untuk mengeluarkan pati dari jaringan dengan penambahan air pada perbandingan 1:4 dengan frekuensi ekstraksi
35
Buletian Penelitian BIAM, Vol. III, No. 51, Desember 2007 : 35 - 39 ............................. sebanyak 3 kali. Hasil ekstraksi dibiarkan selama 1 jam sampai pati mengendap. Setelah endapan pati dihasilkan, selanjutnya dilakukan pencucian dengan air dan filtrasi untuk mendapatkan pati yang bersih dari kotoran. Pencucian dan filtrasi diulang sebanyak 3 kali. Tahap terakhir adalah pengeringan pati basah dengan membiarkan pada suhu kamar selama 5 jam, selanjutnya dikeringkan pada pengering kabinet pada suhu sekiktar 40-45C sampai kadar air mencapai ±12%. Pati yang berbentuk bongkah dan tidak seragam sebagai hasil pengeringan dapat segera digiling untuk mendapatkan ukuran pati yang seragam. Selanjutnya dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayak berukuran 100 mesh. Ubi Kayu Pengupasan Pencucian Perendaman Air
Pemarutan Ekstraksi
Ampas
Susu Pati 3 kali
Pengendapan
Air
Filtrasi Pengendapan Pati Ubi Kayu Basah Pengeringan 40oC Pati Ubi Kayu Kering Penggilingan Pengayakan (100 mesh) Pati Ubi Kayu Gambar 1. Bagan alir ekstraksi pati ubi kayu Analisis Proksimat Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu dan serat kasar mengikuti metode AACC (1995). Kadar air ditentukan secara gravimetri. Pengeringan menggunakan oven (Memmert) pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan. Pengurangan berat 36
merupakan banyaknya air dalam bahan. Kadar abu ditentukan dengan mengabukan sampel pada tanur selama 12 jam pada suhu 550oC sampai pengabuan sempurna. Persentasi kadar abu dihitung berdasarkan berat sampel. Analisis Amilosa Kadar amilosa ditentukan dengan metode AOAC (1984). Ditimbang dengan teliti 0,1 g pati dalam labu takar 100 mL, ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan 1 N NaOH. Dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air mendidih untuk gelatinisasi pati. Didinginkan dan diencerkan sampai tanda dengan akuadest. Dipipet 5 mL larutan pati tersebut dan dipindahkan dalam labu takar 100 mL. Ditambahkan 1 mL asam asetat 1 N untuk mengasamkan larutan, kemudian ditambahkan 2 mL larutan iodin 0,2% dan selanjutnya diencerkan sampai tanda dengan akuadest. Digojog dan dibiarkan selama 10 menit. Ditentukan besar absorbansi larutan pada panjang gelombang 620 nm dengan spektrofotometer (Shimadzu, Kyoto, Japan). Kadar amilosa ditentukan dengan menggunakan bantuan kurva standar (berat kering). Kemampuan Menggelembung dan Daya Larut Kemampuan menggelembung dan daya larut ditentukan berdasarkan metode seperti dikemukakan oleh Adebowale et al (2002). Pati didispersikan dengan aquades (1 % b/v) dalam tabung reaksi yang telah diketahui beratnya (b1). Kemudian panaskan pada penangas air (Memmert) suhu 950 C selama 30 menit, lalu didinginkan hingga suhu kamar. Selanjutnya disentrifugasi (IEC UV centrifuge, Damon/IEC Division) pada 5000 rpm selama 15 menit, sehingga terpisah residu dan supernatan. Supernatan (10 mL) dikeringkan hingga berat konstan pada suhu 1100 C menggunakan hot air oven (Memmert). Residu yang terdapat setelah dikeringkannya supernatan, menunjukkan jumlah pati yang terlarut dalam air (%). Residu dan air yang ditahan setelah sentrifugasi kemudian ditimbang (b2). Kemampuan menggelembung pati (berdasarkan berat kering) ditentukan sebagai berikut: Kemampuan menggelembung (g/g) = (b2 – b1) / berat pati Warna Pati Pengukuran kalorimetri menggunakan Chromameter Minolta CR-300 untuk mengevaluasi warna visual. Warna ditunjukkan sebagai L (luminosity) pada skala Hunter.
Karakterisasi Beberapa Sifat Pati Ubi Kayu ....................................... Augustyn, dkk menunjukkan bahwa kadar abu ketiga jenis pati ubi kayu dapat diterima sebagai produk komersial.
0,1
Kadar Air (%)
13.5 13
12,19 b
12.5
11,69 b
12 11.5 11 10.5 Putih
Kuning
Sangkola
Jenis Pati Ubi Kayu
Kadar Abu (%)
BNJ0,05 = 0,0933 13,52 a 14
0.1 0.098 0.096 0.094 0.092 0.09 0.088 0.086 0.084
Serat kasar (%) Yang dimaksud dengan serat adalah senyawa yang tidak dapat dicerna dalam organ pencerna manusia maupun hewan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati ubi kayu berpengaruh nyata terhadap kadar serat pati (Fhit = 13,986; p = 0,006). Persentase kadar serat tertinggi ditunjukkan pada pati ubi kayu kuning (0,024%), sedangkan kadar serat terendah adalah pati ubi kayu putih (0,015%) (Gambar 2a). Asaoka et al. (1991), Rickard et al. (1991) dan Pérez et al. (2005) mengemukakan bahwa serat kasar pati ubi kayu berturut-turut sebesar 0,010,029%, 0,02-0,49% dan 0,28%. BNJ0,05 = 0,704. 0.025 0.02
0,024 a 0,022 a
0,015 b
0.015 0.01 0.005
Putih
Kuning
Sangkola
Jenis Pati Ubi Kayu
Putih
22,37 b
25 20 15 10 5 Putih
Kuning
Sangkola
Jenis Pati Ubi Kayu
Gambar 2 : a) Serat Kasar (%) dan b) Kadar Amilosa (%) pati ubi kayu
0,09
Kuning
29,15 a
30
0
0
0,09
BNJ0,05 = 0,3002 35 30,16 a Kadar Amilosa (%)
Kadar air (%) Kadar air memegang peranan yang penting dalam aliran dan sifat-sifat mekanik pati lainnya (Shieldneck dan Smith, 1971). Berdasarkan hasil analisis kadar air dari ketiga jenis pati ubi kayu terlihat bahwa rata-rata kadar air pati bervariasi yaitu 11,70 %, 12,18 %, dan 13,52 % masing-masing untuk pati ubi kayu kuning, sangkola dan putih (Gambar 1). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati ubi kayu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air pati (Fhit = 37,88; p = 0,0004). Hasil penelitian Aiyeleye et al. (1993) menunjukkan bahwa kadar air pati ubi kayu adalah 9,82-10,2%, sedangkan Kay (1987) adalah 10-13%. Variasi nilai kadar air pati ubi kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jenis ubi kayu, kondisi lingkungan tumbuh dan iklim.
Serat Kasar (%)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sangkola
Jenis Pati Ubi Kayu
Gambar 1 : a) Kadar air (%) dan b) kadar abu (%) pati ubi kayu Kadar abu (%) Kadar abu merupakan unsur-unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Kadar abu adalah komponen yang tidak mudah menguap, tetapi tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Secara kuantitatif nilai kadar abu dalam pati yang dihasilkan berasal dari mineral-mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan (Soebito, 1988). Berdasarkan hasil analisis keragaman kadar abu keempat jenis pati menunjukkan bahwa jenis pati tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu (Fhit. = 2,57; p = 0,1566). Nilai rata-rata kadar abu ketiga jenis pati ubi kayu adalah 0,09-0,10%. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu pati ubi kayu berkisar antara 0,02-0,49% (Rickard et al., 1991) atau 0,12 (Pérez et al. 2005). Rendahnya kadar abu yang dihasilkan berhubungan dengan proses pengolahan pati. Pati diperoleh dengan cara ekstraksi, pencucian dan filtrasi secara berulang-ulang dengan air. Proses tersebut dalam menyebabkan terlarutnya mineral dari ubi kayu oleh air dan hilang bersama ampas. Hasil ini
Kadar Amilosa Pati terdiri atas dua komponen yang dapat dipisahkan, yaitu amilosa dan amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin secara umum adalah 20 persen dan 80 persen dari jumlah pati total. Adebowale dan Lawal (2003) mengemukakan bahwa sifat-sifat fungsional pati sangat dipengaruhi oleh konsentrasi amilosa yang tinggi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati ubi kayu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar amilosa (Fhit. = 36,33; p < 0,0004). Nilai rata-rata kadar amilosa ketiga jenis pati ubi kayu adalah 20,48 – 30,90 %. Hasil penelitian Woolfe (1992) dan Pérez et al. (2005) menunjukkan bahwa konsentrasi amilosa pati ubi kayu berturutturut adalah 13,6-27% dan 16,89%. Hal ini dapat saja terjadi karena adanya perbedaan tempat tumbuh ubi kayu sehingga faktor lingkungan mempengaruhi kadar amilosa yang dikandung dan faktor genetik. Menurut Greenwood (1970) menyatakan bahwa keberadaan amilosa dalam pati mungkin bervariasi yang dalam hal ini ditentukan oleh faktor genetik. Kemampuan Menggelembung Kemampuan menggelembung memberikan bukti antara ikatan non kovalen antara molekulmolekul pada pati. Faktor seperti amilosa, rasio amilopektin panjangnya rantai dan berat distribusi 37
Buletian Penelitian BIAM, Vol. III, No. 51, Desember 2007 : 35 - 39 .............................
Kadar Amilosa (%)
BNJ0,05 = 0,3002 13,52 a 35 30
12,19 b 11,69 b
25 20 15 10 5 0 Putih
Kuning
Sangkola
Jenis Pati Ubi Kayu
Kemampuan Menggelembung (g/g)
42 40 38 36 34 32 30 20
25
30
35
Kadar Amilosa (%)
Gambar 3 : a) Kemampuan menggelembung (g/g) dan b) Hubungan kadar amilosa (%) dan kemampuan menggelembung (g/g) pati ubi kayu Daya Larut Daya larut tergantung pada faktor-faktor seperti kemampuan menggelembung dan komponenkomponen lain. Moorthy (2002) menyatakan bahwa daya larut diindikasikan bahwa pati akan sangat larut dalam bahan pelarut polar atau bahan pelarut dengan aktivitas yang mengandung air. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati ubi kayu berpengaruh nyata terhadap daya larut pati (Fhit. = 5,25; p < 0,0481). Rata-rata daya larut ketiga jenis pati ubi kayu ini bervariasi antara 16,77 – 20,49 %. Daya larut pati sangat dipengaruhi oleh kemampuan menggelembung pati, dimana semakin tinggi kemampuan menggelembung pati maka semakin rendah daya larutnya. 38
BNJ0,05 = 0,408 25 16,77 ab
15 10 5 0
69,3
69.5
20,49 a
18,46 b
Warna Pati skala L
20 Daya Larut (%)
molekul serta penyesuaian diri menentukan tingkat kemampuan menggelembung dan daya larut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati ubi kayu berpengaruh sangat nyata terhadap kemampuan menggelembung pati (Fhit. = 19,55; p < 0,0024). Rata-rata kemampuan menggelembung ketiga jenis pati ubi kayu ini bervariasi antara 31,87 – 40,19 g/g. Moorthy (2001) mengemukakan bahwa kemampuan menggelembung pati ubi kayu ditemukan bervariasi antara 42 – 71 g/g tergantung dari varietasnya. Pada peristiwa gelatinisasi terjadi pemutusan ikatan hidrogen sehingga terjadi penyerapan air oleh granula pati mengakibatkan penggelembungan granula pati (Smith, 1982). Kekompakan granulagranula pati berpengaruh terhadap kesulitan granula untuk menggelembung. Penggelembungan dimulai dari daerah yang amorf, sedangkan daerah kristalin yang kompak sulit mengalami proses tersebut. Kekompakan granula pati tergantung perbandingan berat kandungan amilosa amilopektin dan sumber tumbuhannya. Wu dan Seib (1990) mengemukakan bahwa terdapat kandungan amilosa tinggi dapat menghambat penggelembungan pati. Hasil yang sejalan juga ditunjukkan oleh ketiga jenis pati ubi kayu. Pati ubi kayu dengan kadar amilosa terendah mempunyai kemampuan menggelembung tertinggi.
69 68.5
68,06
68
67,46
67.5 67 66.5
Putih
Kuning
Sangkola
Jenis Pati Ubi Kayu
Putih
Kuning
Sangkola
Jenis Pati Ubi Kayu
Gambar 4 : a) Daya larut pati (%) dan b) warna pati ubi kayu skala L Warna Pati Ubi Kayu Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pati ubi kayu tidak berpengaruh nyata terhadap warna pati (Fhit. = 69,075; p < 0,0000). Berdasarkan dimensi L, menunjukkan bahwa pati ubi kayu kuning mempunyai warna lebih putih (69,3) dibandingkan pati ubi kayu lainnya. KESIMPULAN Komposisi proksimat menunjukkan bahwa kadar air pati ubi kayu bervariasi antara 11,6913,52%, kadar abu 0,09-0,10% dan serat kasar 0,015-0,024%. Kadar air dan kadar abu pati ubi kayu adalah relatif sama dengan kadar air yang secara umum diterima penyimpanan dalam kondisi aman. Kadar amilosa berkisar antara 22,37-30,16%. Kemampuan menggelembung pati ubi kayu dan daya larut berturut-turut berkisar antara 31,87-40,19 g/g dan 16,77-20,49%. Warna pati beradasarkan nilai L adalah 67,46-69,30. Kadar amilosa pati ubi kayu memberikan pengaruh terhadap kemampuan menggelembung pati. Semakin tinggi kadar amilosa mengakibatkan kemampuan menggelembung pati semakin menurun. Sedangkan semakin tinggi kemampuan menggelembung pati mengakibatkan menurunnya daya larut pati. DAFTAR PUSTAKA [AACC] American Association of Cereal Chemists. 1995. Approved methods of the American Association of Cereal Chemists (9th ed.) St. Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemist. Adebowale, K.O. & O.S. Lawal. 2002. Effect of annealing and heat moisture conditioning on the physicochemical characteristics of bambara groundnut (Voandzeia subterranean) starch. Nahung/Food 46:311-316. Adebowale, K.O. & O.S. Lawal. 2003. Microstructure, functional properties and retrogradation behaviour of mucuna bean (Mucuna pruriens)
Karakterisasi Beberapa Sifat Pati Ubi Kayu ....................................... Augustyn, dkk starch on heat moisture treatments. Food Hydrocolloids 17:265-272. Adebowale, K.O., T.A. Afolabi & O.S. Lawal, 2002. Isolation, Chemical Modification and Physicohemical Characterisation of Bambarra Groundnut (Voandzeia subterranean) Starch and Flour. Food Chem. 78:305-311. Aiyeleye, F.B., J.O. Akingbala & G.B. Oguntimein. 1993. Chemical factors affecting acetylation of cassava starch. Starch 45:443-445. Asaoka, M., J.M.V. Blanshard & J.E. Rickard. 1992. Effect of cultivar and growth season on the gelatinisation properties of cassava (Manihot esculenta) starch. J. Sci. Food Agric. 59:53-58. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. 14th ed. AOAC Inc. Arlington. Virginia. Greenwood, C.T. 1970. Starch and Glycogen. In: Pigmen, W. and D. Horton (eds). The Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. Academic Press. London. Kay, D.E. 1987. TDRI Crop and Product Digest No.2, TDRI, London, p. 166-173. Moorthy, S.N. 2001. Tuber crop starches, Tech. Bull. No 18, CTCRI, Trivandrum, p. 52. Moorthy, S.N. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber starches: a review. Starch/Stärke 54(12), 559–592.
Péreza, E., F. S. Schultz & E. P. de Delahaye. 2005. Characterization of some properties of starches isolated from Xanthosoma sagittifolium (tannia) and Colocassia esculenta (taro). Carbohydrate Polymer 60: 139-145. Rickard, J.E., M. Asaoka & J.M.V. Blanshard. 1991. The physicochemical properties of cassava starch. Trop. Sci. 31:189-207. Shieldneck, P. & C.E. Smith. 1971. Production and Uses of Acid Modified Starch. In: R.L. Whistler and E.F. Paschal (Eds.), Starch: Chemistry and Technology (pp. 173-215). New York: Academic Press. Smith, P.S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. In: Lineback, D.R. and G.E. Paschall, 1982. Food Carbohydrates. (eds) Avi Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut. Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wu, Y. & P.A. Seib. 1990. Acetylated and Hydroxypropylated Distarch Phosphates from Waxy Barley: Paste Properties and FreezeThaw Stability. Cereal Chem. 67:202-208. Woolfe, J.A. 1992. Sweet potato: an untapped food resource. Cambridge University Press, Cambridge, p 643.
39