KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN POPULASI PLANLET ANGGREK PHALAENOPSIS HASIL PERSILANGAN SELAMA TAHAP AKLIMATISASI
TYA WULANDARI
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan Selama Tahap Aklimatisasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Tya Wulandari NIM A24100141
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK TYA WULANDARI. Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan Selama Tahap Aklimatisasi. Dibimbing oleh DEWI SUKMA. Penelitian dilaksanakan di Rumah Anggrek, KP. Leuwikopo, Bogor pada bulan Desember 2013 hingga Mei 2014. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakterisasi morfologi dan pengaruh pemberian beberapa jenis pupuk daun terhadap pertumbuhan planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan. Penelitian terdiri atas 2 percobaan, yaitu karakterisasi morfologi dan pertumbuhan populasi planlet anggrek. Karakterisasi morfologi dilakukan berdasarkan panduan karakterisasi anggrek Phalaenopsis (Balithi 2007). Data karakter morfologi diolah menggunakan program NTSYSpc versi 2.02 yang akan disajikan ke dalam bentuk dendogram. Percobaan pertumbuhan populasi menggunakan rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri atas 2 perlakuan, yaitu populasi dan pupuk daun. Data pertumbuhan dianalisis sidik ragam dan uji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test). Hasil analisis data pada percobaan karakterisasi morfologi menunjukkan bahwa individu dalam setiap populasi memiliki koefisien kemiripan yang tinggi, yaitu pada populasi P4 (76100%), D015 (59-100%), D022 (78-100%), TSW-1103 (63-100%), dan A001 (80-100%). Tingkat kemiripan yang tinggi menunjukkan bahwa individu-individu dalam populasi tersebut relatif seragam untuk karakter-karakter yang diamati. Percobaan ke-2 menunjukkan bahwa Perlakuan pupuk organik Supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi pupuk organik Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm meningkatkan jumlah daun pada populasi TSW-1111 (Phal. ‘Timothy Christopher’ x Phal. ‘Leopard Prince’) sebesar 4.60 helai saat 12 MSP. Perlakuan empat jenis komposisi pupuk daun memberikan jumlah daun yang sama pada populasi TSW1107 (Phal. ‘Taipei Gold’ x Phal. venosa) dan populasi TSW-1113 (Phal. Shin Spotted deer siblings cross). Kata kunci: aklimatisasi, karakterisasi morfologi, kemiripan, pertumbuhan planlet, pupuk daun
ABSTRACT TYA WULANDARI. Morphological Characterization and Population Growth of Phalaenopsis Orchid Plantlets Crosses Results During Phase Acclimatization. Supervised by DEWI SUKMA. This research was conducted at the Orchids House, KP. Leuwikopo, Bogor from December 2013 until May 2014. This research was conducted to study the morphological character and the effect of leaf fertilizer on growth of hybrid population of Phalaenopsis plantlets. This research consisted of 2 experiments, the first one was morphological characterization and the second was population growth of orchid plantlets. Morphological characterization was conducted according to Balithi guidance for Phalaenopsis characteristic (Balithi 2007). The morphological data was analysed by using NTSYSpc 2.02 version the results were be presented in dendogram. The population growth use a Completely Randomized Factorial Design consisting of two treatments, namely population and leaf fertilizers. The data was analyzed by variance analysis and further testing by DMRT (Duncan Multiple Range Test). The results of data analysis in morphological characterization showed that individuals in the each population has a high of similarity coefficient, which is in population P4 (76-100%), D015 (59100%), D022 (78-100%), TSW-1103 (63-100%), and A001 (80-100%). High level of similarity indicates that individuals in the population is relatively uniform for the characters observed. The second experiment showed that fertilizer treatment Supertonik 3 ml l-1 and a combination of fertilizer Supertonik 3 ml l-1 + 3 ppm chitosan increase the number of leaves in the population TSW-1111 (Phal. ‘Timothy Christopher’ x Phal. ‘Leopard Prince’) of 4.60 leaves at 12 weeks after treatment (WAT). Treatment of four types foliar fertilizer composition gives the same number of leaves in the population TSW-1107 (Phal. ‘Taipei Gold’ x Phal. venosa) and populasi TSW-1113 (Phal. Shin Spotted deer siblings cross). Key words: acclimatization, morphological characterization, similarity, growth of planlet, foliar fertilizer
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN PERTUMBUHAN POPULASI PLANLET ANGGREK PHALAENOPSIS HASIL PERSILANGAN SELAMA TAHAP AKLIMATISASI
TYA WULANDARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan Selama Tahap Aklimatisasi Nama : Tya Wulandari NIM : A24100141
Disetujui oleh
Dr Dewi Sukma, SP MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Agus Purwito, MScAgr Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Populasi Planlet Anggrek Phalaenopsis Hasil Persilangan” yang dilaksanakan selama lima bulan, yaitu sejak bulan Desember 2013 hingga Mei 2014 di screen house Rumah Anggrek, Kebun Percobaan Leuwikopo, Dramaga, Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan materil serta doa yang tulus kepada penulis; 2. Dr Dewi Sukma, SP MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi; 3. Dr Ir Eko Sulistiyono, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas arahan dan masukan selama penulis melaksanakan studi; 4. Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS selaku dosen penguji utama dan Anggi Nindita, SP MSi selaku dosen penguji wakil urusan program studi atas masukan, motivasi, dan revisi yang diberikan terhadap skripsi saya; 5. Rekan-rekan Agronomi 47 (Edelweiss), khususnya Erna Siaga, Fitri Gumayanti, Alvianti Yaufa, Naning Emilia, Amanda Sari, Martika Andhini, Fitri Herdiyanti, Ita Aprilia, dan Lidia Aminarni yang selalu memberikan dukungan dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian; 6. Seluruh dosen dan karyawan Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan bantuannya; 7. Seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan secara langsung ataupun tidak langsung selama pelaksanaan studi, penelitian, dan penyusunan skripsi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, khususnya bagi mahasiswa atau sivitas akademika Institut Pertanian Bogor dan semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Oktober 2014 Tya Wulandari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN 11 Latar Belakang 11 Tujuan 3 Hipotesis 3 TINJAUAN PUSTAKA 3 Botani Anggrek Phalaenopsis 3 Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan 4 Syarat Tumbuh Anggrek Phalaenopsis 4 Pemupukan 5 Aklimatisasi 5 Chitosan 6 METODE PENELITIAN 6 6 Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 6 Metode Pelaksanaan 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Kondisi Umum Penelitian 9 Percobaan 1. Karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan 10 Percobaan 2. Respon pertumbuhan populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan pada berbagai perlakuan pupuk daun 15 Jumlah Daun 15 Panjang Daun 17 Lebar Daun 18 Jumlah Akar 19 Panjang Akar 20 Persentase Tumbuh 21 SIMPULAN DAN SARAN 25 Simpulan 25 Saran 25 DAFTAR PUSTAKA 25 LAMPIRAN 29 RIWAYAT HIDUP 35
DAFTAR TABEL 1 Rata-rata jumlah daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi 2 Interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun planlet anggrek Phalaenopsis pada umur 12 MSP 3 Rata-rata panjang daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi 4 Rata-rata lebar daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi 5 Rata-rata jumlah akar planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi 6 Rata-rata panjang akar planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi 7 Rata-rata persentase tumbuh planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi 8 Karakter kualitatif populasi TSW-1107 9 Karakter kualitatif populasi TSW-1111 10 Karakter kualitatif populasi TSW-1113
16 16 17 18 19 20 21 22 23 23
DAFTAR GAMBAR 1 Tetua-tetua populasi pada percobaan 1 2 Tetua-tetua populasi pada percobaan 2 3 Penampilan visual planlet yang terkena penyakit busuk basah Erwinia sp. (a), daun kering akibat sun burn (b), dan keracunan pupuk (c) 4 Dendogram kemiripan individu dalam populasi P4 saat 12 MSP 5 Dendogram kemiripan individu dalam populasi D015 saat 12 MSP 6 Dendogram kemiripan individu dalam populasi D022 saat 12 MSP 7 Dendogram kemiripan individu dalam populasi TSW-1103 saat 12 MSP 8 Dendogram kemiripan individu dalam populasi A001 saat 12 MSP 9 Keragaan beberapa populasi saat 16 MSP, P4 lanset-ungu (a), D015 bulathijau (b), TSW-1103 bulat-ungu (c), dan P4 lanset-hijau (d) 10 Kondisi planlet tiap perlakuan pupuk; Supertonik 3 ml l-1 (a), Pertumbuhan 1.25 g l-1 (b), Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm (c), dan Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm (d) 11 Kondisi planlet saat 8 MSP 12 Kondisi planlet saat 16 MSP 13 Keragaan visual 3 populasi hasil persilangan, TSW-1107 (a), TSW-1111 (b), dan TSW-1113 (c)
7 9 10 10 11 12 13 14 15
22 24 24 24
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Keragaan visual individu-individu pada populasi P4 Keragaan visual individu-individu pada populasi D015 Keragaan visual individu-individu pada populasi D022 Keragaan visual individu-individu pada populasi TSW-1103 Keragaan visual individu-individu pada populasi A001 Nilai rata-rata karakter kuantitatif populasi pada percobaan 1 karakterisasi morfologi 7 Hasil sidik ragam jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah akar, panjang akar, dan persentase tumbuh planlet pada percobaan 2 respon pertumbuhan
29 29 30 30 31 31
32
PENDAHULUAN Latar Belakang Anggrek merupakan salah satu komoditas tanaman hias yang banyak diminati oleh berbagai kalangan di Indonesia. Komoditas ini merupakan salah satu kekayaan hayati yang sangat potensial untuk dikembangkan pemasarannya dalam sub sektor bisnis hortikultura. Lebih dari 5 000 spesies dari famili ini dapat ditemukan di Indonesia. Phalaenopsis atau yang lebih dikenal sebagai anggrek bulan adalah salah satu tanaman anggrek yang banyak diminati karena keindahan bentuk dan warna bunganya. Menurut Muhit (2010), terdapat peningkatan luas panen, produksi, dan produktivitas anggrek di Indonesia. Meskipun demikian, industri anggrek di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain seperti Thailand, Taiwan, Singapura, dan Australia. Dibandingkan dengan produktivitas anggrek dari negara tetangga, seperti Thailand dengan rata-rata 10-12 tangkai per tanaman, produktivitas anggrek Indonesia secara nasional rata-rata sangat kecil, yaitu hanya dapat mencapai 3-4 tangkai per tanaman (Direktorat Tanaman Hias 2004). Produksi anggrek di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 20 277 672 tangkai dengan luasan panen 1 336 677 m2 dan produktivitas rata-rata 10.23 tangkai/m2 (Badan Pusat Statistik 2014). Thailand mengekspor anggreknya untuk mengisi kebutuhan konsumsi negaranegara Eropa seperti Italia sebesar 51%, Belanda 47%, Inggris 18%, dan Jerman 12% (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2005). Indonesia mengekspor anggrek dalam tiga macam bentuk, yaitu benih, tanaman, dan bunga potong. Nilai ekspor anggrek pada bulan November 2013 adalah US$ 49.42 ribu atau senilai volume ekspor sebesar 4.07 ton, sedangkan pada Desember 2013 menurun menjadi US$ 34.86 ribu atau senilai dengan 3.62 ton (Respati et al. 2014). Tahun 2009, kontribusi tanaman hias terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura berada diurutan ke-3 setelah komoditas buah-buahan dan sayuran, sebesar Rp 6.732 miliyar atau 7.63% (Direktorat Jenderal Hortikultura 2010). Permintaan anggrek luar negeri sampai tahun 2002 mencapai 2.72 ribu ton senilai US$ 1.76 juta dan diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya (Suryana et al. 2007). Banyaknya permintaan pasar terhadap anggrek Phalaenopsis tidak diimbangi dengan ketersediaan bibit yang memadai. Hal ini dapat diatasi melalui suatu metode terbaik hingga saat ini dalam melestarikan dan memperbanyak anggrek, yaitu melalui metode kultur jaringan (Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi 2008). Pemuliaan tanaman melalui persilangan merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan calon-calon hibrida baru pada anggrek Phalaenopsis. Tanaman hasil persilangan perlu dikarakterisasi untuk mengetahui tingkat kemiripan individu dalam populasi persilangan. Karakterisasi merupakan gambaran umum tentang karakter suatu aksesi yang meliputi karakter fenotipe dan genotipe (Balai Penelitian Tanaman Hias 2007a). Populasi planlet hasil persilangan antara varietas hibrida kemungkinan memiliki karakter morfologi dan kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Karakterisasi morfologi diperlukan untuk melihat keragaman
2 morfologi planlet dalam populasi. Respon pertumbuhan planlet dalam suatu populasi belum tentu sama dengan populasi yang lainnya. Respon fenotipe tanaman merupakan interaksi antara genotipe dengan lingkungan (Syukur et al. 2012). Perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan (in vitro) merupakan peluang untuk mengatasi kebutuhan bibit dalam jumlah besar, serentak, bebas penyakit, serta bibit yang seragam dalam waktu relatif singkat. Menurut Sarwono (2002), tanaman yang diperbanyak melalui kultur jaringan dapat diperoleh ribuan bibit anggrek dari tanaman tunggal dalam waktu relatif singkat melalui salah satu jaringan meristem dapat berupa ujung tunas, tunas samping, ujung batang, ujung daun, ataupun tunas apikal. Dalam perbanyakan tanaman secara in vitro, aklimatisasi merupakan salah satu tahapan yang paling menentukan keberhasilan tumbuh planlet di lingkungan ex vitro (Arditi 1997). Aklimatisasi adalah proses adaptasi suatu organisme terhadap perubahan dari lingkungan heterotrof ke lingkungan autotrof (Kartikasari 2009). Planlet yang tumbuh dalam kondisi in vitro memiliki karakteristik stomata daun yang lebih terbuka dan tidak memiliki lapisan lilin pada permukaan daun sehingga planlet sangat rentan terhadap kelembaban rendah. Hal ini menjadikan proses aklimatisasi menjadi salah satu proses yang penting untuk dilakukan sebelum anggrek tersebut di tanam di lapangan (Mariska dan Sukmadjaja 2003). Tahapan ini dilakukan agar tanaman yang sebelumnya ditumbuhkan dalam botol kultur dengan suplai media lengkap tetap dapat bertahan hidup secara mandiri dan berfotosintesis pada kondisi lingkungan eksternal (Yosepa et al. 2012). Media tanaman merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan aklimatisasi. Media yang umum digunakan untuk aklimatisasi anggrek Phalaenopsis adalah spaghnum moss. Spaghnum moss merupakan jenis lumutlumutan yang memiliki sistem drainase yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai media tanam untuk pertumbuhan planlet anggrek Phalaenopsis (Suryati 2007). Media ini mempunyai banyak rongga, dengan adanya rongga ini memungkinkan akar tanaman tumbuh dan berkembang dengan leluasa. Selain media tanam, salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam tahap aklimatisasi adalah pemupukan. Pertumbuhan anggrek Phalaenopsis dalam pot biasanya dirangsang melalui pemupukan lewat daun. Menurut Iswanto (2001), daun mampu menyerap pupuk sekitar 90%, sedangkan akar hanya mampu menyerap pupuk sekitar 10%. Pemupukan yang dilakukan lewat daun akan memudahkan distribusi kandungan unsur hara ke jaringan tubuh tanaman melalui pembuluh daun atau kutikula. Pemberian pupuk pada tanaman anggrek mengutamakan tiga unsur hara yang diperlukan, yaitu unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Unsur N berpengaruh dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif, unsur P berpengaruh untuk merangsang pertumbuhan generatif, inisiasi akar, dan pendewasaan tanaman, sedangkan u n s u r K berfungsi sebagai katalisator (Ginting et al. 2001). Pemberian pupuk harus dilakukan dengan tepat agar kebutuhan tanaman anggrek dapat tersedia tanpa mengakibatkan kerugian akibat penggunaan pupuk yang berlebih. Dalam bidang pertanian, chitosan menawarkan alternatif alami dalam penggunaan bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Chitosan membuat mekanisme pertahanan pada tumbuhan, menstimulasi
3 pertumbuhan, dan merangsang enzim tertentu. Pengontrol organik baru ini menawarkan pendekatan sebagai alat biokontrol. Pada buah dan sayuran, chitosan mampu mengurangi kehilangan akibat transpirasi dan menunda pemasakan (Zhao 2005).
Tujuan Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan 1 merupakan karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan. Tujuan percobaan 1 adalah mengamati tingkat kemiripan individu pada setiap populasi. Percobaan 2 merupakan respon pertumbuhan populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan pada berbagai komposisi pupuk daun. Tujuan percobaan 2 adalah mencari perlakuan komposisi pupuk yang optimum untuk setiap populasi.
Hipotesis Populasi hibrida memiliki tingkat kemiripan lebih rendah dibandingkan populasi hasil silang dalam dan terdapat interaksi antara perlakuan komposisi pupuk daun dan populasi pada salah satu karakter yang diamati.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Anggrek Phalaenopsis Anggrek termasuk anggota famili Orchidaceae yang merupakan famili terbesar di antara famili tanaman hias lainnya. Famili ini memiliki berjumlah kurang lebih 43 000 spesies dari 750 generasi yang berbeda. Lebih dari 5 000 spesies dari famili ini dapat ditemukan di Indonesia. Penyebaran famili Orchidaceae hampir meliputi seluruh dunia, dari Asia hingga Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Bahkan, beberapa spesiesnya ditemukan di daerah Kutub Utara, selatan Patagonia, dataran Pulau Macquarie, hingga Antartika. Namun, dari sekian banyak spesiesnya yang hidup di alam, hanya beberapa genus anggrek yang akrab di telinga masyarakat. Genus-genus yang lebih dikenal tersebut adalah Dendrobium, Phalaenopsis, Arachnis, Cymbidium, Cattleya, dan Vanda dengan daerah penyebaran mayoritas di Asia Tenggara, kecuali Cattleya (Iswanto 2010a). Anggrek Phalaenopsis memiliki bentuk daun lebar, tekstur lemas dengan susunan tunggal berhadapan dengan bentuk helaian daun melebar ke arah ujung, bentuk bunga bulat (round shape) atau bintang (star) terdiri atas tiga buah sepal atau kelopak bunga, bentuk buahnya menyerupai kapsul berwarna hijau, perakaran epifit yang berfungsi sebagai tempat menempelnya tubuh tanaman pada media tumbuh, dan tidak memiliki batang semu. Berdasarkan pola pertumbuhannya, anggrek Phalaenopsis memiliki tipe pertumbuhan monopodial,
4 yaitu, pertumbuhan batangnya lurus ke atas pada satu batang tanpa batas dengan bunga keluar dari sisi batang di antara dua ketiak daun (Sandra 2005a).
Karakterisasi Morfologi dan Pertumbuhan Karakterisasi merupakan gambaran umum tentang karakter suatu aksesi yang meliputi karakter fenotipe dan genotipe (Balithi 2007a). Perbedaan antar fase pertumbuhan akan mempengaruhi proses karakterisasi. Proses karakterisasi pada fase tanaman berbunga akan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tanaman pada fase planlet. Menurut Wardiyati et al. (2003), karakterisasi berbagai macam tanaman telah dilakukan oleh IPGRI tetapi, belum ada karakterisasi untuk tanaman anggrek, khususnya anggrek Phalaenopsis sehingga akan sulit untuk menentukan karakter genotipe dan fenotipenya. Karakterisasi yang didasarkan pada penanda morfologi biasanya dipengaruhi lingkungan makro dan mikro, serta umur tanaman. Karakterisasi morfologi perlu didukung oleh karakterisasi menggunakan penanda molekuler. Penanda molekuler dapat memberi gambaran tentang kekerabatan yang lebih akurat karena DNA (deoxyribo nucleid acid) sebagai material genetik tidak dipengaruhi kondisi lingkungan (Dwiatmini et al. 2003). Sebagian besar tanaman menggunakan aksesi terseleksi sebagai acuan untuk menentukan kisaran variasi karakter tertentu (Balithi 2007b). Hubungan kekerabatan genetik dalam populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan dari sejumlah karakter (Hadiati 2003). Semakin banyak persamaan ciri, maka semakin dekat hubungan kekerabatannya. Sebaliknya, semakin banyak perbedaan ciri maka semakin jauh hubungan kekerabatannya. Pengelompokan ciri yang sama merupakan dasar untuk pengklasifikasian (Irawan dan Purbayanti 2008).
Syarat Tumbuh Anggrek Phalaenopsis Phalaenopsis lebih dikenal sebagai anggrek bulan di Indonesia. Tanaman ini tergolong ke dalam anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menumpang di tanaman lain, tetapi tidak merugikan tanaman yang ditumpanginya. Anggrek epifit membutuhkan naungan dari cahaya matahari. Menurut Iswanto (2010b) anggrek Phalaenopsis tumbuh baik pada suhu udara siang hari 25-32 0C dan malam hari 15 0C dengan intensitas cahaya rendah (teduh), yakni 25-50% dengan kelembaban udara sekitar 50-80% pada ketinggian 600-1 200 m dpl. Berdasarkan kebutuhan suhu, Phalaenopsis ternasuk jenis anggrek tipe hangat. Suhu malam hari yang diperlukan antara 21-24 0C dan siang hari antara 24-29 0C, semakin tinggi suhu pada batas toleransi ini semakin baik untuk merangsang pertumbuhan vegetatifnya (Setiawan 2003). Dalam keadaan tempat yang terbuka atau tidak ternaungi, suhu udara menjadi lebih tinggi dibandingkan di tempat yang teduh atau tidak terkena cahaya matahari secara langsung, sedangkan semakin tinggi su at u tempat m ak a su hu ud a r a a k an semakin rendah.
5 Pemupukan Pemupukan pada anggrek biasanya dilakukan melalui aplikasi pemupukan lewat daun. Hal ini dilakukan karena cara aplikasi tersebut lebih efektif dibandingkan cara lain. Daun mampu menyerap pupuk sekitar 90%, sedangkan akar hanya mampu menyerap pupuk sekitar 10%. Pemupukan yang dilakukan lewat daun akan memudahkan distribusi kandungan unsur hara ke jaringan tubuh tanaman melalui pembuluh daun atau kutikula. Secara umum, konsentrasi larutan pupuk daun yang digunakan untuk tanaman anggrek sebanyak 2 g l-1 air. Kondisi ini dapat berubah tergantung kondisi tanaman (Fatmawati dan Susiyanti 2004). Waktu yang tepat dalam melakukan pemupukan adalah seminggu sekali, pagi hari pukul 07.00-09.00 W IB atau s o r e h a r i pukul 15.00-17.00 WIB. Pemupukan dilakukan pada waktu tersebut karena hanya sedikit terjadi penguapan sehingga bahan makanan dapat lebih banyak diserap oleh daun. Aplikasi pemupukan pada tanaman anggrek berbeda-beda, tergantung fase pertumbuhan tanaman (Sandra 2005b). Pemberian pupuk pada tanaman anggrek mengutamakan tiga unsur hara yang diperlukan, yaitu unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Unsur N berpengaruh dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif, unsur P berpengaruh untuk merangsang pertumbuhan generatif, inisiasi akar, dan pendewasaan tanaman, sedangkan u n s u r K berfungsi sebagai katalisator (Ginting et al. 2001). Pemupukan anggrek efektif dilakukan secara teratur sebanyak dua kali dalam seminggu (Kencana 2007). Konsentrasi dari beberapa jenis bahan kimia untuk pupuk selama pembibitan anggrek , yaitu pupuk Peters Internasional 20 : 20 : 20 dengan konsentrasi 1 g 5.5 l-1, Ca (NO3)2 dengan konsentrasi 0.2 g l-1, MgSO4 dengan konsentrasi 0.2 g l-1, NiSO4 dengan konsentrasi 0.01 g l-1, dan Bori Acid (Biotri) 0.1 mg l-1 (Gustin 2009).
Aklimatisasi Aklimatisasi adalah proses adaptasi suatu organisme terhadap perubahan dari lingkungan heterotrof ke lingkungan autotrof (Kartikasari 2009). Aklimatisasi merupakan tahapan penting yang harus dilalui oleh tanaman hasil kultur jaringan (in vitro) yang bersifat heterotrof. Tahapan ini dilakukan agar tanaman yang sebelumnya ditumbuhkan dalam botol kultur dengan suplai media lengkap tetap dapat bertahan hidup secara mandiri dan berfotosintesis pada kondisi lingkungan eksternal (Yosepa et al. 2012). Menurut Riyadi (2002), adanya perbedaan yang sangat tajam terutama kelembaban dan intensitas cahaya lingkungan di dalam botol dan di luar botol menyebabkan proses aklimatisasi ini merupakan tahapan yang kritis. Karakteristik planlet hasil kultur in vitro sangat berbeda apabila dibandingkan dengan tanaman hidup pada kondisi in vivo. Kondisi lingkungan in vivo yang berbeda dengan kondisi in vitro menyebabkan rendahnya presentase tumbuh tanaman jika proses aklimatisasi tidak dilakukan dengan baik. Perlakuan yang tepat dan terkontrol pada planlet akan menentukan tingkat keberhasilan saat aklimatisasi (Handini 2012). Menurut Yusnita (2004), salah satu cara untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi adalah dengan proses penguatan (hardening off) planlet in vitro. Cara ini akan menjadikan bibit
6 memiliki vigor lebih baik, lebih kokoh, dan daun lebih hijau. Hardening dilakukan dengan menempatkan bibit botolan di luar ruang kultur, yaitu pada tempat dengan suhu kamar dan cahaya matahari tidak langsung yang intensitasnya lebih tinggi selama dua minggu sebelum bibit diaklimatisasi.
Chitosan Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Chitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi, dan bersifat polielektrolitik. Chitosan dapat mudah berinteraksi dengan zat organik lain, seperti protein dan lemak (Hirano 1986 dalam Darmawan 2007). Dalam bidang pertanian, chitosan menawarkan alternatif alami dalam penggunaan bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Chitosan membuat mekanisme pertahanan pada tumbuhan, menstimulasi pertumbuan, dan merangsang enzim tertentu. Pengontrol organik baru ini menawarkan pendekatan sebagai alat biokontrol (Kusumawati 2009). Pada buah dan sayuran, chitosan mampu mengurangi kehilangan akibat transpirasi dan menunda pemasakan (Zhao 2005). Tanaman yang diberikan aplikasi chitosan bersifat lebih tahan terhadap serangan jamur (Boonlertnirun et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian Sulistiana (2013), bahan organik chitosan dengan konsentrasi 3 ppm merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif anggrek Phalaenopsis amabilis.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di screen house Rumah Anggrek, Kebun Percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai Desember 2013 hingga Mei 2014. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan meliputi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan yang berasal dari Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor dan penyilang anggrek, media tanam berupa spaghnum moss, fungisida (Antrachol), bakterisida (Agrept), chitosan, air, serta pupuk daun. Alat-alat yang digunakan meliputi alat tanam, pot anggrek, wadah plastik, pinset, suntikan takar, meteran, sprayer, alat tulis, dan kamera.
7 Metode Pelaksanaan Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam dua percobaan yang berbeda dimulai dengan menyiapkan media tanam berupa sphagnum moss yang diisi 3/4 bagian pot plastik. Selanjutnya, planlet dikeluarkan dari dalam botol dengan memasukkan air kemudian diguncangkan perlahan dan diambil satu per satu menggunakan pinset lalu dicuci bersih dengan perendaman dalam air agar media agar-agar yang melekat dapat terlepas. Planlet direndam pada larutan fungisida dan bakterisida dengan konsentrasi masing-masing 1 g l-1 selama ± 5-10 menit. Planlet ditanam dalam pot-pot sesuai ukurannya yang telah diisi media tanam hingga 3/4 bagian pot. Pemeliharaan selama aklimatisasi meliputi penyiraman yang dilakukan setiap 3-4 hari sekali. Planlet hasil aklimatisasi selanjutnya dibagi ke dalam dua percobaan yang berbeda, yaitu : Percobaan 1. Karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan Percobaan ini tidak menggunakan rancangan lingkungan karena bersifat eksploratif. Kelima populasi tanaman yang digunakan, yaitu : 1. P4 : Populasi hasil silang dalam Phalaenopsis amabilis ‘Borneo’; : Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis tipe standar 2. D015 putih x Phalaenopsis tipe standar pink; 3. D022 : Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis tipe standar pink x Phalaenopsis tipe standar putih; 4. TSW-1103 :Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis ‘Sogo Diamond’ x Phalaenopsis ‘Jinbao Red Rose’; 5. A001 : Populasi hasil penyerbukan silang Phalaenopsis tipe standar pink x Phalaenopsis tipe standar putih.
Phal. standar putih
Phal. standar pink
Phal. ‘Sogo Diamond’
Phal. ‘Jinbao Red Rose’ Phal. amabilis ‘Borneo’ Gambar 1 Tetua-tetua populasi pada percobaan 1 Gambar dari tetua populasi tersebut di atas seperti terlihat pada Gambar 1.
8 Setiap populasi terdiri atas sekurang-kurangnya 10 planlet sehingga terdapat minimal 60 planlet yang ditanam. Pengamatan terdiri atas karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman mengikuti panduan karakterisasi Balithi. Karakter kualitatif dan kuantitatif diubah (skoring) ke dalam bentuk data biner. Data biner digunakan untuk menganalisis keragaman genetik menggunakan program numerical taxonomy and multivariate analysis system (NTSYSpc) versi 2.02 (Rohlf 1998). Karakter kualitatif yang diamati meliputi : warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, bentuk daun, dan warna ujung akar. Skoring dilakukan pada karakter warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun menjadi warna hijau, keunguan, dan hijau keunguan. Karakter yang memunculkan warna tersebut diberi nilai 1, sedangkan yang lainnya diberi nilai 0. Bentuk daun dibedakan menjadi bulat, lanset, dan semi lanset, sedangkan warna ujung akar dibedakan menjadi 2, yaitu hijau dan kuning kemudian sistem pemberian skoring adalah sama seperti yang dilakukan sebelumnya. Karakter kuantitatif yang diamati meliputi : 1) Panjang daun (cm), 2) Lebar daun (cm), 3) Rasio panjang daun dibandingkan dengan lebar daun, 4) Jumlah daun (helai), 5) Panjang akar (cm), 6) Jumlah akar (helai), dan 7) Persentase tumbuh (%). Data karakter kuantitatif diubah terlebih dulu ke dalam batasan yang telah dibuat kemudian diubah ke dalam data biner. Data disajikan dalam bentuk dendogram. Percobaan 2. Respon pertumbuhan populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan pada berbagai perlakuan pupuk daun Percobaan ini disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor perlakuan (Gomez dan Gomes 1995), yaitu populasi dan komposisi pupuk daun sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan (4 taraf pemupukan x 3 populasi). Populasi planlet anggrek yang digunakan terdiri atas tiga populasi (lampiran 2), yaitu P1 = TSW-1107 (Phal. ‘Taipei Gold’ x Phal. venosa), P2 = TSW-1111 (Phal. ‘Timothy Christopher’ x Phal. ‘Leopard Prince’), dan P3 = TSW-1113 (Phal. Shin Spotted deer siblings cross). Perlakuan pupuk daun terdiri atas empat taraf, yaitu Q1 = pupuk supertonik 3 ml l-1; Q2 = pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1; Q3 = pupuk supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm ; dan Q4 = pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm. Setiap kombinasi perlakuan terdiri atas tiga ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 5 planlet sehingga jumlah planlet yang ditanam adalah 180 planlet. Setiap kombinasi perlakuan terdapat lima planlet yang diamati sehingga terdapat 180 planlet sebagai satuan amatan. Model aditif linier yang digunakan, yaitu : Yijk = μ + αi + ßj + (αß)ij + ϵ ijk dimana : Yijk = respon pengamatan pada perlakuan populasi ke-i, pupuk daun ke-j, dan ulangan ke-k; μ = nilai tengah umum; αi = pengaruh perlakuan populasi ke-i; ßj = pengaruh pupuk daun ke-j; (αß)ij = pengaruh interaksi perlakuan populasi ke-i dan pupuk daun ke-j; ϵ ijk = pengaruh galat percobaan perlakuan populasi ke-i, pupuk daun ke-j, dan ulangan ke-k.
9 Tetua dari populasi tanaman yang digunakan terlihat pada Gambar 2 berikut ini :
Phal. ‘Taipei Gold’
Phal. Venosa
Phal. ‘Timothy Christopher’
Phal. ‘Leopard Prince’ P. Shin Spotted deer siblings cross Gambar 2 Tetua-tetua populasi pada percobaan 2 Pengamatan dilakukan pada karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif dan kuantitatif yang diamati sama seperti percobaan 1. Perbedaan pengamatan terdapat pada parameter rasio antara panjang dan lebar daun dalam percobaan 1 tidak diamati pada percobaan 2. Data kualitatif pada percobaan 2 disajikan dalam tabel setelah dicari berdasarkan frekuensi kemunculannya, sedangkan data kuantitatif diolah dengan uji F pada sistem SAS (Statistical Analysis System) kemudian dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada perlakuan yang berpengaruh nyata pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Penampilan visual planlet anggrek pada tahap aklimatisasi dalam percobaan 1 lebih baik dibandingkan dalam percobaan 2. Tanaman memerlukan unsur hara yang akan ditranslokasikan ke seluruh bagian tubuh tanaman selama masa pertumbuhan vegetatif. Pupuk mengandung unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman. Menurut Ginting et al. (2001), unsur N berpengaruh dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Beberapa planlet anggrek pada percobaan 2 mati disebabkan adanya penyakit busuk basah Erwinia sp., daun mengalami kekeringan karena sun burn dan pemberian konsentrasi pupuk pertumbuhan yang terlalu tinggi (Gambar 3).
10
(a) (b) (c) Gambar 3 Penampilan visual planlet yang terkena penyakit busuk basah Erwinia sp. (a), daun kering akibat sun burn (b), dan keracunan pupuk (c) Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, antara lain media tanam, intensitas pemupukan, dan faktor iklim mikro di sekitar lingkungan penanaman (Wiyono 2007). Kondisi media tanam berupa spaghnum moss terlalu lembab. Hal ini berkaitan dengan volume penyiraman yang kurang terkontrol dengan baik dan perlu disesuaikan dengan kelembaban media. Volume penyiraman untuk percobaan 1 sebesar ± 9-12 ml, sedangkan percobaan 2 sebesar ± 15-21 ml. Penyiraman kurang terkontrol karena alat yang digunakan hanya berupa suntikan takar yang ketelitiannya tidak begitu akurat. Pemupukan dilakukan setiap tiga hari sekali. Menurut Kencana (2007), pemupukan anggrek efektif dilakukan secara teratur sebanyak dua kali dalam seminggu. Hal ini sejalan dengan intensitas pemupukan yang telah dilakukan dalam penelitian. Percobaan 1. Karakterisasi morfologi populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan Hubungan kekerabatan antara dua individu atau populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan sejumlah karakter dengan asumsi bahwa karakter-karakter berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan susunan genetik. Karakter pada makhluk hidup dikendalikan oleh gen (Purwantoro et al. 2005).
Gambar 4 Dendogram kemiripan individu pada populasi P4 saat 12 MSP
11 Data yang disajikan dalam bentuk dendogram merupakan hasil karakterisasi berdasarkan karakter kualitatif dan kuantitatif pada individu dalam setiap populasi yang diamati. Populasi P4 merupakan populasi hasil silang dalam sehingga keragaman karakter yang diamati kurang terlihat. Individu-individu dalam populasi P4 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu klaster A dan B pada jarak euclidius 0.76, artinya individu-individu dalam populasi tersebut memiliki tingkat kemiripan sebesar 76% (Gambar 4). Klaster A terdiri atas individu 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9 pada jarak euclidius 0.82. Individu 3, 5, 6, 7, 8, 9 merupakan individu yang memiliki karakter kualitatif dan kuantitatif sangat mirip. Klaster B hanya terdiri atas individu 4 pada jarak euclidius 0.76. Individu 1 memiliki perbedaan dengan individu lainnya berdasarkan karakter morfologi yang diamati, yaitu warna pinggir daun dan warna permukaan bawah daun. Individu 1 memiliki pinggir daun berwarna keunguan dan permukaan bawah daun berwarna hijau keunguan (Lampiran 1). Individu pada populasi P4 memiliki rata-rata panjang daun sebesar 6.37 cm, lebar daun 2.50 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 2.51, jumlah daun sebanyak 5.10 helai, panjang akar 6.33 cm, dan jumlah akar 6.90 helai (Lampiran 6). Individu-individu dalam populasi D015 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu klaster A dan B pada tingkat kemiripan 59%, artinya individu dalam populasi tersebut memiliki tingkat kemiripan 59% (Gambar 5).
Gambar 5 Dendogram kemiripan individu pada populasi D015 saat 12 MSP Kemiripan tersebut terlihat pada karakter morfologi yang diamati, yaitu warna ujung akar seluruh individu adalah hijau. Individu pada klaster A mengelompok berdasarkan kemiripan sifat morfologi, yaitu warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, dan warna ujung akar. Klaster A kembali membentuk dua klaster, yaitu A1 dan A2 pada jarak euclidius 0.66. Klaster A1 terdiri atas individu 1 yang memiliki kemiripan sebesar 66% dengan individu lainnya dalam sub klaster 2. Individu 1 berbeda dengan individu 2, 5, 7, 4, 8 pada karakter permukaan bawah daun berwarna hijau dan bentuk daun bulat, sedangkan sub klaster A2 (individu 2, 5, 7, 4, 8) memiliki karakter permukaan bawah daun
12 berwarna hijau keunguan dan bentuk daun lanset. Klaster A2 terbagi ke dalam dua kelompok pada jarak euclidius 0.80, artinya individu dalam kelompok-kelompok tersebut yang terdiri atas individu 2, 5, 7, 4, 8 memiliki tingkat kemiripan 80%. Klaster A2 mengelompok dikarenakan kemiripan warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, dan warna ujung akar. Individu pada klaster B terdiri atas individu 3, 6, 9 pada jarak euclidius 0.80. Individu 3 dan 6 memiliki tingkat kemiripan yang sangat tinggi berdasarkan karakter warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, bentuk daun, dan warna ujung akar. Individu 9 memiliki permukaan atas daun berwarna hijau, sedangkan individu 3 dan 6 berwarna hijau keunguan (Lampiran 2). Individu pada populasi D015 memiliki rata-rata panjang daun sebesar 4.74 cm, lebar daun 2.80 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 1.72, jumlah daun sebanyak 4.40 helai, panjang akar 4.46 cm, dan jumlah akar 7.10 helai (Lampiran 6).
Gambar 6 Dendogram kemiripan individu pada populasi D022 saat 12 MSP Individu-individu dalam populasi D022 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu klaster A dan B pada jarak euclidius 0.78, artinya individu dalam populasi tersebut memiliki tingkat kemiripan 78% (Gambar 6). Kemiripan ini disebabkan oleh kemiripan pada beberapa karakter morfologi, yaitu warna permukaan bawah daun, bentuk daun, dan warna ujung akar (Lampiran 3). Klaster A terdiri atas dua klaster, yaitu klaster A1 dan A2 pada jarak euclidius 0.87. Klaster A1 terdiri atas individu 1 dan 7 yang memiliki kemiripan sebesar 95% pada karakter morfologi yang diamati. Klaster A2 terdiri atas individu 3 yang memiliki perbedaan dengan individu 1 dan 7 berdasarkan karakter kuantitatif yang diamati. Klaster B terdiri atas dua klaster, yaitu klaster B1 dan B2 pada jarak euclidius 0.85. Klaster B1 membentuk dua kelompok pada jarak euclidius 0.93 terdiri atas individu 2, 6, 4. Individu 2,6,4 memiliki tingkat kemiripan sebesar 93% berdasarkan karakter yang diamati. Klaster B2 membentuk dua kelompok pada jarak euclidius 0.92 terdiri atas individu 5, 10, 9, 8. Individu 5 dan 10
13 memiliki kemiripan karakter kualitatif dan kuantitatif yang sangat tinggi sehingga kedua individu tersebut dapat dikatakan sebagai individu yang sangat mirip. Individu pada populasi D022 memiliki rata-rata panjang daun sebesar 5.37 cm, lebar daun 2.69 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 2.02, jumlah daun sebanyak 5.00 helai, panjang akar 7.61 cm, dan jumlah akar 5.70 helai (Lampiran 6).
Gambar 7 Dendogram kemiripan individu pada populasi TSW-1103 saat 12 MSP Individu-individu dalam populasi TSW-1103 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu klaster A dan B pada jarak euclidius 0.63 (Gambar 7). Klaster A membentuk tiga kelompok yang terdiri atas individu 1, 3, 2, 4, 5 pada jarak euclidius 0.87, artinya individu-individu tersebut memiliki tingkat kemiripan 87%. Kemiripan tersebut terdiri atas karakter warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, dan warna ujung akar. Bentuk daun pada individu 5 adalah lanset, berbeda dengan individu 1, 3, 2, 4 yang memiliki bentuk daun bulat. Klaster B terdiri atas individu 6, 7, 8 pada jarak euclidius 0.74. Bentuk daun pada individu 6 adalah lanset, sedangkan individu 7 dan 8 memiliki bentuk daun bulat (Lampiran 4). Individu pada populasi TSW-1103 memiliki rata-rata panjang daun sebesar 3.73 cm, lebar daun 2.73 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 1.36, jumlah daun sebanyak 4.00 helai, panjang akar 4.31 cm, dan jumlah akar 5.40 helai (Lampiran 6). Individu-individu dalam populasi A001 terbagi ke dalam dua klaster, yaitu klaster A dan B pada jarak euclidius 0.80, artinya individu dalam populasi tersebut memiliki tingkat kemiripan 80% (Gambar 8). Kemiripan tersebut terlihat pada beberapa karakter morfologi, yaitu warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, dan warna ujung akar. Klaster A kembali membentuk dua klaster, yaitu A1 dan A2 pada jarak euclidius 0.82. Klaster A1 membentuk dua kelompok pada jarak euclidius 0.92 yang terdiri atas individu 1, 5, 7, 2. Individu-individu tersebut memiliki tingkat kemiripan sebesar 92% pada karakterkarakter kualitatif yang diamati. Klaster A2 terdiri atas individu 4. Individu 4
14 memiliki pinggir daun berwarna hijau, sedangkan individu 1, 5, 7, 2 memiliki pinggir daun berwarna keunguan (Lampiran 5). Klaster B terdiri atas individu 3 dan 6 pada jarak euclidius 0.95. Beberapa karakter morfologi yang diamati, yaitu warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, bentuk daun, dan warna ujung akar pada individu 3 dan 6 memiliki tingkat kemiripan yang tinggi sebesar 95%. Tingginya tingkat kemiripan dari individuindividu dalam populasi A001 mengindikasikan bahwa kedua tetua persilangan memiliki kemiripan genetik yang tinggi. Individu pada populasi A001 memiliki rata-rata panjang daun sebesar 4.94 cm, lebar daun 2.16 cm, rasio panjang dibandingkan lebar daun 2.32, jumlah daun sebanyak 4.60 helai, panjang akar 4.39 cm, dan jumlah akar 5.60 helai (Lampiran 6).
Gambar 8 Dendogram kemiripan individu pada populasi A001 saat 12 MSP Keragaan karakter kualitatif ataupun kuantitatif yang diamati selama pengamatan berbeda-beda antar populasi yang satu dengan lainnya. Berdasarkan karakter kualitatifnya, planlet anggrek Phalaenopsis memiliki keragaman dalam bentuk daun, warna pinggir daun, warna permukaan bawah daun, dan adanya bintik-bintik yang terlihat pada permukaan atas daun (Gambar 9). Populasi D015 memiliki keragaman karakter kualitatif pada setiap individu dalam populasi tersebut (Lampiran 7). Berdasarkan karakter kuantitatif yang diamati, terdapat perbedaan pertumbuhan pada setiap populasi. Pertumbuhan yang baik ditunjukkan oleh nilai rata-rata dari setiap parameter pengamatan pada populasi D015 yang memiliki keragaman yang lebih tinggi dibandingkan populasi lainnya (Lampiran 6). Perubahan pada karakter kualitatif ataupun kuantitatif yang diamati pada awal hingga akhir diduga karena pada awal pengamatan karakter yang diamati belum terlihat jelas atau belum terekspresi secara fenotipe, tetapi baru terlihat pada akhir pengamatan. Hal tersebut menyebabkan perubahan pola klaster pada awal hingga akhir pengamatan.
15 Hubungan kekerabatan antar populasi seperti yang telah dilakukan merupakan hubungan kekerabatan berdasarkan karakter fenotipe sehingga hasil pengamatan merupakan gambaran dari keadaan fenotipe di lapangan. Kekerabatan secara fenotipe merupakan kekerabatan yang didasarkan pada analisis sejumlah penampilan fenotipe dari suatu organisme. Penelitian seperti ini merupakan penelitian sederhana terhadap hubungan kekerabatan anggrek-anggrek yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran terhadap karakter morfologi tanaman. Hasil penelitian lebih lanjut dapat dilengkapi menggunakan karakter genetik dengan penanda molekuler (Purwantoro et al. 2005).
(a) (b) (c) (d) Gambar 9 Keragaan beberapa populasi saat 16 MSP, P4 lanset-ungu (a), D015 bulat-hijau (b), TSW-1103 bulat-ungu (c), dan P4 lanset-hijau (d) Berdasarkan analisis klaster tersebut di atas maka terlihat populasi-populasi yang memiliki kemiripan tinggi antar individu dalam populasi adalah populasi P4, sedangkan populasi yang relatif beragam antar individunya adalah populasi D015 dan D022. Hal ini menunjukkan bahwa populasi hasil persilangan dari tetua dengan warna bunga standar pink dengan putih atau sebaliknya menghasilkan tingkat keragaman yang tinggi pada karakter morfologi tanaman pada fase vegetatif. Populasi hibrida TSW-1103 memiliki keragaman antar individu cukup tinggi menunjukkan hubungan genetik yang relatif jauh dari kedua tetuanya (Lampiran 4). Percobaan 2. Respon pertumbuhan populasi planlet anggrek Phalaenopsis hasil persilangan pada berbagai perlakuan pupuk daun Jumlah Daun Perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Jumlah daun total planlet anggrek selama tahap aklimatisasi bersifat fluktuatif karena adanya daun muda yang baru tumbuh dan daun dewasa yang mati selama berlangsungnya pengamatan. Berdasarkan Tabel 1, terlihat adanya interaksi yang nyata antara perlakuan populasi dan pemupukan saat 12 MSP terhadap jumlah daun. Pertumbuhan daun anggrek pada rumpun pertumbuhan pertama sangat minim karena proses aklimatisasi pada tanaman merupakan tahap adaptasi tanaman terhadap cekaman iklim yang berbeda (Suradinata et al. 2012). Hasil interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun terlihat pada Tabel 2. Jumlah daun pada populasi TSW-1107 dan TSW-1113 yang diberikan ke empat perlakuan pupuk menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Penggunaan
16 komposisi pupuk daun yang berbeda menunjukkan jumlah daun yang sama pada kedua populasi tersebut. Tabel 1 Rata-rata jumlah daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi Umur planlet (MSP) Perlakuan 0 4 8 12 Jumlah daun (helai) Populasi (P) 3.37 3.57 4.00 4.03 TSW-1107 3.37 3.90 4.33 4.30 TSW-1111 3.57 3.88 4.28 4.33 TSW-1113 tn tn tn tn 0.31 0.18 0.22 0.19 Pr > F Pupuk daun (Q) 3.51ab 3.62 4.17 4.27 Supertonik 3 ml l-1 b -1 3.20 3.69 4.09 4.08 Pertumbuhan 1.25 g l ab -1 3.33 3.84 4.13 4.32 Supertonik 3 ml l + chitosan 3 ppm 3.98 4.42 4.20 Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm 3.69a * tn tn 0.04 0.42 0.49 0.68tn Pr > F tn tn tn Interaksi PxQ 0.99 0.55 0.65 3.19* KK (%) 10.46 12.74 11.46 10.17 *: berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn: tidak berpengaruh nyata; Pr: Probability; KK: Koefisien keragaman. aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MSP: minggu setelah perlakuan
Tabel 2 Interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun planlet anggrek Phalaenopsis pada umur 12 MSP Populasi (P) Perlakuan TSW-1107 TSW-1111 TSW-1113 Jumlah daun (helai) Pupuk daun (Q) Supertonik 3 ml l-1 4.27a 4.60a 3.94a Pertumbuhan 1.25 g l-1 3.98a 4.20ab 4.07a Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm 4.07a 4.60a 4.28a Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm 3.80a 3.78b 5.02a a
Angka-angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
Hasil pengamatan pada karakter jumlah daun populasi TSW-1111 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antar perlakuan komposisi pupuk daun yang digunakan (Tabel 2). Populasi TSW-1111 yang diberikan pupuk organik supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi dari pupuk organik supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm berbeda nyata dibandingkan pemberian kombinasi pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm. Pemberian pupuk organik supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi dari pupuk organik supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm menunjukkan hasil yang nyata lebih tinggi dalam meningkatkan jumlah daun,
17 yaitu sebesar 4.60 helai, sedangkan aplikasi kombinasi pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm hanya meningkatkan jumlah daun sebesar 3.78 helai. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian berbagai macam komposisi pupuk daun pada populasi anggrek hibrida yang digunakan, yaitu populasi TSW-1107 dan TSW 1113 memberikan jumlah daun yang sama. Populasi anggrek hibrida TSW-1111 lebih cocok diberikan komposisi pupuk organik supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi dari pupuk organik supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm untuk meningkatkan jumlah daun tanaman. Panjang Daun Pengamatan panjang daun dilakukan setiap bulan, daun yang diukur adalah daun dewasa terpanjang yang telah memiliki struktur daun secara sempurna sehingga memudahkan pengamatan. Panjang daun untuk setiap populasi mengalami peningkatan setiap minggunya hingga 12 MSP. Tabel 3
Rata-rata panjang daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi Umur planlet (MSP) Perlakuan 0 4 8 12 Panjang daun (cm) Populasi (P) 2.96a 3.19a 2.97a 3.34a TSW-1107 2.25b 2.28b 2.20b 2.68b TSW-1111 3.24a 3.11a 2.91a 3.28a TSW-1113 ** ** ** < .0001 < .0001 0.0005 0.0045** Pr > F Pupuk daun (Q) 3.11 3.13 2.94 3.44a Supertonik 3 ml l-1 2.77 2.86 2.63 3.01ab Pertumbuhan 1.25 g l-1 2.81 2.85 2.83 3.20ab Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm 2.59 2.37 2.74b Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm 2.59 0.14tn 0.13tn 0.07tn 0.04* Pr > F Interaksi PxQ 1.20tn 1.11tn 1.75tn 1.45tn KK (%) 16.24 15.99 17.15 15.70 *: berpengaruh nyata pada taraf 5%; **: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; tn: tidak berpengaruh nyata; Pr: Probability; KK: Koefisien keragaman. aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MSP: minggu setelah perlakuan.
Perlakuan populasi berpengaruh sangat nyata terhadap panjang daun. Populasi TSW-1111 menunjukkan panjang daun yang lebih rendah dibandingkankan kedua populasi lainnya. Secara berturut mulai dari 0 MSP hingga 12 MSP, yaitu 2.25 cm, 2.28 cm, 2.20 cm, dan 2.68 cm (Tabel 3). Penambahan panjang, lebar daun, dan jumlah daun menunjukkan bahwa tanaman mengalami pertumbuhan vegetatif. Pertumbuhan vegetatif sangat dipengaruhi oleh unsur N karena unsur tersebut dapat memperbaiki pertumbuhan vegetatif suatu tanaman (Hardjowigeno 2007).
18 Lebar Daun Lebar daun diukur pada daun dewasa yang telah membuka sempurna dan berukuran lebih besar dari daun lainnya. Perlakuan populasi menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata setiap minggunya. Data pada tabel 4 menunjukkan bahwa populasi TSW-1107 berbeda nyata dengan populasi lainnya, secara berturut mulai dari 0 MSP hingga 12 MSP, yaitu 1.31 cm, 1.24 cm, 1.27 cm, dan 1.21 cm. Pada perlakuan pupuk menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata pada 0 MSP dan 12 MSP. Planlet anggrek yang berumur 0 MSP berarti belum mulai diberikan perlakuan pupuk, sedangkan saat berumur 12 MSP planlet telah diberikan perlakuan pupuk. Tabel 4
Rata-rata lebar daun planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi Umur planlet (MSP) Perlakuan 0 4 8 12 Lebar daun (cm) Populasi (P) 1.31b 1.24b 1.27b 1.21b TSW-1107 1.65a 1.56a 1.57a 1.53a TSW-1111 1.71a 1.73a 1.62a 1.70a TSW-1113 ** ** ** 0.0001 0.0002 0.0005 0.0002** Pr > F Pupuk daun (Q) 1.61a 1.64 1.58 1.63a Supertonik 3 ml l-1 1.67a 1.59 1.51 1.47ab Pertumbuhan 1.25 g l-1 1.55ab 1.38 1.51 1.53ab Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm -1 b 1.44 1.33 1.28b Pertumbuhan 1.25 g l + chitosan 3 ppm 1.38 0.03* 0.09tn 0.07tn 0.04* Pr > F Interaksi PxQ 2.70* 2.20tn 0.84tn 1.15tn KK (%) 13.11 15.97 13.48 16.47 *: berpengaruh nyata pada taraf 5%; **: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; tn: tidak berpengaruh nyata; Pr: Probability; KK: Koefisien keragaman. aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MSP: minggu setelah perlakuan.
Perlakuan pupuk supertonik 3 ml l-1 (1.63 cm) saat 12 MSP hasilnya berbeda nyata dengan perlakuan pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm (1.28 cm). Menurut Suwandi dan Chan (1982), unsur P, K, Mg, Ca, dan S berperan dalam menunjang pertumbuhan lebar daun. Penyerapan unsur hara melalui permukaan daun yang diberikan secara optimal akan merespon pertumbuhan vegetatif tanaman, termasuk pelebaran daun (Iswanto 2005). Menurut Surtinah dan Mutryarny (2013), pemberian pupuk 3 hari sekali dapat memacu pertumbuhan tunas, memperlebar daun, dan memperpanjang daun anggrek Dendrobium. Hal ini menunjukkan bahwa zat hara yang terkandung di dalam pupuk dapat dimanfaatkan oleh bibit untuk proses pertumbuhannya. Hasil interaksi berpengaruh nyata saat tanaman berumur 0 MSP, yaitu dalam keadaan
19 belum diberikan perlakuan. Pada pengamatan selanjutnya, tidak ada interaksi yang terjadi antara perlakuan populasi dan pemupukan yang dilakukan pada planlet anggrek.
Jumlah Akar Pengamatan pada jumlah akar dilakukan setiap bulan. Perlakuan terhadap ketiga populasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar. Hasil analisis statistik terhadap jumlah akar berpengaruh nyata pada perlakuan pupuk daun saat planlet anggrek berumur 12 MSP. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk supertonik 3 ml l-1 (3.57 helai) dan pupuk supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm (3.54 helai) memberikan hasil yang berbeda nyata dengan pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm (2.44 helai) terhadap jumlah akar yang diamati. Tabel 5
Rata-rata jumlah akar planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi Umur planlet (MSP) Perlakuan 0 4 8 12 Jumlah akar (helai) Populasi (P) 3.50 3.42 3.52 2.81 TSW-1107 3.67 3.40 3.45 2.89 TSW-1111 3.73 3.67 3.88 3.52 TSW-1113 tn tn tn 0.64 0.48 0.31 0.17tn Pr > F Pupuk daun (Q) 3.87 3.73 3.72 3.57a Supertonik 3 ml l-1 3.44 3.31 3.31 2.74ab Pertumbuhan 1.25 g l-1 3.71 3.47 3.93 3.54a Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm 3.47 3.49 2.44b Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm 3.51 0.46tn 0.51tn 0.29tn 0.04* Pr > F Interaksi PxQ 0.75tn 1.22tn 0.81tn 1.54tn KK (%) 16.92 17.01 19.67 19.62Tr *: berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn: tidak berpengaruh nyata; Pr: Probability; KK: Koefisien keragaman. aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MSP: minggu setelah perlakuan; Tr: transformasi √x.
Pertambahan jumlah akar berlangsung fluktuatif, peningkatan jumlah akar terjadi mulai dari 0 MSP hingga 8 MSP, sedangkan pada saat 12 MSP jumlah akar relatif berkurang. Hal ini disebabkan adanya akar baru yang muncul serta akar lama yang telah mati akibat membusuk disebabkan media tanam yang kurang terkontrol kelembabannya sehingga secara umum akar lama tersebut menjadi busuk. Pembusukan akar yang terjadi pada planlet anggrek Phalaenopsis merupakan suatu kondisi stress yang dialami oleh tanaman. Menurut Wardani et al. (2008), tanaman anggrek hasil kultur in vitro bersifat heterotrof, artinya tanaman belum mampu berfotosintesis secara optimal dan proses pemindahan dari
20 kondisi in vitro (aklimatisasi) menyebabkan tanaman dalam keadaan stress. Dalam proses aklimatisasi, fungsi akar belum optimal untuk menyerap unsur hara, sedangkan stomata daun dalam proses adaptasi akan menghindari transpirasi yang berlebihan. Hasil interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar. Hal ini menunjukkan tidak adanya interaksi yang terjadi antara kedua faktor perlakuan terhadap parameter pengamatan, yaitu jumlah akar.
Panjang Akar Panjang akar diukur dari akar terpanjang tiap individu planlet anggrek. Pada pengamatan panjang akar ini, harus dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalkan terjadinya cekaman bagi planlet anggrek yang ditanam. Perlakuan populasi pada umur planlet 0 MSP hingga 8 MSP menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar yang diamati. Tabel 6
Rata-rata panjang akar planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi Umur planlet (MSP) Perlakuan 0 4 8 12 Panjang akar (cm) Populasi (P) 3.47b 3.39b 3.13b 3.18 TSW-1107 a a a 4.53 4.42 3.78 3.20 TSW-1111 c c c 2.79 2.65 2.33 2.54 TSW-1113 < .0001** < .0001** < .0001** 0.4552tn Pr > F Pupuk daun (Q) 3.44 3.15 2.86 3.21 Supertonik 3 ml l-1 -1 3.84 3.82 3.34 3.02 Pertumbuhan 1.25 g l -1 3.80 3.53 3.39 3.28 Supertonik 3 ml l + chitosan 3 ppm 3.45 2.73 2.39 Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm 3.31 tn tn tn 0.18 0.27 0.07 0.15tn Pr > F tn tn tn Interaksi PxQ 1.36 0.74 0.80 0.39tn KK (%) 16.53 20.08 20.10 21.49Tr **: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; tn: tidak berpengaruh nyata; Pr: Probability; KK: Koefisien keragaman. aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MSP: minggu setelah perlakuan; Tr: transformasi √x.
Terdapat tiga rentang nilai tengah yang berbeda pada ketiga populasi planlet anggrek. Populasi TSW-1111 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kedua populasi lainnya, begitupula sebaliknya. Secara berturut-turut panjang akar mulai dari 0 MSP hingga 8 MSP pada populasi TSW-1111 adalah 4.53 cm, 4.42 cm, dan 3.78 cm, sedangkan pada populasi TSW-1107 adalah 3.47 cm, 3.39 cm, dan 3.13 cm serta pada populasi TSW-1113 adalah 2.79 cm, 2.65 cm, dan 2.33 cm (Tabel 6). Panjang akar pada populasi TSW-1111 lebih tinggi daripada populasi
21 TSW-1107 dan TSW-1113. Panjang akar pada populasi TSW-1113 lebih rendah dibandingkan pada populasi lainnya. Hasil interaksi antara perlakuan populasi dan pupuk daun tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Hal ini menunjukkan tidak adanya interaksi yang terjadi antara kedua faktor perlakuan terhadap parameter pengamatan, yaitu panjang akar.
Persentase Tumbuh Persentase tumbuh planlet anggrek dihitung menggunakan persentase dari jumlah individu planlet yang hidup selama perlakuan berlangsung. Planlet anggrek 100% hidup hingga umur 4 MSP, saat berumur 8 MSP pada perlakuan populasi TSW-1111 dan TSW-1113 persentase hidup tanaman turun menjadi 98.33%. Perlakuan pupuk menunjukkan persentase hidup mulai berkurang saat berumur 8 MSP pada perlakuan pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 dan pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm sebesar 97.78%. Tabel 7 Rata-rata persentase tumbuh planlet anggrek Phalaenopsis selama tahap aklimatisasi Perlakuan
0
Populasi (P) 100 TSW-1107 100 TSW-1111 100 TSW-1113 . Pr > F Pupuk daun (Q) 100 Supertonik 3 ml l-1 -1 100 Pertumbuhan 1.25 g l -1 100 Supertonik 3 ml l + chitosan 3 ppm -1 Pertumbuhan 1.25 g l + chitosan 3 ppm 100 . Pr > F Interaksi PxQ . KK (%)
0.00
Umur planlet (MSP) 4 8 12 Persentase tumbuh (%)
16
100 100 100 .
100 98.33 98.33 0.61tn
88.33 78.33 80.00 0.43tn
55.00a 61.67a 38.33b 0.04*
100 100 100 100 . .
100 97.78 100 97.78 0.58tn 1.17tn
91.11a 80.00a 97.78a 60.00b 0.0026** 2.41tn
77.78a 31.11b 86.67a 11.11b < .0001** 0.45tn
0.00
4.77
23.98
17.37Tra
*: berpengaruh nyata pada taraf 5%; **: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; tn: tidak berpengaruh nyata; Pr: Probability; KK: Koefisien keragaman. aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; MSP: minggu setelah perlakuan; Tra: transformasi √x+0.5
Persentase hidup planlet anggrek terus mengalami penurunan sampai umur 16 MSP. Saat berumur 16 MSP perlakuan populasi memberikan hasil yang berpengaruh nyata terhadap persentase tumbuh tanaman. Populasi TSW-1111 (61.67%) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kedua populasi lainnya, sedangkan pada perlakuan pupuk menunjukkan bahwa penggunaan pupuk supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm (86.68%) dan pupuk supertonik 3 ml l-1 (77.78%) memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kedua pupuk lainnya
22 (Tabel 7). Pemupukan dengan kedua jenis pupuk yang berbeda dan adanya kombinasi perlakuan pupuk dengan chitosan memberikan respon yang berbeda pula terhadap kondisi planlet anggrek selama perlakuan. Penggunaan pupuk supertonik lebih baik digunakan pada kondisi planlet anggrek yang masih berumur muda, sedangkan penggunaan pupuk pertumbuhan lebih cocok digunakan pada bibit anggrek yang telah dewasa. Planlet anggrek yang masih berumur muda atau belum siap diaklimatisasi dapat menolak respon pemupukan yang diberikan.
(a) (b) (c) (d) Gambar 10 Kondisi planlet tiap perlakuan pupuk; Supertonik 3 ml l-1 (a), Pertumbuhan 1.25 g l-1 (b), Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm (c), dan Pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm (d) Tabel 8 Karakter kualitatif populasi TSW-1107 Karakter kualitatif Bentuk daun Warna pinggir daun Warna permukaan atas daun Warna permukaan bawah daun Warna ujung akar
Perlakuan supertonik 3 supertonik pertumbuhan ml l-1 + 3 ml l-1 1.25 g l-1 chitosan 3 ppm lanset lanset lanset
pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm lanset
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau kekuningan
hijau
hijau kekuningan
Dosis rekomendasi pupuk pertumbuhan yang diberikan terlalu tinggi untuk ukuran planlet yang masih kecil. Persentase tumbuh tanaman juga dipengaruhi oleh kondisi akar tanaman yang mengalami kerusakan akibat terjadi pembusukan akar. Pembusukan akar tanaman disebabkan terlalu lembabnya kondisi media tanam. Akar yang busuk menyebabkan berkurangnya fungsi akar untuk menyerap air dan hara dengan baik sehingga dapat mengganggu pertumbuhan planlet anggrek. Karakter kualitatif yang diamati yaitu, bentuk daun, warna pinggir daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, dan warna ujung
23 akar. Analisis data dilakukan dengan cara mencari nilai modus setiap karakter kemudian dihitung persentase tertingginya. Data kualitatif yang digunakan adalah data pengamatan 12 MSP untuk setiap populasi yang diamati (Tabel 8, 9, 10). Populasi TSW-1107 memiliki bentuk daun lanset 100%, warna pinggir daun hijau 100%, warna permukaan atas daun hijau 100%, warna permukaan bawah daun hijau 93.33% untuk perlakuan pupuk supertonik 3 ml l-1 dan hijau 100% untuk pupuk lainnya, warna ujung akar hijau 100% pada penggunaan pupuk supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm (Tabel 8). Tabel 9 Karakter kualitatif populasi TSW-1111 Karakter kualitatif Bentuk daun Warna pinggir daun Warna permukaan atas daun Warna permukaan bawah daun Warna ujung akar
Perlakuan supertonik 3 supertonik pertumbuhan ml l-1 + 3 ml l-1 1.25 g l-1 chitosan 3 ppm lanset semi lanset semi lanset
pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm lanset
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau keunguan
hijau
hijau keunguan
hijau keunguan
hijau
hijau
hijau
hijau kekuningan
Tabel 10 Karakter kualitatif populasi TSW-1113 Perlakuan supertonik 3 Karakter kualitatif supertonik pertumbuhan ml l-1 + 3 ml l-1 1.25 g l-1 chitosan 3 ppm Bentuk daun lanset semi lanset lanset Warna pinggir hijau hijau hijau daun Warna permukaan hijau hijau hijau atas daun Warna permukaan hijau hijau hijau bawah daun Warna ujung akar hijau hijau hijau
pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm lanset hijau hijau hijau keunguan hijau
Populasi TSW-1111 memiliki bentuk daun lanset dan semi lanset, warna pinggir daun hijau 100% pada perlakuan pupuk pertumbuhan dan kombinasi supertonik+chitosan, warna permukaan bawah daun hijau dan hijau keunguan pada perlakuan pupuk yang berbeda, serta warna ujung akar hijau pada ketiga perlakuan pupuk, kecuali pupuk pertumbuhan+chitosan yang menampakkan warna hijau kekuningan (Tabel 9). Berdasarkan Tabel 10, pada populasi TSW1113 memiliki bentuk daun lanset dan semi lanset, warna pinggir daun dan
24 permukaan atas daun hijau, warna permukaan bawah daun hijau keunguan pada perlakuan pupuk pertumbuhan+chitosan, serta warna ujung akar hijau.
Gambar 11 Kondisi planlet saat 8 MSP
Gambar 12 Kondisi planlet saat 16 MSP
(a)
(b)
(c)
Gambar 13 Keragaan visual 3 populasi hasil persilangan, TSW-1107 (a), TSW1111 (b), dan TSW-1113 (c) Kondisi planlet baik hingga 8 MSP, tetapi secara visual saat 16 MSP terdapat banyak planlet yang mati pada dua perlakuan, yaitu perlakuan P2 dan P4 (Gambar 8,9) akibat konsentrasi pupuk yang terlalu tinggi. Keragaan secara visual pada setiap populasi terlihat pada Gambar 10.
25
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakter morfologi pada individu dalam setiap populasi yang diamati memiliki koefisien kemiripan yang tinggi, yaitu pada populasi P4 (76-100%), D015 (59-100%), D022 (78-100%), TSW-1103 (63-100%), dan A001 (80-100%). Individu-individu pada populasi P4 yang merupakan hasil silang dalam memiliki kemiripan yang lebih tinggi serta mengelompok secara seragam dibandingkan individu pada populasi D015, D022, TSW-1103, dan A001 sebagai populasi hibrida (hasil penyerbukan silang). Percobaan respon pertumbuhan menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar perlakuan yang diberikan terhadap jumlah daun yang diamati pada 12 MSP. Perlakuan pupuk organik Supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi pupuk organik Supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm meningkatkan jumlah daun pada populasi TSW-1111 (Phal. ‘Timothy Christopher’ x Phal. ‘Leopard Prince’) sebesar 4.60 helai saat 12 MSP. Pemberian pupuk organik supertonik 3 ml l-1 dan kombinasi dari pupuk organik supertonik 3 ml l-1 + chitosan 3 ppm menunjukkan hasil yang nyata lebih tinggi dalam meningkatkan jumlah daun, yaitu sebesar 4.60 helai, sedangkan aplikasi kombinasi pupuk pertumbuhan 1.25 g l-1 + chitosan 3 ppm hanya meningkatkan jumlah daun sebesar 3.78 helai pada populasi TSW-1111. Perlakuan empat jenis komposisi pupuk daun memberikan jumlah daun yang sama pada populasi TSW-1107 (Phal. ‘Taipei Gold’ x Phal. venosa) dan populasi TSW-1113 (Phal. Shin Spotted deer siblings cross).
Saran Jumlah individu setiap populasi pada percobaan karakterisasi morfologi perlu ditingkatkan. Konsentrasi pupuk pertumbuhan yang digunakan dapat diturunkan menjadi 0.625 g l-1 dengan volume penyemprotan yang dapat lebih mudah terukur serta memperhatikan perhitungan pupuk yang akan digunakan secara ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA Arditi J. 1997. Orchid Biology, Reviews, and Perpectives 1. Ithaca and London (US): Cornell University Press. [Balithi] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2007a. Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Anggrek. Jakarta (ID): BALITHI. . 2007b. Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Anggrek. Jakarta (ID): BALITHI. [BPPT] Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2008. Jurnal Sains dan Teknologi. Jakarta (ID): Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Data Produksi, Luas Panen, dan
26 Produktivitas Anggrek di Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Bechtel H, Cribb P, Launert E. 1981. The Manual of Cultivated OrchidSpecies.Poole Dorset (GB) : Blanford Pr. 444 p. Boonlertnirun S, Sarobol E, Sooksathan. 2005. Studies on chitosan concentration and frequency of foliar application on rice yield potential c.v Suphunburi 1. 31st Congress on Science and Technology of Thailand. Suranaree University of Technology Thailand. Darmawan E, Mulyaningsih S, Firdaus F. 2007. Karakteristik Khitosan yang Dihasilkan dari Limbah Kulit Udang dan Daya Hambatnya terhadap Pertumbuhan Candida albicans. Logika. 2(4): 29. [Dirjenhort] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Produk Domestik Bruto Hortikultura Tahun 2009. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Direktorat Tanaman Hias. 2004. Peningkatan Mutu dan Produktivitas Anggrek Phalaenopsis. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Dwiatmini K, Mattjik NA, Aswidinnoor H, Toruan M. 2003. Analisis pengelompokan dan hubungan kekerabatan spesies anggrek Phalaenopsis berdasarkan kunci determinasi fenotipik dan marka molekuler RAPD. J. Hortikultura Indonesia. 13 (1): 16-27. Fatmawati AA dan Susiyanti. 2004. Aklimatisasi tanaman anggrek Dendrobium dengan pemberian beberapa konsentrasi larutan pupuk Hyponex dan beberapa media tanam [skripsi]. Serang (ID): Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Ginting B, Prasetio W, Sutater T. 2001. Pengaruh Cara Pemberian Air, Media, dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Anggrek Dendrobium. Jakarta (ID): BALITHI. Gomez KA, Gomes AA. 1995. Prosedur statistika untuk penelitian pertanian. Ed ke-2. Sjamsuddin E, Baharsjah JS, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Statistical procedure for agriculture research. Hlm 7-86. Gustin. 2009. Budidaya anggrek Phalaenopsis: produksi bibit anggrek Phalaenopsis untuk ekspor di PT. Eka Karya Graha Flora, Cikampek, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hadiati S. 2003. Pendugaan jarak genetik dan hubungan kekerabatan nanas berdasarkan analisis isozim. J. Hort. 13 (2): 87-94. Handini AS. 2012. Pengaruh pemberian paclobutrazol terhadap pertumbuhan planlet anggrek Dendrobium lasianthera pada tahap aklimatisasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hirano S. 1986. Chitin and Chitosan, Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Republicka of Germany. 5th . ed A 6: 231 – 232. Holtum RE. 1972. Flora of Malaya. Vol. I Orchid. Singapore : Gov. Printing Office. 759 p. Irawan B dan Purbayanti K. Karakterisasi dan kekerabatan kultivar padi lokal di desa Rancakalong kecamatan Rancakalong kabupaten Sumedang. Seminar Nasional PTTI [Internet]. Bandung; 21-23 Oktober 2008. Bandung,
27 Indonesia. [diunduh 2014 Jul 10]. Tersedia pada: http:// pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/05/karakteristik_dan_kekerabatan_kultivar_padi_lokal.pdf. Iswanto H. 2001. Anggrek Phalaenopsis. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. Iswanto H. 2010a. Petunjuk Praktis Merawat Anggrek. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. . 2010b. Petunjuk Praktis Merawat Anggrek. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. Kartikasari R. 2009. Pengaruh perbedaan media tanam terhadap keberhasilan aklimatisasi Phalaenopsis sp. [skripsi]. Malang (ID): Universitas Negeri Malang. Kencana IP. 2007. Cara Cepat Membungakan Anggrek. Jakarta (ID): Gramedia. Mariska I, Sukmadjaja D. 2003. Perbanyakan Bibit Abaka Melalui Kultur Jaringan. Bogor (ID): Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Gegreenik Pertanian Bogor. Muhit A. 2010. Teknik Penggunaan Beberapa Jenis Media Tanam Alternatif dan Zat Pengatur Tumbuh pada Kompot Anggrek Bulan. Cianjur (ID): BALITHI. Purwantoro A, Ambarwati E, Setyaningsih F. 2005. Kekerabatan antar anggrek spesies berdasarkan sifat morfologi tanaman dan bunga. J. Ilmu Pertanian. 12 (1): 1-11. Respati E, Komalasari WB, Wahyuningsih S, Widyawati, Manurung M, Sehusman, Supriyati Y. 2014. Buletin bulanan indikator makro sektor pertanian. Bul. Makro Sektor Pertanian. 8 (3): 1-34. Riyadi. 2002. Pelatihan Kultur Jaringan Tanaman Angkatan Ke-enam. Makalah disajikan pada Penyuluhan Aklimatisasi Bibit Tanaman Hasil Perbanyakan dengan Teknik Kultur Jaringan. Serpong (ID): BALITHI. Rohlf FJ. 1998. NTSYSpc: Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.02. New York (US): Exeter Publications. Sandra E. 2005a. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. . 2005b. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. Sarwono B. 2002. Mengenal dan Membuat Anggrek Hibrida. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. Setiawan H. 2003. Merawat Phalaenopsis. Jakarta (ID): PT Penebar Swadaya. Sulistiana E. 2013. Pertumbuhan anggrek Phalaenopsis amabilis pada perlakuan chitosan dan asam salisilat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suradinata YR, Nuraini A, Setiadi A. 2012. Pengaruh kombinasi media tanam dan konsentrasi pupuk daun terhadap pertumbuhan tanaman anggrek Dendrobium sp. pada tahap aklimatisasi. J. Agrivigor. 11 (2): 104-116. Surtinah, Mutryarny E. 2013. Frekuensi pemberian grow quick lb terhadap pertumbuhan bibit anggrek Dendrobium pada stadia komunitas pot. J. Ilmiah Pertanian. 10 (2): 35-36. Suryana A, Hilman Y, Effendie K, Mayrowani H, Widyastoety D, Nurmalinda, Kartikaningrum S, Hayati NQ. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek Edisi ke-2. Jakarta (ID): Agro Inovasi. Suryati Y. 2007. Respon tanaman anggrek bulan terhadap jenis media tanam dan letak tanaman pada sistem pertanian organik secara vertikultur. Prosiding
28 Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai oleh Hibah Kompetitif; 2007 Ags 1-2; Bogor, Indonesia. Jakarta (ID): Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah. 128. Suwandi, Chan F. 1982. Pemupukan pada Tanaman Kelapa Sawit yang Telah Menghasilkan dalam Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) oleh Lubis AU, Jamin A, Wahyuni S, Harahap IR. Medan (ID): Pusat Penelitian Marihat Pematang Siantar. Hlm 191-210. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Wardani S, Setiado H, Ilyas S. 2008. Pengaruh media tanam dan pupuk daun terhadap aklimatisasi anggrek Dendrobium (Dendrobium sp.) [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Wardiyati T, Saptadi D, Soedjono S, Widiastuti D. 2003. Perbaikan sifat tanaman anggrek Phalaenopsis secara mutasi buatan. Life Science Journal. 15(1). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Balai Penelitian Tanaman Hias Pasar Minggu. Wiyono S. 2007. Perubahan iklim dan ledakan hama penyakit tanaman. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 30]. Tersedia pada: http://www.rimbawan.com/APHI0611/KUMPULAN_TULISAN/2007/juli_2007/Seminar28Juni2007/Pe rubahan%20Iklim_Ledakan%20hama%20dan%20penyakit%20tanaman.pdf. Yosepa T, Siregar C, Gusmayanti E. 2012. Pengaruh penggunaan jenis media terhadap aklimatisasi anggrek Dendrobium sp. (hibrida). J. Sains Mahasiswa Pertanian. 2 (2): 1-2. Yusnita. 2004. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. Zhao Y. 2005. Chitosan Coating and Its Application in Fruits and Vegetables Department of Food Science & Technology. Oregon (US): Oregon State University.
29
Lampiran 1 Keragaan visual individu-individu pada populasi P4 Individu ke1 2 3 4 5 6 7 8 9
Warna pinggir daun keunguan hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau
Karakter kualitatif Warna Warna permukaan permukaan atas daun bawah daun hijau hijau keunguan hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau
Bentuk daun
Warna ujung akar
lanset lanset lanset lanset lanset lanset lanset lanset lanset
hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau hijau
Lampiran 2 Keragaan visual individu-individu pada populasi D015 Individu ke1
Warna pinggir daun hijau
2
hijau
3
keunguan
4
hijau
5
hijau
6
keunguan
7
hijau
8
hijau
9
keunguan
Karakter kualitatif Warna Warna permukaan permukaan atas daun bawah daun hijau hijau hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan keunguan hijau hijau hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan
bulat
Warna ujung akar hijau
lanset
hijau
bulat
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
bulat
hijau
lanset
hijau
bulat
hijau
bulat
hijau
Bentuk daun
30
Lampiran 3 Keragaan visual individu-individu pada populasi D022
Individu ke-
Warna pinggir daun
1
hijau
2
keunguan
3
hijau
4
keunguan
5
keunguan
6
keunguan
7
hijau
8
keunguan
9
keunguan
10
keunguan
Karakter kualitatif Warna Warna permukaan permukaan atas daun bawah daun hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan
Bentuk daun
Warna ujung akar
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
Lampiran 4 Keragaan visual individu-individu pada populasi TSW-1103 Individu ke-
Warna pinggir daun
1
keunguan
2
keunguan
3
keunguan
4
keunguan
5
keunguan
6 7 8
hijau hijau hijau
Karakter kualitatif Warna Warna permukaan permukaan atas daun bawah daun hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau hijau hijau hijau hijau
Bentuk daun
Warna ujung akar
bulat
hijau
bulat
hijau
bulat
hijau
bulat
hijau
lanset
hijau
lanset bulat bulat
hijau hijau hijau
31
Lampiran 5 Keragaan visual individu-individu pada populasi A001
Individu ke-
Warna pinggir daun
1
keunguan
2
keunguan
3
keunguan
4
hijau
5
keunguan
6
keunguan
7
keunguan
Karakter kualitatif Warna Warna permukaan permukaan atas daun bawah daun hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan hijau hijau keunguan
Bentuk daun
Warna ujung akar
lanset
hijau
lanset
hijau
bulat
hijau
lanset
hijau
lanset
hijau
bulat
hijau
lanset
hijau
Lampiran 6 Nilai rata-rata karakter kuantitatif populasi pada percobaan 1 karakterisasi morfologi Karakter kuantitatif Populasi
Panjang daun
Lebar daun
Rasio panjang/lebar daun
............cm............
Jumlah daun
Panjang akar
Jumlah akar
....................cm.................... 0 MSP
D015 A001 D022 P4 TSW-1103
3.26 3.90 4.00 4.53 2.74
2.00 1.97 2.24 2.09 2.06
1.67 1.98 1.77 2.12 1.32
D015 A001 D022 P4 TSW-1103
3.26 4.30 4.00 4.53 2.73
2.00 1.84 2.24 2.09 2.83
1.67 2.33 1.77 2.12 1.16
D015 A001
4.37 4.06
2.49 1.97
1.80 2.05
3.60 3.60 3.40 3.40 4.10
3.90 4.01 6.76 5.41 3.71
7.70 5.30 6.60 7.00 4.60
3.60 2.90 3.40 3.40 3.60
3.90 3.84 6.76 5.41 3.81
7.70 4.90 6.60 7.00 4.60
4.10 3.70
4.29 3.77
7.00 4.30
4 MSP
8 MSP
32 Lampiran 6 Nilai rata-rata karakter kuantitatif populasi pada percobaan 1 (lanjutan) Karakter kuantitatif Populasi
Panjang daun
Lebar daun
Rasio panjang/lebar daun
............cm............
Jumlah daun
Panjang akar
Jumlah akar
....................cm.................... 8 MSP
D022 P4 TSW-1103
5.14 4.77 3.10
2.50 2.21 2.34
2.07 2.14 1.32
4.10 4.10 3.40
7.34 5.83 3.94
6.57 6.29 4.14
4.40 4.60 5.00 5.10 4.00
4.46 4.39 7.61 6.33 4.31
7.10 5.60 5.70 6.90 5.40
12 MSP D015 A001 D022 P4 TSW-1103
4.74 4.94 5.37 6.37 3.73
2.80 2.16 2.69 2.50 2.73
1.72 2.32 2.02 2.51 1.36
Lampiran 7 Hasil sidik ragam jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah akar, panjang akar, dan persentase tumbuh planlet pada percobaan 2 respon pertumbuhan Jumlah daun Waktu pengamatan 0 MSP
4 MSP
8 MSP
12 MSP
Panjang daun Waktu pengamatan 0 MSP
4 MSP
Sumber keragaman pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi
F. Hitung 3.16* 1.24 0.99 0.99 1.82 0.55 0.83 1.63 0.65 0.50 1.75 3.19*
Sumber keragaman pupuk populasi pupuk*populasi pupuk
F. Pr > F Hitung 2.00 0.1413 14.84** < .0001 1.20 0.3406 2.08 0.1300
Pr > F
KK (%)
0.0430 0.3069 0.4550 0.4154 0.1832 0.7673 0.4887 0.2175 0.6929 0.6830 0.1958 0.0192
10.45663
12.73730
11.46266
10.17244
KK (%) 16.23516
15.98918
33 Lampiran 7 Hasil sidik ragam karakter kuantitatif pada percobaan 2 (lanjutan) Waktu pengamatan 4 MSP 8 MSP
12 MSP
Lebar daun Waktu pengamatan 0 MSP
4 MSP
8 MSP
12 MSP
Jumlah akar Waktu pengamatan 0 MSP
4 MSP
8 MSP
12 MSP
Sumber keragaman populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi
F. Pr > F Hitung 14.79** < .0001 1.11 0.3835 2.70 0.0685 10.47** 0.0005 1.75 0.1530 3.35* 0.0358 6.81** 0.0045 1.45 0.2364
Sumber keragaman pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi
F. Hitung 3.34* 13.43** 2.70* 2.34 12.69** 2.20 2.71 10.74** 0.84 3.26* 12.44** 1.15
Sumber keragaman pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi
F. Hitung 0.88 0.46 0.75 0.78 0.76 1.22 1.30 1.22 0.81 3.32* 1.89 1.54
KK (%)
17.15201
15.69653
Pr > F
KK (%)
0.0361 0.0001 0.0381 0.0985 0.0002 0.0788 0.0672 0.0005 0.5549 0.0392 0.0002 0.3636
13.11062
Pr > F
KK (%)
0.4642 0.6375 0.6133 0.5151 0.4796 0.3291 0.2964 0.3120 0.5750 0.0367 0.1729 0.2075
16.91660
15.96813
13.47654
16.47410
17.01039
19.67396
19.62205Tr
34 Lampiran 7 Hasil sidik ragam karakter kuantitatif pada percobaan 2 (lanjutan) Panjang akar Waktu pengamatan 0 MSP
4 MSP
8 MSP
12 MSP
Sumber keragaman pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi
F. Pr > F Hitung 1.74 0.1849 ** 26.00 < .0001 1.36 0.2690 1.40 0.2674 19.25** < .0001 0.74 0.6257 2.64 0.0723 16.50** < .0001 0.80 0.5775 1.93 0.1516 0.81 0.4552 0.63 0.7052
Sumber keragaman pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi pupuk populasi pupuk*populasi
F. Hitung . . . . . . 0.67 0.50 1.17 6.32** 0.89 2.41 19.98** 3.72* 0.45
KK (%) 16.53234
20.07779
20.10247
21.49087Tr
Persentase tumbuh Waktu pengamatan 0 MSP
4 MSP
8 MSP
12 MSP
16 MSP
Pr > F
KK (%)
. . . . . . 0.5807 0.6127 0.3564 0.0026 0.4255 0.0577 < .0001 0.0391 0.8368
0.00000
0.00000
4.76701
23.98411
17.36709Tra
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1992 di Jakarta. Anak ke-3 dari pasangan Ayah H. Harun Al-Rasyid dan Ibu Hj. Atit Tresnawati. Putri bungsu dari tiga bersaudara. Tahun 2010, penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 39 Jakarta dan diterima melalui jalur Ujian Talenta Masuk IPB (UTMI) di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah mendapat penghargaan dalam perlombaan kreasi minuman berbahan dasar mangga juara 3 (tim) tahun 2012 pada acara Islamic Agricultural Festival (IAF) FKRD Faperta IPB. Selama megikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten responsi Perancangan Percobaan pada tahun ajaran 2013/2014 dan asisten praktikum Pembiakan Tanaman pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis juga aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, diantaranya Sekretaris Biro Kesekretariatan BEM TPB IPB Kabinet Harmoni pada tahun 2010/2011, Sekretaris Departemen Komunikasi dan Informasi (Kominfo) BEM Faperta IPB Kabinet Unity pada tahun 2011/2012, dan Staff Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM) Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura (Himagron) pada tahun 2012/2013.