KARAKTER PENOLONG AGAMA ALLAH (2) NO 1
POIN MATERI Istiqomah
PENJABARAN
إ ِنﱠ اﻟ ﱠذِﯾنَ ﻗَﺎﻟ ُوا رَ ﺑﱡﻧَﺎ ﱠﷲ ُ ُﺛمﱠ اﺳْ ﺗَ ﻘَﺎﻣُوا ﺗَﺗَﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠ َ ﯾ ِْﮭمُ ْاﻟﻣ ََﻼﺋِﻛَﺔُ أ ﱠَﻻ ﺗَﺧَ ﺎﻓ ُوا َو َﻻ َﺗَﺣْ زَ ﻧُوا َوأ َ ْﺑﺷِ رُ وا ﺑ ِ ﺎﻟْﺟَ ﻧﱠ ِﺔ اﻟ ﱠ ﺗِﻲ ﻛُﻧْ ﺗُمْ ﺗُو َﻋدُون “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushilat [41]: 30)
، ِ ﯾﺎ رَ ﺳو َل ﷲ: ُ ﻗ ُﻠت: ﻗﺎ َل، - رﺿﻲ ﷲ ﻋﻧﮫ- ِﻋَنْ ﺳُﻔﯾﺎنَ ﺑن ﻋﺑ ِد ﷲ ُ آﻣَﻧْ ت: )) ﻗ ُ ْل: ﻗﺎل، ك َ َﻗ ُ ْل ﻟﻲ ﻓﻲ اﻹﺳﻼم ﻗوﻻً ﻻ أﺳﺄ ُل َﻋﻧْ ُﮫ أﺣدا ً ﻏَ ﯾر ﺛمﱠ اﺳﺗﻘِمْ (( رواهُ ﻣُﺳﻠم، ِ ﺑﺎ. Dari Sufyan bin Abdillah radhiyallahu anhu berkata: “Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku satu perkataan dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan kepada selain anda”, maka beliau bersabda: ‘(Ucapkan: Aku beriman kepada Allah, kemudian Istiqomahlah (berpegang teguhlah)’”. (HR Muslim) Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan: Istiqamah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) tanpa berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqamah mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT, lahir dan batin; meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Imam an-Nawawi dalam Bahjah an-Nâzhirîn, Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn juga berkata: “Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan luzûm thâ’atilLâh, artinya tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah SWT.” Ketika Rasulullah saw menyampaikan Islam kepada orang-orang Makkah, reaksi mereka biasa saja. Namun, ketika beliau menyebut dan mengkritik sesembahan mereka, Rasul saw pun dikecam dan ditentang, bahkan mereka bersepakat untuk memusuhinya. Sejumlah delegasi Qurays juga mendatangi paman beliau agar menghentikan sikap keponakannya itu. Jika tidak, mereka sendiri yang akan mencegahnya. Namun, Rasulullah saw tetap tak bergeming. Beliau saw hanya mengatakan, “Demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kanan saya dan bulan ditangan kiri saya, sungguh saya tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkan urusan (agama) ini atau saya mati karenanya.” (Abdul Salam Harun, Tahzîb Sîrah Ibnu Hisyâm, Muassasah ar-Risalah (1985), hlm. 58) Pada saat Rasulullah saw hendak ke Makkah, kemudian beliau saw melakukan Perjanjian Hudaibiyah. Orang-orang Qurays berkumpul untuk mencegah kedatangan beliau saw. Mendengar hal tersebut beliau saw bersabda: “Demi Allah, saya akan selalu berjihad memperjuangkan apa yang Allah utus saya untuk hal itu hingga Ia memenangkannya atau leher ini terputus (mati).” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, II/309, al-Maktab as-Syamilah) Rasulullah saw. dan para sahabat menghadapi berbagai perlawanan dakwah yang dilancarkan oleh orang-orang Kafir Quraisy, baik itu penyiksaan fisik (at 1
ta’dziib) , propaganda busuk (ad da’aawah/ad di’ayah) untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin di dalam negeri dan luar negeri, maupun blokade total (al muqatha’ah), dengan sikap sabar dan terus berdakwah menegakkan agama Allah SWT tanpa kekerasan. Tatkala Rasul saw melihat Yasir dan istrinya dibantai disiksa oleh orang-orang Quraisy, beliau saw. tidak menggerakkan kaum muslimin untuk melakukan perlawanan fisik terhadap mereka. Beliau saw bersabda:
ك ﻟ َﻛُمْ ﻣِنَ ﷲِ ﺷَ ﯾْﺋً ﺎ ُ ِﺻﺑْرً ا آ َل ﯾَﺎﺳِ ٍر ﻓَﺈ ِنﱠ ﻣ َْوﻋِ دَﻛُمُ اﻟْﺟَ ﻧﱠ ِﺔ إ ِﻧﱢﻲْ ﻻ َ أ َ ْﻣﻠ َ “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji Allah untuk kalian adalah surga. Sesungguhnya akau tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah”. Ketika mendengar janji surga itu, Sumayyah, istri Yasir yang sedang disiksa oleh kafir Quraisy, mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihatnya secara nyata!” (Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, hal 18). Abu Hurairah ra mengatakan, “Rasulullâh saw bersabda kepada Bilâl setelah menunaikan shalat Subuh, ‘Wahai Bilâl, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam Islam! Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.’ Bilâl ra menjawab, ‘Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan shalat (sunat) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci dengan sempurna di waktu siang ataupun malam.’ (HR Muslim) Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu mengisahkan biografi Said bin alMusayyab (seorang tabiin) rahimahullahu,
ﻣَﺎ ْﻧُودِي ﺑ ِ ﺎﻟﺻ َﱠﻼ ِة ﻣِنْ أ َرْ ﺑَﻌِ ﯾْنَ َﺳﻧَﺔ إ ﱠِﻻ َو َﺳ ِﻌ ْﯾ ٌد ﻓِﻲ اﻟﻣَﺳْ ﺟِ ِد “Tidaklah diseru panggilan shalat sejak 40 tahun melainkan Sa’id berada di dalam masjid.” (Tahdzibut Tahdzib, 4:87) 2
Rajin Membaca Al Quran
إٱﻟ ﱠِنﱠذِﯾنَ ۡﯾَﺗﻠ ُونَ ﻛِﺗَـٰ بَ ٱ ﱠ ِ َوأ َ ﻗَﺎﻣُواْ ٱﻟﺻﱠﻠ َٰو َة َوأ َ ﻧﻔَﻘ ُواْ ِﻣﻣﱠﺎ رَ زَ ۡﻗﻧَـٰ ﮭ ُۡم ﺳِ ۟ ّر ً ا ََوﻋ ََﻼﻧِ ۟ﯾ ًَﺔ ﯾ َۡرﺟُ ونَ ﺗِﺟَ ـٰ رَ۟ ةً ﻟ ﱠن ﺗَ ﺑُور ٌُورٌ ﺷَ ُ۟ور ۟ َﺿﻠِ ۚ ِﮫۦۤ إ ِﻧﱠ ُﮫ ۥ ﻏَ ﻔ ۡ ﻟِﯾ َُوﻓﱢ َﯾﮭُمۡ أ ُ ﺟُورَ ھُمۡ َوﯾ َِزﯾ َد ھُم ﻣﱢن ﻓ “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)
َإ ﱠ ِنھ ََـٰذا ۡٱﻟﻘ ُۡرءَانَ ﯾ َۡﮩدِى ﻟِﻠ ﱠ ﺗِﻰ ھِﻰَ أ َ ۡﻗ َومُ َو ُﯾﺑَﺷﱢ ُر ۡٱﻟﻣ ُۡؤ ِﻣﻧِﯾنَ ٱﻟ ﱠ ذِﯾنَ ﯾ َۡﻌﻣَﻠ ُون ت أ َنﱠ ﻟ َﮭ ُۡم أ َۡﺟ ۟رً ا ﻛَﺑ ِ۟ﯾرً ا ِ ٰٱﻟﺻﱠـٰ ﻠِﺣَ ـ “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada [jalan] yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (TQS. alIsra [17]: 9)
ِض َو ُذ ْﺧ ٌر ﻟ َكَ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺳﻣَﺎء ِ ْك ﻓِﻲ اْﻷ َر َ َ ﻓَﺈ ِﻧﱠ ُﮫ ْﻧُو ٌر ﻟ،ِﻼَو ِة ْاﻟﻘ ُرْ ِآن َ ك ﺑ ِﺗ َ ﻋَﻠ َ ْﯾ “Hendaklah engkau membaca Al Qur’an, karena itu akan menjadi cahaya bagimu di bumi dan tabungan bagimu di langit”. (HR Ibnu Hibban) 2
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah sawbersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan اﻟــــــــــمsatu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi) “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Maukah salah seorang dari kalian jika dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta yang hamil, gemuk serta besar?” Kami (para shahabat) menjawab: “Iya”, Rasulullah saw bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat di dalam shalat lebih baik baginya daripada mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.” (HR. Muslim). “Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala.” (HR. Muslim) “Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim) “Kelak (di akhirat) akan dikatakan kepada Shahibul Quran (orang yang senantiasa bersama-sama dengan al-Quran, penj.), “Bacalah, naiklah terus dan bacalah dengan perlahan-lahan (tartil) sebagaimana engkau telah membaca al-Quran dengan tartil di dunia. Sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abû Dawud dan at-Tirmidzi) Orang yang membaca al Quran hendaknya dalam keadaan khusyu’, merenungkan makna-maknanya dan penuh ketundukan. Ia dianjurkan menangis atau pura-pura menangis kalau tidak bisa menangis. Disunnahkan pula meneladani Rasulullah saw dalam membaca al Quran. Beliau saw membaca al Quran dengan tartil, tidak terburu-buru, bahkan sebaliknya dengan memperjelas huruf per huruf dan menghentikan bacaan seayat demi seayat. Apa yang dilakukan Rasulullah saw adalah dalam rangka melaksanakan firman Allah SWT:
َورَ ﺗﱢلِ ْاﻟﻘ ُرْ ءَانَ ﺗَرْ ﺗِﯾﻼ “Dan bacalah Al Qur’an dengan tartil (perlahan-lahan)”. (QS. Al Muzammil: 4) “Orang yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhâri dari Utsman bin Affan r.a) “Sesungguhnya Allah akan mengangkat suatu kaum (menuju kemuliaan, penj.) dengan al-Quran ini dan dengannya pula Allah akan menjatuhkan kaum yang lain (menuju kehinaan, penj.) .” (HR. Muslim) “Al-Quran adalah kitab yang menjadi pembela dan bisa diminta pembelaan, ia adalah kitab yang Mâhil (mendebat (kebatilan)) dan Mushaddaq (yang dibenarkan). Siapa saja yang menjadikan al-Quran ada di depannya, maka ia 3
akan menuntunnya ke surga. Tapi siapa saja yang menjadikan al-Quran di belakangnya, maka ia akan menggiringnya ke neraka”. (HR. Ibnu Hibban) Menjadikan al-Quran di depan maksudnya sebagai menjadikan sebagai imam dan pedoman. Ketika ia akan berbuat apa pun senantiasa melihat dulu alQuran yang ada di depannya. Menjadikan al-Quran di belakangnya maksudnya adalah tidak mengamalkannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman hidupnya. 3
Senantiasa Bertaqarrub kepada Allah
َوﻣَﺎ ﯾَزَ ا ُل،َِوﻣَﺎ ﺗَ ﻘَرﱠ بَ إ ِﻟ َﻰﱠ َﻋ ْﺑدِى ﺑ ِﺷَﻰْ ٍء أَﺣَ بﱠ إ ِﻟ َﻰﱠ ِﻣﻣﱠﺎ اﻓْﺗَرَ ﺿْ تُ ﻋَﻠ َ ْﯾﮫ ﺎﻟﻧﱠواﻓِلِ ﺣَ ﺗﱠﻰ أ ُ ِﺣ ﱠﺑ ُﮫ َ ِ َﻋ ْﺑدِى ﯾَﺗَ ﻘَرﱠ إبُِﻟ َﻰﱠ ﺑ Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya; tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilahnafilah (nawâfil) hingga aku mencintainya.” (HR al-Bukhari & Muslim, Fath alBari, XVIII/342; Syarh Muslim, IX/35). Secara bahasa taqarrub ilâ Allâh adalah mencari kedekatan dengan Allah. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bâri, XVIII/342). Secara syar’i daritaqarrub ilâ Allâh adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (Fath al-Bâri, XXI/132; Syarh Muslim, IX/35; Al-Muntaqa Syarh alMuwaththa‘, 1/499; Syarh al-Bukhâri li Ibn Bathal, XX/72). Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/912) menerangkan ruang lingkup taqarrub ilâ Allâh. Menurut beliau, orang yang melakukan taqarrub ilâ Allâhada dua golongan/derajat. Pertama: orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban (adâ‘ al-farâ’idh), yang meliputi perbuatan melakukan kewajiban (fi’l al-wâjibât) dan meninggalkan yang haram-haram (tark al-muharramât), sebab semuanya termasuk yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya. Contohnya, mengerjakan shalat lima waktu. Kedua: orang yang melaksanakan yang sunnah-sunnah (nawâfil), misalnya shalat tahajud dan tarawih. Taqarrub ilâ Allâh bukan hanya berupa ibadah mahdhah semata, melainkan mencakup semua aktivitas untuk melakukan semua kewajiban dan perkaraperkara sunnah; baik itu berupa ibadah mahdhah maupun berupa aktivitas interaksi antarmanusia. Yang juga termasuktaqarrub ilâ Allâh adalah aktivitas meninggalkan segala macam keharaman dan perkara-perkara makruh (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, 38/12). Maka dari itu, berdakwah untuk memperjuangkan syariah adalah taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana shalat dan puasa. Sebab, berdakwah adalah suatu kewajiban. Demikian pula menuntut ilmu, berbakti kepada orangtua, membayar utang, bekerja mencari nafkah; semuanya merupakan taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana berhaji dan berzakat. Sebab, semuanya adalah kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. Demikian pula bersedekah dan tersenyum kepada sesama Muslim; sebagaimana menyembelih kurban dan puasa Senin-Kamis. Sebab, semua itu adalah kesunnahan yang disukai dalam Islam. Meninggalkan segala bentuk riba, zina, suap, dan khamr juga merupakan taqarrub ilâ Allâh, karena meninggalkan yang haram-haram juga merupakan taqarrub ilâ Allâh. Tidak makan makanan yang berbau ‘tajam’ sebelum pergi ke masjid juga taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana tidak berbicara dalam kamar mandi. 4
Sebab, keduanya adalah perbuatan yang makruh hukumnya. Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, jika orang mendekatkan diri kepada Allah maka dia akan dicintai Allah. Orang yang dicintai Allah akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhaan dan rahmat Allah; limpahan rezeki-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya. (Jâmi’ al’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/10-12; Syarah Muslim, X/35). Al-Fakihani berkata, “Makna hadis ini adalah jika seseorang menunaikan berbagai fardhu dan kontinu melaksanakan amal nawâfil baik shalat, puasa dan lainnya, hal itu akan mengantarkannya pada kecintaan Allah.” Ibn Hubairah berkata, “Hadis ini menunjukkan bahwa amal nâfilah tidak boleh dikedepankan terhadap yang fardhu. Nâfilah disebut nâfilah (tambahan) karena datang sebagai tambahan terhadap yang fardhu.Karena itu, selama yang fardhu belum ditunaikan, tidak terealisasi nâfilah. Siapa yang menunaikanfâridhah, kemudian menambahnya dengan nâfilah dan melanggengkannya maka ia akan meraih maksud taqarrub.” Amalan nâfilah tidak boleh lebih dikedepankan atas amalan fardhu. Amalan sunah nantinya bisa menjadi pelengkap atas kekurangan fâridhah. Kelak pada Hari Penghisaban Allah berfirman kepada para malaikat:
ﺗَط ﱡو ٍع َﻓﯾُﻛَ ﱠﻣ ُل ﺑ ِ ﮭَﺎ ﻣَﺎ اِﻧْ ﺗَ ﻘَصَ ﻣِنْ ْاﻟﻔ َِر ْﯾﺿَ ِﺔ ُﺛمﱠ َ ْا ُﻧْ ُظر ُْوا َھ ْل ِﻟ َﻌ ْﺑدِىْ ﻣِن ََﻛُونُ َﺳﺎﺋِرُ َﻋ َﻣ ِﻠ ِﮫ َﻋ ﻠَﻰ َذﻟِك ْ ﯾ Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah sehingga melengkapi amal fardhu yang kurang, kemudian seluruh amalnya menurut yang demikian (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Majah). Ath-Thufi mengatakan, “Perintah fardhu itu bersifat tegas dan meninggalkannya akan dijatuhi sanksi. Hal itu berbeda dengan amal nafilah. Meski sama-sama mendatangkan pahala, amal fardhu lebih sempurna karenanya menjadi amal yang paling dicintai Allah dan yang lebih mendekatkan diri kepadaNya. Fardhu itu seperti pokok atau pondasi, sedangkan amal nafilah seperti cabang atau bangunan.
4
Masih adakah karakter yang lain?
Keliru jika seseorang lebih memperhatikan amalan sunnah, tetapi abai terhadap amal fardhu. Ibn Hajar al-‘Ashqalani menyatakan di dalam Fath alBârî, sebagian ulama besar mengatakan bahwa siapa yang fardhu lebih menyibukkan dia dari nâfilah maka dimaafkan, dan sebaliknya siapa yang nâfilahmenyibukkan dia dari amal fardhu maka dia telah tertipu. Masih. InsyaAllah akan kita bahas minggu depan. Diantaranya, senantiasa bersyukur, murah hati dan mengutamakan orang lain, lembut kepada kaum mukmin, keras kepada kaum kafir, cinta karena Allah, berani dan percaya diri, takut hanya kepada Allah, amanah dalam menjalankan tugas, bersikap zuhud, sabar menghadapi cobaan, tawakkal dan optimis, percaya kepada janji Allah, dll. Wassalamu’alaikum…
5