KARAKTER KHUSUS PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Oleh: Ro’fah Setyowati Alamat: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Jl. Prof. Soedarto, S.H. (Tembalang) Semarang. Email:
[email protected] Abstrak Persyaratan penyelesaian sengketa tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariah merupakan satu karakter khusus yang melekat pada setiap perbankan Islam. Pasal 55 Ayat (3) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan Syariah) mengatur tentang persyaratan penyelesaian sengketa oleh institusi selain Peradilan Agama tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hal demikian sejalan dengan filosofi perbankan syariah sebagai salah satu lembaga usaha yang berbasis syariah. Permasalahan yang menjadi perhatian artikel ini ialah mengenai detail penjabaran dari kekhususan penyelesaian sengketa yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah karena undangundang perbankan syariah tidak menjelaskan rincian persyaratannya. Artikel ini bertujuan untuk menemukan makna yang tepat terkait dengan muatan Pasal 55 Ayat (3) undang-undang perbankan syariah tersebut. Diharapkan kajian ini menjadi perhatian dan pijakan penting guna membangun konsep penyelesaian sengketa perbankan syariah yang tepat. Keseluruhan artikel ini menggunakan pendekatan normatif. Sedangkan pendekatan filosofis dan historis digunakan seperlunya untuk melengkapi analisis kajian. Hasil kajian menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan agar penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka perlu dibuat mekanisme standarisasi kompetensi bagi pihak-pihak yang terkait dalam yang penanganan kasus, seperti hakim, pengacara, dan lain-lain. Mahkamah Agung merupakan institusi yang paling tepat untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut. Tujuannya untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Selain itu, perlunya harmonisasi berbagai peraturan perundangan yang terkait agar penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai dengan syariah. Abstract The specific character of dispute settlement in Islamic bank must be based on the Islamic principles. Section 55 (3) of Law Number 21/2008 on Indonesian Islamic Banking Law stated that dispute settlement outside Shariah Court must be obeying the principle of shariah complience. It was in line with the philosophy of Islamic banking as one of the Islamic financial institution. The focus discussion of this article detailed the specific character of shariah complience in dispute settlement because the Indonesian Islamic Banking Law were lack of explaining the requirements. It hopefully could give contribution to build the ideal of shariah dispute
1
settlement. Therefore, the discussion focused on normative approach combined with the philosophy and historical approach to complete the analysis. This research recommended to form competence standard for advocate, judge, arbritary who were included in the shariah dispute settlement in order to guarantee the fulfillment of the shariah complience and gave the satisfaction for the dispute parties. The purposes of the forming of the standard were to avoid the fault decision in Islamic banking dispute settlement and to synchronize the related law in Islamic banking dispute settlement field. Kata kunci: karakter khusus, penyelesaian sengketa, perbankan syariah Pendahuluan Sengketa dalam bidang usaha merupakan hal yang senantiasa terdapat dalam hubungan manusia, baik dalam skala di wilayah lokal, regional maupun dalam hubungan internasional. Pada perbankan Islam sebagai institusi usaha baru dalam industri perbankan juga terdapat kemungkinan terjadinya sengketa. Berdasarkan data yang dikelola oleh Bank Indonesia, pada Triwulan I/2012, jumlah pengaduan nasabah yang diterima Bank Umum tercatat sebanyak 216.708 pengaduan. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 417 pengaduan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah pengaduan yang paling mendominasi berasal dari produk sistem pembayaran (ATM dan kartu kredit), yang mencapai 96,31 persen dari total pengaduan.1 Sementara pengaduan nasabah merupakan salah satu embrio bagi sengketa perbankan, mengingat bagi nasabah yang tidak puas dengan penyelesaian secara internal dari pihak perbankan, maka mereka mempunyai hak untuk melanjutkan penyelesaian kasusnya melalui beberapa langkah. Berkaitan dengan itu, diperlukan sistem penyelesaian sengketa yang sesuai dengan ciri khusus perbankan Islam. Guna memenuhi hal tersebut, di Indonesia telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan memberi kewenangan Peradilan Agama (PA) untuk menyelesaikan kasus institusi ekonomi syariah, termasuk di dalamnya adalah perbankan Islam. Bagaimanapun, diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS) juga memberi kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui Peradilan Umum (PU), selain Peradilan Agama (PA). Adanya dua institusi yang mempunyai bidang kewenangan sama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah tersebut memunculkan beragam pendapat. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk menguraikan karakter khusus penyelesaian sengketa perbankan syariah pada pengalaman praktisnya di Indonesia. Dari paparan tersebut, dapat diketahui titik-titik kelemahan yang perlu mendapat perhatian lebih jauh untuk menghindari berbagai kemungkinan risiko. Pengalaman praktik yang pernah dialami oleh negara tetangga Malaysia dapat dimanfaatkan sebagai cerminan agar kesalahan yang sama dalam kebijakan dan penanganan penyelesaian perbankan syariah tidak perlu lagi terulang di Indonesia. Kajian 1 Sri Wiyanti, Pengaduan Nasabah Bank Tak Kenal Henti. Lihat dalam http://m.merdeka.com/uang/pengaduan-nasabah-bank-tak-kenal-henti.html, diakses tanggal 22 April 2014.
2
ini penting dilakukan mengingat perbankan merupakan suatu lembaga yang mempunyai fungsi sebagai agent of trust. Artinya, keberadaan lembaga ini sangat tergantung pada kepercayaan nasabah. Untuk mendapatkan kajian yang memadahi tentang judul tersebut, maka pembahasan diarahkan kepada sengketa perbankan dalam industri perbankan dan perbankan syariah di Indonesia: karakter khusus penyelesaian sengketa. Sengketa Perbankan dalam Industri Perbankan Istiilah sengketa seperti dinyatakan oleh Rooshida2 dari pandangan Rajo menyatakan sengketa merupakan suatu konflik terhadap suatu tuntutan atau hak. Sengketa dapat terjadi apabila suatu pihak dalam suatu kontrak menuntut sesuatu terhadap pihak yang lain berdasarkan pada klausula perjanjian dan kontrak yang dibuat. Hal demikian terjadi bisa disebabkan pihak yang dituntut telah menafikan tuntutan yang telah diajukan. Pandangan lain tentang sengketa menyatakan bahwa sengketa secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan terdapatnya hak, kepentingan, atau kehendak dari phak-pihak yang berbeda yang dirasakan bertumpang-tindih, berbenturan atau berlawanan.3 Oleh karena itu, sengketa dapat pula dimaknai sebagai suatu situasi adanya pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Seterusnya, pihak yang merasa dirugikan menyampaikan hal yang dirasakannya kepada pihak lainnya dan pihak kedua tersebut tidak dapat memenuhi atau memuaskan hati pihak pertama, serta menunjukkan perbedaan pendapat. Bunker berpandangan bahwa sengketa terjadi apabila terdapat dua orang atau lebih merasakan bahwa kepentingan yang berlawanan dan terpasung antara satu sama lain, di mana kedua-duanya ingin menegakkan kepentingan masing-masing, tetapi merasakan sukar untuk mencapainya.4 Sementara Nor Adha berpandangan bahwa sengketa seringkali dikaitkan dengan tanggung jawab yang harus dimainkan oleh institusi-institusi peradilan, badan dan lembaga yang berfungsi melakukan penuntutan dan pengaduan sengketa, para hakim, para pengacara, lembaga hukum dan hukum tertentu.5 Lebih lanjut Nor Adha mencontohkan peradilan dan kejaksaan merupakan institusi yang diperlukan bagi menyelesaikan setiap sengketa dengan adil. Keperluan terhadap pengelolaan sengketa dalam sebuah komunitas masyarakat dapat digambarkan sebagai satu kelainan, terbatas, dan memerlukan beberapa tahapan patologi.6 Dari beberapa definisi mengenai sengketa tersebut, Mukti Arto berpendapat bahwa pada asasnya setiap sengketa yang muncul, setidak-tidaknya mengandung tiga aspek. Pertama, aspek yuridis, yaitu adanya perbedaan antara das sein dan das sollen, 2 Rooshida Merican Abdul Rahim Merican dan Sakina Shaik Ahmad Yusoff, Hukum Perlindungan Pengguna Asia Tenggara Penyelesaian Pertikaian Perdagangan, 2008, Slide 6. 3 Anonim, Memandang Searah, Bekerja Bersama: Pengelolaan Sengketa Atas Sumber Daya Alam dalam Usaha-Usaha Pengembangan Masyarakat, hlm. 20. 4 B.B. Bunker & J.Z. Rubin, Conflict Cooperation, and Justice. Essays Inspired by The work of Motion Deutsch, (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1995), hlm. 1-9. 5 Nor Adha, Fenomena Konflik dan Pertikaian: Proses Pengurusan, Kertas Kerja Seminar Shariah Significance: The Way Forward (Malaysian and Indonesian Perspektives), Kerja sama Faculty of Economics and Faculty of Law Selangor International Islamic University College dan Faculty of Economics and Faculty of Law University Yarsi, tanggal 16 Februari 2009, Jakarta, hlm. 77. 6 B.B. Bunker & J.Z. Rubin, Conflict Cooperation …….. Loc. Cit. Lihat juga N.A. Burrell & D.D. Cahn, Mediating Peer Conflicts in Educational Contexts: the Maintenance of School Relationships, dalam D.D. Cahn (ed.), Conflict in Personal Relationships, (Hillsdale NJ: Erlbaum, 1994), hlm. 79.
3
atau perbedaan antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya dijalankan. Kedua, aspek sosiologis, yaitu terdapatnya suatu fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lawan yang membuat/melakukan fakta/kejadian itu, dan tidak mahu secara suka rela mengganti kerugian atau menyelesaikan dengan saling merelakan, mengingat masing-masing merasa benar dengan sikapnya. Ketiga, aspek psikologis, yaitu sengketa terjadi antarsesama manusia dalam kapasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan adanya sengketa.7 Secara umum, sengketa adalah perbedaan pandangan yang telah mengemuka yang dapat dipicu oleh beberapa sebab, antara lain: kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan penafsiran, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut, curang, tidak jujur, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, terjadinya keadaan yang tidak terduga, dan lain-lain.8 Berkaitan dengan penyelesaian sengketa tersebut, pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir pencari keadilan atau pihak pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tiga tugas utama. Pertama, memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan. Kedua, memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan. Ketiga, memberikan penyelesaian hal secara efektif, efesien, tuntas dan final, sehingga memuaskan kepada pihak-pihak dan masyarakat.9 Dalam konteks kajian ini, pemaknaan sengketa sebagai suatu kenyataan perlu dipahami secara tepat, sehingga dapat dilakukan pengelolaan konflik agar tidak berkembang ke arah terjadinya sengketa. Secara umum, hal ini juga sekaligus menghindari terdapatnya putusan yang keliru dalam penanganan sengketa perbankan syariah. Perbankan Syariah di Indonesia : Karakter Khusus Penyelesaian Sengketa Dalam perspektif perundangan Islam, setiap transaksi baik yang dilakukan oleh individu maupun institusi dalam bidang apa saja terikat dengan nilai-nilai Islam. Hal ini didasarkan pada satu kaidah ushul, “al aslu fi al-afal at-taqayyud bi hukmi asy-syar’i” yang berarti hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara.10 Dalam kaidah ini sering dikenal dengan terma halal-haram. Oleh karena itu, senantiasa mematuhi dan tetap berpegang teguh pada ketentuan syariah adalah wajib. 11 Dalam konteks kajian ini, halal-haram merupakan salah satu lingkup yang menjadi perhatian pada kajian aspek hukum. Dapat dikatakan bahwa bagi setiap muslim, semua aspek kehidupannya berhubungan erat dengan hukum, termasuk di antaranya berkenaan dengan ekonomi Islam, lebih khusus lagi dalam kaitannya dengan perbankan. Hal ini dimaklumi mengingat dalam kehidupan di era modern, institusi ekonomi yang mempunyai hubungan dan aktivitas paling banyak dengan konsumen adalah perbankan.12 Dengan demikian, guna 7
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm, 38. SF. Marbun, Kemahiran Alternatife Dispute Resolution, Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Slide ke-2. 9 A. Mukti Arto, Mencari …… Op. Cit., hlm. 12-13. 10 Hukum syara’ terdiri atas: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. 11 Q.S. Al-Baqarah (2): 168. 12 Ro’fah Setyowati, Perlindungan Syariah Bagi Nasabah Perbankan Syariah, International Conference Corporate Law (ICCL I-2009), Kerja sama FH UNAIR Surabaya dengan Universiti Utara Malaysia (UUM), 1-3 Juni 2009. 8
4
menjaga aktifitas perbankan syariah dari perspektif syariah maka perlu mengkaitkan setiap sumber dan investasi dana, produk-produk, pelaksanaan akad, penyelesaian akad dan akses kepada keadilan jika terjadi persengketaan dengan prinsip-prinsip syariah. Berkaitan dengan akad pada perbankan Islam, agar kesemuanya sejalan dengan syariah.13 Abdullah Ishak menjelaskan hubungan antara muslim dan Islam dengan menyebutnya sebagai tanggung jawab muslim terhadap hukum Islam meliputi tiga perkara. Pertama, mempelajari dan menghayati ilmu pengetahuan Islam. Kedua, membentuk kembali masyarakat unggul. Ketiga, berusaha ke arah melaksanakan hukum Islam. Seterusnya dalam aspek pembentukan masyarakat unggul yang melaksanakan Islam secara kaffah diperlukan beberapa faktor, antara lain pengabdian diri kepada Allah Swt., cinta dan patuh akan perintah Rasulullah Saw., berkasih sayang sesama muslim, menghayati ilmu dan mempraktikkannya, membangun kekuatan ekonomi dan ketahanan diri bagi tujuan jihad. Satu hal yang dianggap perlu menurut Abdullah Ishak sebagai tanggung jawab muslim terhadap hukum ialah membina kekuatan ekonomi karena kekuatan ekonomi sangat diperlukan demi membangun masyarakat yang unggul. Aktivitas ekonomi sangat memerlukan institusi perbankan dalam berbagai layanan keuangan, baik dalam bentuk penyimpanan, pembiayaan maupun pengantar uang dan sebagainya. Oleh karenanya, terwujudnya bank yang berasaskan prinsip-prinsip syariah merupakan hal utama dalam membangun masyarakat demi memenuhi tanggung jawab sebagai Muslim terhadap hukum Islam. Hal ini pula yang turut melatarbelakangi lahirnya konsep ekonomi Islam dan perbakan Islam.14 Selain perkara tersebut, tugas manusia ketika kehidupannya di bumi ialah menjadi khalifah (wakil Allah), sebagaimana firman-Nya, “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifahkhalifah di muka bumi.”15 Dalam ayat yang lain Allah menerangkan tentang tugas sebagai seorang khalifah, sebagaimana firman-Nya, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Mencermati pengertian ayat tersebut, pada asasnya manusia mempunyai tanggung jawab yang sama besar dalam kehidupannya karena manusia merupakan wakil Tuhan dalam memakmurkan bumi melalui berbagai aktivitas yang dilakukannya. Berkaitan dengan kepentingan tersebut maka hukum bagi muslim untuk taat kepada hukum Islam dalam berbagai aspek adalah wajib, termasuk dalam aktivitas berkaitan dengan perbankan. Hal demikian dikenal dengan penerapan Islam sebagai way of life. Dari uraian tersebut, hal penting dalam konteks hubungan muslim dengan perbankan Islam di Indonesia ialah nilai-nilai Islam berkaitan dengan aktivitas perbankan diakui dan diamalkan baik oleh perbankan maupun konsumennya. Mengingat yang terpenting dalam hal kewajiban dalam Islam ialah pengamalan terhadap nilai-nilainya 13 Dato’ Nadzim, Pengerusi Persatuan Pengguna Islam Malaysia, (PPIM), Kuala Lumpur, Wawancara, 15 Januari 2011. Lihat Ro’fah Setyowati, Thesis (S3), Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia dalam Perspektif Perlindungan Pengguna, University Kebangsaan Malaysia (UKM), 2012. 14 Abdullah Ishak, Sumber Perundangan Islam dan Tanggung Jawab Muslim, (Kuala Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri, 1997), hlm. 213-272. 15 Al-Qur’an al-Fathir 35: 39, an-Naml 27: 62, al-Baqorah 2:30, al-A’raf 7:29, Shad 38: 36.
5
maka keutamaan pengamalan hukum Islam terletak pada substansinya.16 Sedangkan kepatuhan yang paling tinggi sebagaimana perintah Allah Swt adalah melaksanakan Islam secara kaffah atau menyeluruh dalam semua aspek kehidupannya. Perkara tersebut meliputi antaranya bidang bisnis dan ekonomi, politik dan perundangan, kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, kebudayaan dan hiburan, pemikiran sehingga pendidikan dan sebagainya. Justeru, Muslim yang memiliki kualitas kepatuhan lebih baik akan melaksanakan aktivitas usahanya berasaskan hukum Islam, termasuk dalam memilih perbankan Islam. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan hukum yang secara khusus ditujukan bagi keperluan perbankan syariah. Undang-undang ini juga telah memberikan beberapa definisi operasional yang jelas tentang hubungan antara aktivitas perbankan syariah dengan penerapan prinsip-prinsip syariah. Beberapa pasal yang secara khusus berkaitan hal tersebut adalah sebagaimana dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1. Prinsip Syariah dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal Pasal 1 Ayat (7) Pasal 1 Ayat (12) Pasal 1 Ayat (13) Pasal 1 Ayat (19) Pasal 2 Pasal 3
Muatan Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh institusi yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Akad adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau UUS dan pihak lain yang memberikan pengaturan adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Nasabah penerima fasilitas adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Perbankan syariah bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Dari kandungan beberapa pasal undang-undang perbankan syariah tersebut, telah menunjukkan kuatnya komitmen terhadap prinsip-prinsip syariah yang seharusnya dilaksanakan oleh setiap perbankan syariah di Indonesia. Hal ini yang dimaksud sebagai suatu bentuk perlindungan syariah yang diberikan oleh undang-undang perbankan syariah dalam operasional perbankan syariah. Meskipun, jika dilihat dari hak-hak nasabah sebagaimana perspektif Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), undangundang perbankan syariah hanya memberi pengaturan yang tegas bagi nasabah dalam 16 Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamudin At Tufi, (Yogyakarta: UII-Press, 2000), hlm. 137.
6
Pasal 39 yang menyatakan bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian berkaitan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank syariah dan/atau UUS. Kewajiban bank dalam memberikan penjelasan ini merupakan pemenuhan bagi salah satu hak nasabah terhadap informasi. Keperluan nasabah muslim dalam melakukan transaksi keuangan dengan perbankan syariah terutama untuk mendapatkan layanan yang sesuai dengan prinsipprinsip Islam. Hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya perbankan Islam, mengingat jasa perbankan sebelumnya mengandung unsur riba yang tidak halal. Oleh karena itu, dalam konteks tema ini yang utama adalah memastikan segala operasi yang berkaitan dengan perbankan Islam adalah halal dan baik. Untuk memenuhi keperluan ini, maka bentuk kelembagaan setiap institusi perbankan syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dari perspektif konsumen, hal demikian dapat disebut sebagai hak spiritual, yakni hak yang dilandaskan pada ajaran agama konsumen yang bersangkutan. 17 Dalam perspektif hukum Islam, setiap transaksi baik yang dilakukan oleh individu maupun lembaga dalam bidang apapun termasuk di dalamnya bidang ekonomi harus terikat dengan nilai-nilai Islam. Dalam istilah sehari-hari, perbuatan tersebut terikat dengan ketentuan halal-haram, sementara persoalan halal-haram merupakan salah satu lingkup kajian hukum. Oleh karena itu, hal tersebut menunjukkan keterkaitan yang erat antara hukum, ekonomi, dan syariah. Pemakaian kata syariah sebagai fiqh tampak secara khusus pada pencantuman syariah Islam sebagai sumber legislasi di beberapa negara muslim, perbankan syariah, asuransi syariah, ekonomi syariah. Prinsip syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfatan, keseimbangan dan keuniversalan (rahmatan lil’alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan, sehingga disebut perbankan syariah.18 Di Indonesia, beberapa produk hukum berkenaan dengan perbankan syariah secara khusus, dapat dilihat dari pengakuan atas fatwa Dewan Syariah Nasional, sebagai hukum materil ekonomi/perbankan syariah, yang kemudian sebagiannya dituangkan dalam SEBI atau PBI, bahkan dalam perhukuman, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kesemua perangkat hukum perbankan syariah tersebut, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perhatian dari Pemerintah dalam hal ini berperan memfasilitasi agar dapat diterapkannya transaksi-transaksi perbankan yang sesuai dengan syariah bagi masyarakat yang membutuhkannya. Salah satu kebutuhan utama masyarakat, khususnya nasabah perbankan syariah ialah lembaga bank memberikan jaminan penerapan prinsip syariah dalam operasionalnya.19 Adanya jaminan keamanan dari aspek syariah inilah yang mempunyai makna sama dengan perlindungan syariah.20 Perlindungan syariah dalam 17 Ro’fah Setyowati, “Hak Spiritual” Nasabah Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers Perkembangan Hukum Islam dan Permasalahan Penegakan Hukumnya Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia. 19 September 2012. 18 Alinea 2 Penjelasan Hukum Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 19 Kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah, antara lain ialah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur riba; maisir, gharar, dan dzalim. Lihat Penjelasan Pasal 2 UUPS 2008. 20 Beberapa contoh praktis lain tentang perlindungan syariah ini ialah ada pada hukum tentang perkawinan, peradilan agama, wakaf, haji dan sebagainya. Sedangkan yang masih dalam proses pematangan antara lain tentang labelisasi halal.
7
makna yang sama dengan konteks ini merupakan salah satu konsekwensi dari agama Islam bagi umat Islam.21 Dalam terminologi hukum Islam, khusunya teori berlakunya hukum Islam bagi umat Islam di Indonesia, dikenal dengan teori autoritas hukum Islam. Fenomena inipun sejalan dengan teori receptio in complexu22 dari Van den Bergh23 yang dicetuskan pada abad 16. Perlindungan syariah ini tentu saja bukan hanya kebutuhan masyarakat atau umat Islam di Indonesia, akan tetapi juga umat Islam di mana saja berada, karena konsep ini merupakan bagian yang melekat dari ajaran agama Islam itu sendiri. Paparan tersebut sejalan dengan filosofi perbankan syariah sebagai salah satu lembaga usaha yang berbasis syariah. Keselarasan dengan prinsip-prinsip syariah diperlukan dalam semua aspek dan lini, termasuk dalam proses penyelesaian sengketa. Hal terpenting yang diperlukan setidak-tidaknya harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, hakim/arbiter/mediator yang menangani hal sengketa perbankan syariah harus memahami hukum ekonomi Islam, khususnya bidang perbankan syariah. Kedua, perundang-undangan yang dirujuk hakim dalam memberikan pertimbangan hukum tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.24 Dalam lingkup kajian yang terkait dengan perbankan syariah ini maka penyelesaian sengketa perbankan syariah yang dimaksud dalam hal ini adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan di lembaga-lembaga yang secara khusus ditunjuk untuk melaksanakan penyelesaian melalui suatu perundangundangan. Lembaga-lembaga yang dimaksud, antara lain lembaga peradilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri untuk tingkat pertama dan peringkat selanjutnya, serta BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dan atau Mediasi Perbankan Indonesia. Selain hal tersebut, terdapat juga institusi Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah, pada tanggal 29 Agustus 2013 telah dikeluarkan Putusan Nomor 93/PUU-X/2012. Putusan tersebut merupakan respon terhadap review (pengujian) atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, khususnya terhadap Pasal 55 Ayat (2) dan (3) dalam bidang penyelesaian sengketa perbankan syariah. Melalui Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengembalikan kompetensi kepada Peradilan Agama. Munculnya review undang-undang perbankan syariah yang menghasilkan putusan demikian merupakan respon atas terjadinya dualisme kompetensi dalam praktik penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia oleh Peradilan Agama dan atau Peradilan Umum. Beberapa dampak dari dualisme, antara lain hakim yang menangani penyelesaian sengketa perbankan syariah di Peradilan Umum tidak mempunyai bekal 21
Sebagaimana tertuang dalam Al Qur’an Surat Al Maidah Ayat 44, 45, 47. Ayat ini pada intinya menyatakan bahwa barangsiapa yag tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka termasuk orang-orang yang kafir, zalim dan fasik. 22 Teori tersebut menjelaskan bahwa bagi orang Islam berlaku Islam secara kompleks dalam kehidupannya. Contoh konkrit ialah bilamana seorang yang beragama Islam maka dalam kesehariannya, sedikit atau banyak akan hidup secara Islam, dari masa kanak-kanak dengan proses awal khitan, pernikahan hingga proses yang terkait dengan kematian, yakni kewarisan. 23 Van den Bergh merupakan seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda. Pada masa penjajahan, ia mendapat tugas khusus untuk melakukan pemetaan hukum bagi masyarakat Indonesia. Lihat Jumhana, Mohamad, Perkembangan hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rosda Karya, 1992), hlm. 17. 24 Ro’fah Setyowati, Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam …… Op. Cit., hlm. 473-491.
8
standar pemahaman terhadap sistem perbankan syariah; hakim yang ditunjuk beragama selain Islam tidak memahami filosofi kelembagaan dan operasional perbankan syariah. Hal demikian tentu saja tidak sejalan dengan muatan Ayat (3) Pasal 55 undang-undang perbankan syariah; dan hukum materil yang digunakan untuk menjadi pertimbangan hukum belum melalui seleksi kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah. Beberapa ragam permasalahan tersebut sangat berpotensi menghasilkan putusan-putusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran Putusan Mahkamah Konstitusi terkait, pada dasarnya merupakan suatu upaya agar lembaga peradilan yang ditunjuk sebagai penyelesai sengketa, dapat memenuhi kebutuhan filosofis dari setiap arah penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum perbankan syariah, melalui lembaga peradilan, mempunyai karakter khusus. Oleh karena itu, pengembalian kompetensi penyelesaian sengketa perbankan syariah pada Peradilan Agama merupakan wujud nyata dalam memenuhi karakter khusus dimaksud, meskipun dalam praktiknya masih memerlukan penyempurnaan. Penutup Dari keseluruhan uraian tentang karakter khusus penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia dapat disimpulkan bahwa terdapatnya sengketa dalam industri perbankan, tidak terkecuali perbankan syariah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Mengingat sengketa yang terjadi pada industri perniagaan, khususnya perbankan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap aktivitas usaha itu sendiri, sehingga memerlukan penyelesaian yang segera. Oleh karena itu, diperlukan berbagai peraturan perundangan yang menjadi rujukan dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan itu, telah keluar beberapa peraturan perundangan baik yang secara umum maupun secara khusus mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 merupakan suatu upaya agar lembaga peradilan yang ditunjuk sebagai penyelesai sengketa dapat memenuhi kebutuhan filosofis dari setiap arah penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum perbankan syariah melalui lembaga peradilan mempunyai karakter yang berbeda dengan perbankan konvensional. Dalam konteks ini, pengembalian kompetensi penyelesaian sengketa perbankan syariah pada Peradilan Agama merupakan upaya untuk terpenuhinya karakter khusus dimaksud, meskipun dalam aspek-aspek lainnya, masih memerlukan kelengkapan dan penyempurnaan. Untuk memenuhi kebutuhan agar penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, perlu dibuat mekanisme standarisasi kompetensi bagi pihak-pihak yang terkait, khususnya dalam penanganan kasus, baik hakim maupun pengacara. Hal demikian dapat dianalogikan dengan ketentuan yang berlaku pada penyelesaian sengketa secara alternatif melalui lembaga mediasi yang menyaratkan adanya sertifikasi mediator. Dalam hal ini, Mahkamah Agung adalah institusi yang paling tepat untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut. Kasus yang berkaitan dengan sengketa perbankan syariah mempunyai karakter khusus, berbeda dengan kasus-kasus lain yang pernah ada dalam dunia peradilan. Oleh karena itu, diperlukan responsifitas yang memadahi dari para pihak terkait, seperti institusi peradilan umum dan peradilan agama, para pengacara dan notaris khususnya
9
pada perbankan syariah, serta para akademisi dan pemerhati lainnya. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah yang akan tercatat dalam sejarah. Selain itu, perlunya harmonisasi berbagai peraturan perundangan yang terkait merupakan perkara besar demi mengarah pada penyelesaian sengketa perbankan syariah yang sesuai dengan syariah. Dalam hal ini, peran akademisi serta dukungan sepenuhnya dari para praktisi untuk memotori bagian ini sangat diperlukan. Daftar Pustaka A. Mukti Arto. 2001. Mencari Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah Ishak. 1997. Sumber Perundangan Islam dan Tanggung Jawab Muslim. Kuala Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri. Anonim, Memandang Searah, Bekerja Bersama: Pengelolaan Sengketa Atas Sumber Daya Alam Dalam Usaha-Usaha Pengembangan Masyarakat. B.B. Bunker & J.Z. Rubin. Conflict Cooperation, and Justice. Essays Inspired by The work of Motion Deutsch. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. D.D. Cahn (ed.). 1994. Conflict in Personal Relationships. Hillsdale NJ: Erlbaum. Mohamad Jumhana. 1992. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rosda Karya Nor Adha, Fenomena Konflik dan Pertikaian: Proses Pengurusan, Kertas Kerja Seminar Shariah Significance: The Way Forward (Malaysian and Indonesian Perspektives), Kerjasama Faculty of Economics and Faculty of Law Selangor International Islamic University College dan Faculty of Economics and Faculty of Law University Yarsi, tanggal 16 February 2009, Jakarta. Ro’fah Setyowati, “Hak Spiritual” Nasabah Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers Perkembangan Hukum Islam dan Permasalahan Penegakan Hukumnya Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia. 19 September 2012. Ro’fah Setyowati, Perlindungan Syariah Bagi Nasabah Perbankan Syariah, International Conference Corporate Law (ICCL I-2009), Kerja Sama FH UNAIR Surabaya dengan University Utara Malaysia (UUM), 1-3 Juni 2009. Ro’fah Setyowati, Thesis (S3), Penyelesaian Pertikaian Perbankan Islam di Indonesia dalam Perspektif Perlindungan Pengguna, University Kebangsaan Malaysia (UKM), 2012. Rooshida Merican Abdul Rahim Merican dan Sakina Shaik Ahmad Yusoff, Hukum Perlindungan Pengguna Asia Tenggara Penyelesaian Pertikaian Perdagangan, 2008, Slide 6. SF. Marbun, Kemahiran Alternatife Dispute Resolution, Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Slide ke-2. Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamudin At Tufi. Yogyakarta: UII-Press.
10