KAMPUNG DAN URBAN VILLAGE SEBAGAI KONSEP BERMUKIM Iwan Purnama, ST., M.T. Staf Pengajar Program Studi Arsitektur - Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon ABSTRAK Pada saat ini keberadaan permukiman kampung sangat mengkhawatirkan, bahkan terancam sampai tahap hilangnya sebuah komunitas akibat tekanan pembangunan. Padahal lingkungan fisik permukiman kampung yang berada di fringe area masih memiliki potensi sebagai wilayah berkarakteristik pedesaan dengan hubungan sosial kemasyarakatan bersifat agraris. Kondisi tersebut berperan banyak dalam membentuk ruang sosial, ruang publik dimana tempat tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Pada beberapa negara maju dikenal pula istilah urban-village, yang sebagian besar mencerminkan pula konsep bermukim kampung-kampung di Negara kita. . Kata kunci : kampung, urban village, komunitas,fringe area, sosial kemasyarakatan.
PENDAHULUAN Ketidakmampuan kota dalam menyediakan lahan bagi permukiman masyarakat dan industri memaksa proses ekstensifikasi lahan pada kawasan perbatasan hingga masuk ke wilayah pedesaan. Pengembangan wilayah dalam skala luas akibat sebuah tekanan pembangunan, development pressure sering pula diikuti proses displacement, penggantian fungsi lahan. Fenomena dan gejala yang terjadi sekarang, keberadaan permukiman komunitas lokal sangat mengkhawatirkan, bahkan terancam sampai tahap hilangnya sebuah komunitas akibat tekanan pembangunan. Padahal lingkungan fisik permukiman lokal yang masih memiliki potensi sebagai wilayah pedesaan dengan hubungan sosial kemasyarakatan bersifat agraris berperan banyak dalam membentuk ruang sosial, ruang publik dimana tempat tumbuh dan berkembangnya nilainilai sosial kemasyarakatan. Penggunaan ruang-ruang sosial tersebut membentuk suatu kekerabatan antara masingmasing individu, tempat, ruang bahkan komunitas secara keseluruhan. Pengaruh elemen fisik berupa tatanan massa permukiman terhadap pembentukan ruang sosial itu menjadi dasar tulisan yang dikembangkan. Beberapa pola permukiman modern yang dianggap lebih baik secara fisik, baik itu berupa kota satelit, kota mandiri hingga kota baru sering tidak diimbangi pula oleh pertimbangan kebutuhan hubungan sosial masyarakat. Padahal sebagian masyarakat Indonesia masih menjunjung nilai – nilai sosial kemasyarakatan itu. Berbeda dengan kecenderungan yang terjadi pada beberapa negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat, perencanaan pola
permukiman yang mempertimbangkan hubungan sosial kemasyarakatan mulai dilakukan. Sebuah konsep perencanaan urban village di Inggris, new urbanism, neo-traditional di Amerika Serikat atau urban-kampong di negara Asia. Keterbatasan lahan pada pusat kota membuat kawasan pinggiran ini menjadi pengembangan pola-pola permukiman masyarakat akibat tuntutan kebutuhan perumahan yang terus meningkat. Pandangan bisnis para pengembang yang menilai lahan di kawasan tersebut mempunyai sisi ekonomis yang lebih menguntungkan membuat permukiman pada kawasan pinggiran itu terus tumbuh dan berkembang. Selain ketidakseimbangan pembangunan antara dua wilayah dengan karakteristik berbeda hingga strategi pembangunan berupa kebijakan pemerintah daerah yang belum menyentuh kawasan perbatasan, menyebabkan tekanan pembangunan selama ini memberikan dampak besar terhadap kawasan tersebut. Tekanan pembangunan sekarang membawa kecenderungan pembangunan saat ini bersifat displacement, merubah dan menggantikan penggunaan lahan yang dahulu ada. Pembauran pola budaya dalam lingkungan fisik pada wilayah transisi antara karakter agraris pedesaan dan karakter modern kota memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan lingkungan fisik dan sosial sebuah permukiman komunitas lokal. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut semakin nyata terlihat akibat tekanan pembangunan sebagai proses modernisasi dalam segala bidang. Bentuk modernisasi pada skala kota ditunjukkan oleh keberadaan blok-blok massa bangunan dengan fungsi hunian atau komersial di pusat kota yang membias hingga wilayah pedesaan. Seringkali pemusnahan pola permukiman dan sirkulasi
yang terbentuk secara tradisional menjadi ciri pembangunan dan pengembangannya. Kondisi tersebut bukan saja menyebabkan hilangnya elemen fisik lingkungan tetapi hilang pula keberadaan sosial kemasyarakatan hingga punahnya komunitas yang sudah terbentuk sejak lama. Keberadaan permukiman komunitas lokal dalam menghadapi modernisasi tersebut memunculkan proses adaptasi, baik secara fisik ataupun sosial. Tulisan ini mencoba memaparkan bagaimana bentuk korelasi ruang sosial dan tata spasial yang terjadi pada permukiman Kampung Mahmud dan Kampung Mancong. KONSEP BERMUKIM KAMPUNG Meski kerap muncul kritik sosial terhadap penggusuran kampung-kampung permukiman penduduk di kota-kota besar di Indonesia akhirakhir ini sebagai bukti besarnya perhatian dan peningkatan pemahaman masyarakat akan nilainilai kemanusiaan, tetapi proses tersebut terus saja berlangsung hingga sekarang. Pandangan berbeda berbagai pihak terhadap keberadaan kampungkampung itu pada akhirnya tetap pula menyebabkan keberadaan kampung sebagai tempat permukiman tidak dapat bertahan lama. Pandangan pemerintah yang dilatarbelakangi kekuatan kapital sektor swasta seringkali menjadi pihak pemenang yang mampu mengubah keberadaan kampung permukiman itu menjadi lahan bernilai ekonomi tinggi. Konsekuensi dari semua itu adalah kegiatan penggusuran, pemisahan, dan pengecualian masyarakat kota pinggiran. Bagi mereka punahnya sebuah kampung bukan sebatas hilangnya unit-unit permukiman, tetapi hilang pula bentuk sosial kemasyarakatan yang telah terbentuk lama, bentuk sosial masyarakat yang masih menyisakan ciri agraris sebuah kampung yang berkarakter pedesaan. Pada akhirnya mereka harus memulai dari awal kembali membentuk sebuah komunitas baru pada tempat-tempat yang berbeda pula. Konsep permukiman yang secara sengaja diciptakan untuk menggantikan dan memperbaiki pola permukiman yang dianggap modern itu, bahkan sudah sampai pada tahapan mengajak masyarakat yang terlanjur pindah ke kawasan pinggiran untuk menempati kawasan permukiman tengah kota yang sudah menerapkan konsep sosial masyarakat pada beberapa pembentuk elemen fisiknya. Interaksi antara elemen fisik dan elemen sosial yang terbentuk dalam unit-unit hunian tempat tinggal, ruang publik, fasilitas umum hingga ruangruang terbuka mampu menunjukkan derajat hubungan sosial masyarakat yang terbentuk. Sejauhmana keberadaannya mampu menjadi sebuah potensi keberlanjutan/ketahanan suatu
komunitas harus dilihat dari berbagai sisi, bukan hanya sisi fisik ataupun sosial tetapi termasuk bidang ekonomi. KONSEP URBAN VILLAGE Penggunaan pertama kali istilah urban village secara umum di kemukakan oleh Herbert Gans, yang mempelajari the West End of Boston , sebuah bahasan dalam buku The Urban Villagers : Group and Class in the Life of Italian-Americans (1962). Pada saat itu terdapat dua istilah yang diperkenalkan, urban village dan urban jungle untuk membedakan dua tipe lingkungan urban. Urban Village merepresentasikan suatu tempat yang sesuai, di mana sekelompok orang dengan nilai kesukuan tertentu dapat menyesuaikan budaya non-urban mereka pada keberadaan kota, sementara urban jungle cenderung merepresentasikan sebuah tempat yang tidak sesuai, bentuk lingkungan perkampungan orang-orang miskin, pengembara, penderita sakit jiwa, penjahat dan tempat para tuna susila. Secara umum pengertian Urban Village dapat dipahami melalui pendekatan sebuah konsep permukiman. Berlandaskan dasar suatu kelompok yang saling mendukung satu sama lain, pengertian permukiman tersebut berukuran cukup kecil untuk menciptakan suatu komunitas, tetapi cukup besar untuk menunjukkan suatu usaha pemeliharaan fasilitas umum yang layak. Istilah urban village pun kemudian dicoba didefinisikan secara fisik, sebagai area yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dalam waktu ±10 menit antara satu bagian terhadap bagian lainnya. Pengertian tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa konsep permukiman untuk suatu populasi yang besar dalam jarak fisik yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki harus mempertimbangkan aspek kepadatan pembangunan yang tinggi pula. Konsep urban village yang sekarang telah diterapkan oleh berbagai negara di dunia, untuk pertama kali dipromosikan oleh Urban Village Group pada akhir tahun 1980 sebagai sebuah konsep untuk mencapai maksud bentuk lingkungan fisik yang lebih berskala manusia dengan penggunaan multifungsi lahan. Prinsip tersebut kemudian dijadikan pedoman dalam proses perancangan tempat yang lebih baik. Konsep tersebut timbul bersamaan dengan meningkatnya pembahasan mengenai perkembangan kota dan masalah kesinambungan/keberlanjutan alam yang terjadi akibat perubahan yang mengikutinya. Sehingga konsep tersebut dijadikan pendekatan dalam proses pengembangan kawasan padat penduduk, perencanaan kota yang jauh lebih baik dan bentuk perhatian pada massa bangunan bagi komunitasnya. Konsep urban village mulai dikembangkan lebih lanjut oleh Urban Village
Group pada akhir tahun 1990. Sebagai bentuk perkembangannya, pada tahun 1992 laporan forum tersebut telah menetapkan dasar-dasar filosofi, prinsip-prinsip dasar, usulan-usulan perancangan yang lebih baik dengan penggunaan multifungsi lahan, kesinambungan/keberlanjutan area kota, identitas tempat serta komitmen kuat sebuah komunitas yang menjadi konsep urban village tersebut. Pada tahun berikutnya Urban Village Forum mampu mengembangkan keterlibatan banyak pihak, baik perorangan atau pun organisasi, yang mendukung maksud tujuan dan pelaksanaannya. Pada awalnya penafsiran konsep itu berupa penerapan pada sebagian besar lokasi lahan kosong yang belum dikembangkan, greenfield, yang secara simbolis dinamakan pula greenville. Konsep tersebut kemudian terus diperbaharui, disesuaikan dengan agenda kesinambungan/keberlanjutan dan prinsip kota sebagai tempat hunian, sehingga konsep tersebut mencoba diterapkan pada lokasi lahan yang telah mempunyai infrastruktur, yang disebut dengan brownfield. Konsep tersebut telah berhasil memindahkan sebagian kelompok elit dari kawasan pinggiran, sebagai pusat kebijakan perencanaan, yang terdapat pada dokumen penting perencanaan pemerintah pusat, PPG1 ( Department of the Environment, 1997 ) pada waktu itu. Konsep tersebut dikuasakan pula kepada english partnerships, sebuah agen regenerasi pemerintah negara Inggris yang memberi dukungan keuangan terhadap pengembangan konsep urban village. Pemerintahan pun tertarik untuk melihat agenda kesinambungan/keberlanjutan yang lebih kuat pada konsep urban village untuk masa depan, yang direncanakan mengikuti eksperimen Greenwich dan Allerton Bywater (DETR,2000B). Pengembangan konsep urban village yang sudah diterapkan pada beberapa negara di luar Inggris, seperti yang pertama diterapkan di Poundbury, Dorset, dengan masterplan yang direncanakan oleh Leon Krier pada lahan milik the Dutchy of Cornwall menunjukkan penerimaan yang sangat baik terhadap konsep permukiman tersebut. Kondisi tersebut tergambar pula pada bentuk dukungan Urban Village Forum sekarang ini terhadap kurang lebih dua puluh objek pelaksanaan seperti Garston dan Everton di Lipervool; Jewellery Quarter di Birmingham; Little Germany di Bradford; Ancoast di Manchester; Devonport di Plymouth; dan Landarchy di West Glamorgan. Meskipun daerah-daerah tersebut muncul dalam pengembangannya yang tidak sama antara satu sama lain, yang mungkin berbeda dengan kriteria Urban Villages Group, tetapi ternyata kini ditunjuk atau dianggap sebagai sebuah urban village (Biddulph,2000,Tait et al., 2001).
Konsep urban village secara tidak langsung merupakan ungkapan kritik terhadap arsitektur kontemporer. Dalam perencanaan dan perancangan kota, konsep tersebut tergambarkan dengan lingkungan yang lebih berskala manusia serta mewadahi keakraban dan kekerabatan antara penduduk satu sama lainnya. Penekanan ini muncul hampir tiga dekade setelah pertama kali Gans menggunakan istilah urban village yang dikemukakan oleh Prince dari Wales. Bentuk perkembangan dari konsep itu diterapkan melalui koordinasi antara kelompok pengembang, kontraktor, perencana kota dan para arsitek dalam upaya membuat lingkungan perkotaan yang berkualitas baik, serupa dengan tempat tradisional dari masa lampau. Prinsipprinsip lingkungan kota yang ramah telah berhasil ditemukan oleh para anggota Urban Villages Group setelah berkunjung ke sejumlah tempat di Inggris dan luar negeri seperti kota baru Edinburgh, Clerkenwell di London, Montparnasse di Paris. Sebagai bentuk rencana/skema keberlangsungan suatu urban village, sisi ekonomi pun menjadi pertimbangan yang penting seperti tertuang dalam Economics of Urban Villages sebagai salah satu laporannya. Dibeberapa negara Eropa daratan, penerapan konsep urban village hampir sama sebagai sebuah kondisi multifungsi lahan dengan nilai kekerabatan yang tinggi pada wilayah perkotaan yang lebih luas, konsep tersebut dinamakan urban quarter. Referensi urban quarter mencerminkan pula pengaruh seorang Leon Krier, arsitek dan ahli teori perkotaan yang menjadi anggota penting Urban Village Group. Kesemrawutan pada kawasan pinggiran kota, perkembangan agresif arsitektur modernis merupakan tantangan bagi Krier dan para ahli perencana kota dalam pengalaman berarsitektur. Meskipun telah banyak kesalahgunaan kata desa/kampung, tetapi pada kenyataannya sebuah desa/kampung memiliki banyak karakteristik penting. Di negara Inggris, urban villages dianggap sebuah stenografi menyenangkan atas kondisi yang dituju/diarahkan (Aldous, 1997:29). Meskipun diungkapkan pada karakter fisik berupa penggunaan multifungsi lahan, luas maksimum ± 40 hektar sehingga setiap fasilitas dapat dicapai dengan berjalan kaki, populasi yang terdiri ± 3000-5000 orang, ketersediaan prasarana jalan kaki yang nyaman, transportasi umum yang memadai, ketersediaan berbagai jenis hak perumahan, mixed tenure housing, hingga memiliki berbagai panorama perkotaan, tetapi dikemukakan pula sisi yang cukup penting yaitu suatu perasaan/nilai suatu tempat, sense of place serta komitmen masyarakat ke arah kesinambungan/keberlangsungan. Referensi urban quarter mencerminkan pula pengaruh seorang Leon Krier, arsitek dan ahli teori
perkotaan yang menjadi anggota penting Urban Village Group. Kesemrawutan pada kawasan pinggiran kota dan perkembangan agresif arsitektur modernis menentang Krier dan pelajaran tradisionalisme dalam pengalaman arsitekturnya dan seorang ahli perencana kota dalam pekerjaannya. Selain keberadaan ruang yang terbentuk antara elemen fisik, hubungan kemasyarakatan pun merupakan hal yang sangat penting. Keberadaan ruang harus diterima pula berikut keberadaan sisi sosial yang ada, sama halnya keberadaan sisi sosial pun harus diterima berikut keberadaan elemen spasial yang terbentuk. Sehingga hubungan antara kedua aspek tersebut harus dilihat sebagai proses dua arah yang berlangsung terus-menerus. Dengan beberapa latar belakang pengaruh, menurut Dear dan Wolch (1989) hubungan sosial dapat : 1. Dibentuk dan dilembagakan melalui ruang, constituted through space, ketika sebuah karakteristik lahan mempengaruhi bentuk permukiman. 2. Difasilitasi,diwadahi atau dibatasi oleh ruang, constrained by space, dimana sebuah lingkungan fisik memfasilitasi atau bahkan membatasi kegiatan manusia. 3. Ditengahi, dihubungkan melalui ruang, mediated by space, dimana pergeseran/perubahan jarak memfasilitasi atau menghalangi perkembangan bentuk-bentuk kegiatan sosial. Beberapa proses terbentuknya ruang seperti itu, dalam sebuah perencanaan kota terdapat pula lima aspek dimensi sosial yang menjadi bagian penting. Pertama, hubungan antara manusia dan ruang. Kedua, keterkaitan konsep dunia publik, public realm, dan kehidupan publik, public life. Ketiga, berhubungan dengan kekerabatan antara tetangga, neighbourhoods. Keempat, isu keamanan dan keselamatan, safety and security. Kelima adalah isu aksesibilitas. Tentu aspek-aspek tersebut dapat bertambah jika mengacu terhadap sebuah kawasan yang lebih berkarakteristik seperti sebuah urban village. KEKERABATAN (neighorhood) Berdasarkan atas kondisi yang telah berlangsung sekarang atau sebelumnya, pengembangan menuju kekerabatan yang diinginkan sesuai kondisi serupa dimungkinkan dapat terbentuk. Gagasan paling penting adalah unit kekerabatan Clarence Perry, yang dikembangkan di AS selama tahun 1920-an, sebagai alat sistematis yang mengorganisir dan mengembangkan wilayahwilayah kota. Yang disatukan dalam desain dan tata letak yang secara fisik tatanan kekerabatan itu sebagai sasaran/tujuan sosial seperti interaksi antara tetangga, penciptaan kesan suatu suatu komunitas,
identitas kekerabatan antar tetangga, dan keseimbangan sosial. Identifikasi jenis bentuk kekerabatan suatu masyarakat oleh Blowers (1973) dibagi menjadi lima jenis, masing-masing memiliki sebagian atribut kekerabatan masyarakat ini, tetapi hanya yang terakhir yang mempunyai atribut lengkap sebagai sebuah komunitas : 1. Arbitrary neighbourhoods, hubungan kekerabatan dengan apa saja, bersifat sembarang , di mana satu-satunya ciri umum adalah kedekatan ruang. 2. Ecological and or ethnological neighbourhoods, hubungan kekerabatan dengan suatu lingkungan dan identitas yang berlaku umum. 3. Homogenous neighbourhoods, hubungan kekerabatan bersifat homogen, yang dihuni oleh ekonomi-sosial atau kelompok etnik tertentu. 4. Functional neighbourhoods, hubungan kekerabatan bersifat fungsional, dapat berasal dari pemetaan geografis atau keberadaan suatu jasa pelayanan. 5. Community neighbourhoods, hubungan kekerabatan suatu komunitas, di mana suatu kelompok sosial homogen yang berhubungan erat, dan terlibat dalam pola hubungan yang utama. Selain pembagian jenis kekerabatan tersebut juga terdapat beberapa isu sentral mengenai konsep penciptaan kekerabatan masyarakat yang sangat penting seperti perihal ukuran/besaran, batasan-batasan wilayah, keterkaitan sosial, dan pembauran sosial. KAMPUNG MAHMUD
Kampung Mahmud
Jika bertolak pada pendekatan evolusi, melihat kampung Mahmud sebagai realitas fisik maka tinggal menunggu waktu kampung tersebut punah. Keberadaannya hanya dianggap sebagai sebuah tradisi, warisan masa lalu yang akan hilang sendirinya tergusur modernisasi. Sedikit pesimis juga ketika melihatnya melalui sebuah pendekatan konflik. Negara kita yang belum memiliki mekanisme pemecahan masalah, sering
memungkinkan terjadinya ketidakadilan dan memenangkan kaum atau golongan mampu apabila terjadi benturan kepentingan, yang sebelumnya diharapkan memberikan penyelesaian yang baik. Namun sikap optimis timbul ketika kita melihat melalui pendekatan akulturasi, yang menitikberatkan pada realitas sosial, dimana nilainilai lokal hanya akan berkembang jika bersentuhan dengan nilai-nilai baru. Sebagai elemen fisik, keberadaan suatu kampung memang terdiri dari bangunan-bangunan yang sebagian besar berupa hunian atau rumah tinggal. Bangunan dengan berbagai fungsi lainnya pun dapat dengan mudah kita jumpai. Dibalik realitas tersebut ternyata terdapat nilai-nilai lokal yang tumbuh dan berkembang. Sebagai sebuah domain sosial, salah satu sarana umum, seperti MCK misalnya, bukan hanya sebagai bentuk fisik untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci atau kakus saja, tetapi dijadikan pula sebagai tempat sosialisasi masyarakat setempat, ibu-ibu rumah tangga pada pagi hari ketika mencuci ataupun bapak-bapak pada sore hari menjelang maghrib. Ruang terbuka berupa kebun atau halaman sering pula dijadikan tempat bermain anak-anak pada sore hari atau setelah mereka pulang dari sekolah. Ketika itu pula terjadi sosialisasi, bukan saja pada anak-anak, ibu rumah tangga yang mengasuh pun turut terlibat. Di beberapa bangunan rumah tinggal yang sudah diterapkan fungsi ekonomi berupa industri meubel / furnitur terjadi pula interaksi masyarakat, antara sesama pengrajin ataupun pengrajin dengan pemesan/pembeli barang. Begitu pun terjadi pada warung – warung sederhana tempat mereka sekedar beristirahat setelah bekerja. Sosialisasi pun terjadi pada domain ekonomi. Setiap hari jumat pagi, setiap minggu, sebelum shalat jumat mereka bergotong royong mengadakan jumsih ( jumat bersih ) untuk membersihkan bantaran sungai, halaman, jalan atau kebun secara bersama-sama.
Kampung Mahmud Sebelum Normalisasi Sungai
Terjadi pula sosialisasi pada domain lingkungan. Malam harinya mereka berkumpul, terutama para bapak-bapak dan pemuda untuk melaksanakan pengajian bersama di suatu mesjid. Bukan hanya sekedar pelajaran informal yang terjadi antara tokoh agama dan umatnya, tetapi secara tidak langsung terjadi pula interaksi sosial
pada suatu mesjid sebagai lembaga institusional. Ketika itu terjadi sosialisasi pada domain kelembagaan. Dua tahun setelah adanya terminal yang berdekatan dengan pintu gerbang masuk kampung, mereka mulai merasakan semakin mudahnya nilainilai luar masuk. Nilai-nilai luar yang dibawa kaum pendatang, yang sebagian masih merupakan kerabat keluarga yang tinggal di kampung tersebut ataupun benar-benar berasal dari pihak luar. Jauh sebelum itu kedatangan pihak luar sebagai pengrajin ahli furnitur dari Jepara telah mereka terima. Kebutuhan mandi cuci kakus yang sebelumnya dilaksanakan di bantaran sungai, kolam belakang rumah ataupun sumur bersama, sekarang tergantikan oleh keberadaan MCK umum lengkap dengan closet jongkok, dan sumur pompanya. Nilai modernitas pada MCK umum yang baru itu dapat mereka terima dengan dasar pertimbangan kesehatan yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Aktivitas sosial yang turut mengiringi keberadaannya tetap terjadi seperti ketika mereka mencuci di sungai, misalnya. Walaupun keberadaan sumur pompa, sebelumnya sumur gali, sempat mereka tolak, tetapi lambat laun mereka pun bisa menerima itu. Ketika tanahnya masih “bertuah”, niat mereka membuat sumur gali tidak bisa terlaksanakan. Alih-alih mendapatkan sumber air, justru sekumpulan binatang ular yang mereka dapatkan. Begitu cerita sesepuh adat yang pernah dialami, yang sekarang masih dihormati oleh komunitas disana. Selepas tahun 1960, ‘tuah’ yang mereka wariskan dari leluhur ternyata sudah tidak dapat dirasakan, sehingga penggunaan sumur gali bahkan sumur pompa sekarang dapat mereka terima. Kondisi tersebut berlangsung seiring terjadinya pencemaran air sungai Citarum akibat industrialisasi di daerah sekitar. Awalnya penerimaan mereka terhadap sumur gali atau sumur pompa semata karena faktor kepercayaan akan amanat leluhurnya, bukan karena nilai kepraktisan atau kegunaan lebih dari sumur atau pompa itu. Namun sekarang, mereka pun akhirnya menyadari akan nilai lebih kegunaannya. Kedatangan para pengrajin furnitur dari luar daerah, terutama dari Jepara - Jawa Tengah yang membawa keahlian dan keterampilan membuat serta mengukir furnitur menciptakan suatu proses akulturasi. Tentu bentukan interaksi yang bukan sekedar sosialisasi antar individu tetapi terjadi pula transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain menyerap ilmu pengetahuan mengenai pembuatan furnitur, penduduk asli kampung Mahmud pun dapat mempelajari sedikit teknologi berupa mesin-mesin pendukung produksi furnitur, apa yang telah dikenal lebih awal oleh kaum pendatang.
penggunaan material keramik pada lantai. Landasan kepercayaan yang bersifat imperatif tampak nyata sekali pada fenomena ini. Kekuatan pada kepercayaan amanat atau ‘tuah’ leluhur, buat sesepuh adat dan kaum yang memiliki hubungan dekat dengan silsilah leluhur masih dipertahankan. Mereka menganggap kondisi tersebut sebagai ‘ujian’ keteguhan memegang prinsip hidup leluhurnya. KAMPUNG MANCONG
Proses singgungan nilai-nilai luar berupa modernisasi seperti diatas sejauh ini berdampak positif bagi masyarakat. Setidaknya tergambar dari sekitar 60 % penduduk kampung Mahmud merupakan pengrajin furnitur menggantikan pertanian dan perkebunan sebagai mata pencaharian utama masyarakat sebelumnya, ketika pertanian dan perkebunan tidak dapat berkembang karena habisnya lahan dan lingkungan yang mulai tercemar industrialisasi. Barang-barang modern seperti televisi, lemari es, sepeda motor bahkan mobil pun bukan merupakan barang aneh lagi. Gambaran keberhasilan ekonomi mikro dari suatu industri lokal pengrajin furnitur. Bagi sebagian orang yang memiliki hubungan langsung atau dekat dengan silsilah leluhurnya, sampai sekarang masih memegang erat nilai adat yang diwariskan. Seperti misalnya, larangan penggunaan kaca pada jendela rumah tradisionalnya. Penggunaan bahan kayu pada arsitektur bangunan hunian/rumah tinggalnya masih mereka lanjutkan, meskipun orang – orang pendatang yang masih kerabat jauhnya membangun rumah modern bergaya sedikit mediteranian. Kepercayaan mereka terhadap larangan penggunaan kaca tidak dapat mereka ‘paksakan’ kepada penduduk lainnya, karena ‘tuah’ leluhur tidak dapat dirasakan lagi. Dahulu penggunaan jendela kaca akan mendatangkan keburukan bagi penghuni, langsung jatuh sakit misalnya. Namun penggunaan elemen kaca pada rumah tinggal tidak berlaku bagi
Permukiman Kampung Mancong
Selepas pemilihan kepala daerah Kota Cimahi pertengahan tahun 2007 kemarin yang menegaskan posisi incumbent sebagai pemenang pilkada, sirkulasi pada area masuk kampung Mancong sedikit berubah dengan penerapan material paving block, kondisi yang ditemukan pula pada sirkulasi utama yang memanjang pada bagian tengah kampung. Namun bukan saja permasalahan infrastruktur berupa jalan lingkungan yang terdapat di kampung tersebut tetapi persediaan air bersih untuk keperluan seharihari : mandi, cuci dan kakus merupakan permasalahan yang tetap ada sejak lama. Musim penghujan yang turun hingga menyebabkan banjir di wilayah sekitar kampung tidak merubah keadaan pasokan air bersih yang sulit didapatkan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat kampung tersebut masih tetap mengantri untuk mendapatkan pasokan air bersih, terutama untuk keperluan air minum. Posisinya yang membentuk semacam cluster di pinggiran kota Cimahi sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bandung seolah menunjukkan keberadaan kampung yang terpinggirkan secara spasial dari wilayah pusat kota Cimahi. Keberadaan jalan tol Padaleunyi pun semakin menunjukkan keberadaan kampung yang terpinggirkan itu. Gambaran sebuah kampung yang terpinggirkan secara sosial dan spasial. Sebagai salah satu kampung tertua di wilayah kota Cimahi, kampung Mancong merupakan sebuah bentukan fisik yang menggambarkan komunitas masyarakat rural dalam sebuah perkembangan urban. Bagaimana sebuah batas area kampung yang dahulu berupa area persawahan tergantikan batasnya oleh keberadaan benteng-benteng pabrik yang menjulang tinggi. Kondisi yang jauh dari sebuah skala manusia sebagai bagian dari prinsip ketahanan/kesinambungan. Kondisi permukiman berupa bangunan rumah tinggal yang cukup padat tidak membuat ruang terbukaberupa lapangan olahraga menjadi hilang. Keberadaannya masih dapat dipergunakan sebagai area sosialisasi masyarakat. Demikian halnya kondisi hijau persawahan meskipun luas lahannya berkurang masih dapat dirasakan sebagai ruang terbuka dengan banyak vista. Kondisi sosial
Akses Masuk Kampung Mancong masyarakat yang berupa low culture tergambarkan pada sebagian masyarakat yang bekerja sebagai buruh pabrik sekitar. Penduduk yang bermata pencaharian berkebun dan bertani hanya tersisa kurang dari 20 persen dari jumlah penduduk kampung. Demikian halnya dengan latar pendidikan yang sebagian besar berupa lulusan SD, SLTP serta sedikit orang lulus pendidikan SLTA. Akses masyarakat terhadap pendidikan pun semakin terbatas dengan minimnya fasilitas pendidikan. Untuk menikmati layanan pendidikan dasar pun mereka harus berjalan kaki kurang lebih satu kilometer keluar area perkampungan. Pengaruh industrialisasi yang kuat pada kehidupan sosial masyarakat tercermin pada rutinitas aktivitas yang dilaksanakan, pergi dan pulang, menuju dan dari pabrik tempat mereka bekerja, sebuah gambaran modernitas. Sebuah karakter komunitas kampung yang mulai menunjukkan sedikit pergeseran identitas rural ke arah urban. Kondisi tersebut secara tidak langsung menggambarkan pula sebuah telaah ketahanan komunitas yang semakin menjauh. Sebagian masyarakat yang bekerja sebagai buruh pabrik menunjukkan ketidakmampuan masyarakat pada komunitas itu dalam menciptakan sebuah kemandirian. Hubungan interaksi sosial pada tingkat individu dan kelompok masyarakat yang ada kurang mampu terwujudkan secara optimal. Pembagian peran pada komunitas tersebut belum
mampu mewujudkan hubungan sosial masyarakat yang terinstitusionalkan. Peran-peran yang ada hanya sekadar formalitas kelembagaan bentukan pemerintah. Pendekatan segi ekologi menunjukkan kampung Mancong yang berada di fringe area antara Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung, yang batas wilayahnya sudah berupa kawasan industri yang berupa bangunan pabrik mengarah tercIptanya degradasi lingkungan. Mulai dari keadaan tanah perkerasan yang tidak menyerap air, pencemaran air dan udara, vegetasi yang mulai berkurang, kualitas air yang kurang layak hingga persediaannya yang kurang, hingga sering terjadinya banjir merupakan salah satu indikasi jauh terciptanya suatu sustainable community pada sebuah kampung. PENUTUP Keberadaan kampung-kampung yang berada di wilayah pedesaan negara kita ternyata menunjukkan pula karakteristik fisik dan sosial yang dijadikan konsep bermukim sekarang di negara-negara maju, yang dikenal dengan istilah urban village. Konsep bermukim tersebut ternyata telah ada sejak dahulu pada permukiman kampungkampung di pedesaan. Sudah saatnya kita melihat dengan pandangan yang berbeda terhadap realitas kampung yang berada di pinggiran kota (fringe area), sebelum keberadaannya punah oleh tekanan pembangunan. STUDI LITERATUR 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8. Tatanan Massa Kampung Mancong
Lang, Jon T., Urban Design : the American Experience, Van Nostrand Reinhold, New York, 1994. Calthorpe, Peter., The Next American Metropolis : Ecology, Community, and the American Dream, Princetown Architectural Press, New York, 1993. Katz, Peter., The New Urbanism : Toward an Architecture of Community, Mc Graw Hill, Inc, New York, 1994. Reiner, Thomas A., The Place of Ideal Community in Urban Planning, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, 1963. Serageldin, Ismail., The Architecture of Empowerment, People, Shelter and Livable Cities, Academy Editions, 1997. Pearson, Michael Parker., Colin Richards., Architecture and Order , Approaches to Social Space, Routledge, London, 1994. Rapoport, Amos., The Meaning of the Built Environment, A Nonverbal Communication Approach, Sage Publications, California, 1982. McClure, Wendy R. and Tom J. Bartuska., The Built Environment, A Collaborative Inquiry into Design and Planning, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey, 2007.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Battle, Guy., Christopher McCarthy, Sustainable Ecosystems and The Built Environment, Wiley Academy, London, 2001. Carmona, Matthew., Tim Heath, Taner Oc, Steven Tiesdell, Public Places-Urban Spaces, The Dimensions of Urban Design, Architectural Press, Oxford, 2003. Tzonis, Alexander., Liane Lefaivre, Bruno Stagno, Tropical Architecture, Critical Regionalism in the Age of Globalization, Wiley Academy, London, 2001. Day, Christoper., Rosie Parnell, Consensus Design, Socially Inclusive process, Architectural Press, Oxford, 2003. Day, Christoper., Spirit & Place, Healing Our Environment Healing Environment, Architectural Press, Oxford 2002. Frey, Hildebrand., Designing the City, Toward a More Sustainable Urban Form, Spon Press, London, 1999. Faga, Barbara., Designing Public Consensus, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, 2006.