Kamis, 31 Januari 2013 - 08:57 Kemanakah Kini Para Penafsir Seni Rupa Itu? oleh Fadjar Sutardi
Sebuah suasana pembukaan pameran seni rupa yang dihelat oleh Galeri Nasional Indonesia di kota Makassar akhir November 2012 lalu. (foto: kuss indarto) DI ZAMAN yang maju dan serba cepat, manusia modern dituntut untuk bekerja cepat pula. Tak terkecuali para perupa (pelukis, pematung, grafikus, pengrajin, fotografer, desainer, arsitek dan seterusnya) juga dituntut untuk berkesenian serba cepat pula. Tuntutan yang cepat melahirkan kegiatan yang padat, antrian yang panjang dan kompetisi yang ketat pula. Produk-produk seni rupa melimpah ruah dengan segala ragam dan bentuknya, mulai yang tradisi, modern dan kontemporer bak gunung yang menjulang. Karya rupa melimpah ruah dan menggunung tersebut, mau tidak mau harus terkomunikasikan kepada publik seni dengan cepat pula. Munculnya banyak pengamat, pengulas, penulis dan kurator bak jamur dimusim penghujan, menjadi penanda atas kemajuan yang cepat tersebut. Ruang-ruang publik juga tumbuh subur, seperti tak bisa dikendali. Ajang pameranpun dilakukan dengan berbagai daya dan gaya tariknya. Hampir setiap hari di kota-kota besar selalu terjadi peristiwa pameran seni rupa yang beragam rupa penampilannya. Pesatnya kegiatan pameran seakan mengiringi dan mengimbangi kegiatan produk lain manusia, seperti produk berpolitik, bertani, berburuh, bersosial ekonomi, ilmu dan teknologi yang terlebih dulu menjadi keinginan dan
kebutuhan manusia modern dengan segala kelengkapan-kelengkapannya. Manusia modern memang bekerja ekstra ketat untuk memenuhi seluruh keinginan hidup dan matinya, seakan mereka tak hanya membutuhkan 24 jam untuk memenuhi keinginannya, tetapi mereka butuh 48 jam siang malam. Mereka menginginkan perputaran ruang dan waktu secepat kilat. Tujuannya hanya satu, yakni berkeinginan untuk memiliki terhadap apa saja. Bahkan terhadap siapa saja. Rumah, mobil, musik, lukisan, burung-burung, kuda tunggangan, taman-taman, buku-buku, minuman, makanan dan apa saja yang dihadapannya, inginnya dilalap dengan rakusnya. Kebutuhan, keinginan yang condong menjadi kerakusan bergerak cepat mulai di pusatpusat pemerintahan, propinsi, karesidenan, kotamadya, kabupaten dan mungkin sesekali di kecamatan, bahkan kelurahan. Gaya dan “kerakusan” hidup manusia modern bertambah satu, yakni suka menghadiri pameran lukisan. Mereka menganggap bahwa menghadiri acara pameran lukisan, sama persis dengan kegiatan belanja ke mall, supermarket, wisata ke luar negeri atau acara keluarga di pemancingan. Mereka mengharuskan dirinya untuk melihat, membeli, mengoleksi lukisan-lukisan sebagai kebanggaan seperti tetangganya, sebagai kenangan dan kebanyakan katanya sebagai investasi. Rumah orang-orang modern dipenuhi barang-barang seni,seperti uang kuno, koran lama, komik, majalah lama, lampu, kursi, meja, almari, dinding kayu jati kuno, lukisan, guci, keramik, wayang golek, wayang kulit, lukisan pelukis terkenal dan sebagainya. Rumah mereka seakan menjadi “museum” pribadi. Orang-orang modern yang congkak tetapi cerdas ini, dengan sigap dan merasa mengerti segala-galanya tentang seni rupa, menghabiskan sebagian uangnya untuk mengumpulkan barang-barang loak tersebut. Pameran yang digelar di galeri, museum, taman budaya, art space, hotel-hotel, pusatpusat perbelanjaan, kampus, sekolah, pendopo-pendopo, penginapan atau di rumah orang kaya yang menyediakan venue pameran, selalu dikunjungi orang-orang modern meruah. Orang-orangpun hadir mengunjungi tempat-tempat itu, seakan tak ada bosannya. Orang-orang berputar dari ruang ke ruang, entah mengerti atau sekadar menjadi penyaksi bagi perupa yang sedang bersukaria menyambut kedatangan mereka. Mendatangi acara pameran seni rupa, benar-benar menjadi sesuatu yang mengangkat gengsi mereka. Suasana ini ditangkap oleh para perupa tak kalah gayanya, setiap event pameran seni rupa diselingi “daya pukau” suguhan aneka jenis dan berbagai hiburan untuk tamu-tamu orang modern kaya dan cerdas ini. Suasana meriah benar-benar terbangun dengan berbagai harapan, seperti agar para tamu pengunjung yang datang menyambanginya, antusias untuk mengoleksi karya-karya mereka. Para perupa
“menyediakan” kemasan-kemasan yang menarik, mulai dari sekadar sajian solo organ dengan penyanyi yang seksi, campur sari, paduan suara, pembacaan puisi, performance art, folk song, wayang kulit pentas satu jam, tari-tarian, pantomime, keroncong, kethoprak, lawak, sampai hiburan yang sifatnya highclass, seperti pertunjukkan musik jazz. Penampilan para perupa, juga menakjubkan layaknya selebrities. Baju, celana, rambut, sepatu, jam tangan, gelang, kalung, mobil terkesan sebagai perupa papan atas banget. Tak ada kesederhanaan, seperti zaman Affandi dulu ketika pameran. Tak ada kewibawaan jiwa. Tak ada kehormatan bagi ruh mereka. Semua sudah berubah seakan menjadi kumpulan kaum “borjuis”, kaum hippies yang bebas dan merdeka. Bahasa kata dan isyarat mereka, tidak mudah dipahami oleh awam. Kata-kata mereka cas-cis-cus yang tak mengesankan jiwa yang mendengarnya. Tokoh masyarakat seperti anggota DPR, anggota MPR, ketua partai, menteri, dirjendirjen, kepala dinas, walikota, bupati, camat, lurah, pemain sinetron, para diva, bahkan para ustadz, romo dan kyai dihadirkan untuk memberikan sambutan dan sekaligus membuka pameran, pameran yang dibuka tokoh terkenal dirasa memiliki kesan berbobot, berwibawa dan agung. Tidak hanya itu, para perupa juga meminta tokoh pelukis terkenal untuk kiranya mau “merangkap” sebagai penulis, pembuat catatan, pengamat atau semi-kurator untuk memenuhi halaman dan lembar catalog yang tebal dan mewah. Katalog dicetak warna warni dengan desain yang menawan, sampulnya tebal setebal kitab suci, dengan berpuluh-puluh halaman kitab katalog itu menampilkan tulisan sambutan-sambutan, kesan para sahabat dan sponsor yang mendukungnya. Tak lupa foto karya juga dibuat format ukuran besar-besar. Dekorasi panggung dibuat mewah, dengan tata lampu layaknya seperti upacara pernikahan. Para pembesar memberikan sambutan-sambutan. Tepuk tanganpun memenuhi halaman venue pameran. Para peserta pameran berjajar dipanggung, para pemotret sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut. Suasana panggung narsis dan anarkhis. Para peserta pameran bersama beragam jenis orang yang hadir berputarputar melihat-lihat karya yang dipamerkan dengan tawa ria, diselingi tubuh membungkuk sekadar mendekati karya atau mungkin melihat judul dan ukurannya. Para “pejabat” berkeliling-keliling bergerombol, satu persatu diminta juru potret untuk mengabadikan peristiwa langka, aneh dan meriah itu. Dari sisi kekaryaan pameran-pameran diselenggarakan di berbagai tempat memang disajikan untuk memenuhi “nafsu keinginan” mereka yang berduit. Karya yang disajikan tak ada kaitan dengan latar belakang dan realitas jiwa keseharian, ketika para perupa hidup berdampingan dengan masyarakat lingkungan yang membesarkannya. Karyakarya muncul, melesat dan terpampang dengan megahnya, sebagian besar mirip
fotografi, mirip poster dan berbagai ragam “ke-letheg-an visual”. Para perupa tanpa risi apalagi sungkan kepada masyarakat bawah yang tak mengerti maksudnya, pada hal ikut membesarkannya. Pokoknya bikin karya mirip perupa luar negeri dengan harapan dapat mendunia. Perupa banyak menggunakan aji mumpung, yang pada awalnya mungkin tergiur selera pasar yang dianggap menghantarkan kesuksesan. Para perupa kemudian coba-coba dan akhirnya dengan beraninya, para perupa membuat loncatan tinggi dengan menampilkan karya-karya yang tak ada hubungannya dengan kehidupan seharihari. Contohnya, di Indonesia beberapa tahun terakhir lahir berpuluh-puluh lukisan wajah mirip Mao Tse Tung, Bunda Theresa, Gandhi, Hitler, Che Guevara, Marlyn Monroe, Nelson Mandela, Dalai Lama, Muhammad Ali, Pele, Bruce Lee, Lady Diana, Billy Graham, Barack Obama yang diambil dari majalah asing semisal majalah Time, untuk kemudian “dimainkan” perupa kita. Maksudnya kita semua tidak tahu, kenapa muncul tokoh-tokoh asing nyelonong ke benak perupa Indonesia. Ada satu dua yang menampikan tokoh Indonesia, seperti Bung Karno, Sri Sultan HB IX (memakai baret milik Che Guevara). Dan tak lagi mengangkat Diponegoro, Hasanudin, Pattimura atau Syahrir, Hatta, Hamka seperti para perupa sebelumnya. Dunia nyata keseharian mereka tak pernah dijadikan guru kehidupan. Guru mereka siapa, kita tidak tahu. Semua bergerak. Semua berjalan. Seakan semua sah. Semua boleh. Semua halal. Gambaran tersebut masih berlangsung sampai akhir tahun kemarin. Pergantian tahun yang merangkak sebulan ini, kemungkinan sama saja. Tak ada perenungan dan evaluasi mendalam. Mereka sudah terformat selera pasar yang mewah dan mencandu. Tetapi apa benar, sudah benar mencandu atau hanya sekadar basabasi, ikut-ikutan sebagai gaya hidup yang meniru-niru? Pembiaran-pembiaran berlangsung dan bergerak cepat tanpa landasan yang jelas. Para perupa dan masyarakat rupa ada yang menuai spekulasi ini, hasilnya memang membuncah melimpah ruah dengan dolar-dolar. Tetapi ada pula perupa yang karam, tenggelam begitu saja. Ada yang berjalan dengan selamat sebab “diuntungkan” kabegjan, kata Bob Sadino di televisi. Kemana Arah Perjalanan Seni dan Kehidupan Kita? Dari waktu ke waktu, zaman memang digerakkan oleh pemilik modal besar yang menganggap diri mereka paling maju dan modern. Dengan dasar kemodernan ini, para pemilik modal besar itu dapat menciptakan apa dan siapa saja. Pemilik modal besar dapat dengan hanya waktu menitan melahirkan politikus, ekonom, teknokrat, seniman, sosiolog, psikholog, teolog. Politikus ciptaannya melahirkan partai-partai yang diarahkan pada kemenangan dan memperbesar mesin modal besarnya. Ekonom ciptaan para pemilik modal besar mengabdikan hanya pada ekonomi global dan bukan ekonomi
untuk orang-orang kecil. Teknokrat hanya membuat jaringan kemajuan untuk mengabdinya. Seniman, memuja telapak kaki orang-orang besar. Sosiolog melanggengkan konsep keseharian kelas orang-orang besar. Psikholog, tak pernah membela orang-orang kecil. Teolog, seakan bertugas hanya mengembangkan narasi keduniaan dan bukan menafsirkan firman-firmanNya pada jiwa orang-orang kecil. Setiap rencana tidak menguntungkan orang-orang kecil,yang dilakukan justru pembenaranpembenaran konsep mereka dan bukan memecahkan persoalan mendasar orang-orang kecil ini. Sekadar kembali ke masa silam ratusan tahun yang lalu, kesenian, entah seni rupa, musik, sastra dan teater dahulu kala diciptakan para seniman yang empu, yang pujangga, yang menghormati adiluhung memiliki daya guna untuk mencerahkan kehidupan. Masyarakat diajari untuk mencari kebenaran, melalui lingualisasi, visualisasi, audovisualisasi kesenian sebagai medianya. Masyarakat diajari tentang kehidupan yang seimbang, harmonis dan adil. Kesenian menjadi sesuatu yang mengharukan jiwa-jiwa masyarakat. Kehidupan menjadi damai penuh dengan salam keselamatan. Para raja diajari untuk memerintah dengan penuh kesabaran keadilan dan kejujuran. Para seniman, berfungsi sebagai guru kehidupan. Para seniman bertugas menjadi penerjemah dan penafsir kehidupan. Mereka tafsirkan hidup menjadi dan dipraktikkan menjadi adat-istiadat, kebahasaan, kesenian, mata pencaharian, sosial kegotongroyongan, kelautan atau kemaritiman, keagamaan dan kepengelolaan alam lingkungan dengan penghormatan penuh kebersamaan. Guru tafsir kesenian, mengutamakan tugas-tugas bekerja (berkreasi) dan tak banyak berkata-kata (teoritis). Guru tafsir kesenian, meneladani, memberi contoh tentang pentingnya merawat akan kebersatuan alam, Tuhan dan manusia. Guru tafsir kesenian mengajarkan tentang makna tanah dan makna air dan bukan mempersoalkan politik kenegaraan. Karena guru tafsir kesenian, sejatinya adalah pemimpin “kenegaraan” (kenegarian) dalam masyarakat nyata dan bukan masyarakat mengambang. Dari waktu ke waktu, para guru tafsir lahir silih berganti secara alami. Tak ada goncangan, tak ada perebutan, tak ada perasaan kepemilikan, tak ada kecongkaan, tak ada pembenaranpembenaran. Semua berjalan memenuhi tuntutan keharmonisan dan pengabdian pada kehidupan, sekaligus pengabdian pada makna kematian. Kesenian berjalan bukan tanpa arah, tetapi hanya mengarah pada sesuatu yang hanya bernilai sehadapan, dan bukan mengarah pada tujuan memuliakan manusia itu sendiri. Nilai-nilai tergantikan oleh materi-materi sesaat yang dapat mencelakakan kepribadian manusia. Dan kini, arah menuju pengabdian ke-material-an mengalami titik jenuh dan titik bosan yang menyesakkan kepala dan dada. Para seniman, yang semestinya
menjadi penerang jalan menuju kearifan, justru terbalik menjadi penggelap yang memekatkan jiwa menganga. Walau dari sisi lahiriah, mereka terlihat hidup mewah dan melimpah. Perjalanan kesenian kini menjadi kabur, tak bertuan, tak berpapan, tak berumah dan tak berpakaian. Banyak orang mengatakan, bahwa seni rupa (asli) Indonesia kini tidak ada. Kemana dan dimana negeri Indonesia, beserta nagari-nagari yang melingkupinya? Di sudut manapun di Indonesia, seni rupa merata sama, tak ada bedanya, tak ada lagi ciri khasnya, tak ada lagi warna-warninya. Berbagai bienalle di daerah, tak mampu mengangkat citra nilai-nilai kelokalan masing-masing. Semua mirip dan semua sama. Semangat Yogja, semangat Bandung, semangat Jakarta, yang dahulu menjadi kompetitor bagi lainnya, sekarang mati suri. Kemana Kini Para Penafsir Seni Rupa Itu? Kita tahu bahwa warisan kesenian berupa catatan perjalanan para seniman sebagai guru kehidupan bangsa ini masih tersebar di goa-goa Saparua, Leang-leang, Seram. Warisan dolmen, menhir, batu berundak, sarchopagus, kuburan batu yang dikorek Walter Kaudem masih kukuh dan kokoh tegak di berbagai wilayah negeri ini. Warisan Patung Silewe Nazarata, gendang perunggu Bulan dari Pejeng, lumbung padi Huta-sihotang Batak, lukisan batu di Goa Duri, Furir Irian Timur, adegan relief Ramayana di Prambanan, lakon Budha di Borobudur, patung kayu burung enggang di Dayak, patung kepala singa di Samosir, lingga yoni di Sukuh, patung raja Nagus dan anak kembarnya di Pematang Siantar, patung kepala dengan anting-anting besar di Tanimbar, Maluku yang sangat “kontemporer” masih utuh dan tegak ditanah air. Warisan topeng bukung di Sampit Kalimantan, obelisk di Sukuh, candi Cetho, candi Borobudur, candi Prambanan, candi Kalasan, candi Mendut, candi Baka masih lengkap menanti sentuhan para guru tafsir modern untuk dijadikan mata air kreativitas dan sekaligus menjaga spirit bangsa ini. Warisan besar bangsa Melayu, berupa masjid, makam, batu nisan berjajaran sepanjang pulau Sumatra. Kaligrafi Pallawa, kaligrafi Jawa, kaligrafi Arab Melayu, kaligrafi Bugis, kaligrafi Toraja merupakan kekayaan luar biasa berserakan di rak-rak prasasti perpustakaan lama. Masih banyak ribuan warisan kreasi para seniman dimasa lalu, yang dibiarkan begitu saja. Tak dijumput, tak disentuh, tak dipandang, tak di rentang oleh perupa-perupa modern kita pada hari ini sebagai dasar berpijak. Mereka menganggap sebagai warisan lama, kuno dan mati, ditinggal begitu saja. Mereka sibuk mengabdi pada arus besar seni rupa pemilik modal, yang mereka namakan arus besar seni rupa dunia internasional. Mereka terjebak pada kubangan-kubangan seni rupa spekulasi yang bernuansa politik
ekonomi global yang membunuh karakter bangsa ini. Sampai hari ini, belum ada upaya membangun spirit lokal yang bernilai tiada tara ini, belum ada kurikulum-kurikulum kesenirupaan lokal yang sangat berharga itu. Belum muncul ahli sejarah seni rupa, ahli antropologi budaya rupa yang dapat mengabarkan penelitiannya, kepada anak didik dan masyarakat untuk menghargai warisan luar biasa tersebut. Sementara perihal lokalitas seni rupa, ada yang memandang sebelah mata, ada yang menganggap tidak merubah apa-apa. Sehingga titik berangkat berkeseniannya, juga menghasilkan mata sebelah saja. Tidak hanya perupa, pangamat, guru-guru besar seni rupa bahkan pemerintah atau kementerian kesenian tak mau faham dan mengerti warisan-warisan Nusantara ini. Di sisi lain ada beberapa guru-guru besar seni rupa yang pernah berperan sebagai penafsir seni rupa lokal Nusantara berpulang satu demi satu, dan anehnya tak ada yang mengikuti jejak langkah mereka. Tak ada yang mau mewarisi perjalanan dan sikap mereka. Tak ada lagi penafsir. Tak ada lagi kritikus. Tak ada lagi penulis sejarah. Tak ada lagi para pemikir. Tak ada lagi yang memandang lokalitas negeri ini. Lokalitas yang sebenarnya wajib menjadi akar berpijak dalam menyuarakan rupa di tingkat dunia. Indonesia dari masa kemasa terjebak pada lingkaran setan yang membuntukan jalan pikiran, jalan perasaan dan jalan pergaulan. Kita hari ini dengan secepat-cepatnya dan tempo sesingkat-singkatnya butuh senimanseniman besar yang menggerakkan Indonesia kedepan.Kita butuh orang yang memiliki komitmen terhadap Indonesia Raya sekuat semangat Raden saleh, sekuat Affandi, sekuat Hendra Gunawan, sekuat S.Sudjojono, sekuat Sudibyo, sekuat Nyoman Lempad, sekuat Soetopo, sekuat Otto Djaya, sekuat Ratmoyo, sekuat Dullah, sekuat Sri Hadi Sudarsono, sekuat Widayat, sekuat AD Pirous, sekuat Wardoyo, sekuat Sunaryo dan kekuatan-kekuatan seperti kuatnya bangsa ini dimasa lalu, agar warisan lokal yang mendunia tak hilang begitu saja. Kita perlu melahirkan para penafsir yang memiliki dedikasi dalam mengabdi untuk negeri ini, tanpa mau memihak pada kepentingan pemilik modal besar yang menghalaubilau (seharusnya ditulis: mengharubiru) perupa modern kita yang mungkin sedang lupa. Ke Depan Perlukah Bangunan dan Kebangunan Seni Rupa “Indonesia”? Menilik akar perjalanan bangsa ini memang tidak jauh dan tidak bisa lepas dari kesenirupaan. Bangsa ini dikenal oleh bangsa lain dari dulu sampai sekarang berkat karya-karya besar seni rupanya. Perjalanan seni rupa Nusantara berkibar berates tahun, tetapi perjalanan seni rupa Indonesia, masihlah baru. Dalam buku Dutch Culture Overseas, karangan Frances Gouda ditulis, bahwa sekitar tahun 1900-an banyak perupa Belanda yang datang di Indonesia. Rudolf Bonet, Walter Spies dan beberapa perupa
lainnya semisal Antonio Blanco sangat berkeinginan menetap di Indonesia. Dari mereka, seni rupa “Indonesia” dikenalkan kepada dunia melalui pameran kolonial di ajang festival kolonial di berbagai Negara, seperti di Paris dan Vancouver AS. Belanda membawa kesenirupaan Bali, Toraja, Bugis, Padang, Dayak, Nias, Solo dan sebagainya. Sambutan pameran kesenirupaan Indonesia, cukup menarik bagi pengunjung tingkat internasional tersebut. Lantas kemungkinan festival kolonial tidak terurus lagi, ketika bangsa ini bertekad melawan Belanda yang dikobarkan Sukarno, Hatta, Syahrir, Sutomo dan temantemannya. Kesadaran akan pentingnya merdeka, juga membangkitkan para perupa yang pro-kemerdekaan Indonesia, seperti Affandi, S. Sudjojono, Resobowo, Trubus dan lainnya. Rupanya bangunan dan kebangunan seni rupa Indonesia, berangkat dari kesadaran ini. Sehingga kesenirupaan modern kita, titik berangkatnya bukan dari kesadaran dari pemilik modal, Belanda misalnya. Tetapi kesadaran kepribadian bangsa sendiri, kerja kreatif sendiri dan tidak mendompleng kepada penjajah. Terlepas setuju atau tidak setuju, pada kenyataannya kesenirupaan Indonesia mendapatkan tingkat apresiasi yang tinggi di tingkat dunia, terletak pada karya-karya besar kesadaran atas kebangsaan yang digerakkan para perupa awal kemerdekaan ini. Karya-karya mereka diakui dunia sampai sekarang. Menyikapi perubahan besar-besaran dewasa ini, khususnya terjadinya kebebasan berkesenirupaan yang sangat liberatif yang dilakukan perupa-perupa modern kita yang mengabdi pada kenyataan pasar yang bermodal besar, sudah semestinya para “pengambil keputusan kesenirupaan” (?) untuk mengingatkan mereka kembali melalui diskusi-diskusi reflektif tentang pentingnya pijakan dasar berkesenirupaan Indonesia, dengan memunculkan kiprah kreatif perjalanan awal bangsa ini. Tentu, model diskusi reflektif ini dianggap sok romantik, sok patriotik. Tetapi, lebih parah mana ketika para perupa hanya “menggantungkan hidupnya” dengan mengabdi kepada pemilik modal besar? Setiap hari hanya menanti datangnya Dewa Booming? Kalau hanya demikian, maka bom waktulah yang akan menumbangkan keperupaannya. Banyak sudah yang tumbang dan terombang-ambing di tepi tebing-tebing jurang yang curam. Permainan rupanya tak kan pernah berakhir. Melingkar dan melingkar setiap hari. Hari ini menjulang, besuk pagi tumbang. Besok pagi tumbang esoknya terjengkang-jengkang. Atau andai tidak berbentuk diskusi, mungkinkah diawali dengan meletakkan dasar-dasar seni rupa Indonesia di tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi. Karena hanya dengan pendidikan, kesadaran bangsa akan tergerak. Hanya melalui pendidikan, bangsa ini dapat menumbuhkan kemandirian dan terbebas dari gurita-gurita bangsa lain. Kita berharap dan bukan mengeluh, di suatu saat semoga muncul kesadaran baru bagi
keberlangsungan seni rupa “asli” Indonesia dalam benak para perupa muda yang lahir, melalui bangunan dasar seni rupa dan kebangunan seni rupa dalam proses pendidikan. *** *) Perupa, mengajar beberapa sekolah menengah di pinggiran barat wilayah Sragen, Jawa Tengah.
Selasa, 25 Desember 2012 - 06:58 Indonesia Berpuisi Lagi oleh Fadjar Sutardi
Penyair Sosiawan Leak. (foto: Suara Merdeka)
INDONESIA dengan budaya Nusantaranya, merupakan sebuah negeri puisi dan negeri kata. Puisi dan kata menghiasi bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Di kota, di kampung, di gunung, di lembah, di hutan, di ngarai, di sawah, di sungai orang Indonesia senang berkatakata (menyusun kata, merangkai kata). Kata-kata yang ditata, diuntai sedemikian indahnya, orang menyebutnya puisi (talibun, gurindam, sajak, sanjak, syair, peribahasa, sonata, stanza, pantun, parikan) dan sebagainya. Di zaman modern yang sangat kontemporer ini, hampir semua orang Indonesia masih “mengunggulkan” senangnya berkata-kata, tetapi bukan menata kata. Senangnya berkata-kata bisa berbentuk membaca teks pidato, membaca puisi, kampanye mendayu rayu, berkhotbah menjanjikan surga, menipu dengan halusnya kata, atau sekedar menasehati anak-anaknya, dipastikan orang Indonesia sangat “nerocos dan cas-cis-cus” dengan kata-kata apa saja, kapan saja dan dimana saja. Dari pejabat sampai rakyat, pedagang sampai pecundang, ulama sampai umaro’, seniman sampai budayawan semua mengamalkan ibadah dengan berkata-kata. Kata-kata yang tersusun indah bernama puisi tersebut mengisi lembaran-lembaran buku, koran dan kitab-kitab. Orang yang memiliki keahlian menyusun kata dinamakan penyair dan bukan puisiawan. Tentang puisi, menurut Wikipedia Indonesia berasal dari bahasa Yunani kuno: ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create, adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk menjaga kualitas estetiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya. Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi. Dari pengertian diatas, puisi memang memerlukan benar-benar harus memegangi ilmunya
tersendiri. Memainkan kata-kata, ternyata tidak main-main. Artinya, tidak hanya sekedar menulis dan berteriak-teriak dibacakan. Berpuisi, adalah menuruti perjalanan hati,jiwa yang tercatat oleh logika otak, yang terkadang suasana hati tidak bisa ditulis dengan kosa kata yang ada. Berpuisi, artinya mengungkapkan isi hati dengan kata-kata, secara jujur dan benar. Puisi dapat digunakan (dimanfaatkan) sebagai alat atau perangkat komunikasi antar manusia. Senada dengan keterangan di atas, Suminto A. Sayuti mengatakan bahwa puisi adalah sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektualitas penyair (penulis puisi) yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya, yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga pilihan tertentu tersebut dapat membangkitkan pengalaman diri sendiri, pembaca ataupun masyarakatnya. Romo Dick Hartoko, mengatakan bahwa, puisi adalah serentetan tulisan pengalaman personal yang dapat menundukkan dirinya, dengan membuahkan kasih (the ultimate reality). Linus Suryadi AG, mengatakan bahwa puisi merupakan catatan kesaksian bagi para penyaksi (penyair), setelah dia menghanyutkan diri dalam telaga kehidupan dengan hati nuraninya secara jujur. Dengan demikian, andai manusia sering menggunakan hati nuraninya, dipastikan ia secara otomatis dapat dikatakan menjadi penyaksi tertulis atas kehidupannya. Dalam perkembangan zaman manusia yang semakin cerdas, puisi sering menjadi media muhasabah, refresh, pangkal titik start-nya kembali, sekaligus menjadi ungkapan citra cinta dengan apa dan siapapun dimana dia hidup dan berkembang. Maka, puisi dari zaman ke zaman berkembang sesuai dengan “kodratnya”. Zaman Hamzah Fansuri beda zaman Sutan Takdir Alisyahbana, beda dengan zaman Moh. Yamin, beda pula dengan zamannya Chairil, Rendra, Umbu, Emha, Linus, Ulfatin, Sitok Srengenge dan seterusnya. Media ungkap puisi juga berkembang, dahulu lewat buku, kemudian koran, radio, televisi, CD, facebook dan seterusnya. Nah pada titik simpulnya, manusia memang masih butuh puisi. Gara-gara puisi, kemarin (21.12.12) Sragen ramai didatangi para penyair dari berbagai wilayah di tanah air, untuk menyaksikan acara launching antologi puisi yang diselenggarakan Komite Sastra Dewan Kesenian Daerah Sragen (DKDS) dengan tema “Dari Sragen Memandang Indonesia” yang dikuratori penyair bengal Sosiawan Leak dan Sus S. Harjono. Acara tersebut diselenggarakan di Pendopo Somonegaran Rumah Dinas Bupati Sragen. Dari sekitar 127 penyair yang diundang, 67 orang bersedia hadir untuk membacakan puisi mereka masingmasing, selebihnya berhalangan hadir karena adanya kesibukan personal penyairnya. Sesuai dengan undangan jam 19.30 WIB acara dimulai, dibuka oleh Bupati Sragen, Agus Fathurrahman, SH,MH dengan prolog sebuah puisi, ciptaannya. Para penyair dan penulis puisi berkumpul duduk rapijali bersama bupati dan stafnya, disertai jajaran pejabat Sragen, para
guru, seniman dan budayawan Sragen dengan menyaksikan pembukaan dengan santai, suka cita tetapi khidmat menikmati acara pembacaan puisi pada malam launching tersebut. Para penyair yang berjumlah 67an orang datang dengan “ABS” (atas beaya sendiri) antusias hadir baik dari kota Sragen maupun dari luar Sragen. Tercatat antara lain dari Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Padang, Pekanbaru, Bandar Lampung, Serang, Bogor, Jakarta, Bandung, Indramayu, Cilacap, Purworejo, Magelang, Tegal, Brebes, Pekalongan, Kendal, Jepara, Semarang, Kudus, Rembang, Blora, Purwodadi, Solo, Yogjakarta, Bantul, Ngawi, Tuban, Surabaya, Malang, Lamongan, Blitar, Sumenep, Sulawesi Selatan dan Banjarmasin. Apa sebenarnya daya tarik para penyair tulus dan ikhlas mau mendatangi dengan antusias dalam acara ini? Daya tarik pertamanya, adalah dari “sikap hidup” bupatinya sendiri. Perlu diketahui, utamanya bagi yang kurang tahu, bahwa Agus Fathurrahman, SH,MH adalah seorang bupati yang sangat dekat dengan para penyair dan para seniman. Penampilan dan gaya hidupnya sangat bersahaja dan nyeniman. Saking dekatnya dengan seniman (kemungkinan hanya bupati satu-satunya di Indonesia yang seperti ini) dengan “jiwa merdeka” pernah sekali ia mengundang WS Rendra untuk pidato kebudayaan di Sragen. Mendiang WS Rendra, sangat senang dapat hadir dan mengalir di Sragen atas undangan bupati di pinggiran wilayah Surakarta ini. Saking senangnya, ketika saya tanya kepada mas Willy (panggilan akrab Rendra) tentang kelonggarannya untuk hadir di Sragen, ia mengatakan bahwa, kemungkinan titik berangkat kebangkitan keduanya, berawal dari Sragen. Ia akan memulai dari arah Timur, untuk memutar ke Barat, ke Utara dan ke Selatan, melingkar mengitari Indonesia Raya, selorohnya. Artinya penghormatan bupati Sragen kepada Rendra, sangatlah membanggakan baginya. Ada kisah menarik bagi bupati yang nyeleneh unik dan menyukai buku-bukunya Rendra, Emha Ainun Nadjib, Gandhi, Karl Marx, Malcom X, Annemarie Schimmel ini, suatu hari dia mendengar berita tentang pementasan Bengkel Teaternya Rendra, dengan spontan (tanpa direncanakan) bupati (waktu itu masih Wakil Bupati sih) berangkat jam empat sore dengan pesawat, menyempatkan nonton pementasan lakon “Panembahan Reso”-nya Bengkel Teater Rendra di Jakarta sendirian, setelah selesai jam dua belas malam pulang langsung menuju Sragen lagi. Memang unik dan gila. Salah satu kegilaan lainnya dengan kesenian, rumah pribadinya sering dijadikan tempat diskusi dan pementasan apa saja yang berkembang di masyarakat, mulai dari cokekan, keroncong, rebana, tari, karawitan, macapatan, teater, pembacaan puisi para pejabat dan rakyat, wayang kulit dan sebagainya. Dengan suka cita bupati yang gemar bercelana jeans dan kaos oblong warna putih ini membangun oase spiritualitas kesenian bersama senimanseniman dalam komunitas Serambi Sukowati yang diasuhnya. Di samping membangun oase kesenian lewat komunitas Serambi Sukawati, Agus Fathurrahman juga “gampang” diundang untuk sekadar menulis pengantar pameran dengan tulisan tangannya sendiri dan membuka pameran seni rupa bagi siapapun yang mengundangnya, ia juga sering
membaca puisi di pusat kesenian resmi, seperti Taman Budaya, menghadiri diskusi kesenian di lembaga kesenian masyarakat pinggiran dan menjadi pembicara kunci dalam sarasehan kesenian di wilayah kabupaten Sragen dan kota lainnya. Termasuk membaca puisi saat acara launching berlangsung, sebagai prolog. Daya tarik kedua, adalah adanya model strategi pengkuratoran puisi melalui email dan SMS. Di tangan Sosiawan Leak dan Sus S.Hardjono, “pengkuratoran puisi” dilakukan dengan semangat dan penuh ketelatenan. Selama kurun tiga bulanan terkumpul kiriman ratusan puisi dari para penyair di seantero Indonesia. Dari waktu yang ada maka bermunculanlah namanama penyair seperti Abdur Rahman el Husaini, Adin, Agus R. Sarjono, Alex R. Nainggolan, Alie Emje, Badaruddin Amir, Bambang Eka Prasetya, Bambang Widyatmoko, Beni Setia, Boedi Ismanto SA, Danarto, Daniel Tito, Dyah Setyowati, Handry TM, Haryanto Soekiran, Indah Darmastuti, Jumari HS, Kusprihyanto Namma, M.Enthih Mudakir, Nurochman Sudibyo YS, Tri Astoto Kodarie dan sebagainya. Setelah “dikuratori” oleh keduanya, terkumpullah 127 puisi yang siap di terbitkan. Dari sisi pengkuratoran, memang nama Leak, pantas dijual dikalangan penyair di Indonesia. Dan baru di kabupaten Sragenlah, pengkurasian puisi berhasil dengan memuaskan. Pine Wiyatno, memprediksi bahwa satu-satunya kabupaten yang menyelenggarakan pengkurasian puisi, barulah Sragen. Utamanya dengan terlibat dan partisipasinya Danarto misalnya sastrawan senior dengan karya mistik relegiusnya, yang memang berasal dari Sragen. Penggalangan puisi oleh Leak, dianggap berhasil, sehingga konon Agus Fathurrahman, selaku bupati sempat tercengang atas banyaknya para penyair yang ingin bergabung dan hadir di Sragen. Dengan dibantu Pine Wiyatno, Heru Agus Santoso, Sumarno, Agus Sulastya, Sutrisno Tile Budiharjo kerja keras yang dilakukan Sosiawan Leak dan Sus S. Hardjono cukup membanggakan, dan baru kali ini puisi-puisi memenuhi kota Sragen dengan ramainya. Daya tarik ketiga, adalah sensualitas wilayah Sragen. Di luaran Sragen dikenal dengan guyonan plesetan Sragen yang sensual. Kata Sragen memang dapat dijarwadasakan: “pasrah sak enggen-enggen”, artinya alam dan masyarakatnya cukup menarik bagi siapapun.Terlepas plesetan tersebut berbau positif atau negatif jujur saja, dibeberapa wilayah Sragen, khususnya dipinggiran barat kota Sragen, terdapat wilayah sensualitas yang sangat puitis, yakni Gunung Kemukus. Sebelah selatan Gunung Kemukus terdapat situs romantis sensual zaman purbakala Sangiran dan sensualitas sungai Bengawan Solo yang membelah keperawanan bumi Sukowati. Tiga daya tarik tersebut rupanya menjadi “point kreatif” para penyair yang berkenan untuk menciptakan karya puisi-puisinya. Selain ketiga wilayah diatas, belakangan muncul romantisme sensual para relawan Kedung Ombo yang cukup menjadi renungan bagi para penyair (ingat! Emha dan Romo Mangun sudi berhari-hari hidup melarat bersama rakyat Kedung Ombo, yang menuntut keadilan di zamannya Orde Barunya Pak Harto itu. Yang kemudian hari Emha semakin kreatif, yang konon melahirkan komunitas Pak Kanjeng dan Romo Mangun,
membangun sekolah rakyat di Gilirejo). Kedung Ombo, sebagian termasuk wilayah Sragen yang airnya menghidupkan rakyat dengan karamba-karambanya. Kampung Batik Kliwonan juga menjadi sumber mata air bagi penyair yang melihat Sragen dengan seluas-luasnya. Ini rupanya yang menjadikan daya tarik para penyair dengan rela hati datang di Sragen. Dari sekian penyair yang nyata-nyata mengeksplorasi dan mengeksploitasi tentang bumi Sragen, dalam kumpulan puisi Dari Sragen Memandang Indonesia terdapat nama-nama antara lain Danarto sendiri, Ayat Khalili, Abah Yoyok, Abdul Azis, Adi Suhara, Agung Yuli TH, Agus Sri Danardana, Alex R. Nainggolan, Alfiah Mumtaz, Aming Aminoedin, Arini Septian Irawati, Ayu Cipta, Budi Setyawan. Boedi Ismanto SA, Daniel Tito, Daru Malhesdaswara, Es Wibowo dan beberapa penyair penting lainnya. Rupanya, kekuatan keindahan Sragen, cukup menjadi perhatian para penyair. Seperti dikatakan Moh. Gufron Cholid, penyair dari Madura, memberikan kesaksian tentang indah dan misterinya bumi Sukowati, khususnya keindahan alami situs Sangiran yang mempesonakan. Gufron berharap, peristiwa berkumpulnya penyair di Sragen ini, dapat ditiru daerah lain. Daya tarik keempat, adalah datang dari sensualitas penyairnya sendiri, pasca mendiang WS Rendra berpulang, pembacaan puisi selaksa mati, tak bergairah, lesu, letih, lemah kurang darah. Puisi, masih ditulis tetapi tak lagi dapat menggerakkan massa. Para penyair, malas berolah puisi, mereka beralih profesi menjadi pelukis, mengasuh pondok dengan mengajar ngaji, mencangkul dan membajak sawah, ada yang menjadi penulis esai, atau jenis pekerjaan yang tak jauh dari habitatnya. Puisi, di zaman korupsi tak lagi memikat hati, tak lagi efektif untuk media mencaci maki, tak lagi berarti bagi tegaknya nurani, tak lagi bisa menepati janji suci untuk mencari nilai-nilai keilahian. Ada satu dua penyair yang setia, tetapi karya yang lahir bak penyair salon (pinjam kritikan Rendra, saat melihat penyair tidak bekerja yang menghasilkan apa-apa). Mereka kalah dengan keadaan yang membelitnya, kalah dengan ketenaran narasi puitis Gde Prama, Anand Krisna, Mario Teguh, Ary Ginanjar dan sebagainya. Para penyair hampir mati suri. Para penyair muda tak memiliki keberanian berguru pada diri sendiri. Berangkat dari keadaan itulah, kemungkinan mereka merindukan arti sebuah srawung, silaturrahmi, gerakan, kumpul untuk memandang cermin citra diri mereka sendiri. Dengan semangat spekulatif seadanya mereka hadir bersapa, mengkritik diri sendiri, mengambil jurus dua puluh untuk melahirkan karya-karya nyata yang bernama puisi yang menggerakkan tubuh mereka sendiri. Di pendopo bupati yang disulap menjadi poem space, mereka uji nyali dengan teman sesama penyair. Dengan mengepal, berjingkrak, berjumpalitan, teriak sumpah serapah para penyair meluapkan isi hati dalam antologi nyata yang bernama silaturahmi bersama. Ada yang setengah, ada yang total, ada yang marah, ada linglung, ada pura-pura bijaksana. Inilah justru daya tariknya, mereka berdatangan di Sragen, kota kecil mungil yang menggegerkan jiwa
para penyair. Mereka saling sapa dengan ejekan dengan menyebut penyair facebook, penyair yang penyiar, penyair yang seperti guru menyampaikan materi ajar pada muridnya, penyair binal, penyair nakal dan seterusnya. Inilah gaya penyair. Jiwa mereka dahaga, lapar dan tak pernah kenyang terhadap keadaan. Mereka saling meminta dan memberi tanda tangan di buku antologi yang launchingkan, saling meminta nomor HP dengan akrab, guyub. Paginya, pendopo itu sunyi dan sunyi lagi. Mereka pulang dengan jabat tangan dekapan erat sambil melambaikan tangannya untuk kiranya mereka bisa berjumpa lagi. Keempat daya tarik di atas, agaknya yang menjadi dasar panggilan nurani para penyair datang ke Sragen dalam acara launching tersebut. Pancingan Leak beserta teman-teman Sragen sangat tepat dan berhasil membangkitkan jiwa mereka. Ruh dan nyawa mereka. Nampaknya peristiwa ini, menjadi mimpi pertama, untuk nantinya melahirkan mimpi-mimpi selanjutnya. Inilah dunia kesenian, dunia jiwa dan dunia keindahan yang barusan terjadi di Sragen. Benar kata Rendra, ketika datang ke Sragen dengan thema yang sama sebangun, Rendra memandang Indonesia. Dan benar juga, Rendra berpulang setelah setahun pidato kebudayaan di Sragen. Kepulangan Rendra ternyata membawa, semangat lahir kembali bagi para penyair. Semoga, mereka menjadi Rendra-Rendra yang bergerak untuk masa depan bangsa yang sedang sakit parah ini. Benar kata Richard Nixon yang sering dikutip bupati Sragen, yang dekat dengan para penyair ini, bahwa ketika politik tak bernyawa, puisilah yang menghidupkannya. Benarkah demikian? Kita tunggu lagi antologi para penyair yang memiliki keteguhan dalam mengepakkan sayap kebangsaan bangsa yang sedang rapuh ini. Fadjar Sutardi, perupa, tinggal di Sragen.
Selasa, 27 November 2012 - 18:53 KALA KULTUR KALA KULTUS oleh Fadjar Sutardi
(foto: kuss) DALAM gerak hidup dan kehidupan, terdapat peristiwa-peristiwa.Peristiwa demi peristiwa mengisi waktu dan ruang selaksa abadi. Tiga peristiwa terpenting yang selalu dialami (diarasakan, dipikirkan) oleh manusia, adalah peristiwa budaya, peristiwa alam dan peristiwa ke-Tuhanan. Ketiganya, dalam proses dialogisnya kemudian melahirkan kultur yang kultus atau kultus yang dikulturkan dari waktu ke waktu pula. Kultur, kulturisasi, inkulturasi, enkulturiasi, akulturasi merupakan proses jejak kebudayaan manusia.Dinamika kebudayaan telah dan akan melahirkan jejaring dan jaringan yang berbentuk tatanan-tatanan sesuai dengan tuntutan zaman. Proses berkebudayaan dapat dengan berbagai bentuk, misalnya bentuk kultur ekstentif dan kultur jaringan biosif. Kultur ekstensif berwujud strategi pemeliharaan, pembudidayaan, misalnya kultur pembudidayaan dengan intensitas rendah, seperti yang dilakukan komunitas kolektif manusia di kalangan bawah, petani, buruh dan sebagainya. Sedangkan pada kultur jaringan biosif, proses kebudayaan direkayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yang diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat manusia kolektif tersebut. Perlu diketahui dalam proses kebudayaan tersebut baik yang ekstensif dan biosif menimbulkan pola kultus (pengkultusan) kepada seseorang, yang dianggap memiliki keluhuran, ia bisa berupa para cerdik cendikia, ulama, pastur, ilmuwan, teknokrat, seniman, raja, presiden. Kultus yang memang memiliki arti pemujaan, pendewaan terkadang dilakukan dengan sembrono dan berlebihan. Robertson mengatakan, bahwa kultus adalah terminologi yang mengklaim kepada seseorang yang dianggap paling benar, terbenar. Yinger mengatakan, bahwa kultus adalah gerakan new religion pada kelompok tertentu yang bersifat doktriner, dan terkadang menyimpang atau menyempal dari religi besar tertentu pula. Pada intinya, munculnya kultusisasi pada diri seseorang, karena adanya anggapan bahwa seseorang tersebut memiliki tingkat spiritual revolusioner. Pada masyarakat yang majemuk, baik yang ortodoks dan protestan, yang modern maupun
yang kolot, yang kampungan maupun yang metropolitan, yang mukmin maupun yang kafir, yang konvensional dan kontemporer dipastikan muncul adanya kulturisasi kultus atau pengkultusan yang dikulturisasikan. Dalam peristiwa budaya misalnya, munculnya kulturisasi kultus disebabkan oleh adanya kekhawatiran pada sebagian besar manusia perihal akan masa lalu dan masa depannya, ketakutan akan hidup dan matinya, atau jatuh bangkit bangunnya. Secara umum manusia memang makhluk unik yang dilematis, satu sisi diciptakan menjadi pemberani, sisi yang lain memiliki ketakutan, kepengecutan dan kepengkhianatan. Dilema dua muka atau dua sifat inilah, hidup manusia serba tergesa-gesa, sekaligus ragu-ragu untuk mencapai puncak tangga tertentu, misalnya. Dan puncak tangga itu adalah kesuksesan hidup material jasmanial dan spiritual rohanial. Manusia dengan akal dan nafsunya, terkadang memuji peristiwa budaya ciptaannya dan juga terkadang memaki peristiwa yang dialaminya. Dalam menghadapi peristiwa- peristiwa utamanya budaya, manusia ada yang melakoninya penuh dengan ketelatenan dan kejelian. Tetapi juga sering dilaluinya penuh dengan intrik-intrik yang berlawanan dengan akal sehat, keduanya akan mempengaruhi proses pelakonan-pelakonan atas peristiwa budaya mulai dari masa kecilnya sampai masa tuanya. Peristiwa budaya tumbuh bersama pola pikir dan pola dzikr ( per-ingatan ) seseorang. Dan seseorang tersebut kemudian diklaim memiliki sesuatu yang dianggap mulia tadi. Dari sini, muncul proses peristiwa budaya kala kultur kultus. Pengkultusan yang disertai pengkulturan dapat terjadi pada ranah peristiwa kebudayaan dan cabang-cabang cakupan dan kajiannya, misalnya pada cabang cakupan dan kajian ekonomi, agama, bahasa, politik, adat istiadat, mata pencaharian, teknologi, seni dan ilmu pengetahuan ( pinjam urutan versi Koentjaraningrat) Coba simak peristiwa budaya yang diciptakan manusia yang mengandung kulturisasi kultus tersebut, misalnya ketika manusia “terperangkap atau sedang tertarik” pada peristiwa budaya politik, maka dari waktu kewaktu, yang digagas hanyalah persoalan politik belaka dengan segala plus minusnya.Dibenak manusia hanya ada satu yang dianggap terpenting pada saat itu, yakni persoalan politik. Politik akhirnya menjadi kultus, dipuja dan didewakan. Dari sikap dan sifat “pengelebihan” pada peristiwa budaya ciptaan manusia, selanjutnya terjadi korelasi dan relasi konsep atau kata kalimat yang dimainkan, dengan terasa “mengasyikkan sekaligus membingungkan”, misalnya permainan kata seni politik, politik seni, kesenian politik, politisasi kesenian, kesenian yang dipolitisir, seni berbau politik yang menimbulkan permainan kata yang berlebihan yang berbau kultusiasi konsep dan kata yang dilontarkan seseorang yang ahli politik, misalnya. Belum lagi misalnya permainan kata yang melahirkan sikap cultism, seperti agama politik, politik ekonomi, bahasa politik, ilmu politik, sosial politik dan sebagainya. Keterperangkapan dan ketertarikan pada permainan korelasi dan relasi atas konsep kata tersebut, kemudia lahirlah ribuan pemikir politik yang “bermain” menggila dan dicatat oleh sejarah yang cenderung menciptakan kekulturan yang mengkultus, sebutlah misalnya, mulai
dari pemikir politik yang eksentrik Socrates, Plato, Aristoteles, Epicurus, Zeno, Cicero, Seneca, Plotinus, Agustinus, Salisbury,Ibnu Sina, Ibnu,Khaldun, Prapanca, Machiavelli, Jean Bodin,Spinoza,Montesque, Rousseau, Immanuel Kant,David Hume,De Bonald, Hegel,Joan Stuart Mill, Nietzsche, Lenin, Hitler, Mussolini, Salazar, Gandhi, Mao Tse Tong sampai Sukarno. Orangorang ini ( yang dikemudian hari dikultuskan ) mengabdikan sepanjang hidupnya untuk mendalami dengan tujuan mempengaruhi manusia lainnya melalui peristiwa politik. Kemudian pengkultusan dengan kulturisasi pada peristiwa alam, alam memang seuatu yang dahsyat, istimewa dan luar biasa. Alam bergerak dengan kekuatan mahamekanis dan mengejutkan. Alam bergerak menurut iramanya sendiri. Pada peristiwa alam yang dahsyat, peristiwa budaya ciptaan manusia akan terkalahkan dengan telak, peristiwa budaya bisa tibatiba hilang dan mati. Pada peristiwa alam yang dahsyat tersebut, terkadang mempesona manusia dan terkadang memporakporandakan jiwa dan nurani manusia. Bagi manusia alam dan peristiwanya menjadi guru dan peringatan. Menjadi guru, karena alam telah memberikan “ilmu-ilmuya” kepada manusia. Dari gerak angin empat musim, aliran sungai yang tenang, sahdu, sekaligus gerak banjir bandang yang memperangahkan jiwa manusia, letupan gunung api, putaran matahari kemerlip bintang dilangit, berjalannya awan, putaran bumi yang memusar, larinya padang pasir dari hari kehari yang berubah, tumbuhnya hutan, derai tawa sawah ladang yang memancarkan kebahagiaan para petani, laju batu dari waktu kewaktu menuju samudra semua menjadi peristiwa yang penting bagi manusia. Peristiwa alam melahirkan pranata mangsa, mekanisme pengaturan air subak, jantra pengatur air yang melahirkan api listrik, siklus tikus sebagai pemangsa dan sebagai hama, nadi gerak para bregejil, gandarwo, glundhung pengingis, banas pati, wewe gombel ( ingat pelukis Wahyu Nugroho Pasuruan yang melontarkan ide tentang pemvisualan dhemit pada karya-karyanya yang sering disebut plural painting ) ingat juga Kidungan-nya Njeng Sunan Kalijaga, saat menaklukkan dhedhemitan dipulau Jawa, cobak simak sekedar beberapa nama-nama dhemit yang dikultuskan masyarakat yang berbentuk macapatan dibawah ini: Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa. Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura. Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrajeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga.
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan. Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira. Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa. Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang. Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajaran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang. Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan. Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa. Luar biasa kan, pengalaman Sunan Kalijaga, tentang penyebutan nama-nama hantu yang dikultuskan di pulau Jawa?` Pengkultusan pada peristiwa alam juga terjadi pada tanah pekarangan yang panas dan pekarangan yang “anyep” ( dingin ) ala feng shui, jatuhnya ndaru pada malam hari, munculnya tanda-tanda pageblug, kiamat dan sebagainya, alam telah memberikan waskita dan wangsitnya. Dari peristiwa alam inilah, kemudian muncul pemujaan terhadap alam lingkungan, laut, sungai, pohon, batu dan sebagainya. Kultus pada alam disini letaknya. Pengkultusan pada alam secara mendalam, dapatlah banyak orang yang bisa bicara dan berkomunikasi dengan bahasa pepohonan, bahasa bunga mawar, bahasa pohon beringin, bahasa gunung berapi, bahasa laut yang tenang, bahasa sungai yang dalam. Banyak orang selama hidup bersama alam ( jadi ingat ustadz Umbu Landu Paranggi ). Mereka mengabdi pada
alam, mereka berharap agar jangan sampai alam marah dan murka, jangan sampai alam berhenti dalam memberi. Selanjutnya pada peristiwa ke-Tuhanan ( ke-ilahian ) manusia diajak “masuk dan masuk” untuk mendengarkan sabda dan firmanNya, melalui dialog yang panjang tentang hakikat hidup dan hakikat mati. Tampaknya Tuhan melemparkan pekerjaan rumah yang berat bagi manusia ( bukan pada hewan,syetan dan malaikat ), yakni tentang hakikat hidup dan hakikat mati. Menengok peristiwa pengkulturan dan pengkultusan akan ketuhanan, pada masyarakat yang belum maju ( ? ), masih berkisar dengan mediasi Tuhan yang bersifat“kematerialan”.Pengkulturan dan pengkultusan kepercayaan pada Lao Tse,Kung Fu Tse, Tahiti, Saminola, Huna,Beun, Poyang Moyang, Budha, Syiwa, Wisnu, Brahma, Stauda, Mithra, Zarathustra, Zandakar, Ahura Mazda, Manu, Kan’an, Phrygia, Adonis, Aponis, Titan, Chaos, Aphrodite, Ghaea, Saturnus, Venus, Uranus, Zeus, Hera, Ceres, Proserpina, Poseidon,Hades, Apollo,Hestia, Minerva, Mars, Dyonisus, Hermes, Leto, Themis, Amor, Iris,Charites, Horae, Parkae, Hebe, Helios, Luna, Aurora, Hesperus, Maia,Galaxias, Siren, Pontus, Janus, Euros, Aquilo dan sebagainya belum juga menukik pada tahapan spiritualitas revolusioner. Artinya, masih terjadi penomorsatuan pada identitas tuhan “kemanusiaan” yang dianggap luhur atau tuhan yang bersifat “kealaman” yang dianggap memiliki kekuatan animistik dan dinamistik. Tetapi gambaran secara umum, para tuhan kultur yang kultus tersebut memiliki tugas dan kewenangan berkaitan dengan keselamatan. Utamanya pada keselamatan saat kelahiran, pernikahan dan kematian yang berbentuk ritus-ritus. Ketiga peristiwa yakni kala ( peristiwa ) budaya, kala alam dan kala tuhan dalam rentangan ratusan, bahkan ribuan tahun, menjadi persoalan yang kompleks dan cenderung menjadi konflik disepanjang sejarah kebudayaan manusia, dari zaman pra sejarah sampai pasca sejarah dewasa ini. Kemudian relevansi dengan agenda dialog Muharram 1434 H yang digelar di Rumah Langit Kebun Bumi ini, menjadi penting, karena ketiga peristiwa yang “berbau” kultus tersebut diatas, perlu diwacanakan untuk ditinjau ulang pikirkan sebagai pengalaman sejarah manusia dari berbagai sisi plus minusnya. Sementara dihadapan kita yang modern dan bahkan supermodern ini, hidup ditengah pusaran dan putaran hegemoni illusion cultur yang akan mempengaruhi cybersoul yang tersembunyi dalam jiwa kita. Untuk itu, perlu mencoba meloncat tinggi-tinggi ke masa lalu, seperti yang diisyaratkan dan dilakukan oleh Nabiyullah Muhammad, yakni semangat dari hijrah ini. Seribu empat ratusan tahun yang lalu, Rasulullah mengajarkan tentang pentingnya kembali pada akal sehat. Akal sehat yang dirawat, dipelihara dengan nilai-nilai keimanan yang tinggi, akan mengangkat kemanusiaan kita pada tingkatan kualiatas ruhaniah yang membumi. Artinya, ruhaniyah manusia modern dengan akal sehatnya, sudah tidak lagi memerlukan sesuatu yang usang. Apa mungkin bisa?
Romo Mangun, dalam bukunya yang berjudul Manusia Pasca Modern Semesta dan Tuhan, terbitan Kanisius,1999 menyatakan bahwa,hanya iman seperti yang diajarkan Ibrahim kita akan mengerti tentang Dia. Kita juga menyatakan seperti proses pendalaman keimanan Romo Mangun dengan bertanya; kenapa mesti Ibrahim? Karena dari ajaran Ibrahimlah kita mengerti tentang Tuhan Yang Esa, Yang Satu, Yang Tunggal, Yang Tak Beranak dan diperanakkan, Yang Patut dan Pantas diimani. Ibrahim hijrah dengan tindakan realistik, yakni mengajak dengan meninggalkan tuhan-tuhan material, menuju kepada tuhan yang haq, yakni Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Caranya dengan mempraktikkan langsung sesuai dengan kemampuan masingmasing ditengah-tengah sosial masyarakat yang kompleks dengan pendekatan nalar ilmiyah. Nalar ilmiyah akan menelurkan masyarakat yang aktif dinamis yang tidak terjatuh pada kubangan kesyirikan ( syirik kecil ataupun syirik besar ). Syirik kecil,dalam tataran masyarakat Jawa tertuang dalam kata yang indah, yakni “aja rumangsa bisa, nanging bisoa rumangsa”. Disinilah bedanya orang yang sadar akan adanya Tuhan Allah yang selalu melihat solah tingkah manusia, dengan orang yang menjalankan sikap adigang, adigung, adi guna. Sikap ini akan menjurumuskan pada praktik kesombongan diberbagai kehidupan wilayah disiplin ilmu yang mengutamakan penghormatan dan toleransi antar manusia ( sesama ). Pada tataran sosial kemasyarakatan yang majemuk, kita diajari oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu nilai percontohan atau uswatun hasanatun, dengan kalimat yang memukau, yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun karso, Tut Wuri Handayani. Sedangkan pada kubangan syirik besar, kita tidak diperkenankan olehNya untuk menghamba kepada bentuk-bentuk ciptaan Tuhan itu sendiri. Ciptaan Tuhan yang sempurna, yakni alam semesta dan seisinya tak boleh disembah puji, karena semesta juga sama-sama sebagai makhlukNya. Dan kita manusia, hanya bagian kecil dari milyaran semesta raya, tentu tidak layak kalau saling menyembahnya. Artinya, yang patut disembah puji hanyalah Allah Tuhan Yang Maha Esa. Perjalanan hijrah, berarti juga paham dan memahami akan kultur kultus yang semakin merebak. Banyaknya sekte, aliran yang memecah belah “ruh iman”manusia juga termasuk dalam perangkap kultus. Banyaknya organisasi keagamaan yang cenderung borjuistik dan tidak membela kaum mustadz’afin, sebenarnya juga merupakan indikasi atas ketidakmengertian akan essensi hijrah ini.Hijrah juga berarti menegakkan keadilan ditengah hukum rimba raya ini. Praktik praktik pemalsuan dalam bidang apa saja, sebenarnya juga tantangan bagi kita berniat hijrah. Titik simpulnya, bahwa kultur kultus disekitar kita memang ada yang perlu terus dirawat dan
disempurnakan, tetapi juga adanya kultur kultus yang menyesatkan hati nurani atau akal sehat. Senyampang kita masih berpegangan dengan nilai-nilai yang tidak berseberangan dengan akal sehat, disitulah kita berlabuh dan menambatkan perjalanan ini. Fadjar Sutardi, penyampai makalah dalam dialog Muharram 1434 H KULTUR KULTUS di
Ruang Seni Rumah Langit Kebun Bumi,Sragen bersama jamaah pengajian Maskumambang Mujahadah, mahasiswa FKIP Seni Rupa UNS, ISI Surakarta, Komunitas Perupa Pintu Mati dan rombongan Kentroeng Rock n Rol Surakarta.
Sabtu, 10 November 2012 - 06:34 Tubuh yang Setubuh oleh Fadjar Sutardi
Figur patung David karya Michelangelo Buonarroti yang dibuat antara tahun 1501-1504. (foto: google) TUBUH dilihat dari dimensi “kedagingan” merupakan gabungan kebersatuan yang saling kebergantungan dan ketergantungan. Tubuh daging terdiri dari puluhan, ratusan, ribuan, jutaan dan milyaran komponen yang saling menghidupkan. Komponen yang terdiri dari kulit, daging, tulang, sumsum, otot, syaraf dan sel-sel tersebut “bekerja dan berdzikir” sepanjang waktu dengan santun, istiqomah, teratur, terukur, tanpa pamrih dan bertanggungjawab sesuai dengan tugasnya secara jujur, tanpa ada yang merasa paling menonjol, paling populer dan paling berjasa. Tubuh tumbuh sesuai dengan kodratNya, tumbuhnya kuku kaki, kuku tangan, bulu kaki, bulu tangan, rambut kepala, alis, kumis, jenggot sangatlah santun, teratur dan “tunduk” pada ketentuan kedemokrasian mekanisme tubuh. Demikian pula berbagai daging yang melekat pada tubuh, pertumbuhan tak sama, tak ada yang ngiri, tak ada yang saling membenci, apalagi protes dengan demo tawuran. Para daging melaksanakan tugas tumbuh dengan apa adanya. Pada intinya tubuh dapat tumbuh dengan teratur dan sempurna, karena adanya keterlibatan dan campur tangan Tuhan secara meta-machinal. Tubuh yang dirancang oleh Tuhan yang Maha Sempurna, dilengkapi olehNya dengan komponen non-kedagingan yang bersifat spiritualistik, yaitu “ruh yang me-ruh” (ruh yang masuk dan menjiwai seluruh komponen tubuh, kemudian menggerakkan, menghidupkan secara mekanis,
ekspresif etik dan artistik). Ruh yang menghidupkan tubuh ini berproses untuk menumbuhkan tubuh secara sensualistik (pinjam Sigmund Freud) dan memiliki daya pikat dan keindahan tiada tara. Gerak kaki, mulut, mata, jari-jari, bahu, leher, denyut nadi, jantung, paru-paru sangatlah menarik perhatian siapapun yang melihatnya, khususnya sesama manusia. Dari daya sensual-kosmis inilah gerak tubuh yang me”ruh” pada akhirnya melahirkan sifat-sifat mulia, seperti cinta, kasih, sayang yang bernilai fenomenal sepajang zaman. Maka tidak aneh, hanya karena gerak betis, seorang laki-laki bisa tersirap darahnya, hanya kedipan mata seseorang, dapat menghanyutkan rasa yang luar biasa. Hanya karena senyuman seseorang dapat “kelabakan” tak bisa memejamkan mata sepanjang malamnya. Hanya karena geraian rambutnya, hanya karena lambaian tangan dan hentakan ritmis kakinya, semua orang terperangkap dan berhenti nadi-nadi syarafnya Tumbuhnya tubuh yang me-“ruh” kemudian menyatu bergerak mencitrakan diri, agar dapat dikenali dan mendapat pengakuan sesamanya atau makhluk lainnya. Citra diri tubuh dan ruh, dibantu oleh kekuatan akal yang bersumber pada otak yang memiliki kelengkapan maha komputer, berkapasitas dan memiliki otoritas tiada tara, dengan milyaran sel yang selalu berkembang secara meta-mekanis dan reflek yang reflektif. Dari otak inilah, tubuh mulai meraba dan mengidentifikasi mana yang hitam dan mana yang putih, mana yang positif dan mana yang negatif, mana yang sakral dan mana yang profan, mana yang penting dan mana yang tidak penting, walau penuh dengan subyektivitas otak bergerak hidup dan menghidupkan untuk dialog, berkomunikasi kepada apapun yang ditemuinya dengan alat bantu berupa supermedia yang bernama panca indra; kuping, mata, hidung, lidah, kulit dan seterusnya. Indera-indera ini, bertugas untuk “mencerdaskan” otak subyektif tadi agar pada saatnya “sadar” tentang keobyektifan (benar, kebenaran, yang Maha Benar dan bukan benar menurut ukuran subyektivitas diri). Dari sini, tubuh, ruh dan alat bantu yang bernama otak dan indera-inderanya mulai paham tentang tugas tubuh secara personal dan tugas tubuh secara sosial (pinjam istilah Kuss Indarto). Pemahaman atas kesadaran tentang tubuh diri sendiri dan tubuh bersama, pada akhirnya melahirkan kepemilahan diri yang subyektif dan diri yang obyektif, sekaligus tumbuh kedialogan diri bersama secara obyektif dan subyektif. Dari kepemilahan medan obyektif dan subyektif inilah, tubuh mulai merasakan kerumitan-kerumitan yang kompleks. Kerumitan yang rumit, akan semakin rumit ketika tubuh tersesat dan terdampar pada kondisi dan situasi yang jauh dari kondisi azalinya. Dimensi-dimensi yang tumbuh di dalam tubuh bergerak dengan analogi dan tafsirnya sesuai idealisme dan pengalaman tumbuhnya masing-masing, sehingga oleh penglihatan “mata diri” terjadilah apa yang dinamakan salah persepsi, salah tangkap atau disorientasi, dis-komunikasi, dis-alokasi tentang pertumbuhannya.
Kegalauan dan kekhawatiran atas dis-dis di atas, kemudian dengan rahmat dan kasih sayangNya tubuh di-”pinjami” Tuhan berupa intuisi, ilham dan atau wahyu yang pada saatya akan bertugas untuk menyelesaikan “konflik demi konflik” tubuh yang berkembang cepat tersebut. Ilham, intuisi, wahyu ditangkap oleh tubuh diri dan didialogkan tubuh bersama, yang pada saatnya akan menjadi semacam kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan atas pengalaman tubuh diri dan tubuh bersama, diakumulasikan melalui teori-teori dan memunculkan dasardasar pegangan atas tubuh yang tumbuh secara ilmiyah (sesuai dengan tuntutan otak murni). Otak atau akal yang terwarnai intuisi, ilham, wahyu secara otomatis menuntun, menasehati tubuh yang me-ruh tersebut dengan kekuatan akan ide-ide, konsep dan dasar-dasar nalar yang mengacu pada kebaikan, kebenaran dan kesempurnaan. Namun demikian, tubuh tidak sertamerta patuh pada otak atau akal yang menasehatinya, karena tubuh juga ditumbuhi sesuatu yang lain, yang selalu berseberangan dengan keputusan akal. Sesuatu yang lain itu, bernama hasrat, krenteg, hawa nafsu, bahan bakar yang menggelorakan, yang menyemangatkan sekaligus yang memporakporandakan tubuh itu sendiri. Hawa nafsu ikut serta dalam “persetubuhan” pada tubuh sepanjang masa. Ia hidup bersama dengan otak, terkadang “manut (tunduk)” terkadang melawan. Tunduknya sangat jarang, melawannya tak terbilang. Oleh Tony Buzan, dikatakan bahwa otak berkecenderungan pada meta-positif dan hawa nafsu berkecenderungan pada meta-negatif. Andai keduanya “itiqomah” untuk selalu bekerjasama, sungguh peradaban tubuh akan tumbuh berkembang melampui tumbuhnya malaikat. Persoalan di atas, kemudian menjadi pokok-pokok pikiran bagi perupa Pintu Mati, untuk kemudian memvisualisaikannya melalui karya-karya dua dimensi dan mendapat uluran tangan terbuka dari Bentara Balai Soedjatmoko Surakarta, untuk dipamerkan ke publik seni rupa Surakarta dan sekitarnya, akhir Oktober 2012 lalu. Pokok pikiran atas tubuh, ditukikkan kemudian dengan tajuk Setubuh. Tajuk Setubuh, menjadi hal yang menarik bagi perupa Pintu Mati, karena problem-problem tubuh dewasa ini berkecenderungan menjadi tubuh yang terbelah. Keterbelahan tubuh dengan ruhnya, keterbelahan tubuh dengan pola pikir otaknya, keterbelahan antara dunia lahir dan batinnya, keterbelahan antara kemampuan tubuh dan lintasan pengalaman hidupnya, diangkat dan dipersoalkan sesuai dengan tafsir masing-masing perupa. Seorang kurator, yang kali ini tidak mau disebut sebagai kurator berkenan untuk “terlibat” dalam pameran ini, yakni Efix Mulyadi. Efix Mulyadi menelurkan tulisan yang bagus dengan judul : Tubuh-tubuh Yang Bertiwikrama. Dalam ulasannya, Efix Mulyadi menyatakan bahwa persoalan tubuh fisik dan simbolik, menjadi persoalan para perupa (baca: manusia) dari zaman ke zaman, tak terkecuali perupa (baca: manusia) Pintu Mati. Walaupun Pintu Mati mengangkat tubuh dengan pembacaan yang beragam sesuai dengan tafsir masing-masing, tetapi pada hakekatnya “kegelisahan” para peserta pameran menjadi sesuatu yang niscaya, ketika zaman
berubah bersama dengan pemahaman atas “tupoksi” tubuh. Keterlibatan atas pameran Setubuh Pintu Mati tidak hanya dari Efix Mulyadi yang mantan direktur eksekutif Bentara Budaya Jakarta. Kuss Indarto, seorang kurator muda juga berkenan hadir dan mengalir di Solo, untuk bicara persoalan tubuh dan setubuh bersama para mahasiswa seni dan dosen, juga seniman dan budayawan Solo, dalam dialog seni rupa bersama Kuss Indarto, Senin, 29 Oktober 2012. Kuss Indarto mengawali dialog seni rupa ini, dengan bicara panjang lebar tentang tubuh dari sisi historis, politis, ekonomis dan etis yang dikanvaskan para perupa dari zaman kezaman. Tubuh-tubuh yang bermukim di kanvas dikontruksi secara bebas dan sewenang-wenang oleh seniman untuk tujuan dan kepentingan yang beragam, misalnya peran tubuh sebagai sesuatu kelaziman, kealiman atau sekaligus kezaliman. Para tiran, dari waktu kewaktu “memanfaatkan” seniman untuk melempangkan proyek-proyek mereka. Dalam beberapa dekade puluhan dasa warsa yang lalu, kekuasaan, politik dan tubuh menjadi alat kekuasaan dan politik yang efektif. Gerakan Nazi, gerakan Marxis, gerakan pemusnahan suku Aztex, gerakan Westerling, perang saudara tahun 1965-an di Indonesia, pembantaian Tiananmen, beberapa kasus di Chechna, Croasia, Libanon, Pilipina, Irak, Iran, India, Poso menjadi bukti bahwa “penghormatan dan penghargaan” tubuh manusia belum pada tempatnya. Dialog seni rupa Pintu Mati yang dimoderatori Nanang Yulianto dengan sub tema: “membaca erorrelegious manusia modern” menjadi semarak ketika para mahasiswa dan dosen seni rupa baik UNS dan ISI. Narsen Afatara adalah salah satunya. M. Zaelani Tammaka (pengamat seni rupa) juga hadir meramaikannya. Dialog semakin memikat, ketika peserta dialog melempar kegelisahannya kepada peserta, yakni tentang “tak adanya penghormatan pada tubuh” di zaman yang serba boleh, serba free, serba dianggap halal ini. Ia menggambarkan, kenapa manusia dewasa ini, tak mau “menaikkan maqom spiritual bagi dirinya” pada tingkatan yang tinggi. Kenapa kualitas manusia dari sisi etik, moral, kebudian dan keluhurannya, semakin rusak, rapuh dan tak berdaya. Ke-erosan manusia yang sebenarnya akan melahirkan spiritualnya, justru yang muncul adalah ke-eror-an manusia yang terjebak pada hidup yang hedonistik. Munculnya jargon anak-anak muda sekarang dengan S3 (sex, show, song) menjadikan bukti bahwa, tubuh yang seharusnya diletakkan pada kerangka ketinggian moral, pada kenyataannya justru diperhambakan pada tingkatan yang rendah, yaitu hawa nafsu. Puncak “penghambaan hawa nafsu”, ketika simbol-simbol tubuh seperti lingga-yoni (kelamin laki-laki dan perempuan), direndahkan serendah-rendahnya dan bukan diletakkan pada proporsinya, seperti semata untuk tujuan keberkahan, kedamaian, kesuburan dan pengangkatan harkat dan derajat manusia. Pembiaran tempat-tempat prostitusi baik yang pinggiran, seperti prostitusi Gunung Kemukus, dan prostitusi yang terselubung di kota-kota besar, menjadi indikasi bahwa dari waktu kewaktu, para penguasa tak berdaya untuk “mengangkat” citra manusia menjadi lebih luhur dan mulia.
Disinilah ke-erosan dipatahkan ke-eroran yang tak membawa kepada nilai dan makna relegius. M. Zaelani Tammaka, menimpali kesemarakan dialog dengan mengambil jalan tengah. Tammaka mengambil sebuah hadits Rasulullah, yang intinya para seniman (khususnya seniman Muslim) “dilarang” menggambar makhluk yang bernyawa termasuk didalamnya manusia. Pelarangan pada teks tersebut bila dicoba direlevansikan dengan zaman ini, agaknya tepat karena pada zaman ini, kemanusiaan disia-siakan. Pada kenyataannya di belahan bumi Barat yang menuhankan kebebasan atau freedom, yang terjadi justru penistaan, pelecehan, perendahan manusia. Yang pada akhirnya manusia menghamba manusia, laki-laki menghamba laki-laki, laki-laki menghamba wanita, wanita menghamba wanita. Dari sekian realitas tersebut di seluruh hidup dan kehidupan mereka terjebak pada penurutan hawa nafsu. Pengeksploitasian manusia atas nama kebebasan seni, pada ujung-ujungnya kebablasan. Narasi hadits Rasulullah lain, juga dikatakan, bahwa bila manusia tetap menggambar makhluk hidup, maka di akherat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya, yakni para perupa diminta “meniupkan nyawa” pada karya seni tubuh makhluk yang dibuat. Kita, memang tidak serta merta “memakan” teks dan narasi hadits Rasulullah tersebut, tetapi kita bisa mendapatkan sarinya, bahwa manusia dilarang untuk mengeksploitasi tubuhnya sendiri. Bila manusia tetap memaksa untuk mengeksploitasi tubuhnya, berarti ia sedang “memakan buah khuldi”-nya sendiri. Pelarangan tersebut relevan, agar manusia tidak berhenti hanya pada tubuh wadag saja, tetapi agar manusia mau “memi’rajkan dirinya” agar mengerti makna penciptaan tubuhnya. Dari sisi ini, manusia tak akan tumpul erosnya, relegiusitasnya dan spiritualnya. Artinya, manusia tidak jatuh pada pengagungan, pengkultusan tubuh dan penyembahan pada tubuhnya sendiri. Pada tradisi seni rupa Islam, tak akan memunculkan tubuh wadag, tetapi yang ditampilkan adalah dari sisi kecerdasan ritmis matematiknya, mengalunnya rasa yang dalam yang diwujudkan melalui bentuk-bentuk kaligrafis yang non biomorfis. Narsen Afatara mempertegas, bahwa rupa tubuh dengan segala aspeknya diciptakan Tuhan memiliki nilai keindahan tersendiri. Rupa tubuh tak bisa dieksploitasi semaunya, tetapi perlu dieksplorasi secara artistic. Pengeksplorasian rupa tubuh, diserahkan pada perupa masingmasing. Yang terpenting, hasil pengekplorasian yang visualkan memiliki “getaran yang wah”. Para perupa (khususnya Pintu Mati) ditantang untuk melakukan eksplorasi besar-besaran secara artistik. Jangan melahirkan karya yang biasa-biasa, tetapi lahirkanlah karya yang luar biasa. Tingkat kedalaman, tingkat pengalaman dan tingkat kerelegiousitasan masing-masing perupa, akan menentukan “kelahiran” karya rupa tubuh yang wah. Pencapaian maqom spiritual, akan menentukan visualitas dan visi yang tinggi juga. Selanjutnya Narsen berharap agar perupa (khususnya di Solo) tertantang untuk mendalami estetika tingkat tinggi, dengan kata-kata naratif-sublimasinya demikian; kita tidak mesti menemukan keindahan pada landasan estetika, tidak mesti menemukan etika pada landasan agama, tidak mesti menemukan ilmu pada
landasan filsafat dan tidak mesti menemukan Tuhan pada landasan kemasjidan dan kegerejaan. Kuss Indarto, menutup dialog dengan satu titik simpul bahwa, tubuh dan permasalahannya tetap menjadi sesuatu yang aktual untuk dipersoalkan sampai kapan pun, baik dengan pendekatan eksploratif atau pendekatan eksploitatif. Pencapaian-pencapaian artistik yang bernilai etik atau bahkan spiritualistik, tergantung pada sejarah perjalanan seniman masingmasing. Ruang dan waktulah yang akan mencatat, apakah perupa terjebak pada nilai kerendahan yang merendahkan atau pada nilai yang tinggi dengan ketinggian yang memuliakan tubuh pada tempatnya yang tepat. *** *) Perupa, peserta pameran setubuh pintu mati, pengelola ruang seni Rumah Langit Kebun Bumi, Sragen.
Rabu, 22 Agustus 2012 - 07:06 Lebaran Berkah versus Lebaran Mubah? oleh Fadjar Sutardi
Menara Masjid Agung Kendari, Sulawesi Tenggara. (foto: kuss) NILAI-NILAI, manfaat dan tujuan berpuasa di bulan Ramadhan hampir semua manusia modern sudah tahu dan faham. Apapun agama, kepercayaan, aliran, ke-Islaman, atau apapun status sosialnya dan bahkan yang tidak punya status sekalipun juga sudah tahu, bahwa berpuasa bertujuan membentuk karakter jiwa manusia agar selalu meng-Ilahiyah, mampu membangun citra diri manusia agar selalu mendapat rahmat, keberkahan dan pengampunan dari Tuhannya. Manusia yang berpuasa digambarkan oleh Tuhan akan mendapatkan ketenangan, kesejukan, kedamaian dan ketentraman hidup. Diharapkan dengan menjalani kewajiban puasa, nantinya manusia terlahir menjadi sosok manusia ideal, adil, jamil, kamil, sehingga dengan mudah menuangkan rasa kasih dan menumpahkan rasa sayang terhadap sesama. Dengan puasa diharapkan oleh Tuhan agar kehidupan manusia jauh dari gelayutan keangkaraan dan kemungkaran, tidak mudah terjebak dan terjerumus ke dalam “penurutan” dan ketaatan kepada Tuhan yang palsu, yaitu hawa nafsu dengan seluruh jajaran jendral-kopralnya. Bagi yang berpuasa Tuhan menjanjikan kepada manusia dengan sesuatu yang menarik, yaitu pencapaian ketakwaan. Takwa itu akan masuk dan merasuk mensucikan jiwa manusia yang kotor. Mengenai takwa itu oleh Toshihiko Izutsu, dikatakan bahwa dengan taqwa manusia akan memiliki kepekaan atas konsep dasar manusia, yakni iman yang menggerakkan etika. Etika yang bersandarkan pada keimanan, akan menjauhkan budaya keangkuhan dan kesombongan yang bersifat bendawi. Puasa dan taqwa menjadi “laku” yang esensial dan sentral di tengah
kehidupan parsial yang mengglobal. Taste dari puasa yang men-takwa, akan dirasakan mulai dari pagi hari sampai sore harinya dengan puncak taste-nya, saat berbuka puasa. Saat demikian manusia akan mengalami ekstase kenikmatan, kerahmatan, keberkahan. Tuhan seakan meletakkan jiwa manusia pada puncak ketinggian ruhaniah tiada tara. Tuhan seakan menggenggam ruh manusia yang berpuasa untuk dikembalikan pada alam alastu birabb. Yakni pengalaman purba manusia saat perjanjian dengan Tuhan sebelum diturukan di atas bumi ini. Di alam alastu birrabb inilah Anne Marie Schimmel menggambarkan adanya “pertemuan kerahmatan dan keberkahan” antara Tuhan dan manusia. Dan manusia berpuasa ini bergumam penuh dengan kenikmatan, seraya berteriak dengan teriakan purbanya dahulu, yaitu balaa sahidna, di titik puncak inilah manusia menyaksikan kembali atas nikmat Tuhan yang diberikan. Di saat buka puasa inilah manusia mendapatkan keberkahan taste-Nya. Sayangnya pertemuan kerahmatan dan keberkahan tersebut, tak akan pernah dirasakan lagi pada manusia modern hari ini, manusia modern takkan pernah mendapatkan suasana di atas. Itu terjadi pada ribuan tahun lalu, itu terjadi di saat manusia belum didera oleh kenyataan dan “keterjebakan” duniawiyah yang maju dan modern seperti pada zaman ini. Keindahan Ramadhan sangat mulia dan bermakna. Hanya di bulan Ramadhan hadir berkah Allah, hadir pewahyuan Al-Qur’an yang mulia, hadir kasih sayang Rasulullah yang ditaburkan kepada para abdillah yang fakir dan yang miskin, hadir keindahan seribu bulan malam lailatul qadar, hadir ribuan malaikat yang menyejukkan manusia di bumi, hadir kekhusukan sholat tarwih yang menggemakan langit, hadir kelezatan buah kurma dan seteguk air yang berkah, hadir kesetiaan para istri dalam menghidangkan menu makanan dan minuman yang berkah, hadir kemenangan para syahid dalam memuliakan kemanusiaan. Sayang manusia modern, tak kan lagi “menikmati” itu semua. Manusia modern tak akan bisa membayangkan lagi, apalagi merasakan indahnya nilai-nilai “pure” Ramadhan yang mulia ini. Hal ini terjadi karena manusia modern tak lagi meninggikan dan mengutamakan kemuliaan hati, tak lagi memuliakan akal yang sehat, tak lagi menghormati ke-ilahian, tak lagi mendalami makna kerahmatan, keberkahan dan curahan ampunan. Manusia modern tak lagi mengerti makna ketinggian Ramadhan, tak lagi mengerti “keluhuran derajat orang yang berpuasa”, manusia modern tak akan lagi bisa membaca kemuliaan ajaran Muhammad. Tak bisa lagi mengerti seruan kelembutan Abu Bakar, kehangatan Umar bin Khatthab, kerendahhatian Usman bi Affan dan kesederhanaan yang menakjubkan Ali bin Abu Thalib. Manusia modern sudah lupa dan jauh dari seruan “langit” keindahan puisi Jalaludin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Al-Ghazali, Jamaludin al Afghani, Muhammad Iqbal. Manusia modern tak
akan bisa lagi memaknai ajakan budaya “tani yutun”-nya Sunan Kalijaga, keterlibatan audiovisualart-nya Sunan Bonang dan Sunan Giri. Takkan lagi mengerti dan apalagi memaknai kritikan isyarat zaman edan Ronggo Warsito. Di sekitar kita, manusia modern tak akan lagi merasakan “joke sufiyah”-nya Pak AR Fahrudin Yogya, lembah manah-nya Kyai Mangli Magelang, sindiran puitispolitisnya Mbah Lim Klaten, jiwa kreatif Kyai Alawi Muhammad Bangkalan Madura. Takkan lagi mendapatkan kesantaian jiwa Gus Dur dan seterusnya. Di Yogya misalnya manusia modern tak akan lagi, dapat melek-melek dengan jiwa merdeka menikmati malam seribu bulan di sepanjang Malioboro bersama ustadz Umbu Landu Paranggi, renungan jiwa sastranya Jamaah Shalahudin dengan Kyai Kuntowijoyo, melukis bareng-bareng bikin kartu lebaran bersama Cho-Chro disepanjang jalan Solo, misalnya. Manusia modern hanya merasakan kehadiran Ramadhan dalam bingkai-bingkai hedonika, sajian-sajian selebritika, menu-menu orkestra politik dan akhirnya menutup Ramadhan dengan jiwa korupistik. Hanya untung dan untung bendawi yang dicari. Kehangatan dengan memuliakan sesama manusia di bulan Ramadhan, tergerus dengan “tekanan dan ancaman” profanisasi Ramadhan secara sistematik melalui promo besar-besaran dengan pemanfaatan visual culture di sepanjang jalan Anyer sampai Panarukan warisan Belanda itu, dari Sabang sampai Merauke, ibaratnya. Di televisi, koran, majalah, facebook, twitter tumpah ruah memutarbalikkan kemuliaan Ramadhan yang spiritualistik, menjadi profanik. Kompetisi sistemik yang liar dengan pemanfaatan visual culture hedonic, dibungkus dengan suasana relegiomaterialistik tumpleg-bleg dengan riuhnya, semua orang memaksa dirinya untuk bikin dan menikmati lagu religi, semua orang dipaksa pakai peci dan sarung, semua orang dihingarbingarkan “buber” (buka bersama) di mall, hotel, masjid, gereja, kelenteng yang menganggap kegiatan tersebut bernilai dermawan, semua orang memaksa diri menjadi ustadz, semua orang memaksa diri untuk seakan-akan alim. Yang menggelikan, di hari pertama puasa, banyak orang yang mulai mengucapkan selamat hari raya. Inilah gaya spiritualistikhedonik manusia modern. Ketenangan jiwa Ramadhan diganti dengan keriuhan bendawi yang menyesakkan. Keriuhan semakin kentara, ketika lebaran tiba. Alih-alih mendapatkan kemerdekaan jiwa, rasa taqwa ataupun justru yang muncul adalah kesumpekan, ketegangan, keputusasaan. Kesemua itu bisa terjadi, karena manusia terjebak pada tawaran-tawaran lahiriah yang berbentuk industrial visual culture, yang diciptakan manusia itu sendiri. Coba bayangkan, di setiap jelang lebaran manusia modern menciptakan “karya visual instalasi industri” di sepanjang jalan, di sepanjang gang. Ratusan ribu mobil, jutaan sepeda motor bergerak dan macet, macet dan berhenti secara kolosal, yang sekaligus melahirkan paradoksal. Manusia modern selaksa “ayam mati di lumbung
padi”-nya sendiri. Kemodernan yang dahulunya dianggap akan melahirkan kebahagiaan, justru menelikungnya. Kemewahan industrial yang dahulu dianggap sebagai sarana kebahagiaan, justru memperangkapnya. Ramadhan dan lebaran akhirnya menjadi sampah dan sumpah serapah. Dari sinilah manusia modern kehilangan daya batinnya. Batin menjadi tumpul, akal sehat menjadi mandul, jiwa jernih menjadi bahlul, keangkaramurkaan yang dibungkus oleh kemegahan sesaat merasuki ruh manusia yang semakin jahul. Ramadhan dan lebaran dikacau oleh keserakahan tanpa batas, kemegahan tanpa batas, keriangan semu tanpa batas, keindahan kulit ari tanpa batas. Manusia modern, tak lagi mengenal dirinya, jiwa dan ruhnya, laksana negeri Aceh telah kehilangan rencongnya. Manusia modern tak mampu lagi melihat Tuhannya. Manusia modern tak mampu lagi melihat Nabinya. Yang justru dilihat, dipatuhi, ditaati adalah tuan Howard Hathaway Aiken, tuan Andre Marie Ampere, tuan Edwin Howard Amstrong, tuan Francis Wiiliam Aston, tuan Francis Bacon,tuan Leo Hendrik Backeland, tuan Adoff von Baeyer, tuan Alexander Graham Bell, tuan Carl Frederich Benz, tuan Clarence Birdseye, tuan Johan Friederich Bolttger, tuan Tycho Brahe, tuan Thomas Alva Edison, tuan George Stephenson, tuan Norbert Wiener, tuan Wright Wilbur, tuan Vladimir Kusma dan sebagainya. Tuan-tuan tersebut dijadikan TuhanTuhan oleh manusia modern. Manusia modern, tak lagi mengenal dirinya, jiwa dan ruhnya. Manusia modern tak mampu lagi melihat Tuhannya. Manusia modern tak mampu lagi melihat Nabinya. Tuhan-Tuhan modern memberikan “rahmat dan nikmat” pada manusia modern, manusia memanjakan hidupnya dengan menyembah komputerdigitalnya Aikin, menikmati berkahnya Ampere, memenuhi gendang telinganya dengan FMnya Howard Amstrong, mencandariakan dirinya bersama Graham Bell, melanglang buana imaginer di dunia maya bersama Tuhan Winner, pulang kampung di hari lebaran dengan menciumi punggung Wright Wilbur, di sepanjang siang dan malam di bulan Ramadhan dan Lebaran manusia modern diharubiru rayuan Tuhan Kosma yang melenakan, yang melalaikan, yang melupakan hakikat dan tujuan ramadhan dan berlebaran. Kemajuan bendawi, menjebak manusia. Alam tak lagi terkembang. Panas matahari tak terukur. Rembulan yang dahulu cantik, sekarang redup, malu dan cahanya kabur, hanya karena manusia modern yang sok Islami, “memperebutkan” rembulan dengan ru’yat yang diplintir, hilal yang tak lagi dipercaya. Di sinilah kemudian Tuhan-tuhan modern tertawa terbahak-bahak, mengangkangi kepala keras jahul manusia, menyeret kebahlulan manusia kebianglala, yang tak ada ujung pangkalnya. Yang di kerajaan dan yang di gubug-gubug liar sama saja. Yang di mimbar dan yang di tikar sama saja. Yang di jalanan dan yang di ladang sama saja, yang di sekolahan dan yang di selokan sama saja, yang di pasar dan yang di selasar sama saja, yang di
de-pe-er dan yang di emper-emper sama saja. Tunduk dan patuh pada Tuhan-tuhan kapitalis dan materialis yang memporakporandakan kemanusiaan manusia. Manusia tak lagi ber-rahmat, ber-hidayah, ber-inayah, ber-barokah dan ber-taufiq. Manusia berpuasa dan berlebaran dengan berjingkrak kegirangan di sepanjang jalan dan trotoar. Tetapi yang berjingkrak-jingkrak hanya raganya dan bukan jiwanya. Jiwanya menepi entah kemana. Lalu lantas apa yang harus dikerjakan di tengah hingar bingar audiovisual culture bendawi pada bulan Ramadhan yang diakhiri lebaran ini? Pertama, mengajari diri dan keluarga untuk “mengambil yang sedikit dan membuang yang banyak”, artinya paham mana sampah dan paham mana yang rahmah. Paham mana yang barokah dan mana yang mengandung fitnah. Paham mana yang masuk di jiwa dan paham mana yang masuk di hawa nafsu. Paham mana kebutuhan dan mana yang hanya berbentuk keinginan. Paham mana niat yang suci dan paham mana sentuhan jiwa yang “merak” hati. Kedua, merenungi diri bersama keluarga untuk “memasukkan yang masuk dan mengeluarkan yang keluar”. Yang masuk adalah ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, kesederhanaan dan merasakan sesuatu dengan apa adanya. Yang keluar, adalah keinginan untuk selalu “moncerblater” (terlihat oleh orang lain dengan penampilan lahiriah), padahal moncer dan blater membutuhkan “daya dana” yang besar. Dan belum tentu kita dan keluarga memiliki stok untuk kemonceran itu. Gaya hidup perlu, tetapi kalau hanya terjebak pada tampilan visual, sebenarnya kan menipu diri. Benar atau tidaknya masing-masing punya ukuran sendiri. Dalam bahasa Nabi yang ditafsir ulang Kuntowijoyo demikian, kalau bisa dalam hidup sebaiknya jiwanya tertambat pada masjid (menambatkan jiwa kita dengan memperbanyak sujud) dan bukan “terkinthil-kinthil” pada pasar dunia (mall oriented). Ketiga, menerapkan guyonan kata-katanya Mbah Man (Emha Ainun Nadjib), yakni kalau bisa mengambil logika terbalik dengan “melangkah ke belakang dan mundur ke depan”, artinya mengejar kemajuan bendawi, tanpa sandaran rohaniawi manusia akan mengalami kekosongan hidup, kehampaan kematian dan tak akan bisa kembali pada saat manusia masih hidup pada zaman azali. Selain itu, mestinya menyadari bahwa yang hari ini merasa terdepan, dipastikan pada suatu saat akan terbelakangkan oleh kuasa Tuhan (sunatullah). Yang hari ini merasa terpinggirkan, saat yang sudah dipastikan akan mengalami keutuhan akan keterdepanan. Seperti kata mas Willy (W.S. Rendra) dulu, bahwa katanya langit di dalam dan langit di luar sama saja. Bencana dan keberuntungan “sami mawon”. Ketiga lemparan pada tulisan ini, sebenarnya mengarah dalam pencarian dan memaknai Ramadhan yang barusan berlalu dan lebaran yang hadir hari ini secara adil dan normal. Nah, ini semua menjadi kewajiban kita (seniman, budayawan, rohaniwan, pengelola seni media massa on line he..he..), khususnya kewajiban para pengambil kebijakan peradaban tentunya ditunggu-
tunggu karya-karya besarnya, agar setiap datang Ramadhan dan Lebaran dapat bersama-sama menahan diri untuk menjadi manusia yang mengutamakan “citra apa adanya” daripada “citra apa-apa punya” yang akhirnya dapat kita lihat akibatnya. Macet, macet dan macet. *** *) *Fadjar Sutardi, perupa, tinggal di Sumberlawang, Sragen.
Selasa, 10 Juli 2012 - 12:01 Seni Rupa Kita Hari Ini: Hura-hura dan Haru, tapi Tidak Harakiri oleh Fadjar Sutardi
Kolektor seni rupa dokter Oei Hong Djien saat berdiskusi bersama politisi Fadli Zon di Museum Affandi, Yogyakarta, Senin, 9 Juli 2012. (foto: Youdi Ombak) datang ya, pada diskusi sehari
tentang sosok “Affandi selera estetik, arsitektur dan dunia pengkoleksian karya seni”. Senin 9 Juli 2012, pk 10.00 s/d 15.00 wib,di Museum Affandi YK. Pembicara: Dr.St.Sunardi, Dr.Agus Burhan, Dr.Sita Adhisakti, dr. Oei Hong Djien, Fadli Zon. Mohon disebarkan.Txs. (SMS Kuss Indarto dikirim 8-Jul-2012 08:02:53) SKETSA (pinjam istilah Dr. St. Sunardi) dan warna-warni (pinjam istilah tokoh Islam liberal Ulil Abshar Abdalla) seni rupa kita kembali semarak dan hangat, saat Museum Affandi mengadakan perhelatan menarik, yaitu launching buku “The Stories of Affandi” yang dihadiri Hatta Rajasa, 8 Juli 2012. Perhelatan launching buku yang berisikan tentang sejarah dan catatan cerita tentang Affandi akan menjadi data akurat tentang apa dan siapa Affandi tersebut, dapat dikatakan tepat waktu dan tepat sasaran, serta sepertinya seakan menjadi isyarat zaman, ketika beberapa waktu lalu (entah benar atau hanya joke) dunia “sejarah” seni rupa kita buminya menjadi gonjang-ganjing dan langitnya kelap-kelap, para perupa dan kolektornya kelap-kelip. Mengapa demikian? Karena sejarah seni rupa tentu akan tercatat dengan agak cacat, khususnya informasi tentang pemalsuan karya-karya para maestro, termasuk karya Affandi. Pemalsuan
para maestro menjadi “santer banget” ketika karya-karya palsu tersebut konon kebetulan diduga dikoleksi oleh “kolektor maestro” di negeri ini, dr. Oei Hong Djien. Selain launching buku penting tersebut, yang lebih menarik perhatian lagi, Museum Affandi esok harinya, 9 Juli 2012 juga menggelar acara diskusi seharian dengan mengundang para pakar yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang kesenirupaan. Diskusi “dikomandoi” dua moderator cerdas dan khas dengan gaya “kocak Mataraman” dan Ngayogja banget, yakni Samuel Indratma dan Kuss Indarto. Keduanya seharian membawa alun ombak diskusi dengan hangat dan penuh hasrat pula, sehingga peserta diskusi benar-benar merasa terlibat lahir batin. Terbukti lebih kurang dua ratus peserta diskusi yang hadir “terbawa” dengan baik oleh keduanya. Diskusi yang dimulai 10.30 wib (molor sedikit) berakhir pukul 17.00-an (lebih sedikit) bila dibandingkan dengan jadwal yang dipatok. Samuel Indratma memandu Dr. St. Sunardi, Dr. Agus Burhan, Dr. Laretna Sita Adhisakti pada sesi pertama, Kuss Indarto memandu Fadli Zon, Ss. MSc. dan dr. Oei Hong Djien pada sesi sorenya. Para perupa banyak yang hadir, baik sesepuh dan para perupa mudanya, yang barangkali mereka masih ada ikatan emosionalnya dengan sosok Affandi, misalnya Djoko Pekik, Sun Ardi, Subroto Sm., Ny. Suliantoro, Edi Sunaryo, Suatmadji, Nasirun, Syaiful Adnan, Robert Nasrullah, Ali Umar, Gigih Wiyono dan sebagainya, juga hampir seluruh putra-putri keluarga Affandi hadir dengan ayahan penuh keramahtamahan menghampiri yang hadir. Yang menjadi daya kejut, daya kecut dan daya pecut dalam acara ini, khususnya diskusi seharian tersebut, yakni munculnya pertanyaan dan sekaligus perenungan yang meluas dan melebar tidak hanya pada Affandi an sich, yaitu tentang seberapa jauhkah para perupa (pelaku seni, penulis seni, ahli seni, kurator seni, kolektor seni) memahami dan paham benar akan pentingnya sejarah seni rupa kita, baik pribadi seniman pelaku sejarah maupun konstelasi idealisme, politik, sosial budaya dan “ngefek” ekonomi yang melatarbelakangi lahirnya karyakarya seorang perupa, dalam hal ini khususnya Affandi. Pada titik ini (pinjam istilah Dr. St.Sunardi) konsentrasi seni rupa kita (kreator dan apresiator beserta ahli warisnya) seakan “blingsatan” saat zaman bergerak (pinjam istilah Robert Nasrullah) menuju arah ke depan dan juga terkadang terpaksa menuju arah pada kemunduran. Kita mafhum semua, bahwa dunia seni rupa kita dewasa ini mengalami titik jenuh yang berkepanjangan. Yah, setelah berkali-kali mengalami orgasme booming, sesuai dengan sunnatullah, kayaknya mengalami kepayahankepayahan. Terjadinya kepayahan-kepayahan tersebut, karena di tengah kerja orgasme, dilahirkan tebaran virus yang cengeng dan kurang cerdas, yaitu virus counterfeit, juga virus false. Dalam dunia “perdagangan” memang sah, ketika stok atau barang habis, maka “master stock” yang masih ada dicoba direkayasa, direkadana, direkadaya agar seakan stok-stok tersebut benar-benar ada.
Kalau dalam logika pedagang kelas teri, banyak cerita yang nyinyir tetapi justru yang mendengarnya ngakak, misalnya, pedagang dedak katul beras, terpaksa harus berani dan nekad demi mengamalkan ibadah (pinjam istilah Samuel Indratma) tanpa ingat dosa-dosa, yakni dedhak katul yang dicampur dengan bubukan batu padas putih, konon dedhak katul campuran tersebut, setelah ayam melahapnya, cepat atau lambat ayam harus mati dengan terpaksa. Inilah huru-hara yang mengharukan seni rupa kita dewasa ini. Benar juga peribahasa rakyat Jawa kalangan petani, yang kalau saya Jawakan terekam demikian; wong Jawa kuwi pinter nggawe ning ora kuwat nggawa, njur akhire ngguwang kang digawa ana sakjroning guwo, kamangka nyawane dadi gowang. Benar juga ketika Bung Karno, wanti-wanti agar selalu pakai Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Maksudnya mungkin, ketika zaman mengajak kita untuk berubah, jangan sampai kita owah (lupa, gila). Dahulu para perupa berkarya seni rupa untuk memenuhi panggilan tugas Negara, Negara saat itu juga peduli pada para perupa. Para pemangku dan pamengku Negara saat itu mungkin sadar betul akan isyarat zaman, yakni ketika politik menjadi panglima, maka seni-lah yang menjadi penengah dan solusinya. Artinya, walau terjadi huru-haru, tetapi harapan kita tidak terjadi harakiri para perupa dimanapun berada. Benar dan tidaknya isyarat tersebut, suka tidak suka zaman telah menunjukkan pada kita semua. Kita selalu terlambat, tertinggal, tertipu oleh para pecundang. Benar juga isyarat Ronggowarsito, ketika menggambarkan zaman Kalabendunya, saat itu manusia hidup terkonsentrasi pada tujuan bendawi, entah halal atau haram mereka tidak peduli, entah asli atau aspal yang penting hepi. Coba simak, ramalan tentang bencana peradaban yang menimpa zaman, mungkin telah sampai juga pada zaman kita.
Iki sing dadi tandane zaman kolobendu Lindu ping pitu sedino Lemah bengkah Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara Pagebluk rupo-rupo Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati Zaman kalabendu iku wiwit yen, Wis ana kreto mlaku tampo jaran Tanah jawa kalungan wesi. Prau mlaku ing nduwur awang-awang Kali ilang kedunge Pasar ilang kumandange Wong nemoni wolak-walik ing zaman Jaran doyan sambel Wong wadon menganggo lanang
Zaman kalabendu iku koyo-koyo zaman kasukan, zaman kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman ajur lan bubrahing donya. Mulane akeh bapak lali anak Akeh anak wani ngalawan ibu lan nantang bapak Sedulur pada cidro cinidro Wong wadon ilang kawirangane, wong lanang ilang kaprawirane Akeh wong lanang ora duwe bojo Akeh wong wadon ora setia karo bojone Akeh ibu pada ngedol anake Akeh wong wadon ngedol awakke Akeh wong ijol bojo Akeh udan salah mongso Akeh prawan tuwo Akeh rondo ngalairake anak Akeh jabang bayi nggoleki bapake Wong wadon ngalamar wong lanang Wong lanang ngasorake, drajate dewe Akeh bocah kowar Rondo murah regane Rondo ajine mung sak sen loro Prawan rong sen loro Dudo pincang payu sangang wong Zamane zaman edan Wong wadon nunggang jaran Wong lanang lungguh plengki Wong bener tenger-tenger Wong salah bungah-bungah Wong apik ditapik-tampik Wong bejat munggah pangkat Akeh ndandhang diunekake kuntul Wong salah dianggap bener Wong lugu kebelenggu Wong mulyo dikunjara Sing culika mulya, sing jujur kojur Para laku dagang akeh sing keplanggrang Wong main akeh sing ndadi Linak lijo linggo lica, lali anak lali bojo, lali tangga lali konco Duwit lan kringet mug dadi wolak-walik kertu Kertu gede dibukake, ngguyu pating cekakak
Ning mulih main kantonge kempes Krungu bojo lan anak nangis ora di rewes Abote koyo ngopo sa bisa-bisane aja nganti wong kelut,keliring zaman kalabendu iku. Amargo zaman iku bakal sirno lan gantine yoiku zaman ratu adil, zaman kamulyan. Mula sing tatag, sing tabah, sing kukuh, jo kepranan ombyak ing zaman Entenana zamanne kamulyan zamaning ratu adil. Kutipan zaman Kalabendunya Ronggowarsito, terpaksa saya muat secara lengkap. Dikandung maksud, agar kita yang hidup ditengah ketidakkaruan, kebohongan, tidak menderita penyakit keterbelahan jiwa, utamanya bagi para perupa, yang hari-hari ini sedang “ngragati anaknya sekolah” yang kebetulan belum beruntung, kalau misalnya terpaksa harus membuat lukisan palsu, niatilah dengan tulus demi untuk “nyambung nyawa keluarga”, kalau pada saatnya nanti zaman berubah dan dewi fortuna sedang masuk di dalam rumah kita, kita tidak kaget dan tidak buru-buru merasa menjadi master apalagi maestro (he..he.., kayak muballigh, omongane ndakik-ndakik). Pokoknya jalan dan tidk melakukan harakiri tadi. Kembali dalam persitiwa diskusi di Museum Affandi, kita yang hadir dipaksa untuk cerdas dan jujur, untuk bersama-sama merenungkan gayeng dan goyangnya zaman, baik moderator, pembicara dan peserta diskusi. Usai diskusi yang hangat dan hampir menegangkan tersebut, saya beranjak pulang tiba-tiba di tengah perjalanan HP berdering, ternyata Kuss Indarto kirim SMS, yang kebetulan saat itu saya on the way sampai Kartosura. Aneh SMS Kuss Indarto itu terkirim saat saya tepat sampai perempatan bangjo utara bekas keraton Kartosuro, pikiran saya tiba-tiba menerawang menyeruak kembali kemasa silam sejarah per-Keraton-an Jawa yang buram, mungkin seperti buramnya seni rupa kita saat ini, yakni pecahnya atau bedahnya Surakarta menjadi Kartasura yang dikeping-keping oleh kepentingan penjajah, jangan-jangan ini juga isyarat zaman, ingat juga tarian kolosal sajian beberapa tahun lalu, yang dipandhegani Mas Don (panggilan akrabnya Sardono W. Kusumo) yang dulu sering ketemu diskusi tentang wong Solo di Balai Soedjatmoko, yang akhirnya menelorkan pameran seni rupa Wong Jawa Ilang Jawane itu. Begini SMS Kuss Indarto; matur nuwun rawuhipun pak Fadjar. Monggo menawi badhe dipun serat, hehehe. Entah serius atau sekadar basa-basi, Kuss Indarto mengajak kita agar peristiwa demi peristiwa yang barusan terjadi dan mungkin yang akan terjadi, dapatlah direkam-tulis kembali pada pikirannya masing-masing, agar suatu ketika saat terjadi hal-hal yang menyesakkan dada bangsa seni rupa, kita dapat mengambil tali simpul yang kuat, yakni kebijaksanaan dan kearifan. Mungkin begitu, kehendak Kuss Indarto. Kalimat mangga menawi dipun serat, saya renungkan mendalam. Kemudian di tengah rinai gerimis, pukul 02.45 wib, SMS itu memang mengganggu pikiran ini, lantas tangan ini (mungkin diarahkanNya) untuk meraih buku Claire Holt (terjemahan R.M. Sudarsono) yang menulis buku lacakan seni di Indonesia, buku Kenneth M. George yang menulis kebijaksanaan hidup
berkesenian AD Pirous, buku Mapping Human Hystory-nya Steve Olson, bukunya Dr. H.J. De Graaf yang menguak tentang kekuasaan Mataram, bukunya Dr. Frances Gouda tentang Dutch Culture Overseas, bukunya Hasan Muarif Ambary tentang jejak peradaban bangsa khususnya seni rupa ini, bukunya Y. Sumandiyo Hadi yang mengalunkan ritual agama melalui seni, bukunya Yayah Khisbiyah yang berisi tentang sinergi agama dan budaya lokal, bukunya Zakiyuddin Badawy yang mewacanakan pluralitas budaya lokal, juga tangan ini meraih majalah Tempo edisi 25 Juni - 1 Juli 2012 dengan sampul putih dengan illustrasi sang kolektor kita yang tegar dan tetap tertawa, ber-headline lukisan “palsu” sang maestro. Entah sengaja atau tidak majalah tersebut masih tetap saya bungkus plastik, dan tetap terjepit dengan binder clips warna hitam saya centhel-kan di tiang kayu jati lama dan lapuk rumah limasan kampung di sudut ruang kerja saya. Kontras benar majalah yang bersampul warna putih, bergaris tepi merah yang terjepit clips hitam seakan menggambarkan betapa kesenian yang dahulu putih seputih kertas, merah semerah darah para pejuang yang syahid, sekarang tercengkeram oleh “kekuatan” lembar plat besi penjepit hitam yang garang. Tulisan ini bukan melengkapi diskusi yang menarik dan lengkap tersebut, tetapi saya hanya ingin sekadar mencatat yang tercatat yang tidak perlu dicocoti (istilah khas Jawa Timuran, bila di Ngayogjakan artinya dicangkemi) atas peristiwa seni rupa dewasa ini, yang serta merta menjadi berita dan isyu yang menarik, dan menarik untuk disikapi dengan tenang dan cerdas. Dari peristiwa diskusi para pakar seni di Museum Affandi tersebut, kita diharapkan mau dan mampu mengembangkan pemikiran yang lengkap, antara lain sebagai berikut, pertama diperlukan perluasan keahlian bagi para pengamat, para pengamat, kurator dan keluarga perupa, yaitu pengkajian dari sisi historis. Di Indonesia, seperti yang diisyaratkan Dr. Agus Burhan, memang belum ada pakar dan ahli kesejarahan seni rupa, kalau ada biasanya tidak konsisten dan tidak betah dalam dunia kepenulisan sejarah, karena dananya sangat besar dan bagi pengkaji sejarah kurang diuntungkan dari sisi finansialnya. Oleh karenanya, pihak lembaga dan isntitusi seni, semisal ISI perlu “membuka” fakultas sejarah seni rupa atau minimal jurusan sejarah, yang disana para calon ahli sejarah ditempa untuk nantinya menjadi ahli sejarah, yang tidak hanya sekadar pandai menulis biografi tokoh, tetapi juga mendalami rambu-rambu hukum keotentikan kekaryaan seni rupa yang dilahirkan perupa, di saat situasi dan peristiwa yang karenanya mempengaruhi lukisan-lukisan yang dibuatnya. Keahlian dalam kesejarahan seni, bukan semata-mata ahli mengklaim kebenaran dan kejujuran perupa, tetapi diharapkan benarbenar mengabdikan dirinya pada profesi yang meluas pada wilayah-wilayah kesenirupaan secara umum. Kedua, diperlukan pemahaman atas kekuatan hukum pada karya-karya yang dilahirkan perupa. Beberapa tahun yang lalu majalah Visual Art pernah mengangkat persoalan lukisan palsu ini, titik tekan pada headline majalah ini baru terfokus pada pagar yang memang sudah baik, tetapi
terkadang rumit, misalnya bila ahli waris menjual karya-karya mereka, disertakan surat sertifikasi pelegalan karya yang dijual atau yang dibeli kolektor misalnya. Tetapi, celakanya ada kasus yang menarik, seperti misalnya teman saya mempunyai kenalan di Surabaya, perihal lukisan karya seorang maestro katanya. Ia dimintai tolong untuk menjualkan lukisan yang katanya asli, kemudian ia berusaha mensertifikasikan keaslian karya tersebut, tetapi belum sampai pada ahli warisnya, ia mengatakan susah dan rumit ngurusnya. Artinya, pensertifikasian pun ternyata juga ada permainan yang menarik. Dari sini, pada saatnya nanti diperlukan undang-undang yang dibuat pemerintah yang berkaitan dengan hukum-hukum yang diperlukan, mengingat bahwa sebenarnya para perupa adalah aset bangsa dan negara, demikian seperti yang diharapkan Dr. Oei Hong Djien. Tetapi tampaknya para pakar dan peserta dalam diskusi kemarin, dalam pembicaran tentang peran pemerintah dalam soal ini memang pesimis. Berbeda dengan pak Hong Djien, Fadli Zon optimis tentang peran pemerintah dalam merealisasikan angan-angan para perupa, optimisme Zon ini beralasan mengingat angggaran pemerintah di bidang pendidikan dan kebudayaan sangatlah besar, pada tataran persoalan hukum nantinya dapat diselesaikan pada etape berikutnya, asalkan para perupa tidak hanya berkarya, tetapi juga aktif berperan dalam meng-ngegol-kan cita-cita tersebut. Ketiga, para perupa dan juga nantinya para ahli warisnya, sebaiknya jangan terlalu bersemangat bersekutu dengan para kolektor, art dealer, para blantik (pokrol), para banjet seni rupa yang terkadang mengganggu “kemerdekaan jiwa” para perupa. Sebagaimana seperti yang dilakukan AD Pirous yang selama ini tidak mau bersekutu atau dekat dengan para kolektor manana pun, bukan pelit tetapi AD Pirous sangat memegangi prinsip dasar berkesenian. Pak Pirous sering mengatakan, lukisan dan tulisan saya adalah catatan perjalanan spiritual pribadi. Perupa Bali satu-satunya yang anti “melepas” karyanya kepada kolektor, misalnya Ida Bagus Made, seorang pelukis eksentrik yang mencak-mencak dan semangat kalau bicara soal kolektor, art dealer dan konco-konconya. Tetapi dasar kolektor, mereka tidak mudah patah arang, suatu hari Ida Bagus Made, kecolongan karyanya yang terbaik, dengan jalan yang unik. Seorang kolektor mengutus kurir yang sudah akrab dengan pak Made, intinya karya pak Made akan dikoleksi sendiri, dengan senang hati melepaskan karyanya yang terbaik tersebut. Begitu, dia tahu karyanya sudah terpampang di museum terkenal di Bali, Sang Eksentrik Made, misuhmisuh, mencak-mencak, sumpah serapah tidak karuan. Ini dinamakan prinsip, dia butuh uang tetapi dengan jalan yang normal, begitu kira-kira. Ketiga hal yang menjadi pembicaraan inti para pakar dalam diskusi di Museum Affandi, yang memang menarik, segar, penuh dengan daya kejut yang menggetarkan jiwa kita, sekaligus kecemasan, kekhawatiran akan kualitas akhlak bangsa ini, yang kemudian tercatat dalam rekaman pikiran saya. Pada akhirnya akan menjadi pekerjaan rumah kita yang panjang, penuh
tantangan baik internal dan eksternal. Kita tidak perlu membuat gerakan apapun dan memusuhi siapapun, tetapi kesadaran untuk membangun kesenian yang sesuai dengan akal sehat, dan bermartabat sangatlah diperlukan. Kesemua hal tersebut tidak bisa lepas dari tingkat keilmuan, wacana, pengalaman, kerjasama, kebersamaan untuk meninggikan derajat bangsa pada ranah seni dan kebudayaan. Dengan harapan pewaris kita, akan menemui zaman yang memenuhi ruang jiwa mereka yang jamil dan kamil. Kita memerlukan sebuah peradaban yang tetap terjaga, agar bangsa ini mengerti makna kearifan dan kebijaksanaan. Pada saatnya nanti, entah kapan bangsa ini dipastikan akan tetap dan masih melahirkan para maestro yang tidak hanya sekadar “sebagai” maestro, tetapi juga “menjadi” maestro yang berjiwa empu-empu, yang abadi dan menjadi tempat berguru bagi anak bangsa seni rupa ini. Para empu akan menyejarah dalam perjalanan zaman, dan bangsa ini memiliki monumenmonumen besar (pinjam istilah Dr. Laretna Sita Adhisakti), yang tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan. Benar kata pepatah Latin yang masuk dalam sanubari kita: Ars Brevis Vita Longa. *** Fadjar Sutardi, peserta diskusi di Museum Affandi, perupa, pegiat komunitas Pintu Mati Solo,
pengelola seni Rumah Langit Kebun Bumi (RLKB), ketua komite seni rupa LSBO Muhammadiyah PDM Kab. Sragen tinggal di Celupak RT. 25, Mojopuro, Sumberlawang, Sragen.
Minggu, 01 April 2012 - 08:13 Halaqah Seni dan Akhlak Masyarakat oleh Fadjar Sutardi
Komunitas seniman di Yogyakarta saat berdialog dengan Sultan Hamengkubuwono X, 1 Januari 2012 dini hari di Sangkring Art Space. (foto: kuss indarto) MENGANTARKAN pemikiran yang mengarah
pada persoalan karakter atau akhlak manusia merupakan sesuatu yang rumit dan kompleks. Kalau kita mau menengok sejarah manusia taruhlah berangkat dari 1500 tahunan yang lalu, tokoh panutan dan teladan besar dunia Nabi Muhammad telah memberi isyarat, bahwa sesungguhnya kedatangannya di muka bumi ini hanya ada satu tugas suci, yaitu menyempurnakan akhlak atau budi pekerti. Target pokok Rasul adalah “mengembalikan manusia” sesuai kejadian asalnya, yaitu jujur, adil, tenggang rasa, saling tolong, tidak merasa super, bijaksana dan seterusnya, yang intinya agar manusia mempertahankan kualitas karakternya (character quality). Tugas-tugas membangun karakter (character building) inilah Rasul kemudian diikuti oleh manusia yang berkualitas, seperti sahabat, tabi’in-tabi’in, ulama, da’i, musyahid, ustadz, kyai, tuan guru, ajengan, romo, pandita, syaikh, maulana, sayid dan sebagainya. Mengapa mesti harus ada pembangunan karakter? Tidak dahulu dan tidak sekarang, manusia yang asal muasalnya sebenarnya merupakan makhluk yang baik, tetapi ketika melihat dan menjalani kehidupan dunia ini, manusia berubah menjadi makhluk yang ganjil, aneh, berwarna. Misalnya karena kekuatan akalnya dan kekuasaannya manusia dapat mengancam kehidupan makhluk lain, bahkan bangsanya sendiri yang berwujud manusia juga. Tuhan telah mengisyaratkan, bahwa diantara manusia yang baik (ingat! Baik, artinya: ketika manusia masih miskin dan lemah, ia dianggap orang yang sopan, sabar dan taat), juga akan lahir manusia yang diberi kelebihan (ingat, kelebihan di sini dapat berupa kepintaran, kepandaian, kekayaan, kekuasaan) yang nantinya dapat menjadikan manusia memiliki sifat jahat, misalnya mementingkan sikap amarah, suka tergesa-gesa, suka berkelahi/bermusuhan, iri, dengki, jahil, sok berkuasa, adigang adigung adiguna yang dapat membahayakan kehidupan dan ketentraman manusia satu dengan lainnya. Syahdan Tuhan, juga menciptakan manusia-manusia pilihan yang memiliki karakter yang baik dan menjadi cahaya kehidupan manusia pada umumnya, mereka diciptakan sebagai penyelamat sekaligus membangun kesadaran jiwa, ruh, hati agar kehidupan berjalan, berlangsung dengan teratur, tertib dan bahagia. Para Nabi, Rasul yang jumlahnya ribuan diutus untuk melaksanakan titah Tuhan untuk mengabarkan tentang menata hidup dan kehidupan secara benar dan mengingatkan tentang rumitnya kehidupan di bumi, karena di bumi juga diciptakan makhluk lain (jin, setan) yang akan membentuk citra manusia jahat, karena setan dapat leluasa mengubah citra baik manusia melalui sel darah-darah mereka. Seperti dikemukakan diatas, para Nabi dan Rasul dan tersambung oleh lahirnya para penganjur kebenaran, mereka lahir ditengah kejahatan, kebobrokan manusia dan mereka terketuk (diberi hidayah) untuk meluruskan dan mengembalikan posisi manusia kepada sifat asalnya, sebut saja misalnya mulai dari bangkitnya kesadaran Sang Budha, Khong Hu Cu, Santo Paul, Martin Luther, Gandhi, Jalaludin Rumi, Imam Ghozali, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Krisna Murti
sampai dengan Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Hamka, YB Mangunwijaya, Mario Teguh, Gde Prama bahkan yang ditingkat yang lebih merakyat, misalnya Gus Dur (sebelum jadi Presiden) Emha Ainun Nadjib, Mustofa Bisri, Muji Sutrisno, Zaenudin MZ, Aa Gym, dan seterusnya. Orangorang ini menganjurkan kebenaran bukan mendapatkan wahyu Tuhan secara langsung, tetapi melalui mediasi teks firman yang ditafsirkan secara bilma’tsur, bir ra’yi dengan pemilihan maudhu’i (tematik) dan lafdhyi (istilah) juga sabda Nabi yang diaransir ulang menjadi kata-kata hikmah yang diaplikasikan menjadi pidato-pidato, dialog pemikiran, puisi, kata mutiara, parikan, peribahasa, kata pasemon, pantun, lagu-lagu, denting piano, teater, gambar, tari dan seterusnya dan sampailah kepada publik yang beragam dan sesuai dengan kadar jiwa imannya. Dari luasnya “tugas para pemikir perubahan” atas karakter manusia ini, sebenarnya sangatlah berat bila persoalan ini hanya sekadar dipikir, ditulis dan kemudian dibukukan atau diprocedding-kan. Intinya kalau hanya sebatas retorik heroik materialik, pada akhirnya akan siasia dan tidak sampai pada sasarannya, seperti dikatakan oleh Darni M. Daud, rektor Universitas Syiah Kuala dalam pertemuan tahunan Forum Rektor Indonesia di Universitas Haluoleo yang dimuat Kompas.com beberapa waktu lalu, dia berujar: "Kita sering membicarakan karakter bangsa, tetapi hanya sebatas retorika. Tidak sedikitpun tercermin dalam kehidupan sehari-hari, terutama dari pemimpin bangsa. Padahal, pendidikan karakter itu efektif dengan keteladanan”. (ini pernyataan retorik, serius atau basa-basi?) Tak terkecuali, usaha-usaha dialog, seminar seperti yang ramai dilakukan orang ketika muncul kebijakan pemerintah mencanangkan program tertentu, tetapi terkadang kurang menukik pada persoalan yang mendasar. Walaupun demikian, kegiatan seminar, dialog juga masih perlu, yang dianggap nanti akan menghasilkan sesuatu yang positif. Dengan catatan, harus dilakukan dengan konsisten, intensif dan terus-menerus untuk direalisasikan di lingkungan masing-masing (rumah, sekolah, kampus, masjid, gereja) dan selain itu juga masih perlu diadakan forum-forum dialog resmi dan tidak resmi untuk meniti jalan panjang perubahan dalam rangka penyempurnaan akhlak masyarakat dan bangsa. Minimal forum atau seminar tersebut dapat dijadikan “kancah kenduri pemikiran” bagi para cerdik pandai, dan atau siapapun yang masih peduli terhadap makna dan tujuan pendidikan akhlak (character) yang memang sangat urgen dan mendesak untuk dilakukan. Judul tulisan Halaqah Seni dan Akhlak Masyarakat di atas, diangkat dan difokuskan pada pembacaan terhadap maraknya kegiatan-kegiatan tak resmi yang dilakukan masyarakat kalangan bawah (tua, muda, kaya, miskin, petani, buruh, tukang becak) yang mediasinya dengan pendekatan melalui kelompok atau halaqah seni (rupa, musik, puisi, teater, macapatan, sholawatan, dan lainnya). Hal ini diangkat, karena di beberapa tempat baik di desa maupun di kota (kontrakan, kampus, sanggar-sanggar) menurut perhatian penulis, ternyata kegiatan seni mereka “menghasilkan” manusia yang berkarakter dan sadar atas keberadaan dirinya sesuai
dengan kodrat aslinya, dibanding sebelum mereka mengikuti kegiatan halaqah seni tersebut. Kegiatan melalui halaqah seni tersebut, biasanya digerakkan oleh orang yang dianggap “mumpuni” (guru, seniman, tokoh masyarakat) dengan cara sederhana dan seadanya mulai dari alat seni dan bahan penyampai yang digunakan. Di kampung, khususnya dalam masyarakat kelas bawah, pembiasaan-pembiasaan melalui pendekatan seni yang dimasuki dengan nasehat-nasehat agama dengan segala persoalan plus minus mereka, cepat atau lambat akan terjadi inkulturisasi karakter yang lumayan baik dan masuk dalam kehidupan mereka. Komunitas tersebut memang tetap memiliki kelebihan dan kekurangannya, tetapi dari titik tekan pada kemanfaatan komunitas seni yang mereka bangun, disana akan lahir sebuah kebersamaan, keintiman, toleransi, kekompakan, kegotongroyongan, kerukunan dan sebagainya yang dewasa ini memang hampir terkikis habis. Dari hasil proses berkesenian tersebut dapat diukur pada perubahan akhlak anggota komunitas, yang mencakup misalnya pada moral knowing, moral feeling dan moral action. Penggunaan kata halaqah seni dan tidak menggunakan kata komunitas dalam tulisan ini, bermaksud dan bertujuan hanya untuk membedakan kegiatan yang bernuansa spiritual religius dengan kegiatan yang tidak menggunakan pendekatan spiritual religius. Di sini, nantinya akan diilustrasikan beberapa contoh komunitas atau halaqoh seni (sekali lagi maaf, dalam tulisan ini saya lebih banyak dan enak menyebut kata halaqoh daripada kata komunitas, karena kata halaqoh mengarah pada pembacaan yang mengarah pada kegiatan yang bersifat spiritualistik dan relegiusisitik, sedangkan kata komunitas biasanya memfokus pada kegiatan seni yang tidak bersangkutpaut dengan sisi spiritualisasinya) yang didirikan sebagai wahana komunikasi dan pemberdayaan masyarakat yang bersifat lokal dengan titik tekan pada perubahan pola pikir anggotanya yang terlibat dalam komunitas yang diemban oleh orang yang dianggap dapat mempengaruhi perubahan atas karakter mereka, misalnya yang penulis ketahui dan sering terlibat secara tidak langsung utamanya di Surakarta, seperti halaqah seninya Wayang Suket milik Slamet Gundono, padepokan tari Lemah Putih milik Suprapto Suryo Darmo, dan juga halaqah Maskumambang Mujahadah binaan penulis sendiri, yang mungkin dapat dijadikan sebagai ilustrasi pembanding, yang memiliki visi dan misi yang senada dengan halaqah di atas, yaitu bertujuan untuk mengembalikan kesadaran laku lahir dan batinnya melalui pendekatan seni yang mereka “miliki” (rupa, musik tradisi rebana, teater ) yang bernuansa Islami. Kebermanfaatan halaqah seni Keberadaan halaqah-halaqah seni yang berada di beberapa titik tertentu yang hidup baik yang berkembang di kampung-kampung dan di pinggiran kota-kota besar lainnya, sebenarnya telah ada dan berkembang jauh sebelum pemerintah membuat kebijakan (politik) Nasional tentang Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2025. Entah kebijakan tersebut dirancang karena
desakan dari bawah atau keprihatinan pemerintah dan jajarannya atas merosotnya karakter bangsa ini, dan kebijakan tersebut sebenarnya agak terlambat digulirkan. Tetapi bagaimanapun, pemerintah telah melihat dengan “mata kepalanya sendiri” bahwa persoalan karakter bangsa ini dianggap sudah sampai pada titik impas dan menjadi persoalan yang sangat memprihatinkan bagi siapapun termasuk pemerintah. Kemerosotan moral yang melahirkan ketidakjelasan karakter bangsa ini, ibarat seperti penyakit “tho’un”, yaitu penyakit yang jarang bisa disembuhkan bahkan cenderung mematikan. Cepat atau lambat persoalan ini menjadi persoalan bangsa dan mungkin hanya dikaji secara teoritiskan. Sementara pengalaman menunjukkan, bahwa kebijakan nasional atau regional biasanya kalau hanya berupa proyek, program dan jargon politik dipastikan hangus ditelan waktu. Seperti obor blarak, ramai dibicarakan, didialogkan, diseminarkan, diproyekkan, diundangkan atau dibuku-bukukan yang kemudian akan menumpuk dirak-rak perpustakaan yang terbengkelai. Mengapa demikian? Ini sekadar illustrasi, karena krisis karakter atas bangsa ini sudah bersifat multidimensional pada semua level masyarakat (Irene Astuti, 2011). Di berbagai kalangan mulai dari pejabat penting, pejabat teras, pejabat luar, pejabat yang gila jabatan sampai rakyat yang menengah dan bawah (pedagang, petani, pegawai rendahan, makelar, pendidik, tukang suntik, tukang rosok dan lain-lain) dapat dikatakan terjebak asyik makan pohon simalakama, pohon khuldi, pohon zakum, dan pepohonan yang memabukkan, melalaikan dan bahkan mematikan ruh, jiwa kesadaran mereka. Berbagai pendapatpun muncul, ada yang optimis, ada yang pesimis. Yang pesimis, mengatakan bahwa “proyek” pendidikan karakter akan berhenti hanya pada retorika belaka. Di lain pihak yang positif berpendapat dengan mensarankan, agar bangsa ini mencoba merekonstruksi ulang tentang pendidikan karakter secara strategis dan sistemik pada semua tatanan masyarakat agar terbangun kembali kekuatan bangsa Indonesia yang berkarakter dalam menghadapi berbagai persoalan yang “menikung dan mengungkung” bangsa ini semakin rusak akhlaknya. Bangsa ini benar-benar mengalami berbagai krisis, krisis ekonomi, krisis politik, krisis pemahaman dalam beragama, krisis dalam pemerintahan, krisis dalam keintektualan, krisis kemasyarakatan yang menghormati gotong-royong, toleransi dan sebagainya yang pada puncaknya terjadi krisis karakter bangsa. Seperti dirasakan oleh sebagian besar masyarakat bangsa ini, bahwa bangsa ini benar-benar mengalami krisis karakter, dengan tertandai merosotnya sikap mental masyarakat pada umumnya, seperti adanya pandangan bahwa kalau mencari rezeki, dapat segera menjadi kaya tanpa perlu kerja keras, Misalnya dengan melakukan korupsi tanpa rasa sungkan, dan tidak perlu itu dianggap haram, dosa atau mengakibatkan ke neraka dan seterusnya. Gede Raka mencontohkan sikap krisis karakter, misalnya kebiasaan menimpakan kesalahan
kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan. Hal ini bukan kekuatan, namun kelemahan. (Raka, 2007:2 dalam Irene Astuti, 2011). Krisis karakter yang bersifat struktural sudah semestinya dilakukan perubahan, peninjauan ulang secara integral, holistik dan kontekstual. Salah satunya adalah melalui pendidikan karakter yang melibatkan aspek “knowledge, felling, loving, dan acting”. Sedangkan aspek kontekstual terkait dengan nilai-nilai pokok yang diperlukan untuk membentuk kekuatan karakter bangsa mulai diinternalisasikan pada semua tataran masyarakat. Kembali pada keberadaan Halaqah Seni yang berkembang dimasyarakat, sebenarnya dapat menjadi alternatif yang baik sebagai wadah yang memiliki wacana sebagai media pembentukan karakter masyarakat. Terlepas keberadaan halaqah seni tersebut mungkin masih disangsikan keberadaannya, tetapi ia dapat menjadi contoh masukan berbagai yang terkait. Halaqah Seni, merupakan kumpulan banyak orang yang bersepakat bahwa hidup dengan suasana religious akan dapat mengembangkan spiritualitas dan kepribadian seseorang, model halaqah memang dapat di nikmati, dirasakan dan dijalani dengan berbagai pendekatan yang salah satunya dengan media seni. Halaqah Seni dibangun sekelompok orang yang sama-sama mencari nilai keabadianNya, dengan proses pendekatan mediasinya dengan seni yang membantu pencerahan hidup. Orangorang ini berkerumun, untuk mencoba membaca diri dengan mendengarkan denting gitar misalnya, memaknai kata dengan melahirkan sebait bentuk puisi (baca atau menciptakan puisi), mendengarkan nama-nam Tuhan dengan menabuh rebana, melihat cermin mata batinnya dengan membuat lukisan bermakna dengan obyek-obyek yang dapat membangkitkan spiritualnya, memaknai gerak tubuhnya dengan bermain teater, merasakan kegemulaian tubuh dan anggota badannnya dengan gerakan bermakna yang kemudian disebut tarian eksperimental spiritual, yaitu dengan cara mencoba mengenali dengan kedekatan yang dekat atau “menyetubuhi” alam lingkungan dimana ia dibesarkan oleh suasana purbawi yang serba alami, ndesa dan murni. Orang-orang ini bertemu dengan suasana hati yang beragam tetapi bersama, bercengkerama satu sama lainnya tetapi bukan pada tataran kecintaan nafsu dan bendawi, mereka menyebutnya dengan “sharing” (curhat). Dari sharing kemudian lahirlah puisi-puisi hati yang dalam dan bermakna. Orang-orang ini berkumpul untuk melatih menajamkan jiwa mereka dengan membaca ayat-ayat Ilahi, berlatih yoga, berdialog dengan malam, membaca waktu dengan detail atau hanya sekedar mendengarkan “petuah-petuah” yang tidak petitah-petitih, tetapi memancing dan merogoh dunia dalam dengan bersama-sama menyelam dalam batin mereka. Mereka makan makanan seadanya, jiwa mereka menjauhi sikap dari mencari popularitas dan uang. Hidup mereka mengalun sesuai dengan alur sungai yang suatu saat sampai pada muaranya.
Titik berangkat halaqah seni yang ada, biasanya berangkat dari nilai-nilai tradisi yang oleh sebagian orang dianggap usang. Dari menjumput ketradisian, halaqah dapat “memanfaatkan” nilai-nilai tradisi untuk dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Dapat dikatakan, munculnya kemerosotan moral bangsa, disebabkan adanya kemajuan zaman yang serba modern ini, sehingga mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang tak murah dalam memanggulnya. Halaqah Seni, terbentuk dan dibentuk secara alami karena adanya kebutuhan intrinsicesoteric yang kemudian memroses menjadi sebuah kepentingan bersama. Kebersamaan tersebut dapat dirangkum dengan pementasan-pementasan atau hanya sekedar dialog-dialog, perenunganperenungan, kontemplasi-kontemplasi, membaca dan mentertawakan diri sendiri (muhasabah) bahkan diam bersama-sama. Proses yang alami, bebas, tidak mengikat dan terikat dengan mengambil tempat dimana saja (kebun, teras, pendopo, ruang makan, mushola, sanggar yang ada) yang hadir mengalir dan terlibat dalam halaqah tahu-tahu jiwa dan ruh mereka menjadi kempel, kumpul dan kempal dalam satu ruangan yang kempil/kamil. Perasaan untuk kembali pada kejujuran, kebersahajaan, kesederhanaan, kebersamaan, ketenangan, kebutuhan untuk menghargai, keinginan untuk menghormati muncul dengan suasana yang mengharukan. Selanjutnya dalam suasana keheningan, rasa ketidakjujuran, rasa kesombongan, rasa keangkuhan, rasa ingin selalu dihargai, selalu ingin dihormati, rasa egoisme, kebencian, kedendaman terasa benar-benar mengganjal jiwa dan batinnya. Suasana dalam halaqah seni ketika misalnya digelar latihan dalam mencari keheningan dan membersihkan kesumpekan hati, dapat melahirkan getaran-getaran suasana yang terbangun yang sulit dibahasakan secara verbal. Dalam teks bahasa Indonesia belum ada satu kalimat yang tepat yang bisa mewakili arti dan menunjukkan keadaan yang dirasakan orang, misalnya seperti getaran cinta, getaran rasa, getaran emosi, getaran gelombang elektromagnetik, getaran suara, getaran wahyu atau ilham. Suasana demikian, kalau digambarkan dalam kitab suci Al Qur'an. Secara gamblang adanya keadaan “jiwa yang masuk tersebut” dengan (ciri-ciri) yang tertentu, getaran jiwa yang masuk hanya disebutkan dengan kata wajilats quluubuhum (bergetar hatinya, lihat QS. Al Anfaal:2), juga pada ayat taq syairru minhu juludulladzina yakhsyauna rabbahum (mereka sampai gemetar kulitnya, karena merasa takut kepada Tuhannya, QS.Az-Zumar:23). Memang sulit bagi mufassir, penyair, seniman musik, pelukis atau filosof untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan secara transenden, mereka hanya mampu mengadopsi dengan merangkai kata, bunyi, warna, sebagai ungkapan kedalaman makna dan arti yang tidak berasal dari apa yang bisa digambarkan seperti naluri, insting, inspirasi, ilham atau wahyu, yang turun melalui getaran penuh muatan makna dan pengertian yang berasal dari ilahi.
Mengenai getaran yang diakibatkan oleh proses dzikir yang masuk kedalam jiwa, secara universal dan ilmiah baik segi fisiologi maupun psikologi, adalah saat terbukanya hati orang yang menerima cahaya dari Tuhannya (pencerahan)', yang kemudian dirasakan nikmatnya sampai bergetar (terguncang) secara fisik, kemudian getaran-getaran tersebut mengalami proses harmonisasi antara fisik dan hati tatkala “dekat” Allah. Perasaan yang luar biasa ini merupakan perasaan diatas alam materi yang dapat dirasakan, dan bukan omong kosong atau sekadar pengalaman pribadi seseorang. Perasaan itu merupakan suatu kebenaran yang dapat dibuktikan dengan adanya kesamaan yang universal dalam pengalaman kehidupan rohani pada para rohniawan dari ahli ibadah diseluruh dunia. Mereka dapat mencapai tangga-tangga pengetahuan yang diperoleh melalui getaran-getaran makna. Kesamaan pengalaman universal tersebut memberi bukti kebenaran pengalaman mereka itu yang didalam Alqur'an disebut sunnatullah (ketetapanAllah, hukum alam). Le Shan, seorang master tai-chi juga mengatakan bahwa, bagi orang yang melatih meditasi akan menghasilkan ketahanan terhadap getaran listrik hingga 400 persen dari orang normal. Sehingga jika daya yang besar ini belum tersalurkan dengan baik maka akan menimbulkan gerakan-gerakan sensasional yang tidak beraturan. Akan tetapi jika sensasi gerakan-gerakan itu dibiarkan lepas,maka dengan sendirinya gerakan itu akan reda dan tubuh akan semakin ringan serta pikiran,hati dan gerakan tubuh akan serasi. Daya energi dalam tubuh orang-orang yang melatih meditasi tai-chi atau yoga, psikotronika dengan cara mengendorkan tubuhnya kemudian dia merasakan energi chi yang mengalir dalam tubuhnya. Bertambah lama bertambah kuat energi yang dihasilkan, akibatnya terkadang akan mengguncangkan tubuhnya dengan sangat keras atau bahkan seperti orang kesurupan dan epilepsi. J.B.S Haldane, pernah mengumumkan hasil penelitiannya mengenai teori kuantum tentang kesadaran. Pada tahun 1950-an, fisikawan David Bohm juga mengumumkan, tentang adanya analogi yang kuat antara proses kuantum dan pengalaman batin dan pemikiran". Sebagian teori modern mengarah pada penelitian tentang kesatuan atau koherensi kuantum (quantum unity atau quantum coherence) di suatu tempat di dalam struktur-struktur sel saraf di air di dalam sel saraf, di microtubule sel saraf, atau dalam aktivitas tertentu di dalam membran saraf, akan tetapi semua teori ini berfokus pada aktivitas mikro di dalam sel saraf tunggal. Baik problem ikatan (binding problem) maupun penelitian MEG (Magneto-Encephalography) tentang osilasi 40 Hz menunjukkan bahwa kohenrensi diantara sel-sel saraf yang berbeda. Jadi, persoalannya sekarang adalah: apakah kohenrensi kuantum berskala besar juga ditemukan di seluruh bagian otak? apakah yang membuat syaraf tunggal itu berosilasi? Diketahui bahwa aktivitas listrik yang berirama di dalam membran sel saraf itulah yang menjadi
penyebabnya. Seluruh membran sel saraf dihubungkan dengan terowongan yang jika dirangsang secara kimiawi atau elektris memungkinkan ion (atom bermuatan listrik) melalui terowongan tersebut. Terowongan ini biasa dikenal sebagai terowongan ion. Oleh karena bermuatan listrik, ion-ion itu menghasilkan medan listrik ketika mereka bergerak disepanjang terowongan. Aktivitas ini menimbulkan osilasi elektris di dalam sel saraf itu sendiri. Medan listrik di seluruh bagian otak yang mengandung osilasi 40 Hz itu merupakan fenomena kolektif dari osilasi sel saraf tunggal. Pertanyaannya kemudian: apakah medan listrik di seluruh bagian otak itu merupakan medan listrik kuantum, yang didalamnya osilasi 40 Hz merupakan osilasi kuantam yang terpadu? Michael Green dari City University of New York mengajukan hipotesis bahwa aktivitas didalam ion sel syaraf itu dipicu oleh fenomena terowongan kuantum (quantum tunneling phenomena) Terowongan kuantum adalah suatu proses ketika suatu partikel mampu menerobos energi penghalang (barrier energy) dengan mengubah dirinya menjadi gelombang sebelum akhirnya menjadi partikel kembali di sisi seberangnya. Penjelasan ini sangat sesuai dengan pengamatan, jadi besar kemungkinan bahwa aktivitas kuantum di dalam terowongan ion tunggal itu memang benar-benar terjadi. Keadaan gambaran seperti inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dikatakan telah terjadi pertemuan dan penemuan “titik Tuhan” (God Spot), Tony Buzan menyebutkan proses menuju Meta-Positif dari semula berangkat dari Meta-Negatif, Hamka menyebut sampai pada rahasia (syirr) Tuhan, Sanerya Hendrawan menyebut telah menjadi pribadi yang tinggi atau Personal Mastery, Soraya Susan Behbehani menamakan kondisi sehat tanpa ketergantungan dengan obat atau Fit from Within. Dalam teks agama (Islam), suasana tersebut seakan diarahkan oleh Allah untuk ingat kembali pada perjanjian purba manusia, yaitu agar manusia selalu ingat pada janjinya untuk selalu berbuat baik, mengabdi dalam suasana ke-Ilahian, dan bila dikatakan atau ditulis manusia akan ingat kepada kata balasahidna. Pertemuan jiwa dengan jiwa, ruh dengan ruh dalam suasana muhasabah dalam satu halaqah yang termediasi melalui art-esoterik, semua yang hadir merasa jatuh cinta kembali untuk kesekian kali dalam ikatan kohesi spiritual, kohesi ideal dan kohesi moral yang menjadikan halaqah seni yang dibangun terasa kuat dan benar-benar dibutuhkan. Dalam ikatan kohesikohesi tersebut, “anggota” halaqah tidak mempersoalkan asal muasal mereka, baik suku, agama dan rasnya. Halaqah seni untuk masyarakat yang menyimpang Munculnya halaqah seni dianggap bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan pencerahan. Sementara diluar halaqah seni yang ada, juga muncul ratusan komunitas seni yang cenderung memiliki kepentingan spirit yang berbeda. Komunitas seni ini, sebagian besar mengorientasikan “gerakan”nya pada lini yang bermuara pada penguasaan logika dan
estetiknya, tanpa mempedulikan pada efek moral fellingnya. Kuss Indarto, secara agak lain menyebut dengan pernyataan senada, bahwa memang ada beberapa komunitas seni yang dibangun berbeda dengan halaqah seni yang tumbuh, misalnya pertama, komunitas yang terbangun karena aspek “kohesi etnisitas” (ikatan kesukuan), yaitu ikatan yang dibangun oleh anggotanya karena ada keterikatan oleh “spirit” kedaerahan atau kesukuan. Kedua, komunitas seni yang dibangun oleh “kohesi estetik” lewat kebersamaan dalam penggalian spirit pilihan dan kecenderungan kreatif tertentu, tali ikatan menyatu karena samasama menggumuli cara berpikir kreatif yang menggagas dan menelurkan karya seni yang tidak mengindahkan tema-tema sosial kemasyarakatan dan semacamnya, namun lebih menyoal pada eksplorasi ide-ide visual yang melampaui konservatisme. Ketiga, adanya “kohesi ideologis”, yakni ikatan komunitas seni yang mengindikasikan aspek ideologi tertentu sebagai dasar praktik penciptaan, sikap politik kesenian dan sumber gagasan kreatifnya. Keempat, adanya “kohesi kolegial-akademis”, yakni tali ikat yang berasal dari spirit kolektivitas antarseniman diperantarai oleh aspek kolegial-akademis yang mendasari pendirian sebuah kelompok. Sebagian besar kelompok ini mengemuka secara insidental namun pada umumnya tak bertahan lama karena tali ikat semacam ini diasumsikan sulit untuk menjadi “api semangat” yang terus menghidupi jalinan bentuk kreatif mereka. Contoh lain, ketika Gus Dur “berkuasa” dimana-mana muncul euphoria komunitas seni (sholawatan, rebana, berjanjen) bak jamur tumbuh di musim penghujan, di gedung-gedung parlemen, di sudut-sudut desa, gang-gang dekat masjid, pinggiran-pinggiran pantai, pucukpucuk pegunungan pelosok tanah air terdengar orang-orang yang secara berkelompok memainkan rebana, bedhug dan syair menggema di langit tujuh sana. Artinya, komunitas seni ini hanya bermuara pada (masih pinjam istilah Kuss) sebagai kohesi religi-politis, tanpa mengedepankan sisi kohesi-spiritual-religiusnya. Jauh, sebelum Gus Dur berkuasa, tahun 1965an juga muncul komunitas seni politik yang mendera kekuasaan dengan dengung lagu Genjergenjer di seluruh Nusantara. Tetapi begitu kekuasaan Gus Dur jatuh, saat itu juga komunitas seni tersebut tak terdengar satupun, inilah kekejaman politik. Komunitas seni memang terkadang bisa menjadi sebuah simbol, simbol politik dan kekuasaan, simbol kebesaran tokoh (ingat komunitasnya Anand Krisna, yang pernah menyedot perhatian kaum muda seantero negeri) dan seterusnya. Sementara apakah halaqah seni dapat menjadi simbol kebersamaan, simbol kecintaan, simbol kekhusyukan, simbol keimanan yang mengarah pada pembentukan karakter atau kepribadian yang kuat bagi yang terlibat. Benarkah demikian. Benar, tetapi banyak yang porakporanda, karena tujuannya menyimpang, jauh dari tujuan utamanya. Halaqah, yang istiqomah, tak termakan oleh panasnya matahari dan dinginnya air hujan. Halaqah ini hidup sesuai dengan irama alam lingkungannya, ambil contoh misalnya
halaqah seni sholawatan yang mengabdi pada seni yang menghibur jiwa bagi masyarakat tertentu, halaqah seni rodatan, halaqah seni terbang genjring dari Ngawi, mereka menjadi hidup karena sebagian besar peserta yang terlibat tidak menjadikan halaqahnya mengabdi pada fulus/uang. Halaqah seni sebagai alternatif untuk “mengembalikan” akhlak masyarakat Sekali lagi, munculnya halaqah-halaqah seni di masyarakat, seakan menjadi sebuah penanda atas kesadaran pribadi dan kemudian menjadi kesadaran kelompok, bahwa memahami hidup dan kehidupan yang silang sengkarut dalam zaman yang kompleks, memerlukan “penataan ulang” dalam memaknai hidup. Membangun kesadaran diri, akan menumbuhkan sikap yang memihak kepada kebenaran, kebahagiaan dan ketentraman. Yang paling dekat adalah mencoba untuk “membahasakan agama (apapun) dengan “rasa seni” agar hidup tidak kering. Secara mendasar, halaqah seni dikenal berawal sebagai sekelompok orang yang mengkaji agama secara intensif dan mendalam. Pengkajian agama mulai dari pendalaman akhlaq, fiqih, tauhid, Al-Qur’an, hadits, tafsir sampai dengan pengenalan tentang syirah Nabi dibicarakan, dikaji, disikapi dan ditafsirkembangkan dengan seksama, tak terkecuali soal-soal kesenian dalam Islam, dilakukan rutin. Halaqah seni menjadi bagian dari budaya agama. Halaqah seni dapat membentuk kepribadian dalam diri orang yang mengikuti halaqah karena mereka berada dalam lingkungan yang mengingatkan pada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Sebagai gambaran umum suasana halaqah yang dilakukan peserta halaqah, terangkum dengan melalui proses pengkajian (membangun kesadaran) dengan beberapa kewajiban. Pertama, wajib membangun kesadaran diri dengan terus menerus untuk menuntut ilmu syara’ secara konsisten, kesadaran dalam menuntut ilmu syariat adalah kebutuhan dan kewajiban setiap manusia yang mencari kebenaran. Kedua, mengikuti dan masuk Halaqah seni berarti berusaha dengan sepenuh hati untuk membangun kesadaran diri membuat benteng diri dari kekacauan hidup, para peserta dikenalkan tentang plus minusnya kehidupan modern, misalnya ideologi kapitalisme (orientasi harta) dan hedonisme (orientasi kesenangan) merupakan ideologi yang akan merusak karakter manusia yang bersumberkan pada rusaknya hati, ruh dan jiwa manusia, halaqah menciptakan alternatif dari membentengi diri dari kerusakan tersebut dengan melatih kesadaran dengan dzikirullah, sholawat dan macapatan Islami. Proses kesadaran, dengan perenungan, permenungan akan mulai terbangun dan “masuk” secara efektif bila peserta diperdengarkan syair-syair yang menyentuh. Syair-syair dapat dimulai dengan menembang atau men-suluk macapat tertentu, juga dapat diselang-seling dengan pengucapan sholawat kepada kanjeng Nabi, juga firman-firmanNya. Dalam proses pembacaan,
peserta halaqah diminta untuk mengosongkan diri, dan mengisinya dengan mengingat kebesaran Ilahi atau dengan pendekatan lainnya. Dan itu dilakukan berulang-ulang sampai peserta mengalami ekstase. Rasa ekstase dapat muncul, karena sentuhan kalimat pengantar senior seni mereka. Coba simak teks syair di bawah ini! ROBBAL BAROZA Bawa : Sinom Tentrem iku awit saking Bisa ngendaleni setan Bisa milahke uripe Donya kanggo kalumrahan Suwene ra sepiroha Bakal pisah karo aku Yen mati ra digawa
astaghfirullah robbal barooya astaghfirulloh minal khotooya 2x urip aneng ndonya ora salamine, den paribasakna amung mampir ngombe 2x mula aja lali salat den tindakna, dzikir tahlil wirid nambahi sampura astaghfirullah robbal barooya, astaghfirulloh minal khotooya 2x wajibe sang bapa marang garwa putra, aweh panuntun sajroning bebrayan 2x wiwobbal barooyaaghfirulloh rit cilik mula padha dikenalna, maca alfatikhah nganti katam Quran astaghfirullah robbal barooya astaghfirullah minal khotooya 2x Quran iku mono kalame Ilahi, yen kawaos bisa dadi tamba ati 2 x tebih saking rasa serik srei drengki, pinaringan tentrem Allohumma Amin astaghfirulloh robbal barooya astaghfirulloh minal khotooya Untaian syair yang diawali macapat tersebut, akan menjadi pelajaran budi, akhlak yang akhirnya akan terbangun suasana sadar diri, merembes masuk kedalam hati dan terwujud dalam perubahan kelakuan keseharian, sedikit demi sedikit peserta dapat mengurangi kejahilan dan kejahatan diri yang merusak jiwanya. Ketiga, halaqah seni dapat menjaga efektifitas dalam memahami hidup yang kompleks (bisa sinau lan nyinau kahanan kanthi tarwaca). Halaqah sangat efektif sebagai sarana untuk belajar tentang hidup dengan penglihatan “dalam”, mengapa? Karena peserta telah terbangun kesadarannya, sehingga dengan mudah untuk saling mengikat dengan ikatan jiwa yang kuat, apalagi jumlah anggota kelompok yang tidak terlalu banyak, menjadikan diantara mereka terjadi saling ketergantungan. Keempat, membuat dan masuk Halaqah seni, berarti siap untuk latihan berdialog, berdiskusi dan menyuarakan kebenaran kepada dunia luar dengan media apapun termasuk kesenian (dalam bahasa agama disebut dakwah).
Setelah mendapatkan pencerahan dengan ekspressi kesenian yang terlatih dan menjadi bagian jiwa mereka, peserta halaqah diajak untuk “menyuarakan hati nurani mereka” kepada publik. Bentuknya dapat berupa pameran, pementasan, pertunjukan atau pergelaran yang tanpa ikatan dengan imbalan uang. Peserta halaqah, harus difahamkan bahwa imbalan uang, bukan tujuan akhirnya. Tujuan utamanya adalah menyadarkan diri dan masyarakat dengan suasana menghibur. Bukan menghibur lahirnya, tetapi mengarah kepada menghibur jiwa yang kelam dan ruh yang menghilang. Di skala yang lebih luas, model halaqah seperti diatas dapat dicontohkan apa yang dilakukan Emha Ainun Nadjib dan Kyai Kanjengnya. Suasana haru-biru terbangun, ketika Indonesia mengalami “chaos” di berbagai lini kehidupan utamanya ekonomi dan politik pada akhir tahun 90-an. Emha muncul dengan tembang “Tamba Ati”, dan hampir di seluruh kampung dan kota terdengar tembang tersebut, sekadar mengingatkan kepada pembaca tentang kekuatan syair tersebut, mari kita simak ulang! Allahumma sholli wa salim ‘ala Sayyidina wa maulana Muhammadin Adam dama bi ‘ilmillahi sholatan Daimmatan fi dawami mulkilaihi Tamba ati iku ana limang perkara Kaping pisan maca Qur’an sakmanane Kaping pindho sholat wengi lakonana Kaping telu wong kang sholeh kumpulana Kaping papat wetengira ingkang luwe Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe Salah sawijine sapa bisa anglakoni Insya Allah gusti pangeran ngijabahi Tembang yang dipopulerkan kembali oleh KH Musthofa Bisri yang juga kyai, sastrawan, penyair dari Rembang ini, ditangkap oleh Emha dengan baik bersama Kyai Kanjeng dengan lantunan yang menyeruak kedalam jiwa masyarakat yang sakit waktu itu. Maka meledaklah lagu tersebut sebagai “media pencerahan masyarakat”. Lima perkara yang teruntai dalam tembang tersebut, sebenarnya berasal dari wejangan Sayyid Jallil Ibrahim Al-Khowwas, yang ditulis ulang Imam Nawawi dalam Kitab At-Tibyan, benar-benar menjadi “tembang pionir” di berbagai halaqah seni di tanah air. Tembang dan syair ajakan dakwah kepada masyarakat seperti di atas, kemudian oleh Mustamir, S.Ked dikembangkan menjadi sebuah buku motivasi, yang dikemas dengan apik dengan judul “Lima Methode Penyembuhan dari Langit”. Buku ini sempat best seller di pasaran masyarakat. Intinya sama dengan spirit Emha diatas, antara lain berisi tentang hubungan musik dengan
kesehatan, menyembuhkan jiwa yang stres, seni yang bernilai spiritual yang dapat mempengaruhi sistem syaraf otak yang mencerdaskan ESQ-nya. Gerakan yang berbentuk halaqah perdamaian pernah juga sempat dicanangkan oleh temanteman Nahdhiyyin, dengan nama gerakan Wali Sanga Kedua. Akhmad Muzaki, sempat menulis panjang lebar tentang “kehadiran” halaqah perdamaian dengan nama Gerakan Wali Sanga Kedua ini, antara lain bertujuan menggelorakan api keberagamaan yang penuh kedamaian dan kesalingmengertian. Sebagai respons terhadap berbagai bentuk radikalisme agama, juga radikalisme poltik, ekonomi dan kebudayaan. Agenda gerakan ini mengambil model dakwah keberagamaan Walisongo yang menyampaikan pesan kebenaran dengan penuh kebijaksanaan (wisdom). Atau, dalam bahasa Al-Qur’annya dengan pendekatan ud’uu ila sabili rabbika bi al-hikmah (menyampaikan kebenaran dengan cara bijaksana). Nilai dan pola keberagamaan seperti ini menjadi salah satu karakter dari Walisongo. penyebar Islam di Jawa ini menggunakan strategi dan pendekatan yang persuasif, dan tidak konfrontatif. Ibarat penari, mereka menari sesuai dengan irama gendang yang mengiringinya. Dan, bukan memaksakan irama gendang mengikuti gerak tariannya. Sebagai contoh konkretnya, dahulu para wali sangat paham atas karakter kultural masyarakat Jawa yang menyukai seni. Salah satu kesenian yang sangat popular saat itu adalah wayang. Nah, para wali mentransformasikan pemahaman mereka terhadap kultur Jawa ini ke dalam sebuah pertimbangan dalam mendakwahkan agama kepada masyarakat. Mereka tidak secara serta-merta menghilangkan kesenian itu. Bahkan sebaliknya, mereka menggunakannya sebagai instrumen untuk proses diseminasi dan internalisasi ajaran Islam. Caranya, mereka tidak menghapus atau merubah cerita Bharatayuda dan Ramayana yang berasal dari tradisi Hindu, misalnya. Tetapi, mereka memasukkan nilai-nilai simbolik sufisme Islam ke dalam cerita dan lakon pewayangan tersebut. Melalui cerita dan lakon pewayangan itu, mereka memasukkan tembang-tembang yang bernilai Islami namun tetap menggunakan bahasa dan nama-nama lokal yang telah ada. Strategi dan pendekatan seperti ini ternyata berhasil menarik hati masyarakat Jawa saat itu. Sebagai hasilnya, dengan begitu cepat Islam telah dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Bahkan, berdirinya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa merupakan saksi sejarah atas keberhasilan pendakwahan Islam oleh para wali ini. Hal ini tidak lain karena prinsip hikmah kebijaksaan sangat diperhatikan dengan tidak melakukan konfrontasi dengan kultur dan masyarakat setempat. Dengan pola kebijaksanaan seperti ini, radikalisme tidak perlu dan tidak seharusnya digunakan dalam pemahaman dan praktik keberagamaan. Tidak saja, radikalisme yang dilakukan pada level sosial, seperti pada kasus bom teror di negeri ini beberapa waktu lalu. Secara apik pula, Walisongo mencontohkan keberagamaan yang sejuk, damai, toleran dan jauh dari radikalisme.
Meski pendakwahan agama tidak pernah berhenti mereka lakukan, Walisongo tidak merusak atau menghabisi warisan sejarah keberagamaan sebelumnya. Meski masjid didirikan, Borobudur dan Prambanan masih tetap terjaga keutuhannya sebagai tempat ibadah agama lain. Fakta sejarah ini menegaskan bahwa bukan karena tuntutan pendakwahan agama yang diyakini, lalu ada alasan untuk menghancurkan nomenklatur agama lain. Fakta inilah yang membuat model dakwah Walisongo dikenang dalam sejarah Islam sebagai pelaku agama yang toleran, tidak radikal. Pesan penting yang bisa ditarik dari keberagamaan Walisongo di atas adalah bahwa kekuatan kultural internal masyarakat Islam Indonesia perlu mendapatkan penguatan kembali. Kekayaan tradisi Islam yang penuh toleransi, moderasi, dan perdamaian, seperti yang pernah menjadi karakter gerakan keagamaan Walisongo, mesti digali kembali agar kekerasan atas nama agama tidak lagi menghiasi kehidupan keberagamaan sementara ini. Di mana saja. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya. Melawan radikalisme dengan kekuatan kultural memang akan mempunyai efek yang panjang bagi keberagamaan yang damai. Gambaran dan contoh di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa gerakan halaqah seni secara nyata dapat dijadikan alternatif sebagai sarana untuk mengembalikan karakter manusia sesuai dengan lingkungan dimana mereka berkembang dan hidup. Pengakhir Kalam Pergolakan manusia dari waktu ke waktu dengan berbagai aktivitasnya, justru memperparah jiwa dan ruh dan bukannya memperbaiki kehidupan spiritualitasnya. Kemajuan yang dikontruksikan dan diproyeksikan, menjadi buah simalakama. Di belahan bumi manapun, manusia mengalami kekeringan jiwa, yang mengakibatkan kehilangan makna hidupnya. Pendekatan model halaqah, menjadi sebuah pilihan yang menarik. Lalu ketika model ini dikembangkan pada ranah formal dan resmi, seperti di sekolah, kampus apakah dapat berjalan sesuai dengan tujuannya? Belum ada penelitian yang serius dalam persoalan ini memang, tetapi bila “dibawa” ke ranah tersebut kemungkinan dapat menciptakan “ruang lain” yang memberikan keseimbangan dari sisi lain. Kalau selama ini di ranah formal sekolah hanya menekankan pada logika dan estetika. Maka pada model halaqah dapat melengkapi dari sisi etikanya. Kita dihadapkan pada berbagai persoalan yang kompleks. Dalam dunia pendidikan saja yang dianggap sebagai dunia yang dapat menyelamatkan dan mencerahkan manusia, juga muncul berbagai persoalan yang tidak kalah rumit dan peliknya.
Namun demikian, tergantung kesiapan masyarakat yang akan memilih dan menggunakannya. Sementara hidup juga sebuah pilihan, apakah akan mengambil jalan yang kanan atau yang kiri, ataupun akan mengambil jalan tengah semua tergantung kepada kita. Berbagai model telah diciptakan manusia atas tuntunan dengan wahyu, ilham, karomah dan akal pinjamanNya. Pada kenyataan yang paling nyata, pada akhirnya manusia hnaya membutuhkan ketentraman dan ketenangan. Sementara ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan tak bisa dibeli dengan uang, kecuali hanya dengan mengembalikan citra asal muasal kita sebagai manusia, yang dahulu kala katanya diciptakan dengan cermin pencitraaNya. *** KEPUSTAKAAN: Danah Zohar, Ian Marshal, SQ memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, 2002 Hendrawan, Sanerya, Spiritual Management From Personal Enlightenment Towards God Corporate Govermance, Mizan, 2009 Nawawi, Muhammad Umar al-Jawi, Nashaaihul Ibad Nasehat bagi Hamba Allah, Trigenda Karya, 1994 Tony Buzan, How to Get Physically and Mentally Fit Head Strong, Gramedia Pustaka Utama, 2003
Penulis adalah perupa, pecinta halaqah, pengajar seni rupa pada sekolah pinggiran di wilayah Sragen, Jawa Tengah.
Jum'at, 04 November 2011 - 11:46 Menjadi Guru Seni Rupa yang Seniman oleh Fadjar Sutardi
Karya rupa anak-anak komunitas AFC (Art for Children), Yogyakarta, yang didisplai dalam Pameran Seni Rupa Anak di Galeri Nasional Indonesia, 2010. (foto: kuss indarto) Pendahuluan
Dengan Seni Hidup terasa Indah Dengan Ilmu Hidup terasa Mudah Dengan Agama Hidup terasa Berkah (Dr. H.A. M ukti Ali) PADA hakikatnya manusia memiliki “watak dasar” yang unik dan khas, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Manusia dengan watak dasarnya tersebut di sepanjang hidupnya selalu mencari,
membutuhkan, mencintai dan ingin mengembangkan ilmu pengetahuan. Manusia berusaha meraih ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya, mulai dari lahir ke dunia sampai menjelang ajal atau tua renta di sepanjang hidupnya. Dengan berbagai pengetahuan manusia berusaha untuk “memperkokoh dan memperkuat” akan makna hidup dan kehidupannya. Melalui bantuan akal pemberian anugerah Allah SWT, manusia mengelola pengetahuan dan mengetahui arah mana ia harus menambah dan mencari pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan dan asal muasal pengetahuan tersebut. Dengan segala suka dan duka pencarian pengetahuan dijalani dengan serius dan terkadang melelahkan. Berbagai pengetahuan mulai dari apa yang disebut dengan istilah bahasa, sains, sosiologi, psikhologi, politik, ekonomi, seni dan agama, menjadi tantangan manusia untuk menguasainya dan dengan peraihan pencarian berbagai pengetahuan tersebut, manusia merasakan kebahagiaan dan sekaligus perasaan mencemaskan. Di antara salah satu tuntutan dari sekian ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh watak dasar manusia, khususnya rasa estetiknya adalah pengetahuan seni dan apresiasinya. Pengetahuan tentang seni dan apresiasi estetik ini dirasakan menjadi bagian penting bagi manusia di dalam kesehariannya. Dengan apresiasi estetik seni tersebut manusia dalam aktivitas hidupnya, selalu ingin menghias dirinya dan menghiasi pula hasil pekerjaannya dengan rasa keindahan, melalui keindahan suaranya, goresan tangannya, gerak tubuhnya dan keindahan dalam “menata” katakata dan kalimat yang ditulis serta diucapkannya. Tujuannya sebenarnya hanya sederhana, yaitu untuk menyenangkan dirinya, walau dari segi kemanfataannya terkadang tidak begitu dipikirkan. Hampir sebagian besar menusia, tidak dapat secara pasti dan tepat dalam menilai keindahan, akan tetapi ia selalu terus dapat menciptakannya. Dalam pengetahuan seni dan apresiasi estetiknya, manusia berusaha menunjukkan kepada sesamanya, bahwa ia memiliki derajat yang tinggi, memiliki apresiasi yang dalam dan imaginasi luar biasa (Titus, Smith, Nolan: 1984). Berbagai cara dilakukan manusia dalam usaha mencari pengetahuan estetik tersebut. Titus, Smith, Nolan: 1984 menyebutkan, setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yang mendasari hidupnya dengan keindahan tersebut; pertama, kelompok awam. Pada kelompok masyarakat awam ini pencarian pengetahuan apresiasi estetiknya, biasanya dilakukan dengan cara meniru apa yang diwariskan kakek-nenek mereka pada masa silam tanpa reserve, ia pegang kuat-kuat pengetahuan esetetik tersebut, ia yakini warisan pengetahuan itu, sehingga menjadi kebiasaankebiasaan dan kepercayaan pribadi-pribadi, dalam mencerap pengetahuan estetik cenderung menerima dengan samar-samar (irrasional), bila ditanyakan tentang makna pengetahuan warisan tersebut, mereka sulit menjelaskan dengan akalnya. Kedua, kelompok menengah. Pada kelompok masyarakat ini dalam mencari dan memaknai tentang pengetahuan estetik, bertujuan hanya sekitar pada azas kemanfaatannya, pada ranah kepraktisannya, tanpa mempertimbangkan sisi moral dan etika. Tujuan tertingginya untuk kenikmatan (pleasure).
Citra moral dan etika, bukan menjadi ukuran, makna dan nilai-nilai dijungkirbalikkan, sehingga pengalaman estetiknya menjadi dangkal, dan hanya digunakan untuk gaya hidup (lifestyle). Manusia pada kelas menengah ini, hidupnya hanya mendapatkan kebahagiaan ilutif, kenikmatan semu, keindahan halusinatif, daya tarik psedorasionalnya dalam keseharian hidupnya hanya menghasilkan aura simbolik ecstasysme (Subandi Ibrahim: 2006). Ketiga, kelompok atas. Pada kelompok ini dalam pencarian pengetahuan estetiknya, bukan untuk halhal tersebut di atas, tetapi untuk tujuan yang lebih tinggi, bukan hanya sekadar meniru atau pun kenikmatan, tetapi untuk pencapaian “kasampurnaning urip” (kesempurnaan hidup). Senada dengan Titus Nolan, Al-Ghazali juga menyatakan bahwa, pengetahuan estetik yang dicari pada masyarakat kelompok atas ini, berfungsi sebagai media tawajjuh (ruang pertemuan, berdialog), yang membawanya ke dalam kondisi dan suasana mutmainah (damai, tentram, ketenangan), dalam rangka menyatukan dirinya kepada Sang Abadi, yang menciptakan keabadian. Senada dengan Ghazali, Rusbihan Al-Baqly (tokoh sufi) menyatakan bahwa kegunaan estetika (keindahan kesenian) berfungsi sebagai media tajarrud, yaitu untuk pembebasan jiwa dari ketertarikan berlebihan pada alam benda dan dunia, juga sebagai media tazkiyatun nafs (pensucian jiwa) dari sikap-sikap pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk itu sendiri. Sedangkan Ibnul Muqaffa’, Ibnu Sina, Al-Jahidz, Ibnu Athaillah, Mulla Sa’adi menyatakan bahwa pengetahuan esetika berguna untuk menjaga kearifan, kebijaksanaan, membantu sikap adil dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia di tengah-tengah lingkungan sosial yang beragam (Abdul Hadi WM, 236: 2004). Dari tiga tingkatan kelompok manusia tersebut, bila dipahami dengan seksama menunjukkan adanya keberbedaan-keberbedaan dalam pencariannya, hal itu bisa muncul karena manusia adalah subyek yang bebas dan selalu berkembang, manusia tidak mau tenggelam dalam proses pencariannya atas kejadian-kejadian yang melingkunginya. Subyek yang mencari dan tanpa henti untuk menyempurnakan makna hidup dan kehidupannya, oleh Sigmund Freud menamakan dengan sebutan self (aku yang merdeka dan aku yang bebas). Dengan aku-nya, manusia mempunyai banyak pengalaman pribadi sesuai dengan tuntutan dirinya, dan “kesadaran dalam”nya (inner awareness). Hasil pengalaman dari ego yang bebas dan merdeka tersebut, manusia dapat memanfaatkan pengetahuan estetiknya untuk berkomunikasi dengan sesamanya, bahkan berkomunikasi dengan dirinya dari waktu ke waktu dengan pengalaman yang beragam, sehingga dalam pencarian estetik tersebut sering terjadi perbenturan kekacauan, kebingungan yang mengherankan bagi dirinya dan hampir tidak ada titik sambungnya. Keberbedaan-keberbedaan estetik tersebut sangat mengkin terjadi, karena manusia dalam berjalan untuk mencari pengetahuannya memang menemukan berbagai pengalaman psikhis yang berbeda-beda pula, kondisi yang membingungkan dan sekaligus mengherankan tersebut oleh Jean Paul Sartree dikatakan sebagai sebuah kondisi yang absurd, dilematis dan ironis. Sehingga andaikan tidak ada guru pembimbing atas pencarian pengetahuan yang beragam tersebut, dipastikan manusia akan mengalami stagnasi estetiknya.
Manusia membutuhkan “titik sambung” seorang Guru Pengetahuan Estetik Dengan berbagai pengalaman dalam pencarian pengetahuan estetik yang beragam tersebut, ujung-ujungnya manusia akan mengalami keterpecahan, ketersepihan dan keterbelahan jiwanya. Hidup manusia tidak lagi merasakan adanya kenyamanan, ketidak tenangan dan tidak indah lagi. Menekuni keindahan yang dicarinya sendiri, justru menemukan rasa sumpek, panas, konflik, perasaan perang berkecamuk dalam diri masing-masing manusia secara kolektif. Syahdan, di sinilah manusia membutuhkan “contoh, keteladanan seseorang” yang mau mengajarkan (dengan memilih, memilah pencarian estetiknya) untuk memaknai keindahan sesuai dengan tujuan pencarian yaitu kebahagiaan hidupnya. Konon, Tuhanpun merasakan kasihan kepada manusia yang mencari estetikanya tersebut, kemudian Dia turun tangan untuk “meredakan suasana sumpek manusia”, Tuhan akhirnya mengutus “guru kehidupan” (Nabi, Rasul) menjadi wakilNya, dengan tugas mulia, yaitu untuk “menentramkan” sekian milyar manusia yang hidup di muka bumi dengan segala persoalan etik, estetik dan politiknya. Manusia-manusia pilihan yang menjadi guru kehidupan tersebut memang turun langsung demi menyangga ketaatan kepada Tuhannya, kemudian menyatu dan terlibat berdarah-darah dengan modal dasar anugerah Allah, dengan mendapatkan “keindahan sempurna” dan mendapatkan pengetahuan estetika yang sempurna. Para “guru kehidupan” tersebut mendapat cahaya (the enlightened one) dariNya untuk manusia. Manusia pilihan yang bakal menjadi guru “kesempurnaan hidup” dikokohkan pengetahuannya, agar manusia di bumi mendapatkan cahaya keindahan hidup dengan perasaan gembira, damai tiada tara. Para guru kehidupan yang bertugas mengajarkan pengetahuan tentang keindahan hidup tersebut jumlahnya tidak hanya ratusan, tetapi ribuan. Mereka adalah para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul adalah manusia suci, mereka bisa bernama Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan sebagainya. Pengetahuan keindahan hidup sempurna yang ditebarkan para Nabi dan Rasul ini, kemudian “ditemukan kembali” orang-orang suci generasi utusan Tuhan, mungkin mereka bisa bernama Alexander Agung, Konfusius, Budha, Mahavira, Zoroaster, St. Paulus, Lao Tse, Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, St. Thomas Aquinas, Jalaludin Rumi, Mani, Gandhi, dan sebagainya. Orang-orang tersebut dengan dimensi-dimensi mata batin yang tajam, kemudian mengajarkan pengetahuan estetiknya dengan cara mengambil jalan dengan nama jalan tengah (middle way) di tengah-tengah orang banyak yang kacau dan bingung tersebut. Jalan tengah yang dimaksud, adalah berupa pengetahuan tentang dimensi kepekaan badaniah, kepekaan batin (felling), persepsi, konsepsi mental dan kesadaran akan makna hidup. Pengajaran tentang pengetahuan jalan tengah, berjalan sepanjang zaman dari dan antar waktu
kewaktu, berkembang bersama melalui berbagai media yang dibuat oleh para pewaris jalan tengah, seperti melalui media keagamaan, budi pekerti dan kesenian. Ketiga media itu ditegaskan oleh Sigmund Freud, dikatakan sebagai alat control kegiatan aku (self), agar manusia tidak mengalami gelisah (anxiety) dan perasaan bersalah (guilty). Para guru pengetahuan keindahan, dengan suntuk dan total, dengan diikuti para sahabat dan murid-murid langsungnya, bersama-sama memahami ajaran ataupun doktrin “jalan tengah” yang diajarkan para guru dengan media yang dekat dengan dunia para murid, seperti antara lain melalui kesenian yang bernilai spiritual. Ia adalah, kesenian yang membentuk kebudian dan bersifat membangun konstruksi relegiusitas, yang ditebar-taburkan ke arah mana angin berhembus, ke arah mana matahari terbit dan ke arah mana malam mengabut, agar para murid, nantinya menjadi manusia yang mendapatkan pencerahan-pencerahan, yang pada akhirnya akan “ditular-wariskan” kepada siapa saja yang membutuhkan. Omar Muhammad Al-Toumy Asy-Syaibany, mengatakan bahwa proses pengajaran pengetahuan jalan tengah tersebut bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu taqlid buta (ikutikutan tetapi tidak tahu tujuannya) dan khayalan yang merusak, mendidik hati nurani dan membentuk kejiwaannya, secara ideal serta merealisasikan keadilan, ketentraman, kenyamanan hidup dan kebebasan akal sehat. Dan “titik-sambungnya” terus bergerak sesuai dengan putaran bumi berjalan, ada yang sampai puncak kedalaman pengetahuan atau sebaliknya ada yang hanya sampai pada permukaan. Inilah proses “mendidik dan mengajar” dengan pendekatan estetik,etik dan spiritualitas. Pendekatan ini akan melahirkan manusia yang kamil, yang sadar akan makna dan tujuan intinya. Mungkinkah, Guru Seni Rupa Dapat Menjadi “Titik Sambung” Pengetahuan Keindahan Kehidupan Kepada Muridnya? Seperti diterangkan sebelumnya, bahwa “para guru sejati” dalam mengajarkan pengetahuan keindahan sering menggunakan manfaat kesenian, sebagai medianya. Kesenian dalam hal ini dapat berupa seni rupa, musik, tari, teater, sastra, secara esensial sebenarnya sangat bermanfaat sebagai media ungkap “jalan tengah” untuk mengajarkan kehidupan kepada manusia muda dalam memahami dirinya, menajamkan indra-indranya, jiwa perasaannya, sehingga pada saatnya nanti manusia muda tersebut dapat menjadi manusia utama, berpengetahuan sempurna dan jiwanya “me-ruh” karena tercahayai kebenaran-kebenaran, yang bersumber dari pengalaman-pengalaman esetetiknya. Nah, di sinilah tugas “para guru” kesenian yang notabene juga menjadi penerus (ahli waris) para Nabi, Rasul dan Ulama, diharapkan dapat berperan ikut serta dalam menempa dan membentuk manusia-manusia muda, agar memiliki pengetahuan estetik, agar dapat menikmati
keindahan, ketenangan dan ketentraman hidup, sehingga para manusia muda tersebut dapat merasakan dan memaknai hidup dengan penuh perasaan yang mendalam, mengerti kebudian dalam suasana batin yang dekat dengan cahaya Tuhan. Maka, “titik sambung” jalan tengah yang dilakukan para guru seni sudah semestinya akan berjalan dan tidak berhenti selamanya. Muji Sutrisno (xvi: 2001), menyatakan secara teknis bahwa, sebaiknya dalam mengajarkan pengetahuan estetik kepada para murid, santri, cantrik dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama, mengajar dengan pendekatan “live in”, artinya pengajar pengetahuan (guru, dosen, pengasuh, pembina, ustadz, kyai, mursid, kepala suku atau dengan sebutan apapun), harus secara terjun langsung siap hidup bersama dalam satu penghayatan akan pengetahuan tersebut bersama para murid, dengan tujuan untuk selalu siap dialog dalam perjalanan menajamkan dunia “dalam” tersebut, strategi pendekatan ini menolak model menggurui, memanipulasi pengetahuan dan memperalat para murid untuk hanya bertujuan memuaskan nafsu para guru. Kedua mengajar dengan pendekatan komunal, makna berkomunitas bagi murid menjadi hal yang diutamakan, sehingga para murid dapat berkembang perlahan-lahan, berproses secara alamiah, imajinasinya sehat, kreativitasnya sehat dan improvisasinya juga sehat dalam kebersamaan dan kebersahajaan, hal tersebut untuk menjaga agar suasana “edukasi” berjalan apa adanya dan tidak terkena hawa budaya lingkungan yang membuat trauma, mati, kaku, lemas, layu, tidak percaya diri, inferior dan tidak memberdayakan. Rendra (41: 1984) dramawan besar, seorang Muslim yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada kesenian yang bernilai spiritualitas, mengajarkan (dalam hal ini teater), bahwa untuk memaknai pengetahuan estetik dalam kehidupan, para murid pekerja seni diharuskan dapat mencapai suasana pribadi yang utuh, mengenali sifat alamiah tubuh (pernafasan, indraindranya, tangan kaki, otak dan hatinya) agar dapat mengharmonisasikan dirinya dengan daya tarik bumi, hal tersebut dapat dicapai dengan cara melakukan meditasi. Selain itu raga harus selalu relaks dan harmonis, berstamina, mudah dalam menguasai perasaan dengan tidak mematikan perasaan itu sendiri, tetapi diaturnya, agar kaya kepekaan, kaya nuansa, kaya variasi, kaya getaran-getaran dan kaya ledakan-ledakan, pendekatan dengan seringnya latihan konsentrasi. Rabindranath Tagore (10: 1961) filosuf India, juga menyatakan, bahwa mengajarkan keindahan bukan bertujuan untuk menjadi manusia bermental pegawai kesenian murahan, yang hanya memuja materi dan kekayaan, tetapi bertujuan untuk memelihara persaudaraan dunia dengan pendekatan dalam suasana religius, etis dan estetis. Semboyannya adalah: “Jangan membawa pohon-pohonan ke dalam kelas, tetapi bawalah kelas ke dalam pohon-pohonan” di sanalah terdapat pengalaman tentang keindahan. Dengan cara ini, para murid memiliki kebebasan, percaya diri sendiri, bertanggungjawab pada keseimbangan alam, manusia dan Tuhan.
Ki Hadjar Dewantara (136: 1961) tokoh pendidikan Nasional berpendapat, bahwa pengajaran (termasuk di dalamnya keindahan: pen) bagi tiap-tiap bangsa, adalah bertujuan kepada pemeliharaan guna mengembangkan benih keturunan dari bangsa itu, agar sehat lahir batin. Untuk itu manusia-manusia muda harus dikembangkan jiwaraganya sesuai dengan adat-istiadat masyarakat. Pengajaran estetika Barat, tidak sesuai dengan tuntuntan jiwa masyarakat, karena pendidikan Barat (colonial) hanya bertujuan untuk kepentingan menjajah. Maka diperlukan Panca Dharma Pendidikan dan Pengajaran, yaitu; kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan, dengan berpedoman pada jalan laku Ning, Nung, Neng, Nong, Nang, dan dengan strategi pengajaran; Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Berbagai pendapat di atas, pada intinya bahwa mengajar atau pun mendidik tentang pengetahuan esetetika adalah usaha menyampaikan pesan-pesan (message) kepada manusia muda, agar dalam menapaki hidup dan kehidupannya dapat mengenggam makna dan tujuan hidup, dengan relaks, harmonis, menjaga persaudaraan, mengutamakan etika, estetika dengan tetap menggunakan dasar-dasar kodrat manusia dengan alam lingkungannya. Guru Seni Siap “Menjadi” atau Hanya “Sebagai” Guru Pengetahuan Keindahan? Kata “menjadi” dan kata “sebagai” seperti pernyataan diatas menjadi penting dipertanyakan pada diri seseorang, ketika seseorang tersebut berkesanggupan untuk mengajarkan pengetahuan. Di zaman yang maju seperti dewasa ini, khusunya pada lapangan nyata dunia pendidikan yang diformalkan dan resmi, ternyata banyak para pengajar pengetahuan belum atau tidak memahami secara mendalam posisinya, ketika hidup bersama di tengah-tengah para murid, cantrik dan santrinya. Banyak orang yang mengajar menyampaikan pengetahuan, hanya memposisikan “sebagai” guru, tetapi belum merasakan “menjadi” guru pengetahuan. Orang yang memposisikan diri hanya “sebagai” guru pengetahuan, maka ia merasa sudah cukup dengan hanya mentransfer pengetahuan secara lisan ataupun tertulis, apa-apa yang didapat dari guru-gurunya dahulu, untuk kemudian di”copypaste”kan kepada muridnya. Atau mungkin hanya melaksanakan “perintah” kurikulum yang dijabarkan melalui SK,KD dengan kelengkapan prota,promes yang memang sangat formal dan membingungkan anak didik tersebut. Dapat dibayangkan, suasana pengajaran pengetahuan tentang keindahan yang demikian, dipastikan kering, tidak interaktif, menakutkan, tidak cair, tidak harmoni dan pasti tidak rileks. Guru pengajaran yang demikian, dapat dikatakan bahwa, ia memang belum mampu mendalami pengetahuan tersebut sampai “mbalung sungsum”. Hal ini disebabkan karena tidak adanya eksperimen-eksperimen yang panjang sebelumnya, kurang referensi, gagap dan merasa cukup. Pengetahuan dan ajaran tentang keindahan untuk kesempurnaan hidup, makna hidup dengan pendekatan media ungkap kesenian (rupa, sastra, tari dan teater) akan mengalami kegagalan.
Murid tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali catatan-catatan yang tidak dapat berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya. Tokoh Modern Pendidikan Dave Meier (27: 2005) menggambarkan bahwa guru pada dewasa ini banyak melakukan pengajaran yang bersuasana antagonistik dramatisme, suasana pembelajaran dan pengajaran dapat terbaca suasananya sebagai berikut: suasana kaku, muram, serius, satu jalur (ndlujur), verbal, membatasi ruang dan waktu, mementingkan kognitif (pengetahuan teoritik belaka), guru merasa lebih top dan terdepan, takut kalau tersaingi, behavioristik, seringnya mengontrol. Artinya, seorang guru memfungsikan dirinya hanya “sebagai” guru bukan “menjadi” guru. Berbeda bagi orang yang mengajar dengan memposisikan dirinya “menjadi” guru, maka ia akan menata, mempersiapkan dirinya secara ikhlas, totalitas, dan selalu “full” hangat. Karena selain bertugas menyampaikan pengetahuan, ia sendiri sudah “merasakan” kemanfaatan pengetahuan tersebut, masuk ke dalam jiwa raganya dan sudah menjadi pilihannya dan bagian hidupnya. Hasilnya dapat dilihat, penampilannya cerdas, komunikatif, akrab, hangat, “all in” ruang dan waktunya, jujur, membangun suasana kebersamaan kapan saja dan dimana saja, tidak mengambil jarak, terlibat langsung, menyenangkan, gaul, dirindukan para murid, siap menerima “sharing”, tidak mudah melupakan murid begitu saja, dihormati, disegani, dan selalu menjadi tempat bertanya bagi murid-muridnya dalam kesehariannya. Dalam pengertian ini, guru tersebut juga memiliki kepribadian kebapakan dan kesenimanan. Senada dengan hal tersebut, Utomo Dananjaya (29: 2005), memberikan masukan jitu bagi siapapun yang ingin memposisikan dirinya “menjadi” guru, antara lain suasana pembelajaran dan pengajaran dibangun dengan kontruksi kebersamaan, menyenangkan, menggembirakan, asah-asih-asuh, menyeluruh (holistik), kontekstual, multi-indra, silmultan, kongkret. Kesiapan guru, yang memang ingin “menjadi guru” diharapkan total-totalan lahir dan batinnya. “Menjadi” guru dengan huruf “M” besar, memang berat dan hampir tidak dapat dilakukan, tetapi dengan tetap “berguru” kepada para guru dan kepada mahaguru untuk mengambil dan selalu menimba ilmu terus menerus, tentu akan melahirkan keberanian untuk belajar, karena secara kodrati manusia ditaqdirkan untuk mencari dan mengajarkan ilmu kepada siapapun, untuk meneguhkan dan mencerahkan kehidupan. Baik, kita simak dan renungkan Firman Allah dalam Al-Qur’an. QS: Al-Mujadilah: 11
11. Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. Setting dari munculnya firman ini, terjadi ketika Nabi Muhammad sedang mengajarkan pengetahuan kepada para sahabatnya, diantara para sahabat tersebut, ada yang merasa gerah, sumpek, tidak faham-faham dengan suasana pengajaran yang disampaikan Nabi. Kondisi salah satu sahabat tersebut, oleh Allah diabadikan melalui firmanNya diatas. Esensi ayat itu terbaca, bahwa siapapun yang mencari pengetahuan dengan didasari totalitas dirinya, maka posisi seseorang tersebut, menjadi tinggi derajatnya. Di sinilah peran manusia suci seperti Nabi benar-benar memposisikan diri “menjadi” guru pengetahuan yang teguh dan berwibawa. “Menjadi” guru pengetahuan melalui alat bantu berupa media ungkap kesenian (rupa, musik, tari dan teater), menjadikan seseorang yang berpredikat guru, akan memiliki sikap yang teguh, berkarakter, menjadi manusia paripurna (beriman), dan akan mendapatkan nilai lebih di kalangan murid-muridnya. Di tengah hidup dan kehidupannya selalu mendapat “nilai” derajat positif sepanjang jalan. Berkaitan dengan suasana pengajaran tentang pengetahuan keindahan, Lao Tse (601 S.M), seorang ahli mistik China, mengatakan bahwa pengetahuan yang diajarkan para guru kepada manusia, bertujuan untuk melahirkan hidup selaras dengan Tao, siapa yang dapat menahan hawa nafsunya, siapa yang dapat melenyapkan nafsu serakahnya, dialah yang dapat mendengar Tao di dalam kalbunya sendiri. Maka, bagi pencari pengetahuan dan pengajar pengetahuan, haruslah dapat menahan egonya, nafsunya, supaya dalam mengemban pengetahuan dapat tercapai dengan sempurna. Selaras dengan pernyataan Lao Tse, Budha mengatakan, jadilah guru pertapa, artinya menjadi guru yang berjiwa kerakyatan untuk membela rakyat jelata, sukalah mendekati rakyat, bukan mendekati kekuasaan, jangan suka memperlihatkan kelebihan-kelebihannya, menjadi guru berarti siap menjadi manusia biasa, guru bukan orang atasan, cita-citanya satu hanyalah memberdayakan manusia dengan menyumbangkan ilmunya di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Sebaiknya Menjadi Guru Seni Rupa yang Tidak Menggurui Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (377: 2000) disebutkan Guru ialah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar, profesinya mengajar. Senada dengan kata Guru, di Indonesia terdapat pula istilah lain yang memiliki tugas sama, seperti; Maha Guru, Resi, Empu, Kyai, Ustadz, Ajengan, Mulla, Ulama, Mursyid, Peter, Romo, Sayid, Guru Besar, Dosen dan sebagainya. Bila disarikan pada intinya Guru adalah orang yang diberi kelebihan akan ilmu, yang tidak hanya digunakan untuk diri sendiri, tetapi juga disebarkan, disampaikan
kepada orang banyak. Mereka hidup hanya untuk mendalami ilmu, agar kehidupan manusia terjaga, berlangsung secara normal. Para Guru di atas, bertugas memberlangsungkan nilai-nilai kebenaran di muka bumi. Guru-guru ini memiliki watak jujur, keilmuannya tinggi, terbuka, rasa asih, mengayomi, dapat memecahkan masalah-masalah kejiwaan dan kehidupan. Pengertian Guru pada lembaga formal dan resmi, Guru berusaha bekerja dengan profesional sesuai dengan bidang keilmuannya. Guru jenis ini selalu terpanggil lahir batinnya untuk mengajarkan ilmu-ilmu, agar pewarisan atau estafet keilmuan tidak putus di tengah jalan. Utomo Dananjaya (140: 2005) menuliskan tentang guru profesional yang diharapkan, antara lain; mengajar tidak lain bertujuan hanya untuk mencapai sasaran puncak membangun masyarakat yang berperikemanusiaan, yang menekankan perkembangan potensi-potensi individu sebagai makhluk mulia, mengajar adalah melayani dan menyediakan diri, untuk memecahkan masalah masing-masing individu atau kelompok secara rasional, mengajar berarti juga berani memilah dan mampu menghalau sistem sosial yang melanggengkan kepura-puraan dalam dunia pendidikan, yang mengakibatkan kemalasan belajar dalam merengkuh pengetahuan, jiwa pengajar adalah selalu memandang bahwa murid adalah manusia mulia, yang wajib diperlakukan secara terhormat. Bila kata guru dikaitkan dengan kesenian, berarti seorang guru kesenian berkewajiban untuk mengajarkan pengetahuan seninya kepada muridnya secara menyeluruh, misalnya mulai dari pemahaman kesenian yang dikaitkan dengan pendidikan akhlak mulia, konsep seni secara utuh baik seni rupa, musik, tari, teater dan sastra, pengertian seni (apa dan untuk apa), aspek seni (pengetahuan tentang seni; unsur seni, prinsip seni, apresiasi, kreativitas, estetika, keterampilan) dan keberagaman jenis seni yang berkembang (Cut Kamari, 125: 1999) Tidak hanya itu, guru kesenian juga berkewajiban untuk mendalami atau mentelaah kurikulum dari waktu ke waktu, model pembelajaran terpadu (rupa, musik, teater, tari dan sastra), rancangan pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan sebagainya. Untuk merealisasikan hal-hal tersebut di atas, para guru kesenian berkewajiban menambah pengetahuan-pengetahuan, seperti; filsafat dan cabang-cabangnya, ilmu politik, sosiologi, psikhologi, ilmu-ilmu agama, ilmu bahasa, tata tulis, geografi, sejarah, antropologi, ilmu musik, praktik musik, pengetahuan dasar berteater, dasar-dasar tari, sastra, retorika, management, ekonomi, arsitektur, desain industri dan pertukangan. Banyak hal yang perlu diketahui bagi siapapun yang berkeinginan untuk “menjadi” guru seni rupa, karena dunia seni rupa sangatlah luas, selalu berkembang, percepatannya luar biasa. Bila tidak berusaha “membaca dunia luar”, seorang guru seni rupa akan ditinggalkan para muridnya. Bagi guru kesenian yang memiliki talenta berkesenian, memiliki minat dan bakat, maka
lengkaplah sudah misi-misi kesenian dalam suatu lembaga formal atau masyarakat. Guru tersebut dapat dipastikan, akan berperan dan berpeluang untuk maju kedepan, tampil secara meyakinkan baik dihadapan para murid dan santrinya, atau pun di lingkungan sekolah dan masyarakatnya. Keberhasilan memelihara talenta kesenian, bukan hanya terletak pada seringnya berpameran, menulis buku dan artikel kesenian, ceramah-ceramah tentang kesenian dan sebagainya, tetapi juga terletak pada pemeliharaan misi-misi kesenian, yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang makna hidup dan kehidupan. Kehidupan terlalu rendah, bila hanya mengikuti alur hegemoni dominan. Aksi cultural melalui kesenian, dapat menjaga hidup dan kehidupan yang seimbang, ber-”aura”, kritis terhadap gerakan-gerakan dehumanisasi, sadar pada kebangkitan yang memihak kebenaran (Mansyur Faqih dalam Mulyono, xxxii: 1997). Inilah yang dimaksud dengan seniman sekaligus guru, yang tidak mengajarkan pengetahuan dengan menggurui. Di lapangan pendidikan resmi, masih banyak guru ber-SK Negara, tetapi pemaknaan pengajarannya, belum menunjukkan kesungguhan dan totalitas yang berarti. Sementara dewasa ini, pengajaran “tidak resmi” yang di luaran terdominasi kebudayaan modern dan paradigmanya, yang mengarah pada ekspressi kesenian fabrikisasi yang mekanistik, dan berkecenderungan menuju pada industrialisasi seni, dengan strategi budayanya melalui pendekatan serba ilmiah, obyektif, bebas nilai, universal. Hegemoni dan dominasi ini akan mematahkan kesenian yang berangkat dari proses pembelajaran yang memerlukan mentalitas, kreativitas, motivasi, keterampilan serta kecerdasan masyarakat. Untuk itu tugas “menjadi” guru pengajar pengetahuan keindahan sejati, sebenarnya sangatlah berat. Di pundak para guru yang “menjadi” inilah, melalui media ungkap kesenian yang sebenarnya dipertaruhkan. Karena sekali lagi, sebenarnya tujuan utama mengajarkan kesenian yang mengandung pengetahuan estetik ini, berfungsi sebagai media “pencerahan”, mat-matan nyawa, obat hati yang terluka bagi para murid, santri, cantrik dalam menapaki kehidupan yang carut marut ini. Sementara hari ini kesenian-kesenian instant, pabrikan, kodian telah mendominasi sistem pengajaran yang dikembangkan para pendahulu kita. Inilah modernisasi, globalisasi, liberalisasi kebudayaan. Kemudian, apakah kita benar-benar terpanggil untuk “menjadi” guru ajar keindahan bagi kemaslahatan manusia atau kita mengikuti gerak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya. LSBO Muhammadiyah, Sudah Seharusnya Sebagai Laboratorium Pengembangan Kesenian dalam Pendidikan Seni di Muhammadiyah Muhammadiyah, menjadi besar karena meletakkan konsep gerakannya dengan model pengembangan pemikiran rasional dan sekaligus diaplikasikan praktik amalan langsung di tengah-tengah amal usahanya yang sebagian besar diabdikan pada pendidikan, di sini dapat
ditegsakan bahwa gerakan tersebut tidak berhenti pada kajian teoritik. Inilah kekuatan “spiritual” Muhammadiyah. Muhammadiyah, yang pada awal berdirinya menjadi “rumah spiritual” masyarakat yang saat terkooptasi oleh “pembaratan yang kafir” oleh penjajah dan “pentimuran yang musrik” oleh para pengabdi Kejawen, Kesundan, Kendayak dan seterusnya. Dua tugas besar, Alhamdulillah berjalan atas karunia Allah selama seratus tahun, dengan dinamika perkembangan pemikiran dan pengamalan yang berbeda-beda, dan diharapkan ada “titik sambung”sampai generasi berikutnya, khususnya dewasa ini. Sementara dalam rentangan perjalanan waktu yang seabad tersebut, tidak dapat dipungkiri lagi khususnya di dunia pemikiran kebudayaan/kesenian untuk pendidikan di kalangan Muhammadiyah, “titik sambung” tersebut terasa hilang. Rumah spiritual yang etik, estetik kini cepat atau lambat secara tak disadari telah tergantikan sesuatu yang serba rasional dan fiqiyah, tak ada rasa lagi kesenian yang kental. Para “pandega” Muhammadiyah mulai kehilangan arah dan barangkali khilaf, ketika di dalam “intern” Muhammadiyah masuk kelompok “gerakan luar yang menerobos kedalam” yang serba fiqiyah, yang dengan mudah mereka menyebarkan brain washing yang berbau fiqih saja, tanpa adanya pendalaman-pendalaman yang sesuai dengan gerakan intelektual Muhammadiyah. Di kalangan pendidikan Muhammadiyah masyarakat bawah dan pinggiran, ada beberapa kasus yang menarik untuk disikapi dan ditegaskan, misalnya ada seorang guru yang merasa menjadi ustadz (penandanya dengan peci Cina dan jenggot tebal) di kelas ketika sedang melaksanakan kegiatan belajar mengajar selalu “memainkan kata haram, bid’ah dan musrik” kepada anak didiknya, setelah ditelisik rupanya guru tadi mengikuti kajian keras, tanpa penyaringan kemudian disampaikan kepada muridnya. Sementara persoalan kesenian dan kebudayaan di dalam Muhammadiyah telah dibahas secara mendalam, dan sudah diterbitkan tentang masalah seni misalnya, rupanya “ustadz” tersebut orang yang mengaku Muhammadiyah, tetapi belum dewasa dalam ber-Muhammadiyah. Sehingga di sekolah Muhammadiyah tertentu, tak indah lagi suara rampag drumband yang mengharukan, karya kaligrafi yang menghiasi relung hati para siswa, musyabaqoh al-Qur’an yang diganti murottalan yang monoton, memang praktis tetapi tidak sampai masuk suntuk di jiwa. Seni rupa, tetap dianggap haram dengan modal teks hadits yang tak tahu illatnya, seni musik difatwakan oleh guru lain sebagai musik pemanggil syetan, seni tari dianggap perangsang seksual, seni teater bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, sastrawan dianggap calon penghuni Neraka, dengan sandaran teks firman Asy-Syuaaro’nya tanpa penafsiran yang luas. Kenyataan inilah, di kalangan Muhammadiyah di pinggiran dan bawah sana telah terjadi gradasi yang berjalan secara pribadi-pribadi dalam menentukan arah pendidikan seutuhnya dan dijamin tidak menghasilkan pencerahan, tetapi justru meredupkan pendidikan di kalangan Muhammadiyah. Terutama di daerah-daerah, yang di sana muncul “ustadz-ustadz karbitan” yang bermodalkan celana “jigrang” dan jenggot tebal, serta kedodoran dalam membaca Qur’an tadi. Mereka mengaku Muhammadiyah, dan menjadi pengajar di Muhammadiyah, tetapi selalu
membantah keputusan-keputusan Muhammadiyah pusat. Mereka ber-Muhammadiyah, tetapi bukan Muhammadiyahnya Achmad Dahlan, mereka katanya ber-Muhammadiyah seperti apa yang disunnahkan nabi Muhammad SAW dan bukan yang digerakkan Kyai Achmad Dahlan. Contoh kasus seperti di atas memang merupakan bentuk dinamika di dunia pendidikan Muhammadiyah, yang menjadi pekerjaan rumah besar Muhammadiyah dalam menyikapi “kelonggaran dan sangat terbukanya” Muhammadiyah dewasa ini, sehingga terkesan elan vital pendidikan Muhammadiyah tidak “kempel” lagi. Khususnya “keberadaan pendidikan seni” di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga (LSBO) meskipun baru bernama lembaga dan belum menjadi majlis, sudah saatnya melakukan gerakan pemikiran kebudayaan dan kesenirupaan khususnya, yang pada saatnya nanti dapat ditelorkan hasil pemikiran tersebut melalui seminarseminar, dialog, forum-forum budaya dan sebagainya dan tidak hanya ada “grengseng” (semangat) kalau menjelang muktamar saja. Nota tersebut, dimatangkan dengan mengundang kalangan pendidikan untuk bersama-sama berpikir, berapresiasi atas cepatnya laju kembangnya seni yang Muhammadiyah ketinggalan jauh. Sementara, di lapangan pendidikan Nasional didengungkan tentang pendidikan berkarakter, tetapi karena program tersebut bersifat “proyekal yang tidak diproyeksikan secara mendalam” maka kesan aplikasinya tak bergaung sampai hati nurani anak didik Di lain pihak gerakan global yang bernama cyberculture, cybercomudity, cyberpsikhografi telah masuk melanda hampir seluruh lapisan masyarakat dari kalangan elit Muhammadiyah sampai kalangan bawah, pinggiran. LSBO perlu membuat nota kesepakatan kebudayaan kepada Muhammadiyah yang telah melahirkannya, tentang pesan moral melalui gerakan seni rupa yang sesuai visi misi Muhammadiyah, tanpa harus terjebak kepada bentuk visual yang monoton, seperti kaligrafisasi misalnya. Kalau hanya itu, Muhammadiyah dan seninya akan dikalahkan oleh mereka, sebab dikalangan non-Muslim juga sudah muncul kaligrafisasi dengan mengambil teks Injil misalnya. LSBO divisi seni rupa misalnya, perlu mendalami ulang tentang makna seni rupa (Islam) dengan mengambil “spirit seni rupa mulai dari dunia Timur Tengah dengan Arabeskanya, dari Timur Jauh dengan ragam hiasnya, dari Barat dengan mengambil spirit modernitasnya dan sebagainya. Tidak mudah memang, tetapi andai di LSBO lahir konsep seni rupa ala Muhammadiyah, seni musik ala Muhammadiyah, seni tari ala Muhammadiyah, seni sastra ala Muhammmadiyah yang dinamis, bukan tidak mungkin dikalangan Muhammadiyah akan muncul perupa (seniman) modern yang menjaga spirit seni Islamnya. Banyak seniman besar (rupa, sastra, film, musik) yang mengabdikan diri pada Muhammadiyah,
semisal Amry Yahya (Allohu Yarham), Syaiful Adnan, Muhammad Diponegoro dan seterusnya. Tetapi belum ada anak-anak muda hasil didikan Muhammadiyah yang melejitkan seninya sesuai dengan spirit Muhammadiyah. Maka tidak aneh, kalau LSBO masih “malu-malu” untuk lantang menggerakkan seniman yang kompeten untuk bersama-sama menyuarakan kebenaran Islam. Penutup Sebenarnya manusia pada umumnya, entah Muhammadiyah beneran atau mengaku Muhammadiyah, bila tidak memungkiri hatinya dipastikan hidupnya tidak bisa lepas dengan seni (seni rupa dengan lukisan, interior, tata taman, fashion, film, desain produk, kriya dll, seni musik dengan bacaan murotal, cassette, masyid, band, karya kitaro dll, sastra dengan puisi, pantun, macapatan, essay, novelnya juga seni-seni lainnya, semisal tari dan teater). Mereka secara tidak sadar mulai bangun tidur sampai tidur lagi, selalu dipenuhi dengan “suasana rasa seni” walau mereka tidak menyadari akan kehadiran seni yang “hidup” dalam kesehariannya. Tetapi ketika persoalan ini diangkat di forum-forum “resmi” Muhammadiyah, hasilnya menguap lagi. Mereka menolak atau diam saja, bukan karena kurangnya pengetahuan, tetapi terjebak pada belum kayanya wawasan dalam persoalan fiqih. Ringkas simpulnya, sebenarnya hanya kurangnya wawasan dalam ber-Muhammadiyah dengan menyeluruh utamanya para pelaku pendidikan, dengan tidak mau membuka diri dengan ilmuilmu yang berkenaan dengan hal di atas secara holistik. Selain itu, dengan hadirnya aneka jenis serbuan “cyberculture” dimuka bumi, termasuk di Muhammadiyah, para pelaku pendidikan belum siap menyikapinya dengan konsep yang jelas. Motto, pendalaman tentang pentingnya iman ilmiyah dan ilmu amaliyah tak diaplikasikan dengan baik di lapangan pendidikan. Tetapi usaha dalam gerakan kebudayaan Muhammadiyah, dengan bentuk festival Muharram, seperti yang dilakukan LSBO beberapa tahun terakhir ini, menjadi penting sebagai pengawal perubahan dalam “mengekskusi” dunia pendidikan dan perguruan Muhammadiyah. Sebab di forum tersebut, terjadi silaturrahim, dialog atas kegelisahan-kegelisahan para peserta baik para pakar seninya atau para peserta festival. Artinya, di sana kalau ditafsirkan dengan istilah hurahura, apalagi huru-hara, tafsir atau pandangan tersebut berarti masih terjadi kenaifan dalam ber-Muhammadiyah secara menyeluruh. Kita berharap, semoga usaha seperti ini, tidak mengalami kejenuhan, kebosanan atau keputusasaan senyampang niat usaha untuk memajukan dunia perguruan Muhammadiyah, toh dalam istilah Kyai Dahlan “sapa nandur bakal ngundhuh”. Unduhan LSBO mungkin akan dirasakan generasi berikutnya. Biarkan unta melenguh, asalkan kafilah tidak mengeluh. Semoga. ***
Daftar Kepustakaan: Asy-Syaibany, Omar M. Al-Toumy, Falsafatut Tarbiyah Islamiyah (Filsafat Pendidikan Islam), Bulan Bintang, Jakarta, 1979 Abdul Hadi WM, Hermeneutika Estetika dan Religiusitas, Mahatari, Jogjakarta, 2004 Cut Kamari, dkk, Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan, Universitas Terbuka, Jakarta, 1999 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005 Djumhur, Dana Saputra, Sejarah Pendidikan, Cerdas, Bandung – Jakarta, 1961 Harold H.Titus, Marlyn S. Smith, Richard T. Nolan, Living Issues In Philoshopy (Persoalan Persoalan Filsafat), Bulan Bintang, Jakarta, 1984 Idi Subandi Ibrahim, Life Style Ectasy Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komuditas Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta, 2006 Lajnah Kitab Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’anul Karim, Asy-Shifa’, Semarang, 2006 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, Bentang, Jogjakarta, 1997 MJA Nashir, Bela Studio, Membela Anak dengan Teater, Kepel Pres, Jogjakarta, 2001 Nashr, Seyyed Hosen, Islamic Art and Spirituality, Golgonooza Press, Ipswich, New York, 1987 Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Gramedia, Jakarta, 1984 Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis: Esai-esai Pendidikan Yang Membebaskan, Paramadina, Jakarta, 2005
Penulis adalah perupa, alumni fakultas pendidikan bahasa dan seni IKIP Karangmalang Yogjakarta (1983) dan alumni program seni rupa FKIP Universitas Sebelas Maret UNS Surakarta (2000). Sekarang sekretaris LSBO PD Muhammadiyah Kab.Sragen (2010-2015), juga ketua komite Seni Rupa LSBO PD Muhammadiyah Kab. Sragen (2005-2010). Bertempat tinggal di Sanggar Seni Dialog Langit Bumi Pranata d.a. Celupak RT. 25, Mojopuro, Sumberlawang, Sragen,57272
* Makalah ini pernah disampaikan pada Seminar Pendidikan: Peningkatan Mutu Kelulusan Mahasiswa Seni Rupa FKIP UNS Menuju Guru yang Profesional, 18 Junii 2009. Untuk kebutuhan LSBO PP Muhammadiyah, diedit dan diperluas seperlunya.
Selasa, 27 September 2011 - 08:42 Seni Lukis Kaca: Tak Pernah Booming, Tapi Membumi oleh Fajar Sutardi
Salah satu lukis kaca karya Rastika, dan menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. (foto: kuss indarto) Pengawal Kalam PERIHAL tentang keberadaan seni lukis kaca kembali mengusik pikiran penulis, ketika disuatu hari penulis mendengarkan cerita seorang pelukis yang kebetulan kedatangan calon pembeli atau mungkin pedagang lukisan dari kota bertandang ke rumahnya. Setelah melihat-lihat di ruang pajang di rumahnya yang tidak begitu luas, pembeli tadi kemudian menawar beberapa lukisan yang terbuat dari media kanvas dan kertas untuk dibawa ke kota. Setelah terjadi tawarmenawar, dan disetujui harganya, kemudian pelukis tersebut juga menawarkan lukisan kaca karyanya. Rupanya, pelukis tersebut selain membuat lukisan dari kanvas dan kertas, juga membuat lukisan dari bahan kaca. Saat ditawari lukisan kaca, pembeli atau pedagang tersebut menyatakan tidak begitu tertarik, karena menurutnya tidak banyak yang orang mau mengkoleksi karya lukis kaca, dengan alasan karena bahannya mudah dan rawan pecah, apalagi kalau pembelinya orang asing, nantinya bisa kerepotan dalam perjalanannya walau secara visual karya lukis kaca tidak kalah dengan media lainnya. Pelukis tadi mengangguk-
angguk, seperti orang bodoh-walaupun hatinya menolak, dengan mengatakan justru yang bodoh adalah pembeli tersebut. Singkat cerita, lukisan kaca tidak dibeli dan pembeli lukisan tersebut malah menyarankan kepadanya, agar membuat lukisan dari kanvas saja dan tidak dari kaca. Inilah sedikit gambaran kenyataan pahit yang dirasakan pelukis kaca tersebut, kejadian menggelikan dan terasa lucu tersebut kemungkinan hanya pernah berlaku pada satu dua pelukis kaca ditanah air termasuk teman penulis tadi, walau pada kenyataannya banyak juga pelukis kaca yang sampai hari ini tetap hidup dengan sejahtera, dari hasil karya lukis kacanya tersebut, seperti kesejahteraan hidup yang dialami para pelukis kaca di daerah Cirebon, komunitas pelukis kaca Nagashepa di Buleleng Bali, juga pelukis kaca di wilayah lain seperti di Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Magelang, Muntilan, Bantul, Surakarta, Kudus, Tuban, Madura, Pasuruan, Surabaya dan mungkin di tempat-tempat lain. Di Sumatera lukisan kaca juga tumbuh dengan baik, seperti dipraktekkan di Bengkulu (terutama Tebat Monok, Keban Agung, dan Batu Bandung), Medan, Banda Aceh, dan beberapa dan sebagainya. Seni lukis kaca, diakui atau tidak, sebenarnya telah menjadi sebuah kenyataan sejarah, yang lahir dan merambah dibelahan dunia kita ini, taruhlah seperti berkembangnya lukis kaca di Italia, daratan China, Jepang, Iran, India dan termasuk di Indonesia. Sanento Yuliman pernah mencatat tentang tuanya sejarah seni lukis kaca di dunia, ia menuturkan bahwa lempengan kaca pertama ditemukan oleh orang Italia pada abad ke-14. Orang Italia ini pula yang menemukan cat untuk media kaca. Berkat temuan tersebut kemudian lahirlah karya-karya seni lukis kaca, yang berawal dari Italia kemudian menyebar ke berbagai negeri. Sampai pada abad ke-17 atau abad ke-18 lukisan kaca diperkirakan menyebar ke Iran, India, Cina, Jepang, dan kemudian ke Indonesia. Kenyataan sejarah inilah, yang menjadikan “kekuatan” bagi para pelukis kaca untuk tetap bertahan hidup dari kaca tersebut. Di era zaman ini, dimana kesenian sangatlah bebas bergandengan tangan dengan media ungkap apa saja tanpa ada pembatasnya, sudah barang tentu dengan melihat kenyataan sejarah diatas, sebenarnya media kaca tidaklah berkelas rendah seperti yang dikatakan pembeli lukisan tersebut, justru diharapkan media kaca dapat ikut dimanfaatkan oleh perupa modern untuk melengkapi rupa-rupa media yang dewasa ini digarap oleh para kreator seni rupa. Artinya, sudah saatnya seni lukis kaca tidak dianggap sebagai karya kerajinan, karya yang “ndeso”. Seni Lukis Kaca, telah Lama Membumi di Indonesia Dari pembacaan sejarah, lukisan kaca belum diketahui secara pasti kapan mulai masuk ke Indonesia dan dari mana asal teknik melukis kaca, dan memang masih perlu diadakan
penelitian lebih jauh. Senada dengan pendapat Sanento Yuliman, adalah Hardiman seorang peneliti lukisan kaca di Nagashepa, Bali juga mencatat perjalanan lukis kaca, dikatakan bahwa menurut Jerome Samuel peneliti dari Institut Nasional des Laungues et Civilisations Orientales, Paris, yang pernah melakukan penelitian lukisan kaca di Indonesia, memperkirakan bahwa lukisan kaca paling cepat masuk ke Indonesia pada dasawarsa terakhir abad ke-19. Menurutnya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca masih merupakan sejenis barang atau bahan yang mewah dan sangat mahal, rasa mewah terhadap bahan kaca itu terjadi baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk Cina dan Jepang. Jeremo Samuel pernah mencari data tentang kaca dalam arsip laporan tahunan VOC di Batavia, untuk kantor pusat di Amsterdam. Di dalam laporan itu, terdapat beberapa catatan tentang import barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Tapi VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, Cina, dan Jepang, Di Indonesia sendiri kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas. Di Jawa, menurut Jerome Samuel, keberadaan lukisan kaca dapat dibuktikan dengan keikutsertaan Jat, seorang pelukis dari Kupang Praupan, Surabaya, yang ikut serta dalam Pasar Malam tahunan di Surabaya, baru pada tahun 1908. Keberadaan tersebut diabadikan dalam foto laporan acara tersebut. Hardiman juga menambahkan bahwa, ada cerita yang berbeda dengan Samuel, yaitu tentang lukis kaca dari pantai Kuta, Bali. Tersebutlah seorang perempuan cantik keturunan Cina. Perempuan nan jelita ini dinikahi laki-laki berkebangsaan Denmark, Mads Lange. Suatu hari, tahun 1884, perempuan cantik ini dilukis dia atas permukaan kaca oleh seorang pelukis Cina. Kemudian hasil lukisan kaca itu, oleh berbagai kalangan dianggap sebagai lukisan kaca pertama yang ditemukan di Indonesia. Kini lukisan tersebut tersimpan di suatu museum di Denmark. Sejarah lukisan kaca Indonesia, sebagian besar masih tersembunyi. Tetapi pada kenyataannya lukisan kaca di Jawa pernah mengalami masa jaya pada tahun 1930-an hingga akhir 1950-an adalah fakta yang kerap diungkap. Pada masa itu, lukisan kaca bertalian dengan tanda status sosial tertentu. Pemilik lukisan kaca adalah mereka yang sukses berdagang, telah naik haji, atau sekurang-kurangnya telah menikah. Lukisan kaca juga berfungsi sebagai penguat hubungan batin antara pemilik lukisan kaca dengan tokoh wayang dalam lukisan yang dimilikinya. Perlu diketahui tema-tema lukisan kaca yang dikoleksi oleh para orang kaya di Jawa, pada umumnya lukisan Hanoman, Kresna, Bratasena, Semar dan sebagian yang lain tema lukisan diambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Selain itu juga ditemukan lukisan berupa dua pengantin, legenda para Nabi, lukisan masjid Demak, kaligrafi Arabeska dan sebagainya. Dengan tema-tema tersebut lukisan kaca dapat berkembang dengan baik sampai tahun 50-an. Keberlanjutan tema yang disukai masyarakat masih baik, sampai awal tahun 70-an. Mulai tahun 70-an muncul nama-nama pelukis kaca yang cukup dikenal masyarakat, seperti Karto,
Sastradiharjo (Sastra Gambar), Maryono, Yazid, Maruna, Sudarga, Harun, Rastika dan sebagainya. Selain itu, belakangan muncul nama yang berasal dari kalangan kampus seni juga muncul, seperti Haryadi Suadi, Suatmaji, AB Dwiantoro, Arwin Hidayat, Ismoyo, Supono, Paikun, Mahyar, Murjiyanto, Pracoyo, Priyo Sigit, Rohman, Subari dan sebagainya, yang terus ikut menyemarakkan seni lukis kaca sampai jelang tahun 90-an. Sementara perkembangan seni lukis kaca di Bali, juga kurang lebih sama seperti di daerah lain di Indonesia. Di Bali seni lukis kaca dapat dilacak keberadaannya di wilayah Buleleng, tepatnya di Desa Nagashepa. Dari sana lahir nama-nama besar pelukis kaca seperti Jro Dalang Diah (pendiri komunitas pelukis kaca Nagashepa), I Kadek Suradi, I Nengah Silib, I Ketut Samudrawan, dan I Ketut Santosa dan sebagainya. Dari aspek kenyataan sejarah inilah lukis kaca berjalan ke arah waktu kedepan tiada henti dengan kekuatannya sendiri. Hardiman menuliskan tentang kekuatan lukisan kaca dengan bernas sebagai berikut; Seni lukis kaca adalah benda yang menyimpan muatan hubungan manusia dengan Tuhan. Ia adalah media tentang bagaimana menjalani kehidupan yang benar. Ia adalah refleksi kehidupan manusia. Tegasnya, ia adalah teks budaya kita hari ini. Ia adalah bening. Walaupun, seni lukis kaca yang bening secara fisik dan, terutama, bening secara muatan itu, sampai kini masih belum dianggap berkelas tinggi dan tetap termarjinalkan. Jauh dari pisau-pisau analisis para ktitikus seni, jauh dari gembar-gembor media masa. Jauh dari genggaman para kolektor kakap. Jauh dari angkaangka di Balai Lelang. Lukisan kaca, sekalipun bening, tetap hening. Ia kesepian di tengahtengah gemuruhnya pasar wacana dan wacana pasar, tetapi tetap hidup membumi walau tidak gemuruh. Seni Lukis Kaca Indonesia, Mengabadikan Nilai Spiritual dan Legenda Rakyat Jelata Sanento Yuliman pernah bercerita di beberapa tulisannya mengenai keberadaan seni lukis kaca, bila seseorang mengadakan perjalanan ke wilayah tertentu di Indonesia, ketika di wilayah tersebut ia menemukan seni lukis kaca, berarti ia telah menemukan kehidupan rakyat jelata yang sesungguhnya, sekaligus ia telah menemukan cerita legenda rakyat dan nilai-nilai spiritual yang menjadi pegangan hidup yang bernilai luhur, menurut ukuran masyarakat tersebut. Lukisan kaca telah menjadi milik kelompok rakyat yang membuat dan menikmatinya. Sebab sekali lagi citra yang digambarkan dalam seni lukis kaca adalah bagian dari khayal dan anganangan kolektif rakyat jelata. Salah satu nilai-nilai luhur dan melegenda, misalnya banyaknya lukisan kaca Indonesia yang berhubungan dengan ajaran-ajaran yang dianut masyarakat, yang kebetulan mereka dibesarkan oleh ajaran Islam. Seperti, nilai spiritulitas kaligrafi Arab memang terdapat di manamana, kecuali di daerah Bali, yaitu Buraq – yang menurut ajaran Islam tradisional merupakan gambaran kendaraan Nabi Muhammad ketika di Isra’ dan Mi’rajkan Allah SWT. Buraq
diimaginasikan berbentuk kuda bersayap dan berkepala manusia – merupakan lukisan yang banyak digemari didaerah Madura, Kudus, Cirebon, Bengkulu. Begitu pula gambar masjid dapat ditemukan di Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Bengkulu. Gambar Macan Ali, juga menjadi nilai legenda kaum Muslimin tradisional, yaitu berupa kaligrafi kalimah syahadat yang membentuk sosok seekor harimau mendekam, cukup diminati di Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon. Di samping gambar-gambar tersebut, di Jawa, tema seni lukis kaca yang melegenda adalah penggambaran tokoh-tokoh wayang kulit, seperti ditemukan di Pasuruan, Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon. Khususnya seni lukis kaca Cirebon, misalnya, sangat kaya dengan nilai-nilai legenda dan spiritual, misalnya tema paksi naga liman, yaitu gambar kereta berbentuk campuran sosok burung, naga, gajah dan banteng, gambar insan kamil, berbentuk motif bangunan di atas motif wadasan, berisi kaligrafi Arab, penunggang kuda, Gunung Jati (bukit, dengan motif wadasan), perahu (jalinan huruf Arab/Arabeska), malaikat pengawal Nabi, gunungan (terbentuk dari jalinan huruf Arab). Rupanya di Cirebon telah terjadi sinkretisme antara Islam dan Hindu, hal ini dibuktikan dengan banyak terdapat kaligrafi Arab yang digubah menjadi sosok-sosok wayang: Syiwa (Batara Guru), Ganesha, Semar, Togog, Narada, dan lain-lain. Di Cirebon para pelukis banyak yang hidup di lingkungan keraton, walau sebagian besar tersebar di daerah kabupaten bagian selatan, barat, dan utara. Lukisan kaca dapat dilihat di Keraton Keprabonan, Kacirebonan, Kasepuhan, dan Kanoman, juga dalam beberapa koleksi di Lemah Wungkuk. Bukan hanya di sana, tetapi juga tengahan di daerah kabupaten, di pedesaan (Losari, Ambulu, Kali Rahayu, Sumber, Trusmi, Gegesik, Surakerta, Kali Tanjung, Clancang, Gunungjati, Klayan, Kapetakan, Kali Anyar). Nilai-nilai spiritual dan legenda ikut memperkokoh posisi seni lukis kaca sampai dewasa ini. Memang bertahan pada ranah tradisional, tetapi sebenarnya nilai-nilai tersebut secara nonvisual masih aktual. Di sinilah sebenarnya kekuatan seni lukis kaca tersebut, dan memang beda dengan seni rupa modern yang cenderung ngepop. Berkenaan dengan kekuatan seni lukis kaca, yang bertemakan mengangkat spiritual dan legenda tersebut, J. H. Hooykaas mengingatkan kita, bahwa karya-karya seni visual kita bermuatan nilai-nilai yang memang diwariskan secara turun temurun. Menurut Hooykaas, pada tahun 1937 saat konggres philology, yang di dalamnya membahas tentang seni lukis tradisional termasuk lukis kaca, Prof. Bolkenstein, salah satu antropolog Belanda memberikan penjelasan bahwa lukisan kaca tradisional memang bertema spiritual dan legenda masyarakat utamanya kaum Muslim Jawa, antara lain: ajaran tentang budi pekerti yang divisualisasikan melalui cerita wayang, visualisasi pengantin Jawa Islam saat akad nikah, gambar-gambar legenda Islam, seperti cerita Sultan Agung dan terbunuhnya Jendral De Kock, kisah Nabi dan Rasul, juga kisah-kisah spiritual legenda masyarakat Jawa.
Mengenai cerita wayang pemvisualan nilai-nilai spiritual Islam Jawa pada lukisan kaca, berupa adegan lakon Dewa Ruci, seperti dialog Bratasena dengan Dewa Ruci, Bratasena membunuh Naga Amarahnya, Bratasena mencari susuhing angin dan sebagainya. Pada tema pengantin baru lukisan divisualisasikan dengan dua pengantin (wanita dan pria) dengan pakaian lengkap dalam posisi duduk timpuh, layaknya orang sedang sembahyang. Hal itu mengisyaratkan bahwa menjadi pengantin, haruslah diniati ibadah, ngabekti kepada Tuhan Yang Esa. Pengantin pria memakai kuluk (kopyah/peci), sedangkan pengantin wanita memakai kemben di badannya lengkap dengan cunduk mentul, sisir di kepalanya. Keduanya diluluri atau “diblonyo” lulur boreh berwarna kuning. Model visual, mirip pengantin baru juga dijadikan tema yang menarik, kemiripan tersebut karena juga berbentuk dua sosok wanita dan pria. Tetapi tidak berpakaian lengkap, hanya memakai kemben, dua sosok ini sering disebut Loro Blonyo (visualisasi dari Dewi Sri dan Sri Sadana). Lain lagi dengan tema masjid, masjid-masjid yang sering divisualkan yaitu Masjid Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat, digambarkan bahwa Sunan Tembayat, bersama isterinya bermaksud menuju masjid untuk mensyahadatkan Syeh Domba. Sedangkan para wali Sanga, yang sering dijadikan tema lukis kaca, adalah Sunan Kalijaga, Ki Ageng Semarang, Baginda Hidir. Yang tidak kalah menarik adalah pemvisualan cerita Nabi Suleman dan Kancil, aneka binatang asuhan Nabi Suleman berkumpul untuk mendapat wejangan tentang tugas para makhluk ciptaanNya. Kini Seni Lukis Kaca, Hidup Merana di Tengah Seni Rupa Modern Indonesia Seperti diungkapkan Hardiman, bahwa pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1970-an pasar lukisan kaca masih Berjaya dan banyak diminati; dibeli, dikoleksi oleh kelompok petani kaya, yang mempunyai sawah berhektar-hektar. Para petani yang kaya itu umumnya tinggal di desadesa di wilayah Kabupaten. Pada waktu itu, para pelukis kaca kerap menjajakan lukisan kaca ke desa-desa di kecamatan, bahkan kelurahan. Tak jarang, petani sukses itu sendiri yang datang ke desa dimana para pelukis kaca berkarya, mereka memesan lukisan kaca dengan tema-tema yang sesuai dengan permintaan. Inilah keadaan, dimana komunikasi antara perupa dan petani (masyarakat) menjadi aktif, sehingga untuk memudahkan bagi pelanggan, maka para pelukis membawa karya-karyanya ke pasar, untuk dijualnya didekatkan dengan pembelinya. Pendekatan komunikasi melalui pasar ini terkait dengan citra status sosial petani (pasar) yang menjadi meningkat dengan memajang lukisan kaca di rumahnya. Khususnya di Bali, lanjut Hardiman, pasar itu kini adalah cerita lama yang telah mati. Pasar seni lukis kaca lama itu kini diganti dengan pasar baru, yang hanya diminati orang asing, itu pun orang-orang yang memang mempunyai perhatian terhadap seni tradisi, para peneliti, antropolog, atau seniman yang punya kepentingan khusus dengan lukisan kaca. Dan sedikit kaum intelektual lokal yang mencintai tradisi, yang kemudian mengoleksi lukisan kaca barang satu atau dua lembar saja.
Dan pasar baru itupun jumlahnya sungguh amat sedikit, bisa dihitung dengan jari. Di Bali, hingga saat ini komunitas seni lukis kaca yang masih hidup hanyalah di desa Nagasepaha, Buleleng. Di desa yang terletak tujuh kilometer ke arah Timur dari kota Singaraja itu, terdapat belasan pelukis kaca yang aktif berkarya juga berpameran. Namun demikian, seni lukis kaca merekapun suatu saat akan terpinggirkan oleh arus utama seni lukis masa kini. Bahkan medan sosial seni rupa Bali cenderung memosisikan seni lukis kaca sebagai seni nista, seni kelas dua, milik para pengrajin belaka. Demikian pula keadaan itu, terjadi juga di hampir seluruh pusat-pusat pembuat lukis kaca di Jawa, sebagian besar mereka beralih profesi untuk menjadi petani buruh, merantau di kota atau tetap membuat lukisan bila ada pesanan. Memang ada usaha untuk melestarikan lukis kaca, khususnya lembaga pendidikan seni dengan membuka mata pelajaran seni lukis kaca, seperti di beberapa sekolah menengah seni rupa dan kerajinan, bahkan lembaga pendidikan tinggi seperti ISI Solo, juga mengkhususkan kearah pelestarian seni tradisi, termasuk mata kuliah lukis kaca. Tetapi usaha-usaha tersebut, belum membuahkan gaung yang mem”booming”, walau telah membumi di persada Nusantara. Pengunci Kalam Seperti diisyaratkan oleh peribahasa Jawa “lakon wolak waliking zaman”, usaha membangkitkan kembali keberadaan seniman lukis kaca dari kemeranaan dan kesunyian, perlu diacungi jempol utamanya, usaha yang dilakukan oleh Bentara Budaya Yogjakarta (2000), dan Bentara Budaya Jakarta (2004) dengan memamerkan karya pelukis kaca yang berasal dari Jateng dan Yogyakarta, yaitu dari Wonosobo, Wonogiri, Solo, Magelang, Gunungkidul, Ciorebon, Bantul dan Bali, dengan tafsir dan interpretasi baru. Salah seorang dewan kurator pameran, Ipong Purnomo Sidi menyatakan keyakinannya bahwa, pameran tersebut memang bertujuan untuk menjaga dan merangsang perkembangan lukisan di atas kaca yang cenderung kurang mendapat perhatian publik dibeberapa dasa warsa dewasa ini. Ipong, mengatakan bahwa, seni lukis kaca memang sebuah wilayah kesenian yang tidak populer di dunia global pada sekarang ini, walau untuk menjaga dan melestarikannya bukan perkara mudah. Namun, dalam kasus lukisan di atas kaca, di dalam kesunyian justru perlu ditumbuhkan sebuah usaha revitalitasi atau kebangkitan kembali sebuah karya lukis kaca yang meliputi pembaruan corak, gaya, dan tema, sehingga menghasilkan teknik gambar yang prima dan baru. Memandang sebelah mata terhadap keberagaman lukisan kaca yang bertebaran di hampir seluruh wilayah Nusantara, merupakan bukti atas ketidakcintaan terhadap budaya asli Indonesia. Maka usaha dari mana dan siapapun, tentang penjagaan dan pelestarian atas masa
depan seni lukis kaca di Indonesia, merupakan sebuah usaha yang perlu dicontoh dan perlu mendapatkan perhatian yang besar, agar seni lukis kaca, tidak punah dari bumi Nusantara, dan tidak terlindas oleh seni pop yang hari ini meraja. *** Sumber Rujukan: Yudhoseputro, Wiyoso, 1986, Pengantar Seni Rupa Islam Nusantara, Angkasa Bandung Hermanu, 2006, Mengenang Tjitro Waloejo, Katalog Bentara Budaya Yogjakarta ________ 2000, Pameran Lukis Kaca, Taman Budaya Yogjakarta ________ 1987, Melukis Dalam Kaca, Editor No. 11/Tahun I Benny Bunke, 2004, Interpretasi Baru Seni Lukis Kaca, Suara Pembaruan *) Perupa, intens belajar lukis kaca, pengajar seni rupa di beberapa sekolah menengah di Sragen, aktif dalam Komunitas Perupa Pintu Mati Solo. Sabtu, 04 Juni 2011 - 09:08 Seni Kaligrafi dan Spiritualitas Seni Islam Nusantara oleh Fajar Sutardi
Sebuah kaligrafi dengan yang membentuk citra logo perusahaan telekomunikasi raksasa AS, Apple. (foto: www.dwanikraf.com) Pengawal Kalam
Mempelajari huruf Hijaiyah, dalam arti belajar membaca dan menulis huruf Arab bagi umat Muslim, merupakan suatu keharusan yang bernilai ibadah. Ernst Kuhl, peneliti Jerman yang tekun meneliti masalah kaligrafi Arab, pernah menuliskan tentang pentingnya mempelajari huruf Arab yang tertuang dalam bukunya berjudul Islamische Shcrifkunst. Annemarie Schimmel, seorang peneliti Kaligrafi juga menyatakan senada, bahwa setiap Muslim pasti mengakui betapa pentingnya abjad Arab, karena huruf Arab dipergunakan sebagai media pengungkapan ayatayat abadi Allah. Huruf Arab, oleh Tuhan disahkan sebagai huruf untuk menuliskan wahyuNya, diterima dengan baik oleh Nabi Muhammad. Huruf Arab berfungsi sebagai wahana pengungkapan tentang keagungan, keindahan dan kesempurnaan firman Ilahi. Melalui huruf Arab inilah, sang Nabi memerintahkan kepada para sahabat setianya, untuk menuliskan wahyu yang keluar dari bibir Nabi tersebut, dengan kalam dan tinta terbaiknya ke media pelepah daun kurma, daun papyrus, kulit-kulit binatang, bebatuan dan tulang-tulang yang disucikan. Para penulis wahyu agung dan suci, bekerja sepanjang malam dan sepanjang hari dengan semangat ibadah yang tinggi untuk mengikuti sang Nabi, terutama saat-saat Allah memberikan wahyu melalui malaikat Jibril yang diterima Nabi Muhammad. Para penulis awal (para kaligrafer wahyu) mendapatkan kemampuan, kelihaian luar biasa dan oleh sang Nabi mereka itu mendapat penghargaan dari Allah, setiap huruf yang ditulis mendapatkan sepuluh kebaikan. Usaha penulisan wahyu tak kenal lelah oleh para sahabat Nabi, seperti Zaid bin Tsabit, Muaz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, Abdurahman bin Haris menjadi cikal bakal awal mulanya perkembangan seni khath (seni kaligrafi Arab). Mereka berlomba-lomba untuk menjadi penulis terbaik dan utama, dengan mengembangkan tipografi yang hidup dalam masyarakat di sekitar jazirah Arabia waktu itu. Dari “hunting” kelapangan yang dilakukan oleh para kaligrafer awal, kemudian muncul berbagai tipografi Arab yang indah, seperti huruf dengan gaya Naskhi, Tsulusi, Riq’i, Farisi, Dewani, Dewani Jally, Kufi dan sebagainya. Jenis gaya Naskhi paling banyak digunakan untuk menulis mushaf Quran dan naskah-naskah berbahasa Arab lainnya seperti majalah atau surat kabar. Bentuk aksara ini tampak sangat jelas, sederhana, dan mudah dibaca. Jenis gaya Tsulutsi sering digunakan untuk judul-judul naskah, dekorasi, lukisan, desain dan sebagainya. Bentuk hurufnya tampak anggun dan berwibawa. Jenis gaya Riq’i sangat sederhana dan praktis, sehingga anak sekolah atau wartawan yang menggunakan bahasa Arab banyak yang menggunakan aksara ini untuk mencatat. Jenis gaya Diwani sangat lembut dengan garis-garis melengkung dan meliuk-liuk, namun tampak jelas. Jenis aksara ini banyak digunakan untuk surat-surat resmi, lencana, tulisan di kantor-kantor, dan sejenisnya. Jenis gaya Diwani Jali hampir mirip dengan jenis aksara Diwani namun terdapat perbedaan pada pemberian syakal, hiasan, titik-titik rata, di antara lekukan-lekukan hurufnya. Jenis aksara ini jarang digunakan kecuali dalam dekorasi. Jenis gaya Kufi sangat indah meskipun bentuk huruf berupa garis lurus vertikal, horisontal dan diagonal dengan sedikit lengkungan. Jenis huruf ini banyak digunakan untuk penulisan judul buku, dekorasi, atau lukisan. Jenis aksara Farisi/Taliq berkembang di Iran/Persia. Huruf berupa goresan garis tebal dan tipis, sangat jelas dan sederhana. Jenis huruf ini banyak digunakan oleh masyarakat Iran dan sekitarnya, hingga saat ini untuk berbagai macam penulisan formal
maupun informal. Para master kaligrafi pada abad berikutnya muncul untuk menyempurnakan para pendahulunya, sebut nama Ibnu Muqlah, Ibnu Bawwab, Yusuf Al-Mustas’simi, Hamdullah, Hafidz Usman, Mustofa Al-Raqim,Hamid Al-Hamidi, Nadhif Sami, Ismail Haqqy, Abdul Qadir, Muhammad Amin dan sebagainya. Ismail R. Faruqi, dalam bukunya Cultural Atlas of Islam mengatakan bahwa kaligrafi Arab, merupakan media ungkap nilai-nilai spiritual yang dipengaruhi oleh kesucian wahyu Al-Qur’an yang dilakukan para seniman Muslim di seluruh dunia. Sehingga, perkembangan kaligrafi dengan aneka ragam alirannya menyeruak kedalam berbagai bidang kehidupan kaum Muslim untuk kemanfaatan keindahan dan keilahian. Maka tidak aneh, kalau kaligrafi Arab ini memenuhi ruangan hidup kaum Muslim, seperti ruang Masjid, kitab ilmiyah, kitab Al-Qur’an, Kitab Hadits, makam, arsitektur gedung perkantoran, ekspresi keindahan yang berbentuk hiasan dinding, tughra, stempel, senjata perang, busana dan sebagainya. Bukti semangat tersebut dapat kita lihat berbagai hiasan kaligrafi dan Arabeska di masjid Cordoba Spanyol, masjid Al-Hambra Granada, masjid Istambul Turki, Isfahan, Ibnu Toulon, Taj Mahal. Roger R, Garaudy, mengatakan bahwa budaya Qur’ani yang dikembangkan para kaligrafer Muslim, telah berpengaruh didada perupa Barat, seperti Kandinsky, Mondrian, Monet, Gauguin, Matisse yang juga mengembangkan nilai-nilai keilahian pada karya-karya mereka, utamanya setelah di Munich, Spanyol diselenggarakan pameran seni Islam tahun 1910. Spiritualitas Seni dan Keindahan Kaligrafi Arab Seni menulis indah atau kaligrafi diciptakan dan dikembangkan oleh kaum Muslim sejak kedatangan Islam, mendapat sambutan luar biasa. Hal ini berbeda bila dibandingkan seni Islam yang lain. Kaligrafi memperoleh kedudukan yang paling tinggi dan merupakan ekspresi spirit Islam yang sangat khas. Oleh karena itu, kaligrafi sering disebut sebagai 'seninya seni Islam' (the art of Islamic). Kualifikasi ini memang pantas karena kaligrafi mencerminkan kedalaman makna seni yang esensinya berasal dari nilai dan konsep keimanan. Oleh sebab itu, kaligrafi berpengaruh besar terhadap bentuk ekspresi seni yang lain. Hal ini diakui oleh para sarjana Barat yang banyak mengkaji seni Islam, seperti Martin Lings, Titus Burckhardt, Annemarie Schimmel, dan Thomas W Arnold. Kaligrafi adalah dasar dari seni perangkaian titik-titik dan garis-garis pada pelbagai bentuk dan irama yang tiada habisnya serta tidak pernah berhenti merangsang ingatan (dzikir) akan situasi hati. Kaligrafi adalah sebutan yang mengarah pada penjelmaan perasaan seseorang, melewati huruf. Penjelmaan jiwa duniawi yang secara terusmenerus memberi pesan spiritual. Menurut Hossein Nasr, pokok dasar terpenting dalam kaligrafi misalnya: pertama, mengenai hubungan atau pertalian asal seni ini antara Ali (wakil par excellece dari esoterisme Islam setelah Nabi) dengan beberapa tokoh spiritual Islam pertama yang dipandang sebagai kutub tasawuf dalam Islam Sunni serta imam-imam Syafi’i. Kedua, kaligrafi ditulis oleh tangan-tangan manusia yang terus dipraktikkan secara sadar sebagai emulasi manusia terhadap Tindakan
Tuhan, meskipun “jauh dari sempurna”. Ketiga, kaligrafi tradisional didasari oleh sebuah ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk dan irama geometris yang tepat. Keistimewaan lain kaligrafi dalam seni Islam adalah sebagai bentuk pengejawantahan firman Allah dan karya seni yang sangat berkaitan dengan Alquran dan Hadits. Karena, sebagian besar tulisan indah dalam bahasa Arab menampilkan ayat Alquran atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, kaligrafi merupakan satu-satunya seni Islam yang dihasilkan murni oleh orang Islam sendiri, tidak seperti jenis seni Islam lain (seperti arsitektur, seni lukis, dan ragam hias) yang banyak mendapat pengaruh dari seni dan seniman non-Muslim. Karena itu, tidak mengherankan jika sepanjang sejarah, penghargaan kaum Muslim terhadap kaligrafi jauh lebih tinggi dibandingkan jenis seni yang lain. Para seniman Muslim, dalam mengungkapkan nilai-nilai Qur’aniyah tidak hanya berhenti pada tampilan keindahan garapan teksnya yang dekoratif, tetapi lebih jauh mereka mengembangkan teks ayat suci, menjadi kreasi-kreasi dan ciptaan yang mengacu pada alam dan kehidupan. Kamil Al-Baba, tokoh kaligrafer Muslim dunia sangat suntuk mengembangkan teks menjadi karya tematik, seperti teks Basmallah, dikreasikan menjadi seekor burung surga yang indah dan menawan, belum lagi bentuk-bentuk binatang-binatang yang diabadikan Al-Qur’an seperti, macam, gajah, unta dan terkadang berbentuk sosok manusia yang beribadah. Sekali lagi, nilai ungkap yang digarap Kamil Al-Baba, telah membuka cakrawala kreativitas luar biasa bagi seniman-seniman Muslim diseluruh dunia sampai dewasa ini. Para perupa modern kaum Muslim, mulai dari Shakir Hasan Al-Sayid (Iraq), Hosen Zenderoudy (Iran), Kamal Boulatta (Yerusalem), Rashid Koraishi (Algeria), sampai Muhammad Saber Fiuzi (Iran) terus mengembangkan kemerdekaan seni kaligrafinya dengan semangat keilahian yang terdorong oleh nilai-nilai spiritualitas Qur’ani. Para pemikir, ulama dan para budayawan juga ikut mendorong semangat para kaligrafer Muslim tersebut, misalnya konsep pemikiran dan pendapat Ali bin Abu Thalib seorang sahabat Nabi, yang akhirnya menjadi menantu Nabi, dalam suatu hari Ali bin Abu Thalib mengatakan, bahwa seseorang yang dapat memperindah seni tulisan (kaligrafi) melalui, gerak-gerik tangannya, dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut juga terjaga kecerdasan hati dan pikirannya. Abu Hayyan al-Tawhidi, kaligrafer ulung mengatakan, bahwa seni tulisan tangan, merupakan hasil kepandaian dari tangannya yang indah, karena didorong adanya keindahan intelektualnya. Imam Ghozaly, ilmuwan Muslim, tokoh sufi, syaikhul Islam mengatakan bahwa seni dapat dijadikan media ungkap bagi keterkesanan hati seseorang dalam memahami, menikmati dan mensyukuri adanya alam dunia dan segala keindahannya, sehingga getaran fithrawiyahnya dapat hidup, peka dan terasah, untuk kemudian terbentuk rasa cinta (hub), damai (silm) dan bahagia. Ibnu Arabi, seorang pakar musik kenamaan dalam dunia Islam, mengatakan bahwa seni dapat membentuk dan menciptakan keharmonisan hubungan antara kemurnian hati dan nilai-nilai spiritualitas. Juga antara dapat menjaga hubungan yang bersifat realitas seni (seni hidup yang nyata) dengan komunikasi, ekspressi seni yang sesungguhnya hakiki dan sempurna. Muhammad Qutub, seorang ulama besar yang juga mendalami nilai kesenibudayaan Islam, mengatakan bahwa Seni Islam mengandung unsur ekspresi keindahan
atas perwujudan fitrah manusia dalam memaknai wajah alam dan nilai hidup secara benar dan sempurna. Wahedudin Ali, pemikir masalah-masalah Islam dan kebudayaan, mengatakan bahwa, Seni Islam selalu mengupayakan kualitas-kualitas spiritual dan ekspresi ragawi yang tak berbentuk subyek dan tak ada ikatan periodik dan historiknya, tanpa batasan antara ruang dan waktu bagi seorang Muslim. Yaqut al-Mustashimi (seorang kaligrafer kenamaan pada masa Usman) mengungkapkan bahwa kaligrafi itu sebagai seni arsitektur rohani yang terwujud melalui pengolahan keadaan. Berkenaan dengan beberapa pandapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa, seni bagi kaum Muslimin, adalah seni yang melahirkan sebuah kepribadian Muslim yang utuh antara lahir dan batinnya, antara dirinya dan kedekatannya kepada Allah (fitrah dan taqwanya). Inilah sebuah harapan agar kaum Muslim, dapat belajar seni kaligrafi untuk mewujudkan nilai-nilai keluhuran, kelembutan, kehalusan hati yang pada saatnya, akan digunakan dalam mengarungi hidupnya seseuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Qur’aniyah. Bagaimana spiritualitas seni kaligrafi di Nusantara? Di Nusantara, seni kaligrafi telah berkembang mulai abad 12 M atau semenjak kerajaan Islam muncul dan berdiri dibeberapa wilayah Indonesia. Perjalanan seni kaligrafi ke Timur Jauh, menjadikan seni ini berubah sesuai dengan tempat dan waktunya. Bila kita ambil contoh misalnya mulai dari wilayah Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bukitinggi, Bangka, Belitong, Palembang, Lampung, Bandung, Subang, Cilacap, Purworeja, Yogjakarta, Cirebon, Betawi, Surakarta, Demak, Kudus, Tuban, Surabaya, Madura, Mataram, Makassar, Ternate, Ambon, Maluku, Balikpapan, Banjarmasin, Palangkaraya dan Menado seni kaligrafi berkembang dengan bentuk-bentuk kaligrafi biomorfik, zoomorfik. Kaligrafi biomorfik tersusun dalam bentuk figur mahluk hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta buah-buahan. Kaligrafi zoomorfik tersusun dalam bentuk figur hewan. Wiyoso Yudho Seputra, menulis bahwa perkembangan seni kaligrafi di Nusantara memang tidak begitu menonjol sebagai karya seni kaligrafi seperti di Timur Tengah. Hal ini disebabkan karena penerapan kaligrafi tidak dominan sebagai seni tersendiri, tetapi melekat sebagai hiasan atau pengisi ruang bidang tertentu. Justru yang ditemukan adalah hiasan-hiasan mirip kaligrafi, atau sering disebut hiasan Arabeska. Ragam Hias Arabeska, ialah jenis hiasan yang menggambarkan obyek dan bentuk tertentu, pada bidang obyek tersebut oleh senimannya diisi dan dipenuhi tulisan Arab dengan tampilan indah, dengan teknik saling jalin menjalin simpai, lilit melilit tumpang tindih pada bisang yang dikehendaki. Di Indonesia, jenis hiasan Arabeska diwujudkan dengan bentuk obyek binatang, tokoh pewayangan, ragam tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, karena adanya adaptasi dengan budaya Hindu. Pada bangunan-bangunan tua pada zaman permulaan Islam, tidak menunjukkan bahwa kaligrafi diterapkan dengan baik dilingkungan kasultanan Islam, misalnya di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus. Begitu pula, masjid-masjid yang ada di Indonesia, tidak ditemukan perhiasan kaligrafi Arab yang lengkap.
Sekali lagi, ditegaskan disini bahwa peranan kaligrafi Arab, dalam seni dekorasi di Indonesia, belum menjadi bagian ilmu seni yang mandiri. Kehadiran kaligrafi Arab hanya dipakai dan terkadang disatukan dengan aksara Jawa yang berbentuk candra sengkala (peringatan tahun pendirian masjid tersebut). Penerapan kaligrafi Arab pada zaman Islam Purba di Indonesia, dilihat dari sisi spiritualitas seni, belum berkembang dengan baik. Dibeberapa masjid di Jawa dan Madura, kaligrafi Arab difungsikan sebagai penanda bagi monumen Islam. Tentang fungsi kaligrafi Arab David James membaginya menjadi dua, pertama, kaligrafi sebagai monumental art, yaitu produk-produk seni rupa yang menghasilkan kepentingan catatan peringatan, peristiwa tertentu yang diabadikan dengan penanda Islami, berbentuk kesan kaligrafi Arab, seperti karya mozaik Arabeska atau hiasan antropomorfis lainnya. Kedua, bangunan kasultanan yang profan bercirikan monarkhis, seperti bangunan istana yang feodalistik dekoratif. Ernest J. Grube, menulis bahwa fungsi kaligrafi tidak dominan, hanya pelengkap untuk dekorasi yang bersifat lokal, dengan rincian sebagai berikut; 1) kaligrafi yang menghiasai bangunan masjid, makam dan madrasah, dengan fungsi bertujuan untuk pengagungan kepada Allah, 2) kaligrafi dekoratif arabes, yang berfungsi untuk pelengkap hiasan arsitektur istana sebagai simbol legitimasi kekuasaan sultan, misalnya berbentuk kaligrafi Tughra, 3) bangunan umum masyarakat terkadang juga mendapat sentuhan kaligrafi sederhana, misalnya pada pertokoan, perkantoran, pasar, rumah sakit, 4) perumahan penduduk dengan kaligrafi berfungsi sebagai hiasan dinding. Senada dengan David James dan Ernest J. Grube, Hasan Muarif Ambary antropolog Muslim Indonesia, mengatakan bahwa kaligrafi Arab di Nusantara di samping berkembang sebagai penanda simbol, sebenarnya juga memiliki spirit relegius Islam, walau produk-produk tersebut belum sepenuhnya berciri khas Islam seperti keaslian asalnya. Ia contohkan, beberapa makam di Gresik, Barus, Pasai, Trolaya, Gowa Tallo, Bima, Ternate dan di Tidore masih membawa produk kreativitas lokal Nusantara. Seperti yang dituturkan Wiyoso, juga segaris dengan Ambary, ia membagi dan memilah fungsi kaligrafi Nusantara dengan fungsi sebagai berikut: 1) fungsi perlambangan, pertautan antara Islam dan Hindu pada masa lalu, telah menjadikan seni kaligrafi yang dinamis, menjadi kaligrafi mistis. Kehadiran jenis kaligrafi untuk candra sengkala, penggambaran tokoh pewayangan, juga bentuk-bentuk binatang menunjukkan bukti atas fungsi tersebut, 2) fungsi dekoratif, kaligrafi Arab di Nusantara banyak digunakan sebagai penghias benda-benda rumah tangga, diserap untuk menghias senjata khas orang Jawa, seperti keris, tombak dan sebagainya. Dari situ dapat kita katakan, bahwa kaligrafi masih digunakan sekedar untuk hiasan (ornamen). Berbeda di zaman keemasan Islam Pertengahan, fungsi kaligrafi hanya semata-mata untuk pengagungan kesucian Qur’an yang ideal, sedangkan di Nusantara sebaliknya kaligrafi digunakan untuk sesuatu yang bersifat perlambangan yang praktis. Penutup kalam Bila pada zaman Hindu dan Budha, orang dapat membuat gambar mahluk hidup seperti hewan
dan manusia, setelah datangnya Islam ke wilayah Nusantara bentuk-bentuk makhluk hidup direduksi menjadi motif-motif dekoratif dengan dimasukkan unsur kaligrafis secara penyamaran. Motif-motif dekoratif yang kaligrafis tersebut menjadikan hiasan indah, tetapi tidak lagi tampak seperti aslinya bila dilihat mata. Artinya dari sisi spiritualitas Islam, perubahan konsep mendasar tentang tujuan, makna dan kenyataannya, masih mengandung berbagai pertanyaan dan persoalan. Memang sejarah perkembangan Islam di Nusantara, sejak para Wali Sanga membantu kekuasaan Demak misalnya, sangatlah mengagumkan. Tetapi pada perkembangan seni kaligrafi selama lebih kurang tiga abad, perkembangan itu sampai sekarang masih samar-samar. Sekalipun demikian, seni Islam baik yang berwujud kaligrafi murni ataupun berbentuk Arabeska, tetap mengandung nilai-nilai transedental, keilahian. Hanya pada perkembangannya belum maksimal baik secara konsep, teknis dan perwujudannya. Kepustakaan: Hamid Safadi, Yasin, 1996 Kaligrafi Islam, Panca Simpati, Jakarta Israr. C. 1985 Dari Teks Sampai ke Kaligrafi Arab, Yayasan Masagung, Jakarta Jabrohim, 1995 Islam dan Kesenian, LPM Universitas Ahmad Dahlan, Yogjakarta Kamil Al-Baba, 1992 Dinamika Kaligrafi Islam, Darul Ulum Press, Jakarta R. Al-Faruqi, Ismail, 1999 Seni Tauhid, Bentang, Yogjakarta ----------------, 1988 Tauhid, Penerbit Pustaka ITB, Bandung Roger Garaudy, 1985 Janji-janji Islam, Bulan Bintang, Jakarta Schimmel, Annemarie, 1986 Dimensi Mistik Dalam Islam, Mizan, Bandung Syed Husein Nashr, 1994 Spiritualitas dan Seni Islam, Mizan, Bandung Ambary, Hasan Muarif, 2001 Menemukan Peradaban, Logos, Jakarta Wiyoso Yudho Seputro, 1986 Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia, Angkasa, Bandung *) Pelukis, pembuat kaligrafi dan lukis kaca, juga pengajar seni budaya di beberapa sekolah menengah. Tinggal di Sumberlawang Sragen.
Sabtu, 02 Februari 2013 - 07:56 Sinergi dan Energi Drawing Pasuruan oleh Fadjar Sutardi
Karya Wahyu Nugroho bertajuk "Kakak dan Adik", 150X115cm, grafit dan akrilik di atas kanvas, 2012. (foto: dokumentasi wahyu nugroho) BUDAYA lokal, merupakan sarana media komunikasi masyarakat dalam mengungkapkan pandangan hidupnya, serta menjadi sumber inspirasi bagi tegaknya kehidupan spiritual, moral dan sosial. Yayah Khisbiyah (v: 2009), seorang peneliti muda, secara terus-menerus mencoba menyikapi keniscayaan tentang budaya lokal, yang didalamnya termasuk seni rupa lokal. Kesemangatannya dalam menyuarakan pentingnya budaya lokal sangat beralasan karena sebagian besar masyarakat dewasa sedang dipaksa dan
“diarahkan” menuju suatu situasi dimana kehidupan yang dianggap maju dan modern, adalah jika masyarakat terlibat masuk dalam dunia kemodernan yang mengglobal. Masyarakat yang tidak terlibat masuk kedalam dunia modern yang global, dianggap masyarakat yang out of date. Globalisasi, sesungguhnya telah mempersempit ruang dan gerak apresiasi budaya lokal masyarakat. Budaya lokal kalah dalam persaingan budaya global yang dikemas dengan apiknya, melalui program-program pembangunan yang diseragamkan. Penyeragaman inilah, kemudian arus global memenangi dalam persaingannya. Kewilayahan lokal, baik yang berbau agama, adat-istiadat, sosial, keagrarisan, kemaritiman yang terspiritkan pada kegotongroyongan semakin lama semakin pudar. Di tengah persaingan global, dengan modal sekadarnya tumbuh juga kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba untuk “kembali melihat dunia mereka sebenarnya”, yakni kekuatan dan kearifan lokal. Kekuatan dan kearifan lokal dijadikan titik pijak dalam berkreasi dan berkomunakasi, sekaligus bersama-sama untuk menjaganya. Beberapa kelompok masyarakat seni, misalnya mencoba menjaga energi lokalitas dengan bersinergi pada jaringan-jaringan arus pinggiran di tingkat internasional. Di Solo misalnya, para seniman (tari dan musik) bersinergi dengan walikotanya untuk mengangkat tari dan musik etnik yang dikemas dengan label SIEM (Solo International Etnic Music) dan SIPA (Solo International Performance Art) yang cukup mengejutkan arus pinggiran dunia seni pada tingkat internasional. Di Mojosongo, Karanganyar, program menghidupkan lokalitas dan kearifan budaya yang ada, digelar di Padepokan Lemah Putih binaan Suprapto Suryodarmo. Di Yogyakarta, kekuatan keetnikan digarap oleh Emha Ainun Nadjib dengan Kyai Kanjengnya. Di Magelang, Sitras Anjilin menggarap Festival Gunung bersama masyarakatnya. Di Kotagede, warisan etnik arsitekturalnya digarap Laretna Sita Adhisakti. Di beberapa kota lain seperti Jember, Bali, Lombok, Makassar, Banyumas juga mencoba bangkit dengan energi lokal yang disinergikan bersama masyarakat pendukungnya. Di ranah keperupaan, sebenarnya persoalan lokalitas dan kearifannya juga digerakkan untuk kembali pada spirit tersebut oleh para perupa, cuma persoalannya banyak perupa yang terkalahkan oleh model keperupaan arus besar dunia yang didanai oleh para pemilik modal besar, yang dengan mudah memainkan tombol-tombol kesenian ala mereka dengan semaunya sendiri. Satu contoh yang baik dalam hal menggerakkan seni rupa lokal, misalnya keberhasilan Mulyono dengan gerakan rupa “kiri”-nya bersama masyarakat desa di Banyuwangi cukup menghentakkan dunia rupa di tingkat yang lebih luas. Perlawanan perupaan Tisna Sanjaya juga menghentak di perhelatan seni rupa dunia dalam Stage Art Singapore beberapa waktu lalu. Heri Dono, Nasirun juga masih concern di ranah energi dan semangat lokalitas ini. Nah, berkenaan dengan kesemangatan dalam mempertahankan kelokalitasan dunia rupa, juga dicoba sikapi oleh kelompok perupa di kota kecil bersejarah, yakni di Pasuruan, Jawa Timur.
Konsep lokalitas kesenirupaan mereka agak aneh, bukan mengembangkan ataupun kemudian menjadikan kekuatan spirit etnik lokalitas yang ada di Pasuruan, tetapi mencoba “melokalisasi” pensil (pensil warna, pastel, charchoal dan lain-lain yang senada), sebagai titik acuan kesenirupaan dalam mengembangkan keperupaan mereka. Mereka “ngotot” berkarya dengan alat lukis pensil tersebut yang nantinya model keperupaan alat pensil akan dijadikan salah satu identitas bagi kota Pasuruan. Pensil, mereka anggap sebagai alat lukis yang merakyat. Pasuruan pensil dapat dibeli dengan mudah, murah dan meriah. Pensil digunakan mulai dari anak-anak sampai kakek nenek mereka. Rupanya tradisi penggunaan pensil inilah yang mendorong para perupa Pasuruan, bangkit menyikapinya secara positif. Jangan dilihat dulu dari sisi kualitas dan kuantitas kekaryaan mereka, tetapi lihat konsep besar dalam melokalisasi alat sederhana tersebut. Adalah Wahyu Nugroho, seorang perupa yang sangat mencintai daerahnya, yang bersikukuh tentang “proyek” identitas Pasuruan melalui gerakan drawing pensil bersama teman-teman perupa lainnya. Wahyu Nugroho dengan santai mengatakan bahwa alat lukis pensil (timbal dan grafit) itu, sudah sangat menyejarah sejak zaman Yunani. Sejarah memang telah mencatat perihal pensil, seperti apa yang diinginkan dan dikatakan Wahyu Nugroho, dimana pensil (timbal dan grafit) memberikan efek goresan abu-abu, walaupun grafit sedikit lebih hitam yang mudah didapat dimanapun dengan murah harganya. Wikipedia memaparkan perihal grafit atau pensil sederhana tersebut, bahwa mulai tahun 1564 Masehi penemuan kandungan grafit murni dalam jumlah besar di Borrowdale, sebuah lembah di Lake District, Inggris bagian utara dikenalkan pada publik seni rupa. Meskipun kelihatan seperti batu bara, mineral tersebut tidak dapat terbakar, dan meninggalkan bekas berwarna hitam mengkilap, serta mudah dihapus di atas permukaan yang bisa ditulisi. Pada masa ini istilah grafit masih disalahartikan dengan timah, timah hitam, dan plumbago, artinya "seperti timah" mengingat sifatnya yang hampir sama. Karena itu istilah lead pencil (pensil timah) masih digunakan sampai sekarang. Karena teksturnya berminyak, bongkahan dibungkus dengan kulit domba atau potongan kecil timah berbentuktongkat dibebat dengan tali. Tidak seorang pun tahu siapa yang mula-mula mempunyai ide untuk memasukkan timah hitam ke dalam wadah kayu, tetapi pada tahun 1560-an, pensil yang primitif sudah sampai di benua Eropa. Tak lama kemudian, timah hitam ditambang dan diekspor untuk memenuhi permintaan para seniman; dan pada abad ke-17, bisa dikatakan timah hitam telah digunakan di mana-mana. Pada waktu yang sama, para pembuat pensil bereksperimen dengan timah hitam untuk menghasilkan alat tulis yang lebih baik. Karena murni serta mudah diekstrak, timah hitam dari Borrowdale menjadi incaran pencuri dan pedagang gelap. Untuk mengatasinya, Parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang pada tahun 1752 yang menetapkan bahwa pencuri timah hitam bisa dipenjarakan atau dibuang ke suatu koloni narapidana. Rentangan waktu yang
cukup lama, kemudian tahun 1779, seorang ahli kimia Carl W. Scheele meneliti dan menyimpulkan bahwa grafit memiliki sifat kimiawi yang jauh berbeda dengan timbal. Grafit adalah komposisi molekul karbon murni yang lunak. Akhirnya pada tahun 1789, ahli Geologi Jerman, Abraham G. Werner memberikan nama grafit, yang berasal dari perkataan Yunani graphein, yang berarti menulis. Itulah sejarah pensil yang berkembang diseluruh dunia, dan salah satunya para perupa Pasuruan, hari-hari ini menjadikan pensil sebagai acuan dan identitas drawing mereka. Semangat mewujudkan drawing pensil sebagai identitas “milik” perupa Pasuruan ternyata tidak main-main dan bukan hanya omong kosong. Mereka membuktikannya dengan menggelar pameran dalam tajuk Rasa Poncol Gandheng Renteng #3 di Gedung Olah Raga Untung Surapati Pasuruan, 2 hingga 9 Februari ini. Wahyu Nugroho berhasil mengajak tidak kurang dari 32 perupa Jawa Timur dengan menampilkan tema-tema keseharian dalam penampilan visual mereka. Nama-nama yang cukup dikenal seperti Badrie, Koeboe Sarawan, Soeryadi, Wahyu Nugroho, Garis Edelweiss, Karyono, Triano Nanda Setyabudi, Rohadi, Tegoeh Purwanto, Tony Ja’far ikut terlibat penuh dalam perhelatan pameran ini. Hadirnya para perupa “senior” (?) dalam pameran Rasa Poncol ini, kemungkinan adanya kesamaan dalam satu ikatan ruh yang menggerakkan mereka selama ini di Pasuruan dan sekitarnya. Melihat semangat pada pameran yang melibatkan banyak perupa senior dan yunior dalam satu ikatan yang sama, seperti apa yang dilakukan perupa Pasuruan ini, setidaknya dapat ada empat hal pokok pembacaan atas kelompok yang bersemangat dalam mewujudkan identitas Pasuruan melalui drawing-drawing pensilnya dan perlu digarisbawahi, yakni yang pertama karena adanya kekuatan ikatan komunal, komunalisasi para perupa dapat terjadi dan terbentuk dikarenakan para perupa memiliki niat yang sama dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu, misalnya mereka berkeyakinan bahwa berkesenian (seni rupa) secara intens atau tidak intens dapat dijadikan sebagai sarana “ibadah”. Kekuatan niat ibadah inilah, yang menjadikan ikatan para perupa terlandasi dengan toleransi kesadaran yang tinggi. Landasan kesadaran tersebut dapat melahirkan praktik-praktik “muamalah” kesenian dengan tingkat apresiasi yang tinggi, dalam artian adanya penghargaan pada masing-masing kekuatan dalam proses berkarya. Dalam kesadaran komunal ini akan terkondisikan dengan prinsip filosofis, yakni saling momong. Daya saling momong inilah kemudian lahir kekuatan komunal dan tergarap dengan sangat solid, yang pada saatnya akan memunculkan tokoh dari dalam yang solider, biasanya memiliki karakter sebagai sang pamomong komunal itu. Sang pamomonglah yang nantinya di”suyuti” (dijadikan panutan) mulai dari persoalan “halal-haram”nya perihal kesenian, jual belinya, hukum-hukum aturan berkesenian sampai dengan “pengeluaran zakat” hasil jualan seninya. Para pamomong ini sangat istiqomah, tidak akan meninggalkan “asuhan”nya begitu saja, karena adanya ikatan yang mengental dalam komunal
ini. Pamomong tidak tega mempencundangi mereka yang tergabung dalam komunal ini, mereka selalu dilindungi baik lahir maupun batinnya. Komunalisasi ikatan yang dilakukan terus menerus dalam suasana kenersamaan dalam ranah seni yang sama juga, pada akhirnya terjadi titik temu yang kuat, yaitu bersama membangun kemasylahatan masyarakat melalui hukumhukum komunal seni rupa yang diinginkan bersama-sama. Kedua, adanya kekuatan ikatan lingual, ikatan kebahasaan menjadi penguat antara perupa satu dengan lainnya, lingualisasi yang berbentuk sapaan, umpatan, pujian, dan isyarat-isyarat lain khas kelompok yang kebetulan memiliki logat umpatan “jawa timuran” ini menjadi semacam “lampu-lampu bangjo” yang mengasikkan di tengah lalu laintas perjalanan berproses dalam kesenirupaan mereka. Logat kata yang disepakati kelompok ini akan menciptakan relasi direktif, asertif, komisif, ekspressif dan deklaratif serta klasifikasi lingualisasi yang lebih berkembang kedalam. Dari ikatan lingual ini, anggota kelompok akan mengerti makna guyonan, isyarat, nasehat, larangan, pantangan dan sebagainya, baik yang tervisualisasikan maupun yang teraudiosasikan dalam kelompok ini. Kekuatan lingual dalam kelompok akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, konsep yang dapat segera ditanggapi dan ditangkap dengan baik oleh kelompok dengan ikatan lingual ini. Dari sini, sekali lagi masing-masing anggota kelompok yang sudah mengkeluarga ini akan berkembang sesuai dengan perjalanan waktu dan keleluasaan ruang, kepercayaan keyakinan, pola-pola bergaul, adat istiadat dan etika yang disepakati. Ketiga, ikatan kekuatan ideal, kekuatan ideal akan terbentuk manakala komunalisasi dan lingualisasi dalam kelompok berkembang dengan baik dan merdeka. Dengan kemerdekaan yang dibangun bersama, kekuatan personal akan tumbuh menjadi besar, senyampang tak ada kepentingan “pemlintiran” komunal, misalnya terjebak pada hanya mengabdi dan menjilat pada kekuasaan, terpesona pada citra seseorang yang dianggap the godfather ataupun terpana pada keinginan tujuan hanya menumpuk materi semata. Di luar kesenian, banyak orang yang bergabung ke dalam bentuk komunal, tetapi begitu keluar kandang dan di kancah perang “jihad”-nya berjalan menurut egonya masing-masing. Ada maunya di depan memimpin, ada yang hanya ingin numpang tampang, ada yang ingin hanya untung-untungan, ada yang numpang kedudukan dan ketenaran, ada yang tidur melulu dan menanti jatah bagian, ada yang merasa pahlawan dengan berlagak nulung tetapi ujung-ujungnya menthung dan seterusnya. Untuk itu dalam menciptakan kondisi ideal pada kelompok, sangatlah diperlukan kodifikasikodifikasi dalam hal apa saja, agar konstitusi kelompok dapat terwujud dengan baik, teratur dan saling tercerahkan. Vertassung atau konstitusi harus ditegakkan secara tertulis, lisan dan tindakan. Kekuatan ideal, bisa bersifat normative dan atau nominal, keduanya dapat dijalankan secara fleksibel sesuai tuntutan dan perubahan zaman. Keempat, ikatan kekuatan primordial. Primordial atau primordialisme (versi Wikipedia) berasal
dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. Tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. Akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. Primordialisasi kelompok, akan terbentuk dan terwujud dalam proses yang panjang. Memaknai secara mendalam tentang pentingnya hidup bersama dalam satu komunal, dalam kondisi lingual based yang menjunjung akal sehat dan budi yang hidup, juga mendalami “kesulitan-kesulitan” dalam mengidealisasi diri dan kelompok merupakan keniscayaan bagi anggota kelompok dengan tetap mengedepankan dasar-dasar pergaulan yang bersifat saling asah, asih dan asuh. Dari keempat hal di atas, posisi perupa Pasuruan yang tergabung dalam kelompok yang berasal dari berbagai kepentingan ini, diharapkan dapat membumbung tinggi tanpa dengan membusung, menggaung tanpa ada rasa menggunung dan melompat jauh tanpa adanya cacat yang meluruhkan peluh. Suasana segar akan tetap terbangun dengan keikutsertaan para perupa muda, seperti Ahmad Toriq, Agung Prabowo, Akbar Hidayat, Anwar Sanusi, Ahmad Rosidi, Candrani Yulis R, Eki Febriani, MC.Medik, Akhid Khusnan Rosidi, Muhammad Suyuti, Zainal Abidin, Afresha Wenny Budi Ananto, K. Ilmanianing Dolary, menjadi kunci utama dalam “menghidupkan” makna-makna di atas ke dalam alam yang praksis. Sementara generasi di atas mereka yang sudah banyak makan garam dalam hal pengalaman berkomunal dan pengalaman estetiknya seperti, Edi Santoso, Subagyo, Om Gathot Oes, Muhdor Rifa’i. H. Antok Sukanto, Nonot Sukrasmono, Saiful Ulum, Ach.Hamzawi,Yudha Prihantanto, juga menjadi juru penengah dalam membangun estafet spiritulitas hidup dan kehidupan kelompok ini. Proses menjadikan drawing sebagai identitas kota Pasuruan dalam kelompok ini, barulah dimulai. Kesemua ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak main-main dan juga sesuatu yang tidak boleh dianggap tak serius. Pensil, pastel, tinta, charchoal sudah dicoba senggamai, sementara kertas, kanvas juga sudah dicumbui. Pengalaman berkelompok juga berjalan sekian waktu, kita semua hanya menunggu proses panjang diantara rentangan luas yang terangkum
dalam silaturahmi yang terdasarkan pada prinsip-prinsip komunalisasi, lingualisasi, idealisasi dan primordialisasi positif tersenut bersama masyarakat Pasuruan khususnya dan Indonesia pada umumnya.Semoga mimpi tersebut menjadi kenyataan yang senyata-nyatanya. *** *) Perupa, penggiat komunitas perupa Pintu Mati Solo, pengelola Rumah Langit Kebun Bumi, Sumberlawang, Sragen, tinggal di Sragen.
Minggu, 26 Agustus 2012 - 15:38 Jalan Kerahmatan Bernama Silaturahmi oleh Fadjar Sutardi
"Semar Mbangun Kayangan" (2012), lukisan Giring Prihatyasono berukuran 150x150 cm berbahan blue jeans, akrilik, dan binder metalik. (foto: kuss indarto) GERAKAN pembaruan, gerakan dakwah yang digelorakan Muhammadiyah setelah seratus tahun lebih usianya, benar-benar menjadi gerakan yang mengakar di masyarakat dengan ukuran-ukuran pembaruan dan dakwah yang bersumberkan dari spirit Al-Qur’an Hadits. Salah satu akar yang tumbuh dan terus akan menghunjam di bumi, ialah akar kesenibudayaan yang digarap Muhammadiyah. Di bawah naungan Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga, Muhammadiyah ingin membuktikan bahwa, persoalan kesenibudayaan tetap menjadi urutan yang penting dan urgen. Kedinamisan atas dinamika penggarapan kesenibudayaan terbaca dengan semangat yang “makantar-kantar” pasca-Muktamar Muhammadiyah yang ke-100 yang berlangsung di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Potensi sumber daya seniman “intern” Muhammadiyah mencoba untuk bersama-sama bergerak di keahlian seninya masing-masing. Khususnya komisi seni rupa, setelah sepakat mengadakan pameran dalam menyambut 100 tahun Muhammadiyah di Student Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berhasil mendulang kesuksesan, lantas para seniman bergerak dari pameran satu ke pameran lainnya. Walau kegiatan pameran tersebut masih bersifat internal. Semangat yang “makantar-kantar” tersebut tampak ketika para “pemuka” kesenibudayaan Muhammadiyah bertekad ingin menjaga umat dan bangsa ini dari pengaruh-pengaruh penetrasi kebudayaan barat yang cenderung hedonistic dan kapitalistik. Pengaruh tersebut menyeruak kedalam jantung dan hati umat, sehingga sifat dan sikap kelemahlembutan, keramahtamahan, kegotongroyongan, kebersamaan dalam keberbedaan terkikis habis oleh masuknya budaya kekerasan, kompetisi yang tidak sehat, tidak manusiawi, saling menerkam, saling fitnah, saling mencacimaki, sehingga bangsa yang notabene dulu mengunggulkan budi dan pekerti, benarbenar mulai luntur bahkan hilang. Oleh karenanya Muhammadiyah merasa berkewajiban untuk membangkitkan dirinya dengan gerakan penyadaran dan membangun kesadaran melalui kesenian. Kesenian yang menggugah jiwa, kesenian yang menumbuhkan ke-jamalan dan kekamilan manusia, kesenian yang menggerakkan tentang pentingnya hidup bersama. Sebab memang, hanya melalui kesenian hubungan, komunikasi, apresiasi terhadap sesame manusia akan terjaga. Di titik sentral inilah kata silaturahmi menjadi istimewa. Keistimewaan silaturahmi terus dicoba kaji ulang secara mendalam dan serius. Kata silaturahmi dipertajam, diperluas dan dikembangkan, sehingga menjadi sebuah jalan untuk berdialog, berkomunikasi intern seniman Muhammmadiyah dan seniman “di luar” Muhammadiyah. Silaturahmi yang dipertajam dan diperluas mengarah pada sesuatu yang mencerahkan. Silaturahmi, dapat diperluas maknanya sebagai menciptakan jaringan di pusat-pusat kesenian, sehingga melahirkan kontak dan komunikasi saling menguntungkan, dengan dasar kepercayaan dan kasih sayang. Dari situlah akan terjadi juga kontak perniagaan yang saling memperkuat makna produksi dan distribusi
yang sesungguhnya. Salah satu hasil dialog penajaman silaturahmi tersebut, kemudian direalisasi ke dalam pameran seni rupa yang bertajuk Silaturahmi di Bentara Budaya Yogjakarta yang sedang berlangsung 2430 Agustus 2012 ini. Disadari atau tidak pameran silaturahmi ini, benar-benar menjadi ajang dialog bagi seniman dan memiliki arti yang mendalam, yakni bersama membangun hubungan kembali antara manusia dengan penuh cinta dan kasih. Silaturahmi akan membentuk jiwa asah, jiwa asih dan jiwa asuh. Silaturahmi mewujudkan husnudzan dan bukan su’udzan. Melalui pendekatan seni dan budaya, hubungan antarmanusia akan terbangun dan terwujud secara alami, sehati, sejiwa. Dengan melalui seni antar manusia akan dapat membaca citra diri di tengah pergaulan yang beragam. Moment pameran seni rupa yang diselenggarakan tepat pada “hari baik dan suci” Idul Fitri pada tahun 1433 H ini, dapat dikatakan menjadi momentum yang bersejarah bagi berkembangnya kesenibudayaan (seni rupa) di dalam Muhammadiyah, dengan kata lain bahwa pameran tersebut dapat menjadi peristiwa kebudayaan yang menyejarah, yang mempengaruhi dan mengimbangi berkembangnya arus besar kebudayaan dunia yang sangat bebas dan liberal ini. Minimal Muhammadiyah, dapat menegakkan jalan kebudayaan yang “washata”, jalan tengah, agar umat ini tidak terpuruk, tidak stres terhadap boom budaya arus besar dunia, yang membunuh karakter manusia itu sendiri. Pameran seni rupa yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, merupakan sarana media picu pertama untuk dialog lebih luas dengan para pencari jalan tengah kebudayaan. Melalui Bentara Budaya, siapapun dapat saling menjaga jiwa masyarakat, agar tetap mempunyai kemerdekaan. Muhammadiyah dalam hal ini Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga Muhammadiyah ingin “belajar bersama” dengan Bentara Budaya yang terlebih dulu membangun kesadaran untuk menjaga umat melalui kebudayaan. Bentara Budaya berdiri atas prakarsa almarhum PK Oyong, dan dilanjutkan Jakob Oetama, setelah melalui rentangan waktu yang panjang Bentara Budaya sekarang tumbuh besar menjadi kebanggaan bangsa ini dalam hal melestarikan warisan bangsa khususnya dalam kesenibudayaan. Bentara Budaya, telah memerankan dirinya sebagai “pesuruh raja” untuk selalu menjaga budaya rakyat, dari serbuan dan sergapan budaya asing. Bentara Budaya yang awalnya didirikan di Yogyakarta, pada tanggal 26 September 1982, ditujukan untuk menampung dan mewakili wahana budaya bangsa dari berbagai kalangan, latar belakang dan cakrawala yang berbeda, sekarang berkembang di beberapa kota, yaitu Bentara Budaya Jakarta yang berlokasi di Jalan Palmerah Selatan 17, Jakarta, kemudian Balai Soedjatmoko di Surakarta dan Bentara Budaya Bali. Pilihan “bekerjasama” Bentara Budaya oleh Muhammadiyah dalam pameran silaturahmi kali ini menjadi keniscayaan, karena Bentara Budaya dianggap “mengerti kemauan” Muhammadiyah
dalam mewujudkan keinginan pameran dalam bingkai tersebut, yang sama-sama ingin menjaga jiwa masyarakat. Pameran yang akhirnya terwujud dan tersepakati dengan baik tersebut, memang disengaja untuk mengundang para perupa dari berbagai lintasan baik lintas suku, agama, dan lintas generasinya. Pengundangan para seniman dengan latar belakang yang beragam tersebut, menjadi penting, utamanya bagi Muhammadiyah. Menjadi penting, karena Muhammadiyah benar-benar bertekad untuk mewujudkan gerakan dakwah dengan dan atau kepada siapapun melalui seni budayanya yang akan mulai menggelinding, mendampingi gerakan dakwah lainnya yang telah berjalan terlebih dahulu, seperti ranah keilmuan dan teknologi, ranah sosial dan lingkungan hidup, ranah ekonomi dan bisnis, ranah politik berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui bahwa ranah seni dan budaya di dalam Muhammadiyah, merupakan ranah poin yang kesepuluh, dari ranah-ranah lainya. Kesepuluh ranah tersebut merupakan ranah resmi keputusan Muktamar ke-44 di Jakarta, tahun 2000. Kemudian tertuang ke dalam bingkai putusan dengan nama Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah. Dalam poin-poin putusan, khususnya tentang kehidupan seni budaya antara lain tertulis, bahwa Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Islam bahkan menyalurkan, mengatur dan mengarahkan fitrah manusia untuk kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai ciptaan Allah. Rasa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia, merupakan salah satu fitrah yang dianugerahkan Allah yang harus dipelihara dan benar-benar sesuai dengan jiwa dan spirit agama Islam. Rentangan waktu dari Muktamar Muhammadiyah Jakarta, sudah berjalan sekitar dua belas tahunan, ibarat anak yang merangkak, usia dua belas sudah dianggap baligh, walau secara kejiwaan memang usia tersebut belum mencapai kematangan. Di bawah Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga, Muhammadiyah kemudian ingin membuka diri dan citra diri keseniannya kepada masyarakat. Muhammadiyah ingin bersilaturahmi, mempererat tali persaudaraan antar umat manusia, saling menghargai dan saling mengapresiasi serta ingin bersama sejajar dalam mewujudkan kehidupan yang penuh etika dan budaya. Atas uluran tangan Ketua LSBO Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Drs. Jabrohim, M.M. bersama Drs.Syaiful Adnan, selaku ketua komisi seni rupa LSBO Muhammadiyah, Robert Nasrullah dan Tri Mulyono selaku pelaksana, juga sentuhan kuratorial H. Suwarno Wisetrotomo pameran dapat berlangsung mengharubiru di venue Bentara Budaya Yogyakarta. Secara bersama-sama warga Muhammadiyah, masyarakat pecinta seni rupa, budayawan, kolektor seni rupa, simpatisan Muhammadiyah dapat secara leluasa menikmati karya rupa dari berbagai lintasan tersebut, mulai dari karya A.C. Andre Tanama, Adi Gunawan, Akhmad Nizam, Ali Umar, Basrizal Albara, Darvies Rasjidin, Dedy Supriadi, Eduard (Edo Pop), Fadjar Sutardi, Giring Prihatyasono, Hendra Buana, I Gede Arya Sucitra, Is Hendri Zaidun, Mulyo Gunarso, M. Pramono Ir, Nasirun,
Rispul, Robert Nasrullah, Rokhyat, Sentot, Syahrizal Zain Koto, Syaiful Adnan, sampai karyanya Yetmon Amier. Lebih kurang tiga puluhan karya lukis dan patung memenuhi ruangan Bentara Budaya Yogyakarta dengan keragaman, keunikan yang masing-masing mengandung dan mengundang selera jiwa untuk menikmatinya. Muhammmadiyah juga merasa ada kebanggaan dan merasa tersanjung, karena pameran lintas suku, agama dan lintas generasi tersebut dihadiri Dr. Oie Hong Djien, seorang pendamba seni rupa, pecinta dan kolektor kenamaan negeri ini yang berkenan hadir memenuhi undangan panitia pameran. Kehadiran Dr. Oie Hong Djien cukup menambah semarak dan semangatnya pameran seniman Muhammadiyah pada penyelenggaraan pameran sinergi antarlintas ini. Dalam sambutannya Dr. Oie Hong Djien mengingatkan, bahwa Muhammadiyah sudah selayaknya dan sepatutnya untuk menghidupkan kesenirupaan khususnya, dan kesenian lain pada umumnya. Karenanya, warga Muhammadiyah juga perlu diarahkan agar sering mengapresiasi bidang seni, yang nyata-nyata dapat memberikan wawasan pada umatnya untuk mencintai keindahan. Keindahan akan menjuruskan hidup pada ketenangan dan kesenangan. Ketenangan dan kesenangan akan menjuruskan hidup pada kebahagiaan. Begitu pula kehadiran Romo Sindhunata, yang mewakili Bentara Budaya, juga menyambut positif atas inisiatif Muhammadiyah dalam mewujudkan kegiatan pameran-pameran seni rupa yang diselenggarakan. Bentara Budaya sangat senang dan membuka kedua tangan lebar-lebar kepada siapapun yang berpihak untuk menghidupkan kesenibudayaan, termasuk Muhammadiyah yang diakui atau tidak merupakan organisasi terbesar di negeri ini, dengan harapan para budayawan dan seniman Muhammadiyah ikut serta aktif mendukung terhadap program-program Muhammadiyah tersebut. Melengkapi penyelenggaraan pameran di Bentara Budaya dengan tajuk Silaturahmi tersebut. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof.Dr.H. Din Syamsudin, MA juga meluangkan waktu untuk berkenan hadir menyambut dan sekaligus membuka pameran. Pak Din, demikian panggilannya mengajak kepada warga Muhammadiyah, untuk mencintai keindahan. Keindahanlah yang berguna untuk melahirkan kesempurnaan. Pak Din Syamsudin mencatat, semoga peristiwa pameran bersama di Bentara Budaya tersebut, menjadi tonggak budaya yang menyejarah dan menjadi sejarah bagi kebudayaan, khususnya dilingkungan Muhammadiyah. Muhammadiyah dapat mendakwahkan nilai-nilai agama melalui ungkapan seni rupa yang indah, serta membawa muatan-muatan moral yang dapat mengetuk hati masyarakat luas. Sementara Drs. Jabrohim, M.M menyatakan selaku “penggerak” kesenian dalam Muhammadiyah, merasa senang atas usaha yang dilakukan teman-teman perupa Muhammadiyah dan para perupa peserta undangan yang berkenan mengikutsertakan karya-
karyanya untuk dipamerkan di Bentara Budaya kali ini. Lebih lanjut Pak Jab, mengatakan bahwa LSBO terus akan berusaha memajukan kesenian, baik seni rupanya, sastranya, musiknya dan seni-seni lainnya yang dikelolanya. Usaha-usaha tersebut tidak lepas dari dukungan dan kerjasama teman-teman muda kalangan intelektual Muhammadiyah, khususnya dari Universitas Ahmad Dahlan. Apa yang didapat dalam pameran Silaturahmi yang digelar di Bentara Budaya bagi Muhammadiyah dan seniman-senimannya? Banyak hal yang didapat dari peristiwa perhelatan menarik tersebut. Pertama, para perupa Muhammadiyah merasa tidak ketinggalan kereta, dalam mengabarkan warta seni rupa kepada khalayak luas, sesuai dengan prinsip dasar berkesenian Muhammadiyah, yang sebenarnya “senada” dengan prinsip berkesenian senimanseniman di luar Muhammadiyah juga, yakni mencoba menguak kebenaran melalui keindahan. Para perupa sebagai pencari “kebenaran” sama-sama menemukan pencariannya dalam bingkai kesenirupaan yang jujur, dan tidak bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani dan kejujuran akan menumbuhkan kecintaan pada Allah, dan akan membuahkan kesadaran perlunya berkesenian yang bernilai ibadah. Karya-karya yang dilahirkan para seniman Muhammadiyah bersandarkan pada kejujuran akan memiliki gaung postif, tentu akan membawa dampak yang menggetarkan bagi siapapun termasuk seniman “diluar” Muhammadiyah. Kedua, para perupa Muhammadiyah merasa berkewajiban untuk siap selalu mengembangkan diri ditengah pergaulan arus modern seni rupa dunia dewasa ini, dengan tidak merasa rendah diri, tidak merasa menjadi perupa pada jalan arus pinggiran dunia. Justru sebaliknya, para perupa Muhammadiyah berkesempatan ikut terjun berkompetisi secara bersama-sama dengan tetap menjaga stamina kekreatifitasan, nutrisi kebaruan dengan tetap memegang teguh prinsipprinsip Islam dengan penuangan ataupun pengungkapan sesuai dengan dasar etik keimanan, yakni rahmatal lil ‘alamin. Di sinilah bedanya, kalau di luar Muhammadiyah sebagian besar seniman terjebak pada “euphoria” pasar yang dilempardengungkan oleh para penganut paham multilevel marketing kapitalistik yang “menindas” para seniman untuk menuruti kemauan mereka. Sementara seniman Muhammadiyah diharapkan (baru sebatas angan-angan), ketika berkarya bukan hanya sekedar meraup kesenangan material, tetapi sekaligus menjadi catatan bermilai ibadah dalam perjalanan spiritualnya (pinjam bahasa AD Pirous) yang kebetulan diberi keistimewaan berupa talenta yang dimilikinya. Ketiga, seniman Muhammadiyah memiliki kelebihan yang tidak dimiliki seniman luar Muhammadiyah. Di Muhammadiyah, “kebesaran” seniman terletak pada keikhlasan dalam berkesenian, dengan niatan ingin menanam investasi akhirat, Ingin dicatat oleh Allah, bahwa disetiap coretan dan lumuran cat tintanya di atas kanvas, nantinya akan dilipatgandakan pahalanya yang pada saatnya nanti Allah juga menjadikan amal sholeh, yang mengantar dirinya menjadi seniman berderajat sholihin. Pengabdian melalui kesenirupaan, baginya menjadi media
untuk mengaktuasi nilai-nilai keilahian secara terus-menerus di tengah kancah masyarakat yang dihadapinya. Para seniman di luar Muhammadiyah (tidak semua sih), berkesenian selalu ditujukan pada penghambaan pada pasar dan popularitas, sementara seniman Muhammadiyah, berkesenian ditujukan pada penghambaan kepada Ilahiyah. Karenanya para seniman Muhammadiyah, berusaha selalu untuk menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar. Kesenian terlalu rendah nilainya, kalau hanya diperuntukkan pada tujuan dunia saja. Bila dapat demikian, para seniman Muhammadiyah akan selalu dirindukan dan dicari Allah dimanapun mereka hidup. Dengan kata lain seniman boleh kaya dengan keseniannya, asalkan kekayaannya didapat dari sesuatu yang “halal”, sehingga martabatnya terjaga dengan baik. Keempat, seniman Muhammadiyah sudah seharusnya memiliki semangat yang lebih, dibanding dengan seniman lainnya. Seniman Muhammadiyah, merasa berkewajiban untuk selalu di depan dan terdepan dalam mengembangkan konsep berpikir ke kancah lingkaran avantgardiest. Untuk itu, setiap seniman Muhammadiyah sudah seharusnya terus berusaha “menghidupi” ruh-nya dengan tetap banyak membaca (iqra’) baik yang bersumber pada firman-firman Ilahi yang termaktub dalam Al-Qur’an Suci dan juga sabda Nabiyullah, sebagai teladan dan uswatun hasanah. Para seniman Muhammadiyah juga harus merasa perlu untuk memenuhi ruang kerja dan studionya dengan bacaan-bacaan penting sebagai referensi ganda yang memperluas wawasan kreatif kesenirupaannya, misalnya mulai mengenal siapa Gothe, Leonardo da Vinci, Van Gough, Cezanne, Monet, Gauguin, Picasso, Kafka, Sartre, Camus, Chekov, Klee, Zola, Kandinsky, Socrates, Plato, Aristoteles, Zeno, Cleetro, Sulisbury, Ibnu Sina, Spinoza, Hobbes, Hegel, Marx, Lenin, Ho Chi Minh, Gandhi, Musollini, Hitler, Descartes, Leisbiz, Hume, Kant, Darwin, Mao Tse Tung, Comtee, Kierkegard, Niettzsche, Jaspaers sampai kepada siapa Ayatullah Khomeini, Iqbal dan seterusnya. Tak kalah penting dan tak boleh tertinggal apalagi ketinggalan, yaitu informasi teks-teks Islam, seperti hadits nabi yang bersumber dari narasi Imam Bukhari, Imam Muslim, Abi Dawud, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, AthThabrany, Ad Daruqutny, Ibnu Asy Syaukany, Ibnul Jauzy,Ibnu Taymiyah, Ibnu Asakir dan sebagainya. Juga mestinya pendalaman atas narasi tafsir Qur’an yang penting, semisal tafsir karya Al-Maraghy, At-Thababa’I, Ibnu Jarir At-Thabary, Imam Syatiby, Ibnu Katsir, Sayid Qutub, Sayid Ridho, Hamka, Hasbi Ash-Shidiqy, Al-Misbahnya Qurays Shihab dan sebagainya, perlu juga dibaca dan didekatkan sebagai media untuk memperkuat wawasan keholistikan ruh-nya. Selain diatas mestinya juga jangan sampai lalai pada karya-karya karangan Anne Marie Schimmel, Claire Holt, Kamil al-Baba, Yasin Hamid Safadi, Yoseph Fischer, Abdelkebir Muh.Sijalmasi, H.J. De Graft, John L.Esposito, Syed Husain Nasher, Ismail al Faruqi, Sachiko Murata, Kenneth M. George dan sebagainya. Prinsip dasar berkesenian yang perlu juga diteladani bagi perupa Muhammadiyah misal prinsip dasar berkeseniannya AD Pirous, Ahmad Sadali, Syaiful Adnan, Amry Yahya (alm.), Abdulah Mansyur Dompu, D.Sirajudin AR, Ahmad Nuqman, Amang Rahman, Affandi dan seterusnya.
Beberapa hikmah dan manfaat dari “terjun”nya perupa Muhammadiyah di kancah sinergi dalam pameran tersebut, menjadi titik awal dalam melangkah menuju ke depan yang lebih sungguhsungguh dan serius professional. Kerjasama dengan Bentara Budaya kali ini merupakan langkah pertama yang memiliki efek luar biasa, utamanya untuk mengkaji ulang kerangka ulang berpikir global bagi para seniman Muhammadiyah. Sudah saatnya, silaturahmi-silaturahmi tidak berhenti di sini. Tidak hanya puas di sini saja. Tetapi, diharapkan terus mengembangkan sayap, dengan pelan tetapi pasti. Spirit yang tak pernah habis, seperti apa yang dikatakan Kyai Ahmad Dahlan, yaitu pesan “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan dalam Muhammadiyah” masih relevan dan tetap ada benarnya. Artinya, Muhammadiyah hanya sebagai sarana dan media untuk bergaul secara proporsional dan bukan menjadi tujuan utamanya. Tujuan utamanya, adalah menegakkan kekuatan iman, islam dan ihsan, senyampang jiwa masih terkandung dibadan. Titik simpul dari peristiwa diatas adalah, bahwa kita semua seniman, apapun suku dan agamanya, memiliki kesempatan yang sama. Berkompetisi secara jujur. Berfastabiqul khairat untuk mencapai makmur, dan memegang prinsip dasar berkesenian agar tidak hancur lebur. Cuma, persoalannya hanya tinggal satu hal. Mau atau tidak. *** *) Perupa, ketua komite seni rupa LSBO Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sragen
Senin, 18 Maret 2013 - 11:43 http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=372
Centhini dan Amongraga Bercinta di Sukowati oleh Fadjar Sutardi
Bupati Sragen, Agus Fathurrahman, SH.MH., saat membaca Serat Centhini; Empat Puluh Malam Satunya Hujan, di serambi Sukowati, Sragen (foto: Fadjar Sutardi)
...dalam perspektif Centhini lho ya, didalam diri kita itu ya amongraga / Ya tambangraras ya ceboleng ya centhini ya kemuliaan ya naluri primitif seksualitas / ….kata Mangkunegara IV ketika ditanya ayahnya paku buwana IV tentang Serat centhini dia bilang: kebinalan ini mengantarkan pada jalan kebatinan… (kiriman SMS Bupati Sragen, Agus FathurrahmanSH, MH, 16 Maret 2013, jam 08.58.22) SIAPAPUN yang memegang pemerintahan khususnya di tanah Jawa, entah raja, sultan, bupati atau sekadar tumenggung dapat disebut memerintah dengan alim atau lalim oleh rakyatnya, setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhinya, yakni ketika ia memandang dan menafsir tentang kedudukan atau tahtanya, hartanya dan saat ketika menafsir peran dan fungsi wanita diukur menurut akal atau nafsunya. Dalam khasanah Jawa godaan para raja tersebut sering dikatakan ”Tiga Ta”, yakni tahta, harta dan wanita.
Penghambaan atau pengabdian manusia atas dasar akal atau nafsunya barangkali menjadi catatan besar dan sekaligus menjadi kegelisahan Agus Fathurrahman, seorang bupati Jawa, yang kebetulan saat ini mengemban amanat mulia di wilayah Sragen. Kegelisahan itu muncul kemungkinan ada dua hal, pertama karena adanya rasa keprihatinan atas perilaku sebagian teman-temannya yang sama-sama menjabat bupati yang merugikan rakyat dan bangsanya atau kemungkinan lainnya karena kegelisahan bupati, saat dirinya merasa menjadi manusia biasa yang hari-hari ini kemungkinan mengalami pencapaian ekstase dalam memaknai sensual-sensual kehidupan yang bersifat sensasi-sensasi spiritual yang menggetarkan jiwa religiusitasnya dan barangkali perlu dikabarkan pada para punggawa dan rakyatnya. Sensasi-sensasi itu hadir di setiap ruang dan waktunya, sensualitas-sensualitas itu menarikan hasratnya, hasrat itu mengalami puncaknya saat Agus membaca saduran kitab tafsir Centhini, karangan Elizabeth D. Inandiak dua tahun yang lalu. Dua tahun untuk kemudian kegelisahan akan kedahsyatan Centhini dikomunikasikan ulang dengan menyelenggarakan gelaran wungon dalam kemasan Apresiasi Serat Centhini bersama Elizabeth D. Inandiak di Serambi Sukowati, Sragen pada malam Jum’at yang berkah, 17 Maret 2013 kemarin dengan menghadirkan para pejabat dijajaran Pemkab Sragen, seniman, guru dan masyarakat sekitar. Acara Apresiasi Serat Centhini, dibuka dengan pembacaan bagian serat Centhini Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan oleh Agus Fathurrahman sendiri, juga selaku pengasuh Serambi Sukowati dengan menampilkan pupuh-pupuh puitis tentang pertemuan cinta Amongraga dengan seorang perempuan cantik bernama Tembangraras (atau Ken Tembangraras) putri seorang Kyai pesantren bernama Ki Panurta di suatu tempat bernama pondok Wanamarta dengan ekspresi teaterikal yang mendalam. Di tempat ini, kata Agus Amongraga banyak bersemedi dan mendekatkan diri pada Tuhan. Setelah Amongraga menikah dengan Tembangraras, yang dijaga, dirawat oleh emban pembantu setianya yang bernama Centhini. Amongraga sebagai penganten baru, ia memilih untuk mengenal istrinya dengan pendekatan rohaniah selama empat puluh malam lebih dan menyiraminya dengan hujan kata-kata rohani bagi peningkatan diri sang istri dan juga kebersamaan yang romantis. Amongraga tidak menyentuh secara ragawi istrinya tetapi dengan nurani dan akal pikirannya yang terangkum dalam tembangtembang cinta yang berisikan filosofi hidup yang penuh interpretasi mendalam. Saking mendalamnya tembang-tembang puitis Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, banyak orang yang bilang dapat disandingkan dengan The Prophet miliknya Khalil Gibran. Dari tembang 71 sampai 111, penuh dengan filosofi kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang hidup dengan berbeda. Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri? Amongraga, yang diperankan Agus dengan baik, di puncak teaterikal pembacaan puisinya ia menggumam: “Namun hatimu sudah dalam hatiku dan hatiku dalam hatimu. Kau dengarkah keduanya berdebar-debar gugup karena asmara? Padahal kegugupan adalah halangan sanggama.” Bait ini dirasakan begitu menyentuh, ketika sepasang kekasih yang gelisah menanti malam pertama, harus menahan diri dari luapan gairah dan seluruh reaksi kimiawi dirinya untuk merasakan tubuh satu sama lain layaknya pengantin baru. Suatu ujian atas nafsu birahi dan pengakuan terhadap penghormatan
akan satu sama lain. Amongraga merasakan bahwa mencintai dan mengenali pasangan bukan hanya dari persetubuhan tetapi dari suatu hal yang lebih mendalam. Dari realitas teks, memang Serat Centhini telah membuktikan bahwa makna cinta pada zaman dahulu memiliki arti yang sarat makna yang mendalam, bukan hanya kebersamaan fisik dan gairah asmara. Lanjutnya Amongraga juga berseru: Jika kau tidak keberatan Dinda, dan dengan rahmat Allah, mulai malam ini berdua kita akan berlayar dalam diam, menentramkan nafas satu dalam lainnya, dan agar kau jadi buritan dan aku haluan. Awalnya pelayaran ini akan terasa kejam penuh larangan sebab ancaman karam sangat besar, kita akan dibawa selama empat puluh malam mengarungi tujuh lautan, silih berganti.Kata-kata Amongraga yang bijak tentang kebersamaan sepasang suami istri, untuk saling memahami dan saling mengerti atau sepakat dalam kata, belajar bersama melewati berbagai badai yang akan dirasakan dan juga mencoba berdamai satu sama lain selama 40 hari masa perkenalannya. Usai narasi pembacaan Empat Puluh Malam Satunya Hujan, Elizabeth D. Inandiak kemudian tampil dengan blouse warna ungu dan celana panjang warna putih, menganggukkan kepada para undangan, kemudian dengan pelan-pelan Elizabeth mengatakan, bahwa pada awalnya ia mengenali Serat Centhini, ketika Prof.Dr. HM Rasyidi mengulas tentang kehebatan Centhini kepadanya, secara kebetulan HM Rasyidi tengah mempertahankan dan kemudian memperoleh gelar doktor dari Universitas Sorbonne Prancis dengan disertasinya dengan judul “Considerations Critique du Livre de Centhini” (Pertimbangan Kritis tentang Centhini). Melalui H.M. Rasjidi-lah Elizabeth D. Inandiak kemudian jatuh cinta tanpa batas kepada Serat Centhini dan mempelajarinya selama bertahun-tahun. Elizabeth D. Inandiak kemudian menyadur Serat Centhini dengan cara mensyarah, menafsir, meringkas, dan menjadikan buku baru Centhini dengan judul Centhini: Kekasih yang Tersembunyi abad ke 21. Dalam acara tersebut, Elizabeth sempat membaca beberapa baris karya puitisnya kepada penonton. Selanjutnya disajikan musik etnis dari Makassar dengan nama Kelompok La Here bersama tarian tubuh Suprapto Suryodarmo dan murid-muridnya dari Padepokan Lemah Putih Mojosongo, Karanganyar. Beberapa tembang yang diambil dari Centhini, juga dilantunkan oleh Waluyo, S.Kar., M.Hum dosen ISI Surakarta. Apa tujuan diselenggarakannya gelaran serat Centhini bagi jajaran Pemda Sragen dan masyarakat sekitarnya? Dalam diskusi yang dimoderatori Pine Wiyatno tergambarkan bahwa tujuan gelaran Centhini dimaksudkan, pertama, menggugah masyarakat untuk bersama-sama menggali ulang nilai-nilai budaya Jawa yang agung yang dalam hal ini dahulu telah dilakoni oleh Amongraga dan saudara-saudaranya dalam serat Centhini, sebagai bahan renungan, refleksi dan hikmah yang terkandung didalamnya, sebagai spirit bagi masyarakat yang semakin tidak mengerti tentang keagungan karya besarkarya besar berbahasa Jawa tersebut. Kedua, membangun kesadaran dan penyadaran bersama dalam situasi dan kondisi zaman yang berubah. Agar masyarakat tidak hanyut dalam imperium global, yang dianggap banyak orang menjadi sesuatu yang membahagiakan. Masyarakat dipelbagai level, terperangkap ke dalam globalitas semu yang menyesatkan. Ketiga, membangkitkan masyarakat dilingkungan pinggiran global untuk agar selalu berbagi dalam hal apa saja dan kepada siapa saja, tanpa pandang bulu. Dengan
kandungan maksud, agar masyarakat semakin tahu makna dan arti mana yang hitam dan mana yang putih, mana yang benar mana yang salah, mana yang atas dan mana yang bawah. Sementara masyarakat pinggiran global dewasa ini, tidak mengerti atau tidak mau tahu tentang makna-makna masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Dari sini, masyarakat akhirnya terjauhkan dari kearifan-kearifan agung karya besar masa lalu yang masih sangat relevan, dengan persoalan-persoalan sekarang. Ketiga hal di atas, tampaknya menjadi kegelisahan besar pribadi Agus Fathurrahman, di saat masyarakat hanya memerlukan sesuatu yang bersifat nominal dan bukan memerlukan value. Daya tarik diskusi Apresiasi Serat Centhini yang juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini, justru dari sisi-sisi lain yang belum pernah diangkat dalam forum-forum diskusi seperti malam tersebut. Biasanya hanya dilihat dari sisi sensual cintanya Amongraga saja. Suparjo, dosen sastra Jawa UNS memaparkan bahwa Serat Centhini merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis tembangnya. Serat Centhini, bisa jadi sebagai ensiklopedi Jawa terbesar pada saat ini. Lebih lanjut dikatakan oleh Suparjo, yang senada juga dalam kamus versi Wikipedia Indonesia, bahwa Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga atau Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti. Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya. Sedangkan Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma
Banyumas. Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, salat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa. Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang keharibaan sang Pencipta Sejati. Diskusi semakin malam mendalam dan mengasyikkan, ketika yang hadir diajak Elizabeth untuk bersamabersama menajamkan mata hati dengan cinta. Meletakkan nafsu pada jalan Allah, dan melaksanakan takdir dengan qanaah. Di akhir diskusi peserta, masing-masing mendapatkan kenang-kenangan buku Centhini: Kekasih Yang Tersembunyi, karya Elizabeth D. Inandiak atas uluran tangan dan kebaikan bupati Sragen, Agus Fathurrahman. Diskusi akhirnya melarut sampai pukul 00.45 WIB dan ditutup dengan do’a bersama. ***
*) Perupa, tinggal di Sumberlawang, Sragen.