KALIBRASI RADIOMETRI GAMMA-NAUGHT CITRA ALOS PALSAR MOSAIK JAWA
TUGAS AKHIR
Disusun oleh : Prima Dinta Rahma Syam 11/320859/DGE/00949
PROGRAM DIPLOMA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA 2015 i
KALIBRASI RADIOMETRI GAMMA-NAUGHT CITRA ALOS PALSAR MOSAIK JAWA
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh gelar Ahli Madya pada Program Diploma III Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Sekolah Vokasi Universitas GadjahMada
Disusunoleh : Prima Dinta Rahma Syam 11/320859/DGE/00949
PROGRAM DIPLOMA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA 2015
ii
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak pernah terdapat karya tulis yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan dengan tempat, waktu, dan metode yang sama secara bersamaan oleh pihak lain, kecuali telah tertulis dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 21 Januari 2015
(Prima Dinta Rahma Syam)
iv
GAMMA-NAUGHT RADIOMETRIC CALIBRATION OF ALOS PHASED ARRAY L-BAND SYNTHETIC APERTURE RADAR JAVA MOSAIC by : Prima Dinta Rahma Syam 11/320859/DGE/00949 ABSTRACT ALOS PALSAR (Phased Array L-Band Synthetic Apperture Radar) produced by JAXA (Japan Aerospace Earth Exploration Agency), can be an earth resources exploration solutions in tropical country like Indonesia, caused its abbility to scan activelly all day long, free-cloud imaging, and penetrate earth surface strongly. Gamma-naught calibration for image aims to get the gamma values which is backscatter per unit area of the incident wavefront (perpendicular to slant-range) and furthermore can be applicated to digital image classification research related in biomess, biophysic, deforestation, and many more. This research aims : (1) to calibrate Fine Beam Dual Polarization ALOS PALSAR Java Mosaic 50 meters resolution image year 2009 used Gamma-naught radiometric calibration; (2) to evaluate calibration process by assessing image quality and field survey validation for landcover clasification used unsupervised and segmentation; (3) to utilize ASF Mapready and ENVI as a calibration processing software of Fine Beam Dual Polarization ALOS PALSAR Java Mosaic 50 meters resolution image year 2009. Gamma-naught radiometric calibration visually affect the image flattening effect, digital number depreciation, shadow effect decrease, noise specle reduction, and object boundary assimilation. This effects visually indicate the decrease of topographic effect variable, surface roughness, object size effect, dielectric values as affected variables in radar imaging. Therefore, the object pixel values become purer to improve accuration of digital landcover classification. The result of calibration process shows appropriate in qualitative and quantitative parameters because it have the same visual performance and digital number stability correlated with standart data, indicated by mean values of HH -11.720370 (Stdev 5.288053), HV -70.871596 (Stdev 2.325386) and synthetic HH/HV -21.046792 (Stdev 6.928500). Accuration test shows that the overall accuracy of ALOS PALSAR Gamma-naught calibrated image are higher than the original image, that is 80 % for unsupervised classification and 66,67 % for segmentation. The original data have 34,17 % of overall accuracy for unsupervised classification and 54,16 % for segmentation. Accuration test of unsupervised classification based on producer’s accuracy and user’s accuracy of the calibrated image are : countryside (96,30 % ; 21,21%), non-agricultural areas (0 %), settlement (99,05 % ; 10 %), and water (0%), whereas the result of uncalibrated image (original data) are : countryside (100 % ; 69,70 %), soil (0 %), undeveloped land (0%), settlement (36,67 % ; 45 %) and water (0 %). While the result of each-object accuration from calibrated image segmentation are : countryside (100%; 24,44 %), soil (0 %), and settlement (50 %, 100 %) whereas the result of original data are : countryside (100 % ; 55 %), non-agricultural areas (0%) and settlement (33,33 % ; 0 %) Raw data conversion is more efficient using ASF Mapready as it is able to read the image header atomaticallly, whereas ENVI 5.0 can process the calibration and mosaic more efficiently. Keyword : ALOS PALSAR, Backscatter, Gamma-naught, ASF Mapready, ENVI 5.0
v
KALIBRASI RADIOMETRI GAMMA-NAUGHT CITRA ALOS PALSAR MOSAIK JAWA
Oleh : Prima Dinta Rahma Syam 11/320859/DGE/00949 INTISARI Citra ALOS PALSAR (Phased Array L-Band Synthetic Apperture Radar) merupakan citra yang direkam oleh JAXA (Japan Aerospace Earth Exploration Agency). Citra ini dapat menjadi salah satu solusi kajian sumberdaya di negara tropis seperti Indonesia, karena dapat menyiam secara aktif baik siang maupun malam, bebas awan, serta dapat menembus permukaan dengan lebih kuat. Kalibrasi Gamma-naught yang dilakukan pada citra dimaksudkan untuk mendapatkan nilai gamma, yaitu rasio hamburanbalik per unit area yang lebih lanjut dapat dijadikan sumberdata klasifikasi secara digital yang banyak diaplikasikan dalam penelitian terkait biomasa, biofisik, serta deforestasi. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Melakukan kalibrasi radiometri Gamma-naught pada data citra Fine Beam Dual Polarization ALOS PALSAR mosaik Jawa resolusi 50 meter perekaman tahun 2009; (2) Mengevaluasi proses kalibrasi dengan menilai kualitas citra serta validasi lapangan untuk aplikasi klasifikasi penutuplahan dengan metode unsupervised dan segmentasi; (3) Memanfaatkan perangkat lunak ASF Mapready serta ENVI sebagai perangkat pemroses kalibrasi data Fine Beam Dual Polarization ALOS PALSAR mosaik Jawa resolusi 50 m perekaman tahun 2009. Kalibrasi radiometrik Gamma-naught menimbulkan adanya efek image flattening, penurunan nilai digital, pengurangan efek bayangan, reduksi noise speckle, dan pembauran batas antar objek yang merupakan indikasi secara visual berkurangnya variabel efek topografi, kekasaran permukaan, pengaruh ukuran objek, serta sifat dielektrik yang semakin memurnikan nilai piksel objek untuk peningkatan akurasi klasifikasi penutuplahan secara digital. Secara kualitatif dan kuantitatif, pemrosesan dinilai sesuai karena memiliki kesamaan tampilan visual dan korelasi stabilitas nilai digital yang standart, dibuktikan dengan nilai rerata pemrosesan HH -11.720370 (Stdev 5.288053), HV -70.871596 (Stdev 2.325386) dan Sintetik HH/HV -21.046792 (Stdev 6.928500). Uji akurasi citra ALOS PALSAR terkalibrasi Gamma-naught memiliki akurasi keseluruhan lebih besar daripada data belum terkalibrasi, yaitu 80 % untuk klasifikasi unsupervised dan 66,67 % untuk segmentasi. Data asli memiliki akurasi keseluruhan 34,17 % untuk klasifikasi unsupervised dan 54,16 % untuk segmentasi. Uji klasifikasi menunjukkan persentase akurasi masing-masing obyek hasil perbandingan interpretasi dan lapangan dari sisi producer’s accuracy dan user’s accuracy untuk klasifikasi unsupervised citra terkalibrasi adalah sebagai berikut : daerah pertanian (96,30 % ; 21,21%), daerah bukan pertanian (0 %), permukiman (99,05 % ; 10 %), serta perairan (0%), sedangkan untuk citra belum terkalibrasi adalah: daerah pertanian (100 % ; 69,70 %), lahan terbuka (0 %), lahan terbangun (0%), permukiman (36,67 % ; 45 %) dan perairan (0 %). Adapun uji akurasi segmentasi per objek untuk citra terklaibrasi adalah sebagai berikut : daerah pertanian (100%; 24,44 %), lahan kosong (0 %), dan permukiman (50 %, 100 %) sedangkan untuk citra asli adalah : daerah pertanian (100 % ; 55 %), daerah bukan pertanian, lahan kosong, lahan terbangun (0%) serta permukiman (33,33 % ; 0 %) Konversi raw data lebih efisien dengan menggunakan ASF Mapready karena dapat membaca header citra secara otomatis, sedangkan proses kalibrasi dan mosaic tidak dapat dilakukan di ASF Mapready namun dengan baik dapat dilakukan dengan ENVI 5.0. Kata kunci : ALOS PALSAR, Backscatter, Gamma-naught, ASF Mapready, ENVI 5.0
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur sudah sepantasnya penyusun haturkan kepada Allah swt, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya yang tak terkira dalam setiap proses penyusunan Tugas Akhir yang berjudul “ Kalibrasi Radiometri Gamma-naught Citra ALOS PALSAR Mosaik Jawa ” karena hanya dengan pertolongan dan kehendak Yang Maha Rahman dan Rahim-lah laporan penelitian Tugas Akhir ini dapat terselesaikan. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw, uswatun khasanah yang mengajarkan ummatnya untuk selalu menuntut ilmu sebagai tanda kebesaran Allah. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Ahli Madya program Diploma III Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Universitas Gadjah Mada. Selama penyusunan Tugas Akhir ini, penulis menyadari berbagai kekurangan dan keterbatasan pemikiran serta wawasan, sehingga banyak pihak yang telah memberikan saran akademis, teknis, pemikiran, serta motivasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Taufik Herry Purwanto,S.Si,M.Si selaku Ketua Program Studi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Universitas Gadjah Mada 2. Ibu Wirastuti Widyatmanti, S.Si selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan banyak saran, wawasan, pacuan semangat, serta pemikiran baru kepada penulis tidak hanya dari sisi akademis, akan tetapi juga pemikiran dan perilaku 3. Dr. Katmoko Ari Sambodo, M.Eng, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, selaku peneliti ahli di bidang Radio Detecting and Ranging yang telah banyak memberikan arahan teknis, saran akademis, serta wawasan yang sangat bermakna bagi penulis 4. Dr. Sigit Heru Murti, M.Si selaku Dosen Penguji yang banyak sekali memberikan kritik yang membangun bagi Tugas Akhir dan penulis 5. Bapak R.Ibnu Rosyadi,S.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah memberikan banyak motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan Program Diploma Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi 6. Novie Indriasari, S.T selaku pembimbing Kerja Praktek di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang telah menyegarkan pemikiran, serta memberikan motivasi kepada penulis dalam penyusunan penelitian Tugas Akhir ini 7. Like Indrawati S.Si, M.Sc dan Ibu Iswari Nur Hidayati S.Si, M.Si selaku dosen Program Studi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi serta vii
Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM yang telah bersedia menyempatkan waktu untuk berdiskusi serta memberikan wawasan kepada penulis 8. Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) khususnya untuk Mr. Masanobu Shimada dan Mr. Ono yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi serta diskusi terkait data ALOS PALSAR yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhir ini Penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orangtua, keluarga, saudara, serta sahabat yang telah mengiringi proses penyusunan Tugas Akhir ini dengan inspirasi, motivasi, dan do’a dari : 1. Bapak Sutrisno dan Ibu Rini Purwanti, kedua orangtua paling hebat dan luar biasa yang senantiasa mengerti, memberikan do’a serta motivasi untuk selalu berusaha dan menaati proses-proses dengan baik dan istiqomah. 2. Arinda Rahma Fatih, my little sister, yang selalu memberikan semangat serta penyegaran di berbagai obrolan untuk memusnahkan penat. 3. Keluarga Besar Trah Harjo Pawiro, simbah, tante, om, pakdhe, budhe, saudara sepupu, Huda, Rifky, Bowo, Akbar, Mbak Erfina, Mbak Sukma, dan semuanya yang selalu mengingatkan dan memacu penulis untuk segera menyelesaikan satu urusan dan melangkah ke urusan yang lain 4. Saudara-saudaraku Gusrina, Gretta Dwi Handayani, Choirul Nur Chasanah, Oktaviana Dwi Wahyuningsih, Renny Dwi Indrianingrum, Rizka Wahyuningrum, Septi Herdianti, Dewi Indriasari, Danang Wijaya, Dimas Eka Fajar, Yanyudha Yulistyawan, Ahmad Haidir Hidayat, Hardianto Siahaan, Akhmad Azis Muttaqin, Debby Anggi Restyawan dan Agung Rahmawan, orang-orang luar biasa yang selalu membersamai dan menuliskan berbagai rekor selama menempuh pendidikan di Program Studi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi 5. Rekan-rekan PJSIG 2011, Student Association of Remote Sensing and GIS (STARGIS), dosen,kakak-kakak ,adik-adik angkatan, staff, karyawan, serta keluarga besar Program studi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Madayang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu 6. Pengajar TPQ dan Madrasah Diniyah Nur Iman Widoro, Kak Coy, Bu Hestik, Restu, Hendri, Azid, Mbak Tri, Mbak Nur, Kak Ahmad, Kak Fuad, Mbak Isna, Meyana, Iis, Lukda, dan juga adik-adik santriwan dan santriwati yang selalu membawa keceriaan bagi penulis.
viii
7. Rekan-rekan Chemicfamz 2011, Irma Astriyani, Inggit Supranata, Eko Priyo Prasetyo, Nani Dwi Jayanti, Muhammad Bahrudin, Shinta Dewi Novitasari, Henry Dwi Prihartanto, Rizky Karina Utami, Muhammad Hasbi Rizqur Rahman, Wahid Nur Rahman dan keluarga besar SMTI Yogyakarta, Susanti Rahayu, Robby Afana, dan semuanya yang selalu memberikan dorongan dan motivasi bagi penulis 8. Rekan-rekan SDN Jurug dan SMPN 1 Sewon, Tiara, Toro, Mahendra, Wahyu, dkk yang selalu memberikan semangat serta do’a 9. Keluarga besar PUSDALOPS, TRC BPBD DIY, Yuan Adi Kusuma selaku pembimbing magang di BPBD DIY yang memberikan banyak pengalaman dan pemahaman 10. Rekan-rekan Karangtaruna Baskoro dan Crew Rumah Pilah Sampah, Nurina Utami, Latif Putra Pradana, Yusuf, Yosi, Muslim dkk yang selalu membawa keceriaan 11. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan satu per satu Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfat bagi kepentingan Mahasiswa Jurusan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografi, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada khususnya, serta Indonesia pada umumnya sehingga dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasan serta kekurangan dalam laporan penelitian Tugas Akhir ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis nantikan untuk perbaikan laporan dimasa yang akan datang. Sewon, 6 Desember 2014
Penulis
ix
“ Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan ? “ (Qs. Ar-Rahman)
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. .......................................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN. ............................................................................................ iii PERNYATAAN................................................................................................................... iv ABSTRACT ......................................................................................................................... v INTISARI ..................................................................................................................... vi KATA PENGANTAR. ........................................................................................................ vii KUTIPAN ............................................................................................................................ x DAFTAR ISI........................................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR. .......................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL. .............................................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN. ...................................................................................................... xvi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. ................................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah. ........................................................................................... 2 1.3 Tujuan............................................................................................................... 3 1.4 Manfaat ............................................................................................................. 3 1.5 Pembatasan Masalah ........................................................................................ 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh. ........................................................................................... 5 2.2 SAR (Synthetic Aperture Radar) ..................................................................... 6 2.3 Citra ALOS PALSAR. ..................................................................................... 15 2.4 Kalibrasi Radiometri ALOS PALSAR. ............................................................ 19 2.5 Gamma-naught. ................................................................................................ 23 2.6 Uji Kualitas dan Validasi Citra......................................................................... 25 2.7 ASF Mapready.................................................................................................. 31 2.8 ENVI ................................................................................................................ 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Deskripsi Daerah Penelitian ............................................................................. 40 3.2. Alat dan Bahan. ................................................................................................ 40 3.2.1. Alat ......................................................................................................... 40 3.2.2. Bahan ..................................................................................................... 41 3.3. Tahapan Penelitian ........................................................................................... 43 3.3.1. Tahap Persiapan. .................................................................................... 43 3.3.2. Tahap Akuisisi Data ............................................................................... 43 3.3.3. Tahap Pengolahan Data.......................................................................... 44 3.3.3.1. Eksport Raw Data ................................................................... 44 3.3.3.2. Kalibrasi Radiometri Gamma-naught..................................... 50 3.3.3.3. Mosaik .................................................................................... 55
xi
3.3.3.4. Uji Kualitas Citra .................................................................... 56 3.3.3.5. Validasi ................................................................................... 57 3.3.1. Tahap Penyelesaian. ............................................................................... 64 3.4. Diagram Alir Penelitian.................................................................................... 65 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemrosesan . ..................................................................................................... 66 4.1.1. Tahap Akuisisi Data ............................................................................... 66 4.1.2. Konversi ke Geotiff................................................................................. 67 4.1.3. Kalibrasi Radiometri Gamma-naught. ................................................... 70 4.2. Analisis Kualitas Citra...................................................................................... 72 4.2.1. Analisis Kualitatif Citra (Perbandingan Visual Citra Terkalibrasi 50m dan 25 m) .................................................... 72 4.2.2. Analisis Kualitatif Citra (Perbandingan Visual Citra Terkalibrasi 50m dan 25 m) .................................................... 77 4.2.3. Analisis Kuantitatif melalui Statistik dan Scatterplot............................. 80 4.3 Validasi Data Dengan Pendekatan Nilai Piksel Melalui Klasifikasi Penutuplahan .............................................................................. 84 4.3.1. Uji Akurasi Klasifikasi Unsupervised Penutuplahan Citra Sebelum dan Sesudah Kalibrasi .................................................... 84 4.3.2. Validasi Batas Segmentasi Citra Sebelum dan Sesudah Kalibrasi......... 91 4.4. Mosaik ........................................................................................................ 95 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan....................................................................................................... 96 5.2. Saran ................................................................................................................. 97 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11. Gambar 2.12 Gambar 2.13 Gambar 2.14. Gambar 2.15. Gambar 2.16. Gambar 2.17. Gambar 2.18. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 3.11.
Pemendekan Lereng (Foreshortening) .................................................... 8 Perebahan Lereng (Layover) ................................................................. 9 Bayangan (Shadow) ................................................................. .............9 Karakteristik Penetrasi masing-masing Band pada SAR terhadap Beberapa Objek ................................................................. 11 Terminologi Radar ................................................................. .............11 Polarisasi pada Citra SAR .................................................... .............13 Ilustrasi Perbedaan Polarisasi (HH, VV, HV, dan Komposit Warna) ....................................... .............13 Spesifikasi Umum ALOS PALSAR ....................................... ............ 16 Diagram Proses Generasi dan Kalibrasi Citra ALOS PALSAR ................................................................. ............ 20 Sudut kalibrasi β0, γ0 atau σ0 pada citra RADAR .......................... 22 Gamma-naught versus incidence angle .................................................... 23 Close-up of the HH and HV data, corrected for the RAP .......................... 23 Visualisasi Gamma-naught ................................................................. 24 Alur Pemrosesan Konversi Nilai Digital menjadi Gamma-naught .............................................................................. 25 Hasil Geometric Terrain Correction dan Radiometric Terrain Correction .................................................... 33 Hasil Radiometric Terrain Correction tanpa Offset antara Citra SAR dan DEM (kiri) dan Offset Residual (kanan) .................................................... 34 Ilustrasi Geometri Tiga Dimensi Pada Citra SAR....................................... 34 Sistem Operasi Band Math ................................................................. 38 Tahapan Akuisisi data dari web JAXA .................................................... 44 Tampilan setting ASF Mapready untuk konversi data .......................... 45 Tampilan proses input data pada ASF Mapready ....................................... 47 Tampilan Calibration setting pada ASF Mapready .......................... 47 Tampilan Geocode setting pada ASF Mapready ....................................... 48 Tampilan Export setting pada ASF Mapready ....................................... 49 Tampilan running script saat pemrosesan konversi data dengan ASF Mapready ........................................................................................... 50 Tampilan proses Band Math Kuadrat Digital Number pada ENVI 5.0....... 51 Tampilan proses Convolutions pada ENVI 5.0 ....................................... 52 Tampilan proses Band Math ALOG Digital Number pada ENVI 5.0........ 53 Tampilan proses Band Math 10 dikalikan Digital Number pada ENVI 5.0 ................................................................. 54
xiii
Gambar 3.12. Gambar 3.13. Gambar 3.14. Gambar 3.15. Gambar 3.16. Gambar 3.17. Gambar 3.18. Gambar 3.19. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8 Gambar 4.9. Gambar 4.10. Gambar 4.11. Gambar 4.13. Gambar 4.14. Gambar 4.15. Gambar 4.16. Gambar 4.17. Gambar 4.18.
Tampilan proses Band Math Penambahan Calibartion Factor (-83) Digital Number pada ENVI 5.0 .................................................... 55 Tampilan proses Mosaicing pada ENVI 5.0 ....................................... 56 Pemilihan Sample Area pada ArcMap 10.1 ....................................... 57 Proses Pemotongan Citra dengan ENVI 5.0 ....................................... 58 Proses klasifikasi Unsupervised dengan ENVI 5.0 .......................... 59 Proses Class Editing dan Class merging dengan ENVI 5.0 .............60 Proses Segmentasi (Object Creation-Export) dengan ENVI 5.0 .............61 Tampilan Area Survey *kml pada Google Earth ....................................... 63 Output proses konversi dengan ASF Mapready ....................................... 70 Output Pemrosesan Kalibrasi Gamma-naught pada ENVI .............72 Perbandingan Visual Komposit RGB ALOS PALSAR 50 meter hasil kalibrasi (A) dengan 25 meter terkalibrasi Gamma-naught (B) .............74 Objek Air pada citra PALSAR 50 m (A) dan 25 m (B) .......................... 75 Objek Tanah pada citra PALSAR 50 m (A) dan 25 m (B) .............75 Objek Vegetasi pada citra PALSAR 50 m (A) dan 25 m (B) .............75 Tampilan Citra A01 sebelum (A) dan sedudah (B) kalibrasi Gama-naught ........................................................................................... 77 Adanya pengurangan noise dari data sebelum (A) ke sesudah (B) kalibrasi .......................................................................................................79 Berkurangnya efek shadow dari citra sebelum (A) dan sesudah (B) kalibrasi ........................................................................................... 79 Statisitik Saluran HH (A) dan HV (B) Sebelum Terkalibrasi .................... 82 Nilai Piksel Objek Vegetasi Sebelum Terkalibrasi (B) dan Sesudah Terkalibrasi (A) ........................................................................................... 83 Scatterplot HV,HH .............................................................................. 83 Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra belum terkalibrasi 83 dengan iterasi 1;5;10;15 dan setelah class merging .......................... 84 Class Distribution Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra terkalibrasi dengan iterasi 10 .................................................... 86 Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra terkalibrasi dengan iterasi 1;5;10;15 dan setelah class merging ....................................... 87 Class Distribution Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra terkalibrasi dengan iterasi 10 .................................................... 88 Hasil segmentasi citra terkalibrasi (A) dan sebelum terkalibrasi (B) ......... 92
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6. Tabel 2.7 Tabel 3.1 Tabel 4.1. Tabel 4.2.
Tabel 4.3. Tabel 4.4.
Tabel 4.5. Tabel 4.6.
Tabel 4.7. Tabel 4.8.
Jenis Citra Radar Berdasarkan Salurannya ....................................... 10 Karakteristik PALSAR .............................................................................. 17 Mode Sensor Standart PALSAR .................................................... 17 Historical of Calibration Factor (in desible) ....................................... 25 Matriks kesalahan yang mencocokan piksel-piksel hasil klasifikasi dengan piksel sampel .............................................................................. 29 Matriks kesalahan yang mencocokan piksel-piksel hasil klasifikasi dengan data independen (Danoedoro, 2012) ....................................... 30 Input (A) dan Output (B) data pada ASF Mapready .......................... 36 Spesifikasi Citra ALOS PALSAR FBD .................................................... 42 Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil klasifikasi citra terkalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan .............89 Perhitungan akurasi klasifikasi citra terkalibrasi Gamma-naught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel. 4.1 ............................................................................................89 Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil klasifikasi citra sebelum kalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan .......................... 90 Perhitungan akurasi klasifikasi citra sebelum kalibrasi Gamma-naught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel.4.3 ................................................................. 90 Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil segmentasi citra terkalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan .......................... 93 Perhitungan akurasi batas segmentasi citra terkalibrasi Gamma-naught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel.4.5 ..................................................................93 Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil segmentasi citra sebelum terkalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan ..............94 Perhitungan akurasi batas segmentasi citra sebelum terkalibrasi Gamma-naught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel.4.7. ...................................................................94
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Tampilan Per Tile Polarisasi Citra ALOS PALSAR Hasil Kalibrasi Gamma-naught
2.
Tampilan Hasil Mosaik Citra ALOS PALSAR Hasil Kalibrasi Gamma-naught
3.
Statistik Citra Hasil Pemrosesan
4.
Tabel Pemrosesan Kalibrasi Gamma-naught
5.
Titik Survey Lapangan
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Citra penginderaan jauh merupakan salah satu sumber data utama dalam informasi geospasial. Kualitas sumberdata tentu menjadi parameter utama, karena berbagai informasi dapat diturunkan dari citra. Kualitas yang tidak memenuhi standart dapat mengaburkan bahkan menyajikan informasi yang salah. Namun sebenarnya semua citra yang diperoleh melalui perekaman sensor tak lepas dari wujud geometri dan konfigurasi permukaan bumi, serta kondisi atmosfer saat perekaman. Kesalahan yang terjadi dalam proses pembentukan citra ini perlu dikoreksi supaya aspek geometri dan radiometri yang dikandung oleh citra tersebut benar-benar dapat mendukung pemanfaatan untuk aplikasi yang berkaitan dengan pemetaan sumberdaya dan kajian lingkungan atau kewilayahan lainnya (Danoedoro, 2012) Dalam pemrosesan citra digital, nilai piksel atau digital number menjadi nilai yang sangat penting untuk diperhatikan kebenarannya dari segala jenis gangguan baik internal maupun eksternal. Bentuk nilai digital terkadang perlu dikonversi menjadi jenis data yang sesuai untuk kajian yang spesifik. Meskipun merupakan tahap sangat awal dan sering tidak diperhatikan, proses kalibrasi ini sangat menentukan hasil analisis. Ketika kalibrasi tidak memenuhi standart, maka dapat disimpulkan bahwa hasil analisis sebagai turunan dari data merupakan hasil yang tidak dapat disahkan kebenarannya. Data ALOS PALSAR merupakan data SAR yang menyiam pada frekuensi Band L yang telah dirilis JAXA pada orbit polar dengan ketinggian 691,25 km yang diluncurkan dari Tanegashima Space Center pada Januari 2006. ALOS membawa tiga sensor, yaitu AVNIR, PRISM, dan PALSAR. Phassed Array LBand Synthetic Apperture Radar (PALSAR) diharapkan dapat berkontribusi
1
untuk monitoring deforestasi, biofisik, estimasi biomasa, pengukuran deformasi menggunakan interferometry dan diferensiasi amplitudo (Shimada, 2009). Data SAR memiliki keunggulan bebas dari gangguan awan dibandingkan citra optis biasa, terlebih di negara tropis seperti Indonesia yang memiliki nilai evaporasi tinggi mengakibatkan penggunaan citra optis terkadang terhalang oleh adanya awan. Dengan adanya data ALOS PALSAR ini diharapkan mampu memberikan satu solusi terhadap kebutuhan data yang dapat menyiam secara aktif baik siang maupun malam, bebas awan, serta dapat menembus permukaan dengan lebih kuat untuk kajian yang relevan di berbagai bidang dengan berbagai keunggulan. Oleh karena itu, kalibrasi citra ALOS PALSAR menjadi salah satu hal yang penting untuk dikaji. Kontrol kualitas serta validasi tentunya menjadi elemen yang tidak bisa terpisahkan dari pre-processing data demi menghasilkan produk analisis yang valid dan relevan, serta dapat diterima keakuratannya, khususnya dalam analisis digital penutuplahan.
1.2
RUMUSAN MASALAH Kebutuhan data SAR sebagai sumber data yang unik dengan berbagai keunggulannya telah disediakan oleh JAXA sebagai vendor citra ALOS. Namun adanya data yang terkoreksi belum secara luas disebarluaskan untuk berbagai level produk yang tersedia. Data ALOS mosaik di seluruh dunia telah disediakan oleh JAXA, namun belum terkalibrasi secara total, mengingat kalibrasi yang dilakukan perlu disesuaikan untuk masing-masing tujuan penelitian. Kalibrasi radiometri dengan menggunakan Gamma-naught diperlukan untuk mendapatkan nilai digital berupa hamburbalik (backscatter) per unit area dari data radar, (Shimada. M, et al., 2012). Kalibrasi yang benar tentu akan menghasilkan turunan data hasil analisis yang baik pula. Permasalahannya, terkadang kalibrasi radiometri belum diikuti dengan uji kualitas (quality control) yang dapat berakibat buruk pada hasil analisis selanjutnya. Untuk itu, kalibrasi radiometri
2
dengan uji kualitas serta validasi perlu dilakukan untuk menyediakan data yang berkualitas sebagai prasyarat didapatkannya hasil analisis yang berkualitas pula.
1.3
TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Melakukan kalibrasi radiometri Gamma-naught pada data citra Fine Beam Dual Polarization ALOS PALSAR mosaik Jawa resolusi 50 meter perekaman tahun 2009. 2. Mengevaluasi proses kalibrasi dengan menilai kualitas citra serta validasi lapangan
untuk
aplikasi
klasifikasi
penutuplahan
dengan
metode
unsupervised dan segmentasi. 3. Memanfaatkan perangkat lunak ASF Mapready serta ENVI sebagai perangkat pemroses kalibrasi data Fine Beam Dual Polarization ALOS PALSAR mosaik Jawa resolusi 50 m perekaman tahun 2009.
1.4
MANFAAT Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan data ALOS PALSAR terkalibrasi Gamma-naught sebagai sumberdata untuk tingkat analisis lanjut secara digital 2. Mengetahui kualitas serta kemampuan citra hasil kalibrasi Gamma-naught dalam klasifikasi digital penutuplahan sebagai salah satu kajian yang menarik untuk dikembangkan dalam bidang penginderaan jauh sistem aktif.
1.5 PEMBATASAN MASALAH Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah agar lebih terararah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Batasan – batasan masalah dalam penelitian antara lain :
3
1. Menangani pra pemrosesan raw dataFine Beam Dual PolarizationALOS PALSAR Mosaik Jawa orthorectified 50 meter yang diunduh dari website JAXA, menjadi data yang berkualitas untuk klasifikasi digital. 2. Melakukan kalibrasi Gamma-naught pada citra ALOS PALSAR mosaik Jawa. 3. Mengevaluasi kualitas citra hasil kalibrasi dengan kontrol kualitas serta validasi lapangan untuk aplikasi klasifikasi penutuplahan.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1990).Penginderaan jauh didefinisikan juga disefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu objek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan objek tersebut (Rees, 2001). Alat yang dimaksud dalam pengertian diatas adalah alat pengindera atau sensor. Pada umumnya sensor dibawa oleh wahana baik berupa pesawat, balon udara, satelit maupun jenis wahana yang lainnya (Sutanto,1987). Hasil perekaman oleh alat yang dibawa oleh suatu wahana ini selanjutnya disebut sebagai data penginderaan jauh. Lindgren (1985 dalam Sutanto, 1987) mengungkapkan bahwa penginderaan jauh adalah berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi, infomasi ini khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penginderaan jauh terdiri atas 3 komponen utama yaitu objek yang diindera, sensor untuk merekam objek dan gelombang elektronik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh permukaan bumi. Interaksi dari ketika komponen ini menghasilkan data penginderaan jauh yang selanjutnya melalui proses interpretasi dapat diketahui jenis objek area ataupun fenomena yang ada. Jumlah tenaga yang diterima oleh sensor tergantung pada jumlah tenaga asal dan tergantung pula pada karakteristik objekya. Bagi tenaga pantulan, jumlah tenaga yang diterima oleh sensor sebesar pantulan (%) dikalikan tenaga yang mengenai objeknya. Bagi tenaga pancaran, jumlah tenaga yang mencapai sensor 5
bergantung pada suhu dan daya pancar objek. Daya pantul, suhu, dan daya pancar objek merupakan karakteristik spektral objek. Karakteristik ini bekerja di atmosfer melalui jendela atmosfernya, dimana energi akan terserap pada panjang gelombang dimana radiasi tersebut bertemu dengan partikel yang dimaksud. Sensor dalam penginderaan jauh terbagi menjadi dua sistem, yaitu aktif dan pasif. Sensor pasif dibagi lagi ke dalam dua jenis, yaitu sistem pasif yang menggunakan pantulan objek (menggunakan sumber energi matahari, hanya bekerja pada siang hari) , serta sistem pasif yang menggunakan pancaran objek, yaitu termal yang dapat beroperasi siang maupun malam (Cracnell, 1981). Citra yang banyak dihasilkan sistem pasif adalah citra multispektral seperti Landsat, SPOT, ALOS AVNIR dan sebagainya. Sensor aktif menggunakan sumber energi yang dipancarkan sendiri oleh system sehingga dapat beroperasi kapanpun. Dalam penginderaan jauh sistem aktif, tenaganya berupa tenaga buatan. Tenaga yang dipancarkan dari sensor mengenai objek di permukaan bumi, dipantulkan kembali ke sensor untuk kemudian direkam dan diproses. Citra semacam ini disebut dengan citra RADAR atau SAR, diantaranya adalah : JERS, SRTM, SLAR, AIRSAR, SIR-C, RADARSAT, ERS, serta ALOS PALSAR yang datanya digunakan pada penelitian ini.
2.2. SAR (Synthetic Aperture Radar) Radio Detecting and Ranging (RADAR) yang berarti mendeteksi suatu objek sekaligus menentukan arahnya dengan menggunakan spektrum radio atau tepatnya spektrum gelombang mikro (Wilkes, 1975). SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu jenis dari sensor aktif radar dimana sistem ini memiliki antenna synthetic atau buatan agar mendapatkan resolusi spasial yang baik, dengan antena yang tidak terlalu panjang. SAR bekerja pada panjang gelombang 1mm - 1m (Microwave) sehingga dapat menembus awan, asap, kabut tipis, dan hujan, serta memiliki kemampuan untuk menembus lapisan permukaan
6
lebih dalam. Karena sistemnya yang aktif, maka SAR dapat beroperasi siang dan malam tidak tergantung sinar matahari. Pengenalan obyek pada citra SAR didasarkan tidak hanya pada rona tetapi juga ukuran, bentuk, tekstur, bayangan, dan keterkaitan obyek dengan kenampakan sekeliling. Radar mengukur rasio antara kekuatan pulsa ditransmisikan dan pulsa yang diterima (Meier, 2013). Oleh karena itu, nilai yang diterima dari sistem ini bukanlah nilai pantulan obyek seperti pada sistem optis, namun hamburanbalik (backscatter) yang sangat dipengaruhi oleh sifatsifat obyek yang diindera dan sifat-sifat sistem SAR itu sendiri. Adapun sifatsifat obyek yang mempengaruhi hamburanbalik dari sistem SAR adalah sebagai berikut : a.
faktor topografi
b.
kekasaran permukaan
c.
bentuk dan orientasi objek
d.
kelembaban
e.
sifat dielektris
f.
gerakan dalam scene yang disinari.
Faktor topografi memiliki peranan yang cukup besar dalam perekaman citra SAR, adapun pengaruhnya adalah sebagai berikut : a.
Pantulan Sudut Pantulan sudut terjadi pada topografi yang terjal. Pancaran pulsa SAR yang mengenai permukaan datar sebagai pemantul cermin, dipantulkan dengan kuat menjauhi antena. Pantulan ini mengenai lereng terjal yang memantulkannya dengan kuat ke antenna SAR. Maka akibatnya obyek itu tampak dengan rona sangat cerah pada citra SAR (Indrawati, 2009)
7
b.
Foreshortening Foreshortening terjadi bila lereng depan lebih landai dari garis tegak lurus terhadap arah pengamatan. Radar foreshortening merupakan peristiwa pemendekan atau penyusutan semua bidang obyek di permukaan bumi pada citra SAR, kecuali jika bidang tersebut mempunyai sudut datang (incident angle) 90° (Indrawati, 2009). Perbedaan waktu dari dua sinyal hamburanbalik di bagian bawah dan bagian atas lereng curam (B'-A ') lebih pendek dari atas ke daerah datar back-side (C'-B'). Oleh karena itu, dua poin pertama yang direpresentasikan menjadi lebih pendek dalam kisaran slant range. Efek geometris inilah yang disebut foreshortening, memperkecil energi sinyal backscattered yang berasal dari forshorted area, sehingga daerah-daerah yang terkena dampak dalam citra terlihat lebih cerah (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1).
Gambar 2.1. Pemendekan Lereng (Foreshortening) (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1)
c.
Layover Layover terjadi pada suatu lereng yang menghadap suatu antena dengan beda tinggi nyata antara puncak dan dasarnya (Indrawati, 2009). Efek layover merupakan kasus ekstrim dari foreshortening. Sinyal hamburanbalik dari puncak gunung diterima lebih awal dari sinyal dari bawah, sehingga nampak seperti lereng yang terbalik.
8
Informasi piksel dari berbagai objek ditumpangkan yang membuat rona pada citra menjadi lebih cerah pada area yang terjadi layover (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1).
Gambar 2.2. Perebahan Lereng (Layover) (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1)
d.
Shadow
Gambar 2.3. Bayangan (Shadow) (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1)
Efek shadow pada citra SAR berbeda dari citra optik. Dalam kasus radar, tidak ada informasi yang diterima dari lereng belakang. Panjang bayangan tergantung pada posisinya dalam arah jangkauan. Oleh karena itu, bayangan di kisaran jauh (far range) lebih panjang daripada di dekat range (near range). Sifat-sifat
sistem
SAR
yang
mempengaruhi
intensitas
nilai
hamburanbalik meliputi (Indrawati, 2009) : a.
Panjang gelombang
b.
Sudut depresi
9
c.
Polarisasi
d.
Arah pengamatan antena
Citra SAR dibedakan lebih jauh atas dasar saluran atau panjang gelombang yang digunakan, yaitu seperti pada tabel berikut : Tabel 2.1. Jenis Citra Radar Berdasarkan Salurannya
Jenis Citra RADAR/SAR
Panjang Gelombang yang Digunakan (cm)
Saluran Ka
0,75-1,1
Saluran K
1,1-1,67
Saluran Ku
1,67 – 2,4
Saluran X
2,4-3,75
Saluran C
3,75-7,5
Saluran S
7,5-15
Saluran L
15-30
Saluran P
30-100 Sumber : Lillesand dan Kiefer. 1979. dengan perubahan
Panjang gelombang yang lebih panjang, lebih mampu untuk menembus lapisan permukaan lebih dalam. Misal pada area hutan: -
λ pendek, proses hamburanbalik didominasi oleh interaksi dengan ujung kanopi vegetasinya
-
λ panjang, interaksi yang signifikan diantara ujung kanopi dengan bagian dasar vegetasinya sehingga lebih potensial memberikan informasi volume vegetasinya (Sambodo, 2013)
10
Gambar 2.4. Karakteristik Penetrasi Band pada SAR terhadap beberapa Objek (Sumber:Katmoko Ari Sambodo. 2013)
Selain panjang gelombang, intensitas hamburanbalik sitem SAR juga dipengaruhi oleh sudut depresi. Berikut beberapa terminologi SAR yang menggambarkan sudut depresi beserta visualisasinya dalam Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Terminologi Radar (Sumber : Indrawati. 2009)
Keterangan : -
Near Range adalah jarak lebar terdekat pada citra dengan titik nadir
-
Far Range adalah jarak lebar terjauh dari titik nadir
11
-
Depression atau Grazing Angle adalah sudut antara bidang horisontal dan sorot antena radar ke target dipermukaan bumi.
-
Slant Range Distance adalah jarak garis pandang radial antara radar dan target di permukaan bumi
-
Ground Range Distance adalah jarak horisontal sebenarnya di lapangan yang diukur dari titik nadir sampai titik perpotongan dengan slant range.
-
Incidence Angle adalah sudut antara radar beam dan permukaan lahan.
-
Look Angle adalah sudut antara garis nadir (vertikal) dan pancaran radar.
Ketika gelombang radar berinteraksi dengan permukaan bumi atau target, polarisasi tersebut akan termodifikasi sesuai dengan karakteristik permukaan bumi atau target tersebut yang pada gilirannya akan memberikan efek yang berbeda-beda pada energi backscatter-nya. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada kenampakan citra SAR yang didapatkan. Berdasarkan polarisasinya, terdapat beberapa tipe : a.
Single Polarization : HH atau VV (atau kemungkinan HV atauVH)
b.
Dual Polarization : HH dan HV, VV and HV, atau HH danVV
c.
Alternating Polarization: HH dan HV, alternatif dengan VV dan VH
d.
Polarimetric
: HH, VV, HV, dan HV
Kemampuan gelombang multi-polarisasi pada sistem polarisasi data SAR memberikan informasi tambahan dimana dapat digunakan untuk melakukan usaha klasifikasi sehingga menghasilkan hasil klasifikasi yang lebih baik dibandingkan single-polarisasi data SAR (Karathanassi dan Dabbor, 2008 dalam Ardiansyah, 2010). Sinyal SAR dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal SAR dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H)
12
ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak. Jadi, terdapat empat kemungkinan
kombinasi sinyal transmisi dan
penerimaan yang berbeda yaitu dikirim H, diterima H, dikirim H, diterima V, dikirim V, diterima H, dikirim V, dan diterima V. Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra dengan polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV dan VH. Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990 dalam Riska, 2011).
Gambar 2.6. Polarisasi pada Citra SAR (Sumber:Katmoko Ari Sambodo. 2013)
HH
VV
HV
Komposit Warna
Gambar 2.7. Ilustrasi Perbedaan Polarisasi (HH, VV, HV, dan Komposit Warna) (Sumber:Katmoko Ari Sambodo. 2013)
13
Hamburanbalik radar yang terlalu kuat menghasilkan karakteristik (signature) lebih cerah dibandingkan dengan pulsa balik yang lemah. Rona objek yang direkam dengan radar HH dan radar HV dapat berlainan wujudnya. Polarisasi yang berbeda dapat menimbulkan gambaran objek yang berbeda pula, dikarenakan sifat membalikkan pulsa yang berbeda bagi masing-masing objek. Sehingga multipolarisasi dapat meningkatkan kemampuan interpretasi citra radar yang tidak dimiliki pada citra multispektral (Sambodo, 2013). Polarisasi HV memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap forest clear-cut monitoring daripada HH, karena HV sensitif terhadap struktur vertikal pohon yang tumbuh kembali setelah penebangandan terhadap kekasaran permukaan, sementara HH lebih sensitif terhadap kondisi yang basah atau kelembaban tanah. Sensitifitas ini sangat penting untuk mendeteksi area yang mengalami deforestasi. Citra dengan polarisai HV juga dapat mendeteksi fire scars dengan lebih sensitif dibandingkan citra HH (Shimada, et al., 2009) Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, banyak sifat khas medan yang bekerja bersama dengan panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hasil balik radar dari objek. Akan tetapi faktor utama yang mempengaruhi intensitas hasil balik radar dari objek adalah ukuran (geometris) dan sifat dielektrik objek. Efek geometri sensor/objek dari intensitas backscatter radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Kekasaran permukaan objek merupakan fungsi variasi relief sehubungan dengan panjang gelombang pantulan tenaga. Permukaan dengan kekasaran yang pada dasarnya sama atau lebih besar dari panjang gelombang yang ditransmisikan, tampak kasar. Sifat dielektrik kenampakan medan bekerja sangat erat dengan sifat khas geometri untuk menentukan intensitas hasil balik radar. Satu ukuran bagi sifat khas elektrik objek adalah tetapan dielektrik komplek. Parameter ini merupakan suatu indikasi bagi daya pantul dan konduktivitas atau daya hantar berbagai material (Lillesand dan Kiefer,1990, dalam Riska, 2011).
14
2.3. CITRA ALOS PALSAR ALOS (Advanced Land Observation Satellite) adalah satelit Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari satelit sebelumnya yaitu JERS. Sistem ini kini dilanjutkan dengan misi baru PALSAR-2 yang sedang terus dikembangkan. ALOS dilengkapi dengan tiga macam sensor yaitu AVNIR dan PRISM yang merupakan sensor optik dan PALSAR
(Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) yang
merupakan sensor Synthetic Aperture Radar (SAR). PALSAR menggunakan frekuensi Band – L. PALSAR adalah SAR (Synthetic Aperture Radar) yang menggunakan gelombang mikro. PALSAR dapat menghasilkan citra bebas awan dan menyiam permukaan siang maupun malam, memiliki resolusi yang baik dalam
conventional mode, dan ScanSar mode yang dapat menampilkan
informasi dengan lebar citra dari 250 sampai 350 km sebagai resolusi spasialnya. Walaupun sedang terjadi hujan pada saat perekamannya, PALSAR tetap mendapatkan citra dengan tampilan yang bersih. Citra ALOS PALSAR ini banyak digunakan untuk membuat DEM, kajian kebencanaan, oil spill, ship detection, eksplorasi sumberdaya alam, serta untuk monitoring biomasa. Sistem ini juga sangat sesuai digunakan utuk monitoring hutan atau biomasa lainnya di Indonesia yang beriklim tropis. Perkembangan PALSAR merupakan proyek bersama antara JAXA dan Japan Resources Observation Sistem Organization (JAROS) (JAXA, 2010).
15
Note: PALSAR cannot observe the areas beyond 87.8 deg. north latitude and 75.9 deg. south latitude when the off-nadir angle is 41.5 deg. *1 Due to power consumption, the operation time will be limited. *2 Valid for off-nadir angle 34.3 deg. (Fine mode), 34.1 deg. (ScanSAR mode), 21.5 deg. (Polarimetric mode) *3 S/A level may deteriorate due to engineering changes in PALSAR. Gambar 2.8. Spesifikasi Umum ALOS PALSAR (Sumber:http://www.alos-restec.jp)
16
Tabel 2.2. Karakteristik PALSAR
Sumber: Shimada, et al., 2009 IEEE Transactions On Geoscience And Remote Sensing, Vol. 47, No. 12, December 2009
Strategi akuisisi fitur pengamatan PALSAR dapat dilihat dalam Tabel 2.3. Pemilihan modus merupakan hasil kompromi di mana persyaratan ilmiah, permintaan pengguna, aspek program dan kendala satelit operasional telah dibawa ke konsiderasi.
Tabel 2.3. Mode Sensor Standart PALSAR Sensor Off-nadir Pass Polarization Coverage mode angle designation Fine Beam HH 34.3° Ascending Global Single pol. Fine Beam HH+HV 34.3° Ascending Global Dual pol. Fine Beam HH+HV+ 21.5° Ascending Regional Polarimatric VH+VV Fine Beam HH+HV+ 23.1° Ascending Regional Polarimatric VH+VV ScanSAR 20.1°(a) Global 5-beam HH Descending 36.5° (b) Regional short burst Fine Beam the Arctic HH+HV 49.0° Ascending Dual pol. Circle
Time window
Observation frequency
Dec-Feb 1-2 obs/year May-Sept 1-4 obs/year MarchMay AprilMay Jan-Dec
2 obs/2 year 1 obs/2 year (a) 1 obs/year (b) 8 obs/1 year
June-Oct 1-3 obs/year
Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/obs/palsar_strat.htm
17
Untuk menjamin pengumpulan spasial dan temporal data yang homogen atas skala regional, akuisisi yang direncanakan dalam satu siklus (46 hari), di mana hanya satu mode standar yang dipilih. Strategi PALSAR ini selanjutnya dipisahkan menjadi satu rencana untuk menyiam secara ascending (malam pukul 22.30), dan sekali untuk desceding (pagi pukul 10.30). Penyiaman ascending adalah modus pengamatan berskala global dengan konstan sudut off-nadir dari 34,3 ° di kedua polarisasi tunggal (HH) dan dual polarisasi (HH + HV). Untuk menjaga konsistensi time series multi-tahunan, single-polarization dijadwalkan selama musim dingin di belahan bumi utara, dan dual-polarization di sekitar musim panas. Sebagian besar wilayah diakuisisi kurang lebih 3-5 kali per tahun. Secara umum, wilayah di belahan bumi bagian timur (Asia, Australia, Eropa Timur dan Afrika) dalam jangkauan Data Relay Satellite (DRTS) diperoleh paling sering, sedangkan belahan bumi barat (Amerika, Eropa Barat dan Afrika) dibatasi oleh kapasitas merekam dan downlink dari perekam data on-board. Untuk meminimalkan konflik sumber daya dengan PRISM dan AVNIR-2, yang hanya dapat dioperasikan pada siang hari masa penyiaman, rencana akuisisi descending untuk PALSAR pada prinsipnya terbatas pada datarate rendah (120 Mbps) pengamatan ScanSAR dengan polarisasi HH. Skenario ScanSAR terdiri dari satu cakupan global setiap tahun, dan di samping itu mengingat sensitivitas band L polarisasi HH untuk mendeteksi pemantauan intensif fenomena genangan, dipilih lingkungan lahan basah-skala regional yang penting secara global. Untuk cukup menangkap perubahan hidrologi yang terjadi sepanjang tahun, pengamatan ScanSAR biasanya akan dilakukan setiap 46-hari selama 8-9 siklus satelit berturut-turut (12-13 bulan) (Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/obs/palsar_strat.htm)
18
2.4.
KALIBRASI RADIOMETRI ALOS PALSAR Kalibrasi radiometri diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran objek yang sebenarnya (Danoedoro, 2012). Kalibrasi radiometri citra yang yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas visual citra berupa pengisian kembali baris yang kosong karena drop out baris maupun kesalahan awal pemindaian (scanning start). Baris atau bagian yang bernilai tidak sesuai dengan yang seharusnya dikoreksi dengan mengambil nilai satu baris di atas dan di bawahnya kemudian dirata-ratakan (Guindon, 1984, dalam Jensen 2005) Dalam kenyataannya kalibrasi radiometri sebenarnya jauh lebih banyak dan lebih rumit. Secara garis besar koreksi radiometri meliputi dua kelompok besar metode, yaitu : a. Kalibrasi yang bertumpu pada informasi dalam citra Koreksi yang termasuk dalam kelompok ini adalah : penyesuaian histogram, penyesuaian regresi, koreksi berbasis diagram pencar (feature space), dan kalibrasi bayangan dan kenampakan gelap. Koreksi di atas relatif mudah dan menggunakan asumsi-asumsi yang cukup sederhana. b. Kalibrasi dengan data dari luar Penggunaan metode-metode kalibrasi yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu kadang-kadang masih menyisakan masalah. Misalnya pengkaitan antara suatu nilai piksel dengan nilai atau kondisi biofisik tertentu kadang kala menuntut informasi yang lebih akurat tentang besarnya energi yang diterima oleh sensor. Kalibrasi dengan menggunakan data dari luar citra bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu kalibrasi berbasis data empiris melalui pedekatan statistik
dan kalibrasi melalui pemodelan fisikal yang
mempertimbangkan proses interaksi energi elektromagnetik dengan atmosfer dan objek atau target (Danoedoro, 2012).
19
PALSAR secara aktif dilakukan monitoring fungsinya dari keseluruhan produk yang dihasilkan selama dua bulan. Corner reflectors dan kalibrasi SAR secara aktif telah dikembangkan baik di Jepang maupun seluruh dunia dan secara penuh dilakukan evaluasai kegunaan data PALSAR untuk kalibrasi radiometrik dan geometrik. Hasil dari kalibrasi ini adalah produk standar PALSAR yang telah memiliki akurasi radiometrik dan geometrik tinggi serta stabilitas yang tinggi pula (Shimada, et al., 2009) Di JAXA, data PALSAR telah mengalami berbagai penanganan sebelum diditribusikan kepada pengguna data di seluruh dunia. Proses kalibrasi dan validasi data ini mengalami proses yang panjang dan kompleks. Secara umum proses kalibrasi dan validasi data PALSAR tertuang dalam Gambar 2.9.
Gambar 2.9. Diagram Proses Generasi dan Kalibrasi Citra ALOS PALSAR (Sumber: Shimada, etl all, 2009)
Proses Kalibrasi SAR dilakukan ketika diperlukan akurasi radiometrik. Mengkalibrasi citra SAR adalah proses mengkonversi citra amplitudo linear menjadi citra dengan energi terkalibrasi radiometrik. Input citra dalam satuan angka digital (DNs), sedangkan output citra merupakan rasio energi yang datang kembali dari setiap area di permukaan bumi dengan energi yang dikirim
20
ke area di atas permukaan bumi berupa nilai backscatter dalam satuan dB. Nilai backscatter dihitung dengan normalisasi backscatter pada area standar. Area tersebut dapat diekspresikan pada slant range plane (Beta-nought), di atas permukaan tanah/ground (Sigma-nought), atau pada bidang tegak lurus terhadap slant range direction (Gamma-naught) yang mana ketiganya merupakan formula kalibrasi pada data SAR (Meier, 2013). a. Beta-nought (β0) Merupakan radar brightness value yang banyak digunakan oleh beberapa engineer desain sistem, karena memiliki nilai-nilai independen dari cakupan medan (Sumber : ASF Mapready User Manual version 3.1). b. Sigma-nought (σ0) Sigma-nought adalah radar backscatter coefficient yang sering diaplikasikan untuk pemrosesan data DEM yang membutuhkan dimensi spasial yang sama serta ukuran piksel sama dengan input data radar. Citra DEM digunakan untuk menghitung secara akurat incident angle pada citra (Sumber: ENVI Help). Nilai sigma-nought merepresentasikan ukuran kuantitatif yang mengacu ke permukaan tanah (Sumber : ASF Mapready User Manual version 3.1) c. Gamma-naught (γ0 ) Merupakan kalibrasi yang digunakan pada penelitian ini. Tujuan kalibrasi γ0 digunakan karena nilai memiliki ukuran spasial yang sama. Gamma-naught secara lebih rinci akan dijelaskan pada poin 2.5.
21
Gambar 2.10.. Sudut kalibrasi β0, γ0 atau σ0 pada citra RADAR (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1)
Nilai hamburanbalik radar σ0, γ0 dan β0 dihitung dengan menggunakan persamaan di atas (Gambar 2.10.). Angka-angka digital (DNs) adalah nilai-nilai asli piksel. Noiseoffset (Nr) adalah fungsi dari jangkauan. Noise scale factor a1 dan faktor konversi linear a2 ditentukan selama kalibrasi berlangsung. Nilainilai yang dihasilkan dari persamaan di atas adalah dalam power scale. Untuk mengubahnya menjadi dB maka persamaan berikut dapat digunakan: 𝑑𝐵 = 10 . log 10 (𝑝𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑠𝑐𝑎𝑙𝑒) Umumnya citra dikalibrasi menggunakan skala logaritmik dB. Ketika statistik citra dihitung untuk kalibrasi citra, perhatian khusus harus diberikan kepada sifat logaritmik dari nilai-nilai tersebut. Dalam rangka untuk menentukan nilai rata-rata dari setiap bagian dari citra misalnya, perhitungan harus didasarkan pada nilai-nilai power scale. Nilai power scale kemudian dapat diubah kembali ke dalam skala logaritmik untuk benar mewakili nilainilai dB. Pengukuran lapangan juga dilakukan di hutan Amazon, Brazil untuk menguji nilai hamburanbalik objek di lapangan. Hasilnya direpresentasikan ke dalam gambar diagram seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. Data yang dibandingkan adalah nilai Normalize RADAR Cross Section (NRCS) dan Gamma-naught yang diambil dari hutan Amazon, Brazil. Data keseluruhan
22
hasil koreksi citra diplotkan berupa perbandingan nilai NRCS dan Gammanaught dibandingkan dengan incidence angel yang ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Gamma-naught versus incidence angle,STRIP mode (kiri) dan SCANSAR data(right). (Sumber: Shimada, etl all, 2009)
Gambar 2.12. Close-up of the HH and HV data, corrected for the RAP (Sumber: Shimada, etl all, 2009)
2.5. GAMMA-NAUGHT Gamma-naught merupakan rasio nilai hamburanbalik per unit area dari gelombang datang (pada bidang tegak lurus terhadap slant range). Gammanaught banyak digunakan untuk aplikasi deteksi perubahan khususnya monitoring deforestasi dan perubahan hutan (Shimada. M, et al., 2012). Melalui beberapa penelitian yang dilakukan oleh JAXA (Shimada. M, et al., 2012) Gamma-naught dinilai memiliki efektifitas serta stabilitas yang tinggi untuk
23
kajian monitoring hutan serta klasifikasi penutuplahan yang digunakan sebagai validasi dan arahan penggunaan data terkalibrasi pada penelitian ini.
Gambar 2.13. Visualisasi Gamma-naught (Sumber : Takeshi Motohka (JAXA), Takuya Ito (RESTEC), Takahiro Otaki (RESTEC), 2012)
Formula untuk menghitung Gamma-naught adalah sebagai berikut :
Dimana DN adalah nilai digital citra amplitudo. CF adalah faktor kalibrasi (-83) yang didapatkan dari hasil riset ALOS PALSAR (PALSAR Radiometric and Geometric Calibration, 2009).
merepresentasikan rata-rata
nilai digital pada ukuran kernel 3 x 3 (Motohka, 2012). Dalam analisis, CF merupakan nilai tunggal yang telah ditentukan, yaitu -83.0 dengan standard deviasi 0.76 dB. Sejarah penentuan nilai faktor kalibrasi (CF) ditunjukkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Historical of Calibration Factor (in desible)
(Sumber : M a s a n o bu S h i m a d a , Osamu Isoguchi, Takeo Tadono, and Kazuo Isono, PALSAR Radiometric and Geometric Calibration, 2009)
24
γ0
Gambar 2.14. Alur pemrosesan konversi nilai digital menjadi Gamma-naught (Sumber : Noviar, Heru dan Trisakti, 2013 dengan perubahan)
2.6. UJI KUALITAS DAN VALIDASI CITRA Kualitas citra merupakan ukuran kualitatif maupun kuantitatif suatu citra yang akan diproses dengan teknik penginderaan jauh agar dapat menghasilkan informasi tematik-spasial turunan yang sesuai dengan standar akurasi yang telah ditetapkan (Danoedoro, 2012). Secara garis besar kualitas citra dapat dikelompokkan menjadi kualitas geometri dan radiometri citra. Kualitas radiometri dinilai berdasarkan nyaman-tidaknya gambar dalam pandangan secara visual dan juga benar tidaknya informasi spektral yang diberikan oleh objek dan tercatat oleh sensor. Dengan demikian, kualitas radiometri dapat dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Meskipun bernilai kualitatif, nyaman tidaknya gambar untuk dilihat secara visual sangat berpengaruh pada kemampuan pengguna citra (penafsir atau analis) untuk menurunkan informasi yang ada. Hal ini terutama berlaku bagi analisis atau interpretasi secara visual, meskipun bukan berarti bahwa analisis secara digital tidak terpengaruh sama sekali. Benar-tidaknya informasi spektral citra langsung berpengaruh pada akurasi informasi turunan yang dihasilkan. Tinggi rendahnya kualitas citra dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain kualitas sensor atau detektor, posisi wahana pada saat perekaman, kondisi topografi daerah yang diliput, dan juga kondisi atmosfer pada saat perekaman (Danoedoro, 2012). Keadaan awal kualitas citra ini apabila sangat rendah akan berpengaruh secara langsung terhadap hasil restorasi. Perlu pula ditekankan bahwa tinggi-rendahnya resolusi (temporal/spektral/spasial) tidak
25
dapat secara langsung digunakan sebagai ukuran kualitas citra karena aspek resolusi ini tak lepas dari misi peluncurannya. (Danoedoro, 2012) Penilaian kualitas citra dapat diukur secara absolut dan relatif. Penilaian kualitas secara absolut biasanya mengacu pada beberapa tolok ukur yang jelas, misalnya banyaknya drop-out, atau kegagalan baris pemindaian, serta korelasi antarsaluran. Penilaian secara relatif biasanya dikaitkan dengan potensi citra yang bersangkutan untuk suatu aplikasi tertentu. Adapun beberapa parameter kualitas citra adalah sebagai berikut : (a) tutupan awan, (b) korelasi antarsaluran, (c) kesalahan geometri, (d) kesalahan radiometri yang berhubungan dengan kesalahan sensor. (Danoedoro, 2012). Pada penelitian ini, citra yang diuji kualitasnya adalah citra RADAR yang tidak terpengaruh awan sehingga parameter penilaian pertama terhadap kualitas citra diabaikan. Penilaian kualitas citra secara radiometri kemudian difokuskan pada korelasi antar saluran, yaitu HH dan HV. Sistem sensor menghasilkan citra daerah yang sama pada beberapa saluran. Perbedaan informasi nilai digital objek-objek yang sama pada bebebrapa saluran justru memperkuat kemampuan sistem dalam membedakan objek satu dengan objek lainnya, melalui analisis gugus (cluster analysis). Dalam bahasa yang lebih sederhana, rendahnya hubungan antarsaluran justru menunjukkan bahwa satu saluran tidaklah ‘mirip’ atau tidak sekadar menunjukkan kecenderungan rona yang terbalik dari saluran yang lain sehingga secara bersama-sama saling melengkapi dan dapat dipakai untuk mengenali objek. (Danoedoro, 2012) Dalam citra, tiap piksel mempunyai n macam nilai pada n saluran, dan bila seluruh piksel pada dua saluran diplot pada sistem dua dimensi maka nilai koefisien korelasi dapat dihitung. Bentuk gugus yang memanjang menunjukkan bahwa pola ‘hubungan’ antarsaluran ini cenderung bersifat linier. Bila nilai koefisien korelasinya tinggi, berarti kedua saluran mempunyai kecenderungan yang sama dalam merepresentasikan objek. Dengan kata lain, keduanya tidak
26
saling melengkapi. Oleh karena itu, semakin tinggi korelasi antarsaluran, semakin kedua citra tersebut tidak dapat diandalkan untuk analisis. (Danoedoro, 2012) Dalam penelitian ini, data hasil kalibrasi dilakukan dua pengujian sekaligus. Selain uji kualitas citra, dilakukan pula validasi citra hasil koreksi dengan pendekatan nilai piksel. Nilai digital citra dievaluasi dengan mengaplikasikannya sebagai sumber data pengolahan citra digital untuk klasifikasi berbasis nilai digital untuk kajian penutup lahan (biofisik). Adapun klasifikasi yang dilakukan melalui dua metode, yaitu : 1.
Klasifikasi Unsupevised (tak-terselia) Klasifikasi tak terselia secara otomatis diputuskan oleh komputer, tanpa campur tangan operator (kalaupun ada, proses interaksi ini sangat terbatas). Proses ini sendiri adalah suatu proses iterasi, sampai menghasilkan pengelompokan akhir gugus-gugus spektral yang pada kajian ini merupakan nilai hamburan balik yang direpresentasika oleh nilai digital. Campur tangan operator terutama setelah gugus-gugus spektral terbentuk, yaitu dengan menandai tiap gugus sebagai objek tertentu. Oleh karena itu, teknik klasifikasi semacam ini disebut klasifikasi a-posteriori (setelah fakta), sebagai lawan dari klasifikasi a-priori (mendahului fakta) (Robinove, 1981 dalam Jensen, 2005). Algoritma yang digunakan dalam klasifikasi unsupervised ini adalah IsoData (Iterative Self-Organizing Data Analysis Technique). Algoritma ini menggunakan formula minimal untuk mengelompokkan piksel pada citra untuk menghasilkan gugus-gugus yang relatif homogen. Komputer melakuka kalkulasi nilai-nilai rerata kelas dengan mempertimbangkan distribusi nilai yang merata (evenly distributed), kemudian melakukan iterasi pembentukan gugus dengan memperhatikan rerata baru (Danoedoro, 2012). Metode perhitungan yang dipakai biasanya adalah jarak minimum terhadap rerata. Melalui metode ini, pemecahan dan penggabungan kelas
27
dilakukan secara iteratif, dan juga penghapusan apabila perlu, yang kesemuanya dilandasi ambang jarak yang ditentukan sebelumnya 2.
Segmentasi Segmentasi pada dasarnya merupakan proses klasifikasi tak-terselia untuk mendefinisikan objek berdasarkan kenampakan tekstural atau pola spasial, dan masih memerlukan pemrosesan lanjut untuk menurunkan klasklas informasional terkait dengan penutup/penggunaan lahan (Baats dan Schappe, 2000). Danoedoro (2012) menjelaskan bahwa deteksi batas yang menggunakan asumsi dua piksel yang berdekatan dengan nilai yang besar mewakili dua segmen yang berbeda. Dengan demikian, suatu tepi atau batas dapat ditarik diantara 7 keduanya.Piksel-piksel tepi, dengan demikian dapat digabung dengan segmentasi-segmentasi yang serupa. Prosedur ini dapat diterapkan dengan filter gradient berbasis variasi local, Sobel, atau filter lain yang lebih rumit. Dalam konteks penurunan informasi penutup dan penggunaan lahan, metode ini dapat dimanfaatkan untuk pembedaan tipetipe penutup lahan dan juga penggunaan lahan dari sisi pola spasial dan teksturalnya.Upaya penurunan informasi terkait dengan dimensi spasial penggunaan lahan menunjukkan bahwa segmentasi citra hanya mampu memberikan akurasi yang relatif rendah, yaitu sekitar 68% (Danoedoro, 2006). Segmentasi juga merupakan bagian dari OBIA (Object Based Image Analysis) atau klasifikasi berbasis objek. Klasifikasi berbasis objek mendefinisikan kelas-kelas objek berdasarakan aspek spektral dan aspek spasial sekaligus. Metode ini dipandang mampu mengatasi kelemahan metode klasifikasi yang selama ini terlalu bersifat perpixel atau beroperasi pada level piksel secara individual. Disisi lain disadari bahwa objek geografis saat ini dibedakan satu sama lain bukan semata bukan semata berdasarkan aspek spektralnya, melainkan juga aspek spasialnya, misalnya bentuk, pola dan teksturnya. Navulur (2007) menyebutkan metode
28
klasifikasi berorientasi objek ini sebagai paradigma baru dalam klasifikasi citra. Dari dua jenis klasifikasi tersebut kemudian dilakukan penilaian nilai akurasi hasil klasifikasi yang dilakukan pada citra yang telah terkalibrasi dan belum terkalibrasi untuk mendapatkan persentase akurasi berdasarkan data survey lapangan. Merujuk pada Mather (2004 dalam Danoedoro 2012), metode yang pertama adalah sebagai berikut, dengan menggunakan data pada Tabel 2.4.
Tabel 2.5 Matriks kesalahan yang mencocokan piksel-piksel hasil klasifikasi dengan piksel sampel
(Sumber : Danoedoro, 2012)
a. Operator “mengambil kembali” piksel-piksel yang telah dipilih sebagai sampel dengan label 1,2,3… n, dimana n adalah jumlah sampel atau kelas yang telah ditentukan. Masing-masing sampel label ini n=berisi jumlah piksel dengan variasi nilai piksel tertentu. Yang memberikan satu himpunan parameter statistik (rerata, simpangan baku, variansi kovariasi, dan sebagainya) b. Gugus-gugus piksel yang sama, tetapi sebagai hasil proses klasifikasi, pun diambil. Piksel-piksel ini, sekalipun dalam posisi koordinat yang sama persis dengan langkah (a), biasanya mengandung komposisi label yang berbeda, sebagai hasil penurunan informasi secara statistik. c. Kedua himpunan label itu kemudian disusun dalam bentuk matriks yang disebut matriks kesalahan (error matrix, atau confusion matrix), seperti yang disajikan pada Tabel 2.4, dimana himpunan pada langkah (a) disebut sebagai Label Data Acuan atau Label Data Lapangan, dan himpunan pada langkah
29
(b) disebut sebagai Label Hasil Klasifikasi. Akurasi keseluruhan hasil klasifikasi dapat dihitung dengan metode pada Tabel ini, yang dinyatakan dalam persentase. Dari Tabel 2.4, akurasi secara sederhana dihitung sebagai jumlah total piksel yang benar (85+64+87+65+135=379) dibagi total jumlah piksel yang terlibat (438), dikalikan 100% atau sama dengan 86,53%. Seperti yang dijelaskan oleh Mather dalam Danoedoro (2012), bahwa pengujian semacam ini meragukan karena secara logis tidaklah mungkin menerapkan pengambilan sampel dan pengujian berdasarkan himpunan data (dalam hal ini gugusgugus piksel) yang sama. Dengan kata lain, suatu himpunan data yang independen (independent data set) dibutuhkan untuk maksud tersebut. Metode kedua dari metode pengujian akurasi klasifikasi telah dijelaskan dengan baik oleh Short (1982) dalam Danoedoro (2012). Berbeda halnya dengan metode pertama, metode yang dijelaskan Short ini menggunakan himpunan data yang independen sehingga secara logis lebih dapat diterima kebenarannya, sebagai himpunan data independen, foto udara daerah yang sama ataupun peta yang sudah ada dapat digunakan. Kemudian, peta hasil klasifikasi (dalam bentuk transparansi) itupun ditumpangsusunkan diatas rujukan; dan pembandingan dilakukan piksel demi piksel. Di sini memperhitungan akurasi tersebut mempertimbangkan dua sisi: sisi penghasil peta (producer’s accuracy) dan sisi pengguna peta (user’s accuracy). Tabel 2.6 Matriks kesalahan yang mencocokan piksel-piksel hasil klasifikasi dengan data independen (Danoedoro, 2012)
Berdasarkan Tabel 2.6 diatas, besarnya akurasi keseluruhan (total) dapat dihitung, yang merupakan hasil bagi antara piksel-piksel
30
yang terklasifikasi secara tepat (pada posisi diagonal, A sampai dengan E) dengan jumlah total piksel yang terlibat sebanyak 425. Dengan demikian akurasi keseluruhan = 382/425 atau sama dengan 89,88%.
2.7. ASF MAPREADY MapReady Remote Sensing Tool Kit merupakan perangkat lunak yang diproduksi oleh kelompok Engineering di Alaska Satellite Facility, bagian dari Institut Geofisika di University of Alaska Fairbanks. Perangkat lunak ini dapat mengolah data level 1.0 SAR data optik dari ASF dan beberapa fasilitas lainnya. ASF Mapready ini dapat melakukan pemrosesan standar, geocodding, menerapkan komposit polarimetrik untuk multi-polarisasi Data SAR, dan menyimpan ke beberapa format citra umum termasuk GeoTIFF. Perangkat lunak lain termasuk dalam paket adalah image viewer, metadata viewer, projection coordinat Converter, dan berbagai command line tools. a.
Format Data Pada Software ASF Mapready, setelah pemrosesan sinyal SAR analog ke data sinyal SAR biner, data disebut nol (L0) data dalam format SKY telemetri (STF). Data level nol mencakup daerah tertentu di atas permukaan bumi dalam bentuk swath. Panjang swath tergantung pada jumlah data yang awalnya dikumpulkan selama akuisisi yang sebenarnya. Ukuran file bervariasi tetapi sebagain besar dalam gigabyte. Level nol swath kemudian dibagi dalam frames. Untuk citra ERS, frame ini memiliki ukuran 100 dengan 100 kilometer, yang setara dengan sekitar 26.000 baris data radar. File utama didefinisikan dalam CEO format standar. Inilah sebabnya mengapa set data ini disebut sebagai CEO frame. Data CEO meliputi tiga jenis yang berbeda. CEO tingkat data nol (L0) adalah data sinyal mentah (raw signal) yang perlu diproses melalui prosesor SAR sebelum dapat divisualisasikan. Hasil
31
pengolahan SAR selanjutnya berupa CEO single look complex (SLC) data level satu (L1) yang sering digunakan untuk SAR interferometri, karena mengandung amplitudo dan informasi fase yang diperlukan. Data tersebut belum bersifat multilooked, yaitu piksel belum persegi (dengan pengecualian RADARSAT-1 fine beam data). Untuk dapat digunakan sebagai SAR interferometri, data umumnya perlu dikoreksi selama pengolahan SAR. Data yang dihasilkan disebut zero Doppler geometri, memastikan bahwa dua set data interferometric dapat dikombinasikan tanpa mengalami distorsi lebih lanjut. Untuk divisualisasikan data perlu pertama-tama diubah dari bentuk kompleks ke dalam gambar amplitudo. CEO tingkat satu (L1) adalah format yang paling umum digunakan. Format ini tidak memerlukan proses lebih lanjut untuk penggunaan biasa. Setelah pemrosesan data, semua file disimpan dalam Alaska Satellite Facility (ASF) Internal format. Dalam format ini, file citra adalah flat generic binary files tanpa header dan memiliki ekstensi *img . Terkait dengan setiap file *img terdapat file metadata yang memiliki ekstensi file *meta.
b.
Koreksi Terrain Citra SAR dengan sistem geometrik side looking (penyiaman menyamping). Hal ini menyebabkan sejumlah distorsi dalam pencitraan. Koreksi Terrain menghapus kesalahan geometri yang disebabkan distorsi dengan memanfaatkan informasi ketinggian dari model elevasi digital (DEM). Proses koreksi terrain dapat dibagi dalam dua bagian yang terpisah: geometric terrain correction dan radiometric terrain correction. Geometric terrain correction menyesuaikan piksel individu dari suatu gambar amplitudo yang berada di lokasi yang tepat (yakni
32
menempatkan ridgelines dan lembah benar-benar geometris). Pemrosesan MapReady dinilai lebih murah dari koreksi medan geometrik
menggunakan
pendekatan
forward
geocoding.
Pendekatan ini memerlukan pemetaan kembali dari DEM referensi ke geometri slant range SAR. Dengan DEM dalam geometri slant range citra simulasi SAR yang dihasilkan dapat digunakan untuk meningkatkan geolocation citra SAR. Hal ini sangat berguna untuk legacy data, terutama untuk Radarsat-1 dan JERS-1 data, yang telah dikenal memiliki masalah geolocation.
Gambar 2.15.Hasil Geometric Terrain CorrectionDan Radiometric Terrain Correction (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1)
Geometric terrain correction (kiri) menyesuaikan posisi garis ridge dan lembah. Namun, kecerahan lereng condong ke arah sensor masih terlalu terang, sedangkan lereng menghadap jauh dari sensor masih terlalu gelap. Radiometric terrain correction (kanan) menyesuaikan kecerahan citra medan geometris dikoreksi sesuai dengan lereng. Radiometric terrain correction menyesuaikan kecerahan piksel sehubungan dengan pengamatan geometri, didefinisikan oleh sudut datang (incidence angle) serta lereng dan aspek medan lokal. Hal ini sangat sensitif terhadap keselarasan dari DEM dengan citra SAR. Setiap offset antara gambar SAR dan hasilnya DEM dalam
33
pemrosesan merupakan faktor ketidakakuratan koreksi radiometrik yang dapat disebabkan oleh : (1) Kualitas DEM referensi dalam hal resolusi dan geomorfologi detail dan (2) isi citra, khususnya jumlah topografi pada citra SAR.
Gambar 2.16. Hasil Radiometric Terrain Correction Tanpa Offset antara Citra SAR Dan DEM (Kiri) dan Offset Residual (Kanan) (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1)
Radiometric terrain correction tanpa offset antara citra SAR dan DEM (kiri) terlihat homogen sekitar garis igir, sedangkan offset residual (kanan) nampak sangat cerah. Ukuran residual memberikan indikasi jumlah offset yang masih tersisa. Geometri tiga dimensi dari permukaan tanah dan proyeksinya ke dalam citra SAR. x dan R adalah azimuth dan slant range, n adalah permukaan normal, φ adalah projection angle, dan θi
Gambar 2.17. Ilustrasi Geometri Tiga Dimensi Pada Citra SAR (Sumber : ASF Mapready User Manual Version 3.1)
34
c.
Proyeksi Peta Peta adalah representasi dua dimensi dari dunia nyata tiga dimensi. Memproyeksikan koordinat tiga dimensi ke dalam ruang dua dimensi tidak mungkin tanpa distorsi dalam bentuk fitur, area, jarak, atau arah. Proyeksi Peta dapat mempertahankan beberapa karakteristik yang disebutkan di atas pada satu waktu, tetapi tidak pernah semuanya. Proyeksi Silinder bekerja terbaik di daerah khatulistiwa. Proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) adalah salah satu proyeksi peta yang paling umum digunakan. Distorsi dalam proyeksi UTM dapat dikelola selama daerah diproyeksikan tidak sangat besar. Proyeksi kerucut, umumnya didefinisikan dengan dua paralel standar, sering digunakan di daerah lintang pertengahan. Dalam hal ini, proyeksi Albers Equal Area Conic mempertahankan daerah, sementara proyeksi Lambert Conformal Conic mempertahankan sudut. Proyeksi azimut sebagian besar digunakan dalam daerah kutub. The Polar Stereographic Projection dan proyeksi Lambert Azimuth Equal Area baik perwakilan diketahui dari jenis proyeksi. Perangkat lunak ASF Mapready saat ini mendukung lima dari proyeksi peta yang paling umum digunakan adalah : a. Universal Transverse Mercator (UTM) b. Albers Conical Equal Area c. Polar Stereographic d. Lambert Conformal Conic e. Lambert Azimut Equal Area
35
d.
Konfigurasi File ASF Mapready memiliki banyak pilihan dan parameter yang menentukan alur pengolahan yang tepat untuk dijalankan. Dalam rangka untuk melacak parameter dalam cara yang terorganisir, alur tersebut disimpan dalam file konfigurasi. Versi antarmuka pengguna grafis dari tools menghasilkan file konfigurasi ini dari pengaturan yang dipilih pengguna dengan cepat dan kemudian mengeksekusi semua langkah-langkah pengolahan yang dipilih berdasarkan file itu.
e.
Temporary directories ASF Mapready menyediakan pengguna dengan kemampuan menjaga hasil sementara untuk analisis lebih lanjut, misalnya kesalahan, peringatan, dan hasil dari setiap langkah proses. Selama masing-masing berjalan, file intermediate ini disimpan dalam subdirektori yang terpisah untuk setiap set data. Tabel 2.7. Input (A) dan Output (B) data pada ASF Mapready
A
B
(Sumber : ASF Mapready User Manual 3.2)
36
2.8.
ENVI ENVI merupakan perangkat lunak pemrosesan citra digital yang banyak digunakan secara professional.Terdapat berbagai macam fitur pada ENVI, beberapa yang familiar adalah klasifikasi Supervised dan Unsupervised. ENVI dapat mengolah data dengan berbagai macam format, salah satunya adalah *.tiff yang banyak digunakan sebagai data citra multispectral. Selain dapat megolah data citra multispektral, ENVI dapat mengolah data LIDAR dan tentu saja RADAR. ENVI memiliki fitur ENVI SARscape® yang memungkinkan kita untuk dengan mudah membaca, memproses, dan mengeluarkan data SAR untuk klasifikasi lebih lanjut. Data SAR adalah data yang dapat digunakan untuk analisis RoI baik siang maupun malam, dalam kondisi musim apapun. Adapun beberapa fitur spesifik untuk pemrosesan SAR di ENVI adalah sebagai berikut : a.
SAR Image Classiication
b.
SAR Feature Extraction
c.
SAR Change Detection
d.
SAR Polarimetric Interferometry
e.
Polarimetry
f.
Polarimetric Interferometry
Selain fasilitas khusus untuk pemrosesan lanjut data SAR, berikut tools penting yang digunakan dalam pemrosesan kalibrasi radiometri data ALOS PALSAR: a.
Band Math Fitur ini merupakan pengolahan citra yang fleksibel dengan berbagai kapabilitas yang tidak tersedia pada sistem pemrosesan citra lainnya. Band Math dapat digunakan dengan mengisikan dialog untuk menentukan band atau file sebagai data masukan, untuk memanggil fungsi Band Math dan untuk menyimpan hasil
37
pemrosesan pada direktori atau memory. Band Math mengakses data spasial dengan memetakan variabel menjadi band atau file. Data spasial yang terlalu besar dibaca akan secara otomatis diakses dengan memecahnya menjadi potongan tile.
Gambar 2.18. Sistem Operasi Band Math (Sumber : ENVI Help 5.0)
b.
Convolutions and Filtering Operasi filtering merupkan salah satu langkah yang termasuk dalam rangkaian kalibrasi Gamma-naught pada data ALOS PALSAR. Filter yang dilakukan adalah dengan Filter Konvolusi (Convolution).
Operasi
pemfilteran
diterapkan
dengan
mempertimbangkan nilai piksel yang bertetangga. Oleh karena itu, teknik pemfilteran lebih sering disebut sebagai operasi lokal (local operation),sedangkan teknik penajaman yang lain disebut operasi titik (point operation) (Galtier, 1989 dalam Danoedoro, 2012). Operasi lokal ini dapat dilakukan dengan menerapkan algoritma moving window. Jendela yang dimaksud di sini adalah suatu matriks, yang biasanya adalah 3 x 3, 5 x 5, 7 x 7, dan seterusnya, yang dioperasikan terhadap matriks total (i baris x j kolom citra), melalui algoritma tertentu sehingga menghasilkan nilai baru pada posisi nilai piksel pusat. Nilai baru ini menggantikan nilai lama. Setelah itu, jendela digeser lagi ke posisi berikutnya (ke kanan), sampai satu baris selesai, dan dilanjutkan lagi ke baris selanjutnya sampai seluruh citra selesai dihitung. Tiap jendela matriks mempunyai nilai atau bobot
38
sendiri. Begitu pula algoritmanya, khususnya untuk jendela yang berbentuk 3 x 1 ataupun 2 x 1. Dalam paket program pengolah citra, penyusunan jendela matriks ini dapat sangat interaktif (Danoedoro, 2012). Filter konvolusi dapat menghasilkan citra dengan nilai kecerahan pada piksel yang merupakan fungsi dari beberapa rata-rata kecerahan beberapa piksel. Konvolusi dengan pemilihan kernel dapat mengembalikan citra yang terfilter secara spasial. Ukuran dan nilai kernel dapat diatur untuk dapat menghasilkan berbagai tipe yang berbeda. Terdapat beberapa standart filter konvolusi yang tersedia seperti low pass, high pass, gaussian, dan lain sebagainya, namun dapat juga dipilih user defined untuk dapat menentukan ukuran serta nilai kernel secara custom (Sumber : Envi Help 5.0).
39
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Objek penelitan merupakan Pulau Jawa. Citra tergabung dalam produk mosaik Jawa yang mencakup sheet Jawa,Bali, NTT dan NTB. Untuk mosaik Jawa meliputi Tile A01-A03, namun yang digunakan pada penelitian ini hanya mencakup Pulau Jawa saja, yaitu Tile A01 dan A02. 3.2 ALAT DAN BAHAN PENELITIAN 3.2.1 ALAT Adapun Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Seperangkat komputer dengan spesifikasi sebagai berikut : Windows Edition : Windows 8.1 Pro System : Processor Intel (R) Core (TM) i3-3217U CPU @ 1.80Ghz 1,80 GHz RAM 2,00 GB (1,70 GB usable) System 64-bit Operating System, x64-based processor Computer : ASUS A450C Series 2. Perangkat Lunak Pre Processing data ALOS PALSAR ASF Mapready versi 3.2.1 Windows (beta) dari Alaska Sattelite Fasility (diunduh dari : https://www.asf.alaska.edu/data-tools/mapready) 3. Perangkat Lunak Image Processing ENVI 5.0 dan ENVIClassic 4. Perangkat lunak ArcGIS 10.1 5. Perangkat lunak Google Earth 6. Perangkat lunak pendukung 40
-
Microsoft Word 2013
-
Microsoft Excell 2013
-
Microsoft Power Point 2013
7. GPS Hand-held
3.2.2 BAHAN Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Fine Beam Dual Polarization PALSAR 50m Orthorectified Mosaic Product Jumlah Band : 2 (HH dan HV) Jenis data
: raw data format CEO (BSQ)
Resolusi
: 50 meter
Area
: Mosaik Jawa (tile A01, A02)
Waktu akuisisi: Jun. 13, 2009~Oct. 15, 2009; Jun. 08, 2007~Nov. 25, 2007; Jun. 12, 2009~Aug. 19, 2009; Jun. 08, 2007~Sep. 15, 2007 Level
: orthorectified L1.5
Link
: http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/kc_mosaic/kc_mosaic.htm) Produk ini dibuat dari jalur ascending untuk musim kering dan basah
atau musim panas dan musim dingin global, dan yang terakhir dibuat sebagai quicklook mosaik untuk memeriksa gambar yang diperoleh. Kecuali resolusi, kedua gambar dapat dikonversi ke normalized radar cross section dalam decibel (dB). Format data disediakan dalam bentuk *png dan raw data (BSQ format dan metadata). Program ini diinisiasi oleh ALOS Kyoto and Carbon initiatives, Japan Aeorspase Exploration Agency (JAXA) yang bertujuan untuk menafsirkan hutan berdasarkan kuantitas karbon dan perubahannya, dan memantau perubahan lahan global untuk hutan, lahan basah, dan daerah gurun. Produk ini mencakup lebih dari daerah Asia dan Oceania dengan mosaicing Data PALSAR yang resampled ke 50 m * 1 dari data asli 10 m. Produk ini akan dibuat setahun sekali. Citra mosaik diproyeksikan ke geografis koordinat lintang dan bujur. Jadi resolusi spasialnya adalah 50m dengan 1.6170
41
sec. Data polarisasi HH dan HV disimpan dalam format BSQ. Komposisi warna dari data citra adalah R = HH, G = HV, B = HH / HV dan penajamannya. Komposit tersebut mengacu pada standart komposit citra ALOS PALSAR yang digunakan oleh JAXA untuk berbagai penelitian, khususnya di bidang deforestasi yang menghasilkan world forest-non forest map. (Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp) Tabel 3.1 Spesifikasi Citra ALOS PALSAR FBD PALSAR Acquisition Mode: Fine Beam Double Polarisation (FBD) Central Frequency
1270 MHz
PRF
1500 - 2500 Hz (discrete stepping)
range Sampling Frequency
16 MHz
Chirp bandwidth
14 MHz
Polarisation
HH/HV or VV/VH
Off-nadir angle [deg]
9.9-50.8
Incidence angle [deg]
7.9-60.0
Swath Width [Km]
40-70
Bit quantization [bits]
5
Data rate [Mbps] 240 (Sumber : https://earth.esa.int/web/guest/data-access/browse-data-products/ -/article/alos-palsar-fbd-fine-beam-double-polarisation-5195)
• Level 1.0: Data dari area 1 scene diekstrak dari data yang diterima. Tingkat ini sesuai dengan produk data mentah siap untuk diolah menjadi Single Look Complex (tingkat 1.1) atau Presisi Images (level 1,5) produk. Jenis data adalah 8 bit namun raw data dapat diubah menjadi bentuk backscatter dalam satuan desibel (dB) * Jumlah file data SAR adalah sama dengan jumlah polarisasi dalam dual polarization dan polarimetri mode. Produk PALSAR tersedia dalam format CEO (BSQ: Band Sequential).
42
3.3. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan, secara garis besar mencakup : Tahap Persiapan, Tahap Akuisisi Data, Tahap Pengolahan Data dan Tahap Penyelesaian
3.3.1
TAHAPAN PERSIAPAN Tahap persiapan ini meliput persiapan alat dan bahan penelitian, studi
literatur. Tahapan ini dimulai dengan mempelajari dan menelaah kembali mengenai tujuan, latarbelakang, tinjuan pustaka, serta metode yang akan digunakan dalam penelitian. Pemahaman mengenai teori yang digunakan dalam penelitian dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku, jurnal, artikel serta penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengolahan data ALOS PALSAR terkait kalibrasi radiometri Gamma-naught citra ALOS PALSAR Mosaik Jawa. Manfaat dari tahapan ini adalah memperoleh informasi – informasi yang berkaitan dengan teknis perolehan hasil dan penulisan laporan penelitian.
3.3.2
TAHAP AKUISISI DATA Data diunduh dari website JAXA (Japan Aerospace Exploration
Agency) http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/kc_mosaic/kc_mosaic.htm) berupa raw data CEO format dalam BSQ beserta metadatanya. Data mozaik pada web JAXA yang diinisiasi oleh ALOS Kyoto and Carbon initiatives ini menyediakan pilihan format data dalam raw data, *png, serta *kml. Dipilih data raw karena data ini dapat diimport ke dalam bentuk 8 bit unsigned data, 16 bit (65536) unsigned data, bahkan float single double, sementara untuk format PNG hanya terbatas pada 8 bit dan tidak dapat diubah ke dalam bentuk backsctter.
43
Gambar 3.1. Tahapan Akuisisi data dari web JAXA
3.3.3
TAHAP PENGOLAHAN DATA Tahap ini merupakan tahapan utama penelitian, dimana data serta hal-
hal yang telah dipersipakan sebelumnya dilakuakan pemrosesan yang mencakup : 3.3.3.1. Eksport Raw Data Data Fine Beam Dual Polarization Citra ALOS PALSAR Mozaik sebagai sumber data utama yang digunakan merupakan data mentah (raw data), sehingga perlu dilakukan proses import agar data tersebut dapat dibuka sebagai citra untuk dapat dilakukan klasifikasi digital dengan software ENVI 5.0. Format data yang memungkinkan adalah Tiff (*tiff), Imagine (*img), serta ErMapper Raster Datasets (*ers). Namun karena digunakan software ENVI untuk pengolahan selanjutnya, maka data RAW citra ALOS PALSAR dikonversi menjadi
44
Geotiff, format data raster *tiff yang telah diproyeksikan dalam lintang bujur. Pengolahan ini dilakukan dengan menggunakan software ASF Mapready versi 3.2.1. Software ini memiliki ekstensi khusus untuk membaca jenis data RAW untuk Citra ALOS PALSAR MOZAIK. Selainitu, software ini mampu membaca metadata (Header) yang diunduh bersama citra, sehingga tidak hanya mengeksport menjadi data yang kita inginkan, namun juga dapat mengekstrak metadata sehingga citra hasil konversinya dapat ber-georeference sesuai dengan metadatanya. Proses ini dilakukan satuper satu bagi masing-asing tile dimana tiap tile-nya memiliki 2 file band, yaitu HH dan HV. Pada perangkat lunak ini, data RAW juga disebut dengan data CEO (BSQ) yang diubah dari amplitudo linear menjadi nilai digital number. Ada beberapa tahapan dalam ASF Mapready, yaitu: a.
General Setting
Gambar 3.2. Tampilan setting ASF Mapready untuk konversi data
General setting berisi pengaturan langkah proses, aktivasi langkah yang akan dlakukan dalam satu siklus proses, karena data akan diproses mengikuti setting yang diatur secara langsung. Pada proses ini diaktifkan Geocode serta Export to a Graphic File untuk mengaktifkan
45
setting lanjut dari kedua jenis pengaturan. Pada jendela pengaturan ini juga diberikan pilihan terkait penyimpanan file, yaitu : -
Keep no intermediate files Pengaturan
untuk
tidak
menyimpan
seluruh
file
antara
(intermediate files), yaitu file yang terbentuk saat step by step proses berlangsung -
Temporarily keep intermediates file Pengaturan untuk menyimpan file antara (intermediate files) secara sementara, file ini akan tetap tersimpan selama proses berlangsung, dan akan tetap tersimpan apabila proses berhenti, namun intermediate files ini akan terhapus secara otomatis apabila proses dapat selesai dengan sukses.
-
Keep intermediates Menyimpan semua file proses, baik proses tersebut berhasil diselesaikan sampai akhir atau tidak. Pada proses kali ini dipilih Keep intermediates agar seluruh file proses dapat disimpan. Mode General Setting ini merupakan jendela untuk
memasukkan input data yang akan diproses. Ada banyak pilihan input data SAR maupun non-SAR yang dapat diinputkan untuk dapat diproses dari raw data dengan pengaturan sesuai keinginan user, termasuk terdapat pilihan khsus untuk memilih data ALOS mosaic yang diproses pada penelitian ini. Data yang diinputkan merupakan data raw hasil pengunduhan
dari
web
(http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/kc_mosaic/kc_mosaic.htm)
JAXA ,
baik
metadata (*txt) maupun file citra sama sama dapat dimasukkan (dipilih salah satu) sebagai input proses, karena keduanya telah terkorelasi. Perangkat lunak dapat membaca metadata dan mengkonversi file raw untuk dapat diubah menjadi bentuk citra sesuai komponen yang tertera pada metadata dengan pengaturan yang dimasukkan pada perangkat
46
lunak oleh user. Oleh karena itu, data keseluruhan harus dipastikan berada dalam satu direktori dan folder yang sama, serta nama file yang tercantum dalam metadata pun harus sesuai, dikarenakan ini akan mempengaruhi path dalam proses pengolahan data, sehingga perangkat lunak tidak dapat mengkorelasikan path dari metadata untuk membaca file citra yang akan dikonversi.
Gambar 3.3. Tampilan proses input data pada ASF Mapready
b.
Callibration
Gambar 3.4. Tampilan Calibration setting pada ASF Mapready
Merupakan pengaturan kalibrasi radiometri data, yang pada penelitian ini digunakan pengaturan Amplitude, yang dimaksudkan untuk mengubah data raw menjadi data Amplitudo. Adapun kalibrasi gamma-naught selanjutnya merupakan proses konversi dari data
47
amplitude ini menjadi gamma-naught yang dilakukan dengan perangkat lunak ENVI. c.
Geocode
Gambar 3.5. Tampilan Geocode setting pada ASF Mapready
Geocode
dilakukan dengan mengatur proyeksi ke dalam
Geographic, sesuai dengan proyeksi data raw ALOS PALSAR Mosaik. Pada perangkat lunak ASF Mapready ini juga dapat dilakukan reproject ke beberapa sistem proyeksi lain, salah satunya adalah UTM. Perangkat lunak dapat membaca secara otomatis zona UTM dari metadata. Resample method yang digunakan adalah Nearest Neighbour. Pada pemrosesan yang sama juga dilakukan percobaan eksport data yang sama dengan pengaturan tanpa geocode dengan melakukan uncheck pada Geocode di menu awal, proses ini dilakukan untuk melihat perbedaan hasil mosaik jika dilakukan geocoding dan tanpa dilakukan geocoding sehingga dapat diketahui akurasi secara kulitatif geocoding di perangkat lunak ini. Tanpa melakukan geocoding maka proyeksi akan dibaca dengan equirectangular.
48
d.
Export
Gambar 3.6.. Tampilan Export setting pada ASF Mapready
Jendela ini berfungsi untuk mengatur format output data citra hasil konversi dengan ASF Mapready. Dipilih format output adalah Geotiff. Pengaturan yang lain adalah pilihan file output untuk dilakukam export setiap Band, atau langsung dilakukan komposit. Pada pemrosesan ini dipilih Export All Band As Separate Images (Export seluruh band menjadi masing-masing file berdasarkan Band). Tidak dilakukan check pada Output data in byte , karena diharapkan data output-nya adalah Floating point. Setelah seluruh pengaturan selesai, data dapat diolah dengan memilih Process All, sehingga data dapat diproses secara batch (satu per satu) dengan pengaturan yang telah diatur sebelumnya. Setting pada ASF Mapready ini juga dapat disimpan sebagai algoritma proses yang dapat dipanggil kembali untuk memproses data lain dengan pengaturan yang sama. Data yang berhasil diolah akan diklasifikasikan sebagai Completed Files dan ditampilkan direktorinya pada Complete Files, sedangkan data yang tidak berhasil diolah atau belum selesai diolah tetap disendirikan dan dapat dilakuakan pengolahan kembali atau
49
dibatalkan prosesnya. Setelah proses selesai, maka script yang berjalan akan mengindikasikan selesainya proses denga tertera “Succesfull completion!”.
Gambar 3.7. Tampilan running script saat pemrosesan konvers data dengan ASF Mapready
Dengan menggunakan ASF Viewer, data hasil pemrosesan dengan ASF Mapready dapat tampilkan secara visual, sekaligus dapat dilihat metadata dan log proses-nya.
3.3.3.2. Kalibrasi Radiometri Gamma-naught Kalibrasi Gamma-naught adalah untuk mengubah data amplitudo menjadi nilai gamma-naught. Kalibrasi ini merupakan salah satu proses kalibrasi pada data SAR, khususnya ALOS PALSAR. Kalibrasi radiometri secara keseluruhan melibatkan berbagai proses dan formula yang sangat kompleks, terutama pada proses sebelum data didistribusikan. Kalibrasi radiometri secara mendasar telah dilakukan oleh JAXA. Formula Gamma-naught ini
dan merupakan kalibrasi
terbaru yang sering digunakan pada ALOS PALSAR, bahkan kini JAXA telah merilis data ALOS PALSAR Mosaic product dengan
50
resolusi 25 m yang telah terkalibrasi gamma-naught. Namun JAXA belum menyediakan data terkoreksi Gamma-naught ini untuk data mosaik jawa dengan resolusi 50m seperti data yang diolah dalam penelitian ini. Data output dari ASF Mapready dilakukan kalibrasi gammanaught untuk menghasilkan nilai backscatter dengan satuan dB (desibel). Data yang didapatkan merupakan data level 1.5 yang telah terorthorectifikasi dan slope corrected. Gamma-naught merupakan nilai hamburbalik (backscatter) per unit area dari gelombang datang (perpendicularslant range). (Motohka, 2012) Langkah kalibrasi berpedoman pada formula gamma-naught, secara teknik langkah tersebut harus dilakukan secara step by step demi akurasi hasil dan ketepatan proses. Adapun langkah kalibrasi radiometri gamma-naught pada ENVI adalah sebagai berikut :
a.
Kuadrat DN
Gambar 3.8. Tampilan proses Band Math Kuadrat Digital Number pada ENVI 5.0
51
Dengan menggunakan Band Math pada ENVI, memasukkan formula untuk mengkuadratkan digital number dari citra, yaitu : 𝑏1 ∗ 𝑏1 Input data : Output proses eksport data dari ASF Mapready, format *Geotiff
b.
Filtering (Convolution 3 x 3)
Gambar 3.9. Tampilan proses Convolutions pada ENVI 5.0
52
Proses filtering dimaksudkan untuk mendapatkan nilai rata – rata dari nilai digital number yang telah dikuadratkan. Dengan menggunakan Convolutions and Morphology Tool, dilakukan filter convolusions dengan Convolution :User Defined,Kernel Size : 3 x 3, Image Add Back 0, dan Editable Kernel 0.111111, dimana data inputnya adalah hasil proses DN kuadrat dari pemrosesan sebelumnya.
c.
ALOG10(X)
Gambar 3.10. Tampilan proses Band Math ALOG Digital Number pada ENVI 5.0
Mengubah nilai digital menjadi nilai logartimik 10 dengan memasukkan rumus alog10(b1) pada Band Math. Data masukan dari proses ini adalah hasil dari proses sebelumnya (Convolutions)
53
d.
10*DN
Gambar 3.11. Tampilan proses Band Math 10 dikalikan Digital Number pada ENVI 5.0
Proses 10*DN bertujuan untuk mengalikan nilai digital dengannilai sepuluh. Masih digunakan fitur yang sama, yaitu Band Math dimana data masukannya adalah dari proses sebelumnya (alog10(b1))
54
e.
DN-83
Gambar 3.12. Tampilan proses Band Math Penambahan Calibartion Factor (-83) Digital Number pada ENVI 5.0
Nilai digital hasil pemrosesan dikurangi dengan 83, nlai ini merupakan konstanta bagi kalibrasi citra radar yang merupakan hasil penelitian dari JAXA dan diketahui dari riset secara komprehensif untuk mencari nilai CF ini. Data masukan dari proses ini adalah dari proses sebelumnya (10*DN). Hasil dari proses ini merupakan hasil citra terkalibrasi radiometri Gamma-naught.
3.3.3.3.
Mosaik Tahapan ini dilakukan untuk menggabungkan tile A01 dan A02
hasil kalibrasi, sehingga dihasilkan citra ALOS PALSAR Mosaik Jawa Terkalibrasi
Gamma-naught. Mosaik dilakukan dengan
metode
Georeferenced. Citra yang akan dilakukan mosaik adalah hasil kalibrasi. Menu Import dipilih untuk memilih data masukan yang akan dilakukan mosaik. Sistem proyeksi dapat diubah dengan memilih menu Option
55
Change Base Map Projection, kemudian dapat dipilih sistem proyeksi
sesuai kebutuhan. Hasil pengaturan ini dapat disimpan dalam bentuk template untuk kemudian dapat digunakan kembali untuk melakukan mosaik untuk data yang sama. Eksekusi mosaik akan dilakukan setelah memilih menu File Apply
Gambar 3.13. Tampilan proses Mosaicing pada ENVI 5.0
Selain berfungsi untuk menggabungkan kedua tile citra, proses mosaik juga bertujuan untuk membandingakan akurasi geometris dari hasil eksport data pada ASF Mapready dengan geocodding dan tanpa geocodding
3.3.3.4.
Uji Kualitas Citra Uji kualitas citra secara kualitatif dilakukan dengan
membandingkan citra terkoreksi hasil pemrosesan dengan citra standart dari JAXA yang telah terkoreksi Gamma-naught secara visual. Selain penilaian kualitas citra secara visual, dilakukan pula pengamatan scatterplot HH/HV untuk mengetahui korelasi kedua band. Statistik citra
56
digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui kualitas pemrosesan, yaitu dengan melihat nilai maksimal, minimal, serta standar deviasi.
3.3.3.5. Validasi Proses validasi menggunakan pendekatan nilai piksel atau digital number dari citra untuk aplikasi penutuplahan. Tahapan validasi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat akurasi nilai piksel citra terkalibrasi dalam aplikasi penutuplahan dan dibuktikan dengan cek lapangan pada potongan citra yang telah dipilih sebagai sampel yang mewakili daerah kajian. Tahapan ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan data terkalibrasi dibandingkan dengan data yang belum dilakukan kalibrasi
dengan berpedoman pada hasil
klasifikasi
multispektral metode Unsupervised dan OBIA yang berbasis nilai digital. Adapun tahapan validasi ini meliputi : a.
Pemilihan Sample Area - Pembuatan Shapefile Sample Area pada ArcMap 10.1 Area yang dipilih meliputi sebagian Kabupaten Sleman. Sample Area
Gambar 3.14. Pemilihan Sample Area pada ArcMap 10.1
57
- Pemotongan Citra pada Software Envi Classic 5.0 Citra yang akan diklasifikasi dipotong terlebih dahulu sesuai sample area yang telah ditentukan sebelumnya. Proses cropping atau pemotongan citra ini dilakukan pada software ENVI Classic 5.0 dengan terlebih dahulu membuka citra hasil kalibrasi yang telah dilakukan layer stacking RGB. Data shapefile yang telah dibuat dikonversi menjadi *evf karena ENVI hanya dapat mengolah data vector dengan format ini. Data *evf kemudian dikonversi lagi menjadi ROI untuk kemudian dilakukan Subset via ROI sehingga didapatkan citra yang telah terpotong sesuai sample area. Proses ini dilakukan untuk citra terkalibrasi dan belum terkalibrasi dengan sample area.
Gambar 3.15. Proses Pemotongan Citra dengan ENVI 5.0
58
b.
Klasifikasi Unsupervised Citra sebelum dan sesudah kalibrasi yang telah dipotong kemudian diklasifikasi secara tak terselia dengan algoritma IsoData. Fitur ini terdapat pada menu Classifications.. Unsupervised IsoData. Dilakukan beberapa percobaan iterasi yaitu : 1; 5; 10; dan 15. Dari semua percobaan iterasi ini dipilih iterasi 10 yang kemudian dilakukan perbandingan dan validasi lapangan.
Gambar 3.16. Proses klasifikasi Unsupervised dengan ENVI 5.0 Klasifikasi unsupervised yang dilakukan oleh komputer membentuk kelas berdasarkan nilai pikselnya, namun belum berupa penutuplahan. Berdasarkan hasil klasifikasi unsupervised tersebut kemudian dikelaskan dengan interpretasi menggunakan pedoman sistem klasifikasi SNI untuk skala 1:250.000 yang sesuai dengan citra. Proses ini dilakukan dengan
59
memilih Overlay Classification. Penyuntingan atribut kelas kemudian dilakukan pada Interactive Class Tool dengan memilih Options Edit class colors/names. Class merging kemudian dilakukan untuk menggabungkan kelas yang sama dengan memilih menu Options Merge Class
Gambar 3.17. Proses Class Editing dan Class merging dengan ENVI 5.0
c.
Segmentasi Segmentasi dilakukan untuk uji validasi batas segmen yang dihasilkan dari pemrosesan citra sebelum dan sesuadah terkalibrasi dengan uji lapangan. Segmentasi membatasi obyek dengan
60
mempertimbangkan beberapa aspek, salah satunya adalah nilai piksel. Validasi yang dilakukan pada peneliatian ini juga menggunakan pendekatan nilai piksel sehingga segmentasi dianggap mampu merepresentasikan pengaruh nilai piksel dalam pemrosesan segmentasi. Segmentasi dilakukan dengan tools Segment Only Feature Extraction Workflow pada ENVI 5.0. Proses ini menggunakan algoritma segmen Edge dengan scale level 50 dan algoritma merge Full Lamda Schedule dengan merge level 0.0. Hasil pemrosesan segmentasi kemudian disimpan dalam bentuk shapefile untuk kemudian dianalisis.
Gambar 3.18. Proses Segmentasi (Object Creation-Export) dengan ENVI 5.0
61
d.
Cek Lapangan -
Pra Lapangan Sebelum melakukan cek di lapangan , data hasil klasifikasi dipersiapkan terlebih dahulu. Data hasil klasifikasi unsupervised terkalibrasi dan sebelum terkalibrasi dilakukan pemrosesan change detection pada ENVI 5.0 untuk mengetahui piksel yang memiliki perbedaan klasifikasi dan kemudian dipilih area survey untuk dilakukan ground check. Setiap satu piksel adalah satuan area survey di lapangan. Penentuan area survey berdasarkan klasifikasi yang berbeda ini juga mempertimbangkan posisi piksel individu terhadap piksel tetangga, atau homogenitas klasifikasinya sehingga diharapkan dapat memperkecil kesalahan. Unit sampel yang digunakan berupa area. Setiap area sampel berukuran satu piksel 50 m x 50 m. Hasil segmentasi sebelum dan sesuadah kalibrasi ditumpangsusunkan pada ArcMap 10.1 untuk mengetahui perbedaan batas segmen dan kemudian ditentukan titik survey uji lapangan. Titik survey pada segmentasi dipilih pada batas segmen untuk melakukan validasi batas segmen yang antara citra terkalibrasi dan belum terkalibrasi. Persebaran titik survey pada setiap area survey dipilih secara random dengan memperhatikan homogenitasnya sebagai “wakil” dari klasifikasi setiap piksel di lapangan. Hasil pembuatan area survey berupa shapefile kemudian diubah menjadi *kml dengan fasilitas Layer to KML pada ArcMap 10.1. Data *kml ini masih berformat *kmz, untuk dapat diupload pada Google Maps sebagai acuan survey, maka
62
data diubah terlebih dahulu menggunakan Google Earth sehingga benar-benar menjadi *kml.
-
Survey Lapangan Survey lapangan dilakukan dengan plotting serta mengambil gambar penutuplahan existing sesuai area sampel yang telah direncanakan, dimana setiap area sampel (satu piksel 50m x 50 m) diambil 10-30 titik sebagai titik survey.
Gambar 3.19. Tampilan Area Survey *kml pada Google Earth
-
Pasca Lapangan Data hasil ground check diolah dengan melakukan eksport data hasil plotting yang berformat *kml menjadi *shp. Data berupa titik ini selanjutya diolah dalam bentuk tabel sehingga didapatkan akurasi klasifikasi sebelum dan sesudah terkalibrasi untuk dibandingkan. Pada analisis ini dilakukan perbandingan pada hasil akurasi klasifikasi pada masingmasing citra sebelum dan sesudah kalibrasi. Metode uji akurasi menggunakan metode Convusion Matriks (matriks kesalahan)
63
, yaitu membandingkan hasil klasifikasi yang disadap dari masing-masing citra dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam proses pemetaan klasifikasi penutuplahan nilai akurasi total yang bisa diterima yaitu 85%, atau 0,85 (Anderson, 1976, dalam Khodriah dan Farda, 2011).
3.3.4. TAHAPAN PENYELESAIAN Tahapan ini merupakan tahapan pengambilan kesimpulan serta kajian mengenai proses serta hasil penelitian yang telah dilakukan, sebagai dasar penyusunan Bab selanjutnya.
64
3.4. DIAGRAM ALIR PENELITIAN ALOS PALSAR 50m Orthorectified Mosaic Product Java Region A01&A02 2009,Slope Corrected, Fine Beam Double Polarization (FBD) HH & HV, BSQ format, Downloaded from http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/kc_mosaic/kc_mosaic.htm
HH
Konversi DN raw data (BSQ format) ke DN Amplitude (Tiff Floating Point BSQ)
Log Proses
HV
Kudrat DN (B1*B1)
HH/HV (Synthetic Band) Band)
Kuadrat DN (B1*B1) Convolutions Filtering 3 x 3
RGB Color Komposit HH;HV;HH/HV Belum Terkalibrasi
(x) ALOG10(x) (DN Averaging) 10*(DN)
Pemotongan sesuai Sample Area
DN-83
HVGamma Corrected (dB)
HH Gamma Corrected (dB)
Layer Stacking
Klasifikasi Unsupervised HH/HVGamma Corrected (dB)
Segmentasi
Survey Lapangan
Perbandingan Akurasi Scatterplot
2D Scatterplot Tabel Akurasi
Statistik Citra *txt
Compute Statistic
Mosaic
ALOS Palsar Mosaic Jawa Terkalibrasi Gamma Naught
Layer Stacking
RGB Color Komposit HH;HV;HH/HV Terkalibrasi
65
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PEMROSESAN 4.1.1.
Tahap Akuisisi Data Kalibrasi Gamma-naught memiliki beberapa tahapan proses dari persiapan hingga penyelesaian. Proses dimulai dari tahap persiapan, tahap akuisisi data, yaitu mengunduh data dari website resmi JAXA (Japan Aeorospace Exploration Agency). Website ini menyediakan data ALOS PALSAR dalam bentuk mosaik yang disediakan dalam resolusi 50 meter dan 500 meter sebagai hasil dari Kyoto & Carbon Inisiative, untuk keperluan monitoring karbon serta deforestasi di seluruh dunia, sehingga data yang disediakan berbentuk world mosaic. Data tersedia dari tahun 2007 sampai 2009, karena setelah tahun 2009 PALSAR berhenti beroperasi dan kini digantikan dengan misi baru PALSAR-2 yang masih dalam tahap pengembangan. Baru-baru ini JAXA juga telah merilis data dalam resolusi spasial 25 meter dan 10 meter pada akhir bulan November. Data ALOS PALSAR disediakan dalam bentuk mosaik dan telah terkoreksi Gammanaughtuntuk resolusi 25 m, tersedia dari dua tipe data yaitu citra asli dan forest-non forest map untuk seluruh wilayah di dunia. Data citra yang telah terkalibrasi ini kemudian diunduh pula untuk dijadikan data pembanding pemrosesan citra mosaik 50 meter, karena JAXA tidak menyediakan citra sejenis yang telah terkalibrasi Gamma-naught dalam resolusi 50 meter. Data 25 meter hanya akan digunakan untuk pembanding dengan parameter visual saja. Data yang diunduh dari website JAXA merupakan data mentah (raw data). Data ini merupakan data berformat generik yang tersusun setiap band (BSQ) yang telah ter-orthorektifikasi dan terkoreksi terrain, 66
namun belum mengalami proses kalibrasi Gamma-naught. Data berbentuk raw ini dapat diolah untuk berbagai keperluan analisis selanjutnya,berbeda dengan data berformat *png yang disediakan pula oleh JAXA yang tidak dapat dikonversi sehingga tidak dapat dijadikan sumberdata analisis citra digital, namun hanya sebatas klasifikasi secara visual saja. Ketika melakuakan pengunduhan data, hal yang harus diperhatikan adalah secara otomatis kita akan mendapatkan dua tipe data ketika mengunduh satu tile citra, yaitu data raw (file)yang nantinya akan dikonversi menjadi citra dan data header dari citra yang digunakan sebagai identitas citra. Tanpa data header ini citra tidak dapat dilakukan proses export ke dalam format gambar, mengingat seluruh keterangan terkait proses export citra berada pada headernya.
4.1.2.
Konversi ke dalam Geotiff Citra mentah yang berformat raw dikonversi ke dalam format Geotiff dengan menggunakan perangkat lunak ASF Mapready versi 3.2 yang merupakan perangkat lunak open source yang banyak digunakan untuk konversi data ALOS PALSAR mosaik karena terdapat ekstensi khusus PALSAR MOSAIC. Kelebihan perangkat lunak ini selain memiliki ekstensi khusus PALSAR MOSAIC, juga dapat melakukan konversi secara otomatis dari header yang dijadikan input proses tanpa harus memilih secara manual pengaturan dan data dari header yang digunakan untuk proses konversi, sehingga citra akan dibaca otomatis sesuai degan header-nya. ENVI juga mampu melakukan proses konversi ini, akan tetapi tidak dapat membaca langsung dari header hingga perlu memasukkan nilai X,Y secara manual. Karena membaca identitas citra langsung dari header-nya, maka header dan citra semacam memiliki link dari path yang tertulis pada header tersebut Data header ini merupakan input dari proses konversi ke Geotiff, dan
67
akan memanggil file raw data citra sesuai path yang tertulis pada header citra. Jika terjadi kesalahan penamaan atau nama citra setelah pengunduhan telah diubah, maka dapat dipastikan proses pemanggilan ini akan gagal. ASF Mapready berbasis Graphic User Interface dengan tampilan yang cukup sederhana, namun pengguna tetap dapat memantau prosesnya karena secara bersamaan log process yang berjalan juga ditampilkan dan nantinya disimpan sebagai output dalam bentuk textfile. Proses konversi dar raw data menjadi geotiff pada ASF Mapready meliputi tahapan import data , geocodding, kalibrasi, dan export. Pengaturan ini dilakukan terlebih dahulu dan proses akan berlangsung secara berurutan dari satu file ke file lainnya. Data dapat dimasukkan dalam jumlah berapapun, asal akan diproses dengan setting yang sama dan memiliki spesifikasi input yang sama pula. Meskipun banyak
data
dapat
diproses
secara
langsung
namun
pada
pengolahannya, data diproses satu per satu secara batch. Proses konversi ini dilakukan dengan beberapa percobaan, yaitu dengan menggunakan proses geocodding dan tanpa menggunakan proses geocodding, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kualitas geocodding dengan menggunakan perangkat lunak ASF Mapready ini. proses geocodding di sini adalah proses proyeksi ke dalam sistem proyeksi tertentu. Tanpa adanya geocodding, data akan dibaca equirectangular,
dan
pada
proses
eksport
yang
lain
dilakukangeocodding dengan sistem proyeksi UTM pada zona yang dapat dibaca secara otomatis oleh perangkat lunak. Geocodding dengan UTM memiliki konsekuensi kesalahan yang lebih besar dibandingkan tanpa melakukan geocodding, karena saat dilakukan geocodding terdapat kesalahan proyeksi yang membuat proses dihentikan, untuk itu harus dilakukan check pada pilihan ignore projection error, artinya
68
kesalahan proyeksi yang terjadi akan diabaikan agar proses tetap berjalan. Kesalahan ini ada pada nilai x,y citra yang dibaca melebihi batas yang ada pada header-nya. Date: 08-Dec-2014, 05:50:37 PID: 4376 Version: C:\Program Files (x86)\ASF_Tools\MapReady 3.2/asf_mapready.exe, part of MapReady 3.2.1 Starting at: 05:50:37 Importing: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01/ALPSRASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001 Data format: ALOS MOSAIC Processed 6680 of 6680 lines. Import complete. Imported file: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPORT3\ Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des-2014_05-5036/import 1 imported file to process. Processing: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPORT3\ Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des-2014_05-5036/import Exporting... (E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPORT3\ Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des-2014_05-5036/import) -> (E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPORT3\ Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001.tif) Exporting ... Writing band '01' ... Writing output file... Processed 6680 of 6680 lines. Export complete. Generated 1 output file: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPORT3\ Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001.tif Export successful! Result: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPORT3\ Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des-2014_05-5036/import Done at: 05:51:38 Elapsed time: 1 minute, 1 second. Successful completion!
69
Log proses menunjukkan proses konversi yang dilakukan perangkat lunak ASF Mapready berjalan secara kontinyu, data di-import terlebih dahulu, membaca per baris sesuai header citra, baru kemudian dilakukan proses ekport sesuai dengan pengaturan yang telah dimasukkan dengan menuliskan data per line pada setiap band-nya sehingga didapatan data dalam format geotiff dengan band HH dan HV. Kalibrasi yang dipilih adalah Amplitudo, artinya angka digital citra hasil konversi adalah angka amplitudo yang pada proses berikutnya baru dapat dikonversi ke Gamma-naught dengan rumus yang telah ditetapkan. Kalibrasi Gamma-naught ini tidak dapat dilakukan di ASF Mapready, sehingga digunakan perangkat lunak ENVI 5.0. Data keluaran dari proses ini adalah citra per band yang memiliki format geotiff dengan level kalibrasi amplitudo dan tipe data float. Karena pada pengaturannya seluruh dokumentasi proses disimpan, maka output yang didapatkan dari proses ini adalah :
Gambar 4.1 Output proses konversi dengan ASF Mapready
4.1.3.
Kalibrasi Radiometri Gamma-naught Proses koreksi Gamma-naught pada ENVI berjalan secara bertahap, berpedoman pada rumus utama Gamma-naught. Kalibrasi data radar ini digunakan untuk berbagai aplikasi khususnya untuk mendapatkan nilai yang paling mendekati dengan hamburanbalik objek
70
dibanding kalibrasi lainnya seperti sigma-nought dan beta-nought. Kalibrasi sigma-nought berpedoman pada ukuran piksel secara kuantitatif yang berbasis pada ukurannya di permukaan bumi untuk aplikasi DEM. Dengan kalibrasi ini nilai piksel kemungkinan akan banyak terpengaruh oleh topografi permukaan bumi. Kalibrasi betanought menghasilkan nilai independen pada setiap pikselnya, akan tetapi nilai piksel ini bukanlah koefisien hamburanbalik obyek yang diharapkan sebagai pengisi nilai piksel, melainkan brightness value atau nilai kecerahan obyek sehingga hanya dapat menilai obyek dari tingkat kecerahannya saja, bukan mengidentifikasi objek. Gamma-naught merepresentasikan nilai piksel dengan skala logaritmik, dimana nilai logaritmik yang memiliki satuan desibel inilah yang paling mendekati nilai hamburanbalik obyek di lapangan sehingga akan paling mudah dideteksi secara digital dibandingkan dengan menggunakan kalibrasi lain yang telah disebutkan. Proses awal dilakukan dengan mengkuadratkan nilai digital number terlebih dahulu sehingga didapatkan hasil dari fungsi DN2. Untuk mendapatkan nilai
maka hasil proses pertama (DN2) dirata-
rata dari kuadrat digital number menggunakan convolusions dengan jedela 3 x 3 dan nilai kernel 0,111111 yang telah ditentukan. Fungsi konvolusi adalah untuk mendapatkan nilai rata-rata dengan jendela bergerak 3x3 dimana nilai kernel adalah 0,111111. Nilai hasil rata-rata ini dilakukan pencarian nilai alog10 dengan memasukkan formula alog10 pada band math. Fungsi alog10x, dimana x adalah digital number input adalah untuk mengembalikan nilai logaritmik dengan basis 10 dari x. (Sumber : http://www.exelisvis.com/docs/ALOG10.html). Hasil alog10 dari rata-rata digital number dikalikan 10, baru pada proses akhirnya ditambahkan dengan faktor kalibrasi yang bernilai -83. Nilai
71
digital inilah yang disebut dengan nilai Gamma-naught atau rasio hamburan balik per unit area, dimana unit areanya diwakilkan setiap pikselnya. Pemrosesan dilakukan secara step by step mengingat ENVI merupakan perangkat lunak yang berbasis GUI, sehingga perlu ketelitian dalam melakukan input-output-serta pengaturannya. Setiap band dilakukan proses yang sama, termasuk band sintetis HH/HV yang terlebih dahulu dilakukan sintetik band dengan membagi digital number band HH dengan band HV terlebih dahulu sebelum melakukan kalibrasi Gamma-naught. Hasil dari masing masing proses ini adalah file raster citra dalam format ENVI file, enp file, dan header citra.
Gambar 4.2. Output Pemrosesan Kalibrasi Gamma-naught pada ENVI
4.2. ANALISIS KUALITAS CITRA 4.2.1. Analisis Kualitatif Citra (Perbandingan Visual Citra Terkalibrasi 50m dan 25 m) Citra hasil kalibrasi perlu dilakukan penilaian baik secara kualitatif maupun kuantitatif untuk dapat mengetahui kualitas proses kalibrasi. Tujuan kalibrasi yang utama adalah memperbaiki citra, secara digital mengubah nilainya untuk dapat digunakan sebagai sumber data analisis sesuai dengan
72
kebutuhan. Jika citra hasil kalibrasi memiliki nilai yang tidak sesuai atau malah memperburuk kualitas citra maka dapat dikatakan bahwa proses kalibrasi itu tidak berhasil. Kalibrasi Gamma-naught merupakan proses kalibrasi image flatening pada data radar yang digunakan untuk mendapatkan nilai hamburan balik, dimana nilai ini menjadi data utama dalam pemrosesan lanjut secara digital. Penilaian awal yang dapat dilakukan dan dilihat secara kasat mata dari hasil kalibrasi adalah secara visual. Meskipun dilakukan penilaian secara visual, hal ini hanya digunakan sebagai acuan kesesuaian visual citra yang telah diproses dengan yang telah terkalibrasi. Namun arahan utama dari kalibrasi ini adalah pada penggunaan nilai pikselnya. Adapun nilai piksel itu pula yang mempengarui visual citra. Dengan membandingkan visual citra melalui parameter seperti rona dan warnanya, setidaknya citra telah dapat dinilai memiliki stabilitas yang baik jika memiliki kesamaan visual dengan data yang memang sudah terkalibrasi. Parameter kesesuaian ini dilihat dengan melakukan komposit yang sama dibandingkan dengan data yang telah terkalibrasi Gamma-naught. Komposit yang dibuat adalah komposit RGB dimana pada saluran Red adalah polarisasi HH, Green polarisasi HV dan Blue adalah band sintetis HH.HV.Komposit RGB (HH,HV,HH/HV) dipilih karena komposit ini paling representatif untuk membandingkan beberapa kenampakan yang mudah dibandingkan, yaitu tutupan lahan. Perbedaan antara objek vegetasi dan non vegetasi yang banyak mewakili kenampakan biofisik di permukaan bumi nampak sangat kontras pada komposit ini. Komposit ini juga merupakan komposit standar yang digunakan oleh JAXA dalam menghasilkan world forest-non forest map. Dengan menggunakan komposit ini, objek vegetasi dan non vegetasi nampak lebih jelas, karena vegetasi direpresenasikan dengan warna hijau, dan non vegetasi dengan warna keunguan. Saluran HH memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kebasahan, sedangkan HV lebih sensitif terhadap struktur
73
vegetasi (Shimada, et al., 2009). Dikarenakan sifat sensitifitas tersebut maka vegetasi muncul dengan warna hijau, karena band HV berada di saluran green. Air muncul dengan warna biru, dimana pada saluran blue terdapat rasio band antara HH/HV. Objek tanah nampak berwarna ungu-magenta, perbedaan ini didasarkan atas kebasahan tanahnya, semakin gelap ronanya, dan semakin ungu warnanya maka kebasahan tanah tersebut akan semakin tinggi pula, hal ini dipengaruhi oleh kuatnya saluran blue pada band HH/HV. Data pembanding yang digunakan adalah citra ALOS PALSAR resolusi 25 m yang diunduh dari web JAXA. Data ini baru saja rilis bulan November 2014 ini dan telah terkalibrasi Gamma-naught. Data ini hanya digunakan sebagai acauan secara visual saja, mengingat memiliki perbedaan resolusi spasial. Radar merupakan data yang sama sekali berbeda dengan citra optis, karena resolusi spasial yang berbeda akan sangat mempengaruhi kenampakan visualnya. Memang data 25 m terkoreksi Gamma-naught nampak lebih detil dibanding data 50 m, tapi juga memiliki noise yang lebih banyak pula. Noise yang berupa titik-titik seperti kumpulan hamburan “blackpepper powder” ini sangat mempengaruhi perbedaan warna antara keduanya. Namun meskipun berbeda, keduanya masih dapat dibandingkan secara visual warnanya. A
B
Gambar 4.3. Perbandingan Visual Komposit RGB HH;HH;HH/HV Citra ALOS PALSAR 50 meter hasil kalibrasi (A) dengan PALSAR 25 meter terkalibrasi Gamma-naught (B)
Dari kenampakan visual, nampak bahwa keduanya memiliki rona dan warna yang hampir sama, yaitu didominasi oleh warna hijau, ungu/magenta, dan biru tua. Perbedaan yang cukup mencolok ada pada perbedaan kedetilan,
74
karena memang keduanya memiliki resolusi spasial yang berbeda, akan tetapi dari segi warna, keduanya dapat dikatakan sama secara visual.
A
B
Gambar 4.4. Objek Air pada citra PALSAR 50 m (A) dan 25 m (B)
Objek air pada kedua citra memiliki warna yang sama, yaitu biru tua. Citra 50 m nampak lebih halus dibandingkan dengan citra 25 m, hal ini memang dipengaruhi data RADAR yang banyak memiliki noise, semakin besar resolusi spasialnya, maka noise pun akan semakin banyak, terbukti dengan visualisasi pada Gambar 4.4 A
B
Gambar 4.5. Objek Tanah pada citra PALSAR 50 m (A) dan 25 m (B)
Objek tanah cenderung berwarna magenta, keduanya juga memiliki warna yang sama meskipun dari segi teksturnya berbeda karena pengaruh resolusi spasial yang berbeda pula. A
B
Gambar 4.6. Objek Vegetasi pada citra PALSAR 50 m (A) dan 25 m (B)
75
Vegetasi sama-sama tervisualisasikan dalam warna hijau, hanya saja warna hijau antara PALSAR 50 m dan 25 m cukup berbeda. Citra 50 meter menunjukkan warna hijau yang lebih cerah dan homogen, berbeda dengan citra 25 m yang menunjukan warna hijau yang lebih gelap dan tekstur kasar hasil noise. Terlihat pada citra B memiliki bintik-bintk terang-gelap yang lebih banyak dan terpencar dibanding citra B. Salah satu karakteristik citra SAR adalahtimbulnya noise speckle, yang tampak sebagai tekstur bintikbintik terang-gelap yangterdistribusi secara random dalam citra. Noise tersebut timbul akibat interferensikonstruktif dan destruktif diantara sinyalsinyal hamburan balik dari berbagai objeksecara random dalam suatu sel atau area tertentu (resolution cell) yang disinarinya (Wahyudi, 2010). Perbedaan ini juga dihasilkan karena resolusi spasialnya, semakin besar resolusi spasial tentu saja akan memperkaya objek yang terwakilkan pada citra, hal ini yang membuat tekstur pada citra 25 m lebih kasar dibandingkan 25 m. Citra terkalibrasi gamma resolusi 25 m dari web JAXA memiliki format data Unsigned Integer, sedangkan data mentah 50 m yang kemudian dikalibrasi gamma pada penelitian ini hanya dapat diolah dengan baik menggunakan format float, keduanya tentu saja memiliki perbedaan nilai digital karena perbedaan format data, akan tetapi karena trend histogram yang cukup senada, maka visualisainya pun hampir serupa meskipun tidak sama persis. Terdapat beberapa proses yang spesifik telah dilakuakan JAXA sehingga hasil kalibrasi data 25 m memiliki format unsigned integer yang tidak dapat dilakukan persamaan dengan data 50 meter, sehingga keduanya tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif berdasarkan nilai pikselnya dengan terlebih dahulu dilakukan resize ukuran piksel menjadi 50 meter.
76
4.2.2. Analisis Kualitatif Citra (Perbandingan Visual Citra Sebelum dan Sesudah Kalibrasi) Secara visual, citra hasil kalibrasi juga dapat dibandingkan dengan citra sebelum kalibrasi, hal ini dilakukan utuk dapat mengetahui stabilitas data. Seperti pada Gambar 5.7, keduanya memiliki rona dan warna yang sama. B
A
Gambar 4.7. Tampilan Citra A01 sebelum (A) dan sesudah kalibrasi gama naught
Perbedaan secara visual nampak dari unsur tekstur, citra hasil kalibrasi terlihat lebih halus dan lebih sedikit noise (Gambar 4.8). Efek filtering pada proses kalibrasi menyebabkan citra menjadi nampak lebih halus dan berkurangnya noise speckle. Filtering dilakukan untuk mengekstraksi bagian data tertentu dari suatu himpunan data dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan. Filtering sangat efektif digunakan untuk mengurangi speckle (noise) yang menjadi salah satu masalah pada pengolahan citra radar. Filter yang digunakan, mampu mereduksi speckle serta mampu mempertahankan dan meningkatkan informasi tersebut. Filter dioperasikan pada berbagai ukuran jendela piksel (kernel size) yang akan dihitung satu nilai yang mewakili luasan piksel tersebut. Semakin besar kernel size yang diterapkan maka akan menghasilkan citra yang semakin halus (Anonim, digilibs.itb.ac.id). Hasil proses konvolusi dapat mengurangi noise karena proses ini mengambil rata-rata nilai digital dari jendela yang diproses, otomatis nilai digital akan lebih mirip dengan nilai digital piksel tetangga dan mengakibatkan citra menjadi lebih halus, namun batas antar objek menjadi lebih kabur.
77
Efek Gamma-naught mengakibatkan citra menjadi nampak lebih datar, kenampakan topografi pada citra hasil kalibrasi terlihat lebih kabur dibandingkan
dengan
citra
sebelum
berkurangnya efek shadow atau bayangan
terkalibrasi,
diikuti
dengan
yang mengakibatkan warna
menjadi lebih cerah (Gambar 4.9). Secara visual citra nampak mengalami penurunan, karena citra radar memiliki keunggulan pada representasi topografi yang lebih nyata dibandingkan citra optis karena adanya pengaruh dari hamburanbalik pulsa radar terhadap topografi permukaan bumi. Hal ini bukan merupakan penurunan kualitas citra, meskipun secara visual mengalami penurunan, namun nilai digital citra semakin mengalami perbaikan karena nilai obyek yang pada citra asli mendapatkan pengaruh yang besar dari efek topografi secara nyata mengalami pemurnian untuk semakin mendekati nilai asli objek. Adanya pengurangan noise speckle menunjukkan bahwa nilai digital citra semakin terhindar dari gangguan energi non-objek yang dapat menurunkan kualitas klasifikasi secara digital, sehingga objek akan semakin mudah dikenali dengan nilai digitalnya. Kalibrasi Gamma-naught merupakan kalibrasi yang dimaksudkan untuk membuat citra RADAR nampak lebih flat (image flatening) (Shimada, 2009). Jika ciri- ciri tersebut dapat dilihat pada citra, secara visual dapat dikatakan bahwa pemrosesan kalibrasi dapat dinilai berhasil. Efek image flattening ini sangat nampak pada visualisasi citra dengan daerah yang memiliki konfigurasi topografi tinggi. Image flattening hanya nampak secara visual akibat berkurangnya efek shadow dari citra, namun secara geometris tidak terjadi pergeseran atau distorsi geometri, karena pemrosesan hanya mempengaruhi nilai digitalnya saja.
78
A
B
Gambar 4.8. Adanya pengurangan noise dari data sebelum (A) dan sesudah (B) kalibrasi A
B
Gambar 4.9. Berkurangnya efek shadow dari citra dari data sebelum (A) dan sesudah (B) kalibrasi
Secara visual citra PALSAR hasil kalibrasi gamma-naught mengalami beberapa efek berkurangnya shadow/bayangan dimana efek ini merupakan hasil kerja dari interaksi pulsa radar dengan topografi permukaan bumi. Seiring dengan berkurangnya efek shadow, citra pun nampak mengalami image flattening yang membuat citra nampak datar. Berkurangnya noise speckle hasil dari filtering secara visual nampak dengan jelas telah menimbulkan kesan smoothing atau penghalusan citra yang menurunkan efek kekasaran permukaan. Seiring dengan berkurangnya shadow yang mengindikasikan berkurangnya pengaruh topografi, berkurang pula
79
pengaruh kekasaran permukaan pada citra. Seperti yang telah diketahui, kekasaran permukaan merupakan fungsi variansi relief sehubungan dengan panjang gelombang pantulan tenaga. Kekasaran permukaan ini berpadu dengan efek geometri sensor/objek dari intensitas backscatter radar, sedangkan faktor utama yang mempengaruhi intensitas hasil balik radar dari objek adalah ukuran (geometris) dan sifat dielektrik objek (Lillesand dan Kiefer,1990, dalam Riska, 2011). Dari korelasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dari parameter visual dan gejala-gejala yang terjadi dari citra sebelum dan sesudah kalibrasi menunjukkan adanya reduksi efek topografi, kekasaran obyek yang disebabkan adanya pengurangan pengaruh ukuran geometris serta sifat dielektrik objek. Hal ini menunjukkan bahwa nilai piksel yang didapat dari kalibrasi gamma-naught ini semakin terbebas dari variabel-variabel yang mempengaruhi nilai objek untuk tidak menunjukkan nilai aslinya. Artinya, jika ditinjau dari alasan tersebut nilai digital Gamma-naught diharapkan dapat menghasilkan akurasi yang semakin tinggi untuk identifikasi serta klasifikasi objek secara digital. 4.2.3. Analisis Kualitas Citra melalui Statistik dan Scatterplot Penilaian citra selanjutnya dilihat dari paremeter statistik dan scatterplot citra. Data statistik citra dapat memberikan informasi yang lengkap terkait nilai digital citra, nilai masing – masing piksel yang juga mengakibatkan tampilan visual sebuah citra. Nilai digital dari sebuah citra merupakan sebab dari representasi visual citra itu sendiri. Artinya ketika sebuh citra memiliki nilai digital yang “tidak benar”, maka untuk proses klasifikasi secara digital maka hasil klasifikasi dapat dipastikan tidak akurat dan tidak berkualitas karena nilai digital merupakan sumber utama acuan klasifikasi. Belum ada nilai baku berapa nilai digital yang dianjurkan untuk pemrosesan Gammanaught ini, karena kalibrasi ini pun masih dalam proses pengembangan oleh JAXA. Akan tetapi JAXA telah melakukan beberapa penelitian terkait nilai
80
hamburanbalik objek di lapangan, persamaan yang membandingkan nilai hamburanbalik objek di lapangan dengan nilai digital citra tentu saja menjadi salah satu metode paling tepat untuk validasi hasil pemrosesan kalibrasi sekaligus pembuktian kualitas citra. Dari data PALSAR Radiometric and Geometric Calibration didapatkan sebuah kesimpulan bahwa nilai rata-rata Gamma-naught HV selalu lebih kecil daripada HH, baik untuk data NRCS (Normalize RADAR Cross Section) maupun data STRIP termasuk data Fine Beam Dual (FBD) yang diolah pada penelitian ini (Shimada,et al.,2009). Rata-rata nilai digital saluran HH adalah -11,720370, sedangkan saluran HV adalah -70,871596 (Gambar 4.10). Angka ini sudah menunjukkan kesamaan kesimpulan dari hasil data lapangan JAXA yang diambil di Hutan Amazon Brazil pada penelitian PALSAR Radiometric and Geometric Calibration (Shimada,et al.,2009). Adapun perbedaan nilai rata-rata yang cukup besar karena perbedaan wilayah kajian yang berbeda. Namun dari data statistik yang dibandingkan, baik data dari JAXA, maupun hasil pengolahan dalam penelitian ini sama sama mencapai nilai negatif. Berbeda dengan data awal yang memiliki nilai digital cukup besar. Jika dibandingkan dengan data awal (Gambar 4.11) maka nilai digital mengalami penurunan yang cukup drastis. Dengan mengambil sampel salah satu objek yang menjadi mayoritas penutup lahan, yaitu vegetasi dan diambil pada area yang homogen (Gambar 4.12) dibuktikan pula bahwa angka digital citra sebelum terkalibrasi dan sesudah terkalibrasi mengalami penurunan yang drastis. Nilai digital pada citra belum terkalibrasi adalah R : 7662; G: 4186; B:1.830387 sedangkan ada citra yang telah terkalibrasi R: -0.931480; G:6.541473; B:-74.539886 dengan nilai HH memiliki nilai tertinggi, disusul HV dan sintetik HH/HV. Proses bertingkat kalibrasi Gamma-naught yang berpedoman pada rumusnya tentu saja telah merubah nilai digital secara signifikan dan akhirnya dihasilkan nilai digital terkalibrasi yang leih kecil dari data
81
awalnya. Meskipun terjadi perubahan nilai digital yang signifikan, perubahan yang diakibatkan oleh kalibrasi, namun data tetap konsisten, artinya data hanya berubah sesuai dengan formula kalibrasi yang dimasukkan, dengan kata lain stabil. Stabilitas data telah ditunjukkan pada analisis kualitatif, yaitu persamaan komposit data baik sebelum maupuns esudah diolah dari segi warnannya. Scatterplot menunjukkan korelasi antara dua saluran. Scatterplot pada Gambar 4.13 menunjukkan korelasi antarasaluran HH dan HV dimana sumbu x adalah saluran HV dan sumbu y adalah saluran HH. Dari scatterplot tersebut terlihat bahwa kedua saluran memiliki korelasi yang berbanding lurus dari nilainya, namun variasi nilai digitalnya sangat besar sehingga terlihat diagram yang menyebar. Perbedaan sifat antara kedua saluran ini dapat digunakan dengan baik untuk membedakan objek. A
B
Gambar 4.10. Statisitik Saluran HH (A) dan HV (B) Terkalibrasi
82
A
B
Gambar 4.11. Statisitik Saluran HH (A) dan HV (B)Sebelum Terkalibrasi
A
B
Gambar 4.12.. NilaiPiksel Objek Vegetasi Sebelum Terkalibrasi (B) dan Sesudah Terkalibrasi (A)
83
Gambar 4.13.. Scatterplot HV,HH
4.3. VALIDASI DATA DENGAN PENDEKATAN NILAI PIKSEL MELALUI KLASIFIKASI PENUTUPLAHAN 4.3.1. Uji Akurasi Klasifikasi Unsupervised Penutuplahan Citra Sebelum dan Sesudah Kalibrasi Kalibrasi Gamma-naught diarahkan kepada pengolahan citra secara digital dengan berbasis informasi nilai digital dari citra. Untuk mengetahui “kebenaran” nilai piksel hasil kalirasi tidak selalu harus dengan membandingkan nilai piksel secara langsung dan absolut, akan tetapi dapat digunakan pendekatan dengan melihat efek dari nilai piksel itu sendiri. Validasi data hasil kalibrasi Gamma-naught ini dilakukan dengan menggunakan data hasil kalibrasi untuk klasifikasi penutup lahan atau biofisik, aplikasi yang sangat relevan untuk data citra ALOS PALSAR.
84
Klasifikasi berbasis piksel dengan metode unsupervised sengaja dipilih agar dapat ditinjau nilai akurasi pemrosesan yang benar-benar berdasarkan nilai piksel tanpa pengaruh yang besar dari pengguna, agar nilai piksel hasil kalibrasi dapat teruji kebenaran serta kegunaannya. Klasifikasi unsupervised diujicobakan menggunakan algoritma IsoData, dengan empat macam percobaan iterasi atau pengulangan proses. Kedua data, citra asli yang belum terkalibrasi (amplitudo) dan citra terkalibrasi (Gamma-naught) dipotong sesuai sampel area yang diinginkan Adapun sample area yang dipilih adalah sebagian kecamatan Ngemplak Sleman dengan alasan dapat mewakili baik secara topografi maupun penggunaan lahan yang mayoritas ada di pulau Jawa. Citra yang belum terkalibrasi menunjukkan keragaman kelompok piksel yang direpresentasikan melalui warna yang sangat beragam. Percobaan iterasi dengan 4 nilai yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan klasifikasi yang signifikan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.14. Dengan hasil klasifikasi semacam ini nilai piksel dinilai belum dapat terkelompokkan dengan baik. Adanya proses iterasi semestinya dapat mengelompokkan berdasarkan nilai piksel melalui adanya pengulangan proses klasifikasi. Interpretasi kemudian dilakukan setelah klasifikasi unsupervised yang dilakukan oleh komputer selesai. Interpretasi berjalan cukup sulit dikarenakan sebaran kelompok piksel yang cenderung random. Klasifikasi penutuplahan berdasarkan SNI 7645:2010 dengan skala pemetaan 1:250.000 sesuai dengan resolusi citra ALOS 50 m x 50 m. Dipilih citra dengan iterasi 10 yang diproses selanjutnya, karena citra ini dirasa memiliki hasil yang paling repersentatif. Didapatkan 7 kelas penutuplahan dengan 0% unclassified, yang menunjukkan seluruh piksel terklasfikasi dengan sempurna. Adapun penutuplahan yang terklasifikasi paling banyak adalah lahan terbuka dengan nilai 29%, dan klasifikasi lainnya yang dapat dilihat pada Gambar 4.15. Setelah dilakukan klasifikasi,
85
dilakukan Class merging utnuk menggabungkan kelompok piksel dengan klasifikasi yang sama.
Gambar 4.14. Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra belum terkalibrasi dengan iterasi 1;5;10;15 dan setelah class merging
Gambar 4.15.. Class Distribution Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra terkalibrasi dengan iterasi 10
Proses klasifikasi pada sample area yang sama dilakukan pada citra terkalibrasi Gamma-naught untuk kemudian akan dilakukan perbandingan akurasi klasifikasi. Citra terkalibrasi ini pun diproses dengan empat percobaan iterasi yang sama, akan tetapi berbeda dengan citra aslinya, semakin besar iterasi yang diberlakukan semakin membuat hasil klasifikasi
86
menjadi tergenerelisasi sesuai kelompok pikselnya masing-masing. Perbedaan ini nampak jelas dengan semakin homogennya warna hijau yang diklasifikasikan sebagai lahan bervegetasi bukan pertanian (Gambar 4.16) Data radar menunjukkan visualisasi yang cukup unik dibandingkan dengan citra optis, sehingga proses interpretasi obyek tidak semudah pada citra optis. Pada saat interpretasi obyek, citra optis pun dapat digunakan untuk membantu identifikasi obyek, namun pada citra ALOS PALSAR ini cukup jelas dan dapat diklasifikasikan mengingat sistem klasifikasi yang diterapkan hanya mampu menjangkau sampai ke jenjang II.
Gambar 4.16.. Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra terkalibrasi dengan iterasi 1;5;10;15 dan setelah class merging
Hasil klasifikasi citra terkalibrasi menunjukkan tidak adanya piksel yang tidak terklasifikasi dengan adanya nilai 0 % pada unclassified. Berbeda dengan citra aslinya, obyek yang paling mendominasi pada hasil klasifikasi citra terkalibrasi ini adalah lahan bevegetasi bukan pertanian. Secara lebih lengkap mengenai atribut hasil klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.17. Uji akurasi dilakukan pada kedua citra yang telah dilakukan klasifikasi.Overlay data klasifikasi citra asli dan sesudah terkalibrasi dilakukan terlebih dahulu untuk mngetahui piksel mana saja yang
87
mengalami perbedaan, sehingga nantinya dapat dijadikan sample area survey untuk membuktikan manakan penutuplahan yang exist di lapangan.
Gambar 4.17. Class Distribution Hasil Klasifikasi Unsupervised IsoData Citra terkalibrasi dengan iterasi 10
Terdapat 120 sampel yang diplot secara random pada sample area survey yang berbentuk area atau poligon, dimana setiap area survey mewakili satu piksel citra yang memiliki klasifikasi berbeda dari citra asli dan terkalibrasi untuk dibuktikan mana klasifikasi yang benar. Hasil survey lapangan direpresentasikan melalui matriks kesalahan yang mencocokkan Hasil klasifikasi citra terkalibrasi dan data lapangan seperti pada Tabel 4.1. Perhitungan akurasi menunjukkan bahwa akurasi klasifikasi penutuplahan yang diekstrak dari citra ALOS PALSAR yang telah terkalibrasi Gamma-naught menunjukkan overal accuracy 80 %. Overalll accuracy dinilai cukup baik meskipun belum memenuhi ambang batas persyaratan, yaitu 85 % (Anderson 1976 dalam Khodriah dan Farda, 2011). Producer’s accuracy dan paling tinggi pada obyek A sedangkan user’s accuracy pada obyek E yang dapat dilihat pada Tabel 4.2.
88
Hasil Klasifikasi
Tabel 4.1. . Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil klasifikasi citra terkalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan
A B C D E F
Total Kolom
Akurasi
Data Acuan (diambil kembali dari sampel) A B C D E F 78 20 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 18 0 1 0 0 0 0 0 81
20
0
0
19
0
Total Baris 99 0 0 0 20 1 120
: (Jumlah benar/Jumlah seluruh sampel) x 100% : ((78 + 18)/120 x 100 % : 96/120 x 100 % : 80 %
Tabel 4.2. Perhitungan akurasi klasifikasi citra terkalibrasi Gamma-naught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel.4.1
Kelas A B C D E F
Producer's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan 78/81 = 96,30 % 0/20 = 0 % 18/19 = 99,05 % -
3,70% 100% 0,95% -
User's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan 78/99 = 78,79 % 18/20 = 90 % 0/1 = 0 %
21,21% 10% 100%
Hasil uji akurasi menunjukkan bahwa akurasi tertinggi didapat oleh objek permukiman dengan producer’s accuracy 99,05 %. Matriks kesalahan untuk hasil klasifikasi penutuplahan sebelum kalibrasi direpresentasikan oleh Tabel 4.3. Diketahui bahwa overall accuracy klasifikasi dari citra yang belum terkalibrasi lebih kecil daripada citra yang telah terkalibrasi Gamma-naught, yaitu 34, 17 % dengan kappa coefifcient
89
yang sangat rendah, yaitu 0,1246537. Producer’s accuracy tertinggi pada obyek E sedangkan user’s accuracy pada obyek A namun keduanya tidak lebih besar daripada nilai producer’s accuracy dan user’s accuracy klasifikasi dari citra yang telah terkalibrasi. Perhitungan producer’s dan user’s accuracy tertera pada Tabel 4.4. Obyek A adalah daerah pertanian, B merupakan daerah bukan pertanian, C terklasifikasikan sebagai lahan terbuka, D adalah lahan ternagun, E ialah permukiman, dan F merupakan perairan.
Hasil Klasifikasi
Tabel 4.3.. Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil klasifikasi citra sebelum kalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan Data Acuan (diambil kembali dari Total sampel) Baris A B C D E F A 30 0 41 10 18 0 99 B 0 0 0 0 0 0 0 C 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 E 0 0 9 0 11 0 20 F 0 0 0 0 1 0 1 Total Kolom 30 0 50 10 30 0 120
Akurasi
: ((30 + 11)/120 x 100 % : 51/120 x 100 % : 34, 17 %
Tabel 4.4.. Perhitungan akurasi klasifikasi citra sebelum kalibrasi Gammanaught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel.4.3.
Kelas A B C D
Producer's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan
User's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan
30/30 = 100 % 0/50 = 0 %
0,00% 100%
30/99 = 30,30 % -
69, 70 % -
0/10 = 0 %
100%
-
-
90
E F
11/30 = 36,67 % -
63,33% -
11/20 = 55 %
45%
0/1 = 0 %
100%
Uji klasifikasi menunjukkan persentase akurasi masing-masing obyek hasil perbandingan interpretasi dan lapangan dari sisi producer’s accuracy dan user’s accuracy untuk klasifikasi unsupervised citra terkalibrasi adalah sebagai berikut : Daerah pertanian (96,30 % ; 21,21%), daerah bukan pertanian (0 %), lahan terbangun dan lahan kosong (0%), permukiman (99,05 % ; 10 %), dan perairan (0%), sedangkan untuk citra asli adalah sebagai berikut : daerah pertanian (110 % ; 69,70 %), daerah bukan pertanian (0%), lahan terbangun (0%), permukiman (36,67 % ; 45 %) dan perairan (0 %) Hasil
perbandingan
uji
akurasi
klasifikasi
unsupervised
menunjukkan akurasi data dari parameter overall accuracy, maupun producer’s dan user’s accuracy menunjukkan bahwa citra yang telah terkalibrasi Gamma-naught memiliki kapabilitas yang jauh lebih tinggi untuk merepresentasikan penutuplahan berbasis nilai piksel dengan pemrosesan digital dibandingkan dengan citra asli yang belum dikalibrasi gamma-naught.
4.3.2. Validasi Batas Segmentasi Citra Sebelum dan Sesudah Kalibrasi Selain klasifikasi berbasis piksel validasi data terkalibrasi dilakukan untuk klasifikasi berbasis obyek dengan ekstraksi feature melalui segmentasi. Teknik ini tidak hanya memperhatikan nilai piksel saja seperti metode unsupervised, akan tetapi juga mempertimbangkan aspek spasial seperti tekstur serta polanya. Segmentasi mengekstrak batas dari obyek secara otomatis. Validasi dilakukan dengan menguji batas mana yang lebih akurat antara citra yang telah terkalibrasi dan belum terkalibrasi.
91
A
B
Gambar 4.18. Hasil segmentasi citra terkalibrasi (A) dan sebelum terkalibrasi (B)
Gambar 4.18. menunjukkan perbedaan hasil segmentasi yang dilakukan pada kedua data. Segmentasi ini diproses dengan pengaturan standart menggunakan Full Lamda Algoritm dan Edge Algorithm. Adapun hasil akurasi ditunjukkan oleh matriks kesalahan, dimana hasil convusion matrix segmentasi data terkalibrasi ditunjukkan pada Tabel 4.5. dengan overall accuracy 66,67 %. Hasil uji akurasi data belum terkalibrasi ditunjukkan pada Tabel 4.7 dengan overall accuracy 54,16 %. Producer’s accuracy dan user accuracy keduanya disajikan pada tabel 4.6 dan 4.8. Berbeda dengan klasifikasi unsupervised, hasil uji kualitas keduanya tidak memiliki selisih yang cukup jauh, meskipun overall accuracy masih lebih baik citra yang telah terkalibrasi. Hal ini didasari karena sistem segmentasi yang tidak hanya memperhatikan nilai piksel akan tetapi aspek spasialnya pula yang dapat ditinjau dari visual citra. Secara visual citra terkalibrasi memiliki keleahan dibandingkan yang belum terkalibrasi, sebaliknya citra yang belum terkalibrasi memiliki kelemahan pada kebenaran nilai pikselnya, sehingga keduanya membentuk korelasi yang dikuantifikasikan melalui akurasi yang memiliki selisih kecil dikarenakan keduanya memiliki kelemahan untuk segmentasi. Citra kalibrasi lemah pada aspek spasial, sedang citra asli lemah pada aspek spektral, terlebih
92
citra ini merupakan citra resolusi menengah. Metode segmentasi yang digunakan pun menggunakan pengaturan standart, apabila dilakukan percobaan dengan mengubah nilai merge dan segment, bsa jadi didatakan hasil segment yang memiliki akurasi lebih tinggi. Pada dasarnya sgmentasi memang lebih cocok digunakan pada citra optis dengan resolusi spasial dan spektral tinggi karena segmentasi mengekstrak segmen berdasarkan dua aspek tersebut.
Tabel 4.5.. Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil segmentasi citra
Hasil Segmentasi
terkalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan
A B C D E F Total Baris
Akurasi
A 68 0 0 0 0 0
B 0 0 0 0 0 0
68
0
Data Lapangan C D E 12 0 10 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 20 0 0 0 12
0
40
F 0 0 0 0 0 0 0
Total Kolom 90 0 10 0 20 0 120
: ((68 + 12)/120 x 100 % : 80/120 x 100 % : 66,67 %
Tabel 4.6. Perhitungan akurasi batas segmentasi citra terkalibrasi Gammanaught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel.4.5
Kelas A
Producer's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan 68/68 = 100 %
0,00%
User's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan 68/90 = 75,56 %
24,44%
93
B C D E F
0/12 = 0 %
100%
20/40 = 50 % -
50,00% -
0/10 = 0 %
100%
20/20 = 100 % -
0% -
Tabel 4.7. Matriks kesalahan yang mencocokkan hasil segmentasi citra sebelum terkalibrasi Gamma-naught dengan sampel lapangan
Hasil Segmentasi
A 45 0 0 0 0 0 45
A B C D E F Total Baris Akurasi keseluruhan
Data Lapangan B C D 10 25 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 25 10
E 10 0 0 0 20 0 30
F 0 0 0 0 0 0 0
Total Kolom 100 0 0 0 20 0 120
: ((45 + 20)/120 x 100 % : 65/120 x 100 % = 54,16 %
Tabel 4.8.. Perhitungan akurasi batas segmentasi citra sebelum terkalibrasi Gamma-naught penghasil dan pengguna peta berdasarkan matriks kesalahan pada Tabel.4.7.
Kelas A B C D E F
Producer's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan
User's Accuracy Omisi Akurasi Kesalahan
45/45 = 100 % 0/10 = 0 % 0/25 = 0 %
0,00% 100% 100%
45/100 = 45 % -
55,00% -
0/10 = 0 % 20/30 = 66,67 % -
100%
-
-
33,33%
20/20 = 100 %
0%
-
-
-
94
4.4. MOSAIK Mosaik dibuat untuk dapat menggabungkan kedua region A01 dan A02 agar menjadi citra mosaik Jawa. Penggabungan ini dilakukan setelah seluruh proses selesai. Mosaik dilakukan pada ENVI dengan berbasis georeferenceatau berdasarkan koordinat. Data dibaca equirectangular, atau belum memiliki proyeksi, oleh karena itu pada saat dilakukannya proyeksi, sistemnya diubah menjadi Geographic. Untuk percobaan yang lain, data yang sama diolah dengan ASF Mapready dan dilakukan geocodding dengan sistem UTM kemudian dilakukan mosaik pada ENVI dan hasilnya terdapat missing line pada area perpindahan zona, hal ini disebabkan adanya projection error seperti yang sudah dibahas pada bab pemrosesan konversi data. Proses konversi data pada ASF Mapready dengan geocodding di dalamnya dapat menimbulkan kesalahan pembacaan atau adanya missing coordinate, sehingga pada saat dilakukannya mosaik terdapat missing line atau piksel yang hilang. Fasilitas Ignore projections errors pada ASF Mapready hanya mengabaikan kesalahan tersebut, dan tidak memperbaikinya. Berbeda dengan hasil eksport data tanpa adanya geocodding pada ASF Mapready, yaitu dengan eqiurectangular, konversi sistem proyeksi dilakukan pada ENVI 5.0 menjadi sistem Geographic, dan hasilnya citra dapat menjadi mosaic tanpa kesalahan missing line atau kesalahan geometri lainnya.
95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : a.
Kalibrasi radiometri Gamma-naught merubah nilai amplitudo menjadi hamburanbalik per area yang menimbulkan adanya efek image flattening, penurunan nilai digital, pengurangan efek bayangan, reduksi noise speckle, dan pembauran batas antar objek yang merupakan indikasi secara visual berkurangnya variabel efek topografi, kekasaran permukaan, pengaruh ukuran objek, serta sifat dielektrik yang semakin memurnikan nilai piksel objek untuk peningkatan akurasi klasifikasi penutuplahan secara digital.
b.
Secara kualitatif dan kuantitatif, pemrosesan dinilai sesuai karena memiliki kesamaan tampilan visual dan korelasi stabilitas nilai digital yang standart, dibuktikan dengan nilai rerata pemrosesan HH -11.720370 (Stdev 5.288053), HV -70.871596 (Stdev 2.325386) dan Sintetik HH/HV -21.046792 (Stdev 6.928500). Uji akurasi citra ALOS PALSAR terkalibrasi Gamma-naught memiliki akurasi keseluruhan lebih besar daripada data belum terkalibrasi, yaitu 80 % untuk klasifikasi unsupervised dan 66,67 % untuk segmentasi. Data asli memiliki akurasi keseluruhan
34,17 % untuk klasifikasi
unsupervised dan 54,16 % untuk segmentasi c.
Konversi raw data lebih efisien dengan menggunakan ASF Mapready karena dapat membaca header citra secara otomatis, sedangkan proses kalibrasi dan mosaic tidak dapat dilakukan di ASF Mapready namun dengan baik dapat dilakukan dengan ENVI 5.0.
96
5.2. SARAN a. Klasifikasi penutuplahan berbasis nilai piksel maupun segmentasi dari data ALOS PALSAR lebih akurat menggunakan data yang telah terkalibrasi Gamma-naught. b. Citra hasil kalibrasi Gamma-naught dapat dimanfaatkan secara lebih mendalam untuk identifikasi obyek di permukaan bumi, khususnya untuk aplikasi pengelolaan sumberdaya alam dengan ekstraksi informasi berbasis nilai digital secara lebih cepat dan akurat. c. Konversi sistem koordinat pada ENVI 5.0 lebih dianjurkan karena memiliki akurasi yang lebih baik daripada ASF Mapready
97
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2014. PALSAR Major Characteristics. URL: http://www.alosrestec.jp/en/staticpages/index.php/aboutalos-palsar, (diakses 2 Juli 2014 pukul 09.43 WIB). Anonim.2014. ENVI. URL: http://www.exelisvis.com/ProductServices/ENVI/ENVI.aspx, (diakses 2 Juli 2014 pukul 10.23 WIB). Anonim. 2014. http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/obs/palsar_strat.htm, (diakses 2 Juli 2014 pukul 13.23 WIB). Anonim. 2014. ASF User Guide. URL: https://www.asf.alaska.edu/datatools/mapready, (diakses 13 Agustus 2014 pukul 11.23 WIB). Rena Denya.2007. Penggunaan Transformasi Radon Dalam Mengurangi Derau/Noise Pada Data Ground Penetrating Radar (Gpr). Thesis. URL: http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdlrenadenyaa-27411, (diakses tanggal 29 Desember 2014 pukul 07.09 WIB. Ardiansyah. 2011. Deforestasi di Pulau Kalimantan Tahun 2007-2009. Skripsi.Jakarta : Universitas Indonesia. Cornorth, William A., Temilola E. Fatoyinbo, Terri P. Freemantle, and Nathalie Pettorelli. 2013. Advanced Land Observing Satellite Phased Array Type LBandSAR (ALOS PALSAR) to Inform the Conservation of Mangroves: Sundarbans as a Case Study. 5, 224-237;doi;10.3390./rs5010224.ISSN 20724292. Danoedoro, Projo. 2012.Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta : Andi Offset. Ibrahim, Farid. 2014. Teknik Klasifikasi Berbasis Objek Untuk Klasifikasi Penutup Lahan Sebagian Kecamatan Mlati, Sleman, Tugas Akhir. Yogyakarta : Program Diploma Penginderaan Jauh dan SIG UGM.
A
Indrawati, Like. 2009. Penginderaan Jauh Sistem Aktif. Materi Kuliah.Yogyakarta : Program Diploma Penginderaan Jauh dan SIG UGM. Khoiriyah, Isti Faridlotul dan Noer M. Farda. 2011. Perbandingan Akurasi Klasifikasi Penutup Lahan Hasil Penggabungan Citra ALOS AVNIR-2 dan ALOS PALSAR pada Polarisasi Berbeda dengan Transformasi Wavelet. URL: http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/11/11, (diakses tanggal 20 Januari 2015 pukul 11.56 WIB). Kuenzer. C, Bluemel. A, Gebhardt. S, Quoc T.V, Dech .S. 2011.Remote sensing of mangrove ecosystems: A review. Remote Sens, 3, 878–928. Lillesand, Kiefer, dan Chipman .2004. Remote Sensing and image Interpretation, 5th edition. New York : JohnWiley & Sons. Lucas. R.M, et al. 2009.Characterisation and Monitoring of Mangroves Using ALOS PALSAR Data. Japan : The ALOS Kyoto & Carbon Initiative Science Team Reports Phase 1 (2006–2008); JAXA: Ibaraki, Japan,; Volume 1, pp. 158– 169. Noviar, Heru, Bambang Trisakti. 2013. Pemanfaatan Kanal Polarisasi dan Kanal Tekstur Data PiSAR-L2 untuk Klasifikasi Penutup Lahan Kawasan Hutan dengan Metode Klasifikasi Terbimbing. Jakarta : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Jurnal Penginderaan Jauh Vol 10 No.1 Juni 2013 : 47-58. Proisy, Christophe, Anthea Mitchell, Richard Lucas, François Fromard, Eric Mougin. 2003. Estimation of Mangrove Biomass using Multifrequency Radar Data. Application to Mangroves of French Guiana and Northern Australia. Proceeding of the Mangrove 2003 conference, 20-24 May 2003, Salvador, Bahia, Brazil. Riska, Ahsana. 2011.Pendugaan Biomassa Atas Permukaan Pada Tegakan Pinus (Pinus Merkusii Jungh Et De Vriese) Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi Spasial 50 M Dan 12,5 M (Studi Kasus Di Kph Banyumas Barat). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
B
Sambodo, Katmoko Ari. 2013. Pengolahan Data SAR untuk Klasifikasi Tutupan Lahan. Materi Presentasi. Jakarta : LAPAN. Sambodo, Katmoko Ari , Novie Indriasari.2013. Land Cover Classification Of Alos Palsar Data Using Support Vector Machine. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences vol 12. Shimada, Masanobu, Osamu Isoguchi, Takeo Tadono, dan Kazuo Isono. 2009. PALSAR Radiometric and Geometric Calibration. IEEE Transactions On Geoscience And Remote Sensing, Vol. 47, No. 12, Desember 2009 391. Shimada, Masanobu, M. Watanabe, T. Motooka, T. Shiraishi, R. Thapa. 2012.Stability Of Gamma-Naught And The Palsar Based Forest Mrv System. Japan : JAXA; EORC GEOS-AP Forest Session, April 3 2012. Sutanto. 1992. Penginderaan Jauh. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Small, David, Erich Meier. 2013. Synthetic Aperture Radar (SAR) - Radiometric Calibration.URL: http://www.geo.uzh.ch/en/units/rsl/research/radar-remotesensing-sarlab/research-projects/sar-radiometric-calibration, (diakses tanggal 20 Januari 2014 pukul 11.14 WIB).
C
LAMPIRAN
D
LAMPIRAN 1 A. Tampilan Citra Hasil Kalibrasi Gamma-naught 1. Tampilan Per Tile Polarisasi Citra ALOS PALSAR Hasil Kalibrasi Gamma-naught
Gambar 1.1. Tampilan Citra Tile A01 Band HH Hasil Kalibrasi Gamma-naught
Gambar 1.2.. Tampilan Citra Tile A01 Band HV Hasil Kalibrasi Gamma-naught
E
Gambar 1.3. Tampilan Citra Tile A01 Synthetic Band HH/HV Hasil Kalibrasi Gamma-naught
Gambar 1.4. Tampilan Citra Tile A02 Band HH Hasil Kalibrasi Gamma-naught
F
Gambar 1.5. Tampilan Citra Tile A02 Band HV Hasil Kalibrasi Gamma-naught
Gambar 1.6. Tampilan Citra Tile A02 Synthetic Band HH/HV Hasil Kalibrasi Gamma-naught
G
2. Tampilan Hasil Mosaic Citra ALOS PALSAR Hasil Kalibrasi Gamma-naught
Gambar 2.1 Tampilan Citra Mosaic Jawa Band HH Hasil Kalibrasi Gamma-naught
Gambar 2.2 Tampilan Citra Mosaic Jawa Band HV Hasil Kalibrasi Gamma-naught
Gambar 2.3 Tampilan Citra Mosaic Jawa Synthetic Band HH/HV Hasil Kalibrasi Gamma-naught
H
Gambar 2.4 Tampilan Citra Mosaic Jawa Komposit RGB (R=HH; G=HV; B=HH/HV)
3. Statistik Citra Hasil Pemrosesan Filename: E:\1-Data\3-Others\TA\PROSES\2MOZAIC\LayerStacking\ALPSR_JAVA_2009_RGB_GammaCorrected Dims: Full Scene (125,177,781 points) Basic Stats
Min
Max
Mean
Stdev
Band 1
-92.542427
15.847198
-11.720370
5.288053
Band 2
-84.834740
0.000000
-70.871596
2.325386
Band 3
-92.542427
13.804497
-21.046792
6.928500
I
4.
Tabel Pemrosesan Kalibrasi Gamma-naught Tabel 6.1 Rincian Proses Kalibrasi Gamma-naught Contoh : File ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001_IMG
No
1.
Tahapan
Akuisi Data (mengunduh
Perangkat
Input
Output
Lunak
(*format)
(*format)
Google
-
Log Proses/Metadata
ALPSR-ASD-
-
ORM_JAWA200906FBD343HH0
Chrome
A01_001_IMG (*raw)
dari
ALPSR-ASD-
http://www.eor
ORM_JAWA200906FBD343HH0
c.jaxa.jp/ALOS
A01_001_HDR (*hdr)
/en/kc_mosaic/ kc_mosaic.htm )
2.
Eksport Raw data menjadi
ASF
ALPSR-ASD-
Amplitude_ALPSR-ASD-
Mapready
ORM_JAWA200906FBD343HH
ORM_JAWA200906FBD343HH0
0A01_001_IMG (*raw)
A01_001(*tiff)
3.2.1
Geotiff
Expot.txt MapReady version 3.2.1 Running with settings: Format: CEOS L1 Data type: Amplitude Terrain Correction: No Geocoding: <none> Export: GeoTIFF (float)
ALPSR-ASD-
Amplitude_ALPSR-ASD-
ORM_JAWA200906FBD343HH
ORM_JAWA200906FBD343HH0
0A01_001_IMG (*txt)
A01_001(*txt)
Command line: C:\Program Files (x86)\ASF_Tools\MapReady 3.2/asf_mapready.exe -log E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des2014_05-50-36\mapready.log E:\1-Data\3-
J
Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des2014_05-50-36\mapready.cfg Date: 08-Dec-2014, 05:50:37 PID: 4376 Version: C:\Program Files (x86)\ASF_Tools\MapReady 3.2/asf_mapready.exe, part of MapReady 3.2.1 Starting at: 05:50:37 Importing: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01/ALPSRASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001 Data format: ALOS MOSAIC Processed 6680 of 6680 lines. Import complete. Imported file: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des2014_05-50-36/import 1 imported file to process. Processing: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des2014_05-50-36/import Exporting... (E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des2014_05-50-36/import) -> (E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001.tif) Exporting ... Writing band '01' ... Writing output file... Processed 6680 of 6680 lines.
K
Export complete. Generated 1 output file: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001.tif Export successful! Result: E:\1-Data\3Others\TA\ALS_PLSR_JAVA_ORTHO_50m_2007&2009\ALS_PLSR_2009_A01\EKSPOR T3\Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001-08-Des2014_05-50-36/import Done at: 05:51:38 Elapsed time: 1 minute, 1 second. Successful completion!
mapready.txt # This file contains the metadata for satellite capture file of the same base name. # '?' is likely an unknown single character value. # '???' is likely an unknown string of characters. # '-999999999' is likely an unknown integer value. # 'nan' is likely an unknown Real value. meta_version: 3.50 general { # Begin parameters generally used in remote sensing name: ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001 # File name sensor: ALOS # Imaging satellite
L
sensor_name: PALSAR mode: FBD receiving_station: ??? station processor: SIGMA-SAR-MOSAIC Processor data_type: REAL32 (e.g. REAL64) image_data_type: MOSAIC (e.g. AMPLITUDE_IMAGE) radiometry: AMPLITUDE SIGMA) acquisition_date: 200906 the data orbit: -999999999 this datatake orbit_direction: A descending 'D' frame: -999999999 [-1 if n/a] band_count: 1 image bands: MOSAIC line_count: 6680 image sample_count: 12245 image start_line: 0 to original image start_sample: 0 relative to original image x_pixel_size: 50 y_pixel_size: 50 [m] center_latitude: -7.5501 center latitude center_longitude: 107.7497 center longitude
# Imaging sensor # Imaging mode # Downlinking ground # Name and Version of # Type of samples # Image data type # Radiometry (e.g. # Acquisition date of # Orbit Number for # Ascending 'A', or # Frame for this image # Number of bands in # Band of the sensor # Number of lines in # Number of samples in # First line relative # First sample # Range pixel size [m] # Azimuth pixel size # Approximate image # Approximate image
M
re_major: 6378137.000 of earth [m] re_minor: 6356752.314 of earth [m] bit_error_rate: NaN which are in error missing_lines: -999999999 lines in data take no_data: nan data for a pixel }
# Major (equator) Axis # Minor (polar) Axis # Fraction of bits # Number of missing # Value indicating no # End general
projection { # Map parameters type: EQUI_RECTANGULAR # startX: 11688546.533294 # Coordinate at top-left, X direction startY: -667916.944790 # Coordinate at top-left, Y direction perX: 50 # Coordinate per pixel, X direction perY: -50 # Coordinate per pixel, Y direction units: meters # [meters, seconds, degrees] hem: S # [N=northern hemisphere; S=southern hemisphere] spheroid: GRS1980 # re_major: 6378137.000 # of earth [m] re_minor: 6356752.314 # of earth [m] datum: ITRF97 # height: 0.000 # param { # parameters eqr { Equirectangular projection
Projection Projection Type Projection Projection Projection Projection Units of projection Hemisphere: Spheroid Major Axis (equator) Minor Axis (polar) Geodetic Datum Height [m] Projection specific # Begin
N
central_meridian: 0.0000 center meridian [degrees] orig_latitude: 0.0000 the projection origin [degrees] false_easting: 0.000 easting [m] false_northing: 0.000 northing [m] } } } location { corner coordinates lat_start_near_range: -6.0000 start in near range lon_start_near_range: 105.0000 start in near range lat_start_far_range: -6.0000 start in far range lon_start_far_range: 110.5000 start in far range lat_end_near_range: -9.0000 end in near range lon_end_near_range: 110.5000 end in near range lat_end_far_range: -9.0000 end in far range lon_end_far_range: 105.0000 end in far range }
# Longitude of # Latitude of # False # False # End eqr # End param # End projection # Block containing image # Latitude at image # Longitude at image # Latitude at image # Longitude at image # Latitude at image # Longitude at image # Latitude at image # Longitude at image # End location
calibration { # Block containing calibration information type: ALOS # Calibration type (ASF, ASF ScanSAR, ESA, RSAT, ALOS, TSX, RSAT2, UAVSAR) cf_hh: -83 # Calibration factor: HH
O
cf_hv: 0
# Calibration factor:
cf_vh: 0
# Calibration factor:
cf_vv: 0
# Calibration factor:
HV VH VV }
3.
Amplitude_ALPSR-ASD-
ALPSR_A01_2009_HH_1_
Digital
ORM_JAWA200906FBD343
KuadratDN (*ENVIStandart)
Number
HH0A01_001(*tiff)
Kuadrat
ENVI 5.0
ALPSR_A01_2009_HH_1_Kua dratDN (*enp)
ALPSR_A01_2009_HH_1_Kua dratDN (*hdr)
# End calibration
ENVI description = { Band Math Result, Expression = [b1*b1] B1:Band 1:Amplitude_ALPSR-ASD-ORM_JAWA200906FBD343HH0A01_001.tif [Mon Dec 08 06:06:13 2014]} samples = 12245 lines = 6680 bands = 1 header offset = 0 file type = ENVI Standard data type = 4 interleave = bsq sensor type = Unknown byte order = 0 map info = {Equirectangular, 1.0000, 1.0000, 11688546.5333, 667916.9448, 5.0000000000e+001, 5.0000000000e+001, D_Unknown, units=Meters} projection info = {17, 6378137.0, 0.000000, 0.000000, 0.0, 0.0, D_Unknown, Equirectangular, units=Meters} coordinate system string = {PROJCS["Equirectangular",GEOGCS["GCS_Unknown",DATUM["D_Unknown",SPH EROID["S_Unknown",6378137.0,0.0]],PRIMEM["Greenwich",0.0],UNIT["Degr ee",0.0174532925199433]],PROJECTION["Equidistant_Cylindrical"],PARAM ETER["False_Easting",0.0],PARAMETER["False_Northing",0.0],PARAMETER[ "Central_Meridian",0.0],PARAMETER["Standard_Parallel_1",0.0],UNIT["M eter",1.0]]}
P
wavelength units = Unknown band names = { Band Math (b1*b1)}
4.
Convolutions
ENVI 5.0
ALPSR_A01_2009_HH_1_
ALPSR_A01_2009_HH_2_con
KuadratDN (*ENVIStandart)
volutions3x3 (*ENVIStandart)
ALPSR_A01_2009_HH_2_con volutions3x3 (*enp)
ALPSR_A01_2009_HH_2_con volutions3x3 (*hdr)
5.
ALPSR_A01_2009_HH_2_c
ALPSR_A01_2009_HH_3_alo
Digital
onvolutions3x3
g10DN(*ENVI Standart)
Number
(*ENVIStandart)
Alog10
ENVI 5.0
ENVI description = { Convolution Result [Mon Dec 08 18:57:00 2014]} samples = 12245 lines = 6680 bands = 1 header offset = 0 file type = ENVI Standard data type = 4 interleave = bsq sensor type = Unknown byte order = 0 map info = {Equirectangular, 1.0000, 1.0000, 11688546.5333, 667916.9448, 5.0000000000e+001, 5.0000000000e+001, D_Unknown, units=Meters} projection info = {17, 6378137.0, 0.000000, 0.000000, 0.0, 0.0, D_Unknown, Equirectangular, units=Meters} coordinate system string = {PROJCS["Equirectangular",GEOGCS["GCS_Unknown",DATUM["D_Unknown",SPH EROID["S_Unknown",6378137.0,0.0]],PRIMEM["Greenwich",0.0],UNIT["Degr ee",0.0174532925199433]],PROJECTION["Equidistant_Cylindrical"],PARAM ETER["False_Easting",0.0],PARAMETER["False_Northing",0.0],PARAMETER[ "Central_Meridian",0.0],PARAMETER["Standard_Parallel_1",0.0],UNIT["M eter",1.0]]} wavelength units = Unknown band names = { Conv (Band Math (b1*b1):ALPSR_A01_2009_HH_1_KuadratDN)} ENVI description = { Band Math Result, Expression = [alog10(b1)] B1:Conv (Band Math (b1*b1):ALPSR_A01_2009_HH_1_KuadratDN):ALPSR_A01_2009_HH_2_convoluti ons3x3
Q
ALPSR_A01_2009_HH_3_alo g10DN(*enp)
ALPSR_A01_2009_HH_3_alo g10DN(*txt)
6.
Pengkalian 10 Digital
ENVI 5.0
ALPSR_A01_2009_HH_3_al
ALPSR_A01_2009_HH_4_10
og10DN(*ENVI Standart)
DN (*ENVI Standart)
Number
ALPSR_A01_2009_HH_4_10 DN (*enp)
[Mon Dec 08 19:05:23 2014]} samples = 12245 lines = 6680 bands = 1 header offset = 0 file type = ENVI Standard data type = 4 interleave = bsq sensor type = Unknown byte order = 0 map info = {Equirectangular, 1.0000, 1.0000, 11688546.5333, 667916.9448, 5.0000000000e+001, 5.0000000000e+001, D_Unknown, units=Meters} projection info = {17, 6378137.0, 0.000000, 0.000000, 0.0, 0.0, D_Unknown, Equirectangular, units=Meters} coordinate system string = {PROJCS["Equirectangular",GEOGCS["GCS_Unknown",DATUM["D_Unknown",SPH EROID["S_Unknown",6378137.0,0.0]],PRIMEM["Greenwich",0.0],UNIT["Degr ee",0.0174532925199433]],PROJECTION["Equidistant_Cylindrical"],PARAM ETER["False_Easting",0.0],PARAMETER["False_Northing",0.0],PARAMETER[ "Central_Meridian",0.0],PARAMETER["Standard_Parallel_1",0.0],UNIT["M eter",1.0]]} wavelength units = Unknown band names = { Band Math (alog10(b1))} ENVI description = { Band Math Result, Expression = [10.0*(b1)] B1:Band Math (alog10(b1)):ALPSR_A01_2009_HH_3_alog10DN [Mon Dec 08 19:06:21 2014]} samples = 12245 lines = 6680 bands = 1 header offset = 0 file type = ENVI Standard data type = 4 interleave = bsq
R
ALPSR_A01_2009_HH_4_10 DN (*hdr)
7.
Pengurangan CF
ENVI 5.0
ALPSR_A01_2009_HH_4_1
ALPSR_A01_2009_HH_5_DN
0DN (*ENVI Standart)
-83 (*ENVI Standart)
(Digital Number -83)
ALPSR_A01_2009_HH_5_DN -83 (*enp)
ALPSR_A01_2009_HH_5_DN -83 (*hdr)
sensor type = Unknown byte order = 0 map info = {Equirectangular, 1.0000, 1.0000, 11688546.5333, 667916.9448, 5.0000000000e+001, 5.0000000000e+001, D_Unknown, units=Meters} projection info = {17, 6378137.0, 0.000000, 0.000000, 0.0, 0.0, D_Unknown, Equirectangular, units=Meters} coordinate system string = {PROJCS["Equirectangular",GEOGCS["GCS_Unknown",DATUM["D_Unknown",SPH EROID["S_Unknown",6378137.0,0.0]],PRIMEM["Greenwich",0.0],UNIT["Degr ee",0.0174532925199433]],PROJECTION["Equidistant_Cylindrical"],PARAM ETER["False_Easting",0.0],PARAMETER["False_Northing",0.0],PARAMETER[ "Central_Meridian",0.0],PARAMETER["Standard_Parallel_1",0.0],UNIT["M eter",1.0]]} wavelength units = Unknown band names = { Band Math (10.0*(b1))} ENVI description = { Band Math Result, Expression = [b1-83.0] B1:Band Math (10.0*(b1)):ALPSR_A01_2009_HH_4_10DN [Mon Dec 08 19:07:15 2014]} samples = 12245 lines = 6680 bands = 1 header offset = 0 file type = ENVI Standard data type = 4 interleave = bsq sensor type = Unknown byte order = 0 map info = {Equirectangular, 1.0000, 1.0000, 11688546.5333, 667916.9448, 5.0000000000e+001, 5.0000000000e+001, D_Unknown, units=Meters} projection info = {17, 6378137.0, 0.000000, 0.000000, 0.0, 0.0, D_Unknown, Equirectangular, units=Meters} coordinate system string = {PROJCS["Equirectangular",GEOGCS["GCS_Unknown",DATUM["D_Unknown",SPH
S
EROID["S_Unknown",6378137.0,0.0]],PRIMEM["Greenwich",0.0],UNIT["Degr ee",0.0174532925199433]],PROJECTION["Equidistant_Cylindrical"],PARAM ETER["False_Easting",0.0],PARAMETER["False_Northing",0.0],PARAMETER[ "Central_Meridian",0.0],PARAMETER["Standard_Parallel_1",0.0],UNIT["M eter",1.0]]} wavelength units = Unknown band names = { Band Math (b1-83.0)}
8.
Mosaic
ENVI 5.0
ALPSR_A01_2009_HH_5_D
ALPSR_JAVA_2009_GEOGRAP
N-83 (*ENVI Standart)
HIC_HH_GammaCorrected
(*ENVI Standart)
ALPSR_JAVA_2009_GEOGRAP HIC_HH_GammaCorrected
ALPSR_A02_2009_HH_5_D
(*enp)
N-83 (*ENVI Standart) ALPSR_JAVA_2009_GEOGRAP HIC_HH_GammaCorrected
(*hdr)
ENVI description = { Mosaic Result [Wed Dec 10 08:03:12 2014]} samples = 18787 lines = 6663 bands = 1 header offset = 0 file type = ENVI Standard data type = 4 interleave = bsq sensor type = ALOS byte order = 0 map info = {Geographic Lat/Lon, 1.0000, 1.0000, 105.00000000, 6.00000000, 5.8552000000e-004, 4.5031000000e-004, WGS-84, units=Degrees} coordinate system string = {GEOGCS[“GCS_WGS_1984”,DATUM[“D_WGS_1984”,SPHEROID[“WGS_1984”,637813 7.0,298.257223563]],PRIMEM[“Greenwich”,0.0],UNIT[“Degree”,0.01745329 25199433]]} wavelength units = Unknown geo points = { 1.5000, 1.5000, -6.00022515, 105.00029276, 18787.5000, 1.5000, -6.00022515, 115.99987148, 1.5000, 6663.5000, -9.00019037, 105.00029276, 18787.5000, 6663.5000, -9.00019037, 115.99987148} band names = { Mosaic (Band 1)}
T
9.
Layer Stacking Komposit
ENVI 5.0
ALPSR_JAVA_2009_GEOGRA
ALPSR_JAVA_2009_RGB_Gamm
PHIC_HH_GammaCorrected
aCorrected(*ENVI Standart)
(*ENVI Standart)
RGB ALPSR_JAVA_2009_GEOGRA PHIC_HV_GammaCorrected
ALPSR_JAVA_2009_RGB_Gamm
(*ENVI Standart)
aCorrected(*enp)
ALPSR_JAVA_2009_RGB_Gamm aCorrected(*hdr) ALPSR_JAVA_2009_GEOGRA PHIC_HHHV_GammaCorrected
(*ENVI Standart)
ENVI description = { Create Layer File Result [Thu Dec 11 08:57:16 2014]} samples = 18787 lines = 6663 bands = 3 header offset = 0 file type = ENVI Standard data type = 4 interleave = bsq sensor type = Unknown byte order = 0 map info = {Geographic Lat/Lon, 1.0000, 1.0000, 105.00000000, 6.00000000, 5.8552000000e-004, 4.5031000000e-004, WGS-84, units=Degrees} coordinate system string = {GEOGCS["GCS_WGS_1984",DATUM["D_WGS_1984",SPHEROID["WGS_1984",637813 7.0,298.257223563]],PRIMEM["Greenwich",0.0],UNIT["Degree",0.01745329 25199433]]} wavelength units = Unknown band names = { Layer (Mosaic (Band 1):ALPSR_JAVA_2009_GEOGRAPHIC_HH_GammaCorrected), Layer (Mosaic (Band 1):ALPSR_JAVA_2009_GEOGRAPHIC_HHHV_GammaCorrected), Layer (Mosaic (Band 1):ALPSR_JAVA_2009_GEOGRAPHIC_HV_GammaCorrected)}
U
5.
Tabel Titik Survey Lapangan Tabel 6.1. Titik Survey Lapangan
No
Area Survey
Titik
Koordinat X
Koordinat Y
1
1.1
110,42037
-7,68497
2
1.10
110,42048
-7,68498
3
1.2
110,42040
-7,68500
4
1.3
110,42040
-7,68500
5
1.4
110,42040
-7,68497
1.5
110,42040
-7,68497
7
1.6
110,42037
-7,68493
8
1.7
110,42041
-7,68494
9
1.8
110,42043
-7,68496
10
1.9
110,42043
-7,68499
6
1
11 12 13 14
10
10.1
110,40503
-7,65992
10.10
110,40511
-7,65998
10.2
110,40503
-7,65992
10.3
110,40504
-7,65999
Penutuplahan Lapangan Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Permukiman Daerah pertanian Daerah pertanian
Penutuplahan Klasifikasi Citra Terkalibrasi
Penutuplahan Klasifikasi Citra Belum Terkalibrasi
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Sample Foto Lapangan
Titik 1.3. Sawah
Titik 1.10. Sawah Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
V
15
10.4
110,40504
-7,65999
16
10.5
110,40512
-7,66002
17
10.6
110,40512
-7,66009
18
10.7
110,40507
-7,66009
19
10.8
110,40509
-7,66016
20
10.9
110,40516
-7,66011
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Perairan
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman Titik 10.4. Ladang
Daerah Pertanian
Permukiman
Titik 10.9. Perairan 21
11.1
110,41393
-7,66070
22
11.10
110,41396
-7,66067
23
11.2
110,41398
-7,66070
11.3
110,41396
-7,66067
25
11.4
110,41398
-7,66070
26
11.5
110,41403
-7,66069
27
11.6
110,41403
-7,66069
24
11
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Titik 11.2. Sawah
W
28
11.7
110,41401
-7,66065
29
11.8
110,41398
-7,66063
30
11.9
110,41394
-7,66063
Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian Titik 11.6. Kebun
31
12.1
110,43734
-7,68378
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
32
12.10
110,43742
-7,68377
Permukiman
Permukiman
Permukiman
33
12.2
110,43734
-7,68378
Permukiman
Permukiman
Permukiman
34
12.3
110,43733
-7,68375
Permukiman
Permukiman
Permukiman
35
12.4
110,43734
-7,68373
Permukiman
Permukiman
Permukiman
36
12.5
110,43736
-7,68376
Permukiman
Permukiman
Permukiman
37
12.6
110,43736
-7,68376
Permukiman
Permukiman
Permukiman
12.7
110,43736
-7,68379
Permukiman
Permukiman
Permukiman
12.8
110,43740
-7,68378
Permukiman
Permukiman
Permukiman
12.9
110,43736
-7,68379
Permukiman
Permukiman
Permukiman
38 39
40
12
Titik 12.4. Permukiman
Titik 12.7. Permukiman
X
41
2.1
110,44072
-7,64171
42
2.10
110,44070
-7,64160
43
2.2
110,44078
-7,64170
44
2.3
110,44074
-7,64168
45
2.4
110,44078
-7,64166
2.5
110,44082
-7,64161
47
2.6
110,44078
-7,64157
48
2.7
110,44072
-7,64155
49
2.8
110,44071
-7,64165
50
2.9
110,44074
-7,64160
46
2
51
3.1
110,41696
-7,68627
52
3.10
110,41690
-7,68621
53
3.2
110,41691
-7,68625
3.3
110,41696
-7,68627
55
3.4
110,41695
-7,68622
56
3.5
110,41691
-7,68625
57
3.6
110,41686
-7,68618
54
3
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian
Titik 2.6. Sawah
Titik 2.10. Kebun campuran Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka
Gambar 3.2. Sawah
Y
58
3.7
110,41686
-7,68618
59
3.8
110,41690
-7,68621
60
3.9
110,41690
-7,68621
Daerah pertanian Daerah pertanian
Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Bukan Daerah Pertanian
Lahan terbuka Lahan terbuka
Lahan terbuka Titik 3.9. Sawah
61
4.1
110,42316
-7,67511
62
4.10
110,42361
-7,67503
63
4.2
110,42317
-7,67491
64
4.3
110,42329
-7,67504
65
4.4
110,42351
-7,67508
4.5
110,42356
-7,67489
67
4.6
110,42341
-7,67493
68
4.7
110,42314
-7,67475
69
4.8
110,42332
-7,67484
70
4.9
110,42347
-7,67476
66
4
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Titik 4.2. Sawah
Titik 4.1. Ladang
Z
71
5.1
110,42280
-7,68274
72
5.10
110,42296
-7,68274
73
5.2
110,42272
-7,68265
74
5.3
110,42274
-7,68261
75
5.4
110,42279
-7,68255
76
5.5
110,42290
-7,68247
5.6
110,42278
-7,68243
78
5.7
110,42298
-7,68263
79
5.8
110,42258
-7,68247
80
5.9
110,42259
-7,68267
77 5
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Titik 5.2. Kebun
Titik 5.6. Kebun campuran 81 82 83
6
6.1
110,41667
-7,67895
6.10
110,41689
-7,67885
6.2
110,41667
-7,67895
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
AA
84
6.3
110,41674
-7,67891
85
6.4
110,41702
-7,67887
86
6.5
110,41711
-7,67884
87
6.6
110,41720
-7,67884
88
6.7
110,41710
-7,67876
89
6.8
110,41682
-7,67883
90
6.9
110,41683
-7,67886
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Daerah Pertanian
Lahan terbangun
Titik 6.7. Kebun
Titik 6.9. Sawah 91
7.1
110,41691
-7,67871
92
7.10
110,41671
-7,67856
93
7.2
110,41674
-7,67869
7.3
110,41673
-7,67867
95
7.4
110,41698
-7,67871
96
7.5
110,41714
-7,67869
97
7.6
110,41705
-7,67864
94
7
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Titik 7.1. Kebun
BB
98
7.7
110,41689
-7,67866
99
7.8
110,41683
-7,67866
100
7.9
110,41676
-7,67863
101
8.1
110,41811
-7,68321
102
8.10
110,41813
-7,68309
103
8.2
110,41820
-7,68321
104
8.3
110,41816
-7,68322
105
8.4
110,41807
-7,68321
8.5
110,41808
-7,68318
107
8.6
110,41798
-7,68317
108
8.7
110,41797
-7,68320
109
8.8
110,41791
-7,68317
110
8.9
110,41794
-7,68310
106
111
8
9
9.1
110,45757
-7,68633
Daerah pertanian Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah pertanian
Daerah Pertanian
Permukiman
Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian Daerah pertanian
Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian Bukan Daerah Pertanian
Daerah pertanian
Bukan Daerah Pertanian
Lahan terbuka
Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
Titik 7.9. Sawah
Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Titik 8.5. Sawah Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka Lahan terbuka
Titik 8.8. Sawah
CC
112
9.10
110,45748
-7,68611
Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
113
9.2
110,45746
-7,68635
Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
114
9.3
110,45738
-7,68635
Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
115
9.4
110,45728
-7,68635
Permukiman
Lahan terbuka
116
9.5
110,45727
-7,68625
Permukiman
Lahan terbuka
117
9.6
110,45718
-7,68626
Permukiman Daerah pertanian Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
118
9.7
110,45726
-7,68630
Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
119
9.8
110,45740
-7,68628
Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
120
9.9
110,45749
-7,68627
Permukiman
Permukiman
Lahan terbuka
Titik 9.2. Permukiman
Titik 9.5. Kebun campuran
DD