Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
KAJIAN TERHADAP PERATURAN TENTANG SEIFGARD DAN KEAMANAN BAHAN NUKLIR MENGGUNAKAN KUESIONER USDOE (UNITED STATES DEPARTMENT OF ENERGY) Djibun Sembiring dan Taruniyati Handayani BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR Jl. Gajah Mada 8, Jakarta 10120
ABSTRAK Sejalan dengan tren di dunia internasional yang semakin menekankan kepada keamanan dan seifgard bahan nuklir, Indonesia, dalam hal ini BAPETEN, telah melakukan langkah langkah penyempurnaan peraturan yang berhubungan dengan bahan nuklir, seperti peraturan tentang proteksi fisik bahan nuklir dan sistem nasional mengenai pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir. Salah satu langkah perbaikan yang dilakukan BAPETEN adalah penandatanganan Kesepakatan tentang Kerja Sama Teknologi Seifgard dan Keamanan bahan Nuklir dengan USDOE (United states Department of Energy) tanggal 9 November 2004. Sebagai tindak lanjut kesepakatan ini, dibuatlah suatu kajian mengenai kelengkapan, konsistensi, dan kejelasan peraturan yang telah ada. Perangkat yang digunakan dalam melakukan kajian adalah berupa kuesioner yang telah disusun USDOE, untuk dipakai oleh tim dari BAPETEN sebagai indikator bagi kelengkapan peraturan mengenai bahan nuklir yang telah ada. Dari hasil kajian, disimpulkan bahwa peraturan mengenai bahan nuklir masih perlu disempurnakan untuk menjamin terciptanya efektivitas dan kesinambungan sistem seifgard dan keamanan di Indonesia. Kata kunci : bahan nuklir, proteksi fisik
ABSTRACT In line with the international trends emphasizing the security and safeguards of nuclear materials, Indonesia, through BAPETEN, has been taking actions in improving its regulations regarding nuclear materials, such as physical protection regulatory dan state system for accounting and control regulatory. One of the actions is making the Arrangement for Cooperation in Nuclear Material Security and Safeguards Technologies with USDOE (United states Department of Energy), dated November 9, 2004. Pursuant to the Arrangement, an assessment of the completeness, consistency, and clarity of BAPETEN’s current regulatory structure is established. As a tool for the assessment, a questionnaire has been established by USDOE for BAPETEN as an indicator for the adequacy of BAPETEN’s current regulatory structure. From the assessment, it can be concluded that BAPETEN’s current regulatory structure regarding nuclear materials still needs improvement to ensure the effectiveness and sustainability of safeguard and security systems in Indonesia.
431
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
PENDAHULUAN
Undangundang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran[1] memberikan wewenang kepada BAPETEN untuk melakukan pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir. Salah satu tujuan pengawasan yang dituangkan dalam pasal 15 Undangundang tersebut di atas adalah untuk mencegah penyalahgunaan tujuan bahan nuklir. Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan bahan nuklir, BAPETEN telah menetapkan beberapa peraturan termasuk peraturan Kepala BAPETEN yang menjadi landasan hukum pengelolaan bahan nuklir di Indonesia. Saat ini, tren keamanan telah berubah setelah peristiwa serangan teroris terhadap WTC di Amerika Serikat tanggal 11 September 2001, atau yang lebih dikenal dengan peristiwa 9/11. Sedikit banyak, ini mempengaruhi perkembangan standar internasional di bidang ketenaganukliran, dengan semakin banyaknya standar yang menekankan kepada pentingnya pengaturan terhadap seifgard (safeguard) dan keamanan (security) bahan nuklir dalam rangka mencegah terjadinya aksi terorisme seperti pencurian bahan nuklir atau sabotase terhadap fasilitas nuklir. Mengikuti perkembangan seifgard dan keamanan di dunia internasional, pada tahun 1999 Indonesia telah meratifikasi Additional Protocol to Safeguards Agreement[2] yang merupakan kelanjutan dari Kerja Sama Seifgard (safeguard Agreement) dengan IAEA di tahun 1980[3]. Selain itu, terdapat Keputusan Presiden (Keppres) No. 49 Tahun 1986 tentang Pengesahan Convention on the Physical Protection on Nuclear Material[4]. Jauh sebelumnya, komitmen NKRI terhadap pemakaian bahan nuklir untuk maksud damai dituangkan ke dalam dua undangundang, yaitu Undangundang No. 8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjatasenjata Nuklir[5]. Sembilan belas tahun kemudian, diterbitkan Undangundang No. 9 Tahun 1997 tentang Pengesahan Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara)[6]. Pengaturan tentang bahan nuklir juga termuat di dalam pasalpasal Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Ka. BAPETEN yang telah diterbitkan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, misalnya:
PP No. 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir pasal 2,3, dan 4[7];
432
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif pasal 7[8];
PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif pasal 20[9];
Keputusan Ka. BAPETEN No. 02P/KaBAPETEN/VI99 tentang Proteksi Fisik Bahan Nuklir[10];
Keputusan Ka. BAPETEN No. 05/KaBAPETEN/V99 tentang Ketentuan Keselamatan Disain Reaktor Penelitian pasal Bab 5[11];
Keputusan Ka. BAPETEN No. 06/KaBAPETEN/V99 tentang Pembangunan dan Pengoperasian Reaktor Nuklir pasal 26[12];
Keputusan Ka. BAPETEN No. 06p /kabapeten/XI00 tentang Pedoman Pembuatan Laporan Analisis Keselamatan Reaktor Penelitian Bab XIII[13]; dan
Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 2 Tahun 2005 tentang Sistem Pertanggungjawaban dan Pengendalian Bahan Nuklir[14].
Namun dari semua peraturan yang disebutkan di atas, hanya di Keputusan Ka. BAPETEN No. 02P/ 99 dan Perka BAPETEN No. 2 Tahun 2005 inilah paling banyak dikupas halhal yang terkait dengan seifgard dan keamanan bahan nuklir. Selain kedua peraturan di atas, terdapat juga peraturan yang masih berupa draf, yaitu Draf Peraturan mengenai Ketentuan Pelaksanaan Protokol Tambahan Sistem Pertanggungjawaban dan Pengawasan Bahan Nuklir[15]. Untuk memastikan bahwa struktur pengaturan seifgard dan keamanan bahan nuklir di Indonesia sesuai dengan normanorma dan standar internasional, maka pada tanggal 9 November 2004 BAPETEN dan USDOE telah menandatangani Kesepakatan tentang Kerja Sama Teknologi Seifgard dan Keamanan bahan Nuklir. Dengan kesepakatan ini, BAPETEN dan USDOE sepakat untuk bekerja sama mengembangkan suatu kajian terhadap halhal yang diperlukan BAPETEN untuk mengembangkan pengaturan mengenai seifgard dan keamanan bahan nuklir (“regulatory needs assessment”). Kajian yang dilakukan ini akan melihat struktur pengaturan di Indonesia, baik yang telah ada maupun yang masih dalam rencana, setelah itu akan dilakukan evaluasi terhadap kelengkapannya, konsistensinya, dan kejelasannya. Dari kajian ini, ke depan diharapkan tersusun suatu struktur pengaturan yang menyeluruh, tidak berarti ganda, terpadu dan sejalan dengan normanorma dan standar internasional yang akan mendukung terciptanya efektivitas dan kesinambungan sistem seifgard dan keamanan di Indonesia.
433
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
Hasil yang diperoleh dari kajian ini selanjutnya akan digunakan untuk mengembangkan road map mengenai seifgard dan keamanan bahan nuklir yang nantinya akan menentukan arah kerja sama antara BAPETEN dan USDOE yang saling menguntungkan.
KUESIONER “REGULATORY NEED ASSESSMENT” DAN METODE PENGISIANNYA Pada dasarnya, ada enam bidang pengaturan terkait bahan nuklir yang dibahas dalam kuesioner “regulatory need assessment” yang diajukan USDOE[16], yaitu : pengaturan tentang proteksi fisik; pengaturan tentang sistem nasional pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir; pengaturan tentang pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir di fasilitas nuklir; pengaturan tentang pengungkung dan surveilan, pengaturan tentang informasi desain; dan pengaturan tentang Protokol Tambahan. Namun tulisan ini hanya akan menguraikan kuesioner untuk bidang yang telah ada peraturannya atau draf peraturannya, yaitu pengaturan tentang proteksi fisik; pengaturan tentang sistem nasional pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir, dan pengaturan tentang Protokol Tambahan. Dari peraturan yang telah ada maupun yang masih berupa draf tersebut, akan dikaji mengenai kelengkapan isinya dalam mengatur halhal terkait bahan nuklir, disesuaikan dengan lingkup persyaratan yang berlaku secara internasional. Pertimbangan utama pembatasan pembahasan hanya kepada kuesioner di bidang yang telah ada peraturannya adalah untuk berbagi informasi kepada masyarakat mengenai upaya yang dilakukan BAPETEN untuk terus menyempurnakan peraturan yang diterbitkannya agar dapat menjadi peraturan yang lengkap, sesuai nalar, konsisten, dan jelas. Setiap kuesioner untuk tiap bidang pengaturan berisi sekitar 10 sampai 25 pertanyaan. Pembahasan mengenai setiap pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut dilakukan secara tatap muka antara pihak USDOE dengan tim “regulatory need assessment” dari BAPETEN. Pertanyaan yang diajukan pada dasarnya berupa pertanyaan dengan jawaban “ya atau tidak”, tetapi form kuesioner juga menyediakan tempat bagi komentar yang mungkin muncul di dalam diskusi. Namun demikian, karena terbatasnya waktu yang tersedia untuk membahas butirbutir dalam kuesioner, maka tidak semua pertanyaan dalam kuesioner diajukan dan dibahas.
434
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
Mengingat sifatnya yang rahasia (business confidential) dan masih dalam tahap awal, form kuesioner yang disusun oleh USDOE tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam makalah ini. Namun secara ringkas akan digambarkan mengenai isi kuesioner secara umum. Yang pertama kali ditanyakan dalam kuesioner tentu saja adalah apakah peraturan mengenai bidang yang menjadi obyek kuesioner sudah diterbitkan oleh BAPETEN. Pertanyaan selanjutnya mengupas kelengkapan isi dari peraturan yang sedang dibahas, dikaitkan dengan standar internasional yang berlaku mengenai seifgard dan keamanan bahan nuklir. Kuesioner di bidang pengaturan tentang proteksi fisik antara lain menanyakan apakah peraturan yang ada telah mensyaratkan proteksi fisik di setiap tahapan pembangunan dan pengoperasian reaktor; apakah pendekatan bertingkat telah diatur berdasarkan kategori dan jumlah bahan nuklir, Ancaman Dasar Desain, dan kajian terhadap kerentanan; apakah rencana kedaruratan mengenai pencurian dan sabotase bahan nuklir dan fasilitas nuklir telah dimuat dalam peraturan; apakah peraturan mewajibkan personil yang menangani proteksi fisik telah diberi pelatihan dan telah terkualifikasi; dan apakah wewenang BAPETEN telah diatur di dalam peraturan tentang proteksi fisik. Kuesioner di bidang pengaturan tentang sistem nasional pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir menanyakan halhal seperti misalnya apakah peraturan yang ada telah menyebutkan wewenang dan tanggung jawab manajemen SPPBN; apakah laporan sistem nasional pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir ke IAEA secara elektronik telah dimasukkan ke dalam aturan; apakah peraturan mewajibkan pelatihan sistem nasional pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir, termasuk pelatihan oleh IAEA; apakah kerahasiaan dan sanksi atas pelanggaran kerahasiaan telah dicantumkan dalam aturan; apakah peraturan telah mensyaratkan tentang sistem pengukuran dan program pengendalian pengukuran; dan apakah telah dimuat sistem untuk mencatat dan melaporkan inventori dan transfer bahan nuklir. Kuesioner di bidang pengaturan tentang Protokol Tambahan menanyakan antara lain apakah peraturan telah menjelaskan komponen dan persyaratan mengenai Protokol tambahan; apakah peraturan mewajibkan pelatihan tentang Protokol Tambahan bagi staf BAPETEN, operator, dan staf fasilitas; dan apakah peraturan menyebutkan diperlukannya laporan terkait Lampiran I dan II pada Protokol Tambahan (ini akan mengarah kepada penyusunan pengawasan terhadap ekspor).
435
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
PEMBAHASAN Pertanyaan yang diajukan tidak berhenti hanya pada jawaban “ya” atau “tidak”, tetapi berkembang menjadi sebuah diskusi aktif, sehingga tercapai beberapa kesepakatan antara pihak USDOE dengan pihak tim “regulatory need assessment” dari BAPETEN. Dari pengisian kuesioner berikut diskusi seperti tersebut di atas, berikut ini dapat diuraikan hasil yang diperoleh untuk masingmasing bidang pengaturan yang menjadi obyek dalam kuesioner. Dalam pembahasan bidang pengaturan tentang proteksi fisik, ditemukan bahwa Keputusan Ka. BAPETEN No. 02P/KaBAPETEN/VI99 tentang Proteksi Fisik Bahan Nuklir belum menjelaskan tentang kerahasiaan (confidentiality) informasi mengenai proteksi fisik berikut sanksi yang ditetapkan terhadap pelanggaran kerahasiaan tersebut. Kerahasiaan informasi mengenai bahan nuklir perlu diatur dalam suatu peraturan agar pihak pengguna maupun badan pengawas merasa yakin bahwa informasi mengenai proteksi fisik bahan nuklir tidak jatuh kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu ditemukan bahwa peraturan ini belum memasukkan aturan mengenai kapan proteksi fisik mulai berlaku, dikaitkan dengan tahapan dalam pembangunan dan pengoperasian suatu instalasi nuklir, dan kondisi yang diperlukan untuk mengakhiri atau untuk mengecualikan suatu proteksi fisik. Dikaitkan dengan peraturan BAPETEN yang lain, ditemukan bahwa Keputusan Ka. BAPETEN No. 04P/KaBAPETEN/I03 tentang Pedoman Pelatihan Operator dan Supervisor Reaktor Nuklir[17] belum mengatur tentang persyaratan pelatihan dan kursus untuk personil proteksi fisik. Selain itu, Keputusan Ka. BAPETEN No. 05P/KaBAPETEN/I03 tentang Pedoman Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat[18] juga belum memasukkan pasal tentang tanggap darurat berkaitan dengan kejadian sabotase fasilitas nuklir dan penggunaan bahan nuklir tanpa izin. Hasil kajian tentang bidang pengaturan sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir menemukan halhal sebagai berikut. Pertama, Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 2 Tahun 2005 tentang Sistem Pertanggungjawaban dan Pengendalian Bahan Nuklir belum memasukkan aturan mengenai kapan sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir mulai berlaku, dikaitkan dengan tahapan dalam pembangunan dan pengoperasian suatu instalasi nuklir. Kedua, belum dimuatnya aturan mengenai tata cara penyampaian informasi tentang sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir ke IAEA dalam bentuk elektronik. Penyampaian informasi ke IAEA sebetulnya sudah biasa
436
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
dilakukan, tetapi sifatnya masih informal. Selain melalui email, BAPETEN tetap mengirimkan informasi dengan surat biasa sebagai informasi formal. Pada kenyataannya, informasi secara elektronik mempunyai keunggulan lebih cepat dan lebih terjamin sampai ke pihak yang dituju, dibandingkan dengan surat biasa. Ketiga, Perka BAPETEN tersebut belum menjelaskan tentang kategori bahan nuklir. Kategori ini diperlukan untuk menentukan intensitas pengukuran sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir. Selanjutnya, persyaratan bagi organisasi pengoperasi untuk melakukan pengkajiandiri terhadap efektivitas sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir belum secara eksplisit tercantum dalam Perka tersebut. Yang terakhir, Perka BAPETEN terebut belum memasukkan kerahasiaan informasi mengenai sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir berikut sanksi yang ditetapkan terhadap pelanggaran kerahasiaan tersebut ke dalam pasal pasal yang diaturnya. Dikaitkan dengan peraturan BAPETEN yang lain, juga ditemukan bahwa Keputusan Ka. BAPETEN No. 04P/KaBAPETEN/I03 tentang Pedoman Pelatihan Operator dan Supervisor Reaktor Nuklir belum mengatur tentang persyaratan pelatihan dan kursus untuk personil sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir. Selain itu, persyaratan kualifikasi pengawas inventori dan pengurus inventori bahan nuklir untuk posisi MBA (material balance area) dan KMP (key measurement point) semestinya juga diatur dalam Keputusan Ka. BAPETEN No. 17 rev.1/KaBAPETEN/IV01 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala BAPETEN No. 17/KaBapeten/IX99 Tentang Persyaratan untuk Memperoleh Izin bagi Petugas pada Instalasi Nuklir dan Instalasi yang Memanfaatkan Radiasi Pengion[19]. Tetapi pembahasan mengenai Keputusan Ka. BAPETEN tersebut tidak menemukan adanya persyaratan kualifikasi tersebut. Dari kajian mengenai bidang pengaturan Protokol Tambahan, terdapat beberapa hal yang dapat diuraikan di sini. Yang pertama adalah bahwa draf peraturan tentang Ketentuan Pelaksanaan Protokol Tambahan Sistem Pertanggungjawaban dan Pengawasan Bahan Nuklir belum mengatur pelatihan untuk organisasi pengoperasi maupun fasilitas. Yang kedua, berdasarkan pada Lampiran I dan II dari draf Protokol Tambahan tersebut, seharusnya BAPETEN perlu mengembangkan suatu daftar barang yang perlu diawasi sebelum barang tersebut masuk ke wilayah NKRI. Daftar barang tersebut seharusnya juga dimasukkan ke dalam suatu peraturan tentang pengawasan ekspor – impor mengenai bahan nuklir, yang sampai saat ini belum ada.
437
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
Dari pembahasan yang dilakukan tim “regulatory need assessment” BAPETEN bersamasama dengan pihak USDOE ini, dibuat suatu resume yang selanjutnya diserahkan kepada Kepala BAPETEN sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penyempurnaan dan peningkatan peraturan BAPETEN di lingkungan seifgard dan keamanan bahan nuklir.
KESIMPULAN Dari pembahasan yang melibatkan tim “regulatory need assessment” BAPETEN, pihak USDOE, diperoleh rekomendasi sebagai berikut :
1. Amandemen perlu dilakukan terhadap Keputusan Ka. BAPETEN No. 02P/Ka BAPETEN/VI99 tentang Proteksi Fisik Bahan Nuklir, Keputusan Ka. BAPETEN No. 17 rev.1/KaBAPETEN/IV01 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala BAPETEN No. 17/KaBapeten/IX99 Tentang Persyaratan untuk Memperoleh Izin bagi Petugas pada Instalasi Nuklir dan Instalasi yang Memanfaatkan Radiasi Pengion, Keputusan Ka. BAPETEN No. 04P/KaBAPETEN/I03 tentang Pedoman Pelatihan Operator dan Supervisor Reaktor Nuklir, Keputusan Ka. BAPETEN No. 05P/KaBAPETEN/I03 tentang Pedoman Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat, dan Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 2 Tahun 2005 tentang Sistem Pertanggungjawaban dan Pengendalian Bahan Nuklir.
2. Dalam keputusan Ka BAPETEN No. 02P/1999, perlu ditambahkan pasalpasal yang mengatur tentang : kerahasiaan informasi tentang proteksi fisik berikut sanksi terhadap pelanggaran kerahasiaan tersebut; dan kapan proteksi fisik mulai berlaku, dikaitkan dengan tahapan dalam pembangunan dan pengoperasian suatu instalasi nuklir, dan kondisi yang diperlukan untuk mengakhiri atau untuk mengecualikan suatu proteksi fisik.
3. Dalam Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 2 Tahun 2005, perlu ditambahkan pasal pasal yang mengatur tentang : kapan sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir mulai berlaku, dikaitkan dengan tahapan dalam pembangunan dan pengoperasian suatu instalasi nuklir; aturan mengenai tata cara penyampaian informasi tentang sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir ke IAEA dalam bentuk elektronik; kategori bahan nuklir untuk menentukan intensitas pengukuran sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir; persyaratan bagi organisasi pengoperasi untuk melakukan pengkajiandiri terhadap efektivitas sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir; dan kerahasiaan informasi
438
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
mengenai sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir berikut sanksi terhadap pelanggaran kerahasiaan tersebut.
4. Dalam Keputusan Ka. BAPETEN No. 04P/2003, perlu ditambahkan pasalpasal yang mengatur tentang persyaratan pelatihan dan kursus untuk personil proteksi fisik dan untuk personil sistem pertanggungjawaban dan pengendalian bahan nuklir.
5. Dalam Keputusan Ka. BAPETEN No. 05P/2003, perlu ditambahkan pasal yang mengatur tentang tanggap darurat berkaitan dengan kejadian sabotase fasilitas nuklir dan penggunaan bahan nuklir tanpa izin. 6. Dalam Keputusan Ka. BAPETEN No. 17 rev.1/2001, perlu ditambahkan pasal tentang persyaratan kualifikasi pengawas inventori dan pengurus inventori bahan nuklir untuk posisi KMP dan MBA.
7. Dalam draf peraturan tentang Ketentuan Pelaksanaan Protokol Tambahan Sistem Pertanggungjawaban dan Pengawasan Bahan Nuklir, perlu ditambahkan aturan mengenai pelatihan untuk organisasi pengoperasi maupun fasilitas dan daftar barang yang perlu diawasi sebelum barang tersebut masuk ke wilayah NKRI. 8. Berkenaan dengan rekomendasi mengenai aturan tentang daftar barang yang perlu diawasi, BAPETEN perlu menyusun peraturan tentang pengawasan eksporimpor mengenai bahan nuklir.
9. Sebagai tindak lanjut pembahasan antara tim “regulatory need assessment” BAPETEN dan pihak USDOE ini akan disusun roadmap mengenai seifgard dan keamanan bahan nuklir yang nantinya akan menentukan arah kerja sama antara BAPETEN dan USDOE yang saling menguntungkan. Saran yang dapat disampaikan di sini, terutama kepada penentu kebijakan di BAPETEN dan unit kerja yang terkait dalam penyusunan peraturan adalah agar perubahan terhadap peraturan yang disebut di atas dilakukan dalam jangka pendek, agar segera dapat diberlakukan bagi pihak pengguna bahan nuklir.
439
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
DAFTAR PUSTAKA 1.
Undangundang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997, tentang Ketenaganukliran
2. Additional Protocol to Safeguards Agreement
3. Kerja Sama Seifgard (safeguard Agreement) dengan IAEA di tahun 1980 4. Keputusan Presiden (Keppres) No. 49 Tahun 1986 tentang Pengesahan Convention on the Physical Protection on Nuclear Material 5. Undangundang No. 8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjatasenjata Nuklir
6. Undangundang No. 9 Tahun 1997 tentang Pengesahan Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara) 7.
PP No. 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir pasal 2,3, dan 4
8. PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif pasal 7 9. PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif pasal 20
10. Keputusan Ka. BAPETEN No. 02P/KaBAPETEN/VI99 tentang Proteksi Fisik Bahan Nuklir
11. Keputusan Ka. BAPETEN No. 05/KaBAPETEN/V99 tentang Ketentuan Keselamatan Disain Reaktor Penelitian pasal Bab 5
12. Keputusan Ka. BAPETEN No. 06/KaBAPETEN/V99 tentang Pembangunan dan Pengoperasian Reaktor Nuklir pasal 26
13. Keputusan Ka. BAPETEN No. 06p /kabapeten/XI00 tentang Pedoman Pembuatan Laporan Analisis Keselamatan Reaktor Penelitian Bab XIII
14. Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 2 Tahun 2005 tentang Sistem Pertanggungjawaban dan Pengendalian Bahan Nuklir 15. Draf Peraturan mengenai Ketentuan Pelaksanaan Protokol Tambahan Sistem Pertanggungjawaban dan Pengawasan Bahan Nuklir
16. USDOE, Appendix A, Regulatory Assessment Questinaire, tidak untuk dipublikasikan 17. Keputusan Ka. BAPETEN No. 04P/KaBAPETEN/I03 tentang Pedoman Pelatihan Operator dan Supervisor Reaktor Nuklir
18. Keputusan Ka. BAPETEN No. 05P/KaBAPETEN/I03 tentang Pedoman Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat
440
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006
ISSN: 14123258
19. Keputusan Ka. BAPETEN No. 17 rev.1/KaBAPETEN/IV01 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala BAPETEN No. 17/KaBapeten/IX99 Tentang Persyaratan untuk Memperoleh Izin bagi Petugas pada Instalasi Nuklir dan Instalasi yang Memanfaatkan Radiasi Pengion, April 2001
441