KAJIAN TEKNIS STANDAR NASIONAL INDONESIA BISKUIT SNI 01-2973-1992 Oleh
Hendra Wijaya, Nirwana Aprianita1
Abstract Biscuit is product which processed by baking the dough of flour with addition of other ingredients and with or without addition of permitted food additives. SNI for biscuit products established in 1992 therefore it is necessary to study whether these standards are still appropriate for the products. Based on the study, these are four different types of biscuits, namely hard biscuits, crackers, cookies, and wafer. The quality parameters and requirements of the proposed biscuit are consist of normal smell, normal taste, normal color, max. 4% of moisture, max. 1.5% ash contents for hard biscuit, max. 2% of ash content for crackers, cookies, and wafer, min. 5.5% of protein content for hard biscuit and min. 6% of protein content for crackers, cookies, and wafer, min. 18% of fat content for cookies, max. 1% of free fatty acid, max 6 mEq/kg of peroxide value. The requirements of heavy metal for all kind of biscuits are max. 0,5 mg/kg of timbel, max 0,05 mg/kg of mercury, max 40 mg/kg of tin, max 0,2 mg/kg of cadmium and the requirement of arsenic is max 0,1 mg/kg. The max limit of microbial contaminations are max 1 x 104 colony/g for Aerobic Plate Counts, max 10/g for Escherichia coli, max negative/25 g for Salmonella sp., max. 1 x 102 colony/g for Bacillus cereus, and max. 1 x 104 for yeast and mold. Keywords: biscuit, standard
1
Peneliti di Balai Besar Industri Agro, Kementerian Perindustrian
1
I
PENDAHULUAN
Biskuit adalah produk yang diperoleh dengan memanggang adonan dari tepung terigu dengan penambahan makanan lain dan dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diijinkan. SNI biskuit telah berumur 18 tahun sejak ditetapkan pada tahun 1992 sehingga perlu dilakukan kajian apakah standar tersebut masih sesuai untuk digunakan. Setiap standar yang sudah ada harus selalu ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1(satu) kali dalam 5 tahun. Hal ini disebabkan dalam kurun waktu 5 tahun tersebut ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mengalami perkembangan, demikian juga kebutuhan dan perilaku konsumen, peraturan pemerintah, dan lain-lain. SNI Biskuit pada prinsipnya ditetapkan secara sukarela kecuali untuk produk dan jasa yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan. Adanya perubahan standar tepung terigu sebagai bahan baku utama pembuatan biskuit merupakan dasar pengkajian SNI biskuit. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter dan persyaratan mutu biskuit, SNI 01-2973-1992 yang bisa diusulkan untuk bahan revisi Standar Nasional Indonesia Biskuit. II
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan dengan cara membandingkan hasil analisis biskuit yang beredar di pasar dengan standar nasional dan internasional produk sejenis. Pengumpulan data juga dilakukan melalui survey ke Bandung, Bekasi, dan Tanggerang. Dari perbandingan hasil analisis, survey dan diskusi maka diusulkan parameter dan persyaratan mutu biskuit. III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Biskuit Menurut SNI 01-2973-1992, biskuit diklasifikasikan dalam empat jenis: biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Pengklasifikasian ini masih tetap digunakan untuk standar berikutnya. Sebagai perbandingan, Malaysian Standard mengklasifikasikan biskuit: Specification for cream crackers, specification for wafer, and specification for semi-sweet biscuits and cookies dalam tiga standar yang berbeda. Masing-masing nomor standar tersebut adalah: MS 476 : 1998, MS 1433 : 1998, dan MS 1434 : 1998. Dari hasil survey ternyata industri biskuit di Bekasi umumnya dilakukan oleh industri besar atau Pemilik Modal Asing (PMA) sedangkan industri biskuit di Tangerang banyak memproduksi biskuit jenis wafer. 2
3.2 Kadar Air Tabel 1 menunjukkan hasil analisis kadar air biskuit yang beredar di pasar. Hasil analisis adalah antara 0,93% sampai dengan 7,89% dengan rata-rata 2,69%. Dengan syarat kadar air pada SNI 01-2973-1992 sebesar maksimum 5% maka hanya satu contoh uji (5%) yang tidak memenuhi standar. Ini sangat memungkinkan apabila syarat mutu kadar air diperketat menjadi maksimum 4%. Dengan syarat mutu kadar air 4%, maka jumlah yang tidak memenuhi adalah 2 contoh. Jika dibandingkan dengan standar Malaysia, masing-masing mempersyaratkan kadar air cream crackers, wafer, semi-sweet biscuits and cookies berturut-turut adalah 4,0%, 3,5%, 4,0% dan 4,0%. Kadar air yang rendah dihasilkan dari proses pemanggangan adonan biskuit yang sempurna. Hal ini akan mencegah terjadinya pertumbuhan mikroba yang nantinya bisa merusak biskuit. Tabel 1 Hasil Analisis Kadar Air Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
Kadar Air (%) 2.86 4.33 1.69 0.93 2.37 2.77 7.89 1.03 1.80 3.83 2.82 1.87 2.87 3.29 2.13 3.09 1.85 2.47 2.18 1.74 2.69
3.3 Kadar Abu Tabel 2 menunjukkan hasil analisis kadar abu biskuit yang beredar di pasar dengan nilai antara 0,54% sampai dengan 2,23% dan rata-rata 1,42%. SNI 01-2973-1992 mempersyaratkan kadar abu biskuit keras maksimum 1,5% dan crackers, cookies dan wafer masing-masing maksimum 2%. Standar Malaysia tidak mempersyaratkan kadar abu. Berdasarkan Tabel 2, persyaratan abu untuk cookies dan wafer sebesar maksimum 2% masih dapat dipenuhi oleh produsen (100%) sehingga masih dapat 3
digunakan untuk SNI berikutnya. Persyaratan crackers sebesar maksimum 2% dipenuhi oleh 3 produk dari 4, hal ini cukup menyulitkan produsen sehingga diusulkan kadar abu crackers pada SNI berikutnya adalah 2,5%. Persyaratan biskuit keras sebesar maksimum 1,5% masih dapat dipenuhi oleh 5 produsen (71%) dari 7 produsen sehingga masih dapat digunakan untuk SNI berikutnya. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam biskuit dan berhubungan erat dengan kemurnian serta kebersihan suatu bahan. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Semakin tinggi kadar abu dalam biskuit maka proses pembuatan biskuit tersebut diduga kurang bersih sehingga persyaratan kadar abu sangat penting untuk mengetahui tingkat kebersihan atau kemurnian suatu bahan. Tabel 2 Hasil Analisis Kadar Abu Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 8 9 10 11 14 15 16 17 20 21 22 23 24 25 26
Jenis Biskuit cookies cookies cookies cookies cookies wafer wafer wafer wafer Crackers Crackers Crackers Crackers Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras
Kadar Abu (%) 1.72 1.62 1.76 1.16 0.92 0.54 1.48 1.16 0.98 2.23 2.13 1.46 2.06 1.44 1.28 1.02 1.23 1.56 1.54 1.21
3.4 Kadar Protein Tabel 3 menunjukkan kadar protein biskuit yang beredar di pasar dan pengelompokannya: cookies, wafer, crackers dan biskuit keras. Menurut SNI 012973-1992, biskuit diklasifikasikan menjadi: biskuit keras, crackers, cookies dan 4
wafer masing-masing dengan kadar protein minimum 6,5%, min 8%, min 6% dan min 6%. Cookies adalah biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Tabel 3 menunjukkan hasil uji lab cookies dengan nilai antara 5,86% sampai dengan 12% dan rata-rata 7,43%. Jika dibandingkan dengan SNI 01-2973-1992 (min 6%) maka 60% memenuhi standar. Dua contoh yang kurang memenuhi masing-masing adalah 5,86% dan 5,99% mendekati persyaratan minimum 6%. Ini menunjukkan bahwa produk biskuit cookies yang beredar masih sanggup memenuhi persyaratan min. 6%. Standar Malaysia untuk cookies lebih longgar yaitu hanya sebesar min. 4,5%. Wafer adalah biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga. Tabel 3 menunjukkan hasil analisis protein wafer dengan nilai antara 3,21% sampai dengan 6,04% dan rata-rata 4,70%. Jumlah yang memenuhi SNI 01-2973-1992 hanya 1 (25%) contoh uji. Ini menunjukkan bahwa persyaratan sebesar min 6% cukup tinggi. Untuk SNI berikutnya, diusulkan persyaratan protein untuk wafer adalah minimum 5% sama dengan standar Malaysia. Tabel 3 Hasil Analisis Kadar Protein Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 8 9 10 11 14 15 16 17 20 21 22 23 24 25 26
Jenis Biskuit cookies cookies cookies cookies cookies wafer wafer wafer wafer Crackers Crackers Crackers Crackers Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras Biskuit keras
Protein (mg/kg) 5.86 5.99 6.80 6.52 12.00 3.21 5.09 4.48 6.04 6.43 7.00 7.60 16.80 7.52 6.40 5.92 5.60 5.40 6.74 5.42
Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebh mengarah keras asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Tabel 3 menunjukkan hasil analisis protein crackers dengan nilai antara 6,43% sampai 5
dengan 16,8% dan rata-rata 9,46%. Jumlah yang memenuhi SNI 01-2973-1992 hanya 1 (25 %) contoh uji. Ini menunjukkan bahwa persyaratan sebesar minimum 8% cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan standar Malaysia yang hanya minimum 5,5%. Untuk SNI berikutnya, diusulkan persyaratan protein untuk crackers adalah minimum 6%. Biskuit keras adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Tabel 3 menunjukkan hasil analisis protein biskuit keras dengan nilai antara 5,4% sampai dengan 7,52% dan rata-rata 6,14%. Jumlah yang memenuhi SNI 01-2973-1992 hanya 28% contoh uji. Ini menunjukkan bahwa persyaratan sebesar min. 6,5% cukup tinggi. Jumlah yang memenuhi dengan persyaratan 5,5% adalah 86% sehingga diusulkan untuk persyaratan SNI berikutnya adalah minimum 5,5%. Standar Malaysia tidak mempunyai klasifikasi biskuit keras. 3.5 Kadar Lemak Kadar lemak belum dipersyaratkan pada SNI biskuit tahun 1992. Lemak merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam makanan karena dapat menyebabkan perubahan sifat pada makanan tersebut. Perubahan bahkan dapat terjadi ke arah yang tidak diinginkan seperti ketengikan. Tabel 4 menunjukkan hasil analisis kadar lemak biskuit yang beredar di pasar. Hasil analisis adalah antara 8,6% sampai dengan 27,4% dengan rata-rata 20,32%. Standar Malaysia mempersyaratkan lemak pada semi-sweet biscuit dan cookies masing-masing adalah 7% - 18% dan ≥ 18% sedangkan pada wafer dan cracker kadar lemak tidak disyaratkan. Usulan untuk persyaratan SNI berikutnya adalah minimum 7% sehingga semua contoh memenuhi persyaratan. Bahan yang memberikan kontribusi terhadap kadar lemak dalam biskuit diantaranya adalah: lemak nabati (minyak kelapa sawit dan minyak rapesssed), susu bubuk, telur, coklat bubuk dan mentega. Tabel 4 Hasil Analisis Kadar Lemak Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 6
Kadar Lemak (%) 27.2 20.8 14.9 19.4 21.0 21.6 11.3 10.7 15.5 27.4 19.7 22.3
No. Sampel 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
Kadar Lemak (%) 23.1 22.3 26.4 25.8 22.1 21.2 25.0 8.62 20.32
3.6 Asam Lemak Bebas Tabel 5 menunjukkan hasil analisis asam lemak bebas biskuit yang beredar di pasar. Nilainya antara 0,07% sampai dengan 0,41%, dan nilai rata-rata 0,20%. Asam lemak bebas pada biskuit dapat dihasilkan dari penambahan langsung bahan-bahan yang memang telah mengandung asam lemak bebas dan dari hidrolisis lemak oleh air atau oleh enzim. Bahan-bahan yang kemungkinan memang telah mengandung asam lemak bebas yang ditambahkan ke biskuit adalah minyak kelapa sawit, susu dan lain-lain. Jenis asam lemak yang paling tinggi dalam biskuit kemungkinannya adalah asam lemak yang berasal dari terigu karena terigu merupakan bahan baku utama. Menurut (Buckle, et al., 1987) jenis asam lemak yang paling banyak dalam tepung terigu adalah asam linoleat, asam palmitat, dan asam oleat. Standar malaysia untuk cream crackers, wafer, semi-sweet biscuits and cookies masing-masing mempersyaratkan asam lemak bebas sebesar maksimum 1% sehingga diusulkan persyaratan asam lemak bebas untuk SNI biskuit adalah maksimum 1%. Tabel 5 Hasil Analisis Asam Lemak Bebas Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Asam Lemak Bebas (%) 0.16 0.34 0.30 0.36 0.32 0.13 0.13 0.21 0.12 0.31 0.07 0.23 0.14 0.41 0.24 0.10 0.16 7
No. Sampel 18 19 20 Rata-rata
Asam Lemak Bebas (%) 0.21 0.10 0.13 0.21
3.7 Bilangan Peroksida Bilangan peroksida biskuit menunjukkan tingkat kerusakan lemak atau minyak yang terdapat dalam biskuit. Kadar lemak biskuit untuk biskuit keras dan cookies masingmasing diusulkan 7% - 8% dan min. 18% sehingga produsen akan berusaha memenuhi kadar lemaknya. Tingginya kadar lemak ini, memungikinkan biskuit akan rusak akibat rusaknya lemak yang ada di dalam biskuit. Kerusakan lemak dapat terjadi karena udara dan aktivitas enzim. Tabel 6 menunjukkan hasil analisis bilangan peroksida biskuit yang beredar di pasar. Bilangan peroksida terdeteksi pada tiga contoh uji dengan nilai tertinggi 1,48 mEq/Kg. Komposisinya adalah tepung terigu, gula, lemak nabati (minyak kelapa sawit, minyak rapeseed rendah erusic), gula, pati jagung,garam, susu bubuk, bahan pengembang, kalsium karbonat, lesitin kedelai, pecita rasa dan sayuran kering. Standar Malaysia untuk cream crackers, wafer, semi-sweet biscuits and cookies masing-masing mempersyaratkan bilangan peroksida sebesar maks. 6 mEq/kg sehingga diusulkan persyaratan untuk SNI berikutnya adalah 6 mEq/kg. Tabel 6 Hasil Analisis Bilangan Peroksida Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata 8
Bilangan Peroksida (mEq/kg) 0.36 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.23 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09
3.8 Vitamin B1 Vitamin B1 (tiamin) bertindak sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat dan terdapat dalam semua jaringan makhluk hidup (J. M. deMan, 1997). Vitamin B1 dibutuhkan oleh manusia minimum 1 mg per 2000 k.kal. Peningkatan aktivitas metabolisme seperti yang diakibatkan oleh kerja berat, kehamilan, atau penyakit memerlukan konsumsi yang lebih tinggi. Beberapa hal yang dapat merusak tiamin adalah panas, oksigen, belerang oksida, pelindian, dan pH netral atau basa. SNI 012973-1992 belum mempersyaratkan tiamin sebagai syarat mutu. Alasan perlu dilakukan kajian terhadap tiamin pada biskuit adalah disyaratkannya tiamin pada tepung terigu sebagai bahan baku utama pembuatan biskuit yaitu sebesar 2,5 mg/kg. Tabel 7 menunjukkan hasil analisis vitamin B1 biskuit yang beredar di pasar. Ratarata hasil analisis adalah 7,35 mg/kg dengan nilai minimum <0,25 mg/kg dan nilai maksimum 58 mg/kg. Hasil analisis tiamin 65% adalah <0,25 mg/kg. Ini kemungkinan disebabkan rusaknya vitamin B1 karena panas selama proses pembuatan biskuit. Untuk SNI berikutnya, diusulkan vitamin B1 tidak disyaratkan karena sebahagian hilang karena pemanasan saat proses. Jika disyaratkan maka produsen diharapkan melakukan fortifikasi pada biskuit dan ini tentu memberatkan perusahaan. Standar Malaysia untuk cream crackers, wafer, semi-sweet biscuits and cookies tidak mempersyaratkan vitamin B1. Tabel 7 Hasil Analisis Vitamin B1 Biskuit yang Beredar di Pasar No. sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
Vitamin B1 (mg/kg) 12.0 <0,25 4.4 <0,25 <0,25 <0,25 24.7 4.0 58.0 40.3 <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 3.7 7.36 9
3.9 Vitamin B2 Vitamin B2 (riboflavin) merupakan komponen dari dua koenzim flavin mononukleotida (FMN) dan flavin mononukleotida (FAD). Kebutuhan riboflavin untuk manusia beragam tergantung aktivitas metabolisme dan bobot badan yang mempunyai rentang mulai dari 1 sampai 3 mg per hari. Kebutuhan orang dewasa normal 1,1 sampai 1,6 mg per hari. Vitamin B2 stabil terhadap oksigen dan pH asam tetapi tidak stabil dalam medium basa dan sangat peka terhadap cahaya. Jika kena cahaya, laju kerusakan meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu. Pemanasan pada kondisi netral atau asam tidak merusak vitamin (J. M. deMan, 1997). SNI 012973-1992 belum mempersyaratkan riboflavin sebagai syarat mutu. Alasan perlu dilakukan kajian terhadap riboflavin pada biskuit adalah disyaratkannya riboflavin pada tepung terigu sebagai bahan baku utama pembuatan biskuit yaitu sebesar 4 mg/kg. Tabel 8 menunjukkan hasil analisis vitamin B2 biskuit yang beredar di pasar. Rata-rata hasil analisis adalah 10,04 mg/kg dengan nilai minimum <0,25 mg/kg dan nilai maksimum 58,3 mg/kg. Hasil analisis riboflavin yang lebih besar dari 0,25 mg/kg adalah 45%. Pada produk ini, vitamin B2 relatif tidak rusak karena panas selama proses pembuatan biskuit. Untuk SNI berikutnya, diusulkan vitamin B2 tidak disyaratkan karena sebahagian hilang karena pemanasan saat proses. Jika disyaratkan maka produsen diharapkan melakukan fortifikasi pada biskuit dan ini tentu memberatkan perusahaan. Standar Malaysia untuk cream crackers, wafer, semi-sweet biscuits and cookies tidak mempersyaratkan vitamin B2. Tabel 8 Hasil Analisis Vitamin B2 Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata 10
Vitamin B2 (mg/kg) <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 58.3 <0,25 <0,25 <0,25 <0,25 18.4 <0,25 <0,25 43.4 9.0 3.2 3.4 21.3 21.0 22.9 <0,25 10.04
3.10 Asam Folat Asam folat (folasin) mengandung tiga bagian senyawa: pterin, asam p-aminobenzoat dan asam glutamat. Dosis folasin yang dianjurkan setiap harinya untuk orang dewasa adalah 400 ug. Kebutuhan tambahan untuk orang hamil sebesar 400 ug/hari dan untuk ibu menyusui 200 ug/hari. Asam folat bersifat labil dan mudah rusak karena pemasakan tetapi stabil terhadap panas dalam medium asam. Tabel 9 menunjukkan hasil analisis asam folat biskuit yang beredar di pasar. Nilai minimumnya adalah 0,89 mg/kg, maksimumnya 4,3 mg/kg dengan rata-rata 2,32 mg/kg. Asam folat pada biskuit terutama berasal dari tepung terigu yang mempersyaratkan asam folat minimal 2 mg/kg. Asam folat terdeteksi pada semua contoh uji. Jika asam folat dipersyaratkan pada SNI biskuit berikutnya maka diusulkan min. 2 mg/kg. Standar Malaysia untuk cream crackers, wafer, semi-sweet biscuits and cookies tidak mempersyaratkan asam folat. Tabel 9 Hasil Analisis Asam Folat Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
Asam Folat (mg/kg) 0.89 1.35 1.48 2.22 2.02 1.93 1.68 2.26 2.03 1.63 2.90 3.00 2.65 1.86 2.07 2.28 2.34 3.36 4.07 4.30 2.32
3.11 Cemaran Logam Menurut SNI 01-2973-1992, syarat mutu cemaran logam pada biskuit adalah timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), raksa (Hg), timah (Sn) dan cemaran arsen (As), masing-masing sebesar maks. 1,0 mg/kg, maks. 10,0 mg/kg, maks 40,0 mg/kg, maks. 0,05 mg/kg dan maks. 0,5 mg/kg. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan dan gizi, beberapa logam yang sebelumnya 11
dianggap sebagai cemaran tetapi sekarang dianggap sebagai unsur esensial yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga sengaja ditambahkan ke dalam suatu produk (difortifikasi). Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan dan SNI 7387:2009, Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan untuk produk bakeri maka cemaran logam adalah cemaran arsen (As), kadmium (Cd), merkuri (Hg), Timah (Sn) dan timbal (Pb) dengan persyaratan masing-masing adalah maks. 0,1 mg/kg, maks. 0,2 mg/kg, maks. 0,05 mg/kg, maks. 40 mg/kg, dan 0,5 mg/kg. Tembaga (Cu) dan seng (Zn) tidak disyaratkan di dalam peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan SNI. Seng merupakan fortifikan pada beberapa produk seperti tepung terigu sebagai bahan makanan. Syarat mutu seng dalam SNI 3751:2009, Tepung terigu sebagai bahan makanan adalah min. 30 mg/kg. Tabel 10 menunjukkan hasil analisis seng biskuit yang beredar di pasar. Nilai minimumnya adalah 3,97 %, maksimum 51,3 % dengan nilai rata-rata 18,05 %. Standar Malaysia untuk cream crackers, wafer, semi-sweet biscuits and cookies tidak mempersyaratkan Zn sebagai cemaran. Pada SNI tepung terigu sebagai bahan makanan, SNI 3751:2009, mmempersyaratkan Zn minimum 30 mg/kg. Kadar Zn yang kurang dari 30 mg/kg pada biskuit disebabkan pengunaan tepung terigu pada pembuatan biskuit tidak 100%. Kadar Zn yang sangat rendah kemungkinan disebabkan oleh produsen tidak hanya menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku tetapi telah disubsitusi dengan tepung yang lain yang tedak mengandung Zn. Untuk SNI berikutnya diusulkan untuk mempersyaratkan Zn minimum 15 mg/kg. Jumlah produk yang memenuhi adalah 70%, untuk produk yang belum memenuhi standar disarankan untuk menggunakan tepung terigu yang telah difortifikasi. Tabel 10 Hasil Analisis Seng Biskuit yang Beredar di Pasar No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 12
Seng (Zn) (mg/kg) 7.0 17.9 21.3 20.5 19.0 18.6 19.8 51.3 19.0 23.9 18.8 16.3 10.6 12.5
No. Sampel 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
Seng (Zn) (mg/kg) 14.3 4.0 16.5 16.8 4.1 28.9 18.05
3.12 Cemaran Mikroba Menurut SNI 01-2973-1992, syarat mutu cemaran mikroba pada biskuit untuk biskuit keras, crackers, cookies dan wafer yaitu angka lempeng total = maksimum 1,0 x 106, coliform = maksimum 20 APM/g, Eschrichia coli = maksimum <3 APM/g, kapang = maksimum 1 x 102 koloni/g. Syarat mutu ini harus mengikuti Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan dan SNI 7388:2009, Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Biskuit dapat dikelompokkan ke dalam produk roti dan produk bakeri tawar dan premiks berdasarkan proses dan bahan baku yang digunakan. Parameter dan persyaratannya masing-masing adalah adalah Angka lempeng total (ALT) (30°C, 72 jam) = maksimum 1 x 104 koloni/g, Eschrichia coli = maksimum 10/g, Salmonella sp. = maksimum negatif/25g, Bacillus cereus = maksimum 1 x 102 koloni/g, dan kapang dan khamir = maksimum 1 x 104 koloni/g. IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian SNI biskuit, SNI 01-2973-1992, diperoleh bahwa parameter yang diusulkan untuk dipersyaratkan pada SNI berikutnya adalah keadaan meliputi bau, rasa, dan warna, kadar air, kadar protein, kadar lemak, asam lemak bebas dan bilangan peroksida. Cemaran logam dan cemaran mikroba menyesuaikan dengan persyaratan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. 4.2 Saran Berdasarkan hasil kajian terhadap biskuit, dapat diusulkan parameter dan persyaratan mutu biskuit untuk SNI adalah sesuai pada Tabel di bawah ini.
13
Tabel 11 Usulan Syarat Mutu Biskuit Persyaratan No. 1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5
Kriteria Uji Keadaan 1.1 bau 1.2 rasa 1.3 warna Kadar air (b/b) Kadar abu (b/b) Kadar protein (b/b) Kadar lemak (b/b) Asam lemak bebas (b/b) Bilangan peroksida Cemaran logam 8.1 Kadmium (Cd) 8.2 Timah (Sn) 8.3 Merkuri (Hg) 8.4 Timbal (Pb) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total Escherichia coli Salmonella sp. Bacillus cereus Kapang dan khamir
Satuan
Biskuit Keras
Crackers
Cookies
Wafer
% % %
normal normal normal maks. 4 maks. 1,5 min. 5,5
normal normal normal maks. 4 maks. 2 min. 6%
normal normal normal maks. 4 maks. 2 min. 6%
normal normal normal maks. 4 maks. 2 min. 5%
% %
maks. 1
maks. 1
min. 18% maks. 1
maks. 1
mEq/kg
maks. 6.
maks. 6
maks. 6
maks. 6
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maks. 0,2 maks. 40 maks. 0,05 maks. 0,5
maks. 0,2 maks. 40 maks. 0,05 maks. 0,5
maks. 0,2 maks. 40 maks. 0,05 maks. 0,5
maks. 0,2 maks. 40 maks. 0,05 maks. 0,5
mg/kg
maks. 0,1
maks. 0,1
maks. 0,1
maks. 0,1
4
koloni/g
maks. 1 x 10
per gram per 25 gram koloni/g koloni/g
maks. 10 Negatif 2 maks. 1 x 10 4 maks. 1 x 10
4
4
4
maks. 1 x 10
maks. 1 x 10
maks. 1 x 10
maks. 10 negatif 2 maks. 1 x 10 4 maks. 1 x 10
maks. 10 Negatif 2 maks. 1 x 10 4 maks. 1 x 10
maks. 10 negatif 2 maks. 1 x 10 4 maks. 1 x 10
V
DAFTAR PUSTAKA
1.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Kategori Pangan. Kategori Pangan 05.0. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta Badan Standardisasi Nasional. 1998. Sistem Standardisasi Nasional. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
2.
3.
14
4.
5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13.
Badan Standardisasi Nasional. 2003. Kaji Ulang Standar Nasional Indonesia. Makalah: disampaikan pada Workshop Perumusan Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7387:2009, Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7388:2009, Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H. dan Wootton, M. (1987). Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo. Universitas Indonesia. Jakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Department of Standards Malaysia. 1998. MS 1433: 1998; Specification for Wafer. Department of Standards Malaysia, Malaysia Department of Standards Malaysia. 1998. MS 1434:1998; Specification for Semi-Sweet Biscuits and Cookies. Department of Standards Malaysia. Malaysia Department of Standards Malaysia. 1998. MS 1435:1998; Method of Sampling and Test for Biscuits. Department of Standards Malaysia. Malaysia Department of Standards Malaysia. 1998. MS 476:1998; Specification for Cream Crackers. Department of Standards Malaysia. Malaysia Dewan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2973-1992; Biskuit. Dewan Standardisasi Nasional
15
Prosiding PPI Standardisasi 2010 – Banjarmasin, 4 Agustus 2010
16