Linguistika Akademia Vol.2, No.3, 2013, pp. 378~389 ISSN: 2089-3884
KAJIAN STRUKTURAL NAMA BINATANG DALAM PERIBAHASA BAHASA INGGRIS
Anita Nur Hanifah e-mail:
[email protected] ABSTRACT In many places, proverb has been known as a sequence of words that contains the wisdom as the guidance for people in their social interactions for thousands of years throughout the world. This circumstance happens since proverb contains moral value in many aspects of life, such as human philosophy, social issue, culture, and so on. It spreads not only in a particular place in but it also exists in all over the world. In England for example, there are “A wolf in sheep’s clothing”, “Never look a gift horse in the mouth”, and so on. (Mieder, 2004:44). Intersetingly, there are so many proverbs contain the name of animal in delivering the main meaning of it. This paper will talk more about the significant of the name of animal in the proverb, especially English proverbs. The analysis uses the method of referential since it is influenced by the facts of a language. The significant of the name of animal that appears in the proverbs will show the correlation between the name of animal and the main meaning of proverbs in exposing a great message for human being. Moreover, it can improve our understanding in interpreting the proverb.
ABSTRAK Peribahasa telah dikenal sebagai sebuah rangkaian kata-kata yang mengandung kearifan sebagai pedoman bagi seseorang dalam berinteraksi sosial di berbagai negara di dunia selama ribuan tahun. Hal ini bisa terjadi karena peribahasa mengandung banyak pesan moral dalam aspek kehidupan, seperti filosofi manusia, isu sosial, budaya, etika, dan lain-lain. Peribahasa muncul tidak hanya di daerah tertentu saja, namun hal ini terdapat di seluruh negara di dunia. Sebagai contoh di Inggris, ada beberapa peribahasa seperti; “A wolf in sheep’s clothing”, “When you hear hoofbeats, think horses not zebras”, dan lain sebagainya. (Mieder, 2004: 44). Salah satu hal yang menarik adalah banyaknya peribahasa yang mengandung nama binatang di dalamnya untuk menyampaikan pesan utama dari peribahasa tersebut. Jurnal ini akan membahas lebih lanjut mengenai peran penting nama binatang dalam peribahasa, terutama peribahasa-peribahasa yang menggunakan bahasa Inggris. Analisis dalam jurnal ini menggunakan metode referensial sebagaimana analisis ini dipengaruhi oleh fakta-fakta dari sebuah bahasa. Peran penting dari nama binatang yang muncul akan menunjukkan hubungan antara nama binatang dan makna utama dari peribahasa tersebut yang mengandung pesan moral bagi manusia. Terlebih lagi, hal ini bisa meningkatkan pemahaman kita dalam memaknai peribahasa.
Kata kunci: peribahahasa, nama binatang, struktural.
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
379
A. PENDAHULUAN Pada era modern ini bahasa Inggris dikenal sebagai bahasa internasional yang digunakan secara resmi di seluruh dunia untuk menjalin komunikasi antara satu dengan yang lain. Pengaruh bahasa Inggris tidak hanya terbatas pada penggunannya dalam komunikasi lisan, namun penggunaan bahasa Inggris telah diaplikasikan dalam banyak karya tulis dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Bahkan penggunaan bahasa Inggris telah digunakan dalam media massa yang lebih luas seperti, televisi, radio, internet, dan lain sebagainya. Dengan begitu luasnya cakupan yang dipengaruhi oleh penggunaan bahasa Inggris, tidak hanya aspek bahasa yang didapat oleh para penutur non-Inggris, namun aspek kebudayaan dari masyarakat penutur bahasa Inggris juga menjadi hal yang bisa ditemukan dari fenomena ini. Salah satu identifikasi budaya yang muncul dalam bentuk bahasa dapat dilakukan dengan melakukan analisa peribahasa. Hal yang menarik dari peribahasa salah satunya adalah nama-nama binatang yang muncul di dalamnya. Penggunaan nama binatang tertentu dalam peribahasa memerlukan analisa lebih lanjut. Karena hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai hubungan antara nama-nama binatang tertentu dengan makna yang terkandung di dalam peribahasa. Peribahasa yang akan diteliti di dalam jurnal ini adalah peribahasa yang menggunakan bahasa Inggris, adapun contoh peribahasa tersebut antara lain; “Barking dogs seldom bite” yang mengandung makna “People who boast or make a lot of threats normally do not carry out what they say” dalam bahasa Inggris atau “orang yang besar mulut atau suka mengancam, biasanya tidak melaksanakan apa yang dikatakannya” dalam bahasa Indonesia (Samekto, 1994:21). Contoh lainnya adalah “Better be the head of a dog than the tail of a lion” yang mempunyai makna “It is better to be in a senior position at a lower level than to be in a junior position at a high level” dalam bahasa Inggris atau “Lebih baik berada dalam posisi senior pada tingkat rendah daripada berada dalam posisi yunior pada tingkat tinggi” dalam bahasa Indonesia (Samekto, 1994:24). Dari makna yang terkandung di dalam peribahasaperibahasa tersebut maka terdapat hal yang perlu dikaji lebih lanjut Kajian Struktural Nama Binatang dalam Peribahasa Bahasa Inggris… (Anita Nur H)
380
yaitu mengenai hubungan antara “barking dogs” dengan “orang yang suka mengancam” pada contoh peribahasa pertama. Selanjutnya hubungan antara “the head of a dog” dengan “posisi senior pada tingkat yang rendah” dan “the tail of lion” dengan “posisi junior pada tingkat yang tinggi”. Mengapa untuk merepresentasikan orang yang suka mengancam digunakan “barkings dogs”? Apakah esensi yang terkandung di dalam peribahasa tersebut akan berubah dengan penggunaan “buzzing bee” sebagai contoh untuk menggambarkan orang yang suka mengancam? Hubungan antara kedua hal tersebut merupakan salah satu contoh dari hubungan struktural yang dikemukakan oleh De Saussure dalam teori linguistik sruktural. Sebagaimana strukturalisme adalah suatu cara pandang yang menekankan persepsi dan deskripsi tentang struktur bahasa (Kridalaksana, 2005:47). Hubungan struktural antara nama binatang yang muncul di dalam peribahasa dengan makna yang terkandung di dalamnya akan menjadi subjek penelitian yang akan di bahas lebih lanjut di dalam jurnal ini. Pembahasan dalam jurnal ini akan menitikberatkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan struktural tersebut dengan menggunakan teori struktural yang dipelopori oleh De Saussure. Sedangkan metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian deskriptif sebagaimana penelitian ini ditujukan untuk menginterpretasikan data yang diteliti (Suryana, 2010:20). B. LANDASAN TEORI Penelitian dalam jurnal ini menggunakan landasan teori linguistik struktural yang dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure. Ferdinand De Saussure lahir pada 26 November 1857 di Jenewa, Swiss dan meninggal pada 22 Februari 1913. Sebagai seorang linguis yang memberikan pengaruh sangat besar di dalam perkembangan ilmu pengetahuan bahasa, Saussure sudah menunjukkan kemampuannya dalam mempelajari banyak bahasa, di antaranya; Perancis, Jerman, Inggris, Latin, dan Sansekerta ketika berumur 15 tahun. Perannya yang sangat besar dalam perkembangan ilmu linguistik modern dengan teori strukturalnya membuat nama De Saussure menjadi tokoh yang selalu dihubungkan dengan pembahasan teori linguistik.
Linguistika Akademia Vol. 2, No. 3, 2013 : 378 – 389
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
381
Dalam teori struktural bahasa dijelaskan sebagai sebuah sistem yang merupakan gabungan dari elemen-elemen di mana satu elemen bergantung pada koeksistensi elemen-elemen yang lain (Radford, 2005: 61). Dengan dasar deskripsi bahasa inilah yang nantinya menjadi dasar hubungan tanda linguistik atau “Signe” yang dijabarkan oleh De Saussure sebagai hubungan antara “Signifier (signifiant), dan signified (signifie). Signifier (signifant) adalah lambang bunyi atau “Yang mengartikan”, sedangkan signified (signifie) adalah konsep yang terkandung di dalam signifier atau yang “diartikan” (Chaer, 2007: 46). Adapun hubungan tersebut dapat digambarkan pada bagan di bawah ini. /p/, /i/, /r/, /i/, /n/, /g/ (signifier)
Piring (tanda linguistik)
“wadah yang digunakan untuk meletakkan makanan” (dalam bahasa)
(luar bahasa)
Hubungan tanda linguistik yang dipaparkan oleh De Saussure menjadi dasar pengembangan segitiga makna yang salah satunya dilakukan oleh dua ilmuwan C.K Odgen dan I.A Rhicard yang menjelaskan mengenai segitiga semantik. Adapun bagan dari segitiga semantik dapat diamati melalui bagan di bawah ini. Konsep (Thought of reference)
CORRECT symbolises (a causal relation)
Bentuk (Symbol)
ADEQUATE Refers to (other causal relation)
Referen (referent)
Kajian Struktural Nama Binatang dalam Peribahasa Bahasa Inggris… (Anita Nur H)
382
Dari bagan di atas, C.K Odgen dan I.A Rhicard menjelaskan bahwa antara konsep (tought of reference) dan bentuk (symbol) mempunyai hubungan sebab akibat. Dikatakan bahwa bentuk (symbol) yang dihasilkan ketika seseorang berbicara disebabkan oleh konsep (reference) yang dimiliki oleh pembicara yang mana konsep tersebut berhubungan dengan faktor psikologi dan sosial seseorang. Sebaliknya ketika seseorang mendengar simbol, maka hal itu juga akan membuat seseorang melakukan tindakan yang merupakan bentuk dari konsep (reference). Hubungan selanjutnya yaitu antara konsep (thought of reference) dan referen (referent) yang mempunyai hubungan acuan, dimana dapat berupa hubungan langsung maupun tidak langsung. Hal ini tergantung dari bentuk referen (referent) yang bisa berupa benda nyata atau abstrak. Sedangkan antara bentuk (symbol) dan referen (referent) tidak terkait hubungan selain hubungan tidak langsung (Odgen dan Rhicard, 1989:12). Hal ini berkaitan dengan sifat bahasa yang arbitrer. Pembahasan mengenai peribahasa berkaitan erat dengan kiasan yang muncul di dalam banyak peribahasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Mieder bahwa peribahasa adalah kalimat umum yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan, kebenaran, moral, dan pandangan tradisional yang muncul dalam bentuk kiasan dan diketahui oleh masyarakat luas secara turun-temurun karena bersifat tetap dan mudah diingat (Mieder, 2004:3). Pendapat lain mengenai peribahasa juga disampaikan oleh Winick bahwa peribahasa merupakan penggambaran keadaan sosial masyarakat dengan cara yang cerdik. (Mieder, 2004: 5) Sehingga tidak heran jika peribahasa mempunyai hubungan yang erat dengan bentuk kebudayaan dan cara pandang masyarakat tertentu. C. ANALISIS Tulisan ini akan membahas 6 peribahasa yang masing-masing mempunyai unsur nama binatang di dalamnya dengan menggunakan dasar teori segitiga semantik dari C.K Odgen dan I.A Rhicard yang merupakan turunan dari teori dasar struktural yang dicetuskan oleh Ferdinand De Saussure. Ini dilakukan untuk mengetahui hubungan makna atau hubungan segitiga semantik antara nama binatang dan makna peribahasa. Linguistika Akademia Vol. 2, No. 3, 2013 : 378 – 389
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
383
Makna peribahasa
Nama binatang
Aspek dari nama binatang
1. Never look a gift horse in the mouth Peribahasa “Never look a gift horse in the mouth” mempunyai arti “Don’t complain about something that is given to you” dalam bahasa Inggris, atau ‘Jangan mengeluh tentang sesuatu yang sudah diberikan kepadamu’ (Collins, 1975: 1). Nama binatang yang muncul sebagai simbol dari makna peribahasa adalah horse atau kuda. Makna peribahasa ini membahas mengenai hadiah atau barang pemberian dikaitkan dengan “a gift horse in the mouth”. Hubungan antara bentuk (symbol) dan makna dari peribahasa tersebut merupakan kiasan dari “hadiah” yang dihubungkan dengan nilai jual dari seekor kuda yang ditentukan oleh umurnya. Pada kenyataannya memang umur seekor kuda diketahui dengan menghitung jumlah giginya (Mohammadi, 2012: 464). Selain itu, kuda merupakan binatang yang sangat berkaitan erat dengan kebudayaan Inggris yang tercermin dari olahraga pacuan kuda yang telah muncul di Inggris sejak tahun 1790 (Huggins, 2003: xiii). 2. Let sleeping dogs lie Makna dari peribahasa “Let sleeping dogs lie” adalah “leave those things alone which you know will cause troble” atau “hindarilah halhal yang dapat menimbulkan masalah” (Samekto, 1994: 70). Dari makna peribahasa tersebut dapat diketahui bahwa nama binatang “anjing” merupakan bentuk atau simbol dari hal-hal yang menimbulkan masalah dan mengandung makna negatif. Makna negatif yang direpresentasikan oleh “anjing” tersebut berhubungan Kajian Struktural Nama Binatang dalam Peribahasa Bahasa Inggris… (Anita Nur H)
384
dengan makna konotasi yang melekat pada binatang ini yang digambarkan sebagai makhluk yang mewakili “kemuraman”. “Anjing” merupakan makhluk yang dekat dengan budaya Inggris karena dikenal sebagai pengawal dan penjaga bagi tuannya. Namun makhluk ini juga digambarkan memiliki karakter yang selalu waspada, mengintai, diam-diam mengancam, menakutkan, tidak terduga, dan bisa menyerang kapan saja. Bahkan representasi “anjing” sebagai gambaran dari kemarahan pernah tercatat di dalam Kamus Dialek Bahasa Inggris pada tahun 1898 (Foley, 2005: 1-2). Konotasi inilah yang membuat anjing menjadi simbol yang sesuai dari hal-hal yang menimbulkan masalah yang muncul sebagai makna peribahasa tersebut. 3. Dog does not eat dog “A person should not cheat, harm, or seek unfair gains from a person of the same profession, institution, etc” atau “Seseorang kendaknya tidak menipu, mengganggu atau menarik keuntungan dari teman sejawat” merupakan makna dari peribahasa “Dog does not eat dog”. (Samekto, 1994, 36) Sama halnya dengan peribahasa sebelumnya, nama binatang yang digunakan sebagai simbol adalah “anjing” atau “dog”. Perbedaan dari simbol anjing yang digunakan dalam peribahasa ini dengan peribahasa sebelumnya terletak pada makna konotasi yang terkandung di dalamnya. Pada peribahasa sebelumnya anjing memiliki makna konotasi negatif sebagai penggambaran “hal-hal yang menimbulkan masalah” sedangkan pada paragraf ketiga ini “anjing” memiliki makna konotasi positif dengan menjadi simbol dari “seseorang atau manusia”. Perubahan makna konotasi tersebut berhubungan dengan perubahan perspektif budaya masyarakat Inggris dalam menggambarkan anjing pada abad pertengahan. Pada era ini “anjing” digambarkan sebagai makhluk yang mempunyai sifat bersahabat, setia, pemberani, dan cerdas. Bahkan penggambaran anjing dikaitkan dengan sifat manusia pernah tercacat dalam petikan karya besarnya Robert Burton, The Anathomy of Melancholy (1621): “Of all oher [animals], dogs are most subject to this malady, in so much, some hold they dream as men do, and through violence of melancholy, run mad. I could relate” (Foley, 2005: 4). Perubahan perspektif inilah yang
Linguistika Akademia Vol. 2, No. 3, 2013 : 378 – 389
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
385
membuat nama binatang “anjing” dijadikan sebagai simbol yang merepresentasikan manusia di dalam makna peribahasa tersebut. 4. Big fish eat little fish Peribahasa ini merupakan salah satu peribahasa tertua di dunia. Adapun makna dari peribahasa “Big fish eat little fish” adalah “Powerful man ruin the weaker” atau “Orang yang kuat (kaya) menghancurkan orang yang lemah (miskin)” (Wilkinson, 2002: 493). Nama binatang yang muncul pada peribahasa ini adalah “ikan” atau “fish”. Ikan merupakan simbol dari sifat serakah. Salah satu faktor dari munculnya representasi tersebut adalah lukisan hasil karya Hieronymus Bosch; Physiologus dan The Garden of Earthly Delights pada tahun 1500. Lukisan ini menggambarkan ikan paus yang menelan ikan yang lebih kecil. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi faktor tradisi masyarakat Indo-Eropa yang sudah familiar dengan penggunaan “ikan” sebagai kiasan untuk menggambarkan orang yang serakah. Penggunaan “ikan” sebagai kiasan sudah tercatat sejak abad ke-8 dalam karya penulis Yunani, Hesiod dalam karyanya yang berjudul Works and Days; “Fish and beasts of the wild and birds that fly in the air eat one another, since justice has no dwelling among them.” Selain itu “ikan” sebagai sebuah kiasan juga terdapat dalam manuskrip Sansekerta Mahabharata ; “Men,in days of old, in consequence of anarchy, met with destruction, devouringone another like stronger fishes devouring the weaker ones in the water.” Bahkan penggunaan “ikan” sebagai kiasan sudah dikenal oleh nenek moyang kaum Ibrani di dalam kitab Perjanjian Lama; “why dost thou look on faithless men, and art silent when the wicked swallow up the man more righteousthan he? For thou makest men like the fish of the sea, like crawling things that have no ruler” (Hab. 1:13–14).” Tidak hanya kaum Ibrani yang sudah mengenal kiasan dengan menggunakan “ikan” pada zaman dahulu, namun kaum Babilonia juga sudah mengenal hal ini dalam traktat Abodah Zarah; “Just as among fish of the sea, the greater swallow up the smaller ones, so with men, were it not for fear of the government, men would swallow each other alive.” (Mieder, 2004: 35-36)
Kajian Struktural Nama Binatang dalam Peribahasa Bahasa Inggris… (Anita Nur H)
386
5. Man is a wolf to man Makna dari peribahasa “Man is a wolf to man” adalah “A predator on his fellow” atau “Seseorang adalah predator bagi teman sejawat”. Simbol yang digunakan untuk mengambarkan seorang predator atau seseorang yang menghancurkan adalah “serigala” yang mempunyai makna konotasi sebagai makhluk yang kejam dan suka memangsa. (Wilkinson, 2002: 493) Selain dari segi makna konotasi yang mempengaruhi penggunaan “serigala” sebagai simbol dalam peribahasa, faktor sosial juga mempunyai pengaruh besar dalam hal ini. Peribahasa ini dicetuskan oleh sastrawan besar dari Jerman bernama Bertolt Brecht (1898-1956). Brecht adalah seorang sosialis yang mempunyai perhatian besar atas keadaan sosial pada waktu itu. Sebagai seorang sastrawan Brecht menuangkan kritik sosialnya ke dalam karya-karyanya. Karya sastra yang menjadi gambaran dari peribahasa ini adalah puisinya yang berjudul “On a Japanese Drawing of a Puppet Show Played for Children by Children” (1934): Woe! The immature stand on the tables. In their play They show what they have seen How man treated man and was a wolf to him.(Mieder, 2004: 215) 6. The wolf in sheep’s clothing Peribahasa “The wolf in sheep’s clothing” mengandung makna “Malevolent person pretending to be friendly; someone who appears harmless, but is in fact very dangerous” atau “Orang jahat yang berpura-pura ramah dan tampak tidak berbahaya, namun sebenarnya sangat berbahaya”. Di dalam peribahasa ini terdapat dua nama binatang yaitu serigala (wolf) dan domba (sheep) yang digunakan sebagai simbol dari makna peribahasa yang terkandung di dalamnya. Kedua nama binatang yang muncul di dalam peribahasa ini merepresentasikan dua hal yang saling bertolak belakang. “Serigala” merupakan simbol dari “seseorang yang bersifat jahat”, sedangkan domba merupakan simbol dari “’sifat ramah dan tidak berbahaya”. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa “serigala” digambarkan sebagai makhluk yang bersifat kejam dan suka memangsa, yang sesuai dengan gambaran orang yang jahat. Hal berbeda terjadi pada “domba” yang Linguistika Akademia Vol. 2, No. 3, 2013 : 378 – 389
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
387
digambarkan sebagai simbol dari “orang-orang baik yang tidak mempunyai niat buruk dari dalam diri mereka”. Sebagaimana diketahui bahwa domba bertindak sesuai dengan dengan kawanan domba yang lain karena domba merupakan hewan yang hidup berkelompok. Selain hubungan makna konotasi yang terdapat dalam nama binatang yang sesuai dengan makna peribahasa yang diwakilinya, peribahasa ini diangkat dari dongeng Aesop yang menceritakan seekor serigala yang menyamar dengan memakai pakaian untuk menangkap domba-domba muda. (Wilkinson, 2004: 794) Makna peribahasa “The wolf in sheep’s clothing” mempunyai kesamaan dengan peribahasa yang terkenal di Indonesia yaitu “Serigala berbulu domba”. D. KESIMPULAN Dari penelitian yang difokuskan pada hubungan antara nama binatang dan makna yang terkandung di dalam peribahasa, khususnya peribahasa yang menggunakan bahasa Inggis dengan menerapkan teori segitiga makna yang dicetuskan oleh C.K Odgen dan I.A Rhicard peneliti menemukan 2 faktor yang menyebabkan penggunaan nama binatang tertentu di dalam sebuah peribahasa. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Penggunaan nama binatang di dalam sebuah peribahasa disebabkan oleh makna konotasi yang terkandung di dalam nama binatang tersebut. Makna konotasi tersebut dapat dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu: - Makna konotasi dari nama binatang tertentu dipengaruhi oleh sifat-sifat binatang yang sesuai dengan fenomena yang terjadi pada kehidupan masyarakat dan disampaikan melalui pesan yang terkandung di dalam sebuah peribahasa. - Nama binatang dapat dikonotasikan ke dalam makna tertentu karena dipengaruhi oleh perspektif budaya sebuah masyarakat tertentu dalam memandang dan memperlakukan seekor binatang. Perspektif budaya merupakan sesuatu yang dinamis sehingga akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal inilah yang menyebabkan pergeseran makna konotasi dari nama binatang tertentu. Sebagai contoh adalah makna Kajian Struktural Nama Binatang dalam Peribahasa Bahasa Inggris… (Anita Nur H)
388
konotasi nama binatang “anjing” yang mengalami pergeseran makna dari makna konotasi negatif ke makna konotasi positif karena dipengaruhi oleh perspektif budaya masyarakat. 2. Penggunaan nama binatang tertentu di dalam sebuah peribahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah yang muncul dalam kehidupan masyarakat tertentu. Faktor-faktor sejarah ini dapat berupa fakta sejarah, agama, maupun kebudayaan.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, diharapkan seseorang dapat memahami sebuah peribahasa yang syarat akan nilai-nilai filosofi kehidupan, sosial, moral, dan budaya sehingga dapat dipahami dan direnungkan lebih baik sebagai pembentukan karakter diri manusia yang lebih baik. E. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rieneka Cipta. Print Foley, Paul. 2005. “Black Dog” as a Metaphor for Depression: a Brief Story. Web. 13 Januari 2013 Huggins, Mike. 2003. Horseracing and the British 1919-1939: Studies in Popular Culture. Manchester and New York: manchester University Press. Web. 13 Januari 2013 Kridalaksana, Harimurti. 2005. Morgin-Ferdinand de Saussure (1857-1913): Peletak Dasar Srtukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Print Mieder, Wolfgang. 2004. Proverbs: A Handbook. Greenwood Press. Web. 13 Januari 2013
London:
Mohammadi, Razieh. 2012. Cultural Connotation of Animals in Translation:Proverbs, Idom, Sayings (English-Persian). Iran: University of Isfahan. Web. 13 Januari 2013 Odgen, C. K dan Richards, I. A. 1989. The Meaning of Meaning. USA: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. Web. 13 January 2013 Linguistika Akademia Vol. 2, No. 3, 2013 : 378 – 389
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
389
Samekto, Cecilia G. 1994. Popular Proverbs. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Print Suryana. 2010. Metode Penelitian: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Universitas Pendidikan Indonesia. Web. 13 Januari 2013 Wilkinson, P. R. 2002. Thesaurus of Traditional english Methapors (second edition). London dan New York: Routledge, Taylor & Francis Group. Web. 13 Januari 2013
Kajian Struktural Nama Binatang dalam Peribahasa Bahasa Inggris… (Anita Nur H)