KAJIAN SISTEM BIOFILTRASI UNTUK MENDEGRADASI GAS POLUTAN
Oleh : ARISMA YUSUF F14101064
2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
0
ARISMA YUSUF. F14101064. Kajian Sistem Biofiltrasi untuk Mendegradasi Gas Polutan. Dibimbing oleh Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc. 2006
RINGKASAN Salah satu metode penghilangan polutan gas yang efektif adalah matode yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisma. Biofilter adalah suatu metoda penanganan limbah gas dengan cara biologis dengan memanfaatkan kemampuan mikroorganisma yang mampu mendegradasi gas polutan menjadi senyawasenyawa yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Biofilter bekerja atas dasar sifat alami beberapa jenis mikroorganisma yang mampu memanfaatkan senyawa yang terkandung dalam gas polutan sebagai nutrien bagi kelangsungan hidupnya. Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji sistem biofilter untuk mendegradasi gas polutan. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) Modifikasi sistem biofiltrasi pada bagian ruang pengumpan gas polutan. 2) Melakukan aktivasi (start up) biofilter. 3) Melakukan uji performansi sistem biofiltrasi dengan mengumpankan gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3). Modifikasi sistem biofiltrasi dilakukan pada bagian ruang pengumpan gas polutan, perubahan pada ruang pengumpan disesuaikan dengan cara pembuatan gas hidrogen sulfida (H2S) yaitu dengan mereaksikan bahan Na2S.9H2O dan HCl. Aktivasi (start up) biofilter diawali dengan mengisikan media filter berupa serpihan kayu lapuk ke dalam bed dan diikuti dengan mengumpankan gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) ke dalam sistem biofiltrasi secara kontinyu dengan laju volumetrik yang relatif tetap. Tahapan uji performansi meliputi rangkaian aktivitas dalam menerapkan sistem biofiltrasi dalam keadaan aktif guna mendekomposisi gas polutan yang diumpankan yaitu hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3). Parameter yang diukur dalam uji performansi meliputi: Konsentrasi senyawa penyusun gas polutan sebelum dan sesudah melewati biofilter, efisiensi proses (η) pendegradasian gas polutan, penurunan tekanan (pressure drops) aliran limbah gas pada saat melewati media filter, analisis kultur mikroba pendegradasi gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) pada media filter, kadar air media selama uji performansi berlangsung, pengukuran pH media, pengamatan terhadap temperatur dan RH pada ruang humidifikasi. Proses aktivasi (start up) telah dilakukan dengan hasil kelembaban relatif udara di ruang humidifikasi berkisar antara 96%-99% dengan suhu berkisar antara 270C-330C. Performansi dari sistem biofiltrasi untuk mempertahankan kadar air media sudah optimal karena dengan kadar air media filter 40.8% merupakan kondisi optimal mikroorganisma mendegradasi gas polutan. Mikroorganisma (Thiobacillus sp.) yang dapat mendegradasi H2S dapat hidup pada kondisi pH media yang asam (pH 3.52). Penurunan tekanan yang terjadi pada kolom reaktor biofilter sebesar 3.92 Pascal. Efisiensi proses degradasi gas ammonia (NH3) pada sistem biofiltrasi berkisar antara 86.6% dan 93.2% pada suhu antara 280C dan 330C. Efisiensi proses degradasi gas hidrogen sulfida (H2S) meningkat seiring dengan adanya peningkatan suhu. Efisiensi proses degradasi gas hidrogen sulfida (H2S) pada sistem biofiltrasi berkisar antara 91.6%dan 96.6% pada suhu antara 290C dan 340C.
1
KAJIAN SISTEM BIOFILTRASI UNTUK MENDEGRADASI GAS POLUTAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ARISMA YUSUF F14101064
2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KAJIAN SISTEM BIOFILTRASI UNTUK MENDEGRADASI GAS POLUTAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ARISMA YUSUF F14101064 Dilahirkan pada tanggal 11 Mei 1982 di Ciamis Tanggal Lulus : 30 Januari 2006 Menyetujui, Bogor, Februari 2006
Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc. Pembimbing Akademik Mengetahui
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS. Ketua Departemen Teknik Pertanian
3
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Mei 1982 di Ciamis – Jawa Barat dari orang tua bernama Endang Yusuf dan Ichlasiah. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Pasirpeuteuy pada tahun 1995, SLTPN 1 Ciamis pada tahun 1998, SMUN 1 Ciamis pada tahun 2001. Setelah lulus penulis melanjutkan kuliah di Departemen Teknik Pertanian (TEP), Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA), Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI. Penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Perkebunan Nusantara VIII Kebun Batulawang, Ciamis, Jawa Barat dengan Judul ”Aspek Keteknikan pada Proses Pengolahan Karet di PTPN VIII (PERSERO) Kebun Batulawang, Ciamis”. Pada tahun 2005-2006 penulis melakukan penelitian dengan judul ”Kajian Sistem Biofiltrasi untuk Mendegradasi Gas Polutan”.
4
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dalam bentuk skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Kajian Sistem Biofiltrasi untuk Mendegradasi Gas Polutan. Biofilter merupakan salah satu metode penghilangan polutan gas yang efektif dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisma. Aplikasi sistem biofilter dapat digolongkan sebagai pemecahan masalah yang bersifat ramah lingkungan karena minimnya limbah yang dihasilkan dari pengolahan limbah ini (Yuwono, 2005). Selain itu teknik ini termasuk kedalam golongan ”teknik pengolahan limbah tanpa menghasilkan limbah”. Diharapkan aplikasi sistem biofilter dapat menjadi alternatif untuk pengolahan limbah gas sehingga kondisi lingkungan bebas polusi dapat terjaga. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua atas segala dukungan dan doanya. 2. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc selaku dosen pembimbing atas saran dan bimbingannya. 3. Ir. Gardjito, MSc dan Dr. Ir. Leopold O. Nelwan, MSi selaku dosen penguji. 4. Teman-teman Teknik Pertanian angkatan 38 atas kebersamaannya 5. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini dengan lancar. Akhir kata semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang menggunakannya. Bogor, Februari 2006
Penulis
5
DAFTAR ISI
halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................v I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..............................................................................................1 B. Tujuan Penelitian ...........................................................................................3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Identifikasi Sumber Polusi Bau .....................................................................4 B. Metode Pengurangan Emisi Gas ...................................................................7 C. Biofilter .......................................................................................................11 D. Media Biofilter ............................................................................................12 E. Aktivasi Biofilter .........................................................................................14 F. Bakteri Pendegradasi Senyawa Bau............................................................14 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................17
B. Bahan dan Alat
17
C. Metodologi .................................................................................................17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Modifikasi Sistem Biofiltrasi .....................................................................21 B. Aktivasi (start up) Sistem Biofiltrasi .........................................................22 C. Performansi Sistem Biofilter ......................................................................23 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................................31 B. Saran ..........................................................................................................32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................33 LAMPIRAN ...........................................................................................................35
6
DAFTAR TABEL halaman Tabel 1. Contoh sukses biodegradasi gas polutan dengan menggunakan biofilter ..................................................................1 Tabel 2. Sumber-sumber polusi bau di lingkungan .................................................4 Tabel 3. Senyawa-senyawa bau dengan rumus kimia dan kesan baunya ................5 Tabel 4. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan lain ...........6 Tabel 5. Baku tingkat kebauan untuk beberapa jenis senyawa kimia ......................6 Tabel 6. Hasil identifikasi gas polutan di beberapa TPA .........................................7 Tabel 7. Klasifikasi bioreaktor untuk pemurnian limbah gas pada mikroorganisma dan fase cair ....................................................................8 Tabel 8. Keuntungan dan kelemahan fase gas biofilter, biotrickling filters dan bioscrubbers ........................................................................................9 Tabel 9. Senyawa bau dan bakteri pendegradasi aktif ...........................................15 Tabel 10. Mikroorganisma pendegradasi gas H2S ................................................16 Tabel 11. pH media biofilter saat aktivasi dan uji performansi .............................25
7
DAFTAR GAMBAR halaman Gambar 1. Biofilter (a), biotrickling filter (b), dan bioscrubber (c) .........................9 Gambar 2. Adsorpsi senyawa bau ke permukaan filter media dan absorpsi ke dalam biofilm .............................................................10 Gambar 3. Skema penanganan gas buang berbau dengan biofilter .......................11 Gambar 4. Skema aliran gas polutan pada sistem biofiltrasi. ................................18 Gambar 5.Alat ukur konsentrasi gas dan sistem biofiltrasi. ..................................20 Gambar 6. Kolom pengumpan gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) .............................................................................22 Gambar 7. Grafik kadar air media filter .................................................................24 Gambar 8. Kultur mikroba yang ditumbuhkan pada gelas objek..........................26 Gambar 9. Pengukuran penurunan tekanan dengan manometer H2O ....................27 Gambar 10. Hubungan antara suhu dan efisiensi proses pendegradasian gas ammonia (NH3). ..........................................................................28 Gambar 11. Pengaruh suhu terhadap aktifitas mikroorganisma dalam proses biodegradasi gas polutan pada sistem biofiltrasi ...................28 Gambar 12. Hubungan antara konsentrasi gas ammonia pada saluran inlet terhadap konsentrasi gas ammonia pada saluran outlet setelah mengalami proses degradasi ..............................................................29 Gambar 13. Hubungan antara suhu dan efisiensi proses pendegradasian gas hidrogen sulfida. .........................................................................29 Gambar 14. Hubungan antara konsentrasi gas hidrogen sulfida pada saluran inlet terhadap konsentrasi gas hidrogen sulfida pada saluran outlet setelah mengalami proses degradasi. .................30
8
DAFTAR LAMPIRAN halaman Lampiran 1. Gambar teknik sistem biofiltrasi........................................................35 Lampiran 2. Skema pengukuran tekanan statis ......................................................36 Lampiran 3. Metoda identifikasi kultur mikroba ...................................................37 Lampiran 4. Metoda pengukuran kadar air media biofilter ...................................38 Lampiran 5. Data temperatur (Tbk,Tbb) dan kelembaban relatif (RH) pada ruang humidifikasi ...................................................................39 Lampiran 6. Perhitungan penurunan tekanan pada sistem biofiltrasi ....................40 Lampiran 7. Hasil analisis laboratorium untuk konsentrasi gas ammonia dengan perlakuan suhu dan efisiensi proses degradasinya .............41 Lampiran 8. Konsentrasi gas hidrogen sulfida pada sistem biofiltrasi dengan perlakuan suhu dan efisiensi proses degradasinya ................42 Lampiran 9. Psychrometric chart untuk menentukan RH berdasarkan temperatur bola basah (Tbb) dan temperatur bola kering (Tbk) .......43
9
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan kebutuhan hidup manusia dan seluruh mahluk hidup yang ada di dunia. Kebutuhan udara bersih akan sangat mutlak diperlukan. Namun saat ini untuk mendapatkan udara bersih yang bebas polusi sangat sulit, terutama daerah perkotaan yang penuh dengan industri dan kendaraan bermotor. Polusi udara juga terjadi disebabkan oleh sampah yang dapat memicu timbulnya konflik antara pihak pengelola dan masyarakat sehubungan dengan keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Permasalahan lingkungan saat ini semakin kompleks, perkembangan pembangunan terutama sektor industri diikuti oleh meluasnya dampak yang ditimbulkan berupa penurunan kualitas udara lingkungan yang disebabkan oleh emisi berbagai jenis senyawa gas dan partikulat ke atmosfer. Masuknya polutan pada lingkungan atmosfer yang tidak terkontrol melebihi baku mutu yang ditetapkan dan kemampuan lingkungan menerima yang semakin terbatas menjadikan dampak lingkungan semakin luas dan bersifat regional serta global. Timbulnya
kondisi
tersebut
disebabkan
belum
diterapkannya
penanganan gas polutan yang relatif murah dan ramah lingkungan. Metoda pengolahan gas polutan konvensional secara fisiko-kimia sering tidak mampu memberikan
solusi tepat atas permasalahan yang
dihadapi bahkan
menimbulkan masalah baru. Besarnya investasi untuk membangun instalasi dan operasional alat pengolahan secara fisiko-kimia menjadi salah satu penyebab keengganan pihak industri untuk menjaga kualitas udara emisi yang dihasilkannya (Yuwono, 2005). Oleh karena itu diperlukan suatu upaya penanggulangan masalah tersebut dengan metoda lain.
Metoda pengganti
yang akan digunakan sebaiknya metoda yang sederhana dengan proses yang lebih sederhana dan memerlukan biaya instalasi dan operasional yang lebih rendah. Salah satu metode penghilangan polutan gas yang efektif adalah matode yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisma. Biofilter adalah suatu metoda penanganan limbah gas dengan cara biologis dengan memanfaatkan
10
kemampuan mikroorganisma yang mampu mendegradasi gas polutan menjadi senyawa-senyawa yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Biofilter bekerja atas dasar sifat alami beberapa jenis mikroorganisma yang mampu memanfaatkan senyawa yang terkandung dalam gas polutan sebagai nutrien bagi kelangsungan hidupnya.
Penerapan metoda biologis ini menjanjikan
penanganan gas polutan yang ramah lingkungan serta relatif murah biayanya (Yuwono, 2005). Beberapa contoh sukses biodegradasi gas polutan dengan menggunakan biofilter dalam berbagai penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Contoh sukses biodegradasi gas polutan dengan menggunakan biofilter (Yuwono, 2003) Senyawa berbau
Efisiensi proses biodegradasi
BTEX (benzene,toluene, ethilbenzene, o-xylene)
≥ 90 %
Hydrogen sulphide (H2S), ammonia (NH3)
≥ 95%
Tricloroethilene (C2HCL3)
30-60%
Acrilonitrile(C3H3H)
≥ 95%
Toluene (C7H8)
84%, 57-99%
Penelitian sistem biofilter untuk mendegradasi gas polutan penting dilakukan karena keberhasilan penelitian ini akan memberi sumbangan yang akan membantu memudahkan manusia dalam menjaga kualitas lingkungan umumnya dan kualitas udara khususnya. Pada lingkup yang lebih luas, keberhasilan penerapan teknologi ini nantinya akan menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan permasalahan gas polutan karena keunggulannya dibandingkan dengan teknologi konvensional secara fisiko-kimia (Yuwono, 2005).
11
B. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengkaji sistem biofilter untuk mendegradasi gas polutan. Tujuan Khusus 1. Modifikasi sistem biofiltrasi pada bagian ruang pengumpan gas polutan. 2. Melakukan aktivasi (start up) biofilter. 3. Melakukan uji performansi sistem biofiltrasi dengan mengumpankan gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3).
12
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Identifikasi Sumber Polusi Bau Industri terutama industri-industri besar merupakan salah satu sumber utama bagi pencemaran udara lokal dan merupakan sumber yang harus diperhitungkan bagi pencemaran udara regional. Pencemaran industri dikombinasikan dengan pencamaran dari sumber-sumber lain seperti sampah perkotaan merupakan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Industri-industri yang menjadi sumber polusi bau dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sumber-sumber polusi bau di lingkungan (Yuwono, 2003) Sumber bau
Senyawa atau kelompok bau
Chemical and petroleum industries 1. Refineries
2. Inorganic chemicals (fertilisers, phosphates production, soda ash, lime, sulfuric acids, etc.)
Hydrogen sulphide, sulphur dioxide, ammonia, Hydrocarbons, organic acids, mercaptans, aldehydes Ammonia, aldehydes, hydrogen sulphide, sulphur dioxide
3. Organic chemicals ( paint industry, plastics, rubber, soap, detergents, textiles
Ammonia, aldehydes, sulphur dioxide, mercaptans, organic acid
Pharmaceutical industry
Aldehydes, aromatic, phenol, ammonia, etc.
Rubber, plastics, glass industries
Nitro compounds (amines, axides), Sulphur oxides, aldehydes, ketones, phenol, alcohols, etc.
Composting facilities
Ammonia, sulphur containing compounds, terpene, alcohols, aldehydes, ester, ketones, volatile fatty acids (VFA)
Animal feedlots
Ammonia, hydrogen sulphides, alcohol, aldehydes, N2O
Wastewater treatment plant
Hydrogen sulphydes, mercaptan, ammonia, amines, skatoles, indoles, etc.
13
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (SK.MENLH No. Kep.50/MENLH/11/1996), bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indra penciuman; kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan lingkungan; baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Yuwono dan Gardjito (2005), mengemukakan pada dasarnya senyawa yang berbau adalah senyawa kimia yang bersifat mudah menguap (volatile compound) dan pada umumnya berasal dari golongan alkohol (alcohols), aldehida (aldehyde), keton (ketones), asam karboksilat (carbocxylic acids), amina (amines), atau thiols (dengan gugus fungsional sulfhydryl).. Contoh senyawa, rumus kimia, dan kesan bau dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Senyawa-senyawa bau dengan rumus kimia dan kesan baunya (Cheremisinoff, 1992 dalam Yuwono, 2003) Nama senyawa
Rumus kimia
Kesan bau
Acetaldehyde
CH3CHO
Pungent
Ammonia
NH3
Pungent
Butyric asid
CH3CH2CH2COOH
Rancid
Diethyl sulphide
C2H5C2H5S
Garlic
Dimethyl amine
CH3CH3NH
Fishy
Dimethyl sulphide
CH3CH3S
Decayed cabbage
Ethyl mercaptan
C2H5SH
Decayed cabbage
Formaldehyde
HCHO
Pungent
Hydrogen sulphide
H2S
Rotten eggs
Methyl marcaptan
CH3SH
Decayed cabbage
Phenol
C6H5OH
Empyreumatic
Propyl marcaptan
C3H7SH
Unpleasant
Sulphur dioxide
SO2
Pungent
Trimethyl amine
CH3CH3CH3N
Fishy
Valeric acid
CH3CH2CH2CH2C OOH
Body odour
14
Baku mutu emisi gas dan ambang batas untuk beberapa jenis senyawa bau dalam udara yang diperbolehkan dan tidak mengganggu manusia serta kenyamanan lingkungan diatur dalam Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup untuk baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebauan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan lain (SK. MENLH No. Kep. 13/MENLH/3/1995) Parameter Satuan Batas Maksimum Bukan Logam : 1.
Ammonia (NH3)
(mg/m3)
0.5
2.
Gas Klorin (Cl2)
(mg/m3)
10
3.
Hidrogen Klorida (HCl)
(mg/m3)
5
4.
Hidrogen Fluorida (HF)
3
10
3
(mg/m )
1000
(mg/m )
5.
Nitrogen Oksida (NO2)
6.
Opasitas
%
35
7.
Partikel
(mg/m3)
350
8.
Sulfur Dioksida (SO2)
(mg/m3)
800
9.
Total Sulfur Tereduksi (H2S)
(mg/m3)
35
Tabel 5. Baku tingkat kebauan untuk beberapa jenis senyawa kimia (SK. MENLH No. Kep. 50/MENLH/11/1996) No Parameter
Satuan Nilai
Batas
Metode Pengukuran
Peralatan
1. Ammonia
ppm
2.0
Metode Indofenol Spektrofotometer
2. Metil
ppm
0.00
Absorpsi gas
Merkaptan 3. Hidrogen
2 ppm
0.02
Sulfida 4. Metil
Gas khromatograf
ppm
0.01
Merkuri tiosianat Spektrofotometer Absorpsi gas
Gas khromatograf
Absorpsi gas
Gas khromatograf
Sulfida
15
5. Stirena
ppm
0.1
Absorpsi gas
Gas khromatograf
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Vebriyanti (2005), dari hasil analisis laboratorium menyatakan bahwa konsentrasi gas yang terdapat di beberapa TPA (Tabel 6) berada dibawah ambang batas dari standar baku mutu yang digunakan, akan tetapi terdapat gas yang dalam batas tertentu dikatakan mengganggu penciuman manusia. Hal tersebut disebabkan standar baku mutu yang digunakan adalah standar untuk kegiatan industri karena belum adanya Keputusan Pemerintah mengenai standar baku mutu khusus sampah. Tabel 6. Hasil identifikasi gas polutan di beberapa TPA (Vebriyanti, 2005) Hasil Identifikasi Gas (ppm) Komponen
Pondok Rajeg 1 <0.0053 <0.0053 <0.0053 <0.0099 <0.0099 <0.0099 0.014 0.3 0.4 0.014 0.014 0.014 0.127 0.23 0.15 0.122 0.122 <0.122 0.048 0.03 0.034 <0.0001 <0.0001 <0.0001
Galuga 1Galuga 2 NO2 SO2 NH3 H2S HCl HF Cl2 Stiren
B.
Pondok Rajeg 2 <0.0053 <0.0099 0.2 0.014 0.2 <0.122 0.031 <0.0001
Waru 1
Waru 2
<0.0053 <0.0099 0.4 <0.007 0.22 <0.122 0.0275 <0.0001
<0.0053 <0.0099 0.37 <0.007 0.48 0.122 0.034 <0.0001
Metode Pengurangan Emisi Gas Menurut Devinny et al. (1999), ada dua bentuk pengendalian emisi udara yang dapat diaplikasikan. Pertama pengendalian sumber yang melibatkan pengurangan emisi melalui penggantian bahan baku, pegurangan maupun pendaur ulangan. Mekanisme pengurangan ini mungkin mengurangi kualitas produk atau meningkatkan biaya. Pengendalian kedua yaitu merupakan pengolahan dari gas yang dihasilkan. Pemilihan teknologi cenderung ditentukan oleh desakan ekonomi ataupun ekologi serta beberapa batasan datang dari keadaan senyawa yang akan diolah seperti konsentrasi gas, laju aliran dan mode emisi dari aliran limbah gas.
16
Devinny et al. (1999), menambahkan beberapa metode yang dapat digunakan untuk menangani limbah gas antara lain : 1. Kondensasi: Limbah gas yang pekat dilakukan pendinginan dan di kompres 2. Insinerasi: Terdiri dari insinerasi termal (700-1400 0C) dan insinerasi katalis (300-700 0C dengan katalis platinum, palladium, dan rubidium). 3. Adsorpsi: Adsorpsi terjadi dalam bahan pada fixed atau fluidized bed seperti karbon aktif atau zeolit dan sangat efektif untuk uap dengan konsentrasi rendah. 4. Absorpsi: Penghilang limbah gas pencemar dengan larutan penyerap, seperti air maupun pelarut organik (minyak silikon). Kesuksesan ditentukan oleh afinitas polutan terhadap cairan. 5. Sistem membran: Menggunakan perbedaan tekanan pada dua sisi membran. Tekanan aliran gas sekitar 310-1400 kPa. 6. Pengolahan secara biologi: Efektif dan ekonomis untuk konsentrasi kontaminan rendah pada jumlah udara yang banyak, diantaranya biofilter, biotricling filter dan bioscrubber. Menurut McNevin dan Barford (2000), biotrickling filters, bioscrubber dan biofilter terdiri dari tiga fase kontak yaitu fase padat (bahan organik), fase cair dan fase gas, semua fase tersebut diusahakan mengandung nutrisi agar dapat mendegradasi polutan. Klasifikasi dan perbedaan bioreaktor untuk pemurnian limbah gas dapat dilihat pada Tabel 7, Gambar 1, dan Tabel 8. Tabel 7. Klasifikasi bioreaktor untuk pemurnian limbah gas pada mikroorganisma dan fase cair (Devinny et al., 1999) Reaktor
Mikroorganisma
Fase cair
Biofilter
Tetap
Tetap
Biotrickling filter
Tetap
Mengalir
Bioscrubber
Tersuspensi atau terlarut
Mengalir
17
Gambar 1. Biofilter (a), biotrickling filter (b), dan bioscrubber (c) ( Yuwono, 2003). Tabel 8. Keuntungan dan kelemahan fase gas biofilter, biotrickling filters dan bioscrubbers (Yuwono, 2003) Biofilter Bioscrubber Biotricling filter Keuntungan : pengoperasiannya sederhana investasi murah biaya pengoperasian rendah penurunan polutan terlarut dalam air rendah dapat mengurangi polusi bau Kelemahan : laju aliran limbah gas rendah hanya untuk polutan konsentrasi rendah proses tidak bisa dikontrol umur filter bed terbatas kelebihan biomassa tidak dapat dibuang
pengoperasiannya sederhana investasi murah biaya pengoperasian rendah dapat untuk udara yang kontaminannya sedang pH dapat dikontrol dapat ditambahkan nutrisi
proses dapat dikontrol dengan baik transfer massa dalam jumlah besar bisa untuk udara yang kontaminannya tinggi kestabilan operasional yang tinggi dapat ditambahkan nutrisi
kontrol proses terbatas biaya investasi tinggi biaya pengoperasian penyaluran bisa tinggi bermasalah umur filter bed terbatas menghasilkan biomassa yang kelebihan biomassa berlebihan tidak dapat dibuang perlu banyak air pada tahap adsorpsi bisa terjadi penyumbatan.
18
McNevin dan Barford (2000), menambahkan bahwa biofilter merupakan wadah yang berisi materi organik yang mengandung populasi mikroorganisma dimana dilewatkan polutan gas.
Proses ini berlangsung
karena terjadinya adsorpsi dan absorpsi polutan menuju ke lapisan tipis aktif (biofilm) (Gambar 2).
udara
air
polutan fase udara Diambil mikroba
Melebur ke air
Absorpsi oleh media organik
Biofilm
Adsorpsi oleh biomassa dan biofilm
Adsorpsi dan absorpsi ke medium
media
Gambar 2. Adsorpsi senyawa bau ke permukaan filter media dan absorpsi ke dalam biofilm (Devinny et al., 1999). Absorpsi adalah sebuah proses yang melibatkan distribusi merata suatu komponen gas dalam cairan atau padatan yang disebut absorben. Proses ini dapat berlangsung secara fisik maupun kimia. Melarutkan gas dalam cairan adalah proses fisik. Absorpsi kimia adalah mereaksikan gas dalam cairan sehingga menghasilkan produk samping yang mudah dideteksi. Hasil absorpsi kimia dapat diukur menggunakan standar pengukuran teknik-teknik kimia (Nathanson,1997). Adsorpsi merupakan proses fisika. Molekul gas tertarik ke permukaan padatan dan terperangkap di sana akibat adanya ikatan molekular. Adsorben biasanya berbentuk granular atau bahan berpori-pori seperti arang atau arang aktif (Nathanson,1997).
19
C. Biofilter Biofilter merupakan salah satu metoda yang digunakan untuk penghilangan gas berbau secara biologis. Cara lain adalah dengan menggunakan metoda bioscrubber dan metoda biotrickling filter. Untuk mencapai keadaan optimal, gas yang mengandung senyawa-senyawa bau perlu dikondisikan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam reaktor biofilter. Pengkondisian meliputi kontrol terhadap suhu, kelembaban relatif dan laju volumetris. Dengan kondisi lingkungan optimal maka gas buangan yang masuk ke biofilter yang telah berisi koloni mikroorganisma aktif pendegradasi senyawa bau akan dibersihkan dan keluar dengan kadar bau yang sangat rendah.
Gas berbau
Pengkondisian: - Temperatur - Kelembaban - Laju aliran
Biofilter: Degradasi gas berbau
Gas bersih
Gambar 3. Skema penanganan gas buang berbau dengan biofilter (Yuwono, 2005). Proses awal penanganan gas polutan dengan sistem biofiltrasi yaitu dilakukan pengkondisian temperatur, kelembaban relatif dan laju aliran volumetrik terhadap gas berbau kemudian diumpankan ke dalam sistem biofiltrasi yang telah siap mendegradasi gas polutan sehingga konsentrasi bau gas polutan pada saluran outlet sistem biofiltrasi berkurang. Kinerja biofilter menurut Ottengraf (1987) dalam Wahyuni (2004), dapat dinilai berdasarkan beberapa hal berikut : 1. Laju atau kapasitas penghilangan maksimum (g/kg-media kering/hari). 2. Kecepatan tercapainya kondisi aklimatisasi mikroba. Parameter ini akan menunjukan kinerja dari bioviabilitas konsorsium mikroba yang
20
dikembangkan untuk pendegradasian polutan target. Semakin cepat masa adaptasi (log phase), maka kinerja biofilter akan semakin baik. 3. Kemampuan mempertahankan rasio penghilangan gas (efisiensi) dalam waktu yang relatif lama. Rasio penghilangan polutan gas dari biofilter umumnya diatas 95% dalam waktu yang relatif lama (tahunan). 4. Kemampuan bahan pengisi dalam mempertahankan kondisi pH, suhu, dan kadar air. Kemampuan ini menggambarkan kinerja biofilter terhadap fluktuasi beban polutan gas yang tinggi dan kurangnya humidifikasi. Besarnya efisiensi ditentukan oleh berbagai faktor seperti kondisi lingkungan (temperatur dan kelembaban relatif gas berbau yang diumpankan), jenis
senyawa
yang
terkandung
dalam
gas
buang,
mutu
koloni
mikroorganisma, dan umur media filter (Yuwono dan Gardjito, 2005). Devinny et al. (1999), menyatakan mekanisme pada biofilter yang penting adalah Empty Bed Residence Time. Empty Bed Residence Time dan laju aliran sangat menentukan ukuran media biofilter. Empty Bed Residence Time adalah waktu yang diperlukan senyawa berbau melewati media biofilter, didefinisikan sebagai volume filter bed (media) dibagi dengan laju aliran udara. Persamaannya sebagai berikut:
EBRT =
Vf Q
(1)
dimana: EBRT = Empty Bed Residence Time (detik, menit) Vf
= Volume filter bed (m3)
Q
= Laju aliran udara (m3/menit)
D. Media Biofilter Pada metoda biofilter pemilihan bahan pengisi sebagai media tumbuh bakteri merupakan hal yang sangat penting, untuk mendukung kehidupan dari bakteri yang digunakan. Menurut Devinny et al. (1999), material yang dapat digunakan sebagai media biofilter diantaranya berupa kompos, gambut (peat), tanah, arang aktif, serpihan kayu atau kulit kayu (bark), perlite dan media sintetik, dimana mikroorganisma terjerat (immobilisasi) secara alami di dalamnya dengan membentuk lapisan tipis (biofilm atau biolayer).
21
Ottengraf (1987) dalam Wahyuni (2004), mengemukakan pada umumnya bahan pengisi alami mengandung sejumlah nutrisi yang mencukupi untuk pertumbuhan mikroorganisma, sehingga penambahan nutrisi dan mineral tidak diperlukan. Tetapi pemakaian biofilter dalam waktu relatif lama perlu ditambahkan nutrisi secara manual (seperti nitrogen dan fosfor) untuk mempertahankan kelangsungan hidup mikroorganisma tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan bahan media biofilter adalah sebagai berikut (Anit dan artuz, 2004) : 1. Kemampuan menyerap air untuk menjaga kelembaban lapisan biofilm. 2. Porositas dan luas permukaan yang lebar, baik untuk absopsi kontaminan maupun untuk pertumbuhan mikroba. 3. Kemampuan untuk menyerap nutrisi dan menyuplainya ketika dibutuhkan oleh mikroba. 4. Kemampuan menahan aliran udara (penurunan tekanan udara dan kekuatan angin yang dikeluarkan blower) 5. Karakteristik fisik, seperti kestabilan fisik dan kemudahan dipegang. Penurunan tekanan statis udara pada tumpukan bahan atau disebut juga tahanan gesekan tumpukan bahan diidentifikasikan sebagai penurunan tekanan yang diukur berdasarkan tekanan statis dari tumpukan. Penurun tekanan udara yang menembus suatu bahan menurut Brooker et al. (1974) tergantung pada kecepatan aliran udara, karakteristik dari bentuk dan permukaan bahan, jumlah, ukuran, dan konfigurasi dari ruang antar bahan, variasi dari ukuran partikel dan kedalaman bahan dalam wadah. Selain faktor-faktor di atas Brooker et al. (1974) menambahkan bahwa tahanan gesekan tumpukan bahan juga dipengaruhi oleh banyaknya kotoran atau partikel asing, kadar air bahan serta faktor pengepakan. Menurut McNevin dan Barford (2000), kadar air media filter optimal saat pengoperasian biofilter adalah 20%-60%. Aktifitas biologis akan berhenti bila kadar air lebih rendah dari 20%. Sebaliknya, kadar air yang terlalu tinggi
≥ 85% akan mengakibatkan terbentuknya zona anaerobik, dimana zona ini mengakibatkan oksigen yang dibutuhkan untuk biooksidasi menjadi turun.
22
E. Aktivasi Biofilter Aktivasi adalah mengaktifkan sistem biofiltrasi sedemikian rupa sehingga sistem ini mampu berfungsi mendekomposisi gas polutan. Biofilter yang aktif dicirikan oleh terjadinya penurunan konsentrasi berbagai jenis senyawa gas serta tingginya keanekaragaman koloni mikroba yang tinggal dalam media filter (Yuwono, 2005). Aktivasi sistem biofilter meliputi rekayasa iklim mikro dalam media filter sehingga dicapai kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan mikroba yang bertugas mendegradasi gas polutan. Perkembangan proses biodegradasi perlu diamati sejak pertama kali limbah gas diumpankan ke dalam sistem biofilter hingga efisiensi prosesnya mencapai optimal. Pengamatan terhadap aspek yang terlibat didalamnya meliputi perubahan konsentrasi
senyawa-senyawa
penyusun
gas
polutan
selama
proses
biodegradasi, temperatur operasi, kelembaban relatif, kondisi visual filter dan besarnya input energi (Yuwono, 2005). Pada proses aktivasi sistem biofiltrasi penambahan mikroba pada media filter dapat dibantu dengan cara inokulasi. Inokulasi dilakukan dengan menanamkan mikroba ke permukaan bahan filter dan diikuti dengan pengaliran limbah gas dalam kondisi lembab hampir jenuh ke dalam media filter. Pada biofilter yang sedang aktif mendekomposisi gas polutan, media filter akan terlihat selalu lembab dan mempunyai lapisan aktif yang melingkupi seluruh komponen media filter (Yuwono, 2005). F. Bakteri Pendegradasi Senyawa Bau Menurut Yuwono dan Gardjito (2005), pada dasarnya bau bisa ditangani
dengan
menggunakan
filter
biologis
(biofilter)
dengan
memanfaatkan mikroorganisma yang bersifat aktif mendegradasi senyawasenyawa berbau tersebut. Degradasi senyawa bau pada prinsipnya merupakan aktifitas hidup normal mikroorganisma. Untuk menjaga kelangsungan metabolisme dalam tubuhnya dalam bertahan hidup mikroorganisma memerlukan sumber energi dan senyawa-senyawa bau tersebut yang
23
dimanfaatkannya. Beberapa mikroorganisma pendegradasi aktif senyawa bau dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Senyawa bau dan bakteri pendegradasi aktif (Yuwono dan Gardjito, 2005) Senyawa bau Bakteri Acrylonitrile vapour
Brevibactrium sp. Pseudomonas aeruginosa
Ammonia
Nitrosomonas europaea
Benzene
Pseudomonas
Hydrogen sulphide
Thiobacillus thiopharus Ch11 Xanthomonas sp. Strain DY44
Sulphur compounds
Hyphomicrobium strain VS
Toluene
Pseudomonas putida 54G Acinetobacter, Azoarcus, Nevskia, Microbacterium, Pseudomonas, Pseudonocardia, Rhodococcus
Menurut Nathanson (1997), bakteri yang mengoksidasi atau mereduksi senyawa sulfur terdapat pada jumlah yang besar dan ditemukan pada morfologi dan karakteristik kimia yang beragam, diantaranya: 1. Bakteri pereduksi sulfat, yang mereduksi sulfat menjadi H2S. Kelompok ini kebanyakan bersel tunggal dan tumbuh anaerob. 2. Bekteri fotosintesis dan bakteri ungu. Bakteri tumbuh anaerob dan menggunakan H2S sebagai sumber hidrogen untuk fotosintesis. 3. Bakteri tak berwarna berfilamen. Anggota kelompok ini adalah miksotrofik dan menggunakan sumber karbon organik, tetapi mungkin mendapatkan energinya dari oksidasi senyawa sulfur tereduksi. 4. Bakteri pengoksidasi sulfur aerob. Bakteri kelompok ini adalah kemoautotrof, secara aerob mengoksidasi senyawa sulfur tereduksi untuk mendapatkan energi bagi pertumbuhan.
24
Tabel 10. Mikroorganisma pendegradasi gas H2S (Lens dan Pol, 2000) Kelompok mikroorganisma
Spesies
Autotrof
Thobacillus spp
Bakteri sulfur tak berwarna
Thiotrix spp Beggiota spp
Fototrof
Chlorobiun spp Chromatorium spp Ectothiorodospira spp
Methylotos Cyanobacteria
Hypomicrobium
Fungi
Sporomia concretifora
Heterotrof lain
Xanthromonas spp
Menurut Medigan dan Parker (2002), berdasarkan kemampuan tumbuh pada tingkat keasaman tertentu, mikroorganisma terbagi tiga yaitu
neutrofilik tumbuh pada pH 6-8, acidofilik tumbuh optimal pada pH di bawah 4.5 dan alkonofilik tumbuh pada pH diatas 9. Holt et. al. (1994), mengemukakan Thiobacillus sp. dapat tumbuh pada pH beragam mulai dari pH 1.0-10.5. Bakteri T. thiopharus yang ditumbuhkan pada media cair dapat tumbuh pada pH 3.5-4.5. dan T. thiooxidans dan T. ferooxidans dapat hidup pada pH di bawah 3.
25
III. METODOLOGI PENELITIAN A.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Lingkungan dan Bangunan Pertanian (LBP), Departemen Teknik Pertanian. Identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Analisis gas ammonia dilakukan di Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan antara bulan April 2005-Januari 2006.
B.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sistem biofiltrasi, termometer, pH meter, flow rate meter, manometer, pompa vakum, impinger, spektrofotometer, oven, timbangan digital, multi gas monitor M40 dan alat untuk keperluan analisis bakteri. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah gas senyawa tunggal yaitu hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) sebagai bahan pengumpan pada sistem biofiltrasi. Hidrogen sulfida (H2S) berasal dari campuran antara bahan Na2S.9H2O dan HCl yang di reaksikan. Media filter berupa serpihan kayu lapuk untuk pertumbuhan mikroorganisma, bahan-bahan kimia untuk analisis gas, serta bahan-bahan untuk keperluan identifikasi bakteri. C. Metodologi 1. Modifikasi Sistem Biofiltrasi Modifikasi sistem biofiltrasi dilakukan pada bagian ruang pengumpan gas polutan, perubahan pada ruang pengumpan disesuaikan dengan cara pembuatan gas hidrogen sulfida (H2S) yaitu dengan mereaksikan bahan Na2S.9H2O dan HCl. Kolom reaktor bahan penghasil gas H2S menggunakan galon dan menggunakan aerator sebagai penghembus udara yang dihubungkan dengan saluran penghasil gas ammonia dan dihubungkan dengan saluran inlet pada sistem biofiltrasi.
26
Skema
aliran gas polutan pada sistem biofiltrasi dapat dilihat pada
Gambar 4. Gambar teknik sistem biofiltrasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Reaktor sistem biofiltrasi
Ruang humidifikasi Saluran inlet H2S dan NH3
Reaktor gas H2S
Penampung air Pompa air
Aerator
Gambar 4. Skema aliran gas polutan pada sistem biofiltrasi. Anak panah menunjukan arah aliran udara. 2. Aktivasi (Start Up) Sistem Biofiltrasi Aktivasi biofilter diawali dengan mengisikan media filter berupa serpihan kayu lapuk ke dalam bed dan diikuti dengan mengumpankan gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) ke dalam sistem biofiltrasi secara kontinyu dengan laju volumetrik yang relatif tetap (Yuwono, 2005). Laju aliran volumetrik limbah gas pada sistem biofiltrasi telah diukur dan ditentukan pada tahapan penelitian rancang bangun sistem biofiltrasi. Pengaturan laju aliran volumetrik berfungsi untuk menentukan waktu tinggal (retention time) gas polutan dalam reaktor biofilter selama proses degradasi. Perlakuan terhadap aliran limbah gas pertama-tama melewati tahapan pelembaban sehingga kelembaban relatifnya mencapai 95-99% untuk memicu tumbuhnya mikroorganima dan menjaga kadar air media. Selama proses aktivasi berlangsung kadar air media dijaga dengan dilakukan penyiraman yang berkala. Tahapan aktivasi berlangsung selama tiga bulan.
27
3. Uji Performansi Tahapan uji performansi meliputi rangkaian aktivitas dalam menerapkan sistem biofiltrasi dalam keadaan aktif guna mendekomposisi gas polutan yang diumpankan yaitu hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3). Parameter yang diukur dalam uji performansi meliputi : a.
Konsentrasi senyawa penyusun gas polutan sebelum dan sesudah melewati biofilter yaitu senyawa gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) dengan perlakuan terhadap temperatur udara sistem biofilter. Alat ukur konsentrasi gas dan sistem biofiltrasi dapat dilihat pada Gambar 5.
b. Efisiensi proses (η) pendegradasian gas polutan yang diukur dengan persamaan sebagai berikut :
⎡ Cin − Cout ⎤ ⎥ x 100 % ⎦ ⎣ Cin
η=⎢
(2)
dimana Cin = konsentrasi senyawa sebelum masuk biofilter (ppm atau g/m3) Cout = konsentrasi senyawa keluar dari biofilter (ppm atau g/m3) c. Penurunan tekanan (pressure drops) aliran limbah gas pada saat melewati media filter. Tekanan statis diukur pada titik sebelum dan sesudah melewati media filter dan setiap titik diambil empat titik pengukuran tekanan statis dan dihubungkan menjadi satu. Skema pengukuran tekanan statis dapat dilihat pada Lampiran 2. Penurunan tekanan diukur dengan menggunakan manometer yang berisi fluida air murni pada tekanan statis dengan menggunakan persamaan: P = ρa . g . ha dimana
(3)
P = tekanan statis (Pascal)
ρa
= massa jenis air (kg/m3), 1000 kg/m3
g
= percepatan gravitasi (m/s2), 9.8 m/s2
ha
= tekanan statis (meter air)
28
d. Analisis kultur mikroba pendegradasi gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) pada media filter. Metoda identifikasi kultur mikroba dapat dilihat pada Lampiran 3. a.
Kadar air media selama uji performansi berlangsung. Pengukuran kadar air dilakukan sampai kadar air media konstan tanpa dilakukan penyiraman. Metoda pengukuran kadar air media biofilter dapat dilihat pada Lampiran 4.
b.
Pengukuran pH media. Metoda pengukuran pH menurut AOAC (1984), sejumlah contoh dilarutkan dalam aquades kemudian diukur derajat keasamannya dengan menggunakan pH meter atau kertas pH.
c.
Pengamatan terhadap temperatur dan RH pada ruang humidifikasi.
Gambar 5. Alat ukur konsentrasi gas dan sistem biofiltrasi. 4. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah proses aktivasi dan uji performansi sistem biofilter selesai. Evaluasi berupa kesimpulan dari hasil yang diperoleh dan saran yang dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Modifikasi Sistem Biofiltrasi Modifikasi ruang pengumpan gas dilakukan pada sistem reaktornya, perubahan pada sistem reaktor disesuaikan dengan metoda pembuatan gas H2S yaitu dengan mereaksikan bahan Na2S.9H2O dan HCl. Bahan reaktor yang dipilih yaitu galon air mineral dengan alasan kekakuan bahan yang cukup bagus sehingga pada saat terjadi kenaikan tekanan udara dari reaksi antara Na2S.9H2O dan HCl dan menghasilkan gas H2S kolom reaktor gas tidak mengembang. Sifat dari bahan yang tahan asam juga menjadi alasan pemilihan bahan tersebut. Penyempurnaan dilakukan pada sistem penghembus udara pada kolom pengumpan gas polutan pada saluran inlet dari sistem biofiltrasi. Penggunaan kipas sebagai penghembus udara tidak dapat mengalirkan udara dari ruang penghasil
gas
menuju
ruang
humidifikasi
disebabkan
kipas
untuk
menghembuskan udara perlu udara bebas dibalik sudu-sudunya, sedangkan dalam sistem biofiltrasi ruang penghasil gas diusahakan tidak berhubungan dengan udara luar supaya gas polutan tidak mencemari udara luar. Fungsi kipas untuk mengalirkan gas polutan dari ruang penghasil gas polutan diganti dengan menggunakan aerator. Aerator pada ruang penghasil gas berfungsi untuk mendorong dan mengalirkan gas polutan dari ruang penghasil gas menuju saluran inlet dari sistem biofiltrasi. Prinsip kerja dari aerator yang dapat mengalirkan udara tanpa berhubungan dengan udara luar dengan laju aliran yang dapat diatur menjadi alasan pemilihan aerator sebagai instrumen penghembus udara. Sebelum masuk ke saluran inlet dari sistem biofiltrasi selang saluran gas hidrogen sulfida dari kolom reaktor gas dihubungkan dengan saluran penghasil gas ammonia dari tabung penghasil gas ammonia. Pada saluran inlet sistem biofiltrasi terdapat katup untuk mengontrol laju aliran yang masuk ke dalam ruang humidifikasi. Kolom pengumpan gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) dapat dilihat pada Gambar 6.
30
Gambar 6. Kolom pengumpan gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3). Pengukuran laju volumetrik telah dilakukan pada penelitian rancang bangun sistem biofiltrasi. Purwati (2005), menyatakan dengan laju volumetrik sebesar 10.5 l/menit dan volume media sebesar 11.4 l maka EBRT yang digunakan menjadi 1.08 menit (65 detik), dihitung dengan persamaan 1. Leson dan Winer (1996), mengemukakan EBRT yang biasa diterapkan untuk penerapan komersial atau industri adalah selama 25-60 detik, sehingga dengan waktu tinggal 65 detik sudah memenuhi syarat optimal degradasi gas polutan pada sistem biofiltrasi. B. Aktivasi Sistem Biofiltrasi
Proses aktivasi sistem biofiltrasi dilakukan selama tiga bulan dengan mengumpankan gas polutan hidrogen sulfida (H2S) dan mengumpankan gas ammonia (NH3) selama satu minggu. Selama proses aktivasi pengamatan dilakukan terhadap kelembaban relatif (RH) pada ruang humidifikasi. Dari data yang didapat (Lampiran 5) menunjukan bahwa kelembaban relatif udara di ruang humidifikasi antara 96%-99% dengan suhu maksimal pada siang hari mencapai 330C. McNevin dan Barford (2000), menyatakan untuk menjaga kadar air bed, kelembaban relatif pada ruang humidifikasi ≥ 95% sehingga dengan kondisi lembab dan ketersediaan senyawa penyusun gas polutan menjadi pemicu tumbuhnya koloni mikroba pada seluruh permukaan filter (Yuwono, 2005).
31
Proses biodegradasi aktif dari mikroorganisma untuk mendegradasi gas polutan dapat dianalisa dengan menggunakan indra penciuman, setelah tiga minggu proses aktivasi dapat dianalisa mulai berkurangnya bau disekitar saluran outlet dari sistem biofiltrasi. McNevin dan Barford (2000), menyatakan perioda aklimatisasi dari mikroorganisma untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru adalah >10 hari. Yang dan Allen (1994), mengemukakan periode aklimatisasi dari populasi mikroorganisma untuk pendegradasian gas H2S adalah dua minggu tanpa inokulasi pada media filter. C. Performansi Sistem Biofilter 1. Karakter Media Filter
Pemilihan bahan pengisi sangat penting untuk menjaga kondisi optimum
biofilter.
Berbagai
tipe
bahan
pengisi
telah
banyak
dikembangkan sebagai tempat hidup mikroorganisma baik bahan organik maupun anorganik. Penggunaan bahan pengisi bertujuan agar bahan pengisi
tersebut
tidak
hanya
digunakan
sebagai
tempat
hidup
mikroorganisma tetapi juga sebagai sumber nutrisi dan mineral yang dibutuhkan bagi mikroorganisma. Menurut Devinny et al. (1999), selain sumber karbon, semua mikroorganisma membutuhkan sejumlah kecil nutrisi untuk metabolisme zat polutan. Begitu juga dengan kadar air media, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisma dalam proses biodegradasi zat polutan. Biodegradasi dari mikrooorganisma sangat dipengaruhi oleh kadar air media. Kadar air media juga berpengaruh terhadap waktu pemakaian dari sistem biofiltrasi. Selama proses biodegradasi, kadar air media akan berkurang dikarenakan terjadinya reaksi eksoterm pada oksidasi H2S dan NH3 oleh mikroorganisma. Menurut Setiadi (1987) dalam Kurniawan (2005), reaksi oksidasi H2S adalah sebagai berikut:
32
2H2S + O2
2H2O + 2S + 511 kJ
2S + 3O2 + 2H2O
2H2SO4 + 1181 kJ
reaksi oksidasi NH3 adalah sebagai berikut: 2NH3 + 11/2 O2
3H2O + 2N + kalor
Dari persamaan reaksi dapat diketahui bahwa reaksi oksidasi H2S dan NH3 merupakan reaksi yang melepaskan kalor dan air. Kalor yang dihasilkan dari reaksi tersebut dapat menyebabkan menguapnya air dari media filter. Gambar 7 menunjukan data kadar air dari media biofilter. Pada proses aktivasi sistem biofiltrasi untuk menjaga kadar air media dilakukan penyiraman pada media filter secara berkala. Pada proses uji performansi penyiraman media tidak dilakukan dan untuk menjaga kadar air media hanya menggunakan proses pelembaban udara pada ruang humidifikasi. Dari data yang diperoleh dapat dilihat terjadinya penurunan kadar air pada media filter. Hari pertama sampai hari ketujuh pengujian, terjadi penurunan kadar air pada media, hari selanjutnya perubahan kadar air media tidak begitu besar dan relatif konstan. 60
Kadar air (%)
50 40 30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Hari uji ke-
Gambar 7. Grafik kadar air media filter. Penurunan kadar air pada media biofilter relatif konstan dengan kadar air rata-rata 40.8%. McNevin dan Barford (2000), mengemukakan bahwa kadar air optimal pada media filter saat pengoperasian biofilter adalah 20%-60%. Bila kadar air lebih rendah dari 20% aktifitas biologis
33
akan berhenti dan bila kadar air ≥ 85% akan mengakibatkan terbentuknya zona anaerobik, dimana zona ini mengakibatkan oksigen yang dibutuhkan untuk biooksidasi menjadi turun. Dengan kemampuan sistem biofiltrasi yang dapat mempertahankan kadar air media filter sekitar 40.8%, performansi dari sistem biofiltrasi untuk mempertahankan kadar air media sudah optimal karena kadar air media filter 40.8% merupakan
kondisi optimal
mikroorganisma
mendegradasi gas polutan. Parameter pH media filter diukur pada saat aktivasi sistem biofiltrasi dan saat uji performansi sistem biofiltrasi. Data pH media dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. pH media biofilter saat aktivasi dan uji performansi pH media
Aktivasi
3.98
Uji performansi
3.52
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pH media filter tidak dalam kondisi netral yang merupakan pH optimum untuk pertumbuhan mikroorganisma secara umum. Tapi seperti yang dikemukakan oleh Holt et al (1994), bahwa beberapa mikroorganisma yang dapat mendegradasi H2S seperti Thiobacillus sp. dapat tumbuh pada pH beragam mulai dari pH 1.0-10.5. Bakteri T.thiopharus yang ditumbuhkan pada media cair dapat tumbuh pada pH 3.5-4.5. dan T .thiooxidans dan T. ferooxidans dapat hidup pada pH di bawah 3. 2. Identifikasi Kultur Mikroba
Berdasarkan hasil analisis laboratorium untuk identifikasi bakteri pada media biofilter (Gambar 8), bakteri yang dominan pada media adalah Bacillus sp. (gram positif), Thiobacillus (gram negatif), khamir, serta tumbuhnya kapang. Bakteri yang diharapkan tumbuh dengan kultur yang banyak adalah Thiobacillus untuk mendegradasi hidrogen sulfida (H2S)
34
dan jenis bakteri nitrifikasi untuk mendegradasi ammonia (NH3) seperti Nitrosomonas sp.. Lens dan Pol (2000), menyatakan terjadi reaksi pembentukan sulfat oleh Thiobacillus dari H2S yang dioksidasi. Reaksi pembentukan sulfat adalah: H2S + OH-
HS- + H2O
HS- + ½O2
S0 + OHSO42- + 2H+
S0+ 1½O2 + H2O
Sulfat (SO42-) yang terbentuk kemudian dioksidasi lagi oleh Thiobacillus menjadi sulfur bebas (Lens dan Pol,2000). Reaksi nitrifikasi untuk oksidasi ammonia (NH3) menjadi nitrat oleh mikroorganisma adalah sebagai berikut: 2NH3+ + 3O2
2NO2- + 2H2O + 2H+
2NO2- + O2
2NO3-
Gambar 8. Kultur mikroba yang ditumbuhkan pada gelas objek. 3. Penurunan Tekanan (Pressure Drops)
Penurunan tekanan terjadi karena adanya gesekan (friksi) antara udara dengan media biofilter. Tekanan sebelum melewati media 9.8 Pascal dan tekanan setelah melewati media 5.88 Pascal sehingga penurunan tekanan yang terjadi pada kolom reaktor biofilter sebesar 3.92 Pascal (perhitungan penurunan tekanan pada Lampiran 6). Tahanan gesekan tumpukan media dipengaruhi oleh kecepatan aliran udara, karakteristik dari bentuk dan permukaan bahan, kadar air media serta faktor pengepakan. Menurut Park (1993), kelebihan pasokan air
35
menyebabkan penurunan tekanan dalam bahan pengisi yang menghasilkan wilayah anaerob dan mengeluarkan sel mikroba (wash out). Penurunan tekanan pada reaktor biofilter diukur dengan menggunakan manometer H2O (Gambar 9).
Gambar 9. Pengukuran penurunan tekanan dengan manometer H2O. 4. Konsentrasi Gas dan Efisiensi Proses Degradasi
Performansi sistem biofilter untuk pendegradasian gas hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) diuji dengan perlakuan terhadap temperatur udara sistem biofilter. Pada ruang humidifikasi dihembuskan udara panas sehingga terjadi peningkatan suhu, konsentrarasi gas dan pendegradasiannya diukur dengan tiga tingkatan suhu yang berbeda. Menurut Mc Nevin dan Barford (2000), temperatur akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikrobakteri dan pendegradasian gas bau. Apabila temperatur operasi rendah akan meningkatkan absorpsi gas bau ke dalam biofilm tetapi akan melambatkan pertumbuhan mikrobakteri dan untuk temperatur operasi yang tinggi akan mempunyai efek kebalikan, cakupan suhu untuk pengoperasian biofilter antara 25-40oC, dengan performansi optimum pada suhu 37oC.
36
94
Efisiensi (%)
93 92 91 90 89 88 87 86 27
28
29
30
31
32
0
Suhu ( C)
Gambar 10. Hubungan antara suhu dan efisiensi proses pendegradasian gas ammonia (NH3). Gambar 10 menunjukan hubungan antara suhu dan efisiensi proses pendegradasian gas ammonia. Pada suhu 280C efisiensi proses degradasi sebesar 86.6% kemudian pada suhu 300C efisiensi proses degradasi meningkat menjadi 93.2% dan pada suhu 310C efisiensi proses degradasi menurun menjadi 88.6%. Karena keterbatasan data pengaruh kenaikan suhu terhadap efisiensi proses degradasi gas ammonia belum dapat disimpulkan. Devinny et al.,1999 menjelaskan aktifitas mikroorganisma dipengaruhi
oleh
mempengaruhi
kondisi
aktivitas
suhu
lingkungan,
mikroorganisma
tapi
peningkatan setiap
suhu spesies
mikroorganisma mempunyai kemampuan yang berbeda untuk hidup dalam berbagai kondisi suhu lingkungan. Kurva aktivitas metabolisme beberapa spesies mikroorganisma terhadap kenaikan suhu dapat dilihat pada Gambar11.
Psychrophile
Mesophile Thermophile
Gambar 11. Pengaruh suhu terhadap aktifitas mikroorganisma dalam proses biodegradasi gas polutan pada sistem biofiltrasi (Devinny et al.,1999).
37
Konsentrasi gas inlet (ppm)
35 30 R2 = 0.8088
25 20 15 10 5 0 1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Konsentrasi gas outlet (ppm )
Gambar 12. Hubungan antara konsentrasi gas ammonia pada saluran inlet terhadap konsentrasi gas ammonia pada saluran outlet setelah mengalami proses degradasi. Hubungan antara konsentrasi gas ammonia (NH3)
pada
saluran inlet terhadap konsentrasi gas ammonia (NH3) pada saluran outlet setelah mengalami proses degradasi (Gambar 12). Dari gambar dapat dilihat konsentrasi gas ammonia (NH3) tertinggi pada saluran inlet adalah 33.3 ppm dan konsentrrasi terendah untuk saluran inlet adalah 17.4 ppm. Konsentrasi gas outlet paling tinggi adalah 3.8 ppm dan konsntrasi gas outlet terendah adalah 1.2 ppm.
97 96 Efisiensi (%)
R2 = 0.9074 95 94 93 92 91 28
29
30
31
32
33
34
0
Suhu Outlet ( C)
Gambar 13. Hubungan antara suhu dan efisiensi proses pendegradasian gas hidrogen sulfida.
38
Gambar 13 menunjukan hubungan antara suhu dan efisiensi proses pendegradasian gas hidrogen sulfida. Dari gambar dapat dilihat terjadinya peningkatan efisiensi proses degradasi seiring dengan adanya peningkatan suhu, sebaran data efisiensi proses degradasi sebanding dengan peningkatan suhu. Pada suhu 290C efisiensi proses pendegradasian gas hidrogen sulfida rata-rata adalah 92.3% untuk suhu 300C dan 30.50C efisiensi proses pendegradasian gas hidrogen sulfida rata-rata meningkat menjadi 93.7% kemudian untuk suhu 32.50C dan 330C efisiensi proses pendegradasian gas hidrogen sulfida rata-rata meningkat menjadi 95.6%. Pengambilan data dilakukan dengan lima kali ulangan pada setiap tingkatan suhu. Hubungan antara konsentrasi gas inlet terhadap konsentrasi gas outlet setelah mengalami proses degradasi dapat dilihat pada Gambar 14. Dari gambar dapat dilihat konsentrasi gas hidrogen sulfida tertinggi pada saluran inlet adalah 237 ppm dan konsentrrasi terendah untuk saluran inlet adalah 195 ppm. Konsentrasi gas outlet paling tinggi adalah 17 ppm dan konsntrasi gas outlet terendah adalah 8 ppm. Naiknya konsentrasi gas inlet diiringi dengan penurunan konsentrasi gas outlet, hal tersebut nenunjukan adanya peningkatan proses degradasi pada saat konsentrasi gas inlet meningkat.
Konsentrasi gas inlet (ppm)
250 240 230 220 210
2
R = 0.4868
200 190 180 170 160 150 6
8
10
12
14
16
18
20
Konsentrasi gas outlet (ppm)
Gambar 14. Hubungan antara konsentrasi gas hidrogen sulfida pada saluran inlet terhadap konsentrasi gas hidrogen sulfida pada saluran outlet setelah mengalami proses degradasi.
39
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Modifikasi sistem biofiltrasi telah dilakukan dengan memodifikasi kolom pengumpan gas pada sistem biofiltrasi dan pembuatan gas hidrogen sulfida (H2S) yaitu dengan mereaksikan bahan Na2S.9H2O dan HCl sebagai gas polutan yang diumpankan pada sistem biofiltrasi. 2. Proses aktivasi (start up) telah dilakukan dengan hasil kelembaban relatif udara di ruang humidifikasi berkisar antara 96%-99% dengan suhu berkisar antara 270C-330C. 3. Uji performansi sistem biofiltrasi menghasilkan butir-butir kesimpulan sebagai berikut: a. Performansi dari sistem biofiltrasi untuk mempertahankan kadar air media sudah optimal karena dengan kadar air media filter 40.8% merupakan kondisi optimal mikroorganisma mendegradasi gas polutan. b. Mikroorganisma (Thiobacillus sp.) yang dapat mendegradasi H2S dapat hidup pada kondisi pH media yang asam (pH 3.52). c.
Penurunan tekanan yang terjadi pada kolom reaktor biofilter sebesar 3.92 Pascal dengan tekanan sebelum melewati media 9.8 Pascal dan tekanan setelah melewati media 5.88 Pascal
d. Efisiensi proses degradasi gas ammonia (NH3) pada sistem biofiltrasi berkisar antara 86.6% dan 93.2% pada suhu antara 280C dan 330C. e.
Efisiensi proses degradasi gas hidrogen sulfida (H2S)
meningkat
seiring dengan adanya peningkatan suhu. Efisiensi proses degradasi gas hidrogen sulfida (H2S) pada sistem biofiltrasi berkisar antara 91.6%dan 96.6% pada suhu antara 290C dan 340C.
40
B. Saran 1. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk memodifikasi rancangan biofilter agar lebih kompak dengan mendisain dudukan untuk kolomkolom komponen sistem biofilter. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk uji performansi dengan perlakuan parameter laju volumetrik dan kelembaban relatif (RH) untuk mengetahuai pengaruh laju volumetrik dan kelembaban relatif (RH) terhadap efisiensi proses biodegradasi. 3. Biofilter dapat digunakan untuk mendegradasi berbagai gas polutan, untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengumpankan gas polutan penting lain.
41
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the association of official analytical chemist. AOAC Inc. Washington. Anit, S. B. dan Artuz R. J. 2004. Biofiltration of Air. www.rpi.edu Badan Standarisasi Nasional. 2005. Cara uji kadar air pulp dan kayu dengan metode pemanasan dalam oven. SNI 08-7070-2005. Broker, D. B., F.W.B. Arkema dan C.W. Hall. 1974. Drying Cereal Grains. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Devinny, J.S., Deshusses, M.A. and Webster, T.S. 1999. Biofiltration for Air Pollution Control. CRC Press, Boca Raton, USA. Edmonds, P. 1978. Microbiology an Environmental Perspective. Coller Macmillan Publisher. London. New York. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Penuntun praktikum. Lembaga Sumber Daya Informasi. IPB. Bogor. Fiddin, R. 1987. Pengaruh Kadar Air dan Ukuran Terhadap Penurunan Tekanan Statis Aliran Udara pada Tumpukan, Berat Jenis, Rasio Ruang Kosong, dan Luas Permukaan Spesifik Belahan Daging Kelapa. Skripsi. Jurusan Mekanisasi Pertanian. IPB. Bogor. Holt, J.G,. Krieg, N.K. dan Wiliams, S.T. 1994. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. 9th Ed. Wiliam and Wilkin Co. Baltimore. Keputusan Menteri. 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep. 50/MENLH/11/1996.Tentang Baku tingkat kebauan. Himpunan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 13/MENLH/1995. Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Untuk Jenis Kegiatan Lain. Himpunan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kurniawan, B. 2005. Kajian Penggunaan Gambut, Serasah Bakau, Serasah Hutan, dan Tanah Lanfill Sebagai Bahan Pengisi Biofilter H2S. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. IPB. Bogor. Leson G. and Winer A. M. 1991. Biofiltration: An innovative air pollution control technology for VOC emmisions. Journal of the Air & Waste Management Association. 4 (1991). 1045-1054. Lens, P., dan Pol, L. H. 2000. Environmental Technologies To Treat Sulfur Pollution. IWA Publishing. London.
42
McNevin, D. and Barford, J. 2000. Biofiltration as an Odour Abatement Strategy. J. Biochemical Engineering. 5 (2000). 231-242. Medigan, M.T. dan J. Parker. 2002. Growth of Biological Microorganism, 10th Ed. Perason Education, Inc. New Jersey. Nathanson, J. A. 1997.Basic Environmental Technology Water Supply, Waste Managemen, and Pollution Control 2nd edition. Prentice hall. New Jersey. Purwati. 2005. Rancang Bangun Model Biofilter Pendegradasi Limbah Bau. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian. IPB. Bogor. Vebriyanti, E.2005. Polutan Gas Dari Berbagai Lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian. IPB. Bogor. Wahyuni, A. 2004. Penghilang H2S dengan Teknik Biofiltrasi Menggunakan Media kompos dan Arang Aktif yang diinokulasi dengan Thiobacillus sp. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. IPB. Bogor. Yang, Y. dan Allen, E.R. 1994. Biofiltration Control of Hydrogen Sulfide (Design and Operational Parameters, J. Air waste management. 44. 863-868. Yuwono, A.S. 2003. Odour Pollution in the Environment: Detection of Biogenic Odour Emissions Using a QCM Sensor Array-Based Instrument. Phd Dissertation. University of Bonn, Germany. Yuwono, A.S., Boeker, P., Lammers, P. S. 2003. Detection of odour emissions from a composting facility using a QCM sensor array. J. Anal Bioanal Chem. 375. 1045-1048. Yuwono, A.S. 2004. Proses Pengomposan Bahan Organik sebagai Salah Satu Sumber Pencemaran Udara. Simposium Nasional Pertanian Organik. Bogor, 30 November 2004. Yuwono, A. S. dan Gardjito. 2005. Identifikasi Gas Polutan dari TPA Sampah Perkotaan dan Biodegradasinya dengan Menggunakan Sistem Biofiltrasi. Laporan akhir Penelitian Projek Due-Like. Institut Pertanian Bogor.
43
Lampiran 3. Metoda identifikasi kultur mikroba (Fardiaz, 1989) • Alat-alat yang digunakan adalah : 1. Cawan petri steril 2. Erlenmeyer 3. Mikropipet 4. Jarum ose; hockey stick atau glass spreader 5. Gelas objek + penutup 6. Penangas air suhu 800 C 7. Inkubator suhu 300C 8. Mikroskop • Bahan yang digunakan untuk identifikasi bakteri: 1. Larutan pengencer NaCl 0.85 % 2. Sampel kayu 3. Media PCA cair Cara kerja : 1. Beberapa serpihan kayu direndam dengan larutan NaCl 0.85 % sebanyak ± 400 ml, dikocok beberapa saat. 2. Larutan dipipet lalu diencerkan hingga 1000 ml 3. Dari masing-masing pengenceran dipipet 1 ml dalam cawan petri 10, 100 dan 1000 lalu dituang media PCA. 4. Pada cawan yang pertumbuhan bakterinya menyebar diamati, ambil koloni yang terpisah kemudian buat preparat basah amati bentuk sel di bawah mikroskop dan tumbuhkan koloni tersebut pada agar miring PCA (goresan langsung), untuk selanjutnya digunakan sebagai kultur murni. 5. Untuk mendapatkan kultur yang benar-benar murni maka kultur tersebut perlu digores ke agar cawan beberapa kali sampai benar-benar murni. 6. Kultur tersebut dapat disimpan di lemari pendingin atau diawetkan
44
Lampiran 4. Prosedur pengukuran kadar air (SNI 08-7070-2005)
Pada penelitian ini kadar air media ditentukan dengan metode thermogravimetri. Sampel diambil secara acak, kadar air media yang dikehendaki adalah sebesar 20-60%. Cara uji kadar air media yang digunakan adalah menurut SNI 08-7070-2005. Prinsip penetapan kadar air adalah menguapkan bagian air bebas yang terdapat pada kayu sehingga terjadi keseimbangan antara kadar air kayu dengan udara di sekitarnya dengan menggunakan energi panas. Caranya yaitu: 1. Tentukan terlebih dahulu berat baki kawat dengan cara sebagai berikut: panaskan baki kawat dalam oven pada suhu 105 ± 3 oC selama 1 jam, kemudian timbang. 2. Ulangi pemanasan dan penimbangan sampai diperoleh berat tetap (konstan). 3. Timbang 300-350 gr contoh serpih kering udara bebas debu dalam kawat yang telah diketahui beratnya (W1) kemudian masukkan dalam oven. Panaskan minimal 24 jam pada suhu 105 ± 3 oC, kemudian timbang. 4. Ualngi pemanasan dan penimbangan sampai diperoleh berat tetap (W2) Kadar air kayu dihitung berdasarkan rumus: X=
W1 − W 2 x 100% Wi
X = kadar air kayu (%) W1 = berat contoh kayu semula (gr) W2 = berat contoh kering kayu (gr)
45
Lampiran 5. Data temperatur (Tbk,Tbb) dan kelembaban relatif (RH) pada ruang humidifikasi Hari kePukul (WIB) Tbk (0C) Tbb (0C) RH (%) 1 08.05 28.0 27.8 99 3 08.20 27.5 27.0 96 6 09.40 28.0 27.5 96 9 10.00 30.0 29.5 96 12 08.15 27.0 26.8 99 15 09.30 31.0 30.5 96 18 09.30 28.0 27.8 99 21 14.55 32.0 31.5 96 24 10.00 29.0 28.5 96 27 09.15 28.0 27.8 99 30 10.00 28.5 28.0 96 33 09.20 29.0 28.8 99 36 09.15 30.0 29.5 96 39 09.00 29.5 29.0 96 42 14.20 33.0 32.5 96 45 08.05 28.0 27.8 99 48 09.20 29.0 28.8 99 51 10.20 30.0 29.8 99 54 10.15 30.5 30.0 96 57 09.55 30.0 29.5 96 60 10.00 29.0 28.5 96 63 13.15 33.0 32.5 96 66 10.00 32.0 31.5 96 69 08.00 28.0 27.5 96 72 13.15 33.0 32.5 96 75 14.20 32.5 32.0 96 78 13.30 33.0 32.5 96 81 09.15 30.0 29.8 99 84 10.20 30.0 29.8 99 87 11.30 30.5 30.0 96 90 08.00 28.0 27.5 96 93 09.15 29.0 28.5 96 96 08.40 28.0 27.8 99 99 09.00 29.0 28.5 96 102 14.00 32.5 32.0 96
46
Lampiran 6. Perhitungan penurunan tekanan pada sistem biofiltrasi
Diketahui : Beda head manometer sebelum melewati media (Δh) = 1 mm Beda head manometer setelah melewati media (Δh) = 0.6 mm
•
Tekanan sebelum melewati media P = ρa . g . ha P = 1000 kg/m3 . 9.8 m/s2 . 0.001m P = 9.8 Pascal
•
Tekanan setelah melewati media P = ρa . g . ha P = 1000 kg/m3 . 9.8 m/s2 . 0.0006m P = 9.8 Pascal
•
Penurunan tekanan yang terjadi = 9.8 Pascal – 5.88 Pascal = 3.92 Pascal
47
Lampiran 7. Hasil analisis laboratorium untuk konsentrasi gas ammonia dengan perlakuan suhu dan efisiensi proses degradasinya.
Perlakuan ke
1 2 3
Lokasi uji
Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
Suhu (oC) 28 28 31 30 32.75 31.5
Konsentrasi ammonia (ppm) 20.63 2.7 17.45 1.2 33.33 3.8
Efisiensi proses (η)
86.6% 93.2% 88.6%
48
Lampiran 8. Konsentrasi gas hidrogen sulfida pada sistem biofiltrasi dengan perlakuan suhu dan efisiensi proses degradasinya Suhu Konsentrasi Efisiensi Perlakuan Ulangan Lokasi uji (0C) ke ke gas (ppm) proses (η) Inlet 29.0 203 91.63% 1 Outlet 29.0 17 Inlet 29.0 198 92.42% 2 Outlet 29.0 15 Inlet 29.0 195 92.31% 3 1 Outlet 29.0 15 Inlet 29.0 206 92.72% 4 Outlet 29.0 15 Inlet 29.0 206 92.23% 5 Outlet 29.0 16 Inlet 31.0 237 94.10% 1 Outlet 30.0 14 Inlet 31.0 225 93.78% 2 Outlet 30.0 14 Inlet 31.0 226 93.36% 3 2 Outlet 30.0 15 Inlet 31.0 207 93.72% 4 Outlet 30.5 13 Inlet 31.0 218 93.58% 5 Outlet 30.5 14 Inlet 33.0 224 94.64% 1 Outlet 32.5 12 Inlet 33.0 226 95.58% 2 Outlet 32.5 10 Inlet 34.0 237 95.78% 3 3 Outlet 33.0 10 Inlet 34.0 235 96.59% 4 Outlet 33.0 8 Inlet 34.0 229 95.63% 5 Outlet 33.0 10
49
Lampiran 9. Psychrometric chart untuk menentukan RH berdasarkan temperatur bola basah (Tbb) dan temperatur bola kering (Tbk)
BAROMETRIC PREASSURE = 101.325 kPa
Keterangan : Tbk = Temperatur bola kering Tbb = Temperatur bola basah 43
44