KAJIAN SENIN SIANG BA’DA ZHUHUR
TAFSIR AL-QURAN MASJID KHA DAHLAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Tafsir QS an-Nahl /16 : 116-117 Berhati-hati Dalam Menilai ‘Halal dan Haram’
َ َ َ ٰ َ َ َ ْ ُ ُ َُ َْ ُ َ َ ُ َُ ََ َ ََٰ َ َ ب اه اـذا احَللا اوه اـذا احراماا ف األ ِسنتك ام االك ِذ ا ل اتقولوا الِما ات ِص ا وا َ َ َ ْ َ ََ َ َُْ َ َ َ َ َ ْ َ ََ َُ َْت َ لا با ا اّلل االك ِذ ا َع ا ِا ون ا ا ين ايفَت ا اَّل ا ب ۚا ا ِإ ا اّلل االك ِذ ا َع ا ِا ِِلفَتوا ا ا ِ نا َ َ َ ْ َُ َ ََ َ ُ ُْ َ ﴾١١١﴿﴾امتاعااق ِليلااوله اماعذابااأ ِِلماا١١١﴿ونا يف ِلح ا “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS an-Nahl /16: 116-117)
Ayat di atas membicarakan salah satu dari sekian banyak budaya jahiliyyah yang berkembang di tengah masyarakat zaman dulu, sebelum akhirnya terhapus syariat Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam . Yakni, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu tanpa mengindahkan dan tanpa merujuk kepada wahyu ilahi maupun ketetapan-ketetapan hukum samawi lainnya yang berasal dari Allah, Yang Maha Mengetahui kemaslahatan seluruh makhluk. Padahal, mereka mengklaim sebagai para penganut ajaran Nabi Ibrâhim ‘Alaihi as-Salâm Sehingga Allah melarang umat Islam mengikuti jalan kaum musyrikin tersebut.1 Realita yang terjadi, mereka mengharamkan hal-hal yang dihalalkan, dan sebaliknya menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, al-Khâliq. Mereka menetapkan hukum-hukum halal dan haram sesuai dengan hawa nafsunya. Dengan tindakan ini, mereka telah melakukan iftirâ 'alâ Allâh (kedustaan atas nama Allah). Allah telah menjelaskan substansi ayat di atas melalui beberapa ayat lainnya. Di antaranya:
ََ ُ َ َ َ َٰ َ َ َ ََ َ َ َ ُ َ َْ َ َ ُ ُ َ َ َ ُ َُ َ ُْ َلا اّللاحر اماه اـذا ۖااف ِإناش ِهدوااف ا نا ا وناأ ا ينايشهد ا اَّل ا قا ِ لاهل اماشهداءك اما َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ََ ََ ْ ُ َ َ ْ َ َْ َ ُ ُْ َ َ َ َ َ َ ُ ونا ل ايؤ ِمن ا ين ا ا اَّل ا اَّل ا ل اتّت ِب اع اأهو ا تشه اد امعه ام ۚا او ا ِ ين اكذبوا ابِآياتِنا او ِ اء ا َ ُ َْ ْ ْ َ َُ َت بِاْل ِخر ِاةاوهمابِربِ ِه امايع ِدل ا ون “Katakanlah: "Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat memersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini", jika 1
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, juz IV, hal. 609 dan Al-Jazâiri, Aisar atTafâsîr, juz I, hal. 326. Page 1 of 7
mereka memersaksikan, maka janganlah kamu ikut pula menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka memersekutukan Tuhan mereka.” (QS alAn'âm/6 : 150) Allah berfirman:
ُْ ً َ َ َ ً َ َ ُْ ُْ َََُْ َ َ َ َ َُ َ ُ ت ت ْ َ َ َ ُْ ت لا ل اق ا اّلل الكم ا ِمن ا ِرزقا افجعلتم ا ِمن اه احراما اوحَل ا ل اأرأيتم اما اأنز ال ا ا قا َ ََُْ َ ََ َْ ْ ُ َ َ َ َُ اّللاتفَت ا ون َعا ِا نالك ام ۖااأ اما ا آّللاأ ِذ ا ا “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yûnus/10: 59) Pengertian ayat ini – QS an-Nahl/16: 116-117 -- akan kian jelas dengan memerhatikan ayat sebelumnya. Bahwasanya Allah memerintahkan agar mereka memakan makanan-makanan yang baik-baik lagi halal. Allah berfirman:
َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ًَ ُُ َ َ َ َ ُ ُ َُ َ َ ً َ ت ُاّلل اإن ا ُكنتُ ْام اإيَ ااها ل اط ِيبا اواشكروا انِعم ا اّلل احَل ا فُكوا ا ِمما ارزقك ام ا ا ِ ِ ت ا ِا َ َْ تعبُ ُد ا ون “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS an-Nahl/16: 114) Selanjutnya, Allah menjelaskan hal-hal yang diharamkan atas diri mereka dalam ayat berikutnya:
ْ َ َْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َْ َ ُ ََ اّلل ابِ ِاه ۖاا ي ا ِا ل ا ِلغ ِا ير اوما اأ ِه ا زن ِا ِ ِإّنما احر ام اعليك ام االميت اة اواّدل ام اوَل ام ا ِ اْل َ ُ َ ََ َ َ َ ََ َ َْ َ َ ُ ْ َ ّللاغفوراار ِحيما ناا ا لاَعدااف ِإ ا ياباغااو ا نااضط اراغ ا ف َم ِا “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nahl/16: 115) Kenyataannya, justeru tidak sejalan dengan apa yang telah dinyatakan oleh Allah, al-Hakam (Dzat Yang Maha Menentukan Hukum) dalam ayat tersebut. Mereka justeru menghalalkan bangkai, darah dan binatang-binatang yang mereka sembelih tanpa dengan menyebut nama Allah. Dan sebaliknya, mereka mengharamkan pemanfaatan binatang-binatang, baik untuk dikonsumsi maupun sebagai tunggangan, yang sebenarnya dihalalkan bagi umat manusia.
Page 2 of 7
Sebagai contoh, sebagaimana tertuang dalam firman Allah berikut ini:
َ َ َٰ َ ََ َ َ ََ َ َ ََ َ َ ْ َُ ََ َ َ َ لا َينا اَّل ا ا ا ن ك ا ل و ا ۙ ا ام ا ح ا ل او ِصيلةا او ل اسائِبةا او ا َبيةا او ا اّلل ا ِم ا لا ا ما اجع ا ِ ِ نا ِ َ ُ ْ َ َ ْ ُ َُ ْ ََ َ َ ْ َ ََ َ َُ ْ َ ُ َ َ لاي اع ِقل ا ون ب ۖااوأكَثه اما ا اّللاالك ِذ ا َعا ِا ونا ا كفرواايفَت ا “Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahîrah2, sâibah3, washîlah4 dan hâm5. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS al-Mâ`idah/5: 103)6
Demikianlah, konsep ‘halal-haram’ di mata orang-orang Jahiliyyah pada masa lalu. Shâlih al-Fauzân menyatakan, yang menjadi biang keladi dalam masalah ini, ialah karena adanya perangkap nafsu dan syahwat serta doktrin tokoh-tokoh besar mereka7 Ringkasnya, permulaan ayat ini melarang seseorang untuk menjatuhkan penilaian tentang ‘halal dan haram’ terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak dihalalkan atau diharamkan oleh Allah. Karena hal itu merupakan kedustaan dan kebohongan dengan mengatasnamakan Allah.8 Melebihi Kesalahan Perbuatan Syirik Tak diragukan, perbuatan syirik merupakan perbuatan dosa yang sangat besar dan merupakan kesalahan sangat fatal. Perbuatan syirik ini, lantaran mengandung perbuatan yang menyamakan antara al-Khâliq Yang Maha Sempurna dari segala sisi dengan makhluk yang sarat dengan segala kelemahan dari setiap 2
Bahîrah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya. 3 Sâibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, Maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat. 4 Washîlah: seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, Maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala. 5 Hâm: unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali. perlakuan terhadap bahiirah, saaibah, washiilah dan haam ini adalah kepercayaan Arab jahiliyah. 6 Bahîrah, Sâibah, Washîlah dan Hâm, adalah sebutan untuk hewan ternak dalam kondisi tertentu. Kaum Jahiliyah mengharamkan pemanfaatannya sama sekali. Tentang makna istilah-istilah di atas, lihat footnote al-Qur`ân dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI pada ayat tersebut. Contoh sikap pengharaman lainnya, silakan lihat QS al-An'âm/6: 138, 139 dan 140. a 7 Shâlih al-Fauzân, Al-Ath'imah wa Ahkâm ash-Shaidi wa adz-Dzabâ`h, Cetakan II, (Riyadh: Maktabah al-Ma'ârif, 1419 H./1999 M.), hal. 26. 8 As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm a-Mannan, juz I, hal. 246 dan As-Suyuthi dan Al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlain, juz II, hal. 279. Page 3 of 7
sisi. Namun, telah diberitakan oleh Allah, bahwa ada dosa yang lebih tinggi derajat keburukannya dibandingkan syirik. Dosa itu ialah berdusta atas nama Allah. Karena, sebenarnya, seluruh maksiat berawal dari kedustaan atas nama Allah. Allah berfirman:
َ َْ َْ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َْ َ َ َ َ َ َ َْ َِ َ َ َ َ َ َ ْ ُ يا غ ابِغ ْ ِا اْلث ام اواْل ا ش اما اظه ار ا ِمنها اوما ابط ا اح ا ل ا ِإّنما احر ام ار ا قا ِ ّب االفو ِ ن او َ َ َ ََ ُ َُ ْ ََ ً َْ ُ َُِْ َْ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ ِ َْ لا اّلل اما ا ا َع ا ِا ن اتقولوا ا ا اّلل اما ال ام ايزن ال ابِ ِاه اسلطانا اوأ ا ْشكوا ابِ ِا ق اوأ ا اَل ا ِ ن ات َ ََْ تعل ُم ا ون “Katakanlah: "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) memersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengadaadakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui." (QS al-An'âm/7: 33) Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: "Allah mengharamkan berkata atas nama Allah tanpa dasar ilmu dalam urusan fatwa atau hukum pengadilan. Dia mengkategorikannya termasuk perkara haram yang terbesar. Bahkan menempatkannya di urutan pertama9. Pangkal Dari Suatu Musibah Berfatwa merupakan kedudukan yang penting. Dalam fatwa ini, seseorang mencoba untuk menyelesaikan masalah yang dihadapai seseorang atau masyarakat. Karena kuatnya pengaruh tindakan –-- pemberian fatwa -- ini, maka tidak ada yang boleh menyampaikan fatwa kecuali orang-orang yang memang telah mencapai kemampuan ilmiah tertentu, bukan sembarang orang.10 Ancaman Berat Terhadap Pelaku yang Berdusta Mengatasnamakan Allah Manakala suatu perbuatan salah sudah menempati level yang sangat membahayakan, maka tak aneh jika balasannya pun sangat berat. Untuk perbuatan dusta atas nama Allah dengan menghalalkan atau mengharamkan secara serampangan, maka Allah telah menetapkan balasannya sebagaimana tertera dalam firman-Nya (QS an-Nahl /16: 116-117) Allah menyampaikan ancaman terhadap perbuatan dusta yang mengatas namakan nama-Nya dalam hukum-hukum syar'i. Juga terhadap pernyataan mereka tentang perkara yang tidak diharamkan dengan pernyataan: "ini haram", atau pada perkara yang tidak dihalalkan dengan pernyataan: "ini halal". Ayat ini menjadi penjelasan dari Allah, bahwa seorang hamba tidak boleh mengatakan halal atau haram, kecuali setelah mengetahui bahwa Allah menghalalkan atau mengharamkannya.11 9
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lâm al-Muwaqqi'în, juz II, hal. 73. Al-‘Utsaimin, Kitâb al-'Ilmi, juz I, hal. 75. 11 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lâmul-Muwaqqi'iin, juz II, hal. 73-74. 10
Page 4 of 7
Mereka tidak akan beruntung di dunia maupun di akhirat. Dan pasti Allah akan menampakkan kehinaan mereka. Meskipun mereka menikmati hidup dengan nyaman di dunia ini, akan tetapi itu hanyalah kenikmatan sekejap. Tempat kembali mereka adalah neraka. Di sana, bagi mereka siksaan yang pedih.12 Pengendalian Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu Di tengah masyarakat, kita dapat menyaksikan banyak bertebaran fatwafatwa tanpa dasar yang dibenarkan. Anehnya, orang-orang berusaha menahan diri berbicara (berpendapat) dalam disiplin ilmu-ilmu umum di hadapan para ahlinya. Konkretnya, seorang yang bukan dokter merasa tidak nyaman berbicara dalam masalah-masalah kedokteran di hadapan dokter. Atau bukan arsitek merasa tidak nyaman berbicara tentang arsitektur di hadapan seorang insinyur. Namun, sikap serupa tidak disaksikan dalam urusan-urusan agama. Sifat merasa lebih mengetahui terlalu menonjol. Padahal mereka meyakini Allah Maha Mendengar segala perkataan, Maha Melihat saat mengeluarkan hukum, penilaian maupun fatwa.13 Pendapat-pendapat ganjil pun mengemuka. Bahkan terkadang sangat menggelikan, hingga benar-benar memerlihatkan betapa dangkal ilmu yang dimilikinya. Kekacauan sudah menjalar dimana-mana. Jadi, solusi "problematika sosial" yang sudah mewabah dan tak bisa dianggap ringan ini -- yang juga merupakan solusi bagi seluruh masalah -- ialah menanamkan rasa takut kepada Allah dan meningkatkan kadar ketakwaan, hingga terbentuk mentalitas wajib menahan diri tidak berbicara atau tidak menjawab dan tidak mengeluarkan fatwa jika benar-benar tidak mengetahui apa-apa, atau hanya setengah tahu. Dan hendaklah dimengerti, bahwa Allah-lah yang berhak menetapkan dan menciptakan (al-khalq wa al-amr). Tidak ada pencipta selain-Nya. Tidak ada syariat bagi makhluk selain syariat-Nya. Dia-lah yang berhak mewajibkan sesuatu, mengharamkannya, menganjurkan dan menghalalkan. Oleh karena itu, jika seseorang ditanya permasalahan yang tidak diketahuinya, hendaklah dengan lantang menjawab tanpa malu-malu dan mengatakan "aku tidak tahu, aku belum tahu, tanya orang lain saja". Jawaban seperti ini justeru menunjukkan kesempurnaan akalnya, kebaikan iman dan ketakwaannya, serta kesopanan di hadapan Allah.14 Kehati-Hatian Generasi Salaf dalam Masalah Ini15 Dahulu, para generasi Ulama Salaf, mereka bersikap wara` (berhati-hati dan menjaga diri) dalam mengeluarkan pernyataan "ini halal dan itu haram", lantaran takut terhadap ayat di atas. Selain itu, ialah untuk menunjukkan tingginya sopan santun mereka di hadapan Allah dan Rasul-Nya, yang berhak menetapkan hukum atas umat manusia, padahal mereka mengetahui dalil penghalalan atau pengharamannya dengan jelas. 12
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm al-Mannan, hal. 451. Husain al-'Awayisyah, Hashâ`id al-Alsun, hal. 51. 14 Al-‘Utsaimin, Kitâb al-'Ilmi, hal. 77. 15 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lâm al-Muwaqqi'în, juz II, hal. 75-77 dan AsySyinqithi, Adhwâ` al-Bayân, juz III, hal. 347. 13
Page 5 of 7
Imâm Mâlik meriwayatkan dengan sanadnya dari Qabîshah bin Dzuaib, bahwasanya ada seorang lelaki yang bertanya kepada 'Utsmân bin 'Affân radhiyallâhu ‘anhu mengenai dua perempuan bersaudara yang sebelumnya berstatus sebagai budak. 'Utsmân radhiyallâhu ‘anhu menjawab: "Sebuah ayat menghalalkannya, dan ayat lain telah mengharamkannya. Adapun saya, tidak suka untuk melakukannya."16 Imam al-Qurthubi meriwayatkan, bahwa “Ad-Dârimi berkata dalam
Musnad-nya: Harun telah memberitahukan kepada kami dari Hafsh dari alA'masy, ia berkata: "Aku belum pernah mendengar Ibrâhîm (an-Nakha`i) berkata '(Ini) halal atau haram,' akan tetapi ia mengatakan (bila menghukumi): 'Dahulu, orang-orang tidak menyukainya. Atau dahulu, orang-orang menyukainya'."17 Ibnu Wahb berkata dari Imam Mâlik: "Tidaklah menjadi kebiasaan orangorang (sekarang) atau orang-orang yang telah berlalu, juga bukan menjadi kebiasaan orang-orang yang aku ikuti untuk mengatakan 'ini halal, itu haram'. Mereka tidak berani untuk melakukannya. Kala itu, mereka hanya mengatakan nakrahu kadzâ (kami tidak menyukainya), narâhu hasanan (kami melihatnya baik), nattaqî hadza (kami menghindarinya), walâ narâ hâdzâ (kami tidak berpandangan demikian)".18 Dalam riwayat lain: "Mereka tidak mengatakan 'ini halal atau haram'. Tidakkah engkau mendengar Allah berfirman (yang artinya): Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" QS Yûnus/10: 59 -- lantas beliau berkata: "Yang halal adalah semua yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yang haram adalah semua yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya".19 Kesimpulan dan Pelajaran Yang Bisa Kita Peroleh Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan dan diperoleh pelajaran sebagai berikut: 1. Setiap orang dilarang untuk menetapkan ‘halal dan haram’-nya sesuatu tanpa dasar syar'i atau (tanpa) alasan yang yang dapat dipertanggungjawabkan secara syari’ah. Atau, denga kata lain: “bersikap hati-hati dan teliti untuk menetapka halal-haramya sesuatu. 2. Setiap orang diharamkan berdusta atas nama Allah. 3. Orang yang berdusta atas nama Allah dinyatakan oleh Allah sebagai orang yang 16
Isnadnya shahîh. Lihat: Imam Malik bin Anas, al-Muwaththa’, juz II, hal. 538, Asy-Syafi’i, al-Umm, juz V, hal. 3. Dinukil dari catatan kaki di dalam kitab I'lâm alMuwaqqi'în, juz II, hal. 75. Dalam riwayat ini, 'Utsmân bin ‘Affân radhiyallâhu ‘anhu, dengan kehati-hatiannya, menisbatkan penghalalan dan pengharaman kepada nash alQur`ân, bukan kepada dirinya. 17 Lihat: Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, juz X, hal. 195. 18 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, vol. 7, hal. 376. 19 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Maâd, juz V, hal. 276 Page 6 of 7
tidak akan beruntung di akhirat kelak. Sementara di dunia, ia akan dirundung oleh kehinaan. 4. Setiap orang ‘wajib’ menjaga lisannya, antara lain denga cara berhati-hati dalam berbicara.
Wallâhu A'lamu bi ash-Shawâb. Yogyakarta, 1 Mei 2016
Page 7 of 7