KAJIAN POTENSI TRANSMISI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUHU DI JAWA TENGAH
WILLY WULANSARI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT WILLY WULANSARI. Study of Transmission Potential of Dengue Hemorrhagic Fever Based on Rainfall and Temperature in Central Java. Under direction of Dr. Ir. RINI HIDAYATI, MS. Dengue hemorrhagic fever (DHF) is a viral disease which has spread throughout Indonesia over the past 25 years. Ae. aegypti is the main vector of the disease. In Indonesia, especially in Central Java, there has been an upward trend in the incidence of dengue hemorrhagic fever. Therefore some efforts to suppress an outbreak of this disease had been done by the government with focus against the vector. This research aims to determine and mapping the transmission potential (TP) of DHF in Central Java under 4 principal seasons: rainy (DecemberFebruary), transition 1 (March – May), dry (June-August) and transition 2 (September – November) at 3 rainfall conditions ( below normal, normal and above normal years) using vectorial capacity (VC) method. The results show that the maximum average VC for under normal years occur on December-February, whereas for normal and above normal years its occurs on March-May. In every rainfall condition, the minimum VC occur on June-August when rainfall is minimum. Based on resulted map from this research, in coastal area of northern and southern site of Central Java which is lowland area, TP were higher than in central area which is highland. TP on city with high population such as Tegal, Semarang, and Surakarta were higher. Nevertheless, between VC and incidence rate (IR) were significant with coefficient correlation 0.057, caused by there weren’t interventions between 35 districts in Central Java to supress the number of DHF disease in case of sanitation, vector controls (fogging, aerial spraying, making abate), immunity of society, etc. Keywords : DHF, vectorial capacity, transmition potential, Central Java
ABSTRAK WILLY WULANSARI. Kajian Potensi Transmisi Penyakit Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Curah Hujan dan Suhu di Jawa Tengah. Dibimbing oleh Dr. Ir. RINI HIDAYATI, MS. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi virus yang telah menyebar luas di Indonesia selama 25 tahun terakhir. Vektor utama pembawa virus Dengue penyebab penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti. Di Indonesia, terutama di Jawa Tengah, angka kejadian DBD selalu meningkat. Namun hingga saat ini belum ditemukan vaksin virus Dengue, sehingga penanggulangan virus Dengue hanya fokus pada pemberantasan vektor seperti yang telah dilakukan pemerintah. Sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD di Jawa Tengah dilakukan penentuan besarnya kapasitas penularan penyakit DBD di Jawa tengah menggunakan metode kapasitas vektor berdasarkan informasi entomologis dan iklim wilayah Jawa Tengah. Hasil perhitungan kapasitas vektor (VC) yang menggambarkan nilai potensi transmisi (TP) menunjukkan pada tahun curah hujan bawah normal (BN) , VC tertinggi terjadi pada musim Desember-Januari-Februari. Pada tahun curah hujan normal (N) dan atas normal (AN), VC tertinggi terjadi pada musim Maret-April-Mei. VC terendah pada semua kondisi terjadi pada musim Juni-Juli-Agustus. Berdasarkan pemetaan di kecamatan pusat kabupaten/kota, kecamatan pusat kabupaten/kota yang terletak di dataran rendah berpotensi tinggi tertular penyakit DBD dan pada kecamatan pusat kabupaten/kota yang terletak di dataran tinggi berpotensi lebih rendah tertular penyakit DBD. Kecamatan pusat kabupaten/kota yang berpenduduk padat seperti Tegal (M), Semarang (M), dan Surakarta (M) pada hampir semua kondisi masuk ke dalam klasifikasi TP tinggi. Antara VC dengan Incidence Rate (IR) ditemukan hubungan nyata dengan korelasi sebesar 0.057, karena pada metode kapasitas vektor, faktor yang diperhitungkan hanya curah hujan, suhu dan kepadatan penduduk. Faktor lain seperti immunitas penduduk dan intervensi antara ke-35 kabupaten/kota dalam mencegah dan menanggulangi penyakit DBD tidak diperhitungkan. Kata kunci: DBD, kapasitas vektor, potensi transmisi , Jawa Tengah
KAJIAN POTENSI TRANSMISI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUHU DI JAWA TENGAH
WILLY WULANSARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Nama NRP
: Kajian Potensi Transmisi Penyakit Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Curah Hujan dan Suhu di Jawa Tengah : Willy Wulansari : G24061118
Disetujui
Pembimbing
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP.19600305 198703 2 002
Mengetahui Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah, rizqi dan karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Potensi Transmisi Penyakit Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Curah Hujan dan Suhu di Jawa Tengah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Meteorologi Terapan, departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku pembimbing yang telah memberikan masukan, pengarahan, berbagi ilmu pengetahuan, nasehat, pengertian, dan memiliki andil yang besar dalam penyelesaian skripsi penulis. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta : Bapak Idang Suparman dan Mamah Sumiati (Almh), Ibu Teulis Nani , Teteh Rosy Nawangsari, Teteh Niar Ratnasari, Aa Ogi Gustaman dan Adik Poppy Fitriasari yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan nasehat hingga saat ini. 2. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua departemen Geofisika dan Meteorologi atas bantuan dalam menyelesaikan perkuliahan. 3. CCROM, BMKG, Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Bonita Ayu Novelani yang telah memberikan data yang dibutuhkan selama penelitian. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey selaku pembimbing akademik. 5. Segenap civitas GFM, Bu Indah, Mas Azis, Pak Jun, Pak Pono, Mbak Wanti, Mbak Icha, Pak Kaerun, Pak Udin, serta seluruh staf dosen dan pengajar atas bimbingan dan kuliah selama ini. 6. Sahabat-sahabatku GFM 43, Ria, Ica, Maya, Titik, Ari, Lastu, Dinda dan semua angkatan 43 lainnya (Abi, Amel, Hilda, Desi, Diana, Debo, Chris, Neni, Yuli, Rika, Dian, Sasti, Sarah, Uti, Rahmi, Devi, Sandro, Fajar, Ridwan, Dicky, Rendy, Rizky, Tia, Tara, Robby, Gilang, Gema, Daniel, Uji, Isa, Lutfi, Egi, Legran, Dipa, Ray, Anang, Zahe), terima kasih atas kebersamaan selama ini. 7. Teman-teman Andaleb 2 dan Strawberry House (Lina, Dian, Mila, Memi, Naila, Mb Ratna, Mb Devi, Mb Cici, Mb Ratih, Nina, Celi, Usi, Ina, dan Isye) yang selalu menemani dalam suka dan duka di kosan tercinta dan membantu dalam doa, semangat, dan nasehat. 8. Sahabatku dari TPB Lisma dan Intan yang selalu “setia“ sampai akhir. 9. Teman-teman terbaikku Puput, Winda, Rani, Anti, Nurul dan Ira yang masih setia menyemangati. 10. Izzan Faruqi beserta keluarga yang telah memberi banyak pelajaran, motivasi dan inspirasi. Kepada semua pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi yang besar selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, November 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat, 17 November 1988 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Idang Suparman dan Sumiati (Almh). Penulis menyelesaikan studi dasar di SMU KOSGORO KOTA BOGOR (2006). Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), pertengahan tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada pertengahan Agustus 2007, penulis melanjutkan studi bidang Meteorologi di Departemen Geofisika dan Meteorologi , Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, dan memilih Biometeorologi sebagai bidang khusus penelitian dan tugas akhir kesarjanaan. Selama masa studi, penulis menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam periode 2009-2010 dan aktif dalam berbagai kepanitiaan BEM FMIPA dan HIMAGRETO dan kegiatan akademik kampus seperti lolos seleksi pendanaan Proposal Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2009. Selain itu penulis dipercaya menjadi asisten praktikum mata kuliah Metode Klimatologi tahun 2009 dan Biometeorologi tahun 2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. xi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................................ 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue .......................................................................................... 1 2.2 Virus Dengue ............................................................................................................. 2 2.3 Vektor Pembawa Virus Dengue .................................................................................. 2 2.3.1 Siklus Hidup Aedes aegypti ............................................................................... 3 2.3.2 Penularan Virus Dengue ................................................................................... 4 2.3.3 Nyamuk Sebagai Vektor ................................................................................... 4 2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penularan DBD ................................................ 4 2.4.1 Faktor Iklim ..................................................................................................... 4 2.4.2 Faktor Manusia ................................................................................................. 5 2.4.3 Faktor Sosial Ekonomi ...................................................................................... 6 2.5 Kapasitas Vektor dalam Menduga Potensi Transmisi (TP) ........................................... 6 2.6 Kondisi Geografi Jawa Tengah ................................................................................... 7 BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................................... 7 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ........................................................................................... 7 3.3 Metode Penelitian ....................................................................................................... 7 3.3.1 Penentuan Parameter-paremeter Kapasitas Vektor (VC)..................................... 7 3.3.2 Pendugaan Man Hour Density (MHD) Berdasarkan Curah Hujan ...................... 8 3.3.3 Perhitungan Nilai Potensi Transmisi (TP) .......................................................... 8 3.3.4 Pengelompokkan Nilai TP Berdasarkan Musim ................................................. 9 3.3.5 Identifikasi Tahun Bawah Normal (BN), Normal (N) dan Atas Normal (AN) Berdasarkan Curah Hujan .................................................................................. 9 3.3.6 Pemetaan TP ..................................................................................................... 9 3.3.7 Mencari Hubungan antara Nilai VC dengan IR dan KP ...................................... 9 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iklim Jawa Tengah (Jateng) ....................................................................................... 9 4.2 Persamaan Pendugaan Man Hour Density (MHD) Berdasarkan Curah Hujan ........... 11 4.3 MHD Jawa Tengah ................................................................................................... 11 4.4 Kapasitas Vektor (VC) Jawa Tengah ........................................................................ 12 4.5 Pengamatan Suhu ..................................................................................................... 16 4.6 Potensi Transmisi (TP) Sebagai Gambaran Kapasitas Vektor (VC)............................ 16 4.7 Peta Sebaran TP ...................................................................................................... 17 4.8 Hubungan IR dengan VC dan KP .............................................................................. 19 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 25 5.2. Saran ........................................................................................................................ 25 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 26 LAMPIRAN............................................................................................................................. 28
ix
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Pengelompokkan nilai potensi transmisi (TP) musiman ........................................................ 9 2 Pengelompokan karakteristik curah hujan ........................................................................... 9 3 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran tinggi (DT) ........................................ 13 4 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran menengah (DM) ................................ 13 5 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran rendah (DR) ........................................ 13 6 Ketinggian (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) tiap wilayah ........................................................................................................................ 15 7 10 kabupaten/kota dengan rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) tertinggi beserta suhu (0C) dan curah hujan (mm) ........................................................................................ 15 8 Rata-rata suhu (0C) Jawa Tengah permusim setiap kodisi ..................................................... 15 9 Rata-rata bulanan suhu (0C) dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) Kabupaten/Kota Jawa Tengah ...................................................................................................................... 16 10 Pembagian kelas berdasarkan nilai potensi transmisi (TP, per 100.000) ............................... 17 11 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data potensi transmisi (TP) bulanan ............................................................................................................................... 17
x
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Sebaran DBD di dunia tahun 2005 ....................................................................................... 2 2 Virus Dengue ...................................................................................................................... 2 3 Nyamuk Aedes aegypti ........................................................................................................ 3 4 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti ..................................................................................... 4 5 Pola curah hujan (mm) dan suhu (0C) rata-rata Jawa Tengah .............................................. 9 6 Diagram alir penelitian ...................................................................................................... 10 7 Hubungan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) / kepadatan penduduk (KP, orang/km2) dengan curah hujan (CH, mm) ................................................................. 11 8 Man hour density (MHD, ekor/orang/jam) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi ................................................................................................................... 12 9 Curah hujan (CH, mm) rata-rata bulanan Jawa Tengah setiap kondisi ................................. 12 10 Rata-rata jumlah hari hujan bulanan Kota Tegal, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Semarang pada setiap kondisi .................................................................... 12 11 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran tinggi (DT) ............ 14 12 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran menengah (DM) .... 14 13 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran rendah (DR) .......... 14 14 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi .............................................................................................................................. 15 15 Plot peluang potensi transmisi (TP) menggunakan sebaran 3-parameter Weillbul .............. 18 16 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun bawah normal (BN) .................... 19 17 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun normal (N) ................................ 19 18 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun atas normal (AN)........................ 20 19 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun bawah normal (BN)................................. 20 20 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun normal (N) ............................................. 21 21 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun atas normal (AN)..................................... 21 22 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun bawah normal (BN) ................................... 22 23 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun normal (N) ................................................. 22 24 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun atas normal (AN) ....................................... 23 25 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun bawah normal (BN) ............. 23 26 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun normal (N)........................... 24 27 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November Tahun atas normal (AN) ............................ 24 28 Diagram pencar antara kapasitas vektor (VC, per 100.000) dengan incidence rate (IR, per 100.000) ............................................................................................................... 25 29 Hubungan antara kapasitas vektor (VC, per 100.000) dengan kepadatan penduduk (KP, orang/km2) ................................................................................................................ 25
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Daftar Istilah ..................................................................................................................... 28 2 Analysis of Variance (ANOVA) Persamaan Hubungan antara Curah Hujan (CH, mm) dengan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) Mataram dan Jakarta Timur......... 29 3 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan man hour density( MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah ........................................................................... 30 4 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April (MAM) Tahun Bawah Normal (BN) ....................................................... 31 5 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON) Tahun Bawah Normal (BN) .................................. 32 6 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Normal (N) ..................................................................... 33 7 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON) Tahun Normal (N) ................................................. 34 8 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Atas Normal (AN) ......................................................... 35 9 Rata-rata Curah Hujan (CH,mm) dan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON) Tahun Atas Normal (AN)...................................... 36 10 Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Kabupaten /Kota Jawa Tengah ............................................................................................................ 37 11 Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Bawah Normal (BN) ................................................. 38 12 Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON)Tahun Bawah Normal (BN) ..................................... 39 13 Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Normal (N) ............................................................... 40 14 Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON) Tahun Normal (N) .................................................. 41 15 Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Atas Normal (AN) .................................................... 42 16 Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON) Tahun BN .............................................................. 43 17 Analysis of Variance (ANOVA) Hubungan Incidence Rate (IR, per 100.000) dengan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) Bulanan Jawa Tengah .................................... 44 18 Grafik Hubungan Kapasitas Vektor (VC, per 100.000) dengan Kepadatan Penduduk (orang/km2) Bulanan Jawa Tengah..................................................................... 44 19 Plot Peluang Potensi Transmisi (TP) Menggunakan Sebaran 3-Parameter Weillbul............. 45 20 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun Bawah Normal (BN)................... 45 21 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun Normal (N) ................................ 46 22 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Muism Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun Atas Normal (AN) ............. 46
xii
23 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun Bawah Normal (BN) ....................... 47 24 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM)Tahun Normal (N)...................................... 47 25 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun Atas Normal (AN) .......................... 48 26 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun Bawah Normal (BN).......................... 48 27 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun Normal (N)........................................ 49 28 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun Atas Normal (AN) ............................. 49 29 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun Bawah Normal (BN) ... 50 30 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun Normal (N) ................. 50 31 Sebaran Potensi Transmisi (TP, per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun Atas Normal (AN) ....... 51
1
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DBD (Demam Berdarah Dengue) merupakan salah satu penyakit infeksi virus yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk Aedes sp. yang dapat menimbulkan kematian (Siregar 2004). Penyakit DBD di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%) (Siregar 2004). Sejak saat itu penyakit DBD cenderung menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan incidence rate mencapai 35,19 % per 100.000 penduduk (LITBANGKES 2004). Reiter (2001) menyatakan bahwa iklim mempengaruhi ekologi, perkembangan, sifat hidup, daya tahan nyamuk dan dinamika penularan penyakit DBD. Unsur iklim seperti suhu, curah hujan dan kelembaban merupakan parameter iklim yang mempengaruhi penularan penyakit DBD. Selain itu Focks et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan pupa sebagai gambaran dari populasi nyamuk akan meningkatkan resiko penularan DBD, sehingga akan meningkatkan kejadian DBD. Pada saat ini seluruh provinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit DBD salah satunya provinsi Jawa Tengah (Siregar 2004). Penelitian Balitbangkes menunjukkan bahwa Jawa Tengah merupakan daerah endemis DBD dengan peningkatan kasus setiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan keadaan iklim Jawa Tengah yang bertipe iklim Am dengan curah hujan tahunan ratarata 2.000 mm, dan suhu rata-rata 21-32o C (http://id.wikipedia.org/). Hal tersebut menyebabkan nyamuk Aedes sp. sebagai pembawa penyakit ini dapat berkembang biak di Jawa Tengah. Vektorial capacity atau kapasitas vektor merupakan nilai laju inokulasi sporozoit beberapa hari kemudian, yang diduga dari kasus manusia yang terinfeksi saat ini, dengan mengansumsikan bahwa semua nyamuk betina yang menggigit manusia telah terinfeksi virus Dengue. Potensi transmisi digambarkan dari besarnya kapasitas vektor yang dapat menularkan penyakit DBD. Upaya penurunan kejadian DBD memerlukan suatu perencanaan penanggulangan dan pencegahan. Upaya tersebut dapat didukung dengan perkiraan besarnya kapasitas penularan DBD di suatu wilayah. Dengan menghitung potensi penularan pada suatu musim maka kebutuhan
sarana dan prasarana dapat dipersiapkan pada setiap musim. 1.2 Tujuan Penelitian bertujuan untuk mendapatkan nilai potensi transmisi penyakit DBD dalam peta sebaran tingkat kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah berdasarkan informasi unsur iklim dan entomologi pada kondisi tahun bawah normal (BN), normal (N) dan atas normal (AN). BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi virus yang paling penting di dunia, yang penyebarannya ditularkan oleh nyamuk sebagai vektor pembawa penyakit. Penyakit ini menyerang ratusan juta manusia setiap tahunnya dan ditularkan sebagian besar oleh satu spesies nyamuk, yaitu Aedes aegypti (Hales et al. 2002). Demam tiba-tiba pada awalnya, kemudian sakit kepala berat, rasa sakit yang sangat di daerah belakang mata, rasa sakit pada seluruh otot dan sendi, mual, dan timbul bintik merah pada kulit menjadi tanda-tanda awal penyakit ini (Reiter 2001). Demam berdarah biasanya terjadi sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Sesudah masa inkubasi virus Dengue selama 3 - 15 hari, orang yang tertular dapat menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini (http://id.wikipedia.org/) : 1. Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun. 2. Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4 - 7 hari, nyerinyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercakbercak perdarahan di bawah kulit. 3. Dengue Hemorrhagic Fever (Demam Berdarah Dengue/DBD) gejalanya sama dengan Dengue klasik ditambah dengan pendarahan dari hidung (epistaksis/mimisan), mulut, dubur, dsb. 4. Dengue Shock Syndrome, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan shock / preshock. Bentuk ini sering berujung pada kematian. Gubler (2002) dalam Hidayati (2008) menyebutkan bahwa virus Dengue menjadi endemis di wilayah Asia sejak pertama kali terjadi pada 50 tahun pertama abad ke-20. Banyaknya tentara sekutu dan Jepang yang masuk ke dalam wilayah endemis Asia setelah
2
perang dunia (PD) ke II menyebabkan penyebaran virus Dengue menjadi dramatis. Material perang pada perang tersebut menyebabkan penyebaran nyamuk Aedes aegypti, sehingga terjadi epidemik diantara pasukan kedua angkatan perang, hiperendemik di kota-kota Asia yang disertai pula oleh peningkatan penularan multi serotipe virus Dengue. Di Indonesia, penyakit DBD pertama kali ditemukan di Kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Sejak itu penyakit ini menjadi salah satu penyakit endemis di Indonesia. Selama kurun waktu 1968 sampai 1993 setiap tahun rata-rata 18.000 orang dirawat di rumah sakit dan 700750 orang meninggal dunia karena terserang penyakit tersebut (Depkes RI 1997). Menurut Reiter (2001), penyakit DBD meningkat dramatis dalam beberapa dekade baru-baru ini, baik dalam hal angka kejadian maupun sebaran geografisnya. Lebih dari setengah populasi dunia saat ini hidup di daerah beresiko terinfeksi. Namun saat ini belum tersedia vaksin untuk penyakit tersebut.
Gambar 1 Sebaran DBD di dunia tahun 2005 (http://id.wikipedia.org/). 2.2 Virus Dengue Penyebab penyakit DBD adalah virus Dengue. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotipe virus yaitu ; 1. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944, 2. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944, 3. Dengue 3 diisolasi oleh Sather, 4. Dengue 4 diisolasi oleh Sather. Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Siregar
2004). Keempat serotipe virus tersebut termasuk dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae (http://id.wikipedia.org/) .
Gambar 2 Virus Dengue (http://id.wikipwdia.org/). Martens (1988) menyatakan bahwa pada umumnya, virus Dengue tidak dapat bertahan hidup pada suhu di bawah 12-13 0C, sedangkan suhu minimum untuk perkembangan virus yaitu 11.9 0C. Itu sebabnya virus Dengue ini tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia, karena berdasarkan iklim, Indonesia merupakan wilayah yang memiliki iklim tropis basah, dengan rata-rata suhu dan curah hujan tahunan relatif tinggi sepanjang tahun. Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif jika di dalam tubuhnya telah membawa virus Dengue. Hanya nyamuk Aedes yang telah terinfeksi yang bisa menginfeksi manusia dengan virus Dengue. Virus Dengue membutuhkan waktu untuk berkembang biak dalam tubuh nyamuk hingga jumlahnya cukup untuk dapat menginfeksi dengan waktu inkubasi berkisar antara 3-14 hari dengan kejadian paling sering 4-7 hari. 2.3 Vektor Pembawa Virus Dengue Nyamuk merupakan vektor pembawa virus Dengue dalam penyakit DBD. Aedes aegypti merupakan kebanyakan nyamuk pembawa virus Dengue (Hales et al. 2002). Menurut Brown (1986) dalam Sebayang (1993), nyamuk Aedes diklasifikasikan menjadi sebagai berikut : Kingdom : Animal Filum : Invertebrata Kelas : Insekta Sub Kelas : Pterygota Ordo : Diptera Sub Ordo : Nematocera
3
Famili Sub Famili Species
Gambar
: Culicidae : Aedes : Aedes aegypti
3
Nyamuk Aedes aegypti (http://id.wikipedia.org/).
Siregar (2004) menyatakan bahwa ukuran nyamuk Aedes aegypti dewasa lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan seperti sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan nyamuk betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah, sehingga nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau di luar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Tempat-tempat tersebut dijadikan nyamuk sebagai tempat untuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakan, sedikit di atas permukaan air. Biasanya telur menetas menjadi jentik setelah terendam air selama 2 hari yang kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Siregar 2004). 2.3.1 Siklus Hidup Aedes aegypti Aedes aegypti mengalami metamorfosis yang sempurna melalui empat stadium, yaitu telur, larva (jentik), pupa dan dewasa. Air merupakan medium untuk berkembang biak
pada stadium telur, larva dan pupa, sedangkan pada stadium dewasa, nyamuk mempunyai bentuk serangga utuh yang terbang aktif mencari darah. Biasanya telur menetas menjadi jentik setelah terendam air selama 2 hari yang kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Hidayati 2008). 2.3.1.1 Stadium Telur Menurut Depkes RI (1990), telur Aedes aegypti berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam setelah satu atau dua jam. Telur nyamuk tersebut berbentuk oval dan menempel pada dinding tempat penampungan air. Telur mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap suhu dan kelembaban. Telur tersebut tidak dapat hidup pada suhu 100 C, namun dapat tahan terhadap kekeringan. Pada suhu lingkungan sebesar 210 C, telur dapat bertahan lebih dari satu tahun, sedangkan pada suhu 23-300 C telur dapat menetas menjadi jentik nyamuk selama satu sampai tiga hari. 2.3.1.2 Stadium Larva (Jentik) Perkembangan jentik sangat dipengaruhi oleh suhu air, kepadatan populasi dan ketersediaan makanan (Depkes RI 1990). Jentik akan berubah menjadi pupa (kepompong) dalam waktu 4-8 hari pada suhu 20 – 27 0C, dan akan mati pada suhu 10 0C dan 36 0C. Jentik Aedes aegypti secara mikroskopis dapat dikenali dari gerakannya yang cepat dan membengkok-bengkokkan tubuh. Bila disoroti cahaya atau senter jentik tersebut bersifat menghindari cahaya. 2.3.1.3 Stadium Pupa (Kepompong) Menurut Wahyuni (2005) Pppa (kepompong) berbentuk seperti koma, bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibandingkan rata-rata nyamuk lainnya. Kepala dan dadanya bersatu dilengkapi sepasang terompet pernafasan. Pada stadium pup, pupa tidak makan dan bila terganggu, pupa akan bergerak naik turun di dalam wadah air. Pupa akan menjadi nyamuk dewasa dalam waktu lebih kurang dua hari. Beberapa pupa dapat hidup pada suhu air 47 0C selama 5 menit dan pada suhu 4,5 0C dapat hidup selama 24 jam. 2.3.1.4 Stadium Dewasa Waktu yang dibutuhkan pupa berubah menjadi nyamuk dewasa yaitu sekitar 1-5 hari. Setelah 24-28 jam menjadi dewasa, nyamuk akan mengalami perkawinan. Nyamuk dewasa akan memproduksi telur 50-
4
500 butir pada pertama kali bertelur. Nyamuk dewasa akan bertelur setelah menghisap darah. Nyamuk dewasa akan mati pada suhu 6 0 C jika terpapar selama 24 jam atau pada suhu 36 0C jika terpapar terus menerus. Suhu yang baik untuk nyamuk dewasa yaitu 26 0C. Suhu, kelembaban, makanan dan reproduksi akan mempegaruhi umur nyamuk. Nyamuk dewasa dapat hidup selama 30 hari pada suhu 10 0C dan kelembaban relatif 100% tanpa makan dan minum. Nyamuk betina mulai menghisap darah pada hari kedua atau ketiga setelah menjadi nyamuk dewasa. Umur nyamuk betina dewasa dapat bertahan hidup selama 102 hari.
Gambar 4
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti (http://id.wikipedia.org/).
2.3.2 Penularan Virus Dengue Penyakit DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini mendapat virus Dengue sewaktu mengigit atau mengisap darah orang yang di dalam darahnya terdapat virus Dengue baik orang yang sakit ataupun tidak sakit. Selain itu juga bisa melalui keberadaan virus Dengue pada nyamuk karena terbawa telur nyamuk (transovarial). Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan virus Dengue kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik).
Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya, oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus Dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Siregar 2006). 2.3.3 Nyamuk Sebagai Vektor Nyamuk dapat ditemukan di seluruh belahan dunia kecuali di tempat yang dingin terus menerus. Ada 3500 spesies nyamuk, yang tiga perempatnya hidup di tropis basah dan subtropis. Populasi terbesarnya terdapat di arctic tundra, dimana jumlah yang sangat besar muncul pada satu tempat perindukan setiap musim panas. Nyamuk betina semua spesies nyamuk, mendapatkan protein yang dibutuhkan untuk perkembangan telurnya dengan cara menggigit darah vertebrata. Beberapa spesies sangat selektif, membatasi dirinya pada satu atau beberapa spesies penjamu, namun ada juga spesies tidak begitu mempermasalahkan spesies penjamu dan bahkan dapat menggantinya dengan burung, mamalia bahkan juga reptil. Sistem sekresi air liur yang kompleks memudahkan penggigitan. Air liur yang di dalamnya mungkin terdapat virus, protozoa atau cacing nematode akan masuk ke dalam pembuluh darah ketika nyamuk menggigit. Selain itu, air liur juga akan memudahkan nyamuk menghisap darah, karena air liur berfungsi mencairkan darah yang beku (Rieter 2001). 2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penularan DBD 2.4.1 Faktor Iklim Reiter (2001) menyatakan bahwa iklim sangat mempengaruhi ekologi, perkembangan, sifat hidup, daya tahan nyamuk dan dinamika penularan penyakit DBD. Unsur iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan durasi cahaya matahari memainkan peranan yang sangat penting dalam daya tahan dan laju penularan penyakit DBD. 2.4.1.1.Curah Hujan Salah satu faktor yang menyebabkan tersedianya habitat Aedes aegypti yaitu curah
5
hujan, karena curah hujan akan mengisi genangan-genangan air yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk. Kelangsungan hidup nyamuk dewasa dan nyamuk yang telah terinfeksi juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban yang kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk terjadi pada musim hujan, oleh karena itu curah hujan sangat mempengaruhi tersedianya habitat Aedes aegypti (Hidayati 2008). Menurut Aiken et al. (1980) peningkatan atau penurunan vektor DBD dalam hal jumlah dan ukuran tempat perindukan potensial dan juga populasi nyamuk disebabkan oleh curah hujan. Selain itu menurut Strickman & Kittayapong (2002), pada periode curah hujan tertinggi di Thailand, terjadi kelimpahan jentik nyamuk. Hal tersebut kemungkinan mencerminkan kebiasaaan masyarakat sekitar mengumpulkan air hujan yang tersedia dan terjadinya kelimpahan sumber air yang tak teratur. Aiken et al. (1980) menyatakan bahwa di beberapa kawasan di Asia Tenggara, pada musim hujan terjadi kasus DBD tertinggi setiap tahunnya. Selain itu di Rangoon Malaysia, pada musim hujan terjadi kelimpahan jumlah larva Aedes aegypti per kontainer dan jumlah kepadatan nyamuk. Dilaporkan pula di beberapa daerah, peningkatan kasus DBD terjadi selama musim kemarau. Kepadatan nyamuk Aedes aegypti di Singapura tertinggi terjadi pada musim kemarau yang meningkatkan pula kasus kejadian DBD. Kejadian tersebut juga terjadi di Jakarta dan Filipina (Aiken et al. (1980)). Kelimpahan tempat perindukan terjadi ketika kondisi kekeringan mengharuskan adanya penyimpanan air di atau di sekitar tempat hunian, sehingga di beberapa daerah terjadi hubungan yang negatif antara curah hujan dengan kejadian DBD. 2.4.1.2 Suhu Suhu udara mempengaruhi daur hidup, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk, sehingga suhu udara menjadi salah satu faktor pembatas penyebaran nyamuk (Hidayati 2008). Menurut Sehgal (1997), dinamika penularan virus Dengue cenderung dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang lebih hangat akan mengurangi ukuran jentik Aedes aegypti, vektor Dengue dan akhirnya mempengaruhi ukuran nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa yang lebih kecil harus makan lebih sering untuk perkembangan telurnya, sehingga akan menggigit lebih
sering. Selain itu perkembangan virus juga berubah dengan meningkatnya suhu. Pada suhu yang lebih tinggi, periode inkubasi ekstrinsik (EIP) akan lebih singkat, sehingga akan meningkatkan jumlah nyamuk terinfeksi. Perkembangan virus akan berjalan lambat dan nyamuk tidak akan bertahan lama apabila iklim terlalu dingin, sehingga nyamuk akan mati sebelum menjadi terinfeksi virus Dengue (Hales et al 2002). Sutherst (2004) menyatakan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat mempercepat penularan DBD bahkan selama periode curah hujan rendah karena konteiner penyimpanan air buatan dijadikan tempat perindukan oleh Aedes aegypti. 2.4.1.3 Kelembaban Relatif (RH) RH merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan, penyebaran dan umur nyamuk. Kelembaban yang rendah akan menggangu sistem pernafasan trakea, sehingga nyamuk sangat rentan terhadap kelembaban rendah (Hidayati 2008). 2.4.1.4 Unsur Iklim Lainnya Ketinggian tempat 0-500 meter dari permukaan laut sangat cocok untuk kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti , dan pada ketinggian 1000 meter nyamuk ini masih bertahan hidup. Menurut Knowlton et al. (2009), kecepatan pertumbuhan populasi masyarakat kota, peningkatan meluasnya travel dan transportasi internasional dan terganggunya atau berkurangnya langkahlangkah perngontrolan nyamuk juga mempengaruhi kapan dan dimana terjadinya wabah DBD. Secara nasional penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi pada bulan September sampai dengan Februari dengan puncak pada bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan waktu musim hujan. Namun untuk kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya musim penularan terjadi pada bulan Maret sampai Agustus dengan puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli (Siregar 2004). 2.4.2 Faktor Manusia Menurut Reiter (2001) penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Sebagai contoh menghilangnya tempat-tempat berair di lubang-lubang pohon yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk akibat penebangan hutan. Selain itu penampungan air pada botol-botol dan drum, buket, pot dan wadah penampung air buatan
6
manusia lainnya yang dapat menjadi tempat dan sumber kehidupan Aedes aegypti. Penyebaran penyakit DBD di daerah perkotaan lebih intensif dari pada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi di daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) menyebarkan virus Dengue dari satu orang ke orang lain yang ada di sekitarnya (jarak terbang nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak lebih dari 100 meter). Selain itu mobilitas penduduk di kota pada umumnya. jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan (Siregar 2001). 2.4.3 Faktor Sosial Ekonomi Secara umum kepadatan penduduk akan mempengaruhi penularan DBD, karena kepadatan penduduk akan mempengaruhi ketersediaan makanan dan kemudahan dalam penyebaran penyakit. Selain itu faktor lainnya yang mempengaruhi penularan DBD yaitu kehidupan sosial seperti perkumpulan olahraga, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas ibadah. Kemiskinan juga menjadi salah satu fakor penularan DBD, biasanya berkaitan dengan malnutrisi, fasilitas sanitasi yang tidak memadai yang secara tidak langsung merupakan faktor penunjang dalam proses penyebaran penyakit menular. Faktor lainnya yaitu keberadaan dan ketersediaan fasilitas kesehatan. 2.5
Kapasitas Vektor dalam Menduga Potensi Transmisi (TP) Transmission potensial (TP) atau potensi transmisi merupakan tinggi rendahnya penularan penyakit dalam kajian kapasitas vektor. Potensi transmisi dan kejadian luar biasa DBD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari epidemiologi DBD. Kejadian luar biasa didasari oleh penularan yang tinggi, oleh sebab itu mengetahui potensi penularan DBD (transmisi potensial) sangatlah penting. Menurut Munif (2007) potensi transmisi adalah nilai potensi penularan yang sedang berlangsung di suatu ekosistem, sehingga dengan mengetahui potensi transmisi, potensi dari terjangkitnya penyakit tersebut di suatu daerah bisa diketahui. Vectorial capacity atau kapasitas vektor (VC) merupakan nilai laju inokulasi sporozoit masa yang akan datang yang diduga dari kasus manusia yang terinfeksi saat ini, dengan asumsi semua nyamuk betina yang menggigit manusia telah terinfeksi virus Dengue.
Reiter (2001) menyatakan bahwa kapasitas vektor telah dikembangkan untuk meneliti ciri-ciri pokok dari penularan penyakit DBD, terutama pada konteks pengontrolan vektornya. MacDonald (1957) dalam Garret-Jones C (1964) mengekspresikan kapasitas vektor dalam persamaan matematika berikut ini : =
− ln Dimana : m : kepadatan nyamuk hinggap per orang per jam (ekor/orang/jam), a : rata-rata jumlah gigitan perhari pernyamuk (perhari), p : nilai harapan hidup harian nyamuk (perhari), dan n : periode inkubasi ekstrinsik (hari) (waktu yang dibutuhkan virus untuk berkembang dalam tubuh nyamuk hingga nyamuk tersebut menjadi infektif (Reiter 2001)). Berdasarkan persamaan VC diatas, diasumsikan faktor koreksi sama dengan 1, sehingga maka potensi transmisi merupakan berapa kapasitas vektor yang dapat menularkan penyakit DBD atau VC sama dengan TP. Reiter (2001) menyatakan bahwa dalam pendekatan kapasitas vektor diatas satusatunya faktor yang dipengaruhi langsung oleh iklim yaitu n (periode inkubasi ekstrinsik). Nilai n tersebut berhubungan langsung dengan suhu. Secara teori suhu yang tinggi akan meningkatkan penularan, karena suhu tinggi dapat mengurangi masa inkubasi ekstrinsik, sehingga aktivitas seperti menggigit dan bertelur menjadi lebih cepat (Reiter 2001). Selain itu dalam Biteau-Coroller F (2005) kapasitas vektor diekspresikan dalam persamaan berikut : × × × = − Dimana VC : Kapasitas vektor ma : jumlah kepadatan nyamuk (ekor/orang/jam) a : laju menggigit inang (perhari) p : peluang hidup nyamuk (perhari) n : siklus inkubasi ekstrinsik (hari) V : Vector competence (%) Pada kedua persamaan diatas, faktor yang paling berpengaruh yaitu suhu dan kepadatan penduduk, tanpa memperhitungkan faktor-
7
faktor lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Pada penelitian ini tidak tersedia data vector competence (V), maka persamaan yang digunakan untuk menghitung kapasitas vektor yaitu mengikuti persamaan MacDonald (1957) yang menggunakan asumsi semua nyamuk betina yang menggigit manusia telah terinfeksi virus Dengue (vector competence = 100%) . 2.6 Kondisi Geografi Jawa Tengah Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa. Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.000 mm, dan suhu rata-rata 21-32oC. Daerah dengan curah hujan tinggi terutama terdapat di Nusakambangan bagian barat, dan sepanjang Pegunungan Serayu Utara. Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah bagian selatan Kabupaten Wonogiri. Penelitian Balitbangkes menunjukkan bahwa Jawa Tengah merupakan daerah endemis DBD dengan peningkatan kasus setiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan keadaan iklim Jawa Tengah yang bertipe iklim Am dengan curah hujan tahunan ratarata 2.000 mm, dan suhu rata-rata 21-32o C (http://id.wikipedia.org/). Hal tersebut menyebabkan nyamuk Aedes sp. sebagai pembawa penyakit ini dapat berkembang biak di Jawa Tengah. BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dan pengolahan data dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data:
a.
Data suhu bulanan Jawa Tengah tahun 1960-2008 (Sumber : BMKG Pusat Kemayoran Jakarta) b. Data curah hujan bulanan Jawa Tengah tahun 1960-2008 (Sumber : BMKG Pusat Kemayoran Jakarta) c. Data curah hujan bulanan Jakarta Timur tahun 2006 (Sumber : Stasiun Cuaca Halim Perdana Kusuma Jakarta) d. Data curah hujan bulanan Mataram tahun 2009 (Sumber : BMKG Mataram ) e. Data MHD bulanan Jakarta Timur tahun 2006 (Sumber : Penelitian Bonita Ayu Novelani Sekolah Pascasarjana IPB) f. Data MHD Mataram bulanan tahun 2009 (Sumber : Penelitian Hidayati et al. CCROM SEAP) g. Data incidence rate (IR) penyakit DBD seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 1992-2005 (Sumber : Departemen Kesehatan RI) h. Data kepadatan penduduk Jakarta Timur tahun 2006 (Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Timur) i. Data kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 1992-2008 (Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah) j. Data kepadatan penduduk Mataram tahun 2009 (Sumber : BPS Kota Mataram) k. Peta ketinggian DEM SRTM 90x90 wilayah Jawa Tengah (Sumber: http://srtm.csi.cgiar.org). Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat komputer dengan software Ms. Office, MINITAB 14, Global Mapper dan Arc View. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Penentuan Nilai Parameterparameter Kapasitas Vektor (VC) a. Perhitungan a (frekuensi makan nyamuk) Nilai a menunjukkan banyaknya darah yang diambil oleh nyamuk tiap hari. Menurut Lardeux et al. (2007), human blood index (HBI) merupakan nilai perbandingan antara jumlah nyamuk yang mengandung darah manusia dengan jumlah populasinya. HBI Ae. aegypti hasil pengamatan Hidayati et al. (2009) di Mataram pada musim hujan (MH) sebesar 0.33 sedangkan pada musim kemarau (MK) sebesar 0.30. Nilai tersebut diasumsikan sama untuk wilayah Jawa Tengah.
8
Lardeux et al.(2008), menyatakan bahwa jangka waktu siklus gonotropik didefinisikan sebagai interval waktu menghisap darah atau bertelur dua kali berturut-turut (feeding interval (FI)). =
−
,
Dimana FI
: Lama siklus gonotropik (hari) Dbd : Satuan panas nyamuk Aedes aegypti untuk siklus gonotropik yaitu (0 C Hari) = 360C Hari (Hidayati 2008) T : Suhu rata-rata aktual Tmin,bd : Suhu dasar nyamuk Aedes aegypti untuk siklus gonotropik (0C) = 17.50C (Hidayati 2008) Merujuk pada Martens (1998), frekuensi makan nyamuk secara matematik dituliskan dalam rumus di bawah ini: = Dimana a : frekuensi makan nyamuk (perhari) HBI : Human Blood Index FI : Lama siklus gonotropik (hari) b. Perhitungan p (nilai peluang hidup nyamuk setiap hari ) = √ Dimana : FI : lama siklus gonotropik B : Parity rate Nilai parity rate merupakan nilai perbandingan antara jumlah nyamuk yang pernah bertelur (parous) dengan banyaknya nyamuk yang dibedah. Nilai parity rate diasumsikan sebesar 0.5, sebagai hasil penelitian Hidayati et. al (2009) nilai parity rate di kota Mataram tahun 2009 sebesar 0.43. c.
Perhitungan periode inkubasi ekstrinsik (n) Menurut Reiter (2001) periode inkubasi ekstrinsik yaitu waktu yang dibutuhkan virus Dengue untuk berkembang dalam tubuh nyamuk hingga nyamuk tersebut menjadi infektif.
=
(
)
.............(Martens 1998)
Dimana n : Periode inkubasi ekstrinsik (hari) D : Satuan panas inkubasi virus Dengue (0 C Hari) = 128 0 C Hari (Hidayati 2008) T : Suhu udara (0 C) T min : Suhu dasar untuk inkubasi (0 C) = 170 C (Hidayati 2008) 3.3.2 Pendugaan Man Hour Density (MHD) Berdasarkan Curah Hujan (CH) MHD Jawa Tengah didapatkan dengan melakukan pendugaan MHD dari curah hujan dan kepadatan penduduk (KP). Persamaan hubungan antara MHD/KP dengan CH didapat dari data MHD dan KP Jakarta Timur, dan Mataram dan curah hujan bulanan di daerah tersebut yang kemudian digunakan untuk menduga MHD di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dengan menggunakan curah hujan dan KP di masing-masing kabupaten. =
+
=
(
)
( )× = Keterangan: MHDi : MHD Kabupaten/Kota i MHD/KP f(CH) : MHD sebagai fungsi curah hujan per kepadatan penduduk Jaktim dan Mataram (orang / km2) KP Kab i : Kepadatan Penduduk Kabupaten i CH : Curah hujan bulanan (mm) 3.3.3 Perhitungan Nilai Potensi Transmisi (TP) VC merupakan suatu index yang mencerminkan nilai potensi transmisi (TP) oleh vektor demam berdarah yang terinfeksi virus Dengue. Penentuan nilai TP dilakukan dengan menggunakan metode VC atau kapasitas vektor dengan rumus : = Dalam penelitian ini FK atau faktor koreksi diasumsikan bernilai 1, sehingga nilai VC akan menggambarkan TP. Nilai VC tersebut mengikuti persamaan dibawah ini : =
− ln
9
Dimana : VC : Kapasitas vektor m : kepadatan nyamuk hinggap (ekor / orang / jam), a : rata-rata jumlah gigitan nyamuk (perhari), p : nilai harapan hidup nyamuk (perhari), dan n : periode inkubasi ekstrinsik (hari). 3.3.4
Pengelompokkan Nilai Berdasarkan Musim
TP
Tabel 1 No 1 2 3 4
Pengelompokkan nilai potensi transmisi (TP) musiman Musim Bulan Hujan (DJF) Desember-JanuariFebruari Peralihan 1 Maret-April-Mei (MAM) Kemarau Juni-Juli-Agustus (JJA) Peralihan 2 September-Oktober(SON) November
3.3.5
Identifikasi Tahun Bawah Normal (BN), Normal (N) dan Atas Normal (AN) Berdasarkan Curah Hujan Identifikasi sifat hujan tahunan dilakukan dengan klasifikasi berdasarkan kriteria BMKG. Klasifikasi tersebut terbagi menjadi tiga kelompok yaitu : tahun bawah normal; normal; dan tahun atas normal (Tabel 2).
Tabel 2 Pengelompokan karakteristik curah hujan No Karakteristik Kriteria 1 BN <85% CH rata-rata 30 tahunan 2 N 85%-115% CH ratarata 30 tahunan 3 AN >115% CH rata-rata 30 tahunan
memodifikasi Rumus Braak (1929) dengan stasiun acuan yang digunakan adalah Stasiun Meteorologi Ahmad Yani, Semarang yang terletak pada ketinggian 3 meter di atas permukaan laut dengan suhu tahunannya 27.6 0 C, sehingga estimasi suhu berdasarkan ketinggiannya menjadi : Tzi = 27.6 – 0.006h Dimana Tzi : Suhu berdasarkan estimasi ketinggian (0 C) h : ketinggian (m) Melalui software Arc View peta suhu tersebut dirubah menjadi peta TP dengan menggunakan metode VC. 3.3.7 Mencari Hubungan antara Nilai VC dengan IR dan KP Keeratan hubungan antara nilai kapasitas vektor dengan IR dan KP dianalisis menggunakan uji kolerasi sederhana. BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iklim Jawa Tengah (Jateng) Jawa Tengah merupakan suatu wilayah yang berada di tengah-tengah Pulau Jawa yang dikelilingi oleh 3 provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut pola curah hujan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Tengah merupakan wilayah yang curah hujannya mengikuti pola monsoon yang memiliki satu puncak musim hujan yang biasanya terjadi pada bulan Desember atau Januari (Gambar 5). Menurut klasifikasi Köppen Jawa Tengah bertipe iklim Am dengan curah hujan tahunan rata-rata 2000 mm, dan suhu rata-rata 21-32 oC.
Selanjutnya dibuat nilai TP musiman pada tahun BN, N dan AN berdsarakan curah hujan. 3.3.6 Pemetaan TP Pemetaan dilakukan dengan software Arc View dengan memasukkan nilai TP yang telah dihitung sebelumnya. Pemetaan hanya dilakukan di kecamatan pusat kabupaten/kota Jawa Tengah karena biasanya DBD hanya terjadi di pusat-pusat kota yang berpenduduk padat. Ada beberapa kabupaten/kota suhu nya merupakan estimasi berdasarkan ketinggian. Estimasi suhu tersebut dilakukan dengan
Gambar 5 Pola curah hujan (mm) dan suhu (0C) rata-rata Jawa Tengah.
10
Data Suhu Pengamatan
Ada / Tidak ?
MHD, CH dan KP Jaktim&Mataram
MHD/KP f(CH) Ada
Suhu CH dan KP Jateng
Tidak
n
FI
HBI MHD Jateng
DEM p
Braak 1929
a
a2
Peta Isotherm
VC Tahun CH BN, N dan AN
IR Jateng
Korelasi
TP
TP Musiman
TP Musiman perklasifikasi tahun hujan
Peta TP
Gambar 6 Diagram alir penelitian.
11
4.2 Persamaan Pendugaan Man Hour Density (MHD) Berdasarkan Curah Hujan Menurut Aiken et al. (1980), peningkatan atau penurunan vektor DBD disebabkan oleh curah hujan, baik dalam hal jumlah populasi maupun ukuran tempat perindukan nyamuk. Namun curah hujan yang besar akan menyebabkan genangan air yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk melimpas sehingga larva atau pupa nyamuk tersebar ke tempat-tempat lain dan tidak sempat menjadi nyamuk dewasa yang bisa berpotensi menularkan penyakit (Hidayati 2008). Pada penelitian ini, didapatkan 3 persamaan antara MHD (Jaktim dan Mataram) dengan curah hujan (Jaktim dan Mataram) yang telah dibuat sebagai dasar untuk menduga MHD wilayah Jawa Tengah . Persamaan 1 dan 2, merupakan persamaan kuadratik dengan 2 periode hujan, sedangkan persamaan 3 merupakan persamaan polynomial dengan 1 periode hujan dan menyertakan faktor pembobot kepadatan nyamuk. Antara persamaan 1 dan 2, data yang digunakan sama. Persamaan 1 menyertakaan intersepsi dalam persamaan regresi, sedangkan persamaan 2 tidak. Namun, karena intersepsi tidak berpengaruh nyata maka untuk proses selanjutnya digunakan persamaan 2, dimana tidak digunakan intersepsi. Persamaan 1 (R2 = 97.5%) MHD = 0.0216 + 0.00519 CH – 0.000013 CH2 + 0.000004 CH2n-1 Persamaan 2 (R2 = -) MHD = 0.00519 CH – 0.000013 CH2 + 0.000004 CH2n-1 Persamaan 3 (R2 = 84.1%) MHD/KP = (-4x10-8CH2) + (2x105 CH) – 0.0001 Pada penelitian ini persamaan yang digunakan untuk menduga MHD di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah berdasarkan data curah hujan masing-masing kabupaten/kota tersebut yaitu persamaan 3. Berdasarkan persamaan 2 dan 3, yang dianggap lebih rasional adalah persamaan 3, karena pada persamaan 3 digunakan faktor pembobot atau faktor koreksi yaitu data kepadatan penduduk (KP). Diasumsikan KP sebanding dengan kepadatan nyamuk. Nyamuk membutuhkan darah manusia untuk perkembangbiakannya, sehingga semakin banyak penduduk maka ketersediaan makan nyamuk akan semakin besar. Oleh sebab itulah kepadatan nyamuk sebanding dengan KP, sehingga persamaan 3 lebih tepat untuk
menggambarkan keadaan kepadatan nyamuk di Jawa Tengah.
Gambar 7
Hubungan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) / kepadatan penduduk (KP, orang/km2) dengan curah hujan (CH, mm) .
Selain adanya faktor koreksi, pada persamaan 3, MHD akan mencapai nilai maksimum pada curah hujan kurang lebih 250-290 mm dan kemudian akan menurun dengan bertambahnya curah hujan yang disebabkan hubungan antara MHD/KP dengan curah hujan pada persamaan 3 (MHD/KP = ((4x10-8CH2) + (2x10-5CH) – 0.0001) mengikuti persamaan polynomial (Gambar 7). Curah hujan akan menimbulkan tersedianya tempat perindukan nyamuk, sehingga meningkatkan kepadatan nyamuk. Namun curah hujan juga akan menghilangkan tempat perindukan nyamuk melalui limpasan permukaan apabila nilainya sangat besar atau hujan yang terjadi sangat deras. 4.3 MHD Jawa Tengah Berdasarkan rata-rata MHD bulanan, Kota Surakarta memiliki nilai MHD tertinggi. Tingginya nilai MHD tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk Kota Surakarta yang paling tinggi dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan juga curah hujan dalam jumlah yang cukup (133.3 mm/bulan) untuk menyediakan tempat perindukan nyamuk. Suhu tidak diperhitungkan dalam persamaan MHD, sehingga nilai MHD terkecil terjadi di Kabupaten Batang. Rendahnya nilai MHD di kabupaten tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk dan curah hujan yang relatif rendah. Rata-rata MHD bulanan Jawa Tengah menunjukkan MHD terendah terjadi pada setiap musim JJA pada semua kondisi (Gambar 8). Hal tersebut sesuai dengan rata-
12
rata curah hujan dan jumlah hari hujan yang terendah pada musim JJA di semua tahun (Gambar 9 dan 10). Curah hujan rata-rata bulanan pada musim JJA yang digambarkan pada gambar 9, menunjukkan pada waktu tersebut curah hujan paling rendah. Selain itu, jumlah rata-rata bulanan hari hujan di Kabupaten Tegal, Cilacap, Semarang dan Kota Semarang menunjukkan pada musim JJA, hujan jarang terjadi, sehingga hujan yang diterima menguap sebelum memenuhi genangan-genangan atau tempat-tempat yang bisa menjadi tempat perindukan nyamuk. Hal tersebut menyebabkan MHD terendah terjadi pada musim JJA di setiap kondisi. MHD tertinggi, pada semua tahun terjadi pada musim yang berbeda. Pada tahun BN, MHD tertinggi terjadi pada musim DJF, karena pada bulan tersebut curah hujan berada pada kondisi yang optimum yaitu 175.4 mm/bulan, sehingga dibutuhkan hujan yang sering dan optimum untuk menyediakan tempat perindukan nyamuk (Gambar 9 dan 10) agar MHD maksimum. Berbeda halnya pada tahun N dan AN, MHD tertinggi terjadi pada musim MAM. Pada tahun N dan AN dimana curah hujan diatas rata-rata, hujan yang sering dan dalam jumlah yang besar justru dinilai tidak cocok untuk perkembangbiakan nyamuk, karena pada kondisi tersebut terlalu basah sehingga sedikit tempat perindukan nyamuk akibat curah hujan yang langsung melimpas. Seperti yang terdapat pada Gambar 9 dan 10, maka MHD maksimum pada tahun N dan AN terjadi pada musim MAM dimana hujan dan jumlahnya tidak terlalu besar.
Gambar 9 Curah hujan (CH, mm) rata-rata bulanan Jawa Tengah setiap kondisi.
Gambar 10
Rata-rata jumlah hari hujan bulanan Kota Tegal, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Semarang pada setiap kondisi.
Rata-rata MHD pada tahun BN lebih rendah dibanding pada tahun N dan BN. Hal tersebut juga disebabkan oleh curah hujan yang lebih tinggi dan sering pada tahun N dan AN dibanding tahun BN. Pola rata-rata MHD pada setiap kondisi tidak sama seperti pola rata-rata curah hujan dan hari hujan, karena pada perhitungan MHD, bukan hanya curah hujan yang menjadi faktor penentu melainkan ada faktor lain yaitu kepadatan penduduk.
Gambar 8
Man hour density (MHD, ekor/orang/jam) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi.
4.4 Kapasitas Vektor (VC) Jawa Tengah Metode VC merupakan sebuah metode yang menggambarkan tingkat penularan DBD suatu wilayah melalui hubungan antara keberadaan virus Dengue, keberadaan Aedes aegypti sebagai vektor DBD, dan keberadaan
13
manusia sebagai inang. Suhu memainkan peranan penting dalam metode ini, yaitu mempengaruhi siklus inkubasi virus dan siklus gonotropik vektor. Selain itu curah hujan juga berpengaruh terhadap kepadatan nyamuk vektor dalam hal ketersediaan tempat perindukan. Pembahasan ini membagi Kabupaten/Kota Jawa Tengah menjadi tiga wilayah berdasarkan ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota, yaitu wilayah dataran tinggi (DT), menengah (DM) dan dataran rendah (DR). Kabupaten/ kota yang termasuk ke dalam wilayah DT merupakan kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kota nya berada pada ketinggian > 500 mdpl. Wilayah DM terdiri dari kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kota nya berada pada ketinggian 100-500 mdpl, sedangkan wilayah DR terdiri dari kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kotanya berada pada ketinggian < 100 mdpl. Tabel
Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran tinggi (DT) Ketinggian Suhu Kab/Kota VC (mdpl) (0C) Wonosobo 750 23,0 182 Temanggung 585 24,1 198 Salatiga (M) 554 25,3 215 Boyolali 501 26,7 362 Rataan > 500 24,8 239
Tabel
3
4
Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran menengah (DM) Ketinggian Suhu Kab/Kota VC (mdpl) (0C) Magelang (M) 377 25,0 540 Magelang 331 25,4 298 Semarang 313 25,8 352 Banjarnegara 278 25,9 240 Wonogiri 185 26,5 188 Klaten 175 26,5 539 Karanganyar 134 26,9 308 Sukoharjo 100 26,9 462 Rataan 100-500 26,1 367
Tabel
5
Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran rendah (DR) Ketinggian Suhu Kab/Kota VC (mdpl) (0C) Surakarta (M) 96 26,7 4.378 Purbalingga 90 26,8 584 Blora 86 27,1 303 Sragen Pekalongan Banyumas Tegal
85 50 43 41
27,1 26,9 25,8 27,1
401 460 513 434
Purworejo Grobogan Kebumen Kudus
41 26 21 19
27,1 27,4 25,4 27,6
199 209 374 536
Pati Cilacap Demak Pekalongan (M) Rembang Kendal Pemalang Brebes
15 10 8
27,5 26,9 27,5
267 404 467
8
27,5
3.551
8 8 7 6
27,2 27,6 27,5 27,1
161 437 620 459
Jepara Semarang (M) Batang Tegal (M)
3 3 2 2
27,7 27,6 27,6 27,2
552 2.375 74 3.540
Rataan
<100
27,1
926
Wilayah DT terdiri dari 4 kabupaten/kota. Rata-rata bulanan VC tertinggi dari ke-4 kabupaten/kota tersebut terjadi di Kabupaten Boyolali (Tabel 3). Hal tersebut disebabkan oleh ketinggian Kabupaten Boyolali yang paling rendah dibandingkan ke-3 kabupaten/kota lainnya, sehingga suhunya merupakan yang tertinggi. Suhu akan mempengaruhi siklus gonotropik nyamuk, siklus inkubasi ekstrinsik virus Dengue di dalam tubuh nyamuk dan peluang hidup nyamuk. Semakin besar suhu, siklus tersebut akan semakin cepat, sehingga akan meningkatkan kapasitas vektor menularkan DBD. Wilayah DM terdiri dari 8 kabupaten/kota. Rata-rata bulanan VC tertinggi terjadi di Kota
14
Magelang (Tabel 4). Hal tersebut dikarenakan kepadatan penduduk yang tinggi di kota tersebut, sehingga meskipun ketinggian kota tersebut bukan yang terendah diantara ke-7 kabupaten lainnya, nilai VC Kota Magelang mencapai yang tertinggi. Wilayah DR terdiri dari 23 kabupaten/kota. Rata-rata nilai VC tertinggi yaitu terjadi di Kota Surakarta (Tabel 5). Berdasarkan kepadatan penduduknya, Kota Surakarta merupakan kota paling padat penduduknya di Jawa Tengah, sehingga kepadatan nyamuk pun tinggi. Hal tersebut menyebabkan kapasitas vektor menularkan DBD tinggi. Rata-rata bulanan VC wilayah DT menunjukkan VC tertinggi terjadi pada Bulan Mei dengan 0,00208 atau 208/100.000, VC terendah terjadi pada bulan Juli (Gambar 11) . Setelah itu VC mulai meningkat pada bulan Agustus hingga Desember, karena pada waktu tersebut curah hujan sudah mulai meningkat.
suhu menurun dengan bertambahnya ketinggian. Sesuai dengan Tabel 6, rata-rata VC wilayah dataran rendah lebih besar dibanding dataran menegah dan dataran tinggi. Suhu, curah hujan dan ketinggian tempat dari ketiga wilayah menunjukkan nilai yang lebih besar pada dataran rendah, menengah kemudian dataran tinggi. Suhu memainkan peranan penting dalam siklus gonotropik dan inkubasi ekstirnsik, sehingga pada dataran rendah siklus gonotropik dan inkubasi ekstrinsik terjadi lebih cepat yang ,menyebabkan VC lebih besar. Sama halnya dengan curah hujan, curah hujan yang besar namun tidak lebih besar dari 250-290 mm, akan meningkatkan kepadatan nyamuk, sehingga pada dataran rendah, VC lebih besar.
Gambar 12 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran menengah (DM). Gambar 11 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran tinggi (DT). Rata-rata bulanan VC di wilayah DM, menunjukkan rata-rata bulanan VC tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah pada Agustus (Gambar 12). Pada wilayah DR, VC tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah pada bulan Juli (Gambar 13). Rata-rata bulanan VC dari ketiga wilayah menunjukkan bahwa VC akan meningkat dengan memasuki musim hujan (Desember-Mei) dan akan menurun dengan memasuki musim kemarau (Juni-Agustus). Hal tersebut berkaitan dengan penerimaan curah hujan yang mendukung ketersediaan tempat perindukan nyamuk. Rata-rata VC dari wilayah DT, DM, dan DR menunjukkan bahwa semakin rendah dataran maka VC akan semakin tinggi, karena
Gambar 13 Rata-rata kapasitas vektor ( VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran rendah (DR).
15
Tabel 6 Ketinggian (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) tiap wilayah Dataran Rendah Menengah Tinggi Ketinggian <100 100-500 >500 (mdpl) Suhu 27,1 26,1 24,8 VC 926 367 239 Persamaan vektorial capacity atau kapasitas vector (VC) pada penelitian ini menekankan hanya pada pengaruh suhu, curah hujan, dan kepadatan penduduk. Pengaruh suhu dan curah hujan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu pada siklus gonotropik, inkubasi ekstrinsik dan kepadatan nyamuk. Kepadatan penduduk juga menentukan kepadatan nyamuk, karena asumsi kepadatan nyamuk sebanding dengan kepadatan penduduk. Kapasitas vektor menularkan DBD paling tinggi diantara 35 kabupaten/kota terjadi di Kota Surakarta (Tabel 7). Apabila dilihat dari suhu dan curah hujan, suhu dan curah hujan di kota tersebut bukan yang paling tinggi, namun karena kepadatan penduduk dikota tersebut yang terpadat, maka mempengaruhi kepadatan nyamuk yang menyebabkan VC maksimum di kota tersebut. Rata-rata VC Jawa Tengah musiman tahunan menunjukkan VC terendah terjadi pada musim JJA pada semua kondisi (Gambar 14) . Pada tahun BN, TP tertinggi terjadi pada musim DJF, pada tahun N dan AN, VC tertinggi terjadi pada musim MAM. Hal tersebut sama dengan pola MHD. Rata-rata suhu pada musim DJF akan menurun dengan bertambahnya curah hujan (suhu pada musim DJF BN lebih tinggi daripada musim DJF N dan DJF AN) (Tabel 8). Hal tersebut disebabkan pada saat terjadi hujan, biasanya suhu akan lebih rendah karena keadaan atmosfer yang jenuh. Curah hujan BN lebih rendah dari pada curah hujan N dan AN yang salah satunya disebabkan oleh jumlah hari hujan yang lebih banyak pada curah hujan N dan AN, sehingga atmosfer selalu berada pada keadaan jenuh yang menyebabkan suhu lebih rendah pada musim DJF tahun AN. Pola rata-rata suhu pada musim ini berbanding terbalik pada musim JJA. Musim MAM merupakan musim peralihan, biasanya pada musim ini hujan terjadi tidak lebih sering dibandingkan pada musim DJF. Hal tersebut menyebabkan suhu pada curah hujan BN lebih tinggi dibanding
pada curah hujan N dan AN. Pola ini berbanding terbalik dengan musim SON. Tabel 7 10 kabupaten/kota dengan rata-rata kapasitas vektor ( VC, per 100.000) tertinggi beserta suhu 1 0 ( C) dan curah hujan (mm) No Kab/Kota CH Suhu VC 1
133
26,7
4.378
186
27,5
3.551
3
Surakarta (M) Pekalongan (M) Tegal (M)
214
27,2
3.540
4
Semarang (M)
178
27,6
2.375
5
Pemalang
179
27,5
620
6
Purbalingga
154
26,8
584
7
Jepara
238
27,7
552
8
Klaten
133
26,5
548
9
Magelang (M)
74
25
540
10
Kudus
149
27,6
536
2
Gambar 14 Rata-rata kapasitas vektor ( VC, per 100.000) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi. Tabel 8 Rata-rata suhu (0C) Jawa Tengah permusim setiap kondisi Tahun DJF MAM JJA SON BN N AN
1
26,4 26,5 26,2
26,8 26,6 26,7
26,2 26,4 26,5
26,8 26,8 26,8
Rata-rata untuk seluruh kabupaten/kota pada setiap wilayah dengan kecamatan tempat ibukota kabupaten/kota yang berada pada ketinggian yang terendah.
16
4.5 Pengamatan Suhu Tabel 9
No 1
Rata-rata bulanan suhu (0C) dan potensi transmisi (TP, per 100.000) Kabupaten/Kota Jawa Tengah Suhu Kabupaten/Kota TP (0C) Jepara 27,7 552
2
Semarang (M)
27,6
2.375
3
Kudus
27,6
536
4
Kendal
27,6
437
5
Batang
27,6
74
6
Pekalongan (M)
27,5
3.551
7
Pemalang
27,5
620
8
Demak
27,5
467
9
Pati
27,5
267
10
Grobogan
27,4
209
11
Tegal (M)
27,2
3.540
12
Rembang
27,2
161
13
Brebes
27,1
459
14
Tegal
27,1
434
15
Sragen
27,1
401
16
Blora
27,1
303
17
Purworejo
27,1
199
18
Sukoharjo
26,9
462
19
Pekalongan
26,9
460
20
Cilacap
26,9
404
21
Karanganyar
26,9
308
22
Purbalingga
26,8
584
23
Surakarta (M)
26,7
4.378
24
Boyolali
26,7
362
25
Klaten
26,5
548
26
Wonogiri
26,5
188
27
Banjarnegara
25,9
240
28
Banyumas
25,8
513
29
Semarang
25,8
352
30
Kebumen
25,4
374
31
Magelang
25,4
298
32
Salatiga (M)
25,3
215
33
Magelang (M)
25,0
540
34
Temanggung
24,1
198
35
Wonosobo
23,0
182
Rataan
26,6
720
Rata-rata kapasitas vektor (VC) menularkan penyakit DBD terendah terjadi di Kabupaten Batang, sedangkan nilai suhu di Kabupaten tersebut tidak rendah dibandingkan kabupaten/kota lain (Tabel 9). Rendahnya VC disebabkan oleh nilai rata-rata MHD Batang merupakan yang paling rendah diantara kabupaten/kota lainnya. Nilai VC terendah berikutnya terjadi di Kabupaten Wonosobo dimana suhu udara rata-ratanya merupakan yang terendah. Nilai rata-rata VC (per 100.000) tertinggi terjadi di Kota Surakarta, yaitu sebesar 4378. Angka tersebut berarti dari 100.000 kali nyamuk menggigit manusia, maka sekitar 4378 gigitan yang akan menularkan virus Dengue, namun nilai suhu di Kota Surakarta tidak yang tertinggi (26.7 0C). Tingginya VC disebabkan karena penentuan VC ini memperhitungkan kepadatan penduduk, maka Kota Surakarta yang penduduknya sangat padat memiliki potensi penularan yang tertinggi. Kabupaten Jepara memiliki suhu yang paling tinggi, namun VC di kabupaten tersebut tidak setinggi di Kota Surakarta, karena walau memiliki suhu yang tinggi, kabupaten tersebut tidak memiliki MHD yang tinggi. Nilai VC di kabupaten tersebut menunjukkan bahwa dari 100.000 kali nyamuk menggigit manusia, hanya sekitar 522 gigitan yang akan menularkan virus Dengue. 4.6 Potensi Transmisi (TP) Sebagai Gambaran Kapasitas Vektor (VC) Transmission potensial (TP) atau potensi transmisi merupakan tinggi rendahnya penularan penyakit dalam kajian kapasitas vektor, sehingga TP digambarkan dari nilai VC. Nilai kapasitas vektor (VC) yang tinggi menunjukkan potensi transmisi (TP) yang tinggi, karena diasumsikan faktor koreksi sama dengan 1, sehingga nilai VC sama dengan TP. Berdasarkan hal tersebut, maka potensi penularan yang tinggi terjadi apabila kapasitas vektor menularkan DBD tinggi, sehingga pada wilayah-wilayah yang memiliki kapasitas vektor tinggi potensi transmisinya pun tinggi. Potensi penularan yang tinggi di suatu wilayah dikarenakan kapasitas vektor menularkan penyakit tinggi di wilayah tersebut. Potensi penulan tersebut merupakan potensi penularan penyakit DBD yang dipengaruhi oleh vektor dan faktor iklim. Apabila disuatu wilayah berdasarkan iklim berpotensi tinggi tertular penyakit, maka untuk menurunkan kejadian DBD upaya yang
17
Tabel 11 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data potensi transmisi (TP) bulanan PBentuk Sebaran N AD Value Gamma – 95% CI
3578
82,31
<0,005
Lognormal – 95 % CI
3578
45,79
<0,005
Normal – 95% CI
3578
565,10
<0,005
Weilbull – 95% CI
3578
48,99
<0,010
3 – parameter Lognormal – 95% CI
3578
62,06
*
3 – Parameter Gamma – 95% CI
3578
53,88
*
3- Parameter Weilbull – 95% CI
3578
32,65
<0,005
Probability Plot of TP 3-Parameter Weibull - 95% CI 99,99 95 80
75
50
25
20
Shape Scale Thresh N AD P-Value
0,6437 0,006046 0,0001901 3578 32,648 <0,005
5
0,01
0,010
2 1
0,001
4.7 Peta Sebaran TP DBD Suhu memainkan peranan penting dalam kajian potensi transmisi DBD di suatu wilayah. Seperti yang kita ketahui, perbedaan ketinggian akan menyebabkan pula adanya perubahan suhu, sehingga potensi penularan penyakit ini pun dapat berubah berdasarkan ketinggian. Selain itu DBD biasa terjadi di pusat-pusat kota seperti pusat-pusat kecamatan masing-masing kabupaten/kota. Antara suatu kecamatan pusat kabupaten/kota bisa berbeda ketinggian, maka akan sangat mungkin antara satu kecamatan pusat kabupaten/kota dengan kecamatan yang lain memiliki potensi penularan DBD yang berbeda-beda.
mengenai klasifikasi penularan DBD, menyebabkan pembagian kelas di atas didasari oleh tingkat peluang 25% dan 75% melalui sebaran yang paling baik.
Percent
perlu dilakukan yaitu memberantas vektor sehingga walaupun berdasarkan iklim potensi penularan tinggi, namun karena tidak ada vektor, maka kejadian DBD dapat berkurang. Upaya pemberantasan vektor tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki sanitasi di wilayah tersebut. Sanitasi yang baik sangat mempengaruhi kepadatan nyamuk. Apabila sanitasi baik maka tempat perindukan nyamuk akan berkurang yang menyebabkan kepadatan nyamuk berkurang. Selain sanitasi, pemberantasan vektor dapat dilakukan dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pemberian bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk, dll yang dilakukan secara rutin. Suatu wilayah yang memiliki potensi penularan DBD rendah berdasarkan iklim rendah, namun memiliki angka kejadian DBD tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada wilayah tersebut sanitasi sangat buruk, banyak masyarakat yang membuat penampungan air yang dijadikan tempat perindukan nyamuk, sehingga kepadatan nyamuk tetap tinggi walaupun curah hujan rendah. Selain sistem sanitasi, dapat juga disebabkan oleh belum diadakannya upaya-upaya pemberantasan vektor.
00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 EEEEEEEEEE+ 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1,
TP - Threshold
Tabel 10 Pembagian kelas berdasarkan nilai potensi transmisi ( TP, per 100.000) Kelas TP Rendah < 100 Sedang 101-1000 Tinggi >1000 Pembagaian kelas TP tersebut dilakukan berdasarkan peluang kejadian secara stastistika melalui sebaran yang dinilai paling sesuai. Belum ditemukannya pustaka
Gambar 15 Plot peluang potensi transmisi (TP) menggunakan sebaran 3parameter Weilbull. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa bentuk sebaran yang paling sesuai adalah sebaran weilbull 3-parameter, karena pada sebaran tersebut nilai AD merupakan terkecil dibandingkan sebaran-sebaran lainnya, yaitu sebesar 32.65. Hal tersebut menyebabkan penentuan kelas TP berdasarkan tingkat peluang dilakukan berdasarkan sebaran
18
weilbull 3-parameter. Nilai TP pada tingkat peluang 25% dan 75% masing masing adalah sebesar 0.001 dan 0.010. Kelas rendah berada pada TP < 25%, sedang berada pada TP 25%75%, dan kelas tinggi berada pada TP > 75%, karena TP dalam TP/100.000, maka nilai klasifikasi penularan DBD seperti yang tercantum pada Tabel 10. Menurut Aiken et al. (1980), peningkatan atau penurunan vektor DBD disebabkan oleh curah hujan, baik dalam hal jumlah populasi maupun ukuran tempat perindukan nyamuk, sehingga dalam penelitian ini, dihasilkan sebaran potensi penularan DBD berdasarkan musim dan tahun. Potensi sebaran penularan penyakit DBD perkasusnya, masing-masing digambarkan dalam Gambar 16-27. Berdasarkan potensi penularannya, kelas Tinggi merupakan kelas yang berpotensi paling tinggi untuk menularkan penyakit DBD. Hasil penghitungan semua kasus nilai TP berdasarkan estimasi suhu menurut ketinggian menunjukkan kota-kota besar seperti Kota Tegal, Semarang, Pekalongan dan Surakarta hampir pada setiap kondisi masuk ke dalam kelas tinggi, sedangkan Kabupaten Batang hampir pada setiap kondisi masuk ke dalam kelas rendah. Hal tersebut disebabkan rata-rata curah hujan dan kepadatan penduduk Kabupaten Batang rendah, sehingga walau pun suhu di Kabupaten Batang tinggi namun karena curah hujan dan kepadatan penduduk rendah, maka TP nya pun rendah. Pada musim DJF tahun BN hanya kota Tegal, Pekalongan , Semarang, Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo yang masuk ke dalam klasifikasi kelas tinggi. Selain kota/kabupaten tersebut masuk ke dalam klasifikasi sedang. Hal tersebut juga terjadi pada musim DJF tahun N. Berbeda dengan musim DFN tahun AN, pada musim ini terdapat kabupaten yang masuk ke dalam klasifikasi rendah, yaitu Kabupaten Wonosobo yang terletak didataran tinggi. Letak kecamatan pusat kabupaten/kota diatas berada di dataran tinggi sehingga suhu rendah. Suhu yang rendah akan mempengaruhi siklus gonotropik dan siklus inkubasi ekstrinsik. Siklus gonotropik nyamuk akan menjadi lambat pada suhu rendah, sehingga penularan ringan. Pola yang hampir sama terjadi pada musim MAM, sedangkan pada musim JJA tahun BN dimana curah hujan relatif rendah menyebabkan hampir semua kabupaten/kota masuk ke dalam klasifikasi rendah kecuali kota-kota besar dan kota/kabupaten yang terletak di dataran rendah. Suhu yang tinggi
di dataran rendah akan mempercepat siklus inkubasi ekstrinsik dan gonotropik, sehingga akan mempercepat nyamuk tersebut menjadi infektif. Rata-rata siklus inkubasi ektrinsik di daratan tinggi terjadi selama 23-25 hari, sedangkan umur hidup nyamuk kira-kira 23 hari, karena itulah maka dataran tinggi kurang potensial untuk menularkan penyakit DBD. Pada musim JJA tahun N dan AN, tidak semua kebupaten/kota masuk ke dalam klasifikasi rendah. Ada beberapa kota yang masuk ke dalam klasifikasi tinggi yang pada umumnya merupakan kabupaten/kota berpenduduk padat seperti Kota Semarang, Kota Surakarta, dan Kota Tegal. Kabupaten/kota berpenduduk pada seperti Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Tegal dan Kota Pekalongan pada musim SON semua tahun masuk ke dalam klasifikasi kelas tinggi tertular penyakit DBD. Kabupaten/kota seperti Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Klaten, Kabuaten Purworejo, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Batang pada musim SON masuk ke dalam klasifikasi kelas rendah. Hal tersebut disebabkan curah hujan pada waktu tersebut di masing-masing wilayah rendah, sehingga MHD rendah. Curah hujan mengalami peningkatan pada tahun N dan AN, sehingga hanya Kabupaten Batang (tahun N dan AN) dan Kabupaten Wonosobo (tahun AN) yang masuk ke dalam klasifikasi rendah. Pola sebaran TP pada hampir semua kasus menunjukkan, rata-rata TP tertinggi terjadi di dataran rendah dan berpenduduk padat, walau terjadi beberapa pengecualian seperti pada Kabupaten Batang dan Rembang. 4.8 Hubungan IR dengan VC dan KP IR merupakan jumlah penduduk terkena DBD per 100.000 penduduk. Dalam penelitian ini, terjadi hubungan positif kapasitas penularan (VC) dengan jumlah IR walaupun dengan nilai korelasi yang rendah. Nilai korelasi antara VC dengan IR hanya sebesar 5.7 %, meskipun berdasarkan hasil analysis of variance (ANOVA), hubungan antara IR dengan VC nyata (p-value = 0). Rendahnya nilai korelasi tersebut terjadi karena faktor yang diperhitungkan pada persamaan VC hanya faktor curah hujan, suhu dan kepadatan penduduk. Faktor-faktor lain seperti tingkat immunity penduduk, intervensi upaya pemberantasan vektor dari masing-masing kabupaten (upaya pemberantasan parasit) dan lainnya tidak diperhitungkan dalam persamaan VC.
19
Gambar 16 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember – Januari- Februari (DJF) tahun bawah normal (BN).
Gambar 17 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember-Januari-Februari tahun normal (N).
20
Gambar 18 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember-Januari-Februari tahun atas normal (AN).
Gambar 19 Sebaran potensi penularan (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) tahun bawah normal (BN).
21
Gambar 20 Sebaran potensi transmisi (TP) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun normal (N).
Gambar 21 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) tahun atas normal (AN).
22
Gambar 22 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun bawah normal (BN).
Gambar 23 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun normal (N).
23
Gambar 24 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun bawah atas normal (AN).
Gambar 25 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun bawah normal (BN).
24
Gambar 26 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun normal (N).
Gambar 27 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun atas normal (AN).
25
seperti Kabupaten Tegal, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Rembang, namun mempunyai angka kejadian DBD (IR) yang tinggi, hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti sanitasi dan drainase yang kurang baik, kebiasaan menampung air, kebiasaan hidup tidak sehat dan kurangnya kebijakankebijakan yang diterapkan pemerintah setempat untuk menekan angka kejadian DBD.
Scatterplot of IR vs VC 80 70
IR (per 100000)
60 50 40 30 20 10 0 0
2000
4000
6000 8000 VC (per 100000)
10000
12000
14000
Gambar 28 Diagram pencar antara kapasitas vektor (VC, per 100.000) dengan incidence rate (IR, per 100.000).
Gambar 29 Hubungan antara kapasitas vektor (VC, per 100.000) dengan kepadatan penduduk (KP, orang/km2). Hubungan positif terjadi antara VC dengan KP, semakin besar kepadatan pendududuk maka akan meningkatkan VC (Gambar 29). Hal tersebut berkaitan dengan resiko penularan DBD yang tinggi dengan meningkatnya kepadatan penduduk, karena kita ketahui bahwa penyakit DBD merupakan penyakit yang menular. Nyamuk Aedes sp. apabila menggigit orang yang dalam darahnya terinfeksi virus Dengue maka sepanjang umur hidup nyamuk tersebut, nyamuk itu akan selalu menjadi infektif, sehingga besar kemungkinan semakin padat penduduk, semakin banyak penduduk yang digigit oleh nyamuk tersebut. Selain itu, kepadatan penduduk akan berpengaruh kepada kelayakan mendapatkan lingkungan bersih, sebab nyamuk Aedes sp. sangat nyaman berada pada lingkungan yang tidak bersih. Ada daerah-daerah yang secara iklim berpotensi sedang untuk terjadinya DBD
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. MHD DBD tertinggi pada tahun BN terjadi pada musim DJF. Pada tahun N dan AN MHD tertinggi terjadi pada musim MAM, sedangkan MHD terendah terjadi pada musim JJA di semua tahun. 2. Potensi transmisi (TP) DBD yang ditunjukkan oleh kapasitas vektor, tertinggi pada tahun BN terjadi pada musim DJF . Pada tahun N dan AN potensi penularan tertinggi terjadi pada musim MAM, sedangkan potensi penularan DBD terendah terjadi pada musim JJA. 3. Berdasarkan pengamatan suhu, curah hujan dan kepadatan penduduk, TP yang ditunjukkan oleh VC tertinggi terjadi di Kota Surakarta , sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Batang. 4. Berdasarkan hasil pemetaan, pada hampir semua kondisi, Kota Tegal, Semarang, Pekalongan dan Surakarta yang merupakan kota padat penduduk berpotensi tinggi tertular penyakit DBD. Pada hampir semua kondisi, kabupaten/kota yang terletak di dataran rendah berpotensi lebih tinggi tertular penyakit DBD dibandingkan yang di dataran tinggi. Potensi penularan DBD terendah terjadi pada musim JJA tahun BN hampir di semua kabupaten/kota. 5. Terjadi hubungan korelasi positif yang nyata antara IR dengan VC dengan nilai korelasi 5.6%. 5.2 Saran Dari penelitian ini didapatkan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu :
26
1.
2.
Penelitian ini akan lebih baik apabila menyertakan parameter V (vector competence) Penelitian ini akan lebih tepat jika parameter-parameter dalam metode kapasitas vektor (HBI dan parity rate) didapat dari kondisi daerah setempat, tidak menggunakan asumsi.
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Depkes RI. 1990. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Adie YI. 2008. Produksi dan Produktivitas Tanaman Pertanian Utama di Kabupaten Cianjur Berdasarkan Profil Ketinggian Tempat (Tinjauan pada Empat Ketinggian Tempat) [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Aiken SR, Frost DB, Leigh CH. 1980. Dengue Hamorrhagic Fever and Rainfall In Peninsular Malaysia : Some Suggested Relationships. Soc, Sci and Med 14D : 307-316. Anonima. 2008. Jawa Tengah. http://id.wikipedia.org/ (3 Desember 2009). Aunuddin. 2005. STATISTIKA : Rancangan dan Analisis Data. IPB Press : Bogor. [BALITBANGKES] Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2004. Demam Berdarah. http://www.litbang.depkes.go.id/ [(3 Desember 2009]. Biteau-Coroller F, Gerbier G, Roger F. 2005. How to Estimate the Culicoides imicola Vectorial Capacity for Bluetongue Virus : Benefit of the Bayesian Approach. Centre de cooperation Internationale en Recherche Agronomique pour le Developpement (CIRAD).
Depkes RI. 1997. Direktorat Pemberantasan penyakit menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Focks DA, Brenner RJ, Hayes J, Daniels E. 2000. Transmissions Thresholds for Dengue in terms of Aedes aegypti Pupal per Person with Discussion on Their Utility in Source Reduction Efforts. Am J Trop Med Hyg 62(1) : 11-18. Garrett-Jones C. 1964. The Human Blood Index of Malaria Vectors in Relation to Epidemiological Assessment. Bull Wor Health Org 30: 241-261. Hales S, Wet ND, Maindonald J, Woodward A. 2002. Potential effect of population and climate changes on global distribution of Dengue fever : an empirical model. The Lancet 360. Halstead, SB. 1990. Global epidemiology of Dengue hemorragic fever, Shoutheast Asian. J Trop Med Pub Heal 21 (4). Hidayati R. 2008. Pemanfaatan Informasi dan Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia [disertasi]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Boesri H, Suwasono H, Boewono DT, Suwaryono T. 2000. Penelitian untuk Menentukan Indikator Entomologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Endemis. J Ked YARSI 8(3) : 72-79.
Hidayati R, Boer R, Buwono A, Kesumawati U, Hakim L. 2009. Perubahan Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Malaria Akibat Perubahan Iklim di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Kementrian Negara Riset dan Teknologi dengan CCROM SEAP. Jakarta.
Chahaya I. 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M. 2009. Mosquito-Borne Dengue Fever
27
Threat Spreading in the Americas. Natural Resources Defense Council Issue Paper. Martens P. 1998. Health and Climate Change : Modelling the Impacts of Global Warming and Ozone Depletion. Earthscan Publications : London. Munif A, Sudomo M, Soekirno. 2007. Bionomi Anopheles spp. di daerah endemis malaria di kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi. Bul Penel Kes 35(2) :57 – 80. Novelani BA. 2007. Studi Habitat dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya dengan Kasus DBD Di Kelurahan Utan Kayu Utara Jaktim [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Putri BR. 2009. Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Variabilitas Iklim di Kota Padang dan Jakarta. [skripsi] Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Reiter P. 2001. Climate change and mosquito borne disease. Environ Health Perspec Supl 1 109 (1): 141–61. Sebayang RM. 2003. Studi Pengaruh Ekstrak Biji Pala (Myristica fragnans Houtt) terhadap Perkembangan Pradewasa Nyamuk Aedes aegypti L . [skripsi] Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sehgal R. 1997. Dengue Fever and El Niño. The Lancet 349 : 729-730. Siregar FA. 2004. Epidemologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Strickman D, Kittayapong P. 2002. Dengue and Its Vectors in Thailand : Introduction to the Study and Seasonal Distribution of Aedes Larvae. Am Soc of Trop Med and Hyg 67(3) : 247-259. Sukowati S. 2004. Hubungan Iklim dengan Penyakit Tular vektor (DBD & Malaria). Makalah Seminar Sehari
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan, 6 April 2004 di Jakarta. Sutherst RW. 2004. Global Change and Human Vulnerability to Vektor-Borne Diseases. Clin Microbiol Rev 17 : 136173. Universitas Andalas. 2006. Beberapa indikator entomologi nyamuk. Majalah Kedokteran Andalas No. 2 Vol 30. Wahyuni S. 2005. Daya bunuh Ekstrak Serai (Andropogen Nardus) Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. [skripsi] Semarang : Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UNS. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
LAMPIRAN
28
Lampiran 1 Daftar Istilah Anderson Darling (AD)
:
besaran dalam statistika yang digunakan untuk menguji nyata atau tidak nyata sebaran teoritis yang dipilih
Demam Berdarah Dengue
:
penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk Aedes aegypti
Entomologi
:
suatu ilmu yang mempelajari tentang serangga
Epidemiologi
:
suatu ilmu yang mempelajari tentang penyebaran penyakit, natalitas, mortalitas, dan pola lonjakan penyakit pada manusia
Gonotropik
:
proses fisiologis serangga yang terdiri dari pencernaan dan perkembangan ovariumnya
Host
:
inang, penjamu atau manusia yang ditulari virus Dengue
Human blood index
:
perbandingan banyaknya nyamuk yang mengandung darah manusia manusia dengan nyamuk yang dibedah
Incidence Rate (IR)
:
angka kejadian penyakit DBD per 100.000 penduduk
Kapasitas vektor
:
kemampuan vektor menularkan penyakit
m dpl
:
meter dari permukaan laut
MHD
:
Man Hour Density, kepadatan nyamuk per ekor/orang/jam
Potensi transmisi
:
potensi penularan
Siklus gonotropik
:
waktu yang diperlukan nyamuk untuk bertelur
Siklus inkubasi ekstrinsik
:
waktu yang dibutuhkan virus Dengue untuk berinkubasi di dalam tubuh nyamuk sehingga menjadi infektif
Transovarial
:
penularan virus melalui telur nyamuk
Vektor
:
hewan yang membawa bibit penyakit atau virus ditularkan ke inang
Viremia
:
keadaan dimana di dalam sirkulasi darah manusia terkandung virus Dengue
yang
29
Lampiran 2 Analysis of Variance (ANOVA) Persamaan Hubungan Antara Curah Hujan (CH, mm) dengan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/100.000 orang) Mataram dan Jakarta Timur
————— 26/08/2010 13:05:02 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help,
Regression Analysis: mhdJM versus CHJM; ch2JM; ch12JM The regression equation is mhdJM = 0,00591 CHJM - 0,000015 ch2JM + 0,000004 ch12JM
8 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Noconstant CHJM ch2JM ch12JM
Coef
SE Coef
T
P
0,0059146 -0,00001476 0,00000352
0,0007065 0,00000204 0,00000063
8,37 -7,24 5,60
0,000 0,001 0,003
S = 0,0500374
PRESS = 9,41774
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 5 8
SS 1,31258 0,00973 1,32232
MS 0,43753 0,00195
Durbin-Watson statistic = 2,07615
F 224,73
P 0,000
30
Lampiran 3 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah No
Kab/Kota
CH (mm)
1 2 3
Temanggung Blora Wonosobo
278 255 250
MHD (ekor/jam/100.000 orang) 0,7 0,8 0,8
4 5 6 7
Semarang Jepara Magelang Banjarnegara
244 238 236 235
1,1 1,4 0,9 0,7
8 9 10 11
Tegal Cilacap Tegal (M) Kebumen
227 226 214 210
1,1 1,0 9,2 1,1
12 13 14 15
Grobongan Brebes Pekalongan (M) Banyumas
197 190 186 186
6,0 1,3 8,9 1,5
16 17 18 19
Pekalongan Pemalang Semarang (M) Sragen
183 179 178 164
1,2 1,6 6,0 1,1
20 21 22 23
Wonogiri Demak Purworejo Purbalingga
160 160 155 154
5,0 1,2 5,0 1,6
24 25 26 27
Boyolali Kudus Karanganyar Surakarta (M)
150 149 147 133
0,9 1,4 0,8 12,1
28 29 30 31
Klaten Kendal Sukoharjo Rembang
133 132 124 103
1,5 1,2 1,3 0,4
32 33 34 35
Magelang (M) Pati Salatiga (M) Batang
74 70 6 6
3,8 0,7 0,7 0,2
Rataan
217
0,2
31
Lampiran 4 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April- Mei (MAM) Tahun Bawah Normal (BN) No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Boyolali Temanggung Magelang Tegal Tegal (M) Sukoharjo Blora Rembang Banjarnegara Pemalang Pekalongan Purbalingga Wonogiri Pekalongan (M) Semarang (M) Brebes Wonosobo Jepara Sragen Cilacap Kebumen Kendal Banyumas Purworejo Klaten Grobongan Surakarta (M) Karanganyar Pati Semarang Kudus Demak Salatiga (M) Batang Magelang (M) Rataan
CH
DJF BN MHD
514 367 313 300 295 290 274 269 265 261 246 218 216 205 201 192 187 187 181 179 176 166 151 147 111 84 80 66 39 39 17 16 11 9 9 179
1,4 0,9 1,6 0,8 13,6 2,7 0,9 0,7 1,1 2,2 2,0 2,1 1,0 12,0 7,6 1,5 1,6 1,5 1,4 1,6 2,0 1,7 2,0 0,6 1,8 0,4 6,7 1,0 0,6 1,2 0,6 2,1 1,2 0,2 2,0 2,4
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 34 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Temanggung Wonosobo Grobongan Sragen Magelang Pemalang Pekalongan Tegal Brebes Blora Jepara Purbalingga Banjarnegara Tegal (M) Boyolali Kebumen Cilacap Banyumas Demak Klaten Karanganyar Semarang (M) Kendal Wonogiri Purworejo Surakarta (M) Pati Semarang Batang Sukoharjo Pekalongan (M) Magelang (M) Salatiga (M) Rembang Kudus Rataan
MAM BN CH MHD 251 245 239 234 219 204 199 197 173 169 164 154 153 128 125 122 121 112 108 89 79 78 76 73 27 27 21 13 7 7 7 6 5 4 0 110
0,9 1,2 0,1 1,4 2,1 3,0 1,9 1,7 1,6 0,7 1,2 1,9 0,8 12,4 1,3 1,5 1,2 1,6 1,4 1,3 0,9 5,9 1,1 0,7 0,2 6,5 0,3 1,2 0,1 0,3 13,3 2,2 0,5 0,1 3,0 2,2
32
Lampiran 5 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober- November (SON) Tahun Bawah Normal (BN)
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kudus Blora Sragen Pekalongan (M) Cilacap Jepara Purbalingga Semarang (M) Banjarnegara Banyumas Wonosobo Temanggung Brebes Grobongan Kebumen Tegal Demak Magelang Surakarta (M) Semarang Tegal (M) Boyolali Karanganyar Pemalang Wonogiri Kendal Purworejo Pekalongan Pati Klaten Magelang (M) Batang Salatiga (M) Rembang Sukoharjo Rataan
JJA BN CH MHD 136 101 78 75 65 52 24 23 21 20 14 13 10 10 9 8 7 7 6 5 5 4 3 3 3 2 2 2 1 1 0 0 0 0 0 20
1,9 0,6 0,3 3,4 0,7 0,7 0,5 1,9 0,2 0,4 0,2 0,2 0,2 0,1 0,2 0,8 0,2 0,1 2,6 0,7 1,3 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,6 0,0 0,4 0,0 0,1 0,5
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Blora Pekalongan (M) Cilacap Jepara Wonosobo Semarang (M) Temanggung Banyumas Tegal (M) Pekalongan Pemalang Purbalingga Banjarnegara Kebumen Kendal Boyolali Tegal Sukoharjo Sragen Brebes Demak Grobongan Purworejo Karanganyar Rembang Magelang Wonogiri Surakarta (M) Pati Semarang Klaten Magelang (M) Salatiga (M) Kudus Batang Rataan
SON BN CH MHD 206 205 120 118 112 105 94 92 88 83 81 79 78 62 55 54 54 51 49 48 46 34 32 30 24 20 16 12 6 6 4 3 2 0 0 59
0,8 6,0 0,7 1,1 0,8 4,7 0,8 1,2 8,7 0,8 1,3 1,1 0,5 0,8 0,6 0,7 1,0 1,3 1,0 0,6 0,8 0,3 0,2 0,4 0,2 0,4 0,2 3,5 0,1 1,2 0,2 1,1 0,5 0,2 0,1 1,3
33
Lampiran 6 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April- Mei (MAM) Tahun Normal (N) No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Boyolali Temanggung Wonosobo Tegal (M) Tegal Sukoharjo Banjarnegara Magelang Demak Karanganyar Grobongan Sragen Rembang Blora Pemalang Brebes Pekalongan Wonogiri Purbalingga Jepara Semarang (M) Pekalongan (M) Purworejo Kebumen Klaten Kendal Surakarta (M) Banyumas Cilacap Semarang Pati Kudus Salatiga (M) Magelang (M) Batang Rataan
CH
DJF N MHD
816 455 420 419 400 391 390 367 366 356 346 342 336 336 334 331 325 320 311 307 295 289 289 277 277 272 270 261 250 203 196 24 14 12 12 303
1,7 0,8 0,8 10,4 1,1 2,3 1,0 1,4 1,6 0,8 1,1 1,3 1,1 0,8 2,1 1,7 1,7 0,8 2,4 1,2 8,1 13,4 0,8 1,8 2,8 1,7 19,5 2,3 1,5 1,5 1,2 1,0 1,0 2,2 0,2 2,7
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Sragen Wonosobo Kudus Grobongan Temanggung Magelang Tegal Pekalongan Brebes Banjarnegara Blora Purbalingga Pemalang Banyumas Cilacap Karanganyar Jepara Tegal (M) Wonogiri Klaten Boyolali Kebumen Purworejo Surakarta (M) Semarang (M) Demak Kendal Pati Semarang Pekalongan (M) Sukoharjo Rembang Magelang (M) Batang Salatiga (M) Rataan
CH
MAM N MHD
623 406 376 360 358 319 290 284 271 259 253 248 247 238 236 231 225 211 210 210 199 190 182 177 167 160 152 126 126 23 21 19 14 8 8 212
1,4 0,5 2,6 0,7 1,0 1,3 0,8 1,9 1,8 1,1 0,9 2,3 2,1 1,8 1,6 2,3 1,5 17,5 0,8 3,1 1,7 1,8 1,1 21,4 8,0 1,4 1,6 1,4 1,4 8,1 0,7 0,2 2,4 0,2 1,0 2,8
34
Lampiran 7 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober- November (SON) Tahun Normal (N) No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kudus Blora Sragen Cilacap Pekalongan (M) Jepara Banjarnegara Banyumas Purbalingga Tegal Wonosobo Brebes Semarang (M) Temanggung Kebumen Magelang Semarang Karanganyar Kendal Boyolali Surakarta (M) Tegal (M) Grobongan Pati Demak Purworejo Wonogiri Pemalang Klaten Pekalongan Salatiga (M) Magelang (M) Sukoharjo Batang Rembang Rataan
CH 179 164 154 137 136 103 81 81 61 58 55 54 52 47 46 45 35 35 34 33 30 28 27 26 20 18 14 13 8 6 3 1 1 0 0 51
JJA N MHD 1,5 0,8 0,4 0,7 2,7 1,2 0,8 1,0 1,1 0,7 0,7 0,8 3,3 0,6 0,8 0,5 0,5 0,0 0,5 0,5 7,7 4,7 0,5 0,4 0,4 0,2 0,2 0,4 0,4 0,1 0,2 0,8 0,1 0,0 0,5 1,0
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Pekalongan (M) Blora Cilacap Banjarnegara Banyumas Tegal (M) Jepara Wonosobo Semarang (M) Temanggung Purbalingga Kebumen Purworejo Magelang Tegal Kendal Pekalongan Pemalang Brebes Karanganyar Boyolali Surakarta (M) Sragen Demak Sukoharjo Pati Semarang Grobongan Rembang Wonogiri Klaten Magelang (M) Batang Salatiga (M) Kudus Rataan
CH
SON N MHD
289 264 256 214 186 179 178 177 159 159 151 149 136 132 129 126 126 108 108 103 96 95 88 84 81 67 67 65 53 39 35 6 4 3 3 118
6,7 0,8 0,6 0,6 1,9 9,6 1,5 1,3 7,6 1,1 1,8 0,6 0,9 1,2 1,3 1,5 1,0 1,7 1,1 0,9 1,0 12,9 1,0 1,2 1,6 0,8 1,3 0,5 0,4 0,3 1,0 1,4 0,1 0,3 0,2 1.9
35
Lampiran 8 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April- Mei (MAM) Tahun Atas Normal (AN) No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Boyolali Banjarnegara Temanggung Magelang Tegal Wonosobo Sukoharjo Kebumen Karanganyar Demak Jepara Grobongan Sragen Rembang Purworejo Pemalang Blora Semarang (M) Brebes Pekalongan Wonogiri Banyumas Purbalingga Klaten Kendal Pekalongan (M) Cilacap Surakarta (M) Semarang Pati Tegal (M) Kudus Magelang (M) Salatiga (M) Batang Rataan
DJF AN CH MHD 1164 597 564 560 560 545 509 500 472 464 447 446 431 423 422 420 416 416 415 394 388 377 372 370 369 354 344 330 265 264 124 48 17 17 17 395
1,1 0,3 0,4 0,5 0,8 0,2 1,5 1,1 0,9 0,9 1,1 0,6 1,0 0,6 0,6 1,7 0,5 7,5 1,1 0,9 0,6 1,4 1,5 1,9 1,5 11,1 1,1 20,8 0,8 1,3 1,0 1,4 2,5 1,2 0,3 2,1
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Sragen Wonosobo Temanggung Grobongan Kudus Banjarnegara Magelang Boyolali Brebes Pekalongan Tegal Banyumas Karanganyar Blora Pemalang Purbalingga Cilacap Purworejo Wonogiri Jepara Klaten Kebumen Surakarta (M) Kendal Semarang (M) Demak Semarang Tegal (M) Pati Rembang Pekalongan (M) Sukoharjo Magelang (M) Salatiga (M) Batang Rataan
MAM AN CH MHD 1043 513 491 466 437 433 405 396 379 369 360 348 338 321 319 319 317 310 301 291 288 278 230 218 208 205 197 190 159 46 39 37 16 11 11 414
1,4 0,6 0,5 0,5 2,0 0,7 1,2 1,1 1,5 1,0 1,5 1,4 0,7 0,8 1,9 1,8 0,9 1,0 0,9 1,5 2,1 1,4 17.1 1,0 6,7 1,2 1,4 5,5 1,7 0,3 14.3 1,1 2,7 0,8 0,2 2,3
36
Lampiran 9 Rata-rata Curah Hujan (CH, mm) dan Man Hour Density (MHD, ekor/orang/jam) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober- November (SON) Tahun Atas Normal (AN) No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Klaten Magelang (M) Kudus Banjarnegara Blora Sragen Pekalongan Rembang Pekalongan (M) Cilacap Jepara Banyumas Tegal Batang Magelang Brebes Wonosobo Purbalingga Kendal Semarang (M) Temanggung Semarang Kebumen Surakarta (M) Salatiga (M) Purworejo Boyolali Tegal (M) Grobongan Karanganyar Sukoharjo Pemalang Pati Demak Wonogiri Rataan
CH
JJA AN MHD
32 33 239 231 224 208 20 2 189 170 166 149 138 1 110 106 106 101 99 91 83 80 77 76 0 65 60 57 53 49 4 44 43 39 354 99
0,3 2,0 0,8 0,8 0,5 2,3 1,5 1,4 1,4 0,4 1,3 1,4 1,1 1,6 0,9 5,0 0,7 0,8 1,1 14,4 0,6 0,8 8,0 0,4 0,9 0,9 0,6 0,8 1,0 0,4 0,2 1,0 0,0 0,0 0,3 1,6
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Cilacap Banjarnegara Kebumen Pekalongan (M) Blora Wonosobo Tegal (M) Semarang (M) Magelang Banyumas Jepara Purworejo Karanganyar Tegal Temanggung Surakarta (M) Purbalingga Brebes Kendal Boyolali Pekalongan Sragen Pemalang Semarang Pati Demak Wonogiri Sukoharjo Grobongan Klaten Rembang Kudus Magelang (M) Salatiga (M) Batang Rataan
SON AN CH MHD 497 411 397 354 346 333 331 309 300 288 275 246 244 228 221 208 193 179 172 158 157 150 147 129 122 117 113 104 99 90 85 10 8 6 6 201
0,6 0,6 0,7 6,8 0,8 0,4 3,9 5,7 0,8 1,2 1,5 0,7 1,6 1,3 0,9 22,7 1,3 1,7 1,4 1,2 1,3 1,1 1,7 0,9 1,2 1,7 0,8 2,3 0,6 2,0 0,6 0,2 1,7 0,6 0,1 2,1
37
Lampiran 10
Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor Kabupaten/Kota Jawa Tengah
(VC per 100.000)
No
Kabupaten/Kota
Suhu
VC
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Jepara Semarang (M) Kudus kendal Batang Pekalongan (M) Pemalang Demak Pati Grobogan Tegal (M) Rembang Brebes Tegal Sragen Blora Purworejo Sukoharjo Pekalongan Cilacap Karanganyar Purbalingga Surakarta (M) Boyolali Klaten Wonogiri Banjarnegara Banyumas Semarang Kebumen Magelang Salatiga (M) Magelang (M) Temanggung Wonosobo Rataan
27,7 27,6 27,6 27,6 27,6 27,5 27,5 27,5 27,5 27,4 27,2 27,2 27,1 27,1 27,1 27,1 27,1 26,9 26,9 26,9 26,9 26,8 26,7 26,7 26,5 26,5 25,9 25,8 25,8 25,4 25,4 25,3 25 24,1 23,0 26,6
552 2.375 536 437 74 3.551 620 467 267 209 3.540 161 459 434 401 303 199 462 460 404 308 584 4.378 362 548 188 240 513 352 374 298 215 540 198 182 720
Bulanan
38
Lampiran 11
Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Bawah Normal (BN)
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Grobogan Pekalongan (M) Jepara Pati Pemalang Cilacap Demak Rembang Batang kendal Tegal (M) Kudus Purworejo Brebes Sragen Karanganyar Tegal Sukoharjo Blora Pekalongan Purbalingga Surakarta (M) Klaten Semarang (M) Wonogiri Banjarnegara Boyolali Banyumas Semarang Magelang Magelang (M) Kebumen Temanggung Salatiga (M) Wonosobo Rataan
DJF BN Suhu
VC
28,2 27,5 27,4 27,4 27,4 27,4 27,4 27,4 27,3 27,3 27,1 27,1 27,0 27,0 27,0 27,0 26,9 26,9 26,8 26,8 26,6 26,6 26,5 26,5 26,4 25,9 25,7 25,7 25,0 25,0 24,9 24,2 24,0 23,8 23,2 26,4
266 5.034 627 262 950 697 903 312 93 708 5.555 280 243 591 616 403 334 1.075 363 817 839 2.561 702 2.908 413 399 532 706 406 515 637 627 273 353 399 926
No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Grobogan Jepara kendal Cilacap Semarang (M) Pekalongan (M) Pemalang Pati Demak Rembang Tegal Kudus Tegal (M) Blora Purworejo Boyolali Sragen Karanganyar Surakarta (M) Batang Wonogiri Brebes Sukoharjo Purbalingga Pekalongan Kebumen Klaten Banyumas Banjarnegara Semarang Magelang (M) Salatiga (M) Magelang Temanggung Wonosobo Rataan
MAM BN Suhu
VC
28,2 28,0 27,7 27,7 27,6 27,6 27,5 27,5 27,5 27,4 27,4 27,3 27,3 27,2 27,2 27,1 27,1 27,1 27,1 27,0 27,0 27,0 26,9 26,9 26,9 26,5 26,5 26,2 25,9 25,8 25,3 25,2 25,2 23,8 22,8 26,8
69 677 369 540 2.504 5.608 1.287 139 594 42 735 1.257 5.110 318 91 561 585 388 2.582 69 300 768 151 753 762 579 525 611 311 465 760 195 714 274 351 887
39
Lampiran 12
Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan SeptemberOktober-November (SON) Tahun Bawah Normal (BN) JJA BN
SON BN
No
Kab/Kota
Suhu
VC
No
Kab/Kota
Suhu
VC
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Jepara Grobogan Pemalang Demak Pekalongan (M) kendal Semarang (M) Batang Rembang Brebes Sragen Kudus Blora Pati Karanganyar Tegal (M) Pekalongan Sukoharjo Tegal Klaten Boyolali Surakarta (M) Purbalingga Cilacap Semarang Purworejo Banjarnegara Wonogiri Banyumas Magelang (M) Kebumen Magelang Temanggung Wonosobo Salatiga (M) Rataan
27,9 27,9 27,6 27,6 27,6 27,5 27,5 27,4 27,3 27,2 27,2 27,2 27,2 27,2 27,1 27,0 26,9 26,9 26,7 26,6 26,4 26,3 26,3 26,2 26,1 26,0 25,9 25,7 25,3 25,0 24,4 24,3 23,5 21,3 20,9 26,2
270 59 69 85 1.182 47 668 25 18 230 120 682 204 35 56 441 45 52 285 64 50 822 164 238 216 29 78 27 127 184 67 51 58 55 115 198
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kudus Pati kendal Batang Jepara Semarang (M) Grobogan Demak Pekalongan (M) Pemalang Tegal Surakarta (M) Rembang Tegal (M) Karanganyar Boyolali Wonogiri Brebes Purworejo Sragen Blora Pekalongan Sukoharjo Purbalingga Klaten Semarang Kebumen Banjarnegara Banyumas Cilacap Magelang Temanggung Magelang (M) Wonosobo Salatiga (M) Rataan
28,5 28,3 28,0 28,0 27,8 27,8 27,8 27,7 27,7 27,7 27,5 27,5 27,5 27,4 27,4 27,4 27,3 27,3 27,2 27,2 27,1 27,0 27,0 26,9 26,7 26,7 26,0 26,0 25,9 25,6 25,5 24,4 24,2 22,5 22,2 26,8
85 60 360 40 399 1.712 136 305 2.081 473 360 1.301 94 2.991 160 256 71 391 90 353 288 294 456 389 96 398 266 160 371 260 127 227 277 182 150 447
40
Lampiran 13
Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Normal (N) DJF N
MAM N
No
Kabupaten/Kota
Suhu
VC
No
Kabupaten/Kota
Suhu
VC
1 2 3 4
Kudus Grobogan Jepara Pemalang
28,0 27,7 27,6 27,4
446 466 502 905
1 2 3 4
Jepara Semarang (M) Kudus Cilacap
27,8 27,8 27,8 27,8
677 3.466 1.123 697
5 6 7 8
Pekalongan (M) Demak Surakarta (M) Cilacap
27,4 27,4 27,2 27,2
5.583 663 7.914 641
5 6 7 8
Tegal (M) Batang kendal Demak
27,8 27,7 27,6 27,5
7.564 84 708 612
9 10 11 12
Rembang Semarang (M) Purworejo Batang
27,1 27,1 27,1 27,1
453 3.300 321 98
9 10 11 12
Pemalang Pekalongan (M) Pati Rembang
27,5 27,4 27,4 27,3
885 3.391 601 89
13 14 15 16
kendal Pati Brebes Sragen
27,0 27,0 27,0 27,0
750 506 442 531
13 14 15 16
Purbalingga Purworejo Sragen Brebes
27,3 27,2 27,1 27,1
949 469 580 565
17 18 19 20
Purbalingga Blora Tegal (M) Tegal
27,0 26,9 26,8 26,8
955 320 4.112 476
17 18 19 20
Kebumen Grobogan Blora Surakarta (M)
27,1 27,0 27,0 26,9
741 321 382 8.460
21 22 23 24
Sukoharjo Pekalongan Karanganyar Klaten
26,8 26,8 26,6 26,5
916 697 333 1.095
21 22 23 24
Pekalongan Sukoharjo Karanganyar Tegal
26,9 26,8 26,8 26,8
783 295 927 334
25 26 27 28
Boyolali Kebumen Wonogiri Banjarnegara
26,4 26,4 26,2 25,8
710 702 312 365
25 26 27 28
Wonogiri Boyolali Klaten Banyumas
26,8 26,7 26,5 26,1
340 680 1.193 696
29 30 31 32
Banyumas Magelang Magelang (M) Semarang
25,8 25,1 25,0 24,8
839 467 731 503
29 30 31 32
Banjarnegara Semarang Magelang Magelang (M)
25,9 25,8 25,5 25,2
400 530 482 818
33 34 35
Temanggung Salatiga (M) Wonosobo Rataan
24,0 23,4 22,9 26,5
260 312 222 1.081
33 34 35
Temanggung Wonosobo Salatiga (M) Rataan
24,4 22,9 19,1 26,6
338 148 345 1.162
41
Lampiran 14
Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan SeptemberOktober-November (SON) Tahun Normal (N)
No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
kendal Jepara Pemalang Demak Batang Pekalongan (M) Semarang (M) Rembang Brebes Purworejo Sragen Blora Sukoharjo Purbalingga Tegal Karanganyar Pekalongan Pati Grobogan Kudus Klaten Tegal (M) Surakarta (M) Boyolali Semarang Banjarnegara Wonogiri Kebumen Salatiga (M) Banyumas Magelang (M) Cilacap Magelang Temanggung Wonosobo Rataan
JJA N Suhu
VC
27,9 27,8 27,6 27,6 27,6 27,6 27,5 27,2 27,2 27,2 27,1 27,0 27,0 26,9 26,8 26,8 26,8 26,8 26,7 26,7 26,6 26,6 26,5 26,4 26,1 26,0 25,8 25,6 25,5 25,4 25,1 25,0 23,8 23,8 22,0 26,4
205 455 150 166 27 969 1.156 18 254 85 138 281 52 385 264 30 63 142 120 499 139 1.529 2.458 175 176 241 62 242 65 310 243 236 141 143 124 335
No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kudus Batang Jepara Grobogan Semarang (M) Pemalang Demak Boyolali Pati Pekalongan (M) Surakarta (M) Tegal (M) kendal Tegal Rembang Blora Karanganyar Brebes Sragen Purworejo Pekalongan Sukoharjo Purbalingga Semarang Wonogiri Klaten Cilacap Banjarnegara Kebumen Magelang Salatiga (M) Banyumas Temanggung Wonosobo Magelang (M) Rataan
SON N Suhu
VC
28,2 28,0 27,9 27,9 27,7 27,7 27,7 27,7 27,6 27,6 27,6 27,6 27,5 27,4 27,3 27,3 27,3 27,2 27,2 27,2 27,0 27,0 27,0 26,8 26,8 26,7 26,7 26,1 26,0 26,0 25,9 25,8 24,1 22,7 22,3 26,8
103 51 536 186 2.691 618 434 365 293 2.358 4.372 3.365 523 469 158 302 310 423 348 308 347 546 625 439 130 351 222 186 193 370 116 566 285 254 374 663
42
Lampiran 15
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM) Tahun Atas Normal (AN)
DJF AN Kabupaten/Kota
Suhu
VC
Pekalongan (M) Jepara Pemalang Demak kendal Batang Cilacap Rembang Semarang (M) Pati Purworejo Brebes Sragen Tegal (M) Purbalingga Blora Grobogan Pekalongan Tegal Sukoharjo Karanganyar Wonogiri Kudus Klaten Boyolali Banyumas Banjarnegara Magelang Surakarta (M) Semarang Magelang (M) Temanggung Wonosobo Kebumen Salatiga (M) Rataan
27,5 27,5 27,4 27,4 27,4 27,2 27,2 27,2 27,2 27,1 27,0 27,0 27,0 26,9 26,9 26,8 26,8 26,8 26,8 26,7 26,5 26,5 26,5 26,5 26,1 25,9 25,8 25,8 25,7 25,1 24,3 24,1 23,4 23,2 21,0 26,2
4.687 500 746 436 653 117 476 265 3.062 555 270 618 411 0 620 211 270 355 357 607 379 244 558 745 391 521 133 205 7.502 280 754 135 52 263 390 793
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
MAM AN Kabupaten/Kota
Suhu
VC
Batang Semarang (M) Jepara Pemalang Pati Pekalongan (M) Demak Blora Tegal Rembang Kudus Tegal (M) kendal Purworejo Sragen Brebes Cilacap Grobogan Purbalingga Sukoharjo Boyolali Karanganyar Surakarta (M) Pekalongan Klaten Wonogiri Kebumen Banyumas Semarang Banjarnegara Salatiga (M) Magelang (M) Magelang Temanggung Wonosobo Rataan
27,9 27,7 27,7 27,5 27,5 27,5 27,5 27,4 27,4 27,3 27,3 27,3 27,2 27,2 27,1 27,1 27,1 27,0 27,0 27,0 26,9 26,9 26,8 26,8 26,5 26,5 26,3 26,2 26,0 25,9 25,6 25,2 25,0 24,2 23,2 26,7
106 2.839 545 809 718 5.987 507 369 637 153 852 2.301 408 408 575 581 400 227 720 444 473 391 6.748 405 835 346 563 537 544 279 285 908 462 157 136 933
43
Lampiran 16
Rata-rata Suhu (0C) dan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) dan SeptemberOktober-November (SON) Tahun Atas Normal (AN)
No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Jepara Pemalang Semarang (M) Pekalongan (M) Demak Pati Grobogan Batang Rembang Kudus kendal Sragen Brebes Purworejo Purbalingga Blora Sukoharjo Pekalongan Tegal (M) Tegal Surakarta (M) Wonogiri Boyolali Klaten Magelang Banjarnegara Semarang Banyumas Magelang (M) Karanganyar Salatiga (M) Cilacap Kebumen Temanggung Wonosobo Rataan
JJA AN Suhu
VC
27,9 27,6 27,6 27,6 27,5 27,4 27,3 27,3 27,3 27,2 27,2 27,2 27,2 27,1 27,1 27,0 27,0 27,0 26,8 26,7 26,5 26,5 26,5 26,5 26,5 25,9 25,7 25,5 25,3 25,3 25,2 24,9 24,8 24,4 22,2 26,5
536 335 1.786 812 310 214 177 28 18 712 308 191 266 216 546 270 70 140 2651 144 4.571 118 263 328 400 242 249 420 284 292 84 535 302 192 186 520
No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Semarang (M) Batang Pati Kudus Tegal (M) kendal Demak Pekalongan (M) Pemalang Jepara Blora Rembang Sragen Purworejo Boyolali Brebes Karanganyar Sukoharjo Surakarta (M) Pekalongan Grobogan Purbalingga Klaten Magelang Cilacap Wonogiri Semarang Salatiga (M) Banjarnegara Kebumen Banyumas Tegal Magelang (M) Temanggung Wonosobo Rataan
SON AN Suhu
VC
28,3 28,1 28,0 28,0 27,9 27,8 27,7 27,7 27,7 27,5 27,4 27,3 27,3 27,2 27,2 27,2 27,1 27,0 27,0 26,9 26,9 26,7 26,7 26,5 26,4 26,4 26,1 26,0 26,0 25,9 25,8 25,5 25,3 24,2 22,4 26,8
2.133 58 437 75 1.392 273 621 2.386 613 543 289 221 378 235 408 371 560 786 7.512 440 211 447 648 287 210 281 271 203 191 240 379 463 486 228 92 696
44
Lampiran 18 Analysis of Variance (ANOVA) Hubungan Incidence Rate (IR per 100.000) dengan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Jawa Tengah
————— 22/11/2010 21:53:34 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: VC versus IR The regression equation is VC = 562 + 77,9 IR
Predictor Constant IR
Coef 561,56 77,914
S = 1388,42
SE Coef 22,02 4,517
R-Sq = 5,7%
T 25,50 17,25
P 0,000 0,000
R-Sq(adj) = 5,7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 4942 4943
SS 573613094 9526765092 10100378185
MS 573613094 1927715
F 297,56
P 0,000
Lampiran 19 Grafik Hubungan Incidence Rate (IR per 100.000) dengan Kapasitas Vektor (VC per 100.000) Bulanan Jawa Tengah
Scatterplot of IR vs VC 80 70
IR (per 100000)
60 50 40 30 20 10 0 0
2000
4000
6000 8000 VC (per 100000)
10000
12000
14000
45
Lampiran 20 Plot Peluang Potensi Transmisi (TP per 100.000) Menggunakan Sebaran 3Parameter Weillbul
Probability Plot of TP 3-Parameter Weibull - 95% CI 99,99 95 80
75
50
25
0,6437 0,006046 0,0001901 3578 32,648 <0,005
5
0,01
0,010
2 1
0,001
Percent
20
Shape Scale Thresh N AD P-Value
0 09 08 07 06 05 04 03 02 01 +0 EEEEEEEEEE 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1,
TP - Threshold
Lampiran 21 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun Bawah Normal (BN)
46
Lampiran 22 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun Normal (N)
Lampiran 23 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Desember-Januari-Februari (DJF) Tahun Bawah Atas Normal (AN)
47
Lampiran 24 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun Bawah Normal (BN)
Lampiran 25 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun Normal (N)
48
Lampiran 26 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun Bawah Atas Normal (AN)
Lampiran 27 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun Bawah Normal (BN)
49
Lampiran 28 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun Normal (N)
Lampiran 29 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim Juni-Juli-Agustus (JJA) Tahun Atas Normal (AN)
50
Lampiran 30 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun Bawah Normal (BN)
Lampiran 31 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun Normal (N)
51
Lampiran 32 Sebaran Potensi Transmisi (TP per 100.000) Demam Berdarah Dengue (DBD) Jawa Tengah Musim September-Oktober-November (SON) Tahun Atas Normal (AN)