Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
KAJIAN PENGGUNAAN INOKULUM PADA PROSES PENGOMPOSAN BAGASSE Otik Nawansih, Tirza Hanum dan Fibra Nurainy Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl Sumantri Brojonegoro No 1 Bandar Lampung 35145
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja sumber inokulum, mikroorganisme yang aktif dan aktivitas selulase pada proses pengomposan bagasse. Bagasse dicampur dengan blotong dan abu dengan perbandingan 5:3:1, dilembabkan sampai KA 60% kemudian dikomposkan (1) tanpa penambahan inokulum, (2) penambahan inokulum isolate kotoran sapi dan (3) penambahan inokulum isolate kotoran gajah. Selama proses pengomposan setiap 7 hari sekali dilakukan isolasi untuk mengetahui mikroorganisme yang aktif dan selanjutnya isolat-isolat tersebut diuji aktifitas selulase. Untuk melihat kinerja inokulum, dilakukan juga pengamatan suhu harian, pH, KA, Total C, Total N dan C:N ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama proses pengomposan di dapat 23 jenis isolate terdiri dari 14 isolat bakteri dan 9 isolat jamur. Dua belas isolate diantaranya terdapat pada ketiga perlakuan, namun kontribusi inokulum isolate kotoran gajah paling banyak dibanding isolat kotoran sapi dan tanpa inokulum. Aktivitas selulase isolate tersebut berkisar antara 1,00-1,49. Kinerja inokulum terbaik adalah isolate kotoran sapi dengan ratio C:N kompos yang dihasilkan 25. Kata kunci : inokulum, isolate, bagasse, pengomposan
1.
PENDAHULUAN Bagasse atau ampas tebu adalah salah satu limbah padat dalam industri gula tebu yang
terdiri dari kumpulan serat batang tebu setelah niranya diperas.
Jumlah bagasse yang
ditimbulkan dalam suatu industri gula mencapai 30-40% dari tebu giling. Di PT. GMP, sebanyak 2/3 bagian bagasse tersebut sudah dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik dan 1/3 bagian ditumpuk sebagai gunung bagasse (Sulistianingsih, 2006). Salah satu upaya pemanfaatan bagasse tersebut adalah sebagai bahan baku kompos. Bagasse mempunyai ratio C:N tinggi 70-90 (Sulistianingsih, 2006), mengandung selulosa sekitar 37,65%, pentosan 27,97% dan lignin 22,09% dengan panjang serat antara 1,7-2,0 mm dan diameter sekitar 20 µm (Santosa, 1993. Paturau, 1982).
Selulosa merupakan
polimer yang disusun oleh unit glukosa dengan ikatan β-(1,4)-D-glukosa (Rahayu, 1990). Adanya konfigurasi β tersebut membuat molekul mudah untuk membentuk serabut kristal fibriler yang kuat dan daya larutnya rendah (Winarno, 1995). Setiap selulosa tersusun oleh sekitar 3000 molekul glukosa dengan bobot molekul mencapai 500.000. Selulosa resisten terhadap serangan sejumlah besar mikroorganisme penghuni tanah.
Selulosa dapat
didekomposisi dengan mudah dan cepat hanya oleh organisme tertentu yang spesifik yaitu yang ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-54
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
mempunyai enzim selulase.
Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi
kinerjanya yaitu kelembaban, aerasi, suhu dan nitrogen yang cukup (Sutedjo et al. 1991). Pengomposan merupakan dekomposisi biologi dan stabilisasi bahan organik pada kondisi suhu tinggi dan lembab dengan produk akhir yang cukup stabil untuk disimpan atau diaplikasikan ke tanah (Haug, 1980 dalam Congrak, 1989). Pengomposan bisa terjadi secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan aerobik merupakan penguraian bahan organik dengan adanya oksigen dengan produk akhir CO2, NH3, H2O dan panas.
Sedangkan pengomposan
secara anaerobik adalah penguraian bahan organik tanpa ada oksigen, dengan produk akhir CH4, CO2, NH3 dan gas lain dalam jumlah kecil dan asam organik molekul rendah.
Karena
dihasilkan banyak energi panas yang menyebabkan penguraian lebih cepat maka pengomposan aerobic lebih banyak dipilih (Chongrak, 1989). Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu yang cukup lama, 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan tergantung dari bahan yang dikomposkan. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C:N ratio bahan organik hingga sama atau mendekati C:N tanah (10-12) sehingga bahan organik mudah diserap oleh tanaman. Proses pengomposan umumnya melibatkan beberapa kelompok organisme baik Mikroflora (bakteri, kapang dan actinomycetes), mikrofauna (protozoa), makroflora (jamur tingkat tinggi) dan makrofauna (cacing tanah, rayap, semut) (Isroi, 2005).
Pada proses
pengomposan, organisme tersebut bisa berasal dari bahan baku, lingkungan atau sengaja ditambahkan. Yusnaini (1996), menambahkan kotoran sapi 5% pada pengomposan bagasse selama 21 hari menghasilkan kompos dengan ratio C:N 21,1. Sitepu (2006), menggunakan isolat kotoran gajah pada pengomposan bagasse selama 40 hari menghasilkan kompos dengan ratio C:N 22,19.
Basuki et al. (1995) melakukan isolasi mikroorganisme dan uji aktivitas
selulolitik dari pengomposan tandan kelapa sawit.
Isolat yang didapat mempunyai nisbah
diameter zona bening : diameter koloni antara 1,00 – 1,22.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kinerja inokulum isolate kotoran gajah dan isolate kotoran sapi, mikroorganisme yang terlibat selama proses pengomposan dan aktivitas selulasenya.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi, Laboratorium Kimia Tanah dan Bangsal Pengomposan
Devisi II di PT Gunung Madu Plantations Lampung Tengah pada bulan
Juni-Oktober 2007. 2.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah bagasse, blotong, abu ketel, urea, isolate bakteri dan jamur dari kotoran gajah dan kotoran sapi dari PT GMP, Medium Dubo’s Cellulose Agar Media, Nutrien Agar, Potato Dextrose Agar, Congo Red, CMC, aquadest, alcohol dan bahan untuk ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-55
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
analisis total nitrogen dan carbon. Alat yang digunakan adalah mikroskop, incubator, thermometer, pH-meter, seperangkat alat analisis total N dan C serta analisis mikrobiologi.
3.
METODE PENELITIAN Penelitian dimulai dengan persiapan inokulum, pembuatan kompos, isolasi dan
pengujian aktivitas selulase. a. Persiapan inokulum Sumber inokulum baik isolate kotoran gajah maupun isolate kotoran sapi diperbanyak dengan ditumbuhkan pada media cair ekstrak kentang dan diinkubasi, selanjutnya dilakukan penghitungan dengan metode Total Plate Count. Setiap satu unit percobaan disiapkan inokulum sebanyak 1 liter dengan populasi untuk bakteri sekitar 106 sel/ml sedangkan jamur 105 juta sel/ml. b. Pembuatan kompos Bahan baku utama kompos yaitu bagasse, blotong dan abu dengan perbandingan 5:3:1 dengan total berat kering 100 kg tiap satu unit percobaan. Ditambahkan juga urea 250 gram dan air hingga kelembaban bahan sekitar 60%. Semua bahan diaduk merata dengan perlakuan : tanpa penambahan inokulum, penambahan inokulum isolat kotoran gajah dan penambahan isolat kotoran sapi.
Setelah dicampur merata bahan kemudian ditumpuk dengan ukuran 60 x
120 cm dengan tinggi 60-100 cm.
Percobaan diulang 3 kali. Selama proses pengomposan 40
hari, dilakukan aerasi dengan cara pembalikan tumpukan setiap 7 hari sekali dan kadar air bahan dipertahankan sekitar 60% dengan cara menyemprot air bila kurang. Setiap pembalikan dilakukan pengambilan sample baik untuk isolasi mikroorganisme maupun analisis C organik dengan metode Walkey and Black (Thom dan Utomo, 1991), pH (AOAC, 1990), kadar air, N-Total dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl yang dimodifikasi (Thom dan Utomo, 1991), dan Rasio C/N. Sedangkan pengukuran suhu dilakukan setiap hari (Yuwono, 2005). c. Isolasi Mikroorganisme Isolasi mikroorganisme dilakukan pada setiap perlakuan pada hari ke-7, 14, 21, 28 dan 35. Sampel sebanyak 10 g diencerkan dalam 90 ml aquadest steril dengan pengenceran 10-5 untuk jamur dan 10-7 untuk bakteri. Isolasi dilakukan dengan metode tuang (Fardiaz, 1986). Media yang digunakan untuk jamur adalah PDA, sedangkan untuk bakteri adalah NA. Inkubasi dilakukan pada suhu 400C selama 3 hari. Koloni yang tumbuh kemudian dihitung dan selanjutnya dimurnikan.
Untuk setiap koloni yang berbeda kemudian ditanam pada media
baru dengan metode gores. Hal ini dilakukan berulang sampai di dapat koloni yang homogen.
ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-56
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
Setiap koloni yang didapat kemudian diberi kode (A untuk bakteri dan B untuk jamur) dan diamati secara visual morfologinya di bawah mikroskop. Pada tahap akhir, setiap koloni ditumbuhkan pada agar miring dan disimpan. d. Uji aktivitas Selulase Uji aktivitas selulase dilakukan dengan Metode Mandels (1976).
Setiap isolat
ditumbuhkan pada Dubo’s Cellulose Agar Media yang telah ditambahkan CMC 5% lalu diinkubasi pada suhu 400C selama 3 hari. Supaya zona bening yang terbentuk lebih jelas, dilakukan pewarnaan dengan congo red. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter koloni dan diameter zona bening. Aktivitas selulase dihitung sebagai nisbah antara diameter zona bening dibagi diameter koloni.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Suhu Peranan organisme dalam proses pengkomposan adalah sangat besar, karena merekalah yang akan menguraikan senyawa kompleks dalam media kompos menjadi senyawa yang sederhana sehingga bersifat relatif stabil dan mudah diserap oleh tanaman.
Komponen utama
pada bagasse adalah selulosa sekitar 36% (Paturau, 1982; Santosa, 1993).
yang hanya bisa
diuraikan oleh mikroorganisme yang mempunyai ensim selulase. Hasil percobaan dengan tiga perlakuan yaitu tanpa inokulum (Kontrol), inokulum Isolat Kotoran Gajah dan inokulum Isolat Kotoran Sapi memperlihatkan trend suhu seperti pada Gambar 1.
Nampak bahwa ketiga perlakuan menunjukkan trend suhu yang serupa, namun
suhu maksimal yang dicapai berbeda.
Perlakuan kontrol hanya mampu mencapai suhu 610C,
Isolat Kotoran Gajah 680 C dan Isolat Kotoran Sapi 750 C. Suhu pengkomposan umumnya berkisar antara 43-660C, optimal pada suhu 54-600C (Rynk, 1992 dalam Cooperband, 2002). Dengan demikian ketiga perlakuan menunjukkan proses pengkomposan berjalan dengan baik.
ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-57
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
80 SUHU C
KONTROL 60 ISOLAT KOTORAN GAJAH
40 20
ISOLAT KOTORAN SAPI
0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 HARI KE
Gambar 1. Suhu tumpukan kompos selama 40 hari pengomposan dengan inokulum isolat kotoran gajah, inokulum isolat kotoran sapi dan kontrol. Trend suhu selama pengomposan menunjukkan apakah proses berjalan normal atau tidak. Begitu bahan organik yang sesuai (CN ratio awal 30-40) dicampur dan ditumpuk, mikroorganisme siap untuk bekerja dan memulai proses pengomposan. Pada awal proses, organisme mesophilik bekerja dan selama proses akan menghasilkan panas.
Begitu suhu
0
meningkat 40-60 C dalam waktu 24-72 jam maka organisme thermofilik akan mengambil alih dan suhu thermofilik tersebut akan bertahan beberapa minggu. Fase ini disebut “fase aktif”. Pada fase ini, suhu yang tinggi cukup selama beberapa minggu cukup untuk membunuh mikroorganisme pathogen dan biji tumbuhan pengganggu.
Selama fase ini, oksigen harus
tersedia dan proses perombakan paling banyak terjadi (Cooperband, 2002).
Setelah beberapa
minggu, suhu kemudian mulai menurun, fase ini disebut dengan fase pematangan dan organisme mesofilik kembali mengambil alih. Berdasarkan hasil pengamatan, trend suhu selama pengomposan sesuai dengan teori bahwa dalam waktu 48 jam sudah terjadi kenaikan suhu mencapai suhu thermofilik dan suhu thermofilik tersebut bisa bertahan sekitar 3 minggu dan kemudian menurun sampai suhu mesofilik yang menunjukkan fase pematangan. Nampak juga bahwa setelah pembalikan setiap 7 hari sekali suhu turun sebentar kemudian meningkat kembali. Penurunan terjadi karena pada waktu pembalikan, suhu terekspose ke udara bebas namun kemudian karena mikroorganisme mendapatkan suplay oksigen yang cukup kemudian aktif kembali dan suhu kembali meningkat. Walaupun ketiga perlakuan menunjukkan trend suhu yang sama, namun terlihat bahwa pada perlakuan kontrol (tanpa penambahan inokulum), suhu yang dicapai lebih rendah dibanding perlakuan isolat kotoran sapi dan gajah. Perlakuan penambahan inokulum isolat kotoran sapi mencapai suhu yang paling tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa inokulum isolate
kotoran sapi menunjukkan kinerja yang paling baik dibanding inokulum isolat kotoran
gajah. Tanpa penambahan inokulumpun, ternyata proses pengomposan bisa terjadi karena ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-58
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
sebenarnya organisme pendegradasi bahan organik sudah ada di bahan baku atau lingkungan sehingga dengan mengatur kondisi pengomposan (ratio CN bahan, kadar air, aerasi) optimal maka proses pengomposan bisa berjalan cukup baik.
Dengan penambahan inokulum,
menyebabkan jumlah dan jenis mikroorganisme lebih banyak sehingga proses penguraian lebih baik.
3.2. C:N Ratio Hasil pengamatan CN ratio selama 40 hari pengomposan disajikan pada Gambar 2.
C:N RATIO
50 KONTROL
40 30
ISOLAT KOTORAN GAJAH
20
ISOLAT KOTORAN SAPI
10 0 0
7
14
21
28
35
HARI KE
Gambar 2.
Perubahan CN ratio kompos selama 40 hari pengomposan dengan inokulum isolate kotoran gajah, kotoran sapid an control.
Dari data CN ratio di atas, terlihat bahwa pada ketiga perlakuan selama pengompsan 40 hari menunjukan penurunan CN ratio.
Penurunan CN ratio ini terjadi karena selama proses
pengomposan aerobic akan terjadi penguraian bahan organic kompleks menjadi bahan organic sederhana (humus) dengan melepaskan uap air (H2O), gas karbondioksida (CO2) dan panas (Cooperband, 2002). Dengan demikian akan terjadi penyusutan berat dan penurunan jumlah carbon (C), sementara unsur nitrogen hanya berubah bentuk dan masih tetap tertinggal dalam sel organisme sehingga CN ratio dalam tumpukan akan cenderung menurun.
Semakin efektif
proses penguraian akan semakin besar dan cepat penurunan CN rationya. CN ratio akhir pada kompos yang ideal adalah mendekati CN ratio tanah yaitu 12 atau < 20. Gambar 2 menunjukkan bahwa dari awal sampai akhir proses ada fluktuasi CN ratio atau penurunanya tidak mulus.
Setelah ditelusuri, hal tersebut terjadi karena bahan kompos
kurang tercampur secara homogen dan cara pengambilan sampel yang kurang tepat sehingga ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-59
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
hasil analisis naik turun. Namun dapat dinyatakan pemberian inokulum isolat kotoran sapi dan kotoran gajah menghasilkan penurunan CN ratio lebih besar dibanding kontrol. Hal ini disebabkan walaupun proses penguraian terjadi juga pada kontrol, namun jumlah dan jenis organisme yang ada secara alami lebih kecil (Tabel 1) sehingga efektifitas penurunan CN rationya juga kurang optimal. Hal ini juga ditunjukan oleh kinerja yang kurang optimal dari trend suhu yang terlihat pada Gambar 1. 3.3.
Isolasi Mikroorganisme Selama pengkomposan dilakukan isolasi pada 0, 7, 14, 21 dan 28 hari dan secara
keseluruhan didapat 14 isolat bakteri dan 10 isolat jamur. Keberadaan isolat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Pada semua perlakuan dan waktu pengkomposan ditemukan 6-12 macam isolat bakteri dan jamur.
Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pengkomposan melibatkan
banyak jenis mikroorganisme (heterofermentatif). bakteri maupun jamur.
Pada Kontrol ternyata juga didapat isolat
Hal ini menunjukkan bahwa secara alami bakteri dan jamur tersebut
terdapat di lingkungan sekitar dan bila kondisi proses optimal maka organisme tersebut akan aktif mendegradasi bahan organic dalam tumpukan bahan kompos. Beberapa isolat ditemukan pada ketiga A2, A3, A4, A6, A8, A10, A11, B1 dan B7.
perlakuan inokulum yaitu isolat dengan kode
Beberapa isolat hanya ditemukan pada perlakuan
Kontrol dan Isolat Kotoran Gajah yaitu A1, A12, A13, B4 dan B5.
Isolat A5 dan B3 hanya
terdapat pada perlakuan Isolat Kotoran Sapi saja dan B2 hanya terdapat pada perlakuan Isolat Kotoran Gajah saja. Keberadaan isolat pada proses pengkomposan dengan inokulum Isolat Kotoran Sapi, Kotoran Gajah dan Kontrol ISOLAT KONTROL ISOLAT ISOLAT NISBA KOTORAN KOTORAN SAPI H GAJAH 7 14 21 28 7 14 21 28 7 14 21 28 Z/K hari A1 A A A A A A A 1,25 A2 A A A A A A A A 1,13 A3 A A A A A A A A A A 1,15 A4 A A A A 1,24 A5 A 1,10 A6 A A A A A 1,21 A7 A A A A A 1,10 A8 A A A A A A A A A 1,11 A9 A A A 1,15 A10 A A A A A A A 1,07 A11 A A A A A A A 1,16 A12 A A 1,49 A13 A A 1,16 A14 A 1,08 B1 A A A A A A A A A A A 1,22 Tabel 1.
ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-60
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 TOTAL
A A A
A
7
A
7
A
A
A A
A
A
A
8
8
6
A A 10
A A 10
A
A
A
A
8
A 11
A 8
A A 12
11
1,44 1,21 1,14 1,13 1,19 1,21 1,18 1,27 1,00
Keterangan : A= ada Berdasarkan keberadaanya, beberapa isolate ditemukan secara konsisten selama proses pengomposan yaitu isolate A1, A2, A3, A8, A10, A11, B1, B7, sedangkan beberapa isolate ditemukan hanya pada waktu tertentu yaitu isolate A4, A5, A12, A13, B3, B4, B5, B8, B10. 3.4. Uji Aktivitas Selulase Hasil pengujian aktifitas selulase isolat bakteri dan jamur dapat dilihat pada Tabel 1. Semua isolat yang didapat mempunyai aktivitas selulase dengan nilai nisbah zona bening/koloni sebesar 1,00 – 1,49. Angka ini relatif besar dibanding hasil penelitian Basuki dkk (1995) yang menemukan isolat dari sumber kebun kelapa sawit yaitu berkisar antara 1,00-1,13. Aktifitas selulase isolat bakteri rata-rata besarnya hampir sama dengan isolat jamur. Beberapa isolat mempunyai aktifitas selulase yang tinggi seperti A12 dan B2 masing-masing mempunyai nilai nisbah Z/K sebesar 1,49 dan 1,44.
Selain itu ada isolat yang konsisten
tumbuh selama proses pengkomposan dan mempunyai aktifitas selulase cukup tinggi seperti Isolat
B1, B7 dan A6.
Isolat-isolat tersebut tentunya perlu diuji lebih lanjut keunggulanya
dalam proses pengkomposan.
4.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1.
Penambahan inokulum Isolat kotoran sapi dan Isolat kotoran gajah menghasilkan kinerja proses pengkomposan yang lebih baik disbanding control. Kompos yang dihasilkan selama 40 hari pengomposan dengan penambahan inokulum Isolat kotoran sapi mempunyai CN ratio 25.
2.
Isolat yang didapat dari ketiga perlakuan adalah 14 isolat bakteri dan 10 isolat jamur. Sembilan isolate diantaranya terdapat pada ketiga perlakuan, 5 isolat hanya didapat pada kontrol dan isolate kotoran gajah, 2 hanya pada isolate kotoran sapid an 1 hanya pada isolate kotoran gajah. Setengah jumlah isolate ditemukan secara konsisten selama proses, setengahnya lagi hanya waktu tertentu ditemukan.
ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-61
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
3.
Aktivitas isolate yang didapat berkisar antara 1,00 – 1,49. Beberapa isolat mempunyai aktifitas selulase yang tinggi seperti A12 dan B2 masing-masing mempunyai nilai nisbah Z/K sebesar 1,49 dan 1,44.
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini terimakasih sebesar-besarnya kami sampaikan kepada PT GMP khususnya bagian Research & Development yang telah memfasilitasi penelitian ini, Bapak Ir.Remaja Sitepu yang telah membantu pemikiran dan pengawasan penelitian di lapang, Agustina dan Ash Sidiq yang banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Semoga semua bantuan tadi merupakan amal baik dan bermanfaat untuk masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA Basuki, I Anas, R.S. Hardioetomo dan T.Purwadaria. 1995. Isolasi dan Seleksi Kapang Termotoleran Penghasil Selulase untuk Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 3 (1). Cooperband, Leslie. 2002. Agricultural System.
The Art and Science of Composting Center for Integrated
Fardiaz, S. 1986. Mikrobiologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. http:/digilib.ac.id. Pemanfaatan Limbah untuk Bahan Bangunan. Santosa, I. 1993. 30 Januari 2007.
Diakses
Paturau, J. Maurice. 1982. By-product of the cane sugar industry. An introduction to their industrial utilization. Second edition. Elsevier Scientific Publishing Company, New York. Rahayu,, K.
1990.
Enzim Mikroba.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Sitepu, Remaja. 2006. Perbedaan antara Bagas Lama dan Bagas Baru jika digunakan sebagai Bahan Baku Kompos. Progresta edisi Oktober 2006. Sulistianingsih,. 2006. Teknik Pengomposan Limbah Padat Industri Gula dan Aplikasinya pada Lahan Pertanaman Tebu di PT GMP. Lampung Tengah. Laporan PU. Unila. Bandar Lampung. Winarno, F.G.
1995.
Enzim Pangan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yusnaini, S. 1996. Pengaruh Penambahan Inokulasi Cendawan Trichoderma dan Pencampuran Kotoran Ternak terhadap Kecepatan Pengomposan Limbah Padat Tebu. Unila. Bandar Lampung.
ISBN : 978–979–1165–74-7
IX-62