KAJIAN PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HIGHER ORDER THINGKING SKILLS) PADA KURIKULUM 2013 Nyai Cintang e-mail :
[email protected] Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang ABSTRAK Data PISA dan NCES menunjukkan bahwa tingkat pemahaman, pendalaman, dan penguasaan materi siswa di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain di wilayah benua asia. Tuntutan kompetensi generasi masa depan bahwa pembelajaran harus mampu menggali kemampuan berpikir tingkat tinggi. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan penyempurnaan substansi perubahan kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013 yang menggunakan pembelajaran tematik berbasis pendekatan saintifik. Bahan ajar memiliki posisi strategis dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Oleh karena itu, penyusunan bahan ajar harus memiliki karakteristik yang dapat meningkatan higher order thingking skills (HOTS). Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dilatih dan dikembangkan sejak pendidikan dasar. Pengembangan bahan ajar pada pendidikan dasar setidaknya harus memenuhi : (1) prinsip penyusunan bahan; (2) kaidah pembelajaran tematik saintifik; (3) dan memicu ranah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kata Kunci : bahan ajar, tematik, higher order thingking skills
339
PENDAHULUAN Programme for International Student Assessement (PISA) tahun 2009 menyatakan Indonesia berada pada urutan ke 61, 57, dan 60 dari 65 negara diukur dari kemampuan siswa pada bidang matematika, membaca dan sains. National Center for Educational Statistics, mempublikasikan kemampuan siswa Indonesia mengacu pada hasil PISA tahun 2012 bahwa hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai materi pelajaran sampai level 4 saja, sementara negara lain telah banyak yang mencapai level 5 dan 6. Pemaparan mendikbud (2013) tingkat pemahaman, pendalaman dan penguasaan materi siswa di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain di wilayah benua Asia. Sebagian besar kemampuan yang dikuasai siswa Indonesia hanya mampu mengukur kemampuan siswa pada tingkat melakukan dengan rata-rata prosentase 5%. Artinya, proses pembelajaran yang selama ini dilakukan belum mampu menggali kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi memberikan alasan dengan informasi yang lengkap, mengelola informasi, membuat generalisasi, dan menyajikan data. Anderson & Krathwohl (2001) mengklasifikasikan kemampuan berpikir tingkat tinggi mencakup kemampuan dalam cakupan dimensi proses menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan dengan dasar-dasar proses mengingat dan memahami yang baik. Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diwujudkan dengan menerapkan pendekatan saintifik menggunakan langkah-langkah ilmiah, yaitu mengamati, menanya, menalar, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi, dan meng-
komunikasikan. Rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi memicu adanya penyempurnaan kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013. Salah satu karakteristik kurikulum 2013 yakni menggunakan pembelajaran tematik dengan pendekatan saintifik. Penelitian Cintang, dkk (2015:238) “guru masih kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran tematik yakni dalam mengalihkan muatan pelajaran satu ke muatan pelajaran lain, agar nuansa pembelajaran tematik tidak pudar”. Nuansa pembelajaran tematik selaras dengan tahap perkembangan siswa sehingga memudahkan siswa untuk memperoleh pemahaman secara utuh. Kedudukan bahan ajar sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar merupakan sumber belajar yang disusun secara sistematis untuk menunjang pelaksanaan proses belajar mengajar secara maksimal. Proses pembelajaran yang selama ini dilakukan belum mampu menggali kemampuan siswa untuk memberikan alasan dengan informasi yang lengkap, mengelola informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah non-rutin, dan menyajikan data belum diterapkan sehingga siswa Indonesia tidak memiliki kemampuan tersebut. Hasil survey PISA memicu adanya perubahan substansi kurikulum yang menunjang terwujudnya seluruh kompetensi yang dimuat dalam kurikulum 2013. Oleh karena itu, diperlukan kajian bahan ajar yang dapat menunjang pembelajaran tematik sekaligus dapat memfasilitasi siswa untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, sehingga tujuan awal perubahan kurikulum 2013 dapat tercapai sesuai target. 340
PEMBAHASAN Definisi bahan ajar meurut Daryanto dan Dwicahyono (2014:171) “bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas”. Pusat Kurikulum (2008:7) “bahan ajar dapat dimaknai sebagai bentuk pengemasan, pemaparan, penjelasan tentang pengetahuan, pengalaman dan ilustrasi fakta secara sistematis dan logis yang dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran”. Dapat disimpulkan bahwa bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis, sehingga memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi secara utuh dan membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Bahan ajar tersebut memuat materi, pesan atau isi mata pelajaran yang berupa ide, fakta, konsep, prinsip, kaidah atau teori yang tercakup dalam mata pelatihan sesuai disiplin ilmu serta informasi lain dalam pembelajaran. Prastowo (2013:302) empat poin yang menjadi tujuan penyusunan bahan ajar, diantaranya sebagai berikut : (1) menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, yakni bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan setting atau lingkungan sosial peserta didik; (2) Membantu peserta didik dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping buku teks yang terkadang sulit diperoleh; (3) Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran; (4) Membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara guru dengan siswa karena siswa akan merasa lebih percaya kepada gurunya.
Bahan ajar merupakan sumber belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran. Pusat Kurikulum (2008:6) penyusunan bahan ajar didasarkan pada: (1) Prinsip relevansi, artinya materi pembelajaran hendaknya relevan atau ada kaitan atau ada hubungannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar; (2) Prinsip konsistensi atau ketetapan, artinya jika kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam; (3) Prinsip kecukupan, artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar. Pembelajaran pada kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran tematik dengan pendekatan saintifik. Oleh karena itu, penyusunan bahan ajar juga harus disesuaikan dengan pembelajaran tematik menggunakan pendekatan saintifik. Bahan ajar pada pembelajaran tematik tentunya berbeda dengan bahan ajar pada umumya. Karakteristik bahan ajar tematik harus disesuaikan dengan prinsip pembelajaran tematik. Prastowo (2013: 313) Bahan Ajar Tematik harus memunculkan berbagai karakteristik dasar pembelajaran tematik yaitu : (1) menstimulasi siswa agar aktif; (2) menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning); (3) menyuguhkan pengetahuan yang holistik (tematik); dan (4) memberikan pengalaman langsung (direct experiences) kepada siswa. Pusat Kurikulum (2008: 12) langkah-langkah yang dapat menjadi pertimbangan dalam mengembangkan bahan ajar adalah : 1. Memetakan dan menganalisis silabus secara lengkap. Langkah ini 341
berguna untuk memberikan dasar dan tujuan pembelajaran. Selain itu, silabus juga memberikan gambaran umum tentang identitas tema, kompetensi dan materi pokok yang akan dicapai dan dibahas serta proses pembelajaran untuk mencapai hal tersebut. Silabus akan membantu proses penataan struktur bahan yang akan disajikan dalam bahan ajar. 2. Merencanakan materi pokok atau substansi yang disusun dalam silabus kajian tambahan untuk mencapai suatu kompetensi dasar yang diinginkan. Struktur ini memberikan gambaran tentang arah dan konten serta proses pembelajaran yang diinginkan. Sekaligus memberikan gambaran utuh tentang kompetensi dan substansi kajian yang harus dikuasai. 3. Menulis gagasan pokok dari setiap materi pokok atau substansi kajian. Berdasarkan struktur kompetensi dan substansi kajian yang terdapat dalam silabus, pendidik dapat menuliskan garis besar uraian materi inti dari setiap substansi kajian inti sebagai penjelas dari substansi kajian menjadi awal pengembangan bahan ajar dari suatu proses pembelajaran yang dilakukan pendidik. 4. Menelaah gagasan pokok dari setiap materi pokok atau substansi kajian. Berdasarkan uraian pada langkah ketiga, pengembangan bahan ajar dapat dilanjutkan dengan menyusun dan menelaah berbagai ilustrasi penjelasan pada uraian pokok terdahulu. Ilustrasi penjelasan dapat memberikan pemahaman yang lebih kongkrit, jelas dan mendalam pada pembaca tentang berbagai konsep,
hukum, prinsip atau prosedur tertentu. 5. Menulis dan mengembangkan bahan ajar secara lengkap. Setiap gagasan pokok yang telah ditulis kemudian diuraikan secara terperinci dan jelas. Penulisannya dapat dilakukan dalam bentuk tekstual, naratif, eksplanatori, deskriptif, argumentatif dan perintah. 6. Menguji coba dan mengevaluasi keterbacaan, kecermatan isi dan perwajahan. Tahap uji coba ini merupakan proses untuk mengetahui efektifitas bahan ajar yang telah dikembangkan melalui beragam reaksi dari berbagai pihak terhadap bahan ajar tersebut. 7. Melakukan revisi. Proses evaluasi di atas diperlukan untuk memperbaiki bahan ajar, sehingga menjadi bahan ajar yang baik. Langkah-langkah pengembangan bajan ajar secara mutlak harus dilakukan dengan runtut. Sebelum melakukan uji coba sebaiknya dilakukan penilaian pakar terlebih dahulu untuk mengetahui mendapatkan masukan dan validasi pakar terhadap kelayakan bahan ajar. Pusat Kurikulum (2008:13) dalam memilih dan mengem-bangkan bahan ajar pada suatu mata pelajaran perlu diperhaikan beberapa persyaratan pokok, antara lain : 1. Kecermatan isi Suatu bahan ajar harus menujukkan kecermatan isi dalam struktur dan pemaparan yang memiliki landasan keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kecermatan isi merujuk pada validitas (ketepatan) bahan ajar dalam memberikan bahan secara logis, runtut dan dapat dipertanggung jawabkan secara 342
konseptual (keilmuan) maupun fakta secara empiris. 2. Ketepatan cakupan Ketepatan cakupan berhubungan dengan keluasan dan kedalaman materi yang dipaparkan sesuai dengan struktur materi pokok atau substansi kajian yang dikehendaki dari suatu materi perkuliahan secara utuh. 3. Keterencanaan bahan Keterencanaan bahan berkaitan dengan pemaparan, penyajian materi, ilustrasi, alat bantu, formating, penjelasan relevansi. Pemaparan bahan ajar seharusnya menyajikan materi dan berbagai ilustrasinya yang mudah dicerna dan dipahami oleh para pembaca. 4. Penggunaan Bahasa Bahan ajar yang baik seharusnya menggunakan gaya bahasa yang komunikatif, ringan dan mudah dipahami orang lain. Namun demikian, bahasa yang dipergunakan tetap menggunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. 5. Perwajahan atau Pengemasan Bagian yang tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan bahan ajar adalah perwajahan atau pengemasan bentuk dan isi. Pada bagian ini perlu diperhatikan penataan margins, pemaparan ilustrasi contoh serta penempatan data (seperti tabel, grafik dan sebagainya). Perubahan proses pembelajaran kurikulum 2013 yaitu pada proses pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thingking). Thomas dan Throne (2009) dalam the center of development and learning memaparkan bahwa : “Higher order thinking (HOT) is thinking on a level that is higher than memorizing facts or telling something
back to someone exactly the way it was told to you. HOT takes thinking to higher levels than restating the facts and requires students to do something with the facts — understand them, infer from them, connect them to other facts and concepts, categorize them, manipulate them, put them together in new or novel ways, and apply them as we seek new solutions to new problems. Artinya, HOT adalah berpikir pada tingkat yang lebih tinggi dari pada menghafal fakta-fakta atau menceritakan kembali kepada seseorang sama persis seperti yang dikatakan sebelumnya. HOT membutuhkan berpikir untuk tingkat yang lebih tinggi dari pada menegaskan kembali dan menuntut siswa untuk melakukan sesuatu dengan fakta-fakta, memahami-nya, menarik kesimpulan, meng-hubungkannya dengan fakta dan konsep-konsep lain, mengelompokkan, memanipulasi, menempatkan mereka bersama-sama dengan cara baru atau memiliki nilai kebaruan dan menerapkannya dengan mencari solusi baru untuk masalah baru. Tran Vui (2001:5) mendefinisikan kemampuan berpikir tingkat tinggi sebagai berikut: “Higher order thinking occurs when a person takes new information and information stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing situations”. Artinya, kemampuan berpikir tingkat tinggi akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan informasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan meng-hubunghubungkannya serta menata ulang dan mengembangkan 343
informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan ataupun menemukan suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan. King, Goodson, dan Rohani pada artikel yang dipublikasikan oleh Educational Services Program (2008:1) mendefinisikan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi : “Higher order thinking skills include critical, logical, reflective, metacognitive, and creative thinking. They are activated when individuals encounter unfamiliar problems, uncertainties, questions, or dilemmas. Successful applications of the skills result in explanations, decisions, performances, and products that are valid within the context of available knowledge and experience and that promote continued growth in these and other intellectual skills. Higher order thinking skills are grounded in lower order skills such as discriminations, simple application and analysis, and cognitive strategies and are linked to prior knowledge of subject matter content. Appropriate teaching strategies and learning environments facilitate their growth as do student persistence, selfmonitoring, and open-minded, flexible attitudes”. Artinya, kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif. Mereka aktif ketika individu mengalami masalah yang tidak dikenal, ketidakpastian, pertanyaan, atau dilema. Keberhasilan penerapan keterampilan ini menghasilkan penjelasan, pengambilan keputusan, pertunjukan, produk yang berlaku dalam konteks pengetahuan dan pengalaman yang tersedia, meningkatkan pertumbuhan secara
berkelanjutan serta keterampilan intelektual lainnya. Kemampuan berpikir tingkat tinggi yang didasarkan pada keterampilan yang lebih rendah seperti diskriminasi, aplikasi sederhana dan analisis, dan strategi kognitif dan terkait dengan pengetahuan sebelumnya dari isi mata pelajaran. Strategi dan lingkungan pengajaran yang tepat memfasilitasi pertumbuhan mereka seperti halnya ketekunan siswa, pemantauan diri, berpikiran terbuka, dan sikap fleksibel. Salah satu ciri dari Kurikulum 2013 yakni menggunakan pembelajaran tematik. Prastowo (2013:117) model pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema-tema tertentu. Model pembelajaran tematik adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran, sehingga dapat memberi pengalaman bermakna pada siswa. Nuansa pembelajaran tematik selaras dengan tahap perkembangan siswa sehingga memudahkan siswa untuk mencapai kompetensi secara utuh. Kemendikbud (2013) “proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, ketrampilan dan pengetahuan peserta didik. Pendekatan ilmiah yang dimaksud adalah pendekatan saintifik. Pendekatan Scientific dalam pembelajaran dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran”. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tentu membutuhkan sumber belajar. Bahan ajar merupakan sumber belajar yang 344
disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan oleh guru sebagai penunjang kegiatan pembelajaran. Pengembangan bahan ajar perlu disesuaikan dengan karakteristik kemampuan berpikir tingkat tinggi, agar hakikat awal perubahan kurikulum 2013 dapat tercapai. Penerapan kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dimulai dari jenjang pendidikan dasar. Sekolah Dasar merupakan landasan awal pelaksanaan pendidikan, sehingga perlu menerapkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, karena kemampuan ini diperoleh dari proses berlatih. Hal tersebut didukung oleh Marzano, dkk. (2008) bahwa “kemampuan berpikir siswa dapat dikembangkan secara berkelanjutan sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang akan muncul dalam kehidupannya sehari-hari. Siswa yang dilatih kemampuan berpikir sejak awal akan lebih mudah berkembang kemampuan berpikirnya pada jenjang sekolah selanjutnya. Kemampuan berpikir ini dapat dikembangkan dan dilatihkan pada siswa sejak awal”. Resnick (1978: 8) memaparkan “Indeed, research suggests that failure to cultivate aspects of thingking such as those listed in our working definition of higher order skills may be the source of major learning difficulties even in elementary school”. Penelitian tersebut menjadi pertimbangan dalam menentukan standar proses dan standar kompetensi lulusan siswa sekolah dasar. Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar disesuaikan dengan standar proses perluasan dan pendalaman taksonomi serta standar kompetensi lulusan siswa sekolah dasar. Krathwohl, D. (2002: 214) dalam Taylor & Francis, Ltd. “merevisi
level taxonomi bloom menjadi remembering, understanding, applying, analysing, evaluating, creating”. Dafik (2014) “Remembering, understanding, applying dikategorikan dalam recalling dan processing, sedangkan analysing dan evaluating dikategorikan dalam critical thinking dan yang terakhir creating dikategorikan dalam creative thinking”. Anderson & Krathwohl (2001) menguraikan bahwa “kemampuan berpikir mencakup dimensi proses mengingat (remember), mengerti (understand), menerapkan (apply); kemampuan menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate); dan menciptakan (create). Berdasarkan klasifikasi ini, kemampuan berpikir tingkat tinggi mencakup kemampuan dalam cakupan dimensi proses menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan dengan dasar-dasar proses mengingat dan memahami yang baik”. Pengembangan bahan ajar harus memperhaikan dimensi proses menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan. Disarikan dari Yulianti (2013) menguraikan dimensi proses pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, sebagai berikut : (1) menganalisis, diharapkan siswa mampu menganalisa informasi, mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibatnya dari masalah tersebut sehingga mereka bias mengidetifikasi dan merumuskan pertanyaan pada masalah tersebut; (2) mengevaluasi, diharapkan mereka mampu memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, membuat hipotesis, mengkritik, menerima dan menolak suatu pernyataan berdasarkan masalah tersebut; (3) menghasilkan karya siswa mampu mengkresikan, membuat generalisasi suatu ide, dan meng345
organisasikan merancang suatu cara dalam menyelesaikan masalah” leh karena itu, pengembangan bahan ajar dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi haruslah mencantumkan kegiatan yang dapat menstimulus siswa, pada dimensi mengingat, mengerti, menerapkan agar siswa mampu mencapai tahapan berpikir tingkat tinggi hingga pada dimensi menganalisis, mengevaluasi, menciptakan. Krathwohl (lewy, 2009:16) menyatakan bahwa indikator keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi: 1. Menganalisis : (a) Menganalis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya; (b) mengidetifikasi/ merumuskan pertanyaan; dan (c) Mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah permasalahan. 2. Mengevaluasi : (a) Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kreteria ; (b) yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektifitas atau manfaatnya; (c) Membuat hipotesis, mengkritik, dan melakukan pengujian; (d) Menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 3. Mengkreasi : (a) Membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap suatu masalah; (b) Merancang satu cara untuk menyelesaikan masalah; (c) Mengorganisasikan unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum ada sebelumnya. Rofiah, dkk. (2013: 18) “High Order Thinking Skill merupakan proses
berpikir yang tidak sekedar menghafal dan menyampaikan kembali informasi yang diketahui. Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan menghubungkan, memanipulasi, dan mentransformasi pengetahuan serta pengalaman yang sudah dimiliki untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam upaya menentukan keputusan dan memecahkan masalah pada situasi baru”. Pengembangan bahan ajar dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi juga harus memuat langkah-langkah agar siswa dapat menghubungkan antar konsep, membuat generalisasi dan menuntut siswa dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah disertai dengan fakta dan konsep yang ada. Kemampuan tersebut dapat dilatih menggunakan pendekatan ilmiah yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik terdiri dari langkah-langkah ilmiah berupa mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengelola informasi (menalar dan mengasosiasi) serta mengkomunikasikan. Diperkuat oleh Dafik (2014) “Pengembangan bahan ajar mengacu pada proses pembelajaran paling sedikit harus melibatkan pendekatan saintifik 5M, sedangkan dalam evaluasi soal-soal yang dikembangkan harus tidak hanya terbatas pada level applying namun sampai pada creating”. Selain itu, higher order thingking juga dapat dicapai melalui model pembelajaran berbasis masalah yang dapat menstimulus kemampuan berpikir siswa. Saraswati, dkk. (2011) menunjukan “keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa yang diajar dengan model PBL lebih tinggi dari pada siswa 346
yang diajar dengan pendekatan konvensional”. Widodo dan Kadrawati (2013) HOT ini akan lebih bagus jika dikaitkan dengan Problem Solving Instruction atau Problem-Based Instruction (PBI) karena muara dari pola berpikir tingkat tinggi adalah mampu menyelesaikan masalah. Pendekatan HOT siswa dapat diajak untuk aktif berpikir sehingga mereka juga aktif belajar, khususnya dalam pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kompetensi strategik supaya siswa mampu memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah sehingga mampu menyelesaikan persoalan atau masalah. Saat memecahkan masalah, siswa dapat menunjukkan kemampuan memahami masalah dengan baik, mengorganisasi data yang relevan, menyajikan masalah secara jelas, memilih pendekatan atau strategi pemecahan dan mampu menerapkan model pemecahan yang efektif”. Pengembangan bahan ajar dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada kurikulum 2013 juga harus memenuhi kaidah pembelajaran tematik yang holistik, integratif dan hierarkis dengan menggunakan pendekatan saintifik berupa mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring. Pemanfaatan bahan ajar selain dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi juda dapat membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran tematik sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. KESIMPULAN Jenjang pendidikan dasar merupakan landasan awal pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah
dasar perlu menerapkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, karena higher order thingking skills dapat dikembangkan dan dilatih pada siswa. Pengembangan bahan ajar untuk meningkatkan higher order thingking skills sebaiknya dikolaborasikan dengan model pembelajaran berbasis masalah, karena karena muara dari pola berpikir tingkat tinggi adalah mampu menyelesaikan masalah.Pengembangan bahan ajar dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada kurikulum 2013, hendaknya memperhatikan : 1. Penyusunan bahan ajar didasarkan pada prinsip : (a) Prinsip relevansi; (b) Prinsip konsistensi; dan (c) Prinsip kecukupan. 2. Bahan ajar pada kurikulum 2013 harus memenuhi kaidah pembelajaran tematik dan pendekatan saintifik, yaitu : (1) menstimulasi siswa agar aktif; (2) menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning); (3) menyuguhkan pengetahuan yang holistik (tematik); (4) memberikan pengalaman langsung (direct experiences) kepada siswa; (5) menggunakan langkah ilmiah meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring. 3. Bahan ajar dapat memfasilitasi siswa dalam meningkatkan Higher Order Thingking Skills mencakup ranah menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan. Pengembangan bahan ajar harus mampu menstimulus siswa dalam melakukan memahami fakta, mengelompokkan, menarik kesimpulan, menghubungkannya dengan fakta dan konsep lain, membuat generalisasi dan 347
menerapkannya dengan mencari solusi baru untuk masalah baru. DAFTAR PUSTAKA Anderson, LW dan Krathwohl, DR., 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. New York: Addison Wesley Longman Inc. Cintang, N., Irianto, S., dan Supriatna. 2015. Pengembangan Bahan Ajar Tematik Berbasis Scientific Untuk Siswa Kelas IV SD Tema Tempat Tinggalku Sub Tema Keunikan Daerah Tempat Tinggalku Pembelajaran 1. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dasar Dinaika Nilai Budaya Lokal Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Dasar Di Era Global. 29 Maret 2015. Purwokerto. Hal. 280-288. Dafik. 2014. Ketramilan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS). [Online]. Diakses pada http://dafik-fkipunej.org/berita-199-keterampilanberpikir-tingkat-tinggi-hots.html. (29 Januari 2015, 10: 02) Daryanto dan Dwicahyono, A. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media. Karthwohl. 2002. A revision of Bloom’s Taxonomy : An Overview. Taylor and Fracis. Theory into Practice Vol. 41, No. 4 pp 212-218. Taylor & Fracis, Ltd. Kemendikbud. 2013. Konsep Pendekatan Saintifik. Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjamin Mutu
Kemendikbud. 2013. Pembelajaran Tematik Terpadu. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. King, FJ., Goodson, L., and Rohani, F. 2008. Higer Order Thingking Skills : Definition, Teaching Strategies, Assessment. A publication of the Educational Service Program, now known as the Center for Advancement of Learning and Assessment. Lewy, 2009. Pengembangan Soal Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Pokok Bahasan Barisan dan Deret Bilangan Di Kelas IX Akselerasi SMP XAverius Maria. Palembang. Marzano, R.J., Brandt, R S., Carolyn, S.H., Jones, F.B., Presseisen, B.Z., Rankin, S.C., & Suhor C. 2008. Dimension of Thinking: A framework for Curriculum and Instruction. Alexandria: ASCD. OECD. (2012). PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know. OECD Publishing. Prastowo, A. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Tematik Panduan Lengkap Aplikatif. Yogyakarta : DIVA Press. Pusat Kurikulum. 2008. Pengembangan Model Bahan Ajar Paket A Tingkat I. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Resnick, L. 1987. Education and Learning To Think Committe on Mathematics, Science, and Technology Education. Washington, D.C: National Academy Press. Rofiah, Emi., Aminah, N.S dan Ekawati, E.Y. 2013. 348
“Penyusunan Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika pada siswa SMP”. Jurnal Pendidikan Fisika, Vol. 1, No. 2, halaman 17-22 Saraswati, E. dkk. 2011. “Problem Based Learning, Strategi Metakognisi, dan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa”. Jurnal Tekno-Pedagogi, Vol.1 No.2 Sukini. 2012. “Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar Kelas Rendah dan Pelaksanaannya”. Jurnal Magistra., Vol. 24, (82). Sutari,S. 2012. “Penggunaan Model Pembelajaran Terpadu Berbasis Tematik Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Calistung Pada Siswa Yang Mengalami
Keterlambatan Daya Tangkap Di Kelas II SD NO. 4 Benoa”. Jurnal Penelitian Pascasarjana Undiksha. Vol. 2, (1). Thomas, A., and Thorne, G. (2009). How To Increase Higher Order Thinking. Metarie, LA: Center for Development and Learning. Tran Vui. 2001. Effective Mathematics Teaching Strategies Inspiring Progressive Students: StudentCentered Approach. Penang. Malaysia: Recsam. Widodo, T. Dan Kadarwati, S. 2013. “Higher Order Thingking Berbasis Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan hasil belajar berorientasi pembentukan karakter siswa”. Jurnal Cakrawala Pendidikan, Vol. 32, (1) halaman 161-171
349