KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN (Styrax sp.) DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI SUMATERA UTARA
MARUARI SITOMPUL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) Di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Februari 2011
Maruari Sitompul NRP E151080061
ABSTRACT MARUARI SITOMPUL. Studi on Incence (Styrax sp.) Forest Management at Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province. Under direction of LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT. Incense gum as non timber forest product has high economic value and used as raw material for perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, soaps and ciggaret industry. The incense forest need to be developed to increase farmer’s income. The purpose of this study is to identify social, economic and ecological aspect, to identify incense forest management problems and to formulate strategies for developing incence forest management. The research was conducted in Simarigung and Sampean Villages, Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province from May to August 2010. Incense forest management is a part of culture and local people knowledge. Incense forest has social, economic and ecological benefits. In average, farmers acquired income Rp 13,233,500/year (60.69% of total income) from incence. Result of SWOT analysis shows that to develop the incense forest, it is needed to reduce internal weakness and use or optimize opportunity throught strategies such as: intensify extension activities, forming farmer groups and/or cooperative, supervision of the incense gum marketing system, intensive farming system and the use of incense superior seedlings. Keywords: incence forest, non timber forest product, management, strategy, incomes
RINGKASAN MARUARI SITOMPUL. Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT. Getah kemenyan sebagai hasil hutan bukan kayu memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Namun sampai saat ini masih banyak permasalahan-permasalahan yang dialami petani kemenyan. Selain sistem pengelolaannya yang masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan, dalam hal pemasaran petani sering kali kurang menikmati hasil dari penjualan getah kemenyan. Tujuan penelitian ini yang pertama, yaitu mengkaji aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dari pengelolaan hutan kemenyan dijawab melalui analisa deskriftif. Sedangkan tujuan kedua dan ketiga, yaitu menganalisis permasalahan-permasalahan dan merumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. Penelitian dilaksanakan di Desa Simarigung dan Desa Sampean, Kec. Dolok Sanggul, Kab. Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara pada pertengahan Bulan Mei sampai Agustus 2010. Bentuk data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan wawancara, observasi langsung serta melalui studi pustaka. Jumlah petani kemenyan yang dijadikan sebagai responden sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang dari Desa Simarigung dan 30 orang dari Desa Sampean serta 14 orang informan kunci. Bentuk kearifan lokal nyata dapat dilihat dari pengelolaan hutan kemenyan. Petani mengetahui dan meyakini bahwa tidak semua pohon dapat disadap secara bersamaan. Kesalahan dalam memilih pohon konsekuensinya adalah hasil panen tidak maksimal bahkan terkadang pohon tersebut tidak mengeluarkan getah. Kebiasaan petani yang lain dan telah menjadi bagian dari pengelolaan hutan kemenyan bahwa sebelum melakukan penyadapan, harus terlebih dahulu melakukan pembersihan kulit batang yang dalam istilah lokal disebut dengan “mangguris”. Petani memiliki motivasi dan persepsi yang positif terhadap hutan kemenyan. Petani menyadari betul hutan kemenyan bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian tetapi lebih dari itu, keberadaan hutan kemenyan juga memberikan manfaat-manfaat ekologi dalam menjaga kualitas lingkungan. Pada kedua desa lokasi penelitian penggunaan lahan oleh masyarakat diperuntukkan sebagai tempat tinggal beserta pekarangannya, fasilitas umum, kebun, sebagian kecil sawah dan hutan termasuk di dalamnya hutan kemenyan. Rata-rata responden memiliki lahan seluas 1,31 ha dan untuk hutan kemenyan seluas 0,95 ha. Dalam satu hektarnya rata-rata petani kemenyan memiliki tanaman menghasilkan (TM) sebanyak 728 batang dengan produksi sebanyak 174 kg/ha/tahun. Petani responden memperoleh penghasilan rata-rata
sebesar Rp 21.641.900 dan sebesar Rp 13.233.600 (60,69%) diperoleh dari hasil penjualan getah kemenyan. Letak hutan kemenyan yang pada umumnya di daerah perbukitan menjadi penyangga terhadap daerah di bawahnya dan sekaligus menjadi daerah tangkapan air (catchment area). Hutan kemenyan sangat berperan dalam menjaga ketersediaan air bersih bagi masyarakat yang berdomisili disekitarnya. Sebagai tegakan hutan, tanaman kemenyan juga memiliki fungsi ekologi dalam menahan laju erosi oleh air hujan, mengendalikan banjir dan longsor. Disamping itu hutan kemenyan berperan dalam membentuk iklim mikro disekitarnya dan menjadi tempat tinggal atau habitat makro dan mikro organisme lainnya. Dengan menggabungkan nilai selisih antara kekuatan (strength) terhadap kelemahan (weakness). serta peluang (opportunity) terhadap ancaman (threat) pada diagram SWOT maka diketahui situasi pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel ketiga. Dari sisi eksternal memiliki peluang namun dari sisi internal memiliki kelemahan, sehingga strategi yang direkomendasikan adalah mereduksi kelemahan-kelemahan internal untuk dapat mempergunakan, mengoptimalkan dan merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain: (1) mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari dinas kehutanan terhadap petani kemenyan, (2) membentuk kelompok tani dan/atau koperasi di tingkat desa untuk menghindari spekulasi harga yang dilakukan oleh para agen pengumpul, (3) pengawasan terhadap sistem pemasaran getah kemenyan oleh pemerintah daerah untuk menghindari praktek-praktek monopoli, (4) pengelolaan hutan kemenyan dilakukan dengan sistem budidaya intensif dan (5) penggunaan bibit tanaman kemenyan unggul untuk meningkatkan produktivitas. Kata kunci: hutan kemenyan, hasil hutan bukan kayu, pengelolaan, strategi, penghasilan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN (Styrax sp.) DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI SUMATERA UTARA
MARUARI SITOMPUL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS
Judul
:
Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
Nama
:
Maruari Sitompul
NRP
:
E.151080061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Tanggal Ujian: 02 Februari 2011
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih dan rahmat-Nya yang selalu menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pemilihan judul tesis “Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi sumatera Utara” berangkat dari kerinduan dan keprihatinan atas kondisi hutan yang semakin lama semakin terdegradasi. Begitu juga dengan kondisi masyarakat yang berdomisili disekitar hutan yang semakin lama semakin terpinggirkan. Melalui tesis ini, penulis mencoba mengangkat kearifan lokal masyarakat di Sumatera Utara dalam mengelola hutan kemenyan yang sebenarnya memiliki prospek dalam meningkatkan kesejahteraan petani pengelolanya sekaligus menjamin terpeliharanya hutan secara lestari. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberi manfaat bagi kita semua.
Bogor,
Februari 2011
Maruari Sitompul
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sangat berperan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan beliau-beliau mustahil tesis ini akan selesai. Oleh karena itu dengan tulus ikhlas penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dukungan kepada penulis, khususnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, M.S., selaku Ketua Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 3. Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M. Sc. F, selaku Pembimbing Pertama dengan segala kesabaran, perhatian dan kemurahan hatinya untuk membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini. 4. Bapakr Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M. Sc. F, selaku Pembimbing Kedua atas segala kesabaran dan kemurahan hatinya dalam memberikan tambahan ilmu yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. 5. Bapakr Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS., selaku Dosen Penguji atas segala masukannya yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. 6. Bapak/ Ibu Dosen dan seluruh Civitas Akademika Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan yang selalu memberikan pelayanan ilmu pengetahuan kepada penulis. 7. Kedua orangtuaku Guntur Sitompul dan Erika Batubara serta seluruh keluarga atas dukungan semangat dan doanya. 8. Keluarga Ir. Bungaran Sinaga, M.Si dan Lisbeth Simanjuntak beserta seluruh keluarga atas dukungan semangat dan doanya. 9. Teristimewa buat istriku tercinta Rumondang Sri Gunawan Sinaga, S. Hut, M. Si dan anakku tersayang Jonathan AB Sitompul atas kesetian, kesabaran dan dukungan doanya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas belajar ini.
10. Pemerintah
Kabupaten
Dairi
yang
telah
memberikan
kesempatan
melaksanakan tugas belajar serta seluruh rekan-rekan kerja di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Dairi atas dukungannya. 11. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab. Humbang Hasundutan, terutama Saudara Maju H.O. Manik, S. Hut. dan Togu P. Sinurat, SP atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 12. Masyarakat Desa Simarigung dan Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul, Kab. Humbang Hasundutan, khususnya kepada Kepala Desa dan Petani Kemenyan atas kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 13. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya angkatan 2008 yang selalu memberikan semangat dan juga atas kebersamaannya selama melaksanakan tugas belajar.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumbul pada tanggal 21 September 2010 dari pasangan Guntur Sitompul dan Erika Batubara. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Untuk jenjang pendidikan SD dan SLTP, penulis menyelesaikannya di Sumbul sedangkan sekolah menengah umum diselesaikan di Medan, tepatnya di SMU Negeri 14 Medan. Setelah tamat dari sekolah menegah umum, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Kehutanan. Pada saat kuliah, penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan untuk ditekuni dan selesai pada tahun 2004. Pada tahun 2008 penulis memperoleh tugas belajar dari Pemerintah Kabupaten Dairi untuk mengikuti program magister di Institut Pertanian Bogor, Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan. Pada tahun 2006, penulis diterima jadi PNS di Pemerintahan Kabupaten Dairi dan ditempatkan sebagai staf di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Dairi, hingga sekarang. Penulis menikah pada tahun 2008 dengan Rumondang S.G. Sinaga dan telah dikaruniai satu anak, Jonathan AB. Sitompul.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
x
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................
5
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................
5
1.5 Kerangka Pemikiran.......................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
9
2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ...............................................
9
2.2. Hutan Kemenyan ..........................................................................
11
2.2.1. Budidaya Tanaman Kemenyan ............................................
11
2.2.2. Potensi dan Peluang Pasar Kemenyan .................................
13
2.2.3. Pemanfaatan dan Pengolahan Kemenyan ............................
15
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ......................................
17
2.3.1. Hutan Desa ...........................................................................
17
2.3.2. Hutan Kemasyarakatan ........................................................
19
2.3.3. Hutan Rakyat .......................................................................
21
2.4. Perumusan Strategi Pengembangan dengan Analisis SWOT .......
23
2.5. Analisa Finansial Kelayakan Usaha..............................................
26
III. METODOLOGI ...................................................................................
27
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................
27
3.2. Data dan Metode Pengolahan Data ...............................................
27
3.3. Penentuan Responden ...................................................................
28
3.4. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data..................................
29
3.5. Definisi Operasional .....................................................................
32
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ......................................
35
4.1. Kondisi Geografis .........................................................................
35
4.2. Kondisi Demografi........................................................................
36
4.3. Kondisi Hutan ...............................................................................
37
4.4. Penyebaran Hutan Kemenyan .......................................................
38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
39
5.1. Aspek Sosial Pengelolaan Hutan Kemenyan ................................
39
5.1.1. Karakteristik Petani Responden ...........................................
39
5.1.2. Status Kepemilikan Lahan ...................................................
43
5.1.3. Bertani Kemenyan sebagai Budaya dan Kearifan Lokal .....
44
5.1.4. Motivasi dan Persepsi Petani terhadap Hutan Kemenyan ...
46
5.2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Hutan Kemenyan ...........................
47
5.2.1. Pendapatan Petani responden ...............................................
47
5.2.2. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Pengelolaan Hutan kemenyan .............................................................................
49
5.2.3. Produktivitas Petani dan Hutan Kemenyan .........................
50
5.2.4. Pemasaran Getah Kemenyan ...............................................
51
5.3. Aspek Ekologi Pengelolaan Hutan Kemenyan .............................
52
5.4. Faktor Internal dan Ekternal Pengelolaan Hutan Kemenyan ........
56
5.4.1. Unsur Kekuatan (Strenght) ..................................................
56
5.4.2. Unsur Kelemahan (Weakness) .............................................
59
5.4.3. Unsur Peluang (Oppurtunity) ...............................................
61
5.4.4. Unsur Ancaman (Threath) ...................................................
63
5.5. Diagram SWOT Pengelolaan Hutan Kemenyan...........................
66
5.6. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Kemenyan ...............
67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................
71
6.1. Kesimpulan ...................................................................................
71
6.2. Saran .............................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
73
LAMPIRAN.................................................................................................
77
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Luas dan produksi kemenyan di Sumatera Utara tahun 2005...................
14
2. Standar lokal kualitas kemenyan...............................................................
16
3. Standar mutu berdasarkan sifat fisik dan kimia kemenyan.......................
17
4. Matrik Swot ..............................................................................................
26
5. Nama kecamatan beserta luasannya di Kabupaten Humbahas .................
35
6. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan ..........
37
7. Sebaran tanaman kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan ..........
38
8. Sebaran petani responden berdasarkan usia ..............................................
39
9. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan ......................
40
10. Luas rata-rata pemilikan lahan petani responden....................................
42
11. Sebaran petani responden berdasarkan kepemilikan luas kebun kemenyan ................................................................................................
43
12. Sebaran petani responden berdasarkan persepsi terhadap hutan kemenyan ................................................................................................
46
13. Sebaran petani responden berdasarkan pendapatan ................................
47
14. Pendapatan rata-rata petani responden berdasarkan desa .......................
47
15. Persentase pendapatan petani dari hutan kemenyan terhadap pendapatan total ......................................................................................
48
16. Analisa finansial pengelolaan hutan kemenyan per satuan hektar selama 50 tahun.......................................................................................
49
17. Unsur kekuatan dan nilai pengaruhnya ...................................................
58
18. Unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya ................................................
60
19. Unsur peluang dan nilai pengaruhnya.....................................................
62
20. Unsur ancaman dan nilai pengaruhnya ...................................................
65
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian .................................................................
7
2. Diagram SWOT ........................................................................................
24
3. Rantai pemasaran getah kemenyan ...........................................................
52
4. Sketsa tata letak hutan kemenyan berdasarkan topografi .........................
53
5. Hutan kemenyan produktif pada masa istirahat (a) dan masa panen (b) ..
55
6. Diagram SWOT strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan...
67
7. Matrik SWOT strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ......
70
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Karakteristik petani kemenyan .................................................................
77
2. Karakteristik pemilikan lahan ...................................................................
78
3. Produktivitas kemenyan ............................................................................
79
4. Sumber pendapatan rumah tangga petani responden ................................
80
5. Biaya pengelolaan budidaya kemenyan (Rp/Tahun) ................................
81
6. Analisis finansial kelayakan usaha pengelolaan hutan kemenyan ............
82
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang di dalamnya terkandung kekayaan alam yang melimpah. Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh bangsa Indonesia saja, bangsa-bangsa lain di dunia juga setuju dengan klaim ini bahkan menyebut hutan tropis Indonesia sebagai mega biodiversity. Sebutan ini diberikan berdasarkan fakta sebenarnya bahwa Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Republic Demokratic Congo) dimana di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati (Dephut 2007). Kekayaan alam yang terkandung di dalam hutan Indonesia seharusnya dapat diandalkan sebagai modal pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Sejak Indonesia merdeka hutan sudah dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan, namun kenyataanya masih banyak warga Indonesia yang tinggal di sekitar atau berdekatan dengan hutan hidup di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2010 sebanyak 64,23% penduduk miskin tinggal di pedesaan (Hamzirwan 2010) yang umumnya berdekatan dengan hutan. Dengan laju perusakan hutan yang mencapai 1,08 juta ha per tahun pada tiga tahun terakhir (Kemenhut 2010) sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya hutan yang berpaham antroposentris (Keraf 2006) dan timbulnya berbagai konflik di daerah akibat dari terpinggirkannya masyarakat lokal semakin memperjelas bahwa ada yang kurang dengan sistem pengelolaan hutan. Era baru pengelolaan hutan di Indonesia dimulai sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Selain mengakui keberadaan hutan hak dan memberi kesempatan kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan, juga memandang bahwa hutan sebagai sumberdaya memiliki multi fungsi, memuat multi kepentingan serta menghasilkan multi produk. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu produk hutan yang memiliki keunggulan dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait upaya pengembangan hasil hutan bukan kayu dimaksud. Dengan pengembangan hasil hutan bukan kayu baik yang berasal dari kawasan hutan maupun luar kawasan hutan melalui kebijakan pengembangan HHBK diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK serta menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan hutan, meningkatkan devisa sektor kehutanan bukan kayu dan terciptanya lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari komoditas HHBK (Dephut 2009). Selain itu dengan pengembangan hasil hutan bukan kayu ini diharapkan terjadinya optimalisasi pemanfaatan HHBK, yang meliputi jumlah jenis, bentuk dan tahap pengolahan serta mutunya dan terjadinya optimalisasi potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan dan lainnya yang dapat meningkatkan ekonomi lokal dan nasional. Sejalan dengan adanya upaya pemerintah pusat dalam mengembangkan HHBK, pemerintah daerah mendukung program tersebut dengan menggali semua potensi yang ada untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya. Humbang Hasundutan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, memiliki potensi sumberdaya alam untuk dikembangkan sebagai salah satu sentra produksi hasil hutan bukan kayu yaitu kemenyan. Kemenyan adalah sejenis getah yang dihasilkan oleh pohon kemenyan (Styrax spp) melalui proses penyadapan. Sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu getah kemenyan dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, kemenyan ditetapkan sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati yang masuk dalam kelompok resin.
Menurut Jayusman (1997) ada dua jenis kemenyan yang tersebar di Sumatera Utara, yaitu kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM) dan kamenyan durame (Styrax benzoin). Kedua jenis tanaman kemenyan ini termasuk Ordo Ebenales, Family Styraceae dan Genus Styrax. Sebaran hutan kemenyan di Sumatera Utara pada tahun 2007, Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas tanaman kemenyan yang terluas yaitu kurang lebih 16.359 ha, sementara Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki hutan kemenyan kurang lebih seluas 5.593 ha. Berbanding lurus dengan luasan tanaman kemenyan yang dimiliki, Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan juga merupakan dua kabupaten yang paling banyak memproduksi getah kemenyan. Pada tahun yang sama, Tapanuli Utara memproduksi sebanyak 3.634,12 ton dan Humbang Hasundutan sebanyak 1.403,23 ton (BPS Provinsi Sumatera Utara 2008). Berdasarkan luasan dan jumlah produksi, Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan merupakan dua kabupaten yang potensial untuk dijadikan sebagai sentra produksi dan pengembangan tanaman kemenyan di Provinsi Sumatera Utara. Di Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri yang merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara, sebaran tanaman kemenyan ditemukan pada 6 kecamatan dari 10 kecamatan. Kecamatan Dolok Sanggul merupakan kecamatan yang memiliki hutan dan atau kebun kemenyan paling luas, yaitu 1.618,5 ha diikuti Kecamatan Sijamapolang dengan luasan 1.150 ha (BPS Kab. Humbahas 2009). Masyarakat di daerah ini sudah sejak lama mengenal dan mengusahakan kemenyan sebagai sumber mata pencaharian. Menurut Affandi (2003) pemanfaatan kemenyan sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan sudah berlangsung sejak abab ke-17 dan dampak dari perdagangan kemenyan tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal. Melalui pengelolaan hutan kemenyan telah mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi rumah tangga petani kemenyan, yaitu sebesar 70%-75% (Simanjuntak 2000, diacu dalam Nurrochmat 2001). Namun sampai saat ini pengelolaan dan pengolahan kemenyan oleh masyarakat masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan.
Melihat ketersediaan sumberdaya yang ada, hutan kemenyan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sarana meningkatkan pendapatan petani kemenyan secara langsung dan meningkatkan perekonomian pedesaan secara tidak langsung. Selain sebagai sumber pendapatan, melalui pengelolaan hutan kemenyan dapat dijadikan sebagai sarana dalam melestarikan hutan melalui pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan manfaat dari hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan ini diperlukan penelitian-penelitian baik dari aspek ekologi maupun sosial-ekonomi petani pengelolanya.
1.2. Perumusan Masalah Pengelolaan hutan kemenyan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Kearifan ini muncul sebagai bagian dari cara masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan keberadaan atau eksistensinya bertahan sampai sekarang merupakan bukti bahwa sistem pengelolaan hutan kemenyan ini selain memiliki manfaat ekologi dan nilai-nilai sosial, juga mememiliki potensi dan prospek yang baik bila dilihat dari aspek ekonomi untuk dikembangkan ke depan. Namun sampai saat ini masih banyak permasalahan-permasalahan yang dialami masyarakat. Selain sistem pengelolaannya yang masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan, dalam hal pemasaran petani sering kali kurang menikmati hasil dari penjualan getah kemenyan karena menerima margin keuntungan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan pelaku pasar (pedagang pengumpul). Selain karena posisi tawar yang rendah, informasi harga dan pasar yang kurang menjadi penyebabnya. Disamping itu harga getah kemenyan sering mengalami fluktuasi terutama menjelang dan sesudah hari raya besar keagamaan (Jayusman 1997). Apabila
pengelolaan
hutan
kemenyan
berhasil
ditingkatkan
dan
dikembangkan yang ditandai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas getah kemenyan serta didukung harga penjualan yang baik akan memberikan dampak
positif khususnya terhadap petani kemenyan. Selain akan mengalami peningkatan pendapatan secara langsung bagi petani kemenyan, dampak yang lebih luas adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan perekonomian daerah. Kondisi kondusif seperti ini pada akhirnya akan menambah keinginan masyarakat untuk mengembangkan tanaman kemenyan sebagai sumber mata pencaharian. Sejalan dengan hal di atas, melalui pengelolaan hutan kemenyan akan mampu menciptakan kelestarian hutan berbasis masyarakat sesuai dengan visi dan misi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan kemenyan yang lebih baik dan memberikan manfaat yang lebih optimal baik terhadap sosial, ekonomi dan ekologinya, melalui kajian ini, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dan dijadikan sebagai permasalahan penelitian, antara lain: 1. Bagaimana kondisi pengelolaan hutan kemenyan yang ada sekarang? 2. Apa permasalahan yang dihadapi petani dalam pengelolaan hutan kemenyan saat ini? 3. Bagaimana upaya meningkatkan manfaat hutan kemenyan terhadap sosial, ekonomi dan ekologi petani kemenyan?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah: 1. Mengkaji aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari pengelolaan hutan kemenyan. 2. Menganalisa permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan hutan kemenyan. 3. Merumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.
1.4. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan manfaat-manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten dalam mengembangkan potensi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup berdampingan langsung dengan kawasan hutan.
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan usaha di bidang budidaya tanaman kemenyan dan menjadi referensi bagi pihakpihak yang ingin mengkaji lebih dalam upaya pengembangan kemenyan.
1.5. Kerangka Pemikiran Sistem pengelolaan hutan kemenyaan yang terjadi sekarang, mulai dari penanaman (regenerasi tanaman), pemeliharaan (perawatan), pemanenan getah, pengolahan getah pasca panen hingga pemasaran dikaji informasinya secara menyeluruh berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi baik dari petani kemenyan maupun para stake holder yang terlibat, seperti instansi pemerintah, swasta, akademisi, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Seluruh informasi yang meliputi aspek ekologi (manfaat hutan kemenyan terhadap tanah, air dan udara), ekonomi dan sosial ini dikelompokkan menjadi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Tentunya kekuatan dan peluang yang dimiliki menjadi faktor pendukung pengembangan pengelolaan hutan kemenyan dan sebaliknya kelemahan dan ancaman tentunya menjadi faktor penghambat dalam upaya-upaya pengembangan. Dengan menggunakan analisis SWOT diperoleh bagaimana rumusan strategi pengembangan
pengelolaan
hutan
kemenyan
ke
depan
dengan
cara
mengoptimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan mempergunakan kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal dari sistem pengelolaan hutan kemenyan, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji strategi terbaik yang dapat diterapkan dalam mengembangkan pengelolaan hutan kemenyan kea rah yan lebih baik. Secara diagram, kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
Pengelolaan Hutan Kemenyan
Aspek Sosial
Aspek Ekonomi
KEKUATAN PELUANG KELEMAHAN ANCAMAN
ANALISIS SWOT
STRATEGI PENGEMBANGAN
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Aspek Ekologi
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Hutan tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi hutan juga menghasilkan aneka ragam benda hayati lainnya berupa hasil hutan bukan kayu antara lain bambu, rotan, buah-buahan, rumput-rumputan, jamur-jamuran, tumbuhan obat, getah-getahan, madu, satwa liar, satwa elok, serta sumber plasma nuftah. Selain itu hutan juga menghasilkan jasa lingkungan berupa pengatur hidrologis, pembersih udara, jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan serta jasa perburuan (Supriadi 2003). Sesuai dengan Permenhut Nomor 35 Tahun 2007 tentang hasil hutan bukan kayu, bahwa yang dimaksud dengan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi HHBK nabati dan HHBK hewani dan masing-masing kelompok dibagi lagi, seperti yang diuraikan berikut ini: 1. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati, yaitu meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman dan yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: a. Kelompok resin, antara lain damar, gaharu, kemenyan, pinus, kapur barus; b. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kayu putih, kenanga; c. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan, antara lain buah merah, rebung bambu, durian; d. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca; e. Kelompok tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan; f. Kelompok palma dan bambu, antara lain rotan manau, rotan tohiti; g. Kelompok alkaloid antara lain kina. h. Kelompok lainnya, antara lain nipah, pandan, purun.
2. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) hewani, yaitu meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya yang berasal dari hewan dan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: a. Kelompok hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya). b. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu-kupu, rusa, buaya). c. Kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat sutera, lebah madu). HHBK dalam pemanfaatannya memiliki beberapa keunggulan dibanding hasil hutan kayu, sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan yang besar terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu. Pada umumnya pemanenan HHBK tidak dilakukan dengan menebang pohon melainkan dengan cara yang ramah lingkungan seperti dengan cara penyadapan, pemetikan, pemangkasan, pemungutan. Pemanfaatan HHBK dilakukan oleh masyarakat secara luas dan membutuhkan modal kecil sampai menengah. Dengan demikian pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan usaha pemanfaatannya dapat dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat. Teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan dan mengolah HHBK adalah teknologi sederhana sampai menengah. Bagian yang dimanfaatkan adalah daun, kulit, getah, bunga, biji, kayu, batang, buah dan akar cabutan. Dengan demikian pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan ekosistem hutan (Dephut 2009). Pemanfaatan HHBK memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemanfaatan HHBK saat ini masih terkendala beberapa faktor antara lain skala pemanfaatan HHBK masih rendah, dilakukan dalam skala kecil oleh petani, terbatasnya modal petani untuk mengembangkan HHBK, data dan informasi HHBK belum tersedia, pola pengembangan HHBK belum terfokus pada komoditas tertentu sehingga upaya pengembangan belum dilakukan secara intensif. Pemanfaatan HHBK masih bertumpu pada pemungutan dan belum berbasis pada budidaya sehingga kelestarian hasil HHBK belum terjamin. Di samping itu pemanfaatan HHBK belum didukung regulasi dan kewenangan yang jelas. Untuk mengembangkan HHBK agar lebih intensif maka kebijakan dan strategi pengembangan dilakukan
secara selektif terhadap jenis tertentu yang ditetapkan melalui penetapan jenis unggulan dilakukan pada sentra wilayah tertentu. Permasalahan yang terkait dengan produk HHBK yang saat ini mendesak untuk diperhatikan secara serius adalah terjadinya penurunan potensi sebagai akibat adanya pemanfaatan dan belum dikuasainya teknologi budi daya yang tepat. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan produk HHBK untuk memasok kebutuhan masyarakat, baik permintaan dari dalam maupun luar negeri (Dephut 2009).
2.2. Hutan Kemenyan 2.2.1. Budidaya Kemenyan Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, menetapkan bahwa kemenyan masuk dalam kategori hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati kelompok resin. Pada kelompok resin ini ada dua komoditi selain kemenyan, yaitu damar dan gaharu. Getah kemenyan diperoleh dari pohon kemenyan (Styrax spp) dengan cara penyadapan. Pohon kemenyan berukuran sedang sampai besar, diameter antara 20-30 cm dan tinggi mencapai 20-30 meter. Batangnya lurus, percabangannya sedikit dan kulit batangnya berwarna coklat kemerah-merahan. Tanaman kemenyan berdaun tunggal, tersusun spiral, dan berbentuk oval, yaitu bulat memanjang dan ujungnya meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat, dan lonjong (agak gepeng) dan di dalamnya terdapat biji berwarna coklat (Sasmuko 2003). Tempat tumbuh tanaman kemenyan bervariasi, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian tempat 60-2.100 meter dari permukaan laut. Tanaman kemenyan tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang istimewa. Tanaman ini dapat tumbuh pada jenis-jenis tanah: podsolik, andosol, lotosol, dan regosol. Kemenyan juga dapat tumbuh pada berbagai asosiasi lainnya, mulai dari tanah yang bertekstur berat sampai ringan, dan tanah yang kurang subur sampai yang subur. Selain itu, tanaman ini juga dapat tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi, yaitu yang mudah meneruskan atau meresapkan air. Tanaman Kemenyan termasuk jenis tanaman setengah toleran. Anakan kemenyan memerlukan naungan sinar matahari dan setelah dewasa, pohon
kemenyan memerlukan sinar matahari penuh. Selain itu, untuk pertumbuhan optimal kemenyan memerlukan curah hujan yang cukup tinggi, dan intensitas merata sepanjang tahun (Sasmuko 2003). Budidaya tanaman kemenyan diawali dengan pengambilan benih kemenyan dari pohon induknya. Kriteria pohon induk kemenyan adalah : bergetah banyak dan berkualitas baik; bebas hama dan penyakit; berbatang lurus dan silindris; bertajuk normal dan baik; serta bercabang sedikit dan berbatang bebas cabang relatif tinggi. Buah kemenyan yang dipilih untuk benih adalah yang masak dan berwarna coklat tua. Pembuatan bibit kemenyan dilakukan dengan cara: persemaian dan cabutan anakan dari permudaan alam. Cara lainnya, yaitu: stump, stek dan kultur jaringan masih dalam tahap penelitian pihak-pihak terkait. Persemaian merupakan cara yang mudah dilakukan. Awalnya benih kemenyan ditabur pada bedeng tabur. Setelah berkecambah, kemudian dipindahkan pada polybag dan dipelihara sampai bibitnya siap tanam di lapangan. Sebelum penanaman bibit kemenyan, terlebih dahulu dilakukan persiapan lapangan, yaitu membuat jalur tanam dan lubang tanam. Jarak tanamnya disesuaikan dengan kondisi tanah dan kelerengan lahannya. Karena setengah toleran, anakan kemenyan yang ditanam di tempat terbuka harus diberi naungan. Anakan kemenyan bisa juga ditanam di bawah pohon lainnya, misalnya di bawah pohon durian dan kaliandra Menurut Sasmuko (2003), pohon kemenyan yang berdiameter lebih kurang 20 cm sudah bisa disadap kemenyannya. Sebelum penyadapan kemenyannya, terlebih dahulu tumbuhan di sekitar pohonnya dibersihkan telebih dahulu dengan parang. Begitu juga tumbuhan yang melekat pada kulit pohonnya, dibersihkan dengan “guris”. Penyadapan kemenyan dilakukan pada bagian pohon yang berada di bawah bagian tajuk yang berdaun hijau muda dan rindang. Mulamula kulit ditakik (dicongkel sampai sedikit terangkat, dan tidak sampai lepas) dengan “panuktuk” alat pemukul, lalu, permukaan kulit ini dipukul-pukul dengan gagang “panuktuk” sebesar lingkaran lubang penyadapan yang diharapkan. Setelah 2-3 bulan, umumnya dalam takikan ini sudah terdapat kemenyan, dengan menggunakan “agat” alat pemanen, kulit (yang menutup) takikan dibuka untuk mengambil kemenyan dari lubang takikan.
Pemeliharaan penyiangan,
tanaman
pendangiran,
kemenyan
penyulaman,
yang
biasa
pemupukan,
dilakukan
adalah:
penjarangan,
dan
perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama, kedua dan ketiga. Penjarangan pohon pelindung perlu dilakukan secara bertahap untuk memberi ruang tumbuh lebih luas kepada tanaman kemenyan, agar memperoleh banyak sinar matahari. Kemenyan hasil sadapan yang masih bercampur aduk dengan kulit pohon kemenyan, selanjutnya disortir menjadi empat golongan, yaitu: mata kasar, mata kacang/mata halus, “jurur” dan “tahir”. Golongan pertama harganya lebih mahal dan golongan selanjutnya lebih murah. Selain itu, dikenal juga kemenyan tampangan, yaitu kemenyan yang dicampur dengan damar. Pengolahannya melalui pemanasan, pencampuran dan pencetakan. Perbandingan campurannya disesuaikan dengan permintaan konsumen/pembeli (Sasmuko 2003).
2.2.2. Potensi dan Peluang Pasar Kemenyan di Sumatera Utara Sebelumnya telah disampaikan bahwa Sumatera Utara memiliki dua jenis kemenyan yang telah dikenal, yaitu Styrax sumatrana ”J.J.SM” atau yang dikenal dengan nama kemenyan toba dan Styrax benzoin “DRYAND” yang dikenal dengan nama kemenyan durame. Secara umum kedua jenis tersebut dibedakan berdasarkan aroma yaitu getah kemenyan toba beraroma lebih tajam dibandingkan dengan kemenyan durame. Secara botani kedua jenis tersebut juga dapat dibedakan dari bentuk dan ukuran daun serta buahnya. Kemenyan durame mempunyai ukuran daun lebih besar dan berbentuk bulat memanjang (oblongus). Di antara kedua jenis ini, kemenyan toba lebih banyak diproduksi oleh masyarakat karena harga jualnya di pasar lokal lebih tinggi (Sasmuko 1998). Pada awal abad 20-an yaitu sekitar 1910, produksi kemenyan Tapanuli Utara sekitar 1.200 ton, kemudian naik menjadi sekitar 2.300 ton pada tahun 1930 dan pada tahun 1950 produksi meningkat menjadi sekitar 3.400 ton. Luas tanaman kemenyan pada tahun 1990 adalah lebih kurang 22.793 ha. Kabupaten Tapanuli Utara memiliki tanaman paling luas yaitu 21.119 ha dengan produksi sekitar 4.000 ton. Pada tahun 1993 luas tanaman kemenyan di Tapanuli Utara adalah 17.299 hektar dengan produksi 3.917 ton (Sasmuko 2003). Pada tahun 2007 data
luasan dan jumlah produksi hutan kemenyan di Provinsi Sumatera Utara seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Luasan dan produksi getah kemenyan di Provinsi Sumut tahun 2007 No Kabupaten 1
Tapanuli Tengah
2
Tapanuli Utara
3
Luas (ha)
Produksi (ton)
5,00
1,35
16.395,00
3.634,12
Toba Samosir
370,75
54,06
4
Dairi
213,00
107,29
5
Humbang Hasundutan
5.593,00
1403,23
6
Pakpak Bharat
1.501,20
860,80
Total
24.077,95
6.060,89
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, 2008
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan merupakan dua kabupaten yang memiliki luasan hutan kemenyan terbesar dan potensial untuk dikembangkan menjadi sentra produksi getah kemenyan di Sumatera Utara. Penggunaan getah kemenyan di dalam negeri sebagian besar untuk bahan baku industri rokok dan dupa dan pemasarannya terutama ke pulau Jawa. Sementara untuk pemasarannya ke luar negeri antara lain: Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Jepang UEA, Switzerland, Perancis dan USA. Produk kemenyan yang dipasarkan biasanya kemenyan yang sudah diolah atau kemenyan tampangan, namun ada juga dalam keadaan mentah (Yuniandra 1998). Getah kemenyan merupakan komoditi ekspor yang memiliki peminat di pasar internasional. Harga dan peluang pasarnya yang cukup prospektif seharusnya memberikan motivasi bagi berbagai pihak untuk mengembangkan tanaman kemenyan ini. Oleh karena itu, kemenyan diharapkan dapat dijadikan komoditi unggulan dalam pengembangan hutan rakyat dan hutan tanaman.
2.2.3. Pemanfaatan dan Pengolahan Kemenyan Potensi kemenyan cukup besar yang tersebar di beberapa daerah penghasil dan telah sekian lama dikenal masyarakat secara luas. Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat di beberapa daerah telah menjadi sumber pendapatan mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain itu, perdagangan kemenyan yang berlangsung sejak permulaan abad ke-17 telah membangkitkan pergerakan perekonomian masyarakat. Dampak dari perdagangan kemenyan tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal meskipun kontribusinya bagi pemerintah daerah belum signifikan (Sasmuko 1998). Sejak permulaan tahun 1985, perdagangan kemenyan di Tapanuli Utara terutama di tingkat petani mengalami penurunan. Masalah ini terjadi seiring dengan penurunan potensi kemenyan. Sistem tata niaga yang ada kurang menguntungkan petani dan harga kemenyan menjadi tidak stabil sehingga kurang merangsang petani untuk tetap mengusahakan kebun kemenyannya. Harga kemenyan di tingkat petani pada waktu itu berkisar Rp. 7.000 per kg tidak sebanding dengan biaya (cost) produksi sebesar Rp. 8.000 per kg. Kondisi ini menyebabkan beralihnya sebagian besar petani kemenyan menjadi petani tanaman semusim dan perkebunan. Kebun kemenyan menjadi terlantar dan sebagian telah dikonversi untuk tanaman perkebunan. Petani yang masih bertahan adalah mereka yang tidak memiliki pilihan usaha lain. Jumlah petani kemenyan di Tapanuli Utara pada tahun 1990 adalah 18.098 KK sedangkan pada tahun 2001 menjadi 28.320 KK (Sasmuko 2003). Kemenyan hanya dihasilkan dari provinsi Sumatera Utara dan sampai saat ini belum ada daerah lain di Indonesia yang menghasilkan komoditi serupa. Pengelolaan kemenyan di Sumatera Utara sebagai sentra produksi nasional relatif belum dilakukan secara optimal dan cenderung mengalami penurunan potensi dan nilai ekonomis pada dasawarsa terakhir ini. Penurunan ini mengakibatkan berkurangnya produksi dan pendapatan petani kemenyan yang dapat mengancam kelangkaan komoditi ini di masa yang akan datang (Sasmuko 1998). Pengolahan kemenyan saat ini masih dilakukan secara tradisional tanpa ada pengolahan lanjut dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas. Kemenyan
yang dipasarkan baik lokal maupun ekspor pada umumnya masih berupa bahan mentah (raw material). Pengolahan kemenyan menjadi bentuk barang setengah jadi (semifinal goods) atau barang jadi (final goods) berupa hasil-hasil ekstrak sesuai dengan kandungan kimianya belum ada industri yang melakukannya di Sumatera Utara. Pemanfaatan kemenyan yang diketahui oleh masyarakat secara umum masih terbatas pada penggunaannya untuk industri rokok dan kegiatan tradisional atau religius (Sasmuko 2003). Pohon kemenyan merupakan satusatunya jenis pohon yang menghasilkan getah yang mengandung senyawa asam balsamat. Senyawa ini digunakan secara luas dalam industri farfum dan kosmetik. Kegunaan getah kemenyan secara tradisional adalah sebagai bahan pembantu dalam kegiatan-kegiatan ritual dan industri rokok. Sedangkan sebagian besar kegunaan lainnya adalah sebagai bahan baku dalam industri antara lain industri parfum, farmasi, obat-obatan, kosmetik, sabun, kimia dan industri pangan. Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin yang digunakan sebagai fixative agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri farmasi, antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoat, sodium benzoat, benzophenone, dan ester aromatis (Sasmuko 1995). Perdagangan kemenyan di dalam negeri telah mengenal penggolongan kualitas baik lokal maupun standar kualitas kemenyan nasional menurut SII. 2044-87. Kualitas lokal hanya berlaku untuk perdagangan kemenyan toba bukan durame. Sedangkan kemenyan durame tidak terbagi dalam kelas kualitas karena bukan komoditi utama yang diperdagangkan (Sasmuko 1995). Tabel 2. Standar lokal kualitas kemenyan Mutu
No
Kualitas
1
Warna
Putih
Ukuran (cm)
2
I
II
III
IV
Putih
Putih
Coklat
kekuningan
kekuningan
kemerahan
L:3–4
L:2–3
L:1–2
L : 0,5 – 1
P:5–6
P:3–5
P:2–3
P:1–2
Sumber : Sasmuko (1995)
Abu Campur Bentuk kerikil-pasir
Tabel 3. Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan No
Kualitas
1
Mutu I
II
III
IV
Abu
Kadar Asam Balsamat (%)
33,2
32,7
25,3
21,8
20,1
2
Kadar Air (%)
1,56
1,75
2,35
2,19
2,29
3
Kadar Abu (%)
0,99
0,91
1,48
1,44
1,52
4
Kadar Kotoran (%)
2,89
3,44
12,0
11,2
12,5
58,9
59,3
64,3
65,7
57,8
5
0
Titik Lunak ( C)
Sumber : Sasmuko (1995)
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan upaya dalam membangun kerjasama sinergis antara masyarakat dan pemerintah dalam mengelolala sumberdaya hutan. Diharapkan dari pola pengelolaan ini, masyarakat tidak lagi merasa sebagai obyek dalam pengelolaan sumberdaya hutan melainkan berlaku sebagai subjek. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan pola ini, antara
lain:
mewujudkan
kelestarian
dan
keberlanjutan
fungsi
hutan,
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat (dan pemerintah daerah) setempat dalam pemanfaatan sumber daya hutan, peningkatan manfaat hutan serta distribusi manfaat sumber daya hutan yang berkeadilan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Pada pasal 84 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
2.3.1. Hutan Desa Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan pola hutan desa diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Dengan Permenhut ini, tentunya hasil yang ingin dicapai adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan sekaligus pemanfaatan sumber daya hutan secara bertanggung jawab oleh masyarakat yang memiliki
pengetahuan lokal tentang hutan dan mengerti arti penting hutan dalam kehidupan mereka. Dalam regulasi tentang Hutan Desa, penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota yang ditembuskan kepada Gubernur. Areal kerja hutan desa sendiri merupakan hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa. Sementara itu, aspek penentuan kriteria dilakukan oleh komponen pemerintahan, yaitu didasarkan atas rekomendasi dari Kepala Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. Partisipasi masyarakat dalam penetapan areal kerja hutan desa terbatas pada pengajuan permohonan Kepala Desa kepada Bupati/Walikota. Oleh karena itu, pada tingkat ini diperlukan keaktifan yang tinggi dari masyarakat untuk melakukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa. Kecil kemungkinan bagi masyarakat untuk melewatkan potensi pemanfaatan hutan yang ada di sekitar mereka, apalagi bagi masyarakat yang berinteraksi dengan hutan secara intensif. Agar dapat mengelola hutan dan kelestariannya secara lebih terorganisir, masyarakat desa perlu membentuk suatu kelompok yang memang dikhususkan untuk pengelolaan hutan desa. Aspek yang dicakup dalam penatausahaan hutan desa cukup luas, mulai dari tahap pengusulan penetapan areal hutan desa sampai dengan pengelolaan hutan desa itu sendiri. Karenanya diperlukan kompetensi yang memadai dari lembaga desa bukan hanya dalam aspek pengelolaan hutan, tapi juga dari segi administrasi dan hukum yang terkait (Dephut 2008). Selanjutnya dalam Dephut (2008) juga disebutkan bahwa pemerintah perlu melakukan fasilitasi untuk melancarkan tahap-tahap pembentukan lembaga desa dan meningkatkan kompetensinya. Kegiatan fasilitasi ini harus dimasukkan ke dalam program kerja Dinas Kehutanan Pemerintah Daerah setempat. Pemerintah diantaranya dapat melakukan bimbingan teknis tentang hal-hal yang mungkin belum diketahui secara umum oleh masyarakat desa, seperti penyusunan rencana kerja hutan desa dan pemberian informasi pasar dan modal. Masyarakat terutama harus diberitahu tentang manfaat hutan desa dan pengelolaannya. Selain itu,
masyarakat juga perlu dibantu agar dapat menyusun Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) dan Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD). Manajemen hutan lestari atau Sustainable Forest Management harus mampu mengakomodir tiga macam fungsi kelestarian, yaitu kelestarian fungsi produksi (ekonomi), kelestarian fungsi lingkungan (ekologi) dan kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat setempat. Ketiga hal ini akan diakomodir sekaligus dalam pengelolaan hutan desa. Masyarakat desa merupakan pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya hutan, karenanya kelestarian fungsi produksi dapat terjaga dengan mengedepankan pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal yang didukung penguasaan teknologi. Masyarakat desa bertempat tinggal di sekitar hutan dan secara otomatis merupakan bagian dari ekosistem hutan yang juga akan terpengaruh oleh perubahan-perubahan pada hutan, karenanya kelestarian fungsi lingkungan dapat terjaga dengan mempertahankan kesadaran masyarakat akan fakta tersebut. Ujung tombak pengelolaan hutan desa berada pada masyarakat. Kearifan lokal sangat dihargai dalam pola pengelolaan hutan desa sehingga adanya diversifikasi pola pengelolaan hutan desa di daerah yang berbeda merupakan suatu hal yang sangat mungkin dan ini merupakan hal yang positif. Ditambah lagi, pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa sebenarnya relevan dengan konsep konservasi hutan menurut ilmu pengetahuan modern. Kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari ini merupakan hal yang perlu dijaga agar tidak memudar, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan yang dapat dilaksanakan secara periodik dalam lembaga desa pengelola hutan. Dengan mendorong masyarakat desa untuk mengelola hutan desa secara optimal maka kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan juga akan terbangun dengan sendirinya.
2.3.2. Hutan Kemasyarakatan Untuk menguatkan posisi kebijakan ini dalam peraturan perundangan, maka sebagai payung hukumnya dimuat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Dalam peraturan perundangan ini yang dimaksud dengan Hutan kemasyarakatan adalah hutan
negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses
dalam
rangka
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
setempat.
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan bahwa kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan adapun azas yang dipakai adalah manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, musyawarah-mufakat dan keadilan. Ketiga azas ini harus dipegang teguh oleh masyarakat pengelola sebagai dasar peyelenggaraan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan pola hutan kemasyarakatan. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/MenhutII/2007 juga disebutkan bahwa penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dapat dilakukan oleh masyarakat setelah memperoleh izin dari Menteri Kehutanan yang dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan atau disingkat dengan IUPHKm. Izin ini bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan, dengan
demikian
izin
yang
berdurasi
35
tahun
ini
dilarang
untuk
dipindahtangankan, diagunkan atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan. Kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan hutan yang merupakan areal konsesi hutan kemasyarakatan seperti yang diatur
adalah pada hutan lindung, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu sedangkan pada hutan produksi, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha: budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung wallet, penangkaran satwa liar dan rehabilitasi hijauan makanan ternak. Sementara pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha, seperti: pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan, yang menjadi kewajiban dari masyarakat pengelola sebagai pemegang izin adalah melakukan penataan batas areal kerja, menyusun rencana kerja, melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi izin. Sementara yang menjadi hak dari pemegang izin antara lain: mendapat fasilitasi, memanfaatkan hasil hutan non kayu, memanfaatkan jasa lingkungan,
memanfaatkan kawasan, memungut hasil hutan kayu sedangkan
khusus untuk pemegang IUPHHK HKm berhak untuk menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya dan mendapat pelayanan dokumen sahnya hasil hutan sesuai ketentuan.
2.3.3. Hutan Rakyat Dalam rangka mensejahterakan masyarakat dan menjamin kelestarian hutan
Departemen
Kehutanan
meluncurkan
program-program
pelibatan
masyarakat dalam mengelola kawasan hutan negara serta di luar kawasan hutan negara atau di tanah milik. Program kehutanan di luar kawasan hutan negara tersebut adalah hutan rakyat yang sering disingkat dengan HR. Untuk menguatkan payung hukumnya pemerintah telah memuat program ini ke dalam peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/KptsII/1997 tanggal 20 Januari 1997 bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar. Hutan rakyat tumbuh atau berada pada areal lahan yang dibebani hak atas tanah yang dalam hal ini dibebani hak milik. Hutan rakyat sebenarnya telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang dilirik, hingga ditemukan fakta bahwa kekurangan bahan baku kayu untuk industri pertukangan dari hutan alam disuplai dari hutan rakyat (Hardjanto 2003). Selanjutnya hutan rakyat diarahkan sebagai salah satu upaya dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan saat ini hutan rakyat telah mampu memberi manfaat sosial ekonomi seperti dalam menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perdagangan kayu yang diproduksi. Hutan rakyat menyimpan potensi yang sangat besar dalam percaturan pengelolaan hutan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan dimasukkannya hitungan potensi hasil hutan rakyat dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin bertambah sejak terjadinya penurunan potensi hutan negara, baik yang berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman. Sebagaimana diketahui bahwa hutan rakyat pada umumnya diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Pendapatan dari usaha hutan rakyat masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan. Hal ini lebih disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan dan dilakukan pada lahan-lahan marginal yang kurang produktif bila ditanami dengan tanaman semusim.
Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa maka perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di pedesaan. Makin intensifnya pengelolaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat makin bertambah. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan dari maing-masing individu yang terlibat maka secara tidak langsung usaha hutan rakyat ini akan mampu mendongkrak perekonomian pedesaan. Selain hal diatas mengingat kehutanan dunia sedang mengampanyekan peningkatan luas kawasan hutan dunia, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia harus ikut berpartisipasi. Upaya yang dilakukan dikombinasikan dengan tujuan pemerintah yang diwujudkan dalam program Hutan Rakyat. Dengan demikian program ini dilucurkan dengan memiliki banyak ekspektasi, antara lain : 1. Sebagai sumber bahan baku industri kehutanan yang selama ini banyak dicukupi dari hutan alam. 2. Dengan adanya hutan rakyat diharapkan mampu mengurangi tekanan masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan. 3. Dengan adanya hutan rakyat memberi peluang kerja bagi masyarakat. 4. Hutan rakyat diharapkan sebagai adsorbsi atau penyerap emisi gas rumah kaca, kaitannya dengan pemanasan global (Hardjanto 2003).
2.4. Perumusan Strategi Pengembangan dengan Analisis SWOT Dalam mengembangkan pengelolaan hutan kemenyan diperlukan upayaupaya atau strategi pengembangan. Untuk merumuskan dan menghasilkan strategi dimaksud, ada beberapa cara, perangkat ataupun metode yang dapat dijadikan pilihan termasuk salah satunya dengan menggunakan Analisis SWOT. Analisis ini merupakan sebuah cara yang umum digunakan untuk merumuskan suatu strategi berdasarkan faktor-faktor yang terlibat ataupun yang mempengaruhi pada suatu rencana kegiatan. SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (ancaman). Menurut Rangkuti (2008) Analisis SWOT adalah upaya identifikasi berbagai faktor secara
sistematik untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang dimana secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Sementara menurut Start dan Hovland (2004), analisis SWOT merupakan sebuah alat perencanaan strategis yang klasik. Dengan mempergunakan kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji strategi terbaik yang dapat diterapkan. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif harus memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan bantuan analisis SWOT, perencana menjadi realistis terhadap apa yang akan dicapai dan pada bagian mana yang harus difokuskan.
PELUANG (O)
Sel 3
Sel 1
KELEMAHAN (W)
KEKUATAN (S)
Sel 4
Sel 2
ANCAMAN (T)
Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2008) Diagram SWOT merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif sementara kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Berdasarkan letak kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada diagram akan menentukan arah strategi yang akan digunakan dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan (Gambar 2). Pada diagram SWOT terdapat 4 (empat) sel sebagai hasil perpaduan
antara kekuatan-kelemahan dengan peluang-ancaman. Sel pertama merupakan situasi yang sangat menguntungkan dimana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat menggunakan peluang yang ada. Dalam situasi seperti ini strategi yang dipakai adalah mendukung kebijakan perkembangan yang agresif (support an aggressive strategy). Jika posisi rencana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel kedua, meskipun menghadapi berbagai macam ancaman namun masih memiliki kekuatan dari faktor internal. Strategi pengembangan yang diterapkan dalam kondisi seperti ini adalah dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (support a diversification strategy). Apabila posisi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel ketiga, berarti rencana memiliki peluang yang besar, tetapi juga menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat mempergunakan, mengoptimalkan ataupun merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Namun apabila rencana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada posisi sel keempat, berarti rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni memiliki kelemahan dari sisi internal dan menghadapi berbagai ancaman dari sisi ekternal. Dalam kondisi seperti pada sel keempat strategi yang diterapkan fokus pada strategi bertahan (support a defensive strategy). Masing-masing sel pada diagram SWOT memperlihatkan kondisi atau situasi yang berbeda, sehingga untuk rencana pengembangannya dibutuhkan strategi yang berbeda (rangkuti 2008). Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2008) mengemukakan bahwa alat lain yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengembangan berdasarkan faktor internal dan eksternal yang dimiliki yaitu matrik SWOT. Berdasarkan matrik SWOT, terdapat empat alternatif strategi yang tersedia yaitu strategi Strength-Opportunity, Weakness-Opportunity, Strength-Treaths dan Weakness-Treaths (Tabel 4). Sama halnya dengan menggunakan diagram SWOT, matriks SWOT menawarkan empat strategi berbeda pada empat situasi yang berbeda pula.
Tabel 4. Matriks SWOT Internal
Kekuatan
Kelemahan
Eksternal
(Strength)
(Weakness)
SO strategies
WO strategies
ST strategies
WT strategies
Peluang (Opportunity) Ancaman (Treaths)
2.5. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Menurut (Gittinger 1986), untuk menganalisis kelayakan usaha ada beberapa metode yang digunakan, antara lain: Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Konsep net present value merupakan metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat ini dari uang masuk dan keluar dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga yang disyaratkan. Kriteria penilaian adalah, jika NPV>0 maka usaha yang direncanakan dan jika NPV<0, jenis usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan. Metode analisa kelayakan usaha yang kedua adalah Benefit Cost Ratio (BCR) atau Profitability index. Metode ini memprediksi kelayakan suatu proyek dengan membandingkan nilai penerimaan bersih dengan nilai investasi. Apabila nilai BCR lebih besar dari 1 (satu) maka rencana investasi dapat diterima, sedangkan apabila nilai BCR lebih kecil dari 1 (satu) maka rencana investasi tidak layak diusahakan. NPV dan BCR akan selalu konsisten. Internal Rate of Return (IRR) dapat didefinisikan sebagai tingkat bunga yang akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai. Dengan kata lain, IRR adalah tingkat bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria penilaian digunakan tingkat bunga bank. Jadi, jika IRR lebih besar dari tingkat bunga bank, maka usaha yang direncanakan layak untuk dilaksanakan.
III. METODOLOGI 3.1. Waktu Dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, meliputi Desa Simarigung dan Desa Sampean yang merupakan bagian dari Kecamatan Dolok Sanggul. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kedua desa tersebut merupakan sentra pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, yaitu mulai dari pertengahan bulan Mei sampai Agustus 2010.
3.2. Data dan Metode Pengumpulan Data Penelitian ini sifatnya bukan eksperimental melainkan deskriptif eksploratif. Oleh karena itu pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian diperoleh dengan cara wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelum penelitian, observasi langsung serta melalui studi pustaka (Singarimbun dan Effendi 2006). Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara bertanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat panduan wawancara (Nazir 2005). Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder yang diuraikan sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner serta dari hasil observasi atau pengamatan langsung kegiatan-kegiatan responden di lapangan, meliputi: identitas responden, luas kebun/hutan kemenyan yang dimiliki responden, hasil panen persatuan waktu, penghasilan dari pengelolaan hutan kemenyan dan juga informasi lain yang berhubungan dengan pengelolaan hutan kemenyan.
2. Data Sekunder Data sekunder sifatnya sebagai data pendukung dan penunjang untuk melengkapi data primer. Data ini diperoleh melalui studi literatur ataupun studi pustaka. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi geografis, demografi keadaan sosial ekonomi masyarakat dan kajian-kajian ataupun penelitian-penelitian terkait tanaman kemenyan. Studi pustaka ini dilakukan pada instansi-instansi pemerintahan terkait, seperti: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Humbahas, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Humbahas, Bappeda Kabupaten Humbahas, serta Badan Penelitian Kehutanan Aek Nauli.
3.3. Penentuan Responden Objek dari penelitian ini adalah pengelolaan hutan kemenyan rakyat yang ada di Kabupaten Humbahas, Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu yang menjadi populasi sasaran penelitian ini adalah masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan hutan kemenyan dimaksud atau petani kemenyan. Jumlah petani kemenyan yang dijadikan sebagai responden sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang dari Desa Simarigung dan 30 orang dari Desa Sampean. Metode pemilihan responden dilakukan secara acak (random sampling), artinya setiap petani kemenyan yang ada di kedua desa tersebut memiliki peluang yang sama menjadi responden. Mengingat sistem pengelolaan hutan kemenyan di daerah ini cenderung homogen maka pengambilan dan penentuan jumlah responden dianggap sudah merupakan representasi dari petani pengelola hutan kemenyan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan. Selain responden dari petani kemenyan, wawancara mendalam (indepth interview) juga dilakukan dengan informan kunci atau orang-orang yang lebih memahami dan mengetahui tentang pengelolaan hutan kemenyan sebanyak 14 orang, yang terdiri dari 2 orang tokoh masyarakat, 2 orang kepala desa, 2 orang pedagang pengumpul di desa, 4 orang dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab. Humbahas, 2 orang dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara serta 2 orang peneliti dari BPK Aek Nauli. Informasi atau data yang diperoleh dari informan kunci ini melengkapi informasi-informasi yang sudah diperoleh dari
responden dan hasil studi literatur dalam melakukan analisa strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan (analisa SWOT).
3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-eksploratif maka dalam pengolahan datanya menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan secara jelas dan terperinci seluruh data yang diperoleh dari hasil penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu mengkaji aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari pengelolaan hutan kemenyan dijawab melalui analisis deskriptif. Data hasil penelitian ditelaah, dianalisa dan dideskripsikan secara detail. a. Aspek Sosial Data diperoleh melalui wawancara, observasi lapangan dan studi literatur
untuk menggali informasi-informasi yang berkaitan dengan aspek sosial, antara lain: umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, luas hutan kemenyan, hak kepemilikan (property right) lahan beserta pohonnya serta motivasi dan persepsi responden terhadap hutan kemenyan. b. Aspek Ekonomi Dalam penelitian ini aspek ekonomi yang ingin diketahui, yaitu jumlah pendapatan petani kemenyan baik yang diperoleh dari hutan kemenyan maupun dari sumber mata pencaharian lainnya, kontribusi pendapatan dari hutan kemenyan terhadap pendapatan petani kemenyan secara keseluruhan dan analisis kelayakan usaha sistem pengelolaan hutan kemenyan. Dalam menganalisa data, unit analisa yang digunakan adalah rata-rata dari masing-masing kelompok responden yang telah distratifikasi berdasarkan pemilikan kebun kemenyan. Khusus untuk menganalisis kelayakan usaha pengelolaan hutan kemenyan menggunakan parameter Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) dengan unit analisa ratarata dari keseluruhan responden (tanpa stratifikasi) per satuan hektar
selama 50 tahun. Adapun formula dari masing-masing parameter seperti yang ditampilkan di bawah ini (Gittinger 1986):
Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value)
Rasio Pendapatan dan Biaya (Benefit Cost Ratio) ∑ ∑
1 1
Internal Rate of Return (IRR)
1
0
Keterangan : NPV = Net Present Value BCR
= Benefit Cost Ratio
IRR
= Internal Rate of Return
Bt
= Komponen pendapatan pada tahun ke - t
Ct
= Komponen biaya pada tahun ke - t
t
= Umur tanaman (1,2,3… , n)
i
= Suku bunga (interest rate)
n
= Umur kemenyan sampai tidak produktif menghasilkan getah (n)
c. Aspek ekologi Sebagai tegakan hutan, keberadaan hutan kemenyan memiliki peranan dalam kelestarian lingkungan (fungsi ekologis). Kegiatan observasi lapangan dilakukan untuk mengamati manfaat tegakan hutan kemenyan maupun sistem pengelolaannya terhadap kelestarian tanah, air dan udara. Persepsi masyarakat terhadap hutan kemenyan sehubungan dengan fungsi ekologisnya juga penting untuk diketahui. Informasi ini diperoleh melalui wawancara. Selain itu juga dilakukan studi literatur untuk melengkapi
informasi dalam mendeskripsikan secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. 2. Untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga, yaitu menganalisis permasalahanpermasalahan dan merumuskan strategi pengembangan dalam pengelolaan hutan kemenyan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT berfungsi untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu kegiatan. Sebagai dasar analisis ini adalah dengan melihat kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Faktor-faktor tersebut diperoleh dari berbagai informasi, literatur, wawancara dan temuan langsung di lapangan sehingga didapatkan sejumlah faktor yang kembali disodorkan sebagai bahan pertanyaan dalam kuisioner yang harus dijawab oleh responden dan informan kunci sehingga didapatkan peubah-peubah yang menjadi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. Analisis dilakukan dalam tiga (3) tahapan pokok, yaitu tahapan identifikasi dan pengumpulan data, tahapan analisis dan tahapan perumusan strategi. a. Tahapan identifikasi dan pengumpulan data Pada tahapan ini dilakukan identifikasi terhadap peubah-peubah internal dan mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan. Demikian halnya dengan peubah-peubah eksternal, diklasifikasikan menjadi peluang dan ancaman. Selanjutnya masing-masing peubah (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dicari rating, bobot dan skornya. Pemberian rating mulai dari nilai 1 - 4 untuk masing-masing peubah dengan pengaruh kecil, sedang, besar dan sangat besar. Pemberian rating ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan terhadap pengelolaan hutan kemenyan. Untuk bobot, masing-masing peubah internal maupun eksternal dilakukan dengan memberikan nilai 1,2,3,...n (sebanyak jumlah peubah internal maupun eksternal) berdasarkan tingkat kepentingannya dibanding peubah lain. Sementara untuk skor diperoleh dengan mengalikan antara nilai rating dan bobot.
b. Tahapan Analisis Pada tahapan ini dilakukan pemaduan antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan)
dan
faktor
eksternal
(peluang
dan
ancaman)
yang
mempengaruhi pengelolaan hutan kemenyan. Alat analisis yang digunakan adalah diagram SWOT atau diagram internal-eksternal. Dalam diagram SWOT diperoleh titik yang merupakan perpaduan antara peubah internal dan eksternal. Nilai pada sumbu X, merupakan nilai selisih antara skor kekuatan dan kelemahan, sedang pada sumbu Y merupakan nilai selisih antara skor peluang dan ancaman. c. Tahapan perumusan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan Tahapan perumusan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman seperti disajikan pada matriks SWOT.
3.5. Definisi Operasional Berikut ini disampaikan beberapa definisi untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan istilah yang dimaksudkan, diantaranya: 1.
Umur adalah usia responden yang dihitung dari tahun lahir sampai saat penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun.
2.
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh responden yang dinyatakan dengan pilihan tidak sekolah, sekolah dasar (SD), SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.
3.
Jumlah anggota keluarga adalah jumlah keseluruhan anggota keluarga meliputi suami, istri, anak dan keluarga lain yang menjadi tanggungan keluarga.
4.
Luas hutan/kebun kemenyan adalah luas keseluruhan hutan/kebun kemenyan yang diusahakan responden yang dinyatakan dalam hektar (ha).
5.
Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang diperoleh dari berbagai sumber yang dinyatakan dalam rupiah per bulan (Rp/bln).
6.
Pekerjaan lain adalah pekerjaan responden selain mengelola hutan kemenyan.
7.
Persepsi adalah pandangan dan penilaian responden terhadap pengelolaan hutan kemenyan.
8.
Motivasi adalah dorongan dari dalam maupun dari luar untuk mewujudkan harapan dengan adanya tindakan yang dilakukan.
9.
Pengelolaan hutan kemenyan adalah kegiatan mengelola hutan kemenyan yang berorientasi untuk menghasilkan atau memproduksi getah kemenyan mulai dari kegiatan penanaman (regenerasi) tanaman, pemeliharaan, pemanenan getah, pengolahan getah pasca panen sampai pemasaran.
10. Kekuatan (strenght) adalah faktor yang berasal dari dalam (internal) yang sudah dimiliki dan dapat dioptimalkan dalam mendukung pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. 11. Kelemahan (weakness) adalah faktor yang berasal dari dalam (internal) yang menjadi penghambat dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. 12. Peluang (opportunity) adalah faktor yang berasal dari luar (eksternal) yang dapat digunakan sebagai pendukung dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. 13. Ancaman (threat) adalah faktor yang berasal dari luar (eksternal) yang dapat menghambat pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. 14. Strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan adalah suatu rencana yang cermat dan sistematik terkait dengan pengembangan pengelolaan hutan kemenyan dengan memaksimalkan semua kekuatan yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan serta memanfaatkan peluang yang ada dengan mengatasi segala bentuk ancaman yang datang.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Kabupaten ini resmi terpisah dengan kabupaten induk pada tanggal 25 Pebruari 2003 dengan diterbitkannya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat, dan kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada 02001’ – 02020’ Lintang Utara (LU) dan 98010’ – 98038’ Bujur Timur (BT). Kabupaten ini terletak pada bagian tengah Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari posisi kabupaten lain disekitarnya,
sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Samosir, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Timur berbatasan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Bharat. Tabel 5. Nama kecamatan beserta luasannya di Kabupaten Humbang Hasundutan No
Nama Kecamatan
Luas Wilayah (ha)
Persentase Luas (%)
1
Pakkat
38.168,00
15,16
2
Onan Ganjang
22.256,27
8,84
3
Sijamapolang
14.018,07
5,57
4
Lintong Nihuta
18.126,21
7,20
5
Paranginan
4.778,39
1,90
6
Dolok Sanggul
20.929,53
8,31
7
Pollung
32.736,46
13,00
8
Parlilitan
72.774,71
28,91
9
Tarabintang
24.251,98
9,63
10
Baktiraja
3.726,31
1,48
TOTAL
251.765,93
100,00
Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009
Luas wilayah kabupaten Humbang Hasundutan mencapai 251.765,93 ha yang meliputi daratan dan perairan. Adapun daratan memiliki luasan 250.271,02 ha dan perairan berupa danau (bagian dari Danau Toba) seluas 149,91 ha. Kabupaten ini terdiri dari sepuluh kecamatan dengan masing-masing luasannya seperti pada Tabel 5. Dari sepuluh kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kecamatan Parlilitan merupakan kecamatan terluas dengan luas 72.774,71 ha (28,91% dari luas total kabupaten) sedangkan kecamatan yang memiliki luasan paling kecil adalah Kecamatan Bakti Raja dengan luas 3.726,31 ha (1,48 % dari luas total kabupaten). Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah yang berada pada deretan pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian berada pada kisaran antara 330 – 2.072 m di atas permukaan air laut. Topografi lahan Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri sangat bervariasi mulai dari datar, landai, miring dan curam. 4.2. Kondisi Demografi Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2009 bahwa jumlah penduduk di kabupaten ini mencapai 158.070 jiwa yang terdidi dari 34.971 kepala keluarga. Bila dibandingkan dengan luas wilayah maka diketahui rata-rata kepadatan penduduk di kabupaten ini mencapai 63 jiwa/km2. Dalam hal kependudukan ini, masyarakat di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk daerah yang masyarakatnya heterogen, karena selain menganut agama yang berbeda-beda juga memiliki beragam suku, yaitu Batak Toba, Pakpak, Simalungun, Nias, Jawa, Padang dan Mandailing. Penduduk memeluk agama seperti
Islam, Kristen Protestan dan Katholik. Walaupun
penduduknya terdiri dari berbagai suku namun terbukti mereka dapat hidup berdampingan dengan baik, jarang terjadi konflik antar suku. Justru antar suku telah membaur satu sama lain, menjalin kekerabatan dengan perkawinan. Kerukunan dan toleransi beragam suku ini terlihat jelas pada saat acara-acara adat, terutama saat pesta perkawinan. Begitu juga dengan toleransi beragama diantara masyarakat terbina dan terjaga dengan baik. Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar dari sektor pertanian termasuk di dalamnya perkebunan. Profesi lainnya
sebagai mata pencaharian masyarakat adalah pedagang, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, TNI/POLRI serta sebagian kecil industri/kerajinan tangan. 4.3. Kondisi Hutan Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kawasan hutan negara dengan luasan 95.512,84 ha (37,9 % dari luas total kabupaten). Masing-masing kecamatan memiliki sebaran luas serta fungsi hutan yang tidak sama. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan No
Nama Kecamatan
1
Pakkat
2
Luas Kawasan Hutan (ha)
Persentase (%)
17.100,00
17,90
Onan Ganjang
3.100,00
3,25
3
Sijamapolang
2.850,00
2,98
4
Lintong Nihuta
7.700,60
8,06
5
Paranginan
2.250,00
2,36
6
Dolok Sanggul
6.000,04
6,28
7
Pollung
6.062,20
6,35
8
Parlilitan
39.950,00
41,83
9
Tarabintang
8.400,00
8,79
10
Baktiraja
2.100,00
2,20
TOTAL
95.512,84
100,00
Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009
Bila ditinjau dari keberadaan luasan hutan di atas maka kabupaten ini masih masuk dalam kategori kabupaten yang memiliki luasan hutan yang proporsional yaitu di atas 30 % dari luas wilayahnya. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya didominasi oleh hutan produksi yang mencapai 64%, diikuti hutan lindung 33% dan hutan produksi terbatas (HPT) sebanyak 3% dari luas kawasan hutan total. Pengelolaan hutan produksi yang ada di wilayah administrasi Kabupaten Humbang Hasundutan
sebagian besar telah melibatkan pihak swasta dengan membangun hutan tanaman sebagai bahan baku bubur kertas (pulp). 4.4. Penyebaran Hutan Kemenyan
Potensi getah kemenyan di Sumatera Utara cukup besar yang tersebar di beberapa kabupaten daerah penghasil dan telah sekian lama dikenal masyarakat secara luas. Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat telah menjadi sumber pendapatan mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Di Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri, menurut data dari BPS Kab. Humbang Hasundutan (2009) tanaman kemenyan tersebar di 7 kecamatan dari sepuluh kecamatan secara keseluruhan artinya tidak semua kecamatan memiliki kebun kemenyan. Perbandingan sebaran luas tanaman kemenyan beserta produksinya pada masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran tanaman kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan No
Nama Kecamatan
1
Pakkat
2
Tanaman Kemenyan Luas (ha)
Produksi (ton)
57,00
16,53
Onan Ganjang
1.039,00
294,25
3
Sijamapolang
592,00
125,25
4
Lintong Nihuta
0,00
0,00
5
Paranginan
0,00
0,00
6
Dolok Sanggul
1.403,50
416,99
7
Pollung
284,00
84,21
8
Parlilitan
818,50
357,09
9
Tarabintang
27,00
10,50
10
Baktiraja
0,00
0,00
4.221,00
1.304,82
TOTAL
Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Aspek Sosial Pengelolaan Hutan Kemenyan 5.1.1. Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden diperlukan sebagai gambaran umum keadaan petani kemenyan yang menjadi sampel dan merupakan obyek dalam penelitian. Karakteristik petani responden yang dibahas dalam penelitian ini, terdiri dari umur petani, tingkat pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, pengalaman bertani dan luas kebun kemenyan yang diusahakan. a. Umur Petani Responden Umur sangat erat kaitannya dengan produktivitas kerja. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui variabel ini dalam kaitannya dengan ketersediaan tenaga kerja yang masih produktif. Tabel 8. Sebaran petani responden berdasarkan usia No
Kelompok Umur (Tahun)
Jumlah Responden (Jiwa)
Peresentase (%)
1
20 – 29
2
3
2
30 – 39
16
27
3
40 – 49
19
32
4
50 – 59
16
27
5
≥ 60
7
11
Total
60
100
Dari hasil olahan data primer diketahui bahwa umur petani kemenyan (responden) secara keseluruhan berada pada selang umur antara 28-67 tahun dengan umur rata-rata 46,25 tahun. Hal ini juga dapat dilihat dari Tabel 8 yang menunjukkan bahwa umur petani kemenyan didominasi pada kelas umur 40-49 tahun, yaitu sebanyak 32%. Apabila dilihat dari rata-rata umur tersebut petani responden masih tergolong dalam kategori usia produktif. Dari Tabel 8 juga diketahui bahwa 30% petani responden berusia ≤ 40 tahun, bahkan sebayak 3%
berusia dibawah 30 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa pemuda masih memiliki ketertarikan untuk mengelola hutan kemenyan. Situasi seperti ini sangat mendukung dalam menjaga eksistensi dan pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depannya.
b. Tingkat Pendidikan Petani Faktor pendidikan sangat penting dalam era pembangunan yang berkelanjutan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan cara berpikir, berperilaku dan bertindak. Tingkat pendidikan akan sejalan dengan kelestarian sumberdaya alam apabila disertai dengan rasa kepedulian dari masyarakat terhadap sumberdaya alam dimaksud. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga melihat tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh petani responden yang tentunya berperan dalam melaksanakan kegiatan usahataninya. Tabel 9. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan No
Jenjang Pendidikan
Jumlah Responden (Jiwa)
Persentase (%)
1
SD
30
50
2
SLTP
22
37
3
SLTA
8
13
Total
60
100
Dari Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan resonden sudah pernah mengikuti pendidikan formal namun pada umumnya (50%) hanya sampai pada pendidikan dasar, diikuti sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan petani responden masih rendah. Sama seperti keadaan di desa lain pada umumnya selain karena keterbatasan ekonomi keluarga dan ketidakberadaan sarana pendidikan (gedung sekolah) menjadi kendala untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Untuk pendidikan dasar setiap desa sudah memiliki, namun untuk meneruskan ke jenjang berikutnya, baik tingkat SLTP maupun SLTA harus ke kecamatan bahkan harus ke ibukota kabupaten. Selain itu, apabila seseorang sudah berhasil
menempuh pendidikan lebih tinggi maka sangat jarang sekali tetap tinggal di daerah tersebut. Pada umumnya mereka akan lebih memilih mengadu nasib (mencari pekerjaan) di luar daerah. Situasi ini menjadikan orang-orang yang tinggal di daerah hanya para orang tua dan orang-orang yang berpendidikan rendah.
c. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan sangat penting untuk diketahui yang berhubungan terhadap konstribusi pendapatan yang diperoleh untuk kegiatan usahatani maupun untuk konsumsi rumah tangga. Di samping itu dengan mengetahui jumlah anggota juga dapat diketahui ketersediaan jumlah tenaga kerja dalam petani itu sendiri. Dari olahan data diketahui bahwa jumlah anggota keluarga responden bervariasi mulai dari 1-7 jiwa dan sebanyak 28% dari total seluruh responden memiliki 4 anggota keluarga. Apabila dihubungkan dengan umur petani maka diperoleh fenomena bahwa semakin tua petani memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada saat usia tua, umumnya keturunan mereka sudah membentuk keluarga yang baru.
e. Pengalaman Bertani Faktor pengalaman bertani atau lama waktu petani terlibat secara langsung dalam mengelola hutan kemenyan sangat penting untuk diketahui. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan penguasaan keterampilan petani dalam mengelola kebun kemenyan. Semakin lama seorang petani terlibat langsung maka akan semakin banyak pula pengalaman dan keterampilan dalam memproduksi getah kemenyan. Dari hasil penelitian di lapangan, lama pengalaman bertani para petani kemenyan yang menjadi responden bervariasi mulai dari 10-50 tahun berbanding lurus dengan usia petani itu sendiri. Dari keseluruhan responden, sebanyak 30% dari responden memiliki pengalaman bertani kemenyan antara 30-39 tahun. Pada umumnya petani sudah mulai dilibatkan dalam usahatani kemenyan pada saat usia 10 tahun (terutama anak laki-laki) untuk membantu orang tuanya pada kegiatan
pembersihan lahan dan mereka sudah mulai menyadap getah kemenyan secara langsung pada usia 15 tahun (remaja) hingga sekarang.
f. Luas Pemilikan Lahan dan Hutan Kemenyan Pada kedua desa lokasi penelitian penggunaan lahan oleh masyarakat diperuntukkan sebagai tempat pemukiman beserta pekarangannya, fasilitas umum, kebun, sebagian kecil sawah dan hutan termasuk di dalamnya hutan kemenyan. Tiap desa memiliki beberapa dusun yang jarak antar dusun tidak terlalu jauh. Pemukiman penduduk berjejer berhadap-hadapan mengikuti arah jalan desa. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa rata-rata responden memiliki lahan seluas 1,31 ha yang terdiri dari rumah dan pekarangan, sawah, kebun dan hutan kemenyan (Tabel 10). Keberadaan sawah tidak terlalu banyak, hanya sebagian kecil masyarakat mengusahakannya di kanan-kiri sungai. Namun untuk kebun, setiap masyarakat hampir memilikinya yang ditanami dengan kopi dan tanaman semusim lainnya. Lahan yang diperuntukkan menjadi kebun biasanya lahan-lahan yang berada dekat dengan pemukiman. Tabel 10. Luas rata-rata pemilikan lahan petani responden No Penggunaan Lahan
Luas Lahan (ha)
1
Rumah (Pekarangan)
0,044
2
Sawah
0,053
3
Kebun (Ladang)
0,263
4
Hutan Kemenyan
0,950
Rata-Rata Total
1,310
Khusus untuk hutan kemenyan sendiri mayoritas masyarakat dari kedua desa lokasi penelitian (Simarigung dan Sampean) memilikinya dengan luasan yang beragam mulai dari 0,5 – 2 hektar. Sebaran petani responden berdasarkan pemilikan hutan kemenyan ditampilkan pada Tabel 11. Bila dilakukan pengelompokan berdasarkan luas kebun kemenyan, maka sebanyak 55% responden memiliki kebun kemenyan antara 1 - 1,99 ha. Luas hutan kemenyan yang dimiliki responden secara keseluruhan mencapai 57 hektar dan apabila
diambil rata-ratanya secara keseluruhan, masing-masing petani responden memiliki kebun kemenyan seluas 0,95 ha. Tabel 11. Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas kebun kemenyan No 1 2 3
Kelas Luas (ha) <1 1,0 – 1,99 ≥2 Total Rata-rata
Jumlah Responden (Jiwa) 22 33 5 60
Persentase (%) 37 55 8 100
Total Luas (ha) 11 36 10 57 0,95
5.1.2. Status Kepemilikan Lahan Untuk status kepemilikan kebun atau hutan kemenyan beserta pohon yang tumbuh di dalamnya, masyarakat punya aturan tersendiri. Setiap desa didominasi oleh marga tertentu. Menurut Nurrochmat (2001) aturan ini dimulai sejak masuknya kelompok marga tertentu ke dalam suatu daerah berhutan yang belum di tempati oleh marga lain. Tujuannya adalah untuk membangun tempat tinggal (pemukiman) baru yang lahannya masih subur. Karena masyarakat meyakini bahwa kawasan yang masih berhutan mampu menyediakan kebutuhan hidup. Seiring pertambahan jumlah penduduknya dimana posisi mereka sudah semakin kuat, mereka mengklaim bahwa lahan yang mereka buka dengan batasbatas tertentu menjadi milik mereka termasuk tanaman kemenyan yang tumbuh di dalamnya dan hal itu diakui oleh kelompok (marga) lain yang bertetangga dengan mereka. Dengan demikian kebun kemenyan menjadi milik kelompok marga. Misalnya sebagai contoh untuk Desa Simaringung dikuasai dan didominasi oleh Marga Simamora dan untuk Desa Sampean didominasi oleh Marga Simanullang. Hal ini diperkuat dengan petani kemenyan yang menjadi responden dari kedua desa, dimana dari Desa Simarigung mayoritas Marga Simamora dan dari Desa Sampean, responden mayoritas Marga Simanullang. Pembauran antar marga terjadi melalui proses pembentukan rumah tangga baru. Bagi masyarakat setempat (Suku Batak pada umumnya) dalam hal pernikahan, haram hukumnya apabila menikah dengan satu marga sekalipun itu sudah kerabat jauh. Oleh karena itu, kaum laki-laki yang sudah cukup umur akan
mencari pasangan ke daerah (marga) lain dan sebaliknya para kaum perempuan juga akan dinikahi oleh laki-laki dari daerah lain. Bagi mereka yang memilih tinggal di daerah asalnya ataupun di daerah pasangannya, sebagai sumber mata pencaharian mereka mengusahakan lahan yang diwariskan oleh orang tuanya. Proses pembauran ini sudah terjadi dari generasi ke generasi hingga sekarang. Dalam hal pembagian warisan, para orang tua menurunkan harta warisan kepada keturunanya tanpa membedakan anak lakilaki atau perempuan. Sama halnya dengan kebun kemenyan sudah menjadi harta warisan. Untuk kebun kemenyan sendiri karena penggarapan yang dilakukan sudah semakin intensif dan telah diwariskan secara turun temurun, maka rasa kepemilikan secara pribadi semakin kuat. Hubungan perorangan dengan tanahnya semakin kokoh sehingga pada akhirnya lahan tersebut diklaim sebagai tanah milik pribadi dan bukan milik marga lagi. Namun yang sering menjadi kekhawatiran bagi para petani kemenyan adalah status hutan kemenyan yang mereka kuasai sejak ratusan tahun yang lalu ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan negara. Petani merasa takut dan khawatir bahwa dengan status ini menjadikan lahan mereka akan diambil alih oleh negara dan mereka akan dipindahkan dari wilayah itu. Kekhawatiran ini diperkuat dengan kehadiran pihak swasta yang diberi izin oleh pemerintah untuk mengelola hutan. Kejadian ini sudah terjadi di beberapa desa dimana pihak swasta sudah mulai menebangi tanaman kemenyan untuk perluasan areal penanaman hutan tanaman industry (HTI). Pernyataan kekhawatiran ini diungkapkan oleh beberapa petani kemenyan (responden) pada saat wawancara.
5.1.3. Bertani Kemenyan sebagai Budaya dan Kearifan Lokal Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal), umumnya memiliki pengetahuan dan budaya lokal dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam pemanfaatannya yang dipelihara dan diwariskan secara turun-temurun. Budaya adalah suatu cara hidup meliputi keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dalam
perkembangan sejarahnya dan diwariskan dari generasi ke generasi (Sajidiman 1999) dan kearifan lokal sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat tertentu mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Dari pengertian ini kita dapat melihat bahwa pada dasarnya kearifan tradisional merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Masing-masing kearifan lokal memiliki karakteristik berbeda-beda yang bersumber dari pemahamannya terhadap alam sekitar dan mengadaptasikannya dalam praktek pengelolaan sumberdaya alam pada berbagai jenis kondisi lingkungan hidup (Affandi 2003). Bentuk kearifan lokal yang dapat kita lihat, misalnya bagaimana masyarakat lokal mengelola hutan. Bagi masyarakat, hutan dan segala isinya bukanlah hanya sekedar komoditi yang dinilai dari segi ekonomi saja, melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan yang mereka pegang teguh. Demikian halnya pada pengelolaan hutan kemenyan yang sudah menjadi bagian dari budaya dan kearifan lokal khususnya petani kemenyan di Humbang Hasundutan dan Tapanuli pada umumnya. Pengetahuan lokal petani dapat dilihat dalam proses penyadapan (pelukaan). Petani mengetahui dan meyakini bahwa tidak semua pohon dapat disadap secara bersamaan. Petani mengetahui betul pohon mana yang dapat disadap dan mana yang belum. Kesalahan dalam memilih pohon konsekuensinya adalah hasil panen tidak maksimal bahkan terkadang pohon tersebut tidak mengeluarkan getah. Masih dalam proses penyadapan, kebiasaan petani yang telah membudaya dan menjadi bagian dari pengelolaan hutan kemenyan bahwa sebelum melakukan penyadapan, harus terlebih dahulu melakukan pembersihan kulit batang yang dalam istilah lokal disebut dengan “mangguris”. Pengalaman telah mengajarkan petani bahwa tanpa melakukan pembersihan kulit batang, produksi getah menjadi tidak maksimal.
5.1.4. Motivasi dan Persepsi Petani terhadap Hutan Kemenyan Faktor lain dari aspek sosial yang penting dikaji adalah motivasi dan persepsi masyarakat (petani) dalam mengelola hutan kemenyan. Bagi petani, hutan kemenyan merupakan wujud kasih karunia Tuhan yang harus dikelola, dijaga dan dilestarikan. Karena dari hasil hutan kemenyan mereka dapat hidup dari generasi ke generasi. Mereka meyakini hutan kemenyan mampu memberikan nafkah untuk melangsungkan hidup, bukan hanya bagi mereka saja tetapi juga pada moyang mereka dahulu dan nanti kelak pada anak cucu mereka. Dari hasil wawancara di lapangan ketika ditanya faktor apa yang menjadi motivasi petani dalam mengelola hutan kemenyan, secara keseluruhan petani memberikan jawaban untuk memenuhi kebutuhan keluarga (sebagai mata pencaharian) dan sebagai upaya melanjutkan tradisi (budaya dan warisan orang tua).
Demikian juga dalam hal persepsi, dari keseluruhan responden (ketika
diwawancarai) telah menyadari betul fungsi dan manfaat hutan kemenyan bukan hanya sumber mata pencaharian tetapi lebih dari itu, keberadaan hutan kemenyan juga memberikan manfaat-manfaat untuk menjaga daya dukung dan kualitas lingkungan, seperti tanah, air dan udara. Dari wawancara yang dilakukan terhadap responden persepsi-persepsi positif masyarakat terhadap hutan kemenyan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap hutan kemenyan No Jenis Persepsi
Jumlah
Persentase
Responden (Jiwa)
(%)
1
Sebagai sumber mata pencaharian
60
100
2
Pengatur tata air
60
100
3
Kesuburan tanah
50
83
4
Kualitas udara
60
100
5
Habitat satwa liar
50
83
5.2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Hutan Kemenyan 5.2.1. Pendapatan Petani Responden Ditinjau dari aspek ekonomi, kemenyan juga memberikan manfaat bagi petani pengelolanya. Hutan kemenyan telah menjadi bagian dari sejarah hidup yang sudah sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang menjadi sumber penghasilan. Secara umum penghasilan petani responden bersumber dari pertanian termasuk di dalamnya kebun kemenyan. Besar kecilnya penghasilan petani, berbanding lurus dengan berapa luas lahan yang dimiliki dan berapa luas lahan yang mampu diusahakan petani yang bersangkutan. Penghasilan disini adalah penghasilan kotor seluruhnya yang diperoleh petani selama satu tahun. Pada umumnya petani responden memperoleh penghasilan rata-rata dari hasil panen sawah, kebun dan kemenyan sebesar Rp 21.641.900 dengan sebaran seperti pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran petani responden berdasarkan pendapatan No Penghasilan (Rp juta/tahun)
Jumlah Responden (Jiwa)
Persentase (%)
1
10-19
22
37
2
20-29
35
58
3
≥ 30
3
5
60
100
Total
Bila dilakukan pengelompokan terhadap petani responden berdasarkan desa dimana mereka tinggal, maka diketahui bahwa rata-rata pendapatan dari petani di Desa Sampean lebih tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh petani di Desa Simarigung (Tabel 14). Namun perbedaan yang terjadi tidak terlalu signifikan, melihat kondisi petani di kedua desa juga hampir tidak ditemukan perbedaan, baik dari sumber mata pencaharian, luas lahan yang diolah dan juga cara bertani. Tabel 14. Pendapatan rata-rata petani responden berdasarkan desa No
Nama Desa
1 2
Simarigung Sampean
Sawah 554.400 772.800
Penghasilan (Rp/Tahun) Kebun Kemenyan 7.795.200 12.381.667 7.734.400 13.901.667
Total 20.731.267 22.008.867
Khusus penghasilan dari penyadapan getah kemenyan, dibahas untuk mengetahui berapa persentase pendapatan yang diperoleh dari hutan kemenyan dibandingkan terhadap pendapatan total selama satu tahun. Mayoritas masyarakat yang tinggal di kedua desa masih memiliki kebun kemenyan dengan luasan yang bervariasi mulai dari 0,5 sampai 2 hektar. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata dalam setahun petani kemenyan memperoleh penghasilan sebesar Rp 21.641.900 dimana Rp 13.233.600 diperoleh dari hasil penjualan getah kemenyan. Jika pendapatan dari menyadap getah kemenyan dibandingkan dengan pendapatan secara keseluruhan maka sebesar 60,69% diperoleh dari hasil kebun kemenyan, artinya kebun kemenyan masih memiliki andil yang besar sebagai sumber mata pencaharian. Besarnya pendapatan tentunya dipengaruhi oleh luas kemenyan yang dimiliki. Oleh karena itu, dalam analisa selanjutnya, responden distratifikasi menjadi 3 kelompok berdasarkan luas kebun kemenyan. Hal ini dilakukan untuk melihat perbandingan pendapatan dari masing-masing strata dan sebagai hasilnya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Persentase pendapatan (kotor) petani dari kemenyan terhadap pendapatan total Luas No
Kemenyan (ha)
Persentase
Rata-Rata Pendapatan (Rp/tahun)
Jumlah
pendapatan
Responden
Sawah
Kebun 7.069.091
8.463.636
16.792.727
50,99
Kemenyan
Total
(%)
1
<1
22
1.260.000
2
1 - 1,99
33
366.545
7.899.455
15.649.091
23.905.091
65,61
3
≥2
5
0
7.603.200
18.278.000
25.881.200
70,95
Rata-rata
60
663.300
7.564.800
13.233.500
21.641.900
60,69
Dari kedua desa yang menjadi lokasi penelitian, getah kemenyan masih menjadi andalan petani untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, baik yang luas lahannya dibawah 1 hektar, 1-1,99 hektar maupun 2 hektar ke atas dimana pendapatan dari hutan kemenyan memberikan proporsi di atas 50%. Artinya adalah lebih dari setengah penghasilan petani secara keseluruhan diperoleh dari hasil penyadapan getah kemenyan.
Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa petani yang memiliki luas hutan kemenyan ≥ 2 Ha tidak memiliki pendapatan dari sawah. Dengan pemilikan hutan kemenyan dan kebun yang sedemikian luas, petani tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk mengelola sawah sekaligus. Selain karena keterbatasan waktu dan tenaga, petani merasa bahwa penghasilan dari kemenyan dan kebun masih mampu mencukupi kebutuhan keluarga mereka.
5.2.2. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Pengelolaan Hutan Kemenyan Dalam kajian pengelolaan hutan kemenyan ini, aspek ekonomi lain yang penting untuk diketahui, yaitu analisa kelayakan usaha dari pengelolaan hutan kemenyan. Untuk analisa kelayakan usaha ini ada tiga (3) parameter yang digunakan. Ketiga parameter tersebut adalah Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value), Rasio Pendapatan dan Biaya (Benefit Cost Ratio) dan Internal Rate of Return (IRR). Dalam analisa finansial kelayakan usaha dilakukan dalam dua (2) skenario, yaitu dengan memperhitungkan sewa lahan (skenario 1) dan tanpa memperhitungkan sewa lahan (skenario 2). Nilai masing-masing parameter ini disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Analisa finansial pengelolaan hutan kemenyan per satuan hektar selama 50 tahun No 1 2 3
Analisa Finansial Net Present Value (NPV) Benefit Cost Ratio (BCR) Internal Rate of Return (IRR)
Nilai Skenario 1 Rp 17.226.428 2,37 22,6%
Skenario 2 Rp 24.901.670 2,85 28,8%
Dari analisa finansial kelayakan usaha pengelolaan hutan kemenyan, untuk nilai NPV diperoleh nilai sebesar Rp 17.226.428 dan Rp 24.901.670 pada suku bunga (interest rate) 13%. Dari hasil analisa ini dapat disimpulkan bahwa usaha ini layak dilaksanakan karena menghasilkan keuntungan. Begitu juga halnya dengan analisa kelayakan usaha dengan menggunakan metode BCR. Dengan metode ini dihasilkan indeks sebesar 2,37 pada skenario 1 dan 2,85 pada skenario 2, artinya pengelolaan hutan kemenyan ini layak dilaksanakan karena jika dibandingkan antara penerimaan dan pengeluaran cenderung memperoleh
keuntungan. Sementara untuk IRR sebesar 22,6% (skenario 1) dan 28,8% (skenario 2) masih jauh diatas tingkat suku bunga sekarang (13%) yang artinya apabila seluruh modal untuk membangun hutan kemenyan ini dipinjam, maka petani masih mampu mengembalikan pinjaman beserta bunganya sampai pada tingkat suku bunga 22,6% (skenario 1) dan 28,8% (skenario 2). Dengan demikian analisa finansial ini menyimpulkan bahwa pengelolaan hutan kemenyan layak dilaksanakan. Dengan asumsi kebun kemenyan dibangun dari awal (bukan kebun kemenyan warisan yang siap disadap) nilai NPV yang sebesar Rp 17.226.428/ha untuk skenario 1 dan Rp 24.901.670/ha untuk skenario 2 selama 50 (lima puluh) tahun merupakan sesuatu yang kurang menarik (dari sisi ekonomi) untuk diusahakan, karena keuntungan bersih yang diperoleh sangat kecil dan sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan penghasilan dari usahatani kopi yang mampu menghasilkan Rp 18.850.597/Ha/Tahun (Karo-karo, 2010) dan juga masih jauh bila dibandingkan dengan upah minimum regional (daerah setempat), yaitu Rp 965.000/bulan. Untuk menjadikan pengelolaan kemenyan ini lebih kompetitif dan lebih menarik, diperlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan pendapatan. Upayaupaya dimaksud dibahas pada sub bab “Strategi Pengembangan Pengelolaan hutan Kemenyan”.
5.2.3. Produktivitas Petani dan Hutan Kemenyan Dalam proses pengelolaan hutan kemenyan, kegiatan yang banyak menyita waktu petani adalah penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, pembersihan batang (penyadapan/pelukaan) serta pemanenan getah. Dalam proses penyadapan, para petani seragam menggunakan cara konvensional yaitu dengan cara penakikan membentuk luka vertikal pada batang. Produktivitas petani yang dimaksudkan disini adalah kemampuan petani melakukan pekerjaan per satuan hari kerja sementara produktivitas hutan kemenyan adalah jumlah produksi getah kemenyan yang diperoleh per satuan luas per satuan waktu. Kemampuan petani dalam melakukan penyadapan bervariasi, sekitar 1015 batang/orang/hari tergantung besar diameter pohon. Diameter besar akan
memiliki tingkat kesulitan menyadap yang lebih besar (Sasmuko 1996). Begitu juga dalam kegiatan pemanenan, petani mampu mengerjakan sekitar 15-20 batang/orang/hari. Perlu diketahui bahwa tidak semua pohon dapat disadap serentak seperti pada kebun karet, tetapi harus menyesuaikan kondisi tanaman. Indikator yang digunakan adalah daun. Jika dalam satu pohon masih terdapat daun muda maka penyadapan belum dapat dilakukan. Pohon ini baru dapat disadap apabila daunnya sudah dewasa/tua. Untuk hutan kemenyan yang diusahakan petani sekarang pada umumnya memiliki jarak tanam 3 meter x 3 meter. Dalam satu hektarnya rata-rata petani kemenyan memiliki tanaman menghasilkan (TM) sebanyak 728 batang selebihnya ditumbuhi tanaman kemenyan yang belum menghasilkan dan pohon lain. Produksi tanaman yang menghasilkan, getah mampu diproduksi sebanyak 174 kg/ha/tahun dimana rata-rata per pohonnya menghasilkan getah sebanyak 0,25 kg. Petani menyadari bahwa telah terjadi penurunan produktivitas tanaman kemenyan karena menurunnya kesuburan tanah. Faktor penyebab lain dari tanaman sendiri, dimana sebagian tanaman kemenyan banyak yang sudah tua dan mati.
5.2.4. Pemasaran Getah Kemenyan Dalam kajian ini, pemasaran getah kemenyan tidak dibahas secara detail hanya gambaran umumnya saja. Rantai pemasaran diisi oleh pihak petani kemenyan, agen pengumpul tingkat desa, agen pengumpul tingkat kecamatan, agen pengumpul tingkat kabupaten dan pihak pengolah sekaligus eksportir. Pada umumnya petani langsung menjual hasil sadapan ke pedagang pengumpul tingkat desa. Selain karena biaya angkutan, hubungan kekeluargaan menjadi alasan lain mengapa petani menjual langsung ke pengumpul di desa. Namun pada saat-saat tertentu, sebagian petani ada juga yang menjual ke pengumpul ditingkat kabupaten. Perlu diketahui Kota Dolok Sanggul merupakan ibukota dari kecamatan merangkap ibukota kabupaten sehingga khusus untuk Kecamatan Dolok Sanggul, agen pengumpul tingkat kecamatan merangkap agen pengumpul di kabupaten. Pengumpul (agen) di tingkat kabupaten inilah yang selanjutnya memasarkan ke pihak pengolah dan sekaligus eksportir yang berada di
Pulau Jawa (Jawa Tengah). Rantai pemasaran getah kemenyan mulai dari petani sampai ke eksportir disajikan pada Gambar 4.
Petani Kemenyan
Pengumpul Tingkat Desa
Pengumpul Tingkat Kabupaten
Pengolah / Eksportir
Pengumpul Tingkat Kecamatan Keterangan Keterangan Saluran Utama (Main Line) Saluran Lainnya (Secondary Line)
Gambar 3. Rantai pemasaran getah kemenyan Dalam penjualan getah kemenyan, hasil panen petani kemenyan dikelompokkan ke dalam dua kelas yaitu kualitas pertama yang dikenal dengan “mata kasar” dan kualitas kedua yang dikenal dengan istilah “tahir”. Pada saat pelaksanaan penelitian ini harga getah kualitas kemenyan untuk kualitas pertama dihargai Rp 100.000 per kilogram sedangkan untuk kualitas kedua dihargai Rp 70.000 per kilogram. Secara umum petani melakukan pengolahan getah kemenyan terlebih dahulu sebelum dijual karena akan memperoleh harga yang lebih tinggi. Namun pada saat tertentu karena terdesak memenuhi kebutuhan keluarga, petani menjual langsung getah tanpa melakukan pengolahan.
5.3. Aspek Ekologi Pengelolaan Hutan Kemenyan Hutan yang lestari diidentikkan dengan ekosistem yang masih terjaga. Oleh karena itu sangat mudah mengenali apakah sebuah ekosistem itu sudah rusak atau kondisinya masih terjaga. Ditinjau dari aspek ekologi dalam pengelolaan hutan kemenyan, ada beberapa pokok penting yang menjadi keunggulan yang mendukungnya sebagai usaha yang layak untuk dikembangkan. Dalam pengelolaan hutan kemenyan, sumberdaya lahan cenderung tidak berubah dari peruntukannya. Bahkan dapat dijadikan sebagai upaya untuk
memperbaiki kualitas lingkungannya. Beda halnya dengan unit usaha lain yang membutuhkan lahan, dimana cenderung akan merobah fungsi lahan yang dapat menurunkan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pengelolaan tegakan kemenyan dengan baik, juga memperoleh manfaat-manfaat ekologi yang sama seperti yang diperoleh dari hutan alam. Sebagai tegakan hutan, tanaman kemenyan memberikan peranan besar dalam menjaga keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Keberadaan tegakan kemenyan berpegaruh besar dalam memelihara kualitas lingkungan. Manfaat hutan sangat beragam mulai dari manfaat tangible yang secara langsung dapat dinilai dan manfaat intangible. Aspek ekologi dari tegakan kemenyan sebagai hutan merupakan manfaat intangible yang tidak semua orang mengerti dan memahaminya. Di lapangan ditemukan bahwa pada umumnya tegakan kemenyan berada di daerah perbukitan yang merupakan daerah penyangga terhadap daerah di bawahnya (Gambar 4).
Gambar 4. Sketsa tata letak hutan kemenyan berdasarkan topografi Berdasarkan persepsi responden (Tabel 12), karena letaknya di daerah perbukitan yang merupakan bagian hulu dari sebuah sungai, bisa dipastikan bahwa secara umum habitat tegakan kemenyan merupakan daerah tangkapan air (catchment area). Hal ini dikemukakan oleh 100% responden di lokasi penelitian. Fungsi ekologis tegakan kemenyan disini sangat erat kaitannya dalam hal menjaga ketersediaan air bersih untuk mencukupi kebutuhan air bagi masyarakat yang
berdomisili disekitarnya. Seperti pada masyarakat kedua desa (lokasi penelitian), kebutuhan air bersih diperoleh dari sumber-sumber mata air serta aliran sungai, yang mana keberadaan hutan sangat berperan dalam menentukan kualitas maupun kuantitasnya. Air merupakan produk penting dari hutan, dimana dalam prosesnya merupakan bagian dari siklus hidrologi. Dalam siklus hidrologi, air pada hakekatnya telah melalui beberapa proses yang melibatkan tumbuhan, seperti tertahan oleh tajuk dedaunan (intersepsi), mengalir melalui batang dan atau jatuh setelah kena dedaunan, kemudian di lantai (tapak) hutan tertahan oleh bahan organik, dan akhirnya masuk kedalam tanah melalui peristiwa infiltrasi dan seterusnya melalui perkolasi dan tersimpan menjadi persedian air dalam tanah. Keseimbangan proses alami ini memberikan dampak positif bagi lingkungannya dengan siklus air yang tertata dimana air tidak kekurangan pada musim kemarau dan tidak berlebihan (banjir) pada musim penghujan (Asdak 2002). Situasi ini masih terjadi pada kedua lokasi penelitian, dimana sungai-sungai tidak berhenti mengalir sepanjang tahun. Sebagai tegakan hutan, tanaman kemenyan juga memiliki fungsi ekologi dalam menahan laju erosi oleh air hujan. Erosi dapat dengan mudah diidentifikasi pada aliran sungai, dimana sungai yang airnya keruh menandakan terjadinya erosi. Tingkat kekeruhan pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat erosi. Menurut Sarifuddin et.al (2004), ada tiga peranan pohon-pohonan terhadap erosi. Pertama, Air hujan yang jatuh akan mengenai kanopi dari pohon sehingga mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke tanah dan merubah distribusi air melalui aliran batang pohon. Karena air hujan tidak langsung jatuh ke tanah (terhalang kanopi pohon) maka kekuatan utama dari titik hujan telah terpecahkan. Kedua, pohon-pohonan memberi pengaruh positif terhadap tanah dan kapasitas infiltrasi sebab keberlanjutan sampah dari pohon menyebabkan (daun dan ranting yang mati) tingginya kandungan humus tanah. Sebagai tambahan, kondisi iklim mikro di bawah kanopi pohon memberi bermacam-macam pengaruh positif terhadap organisme tanah yang mempengaruhi proses dekomposisi tanah, kelembaban tanah dan pembentukan pori tanah. Ketiga, sampah dari pohon (daun dan ranting yang mati yang jatuh ke permukaan tanah yang menjadi sumber humus) dan permukaan vegetasi tanah secara langsung menghambat kekuatan
penyebab erosi dari air hujan dan aliran permukaan. Dengan menyaring percikan pada partikel tanah, vegetasi dan serasah juga mencegah penyumbatan dari poripori tanah, yang dapat mengurangi infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan. Hutan kemenyan seperti terlihat pada Gambar 5 juga berperan mempengaruhi stabilitas dan kesuburan tanah (dikemukakan 83% responden di lokasi penelitian). Peran tumbuhan dalam kestabilan tanah bergantung pada tipe tumbuhan dan tipe tanah. Namun terkait dengan kestabilan tanah, tumbuhtumbuhan memiliki peran dalam memperkuat tanah. Secara langsung keberadaan akar-akar tumbuhan akan memperkuat tanah dan penyerapan air oleh akar bersama unsur hara lainnya akan mengurangi kelembaban tanah, sehingga secara tidak langsung berperan juga dalam memperkuat tanah. Peranan ini sangat terlihat jelas pada daerah-daerah yang rawan longsor seperti pada kaki lereng. Akar pohon-pohonan yang dalam dapat memperkuat lereng. Dalam hal kesuburan tanah, dekomposisi biomassa tumbuhan yang sudah layu akan menjadi atau menambah nutrisi tanah.
(a)
(b)
Gambar 5. Hutan kemenyan produktif pada masa istirahat (a) dan masa panen (b)
Selain peranan ekologisnya dalam menahan laju erosi, tanaman kemenyan sebagai tegakan hutan juga berperan dalam membentuk iklim mikro di sekitarnya (dikemukakan 100% responden di lokasi penelitian). Fenomena ini secara jelas dapat dirasakan dengan membandingkan daerah yang berhutan dan tidak berhutan. Pada daerah tidak berhutan bila angin berhembus akan terasa panas, sebaliknya pada daerah yang berhutan akan terasa sejuk. Hal ini terjadi karena angin yang berhembus pada daerah berhutan, selain oksigen hasil fotosintesis kadang kala juga mengandung uap air hasil evapotranspirasi. Aspek ekologi lain dari tegakan kemenyan yang tidak kalah penting adalah menjadi tempat tinggal atau habitat makro dan mikro organisme lainnya (dikemukakan 83% responden di lokasi penelitian). Bukan hanya manusia saja yang membutuhkan tempat tinggal, begitu juga dengan mahluk hidup lain seperti burung dan mamalia (babi hutan). Dengan keberadaan hutan kemenyan maka peluang keberlangsungan hidup mereka lebih besar. Hal positif lain dari hutan kemenyan sebagai sumber hasil hutan bukan kayu adalah keunggulannya dalam proses produksi dan pemanenannya dibandingkan dengan hasil hutan kayu, dimana lebih ramah terhadap lingkungan sekitarnya. Pada umumnya dalam memproduksi hasil hutan kayu cenderung menimbulkan dan meninggalkan kerusakan pada tanah ataupun pada tumbuhan disekitarnya. Beda halnya dalam memproduksi getah kemenyan, kerusakan hanya ditimbulkan pada pohon itu sendiri (saat pelukaan) yang cenderung lebih ringan.
5.4. Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Hutan Kemenyan Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa dalam pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan serta faktor-faktor yang berasal dari luar (eksternal) berupa peluang dan ancaman.
5.4.1. Unsur Kekuatan (Strength) Peubah strategi internal berupa kekuatan (strength) yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 menunjukkan bahwa
peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “pengelolaan hutan kemenyan merupakan bagian dari budaya masyarakat” dengan nilai pengaruh sebesar 0,780 sedangkan peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil adalah “ketersediaan akses transportasi dari dan menuju desa dari kecamatan” dengan nilai pengaruh sebesar 0,082. Sudah sejak ratusan tahun yang lalu tanaman kemenyan mampu diandalkan sebagai sumber mata pencaharian petani pengelolanya. Hutan kemenyan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dijaga dan dipelihara. Kepemilikan hutan kemenyan itu sendiri sudah bergantiganti dari satu generasi ke generasi berikutnya dan sudah menjadi harta warisan secara turun-temurun mengikuti garis keturunan. Kebiasaan ini telah menjadi budaya bagi petani kemenyan hingga sekarang. Karena keberadaan tanaman kemenyan yang endemik dan khas ini mengharuskan tetap dipelihara sebagai budaya dan kearifan lokal petani dalam melestarikan hutan kemenyan. Getah kemenyan memiliki kandungan senyawa kimia yang bermanfaat sebagai bahan baku industri rokok, kosmetika, parfum serta farmasi sehingga menjadikannya sebagai komoditi yang bernilai tinggi dan diminati oleh pasar. Permintaan bukan hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Indonesia yang diwakili Tapanuli pada umumya sudah terkenal sebagai pengekspor getah kemenyan. Dalam sistem pemasarannya ke manca negara, getah kemenyan disamakan dengan getah damar dan harganya juga mengikuti harga getah damar (Kashio dan Johnson 2001). Namun seiring dengan berkurangnya populasi kemenyan, ekspor getah kemenyan ke luar negeri juga mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tapi paling tidak, dengan menyandang status sebagai komoditas ekspor yang memiliki pangsa pasar menjadi suatu faktor pendukung (kekuatan) dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. Pengembangan hutan kemenyan (dalam hal kuantitas) salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah ketersediaan sumberdaya lahan untuk dijadikan sebagai areal penanaman. Syarat ini masih terpenuhi melihat kondisi desa masih ditemukan lahan-lahan tidur yang tidak diusahakan dan lahan-lahan terlantar yang cukup luas. Dengan ketersediaan sumberdaya lahan ini memungkinkan untuk memperbanyak, memperluas dan
meningkatkan jumlah populasi pohon
kemenyan. Pemanfaatan lahan-lahan tidur ini sekaligus sebagai upaya meningkatkan nilai dan produktivitas lahan tersebut. Tabel 17. Unsur kekuatan dan nilai pengaruhnya No. 1 2 3
4 5 6 7
Unsur Kekuatan (Internal)
Bobot
Rating
Skor
0,195
4
0,780
0,190
3
0,570
0,148
3
0,444
0,159
2
0,318
Pengelolaan hutan kemenyan merupakan bagian dari budaya masyarakat. Getah kemenyan merupakan jenis komoditi ekspor. Sumberdaya lahan masih tersedia (sangat luas) untuk ditanami kemenyan sebagai salah satu upaya meningkatkan produktivitas lahan. Masyarakat memiliki motivasi dan persepsi positif yang mendukung pengelolaan hutan kemenyan Dalam memproduksi getah kemenyan tidak menimbulkan ataupun meninggalkan residu yang dapat merusak lingkungan. Jumlah tenaga kerja masih memenuhi. Akses transportasi dari dan menuju desa dari kecamatan sangat mendukung (kondisinya relatif baik).
0,126 0,100
2 2
0,252 0,200
0,082
1
0,082
TOTAL
1,000
2,646
Selain karena sudah menjadi budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, petani juga memiliki motivasi dan persepsi positif yang mendukung pengembangan hutan kemenyan ini. Petani sadar betul bahwa hutan kemenyan bukan saja hanya sebagai sumber mata pencaharian bagi mereka, tetapi lebih dari itu, tegakan kemenyan sebagai hutan memberikan manfaat lain bagi petani kemenyan yang tidak ternilai harganya, yaitu sebagai sumber air bersih dan manfaat ekologi lainnya. Beda halnya dengan hasil hutan kayu, dalam proses pemanenan umumnya akan meninggalkan kerusakan pada lingkungannya paling tidak pada tumbuhan di bawahnya. Belum lagi kerusakan yang ditimbulkan pada tanah saat melakukan proses penyaradan dan pengangkutan ke tempat pengumpulan. Getah kemenyan sebagai hasil hutan bukan kayu, dalam proses pemanenannya tidak meninggalkan dampak yang merusak lingkungan. Hal ini menjadi salah satu keunggulan hasil
hutan bukan kayu dibandingkan dengan hasil hutan kayu yang menjadikannya lebih diprioritaskan dalam pengelolaan hutan lestari ke depan. Ketersediaan tenaga kerja merupakan persyaratan penting yang harus dipertimbangkan. Dari kedua desa yang dijadikan sampel lokasi penelitian diperoleh informasi bahwa tenaga kerja masih tersedia dan masih tergolong tenaga kerja yang produktif (Tabel 8) dan proses pertumbuhan penduduk akan selalu menyediakan tenaga kerja baru.
5.4.2. Unsur Kelemahan (Weakness) Peubah strategi internal berupa kelemahan (weakness) yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 menunjukkan bahwa peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “kurangnya informasi pasar yang diterima petani kemenyan” dengan nilai pengaruh sebesar 1,128 sedangkan peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil adalah “sumberdaya manusia (pendidikan) masih relatif rendah” dengan nilai pengaruh sebesar 0,254. Kurangnya informasi pasar yang diterima petani kemenyan merupakan kelemahan yang memiliki skor paling tinggi diantara unsur kelemahan-kelemahan lainnya karena informasi pasar memegang peranan sangat vital bagi petani kemenyan dalam hal proses pemasaran dan juga dalam penentuan harga. Realita yang terjadi di lapangan bahwa kurangnya informasi pasar yang diperoleh para petani sering dimanfaatkan oleh para pencari untung dengan bermain dalam penentuan harga kemenyan. Hal ini juga yang menyebabkan petani tidak punya pilihan dalam memasarkan hasil panennya. Seandainya petani memiliki jaringan untuk memperoleh informasi pasar yang cukup, paling tidak petani punya pilihan kapan waktunya harus menjual dan kapan waktunya untuk tidak menjual. Tidak menjual yang dimaksud disini adalah menyimpan untuk sementara waktu sampai memperoleh harga yang lebih baik. Berhubungan dengan unsur kelemahan sebelumnya, fluktuasi harga kemenyan di tingkat petani diyakini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya minat petani dalam menyadap dan memproduksi getah kemenyan. Responden menjawab bahwa fluktuasi harga getah kemenyan
sering menjadi faktor yang dapat menurunkan niat mereka mengelola tanaman kemenyan. Pada saat tertentu, untuk kualitas pertama kadang dihargai sampai Rp 120.000 tetapi tidak jarang juga dihargai Rp 70.000 per kilogram. Harga getah kemenyan biasanya merosot tajam menjelang dan sesudah hari besar. Tabel 18. Unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya No 1 2 3 4
5
Unsur Kelemahan (Internal) Kurangnya informasi pasar yang diterima petani kemenyan Harga getah kemenyan yang tidak stabil di tingkat petani. Pengelolaan hutan/kebun kemenyan yang ada sekarang, belum disertai dengan upaya budidaya. Waktu menghasilkan (panen) dari tanaman kemenyan membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan komoditi lainnya seperti kopi. Sumberdaya manusia (pendidikan) masih relatif rendah TOTAL
Bobot
Rating
Skor
0,282
4
1,128
0,197
4
0,788
0,216
3
0,648
0,178
3
0,534
0,127 1,000
2
0,254 3,352
Belum adanya upaya budidaya secara intensif dikarenakan petani merasa bahwa alam masih mampu menopang keberlangsungan hidup tanaman kemenyan. Dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depan, kelemahan ini harus direduksi dengan merubah paradigma petani kemenyan menjadi petani yang membudidayakan kemenyan secara intensif sama halnya seperti usaha pertanian lainnya (tidak bergantung pada alam), dimana sudah ada proses penanaman bahkan bila perlu dilakukan pemupukan. Pada saat masa kejayaannya, karena harganya yang tinggi bagi para petani getah kemenyan ibarat emas yang dapat dipanen. Seiring waktu dengan masuk dan di perkenalkannya komoditi kopi, kemenyan bukan lagi menjadi prioritas utama. Bahkan tidak sedikit tanaman kemenyan dikonversi dengan tanaman kopi, terutama yang tumbuhnya dekat dengan pemukiman. Petani lebih memilih komoditas kopi karena di samping harganya yang lumayan tinggi, faktor yang lebih menggiurkan adalah waktu menghasilkan tanaman kopi relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan tanaman kemenyan. Pohon kemenyan dapat
berproduksi setelah berumur 6-7 tahun setelah ditanam, sementara tanaman kopi hanya butuh waktu 1-2 tahun. Tidak hanya itu, getah kemenyan baru dapat dipanen kembali 3-4 bulan setelah disadap, sementara tanaman kopi setiap minggunya bisa dipanen selama 10-15 tahun ke depannya. Oleh karena itu hal ini menjadi kelemahan dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depan. Sumberdaya manusia yang masih relatif rendah menjadi salah satu unsur kelemahan yang memiliki skor paling kecil dikarenakan dalam pengelolaan hutan kemenyan relatif tidak memerlukan keterampilan yang tinggi (high skill). Walaupun sebenarnya dalam setiap aspek kehidupan dituntut untuk memiliki pendidikan tinggi. Namun terkhusus dalam pengelolaan hutan kemenyan, dengan hanya bermodalkan pengetahuan dan belajar dari orang tua sudah mampu mengelola dan mengusahakan sendiri. Tradisi menyadap getah kemenyan ini sudah menjadi budaya dan pengetahuan lokal. Cara terbaik untuk melestarikannya adalah dengan mewariskan ke generasi berikutnya. Bagi petani, hal ini menjadi sesuatu kewajiban yang harus dilakukan.
5.4.3. Unsur Peluang (Oppurtunity) Peubah strategi eksternal berupa peluang (opportunity) yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “Dengan pengembangan hutan/kebun kemenyan merupakan salah satu upaya merehabilitasi lahan di tingkat lokal dan mencegah perubahan iklim di tingkat global” dengan nilai pengaruh sebesar 1,200 sedangkan peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil adalah “dukungan kebijakan pusat dan daerah” dengan nilai pengaruh sebesar 0,386. Pengembangan
hutan
kemenyan
dapat
dijadikan
sebagai
upaya
merehabilitasi lahan di tingkat lokal dan mencegah perubahan iklim di tingkat global. Peluang ini memiliki skor tertinggi karena pengembangan hutan kemenyan dapat dijadikan sebagai upaya dalam meningkatkan produktivitas lahan-lahan tidur ataupun lahan-lahan terlantar. Dalam kondisi tertentu dapat juga dijadikan sebagai upaya dalam merehabilitasi lahan-lahan kritis. Arah tujuan yang ingin
dicapai tentunya adalah perbaikan kualitas lingkungan yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Sama seperti kegiatankegiatan kehutanan lainnya, untuk tingkat global pengembangan hutan kemenyan sejalan dengan upaya dunia internasional dalam meminimalisasi perubahan iklim. Tabel 19. Unsur peluang dan nilai pengaruhnya No 1
2 3 4
Unsur Peluang (Eksternal) Dengan pengembangan hutan/kebun kemenyan merupakan salah satu upaya merehabilitasi lahan di tingkat lokal dan mengurangi perubahan iklim. Permintaan pasar yang terus meningkat baik dari konsumen lokal maupun luar negeri Perkembangan IPTEKS memungkinkan untuk meningkatkan produksi getah kemenyan. Dukungan kebijakan pemerintah daerah dan pusat dalam mengembangkan hutan/kebun kemenyan sebagai hasil hutan bukan kayu unggulan. TOTAL
Bobot
Rating
Skor
0,300
4
1,200
0,279
3
0,837
0,228
3
0,684
0,193 1,000
2
0,386 3,107
Getah kemenyan yang bernilai ekonomis tinggi telah diperdagangkan sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah memiliki rantai pemasaran skala nasional bahkan sampai ke luar negeri. Di luar negeri getah kemenyan dari Tapanuli lebih diminati karena dibandingkan dengan getah kemenyan yang dihasilkan dari negara lain, misalnya Vietnam, Laos dan Thailand, getah yang dihasilkan dari Tapanuli memiliki kualitas yang lebih baik (Kashio dan Johnson 2001). Oleh karena itu komoditi ini selalu memiliki pangsa dan permintaan pasar yang terus meningkat. Untuk meningkatkan produksi getah kemenyan salah satu cara yang dapat ditempuh
adalah
dengan
membudidayakan
tanaman
kemenyan
unggul.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini memungkinkan untuk memperoleh tanaman kemenyan unggul melalui pemuliaan pohon. Seleksi terhadap pohon kemenyan indukan perlu dilakukan untuk menghasilkan bibit kemenyan unggul. Bibit tanaman kemenyan unggul dapat diperoleh melalui metode stek, stump ataupun dengan kultur jaringan (Pasaribu dan Sipayung 1999).
Tanaman kemenyan yang unggul tentunya akan menghasilkan getah yang lebih unggul dari tanaman kemenyan biasa. Tanggung jawab pelestarian hutan tidak pernah terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Peran pemerintah sebagai regulator tidak dapat dikesampingkan karena pemerintah memiliki kewenangan yang memungkinkannya untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan pengelolaan hutan, sementara masyarakat desa sebagai struktur sosial terdekat dengan hutan tidak bisa dilepaskan dari interaksinya dengan hutan yang sedemikian intensif. Untuk dapat melestarikan hutan, kolaborasi dari kedua komponen tersebut adalah mutlak. Pada saat sekarang ini dukungan terhadap pelestarian hutan dari pemerintah pusat dan daerah terus mengalir dalam bentuk kegiatan-kegiatan seperti program pengembangan hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Namun di Humbang Hasundutan (dalam hal regulasi) kebijakan yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan kemenyan belum ada. Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang ada sekarang ditujukan untuk pengusahaan hutan rakyat jenis pinus yakni Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Humbahas No. 3 tahun 2005 yang diikuti dengan Peraturan Bupati No. 6 tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 3 tahun 2005 tersebut. Kebijakan seperti ini khusus untuk kemenyan tentunya sangat diperlukan dalam mendukung pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depan.
5.4.4. Unsur Ancaman (Threath) Peubah strategi eksternal berupa ancaman (threath) yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan (Tabel 20). Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa peubah yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah “kurang adanya jaminan berusaha” dengan nilai pengaruh sebesar 0,948 sedangkan peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil adalah “perubahan kondisi fisik habitat kemenyan” dengan nilai pengaruh sebesar 0,098. Dalam menjalankan sebuah usaha, jaminan keberlangsungan usaha menjadi sangat penting. Faktor ini yang tidak dimiliki petani dalam pengelolaan
hutan kemenyan. Jaminan ini sebenarnya dapat diperoleh apabila ada dukungan penuh dari pihak yang berwewenang. Adanya jaminan itu maka kekhawatiran tidak akan muncul dalam menjalankan usaha. Dengan adanya dukungan penuh dari pihak pemerintah maka apabila di kemudian hari terjadi masalah yang tidak menguntungkan petani, maka pemerintah menjadi pihak pertama dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat, yang tidak diikuti dengan pertambahan sumberdaya lahan maka yang terjadi adalah konversi lahan. Seperti misalnya lahan pertanian akan dikonversi untuk membangun tempat tinggal (pemukiman) baru. Begitu juga dengan lahan yang masih berhutan pada umumnya sering dikonversi menjadi lahan pertanian baru. Contoh lain misalnya untuk tujuan pengembangan wilayah salah satu program yang dilakukan adalah dengan membangun prasarana jalan sebagai akses penghubung antar desa, desa dengan kecamatan. Termasuk dalam Kabupaten Humbang Hasundutan ini sebagai daerah pemekaran, pembukaan hutan untuk tujuan pembangunan prasarana jalan sangat gencar dilakukan demi mengejar ketertinggalan dan keinginan untuk menyejajarkan diri dengan kabupaten lain. Batas-batas lahan antara kawasan hutan negara dan lahan milik masyarakat tidak ditemukan di lapangan. Pada umumnya yang terjadi sekarang ini adalah masyarakat mengklaim bahwa lahan yang dikelola sekarang merupakan tanah milik mereka sementara dari pihak pemerintah menetapkan statusnya sebagai kawasan hutan negara. Dualisme status lahan ini diperkeruh dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Negara. Masyarakat memiliki posisi yang lemah karena lahan mereka tidak disertai dengan sertifikat yang sah. Hadirnya pihak swasta dalam pengelolaan hutan produksi di daerah Humbang Hasundutan telah menimbulkan keresahan bagi petani kemenyan khususnya pada petani yang lokasi kemenyannya masuk dan/atau berbatasan langsung dengan areal konsesi perusahaan. Dengan izin yang diberikan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), pihak perusahaan melakukan perluasan areal penanaman hutan tanaman insdustri. Demi kepentingan perusahaan, hutan kemenyan yang masuk dalam areal konsesi perusahaan
ditebangi dan diganti dengan eucalyptus sebagai bahan baku industri pulp. Situasi seperti ini sudah terjadi dibeberapa lokasi dan berpeluang terjadi di lokasi-lokasi lain di Humbang Hasundutan. Ancaman ini tentunya sangat merugikan petani selain karena akan hilangnya sumber mata pencaharian ditandai dengan menurunnya jumlah populasi kemenyan, mereka juga harus terpinggirkan (dalam hal pengelolaan lahan). Tabel 20. Unsur ancaman dan nilai pengaruhnya No 1 2 3 4 5 6
Unsur Ancaman (Eksternal) Kurang adanya jaminan berusaha Kebutuhan terhadap lahan untuk peruntukan yang lain oleh masyarakat semakin meningkat. Batas dan status lahan yang tidak jelas. Perluasan hutan tanaman industri (HTI) oleh pihak swasta. Kebutuhan terhadap kayu yang semakin meningkat mengakibatkan populasi pohon kemenyan jadi berkurang. Perubahan kondisi fisik habitat kemenyan TOTAL
Bobot 0,237
Rating 4
Skor 0,948
0,206 0,198
3 3
0,618 0,594
0,150
3
0,450
0,111
2
0,222
0,098 1,000
1
0,098 2,930
Dengan digalakkannya pemberantasan illegal logging berimbas pada suplai bahan baku kayu untuk pertukangan menjadi sangat berkurang. Bukan saja harganya menjadi semakin mahal, tetapi juga sangat sulit diperoleh. Pada kondisi seperti ini ditambah dengan desakan keperluan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pohon kemenyan yang kualitasnya tidak kalah jauh dari jenis kayu pertukangan diolah dan dijual. Hal ini tentunya berdampak juga terhadap keberadaan jumlah populasi kemenyan. Penurunan jumlah produksi getah kemenyan dari tiap batang diyakini petani kemenyan sebagai akibat dari perubahan kondisi fisik habitat kemenyan. Perubahan habitat yang dimaksudkan disini adalah peningkatan suhu udara sebagai akibat dari pemanasan global. Petani kemenyan mungkin kurang bahkan tidak mengerti apa itu fenomena pemanasan global tapi mereka sudah merasakan dampaknya. Peningkatan suhu udara berpengaruh terhadap kualitas getah
kemenyan dimana getah yang seharusnya membentuk gumpalan pada rongga di dalam kulit kayu (mata kasar) menjadi meleleh dan keluar ke permukaan (tahir). Penurunan kualitas akan diikuti dengan penurunan harga. Selain karena peningkatan suhu udara, perubahan fisik habitat tanaman kemenyan yang dimaksudkan adalah berkurangnya kesuburan tanah. Sudah sejak berpuluh-puluh tahun tanah menopang pertumbuhan tanaman kemenyan tanpa perlakuan pemberian pupuk tambahan. Nutrisi tanah hanya disuplai dari dekomposisi biomassa yang membusuk (pupuk organik). Ketika pupuk organik berupa humus ini juga diambil petani untuk keperluan pertanian maka secara langsung akan menurunkan kesuburan tanah. Penurunan tingkat kesuburan tanah ini tentunya akan berdampak langsung pada penurunan kuantitas dan kualitas getah kemenyan.
5.5. Diagram SWOT Pengelolaan Hutan Kemenyan Berdasarkan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktorfaktor eksternal (peluang dan ancaman) yang telah dijelaskan diatas maka diagram SWOT dapat disusun. Nilai-nilai pengaruhnya (skor) yang sudah diketahui, masing-masing akan dihitung selisihnya yaitu dengan cara menghitung selisih total nilai pengaruh kekuatan terhadap kelemahan serta nilai pengaruh peluang diselisihkan terhadap nilai ancaman. Hasil analisa menunjukkan bahwa total nilai pengaruh peubah strategi internal berupa unsur kekuatan adalah sebesar 2,646 dan unsur kelemahan sebesar 3,352, sehingga selisih kedua peubah internal ini diperoleh -0,706. Demikian juga untuk peubah eksternal, diketahui bahwa nilai total pengaruh unsur peluang adalah sebesar 3,107 dan nilai total pengaruh unsur ancaman adalah sebesar 2,930. Dengan menghitung selisih nilai total pengaruh ini maka diperoleh nilai 0,177. Dengan menggabungkan kedua nilai selisih antara kekuatan terhadap kelemahan serta peluang terhadap ancaman, maka diperoleh sebuah titik koordinat, yaitu titik koordinat (-0,706 ; 0,177). Dengan menggambarkan titik dimaksud pada Diagram SWOT maka diketahui berada pada kuadran/sel 3 seperti pada Gambar 6. Diagram SWOT di atas menunjukkan bahwa situasi pengelolaan hutan kemenyan berada pada kuadran/sel ketiga.
Gambar 6. Diagram SWOT strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. Melihat situasi ini menurut (Rangkuti 2008) bahwa kondisi pengelolaan hutan kemenyan tidak menguntungkan, walaupun dari sisi ekternal memiliki peluang, namun dari sisi internal memiliki kelemahan. Apabila kondisi pengelolaan hutan kemenyan di lapangan mengalami seperti situasi yang disampaikan di atas, maka strategi yang direkomendasikan adalah meminimalkan kelemahan-kelemahan
(internal)
sehingga
dapat
mempergunakan,
mengoptimalkan dan merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy).
5.6. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Kemenyan Berdasarkan unsur kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta memadukannya dengan unsur peluang dan ancaman seperti terlihat pada diagram SWOT, maka ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ke depan yang melibatkan beberapa stakeholder, seperti: petani kemenyan, pemerintah, peneliti dan pihak swasta. Strategi ini tentunya berupaya untuk mereduksi kelemahan-kelemahan internal untuk merebut, memanfaatkan dan mengoptimalkan peluang yang ada (weakness-
opportunity). Strategi-strategi pengembangan prioritas yang dapat dilakukan, antara lain: a. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari dinas kehutanan terhadap petani kemenyan. Penyuluhan akan sangat membantu petani kemenyan dalam hal peningkatan kapasitasnya dan juga penyebaran informasi. b. Membentuk kelompok tani dan/atau koperasi di tingkat desa untuk menghindari spekulasi harga yang dilakukan oleh para agen pengumpul. Keberadaan kelompok tani dan koperasi akan banyak menguntungkan petani kemenyan tentunya tetap dengan fasilitasi dari pemerintah. c. Pengawasan terhadap sistem pemasaran getah kemenyan. Peran ini diemban oleh pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan untuk menghindari praktek-praktek monopoli dan spekulasi para pengumpul yang dapat merugikan para petani kemenyan. d. Pengelolaan hutan kemenyan dilakukan dengan sistem budidaya intensif untuk meningkatkan produksi getah kemenyan serta mengkombinasikan dengan tanaman yang tahan naungan, misalnya dengan kopi melalui sistem agroforestri. e. Penggunaan
bibit
tanaman
kemenyan
unggul
untuk
meningkatkan
produktivitas getah dan juga mempercepat usia dipanen (berproduksi). Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada saat sekarang ini memungkinkan untuk melakukan pemuliaan pohon untuk menghasilkan tanaman kemenyan yang unggul. Selain strategi prioritas (WO) sesuai diagram SWOT, strategi-strategi alternatif lain (SO, ST dan WT) juga harus dilakukan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 7. Strategi-strategi alternatif ini dilakukan bersama-sama dengan strategi prioritas untuk mewujudkan pengelolaan hutan kemenyan yang lebih baik. Strategi-strategi pengembangan lainnya yang dapat dilakukan, antara lain: a. Membangun dan memperluas hutan kemenyan sebagai bagian dari upaya rehabilitasi lahan, perbaikan kualitas dan daya dukung lingkungan, dan juga sebagai upaya melestarikan pengelolaan hutan kemenyan sebagai bagian dari budaya dan kearifan lokal dari petani kemenyan.
b. Melakukan kajian-kajian dan penelitian-penelitian terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi dan sosial yang output-nya bermanfaat dalam pengembangan hutan kemenyan. Upaya ini dapat dilakukan dengan menyediakan dana dan menggandeng peneliti-peneliti. c. Memperpendek daur tanaman sesuai dengan umur tanaman berproduksi maksimal dan puncak pertambahan voume pohon, sehingga pada akhir daur kayunya juga dapat dipanen (pola hutan rakyat). d. Meningkatkan nilai jual getah kemenyan menjadi bahan setengah jadi ataupun bahan jadi. Upaya ini sangat mungkin dilakukan dengan melakukan kerja sama antara petani, pemerintah dan pihak swasta. e. Mencari investor dan memberikan iklim investasi yang kondusif. Melihat dan memanfaatkan peluang pasar yang ada tentunya pemerintah dapat mempromosikan komoditi getah kemenyan untuk menggaet pihak swasta untuk berinvestasi. f. Pemerintah memberikan jaminan berusaha terhadap petani kemenyan dengan memberikan payung hukum sebagai hutan desa ataupun hutan kemasyarakatan yang sekarang lagi diprogramkan oleh Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan). g. Membatasi dan memplot wilayah-wilayah yang dapat dikonversi untuk peruntukan lain. Upaya ini dapat diselaraskan dengan tata ruang kabupaten ataupun kecamatan. Tentunya yang menjadi daerah dengan fungsi lindung sebaiknya tidak dilakukan konversi peruntukannya. h. Memberikan dan menetapkan batas-batas antara kawasan hutan negara dan hutan masyarakat melalui kegiatan penataan batas, sehingga konflik mengenai status kepemilikan lahan akan mampu direduksi baik antara masyarakat dengan pihak swasta maupun antara masyarakat dengan pemerintah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini, ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan, antara lain: 1. Pengelolaan hutan kemenyan merupakan bagian dari budaya dan kearifan lokal masyarakat khususnya petani kemenyan yang diwariskan secara turuntemurun. Dengan pemilikan kebun kemenyan rata-rata petani memperoleh penghasilan rata-rata sebesar Rp 13.233.500/tahun (60,69% dari pendapatan total) dan melalui analisa finansial menyimpulkan bahwa hutan kemenyan layak diusahakan, walaupun nilai penghasilan bersih yang diperoleh sangat rendah sehingga kurang kompetitif dibandingkan dengan usaha komoditas lain, maka agar lebih kompetitif pengembangan hutan kemenyan perlu dipadukan dengan tanaman semusim yang ekonomis. 2. Petani dalam mengelola hutan kemenyan menghadapi banyak permasalahan baik dari internal maupun eksternal. Kelemahan dari sisi internal, antara lain: kurangnya informasi pasar, harga getah kemenyan yang tidak stabil, pengelolaan hutan kemenyan yang belum disertai dengan budidaya intensif, waktu menghasilkan (panen) tanaman kemenyan membutuhkan waktu yang relatif lama dan sumberdaya manusia (pendidikan) masih relatif rendah. Sementara ancaman dari sisi eksternal, diantaranya : kurang adanya jaminan berusaha, kebutuhan terhadap lahan untuk peruntukan yang lain semakin meningkat, batas dan status lahan yang tidak jelas, perluasan hutan tanaman industri (HTI) oleh pihak swasta, kebutuhan terhadap kayu yang tinggi dan perubahan kondisi fisik habitat kemenyan. 3. Strategi pengembangan yang direkomendasikan adalah strategi meminimalkan kelemahan-kelemahan (internal) untuk mempergunakan, mengoptimalkan dan merebut peluang yang dimiliki (support a turnaround oriented strategy) seperti mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari dinas kehutanan terhadap petani kemenyan, membentuk kelompok tani dan/atau koperasi di tingkat desa, pengawasan terhadap sistem pemasaran getah
kemenyan, sistem budidaya intensif dengan pola agroforestri dan penggunaan bibit tanaman kemenyan unggul.
6.2. Saran Tegakan kemenyan yang dibudidayakan masyarakat sekarang pada umumnya berasal dari anakan yang tumbuh secara alami yang tentunya apabila dilihat dari segi kualitas, tentunya kurang terjamin. Untuk meningkatkan produksi getah yang berimbas pada peningkatan penghasilan petani, dalam peremajaan tanaman sebaiknya menggunakan bibit kemenyan unggul hasil pemuliaan pohon. Walau membutuhkan biaya tambahan untuk membeli bibit, tetapi hasil yang akan diperoleh ke depannya akan jauh lebih baik. Pengelolaan hutan kemenyan ke depan masih memerlukan penelitianpenelitian yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi getah, misalnya penelitian untuk menghasilkan tanaman yang cepat berproduksi serta informasi pada umur berapa tanaman kemenyan berproduksi maksimal perlu untuk diketahui. Penelitian juga diperlukan untuk mengkaji diversifikasi produk dari bahan-bahan yang terkandung dalam getah kemenyan. Diperlukan peran aktif dan insentif dari pemerintah untuk mendorong dan merangsang tumbuhnya hutan kemenyan dengan pola agroforestri yang terarah, baik sebagai upaya pemanfaatan kawasan hutan maupun upaya rehabiltasi lahan sehingga memberikan hasil yang optimal. Peran pemerintah juga diharapkan dalam hal standarisasi harga getah, perbaikan mekanisme pasar, penggalian pangsa pasar dalam negeri untuk menyerap produksi getah kemenyan serta pembenahan dalam pengelompokan kelas mutu getah. Pengelompokan getah sebaiknya tidak hanya berdasarkan besar butiran dan warna, tetapi juga dilihat kandungan senyawa kimianya.
DAFTAR PUSTAKA Affandi O. 2003. Perspektif Sosiologis Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Pembangunan Kehutanan. Warta FKKM, Vol. IV No. 1, Januari 2003. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. [BPS Kabupaten Humbang Hasundutan] Badan Pusat Statistik Kabupaten Humbang Hasundutan. 2009. Humbang Hasundutan dalam Angka 2008. Dolok sanggul: BPS Kab. Humbang Hasundutan. [BPS Provinsi Sumatera Utara] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2008. Sumatera Utara dalam Angka 2008. Medan: BPS Provinsi Sumut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007a. Instrumen Kehutanan Global. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta: Dephut. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Sutomo S dan Mangiri K, Penerjemah. Edisi ke-2. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Economic Analysis of Agriculture Project. Hamzirwan. 2 November 2010. Setahun Kabinet: Mewujudkan Hutan yang Prorakyat. Kompas: 21 (kolom 1 - 6). Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat Di pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jayusman. 1997. Kajian Sistem Pemasaran Getah Kemenyan (Styrax sp.): Studi Kasus di Desa Simasom, Pahae Julu–Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Buletin Penelitian Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 13 Nomor 1.
Karo-karo H. 2010. Analisis Usahatani Kopi di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. http://repository.usu.ac.id/123456789/7507/1/10E00068. [9 November 2010]. Kashio M, Johnson DV. 2001. Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from Styrax species). Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010 – 2014. Jakarta: Kemenhut. Keraf AS. 2006. Etika Lingkungan. Cetakan ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Cetakan ke-6. Bogor Selatan: Penerbit Ghalia Indonesia. Nurrochmat DR. 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat: Kemenyan di Tapanuli Utara. Di dalam: Darusman D, Editor. Resiliensi Kehutanan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Debut Press. Rangkuti F. 2008. Analisa SWOT Tehnik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Pasaribu BA dan Sipayung W. 1999. Petunjuk Teknis Budidaya Kemenyan (Styrax spp). Konifera. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 2 Nomor 1. Sajidiman. 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Sarifuddin et al. 2004. Dampak Pembukaan Hutan terhadap Potensi Sumber Daya Lahan dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sasmuko SA. 1995. Sifat Fisis dan Kimia Getah Kemenyan. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 11 Nomor 2. Sasmuko SA. 1996a. Pengaruh Cara Penyadapan Terhadap Produksi Getah Kemenyan (Styrax sumatrana J.J.SM). Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 12 Nomor 2. Sasmuko SA. 1996b. Hubungan Antara Umur Pohon dan Produksi Getah pada Penyadapan Getah Kemenyan (Styrax sumatrana J.J.SM). Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 12 Nomor 3.
Sasmuko SA. 1998a. Pengaruh Pemberian Ethrel terhadap Produksi Getah Kemenyan (Styrax sumatrana J.J.SM). Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Pematang Siantar. Volume 14 Nomor 1. Sasmuko SA. 1998b. Pengolahan dan Tata Niaga Kemenyan di Sumatera Utara. Makalah Utama Ekspose Hasil Penelitian BPK-PS. Pematang siantar. Sasmuko SA. 2003. Potensi Pengembangan Kemenyan Sebagai Komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu Spesifik Andalan Propinsi Sumatera Utara. Makalah Seminar Nasional Himpunan Alumni – IPB dan HAPKA Fakultas Kehutanan IPB. Wilayah Regional Sumatera. Medan. Singarimbun M dan Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES. Supriadi P. 2003. Prospek Pengelolaan Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan bukan Kayu dalam Mendukung Kebijakan Soft Landing Pengelolaan Hutan. Makalah Seminar Nasional Himpunan Alumni – IPB dan HAPKA Fakultas Kehutanan IPB. Wilayah Regional Sumatera. Medan. Start D, Hovland I. 2004. Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers. London: Overseas Development Institut. Yuniandra F. 1998. Pemasaran Getah Kemenyan (Styrax Spp) di Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara. Di dalam: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation.