KAJIAN PENGARUH PERUBAHAN IKLIM DAN TATA GUNA LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM HULU TERHADAP PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR SAGULING
DODY SETIAWAN
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ABSTRACT
DODY SETIAWAN. Assessing the Impact of Climate Change and Landuse Change in Upper Citarum Watershed to Saguling Hydropower. Under supervision of RIZALDI BOER
Saguling Hydropower has an important role in addressing electricity demand in Jawa-Bali region. To generate electricity, the hydropower utilizes storage water in Saguling Reservoir. However, due to rapid rate of deforestation, the hydrological cycle becomes uncertain as well as the water supply for electricity generation. The global climate change also affects local rainfall in the watershed. This research aimed to analyze the integrated impacts of landuse change and climate change in Upper Citarum Watershed on electricity generation of Saguling Hydropower. The SWAT model was applied to simulate hydrological cycle in the watershed while RegCM3 data simulated by CCROM-SEAP was used as climate data input. Statistical equation of inflowelectricity production based on different season (rainy and dry season) was also used to generate electricity data from inflow. It was predicted that between 2000 and 2025 deforestation will reduce about 38% forest cover in Upper Citarum watershed. This would lead to increasing runoff fraction and decreasing stream baseflow over subbasin scale. On the other side, climate change triggers rainfall alteration temporally and spatially that posses discharge input for hydropower. Collectively, climate and landuse change strengthen the risk of low inflow to Saguling reservoir, leading to lower electricity production.
Keyword : climate change, landuse change, hydropower, SWAT model.
ABSTRAK
DODY SETIAWAN. Kajian Pengaruh Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling. Di bawah bimbingan RIZALDI BOER
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Jawa-Bali. Untuk menghasilkan listrik, PLTA ini memanfaatkan air yang tertampung di waduk Saguling. Karena laju deforestasi yang tinggi, siklus hidrologi serta suplai air untuk PLTA menjadi tidak menentu. Perubahan iklim global juga mempengaruhi curah hujan lokal di daerah aliran sungai. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis dampak terpadu dari perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan di DAS Citarum Hulu terahadap produksi listrik PLTA Saguling. Model hidrologi SWAT digunakan untuk simulasi siklus hidrologi DAS sedangkan data RegCM3 yang disimulasikan oleh CCROM-SEAP digunakan sebagai input data iklim. Persamaan statistik inflow-produksi listrik berdasarkan perbedaan musim juga digunakan untuk menduga data produksi listrik dari nilai inflow. Dalam periode tahun 2000 dan 2025 diprediksi bahwa deforestasi akan menurunkan luas hutan sebesar 38 persen. Hal ini berdampak pada peningkatan fraksi hujan yang melimpas dan penurunan aliran dasar. Di sisi lain, perubahan iklim menyebabkan terhadinya perubahan curah hujan, baik secara musiman maupun secara spasial yang berdampak pada input debit untuk PLTA. Secara bersama-sama, perubahan iklim dan tata guna lahan meningkatkan risiko debit rendah untuk PLTA Saguling sehingga menyebabkan produksi listrik yang rendah.
Kata kunci : model SWAT, perubahan iklim, perubahan tata guna lahan, PLTA.
©Hak Cipta milik IPB tahun 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mengutip atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar pihak IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
KAJIAN PENGARUH PERUBAHAN IKLIM DAN TATA GUNA LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM HULU TERHADAP PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR SAGULING
DODY SETIAWAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul
:
Kajian Pengaruh Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling
Nama
:
Dody Setiawan
NIM
:
G24080020
Menyetujui, Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MS NIP. 19600927 198903 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Sang Maha Pemberi Ilmu Allah SWT yang memberikan banyak inspirasi kepada penulis sehingga penelitian dan tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul ”Kajian Pengaruh Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling” ini merupakan buah karya penulis untuk menyelesaikan program sarjana Meteorologi Terapan IPB. Dalam perjalanannya di masa perkuliahan dan juga penelitian penulis mendapatkan dukungan dari banyak fihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada, 1. Ayahanda Suyud Eko Widodo dan Ibunda Asih Winarti serta adikku Ayik Harianto yang selalu memberikan semangat serta dukungan baik moral maupun materi 2. Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MS selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini dengan baik 3. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua departemen, Ir. Bregas Budianto, Ass.Dpl selaku ketua komisi kemahasiswaan serta seluruh dosen yang telah mengajar di program sarjana Meteorologi Terapan yang telah memberikan berbagai ilmu yang sangat bermanfaat 4. Kak Adi Rakhman selaku rekan kerja penelitian yang telah banyak membantu penulis dalam pemodelan hidrologi SWAT 5. Seluruh staf Center for Climate Risk and Opportunity Management-Southeast Asia Pacific (CCROM-SEAP), Pak Faqih, Pak Ardi, Pak Yuli, Kak Iksan, Kak Gito, Mbak Beti, Kak Anria, Kak Wari dan Mas Nandang yang telah membantu dalam penyediaan data dan fasilitas dalam penelitian ini 6. Pak Bambang selaku staf PLTA Saguling yang telah membantu dalam penyediaan data serta menjelaskan mekanisme konversi listrik di PLTA Saguling 7. Valentina Sokoastri yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini 8. Sarah Purnamawati selaku teman sebimbingan yang telah membantu dalam pengurusan administrasi skripsi 9. Teman-teman GFM 45 yang selalu memberikan semangat dan keceriaan selama penulis berkuliah di IPB (Adi, Adit, Aila, Akfia, Asep, Aulia, Citra, Dewa, Dewi, Dicky, Dila, Diyah, Dora, Emod, Faiz, Farrah, Fatchah, Fauzan, Fe, Fella, Ferdy, Fida, Firman, Fitra, Fitri, Geno, Hanifah, Iput, Iyhan, Ketty, Maria, Mela, Mirna, Nadita, Nae, Nia, Nisa’, Okta, Pungki, Putri, Ratdil, Ria, Ruri, Sarah, Selma, Sintong, Taufiq, Tiska, Widya, Yoga dan Yuda) 10. Pengurus pusat Program Pembinaan Sumberdaya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri, Pak Musholli, Bang Bachtiar, Bang Adji, Pak Munif, Bang Nazrul, Bang Sobari serta temanteman PPSDMS Regional 5 Bogor yang telah memberikan banyak pelajaran kehidupan serta pengembangan diri kepada penulis 11. Tanoto Foundation dan Persatuan Orangtua Mahasiswa (POM) yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada penulis selama berkuliah di IPB 12. Teman-teman Mahasiswa Berprestasi IPB 2012 (Sigit, Rio, Orin, Acep, Adisti, Yunita, Alfi dan Intan) yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk selalu berprestasi 13. Teman-teman Author of the Dream, Creative Learning Club Geomet, Kamajaya Kediri, SADAP HIMAGRETO 2011, PPSDMS BEM FMIPA 2010, FLAC Bogor 14. Seluruh staf PT Genta Energy (Pak Fahmi, Mbak Talitha, Feiral, Anthoni, Budi, Anin dan Sena) yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian dan semua pihak yang memberikan bantuan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, baik secara langsung maupun melalui email
[email protected]. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat kepada seluruh pembaca. Bogor, Januari 2013
Dody Setiawan
RIWAYAT HIDUP
DODY SETIAWAN, lahir di Kota Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 18 Mei 1990. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Suyud Eko Widodo dan Asih Winarti. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Bustanul Athfal pada tahun 1994-1996, sekolah dasar di SDN Kurungrejo III pada tahun 1996-2002, sekolah menengah pertama di SMPN 1 Prambon pada tahun 2002-2005, dan sekolah menengah atas di SMAN 1 Kediri pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008 Penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor (IPB), program sarjana Meteorologi Terapan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pembinaan kepemimpinan melalui Program Pengembangan Sumberdaya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri pada tahun 2011-2012. Penulis juga terpilih untuk mengikuti summer course di Russia pada tahun 2012. Selama di kampus, penulis aktif dalam berbagai organisasi dan komunitas baik di dalam maupun di luar kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (2009-2010), Keluarga Mahasiswa Jayabaya Kediri (2009-2010), Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (2010-2011), Green Student Movement Indonesia (2011-2012), Future Leader for Anti-Corruption (2011-2012) dan komunitas Author of the Dream (2012). Pada September 2012, penulis bersama beberapa mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB mendirikan komunitas Creative Learning Club (CLC GEOMET) yang merupakan klub pengembangan diri untuk mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi. Selain aktif dalam kegiatan organisasi penulis juga beberapa kali terpilih sebagai delegasi Indonesia dalam kegiatan internasional seperti 2011 International Student Conference on Environment and Sustainability di China, International Youth and Children Conference on the Environment di Bandung, Asia-Pacific UNEP TUNZA Youth and Children Conference di India serta International Youth Forum Seliger 2012 di Rusia. Selain itu, Penulis juga mendapatkan penghargaan untuk beberapa kompetisi, seperti Juara 2 Lomba Essay Almamater Sakti, Penerima Hibah Dana PKM GT dari DIKTI, Juara 1 Lomba Akustik SPIRIT, Juara 1 Lomba Desain Pin LFAD serta Juara 1 Business Challenge Imajatim. Pada tahun 2012 mendapatkan penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi ke-3 di tingkat Institut Pertanian Bogor, setelah sebelumnya berhasil menjadi Mahasiswa Berprestasi ke-1 tingkat Departmen Geofisika dan Meteorologi serta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... xii I. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 1 1.2. Tujuan .............................................................................................................................. 1 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 1 2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................................................................... 1 2.2. Perubahan Tata Guna Lahan ............................................................................................ 2 2.3. Perubahan Iklim di Indonesia .......................................................................................... 3 2.4. Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling ........................................................................ 4 2.5. Model Soil and Water Assessment Tools (SWAT) ......................................................... 5 III. METODOLOGI ....................................................................................................................... 5 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................................... 5 3.2. Alat dan Bahan ................................................................................................................ 5 3.3. Metode ............................................................................................................................. 5 3.3.1. Model Hidrologi SWAT ......................................................................................... 6 3.3.2. Model Iklim RegCM3 ............................................................................................. 8 3.3.3. Model Hubungan Inflow-Produksi Listrik .............................................................. 8 3.4. Skenario ........................................................................................................................... 9 3.5. Analisis Risiko ................................................................................................................. 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. 10 4.1. Kondisi Umum DAS Citarum Hulu ............................................................................... 10 4.2. Perubahan Tata Guna Lahan DAS Citarum Hulu .......................................................... 10 4.3. Pengaruh Tutupan Hutan terhadap Siklus Hidrologi SubDAS ...................................... 13 4.4. Perubahan Iklim Regional di DAS Citarum Hulu ......................................................... 15 4.5. Pengaruh Perubahan Lahan dan Perubahan Iklim terhadap PLTA Saguling ................. 17 V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 18 5.1. Kesimpulan .................................................................................................................... 18 5.2. Saran .............................................................................................................................. 18 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 19 LAMPIRAN .................................................................................................................................... 21
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Skenario Perubahan Iklim dan Perubahan Tata Guna Lahan ............................................... 9 Tabel 2 Perubahan Tata Guna Lahan Tahun 2000-2010 ................................................................. 12 Tabel 3 Perubahan Tata Guna Lahan Tahun 2010-2025 ................................................................. 12 Tabel 4 Nilai baseflow pada subDAS dengan luas dan tutupan hutan yang berbeda. ..................... 14
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Proses Siklus Hidrologi di DAS (P = presipitasi, E = evaporasi, I = intersepsi, Q = limpasan, QG = air bumi dan QTF = throughflow) (Davie 2008). ........................... 2 Gambar 2 Peta Situasi PLTA Saguling (Aprizal 2003). .................................................................... 4 Gambar 3 Diagram alir penelitian. .................................................................................................... 7 Gambar 4 Hubungan inflow-outflow. ................................................................................................ 8 Gambar 5 Hubungan inflow-outflow pada musim hujan (a) dan musim kemarau (b). ...................... 9 Gambar 6 Hubungan Outflow dan Produksi Listrik. ......................................................................... 9 Gambar 7 Peta tata guna lahan DAS Citarum Hulu tahun 2010. .................................................... 11 Gambar 8 Perubahan tata guna lahan DAS Citarum Hulu. ............................................................. 11 Gambar 9 Sebaran subDAS bagian hulu berdasarkan luas area dan perubahan tutupan hutan periode 2000-2025.......................................................................................................... 13 Gambar 10 Fraksi baseflow-hujan. ................................................................................................. 14 Gambar 11 Debit pada Outlet Nanjung. .......................................................................................... 14 Gambar 12 Perubahan persen tutupan hutan DAS Citarum Hulu. .................................................. 15 Gambar 13 Persentase hari hujan data observasi dan model RegCM3. ......................................... 15 Gambar 14 Sebaran data hujan observasi dan model RegCM3. .................................................... 15 Gambar 15 Proyeksi perubahan curah hujan musiman. ................................................................. 15 Gambar 16 Perubahan curah hujan DAS Citarum Hulu secara spasial. .......................................... 16 Gambar 17 Distribusi data hujan RegCM3, a) musim hujan dan b) musim kemarau. .................... 17 Gambar 18 Proyeksi produksi listrik PLTA Saguling secara musiman. ........................................ 17 Gambar 19 Histogram data produksi listrik. ................................................................................... 17 Gambar 20 Peluang kumulatif skenario H10 dan F25 pada titik kritis. ......................................... 18
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Peta tata guna lahan DAS Citarum Hulu tahun 2000. .................................................. 22 Lampiran 2 Peta tata guna lahan DAS Citarum Hulu tahun 2025. .................................................. 22 Lampiran 3 Peta tanah DAS Citarum Hulu ..................................................................................... 23 Lampiran 4 Jenis tanah berdasarkan klasifikasi USDA 1993 ........................................................ 23 Lampiran 5 Posisi stasiun hujan observasi ...................................................................................... 24 Lampiran 6 Posisi stasiun RegCM3 ................................................................................................ 24 Lampiran 7 Hasil kalibrasi model SWAT. ...................................................................................... 25 Lampiran 8 Hasil validasi model SWAT. ....................................................................................... 25 Lampiran 9 Parameter kalibrasi dan validasi model SWAT. .......................................................... 26 Lampiran 10 Time series inflow dan outflow Waduk Saguling. ..................................................... 27 Lampiran 11 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario H00 .......................................................... 27 Lampiran 12 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario H10 .......................................................... 28 Lampiran 13 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario H25 .......................................................... 29 Lampiran 14 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario F25 ........................................................... 30 Lampiran 15 Grafik regresi hujan vs debit sungai. ......................................................................... 31 Lampiran 16 Analisis korelasi tutupan hutan dan fraksi baseflow-hujan. ....................................... 31 Lampiran 17 Perubahan lahan subDAS 54 dan 61 .......................................................................... 31
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling merupakan salah satu pembangkit listrik yang memiliki peran penting di wilayah Jawa-Bali. Dibandingkan PLTA Jatiluhur dan Cirata yang juga terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Jawa Barat, PLTA Saguling memiliki kapasitas terpasang yang besar, yaitu 700 MW. Dengan kapasitas yang cukup besar PLTA Saguling mampu menyuplai 3.88 persen kebutuhan listrik masyarakat Jawa-Bali (Pamungkas 2004). PLTA Saguling memanfaatkan aliran air yang tertampung di Waduk Saguling untuk menggerakkan turbin yang terhubung dengan generator listrik. Air di Waduk Saguling berasal dari sungai-sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum bagian hulu. Air yang digunakan untuk memutar turbin tidak langsung dialirkan menuju muara, tapi air ini dialirkan ke waduk di bawah Waduk Saguling, yaitu Waduk Cirata lalu ke Waduk Jatiluhur untuk berbagai keperluan seperti pembangkit listrik tenaga air, perikanan tambak, serta air irigasi untuk pertanian. Hasil penelitian Hamududu dan Killingtveit (2012) mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap PLTA memberikan gambaran bahwa perubahan iklim akan meningkatkan produksi listrik PLTA di Asia Tenggara sebesar 1.08 %. Namun, penurunan curah hujan di hampir seluruh tempat di Indonesia selama satu abad terakhir (Aldrian 2007) diduga juga menyebabkan penurunan debit limpasan yang akan berdampak pada penurunan produksi litrik PLTA. Perubahan pola hujan akibat perubahan iklim juga akan mempengaruhi aliran bawah tanah dan berdampak pada ketersediaan air. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS) Citarum bagian hulu. Hasil penelitian Adrionita (2011) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tata guna lahan di DAS Citarum hulu. Sejak tahun 1994 sampai 2005 terjadi peningkatan luas lahan perkebunan sebesar 51.2% dan penurunan hutan sebesar 41.7% dan sawah sebesar 19.9%. Perubahan komposisi tata guna lahan pada DAS berdampak pada
perubahan persentase air hujan yang dikonversi menjadi debit limpasan. Semakin buruk kondisi daerah aliran sungai maka semakin besar air hujan yang dikonversi menjadi limpasan dan semakin rendah air hujan yang tersimpan di dalam tanah. Perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap parameter-parameter hidrologi di suatu DAS (Li 2009). Namun, secara bersama-sama, perubahan iklim dan konversi lahan akan mempengaruhi fluktuasi debit air sungai yang meupakan sumber utama produksi listrik PLTA. Penelitianpenelitian terdahulu mengkaji siklus hidrologi DAS Citarum Hulu secara terpisah berdasarkan pengaruh perubahan tata guna lahan (Adrionita 2011, Tommy 2011) atau perubahan iklim (WWF 2007, Kusuma et al 2010, Hutagalung 2003). Penelitian ini menganalisis dampak perubahan ikim dan perubahan tata guna lahan secara komprehensif terhadap produksi listrik PLTA. 1.2. Tujuan 1. 2. 3.
4.
Tujuan dari penelitian ini adalah: Mempelajari karakteristik hidrologi DAS Citarum Hulu Menganalisis pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap debit sungai Menganalisis perubahan curah hujan secara temporal dan spasial di DAS Citarum Hulu Mengkaji pengaruh perubahan iklim dan tata guna lahan terhadap produksi listrik PLTA II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah di permukaan bumi dimana di dalamnya terdapat sistem aliran air yang terdiri dari sungai utama dan beberapa anak cabangnya (Ritter 2003). Daerah aliran sungai terbentuk dari formasi alamiah yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut (Sjarief & Rodoatie 2008). Air hujan yang jatuh di wilayah DAS akan bergerak menjadi limpasan dan berkumpul menuju satu titik, yang biasa disebut dengan mulut sungai atau outlet.
2
Sebagai bagian dari sistem hidrologi, DAS memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan siklus hidrologi. Di DAS terdapat tiga proses utama dari siklus hidrologi, yaitu evaporasi, presipitasi dan limpasan. Secara lebih mendetail, prosesproses tersebut dapat dipisah menjadi subproses. Evaporasi yang terjadi di DAS biasanya terdiri dari evaporasi dari badan air, evaporasi dari tanah, evaporasi dari permukaan tanaman, serta intersepsi dan transpirasi dari tanaman. Presipitasi dapat berbentuk hujan yang langsung jatuh ke tanah dan ada yang mengalami evaporasi dan intersepsi. Limpasan dapat dibagi menjadi limpasan permukaan dan limpasan bawah permukaan. Limpasan bawah permukaan terdiri dari throughflow (aliran di zona tak jenuh) dan groundwater flow (aliran di zona jenuh) (Gambar 1). DAS memiliki beberapa karakteristik yang menentukan besarnya curah hujan yang dikonversi menjadi limpasan, yaitu geometri DAS, sifat fisik DAS dan sifat sungai. Geometri DAS yang mempengaruhi limpasan adalah ukuran, bentuk, kemiringan, orientasi, elevasi dan kerapatan sungai (Shelton 2009). Sedangkan, beberapa sifat fisik DAS yang juga berpengaruh adalah tata guna dan tutupan lahan, infiltrasi permukaan, jenis tanah, permeabilitas, kapasitas air bumi dan ada tidaknya danau dan rawa. Sifat sungai seperti ukuran, bentuk, keterjalan dan panjang
mempengaruhi kapasitas simpan sungai dan menentukan waktu debit puncak (Shelton 2009). 2.2. Perubahan Tata Guna Lahan Istilah land use atau tata guna lahan dan land cover atau tutupan lahan merupakan dua istilah yang berbeda. Tutupan lahan merujuk pada karakter fisik permukaan bumi seperti badan air, hutan, area pertanian, gunung, dan jenis tutupan lainnya. Sedangkan, tata guna lahan merujuk pada manajemen atau penggunaan lahan oleh manusia, seperti hutan yang digunakan untuk ecotourism atau industri (Baulies & Szejwach 1997). Perubahan tutupan atau tata guna lahan dibagi menjadi dua, yaitu konversi dan modifikasi. Konversi adalah perubahan sistem tutupan lahan dari satu jenis ke jenis lainnya, misalkan deforestasi dan ekspansi area pertanian. Sedangkan, modifikasi tutupan lahan merupakan proses perubahan lahan secara sederhana tanpa mengubah jenis tutupan lahan (Baulies & Szejwach 1997). Perubahan tutupan dan tata guna lahan akan mempengaruhi sumber dan simpanan materi dan energi termasuk mempengaruhi emisi gas dan siklus hidrologi (Lambin & Geist 2006). Tiga proses utama dalam perubahan tata guna lahan yang mempengaruhi siklus hidrologi DAS adalah deforestasi, praktik pertanian dan urbanisasi.
Gambar 1 Proses Siklus Hidrologi di DAS (P = presipitasi, E = evaporasi, I = intersepsi, Q = limpasan, QG = air bumi dan QTF = throughflow) (Davie 2008).
3
Dampak umum dari deforestasi terhadap siklus hidrologi adalah peningkatan debit limpasan. Penebangan pohon menyebabkan menurunnya porsi air yang diintersepsi dan dievaporasikan oleh tanaman dan semakin meningkatnya curah hujan yang langsung jatuh ke tanah dan menjadi limpasan. Dampak lain dari deforestasi adalah peningkatan konsentrasi sedimen di sungai. Curah hujan yang jatuh ke tanah mempengaruhi terjadinya erosi tanah. Sedimen ini dapat berasal dari jalan dan jaringan sungai (Arnell 2002). Praktik pertanian mempengaruhi kualitas maupun kuantitas air dalam sistem hidrologi DAS. Kualitas air dipengaruhi oleh aktivitas pertanian seperti nutrien, material organik, patogen dan pestisida. Sedangkan, faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas air dapat dibagi menjadi tiga, yaitu jenis tanaman pertanian, pengolahan lahan dan irigasi. Jenis tanaman pertanian memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap evapotranspirasi tanaman karena setiap tanaman memiliki kebutuhan air tanaman yang berbeda-beda. Pengolahan lahan seperti pembajakan tanah menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi dan peningkatan debit limpasan. Namun, faktor yang memberikan dampak paling besar terhadap limpasan dan imbuhan air bumi adalah sistem drainase sawah yang juga dipengaruhi oleh jenis tanah (Arnell 2002). Urbanisasi mengubah karakter fisik DAS dan jika area urban sangat luas, urbanisasi bisa mempengaruhi iklim lokal (Barry & Chorley 1998). Perubahan karakter fisik ini meliputi perubahan kualitas dan kuantitas air. Secara umum, urbanisasi mengubah tutupan vegetasi yang permeabel menjadi tutupan area urban yang tidak permeabel sehingga air hujan yang turun lebih cenderung menjadi limpasan daripada mengalami evaporasi maupun infiltrasi. Aliran sungai mengalami peningkatan debit puncak dan penurunan aliran dasar. Secara kualitas, air di area urban mengalami polusi baik oleh limbah industri maupun limbah organik dan pestisida dari taman kota. Sedimentasi juga terjadi akibat limbah industri dan pembangunan area urban (Arnell 2002). 2.3. Perubahan Iklim di Indonesia Perubahan iklim merupakan perubahan kondisi iklim yang dapat diidentifikasi
(misalnya dengan uji statistik) dari perubahan nilai rata-rata dan/atau variabilitas unsur-unsurnya yang terjadi dalam periode waktu yang cukup lama, biasanya dekade atau lebih panjang (Bates et al 2008). Selain itu, perubahan iklim juga dapat dilihat dari perubahan kondisi alam sekitar. Perubahan ini meliputi melelehnya salju musim semi dan puncak debit yang lebih awal, melelehnya glasier gunung, penurunan gunung es di kutub selama musim panas serta meningkatnya frekuensi iklim ekstrim (IPCC 2007). Dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) artikel 1 perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan unsur iklim yang berhubungan secara langung atau tidak langsung dengan aktivitas manusia yang mempengaruhi komposisi atmosfer global dan menambah pengaruh pada variabilitas iklim yang dipantau pada periode waktu tertentu. Perubahan iklim terjadi akibat proses internal yang alami, gaya eksternal, atau pengaruh antropogenik terhadap komposisi atmosfer atau penggunaan lahan. Di Indonesia perubahan iklim dapat diidentifikasi dari perubahan tren suhu. Berdasarkan data tahun 1980 sampai tahun 2002 di 33 stasiun, terjadi peningkatan parameter suhu maksimum dan minimum yang cukup signifikian. Laju peningkatan ini bervariasi di beberapa wilayah. Untuk suhu minimum, laju peningkatan suhu tertinggi ditemukan di wilayah Polonia, Medan, yaitu 0.172oC per tahun. Sedangkan untuk suhu maksimum, data di stasiun Denpasar menunjukkan peningkatan yang tertinggi, yaitu 0.087oC per tahun. Namun, peningkatan suhu di Indonesia perlu dicermati lebih dalam karena mayoritas lokasi stasiun pemantau suhu udara berada di wilayah urban. Peningkatan populasi, industri dan aktivitas transportasi mengakibatkan timbulnya urban heat island yang juga berkontribusi dalam peningkatan suhu di wilayah tersebut (MoE 2007). Selain parameter suhu, perubahan iklim juga dapat diidentifikasi dari perubahan curah hujan. Hasil penelitian Aldrian (2007) menggunakan data hujan selama 43 tahun di 63 stasiun di Indonesia menunjukkan tren penurunan curah hujan tahunan di seluruh stasiun kecuali stasiun di Kepulauan Sunda, Pantai Timur Jawa dan bagian Utara Indonesia. Perubahan curah hujan akibat perubahan iklim juga meliputi perubahan
4
pola curah hujan. Selama lima dekade terakhir, jumlah bulan kering ekstrim mengalami peningkatan, khususnya di wilayah pesisir (Aldrian & Djamil 2006). Dinamika iklim dan siklus air di tanah, sungai dan danau, awan dan laut merupakan sistem yang terintegrasi dan saling berhubungan. Perubahan unsur-unsur iklim mempengaruhi sistem hidrologi. Perubahan iklim mengakibatkan dampak yang kompleks terhadap neraca, kebutuhan, ketersediaan dan kualitas air. Bahkan misalnya ketika curah hujan tidak berubah, peningkatan suhu mendorong peningkatan evaporasi sehingga kadar air di tanaman menurun. Interaksi yang kompleks antara suhu dan kebutuhan-ketersediaan air menunjukkan bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang bervariasi pada ekosistem (Field et al 2008). 2.4. Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling PLTA Saguling terletak di bagian hulu DAS Citarum yang termasuk wilayah Kabupaten Bandung. PLTA Saguling merupakan salah satu PLTA di DAS Citarum, selain PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur, yang dioperasikan oleh PT Indonesia Power, salah satu anak perusahaan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Gustaman 2003). PLTA Saguling dirancang untuk memenuhi kebutuhan listrik di pulau jawa untuk beban puncak rata-rata 2.156
GWh per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu, PLTA Saguling dilengkapi empat turbin dengan kapasitas terpasang total sebesar 700 MW (Departemen Pertambangan dan Energi 1995). Waduk Saguling dibangun dengan kapasitas tampung sebesar 732 juta m3. Ketinggian air waduk dijaga dengan kedalaman 20 m antara batas permukaan air tertinggi pada 643 m dan batas permukaan terendah 623 m (Departmen Pertambangan dan Energi 1995). Pemenuhan air di Waduk Saguling berasal dari Sungai Citarum (75%), suplesi sungai-sungai lain (23%) dan sumber di sekitar waduk (2%) (Pamungkas 2004). Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling merupakan salah satu pembangkit listrik yang memanfaatkan energi potensial air yang dibendung di waduk Saguling. Sebelum masuk ke turbin, aliran air yang berasal dari daerah aliran (DAS) Sungai Citarum bagian hulu dikumpulkan di Waduk Saguling yang merupakan waduk pertama dari tiga waduk series di DAS Citarum (Pamungkas 2004). 2.5. Model Soil and Water Assessment Tools (SWAT) Soil and Water Assessment Tool (SWAT) merupakan model hidrologi DAS yang dikembangkan oleh USDA (United States Department of Agriculture) Agricultural Research Service. Model SWAT memiliki kemampuan untuk
Gambar 2 Peta Situasi PLTA Saguling (Aprizal 2003).
5
memprediksi dampak dari pengelolaan lahan terhadap air, sedimentasi dan limbah kimia pertanian di DAS (Neitsch et al 1999, Arsyad 2010). Oleh karena itu, SWAT lebih cocok digunakan untuk melihat dampak jangka panjang dari pengelolaan lahan. 2.6. Model Soil and Water Assessment Tools (SWAT) Soil and Water Assessment Tool (SWAT) merupakan model hidrologi DAS yang dikembangkan oleh USDA (United States Department of Agriculture) Agricultural Research Service. Model SWAT memiliki kemampuan untuk memprediksi dampak dari pengelolaan lahan terhadap air, sedimentasi dan limbah kimia pertanian di DAS (Neitsch et al 1999, Arsyad 2010). Oleh karena itu, SWAT lebih cocok digunakan untuk melihat dampak jangka panjang dari pengelolaan lahan. SWAT menggunakan pendekatan fisik untuk menduga limpasan. Data input seperti iklim, karakter tanah, topografi dan tutupan lahan dikuantifikasi dan diolah dengan persamaan-persamaan hidrologi untuk menghasilkan output berupa parameter hidrologi. Suatu DAS akan dipisahkan menjadi sub-DAS yang kemudian dipisah lagi menjadi Hydrologycal Response Unit (HRU) berdasarkan karakteristik kelerengan, tutupan lahan dan tanah. Persamaan hidrologi akan diterapkan per HRU yang kemudian dihubungkan dengan HRU lainnya. Persamaan neraca air dalam model SWAT adalah: ∑
(
)
dimana SWt adalah kandungan air tanah (mm), SW adalah kandungan air tanah tersedia untuk tanaman (mm) dimana merupakan kandungan air tanah awal dikurangi titik layu permanen, t adalah waktu (hari), Ri adalah hujan (mm), Qi adalah limpasan permukaan (mm), ETi adalah evapotranspirasi (mm), Pi adalah perkolasi (mm) dan QRi adalah aliran balik (mm) (Pikounis et al 2003). Simulasi hidrologi dalam SWAT dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu fase lahan dan fase air. Fase lahan meliputi proses keluar masuknya air, sedimentasi, unsur hara dan pestisida pada saluran utama tiap subDAS. Disisi lain, fase air atau fase penelusuran mengatur gerakan air dan sedimen pada jaringan sungai (Arsyad 2010).
III.
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Desember tahun 2012 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi dan Center for Climate Risk and Opportunity Management-Southeast Asia Pacific (CCROM-SEAP) Institut Pertanian Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak: ArcGIS dengan ekstensi ArcSWAT untuk pengolahan peta dan simulasi model, SWAT Editor 2009 untuk mengubah parameter SWAT, SWAT CUP untuk proses kalibrasi dan validasi, Microsoft Excel untuk pengolahan data serta Minitab untuk analisis data. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Peta digital tata guna lahan tahun 2000, 2010 dan 2025 dari CCROM-SEAP IPB 2. Peta Digital Elevation Model 30 x 30m dari http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp 3. Peta karakteristik tanah dari Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian 4. Data hasil model RegCM3 tahun 19802029 dari CCROM-SEAP IPB 5. Data iklim observasi harian tahun 19992005, meliputi data curah hujan, temperatur, radiasi, angin dan kelembaban udara di stasiun Bandung 6. Data hujan observasi dari stasiun BMG Batujajar, BMG Gambung, BMG Ciwidey, BMG Jatinangor, BMG Ciparay, BMG Pengalengan, BMG Cibereum, BMG Malabar, PLN Paseh, PLN Cicalengka, DNS Kayuambon, BMG Tanjungsari, DNS Jatiroke, DNS Cibeureum, DNS Pakar, DNS Situraja, BMG Lembang dan BMG Banjaran 7. Data produksi listrik PLTA Saguling harian tahun 2000 sampai 2010 dari UBP Saguling PT. Indonesia Power 8. Data inflow dan outflow bulanan waduk Saguling serta data debit outlet Nanjung bulanan tahun 1986 sampai 2010 dari UBP Saguling PT. Indonesia Power 3.3. Metode Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan model, yaitu model hidrologi SWAT, data RegCM3 dan model hubungan
6
inflow-produksi listrik. Secara lengkap alur penelitian dijelaskan dalam Gambar 3. 3.3.1. Model Hidrologi SWAT Tahap pertama dari simulasi model hidrologi SWAT adalah deliniasi DAS. Pada tahap ini peta Digital Elevation Model (DEM) digunakan untuk membuat jaringan sungai dan batas DAS dengan memanfaatkan fungsi tauDEM yang sudah terpasang pada model SWAT. Hasil deliniasi menghasilkan 62 subDAS. Outlet yang ditentukan dalam simulasi adalah outlet Nanjung. Tahap kedua adalah pembuatan Hydrological Response Unit (HRU) yang merupakan unit baru hasil kombinasi karakteristik tanah, jenis tata guna lahan dan kelerengan. Setiap persamaan yang digunakan dalam model SWAT akan dihitung per HRU. Penentuan HRU dilakukan dengan metode multiple HRUs by percentage karena berdasarkan hasil penelitian Haverkamp et al (2002), akurasi prediksi limpasan lebih tinggi pada metode multiple HRUs daripada metode dominant soil type or landuse. Simulasi model diawali dengan menentukan periode simulasi dan memasukkan data iklim serta weather generator. Selanjutnya, metode pendugaan limpasan ditentukan dengan metode SCS CN, evapotranspirasi dengan PenmanMonteith, distribusi curah hujan dengan skewed normal dan penelusuran air dengan metode Muskengum. Setelah itu warming up years (NYSKIP) ditetapkan 10 tahun agar air bumi terisi dan siklus hidrologi berjalan stabil. Setelah semua parameter disesuaikan, model dapat dijalankan. Setelah simulasi, dilakukan proses kalibrasi dan validasi yang bertujuan agar output model sesuai data observasi. Proses kalibrasi menggunakan data debit tahun 2000-2001 sedangkan proses validasi menggunakan data debit tahun 2003-2004. Dalam proses ini digunakan software SWAT CUP SUFI-2 (Soil and Water Assessment Tool Calibration and Uncertainty Process Sequential Uncertainty Fitting Version 2). Tahapan dari proses kalibrasi dengan software SWAT CUP SUFI-2 adalah: 1. Buka program SWAT CUP 2. Browse lokasi folder txtinout pada project 3. Pilih program SUFI-2 4. Memberi nama project
5.
Edit calibration input, pada calibration input terdapat beberapa file a. Par_inf.txt untuk mengedit jumlah simulasi yang akan dilakukan dan menentukan jenis parameter yang akan diubah serta metode pengubahan parameter, seperti replaced (v), multiplied (r) atau added (a). b. SUFI2_swEdit.def untuk menentukan jumlah simulasi yang akan dilakukan c. File.cio untuk memastikan setting kalibrasi d. Absolute_SWAT_Values.txt yang berisi jenis-jenis parameter model 6. Edit observation, pada observation terdapat observation_rch.txt, observation_bsn.txt, observation_hru.txt. Namun karena kalibrasi dilakukan hanya berdasarkan data debit, maka hanya observation_rch.txt yang diedit. Pada observation_rch.txt data debit observasi dimasukkan dengan format: Nomor urut <spasi> FLOW_OUT_bulan_tahun <spasi> besar debit dalam m3/s. 7. Edit extraction, karena kalibrasi hanya menggunakan data debit observasi, var_file_rch.txt dan SUFI2_extract_rch.def diedit. Pada kedua file ini, ditentukan jumlah dan nama-nama file data debit yang dimasukkan. 8. Edit objective function, file observed.txt berisi data debit observasi yang digunakan (format hampir sama seperti observation_rch.txt) sedangkan var_file_name.txt berisi data namanama file data debit. 9. Calibrate secara berurutan, mulai dari SUFI2_pre.bat, SUFI2_run.bat dan SUFI2_post.bat 10. Lihat hasil kalibrasi di Calibration Output-Summary_Stat.txt 11. Jika hasil kalibrasi kurang memuaskan, ulangi langkah diatas dengan jumlah simulasi yang lebih banyak. Pengujian kevalidan model dilakukan dengan menentukan koefesien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Index (NSI). Koefesien determinasi menunjukan seberapa dekat nilai yang dihasilkan oleh simulasi dengan nilai yang sesungguhnya di lapangan sedangkan Nash-Sutclifffe Index (NSI) digunakan untuk mengevaluasi efisiensi model SWAT.
7
Gambar 3 Diagram alir penelitian.
8
3.3.2. Model Iklim RegCM3 Data iklim model RegCM3 didapatkan dari CCROM-SEAP IPB. Data model ini digunakan sebagai input data iklim untuk menjalankan model SWAT. Data iklim yang digunakan meliputi data hujan, radiasi surya, kecepatan angin, temperatur maksimum dan minimum serta kelembaban relatif. Data yang digunakan merupakan data harian dari tahun 1980 sampai 2029. Data tersebut dibagi menjadi data periode historis (1980-2009) dan future (2010-2029). 3.3.3. Model Hubungan Inflow-Produksi Listrik Waduk Saguling merupakan salah satu waduk di DAS Citarum yang menerapkan sistem Kaskade bersama Waduk Cirata dan Jatiluhur. Karena posisi yang terletak di bagian hulu DAS Citarum, Waduk Saguling memegang peranan penting dalam mekanisme distribusi air ke waduk-waduk di bawahnya. Gambar 4 menunjukkan nilai rata-rata inflow dan outflow di Waduk Saguling. Inflow merupakan aliran masuk yang berasal dari Sungai Citarum sedangkan outflow adalah aliran keluar yang diatur oleh pengelola waduk Saguling. Besarnya inflow dan outflow cukup bervariasi menurut musim. Pada musim kemarau terlihat nilai outflow selalu lebih besar dari nilai inflow, sedangkan pada musim hujan nilai inflow hampir sama dengan nilai outflow. Secara lebih detail, hubungan inflow dan outflow digambarkan dalam grafik timeseries pada Lampiran 10. Pada musim hujan (November-April) inflow mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga mencapai puncaknya pada bulan April. Dengan kondisi curah hujan yang tinggi, maka pasokan air untuk wadukwaduk dibawahnya tidak perlu di khawatirkan. Oleh karena itu, debit keluar (outflow) diturunkan atau lebih rendah daripada debit masuk (inflow) dengan tujuan
menyimpan air di waduk yang akan disalurkan saat musim kemarau. Pada musim kemarau (Mei-Oktober), laju inflow mengalami penurunan karena curah hujan yang rendah. Untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat, air yang telah ditampung di Waduk Saguling dialirkan ke waduk-waduk yang ada dibawahnya dengan laju yang lebih tinggi karena pada musim kemarau, sumber utama air di Waduk Cirata dan Jatiluhur adalah air dari waduk Saguling. 150
Debit (m3/s)
Pada periode kalibrasi dihasilkan nilai R2 sebesar 0.63 dan NSI sebesar 0.56 sedangkan pada periode validasi nilai R2 0.59 dan NSI sebesar 0.56. Berdasarkan Van Liew dan Garbrech (2003) dalam Junaedi (2009) nilai NSI model termasuk dalam kategori memuaskan (baik: NSI > 0.75, memuaskan: NSI 0.36-0.75 dan kurang memuaskan: NSI < 0.36) sehingga model layak digunakan.
Inflow Outflow
100 50 0 J F M A M J J A S O N D
Gambar 4 Hubungan inflow-outflow. Nilai spesifik outflow pada Waduk Saguling ditentukan berdasarkan kondisi air di ketiga waduk di DAS Citarum, yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Berdasarkan proses wawancara dengan pihak Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Saguling bagian hidrologi, besarnya debit air keluar atau outflow tidak hanya ditentukan berdasarkan besar inflow, tapi juga berdasarkan kondisi ketinggian muka air di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ketiga pengelola waduk telah membuat kesepakatan mengenai distribusi air karena ketiga waduk tersebut berada dalam satu DAS Citarum. Besarnya outflow disesuaikan dengan kapasitas tampung efektif masing-masing waduk terhadap kapasitas tampung efektif total. Namun kajian penelitian ini terbatas pada wilayah DAS Citarum bagian hulu sehingga pemodelan outflow dilakukan secara statistik berdasarkan hubungan inflow-outflow. Data yang digunakan merupakan data debit inflow dan outflow bulanan tahun 1986 sampai tahun 2010. Musim hujan dan kemarau di daerah kajian diasumsikan tetap dan tidak bergeser, yaitu Mei sampai Oktober untuk musim kemarau dan November sampai April untuk musim hujan. Pada tahap awal, data inflowoutflow dipisahkan berdasarkan musim kemudian dilakukan regresi linier per musim hujan dan kemarau. Hasil regresi dapat dilihat pada Gambar 5.
9
300
y = 0.6778x + 35.219 R² = 0.673
Outflow (m3/s)
250 200 150 100 50 0 0
50
100 150 200 250 300 Inflow (m3/s)
a. 300
Outflow (m3/s)
3.4. Skenario
y = 0.6465x + 36.305 R² = 0.6047
250 200 150 100 50 0 0
50
100 150 Inflow (m3/s)
200
b. Gambar 5 Hubungan inflow-outflow pada musim hujan (a) dan musim kemarau (b). Persamaan regresi yang terbentuk untuk musim hujan adalah Y = 0.6778X + 35.219 dengan koefisien determinasi sebesar 0.673. Untuk musim kemarau, hubungan inflow-outflow mengikuti persamaan Y = 0.646X + 36.305 dengan koefisien determinasi sebesar 0.6047. Waduk Saguling memiliki empat mesin turbin yang digunakan untuk menghasilkan listrik dari aliran air di Waduk Saguling. Masing-masing mesin memiliki kapasitas terpasang sebesar 175 MW sehingga PLTA Saguling memiliki kapasitas terpasang total 700 MW. Produksi listrik yang dihasilkan ditentukan oleh besarnya debit outflow dari waduk. 700 Produksi listrik (GWh)
600
y = 2.3176x R² = 0.9695
500 400 300 200 100 0 0
100 200 Outflow (m3/s)
Model hubungan outflow-produksi listrik dibangun dengan menghubungkan data outflow dan produksi listrik bulanan tahun 2000 sampai 2010. Gambar 6 menunjukkan hubungan positif antara outflow dan produksi listrik. Hubungan ini cukup erat yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi persamaan sebesar 0.97 (skala 0-1). Persamaan regresi tersebut menggambarkan bahwa peningkatan outflow sebesar 1 m3/s akan diikuti dengan meningkatnya produksi listrik sebesar 2.3 GWh.
300
Gambar 6 Hubungan Outflow dan Produksi Listrik.
Skenario digunakan untuk membatasi masalah yang akan dianalisis. Penelitian ini mengkaji dua permasalahan utama, yaitu perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan. Oleh karena itu, skenario dibuat berdasarkan kondisi iklim dan peta tata guna lahan. Skenario iklim yang digunakan meliputi kondisi iklim historis (1980-2009) dan iklim future (2010-2029). Sedangkan, skenario tata guna lahan yang digunakan meliputi tata guna lahan tahun 2000, 2010 dan 2025. Masing-masing skenario kondisi iklim dan tata guna lahan dikombinasikan sehingga menghasilkan skenario penelitian seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Skenario Perubahan Iklim dan Perubahan Tata Guna Lahan LU 2000
LU 2010
LU 2025
Historis
H00
H10
H25
Future
F00
F10
F25
3.5. Analisis Risiko Analisis risiko dilakukan berdasarkan perubahan distribusi peluang kejadian. Dalam penelitian ini risiko yang dikaji adalah produksi listrik rendah yang juga berhubungan dengan debit outflow rendah. Oleh karena itu, analisis risiko dilakukan berdasarkan analisis histogram dan peluang kumulatif. Histogram merupakan salah satu analisis yang sering digunakan dalam analisis risiko. Secara sederhana, histogram mengelompokkan data dari output model ke dalam beberapa kelas dengan masingmasing nilai frekuensinya. Histogram tidak menggambarkan peluang kejadian tapi distribusi data (Vose 2008).
10
Untuk mengetahui jenis sebaran data yang dianalisis, maka dilakukan uji sebaran data dengan menggunakan add Ins Crystal Ball Monte Carlo pada software Ms. Excel. Parameter yang digunakan sebagai acuan adalah nilai chi square. Di sisi lain, peluang kumulatif menggambarkan peluang kejadian kurang dari atau sama dengan nilai x (Vose 2008). Analisis risiko dilakukan dengan melihat peluang kumuatif pada suatu batas kritis x. IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum DAS Citarum Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Pulau Jawa karena terbentang luas melewati beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Secara keseluruhan, DAS Citarum memiliki 3 waduk yang saling terhubung, yaitu Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Ketiga waduk ini memiliki peran penting terkait pemenuhan kebutuhan air di Jawa Barat maupun di DKI Jakarta, baik untuk pembangkit listrik tenaga air, perikanan tambak atau untuk irigasi pertanian. DAS Citarum Hulu merupakan bagian paling atas dari DAS Citarum. DAS ini terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat dengan posisi koordinat 107.4 BT sampai 107.9 BT dan 6.75 LS sampai 7.25 LS. DAS Citarum hulu meliputi wilayah Kota dan Kabupaten Bandung serta Kota Cimahi. Karena terletak pada bagian hulu, DAS Citarum Hulu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap suplai air di wadukwaduk di bawahnya, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas air. Kondisi topografi DAS Citarum Hulu berbentuk cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan. Di bagian Utara DAS terdapat gunung Tangkuban Perahu (2076 m) dan Gunung Bukitunggul (2209 m). Sedangkan, di bagian selatan DAS berjejer gunung Malabar (2329 m), Gunung Tilu (2040 m), Gunung Urug (2205 m) dan Gunung Patuha (2434 m). Cekungan DAS Citarum hulu ini berfungsi seperti bak penampung yang selalu siap menangkap air hujan. Presipitasi yang jatuh di DAS melimpas dan mengalir melalui jaringan sungai yang kemudian berkumpul di outlet Nanjung dan dialirkan ke Waduk Saguling.
Peta tata guna lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta tahun 2000, 2010 dan 2025. Peta tersebut mengklasifikasikan DAS Citarum hulu menjadi 11 jenis tutupan lahan, yaitu perkebunan, agroforestry, semak belukar, pertanian, sawah padi, hutan primer, pedesaan, hutan sekunder, perkebunan the, perkotaan dan badan air. Pada kondisi baseline (2010 ) hutan dan lahan pertanian merupakan jenis tutupan lahan yang mendominasi DAS, yaitu masing-masing 34% dan 38 % (Gambar 7). Secara spasial tutupan hutan tersebar di seluruh bagian hulu (pinggir) DAS sedangkan tutupan lahan pertanian dan pemukiman terletak di bagian tengah hingga hilir DAS. Kondisi ini mempengaruhi kondisi hidrologi DAS, dimana bagian hulu yang merupakan lahan hutan menjadi daerah pengisian (recharge area) dan mampu menyimpan air bumi dengan baik. Sebaliknya, bagian tengah dan hilir yang didominasi lahan pertanian dan pemukiman memiliki kemampuan menyimpan air yang lebih buruk sehingga aliran permukaan cenderung berlebih dan berpotensi menyebabkan banjir. DAS Citarum Hulu terletak di tempat yang cukup tinggi, yaitu diatas 500 mdpl (meter dari permukaan laut). Kondisi ini mempengaruhi suhu udara di wilayah DAS Citarum Hulu yang menjadi relatif lebih rendah dibandingkan daerah dibawahnya. Data iklim pada stasiun Bandung Cemara tahun 1999-2005 menunjukkan bahwa suhu minimum rata-rata pada wilayah ini mencapai 19 oC sedangkan suhu maksimum rata-rata mencapai 28 oC. Curah hujan bulanan berkisar antara 34 mm (bulan Agustus) sampai 200 mm (bulan Maret). Curah hujan ini mengikuti pola monsunal dimana musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai Oktober dan musim hujan pada bulan November sampai April. 4.2. Perubahan Tata Guna Lahan DAS Citarum Hulu Penelitian mengenai perubahan tata guna lahan di DAS Citarum Hulu telah dilakukan oleh Adrionita (2011) dengan menggunakan model MW SWAT. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terjadinya penurunan luas hutan sebesar 41.7% dalam rentang tahun 1994-2005. Dalam penelitian ini peta tata guna lahan yang digunakan adalah peta tahun 2000, 2010, dan peta proyeksi tahun 2025
11
Gambar 7 Peta tata guna lahan DAS Citarum Hulu tahun 2010. Pertanian
500
Padi
400
Hutan Primer
Luas (km2)
Hutan Sekunder
300
agroforestry Perkebunan Teh
200
Perkebunan Perkotaan
100
Pedesaan
0
Semak
2000
2010
2025
Badan Air
Gambar 8 Perubahan tata guna lahan DAS Citarum Hulu. (Gambar 7, Lampiran 1, Lampiran 2). Peta tersebut mengklasifikasikan DAS Citarum hulu menjadi 11 jenis tutupan lahan, yaitu perkebunan, agroforestry, semak belukar, pertanian, sawah padi, hutan primer, pedesaan, hutan sekpunder, perkebunan teh, perkotaan dan badan air. Perubahan tata guna lahan dianalisis secara berurutan, mulai dari perubahan tata guna lahan tahun 2000 ke tahun 2010 sampai perubahan tata guna lahan tahun 2010 ke tahun 2025. Tata guna lahan mengalami perubahan luas maupun lokasi atau sebaran spasial yang mempengaruhi kondisi hidrologi suatu DAS. Pada rentang tahun 2000 sampai 2010 terlihat adanya perubahan luas masingmasing jenis tutupan lahan (Gambar 8).
Jenis tata guna lahan yang mengalami peningkatan meliputi perkotaan, pedesaan, lahan pertanian dan perkebunan. Di sisi lain, wilayah hutan (hutan primer, hutan sekunder dan agroforestry) dan sawah padi mengalami penurunan luas. Penurunan luas hutan terjadi karena adanya konversi lahan dari hutan menjadi lahan pemukiman dan pertanian. Pembukaan lahan baru untuk kegiatan pertanian mengurangi lahan hutan primer sebesar 20.1 persen dan lahan hutan sekunder sebesar 18.1 persen. Sedangkan pembangunan wilayah pemukiman mengurangi 7.86 persen hutan primer dan 11.9 persen hutan sekunder (Tabel 2). Dalam periode tahun 2010 sampai 2025, diperkirakan luas hutan akan terus
12
Tabel 2 Perubahan Tata Guna Lahan Tahun 2000-2010 2000/2010 perkebunan agroforestry pertanian padi hutan primer pedesaan hutan sekunder teh perkotaan air rumput
perkebunan
agroforestry
pertanian
9.35 108.46 1.24
14.27 0.04
285.07 23.38 55.22
4.68
20.21 0.02
padi 1.69 5.91 3.09 240.06 8.18
hutan primer
274.79
12.40
pedesaan 0.25 5.95 11.05 62.78 21.59 122.97 21.44 0.15
hutan sekunder
teh
perkotaan
air
rumput 0.80
13.19
179.92 26.85 183.36 0.66
Tabel 3 Perubahan Tata Guna Lahan Tahun 2010-2025 2010/2025 perkebunan agroforestry pertanian padi hutan primer pedesaan hutan sekunder teh perkotaan air rumput
perkebunan
agroforestry
3.37 1.20 0.45 62.27 1.51 1.27 15.68 0.01 0.14
0.08 107.39 0.61 26.93 0.48 1.55 7.41 0.04 0.18
0.74
pertanian 0.17 0.50 363.22 2.29 53.34 0.64 23.48 0.45 0.09 0.05 0.06
padi 1.89 7.62 0.82 21.68 12.34 0.11 4.49 0.01
hutan primer 0.14 0.82 0.04 183.16 0.02 3.21 0.12
pedesaan 4.96 10.39 16.46 139.96 20.68 241.07 17.05 0.30 1.02 0.02
hutan sekunder 0.02 0.17 1.17 0.06 3.12 0.03 108.27 0.19 0.01 0.00
teh 0.04 0.00 0.20 0.04 0.15 0.36 0.31 25.70
perkotaan 0.00 0.03 0.12 18.05 0.02 1.11 0.01
air
rumput 0.07
0.03
0.00
0.01 0.01 0.01
195.11 0.02
0.57 0.00
13
subDAS ini langsung disuplai dari air hujan yang jatuh di subDAS. Karena, pada subDAS bukan hulu, sumber debit sungai dapat berasal dari air hujan dan debit sungai subDAS diatasnya sehingga sulit untuk menganalisis fraksi hujan yang dikonversi menjadi debit sungai. 0% -80 -60 -40 -20 0 -10% -20% -30% sub_5 -40% 4 -50% Gambar 9
Perubahan hutan
berkurang dan sebaliknya, wilayah pemukiman dan praktik pertanian dan perkebunan mengalami perluasan yang cukup signifikan. Hal ini terkait peningkatan populasi di wilayah Bandung dan juga adanya tren pergeseran area pemukiman ke pinggir kota. Pembukaan lahan pertanian menyebabkan hutan primer dan sekunder mengalami penurunan luas sebesar 36 persen dan 26 persen. Untuk praktik perkebunan, luas hutan sekunder juga berkurang sebesar 14 persen. Dan, konversi lahan hutan menjadi pemukiman mengurangi hutan primer, sekunder dan agroforestry yang masing-masing sebesar 11 persen, 16 persen dan 10 persen (Tabel 3). Konversi hutan menjadi area pertanian dan pemukiman menyebabkan penurunan koefisien penyangga yang berkaitan dengan konversi air hujan menjadi debit limpasan (Farida & Noordwijk 2004). Penurunan koefisien penyangga ini tidak hanya meningkatkan risiko debit ekstrim tinggi yang menimbulkan banjir pada musim hujan, tapi juga pada debit rendah dan ketersediaan air pada musim kemarau. Lahan hutan terbukti memiliki kemampuan untuk menahan air hujan dibandingkan lahan pemukiman atau pertanian. Pada jenis lahan ini, curah hujan yang tinggi akan disimpan sebagai air tanah yang kemudian mengalir sebagai aliran dasar yang berkontribusi pada aliran sungai, bahkan pada musim kemarau dengan curah hujan yang rendah. 4.3. Pengaruh Tutupan Hutan terhadap Siklus Hidrologi SubDAS Dalam kajian ini, DAS Citarum Hulu terbagi kedalam 62 subDAS berdasarkan deliniasi DAS. Masing-masing subDAS memiliki luas yang berbeda dan juga komposisi tata guna lahan yang unik. Hal ini berimplikasi pada respon hidrologi yang bervariasi pula. Oleh karena itu, analisis perubahan tata guna lahan juga dilakukan per subDAS untuk mengkaji dampak konversi hutan secara lebih spesifik. Gambar 9 menunjukkan distribusi subDAS-subDAS hulu berdasarkan luas area dan perubahan luas tutupan hutan. Di bagian kiri adalah kelompok subDAS yang memiliki area tidak luas sedangkan bagian kanan adalah subDAS dengan area yang luas.. Sumbu Y menunjukkan perubahan persentase tutupan hutan. SubDAS-subDAS hulu dipilih karena debit sungai pada
20 40 60Area 80
sub_6 1
2000/2025
Sebaran subDAS bagian hulu berdasarkan luas area dan perubahan tutupan hutan periode 2000-2025.
Analisis selanjutnya adalah sampling subDAS dengan luasan yang berbeda. Secara sederhana, subDAS yang dipilih berada pada bagian kanan dan kiri pada Gambar 9. Analisis kemudian ditekankan pada subDAS dengan perubahan tutupan hutan yang signifikan (nilai perubahan hutan terendah). Hasil sampling tersebut adalah subDAS 61 dan subDAS 54. Pada masing-masing subDAS tersebut dilakukan kajian pengaruh tutupan hutan terhadap parameter hidrologi baseflow. Kajian tersebut dilakukan dengan plotting data hujan harian per subDAS (sumbu x) dan debit harian (sumbu y) untuk mendapatkan persamaan regresi linier (y=ax+b). Analisis hanya ditekankan pada koefisien b yang merupakan nilai baseflow (Lampiran 15). Baseflow (b) hasil regresi pada Lampiran 15 memiliki dimensi satuan m3/s. Sedangkan pada luas yang berbeda, hujan yang ditangkap serta porsi yang dikonversi menjadi baseflow juga akan menghasilkan nilai berbeda. Oleh karena itu, satuan baseflow harus diubah menjadi mm sehingga mencakup satuan luas dan dalam dimensi waktu bulanan. Kemudian, nilai baseflow tersebut dibagi dengan curah hujan bulanan rata-rata untuk menghilangkan pengaruh hujan yang berbeda pada masing-masing subDAS (Tabel 4). Pada subDAS 54, dengan skenario lahan 97% hutan (landuse 2000) fraksi hujan
14
Fraksi baseflow-hujan
12%
2000 2010 2025
10% 8% 6% 4%
J F MAM J J A S O N D Gambar 10 Fraksi baseflow-hujan. Secara keseluruhan DAS, pada skenario landuse tahun 2000 (41.8% tutupan hutan) fraksi hujan yang terkonversi menjadi baseflow lebih tinggi dibandingkan skenario landuse 2010 (33.9% tutupan hutan) dan 2025 (25.9% tutupan hutan) (Gambar 10). Hal ini membuktikan peran penting hutan dalam konservasi air bumi. Fraksi baseflow-curah hujan tersebut mencapai nilai minimum pada bulan Maret dan November. Hal ini berasosiasi dengan tingginya nilai evapotranspirasi potensial (ETp) yang dipengaruhi oleh radiasi ekstraterestrial pada wilayah lintang rendah (Allen et al 1998). Namun, dampak deforestasi tidak terlihat pada parameter debit sungai di outlet Nanjung. Pada Gambar 11 besar debit musim kemarau pada ketiga skenario hampir
sama. Bahkan, debit pada skenario landuse 2025 selalu lebih tinggi. Hal ini disebabkan, input data iklim regCM3 tidak menangkap kondisi iklim ekstrim (khususnya kondisi ekstrim bawah atau kekeringan berkepanjangan) yang dipengaruhi oleh ENSO atau pengaruh lokal. Padahal fungsi vital hutan adalah meredam dampak kondisi iklim ekstrim yang kemungkinan besar terjadi pada kondisi nyata. 50
H25
H10
H00
40 Debit (m3/s)
yang dikonversi menjadi baseflow sebesar 15%. Sedangkan, pada skenario lahan 56% tutupan hutan (landuse 2025), fraksi baseflow-hujan hanya 4%. Hal yang sama juga terjadi pada subDAS 61 dimana fraksi baseflow-hujan turun dari 11% (landuse 2000) menjadi 6% (landuse 2025). Dari seluruh persamaan regresi (Tabel 4), juga dilakukan analisis korelasi antara persen tutupan hutan terhadap fraksi baseflow-hujan (Lampiran 16). Nilai korelasi pearson menunjukkan nilai 0.956 (skala 0-1) yang berimplikasi pada hubungan positif yang erat antara tutupan hutan dengan baseflow. Selain itu, nilai pvalue juga menunjukkan bahwa hutan dan baseflow berkorelasi pada taraf nyata 95%.
30 20 10 0
J J A S O Gambar 11 Debit pada Outlet Nanjung. Gambar 13 menunjukkan bahwa data iklim RegCM3 tidak menangkap kondisi ekstrim kering. Berdasarkan data observasi di stasiun iklim Bandung selama 7 tahun diketahui bahwa pada musim hujan persentase hari hujan per bulan bervariasi antara 50-70% dan 10-40% pada musim kemarau. Sedangkan, pada data RegCM3, persentase hari hujan bervariasi antara 8095% pada musim hujan dan 50-70% pada musim kemarau. Gambar 14 juga menggambarkan bahwa pada kondisi nyata (obs atau observasi) banyak terdapat hari tidak hujan. Sedangkan, pada data model RegCM3 (his atau periode historis) jumlah hari tidak hujan sangat rendah. Frekuensi hujan yang tinggi pada data RegCM3 mengakibatkan suplai air untuk debit sungai sebagian besar berasal dari air hujan yang melimpas. Padahal, pada kondisi nyata, khususnya pada musim kering dimana banyak terdapat hari tidak hujan, debit air sungai disuplai oleh aliran dasar yang berasal dari air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah.
Tabel 4 Nilai baseflow pada subDAS dengan luas dan tutupan hutan yang berbeda. b (m3/s) sub54_00 sub54_25 sub61_00 sub61_25
0.202 0.052 0.301 0.173
Hutan (%) 97 56 75 51
Luas (km2) 25 25 47 47
b (mm)
CH (mm)
b/CH
20.94 5.39 16.60 9.54
133.4 133.4 148.1 148.1
0.157 0.040 0.112 0.064
15
Gambar 12 Perubahan persen tutupan hutan DAS Citarum Hulu.
Persentase hari hujan
100% 80% 60% 40% Bandung
20%
RegCM3
0%
J F M A M J J A S O N D Gambar 13 Persentase hari hujan data observasi dan model RegCM3.
Persentase Kumulatif
100 80
3-Parameter Gamma Variable obs sim
60 40
Shape Scale Thresh N 0.1242 45.57 -0.00001 2161 0.2460 18.94 -0.00001 10957
20 0
0
14
28
42
56
70
84
98
Curah Hujan Harian (mm)
Gambar 14 Sebaran data hujan observasi dan model RegCM3.
4.4. Perubahan Iklim Regional di DAS Citarum Hulu Proyeksi perubahan iklim di DAS Citarum Hulu didasarkan pada data hasil model RegCM3 yang disimulasikan oleh CCROM-SEAP. Data tersebut merupakan data Global Climate Model (GCM) skenario A1B yang di-downscaling menjadi data regional dengan beberapa adjustment. Data hasil model tersebut telah dikalibrasi dengan data curah hujan observasi dari stasiun cuaca di DAS Citarum Hulu dengan faktor koreksi per bulan. Secara musiman, hasil simulasi model RegCM3 memproyeksikan terjadinya pergesaran puncak musim hujan di DAS Citarum Hulu. Pada periode historis puncak hujan terjadi pada bulan April sedangkan pada periode future kondisi hujan mencapai puncaknya pada bulan Maret. Pergeseran puncak hujan ini terjadi karena peningkatan curah hujan pada bulan Maret dan penurunan curah hujan pada bulan April (Gambar 15). Rainfall changes (mm)
Selain itu, sebaran hutan yang mengalami deforestasi juga sangat bervariasi. Pada Gambar 12 digambarkan deforestasi tertinggi terjadi di bagian Timur Laut dan Tenggara DAS yang merupakan bagian hulu dan merupakan daerah pegunungan. Di bagian Barat Daya, deforestasi masih menyisakan tutupan hutan sekitar 50 persen. Sedangkan, bagian tengah DAS yang dilewati jaringan sungai utama memiliki tutupan hutan yang sangat rendah. Dengan curah hujan yang tinggi dan hampir merata di seluruh wilayah DAS, sebagian besar air hujan dilimpaskan dan dialirkan ke sungai utama.
400
Historis 300
Future
200 100 0 J F M A M J
J A S O N D
Gambar 15 Proyeksi perubahan curah hujan musiman. Penurunan curah hujan terjadi pada musim kemarau secara berturut-turut pada bulan Agustus (20 %), September (21 %) dan Oktober (33 %). Pada musim hujan, juga terjadi penurunan curah hujan, yaitu pada bulan Januari (16 %) dan April (4 %).
16
Penurunan curah hujan ini berpengaruh pada ketersediaan air pada musim kering. Berdasarkan grafik persen kumulatif data RegCM3 periode historis dan future, terlihat adanya pergeseran sebaran data curah hujan bulanan. Pada musim hujan, peluang munculnya curah hujan tinggi cenderung meningkat. Sedangkan, pada musim kemarau peluang terjadinya curah hujan rendah yang meningkat lebih tinggi. Walaupun kondisi ekstrim belum terlihat, grafik tersebut menunjukkan peningkatan peluang terjadinya kondisi ekstrim, baik curah hujan yang tinggi atau kekeringan yang panjang (Gambar 17). Perubahan curah hujan di DAS Citarum Hulu tidak hanya terjadi secara musiman, tapi juga bervariasi secara spasial (Gambar 16). Pada periode DJF (DesemberJanuari-Februari) curah hujan meningkat hampir di seluruh area DAS. Namun peningkatan tertinggi terjadi pada bagian Tenggara yang merupakan area pegunungan dengan tutupan lahan hutan primer dan sekunder. Penurunan curah hujan terjadi pada bagian Barat Daya yang merupakan area pegunungan dengan tutupan lahan hutan dan area pertanian.
Pada periode MAM (Maret-April-Mei) seluruh wilayah DAS mengalami peningkatan curah hujan yang bervariasi antara 1 % sampai 13 %. Peningkatan curah hujan tertinggi terjadi pada bagian Tenggara DAS yang merupakan area pegunungan dengan tutupan lahan hutan, lahan pertanian dan pemukiman pedesaan. Pada periode JJA (Juni-Juli-Agustus) terjadi perubahan curah hujan yang cukup bervariasi secara spasial. Mayoritas area DAS mengalami peningkatan hujan kurang dari 5 %. Peningkatan terbesar terjadi pada area sekitar outlet Nanjung yang langsung berkontribusi terhadap debit sungai Citarum. Pada periode JJA juga terjadi penurunan curah hujan di bagiana tenggara DAS. Pada musim kering akhir dan peralihan ke musim hujan, SON (September-OktoberNopember), terjadi penurunan curah hujan di seluruh area DAS. Penurunan curah hujan berkisar antara 8 % sampai 19 % dengan penurunan terbesar terjadi pada bagian Tenggara DAS. Secara spasial, variasi curah hujan banyak terjadi di bagian Tenggara DAS yang merupakan area pegunungan dengan tutupan lahan hutan dan lahan pertanian.
Gambar 16 Perubahan curah hujan DAS Citarum Hulu secara spasial.
17
100
80 Variable Wet_His Wet_Fut
60 40
Shape Scale N 3.994 52.31 102 3.941 55.00 102
20 0
0
100
200 300 400 500 600 Curah Hujan Bulanan (mm)
700
Persentase Kumulatif
Persentase Kumulatif
100
80 60
Variable Dry_His Dry_Fut
40
Shape Scale N 1.153 73.83 102 1.224 66.22 102
20 0
0
50
100 150 200 250 300 Curah Hujan Bulanan (mm)
350
a. musim hujan b. musim kemarau Gambar 17 Distribusi data hujan RegCM3, a) musim hujan dan b) musim kemarau.
DAS Citarum Hulu terdiri dari jaringan sungai yang terhubung pada sungai utama, yaitu Sungai Citarum. Perubahan tata guna lahan yang unik pada masing-masing subDAS serta perubahan curah hujan yang bervariasi secara spasial dan temporal berkontribusi pada fluktuasi debit di Sungai Citarum. Dan, karena debit inflow berfluktuasi, maka produksi listrik yang dihasilkan dari PLTA Saguling pun juga akan terpengaruh. Dalam analisis ini, kondisi future didefinisikan sebagai kombinasi dari skenario landuse 2025 dan periode iklim 2010-2029 (F25). Sebagai perbandingan, maka skenario landuse 2010 dan periode iklim 1990-2009 digunakan sebagai baseline (H10). Secara musiman, produksi listrik lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan curah hujan. Pergeseran puncak hujan dari bulan April menjadi bulan Maret (Gambar 15) mempengaruhi waktu terjadinya puncak produksi listrik. Waktu yang bersamaan antara terjadinya puncak hujan dan puncak produksi listrik juga mengindikasikan fungsi DAS yang tidak ideal karena DAS tidak mampu lagi menyimpan air hujan menjadi air bumi (Gambar 18). Secara terintegrasi, perubahan iklim dan tata guna lahan memberikan pengaruh yang unik pada produksi listrik PLTA Saguling. Pada musim hujan, khususnya bulan Maret, produksi listrik meningkat dan
300 Produksi listrik (GWh)
4.5. Pengaruh Perubahan Lahan dan Perubahan Iklim terhadap PLTA Saguling
mencapai puncaknya. Pada skenario F25 produksi listrik pada bulan ini memberikan perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan skenario H10. Namun, pada musim kemarau, produksi listrik menurun secara gradual (Gambar 18). H10 F25
250 200 150 100 50
J F M A M J J A S O N D
Gambar 18 Proyeksi produksi listrik PLTA Saguling secara musiman. Dari keseluruhan periode simulasi (H10 dan F25 masing-masing 20 tahun), data produksi listrik di-plot dalam histogram dengan sebaran gamma. Penentuan sebaran data ini didasarkan pada nilai chi-square terendah. Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa F25 memiliki produksi listrik maksimum yang lebih tinggi. Namun, jika dibandingkan sebaran datanya, maka F25 memiliki kecenderungan bergeser ke kiri dari posisi H10. Hal ini menunjukkan meningkatnya frekuensi produksi listrik rendah pada skenario F25. 14
Gamma
12
Persentase (%)
Namun, dengan tingginya tingkat deforestasi pada wilayah ini (Gambar 12), sistem hidrologi DAS akan terganggu sehingga perlu dilakukan reforestasi untuk mengurangi risiko banjir atau kekeringan dan untuk meningkatkan aliran dasar.
10
Variable H10 F25 Shape Scale N 4.981 37.57 240 5.165 35.10 240
8 6 4 2 0
0
100
200 300 400 500 Produksi Listrik (GWh)
600
Gambar 19 Histogram data produksi listrik.
18
Persentase Kumulatif
Untuk analisis peluang kumulatif, threshold produksi listrik kritis ditetapkan sesuai penentuan debit andalan, yaitu nilai produksi listrik pada frekuensi terlampaui 80% (Indra et al 2012). Dari data bulanan selama 10 tahun, didapatkan nilai produksi listrik pada frekuensi terlampaui 80% sebesar 110 GWh. Pada kondisi ini diasumsikan PLTA Saguling tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan listrik masyarakat yang relatif konstan sehingga sumber pasokan listrik harus dialihkan ke sumber energi lain yang tidak ramah lingkungan, seperti PLTU atau PLTG. 110
100
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
80
5.1. Kesimpulan
60 40
Variable H10 F25
20 0
0
100
200 300 400 500 Produksi Listrik (GWh)
600
110
20
Persentase Kumulatif
Wilayah (RTRW) untuk mengurangi dampak kedua fenomena tersebut. Langkah-langkah mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan seperti implementasi energi terbarukan dan inventarisasi stok karbon melalui hutan. Sedangkan manajemen DAS dilakukan dengan diterapkannya RTRW dengan membuat aturan yang jelas dan tegas terkait pembangunan dan pengalih-gunaan lahan pada area DAS. Selain itu, reforestasi juga diperlukan untuk meningkatkan kemampuan lahan dalam konservasi air sehingga pasokan air pada musim kering tetap terjaga.
19 18 17
Variable H10 F25
16 15
102
105 108 111 114 117 Produksi Listrik (GWh)
120
Gambar 20 Peluang kumulatif skenario H10 dan F25 pada titik kritis. Pada batas produksi listrik kritis 110 GWh, skenario H10 memiliki peluang kumulatif 17.5% sedangkan skenario F25 memiliki peluang kumulatif 18.5% (Gambar 20). Hal ini menunjukkan bahwa skenario F25 memiliki risiko yang lebih besar dalam menghasilkan produksi listrik kurang atau sama dengan 110 GWh. Risiko terkait produksi listrik dibawah titik kritis ini membutuhkan langkah-langkah antisipatif untuk mengurangi dampak negatif yang ditumbulkan. Perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan terbukti memberikan risiko yang lebih tinggi dalam hal kemampuan PLTA untuk memproduksi listrik. Hal ini seharusnya mendorong pengambil kebijakan untuk menerapkan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta mengimplementasikan Rencana Tata Ruang
Dalam periode 2000 sampai 2010 telah terjadi deforestasi akibat pembangunan area pemukiman dan pembukaan lahan pertanian dan perkebunan. Kecenderungan ini diprediksi terus berlangsung pada tahun 2025 dengan perubahan yang lebih nyata. Pada sampel subDAS yang dianalisis, terlihat bahwa pengurangan tutupan hutan berimplikasi pada turunnya fraksi hujan yang dikonversi menjadi aliran dasar. Di outlet Nanjung, pengaruh dampak deforestasi terhadap risiko debit rendah tidak terlihat karena frekuensi dan curah hujan yang tinggi pada input data iklim yang digunakan. Perubahan iklim berdampak pada pergeseran puncak musim hujan dan berkurangnya curah hujan pada musim kemarau. Perubahan curah hujan juga bervariasi secara spasial dengan fluktuasi paling tinggi terjadi pada bagian Tengggara DAS. Secara terpadu, perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan meningkatkan risiko debit rendah di Waduk Saguling sehingga meningkatkan peluang terjadinya produksi listrik rendah. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah antisipatif untuk meminimalisir dampak perubahan iklim dan tata guna lahan. 5.2. Saran Proses kalibrasi model SWAT seharusnya dilakukan per subDAS karena masing-masing subDAS memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam hal kemampuan konservasi air. Selanjutnya, hasil kalibrasi masing-masing subDAS diintegrasikan dalam model besar SWAT
19
dengan parameter-parameter yang unik pada masing-masing subDAS. Selain itu, data hasil model RegCM belum menangkap kondisi-kondisi ekstrim sehingga perlu dilakukan kalibrasi lanjut dengan data observasi yang lebih lengkap dan dalam periode waktu yang lebih panjang. Kajian mengenai dampak deforestasi pada subDAS hanya dilakukan berdasarkan faktor debit sungai dan hujan. Sedangkan, parameter lain seperti subsurface runoff, evapotranspirasi dan ground water dapat memberikan gambaran logis yang lebih detail dan kompleks. Analisis perubahan iklim dan tata guna lahan perlu dilakukan secara terintegrasi dalam DAS besar Citarum. Hal ini dikarenakan mekanisme distribusi air dalam DAS Citarum diatur dalam pengelolaan waduk yang terintegrasi.
Arnell N. 2002. Hydrology and Global Environmental Change. Harlow: Pearson Education Limited.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertambangan dan Energi. 1995. Laporan Evaluasi PLTA Saguling. Jakarta: Departemen Pertambangan dan Energi.
Abbaspour KC. 2007. User Manual for SWAT-CUP, SWAT Calibration and Uncertainty Analysis Programs. Dubendorf : Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology, Eawag. Adrionita. 2011. Analisis Debit Sungai dengan Model SWAT pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aldrian E, Djamil SD. 2006. Long term rainfall trend of the brantas catchment area, East Java. Indonesian Journal of Geography 38: 26-40. Aldrian E. 2007. Decreasing trends in annual rainfalls over Indonesia: A threat for the national water resource? Journal of BMG. Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop Evapotranspiration (Guidelines for Computing Crop Water Requirements). FAO Irrig. and Drain. Paper 56, Food and Agric. Orgn. of the United Nations, Rome, Italy : 1-300. Aprizal. 2003. Optimasi Waduk Menggunakan Program Dinamik Stokastik (Kasus Waduk Saguling Jawa Barat) [Tesis]. Universitas Diponegoro.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air, Edisi Kedua. Bogor: IPB Press. Bates BC, Kundzewicz ZW, Wu S, Palutikof JP. 2008. Climate Change and Water. Technical Paper of the Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC Secretariat, Geneva: 210. Baulies X, Szejwach G. 1997. LUCC Data Requirements Workshop: survey of needs, gaps and priorities on data for land-use/land-cover change research. LUCC Report Series no.3. Davie T. 2008. Fundamentals of Hydrology. New York: Routledge.
Field CB, et al. 2008. Ecological Impacts of Climate Change. Washington: National Academic Press. Gustaman T. 2003. Konfigurasi Jaringan Komunikasi Data PT. Indonesia Power UBP Saguling. Laporan Kerja Praktik. Jakarta: Universitas Komputer Indonesia. Hamadudu B, Killingtveit A. 2012. Assessing Climate Change Impact on Global Hydropower. Energies 5: 305322. Haverkamp S, Srinivasan R, Frede G, Santhi C. 2002. Subwatershed spatial analysis tool: Discretization of a distributed hydrologic model by statistical criteria. J. American Water Resour . Assoc. 38(6): 1723‐1733. Hutagalung DM. 2003. Dampak Fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO) terhadap Keragaman Penerimaan Curah Hujan dan Debit Air Sungai DAS Citarum [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Indra Z, Jasin MI, Binilang A, Mamoto BD. 2012. Analisis Debit Sungai Munte dengan Metode Mock dan Metode NRECA untuk Kebutuhan Pembangkit
20
Listrik Tenaga Air. Jurnal Sipil Statik 1: 34-38. Junaedi E. 2009. Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Pengelolaan DAS Cisadane Menggunakan Model SWAT [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusuma MSB, Kuntoro AA, Silasari R. 2010. Preparedness Effort toward Climate Change Adaptation in Upper Citarum River Basin, West Java, Indonesia. Bandung Institute of Technology. Lambin EF, Geist H. 2006. Land-Use and Land-Cover Change. Local Processes and Global Impact. Berlin: Springer. Li Z, Liu W, Zhang X, Zheng F. 2009. Impacts of Land Use Change and Climate Variability on Hydrology in an Agricultural Catchment on the Loess Plateau of China. Journal of Hydrology 377: 35–42. MoE. 2007. Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Change, and their Implication. Jakarta: Ministry of Environment, Republic of Indonesia. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, Williams JR. 2002. Soil and Water Assesment Tool User’s Manual Version 2000. Texas: Texas Water Resources Institute. Pamungkas C. 2004. Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk PLTA. Laporan Penelitian Perhitungan Ekonomi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Jakarta: Pusat Penelitian LIMNOLOGI Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia. Pikounis M, Varanou E, Baltas E, Dassaklis A, Mimikou M. 2003. Application of the SWAT Model in the Pinios River Basin under Different Land-use Scenarios. Global Nest: the int. J. 5: 71-79. Ritter M. 2003. The Physical Environment. University of Wisconsin. Shelton ML. 2009. Hydroclimatology: Perspectives and Applications. Cambridge: Cambridge University Press.
Sjarief R, Kodoatie RJ. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Tommy. 2011. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Citarum Hulu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Vose D. 2008. Risk Analysis: a quantitative guide. Chicester: John Wiley & Sons, Ltd. World Wide Fund. 2007. Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS Citarum. Laporan. WWF Indonesia-Climate and Energy Program.
21
LAMPIRAN
22
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta tata guna lahan DAS Citarum Hulu tahun 2000.
Lampiran 2 Peta tata guna lahan DAS Citarum Hulu tahun 2025.
23
Lampiran 3 Peta tanah DAS Citarum Hulu
Lampiran 4 Jenis tanah berdasarkan klasifikasi USDA 1993 Kode AK1 AK10 AK16 AK17 AK8 AR1 AR10 AR11 AR12 AR16 AR4 AR5 AR7
Nama tanah Mollic Hapludalfs Typic Hapludalfs Thaptic Hapludands Typic Humitropepts Andic Hapludolls Oxic Argiudolls Ultic Hapludalfs Typic Eutropepts Aquic Eutropepts Typic Kandiudults Mollic Hapludalfs Aquic Hapludolls Oxic Humitropepts
Kelompok Alfisol Alfisol Andisol Inceptisol Mollisol Mollisol Alfisol Inceptisol Inceptisol Ultisol Alfisol Mellisol Inceptisol
MA12 MA15 MA16 MA2 MA4 MA6 MA9 PT22 PT23 PT31 PT42 PT47 PT5 PT58
Aeric Ochraqualfs Cumulic Hapludolls Cumulic Hapludolls Oxic Argiudolls Typic Hapludands Aeric Tropaquepts Typic Hapludolls Eutric Hapludands Typic Humitropepts Typic Humitropepts Typic Hapludults Typic Hapludolls Thaptic Hapludands Typic Hapludands
Alfisol Mollisol Mollisol Mollisol Andisol Inceptisol Mollisol Andisol Inceptisol Inceptisol Ultisol Mollisol Andisol Andisol
24
Lampiran 5 Posisi stasiun hujan observasi
Lampiran 6 Posisi stasiun RegCM3
25
Lampiran 7 Hasil kalibrasi model SWAT. 400 350
Observasi Simulasi Setelah Kalibrasi
NSI 0.65 r2 0.67
Debit (m3/s)
300 250 200 150 100 50 0
Lampiran 8 Hasil validasi model SWAT. 350 300
Debit (m3/s)
250 200 150 100 50 0
NSI 0.57 r2 0.57
Observasi Simulasi hasil Validasi
26
Lampiran 9 Parameter kalibrasi dan validasi model SWAT. No
Jeni Parameter
Keterangan
Nilai
Konstanta curve number untuk kondisi kelembaban II yang dipengaruhi oleh permeabilitas tanah, 1.115 landuse, dan kondisi kadar air tanah. 2 r__SOL_AWC(1).sol________1 Kadar air tanah tersedia 0.94625 3 r__SOL_K(1).sol________1 Konduktivitas hidrolik jenuh yang menghubungkan fluks air tanah dan gradient hidrolik 0.5 4 v__SOL_BD(1).sol Bulk density basah yang merupakan rasio massa partikel solid dan volume tanah 1.04 5 a__GWQMN.gw________1 Input yang menunjukan batas kedalaman air di akuifer dangkal untuk terjadinya aliran. 2.1875 6 v__GW_REVAP.gw________1 Koefisien perkolasi air tanah 0.19775 7 v__REVAPMN.gw________1 Batas kedalaman air pada akuifer dangkal untuk terjadinya perkolasi menuju akuifer dalam. 1.875 8 a__ESCO.hru________1 Faktor kompensasi evaporasi tanah 0.0975 9 v__OV_N.hru Nilai manning n untuk overland flow 7.132625 10 r__SLSUBBSN.hru________1 Panjang kemiringan rata-rata 1.0625 Parameter time lag suatu DAS yaitu waktu antara terjadinya hujan lebih hingga terjadinya puncak 11 v__SURLAG.bsn 11.6375 aliran permukaan 12 v__MSK_CO1.bsn 4.625 Koefesien pengontrol untuk aliran menjadi normal dan lambat, nilai yang semakin besar menunjukan aliran air menjadi tidak normal dan semakin cepat 13 v__MSK_CO2.bsn 8.625 Faktor pengontrol aliran yang masuk ke sungai dan keluar dari sungai serta menentukan besarnya 14 v__MSK_X.bsn 0.28875 simpanan air pada jaringan sungai. 15 v__GW_DELAY.gw Input yang menggambarkan rentang waktu saat mengalir dari profil tanah menuju aquifer dangkal. 6.25 16 v__ALPHA_BF.gw Indeks respon dari aliran dasar terhadap perubahan recharge (infiltrasi). 0.9875 17 v__CH_K2.rte Input konduktivitas hidrolik efektif saluran utama. 68.74137 18 v__CH_N2.rte Nilai kekasaran manning pada saluran utama sungai. 0.195375 19 v__ALPHA_BNK.rte Factor alpha baseflow untuk bank storage 0.5375 Faktor kompensasi pengeluaran air tanaman yang merupakan fungsi dari proses transpirasi, 20 v__EPCO.hru 0.269875 evapotranspirasi, dan kadar air tanah. Sumber: CCROM-SEAP 2012 1
r__CN2.mgt________1
27
Lampiran 10 Time series inflow dan outflow Waduk Saguling.
Lampiran 11 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario H00 MON 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RAIN (MM) 175.69 204.14 261.99 231.87 170.68 81.35 42.89 23.55 65.49 92.54 161.61 200.83
SURF Q (MM) 67.63 89.85 117.62 99.44 62.87 23.25 8.32 3.01 16.99 28.94 54.87 83.99
LAT Q (MM) 17.14 19.04 24.3 22.79 17.55 8.38 4.37 1.92 5.43 7.13 12.77 18.52
WATER YIELD (MM) 124.13 154.09 194.75 173.01 121.04 49.83 20.26 7.6 30.08 47.02 85.84 139.83
ET (MM) 35.47 33.95 47.73 47.37 40.94 31.54 27.32 22.29 26.94 37.79 48.67 41.11
SED YIELD (T/HA) 13.3 22.49 30.84 18.06 6.59 2.09 0.65 0.2 1.67 2.92 6.51 12.72
PET (MM) 73.16 66.99 85.41 83.35 72.16 64.63 68.66 79.72 89.75 106.85 95.99 78.75
28
Keterangan: SURQ
: Limpasan (mm)
LATQ
: Limpasan bawah tanah (mm)
WATER YIELD : Water yield (mm) ET
: Evapotranspirasi (mm)
SED YIELD
: Hasil sedimentasi (Ton/hektar)
PET
: Evapotranspirasi potensial (mm)
Lampiran 12 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario H10 MON 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RAIN (MM) 175.69 204.14 261.99 231.87 170.68 81.35 42.89 23.55 65.49 92.54 161.61 200.83
SURF Q (MM) 73.03 97.04 127.14 108.07 69.08 25.93 9.48 3.55 18.93 31.79 59.46 89.71
LAT Q (MM) 12.88 14.16 18.09 17.47 13.79 7 3.81 1.71 3.83 5.14 8.74 13.56
WATER YIELD (MM) 122.47 154.12 195.36 174.1 122.4 51.21 21.2 8.16 30.28 47.32 84.33 136.62
ET (MM) 35.07 33.14 46.82 46.55 40.28 32.03 28.46 25.62 28.36 39.03 47.5 40.58
SED YIELD (T/HA) 14.99 25.93 35.23 20.9 7.94 2.72 0.8 0.26 2.06 3.48 7.08 13.73
PET (MM) 73.16 66.99 85.41 83.35 72.16 64.63 68.66 79.72 89.75 106.85 95.99 78.75
29
Lampiran 13 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario H25 MON 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RAIN (MM) 175.69 204.14 261.99 231.87 170.68 81.35 42.89 23.55 65.5 92.54 161.61 200.83
SURF Q (MM) 82.05 106.33 139.81 119.36 77.64 29.7 11.42 4.44 22.19 36.65 68.54 100.13
LAT Q (MM) 11.72 12.93 16.42 15.88 12.63 6.42 3.53 1.62 3.59 4.76 8 12.38
WATER YIELD (MM) 127.86 158.92 201.57 179.01 126.46 53.21 22.69 9.09 33.16 51.17 91.06 142.7
ET (MM) 30.14 28.73 41.56 41.46 35.97 28.03 23.63 21.29 24.77 36.15 44.15 36.34
SED YIELD (T/HA) 15.97 27.68 37.26 21.15 8.51 3.04 0.91 0.29 2.34 3.75 7.47 14.34
PET (MM) 73.16 66.99 85.41 83.35 72.15 64.63 68.66 79.72 89.75 106.85 95.99 78.75
30
Lampiran 14 Rekapitulasi hasil SWAT untuk skenario F25 MON 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RAIN (MM) 164.86 208.69 285.2 226.87 164.45 89.05 42.51 22.28 66.39 79.52 165.86 197.26
SURF Q (MM) 73.63 108.02 155.31 115.9 71.01 32.08 10.28 4.04 22.46 28.74 70.31 98.27
LAT Q (MM) 11.12 12.53 16.9 15.31 11.57 6.28 3.49 1.35 3.13 3.5 7.14 11.27
WATER YIELD (MM) 115.88 155.41 215.85 170.15 111.28 52.91 20.53 7.34 31 37.31 86.55 132.73
ET (MM) 32.46 34.07 48.85 47.66 43.97 33.72 28.13 24.95 28.77 41.27 51.2 40.15
SED YIELD (T/HA) 13.06 26.87 40.8 20.15 7.54 2.99 0.72 0.23 2.27 2.44 7.24 13.53
PET (MM) 75.79 76.95 93.38 87.61 79.33 70.12 78.1 92.66 103.53 120.29 103.05 84.84
31
Lampiran 15 Grafik regresi hujan vs debit sungai. 50
y = 0.1816x + 0.0521 R² = 0.8127
40 Debit (m3/s)
40 Debit (m3/s)
50
y = 0.1758x + 0.2029 R² = 0.7677
30 20 10
30 20 10
sub54_00
0 0
100 Hujan (mm)
sub54_25
0
200
0
100 Hujan (mm)
200
a. subDAS 54 landuse tahun 2000 b. subDAS 54 landuse tahun 2025 80
y = 0.3281x + 0.3016 R² = 0.7994
60
Debit (m3/s)
Debit (m3/s)
80
40 20 sub61_00
0 0
100 Hujan (mm)
200
y = 0.3688x + 0.1737 R² = 0.8687
60 40 20 sub61_25
0 0
100 Hujan (mm)
c. subDAS 61 landuse tahun 2000 d. subDAS 61 landuse tahun 2025 Lampiran 16 Analisis korelasi tutupan hutan dan fraksi baseflow-hujan. MTB > Correlation
'forest' 'b/prec'.
Correlations: forest, b/prec Pearson correlation of forest and b/prec = 0.956 P-Value = 0.044
Lampiran 17 Perubahan lahan subDAS 54 dan 61
200