KAJIAN PEMBUATAN MAIZENA DARI JAGUNG KUNING DAN SINTAS MUTAN Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) SELAMA PEMBUATAN MAIZENA
SKRIPSI
SARAH TIARA SULISTYANTI F24080023
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
STUDIES ON MAIZENA PRODUCTION FROM YELLOW MAIZE AND SURVIVAL OF Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) MUTANT DURING MAIZENA PRODUCTION Sarah Tiara Sulistyanti and Siti Nurjanah Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRACT Cronobacter spp. (previously known as Enterobacter sakazakii) is an emerging pathogen that can cause diseases with high mortality for several infant groups. This bacteria has been isolated from various sources, such as foods, clinical sources, and environments. Not only isolated from powdered infant formulas and weaning foods, but Cronobacter spp. also has been isolated from other foods such as maizena. The main objective of this research is to analyze survival of Cronobacter spp. mutant (Green Fluorescent Ptotein inserted-Cronobacter spp.) during maizena production. This research consists of three main steps, i.e maizena production from yellow maize, determination of the best detection method of Cronobacter spp. mutant and survival analysis of Cronobacter spp. mutant during maize steeping and maizena drying. Yield of maizena production was 48.90% (whole kernelbased). The producted maizena was like commercial maizena in parameters of moisture content, density, and starch granule structure.While it was different from commercial maizena in whiteness. The best growth media of mutant inoculums was BHI supplemented with 100 µg/ml ampicillin. Selective counting method of mutant was counting in TSA supplemented with 100 µg/ml ampicillin by surface plathing method observed under UV light. Survival analysis during maizena production showed that both in the end of steeping and drying stage, Cronobacter spp.mutant was not detected. Keywords: Cronobacter spp.,Green Fluorescent Protein, maizena, survival
Sarah Tiara Sulistyanti. F24080023. Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter Sakazakii) selama Pembuatan Maizena. Di bawah bimbingan Siti Nurjanah. 2013.
RINGKASAN Cronobacter spp. (sebelumnya dikenal sebagai Enterobacter sakazakii) telah diisolasi dari berbagai sumber seperti bahan pangan, sumber klinis, dan lingkungan. Pengujian sintas Cronobacter spp. selama rekonstitusi dan pengeringan susu formula telah banyak dilakukan. Padahal Cronobacter spp. juga berhasil ditemukan pada bahan pangan selain susu formula dan makanan bayi, salah satunya maizena. Gitapratiwi (2011) telah menemukan Cronobacter spp. pada 2 sampel maizena dari 8 sampel yang diteliti. Hal tersebut menunjukkan bahwa Cronobacter spp. kemungkinan masih dapat bertahan selama pembuatan maizena. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji sintas Cronobacter spp. pada pembuatan maizena, khususnya selama perendaman jagung dan pengeringan maizena. Untuk mempermudah pendeteksian pada pengujian sintas Cronobacter spp. tersebut, maka digunakan isolat mutan Cronobacter spp. yang telah mengalami transformasi melalui penyisipan plasmid GFPuv (Green Fluorescent Protein). Isolat mutan ini memiliki kemampuan untuk berfluoresens saat terpapar oleh lampu UV dan bertahan pada media yang mengandung ampisilin. Sehingga isolat mutan ini dapat berperan sebagai penanda terseleksi karena dapat dibedakan dari isolat wild-type dan mikroorganisme lain. Sebelum isolat mutan Cronobacter spp. ini digunakan, perlu dilakukan penentuan metode deteksi yang dapat mempertahankan karakteristik fenotip dari isolat mutan tersebut. Penelitian ini terdiri dari 3 tahap utama, yaitu pembuatan maizena dari jagung kuning, penentuan metode deteksi mutan Cronobacter spp., dan pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama pembuatan maizena. Maizena yang telah dibuat lalu dihitung rendemennya dan dibandingkan dengan maizena komersial melalui parameter kadar air, densitas kamba, derajat putih, dan struktur granula pati. Penentuan metode deteksi terdiri dari penentuan konsentrasi ampislin yang digunakan pada media, serta penentuan metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum. Konsentrasi ampisilin yang digunakan pada penentuan konsentrasi ampisilin adalah 0 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 75 μg/ml, dan 100 μg/ml media TSA (Tryptone Soy Agar). Isolat Cronobacter spp. yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat normal Cronobacter spp. DES c7 asal maizena (Gitapratiwi 2011), FWH c3 asal pati singkong (Hamdani 2012), YR t2a asal susu formula (Meutia 2008), dan isolatisolat mutan dari ketiga isolat tersebut (Nurjanah et al. 2012). Selain itu untuk mensimulasikan kondisi keragaman mikroorganisme pada jagung, maka digunakan juga isolat-isolat kapang (Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Fusarium oxysporum), khamir (Kodamaea ohmeri, Candida krusei, Candida zeylanoides), dan bakteri asam laktat (Pediococcus sp., Lactobacillus plantarum, Lactobacillus lactis, Lactobacillus brevis) yang diperoleh dari fermentasi spontan selama perendaman jagung (Rahmawati et al. 2012). Pembuatan maizena dengan bahan baku jagung dent kuning menghasilkan rendemen sebesar 49.90% (basis biji jagung utuh). Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa maizena penelitian (MP) memiliki kadar air basis basah 9.01% dan basis kering 9.90%, sedangkan maizena komersial (MK) memiliki kadar air basis basah 8.27% dan basis kering 9.02%. Berdasarkan hasil pengukuran densitas kamba, rata-rata densitas kamba MP dan MK secara berturut-turut adalah 0.4410 g/ml dan 0.4340 g/ml. Kemudian derajat putih MP adalah 85.54%, sedangkan derajat putih MK adalah 128.19%. Pengamatan struktur granula pati dengan mikroskop terpolarisasi menunjukkan sifat birefringence pada MP dan MK dengan ukuran diameter granula berkisar antara 2.5 hingga 15 μm. Hasil analisis MP dan MK secara keseluruhan menunjukkan bahwa nilai kadar air, densitas kamba, dan struktur granula pati MP menyerupai MK. Namun untuk parameter derajat putih, MP dan MK terlihat berbeda cukup signifikan. Hasil penentuan konsentrasi ampisilin menunjukkan bahwa isolat mutan YR t2a dan mutan FWH c3 masih dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 100 μg/ml, sedangkan mutan DES c7 hanya dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 25 μg/ml seperti halnya isolat normal DES c7. Karena Clontech USA juga merekomendasikan penggunaan ampisilin 100 μg/ml, maka isolat DES c7 mutan tidak dapat digunakan pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama pembuatan maizena. Hasil penentuan metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum menunjukkan bahwa
kedua isolat mutan memiliki viabilitas koloni berpendar yang lebih tinggi ketika ditumbuhkan pada media pertumbuhan inokulum BHI yang mengandung ampisilin 100 μg/ml (BHI+A) dan dipupuk dengan metode permukaan. Berdasarkan hasil tersebut, pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung dan pengeringan maizena, inokulum mutan ditumbuhkan pada media BHI+A. Kemudian media penghitungan yang digunakan adalah TSA yang mengandung ampisilin 100 μg/ml (TSA+A) dengan metode pemupukan permukaan. Hasil pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung pada suhu 520C menunjukkan bahwa kedua isolat mutan yang diinokulasikan ke jagung dan air perendam tidak terdeteksi lagi saat pengamatan pada 24 jam dan 48 jam perendaman. Hasil pengujian sintas mutan Cronobacter spp. pada tahap pengeringan maizena menunjukkan bahwa setelah 6 jam pengeringan pada suhu 500C, FWH c3 mutan mengalami reduksi log lebih besar (2.19) dari pada YR t2a mutan (1.45). Kemudian setelah 24 jam pengeringan, pertumbuhan isolat mutan tidak terdeteksi lagi. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa perendaman jagung pada suhu 520C selama 48 jam dan pengeringan maizena pada suhu 500C selama 24 jam dapat mereduksi mutan Cronobacter spp. hingga tidak terdeteksi lagi.
KAJIAN PEMBUATAN MAIZENA DARI JAGUNG KUNING DAN SINTAS MUTAN Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) SELAMA PEMBUATAN MAIZENA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh SARAH TIARA SULISTYANTI F24080023
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter Sakazakii) selama Pembuatan Maizena Sarah Tiara Sulistyanti F24080023
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
(Siti Nurjanah, S.TP, M.Si.) NIP. 19760131 200501 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP. 19680526 199303 1 004
Tanggal Ujian Akhir Sarjana: 8 Februari 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter Sakazakii) selama Pembuatan Maizena adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013 Yang membuat pernyataan,
Sarah Tiara Sulistyanti F24080023
iii
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
iv
BIODATA PENULIS Sarah Tiara Sulistyanti dilahirkan di Purwakarta pada tanggal 2 November 1990 sebagai anak pertama dari pasangan Asep Sutisna dan Lilis Nursanti. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Purwakarta dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus divisi Profesi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) pada tahun 2011. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan seperti National Student Paper Competition (2010), BAUR (2010), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XVIII (2010), Seminar dan Pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point VIII (2010 dan 2011), serta Seminar dan Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal (2011). Pada tahun 2010, penulis juga pernah menjadi asisten Praktikum Kimia dan Biokomia Pangan serta Praktikum Mikrobiologi Pangan. Kemudian penulis pernah menjadi juara II National Student Paper Competition (2012) dan juara III National Food Technology Competition (2012), serta menerima dana dari DIKTI pada Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian dan Teknologi (2012). Penulis juga pernah mengikuti Pelatihan Good Laboratory Practices (2011) dan Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal (2012).
v
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Pembuatan Maizena dari Jagung Kuning dan Sintas Mutan Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) selama Pembuatan Maizena ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan serta SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret hingga Desember 2012. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Siti Nurjanah, S.TP, M.Si yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir. 2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc atas masukannya sebagai dosen penguji dan atas bantuan dana penelitiannya melalui Hibah Kompetensi DIKTI tahun 2012. 3. Ir. Subarna, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis untuk perbaikan penulisan skripsi ini. 4. Mama, Papa, dan De Bila atas doa, dukungan dan perhatiannya selama penulis menyelesaikan tugas akhir. 5. Riyah, Hilda, Yani, Elva, dan Sam atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya selama melakukan penelitian. 6. Tutut, Ati, Angel, Anggi, dan Harum atas kebersamannya selama kuliah. 7. Ka Dian, Ka Tita, Wulan, Nova, Puja, Mike, Mei, Zhia, dan Nia atas dukungan dan kebersamaannya selama di Pondok Cahaya. 8. Dosen-dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas semua ilmu dan pengalaman yang telah dibagi kepada penulis. 9. Teman-teman ITP 45, khususnya golongan praktikum P3 atas kebersamaannya selama kuliah dan praktikum. 10. Teknisi laboratorium SEAFAST Center dan laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, khususnya Mba Ari, Mas Yerris, Pak Sukarna, Pak Junaedi, Pak Deni, Teh Asih, Mas Edi, Bu Rubiah, dan Pak Rojak. 11. Bu Novi, Mba Anie, dan Mba Mei atas bantuannya dalam mengurus masalah administrasi. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memiliki manfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Bogor, Februari 2013
Sarah Tiara Sulistyanti
vi
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ................................................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................................... xi I.
PENDAHULUAN ..........................................................................................................................1 A. LATAR BELAKANG..................................................................................................................1 B. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................................................3 A. Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii)..................................................................................3 1.
Karakteristik dan Taksonomi Cronobacter spp. ....................................................................3
2.
Sumber Kontaminasi Cronobacter spp..................................................................................4
3.
Ketahanan terhadap antibiotik ...............................................................................................5
4.
Ketahanan terhadap panas .....................................................................................................5
B. JAGUNG ......................................................................................................................................6 1.
Biji Jagung .............................................................................................................................6
2.
Pati Jagung.............................................................................................................................8
C. AMPISILIN................................................................................................................................11 D. GREEN FLUORESCENT PROTEIN .........................................................................................12 E. PLASMID GREEN FLUORESCENT PROTEIN (pGFPuv) ......................................................14 F. MEKANISME MUTASI MELALUI TRANSFORMASI .........................................................15 III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................................................17 A. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................................17 B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ..................................................................................17 C. METODE PENELITIAN ...........................................................................................................17 1.
Pembuatan Maizena .............................................................................................................17
2.
Penentuan Metode Deteksi Mutan Cronobacter spp. ..........................................................20
3.
Pengujian Sintas Cronobacter spp. Mutan selama Pembuatan maizena .............................22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................................................25 A. PEMBUATAN MAIZENA ........................................................................................................25 B. PENENTUAN METODE DETEKSI MUTAN Cronobacter spp. ............................................28 1.
Penentuan Konsentrasi Ampisilin Media ............................................................................28
2.
Penentuan Metode Pemupukan dan Media Pertumbuhan Inokulum ...................................31
C. PENGUJIAN SINTAS MUTAN Cronobacter spp. SELAMA PEMBUATAN MAIZENA ....33 1.
Pengujian Sintas Mutan Cronobacter spp. selama Perendaman Jagung .............................33
vii
2.
Pengujian Sintas Mutan Cronobacter spp. selama Pengeringan Maizena ...........................34
IV. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................................37 A. SIMPULAN ...............................................................................................................................37 B. SARAN ......................................................................................................................................37 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................38 LAMPIRAN ..........................................................................................................................................45
viii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Persentase bagian-bagian biji dan komposisi kimia jagung dent kuning …………..
7
Tabel 2.
Karakteristik bubuk pati jagung (maizena) ……………………………………......
9
Tabel 3.
Hasil analisis fisik maizena penelitian dan maizena komersial ……………………
27
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Morfologi Cronobacter spp. di bawah SEM (Scanning Electrone Microscope) dengan perbesaran 4800x ……………………………………………………….
3
Gambar 2.
Anatomi biji jagung …………………………………………………………….
6
Gambar 3.
Perbedaan struktur biji jenis-jenis jagung ………………………………………
8
Gambar 4.
Struktur molekul ampisilin ……………………………………………………..
11
Gambar 5.
Struktur tiga dimensi GFP ……………………………………………………...
12
Gambar 6.
Mekanisme biosintesis kromofor GFP …………………………………………
13
Gambar 7.
Struktur tiga dimensi GFPuv …………………………………………………..
14
Gambar 8.
Peta vektor pGFPuv …………………………………………………………….
15
Gambar 9.
Transformasi kimiawi sel kompeten ……………………………………………
16
Gambar 10.
Diagram alir penelitian……………....................................................................
18
Gambar 11
Jagung varietas Pioneer tipe biji dent …………………………………………..
25
Gambar 12
Perbandingan warna maizena penelitian dan maizena komersial ……………..
27
Gambar 13.
Struktur granula pati (suspensi 2%) di bawah mikroskop terpolarisasi dengan perbesaran 400x ………………………………………………………………...
28
Grafik intensitas pertumbuhan isolat Cronobacter spp. normal dan mutan pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin ……………………………
29
Gambar 14 Gambar 15
Grafik intensitas pertumbuhan kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin ………………………
Gambar 16
Grafik perbandingan persentase koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan tuang dan permukaan ………………………………………………………………
32
Grafik perbandingan viabilitas koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan permukaan …………………………………………………………………..
33
Grafik viabilitas Cronobacter spp. mutan pada jagung dan air perendam selama perendaman dengan suhu 520C ……………………………...
34
Grafik viabilitas Cronobacter spp. mutan pada maizena selama pengeringan dengan suhu 500C ……………………………………………….
35
Gambar 17
Gambar 18 Gambar 19
30
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Diagram alir pembuatan maizena …………………………………………...
46
Lampiran 2a.
Gambar perendaman jagung di dalam waterbath …………………………...
47
Lampiran 2b.
Gambar grinder ……………………………………………………………..
47
Lampiran 2c.
Gambar penggilingan basah jagung menggunakan grinder ………………...
47
Lampiran 2d.
Gambar penampungan suspensi hasil penggilingan basah jagung ………….
47
Lampiran 2e.
Gambar pemisahan ampas ………………………………………………….
47
Lampiran 2f.
Gambar suspensi pati yang mengendap …………………………………….
47
Lampiran 2g.
Gambar suspensi pati sebelum pengeringan ………………………………...
48
Lampiran 2h.
Gambar pati setelah pengeringan …………………………………………...
48
Lampiran 2i.
Gambar penggilingan pati kering menggunakan blender …………………...
48
Lampiran 2j.
Gambar pati hasil penggilingan ……………………………………………..
48
Lampiran 2k.
Gambar ayakan 100 mesh …………………………………………………..
48
Lampiran 2l.
Gambar pati hasil pengayakan ………………………………………………
48
Lampiran 3a.
Data pengukuran kadar air maizena komersial dan maizena penelitian ……
49
Lampiran 3b.
Data pengukuran densitas kamba maizena komersial dan maizena penelitian ……………………………………………………………………
49
Lampiran 3c.
Data pengukuran derajat putih maizena komersial dan maizena penelitian ..
49
Lampiran 4a.
Gambar isolat normal Cronobacter spp. YR t2a, DES c7, dan FWH c3 di media BHI …………………………………………………………………...
50
Gambar isolat mutan Cronobacter spp. YR t2a, DES c7, dan FWH c3 di media BHI …………………………………………………………………...
50
Gambar kultur kapang A. flavus, F. oxysporum, dan A. niger di media PDA miring ………………………………………………………………………..
50
Gambar kultur khamir C. krusei, K. ohmeri, dan C. zeylanoides di media PDA miring ………………………………………………………………….
50
Gambar kultur BAL L. lactis, L. plantarum, Pediococcus sp., dan L. brevis di media MRSB ……………………………………………………………..
50
Gambar morfologi Cronobacter spp. di bawah mikrokskop dengan perbesaran 1000x ……………………………………………………………
51
Lampiran 4b. Lampiran 4d.
Lampiran 4e.
Lampiran 4f.
Lampiran 5.
xi
Lampiran 6.
Gambar morfologi Cronobacter spp. pada media TSA …………………….
51
Lampiran 7.
Gambar morfologi Cronobacter spp. mutan pada media TSA+ampisilin di bawah lampu ultraviolet pada panjang gelombang 366 nm ………………...
51
Data pertumbuhan isolat Cronobacter spp. normal dan mutan, kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin ………………………………………………………..
53
Lampiran 8b.
Gambar standar tidak ada koloni (-) ………………………………………...
54
Lampiran 8c.
Gambar standar tumbuh sangat sedikit (+) ………………………………….
54
Lampiran 8d.
Gambar standar tumbuh sedikit (++) ………………………………………..
54
Lampiran 8e.
Standar tumbuh agak banyak (+++) ………………………………………...
54
Lampiran 8f.
Gambar standar tumbuh banyak (++++) ……………………………………
54
Lampiran 8g.
Gambar standar tumbuh sangat banyak (+++++) …………………………..
54
Lampiran 9a.
Data penentuan media pertumbuhan inokulum dan metode pemupukan (tuang) ……………………………………………………………………….
55
Data penentuan media pertumbuhan inokulum dan metode pemupukan (permukaan) …………………………………………………………………
56
Data pengujian sintas Cronobacter spp. YR t2a mutan selama perendaman jagung pada suhu 520C ………………………………………..
57
Data pengujian sintas Cronobacter spp. FWH c3 mutan selama perendaman jagung pada suhu 520C ………………………………………..
59
Perubahan log Cronobacter spp. mutan selama perendaman jagung pada suhu 520C…………………………………………………………………….
61
Data pengujian sintas Cronobacter spp YR t2a mutan selama pengeringan maizena pada suhu 500C …………………………………………………
62
Data pengujian ketahanan Cronobacter spp. FWH c3 mutan selama pengeringan maizena pada suhu 500C …………………………………..
63
Perubahan log Cronobacter spp. mutan selama pengeringan pati jagung pada suhu 500C ……………………………………………………………..
64
Lampiran 8a.
Lampiran 9b.
Lampiran 10a.
Lampiran 10b.
Lampiran 10c.
Lampiran 11a. Lampiran 11b. Lampiran 11c.
xii
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Cronobacter spp. (sebelumnya dikenal sebagai Enterobacter sakazakii) merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, bersifat motil, fakultatif anaerob, dan tidak membentuk spora (Iversen dan Forsythe 2003). Cronobacter spp. digolongkan menjadi emerging pathogen karena kemampuannya yang dapat mengakibatkan penyakit meningitis, necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, dan bacteremia terutama pada bayi baru lahir yang prematur, berbobot badan rendah, dan memilki daya tahan tubuh rendah (Noriega et al. 1990). Cronobacter spp. pertama kali diisolasi dari jaringan otak dan cairan cerebrospinal bayi yang terserang meningitis di Osterhills Hospital, Inggris (Urmenyi dan Franklin1961). Setelah penemuan tersebut, Cronobacter spp. telah banyak diisolasi dari berbagai sumber seperti sumber klinis, lingkungan, dan bahan pangan. Farmer et al. (1980) telah mengisolasi Cronobacter spp. dari darah, tenggorokan, hidung, usus, kulit, luka, sumsum tulang, mata, dan telinga. Cronobacter spp. juga berhasil ditemukan oleh Kandhai et al. (2004) di lingkungan pabrik makanan (8 dari 9 pabrik makanan). Pada bahan pangan, Cronobacter spp. telah banyak diisolasi dari susu formula di berbagai negara. Cronobacter spp. telah berhasil diisolasi dari susu formula yang berasal dari 35 negara dengan hasil survey menunjukkan 20 dari 141 sampel susu formula mengandung Cronobacter spp. dengan tingkat kontaminasi 0.36-66 cfu/100 g (Muytjen et al. 1988). Kemudian Estuningsih (2006) juga menyatakan bahwa dari 74 sampel makanan bayi, 35 sampel (47%) di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriacea dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Cronobacter spp. Meutia (2008) juga mengisolasi Cronobacter spp. (6 sampel dari 25 sampel) dari susu formula dan makanan bayi yang beredar di Indonesia. Kemudian Gitapratiwi (2011) juga menemukan Cronobacter spp. dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16). Namun selain dari susu formula dan makanan bayi, Cronobacter spp. juga berhasil diisolasi dari bahan pangan lain, salah satunya maizena. Gitapratiwi (2011) berhasil mengisolasi Cronobacter spp. dari maizena (2 sampel dari 8 sampel). Hal tersebut menunjukkan bahwa Cronobacter spp. kemungkinan masih dapat bertahan selama pembuatan maizena. Pada pembuatan maizena, tahap perendaman jagung dan pengeringan maizena adalah tahaptahap yang diduga dapat mereduksi jumlah kontaminasi mikroba. Perendaman jagung dilakukan pada suhu 520C selama 48 jam (Haros dan Suarez 1997) dan pengeringan maizena dilakukan pada suhu 500C selama 24 jam (Johnson dan May 2003) sehingga diperkirakan dapat mempengaruhi ketahanan Cronobacter spp. yang mungkin mengontaminasi proses pembuatan maizena. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan pengujian sintas Cronobacer spp. selama tahap perendaman jagung dan pengeringan maizena untuk mengetahui keefektifan kedua tahap proses tersebut dalam mereduksi Cronobacter spp. Untuk mempermudah pendeteksian pada pengujian sintas Cronobacter spp. tersebut, maka digunakan isolat mutan Cronobacter spp. yang telah mengalami transformasi melalui penyisipan plasmid GFPuv (Green Fluorescent Protein). Isolat mutan pGFPuv Cronobacter spp. (selanjutnya disebut dengan mutan Cronobacter spp.) ini memiliki kemampuan untuk berfluoresens saat terpapar oleh lampu UV dan tumbuh pada media yang mengandung ampisilin. Sehingga isolat mutan ini dapat dibedakan dari isolat wild-type dan mikroorganisme lain. Sebelum isolat Cronobacter spp. mutan ini digunakan, perlu dilakukan penentuan metode deteksi yang dapat mempertahankan karakteristik fenotip dari isolat mutan tersebut.
B. TUJUAN PENELITIAN 1. 2.
Penelitian ini bertujuan: Mengetahui perbandingan bebrapa karakteristik maizena yang dibuat dari jagung Pioneer dent dalam penelitian ini dengan maizena komersial Menguji sintas mutan Cronobacter spp. mutan selama perendaman jagung dan pengeringan maizena.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) 1. Karakteristik dan Taksonomi Cronobacter spp. Cronobacter spp. (sebelumnya dikenal dengan Enterobacter sakazakii) merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, bersifat motil, fakultatif anaerob, dan tidak dapat membentuk spora (Iversen dan Forsythe 2003). Morfologi Cronobacter spp. dapat dilihat pada Gambar 1. Sejak tahun 1958, Cronobacter spp. berhasil diidentifikasi sebagai Enterobacter cloacae berpigmen kuning oleh Urmenyi dan Franklin dari kasus meningitis yang terjadi di Osterhills Hospital, Inggris. Kemudian pada tahun 1980, Farmer et al. mengidentifikasinya sebagai spesies lain yang berbeda dari Enterobacter cloacae, yaitu Enterobacter sakazakii berdasarkan hibridisasi DNA, reaksi biokimia, produksi pigmen, dan ketahanan terhadap antibiotik. Spesies baru ini. memiliki reaksi biokomia yg mirip dengan Enterobacter cloacae, kecuali D-sorbitol negatif dan deoksiribonuklease ekstraseluler positif. Selain itu, spesies ini juga mampu membentuk koloni berpigmen kuning, sedangkan Enterobacter cloacae tidak. Berdasarkan ketahanannya terhadap antibiotik, Enterobacter sakazakii memiliki zona penghambatan yang lebih besar dari pada Enterobacter cloacae di sekitar sumur antibiotik ampisilin dan cephalothin (Farmer et al. 1980).
Gambar 1. Morfologi Cronobacter spp. di bawah SEM (Scanning Electrone Microscope) dengan perbesaran 4800x (Dennis Kunkel Microscopy 2009) Oleh karena spesies-spesies Enterobacter sakazakii yang telah berhasil diisolasi memiliki keragaman yang tinggi, maka dilakukan klasifikasi ulang. Klasifikasi ulang taksonomi Enterobacter sakazakii ini dilakukan berdasakan karakterisasi molekuler terhadap gen 16S rRNA, gen dnaG dan gluA, serta uji biokimia. Sehingga spesies Enterobacter sakazakii berganti nama menjadi genus Cronobacter spp. yang diusulkan terdiri dari lima spesies, yaitu C. sakazakii, C. malonaticus, C. turicensis, C. muytjensii, dan C. dublinensis (Iversen et al. 2008). Menurut Harris dan Oriel (1989), Cronobacter spp. dapat membentuk heteropolisakarida yang mengandung 2932% glucoronic acid, 23-30% D-glukosa, 19-24% D-galaktosa, 13-22% D-fukosa, dan 0-8% manosa. Produksi optimumnya adalah pada kondisi pertumbuhan yang terbatas nitrogennya (rasio C/N 20:1). Kapsul bakteri ini digunakan untuk pertahanan sehingga memungkinkan bertahan dalam susu formula sampai 24 bulan. Pembentukan kapsul juga menjadikan bakteri ini dapat
menempel pada permukaan dan membentuk biofilm yang bersifat sangat resisten terhadap bahan pembersih dan desinfektan.
2. Sumber Kontaminasi Cronobacter spp. Cronobacter spp. pertama kali diisolasi dari jaringan otak dan cairan cerebrospinal bayi yang terserang meningitis di Osterhills Hospital, Inggris (Urmenyi dan Franklin1961). Setelah penemuan tersebut, Cronobacter spp. telah diisolasi dari berbagai sumber seperti bahan pangan, sumber klinis, dan juga lingkungan. Joker et al. (1965) telah mengisolasi Cronobacter spp. dari cairan spinal bayi yang terserang meningitis di Hospital of Odense, Denmark. Farmer et al. (1980) juga menemukan Cronobacter spp. pada darah, tenggorokan, hidung, usus, kulit, luka, sumsum tulang, mata, dan telinga. Selain dari sumber klinis Cronobacter spp. telah ditemukan di lingkungan pabrik makanan (8 dari 9 pabrik makanan) (Kandhai et al. 2004). Skladal et al. (1993) juga menemukan Cronobacter spp. di lingkungan pabrik produksi susu UHT. Kemudian Farmer et al. (1980) juga telah mengisolasi Cronobacter spp. dari peralatan makan rumah sakit dan stetoskop dokter. Pada bahan pangan, Cronobacter spp. telah banyak diisolasi dari susu formula di berbagai negara. Cronobacter spp. telah diisolasi dari susu formula yang berasal dari 35 negara dengan hasil survey menunjukkan bahwa 20 dari 141 sampel susu formula mengandung Cronobacter spp. dengan tingkat kontaminasi 0.36-66 cfu/100 g (Muytjens et al. 1988). Kemudian Simmons et al. (1989) juga telah mengisolasi Cronobacter spp. dari susu formula di USA. Biering et al. (1989) juga menemukan Cronobacter spp. pada susu formula yang dikonsumsi bayi di National University Hospital, Islandia. Kemudian menurut Nazarowec-White dan Farber (1997b), survei susu formula di wilayah Kanada menunjukkan bahwa 8 dari 120 (6.7 %) positif mengandung Cronobacter spp. Estuningsih (2006) juga mengidentifikasi dari 74 sampel makanan bayi, 35 sampel (47%) di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriacea dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Cronobacter spp. Meutia (2008) juga mengisolasi Cronobacter spp. (6 sampel dari 25 sampel) dari susu formula dan makanan bayi yang beredar di Indonesia. Kemudian Gitapratiwi (2011) juga menemukan Cronobacter spp. dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16). Selain dari susu formula dan makanan bayi, Cronobacter spp. juga telah diisolasi dari bahan pangan lain seperti keju, roti, tofu, teh, dan sosis. Cronobacter spp. ditemukan pada roti karena bakteri ini merupakan bagian dari flora permukaan biji sorgum (Gassem 1999). Selain itu, Cronobacter spp. juga telah diisolasi dari beras (Cottyn et al. 2001). Kemudian FAO-WHO (2004) pernah melakukan survey terhadap ingridien yang digunakan dalam pembuatan susu formula dan hasilnya menunjukkan bahwa Cronobacter spp. berhasil ditemukan pada pati-patian (40 dari 1389 sampel), laktosa (2 dari 2219 sampel), pisang serbuk/flake (1 dari 105 sampel), jeruk serbuk/flake (1 dari 61 sampel), dan lesitin (1 dari 136 sampel). Gitapratiwi (2011) juga menemukan Cronobacter spp. dengan persentase 11.8% pada pati-patian (n=15) dan 6.3% pada produk pangan kering lainnya (n=17). Kontaminasi Cronobacter spp. pada pati-patian juga berhasil ditemukan oleh Hamdani (2012), yaitu 1 sampel pati singkong (tapioka) dari 3 sampel pati-patian. Senzani (2011) juga berhasil mengisolasi Cronobacter spp. dari sayuran, yaitu kubis. Meskipun Cronobacter spp. ditemukan di banyak sumber, hanya kontaminasi pada susu formula yang dilaporkan berasosiasi secara epidemiologi dengan sejumlah wabah penyakit meningitis di sejumlah negara (Farmer et al. 1980). Menurut CAC (2008), Cronobacter spp. dapat masuk ke dalam susu formula melalui kontaminasi dari lingkungan proses pada tahapan tetentu selama pengeringan, kontaminasi susu formula setelah kemasan dibuka, dan kontaminasi
4
selama atau setelah proses rekonstitusi. FAO-WHO (2004) juga menambahkan bahwa Cronobacter spp. yang mencemari produk susu bubuk termasuk susu formula dapat berasal dari ingridien yang ditambahkan selama proses pembuatan susu formula.
3. Ketahanan terhadap antibiotik Farmer et al. (1980) mengidentifikasi bahwa seluruh isolat Cronobacter spp. yang diuji dengen metode difusi sumur tidak tahan terhadap gentamisin, kanamisin, kloramfenikol, dan ampisilin. Kemudian hasil pengujian dengan metode Minimum Inhibitory Concentration (MIC) menunjukkan bahwa MIC kloramfenikol terhadap Cronobacter spp. yaitu 4 – 8 μg/ml, sedangkan untuk ampisilin yaitu 2 – 4 μg/ml. Kedua antibiotik ini sering digunakan untuk mengobati pasien yang menderita meningitis akibat infeksi bakteri Cronobacter spp. Sementara Willis dan Robinson (1988) merekomendasikan penggunaan ampisilin dan gentamisin untuk pengobatan terhadap penyakit meningitis yang diakibatkan oleh Cronobacter spp. karena gentamisin dapat menghambat Cronobacter spp. dalam mencapai jumlah yang cukup untuk menginfeksi cairan cerebrospinal. Farmer et al. (1980) juga menemukan hanya satu isolat Cronobacter spp. yang tahan terhadap beberapa antibiotik sekaligus yaitu streptomisin, kanamisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Akan tetapi, Kuzina et al. (2001) menemukan Cronobacter spp. yang diisolasi dari usus lalat buah Meksiko tahan terhadap ampisilin, cephalothin, eritromisin, novobiosin, dan penisilin. Dennison dan Morris (2002) juga melaporkan bahwa ada infeksi Cronobacter spp. yang resisten terhadap beberapa antibiotik, yaitu ampisilin, gentamisin, dan cefotaxamine.
4. Ketahanan terhadap panas Cronobacter spp. dapat tumbuh pada kisaran suhu yang lebar (6-47oC). Pada suhu ruang (21oC), Cronobacter spp. mempunyai waktu generasi sekitar 75 menit pada susu formula yang direkonstitusi. Sementara pada suhu 10 oC, Cronobacter spp. memiliki waktu generasi sekitar 10 jam yang kemudian pertumbuhannya semakin lambat pada kondisi di bawah suhu refrigerasi (Iversen dan Forsythe 2003). Menurut Nazarowec-White dan Farber (1997a), Cronobacter spp. memiliki nilai D52 54.8 menit, D54 23.7 menit, D56 10.3 menit, D58 4.2 menit, dan D60 2.5 menit untuk rata-rata dari isolat sumber klinis dan bahan pangan. Apabila kedua sumber tersebut dibandingkan, isolat sumber klinis cenderung memiliki nilai D yang lebih tinggi, meskipun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kemudian untuk nilai z, Cronobacter spp. dari sumber klinis memiliki nilai z 6.020C, sedangkan dari sumber bahan pangan adalah 5.600C dengan ratarata dari kedua sumber tersebut adalah 5.820C. Nilai tersebut berada pada kisaran nilai z untuk mayoritas bakteri yang tidak membentuk spora, yaitu 4-60C (Tomlins dan Ordal 1976). Apabila didasarkan pada hasil penelitian Nazarowec-White dan Farber (1997a) yaitu nilai D60 2.5 menit, diperlukan perlakuan panas (pasteurisasi) terhadap susu pada suhu 600C selama 15 dan 17.5 menit untuk memperoleh reduksi Cronobacter spp. sebesar 6 dan 7 log secara berturut-turut. Sementara Singh dan Ranganathan (1980) menyatakan bahwa Cronobacter spp. memiliki nilai D sebesar 23.7 menit dan 10.3 menit pada suhu 540C dan 560C. Morgan et al. (1988) juga melaporkan nilai D72 Cronobacter spp. pada susu formula bayi adalah 1.30088 menit. Nilai tersebut merupakan nilai D yang paling tinggi dibandingkan dengan bakteri gram negatif lain pada produk olahan susu. Permadi (2011) juga melakukan pengujian ketahanan beberapa isolat Cronobacter spp. selama pengeringan semprot susu formula yang direkonstitusi. Hasilnya
5
menunjukkan bahwa reduksi jumlah Cronobacter spp. pada perlakuan suhu inlet pengering 1600C berkisar antara 2.54 hingga 3.07 siklus log, pada suhu 1700C berkisar antara 2.77 hingga 3.25 siklus log, dan pada suhu 1800C berkisar antara 3.24 hingga 3.55 siklus log. Menurut Ardelino (2011), isolat Cronobacter spp. YR t2a asal susu formula (Meutia 2008) memiliki nilai D pada suhu 54, 56, 58, dan 60 secara berturut-turut adalah 7.75, 3.61, 1.34, dan 0.90 menit. Pengujian ketahanan panas isolat YR t2a juga pernah dilakukan oleh Meutia (2008) terhadap susu formula yang direkonstitusi. Hasilnya menunjukkan bahwa pada suhu rekonstitusi 400C terjadi penurunan jumlah sel sebesar 1.44 log. Kemudian pada suhu rekonstitusi 700C, YR t2a mengalami penurunan jumlah sel sebesar 5.3 log dan pada suhu rekonstitusi 1000C jumlah sel YR t2a tidak terdeteksi lagi. Isolat YR t2a juga mengalami penurunan log yang paling besar (3.59 log) dibandingkan isolat Cronobacter spp. lainnya pada susu formula yang direkonstitusi dengan suhu air 40C. Pengujian ketahanan panas isolat Cronobacter spp. asal maizena (Gitapratiwi 2011) juga pernah dilakukan oleh Permadi (2011). Pada pengujian ketahanan panas dengan suhu 540C selama 23 menit, DES c7 mengalami reduksi jumlah sel sebesar 3.47 log.
B. JAGUNG 1. Biji Jagung
Gambar 2. Anatomi biji jagung (WSI 1997) Biji jagung terdiri dari 4 bagian utama, yaitu perikarp, endosperma, lembaga, dan tip cap seperti yang terlihat pada Gambar 2. Perikarp merupakan lapisan terluar yang berfungsi menutupi biji dan melindungi bagian-bagian di dalam biji. Ketebalan perikarp berkisar dari 25 hingga 140 μm. Bobot kering dari perikarp kurang dari 2% bobot total biji (Darrah et al. 2003). Perikarp terdiri dari lapisan epidermis, mesokarp, sel silang (cross cells), sel silinder (tube cells), dan kulit biji (seed coat). Epidermis adalah lapisan paling luar dari perikarp yang terdiri dari barisan sel yang dilapisi oleh kutikula lilin dengan ketebalan 0.7-1.0 μm yang berperan dalam penyerapan air. Mesokarp adalah lapisan tertebal dari perikarp yang memiliki 90% bobot dari perikarp total. Meskipun sel mesokarp memiliki diameter 7-10 μm, sel-selnya sangat panjang. Sel di bagian
6
tengah memiliki dinding yang lebih tebal dan lumen yang lebih besar, tetapi lebih panjang dari pada sel yang lebih luar. Sel silang bercabang dan berserat karena sempit dan dihubungkan di bagian akhir percabangan, serta berdinding tipis. Sel silinder terdiri dari barisan silinder longitudinal. Selnya sempit, berdinding tipis, dan tidak bercabang. Seed coat tipis, hyaline, dan hampir transparan. Lapisan ini melekat pada permukaan luar aleuron (Watson (2003). Endosperma memiliki bobot 82.9% dari bobot kering biji yang mengandung pati sebanyak 87.6%. Endosperma disusun oleh sel memanjang dengan granula pati yang berbentuk bulat atau poligonal dengan diameter 3-25 μm. Pada biji yang sudah matang, tiap granula terperangkap dalam matriks protein. Sel endosperma mengecil dan matriks protein menebal dari bagian tengah ke endosperma luar. Endosperma terdiri dari endosperma keras dan endosperma lunak. Sementara lembaga memiliki bobot 11.1% dari bobot kering biji. Lembaga menyimpan nutrisi dan hormon yang diedarkan oleh enzim selama tahap awal germinasi biji. Lembaga menyimpan cadangan lemak sebesar 81-85% dari lemak total yang dikandung biji. Lemak tersebut didominasi oleh trigliserida. Lembaga tersusun dari embrio dan skutelum. Sel-sel yang ada di embrio dan skutelum mengaktivasi enzim hidrolitik dan sintetik, serta pertumbuhan hormon untuk mengedarkan nutrsi dan mensintesis senyawa yang diperlukan untuk pertumbuhan. Tip cap merupakan bagian yang berbentuk kerucut, berserat, dan melekat pada kernel (Watson 2003). Persentase bagian-bagian biji dan komposisi kimia jagung dent kuning dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase bagian-bagian biji dan komposisi kimia jagung dent kuning (Watson 2003) Komposisi bagian biji (%) Persentase bobot Pati Lemak Protein Abu Gula Yang Bagian kering dari biji tidak utuh (%) terhitung Endosperma 82.9 87.6 0.80 8.0 0.30 0.62 2.7 Lembaga 11.1 8.3 33.2 18.4 10.5 10.8 18.8 Perikarp 5.3 7.3 1.0 3.7 0.8 0.34 86.9 Tip cap 0.8 5.3 3.8 9.1 1.6 1.6 78.6 Biji utuh 100 73.4 4.4 9.1 1.4 1.9 9.8 Jagung diklasifikasikan ke dalam lima kelas umum berdasarkan karakteristik bijinya, yaitu dent corn, flint corn, popcorn, flour corn, dan sweet corn. Dent corn merupakan jenis jagung yang paling umum ditemukan di pasaran dengan crown (bagian atas) yang berbentuk cekung (Watson 2003). Dent corn memiliki endosperma keras di bagian samping dan belakang biji, serta endosperma lunak di bagian tengah hingga crown (Darrah et al. 2003). Flint corn memiliki crown berbentuk bulat tanpa lekukan dan tekstur yang paling keras karena endosperma kerasnya lebih banyak. Popcorn adalah flint corn yang berukuran kecil (Watson 2003). Parameter yang membedakan popcorn dengan jenis jagung lainnya adalah ukuran dan bentuk bijinya, serta kemampuan bijinya untuk meletup dan mengembang ketika dipanaskan (Ziegler 2003). Flour corn juga mempunyai crown yang bulat atau datar, tetapi seluruh endospermanya merupakan endosperma lunak. Sweet corn juga terlihat mengembung saat masih segar, tetapi mengerut setelah dikeringkan karena kandungan patinya sedikit. Sweet corn dapat dikonsumsi langsung dalam bentuk segar, dikalengkan, atau dibekukan (Watson 2003). Perbedaan karakteristik biji dari kelima jenis jagung ini dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara berdasarkan warna bijinya, jagung dapat dibedakan secara signifikan menjadi jagung putih, kuning, jingga, merah, ungu, dan
7
coklat. Perbedaan warna ini disebabkan oleh perbedaan genetik pada perikarp, aleuron, lembaga, dan endosperma. Hanya jagung kuning dan putih yang secara umum dikenal, tetapi ada sejumlah kecil jagung merah dan ungu yang diproduksi untuk pasar tertentu (Watson 2003).
Gambar 3. Perbedaan struktur biji jenis-jenis jagung (Dickerson 2003) Mikroflora yang secara alami terdapat pada jagung sangat beragam. Rahmawati et al. (2012) telah mengisolasi 8 spesies kapang, 3 spesies khamir, dan 5 spesies BAL dari fermentasi spontan saat perendaman jagung. Pertumbuhan kapang pada jagung menjadi hal yang perlu diperhatikan karena kemampuannya dalam memproduksi toksin atau yang dikenal dengan mikotoksin. Mikotoksin ini merupakan metabolit sekunder dari kapang yang bersifat toksik. Kontaminasi mikotoksin pada beberapa biji-bijian berasal dari infeksi kapang atau investasi tanaman selama perkembangannya, saat panen atau setelah panen. Kapang toksigenik yang utama pada jagung adalah spesies dari Aspergillus, Fusarium, dan Penicillium (Munkvold 2003). Selain kapang, bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum, Pediococcus pentosaceus, Leuconoctoc paramesenteroides, dan Lactobacillus brevis juga berhasil diisolasi dari jagung (Dellaglio et al. 1984).
2. Pati Jagung a. Karakteristik Granula pati terdiri dari dua komponen, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa berkontribusi sebanyak 25-30% dari komponen pati, yang merupakan molekul linier dari kumpulan glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) glikosidik. Amilosa jagung memiliki derajat polimerisasi 100-1000 unit glukosa. Sementara amilopektin merupakan molekul bercabang dengan ikatan α-(1,6) pada percabangan dan struktur linier dengan ikatan α-(1,4) glikosidik (Boyer dan Shannon 2003). Hubungan antar rantai polimer menghasilkan jaringan intermolekuler yang memiliki kemampuan untuk mengikat air (Mauro et al. 2003). Menurut Boyer dan Shannon (2003), amilosa dan amilopektin pada endosperma disusun di granula yang bersifat tidak larut. Granula pati dibentuk di dalam organel sel yang disebut amiloplas. Secara umum, granula pati jagung berbentuk bulat dan poligonal. Pati jagung mempunyai struktur kristalin yang ditunjukkan dengan struktur birefringence saat diamati di bawah cahaya terpolarisasi. Menurut Taggart (2004), birefringence merupakan pola maltosecross (pola silang) sebagai hasil refleksi cahaya terpolarisasi oleh granula pati. Pola ini juga
8
menghasilkan warna biru-kuning yang menunjukkan indeks refraksi dari granula pati. Ukuran granula pati jagung beragam dengan diameter 5-25 μm (Mauro et al. 2003). Akan tetapi, Fu et al. (2012) menyatakan bahwa granula pati jagung juga ada yang berdiameter kurang dari 2 μm hingga 60 μm. Fennema (1996) juga menyatakan bahwa granula pati jagung berdiameter 2-30 μm. Karakteristik fisik suatu granula dipengaruhi oleh struktur polisakarida dan persentase distribusi dari amilosa dan amilopektinnya. Karakteristik fisik granula pati perlu diketahui untuk menentukan nilai biologis dan ekonomis dari granula pati tersebut (Boyer dan Shannon (2003). Granula pati jagung memiliki struktur kristalin dan tidak larut dalam air dingin. Namun ketika granula pati disuspensikan dengan air sambil dipanaskan, air akan diserap dan granula pati terhidrasi. Dengan pemanasan yang berlanjut, ikatan hidrogen yang menjaga integritas granula akan melemah, lalu granula pati akan mulai membengkak. Selama pembengkakan, terjadi perubahan granula pati yang bersifat irreversible. Peningkatan viskositas secara cepat, peningkatan kejernihan pasta, dan kehilangan struktur birefringence menjadi tanda bahwa pati telah mengalami gelatinisasi (Mauro et al. 2003). Menurut Ahmad (2009), pati jagung normal memiliki suhu gelatinisasi sebesar 79.050C. Swinkles (1985) juga menyatakan bahwa suhu gelatinisasi jagung berkisar antara 75-800C. Menurut Johnson dan May (2003), maizena diperoleh dari hasil penggilingan basah biji jagung. Jagung jenis dent merupakan bahan baku yang biasa digunakan dalam pembuatan maizena selain jenis flour. Rendemen pati yang diperoleh dari jagung dent kuning berkisar 60-72%. Sementara maizena yang dibuat dari jagung jenis flint memiliki rendemen yang lebih kecil dari jagung dent, meskipun karakteristiknya tidak jauh berbeda. Untuk memperoleh karakteristik pati tertentu, maizena sering dibuat dari jagung mutan seperti waxy corn, jagung kaya amilosa, dan jagung putih. Beberapa jenis jagung putih normal dapat memiliki rendemen pati sebesar 61-70%. Meskipun harga jagung putih biasanya lebih tinggi dari jagung normal, jagung putih dapat menghasilkan maizena yang lebih putih tanpa memerlukan bahan kimia pemucat. Karakteristik maizena dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik bubuk pati jagung (maizena) (Watson 1984) Parameter Nilai Kadar pati (%) 88 Kadar air (% basis basah) 11 Kadar protein (%) 0.35 Kadar abu (%) 0.1 Kadar lemak (%) 0.04 Serat kasar (%) 0.1 pH (%) 5 Kadar amilosa (%) 28 Kadar amilopektin (%) 72 Ukuran granula (mikron) 5-30 Rata-rata ukuran granula (mikron) 9.2
9
b. Pembuatan Pati Jagung (Maizena) Pembuatan pati jagung (maizena) terdiri dari tahap pembersihan, perendaman, penggilingan, pemisahan serat dan gluten, dan pengeringan. Pembersihan dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari partikel asing berukuran besar seperti tongkol, batu, dan sekam, serta partikel asing berukuran kecil seperti kernel yang hancur, debu, pasir, dan bagian tubuh serangga. Penggunaan magnet juga sering dilakukan untuk menghilangkan partikel asing berupa besi yang dapat merusak peralatan proses (Johnson dan May 2003). Biji jagung yang telah dibersihkan lalu direndam di dalam air dengan kondisi suhu, waktu, konsentrasi sulfur dioksida, dan sirkulasi air rendaman yang terkontrol. Kondisi ini diperlukan untuk mempermudah difusi air ke dalam lembaga, endosperma, dan komponen seluler lainnya. Penggunaan 0.12-0.2% SO2 berfungsi sebagai agen pereduksi yang memecah ikatan disulfida pada matriks protein yang memerangkap granula pati dan mendukung pertumbuhan bakteri Lactobacillus alami untuk memproduksi asam laktat melalui fermentasi gula bebas yang kemudian dilepas ke air perendam. Asam laktat dapat memperlunak biji jagung, melarutkan protein endosperma, dan memperlemah dinding sel endosperma. Hal ini dapat mempermudah endosperma untuk digiling pada tahap selanjutnya. Kombinasi suhu dan waktu perendaman yang biasa diterapkan adalah 500C selama 40 jam (Johnson dan May 2003). Menurut Haros dan Suarez (1997), penggunaan gas SO2 dapat digantikan dengan natrium bisulfit untuk skala laboratorium. Perendaman ini dilakukan pada suhu 520C selama 48 jam. Penggunaan suhu lebih dari 550C dapat menginaktivasi Lactobacillus alami sehingga mengurangi produksi asam laktat (Johnson dan May 2003). Sementara apabila perendaman dilakukan pada suhu lebih rendah dari 450C, akan terbentuk alkohol yang diproduksi oleh khamir alami yang terdapat pada biji melalui fermentasi karbohidrat. Kemudian perendaman yang dilakukan lebih dari 96 jam juga dapat mengakibatkan penurunan viskositas pati yang dihasilkan (Berkhout 1976). Tahap selanjutnya setelah perendaman adalah penggilingan. Penggilingan dapat dilakukan dengan disc mill atau grinder yang disertai dengan penambahan air. Tahap ini bertujuan untuk menghancurkan biji sehingga pati yang terperangkap dalam matriks bahan terekstrak, serta komponen lain dapat dipisahkan dengan mudah. Suspensi hasil penggilingan lalu dipompa ke hydrocyclone untuk memisahkan lembaga berdasarkan densitasnya. Lembaga memiliki densitas yang rendah karena memiliki kandungan minyak yang tinggi, sehingga akan berada di bagian atas. Setelah dipisahkan dari lembaga, suspensi dialirkan ke suatu alat yang dapat memisahkan serat dari suspensi pati-gluten. Hasil pemisahan serat sebagian besar mengandung pati dan gluten, serta sebagian kecil komponen-komponen yang terlarut. Pemisahan pati dan gluten juga dilakukan berdasarkan perbedaan densitas. Gluten memiliki densitas yang lebih rendah dari pada pati, sehingga pati akan mengendap. Pati hasil pengendapan lalu dicuci dengan hydrocyclone untuk memisahkan gluten dan komponen terlarut lain yang masih tersisa (Johnson dan May 2003). Setelah itu pati dapat langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan bahan kimia seperti bahan pemucat dan asam untuk memodifikasi karakteristik pati sesuai permintaan konsumen. Residu bahan kimia dicuci melalui sentrifugasi atau penyaringan vakum. Kombinasi suhu dan waktu pengeringan yang biasa digunakan adalah 500C selama 24 jam (Johnson dan May 2003). Bubuk maizena hasil pengeringan memiliki kadar air basis basah sebesar 11% (Watson 1984).
10
C. AMPISILIN Ampisilin merupakan jenis antibiotik kelompok penisilin yang berwarna putih, berbentuk serbuk kristalin, dan tidak berbau. Antibiotik ini biasanya ada dalam bentuk trihidrat yang dapat terurai pada kisaran titik leleh 214.5-2150C dan 202-2040C (Ivashkiv 1973). Serbuk ampisilin stabil saat disimpan di tempat tertutup dengan kelembaban relatif 43% dan 81% pada suhu ruang selama 6 minggu. Ampisilin juga stabil disimpan pada suhu 350C di tempat tertutup selama 9 minggu. Kestabilannya akan menurun secara signifikan seiring dengan keberadaan gula (Reynolds 1989). Ampisilin dihasilkan dari alkilasi 6-aminopenicillanic acid dengan D-(-)-α-phenylglycine melalui sintesis mikrobiologis atau kimiawi (Ivashkiv 1973). Struktur molekul ampisilin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur molekul ampisilin Menurut Zahner dan Maas (1972), ampisilin dapat bersifat bakterisidal terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Organisme yang sensitif terhadap ampisilin yaitu bakteri gram positif (Diplococcus pneumonlae, Clostridia spp., Bacillus anthracis, Listeria monocytogenes, hemolytic streptococci, nonhemolytic streptococci, non-penicillinase-producing staphylococci, dan beberapa galur enterococci) dan bakteri gram negatif (Haemophilus influenza, Neisseria gonorrhoeae, Neisseria meningitidis, Proteus mirabilis, serta beberapa galur Salmonella spp., Shigella spp., dan Escherichia coli). Menurut Haddix et al. (2000), ampisilin menghambat enzim transpeptidase yang berfungsi dalam pembentukan struktur ikatan silang pada dinding sel bakteri. Pertumbuhan sel dengan keberadaan ampisilin akan mengakibatkan pembentukan dinding sel yang lemah sehingga sel bakteri akan pecah karena tekanan osmotik internal yang tinggi. Paul (2008) menyatakan bahwa ampisilin sebanyak 2 mg dapat menghasilkan zona penghambatan terhadap bakteri E.coli sebesar 21-24 mm dan terhadap S. aureus sebesar 20-25 mm dengan metode difusi sumur. Menurut Assael et al. (1979), ampisilin biasa digunakan di bidang klinis untuk mengobati beberapa infeksi, seperti gangguan pernapasan, gangguan pencernaan, gonorrhea, meningitis, dan septicaemia. Pada berbagai formulasi, dosis oral umum adalah 0.25-1 g setiap 6 jam. Sementara menurut Reynolds (1989), dosis umum ampisilin adalah 0.5 g setiap 4 atau 6 jam. Menurut Carlson et al. (1983), ampisilin seharusnya tidak digunakan lagi dalam penanganan diare akut karena ampisilin memiliki aktivitas penghambatan yang rendah terhadap beberapa bakteri enteropatogen seperti Salmonella spp., Shigella spp., ET E. coli, Aeromonas hydrophila, dan Yersinia enterocolitica (MIC90% ≥64 μg/ml). Sementara Plesiomonas shigelloides, Vibrio parahaemolyticus, dan Campylobacter jejuni memiliki MIC90% ≤8 μg/ml yang berarti lebih sensitif terhadap ampisilin. Milhaud et al. (1976) menyatakan bahwa kematian terjadi pada 63.45% dan 100% kelinci yang menerima dosis oral ampisilin berturut-turut 5.15 mg/kg berat badan dan 50 mg/kg berat badan selama 3 hari. Ampisilin memiliki nilai LD50 intraperitoneal sebesar 3300 mg/kg berat badan tikus dewasa/hari dan 4500 mg/kg berat badan tikus dewasa/83 hari (Goldenthal 1971). Sementara nilai LD50 oral ampisilin adalah 10 g/kg berat badan tikus dan 15.2 g/kg berat badan mencit (Khosid et al.
11
1975). Ampisilin dapat dirusak oleh penicillinase dan diinaktivasi oleh S. aureus dan galur-galur tertentu Proteus spp. dan Klebsiella spp. yang memproduksi penicillinase. Ampisilin tahan terhadap asam dan dapat diserap dengan baik pada saluran pencernaan (Kennedy et al. 1963).
D. GREEN FLUORESCENT PROTEIN Green Fluorescent Protein (GFP) pertama kali ditemukan oleh Shimomura et al. (1962) sebagai protein pendamping aequorin yang merupakan protein chemiluminescent dari ubur-ubur laut Aequorea victoria. GFP merupakan polipeptida yang terdiri dari 238 asam amino yang membentuk barrel padat dengan bobot molekul 27 kDa. Barrel tersebut terdiri dari 11 antiparalel β-strands yang diuntai oleh α-heliks yang memanjang pada sumbu silinder. Kromofor tertempel pada α-heliks dan tersimpan dalam pada pusat geometrik molekul, yang disebut dengan β-can (Tsien 1998). Struktur tiga dimensi GFP dapat dilihat pada Gambar 5. Struktur α-heliks ditunjukkan oleh warna merah, βstrand ditunjukkan oleh warna hijau, dan kromofor ditunjukkan oleh model ball-and-stick (Brejc et al. 1997). Bagian yang bertanggung jawab terhadap karakteristik fluoresens GFP terletak di dalam barrel yang menyediakan lingkungan yang baik bagi kromofor untuk berpendar. Kromofor terdiri dari residu tiga asam amino, yaitu Serin-65, Tirosin-66, Glisin-67 yang membentuk struktur imidazole (Heim et al. 1994).
Gambar 5. Struktur tiga dimensi GFP (Brejc et al. 1997) Pembentukan kromofor fluoresens secara utuh terjadi secara bertahap. Tahap pertama yaitu GFP melakukan pelipatan. Pada tahap kedua, cincin imidazole dibentuk melalui siklikasi residu Serin65 dan Glisin-67 yang diikuti dengan dehidrasi. Tahap terakhir yaitu molekul oksigen mengoksidasi senyawa antara siklisasi pada residu Tirosin-66 untuk memebentuk struktur kromofor fluoresens phydroxybenzylideneimidazolinone. Mekanisme biosintesis kromofor GFP dapat dilihat pada Gambar 6. Setiap tahap dari pembentukan kromofor bersifat autokatalitik atau menggunakan faktor yang bersifat ada dimana-mana sehingga ekspresi fluoresens GFP memiliki spektrum yang luas untuk berbagai organisme (Chalfie dan Kain 2006; Kay dan Sullivan 1999; Tsien 1998). GFP ini dapat mengemisikan cahaya hijau (508 nm) ketika tereksitasi oleh cahaya ultraviolet (395 nm) (Bongaerts et al. 2002).
12
Gambar 6. Mekanisme biosintesis kromofor GFP (Tsien 1998). Selain pada Aequorea, GFP juga telah ditemukan pada Coelenterata hydrozoa seperti Obelia dan Phialidium, serta anthozoa seperti Renilla (Morin dan Hastings 1971; Ward 1979). Akan tetapi, hanya gen GFP dari Aequorea yang telah diklon untuk berbagai keperluan. Penanda GFP telah banyak dimanfaatkan karena sel tunggal bakteri yang telah tersisipi GFP dapat dideteksi dengan menggunakan mikroskop epifluoresens sehingga posisi riil bakteri tersebut di alam dapat diketahui (Ramos et al. 2000). Selain itu, gen GFP diketahui tahan terhadap beberapa senyawa denaturan dan protease, serta tahan terhadap suhu yang tinggi (650C) dan perlakuan formaldehid. Gen GFP juga masih dapat dideteksi pada preparat yang telah difiksasi (Errampalli et al. 1999). GFPuv merupakan mutan yang dikembangkan melalui mutasi titik di tiga kodon asam amino pada sekuens DNA GFP asli (Crameri et al. 1996). Seperti halnya GFP, GFPuv memiliki eksitasi maksimum pada panjang gelombang 395 nm dan emisi maksimum pada 509 nm. Apabila dibandingkan dengan GFP, GFPuv mengalami substitusi 3 asam amino, yaitu Phenilalanin-99 menjadi Serin, Metionin-153 menjadi Threonin, dan Valin-163 menjadi Alanin, namun tidak merubah sekuens kromofor. Kelebihan GFPuv dibandingkan dengan GFP adalah intensitas pendaran yang lebih tinggi ketika tereksitasi oleh sinar ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 395 nm. GFPuv dapat berpendar 18 kali lipat dari GFP dan dapat dideteksi lebih mudah dengan mata tanpa memerlukan peralatan khusus (Chin et al. 2003). GFPuv bersifat resisten terhadap perubahan pH. Denaturasi secara lengkap hanya terjadi pada pH ekstrem (1.0 dan 4.0). GFPuv kehilangan sekitar 37% pendarannya pada pH 4.0 dan 15% pada pH 7.0. Ketahanannya terhadap perubahan pH paling utama disebabkan oleh struktur kromofor GFPuv yang terlindungi (Chin et al. 2003). GFPuv mempunyai struktur yang hampir sama dengan GFP. Perbedaannya yaitu adanya jarak yang cukup renggang antara β-strand ketujuh dan kedelapan yang terbentuk selama pelipatan β-barrel pada GFPuv seperti yang terlihat pada Gambar 7 (Tansila et al. 2007). Hal ini disebabkan proses mutasi yang terjadi berperan dalam mengurangi sifat hidrofobik GFP sehingga mengurangi agregasi dan memengaruhi kinetika pelipatan (Hsu et al. 2009). Perubahan intensitas fluoresens dapat terjadi karena protonasi dan deprotonasi residu yang berada di sekitar kromofor (Kneen 1998). Oleh sebab itu, GFPuv cocok untuk digunakan dalam berbagai aplikasi intraseluler, seperti penanda kuantitatif dari ekspresi gen (Chin et al. 2003). Dengan stabilitas termalnya, GFPuv berpotensi sebagai indikator biologis fluoresens untuk menguji keefektifan perlakuan panas pada suhu kurang dari 1000C (Penna et al. 2004). Karakteristik fluoresens dari
13
GFPuv dapat dihitung secara in vivo dan in vitro melalui berbagai teknik dengan mikroskop fluoresens, flow cytometry, dan spektroflorometri (Chalfie et al. 1994).
Gambar 7. Struktur tiga dimensi GFPuv (Tansila et al. 2007)
E. PLASMID GREEN FLUORESCENT PROTEIN (pGFPuv) Plasmid merupakan elemen ekstrakromosomal yang secara fisik terpisah dari kromosom sel inang dan mampu bertahan dengan stabil pada kondisi tersebut (Clowes 1972). Plasmid dapat bereplikasi secara independen dari kromosom sel inang dan diwariskan secara stabil. Seperti halnya kromosom, plasmid memiliki struktur sirkular dan superkoil, meskipun ada beberapa plasmid yang strukturnya linier. Perbedaan plasmid dengan kromosom inang adalah plasmid memiliki ukuran yang kecil dan dapat menyandikan gen yang sebenarnya tidak esensial bagi ketahanan bakteri. Hal ini berarti kondisi tidak adanya plasmid tidak akan membunuh bakteri, tetapi keberadaan plasmid dapat memberikan keuntungan tambahan bagi sel bakteri tersebut. Plasmid dapat berpindah ke sel lain, tapi tidak semua plasmid dapat berpindah. Hanya plasmid yang memiliki gen untuk perpindahan diri yang dapat berpindah. Plasmid memiliki 2 karakteristik penting, yaitu kemampuannya untuk melakukan replikasi dan membagi dirinya ketika sel inang membelah. Terkadang plasmid dikatakan hilang ketika sel keturunannya tidak menerima plasmid. Kehilangan plasmid dalam populasi tersebut menunjukkan terjadinya pemisahan plasmid (Rao 2012). Nurjanah et al. (2012) telah melakukan transformasi melalui penyisipan pGFPuv pada isolat Cronobacter spp. YR t2a (Meutia 2008), FWH c3 (Hamdani 2012), dan DES c7 (Gitapratiwi 2011) yang kemudian digunakan pada penelitian ini. Plasmid GFPuv tersebut diperoleh dari Clontech Laboratories, Inc (USA). Plasmid ini mengandung gen yang menyandikan GFP Aequorea victoria yang telah dioptimalkan untuk intensitas fluoresens yang lebih tinggi ketika tereksitasi oleh sinar ultraviolet (UV) standar (360-400 nm). Sekuens penyandi GFPuv diapit oleh 5’MCS dan 3’MCS, sehingga gen GFPuv dapat dipisahkan dari pGFpuv. Gen GFPuv disisipkan pada frame dengan kodon inisiasi lacZ dari pUC19 sehingga protein gabungan β-galactosidase-GFPuv diekpresikan dari lacpromoter pada E.coli. Gen Ampr menyandikan protein β-lactamase yang dapat mendegradasi antibiotik ampisilin sehingga memiliki sifat resisten terhadap ampisilin. Sekuens pUC menyediakan jumlah sandian yang tinggi dari replikasi dan gen resisten ampisilin dalam perbanyakan pada E.coli. Perbanyakan plasmid pada E. coli direkomendasikan untuk dilakukan pada isolat JM109 atau DH5α. Untuk memperoleh penanda terseleksi, plasmid menunjukkan sifat resisten terhadap ampisilin dengan
14
konsentrasi 100 µg/ml pada sel inang E. coli (Clontech, USA). Gambar plasmid GFPuv dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Peta vektor pGFPuv (Clontech, USA)
F. MEKANISME MUTASI MELALUI TRANSFORMASI Mutasi didefinisikan sebagai perubahan sekuen DNA. Mutasi dapat terjadi karena penggantian sepasang basa, penghilangan atau penyisipan satu atau lebih pasangan basa, atau perubahan secara umum pada struktur kromosom (Klug et al. 2006). Sel atau organisme mutan merupakan sel atau organisme yang yang telah mengalami perubahan fenotip akibat dari proses mutasi sehingga dikenal dengan non wild-type. Mekanisme pembuatan mutan yang digunakan pada penelitian ini adalah penyisipan plasmid ke dalam sel bakteri inang melalui transformasi. Menurut Klug et al. (2006), transformasi merupakan salah satu mekanisme transfer DNA atau plasmid pada bakteri selain konjugasi dan transduksi. Plasmid atau DNA eksogenus diambil oleh sel bakteri inang yang mengakibatkan terjadinya perubahan genetik pada sel inang. Pada populasi bakteri, hanya sel yang kompeten saja yang yang dapat mengambil DNA dari lingkungan. Cohen et al. (1972) menyatakan bahwa salah satu cara untuk membentuk sel kompeten adalah dengan menggunakan larutan CaCl2. Membran sel akan bersifat permeabel terhadap ion klorida, tetapi nonpermeabel terhadap ion kalsium. Ketika ion klorida memasuki sel inang, molekul air ikut masuk sehingga sel akan membengkak dan memerlukan DNA dari lingkungan. Sel kompeten yang telah dibuat harus disimpan pada suhu yang sangat rendah (-700C). Ketika transformasi akan dilakukan, thawing sel harus dilakukan di dalam es selama 5-10 menit. Kemudian plasmid ditambahkan ke dalam sel kompeten yang diikuti dengan perlakuan heat-shock pada suhu 420C selama 45 detik (Sambrook dan Russel 2001). Ketika sel bakteri dipanaskan, serangakaian gen diekspresikan yang mengakibatkan bakteri dapat bertahan pada suhu tersebut. Serangkaian gen ini disebut dengan heat-shock genes. Tahap ini dibutuhkan dalam pengambilan plasmid atau DNA eksogenus oleh sel inang. Pada suhu di atas 420C, kemampuan bakteri untuk mengambil plasmid atau DNA eksogenus lebih rendah, sedangkan pada suhu ekstrem bakteri akan mati (Li et al. 2010). Menurut Sambrook dan Russel (2001) setelah tahap heat-shock, medium SOC ditambahkan dan diinkubasi pada suhu 370C selama 1 jam. Kemudian disebar pada agar cawan yang mengandung
15
antibiotik dan diinkubasi pada suhu 370C selama 1 malam. Mekanisme singkat transformasi kimiawi dengan larutan CaCl2 dapat dilihat pada Gambar 9.
Plasmid ditambahkan ke dalam larutan CaCl2 yang sudah mengandung sel Sel dan plasmid didiamkan di dalam es selama 30 menit Perlakuan heat-sock pada suhu 420C selama 45 detik Larutkan sel ke dalam SOC dan inkubasi selama 1 jam Gambar 9. Transformasi kimiawi sel kompeten (NextGen Sciences 2005)
16
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung varietas Pioneer dengan tipe biji dent yang diperoleh dari Sukabumi, Jawa Barat. Kemudian bahan lain yang digunakan adalah produk maizena komersial, ampisilin, air destilata, alkohol 70%, spirtus, natrium hipoklorit (NaOCl) 2%, natrium bisulfit, kapas, kertas tisu, plastik, aluminium foil, media pertumbuhan TSA (Tryptone Soy Agar), DFIA (Druggan Forsythe Iversen Agar), BHI (Brain Heart Infusion), BPW (Buffered Peptone Water), PDA (Potato Dextrose Agar), MRSB (De Man Rogosa Sharp Broth), dan NB (Nutrient Broth). Kultur bakteri yang digunakan terdiri dari isolat Cronobacter spp. normal YR t2a asal susu formula (Meutia 2008), isolat normal DES c7 asal maizena (Gitapratiwi 2011), isolat normal FWH c3 (Hamdani 2012), isolat mutan YR t2a, isolat mutan DES c7, isolat mutan FWH c3 (Nurjanah et al. 2012) dan isolat-isolat dari fermentasi spontan selama perendaman jagung (Pediococcus sp., Lactobacillus plantarum, Lactobacillus lactis, Lactobacillus brevis, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri, Candida krusei, dan Candida zeylanoides) (Rahmawati et al. 2012). Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan untuk produksi maizena dan peralatan analisis (analisis maizena dan analisis mikrobiologi). Peralatan untuk produksi maizena yaitu disc mill, grinder, oven, blender, loyang, baskom, kain saring, dan ayakan 100 mesh. Peralatan untuk analisis terdiri dari neraca, whitenessmeter, mikroskop polarisasi, mikroskop cahaya, stomacher, waterbath, inkubator suhu 370C, inkubator suhu 550C, autoklaf, oven, lampu ultraviolet (366 nm), pipet mikro, tip pipet, tabung reaksi berulir, cawan petri, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, sudip, sendok, rak tabung reaksi, hocky stick, pipet Mohr, pipet tetes, bulb, bunsen, kaca preparat, dan gelas objek.
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan dari bulan Maret-Desember 2012 di Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Mikrobiologi Pangan dan pilot plant SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari pembuatan maizena dari jagung kuning, penentuan metode deteksi Cronobacter spp. mutan, serta pengujian Cronobacter spp. mutan selama perendaman jagung dan pengeringan maizena. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.
1. Pembuatan Maizena Biji jagung kering digiling secara kasar dengan disc mill menjadi grits jagung. Lalu grits jagung dibersihkan dari kotoran fisik seperti sekam, pasir, batu, sisa tongkol, dan bagian tubuh serangga. Grits jagung yang telah bersih lalu dicuci untuk membersihkan kotoran yang tersisa dan memisahkan endosperma dari lembaga dan perikarp (Johnson dan May 2003). Kemudian grits endosperma direndam dalam larutan natrium bisulfit 0.25 % dengan perbandingan 1 : 5 (1 bagian
jagung : 5 bagian air perendam) selama 48 jam pada suhu 520C. Setelah direndam, biji jagung digiling secara halus mengunakan grinder dengan tambahan air (Haros dan Suarez 1997). Hasil penggilingan basah kemudian disaring menggunakan kain saring untuk memisahkan ampas. Suspensi hasil pemisahan lalu diendapkan minimal 12 jam untuk memisahkan protein. Suspensi pati yang mengendap lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 500 selama 24 jam (Johnson dan May 2003). Pati yang telah kering digiling menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh sehingga diperoleh maizena bubuk. Diagram alir pembuatan maizena dapat dilihat pada Lampiran 1. Maizena yang dihasilkan kemudian dihitung rendemennya dan dibandingkan dengan maizena komersial melalui analisis kadar air, derajat putih, densitas kamba, dan pengamatan struktur granula pati. Pembuatan maizena
Penghitungan rendemen
Analisis maizena
Penentuan konsentrasi ampisilin (0, 25, 50, 75, 100 µg/ml)
Konsentrasi ampisilin terpilih
Penentuan metode pemupukan (metode tuang atau permukaan) dan media pertumbuhan inokulum (BHI atau BHI+Ampisilin)
Metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum terpilih
Pengujian ketahanan mutan Cronobacter spp.
Perendaman jagung
Pengeringan maizena
Nilai reduksi log
Nilai reduksi log
Gambar 10. Diagram alir penelitian
18
a. Rendemen Rendemen maizena dinyatakan dalam persen berdasarkan bobot maizena terhadap biji jagung utuh, dengan perhitungan sebagai berikut: Rendemen=
bobot maizena ×100% bobot biji jagung utuh
b. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995) Sampel sejumlah 1-2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan cawan dikeringkan di dalam oven pengering bersuhu 1050C selama 6 jam. Setelah itu, sampel dan cawan didinginkan di dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang. Cawan dan sampel selanjutnya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar air basis basah (%)=
W- W1-W2 ×100% W
Kadar air basis kering (%)=
W- W1-W2 ×100% W1-W2
Keterangan: W = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W1= bobot sampel+cawan kering (g) W2= bobot cawan kering (g)
c. Derajat Putih (Kett Electric Laboratory 1981) Pengukuran derajat putih dilakukan dengan menggunakan whitenessmeter. Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam wadah khusus seperti plate, lalu diletakkan di atas tempat pengukuran. LED akan menampilkan nilai derajat putih yang terukur. Nilai derajat putih sampel dinyatakan dengan membandingkan nilai derajat putih yang terbaca pada alat dengan nilai derajat putih plate MgO (81.6). Nilai derajat putih sampel=
Nilai yang terukur ×100% Nilai derajat putih MgO
d. Densitas Kamba (Khalil 1999) Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati satu unit volume tertentu tanpa dipadatkan dengan satuan g/ml. Densitas padat diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian bobotnya ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi bobot sampel dengan volume ruang yang ditempati dalam satuan g/ml.
19
e. Struktur Granula Pati (Sunarti et al. 2007) Pengamatan granula pati dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel pati disuspensikan dalam akuades sehingga diperoleh suspensi pati 2% dan diaduk secara merata. Kemudian satu tetes sampel diletakkan pada gelas objek, ditutup dengan gelas penutup, dan diamati di bawah mikroskop terpolarisasi dengan perbesaran 400 kali.
2. Penentuan Metode Deteksi Mutan Cronobacter spp. a. Penentuan Konsentrasi Ampisilin Media i. Persiapan Inokulum Tiga isolat (YR t2a, DES c7, FWH c3) normal dan mutan Cronobacter spp. masing-masing diinokulasikan ke media BHI, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 370C. Kultur kapang (A. flavus, A. niger, F. oxysporum), khamir (K. ohmeri, C. krusei, dan C. zeylanoides) dibuat dengan menginokulasikan 1 ose untuk masing-masing isolat ke PDB, lalu diinkubasi pada suhu 300C selama 1 hari. Kultur BAL (Pediococcus sp., L. plantarum, L. lactis, L. brevis) dibuat dengan menginokulasikan 1 ose untuk masingmasing isolat ke MRSB, lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 1 hari. Kultur campuran dibuat dengan menginokulasikan 1 ose untuk masing-masing isolat kapang, khamir, dan BAL ke NB, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 370C.
ii. Pembuatan Stok Ampisilin Satu tablet ampisilin yang mengandung 500 mg ampisilin dihaluskan menggunakan mortar, lalu dimasukkan ke dalam 166.67 ml air steril sehingga diperoleh konsentrasi 3000 μg/ml. Kemudian larutan stok ampisilin tersebut disterilisasi menggunakan microfilter dengan bantuan syringe steril.
iii. Pembuatan Media Pemupukan Media tumbuh yang digunakan adalah TSA yang ditambah ampisilin dengan konsentrasi 0 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 75 μg/ml, dan 100 μg/ml. Jumlah media TSA yang dibuat disesuaikan dengan konsentrasi ampisilin berdasarkan rumus pengenceran, lalu disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Sebelum media TSA digunakan, ampisilin dari stok ditambahkan sesuai konsentrasi masing-masing.
iv. Pemupukan (BAM 2001) Inokulum diencerkan hingga empat tingkat pengenceran menggunakan BPW, lalu sebanyak 1 ml dipupukkan ke cawan petri steril dan sekitar 15 ml media TSA dengan konsentrasi ampisilin tertentu dituang. Kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari dengan posisi terbalik.
20
v. Pengamatan Koloni Setelah masa inkubasi, cawan diamati secara kualitatif berdasarkan intensitas kepadatan koloni pada cawan dengan ketentuan sebagai berikut: = tidak ada pertumbuhan koloni + = koloni yang tumbuh sangat sedikit ++ = koloni yang tumbuh sedikit +++ = koloni yang tumbuh agak banyak ++++ = koloni yang tumbuh banyak +++++ = koloni yang tumbuh sangat banyak
b. Penentuan Metode Pemupukan dan Media Pertumbuhan Inokulum i. Pembuatan Stok Ampisilin Satu tablet ampisilin yang mengandung 500 mg ampisilin dihaluskan menggunakan mortar, lalu dimasukkan ke dalam 166.67 ml air steril sehingga diperoleh konsentrasi 3000 μg/ml. Kemudian larutan stok ampisilin tersebut disterilisasi menggunakan microfilter dengan bantuan syringe steril.
ii. Persiapan Inokulum Sebanyak 3 butir dari kultur manik-manik setiap isolat mutan Cronobacter spp. ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu BHI dan BHI yang mengandung ampisilin dengan konsentrasi terpilih (BHI+A), lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 1 hari.
iii. Pemupukan (BAM 2001) Inokulum yang telah diinkubasi lalu diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlampir pada Lampiran 9. Kemudian dipupukkan pada cawan petri dengan media TSA (Tryptone Soy Agar) yang mengandung ampisilin dengan konsentrasi terpilih (TSA+A) dengan metode pemupukan tuang dan permukaan. Cawan petri lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 2 hari dengan posisi terbalik.
iv. Pengamatan Koloni Setelah masa inkubasi, cawan diamati di bawah lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 366 nm. Koloni fluoresens yang teramati dihitung dengan rumus Standar Plate Count sebagai berikut : N=
C [ 1*n1 + 0.1* n2 *d
21
Keterangan : N : Total koloni per ml atau gram sampel C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk dalam batas perhitungan n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Kemudian persentase koloni fluoresens dihitung dengan rumus: Persentase koloni fluoresens=
Jumlah koloni fluoresens ×100% Total koloni
3. Pengujian Sintas Cronobacter spp. Mutan selama Pembuatan maizena a. Pengujian Sintas Mutan Cronobacter spp. selama Perendaman Jagung i. Persiapan Inokulum Isolat mutan Cronobacterr spp. diinokulasikan ke media pertumbuhan inokulum terpilih, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 37oC. Kultur yang telah mencapai fase stasioner tersebut diperkirakan memiliki jumlah 108 – 109 CFU/ml.
ii. Klorinasi Jagung (Munif 2011 yang dimodifikasi) Grits jagung dicuci dengan air mengalir untuk memisahkan endosperma dengan perikarp dan lembaga serta kotoran fisik. Grits endosperma jagung yang telah bersih direndam dalam larutan NaOCl 2% selama 2 menit. Lalu dibilas dengan air steril sebanyak 2 kali, dan air steril bersuhu 60-70oC sebanyak 1 kali masing-masing selama 2 menit.
iii. Perendaman Jagung (Haros dan Suarez 1997) Sebanyak 1 ml inokulum diinokulasikan ke dalam botol steril berisi 20 gram jagung, lalu didiamkan selama 15 menit. Setelah 15 menit, 100 ml larutan perendam (100 ml air steril dan 0.2 gram natrium bisulfit) ditambahkan ke dalam botol tersebut lalu diaduk agar homogen. Perendaman jagung dilakukan pada suhu 520C selama 48 jam.
iv. Pemupukan (BAM 2001) Pemupukan dilakukan terhadap inokulum, sampel 0 jam perendaman, 24 jam perendaman, dan 48 jam perendaman. Pemupukan inokulum dilakukan dengan memipet 1 ml inokulum ke 9 ml BPW, lalu diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlampir pada Lampiran 10. Pemupukan sampel dilakukan dengan memasukkan 10 gram sampel ke dalam plastik steril, lalu ditambahkan 90 ml larutan pengencer dan dihancurkan menggunakan stomacher selama 1 menit. Kemudian
22
diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlampir pada Lampiran 10. Pemupukan ke cawan petri dilakukan dengan metode pemupukan terpilih menggunakan media TSA+A. Kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari dengan posisi terbalik.
v. Pengamatan Koloni Setelah masa inkubasi, cawan diamati di bawah lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 366 nm. Koloni berpendar yang teramati dihitung dengan rumus Standar Plate Count sebagai berikut : N=
C [ 1*n1 + 0.1* n2 *d
Keterangan : N = Total koloni per ml atau gram sampel C = Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk dalam batas perhitungan n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua d = Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Kemudian reduksi jumlah log dihitung dengan rumus berikut: S=Log N0 -log Nt Keterangan: S = reduksi jumlah log N0= Jumlah populasi mikroba sebelum perlakuan Nt= Jumlah populasi mikroba setelah perlakuan
b. Pengujian Sintas Mutan Cronobacter spp. selama Pengeringan Maizena i. Persiapan Inokulum Isolat mutan Cronobacterr spp. diinokulasikan ke media pertumbuhan inokulum terpilih, lalu diinkubasi selama 1 hari pada suhu 37oC. Kultur yang telah mencapai fase stasioner tersebut diperkirakan memiliki jumlah 108 – 109 CFU/ml.
ii. Persiapan Suspensi Pati Sebanyak 35 gram maizena dimasukkan ke dalam botol, lalu disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Maizena steril lalu dicampur dengan 65 ml air steril.
iii. Pengeringan Maizena (Johnson dan May 2003)
23
Sebanyak 1 ml inokulum diinokulasikan ke dalam botol berisi suspensi pati yang telah disiapkan, lalu diaduk. Suspensi tersebut lalu dipindahkan ke loyang berukuran 18x18 cm. Lalu ditutup dengan kertas saring yang dilubangi pada keempat sudutnya dengan ukuran 2x2 cm. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 500C selama 24 jam.
iv. Pemupukan (BAM 2001) Pemupukan dilakukan terhadap inokulum, sampel 0 jam pengeringan, 6 jam pengeringan, dan 24 jam pengeringan. Pemupukan inokulum dilakukan dengan memipet 1 ml inokulum ke 9 ml BPW, lalu diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlihat pada lampiran 11. Pemupukan sampel dilakukan dengan memasukkan 10 gram sampel ke dalam plastik steril, lalu ditambahkan 90 ml larutan pengencer dan dihancurkan menggunakan stomacher selama 1 menit. Kemudian diencerkan hingga tingkat pengenceran tertentu seperti yang terlihat pada Lampiran 11. Pemupukan ke cawan petri dilakukan dengan metode pemupukan terpilih menggunakan media TSA+A. Kemudian cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari dengan posisi terbalik.
v. Pengamatan Koloni Setelah masa inkubasi, cawan diamati di bawah lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 366 nm. Koloni fluoresens yang teramati dihitung dengan rumus Standard Plate Count sebagai berikut : N=
C [ 1*n1 + 0.1* n2 *d
Keterangan : N : Total koloni per ml atau gram sampel C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk dalam batas perhitungan n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Kemudian reduksi jumlah log dihitung dengan rumus berikut: S=Log N0 -log Nt Keterangan: S = reduksi jumlah log N0= Jumlah populasi mikroba sebelum perlakuan Nt= Jumlah populasi mikroba setelah perlakuan
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBUATAN MAIZENA Pembuatan maizena terdiri dari tahap pembersihan, perendaman, penggilingan, pemisahan lembaga dan serat, pemisahan gluten, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Diagram alir pembuatan maizena dapat dilihat pada Lampiran 1. Jagung yang digunakan untuk membuat maizena pada penelitian ini adalah jagung kuning varietas Pioneer dengan tipe biji dent. Menurut Watson (2003), jagung dengan tipe biji dent memiliki crown yang berbentuk cekung seperti gigi (dent) seperti yang terlihat pada Gambar 11. Menurut Kereliuk Sosulski (1995), jagung yang mayoritas bijinya tipe dent memiliki kandungan pati yang lebih besar dari pada jagung yang mayoritas bijinya tipe flint. Biji jagung flint memiliki lembaga yang lebih besar dan lapisan perikarp yang lebih tebal, mengakibatkan berkurangnya 1-2% endosperma dibandingkan dengan jenis dent. Jagung dengan tipe biji flint juga memiliki kandungan serat total yang lebih banyak dibandingkan dengan jagung tipe biji dent (Kereliuk Sosulski 1996). Johnson dan May (2003) juga menyatakan bahwa biji jagung flint tidak dapat melunak walau direndam selama 50-60 jam. Hal ini disebabkan jagung tipe flint merupakan jenis jagung yang memiliki biji paling keras karena mengandung endosperma keras yang lebih banyak (Watson 2003). Oleh karena itu, jagung jenis flint jarang digunakan untuk pembuatan maizena.
Gambar 11. Jagung varietas Pioneer tipe biji dent Bahan baku jagung yang digunakan pada penelitian ini yaitu dalam bentuk biji jagung kering. Menurut Watson (2003), biasanya jagung yang telah dipanen memiliki kadar air 22-25%, kemudian dikeringkan hingga kadar airnya 15-16% untuk keperluan penyimpanan dan distribusi. Hal ini disebabkan kadar air dan aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap penentuan mutu dan umur simpan selama penyimpanan (deMan 2007). Kadar air yang tinggi juga dapat menimbulkan masalah kapang dan serangga, respirasi, serta germinasi (Mrema et al. 2011). Abramson et al. (1980) juga menyatakan bahwa kandungan air yang tinggi pada beberapa biji-bijian juga berpotensi terhadap pembentukan mikotoksin. Biji jagung yang akan digunakan untuk pembuatan maizena harus dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran fisik seperti seperti sekam, pasir, batu, sisa tongkol, dan bagian tubuh serangga. Menurut Mrema et al. (2011), biji-bijian yang baru dipanen perlu dibersihkan dari debu dan kontaminan yang kemungkinan mengandung serangga dan material tanaman seperti jerami atau sekam. Materialmaterial tersebut dapat mengisi rongga dari biji-bijian, menghambat pergerakan udara, dan menambah kemungkinan masalah kebusukan. Setelah dibersihkan, jagung digiling dengan disc mill untuk memperkecil ukuran biji jagung menjadi grits sehingga akan lebih mudah diproses. Menurut Watson
(1984), penggilingan kering dari biji jagung akan mengasilkan grits yang merupakan campuran dari potongan endosperma sebagai produk utama. Grits yang telah bersih lalu dicuci dengan air mengalir untuk memisahkan endosperma dari komponen biji jagung lain yaitu lembaga, perikarp, dan tip cap, serta membersihkan kotoran fisik yang tersisa. Menurut Watson (2003), endosperma merupakan komponen terbesar dalam biji jagung, yaitu 82.9% dari bobot kering biji yang mengandung 87.6% pati. Sementara lembaga, perikarp, dan tip cap hanya mengandung pati secara berturut-turut sebesar 8.3%, 7.3%, dan 5.3%. Lembaga harus dipisahkan dari endosperma agar tidak menyebabkan ketengikan karena komponen utama lembaga adalah lemak (33.2%). Grits endsoperma yang telah bersih lalu direndam di dalam larutan natrium bisulfit 0.25% dengan perbandingan 1 bagian jagung: 5 bagian larutan selama 48 jam pada suhu 520C. (Haros dan Suarez 1997). Di tingkat industri, penggunaan natrium bisulfit digantikan dengan gas sulfur dioksida (SO2) yang berfungsi untuk memecah ikatan disulfida pada matriks protein jagung yang memerangkap granula pati. Selain itu, kondisi tersebut juga berfungsi untuk menyediakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan Lactobacillus untuk memproduksi asam laktat melalui fermentasi gula bebas yang kemudian dilepaskan ke air perendam. Asam laktat yang dihasilkan dapat memperlunak biji jagung, melarutkan protein endoperma, dan memperlemah dinding sel endosperma sehingga air lebih mudah berdifusi. Hal ini dapat mempermudah endosperma untuk digiling pada tahap selanjutnya. Penggunaan suhu lebih dari 550C dapat menginaktivasi Lactobacillus alami sehingga mengurangi produksi asam laktat (Johnson dan May 2003). Sementara apabila perendaman dilakukan pada suhu lebih rendah dari 450C, akan terbentuk alkohol yang diproduksi oleh khamir alami yang terdapat pada biji melalui fermentasi karbohidrat. Kemudian perendaman yang dilakukan lebih dari 96 jam juga dapat mengakibatkan penurunan viskositas pati yang dihasilkan (Berkhout 1976). Grits endosperma yang telah direndam akan mengalami peningkatan kadar air hingga 45% (Johnson dan May 2003). Kemudian grits endosperma digiling dengan tambahan air menggunakan grinder sehingga disebut dengan penggilingan basah. Tahap ini bertujuan menghancurkan biji sehingga pati dapat terekstrak dengan bantuan tekanan batu gerinda yang terdapat pada grinder. Suspensi hasil penggilingan ini masih mengandung serat dan gluten. Serat dihilangkan melalui penyaringan suspensi dengan bantuan kain saring. Sementara protein dihilangkan melalui pengendapan selama 12 jam. Gluten yang memiliki densitas lebih rendah akan berada di bagian atas suspensi, sedangkan pati akan mengendap di bagian bawah. Pada skala industri, pemisahan gluten juga dapat dilakukan dengan hydroclone. Prinsipnya yaitu suspensi dialirkan ke suatu clone yang berputar dengan bantuan air, sehingga pati yang memiliki densitas lebih besar akan mengendap (Johnson da May 2003). Setelah pemisahan gluten, pati dapat langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan bahan kimia seperti bahan pemucat dan asam untuk memodifikasi karakteristik pati sesuai permintaan konsumen. Residu bahan kimia dicuci melalui sentrifugasi atau penyaringan vakum. Kombinasi suhu dan waktu pengeringan yang biasa digunakan adalah 500C selama 24 jam (Johnson dan May 2003). Proses pengeringan pati harus diperhatikan karena suhu pengeringan dapat mempengaruhi karakteristik termal, reologis, dan struktural, serta mengurangi kapasitas pembengkakan granula (Altay dan Gunasekaran 2006; Hardacre dan Clark 2006). Pengeringan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu gelatinisasi pati tersebut dapat mengakibatkan struktur pati rusak akibat terjadinya gelatinisasi selama pengeringan. Hal ini disebabkan selama gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mempengaruhi integritas granula melemah sehingga granula membengkak dan selama pembengkakan terjadi perubahan karakteristik granula yang bersifat irreversible (Mauro et al. 2003). Menurut Ahmad (2009), pati jagung normal memiliki suhu gelatinisasi sebesar 79.050C. Hal ini juga sesuai dengan Swinkles (1985) yang menyatakan bahwa suhu gelatinisasi jagung berkisar antara 75-800C. Pati yang
26
telah dikeringkan lalu dihaluskan menggunakan blender. Setelah penggilingan, maizena diayak menngunakan ayakan 100 mesh. Pembuatan maizena dari jagung kuning yang telah dilakukan menghasilkan rendemen sebesar 48.90% (basis biji jagung utuh). Untuk mengetahui perbandingan dengan maizena komersial, beberapa parameter maizena penelitian (MP) dan maizena komersial (MK) dianalisis yang meliputi kadar air, densitas kamba, derajat putih, dan struktur granula pati. Hasil analisis MP dan MK dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa MP memiliki kadar air basis basah 9.01% dan basis kering 9.90%, sedangkan maizena komersial memiliki kadar air basis basah 8.27% dan basis kering 9.02%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan kadar air maizena menurut Teixeira (2007), yaitu maksimal 9.99% basis basah dan 11.10% basis kering. Watson (1984) juga menyatakan bahwa kadar air basis basah maizena adalah maksimal 11% dan kadar air basis keringnya adalah maksimal 12.36%. Jadi, nilai kadar air untuk kedua sampel sudah memenuhi standar maksimal kadar air. Tabel 3. Hasil analisis maizena penelitian dan maizena komersial Kadar air Kadar air Densitas kamba (%BB) (%BK) (g/ml) Sampel Maizena penelitian Maizena komersial
9.01 8.27
9.90 9.02
Derajat putih (%)
0.4410 0.4340
85.54 128.19
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa rata-rata densitas kamba MP dan MK secara berturut-turut adalah 0.4410 g/ml dan 0.4340 g/ml. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan yang dinyatakan oleh Elert (1998) bahwa pati-patian memiliki densitas sebesar 0.5400 g/ml. Kemudian hasil pengukuran derajat putih menunjukkan bahwa MP memiliki derajat putih sebesar 85.54%, sedangkan MK memiliki derajat putih 128.19%. Perbandingan warna MP dan MK dapat dilihat pada Gambar 12. Perbedaan yang cukup signifikan ini dapat disebabkan oleh penggunaan jagung kuning sebagai bahan baku, sedangkan di tingkat industri umumnya menggunakan jagung putih. Menurut Watson (1984), maizena dapat berwarna putih hingga kuning pucat tergantung jenis jagung yang digunakan sebagai bahan baku. Jagung kuning mengandung pro-vitamin A dalam bentuk xantofil yang memberikan warna kuning pada biji jagung Suarni dan Widowati (2007). Selain itu, industri maizena juga biasa menggunakan bahan pemucat agar warna produk maizena yang dihasilkan lebih putih (Johnson dan May 2003).
a)
b)
Gambar 12. Perbandingan warna maizena penelitian dan maizena komersial a) Maizena penelitian, b) Maizena komersial
27
Pengamatan struktur granula pati dengan mikroskop cahaya terpolarisasi menunjukkan bahwa MP dan MK memiliki sifat birefringence. Menurut Taggart (2004), birefringence merupakan pola maltose-cross (pola silang) sebagai hasil refleksi cahaya terpolarisasi oleh granula pati. Pola ini juga menghasilkan warna biru-kuning yang menunjukkan indeks refraksi dari granula pati seperti yang terlihat pada Gambar 13. Menurut French (1984), indeks refraksi granula pati dipengaruhi oleh struktur heliks amilosa yang dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Gambar 13 menunjukkan bahwa granula pati MP dan MK adalah bulat poligonal (bersegi banyak) dengan ukuran diameter 1-6 skala garis kecil (2.5-15 μm). Menurut Fennema (1996), rata-rata ukuran diameter granula pati jagung adalah 2-30 μm dengan bentuk hampir bulat dan bersegi banyak.
a)
b)
Gambar 13. Struktur granula pati (suspensi 2%) di bawah mikroskop terpolarisasi dengan perbesaran 400x a)Maizena penelitian, b)Maizena komersial Berdasarkan hasil analisis maizena secara keseluruhan, nilai kadar air, densitas kamba, dan struktur granula pati MP menyerupai MK. Kadar air dan densitas kamba terkait dengan proses pembuatan terutama tahap pengeringan. Sementara perbedaan derajat putih yang cukup signifikan antara MP dan MK lebih terkait dengan perbedaan bahan baku yang digunakan, bukan proses yang diterapkan. Jadi, tahap perendaman jagung pada suhu 520C selama 48 jam dan pengeringan maizena pada suhu 500C selama 24 jam dapat diterapkan dalam pengujian sintas mutan Cronobacter spp.
B. PENENTUAN METODE DETEKSI MUTAN Cronobacter spp. 1. Penentuan Konsentrasi Ampisilin Media Isolat Cronobacter spp. yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat Cronobacter spp. normal YR t2a asal susu formula (Meutia 2008), DES c7 asal maizena (Gitapratiwi 2011), dan FWH c3 asal pati singkong (Hamdani 2012), serta mutan dari ketiga isolat tersebut yang telah dibuat oleh Nurjanah et al. (2012). Pemilihan ketiga isolat ini didasarkan pada sumber isolasinya. Dua isolat (DES c7 dan FWH c3) diisolasi dari sampel pati, sedangkan satu isolat dari susu formula (YR t2a) digunakan sebagai pembanding. Sumber isolasi dapat mempengaruhi ketahanan panas isolat. Sel mikroba yang sering terpapar stress ringan seperti perlakuan pemanasan menjadikan sel tersebut terbiasa dalam kondisi stress dan akan menjadi lebih resisten terhadap stress yang lebih tinggi (Yousef dan Juneja 2003). Isolat mutan Cronobacter spp. yang digunakan memiliki kemampuan berfluoresens dan resisten terhadap ampisilin. Kemampuan tersebut dapat digunakan sebagai penanda dan penyeleksi selama pengujian sintas Cronobacter spp. karena mutan merupakan organisme atau sel yang telah mengalami perubahan fenotip akibat dari proses mutasi sehingga berbeda dari wildtype. Wild-type merupakan bentuk umum yang ditemukan di alam atau stok laboratorium standar (Griffiths et al. 2000). Oleh sebab itu, mikroorganisme yang teramati saat pengujian sintas pada
28
Intensitas koloni yang tumbuh
pembuatan maizena benar-benar mikroorganisme yang diinokulasikan pada awal proses yaitu mutan Cronobacter spp., bukan Cronobacter spp. atau mikroorganisme lain yang secara alami terdapat pada bahan baku proses. Sebelum isolat mutan Cronobacter spp. digunakan pada pengujian sintas selama perendaman jagung dan pengeringan maizena, perlu dilakukan penentuan metode deteksi mutan Cronobacter spp. yang terbaik. Pada penentuan metode deteksi ini, hal yang pertama dilakukan adalah menentukan konsentrasi ampisilin pada media yang akan digunakan sebagai media pertumbuhan inokulum dan media penghitungan. Tahap ini juga bertujuan membandingkan resistensi ampisilin isolat normal dan mutan Cronobacter spp, serta kultur kapang (A. flavus, A. niger, F. oxysporum), khamir (K. ohmeri, C. krusei, C. zeylanoides), BAL (Pediococcus, L. plantarum, L. lactis, L.brevis), dan kultur campuran. Kultur kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran diperoleh dari fermentasi spontan perendaman jagung (Rahmawati et al. 2012) dan dapat dijadikan sebagai simulasi keragaman mikroorganisme pada jagung saat pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung. Konsentrasi ampisilin yang digunakan adalah 0 μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 75 μg/ml, dan 100 μg/ml media TSA (Tryptone Soy Agar).
5 4
normal DES c7
3
mutan DES c7
2
normal FWH c3
1
mutan FWH c3
0
normal YR t2a 0 µg/ml
25 µg/ml
mutan YR t2a 50 µg/ml
75 µg/ml
100 µg/ml
Konsentrasi ampisilin Gambar 14. Grafik intensitas pertumbuhan isolat normal dan mutan Cronobacter spp. pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin. 0 = - = tidak ada koloni, 1= + = sangat sedikit, 2= ++ = sedikit, 3= +++ = agak banyak, 4= ++++ = banyak, 5= +++++ = sangat banyak. Gambar 14 menunjukkan bahwa isolat mutan YR t2a dan mutan FWH c3 dapat dibedakan dari isolat normalnya karena dapat bertahan pada media TSA hingga konsentrasi ampisilin 100 µg/ml. Hal ini disebabkan pGFPuv yang disisipkan mengandung gen Ampr yang menyandikan enzim β-lactamase. Enzim ini dapat menghidrolisis ampisilin sehingga tidak mengganggu pembentukan ikatan silang pada dinding sel bakteri (Haddix et al. 2000). Sementara isolat normal Cronobacter spp. tidak dapat tumbuh pada media TSA yang mengandung ampisilin. Ketidaktahanan isolat normal Cronobacter spp. terhadap ampisilin disebabkan oleh kemampuan ampisilin dalam menghambat enzim transpeptidase yang berfungsi dalam pembentukan struktur ikatan silang pada dinding sel bakteri. Pertumbuhan sel dengan keberadaan ampisilin akan mengakibatkan pembentukan dinding sel yang lemah sehingga sel bakteri akan pecah karena
29
Intensitas koloni yang tumbuh
tekanan osmotik internal yang tinggi (Haddix et al. 2000). Ketidaktahanan isolat normal Cronobacter spp. pada media ampisilin juga sesuai dengan pernyataan Farmer et al. (1980), yaitu Cronobacter spp. tidak tahan terhadap antibiotic ampisilin, gentamisin, kanamisin, dan kloramfenikol. Sementara isolat mutan DES c7 hanya dapat tumbuh hingga konsentrasi ampisilin 25 μg/ml dengan intensitas banyak dan pada konsentrasi ampisilin di atas 25 μg/ml, isolat mutan DES c7 tidak dapat tumbuh lagi. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan proses transformasi yang dilakukan pada isolat DES c7 tidak berhasil sehingga isolat tersebut masih memiliki karakteristik seperti isolat normal. Hal ini disebabkan berdasarkan Gambar 14, isolat normal DES c7 juga masih dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 25 μg/ml, meskipun intensitas koloninya sangat sedikit. Kuzina et al. (2001) pernah mengidentifikasi Cronobacter spp. yang diisolasi dari usus lalat buah Meksiko tahan terhadap ampisilin, cephalothin, eritromisin, novobiosin, dan penisilin. Dennison dan Morris (2002) juga melaporkan bahwa ada infeksi Cronobacter spp. yang resisten terhadap antibiotik ampisilin.
5 4 3 Kultur campuran
2
Kapang
1
Khamir
0
BAL 0 µg/ml
25 µg/ml
50 µg/ml
75 µg/ml
100 µg/ml
Konsentrasi ampisilin
Gambar 15. Grafik intensitas pertumbuhan kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin. 0 = - = tidak ada koloni, 1= + = sangat sedikit, 2= ++ = sedikit, 3= +++ = agak banyak, 4= ++++ = banyak, 5= +++++ = sangat banyak. Resistensi kapang (A. flavus, A. niger, F. oxysporum), khamir (K. ohmeri, C. krusei, C. zeylanoides), BAL (Pediococcus, L. plantarum, L. lactis, L.brevis), dan kultur campuran terhadap ampisilin dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15 menunjukkan bahwa kultur campuran memiliki intensitas tumbuh sangat banyak pada media yang tidak mengandung ampisilin, namun masih dapat bertahan pada konsentrasi ampisilin hingga konsentrasi 100 μg/ml dengan intensitas agak banyak. Berdasarkan hasil tersebut, berarti ada organisme pada kultur campuran yang tidak tahan terhadap ampisilin karena adanya penurunan intensitas koloni yang tumbuh dari konsentrasi ampisilin 0 μg/ml ke 25 μg/ml. Karena berdasarkan Gambar 15 kapang dan khamir tidak mengalami penurunan intensitas koloni hingga konsentrasi ampisilin 100 μg/ml, maka disimpulkan bahwa organisme pada kultur campuran yang tidak tahan terhadap ampisilin adalah
30
sebagian BAL. Hal ini disebabkan pada konsentrasi ampisilin 25-100 μg/ml, intensitas koloni BAL menurun menjadi agak banyak. Menurut Pearlman (1979), ampisilin tidak efektif terhadap kapang dan khamir. Sementara untuk kultur BAL yang semuanya merupakan bakteri gram positif, ada beberapa yang sensitif dan ada juga yg resisten terhadap ampisilin. Hartanti (2007) menyatakan bahwa Pediococcus, tahan terhadap ampisilin, sedangkan Lactobacillus rhamnosus sensitif terhadap ampisilin. Hummel et al. (2007) juga menyatakan bahwa resistensi ampisilin tidak terjadi pada Lactobacillus, S. thermophilus, dan Leuconostoc. Ketidaktahanan beberapa BAL terhadap ampisilin disebabkan oleh mekanisme ampisilin yang bekerja menghambat enzim transpeptidase yang berfungsi dalam pembentukan struktur ikatan silang pada dinding sel bakteri. Pertumbuhan sel dengan keberadaan ampisilin akan mengakibatkan pembentukan dinding sel yang lemah sehingga sel bakteri akan pecah karena tekanan osmotik internal yang tinggi (Haddix et al. 200). Sementara adanya BAL yang tahan terhadap ampisilin dapat disebabkan oleh degradasi enzimatis senyawa antibiotik sehingga tidak dapat kontak dengan senyawa target, perubahan protein bakteri yang menjadi target antibiotik tersebut, atau perubahan permeabilitas membran terhadap antibiotik tersebut (Dever dan Dermody 1991). Oleh karena resistensi ampisilin isolat mutan DES c7 rendah, maka isolat mutan yang digunakan pada tahap penelitian selanjutnya adalah mutan YR t2a dan mutan FWH c3. Kedua isolat ini masih dapat bertahan pada media yang mengandung ampisilin hingga konsentrasi 100 μg/ml dengan intensitas pertumbuhan yang tetap. Sebenarnya konsentrasi ampisilin 25 μg/ml sudah cukup dapat membedakan isolat mutan YR t2a dan FWH c3 dengan isolat normalnya. Oleh karena Clontech USA menyatakan bahwa konsentrasi ampisilin yang direkomendasikan adalah 100 μg/ml, maka konsentrasi ampisilin yang digunakan untuk keperluan tahap penelitian selanjutnya adalah 100 μg/ml. Kemudian karena hingga konsentrasi ampisilin 100 µg/ml kultur kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran yang menjadi simulasi keragaman mikroorganisme pada jagung masih dapat tumbuh, maka pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung, jagung diklorinasi terlebih dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal. Sementara untuk pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama pengeringan maizena, air dan maizena yang akan digunakan sebagai sampel dapat disterilisasi terlebih dahulu secara terpisah menggunakan autoklaf sebelum diinokulasi oleh mutan Cronobacter spp.
2. Penentuan Metode Pemupukan dan Media Pertumbuhan Inokulum Setelah konsentrasi ampisilin ditentukan, tahap selanjutnya adalah menentukan metode pemupukan dan media pertumbuhan inokulum terbaik yang dapat mempertahankan karakteristik fenotip dari isolat mutan. Gambar 16 menunjukkan bahwa inokulum kedua isolat mutan yang dipupuk dengan metode permukaan memiliki persentase koloni berpendar yang lebih tinggi (99.98% - 100%) dibandingkan dengan metode tuang (78.27% - 91.48%), baik inokulum dari media pertumbuhan BHI maupun BHI+A. Sebagai contoh, isolat mutan YR t2a yang dipupuk dari BHI+A dengan metode permukaan memiliki 99.98% koloni berpendar, sedangkan dengan metode tuang hanya memiliki persentase 89.75% koloni berpendar. Hal ini disebabkan dengan metode permukaan, intensitas fluoresens koloninya sangat jelas terlihat karena kromofor pada GFPuv terpapar secara langsung dengan lampu UV. Sementara dengan metode tuang, koloni yang tumbuh di bawah permukaan agar tampak kecil sehingga sulit dilihat intensitas flouresennya ketika diamati di bawah lampu UV. Hal ini dapat mengakibatkan kesalahan negatif dimana koloni yang sebenarnya berasal dari sel bakteri yang mengandung pGFPuv terlihat tidak menyandikan protein GFPuv.
31
Persentase koloni fluoresens (%)
120 100 80
99.98 80.77
99.98 89.75
100
91.48
100
78.27
60 40
Tuang
20
Permukaan
0 BHI
BHI+A
mutan YR t2a
BHI
BHI+A
mutan FWH c3 Inokulum
Gambar 16. Grafik perbandingan persentase koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan tuang dan permukaan Perbandingan viabilitas isolat mutan antar media pertumbuhan inokulum dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17 menunjukkan bahwa inokulum mutan YR t2a yang ditumbuhkan di media BHI yang ditambah ampisilin 100 µg/ml (BHI+A) memiliki viabilitas koloni berpendar yang lebih tinggi (8.07 log CFU/ml) dibandingkan dengan inokulum yang ditumbuhkan di media BHI tanpa ampisilin (6.70 log CFU/ml). Inokulum mutan FWH c3 yang ditumbuhkan di media BHI+A juga memiliki viabilitas koloni berpendar yang lebih tinggi (9.66 log CFU/ml) dibandingkan dengan inokulum yang ditumbuhkan di media BHI saja (5.60 log CFU/ml). Hal ini disebabkan pada media BHI+A telah terjadi seleksi antibiotik dimana pada media tersebut sel bakteri memerlukan enzim β-lactamase yang disandikan oleh gen Ampr pada pGFPuv untuk mendegradasi ampisilin. Oleh sebab itu, gen GFPuv yang juga terdapat pada pGFPuv ikut terekspresikan yang mengakibatkan koloni yang tumbuh berfluoresens saat diamati di bawah UV. Sementara pada media BHI yang tidak mengandung ampisilin, tidak terjadi seleksi antibiotik sehingga ada sel bakteri yang tidak mengandung plasmid yang ditransformasikan. Oleh sebab itu, pada sel tersebut gen penyandi GFPuv tidak terekspresikan dan ketika GFPuv tidak diproduksi, koloni bakteri akan memiliki fenotip seperti wild-type yaitu tidak berfluoresens (Micklos et al. 2003). Berdasarkan hasil tersebut, pada pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung dan pengeringan maizena, inokulum ditumbuhkan pada media BHI yang mengandung ampisilin 100 μg/ml (BHI+A). Kemudian media penghitungan yang digunakan adalah TSA yang mengandung ampisilin 100 μg/ml (TSA+A) dengan metode pemupukan permukaan.
32
Koloni fluoresens (log CFU/ml)
12 9.66
10 8
8.07 6.7 5.6
6
BHI
4
BHI+A
2 0 mutan YR t2a
mutan FWH c3 Isolat
Gambar 17. Grafik perbandingan viabilitas koloni fluoresens inokulum isolat mutan yang ditumbuhkan dari media BHI dan BHI+A dengan metode pemupukan permukaan
C. PENGUJIAN SINTAS MUTAN Cronobacter spp. SELAMA PEMBUATAN MAIZENA 1. Pengujian Sintas Mutan Cronobacter spp. selama Perendaman Jagung Perendaman jagung pada pembuatan maizena dilakukan pada suhu 520C selama 48 jam (Haros dan Suarez 1997). Berdasarkan Gambar 18, viabilitas antara jagung dan air perendam yang telah diinokulasi oleh inokulum mutan YR t2a maupun mutan FWH c3 tidak berbeda signifikan pada waktu perendaman 0 jam. Jagung yang diinokulasi oleh mutan YR t2a memiliki nilai log CFU/g sebesar 5.51 dan air perendamnya memiliki nilai log CFU/ml sebesar 5.10. Kemudian jagung yang diinokulasi oleh mutan FWH c3 memiliki nilai log CFU/g sebesar 7.05 dan air perendamnya memiliki nilai log CFU/ml sebesar 7.16. Setelah perendaman 24 jam dan 48 jam, pada jagung dan air rendaman sudah tidak terdeteksi lagi adanya mutan YR t2a dan mutan FWH c3. Hal tersebut menunjukkan bahwa tahap perendaman jagung selama 48 jam pada suhu 520C dapat mereduksi mutan Cronobacter spp. hingga di bawah limit deteksi (1 log CFU/g atau log CFU/ml). Ketidaktahanan mutan Cronobacter spp. selama proses perendaman tersebut disebabkan menurut Iversen dan Forsythe (2003), kisaran suhu pertumbuhan Cronobacter spp. yaitu 6-47oC. Kemudian Nazarowec-White dan Farber (1997a) menyatakan bahwa Cronobacter spp. memiliki nilai D52 54.8 menit, D54 23.7 menit, D56 10.3 menit, D58 4.2 menit, dan D60 2.5 menit. Nilai D menunjukkan waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah spora atau sel vegetatif tertentu sebesar 90% atau satu logaritma (Penna et al. 2005). Sebagai contoh, nilai D52 54.8 menit artinya diperlukan waktu selama 54.8 menit untuk mereduksi Cronobacter spp. sebesar 1 logaritma pada suhu 520C. Oleh sebab itu, Gambar 18 menunjukkan bahwa perendaman jagung hingga 24 jam saja sudah dapat mereduksi mutan Cronobacter spp. hingga tidak terdeteksi lagi.
33
Koloni fluoresens (log CFU/g atau log CFU/ml)
8 7 6 5
7.16 7.05 5.51 5.10
FWH c3 mutan jagung
4
FWH c3 mutan air rendaman
3 2
YR t2a mutan jagung
Limit deteksi
1
0
0
24
48
YR t2a mutan air rendaman
0 0
Waktu perendaman (jam) Gambar 18. Grafik viabilitas mutan Cronobacter spp. pada jagung dan air perendam selama perendaman dengan suhu 520C Pengujian ketahanan isolat normal Cronobacter spp. YR t2a juga pernah dilakukan oleh Ardelino (2011). Hasilnya menunjukkan bahwa isolat YR t2a memiliki nilai D pada suhu 54, 56, 58, dan 60 secara berturut-turut adalah 7.75, 3.61, 1.34, dan 0.90 menit. Nilai tersebut lebih rendah dari pada nilai D hasil pengujian ketahanan Cronobacter spp. oleh Singh dan Ranganathan (1980), yaitu D54 sebesar 23.7 menit dan D56 10.3 menit. Hal tersebut berarti ketahanan panas isolat Cronobacter spp. YR t2a lebih rendah dari pada isolat Cronobacter spp. yang diuji oleh Singh dan Ranganathan (1980) serta Nazarowec-White dan Farber (1997a).
2. Pengujian Sintas Mutan Cronobacter spp. selama Pengeringan Maizena Pengeringan maizena dilakukan pada suhu 500C selama 24 jam (Johnson dan May 2003). Berdasarkan Gambar 19, selama pengeringan terjadi penurunan nilai log CFU/g. Setelah 6 jam pengeringan, maizena yang diinokulasi oleh mutan YR t2a memiliki nilai log CFU/g sebesar 4.81 yang tidak berbeda jauh dengan maizena yang diinokulasi oleh mutan FWH c3 (4.37 log CFU/g). Dengan kata lain, setelah pengeringan selama 6 jam, mutan FWH c3 yang diinokulasikan pada maizena mengalami reduksi sebesar 2.19 log, sedangkan mutan YR t2a hanya sebesar 1.45 log. Apabila reduksi log isolat mutan YR t2a dan mutan FWH c3 setelah 6 jam pengeringan dibandingkan, mutan YR t2a memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi dari pada mutan FWH c3, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar (kurang dari 1 log).
34
Limit deteksi
Gambar 19. Grafik viabilitas mutan Cronobacter spp. pada maizena selama pengeringan dengan suhu 500C Perbedaan ketahanan panas antar isolat dapat disebabkan oleh perbedaan asal dari isolat tersebut. Isolat YR t2a yang berasal dari susu formula (Meutia 2008) cenderung memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan FWH c3 yang berasal dari pati singkong (Hamdani 2012). Hal ini disebabkan susu formula mengalami perlakuan panas yang lebih banyak dengan suhu yang lebih tinggi dibandingkan pati selama pengolahannya. Susu formula mengalami proses termal pasteurisasi dengan beberapa alternatif kombinasi suhu dan waktu, yaitu 63-650C selama 30 menit (low temperature long time) atau 71.7-720C minimal selama 15 detik (high temperature short time) (WHO 2004). Selain itu juga dapat dilakukan pada suhu 1380C minimal selama 2 detik yang dikenal dengan ultra-pasteurisasi (Spreer 1995). Tahap evaporasi pada pembuatan susu formula juga melibatkan perlakuan panas. Kemudian pada tahap pengeringan, susu formula biasanya dikeringkan dengan metode pengeringan semprot pada suhu inlet 170-2200C dan suhu outlet 75-1000C (Spreer 1995). Sementara pati dikeringkan pada suhu yang lebih rendah seperti pengeringan pati jagung yang dilakukan dengan menggunakan oven atau tray dryer pada suhu 500C (Johnson dan May 2003). Menurut Yousef dan Jejuna (2003), sel mikroba yang sering terpapar stress ringan seperti perlakuan pemanasan mengakibatkan sel tersebut terbiasa dalam kondisi stress dan akan menjadi lebih resisten terhadap kondisi stress yang lebih tinggi. Setelah pengeringan selama 24 jam pada suhu 500C, mutan YR t2a dan mutan FWH c3 tidak terdeteksi lagi. Hal ini disebabkan kisaran suhu pertumbuhan Cronobacter spp. yaitu 6-47oC (Iversen dan Forsythe 2003). Saputra (2012) telah melakukan uji ketahanan salah satu isolat Cronobacter spp. (YR c3a) setelah rekonstitusi susu formula pada suhu 500C. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan suhu rekonstitusi 500C, jumlah Cronobacter spp. hanya mengalami reduksi sebesar 0.64 log. Hal ini disebabkan saat rekonstitusi, air penyeduh bersuhu 500C hanya kontak dengan sel Cronobacter spp. pada awal penyeduhan hingga waktu tertentu sebelum 2 jam hang time. Setelah 2 jam hang time, suhu larutan susu formula sudah turun menjadi 300C (Saputra 2012). Sementara pada proses pengeringan maizena, kondisi suhu 500C terus dipertahankan selama 24 jam. Oleh sebab itu, mutan Cronobacter spp. sudah tidak terdeteksi lagi pada akhir pengeringan.
35
Berdasarkan hasil uji sintas mutan Cronobacter spp. selama tahap pengeringan maizena tersebut, kondisi proses pada suhu 500C selama 24 jam dapat mereduksi mutan Cronobacter spp. hingga tidak terdeteksi lagi dengan limit deteksi 1 log CFU/g. Namun pada kenyataannya beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Cronobacter spp. berhasil ditemukan pada maizena. Gitapratiwi (2011) telah menemukan Cronobacter spp. pada 2 sampel maizena dari 8 sampel yang diteliti. Adanya penemuan Cronobacter spp. pada produk maizena seperti yang dinyatakan oleh Gitapratiwi (2011) kemungkinan disebabkan oleh kontaminasi dari lingkungan pada produk setelah proses pengeringan sebelum produk dikemas, misalnya tahap penggilingan kering dan pengayakan. Hal ini didukung oleh Kandhai et al. (2004) yang menyatakan bahwa Cronobacter spp. berhasil diisolasi dari lingkungan pabrik makanan (8 dari 9 pabrik makanan). Kontaminasi Cronobacter spp. pada maizena juga dapat disebabkan oleh besarnya volume produksi di tingkat industri, sehingga peluang adanya produk yang terkontaminasi menjadi lebih besar.
36
IV. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan maizena dari jagung kuning menghasilkan rendemen sebesar 48.90% dengan basis biji jagung utuh. Hasil analisis maizena penelitian (MP) dan maizena komersial (MK) secara keseluruhan menunjukkan bahwa nilai kadar air, densitas kamba, dan struktur granula pati MP menyerupai MK. Namun untuk parameter derajat putih, MP dan MK terlihat berbeda. Berdasarkan pengujian resistensi terhadap ampisilin, isolat mutan YR t2a dan mutan FWH c3 masih dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 100 μg/ml, sedangkan isolat mutan DES c7 hanya dapat bertahan hingga konsentrasi ampisilin 25 μg/ml seperti halnya isolat normal DES c7. Berdasarkan hasil tersebut, mutan DES c7 tidak digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. Kemudian inokulum mutan YR t2a dan mutan FWH c3 memiliki viabilitas koloni fluoresens yang lebih banyak ketika ditumbuhkan di media BHI+A dan dipupuk pada media TSA+A dengan metode permukaan. Pengujian sintas mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung dengan suhu 520C menunjukkan bahwa perendaman selama 48 jam dapat mereduksi kedua isolat mutan hingga tidak terdeteksi lagi. Untuk tahap pengeringan, hasil menunjukkan bahwa setelah 6 jam pengeringan pada suhu 500C, mutan FWH c3 mengalami reduksi log lebih besar (2.19) dari pada mutan YR t2a (1.45). Kemudian setelah pengeringan 24 jam, pertumbuhan kedua isolat mutan juga tidak terdeteksi lagi.
B. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, perlu adanya penelitian untuk mengamati pertumbuhan Cronobacter spp. setiap selang waktu tertentu yang lebih singkat selama perendaman dan pengeringan, sehingga kecenderungan reduksinya dapat terlihat lebih akurat. Pengujian sintas pada jagung putih juga dapat dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan struktur jagung kuning dan putih terhadap sintas Cronobacter spp. selama pembuatan maizena.
DAFTAR PUSTAKA Abramson D, Sinha RN, Mills JT. 1980. Mycotoxin and odor formation in moist cereal grain during granary storage. Cereal Chem. 57(5): 346-351. Ahmad L. 2009. Modifikasi fisik pati jagung dan aplikasinya untuk perbaikan kualitas mi jagung [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Altay F, Gunasekaran S. 2006. Influence of drying temperature, water content, and heating rate on gelatinization of corn starches. Journal of Agricultural and Food Chemistry 54(12): 4235-4245. AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Washington DC: Association of Analytical Chemist. Ardelino I. 2011. Ketahanan panas isolat Enterobacter sakazakii asal susu formula dan makanan bayi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Assael BM, Como ML, Miraglia M, Pardi G, Serene F (1979). Ampicillin kinetics in pregnancy. Br. J. clin. Pharmacol 8: 286-288. [BAM] Bacteriological Analytical Method. 2001. http://www.cfsan.fda.gov/ [11 November 2011]. Batish VK, Chander H, Ranganathan B. 1988. Heat resistance of some selected toxigenic enterococci in milk and other suspending media. Journal of Food Science 53: 665-666. Berkhout F. 1976. The manufacture of maize starch. Dalam: Radley JA (ed.). Starch Production Technology. London: Applied Science Publishers Ltd. Bongaerts RJM, Hautefort I, Sidebotham JM, Hinton JC. 2002. Green fluorescent protein as a marker for conditional gene expression in bacterial cells. Methods in Enzymology 358: 43-66. Boyer CD, Shannon JC. 2003. Carbohydrates of the kernel. Dalam: White PJ, Johnson LA (eds.). Corn Chemistry and Technology. Second Edition. Florida: Academic Press Inc. Brejc K, Sixma TK, Kitts PA, Kain SR, Tsien RY, Ormo M, Remington SJ. Structural basis for dual excitation and photoisomerization of the Aequorea victoria green fluorescent protein. Proc. Natl. Acad. Sci 94: 2306-1997. Bush K. 1997. The evolution of beta-lactamases. Dalam: Chadwick (ed.). Ciba Foundation Symposium 207. Antibiotic resistance: origins, evolution, selection and spread. New York: John Wiley and Sons. Biering G, Karlsson S, Clark NVC, Jonsdottir KE, Ludvigsson P, Steingrimsson O. 1989. Three cases of neonatal meningitis caused by Enterobacter sakazakii in powdered milk. Journal of Clinical Microbiology 27: 2054-2056. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2008. Code of Hygienic Practice for Powdered Formulae for Infants and Young Children. Cac/Rcp 66 – 2008. Carlson JR, Thornton S, Dupont HL, West AH, Mathewson JJ. 1983. Comparative in vitro activities of ten antimicrobial agents against bacterial enteropathogens. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 24(4): 509-513. Chalfie M, Kain SR. 2006. Green Fluorescent Protein: Properties, Applications and Protocols. Second edition. New Jersey: Wiley. Chalfie M, Tu Y, Euskirchen G, Ward WW, Prasher DC. 1994. Green fluorescent protein as a marker for gene expression. Science 263: 802-805.
Chin NK, Ming HQ, Quan PS. 2003. Characterisation of green fluorescent protein, GFPuv. http://staff.science.nus.edu.sg/~scilooe/srp_2003/sci_paper/dbs/research%20_paper/ngeow_kao_chin.pdf . [21 Jan 2013]. Clark NC, Hill BC, O’hara CM, Steingrimsson O, Cookey RC. 1990. Epidemiologic typing of Enterobacter sakazakii in two neonatal nosocomial outbreaks. Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 13: 467-472. Clontech. Certificate of Analysis pGFPuv. http://www.clontech.com [2 Februari 2013]. Clowes RC. 1972. Molecular structure of bacterial plasmids. Bacteriological Reviews 36(3): 361-405. Cohen SN, hang ACY, Hsu L. 1972. Nonchromosomal antibiotic resistance in bacteria: genetic transformation of Escherichia coli by R-factor DNA. Proc. Nat. Acad. Sci. 69(8): 2110-2114. Cottyn B, Regalado E. Lanoot B, de Cleene M, Mew TW, Swings J. 2001. Bacteria populations associated with rice seed in the tropical environment. Phytopathology 91: 282-292. Crameri A, Whitehorn EA, Tate E, Stemmer WPC. 1996. Improved green fluorescent protein by molecular evolution using DNA shuffling. Nat. Biotechnol. 14: 315-319. Darrah LL, McMullen MD, Zuber MS. Breeding, genetics, and seed corn production. Dalam: White PJ, Johnson LA (eds.). Corn Chemistry and Technology. Second Edition. Florida: Academic Press Inc. Dellaglio F, Vescovo M, Morelli L, Torriani S. 1984. Lactic acid bacteria in ensiled high moisture corn grain: physiological and genetic characterization. Systematic and Applied Microbiology 5: 534-554. deMan JM. 2007. Principles of Food Chemistry. Third edition. USA: Aspen Publishers, Inc. Dennis Kunkel Microscopy. 2009. Cronobacter sakazakii - Gram-negative, rod prokaryote (bacterium). http://www.denniskunkel.com/index.php?module=media&pId=102&id=13146. [20 Jan 2012]. Dennison SK, Morris J. 2002. Multiresistant Enterobacter sakazakii wound infection in an adult. Infections in Medicine 19: 533-535. Dever LA, Dermody TS. 1991. Mechanisms of bacterial resistance to antibiotics. Archives of Internal Medicine 151(5): 886-895. Dickerson GW. 2003. Speciality corns. http://aces.nmsu.edu/pubs/_h/H232/welcome.html. [18 Jan 2013]. Elert G. 1998. Density. http://physics.info/density/ [1 Feb 2013]. Errampalli D, Leung K, Cassidy MB, Kostrzynska M, Blears M, Lee HH, Trevors JT. 1999. Application of green flourescent protein as a molecular marker in environmental microorganisms. Journal Microbiological Methods 35: 187-199. Estuningsih S. Rochman N, Wibawan IWT. 2006. Potensi kejadian meningitis pada neonates akibat infeksi Enterobacter sakazakii yang diisolasi dari makanan dan susu bayi. Bogor: Penelitian Hibah Bersaing XIV Perguruan Tinggi. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. [FAO-WHO] Food and Agriculture Organization – World Health Organization. 2004. Enterobacter sakazakii and other microorganisms in powdered infant formula: meeting report, MRA series6. WHO, Geneva, Switzerland. Farmer JJ, Asbury MA, Hickman FW, Brenner DJ. 1980. Enterobacter sakazakii: a new species of Enterobacteriaceae isolated from clinical specimens. Int J Syst Bacteriol 30: 569-584. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Third Edition. New York: Marcell Decker. Inc.
39
French D. 1984. Organization of starch granule. Dalam: Whistler JN, Bemmiler, Paschall (eds.). Starch: Chemistry and Technology. Boca Raton: CRC Taylor & Fancis. Fu Z, Wang L, Li D, Adhikari B. 2012. Effects of partial gelatinization on structure and thermal properties of corn starch after spray drying. Carbohydrate Polymers 88: 1319-1325. Gassem MAA. 1999. Study of the microorganisms associated with the fermented bread (khamir) produced from sorghum in Gizan region, Saudi Arabia. Journal of Applied Microbiology 86: 221-225. Gitapratiwi D. 2011. Isolasi dan keragaman genetika Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari perangkat terkait persiapan susu formula, susu formula, dan makanan kering lainnya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Goldenthal E. 1971. A compilation of LD50 values in newborn and adults animals. Toxicol. appl. Pharmacol 18: 185-207. Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki DT, Lewontin RC, Gelbart WM. 2000. An Introduction to Genetic Analysis. Seventh Edition. New York: W. H. Freeman. Haddix PL, Paulsen ET, Werner TF. 2000. Measurement of mutation to antibiotic resistance: ampicillin resistance in Serratia marcescens. Bioscene 26 (1): 17-21. Hamdani FW. 2012. Isolasi dan identifikasi keragaman genetika Cronobacter spp. (Enterobacter sakazakii) yang diperoleh dari produk pangan kering [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harris SL, Oriel PJ. 1989. Heteropolysaccharide produced by Enterobacter sakazakii.. US Patent 4,806,636. Hartanti AW. 2007, Seleksi bakteri asan laktat yang berpotensi sebagai probiotik dari isolat air susu ibu [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hawkins RE, Lissner CR, Sanford JP. 1991. Enterobacter sakazakii bacteremia in an adult. Southern Medical Journal 84: 793-795. Heim R, Cubitt AB, Tsien RY. 1994. Wavelength mutations and posttranslational autoxidation of green fluorescent protein. Proc Natl Acad Sci USA 91: 12501-12504. Himelright I, Harris E, Lorch V, Anderson M, Jones T, Craig A, Kuehnert M, Forster T, Arduino M, Jensen B, Jernigan D. 2002. Enterobacter sakazakii infections associated with the use of powdered infant formula. Morbidity Mortality Weekly Report 51: 298-300. Hsu SD, Blaser G, Jackson SE. 2009. The folding, stability and conformational dynamics of β-barrel fluorescent proteins. Chemical Society Reviews 38: 2951-2965. Hummel AS, Hertel C, Holzapfel WH, Franz CMAP. 2007. Antibiotik resistances of starter and probiotic strains of lactic acid bacteria. Applied and Environmental Microbiology 73(3): 730-739 Ivashkiv E. 1973. Ampicillin. Anal. Profiles Drug Subst. 2: 1-61. Iversen C, Forsythe S. 2003. Risk profile of Enterobacter sakazakii, an emergent pathogen associated with infant milk formula. Trends in Food Science & Technology 14: 443-454. Iversen C, Mullane N, McCardell B, Tall BD, lehner A, Fanning S. Stephan R, Joosten H. 2008. Cronobacter gen. nov., a new genus to accommodate the biogroups of Enterobacter sakazakii, and proposal of Cronobacter sakazakii gen. nov., comb. nov., Cronobacter malonaticus sp. nov., Cronobacter turicensis sp. nov., Cronobacter muytjensii sp. nov., Cronobacter dublinensis sp. nov., Cronobacter genomospecies 1, and of three subspecies, Cronobacter dublinensis subsp. Dublinensis subsp. nov., Cronobacter dublinensis subsp. lausannensis subsp. bov. and Cronobacter dublinensis subsp. lactaridi subsp. Nov. Int J Syst Evol Microbiol 58:1442-1447.
40
Joker RN, Norholm T, Siboni KE. 1965. A case of neonatal meningitis caused by a yellow Enterobacter. Danish Medical Bulletin 12: 128-130. Jimenez EB, Gimenez C. 1982. Septic shock due to Enterobacter sakazakii. Clinical Microbiology Newsletter 4: 30. Kay SA, Sullivan KF. 1999. Green Fluorescent Proteins. San Diego: Academic Press. Kandhai MC, Reij MW, Gorris LG, Guillaume-Gentil ), van Schothorst M. 2004. Occurance of Enterobacter sakazakii in food production environments and households. Lancet 363: 39-40. Kennedy WPU, Wallace AT, Murdoch JM. 1963. Ampicillin in treatment of certain gram-negative bacterial infections. British Medical Journal 2(5363): 962-965. Kereliuk GR, Sosulski FW. 1995. Properties of corn samples varying in percentage of dent and flint kernels. Lebensm.-Wish.u.-Technol. 28: 589-597. Kereliuk GR, Sosulski FW. 1996. Comparison of starch from flint corn with that from dent corn and potato. Lebensm.-Wiss.u.-technol. 29: 349-356. Kett Electric Laboratory. 1981. Instruction Manual Photo-Electric Tube Whiteness Meter Model: C1. Tokyo: Kett Electric Laboratory. Khalil. 1999. Pengaruh kandungan Air dan Ukuran Partikel terhadap Perubahan Perilaku Fisik bahan Pangan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan dan Bobot Jenis. Media Peternakan 22(1):1-11. Khosid G, Shteinberg G, Balabanova E, Baru R, Chruagulova N, Lapchinskaya A, Lysenko T, Shtegel’man L, Vil’shanskaya F. 1975. Toxicological characteristics of ampicillin. Antibiotiki (Moscow) 20: 653-657. Klug WS, Cummings MR, Spencer CA. 2006. Concepts of Genetics. Eight Edition. USA: Perason Education, Inc. Kneen M, Javier F, Yuxin L, Verkman AS. 1998. Green fluorescent protein as a noninvasive intracellular pH indicator. Biophysical Journal Volume 74. Kuzina LV, Peloquin JJ, Vacek DC, Miller TA. 2001. Isolation and identification of bacteria associated with adult laboratory Mexican fruit flies, Anastrepha ludens (Diptera: Tephritidae). Current Microbiology 42: 290-294. Lai KK. 2001. Enterobacter sakazakii infections among neonates, infants, children, and adults: case reports and a review of the literature. Medicine Baltimore 80: 113-122. Li X, Sui X, Zhang Y, Sun Y, Zhao Yan, Zhai Y, Wang Q. 2010. An improved calcium chloride method preparation and transformation of competent cells. African Journal of Biotechnology 9(50): 8549-8554. Lucas A, Cole TJ. 1990. Breast milk and neonatal necrotizing enterocolitis. Lancet 336: 1519-1523. Mauro DJ, Abbas IR, Orthoefer FT. 2003. Corn starch modification and uses. Dalam: White PJ, Johnson LA (eds.). Corn Chemistry and Technology. Second Edition. Florida: Academic Press, Inc. Meutia YR. 2008. Enterobacter sakazakii isolat asal susu formula dan makanan bayi: karakterisasi gen 16s rRNA dan perilaku bakteri pasca rekonstitusi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Micklos, David A, Greg A, Freyer, David A, Crotty. 2003. DNA science: A First Course. Cold Spring Harbor: Cold Spring Harbor Press. Milhaud G, Rebault l, Vaissaire J, Maire C. (1976). Sensitivity of rabbits to ampicillin. Rec. med. vet 152: 843847.
41
Morgan JN, Lin FJ, Eitenmiller RR, Barnhart HM, Toledo RT. 1988. Thermal destruction of Escherichia coli and Klebsiella pneumonia in human milk. Journal of Food protection 51: 132-136. Morin JG, Hastings JW. 1971. Energy transfer in a bioluminescent system J. Cell. Physiol. 77: 313-318. Munkvold GP. 2003. Mycotoxins in corn: Occurance, impact, and management. Dalam: Whistler RL, BeMiller JN, Paschall EF. (eds.). Starch Chemistry and Technology. Second edition. Florida: Academic Press Inc. Muytjens HL, Roelofs-Willemse H, Jaspar GJ. 1988. Quality of powdered substitutes for breast milk with regard to members of the family Enterobacteriaceae. Journal of Clinical Microbiology 26: 743-746. Nazarowec-White M, Farber JM. 1997a. Thermal Resistance of Enterobacter sakazakii in reconstituted driedinfant formula. Letters in Applied Microbiology 24: 9-13. Nazarowec-White M, Farber JM. 1997b. Incidence, survival, and growth of Enterobacter sakazakii in infant formula. Journal of Food Protection 60: 226-230. Noriega FR, Kotloff KL, Martin MA, Schwalbe RS. 1990. Nosocomial bacteremia caused by Enterobacter sakazakii and Leuconostoc mesenteroides resulting from extrinsic contamination of infant formula. Pediatric Infectious Disease 9: 447-449. Nurjanah S, Suhartono MG, Dewanti-Hariyadi R, Estuningsih S. Construction of GFPuv-labelled Cronobacter sakazakii and Cronobacter muytjensii. Makalah pada International Conference Future of Food Factors, 34 Oktober 2012, Jakarta. Paul M. 2008. Assesment of Commonly Available Antimicrobial Agents: a study from ilala-Tanzania. Official Publication of the Tanzania Students’ Association. Pearlman D. 1979. Use of antibiotics in cell culture media. Dalam: Jacoby WB, Pastan JH (eds.). Methods in Enzymology Vol. LVIII. New York: Academic press. Penna TCV, Ishii M, Kunimura JS, Cholewa O. 2005. Stability of recombinant gree fluorescent protein (GFPuv) in glucose solutions at different concentrations and pH values. Applied Biochemistry and Biotechnology 122: 501-527. Permadi I. 2011. Pengaruh pengeringan semprot terhadap ketahanan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dalam susu skim bubuk [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen DIKTI. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. Postupa R, Aldova E. 1984. Enterobacter sakazakii: a tween 80 esterase-positive representative of the genus Enterobacter isolated from powdered milk specimens. Journal of Hygiene, Epidemiology, Microbiology and Immunology 28: 435-440. Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R, Hariyadi P, Fardiaz D, Richana N. 2012. Isolation and identification of microorganisms during spontaneous fermentation of corn. Makalah pada International Conference Future of Food Factors, 3-4 Oktober 2012, Jakarta. Ramos C, Molbak L, Molin S. 2000. Bacterial activity in the rhizosphere analyzed at the single cell level by monitoring ribosome contents and synthesis rates. Applied and Environmental Microbiology 66(2): 801809. Rao S. 2012. Bacterial plasmids. http://www.microrao.com/micronotes/pg/Bacterial%20plasmid.pdf [3 Feb 2012]. Reynolds JEF. 1989. Martindale: the Extra Pharmacopoeia. 29th edition. London: The Pharmaceutical Press.
42
Sambrook J, Russel DW. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Third edition. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Senzani WH. 2011. Isolation and identification of Enterobacter sakazakii from fresh vegetables and fruits samples from Bogor, Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Shimomura O, Johnson FH, Saiga Y. 1962. Extraction, purification and properties of aequorin, a bioluminescent protein from the luminous hydrpmedusan, Aequorea. J. Cell. Comp. Physiol. 59: 223-239. Simmons BP. Gelfand MS, Haas M, Metts L, Ferguson J. 1989. Enterobacter sakazakii infections in neonates associated with intrinsic contamination of a powdered infant formula. Infection Control and Hospital Epidemiology 10: 398-401. Singh RS, Ranganathan B. 1980. Heat resistance of Escherichia coli in cow and buffalo milk. Journal of Food Science 43: 376-380. Skladal P, Mascini M, Salvadori C, Zannoni G. 1993. Detection of bacterial contamination in sterile UHT milk using an l-lactate biosensor. Enzyme and Microbial Technology. 15: 508-512. Spreer E. 1995. Milk and Dairy Product Technology. USA: Marcel Dekker, Inc. Suarni, Widowati S. 2007. Struktur, Komposisi, dan http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp10254.pdf. [19 Januari 2012].
Nutrisi
Jagung.
Sunarti TC, Richana N, Kasim F, Purwoko, Budiyanto A. 2007. Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia Tepug dan Pati Jagung Varietas Unggul Nasional dan Sifat Penerimaannya terhadap Enzim dan Asam. Departemen Ilmu dan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Suryo H. 2007. Sitogenetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Swinkles JJM. 1985. Source of starch, its chemistry and physics. Dalam: Beynum GMAV, Roels JA (eds.). Starch Conversion Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Taggart P. 2004. Starch as an ingredient: manufacture and application. Dalam: Eliasson AC (ed.). Starch in Food: Structure, Function, and Application. Boca Raton: CRC Press. Tansila N. Tantimongcolwat T, Isarankura-Na-Ayudhya, Nantasenamat C, Prachayasittikul. 2007. Rational design of analyte channels of the green fluorescent protein for biosensor applications. International Journal of Biological Science 3(7): 463-470. Teixeira AZA. 2007. Evaluation of powder properties from the seed coat of tingui (Magonia pubescens) as an excipient for seed pelleting. Estud. Bio. 29(67): 171-178. Tomlins RI, Ordal ZJ. 1976. Thermal injury and inactivation in vegetative bacteria. Dalam: Skinner FA, Hugo WB (eds.). Inhibition and Inactivation of Vehetative Microbes: The Society for Applied Bacteriology Symposium series, No. 5. London: Academic Press. Tsien RY. 1998. The green fluorescent protein. Annu Rev Biochem 67: 509-544. Urmenyi AMC, Franklin AW. 1961. Neonatal death from pigmented coliform infection. Lancet 1: 313-315. van Acker J, de Smet F, Muyldermans G, Bougatef A, Maessens A, Lauwers S. 2001. Outbreak of necrotizing enterocolitis associated with Enterobacter sakazakii in powdered milk formula. Journal of Clinical Microbiology 39: 293-297. Ward WW. 1979. Energy transfer processes in bioluminescence. Smith KC (ed.). Dalam: Photochemical and Photobiological Reviews 4. New York: Plenum.
43
Watson SA. 1984. Corn and sorghum starches production. Dalam: Whistler RL, BeMiller JN, Paschall EF. (eds.). Starch Chemistry and Technology. Second edition. Florida: Academic Press Inc. Watson SA. 2003. Description, development, structure, and composition of the corn kernel. Dalam: White PJ, Johnson LA. (eds.). Corn Chemistry and Technology .Minnesota: American ASSociation of Cereal Chemists, Inc.. Willis J, Robinson JE. 1988. Enterobacter sakazakii meningitis in neonates. Pediatric Infectious Disease 7: 196199. [WSI] Westfalia Separator Industry. 1997. Starch from corn: separation technology for cereals. http://www.westfalia-separator.com/fileadmin/Media/PDFs/Brochures/RR_Starch_from_Corn_EN.pdf. [19 Jan 2013]. Yousef AE, Juneja. 2003. Microbial Stress Adaptation and Food Safety. USA: CRC Press. Zahner H, Maas W. 1972. Biology of Antibiotics. New York: Springer-Verlag. Ziegler KE. 2003. Popcorn. Dalam: Whistler RL, BeMiller JN, Paschall EF. (eds.). Starch Chemistry and Technology. Second edition. Florida: Academic Press Inc.
44
LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan maizena Jagung Penggilingan kasar
Grits jagung
Air
Pencucian
Lembaga, perikarp dan material asing
Endosperma bersih Perendaman (520C, 48 jam)
Air
Penggilingan
Penyaringan
Ampas
Suspensi pati-protein
Pengendapan 12 jam
Air dan protein
Pati Air
Pencucian Pengeringan (500C, 24 jam)
Air buangan+sisa protein
Air
Pati jagung (maizena) kering Penggilingan
Pati jagung (maizena) kering Pengayakan 100 mesh
Pati jagung (maizena) bubuk
46
Lampiran 2a. Gambar perendaman jagung di dalam waterbath
Lampiran 2b. Gambar grinder
Lampiran 2c. Gambar penggilingan basah jagung menggunakan grinder
Lampiran 2d. Gambar penampungan suspensi hasil penggilingan basah jagung
Lampiran 2e. Gambar pemisahan ampas
Lampiran 2f. Gambar mengendap
suspensi pati yang
47
Lampiran 2g. Gambar suspensi pati sebelum pengeringan
Lampiran 2h. Gambar pati setelah pengeringan
Lampiran 2i. Gambar penggilingan pati kering menggunakan blender
Lampiran 2j. Gambar pati hasil penggilingan
Lampiran 2k. Gambar ayakan 100 mesh
Lampiran 2l. Gambar pati hasil pengayakan
48
Lampiran 3a. Data pengukuran kadar air maizena komersial dan maizena penelitian Sampel
Ulangan
Bobot cawan kering (g)
Bobot sampel awal (g)
Bobot cawan + sampel kering (g)
Kadar air (%BB)
Kadar air (%BK)
Maizena komersial
U1 U2
3.3495 3.1961
3.013 3.0547
6.1135 5.998
8.26 8.28
9.01 9.02
8.27
9.02
8.91 9.11
9.78 10.02
9.01
9.90
Rata-rata Maizena penelitian
U1 U2
5.6723 3.4498
2.9984 3.0135 Rata-rata
8.4036 6.1888
Lampiran 3b. Data pengukuran densitas kamba maizena komersial dan maizena penelitian Volume gelas ukur Bobot gelas ukur Ulangan Sampel (ml) (g) U1 U2 Maizena komersial 50
62.3
U1 U2
Maizena penelitian
Lampiran 3c. Data pengukuran derajat putih maizena komersial dan maizena penelitian Ulangan Sampel Nilai derajat putih MgO Maizena komersial 81.6 Maizena penelitian
Bobot sampel+gelas ukur (g) 84.2 83.8 Rata-rata
Bobot sampel (g)
Densitas kamba (g/ml)
21.9 21.5
0.4380 0.4300
84.2 84.5 Rata-rata
21.9 22.2
0.4380 0.4440
Nilai yang terukur
0.4340
0.441
U1
104.6
Nilai derajat putih sampel (%) 128.19
U2
104.6
128.19
Rata-rata U1 U2 Rata-rata
128.19 69.9
85.66
69.8
85.54 85.60
49
Lampiran 4a. Gambar isolat normal Cronobacter spp. YR t2a, DES c7, dan FWH c3 di media BHI
Lampiran 4b. Gambar isolat mutan Cronobacter spp. YR t2a, DES c7, dan FWH c3 di media BHI
Lampiran 4c. Gambar kultur manik-manik mutan Cronobacter spp. YR t2a, DES c7, dan FWH c3 mutan
Lampiran 4d. Gambar kultur kapang A. flavus, F. oxysporum, dan A. niger di media PDA miring
Lampiran 4e. Gambar kultur khamir C. krusei, K. ohmeri, dan C. zeylanoides di media PDA miring
Lampiran 4f. Gambar kultur BAL L. lactis, L. plantarum, Pediococcus sp., dan L. brevis di media MRSB
50
Lampiran 5. Gambar morfologi Cronobacter spp. di bawah mikrokskop dengan perbesaran 1000x
Lampiran 6. Gambar morfologi Cronobacter spp. pada media TSA
Lampiran 7. Gambar morfologi mutan Cronobacter spp. pada media TSA+A di bawah lampu ultraviolet pada panjang gelombang 366 nm
51
Lampiran 8a. Data pertumbuhan isolat normal dan mutan Cronobacter spp., kapang, khamir, BAL, dan kultur campuran pada media TSA dengan berbagai konsentrasi ampisilin Isolat
Intensitas koloni yang tumbuh
Konsentrasi ampisilin U1
U2
U3
Normal FWH c3
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ -
+++++ -
+++++ -
Ratarata +++++ -
Mutan FWH c3
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ ++++ ++++ ++++ ++++
+++++ +++ +++ +++ +++
+++++ +++ +++ +++ +++
+++++ +++ +++ +++ +++
Normal DES c7
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ + -
+++++ + -
+++++ ++ -
+++++ + -
Mutan DES c7
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ ++++ + -
+++++ ++++ -
+++++ +++++ -
+++++ ++++ -
Normal YR t2a
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ -
+++++ -
+++++ -
+++++ -
Mutan YR t2a
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ +++ +++ +++ +++
+++++ ++++ ++++ ++++ ++++
+++++ ++++ ++++ ++++ ++++
+++++ ++++ ++++ ++++ ++++
Kapang
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++ +++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++ +++
Khamir
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++ +++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++ +++
+++ +++ +++ +++ +++
52
Isolat
Intensitas koloni yang tumbuh
Konsentrasi ampisilin U1
U2
U3
BAL
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ +++ +++ +++ +++
+++++ +++ +++ +++ +++
+++++ +++ +++ +++ +++
Ratarata +++++ +++ +++ +++ +++
Kultur campuran
0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml
+++++ ++ ++ ++ ++
+++++ ++++ ++++ ++++ ++++
+++++ +++ +++ +++ +++
+++++ +++ +++ +++ +++
Keterangan: + ++ +++ ++++ +++++
: : : : : :
Tidak ada koloni Tumbuh sangat sedikit Tumbuh sedikit Tumbuh agak banyak Tumbuh banyak Tumbuh sangat banyak
53
Lampiran 8b. Gambar standar tidak ada koloni (-)
Lampiran 8c. Gambar standar tumbuh sangat sedikit (+)
Lampiran 8d. Gambar standar tumbuh sedikit (++)
Lampiran 8e. Standar tumbuh agak banyak (+++)
Lampiran 8f. Gambar standar tumbuh banyak (++++)
Lampiran 8g. Gambar standar tumbuh sangat banyak (+++++)
54
Lampiran 9a. Data penentuan media pertumbuhan inokulum dan metode pemupukan (tuang)
Jumlah koloni TK KB TBUD 74 10(-3) TBUD 72 BHI 118 12 10(-4) Mutan 163 YR t2a 25 1 10(-5) 17 1 31 10 10(-6) 22 2 BHI+A 9 3 10(-7) Mutan 5 2 YR t2a 0 0 10(-8) 1 0 150 21 10(-2) 170 19 BHI 18 2 10(-3) Mutan 14 0 FWH c3 2 1 10(-4) 2 2 228 79 10(-6) 194 47 BHI+A 24 3 10(-7) Mutan 19 12 FWH c3 3 0 10(-8) 3 1 Keterangan: TK = Total Koloni KB= Koloni berpendar Inokulum
Pengenc eran
Ulangan 1 CFU/ml TK KB
Log CFU/ml TK KB
Pengenc eran 10(-3)
1.4x108
7.3x104
6.16
4.86
10(-4) 10(-5)
3.1x107
1.6x103
<2.5x 107 (6.0x 106)
<2.5x 103) (2.0x 103)
10(-6) 7.49
6.78
10(-7) 10(-8) 10(-2)
4.20
3.30
10(-3) 10(-4) 10(-6)
2.1x108
6.3x107
8.32
7.80
10(-7) 10(-8)
Jumlah koloni TK KB TBUD 104 TBUD 102 73 11 TBUD 11 38 2 29 1 40 6 50 7 5 1 8 1 2 0 2 0 81 13 59 7 4 1 3 0 3 1 0 0 249 22 188 28 15 2 31 5 3 2 3 2
Ulangan 2 CFU/ml TK KB
Log CFU/ml TK KB
Rata-rata log CFU/ml TK KB
1.2x106
1.0x105
6.07
5.01
6.12
4.94
4.5x107
<2.5x 107 (2.5x 106)
7.65
6.81
7.57
6.80
7.0x103
<2.5x 103 (1.0x 103)
3.85
3.00
4.02
3.15
2.2x108
2.8x107
8.34
7.45
8.33
7.62
55
Lampiran 9b. Data penentuan media pertumbuhan inokulum dan metode pemupukan (permukaan) Ulangan 1 Ulangan 2 Jumlah koloni CFU/ml Log CFU/ml Pengenc Jumlah koloni CFU/ml Inokulum Pengenc eran eran TK KB TK KB TK KB TK KB TK KB TBUD TBUD TBUD TBUD (-4) (-4) 10 10 TBUD TBUD TBUD TBUD BHI 76 75 31 31 6 6 (-5) (-5) 3.2x106 10 3.2x106 10 Mutan 8.0x10 7.9x10 6.90 6.90 83 83 33 33 YR t2a 11 11 3 3 10(-6) 10(-6) 4 4 3 3 TBUD TBUD TBUD TBUD 10(-6) 10(-6) TBUD TBUD TBUD TBUD BHI+A 60 49 141 141 6.4x108 6.4x108 8.81 8.81 2.2x107 10(-7) 2.2x107 10(-7) Mutan 79 79 58 58 YR t2a 9 9 81 81 10(-8) 10(-8) 1 1 40 40 TBUD TBUD 160 151 (-3) (-3) 10 10 173 172 BHI 97 97 24 23 (-4) 5 5 (-4) 9.1x10 1.7x105 10 9.1x10 5.96 5.96 1.7x105 10 Mutan 62 62 29 30 FWH c3 3 3 6 6 10(-5) 10(-5) 32 32 0 0 TBUD TBUD TBUD TBUD (-6) (-6) 10 10 TBUD TBUD TBUD TBUD BHI+A 86 86 TBUD TBUD (-7) 9 9 (-7) 1.3x10 1.6x1010 10 1.3x10 9.11 9.11 1.6x1010 10 Mutan 115 115 TBUD TBUD FWH c3 30 30 153 153 10(-8) 10(-8) 48 48 174 174 Keterangan: TK=Total koloni KB=Koloni berpendar
Log CFU/ml TK KB
Rata-rata log CFU/ml TK KB
6.51
6.51
6.70
6.70
7.34
7.34
8.08
8.07
5.24
5.24
5.60
5.60
10.20
10.20
9.66
9.66
56
Lampiran 10a. Data pengujian sintas mutan Cronobacter spp. YR t2a selama perendaman jagung pada suhu 520C Ulangan 1 Sampel
Waktu perendaman
Pengenceran 10(-6)
Inokulum
-
10(-7) 10(-8) 10(-2)
0 jam
10(-3) 10(-4) 10(-1)
Jagung
24 jam
10(-2) 10(-3) 10(-1)
48 jam
10(-2) 10(-3)
Jumlah koloni TBUD TBUD 35 57 9 1 TBUD TBUD TBUD TBUD 77 56 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
CFU/ml atau CFU/g
Ulangan 2 Log CFU/ml atau log CFU/g
4.6x108
8.66
6.6x105
5.82
<1.0x101
<1.00
<1.0x101
<1.00
Jumlah koloni TBUD TBUD 23 27 1 1 TBUD TBUD 24 163 16 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata log CFU/ml atau log CFU/g
CFU/ml atau CFU/g
Log CFU/ml atau log CFU/g
2.5x108
8.40
8.53
1.6x105
5.2
5.51
<1.0x101
<1.00
<1.00
<1.0x101
<1.00
<1.00
57
Ulangan 1 Sampel
Waktu perendaman
Pengenceran 10(-2)
0 jam
10(-3) 10(-4) 10(-1)
Air perendam
24 jam
10(-2) 10(-3) 10(-1)
48 jam
10(-2) 10(-3)
Jumlah koloni TBUD TBUD 149 129 12 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
CFU/ml atau CFU/g
Ulangan 2 Log CFU/ml atau log CFU/g
1.4x105
5.15
<1.0x101
<1.00
<1.0x101
<1.00
Jumlah koloni TBUD TBUD 145 55 25 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata log CFU/ml atau CFU/g
CFU/ml atau CFU/g
Log CFU/ml atau log CFU/g
1.1x105
5.04
5.10
<1.0x101
<1.00
<1.00
<1.0x101
<1.00
<1.00
58
Lampiran 10b. Data pengujian sintas mutan Cronobacter spp. FWH c3 selama perendaman jagung pada suhu 520C Ulangan 1 Sampel
Waktu perendaman
Pengenceran 10(-6)
Inokulum
-
10(-7) 10(-8) 10(-3)
0 jam
10(-4) 10(-5) 10(-1)
Jagung
24 jam
10(-2) 10(-3) 10(-1)
48 jam
10(-2) 10(-3)
Jumlah koloni TBUD TBUD 108 41 32 3 TBUD TBUD TBUD TBUD 183 102 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
CFU/ml atau CFU/g
Ulangan 2 Log CFU/ml atau lof CFU/g
8.6x108
8.93
1.4x107
7.15
<1.0x101
<1.00
<1.0x101
<1.00
Jumlah koloni TBUD TBUD 35 57 3 4 TBUD TBUD TBUD TBUD 127 54 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata log CFU/ml atau log CFU/g
CFU/ml atau CFU/g
Log CFU/ml atau log CFU/g
4.6x108
8.66
8.98
9.0x106
6.95
7.05
<1.0x101
<1.00
<1.00
<1.0x101
<1.00
<1.00
59
Ulangan 1 Sampel
Waktu perendaman
Pengenceran 10(-4)
0 jam
10(-5) 10(-6) 10(-1)
Air perendam
24 jam
10(-2) 10(-3) 10(-1)
48 jam
10(-2) 10(-3)
Jumlah koloni TBUD TBUD 155 134 14 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
CFU/ml atau CFU/g
Ulangan 2 Log CFU/ml atau log CFU/g
1.4x107
7.15
<1.0x101
<1.00
<1.0x101
<1.00
Jumlah koloni TBUD TBUD 124 136 19 60 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata log CFU/ml atau CFU/g
CFU/ml atau CFU/g
Log CFU/ml atau log CFU/g
1.5x107
7.18
7.16
<1.0x101
<1.00
<1.00
<1.0x101
<1.00
<1.00
60
Lampiran 10c. Perubahan log mutan Cronobacter spp. selama perendaman jagung pada suhu 520C Ulangan 1 Isolat Mutan YR t2a Mutan FWH c3
Sampel Jagung Air rendaman Jagung Air rendaman
Log CFU/ml atau CFU/g
Ulangan 2
∆ Log CFU/ml atau CFU/g (0-24) jam (0-48) jam 5.82 5.82
0 jam 5.82
24 jam 0
48 jam 0
5.15
0
0
5.15
7.15
0
0
7.15
0
0
Log CFU/ml atau CFU/g
∆ Log CFU/ml atau CFU/g (0-24) jam (0-48 jam) 5.20 5.20
0 jam 5.20
24 jam 0
48 jam 0
5.15
5.04
0
0
5.04
7.15
7.15
6.95
0
0
7.15
7.15
7.18
0
0
Rata-rata ∆ Log CFU/ml atau CFU/g (0-24) jam 5.51
(0-48 jam) 5.51
5.04
5.10
5.10
6.95
6.95
7.05
7.05
7.18
7.18
7.16
7.16
61
Lampiran 11a. Data pengujian sintas mutan Cronobacter spp. YR t2a selama pengeringan maizena pada suhu 500C Ulangan 1 Waktu Log CFU/ml Sampel Pengenceran CFU/ml pengeringan Jumlah koloni atau log Jumlah koloni atau CFU/g CFU/g TBUD TBUD 10(-6) TBUD TBUD 86 28 (-7) 9 1.1x10 Inokulum 10 9.05 140 77 11 3 10(-8) 16 3 TBUD TBUD (-4) 10 TBUD TBUD Spreader 98 (-5) 6 0 jam 7.7x10 10 6.89 77 Spreader 17 16 10(-6) 9 12 33 TBUD 10(-2) Spreader TBUD 3 208 3.3x103 Pati 6 jam 10(-3) 3.52 0 206 1 (-4) 10 1 0 0 (-1) 10 0 0 0 0 (-2) 1 <1.0x10 24 jam 10 <1.00 0 0 0 0 (-3) 10 0 0
Ulangan 2 CFU/ml atau CFU/ml
Log CFU/ml atau log CFU/g
5.2x108
8.72
8.88
9.8x106
6.99
6.94
2.1x105
5.32
4.42
<1.0x101
<1.00
<1.00
Rata-rata log CFU/ml atau log CFU/g
62
Lampiran 11b. Data pengujian sintas mutan Cronobacter spp. FWH c3 selama pengeringan maizena pada suhu 500C Ulangan 1 Sampel
Waktu pengeringan
Pengenceran 10(-6)
Inokulum
-
10(-7) 10(-8) 10(-4)
0 jam
10(-5) 10(-6) 10(-2) 10(-3)
Pati
6 jam 10
(-4)
10(-5) 10(-1) 24 jam
10(-2) 10(-3)
Jumlah koloni TBUD TBUD 43 Spreader 0 0 TBUD TBUD TBUD TBUD 32 35 TBUD TBUD TBUD TBUD 26 spreader 0 0 0 0 0 0
CFU/ml atau CFU/g
Ulangan 2 Log CFU/ml atau log CFU/g
4.3x108
8.63
3.4x107
7.53
2.6x105
5.41
<1.0x101
<1.00
Jumlah koloni TBUD TBUD 40 38 0 0 TBUD TBUD 64 Spreader 10 19 TBUD TBUD TBUD TBUD 172 spreader 44 16 0 0 0 0 0 0
Rata-rata log CFU/ml atau log CFU/g
CFU/ml atau CFU/g
Log CFU/ml atau log CFU/g
3.9x108
8.59
8.61
6.4x106
6.81
7.17
2.0x106
6.30
5.86
<1.0x101
<1.00
<1.00
63
Lampiran 11c. Perubahan log mutan Cronobacter spp. selama pengeringan maizena pada suhu 500C
Isolat Mutan YR t2a Mutan FWH c3
Ulangan 1 Log CFU/g ∆ Log CFU/g 0 jam 6 jam 24 jam (0-6) jam (0-24) jam
Ulangan 2 Log CFU/g ∆ Log CFU/g 0 jam 6 jam 24 jam (0-6) jam (0-24 jam)
6.99
5.32
0
1.67
6.99
5.53
4.3
0
1.23
5.6
3.34
0
2.26
5.6
7.53
5.41
0
3.12
Rata-rata ∆ Log CFU/g (0-6) jam
(0-24 jam)
5.53
1.45
6.26
7.53
2.19
6.56
64