KAJIAN PAPARAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN PADA MURID SEKOLAH DASAR NEGERI BENCONGAN II Dl KECAMATAN CURUG, KABUPATEN TANGERANG Eveline1, Roy A. Sparringa2, Imelda Tirtajaya3
ABSTRACT The aim of the research in food additives assessment was to study the level of consumption and exposure of food additives (cyclamate and benzoate) among the students of Bencongan II Primary School,sub district Curugjangerang regency. The result of this research could be used as a scientific evidence in the evaluation of the food additives regulation and also as a database for Total Diet Study method. The paramaters of this study were the types of the food consumed and the concentration of the food additives in the food products. The former parameter was obtained by doing surveys with the methods of dietary recall and food diary. The latter parameter was obtained by estimating the highest level of Food Additives allowed by the regulation (PerMenKes No.722/Menkes/Per/IX/1988 or national level and General Standard for Food Additives or GSFA level). The types of the food consumed were classificationed and used as a database in FACNEA (Food Additives, Contaminants and Nutrient Exposure Assessment) software. The output was the level of consumption and exposure of cyclamate and benzoate, and these levels were compared to the value ofJECFA ADI of food additives. The national level of cyclamate exposure was 6.47-7.61 mg/kg BW per day (58.83-69.21% ADI), with the high level of exposure (95*) was 27.78 mg/kg BW per day (252.53% ADI). On the GSFA level, the level of cyclamate exposure was 0.17-3.43 mg/kg BW per day (28.80-31.13% ADI), with the high level of exposure (95*) was 7.13 mg/kg BW per day (64.77% ADI). The sub-group which gave the highest contribution to the exposure of cyclamate was sub-group 14.1 (non-alcoholic drinks), and 0.30 (ice, sherbet, and shorbet). The national level of benzoate exposure was 0.63-1.20 mg/kg BWper day (12.5823.97.00% ADI), with the high level of exposure (95") was 4.44 mg/kg BW per day (88.89% ADI). On the GSFA level, the level of benzoate exposure was 6.12-6.28 mg/kg BW (122.49-125.63% ADI), with the high level exposure (95">) was 12.31 mg/kg BWper day (246.11% ADI). The sub-group which gave the highest contribution to the exposure of benzoate was sub-group 06.4 (paste, noodle, etc) and 14.1 (non-alcoholic drinks). Keywords: cyclamate, benzoate, exposure, ADI value
1 2 3
Alumni Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan Dosen Tidak Tetap Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan Dosen Tetap Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan
Jumal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
89
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah keamanan pangan di Indonesia penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang melebihi batas konsentrasi yang diperkenankan. Masalah ini banyak ditemui pada konsumsi pangan anak usia Sekolah Dasar (SD), yaitu 6-12 tahun yang merupakan kelompok yang banyak terpapar. Tingkat keamanan pangan anak ditentukan dari konsumsi pangannya sehari-hari yang pada kenyataannya, sumber dari konsumsi pangan ini belum tentu dapat memberikan keamanan pangan yang baik karena seringkali ditemukan penggunaan BTP siklamat dan benzoat melebihi batas konsentrasi sehingga dapat menyebabkan pengaruh buruk bagi kesehatan yaitu bersifat karsinogenik. Penentuan BTP siklamat dan benzoat tersebut dalam penelitian ini didasarkan oleh adanya penelitian sebeiumnya yang menyatakan konsumsi masyarakat terhadap kedua BTP tersebut melebihi nilai ADI (Acceptable Daily Intake), yaitu 11 mg/kg BB untuk BTP siklamat dan 5 mg/kg BB untuk BTP benzoat. Pada penelitian ini, digunakan metode estimasi konsentrasi BTP yang menggunakan dua peraturan yang dibandingkan yaitu PerMenKes No.722/Menkes/Per/IX/1988 dan peraturan GSFA, hal ini dikarenakan PerMenKes No.722/Menkes/Per/ IX/1988 belum berdasarkan kategori pangan GSFA dan peraturan di Indonesia belum didasarkan data konsumsi pangan. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan pemerintah sebagai data ilmiah (sc/enf/flcbasedewdence,) untuk bahan pertimbangan dalam manajemen risiko seperti evaluasi peraturan pangan, baik pada tingkat nasionai maupun intemasional, dan dalam komunikasi risiko sehingga pelaksanaannya diharapkan dapat melindungi konsumsen dari risiko penggunaan atau konsumsi BTP siklamat dan benzoat berlebih. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian mengenai kajian paparan BTP sudah pernah dilakukan pada masyarakat dengan metode estimasi konsentrasi BTP tertinggi yang diijinkan dalam PerMenKes No.722/Menkes/Per/IX/1988 dan peraturan GSFA. Namun, dengan metode ini belum pemah dilakukan secara khusus terhadap anak usia SD. Penelitian mengenai kajian paparan BTP yang terfokus pada anak usia SD sudah pemah dilakukan dengan menggunakan metode Total Diet Study (TDS) yang memiliki tingkat keakuratan yang tinggi, namun biayanya sangat mahal. Identifikasi bahaya BTP siklamat dan benzoat ditentukan berdasarkan penelitian sebeiumnya. Adanya informasi tentang tingkat paparan BTP siklamat dan benzoat pada anak usia SD perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik risiko, sehingga selanjutnya informasi ini dapat pula digunakan sebagai dasar
90
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
ilmiah (scientific base evidence) dalam penentuan dan pelaksanaan manajemen risiko dan komunikasi risiko yang diharapkan dapat melindungi konsumen dari risiko penggunaan BTP tersebut dengan konsentrasi melebihi batas amannya. 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data konsumsi pangan individu murid SDN Bencongan II serta proporsinya, yang akan digunakan untuk kajian paparan BTP siklamat dan benzoat. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi dan paparan BTP siklamat dan benzoat, mengidentifikasi jenis BTP yang paparannya melebihi JECFA-ADI (Joint FAO/ WHO Expert Committe on Food Additives - Acceptable Daily Intake), menentukan tingkat konsumsi produk pangan berdasarkan klasifikasi pangan GSFA yang selanjutnya dapat digunakan sebagai basis data dalam kajian paparan BTP dengan metode TDS, serta mengetahui karakteristik risiko BTP siklamat dan benzoat yang berdampak pada kesehatan murid SDN Bencongan II di Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang. II. METODOLOGI Perencanaan Survei Konsumsi Pangan untuk Kajian Paparan BTP
4 Survei Pendahuluan •*dan Uji Coba Kuesioner
4
Perbaikan lidak
Uji Kesesuaian Kuesioner -
lya « .., . •. Survei Konsumsi Pangan untuk Kajian Paparan BTP • —
Pembuatan Daftar Berat Konsumsi Pangan Ftesponden
|
4
4
Data Konsumsi Pangan Harian
verifikasi Lapangan
^
t
Pemeriksaan Lembar DKPH
1
i
Data Konsumsi Pangan yang telah Diperiksa
Konversi Berat URT
I I
1
r
T ^-Rokapitiiasi DKPH ke Lambar DKP I | Perkiraan Penggunaan BTP
1
•• Rekapitulasi j ^ njgjstrasi dalam buku Database Pangan Akhir
—*- Pengolahan data dengan Software FACNEA «
J '
4 Output (Profil Responden; Tingkat konsumsi Pangan; Tingkat Konsumsi dan Paparan BTP)
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
91
Perencanaan survei konsumsi pangan untuk kajian paparan BTP terdiri dari tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal dilakukan sebelum mendapatkan SD sebagai lokasi lokasi penelitian, yaitu pengambilan data daftar nama SD di Kecamatan Curug, pengambilan data biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) setiap SD, dan penentuan SD sebagai lokasi penelitian dengan metode purposive sampling, yaitu SDN Bencongan II. Tahap lanjutan dilakukan setelah memperoleh SD sebagai lokasi penelitian, yaitu: populasi dan penentuan kerangka sampel untuk mengetahui jumlah murid menurut jenis kelamin dan kelompok kelas; penentuan responden sejumlah 40 orang dengan metode proportional stratified random sampling kemudian dengan metode systematic random sampling; dan kuesioner yang menggunakan format kuesioner dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Ada tiga tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan survei pendahuluan, yaitu pengarahan metode survei kepada orang tua responden, pengisian lembar daftar pengenalan responden pada kuesioner, dan uji kesesuaian kuesioner untuk mengetahui apakah kuesioner layak digunakan dalam survei konsumsi pangan. Hasil uji ini merupakan penentu adanya perbaikan kuesioner dan metode survei konsumsi pangan. Survei konsumsi pangan dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut untuk setiap responden. Metode survei yang digunakan yaitu metode buku harian konsumsi pangan (food diary method) di luar jam sekolah dan metode mengingat-ingat konsumsi pangan (dietary recall method) pada waktu jam sekolah. Pembuatan daftar berat konsumsi pangan dilakukan dengan adanya buku pedoman pengedit kode (buku yang memuat berat berbagai macam jenis pangan berdasarkan satuan URT-nya) dan verifikasi (pemeriksaan ulang) berat konsumsi pangan responden yang dibandingkan dengan berat pangan dalam buku pedoman pengedit kode. Verifikasi dilakukan dengan menimbang setiap jenis konsumsi pangan responden sesuai URT dan ukuran (volume) konsumsi pangan responden. Konversi berat URT dilakukan untuk mengubah berat konsumsi pangan yang awalnya adalah satu satuan URT menjadi beberapa kali lipat satuan URT sesuai dengan jumlah yang dikonsumsi responden. Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan lembar DKPH kuesioner dan rekapitulasi ke lembar DKP untuk pengisian kolom berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi berdasarkan berat konversi URT yang telah diverifikasi dan berdasarkan buku pedoman pengedit kode. Tahap pembuatan rekapitulasi dan Registrasi Pangan dalam Buku Database Pangan Akhir dilakukan dengan terlebih dahulu mengelompokkan setiap konsumsi pangan ke dalam kode dan sub kode berdasarkan sistem klasifikasi pangan GSFA. Registrasi pangan terdiri atas pangan impor (ML), pangan dalam negeri (MD), dan pangan
92
Jumalllmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
produksi industri rumah tangga (SP atau SP-IRT), pangan tidak teregistrasi (non) dan pangan siap saji (SS) atau bahan pangan segar (BPS). Perkiraan (estimasi) penggunaan BTP dilaksanakan dengan pencatatan konsumsi pangan database akhir pada buku tingkat penggunaan BTP, yaitu memasukkan tingkat penggunaan BTP siklamat dan benzoat pada masingmasing sub kode kategori pangan tersebut dengan dua metode asumsi, yaitu menurut PerMenKes No.722/Menkes/Per/IX/1988 dan peraturan GSFA. Perangkat lunak (software) FACNEA (Food Additive, Contaminant and Nutrition Exposure Assessment) versi 1.0 2004 dikembangkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Alat bantu ini membutuhkan data masukkan (input) yang akan mengalami proses sehingga akan menghasilkan keluaran (output) sebagai informasi data yang akan diinterpretasikan menjadi hasil kajian paparan BTP survei konsumsi pangan ini. Data input berupa data bahan pangan (food database), data perkiraan (estimasi) tingkat penggunaan BTP berdasarkan PerMenKes No.722/Menkes/Per/IX/1988 dan GSFA, serta data nilai Acceptable Daily Intake (ADI) BTP yaitu 5 mg/kg BB untuk siklamat dan 11 mg/kg BB untuk benzoat. Data output berupa profil responden survei konsumsi pangan, tingkat konsumsi pangan, serta tingkat konsumsi dan paparan BTP III. HASIL DAN PEMBAHASAN •11.1 Komponen Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan Kajian paparan Bahan Tambahan Pangan (BTP) membutuhkan dua komponen utama yaitu data konsumsi pangan dan data konsentrasi BTP dalam pangan. Data konsumsi pangan yang diperoleh melalui survei konsumsi pangan harus mencerminkan pola konsumsi pangan sehingga tingkat paparan BTP dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya (Sparringa dan Suhariyanto, 2002). Oleh karena itu, pengambilan jumlah responden harus mewakili populasi. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 40 orang dari 273 orang pada populasi murid SDN Bencongan II (14,65%) yang sudah mewakili (representative) populasi. Menurut Anonim (2005), pengambilan sampel pada suatu populasi dikatakan dapat mewakili populasi tersebut jika sampel yang diambil adalah sebanyak 10% dari jumlah populasi. Baiky (1982) dalam Sukandarrumidi (2002) juga mengungkapkan bahwa pengambilan jumlah sampel pada suatu penelitian paling sedikit 30 orang agar mewakili populasi yang ada. Agar jumlah sampel yang diambil tersebut semakin bersifat mewakili (representative) , maka dalam penenentuan responden juga harus didukung oleh metode pengambilan sampel yang benar. Sebelum dilakukan penentuan sampel, perlu dibuat kerangka sampel kemudian responden ditentukan berdasarkan proporsi
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
93
murid SD sebagai populasi di setiap kelas, yaitu meliputi jumlah individu di setiap kelas dan jenis kelamin. Setelah itu, sampel ditentukan dengan metode proportional stratified random sampling dan systematic random sampling. Data konsumsi pangan diperoleh dengan survei konsumsi pangan yang menggunakan dua metode survei, yaitu food diary method dan dietary recall method. Data konsumsi pangan dikelompokkan berdasarkan kategori pangan GSFA sebagai database pangan dalam penggunaan perangkat lunak (software) FACNEA. Data konsentrasi BTP diperoleh melalui metode perkiraan (estimasi) penggunaan BTP maksimum yang diijinkan dalam suatu produk pangan yang mempunyai registrasi ML, MD, SP, dan non (pangan yang tidak mempunyai registrasi) berdasarkan peraturan nasional (PerMenKes No.722/MenKes/Per/ IX/ 1998) dan GSFA. Penggunaan kedua peraturan tersebut dalam tahap estimasi dilakukan karena peraturan nasional belum berdasarkan kategori pangan GSFA dan adanya perbedaan pola konsumsi pangan di Indonesia dengan negara lain yang mengakibatkan kepentingan terhadap keamanan pangan negara Indonesia juga berbeda dengan negara lain. Ini menyebabkan peraturan GSFA belum tentu dapat digunakan secara spesifik terhadap peraturan nasional atau dapat dikatakan peraturan nasional belum sesuai digunakan dengan peraturan GSFA. Adanya alasan tersebut mendorong negara Indonesia untuk mengharmonisasikan peraturannya dengan peraturan GSFA yang merupakan standar umum setiap negara di dunia dalam hal BTP dengan cara membandingkan kedua peraturan tersebut, sehingga pada akhimya Indonesia memiliki peraturan nasional sendiri yang dapat digunakan sejajar dengan peraturan GSFA. Hal ini akah membantu kelancaraan negara Indonesia dalam menghasilkan tersedianya jaminan keamanan pangan yang dapat melindungi konsumen dari konsumsi BTP berlebih dan juga dapat memudahkan kelancaran perdagangan intemasional dengan negara-negara di dunia. III.2 Keluaran (Output) Software FACNEA 111.2.1 Profit Responden Survei Konsumsi
Pangan
Profil responden berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin adalah responden yang berusia 6-12 tahun berjumlah 38 orang (94%), yaitu 19 responden pria dan 19 responden wanita. Sisanya, Satu orang 5 tahun, satu berusia 13 tahun. Keduanya berjenis kelamin pria. Profil responden berdasarkan kewarganegaraan dan suku bangsa menunjukkan seluruhnya Warga Negara Indonesia (WNI) dengan suku bangsa Sunda 24 orang (95%), Jawa 9 orang (23%), Batak 2 orang (5%), dan suku
94
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
lainnya 5 orang (13%). Adanya suku bangsa tertentu dalam suatu populasi mungkin mempengaruhi pola konsumsi pangan, karena adanya faktor kebiasaan makan suku bangsa tertentu. Pola konsumsi pangan individu dari suatu populasi juga dapat dipengaruhi oleh kondisi responden. Padasaatsurveiterdapattiga responden yang menderita sakit influenza. Adanya responden yang sakit sewaktu survei akan mempengaruhi hasil perolehan data (EU Scientific Co-operation, 1998) karena pada kondisi sakit biasanya metabolisme tubuh terganggu sehingga dapat mengakibatkan nafsu makan terganggu pula. Akibatnya, terdapat kemungkinan bahwa data konsumsi pangan tidak menunjukkan keadaan yang sebenarnya. 111.2.2 Pola Konsumsi Pangan Responden Tabel 1. Pola Konsumsi Pangan Responden Berdasarkan Kategori Pangan GSFA Kategori Pangan GSFA
Rata-rata Konsumsi Pangan Tiap Responden (gram/hari)
Minuman Tidak Beralkohol (14.1)
1023,29
Biji-bijian Utuh atau Patah maupun Serpihan (06.1)
483,75
Lain-lain
521,77
Berdasarkan Tabel 1, sumber konsumsi pangan yang menghasilkan ratarata terbesar berasal dari kelompok minuman tidak beralkohol (sub kategori 14.1) dan kelompok biji-bijian utuh atau patah maupun serpihan (sub kategori 06.1). Produk minuman merupakan produk yang sebagian besar terdiri atas air yang komponen yang sangat diperiukan oleh tubuh. Menurut Whitney dan Rolfes dalam Almatsier (2002), jumlah asupan air yang hams dikonsumsi oleh tubuh dalam sehari dari produk minuman adalah sebesar 550-1500 ml. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rata-rata responden di SDN Bencongan II sudah memenuhi syarat asupan air yang ditentukan yaitu sebesar 1023,29 gram atau 1023,29 ml dengan densitas air adalah 1 gram/ml. Rata-rata konsumsi tiap responden pada biji-bijian utuh atau patah maupun serpihan (sub kategori 06.1) adalah sebesar 483,75 gram/hari. Produk yang masuk dalam kategori ini merupakan makanan utama masyarakat Indonesia yaitu nasi putih. Selain itu, nasi ketan, nasi kuning, lontong kosong dan sebagainya juga termasuk dalam sub kategori ini. Menurut Anonim (tanpa tahun), dalam satu hari biasanya rata-rata konsumsi nasi dan sejenisnya sebanyak dua sampai tiga piring dengan asumsi satu piring nasi berbobot 200 gram. Jadi, dalam satu hari konsumsi setiap orang adalah sekitar 400-600 gram. Rata-rata konsumsi
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3. No. 2, 0ktober2005
95
pangan setiap responden pada sub kategori 06.1 (483,75 gram) sehari sudah mencukupi asupan yang biasanya dikonsumsi. III.2.3 Kajian Paparan Kajian paparan merupakan tahapan dalam kajian risiko yang dilakukan setelah tahap identifikasi bahaya dan karakterisasi bahaya dilakukan. Identifikasi bahaya pada penelitian ini ditentukan dengan adanya penelitian oleh Slamet (2004) dan Sarifudin (2004). Pada kedua penelitian tersebut dinyatakan bahwa jenis BTP yang banyak dikonsumsi masyarakat sehingga dapat berpeluang menyebabkan pengaruh buruk bagi kesehatan adalah BTP siklamat dan benzoat. Penelitian lainnya yang juga mendukung identifikasi bahaya dalam penelitian ini adalah informasi penelitian terdahulu, yaitu pengkonsumsian BTP siklamat dan benzoat dengan jumlah berlebih dapat menyebabkan penyakit yang bersifat karsinogenik, misalnya tumor yang terjadi pada hewan percobaan (tikus dan kera) dan manusia (Sinaga, 1993). Selain itu, terjadi gangguan pertumbuhan, kerontokan bulu, dan kematian pada hewan percobaan (Erhoff, 1972). Karakterisasi bahaya yang merupakan tahap kedua dalam kajian risko tidak dilakukan dalam penelitian ini karena telah dilakukan pada penelitianpenelitian terdahulu sehingga menghasilkan nilai ADI sebagai dosis atau kosentrasi aman pada BTP siklamat dan benzoat, secara berturut-turut yaitu sebesar 11 mg/kg BB dan 5 mg/kg BB. Nilai ADI inilah yang digunakan sebagai pembanding dalam penentuan tingkat paparan BTP siklamat dan benzoat pada kajian paparan penelitian ini. 111.2.3.1 Kajian Paparan BTP Siklamat Tabel 2. Tingkat Paparan BTP Siklamat dan Benzoat Menurut Peraturan Nasional dan GSFA Peraturan
Nasional
GSFA
Statistik
Tingkat Paparan Siklamat (% ADI)"
Tingkat Paparan Benzoat (% ADI) "
Mean
58,83 - 69,21
12,58-23,97
Median
17,99 - 34,66
1,12-9,70
Pengkonsumsi Tinggi'
252,53
88,89
Mean
28,80-31,13
122,49-125,63
28,28 - 29,99
106,47-106,97
64,77
246,11
Median Pengkonsumsi Tinggi
-
Keterangan: 'Tingkat konsumsi tinggi pada persentil ke-95 "Range data dari consumer only sampai dengan whole population
96
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
Tabel 2 memperiihatkan rata-rata tingkat konsumsi siklamat berdasarkan peraturan nasional berkisar antara 6,47-7,61 mg/kg BB per hari (58,83-69,21 % ADI) dengan tingkat konsumsi tinggi sebesar 27,78 mg/kg BB per hari (252,53% ADI). Penelitian yang dilakukan Sarifudin (2004) melaporkan rata-rata konsumsi siklamat pada kelompok anak usia 6-12 tahun berkisar antara 11,24-12,74 mg/kg BB per hari (102,20-115,82% ADI), dengan tingkat konsumsi tinggi 34,63 mg/kg BB per hari (314,86% ADI). Dalam penelitian yang menggunakan metode TDS (Total Diet Study), Slamet (2004) melaporkan bahwa paparan siklamat anak usia 6-12 tahun di Malang mencapai 240% ADI. Ini membuktikan penelitian kajian paparan saat ini konsisten dengan kedua penelitian sebelumnya yaitu tingkat paparan siklamat melebihi batas aman ADI. Berdasarkan peraturan GSFA, rata-rata konsumsi siklamat dan tingkat konsumsi tingginya belum melampaui nilai ADI, secara berturut-turut 3,173,43 mg/kg BB per hari (28,80-31,13% ADI), dan 7,13 mg/kg BB per hari (64,77% ADI). Hal serupa juga dilaporkan oleh Sarifudin (2004) bahwa ratarata konsumsi siklamat pada responden usia 6-12 adalah sebesar 2,29-2,49 mg/kg BB per hari (21-23% ADI) dengan pengkonsumsi tinggi 8,69 mg/kg BB per hari (79% ADI). Tingkat konsumsi dan paparan siklamat menurut peraturan nasional temyata lebih tinggi dibandingkan GSFA. Hal ini disebabkan adanya peraturan nasional yang memperbolehkan penggunaan siklamat pada beberapa kategori produk pangan sedangkan berdasarkan peraturan GSFA tidak diperbolehkan, contohnya pada produk minuman ringan. Selain itu peraturan nasional juga memberi batasan maksimum yang lebih tinggi dibandingkan peraturan GSFA, contohnya pada kelompok es, sherbet, dan shorbet (sub kategori 03.0). Sumber konsumsi pangan yang dapat memberikan kontribusi besar pengkonsumsian siklamat pada konsumsi pangan responden (Tabel 3), yaitu kelompok minuman tidak beralkohol (sub kategori 14.1) dan kelompok es, sherbet, shorbet (sub kategori 03.0). Tabel 3.Sumber dan Rata-rata Konsumsi Siklamat pada Produk Pangan Kategori Pangan GSFA
Rata-rata Konsumsi Siklamat Tiap Responden per Hari (mg/kg BB) Nasional
GSFA
Minuman Tidak Beralkohol (14.1)
2,32
0,29
Es, Sherbet, dan Shorbet (03.0)
2,09
0,17
Lain-lain
1,15
2.18
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
97
Kelompok minuman tidak beralkohol memberikan kontribusi terbesar pengkonsumsian siklamat setiap responden, yaitu sebesar 2,32 mg/kg BB per hari (21,09% ADI), sedangkan menurut peraturan GSFA adalah sebesar 0,29 mg/ kg BB per hari (2,6% ADI). Jenis produk memberikan kontribusi terbesar adalah produk minuman ringan karena produk lainnya seperti air putih, teh, dan kopi sudah tentu tidak mengandung siklamat. Anonim (2002) juga mengungkap minuman ringan merupakan minuman yang banyak mengandung pemanis buatan (siklamat) sebagai pengganti gula atau dapat berfungsi meningkatkan rasa manis dengan tetap menggunakan gula sebagai pemanis. Meskipun rata-rata konsumsi siklamat tiap responden dari hasil penelitian belum melampaui batasan ADI, tetapi penggunaan siklamat menurut peraturan nasional pada sub kategori ini perlu diperhatikan. Adanya peraturan nasional yang memperbolehkan penggunaan siklamat pada produk minuman ringan telah merangsang sebagian produsen minuman ringan untukmenggunakannya sebagai bahan pemanis selain gula atau dapat juga sebagai pelengkap gula dalam meningkatkan rasa manis (Anonima, 2003). Kelompok es, sherbet, dan shorbet memberikan konsumsi siklamat bagi responden sebesar 2,09 mg/kg BB per hari (19% ADI), sedangkan menurut peraturan GSFA adalah sebesar 0,17 mg/kg BB (3,4% ADI). Meskipun masih di bawah batas aman ADI namun produk-produk dalam sub kategori ini juga harus mendapatkan perhatian dalam penggunaannya karena sebagian besar produk dalam sub kategori ini merupakan pangan jajanan yang dihasilkan dari industri kecil atau produsen yang belum mengerti mengenai seluk beluk siklamat. Adanya penelitian oleh Anonim" (2003), dapat mendukung pernyataan ini bahwa produk-produk es sebagai pangan jajanan di sekitar lingkungan SD kecamatan Bogor temyata terdapat 52% sampel mengandung siklamat. 111.2.3.2 Kajian Paparan BTP Benzoat Berdasarkan Tabel 2, rata-rata tingkat konsumsi benzoat menurut peraturan nasional berkisar antara 0,63-1,20 mg/kg BB per hari (12,6-24% ADI) dengan tingkat pengkonsumsi tinggi sebesar 4,44 mg/kg BB per hari (88,89% ADI). Penelitian sebelumnya oleh Sarifudin (2004), pada kelompok yang sama, paparannya jauh di bawah batas aman ADI, yaitu 0,24-0,36 mg/kg BB per hari (5-7% ADI) dengan tingkat konsumsi tinggi sebesar 1,16 mg/kg BB per hari (23% ADI). Jika dibandingkan dengan penelitian Slamet (2004), pada kelompok usia yang sama, paparan benzoat yang dihasilkan mendekati hasil paparan penelitian ini, yaitu 3,7 mg/kg BB per hari (74% ADI). Ini menunjukkan penggunaan benzoat perlu mendapat perhatian karena berdasarkan kedua penelitian dihasilkan paparan benzoat yang hampir mencapai batas aman ADI.
98
Jurnalllmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
Menurut peraturan GSFA, rata-rata tingkat paparan benzoat telahmelampaui nilai ADI-nya, yaitu berkisar antara 6,12-6,28 mg/kg BB per hari (122,49-125,63% ADI) dengan tingkat pengkonsumsi tinggi sebesar 12,31 mg/kg BB (246,11% ADI). Tingkat kosumsi dan paparan benzoat menurut peraturan GSFA yang melebihi nilai ADI juga terjadi pada penelitian Sarifudin (2004) pada kajian paparan benzoat di kelompok anak-anak usia 6-12 tahun, yaitu dengan ratarata paparan benzoat serta tingkat pengkonsumsi tinggi berturut-turut adalah 5,4 mg/kg BB (108% ADI) dan 13,01 mg/kg BB per hari (260% ADI). Tingkat konsumsi dan paparan benzoat menurut peraturan GSFA temyata lebih tinggi dibandingkan menurut peraturan nasional. Hal ini disebabkan pada peraturan GSFA, batasan maksimum penggunaan benzoat yang diperbolehkan pada produk lebih tinggi dibandingkan batasan maksimum yang diperbolehkan peraturan nasional, contohnya pada produk saus dan sambal (sub kategori 12.6). Alasan lainnya adalah peraturan nasional yang melarang penggunaan benzoat pada beberapa jenis produk sedangkan peraturan GSFA memperbolehkannya, contoh produk pasta, mie (sub kategori 06.4). Sumber konsumsi pangan yang dapat memberikan kontribusi besar pengkonsumsian benzoat pada konsumsi pangan responden (Tabel 4), yaitu kelompok pasta, mie (sub kategori 06.4) dan kelompok minuman tidak beralkohol (sub kategori 14.1). Tabel 4. Sumber dan Rata-rata Konsumsi Benzoat Produk Menurut Peraturan Nasional dan Peraturan GSFA Berdasarkan Kategori Pangan GSFA Kategori Pangan GSFA
Rata-rata Konsumsi Benzoat Tiap Responden per Hari (mg/kg BB) Nasional
GSFA
Pasta, Mie dan Produk Sejenisnya (06.4)
0
1,97
Minuman Tidak Beralkohol (14.1)
0
0,96
Lain-lain
0,55
1,97
Kelompok pasta, mie dan produk sejenisnya memberikan kontribusi benzoat pada setiap responden sebesar 1,97 mg/kg BB per hari (39,4% ADI). Penelitian Sarifudin (2004) pada kelompok usia 6-12 tahun juga melaporkan sub kategori ini memberikan kontribusi benzoat terbesar diantara sub kategori lainnya, yaitu 23,37 mg/kg BB per hari untuk tiap responden (467,4% ADI). Rata-rata tingkat konsumsi benzoat pada setiap responden dari kelompok minuman tidak beralkohol adalah sebesar 0,96 mg/kg BB per hari (19,2% ADI). Meskipun masih belum melampaui batasan nilai ADI, produk minuman perlu
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
99
juga mendapatkan perhatian dalam penggunaan benzoat sebagai BTP karena produk minuman terutama pada jenis minuman sari buah ataupun minuman berperisa banyak menggunakan benzoat sebagai bahan pengawetnya, sedangkan produk air mineral atau air alami tidak mengandung benzoat. Salah satu alasan utama penggunaan benzoat dalam produk minuman adalah dikarenakan produk minuman sebagian besar terdiri dari air. Air merupakan suatu komponen penting yang dapat menjadi nutrien mikroorganisme dalam produk minuman, terlebih lagi jika produk minuman tersebut adalah sari buah atau produk minuman lain yang dapat memberikan nutrien lain seperti misalnya adanya gula yang dapat memberi kesempatan bagi pertuimbuhan khamir. Jadi, penggunaan benzoat oleh produsen minuman dianggap penting untuk memperpanjang masa simpan produk. 111.2.3.3 Manfaat Kajian Paparan BTP Sfklamat dan Benzoat Tabel 2 memperlihatkan bahwa adanya tingkat paparan dari BTP siklamat dan benzoat menyebabkan perkiraan risiko yang meliputi peluang sakit pada suatu populasi, atau disebut dengan karakterisasi risiko, dapat diketahui. Semakintinggi paparan maka peluang suatu populasi pada penyakit atau suatu hal yang berdampak buruk terhadap kesehatan populasi tersebut semakin besar. Terlebih lagi jika paparan BTP benzoat dan siklamat yang melebihi batas aman nilai ADI. Menurut peraturan nasional, BTP siklamat menghasilkan tingkat paparan melampaui batas aman ADI pada pengkonsumsi tingginya. Perhatian pemerintah terhadap hal ini sebenarnya sudah terwujud dengan adanya peraturan SNI-01-6993-2004 tentang BTP pemanis buatan yang pada akhir tahun 2004 baru saja dikeluarkan akibat adanya laporan Slamet (2004) yang juga mengungkap paparan siklamat melampaui batas aman ADI, yaitu sebesar 240% ADI. Namun, peraturan SNI ini perlu dikaji lebih lanjut guna mengetahui tingkat paparan siklamat apakah masih melebihi nilai batas aman ADI atau tidak. Oleh karena itu, diperlukan adanya perbaikan pada perangkat lunak {software) FACNEA untuk memasukan data perkiraan (estimasi) tingkat penggunaan BTP siklamat berdasarkan peraturan SNI tersebut. Tabel 4 juga memperlihatkan tingkat paparan yang melebihi batas aman konsumsi (nilai ADI) adalah pada BTP benzoat berdasarkan peraturan GSFA. Tingginya paparan benzoat menurut peraturan GSFA yang melampaui nilai ADI ini merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian, khususnya bagi negara Indonesia sendiri karena peraturan GSFA merupakan acuan bagi peraturan nasional, namun peraturan GSFA yang merupakan standar umum setiap negara di dunia dalam hal BTP ini tidak selamanya sesuai untuk suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan berhati-hati dalam melakukan harmonisasi peraturan nasional terhadap GSFA terutama pada BTP benzoat. 100
Jumal "mu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
Adanya alasan tersebut menyebabkan Indonesia berhak mengambil tindakan agar paparan benzoat berdasarkan peraturan GSFA di negaranya tidak melampaui batas konsumsi aman ADI. Tindakan tersebut berupa usulan perubahan peraturan GSFA yang dapat dikomunikasikan pada pertemuanpertemuan Codex sehingga diharapkan Codex mengubah peraturannya. Peraturan GSFA bukan merupakan peraturan yang mutlak sehingga dapat dilakukan perubahan, tetapi dalam perubahannya dibutuhkan kajian-kajian paparan yang menjadi bukti bahwa peraturan tersebut memerlukan perbaikan. Jadi, semakin banyak penelitian mengenai kajian paparan maka akan semakin mempermudah pelaksanaan manajemen risiko dan komunikasi risiko dalam meminimalkan paparan BTP terutama benzoat. Indonesia juga mempunyai hak untuk menetapkan peraturan bagi negaranya sendiri agar tingkat paparan BTP tidak melampaui nilai ADI. Oleh karena itu, manajemen risiko atau tindakan yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia adalah mengevaluasi atau memperketat peraturan nasional dalam pemberian batas maksimum penggunan BTP benzoat khususnya pada produk-produk pangan yang dapat mengkontribusikan BTP benzoat bagi konsumsennya. Selain mengevaluasi peraturan, kegiatan manajemen risiko yang dapat dilakukan secara nyata oleh adanya hasil dari penelitian ini diantaranya kegiatan yang mencakup pengambilan keputusan untuk melaksanakan sosialisasi peraturan BTP siklamat dan benzoat kepada produsen-produsen produk pangan yang pada produknya banyak memberikan kontribusi BTP siklamat dan benzoat. Contohnya, pada produk minuman ringan yang dapat memberikan kontribusi besar dalam pengkonsumsian BTP siklamat dan benzoat, produk es, sherbet, dan shorbet yang banyak mengkontribusikan BTP siklamat, serta produk pasta dan mie yang dapat memberikan kontribusi terbesar BTP benzoat. Kegiatan manajemen risiko lainnya yang dapat dilakukan dalam usaha meminimalkan paparan BTP siklamat dan benzoat pada kelompok anak usia SD adalah pengawasan pangan dari pihak terkait (misalnya Badan POM) teitiadap sejumlah produk pangan yang beredar secara berkala baik pada saat hasil tingkat paparan BTP siklamat dan benzoat mendekati batas aman nilai ADI maupun melebihi nilai ADI. Ini untuk mewaspadai semakin meningkatnya paparan BTP siklamat dan benzoat anak SD karena produk pangan yang memberikan kontribusi terbesar BTP siklamat dan benzoat biasanya dikonsumsi anak usia SD. Manajemen risiko dapat berhasil jika terdapat komunikasi risiko tentang BTP siklamat dan benzoat, yaitu pertukaran informasi dan pendapat secara interaktif antara pengkaji risiko BTP siklamat dan benzoat dengan manajer risiko (Badan POM, 2001). Upaya lain, dengan melaksanakan komunikasi dan
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005
101
sosialisasi pada tahap pembuatan hingga dikeluarkannya peraturan. Tantangan utama dalam pelaksanaan komunikasi adalah terhadap industri rumah tangga yang sering dilaporkan melanggar peraturan. Pelanggaran tersebut terjadi karena ketidakpedulian dan ketidaktahuan produsen. Ketidaktahuan produsen mengenai peraturan BTP yang seringkali terjadi adalah penggunaan siklamat berlebih sebagai peningkat rasa manis dan penggunaan siklamat sebagai pemanis terutama pada produk pangan non diet. Selain itu, komunikasi risiko yang dapat dilakukan, memberikan penyuluhan kepada konsumen yang biasanya dapat dilakukan pada orang dewasa. Bagi konsumen dari kelompok usia anak SD diharapkan peranan orang tua memberikan penjelasan dan pengetahuan bahaya BTP siklamat dan benzoat terhadap kesehatan tubuh serta mengenai bahan pangan yang dapat memberikan kontribusi pengkonsumsian BTP tersebut dengan tujuan konsumen khususnya anak usia SD yang seringkali terpapar bahaya BTP siklamat dan benzoat dapat seminimal mungkin sehingga dapat meminimalkan tingkat risiko konsumen. IV. KESIMPULAN Tingkat paparan siklamat pada level nasional adalah sebesar 6,47-7,61 mg/kg BB per hari (58,83-69,21% ADI) dengan tingkat konsumsi tingi sebesar 27,78 mg/kg BB per hari (252,53% ADI). Tingkat paparan siklamat pada level GSFA sebesar 3,17-3,43 mg/kg BB per hari (28,80-31,13% ADI) dengan tingkat konsumsi tinggi sebesar 7,13 mg/kg BB per hari (64,77% ADI). Sumber produk pangan yang dapat memberikan kontribusi siklamat terbesar adalah pada sub kategori 14.1 (minuman tidak beralkohol), dan 03.0 (es, sherbet dan shorbet). Tingkat konsumsi benzoat pada level nasional adalah berkisar antara 0,63-1,20 mg/kg BB per hari (12,58-24% ADI) dengan tingkat konsumsi tinggi adalah sebesar 4,44 mg/kg BB per hari (88,89% ADI). Pada level GSFA tingkat konsumsi dan paparan benzoat berkisar antara 6,12-6,28 mg/kg BB per hari (122,49-125,63% ADI) dengan tingkat konsumsi tinggi sebesar 12,31 mg/kg BB (246,11% ADI). Produk pangan yang dapat menjadi sumber kontribusi benzoat adalah pada sub kategori 06.4 (produk pasta, mie, dan sejenisnya), dan 14.1 (minuman tidak beralkohol).
102
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar llmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Anonim. 2002. Diakses pada tanggal 30 April 2004. Menyimak Kandungan Sofdrink (KOMPAS). http://ver1 .mahkotadewa.com/INFOACTUAL/ Menyimak%20kandungan%20softdrink.htm Anonim3. 2003. Diakses pada tanggal 17 Agustus 2004. Ancaman di Balik Jajanan Anak-anak. http://cyberwoman.cbn.net.id/detil.asp?kategori= Mother&newsno=629 Anonimb. 2003. Diakses pada tanggal 17 Agustus 2004. Mengoptimalkan Gizi Jajanan Pasar. http://cyberwoman.cbn.net.id/detil.asp?kategori=Moth er&newsno=626 Anonim.2005. Diakses padatanggal8Januari2005.Samp//ng.http://67.102.7.103/ search?q=cache:PzB5S3AchAAJ:telaga.cs.ui.ac.id/WebKuliah/ MetodologiPenelitian/Sampling.ppt+jumlah%2Bsampel%2Bpada%2Bpo pulasi&hl=en Badan POM. 2001. Prinsip-prinsip Analisis Risiko. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Deputi Bidang Pengawasan Pangan dan Bahan Berbahaya. Jakarta. Ershoff, B. M. 1972. Coperative Effect of Purified Diet and Stock Ration on Sodium Cyclamate in Rats. Experimental Biology and Medicine. 141 (1980): 857-862. EU Scientific Co-operation. 1998. Report from the Commision on Dietary Food Additive Intake in the European Union. EU Scientific Co-operation. European. Sarifudin, A. 2004. Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan Berdasarkan Data Konsumsi Pangan Individu di Kabupaten Bogor. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sinaga, S. M. 1993. Analisa Zat Tambahan Makanan (Food Additives) dan Cemaran Mikroba Pada Makanan Jajanan Anak-anak Sekolah Dasar di Kotamadya Medan. Skripsi. Universitas Sum-Ut. Medan. Slamet, R. 2004. Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan dan Bahan Berbahaya dengan Metode Total Diet Study. Tesis Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Program Pasca Sarjana-llmu Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jumal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, Oktober 2005
103
Sparringa, R. A, dan K. Suhariyanto. 2002. Surveilan Keamanan Pangan Pada Rantai Produksi Pangan. Dalam: Rahayu, W. P., R. A. Sparringa, R. D. Haryadi, dan H. Wibisono (ed). Surveilan Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Badan POM. Jakarta. Sukandarrumidi. 2002. Metodologi Penelitian, Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
104
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3, No. 2, 0ktober2005