KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL)
YETVI ROSALITA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009 Yetvi Rosalita NRP E251070041
ABSTRACT YETVI ROSALITA. Study of Optimizing Laminated Bamboo Dowel Connection on Laminated Veneer Lumber (LVL) Stucture). Under the direction of NARESWORO NUGROHO and BAMBANG SUBIYANTO.
In building structure design, connection is one of concerning matter that can’t be neglected. The objective of the research is to optimize the connection design on LVL structure using bamboo dowel as fastener. Type of bamboo used to make dowel were Sembilang (Dendrocalamus giganteus) and Betung (Dendrocalamus asper) with specific gravity more than 0,6. Sembilang and Betung have similar properties, more over the properties of bamboo dowel produced by both type of bamboo is the same. The best properties of LVL was LVL A which composed of rubber wood veneer and glued with PF adhesive. That LVL was utilized as structure component to be connected with the bamboo dowel. Connection design was utilizing the Mode III from Eurocode 5, which has the lowest value also indicate the most critical mode. From mathematical calculation, to substitute bolt with 10 mm of diameter, 4 bamboo dowels with 15 mm of diameter or 8 bamboo dowels with 10 mm of diameter are needed. Based on that calculation, number of dowel used in this research were 4, 6 and 8. Those calculation was proven by compression testing on proportional limit load (Pp) point. Different strength was also observed in the case of multiple dowels versus single dowel. Dowels with diameter of 10 mm has 37-55% reduction value, and dowels with diameter of 15 mm has 17-46% reduction value campared to a single dowel. There were 45-75% increased of strength at yield load, Py poin,t than at ultimate load, Pu point. Keywords : bolt, connection, laminated bamboo dowel, laminated veneer lumber
RINGKASAN YETVI ROSALITA. Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL). Dibimbing oleh NARESWORO NUGROHO dan BAMBANG SUBIYANTO. Kekuatan pada struktur bangunan merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam perancangan suatu konstruksi. Simpul atau sambungan dalam struktur merupakan titik kritis yang mempengaruhi kekuatan. Sambungan pada umumnya menggunakan konektor paku atau baut, yang tentunya mempunyai kelebihan serta kekurangan. Fakta memperlihatkan bahwa bangunan kuno dengan konstruksi kayu yang menggunakan pasak sebagai konektor masih berdiri kokoh meski telah berusia puluhan tahun. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan sehingga pasak berbahan hayati yang terbarukan dapat digunakan sebagai pilihan. Kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan yang dapat menggantikan kayu sebagai bahan baku pasak. Beberapa jenis bambu mempunyai potensi sebagai pengganti kayu, meskipun tidak dipungkiri bambu mempunyai banyak kelemahan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan. Bambu Betung dan Sembilang dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi karena kekuatan cukup tinggi dan kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja. Selain memperhatikan alat sambungnya, maka material/bahan struktur yang disambung merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi adalah Laminated Veneer Lumber (LVL). LVL dapat diproduksi dari kayu cepat tumbuh dengan diameter kecil serta kualitas yang rendah, tetapi dapat menghasilkan produk dengan kekuatan mekanis yang setara dengan kayu utuh. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan desain sambungan yang optimal pada struktur LVL yang menggunakan pasak bambu sebagai konektornya berdasarkan variasi diameter dan jumlah pasak dalam menahan gaya tekan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk pasak menggunankan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang mempunyai umur lebih dari 3 (tiga) tahun yang diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. Dinding batang bambu yang digunakan mempunyai berat jenis (BJ) diatas 0.6. Perekat yang digunakan untuk pembuatan pasak bambu laminasi adalah Polyurethan merek KOYO BOND dengan berat labur 280 g/m2 produksi PT. KOYOLEM INDONESIA, Gunung Putri Bogor. LVL yang digunakan merupakan hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) dengan lokasi di Balaraja, Serang, Banten dengan tiga (3) komposisi yaitu LVL A mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF, LVL B mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF, LVL C mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF. Hasil penelitian yang didapat adalah karakteristik bambu, karakteristik LVL, karakteristik pasak bambu laminasi, perhitungan desain sambungan serta hasil pengujian mekanik sambungan. Karakteristik bambu nilai BJ lebih besar dari
0.6 diperoleh pada setiap sebaran titik pengujian pada ± 6 lapisan atau ± 6 mm dari dinding bambu yang terluar baik bambu Betung maupun Sembilang. Sifat fisik dan mekanis bambu Betung dan Sembilang mempunyai kemiripan sehingga pada saat dijadikan produk komposit yaitu pasak bambu mempunyai propertis yang hampir sama. LVL yang mempunyai propertis terbaik adalah LVL A, yaitu yang disusun oleh venir kayu karet dengan perekat PF sehingga LVL A inilah yang dipilih dalam simulasi sambungan. Perencanaan sambungan dengan pendekatan Eurocode 5, dan model III mempunyai nilai paling rendah sehingga mengindikasikan model yang paling kritis. Hasil perthitungan menghasilkan n = 4 dan n = 8 untuk pasak diameter 15 mm dan 10 mm yang dapat mensubtitusi baut 10 mm. Sehingga jumlah pasak yang digunakan untuk variabel adalah 4, 6 dan 8. Hasil pendekatan matematis ini telah dibuktikan tren hasil pengujian tekan dengan memperhatikan titik Pp. Penambahan pasak dalam dalam sambungan telah mereduksi kekuatannya pada saat pemakaian tunggal. Pasak dengan diameter 10 mm mempunyai nilai reduksi antara 37 – 55% , sedangkan reduksi untuk pasak diameter 15 berkisar antara 17 – 46%. Kekuatan yang diperoleh pada saat Py apabila dibandingkan oleh Pu meningkat dengan kisaran 45 – 75%.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL)
YETVI ROSALITA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo., MSF, PhD
Judul Tesis
:
KAJIAN OPTIMASI SAMBUNGAN PASAK BAMBU LAMINASI PADA STRUKTUR LAMINATED VENEER LUMBER (LVL)
Nama
:
Yetvi Rosalita
NRP
:
E251070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Ketua
Prof(R). Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 21 Agustus 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Kajian Optimasi Sambungan Pasak Bambu Laminasi Pada Struktur Laminated Veneer Lumber (LVL)” dapat diselesaikan antara lain berkat bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Prof (R). Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Agr sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing, memberikan masukan dan saran yang terkait dengan penelitian ini, serta semangat guna terselesaikannya tesis ini. Bapak Prof.(Emrt) Ir. Surjono Surjokusumo., MSF, PhD sebagai penguji luar komisi dan Dr.Ir. Lina Karlinasari, S.Hut.M.Sc.F selaku moderator sidang tesis yang juga memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini. 2. PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) dan PT. KOYOLEM INDONESIA dimana telah membantu penyediaan LVL dan perekat Polyurethan yang digunakan pada penelitian ini. Pusat Litbang Permukiman(Puslitbangkim), Badan Litbang PU, Bandung, khususnya ditujukan kepada Ibu Dr. Ir Anita Firmati selaku Ka. Puslitbangkim dan sodara Dani Cahyadi serta staf Laboratorium Bahan Puslitbangkim yang telah memberikan batuan fasilitas pengujian mekanik sambungan. Kebun Raya Bogor, khususnya Bapak Jati beserta staff yang telah membantu penyediaan bambu. 3. Seluruh keluarga besar UPT BPP Biomaterial LIPI atas dukungan, khususnya Team Workshop, Teguh Darmawan, Bang Jayadi, Pak Saefulloh, Ismadi, Ismail, Pak Sapri, Pak Endis, Bang Manto, Fazar, yang memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. Rekan-rekan di Laboratorium Konstruksi yang telah memberikan semangat. 4. Antech’07, terima kasih atas kebersamaan, dorongan dan bantuannya selama perkuliahan, penelitian dan penyelesaian tesis ini. Serta seluruh sahabat penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas semangat dan doanya. 5. Ibu Indah Sulistyawati dan Bapak Sucahyo yang telah menyediakan waktu serta pemikirannya guna berdiskusi dengan penulis tentang hal yang terkait dengan penelitian penulis demi terselesaikannya tesis ini. 6. Ayahanda H. Sunarto Sapto Admodjo, Ibunda Hj. Soedarmiati, Ibu Mertua Hj. Sutriatin, terima kasih setulus hati penulis ucapkan atas segenap dukungan baik moril dan spiritual, doa yang tiada putusnya. Seluruh kakak-kakak, ponakan-ponakan atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. 7. Suami Finisha Sistin Hardanto, ananda Khansa dan Radith tercinta, terima kasih atas doa, kasih sayang, pengorbanan dan dukungannya selama penulis menjalani studi dan melaksanakan penelitian. Keberadaan mereka merupakan anugerah terindah serta pemberi semangat terbesar dalam kehidupan penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nganjuk pada tanggal 14 Oktober 1973, dari pasangan yang berbahagia ayahanda H. Sunarto Sapto Admodjo dan Ibunda Hj. Soedarmiati. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sarjana sejak tahun 1991 di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Malang dan lulus pada tanggal 14 September 1996. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, penulis telah berkesempatan mempunyai beberapa pengalaman bekerja yaitu sebagai staff Unit Pelaksana Proyek IPB tahun 1996-1997, sebagai Dosen Tidak Tetap, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pakuan tahun 1996 – 2001, sebagai staff Research and Development PT Jaya Konstruksi tahun 1997 – 1998, sebagai staff peneliti Pusat Standar Dan Sistem Mutu LIPI tahun 1998 – 2003, dan yang terakhir sebagai staff peneliti UPT BPP Biomaterial LIPI mulai tahun 2003 – Sekarang. Sejak tahun 2003 penulis berkesempatan bergabung menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Pada tanggal 14 Oktober 2001 penulis menikah dengan Finisha Sistin Hardanto dan telah dikarunia satu putri dengan nama Kynthia Khansa Assyafi, 7 tahun dan satu putra dengan nama Radithya Rizqulloh Assyafi, 5 tahun.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………...
xiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….
x iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………….…
1
Perumusan Masalah ……………….……………………………
4
Kerangka Pemikiran …………………………………….………
4
Tujuan Penelitian ………………….……………………….........
5
Manfaat Penelitian ………………….………………..………….
5
Hipotesis ……………………….………………………………..
6
TINJAUAN PUSTAKA Struktur Sambungan …………………..…………….…...….......
7
Risalah Bambu ……………………………..………..………….
8
Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) ………………….…………………………..………...
14
Bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro) ……………………………………………………….. Laminated Veneer Lumber (LVL)
……………..……………….
16 18
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu
………..…………………………………...
21
Bahan dan Alat …………………………………………………
21
Metodologi Penelitian ……………………………………..…...
22
Persiapan bahan ……………………………………....……...
22
Pengujian sifat fisik mekanik bahan ……………..……………
22
Pembuatan pasak bambu ……………………..……………….
29
Pengujian pasak bambu ………………………………………
30
Perencanaan desain sambungan .………………………………
32
Pengujian mekanik sambungan ………………………………
34
Analisis Statistika ……………………………………………….
34
Diagram Penelitian ………...………………...…………………
37
xii
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bambu ……………………………………………....
38
Kadar Air (KA) dan Berat Jenis (BJ) …………………………..
38
Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR)
42
Struktur Anatomi ………………………………………………
46
Karakteristik LVL …………………………………………………
49
Kadar Air (KA) dan Kerapatan ……….………………………
49
Delaminasi …………………………………………………….
50
Geser Horisontal ………………………………………………
51
Modulus of Rupture (MOR) …………………………………..
52
Modulus of Elasticity (MOE) …………………………………
54
Emisi Formaldehide …………………………………………..
56
Karakteristik Pasak Bambu Laminasi .……………………………
57
Kadar Air (KA) dan Kerapatan ……….………………………
57
Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR)
59
Kembang Susut ………………………………………………..
61
Perhitungan Desain Sambungan ………………………………….
63
Pengujian Sambungan Pasak Bambu …………………………….
64
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………………………………………………………….
72
Saran ……………………………………………………………...
72
DAFTAR PUSTAKA ………………..…………………………………
74
LAMPIRAN …………………………………………………………….
79
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Nilai rata-rata berat jenis (BJ) dan kadar air (KA) bambu …………
38
2.
Jumlah ikatan vaskuler pada setiap lokasi pengujian ………………..
39
3.
Dimensi serat pda bambu Betung dan Sembilang ……..…………….
47
4.
Nilai kadar air dan kerapatan dari 3 jenis LVL ……………………...
49
5.
Syarat mutu produk-produk kayu lapis, papan partikel, papan serat, dan LVL ……………………………………………………………..
56
Nilai Pvalue dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian KA dan kerapatan ……………………………………………………………..
59
Nilai Pvalue dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian MOE dan MOR …..……………………………………………………………..
61
Nilai Pvalue dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian kembang dan susut ………………………………………………………………….
62
Hasil pengujian embedding Strength dan Bending 4 Point loading …
63
10. Hasil perhitungan empat model kerusakan …………………………..
63
6.
7.
8.
9.
11.
Nilai Pvalue dari sidik ragam dengan ANOVA pengujian tekan sambungan di tiga titik dari analisis …………………………………………………….
69
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Diagram tegangan regangan bambu baja (Morisco 1999) ……….….
3
2.
Tunas/rebung dari bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) (kiri) dan ujung-ujung akar yang masih muda (kanan) ……………………………………………………………...
15
Satu rumpun bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) dengan usia lebih dari 10 tahun ………………………………..
15
Pertunasan Bambu Sembilang(Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro) (kiri) dan rumpun yang sudah dewasa (kanan) ……………
18
5.
Pembebanan pengujian MOR dan MOE ..........................................
24
6.
Posisi benda uji LVL Tegak (kanan) dan benda uji Datar (kiri) …..
26
7.
Pengujian MOR dan MOE dengan dua titik pembebanan .................
27
8.
a. Botol WKI; b.Shaking Water bath ……………………………….
28
9.
Lembaran papan laminasi bambu, yang terdiri dari 4 lapis vinir bambu dengan tebal masing-masing 3 mm (untuk pasak 10 mm) .....
29
10.
Pemotongan laminasi bambu sejajar serat dengan lebar 15-18 mm ..
30
11.
Pembubutan pasak sesuai diameter dan dipotong sesuai kebutuhan ...
30
12.
Pengujian yield moment dengan dua titik pembebanan …………….
31
13.
Pengujian Embedding strength ……………………………………....
32
14.
Model (mode) kerusakan pada sambungan tipe pasak/baut pada dua dinding geser ………………………………………………………..
32
15.
Pengujian tekan sambungan dengan UTM dan data logger …………
34
16
Diagram sebaran proporsi ikatan vaskuler (dalam%) ……………....
38
17.
Diagram sebaran BJ bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang
40
18.
Diagram sebaran BJ bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu
3. 4.
batang ………………………………………………………………..
41
xv
19.
Diagram sebaran MOE bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang …………………………………………………......................
20.
43
Diagram sebaran MOE bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu batang ………………………………………………………………..
43
21.
Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Betung …...............
44
22.
Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Sembilang .............
44
23.
Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Betung …...................
45
24.
Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Sembilang ..................
45
25.
Sebaran MR pada bambu Betung dan Sembilang dengan BJ lebih besar dari 0,5 ………………………………………………………...
46
26.
Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian atas …………
48
27.
Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian tengah ………
48
28.
Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian bawah ..………
48
29.
Histogram pengujian delaminasi pada 3 jenis LVL …………………
51
30.
Histogram pengujian geser horizontal pada 3 jenis LVL ……………
51
31.
Histogram pengujian MOR pada 3 jenis LVL ………………………
53
32.
Histogram pengujian MOE pada 3 jenis LVL ………….……………
54
33.
Pola kerusakan pada pengujia bending dari 3 jenis LVL ……………
55
34.
Hasil pengujian kadar air pasak bambu ……………………………...
58
35.
Hasil pengujian kerapatan pasak bambu …………………………….
58
36.
Hasil pengujian MOR pasak bambu ……………….………………...
59
37.
Hasil pengujian MOE pasak bambu ………………………………....
60
38.
Hasil pengujian kembang susut pasak bambu ……………………….
62
xvi
39.
Desain sambungan …………………………………………………...
64
40.
Klasifikasi pola hasil pengujian tekan sambungan …………………..
65
41.
Hasil pengujian tekan sambungan dalam pengamatan tiga titik pembebanan ………………………………………………………….
42.
66
Grafik hubungan defleksi/sesaran terhadap beban, ada pengujian tekan sambungan …………………………………………………….
67
43
Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian bending ..
69
44
Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian Embedding Strength ………………………………………………… .
45
70
Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian tekan sambungan …………………………………………………………...
71
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kekuatan pada suatu struktur bangunan merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam merancang suatu konstruksi, baik konstruksi yang terbuat dari kayu, beton, baja maupun material bangunan yang lain. Simpul-simpul atau biasa disebut sambungan dalam struktur merupakan suatu yang kritis yang mempengaruhi kekuatan. Sambungan pada umumnya menggunakan konektor seperti paku maupun baut. Sambungan yang menggunakan konektor berbahan logam mempunyai kelebihan serta kekurangan. Yap (1964) mengemukakan bahwa kekakuan sambungan-sambungan paku dan pasak tidak mencapai kekakuan yang tinggi seperti sambungan perekat yang mempunyai efisiensi 100% sebagaimana kayu tanpa sambungan. Penggunaan alat-alat sambung lainnya seperti pasak, paku dan baut mempunyai efisiensi masing-masing sebesar 60%, 50% dan 30%.
Ghavami dalam Lindholm (2007) telah membandingkan
konstruksi bambu dengan baja menunjukkan bahwa pada konstruksi baja membutuhkan energi lebih 50 kali dibandingkan bambu. Bambu merupakan suatu alternatif yang bagus untuk mengantikan baja dalam menerima beban tarik. Hal ini berkaitan bahwa bambu mempunyai 6 kali lebih tinggi dari hasil bagi antara gaya tarik dan berat jenis (BJ) dibanding baja. Pada saat kelembaban meningkat maka sifat fisik dan mekanik juga ikut meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut bambu merupakan sumber daya yang ramah lingkungan Fakta memperlihatkan bahwa bangunan kuno yang mempunyai konstruksi kayu dengan menggunakan konektor pasak masih berdiri kokoh meskipun telah berusia puluhan tahun. Melihat hal tersebut teknologi yang menghasilkan konektor pasak terus dikembangkan, karena tegangan-tegangan sekundernya lebih rendah. Pasak menurut Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI) (1961) harus menggunakan bahan kayu yang keras, besi atau baja. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan sehingga pasak berbahan hayati yang terbarukan dapat digunakan sebagai pilihan. Namun demikian, kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun dengan berjalannya waktu, sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan yang dapat menggantikan kayu
2
tersebut sebagai bahan pasak. Penggunaan pasak berbahan kayu mempunyai manfaat yaitu konsumsi energi yang rendah dan aman terhadap kondensasi dibanding berbahan logam (Fukuyama, 2008) Bambu merupakan sumber hayati yang sangat melimpah, dan mudah hidup di segala jenis lahan sehingga keberadaannya sangat mudah kita temui. Beberapa jenis bambu mempunyai potensi sebagai pengganti kayu, meskipun tidak dipungkiri bambu mempunyai banyak kelemahan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan, baik komponen dekoratif maupun struktur. Menurut hasil penelitian Syafi’i (1984) bahwa bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) mempunyai Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity (MOE) tertinggi dibanding Gombong, Kuning dan Tali, dengan nilai 1 824 kg/cm2 dan 1 638 kg/cm2 untuk MOE serta 143.21 kg/cm2 dan 131.19 kg/cm2 untuk nilai MOR. Data tersebut menunjukkan bahwa sangat potensial untuk dikembangkan sebagai komponen bahan bangunan. Nuriyatin (2000) telah melakukan penelitian sifat dasar bambu 5 jenis bambu yaitu Andong (Gigantochloa psedoarundinacea), Temen (Gigantochloa atter), Hitam (Gigantochloa atroviolacea), Tali (Gigantochloa apus), dan Betung (Dendrocalamus asper). Hasil penelitian tersebut menunjukkan keteguhan tekan dan kekakuan bambu Betung mempunyai nilai paling tinggi dibanding keempat jenis bambu lainnya, yaitu 206.68 kg/cm2 dan 18.7 x 104 kg/cm2. Berdasarkan sifat mekanis yang dipunyai, maka bambu Betung dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi, tetapi yang harus tetap diperhatikan adalah nilai BJ yang tercermin oleh persentase dan distribusi sklerenkim sebagai karakteristik sifat dasarnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa bambu-bambu mempunyai kekuatan cukup tinggi, sehingga kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pemanfaatan bambu sebagai pasak atau komponen struktur yaitu pengganti besi atau baja. Subiyanto et al. (2004) telah melakukan penelitian pembuatan pasak dari bambu Betung, Tali dan Gombong dengan menganalisa kekuatan pasak yang dipengaruhi sifat mekanis bambu penyusunnya. Pasak yang terbuat dari bambu Betung mempunyai keteguhan patah tertinggi, dibandingkan bambu Tali dan bambu Gombong.
3
Morisco
dalam
Taurista
(2005)
telah
melakukan
penelitian
dengan
membandingkan tulangan beton dengan baja dengan tulangan bambu. Hasilnya menunjukkan bahwa kuat tarik kulit bambu Ori mempunyai nilai cukup tinggi hampir mencapai 5000 kg/cm2, sedangkan kuat tarik rata-rata bambu Betung juga melebihi tegangan luluh baja. Hal ini digambarkan pada Gambar 1 dibawah.
Gambar 1 Diagram tegangan regangan bambu baja (Morisco 1999). Morisco dalam Helmy, 2009 menyatakan bahwa sebatang bambu dewasa berumur 3-5 tahun memiliki kekuatan tarik hingga 480 MPa (Mega Pascal—satuan tegangan tarik). Hasil itu lebih tinggi dibandingkan baja yang hanya memiliki kekuatan tarik 370 MPa. Selain memperhatikan alat sambungnya, maka material/bahan struktur yang disambung merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi adalah Laminated Veneer Lumber (LVL). Dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, LVL mempunyai nilai lebih, antara lain meliputi ukuran panjang end-less, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi (Bakar 1996). LVL dapat diproduksi dari kayu cepat tumbuh dengan diameter kecil serta kualitas yang rendah, tetapi dapat menghasilkan produk dengan kekuatan mekanis yang setara dengan kayu utuh. Dalam penelitian ini telah digunakan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) sebagai bahan pasak
4
dengan variasi ukuran dan jumlah pemakaian. LVL sebagai material yang disambung tersusun dari bahan baku yang berasal dari kayu cepat tumbuh (kayu Karet dan Sengon) hasil dari hutan tanaman, sedangkan perekat yang digunakan adalah PF (Phenol Formaldehyde) dan MUF (Melamine Urea Formaldehyde) yang mempunyai kelebihan tahan terhadap air.
Perumusan Masalah Keberadaan kayu dengan kualitas dan kuantitas yang memadai untuk pemakaian struktur semakin berkurang, sehingga teknologi peningkatan kayu terus dikembangkan guna menghasilkan kayu olahan yang dapat mensubstitusi kebutuhan akan kayu utuh. Pemanfaatan kayu cepat tumbuh dengan diameter kecil sangat efektif sebagai bahan baku pembuatan LVL. Kekuatan struktur sangat dipengaruhi oleh kondisi sambungan selain dari material strukturnya itu sendiri. Keberadaan alat penyambung berbahan logam dengan mudah dapat ditemui di pasaran, tetapi tidak dipungkiri konektor logam ini mempunyai kelebihan serta kekurangan. Logam merupakan bahan yang tidak terbarukan, sehingga perlu dicari alternatif bahan konektor yang terbarukan guna mengeliminir kekurangannya. Bambu mempunyai kekuatan tarik yang tinggi, sehingga dapat dijadikan bahan baku alternatif dalam pembuatan konektor (pasak). Namun demikian masih diperlukan penelitian untuk mendapatkan pasak bambu yang mempunyai sifat sebanding dengan konektor logam (baut). Penelitian ini diharapkan dapat mencari optimasi sambungan yang menggunakan
pasak
sehingga
dapat
diaplikasi
pada
konstruksi
yang
menggunakan LVL. Sasaran dari penelitan ini adalah mendapatkan desain sambungan struktur terbarukan dengan menggunakan pasak pada LVL sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (2002).
Kerangka Pemikiran Menurut SNI 01-6240-2000, LVL adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun sejajar serat lembaran vinir yang diikat dengan perekat. Berdasarkan penggunaannya LVL dibagi menjadi dua tipe yaitu LVL non struktural dan LVL struktural. LVL struktural adalah yang dalam penggunaannya
5
memikul beban dan tebalnya minimal 25 mm. LVL inilah yang dapat menggantikan kayu utuh hasil gergajian. Penggunaan LVL memerlukan teknologi sambungan yang sesuai sehingga menghasilkan struktur yang kuat. Konektor (fastener) logam seperti besi dan baja telah banyak digunakan pada konstruksi bangunan kayu modern yang mudah didapat dipasaran dan dengan harga yang murah. Namun sebagai bahan tambang, logam dihasilkan dari sumber yang non-renewable. Salah satu cara mengurangi ketergantungan terhadap besi dan baja adalah beralih ke bahan yang lebih terjamin ketersediaannya (Surjokusumo 2003). Penggunaan bahan yang renewable seperti kayu dan bambu sebagai bahan bangunan alternatif merupakan pilihan yang bijak. Penggunaan sambungan dengan pasak bambu mempunyai defleksi paling besar pada saat beban maksimum dibanding sambungan dengan baut dan paku, hal ini menunjukkan bahwa tingkat keselamatan sambungan dengan bambu lebih baik karena membutuhkan waktu yang lebih lama mengalami kerusakan (Subiyanto 2004). Menurut Morisko (2006), bambu mempunyai kekuatan yang cukup tinggi, kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja. Sekalipun demikian kekuatan bambu yang tinggi ini belum dimanfaatkan dengan baik karena biasanya batang-batang struktur bambu dirangkaikan dengan pasak atau tali yang kekuatan lebih rendah. Penelitian mengenai LVL dengan alat sambung
pasak perlu terus
dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian aplikasi teknologi yang menggunakan LVL dari kayu tropis sebagai komponen struktur serta pasak bambu sebagai konektornya dengan desain sambungan tertentu.
Tujuan Penelitian Mendapatkan desain sambungan yang optimal pada struktur LVL dan menganalisis konektor pasak yang terbuat dari bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) berdasarkan variasi diameter dan banyaknya pasak dalam menahan gaya tekan.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi teknis tentang teknologi sambungan struktur LVL dengan konektor pasak bambu.
6
Hipotesis Penggunaan pasak bambu laminasi dengan jumlah dan diameter tertentu diduga dapat menghasilkan kekuatan mekanis sambungan pada LVL sebanding dengan kekuatan sambungan pada kayu utuh dengan sebuah baut diameter 10 mm sebagai alat penyambung.
7
TINJAUAN PUSTAKA Struktur Sambungan Sambungan merupakan suatu yang tidak bisa terelakkan pada saat kita membangun suatu konstruksi, baik konstruksi yang terbuat dari kayu, beton, baja maupun material bangunan yang lain. Sambungan bisa didefinisikan adalah proses penyatuan dua atau lebih unsur atau material dalam rangka menambah suatu panjang atau bidang. Perkuatan utama suatu konstruksi terletak dari kekuatan sambungan pada simpul strukturnya selain dari bahan penyusun struktur tersebut. Desain sambungan didasarkan pada nilai kekuatan pada sebuah alat penyambung yang telah dimodifikasi dengan geometri sambungan dan kondisi penggunaannya (Soltis et al. 1985). Yap (1964) mengemukakan bahwa konstruksi kayu merupakan ilmu yang berkembang dan telah dikenal sejak permulaan abad ke 20 di Jerman,
sampai saat ini perkembangannya masih terus dilakukan melalui
transisi kajian dari ilmu pengetahuan kayu trandisional menuju ilmu pengetahuan berdasarkan pendekatan matematis yang sudah lama dikenal pada konstruksi baja dan beton. Sambungan
kayu
tanpa
alat-alat
sambungan
merupakan
cara
menyambungkan kayu tertua. Semua gaya disalurkan dari kayu yang satu ke kayu yang lain (Frick et al. 2003). Pada sistem sambungan dengan perekat mempunyai efisiensi 100% sebagaimana kayu tanpa sambungan (Yap 1964). Penggunaan alatalat sambung lainnya seperti pasak, paku dan baut mempunyai efisiensi berurutan sebagai berikut, yaitu 60%, 50% dan 30%. Baut dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan meskipun mempunyai effisiensi paling rendah dan deformasi yang besar. Sambungan paku dan pasak tidak mencapai kekakuan setinggi pada sambungan perekat, hal ini adalah suatu keuntungan karena tegangan-tegangan sekunder lebih rendah. Perkembangan alat penyambung sampai saat ini merupakan penyempurnaan kekuatan dari alat-alat penyambung sebelumnya. Seperti yang saat ini telah dikenal dengan pelat paku (gang nail), pelat penyambung yang berfungsi sebagai perkuatan dari penggunaan paku sebagai alat penyambung.
8
Pasak mempunyai efisiensi terbesar kedua setelah perekat. Material pasak menurut PKKI (1961) harus menggunakan bahan kayu yang keras, besi atau baja. Besi dan baja merupakan hasil tambang yang tidak terbarukan, untuk itu pasak berbahan kayu maupun sejenisnya yang merupakan produk hayati yang terbarukan, pengembangan sampai saat ini masih terus diteliti. Soltis el al. (1987) menuliskan bahwa kekuatan lateral pada suatu sambungan berhubungan erat dengan berat jenis, diameter pasak dan arah pembebanan yang terjadi. Kayu keras dengan mutu tinggi keberadaannya semakin menurun dikarenakan banyak hal, sehingga dimungkinkan dicari alternatif bahan hayati yang dapat menggantikan kayu tersebut sebagai bahan pasak.
Risalah Bambu Bambu merupakan sumber hayati yang sangat melimpah, dimana sangat mudah hidup di segala jenis lahan dan mempunyai potensi sebagai pengganti kayu. Bambu tidak dipungkiri mempunyai banyak kelemahan, akan tetapi bambu merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan mempunyai banyak manfaat. Bambu merupakan salah satu anggota suku Poaceae atau rumput-rumputan yang berkayu, karena bambu mempunyai karakteristik batang seperti kayu. Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui beberapa jenis bambu yang mempunyai potensi sebagai komponen bahan bangunan, baik komponen struktur maupun non struktur. Pada saat ini diperkirakan lebih dari 1000 jenis atau spesies bambu yang dimiliki dari kurang lebih 80 genus yang ada di dunia ini, dan sekitar 200 spesies dari 20 genus yang telah ditemukan di Asia Tenggara (Prosea 1995). Bambu terdapat pada daerah tropis, sub-tropik dan daerah yang bersuhu sedang dari semua benua kecuali Eropa dan Asia Barat, mulai dari daerah yang rendah sampai 4000 m diatas permukaan laut. Sekitar separuh jenis bambu berkembang di Asia, utamanya di Indo-Birma. Bambu dapat tumbuh secara berumpun pada daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia, sedangkan pada daerah sub-tropika bambu akan tumbuh secara monopodial. Batangnya yang berlubang mempunyai beberapa ruas dan buku-buku, dimana setiap bukunya tumbuh akar dan cabang baru, sehingga dimungkinkkan pembudidayaan dengan stek batang.
9
Genus bambu seperti Dendrocalamus dan Gigantochloa merupakan bambu asli dari Asia (Prosea 1995). Sekitar 29 spesies dari genus Dendrocalamus tumbuh di Asia Tenggara, utamanya terdapat pada dataran rendah dari bagian India sampai Indo-China dan semenanjung Malaysia. D. Asper (Schultes f.) Backer ex Heyne dapat tumbuh disepanjang wilayah, dari dataran yang rendah sampai 1500 m diatas permukaan laut, meskipun asalnya tidak diketahui. Gigantochloa dengan sekitar 24 spesies utamanya mengitari wilayah dari mulai Birma (Myanmar), Indo-China sampai semenanjung Malaysia. Telah dicatat bahwa hanya satu jenis spesies Gigantochloa asli dari Jawa, sedangkan yang lain diyakini telah dikenal di daratan Asia selama migrasi penduduk dari utara. Bambu merupakan tanaman yang unik. Pada umur kurang lebih empat tahun pertama, bambu belum menampakkan pertumbuhannya yang penting, akan tetapi pada saat itulah akar-akar bambu tumbuh subur. Pada tahun kelima, setelah pertumbuhan akarnya selesai, barulah batang bambu akan muncul. Tumbuh, menjulang ke atas langit. Bambu adalah satu-satunya tanaman di Asia Pasifik yang fungsinya sangat banyak. Berdasar klasifikasinya, bambu tergolong dalam tanaman rumput, tapi bambu adalah rumput spektakuler karena tingginya dapat mencapai 30 meter. Bambu juga merupakan tanaman yang sangat fleksibel. Kita jarang menyaksikan bambu roboh di tengah tumbangnya pohon-pohon lain akibat serangan angin puting beliung, bambu tetap kokoh tak bergeming. Hal tersebut dikarenakan karena selain akarnya yang kuat, juga batangnya yang ikut bergoyang bersama angin. Sementara itu, pohon-pohon lain dengan batang lebih besar, justru tidak
kuat
menghadapi
ganasnya
angin.
(http://www.hrexcellency.com/
subweb/articles/ articles02.html diunduh pada tahun 2008). Selain sebagai unsur keindahan alam, bambu sebagai material mempunyai beberapa karakteristik yang sangat menarik dalam hal effisiensi dan nilai ekonomis. Widianto Utomo dalam situsnya www.widiantoutomo.blogspot.com tahun 2007 menuliskan beberapa kelebihan bambu, antara lain yaitu : a. Merupakan tumbuhan cepat tumbuh (dengan siklus pendek); b. Dapat digunakan sebagai substitusi/menggantikan kayu dan juga kerusakan yang ditimbulkan pada saat pemanfaataannya lebih rendah dibandingkan pada saat menggunakan kayu;
10
c. Mempunyai kekuatan seperti kayu, harga yang lebih murah dibanding kayu tetapi mempunyai kelebihan dapat berbagai aplikasi penggunaannya menarik dalam hal efisiensi; d. Merupakan sumber alam yang dapat diperbaharui; e. Mempunyai nilai ekonomi yang bagus; f. Membutuhkan biaya yang rendah untuk pembudidayaan, karena tidak diperlukan penanaman ulang; g. Dapat tumbuh di beberapa jenis tanah; h. Biaya rendah dalam hal proses produksi dan dapat digunakan berbagai tujuan; i. Tidak diperlukan paku untuk sambungan; j. Merupakan material yang komplek, hampir semua bagian bambu dapat digunakan (batang, daun dan rebung); k. Merupakan material yang mempunyai inner-beauty yang belum tampak semuanya. Bambu selain mempunyai keunggulan material, terdapat pula kelemahan. Kelemahan bambu antara lain diuraikan sebagai berikut : a. Lama penggunaan material lebih singkat dibanding kayu; b. Lebih komplek dari kayu dalam hal proses dan perawatan; c. Mudah belah sehinga tidak cocok dipaku; d. Lebih gampang pecah dibanding kayu selama pemrosesan. Pemanfaatan bambu dapat juga dilihat dalam aspek ekologi maupun tujuan desain pengunaan pada umumnya. Sebagai material desain ekologi bambu adalah bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat melindungi habitat alam, dapat di daur ulang dan mudah di buang, mempunyai emisi rendah dan memerlukan energi yang sedikit dalam pemrosesan serta bersahabat dan aman bagi lingkungan. Sedangkan ditinjau dari desain yang berkaitan dengan karakteristiknya, bambu mempunyai sifat antara lain equitability, yaitu dapat mudah diperoleh seseorang tanpa melihat status sosial (murah), mempunyai sifat lentur, yaitu dapat digunakan untuk beberapa aplikasi yang berbeda. Bambu juga mempunyai sifat sederhana dan intuisi, yaitu material sederhana dimana keindahan ditampakkan dari tekstur serta karakteristik alam dari setiap bambu.
11
Bambu merupakan bahan baku yang luas dalam penggunaannya, mulai dari mainan sampai dengan alat musik. Penggunaan bambu antara lain sebagai berikut : sebagai alat musik seperti organ bambu, sebagai elemen interior
seperti
laminasi, vinir, lantai (parquet), dinding, plafon (baik lurus maupun melengkung), furnitur dan lampu. Bambu dapat dikombinasi dengan material lain sebagai produk baru tanpa menghilangkan sifat alaminya, dipergunakan untuk keperluan hidup sehari-hari (pakaian dan produk kebersihan), produk dekoratif dimana mempunyai nilai jual yang bagus ketika mempunyai nilai keindahan sebagai produk seni. Bambu dapat pula digunakan sebagai mainan utamanya untuk anak cacat, khususnya penggunaan tekstur dan kemungkinan mampu menstimulasi pengguna untuk berinteraksi dengan produk tanpa pemandu. Bambu mempunyai karakter dimana memerlukan pemahaman yang bagus dan interaksi antar bambu, seperti alat, keahlian manusia dalam proses dan produk akhir yang ingin dibuat. Bambu merupakan bahan yang kuat dan juga material lembut dimana diperlukan kehati-hatian dan perhatian untuk menemukan keindahan dibalik produknya (sebagai bahan baku). Di beberapa negara seperti Belanda, Jerman, Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin, bangunan bambu dikenal sebagai bangunan yang eksotik, kuat, tahan lama, dan tahan terhadap pengaruh gempa. Kalau masyarakat Indonesia ingin meniru bangunan bambu di negara-negara maju tersebut, maka bambu yang akan digunakan untuk bahan bangunan dan teknologi konstruksinya harus baik pula (Morisco 2005). Huichi & Kurz dalam Prosea (1995) menyatakan bahwa bambu yang hadir dengan kekuatannya, kelurusannya, keringanannya, ukurannya yang bervariasi, kemudahan dalam pengerjann dan masa tumbuhnya yang pendek sangat ideal untuk berbagai keperluan meskipun setiap tujuan mempunyai persyaratan tertentu. Hal ini disebabkan potensi/sifat-sifat dasar yang dimiliki setiap jenis bambu berbeda
sehingga
perlu
dievaluasi.
McClure
dalam
Nuryatin
(2004)
mengungkapkan bahwa batang bambu dalam peranannya sebagai bahan konstruksi
mempunyai
beberapa
karakteristik
tertentu
yang
bersifat
membatasi/mengurangi kesesuaian pengunaan namun dapat diminimalkan. Menurut McClaure, sifat-sifat yang menentukan kegunaan terbaik bambu adalah sebagai berikut :
12
1. Rata-rata dimensi bambu; 2. Keruncingan batang; 3. Kelurusan batang; 4. Ukuran dan distribusi cabang; 5. Panjang ruas batang; 6. Bentuk dan proporsi ruas; 7. Ketebalan dinding batang; 8. Proporsi jaringan yang relatif berbeda; 9. Kerapatan dan kekuatan kayu; 10. Kemudahan diserang jamur dan serangga. Sifat fisik bambu meliputi kadar air, berat jenis, penyusutan akan diuraikan sebagai berikut. Kadar air pada batang bambu mempunyai peranan yang penting dan dapat memberikan pengaruh pada sifat mekaniknya. Kadar air batang pada bambu yang sudah dewasa dan masih segar sekitar 50-90% dan yang belum dewasa antara 80 – 150%, sedangkan bambu yang telah dikeringkan berkisar 1218%. Kadar air dari bagian bawah menuju ke atas dan pada usia 1-3 akan meningkat, sedangkan pada usia lebih dari 3 tahun kadar airnya akan menurun. Tentunya musim penghujan meningkatkan kadar air dibandingkan musim kemarau. Kerapatan dari bambu berkisar 600-900 kg/m3 pada kadar air 12%. Penyusutan yang terjadi pada bambu tidak seperti pada kayu. Penyusutan pada bambu dimulai setelah proses penebangan tetapi penyusutan yang terjadi tidak seragam. Penyusutan yang terjadi pada ketebalan dinding batang dan diameter (Liese 1985, pada Prosea 1995). Pada bambu dewasa dengan pengeringan sampai kadar air 20%, penyusutan mencapai 4-14% pada tebal dinding dan 3-12% pada diameter. Penyusutan arah radial lebih kecil dibanding arah tangensial, tetapi penyusutan bagian dalam dinding bambu lebih besar dibanding bagian luar. MOE berhubungan langsung dengan jumlah sklerenkim/vascular bundle, untuk itu pada batang MOE bambu meningkat dengan semakin menurunnya kadar air dan mempunyai korelasi positif dengan berat jenis. MOE merupakan indikasi rasio perbandingan antara tegangan lentur bahan dan deformasi yang disebabkan tegangan lentur tersebut, hasilnya menggambarkan kekakuan dari material yang diuji. Nilai tinggi yang diperoleh akan semakin menurun dari dinding yang terluar
13
menuju ke dalam. Bambu dengan kondisi kering udara rata mempunyai MOE sekitar 17 000 – 20 000 N/mm2 dan pada kondisi segar/basah antara 9 000 – 10 100 N/mm2. MOR mengindikasikan tegangan patah/putus pada serat pada saat beban maksimum. MOR batang bambu tanpa buku yang dihasilkan antara 72 - 94 N/mm2, dengan buku berkisar 84 - 129 N/mm2. MOR mempunyai nilai kira-kira 0.14 x berat jenis (dalam kg/m3) untuk kering (kadar air (KA) 12%), dan 0.11 x BJ untuk bambu yang masih segar (Janssen 1990, pada Prosea 1995). Kuat tekan sejajar serat mengindikasikan tegangan yang dikenakan pada arah sejajar serat sampai contoh uji mengalami kerusakan. Nilai kuat tekan berbeda-beda dari bawah sampai atas. Pada bagian bawah berkisar 216 – 388 kg/cm2, bagian tengah antara 266 – 411 kg/cm2 dan bagian atas 310 - 499 kg/cm2. Kuat tekan sejajar serat mempunyai nilai kira-kira 0.094 x berat jenis untuk kondisi kering (KA 12%) dan 0.074 x berat jenis untuk kondisi basah ( KA 60% atau lebih). Bambu mempunyai bentuk yang mengerucut pada sepanjang batang, melingkar pada bidang transversal, bentuk berlubang pada kebanyakan spesies (dimana mengurangi beratnya), sebagai fungsi gradien kekakuan pada penampang melintang untuk menahan lendutan pada arah radial lainnya (Ghavami et al. 2003). Hakim (2003) telah melakukan penelitian laminasi bambu Andong dengan taraf perlakuan variabel lasan/penguat (baik tunggal maupun ganda) yang terbukti bahwa tidak mempengaruhi MOE. Hal ini dikarenakan adanya lapisan kulit bambu pada lapisan terluar (lasan ke-1 untuk lasan tunggal, lasan ke-2 untuk lasan ganda). Variabel lasan mempengaruhi MOR dimana kekuatan maksimum pada lasan ganda lebih besar daripada lasan tunggal. Beda halnya dengan Hakim, Subiyanto et al. (2004) telah melakukan penelitian pembuatan pasak dari bambu Betung, Tali dan Gombong dengan menganalisa kekuatan pasak yang dipengaruhi oleh sifat mekanis bambu penyusunnya. Pasak yang terbuat dari bambu Betung mempunyai keteguhan patah tertinggi, kemudian diikuti oleh pasak yang terbuat dari bambu Tali dan Gombong. Dengan bambu penyusun yang sejenis, pasak yang berdiameter lebih kecil mempunyai nilai MOE dan MOR lebih baik dibanding dengan diameter yang lebih besar. Berhubungan dengan hal tersebut, sebagai pengganti alat penyambung yang pada umumnya terbuat bahan besi dan baja telah dilakukan beberapa penelitian tentang pemanfaatan bambu sebagai alat
14
penyambung yaitu pasak. Pasak dapat dibuat seperti halnya papan laminasi dari bambu. 1.
Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) Bambu
Betung
aspera Schultes
f.
Gigantochloa aspera
mempunyai (1830),
beberapa
Dendrocalamus
sinomim
yaitu
flagelifer Munro
Bambusa (1866),
(Schultes F.) Kurtz (1876), dan Dendrocalamus
merrilianus (Elmer) Elmer (1915) (Prosea 1995). Bambu Betung dibeberapa daerah di Indonesia mempunyai nama berbeda, misalnya buluh Batung (Batak), awi Bitung (Sunda), pring Petung, Betho, bulu Jawa (Jawa), awo Petung (Bugis), bambu Swanggi (Papua). Bambu Betung di kawasan Asia disebut buloh Beting, buloh Betong, buloh Panching (Malaysia). Di Philipina disebut Bukawe (Tagalog), Botong (Bikol), Butong (Visaya). Di Negara lainnya disebut rebong China (Singapura), Hok (Laos), Phai-tong (Thailand) dan Manh Tong (Vietnam). Berdasarkan taxonomi bambu Betung dapat dilihat sebagai berikut (http://www.plantamor.com) : Klasifikasi Kingdom Subkingdom Superdivisio Divisio Kelas Sub-kelas Ordo Familia Genus Spesies
: Plantae (tumbuhan) : Tracheobionta (berpembuluh) : Spermatophyta (menghasilkan biji) : Magnoliophyta (berbunga) : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) : Commelinidae : Poales : Poaceae (suku rumput-rumputan) : Dendrocalamus : Dendrocalamus asper Backer
Kerabat dekat: bambu Sembilang, bambu Batu, bambu Taiwan Tinggi bambu Betung dapat mencapai 20-30 m (batang berbulu tebal dan tebal dinding batang 11-36 mm); jarak buku 8-20 cm (10-20 cm di bagian bawah dan 30-50 cm di bagian atas); coklat tua. Pemanenan dapat dimulai setelah tanaman berumur 3 tahun, puncak produksi mulai umur 5-6 tahun. Batangnya digunakan untuk bahan bangunan (perumahan dan jembatan), peralatan memasak, bahkan juga untuk penampung air. Banyak digunakan untuk konstruksi rumah,
15
atap dengan disusun tumpang-tindih, dan dinding dengan cara dipecah dibuat pelupuh. Gambaran dari bambu Betung dapat dilihat pada gambar 2 dan 3.
Gambar 2 Tunas/rebung dari bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.)) Backer ex Heyne) (kiri) dan ujung-ujung akar yang masih muda (kanan). Sumber : http:// www.hrexcellency.com /subweb/articles/articles02.html
Gambar 3 Satu rumpun bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne) dengan usia lebih dari 10 tahun. Sumber : koleksi pribadi
Bambu Betung mempunyai dimensi serat pada batangnya rata-rata dengan panjang 3.78 mm, diameter 19 µm, lebar lumen 7 µm, tebal dinding 6 µm. Kadar air batang pada kondisi segar rata-rata 55% (76% pada bawah dan 36% bagian atas). Batang pada kondisi kering udara mempunyai KA rata-rata 15% (15-17% pada bagian bawah-tengah, dan 13-14% bagian atas). Berat jenis sekitar 0.7. Pada kondisi kering udara, penyusutan arah radial sekitar 5 - 7%, arah tangensial 3.5 5%. Pada saat kondisi segar (KA 50%) dan kering udara (KA 12%) bambu
16
Betung mempunyai MOR 816 kg/cm2 dan MOE 1 034 kg/cm2, sedangkan kuat tekan sejajar serat adalah 228 kg/cm2 dan 314 kg/cm2 (Prosea 1995). Pada penelitian Nuriyatin (2000) penggunaan bambu sebagai bahan konstruksi menunjukkan bahwa bambu Betung, Temen, dan Andong telah memenuhi persyaratan fisik dalam penggunaannya dalam bentuk buluh, namun bambu Tali dan Hitam pada bagian pangkal dapat dipergunakan dalam bentuk buluh sedangkan bagian ujung dalam bentuk bilah. Kelemahan dari penggunaan bambu sebagai komponen bahan bangunan adalah adanya buku pada buluh bambu, dimana merupakan perlemahan khususnya MOR. Noermalicha (2001) menuliskan bahwa pada bambu Tali dan Betung hasil pengujian MOE tidak dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya buku pada bilah laminasi, sedangkan MOR dipengaruhi oleh keberadaan buku pada bilah laminasi dan menurunkan MOR hingga 50%. 2.
Bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro) Bambu Sembilang mempunyai sinonim yaitu Bambusa gigantea Wallich
(1814). Dibeberapa daerah, bambu Sembilang mempunyai nama lokal, antara lain seperti buloh Betong (Malaysia), bambu Sembilang (Semenanjung), Wabo, Ban, Birma (Myanmar) , Russey prey (Kamboja), Po’ (Laos), Phai-po (Thailand), Phaipok (Thailand bagian utara), m[aj]nh t[oo]ng to (Vietnam) (Prosea, 1995). Adapun dari taxonomi bambu Sembilang dapat dilihat sebagai berikut (http://www.plantamor.com) : Klasifikasi Kingdom Subkingdom Superdivisio Divisio Kelas Sub-kelas Ordo Familia Genus Spesies
: Plantae (tumbuhan) : Tracheobionta (berpembuluh) : Spermatophyta (menghasilkan biji) : Magnoliophyta (berbunga) : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) : Commelinidae : Poales : Poaceae (suku rumput-rumputan) : Dendrocalamus : Dendrocalamus giganteus
Kerabat dekat: bambu Betung, bambu Batu, bambu Taiwan
17
Keberadaan awal/asal usul dari bambu Sembilang tidak diketahui secara persis. Akan tetapi dapat dimungkinkan di bagian selatan Birma (Myanmar) (Tenasserim) dan barat laut Thailand, serta tanam di daerah Arunachal Pradesh, Assam, Manipur, Nagaland and Bengal Barat, dan ada beberapa bagian di Negara tersebut. Penanaman bambu Sembilang meningkat di Devisi Kurseong pada tahun 1880-1888, dan diperkenalkan pada Coorg antara tahun 1913-1924. Bambu ini umumnya telah dibudidayakan di Srilanka, India, Bangladesh dan bagian selatan China. Di semenanjung Malaysia telah dijumpai beberapa rumpun tua bambu Sembilang yang menyebar di Penang Hills, tetapi tidak diketahui apakah populasi ini merupakan alami atau pembudidayaan. Bambu Sembilang telah dikenalkan dan ditanam pada beberapa kebun konservasi, seperti di Indonesia (1910), Philipina (1990), Indo-China dan Madagaskar (juga diluar kebun konservasi) (Prosea 1995). Bambu sembilang dapat tumbuh baik pada perbukitan maupun dataran yang banyak mengandung tanah liat, serta dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1 200 m diatas permukaan air laut (http://www. inbar. int/publication/txt/tr17/Dendrocalamus/giganteus.htm diunduh pada tahun 2008). Ketinggian bambu Sembilang mencapai 24-30 m dengan diameter antara 20-30 cm, dan rata-rata tebal dinding batangnya antara 2-2.5 cm. Pada saat muda berwarna hijau pudar, yang dilindungi dengan kulit dengan lilin putih pada saat muda. Jarak antar buku sekitar 30-50 cm dan lebih pendek pada daerah dekat akar atau bagian bawah. Batang bambu Sembilang banyak digunakan dalam berbagai tujuan, seperti konstruksi, perancah dan rumah di daerah perdesaan, pipa pengairan, keranjang, tiang kapal, tikar, kerai, vas bunga serta ornamen dekoratif lainnya dan industri kertas. Di daerah Siang District of Arunachal Pradesh, Abors dan Mishmis utamanya bambu ini digunakan untuk tempat air (kendi). Kulit batang bambu bagus dibuat sebagai papan bambu, dimana ideal sebagai material dekoratif ruangan dan penggunaan lainnya seperti dinding, plafon, lantai, pintu dan lainlain. Tunas yang masih muda (rebung) dapat dimakan (lembut dan empuk saat dimasak). Guha et al. (1975) dalam http://www.inbar.int/publication/txt/tr17 /Dendrocalamus/giganteus.htm
menuliskan
bahwa
setelah
melaksanakan
penelitian tentang pulp menyimpulkan bahwa bahan baku dari bambu Sembilang
18
lebih bagus dari pulp kertas dengan bahan baku D. strictus. Penanaman bambu Sembilang dapat sebagai pelindung tanah dalam menahan erosi. Sebagai salah satu spesies bambu yang paling besar mempunyai nilai eksetika yang tinggi sebagai tanaman hias. Bambu Sembilang mempunyai panjang serat pada batangnya sangat bervariasi yaitu antara 1.4 – 4.6 mm (rata-rata sekitar 2.7 mm), diameter 26 µm, diameter lumen 19 µm, tebal dinding seratnya 3.9 µm. Data ini mengindikasikan bahwa bambu Sembilang berkualitas sebagai bahan kertas. Kadar air (KA) berkisar 19% dengan kerapatan sekitar 900 kg/m3, dan berat jenis (BJ) 0.17. Sifat mekanik bambu Sembilang adalah nilai MOE kurang lebih 140 440 kg/cm2 (Indonesia) dan MOR 1 790 kg/cm2 (Indonesia), 930 kg/cm2 (dengan buku, Brazil) dan 1 240 kg/cm2 (tanpa buku, Brazil). Nilai kuat tekan sejajar serat ratarata 615 kg/cm2 (Indonesia), 390 kg/cm2 (dengan buku, Brazil), 460 kg/cm2 (tanpa buku, Brazil) (Prosea 1995).
Gambar 4
Pertunasan Bambu Sembilang(Dendrocalamus giganteus Wallich ex Munro) (kiri) dan rumpun yang sudah dewasa (kanan).
Sumber : http://www.inbar.int/publication/txt/tr17/Dendrocalamus/giganteus.htm
Laminated Veneer Lumber (LVL) Pada suatu konstruksi hal yang perlu diperhatikan selain alat penyambung tentunya material struktur yang disambung, dimana merupakan bagian dari kekuatan konstruksi yang tidak bisa diabaikan. Potensi kayu bermutu tinggi terus
19
mengalami penurunan, berhubungan dengan hal tersebut teknologi kayu terus dikembangkan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi dikenal dengan Laminated Veneer Lumber (LVL). LVL pertama kali digunakan pada baling-baling pesawat udara dan bagian lain dari pesawat yang mempunyai tegangan yang tinggi, pada masa perang dunia kedua. Neuvonen et al. (1998) menuliskan bahwa pada periode sebelum tahun 1970-an istilah vinir sedikit banyak mempunyai sinonim dengan plywood. Hal tersebut berubah ketika Troutner dan Herold (di United State of America (USA)) menggunakan laminasi vinir sejajar serta tanpa ada yang melintang dari bagian lapisan teratas dan yang terbawah pada balok I untuk struktur dan memperkenalkan produksinya yang dikenal dengan TJ International (USA) pada awal 1960. LVL sebagai produk olahan mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan kayu utuh. Pada kayu utuh pengaruh cacat-cacat alami kayu sangat mempengaruhi keteguhan kayu, tetapi pada produk LVL, cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata diantara lapisan vinir sehingga dapat meminimumkan pengaruh cacat-cacat tersebut terhadap kekuatan LVL. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama (Youngquist dan Bryant 1979). LVL Pada produksinya dikhususkan untuk bahan baku konstruksi yang menerima beban struktur dengan pola penyusunan diantara vinir adalah arah serat sejajar. Menurut Bakar (1996) dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, papan LVL mempunyai nilai lebih, meliputi ukuran panjang “end-less”, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi. Sebagai perencana suatu struktur bangunan dengan melihat keunggulan LVL dapat menggunakan LVL ini dengan sangat fleksibel dalam berbagai bentuk desain. Oleh sebab itu banyak penelitian yang mendukung terhadap perkembangan LVL. Pengembangan dan penggunaan LVL mempunyai prospek yang sangat baik dilatarbelakangi oleh menipisnya persediaan kayu berkualitas tinggi untuk penggunaan struktural telah mendorong dimulainya usaha pengambangan LVL
20
sebagai produk struktural (Iman 2001). Pada pengujian mekanik dari LVL Muhadi (2005) melakukan penelitian pengujian LVL yang menunjukkan hasil bahwa MOEtrue posisi tegak mempunyai nilai lebih besar dari MOEtrue posisi baring. Sebaliknya untuk modulus geser posisi baring lebih besar dibanding dengan posisi tegak. Tetapi untuk MOR posisi tegak mempunyai nilai lebih besar daripada posisi baring. Dalam suatu konstruksi interaksi antara jenis alat sambung dan bentuk sambungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai rata-rata kekakuan lentur atau MOE dan keteguhan patah atau MOR sambungan balok LVL. Pranata (2004) memberikan hasil penelitian sambungan miring dengan menggunakan alat penyambung kayu lapis dan perekat pada posisi pengujian vertikal memiliki kekakuan dan keteguhan yang tertinggi. Sambungan dengan menggunakan alat sambung kayu lapis dan paku memiliki nilai kekakuan dan kekuatan yang paling rendah.
Terdapat kecenderungan bahwa keberadaan
sambungan akan menurunkan kekakuan dan kekuatan lentur balok LVL. Potensi LVL yang telah disampaikan diatas perencanaan sambungan dengan menggunakan pasak dari bambu yang mempunyai kekuatan yang dapat disandingkan dengan baja dan potensi LVL yang dapat digunakan sebagai pengganti kayu utuh, perlu dilakukan penelitian optimal dari sambungan dengan menggunakan pasak bambu dengan komponen struktur yang disambung adalah LVL. Hal ini dapat diyakini dengan melihat penelitian yang telah dilakukan Irmon (2005) dimana balok laminasi kayu Sengon berpasak dan dilapisi bambu memiliki nilai kekakuan lebih tinggi daripada balok laminasi bambu saja, tetapi lebih rendah dari nilai kekakuan balok laminasi kayu Sengon tanpa pasak dan dilapisi bambu. Dengan mendapatkan optimasi hasil kekuatan sambungan menggunakan pasak pada struktur LVL tersebut dapat memberingan angin segar dalam bidang pemanfaatan sumber hayati yang telah mengalami krisis.
21
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium UPT BPP Biomaterial LIPI Cibinong dan Laboratorium Laboratorium Bahan, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Pasak menggunankan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang mempunyai umur lebih dari 3 (tiga) tahun. Bambu diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. 2. LVL hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) yang diproduksi di Balaraja, Serang mempunyai tebal 5 cm dengan tiga 3 (tiga) variasi kombinasi susunan : a. Vinir dari kayu Karet dengan perekat PF, b. Vinir dari kombinasi kayu Karet dan Sengon dengan perekat PF, c. Vinir dari kayu Karet dengan perekat MUF.
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu dan Tokyokoki; 2. Alat pemotong dan pembelah bambu; 3. Kempa dingin 4. Alat pembubut pasak; 5. Oven; 6. Kaliper; 7. Waterbath; 8. Neraca analitik.
22
Metodologi Penelitian 1.
Persiapan bahan a. Bahan untuk Pasak : Dua jenis Bambu yaitu bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) dipotong dan dikeringkan kurang lebih tiga minggu hingga mencapai kondisi KA kering udara yaitu ± 12%. Setiap batang bambu dihilangkan kulit dan buku. Ketebalan dinding batang bambu yang diambil adalah ± 3 – 6 mm dari dinding luar yang berhimpit dengan kulit, dengan target BJ lebih dari 0,6. b. Bahan untuk LVL LVL dengan 3 komposisi, merupakan produk komersial. Ketiga jenis tersebut dengan spesifikasi sebagai berikut : 1. LVL A yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF; 2. LVL B yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF; 3. LVL C yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF.
2.
Pengujian sifat fisik mekanik bahan a. Sifat fisik bambu yang diuji adalah kadar air (KA) dan kerapatan, berat jenis (BJ). Metode yang dipakai untuk pengujian sifat fisik berdasarkan International Standard Organization (ISO) 22157-1:2004(E) BambooDetermination of Physical and Mechanical Properties, Part 1: Requirements. Sifat mekanik diperoleh dengan pengujian bending yang menghasilkan Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan American National Standard ANSI/ASTM D 79071:1978 Standard Test Methods for Flexural Properties of and Electrical Insulating Materials. Persiapan contoh dilakukan dengan mengambil bangian bambu ± 9 m dari mulai pangkal. Potongan tersebut menjadi tiga bagian untuk mewakili bagian bawah (B), tengah (T) dan atas (A) dengan panjang masing ± 3 m. Dari masing-masing lokasi B, T dan A diambil 2 lokasi sebagai ulangan, sehingga terdapat sebaran enam titik dari bawah sampai atas untuk pengujian sifat fisik mekaniknya. Pembuatan contoh
23
uji dilakukan dengan menghilangkan kulit serta bukunya yang selanjutnya disayat setebal ± 1 mm dari luar menuju ke dalam tebal dinding bambu. Semua lapisan akan diuji sifat fisik dan mekaniknya, dengan 3 kali ulangan untuk setiap contoh uji. 1. Pengujian Kadar Air (KA) Penentuan kadar air bambu dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu 100 ± 3oC. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus : KA =
m – m0
x 100%
................. 1)
m0
Keterangan : KA = Kadar air (%) m = Berat awal contoh uji (g) m0 = Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g) dengan akurasi 0,01 g 2. Pengujian Berat Jenis (BJ) Penetapan BJ dilakukan dengan membandingkan kerapatan bambu dengan kerapatan air. Dalam perhitungan kerapatan untuk penentuan berat jenis tersebut, berat contoh uji yang digunakan adalah berat kering oven. Penentuan kerapatan bambu dihitung berdasarkan berat dan volume kering udara dengan menggunakan rumus : m ρ
Keterangan : ρ
=
……………….. 2)
V
= Kerapatan (g/cm3)
m = Berat contoh uji kering udara (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm3) 3. Pengujian Modulus of Rupture (MOR) Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE. Pengujian dilakukan dengan pembebanan terpusat pada bagian tengah contoh uji dengan menggunakan UTM merek Shimadzu dengan
24
kecepatan 0.8 mm/menit. Jarak sangga yang digunakan adalah ±15 x tebal contoh uji. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 5. MOR dihitung dengan menggunakan rumus : 3Pl MOR =
2bh2
........................... 3)
Keterangan : MOR l P h b
= = = = =
Modulus of Rupture (kgf/cm2) Bentang (cm) Beban maksimum (kgf) Tebal contoh uji (cm) Lebar contoh uji (cm) Beban Contoh uji
h L l
b
L l h b
: Panjang contoh uji : Bentang (± 15 x tebal (cm)) : Tebal contoh uji : Lebar contoh uji
Gambar 5 Pembebanan pengujian MOR dan MOE.
4. Pengujian Modulus of Elastiscity (MOE) Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :
25
Pl3 MOE =
.......................
4)
4bh3∆Y Keterangan MOE l P ∆Y h b
= = = = = =
:
Modulus of Elasticity (kgf/cm2) Bentang (cm) Beban sebelum batas proporsi (kgf) Lenturan pada beban P Tebal contoh uji (cm) Lebar contoh uji (cm)
b. Pengujian fisik mekanik LVL berdasarkan Standar SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kadar air, kerapatan, delaminasi struktural dan non struktural, pengujian geser horizontal tegak dan datar, MOE, MOR serta pengujian emisi formaldehide. Contoh uji dipotong sesuai standar dan mempunyai masing-masing 3 ulangan. 1. Pengujian KA dan kerapatan Pada penentuan KA dan kerapatan ini menggunakan perhitungan seperti dengan formulasi 1) dan 2) 2. Pengujian Delaminasi Pengujian delaminasi untuk menentukan keteguhan rekat ini dilakukan dua jenis yaitu uji delaminasi non struktural dan struktural. a. Pengujian delaminasi struktural dilakukan dengan merendam contoh uji ke dalam air dengan suhu 70oC ± 3oC selama 2 jam, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60oC ± 3oC sampai KA contoh uji kurang dari 8%. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan. b. Pengujian delaminasi non struktural dilakukan dengan merendam contoh uji ke dalam air dingin selama 24 jam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60oC ± 3oC selama 24 jam. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.
26
Penentuan nisbah delaminasi dalam % didapat dengan formulasi berikut :
……………. 5)
3. Pengujian Geser Horisontal Pengujian geser horisontal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban terhadap kekuatan lapisan vinir dan garis rekat. Pengujian ini dilakukan pada dua posisi, yaitu tegak dan datar seperti yang ditunjukkan pada gambar 6 dan pembebanan tepusat seperti pada gambar 4. Contoh uji diletakkan tegak atau datar dengan jarak sangga 4 kali tebal, sedangkan panjang contoh uji 6 kali tebal. Beban yang diberikan dengan laju maksimum 150 kg/cm2 tiap menit sampai contoh uji patah. Keteguhan horizontal dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
…………… 6)
Keterangan : B’ = Beban maksimum (kg) L = Lebar (cm) pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal (cm) pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji
Gambar 6 Posisi benda uji LVL Tegak (kiri) dan benda uji Datar (kanan). 4. Pengujian Modulus of Rupture (MOR) Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan patah yang dapat ditahan dengan memberi pembebanan dua titik beban pada LVL. Contoh uji diletakkan
27
tegak dan datar (seperti pada gambar 6) dengan jarak sangga yang digunakan adalah ±21 x tebal contoh uji, sedangkan panjang contoh uji 23 kali tebal. Laju maksimum pembebanan yang diberikan adalah 150 kg/cm2 tiap menit. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 7. MOR dihitung dengan menggunakan rumus :
…………… 6)
Keterangan MOR B’ S L T P
:
Modulus of Rupture (kgf/cm2) Beban maksimum (kgf) Jarak sangga/bentang (cm) Lebar contoh uji (cm), pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji = Tebal contoh uji (cm), pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji = Panjang contoh uji (cm) = = = =
Beban 1
Beban 2 Contoh uji
T 1/3 S
1/3 S
1/3 S
S P
L Gambar 7 Pengujian MOR dan MOE dengan dua titik pembebanan.
5. Pengujian Modulus of Elastiscity (MOE) Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan
28
defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus : …………… 7)
Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity (kgf/cm2) S = Jarak sangga/bentang (cm) L = Lebar contoh uji (cm), pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal contoh uji (cm), pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji ∆B = Perbedaan batas atas dan batas bawah dalam selang batas proporsional ∆D = Defleksi pada bagian tengah jarak sangga sesuai dengan ∆B 6. Pengujian Emisi Formaldehide Pengukuran emisi formaldehida sesuai dengan metoda botol Wilhelm Klaunitz Institute (WKI). Prinsip dari metode ini adalah contoh uji yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm ditimbang untuk menentukan nilai kadar air. Kemudian, contoh yang lain dengan ukuran yang sama diikatkan pada tutup botol WKI (Gambar 8.a) yang telah berisi air dan disimpan pada suhu 40oC selama 24 jam. Setelah itu larutan dalam botol WKI direaksikan dengan larutan asetil aseton-amonium asetat kemudian dipanaskan dalam penangas air (Gambar 8.b) bersuhu 6070oC selama 10 menit. Larutan diukur absorbansnya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 412 nm untuk menentukan konsentrasi larutan dengan cara membandingkan dengan larutan standar formalin.
a Gambar 8 a. Botol WKI; b.Shaking Water bath.
b
29
3.
Pembuatan pasak bambu Pasak bambu yang akan digunakan sebagai alat penyambung terbuat dari bambu laminasi, disusun dari vinir bambu. Penelitian sifat dasar bambu digunakan sebagai dasar penentuan ketebalan vinir. Pasak disusun oleh vinir dengan ketebalan ± 3 mm serta perekat jenis polyurethane (PU) dengan berat labur 280 g/m2 menggunakan kempa dingin. Pasak yang dibuat mempunyai diameter 10 mm dan 15 mm, dengan bahan baku bambu Betung dan bambu Sembilang. Proses pembuatan pasak dimulai dengan pembuatan papan laminasi bambu dengan ukuran 400 x 400 x 12 mm, untuk pasak diameter 10 mm (Gambar 9), dan papan dengan ukuran 400 x 400 x 18 mm, untuk diameter 15 mm. Laminasi bambu ini tersusun dari strip bambu dengan tebal 3 mm, lebar 10 mm dan panjang 40 cm. Panjang strip disesuaikan dengan panjang antar buku. Laminasi bambu dibuat diawali dengan pembuatan lapisan-lapisan yang disusun vinir bambu dengan tebal 3 mm. Setelah pengeringan selama 24 jam, lapisan vinir tersebut disusun dengan sejajar arah serat dengan susunan zigzag seperti pada pemasangan batu bata sebanyak 4 lapis untuk pasak 10 mm dan 6 lapis untuk pasak 15 mm. Setelah masa pengeringan ± 1 minggu, papan laminasi dipotong-potong sejajar serat dengan lebar ± 15 - 18 mm (Gambar 10) yang selanjutnya dilakukan pembubutan sesuai diameter yang diinginkan (Gambar 11).
Gambar 9
Lembaran papan laminasi bambu, yang terdiri dari 4 dan 6 lapis vinir bambu dengan tebal masing-masing 3 mm (untuk dowel 10 dan 15 mm).
30
Gambar 10 Pemotongan laminasi bambusejajar serat dengan lebar 15 – 18 mm.
Gambar 11 Pembubutan pasak sesuai diameter dan dipotong sesuai kebutuhan.
4.
Pengujian pasak bambu Pasak bambu yang merupakan produk laminasi akan diuji sifat fisik yang meliputi pengujian KA, kerapatan, kembang susut, MOE dan MOR berdasarkan SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina dengan formulasi telah diuraikan seperti sebelumnya. Sifat mekanik dimana data yang diperoleh dipergunakan untuk mendesain sambungannya adalah momen leleh (yield moment) berdasarkan ISO/TC 165/SC N537:2007 Timbers Structures-Doweltype fasteners-Part 1: Determination of yield moment dan kuat tumpu pasak (dowel embedding strength) berdasarkan ISO/TC 165/SC N538:2007. Timbers Structures-Dowel-type fasteners-Part 2: Determination of embedding strength and foundation values
31
a. Pengujian Yield Moment (My) Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui beban maksimum yang diterima pasak, dimana pasak akan melendut dengan sudut kurang lebih 45o. Penentuan nilai yield moment dilakukan dengan pembebanan dua titik gaya tekan pada pasak seperti pada Gambar 12, dengan ketentuan bahwa l1 dan l3 panjangnya paling sedikit 2d. Panjang l2 antara d dan 3 d. Adapun nilai yield moment dapat diperoleh dengan perumusan sebagai berikut : ……… 8)
Keterangan : My
= Yield moment (kgfcm)
Fmax
= Beban maksimum (kgf)
l
= Jarak antar tumpuan (cm)
l2
= Jarak antar beban (cm) Beban 1 Beban 2 Contoh uji
d l1
l2
l3
l Gambar 12. Pengujian yield moment dengan dua titik pembebanan
b. Pengujian Dowel Embedding Strength Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan mekanik pasak dimana hasil pengujian menunjukkan kuat batas kayu di sekeliling lubang yang terbebani tekan oleh pasak (Gambar 13). Penentuan nilai embedding strength daidapat dengan perumusan sebagai berikut : …………… 9)
Keterangan : fh
= Embedding strength (kgf/cm2)
32
Fmax
= Beban maksimum (kgf)
d
= Diameter pasak (cm)
t
= Tebal kayu (penumpu) (cm)
Gambar 13 Pengujian Embedding strength.
5.
Perencanaan desain sambungan Sambungan yang dibuat adalah sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak (n) yang digunakan berdasarkan pendekatan
4 model kerusakan
EUROCODE 5 dan sebagai kontrol adalah sambungan baut dengan diameter 10 mm. Empat model kerusakan EN 1995-1-1: 2004 EUROCODE 5 dengan persamaan tegangan leleh yang terjadi, yaitu menggambarkan karakteristik kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser disajikan dalam gambar 14. Persamaan pendekatan keempat model dapat dilihat pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13. t1
t2
t1
Gambar 14 Model (mode) kerusakan sambungan tipe pasak/baut pada dua dinding geser.
33
Persamaan Model I : …………… 10)
Persamaan Model II : …………… 11)
Persamaan Model III :
…………… 12)
Persamaan Model IV : …………… 13)
Dimana : F v, Rk : kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser (kgf) t1
: tebal balok pengapit (cm)
t2
: tebal balok utama (cm)
fh
: Embedding strength (kgf/cm2), bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.31 dan 8.32, untuk beban dengan sudut α terhadap serat …………… 14)
…..……… 15)
f h,0,k
: Embedding strength pada sejajar serat
ρ
: density balok
D
: diameter pasak/baut (cm)
34
My
: Yield moment (kgfcm), bisa didapat dengan EUROCODE 5 persamaan 8.30 …………… 16)
f u,k
: tegangan tarik pasak/baut (kgf/cm2)
β
: rasio perbandingan antara Embedding strength pada balok utama terhadap balok pengapit …………… 17)
6.
Pengujian mekanik sambungan Pengujian yang dilakukan dengan uji tarik sambugan untuk pengetahui lendutan/sesaran yang diterima oleh baut/pasak terhadap beban yang dikenakan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM) merk Tokyokoki berdasarkan ASTM D 5652 : Standard Test Methods for Bolted Connection in Wood and Wood-Based Products
Gambar 15 Pengujian tekan sambungan dengan UTM merek Tokyokoki (kiri) dan data logger (kanan).
Analisis Statistika a. Analisis pengujian sifat fisis mekanis LVL dan bambu Analisis yang digunakan untuk pengujian sifat fisik mekanik bahan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Sederhana (Simple Random Sampling), dengan formulasi sebagai berikut :
Y
ij
=
µ
+ τ
i
+ ε
ij
…………… 18)
35
dimana : i
= 1,2,3 (jenis LVL atau bambu)
j
= 1,2,3 (ulangan)
Yij
= respon dari jenis ke-i serta ulangan ke-j
µ
=
τi
= pengaruh perlakuan ke-i
εij
= galat dari perlakuan ke-i serta ulangan ke-j
rata-rata umum
b. Analisis pengujian sifat fisis dan mekanis pasak bambu Analisis pengujian sifat fisik mekanik pasak bambu menggunakan Rancangan Faktorial dalam RAL, dengan formulasi sebagai berikut :
Y ijk = µ + τ i + κ
j
+ τκ
( ij )
+ ε ijk
…………… 19)
Dimana : i
= 1,2 (jenis bambu)
j
= 1,2 (besar diameter)
k
= 1,2,3,4,5 (ulangan)
Yijk
= respon dari jenis ke-i, kelompok ke-j serta ulangan ke-k
µ
= rata-rata umum
τi
= pengaruh jenis ke-i
κj
= pengaruh kelompok ke-j
τκ(ij) = pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan kelompok ke-j εijk
= galat dari perlakuan ke-i, kelompok ke-j, serta ulangan ke-k
c. Analisis pengujian mekanik sambungan Analisis perilaku sambungan menggunakan Linear Model The Two Stages Nested Design (Nested Design), dengan formulasi sebagai berikut :
y ijk = µ + τ i + β
j (i)
+ ε ijk
i = 1, 2 ,..., a j = 1, 2 ,..., b k = 1, 2 ,..., r
…………… 20)
36
dimana : Yijk
= pengamatan dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, serta ulangan ke-k
µ
= rataan umum
τi
= pengaruh faktor A ke-i
βj(i)
= pengaruh faktor B ke-j tersarang dari faktor A ke-i
εijk
= pengaruh acak dari faktor A ke-i, faktor B ke-j serta ulangan ke-k
Faktor A = variasi bambu dan variasi diameter pasak Faktor B = variasi jumlah pasak dalam sambungan i
= 1,2,3,4 , yaitu : 1. Betung dengan Ø 10 mm, 2. Betung dengan Ø 15 mm, 3. Sembilang dengan Ø 10 mm, 4. Sembilang dengan Ø 15 mm;
j
=
1,2,3,…..12, yaitu : 1. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 4, 2. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 6, 3. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 8, 4. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 4, 5. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 6 6. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 8, 7. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 4, 8. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 6, 9. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 8, 10. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 4, 11. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 6 12. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 8
k
= 1,2,3 (ulangan)
37
Diagram Penelitian
38
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bambu 1.
Kadar Air (KA) dan Berat jenis (BJ) Hasil pengujian KA dan BJ dari kedua jenis bambu ditinjau dari arah
longitudinal yaitu mulai dari bagian bawah (pangkal) sampai atas (ujung) dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Berat jenis dari kedua jenis bambu menunjukkan bahwa berat jenis mengalami kenaikan dari bagian bawah menuju keatas batang. Sebaliknya BJ berkorelasi negatif dengan KA yang akan semakin menurun pada posisi semakin keatas. Berdasarkan hasil pengujian dari kedua bambu terlihat bahwa bambu Sembilang pada bagian bawah dan atas mempunyai BJ yang lebih tinggi dibanding bambu Betung. Tetapi bagian tengah BJ bambu Betung lebih tinggi dibanding bambu Sembilang. Tabel 1 Nilai Rata-rata Berat Jenis (BJ) dan Kadar Air (KA) Bambu Bawah
Tengah
Atas
1
2
1
2
1
2
(posisi 1.5 m )
(posisi 3 m )
(posisi 4.5 m )
(posisi 6 m )
(posisi 7.5 m )
(posisi 9 m )
BJ
KA
BJ
KA
BJ
KA
BJ
KA
BJ
KA
BJ
KA
Betung
0.46
86.22
0.56
54.91
0.66
81.03
0.62
63.27
0.63
35.33
0.59
20.49
Sembilang
0.52
119.85
0.55
34.80
0.65
81.95
0.61
54.54
0.74
64.25
0.72
46.47
Jenis
Gambar 16 Diagram sebaran proporsi ikatan vaskuler ( dalam %).
Keterangan Gambar : A = Atas luar; B = Atas tengah; C = Atas dalam; D = Tengah luar; E = Tengah tengah; F = Tengah dalam; G = Bawah luar; H = Bawah tengah; I = Bawah dalam
39
Hasil pengujian anatomi menunjukkan bahwa proporsi ikatan vaskular terhadap proporsi pembuluh dan parenkim yang terdapat dalam bambu Betung pada bagian tengah luar mempunyai nilai tertinggi yaitu mencapai 74%, bisa dilihat pada Gambar 16 diatas. Pada bagian bawah dan atas bambu Sembilang mempunyai kecenderungan proporsi ikatan vaskulernya lebih tinggi dibanding bambu Betung. Penyebaran proporsi ikatan vaskuler dari batang bagian luar pada bambu Betung dan Sembilang seluruhnya hampir diatas 50%, sedangkan pada bagian tengah dan dalam hanya berkisar antara 30-50%. Secara umum sebaran proporsi ikatan vaskuler pada bambu Betung adalah 35.64 – 74.01%, sedangkan pada bambu Sembilang adalah 36.01 – 56.20%. Panshin (1970) mengemukakan bahwa nilai BJ antara lain tergantung pada ukuran sel, ketebalan dinding sel dan hubungan antara ukuran dan ketebalan sel. Struktur sel yang mempengaruhi nilai BJ adalah sel serabut (sklerenkim) yang terdapat pada ikatan vaskuler karena berdinding relative tebal dibandingkan jaringan dasar, sehingga berpengaruh terhadap berat. Pada Tabel 2 dapat dilihat jumlah ikatan vaskuler per µm2 pada setiap posisi dalam satu batang. Nuriyatin (2000) telah melakukan pengamatan anatomi bambu menjelaskan bahwa terdapat perbedaaan distribusi ikatan vaskular antar jenis bambu yang dapat memberikan indikasi perbedaan nilai BJ antar bambu meskipun tidak selalu berbanding lurus. Hal ini tidak berarti bahwa distribusi ikatan vaskular kurang bermanfaat dalam menduga keterkaitannya dengan nilai BJ, namun akan lebih baik apabila dipergunakan untuk jenis bambu yang ikatan vaskulernya sama. Tabel 2 Jumlah ikatan vaskuler pada setiap lokasi pengujian Jenis Posisi Atas Luar (A) Atas Tengah (B) Atas Dalam (C) Tengah Luar (D) Tengah Tengah (E) Tengah Dalam (F) Bawah Luar (G) Bawah Tengah (H) Bawah Dalam (I)
Jumlah Ikatan Vaskuler /µm2 Betung Sembilang 2 2 2 1 1 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1
40
Pendekatan yang dapat menjelaskan adanya perbedaan nilai BJ dari bawah sampai atas melalui perbedaan persentase serabut yang dimilki setiap jenis bambu. Namun hal ini tidak selalu berarti bahwa kandungan % serabut yang tinggi mencerminkan BJ yang yang tinggi. Hal ini disebabkan karena nilai BJ sangat berkaitan dengan ketebalan dinding sel. Dengan demikian faktor yang cukup menentukan nilai BJ adalah % serabut berdinding tebal (sklerenkim) yang dikandung suatu jenis bambu dan untuk mendapatkan % sklerenkim cukup sulit apabila dilakukan manual dan nilainya akan bervariasi antar jenis. Perbedaan komposisi kimia batang bambu antar jenis juga dapat mempengaruhi nilai BJ walaupun secara umum setiap jenis bambu mempunyai stuktur kimia yang sama. Variasi struktur kimia yang dikandung masing-masing jenis bambu akan berperan dalam menentukan nilai BJ. Distribusi BJ dari setiap lapisan pada bambu Betung disajikan pada Gambar 17 dibawah ini. Nilai BJ akan semakin meningkat dari bagian dalam menuju luar (daerah yang bersinggungan dengan kulit luar). Bambu Betung mempunyai sebaran BJ dari 0.379 sampai 0.91 sedangkan bambu Sembilang mempunyai sebaran BJ yang lebih sempit yaitu antara 0.491 - 0.871, disajikan pada Gambar 18. Nilai sebaran BJ bambu Bentung menunjukkan sangat beragamnya sifat dari satu batang bambu.
Gambar 17 Diagram sebaran BJ bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang .
41
Gambar 18 Diagram sebaran BJ bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu batang.
Hasil penelitian Liese dalam Lindholm (2007) menyatakan variasi BJ bambu rata-rata antara 0.5-0.9. Variasi distribusi serat pada batang bagian luar lebih rapat dibanding pada bagian dalam, hal ini berarti bahwa pada bagian luar mempunyai BJ lebih tingi dibanding bagian dalam. Dari nilai sebaran BJ tersebut diatas, apabila dicermati hampir 90% nilai BJ adalah diatas 0.5. Kondisi ini dapat dijadikan perhatian apabila kita akan menggunakan bambu Betung sebagai bahan baku suatu produk komposit yang menginginkan suatu kerapatan tertentu bahkan hampir seragam. Nilai BJ lebih besar dari 0.6 dapat kita peroleh pada setiap sebaran titik pengujian sebanyak kurang lebih 6 lapisan yang terluar. Hal ini dapat diartikan bahwa apabila satu lapisan mempunyai ketebalan ± 1 mm, maka dinding bambu dari bagian paling bawah sampai atas yang dapat digunakan dengan target BJ 0.6 adalah setebal ± 6 mm. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan bambu Sembilang, dimana hampir 95% sebaran nilai BJ diatas 0.5. Dengan ketebalan dinding bambu ± 6 mm dari kulit luar kita mendapatkan nilai BJ diatas 0.6. Kecuali pada bagian bawah yang bisa mencapai ketebalan ± 10 mm. Perbedaan ini disebabkan batang bambu Sembilang yang mempunyai bentuk sangat mengerucut, dimana pangkal bawah batang bambu Sembilang sangat besar dan meruncing menuju ke atas/ujung. Dalam penggunaan bambu yang rasional sebaiknya berpedoman kepada azas pemilihan mekanik dengan memperhatikan korelasi dengan berat jenis, kadar lengas, lama pembebanan, miring serat dll.
(Nuriyatin 2000). Liese dalam
42
Lindholm (2007) menyatakan bahwa BJ merupakan salah satu yang menentukan sifat mekanik pada batang bambu. BJ tergantung pada banyak dan diameter serat serta tebal dinding sel. Oleh karena itu sifat mekanik sangat signifikan pada setiap batang dan antar jenis bambu. Kadar air akan mengalami penurunan pada posisi semakin ke atas/ujung seperti disajikan pada Tabel 1 bahwa kandungan air yang dimiliki oleh bambu Sembilang lebih tinggi dibanding oleh bambu Betung, yaitu berkisar antara 23.87 – 136.72 %. Adapun sebaran nilai KA pada bambu Betung berkisar antara 15.24 – 111.82 %. Hal ini dapat dihubungkan oleh proporsi ikatan serabut seperti pada Gambar 16 diatas bahwa di beberapa tempat khususnya sisi terluar, proporsi serabut bambu Bentung lebih tinggi dibanding pada bambu Sembilang. Sattar dalam Nuryatin (2000) perbedaan KA dipengaruhi perbedaan struktur anatomi dan komposisi kimia antar jenis bambu karena hal ini berkaitan dengan besarnya volume udara dalam batang bambu. Kandungan air dari posisi bawah sampai atas menunjukkan kecenderungan perbedaan hal ini dikarenakan pada bagian atas
proporsi ikatan serabut lebih banyak dan didukung oleh proses
lignifikasi yang lebih banyak sehingga lebih stabil dan mengandung kadar air yang relatif lebih rendah dibandingkan pada bagian bawah. Ini berarti volume total zat dinding sel serabut dan jumlah ekstraktif meningkat yang mengisi ronga sel sehingga volume rongga udara cenderung lebih kecil. BJ bambu Betung paling tinggi dibanding bambu Andong, Temen, Tali dan Hitam. Sedangkan ditinjau dari bagian bawah bambu Hitam mempunyai BJ paling tinggi tetapi berbeda pada bagian atas, BJ tertinggi pada bambu Betung.
2.
Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) MOE menunjukkan sifat kekakuan dan diterapkan pada kondisi
batas
proporsi sebagai penduga kekuatan yang lebih baik dibandingkan pendugaan yang berdasarkan atas BJ atau kekerasan karena mempunyai kepekaan terhadap cacat. Sebaran nilai MOE bambu Betung dan Sembilang mempunyai kecenderungan semakin meningkat pada posisi dalam menuju keluar dan dari posisi bawah menuju keatas (Gambar 19 dan 20). Hal ini seperti dituliskan pada penelitianpenelitian sebelumnya, seperti Yu et al. (2008) yang telah melakukan penelitian
43
bambu Moso (Phyllostachys pubescens) yang menunjukkan bahwa MOE mengalami penurunan dari lapisan terluar menuju lapisan terdalam. Dan penelitian yang dilakukan Nuriyatin (2000) memberikan hasil bahwa nilai MOE mempunyai kecenderungan yang meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung.
Gambar 19 Diagram sebaran MOE bambu Betung setiap lapisan dalam satu batang.
Gambar 20 Diagram sebaran MOE bambu Sembilang setiap lapisan dalam satu batang.
Dari hasil penelitian ini terlihat nilai MOE yang dimiliki bambu Sembilang mempunyai kecenderungan lebih tinggi dari bambu Betung. Sifat MOE ini juga masih dipengaruhi oleh BJ yang dimiliki, dimana hasil yang telah disampaikan diatas bahwa BJ bambu Sembilang mempunyai kecenderungan lebih tinggi dibanding BJ bambu Betung, sehingga sifat MOE yang dimiliki oleh bambu Sembilang lebih tinggi dibanding MOE bambu Betung. Karena BJ merupakan sifat fisik bambu maupun kayu yang mempengaruhi sifat mekaniknya.
44
Nilai MOR mempunyai korelasi yang positif terhadap MOE, hal ini ditunjukkan dengan distribusi MOR mempunyai pola yang mirip terhadap distribusi MOE (Gambar 21 dan 22). Pengujian bending pada bambu Betung dan Sembilang menghasilkan sebaran peningkatan MOR dari posisi bawah menuju ke atas dan pada lapisan yang dalam menuju lapisan yang terluar.
Gambar 21 Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Betung.
Gambar 22 Diagram hubungan MOR dan MOE pada bambu Sembilang.
Dan sebaran MOR yang dihasilkan bambu Sembilang mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding pada bambu Betung. Hal ini berkesesuaian dengan sebaran MOE serta BJ. Meskipun pada bagian bambu Betung ada yang mempunyai nilai MOR yang menonjol yaitu pada bagian tengah lapisan luar hal ini dipengaruhi oleh proporsi ikatan vaskuler yang tinggi dibanding pada bagian yang lain. Nilai MOE dan MOR bambu Betung mempunyai sebaran dengan nilai 5 515.68 – 13 934.07 kg/cm2 dan 160.38 – 366.11 kg/cm2. Bambu Sembilang mempunyai sebaran nilai MOE dan MOR yang lebih tinggi dari bambu Betung, yaitu 4 745.07 – 24 329.92 kg/cm2 dan 144.70 - 508.93 kg/cm2. Subyakto (1995) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa bambu Betung mempunyai MOE tertinggi dibanding bambu Tali, Temen, Andong dan Hitam. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur khususnya sklerenkim yang dimilki yang sekaligus menunjukkan perbedaan nilai BJ.
45
Kecenderungan BJ tinggi mempunyai MOE yang tinggi. Dengan demikian BJ mempunyai peranan yang penting dalam menentukan sifat fisik mekanis, selanjutnya Jassen dalam Nuriyatin (2000) menuliskan bahwa nilai MOE ditentukan oleh persentase sklerenkim. Hubungan nilai BJ dan MOR dari kedua jenis bambu dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24 dibawah. Dari diagram tersebut dilihat pola sebaran BJ yang mempengaruhi MOR dengan korelasi yang positif, yaitu dengan meningkatnya BJ maka MOR juga akan meningkat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan kuat antara nilai MOE dan MOR sehingga menduga MOR dengan MOE dapat dilakukan. Klop dalam Lindholm (2007) menyatakan bahwa bambu mempunyai kekuatan lentur dapat mencapai dua sampai tiga kali lebih tinggi pada bagian luar dibandingkan pada bagian dalam.
Gambar 23 Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Betung.
Gambar 24 Diagram hubungan BJ dan MOR pada bambu Sembilang
Pada bambu Betung nilai BJ tertentu tidak memberikan interval MOR tertentu, sebaliknya pada sebaran BJ bambu Sembilang memberikan pola interval MOR yang dihasilkan dari BJ tertentu, yang diilustrasikan oleh persegi panjang diatas Gambar 23 dan 24. Dengan sebaran yang terpola maka pada bambu Sembilang dapat lebih mudah untuk pemilihan bagian dari batang bambu untuk digunakan suatu bahan komposit dengan karekteristik tertentu, khususnya dalam hal pencapaian kerapatan dan kekuatan tekan yang ingin dicapai. Berdasarkan
46
penelitian pemanfaatan bambu sebagai bahan bangunan juga telah dilakukan oleh Surjokusumo dan Nugroho (1994) khususnya untuk sifat anatomi, fisik, mekanik dan balok laminasi bambu sebagai tulangan beton dengan maksud untuk mencapai tujuan penggunaan yang effisiennya, disimpulkan bahwa D. asper mempunyai prospek yang baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan yang serba guna. Dengan hasil pengujian dari bawah menuju ke atas, dan dari dalam menuju keluar, sebaran kekuatan dari batang bambu utamanya dipengaruhi oleh BJ dan MOR. Dari penelitian ini dapat diperoleh sebaran kekuatan yang lebih spesifik dengan mengambil bagian dengan BJ diatas 0.5, maka akan diperoleh sebaran MOR seperti disajikan pada Gambar 25. Bambu Betung dan Sembilang MOR yang mirip. Jelas terlihat bahwa hubungan sebaran dari BJ dan MOR adalah linier yang berkorelasi positif. MOR akan semakin meningkat pada posisi semakin ke atas pada batang, dimana sebarannya sangat terlihat jelas dengan tiga area bawah , tengah dan atas, meskipun perbedaan BJ tidak terlalu nyata.
Gambar 25 Sebaran MOR pada bambu Betung dan Sembilang dengan BJ lebih besar dari 0,5
3.
Struktur Anatomi Sifat mekanik suatu batang bambu dapat dijelaskan oleh struktur
anatominya, Liese dalam Lindholm (2007). Bambu tidak mempunyai sel radial seperti yang terdapat pada kayu, yang berfungsi untuk transportasi cairan dan makanan. Pada bambu, buku bertindak sebagai transportasi. Sel berbeda pada setiap bagian yang berbeda pada batang, arah vertikal pada sepanjang batang dan
47
arah transversal dari dinding batang. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian anatomi untuk mengetahui dimensi serat serta sebaran dan pola dari ikatan vaskular. Dimensi serat dari bambu Bentung dan Sembilang dituangkan dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3 Dimensi serat pada bambu Betung dan Sembilang
Jenis Bambu Betung Betung Betung Sembilang Sembilang Sembilang
Posisi
Panjang Serat
Diameter Serat
Diameter Lumen
Atas Tengah Bawah Atas Tengah Bawah
µm 3107.84 4016.35 4040.40 3281.04 3516.91 4031.09
µm 25.63 28.00 30.69 38.38 43.86 41.79
µm 21.47 23.76 26.48 33.36 38.61 36.62
Tebal Dinding Serat µm 2.08 2.12 2.10 2.51 2.62 2.58
Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa panjang serat pada setiap batang bambu akan mengalami peningkatan. Panjang serat antara bambu Betung dan Sembilang hampir mempunyai kesamaan meskipun dari pengukuran terlihat serat bambu Betung lebih panjang dari bambu Sembilang. Diameter serat pada bambu Betung mempunyai pola seperti panjang serat, yaitu semakin tinggi posisi dari pangkal maka diameter seratnya semakin lebar. Akan tetapi berbeda pada bambu Sembilang, pada posisi tengah mempunyai diameter serat yang paling besar demikian pula halnya dengan diameter lumennya. Dinding serat yang paling tebal dimiliki oleh bambu Betung dan Sembilang pada posisi tengah batang. Bambu Sembilang mempunyai diameter serat, diameter lumen serta tebal dinding serat yang lebih tinggi dibanding bambu Betung. Dimensi serat yang dimiliki oleh bambu sangatlah berpengaruh terhadap BJ. Perbedaan nilai BJ dalam berbagai posisi batang bambu secara alami disebabkan karena perbedaan kecepatan pertumbuhan antara bagian bawah dan atas, sehingga pada bagian bawah terbentuk sel serabut yang panjang, berdinding tipis dan diameter besar, sedangkan pada bagian atas karena kecepatan tumbuh mulai menurun maka ukuran sel yang terbentuk sudah mulai memendek, berdiamter kecil dan berdinding tebal. Hal ini didukung oleh proses lignifikasi yang terjadi pada tanaman bambu dimana zat lignin akan lebih banyak berada di ruas yang lebih tinggi sehingga kondisi ini akan mempengaruhi BJ. Sayatan anatomi pada setiap bagian dari kedua jenis bambu dapat dilihat pada Gambar 26, 27 dan 28.
48
Sembilang Atas Bagian Luar
Betung Atas Bagian Luar
Sembilang Atas Bagian Tengah
Betung Atas Bagian Tengah
Sembilang Atas Bagian Dalam
Betung Atas Bagian Dalam
Gambar 26 Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian atas.
• Sembilang Tengah Bagian Luar
Betung Tengah Bagian Luar
Sembilang Tengah Bagian Tengah Sembilang Tengah Bagian Dalam
Betung Tengah Bagian Tengah
Betung Tengah Bagian Dalam
Gambar 27. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian tengah
Sembilang Bawah Bagian Luar
Betung Bawah Bagian Luar
Sembilang Bawah Bagian Tengah Sembilang Bawah Bagian Dalam
Betung Bawah Bagian Tengah
Betung Bawah Bagian Dalam
Gambar 28. Anatomi bambu Betung dan Sembilang pada bagian bawah
49
Karakteristik LVL 1.
Kadar Air (KA) dan Kerapatan Hasil pengujian kadar air dari ketiga LVL menunjukkan hasil bahwa kadar
air yang dimiliki masih memenuhi persyaratan standar SNI 01-6240-2000, yaitu dibawah 14%. Nilai yang dihasilkan berkisar 12.36-13.39% disajikan dalam Tabel 4. LVL B, yang disusun dari vinir kayu Karet dan Sengon menggunakan perekat PF, mempunyai kandungan air tertinggi yaitu 13.39%. Sebaliknya dengan kerapatan, LVL B mempunyai kerapatan paling rendah yaitu 0.53 g/cm3. Hal ini berkaitan dengan penyusun LVL B yang tersusun atas vinir Karet dan Sengon. Kayu Sengon utuh mempunyai kerapatan 0.37 g/cm3 (Kikata et al. 2002). Tabel 4 Nilai Kadar Air dan Kerapatan dari 3 jenis LVL Kode KA (%) Std. Dev KA Kerapatan (g/cm3) Std. Dev Kerapatan A 12.70 0.42 0.69 0.02 B 13.39 0.08 0.53 0.03 C 12.36 0.16 0.67 0.01 Keterangan : A = Karet + PF ; B = Karet + Sengon + PF; C = Karet + MUF
Kayu Sengon merupakan kayu dengan kerapatan rendah yang mempunyai dinding sel yang lebih tipis dan rongga sel yang besar, sehingga hal ini memudahkan air bebas tertarik ke dalam rongga sel. Pada LVL B mempunyai jumlah vinir paling banyak daripada LVL A dan C. Penggunaan perekat MUF dari hasil pengujian memberikan pengaruh yaitu memperkecil kadar air, sehingga kadar air hanya mencapai 12.36% yaitu nilai terkecil dari ketiga LVL yang diuji. Sifat melamin pada MUF mempunyai sifat tahan terhadap air, sehingga dapat membantu menghalangi air yang masuk ke dalam vinir kayu sehingga menghasilkan LVL dengan kadar air yang rendah. Dilihat dari hasil pengujian kadar air terlihat nyata bahwa penggunaan vinir Sengon dalam LVL meningkatkan kadar air dan menurunkan kerapatan. Tetapi tidak dengan penggunaan perekat yang berbeda, yaitu PF dan MUF, tidak terlihat nyata perbedaan hasil pengujian kadar air dan kerapatan. Berdasarkan hasil sidik ragam menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa jenis LVL berpengaruh sangat nyata terhadap KA dengan nilai Pvalue 0.008 dengan derajat kepercayaan 95%. Dengan uji lanjutan menggunakan Tukey dapat dilihat bahwa LVL A dan LVL B
50
mempunyai pengaruh nyata, demikian juga dengan LVL B terhadap LVL C. Tetapi berbeda dengan LVL A terhadap LVL C tidak menujukkan perbedaan yang nyata dalam KA. Jenis LVL juga sangat berpengaruh nyata terhadap kerapatan dari ketiga jenis LVL tersebut. Hal ini dibuktikan pada analisis sidik ragam ANOVA yang menghasilkan Pvalue 0.000 dengan derajat kepercayaan 95%. Untuk melihat berbedaan nyata antar LVL dilakukan uji Tukey dengan hasil bahwa LVL A dan LVL B berbeda nyata, seperti halnya LVL B tehadap LVL C. Tidak beda nyata ditunjukkan pada LVL B terhadap LVL C. Pengaruh jenis LVL mempunyai pengaruh yang sama pada KA dan kerapatan. Akan tetapi KA dan kerapatan itu sendiri mempunyai korelasi negatif dengan Pvalue 0.018 dengan derajat kepercayaan 95%. Persamaan regresi antara KA dan kerapatan dapat dituliskan bahwa, kerapatan = 2.12 – 0.116 KA
2.
Delaminasi Berdasarkan SNI 01-6240-2000 mempersyaratkan bahwa nisbah delaminasi
rata-rata tidak lebih dari 10% dan panjang kerusakan 1 garis rekat tidak lebih dari 1/3 atau 33% dari panjang garis rekat pada setiap sisi. Dari hasi pengujian dapat dilihat pada Gambar 29, dapat dinyatakan bahwa ketiga jenis LVL mempunyai keteguhan rekat baik pada pengujian struktural maupun non struktural yang bagus yaitu dibawah 33%. Kerusakan garis rekat terbesar pada LVL C baik pengujian struktural maupun non struktural yaitu mencapai 1.88% dan 1.54%. Kondisi ini diduga karena penetrasi MUF kurang sempurna dibanding dengan penetrasi UF. Walapun demikian, hasil tersebut masih cukup jauh dibawah yang dipersyaratkan. Penetrasi yang paling sempurna dicapai pada LVL B pada pengujian non struktural, hasil pengujian menunjukkan tidak ada kerusakan garis rekat pada contoh ujinya. Dua dari ketiga jenis LVL, yaitu LVL B dan LVLC, kerusakan garis rekat yang lebih besar terjadi pada pengujian struktural. Tetapi berbeda dengan LVL A mempunyai ketahanan rekat lebih bagus pada pengujian struktural sehingga dapat dikatakan bahwa LVL A lebih tahan pada kondisi air dingin. Hasil pengujian sidik ragam didapatkan bahwa delaminasi baik non struktural maupun struktural tidak berbeda nyata pada ketiga jenis LVL. Nilai Pvalue (Lampiran 2) yang cukup besar, yaitu masing-masing 0.2448 untuk non struktural
51
dan 0.268 untuk struktural dengan derajat kepercayaan 95%. Tetapi kedua hasil delaminasi ini mempunyai korelasi positif dengan Pvalue 0.007 dengan derajat kepercayaan 95% dan persamaan regresinya dapat dirumuskan bahwa delaminasi non struktural = -0.062 + 0.856 delaminasi struktural
Gambar 29 Histogram Pengujian Delaminasi pada 3 Jenis LVL.
3.
Geser Horisontal Berdasarkan hasil pengujian geser horisontal menunjukkan bahwa hampir
semua LVL yang diuji memenuhi kategori yang telah distandarkan oleh SNI 016240-2000 seperti terlihat pada Gambar 30. Hasil terbaik ditunjukkan dalam menahan gaya geser horisontal ini adalah LVL C pada posisi tegak, yaitu gaya sejajar garis rekat, dengan nilai 62.30 kg/cm2. Pada setiap pengujian tegak memberikan hasil yang lebih besar daripada pengujian datar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa LVL lebih mampu menahan gaya geser horisonal sejajar arah garis rekat dibandingkan tegak lurus garis rekat.
SNI 01-6240-2000 Min 35 kg/cm2 utk Tegak SNI 01-6240-2000 Min 30 kg/cm2 utk Datar
Gambar 30 Histogram Pengujian Geser Horisontal pada 3 Jenis LVL.
52
Persyaratan tidak dapat dicapai pada pengujian geser horisontal posisi datar pada LVL B. Kondisi ini tidak mendukung pada pengujian delaminasi non struktural dimana LVL B mempunyai kesempurnaan kerekatan antar vinir penyusunnya. Tetapi dengan pembebanan sejajar arah vinir LVL B mempunyai nilai dibawah yang dipersyaratkan yaitu kurang dari 35 kg/cm2. Hal ini dapat diduga bahwa pada LVL B telah terjadi penetrasi yang sempurna pada perekatan antara vinir Karet dan Sengon,
akan tetapi vinir Sengon yang mempunyai
kekuatan rendah mempengaruhi ketahanan terhadap gaya geser yang dibebankan. Analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa jenis LVL mempunyai pengaruh sangat nyata pada pengujian geser horisontal. Pada pengujian geser horinsontal tegak (GHT) mempunyai Pvalue 0.001 dengan derajat kepercayaan 95%, hal ini menunjukkan bahwa jenis LVL berpengaruh sangat nyata terhadap pengujian geser horizontal tegak. Pengujian lanjutan dengan Tukey memperlihatkan bahwa LVL A dan LVL B, serta LVL B dan LVL C mempunyai perbedaan yang sangat nyata pada pengujian geser horizontal tegak ini. Tetapi berbeda dengan LVL A dan LVL C tidak memberikan perbedaan yang nyata pada pengujian ini. Kondisi tersebut tidak berbeda dengan pengujian geser horisontal datar (GHD), dimana jenis LVL sangat berpengaruh nyata terhadap hasil pengujian dengan Pvalue 0.000 dengan derajat kepercayaan 95%. Ditinjau dari posisi pengujian, keduanya mempunyai korelasi positif meski nilai geser horisontal tegak dan dapat dituliskan oleh persamaam regresi GHT = 16.7 + 0.792 GHD 4.
Modulus of Rupture (MOR) Pengujian MOR memberikan gambaran terhadap kemampuan contoh uji
dalam menahan suatu beban sampai batas material tersebut tidak mampu lagi menahan beban/gaya yang diberikan. Sifat mekanis ini merupakan sifat yang sangat penting untuk penggunaan struktur. Hasil pengujian MOR dari ketiga LVL yang dipakai disajikan pada Gambar 31. Pada Gambar tersebut dapat dilihat bahwa pengujian pada posisi datar memberikan hasil yang lebih tinggi daripada pengujian pada posisi tegak pada masing-masing LVL. Hal ini dapat dikatakan bahwa LVL lebih mampu menahan beban pada posisi gaya tegak lurus serat dari pada sejajar dengan garis rekat. Nilai MOR yang dihasilkan berkisar antara
53
371 – 655 kg/cm2. Nilai tersebut telah memenuhi yang dipersyaratkan dalam SNI 01-6240-2000.
SNI 01-6240-2000 Min 300 kg/cm2 utk Mutu Khusus
Gambar 31 Histogram Pengujian MOR pada 3 Jenis LVL.
LVL A memberikan hasil yang terbaik pada pengujian MOR baik pada pengujian datar maupun tegak. Hal ini diduga karena perekat UF dapat memberikan kekuatan rekat yang baik sehingga mampu menahan gaya tekan yang diberikan. Dalam menahan gaya tekan ini dapat diduga bahwa dengan menggunakan vinir dari Sengon memberikan perlemahan dalam menahan gaya tekan yang diberikan. MOR dari kayu utuh Sengon termasuk rendah, yaitu 535 kg/cm2 (Kikata et al. 2002), Seperti juga yang dinyatakan oleh Green et al. (1999) bahwa MOR merupakan salah satu sifat dari kekuatan bahan yang dipengaruhi salah satunya oleh kerapatan. Sehingga hasil MOR pada LVL B mempunyai hasil yang paling rendah sesuai dengan hasil kerapatan yang paling rendah juga, dibandingkan LVL A dan LVL C. Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan Anova menunjukkan bahwa jenis LVL berpengaruh sangat nyata pada MOR pada posisi tegak dengan mendapatkan Pvalue 0.001 dengan derajat kepercayaan 95% (Lampiran 4). Pengujian lanjutan dengan Tukey memperlihatkan bahwa LVL A dan LVL B, serta LVL B dan LVL C mempunyai perbedaan yang sangat nyata pada pengujian MOR tegak (MORt)
ini. Tetapi berbeda dengan LVL A dan LVL C tidak
memberikan perbedaan yang nyata pada pengujian ini. Kondisi tersebut sedikit
54
berbeda dengan pengujian MOR pada posisi datar, dimana jenis LVL mempunyai pengaruh nyata terhadap hasil pengujian dengan Pvalue 0.026 dengan derajat kepercayaan 95%. Pada uji lanjutan Tukey LVL A terhadap LVL B mempunyai perbedaan nyata, sedangkan LVL A dengan C dan LVL B dengan C tidak memepunyai perbedaan yang nyata pada pengujian MOR datar (MORd). Ditinjau dari posisi pengujian, keduanya mempunyai korelasi positif sehingga nilai MOR tegak terhadap MOR datar dapat dituliskan oleh persamaam regresi MORt = 84 + 0.766 MORd
5.
Modulus of Elasticity (MOE) Hasil pengujian dapat dilihat bahwa pengujian pada posisi datar
memberikan nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan pada posisi tegak. Hal ini diduga bahwa pengujian sejajar vinir dapat memberikan tahanan elastis yang lebih tinggi dari pada gaya yang diberikan tegak lurus vinir. Hasil pengujian MOE dapat dilihat pada Gambar 32. Nilai MOE berkisar antara 7.7 x 104 kg/cm2 – 11.6 x 104 kg/cm2. Nilai tersebut memenuhi persyaratan SNI 01-6240-2000 baik pada penggunaan posisi datar maupun tegak sehingga masuk kategori 80E – 120E. Hasil yang terbesar diperoleh pada LVL A pada posisi tegak yang kemudian diikuti LVL C pada posisi yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan perekat tidak signifikan dalam mempengaruhi sifat kelenturan dari LVL. Tetapi nilai yang rendah dilihat pada LVL B, hal ini diduga bahwa penggunaan vinir Karet yang dicampur dengan Sengon memperkecil nilai MOE yang dihasilkan. Karakteristik kayu utuh Sengon mempunyai MOE yang rendah yaitu 6.8 x 104 kg/cm2 (Kikata et al. 2002) SNI 01-6240-2000 Min 70 x 103 kg/cm2
Gambar 32 Histogram Pengujian MOE pada 3 Jenis LVL.
55
Hasil pengujian diatas duji dengan sidik ragam yang terdapat pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa jenis LVL terhadap pengujian MOE pada posisi tegak sangat berpengaruh nyata, yaitu dengan ditunjukkan Pvalue 0.015 dengan derajat kepercayaan 95%. Uji lanjutan dengan Tukey mendapatkan hasil yang tidak berbeda dengan MOR, yaitu LVL A dan LVL B, serta LVL B dan LVL C mempunyai perbedaan yang sangat nyata pada pengujian MOE tegak ini. Dan LVL A dan LVL C tidak memberikan perbedaan yang nyata pada pengujian ini. Lain hal pengujian pada MOE datar, dalam sidik ragam menunjukkan bahwa pengujian MOE datar tidak berpengaruh nyata pada jenis LVL, yaitu dengan Pvalue 0.125 dengan derajat kepercayaan 95%. Pola kerusakan pada LVL yang terjadi pada pengujian bending yaitu pada daerah rekatan antara vinir kemudian diikuti oleh daerah tarik yang ada di bagian bawah LVL. Hal ini biasa terjadi pada pengujian bending balok utuh maupun komposit seperti Sulistyawati et al. (2008) menyatakan bahwa kerusakan (failure) balok laminasi horisontal sering diawali dengan terjadinya slip pada sambungan antara lapisan diikuti kerusakan pada serat terbawah daerah tarik. Gambar 34 dapat memberikan Gambaran pola kerusakan yang terjadi pada setiap jenis LVL.
LVL A
LVL B
LVL C
Gambar 33 Pola kerusakan pada pengujian bending dari 3 jenis LVL.
Pada LVL A dan LVL C mempunyai pola kerusakan yang hampir sama yaitu pada awalnya terjadi pada garis sumbu LVL kemudian kerusakan menuju pada daerah tarik yang berada di vinir tepi bawah. Kerusakan yang terjadi lebih banyak pada kerusakan vinir penyusunnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan perekat yang menyatukan vinir mampu berikatan dengan baik. Kondisi ini didukung oleh pengujian delaminasi dan keteguhan geser horisontal.
56
Pola kerusakan pada LVL B mempunyai sedikit perbedaan dari kedua LVL yang lain. Kerusakan diawali pada sepertiga bagian bawah LVL yaitu belum mencapai sumbu LVL tepatnya pada vinir Sengon sebagai salah satu penyusunnya, sebelum kerusakan menuju ke bagian tepi. Vinir Sengon mengalami kerusakan dengan sobekan yang panjang hal ini dapat dikatan bahwa vinir Sengon tidak cukup kuat dapat menerima gaya tarik. Hal ini didukung oleh penelitian Murata et al. (2008) yang menyatakan bahwa pada pengujian geser tarik dan bending, kerusakan LVL yang tersusun atas vinir Karet dan Sengon, terjadi pada lapisan vinir Sengon (Paraserianthes falcataria). Sehingga vinir Sengon yang mempunyai kerapatan rendah dapat menjadi perlemahan dalam mencapaikan kekuatan LVL. Pola kerusakan dapat memberikan gambaran kekuatan dari LVL. 6.
Emisi Formaldehida Hasil pengujian emisi formaldehida dari masing-masing jenis LVL yang
telah dibuat, diperoleh data bahwa emisi tertinggi dihasilkan oleh LVL C yang dibuat dari kayu Karet dengan menggunakan perekat MUF dengan emisi rata-rata 2.476 mg/liter, yang kemudian diikuti oleh LVL B yang dibuat dari kombinasi vinir kayu Karet dan Sengon dengan menggunakan perekat PF dengan emisi ratarata 0.582 mg/liter, dan emisi terendah dihasilkan oleh LVL A, yang dibuat dari vinir kayu Karet menggunakan perekat PF dengan emisi formaldehida sebesar 0.137 mg/liter. Secara teknis, metode WKI cukup mudah dilakukan dengan ukuran sample yang relatif kecil 2.5x2.5 cm. Waktu yang lebih lama memungkinkan absorbsi yang lebih maksimal. Akan tetapi dibanding dengan metode lain (desikator 2 jam dan 24 jam), metode ini cenderung menghasilkan nilai emisi yang lebih tinggi (Saptosari 2006). Walaupun demikian, dari hasil pengujian emisi yang telah dilakukan bila diperbandingkan dengan standar nilai emisi Formaldehida Japanese Agricultural Standard (JAS) A 5908:2003 yang tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Syarat mutu produk-produk kayu lapis, papan partikel, papan serat, dan LVL
Kelas F**** F*** F** F*S
Nilai rata-rata 0.3 mg/L 0.5 mg/L 1.5 mg/L 5.0 mg/L
Nilai Maksimum 0.4 mg/L 0.7 mg/L 2.1 mg/L 7.0 mg/L
57
LVL yang diujikan telah menuhi standar tersebut, karena dari ke tiga jenis produk LVL yang diujikan, nilai emisi tertinggi (LVL-C) yang didapatkan adalah rata 2.476 mg/liter yang berarti masih dibawah standard yang dipersyaratkan yaitu 7.0 mg/liter. Namun bila digunakan standard Amerika menurut ASTM D-558294 yaitu sebesar 0.01 mg/liter dan standar WHO sebesar 0.1 mg/liter, maka LVL tersebut belum memenuhinya karena emisi terendah yang dihasilkan (LVL- A) adalah 0.137 mg/liter. Hasil
pengukuran
emisi
juga
menunjukkan
bahwa
jenis
perekat
memberikan pengaruh yang nyata terhadap banyaknya emisi formaldehida yang dikeluarkan. Penggunaan perekat MUF (LVL-C) akan memberikan emisi Formaldehida yang tertinggi dibandingkan dengan penggunaan perekat PF (LVLA dan B). Penggunaan vinir kayu Sengon dalam pembuatan diduga dapat meningkatkan emisi formaldehida yang terjadi, dimana dari hasil pengujian LVL yang terbuat dari susunan veneer kayu Karet (LVL-A) menghasilkan rata-rata emisi Formaldehida sebesar 0.137 mg/liter yang mana lebih kecil dari LVL yang terbuat dari susunan vinir kayu Karet dan Sengon (LVL-B) yang menghasilkan rata-rata emisi Formaldehida sebesar 0.582 mg/liter. Karakteristik Pasak Bambu Laminasi 1
Kadar Air (KA) dan Kerapatan Kadar air serta kerapatan pasak dari dua jenis bambu dengan diameter 10
mm dan 15 mm telah diperoleh hasil yang dapat dilihat dalam Gambar 34 dan 35 dibawah ini. Kadar air yang dimiliki keempat pasak bambu mempunyai kemiripan yaitu berkisar antara 10% sampai 13%, hal ini menunjukkan bahwa keempat pasak tersebut mempunyai kadar air kering udara. Pasak bambu Betung dengan diameter 15 mm mempunyai rata-rata yang paling tinggi diantara ketiga pasak lainnya, akan tetapi sebaran nilai kadar airnya tidak berbeda nyata. Nilai yang hampir sama juga dihasilkan pada pengujian kerapatan pada keempat pasak. Kerapatan yang dimilki dari keempat pasak adalah berkisar antara 0.8-0.9 g/cm2. Kerapatan pasak ini mempunyai nilai sedikit lebih besar dibanding berat jenis dari bahan baku, yaitu bambu Betung dan Sembilang yang mempunyai rata-rata BJ 0.8. Kontribusi perekat dimungkinkan meningkatkan kerapatan pasak.
58
Gambar 34 Hasil pengujian kadar air pasak bambu.
Gambar 35. Hasil pengujian kerapatan pasak bambu Keterangan Gambar 34, 35 : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15
Meninjau dari hasil kadar air yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis bambu, yaitu Betung dan Sembilang, serta interaksi dari kedua variabel, yaitu jenis bambu dan besar diameter pasak, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kedua sifat fisik pasak. Pembedaan atas diameter memberikan pengaruh yang nyata nilai kadar air. Hal ini dibuktikan pada hasil sidik ragam ANOVA yang ditabelkan pada Tabel 6, dimana nilai Pvalue 0.010 yaitu lebih kecil dari 5% selang kepercayaan. Kerapatan yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis bambu, yaitu Betung dan Sembilang, serta besar diameter pasak, yaitu 10 mm dan 15 mm, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kedua sifat fisik pasak. Hasil uji sidik ragam dapat dilihat di Tabel 6 berikut, yang menunjukkan bahwa semua
59
variabel menghasilkan Pvalue lebih besar 5%. Perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 6. Tabel 6 Nilai Pvalue dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian KA dan Kerapatan Parameter Variabel Jenis bambu (JB) Diameter (ø) Interaksi JB & ø
KA
Kerapatan
0.514 0.010* 0.514
0.252 0.967 0.143
Keterangan : * memberikan pengaruh yang nyata
2.
Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity (MOE) Pengujian Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity (MOE)
dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik dari pasak. Hasil dari pengujian MOR dapat disajikan dalam Gambar 36. Nilai MOR yang diperoleh berkisar 595.38 sampai 1 193.87 kg/cm2 untuk pasak bambu Betung diameter 10 mm dan 847.14 sampai 1 116.72 kg/cm2 untuk pasak bambu Sembilang diameter 10 mm. Pasak dengan ø 15 mm mempunyai nilai antara 1 247.25 sampai 1 372.20 kg/cm2 untuk pasak bambu Betung dan berkisar 1 148.56 sampai 1 420.82 kg/cm2 untuk bambu Sembilang.
Gambar 36. Hasil pengujian MOR pasak bambu Keterangan Gambar : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15
60
Jenis bahan baku yaitu bambu Betung dan Sembilang ternyata tidak menunjukkan perbedaan pada nilai MOR. Perbedaaan diameter secara signifikan meningkatkan nilai MOR. Peningkatan MOR pada pasak 15 mm rata-rata mempunyai kenaikan 50% dari pasak 10 mm, sehingga dapat dikatakan bahwa kenaikan MOR berkorelasi positif dengan besar diameter pasak. Ditinjau dari bahan baku, hasil komposit pasak bambu ini mempunyai nilai MOR yang lebih tinggi dibanding bambu yang belum dilaminasi. Penggunaan dan sistem perekatan yang baik dalam proses laminasi bambu, pada saat pembuatan pasak, mempunyai kontribusi dalam peningkatan sifat MOR yang dimiliki pasak bambu ini. Pada Gambar 37 disajikan hasil pengujian MOE. Pada grafik tersebut perilaku MOE berkorelasi positif dengan MOR (Gambar 36). Nilai hasil pengujian MOE untuk diameter 10 mm pada pasak bambu Betung antara 4 301.9 sampai 17 082 kg/cm2, sedangkan pada pasak bambu Sembilang mempunyai nilai dari 2 218.06 sampai 8 865.39 kg/cm2. Pada diameter 15 mm nilai MOE yang dihasilkan berkisar 12 613.4 – 33 346.9 kg/cm2 pada pasak bambu Betung, adapun MOE pasak bambu Sembilang antara 20 901.7 – 29 057.1 kg/cm2.
Gambar 37 Hasil pengujian MOE pasak bambu. Keterangan Gambar : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15
Nilai MOE menunjukkan bahwa perbedaan bahan baku pasak yang terdiri dari bambu Betung dan Sembilang terlihat tidak signifikan seperti halnya dengan MOR. Perbedaan diameter telah meningkatakan rata-rata MOE pasak. Pada diameter 15 mm telah terjadi peningkatkan MOE lebih dari dua kali MOE yang
61
diperoleh pasak bambu Betung diameter 10 mm. Peningkatan pada bambu Sembilang dapat meningkat lima kali lebih besar dari pasak diameter 10 mm. Nilai ini mendekati MOE dari bahan baku yaitu yang diambil dengan BJ lebih dari 0.6 dimana nilai MOE diatas 20 000 kg/cm2. Hasil sidik ragam menggunakan ANOVA dalam Lampiran7 menunjukkan bahwa pada pengujian MOE dan MOR, jenis bambu serta interaksi antara variabel jenis bambu dan diameter tidak memberikan perbedaan nilai yang nyata, yaitu Pvalue lebih besar dari 5% dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. nilai MOE dan MOR mempunyai perbedaan nyata dipengaruhi oleh diameter pasak, yaitu dengan nilai Pvalue pada MOE 0.004 dan Pvalue pada MOR 0.007 (disajikan dalam Tabel 7), hal ini berkesuaian dengan pengujian KA. Tabel 7
Nilai Pvalue dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian MOE dan MOR Parameter Variabel Jenis bambu (JB) Diameter (ø) Interaksi JB & ø
MOE
MOR
0.778 0.004* 0.404
0.746 0.007* 0.742
Keterangan : * memberikan pengaruh yang nyata
3.
Kembang Susut Pengujian kembang susut dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk
melihat kestabilan pasak, dimana sebagai bahan komposit berbahan lignoselulosa akan mengalami kembang dan susut. Sifat mengembang dari pasak bukan merupakan kelemahan pasak. Sifat mengembang pasak akan mengakibatkan gaya sesak dalam lubang pasak pada struktur sambungan, sehingga sambungan akan lebih kokoh. Sebaliknya, sifat penyusutan pasak bambu akan menjadi kelemahan dalam struktur pada keseluruhan, karena dengan menyusutnya pasak akan menggangu kestabilan sambungan. Hasil pengujian kembang susut dapat dilihat pada Gambar 38.
62
Gambar 38 Hasil pengujian kembang susut pasak bambu. Keterangan Gambar : A = Pasak Betung ø 10 ; B = Pasak Sembilang ø 10; C = Pasak Betung ø 15; D = Pasak Sembilang ø 15
Secara umum, nilai pengembangan pasak lebih besar dari pada susut. Kembang yang paling tinggi terjadi pada pasak bambu Sembilang diameter 15 mm rata-rata mencapai 6%. Pengembangan pasak bambu Sembilang lebih tinggi mempunyai hubungan dengan diameter lumen pada bambu Sembilang lebih besar dibanding pada bambu Betung. Selain itu perekatan yang kurang sempurna mengakibatkan pengembangan bahkan kerusakan garis rekat setelah dilakukan perendaman dalam pengujiannya. Ketiga jenis pasak lainnya mempunyai nilai kembang yang mirip yatu berkisar antara 2.4 – 3%. Berdasarkan analisis sidik ragam dengan menggunakan ANOVA dengan data pada Lampiran 8, dan Pvalue telah disajikan dalam Tabel 8, menunjukkan bahwa untuk sifat pengembangan pada pasak secara nyata dipengaruhi oleh variabel jenis bambu, diameter pasak dan interaksi keduanya dengan Pvalue kurang dari 5%. Adapun untuk sifat susut, jenis bambu tidak memberikan pengaruh nyata,akan tetapi diameter pasak serta interaksi dari diameter dan jenis bambu memberikan pengaruh yang nyata. Tabel 8
Nilai Pvalue dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam ANOVA untuk pengujian kembang susut Parameter Variabel Jenis bambu (JB) Diameter (ø) Interaksi JB & ø
Kembang
Susut
0.007* 0.030* 0.003*
0.460 0.004* 0.039*
Keterangan : * memberikan pengaruh yang nyata
63
Perhitungan Desain Sambungan Jenis sambungan yang dibuat merupakan sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak (n) yang digunakan berdasarkan pendekatan model kerusakan pada EN 1995-1-1: 2004 EUROCODE 5 dengan perumusan seperti pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13 diatas. Sambungan dengan baut dengan diameter 10 mm digunakan sebagai kontrol. Sebelum melakukan analisis perhitungan dari keempat model kerusakan ini, terlebih dahulu dilakukan pengujian Embedding Strength yang menghasilkan fh dan Bending 4 Point Loading menghasilkan nilai Yield Moment. Hasil pengujian disajikan dalam Tabel 9. Baut ø 10 mm dengan bahan baja yang digunakan sebagai kontrol telah diuji oleh Sulistyawati (2006), memiliki Yield Moment sebesar 460 kgfcm. Dari hasil pengujian, nilai Embedding Strength dan Yield Moment mengalami peningkatan seiring penambahan diameter pasak bambu. Pasak dari bambu Sembilang mempunyai nilai lebih tinggi daripada pasak bambu Betung. Tabel 9 Hasil pengujian Embedding Strength dan Bending 4 Point Loading Jenis Betung ø 10 Sembilang ø10 Betung ø 15 Sembilang ø15 Baut ø 10
Embedding Strength (kg/cm2) 87.03 92.96 97.07 99.96 396.99
Yield Moment (kgcm) 122.64 130.74 292.37 326.15 460.00
Berdasarkan nilai Embedding Strength dan Yield Moment diatas dilakukan analisis dengan menggunakan empat fomulasi model kerusakan. Kerusakan ini menggambarkan karakteristik kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung. Hasil perhitungan dari keempat model kerusakan disajikan dalam Tabel 10 dibawah, adapun perhitungan lengkap pada Lampiran 9. Tabel 10 Hasil perhitungan empat model kerusakan Jenis Betung ø 10 Betung ø 15 Sembilang ø 10 Sembilang ø 15 Baut ø 10
Model I
Model II
Model III
217.579 217.579 364.005 364.005 232.410 232.410 374.836 374.836 1091.721 1091.721
141.091 309.292 150.497 339.563 997.451
Model IV 6137.130 24477.603 6988.839 28118.221 241052.070
64
Dalam Tabel 10 terlihat bahwa model III mempunyai nilai tegangan yang paling rendah sehingga dapat diartikan model yang paling kritis. Kerusakan model III ini dapat diindikasikan bahwa kerusakan serat kayu yang terjadi pada balok pengapit (side member). Hal ini menandakan bahwa pada bagian balok yang telah dilewati pasak lebih mendapatkan tekanan tumpu pasak dibandingkan pada balok yang mempunyai sendi plastis (plastic hinge). Dalam perencanaan ini untuk menghasilkan jumlah pasak dengan cara membagi kapasitas beban yang diterima baut yaitu dengan nilai 997.451 kgf dengan nilai beban dari keempat jenis pasak. Sehingga didapat nilai n = 7 untuk diameter 10 mm, dan n = 3 untuk diameter 15 mm. Pada penelitian ini, variabel desain sambungan jumlah pasak adalah 4, 6 dan 8 batang. Pola penyusunan pasak berdasarkan atas Breyer (2007). Gambaran desain sambungan dapat dilihat pada Gambar 39 dibawah.
2 – 4D 3 – 4D 2 – 4D
1,5D
1,5D
½t t ½t
Gambar 39 Desain sambungan
Pengujian Sambungan Pasak Bambu Berdasarkan perencanaan jumlah serta formasi pasak dalam sambungan, maka dibuat sambungan dengan cara ketiga balok LVL yang akan disambung dibor tegak lurus serat dengan diameter lubang sebesar 90% diameter pasak. Pasak dimasukkan dalam lubang sesuai dengan jumlah dan ukuran lubang yang dibuat. LVL dan pasak yang digunakan untuk sambungan mempunyai kadar air kering udara , yaitu sebesar ± 12%. Pengujian sambungan diberikan dengan memberikan gaya tekan sejajar serat LVL dan posisi pasak tegak lurus serat dan garis rekat arah lebar. Sebagai
65
kontrol dalam pengujian ini adalah baut dengan diameter 10 mm. Pengujian dilakukan dengan alat UTM merk Tokyokoki dengan kecepatan 1 mm/menit serta dilengkapi dua Linier Variable Displacement Transducers (LVDT) sesuai dengan standar ASTM D 5652. Pada pengujian dilakukan pengamatan pada tiga titik pembebanan. Titik pertama yaitu daerah elastis (Proportional Limit Load, Pp), dengan defleksi atau sesaran ± 1.25 mm. Pengamatan kedua pada zona plastis (Yield Load, Py), dengan defleksi ± 1.5 mm. Pengamatan terakhir yaitu ada saat beban maksimum (Ultimate Load, Pu), yaitu pada saat sambungan mengalami kerusakan (failure). Ilustrasi dari kondisi sambungan pada saat pembebanan dapat dilihat pada Gambar 40 dibawah ini, sedangkan hasil pengamatan di tiga titik disajikan dalam Gambar 41. Pada Gambar 41 dapat dilihat bahwa pada sambungan yang menggunakan pasak bambu tidak terdapat beda yang nyata kekuatan beban yang diterima pada daerah proportional limit load (Pp) dan yield load (Py). Perbedaan bahan baku memberikan hasil tidak terlalu beda pada pengujian sambungan.
Gambar 40 Klasifikasi pola hasil pengujian tekan sambungan. Sumber : Fukuyama, 2008
66
Gambar 41 Hasil Pengujian tekan sambungan dalam pengamatan tiga titik pembebanan.
Penambahan diameter dan jumlah pasak meningkatkan beban yang diterima. Hasil pengujian pada baut dapat disandingkan pada pemakaian pasak diameter 10 mm dengan jumlah 8 pasak, serta diameter 15 mm dengan jumlah 4 pasak. Pada pengujian Embedding Strength dihasilkan bahwa satu pasak diameter 10 mm dan 15 mm mempunyai kemampuan menerima beban maksimum sebesar ± 450 kgf dan ± 730 kgf. Pemakaian dalam sambungan secara berkelompok telah mengakibatkan reduksi dari setiap kekuatan pasak tersebut. Reduksi pasak sangat berkaitan dengan perbedaan diameter serta penambahan pasak dalam sebuah sambungan. Diameter yang lebih besar bisa memperkecil reduksi yang terjadi pada pasak. Pasak dengan diameter 10 mm mempunyai nilai reduksi antara 37 – 55% , sedangkan pada diameter 15 berkisar antara 17 – 46%. Smith et al. (2008) telah melakukan penelitian sambungan dua bidang geser dengan menggunakan paku dan sekrup, menghasilkan nilai reduksi yang dimiliki setiap paku adalah berkisar antara 50 – 60%, sedangkan sekrup hanya 30%. Pada penelitian ini mempunyai tujuan akhir yaitu mencari optimasi pemakain pasak bambu yang dapat menggantikan pemakaian baut. Dalam Gambar 42 disajikan grafik hubungan antara defleksi dan beban yang diterima oleh sambungan. Baut sebagai kontrol mempunyai tren yang berbeda dari pasak, hal ini dipengaruhi oleh sifat pasak bambu yang lebih elastis dibanding baut. Secara umum sambungan yang menggunakan pasak mempunyai daerah elastis
67
yang lebih panjang dari baut dan pada daerah plastis pasak masih terus meningkat dengan tajam kekuatannya, sehingga hampir semua sambungan dengan menggunakan pasak bambu mempunyai kekuatan lebih tinggi dari penggunaan baut pada beban maksimum. Kondisi ini mempertegas penelitian yang telah dilakukan oleh Taurista et al. (2005) yaitu menyatakan bahwa kelebihan material komposit jika dibandingkan dengan logam adalah kekuatan terhadap berat yang tinggi, kekakuan, ketahanan terhadap korosi. Ditinjau dari perbedaan jenis bambu tren yang terjadi diantara kedua jenis bambu tidak terlalu nyata berbeda. Akan tetapi penambahan jumlah pasak serta diameter secara signifikan meningkatkan kekuatan sambungan. Pp P y
Pp P y
Gambar 42 Grafik hubungan defleksi/sesaran terhadap beban, pada uji tekan sambungan. Keterangan : kiri untuk pasak ø 10 mm, kanan untuk pasak ø 15 mm
Perhitungan
matematis
yang
dilakukan
dalam
perencanaan
untuk
mendapatkan n pasak yang dapat diekivalenkan terhadap baut, telah dibuktikan dalam pengujian empiris. Pada Gambar 42 sebelah kiri terlihat bahwa semua formasi sambungan Pu yang dimiliki melebihi Pu baut, akan tetapi apabila ditelaah daerah elastis, Pp, yang mempunyai nilai sama atau lebih besar dari Pp yang dihasilkan baut adalah sambungan yang menggunakan 8 buah pasak. Penggunaan pasak diameter 15 mm, jumlah effektif yang dapat disandingkan oleh satu baut diameter 10 mm adalah lebih dari 4 pasak, dapat diartikan semua formasi
68
sambungan memenuhi perilaku elastic dari baut. Hal ini berkesesuain dengan perencanaan dengan menggunakan pendekatan Eurocode 5. Perilaku defleksi yang terjadi pada sambungan terhadap besar pembebanan dipengaruhi oleh perbedaan diameter khususnya perilaku pada daerah plastis. Penggunaan diameter pasak yang lebih besar mempunyai pengaruh pada daerah plastis yang dimiliki yaitu kekuatan semakin meningkat, akan tetapi defleksi yang terjadi hampir sama. Defleksi yang terjadi pada saat beban maksimum (Pu) juga hampir sama dari keseluruhan formasi sambungan. Defleksi yang terjadi pada saat Pu berkisar antara 9 – 13.5 mm. Kekuatan yang diperoleh pada saat Py apabila dibandingkan oleh Pu meningkat dengan kisaran 45 – 75%. Penelitian tentang sambungan baut dengan berbagai kayu Malaysia dengan pendekatan Working Stress Design Method (WSDM) dan Limit State Design Method (LSDM) yang disandingkan dengan pendekatan Eurocode 5 yang telah dilakukan oleh Jumaat et al. (2008) menghasilkan perbedaan nilai antara Pu terhadap nilai Py meningkat mulai dari 0 – 74%, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan maksimum yang terjadi tidak terlalu beda dari penelitian ini. Hasil analisis sidk ragam dengan ANOVA disajikan dalam Tabel 11 dibawah ini dan perhitungan terdapat dalam Lampiran 10. Analisis yang dilakukan pada ketiga titik pengamatan serta 3 variabel yaitu jenis bambu, diameter pasak, jumlah pasak serta ragam interaksi dari ketiga variabel tersebut. Jenis bambu yang dipakai sebagai bahan baku pasak tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata terhadap Pu, akan tetapi memberikan hasil yang beda terhadap Pp dan Py, yaitu dengan Pvalue kurang dari 5% Penambahan diameter dan jumlah pasak terlihat sangat memberikan perbedaan nilai dari ketiga titik pengamatan, yaitu Pp, Py, dan Pu. Interaksi antara variabel jenis bambu dan diameter hanya memberikan hasil yang berbeda nyata pada Py. Demikian juga dengan interaksi antara variabel diamater dan jumlah pasak telah memberikan beda yang nyata pada titik Pp dan Py, tetapi tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan Pu. Interaksi antara variabel jenis bambu dan jumlah pasak tidak memberikan nilai yang nyata disetiap titik pengamatan tersebut. Hal serupa juga dilihat pada interaksi antara ketiga variabel tersebut, yaitu jenis bambu, diameter dan jumlah pasak, tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata terhadap ketiga titik pengujian.
69
Tabel 11
Nilai Pvalue dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam dengan ANOVA pengujian tekan sambungan di tiga titik dari analisis Parameter Pp Py Pu Variabel Jenis bambu (JB) 0.026* 0.026* 0.589 Diameter (ø) 0.000* 0.000* 0.000* Jumlah pasak (n) 0.000* 0.000* 0.000* Interaksi JB & ø 0.108 0.046* 0.322 Interaksi JB & n 0.661 0.849 0.584 Interaksi ø & n 0.001* 0.001* 0.425 Interaksi JB, ø & n 0.315 0.357 0.534
Pola kerusakan pasak bambu yang merupakan produk laminasi tidak terlalu berbeda dengan pembedaan jenis bambu maupun besar diameter. Perbedaan pola kerusakan terjadi pada saat dilakukan pengujian memperlihatkan perilaku yang berbeda-beda tergantung pembebanan atau gaya yang diberikan. Pada pengujian bending perilaku kerusakan pasak terjadi pada daerah rekatan tepatnya di sumbu longitudinal atau tegak lurus gaya. Kerusakan arah memanjang ini diakibatkan bergesernya garis rekat atau biasa disebut slip akibat menahan gaya tekan yang terpusat di tengah bentang dan tahanan terhadap daerah tekan dan tarik. Kerusakan yang berupa slip ini diikuti oleh kerusakan di daerah tarik yaitu permukaan bawah dari pasak. Pola kerusakan akibat bending dapat dilihat pada Gambar 43. Dalam Gambar 43.1 memperlihatkan kondisi benda uji saat pengujian bending. Gambar 43.2 diperlihatkan perbesaran kerusakan akibat slip yang terjadi pada ujung pasak. Kerusakan yang terjadi pada daerah tarik diperlihatkan pada Gambar 43.3 A
B
A
B
1 2 3 Gambar 43 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada saat pengujian bending.
70
Pola kerusakan yang terjadi pada pengujian Embedding Strength berbeda dengan pola kerusakan bending. Pada pengujian ini pasak menerima gaya tekan dan geser tegak lurus serat di kedua ujungnya. Pengujian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui kuat tumpu pasak terhadap material yang disambung, dalam hal ini adalah LVL. Berdasarkan pola kerusakan yang terjadi, gaya ini mengakibatkan kerusakan yang berupa belah pada garis rekat di sumbu pasak. Hal ini dimungkinkan perekatan mengakibatkan perlemahan pasak dalam menerima gaya tekan. Akibat gaya geser pasak mengalami sobek di sisi atas. Hal ini menunukkan bahwa kuat tumpu LVL lebih tinggi dibandingkan dengan pasak sebagai konektor. Pola kerusakan akibat pengujian Embedding Strength dapat dilihat dalam Gambar 44. Dalam Gambar 44.2 diperlihatkan pembesaran kerusakan akibat pengujian Embedding Strength.
A
A
1 2 Gambar 44 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada pengujian Embedding Strength. Kerusakan pasak pada sambungan sesuai dengan pendekatan matematis yang telah dilakukan berdasarkan Eurocode 5. Model III merupakan kerusakan paling kristis yang terjadi yaitu mengindikasikan bahwa kerusakan serat kayu terjadi pada LVL pengapit (side member). Hal ini menandakan bahwa LVL yang menjadi balok utama dapat menahan gaya tumpu pasak. Kerusakan pasak yang terjadi pada sebagian besar pengujian adalah pasak mengalami lengkung searah dengan gaya yang terjadi. Pasak yang mengalami gaya geser yang lebih besar adalah yang paling atas ditunjukkan bahwa pasak di baris teratas mengalami kerusakan lebih besar dibandung baris yang ada dibawahnya. Sobek akibat gaya
71
geser yang dialami pasak terjadi pada sisi bagian bawah. Kerusakan pada garis rekat tidak terjadi pada pengujian sambungan ini. Kondisi kerusakan pada pengujian sambungan disajikan dalam Gambar 45. Kerusakan pasak setelah pengujian dilihat dari posisi samping disajikan dalam Gambar 45.1. Kondisi kerusakan pada dinding LVL pengapit terlihat pada Gambar 45.2.A. Perbesaran dari kerusakan pasak dapat dilihat dalam Gambar 45.3.
B A
B
1 2 3 Gambar 45 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada pengujian tekan sambungan.
72
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Distribusi BJ bambu meningkat pada posisi bawah menuju ke atas, serta dari lapisan terdalam sampai terluar dalam satu batang. Hal ini berkorelasi negatif terhadap kandungan air (KA).
2.
Nilai BJ lebih dari 0.6 dapat diperoleh pada setiap sebaran titik pengujian pada ± 6 lapisan yang terluar atau ± 6 mm dari dinding bambu baik bambu Betung maupun Sembilang.
3.
Sifat fisik dan mekanis bambu Betung dan Sembilang mempunyai kemiripan sehingga pada saat dijadikan produk komposit yaitu pasak bambu mempunyai properties yang hampir sama;
4.
LVL yang mempunyai propertis terbaik adalah LVL A, yaitu yang disusun oleh vinir kayu Karet dengan perekat PF;
5.
Perencanaan sambungan dengan pendekatan Eurocode 5, dan model III mempunyai nilai paling rendah sehingga mengindikasikan model yang paling kritis. Hasil perthitungan menghasilkan n = 4 dan n = 8 untuk pasak diameter 15 mm dan 10 mm yang dapat mensubtitusi satu baut diameter 10 mm. Sehingga jumlah pasak yang digunakan untuk variabel adalah 4, 6 dan 8. Hasil pendekatan matematis ini telah dibuktikan tren pada hasil pengujian tekan dengan memperhatikan titik Pp;
6.
Pasak dengan diameter 10 mm mempunyai nilai reduksi antara 37 – 55% , sedangkan reduksi untuk pasak diameter 15 berkisar antara 17 – 46%;
7.
Kekuatan yang diperoleh pada saat Py apabila dibandingkan oleh Pu meningkat dengan kisaran 45 – 75%.
Saran
1.
Teknologi pembuatan pasak dengan redemen yang lebih besar tanpa mengurangi kekuatan serta keseragam kekuatan dari pasak perlu dikembangkan;
73
2.
Orientasi posisi pasak terhadap garis rekat dapat dilakukan guna meningkatkan kemampuan menahan gaya;
3.
Penelitian sambungan dengan arah pembebanan tegak lurus sambunan masih diperlukan guna melengkapi desain perencanaan sambungan secara konfrehensif.
74
DAFTAR PUSTAKA
ANSI/ASTM D 790-71:1978 Standard Test Methods for Flexural Properties of and Electrical Insulating Materials. Philadelphia, Pa. ASTM D 5652 : 2000 Standard Test Methods for Bolted Connection in Wood and Wood-Based Products. . Philadelphia, Pa. ASTM D-5582-00:1994 Standard Test Method for Determining Formaldehyde Levels from Wood Products Using a Desiccator. . Philadelphia, Pa. Bakar, E.S. 1996. Kayu Laminasi Vinir Sejajar. Buletin Teknologi Hasil Hutan, Vol I. Hal 24-30. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Breyer,D.E. Fridley, K.J. Cobeen, K.E. and Pollock,D.G. 2007 Design of Wood Structures ASD/LRFD. McGraw-Hill. United States of America Dransfield, S., and Widjaja, E.A. (Editors). 1995. Plant Resources of South East Asia (PROSEA) No. 7: Bambus. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. Faherty, K.F and Wiliamson, T.G. 1997. Wood Engineering and Construction Handbook. McGraw-Hill. United States of America Frick, H dan Moediartianto. 2003. Kanisius.Yogyakarta.
Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu.
Ghavami,K. Rodrigues,C.S dan Paciornik,S. 2003. Bambu: Functinally Graded Composite Material. Asian Journal of Civil Engineering (Building And Housing) Vol.4, No.1. Green DW, Winandy JE, Kretschmann DE. 1999. Mechanical properties of wood. Di dalam: Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Madison, WI: USDA Forest Service, Forest Products Laboratory. Hakim,A.R. 2003. Pengaruh Sambungan Terhadap Sifat mekanis Laminasi Bambu Lengkung Untuk tujuan Penggunaan. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Helmy,C. 2009. Kekayaan Alam : Bambu, Baja pun kalah. Koran Kompas. Jakarta
75
Hindrawan, P. 2005. Pengujian Sifat Mekanis Panel Struktural dari Kombinasi Bambu Tali (Gigantochloa apus .ex. (Schult.F.) Dan Kayu Lapis. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak terbit) Fukuyama, H. Kairi, M. Hirsi, H. Inayama, M. Ando. Naoto. 2008. Shear Characteristic of Wood Dowel Shear Joint and Practical Application Example. Proceedings WCTE 2008 – 10th World Conference on Timber Engineering. Miyazaki. Japan http:// www.hrexcellency.com /subweb/articles/articles02.html http://www.inbar.int /publication/txt/tr17/Dendrocalamus/giganteus.htm http:// www widiantoutomo.blogspot.com/2007/06/bambu-as-bambu.html http://www.plantamor.com/spcdtail.php?recid=1579 Iman R.S, 2001. Pengaruh Ketebalan dan Jenis Sambungan Vinir Terhadap Sifat Fisis Mekanis LVL Beberapa Jenis Kayu Cepat Tumbuh. Skripsi Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. (tidak terbit) Irmon. 2005. Pengaruh Jumlah Lamina Bambu Betung Terhadap Sifat Fisik Mekanis Balok Laminasi Kayu Sengon Dengan Sambungan Pasak. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak terbit) ISO 22157-1:2004(E). Bambu : Determination of physical and mechanical properties – Part 1 : Requirements ISO/TC 165/SC N537:2007. Timbers Structures-Dowel-type fasteners-Part 1: Determination of yield moment. ISO/TC 165/SC N538:2007. Timbers Structures-Dowel-type fasteners-Part 2: Determination of embedding strength and foundation values Japan Plywood Inspection Corporation. 2003. Japanese Agricultural Standard
Johansen, K.W. 1949. Theory of Timber Connections. International Association of Bridge and Structural Engineering. Publication No.9. Bern. Switzerland. Jumaat, M.Z. Razali, F.M. Rahim, A.H.A. 2008. Development of Limit State Design Method for Malaysian Bolted Timber Joints. Proceedings WCTE 2008 – 10th World Conference on Timber Engineering. Miyazaki. Japan
76
Kikata, Y., Okuyama, T., Tejada, A., Uchiyama, S., Kanagawa, Y., Marsoem, SN. 2002. Tropical Timber Database Organization, Nagoya University, Japan Lindholm, M . 2007. Guadua chacoensis in Bolivia – an investigation of mechanical properties of a bamboo species. Thesis. Departement of Management and Engineering Centre for Wood Technology and Design. Bolivia Morisco, 2006. Rangkuman Hasil Penelitian. Pemberdayaan Bambu untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kelestarian Lingkungan. Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Muhadi. 2005. Modulus Geser LVL. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Teknologi Pertanian Bogor. Bogor. (tidak terbit) Murata, K., Nakao, S., Yokoo, K. 2008. Mechanical Behaviour of Alternatively Laminated LVL Composed of Rubberwood Veneer and Falcata Veneer. Proceedings WCTE 2008 – 10th World Conference on Timber Engineering. Miyazaki. Japan National Design Specification (NDS) for Wood Construction ASD/LRFD. 2005. American Forest And Paper Association, Inc. Washington, D.C. Neuvonen E, Salminen M, Heiskanen J, Hochstrate M dan Weber M. 1998. LVL : Overview of the Product, Manufacturing and Market Situation. Departement of Forest Products Marketing. Finland Noermalica. 2001. Rancang Bangun Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus Asper (Schult f) Backer ex Heyne). Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak terbit) Nuriyatin N, 2000. Studi Analisa Sifat-sifat Dasar Bambu Pada Beberapa Tujuan Penggunaan. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak terbit) Nuriyatin N, 2004. Studi Anatomi Pada Lima Jenis Bambu. Jurnal Penelitian UNIVERSITAS BENGKULU, Vol X. Panshin and De Zeeuw. 1977. Textbook of Wood Technology. Fourth Edition. Mc Grow-Hill Book Company Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI). 1961. Departemen Pekerjaan Umum. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung
77
Pranata, RMH. 2004. Pengaruh Bentuk Sambungan Terhadap Sifat Mekanis LVL Produksi PT Putra Sumber Utama Timber (PSUT). Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak terbit) Porteous, J and Kermani, A. 2007. Structural Timber Design to Eurocode 5. Balckwell Publishing SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta
SNI 2002 Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta Saptosari, M. 2006. Pengaruh Jumlah Lapisan Vinir Kayu Lapis Terhadap Emisi Formaldehida. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Smith, I. Snow, M. Asiz, A. 2008. Failure Characteristic of Engineering Wood Products Connections. Proceedings WCTE 2008 – 10th World Conference on Timber Engineering. Miyazaki. Japan Soltis, Lawrence S. Karnasudirdja, S. Little, James K. 1987. Angle To Grain Strength Of Dowel-Type Fasteners. Wood And Fiber Science Journal, Vol 19 (1). Subiyanto, B. Prianto, A.H. Suhaya, Y. Hadi, M dan Rosalita, Y. 2004. Karakteristik Pasak Bambu (Pasak) Komposit. (tidak terbit) Surjokusumo, S. E,T, Bahtiar. N, Nugroho. 2003. Mutu Kayu Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Kayu Konstruksi. Jakarta Surjokusumo, S. dan N, Nugroho. 1994. Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Bangunan. Dalam Strategi Penelitian Bambu Indonesia, hal 82-87. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor. Sulistyawati, I. 2006. The Influence of Bolts and Shear Connectors in the Timber Connection under Compressive Load. Proceedings 8th Pasific Bio Based Composite Symposium. Malaysia. Sulistyawati, I. Nugroho, N. Surjokusumo, S. Hadi, Y.S. 2008. Kekuatan Lentur Glued Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode “Transformed Cross Section”. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Volume 6. no 2. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. Jakarta Syafii, L.I. 1984. Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik Contoh Kecil Bebas Cacat Beberapa Jenis Bambu. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor (Tidak terbit)
78
Taurista, A.Y. Riani, A.O. dan Putra K.H. 2005. Alternatif Pengganti Fiber Glass Pada Kulit Kapal. Jurusan Teknik Material. Perpustakaan Elektronik. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Wood Handbook. 1999. Wood as Engineering Material. Forest Products Laboratory, U.S. Department of Agriculture, Washington, D.C. Yap, F.1964. Konstruksi Kayu. Bina Cipta. Bandung
Youngquist, J.A dan B.S. Bryant, 1979. Production and Marketing Feasibility of Parallel Laminated Veneer Product. Forest Products Journal 29 (8) : 45 Yu.H.Q, Jiang.Z.H, Hse.C.Y, Shupe T.F. 2008. Sellected Physical and Mechanical properties of Moso Bambu (Phyllostachys Pubescens). Journal of Tropical Forest Science.
79
Lampiran 1.
Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian Jenis LVL versus KA dan Kerapatan
One-way ANOVA: KA versus Jenis LVL Analysis of Variance for KA Source DF SS MS Jenis 2 1.6389 0.8194 Error 6 0.4173 0.0696 Total 8 2.0562
Level A B C
N 3 3 3
P 0.008
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev StDev -+---------+---------+---------+----0.421 (------*-------) 0.081 (-------*------) 0.157 (------*-------) -+---------+---------+---------+----12.00 12.50 13.00 13.50
Mean 12.703 13.387 12.360
Pooled StDev =
F 11.78
0.264
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0220 Critical value = 4.34 Intervals for (column level mean) - (row level mean) A B
-1.3442 -0.0225
C
-0.3175 1.0042
B
0.3658 1.6875
One-way ANOVA: Kerapatan versus Jenis LVL Analysis of Variance for Density Source DF SS MS Jenis 2 0.045818 0.022909 Error 6 0.002558 0.000426 Total 8 0.048376
Level A B C
N 3 3 3
Pooled StDev =
Mean 0.69133 0.53233 0.67467
StDev 0.01498 0.02916 0.01429
0.02065
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0220 Critical value = 4.34
F 53.73
P 0.000
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+--------(----*----) (----*----) (---*----) -------+---------+---------+--------0.540 0.600 0.660
80
Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
0.10726 0.21074
C
-0.03507 0.06840
-0.19407 -0.09060
Correlations: KA, Kerapatan pada LVL Pearson correlation of KA and Density = -0.758 P-Value = 0.018
Regression Analysis: Kerapatan versus KA LVL The regression equation is Density = 2.12 - 0.116 KA Predictor Constant KA
Coef 2.1222 -0.11621
S = 0.05426
SE Coef 0.4853 0.03784
R-Sq = 57.4%
T 4.37 -3.07
P 0.003 0.018
R-Sq(adj) = 51.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 7 8
SS 0.027770 0.020606 0.048376
MS 0.027770 0.002944
F 9.43
P 0.018
81
Lampiran 2.
Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian LVL versus Delaminasi
One-way ANOVA: Delaminasi Non Struktural (DNS) versus Jenis LVL Analysis of Variance for DNS Source DF SS MS Jenis 2 3.63 1.82 Error 6 6.14 1.02 Total 8 9.77
Level A B C
N 3 3 3
Mean 0.943 0.000 1.543
Pooled StDev =
StDev 1.133 0.000 1.336
1.011
F 1.78
P 0.248
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(-----------*-----------) (-----------*-----------) (-----------*-----------) --+---------+---------+---------+----1.2 0.0 1.2 2.4
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0220 Critical value = 4.34 Intervals for (column level mean) - (row level mean) A B
-1.591 3.477
C
-3.134 1.934
B
-4.077 0.991
One-way ANOVA: Delaminasi Struktural (DS) versus Jenis LVL Analysis of Variance for DS Source DF SS MS Jenis 2 3.181 1.591 Error 6 5.766 0.961 Total 8 8.947
Level A B C
N 3 3 3
Pooled StDev =
Mean 0.5267 0.7200 1.8733
StDev 0.9122 0.6548 1.2736
0.9803
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0220 Critical value = 4.34
F 1.66
P 0.268
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+-------(----------*-----------) (-----------*-----------) (-----------*----------) --------+---------+---------+-------0.0 1.2 2.4
82
Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
-2.6497 2.2630
C
-3.8030 1.1097
-3.6097 1.3030
Correlations: Delaminasi Non Struktural, Delaminasi Struktural Pearson correlation of DNS and DS = 0.819 P-Value = 0.007
Regression Analysis: DNS versus DS The regression equation is DNS = - 0.062 + 0.856 DS Predictor Constant DS
Coef -0.0616 0.8562
S = 0.6770
SE Coef 0.3261 0.2263
R-Sq = 67.2%
T -0.19 3.78
P 0.856 0.007
R-Sq(adj) = 62.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 7 8
SS 6.5588 3.2085 9.7673
MS 6.5588 0.4584
F 14.31
P 0.007
83
Lampiran 3.
Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian LVL versus Geser Horisontal
One-way ANOVA: Geser Horisontal Tegak (GHT) versus Jenis LVL Analysis of Variance for GHT Source DF SS MS Jenis 2 804.5 402.3 Error 6 94.2 15.7 Total 8 898.7
Level A B C
N 3 3 3
Mean 54.209 39.461 62.298
Pooled StDev =
StDev 1.501 5.995 2.984
3.962
F 25.62
P 0.001
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+--------(----*-----) (----*-----) (----*-----) -------+---------+---------+--------40 50 60
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0220 Critical value = 4.34 Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
4.821 24.677
C
-18.017 1.839
-32.766 -12.909
One-way ANOVA: Geser Horisontal Datar (GHD) versus Jenis LVL Analysis of Variance for GHB Source DF SS MS Jenis 2 1243.28 621.64 Error 6 32.08 5.35 Total 8 1275.37
Level A B C
N 3 3 3
Pooled StDev =
Mean 50.583 28.123 54.951
StDev 2.181 3.283 0.714
2.312
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0220 Critical value = 4.34
F 116.25
P 0.000
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+ (---*--) (--*--) (--*--) ------+---------+---------+---------+ 30 40 50 60
84
Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
16.666 28.255
C
-10.162 1.427
-32.622 -21.034
Correlations: GHT, GHD Pearson correlation of GHT and GHB = 0.944 P-Value = 0.000
Regression Analysis: GHT versus GHD The regression equation is GHT = 16.7 + 0.792 GHD Predictor Constant GHB S = 3.753
Coef 16.701 0.7921
SE Coef 4.846 0.1051
R-Sq = 89.0%
T 3.45 7.54
P 0.011 0.000
R-Sq(adj) = 87.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 7 8
SS 800.14 98.58 898.72
MS 800.14 14.08
F 56.81
P 0.000
85
Lampiran 4.
Hasil analisis sidik ragam pengujian LVL versus MOR
One-way ANOVA: MORt versus Jenis Analysis of Variance for MORt Source DF SS MS Jenis 2 48807 24403 Error 3 1048 349 Total 5 49855
Level A B C
N 2 2 2
Mean 578.99 371.12 539.85
Pooled StDev =
StDev 1.79 24.76 20.77
18.69
F 69.86
P 0.003
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---------+---------+---------+------(----*-----) (----*-----) (----*-----) ---------+---------+---------+------400 480 560
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0250 Critical value = 5.91 Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
129.8 286.0
C
-39.0 117.2
-246.8 -90.6
One-way ANOVA: MORd versus Jenis Analysis of Variance for MORd Source DF SS MS Jenis 2 59638 29819 Error 3 5791 1930 Total 5 65429
Level A B C
N 2 2 2
Pooled StDev =
Mean 655.29 411.62 547.46
StDev 49.89 36.95 44.02
43.94
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0250 Critical value = 5.91
F 15.45
P 0.026
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+-(--------*-------) (-------*--------) (--------*-------) ----+---------+---------+---------+-360 480 600 720
86
Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
60.1 427.3
C
-75.8 291.4
-319.5 47.8
Correlations: MORt, MORd Pearson correlation of MORt and MORd = 0.878 P-Value = 0.022
Regression Analysis: MORt versus MORd The regression equation is MORt = 84 + 0.766 MORd Predictor Constant MORd S = 53.53
Coef 84.4 0.7660
SE Coef 114.7 0.2093
R-Sq = 77.0%
T 0.74 3.66
P 0.503 0.022
R-Sq(adj) = 71.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 4 5
SS 38394 11460 49855
MS 38394 2865
F 13.40
P 0.022
87
Lampiran 5.
Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian LVL versus MOE
One-way ANOVA: MOEt versus Jenis Analysis of Variance for MOEt Source DF SS MS Jenis 2 1.465E+09 732369246 Error 3 93510257 31170086 Total 5 1.558E+09
Level A B C
N 2 2 2
Mean 116203 81686 113262
Pooled StDev =
StDev 5810 6694 3866
5583
F 23.50
P 0.015
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+ (-----*-----) (-----*-----) (------*-----) ------+---------+---------+---------+ 80000 100000 120000 140000
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0250 Critical value = 5.91 Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
11186 57849
C
-20390 26273
-54907 -8244
One-way ANOVA: MOEd versus Jenis Analysis of Variance for MOEd Source DF SS MS Jenis 2 437302816 218651408 Error 3 145450090 48483363 Total 5 582752907
Level A B C
N 2 2 2
Pooled StDev =
Mean 96529 77016 93284
StDev 10956 4705 1808
6963
Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.0500 Individual error rate = 0.0250 Critical value = 5.91
F 4.51
P 0.125
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----------+---------+---------+-----(---------*----------) (---------*----------) (---------*----------) ----------+---------+---------+-----75000 90000 105000
88
Intervals for (column level mean) - (row level mean) A
B
B
-9585 48611
C
-25854 32343
-45367 12830
Correlations: MOEt, MOEd Pearson correlation of MOEt and MOEd = 0.730 P-Value = 0.099
Regression Analysis: MOEt versus MOEd The regression equation is MOEt = - 2466 + 1.19 MOEd Predictor Constant MOEd S = 13488
Coef -2466 1.1938
SE Coef 49999 0.5587
R-Sq = 53.3%
T -0.05 2.14
P 0.963 0.099
R-Sq(adj) = 41.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 4 5
SS 830556816 727691934 1558248750
MS 830556816 181922984
F 4.57
P 0.099
Correlations: MOEt, MORt Pearson correlation of MOEt and MORt = 0.981 P-Value = 0.001
Regression Analysis: MOEt versus MORt The regression equation is MOEt = 17569 + 173 MORt Predictor Constant MORt S = 3817
Coef 17569 173.46
SE Coef 8631 17.09
R-Sq = 96.3%
T 2.04 10.15
P 0.112 0.001
R-Sq(adj) = 95.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error
DF 1 4
SS 1499982325 58266425
MS 1499982325 14566606
F 102.97
P 0.001
89
Total
5
1558248750
Regression Analysis: MOEd versus MORd The regression equation is MOEd = 42257 + 86.8 MORd Predictor Constant MORd
Coef 42257 86.76
SE Coef 10181 18.57
S = 4751
R-Sq = 84.5%
T 4.15 4.67
P 0.014 0.010
R-Sq(adj) = 80.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 4 5
SS 492466978 90285929 582752907
MS 492466978 22571482
Correlations: MOEd, MORd Pearson correlation of MOEd and MORd = 0.919 P-Value = 0.010
F 21.82
P 0.010
90
Lampiran 6.
Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian pasak bambu versus KA dan kerapatan
General Linear Model: KA, Kerapatan, versus Jenis Bambu, Diameter Pasak (ø) Factor Jenis Bambu ø
Type Levels Values fixed 2 1 2 fixed 2 10 15
Analysis of Variance for KA, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F Jenis Bambu 1 0.1153 0.1153 0.1153 0.44 ø 1 2.2389 2.2389 2.2389 8.64 JB*ø 1 0.1153 0.1153 0.1153 0.44 Error 16 4.1450 4.1450 0.2591 Total 19 6.6145
P 0.514 0.010 0.514
Analysis of Variance for Density, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Bambu ø JB*ø Error Total
DF 1 1 1 16 19
Seq SS 0.003792 0.000005 0.006367 0.042863 0.053026
Adj SS 0.003792 0.000005 0.006367 0.042863
Adj MS 0.003792 0.000005 0.006367 0.002679
F 1.42 0.00 2.38
P 0.252 0.967 0.143
91
Lampiran 7
Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian pasak bambu versus MOE dan MOR
General Linear Model: MOE, MOR versus Jenis Bambu, Diameter Pasak (ø) Factor Jenis Ba ø
Type Levels Values fixed 2 1 2 fixed 2 10 15
Analysis of Variance for MOE, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Bambu ø JB*ø Error Total
DF 1 1 1 8 11
Seq SS Adj SS Adj MS 386881886 386881886 386881886 7.2984E+10 7.2984E+10 7.2984E+10 3524686772 3524686772 3524686772 3.6366E+10 3.6366E+10 4545729694 1.1326E+11
F 0.09 16.06 0.78
P 0.778 0.004 0.404
Analysis of Variance for MOR, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Bambu ø JB*ø Error Total
DF 1 1 1 8 11
Seq SS 3743 420476 3844 265528 693591
Adj SS 3743 420476 3844 265528
Adj MS 3743 420476 3844 33191
F 0.11 12.67 0.12
P 0.746 0.007 0.742
92
Lampiran 8
Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian pasak bambu versus kembang dan susut
General Linear Model: Kembang, Susut versus Jenis Bambu, Diameter Pasak (ø) Factor Jenis Ba ø
Type Levels Values fixed 2 1 2 fixed 2 10 15
Analysis of Variance for Kembang, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Bambu ø JB*ø Error Total
DF 1 1 1 16 19
Seq SS 15.151 8.730 18.554 24.795 67.231
Adj SS 15.151 8.730 18.554 24.795
Adj MS 15.151 8.730 18.554 1.550
F 9.78 5.63 11.97
P 0.007 0.030 0.003
Analysis of Variance for Susut, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Bambu ø JB*ø Error Total
DF 1 1 1 16 19
Seq SS 0.5044 10.1986 4.4549 14.0925 29.2503
Adj SS 0.5044 10.1986 4.4549 14.0925
Adj MS 0.5044 10.1986 4.4549 0.8808
F 0.57 11.58 5.06
P 0.460 0.004 0.039
93
Lampiran 9
Hasil perhitungan desain sambungan Hasil Embeddement Strength
No Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
No
1 2 3 4 5
No
1 2 3 4 5
ø (mm)
B.1 B.2 B.3 S.1 S.2 S.3 B.1 B.2 B.3 S.1 S.2 S.3 Baut 1 Baut 2 Baut 3
10.04 9.71 9.88 10.15 9.99 10.13 14.95 15.05 14.9 14.91 15.21 14.89 11 11 11
Pmax (kgf)
T (detik)
330.853 441.576 533.042 507.548 412.666 474.248 588.403 841.138 754.486 578.775 836.324 833.917 2212.035 2138.512 2199.781
419.516 335.726 302.339 300 332.258 341.129 420 387.742 420 420 420 393.065 419.516 420 420
Averg Pmax 435.157
464.820667
728.009
749.672
2183.44267
ø (d)
Tebal LVL (t1)
Tebal LVL (t2)
ρ LVL
Fmax
cm
cm
cm
g/cm3
kgf
1 1.5 1 1.5 1.1
2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
5 5 5 5 5
0.692 0.692 0.692 0.692 0.692
435.157 728.009 464.821 749.672 2183.443
Jenis
Betung Betung Sembilang Sembilang Baut
Moment yield
Jenis
Betung Betung Sembilang Sembilang Baut
kg/cm2
kg/cm2
kgfcm
87.031 97.068 92.964 99.956 396.990
-0.001 -0.029 -0.001 -0.029 -0.006
122.637 292.371 130.744 326.151 460.000
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
94
Mode I
Mode II
217.579 364.005 232.410 374.836 1091.721
217.579 364.005 232.410 374.836 1091.721
Jenis Betung ø 10 Betung ø 15 Sembilang ø 10 Sembilang ø 15 Baut ø 10
Mode III
Mode IV
141.091 309.292 150.497 339.563 997.451
6137.130 24477.603 6988.839 28118.221 241052.070
Jenis
Betung ø 10 Betung ø 15 Sembilang ø 10 Sembilang ø 15 Baut ø 10
95
Lampiran 10 Hasil analisis analisis sidik ragam pengujian sambungan versus Pp, Py dan Pu General Linear Model: PDp, Py, Pu versus Jenis Bambu, ø, n Factor Jenis Ba ø n
Type Levels Values fixed 2 1 2 fixed 2 10 15 fixed 3 4 6 8
Analysis of Variance for Pp, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Ba ø n Jenis Ba*ø Jenis Ba*n ø*n Jenis Ba*ø*n Error Total
DF 1 1 2 1 2 2 2 24 35
Seq SS 288011 21325924 7790637 142632 43164 1081285 124260 1229979 32025893
Adj SS 288011 21325924 7790637 142632 43164 1081285 124260 1229979
Adj MS 288011 21325924 3895319 142632 21582 540643 62130 51249
F 5.62 416.12 76.01 2.78 0.42 10.55 1.21
P 0.026 0.000 0.000 0.108 0.661 0.001 0.315
Analysis of Variance for Py, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Ba ø n Jenis Ba*ø Jenis Ba*n ø*n Jenis Ba*ø*n Error Total
DF 1 1 2 1 2 2 2 24 35
Seq SS 379251 23083220 9317068 297207 22066 1203789 144499 1610820 36057921
Adj SS 379251 23083220 9317068 297207 22066 1203789 144499 1610820
Adj MS 379251 23083220 4658534 297207 11033 601895 72250 67118
F 5.65 343.92 69.41 4.43 0.16 8.97 1.08
P 0.026 0.000 0.000 0.046 0.849 0.001 0.357
Analysis of Variance for Pu, using Adjusted SS for Tests Source Jenis Ba ø n Jenis Ba*ø Jenis Ba*n ø*n Jenis Ba*ø*n Error Total
DF 1 1 2 1 2 2 2 24 35
Seq SS 177662 61839875 59658389 606581 652683 1050628 763484 14233029 138982331
Adj SS 177662 61839875 59658389 606581 652683 1050628 763484 14233029
Adj MS 177662 61839875 29829194 606581 326341 525314 381742 593043
F 0.30 104.28 50.30 1.02 0.55 0.89 0.64
P 0.589 0.000 0.000 0.322 0.584 0.425 0.534