489
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
KAJIAN MASA KRITIS PENYAKIT WSSV DI SALURAN PERTAMBAKAN KECAMATAN PULOKERTO, PASURUAN DAN KECAMATAN PASIR PUTIH, SITUBONDO Koko Kurniawan, Arifuddin Tompo, dan Ince Ayu Khaerana Kadriah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi keberadaan virus WSSV dan periode masa kritis virus WSSV (White Spot Virus Syndrome) di saluran inlet pertambakan di Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo selama bulan Maret sampai Desember 2012. Sampel diambil secara berkala dan diawetkan di dalam botol yang berisi alkohol 70% untuk selanjutnya diekstrak menggunakan metode C-tab D-tab untuk mendapatkan DNA (Deoxyribonucleic Acid) total. DNA virus WSSV diamplifikasi dengan teknik first dan nested PCR (Polymerase Chain Reaction) mengggunakan kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000TM WSSV Detecton and Preventing System). Visualisasi DNA WSSV dilakukan dengan 2% agarose dan didokumentasikan dengan gel documentation system. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hasil analisis PCR menunjukkan semua jenis sampel dapat menunjukkan hasil positif WSSV dan prevalensi rata-rata kejadian WSSV di Kecamatan Pulokerto 30% dan di Kecamatan Pasir Putih 25%. Masa kritis WSSV untuk Kecamatan Pulokerto pada Bulan Maret-Juli, sedangkan bulan rawan Kecamatan Pasir Putih pada April–Agustus dan bulan November. KATA KUNCI:
masa kritis, prevalensi, WSSV
PENDAHULUAN Pemerintah masih menempatkan udang sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya pada kurun waktu 2010-2014. Diharapkan dalam kurun waktu tersebut produksi udang nasional dapat meningkat dari 400.000 menjadi 700.000 ton. Komoditas udang yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah jenis penaid, yaitu udang windu dan udang vaname. Udang windu merupakan salah satu udang asli Indonesia yang memiliki keunggulan dapat tumbuh cepat dengan ukuran yang cukup besar. Masa kejayaan tambak udang di Indonesia yaitu pada tahun 1980-an, namun setelah itu produksi udang terlihat menurun secara perlahan dikarenakan berbagai macam faktor. Penyakit viral menjadi faktor dominan yang bertanggung jawab terhadap penurunan produksi udang nasional. Ciri utama penyakit viral adalah dapat menyebar dengan cepat di dalam tambak pemeliharaan dan akan segera menyebar di tambak sekitarnya. Selain itu, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menghabiskan seluruh populasi udang dalam tambak. Salah satu penyakit viral pada udang yang saat ini masih menjadi kendala utama adalah penyakit WSSV (White Spot Syndrome Virus) atau di kalangan petambak lebih dikenal dengan penyakit bintik putih disebabkan oleh SEMBV (Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculo Virus). Virus ini merupakan virus DNA (Deoxyribonucleic Acid) berbentuk basil hingga silindrik dengan ukuran yang berbeda-beda. Ukuran rata-rata 120 x 320 ± 20 nm. Organ yang diserang SEMBV adalah kaki jalan, kaki renang,insang, lambung, otot abdomen, gonad, intestinum dan karapas. Penyakit White Spot merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kegagalan panen dengan mortalitas 100% (Kasornchndra et al., 1995). Upaya pemerintah untuk mencapai target produksi udang nasional adalah menerapkan program industrialisasi perikanan dengan cara merevitalisasi tambak idle (menganggur) yang kurang dimanfaatkan. Salah satu daerah sasaran program tersebut adalah Provinsi Jawa Timur yang mencakup Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Situbondo. Salah satu sentra tambak udang di Kabupaten Pasuruan terletak di Kecamatan Pulokerto yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kraton. Data dari
Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan)
490
situs resmi pemerintah Kabupaten Pasuruan (www.pasuruankab.go.id) pada tahun 2008 dilaporkan potensi tambak yang ada di Kabupaten Pasuruan sebesar 3.966,9 Ha dan komoditas udang dikembangkan di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Bangil, Kraton, Rejoso, dan Lekok. Rata-rata petambak masih menggunakan sistem tradisional dan sistem tradisional plus dengan sistem budidaya polikultur bandeng-udang. Produksi udang windu di Kabupaten Pasuruan pada tahun 2009 mencapai 261,77 ton sedangkan udang vanamei 17,5 ton. Sedangkan dari situs resmi Kabupaten Situbondo yang diperoleh dari survei Universitas Gadjah Mada pada tahun 2005 (www.potensiadaerah.ugm.ac.id) potensi berupa panjang bentang pantai mencapai 150 km. Luasan tambak yang ada, tambak intensif 1.052,84 Ha, semi intensif 12,03 Ha dan tambak tradisional 428,87 Ha. Produksi udang di Kabupaten Situbondo per tahun rata rata ± 924,5 ton. Identifikasi keberadaan virus dapat dilakukan dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) yang bekerja secara spesifik dan sensitif terhadap penyebab penyakit. Agen penyebab penyakit yang belum menunjukkan gejala klinis dapat terdeteksi menggunakan teknik tersebut karena DNA/ RNA (Ribonucleic Acid) penyebab penyakit dapat digandakan sehingga dapat terdeteksi keberadaanya (Sukenda et al., 2009) Sampai saat ini OIE (Office Internationale Epizooticae) masih merekomendasikan teknik pemeriksaan PCR nested dengan dua tabung ependorf sebagai metode diagnostik standar untuk pemeriksaan virus WSSV (OIE, 2012) meskipun Claydon et al. (2004) telah melaporkan tingginya tingkat kontaminasi pada teknik PCR tersebut sehingga dapat terjadi hasil pemeriksaan positif palsu. Saluran pertambakan memegang peran penting dalam kelangsungan tambak. Melalui saluran pertambakan air dialirkan masuk untuk mengisi tambak. Saluran pertambakan sistem pertambakan tradisional masih menggunakan satu pintu masuk untuk saluran pemasukan air dan saluran pembuangan. Kondisi ini dapat menjadi titik kritis penyebaran sebuah penyakit, sehingga diperlukan pemetaan keberadaan penyebab penyakit dalam sebuah kurun waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi keberadaan virus WSSV (White Spot Virus Syndrome) dan masa kritis di Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo selama bulan Maret 2012 sampai Desember 2012. Agar dapat meminimalisir potensi masuknya virus WSSV dan kegagalan panen karena serangan penyakit. Diharapkan dari hasil penelitian ini, stakeholder dapat memanfaatkannya untuk pertimbangan pemasukan air ke dalam tambak. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di area pertambakan masyarakat Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo. Sampel diambil secara berkala pada satu titik di awal saluran pertambakan selama 10 bulan pada bulan Maret hingga Desember. Pengumpulan Sampel Sampel yang diambil adalah hewan air (krustase, kepiting, dan ikan-ikan liar) di saluran pertambakan yang berpotensi untuk masuk ke dalam tambak melalui saluran masuk atau lubang di sekitar pematang tambak yang bocor. Sampel diambil menggunakan jala buang. Organ yang diambil untuk sampel krustase dan kepiting meliputi kaki renang, kaki jalan, ekor sedangkan untuk sampel ikan berupa sirip atau ekor. Sampel disimpan ke dalam botol pengawet berisi alkohol 70% dan dibawa ke Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan BPPBAP Maros untuk diperiksa keberadaan virus WSSV. Prevalensi keberadaan virus WSSV dihitung berdasarkan nilai prevalensi serangan terhadap jumlah semua sampel. Untuk mengetahui keberadaan virus WSSV pada sampel hewan air, dengan pengamatan makroskopis dan melalui pembacaan ukuran band DNA hasil elektroforesis. Koleksi Genom DNA Untuk memperoleh koleksi DNA total virus WSSV sampel diekstrak menggunakan kit ekstraksi WSSV (IQ 2000TM WSSV Detecton and Preventing System) metode C-tab D-tab. Sebanyak 30 mg sampel dimasukkan ke dalam mikrotube steril volume 1,5 mL ditambahkan dengan 600 µL D-tab dan inkubasi
491
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
di dalam waterbath 75oC selama 5 menit. Untuk memisahkan DNA dan RNA ditambahkan 700 µL Chloroform dan dihomogenkan selama 20 detik dilanjutkan dengan sentrifuse 12000 rpm selama 5 menit. Setelah terjadi pemisahan, lapisan teratas (DNA) dicampur dengan 100µL larutan CTAB dan 900 µL ddH2O dan diinkubasi dalam waterbath 75o C selama 5 menit. Sampel disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 12000 rpm, lapisan bagian atas dibuang dan tambah dengan 150 µL dissolve solution. Sampel diinkubasi selama 5 menit lalu disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Sampel DNA diekstrak dengan 300 µL ethanol absolut dingin dan diendapkan dengan mensentrifugasi 12000 rpm selama 5 menit. DNA seanjutnya dibilas dengan 200 mL ethanol 75% dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Cairan yang ada dibuang dan dikering anginkan selanjutnya DNA dilarutkan dengan 200µL TE buffer untuk proses selanjutnya. PCR DNA virus WSSV diamplifikasi mengggunakan kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000 TM WSSV Detecton and Preventing System) dengan teknik first dan nested PCR (Polymerase Chain Reaction). Amplifikasi dilakukan dengan cara mencampur 7,5µL first PCR premix, 0,5 µL IQ zyme dan 2 µL sampel dalam mikrotube 200 µL. Campuran diinkubasi dalam alat Geneamp PCR system 2700 dengan suhu amlpifikasi 940C selama 30 detik; 620C selama 30 detik; 720C selama 30 detik sebanyak 5 siklus, kemudian 940C selama 15 detik, 620C selama 15 detik; 720C selama 20 detik sebanyak 15 siklus selanjutnya 720C selama 30 detik; 200C selama 30 detik. Sedangkan pada tahap nested, setiap reaksi ditambah dengan 14 µL nested PCR dan 1 µL IQ zyme. Sampel diinkubasi dengan suhu 940C selama 20 detik; 620C selama 20 detik; 720C selama 30 detik sebanyak 25 siklus dan siklus terakhir 720C selama 30 detik; 200C selama 30 detik (Anonim, 2002) Visulisai DNA WSSV Analisis hasil amplifikasi dilakukan dengan metode elektroforesis. Sampel yang telah diamplifikasi sebanyak 5µL yang dicampur dengan 3µL loading dye bersama DNA marker, kontrol positif, kontrol negatif (IQ 2000TM WSSV Detecton and Preventing System) pada 2% agarose yang dicampur 0,5-1 µL gel red (biotum®) untuk pewarnaan. Agarose direndam dengan TBE 1X yang dialiri arus listrik 100 V selama 30 menit dan didokumentasikan menggunakan gel documentation system. Sampel terinfeksi ringan akan menunjukkan 2 band pada angka 296 pasang basa (pb) dan di atas 848 pb. Sampel yang terinfeksi parah akan menunjukkan 3 band pada angka 296 pb, 550 pb dan di atas 848 pb. Sampel negatif tidak muncul band atau hanya muncul band di atas 848 pb (Anonim, 2002) HASIL DAN BAHASAN Kecamatan Pulokerto, Kabupaten Pasuruan termasuk daerah minapolitan yang perlu dipantau kondisi pertambakannya, karena di area tersebut terdapat tambak yang luas. Dengan demikian pemantauan penyakit WSSV mempunyai dampak penting terhadap pola serangan virus WSSV di areal pertambakan daerah tersebut. Hasil pemantauan selama 10 bulan di Kecamatan Pulokerto diperoleh jumlah sampel 60 ekor yang terdiri dari 15 jenis spesies yang berbeda, yaitu ikan Mujair (Oreochromis mosambicus), ikan Belanak (Mugil sp.), ikan Keting (Mystus wolffii), ikan Belosok (Oxyleotris mamorata), ikan Betik (Anabas testudines), ikan Sepat (Tricogaster pectorales), Ikan Bandeng (Chanos chanos sp.), ikan Kerung (Therapon therap), ikan Nila (Oreochromis niloticus), udang Vanamei (Litopenaeus vannamei), udang werus (Metapenaeus spp.), udang Putih (Penaeus margulensis), udang Windu (P. monodon), udang Kadoro (P. monoceros) dan kepiting Bakau (Scylla serrata). Jumlah total sampel yang menunjukkan hasil positif keberadaan sebesar 18 ekor. Di Kecamatan Pasir Putih diperoleh sampel 52 ekor yang terdiri atas 15 jenis spesies yang berbeda, yaitu ikan ikan Betok (A. testudines), ikan Sepat (T. pectorales), ikan Sapu sapu (Pterygoplichthys sp.), ikan Mujair (Tilapia mozambica), ikan Mas (Cyprinus carpio), ikan Belanak (Mugil sp), ikan Gabus (Channa striata), ikan Keting (M. wolffii), ikan Nila (O. niloticus), ikan Wader (Rasbora argyrotaenia), ikan Beseng beseng (Marosatherina ladigesi), ikan Patin (Pangasius pangasius) Kepiting bakau (S. serrata), udang windu (P. monodon), udang Vanamei (L. vannamei). Jumlah total sampel yang menunjukkan hasil positif
Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan)
492
keberadaan WSSV sebanyak 13 ekor. Jumlah total sampel dan prevalensi keberadaan virus WSSV disaluran pertambakan kedua Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1. Total sampel di Kecamatan Pulokerto dan Kecamatan Pasir Putih
Total sampel (ekor)
Asal sampel (Kabupaten)
Sampel positif (ekor)
Kecamatan Pulokerto (Pasuruan)
60
18
Kecamatan Pasir Putih (Situbondo)
52
13
Jenis sampel yang positif selama penelitian Mujair (Oreochromis mosambicus ) Belanak (Mugil sp.) Keting (Mystus wolffii ) Belosok (Oxyleotris mamorata ) Betik (Anabas testudines ) Sepat (Tricogaster pectorales ) Udang putih (Penaeus margulensis ) Udang kadoro (Penaeus monoceros ) Kepiting bakau (Scylla serrata ) Gabus (Channa striata ) Wader (Rasbora argyrotaenia ) Belanak (Mugil sp.) Patin (Pangasius pangasius ) Beseng beseng (Marosatherina ladigesi) Sepat siam (Tricogaster pectorales ) Keting (Mystus wolffii ) Kepiting bakau (Scylla serrata )
Sampel hewan air yang diperoleh per bulan dari saluran pertambakan kedua kecamatan selalu berbeda antara jumlah dan spesiesnya, tergantung keberadaan hewan air di saluran pertambakan saat pengambilan sampel. Jumlah sampel setiap bulan dan jumlah sampel positif WSSV di Kecamatan Pulokerto dapat dilihat pada Gambar 1. Sedangkan jumlah sampel setiap bulan dan jumlah sampel positif WSSV di Kecamatan Pasir putih dapat dilihat pada Gambar 2. 12 10 8 6 4 2 0 Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agus
Jumlah sampel di Kecamatan Pulokerto
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah sampel positif
Gambar 1. Jumlah sampel hewan liar dan sampel positif di saluran pertambakan setiap bulan (Maret-Desember) di Kecamatan Pulokerto
493
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agus
Jumlah sampel di Kecamatan Pulokerto
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah sampel positif
Gambar 2. Jumlah sampel hewan liar dan positif WSSV di saluran pertambakan setiap bulan (Maret-Desember) di Kecamatan Pasir Putih Dari pengamatan makroskopis, sampel udang liar yang ditangkap selama penelitian menunjukkan gejala spesifik terhadap penyakit WSSV yaitu berupa bintik putih di karapas dan gerakan yang lemah. Gejala ini sama dengan yang dilaporkan Sudha et al. (1998) bahwa udang yang terinfeksi WSSV mempunyai gejala menurunnya aktivitas renang dan tidak terarah. Pada fase akut akan muncul bercak putih pada karapas dengan diameter 0,5-3,0 mm. Bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorax segmen ke 5-6 dari abdominal dan akhirnya akan menyebar ke seluruh tubuh. Namun demikian, sampel lain yang tidak menunjukkan gejala menciri penyakit WSSV dapat menunjukkan hasil positif terhadap pemeriksaan PCR. Kondisi ini juga terlihat pada sampel berupa kepiting. Kepiting yang tidak menunjukkan gejala kelemahan dapat menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan dengan PCR. Hal ini senada dengan hasil peneitian Hameed et al. (2003) yang melaporkan bahwa kepiting yang tidak menunjukkan gejala klinis penyakit WSSV dapat menunjukkan hasil positif saat pemeriksaan klinis menggunakan teknik PCR. Hasil analisa diskriptif dari pemeriksaan PCR Kecamatan Pulokerto menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dari Kecamatan Pasir Putih. Prevalensi keberadaan virus WSSV di Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan mencapai 30% dengan tingkat prevalensi tertinggi keberadaan virus WSSV pada ikan-ikan liar yang mencapai 21,67%. Prevalensi pada udang yang mencapai 5% sedangkan pada kepiting WSSV 3%. Spesies ikan yang menunjukkan positif WSSV adalah Mujair (O, mosambicus), Belanak (Mugil sp.), Keting(M. wolffii), Belosok (Oxyleotris mamorata), Betik (A. testudines), Sepat (T. pectorales). Lightner et al. (1998) menyatakan bahwa WSSV mempunyai host range yang luas meliputi 40 jenis kepiting, copepoda dan arthropoda. Desrina et al. (2012) menyebutkan WSSV terdeteksi positif pada 7 dari 8 denronereis spp. Namun tidak disebutkan WSSV dapat menimbulkan gejala klinis pada denronereis spp. Hasil pemeriksaan PCR terhadap sampel ikan dari Kecamatan Pulokerto pada bulan Desember menunjukkan bahwa sampel tidak terinfeksi WSSV. Visualisasi contoh hasil pemeriksaan PCR dapat dilihat pada Gambar 3. Prevalensi keberadaan virus WSSV di Kecamatan Pasir Putih 25% dengan tingkat prevalesi tertinggi pada ikan-ikan liar 21,15%. Prevalensi keberadaan virus WSSV pada kepiting di saluran yang mencapai 3,84% dan tidak terdeteksi keberadaan virus WSSV pada udang liar. Selama penelitian, ikan yang menunjukkan hasil positif WSSV adalah Gabus (Channa striata), Wader (Rasbora argyrotaenia), Belanak (Mugil sp.), Patin (P. pangasius), Beseng beseng (Marosatherina ladigesi), Sepat siam (T. pectorales), Keting (M. wolffii), Udang vanamei (P. vannamei), dan udang windu (P. monodon) tidak menunjukkan positif serangan virus WSSV. Tingkat keberadaan virus WSSV lebih rendah dari yang dilaporkn Muliani (2004),
Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan) 1
2
3
4
5
6
494
7
848pb 640pb 333pb
>848pb 550pb 296pb
Keterangan : Lane 1 : Marker WSSV (333 pb, 640 pb, 848 pb) Lane 2 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Mujair) Lane 3 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Belanak) Lane 4 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Keting) Lane 5 : sampel negatif WSSV sedang (sampel ikan Betok) Lane 6 : Kontrol negatif WSSV Lane 7 : Kontrol positif WSSV (296 pb, 550 pb dan diatas 848 pb).
Gambar 3. Contoh hasil visualisasi pemeriksaan PCR sampel ikan bulan Desember di Kecamatan Pulokerto bahwa 27,2 persen dari 136 sampel dari tambak yang diperiksa menggunakan metode PCR menunjukkan hasil positif WSSV. Prevalensi tertinggi serangan virus WSSV terjadi pada artemia (100%), kemudian disusul oleh ikan-ikan liar yang hidup di tambak (80%) dan udang yang dipelihara di tambak (47,6%). Ikan-ikan liar berpeluang besar untuk menularkan virus WSSV ke udang udang yang berada di dalam tambak. Ikan ikan liar yang ada disaluran pertambakan akan menginfeksi plankton di saluran air. Zooplanton (Yan et al.,2004) dan Fitoplanton (Zhang et al., 2007) dilaporkan dapat menjadi rute serangan virus WSSV pada udang. Plankton yang mengandung virus WSSV akan masuk ke dalam areal pertambakan bersamaan saat pemasukan air ke dalam tambak. Selain itu, ikan ikan liar yang dapat masuk ke dalam tambak melalui saluran pemasukan yang jeruji penyaringannya kurang baik atau terlalu longgar. ikan liar yang mengandung virus WSSV akan menginfeksi plankton yang ada di dalam tambak. Udang akan terinfeksi jika memakan planton yang telah terinfeksi virus WSSV dan akan bereplikasi semakin banyak didalam tubuh udang. Hasil pemeriksaan PCR terhadap sampel ikan dari Kecamatan Pasir Putih pada bulan Juni menunjukkan keberadaan virus WSSV dari mulai kelompok sedang hingga kelompok parah. Visualisasi hasil pemeriksan PCR dapat dilhat pada Gambar 4. Prevalensi tertinggi keberadaan virus WSSV di Kecamatan Pulokerto terjadi pada bulan Maret yang mencapai 100% dan menurun pada bulan Mei menjadi 87,5%. Pada bulan Juni dan Juli meskipun tidak setinggi bulan sebelumnya namun mengindikasikan bahwa di saluran pertambakan terdapat virus WSSV. Jika dihubungkan dengan kondisi cuaca di daerah tersebut, keberadaan virus WSSV terjadi pada musim penghujan (bulan Maret dan Mei), musim pancaroba (bulan Juni) dan awal musim kemarau (bulan Juli). Untuk Kecamatan Pasir Putih, prevalensi WSSV yang tinggi terjadi pada bulan Juni yang mencapai 100% dan bulan Juli yang mencapai 40%, namun keberadaan virus WSSV telah terdeteksi sejak bulan April hingga Agustus dan bulan November. Menurut kalender musim, Bulan April merupakan akhir musim penghujan, bulan Mei merupakan musim pancaroba peralihan ke musim kemarau dan bulan Juni–Agustus merupakan musim kemarau, namun kondisi cuaca di Kabupaten Situbondo pada umumnya sama dengan kondisi cuaca di Kabupaten Pasuruan, dimana pada bulan Mei masih terjadi turun hujan dan baru pada bulan Juni terjadi pergantian musim. Jika dikaitkan antara keberadaan virus WSSV di saluran pertambakan dengan musim, nampak bahwa keberadaan virus WS dapat terjadi pada semua musim.
495
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015 1
2
3
4
5
6
7
848pb 640pb 333pb
8
>848pb 550pb 296pb
Keterangan: Lane 1 : Marker WSSV (333 pb, 640 pb, 848 pb) Lane 2 : Sampel positif WSSV sedang (sampel kepiting bakau) Lane 3 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Gabus) Lane 4 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Keting) Lane 5 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Betok) Lane 6 : Sampel positif WSSV sedang (sampel ikan Belanak) Lane 7 : Sampel positif WSSV parah (sampel ikan Nila) Lane 8 : Kontrol negatif WSSV Lane 9 : Kontrol Positif WSSV (296 pb, 550 pb dan diatas 848 pb)
Gambar 4. Contoh hasil visualisasi pemeriksaan PCR sampel kepiting dan ikan pada bulan Juni di Kecamatan Pasir Putih Kondisi cuaca musim hujan dapat menjadi pemicu melemahnya pertahanan tubuh hewan air. Dengan curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan kondisi kualitas air di saluran pertambakan cenderung tidak stabil dan berfluktuasi. Pada kondisi ekstrim akan terjadi penurunan kualitas perairan secara drastis. Pada kondisi hujan yang tinggi dapat menurunkan kadar salinitas air, dan kadar DO (Disolved Oxygen) dalam air. Penurunan kadar DO menimbulkan kondisi dalam air menjadi anaerobik, dan dapat menyebabkan perubahan senyawa nitrat menjadi amonia yang beracun dan meningkatkan kadar pH di dalam lingkungan air. Gunalan et al. (2010) melaporkan bahwa rendahnya kadar DO dapat menjadi faktor stresor alami yang dapat memberikan efek cepat dan signifikan terhadap fisiologis dan pertahanan udang. Musim pancaroba merupakan perpindahan dua musim, dan mempunyai kondisi cuaca yang ekstrim antara siang dan malam hari terutama saat fajar. Cuaca ekstrim dapat menyebabkan fluktuasi suhu yang besar antara siang dan malam di saluran pertambakan, keadaan ini telah banyak dilaporkan sebagai penyebab kasus kematian pada udang (Du et al., 2008). Perbedaan suhu yang ekstrim sering berlanjut ke musim kemarau, pada saat siang hari terasa panas menyengat namun pada saat malam hari terasa sangat dingin. Kondisi ini akan menekan pertahanan tubuh hewan air di saluran pertambakan. Panasnya sinar matahari pada saat siang hari dapat meningkatkan kadar salinitas dan suhu air di saluran sedangkan pada malam hari, suhu yang dingin dapat menjadi stresor yang signifikan. Menurut Tendencia et al. (2010) fluktuasi suhu yang ekstrim dan suhu air yang rendah merupakan penyebab terjadi infeksi WSSV. Hal ini disebabkan karena pada suhu rendah, WSSV akan menggandakan diri lebih cepat. Sedangkan salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan penting untuk udang penaid dan kadar salinitas yang tinggi telah biasa digunakan sebagai faktor stresor terhadap post larva udang yang akan ditebar di tambak (Bray et al., 1992). Prevalensi bulanan dua kecamatan yang diperoleh selama penelitian selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pemasukan air ke dalam tambak merupakan fase persiapan pemeliharaan udang yang sangat rawan. Jika tidak diperhatikan waktu yang tepat, tambak yang telah disterilkan akan terkontaminasi bakteri, virus patogen atau carier pembawa kedua bibit penyakit tersebut. Dari data Tabel 2 dapat diketahui bahwa masa kritis untuk pemeliharaan udang di Kecamatan Pulokerto berada pada Bulan Maret-Juli. Waktu yang tepat untuk memasukkan air ke dalam tambak disarankan pada saat prevalensi keberadaan virus WSSV 0%, yaitu pada bulan Agustus–bulan Desember. Masa kritis pemeliharaan
Kajian masa kritis penyakit WSSV di saluran ..... (Koko Kurniawan)
496
Tabel 2. Prevalensi WSSV per bulan di Kecamatan Pulokerto dan Kecamatan Pasir Putih
Asal sampel (Kecamatan) Pulokerto Pasir putih
Feb -
Mar 100 0
Prevalensi WSSV setiap bulan (%) Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt 0 87,5 18,2 25 0 0 0 25 20 100 40 33,3 0 0
Nov 0 20
Des 0 0
udang untuk Kecamatan Pasir Putih pada bulan April–Agustus dan pada bulan November dan saat yang tepat untuk memasukkan air ke dalam tambak pada bulan Maret, September, Oktober dan Desember. KESIMPULAN Berdasarkan kajian masa kritis terhadap penyakit WSSV, prevalensi keberadaan virus WSSV di saluran pertambakan Kecamatan Pulokerto Kabupaten Pasuruan sebesar 30%. Sementara prevalensi keberadaan virus WSSV di Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Situbondo sebesar 25%. Ikan dan kepiting menunjukkan hasil positif pemeriksaan virus WSSV dengan metode PCR. Masa kritis pemelihahaan udang di Kecamatan Pulokerto pada bulan Maret-Juli. Sementara masa kritis pemeliharaan udang di Kecamatan Pasir Putih pada bulan April-Agustus dan bulan November. DAFTAR ACUAN Anonymous. (2002). Instruction Manual. Detection and Prevention System for White Spot Syndrome Virus (WSSV). Taiwan, 18 pp. Bray, W.A., & Lawrence, A.L. (1992). Reproduction of Penaeus Species in Captivity. In: fast, A.W., Lester, J.L (Eds.), Marine Shrimp Culture: Principle and Practise. Elseiver, Amsterdam, p. 93-170. Claydon, K., Cullen, B., & Owens, L. (2004). OIE White Spot Syndrome Virus PCR Gives False-Positif Result in Cherax quadricarinatus. Disease of Aquatic Organism, 62, 265-268. Desrina., Sarjito., Haditomo, A.H.C., & Chilmawati, D. (2012). The White Spot SyndromeVirus(WSSV) Load in Dendroneresis spp. Journal of Coastal Development, 15(3), 270-275. Dongchun, Y., Shuanlin, D., & Jie, H. (2004). White Spote Syndrome (WSSV) detected by PCR in rotifer and rotifer resting eggs from shrimp pond sediements. Disease of AquaticOrganisms, 59, 69-73. Du, H. et al. (2008). Effect of Low Water Temperatur on Viral Replication of White Spot Syndrome Virus in Procambarus clarkii. Aquaculture, 277, 149-151. Gunalan, B., Soundarapandilan, P., & Dinakara, G.K. (2010). The Effect of Temperature and pH on WSSV Infection in Culture Marine Shrimp Penaeus Monodon (Fabricius). Centre of Advanced Study in Marine Biology Annamalai University. Parangiettai-608 502 Tamil Nadu. India. Hameed, S.A.S., Balasubramanian, G., Syed Musthaq, S. & Yoganandhan, K. (2003). Exerimental Infection of Twenty Species of Indian Marine Crabs with White Spot Syndrome Virus. Disease of aquatic organism, 57, 157-161. Jiasong, Z., lin, D.S., Xiangli, T., Yunwei, D., Xiangyi, L., & Dongchun, Y. (2007). Virus-phytoplanton adhesion a new WSSV transmision to zooplanton. Acta Oceanolog ica Sinica, 26(6), 109-115. Kasornchndra. J., Boonyaratpalin., S., Khongpradit, R., & Ekpanithanpong, U. (1995). Mass Mortality by Sistemic Bacilliform Virus in Cultured Penaid Shrimp. Penaeus monodon .in Thailand. Asian Shrimp News, p. 2-3. Ligtner. D.V., Hasson., K.W., White, B.L., & Redman, R.M. (1998). Exeriental Infection Of White Spot Syndrome of Western Hemisphere Penaeid Shrimp with Asian White Spot Syndrome Virus and Asian Yellow Head virus. J Aquat Anim Helth, 10, 271-281. Muliani., Parenrengi, A., Sulaeman, & Atmomarsono, M. (2004). Prevalensi, Intensitas, dan Transmisi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Budi Daya Udang Windu (Penaeus monodon). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 10(5), 103-110.
497
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
OIE (Office Internationale Epizooticae). (2012). http://www.oie.int/international-standar-setting/aquaticmanual/acces-online/. Sudha, P.M., Mohan, C.V., Shankar, K.M., & Hedge, A. (1998). Relationship Between White Spote Syndrome Virus Infection and Clinical Manifestation in Indian Cultured Penaid Shrimp. Aquaculture, 167, 95-101. Sukenda., S., Dwinti, H., & Yuhana, M. (2009). Keberadaan WSSV, TSV dan IHHNV di Tambak Intensif Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) di Bakauheni,Lampung Selatan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 8(2), 1-8 Tendencia, E.A., Bosma, R.H., & Verreth, J.A.J. (2010). WSSV Risk Factors Related to Water PhysicoChemical Properties and Microflora in Semi Intensive Penaeus monodon Culture Ponds in the Philippines. Aquaculture, 302, 164-168. Udang Vanamei dan Udang Windu, (2011) (www.pasuruanKabupaten.go.id/potensi46budidayaairpayau.html, diakses 27 Agustus 2013).