W A R D I Y A N T O : KAJIAN M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H BAGI M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
KAJIAN MAKAN BERSAMA KELUARGA DI LUAR RUMAH BAGI MASYARAKAT DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WARDIYANTO
[email protected] Program S3 Kajian Pariwista UGM
ABSTRAK Fenomena makan di luar telah menjadi kejadian umum dalam kehidupan keluarga di DIY. Hal itu menunjukkan bahwa dalam masyarakat telah terjadi perubahan budaya makan. Masyarakat, terutama golongan kelas menengah dan atas kini biasa menikmati makan diberbagai restoran, warung makan maupun tempat lain yang menjual makan. Namun, sedikit penelitian yang mengungkap kebutuhan psikososial dan motif rekreasi yang terjadi pada fenomena makan di luar tersebut. Penelitian ini menggunakan data yang dari 359 responden dan diperkuat dengan beberapa wawancara. Temuan penelitian mengidentifikasikan motif rekreasi untuk makan di luar ituadalah "identitas diri". Ada beberapa alasan yang membuat para keluarga memilih makan di luar pada hari-hari tertentu, diantaranya: mencari pengalaman yang menyenangkan, melarikan diri dari rutinitas, kebersamaan. Kata kunci: Makan di luar, rekreasi keluarga, masyarakat DIY. ABSTRACT Eating out of home fenomena is become family habit in Yogyakarta (DIY). That niean indicates has a changed culture of eat, espccially for middle level to upper level people, come to enjoy foods in restaurants or food shops (warung) or other places that sale foods. But a very little bit research to study phsycological need and recreation motiv in eat out side of home fenomena. This study use 359 repondencessupported with interviews. The result is indicating that recreation eating out side of home is "Self Indentities " . There are many reasons that make the families choose eat out side ofhome in special days; lookingforfun experiences, escape from routine activities, and as gathering. Key words: Eating Out Side ofhome , Family recreation, DIY People. 42
Jurnal GASTRONOMI INDONESIA Volume 3 Nomor 1 Juni 2015
(convenience foods/plastic foods) atau mereka dapat menyiapkan makananan yang sudah ada yang dibeli di restoran atau tempat pilihan mereka untuk dimakan di rumah atau mereka dapat memilih makan di luar rumah / makan direstoran. Pemilihan makan itu kini berkembang pada seluruh menu makan, bisa untuk makan pagi, makan siang maupun makan malam., setidaknya ada satu pilihan bagi orang / keluarga untuk makan di luar dalam satu hari.
PENDAHULUAN Makan-merupakan bagian dari budaya masyarakat senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat.Pada dasarnya adalah makan berkaitan dengan perilaku kebutuhan dan menentukan pola-pola makan, yaitu makan pagi, makan siang dan malam.Dalam praktek keluarga agraris tradisional, makan pada umumnya dilaksanakan di rumah, dilaksanakan pada waktu luang saat istirahat kerja.Budaya makan yang demikian tidak dapat dikatakan makan sebagai kegiatan rekreatif untuk bersenang-senang karena dalam hal ini makan semata untuk memenuhi kebutuhan pokok, yakni untuk mengatasi rasa lapar dan mempertahankan hidup.Kini makan telah mengalami transformasi sosial, telah terjadi perubahan nilai makan sebagai akibat dari kehidupan modern. Makan di luar merupakan salah satu manifestasi perubahan,sebagaimana telah ditelitioleh Maznah (2003) perilaku makan dapat diidentifikasi dan dikelompokan dalam ketentuan tempat makan, waktu makan, dan jenis makanan, tata cara makan. Kini sebagian masyarakat DIY, terutama golongan kelas menengah dan atas, dihadapkan pada sejumlah pilihan terkait makanan sehari-hari.Mereka bisa makan di rumah dengan menyiapkan makanan sendiri dari bahan-bahan mentah. Mereka juga dapat membuat makanan di rumahmenggunakan campuran bahan baku dan makanan jadi
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini-difokuskan pada pemahaman mengenai kebiasaan makan keluarga. Dalam hal ini lingkungan makanan dieksplorasi dari tiga aspek yang berbeda untuk memahami bagaimana orang membuat pilihan untuk makan. Pertama, Lingkungan makanan dipandang dari segi alasan bahwa masyarakat memilih untuk makan di luar dan bagaimana menggunakan restoran. Kedualingkungan makanan dilihat dari titikpandang fungsi yang dimiliki restoran di masyarakat modern sebagai tempat untuk sosialkoneksi dan sumber daya untuk ide-ide baru. Ketiga, akan dikaji pertumbuhan historis restoran danindustri makanan dalam rangka untuk lebih memahami bagaimana lingkungan makanantelah mampu mengubah budaya makan. Masalah pokok yang dieksplorasi adalah alasan mengapa orang 43
W A R D I Y A N T O : K A J I A N M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H B A G I M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
yang dibahas dalam penelitian ini mencakup pertumbuhan restoran dan rumah makan; pemilihan makanan; dan alasan yangorang membuat pilihan untuk makan di luar rumah. Topik terakhir, membuat pilihan untuk makan di luar, akan dibahas dari tiga perspektif yang berbeda: penggunaan makanan untuk rekreasi,memilih untuk tidak memasak, dan apa yang membuat orang tertarik untuk makan di luar. Keseluruhan tinjauan pustakaini akan memberikan review literatur yang memadai, menunjukkan pentingnya permasalahan ini dikaji, dan menimbulkan pertanyaan bagi para peneliti di masa depan.
membuatpilihan untuk makan di luar rumah.Pertanyaan itu menjadi awal pertanyaan penelitian. Beberapa Jawaban sebagai contoh, mengapa orang makan di luar rumah antara lain mencoba makanan baru dan berbeda, untuk membangun dan memelihara hubungan sosial dan menikmati makanan. Alasan lain termasuk mencari pengalaman makan di luar serta melepaskan diri dari rutinitas. Bagi beberapa orang, kurangnya kemampuan dan pengetahuan mereka dalam keterampilan memasak sering menyebabkan makan di luar karena mereka tidak merasa percaya diri dengan kemampuan mereka untuk mempersiapkan makanan tertentu denganrasa/kelezatan yang sama dengan makanan di restoran. Dengan mengkaji alasan-alasan mengapa orang membuat pilihan untuk makan di luarrumah atau memasak sendiri di rumah diharapkan dapat diperoleh jawaban yang lebih lengkap tentang adanya perubahan budayamakan yang terjadi pada masyarakat di DIY. Dari temuan mengenai pemanfaatan restordn dan alasan orang pergi keluar untuk makan menjadi jelas bahwa restoran menempati peran penting dalam perkembangan masyarakat.
Kebiasaan Makan Kebiasaan makan ini akan membentuk sebuah pola makan / pola konsumsi pangan seseorang.Pola konsumsi merupakan serangkaian cara bagaimana makan diperoleh, jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah makanan yang mereka makan dan pola hidup mereka, termasuk beberapa kali makan atau frekuensi makan menurut Suhardjo (2006). Pola konsumsi seseorang adalah salah satu bagian dari aspek anthropologi yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai suatu kelompok, tingkah laku ini mencakup juga soal-soal yang berhubungan dengan jangan atau makanan, misalnya cara manusia mendapatkan, mengolah dan mengkonsumsi makanan yang zaman modern sekarang ini.
KAJIAN TEORI Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami mengapa dan bagaimana keluarga di DIY membuat pilihan untuk makan di luar rumah. Topik 44
Mead dalam (Almasiter, 2002) mengemukakan bahwa pola panganadalah cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan eknomi dan sosial budaya yang dialaminya. Pola konsumsi pangan merupakan kegiatan sosial budaya yang mempunyai pengaruh kuat terhadap apa dan bagaimana pangan tersebut dimakan. Manifestasi yang dihasilkan keluarga inilah yang akan menghasilkakan struktur perilaku konsumsi pangan atau lebih dikenal dengan kebiasaan makan. Pola konsumsi atau kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia oleh kelompok manusia dalam memenuhi kebtuhannya akan pangan; meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Sikap berdasarkan pada nilai-nilai "afektif yang berasal dari lingkungan alam, sosial, budaya dan ekonomi. Sedangkan kepercayaan orang yang berkaitan dengan nilai-niai "kognitif selanjutnya pemilihan makanan berdasarkan sikap dan kepercayaan merupakan proses "psikomotor". Kebiasaan makan bukanlah bawaan sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar (Suhardjo, 1989). Kebiasaan makan merupakan akumulasi dari pengalaman seseorang dalam menjalani proses kehidupannya terkait dengan makanan. Dengan kompleksitas lingkungan yang dihadapinya, kebiasaan makan seseorang akan senantiasa berubah. Perubahan kebiasaan makan dapat disebabkan oleh pendidikan gizi dan kesehatan serta
aktivitas pemasaran atau distribusi pangan.Selain itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti lingkungan budaya (cultural envimnmental), lingkungan alam (natural environmental), juga populasi (Hartog, Staveren & Brouwer, 1995).Kebiasaan makan akan membentuk pola makan. Setiap lingkungan / daerah / negara memiliki pola makan yang berbeda, termasuk di Indonesia. Perbedaan itu terkait dengan perbedaan bahan baku, tradisi dan kebiasaan sehari-hari. Fast Food Restaurant (Restoran Makanan Cepat Saji) Menu yang ditawarkan pada restoran/ast/ooflfpada umumnya terbatas, dan sebagian besar sistem pelayanannya berupa self service by the customer (Yuliati, 1998).Fusi food merupakan makanan yang dapat disajikan dalam waktu sesingkat mungkin dan merupakan makanan yang dapat dikonsumsi secara cepat.Fastfoodrestaurantdapat dibedakan menjadi fast foodrestaurantmodem yang berasal dari luar negeri seperti McDonals, Kentucky Fried Chicken (KFC), Texas Fried Chicken (TFC), Pizza Hut, A&W, Dunkin Donuts, dan Popeye's, dan fast /ooiftradisional atau lokal seperti Rumah Makan Padang, Warung Tegal, Bakul Sunda dan lainnya yang biasa menyediakan makanan seperti pecel . ayam bakar, bakso, siomay, gado-gado, ketoprak dan lainnya yang dapat disajikan dengan cepat (ready to serve). 45
W A R D I Y A N T O : K A J I A N M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H B A G I M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Selama ini jenis fastfood yang biasa dikonsumsi oleh konsumen antara lain/Hed chicken, burger, spaghetti, danfrench fries. Di antara fastfood yang ada, fried chicken merupakan makanan yang paling diminati konsumen, baik kalangan tua maupun muda. Khomsan (2004)menyatakan bahwa fast food berbeda dengan junk food.Junk food adalah makanan yang hanya kaya kalori namun miskin gizi, sementara fast food adalah makanan yang bergizi tinggi. Tetapi fast food umumnya juga 'miskin' akan sayur. Kalaupun ada, sayurnya terbatas pada salada yang tidak banyak
mengandung vitamin dan mineral.Dengan begitu, fast food ini kurang sehat untuk dikonsumsi dalam keseharian. HASIL DAN PEMBAHASAN Makan Bersama Sebagai Rekreasi Keluarga Ketika ditanya tentang kegiatan apa yang dilakukan oleh keluarga di DIY untuk mengisi waktu luang dan untuk mendapatkan kesenangan, jawaban mereka beragam sebagaimana tabel berikut.
No Jenis kegiatan 1 Mengunjungi obyek wisata 2 Makan di luar bersama keluarga 3 Jalan-jalan bersama keluarga 4 Mengunjungi keluarga 5 Bersepeda bersama keluarga 6 Renang 7 Mancing 8 Berkebun dan mengurus taman 9 Ngobrol dengan keluarga 10 Membersihkan rumah 11 Nonton TV 12 Jumlah Sumber: Data Primer (2013)
Jumlah 70 56 42 39 35 30 24 10 32 11 10 359
%
19,5 15,6 H,7 10,9 9,7 8,4 6,7 2,8 8,8 3,1 2,8 100,0
paling populer kedua setelah "mengunjungi obyek wisata".Fakta ini juga dapat menjadi petunjuk bahwa makan di luar bersama keluarga dipahami oleh kebanyakan keluarga sebagai bersenang-senang selain memang untuk menghilangkan rasa lapar. Fenomena makan di luar bersama keluarga (eating out) telah menjadi kegiatan yang sangat disenangi oleh
X
Data itu menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka menyebutkan makan di luar bersama keluarga.ini artinya, "makan di luar bersama keluarga" dipandang sebagai kegiatan rekreatif / kegiatan yang dapat menyenangkan pelakunya.Kegiatan ini dilaksanakan oleh 16% responden.Dari berbagai kegiatan rekreatif yang ada, "makan di luar bersama keluarga" menjadi kegiatan 46
Jurnal GASTRONOMI INDONESIA Volume 3 Nomor 1 Juni 2015
masyarakat DIY. Ini sama dengan yang terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Fenomena makan di luar kini telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan / urban. Makan di luar rumahdidefinisikan sebagai kegiatan mengkonsumsi makanan yang dilakukan di luar rumah.Fenomena ini sangat berpengaruh pada menjamurnya restoran, cafe, foodcourt, rumah makan, warung makan yang terdapat di pusat perbelanjaan maupun di luar pusat perbelanjaan. Bagi sebagian masyarakat, konsumsi makanan tidak sekedar sebagai kebutuhan biologis untuk memenuhi rasa lapar, akan tetapi makan merupakan gaya hidup yang akan menandakan identitas, kelas, kelompok, dsb. Oleh karenanya, makan di luar (eating out) muncul sebagai sebuah komoditas dalam kehidupan sosial masyarakat urban.Tempat makan dan jenis makanan yang dipilih bisa menentukan kelas sosial seseorang. Kota dengan beragam pusat perbelanjaan dan tempat makan telah menjadi arena pertarungan, tidak saja bagi produsen dalam mendapatkan konsumen, akan tetapi juga bagi ^konsumen dalam menunjukkan status dan kelas sosialnya melalui jenis makanan dan tempatmakan. Kegiatan makan bersama keluarga, baik di rumah atau di luar rumah biasanya disertai dengan obrolan santai orang tua dan anak sehingga mampu menciptakan suasana yang terbuka. Kegiatan makan bersama juga menjadi salah satu cara untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan keluarga. Saat makan bersama,
kegiatan yang dilakukan tidak sekedar makan saja tapi juga saling bercerita tentang aktivitas yang dilakukan selama satu hari. Selain itu makan bersama juga bisa menjadi tempat untuk mendiskusikan masalah dalam keluarga ataupun masalah yang lain. Dalam penelitian ini sejumlah penelitian akan dikaji untuk melihatkekuatan dan kelemahannya. Keputusan membuat pilihan untuk makan di luar akandilihat dari dua arah, yakni 1) membuatpilihan untuk makan dan2) membuat pilihan untuk tidak memasak. Kajian tentang pembuatan pilihan makan di luar ini penting untuk memahami pergeseran terus menerus sumber makanan saat dari dapur rumah ke restoran, dibawa pulang tempat, supermarket, dan toko-toko. Ini akan dibahas pertama dalam konteks menggunakan makanan siap ketika memasak, maka dalam konteksmemilih untuk tidak memasak, dan akhirnya dalam konteks alasan orang membuat pilihan untuk makan. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku Makan Pertumbuhan Industri Makanan Masyarakat kini dihadapkan pada kondisi lingkungan pangan "obesogenic ",. Lingkungan obesogenik didefinisikan oleh Swinburn et al. (2002) sebagai lingkungan yang mempromosikan peningkatan asupan makanan,makanan 47
W A R D I Y A N T O : KAJIAN M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H BAGI M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik.Lingkungan 'obesogenic dianggap menjadi kekuatan pendorong di belakang meningkatnya epidemi obesitas. Kegemukan dan obesitas tidakdisebabkan oleh faktor tunggal. Lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan terhadapdiet, aktivitas fisik dan obesitas.Salah satu contoh lingkungan ini adalah berkembangnya industry makanan. Keberadaan industry makanan di DIY secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat terhadap makanan Selanjutnya keadaan itu akan mengkondisikan bagaimana masyarakat melaksanakan diet yang akan membentuk pola makan. Perkembangan perusahaan makanan dan minuman di DIY disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor market size yakni jumlah penduduk, laju
pertumbuhan penduduk, besarnya lapisan golongan menegah, meningkatnya daya beli masyarakat yang meliputi tingkat pendapatan per kapita, laju pertumbuhan, dan besarnya peranan sektor modern. Kini keberadaan perusahaan makanan dan minuman menjadi semakin penting, bahkan dapat disebut merupakan kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan akan makanan dan minuman terus meningkat. Meningkatnya kebutuhan tersebut mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya perusahaan - perusahaan makanan dan minuman di DIY.Hal tersebut tampak pada banyaknya produk - produk yang ditawarkan oleh produsen makanan dan minuman, kita juga dapat lihat di berbagai media yang banyak menampilkan iklan - iklan makanan dan minuman tersebut.
Tabel 2. Jumlah Restoran, Rumah2008 Makan2009di D.I.2010 DIY (2006 2012) Deskripsi 2006dan 2007 2011 - 2012 Restoran 70 Rumah Makan 496 Total 566
Sumber: Data primer, 2014
77 407 484
64 503 567
Data itu menunjukkan terjadinya fluktuasi keberadaan restoran dan rumah makan.ini tentunya terkait dengan minat masyarakat terhadap menu yang disajikan oleh restoran dan rumah makan itu. Selera masyarakat Indonesia akan makanan dan minuman selalu berubah - ubah dan beragam. Hal ini yang menjadi perhatian
76 524 600
49 783 832
56 585 641
59 650 709
perusahaan makanan dan minuman untuk menciptakan produk - produk makanan dan minuman yang dapat menyesuaikan dengan perubahan selera masyarakat terhadap makanan dan minuman. Perusahaan yang dapat terus menciptakan produk yang sesuai dengan selera masyarakat terhadap makanan dan 48
umumnya masih mempertahankan budaya tradisional mereka yang tidak akan memandang makan secara komersial. Ini berbeda dengan orang-orang yang bekerja di sektor sekunder dan tersier, mereka akan lebih mudah dalam memahami komersialisasi yang terjadi dalam masalah makanan dan penyediaannya.
minuman atau pada akhirnya masyarakat akan mengikuti apa yang disediakan oleh industry makanan dan minuman. Dengan demikian perusahaan tersebut akan terus mengalami perkembangan. Perubahan Sosial-Ekonomi Masyarakat Dalam lima tahun terakhir, telah terjadi perubahan struktural pada perekonomian DIY, khususnya pada lapangan usaha/ kerja penduduk, dari sektor primer menuju sektor tersier. Perubahan itu berpengaruh pada perilaku masyarakat. Pada awalnya mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk DIY adalah di sektor pertanian, dengan budaya tradisional dan agraris, kini mengalami pergeseran menuju ke perekonomian usaha jasa yang tentunya diikuti dengan perilaku baru yang lebih modern dan lebih bersifat konsumtif. Termasuk dalam hal ini adalah budaya mengkonsumsi makanan.Jika dalam budaya agraris makanan bukan merupakan komoditas bisnis dan untuk mendapatkannya tidak harus dengan membayar, kini makanan sudah menjadi komoditas bisnis. Sampai tahun 2012, struktur perekonomian DIY didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni: sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor jasa-jasa; dan sektor industri pengolahan. Kondisi demikian berpengaruh pada pola kerja yang akan berdampak pada pola makan. Orang yang bekerja di sektor pertanian, mereka pada
Pendapatan Per Kapita PDRB per kapita merupakan salah satu ukuran kesejahteraan keluarga.Secara statistik ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang sedang naik, selain angka pertumbuhan yang berkisar di angka 6,3% per tahun, pendapatan per kapita pun mengalami peningkatan (BPS, 2012). Dengan melihat pendapatan perkapita dalam tiga tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan penduduk DIY meningkat. Peningkatan itu tentunya positif bagi peningkatan potensi penduduk DIY untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat rekreatif karena sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.. Nilai PDRB per kapita di DIY atas dasar harga berlaku, pada tahun 2013 mencapai Rp. 17,98 juta (pendapatan rata rata Rp. 1.498.333 per bulan atau Rp. 49.995 per hari) atau meningkat 9,95 %, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2012 yang besarnya Rp. 16,35 juta (pendapatan rata rata Rp. 1.362.500 per bulan atau Rp. 45.417 per hari). Selanjutnya PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000, pada tahun 2013 mencapai Rp. 6,94 juta, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2012 yang 49
W A R D I Y A N T O : K A J I A N M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H B A G I M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
besarnya Rp. 6,68 juta, atau ada peningkatan 3,18%. Fakta itu menunjukkan terjadinya peningkatan kesejahteraan keluarga DIY dalam lima tahun terakhir karena meningkatnya pendapatan masyarakat. Ada korelasi positif antara meningkatnya pendapatan dengan peningkatan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan meningkatnya pendapatan, potensi masyarakat DIY untuk memenuhi kebutuhan, sampai pada kebutuhan tersier semakin bisa terpenuhi. Peningkatan pendapatan masyarakat ini akan diikuti dengan kecenderungan meningkatnya pengeluaran. Pada umumnya perilaku konsumsi tidak didasarkan pada teori kebutuhan semata, tetapi didorong oleh hasrat dan keinginan.Perilaku konsumsi tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan tetapi didasarkan pada motivasi untuk: mendapatkan suatu tantangan, sensasi, kegembiraan, sosialisasi, menghilangkan stress, memberikan pengetahuan baru, perkembangan trend baru dan model baru serta untuk menemukan barang yang baik dan bernilai bagi dirinya (Arnold andReynolds, 2003). Dengan begitu semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin besar dan beragam konsumsinya.
pengeluaran dapat mengindikasikan perubahan tingkat kesejahteraan suatu penduduk. Besarnya pengeluaran menjadi salah satu indikator kesejahteraan. Semakin besar pengeluaran penduduk, semakin tinggi pula tingkat kesejahteraannya. Ada dua jenis pengeluaran, yakni: pengeluaran untuk makanan dan non makanan. Pengeluaran berkaitan dengan pendapatan.Pada umumnya peningkatan pendapatan diiringi pergeseran pola pengeluaran. Ketika pendapatan meningkat, porsi pengeluaran untuk makanan menurun,, sebaliknya porsi pengeluaran untuk non makanan meningkat. Di negara berkembang, pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi prioritas utama, karena untuk memenuhi kebutuhan gizi, sehingga pengeluaran untuk pangan lebih tinggi daripada yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan non pangan. Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Negara maju yang di situ pengeluaran masyarakat lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non pangan: perumahan, barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama (kendaraan, perhiasan dan sebagainya). Data itu menunjukkan selama dua tahun (2010-2012), terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi di daerah perkotaan (35,84%) dan perdesaan (•44,68%). Berdasarkan komposisi pengeluaran, tampak terjadi perubahan, jika pada tahun 2010 pengeluaran untuk konsumsi makanan dan non
Pengeluaran Penduduk Pola pengeluaran merupakan salah satu variabel untuk mengukur tingkat kesejahteraan (ekonomi) suatu penduduk, sedangkan pergeseran komposisi 50
Jurnal GASTRONOMI INDONESIA Volume 3 Nomor 1 Juni 2015
makanan.Data tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan komposisi pengeluaran antara keluarga perkotaan dengan keluarga perdesaan.Keluarga perdesaan lebih banyak mengeluarkan untuk mengkonsumsi makanan yang merupakan kebutuhan primer, sementara keluarga perkotaan lebih banyak membelanjakan uangnya untuk mengkonsumsi non makanan, kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.Pada masyarakat kelas menengah dan atas menganggap makan bukan lagi untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok tetapi untuk memenuhi kebutuhan tersier/ bersenang-senang.
Dengan menggunakan parameter yang dipakai oleh BKKBN, keluarga di DIY bisa dikelompokkan menjadi: Pra sejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus. Pada tahun 2008 kelompok sejahtera III dan III plus sebesar 34,79%, tahun 2009 sebanyak 35,40%; tahun 2010 sebanyak 36,07%; dan tahun 2011 sebanyak 38,46%.Kelompok itu adalah kelompok yang telah mampu untuk melaksanakan kegiatan rekreatif karena mereka sudah memiliki pendapatan yang cukup.Mereka sudah memiliki disposable income yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ''bersenang-senang" .Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam empat tahun sejak tahun 2008, keluarga di DIY yang berpotensi untuk melaksanakan rekreasi mengalami peningkatan secara berkelanjutan sebesar lebih kurang 1% setiap tahun. Dengan memperhatikan pendapatan, pengeluaran, pendidikan, dan kesejahteraan, dapat disebutkan bahwa di DIY telah berkembang kelas menengah. Kelas menengah ditandai oleh tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi, dan mempunyai penghargaan yang tinggi pada: kerja keras, pendidikan, kebutuhan menabung dan perencanaan masa depan, serta mereka dilibatkan dalam kegiatan komunitas (Sunarto, 2004). Ini sejalan dengan pandangan Giddens (2001) yang menyebutkan bahwa kelas menengah adalah mereka yang karena pendidikan
Kesejahteraan Penduduk Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan penduduk yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BPS misalnya, mengukur kesejahteraan dilihat dari konsep kebutuhan minimum p'roxy pengeluaran yaitu rata - rata Rp. 152.847 , - per kapita per bulan (SUSENAS, 2006), sedangkan BKKBN membagi kesejahteraan keluarga ke dalam tiga kebutuhan, yakni: (1) kebutuhan dasar yang terdiri dari pangan, sandang, papan dan kesehatan, (2) kebutuhan sosial psikologis yang terdiri dari pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal, dan (3) kebutuhan pengembangan yang terdiri dari tabungan, pendidikan khusus/kejuruan, dan akses terhadap informasi. 51
W A R D I Y A N T O : K A J I A N M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H B A G I M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
dan kualifikasi teknisnya, dapat menjual tenaga serta pikirannya untuk mencari penghidupan yang hasilnya secara materi dan budaya jauh di atas buruh.Mereka dicirikan dengan pendidikan rata-rata setingkat sarjana dan memiliki dorongan untuk selalu maju dalam karier, Mereka memandang sumber daya manusia, seperti halnya pendidikan, pengetahuan, dan tabungan, merupakan hal penting bagi kehidupan mereka.Mereka adalah para pemilik usaha dengan jumlah karyawan 1-10 orang, para manajer, atau pegawai swasta setingkat supervisor tetapi bergaji besar. Pada umumnya, warga strata sosial menengah lebih berpendidikan dan mempunyai kecenderungan melakukan investasi di bidang pendidikan dan sekolah bagi anak-anaknya, dengan demikian kelas menengah merupakan lapisan masyarakat yang terdiri atas pelajar, para profesional dan pemilik bisnis skala kecil dan menengah. Kelompok menengah ini seringkah bersedia membayar ekstra untuk produkproduk yang berkualitas lebih tinggi, yang pada akhirnya mampu mendorong permintaan untuk barang-barang kebutuhan berkualitas tinggi. Giddens (2002) menyebutkan bahwa kelas menengah memiliki penghasilan sekitar Rp 1.900.000 / bulan dan pengeluaran Rp 750.000 - Rp Rp 1.900.000 per bulan atau Rp. 25.000 Rp. 63.300 per hari. dalam laporan
pertengahan tahun 2010 ADB mengelompokkan kelas menengah di Asia berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita per hari, menjadi: kelas menengahbawah dengan pengeluaran sebesar 2-4 dollar AS (Rp 20.000 - Rp 40.000/orang/ hari); kelas menengah-tengah dengan pengeluaran sebesar 4-10 dollar AS (Rp 40.000 - Rp 100.000/orang/hari); dan kelas menengah-atas dengan pengeluaran sebesar 10-20 dollar AS (Rp 100.000 - Rp 200.000/orang/hari) (ADB, 2010). Dengan menggunakan dasar tersebut, terutama parameter ADB (2010) dapat disebutkan bahwa kelas menengah yang berkembang di DIY kebanyakan masih dalam kelompok bawah (tahun 2012, pendapatan rata-rata Rp 45.417 per hari dan pengeluaran Rp 26.717 per hari).Salah satu dasar dari penilaian ini adalah besarnya pengeluaran / jumlah uang yang dibelanjakan oleh penduduk DIY. Selanjutnya dapat diketahui penduduk kelas menengah DIY kurang lebih sebanyak 38,46%. Ini mengindikasikan bahwa penduduk DIY memiliki potensi untuk dapat memenuhi kebutuhan tersier. Menurut teori kebutuhan Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia atau basic needs. Karena termasuk kebutuhan dasar, maka pemenuhan terhadap pangan menjadi hal mutlak jika manusia ingin tetap bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, 52
Jurnal GASTRONOMI INDONESIA Volume 3 Nomor 1 Juni 2015
manusia baru akan bisa memikirkan untuk mencapai kebutuhan lainnya. Kebutuhan bersosialisasi (social needs), percaya diri (self esteem) dan aktualisasi diri (self actualization) merupakan tiga teratas kebutuhan manusia. Namun, hal tersebut tampaknya tidak berlaku lagi sekarang.Pangan bukan lagi produk konsumsi untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia semata. Pangan saat ini menjadi sebuah gaya hidup baru di kalangan masyarakat. Pangan berubah menjadi sebuah industri kuliner yang memberikan tidak hanya cita rasa tapi juga kebutuhan lain manusia untuk bersosialisasi maupun beraktualisasi. Sebab, industri makanan yang berkembang saat ini juga menyediakan ruang bagi konsumen untuk bisa berkumpul dengan komunitasnya melalui layanan ruangan maupun jasa lainnya. Tidak mengherankan jika industri makanan saat ini tumbuh sangat subur.Ada beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut.Hal ini setidaknya terlihat dari pola konsumsi masyarakat yang mulai bergeser ke masakan dan minuman jadi (BPS, 2012).Selain itu, dari tahun ke tahun, usaha makanan atau restoran terus meningkat.
di luar.Berdasarkan data (359 responden) yang berhasil dikumpulkan, diperoleh jawaban ada tiga hal yang mendorong keluarga di DIY melaksanakan makan di luar bersama keluarga, yakni: pengalaman yang menyenangkan (36,5%); melarikan diri dari rutinitas (35,6%); dan Kebersamaan (27,9%). Alasan pertama, dan yang paling banyak dikemukakan adalah pengalaman baru.Respondenmenyatakan tertarik untuk makan makanan yang mereka belum pernah mencoba sebelumnya. Pengalaman membawa aktivitas makan makanan ke tingkat yang lebih besar dari sekedar mencobauntuk mendapatkan makanan (Kim, et al., 2009). Lebih lanjut dinyatakan bahwa dari sudut pandang psikologis, makanan yang menarik adalah yang dapat mempertemukan harapan dan kepuasan bahkan dapat menjadicara untuk meningkatkan diri secara emosional. Rust, et al. (2000) setuju dengan ide makan di sebuah restoran dapat menciptakan pengalaman yang menarik, tetapi itu juga mempertinggi harapanuntuk makan berikutnya karena dari kenangan yang terkait dengan pengalaman sebelumnya seseorang akan merminat untuk mengunjungi restoran.Costa, et al. (2007) lebih mendukung gagasan bahwa makan di luarini menarik karena umumnya "kegembiraan / adventure dengan menciptakan kesempatan untuk bersentuhan dengan budaya makan yang berbeda.
Alasan Memilih Makan di Luar Arti penting dari penelitian ini adalah melihat apa yang mendorongorang untuk membuat keputusan untuk makan 53
W A R D I Y A N T O : KAJIAN M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H BAGI M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Alasan berikutnya yang mendorong masyarakat untuk makan di luar bersama keluarga adalah melarikan diri dari rutinitas makan di rumah.Dalam studi Kim et al. (2009) ditemukan bahwa makan di restoran paa saat melaksanakan perjalanan atau liburan adalah cara untuk melarikan diri dari rutinitas kehidupan sehari-hari. Ashley, et al.(2004) setuju dengan ide ini dengan mengatakan "makan di luar dilakukan sesekali, acara khusus,untuk dinikmati sebagai keberangkatan dari run-of-the-mill, pengalaman sehari-hari. "Mampumelarikan diri dari rutinitas memiliki arti lebih dari yang sudah jelas. Alasan tersebut terkait dengan keinginan untuk melarikan diri dari makan makanan di rumah.Banyak peneliti mendiskusikan bahwa makan makanan yang berbeda adalahbagian yang sangat penting dari makan di luar karena banyak orang hanya memiliki satu set khas makanan yangmereka persiapkan bahwa mereka jarang makan di luar. Keluar untuk makan memungkinkan orang untuk menikmati makanan' yang berbeda tanpa harus meninggalkan wilayah kenyamanan mereka dalam mempersiapkan makanan. Alasan berikutnya kaitannya dengan masalah sosial. Kebersamaan atau aspek sosial dari makan di luar rumah merupakan faktor yang sangat pentingdalam membuat pilihan untuk makan di luar rumah. Jarang untuk melihatindividu makan di restoran
sendirian saja. Warde, et al. (2000) menemukan dalam survei difokuskan padamakan di luar, 75% orang setuju dengan pernyataan "Saya tidak suka makan sendirian." Makan di luar merupakan cara untuk berkenalan baik dengan orang asing, untuk membangun atau mempertahankanhubungan romantis, dan untuk merayakan peristiwa penting dengan teman dan keluarga. Pada umumnya makan di luar dapat memenuhi kebutuhan sosial seseorang (Warde, et al. , 2000). Bagi sebagian orang, makan di luar dapatmerupakan kewajiban sosial untuk teman atau anggota keluarga meskipun mereka tidak suka makandi luar rumah. Hal ini karena makan di luar umumnya diterima sebagai sebuahcara untuk bersosialisasi dengan orang lain dan bagi banyak orang makanan yang dikonsumsi tidak begitu penting. Selain mengalami hubungan sosial, makan di luar merupakan simbolstatus dan perbedaan dalam kelas sosial. Menurut Ashley, et al. (2004) menjadi nyamandengan sifat terstruktur (yaitu menu, urutan makanan yang disajikan, cara berpakaian, dll) restoran yang berbedadapat menunjukkan tingkat perbedaan social seorang. Ada sebuah perdebatan yang sedang berlangsung antara para peneliti di bidang ini mengenai penggunaanrestoran sebagai ajang interaksi sosial. Peneliti seperti Warde et al. (2000) merasa bahwarestoran merupakan lingkungan yang positif bagi 54
Jurnal GASTRONOMI INDONESIA Volume 3 Nomor 1 Juni 2015
interaksi sosial. Hal ini dikarena kanrestoran menciptakan lingkungan yang dapat digunakan oleh banyak orang untuk interaksi sosialtanpa tekanan individu dalam sebuah pertemuan. Lebih lanjut, Wardeet al. (2000) menyatakan makan di restoran tidak akanmemiliki dampak negatif pada sosialisasi keluarga dan dalam banyak kasus dapat meningkatkan sosialitas dari keluarga melalui makanan yang berbeda yang dipilih keluarga. Berbeda dengan pandangan di atas, peneliti lain tidak melihat makan di restoran positif sebagai tempatuntuk sosialisasi. Misalnya, Finkelstein (1989) mengatakan bahwa lingkungan di restoran begitu jauh dari kendali kita bahwa percakapandan interaksi sosial akan berdampak negatif.
wawancara dengan beberapa informan yang bersedia untuk diajak berdiskusi setelah mereka melaksanakan kegiatan makan bersama di restoran atau rumah makan bersama keluarga mereka. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa di DIY telah terjadi perubahan social terkait dengan masalah makan. Dalam hal ini mengenai jenis makanan dan tata cara memakan, bahkan tempat yang digunakan untuk makan. Temuan ini tentunya akan bermanfaat bagi pengembangan restoran dan rumah makan di DIY khususnya dan di Indonesia pada umumnya Karen ' dalam hal ini ditunjukkan beraneka ragamnya peran restoran dan rumah makan dalam kehidupan masyarakat. Daftar Pustaka
PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah bahwa Penelitian ini menunjukkan alasan mengapa orang membuatpilihan untuk makan di luar rumah serta cara-cara yang orang memanfaatkan restoran hari ini. Responden memanfatkan restoran dan rumah makan untuk kepentingan berikut: sebagaisumber daya untuk hiburan / pengalaman baru yang menyenangkan, untuk interaksi sosial dan untuk mencoba makanan baru. Kesimpulan ini diambil selain dari jawaban responden, juga dimbil dari hasil
Almatsier, S, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta.PT. Gramedia Pustaka Umum. Arnold, M.J., and K.E. Reynolds, 2003. Hedonic shopping motivation, J. Retail. 79. (hlm. 77). Ashley B, Hollows J, Jones S, Taylor B. 2004. Journal ofFood and Cultural Studies. London: Routledge. Costa AIA, Schoolmeester D, Dekker M, Jongen WMF. 2007. To cook or not *
55
to cook: a means-end study of motivations for choice of meal
W A R D I Y A N T O : K A J I A N M A K A N B E R S A M A K E L U A R G A DI L U A R R U M A H B A G I M A S Y A R A K A T DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Maznah Mat. 2003. Perkembangan perniagaan makanan di Jitra, Kedah dan peranannya terhadap masyarakat. Latihan Ilmiah Pusat Pengajian Sosial, Pembangunan dan Persekitaran, UKM Rust RT, Oliver RL. 2000. Should we delight the customer? Journal ofthe Academy of Marketing Science. December;28(l). (hlm. 86-94). Suhardjo, 1989.Sosio Budaya Gizi, IPB. Bogor, Suhardjo, 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta. PT Bumi Aksara. Swinburn B, Egger G. 2002. Preventive strategies against weight gain and obesity.Obesity Reviews;3(4). (hlm. 289-301 Warde A, Martens L., 2000. Eating out. New York: Cambridge University Press.
solutions. Food Quality and Preference. January;18(l). (hlm 77-88). Finkelstein J. 1989. Dining out: a sociology ofmodern manners. New York: New York University Press. Giddens A. 2002. Runaway World. How globalization is reshaping our lives. Profile Books: London, UK Hartog, Staveren & Brouwer, (1995).Manual for Social Surveys on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Germany Margraf Publishers GmbH, Kim YG, Eves A, Scarles C. 2009. Building a model of local food consumption on trips and holidays: a grounded theory approach. International Journal ofHospitality Management. February;28(3). (hlm. 423-31). Khomsan. 2004. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat fian Sumberdaya Keluarga, Bogor.IPB.
56