KAJIAN KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN MENGGARU (Lutjanus decussatus) DI ZONA PEMUKIMAN DAN ZONA INTI KAWASAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU
DEDY EKA SYAPUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) di Zona Pemukiman dan Zona Inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
November 2009
Dedy Eka Syaputra NRP C252070384
ABSTRACT DEDY EKA SYAPUTRA. Studies on the Condition of Coral Reefs and Menggaru Fish (Lutjanus decussatus) in the Residential Zone and Core Zone of Kepulauan Seribu Marine National Park area. Under supervision of YUSLI WARDIATNO and ARIO DAMAR. Studies was conducted in the Kepulauan Seribu Marine National Park area which is administratively located in the Kepulauan Seribu District, Province of DKI Jakarta. Four islands in two different management zones were choosen, each with two different observation points (at 3-5 m depth). In the residential zone, Pramuka and Panggang Island were taken while Kayu Angin Bira and Belanda Island were choosen represented the core zone. The purposes of the study were: (1) to elaborate the condition of coral reefs in the residential zone and core zone; (2) to elaborate the conditions of menggaru fish (Lutjanus decussatus) based on its abundance and some biological aspects in the residential zone and core zone; (3) to describe the relationship between the condition of coral reefs with menggaru fish abundance in the residential zone and core zone ; and (4) to formulate an alternative management strategy of coral reefs and menggaru fish in the Kepulauan Seribu Marine National Park area. Physical condition of waters was measured directly in the field (in-situ), while some chemical parameters was measured in the laboratory based on water samples were taken from each point of observation. The quadrate transect method was used to collect data of coral reefs while underwater visual census (UVC) was used to obtain fish abundance data. A total of 41 menggaru fish caught as a sample to find out some biological parameters. In general, the waters conditions in the study site were still good. The coral reefs in the residential zone and core zone included in “fair” category with percent cover were 34.86% and 39.31%. Massive corals life form was dominant in the residential zone while in the core zone, branching coral more dominant. The percentage of genus cover both in the residential zone and the core zone was dominated by the genus Acropora and Montipora. The study results of menggaru fish bio-population in the Kepulauan Seribu Marine National Park area were as follow: the average of menggaru fish abundance in the core zone (180 ind./ha) was relatively higher when compared with residential zone (140 ind./ha), comparison of sex composition idealized yet where more males than females, the growth of fish was allometric, and the composition of its main food namely fish and crustaceans. The results of gonad maturity level observation showed that in June, menggaru fish in the study site were not entered in spawning time. Greater abundance of menggaru fish in the core zone was assumed because the dominant coral life form was branching. Based on the study, alternative management strategies that can be recommended were as follows: (1) maintaining the condition of waters environment in the residential zone, (2) accelerating the increase in coral cover percentage in the residential zone; (3) more intensive supervision and law enforcement in the core zone, and (4) restricted the size of menggaru fish that can be caught. Key words: coral reefs, hard coral, menggaru fish, abundance, management strategy.
RINGKASAN DEDY EKA SYAPUTRA. Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) di Zona Pemukiman dan Zona Inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan ARIO DAMAR. Perairan Kepulauan Seribu tercatat sebagai penghasil beranekaragam ikan karang potensial dimana populasi ikan menggaru merupakan salah satu contohnya. Menggaru merupakan nama lokal di Kepulauan Seribu untuk salah satu jenis ikan kakap yang memiliki nama ilmiah Lutjanus decussatus dan nama internasional checkered snapper. Nama lokal lain untuk ikan ini adalah ikan mentimun (di Batam dan Lingga). Ikan menggaru adalah jenis kakap yang berasosiasi dengan terumbu karang, digolongkan sebagai ikan pangan dan kelompok ikan ekonomis penting. Namun demikian, berdasarkan informasi dari nelayan setempat (di Kepulauan Seribu) ikan ini makin sulit ditemukan sehingga diduga populasinya telah menurun seiring dengan menurunnya kondisi lingkungan dan terjadinya kerusakan habitat. Adanya kecenderungan penurunan populasi ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dimungkinkan pula karena belum ada strategi pengelolaan terkait dengan sumberdaya ikan ini. Pengelolaan yang baik dapat dilakukan apabila tersedia informasi seluk beluk ikan tersebut yang ditinjau dari berbagai aspek seperti ekologi maupun biologi ikan terutama menyangkut distribusi, kelimpahan, waktu pemijahan maupun jenis makanan serta keterkaitannya dengan terumbu karang. Oleh karenanya, guna menjaga keberadaan dan kelestarian populasi ikan menggaru (Lutjanus decussatus), kiranya perlu dilakukan pengkajian menyangkut berbagai aspek seperti yang telah disebutkan di atas. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh dapat dijadikan dasar dalam menyusun strategi pengelolaan yang berkelanjutan. Hilangnya spesies ini tidak hanya merugikan secara ekologis namun juga hilangnya salah satu sumber pangan yang cukup penting. Penelitian Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2009 di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Empat pulau di dua zona pengelolaan yang berbeda dipilih sebagai lokasi pengambilan sampel, yaitu P. Pramuka dan P. Panggang yang mewakili zona pemukiman sedangkan P. Belanda dan P. kayu Angin Bira mewakili zona inti. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menguraikan kondisi terumbu karang di zona pemukiman dan zona inti Kawasan TNL Kepulauan Seribu, (2) Menguraikan kondisi ikan menggaru (Lutjanus decussatus) berdasarkan kelimpahan dan beberapa aspek biologinya di zona pemukiman dan zona inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, (3) Mendeskripsikan hubungan antara kondisi terumbu karang dengan kelimpahan ikan menggaru di zona pemukiman dan zona inti Kawasan TNL Kepulauan Seribu, dan (4) merumuskan alternatif strategi pengelolaan terumbu karang dan ikan menggaru di Kawasan TNL Kepulauan Seribu secara berkelanjutan. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei dengan langkah- langkah dan metode sebagai berikut: (1) Kondisi Perairan. Kondisi fisik perairan berupa temperatur air laut, kecerahan,
salinitas, kekeruhan, dan kecepatan arus permukaan diukur langsung di lapangan (in situ). Adapun derajat keasaman (pH), kadar fosfat, nitrat, nitrit dan ammonia diukur di laboratorium berdasarkan sampel air yang diambil dari setiap titik pengamatan, (2) Kondisi Terumbu Karang. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data kondisi terumbu karang adalah transek kuadrat, (3) Ikan karang. Underwater Visual Census digunakan untuk menghitung kelimpahan ikan termasuk ikan menggaru (Lutjanus decussatus), dan (4) Sampel Ikan dan Lambungnya. Sampel ikan diukur panjangnya dan ditimbang beratnya kemudian dibedah dan diambil saluran pencernaannya dari pangkal pharynx sampai anus. Saluran pencernaan ikan tersebut kemudian diawetkan dengan formalin 4% dan dimasukkan ke dalam botol ukuran 50 ml serta diberi label. Setelah itu sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi tingkat kematangan gonad dan jenis makanannya. Berdasarkan hasil pengukuran beberapa parameter baik fisik maupun kimia, dapat dikatakan bahwa kondisi perairan di zona pemukiman dan zona inti masih cukup baik. Suhu perairan di kedua zona yang berkisar antara 28-31 °C sangat cocok untuk pertumbuhan karang. Kecepatan arus yang terukur pada saat pengambilan data memang terhitung lemah dan berkaitan erat dengan musim peralihan dari musim barat menuju musim timur sehingga perairan relatif tenang. Dalam kaitannya dengan kecerahan perairan, hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata kecerahan di kedua zona dimana pada zona pemukiman kecerahannya lebih rendah dibandingkan zona inti. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kekeruhan di zona pemukiman relatif lebih tinggi dan dimungkinkan karena daerah ini dihuni penduduk sehingga perairannya mendapat pengaruh dari aktivitas yang dilakukan. Berbagai aktivitas penduduk yang merusak seperti membuang limbah baik organik maupun anorganik, dapat membuat perairan lebih keruh dan berakibat pada kurangnya penetrasi sinar matahari untuk menembus kedalaman. Oleh karena itu, pembuangan limbah oleh penduduk di zona pemukiman perlu ditanggulangi karena berdampak pada tingginya kekeruhan serta rendahnya kecerahan yang akhirnya mengganggu kelangsungan hidup karang. Hasil pengukuran untuk parameter kimia perairan menunjukkan bahwa distribusi Nilai pH yang terukur di kedua zona relatif masih sesuai dengan pH yang dijumpai di perairan laut yang normal yaitu berkisar antara 8.0-8.5 sehingga dapat dikatakan bahwa ditinjau dari kadar pH tersebut, perairan di zona pemukiman maupun zona inti masih tergolong baik untuk menunjang perkembangan ekosistem terumbu karang. Namun demikian, beberapa parameter lain seperti nitrat dan fosfat baik di zona pemukiman maupun zona inti sudah cukup tinggi dan perlu menjadi perhatian. Mengacu pada kategori Australian Institute of Marine Science (AIMS), terumbu karang di lokasi penelitian baik zona pemukiman maupun di zona inti termasuk dalam kategori sedang dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 34.86% dan 39.31%. Kondisi terumbu karang di zona inti yang berada pada kategori “sedang” pada dasarnya cukup mengejutkan karena sesuai fungsi dan tujuan penetapan zona ini, kondis inya diharapkan lebih baik dari zona-zona lain. Tingginya persentase patahan karang dan karang mati menguatkan dugaan bahwa daerah ini telah terekspos dan mengalami tekanan baik secara antropogenik (seperti aktivitas penangkapan ikan yang merusak, dampak lego jangkar perahu/kapal dan dampak aktivitas penyelaman yang tidak profesional) maupun
secara alami. Berdasarkan hasil penelitian untuk tutupan life form karang, diketahui bahwa karang masif dominan di zona pemukiman sedangkan di zona inti karang bercabang lebih dominan. Adapun untuk persentase tutupan genus, diperoleh hasil bahwa baik pada zona pemukiman maupun zona inti, genus karang yang cukup tinggi tutupannya adalah karang dari genus Acropora dan Montipora. Hasil kajian bio-populasi ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut: (1) Kelimpahan di zona inti relatif lebih banyak dibandingkan dengan di zona pemukiman namun secara statistik tidak berbeda nyata, (2) Terdapat variasi ukuran panjang ikan di zona pemukiman dengan zona inti, (3) Perbandingan komposisi jenis kelamin ikan belum ideal. Ikan berjenis kelamin jantan lebih banyak dibandingkan betina, (4) Bentuk pertumbuhan ikan baik di zona pemukiman maupun di zona inti adalah allometrik, (5) Pada bulan Juni, ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di lokasi penelitian belum masuk waktu pemijahan yang ditunjukkan dari cukup banyaknya ikan yang berada pada tingkat kematangan gonad I dan II, (6) Komposisi makanan utamanya berupa ikan dan crustacea (udang), dan (7) Kelimpahan yang lebih banyak di zona inti diduga karena life form karang yang dominan adalah branching. Alternatif strategi pengelolaan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: (1) Menjaga kondisi lingkungan perairan di zona pemukiman. Meskipun kondisi perairan di zona pemukiman secara fisik masih dalam kondisi baik, namun beberapa parameter kimia perairan yang diteliti menunjukkan kondisi sebaliknya. Hal ini dapat diindikasikan dari kandungan ammonia, nitrat maupun fosfat di zona pemukiman yang cukup tinggi dan telah melewati ambang batas yang dianjurkan. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang sehingga mengancam keberadaan ikan menggaru yang berasosiasi didalamnya. Upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyakarat yang bermukim agar tidak mencemari lingkungan perairan, (2) Mempercepat peningkatan persentase tutupan karang di zona pemukiman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemasangan terumbu buatan atau transplantasi karang. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh fakta bahwa ikan menggaru relatif lebih banyak dijumpai pada daerah yang didominasi oleh life form karang branching. Oleh karena itu, upaya transplantasi yang dilakukan perlu ditekankan pada jenis life form karang tersebut, (3) Pengawasan yang lebih intensif dan penegakan hukum di zona inti. Cara yang paling efektif untuk meningkatkan kondisi terumbu karang dan dalam rangka menjaga kelestarian ikan menggaru di zona inti adalah dengan pengawasan yang lebih intensif. Kegiatan yang perlu dilakukan antara lain: meningkatkan intensitas patroli di zona inti, melibatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengawasan, dan penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran, dan (4) Pembatasan ukuran ikan menggaru yang boleh ditangkap. Upaya ini pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan agar anak ikan dapat tumbuh lebih besar. Oleh karena itu, perlu ditetapkan pelarangan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil dengan cara memperbesar ukuran mata jaring sehingga hanya ikan ukuran besar yang tertangkap. Kata kunci: terumbu karang, karang keras, ikan menggaru, kelimpahan, strategi pengelolaan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN MENGGARU (Lutjanus decussatus) DI ZONA PEMUKIMAN DAN ZONA INTI KAWASAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU
DEDY EKA SYAPUTRA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) di Zona Pemukiman dan Zona Inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu : Dedy Eka Syaputra, S.Si : C252070384
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 31 Oktober 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya, tesis dengan judul “Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) di Zona Pemukiman dan Zona Inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu” berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Yth. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian dan pikiran dalam penyusunan tesis, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. 2. Yth. Bapak Ir. Yaya Mulyana, selaku Direktur PMO Coremap II yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan, Ibu Ir. Elfita Nezo n, MM, selaku KPA Coremap II dan Bapak Sarmintohadi, S.Pi., M.Si selaku PPK Coremap II yang telah banyak memberi bantuan kepada penulis baik moril maupun materil. 3. Yth. Bapak Ir. Agus Dermawan, M.Si, selaku Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut tempat penulis bekerja, serta Bapak Ir. Syamsul Bahri Lubis, MM, selaku atasan langsung yang telah memberikan motivasi selama penulis menempuh pendidikan. 4. Yth. Ayahanda Sidarman, Ibunda Imayu, Kakanda Erwinsyah, Adinda Santy dan Hendra beserta seluruh keluarga atas doa dan dorongan semangat yang telah diberikan kepada penulis. 5. Rekan-rekan mahasiswa SPL Sandwich Coremap II-ADB atas kebersamaan dan kerjasamanya. 6. Tim sekretariat SPL (Mbak Ola, Pak Zaenal, Dindin dan Aji), atas kemudahan dan bantuan kepada penulis.
7. Sponsor, Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) II-Departemen Kelautan dan Perikanan, atas beasiswa pendidikan Magister Sains di IPB pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya pesisir dan Lautan Tahun 2007-2009, serta seluruh pihak yang telah memberikan bantuan selama penulis menuntut ilmu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan wawasan bagi pembacanya.
Bogor,
November 2009 Dedy Eka Syaputra
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, 27 Januari 1976 dari Ayah Sidarman Darus, dan Ibu Imayu. Penulis merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMAN 24 Jakarta, kemudian melanjutkan kuliah di Jurusan Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus tahun 2001. Tahun 2002 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir, Kelautan dan Pulau-pulau Kecil (KP3K), Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa dari Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) II. Untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si), penulis melakukan penelitian dengan judul “Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) di Zona Pemukiman dan Zona Inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu” di bawah bimbingan Bpk. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Bpk. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................. ....... Perumusan Masalah ........................................................................... Kerangka Pemikiran....... .................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian ..............................................................................
1 3 3 5 6
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang ............................................................... Ekologi Ikan Karang ........................................................................... Taksonomi Ikan Karang ..................................................................... Hubungan Ikan Karang dan Keanekaragaman Habitat Terumbu Karang..……....................................................................................... Karakteristik Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) .......................... Morfologi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) .............................. Habitat dan Daerah Penyebaran Ikan Menggaru ............................... Hubungan Panjang Berat Ikan ............................................................ Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ................................................... Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan................................................. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan Ikan Karang ...............
7 14 15 17 20 20 22 23 24 25 26
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian ................................................................................ Waktu Penelitian................................................................................. Alat dan Bahan Penelitian .................................................................. Metode Penelitian ............................................................................... Metode Pengumpulan Data................................................................. Analisis Data.......................................................................................
28 28 31 32 32 35
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Administratif dan Letak Geografis ..................................................... Iklim dan Kondisi Osenografi ............................................................ Potensi Kawasan................................................................................. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat .................................................... Pengelolaan Kawasan .........................................................................
38 38 39 40 41
x
xi Halaman HASIL PENELITIAN Kondisi Perairan ................................................................................. Kondisi Terumbu Karang ................................................................... Kondisi Bio-Populasi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) ............ Kelimpahan Ikan.......................................................................... Distribusi Panjang, Berat dan Jenis Kelamin .............................. Hubungan Panjang Berat ............................................................. Tingkat Kematangan Gonad ........................................................ Jenis Makanan ............................................................................. Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) ……. .............................................. PEMBAHASAN Kondisi Terumbu Karang ................................................................... Kondisi Bio-Populasi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) ............ Kelimpahan Ikan.......................................................................... Distribusi Panjang, Berat dan Jenis Kelamin .............................. Hubungan Panjang Berat ............................................................. Tingkat Kematangan Gonad ........................................................ Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) ……. .............................................. Strategi Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) .........................................................................
43 46 51 51 52 53 54 55 56 57 62 62 63 64 65 67 68
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ............................................................................................. Saran ...................................................................................................
72 73
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
74
LAMPIRAN .................................................................................................
82
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1 The geographical position of sampling sites in each island ....................
28
2 The classification of marine fish gonad maturity level ...........................
32
3 The length range and sex ratio of menggaru fish (Lutjanus decussatus) which was caught in the residential zone waters….. ...............................
48
4 The length range and sex ratio of menggaru fish (Lutjanus decussatus) which was caught in the core zone waters…...........................................
49
5 The percentage of diet composition of menggaru fish ..........................
52
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan alir kerangka pemikiran .............................................................
5
2 Ikan menggaru (Lutjanus decussatus)...................................................
22
3 Hubungan panjang dan berat pada ikan ................................................
23
4 Lokasi penelitian ...................................................................................
29
5 Lokasi pengambilan contoh/sampling...................................................
30
6 Metode pengamatan dengan transek kuadrat ........................................
33
7 Pencatatan data kelimpahan/sensual visual spesies ikan karang. ..........
34
8 Distribusi temperatur pada setiap titik pengamatan. .............................
43
9 Distribusi salinitas pada setiap titik pengamatan ..................................
43
10 Distribusi kecepatan arus pada setiap titik pengamatan........................
44
11 Distribusi kekeruhan pada setiap titik pengamatan...............................
44
12 Distribusi kecerahan perairan pada setiap titik pengamatan .................
45
13 Distribusi derajat keasaman (pH) pada setiap titik pengamatan ...........
45
14 Distribusi kandungan fosfat, nitrat, nitrit dan ammonia pada setiap titik pengamatan ....................................................................................
46
15 Persentase rata-rata tutupan substrat dasar di zona pemukiman ...........
46
16 Persentase tutupan substrat dasar di masing- masing titik pengamatan pada zona pemukiman...........................................................................
47
17 Distribusi persentase rata-rata tutupan life form karang keras di zona pemukiman .........................................................................................
48
18 Distribusi persentase rata-rata tutupan genus karang keras zona pemukiman ...........................................................................................
48
19 Persentase rata-rata tutupan substrat dasar di zona inti.........................
49
20 Persentase tutupan substrat dasar di masing- masing titik pengamatan pada zona inti ........................................................................................
50
21 Distribusi persentase rata-rata tutupan life form karang keras di zona inti .....................................................................................................
50
22 Distribusi persentase rata-rata tutupan genus karang keras di zona inti .....................................................................................................
51
23 Hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona pemukiman............................................................................................
54
24 Hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti ..........
54
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Distribusi parameter fisik dan kimia perairan di lokasi penelitian........
82
2 Distribusi persentase genus karang di lokasi penelitian........................
83
3 Distribusi persentase life form karang keras di lokasi penelitian..........
84
4 Sampel ikan menggaru yang tertangkap di perairan zona pemukiman.
85
5 Sampel ikan menggaru yang tertangkap di perairan zona inti...... ........
86
6 Perhitungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona pemukiman............................................................................................
87
7 Perhitungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti........
88
8 Regresi hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona pemukiman… ........................................................................................
89
9 Regresi hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti… .....................................................................................................
90
10 Hasil uji beda nyata kondisi fisik dan kimia perairan di zona pemukiman dan zona inti… ..................................................................
91
11 Hasil uji beda nyata tutupan substrat dasar di zona pemukiman dan zona inti .................................................................................................
92
12 Hasil uji beda nyata tutupan life form karang di zona pemukiman dan zona inti ..........................................................................................
93
13 Hasil uji beda nyata tutupan genus karang di zona pemukiman dan zona inti .................................................................................................
94
14 Hasil uji beda nyata panjang ikan menggaru hasil sensus di zona pemukiman dan zona Inti ......................................................................
96
15 Hasil uji beda nyata panjang ikan dan berat ikan di zona pemukiman dan zona inti ..........................................................................................
97
16 Terumbu karang di lokasi penelitian.....................................................
98
17 Dokumentasi ikan menggaru (Lutjanus decussatus).............................
99
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu kekayaan alam yang tidak ternilai harganya karena memiliki peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Ditinjau dari aspek ekologis, ekosistem terumbu karang merupakan tempat berbagai organisme yang berasosiasi dengannya untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak. Selain itu, keberadaan ekosistem terumbu karang dapat melindungi pantai dari gelombang dan abrasi. Berdasarkan aspek ekonomi, ekosistem terumbu karang merupakan objek wisata bahari yang menarik serta merupakan daerah “fishing ground” yang potensial terutama bagi nelayan tradisional. Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya (Cesar 1997). Luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 60 000 km2 dan tersebar luas dari kawasan Barat sampai kawasan Timur (Walters 1994, diacu dalam Suharsono 1998). Berdasarkan keanekaragamannya, paling tidak terdapat 400 spesies karang dan sekitar 2 500 spesies ikan karang di perairan Indonesia (Djohani 1997). Meskipun luas terumbu karang Indonesia cukup besar, hasil penelitian Suharsono (2003) menunjukkan persentase terumbu karang yang masuk dalam kategori sangat baik hanya sebesar 6.83%, baik 25.75%, sedang 36.78% dan rusak 30.58%. Data tersebut mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang Indonesia cukup mengkhawatirkan dan ini bisa berdampak negatif terhadap kehidupan biota yang berasosiasi. Menurut Jones et al. (2004), terumbu karang yang sehat dapat meningkatkan persentase tutupan karang dan ini dapat menjamin keberadaan ikan karang serta mendukung keanekaragaman ikan karang. Ikan karang telah menyediakan sumber pangan dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Namun upaya pemanfaatan terhadap sumberdaya ini, serta aktivitas manusia lainnya telah menurunkan kemampuan produksi dan kelestarian pemanfaatannya (Sale 2002).
2 Meningkatnya permintaan terhadap jenis-jenis ikan karang, terutama untuk keperluan konsumsi telah mendorong intensitas penangkapan ikan karang, khususnya di wilayah perairan Indo-Pasifik. Perdagangan ikan karang hidup untuk konsumsi (The Live Reef Food Fish Trade-LRFFT) secara cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya pada dekade 1990-an (Mous et al. 2000). Perairan Kepulauan Seribu tercatat sebagai penghasil beranekaragam ikan karang potensial dimana populasi ikan menggaru merupakan salah satu contohnya. Menggaru merupakan nama lokal di Kepulauan Seribu untuk salah satu jenis ikan kakap yang memiliki nama ilmiah Lutjanus decussatus dan nama internasional checkered snapper. Nama lokal lain untuk ikan ini adalah ikan mentimun (di Batam dan Lingga). Ikan menggaru adalah jenis kakap yang berasosiasi dengan terumbu karang, digolongkan sebagai ikan pangan dan kelompok ikan ekonomis penting. Namun demikian, berdasarkan informasi dari nelayan setempat (di Kepulauan Seribu), ikan ini makin sulit ditemukan sehingga diduga populasinya telah menurun seiring dengan menurunnya kondisi lingkungan dan adanya kerusakan habitat. Kondisi tersebut bukan hanya terjadi di luar kawasan taman nasional, namun juga termasuk di dalam kawasan. Berbagai upaya yang telah dilakukan seperti penetapan zonasi di dalam kawasan taman nasional untuk melindungi habitat dan sumberdaya ikan, pada kenyataannya belum memperoleh hasil yang menggembirakan. Aktani (2003) menunjukkan bahwa kondisi tutupan karang dan kelimpahan ikan di zona inti, relatif tidak lebih baik dibandingkan dengan zona pemanfaatan tradisional. Berdasarkan tujuan dan fungsinya, kondisi terumbu karang dan kelimpahan ikan karang di zona inti seharusnya lebih baik bila dibandingkan dengan zona-zona lain. Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan karang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Diketahui pula bahwa keanekaragaman dan kelimpahan jenis pada komunitas ikan karang hubungannya dengan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) tutupan karang hidup (Bel & Galzin 1984), (2) keanekaragaman
3 subtratum (Jones et al. 2004), dan (3) keanekaragaman struktural (McClanahan 1994). Artinya, banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan suatu jenis ikan karang termasuk ikan menggaru (Lutjanus decussatus) didalamnya. Adanya kecenderungan penurunan populasi ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dimungkinkan pula karena belum ada strategi pengelolaan terkait dengan sumberdaya ikan ini. Pengelolaan yang baik dapat dilakukan apabila tersedia informasi seluk beluk ikan tersebut yang ditinjau dari berbagai aspek seperti ekologi maupun biologi ikan terutama menyangkut distribusi, kelimpahan, waktu pemijahan maupun jenis makanan serta keterkaitannya dengan terumbu karang. Oleh karena itu, guna menjaga keberadaan dan kelestarian populasi ikan menggaru (Lutjanus decussatus), kiranya perlu dilakukan pengkajian menyangkut berbagai aspek seperti yang telah disebutkan di atas. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh dapat dijadikan dasar dalam menyusun strategi pengelolaan yang berkelanjutan. Hilangnya spesies ini tidak hanya merugikan secara ekologis namun juga hilangnya salah satu sumber pangan yang cukup penting. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang, dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat kecenderungan penurunan jumlah populasi ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di Kepulauan Seribu termasuk di dalam kawasan taman nasional. 2. Belum adanya kajian menyangkut aspek bio-populasi dan ekologi ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di Kepulauan Seribu termasuk di dalam kawasan taman nasional. 3. Belum adanya strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang terkait dengan keberadaaan ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di Kepulauan Seribu termasuk di dalam kawasan taman nasional. Kerangka Pemikiran Pada umumnya kendala utama yang dihadapi dalam regulasi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah lemahnya database sebagi baseline dan basepoint. Suatu regulasi haruslah didasarkan pada data yang valid. Penilaian sumberdaya menjadi sangat penting dilakukan sebagai tahapan regulasi tersebut. Pengelolaan
4 sumberdaya khususnya sumberdaya alam dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan, membutuhkan pengkajia n dan penilaian-penilaian bukan saja pada aspek-aspek ekonomi dan sosial tetapi juga biologi dan ekologi. Semakin menurunnya hasil tangkapan ikan ekonomis penting, termasuk jenis-jenis kakap dapat diduga akibat adanya tangkap lebih, kerusakan lingkungan atau strategi pengelolaan yang kurang tepat. Sehingga dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pengaturan jangan hanya difokuskan pada tingkat pengelolaan tetapi juga diarahkan kepada pengaturan lingkungan dengan memperhatikan berbagai aspek terkait dengan keberadaan sumberdaya ikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian akan difokuskan pada tiga komponen, yaitu: (1) kondisi perairan, (2) sumberdaya terumbu karang, dan (3) sumberdaya ikan menggaru (Lutjanus decussatus). Parameter-parameter kondisi perairan seperti suhu, salinitas, kekeruhan, cahaya, pH, nitrat, dan sebagainya diukur untuk mendapatkan gambaran mendalam tentang kondisi perairan secara umum serta mengetahui keterkaitannya dengan sebaran dan jenis karang. Melalui pengukuran parameter ini, dapat diperoleh informasi apakah kondisinya masih mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan karang yang merupakan habitat bagi ikan menggaru. Sementara itu, pengamatan sumberdaya terumbu karang dilakukan untuk memperoleh informasi kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan karang keras, life form karang dan genus karang. Berbagai penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan- ikan karang. Oleh karenanya, pengamatan terhadap sumberdaya terumbu karang merupakan komponen penting dalam penelitian ini. Adapun pengamatan terhadap sumberdaya ikan menggaru (Lutjanus decussatus) ditujukan untuk mendapatkan informasi tentang bio-populasinya seperti: bentuk pertumbuhan, makanan, dan tingkat kematangan gonad. Dengan mengetahui beberapa aspek biologi dan populasi ikan menggaru ini, akan sangat membantu untuk memberikan beberapa informasi yang sangat berguna dalam rangka pengelolaannya. Setelah diperoleh gambaran yang mendalam tentang kondisi terumbu karang dan ikan menggaru, dilakukan analisis secara deskriptif untuk mengetahui
5 keterkaitan antara persentase tutupan karang keras beserta life form dan genusnya dengan kelimpahan ikan. Mengacu pada hasil analisis hubungan tersebut, hasil pengukuran kondisi perairan serta kondisi biologi ikan menggaru, kemudian dibuat alternatif-alternatif sebagai dasar untuk menyusun strategi pengelolaan yang tepat sehingga sumberdaya terumbu karang dan ikan menggaru dapat lestari. Kerangka pemikiran tersebut secara rinci dibuat dalam bagan alir seperti tampak pada Gambar 1 sebagai berikut: Ekosistem Terumbu Karang
Kondisi Perairan
Kondisi Terumbu Karang
Pengukuran Parameter Lingkungan
Deskripsi kondisi Terumbu (Persentase Tutupan Karang Keras, Life form dan Genus)
Kondisi Populasi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus)
Deskripsi Kelimpahan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus)
Deskripsi Biometri, Jenis Makanan dan TKG
Analisis Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus)
Strategi Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) Secara Terpadu dan Berkelanjutan
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menguraikan kondisi terumbu karang di zona pemukiman dan zona inti kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. 2. Menguraikan kondisi ikan menggaru (Lutjanus decussatus) berdasarkan kelimpahan dan beberapa aspek biologinya di zona pemukiman dan zona inti kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
6 3. Mendeskripsikan hubungan antara kondisi terumbu karang dengan kelimpahan ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di zona pemukiman dan zona inti kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. 4. Merumuskan alternatif strategi pengelolaan terumbu karang dan ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai bahan acuan dalam penyusunan kebijakan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan menggaru (Lutjanus decussatus) khususnya di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. 2. Sebagai bahan informasi dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan bidang perikanan.
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (Coral Reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3 ) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Organisme-organisme yang dominan hidup di sini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan alga yang juga mengandung kapur. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat, dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993). Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel (Barnes 1987; Lalli & Parsons 1995). Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993). Berdasarkan pada kemampuan memproduksi kapur, karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang dikenal sebagai terumbu dan penyebarannya hanya di daerah tropis sementara karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama diantara keduanya adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis
alga
uniselular
(Dinoflagellata
unisular),
seperti
Gymnodinium
microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosintesis (Ditlev 1980; Barnes & Hughes 1990; Nybakken 1992; Veron 1995). Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototopik positif. Pada umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai yang cukup
8 dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih dapat mencapai dasar perairan tersebut (Nybakken 1992). Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002), sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup pada jaringan tubuhnya. Dalam simbiosis tersebut, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Barnes (1980) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia yaitu: Ca (HCO3 ) <==> CaCO3 + H2 CO3 <==>H2 O + CO2 . Selanjutnya menurut Ditlev (1980), fotosintesa oleh alga yang bersimbiosis membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scelaractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua sub-kelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang dibedakan menurut asal-usul, morfologi dan fisiologi. (Nybakken 1992). Berdasarkan morfologinya, Barnes dan Hughes (1990) membedakan karang dengan melihat bentuk skeleton sebagai berikut : (a) Devonhire cup-coral (spesies non-hermatypic), (b) Karang masif dengan bagian kepala polip terpisah, (c) Karang otak ma sif, (d) Karang kuping masif, (e) Karang masif dengan kuping, (f) Karang menyerupai daun paku, (g) Karang bercabang kecil, (h) Karang bercabang “tanduk rusa jantan”, dan (i) Karang bercabang “tanduk rusa tua”.
9 English et al. (1994) menggolongkan beberapa karakteristik morfologi karang keras yang digunakan sebagai kategori yaitu seperti bentuk jari, karang susun, bercabang, masif, sub- masif, karang daun, karang kerak, dan karang mushroom. Menurut Veron (1986), morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan koloni karang. Istilah paling umum yang digunakan olehnya untuk menggambarkan bentuk pertumbuhan karang yaitu: massive (sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak), branching (seperti cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata atau berbentuk kerak, foliaceous (seperti daun), laminar (seperti lempengan) dan free living (hidup lepas dari substrat). Dahl (1981) membagi tipe pertumbuhan dan karakteristik masing- masing genera dari terumbu karang sebagai berikut: 1. Tipe Bercabang (Branching) yaitu karang yang memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya. 2. Tipe Padat (Massive) yaitu karang yang berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika beberapa bagian dari karang tersebut mati, karang ini akan berkembang menjadi tonjolan dan bila berada di daerah dangkal, bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Permukaan terumbu adalah halus dan padat. 3. Tipe Kerak (Encrusting) yaitu karang yang tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu. Karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta lubanglubang kecil. 4. Tipe Meja (Tabulate) yaitu karang yang berbentuk menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar. 5. Tipe Daun (Foliose) yaitu karang yang tumbuh dalam bentuk lembaranlembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar. 6. Tipe Jamur (Mushroom) yaitu karang yang berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.
10 Dilihat dari proses geologis terbentuknya dan hubungannya dengan daratan, terumbu karang dibagi menjadi tiga bentuk dasar yaitu: terumbu karang tepi (fringing reefs), terumbu karang penghalang (barrier reefs), dan terumbu karang cincin (atol). Tomascik (1993) menjelaskan tiga tipe tersebut sebagai berikut: a. Terumbu karang tepi (Fringing Reef) yaitu terumbu karang yang tumbuh dan berkembang di tepi suatu pulau yang umumnya mempunyai lebar yang bervariasi antara 0.1-1 km. b. Barrier reef yaitu terumbu karang yang tumbuh dan berkembang terpisah dari pulau dan umumnya dipisahkan oleh alur atau goba yang dalam. c. Atol adalah terumbu karang yang membentuk lingkaran dan di tengah terdapat goba yang dalam. Atol biasanya terbentuk di tengah laut yang dalam dan muncul kepermukaan akibat proses penenggelaman suatu gunung. Pertumbuhan dan perkembangan terumbu serta koloni karang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Veron (1986) mengemukakan faktor- faktor utama yang menentukan distribusi karang pada suatu terumbu adalah kedalaman, aksi gelombang, cahaya, sedimen, suhu, bathimetri dan pola sirkulasi samudera. Sementara Nybakken (1992) menyatakan bahwa beberapa faktor yang menjadi pembatas dalam pertumbuhan terumbu karang antara lain: kedalaman dan kejernihan air, suhu perairan, cahaya, salinitas, sedimentasi dan pergerakan air laut (arus). Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal daerah tropis dimana perkembangan yang terbaik berada pada suhu antara 25-29 °C (Salm & Clark 1989). Suhu berperanan penting dalam membatasi sebaran terumbu karang. Oleh sebab itu, terumbu karang tidak ditemukan di daerah beriklim sedang (temperate) apalagi di daerah dingin (Nybakken 1992). Karang hermatypic dapat bertahan hidup beberapa waktu pada suhu sedikit di bawah 20 °C, akan tetapi tidak ada yang berkembang pada suhu minimum tahunan rata-rata 18 °C (Wells 1957, diacu dalam Nybakken 1992). Perkembangan paling optimal bagi terumbu karang terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya antara 23-25 °C sedangkan suhu ekstrim yang masih dapat ditolerans i berkisar antara 36-40 °C (Nybakken 1992). Menurut Suharsono (1999), Perubahan suhu lingkungan dapat menghambat pertumbuhan karang. Pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun
11 1998 terbukti telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian masal mencapai 90-95%. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 °C di atas suhu normal. Perubahan salinitas juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan terumbu karang. Nybakken (1992) berpendapat bahwa karang hermatypic sebagai organisme laut sejati tidak dapat bertahan pada salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal yaitu 32-35‰. Adapun menurut Nontji (2005), kisaran untuk perubahan salinitas yang masih dapat ditoleransi terumbu karang untuk bertahan adalah pada selang nilai 27-40‰. Karang akan menurun pertumbuhannya dengan bertambahnya kedalaman perairan dan jika air keruh, karang hanya dapat tumbuh pada kedalaman 2 m. Menurut Ditlev (1980), pada air jernih di sekitar pulau-pulau samudera, karang dapat tumbuh sampai pada kedalaman lebih dari 80 m. Sementara itu, Nybakken (1992) menyatakan bahwa terumbu karang tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50-70 m dan kebanyakan dapat hidup antara kedalaman 0-25 m dari permukaan laut. Demikian pula halnya dengan cahaya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan karang karena dibutuhkan zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang akibatnya kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3 ) serta membentuk terumbu juga semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15-20% dari intensitas di permukaan (Nybakken 1992). Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan karang adalah sedimentasi. Laju endapan yang terlalu tinggi dapat menutupi polip karang dan mengurangi cahaya yang dibutuhkan oleh zooxanthellae di dalam jaringan karang. Menurut Nontji (2005), substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan planula (larva karang) yang akan membentuk koloni baru. Ditambahkan olehnya bahwa cangkang moluska, potongan-potongan kayu bahkan juga besi yang terbenam dapat menjadi substrat penempelan larva planula.
12 Arus diperlukan karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton, membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk menyuplai oksigen dari laut lepas (Sukarno et al. 1981). Oleh sebab itu, pertumbuhan karang di tempat yang yang selalu teraduk arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan tenang dan terlindung Jika air tenang banyak mengandung lumpur atau pasir maka hewan karang akan mengalami kesulitan untuk membersihkan diri. Hanya ada beberapa jenis saja yang mampu membersihkan diri sendiri dari endapan-endapan lumpur atau pasir yang menutupinya (Nontji 2005). Selain faktor-faktor fisik yang telah dijelaskan di atas, terdapat pula beberapa parameter kimia perairan yang dapat berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Parameter-parameter tersebut diantaranya : a. Derajat keasaman (pH) Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya aktivitas biologis. Aktivitas tersebut dapat berupa fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan, serta aktivitas manusia antara lain buangan limbah industri dan rumah tangga. Nilai pH di perairan laut yang normal berkisar antara 8.0-8.5 (Salim 1986) dan antara 7.0-8.5 (Odum 1994). Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9.5 merupakan perairan yang sangat basa yang juga dapat menyebabkan kematian serta mengurangi produktivitas perairan. Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7.7-8.4 (Effendie 2003). b. Nitrogen (N) Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Senyawa nitrogen dalam air laut terdapat dalam tiga bentuk yaitu nitrat (NO3 -), nitrit (NO2 -) dan ammonia (NH3 -). Senyawa nitrogen dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Nitrogen akan bergerak ke arah amonia pada tingkat oksigen rendah sementara pada tingkat oksigen yang
13 tinggi bergerak menuju nitrat yang merupakan hasil akhir oksidasi nitrogen dalam air (Hutagalung & Rozak 1997). Nitrat (NO3 -) adalah nutrient utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan alga. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Konsentrasi nitrat di perairan dipengaruhi proses nitrifikasi, yaitu oksidasi ammonia yang berlangsung dalam kondisi aerob menjadi nitrit dan nitrat. Oksidasi amonia (NH3 -N) menjadi nitrit (NO2-N) dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas sementara oksidasi nitrit (NO2 -N) menjadi nitrat (NO3 -N) dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri ini adalah bakteri kemotrofik yang mendapatkan energi dari proses kimiawi (Effendi 2003). Menurut Fogg (1971), perairan laut yang mengalami eutrofikasi memiliki kadar nitrat 0.001-0.60 mg/l. Kadar nitrat yang masih tergolong baik untuk kesehatan karang berdasarkan hasil penelitian adalah 0.040 mg/l (Bell 1992). Nitrit (NO2 ) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami dan kadarnya lebih rendah daripada nitrat karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Novotny & Olem 1994, diacu dalam Effendi 2003). Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Menurut Moore (1991), kadar nitrit yang melebihi 0.05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan. Ammonia (NH3 ) diketahui bersifat mudah larut dalam air laut. Senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l (McNeely et al. 1979). Ammonia yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, ind ustri, dan limpasan (run off) pupuk pertanian. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen baik organik (protein dan urea), dan anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, dan berasal dari dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh mikroba dan jamur. Kejadian ini dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi 2003).
14 c. Fosfat Fosfat merupakan salah satu zat hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme di laut. Fosfat yang terdapat dalam air laut baik terlarut maupun tersuspensi berada dalam bentuk anorganik dan organik. Ortofosfat (PO4 ) merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor dalam perairan dapat berasal dari udara, pelapukan batuan, dekomposisi bahan organik, limbah industri, dan limbah domestik (Hutagalung & Rozak 1997). Perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi dan melebihi kebutuhan normal organisme akuatik, akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Perkins 1974). Menurut Fogg (1971), perairan laut yang mengalami eutrofikasi memiliki kadar fosfat 0.07 mg/l. Kadar fosfat yang baik untuk kesehatan karang menurut Bell (1992) adalah sebesar 0.007 mg/l. Ikan Karang a. Ekologi Ikan Karang Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keraga man produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan biota yang ada di perairan terumbu karang (Nybakken 1992). Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kelompok biota dari berbagai tingkat tropik dimana masing- masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (White 1987). Jenis-jenis ikan ekonomis penting tertentu memiliki asosiasi dengan ekosistem terumbu karang. Hasil perikanan dari perairan terumbu karang dan perairan dangkal di sekitar berkisar antara 2.5-5 ton/km2 /tahun dengan potensi perikanan karang seluruhnya mencapai 2.7 juta metrik ton/tahun (Berwick 1983) atau diduga sekitar 9-12 % dari total hasil perikanan dunia yang bernilai 70 juta ton/tahun (White 1987). Kekayaan jenis ikan karang sebanding dengan jenis karang yang ada. Dapat dikatakan bahwa daerah pusat Indo Pasifik, Kepulauan Filipina dan Indone sia yang kaya akan keragaman jenis karangnya mempunyai sejumlah besar spesies
15 ikan dan jumlah tersebut menurun pada daerah yang semakin jauh dari kepulauan. Salah satu pendapat menerangkan bahwa diversitas spesies ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang. Pendapat lain menyatakan bahwa ikan-ikan tersebut memang memiliki relung (niche) ekologi yang lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya bergerak di dalam area tertentu (Nybakken 1992). Keberadaan ikan- ikan karang juga sangat dipengaruhi oleh kondis i atau kesehatan terumbu karang yang dapat ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung adanya perbedaan kumpulan ikan- ikan. Ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keanekaragaman jenis sebanding dengan keanekaragaman jenis karang batu. Tingginya keragaman ini disebabkan karena adanya variasi habitat di terumbu karang dimana semua tipe habitat tersebut ditempati oleh berbagai jenis ikan karang (Sutton 1983; Lieske & Myers 1994; Jones et al. 2004). b. Taksonomi Ikan Karang Ikan- ikan karang sebagian besar merupakan ikan bertulang keras (teleostei) dan merupakan ordo Percicormes. Dalam pengelompokannya, ikan- ikan karang tersebut dibedakan menurut maksud dan tujuan pengamatan yang dilakukan. Hutomo (1993) mengelompokkan ikan karang berdasarkan karakteristik taksonomi sebagai berikut: sub-ordo Labridae (terdiri dari famili Labridae, Scaridae dan Pomacentridae), sub-ordo Acanthuridae (famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae), dan sub-ordo Chaetodontidae (famili Chaetodontidae dan Pomachantidae). Berdasarkan pemanfaatannya, ikan karang dikelompokkan menjadi
ikan
hias
(famili
Pomacentridae,
Labridae,
Chaetodontidae,
Pomacanthidae, Zanclidae, Balistidae, Scorpaenidae) (Kvalvagnaes 1980); dan ikan pangan atau konsumsi (famili Caesionidae, Serranidae, Siganidae, Haemulidae,
Lutjanidae,
Lethrinidae,
Labridae,
Scaridae,
Holocentridae,
Priacanthidae) (McWilliams & Hatcher 1983). Adrim (1993) membagi kelompok ikan karang menjadi tiga kategori sebagai berikut : (1) Kelompok ikan target, yaitu ikan- ikan karang yang mempnyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti kelompok ikan Famili Serranidae,
16 Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae, (2) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya 1 famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae, dan (3) Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae. Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan karang juga dikelompokkan menjadi tiga kategori (Adrim 1993; Terangi 2004), yaitu: (1) Ikan nocturnal, jenis ikan karang yang aktif ketika malam hari. Ada sekitar 10% jenis ikan karang yang memiliki sifat nokturnal. Ikan ini bersembunyi di celah-celah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Ikan-ikan dari suku Holocentridae (Swanggi), suku Apogonidae (Beseng), suku Hamulidae, Priacanthidae (Bigeyes), Muraenidae (Eels), Serranidae (Jew fish) dan beberapa dari suku Mullidae (Goat fish) merupakan contoh dari ikan nocturnal, (2) Ikan diurnal yaitu jenis ikan karang yang aktif di siang hari. Meliputi sekitar 75% ikan yang hidup di daerah terumbu karang. Sebagian dari ikan- ikan ini berwarna sangat menarik serta umumnya sangat erat berkaitan dengan terumbu karang, contohnya ikan dari suku Labridae (wrasse), Chaetodontidae (Butterfly fishes), Pomacentridae (Damselfishes), Scaridae (Parrot fishes), Acanthuridae (Surgeon fishes), Bleniidae (Blennies), Balistidae (Trigger fishes), Pomaccanthidae (Angel fishes), Monacanthidae, Ostracionthidae (Box fishes), Tetraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (Goat fish), dan (3) Ikan crepuscular yaitu jenis-jenis ikan karang yang aktif pada pagi hari atau pada sore sampai menjelang malam), contohnya pada ikan-ikan
dari
suku
Sphyraenidae
(Barracudas),
Serranidae
(Groupers),
Carrangidae (Jacks), Scorpionidae (Lion fishes), Synodontidae (Lizardi fishes), Carcharinidae, Lamnidae, Lutjanidae, Spyrnidae (Sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels). Selain ketiga kelompok seperti di atas, terdapat beberapa ikan karang yang umumnya berukuran kecil dan sangat pandai menyamarkan dirinya serta
17 menghabiskan sebagian besar waktunya bersembunyi di dalam struktur karang yang kompleks dan sering disebut ikan yang bersifat kriptik (tidak mudah dilihat). Sementara itu, Longhurst dan Pauly (1987) membedakan ikan karang menjadi dua kategori yaitu ikan Nocturnal dan ikan Diurnal. Ikan diurnal merupakan ikan yang sering muncul pada siang hari dimana ikan tersebut memiliki bentuk tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan nocturnal yang sering muncul pada malam hari. Ikan nocturnal memiliki warna yang lebih terang dibandingkan dengan ikan diurnal. Namun, ikan nocturnal biasanya hidup soliter. Kebanyakan spesies ikan dari famili Holocentridae, Apogonidae, Kuhliidae dan Lutjanidae merupakan jenis ikan diurnal yang muncul siang hari dan biasanya membentuk schooling ikan. Hubungan Ikan Karang dan Keanekaragaman Habitat Terumbu Karang Ditinjau dari segi ekologi, perkembangan ikan karang disebabkan beberapa faktor sebagai berikut; (1) mobilitas dan ukuran. Ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran relatif kecil, (2) aksesibilitas (habitat yang mudah dicapai) yaitu perairan relatif dangkal, berada dilingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain, (3) skala pemanfaatan ruang/habitat yaitu ikan karang baik larva ma upun dewasanya hidup di perairan yang relatif dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan, dimana siklus hidupnya telah diketahui dan diantara mereka hidup hanya beberapa tahun walaupun beberapa diantaranya bisa berumur panjang (Suharti 2005). Terdapat perbedaan pendapat yang muncul mengenai hubungan keragaman jenis ikan dan keragaman habitat terumbu karang. Berbagai penelitian telah dilakukan dan akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang. Kedua teori tersebut berdasarkan rangkuman Nybakken (1992) adalah sebagai berikut: (1) hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang diperoleh dari persaingan pada suatu keadaan di terumbu karang. Jadi dapat dikatakan bahwa ikan- ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan artinya daerah itu dapat menampung lebih banyak jenis, dan (2) ikan karang tidak
18 mempunyai sifat khusus dimana banyak jenis serupa yang mempunyai kebutuhan sama dan terdapat persaingan aktif diantara jenis. Choat dan Bellwood (1991) yang membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang menyimpulkan 3 (tiga) bentuk umum hubungan, yaitu: (1) Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda, (2) Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga, dan (3) Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen. Hubungan antara terumbu karang sebagai habitat dan distribusi komunitas ikan dapat dijelaskan oleh ketergantungan ikan karang pada terumbu karang yang menyediakan
tempat
makanan
dan
perlindungan.
Keanekaragaman
dan
kelimpahan jenis pada komunitas ikan karang hubungannya dengan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) tutupan karang hidup (Bel & Galzin 1984), (2) keanekaragaman subtratum (Jones et al. 2004), dan (3) keanekaragaman struktural (McClanahan 1994). Kawasan terumbu karang mempunyai struktur habitat yang kompleks dan ini menyediakan banyak ruang sebagai tempat perlindungan bagi berbagai spesies ikan (Connell 1978). Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh kompleksitas habitat terhadap popula si ikan terumbu karang, namun hasil yang didapat berbeda-beda dari kebanyakan kajian yang dilakukan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke & Speight 2005). Kajian yang utama yang dilakukan adalah melihat pengaruh penutupan karang hidup terhadap populasi ikan karang. Banyak peneliti mendapatkan bahwa tutupan karang hidup mempunyai pengaruh positif terhadap keanekaragaman spesies dan kelimpahan inidividu ikan karang (Carpenter et al. 1982; Chabanet et al. 1997). Hutomo et al. (1988) yang melakukan penelitian di Pulau Bali dan Batam menemukan bahwa kondisi karang yang baik ditandai dengan persentase tutupan yang tinggi, berhubungan linier dengan kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Hal ini mendukung apa yang dikatakan oleh Sutton (1983) bahwa terdapat korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikannya.
19 Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1981). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan karang sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Sebaliknya, Aktani (1990) menemukan hal yang lain di Kepulauan Seribu dimana kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang tidak selalu bergantung dari baiknya kondisi terumbu melainkan juga tergantung dari ketersediaan sumber makanan dikaitkan dengan sifat makan dari ikan karang. Dia membuktikan bahwa penurunan kondisi karang akan diganti oleh komunitas alga sebagai niche dari ikan-ikan herbivor. Luckhurst dan Luckhurst (1978) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kondisi karang hidup dan kelimpahan ikan yang hidup dan bersembunyi di kawasan terumbu karang. Demikian pula menurut Chabanet et al. (1997) yang mengatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelimpahan individu ikan karnivora dan ikan pemakan plankton dengan kompleksitas habitat. Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang berbeda untuk hubungan antara populasi ikan karang dan habitatnya adalah penggunaan kumpulan taksonomi dan kumpulan ikan yang berbeda serta keragaman metode yang digunakan. Selain itu, hubungan antara populasi ikan dan substrat juga berbeda diantara habitat dan kawasan karang serta kawasan biogeografi yang berlainan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke & Speight 2005). Berdasarkan karakteristik habitat, sebagian kecil ikan di terumbu karang hidupnya menguburkan diri di pasir, lumpur atau pecahan karang, contohnya ikan bloso (Saurida spp.), ikan lidah sebelah (suku Cynoglossidae) dan ikan gobi (suku Gobiidae). Sebagian kelompok ikan berlindung dan menjelajah di terumbu karang yang termasuk didalamnya adalah ikan butane (herbivora), dan kelompok karnivora seperti ikan kakap dan ikan kerapu (Adrim 1993). Banyak jenis ikan karang yang hidupnya soliter, berpasangan atau berkelompok (schooling) baik
20 dalam jumlah kecil maupun besar. Hal ini merupakan satu strategi bagi ikan yang hidupnya lebih banyak menjelajah kolom air terbuka (Suharti 2005). Karakteristik Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) sebagai ikan karang Ikan kakap marga Lutjanus adalah kelompok ikan demersal yang umumnya hidup soliter pada daerah berlumpur keras dan berasosiasi secara terbuka dengan komunitas karang terutama yang didominasi oleh Sponge sp. dan Gorgonian sp. (Sale 1991; Kailola et al. 1993). Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk dalam famili Lutjanidae, Latidae dan Lobotidae. Jenis yang termasuk Lutjanidae biasanya disebut kakap merah. Dua jenis lainnya, yaitu Lates calcalifer termasuk famili Latidae yang umumnya disebut kakap putih dan Labotos surinamensis termasuk famili Lobotidae yang disebut kakap batu (Djamali et al. 1986). Di Indonesia marga Lutjanus ada 31 jenis (Weber & Beaufort 1936, diacu dalam Adrim 1991). Kemudian Djamali et al. (1986) menjelaskan terdapat 16 jenis ikan kakap merah (bambangan) di Indonesia. Allen dan Talbot (1985) mengemukakan marga Lutjanus bloch memiliki 64 jenis dan merupakan marga terbesar dalam suku Lutjanidae (7 marga dengan 100 jenis). Penelitian yang dilakukan Adrim (1991) di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa Lutjanus decussatus adalah jenis yang paling umum ditemukan baik di kedalaman 3 m maupun 10 m. Ikan yang oleh nelayan setempat dikenal denga n nama ikan menggaru ini bersifat aktif dan ukuran dewasa mencapai 28,7 cm. Ikan menggaru merupakan predator aktif dan bersifat karnivor, hidup soliter dan tidak termasuk jenis ikan yang berkelompok. Aktif mencari ikan pada malam hari dengan memakan biota dasar terutama ikan kecil, avertebrata dasar, kepiting, udang dan lainnya (Allen 1985). Menggaru tergolong ikan pangan dan bernilai niaga namun relatif sedikit dijual di pasar-pasar. Menurut Adrim (1991), kondisi ini diduga karena ikan tersebut hidup soliter sehingga sulit tertangkap dalam jumlah banyak. Morfologi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) Menurut Saanin (1968), Famili Lutjanidae memiliki ciri-ciri yaitu pada bagian kepala antara kedua mata berbentuk cekung, pre-operculum bergerigi dan ujung berbentuk tonjolan yang tajam atau ringan, sirip punggung umumnya
21 berkesinambungan meskipun ada bagian yang berlekuk pada bagian antara yang berduri keras dan bagian yang berduri lunak. Ikan kakap dari marga Lutjanus pada umumnya memiliki ciri-ciri morfologi sebagai berikut: bentuk badan bulat memanjang, sedikit pipih, tertutup sisik sampai kepala, terdapat 3 deretan sisik atau lebih pada keping tutup insang depan, pada tepi belakang keping tutup insang depan bergerigi dan membentuk lekukan dangkal atau dalam, di belakang lekukan itu diikuti oleh tonjolan membulat pada keping tutup insang antara, sirip dada panjang meruncing, kurang lebih sama dengan sirip perut, sirip punggung mempunyai 11 duri keras dan jari-jari lunak dibelakangnya, warna bervariasi berdasar jenis atau umurnya, merah darah, merah kekuningan, coklat hingga berwarna pucat keperakan (Saanin 1968). Ciri-ciri morfologi dari ikan menggaru yakni, badan memanjang, melebar dan gepeng, profil kepala cukup landai, bagian belakang dan bawah pra-penutup insang bergerigi, jari-jari keras sirip punggung 10, dan 13-14 lemah, sirip dubur berjari- jari keras 3, dan 8-9 lemah, Tulang Preorbital biasanya mencapai garis tengah mata atau sedikit lebih dekat, sisik-sisik pada kepala mulai dibelakang mata, deretan sisik di atas gurat sisi serong ke atas, panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, Preopercular notch dan knob kurang berkembang. Ciri khusus dari ikan ini adalah pola garis yang berubah-ubah pada tubuhnya yang secara umum berwarna merah muda sampai keputih-putihan dengan kemilau perak di bagian dada dan samping kepala (Allen 1985). Ikan menggaru sebagai salah satu jenis kakap dari marga Lutjanus mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Percoidae
Famili
: Lutjanidae
Genus
: Lutjanus
Species
: Lutjanus decussatus
22
Gambar 2 Ikan menggaru (Lutjanus decussatus).
Habitat dan Daerah Penyebaran Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) Pada umumnya ikan kakap hidup di perairan pantai, berkarang hingga kedalaman 100 m ke daerah pasang surut. Beberapa spesies bahkan cenderung menembus sampai ke perairan estuaria. Jenis ikan kakap berukuran besar umumnya soliter dan beruaya ke dasar perairan menempati bagian yang lebih dalam. Ikan kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara 40-50 m dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30-33 ppm serta suhu antara 5-32o C (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan 1991). Berdasarkan penelitian Djamali et al. (1986) diketahui bahwa ikan kakap menempati lingkungan yang beragam yaitu mulai dari lingkungan terumbu karang hingga daerah pasang surut. Penyebaran ikan kakap merah atau bambangan yaitu perairan pantai, muara-muara sungai dan perairan karang. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian dengan metode tagging di Teluk Thailand dimana dapat disimpulkan bahwa ikan- ikan demersal tidak melakukan ruaya yang luas (Pauly 1979). Ikan menggaru (Lutjanus decusssatus) merupakan jenis kakap yang seringkali dijumpai beragregasi di dekat permukaan perairan karang waktu siang hari dan umumnya menyebar di dasar perairan guna mencari makan baik berupa jenis ikan maupun crustacea pada malam hari. Ikan- ikan berukuran kecil untuk beberapa jenis kakap biasanya menempati daerah bakau yang dangkal atau daerah-daerah yang ditumbuhi rumput laut. Populasi ikan kakap merah jarang ditemukan dalam gerombolan besar dan cenderung hidup soliter dengan lingkungan yang beragam dari mulai perairan dangkal, muara sungai, hutan bakau, daerah pantai sampai daerah berkarang (Gunarso 1995).
23 Hubungan Panjang-Berat Ikan Hubungan panjang dan berat merupakan salah satu aspek biologi perikanan yang perlu dipelajari. Menurut Effendie (1997), panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh. Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun, hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Apabila panjang dan berat ikan diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan hasil seperti pada Gambar 3. Hubungan tadi tidak selamanya mengikuti hukum kubik tetapi dalam suatu bentuk rumus yang umum yaitu: W = aLb Dengan:
W = Berat ikan (gram) L = Panjang total tubuh ikan (cm) a dan b = Konstanta yang dicari
Berat (gram)
Panjang (mm) Gambar 3 Hubungan panjang dan berat pada ikan. Apabila rumus umum tersebut ditranformasikan menjadi logaritma, maka akan didapatkan persamaan Log W = log a + b log L, yaitu persamaan linier atau persamaan garis lurus. Harga konstanta b ialah harga pangkat yang harus cocok dari panjang ikan agar sesuai dengan berat ikan. Menurut Carlander (1969), diacu dalam Effendie (1997), harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar 1.2-4.0. Namun biasanya harga konstanta b berkisar dari 2.4-3.5. Bilamana harga konstanta b sama dengan 3.0 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya yaitu pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya, yang disebut pertumbuhan isometrik. Apabila harga
24 konstanta b lebih besar atau lebih kecil dari 3.0 dinamakan pertumbuhan allometrik. Harga konstanta b yang kurang dari 3.0 menunjukkan keadaan ikan yang kurus yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya, sedangkan harga konstanta b lebih besar dari 3.0 menunjukkan ikan itu montok, pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pengelolaan sumberdaya perikanan untuk menjaga kelestariannya tidak hanya terpusat pada aspek produksi ikan, melainkan juga pada aspek biologi dan faktor lingkungan hidupnya. Beberapa aspek biologi reproduksi diperlukan untuk penelaahan frekwensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan dan ukuran ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad (Nikolsky 1963). Tingkat kematangan gonad (TKG) yang merupakan salah satu aspek biologi reproduksi adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang berada di perairan, ukuran atau unsur ikan pertama kali matang gonadnya, dan apakah ikan sudah memijah atau belum. Berdasarkan pengetahuan tentang TKG akan dapat diperoleh informasi kapan satu jenis memijah, baru memijah atau sudah memijah. Setiap spesies ikan pada waktu pertama gonadnya menjadi masak tidak sama ukurannya (Effendie 1997). Semakin meningkat TKG ikan, garis tengah telur yang ada dalam gonad umumnya semakin besar. Dengan kata lain, ukuran dan berat gonad serta garis tengah telur bervariasi dari TKG individu ikan betina (Lagler et al. 1977). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa saat ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan species. Menurut Effendie (1997), di dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan gonad semakin bertambah besar dan berat. Berat gonad akan mencapai maksimum sesaat ikan memijah kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai. Pengamatan kematangan gonad dapat dilakukan dengan dua cara yaitu histologis dan morfologis. Pengamatan cara histologis dilakukan di laboratorium. Melalui pengamatan cara ini, anatomi perkembangan gonad akan diketahui secara
25 jelas dan mendetail. Cara kedua, pengamatan morfologi selain dilakukan di laboratorium juga dapat dilakukan di lapangan. Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan cara ini ialah bentuk, panjang, berat dan warna serta perkembangan gonad melalui fase perkembangan gonad. Hasil pengamatan dengan cara morfologi tidak akan sedetail cara histologis namun cara ini banyak dilakukan para peneliti (Effendie 1997). Pada umumnya ikan kakap merah melakukan pemijahan pada sekitar bulan Maret hingga bulan Juni. Berdasarkan hasil penelitian Senta et al. (1973) yang dilakukan di Laut Cina Selatan, diketahui bahwa persentasi tingkat kematangan gonad IV meningkat mulai dari bulan Maret ke April dan menurun pada bulan Juni. Hal tersebut didasarkan pada bulan April hingga bulan Juni persentase gabungan tingkat kematangan gonad III dan IV mencapai 60%, sehingga dapat diduga bahwa puncak pemijahan berlangsung pada bulan-bulan tersebut. Penelitian tersebut didukung pula oleh hasil penelitian larva ikan kakap merah di Laut Cina Selatan dimana larva Lutjanidae muncul pada bulan Juni hingga November dan puncaknya pada bulan Agustus. Sedangkan ukuran mínimum ikan kakap merah untuk mencapai tingkat kematangan gonad III dan IV adalah 50 cm (Andrade 2003). Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Makanan merupakan faktor pengendali yang penting dan menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan di suatu perairan (Effendie 1997). Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam- macam ukuran dan umur ikan itu sendiri (Nikolsky 1963). Ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja (Moyle & Chech 1988). Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang
26 berhubungan dengan waktu, tempat dan bagaimana cara ikan memperoleh makanannya. Faktor- faktor yang menentukan suatu jenis ikan akan memakan suatu jenis organisme adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna, rasa, tekstur makanan dan selera ikan terhadap makanan. Dengan mengetahui kebiasaan makan maka dapat dilihat hubungan ekologi diantara organisme di suatu perairan (Effendie 1997). Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan Ikan karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan terumbu karang menahan nutrien dalam sistem dan peran sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Disamping itu, terumbu karang kaya akan keanekaragaman spesies penghuninya karena variasi habitat yang terdapat pada terumbu. Ikan merupakan salah satu organisme yang terbanyak ditemukan pada ekosistem terumbu karang. Fungsi ekologis lainnya adalah tempat hidup berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan kerang mutiara (Dahuri et al. 1996). Dilihat dari fungsi biodiversity, ekosistem ini mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi, keanekaragaman hidup di ekosistem ini per unit area sebanding atau lebih besar dibandingkan hal yang sama dengan di hutan tropis. Terumbu karang dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi (White et al. 1994). Keterkaitan antara berbagai organisme pada ekosistem terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi terumbu karang dan degradasi pada suatu komunitas organisme dapat menyebabkan akibat buruk bagi organisme lainnya. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Dengan adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan serta manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya, pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna (Johanes & Suadi 2006). Pelaksanaan suatu pengelolaan di wilayah pesisir harus diawali dengan perencanaan berdasarkan berbagai potensi sumberdaya yang ada sehingga dapat
27 tertata dengan rapi. Tujuan dari pengelolaan terumbu karang adalah untuk menjaga dan melindungi kawasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan pengambilan atau perusakan (Supriharyono 2000).
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu yang secara administratif berada di Kabupaten Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta (Gambar 4). Empat pulau di dua zona pengelolaan yang berbeda dipilih sebagai lokasi penelitian, masing- masing dengan dua titik pengamatan yang berbeda (di kedalaman 3-5 m). Lokasi pengamatan yaitu pulau Pramuka dan P. Panggang yang mewakili zona pemukiman, sementara P. Kayu Angin Bira dan P. Belanda mewakili zona inti (Gambar 5). Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan adanya perbedaan kondisi lingkungan di kedua zona. Zona pemukiman merupakan kawasan yang dihuni oleh penduduk sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan menyebabkan tekanan terhadap lingkungan cukup tinggi. Sementara itu, zona inti merupakan kawasan yang mutlak dilindungi dan tidak dihuni oleh penduduk sehingga tekanan lingkungan yang diterima tidak sebesar zona pemukiman. Secara teoritis, dengan kondisi lingkungan yang berbeda maka kondisi ekosistem terumbu karang maupun kelimpahan ikan di kedua zona dimungkinkan akan berbeda pula. Pemilihan titik pengamatan dilakukan secara purposive dimana sebelum titik ditentukan, terlebih dahulu dilakukan pemantauan sebaran terumbu karang yang ada di pulau tersebut. Jumlah titik pengamatan yang diambil pada penelitian ini disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, Meskipun demikian, sampel yang terambil diharapkan cukup mewakili untuk memperoleh gambaran yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain di lapangan, penelitian juga dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan informasi beberapa parameter biologi ikan menggaru seperti: mengetahui jenis makanan dan tingkat kematangan gonad dari sampel ikan yang tertangkap. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan sejak bulan April-Agustus 2009. Survei lapangan untuk pengambilan data terumbu karang, kelimpahan ikan dan sampel ikan dilaksanakan tanggal 19 Mei-3 Juni 2009.
29
Gambar 4 Lokasi penelitian.
30
Gambar 5 Lokasi pengambilan contoh/sampling.
31 Tabel 1 Letak geografis lokasi sampling di setiap pulau Zona
Lokasi (Kode)
Pemukiman
Inti
Keterangan:
Koordinat
Utara P. Pramuka (TP. 1)
S 05o 45' 00"
E 106o 37' 07"
Timur P. Pramuka (TP. 2)
S 05o 44' 20"
E 106o 36' 55"
Selatan P. Panggang (TP. 3)
S 05o 44'56"
E 106o 35' 41"
Barat P. Panggang (TP. 4)
S 05o 44' 39"
E 106o 35' 10"
Barat P. Kayu Angin Bira (TP. 5)
S 05o 36' 25"
E 106o 33' 49"
Timur P. Kayu Angin Bira (TP. 6)
S 05o 36' 28"
E 106o 34' 01"
Utara P. Belanda (TP. 7)
S 05o 36' 15"
E 106o 36' 09"
Selatan P. Belanda (TP. 8)
S 05o 36' 06"
E 106o 36' 06"
S = Lintang Selatan, E = Bujur Timur TP = Titik Pengamatan
Alat dan Bahan Penelitian Peralatan dan bahan yang digunakan selama penelitian adalah sebagai berikut : 1. Pengukuran fisik perairan Pengukuran kualitas perairan yang terdiri dari beberapa parameter fisika dan kimia di lokasi penelitian menggunakan alat-alat sebagai berikut : a. Temperatur air laut diukur menggunakan Thermometer. b. Kecerahan diukur menggunakan Seicchi Disc. c. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan Floating Drough. d. Salinitas diukur menggunakan Refraktometer. 2. Pengumpulan data kondisi terumbu karang dan kelimpahan ikan Alat dan bahan yang digunakan untuk pengumpulan data terumbu karang dan kelimpahan ikan antara lain: a. Peralatan selam dasar. b. Peralatan SCUBA (Self Contain Underwater Breathing Aparatus). c. Kamera Underwater. d. Global Positioning System (GPS). e. Transek Kuadrat 1 x 1 m dan roll meter. f. Buku identifikasi, sabak dan alat tulis lain.
32 3. Sampel ikan Alat tangkap yang digunakan untuk pengambilan sampel ikan menggaru antara lain: a. Jaring insang (Gillnet). b. Pancing ulur (Handline). Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis sampel ikan baik di lapangan maupun di laboratorium antara lain: a. Pengukur panjang/mistar. b. Timbangan digital. c. Formalin 4%. d. Botol sampel. e. Alat bedah ikan. f. Mikroskop. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat mengenai fakta- fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang obyek yang diteliti. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei dengan langkah- langkah dan metode sebagai berikut : a. Kondisi Perairan Kondisi fisik perairan berupa temperatur air laut, kecerahan, salinitas, kekeruhan, dan kecepatan arus permukaan diukur langsung di lapangan (in situ). Sedangkan derajat keasaman (pH), kadar fosfat, nitrat, nitrit dan ammonia diukur di laboratorium berdasarkan sampel air yang diambil dari setiap titik pengamatan. b. Kondisi Terumbu Karang Metode yang digunakan untuk pengumpulan data kondisi terumbu karang adalah modifikasi transek garis yang dikembangkan oleh Loya (1978) dengan transek kuadrat (Rogers et al. 1994). Pada setiap titik pengamatan diletakkan
33 transek garis dengan panjang 50 meter sejajar garis pantai. Selanjutnya disepanjang transek garis tersebut diletakkan transek kuadrat ukuran 1 x 1 m dengan pengulangan sebanyak 20 kali. Cara kerja yang dilakukan untuk mendapatkan data terumbu karang disajikan pada Gambar 6 sebagai berikut:
Gambar 6 Transek kuadrat diletakkan sepanjang transek garis. Pada saat diletakkan sepanjang transek garis, transek kuadrat difoto menggunakan kamera bawah air Nikon D80 sehingga diperoleh 20 foto. Hasil foto tersebut yang kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak Coral Point Count with Excell Extension (CPCe) V3.6 untuk memperoleh gambaran tentang kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan substrat dasar, persentase tutupan karang keras (hard coral), life form karang, dan tutupan genus karang. Kategori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Chabanet et al. 1997; Williams & Pollunin 2001; Diaz-Pullido & McCook 2008 yaitu: Karang Keras (KK), Bercabang/Branching (BRA), Mengerak/Encrusting (ENC), Massive (MAS), Meja/Tabulate (TAB), Jamur/Mushroom (MSR), Karang mati dengan alga/Dead Coral Algae (DCA), Karang mati/ Dead Coral (DC), Pasir (PSR), Rubble (RBL), Batu (BAT), Coralline Algae (CA), Macroalgae (MA), Turf Algae (TA), Red Algae (RED), Green Algae (GRN), Brown Algae (BRO), Non Karang Keras (NKK). c. Ikan Karang Pengamatan kelimpahan ikan karang menggunakan metode Underwater Visual Census (UVC). Meskipun metode ini tidak sempurna, UVC merupakan metode paling praktis, tidak merusak dan masih diperbolehkan untuk memperkirakan kelimpahan jenis ikan di lapangan dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, metode ini dapat diulang dan tidak mahal (Sale & Sharp 1983; Bell et al. 1985; English et al. 1994; Samoilys & Carlos 2000, diacu dalam Aktani 2003).
34 Prosedur dalam penggunaan metode sensus visual secara garis besar hampir sama dengan penggunaan metode Line Intersept Transect (LIT) dimana roll meter sepanjang 50 m dibentangkan sejajar dengan garis pantai berlawanan dengan arah arus. Ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan 2,5 m sebelah kanan garis transek dicatat jumlahnya. Cara pengamatan tersebut diilustrasikan Labrose (2002) dalam Gambar 7 sebagai berikut:
Gambar 7 Pencatatan data kelimpahan/sensus visual spesies ikan karang. Hasil pengamatan ikan karang ditabulasikan berdasarkan jenis dan frekuensi ditemukannya pada transek pengamatan. Identifikasi jenis ikan mengacu kepada Burgess dan Axelrod (1972), Masuda et al. (1984), Allen dan Steene (1987), Kuiter (1992), Lieske dan Myers (1997). d. Sampel Ikan dan Lambungnya Ikan menggaru sebagai sampel dalam penelitian, diambil (ditangkap) menggunakan jaring insang (Gill Net) dan pancing ulur (Hand Line) dengan bantuan nelayan setempat. Pengambilan sampel dilakukan pada lokasi yang telah ditetapkan yaitu perairan di zona permukiman dan zona inti selama dua minggu. Sampel ikan diukur panjangnya dan ditimbang beratnya kemudian dibedah dan diambil saluran pencernaannya dari pangkal pharynx sampai anus. Saluran pencernaan ikan tersebut kemudian diawetkan dengan formalin 4% dan dimasukkan ke dalam botol ukuran 50 ml serta diberi label. Setelah itu sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi tingkat kematangan gonad dan jenis makanannya. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka dan informasi dari berbagai instansi seperti Balai TNKPs, P2O-LIPI, Dishidros TNI AL, IPB, LSM serta tulisan dan publikasi lain yang terkait dengan penelitian ini.
35 Analisis Data a. Persentase Penutupan Substrat Dasar Persentase penutupan substrat dasar dihitung berdasarkan hasil foto per transek yang diolah menggunakan perangkat lunak Coral Point Count with Excell extension (CPCe) V3.6. Perangkat lunak yang dikembangkan oleh Kohler dan Gill (2006) ini merupakan program visual basic yang berdasarkan metodologi penghitungan titik secara acak. Analisis data untuk menentukan kondisi terumbu karang didasarkan pada persentase tutupan karang keras dan mengacu pada kategori Australian Institute of Marine Science (AIMS), yaitu: 1) hancur/rusak (0-24,9%); 2) sedang (25-49,9%); 3) baik (50-74,9%); dan 4) sangat baik (75-100%). b. Kelimpahan Ikan Analisis kelimpahan ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di lokasi penelitian dihitung dengan me nggunakan rumus sebagai berikut: X =
dengan:
∑ Ji A
X = Kelimpahan ikan Ji = Jumlah ikan pada titik pengamatan ke- i A = Luas terumbu karang yang diamati (m2)
c. Uji Beda Nyata (Significance Test) Uji beda nyata menggunakan One way ANOVA dilakukan untuk mengetahui perbedaan rata-rata antara beberapa parameter atau plot uji pada zona pemukiman dan zona inti seperti: parameter fisik dan kimia perairan, tutupan substrat dasar, tutupan life form karang, tutupan genus karang, ukuran panjang ikan hasil sensus, dan rata-rata berat serta panjang sampel ikan tangkapan. d. Hubungan Panjang Berat Ikan Analisis hubungan panjang berat ikan menggaru dilakukan terhadap sampel ikan yang tertangkap masing- masing sebanyak 21 ekor dari zona pemukiman dan 20 ekor dari zona inti. Penentuan hubungan panjang berat ikan mengikuti cara Hile 1936, diacu dalam Effendie 1997 dengan rumus: W = aLb (W = berat ikan, L = panjang ikan, a dan b = konstanta yang dicari).
36 Linierisasi dilakukan menggunakan logaritma persamaan yaitu log W = log a + b log L. Untuk memperoleh nilai log a dan b, digunakan teknik perhitungan panjang berat secara langsung menurut Rousefell dan Everhart (1960) dan Lagler (1961), diacu dalam Effendie (1997), menggunakan rumus sebagai berikut:
Setelah nilai a dan b diketahui maka analisis dilakukan berdasarkan nilai konstanta b yang diartikan sebagai berikut: • Bila b = 3,0 berarti pertumbuhan bersifat isometrik (ideal). • Bila b > 3 atau b < 3, berarti pertumbuhan ikan bersifat allometrik atau kurang baik karena pertumbuhan berat dan panjang tidak sebanding. Sifat allometrik ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu: - Bila b < 3 berarti pertumbuhan panjang lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan berat sehingga ikan kelihatan kurus dan tidak normal, terlihat terlalu panjang. - Bila b > 3 berarti pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang sehingga ikan kelihatan gemuk dan tidak normal. e. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan terhadap 41 ekor ikan hasil tangkapan dengan rincian: 21 ekor dari perairan zona pemukiman dan 20 ekor dari perairan zona inti. Tingkat kematangan diduga menggunakan cara morfologi dan mengacu pada klasifikasi kematangan gonad ikan laut menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) seperti disajikan pada Tabel 2. Hasil pendugaan kematangan gonad ikan menggaru dianalisis secara deskriptif dikaitkan dengan lokasi dan waktu pengambilan sampel serta dibandingkan dengan tingkat kematangan gonad ikan kakap dari jenis lain yang masih dalam satu marga (Lutjanus). Digunakannya data TKG ikan kakap dari jenis yang berbeda dikarenakan data TKG ikan menggaru dari lokasi lain tidak dapat diperoleh.
37 Tabel 2 Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan laut Tingkat I
Keadaan Gonad Tidak Matang
Deskripsi Gonad memanjang, kecil dan hampir transparan.
II
Sedang Matang
Gonad membesar, berwarna jingga kekuningkuningan, butiran telur belum terlihat dengan mata telanjang.
III
Matang
Gonad berwarna putih kekuningan, butiran telur sudah dapat terlihat dengan mata telanjang.
IV
Siap Pijah
Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih, dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut.
V
Pijah (spent)
Gonad mengecil, berwarna merah dan pembuluh darah dapat terlihat dengan mata telanjang.
f. Jenis Makanan Jenis makanan dianalisis berdasarkan 41 sampel ikan hasil tangkapan dengan cara lambung dibuka, isi lambung ditimbang kemudian dipisahkan menurut jenisnya. Tiap jenis makanan dicatat frekuensi kejadiannya sehingga diperoleh gambaran mengenai jenis makanan utama, sifat dan penggolongan ikan menggaru sebagai obyek penelitian. g. Hubungan Ikan Menggaru dan Terumbu Karang Untuk mengetahui hubungan terumbu karang dan ikan menggaru, data yang diperoleh berupa persentase tutupan life form karang dan genus karang serta kelimpahan ikan menggaru, ditabulasi dan disajikan dalam bentuk gambar atau grafik sehingga
dapat diketahui kecenderungan-kecenderungan yang terjadi.
Selanjutnya data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan berpedoman pada hasil- hasil penelitian sejenis dan data sekunder lainnya.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Administratif dan Letak Geografis Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu yang terletak kurang lebih 46 km di bagian Utara Jakarta, ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 6310/ Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 dengan luas 107.489 hektar dan secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kawasan ini meliputi perairan laut sampai batas pasang tertinggi, termasuk kawasan darat Pulau Panjaliran Barat dan Panjaliran Timur seluas 39.50 Ha. Berdasarkan letaknya secara geografis, kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu berada pada posisi antara 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT. Iklim dan Kondisi Oseanografi Berdasarkan tipe iklimnya, kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu termasuk dalam tipe iklim tropis dan dipengaruhi oleh 2 (dua) musim yaitu: Musim Barat dan Musim Timur. Kondisi cuaca di kawasan ini sangat khas karena tidak terbentuk awan serta sering ditutupi kabut sehingga menyebabkan intensitas penyinaran matahari yang lebih kuat dan disertai kelembaban udara yang tinggi. Curah hujan rata-rata 400 mm/tahun, suhu udara rata-rata 28-32 °C, dan kecepatan angin rata-rata 10-20 mil/jam. Kondisi pasang surut di kawasan ini dapat dikategorikan sebagai harian tunggal. Kedudukan air tertinggi adalah 6 dm di atas duduk tengah dan kedudukan air terendah adalah 5 dm di bawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani (masa pertengahan bulan) adalah 9 dm, rata-rata tunggang air pada pasang mati (masa seperempat bulan akhir) adalah 2 dm, sedangkan tunggang air tahunan terbesar mencapai 10 m. Kecepatan arus di kawasan ini berkisar 0.6 cm/dtk hingga 77.3 cm/dtk, sedangkan tinggi gelombang berkisar 0.5-1.5 m pada musim barat dan 0.5-1.0 m pada musim timur. Suhu dan salinitas laut tidak memiliki fluktuasi yang nyata antara musim barat, musim timur dan musim peralihan. Suhu air berkisar 28.5-30 °C pada musim barat, 28.5-31.0 °C pada musim timur, dan salinitas berkisar 3034‰ (Mihardja DK & Pranowo WS 2001).
39 Potensi Kawasan Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat tinggi dan dapat dilihat dari berbagai aspek seperti tingkat ekosistem maupun jenis flora dan faunanya. Potensi sumberdaya alam yang dapat ditemukan di kawasan ini antara lain berupa keindahan konfigurasi bawah laut (Underwater Configuration) dan berbagai tipe ekosistem pesisir yang unik seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang (Dephut-Ditjen PHKA & BTNKpS 2005). Keberadaan ekosistem terumbu karang merupakan salah satu keunikan kawasan ini. Terumbu karang mempunyai produktivitas yang tinggi dengan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi pula. Terumbu karang menjadi habitat, tempat mencari makan dan berkembang biak untuk berbagai jenis ikan dan biota lain dari kelompok crustacea, echinodermata, moluska, dan sebagainya. Berdasarkan jenis karang yang ada, diketahui bahwa kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu memiliki keanekaragaman haya ti karang yang cukup tinggi meliputi 67 genera dan sub-genera dan paling sedikit 123 spesies karang (DephutDitjen PHKA & BTNKpS 2005). Jumlah spesies ikan yang ditemukan di kawasan ini mencapai 232 spesies dengan potensi rata-rata 36.132 individu/hektar. Jenis ikan hias yang hidup di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu antara lain ikan kepe-kepe (famili Chaetodontidae), ikan serinding (famili Apogonidae), ikan betok (famili Pomacentride) dan ikan ekor merah (famili Caesiodidae). Sedangkan jenis ikan untuk konsumsi yang ditemukan antara lain adalah baronang (Siganus sp.), tengiri (Sicomberomerus sp.), ekor kuning (Caesio spp.), kerapu (Famili Serranidae) dan tongkol (Eutynus sp.). Echinodermata yang banyak dijumpai diantaranya adalah bintang laut, lili laut, teripang dan bulu babi yang juga merupakan indikator kerusakan terumbu karang. Crustacea yang terdapat di kawasan ini dan dikonsumsi oleh masyarakat antara lain kepiting, rajungan (Portumus sp.) dan udang karang (Spiny lobster). Sementara itu moluska (binatang lunak) yang dijumpai terdiri dari Gastropoda, Pelecypoda, termasuk jenis yang dilindungi diantaranya adalah kima raksasa (Tridacna gigas) dan kima sisik (Tridacna squamosa).
40 Di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dapat ditemukan pula berbagai jenis reptil seperti: penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), ular sanca (Phyton sp.) dan biawak (Varanus sp.). Sedangkan mamalia yang dijumpai antara lain: kucing hutan (Felis bengalis) dan lumbalumba hidung botol (Trusiops spp.). Sementara itu, flora yang terdapat di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu secara umum didominasi tumbuhan pantai, seperti pohon kelapa (Cocos nucifera), pandan laut (Pandanus sp.), cemara laut (Casuarina equisetifolia), cangkudu (Morinda citrifolia), butun (Baringtonic asiatica), bakau (Bruguiera sp.), sukun (Artocarpus atilis), ketapang (Terminalia cattapa), dan kecundang (Cerbena adollam). Selain itu juga banyak ditemui vegetasi laut dari kelas ganggang laut seperti Rhodophyta, Chlorophyta dan Phaeophyta serta dari kelas rumput laut seperti Halimeda, Padina, Thallasia, Sargasum dan Caulerpa. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Penduduk Kepulauan Seribu berjumlah 4.920 kepala keluarga, dan 65% diantaranya bermukim di pulau yang berada dalam kawasan Taman Nasional seperti: Pulau Kelapa, Pulau Harapan, Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Dari hasil pendataan (Statistik Kabupaten 2004, diacu dalam Dephut-PHKA dan BTNKpS 2005) diketahui bahwa 660 Keluarga (13.41%) di Kabupaten Kepulauan Seribu termasuk dalam golongan pra-sejahtera dan latar belakang pendidikan yang masih sangat rendah. Penduduk Kepulauan Seribu pada umumnya merupakan warga pendatang yang berasal dari berbagai suku antara lain Bugis, Betawi, Sunda dan Jawa sehingga budaya masyarakat masih dipengaruhi oleh budaya mereka masing- masing. Jumlah penduduk di Kepulauan Seribu mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi setiap tahunnya namun tidak tersebar merata di setiap pulau. Berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, diketahui bahwa terdapat perbedaan jumlah penduduk di setiap pulau antara lain: Pulau Panggang (367 orang/ha), Pulau Kelapa (354 orang/ha), Pulau Harapan (207 orang/ha), Pulau Kelapa Dua (168 orang/ha), Pulau Pramuka (60 orang/ha), Pulau Sebira (57 orang/ha). Sebagian besar masyarakat Kepulauan Seribu berprofesi sebagai nelayan tangkap (70.99%), dan sisanya berprofesi sebagai pedagang, buruh, dan pegawai pemerintahan.
41 Pengelolaan Kawasan Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu melalui 3 (tiga) Seksi Konservasi Wilayah yaitu Seksi I Pulau Kelapa, Seksi II Pulau Penjaliran dan Seksi III Pulau Pramuka. Pada awalnya TNL adalah merupakan cagar alam laut yang ditetapkan pada tahun 1982 dan merujuk pada Undang-Undang Pokok Kehutanan tahun 1967. Pada tahun 1982 juga diselenggarakan kongres nasional taman laut sedunia yang berlangsung di Bali, dan hasil dari pertemuan tersebut antara lain adanya perubahan fungsi dari cagar alam laut kepulauan seribu menjadi taman nasional laut kepulauan seribu. Penetapan tersebut kemudian dimantapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.162/Kpts-II/1995. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dikelola dengan sistem zonasi berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 05/SK/IV-KK/2004 tanggal 25 Januari 2004. Ada 4 (empat) zona yang telah ditetapkan di dalam kawasan taman nasional ini yaitu: 1. Zona Inti Zona inti meliputi zona daratan dan perairan laut yang mutlak dilindungi dan didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh manusia kecuali kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pendidikan. Zona inti terdiri dari tiga lokasi yaitu zona inti I meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat, pada posisi 5°27’00”–5°29’00” LS dan 106°26’00”106°28’00” BT, zona inti II meliputi daratan dan perairan Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, perairan P. Peteloran Barat, Peteloran Timur dan Gosong Penjaliran pada posisi 5°26’36”–5°29’00” LS dan 106°32’00”–106o 35’00” BT dan zona inti III meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda, serta bagian utara perairan Bira Besar pada posisi 5°36’00”–5°45’00” LS dan 106°33’36”–106°36’42” BT. 2. Zona Perlindungan Zona perlindungan merupakan zona perairan laut yang diperuntukan untuk melindungi zona inti. Di zona ini hanya dapat dilakukan kegiatan sebagaimana kegiatan yang dilakukan pada zona inti serta kegiatan wisata alam bahari terbatas. Zona bahari meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung,
42 Rengit, Karang Buton, Karang Mayang pada posisi 5°24’00”–5°30’00” LS dan 106°25’00”–106°’40’00” BT. 3. Zona Pemanfaatan Wisata Zona ini adalah zona perairan laut yang didalamnya dapat dilakukan kegiatan sebagaimana pada zona inti, zona bahari serta pengembangan wisata bahari. Zona pemanfaatan wisata meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Sebaru Besar, Lipan, Kapas, Sebaru Kecil, Bunder, Karang Baka, Hantu Timur (Pantara), Hantu Barat, Gosong Laga, Yu Barat, Yu Timur, Satu, Kelor Timur, Kelor Barat, Jukung, Semut Kecil, Cina, Semut Besar, Sepa Timur, Sepa Barat, Gosong Sepa, Melinjo, Melintang, Perak, Kayu Angin Melintang, Panjang Bawah, Kayu Angin Putri, Tongkeng, Petondan Timur, Petondan Barat, Putri Kecil, Putri Besar, Putri Gundul, Macan Kecil, Macan Besar (Matahari), Genteng Besar, Genteng Kecil, Bira Besar, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang Pilang, Karang Katamba, Gosong Mungu, Kotok Besar dan Kotok Kecil pada posisi 5°30’00”–5°38’00” LS dan 106°25’00”–106 °33’00” BT -106°40’00” BT. 4. Zona Pemukiman Zona ini meliputi zona perairan laut sekitar pulau pemukiman yang didalamnya dapat dilakukan kegiatan seperti pada zona inti, zona bahari, zona pemanfaatan
wisata,
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat
setempat
dan
pengembangan infrastruktur. Zona pemukiman meliputi sekitar Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Besar, Opak Kecil, Karang Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak daun, Karya, Panggang, dan Pramuka pada posisi 5°38’00” – 5°45’00” LS dan 106°33’00”–106°40’00” BT.
HASIL PENELITIAN Kondisi Perairan Hasil pengukuran beberapa parameter fisik perairan seperti: temperatur, salinitas, kecepatan arus, kekeruhan dan kecerahan perairan pada lokasi penelitian, disajikan dalam gambar-gambar sebagai berikut:
Gambar 8 Distribusi temperatur pada setiap titik pengamatan.
Gambar 9 Distribusi salinitas pada setiap titik pengamatan. Suhu perairan yang terukur di perairan zona pemukiman (TP 1 - TP 4) berkisar antara 28-31 °C dengan salinitas berkisar antara 30-32‰. Sedangkan di zona inti (TP 5 - TP 8), suhu perairan berada dalam kisaran 28-30 °C dan salinitas antara 31-32‰. Kondisi suhu perairan dan salinitas tersebut disajikan dalam Gambar 8 dan 9 di atas.
44 Hasil pengukuran kecepatan arus yang tercatat saat penelitian (Gambar 10) menunjukkan bahwa di zona pemukiman kecepatan arus berkisar antara 0.02-0.08 m/dtk. Sementara itu, di zona inti kisaran kecepatan arus yang terukur antara 0.030.07 m/dtk.
Gambar 10 Distribusi kecepatan arus pada setiap titik pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran nilai kekeruhan (Gambar 11), diketahui bahwa pada titik pengamatan yang berada di zona pemukiman, kekeruhan perairan berkisar antara 0.45-0.80 NTU, sementara di zona inti kisaran kekeruhannya antara 0.37-0.55 NTU.
Gambar 11 Distribusi kekeruhan pada setiap titik pengamatan. Adapun untuk hasil pengukuran kecerahan perairan seperti yang disajikan dalam Gambar 12, diketahui bahwa di zona pemukiman sinar matahari masih
45 dapat menembus kedalaman antara 5-6 m, sedangkan di zona inti, sinar matahari masih dapat terlihat pada kedalaman 6-7 m.
Gambar 12 Distribusi kecerahan perairan pada setiap titik pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran beberapa parameter kimia perairan seperti: derajat keasaman (pH), kandungan fosfat, nitrat, nitrit dan ammonia, yang disajikan dalam gambar 13 dan 14, diketahui bahwa derajat keasaman (pH) di zona pemukiman berkisar antara 8.1-8.2 dengan kadar fosfat (0.02-0.04 mg/l), kadar nitrat (0.05-0.09 mg/l), kadar nitrit (< 0.002-0.008 mg/l) dan kadar ammonia sebesar 0.14-0.19 mg/l. Sedangkan di zona inti, derajat keasaman (pH) yang terukur pada masingmasing titik pengamatan tercatat sebesar 8.1 dengan kisaran kadar fosfat 0.01-0.03 mg/l, kadar nitrat 0.04-0.09 mg/l, kadar nitrit < 0.002 mg/l dan ammonia antara 0.04-0.10 mg/l.
Gambar 13 Distribusi derajat keasaman (pH) pada setiap titik pengamatan.
46
Gambar 14 Distribusi kandungan fosfat, nitrat, nitrit dan ammonia pada setiap titik pengamatan. Berdasarkan hasil uji signifikansi pada selang kepercayaan 95% terhadap beberapa parameter fisik dan kimia perairan di lokasi, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata kecerahan dan ammonia (NH3-N) di zona pemukiman dan zona inti dengan p- value berturut turut 0.017; 0.002. Kondisi Terumbu Karang Hasil pengamatan untuk persentase tutupan substrat dasar di zona pemukiman menunjukkan bahwa tutupan hard coral sebesar 34.86%, kemudian patahan karang (rubble) sebesar 29.87% dan karang mati ber alga (dead coral algae) sebesar 18.18%. Selain itu terlihat pasir dengan rata-rata tutupan sebesar 9.35% dan soft coral (non karang keras) dengan rata-rata tutupan sebesar 1.83%. Persentase tutupan substrat dasar tersebut disajikan dalam Gambar 15 sebagai berikut:
Gambar 15 Persentase rata-rata tutupan substrat dasar di zona pemukiman.
47 Apabila
perhitungan
persentase
tutupan
substrat
dasar
dilakukan
berdasarkan pada masing- masing titik pengamatan (Gambar 16), diketahui bahwa persentase tutupan karang keras yang tertinggi (46,15%) terdapat di TP. 3 (sisi barat P. Panggang) sementara yang terendah (23.10%) ditemukan di TP. 1 (sisi timur P. Pramuka). Patahan karang (rubble) juga terbanyak ditemukan di TP. 3 (40.10%) dan terendah di TP. 1 (21.42%). Karang mati yang ditutupi alga (DCA) banyak ditemukan di stasiun 2 (sisi utara p. pramuka) yaitu sebesar 39.82%.
Gambar 16 Persentase tutupan substrat dasar di masing- masing titik penga matan pada zona pemukiman. Di zona pemukiman, karang dengan bentuk pertumbuhan (life form) massive paling banyak ditemukan dengan rata-rata tutupan 15.85%, kemudian diikuti dengan karang branching (10.60%) dan tabulate (3.94%). Diketahui pula bahwa karang mushroom merupakan life form karang yang paling rendah tutupannya yakni rata-rata sebesar 0.55% (Gambar 17).
48
Gambar 17 Distribusi persentase rata-rata tutupan life form karang keras di zona pemukiman. Berdasarkan hasil pengamatan untuk tutupan genus karang, diketahui bahwa di zona pemukiman dijumpai sebanyak 17 genus yang didominasi Acropora dengan tutupan rata-rata sebesar 16.11%. Genus Montipora juga cukup banyak ditemukan di lokasi dengan persentase tutupan 9.25%. Sementara itu, Stylarea merupakan genus yang rata-rata tutupannya sangat rendah yaitu 0.02% dari ratarata tutupan karang keras di zona pemukiman (Gambar 18 dan Lampiran 2).
Gambar 18 Distribusi persentase rata-rata tutupan ge nus karang keras di zona pemukiman. Di zona inti, hasil penelitian yang diperoleh untuk tutupan substrat dasar adalah sebagai berikut: persentase rata-rata tutupan karang keras sebesar 39.31%, patahan karang (rubble) sebesar 30.81%, karang mati yang telah ditutupi alga
49 sebesar 16.39%, berturut-turut kemudian pasir (9.13%), alga (2.47%) dan non karang keras (soft coral) sebesar 0.94% (Gambar 19).
Gambar 19 Persentase rata-rata tutupan substrat dasar di zona inti. Hasil perhitungan untuk persentase tutupan substrat dasar pada masingmasing titik pengamatan yang disajikan dalam Gambar 20 menunjukkan bahwa tutupan karang keras di zona inti berkisar antara 25.48%-66.30%. Persentase tutupan karang keras tertinggi terdapat di TP. 5 (sisi barat P. Kayu Angin Bira) sementara yang terendah di TP. 8 (sisi selatan P. Belanda). Tutupan karang mati tertinggi di temukan di TP. 6 (sisi timur P. Kayu Angin Bira) yaitu sebesar 28.33%. Di titik pengamatan lain (sisi utara dan selatan P. Belanda), karang mati juga banyak ditemukan yaitu 28.08% dan 27.05%. Berdasarkan persentase tutupan life form karang diketahui bahwa di zona inti, tutupan karang branching mendominasi dengan persentase rata-rata sebesar 18.72%. Berturut-turut kemudian karang massive (8.49%), foliose (6.98%), encrusting (2.22%) dan mushroom (2.71%). Adapun yang persentase rata-rata tutupannya paling rendah adalah life form karang tabulate yaitu sebesar 0.19% (Gambar 21). Sementara itu, berdasarkan hasil pengamatan tutupan genus karang keras di zona inti (Gambar 22 dan Lampiran 2) diketahui bahwa dari 16 genus karang yang dijumpai, genus Acropora mendominasi dengan tutupan sebesar 17.14%. Genus lain yang ditemukan pada zona ini berturut-turut adalah Montipora (6.56%), Porites (4.29%), Fungia (2.71%), Turbinaria (2.69%) dan Seriatopora (2.33%).
50 Sementara yang persentase tutupannya sangat rendah adalah karang dari genus Plerogyra yaitu sebesar 0.01%.
Gambar 20 Persentase tutupan substrat dasar di masing- masing titik pengamatan pada zona inti.
Gambar 21 Distribusi persentase rata-rata tutupan life form karang keras di zona inti.
51
Gambar 22 Distribusi persentase rata-rata tutupan genus karang keras di zona inti. Dari hasil analisis ragam satu arah (one way ANOVA) antara persentase rata-rata tutupan substrat dasar di zona pemukiman dan zona inti, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua zona (Lampiran 11). Demikian pula untuk hasil uj i terhadap persentase rata-rata tutupan life form karang (Lampiran 12) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok life form karang di zona pemukiman dan zona inti (sig.> 0.05). Hasil yang berbeda ditunjukkan untuk uji beda nyata antara tutupan genus karang di kedua zona dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tutupan genus Seriatopora di zona pemukiman dan di zona inti dengan nilai signifikansi sebesar 0.013 (Lampiran 13). Kondisi Bio-Populasi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) Kelimpahan Ikan Hasil perhitungan jumlah kelimpahan ikan di lokasi penelitian menunjukkan nilai kelimpahan yang relatif tidak jauh berbeda dimana pada zona pemukiman jumlah kelimpahan ikan menggaru sebanyak 140 ind./ha sedangkan pada zona inti dijumpai sebanyak 180 individu/ha. Berdasarkan hasil uji signifikansi pada selang kepercayaan 95%, diketahui pula bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara rata-rata kelimpahan ikan menggaru di zona pemukiman dan zona inti (sig.> 0.05).
52 Distrib usi ukuran panjang ikan menggaru yang tercacah dimulai dari kelas ukuran < 5 cm hingga kelas ukuran > 25 cm. Hasil pencacahan menunjukkan bahwa frekuensi panjang ikan yang dijumpai di zona pemukiman lebih banyak berada pada kelas ukuran 5.1-10 cm. Sementara itu, panjang ikan yang tercacah di zona inti lebih banyak pada kelas ukuran 15.1–20 cm. Hasil uji signifikansi (one way ANOVA) rata-rata ukuran panjang ikan di kedua zona (Lampiran 14) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok ukuran panjang ikan 15.1-20 cm di zona pemukiman dan zona inti (sig. = 0.003). Distribusi Panjang, Berat dan Jenis Kelamin Selama penelitian dilakukan (bulan Mei-Juni 2009), tertangkap ikan menggaru sebanyak 41 ekor dari berbagai ukuran dengan rincian 21 ekor dari perairan zona pemukiman dan 20 ekor dari perairan zona inti. Terbatasnya jumlah tangkapan ikan tersebut dimungkinkan karena waktu pengambilan yang tidak terlalu lama. Namun berdasarkan informasi nelayan setempat, populasi ikan menggaru di lokasi penelitian memang relatif sudah berkurang. Meskipun sampel ikan yang digunakan sangat terbatas jumlahnya, diharapkan sudah dapat menggambarkan beberapa aspek biologi yang penting dalam rangka pengelolaan. Kisaran panjang total ikan menggaru yang tertangkap dari perairan di zona pemukiman antara 13.8-27.8 cm dan paling banyak (42.86%) berada pada kisaran panjang 20.1-25 cm. Diketahui pula bahwa bobot ikan menggaru di zo na pemukiman berkisar antara 25.24-227.24 gr (Lampiran 4). Hasil pengamatan terhadap jenis kelamin ikan menunjukkan bahwa ikan menggaru di zona pemukiman lebih dominan berjenis kelamin jantan (62%) sedangkan betina sebesar 38%. Hasil pengamatan terhadap kisaran panjang dan jenis kelamin ikan dari zona pemukiman disajikan dalam Tabel 3. Pada zona inti, kisaran panjang total ikan menggaru yang tertangkap antara 13-27.8 cm dengan frekuensi paling banyak pada kelas ukuran 15.1-20 cm dan 20.1-25 cm masing- masing sebesar 35%. Bobot ikan hasil pengukuran berkisar antara 24.32-353.25 gr (Lampiran 5). Ikan menggaru yang berjenis kelamin jantan (60%) juga lebih dominan bila dibandingkan jenis kelamin betina (40%). Hasil pengamatan kisaran panjang dan jenis kelamin ikan dari zona inti disajikan dalam Tabel 4.
53 Tabel 3 Kisaran panjang total ikan menggaru yang tertangkap di perairan zona pemukiman Kelas Panjang Total (cm) 1–5 5.1 – 10 10.1 – 15 15.1 – 20 20.1 – 25 25.1 - 30 Jumlah
Frekuensi
Jenis Kelamin
3 8 9 1
Jantan 2 4 6 1
Betina 1 4 3 -
21
13
8
Tabel 4 Kisaran panjang total ikan menggaru yang tertangkap di perairan zona inti Kelas Panjang Total (cm) 1–5 5.1 – 10 10.1 – 15 15.1 – 20 20.1 – 25 25.1 - 30 Jumlah
Frekuensi
Jenis Kelamin
3 7 7 3
Jantan 2 4 5 1
Betina 1 3 2 2
20
12
8
Hubungan Panjang-Berat Persamaan regresi untuk hubungan panjang dan berat ikan menggaru dari perairan zona pemukiman adalah log W = -1.903 + 2.919 log L atau W = 0.012.L2.919. Berdasarkan persamaan di atas, diketahui bahwa nilai konstanta b sebesar 2.92 (b < 3, n = 21, dengan taraf signifikansi 0.05 dan R2 = 0.97). Berdasarkan hasil uji signifikansi untuk perhitungan nilai b (Lampiran 8), diperoleh Fhitung= 531.26, sig.<0.05, yang artinya koofisien regresi berbeda nyata atau panjang ikan berpengaruh secara signifikan terhadap berat ikan pada taraf nyata 0.05. Grafik hubungan panjang berat ikan dari perairan zona pemukiman disajikan dalam Gambar 23. Sementara itu, persamaan regresi untuk hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti adalah log W = -3.016 + 3.901 log L atau W = 0.001.L3.901. Nilai konstanta b yang diperoleh dari persamaan regresi di atas adalah 3.901 (b < 3, n = 20, dengan taraf signifikansi 0.05 dan R2 = 0.98).
54 Berdasarkan hasil uji signifikansi untuk mengetahui apakah panjang ikan berpengaruh terhadap berat ikan secara signifikan (Lampiran 9), diperoleh nilai Fhitung sebesar 823.46 dan nilai signifikansi sebesar < 0.05. Hal ini berarti bahwa koofisien regresi berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 0.05 atau panjang ikan berpengaruh nyata terhadap berat ikan pada taraf kepercayaan 0.05. Grafik hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti disajikan dalam Gambar 24.
Gambar 23 Hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona pemukiman.
Gambar 24 Hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 21 ekor ikan menggaru baik jantan maupun betina yang tertangkap dari perairan zona pemukiman, diketahui bahwa tingkat kematangan gonadnya paling banyak berada pada tingkatan I (38%),
55 sementara pada tingkatan II (29%), tingkatan III (19%), dan yang berada pada tingkatan IV (14%). Komposisi persentase TKG tersebut disajikan pada Gambar 25 sebagai berikut:
Gambar 25 Komposisi persentase tingkat kematangan gonad ikan menggaru dari perairan zona pemukiman. Sementara itu, berdasarkan hasil pengamatan tingkat kematangan gonad terhadap 20 sampel dari perairan zona inti, diketahui sebanyak 30% ikan berada pada tingkatan III, 20% berada pada tingkatan IV dan pada tingkatan I dan II masing- masing 25% (Gambar 26).
Gambar 26 Komposisi persentase tingkat kematangan gonad ikan menggaru dari perairan zona inti. Jenis Makanan Berdasarkan pengamatan terhadap 41 ekor sampel ikan menggaru, teridentifikasi komposisi makanan yang terdiri dari 2 macam yaitu ikan dan crustacea (udang). Selain kedua jenis makanan yang teridentifikasi, terdapat pula
56 isi lambung ikan menggaru yang tidak dapat diidentifikasi. Hasil analisis frekuensi kejadiannya (Tabel 5) menunjukkan bahwa persentase makanan ikan menggaru berupa ikan- ikan kecil adalah sebesar 61.54%, berupa udang sebesar 48.72% dan tidak teridentifikasi sebesar 5.13%. Tabel 5 Persentase komposisi makanan ikan menggaru No.
Komposisi Makanan
Frekuensi Kejadian (%)
1.
Ikan
61.54%
2.
Crustacea (Udang)
48.72%
3.
Tidak teridentifikasi
5.13%
Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Menggaru Berdasarkan hasil analisis hubungan kondisi terumbu karang (tutupan karang keras dan life form karang) karang dengan kelimpahan ikan menggaru, diketahui bahwa di zona pemukiman dengan persentase rata-rata tutupan karang keras sebesar 34.86% dan life form karang lebih banyak massive (15.85%), dapat dijumpai 140 ind./ha ikan menggaru. Sementara di zona inti, dengan persentase rata-rata tutupan karang keras sebesar 39.31% dan tutupan life form karangnya paling dominan adalah branching (18.72%), dijumpai 180 ind./ha ikan menggaru. Grafik hubungan tersebut disajikan dalam Gambar 27 sebagai berikut:
Gambar 27 Hubungan kondisi terumbu karang dengan kelimpahan ikan menggaru di kedua zona.
PEMBAHASAN Kondisi Terumbu Karang Pertumbuhan dan perkembangan terumbu serta koloni karang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Berdasarkan hasil pengukuran beberapa parameter baik fisik maupun kimia, dapat dikatakan bahwa kondisi perairan di zona pemukiman dan zona inti masih cukup baik. Suhu perairan di kedua zona yang berkisar antara 28-31 °C sangat cocok untuk pertumbuhan karang. Hal ini sesuai dengan pendapat Nontji (2005) bahwa suhu optimal yang dibutuhkan untuk terumbu karang berkisar 25-30 °C. Hasil pengukuran salinitas juga menunjukkan bahwa salinitas di kedua zona sangat mendukung unt uk kehidupan karang karena berkisar antara 30-32‰. Masih menurut Nontji (2005), selang nilai 27-40‰ adalah kisaran salinitas yang optimum untuk pertumbuhan karang. Kecepatan arus yang terukur pada saat pengambilan data memang terhitung lemah. Kondisi ini berkaitan erat dengan musim peralihan dari musim barat menuju musim timur sehingga perairan relatif tenang. Kecepatan arus permukaan di Kepulauan Seribu rata-rata berkisar antara 0.05-0.12 m/detik (Mihardja & Pranowo 2001) sedangkan saat penelitian, kisaran kecepatan arus antara 0.02-0.08 m/detik. Arus diperlukan karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton, membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk menyuplai oksigen dari laut lepas. Oleh sebab itu, pertumbuhan karang di tempat yang yang selalu teraduk arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan tenang dan terlindung. Dalam kaitannya dengan kecerahan perairan, hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata kecerahan di kedua zona dimana pada zona pemukiman kecerahannya lebih rendah dibandingkan zona inti. Rendahnya kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh parameter lain yakni kekeruhan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kekeruhan di zona pemukiman relatif lebih tinggi dan dimungkinkan karena daerah ini dihuni penduduk sehingga perairannya mendapat pengaruh dari aktivitas yang dilakukan. Berbagai aktivitas penduduk yang merusak seperti membuang limbah baik organik maupun anorganik, dapat membuat perairan lebih keruh dan berakibat pada kurangnya pene trasi sinar matahari untuk menembus
58 kedalaman. Oleh karena itu, pembuangan limbah oleh penduduk di zona pemukiman perlu ditanggulangi karena berdampak pada tingginya kekeruhan serta rendahnya kecerahan yang akhirnya mengganggu kelangsungan hidup karang. Aktivitas penduduk diduga pula menjadi penyebab cukup tingginya kadar ammonia di perairan zona pemukiman. Hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata kadar ammonia di perairan zona pemukiman dan perairan zona inti. Meskipun kadarnya masih dalam batas normal (< 0.1 mg/l), namun kiranya perlu menjadi perhatian karena tingginya kadar ammonia secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang. Distribusi Nilai pH yang terukur di kedua zona relatif masih sesuai dengan pH yang dijumpai di perairan laut yang normal yaitu berkisar antara 8.0-8.5 (Salim 1986) dan antara 7.0-8.5 (Odum 1994). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perairan di zona pemukiman maupun zona inti masih tergolong baik untuk menunjang perkembangan ekosistem terumbu karang. Namun demikian, beberapa parameter lingkungan lain seperti nitrat dan fosfat baik di zona pemukiman maupun zona inti perlu menjadi perhatian. Mengacu pada kadar nitratnya, dimungkinkan perairan baik di zona pemukiman maupun zona inti sudah mengalami eutrofikasi. Hal ini didasarkan pada Fogg (1971) yang menyatakan bahwa perairan laut yang mengalami eutrofikasi memiliki kadar nitrat 0.001-0.60 mg/l. Sementara itu menurut Bell (1992), kadar nitrat yang masih tergo long baik untuk kesehatan karang adalah 0.040 mg/l. Perairan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan karang adalah perairan oligotrofik sesuai dengan yang dikatakan oleh Sumich (1992) bahwa hewan karang sebagai pembangun utama terumbu merupakan organisme laut yang akan tumbuh subur dalam lingkunga n sedikit nutrient/oligotrofik. Demikian pula halnya dengan kadar fosfat di kedua zona yang bila dilihat dari kisaran kadarnya dimungkinkan telah melebihi batas yang dianjurkan. Perkins (1974) menyatakan bahwa perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi dan melebihi kebutuhan normal organisme akuatik, akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Ambang batas kadar fosfat yang digolongkan
59 baik untuk kesehatan karang menurut Bell (1992) adalah sebesar 0.007 mg/l. Oleh karena itu, harus segera dilakukan upaya- upaya untuk mencegah semakin menurunnya kualitas perairan baik di zona pemukiman maupun zona inti yang dapat ditunjukkan dari meningkatnya kadar nitrat dan fosfat. Kesehatan karang akan terganggu pada perairan yang kaya nutrient dan ini tentu akan berdampak pada keberadaan biota yang berasosiasi dengannya termasuk ikan menggaru. Keberadaan bulu babi (Sea urchin) dapat dijadikan indikator baik atau tidaknya lingkungan perairan. Sama halnya dengan anggota Echinodermata lain, bulu babi adalah hewan yang melimpah pada kondisi dasar perairan yang kaya nutrisi. Kelimpahan tersebut terkait dengan keberadaan alga yang menjadi makanan utamanya (Collin & Arnesson 1995). Menurut Bo ld dan Wynne (1985), alga akan melimpah apabila terjadi pengkayaan nutrisi. Salah satu penyebab perairan menjadi subur/kaya nutrisi adalah pencemaran akibat buangan limbah organik dan anorganik dari aktivitas manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan bulu babi di zona pemukiman dan zona inti tidak banyak/mencolok. Kondisi ini menjadi indikasi bahwa perairan di kedua zona memang masih baik dan belum tercemar berat. Berdasarkan kategori Australian Institute of Marine Science (AIMS) untuk persentase tutupan hard coral, kondisi terumbu karang di zona pemukiman dan zona inti termasuk dalam kategori “Sedang”. Akan tetapi jika penilaian dilakukan pada setiap titik pengamatan, maka kondisi lebih baik ditemukan di zona inti dimana 1 titik tergolong “Baik” (sisi barat P. Kayu Angin Bira) dan 3 titik tergolong “Sedang”. Sementara pada titik pengamatan yang ada di zona pemukiman, ada 2 titik dengan kategori “Buruk” (P. Pramuka) dan 2 titik berkategori “Sedang” (P. Panggang). Kondisi terumbu karang di zona inti yang berada pada kategori “sedang” pada dasarnya cukup mengejutkan karena sesuai fungsinya, kondisi terumbu karang di zona ini seharusnya lebih baik dari zona- zona lain. Tingginya persentase patahan karang dan karang mati menguatkan dugaan bahwa daerah ini telah terekspos dan mengalami tekanan baik secara antropogenik (seperti aktivitas penangkapan ikan yang merusak, dampak lego jangkar perahu/kapal (anchoring) dan dampak aktivitas penyelaman yang tidak profesional) maupun secara alami
60 (seperti dampak ombak dan badai gelombang). Menurut Aktani (2003), banyaknya patahan karang mati diindikasi kuat akibat penggunaan bom di perairan Kepulauan Seribu sebelum tahun 1995. Jika tekanan tersebut berlanjut diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar. Oleh karena itu, pengawasan harus lebih ditingkatkan oleh semua pihak yang berwenang agar zona ini bisa berfungsi sesuai dengan tujuan penetapannya. Sementara itu, meningkatnya kondisi terumbu karang di zona pemukiman diduga karena adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya terumbu karang serta tingginya aktifitas manusia di zona ini yang secara tidak langsung menjadikan proses pengawasan terhadap kegiatan yang merusak terumbu karang dapat berjalan dengan baik (Beginer et al. 2008). Meskipun persentase tutupan karang mulai meningkat, namun tidak berbeda dengan di zona inti terlihat bahwa patahan karang dan dead coral alga banyak ditemukan. Banyaknya patahan karang antara lain disebabkan aktivitas-aktivitas masyarakat yang merusak seperti melepas jangkar maupun penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan tingginya persentase dead coral alga dapat diindikasikan akibat buangan limbah baik organik maupun anorganik. Agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan di zona ini, maka kegiatan yang merusak seperti telah dijelaskan di atas perlu segera ditanggulangi mengingat dampak yang ditimbulkannya akan merugikan masyarakat sendiri. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, karang berbentuk masif lebih banyak ditemukan di zona pemukiman sementara di zona inti karang bercabang yang lebih dominan. Kondisi tersebut dapat dianalisis akibat sedimentasi pada zona pemukiman sudah cukup tinggi dan sebaliknya di zona inti sedimentasinya rendah. Analisis ini mengacu pada Chappell (1980) yang menyatakan bahwa karang yang tumbuh di perairan dengan sedimentasi tinggi mengarah ke bentuk masif, sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasi rendah, karang lebih banyak ditemukan dalam bentuk bercabang atau tabulate. Walaupun perlu pembuktian lebih lanjut untuk masalah ini, namun kiranya dapat menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang berwenang. Umumnya bentuk pertumbuhan koloni karang beradaptasi pada faktorfaktor yang ada dilingkungan sekitarnya (James 1998). Empat faktor dominan
61 yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan, yaitu cahaya, tekana n hidrodinamis (gelombang dan arus), sedimen dan sub-aerial exposure. Terdapat kecenderungan bahwa pengaruh pertumbuhan karang terhadap ketersediaan cahaya adalah semakin banyak cahaya yang masuk, maka rasio permukaan karang dengan volume karang akan semakin turun sehingga kenaikan intensitas ini akan merubah dominasi kelompok karang dari bentuk tabulate ke bentuk masif atau bercabang, demikian juga sebaliknya (Chappell 1980). Kemudian terdapat kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis atau ene rgi pergerakan air laut, maka bentuk karang akan lebih mengarah ke bentuk masif atau encrusting. Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward zones) memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang sementara pada gelombang yang kuat (windward zones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk percabangan pendek, kuat, merayap atau submasif (Supriharyono 2000). Sementara itu, berdasarkan faktor subaerial exposure, diketahui bahwa semakin tinggi pengaruh subaerial exposure, maka semakin banyak jenis karang yang berbentuk globose dan encrusting (Chappel 1980). Genus karang yang persentase tutupannya cukup besar baik di zona pemukiman maupun zona inti adalah genus Acropora dan Montipora. Terkait dengan kondisi ini, dapat dijelaskan bahwa genus Acropora merupakan karang keras yang memiliki pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan jenis karang lainnya dan sering ditemukan di setiap lokasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Goreau (1959), diacu dalam Supriharyono (2000) dimana karang Acropora bercabang dan foliose umumnya lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan karang Porites atau yang berbentuk masif. Veron (2000) menyatakan bahwa karang jenis Acropora umumnya mendominasi pada daerah yang memiliki sirkulasi perairan yang baik. Namun, karang ini sangat rentan terhadap sedimentasi karena tidak memiliki kemampuan membersihkan diri (Done 1982). Sementara itu, genus Montipora diketahui memiliki ketahanan terhadap tekanan lingkungan seperti laju sedimentasi yang tinggi dan peningkatan suhu permukaan laut (Jordan et al. 1981). Karang ini biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan intensitas cahaya yang diperolehnya denga n bentuk koloni berupa lembaran. Hal- hal itulah yang diduga menyebabkan genus-
62 genus karang yang dijelaskan di atas cuk up mendominasi baik diperairan zona pemukiman maupun zona inti meskipun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan lingkungan di kedua perairan tersebut cukup tinggi. Uji beda nyata (significance test) untuk tutupan genus karang keras di lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tutupan genus Seriatopora di zona pemukiman dan zona inti dimana tutupan yang lebih tinggi ada di zona inti. Kondisi ini diduga ada kaitannya dengan kecerahan perairan di kedua zona. Sitepu (2008) dalam penelitiannya membuktikan bahwa genus Seriatopora kondisinya dipengaruhi oleh tingkat kecerahan perairan yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran parameter lingkungan, diperoleh hasil bahwa kecerahan perairan di zona inti memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan zona pemukiman. Kondisi Bio-Populasi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) Kelimpahan Ikan Secara statistik, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata kelimpahan ikan menggaru di zona pemukiman dan zona inti. Namun demikian, berdasarkan jumlah yang dijumpai saat pengamatan dapat dikatakan bahwa kelimpahan di zona inti relatif lebih tinggi bila dibandingkan zona pemukiman. Kondisi ini mungkin belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena beberapa sebab diantaranya saat pencacahan dilakukan, ikan berada dicelahcelah/ gua karang atau karena belum masuk periode aktif makan. Penjelasan lain yang dapat dikemukakan terkait kelimpahan yang lebih tinggi pada zona inti adalah karena persentase tutupan karangnya yang relatif lebih baik. Banyak peneliti mendapatkan bahwa tutupan karang hidup mempunyai pengaruh positif terhadap keanekaragaman spesies dan kelimpahan inidividu ikan karang (Carpenter et al. 1982; Chabanet et al. 1997). Demikian pula menurut Hutomo et al. (1988) yang mengatakan bahwa kondisi karang yang baik ditandai dengan persentase tutupan yang tinggi, berhubungan linier dengan kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Oleh karenanya, upaya- upaya untuk meningkatkan kondisi terumbu karang perlu terus dilakukan agar sumberdaya ikan karang termasuk ikan menggaru dapat berlimpah.
63 Distribusi Panjang, Berat dan Jenis Kelamin Kisaran ukuran ikan menggaru yang tertangkap di lokasi penelitian menunjukkan bahwa ukuran tersebut belum mencapai maksimal. Berdasarkan hasil penelitian Adrim (1991) di perairan karang pulau seribu diketahui bahwa ukuran panjang ikan menggaru dewasa mencapai 28.7 cm. Allen (1985) menyatakan bahwa Lutjanus decussatus bisa mencapai total panjang maksimal 35 cm. Sementara hasil penelitian lain menyebutkan bahwa panjang total Lutjanus decussatus bisa mencapai 30 cm (Randall et al. 1997), dan 31.5 cm (Andrade 2003). Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks karena banyak faktor yang mempengaruhinya seperti keturunan, jenis kelamin, makanan, suhu perairan, penyakit dan parasit serta umur ikan. Sementara itu, Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan terdapat hubungan antara panjang maksimum dan siklus hidup ikan (kedewasaan). Karena begitu banyak faktor terkait dengan pertumbuhan, maka untuk menganalisis penyebab belum maksimalnya ukuran panjang ikan menggaru di lokasi penelitian diperlukan kajian lebih lanjut. Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, diketahui bahwa ikan menggaru di zona pemukiman maupun zona inti lebih banyak berjenis kelamin jantan. Seandainya ada anggapan bahwa ikan jantan dan betina memijah dengan perbandingan 1 : 1 maka dapat dikatakan populasi ikan menggaru di lokasi penelitian belum ideal untuk berkembang lebih cepat. Pertambahan populasi akan ideal bila ikan betina jumlahnya melebihi jumlah ikan jantan (Karyaningsih et al. 1992). Melihat pada fakta tersebut, maka eksploitasi ikan menggaru harus dibatasi karena secara alami komposisi antara ikan jantan dan betina belum seimbang yang berakibat pertambahan populasi berjalan lambat. Apabila penangkapan dilakukan berlebih tentu akan semakin mengurangi populasi ikan ini. Ikan kakap marga Lutjanus tergolong diecious yaitu ikan terpisah antara jantan dan betinanya. Hampir tidak dijumpai seksual dimorfisme atau beda nyata antara jenis jantan dan betina baik dalam hal struktur tubuh maupun dalam hal warna. Pola reproduksinya gonokorisme, yaitu setelah terjadi diferensiasi jenis kelamin, maka jenis seksnya akan berlangsung selama hidupnya, jantan sebagai jantan dan betina sebagai betina. Jenis ikan ini rata-rata mencapai tingkat
64 pendewasaan pertama saat panjang tubuhnya telah mencapai 41-51% dari panjang tubuh total atau panjang tubuh maksimum. Hubungan Panjang-Berat Ikan menggaru yang tertangkap dari perairan zona pemuk iman memiliki nilai konstanta b < 3. Berdasarkan nilai b tersebut dapat diartikan bahwa pola pertumbuhannya allometrik atau pertumbuhan panjang lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan berat sehingga ikan kelihatan kurus dan tidak normal karena terlihat terlalu panjang. Sementara itu, ikan menggaru yang tertangkap dari perairan zona inti meskipun pola pertumbuhannya juga allometrik, namun pertumbuhan beratnya lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang sehingga ikan kelihatan gemuk dan tidak normal. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan nilai konstanta b dimana ikan tersebut memiliki nilai b > 3. Hasil uji signifikansi dari nilai b yang diperoleh menunjukkan bahwa panjang ikan berpengaruh nyata terhadap berat ikan. Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai beberapa kegunaan yaitu memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut (Smith 1996). Selain itu parameter yang digunakan untuk memprediksi hubunga n panjang berat suatu populasi ikan dapat dibandingkan dengan populasi ikan di badan air yang lain serta dapat dijadikan parameter pendugaan antara kelompok-kelompok ikan untuk mengidentifikasi keadaan suatu populasi suatu jenis ikan berdasarkan ruang dan waktu (Arteaga et al. 1997). Tidak diperolehnya hasil penelitian hubungan panjang berat ikan menggaru dari tempat lain menyebabkan sulitnya membuat perbandingan. Namun bila dibandingkan dengan ikan kakap dari marga Lutjanus lain, dapat diinformasikan bahwa Lutjanus sanguineus yang tertangkap dari perairan Laut Jawa, Kalimantan dan Sulawesi juga memiliki pola pertumbuhan allometrik dengan nilai b = 2.78 untuk ikan jantan dan b = 2.73 untuk ikan betina (Hadisubroto 1993). Hasil uji ragam (ANOVA) terhadap kelompok panjang dan berat ikan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara rata-rata berat ikan di zona pemukiman dan zona inti (sig.p= 0,013). Beberapa dugaan dapat menjelaskan penyebab ikan menggaru di zona inti lebih berat/gemuk bila dibandingkan ikan
65 menggaru dari zona pemukiman, diantaranya ketersediaan makanan yang cukup memadai atau ikan yang berada di perairan zona inti sudah banyak yang mencapai umur dewasa sehingga makanan digunakan untuk pemeliharaan tubuh (ikan menjadi gemuk). Menurut Effendie (1997), banyak faktor yang mempengaruhi variasi ukuran panjang dan berat seperti: jumlah makanan, kompetisi dalam mendapatkan makanan, oksigen terlarut, kualitas air, umur, ukuran ikan dan kematangan gonad. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Analisis terhadap TKG ikan menggaru di lokasi menunjukkan bahwa pada bulan Juni banyak ikan yang berada pada tingkatan I dan II. Berarti sebagian besar masih dalam tahap tidak matang dan sedang matang. Hanya 14.29% ikan yang tertangkap sudah masuk tahap siap pijah atau tingkatan IV. Mengacu pada data tersebut, dari segi pemanfaatan maka bulan Juni adalah waktu yang tepat untuk menangkap ikan menggaru dengan tetap mempertimbangkan prinsip kelestarian. Pelarangan penangkapan perlu dilakukan apabila ikan banyak yang memasuki masa pijah. Tujuannya agar induk ikan memiliki kesempatan untuk bereproduksi sehingga populasinya bisa meningkat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui pula bahwa waktu pemijahan ikan menggaru berbeda dengan ikan marga Lutjanus lainnya. Pada umumnya ikan kakap marga Lutjanus melakukan pemijahan pada sekitar bulan Maret hingga bulan Juni. Sedangkan ikan menggaru di lokasi baik zona pemukiman maupun zona inti pada bulan Juni banyak yang belum memasuki masa pijah (TKG IV). Hasil penelitian Senta et al. (1973) di Laut Cina Selatan menunjukkan bahwa persentase tingkat kematangan gonad IV ikan marga Lutjanus meningkat mulai bulan Maret ke April dan menurun pada bulan Juni. Hal tersebut didasarkan pada bulan April hingga bulan Juni persentase gabungan tingkat kematangan gonad III dan IV mencapai 60%, sehingga dapat diduga bahwa puncak pemijahan berlangsung pada bulan-bulan tersebut. Penelitian tersebut didukung pula oleh hasil penelitian larva ikan kakap merah di Laut Cina Selatan dimana larva Lutjanidae muncul pada bulan Juni hingga November dan puncaknya pada bulan Agustus. Hasil penelitian lain untuk masa pijah ikan kakap marga Lutjanus adalah sebagai berikut: Lutjanus argentimaculatus memasuki musim pijah pada bulan
66 April-Oktober, L.bohar (Oktober-Desember), L. kasmira (November-Maret), L. malabaricus (Oktober-Desember), dan L. johnii yang memijah pada bulan September (Andrade 2003). Jenis Makanan Salah satu faktor ekologis yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan adalah makanan. Setiap organisme membutuhkan energi untuk hidup, pertumbuhan, pemeliharaan dan untuk berkembang biak yang diperoleh melalui makanan. Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu: (1) Karnivora: Pemakan daging, yang biasanya mempunyai usus yang pendek, (2) Omnivora: Pemakan daging dan tumbuh-tumbuhan, memp unyai panjang usus yang sedang, dan (3) Herbivora: Pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang sangat panjang melingkar-lingkar di dalam rongga perut. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap frekuensi kejadian makanan ikan menggaru dari lokasi penelitian, diketahui bahwa persentase komposisi makanan terbesar berupa ikan (61.54%) dan udang (48.72%) sedangkan yang tidak teridentifikasi sebesar 5.13%. Berdasarkan persentase tersebut, sangat jelas bahwa ikan menggaru merupakan karnivor murni. Andrade (2003) yang melakukan penelitian makanan ikan kakap dari marga Lutjanus lain yaitu yellow fin snapper menemukan bahwa komposisi makanan yang utama dari ikan tersebut adalah ikan (53%), crustaceans (decapoda dan lainnya) sebesar (40%) serta zooplankton (5%). Sementara itu komposisi makanan Lutjanus jhonii yang ditangkap di Laut Andaman berupa ikan (42.3%), decapoda (28.85%) dan benthic lain (28.85%) (Allen 1985). Data di atas dapat dijadikan petunjuk bahwa ikan menggaru seperti ikan kakap marga Lutjanus lainnya, membutuhkan ketersediaan makanan berupa ikan-ikan kecil dan kelompok crustacea. Berkurangnya organisme tersebut tentu dapat berpengaruh terhadap populasi ikan menggaru. Keadaan komposisi dari makanan ikan akan membantu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya. Besarnya populasi ikan di suatu perairan merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya, sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-organisme makanannya adalah penting untuk ramalan serta eksploitasi
67 dari keberadaan populasi ikan (Roa 1974). Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Menggaru Kelimpahan ikan menggaru yang cenderung lebih tinggi di zona inti yang di dominasi life form karang branching dimungkinkan terkait dengan struktur karang dan ketersediaan makanan. Berdasarkan strukturnya, karang dengan life form branching memiliki celah-celah yang dapat me njadi tempat berlindung bagi ikan dan bentik fauna lain seperti crustacea. Pratasik (1993) menyatakan bahwa tempat berlindung merupakan suatu kebutuhan utama rekruitmen untuk kelangsungan hidup kebanyakan spesies termasuk spesies udang, sementara Caddy (1986) menyatakan bahwa habitat yang menyediakan tempat berlindung seringkali merupakan prasyarat yang perlu untuk rekruitmen organisme bentik. Artinya, pada karang yang memiliki celah-celah untuk berlindung, dimungkinkan akan lebih banyak biota yang berasosiasi dan hidup didalamnya. Hal tersebut akan berhubungan dengan ketersediaan makanan dimana celahcelah pada karang branching merupakan habitat yang potensial bagi ikan menggaru untuk mencari makanan. Berdasarkan hasil penelitian telah diketahui bahwa menggaru merupakan ikan karnivor yang komposisi makanan utamanya ikan-ikan kecil dan crustacea. Oleh sebab itu, dapat dipahami mengapa ikan menggaru cenderung lebih melimpah pada daerah terumbu karang yang didominasi oleh life form karang tersebut. Kondisi ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Choat dan Bellwood (1991) bahwa antara ikan karang dan terumbu karang terdapat interaksi yang terkait dengan makanan. Apabila kelimpahan ikan menggaru dihubungkan dengan tutupan genus karang di masing- masing zona, maka kelimpahan ikan menggaru yang dijumpai di zona inti relatif lebih banyak dibandingkan dengan di zona pemukiman karena pengaruh karang genus Seriatopora. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji ragam (ANOVA) dimana tidak terdapat beda nyata antara rata-rata tutupan genus karang kecuali genus Seriatora. Dimungkinkan bahwa ikan menggaru cenderung lebih menyukai daerah terumbu karang yang cukup banyak tutupan karang Seriatopora nya karena pada umumnya, karang ini membentuk koloni dengan bentuk pertumbuhan bercabang halus (branching). Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan yang terjadi masih ada kaitannya dengan bentuk pertumbuhan karang.
68 Keberadaan ikan karang pada satu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1981). Hal ini ditunjang oleh Sutton (1983) yang membuktikan adanya korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikan- ikannya sehingga pengamatan ikan karang senantiasa dilakukan bersamaan dengan pendataan life form karang. Strategi Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Menggaru Pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan pada prinsipnya adalah perpaduan antara pengelolaan sumberdaya dan pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dalam jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang sebagaimana tercantum dalam code of conduct for responsible fisheries (FAO 1995). Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih tetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan non-alami. Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan dari ekosistemnya sendiri, seperti ketersediaan makanan, predator, persaingan memperoleh makanan, laju pertumbuhan alami, persaingan ruang dan sebagainya. Sedangkan faktor pembatas non-alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti eksploitasi, pengrusakan habitat dan pencemaran (Dahuri et al. 1996).
Dengan demikian dalam pengelolaan terumbu karang dan sumberdaya ikan ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan diantaranya: (1) Melestarikan, melindungi, mengembangkan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau kualitas terumbu karang dan sumberdaya yang terkandung didalamnya bagi kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta memikirkan generasi mendatang, (2) Mendorong dan membantu pemerintah daerah untuk menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakat setempat serta memenuhi standar yang ditetapkan secara nasional berdasarkan pertimbangan-pertimbangan daerah yang menjaga antara upaya eksploitasi dan upaya pelestarian lingkungan, dan (3) Mendorong kesadaran, partisipasi dan kerjasama dari masyarakat, pemerintah daerah, antar daerah dan antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan terumbu karang.
69 Berdasarkan hasil analisis berbagai komponen baik kondisi kondisi terumbu karang maupun sumberdaya ikan menggaru di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKPs), dijumpai berbagai permasalahan sebagai berikut : 1. Pencemaran perairan berupa buangan limbah organik dan non organik masih terjadi di zona pemukiman. 2. Sistem zonasi belum berfungsi dengan baik. Kondis i terumbu karang dan kelimpahan ikan di zona inti relatif tidak lebih baik dibandingkan dengan kondisi terumbu karang dan kelimpahan ikan di zona pemukiman. 3. Masih terdapatnya aktivitas illegal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang baik di zona pemukiman maupun zona inti akibat fungsi pengawasan belum berjalan dengan baik. Berdasarkan informasi nelayan setempat, masih ada aktivitas penangkapan di zona inti. 4. Penangkapan ikan yang dilakukan belum mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dalam kaitannya dengan permasalahan-permasalahan di atas, dapat dirumuskan berbagai alternatif sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi pengelolaan terumbu karang dan ikan menggaru di zona pemukiman dan zona inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKPs) sebagai berikut: 1. Menjaga kondisi lingkungan perairan di zona pemukiman. Meskipun kondisi perairan di zona pemukiman secara fisik masih dalam kondisi baik, namun beberapa parameter kimia perairan yang diteliti menunjukkan kondisi sebaliknya. Hal ini dapat diindikasikan dari kandungan ammonia, nitrat maupun fosfat di zona pemukiman yang cukup tinggi dan telah melewati ambang batas yang dianjurkan. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang sehingga mengancam keberadaan ikan menggaru yang berasosiasi didalamnya. Upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyakarat yang bermukim agar tidak mencemari lingkungan perairan. Pencemaran dapat mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu. Kegiatan penduduk yang merusak seperti membuang limbah baik organik maupun anorganik harus segera diatasi oleh pihak yang berwenang. Dapat dicontohkan
70 disini antara la in dengan membuat tempat-tempat penampungan limbah/sampah agar penduduk tidak langsung membuang ke laut. Berbagai peraturan dalam kaitannya untuk menjaga kondisi lingkungan perairan di zona pemukiman juga perlu diterapkan diantaranya larangan membuang alat tangkap (jaring bekas atau potongan-potongan jaring) atau benda lain (bahan bakar bekas pakai, seperti oli, bensin, dan bahan kimia lainnya). Menurunnya kualitas perairan pasti akan berakibat pada menurunnya kondisi terumbu karang dan pada akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri. 2. Mempercepat peningkatan persentase tutupan karang di zona pemukiman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persentase tutupan karang keras, kondisi terumbu karang di zona pemukiman berada dalam kategori sedang. Kondisi ini memang relatif meningkat dibandingkan kondisi sebelumnya yang masuk dalam kategori buruk. Untuk mempercepat peningkatan kondisi tutupan karang di zona pemukiman, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemasangan terumbu buatan atau transplantasi karang. Berdasarkan hasil analisis hubungan kelimpahan ikan menggaru dan life form karang, diperoleh fakta bahwa ikan menggaru relatif lebih banyak dijumpai pada daerah yang didominasi oleh life form karang branching. Oleh karena itu, upaya transplantasi yang dilakukan perlu ditekankan pada jenis life form karang tersebut agar populasi ikan menggaru dapat meningkat. Selain dengan melakukan transplantasi dan pemasangan terumbu buatan, upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat. Adanya peningkatan kesadaran masyarakat di zona pemukiman diduga telah berperan atas meningkatnya kondisi terumbu karang di zona ini. Oleh karenanya, keadaan tersebut perlu dijaga antara lain melalui program sosialisasi secara terus menerus dan berkesinambungan. Berbagai kegiatan seperti pembuatan dan penyebaran poster, brosur dan booklet tentang pentingnya melindungi ekosistem terumbu karang, secara tidak langsung dapat mempercepat peningkatan persentase tutupan karang. Kondisi tutupan karang yang baik diyakini akan membantu meningkatkan populasi dan kelestarian ikan menggaru. 3. Pengawasan yang lebih intensif dan penegakan hukum di zona inti. Hasil ya n g diperoleh dari penelitian ini telah menunjukkan bahwa persentase
71 tutupan karang di zona inti tidak berbeda nyata dengan persentase tutupan karang di zona pemukiman. Berdasarkan tujuan penetapan kawasan, zona ini merupakan kawasan yang mutlak dilindungi akan tetapi kondisinya tidak lebih baik. Banyaknya patahan karang baik yang sudah ditutupi alga maupun yang masih baru mengindikasikan bahwa perairan zona inti masih terekspos dan mengalami tekanan secara antropogenik seperti aktivitas penangkapan ikan yang merusak. Hal ini dimungkinkan karena fungsi pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang belum berjalan dengan baik. Upaya pemulihan ekosistem terumbu karang melalui pemasangan terumbu buatan maupun transplantasi sebaiknya tidak dilakukan di zona inti. Berdasarkan fungsinya, pemulihan ekosistem di zona inti harus dilakukan secara alami agar tidak merusak keanekaragaman yang telah ada. Oleh karena itu, didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh manusia kecuali kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pendidikan. Dengan demikian, cara yang paling efektif untuk meningkatkan kondisi terumbu karang dan dalam rangka menjaga kelestarian ikan menggaru di zona inti adalah dengan pengawasan yang lebih intensif. Kegiatan yang perlu dilakukan antara lain: meningkatkan intensitas patroli di zona inti, melibatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengawasan, dan penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran. 4. Pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap. Upaya ini pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan agar anak ikan dapat tumbuh lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian diketahui banyak ikan menggaru masih dalam ukuran kecil < 10 cm (ukuran maksimal bisa mencapai 35 cm). Salah satu faktor yang menentukan agar populasi dapat bertambah adalah keberhasilan ikan mencapai ukuran tertentu untuk kemudian bereproduksi. Oleh karena itu, perlu ditetapkan pelarangan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil dengan cara memperbesar ukuran mata jaring sehingga hanya ikan ukuran besar yang tertangkap (alat tangkap yang selektif).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Secara umum kondisi perairan di zona pemukiman dan zona inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
masih cukup
mendukung
untuk
pertumbuhan dan perkembangan karang sebagai habitat bagi ikan menggaru (Lutjanus decussatus). 2. Tutupan karang keras baik di zona pemukiman maupun zona inti Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori sedang. Patahan karang (rubble) dan tutupan karang mati banyak ditemukan baik di zona pemukiman maupun zona inti. Life form karang masif dominan di zona pemukiman sedangkan di zona inti life form karang bercabang lebih dominan. Persentase tutupan genus baik pada zona pemukiman maupun zona inti didominasi oleh genus Acropora dan Montipora. 3. Hasil kajian bio-populasi ki an menggaru (Lutjanus decussatus) di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut : - Kelimpahan di zona inti relatif lebih banyak dibandingkan dengan di zona pemukiman namun secara statistik tidak berbeda nyata. - Terdapat variasi ukuran panjang ikan di zona pemukiman dengan zona inti. - Perbandingan komposisi jenis kelamin ikan belum ideal. Ikan berjenis kelamin jantan lebih banyak dibandingkan betina. - Bentuk pertumbuhan ikan baik di zona pemukiman maupun di zona inti adalah allometrik. - Pada bulan Juni, ikan menggaru (Lutjanus decussatus) di lokasi penelitian belum masuk waktu pemijahan yang ditunjukkan dari cukup banyaknya ikan yang berada pada tingkat kematangan gonad I dan II. - Komposisi makanan utamanya berupa ikan dan crustacea (udang). 4. Ikan menggaru (Lutjanus decussatus) lebih banyak dijumpai pada terumbu karang yang didominasi bentuk pertumbuhan bercabang/branching. 5. Alternatif strategi untuk pengelolaan terumbu karang dan ikan menggaru (Lutjanus decussatus) adalah sebagai berikut : a) Menjaga kondisi lingkungan perairan di zona pemukiman.
73 b) Mempercepat peningkatan persentase tutupan karang di zona pemukiman. c) Pengawasan yang lebih intensif dan penegakan hukum di zona inti. d) Pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap. Saran 1. Memperhatikan pengaruh parameter kondisi perairan laut yang lebih detail dan kontinyu mengingat beberapa parameter terkait langsung dengan kondisi terumbu karang. 2. Mengkaji beberapa aspek biologi ikan menggaru lainnya secara khusus seperti: reproduksi, ketersediaan makanan, waktu pemijahan, lokasi pemijahan dan tingkat tropik.
DAFTAR PUSTAKA Adrim M. 1991. Ikan kakap marga Lutjanus sebagai potensi sumberdaya perairan karang Pulau-Pulau Seribu. Di dalam: Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X; Bogor, 24 -26 September 1991. Adrim M. 1993. Komunitas Ikan di Ekosistem Terumbu Karang. Di dalam: Modul Pelatihan Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: P3O-LIPI. Aktani U. 1990. Model hubungan antara kondisi terumbu karang dengan ikan karang di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aktani U. 2003. Fish communities as related to substrate characteristics in the coral Reefs of Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia: five years after stopping blast fishing practices [dissertation]. Bremen: Bremen University. Allen GR. 1985. Snappers of the World. Vol ke-6, an annotated and illustrated catalogue of Lutjanid species known to date. Roma: FAO species catalogue. Allen GR, Talbot FH. 1985. Review of the snappers of the genus Lutjanus (Pisces Lutjanidae) from the Indo Pacific with the description of new species Indo Pacific fishes. USA: Bernice Pauahi Bishop Museum Honolulu II. Allen G, Steene RC. 1987. Reef Fishes of the Indian Ocean. Book 10, Pacific Marine Fishes. New Jersey: T.F.H. Publications, Neptune City. Andrade FM. 2003. A comparison of life histories and ecological aspects among snappers (Pisces: Lutjanidae) [dissertation]. Lousiana: Graduate Faculty, Louisiana State University. Arimoto T, Choi SJ, Choi YG. 1999. Trends and perspectives for fishing techno logy research towards the sustainable development. Di dalam: Proceeding of 5th International Symposium on Efficient Application and Preservation of Marine Biological Resources; OSU National University. hlm 135-144. Arteaga JP, Garcia R, Carlo S, Valle. 1997. Lenght-Weight Relationships of Cuban Marine Fishes, NAGA. Volume ke-2. Philipines: ICLARM. hlm 38-43. Barnes RD. 1980. Invertebrate Zoology. Ed ke-4. Tokyo: Holt Saunders International Editions. Barnes RD. 1987. Invertebrate Zoology. Ed ke-5. Fort Worth, TX: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers. Barnes RSK, Hughes. 1990. An Introduction to Marine Biology. London: Blackweel Scientific Publisher. Beginer S, Dondy A, Giri A, Mursalin, Hawis M. 2008. Kajian tutupan substrat dasar di daerah terumbu karang di Pulau Karang Beras, Pulau Air, Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Di dalam:
75 Seminar Nasional Hasil Riset Perikanan; Malang, 8 Nopember 2008. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Bell JD, Galzin R. 1984. Influence of life coral cover on coral reef- fish communities. Marine Ecol Progress 15:265-274. Bell P. 1992. Eutrophication and coral reefs: some examples in the Great Barrier Reef Lagoon. Water Research 26:553-568. Berwick NL. 1983. Guidelines for the analysis of biophysical impact to tropical coastal marine resources. The Bombay Natural History Society Centenary Seminar: Conservation in Developing Countries: Problem and Prospects. The Bombay Natural Society. 122 hlm. Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to the Algae: Structure and Reproduction. Ed ke-2. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Burgess WE, Axelrod HR. 1972. Pacific Marine Fishes. Hongkong: T.F.H. Publication, Inc. Ltd. Burke L, Selig E, Spalding, editor. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. English: World Recources Institute, United Nations Environment Program-World Conservation Monitoring Centre, World Fish Centre, and International Coral Reef Action Network. 40 hlm. Caddy JF. 1986. Modelling stock recruitment processes in crustacea: some practical and theoretical perspectives. Can J Fish Sci 43:2330-2344. Carpenter KE, Miclat RI, Albaladejo VD, Corpuz VT. 1982. The influence of substrate structure on the local abundance and diversity of Philippine reef fishes. hlm 497-502. Di dalam: Gomez ED, Birkeland CE, Buddemeier RW, Johannes RE, Marsh JA Jr, Tsuda RT, editor. Proceedings of the 4th International Coral Reef Symposium Vol 2. Manila, Philippines: Marine Science Center, University of the Philippines. Cesar H, Lundin CG, Bettencourt S, Dixon J. 1997. Indonesian coral reefs – an economic analysis of a precious but threatened resource. Ambio 26:345-350. Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997. Relationships between Coral Reef Substrata and Fish. Coral Reefs 16:93–102. Chappell J. 1980. Coral morphology, diversity and reef growth. Nature 286:249252. Choat JH, Belwood DR. 1991. Reef Fish: their history and evolution. Di dalam: Sale PF, editor. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. San Diego, California: Academic Press, Inc. hlm 39-95. Collin PL, Arnesson C. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. California: Coral Reef Press. Connell JH. 1978. Diversity in tropical rain forests and coral reefs. Science 199:1302-1310. Dahl AL. 1981. Coral Reef Monitoring Handbook. New Caledonia: South Pacific Commission Noumea.
76 Dahuri R, Jacub R, Sapta PG, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R. 1999. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang Indonesia. Makalah Lokakarya Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang; Jakarta, 22-23 Nopember 1999. Jakarta: LIPI. Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: LISPI. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2005. Rencana Strategis Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Tahun 2005-2009. Jakarta. Diaz PG, McCook L. 2008. Macroalgae (seaweeds) in China (ed) the state of the Great Barrier Reef on- line. Townsville, Australia: Great Barrier Reef Marine Park Authority. 47 hlm. Ditlev H. 1980. A Field Guide to the Reef Building Coral of the Indo-Pacific. Roterdam: DR.W.Bakhuys Publisher. 291 hlm. Djohani R. 1997. Abatement of Destructing Fishing Practices in Indonesia; Who Will Pay ? Hatziolos ME, Hooten AJ, Fodor M, editor. Di dalam ”Coral Reefs: Challenges and Opportunities for Sustainable Management”. hlm 25-29. Djamali A, Hutomo M, Burhanuddin, Martosewojo S. 1986. Sumberdaya Ikan Kakap (Lates calcalifer) dan Bambangan (Lutjanus sp.) di Indonesia. Jakarta: LIPI. Done TJ. 1982. Patterns in the distribution of coral communities across the central Great Barrier Reef. Coral Reefs 1:95-107. English S, Wilkinson CR, Baker VJ. 1994. Survey manual for tropical marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resource. Townsville, Australia: Australian Institute of Marine Science. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Effendie MI. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Department (online). Accessed 9 Juli 2002. 24 hlm. Fogg GE. 1971. Algal Cultures and Phytoplankton Ecology. London: The University of Wisconsin Press, Ltd. Fujaya Y. 1999. Fisiologi Ikan. Makassar: Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition. Di dalam: Kenchington RA, Brydget ET, Hudson, editor. Coral Reef Management Hand Book. Jakarta: Unesco Regional Office for South East Asia.
77 Gratwicke B, Speight MR. 2005. The relationship between fish species richness, abundance and habitat complexity in a range of shallow tropical marine habitats. J of Fish Biol 66:650-667. Gunarso W. 1995. Komoditi Ekspor Kakap Merah di Indonesia. Diktat (Unpublished). Bogor: FPIK, Institut Pertanian Bogor. Hadisubroto I. 1993. Relasi panjang berat, tingkat kematangan dan hasil per rekruit (Y/R) ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus). Jurnal Penelitian Perikanan Laut 81:21-28. Hutagalung HP, Rozak A. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: LIPI. Hutomo M, Suharsono, Martosewojo S. 1988. Ikan Hias Indonesia dan Kelestarian Terumbu Karang. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI. Hutomo M. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI. James EM. 1998. Marine Ecosystems. Di dalam: Juvik et al., editor. Atlas of Hawaii. Honolulu: University of Hawaii Press. Johanes W, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Jones GP, Mark IM, Maya S, Jannele VE. 2004. Coral decline threatens fish biodiversity in marine reserves. Proceedings of National Academy of Sciences org the United States of America 101:8251-8253. Jordan M, Merino M, Moreno O, Martin E. 1981. Community Structure of Coral Reefs in the Mexican Caribbean. Proceeding 4th International Coral Reef Symposium 2. hlm 303–308. Kailola PJ et al. 1993. Australian Fisheries Resources. Canberra: Bureau of Resources Sciences and Development Coorporation. 217 hlm. Karyaningsih S, Djamal R, Junus S. 1992. Studi beberapa aspek parameter biologi ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus). Jurnal Penelitian Perikanan Laut 68:83-90. Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral point count with excell extensions (CPCe): a visual basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Computer & Geoscience :1259-1269. Kuiter RH. 1992. Tropical Reef Fishes of Western Pacific: Indonesia and Adjacent Waters. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kvalvagnaes K. 1980. Ornamental Fish Trade in Indonesia. Field Report UNDP/FAO National Park Development Project INS/78/061:31. Labrosse P. 2002. Underwater Visual Fish Census Surveys: Proper use and implementation by Pierre Labrosse, Michel Kulbicki and Jocelyne Ferraris. ISBN 982-203-878-X. Noumea, New Caledonia: Secretariate of the Pacific Community.
78 Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DRM. 1977. Ichthyology the Study Fishes. New York: John Wiley and Sons. 545 hlm. Lalli CM, Parsons TR. 1995. Biological Oceanography: An Introduction. Oxford, UK: Butterworth-Heinemann Ltd. hlm 220-233. Lieske E, Myers R. 1994. Reef Fishes of the World. Singapore: Periplus Edition. Longhurst AR, Pauly D. 1987. Ecology of Tropical Oceans. ICLARM Contribution No. 389. Academic Press, Inc. Loya Y. 1978. Plotless and Transect Methods. Di dalam: Stoddart DR, Johannes RE, editor. Monographs on Oceanic Methodology. Coral Reefs: Research Methods. UNESCO Press 5:197-218. Luckhurst BE, Luckhurst K. 1978. Analysis of the influence of substrate variable on coral reef fish communities. Mar Biol 49:317-323. Masuda H, Amaoka K, Araga C, Uyeno T, Yohino T. 1984. The Fishes of the Japanese Archipelago (Text and Plate). Japan: Tokai University Press. Text 437 hlm, Plate 370 hlm. McClanahan TR. 1994. Coral-eating Snail Drupella Cornus population increase in Kenyan coral reef lagoons. Mar Ecol Prog Ser 115:131-137. McNeely RN, Nelmanis VP, Dwyer L. 1979. Water Quality Source Book, A Guide to Water Quality Parameter. Ottawa, Canada: Inland Waters Directorate, Water Quality Branch. 89 hlm. McWilliams D, Hatcher AT. 1983. Structure of fish communities on outer slopes of inshore, mid-self and outer shelf reefs of the Great Barrier Reef. Mar Ecol Prog Ser 10:23. Mihardja DK, Pranowo WS. 2001. Kondisi Perairan Kepulauan Seribu. Laporan Pelengkap Penyusunan RT/RW Pemekaran Kecamatan Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten. Bandung: Pusat Penelitian Kepariwisataan dan Pusat Penelitian Kelautan ITB. 35 hal. Moore JW. 1991. Inorganic Contaminants of Surface Water. New York: Springer-Verlag. 334 hlm. Mous PJ et al. 2000. Marine Market Transformation of the Live Reef Fish Food Trade in Southeast Asia. Di dalam: Cesar HSJ, editor. Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. Kalmar, Sweden: CORDIO, Kalmar University. Moyle PB, Cech JR. 1988. Fishes an Introduction to Ichthyology. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Chiffs 07632. Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic Press. 352 hlm. Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. 372 hlm. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo, dan Sukris tiono, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia, Jakarta. Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Ed ke-3. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology.
79 Pauly D. 1979. Theory and Management of Tropical Multispesies Stocks: A Review with Emphasis on the Southeast Asian Demersal Fisheries. ICLARM Stud. Rev. 1. 35 hlm . Perkins EJ. 1974. The Biological of Estuaries and Coastal Waters. Department of Biology, University of Strathclyde, Scotland. London: Academic Press, Inc. Pratasik SB. 1993. Habitat use and seasonal changes in the relative abundance of the red rock crab, Cancer productus in Indian arm [thesis]. Canada: Simon Fraser, Burnaby University. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 1991. Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia. Jilid I. Jakarta. Randall JE, Allen GR, Steene RC. 1997. Fishes of the Great Barrier Reef and coral sea. Bathurst: University of Hawaii Press. Roa KS. 1974. Food feeding habits of fishes from trawl catches in the Bay of Bengal with observatio n on diurnal variation in the nature of the feed. Indian J Fish 11:277-314. Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM, Franke MA. 1994. Coral reef monitoring manual for the Caribbean and Western Atlantic. St. John: Virgin Islands National Park, USVI 00830. Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Penerbit Djambatan. 540 hlm. Rowan R, Powers A. 1991. A molecular genetic classification of zooxanthellae and the evolution of animal-algal symbioses. Science 251:1348-1351. Saanin H. 1968. Kunci untuk Determinasi Ikan. Jilid II. Balai Penyelidikan Perikanan Darat. No. 4. Sale PF. 1991. Introduction. In: PF Sale (Ed) The Ecology of Fishes on Coral Reefs. San Diego, California: Academic Press inc. hlm 1-15. Sale PF. 2002. Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex Ecosystem. ISBN: 0-12-615185-7. San Diego, California: Academic Press inc. Salim E. 1986. Baku Mutu Lingkungan. Jakarta: KLH. Salm RV, Clark JR. 1989. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. Gland, Switzerland: IUCN. 302 hlm. Sano M, Shimizu M, Nose Y. 1987. Long term effect of destruction of hermatypic corals by Acanthaster plancii infestation on reef fish communities at Iriomote Islands, Japan. Mar Ecol Prog Ser 37:191-199. Senta T, Tan SM, Lim PY. 1973. Results of the experimental trawl fishing in the South China sea. by R/V Changi in the years 1970 to 1972. SEAFDEC/SCS 73:S-10. Sitepu PA. 2008. Kajian kesesuaian pemanfaatan kawasan terumbu karang di zona pemanfaatan wisata Taman Nasional Kepulauan Seribu [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
80 Smith K. 1996. Length/Weight relationships of fishes in a diverse tropical freshwater community. Sabah, Malaysia. J of Fish Biol 49:731-734. Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. Ecological Studies 102. Berlin: SpringerVerlag. 465 hlm. Suharsono. 1998. Distribusi, metodologi dan status terumbu karang di Indonesia. Makalah pada Konferensi Nasional I: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Indonesia; Bogor, 19-20 Maret 1998. Suharsono. 1999. Kejadian bleaching dan kematian karang secara massal tahun 1998 di Indonesia. Prosiding Seminar Ilmu Kelautan dan Perikanan ke 9. Jakarta: LIPI. Suharsono. 2003. Laporan Kegiatan Coremap 2003. Jakarta: P2O-LIPI. Suharti SR. 2005. Ekologi Ikan karang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sukarno M, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P. 1981. Terumbu Karang di Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Sudi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya Ikan. Jakarta: LONLIPI. Sullivan K, De Silva L, White AT, Wijeratne M. 1995. Environmental Guidelines for Coastal Tourism Development in Srilanka. Colombo, Srilanka: Coastal Resources Management Project and Coast Conservation Department. 78 hlm. Sumich JL. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Ed ke-5. Dubuque: WmC Brown. Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sutton M. 1983. Relationships between Reef Fishes and Coral Reefs. Di dalam: Barnes DJ, editor. Perspectives on Coral Reefs. Australia: Australian Institute of Marine Sciences. hlm 248 – 255. TERANGI. 2004. Pengenalan Ikan Karang Secara Visual. Jakarta: The Indonesian Coral Reef Foundation. TERANGI. 2005. Buku Panduan Pelestarian Terumbu Karang. Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta: The Indonesian Coral Reef Foundation. TERANGI. 2007. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Jakarta: Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). Tomascik T. 1993. Coral Reef Ecosystems: Environment Mangement Guidelines. EMDI Environmental Report No. 35. Halifax, Canada: Dalhousie University. Van Woesik, R. 2002. Processes regulating coral communities. Comments on Theoretical Biology 7: 201–214. Veron JEN. 1986. Coral of Australia and the Pacific. Honolulu: University of Hawaii Press.
81 Veron, JEN. 1995. Corals in Space and Time. Sidney, Australia: UNSW Press. Veron, JEN. 2000. Corals of the World. Vol 3. Australia: Australian Institute of Marine Sciences and CRR Qld Pty Ltd. Warwick RM, Clarke KR. 2001. Change in Marine Communities: An Approach to Statistical Analysis and Interpretation, Ed ke-2. Plymouth: PRIMERE. White AT. 1987. Coral Reefs Valuable Resources of South East Asia. Manila, Phillipina: ICLARM Education Series I, International Center for Living Aquatic Resources Management. White AT, Hale LZ, Renard, Cortesi. 1994. Collaborative and Community Based Management of Coral Reefs: Lesson from Experience. Oakwood, West Harvard: Kumarian Press Inc, 630. Williams ID, Pollunin NVC. 2001. Large-scale association between macroalgal cover and grazer biomass on mid-depth reefs in the Caribbean. Coral Reefs 19: 358-366. Wood EM. 1977. Ecological study of coral reefs in Sabah. London: World Wildlife Fund, Project Malaysia.
82
Lampiran 1 Distribusi parameter fisik dan kimia perairan di lokasi penelitian Parameter Fisik Perairan Zona/TP
Zona Pemukiman
Zona Inti
Suhu (° C)
Salinitas (‰)
Kec. Arus (cm/detik)
Kekeruhan (NTU)
Kecerahan (m)
1
31
32
0,02
0,65
5
2
28
30
0,08
0,80
5
3
29
32
0,08
0,45
6
4
29
32
0,05
0,50
6
5
28
32
0,03
0,40
7
6
28
31
0,05
0,55
6
7
28
31
0,07
0,37
7
8
30
32
0,06
0,37
7
Ket: TP = titik pengamatan
Parameter Kimia Perairan Zona/TP Zona Pemukiman
Zona Inti
pH
PO4-P (mg/l)
NO3-N (mg/l)
NO2-N (mg/l)
NH3-N (mg/l)
1
8,2
0,03
0,06
0,008
0,19
2
8,2
0,03
0,06
0,008
0,19
3
8,1
0,04
0,09
< 0,002
0,14
4
8,1
0,02
0,05
< 0,002
0,21
5
8,1
0,01
0,08
< 0,002
0,10
6
8,1
0,02
0,04
< 0,002
0,07
7
8,1
0,02
0,09
< 0,002
0,10
8
8,1
0,03
0,04
< 0,002
0,04
Ket: TP = titik pengamatan
83
Lampiran 2 Distribusi persentase tutupan ge nus karang di lokasi penelitian Zona Permukiman No.
Zona Inti
Genus 1
2
3
4
5
6
7
8
1.
Acropora
12.59
10.82
30.84
10.20
8.27
28.12
19.59
12.58
2.
Agaricia
-
-
-
-
-
3.17
-
-
3.
Alveopora
-
-
-
-
0.20
-
-
-
4.
Anacropora
0.09
-
1.82
-
-
-
-
-
5.
Astreopora
0.26
-
-
-
-
-
-
-
6.
Coeloseris
0.26
1.57
0.47
-
0.26
0.57
0.35
0.20
7.
Colpophyllia
-
-
-
-
-
0.15
-
-
8.
Diploria
0.60
-
0.05
-
-
-
-
-
9.
Favia
-
1.08
-
0.38
0.17
0.91
0.33
0.82
10.
Fungia
-
0.05
2.16
-
2.17
1.24
6.27
1.17
11.
Goniopora
0.63
1.00
0.65
5.14
-
-
0.10
-
12.
Heliofungia
-
-
-
-
-
-
0.31
-
13.
Horastrea
1.28
-
0.06
-
-
-
-
-
14.
Montastrea
-
5.76
-
0.76
-
4.12
0.76
1.70
15.
Montipora
6.69
6,54
1.76
22.00
2.46
13.83
4.06
5.89
16.
Pavona
-
0.31
-
-
0.05
0.16
-
-
17.
Plerogyra
-
-
-
-
0.05
-
-
-
18.
Porites
-
0.06
1.99
-
7.94
5.35
2.59
1.27
19.
Seriatopora
-
0.10
1.11
0.73
2.80
3.22
2.15
1.14
20.
Stylarea
0.09
-
-
-
-
-
-
-
21.
Symphyllia
0.61
-
-
-
-
-
-
-
22.
Turbinaria
-
0.31
5.27
3.39
2.46
5.47
2.12
0.72
23.10
27.59
46.15
42.60
26.83
66.30
38.63
25.48
Jumlah
84
Lampiran 3 Distribusi persentase tutupan life form karang keras di lokasi penelitian Life form Karang (%)
Zona/TP Zona Pemukiman
Branching
Massive
Tabulate
Mushroom
Encrusting
1
2,34
15,05
5,53
-
0,18
-
2
5,57
16,02
1,49
0,05
4,14
4,39
3
33,76
2,58
-
2,16
0,67
0,31
4
0,73
29,75
8,73
-
-
1,06
10,60
15,85
3,94
0,55
1,25
2,67
5
11,16
2,52
0,11
2,17
0,47
10,40
6
29,01
20,73
0,66
1,24
3,84
10,82
7
20,97
5,29
-
6,27
1,39
4,71
8
13,72
5,42
-
1,17
3,19
1,99
18,72
8,49
0,19
2,71
2,22
6,98
Rerata
Zona Inti
Rerata
Ket : TP = titik pengamatan
Foliose
85
Lampiran 4 Sampel ikan menggaru yang tertangkap di perairan zona pemukiman No.
Panjang (cm)
Berat (gr)
Jenis Kelamin
TKG
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
22,0 20,2 13,8 15,3 15,4 15,6 21,4 23,4 22,1 23,0 22,1 20,4 27,8 14,6 15,9 14,9 15,3 21,9 15,7 15,4 15,6
68,18 81,53 25,24 34,81 34,77 43,67 94,91 117,7 106,23 121,94 116,03 89,53 227,24 31,18 39,42 31,71 35,87 110,78 36,47 41,04 41,06
Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Betina Betina Jantan Jantan Betina Betina Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Betina Jantan Betina Jantan Jantan
I II I I II I III II I II IV III IV I IV II III I III II I
86
Lampiran 5 Sampel ikan menggaru yang tertangkap di perairan zona inti No.
Panjang (cm)
Berat (gr)
Jenis Kelamin
TKG
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
14,7 15,6 13,0 14,2 15,3 15,9 15,4 20,9 15,7 16,2 27,8 21,6 21,5 22,2 27,7 19,8 24,3 23,4 24,7 27,4
32,47 42,92 24,32 29,21 36,4 44,43 42,72 99,2 43,27 45,12 427 188,89 165,52 165,19 338,03 155,14 284,56 228,32 267,07 353,25
Betina Betina Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Betina Betina Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Betina
I III II IV I II I III I II III IV II III IV III II I III IV
87
Lampiran 6 Perhitungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona pemukiman No.
L
W
log L
log W
log L x Log W
(log L)2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
22 20,2 13,8 15,3 15,4 15,6 21,4 23,4 22,1 23 22,1 20,4 27,8 14,6 15,9 14,9 15,3 21,9 15,7 15,4 15,6
68,18 81,53 25,24 34,81 34,77 43,67 94,91 117,7 106,23 121,94 116,03 89,53 227,24 31,18 39,42 31,71 35,87 110,78 36,47 41,04 41,06
1,3424 1,3054 1,1399 1,1847 1,1875 1,1931 1,3304 1,3692 1,3444 1,3617 1,3444 1,3096 1,4440 1,1644 1,2014 1,1732 1,1847 1,3404 1,1959 1,1875 1,1931
1,8337 1,9113 1,4021 1,5417 1,5412 1,6402 1,9773 2,0708 2,0262 2,0861 2,0646 1,9520 2,3565 1,4939 1,5957 1,5012 1,5547 2,0445 1,5619 1,6132 1,6134
2,4615 2,4949 1,5982 1,8264 1,8302 1,9569 2,6306 2,8353 2,7241 2,8408 2,7756 2,5564 3,4029 1,7394 1,9171 1,7612 1,8419 2,7405 1,8679 1,9157 1,9250
1,8021 1,7039 1,2993 1,4035 1,4102 1,4235 1,7700 1,8748 1,8074 1,8543 1,8074 1,7151 2,0853 1,3557 1,4434 1,3764 1,4035 1,7968 1,4302 1,4102 1,4235
26,4974
37,3822
47,6426
33,5965
Jumlah (? )
Ket : L = panjang ikan (cm), W = berat ikan (gr)
log a b
=
-1,9031737 2,9191
88
Lampiran 7 Perhitungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti No.
L
W
log L
log W
log L x Log W
(log L)2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
14,7 15,6 13 14,2 15,3 15,9 15,4 20,9 15,7 16,2 27,8 21,6 21,5 22,2 27,7 19,8 24,3 23,4 24,7 27,4
32,47 42,92 24,32 29,21 36,4 44,43 42,72 99,2 43,27 45,12 427 188,89 165,52 165,19 338,03 155,14 284,56 228,32 267,07 353,25
1,1673 1,1931 1,1139 1,1523 1,1847 1,2014 1,1875 1,3201 1,1959 1,2095 1,4440 1,3345 1,3324 1,3464 1,4425 1,2967 1,3856 1,3692 1,3927 1,4378
1,5115 1,6327 1,3860 1,4655 1,5611 1,6477 1,6306 1,9965 1,6362 1,6544 2,6304 2,2762 2,2189 2,2180 2,5290 2,1907 2,4542 2,3585 2,4266 2,5481
1,7644 1,9480 1,5439 1,6887 1,8494 1,9795 1,9364 2,6357 1,9567 2,0010 3,7985 3,0375 2,9565 2,9862 3,6480 2,8406 3,4005 3,2294 3,3796 3,6635
1,3626 1,4235 1,2409 1,3278 1,4035 1,4434 1,4102 1,7428 1,4302 1,4629 2,0853 1,7808 1,7754 1,8127 2,0807 1,6813 1,9199 1,8748 1,9396 2,0671
25,7075
39,9727
52,2438
33,2653
Jumlah (? )
Ket : L = panjang ikan (cm), W = berat ikan (gr)
log a b
= =
-3,0160612 3,9013
89
Lampiran 8 Regresi hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona pemukiman Regression Statistics Multiple R
0,982583732
R Square
0,965470791
Adjusted R Square
0,963653464
Standard Error
0,051056507
Observations
21
ANOVA df Regression
SS
MS
1
1,38486778
1,384868
Residual
19
0,049528572
0,002607
Total
20
1,434396352
Coefficients Intercept X Variable 1
Y = -1,903 + 2,919 X
Standard Error
t Stat
F 531,2588
P-value
Significance F 2,38E-15
Lower 95%
Upper 95%
-1,903173663
0,16018967
-11,8808
3,07E-10
-2,23845
-1,56789
2,919108398
0,12664766
23,04905
2,38E-15
2,654032
3,184185
90
Lampiran 9 Regresi hubungan panjang berat ikan menggaru dari perairan zona inti Regression Statistics Multiple R
0,989246507
R Square
0,978608651
Adjusted R Square
0,977420242
Standard Error
0,063973949
Observations
20
ANOVA df
SS
Regression
MS
1
3,370153596
3,370154
Residual
18
0,073667991
0,004093
Total
19
3,443821587
Coefficients Intercept X Variable 1
Y = -3,016 + 3,901 X
F 823,4616
P-value
Significance F 1,75647E-16
Standard Error
t Stat
Lower 95%
Upper 95%
-3.016061238
0,175336816
-17,2015
1,28E-12
-3,38443
-2,64769
3.901341036
0,135954075
28,69602
1,76E-16
3,61571
4,18697
91
Lampiran 10 Hasil uji beda nyata kondisi fisik dan kimia perairan di zona pemukiman dan zona inti Parameter Suhu
Salinitas
Arus
Kekeruhan
Kecerahan
pH
Fosfat
Nitrat
Nitrit
Ammonia
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK)
Derajat Bebas (DB)
Kuadrat Tengah (KT)
Antara kelompok
1.125
1
1.125
Dalam Kelompok
7.750
6
1.292
Total
8.875
7
Antara kelompok
.000
1
.000
Dalam Kelompok
4.000
6
.667
Total
4.000
7
Antara kelompok
.000
1
.000
Dalam Kelompok
.003
6
.001
Total
.003
7
Antara kelompok
.008
1
.008
Dalam Kelompok
.143
6
.024
Total
.151
7
Antara kelompok
3.125
1
3.125
Dalam Kelompok
1.750
6
.292
Total
4.875
7
Antara kelompok
.005
1
.005
Dalam Kelompok
.010
6
.002
Total
.015
7
Antara kelompok
.000
1
.000
Dalam Kelompok
.000
6
.000
Total
.001
7
Antara kelompok
.000
1
.000
Dalam Kelompok
.003
6
.000
Total
.003
7
Antara kelompok
.000
1
.000
Dalam Kelompok
.000
6
.000
Total
.000
7
Antara kelompok
.022
1
.022
Dalam Kelompok
.005
6
.001
Total
.027
7
F
Signifikansi
.871
.387
.000
1.000
.090
.775
.327
.588
10.714
.017
3.000
.134
3.000
.134
.025
.879
3.000
.134
25.689
.002
92
Lampiran 11 Hasil uji beda nyata tutupan substrat dasar di zona pemukiman dan zona inti Substrat
Hard Coral
Macroalgae
Sand
Rubble
Stone
Dead Coral Algae
Dead Coral
Other Live
Soft Coral
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat (JK)
Derajat Bebas (DB)
Kuadrat Tengah (KT)
Antara kelompok
39.605
1
39.605
Dalam Kelompok
1454.464
6
242.411
Total
1494.069
7
Antara kelompok
2.940
1
2.940
Dalam Kelompok
64.540
6
10.757
Total
67.480
7
Antara kelompok
.097
1
.097
Dalam Kelompok
143.200
6
23.867
Total
143.296
7
Antara kelompok
1.777
1
1.777
Dalam Kelompok
736.702
6
122.784
Total
738.478
7
Antara kelompok
6.975
1
6.975
Dalam Kelompok
59.064
6
9.844
Total
66.039
7
Antara kelompok
6.372
1
6.372
Dalam Kelompok
816.592
6
136.099
Total
822.965
7
Antara kelompok
1.796
1
1.796
Dalam Kelompok
10.547
6
1.758
Total
12.343
7
Antara kelompok
.135
1
.135
Dalam Kelompok
2.204
6
.367
Total
2.340
7
Antara kelompok
1.558
1
1.558
Dalam Kelompok
31.367
6
5.228
Total
32.925
7
F
Signifikansi
.163
.700
.273
.620
.004
.951
.014
.908
.709
.432
.047
.836
1.021
.351
.368
.566
.298
.605
93
Lampiran 12 Hasil uji beda nyata tutupan life form karang di zona pemukiman dan zona inti Life Form
Branching
Sumber Keragaman
Tabulate
Mushroom
Encrusting
Foliose
Derajat Bebas (DB)
Kuadrat Tengah (KT)
Antara kelompok
131.755
1
131.755
Dalam Kelompok
920.313
6
153.385
Total
Massive
Jumlah Kuadrat (JK)
1052.068
7
Antara kelompok
108.214
1
108.214
Dalam Kelompok
575.308
6
95.885
Total
683.522
7
Antara kelompok
28.039
1
28.039
Dalam Kelompok
47.253
6
7.875
Total
75.292
7
Antara kelompok
9.301
1
9.301
Dalam Kelompok
20.929
6
3.488
Total
30.230
7
Antara kelompok
1.896
1
1.896
Dalam Kelompok
18.724
6
3.121
Total
20.620
7
Antara kelompok
37.066
1
37.066
Dalam Kelompok
88.367
6
14.728
125.433
7
Total
F
Signifikansi
.859
.390
1.129
.329
3.560
.108
2.666
.154
.608
.465
2.517
.164
94
Lampiran 13 Hasil uji beda nyata tutupan genus karang di zona pemukiman dan zona inti Genus
Acropora
Agaricia
Alveopora
Anacropora
Astreopora
Coeloseris
Colpophyllia
Diploria
Favia
Fungia
Goniopora
Heliofungia
Horastrea
Montastrea
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat (JK)
Derajat Bebas (DB)
Kuadrat Tengah (KT)
Antara kelompok
2.112
1
2.112
Dalam Kelompok
518.309
6
86.385
Total
520.420
7
Antara kelompok
.819
1
.819
Dalam Kelompok
61.179
6
10.197
Total
61.998
7
Antara kelompok
21.846
1
21.846
Dalam Kelompok
173.309
6
28.885
Total
195.155
7
Antara kelompok
502.128
1
502.128
Dalam Kelompok
1345.959
6
224.327
Total
1848.087
7
Antara kelompok
3.525
1
3.525
Dalam Kelompok
68.071
6
11.345
Total
71.596
7
Antara kelompok
10.881
1
10.881
Dalam Kelompok
44.884
6
7.481
Total
55.765
7
Antara kelompok
1.665
1
1.665
Dalam Kelompok
10.559
6
1.760
Total
F
Signifikansi
.024
.881
.080
.786
.756
.418
2.238
.185
.311
.597
1.455
.273
.946
.368
.975
.362
.311
.597
2.673
.153
2.775
.147
1.000
.356
1.129
.329
.000
.993
?
12.224
7
Antara kelompok
.304
1
.304
Dalam Kelompok
1.872
6
.312
Total
2.176
7
Antara kelompok
.058
1
.058
Dalam Kelompok
1.113
6
.185
Total
1.170
7
Antara kelompok
9.331
1
9.331
Dalam Kelompok
20.945
6
3.491
Total
30.276
7
Antara kelompok
6.698
1
6.698
Dalam Kelompok
14.482
6
2.414
Total
21.180
7
Antara kelompok
.012
1
.012
Dalam Kelompok
.072
6
.012
Total
.084
7
Antara kelompok
.224
1
.224
Dalam Kelompok
1.193
6
.199
Total
1.418
7
Antara kelompok
.000
1
.000
Dalam Kelompok
32.746
6
5.458
Total
32.746
7
95
lampiran 13 (lanjutan). Montipora
Pavona
Plerogyra
Antara kelompok
14.445
1
14.445
Dalam Kelompok
308.922
6
51.487
Total
323.367
7
Antara kelompok
.001
1
.001
Dalam Kelompok
.089
6
.015
Total
.090
7
Antara kelompok
.000
1
.000
Dalam Kelompok
.002
6
.000
Total
Porites
Seriatopora
.002
7
Antara kelompok
28.501
1
28.501
Dalam Kelompok
29.370
6
4.895
Total
57.871
7
6.790
1
6.790 .549
Antara kelompok Dalam Kelompok
3.296
6
10.085
7
Antara kelompok
.001
1
.001
Dalam Kelompok
.006
6
.001
Total
.007
7
Antara kelompok
.047
1
.047
Dalam Kelompok
.279
6
.047
Total
.326
7
Antara kelompok
.405
1
.405
Dalam Kelompok
31.233
6
5.205
Total
31.638
7
Total
Stylarea
Symphyllia
Turbinaria
.281
.615
.084
.782
1.000
.356
5.823
.052
12.361
.013
1.000
.356
1.000
.356
.078
.790
96
Lampiran 14 Hasil uji beda nyata panjang ikan menggaru hasil sensus di zona pemukiman dan zona inti Ukuran Panjang
0 – 5 cm
5.1 – 10 cm
10.1 – 15 cm
15.1 – 20 cm
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas (JK) (DB) Antara kelompok
.125
1
.125
Dalam Kelompok
.750
6
.125
Total
.875
7
Antara kelompok
2.000
1
2.000
Dalam Kelompok
7.500
6
1.250
Total
9.500
7
Antara kelompok
.500
1
.500
Dalam Kelompok
29.000
6
4.833
Total
29.500
7
8.000
1
8.000 .333
Antara kelompok Dalam Kelompok
2.000
6
10.000
7
Antara kelompok
.500
1
.500
Dalam Kelompok
1.000
6
.167
Total
1.500
7
Antara kelompok
.125
1
.125
Dalam Kelompok
.750
6
.125
Total
.875
7
Total
20.1 – 25 cm
25.1 – 30 cm
Kuadrat Tengah (KT)
F
Signifikansi
1.000
.356
1.600
.253
.103
.759
24.000
.003
3.000
.134
1.000
.356
97
Lampiran 15 Hasil uji beda nyata panjang ikan dan berat ikan di zona pemukiman dan zona inti Panjang dan Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Berat Ikan (JK)
Panjang
Berat
Derajat Bebas (DB)
Kuadrat Tengah (KT)
Antara kelompok
1494.502
1
1494.502
Dalam Kelompok
77649.693
39
1991.018
Total
79144.195
40
Antara kelompok
62048.088
1
62048.088
Dalam Kelompok
358350.777
39
9188.481
Total
420398.865
40
F
Signifikansi
.751
.392
6.753
.013
98
Lampiran 16 Terumbu karang di lokasi penelitian
Karang Foliose (P. Pramuka)
Marga Seriatopora (P. Pramuka)
Tutupan Karang P. Kayu Angin Bira
Tutupan Karang P. Kayu Angin Bira
Patahan Karang P. Belanda
Karang Mati P. Belanda
99
Lampiran 17 Dokumentasi ikan menggaru (Lutjanus deccusatus)
A (Sumber: Fish Base)
B (Sumber: Cook DC)
C (Sumber: FAO)
D (Sumber: Reyes RB)
Ukuran panjang ikan sampel
Pengukuran berat ikan sampel
Pembedahan ikan sampel
Ikan- ikan karang