II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Limbah
2.1.1
Limbah Ternak Limbah adalah bahan buangan yang dihasilkan dari suatu aktivitas atau
proses produksi yang sudah tidak digunakan lagi pada kegiatan/proses tersebut dan diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah tersebut dapat berupa cair (liquid waste), limbah padat (solid waste) dan limbah gas (gaseous waste). Ketiga macam limbah ini dapat dihasilkan sekaligus dari suatu kegiatan atau dapat pula kombinasi atau secara sendiri. Limbah ternak adalah bahan buangan sisa metabolisme ternak, yang sebagian besar berupa feses dan urine, sedangkan limbah peternakan adalah bahan buangan yang dihasilkan dari seluruh kegiatan yang dilakukan dalam usaha peternakan tersebut, yang sebagian besar terdiri atas feses dan sisa hijauan pakan (Merkel, 1981). Limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu usaha peternakan baik berupa limbah padat, cairan dan gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan hewan). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam fase gas (Soehadji, 1992). Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan pun akan semakin meningkat.
2.1.2
Feses Sapi Perah Feses merupakan bahan utama limbah yang paling banyak dihasilkan dari
usaha peternakan sapi perah dan masih mengandung ± 30 % bahan organik (Gaddie and Douglas, 1975). Barnett, dkk,. (2000) menyatakan bahwa dari sapi yang bobot badannya 450 kg, setiap hari dapat dihasilkan 29 kg feses segar; 0,91 kg total mineral; 3,72 kg bahan organik; 0,17 kg N; 0,05 kg P2O5 dan 0,14 kg K2O. Kotoran sapi perah bila didiamkan begitu saja akan mengalami penyusutan unsur kimianya karena itu perlu diawetkan (Rynk, dkk., 1992). Komposisi kotoran sapi perah tergantung pada ransum yang diberikan dan alas lantai yang digunakan (Foley, dkk., 1973). Umumnya feses sapi perah mengandur air sebanyak 21,57 %. Unsur kimia penyusun bahan ransum selain N, P, dan K adalah C. Feses sapi perah mengandung 23,14 % C dan 1,42 % N. Jika kandungan C kotoran sapi perah dibandingkan terhadap kandungan N-nya maka ratio yang didapat dikategorikan rendah, yaitu sebesar 19 (Biddlestone, dkk., 1994). Feses sapi perah, berdasarkan berat kering mengandung unsur kimia rata-rata 1,65 % N; 0,50 % P dan 2,3 % K, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mensuplai unsur hara bagi tanaman (Abbot, 1968).
2.2
Jerami Padi Jerami padi adalah hasil samping pertanian berupa tangkai dan batang
tanaman padi yang telah kering. Menurut Saha (2004) komponen terbesar penyusun jerami padi adalah selulosa (35-50 %), hemiselulosa (20-35 %) dan lignin (10-25 %) dan zat lain penyusun jerami padi. Selulosa dan hemiselulosa merupakan senyawa yang bernilai ekonomis jika dikonversi menjadi gula-gula sederhana. Gula-gula hasil konversi tersebut selanjutnya dapat difermentasi untuk
menghasilkan produk-produk bioteknologi seperti bioetanol, asam glutamat, asam sitrat dan lainnya. Jerami padi mengandung inti sel 21 %, dinding sel 79 %, dinding sel terdiri dari hemiselulosa 26 %, selulosa 33 %, lignin 7 %, dan silika 13 % (Sharma, 1974). Jerami padi juga mengandung senyawa N dan C yang berfungsi sebagai substrat metabolisme mikroba tanah termasuk gula, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin, lemak, dan protein. Jerami padi mengandung 33,82 % karbon, 0,76 % nitrogen, dan 11,31 % air. Sehingga nisbah C/N jerami padi cukup tinggi yaitu sebesar 44,5. Kandungan karbon yang tinggi mejadikan jerami cocok sebagai bahan makanan bagi mikroorganisma selama proses pengomposan (Gaur, 1983).
2.3
Pengomposan Pengomposan adalah proses alami yang terjadi di alam dimana bahan
organik didekomposisi oleh mikroorganisme ke dalam bentuk bahan seperti humus (Merkel, 1981). Pada prinsipnya, teknologi pengomposan yang selama ini diterapkan meniru proses terbentuknya humus oleh alam dengan bantuan mikroorganisme. Didalam proses pengomposan perlu di perhatikan beberapa syarat, yaitu keberadaan mikroorganisme yang terlibat, nutrisi yang dicerminkan dalam bentuk nisbah C/N, kadar air bahan, oksigen dan perawatan proses (CSIRO, 1979). Prinsip yang digunakan dalam pembuatan kompos adalah proses dekomposisi atau penguraian yang merubah limbah organik menjadi pupuk organik melalui aktivitas biologis pada kondisi yang terkontrol. Dekomposisi pada prinsipnya adalah menurunkan karbon dan nitrogen (C/N) ratio dari limbah organik sehingga pupuk organik dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman. Pada proses
dekomposisi akan terjadi peningkatan temperatur yang dapat berfungsi untuk membunuh biji tanaman liar (gulma), bakteri-bakteri patogen dan membentuk suatu produk perombakan yang seragam berupa pupuk organik. Selama proses dekomposisi secara aerob populasi mikroorganisme selalu berubah. Pada fase mesofilik, fungi dan bakteri pembentuk asam bermultiplikasi secara cepat membentuk bahan makanan seperti asam amino dan gula-gula sederhana yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme termofilik pada proses dekomposisi berikutnya. Pada fase termofilik Actinomycetes lebih toleran terhadap perubahan suhu dibandingkan sejumlah bakteri lainnya dan jumlahnya meningkat pada fase ini, beberapa diantaranya dapat mendekomposisi selulosa. Fungi termofilik tumbuh pada suhu antara 40 – 60oC, yang mampu mendekomposisi hemi-selulosa dan selulosa sehingga berperan penting pada formasi komposan (CSIRO, 1979). Pelczar dan Chan (1986) mengemukakan bahwa fungi atau cendawan merupakan organisme heterotrofik yaitu memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya. Heterotrofik yang hidup dari organisme mati yang terlarut disebut saprofit. Saprofit menghancurkan sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang kompleks, menguraikan menjadi zat-zat yang lebih sederhana, yang kemudian dikembalikan kedalam tanah, dan selanjutnya meningkatkan kesuburan Ciri-ciri kompos sudah jadi dan baik adalah: warna kompos biasanya coklat kehitaman. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal. Apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah (Farida, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan yaitu: 1. Mikroorganisme Kecepatan pengomposan dipengaruhi oleh banyak sedikitnya jumlah mikroorganisme yang membantu pemecahan atau penghancuran bahan organik yang dikomposkan. Dari sekian banyak mikroorganisme, diantaranya adalah bakteri asam laktat yang berperan dalam menguraikan bahan organik, bakteri fotosintesis yang dapat memfiksasi nitrogen, dan Actinomycetes yang dapat mengendalikan mikroorganisme patogen sehingga menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lainnya (Isroi, 2008). 2. Nisbah C/N Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen yang terkandung di dalam suatu bahan. Nilai nisbah C/N tanah adalah 10-12. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman. Dekomposisi bahan organik pada prinsipnya sangat tergantung dari nisbah C/N yang ada pada pengomposan. Kandungan karbon sangat berpengaruh pada pelepasan CO2 sementara nitrogen digunakan dalam sistem, dan pengomposan akan terus berlangsung yang menyebabkan nisbah C/N menjadilebih kecil (Bewick, 1980). Nisbah C/N mendekati nilai optimum terjadi pada kisaran 25 sampai 30 (CSIRO, 1979). Jika nisbah C/N terlalu tinggi maka akan memperlambat proses pengomposan karena aktivitas mikroorganisme akan terhambat dan tidak dapat dapat menghasilkan unsur hara yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung metabolisme tubuhnya, sebaliknya jika terlalu rendah akan mengakibatkan peningkatan jumlah pelepasan N menjadi bentuk amonia. Jumlah amonia yang
tinggi dapat meracuni beberapa jenis mikroba yang bekerja dalam pengomposan (Merkel, 1981). 3. Kadar Air Kadar air berperan penting dalam proses dekomposisi secara enzimatis oleh mikroorganisme yang terlibat. Kadar air yang disarankan pada pengomposan antara 50-70%. Jika tumpukan bahan terlalu basah, maka akan terjadi kehilangan nutrien dan kondisi menjadi anaerob, sehingga mikroorganisme aerob yang penting akan mati atau menjadi dorman (NAS, 1980). Menurut Bewick (1980) kadar air yang berlebih membuat komposan menjadi lebih padat yang menyebabkan kandungan oksigen berkurang, sehingga kondisinya menjadi anaerob dan menimbulkan bau busuk. 4. Oksigen Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang umumnya digunakan adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Untuk keperluan ini dapat dilakukan dengan cara manual yaitu melalui pembalikan substrat atau penggunaan alat sirkulasi udara baik secara elektrik maupun secara mekanik (Tchobanoglous, 1993). Ratusan spesies yang berupa bakteri, fungi dan ragi actinomycetes langsung mulai mendekomposisi bahan organik komposan setelah kadar air dan oksigen terpenuhi (CSIRO, 1979).
2.4
Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri
atas bahan organik yang berasal dari tanaman atau kotoran hewan yang telah
melalui proses rekayasa dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Permentan,
No.70/permentan/SR.140/10/2011).
Kualitas
pupuk
organik
diantaranya ditentukan dari bau yang dihasilkan seperti berbau tanah, berwarna coklat gelap atau hitam (BPT, 2004). Kandungan unsur hara yang bervariasi berupa nutrisi mikro maupun makro (CSIRO, 1979). Pupuk organik mengandung unsur karbon dan nitrogen dalam jumlah yang sangat bervariasi, dan imbangan unsur tersebut sangat penting dalam mempertahankan atau memperbaiki kesuburan tanah. Nisbah karbon nitrogen tanah harus selalu dipertahankan setiap waktu karena
nisbah kedua unsur tersebut
merupakan salah satu kunci penilaian kesuburan tanah. Penambahan bahan organik dengan nisbah C/N tinggi mengakibatkan tanah mengalami perubahan imbangan C dan N dengan cepat, karena mikroorganisme tanah menyerang sisa pertanaman dan terjadi perkembangbiakan secara cepat. 2.4.1
Pupuk Organik Cair Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran
hewan dan atau bagian hewan atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa dapat berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Permentan No.70/permentan/SR.140/10/2011) Pupuk organik cair mengandung unsur kalium yang berperan penting dalam setiap proses metabolisme tanaman, yaitu dalam sintesis asam amino dan protein dari ion-ion ammonium serta berperan dalam memelihara tekanan turgor dengan baik sehingga memungkinkan lancarnya proses-proses metabolisme dan menjamin
kesinambungan pemanjangan sel. Dibandingkan dengan pupuk anorganik cair, pupuk organik cair umumnya tidak merusak tanah dan tanaman walaupun digunakan sesering mungkin. Selain itu, pupuk organik cair juga memiliki bahan pengikat sehingga larutan pupuk yang diberikan kepermukaan tanah bisa langsung digunakan oleh tanaman. Prinsip pembuatan pupuk organik cair pada dasarnya sama dengan membuat pupuk organik padat yaitu diawali dengan dekomposisi awal bahan organik limbah. Agar hasil yang diperoleh berkualitas baik, maka pada saat proses degradasi awal harus diperhatikan persyaratan tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme yang terlibat, terutama jenis kapang dan bakteri. Hal ini penting karena prinsip dasar pembuatan pupuk organik adalah penguraian senyawa protein yang dihasilkan dari proses degradasi awal berupa protein sel tunggal yang berasal dari biomassa mikroorganisme, baik dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk organik cair (CSIRO, 1979). Menurut Tisdale dan Nelson (1975), hampir seluruh unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman terdapat dalam senyawa protein. Pupuk organik cair dapat diperoleh dari proses pengomposan padat terlebih dahulu, yang dilanjutkan dengan proses ekstraksi, kemudian proses pengomposan cair secara aerobik (Hidayati, 2011).
2.5
Unsur Hara
2.5.1
Nitrogen (N) Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi tumbuhan yang pada umumnya
sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman, seperti daun batang dan akar tetapi kalau terlalu banyak dapat mengahambat
pembuangan
dan
pembuahan
pada
tanaman.
Defisiensi
menyebabkan kecepatan pertumbuhan sangat terganggu dan tanaman kurus kering. N merupakan unsur dalam molekul klorofil sehingga defisiensi N mengakibatkan daun menguning atau mengalami klorosis. Ini biasanya dimulai dari daun bagian bawah dan defisiensi yang kuat menyebabkan coklat dan mati. Fungsi nitrogen pada tanaman sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan perumbuhan tanaman. 2. Dapat menyehatkan pertumbuhan daun, daun tanaman lebar dengan warna yang lebih hijau, kekurangan nitrogen menyebabkan khlorosis (pada daun muda berwarna kuning). 3. Meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman 4. Meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun-daunan. 5. Meningkatkan berkembangbiaknya mikroorganisme didalam tanah. 2.5.2
Fosfor (P) Fosfor terdapat dalam bentuk phitin, nuklein dan fostide merupakan bagian
dari protoplasma dan initi sel. Sebagai bagian dari inti sel sangat penting dalam pembelahan sel demikian pula bagi perkembangan jaringan meristem. Fosfor diambil tanaman dalam bentuk H2PO4- dan HPO42-. Secara umum fungsi fosfor sebagai berikut: 1. Dapat mempercepat pertumbuhan akar semai 2. Dapat mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa 3. Dapat mempercepat pembungaan dan pemasakan buah biji atau gabah 4. Dapat meningkatkan produksi biji-biji. Defisiensi fosfor dapat menyebabkan tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan tidak baik, pertumbuhan akar atau ranting meruncing, pemasakan buah terlambat,
warna daun lebih hijau dari pada keadaan normalnya, daun yang tua tampak menguning sebelum waktunya serta hasil buah atau biji menurun. Hara fosfor yang terdapat dalam pupuk cair akan lebih efektif penggunaannya dibandingkan dengan pupuk padat karena pengaplikasiannya yang langsung pada tanaman mengakibatkan fosfor tidak akan mudah tercuci oleh air dan dapat langsung diserap olah tanaman. 2.5.3
Kalium (K) Kalium merupakan unsur kedua terbanyak setelah nitrogen dalam tanaman.
Kalium diserap dalam bentuk K+ monovalensi dan tidak terjadi transformasi K dalam tanaman. Bentuk utama dalam tanaman adalah K+ monovalensi, kation ini unik dalam sel tanaman. Unsur K sangat berlimpah dan mempunyai energi hidrasi rendah sehingga tidak menyebabkan polarisasi molekul air. Jadi unsur ini dapat berinterverensi dengan fase pelarut dari kloroplas. Peranan kalium pada tanaman adalah sebagai berikut: 1. Membentuk protein dan karbohidrat 2. Mengeraskan jerami dan bagian bawah kayu dari tanaman 3. Meningkatkan retensi tanaman tarhadap penyakit. 4. Meningkatkan kualitas biji/buah.