KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu)
TIARA SUKRA DEWI E 34101056
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
KAJIAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE LANSKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu)
TIARA SUKRA DEWI E 34101056
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Skripsi : Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu). Nama : Tiara Sukra Dewi NRP : E 34101056 Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
Dr. Ir Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.ScF
131760841
131685543
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS 131430799
Tanggal Lulus :
ABSTRAK TIARA SUKRA DEWI. Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu). Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan JARWADI BUDI HERNOWO. Burung merupakan satwaliar yang memiliki kemampuan hid up di hampir semua tipe habitat. Salah satu tipe ekosistem yang digunakan oleh burung adalah hutan tanaman pinus. Sehingga hutan tanaman diharapkan memiliki kemampuan untuk menampung keanekaragaman jenis burung. Kemampuan adaptasi burung terhadap hutan tanaman diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor lanskap. Pengaruh dari faktor-faktor lanskap tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis
(SIG).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
keanekaragaman jenis burung (termasuk jenis penting) di areal hutan tanaman pinus yang dipengaruhi oleh faktor -faktor lanskap. Penelitian dilakukan pada hutan tanaman Pinus di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. Bahan yang digunakan adalah burung, citra Ikonos tahun 2003 dan peta rupa bumi skala 1 : 25.000. Alat yang digunakan antara lain alat tulis, kamera, Global Positioning System (GPS), binokuler, buku panduan pengenalan jenis burung, pencatat waktu, pita ukur, kompas serta tape recorder dan kaset. Pengambilan data burung di lapangan dilakukan inventarisasi dengan menggunakan metode IPA (Indices Ponctuels d’Abondence). Dalam metode ini, pengamat berhenti pada suatu titik pada hutan pinus, dan menghitung semua burung yang terdeteksi selama selang waktu 20 menit. Pengamatan dimulai pada pagi hari pukul 06.00 - 09.00 WIB. Pada setiap lokasi pengamatan di buat 6 titik pengamatan dan jarak antar titik adalah 200 m dengan pengulangan sebanyak 5 kali setiap lokasi. Hasil interpretasi pada citra Ikonos tahun 2003 dan hasil pengamatan langsung di lapangan dapat diketahui bahwa penutupan lahan pada ke 4 lokasi penelitian memiliki elemen penyusun lanskap yang berbeda. Pada lokasi A dan B terdiri dari 8 elemen penyusun lanskap, lokasi C disusun sebanyak 10 elemen, dan lokasi D tersusun atas 11 elemen lanskap.
Hasil pengamatan yang dilakukan di 4 lokasi dapat dijumpai sebanyak 35 jenis burung yang termasuk ke dalam 19 famili. Pada lokasi A dan B ditemukan sebanyak 16 jenis burung. Pada lokasi C ditemukan jenis paling banyak yaitu 27 jenis dan lokasi D dapat dijumpai sebanyak 22 jenis burung. Indeks keanekaragaman di lokasi A yaitu 2,13; lokasi B 2,33;lokasi C 2,98 dan di lokasi D 2,47.
Tingginya
keane karagaman jenis burung di lokasi C diduga karena adanya pengaruh dari faktor lanskap seperi bentuk patch , luas patch dan jarak lokasi pengamatan ke hutan alam. Lokasi C merupakan areal lanskap yang paling luas yaitu 294,82 ha. Bentuk lanskap yang memanjang dengan nilai Total Edge yaitu 169942,54 m. Jarak ke hutan alam diduga juga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung pada lokasi C yaitu 1100 m. Pada lokasi penelitian dijumpai 6 jenis burung dilindungi yaitu Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax), Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis), Raja-udang meninting (Alcedo meninting) dan Burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis). Jenis burung endemik di Jawa dapat dijumpai sebanyak 3 jenis yaitu Ceka kak Jawa (Halcyon cyanoventris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax) dan Cinenen pisang (Orthotomus sutorius ). Pada lokasi penelitian dijumpai beberapa jenis burung yang dominan yaitu Kacamata gunung (Zosterops montanus ), Walet linci (Collocalia linchi), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanotorax ), Cinenen Jawa (Ortothomus sepium), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Gelatik-batu kelabu (Parus major), dan Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus). Jenis-jenis yang aj rang dijumpai di lokasi penelitian adalah Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum), Remetuk laut (Gerygone sulphurea), Burung-gereja Erasia (Passer montanus), Gemak loreng (Turnix suscitator), Burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis ), Jingjing batu (Hemipus hirundinaceus) dan Cinenen pisang (Orthotomus sutorius ).
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia -Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu)”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain : 1.
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc dan Ir. Jarwadi Budi Hernowo MSc.F sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
2.
Ir. M. Chamim Mashar, MM dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan.
3.
Ayah, Ibu, Uda Al, Deded, Yayat, Muhdian Prasetya Darmawan dan keluarga besar di Pasaman yang telah banyak membantu penulis dalam hal materiil, moril dan terutama atas doa-doanya.
4.
Semua keluarga di Sukagalih, Safari dan Tugu atas kesediaannya membantu penulis selama berada di lapangan.
5.
Keluarga Marhamah atas canda dan tawanya terutama atas nasihat dan tausiyahnya yang dapat membangkitkan semangat.
6.
Keluarga besar KSH Ceria ’38 yang telah menemani hari-hari penulis selama menjalani perkuliahan di kampus Fahutan yang ASIK.
7.
Teman-teman seperjuangan di Lab Spatial Database and Analysis Facilities (SDAF) atas semua bantuan, semangat dan canda tawanya.
Bogor, November 2005
Tiara Sukra Dewi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukamenanti pada tanggal 9 Januari 1983 dari ayah Sukarman, SP dan ibu Rasinah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMUN 1 Pasaman sampai pada tahun ajaran 1998/1999.
Pada tahun ajaran 1999/2000 penulis melanjutkan
pendidikan menengah atas di SMUN 5 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi pengurus DKM Ibadurrahman (2001/2002) bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Selama menjalani perkuliahan, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (Himakova). Pada bulan Juni 2004 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam serta Taman Wisata Alam Kamojang. Penulis juga melakukan Praktek Pengelolaan Hutan pada bulan Juli-Agustus 2004 di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, KPH Kuningan. Kemudian pada bulan Februari-April 2005 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul ”Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu)” di bimbing oleh: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran sangat pe nulis harapkan sebagai masukan yang berharga untuk menyempurnakannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
PENDAHULUAN Latar Belakang Burung merupakan satwaliar yang memiliki kemampuan hidup di hampir semua tipe habitat, dari kutub sampai gurun, dari hutan kornifer sampai hutan tropis, dari sungai, rawa-rawa sampai lautan. Burung mempunyai mobilitas yang tinggi dan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai tipe habitat yang luas (Welty 1982). Salah satu tipe ekosistem yang digunakan oleh burung adalah hutan tanaman (Alikodra 2002) yang merupakan bentuk habitat baru yang berbeda dengan kondisi sebelumnya.
Hutan tanaman hanya berupa tegakan vegetasi tanaman sejenis
(monokultur), dan adanya dominasi campur tangan manusia di dalamnya menyebabkan keadaan tingkat keragaman jenis yang rendah dan ketidakseimbangan keadaan faktor-faktor lingkungan di hutan tanaman (Djunaidah 1994).
Berbeda
dengan hutan alam yang terdiri atas berbagai jenis vegetasi dan strata sehingga hutan alam memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Hutan tanaman merupakan salah satu kawasan budidaya yang umumnya memiliki keanekaragaman yang rendah dan seragam (Gani 1993). Burung adalah bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariaannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya. Burung memiliki banyak manfaat dan fungsi bagi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Manfaat dan fungsi burung secara garis besar dapat
digolongkan dalam nilai budaya, estetik, ekologis, ilmu pengetahuan dan ekonomis (Yuda 1995).
Alikodra (2002) dan Ontario et al. (1990) menambahkan bahwa
burung memiliki peranan penting dari segi penelitian, pendidikan, dan untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata. Manfaat dan fungsi burung yang begitu besar bagi kehidupan manusia, sehingga mendorong upaya untuk menjaga kelestarian dan keanekaragamannya. Namun akhir-akhir ini kehidupan burung semakin lama semakin terdesak yang sebagian besar disebabkan oleh manusia dengan merusak dan mengubah fungsi habitat burung.
Ke giatan tersebut antara lain dengan konversi lahan untuk
pemukiman, peternakan, perkebunan, perindustrian, pertambangan dan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut membutuhkan lahan yang cukup luas, sehingga habitat
burung semakin berkurang dengan bertambahnya kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menyebabkan kepunahan yang melampaui tingkat pengembaliannya (Primack et al. 1998). Selama ini konservasi burung di Indonesia
masih terpusat pada kawasan-
kawasan konservasi yang ditetapkan pemerintah, seperti di dalam cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional.
Namun demikian, terdapat burung-burung yang
hidup di luar kawasan konservasi seperti hutan tanaman, perkebunan, pemukiman, areal persawahan dan lainnya.
Dari faktor tersebut perlu dikaji peranan hutan
tanaman terhadap pelestarian burung terutama kemampuan untuk menampung keanekaragaman jenis burung. Perhatian terhadap konservasi burung tidak hanya semata -mata tertuju pada habitat-habitat alam, sebab pengurangan jenis tidak hanya akan terjadi di dalam habitat alam saja tetapi juga di luar habitat alaminya seperti di hutan tanaman. Pada masa yang akan datang diperkirakan luas hutan tanaman akan semakin bertambah dan konversi hutan ala m meningkat sehingga hutan alam mengalami kerusakan dan pengurangan luasannya.
Oleh karena itu pengelolaan pada hutan
tanaman perlu diperhatikan, agar kelestarian burung tetap terjaga.
Perubahan dan
penurunan jenis burung pada akhirnya menyebabkan terja dinya kepunahan secara lokal terhadap berbagai jenis burung. Oleh karena itu hutan tanaman diharapkan memiliki kemampuan untuk menampung keanekaragaman jenis burung. Walaupun tingkat keanekaragaman burung pada hutan tanaman lebih rendah dari pada hutan alam (Fraser 1995). Kemampuan adaptasi burung terhadap hutan tanaman akan dipengaruhi oleh beberapa faktor lanskap.
Heterogenitas lanskap akan menurunkan keragaman
spesies interior dan akan meningkatkan keragaman edge spesies (Forman & Godron 1986). Diperkirakan bentuk patch , luas patch , penggunaan lahan di sekitar hutan tanaman
dan jarak hutan tanaman ke hutan alam dapat
mempengaruhi
keanekaragaman jenis burung yang ada di hutan tanaman tersebut. Pengaruh dari faktor -faktor lanskap tersebut dapat diketahui dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung (termasuk jenis penting) di areal hutan tanaman pinus yang dipengaruhi oleh faktorfaktor lanskap (bentuk patch , luas patch , penggunaan lahan di sekitar hutan tanaman dan jarak hutan tanaman ke hutan alam) terhadap keanekaragaman jenis burung.
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Lanskap
Sudut pandang ekologi menyatakan bahwa lanskap merupakan sebuah areal heterogen yang tersusun dari ekosistem yang saling berinteraksi dan memiliki pola semacam yang berulang-ulang (Forman & Godron 1986). Ekologi lanskap penting bagi perlindungan keanekaragaman hayati, karena banyak spesies yang hidupnya tidak hanya pada suatu habitat tunggal saja, melainkan berpindah-pindah antara beberapa habitat atau hidup di perbatasan antara dua tipe habitat. Keberadaan dan kerapatan berbagai spesies mungkin akan dipengaruhi oleh ukuran-ukuran dari kepingan habitat dan dipengaruhi pula oleh seberapa jauh hubungan antara habitat tersebut. Dalam rangka meningkatkan jumlah dan keanekaragaman satwa, maka diusahakan untuk menciptakan variasi lanskap yang terbesar yang dapat dicapai (Yanher, 1988 dalam Primack et al. 1998). Penggunaan lanskap oleh manusia merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam merancang kawasan perlindungan
(Primack
et
al.
1998)
dalam
rangka
menjaga
kelestarian
keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati perlu dikelola pada tingkat lanskap regional misalnya pada selurus daerah aliran sungai atau barisan pegunungan, dimana ukuran dari satuan lanskapnya akan lebih mendekati keutuhan satuan sebelum terjadinya gangguan oleh manusia (Grumbina 1994b; Noss & Cooprrider 1994 diacu dalam Primack et al. 1998). Pengertian lanskap tersebut menyimpulkan bahwa lanskap disusun dari sebuah unit-unit spasial yang relatif homogen. Unit-unit tersebut berupa penutupan lahan (landcover ) yang berbeda misalnya : hutan, belukar, tanah pertanian, perkotaan dan sebagainya.
Penutupan lahan yang berbeda -beda dan saling berinteraksi disebut
dengan elemen lanskap.
Elemen lanskap sering disamakan dengan sebuah tipe
ekosistem. Pada setiap elemen pembentuk lanskap bisa dirinci menjadi elemen yang lebih homogen. Misalnya, tanah pertanian bisa dirinci menjadi sawah, ladang, dan pekarangan. Hutan bisa dibagi menjadi hutan payau, hutan campuran ataupun hutan mangrove. Elemen yang relatif lebih seragam bisa disebut tesera (tessera) (Forman & Godron 1986).
Menurut Forman & Godron (1986) ada tiga karakteristik yang difokuskan dalam mempelajari lanskap ekologi, yaitu : a) Struktur, yaitu hubungan spasial antara ekositem yang berbeda (atau elemen lanskap yang ada. b) Fungsi, yaitu interaksi diantara elemen spasial, yaitu aliran energi, materi, dan spesies diantara komponen elemen lanskap. c) Perubahan, yaitu perubahan struktur dan fungsi dari lanskap. Forman & Godron (1986) membagi prinsip-prinsip umum ekologi lanskap menjadi : 1) Prinsip struktur dan fungsi lanskap Struktur pembentuk lanskap adalah heterogen/beragam baik dalam tipe, ukuran dan bentuknya, karena itu memiliki perbedaan dalam distribusi spesies, energi, materi diantara patch, koridor dan matriks yang ada. Sebagai konsekuensinya, fungsi lanskap akan berbeda dalam hal aliran spesies, energi dan materi diantara elemen pembentuknya. 2) Prinsip keanekaragaman hayati Heterogenitas lanskap akan menurunkan keragaman spesies interior, sebaliknya akan meningkatkan keragaman edge dan spesies yang membutuhkan dua atau lebih elemen lanskap. Selain dari itu akan meningkatkan total potensi keberadaan spesies. 3) Prinsip pergerakan spesies Ekspansi dan kontraksi spesies diantara elemen lanskap mempengaruhi dan dipengaruhi oleh heterogenitas lanskap. 4) Prinsip trans por hara mineral/nutrien Laju distribusi/perpindahan hara mineral diantara elemen lanskap meningkat dengan adanya peningkatan intensitas gangguan (disturbance). 5) Prinsip perpindahan energi Perpindahan energi panas dan perpindahan biomassa antara elemen lanskap meningkat dengan meningkatnya heterogenitas lanskap. 6) Prinsip perubahan lanskap Bila tidak terganggu, horizontal lanskap mempunyai kecenderungan untuk menjadi lebih homogen. Sedangkan bila ada gangguan yang moderat, maka akan menjadi lebih heterogen, dan bila terjadi gangguan yang sangat besar maka akan dapat meningkatkan/menurunkan heterogenitas. Menurut Forman & Godron (1986), tingkat stabilitas lanskap dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : a) Sistem yang secara fisik sangat stabil, dicirikan dengan ketiadaan biomassa, gurun pasir, jalan, perkotaan.
b) Sistem dengan recovery yang cepat, dicirikan dengan keberadaan tingkat biomassa yang rendah, padang alang-alang, daerah pertanian. c) Sistem dengan tingkat resistensi yang tinggi terhadap ganggua n, dicirikan dengan keberadaan biomassa yang sangat besar, misal hutan. Patch Terbentuknya Patch Bentuk/struktur lanskap merupakan akibat adanya proses alam/geologi dan gangguan. Gangguan ini bisa dibedakan menjadi gangguan alami dan gangguan manusia.
Gangguan alami misalnya bencana alam (banjir, gunung meletus,
penyakit), sedangkan gangguan manusia bisa berupa eksploitasi hutan, peladang berpindah dan lain-lain. Interaksi ini menimbulkan beragam bentuk, ukuran tipe dan luasan elemen lanskap (Forman & Godron 1986). Dalam konsep ekologi lanskap, habitat berdasarkan luasannya (dominansi) dibedakan menjadi matriks dan patch. Matriks adalah habitat homogen yang paling berbeda dalam suatu lanskap.
Sedangkan patch adalah habitat homogen yang
berbeda dengan habitat sekelilingnya. Terjadinya patch dapat dibagi menjadi tiga yaitu disturbance patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch (Forman & Godron 1986). Disturbance patch dan remnant patch berdasarkan gangguannya dapat dibagi lagi menjadi cronic disturbance yaitu gangguan yang terjadi cukup lama dan terus menerus.
Single disturbance yaitu gangguan yang
hanya terjadi sementara dan tidak menganggu aktifitas ekologi. Bentuk Patch Ukuran dan bentuk patch beragam, ada yang membulat (isodiametric) dan memanjang (elongated). Isodiametric patch memiliki areal interior yang lebih besar daripada edge-nya, sebaliknya elongated patch memiliki edge area yang lebih luas. Dengan kata lain isodiametric patch menampung fauna interior lebih banyak. Sebaliknya elongated patch akan memiliki keunggulan dari keanekaragaman spesies eksteriornya. Untuk mengukur bentuk patch ini, biasanya digunakan perhitungan interior-to-edge-ratio. Semakin besar nilai perhitungan interior -to-edge-ratio nya maka bentuk patch tersebut semakin mendekati lingkaran/membulat.
Luas dan
jumlah patch/habitat juga berpengaruh pada kelestarian keanekaragaman hayati. Berdasarkan teori biogeografi bentuk habitat/kawasan konservasi yang paling bagus adalah sebuah areal isodiametric tunggal yang seluas mungkin. Daerah konservasi dengan bentuk membulat akan meminimalkan rasio atau perbandingan edge-to-area (antara pinggir dengan luas keseluruhan), lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain.
Kawasan yang demikian mempunyai
pusat yang berada relatif lebih jauh dari tepi. Kawasan yang mempunyai bentuk memanjang akan memiliki tepi atau pinggir yang luas, dan seluruh lokasi di kawasan tersebut akan berada dekat tepi. Kebanyakan kawasan mempunyai bentuk yang tidak beraturan karena lahan konservasi biasanya diperoleh secara kebetulan (Primack et al. 1998). Koridor habitat adalah salah satu struktur lanskap yang merupakan jalur-jalur lahan yang dilindungi yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan lainnya (Simberlof f et al 1992
diacu dalam Primack et al 1998).
Koridor habitat
mempunyai fungsi untuk menghubungkan kawasan dilindungi sehingga membentuk suatu sistem yang besar. Koridor tersebut memungkinkan satwa untuk menyebar dari satu cagar ke cagar yang lain. Selain itu koridor tidak hanya memberikan lebih dari sekedar perlindungan saja, tetapi juga menyediakan sumberdaya bagi burung (Forman & Godron 1986). Hutan merupakan koridor yang paling efektif untuk menunjang keanekaragaman jenis burung (Alikodra 2002). Hubungan Antara Bentuk Patch dan Keanekaragaman Burung Primack et al. (1998) menyatakan bahwa cagar alam yang besar dapat mengurangi edge effects (efek tepi), serta dapat mencakup lebih banyak spesies dan mempunyai keanekaragaman yang lebih besar dibandingkan cagar alam yang berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan karena cagar alam yang berukuran besar akan lebih mampu menampung banyak spesies, karena mampu menampung lebih banyak individu dan karena memiliki habitat yang lebih beragam.
Antara
lingkungan dengan kehidupan satwaliar baik dalam areal yang sempit maupun areal yang luas selalu terjadi hubungan yang bersifat timbal balik (Alikodra 2002). Suatu wilayah bisa dibandingkan dan dinilai berdasarkan luasnya, karena pada umumnya wilayah yang lebih besar dapat menampung spesies yang lebih banyak.
Tetapi luas wilayah tidak begitu berarti bila dibandingkan dengan jumlah habitat dan sumberdaya yang ditampungnya. Pulau-pulau yang luas memiliki jumlah spesies yang lebih besar dari pada pulau-pulau yang sempit (Wolf 1991). Karena pulaupulau yang luas biasanya memiliki tipe lingkungan dan komunitas yang lebih banyak dari pulau-pulau yang kecil. Pulau-pulau yang besar menyediakan kemungkinan isolasi geografis yang lebih sedikit dan jumlah populasi yang lebih besar untuk tiaptiap spesies sehingga memperbesar kemungkinan spesiasi dan memperkecil kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari spesies yang baru datang.
Diasumsikan bahwa penyempitan habitat alami pada suatu pulau yang
memiliki sejumlah spesies akan menyebabkan berkurangnya jumlah spesiesnya (Primack et al. 1998). Mengembangkan sebanyak mungkin tepian karena hidupan liar adalah hasil dimana dua habitat bertemu (Yoakum & Dasmann 1971 diacu dalam Primack et al. 1998). Cagar kecil yang terpecah-pecah menjadi satuan-satuan habitat berukuran kecil mungkin mempunyai jumlah spesies yang tinggi, namun kemungkinan spesiesspesies tersebut pada dasarnya merupakan spesies gulma, yaitu spesies yang keberadaannya tergantung pada dampak kegiatan manusia. Struktur lanskap dapat mempengaruhi pergerakan satwa (Forman & Godron 1986), karena fragmentasi lanskap yang terjadi menyebabkan gap yang memisahkan populasi satwa ke dalam patch-patch habitat dan menghalangi pergerakan satwa. Pergerakan satwa melintasi gap antar patch akan bervariasi antar tiap spesies, tipe patch habitat, tipe matrik, dan faktor lain seperti variasi cuaca, musim, rute alternatif, serta resiko yang mungkin dihadapi predator dan jarak perjalanan (St. Clair et al. diacu dalam Cahyadi 2003). Keterhubungan lanskap ditentukan oleh konfigurasi lanskap yang menyokong keterhubungan habitat dalam bentuk habitat koridor (Bennet 1999 diacu dalam Cahyadi 2003). Wiens (1989) menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis burung makin tinggi pada habitat yang makin luas. Area yang lebih kecil memiliki daya dukung yang lebih rendah untuk populasi burung dan meningkatkan isolasi yang membatasi pergerakan individu antara fragmen (Beeby 1993 diacu dalam Jati 1998). Fragmenfragmen kecil memiliki div ersitas burung yang lebih kecil dari pada fragmen besar. Komposisi spesies dalam fragmen kecil biasanya merupakan subset dari kumpulan
spesies-spesies pada fragmen besar. Pada fragmen yang luas sering dihuni oleh banyak spesies, sedang pada fragmen yang lebih kecil dihuni oleh sejumlah kecil spesies burung (Jati 1998). Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen (Wilcove et al 1986; Shafer 1990 diacu dalam Primack et al. 1998). Primack et al. (1998) juga menyatakan bahwa fragmentasi habitat dapat mengurangi atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas.
Hal ini disebabkan karena
fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan melakukan kolonisasi serta fragmentasi habitat dapat mengurangi daerah jelajah dari hewan asli. Kemudian Wiens (1989) menyatakan bahwa dengan adanya fragmentasi maka merupakan salah satu faktor terjadinya pengelompokan suatu jenis burung. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa suatu habitat yang luas dapat mendukung satu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen mungkin saja tidak ada satu fragmen pun yang dapat mendukung sub populasi yang cukup untuk bertahan.
Habitat yang telah terfragmentasi, berbeda dari habitat
asalnya karena fragmen memiliki daerah tepi yang lebih luas dari pada habitat asal dan daerah tengah (pusat) lebih dekat ke daerah tepi sehingga lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Efek Tepi (Edge Effect) Fragmentasi habitat dapat menambah luas daerah tepi.
Lingkungan mikro
daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 m ke dalam hutan (Laurance 1991 diacu dalam Primack et al. 1998). Primack et al. 1998 menyatakan bahwa daerah tepi hutan memegang peranan penting untuk menjaga komposisi spesies dari fragmen hutan, tetapi dalam proses selanjutnya, komposisi spesies dari daerah tepi hutan akan berubah sehingga daerah sebelah dalam akan semakin berkurang. Daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies penganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke dalam fragmen hutan (Paton 1994 diacu dalam Primack et al. 1998).
Bio-ekologi Burung Penyebaran Burung Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat bukan hutan seperti tanaman perkebunan, tanaman pertanian, pekarangan, gua, padang rumput, savana dan habitat perairan (Alikodra 2002). Secara umum, burung memanfaatkan habitat tersebut sebagai tempat mencari makan, beraktifitas, berkembangbiak dan berlindung. Hernowo (1985) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyebaran jenis burung dengan tingkat dominasi burung, dimana jenis yang memiliki penyebaran dan dominasi yang tinggi maka jenis tersebut lebih survival terhadap perubahan lingkungan yang akan terjadi dan akan lebih sering dijumpai. Penyebaran burung dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap perubahan lingkungan, kompetisi dan seleksi alam (Welty 1982). Penyebaran burung sangat erat kaitannya dengan ketersediaan pakan, sehingga habitat burung berbeda antara jenis satu dengan yang lainnya, dikarenakan jenis makanan yang berbeda pula (Peterson 1980 diacu dalam Mulyani 1985). Banyak spesies burung yang hanya menempati habitat tertentu atau tahapan tertentu dari suatu habitat (Primack et al. 1998). Ada burung yang hidup di hutan lebat, hutan kurang lebat, semak-semak, dan rerumputan. Sebaliknya ada juga burung yang hidup di lapangan terbuka tanpa atau dengan sedikit tumbuhan. Kebanyakan burung-burung ini menemukan makanannya pada tumbuhan atau di tanah. Ada burung yang menangkap burung yang lebih kecil atau serangga sebagai makanannya (Ensiklopedi Indonesia 1992).
Pergerakan
satwaliar baik dalam skala sempit maupun luas merupakan usaha untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Dalam membantu pergerakan tersebut maka diperlukan suatu koridor yang dapat menghubungkan dengan sumber keanekaragaman (Alikodra 2002). Alikodra (2002) menyatakan bahwa penyebaran suatu jenis burung disesuaikan dengan kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan sepe rti pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis.
Burung merupakan kelompok
satwaliar yang paling merata penyebarannya, yang disebabkan karena kemampuan terbang yang dimilikinya.
Keanekaragaman Habitat Burung sebagai salah satu komponen ekosistem memerlukan tempat atau ruang untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat untuk berkembang biak, tempat yang menyediakan kebutuhan tersebut membentuk suatu kesatuan yang disebut habitat (Alikodra 2002). Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar (Alikodra 2002). Habitat secara sederhana dapat dikatakan sebagai tempat hidup burung itu berada. Pada prinsipnya burung memerlukan tempat untuk mencari makan, berlindung, berkembang biak dan bermain. Tempat yang menyediakan keadaan yang sesuai dengan kepentingan diatas disebut dengan habitat (Odum 1993), karena habitat merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah burung (Bibby et al. 2000). Habitat juga berfungsi sebagai tempat untuk bersembunyi dari musuh yang akan menyerang dan mengganggunya (Endah 2002). Dasman (1964) diacu dalam Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat itu terdiri dari elemen-elemen pembentuk sistem yang kompleks disebut ekosistem yang di dalamnya berbagai spesies selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Pengertian lain dari habitat yang dinyatakan Alikodra (2002) yaitu suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar dari populasi yang ada di dalamnya. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi suatu jenis belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda -beda (Alikodra 2002). Dasman (1964), Wiersum (1973), Alikodra (1983), dan Bailey (1984) diacu dalam Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Menurut Alikodra (2002) keanekaragaman habitat dapat dibagi menjadi : 1. Hutan hujan tropis Di dalam hutan hujan tropis terdapat berbagai jenis burung. Jumlah jenis burung yang tinggi di hutan dataran rendah umumnya berkaitan erat dengan perbedaan struktur dan keanekar agaman habitatnya. 2. Hutan gambut Hutan gambut biasanya tersebar di antara hutan hujan dengan hutan rawa. Pada hutan gambut ini jenis satwaliar sangat terbatas.
3. Hutan rawa air tawar Hutan ini berbatasan dengan hutan mangrove, kadang-kadang tergantung air tawar yang kaya akan mineral dengan pH 6 atau lebih, permukaan airnya turun naik sehingga dapat terjadi pengeringan tanah secara periodik. Umumnya jenis burung yang menghuni hutan rawa adalah burung pemakan buah yang khas serta dilindungi yaitu dari famili Bucerotidae. Khususnya di Way Kambas, hutan rawa digunakan sebagai tempat hidup dari berbagai jenis bangau dan kuntul, dan kadang-kadang bebek hutan bersayap putih atau bebek serati. 4. Hutan pantai Hutan ini terdapat di daerah pantai berpasir kering. Vegetasi pada hutan pantai ini toleran terhadap siraman air asin, dan tanah yang miskin hara serta mengalami kering secara musiman. Jenis satwaliar pada hutan ini sangat terbatas. Berbagai jenis burung migrasi seperti Tringa spp., Scolopax spp., sering dijumpai sedang mencari makanan di daerah pantai. 5. Hutan mangrove Hutan ini terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut. Lapisan tajuknya hanya terdiri dari satu lapis. Pada musim berkembang biak berbagai jenis pohon di hutan mangrove digunakan sebagai tempat bersarang burung-burung merandai (Egretta spp. dan Ardea spp.). 6. Hutan produksi Hutan produksi dapat dibedakan menjadi hutan tanaman dan hutan alam. Hutan produksi pada hutan alam umumnya merupakan habitat berbagai jenis burung. Berbeda dengan hutan produksi di hutan alam, jenis pohon pada hutan tanaman lebih terbatas sehingga jenis burung yang ada juga terbatas. 7. Gua karst Gua karst merupakan ekosistem yang khas yang terjadi karena proses kimiawi dan daya erosi. Gua juga merupakan habitat bagi burung seperti walet. Walet bersarang dan berkembangbiak di dalam gua, tetapi mencari makan di luar gua. Burung walet merupakan penghuni beberapa gua di Indonesia. Dari Sulawesi dikenal tiga jenis burung walet, yang semuanya menghuni gua. 8. Daerah persawahan Daerah persawahan merupakan habitat berbagai jenis burung. Burung-burung pemakan ikan, serangga, cacing, dan katak berada di sawah-sawah setelah turun hujan. Sedangkan burung pemakan biji-bijian (bulir padi) datang pada saat tanaman padi berbuah. Jenis burung pemakan biji-bijian yang sering ditemui di areal persawahan antara lain gelatik (Padda oryzivora), bondol (Lonchura maya), bondol peking (Lonchura punctulata) dan manyar (Ploceus m. Manyar). Di samping jenis burung pemakan biji-bijian, di habitat persawahan sering ditemui jenis burung pemakan ikan, ular ataupun katak seperti kuntul (Egretta i. Intermedia) dan blekok (Ardeola speciosa). Daerah persawahan di tepi pantai, juga dipergunakan sebagai habitat beberapa jenis burung migrasi dari kelompok burung wader (berkaki panjang).
9. Pekarangan Pekarangan yang ditanami dengan tanaman buah-buahan, akan mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan burung. Daerah pemukiman penduduk dengan pola pekarangan yang banyak terdapat tanaman buah-buahan dapat menjadi suatu pertahanan yang kokoh untuk pelestarian burung. Umumnya burung pemakan buah datang untuk mencari buah-buahan di pekarangan. Selain untuk mencari makanan, pohon-pohon di pekarangan juga digunakan untuk tempat tidur dan bersarang. Komposisi jenis tanaman pekarangan dapat menentukan komposisi jenis burung. Keanekaragaman tanaman pekarangan mempengaruhi kehadiran berbagai jenis burung. Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan maka nan, tempat untuk istirahat, main, kawin, bersarang, bertengger, dan berlindung. Kemampuan areal menampung burung yang ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat. Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya antara lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo 1985). Kelengkapan komponen habitat mempengaruhi banyaknya jenis burung di habitat tersebut (Mulyani 1985). Kelangsungan hidup burung tidak ha nya ditentukan oleh jumlahnya saja, melainkan harus didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok (Alikodra 2002). Suatu wilayah yang sering dikunjungi burung disebabkan karena habitat tersebut dapat mensuplai makanan, minuman serta berfungsi sebagai tempat berlindung/sembunyi, tempat tidur dan tempat kawin (Boughey 1973; Pyke 1983; Van Noordwijk 1985 diacu dalam Alikodra 2002). Keanekaragaman struktur habitat berpengaruh pada keanekaragaman jenis burung (Bibby et al. 2000). Struktur hutan memberikan penga ruh nyata terhadap burung yang tinggal di dalam habitat tersebut.
Makin beranekaragam struktur
habitat, makin besar keanekaragaman burung (Rohman 1997). Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Secara umum berbagai jenis burung memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 2002).
Welty (1982)
menambahkan bahwa penutupan tajuk, ketinggian tajuk dan keanekaragaman jenis pohon menentukan keanekaragaman jenis burung di suatu tempat. Hubungan burung dengan habitatnya dapat diketahui dengan melakukan pengamatan pemanfaatan burung terhadap habitatnya , yaitu dengan melihat sejauh mana burung tersebut menggunakan fungsi habitat sebagai tempat istirahat, berlindung, mencari pakan dan berkembang biak (Yuda 1995).
Keanekaragaman Jenis Keragaman
merupakan
sifat
komunitas
yang
menunjukkan
tingkat
keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Menurut Krebs (1978) keragaman (diversity) yaitu banyaknya jenis yang biasanya diberi istilah kekayaan jenis (species richnes). Odum (1971) diacu dalam Djunaidah (1994) mengatakan bahwa keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness) dari kelimpahan individu tiap jenis. Krebs (1978) menyebutkan ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas yaitu : waktu, heterogenitas
ruang,
persaingan,
pemangsaan,
kestabilan
lingkungan
dan
produktivitas. Selain ke enam faktor tersebut, Soerianegara (1996) menambahkan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi ditentukan juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis. Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Distribusi vertikal dari dedaunan atau stratifikasi tajuk merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis burung.
Keanekaragaman merupakan khas
bagi suatu komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah individu tiap jenis sebagai komponen penyusun komunitas (Helvoort 1981). Keanekaragaman jenis menyangkut dua hal yaitu kekayaan dan sebaran keseragaman. Indeks keanekaragaman merupakan tinggi rendahnya suatu nilai yang menunjukkan tinggi rendahnya keanekaragaman dan kemantapan komunitas. Komunitas yang memiliki nilai keanekaragaman semakin tinggi maka hubungan antar komponen dalam komunitas akan semakin kompleks. Seorianegara (1996) mengatakan bahwa untuk nilai indeks keanekaragaman di Indonesia dapat dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari 3,5.
Kelimpahan Burung Kelimpahan adalah istilah umum yang digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya dan kecenderungan naik turunnya populasi atau keduanya (Shaw 1985 diacu dalam Mahmud 1991). Kelimpahan erat kaitannya dengan distribusi, sehingga biasanya kedua istilah ini seringkali digunakan bersamasama (Andrewartha & Birch 1954 diacu dalam Mahmud 1991). Kelimpahan dapat dinyatakan juga sebagai jumlah organisme per unit area (kepadatan absolut), atau sebagai kepadatan relatif, yaitu kepadatan dari satu populasi terhadap populasi lainnya (Krebs 1978). Kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu tiap jenis terhadap kelimpahan (jumlah) seluruh individu dalam suatu komunitas (Krebs 1978).
Kelimpahan burung pemakan buah mungkin dapat dihubungkan
dengan kelimpahan pohon yang sedang berbuah (Bibby et al. 2000). Welty (1982) mengemukakan bahwa modifikasi lingkungan alami menjadi lahan pertanian, perkebunan, kota, jalan raya dan kawasan industri berakibat buruk bagi burung.
Walaupun modifikasi tertentu habitat alami dapat membawa
keberuntungan bagi spesies-spesies tertentu, namun secara keseluruhan berakibat merusak kehidupan burung. Faktor sejarah juga penting dalam menentukan pola kekayaan spesies, wilayah de ngan geologi lebih tua memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada wilayah yang lebih muda. Wilayah yang lebih tua memiliki lebih banyak waktu menerima spesies yang tersebar dari bagian dunia dan lebih banyak waktu bagi spesies yang ada untuk menjalani radiasi adaptif pada kondisi lokal. Pola kekayaan spesies juga dipengaruhi oleh variasi lokal seperti topografi, iklim dan lingkungan. Pada komunitas darat, kekayaan spesies cenderung meningkat pada daerah yang lebih rendah, radiasi matahari yang lebih banyak, dan curah hujan. Kekayaan spesies juga lebih besar dimana tidak ada topografi yang rumit yang memungkinkan isolasi genetik, adaptasi lokal, dan spesiasi untuk timbul (Primack et al. 1998). Burung Sebagai Indikator Lingkungan Keanekaragaman burung telah dapat diterima sebagai indikator yang baik bagi keanekaragaman suatu komunitas secara keseluruhan.
Burung dapat menjadi
indikator yang baik bagi keanekaragaman hayati dan perubahan lingkungan (Bibby
et al. 2000). Hal tersebut disebabkan karena satwa burung terdapat hampir di seluruh habitat daratan pada permukaan bumi ini dan bersifat sensitif pada kerusakan lingkungan. Pengetahuan taksonomi dan sebaran burung relatif banyak diketahui, dan lebih baik dibandingkan biota yang berukuran besar dan ke las-kelas lainnya. Penggunaan burung sebagai indikator nilai keanekaragaman hayati merupakan satu jalan tengah yang terbaik antara akan kebutuhan informasi ilmiah yang akurat dengan keterbatasan waktu yang yang ada bagi aksi konservasi (Indrawan & Ermayanti 1997 diacu dalam Primack et al. 1998). Ada beberapa jenis burung yang memiliki kepekaan tertentu terhadap kesehatan lingkungan habitatnya, salah satu diantaranya sebangsa burung raja udang (Sozer et al. 1999).
Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem penanganan dan pengolahan data geografi, yaitu data dan informasi yang terpaut pada bentangan bumi.
Dalam hal ini istilah SIG dikaitkan dengan penerapan komputer dalam
menangani data dan informasi.
Kemudian ada yang mendefinisikan bahwa SIG
adalah suatu sistem perangkat lunak, perangkat keras, prosedur yang dirancang untuk mendukung pemasukan, pengelolaan, analisis, modeling, dan presentasi data spasial/keruangan untuk perencanaan dan praktek-praktek pengelolaan. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa SIG merupakan suatu perkembangan terbaru dalam gap analisis, yang menggunakan komunitas untuk menggabungkan data yang melimpah mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spesies. Fungsi Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografi mempunyai tiga fungsi utama, yaitu : 1) Menyimpan, mengelola dan mengintegrasikan sejumlah data spasial yang telah terambil. 2) Mengartikan dan menganalisis data komponen geografis yang berhubungan secara khusus. 3) Mengorganisasikan dan mengelola sejumlah data dengan berbagai cara sehingga informasi dapat diperoleh dengan mudah oleh para pengguna. Hasil
dalam SIG tidak hanya berisi peta-peta atau gambar, tetapi juga konsep pangkalan data (database) yang merupakan input dari SIG ( ESRI 1990). Tidak jauh berbeda dengan pernyataan dari ESRI (1990), Primack et al. (1998) juga menyatakan bahwa pada dasarnya pendekatan SIG meliputi penyimpanan, penampilan dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam, seperti tipetipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi-distribusi spesies. Pendekatan ini dapat menunjukkan korelasi antara elemen-elemen biotik dan abiotik dalam lanskap. Komponen Dasar Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis mempunyai empat komponen dasar, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data serta operator/sumberdaya manusia . Komponen tersebut saling berhubungan. Perangkat keras berupa komputer yang dilengkapi dengan alat masukan (digitizer, keyboard), alat penyimpan (hard disk, CD Rom), alat untuk memproses atau processor dan alat untuk pengeluaran (printer, plotter). Perangkat lunak merupakan komponen untuk mengintegrasikan berbagai macam data masukan yang akan diproses dalam SIG. Data merupakan komponen utama yang akan diproses dengan menggunakan SIG sesuai dengan kebutuhannya. Sumberdaya manusia merupakan pengguna sistem dan yang mengoperasikan perangkat lunak maupun perangkat keras. Sistem Informasi Geografis mempunyai lima komponen sub-sistem, yaitu proses pemasukan data dan pembetulan, penyimpan data dan pengolah data dasar, keluaran data dan penyajian, transformasi data, dan interaksi dengan pengguna (Purwadhi 1999). Pangkalan Data (Data base) Data dan informasi dalam SIG ditetapkan oleh dua unsur pokok, yaitu: 1. Data Spasial (lokasional atau kartografik), yaitu posisi yang berhubungan dengan tempat dan kedudukan obyek dalam ruang, dimana dalam suatu peta disajikan dalam bentuk titik, garis dan poligon tersebar pada kerangka geografis. 2. Data Atribut (deskriptif atau tematik), yaitu ciri dasar yang menguraikan perbedaan obyek satu dengan yang lain untuk tujuan pengenalan (Burrough 1986 diacu dalam Prasetyo 1998). Sistem Informasi Geografis mendeskripsikan obyekobyek dipermukaan bumi dalam tiga hal, yaitu (1) data spasial yang berkaitan
dengan koordinat geografis (lintang, bujur, ketinggian), (2) data atribut yang tidak berkaitan dengan posisi geografis (iklim, jenis tanah, dan sebagainya), (3) hubungan data spasial, atribut dan waktu (Widjojo 1993). Pada umumnya, model pangkalan data dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu : (1) model hierarki, yaitu menghimpun data untuk area yang lebih kecil sehingga area tersebut terkelompok dipadukan menjadi area yang lebih besar, (2) model jaringan (eksak), yaitu membuat jaringan dimana informasi pada satu file komputer terdiri dari banyak feature geografi dan informasi tambahan pada file lainnya tentang kumpulan feature yang sama, (3) model relasional (fuzzy ), yaitu mengga bungkan dua kumpulan data dan mencatat kombinasinya (ESRI 1990). Perangkat Lunak ( Software) Arc/Info ARC/INFO merupakan suatu SIG berbasis vektor yang dikembangkan oleh Environment System Research Institute (ESRI). ARC/INFO adalah perangkat lunak yang digunakan untuk otomatisasi, manipulasi, analisis dan menampilkan data geografi dalam bentuk digital. Sebagai SIG, ARC/INFO dapat menampung data mengenai obyek-obyek spasial beserta atributnya dalam pangkalan data sebagai abstraksi dari obyek-obyek geografi, serta memanipulasinya sesuai sudut pandang dan kepentingan pemakai (ESRI 1990).
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu terletak pada koordinat geografis 106o48’45” – 107o00’30” Bujur Timur dan 6o 36’30” – 6o 46’30” Lintang Selatan. Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu berada di wilayah administrasi Pemerintah Daerah Bogor, Propinsi Jawa Barat. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kotamadya Bogor (Kecamatan Bogor Timur dan Bogor Selatan). Luas DAS Ciliwung Hulu adalah ± 14,876 ha yang terdiri dari empat sub DAS, yaitu: a. Sub DAS Ciesek seluas 2452,78 ha b. Sub DAS Hulu Ciliwung seluas 4593,03 ha c. Sub DAS Cibogo Cisarua seluas 4110,34 ha d. Sub DAS Ciseuseupan Cisukabirus seluas 3719,85 ha Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 14,876 ha yang merupakan daerah pegunungan (Tabel 1). Pada bagian hulu paling sedikit terdapat tujuh sub DAS yaitu Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan dan Katulampa (Prasetyo et al. 2004). Tabel 1. Luas wilayah berdasarkan perbatasan sub-sub DAS Ciliwung Hulu Kecamatan
Sub DAS Ciesek (Ha)
Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Bogor timur Jumlah
0 233.80 2218.98 0 0 2452.78
Sub DAS Hulu Ciliwung (Ha) 0 2739.95 853.08 0 0 4593.03
Sub DAS Cibogo Cisarua (Ha)
Sub Das Ciseuseupan Cisukabirus (Ha)
Total (ha)
83.76 2962.48 1064.10 0 0 4110.03
1261.02 0 1868.52 221.47 368.84 3719.85
1344.78 6936.23 6004.68 221.47 368.84 14876
Sumber : BRLKT (2001)
Iklim Unsur iklim yang dapat mempengaruhi DAS adalah curah hujan dan lamanya hari hujan. Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu mempunyai curah hujan rata-rata 2929 - 4956 mm/tahun. Perbedaan bulan basah dan bulan kering sangat mencolok, yaitu 10,9 bulan basah per tahun dan hanya 0,6 bulan kering per tahun. Tipe iklim
DAS Ciliwung Hulu menurut sistem klasifikasi Smith & Ferguson yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu bulan basah (> 200 mm) dan bulan kering (< 100 mm) adalah termasuk kedalam tipe curah hujan A (BRLKT 2001). Prasetyo et al. (2004) menyatakan bahwa rata-rata curah hujan tahunan berkisar dari 1000 mm di hilir sampai 4500 mm di bagian hulu. Tanah dan Geologi Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah DAS Ciliwung Hulu meliputi jenis komplek Aluvial kelabu, Andosol coklat dan Regosol coklat, Latosol coklat, dan Latosol coklat kemerahan.
Jenis tanah yang tersebar secara luas di sub DAS
Ciliwung Hulu adalah Latosol coklat kemerahan dan Latosol coklat sebesar 32,89% dari total luas areal sub DAS. Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dibangun oleh formasi geologi volkanik, yaitu komplek utama Gunung Salak dan komplek Gunung Pangrango. Wilayah ini merupakan daerah pengunungan dengan elevasi antara 300 sampai 3000 mdpl. Bahan induk yang terdapat pada DAS Ciliwung Hulu adalah berupa tufa volkanik dan merupakan dasar pembentuk tanah jenis Latosol. Adanya pencampuran bahan volkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol adalah Regosol dan Andosol. Jenis tanah Latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya > 90 cm, dan agak tahan terhadap erosi, serta pH tanah yang agak netral dan kandungan bahan organik yang rendah atau sedang. Geomorfologi, Topografi dan Bentuk wilayah Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran vulkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung seluas 3767,76 ha dan sebagian kecil merupakan aluvial sungai seluas 255,33 ha.
Berdasarkan toporafinya DAS Ciliwung Hulu
bervariasi antara datar, landai, agak curam dan sangat curam.
Wilayah dengan
kelerengan 15% dan 40% sangat menyebar luas dan mendominasi wilayah DAS Ciliwung Hulu. Berdasarkan data dari Prasetyo et al. (2004), bahwa daerah hulu didominasi oleh hutan, belukar dan perkebunan teh (Tabel 2).
Tabel 2. Pola penutupan lahan di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu Jenis Penutupan Lahan di DAS Ciliwung Hulu 1. Hutan 2. Kebun campuran 3. Semak belukar 4. Ladang 5. Sawah 6. Kebun teh 7. Daerah terbangun 8. Situ/sungai 9. Tidak ada data
Luas Ha 5183,5 5136,2 365,3 595,9 165,2 1180,9 1336,2 115,2 1244,1
% 33,8 33,5 2,4 3,9 1,1 7,7 8,7 0,8 8,1
Sumber : Prasetyo et al. (2004)
Hidrologi Kondisi tata air di DAS Ciliwung Hulu dibentuk dari beberapa aliran air dari berbagai hulu sungai yang mengalir melalui anak-anak sungai dan selanjutnya bergabung kedalam suatu tangkapan sungai utama yaitu Sunga i Ciliwung. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kemiringan yang tinggi. Pada bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.
Gambar 1. Citra DAS Ciliwung Hulu tahun 2003
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dua tempat. Pengambilan data lapangan dilakukan di hutan tanaman Pinus yang terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu. Pengolahan dan analisis citra dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.
Pengambilan data keanekaragaman jenis burung
dilakukan pada bulan Juni 2005 sampai Juli 2005 (Tabel 3) . Tabel 3. Lokasi pengamatan keanekaragaman jenis burung Hutan Tanaman Pinus Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D
Jumlah Titik Pengamatan 6 6 6 6
Bentuk Pengambilan Data Transek jalur Transek jalur Transek jalur Transek jalur
Penggunaan Lahan Sekitar yang Berpengaruh Daerah perkebunan teh Daerah pemukiman Daerah riparian Dekat hutan alam
Pemilihan lokasi berdasarkan pada bentuk patch , luas patch, jarak dari lokasi ke sumber keanekaragaman dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Pada lokasi A untuk melihat pengaruh perkebunan teh terhadap keanekaragaman jenis burung. Lokasi B untuk melihat pengaruh pemukiman terhadap keanekaragaman jenis burung. Lokasi C dipilih untuk melihat pengaruh keberadaan sungai terhadap jenis burung. Pada lokasi D untuk melihat pengaruh hutan alam. Berdasarkan pernyataan Utari (2000) bahwa kondisi vegetasi stratifikasi yang lengkap akan meningkatkan relung bagi burung yang ada di dalamnya.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelit ian ini adalah burung dan habitat sebagai objek yang diamati, data spasial kawasan DAS Ciliwung Hulu yang terdiri dari citra Ikonos tahun 2003 dan peta rupa bumi skala 1 : 25.000. Peralatan yang digunakan di lapangan adalah alat tulis, kamera, Global Positioning System (GPS), binokuler, buku panduan pengenalan jenis burung, pencatat waktu, pita ukur, kompas serta tape recorder dan kaset untuk merekam suara burung.
Alat yang digunakan untuk
mengolah dan menganalisis citra adalah satu paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan lunak) termasuk Pc dan software Arc View 3.2. Teknik Pengumpulan Data Survey Pendahuluan Survey pendahuluan dilakukan untuk mengetahui keadaan di lapangan dan mengetahui lokasi pengamatan tersebut.
Pengambilan titik-titik di lapangan
menggunakan Global Positioning System (GPS) yang digunakan untuk geokoreksi citra dan membantu untuk kegiatan klasifikasi penutupan lahan.
Survey ini
dilakukan untuk memastikan bahwa lokasi tersebut adalah hutan tanaman Pinus. Selain itu juga dilakukan studi literatur untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian. Pengumpulan Data Burung di Lapangan Pengambilan data burung di lapangan dilakukan inventarisasi dengan menggunakan metode IPA (Indices Ponctuels d’Abondence). Metode ini cocok digunakan untuk suatu area yang luas dan seragam. Dalam metode ini, pengamat berhenti pada suatu titik di habitat yang diamati, dan menghitung semua burung yang terdeteksi selama selang waktu 20 menit. Pengamatan dimulai pada pagi hari pukul 06.00 - 09.00 WIB pada jalur pengamatan yang telah ditentukan. Penentuan jalur pengamatan di lapangan dilakukan secara terarah, agar burung yang ditemui adalah jenis burung yang ada di habitat tersebut.
Hasil yang didapat dengan metode ini
berupa kelimpahan relatif. Pada setiap lokasi di buat 6 titik pengamatan dan jarak antar titik adalah 200 m dengan pengulangan sebanyak 5 kali setiap lokasi.
Banyaknya lokasi, plot tiap
lokasi dan ulangan pengamatan yang diambil karena pertimbangan biaya, waktu dan kemampuan pengamat. Data burung yang diambil saat pengamatan adalah jenis burung, jumlah individu dan aktivitas burung (Gambar 2).
200 m 1000 m
Gambar 2.
Bentuk titik pengamatan dengan menggunakan metode Point Count atau IPA
Pengumpulan Data Spasial DAS Ciliwung Hulu Pengumpulan data spasial dilakukan dengan mengumpulkan citra Ikonos tahun 2003 dan peta rupa bumi. Posisi titik pengamatan ditandai dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Adapun data yang diambil di lapangan yaitu titik-titik untuk geokoreksi pada hutan tanaman dan pengamatan penggunaan lahan di sekitar lokasi pengamatan burung. Pengambilan Data Habitat Pengamatan struktur vertikal penutupan tajuk dilakukan dengan membuat diagram profil pohon.
Dalam pengukuran struktur vertikal, dibuat petak ukur
pengamatan berukuran 50 x 20 m.
Pengukuran dilakukan terhadap kedudukan
vegetasi, penutupan tajuk, arah tajuk, tinggi tajuk, tinggi bebas cabang vegetasi dan diameter batang setinggi dada.
Pengambilan data habitat ini dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana pemanfaatan habitat oleh burung-burung yang ada di lokasi penelitian. Pengolahan Data Kelimpahan Burung Kelimpahan burung merupakan total jumlah individu burung yang ditemukan selama pengamatan. Perhitungan jumlah dari jenis-jenis burung yang ada dengan melihat nilai kelimpahan tiap-tiap spesies (van Balen, 1984) yaitu : Pi =
∑
burung spesies i total burung
dimana Pi = nilai kelimpahan
Keanekaragaman Jenis Burung Menurut Odum (1993) untuk melihat nilai keanekaragaman jenis dapat dilakukan dengan mengunakan rumus berikut : H’ =∑ Pi ln Pi
Dimana : H’ = nilai keanekaragaman jenis
Untuk mengetahui penyebaran individu burung diukur dari nilai keseragaman antar jenis burung (Odum 1993), sebagai berikut : E
=
H' LnS
dimana : S = banyaknya jenis burung tiap plot e = nilai keseimbangan antar jenis
Sebaran Burung Sebaran burung dapat dianalisa dengan mengunakan rumus : Frekuensi Jenis (Fj)
=
Jumlah plot ditemukan suatu jenis burung Jumlah seluruh plot contoh
Frekuensi Relatif (FR)
=
Frekuensi suatu jenis × 100 % Frekuensi seluruh jenis
Dominans i Jenis Burung Burung dikatakan dominan dalam suatu habitat apabila kerapatan relatifnya lebih besar dari 5%, memiliki kerapatan sedang apabila kerapatan relatifnya 2-5% dan dikatakan tidak dominan jika kerapatan relatifnya kurang dari 2 % (Helvoort, 1981). Nilai kerapatan relatif didapatkan dari rumus : Kerapatan Jenis (Kj) Kerapatan Relatif (KR)
Jumlah suatu jenis Luas plot contoh Kerapatan suatu jenis = × 100 % Kerapatan seluruh jenis =
Indeks Kesamaan Jenis Burung Kesamaan jenis burung di tiap lokasi dapat dilihat dengan indeks kesamaan jenis (Similarity Index) dengan melakukan analisis dendrogram.
Indeks yang
digunakan adalah indeks kesamaan jenis Jaccard (1901) diacu dalam Krebs (1978). Similarity Index (SI) =
a a+b +c
Dimana : a = Jumlah jenis yang umum di komunit as A dan B b = Jumlah jenis yang ada di komunitas A tapi tidak ada di komunitas B c = Jumlah jenis yang ada di komunitas B tapi tidak ada di komunitas A
Pengolahan Data Spasial Elemen Lanskap Pengolahan data spasial dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Geografis digunakan untuk menggabungkan data spasial dan data atribut, melakukan penampalan (overlay) data-data spasial. Pengolahan citra dilakukan dalam beberapa tahapan (Gambar 3). Citra Ikonos
Penentuan lokasi pengamatan
Pemotongan citra dengan buffering point 500 m Klasifikasi citra dengan screen digitizing
Citra hasil klasifikasi Cek lapangan Peta lokasi pengamatan Gambar 3. Proses pengolahan citra Ada beberapa tahapan analisis citra dengan ikonos untuk mendeteksi tingkat keanekaragaman burung pada lokasi pengamatan di DAS Ciliwung Hulu adalah : 1. Pemotongan Citra (Subset Image ) Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi objek studi. Dibuat dengan buffering point dengan jarak 500 m dari lokasi penelitian. 2. Pengklasifikasian Citra (Image Clasification) Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya di lapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian.
Tahapan klasifikasi dilakukan dengan metode screening digitiser yakni dengan mendeliniasi pola -pola penggunaan lahan yang ada secara visual pada layar monitor menggunakan Arc View 3.2. 3. Meletakkan titik-titik pengamatan, sehingga terbentuk peta baru. Dalam peta baru dilakukan pengukuran kuantitas elemen lanskap. Menurut Elkie et al. (1999) untuk mengetahui data kuantitas lanskap dapat digunakan Patch Analisys dengan software Arc View sehingga dapat diketahui nilainilai sebagai berikut : a. Class Area (CA)
: jumlah keseluruhan area dari patch pada kelas yang sama
b. Total Lanscape Area (TLA)
: total lanskap
c. Number of Pathces (NumP)
: jumlah keseluruhan patch
d. Mean Patch Size (MPS)
: rata-rata luasan patch
e. Median Patch Size (MePS)
: nilai tengah luasan patch
f. Patch Size of Standard Deviation (PSSD)
: standar deviasi pada patch, bila PSSD = 0 maka patch memiliki ukuran yang sama atau hanya ada satu patch
g. Patch Size Coefficient of Variance (PSCoV): koefisien variansi dari patch (PSSD/MPS x 100%) h. Total Edge (TE)
: total perimeter edge
i. Edge Density (ED)
: jumlah edge relatif terhadap total area (TE/TLA)
j. Mean Patch Edge (MPE)
: rata-rata panjang edge per patch (TE/NumP)
k. Mean Perimeter-Area Ratio (MPAR)
: jumlah dari rasio perimeter dengan luasan patch dibagi jumlah patch
l. Mean Shape Index (MSI)
: kekomplekan bentuk yaitu jumlah tiap perimeter patch dibagi dengan akar pangkat dua luasan patch, kemudian dibagi dengan poligon
m. Area-Weighted Shape Index (AWSI)
:area yang penting bagi kekomplekan bentuk
n. Mean Patch Fractal Dimension (MPFD)
:mengukur
tingkat
kekomplekan
bentuk o. Area-Weighted Mean Patch Fractal Dimension :area
yang
penting
bagi
kompleksitas bentuk p. Shannons Diversity Index (SDI)
: mengukur keragaman patch
q. Shannons Evennes Index (SEI)
: mengukur distribusi dan kelimpahan patch.
Alur kerja dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Citra Ikonos Tahun 2003
Interpretasi secara screnn digitizing Penggunaan lahan
Ground checking Peletakan plot contoh pengamatan
Pengambilan data keanekaragaman jenis burung
Pengukuran data kuantitatif lanskap dengan Patch Analysis
Pengaruh lanskap terhadap keanekaragaman jenis burung Gambar 4. Bagan alir penelitian Analisis Data Hasil Patch analisys diuraikan secara deskriptif untuk melihat pengaruh faktor lanskap terhadap keanekaragaman jenis burung.
Gambar 5. Peta lokasi penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Kondisi Lanskap di Lokasi Penelitian Dari hasil interpretasi citra Ikonos tahun 2003 didapatkan informasi bahwa lokasi C memiliki jarak yang paling dekat dengan hutan alam yaitu 1100 m. Lokasi yang paling jauh dengan hutan alam adalah lokasi A yaitu 2888 m. Pada lokasi B dan D memiliki jarak sejauh 2657 dan 1677 m dari hutan alam sebagai sumber keanekaragaman yang paling tinggi. Hasil pengukuran ketinggian tempat dengan bantuan Global Positioning System (GPS) diketahui bahwa lokasi A dan D berada pada ketinggian 1100-1200 mdpl. Lokasi B berada pada ketinggian 1000-1100 mdpl dan lokasi C berada pada ketinggian yang paling rendah yaitu 950-960 mdpl. Kondisi lanskap lokasi penelitian yang dipengaruhi oleh jarak ke hutan alam dan ketinggian tempat diduga dapat berpengaruh terdapat keanekaragaman jenis burung yang dijumpai di lokasi penelitian. Dari hasil pengamatan dapat dijumpai 16 jenis burung di lokasi A dan B. Jumlah jenis burung yang paling banyak dijumpai adalah pada lokasi C yaitu 27 jenis. Pada lokasi D dijumpai sebanyak 16 jenis burung (Tabel 4). Tabel 4. Jarak ke hutan alam dan ketinggian tempat di lokasi penelitian. Lokasi Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D
Jarak (m) 2888 2657 1100 1677
Ketinggian (mdpl) 1100-1200 1000-1100 950-960 1100-1200
Juml ah Jenis 16 16 27 22
Elemen Lanskap pada Lokasi Penelitian Elemen lanskap yang menyusun suatu kawasan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Hasil interpretasi pada citra Ikonos tahun 2003 dan hasil pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa penutupan lahan pada ke 4 lokasi penelitian memiliki elemen penyusun lanskap yang berbeda. Pada lokasi A dan B terdiri dari 8 elemen penyusun lanskap, lokasi C disusun sebanyak 10 elemen , dan lokasi D tersusun atas 11 elemen lanskap.
Hasil interpretasi dan analisis citra didapatkan nilai kuantitatif lanskap plot contoh penelitian yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis data lanskap luas area, patch , dan edge dengan menggunakan Patch /Habitat Analys is pada lokasi penelitian.
Penggunaan lahan Pemukiman Kebun campuran Pertanian lahan kering Rumput Semak belukar Tanah kosong Hutan pinus Kebun teh Total lanskap Sawah Pemukiman Kebun campuran Rumput Pertanian lahan kering Tanah kosong Semak belukar Hutan pinus Total lanskap Pemukiman Sawah Pertanian lahan kering Hutan alam Kebun campuran Kebun teh Tanah kosong Rumput Hutan pinus Semak belukar Total lanskap Tanah kosong Kebun campuran Pemukiman Pertanian lahan kering Semak belukar Rumput
CA (ha) 7.40 8.76
NUMP 39 35
14.47 7.30 32.99 5.19 12.89 35.76 124.77
37 26 21 19 16 2 195
18.61 47.13 45.31 3.28
9 135 54 16
66.96 2.10 5.07 15.21 203.67
96 11 18 2 341
12.48 18.78
46 19
145.06 29.66 27.86 5.95 2.62 0.38 44.54 7.50 294.82
176 2 36 4 1 3 9 15 320
4.49 23.04 13.30 57.55 37.61 10.14
LOKASI A MPS PSCoV (ha) (%) 0.19 295.59 0.25 132.97
PSSD (ha) 0.56 0.33
TE (m) 7306.62 12192.19
ED (m/ha) 58.56 97.72
MPE (m) 187.35 348.35
0.39 143.68 0.28 133.23 1.57 204.24 0.27 88.56 0.81 125.52 17.88 95.72 0.64 431.41 LOKASI B 2.07 124.10 0.35 265.39 0.84 156.97 0.20 106.54
0.56 0.37 3.21 0.24 1.01 17.12 2.76
12291.83 8294.27 15994.23 6250.22 8214.29 5602.89 76146.53
98.52 66.48 128.19 50.09 65.84 44.91 610.29
332.21 319.01 761.63 328.96 513.39 2801.45 390.50
2.57 0.93 1.32 0.22
7488.58 40075.06 35099.43 4235.15
36.77 196.76 172.33 20.79
832.06 296.85 649.99 264.70
0.70 151.86 0.19 137.17 0.28 83.00 7.61 72.37 0.60 217.58 LOKASI C 0.27 214.18 0.99 162.68
1.06 0.26 0.23 5.50 1.30
45916.41 2538.80 5285.41 6388.25 147027.08
225.44 12.47 25.95 31.37 721.88
478.30 230.80 293.63 3194.12 431.16
0.58 1.61
11120.17 13144.97
37.72 44.59
241.74 691.84
1.60 1.85 1.08 1.85 0.21 0.06 8.52 0.85 2.38
92117.87 9162.57 19523.54 2301.25 2928.39 560.49 13763.59 5319.71 169942.54
312.46 31.08 66.22 7.81 9.93 1.90 46.68 18.04 576.43
523.40 4581.28 542.32 575.31 292.84 186.83 1529.29 354.65 531.07
11 47 93
0.82 193.57 14.83 12.51 0.77 139.81 1.49 124.15 0.26 78.93 0.13 44.46 4.95 172.21 0.50 171.03 0.92 257.81 LOKASI D 0.41 127.71 0.49 137.03 0.14 245.51
0.52 0.67 0.35
3785.21 21764.98 15720.33
15.72 90.36 65.27
344.11 463.08 169.04
43 19 52
1.34 1.98 0.19
3.03 2.46 0.20
27236.66 17108.36 12916.07
113.08 71.03 53.62
633.41 900.44 248.39
226.30 124.24 102.93
Tabel 5 (Lanjutan) Penggunaan lahan Sawah Hutan pinus Hutan tanaman Kebun teh Hutan alam Total lanskap
CA (ha) 3.73 36.67 22.01 22.83 9.49 240.86
NUMP 3 13 4 2 1 288
MPS (ha) 1.24 2.82 5.50 11.41 9.49 0.84
PSCoV (%) 54.55 186.35 137.61 79.14 0.00 302.82
PSSD (ha) 0.68 5.26 7.57 9.03 0.00 2.53
TE (m) 2138.99 13196.82 5690.79 4452.76 2260.36 126271.34
ED (m/ha) 8.88 54.79 23.63 18.49 9.38 524.25
MPE (m) 713.00 1015.14 1422.70 2226.38 2260.36 438.44
Sumber : Ikonos Tahun 2003
Keterangan : CA = Class Area; NumP = Number of Pacthes ; MPS = Mean Patch Size; PSCoV = Patch Size Coefficient of Variance; PSSD = Patch Size of Standard Deviation; TE = Total Edge; ED = Edge Density; MPE = Mean Patch Edge.
Pengaruh Faktor Lanskap Terhadap Jenis Burung Luas Area. Matriks merupakan habitat homogen yang paling berbeda dalam suatu lanskap. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada lokasi A tipe penggunaan lahan yang merupakan matriks adalah kebun teh (35,76 ha). Matriks pada lokasi B (66,96 ha), C (145,06 ha) dan D (57,55 ha) adalah pertanian lahan kering. Luas total lanskap pada lokasi A (124,77 ha), lokasi B (203,67 ha), lokasi C (294,82 ha) dan lokasi D (240,86 ha). Patch. Nilai Number of Patches (NumP) menunjukkan banyaknya patch pada tiap penutupan lahan. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pemukiman memiliki jumlah patch yang paling banyak di lokasi A (39), lokasi B (135) dan lokasi D (93). Pada lokasi C, pertanian lahan kering memiliki jumlah patch yang paling banyak (176). Jumlah total patch pada lokasi A adalah 195, lokasi B (341); lokasi C (320) dan lokasi D (288). Nilai Mean Patch Size (MPS) merupakan nilai rata-rata ukuran patch. Nilai MPS terbesar pada lokasi A terdapat pada kebun teh (17,88 ha).
Hutan Pinus
memiliki nilai MPS terbesar di lokasi B yaitu 7,61 ha. Lokasi C memilik i nilai MPS terbesar pada hutan alam yaitu 14,83 ha. Pada lokasi D dengan nilai MPS terbesar pada kebun teh (11,41 ha). Nilai MPS untuk total lanskap lokasi A dan lokasi B tidak terlalu berbeda jauh yaitu 0,64 ha dan 0,60 ha. Nilai MPS lokasi C dan lokasi D masing-masing 0,92 ha dan 0,84 ha. Informasi mengenai variasi keseragaman luas patch ditunjukkan oleh nilai Patch Size of Standard Deviation (PSSD). Lokasi A memiliki nilai PSSD sebesar 17,12 ha pada tipe penggunaan lahan kebun teh. Pada lokasi B dan C nilai PSSD
paling besar terdapat pada hutan pinus seluas 5,50 dan 8,52 ha. Lokasi D memiliki nilai PSSD paling besar pada kebun teh yaitu 9,03 dan hutan alam memiliki nilai PSSD = 0. Nilai total lanskap untuk PSSD pada lokasi A yaitu 3,21; lokasi B (1,30); lokasi C (2,38) dan lokasi D (2,53).
Gambar 6. Penutupan lahan pada lokasi A.
Nilai Patch Size Coeeficient of Variance (PSCoV) yang paling besar di lokasi A, B, C dan D adalah pemukiman yaitu 295,5; 265,39; 214,18 dan 245,51%. Pada lokasi D terdapat nilai PSCoV = 0 yaitu pada penutupan lahan hutan alam. Nilai PSCoV untuk total lanskap di lokasi A yaitu 431,41%; lokasi B (217,58%); lokasi C (257,81%) dan lokasi D (302,82%).
Gambar 7. Penutupan lahan pada lokasi B.
Edge . Pada lokasi A nilai TE paling besar terdapat pada semak belukar yaitu 14027,34 m. Total edge pada lokasi B (45916,41 m); lokasi C (92117,87 m) dan lokasi D ( 27236,66 m) memiliki nilai paling besar pada pertanian lahan kering. Total Edge untuk total lanskap area pada lokasi A yaitu sepanjang 76146,53 m. Total Edge untuk lokasi B yaitu 147027,08 m.
Lokasi C memiliki nilai TE sebesar
169942,54 m dan lokasi D sebesar 126271,34 m.
Gambar 8. Penutupan lahan pada lokasi C.
Nilai Edge Density (ED) merupakan jumlah relatif edge untuk area lanskap atau menunjukkan besarnya kepadatan edge.
Nilai ED terbesar pada lokasi A
terdapat pada semak belukar 128,19 m/ha. Pertanian lahan kering memiliki nilai ED terbesar pada lokasi B (225,44 m/ha), C (312,46 m/ha ) dan D (113,08 m/ha). Nilai ED untuk total lanskap pada lokasi A sebesar 610,29 m/ha, lokasi B dengan nilai ED 721,88 m/ha. Nilai ED pada lokasi C yaitu 576,43 m/ha dan lokasi D sebesar 524,25 m/ha. Nilai MPE (Mean Patch Edge) terbesar di lokasi A terdapat pada kebun teh yaitu 2801,45 m. Hutan pinus di lokasi B memiliki nilai MPE terbesar yaitu 3194,12 m. Pada lokasi C dan D, hutan alam memiliki nilai MPE terbesar yaitu 4581,28 dan 2260,36 m. Nilai MPE untuk total lanskap terbesar ditemukan pada lokasi C yaitu 531,07 m, kemudian disusul oleh lokasi D sebesar 438,44 m, lokasi B dengan MPE sebesar 431,16 m dan yang terakhir lokasi A yaitu 390,50 m. Nilai kuantitaf lanskap berupa kekomplekan bentuk, keanekaragaman dan distribusi patch disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai kuantitatif lanskap dari rasio perimeter area, kekomplekan bentuk, tingkat kompleksitas bentuk, keragaman dan distribusi patch pada lokasi penelitian.
Penggunaan Lahan Pemukiman Kebun campuran Pertanian lahan kering Rumput Semak belukar Tanah kosong Hutan pinus Kebun teh Total Lanskap
MSI 1.25 1.77 1.44 1.59 1.74 1.63 1.51 1.81 1.54
Sawah Pemukiman Kebun campuran Rumput Pertanian lahan kering Tanah kosong Semak belukar Hutan pinus Total Lanskap
1.63 1.33 1.81 1.53 1.54 1.38 1.40 2.58 1.49
LOKASI A MPAR (m/ha) 2276.37 1912.17 1382.89 1813.21 1080.02 1660.61 1240.47 408.50 1686.72 LOKASI B 890.38 1675.55 1209.22 1801.09 1188.20 1880.86 1316.53 389.80 1429.80
MPFD 1.05 1.13 1.09 1.11 1.12 1.12 1.08 1.10 1.10
SDI 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.10
SEI 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.95
1.10 1.06 1.12 1.11 1.09 1.08 1.08 1.14 1.08
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.64
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.79
Tabel 6 (Lanjutan)
Penggunaan Lahan Pemukiman Sawah Pertanian lahan kering Hutan alam Kebun campuran Kebun teh Tanah kosong Rumput Hutan pinus Semak belukar Total lanskap
MSI 1.28 1.58 1.51 3.05 1.59 1.39 1.51 1.31 1.74 1.44 1.50
Tanah kosong Kebun campuran Pemukiman Pertanian lahan kering Semak belukar Rumput Sawah Hutan pinus Hutan tanaman Kebun teh Hutan alam Total lanskap
1.57 1.74 1.22 1.57 1.68 1.47 1.59 1.67 1.63 1.64 1.83 1.48
LOKASI C MPAR (m/ha) 1936.30 938.46 1063.35 326.05 1370.22 985.70 1409.80 1525.73 592.60 1249.55 1221.01 LOKASI D 1486.34 1473.01 1920.36 1075.53 878.71 1719.95 612.97 783.92 597.83 252.00 238.20 1499.02
MPFD 1.05 1.08 1.09 1.18 1.10 1.07 1.10 1.07 1.09 1.08 1.08
SDI 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.57
SEI 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.68
1.11 1.13 1.05 1.09 1.10 1.10 1.09 1.10 1.09 1.08 1.11 1.09
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.14
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.89
Sumber : Ikonos Tahun 2003
Keterangan : MSI = Mean Shape Index; MPAR = Mean Perimeter-Area Ratio; MPFD = Mean Patch Fractal Dimention; SDI = Shannons Diversity Index; SEI = Shannons Ev eness Index.
Ukuran kompleksitas dari bentuk bisa dilihat dari shape metrics. Nilai yang bisa dihitung pada shape metrics adalah Mean Shape Index (MSI).
Lokasi A
memiliki nilai MSI sebesar 1,54, diikuti oleh lokasi B sebesar 1,49, lokasi C sebesar (1,50) dan lokasi D sebesar 1,48. Nilai MPAR terbesar terdapat pada lokasi A (1686,72 m/ha), diikuti oleh lokasi D (14,99 m/ha), kemudian pada lokasi B (1429,80 m/ha) dan MPAR terkecil terdapat pada lokasi C (1221,01 m/ha). Nilai
Mean
Patch
Fractal
Dimension
(MPFD)
juga
menunjukkan
kekomplekan bentuk patch. Nilai MPFD pada lokasi A (1,10); lokasi B (1,08); lokasi C (1,08) dan lokasi D (1,09).
Gambar 9. Penutupan lahan pada lokasi D.
Keanekaragaman dan Distribusi Patch dalam Lanskap. Keanekaragaman patch pada suatu lanskap bisa dilihat dari nilai Shannons Index Diversity (SDI). Nilai SDI paling besar terdapat pada lokasi D (2,14), kemudian lokasi A (2,10), diikuti oleh lokasi B (1,64) dan yang paling kecil terdapat di lokasi D (1,57). Kelimpahan dan distribusi patch ditunjukkan oleh nilai Shannons Evenness Index (SEI). Nilai SEI pada lokasi A merupakan nilai yang paling besar (0,95), kemudian lokasi D (0,89), disusul oleh lokasi B (0,79) dan yang paling kecil adalah lokasi C (0,68). Lokasi A memiliki distribusi patch yang merata dibandingkan lokasi lainnya.
a
b
c Gambar 10 (a) Hutan pinus di lokasi D, (b) Hutan pinus di lokasi A, (c) Hutan pinus di lokasi B.
Pengaruh Penggunaan Lahan di Sekitar Lokasi Terhadap Jenis Burung Kondisi lanskap pada lokasi contoh dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Pada lokasi A dapat ditemukan jenis Cica-koreng Jawa (Megalurus palutris) yang merupakan salah satu jenis burung khas yang menggunakan kebun teh sebagai habitatnya.
Pengaruh pemukiman terhadap jenis burung dapat terlihat pada lokasi B, yaitu dijumpainya Burung-gereja Erasia (Passer montanus). Namun selama pengamatan jenis ini hanya sedikit sekali. Pada lokasi B juga dapat dijumpai burung daerah riparian yaitu Raja -udang meninting (Alcedo meninting). Keberadaan sungai di lokasi C dapat mempengaruhi jenis burung tertentu yang dijumpai dengan adanya sungai tersebut. Jenis burung daerah riparian yang dapat dijumpai
adalah
Cekakak
Jawa
(Halcyon
cyanoventris),
Cekakak
sungai
(Todirhampus chloris ) dan Meninting besar (Enicurus leschenaulti). Pada lokasi ini dijumpai jenis burung hutan yaitu Empuloh janggut (Aloiphoixus bres).
b a Gambar 11a. Sungai Cihanjawar di lokasi C b. Hutan pinus di lokasi C Pada lokasi D keberadaan hutan alam dapat terlihat dengan dijumpainya jenis burung hutan yaitu Empuloh janggut (Aloiphoixus bres). Keberadaan hutan tanaman Afrika yang berada di dekat plot pengamatan dapat memberikan pengaruh terhadap burung yang dijumpai di lokasi D. Lokasi ini juga berdekatan dengan hutan alam yaitu 1677 m dari lokasi pengamatan.
a
b Gambar 12(a) Pertanian lahan kering dan (b) Kebun teh
Kondisi Burung di Lokasi Penelitian Kekayaan Jenis Burung. Berdasarkan hasil penga matan yang dilakukan di 4 plot pengamatan dapat ditemukan sebanyak 35 jenis burung yang termasuk ke dalam 19 famili. Adapun informasi dan data dari semua jenis burung tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kekayaan jenis burung di lokasi penelitian Kondisi Burung Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Indeks Kemerataan Jumlah Jenis Dominan Jumlah Jenis Jarang Jumlah Jenis Dilindungi Jumlah Jenis Endemik
Lokasi A 16 2.13 0.77 5 4 4 2
Lokasi B 16 2.33 0.84 7 2 4 1
Lokasi C 27 2.98 0.90 7 10 4 3
Lokasi D 22 2.47 0.80 5 9 4 2
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa lokasi C memiliki jumlah jenis yang paling besar yaitu 27 jenis, sedangkan jumlah jenis yang paling sedikit ditemukan terdapat pada lokasi A dan B yaitu 16 jenis.
Hasil perhitungan Indeks Shannon-Winer
menunjukkan bahwa lokasi C memiliki nilai keanekaragaman dan nilai kemerataan yang paling besar yaitu 2,98 dan 0,90. Nilai keanekaragaman dan nilai kemerataan yang paling kecil yaitu 2,13 dan 0,77 terdapat pada lokasi A. Komposisi dan Struktur Burung. Jumlah jenis yang dijumpai di masingmasing lokasi memiliki kesamaan jenis dan nilai kesamaan jenis tersebut dapat dilihat dengan menggunakan Similarity Index (Gambar 13). 0
0.40 0.51 0.63
Lokasi
1 C
D
A
B
Gambar 13. Dendrogram kesamaan jenis burung di lokasi penelitian.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa lokasi C memiliki kesamaan jenis dengan lokasi D sebesar 63%. Kesamaan jenis pada lokasi A dengan lokasi C dan D memiliki nilai sebesar 50%. Nilai kesamaan jenis paling kecil yaitu antara lokasi B dengan lokasi C, D dan A yaitu sebesar 40%. Pada ke 4 lokasi memiliki komposisi burung yang hampir sama berdasarkan statusnya. Status suatu jenis burung dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan terhadap jenis tersebut. Pada lokasi A dan lokasi B memiliki 4 jenis burung yang dilindungi oleh Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931, Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 dan SK Mentan No. 757/Kpts/Um/12/1979 yaitu Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax) dan Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis). Selain ke 4 jenis tersebut, pada lokasi B ditambahkan jenis Raja -udang meninting (Alcedo meninting).
Sedangkan pada lokasi C ditambahkan jenis Burung-madu kelapa
(Anthreptes malacensis) yang juga merupakan jenis burung yang dilindungi. Sebanyak 35 jenis burung yang dapat dijumpai di lokasi penelitian terdapat 3 jenis burung yang merupakan endemik Jawa yaitu Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax) dan Cinenen pisang (Orthotomus sutorius) (Noerdjito & Maryanto 2001). Berdasarkan komposisi jenis burung tersebut menunjukkan bahwa semua lokasi penelitian mempunyai nilai kepentingan yang sangat tinggi dalam aspek pelestarian burung. Pada lokasi penelitian terdapat burung endemik dan dilindungi. Banyaknya jenis burung yang jarang dan dilindungi maka diperlukan perhatian khusus agar spesies tersebut benar-benar dapat hidup dan berkembang biak secara optimal sehingga sisa populasi yang ada dapat terhindar dari ancaman kepunahan.
5
4
5 4
4
4
4 3 2 1
Jumlah Jenis
Jumlah Jenis
6
2
3 2
2 1
1 0
0
Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D
Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D
a
3
Lokasi Pengamatan
b
Lokasi Pengamatan
Gambar 14a. Jumlah jenis burung dilindungi di lokasi penelitian. b. Jumlah jenis burung endemik di lokasi penelitian.
Struktur pakan menunjukkan posisi burung dalam rantai makanannya. Struktur pakan suatu jenis burung dapat dilihat dari jenis makanannya yang dimanfaatkan oleh burung.
Terdapat 6 jenis kelompok burung berdasarkan makanan yaitu
pemakan serangga, pemakan buah, pemakan biji-bijian, pengisap madu/nektar,
Jumlah Jenis
pemakan ikan dan pema kan pucuk (Gambar 15).
32
35 30 25 20 15 10 5 0
8
Serangga
Buah
6
Biji-bijian
3
3
3
Madu
Ikan
Pucuk
Jenis Pakan Gambar 15. Jumlah jenis burung berdasarkan jenis pakan. Struktur pakan burung dibagi menjadi 6 kelompok berdasarkan tipe makanannya, yaitu pemakan serangga, pemakan buah, pemakan biji-bijian, pengisap madu/nektar, pemakan ikan dan pemakan pucuk (MacKinnon 1993) .
Hasil
pengamatan dapat dijumpai burung pemakan serangga (91,43%), burung pemakan buah (22,86%),
burung pemakan biji-bijian (17,14%) dan masing-masing 8,57%
burung pengisap madu/nektar, pemakan ikan dan pema kan pucuk. Banyaknya jenis burung pemakan serangga diduga berkaitan dengan ketersediaan serangga di lokasi penelitian. Saat dilakukan pengamatan hanya sedikit sekali vegetasi yang sedang berbuah, sehingga jenis burung pemakan buah hanya ditemukan sebanyak 8 jenis. Jenis burung pemakan biji-bijian biasanya di dapatkan dari bulir padi. Namun pada saat pengamatan, sawah-sawah yang berada di sekitar lokasi penelitian dalam keadaan masih muda atau sudah dipanen.
Hal ini diduga dapat mempengaruhi
ketersediaan pakan burung dalam bentuk biji-bijian sehingga jenis burung pemakan biji-bijian hanya ditemukan sebanyak 6 jenis.
a
b Gambar 16a. Sawah yang sudah di panen b. Sawah dan ladang
Dominansi Jenis Burung. Pada lokasi A ditemukan sebayak 5 jenis burung yang dominan yaitu Kacamata gunung ( Zosterops montanus), Walet linci (Collocalia linchi), Tepus pipi-perak (Stachyris melanotorax), Cinenen Jawa (Ortothomus sepium) dan Perenjak Jawa (Prinia familiaris).
Pelanduk semak (Malacocincla
sepiarium) dan Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum) adalah jenis-jenis burung yang jarang dijumpai di lokasi A (Gambar 17).
45 40
Kacamata gunung Walet linci
38.56
Tepus pipi-perak
Kerapatan Relatif
35
Cinenen Jawa Perenjak Jawa
30
Gelatik-batu kelabu
25 20
Cekakak Jawa Wiwik kelabu
18.95
Cekakak sungai
15 10 5
Layang-layang batu Cucak kutilang
5.23
Srigunting hitam
3.27
2.61
0
1.96
1.31
Cica-koreng Jawa Burung-madu sriganti Pelanduk semak
Jenis Burung
Cabai gunung
Gambar 17. Tingkat dominansi jenis burung di lokasi A.
Jenis burung dominan di lokasi B ditemukan sebanyak 7 jenis yaitu Walet linci (Collocalia linchi), Kacamata gunung (Zosterops montanus ), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Cabai Jawa (Dicaeum trochileum), Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris) dan Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster). Burung Remetuk laut (Gerygone sulphurea) dan Burung-gereja Erasia (Passer montanus ) adalah jenis burung yang jarang dijumpai di lokasi B (Gambar 18). Walet linci
30 25
Kacamata gunung Layang-layang batu
24.24
Perenjak Jawa
Kerapatan Relatif
21.21
Cabai Jawa
20
Cekakak Jawa Cucak kutilang
15
Cinenen Jawa Pelanduk semak
10 5
9.09
Kacamata biasa
7.07 5.05 4.04 3.03 8.08
Tekukur biasa Raja-udang meninting
2.02
1.01
Cekakak sungai Burung-madu sriganti
0 Jenis Burung
Remetuk laut Burung-gereja Erasia
Gambar 18. Tingkat dominansi jenis burung di lokasi B.
Pada lokasi C terdapat sungai yang diduga dapat me mberikan pengaruh terhadap jenis burung pada lokasi ini.
Sebanyak 7 jenis burung dominan yang
ditemukan yaitu Walet linci (Collocalia linchi), Kacamata gunung (Zosterops montanus), Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Gelatik -batu kelabu (Parus major), Tekukur biasa (Streptopelia chinensis), Cinenen Jawa (Ortothomus sepium) dan Perenjak Jawa (Prinia familiaris).
Jenis yang paling jarang dijumpai yaitu
Gemak loreng (Turnix suscitator) dan Burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis). Jenis-jenis burung daerah riparian pada lokasi ini memiliki nilai kerapatan relatif sedang.
Kerapatan Relatif
15
12.36
11.24
10 5.62 5.06
3.93
5
3.37 2.81
2.25
1.69
1.12
0.56
0 Jenis Burung Walet linci
Kacamata gunung
Kacamata biasa
Gelatik-batu kelabu
Tekukur biasa
Cinenen Jawa
Perenjak Jawa
Cekakak sungai
Pelanduk semak
Burung-madu sriganti
Srigunting kelabu
Cinenen pisang
Cekakak Jawa
Srigunting hitam
Wiwik kelabu
Munguk beledu
Meninting besar
Caladi tilik
Empuloh janggut
Cabai Jawa
Bondol Jawa
Layang-layang batu
Merbah cerucuk
Tepus pipi-perak
Cinenen kelabu
Gemak loreng
Burung-madu kelapa
Gambar 19. Tingkat dominansi jenis burung di lokasi C.
Pada lokasi D ditemukan sebanyak 5 jenis burung yang dominan yaitu Kacamata gunung (Zosterops montanus), Walet linci (Collocalia linchi), Pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), Perenjak Jawa (Prinia familiaris) dan Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides).
Jenis yang paling jarang ditemukan di lokasi D yaitu
Tekukur biasa (Streptopelia chinensis), Cekakak Ja wa (Halcyon cyanoventris), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Jingjing batu (Hemipus hirundinaceus), Meninting besar (Enicurus leschenaulti), Cinenen pisang (Orthotomus sutorius), Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum).
Jenis burung hutan pada lokasi D yaitu Empuloh janggut
(Aloiphoixus bres) memiliki kerapatan sedang (Gambar 20).
Kerapatan Relatif
40
32.54
30 11.11 7.14 6.35 5.56 4.76 3.97 3.17 2.38
20 10
0.79
0 Jenis Burung Kacamata gunung
Walet linci
Pelanduk semak
Perenjak Jawa
Cabai Jawa
Wiwik kelabu
Gelatik-batu kelabu
Cinenen Jawa
Tepus pipi-perak
Wiwik uncuing
Srigunting hitam
Layang-layang batu
Empuloh janggut
Munguk beledu
Tekukur biasa
Cekakak Jawa
Cekakak sungai
Jingjing batu
Meninting besar
Cinenen pisang
Burung-madu sriganti
Cabai gunung
Gambar 20. Tingkat dominansi jenis burung di lokasi D.
Hubungan Ketinggian dengan Jenis Burung.
Ketinggian suatu tempat
diduga mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Masing-masing jenis burung memiliki
kemampuan
hidup
yang
berbeda
dan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhinya adalah ketinggian tempat. Ada burung yang mampu hidup pada berbagai ketinggian da n ada pula jenis burung yang hanya mampu hidup sampai ketinggian tertentu saja. Keanekaragaman jenis burung juga berbeda pada ketinggian tempat yang berbeda.
Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) tidak dijumpai lagi pada
ketinggian lebih dari 1100 mdpl. Namun Kacamata gunung (Zosterops montanus) jumlahnya semakin banyak dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat 7 jenis burung yang dapat dijumpai dengan ketinggian maksimum 960 mdpl yaitu Gemak loreng (Turnix suscitator), Caladi tilik (Picoides moluccensis), Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier ), Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus), Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis ) dan Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides ). Burung-burung tersebut bisa dikatakan sebagai burung dataran rendah.
Pada gambar 21 dapat dilihat bahwa terdapat 3 jenis burung yang hanya dijumpai pada ketinggian 1000-1100 mdpl, yaitu Raja -udang meninting (Alcedo meninting), Remetuk laut (Gerygone sulphurea) dan Burung-gereja Erasia (Passer montanus). Ketiga jenis burung tersebut hanya ditemukan di lokasi B. Selain itu terdapat 4 jenis burung yang dijumpai pada ketinggian 1100-1200 mdpl yaitu Wiwik uncuing (Cacomantis sepulcralis), Jingjing batu (Henipus hirundinaceus), Cicakoreng Jawa (Megalurus palutris) dan Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum). Burung-burung tersebut bisa dikatakan sebagai burung dataran tinggi (Gambar 21). Ada beberapa jenis burung yang keberadaannya dipengaruhi oleh ketinggian tempat, yaitu Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dan Kacamata gunung (Zosterops montanus). Semakin bertambah ketinggian suatu tempat, maka jumlah Kacamata gunung (Zosterops montanus) semakin banyak, sedangkan Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus ) hanya dapat dijumpai sampai pada ketinggian maksimum 1100 mdpl.
1200
Ketinggian tempat (mdpl)
1150
1100
1050
1000
950 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21 22 23 24 25 26
27 28 29 30
31 32 33 34 35
Jenis Burung
Keterangan : (1)Gemak loreng, (2)Tekukur biasa, (3)Wiwik kelabu, (4)Wiwik uncuing, (5)Walet linci, (6)Raja-udang meninting, (7)Cekakak jawa, (8)Cekakak sungai, (9)Caladi tilik, (10)Layanglayang batu, (11)Jingjing batu, (12)Cucak kutilang, (13)Merbah cerukcuk, (14)Empuloh janggut, (15)Srigunting hitam, (16)Srigunting kelabu, (17)Gelatik-batu kelabu, (18)Munguk beledu, (19)Pelanduk semak, (20)Tepus pipi-perak, (21)Meninting besar, (22)Remetuk laut, (23)Cica koreng jawa, (24)Cinenen pisang, (25)Cinenen kelabu, (26)Cinenen jawa, (27)Perenjak jawa, (28)Burung-madu kelapa, (29)Burung-madu sriganti, (30)Cabai gunung, (31)Cabai jawa, (32)Kacamata biasa, (33)Kacamata gunung, (34)Burung-gereja erasia dan (35) Bondol jawa.
Gambar 21. Jenis burung berdasarkan ketinggian tempat
Penggunaan Ruang oleh Burung. Penggunaan ruang oleh burung pada suatu vegetasi dapat diamati, maka dilakukan pengamatan jenis burung yang berada pada strata tertentu pada suatu vegetasi. Hutan Pinus adalah merupakan tanaman konifer yang memiliki profil tajuk seperti segitiga. Pemanfaatan ruang oleh burung, strata tanaman Pinus dibagi menjadi 3 bagian yaitu strata A untuk ketinggian 16-20 m, strata B dengan ketinggian 12-16 m dan strata C dengan ketinggian 8-12 m . Pada lokasi A, Srigunting hitam (Dicrurus macrocercus) dan Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris) hanya menempati strata A.
Jenis Cucak kutilang
(Pycnonotus aurigaster) yang memanfaatkan strata B, dan pada strata C tidak ditemukan jenis burung yang hanya berada pada strata tersebut (Gambar 22 dan Tabel 8). Sedangkan jenis burung yang menempati semua strata adalah Cinenen Jawa (Orthotomus sepium), Perenjak Jawa (Prinia familiaris ), Cabai gunung (Dicaeum trochileum) dan Kacamata gunung ( Zosterops montanus). tinggi
Jarak Keterangan : Strata A = Ketinggian tajuk 16-20 m Strata B = Ketinggian tajuk 12-16 m Strata C = Ketinggian tajuk 8-12 m
Gambar 22. Profil penutupan tajuk pohon pinus di lokasi A (skala 1:450).
Tabel 8. Jenis burung yang menghuni strata pohon di lokasi A Strata A Strata B Strata C 1. Cekakak Jawa 1. Cucak kutilang 1. Cinenen Jawa 2. Srigunting hitam 2. Gelatik-batu kelabu 2. Perenjak Jawa 3. Gelatik-batu kelabu 3. Cinenen Jawa 3. Cabai gunung 4. Cinenen Jawa 4. Perenjak Jawa 4. Kacamata gunung 5. Perenjak Jawa 5. Cabai gunung 6. Cabai gunung 6. Kacamata gunung 7. Kacamata gunung Keterangan : jenis yang dicetak tebal adalah penghuni tetap strata tersebut
Pada lokasiì¥Á q`
ø ¿
ï#
bjbjqPqP
ˆ/•
'
»
ÿÿ
ÿÿ ¬
¤
¬ ¨
ÿÿ
T pË
¬
T pË
T pË
˜
¬ T \ strata
B
secara tetap. Pada strata C, hanya Burung madu sriganti (Prinia familiaris) dapat dijumpai (Gambar 23 dan Tabel 9). tinggi
Jarak Keterangan : Strata A = Ketinggian tajuk 16-20 m Strata B = Ketinggian tajuk 12-16 m Strata C = Ketinggian tajuk 8-12 m
Gambar 23. Profil penutupan tajuk pohon pinus di lokasi B (skala 1:450)
Tabel 9. Jenis burung yang menghuni strata pohon di lokasi B Strata A Strata B Strata C 1. Cekakak Jawa 1. Tekukur biasa 1. Burung madu sriganti 2. Cekakak sungai 2. Cucak kutilang 3. Burung madu sriganti 3. Perenjak Jawa 4. Cabai Jawa 4. Cabai Jawa 5. Kacamata gunung 5. Kacamata gunung Keterangan : jenis yang dicetak tebal adalah penghuni tetap strata tersebut
Jenis burung yang tetap pada strata A di lokasi C yaitu Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus).
Penghuni tetap strata B yaitu Merbah cerukcuk
(Pycnonotus goiavier), Srigunting hitam (Dicrurus macrocercus ), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Cinenen pisang (Orthotomus sutorius) dan Burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis).
Penghuni tetap strata C yaitu Cekakak sungai
(Todirhampus chloris), Caladi tilik (Picoides moluccensis), Empuloh janggut (Aloiphoixus bres ), Munguk beledu (Sitta frontalis), Meninting besar (Enicurus leschenaulti) dan Cine nen Jawa (Orthotomus sepium). Kacamata gunung ( Zosterops montanus) adalah jenis burung yang hidup dengan menggunakan semua strata di lokasi C (Gambar 24 dan Tabel 10). Tabel 10. Jenis burung yang menghuni strata pohon di lokasi C Strata A 1. Kacamata biasa 2. Kacamata gunung
Strata C 1. Cekakak sungai 2. Caladi tilik 3. Empuloh janggut 4. Srigunting kelabu 5. Gelatik-batu kelabu 6. Munguk beledu 7. Meninting besar 8. Cinenen Jawa 9. Kacamata biasa 10. Kacamata gunung Keterangan : jenis yang dicetak tebal adalah penghuni tetap strata tersebut
tinggi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Strata B Merbah cerukcuk Srigunting hitam Srigunting kelabu Gelatik-batu kelabu Cinenen pisang Perenjak Jawa Burung-madu kelapa Kacamata gunung
Keterangan : Strata A = Ketinggian tajuk 16-20 m Strata B = Ket inggian tajuk 12-16 m Strata C = Ketinggian tajuk 8-12 m
Gambar 24. Profil penutupan tajuk pohon pinus di lokasi C (Skala 1:450) Jenis burung yang hanya terdapat pada strata A di lokasi D yaitu Srigunting hitam (Dicrurus macrocercus) dan Gelatik-batu kelabu (Parus major). Penggunaan ruang secara tetap pada strata B yaitu jenis Cinenen Jawa (Orthotomus sepium), Perenjak Jawa (Prinia familiaris) dan Cabai Jawa (Dicaeum trochileum). Munguk beledu (Sitta frontalis) adala h pengguna tetap pada strata C.
Pada lokasi D,
Kacamata gunung (Zosterops montanus ) adalah jenis burung yang memanfaatkan semua ruang dalam vegetasi (Gambar 25 dan Tabel 11). Tabel 11. Jenis burung yang menghuni strata pohon di lokasi D Strata A 1. Srigunting hitam 2. Gelatik-batu kelabu 3. Kacamata gunung
Strata B Strata C 1. Empuloh janggut 1. Empuloh janggut 2. Cinenen Jawa 2. Munguk beledu 3. Perenjak Jawa 3. Kacamata gunung 4. Cabai Jawa 5. Kacamata gunung Keterangan : jenis yang dicetak tebal adalah penghuni tetap strata tersebut
tinggi
Keterangan :
Strata A = Ketinggian tajuk 16-20 m Strata B = Ketinggian tajuk 12-16 m Strata C = Ketinggian tajuk 8-12 m
Gambar 25. Profil penutupan tajuk pohon pinus di lokasi D (skala 1:450).
Penggunaan ruang oleh burung diduga karena faktor ketersediaan pakan, keamanan dan kesukaan, sehingga burung memilih strata mana yang lebih sering digunakan dalam aktivitasnya. Jenis-jenis yang memiliki pergerakan yang cepat dan gesit, umumnya memanfaatkan semua strata dalam vegetasi. Ada juga jenis burungburung tertentu yang hanya menempati satu strata saja. Pemilihan pada satu strata saja diduga karena pada strata tersebut kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Namun ada juga jenis burung yang tidak menempati strata dalam vegetasi, melainkan memilih habitat semak yang biasanya berada dibawah tegakan. Pemilihan habitat semak juga disebabkan karena habitat tersebut cocok dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Burung yang sering dijumpai memanfaatkan semak sebagai habitatnya adalah Gemak loreng (Turnix suscitator), Pelanduk semak (Malacocinla sepiarium) dan Tepus pipi-perak (Stachyris melanotorax). Burung yang termasuk dalam generalist species di lokasi pengamatan adalah Wiwik kelabu (Cacomantis merulinus), Walet linci (Collocalia linchi), Layanglayang batu (Hirundo tahitica), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Cabai Jawa (Dicaeum trochileum). Jenis-jenis tersebut dikatakan sebagai generalist species karena memiliki kemampuan untuk hidup di berbagai tipe habitat seperti menyukai daerah terbuka, kebun, perkotaan hutan, atau pekarangan.
Jenis burung yang hanya memanfaatkan satu habitat saja yaitu Cica koreng Jawa (Megalurus palutris). Jenis ini memanfaatkan kebun teh sebagai habitatnya. Tepus pipi-perak (Stachyris melanotorax) dan Pelanduk semak (Malacocincla sepiarium) juga bisa dikatakan sebagai specialist species , karena selama pengamatan jenis ini hanya ditemukan di semak-semak. Jenis ini menggunakan semak sebagai habitatnya. Kacamata
gunung
(Zosterops
hirundinaceus), Srigunting
montanus ),
Jingjing
batu
(Hemipus
hitam (Dicrurus macrocercus), Cinenen Jawa
(Orthotomus sepium) dan Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) bisa dikatakan sebagai exploiter species, karena jenis ini menyukai daerah pinggir hutan. Jenis ini sering mengunjungi tepi hutan sehingga bisa mendapatkan sinar matahari yang lebih banyak bila dibandingkan dengan di dalam hutan pinus. Berdasarkan literatur dan pengamatan lapangan dapat diketahui bahwa ada 7 jenis burung yang merupakan interior spesies yaitu Wiwik uncuing (Cacomantis sepulcralis), Caladi tilik (Picoides moluccensis), Empuloh janggut (Aloiphoixus bres), Munguk beledu (Sitta frontalis), Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum), Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dan Kacamata gunung (Zosterops montamus). Selain dari ke 7 jenis tersebut diduga sebagai burung eksterior spesies. Selain ke 35 jenis burung yang ditemukan di dalam plot pengamatan juga ditemuka n beberapa jenis burung yang berada di luar plot pengamatan (Tabel 12). Tabel 12. Jenis burung yang ditemukan diluar plot pengamatan. Lokasi A -
Lokasi B Beluk ketupa Elang hitam -
Lokasi C Burung-gereja Erasia Cinenen kelabu -
Lokasi D Cinenen kelabu Bentet Bondol Jawa Bondol peking
PEMBAHASAN Kondisi Lanskap dan Keanekaragaman Jenis Burung Berdasarkan hasil analisis kuantitatif lanskap diketahui bahwa lokasi C memiliki
luas
yang
paling
besar.
Nilai
ini
berbanding
lurung
dengan
keanekaragaman jenis burung yang ditemukan di lokasi C yaitu sebanyak 27 jenis, lebih banyak dibandingkan dari ketiga lokasi lainnya. Luas patch di lokasi B lebih besar daripada lokasi A, namun jumlah burung yang ditemukan di kedua lokasi ini
sama yaitu 16 jenis. Hal ini diduga karena lokasi B yang lebih dekat dengan daerah pemukiman sehingga gangguan yang diterima oleh burung lebih besar daripada di lokasi A yang letaknya berdampingan dengan kebun teh. Bentuk patch diduga berpengaruh terhadap keanekaraga man jenis burung. Pada penelitian ini ditemukan jumlah jenis burung paling banyak pada bentuk patch yang memanjang. Namun tidak semua bentuk patch memanjang memiliki jumlah jenis burung yang tinggi.
Pada lokasi B memiliki bentuk yang lebih panjang
daripada lokasi D, namun keanekaragaman jenis burung lebih tinggi di lokasi D. Selain faktor luas, faktor jarak lokasi ke sumber pengamatan juga dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis burung.
Faktor Lanskap dan Keanekaragaman Jenis Burung. Salah satu faktor lanskap yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung adalah luas total lanskap. Berdasarkan pernyataan Primack et al. (1998) dan Wolf (1991) tentang teori biogeografi menyebutkan bahwa pulau-pulau yang luas memiliki jumlah spesies yang lebih besar dari pada pulau-pulau yang sempit. Pulaupulau yang luas biasanya memiliki tipe lingkungan dan komunitas yang lebih banyak dari pulau-pulau yang kecil. Pulau-pulau yang besar menyediakan kemungkinan isolasi geografis yang lebih sedikit dan jumlah populasi yang lebih besar untuk tiaptiap spesies sehingga memperbesar kemungkinan spesiasi dan memperkecil kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari spesies yang baru datang.
Diasumsikan bahwa penyempitan habitat alami pada suatu pulau yang
memiliki sejumlah spesies akan menyebabkan berkurangnya jumlah spesiesnya. Dalam penelitian Hernowo (1985) dikatakan bahwa semakin sempit pekarangan, maka semakin kecil kemungkinan burung untuk mendapatkan bagian dari habitat. Nilai Total Lan skap Area (TLA) menunjukkan luas total lanskap. Lokasi C memiliki nilai TLA yang paling luas dan diduga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung yang dapat dijumpai pada lokasi tersebut.
Hasil
penelitian Indriyanti (2001) menyebutkan bahwa luas area mempengaruhi keanekaragaman jenis burung, karena semakin luas suatu area maka pengaruh dari gangguan dari luar semakin berkurang. Luas area juga mempengaruhi banyaknya sumber pakan burung yang dapat ditampung, sehingga akan lebih tinggi
keanekaragaman jenis burungnya. Tampubolon (2001) menambahkan bahwa dengan lanskap yang luas dapat menyediakan lahan sebagai wadah untuk menampung berbagai jenis vegetasi yang menunjang kebutuhan hidup burung. Nilai Number of Patches (NumP) menunjukkan banyaknya patch pada tiap penutupan lahan (Elkie et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pemukiman dan pertanian lahan kering banyak membentuk kelompok-kelompok kecil. Menurut Indriyanti (2001) dan Tampubolon (2001) bahwa semakin banyak jumlah patch menggambarkan proses fragmentasi yang lebih besar. Semakin banyaknya jumlah patch maka elemen penyusun lanskap tersebut terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. Nilai NumP dapat memberikan informasi mengenai fragmentasi dalam suatu lanskap.
Bila semakin banyak patch yang
terbentuk maka semakin besar fragmentasinya (Tampubolon 2001). Primack et al. (1998) mengatakan bahwa semakin besar fragmentasi maka akan memiliki daerah tepi yang lebih luas dan daerah tengah lebih dekat ke daerah tepi. Indriyanti (2001) juga menyatakan bahwa fragmentasi habitat dapat menyebabkan penurunan atau menaikkan keanekaragaman jenis burung. Walaupun keanekaragaman jenis burung meningkat, tapi struktur dari keanekaragaman jenis burung tersebut tidak bagus, karena spesies eksterior lebih banyak dibandingkan dengan spesies interior. Dari nilai NumP ke 4 lokasi dapat dilihat bahwa lokasi B mempunyai proses fragmentasi yang paling besar. Pada lokasi B menunjukkan bahwa semakin besar fragmentasi, maka semakin menurun keanekaragaman jenis burungnya.
Proses
fragmentasi pada lokasi B lebih banyak dipengaruhi oleh pemukiman. Keberadaan pemukiman diduga dapat menganggu aktivitas burung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Nilai Mean Patch Size (MPS) merupakan nilai rata-rata ukuran patch. Nilai MPS didapat dari nilai CA dibagi dengan NumP. Hasil penelitian Indriyanti (2001) dikatakan bahwa keanekaragaman jenis burung tidak terlalu dipengaruhi oleh ratarata luasan patch , karena akan lebih berpengaruh terhadap luas area itu sendiri. Namun dari hasil penelitian ini nilai MPS yang kecil memiliki keanekaragaman jenis burung yang rendah dan nilai MPS yang besar memiliki keanekaragaman jenis burung yang besar. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor -faktor lain seperti luas
patch , bentuk patch, jarak ke sumber keanekaragaman dan lingkungan sekitar lokasi, sehingga dapat menaikkan atau menurunkan keanekaragaman jenis burung. Informasi mengenai variasi keseragaman luas patch ditunjukkan oleh nilai Patch Standard Deviation (PSSD). Jika PSSD = 0, maka semua patch dalam suatu lanskap berukuran sama atau hanya terdapat 1 patch saja (Elkie et al. 1999). Berdasarkan dari nilai PSSD yang didapat pada ke 4 lokasi menunjukkan bahwa lokasi B memiliki luasan patch yang relatif seragam dibandingkan lokasi lainnya. Semakin besar PSCoV semakin bervariasi keseragaman luasan patch. Sama seperti nilai PSSD, nilai PSCoV terbesar dan terkecil ditemukan di lokasi A dan lokasi B. Nilai PSCoV tidak memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung. Nilai TE dapat menunjukkan informasi tentang fragmentasi (Elkie et al. 1999). Nilai TE bisa digunakan untuk melihat bentuk patch, dimana semakin besar TE maka bentuk patch akan semakin memanjang. Menurut Indriyanti (2001), panjang edge berpengaruh terhadap struktur keanekaragaman jenis burung, dimana semakin panjang edge maka spesies eksterior akan lebih banyak daripada spesies interior. Tampubolon (2001) juga menyatakan bahwa panjang edge diduga secara tidak langsung berpengaruh terhadap nilai keanekaragaman jenis. Nilai TE yang paling kecil terdapat pada lokasi A sehingga bisa dikatakan bahwa bentuk patch di lokasi ini adalah membulat. Pernyataan dari Primack et al. (1998) bahwa daerah yang membulat akan meminimalkan rasio atau perbandingan edge-to-area (antara pinggir de ngan luas keseluruhan) sehingga akan memiliki nilai keanekaragaman yang lebih tinggi.
Namun di lokasi A memiliki nilai
keanekaragaman jenis yang rendah. Perbedaan ini bisa dipengaruhi oleh luas patch, jarak ke sumber keanekaragaman dan kondisi lingkungan sekitarnya. Nilai Edge Density (ED) merupakan jumlah relatif edge untuk area lanskap atau menunjukkan besarnya kepadatan edge. Hasil analisis yang didapat dilihat bahwa semakin kecil nilai ED maka semakin besar nilai keanekaragaman jenis burungnya. Hal ini diduga karena semakin kecil nilai ED maka akan semakin kecil pengaruh dari efek tepi.
Pernyataan dari Primack et al. (1998) mungkin bisa
membantu memberikan penjelasan bahwa suatu kawasan yang terpecah-pecah menjadi satuan-satuan habitat berukuran kecil mungkin mempunyai jumlah spesies
yang tinggi, namun kemungkinan spesies-spesies tersebut pada dasarnya merupakan spesies gulma, yaitu spesies yang keberadaannya tergantung pada dampak kegiatan manusia.
Indriyanti (2001) berpendapat bahwa nilai ED tida k mempengaruhi
keanekaragaman jenis burung, tetapi struktur dari keanekaragaman jenis burung. Semakin padat edge, maka spesies eksterior akan semakin banyak. Edge yang padat maka luasan patch akan mengecil, sehingga spesies interior menjadi terdesak karena sumber pakan yang berkurang. Nilai rata-rata panjang edge per patch ditunjukkan oleh nilai Mean Patch Edge (MPE). Nilai MPE didapat dari pembagian TE oleh NumP. Nilai MPE diduga memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap keanekaragaman jenis burung. Nilai MPE yang besar diduga memiliki daerah tepi yang lebih besar sehingga dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung.
Tampubolon (2001)
menyatakan bahwa nilai MPE digunakan untuk menggambar konfigurasi spasial elemen lanskap.
Indriyanti (2001) menyatakan bahwa nilai MPE tidak
mempengaruhi keanekaragaman jenis burung.
Keanekaragaman Jenis Burung. Lokasi C memiliki nilai keanekaragaman jenis yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain memiliki areal yang paling luas, jarak yang paling dekat dengan hutan alam dan bentuk lanskap yang memanjang. Dengan areal yang luas, lokasi C memiliki kemampuan menampung keanekaragaman jenis lebih banyak dan mampu menyediakan kebutuhan hidup bagi berbagai jenis burung. Jarak lokasi C yang dekat ke hutan alam memudahkan burung untuk melakukan perpindahan tanpa hambatan yang besar dari lingkungannya.
Dalam kasus ini,
dengan bentuk patch yang memanjang dapat menaikkan keanekaragaman jenis burung. Pada lokasi A dan B memiliki jumlah jenis burung yang sama yaitu 16 jenis, namun memiliki nilai indeks keanekaragaman yang berbeda.
Lokasi B (2,33)
memiliki indeks keanekaragaman lebih besar daripada lokasi A (2,13).
Hal ini
disebabkan karena lokasi B merupakan lokasi yang dekat dengan daerah pemukiman yang diduga memiliki pengaruh terhadap keberadaan jenis burung di lokasi ini.
Rendahnya keanekaragaman jenis burung di lokasi B diduga karena pengaruh dari keberadaan pemukiman yang mengelilingi plot pengamatan tersebut. Gangguan yang diterima oleh burung lebih besar datang dari aktivitas manusia sehingga burung tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Selain itu di dalam plot pengamatan terjadi fragmentasi kawasan, dimana di dalamnya terdapat bangunan yang membuat plot tersebut terpisah-pisah. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa fragmentasi habitat dapat mengurangi atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas. Hal ini disebabkan karena fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan melakukan kolonisasi serta fragmentasi habitat dapat mengurangi daerah jelajah dari hewan asli. Kemudian Wiens (1989) menyatakan bahwa dengan adanya fragmentasi maka merupakan salah satu faktor terjadinya pengelompokan suatu jenis burung. Keberadaan tumbuhan bawah juga dapat mempengaruhi keberadaan jenis burung di suatu tempat. Tumbuhan bawah yang ada di lokasi B hanya terdiri dari rumput-rumput kecil yang tidak dapat menyediakan sumber pakan bagi burung. Sedangkan tumbuhan bawah di lokasi A, C, dan D terdiri dari semak-semak dan kaliandra.
Kaliandra merupakan salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai
sumber pakan bagi berbagai jenis burung. Rendahnya keanekaragaman jenis burung di lokasi A diduga karena memiliki areal yang sempit, sehingga tidak mampu menampung keanekaragaman jenis burung yang tinggi dan ketersediaan kebutuhan hidup burung juga terbatas pada areal yang sempit. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa cagar alam yang besar dapat mengurangi edge effects (efek tepi), serta dapat mencakup lebih banyak spesies dan mempunyai keanekaragaman yang lebih besar dibandingkan cagar alam yang berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan karena cagar alam yang berukuran besar akan lebih mampu menampung banyak spesies, karena mampu menampung lebih banyak individu dan karena memiliki habitat yang lebih beragam.
Antara
lingkungan dengan kehidupan satwaliar baik dalam areal yang sempit maupun areal yang luas selalu terjadi hubungan yang bersifat timbal balik (Alikodra 2002). Lokasi A juga memiliki jarak yang relatif jauh dari hutan alam, sehingga dalam perpindahannya burung membutuhkan koridor. Koridor habitat mempunyai fungsi
untuk menghubungkan kawasan dilindungi sehingga membentuk suatu sistem yang besar. Koridor tersebut memungkinkan satwa untuk menyebar dari satu cagar ke cagar yang lain.
Selain itu koridor tidak hanya memberikan lebih dari sekedar
perlindungan saja, tetapi juga menyediakan sumberdaya bagi burung (Forman & Godron 1986).
Hutan merupakan koridor yang paling efektif untuk menunjang
keanekaragaman jenis burung (Alikodra 2002). Primack et al. (1998) mengatakan bahwa keanekaragaman spesies akan meningkat jika mendekati sumber keanekaragaman. Hutan alam dikatakan sebagai sumber keanekaragaman jenis burung yang mempunyai biodiversitas yang tinggi (Fraser 1995; Bibby et al. 2000), karena hutan alam mempunyai struktur yang kompleks (Santosa 1995). Jarak dari lokasi penelitian ke sumber keanekaragaman burung diduga dapat memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung yang dijumpai di lokasi penelitian. Keanekaragaman jenis burung juga berbeda pada ketinggiaan tempat yang berbeda.
Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) tidak dijumpai lagi pada
ketinggian lebih dari 1100 mdpl. Namun Kacamata gunung (Zosterops montanus) jumlahnya semakin banyak dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hal ini diduga karena semakin tinggi suatu tempat maka kebutuhan hidup Kacamata gunung (Zosterops montanus) semakin terpenuhi. Kacamata gunung (Zosterops montanus) merupakan salah satu jenis burung yang memakan berbagai jenis makanan, sehingga jenis ini lebih adaptif terhadap sumber pakan dibandingkan dengan Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus). Primack et al. (1998) mengatakan bahwa komposisi komunitas dan keanekaragaman jenis lebih tinggi pada dataran rendah daripada dataran tingggi. Kelimpahan spesies berkurang dengan semakin bertambahnya ketinggian. Alikodra (2002) juga menyatakan hal yang sama yaitu keanekaragaman jenis burung akan semakin terbatas di daerah yang letaknya semakin tinggi (Tabel 4). Dari pernyataan tersebut dapat diduga bahwa ketinggian suatu tempat dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis burung di lokasi penelitian. Komposisi dan Struktur Burung
Nilai indeks kesamaan menunjukkan bahwa lokasi C dan D memiliki kesamaan jenis sebesar 63%. Pada kedua lokasi ini memiliki jenis burung yang sama sebanyak 19 jenis. Faktor yang diduga mempengaruhi kesamaan jenis pada kedua lokasi yaitu keberadaan sungai yang mengalir di tengah hutan pinus pada lokasi C dan di dekat lokasi D juga dapat dijumpai sungai.
Selain itu kedua lokasi ini
memiliki jarak yang relatif dekat dengan hutan alam yaitu 1100 m dari lokasi C dan 1677 m dari lokasi D. Penggunaan lahan di sekitar lokasi pengamatan untuk kedua lokasi ini juga tidak jauh berbeda, yaitu 10 elemen lanskap di lokasi C dan 11 elemen lanskap di lokasi D. Keadaan habitat pada kedua lokasi ini tidak terlalu jauh berbeda sehingga memiliki kemampuan menampung keanekaragaman jenis burung yang hampir sama (Tabel 5). Nilai kesamaan jenis antara lokasi C dan D dengan lokasi A yaitu sebesar 50%. Pada lokasi A juga terdapat sungai yang mengalir yang diduga dapat mempengaruhi kesamaan jenis. Ketinggian tempat yang tidak terlalu berbeda jauh diduga juga dapat mempengaruhi kesamaan jenis terutama untuk jenis burung yang keberadaannya dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Nilai kesamaan jenis yang paling kecil adalah lokasi B dengan lokasi A, C dan D yaitu 40%. Hal ini diduga karena lokasi B terletak di dekat pemukiman dan memiliki jarak yang jauh dari hutan alam yaitu 2657 m. Selain itu hutan pinus yang ada di lokasi B masih berupa tegakan muda yang dapat dilihat dari tinggi dan diameter batang yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ketiga lokasi lainnya. Pada lokasi B ini juga tidak ditemukan tumbuhan bawah yang dapat mendukung kebutuhan pakan jenis burung.
Hernowo (1985) menyatakan bahwa perbedaan
komposisi jenis dipengaruhi oleh penyebaran suatu jenis burung, keadaan habitat dan hubungan antar jenis burung dalam komunitas. Jenis-jenis endemik dan dilindungi dipandang memiliki tingkat urgensi tertinggi untuk dijaga keberadaannya mengingat jenis -jenis tersebut sangat tergantung pada keberlangsungan habitat asli yang didiaminya.
Beberapa jenis
burung endemik Jawa masih bisa dijumpai di lokasi penelitian. Keberadaan jenis endemik ini bisa dijadikan sebagai inspirasi bagi masyarakat sekitar untuk tetap menjaga keberadaan hutan tana man tersebut.
Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung. Burung memiliki preferensi terhadap suatu makanan, jika di suatu tempat tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka burung akan memilih tempat lain yang memiliki sumber pakan yang melimpah. Dari 35 jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian sebanyak 91,43% jenis burung menyukai serangga.
Namun tidak menutup kemungkinan jenis -jenis tersebut
memiliki sumber pakan yang lain seperti buah, biji-bijian, madu/nektar dan lain-lain. Jika serangga tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, maka burung tersebut masih bisa memenuhi kebutuhan pakannya dari sumber lain. Jenis burung pemakan buah bisa dikaitkan dengan jenis tumbuhan penghasil buah (Bibby et al. 2000). Secara fungsional, burung merupakan salah satu komponen ekosistem berstatus konsumen berupa herbivora atau karnivora.
Disamping itu burung-burung
menempati hampir setiap rantai pangan yang terbentuk dalam suatu komunitas , dengan demikian aliran energi dari tumbuhan untuk diteruskan ke konsumen yang lebih makro harus melewati tubuh burung. Berdasarkan histogram dominansi jenis burung (Gambar 17-20) dapat diketahui bahwa Walet linci (Collocalia linchi) dan Kacamata gunung (Zosterops montanus) memiliki nilai dominansi yang tinggi pada semua lokasi.
Hal ini
disebabkan karena jenis-jenis tersebut memiliki kemampuan untuk hidup di berbagai habitat. Alikodra (2002) mengatakan bahwa jika suatu jenis banyak melakukan pergerakan, berarti jenis tersebut dapat menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Hernowo (1985) juga mengatakan bahwa terdapat hubungan antara penyebaran jenis burung dan tingkat dominansi jenis burung. Jenis burung yang memiliki penyebaran dan dominansi yang tinggi akan dapat bertahan hidup terhadap perubahan lingkungan yang terjadi dan akan lebih sering dijumpai di berbagai kondisi lingkungan. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat tersebut yang digunakan sesuai dengan kebutuhannya (Wiens, 1992). Pada Tabel 8-11 dapat terlihat bahwa jenis Kacamata gunung (Zosterops montanus) menghuni semua strata pada pohon pinus. Hal ini karena Kacamata gunung (Zosterops montanus) suka mencari makanan kesukaannya yaitu serangga di batang serta dedaunan, sehingga burung ini mencari makanan ke
semua strata pohon untuk memenuhi kebutuhan pakannya.
Fungsi inilah yang
menjadi penyeimbang ekosistem di alam, memakan serangga yang merupakan hama bagi manusia dan membantu penyerbukan bunga. Pemilihan pada satu strata saja diduga karena pada strata tersebut kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi.
Menurut Bibby et al. (2000), pemilihan strata oleh
burung ditentukan karena burung juga memiliki kebutuhan habitat mikro. Banyak jenis burung yang hidup di lapisan tajuk atas, sehingga sulit untuk menemukan burung-burung tersebut (terutama karena bergerak cepat). Namun ada juga jenis burung yang tidak menempati strata dalam vegetasi, melainkan memilih habitat semak yang biasanya berada dibawah tegakan.
Pemilihan habitat semak juga
disebabkan karena habitat tersebut cocok dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Burung juga merupakan indikator kualitas lingkungan yang baik karena menempati berbagai habitat, peka terhadap perubahan lingkungan. Hilangnya jenis burung di suatu tempat memberikan indikasi bahwa telah terjadi perubahan kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, curah hujan dan keberadaan pakan. Salah satu jenis burung yang bisa dijadikan sebagai indikator lingkungan adalah Raja-udang meninting (Alcedo meninting).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Keanekaragaman jenis burung di hutan tanaman pinus dipengaruhi oleh penggunaan lahan disekitarnya seperti kebun teh, pemukiman, daerah riparian dan hutan alam. 2. Lokasi C memiliki keanekaragaman dan keragaman jenis burung yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain memiliki areal yang paling luas, jarak yang paling dekat dengan hutan alam, dan bentuk lanskap yang memanjang. 3. Pada lokasi penelitian dapat dijumpai 3 jenis burung endemik Jawa yaitu Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris) dan Cinenen pisang (Orthotomus sutorius) dan Tepus pipi-perak (Stachyris melanotorax). Burung dilindungi yang dijumpai yaitu Cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Raja-udang meninting (Alcedo meninting ), Tepus pipi-perak (Stachyris melanotorax), Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan burung-madu kelapa (Anthreptes malacensis).
Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan saran sebagai berikut : 1. Menciptakan variasi lanskap di sekitar hutan tanaman pinus agar keanekaragaman jenis burung dapat meningkat dengan tipe lanskap yang beragam. 2. Masyarakat yang berada dekat dengan hutan tanaman diharapkan ikut menjaga kelestarian burung dengan tidak melakukan perburuan terhadap burung-burung yang ada di hutan tanaman tersebut. 3. Sebaiknya menciptakan koridor untuk menghubungkan hutan tanaman dengan hutan alam.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
[BRLKT] Balai Rehabilitas Lahan dan Konservasi Tanah Citarum-Ciliwung. 2001. Kriteria dan Indikator Pengelolaan DAS Ciliwung. DEPHUT DIRJEN Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Bogor Bibby, C; M. Jones & S. Marsden. 2000. Teknik Ekspedisi Lapangan: Survey Burung. SKMG Mardi Yuana. Bogor. Cahyadi, I. 2003. Analisis Spasial Struktur dan Fungsi Koridor Hutan Antara Taman Nasional Gunung Halimun dengan Hutan LIndung Gunung Salak. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Djunaidah, S. 1994. Pengaruh Perubahan Lingkungan Biofisik dari Hutan Alam ke Hutan Tanaman Terhadap Kelimpahan, Keragaman Famili Serangga dan Derajat Kerusakan Hama pada Tegakan Jenis Eucalyptus urophylla S.T. Blake, E. deglupta Blume dan E. pellita F. Muell. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Elkie, P.C; R.S. Rempel & A.P. Carr. 1999. Patch Analyst User’s Manual: Atool for Quantifying Landscape Structure. Northwest Science Technology. Ontrario. Endah, R.M. 2002. Peranan Hutan Kota Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung Pada Berbagai Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus di Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Cibubur, Taman Rekreasi Wiladatika Cibubur dan Taman Monas). Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Ensiklopedi Indonesia. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. [ESRI] Environment System Research Institute. 1990. PC Understanding Geographical Information System, The Arc/Info Method. Environment System Research Institute Inc. New York. Fraser, A.I. 1995. Strategi Untuk Mencapai Pengelolaan Hutan Produksi yang Lestari dalam Menuju Era Ekolabel dalam Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia: Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. E. Suhendang; H. Haeruman; I. Soerianegara (penyunting). Proceeding simposium: Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi, 10-12 Agustus 1995, Jakarta. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Forman, R & M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Willey and Sons. New York. Gani, D.S. 1993. Biarkan Bumi Menghijau. Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Helvoort, B.V. 1981. Bird Populations in The Rural Ecosistems of West Java. Nature Conservation Depertment. Netrherlands.
Hernowo, J.B. 1985. Studi Pengaruh Tanaman Pekarangan Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung Daerah Pemukiman Penduduk Perkampungan di Wilayah Tingkat II Bogor. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Indriyanti. 2001. Pengaruh Keanekaragaman dan Konfigurasi Spasial Elemen Lanskap Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung di Pekarangan Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di Desa Selajambe dan Mangunkerta, Kabupaten Cianjur). Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Jati, A. 1998. Kelimpahan dan Distribusi Jenis -Jenis Burung Berdasarkan Fragmentasi dan Stratifikasi Habitat Hutan Cagar Alam Langgaliru, Sumba. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Krebs, C.J. 1978. Ecological Methodology. Harper dan Row, Publisher, New York. Mahmud, A. 1991. Kelimpahan dan Pola Penyebaran Burung-burung Merandai di Cagar Alam Pulau Rambut. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Mackinnon, J. 1993. Panduan Lapangan Pengenalan: Burung-burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. MacKinnon, J; K. Phillips & B. van Balen. 1992. Seri Panduan Lapangan: Burungburung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi- LIPI. Bogor. Mulyani, Y.A. 1985. Studi Keanekaragaman Burung di Lingkungan Kampus Darmaga. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Noerdjito, M & I. Maryanto (Editor). 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Balitbang Zoologi, Puslitbang Biologi-LIPI dan The Nature Conservancy. Cibinong Odum, E.P. 1993. Yogyakarta.
Dasar-dasar Ekologi.
Gadjah Mada University Press.
Ontario, J; J.B. Hernowo; Haryanto & Ekarelawan. 1990. Pola Pembinaan Habitat Burung di Kawasan Pemukiman Terutama di Perkotaan. Media Konservasi Vol. III No. 1. Prasetyo, L.B. 1998. Introduction to Geographical Information System (GIS) And Aplication in Indonesia. Departement Of Forets Resources Conservation, Faculty Of Forestry, Bogor Agricultural University. Bogor.
Prasetyo, L.B.; N.M. Arifjaya; Hendrayanto; O. Rosdiana; B. Saleh; Haryanto; R. Soekmadi; Sudaryanto; H. Kartodihardjo & B.I. Setiawan. 2004. Kajian Aspek Tata Guna Lahan Wilayah Jabopunjur Untuk Konservasi Sumberdaya Air. Makalah Dipresentasikan Pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Kawasan Bopunjur Untuk Pemberdayaan Sumberdaya Air, 30-31 Maret 2004. Widya Graha LIPI. Jakarta. Primack, J.B.; J. Supriatna; M. Indrawa & P. Kramadibrata. Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
1998.
Biologi
Purwadhi, F.S.H. 1999. Sistem Informasi Geografis. Kedeputian Bidang Penginderaan jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta. Rohman, A.S. 1997. Keanekaragaman Jenis dan Kelimpahan Burung Pada Berbagai Penggunaan Lahan di Sempadan Sungai Ciliwung Kawasan Bogor-Puncak. Tesis. Program Pascasar jana IPB. Bogor. Santosa, Y. 1995. Diversitas dan Topologi Ekosistem Hutan Yang Perlu Dilestarikan dalam Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia: Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. E. Suhendang; H. Haeruman; I. Soerianega ra (penyunting). Proceeding simposium: Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi, 10-12 Agustus 1995, Jakarta. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Soerianegara, I. 1996. Ekologisme Dalam Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari dalam Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. E. Suhendang; C. Kusmana; Istomo & L. Syaufina (penyunting). Jurusan Manajemen Hutan IPB. Bogor. Sozer, R; Y. Saaroni & P.F. Nurwatha. 1999. Jenis -jenis Burung Dilindungi Yang Sering Diperdagangkan. Yayasan Pribumi Alam Lestari. Bandung. Tampubolon, A.B. 2001. Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu Pada Berbagai Tipe Lanskap (Studi Kasus di Desa Galudra, Mangunkerta, dan Selajambe, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Utari, W.D. 2000. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Areal Hutan Tanaman Industri di PT Riau Andalan Pulp dan Paper dan Perkebunan Kelapa Sawit PT Duta Palma Nusantara Group Propinsi Dati I Riau. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Welty, J.C. 1982. The Life of Bird. Saunders College Publishing. Philadelphia. Widjojo, S. 1993. Pengantar Sistem Informasi Geografis. Bakosurtanal. Cibinong.
Wiens, T.A. 1992. The Ecology of Bird Communities Volume I. Cambridge. Wolf, E.C. 1991. Di Ambang Kepunahan: Melestarikan Keanekaragaman Kehidupan dalam Krisis Biologi: Hilangnya Keanekaragaman Biologi. K. Kartawinata & A.J. Whitten (penyuting). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Yuda, P. 1995. Studi Keragaman dan Kelimpahan Burung di Berbagai Habitat di Hutan Wanagama I, Daerah Instimewa Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Lampiran 1. Titik-titik di lapangan dengan menggunakan GPS No 1 2 3 4 5 6
LAT +9263291.528 +9263801.814 +9261218.891 +9260388.122 +9258074.714 +9258528.408
LON +705277.0887 +705463.6896 +713594.1521 +714462.3114 +715165.3210 +715116.2533
KETERANGAN Pemukiman Persimpangan tol Pasar Cisarua Persimpangan Taman Safari Persimpangan Pesona Alam Hutan pinus
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
+9259734.906 +9260630.624 +9259585.699 +9259821.460 +9260066.375 +9258980.278 +9259469.310 +9259612.516 +9259069.464 +9258785.753 +9258622.192 +9261870.036 +9261884.356 +9261433.249 +9261687.207 +9261408.693 +9260571.540 +9262233.304 +9262308.629 +9263678.638 +9259000.259 +9260323.222 +9260349.926 +9261959.284 +9261897.295 +9263099.388 +9263866.150 +9258155.245 +9258530.321 +9258508.156 +9258312.241 +9258507.194 +9257836.846 +9257584.043 +9257457.949 +9257459.464 +9258234.708 +9261447.056 +9261325.280
+714899.8639 +716071.2128 +717648.4459 +717608.4732 +717768.7008 +719664.2204 +719906.1756 +720324.7803 +719492.0655 +719079.5365 +717945.3736 +716482.0011 +717052.7083 +717006.6743 +716563.1115 +716506.7088 +716187.0955 +712994.3102 +712965.8512 +708778.6852 +712140.1138 +710978.6111 +710080.7703 +708343.0293 +706905.1780 +705194.5318 +704234.1921 +712697.4538 +712385.97 89 +712396.9502 +712714.6570 +712642.4379 +712658.6067 +712815.7436 +713097.2267 +712993.2876 +712460.0160 +716872.9150 +716898.9715
Hutan pinus Pemukiman Persimpangan Perkebunan Teh Ciliwung Kebun teh Hutan pinus Masjid At Ta’awun Kebun teh Kebun teh Kebun teh Kebun teh Perkebunan Gunung Mas Pemukiman Hutan Pinus Ladang Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Sawah Hutan pinus Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman Kebun sayur Semak Semak Kebun sayur Kebun sayur Kebun pisang Kebun sayur Semak Hutan pinus Kebun sayur Semak Semak
LON +716747.5096 +717990.65 62 +716487.3794 +716440.9820 +716520.9533 +716422.5715
KETERANGAN Semak Lapangan bola Kebun sayur Kolam Tanah kosong Lapangan bola
Tabel (Lanjutan) No 46 47 48 49 50 51
LAT +9261336.945 +9259709.317 +9262388.775 +9261844.758 +9261375.454 +9261108.169
52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
+9258940.341 +9262066.746 +9261582.958 +9261582.932 +9261083.352 +9261086.631 +9261088.357 +9261813.723 +9263 009.313 +9260251.450 +9260519.453 +9259974.646 +9260054.230 +9259998.794
+719419.6618 +712593.3267 +711852.7122 +711859.3474 +711765.6163 +711775.5818 +709615.8463 +707649.1000 +705910.7953 +718231.7026 +718150.9423 +718024.8973 +717763.1227 +718346.8058
Teh pangkas Jembatan Kebun pisang Kebun pisang Sawah Ladang singkong Sawah Semak Rumput Hutan pinus Semak Kebun teh Kolam Kebun teh
Lampiran 2. Jenis burung yang dijumpai di lokasi penelitian
No 1 2 3 4 5
Nama Lokal Gemak loreng Tekukur biasa Wiwik kelabu Wiwik uncuing Walet linci
Nama Ilmiah Turnix suscitator Streptopelia chinensis Cacomantis merulinus Cacomantis sepulcralis Collocalia linchi
A 4 29
Lokasi C 1 9 4 22
B 2 24
D 1 6 4 14
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Raja udang meninting Cekakak Jawa Cekakak sungai Caladi tilik Layang-layang batu Jingjing batu Cucak kutilang Merbah cerucuk Empuloh janggut Srigunting hit am Srigunting kelabu Gelatik-batu kelabu Munguk beledu Pelanduk semak Tepus pipi perak Meninting besar Remetuk laut Cica koreng Jawa Cinenen pisang Cinenen kelabu Cinenen Jawa Perenjak Jawa Burung madu kelapa Burung madu sriganti Cabai gunung Cabai Jawa Kacamata biasa Kacamata gunung Burung gereja Erasia Bondol Jawa
Alcedo meninting Halcyon cyanoventris Todirhampus chloris Picoides moluccensis Hirundo tahitica Hemipus hirundinaceus Pycnonotus aurigaster Pycnonotus goiavier Aloiphoixus bres Dicrurus macrocercus Dicrurus leucophaeus Parus major Sitta frontalis Malacocincla sepiarium Stachyris melanothorax Enicurus leschenaulti Gerygone sulphurea Megalurus palutris Orthotomus sutorius Orthotomus ruficeps Orthotomus sepium Prinia familiaris Anthreptes malacensis Nectarinia jugularis Dicaeum sanguinolentum Dicaeum trochileum Zosterops palpebrosus Zosterops montanus Passer montanus Lonchura leucogastroides
5 4 4 4 4 6 2 8 3 8 8 3 2 59 -
2 5 2 9 5 3 1 4 8 2 7 3 21 1 -
5 7 3 2 2 3 5 6 10 4 7 2 4 6 2 9 9 1 7 3 20 22
1 1 3 1 3 4 6 9 5 1 1 6 8 1 1 7 41 -
3
Lampiran 3. Nilai inde ks keanekaragaman dan keragaman jenis burung di lokasi A No 1 2 3 4 5 6
Nama Lokal Wiwik kelabu Walet linci Cekakak Jawa Cekakak sungai Layang-layang batu Cucak kutilang
Nama Ilmiah Cacomantis merulinus Collocalia linchi Halcyon cyanoventris Todirhampus chloris Hirundo tahitica Pycnonotus aurigaster
Pi 0.03 0.19 0.03 0.03 0.03 0.03
Pi ln Pi 0.1 0.32 0.11 0.1 0.1 0.1
E 0.03 0.11 0.04 0.03 0.03 0.03
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Srigunting hitam Gelatik-batu kelabu Pelanduk semak Tepus-pipi perak Cica-koreng Jawa Cinenen Jawa Perenjak Jawa Burung-madu sriganti Cabai gunung Kacamata gunung
Dicrurus macrocercus Parus major Malacocincla sepiarium Stachyris melanothorax Megalurus palutris Orthotomus sepium Prinia familiaris Nectarinia jugularis Dicaeum sanguinolentum Zosterops montanus
0.03 0.04 0.01 0.05 0.02 0.05 0.05 0.02 0.01 0.39
0.1 0.13 0.06 0.15 0.08 0.15 0.15 0.08 0.06 0.37 H’ = 2.13
0.03 0.05 0.02 0.06 0.03 0.06 0.06 0.03 0.02 0.13 0.77
Lampiran 4. Nilai Indeks Keanekaragaman dan keragaman jenis burung di lokasi B No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Lokal Tekukur biasa Walet linci Raja-udang meninting Cekakak Jawa Cekakak sungai Layang-layang batu Cucak kutilang Pelanduk semak Remetuk laut Cinenen Jawa Perenjak Jawa Burung madu sriganti Cabai Jawa Kacamata biasa Kacamata gunung Burung gereja Erasia
Nama Ilmiah Streptopelia chinensis Collocalia linchi Alcedo meninting Halcyon cyanoventris Todirhampus chloris Hirundo tahitica Pycnonotus aurigaster Malacocincla sepiarium Gerygone sulphurea Orthotomus sepium Prinia familiaris Nectarinia jugularis Dicaeum trochileum Zosterops palpebrosus Zosterops montanus Passer montanus
Pi 0.02 0.24 0.02 0.05 0.02 0.09 0.05 0.03 0.01 0.04 0.08 0.02 0.07 0.03 0.21 0.01
Pi ln Pi 0.08 0.34 0.08 0.15 0.08 0.22 0.15 0.11 0.05 0.13 0.2 0.08 0.19 0.11 0.33 0.05 H’ = 2.33
E 0.03 0.12 0.03 0.05 0.03 0.08 0.05 0.04 0.02 0.05 0.07 0.03 0.07 0.04 0.12 0.02 0.84
Lampiran 5. Nilai Indeks Keanekaragaman dan keragaman jenis burung di lokasi C No 1 2 3 4 5 6
Nama Lokal Gemak loreng Tekukur biasa Wiwik kelabu Walet linci Cekakak Jawa Cekakak sungai
Nama Ilmiah Turnix suscitator Streptopelia chinensis Cacomantis merulinus Collocalia linchi Halcyon cyanoventris Todirhampus chloris
Pi 0.01 0.05 0.02 0.12 0.03 0.04
Pi ln Pi 0.03 0.15 0.09 0.26 0.10 0.13
E 0.01 0.05 0.03 0.08 0.03 0.04
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Caladi tilik Layang-layang batu Merbah cerucuk Empuloh janggut Srigunting hitam Srigunting kelabu Gelatik-batu kelabu Munguk beledu Pelanduk semak Tepus-pipi perak Meninting besar Cinenen pisang Cinenen kelabu Cinenen Jawa Perenjak Jawa Burung madu kelapa Burung madu sriganti Cabai Jawa Kacamata biasa Kacamata gunung Bondol Jawa
Picoides moluccensis Hirundo tahitica Pycnonotus goiavier Aloiphoixus bres Dicrurus macrocercus Dicrurus leucophaeus Parus major Sitta frontalis Malacocincla sepiarium Stachyris melanothorax Enicurus leschenaulti Orthotomus sutorius Orthotomus ruficeps Orthotomus sepium Prinia familiaris Anthreptes malacensis Nectarinia jugularis Dicaeum trochileum Zosterops palpebrosus Zosterops montanus Lonchura leucogastroides
0.02 0.01 0.01 0.02 0.03 0.03 0.06 0.02 0.04 0.01 0.02 0.03 0.01 0.05 0.05 0.01 0.04 0.02 0.11 0.12 0.02
0.07 0.05 0.05 0.07 0.10 0.11 0.16 0.09 0.13 0.05 0.09 0.11 0.05 0.15 0.15 0.03 0.13 0.07 0.25 0.26 0.07 H’ = 2.98
0.02 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.05 0.03 0.04 0.02 0.03 0.03 0.02 0.05 0.05 0.01 0.04 0.02 0.07 0.08 0.02 0.90
Lampiran 6. Nilai Indeks Keanekaragaman dan keragaman jenis burung di lokasi D No 1 2 3 4 5 6
Nama Lokal Tekukur biasa Wiwik kelabu Wiwik uncuing Walet linci Cekakak Jawa Cekakak sungai
Nama Ilmiah Streptopelia chinensis Cacomantis merulinus Cacomantis sepulcralis Collocalia linchi Halcyon cyanoventris Todirhampus chloris
Pi 0.01 0.05 0.03 0.11 0.01 0.01
Pi ln Pi 0.04 0.14 0.11 0.24 0.04 0.04
E 0.01 0.05 0.04 0.08 0.01 0.01
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Layang-layang batu Jingjing batu Empuloh janggut Srigunting hitam Gelatik-batu kelabu Munguk beledu Pelanduk semak Tepus-pipi perak Meninting besar Cinenen pisang Cinenen Jawa Perenjak Jawa Burung madu sriganti Cabai gunung Cabai Jawa Kacamata gunung
Hirundo tahitica Hem ipus hirundinaceus Aloiphoixus bres Dicrurus macrocercus Parus major Sitta frontalis Malacocincla sepiarium Stachyris melanothorax Enicurus leschenaulti Orthotomus sutorius Orthotomus sepium Prinia familiaris Nectarinia jugularis Dicaeum sanguinolentum Dicaeum trochileum Zosterops montanus
0.02 0.01 0.02 0.03 0.05 0.02 0.07 0.04 0.01 0.01 0.05 0.06 0.01 0.01 0.06 0.33
0.09 0.04 0.09 0.11 0.14 0.07 0.19 0.13 0.04 0.04 0.14 0.18 0.04 0.04 0.16 0.37 H’ = 2.47
Lampiran 7. Beberapa gambar jenis burung yang ditemui di lapangan
0.03 0.01 0.03 0.04 0.05 0.02 0.06 0.04 0.01 0.01 0.05 0.06 0.01 0.01 0.05 0.12 0.80
Bondol Jawa*
Burung gereja Erasia *
Caladi tilik**
Cabai Jawa**
Kacamata biasa*
Tekukur biasa**
Gelatik batu kelabu*
Cucak kutilang**
Cekakak sungai*
Keterangan * Sumber foto dari Internet ** Sumber foto dari Margareta Rahayuningsih 2005
Srigunting hitam*
Burung madu sriganti**
Perenjak Jawa**
Lampiran 8. Hasil Analisis Vegetasi di Lokasi A Tinggi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Pohon Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus
Kllg (cm) 78 92 98 89 75 77 115 109 189 143 202 130 203 146 150 168 160 155
Total (m) 14 12 12 13 11 10 14 13 16 16 16 15 16 13 16 15 16 15
Tajuk (m) 8 7 5 7 6 5 11 5 5 5 2 6 5 5 5 7 7 7
Arah Tajuk
Panjang Tajuk
Koordinat
Terpanjang
Terpendek
Terpanjang
Terpendek
X
Y
110 170 180 140 140 200 80 80 180 180 120 120 120 120 180 120 120 120
20 80 90 50 50 110 170 170 90 90 30 30 30 30 90 30 30 30
5 6 6 5 5 5 6 6 8 6 8 6 7 8 6 7 6 8
3 4 4 3 3 3 4 5 4 3 5 4 4 6 3 5 3 6
2 4 10 12 14 18 20 15 25 27 29 31 35 40 45 47 49 50
2 3 3 6 6 5 20 9 11 12 9 8 12 13 8 16 8 17
Lampiran 9. Hasil Analisis Vegetasi di Lokasi B
No
Jenis Pohon
Kllg (cm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus
88 110 87 90 116 117 74 111 111 131 103 90 100 91 97 89 120 95 109 114 108 89 117 92 106 95
Tinggi Total Tajuk (m) (m) 11 6 12 8 11 7 12 7 11 6 11 5 9 5 11 5 12 7 12 6 11 8 11 4 11 5 10 4 10 5 9 3 10 6 8 4 8 4 12 6 10 3 11 5 11 5 10 6 11 4 9 5
Arah Tajuk
Panjang Tajuk
Koordinat
Terpanjang
Terpendek
Terpanjang
Terpendek
X
Y
0 120 20 80 80 80 80 80 10 10 40 40 0 140 0 0 280 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90 30 110 10 10 10 10 10 100 100 150 150 90 50 90 90 100 90 90 90 90 90 90 90 90 90
5 5 6 6 5 6 4 5 6 6 6 5 5 7 6 7 8 5 7 6 7 6 8 6 6 7
3 3 3 4 3 4 2 3 4 4 4 3 3 5 3 5 5 3 5 3 5 4 4 3 5 4
1 5 5 15 20 23 22 24 15 20 15 21 23 25 30 35 37 38 35 30 35 35 39 40 42 41
13 20 13 13 16 15 20 19 7 7 2 2 2 3 12 13 12 14 7 3 3 2 7 2 4 7
Lampiran 9 (Lanjutan)
No 27 28 29 30 31 32
Jenis Pohon Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus
Kllg (cm) 101 119 127 103 91 105
Tinggi Total Tajuk (m) (m) 10 6 10 6 10 5 8,5 6 10 6 10 5
Arah Tajuk
Panjang Tajuk
Koordinat
Terpanjang
Terpendek
Terpanjang
Terpendek
X
Y
0 0 0 0 0 0
90 90 90 90 90 90
7 7 6 6 7 7
5 5 4 5 5 4
44 45 47 45 48 50
7 15 15 1 0 4
Lampiran 10. Hasil Analisis Vegetasi di Lokasi C
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jenis Pohon Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Afrika Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Afrika Pinus
Kllg (cm) 160 110 175 165 120 125 180 103 106 106 127 107 147 126 150 140 130 105 120 100 130 145 155 154
Tinggi T.total T.tajuk (m) (m) 16 9 14 8 17 8 18 10 14 6 16 6 16 9 12 6 14 7 15 10 11 5 12 7 14 8 11 4 17 10 15 8 15 9 17 8 15 7 10 4 17 7 16 10 17 8 12 8
Arah Tajuk
Panjang Tajuk
Koordinat
Terpanjang
Terpendek
Terpanjang
Terpendek
X
Y
120 160 40 160 90 140 40 30 20 10 60 20 90 140 120 10 140 170 90 140 20 160 20 40
30 70 130 70 0 50 130 120 110 100 150 110 180 50 30 100 50 80 0 50 110 70 110 130
5 6 5 7 6 9 9 6 5 6 6 5 7 7 6 7 5 6 4 6 7 6 8 5
4 4 4 5 5 5 6 5 4 4 5 4 4 5 5 5 3 4 3 5 3 4 5 4
1 12 20 21 23 0 12 19 20 24 36 37 41 42 47 49 40 26 35 37 42 45 50 49
16 9 18 20 14 9 7 2 3 1 17 12 18 14 20 15 20 3 4 7 2,5 2 0 7
Lampiran 11. Hasil Analisis Vegetasi di Lokasi D
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Jenis Pohon Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus Pinus
Kllg (cm) 96 112 137 125 150 166 123 120 110 150 120 160 145 148 130 120 115 123 124 102 155 134 170 114 117
Tinggi T.total T.tajuk (m) (m) 13 8 15 11 15 10 14 8 14 9 12 6 14 8 12 7 13 8 13 7 13 8 14 9 13 7 15 10 16 11 14 7 14 8 14 8 13 6 14 7 16 8 14 6 12 5 13 6 14 9
Arah Tajuk
Panjang Tajuk
K oordinat
Terpanjang
Terpendek
Terpanjang
Terpendek
X
Y
90 140 140 0 20 25 30 110 140 30 100 0 140 60 80 40 0 20 20 20 0 20 0 40 40
0 50 50 90 110 115 120 20 50 120 10 90 50 150 170 130 90 110 110 110 90 110 90 130 130
6 7 8 6 8 9 8 8 7 8 7 6 6 6 9 6 8 7 9 7 10 8 8 7 8
5 5 6 4 5 6 6 5 5 6 5 4 4 4 7 5 6 5 6 5 8 7 6 5 5
0 0 0 3 5 10 18 21 21 22 25 29 30 30 32 34 37 37 40 38 42 45 46 48 50
1 14 18 19 11 5 12 18 15 4 17 7 3 12 20 15 4 8 11 7 19 13 7 9 10,5