Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 1, 2004 : 32 - 41
KAJIAN JARAK ANTARBARIS TEBU DAN JENIS TANAMAN PALAWIJA DALAM PERTANAMAN TUMPANGSARI STUDY OF SUGARCANE INTERROW SPACE AND SECONDARY CROP SPECIES IN AN INTERCROPPING A.T.Soejono 1 ABSTRACT In sugarcane intercropping, intercrop was able to reduce the yield of sugarcane. The research about” Study of sugarcane interrow space and secondary crop species in an intercropping” aimed to determine exact interrow space of sugarcane for each secondary crop species, that give the highest overall mixture crop yield and land equivalent ratio. A field experiment was conducted at Ngrancah Village, Pengasih Sub District, Kulon Progo District, 110 m above sea level with grumozol type. The treatment consisted of 2 factors arranged in a Split Plot Design with 3 replications.Three secondary crop species and 4 levels inerrow space of sugarcane were tested. The result showed that intercrops did not affect plant growth of sugarcane, but corn affected stalk weight and sucrose yield lower than peanut and soybean. Widening the interrow space from 100 cm to 110 cm was able to reduce stalk weight, sucrose yield, and overall mixture crops yield, but narrowing from 100 cm to 90 cm did not have significant effect. To change single interrow space from 100 cm to double interrow space (160+40) cm did not affect stalk weight and sucrose yield. Peanut and soybean in sugarcane interrow space 90, 100, and (160+40) cm showed overall mixture crops yield and land equivalent ratio higher than interrow space 110 cm. Key words : sugarcane intercropping, secondary crop, interrow space INTISARI Tanaman sela dalam tumpangsari tebu dapat menurunkan hasil tebu. Penelitian tentang “Kajian jarak antarbaris tebu dan jenis tanaman palawija dalam pertanaman tumpangsari” bertujuan untuk menentukan jarak antarbaris tebu yang tepat untuk tiap jenis tanaman palawija yang memberikan hasil total tanaman penyusun dan nisbah setara lahan tinggi. Percobaan lapangan dilaksanakan di Desa Ngrancah, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, pada ketinggian 110 m di atas permukaan laut dengan jenis tanah grumozol. Perlakuan terdiri atas 2 faktor diatur dalam rancangan petak terbelah, dengan 3 ulangan. Dalam percobaan ini diuji 3 jenis tanaman palawija dan 4 aras jarak antarbaris tebu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tanaman sela tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman tebu, tetapi jagung menyebabkan berat batang dan hasil hablur tebu lebih rendah daripada kacang tanah dan kedelai. Pelebaran jarak antarbaris tebu dari 100 cm ke 110 cm menurunkan berat batang dan hasil total tanaman penyusun, tetapi penyempitan dari 100 cm ke 90 cm tidak berpengaruh nyata. Perubahan jarak 1 Dosen Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta
33
Ilmu Pertanian
Vol. 11 No. 1
antarbaris tunggal 100 cm ke jarak antarbaris ganda (160+40) tidak mempengaruhi berat batang dan hasil hablur. Kacang tanah dan kedelai pada jarak antarbaris tebu 90, 100, dan (160+40) cm menunjukkan hasil total tanaman penyusun dan nisbah setara lahan lebih tinggi daripada jarak antarbaris 110 cm. Kata kunci: tebu tumpangsari, tanaman palawija, jarak antarbaris PENDAHULUAN Industri gula di Indonesia pada akhir-akhir ini mengalami beberapa masalah. Masalah yang cukup menonjol adalah tingkat produktivitas rendah, tenaga kerja langka, dan sebagian besar petani tidak bergairah menanam tebu. Luas areal tebu di lahan sawah beririgasi di Jawa semakin berkurang. Kini areal tebu di lahan sawah tinggal sekitar 40 %, selebihnya telah beralih ke lahan kering (Anonim, 2003). Umumnya lahan kering merupakan lahan tanaman pangan bagi petani. Kegairahan petani menanam tebu dapat dirangsang dengan memadukan tebu dengan beberapa jenis tanaman semusim lain termasuk tanaman pangan dalam pola pertanaman tumpangsari (Darmodjo, 1992). Dalam bertanam tebu dan tanaman semusim lain secara tumpangsari ada 2 kepentingan. Kepentingan pertama bila pihak pabrik gula menyewa tanah petani, yang penting tanaman sela tidak menurunkan hasil tebu karena jarak antarbaris tetap, walaupun hasilnya rendah tetap menguntungkan, disebut additive series. Kepentingan kedua bila petani menanam tebu di lahannya sendiri, maka hasil tebu boleh turun karena jumlah baris berkurang, asal hasil tanaman sela cukup tinggi, yang penting hasil total tanaman penyusun tinggi, disebut replacement series (Palaniappan, 1984; Soemartono, 1985). Pada pertanaman monokultur peningkatan produktivitas tebu dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Peningkatan produktivitas secara komersial dimaksudkan untuk meningkatkan produksi per satuan luas lahan.melalui peningkatan populasi dengan mempersempit jarak antarbaris tebu. Dengan peningkatan populasi ini ketersediaan lahan, lengas tanah, unsur hara, dan cahaya matahari dapat dimanfaatkan tebu semaksimal mungkin sehingga hasil hablur meningkat. Penelitian tentang jarak antarbaris tebu di lahan sawah telah banyak dilakukan. Di Quinsland penyempitan jarak antarbaris dari 135 cm menjadi 50 cm dapat meningkatkan berat batang dan hasil hablur sampai 50 % (Bull and Bull, 2000 cit., Effendi, 2001). Penelitian di lahan sawah di Kebun Bakalan P3GI menunjukkan bahwa pelebaran jarak antarbaris dari 90 cm menjadi 130 cm dapat menurunkan jumlah batang, berat batang dan hasil hablur, sedang pelebaran jarak antarbaris dari 90 cm menjadi 110 cm pengaruhnya tidak nyata (Rasjid dan Suryani, 1993). Penelitian di lahan sawah beririgasi di PG Lestari PTPN X menunjukkan bahwa penyempitan jarak antarbaris dari 105 cm (standar) menjadi 50 cm dapat meningkatkan jumlah tanaman sampai umur 6 bulan, tetapi diameter batang dan rendemen turun dengan nyata, sedang terhadap berat batang dan hasil hablur tidak berpengaruh nyata. Jarak antarbaris ganda (160+50) cm dapat meningkatkan tinggi tanaman dan rendemen, tetapi terhadap diameter batang, berat batang, dan hasil hablur tidak berpengaruh nyata (Effendi, 2001). Penelitian tentang jarak antarbaris tebu di lahan kering pada pertanaman tumpangsari tebu dengan beberapa tanaman semusim lain termasuk tanaman pangan
A.T.Soejono: Kajian jarak antarbaris tebu dan jenis tanaman palawija dalam tumpangsari 34
perlu dilakukan, dengan tujuan untuk melihat pengaruh jarak antarbaris tebu terhadap pertumbuhan dan hasil masing-masing jenis tanaman, hasil total tanaman penyusun serta efisiensi penggunaan lahan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di lahan kering Desa Ngrancah, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, pada tanah grumosol dengan ketinggian tempat 110 m di atas permukaan laut, mulai bulan Oktober 1991 sampai Agustus 1992. Penelitian menggunakan metode percobaan lapangan dengan rancangan petak terbelah (Split Plot Design), terdiri atas 2 faktor perlakuan dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tanaman palawija yaitu jagung, kacang tanah, dan kedelai. Faktor kedua adalah jarak antar baris tebu yaitu 90, 100, 110, dan (160+40)) cm. Ukuran petak perlakuan 12 m x 5 m. Jarak antarpetak perlakuan adalah 2 juring mati sedang jarak antarblok adalah 2 m. Varietas yang ditanam untuk tebu adalah varietas M-442-51, jagung varietas Jawa Timur Kuning umur 85 hari, kacang tanah varietas Gajah, dan kedelai varietas Orba. Pupuk dasar pada tebu digunakan TSP dan KCl sebanyak 150 dan 100 kg/ha, pupuk ZA diberikan dua kali pada umur 2 minggu 400 kg dan umur 5 minggu 300 kg/ha. Jagung dipupuk urea, TSP, dan KCL sebanyak 200, 50, dan 50 kg/ha. Semua dosis TSP dan KCl serta setengah dosis urea diberikan bersama tanam, sisa pupuk urea diberikan pada umur5 minggu. Kacang tanah dan kedelai masing-masing dipupuk urea dan TSP sebanyak 50 dan 100 kg/ha semuanya diberikan bersama tanam. Pengamatan komponen pertumbuhan tanaman dilakukan terhadap tanaman sampel, sedang komponen hasil dan hasil tanaman diambil dari petak sampel. Berdasarkan data hasil masing-masing jenis tanaman dalam pertanaman tumpangsari maupun monokultur dapat dicari nisbah setara lahan (NSL) sebagai berikut : YPts YTts NSL = + YPm YTm YPts = hasil palawija tumpangsari YTts = hasil tebu tumpangsari YPm = hasil palawija monokultur YTm = hasil tebu monokultur Bila NSL > 1, berarti pertanaman tumpangsari lebih efisien dalam penggunaan lahan daripada pertanaman monokultur. Data komponen pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil tanaman dianalisis dengan sidik ragam pada taraf nyata 5 %. Bila ada beda nyata dilanjutkan uji jarak ganda Duncan (UJGD) pada taraf 5 % HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tebu Jarak antarbaris tebu dan jenis tanaman palawija tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan dan diameter batang umur 3 bulan. Pengamatan di lapangan membuktikan bahwa jarak antarbaris 90 cm sampai tebu berumur 3 bulan daun-
35
Ilmu Pertanian
Vol. 11 No. 1
daunnya belum saling menutup maka kebutuhan cahaya matahari masih terpenuhi apalagi pada jarak antarbaris yang lebih lebar yaitu 100 dan 110 cm. Di samping itu kebutuhan unsur hara dan air bagi tebu tidak terganggu oleh tanaman palawija karena penanaman dilakukan pada musim hujan dan kebutuhan unsur hara masing-masing jenis tanaman palawija dicukupi melalui pemupukan. Tebu dipupuk TSP dan KCl sebagai pupuk dasar sedang pemberian pupuk ZA yang pertama dilakukan pada umur 2 minggu. Jenis tanaman palawija jagung menunjukkan berat batang tebu saat tebang nyata lebih rendah dibandingkan kacang tanah dan kedelai (Tabel 1). Kacang tanah dan kedelai termasuk tanaman kacangan yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium guna menambat N. Oleh karena itu tanaman kacangan tidak respon terhadap pupuk N. Kacang tanah dan kedelai termasuk tanaman C3, laju fotosintesis maksimum berlangsung pada intensitas cahaya dan suhu relatif lebih rendah daripada tanaman C4. Berbeda dengan jagung, tanaman ini mempunyai kesamaan sifat dengan tebu, bentuk dan kedudukan daunnya sama, laju fotosintesis maksimum terjadi pada intensitas cahaya dan suhu tinggi karena termasuk tanaman C4 (Hay dan Fitter, 1981) dan sangat respon terhadap pupuk N. Tabel 1. Berat batang tebu (t/ha) dengan berbagai jarak antarbaris dan jenis tanaman sela Jarak antarbaris tebu (cm) 90 100 110 (160+40) Rerata Tebu monokultur
Jagung 75,55 82,41 74,65 79,81 78,11 q
Jenis tanaman sela Kacang tanah 91,79 84,24 81,22 82,88 85,03 p
Kedelai 89,37 80,49 80,77 84,60 86,31 p
Rerata 85,57 a 85,73 a 79,59 b 82,43ab 83,15 (-) 83,56
Keterangan : Angka rerata diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada UJGD 5 % (-): interaksi tidak nyata
Dalam pertanaman tumpangsari, kompetisi tebu dan jagung terhadap unsur hara N lebih besar daripada kompetisi tebu dengan tanaman kacangan bahkan tebu malah mendapatkan sumbangan N dari tanaman kacangan. Dengan demikian berat batang tebu pada tumpangsari dengan jagung lebih rendah daripada tumpangsari dengan tanaman kacangan. Pelebaran jarak antarbaris 100 cm menjadi 110 cm menurunkan berat batang saat tebang dengan nyata. Hal ini karena pelebaran jarak antarbaris 100 cm menjadi 110 cm mengakibatkan jumlah batang saat tebang turun, sedang panjang batang tidak bertambah. Penyempitan jarak antarbaris 100 cm menjadi 90 cm tidak berpengaruh nyata terhadap berat batang saat tebang. Dari pengamatan diperoleh bahwa penyempitan jarak antarbaris tebu dari 100 cm menjadi 90 cm tidak berpengaruh nyata terhadap diameter batang batang dan jumlah batang saat tebang. Oleh karena itu pengaruhnya terhadap berat batang saat tebang juga tidak nyata. Menurut Rasjid dan Suryani (1993). pada tebu monokultur pengaruh jarak antarbaris 90 cm dan 110 cm tidak berbeda nyata terhadap panjang batang, diameter batang, jumlah batang, dan hasil hablur. Penelitian yang dilakukan di Vietnam, penyempitan jarak antarbaris 150 cn menjadi 75 cm dapat
A.T.Soejono: Kajian jarak antarbaris tebu dan jenis tanaman palawija dalam tumpangsari 36
meningkatkan berat batang 2 kali lipat, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil nira (Nguyen, 1996), Demikian pula penyempitan jarak antarbaris 150 cm menjadi 90 cm juga dapat menaikkan berat batang tetapi hasil nira tidak terpengaruh (Nguyen et al., 1997). Pelebaran jarak antarbaris tebu menurunkan berat batang dengan nyata. Hal ini karena populasi tebu per satuan luas lahan berkurang. Perubahan jarak antarbaris tunggal 100 cm menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm menunjukkan berat batang tebu tidak berbeda nyata. Perubahan jarak antarbaris tebu ini sebenarnya tidak merubah jumlah baris tebu, walaupun terjadi penurunan jumlah batang tetapi dengan terbentuknya jalur lebar dapat memacu pertumbuhan komponen hasil yang lain seperti panjang batang, diameter batang, dan tingkat kemasakan tebu yang tampak pada hasil hablur. Berat batang tebu saat tebang dalam tumpangsari dengan tanaman kacangan relatif lebih tinggi daripada tanaman monokultur. Hal ini karena tebu mendapatkan tambahan unsur hara N mengingat tanaman kacangan mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium untuk menambat N sehingga tidak respon terhadap pupuk N. Penyempitan jarak antarbaris tebu 100 cm menjadi 90 cm, pada tanaman sela kacang tanah dan kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap hasil hablur, tetapi pada tanaman sela jagung hasil hablur turun dengan nyata (Tabel 2). Jagung mempungai kesamaan sifat dengan tebu yaitu tajuknya tinggi dan perakarannya luas. sehingga pada jarak antarbaris tebu 90 cm dapat terjadi kompetisi terutama terhadap cahaya matahari dan unsur hara N. Berbeda dengan kacang tanah dan kedelai di samping tajuknya jauh lebih rendah daripada tebu juga dapat melakukan simbiosis dengan Rhizobium untuk mengikat N, sehingga kebutuhan tebu terhadap cahaya matahari maupun unsur hara terutama N tidak terganggu. Dengan demikian hasil hablur pada tanaman sela jagung nyata lebih rendah daripada hasil hablur pada tanaman sela kacang tanah dan kedelai. Pelebaran jarak antarbaris tebu 100 cm menjadi 110 cm, pada ketiga jenis tanaman sela menurunkan hasil hablur dengan nyata. Hal ini karena dengan pelebaran jarak antarbaris tersebut mengakibatkan jumlah baris tebu per satuan luas lahan berkurang di samping itu tanaman sela dapat tumbuh lebih baik karena ruang tumbuhnya menjadi longgar. Tabel 2 Hasil hablur (t/ha) dengan berbagai jarak antarbaris tebu dan jenis tanaman sela Jarak antarbaris tebu (cm) 90 100 110 (160+40) Rerata Tebu monokultur
Jagung 6,33 c 7,75 a 7,00 b 7,31 ab 7,10
Jenis tanaman sela Kacang tanah 8,31 a 7,98 a 7,57 b 8,25 ab 8,03
Kedelai 8,44 a 8,47 a 7,55 b 7,07 ab 8,08
Rerata 7,69 q p p 8,07 q p p 7,40 q p p 7,81 p p p 7,78 (+) 8,13
Keterangan : Dalam suatu kolom atau baris, angka rerata diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada UJGD 5 % a, b : dalam kolom sama p, q : dalam baris sama (+) : interaksi nyata
Perubahan jarak antarbaris tunggal 100 cm menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm pada semua jenis tanaman sela tidak berpengaruh nyata terhadap hasil
37
Ilmu Pertanian
Vol. 11 No. 1
hablur. Hal ini karena perubahan jarak antarbaris tunggal 100 cm menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm mengakibatkan ruang tumbuh tanaman sela menjadi lebih longgar tetapi tidak merubah jumlah baris tebu. Telah disebutkan bahwa perubahan jarak antarbaris tunggal 100 cm menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm tidak menurunkan panjang batang, jumlah batang dan berat batang saat tebang (Tabel 1). Walaupun dengan perubahan tersebut terbentuk jalur sempit (40 cm) di satu sisi sehingga dapat mengurangi cahaya matahari yang diperlukan tebu dalam proses pemasakan tetapi dapat diimbasngi jalur lebar (160 cm) di sisi yang lain sehingga kebutuhan cahaya matahari secara keseluruhan masih dapat terpenuhi seperti pada jarak antarbaris tunggal 100 cm. Dengan demikian perubahan jarak antarbaris tunggal manjadi jarak antarbaris ganda tidak berpengaruh nyata terhadap hasil hablur. 2. Pertumbuhan dan hasil tanaman palawija a. Pertumbuhan tanaman palawija Penyempitan jarak antarbaris tebu dari 100 cm menjadi 90 cm menurunkan berat kering tanaman ketiga jenis tanama palawija sebagai tanaman sela, sedang pelebaran jarak antarbaris menjadi 110 cm atau perubahan menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm tidak berpengaruh nyata. (Tabel 3). Tabel 3. Berat kering tanaman (g/tanaman) jagung, kacang tanah, dan kedelai pada berbagai jarak antarbaris tebu Jarak antarbaris tebu (cm) 90 100 110 (160+40) Rerata Tanaman monokultur
Jagung 116,00 b 125,17 a 127,13 a 120,33 a 122,16 130,03
Berat kering tanaman Kacang tanah 47,67 b 50,36 a 52,20 a 51,33 a 50,39 51,43
Kedelai 45,00 b 55,85 a 55,53 a 58,00 a 52,55 52,93
Keterangan : Dalam suatu kolom, angka rerata diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada UJGD 5%
Penyempitan jarak antarbaris tebu menjadi 90 cm tidak mengakibatkan ruang tumbuh bagi tanaman sela menjadi sempit, cahaya matahari yang dibutuhkan berkurang, sehingga menghambat laju fotosintesis akibatnya berat kering tanaman sela turun. Pelebaran jarak antarbaris tebu menjadi 110 cm atau perubahan menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm mengakibatkan ruang tumbuh bagi tanaman sela melebihi ruang tumbuh pertanaman monokulturnya maka berat kering tanaman sela tidak meningkat. b. Hasil tanaman palawija Penyempitan jarak antarbaris tebu dari 100 cm menjadi 90 cm atau pelebaran menjadi 110 cm tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji jagung, tetapi pelebaran jarak antarbaris tebu menjadi 110 cm menurunkan hasil biji kacang tanah maupun kedelai. Pelebaran jarak antarbaris tebu mengakibatkan populasi jagung per satuan luas lahan
A.T.Soejono: Kajian jarak antarbaris tebu dan jenis tanaman palawija dalam tumpangsari 38
berkurang karena jumlah baris jagung di anatara baris tebu tidak mengalami perubahan, menyebabkan berat biji per tanaman dan berat 100 biji jagung bertambah. Dengan demikian pelebaran jarak antarbaris tebu tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji jagung. Pelebaran jarak antarbaris tebu mengakibatkan populasi kacang tanah maupun kedelai berkurang karena jumlah baris tanaman kacangan di antara baris tebu tidak berubah, sedang dari pengamatan jumlah polong dan berat 100 biji tidak mengalami kenaikan, oleh karena itu pelebaran jarak antarbaris tebu menurunkan hasil biji kacang tanah maupun kedelai dengan nyata. Tabel 4. Hasil biji (t/ha) jagung , kacang tanah, dan kedelai pada berbagai jarak antarbaris tebu Jarak antarbaris tebu (cm) 90 100 110 (160+40) Rerata Tanaman monokultur
Jagung 0,24 b 0,27 bc 0,23 c 0,44 a 0,32 0,89
Hasil biji Kacang tanah 0,67 a 0,73 a 0,57 b 0,75 a 0,68 1,41
Kedelai 0,68 a 0,70 a 0,55 b 0,70 a 0,66 1,54
Keterangan: Dalam suatu kolom, angka rerata diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada UJGD 5 %
Perubahan jarak antarbaris tunggal tebu dari 100 cm menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm dapat meningkatkan hasil biji jagung, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji kacang tanah maupun kedelai. Hal ini karena perubahan tersebut mengakibatkan ruang tumbuh bagi tanaman sela yang semula 100 cm bertambah manjadi 160 cm sehingga populasi jagung naik 50 %, sedang populasi tanaman kacangan tidak bertambah. Jarak antarbaris tebu 110 cm menunjukkan hasil total tanaman penyusun tumpangsari nyata lebih rendah daripada jarak antarbaris yang lain (Tabel 5). Hal ini disebabkan jarak antarbaris 110 cm merupakan jarak yang paling lebar dan mengakibatkan populasi tebu berkurang sehingga hasil hablur turun (Tabel 2). Kacang tanah menunjukkan hasil total tanaman penyusun tumpangsari lebih tinggi daripada kedelai. Hal ini disebabkan kalori kacang tanah lebih tinggi daripada kedelai, setiap 100 g biji kacang tanah terdapat 540 kalori dan kedelai 330 kalori (Sumarno, 1990), sedang kacang tanah dan kedelai menunjukkan hasil hablur tidak berbeda nyata (Tabel 2). Jagung menunjukkan hasil total tanaman penyusun tumpangsari paling rendah dibandingkan kacang tanah dan kedelai. Hal ini karena jagung dan tebu mempunyai kesamaan sifat morfologi dan keduanya termasuk tanaman C4, sehingga kompetisi antara jagung dengan tebu lebih besar daripada tebu dengan kacang tanah atau kedelai yang merupakan tanaman C3. Maka hasil hablur pada tanaman sela jagung lebih rendah daripada kacang tanah kedelai (Tabel 2). Tabel 5. Hasil total tanaman penyusun (juta cal/ha) pada tumpangsari tebu dengan berbagai jarak antarbaris dan jenis tanaman sela
39
Ilmu Pertanian
Jarak antarbaris tebu (cm) 90 100 110 (160+40) Rerata Tebu monokultur
Jenis tanaman sela Jagung Kacang Kedelai tanah 25,10 36,66 33,03 29,25 34,99 33,23 26,37 32,98 29,34 28,15 36,19 31,03 27,22 r 35,21p 31,67 q
Vol. 11 No. 1
Rerata 31,60 a 32,49 a 29,57 b 31,79 a 31,37 (-) 29,67
Keterangan : Angka rerata diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada UJGD 5 % (-) : interaksi tidak nyata
Penyempitan jarak antarbaris tebu dari 100 cm menjadi 90 cm menurunkan NSL tumpangsari dengan jagunng sedang pada tumpangsari dengan kacang tanah atau kedelai tidak berpengaruh nyata. Hal ini karena penyempitan jarak antarbaris tebu pada tumpangsari dengan jagung menurunkan hasil hablur dengan nyata sedang pada tumpangsari dengan kacang tanah atau kedelai tidak berpengauh nyata (Tabel 4). Jagung tajuknya tinggi termasuk tanaman C4 rakus cahaya, sedang kacang tanah dan kedelai tajuknya rendah termasuk tanaman C3 tidak rakus cahaya serta mampu bersimbiosis dengan Rhizobium untuk menambat N. Dengan demikian jagung lebih mampu berkompetisi dengan tebu daripada kacang tanah dan kedelai (Jumin, 2002). maka jagung dapat menurunkan hasil hablur. Tabel 6. Nisbah setara lahan tumpangsari jagung, kacang tanah atau kedelai dan tebu dengan berbagai jarak antarbaris Jarak antarbaris tebu (cm) 90 100 110 (160+40) Rerata
Jagung 1,15 q 1,26 q 1,12 r 1,36 r 1,22
c b c a
Jenis tanaman sela Kacang Kedelai tanah 1,55 a 1,48 a p p 1,49 a 1,50 a p p 1,36 b 1,28 b p q 1,57 a 1,42 a p q 1,49 1,42
Rerata 1,39 1,42 1,26 1,45 1,38 (+)
Keterangan : Dalam suatu kolom atau baris, angka rerata diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada UJGD 5 % a, b, c : dalam kolom sama p, q, r : dalam baris sama (+) : interaksi nyata
Pelebaran jarak antarbaris tebu dari 100 cm menjadi 110 cm dapat menurunkan NSL tumpangsari tebu dengan masing-masing jenis tanaman palawija. Hal ini karena
A.T.Soejono: Kajian jarak antarbaris tebu dan jenis tanaman palawija dalam tumpangsari 40
pelebaran jarak antarbaris tebu menjadi 110 cm mengakibatkan jumlah baris tebu per satuan luas lahan berkurang sehingga hasil hablur turun (Tabel 2), sedang jumlah baris tanaman palawija di antara 2 baris tebu tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu NSL pada jarak antarbaris tebu 110 cm lebih rendah daripada jarak antarbaris tebu 100 cm. Perubahan jarak antarbaris tunggal 100 cm menjadi jarak antarbaris ganda (160 +40) cm dapat menaikkan NSL tumpangsari tebu dengan jagung, tetapi tidak berpengaruh nyata pada tumpangsari tebu dengan kacang tanah atau kedelai. Perubahan jarak antarbaris tunggal menjadi jarak antarbaris ganda tersebut walaupun tidak berpengaruh nyata terhadap hasil hablur (Tabel 2) dan hasil kacang tanah serta hasil kedelai (Tabel 4) tetapi dapat menaikkan hasil jagung dengan nyata. Hal ini karena jumlah baris jagung yang ditanam pada jalur lebar 160 cm bertambah sedang jumlah baris kacang tanah dan kedelai tidak mengalami perubahan. NSL yang menunjukkan nilai tinggi pada tumpangsari tebu dengan jagung terdapat pada perlakuan jarak antarbaris ganda (160+40) cm, sedang pada tumpangsari tebu dengan kacang tanah atau kedelai terdapat pada berbagai jarak antarbaris tebu yaitu 90 cm, 100 cm dan (160+40) cm. KESIMPULAN 1. Jenis tanaman palawija dan jarak antarbaris tebu tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan dan diameter batang tebu. 2. Tanaman sela jagung menunjukkan berat batang tebu dan hasil hablur lebih rendah daripada kacang tanah dan kedelai. 3. Penyempitan jarak antarbaris tebu menjadi 90 cm tidak berpengaruh nyata terhadap berat batang saat tebang dan hasil total tanaman penyusun tumpangsari. 4. Pelebaran jarak antarbaris tebu menjadi 110 cm menurunkan berat batang dan hasil total tanaman penyusun tumpangsari. 5. Perubahan jarak antarbaris tunggal 100 cm menjadi jarak antarbaris ganda (160+40) cm tidak mempengaruhi berat batang saat tebang dan hasil hablur 6. Jagung pada jarak antarbaris tebu 90 cm menunjukkan hasil hablur, hasil total tanaman penyusun, dan nilai setara lahan nyata lebih rendah daripada perlakuan yang lain. 7. Kacang tanah dan kedelai pada jarak antarbaris tebu 90, 100, dan (160+40) cm menunjukkan hasil total tanaman penyusun tumpangsari dan efisiensi penggunaan lahan nyata lebih tinggi daripada jarak antarbaris 110 cm. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Kajian Akademik Penyelamatan dan Penyehatan Industri Gula Nasional. Makalah pada Seminar Nasional “Konsolidasi dan Kebijakan Pergulaan Nasional” Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Darmodjo, S., 1992. Falsafah Usaha Tumpangsari Tebu dan Non Tebu dalam Usaha Mensinkronisasikan Kepentingan Pengusaha Tebu dengan Petani. Pros. Seminar Prospek Industri Gula/Pemanis. P3GI Pasuruan. 23p.
41
Ilmu Pertanian
Vol. 11 No. 1
Effendi, H., 2001. Budidaya Tebu Populasi Tinggi (Hight Density Planting) untuk Meningkatkan Produktivitas. Buletin Ilmiah INSTIPER 8(2):52-60. Fitter, A.H. and R.K.M.Hay, 1981. Environmental Physiology of Plant (Fisiologi Lingkungan Tanaman, alih bahasa Sri Andani dan E.D Purbayanti). Gadjah Mada University Press. Jumin, H.B., 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 175p. Nyuyen, T.M., 1996. Effect of Management Practices on Yield and Quality of Sugarcane and on Soil Fertility. Pros.Of.a Workshop. http//www.husdyr.kvl.dk/htm/php/tune96/20Mui.ht. Diaskes 20 Okt.2004 --------, Preston, T.R. and I. Ohlsson, 1977. Responses of Four Varieties of Sugarcane to Planting Distance and Mulching. Livestock Research for Rural Development. 9 (3):1-8. Palaniappan, S.P., 1984. Cropping System in the Tropics, Principles and Management.. Wiley Eastern Limited. 215p. Rasjid, A. dan Atik Suryani, 1993. Kajian Jarak Juringan (PKP) Tebu Lahan Sawah Alluvial di Pasuruan. Pros.Pertemuan Teknis Tahunan I/1993. P3GI Pasuruan. pp :18 Soemartono, 1988. Sistem Pertanaman (Cropping System) pada Lahan Tadah H.ujan dan Lahan Berpengairan Integrated Land Development Training Program Faculty of Technology, Gadjah Mada University. Yogyakarta. Sumarno, 1990. Kedelai dan Cara Budidayanya. Yasaguna, Jakarta. 110p.