KAJIAN IDENTIFIKASI BAHAN TAMBAHAN PANGAN HASIL FRAKSINASI ASAP CAIR DARI TONGKOL JAGUNG
SKRIPSI
RAISA MEENAZIR F 34063431
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
i
IDENTIFICATION STUDY OF FOOD ADDITIVES AS LIQUID SMOKE FRACTIONATION RESULT FROM CORN COBS
Sapta Raharja and Raisa Meenazir Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 857 17128495, e-mail :
[email protected]
ABSTRACT Corn cob is one type of agricultural waste that can be processed into useful products such as food additives through pyrolysis and fractionation. In pyrolisis, degradation of components contained in the corn cob as cellulose, hemicelluloses, and lignin into various organic compound was occurred. Range of temperature and pressure treatment based on the boiling point of every individual chemical compounds contained in the liquid smoke 550oC with the addition of 1.5 % atapulgite catalyst. Fractionation of liquid smoke was done by using vacuum distillation method that make compound which has high boiling point will more quickly evaporated. Furthermore, components of chemical compounds in the liquid smoke fractions identified by GC-MS ((Gas Mass Chromatography Spectrometry). Fraction of liquid smoke can be produced at a pressure of 100 mbar at all points of temperature, but at a pressure of 90 mbar with a temperature of 70 oC and pressure of 80 mbar with a temperature of 67.5oC and 70oC, the liquid can’t be fractionationed again, because temperature and pressure was too high. The result of GC-MS showed that some component contained in the liquid smoke were phenol, ketons, furans, aldehydes, hydrocarbons, and acids. The largest component is phenol, which produced at all temperatures in all pressure points.These compound can be used in the manufactured of food additives such as preservatives, antioxidant, and flavor. Keywords : corn cob, pyrolysis, fractionation, liquid smoke, food additives
ii
RAISA MEENAZIR. F34063431. Kajian Identifikasi Bahan Tambahan Pangan Hasil Fraksinasi Asap Cair dari Tongkol Jagung. Di bawah bimbingan Sapta Raharja. 2010.
RINGKASAN Tongkol jagung merupakan salah satu jenis limbah yang dapat diolah menjadi produk yang bermanfaat seperti bahan tambahan pangan melalui proses pirolisis dan fraksinasi. Pada proses pirolisis terjadi degradasi komponen-komponen yang terkandung dalam tongkol jagung seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi berbagai macam senyawa organik. Senyawa organik tersebut akan mengalami pemisahan (fraksinasi) melalui proses distilasi vakum berdasarkan adanya perbedaan titik didih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan senyawa kimia organik pada asap cair tongkol jagung dan mengetahui kombinasi suhu dan tekanan yang menghasilkan senyawa organik terbanyak untuk membuat bahan tambahan pangan. Penentuan perlakuan suhu dan tekanan yang digunakan, dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu titik didih dari maasing-masing senyawa kimia yang terkandung dalam asap cair 550oC dengan penambahan konsentrasi katalis atapulgit 1.5 %. Penentuan suhu fraksinasi asap cair dilakukan berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Purwaningtyas (2010). Suhu yang digunakan adalah 60oC, 62.5oC, 65oC, 67.5oC, dan 70oC pada tiga perlakuan tekanan yaitu 80 mbar, 90 mbar, dan 100 mbar. Proses fraksinasi asap cair dilakukan dengan menggunakan metode distilasi vakum menggunakan Rotary Vacuum Evaporator yang bertujuan agar komponen senyawa yang memiliki titik didih tinggi dapat lebih cepat menguap. Selanjutnya dilakukan identifikasi komponen senyawa kimia pada hasil fraksinasi asap cair dengan GC-MS (Gas Chomatogaphy Mass Spectrometry) Hasil fraksinasi menunjukkan bahwa fraksi asap cair dapat dihasilkan pada tekanan 100 mbar di semua titik suhu, namun pada tekanan 90 mbar dengan suhu 70oC, dan tekanan 80 mbar dengan suhu 67.5oC dan 70oC, cairan dapat terfraksinasi lagi, karena suhu dan tekanan yang terlalu tinggi. Cairan yang dihasilkan berwarna putih bening dan berbau sangit akibat pembakaran. Selain itu, tingkat keasaman (pH) berkisar antara 3-4. Hal ini menunjukkan bahwa banyak terdapat kandungan asam pada cairan tersebut. Analisa GC-MS menunjukkan bahwa beberapa komponen senyawa yang terdapat dalam asap cair yakni berupa fenol, keton, furan, aldehid, hidrokarbon, dan asam. Senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan dalam pembuatan bahan tambahan makanan seperti, pengawet, antioksidan, dan flavour. Analisa GC-MS hasil fraksinasi asap cair pada tekanan 100 mbar menunjukkan bahwa, komponen-komponen senyawa yang terkandung di dalamnya mengalami peningkatan jumlah seiring dengan peningkatan suhu. Selanjutnya terjadi penurunan jumlah komponen karena sudah terdapat komponen-komponen senyawa yang terevaporasi akibat proses yang berlangsung satu kali running. Komponen terbanyak yang dihasilkan adalah fenol. Komponen ini berada pada semua titik suhu di semua tekanan. Pada sisa fraksinasi, komponen yang paling banyak tersisa adalah komponen asam. Hal ini karena titik didih senyawa asam yang terlalu tinggi sehingga membutuhkan suhu dan tekanan tinggi, dan waktu yang lebih lama untuk menguap.
iii
KAJIAN IDENTIFIKASI BAHAN TAMBAHAN PANGAN HASIL FRAKSINASI ASAP CAIR DARI TONGKOL JAGUNG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : RAISA MEENAZIR F 34063431
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 iv
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian Identifikasi Bahan Tambahan Pangan Hasil Fraksinasi Asap Cair dari Tongkol Jagung” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupn tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan,
Raisa Meenazir F 34063431
v
Judul Skripsi Nama NRP
: Kajian Idenfikasi Bahan Tambahan Pangan Hasil Fraksinasi Asap Cair dari Tongkol Jagung : Raisa Meenazir : F34063431
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
(Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA) NIP : 19631026 199002 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 21 Desember 2010
vi
BIODATA PENULIS Penulis dilahirkan di Tanjung Pura pada tanggal 29 Mei 1988. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putri pasangan M. Rafi Ali dan T. Amriana. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD 2 Taman Siswa Lhokseumawe dan lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan ke SLTP Swasta Yayasan Pendidikan Arun Lhokseumawe dan lulus tahun 2003. Penulis melanjutkan ke SMA Swasta Yayasan Pendidikan Arun Lhokseumawe dan lulus tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2007, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian melalui sistem Mayor-Minor. Selama kuliah, penulis mengikuti berbagai organisasi dan kepanitiaan. Pada tahun 2006 hingga 2008 penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah IMTR (Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong). Tahun 2007 hingga 2008 penulis tergabung dalam HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) IPB. Pada tahun 2008, penulis mengikuti kepanitiaan HAGATRI (Hari Warga Industri) sebagai komite disiplin dan juga kepanitiaan pada Agroindustry Days 2008. Penulis mengikuti beberapa seminar dan pelatihan seperti ESQ (Emotional Spiritual Quotient) Teens Angkatan ke-1 Aceh pada tahun 2006 dan pelatihan Fire Fighting oleh PT Arun, NGL. Co. Penulis mengikuti Seminar Nasional Dialog Peduli Pendidikan Nasional Pada tahun 2007 dan Seminar Nasional Soil and Mining IPB pada tahun 2009. Selama kuliah penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengawasan Mutu pada tahun 2010. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT SMART, Tbk di bagian Refinery dengan judul “Mempelajari Proses Pengolahan CPO Menjadi Minyak Goreng di PT SMART, Tbk Refinery, Surabaya”. Pada tahun 2010, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Identifikasi Bahan Tambahan Pangan Hasil Fraksinasi Asap Cair dari Tongkol Jagung” untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana.
vii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Identifikasi Bahan Tambahan Pangan Hasil Fraksinasi Asap Cair dari Tongkol Jagung dilaksanakan di Kampus IPB, Darmaga sejak bulan April hingga Oktober 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Ir. Hj. Liesbetini Haditjaroko, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, kritik, dan masukan yang membangun. 3. Bapak Ir. Muslich, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, kritik, dan masukan yang membangun. 4. Bapak H..M. Rafi Ali, SE (Ayah) dan Ibu Hj. T. Amriana, BA (Mama) atas segala kasih sayang, doa, dukungan, dan sabar yang tak ada habisnya diberikan kepada penulis, sehingga penulis bisa seperti sekarang ini. 5. Rafika Akhtariana (Fika), Rozaana Raziin (Oji), dan Muhammad Rais Taqiuddin (Rais), adik-adik atas dukungan yang tak pernah ada habisnya dan selalu membuat hari-hari penulis penuh dengan semangat.. 6. Dumianto Prihastian Wijaya, dengan sabar dan pengertian yang selalu memberi ketenangan kepada penulis. 7. Indah, Aci, Syelly, Nita, Eka, Wiwid, Uul, Nidia, Yos, dan seluruh teman-teman TIN 43 atas persahabatan dan dukungannya selama ini. 8. Mba Ritna, Bu Ega, Pak Sugi, Pak Gun dan seluruh laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian. 9. Seluruh dosen Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah banyak memberikan pengetahuan kepada penulis. 10. Seluruh staf tata usaha Departemen Teknologi Industri Pertanian dan petugas perpustakaan yang telah banyak membantu penulis. 12. Sabti, Hayya, Nia, Lia, Melly, Pipid, Idja, Bintang, Chika, Asti, Alya, dan seluruh teman-teman Pondok Nuansa Sakinah atas persahabatan dan kasih sayangnya selama ini. 13. Seluruh keluarga di Lhokseumawe, Tanjung Pura, Medan, dan Jakarta atas doa dan semangat yang diberikan. 14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang agroindustri.
Bogor, Desember 2010
Raisa Meenazir
viii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................................. DAFTAR TABEL .......................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... A. LATAR BELAKANG ............................................................................................ B. TUJUAN ................................................................................................................ II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. A. TONGKOL JAGUNG ........................................................................................... B. KANDUNGAN BIOMASSA JAGUNG ................................................................ 1. Selulosa ............................................................................................................ 2. Hemiselulosa .................................................................................................... 3. Lignin ............................................................................................................... C. PIROLISIS ............................................................................................................ D. DISTILASI FRAKSINASI .................................................................................... 1. Teori dan Prisip Dasar Distilasi ......................................................................... 2. Distilasi Bertingkat (Fraksionasi) ...................................................................... 3. Distilasi Vakum ................................................................................................ E. ASAP CAIR .......................................................................................................... 1. Pemurnian Asap Cair dengan Distilasi ............................................................... 2. Perkembangan Produksi dan Aplikasi Asap Cair ............................................... F. GC-MS (GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROMETRY) ........................... G. BAHAN TAMBAHAN PANGAN ........................................................................ 1. Pengawet .......................................................................................................... 2. Antioksidan ...................................................................................................... 3. Flavour ............................................................................................................ III. METODOLOGI ........................................................................................................ A. ALAT DAN BAHAN .......................................................................................... B. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 1. Tahapan Penelitian .......................................................................................... a. Pretreatment Sampel Tongkol Jagung .......................................................... b. Karakterisasi Bahan Baku ............................................................................ c. Penentuan Perlakuan Suhu dan Konsentrasi Katalis ...................................... d. Penentuan Suhu dan Tekanan Fraksinasi ...................................................... 2. Prosedur Penelitian ......................................................................................... a. Pirolisis Tongkol Jagung .............................................................................. b. Fraksinasi Asap Cair .................................................................................... c. Analisis Warna, Bau, dan pH ....................................................................... d. Analisis GC-MS (GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROMETRY) ...............................
vii viii x xi xii 1 1 1 2 2 3 3 3 3 4 4 4 5 5 6 8 8 8 9 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 13 14 14
ix
C. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................................. IV. PEMBAHASAN ........................................................................................................ A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU ..................................................................... B. PRODUKSI ASAP CAIR ...................................................................................... C. FRAKSINASI ASAP CAIR DENGAN DISTILASI VAKUM ............................... D. ANALISIS WARNA, BAU, DAN pH ................................................................... E. ANALISIS GC-MS (GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROMETRY) ......................................... F. KOMPONEN MAYOR DAN MINOR PADA HASIL FRAKSINASI ASAP CAIR .......................................................................................................... G. SISA FRAKSINASI .............................................................................................. H. APLIKASI ASAP CAIR SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PANGAN ................ V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ..................................................................................................... B. SARAN ................................................................................................................ VI. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... VII. LAMPIRAN ............................................................................................................
14 15 15 16 17 21 22 26 27 28 29 29 30 34
x
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi Kimia Togkol Jagung ....................................................................... 2 Tabel 2. Komposisi Kimia Asap Cair ............................................................................. 7 Tabel 3. Perlakuan Suhu dan Tekanan Fraksinasi Asap Cair ............................................ 14 Tabel 4. Perlakuan Suhu dan Tekanan yang Mengalami Analisa GC-MS .......................... 14 Tabel 5. Komposisi Kimia Tongkol Jagung Awal ............................................................ 15 Tabel 6. Cairan Hasil Pirolisis Tongkol Jagung ............................................................... 17 Tabel 7. Hasil Fraksinasi Asap Cair ................................................................................. 18 Tabel 8. Komponen Hasil Fraksinasi dan % Total Luas Area ........................................... 26
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Bagan alir tahapan penelitian ........................................................... ............. 11 Gambar 2. Bagan alir prosedur fraksinasi dan analisis asap cair ......................... ............. 13 Gambar 3. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 100 mbar .................................. ............. 19 Gambar 4. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 90 mbar .................................... ............. 20 Gambar 5. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 80 mbar .................................... ............. 21 Gambar 6. Grafik hasil analisis pH ..................................................................... ............. 22 Gambar 7. Grafik hasil analisis GC-MS, tekanan 100 mbar suhu 60.0, 62.5, 65.0, 67.5, dan 70oC ................................................ ............. 24 Gambar 8. Grafik hasil analisis GC-MS, tekanan 100, 90, dan 80 mbar suhu 60oC ........................................................................... ............. 25 Gambar 9. Grafik kandungan senyawa kimia sisa fraksinasi .............................. ............. 27
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur analisis kimia bahan dan kadar serat hasil pirolisis serte metode preparasi GC-MS ........................................ ............. Lampiran 2. Komponen senyawa hasil analisis GC-MS ...................................... ............. Lampiran 3. Hasil Analisis GC-MS beserta titik didih dan struktur molekul ........................................................................................ ............. Lampiran 4. Grafik komponen senyawa hasil analisa GC-MS beserta % luas area ....................................................................... ............. Lampiran 5. Kromatogram GC-MS tekanan 80 mbar dan suhu 60oC ..................................................................................... ............. Lampiran 6. Kromatogram GC-MS tekanan 90 mbar dan suhu 60oC ..................................................................................... ............. Lampiran 7. Kromatogram GC-MS tekanan 100 mbar dan suhu 60oC .................................................................................... ............. Lampiran 8. Kromatogram GC-MS tekanan 100 mbar dan suhu 65oC ..................................................................................... ............. Lampiran 9. Kromatogram GC-MS tekanan 100 mbar dan suhu 67.5oC .................................................................................. ............. Lampiran 10. Kromatogram GC-MS tekanan 100 mbar dan suhu 70oC ................................................................................... ............. Lampiran 11. Kromatogram GC-MS sisa fraksinasi .......................................... .............
35 37 42 43 44 45 46 47 48 49 50
xiii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tongkol jagung merupakan salah satu limbah jagung yang banyak dihasilkan karena produktivitas jagung yang terus meningkat. Produktivitas jagung mengalami peningkatan pada tahun 2009 baik luas panen yang mencapai 4.096.838 ha, maupun produksi yang mencapai 17.041.215 ton. Pada tahun 2008 produktivitas meningkat cukup signifikan yakni luas panen yang mencapai 4.001.724 ha dan produksi sebesar 16.317.252 ton (BPS, 2009). Tongkol jagung merupakan salah satu jenis limbah yang dapat diolah menjadi produk yang bermanfaat seperti bahan tambahan pangan melalui proses pirolisis dan fraksinasi. Pada proses pirolisis terjadi degradasi komponen-komponen yang terkandung dalam tongkol jagung seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi berbagai macam senyawa organik. Senyawa organik tersebut akan mengalami pemisahan (fraksinasi) melalui proses distilasi vakum berdasarkan adanya perbedaan titik didih. Berdasarkan penelitian Purwaningtyas (2010) yang melakukan kajian optimasi pada proses pirolisis tongkol jagung menggunakan metode respon permukaan dengan dua variabel yakni suhu dan konsentrasi katalis diperoleh hasil bahwa asap cair yang memiliki hasil terbanyak adalah cairan yang bersuhu pirolisis 550oC dan dengan penambahan katalis atapulgit sebanyak 1.5%. Untuk mengetahui berbagai senyawa kimia yang terkandung dalam asap cair, perlu dilakukan proses pemisahan (fraksinasi) pada berbagai variasi suhu dan tekanan. Variasi suhu dan tekanan digunakan untuk mengetahui senyawa-senyawa yang menguap dan terkondensasi pada suhu dan tekanan yang telah ditetapkan. Salah satu metode fraksinasi yang digunakan adalah distilasi vakum. Distilasi vakum merupakan proses pemisahan berbagai senyawa kimia yang dilakukan berdasarkan perbedaan titik didih dengan menggunakan prinsip vakum. Penggunaan fraksinasi sangat penting untuk mengetahui komponen-komponen apa saja pada asap cair yang dapat diperoleh. Proses fraksinasi akan menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih seragam, karena secara bersamaan menguap pada suhu dan tekanan tertentu. Apabila tidak dilakukan fraksinasi maka komponen senyawa di dalamnya menjadi sulit untuk diidentifikasi golongan dan manfaatnya. Senyawa-senyawa kimia organik dapat diolah menjadi bahan tambahan pangan yang berupa pengawet, antioksidan, dan flavour.
B. TUJUAN Mengetahui kandungan senyawa kimia organik pada asap cair tongkol jagung dan mengetahui variasi suhu dan tekanan distilasi vakum yang memiliki kandungan senyawa organik terbanyak yang berpotensi sebagai bahan tambahan pangan.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TONGKOL JAGUNG Tongkol jagung merupakan bagian tanaman jagung yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan pokok. Tongkol ini termasuk dalam biomassa jagung. Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol bervariasi antara 8-12 cm (Effendi dan Sulistiati, 1991). Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung varietas. Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar dibanding yang terletak di bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10-16 baris biji yang jumlahnya selalu genap (Subekti, et al., 2009). Tongkol jagung mengandung 40% selulosa, 36% hemiselulosa, dan 16% lignin (Anonim, 2003). Dengan komposisi kimia seperti ini maka tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak, dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme. Komposisi kimia tongkol jagung disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Tongkol Jagung Komponen
a
b
c
d
Glukan (%)
39.42
-
-
-
Xilan (%)
28.4
12.4
-
-
Arabinan (%)
3.6
-
-
-
Galaktan (%)
1.1
-
-
-
Mannan
7.0
-
-
-
Lignin (%)
1.7
9.1
15
15.0
Abu (%)
1.7
-
-
-
Protein (%)
3.2
-
-
-
Lemak Kasar (%)
0.7
-
-
-
Air (%)
-
7.68
-
-
Serat Kasar (%)
-
38.99
-
-
Selulosa (%)
-
19.49
45
50.5
Hemiselulosa (%)
-
-
35
31.0
Panas Pembakaran Kotor (kj/kg)
18 770
-
-
-
Panas Pembakaran Bersih (kj/kg)
17 580
-
-
-
Sumber : a. Wyman (1987) di dalam White dan Lawrence (2003) b. Richana et al. (2004) c. Sun et al. (2002) d. Worasuwannarak et al. (2007)
2
B. KANDUNGAN BIOMASSA JAGUNG 1. Selulosa Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit -D-glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan -1,4-glukosida. Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra- dan intermolekul (Sjostrom, 1993). Selulosa memiliki rantai panjang glukosa yang terikat secara kovalen, sehingga menjadi suatu struktur kristal. Serat selulosa dapat diolah menjadi kertas, kayu, dan lain-lain karena kekuatannya (Wyman, 1987 di dalam White dan Lawrence, 2003). Selulosa terbagi menjadi tiga jenis, yaitu -selulosa, -selulosa, dan -selulosa. -selulosa adalah bagian selulosa yang tidak larut dalam alkali kuat (NaOH). -selulosa adalah bagian selulosa yang larut dalam media alkali dan mengendap jika larutan dinetralkan, sedangkan -selulosa adalah bagian selulosa yang larut dalam alkali dan tetap larut jika larutan dinetralkan (Fengel dan Wegener, 1995).
2. Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan polimer linier xilosa dengan struktur furanosa. Hemiselulosa merupakan komponen yang kurang stabil dalam biomassa dan terdekomposisi menghasilkan gas dan arang (Frassoldati et al., 2005). Hemiselulosa memiliki sifat-sifat yang tidak tahan terhadap perlakuan panas, strukturnya amorf dan mudah dimasuki pelarut, dapat diekstraksi menggunakan alkali dan ikatannya lemah sehingga mudah dihidrolisis. Berbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida, hemiselulosa merupakan heteropolisakarida. Setiap jenis hemiselulosa terdiri dari D-xilosa sebagai rantai utama dan L-arabinosa pada rantai lainnya (Fengel dan Wegener, 1995). Hemiselulosa terdiri atas berbagai macam sakarida (xylosa, manosa, glukosa, galaktosa, dan sebagainya), yang tampak cacat, struktur amorf (tak berbentuk), banyak cabang sehingga sangat mudah untuk dipisahkan dari inti dan mudah terdegradasi menjadi bahan yang mudah menguap ke luar (CO, CO2, dan beberapa hidrokarbon) pada suhu rendah (Yang et al., 2007).
3. Lignin Lignin merupakan komponen kimia kayu yang terdapat pada lamella tengah (antar sel) dan di dalam dinding sel sebagai pengikat polisakarida. Lignin merupakan hasil polimerisasi dari koniferil, sinapil, dan para-kumaril alkohol dengan enzim sebagai katalisnya (Rahman et al., 2000). Lignin merupakan polimer alam ketiga terbesar setelah selulosa dan hemiselulosa. Lignin memainkan peran penting sebagai bahan baku bio-product dan bio-fuel dunia. Lignin terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu lignin kayu lunak (gymnosperma), lignin kayu keras (angiosperma), dan lignin rerumputan (nonkayu atau tanaman herbal) (Buranov dan G. Mazza, 2004). Sekitar 10-20% bagian biomassa adalah lignin, material fenilpropana komplek yang dapat dikonversi menjadi komponen aromatik atau dibakar untuk mendapat keuntungan karena mengandung energi (Wyman, 1987 di dalam White dan Lawrence, 2003).
3
C. PIROLISIS Pirolisis merupakan proses pemanasan dengan meminimalkan penggunaan oksigen. Pirolisis merupakan tahapan awal proses pembakaran dan gasifikasi yang diikuti dengan oksidasi sebagian atau total dari produk utamanya. Pemilihan suhu yang rendah dan waktu yang lama selama proses pirolisis akan menghasilkan banyak arang, sedangkan pemilihan suhu tinggi dan waktu pirolisis yang lama akan meningkatkan konversi biomassa menjadi gas. Sedangkan pemilihan suhu yang sedang dan waktu pirolisis yang singkat akan mengoptimumkan cairan yang dihasilkan (Bridgwater, 2004). Pirolisis biomassa merupakan salah satu teknologi alternatif yang dikembangkan dengan pada beberapa bidang dalam kimia. Salah satunya adalah untuk mengisolasi senyawa kimia yang kemudian dapat dikonversi menjadi bahan tambahan makanan alternatif. Pada proses pirolisis terhadap tongkol jagung, terjadi degradasi lignin sebagai akibat dari kenaikan suhu sehingga dihasilkan senyawa-senyawa karakteristik sesuai dengan suhu yang digunakan (Czernik, 2002). Penggunaan teknologi pirolisis untuk menghasilkan sumber energi hidrokarbon alternatif telah dikembangkan. Dari hasil pirolisis ini kemudian dapat dilakukan konversi produk salah satunya untuk kepentingan sintesis bahan pengganti minyak bumi atau bahan obat-obatan. Secara bertahap, pirolisis kayu akan mengalami peruraian : (i) hemiselulosa terdegradasi pada 200-260oC, (ii) selulosa pada 240oC-350oC, dan lignin pada 280oC sampai 500oC (Sjostrom, 1993). Pirolisis menghasilkan cairan sebagai rendemen, arang sebagai sisa reaksi dan gas yang tidak terkondensasi. Proporsi ketiganya sangat tergantung dari parameter reaksi dan teknik pirolisis yang digunakan (Amin et al., 2009). Menurut Raveendran et al. (1996), produk pirolisis tongkol jagung mengandung 79.9% gas terkondensasi, 20.1% padatan, 37.4% cairan, dan 42.5% gas. Menurut Raveendran et al. (1996), peristiwa dekomposisi pada proses pirolisis dapat dibagi menjadi lima zona. Zona I pada suhu kurang dari 100oC, peristiwa evolusi kadar air secara umum; zona II pada suhu 200-250oC, bahan baku mulai terdekomposisi; zona III pada suhu 250-350oC, dekomposisi hemiselulosa secara dominan; zona IV pada suhu 350-500oC, secara umum terjadi dekomposisi selulosa dan lignin; dan zona V pada suhu di atas 500oC, terjadi dekomposisi lignin.
D. DISTILASI FRAKSINASI 1. Teori dan Prisip Dasar Distilasi Distilasi merupakan suatu unit operasi yang bertujuan untuk mengubah suatu cairan menjadi uap dan uap tersebut didinginkan kembali menjadi cairan (Purwanto, 1985). Unit operasi ini merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang terdapat dalam larutan dan campuran yang tergantung pada distribusi titik didih dari komponen-komponen tersebut (Geankopolis, 1983). Syarat utama dalam operasi pemisahan komponen dengan cara distilasi adalah komposisi uap harus berbeda dari komposisi cairan dengan terjadi keseimbangan larutan-larutan, dengan komponennya cukup untuk dapat menguap. Suhu cairan yang mendidih merupakan titik didih cairan tersebut pada tekanan atmosfer yang digunakan (Geankopolis, 1983). Titik didih dapat didefinisikan sebagai nilai suhu pada tekanan atmosfer atau pada tekanan tertentu lainnya, dimana cairan akan berubah menjadi uap atau suhu pada tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas atau uap yang berada di sekitarnya. Jika dilakukan proses penyulingan pada tekanan atmosfer maka tekanan uap tersebut akan sama dengan tekanan air raksa dalam kolom setinggi 760 cmHg. Berkurangnya tekanan pada ruangan di atas cairan akan
4
menurunkan titik didih, sebaliknya peningkatan tekanan di atas permukaan cairan akan menaikkan titik didih cairan tersebut (Guenther, 1947).
2. Distilasi Bertingkat (Fraksionasi) Distilasi fraksionasi merupakan penguapan dan pengembunan campuran komponen, yang dalam campuran uap akan terdapat lebih banyak komponen dengan titik didih lebih rendah, sedangkan pada sisa cairan lebih banyak mengandung komponen dengan titik didih lebih tinggi (Slabaugh dan Persons, 1976). Distilasi bertingkat adalah pemisahan dua komponen atau lebih cairan dengan menggunakan prinsip perbedaan titik didih. Perlakuan teoritis untuk distilasi bertingkat memerlukan hubungan antara titik didih komponen-komponen cairan atau tekanan uap campuran atau komposisi komponen campuran (Guenther, 1947). Operasi fraksinasi yang ideal akan menghasilkan fraksi tertentu dengan kemurnian tinggi, pada setiap suhu distilasi tertentu. Setelah fraksi tertentu didistilasi, suhu akan meningkat dengan cepat dan tidak terdapat cairan yang disuling sebagai fraksi antara. Yoder et al. (1980) di dalam Purwanto (1995) menyatakan bahwa laju penguapan cairan tergantung pada beberapa faktor, yaitu : 1. Sifat cairan Pada kondisi yang sama, cairan yang berbeda tidak akan menguap pada laju yang sama. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan pada kekuatan intermolekuler yang dipengaruhi oleh bobot molekul, struktur, dan derajat polarisasi molekul. 2. Suhu Untuk setiap cairan, laju penguapan bervariasi sesuai dengan suhu yang diberikan. Peningkatan energi kinetik akibat kenaikan suhu akan mengakibatkan kekuatan intermolekul akan lebih mudah putus pada suhu yang lebih tinggi dan meningkatkan laju penguapan. 3. Luas area permukaan Penguapan adalah fenomena permukaan, semakin besar luas bidang permukaan maka laju penguapan akan meningkat.
3. Distilasi Vakum Distilasi vakum dilakukan pada tekanan rendah (vakum sebagian), dan biasanya dilakukan dengan cara pemisahan minyak tanpa pengisian air dalam ketel pemisah atau pemasukan uap aktif (Fauzi, 2004). Menurut Yoder et al. (1980) yang disitasi oleh Purwanto (1995), jika cairan yang disuling tidak stabil pada kisaran suhu tertentu, atau jika titik didihnya pada kondisi normal terlalu tinggi, maka distilasi dapat dilakukan pada suhu yang diturunkan dengan menggunakan tekanan atmosfer distilasi. Teknik distilasi ini disebut distilasi vakum. Bahan-bahan dengan bobot molekul yang tinggi (misalnya yang khususnya peka terhadap suhu/oksidasi) hanya dapat didistilasi dalam keadaan vakum sedang atau vakum tinggi, tetapi tekanan mutlak yang serendah itu hanya dapat dicapai apabila tidak terdapat kerugian tekanan pada transportasi uap ke kondensor (Handojo, 1995). Tekanan uap dari beberapa senyawa merupakan fungsi dari suhu. Tekanan rendah akan menurunkan titik didih komponen-komponen dari bahan-bahan yang disuling. Tekanan pada saat
5
penyulingan vakum berlangsung harus konstan. Keadaan ini dapat dicapai dengan mengatur aliran udara melalui pipa kapiler ke dalam cairan yang disuling. Untuk mendapatkan pemisahan yang baik, proses fraksinasi harus dilakukan dengan kolom yang layak dan berhasil guna (Vogel, 1958). PV=nRT Keterangan : P = Tekanan uap campuran V = Volume total campuran gas n = Jumlah mol total campuran gas R = Konstanta umum gas T = Suhu campuran uap (Handojo, 1995) Fraksionasi vakum terutama digunakan untuk memisahkan campuran yang peka terhadap suhu. Dalam hal ini, tekanan rendah (tekanan absolut) yang dipilih tergantung pada titik didih yang diinginkan (Handojo, 1995). Untuk mendistilasi cairan dengan titik didih tinggi atau cairan yang mengalami dekomposisi saat dipanaskan pada titik didihnya, maka ditetapkan metode khusus yaitu distilasi vakum. Prinsipnya adalah tekanan dalam sistem diperkecil untuk menurunkan titik didih dari cairan yang didistilasi (Cook dan Cullen, 1987).
E. ASAP CAIR Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode distilasi kayu asap (Pszczola, 1995). Produk yang berupa asap cair digunakan untuk pengawetan daging babi dan babi asin untuk memberi cita rasa pada beberapa bahan makanan. Asap cair merupakan asam cuka (vinegar), diperoleh secara distilasi kering bahan baku asap misalnya batok kelapa, sabut kelapa, atau kayu pada suhu 400 oC selama 90 menit lalu diikuti dengan kondensasi berpendingin air (Pszczola, 1995). Destilat yang diperoleh dimasukkan ke dalam corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dalam asam piroglinat. Asam piroglinat merupakan campuran dari asam-asam organik, fenol, aldehid, dan lain-lain. Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain : (a) Beberapa flavour dapat dihasilkan secara seragam dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penguapan tradisional; (b) Lebih intensif dalam memberikan aroma; (c) Kontrol hilangnya flavour lebih mudah; (d) Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan; (e) Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial; (f) Pemakaian kayu lebih hemat sebagai sumber asam; (g) Polusi lingkungan dapat diperkecil; (h) Dapat diaplikasikan dengan cara penyemprotan, pecelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan (Pearson dan Tauber, 1984). Eklund (1982) mengemukakan bahwa dari hasil pengujian Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP), asap cair tidak menunjukkan sifat karsinogenik atau sifat-sifat toksik lainnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Hollenbeak (1978), bahwa asap cair mempunyai sifat antibakterial, mudah diaplikasikan, dan lebih asam dari asam konvensial serta fraksi tar yang mengandung hidrokarbon aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan dan karsinogenik. Zaitsev et al. (1969) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapa zat anti mikroba, antara lain :
6
(a) Asam dan turunannya : format, asetat, butirat, propionat, metil ester, (b) Alhokol : metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol, (c) Aldehid : formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural, (d) Hidrokarbon : silene, kumene, dan simene, (e) Fenol, (f) Piridin dan metil piridin. Menurut Harris dan Karmas (1989), komponen asap dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap nilai gizi produk yang diasap, antara lain : (a) Zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan menghambat perubahan kimiawi dan biologis yang merugikan, (b) Komponen yang tidak menunjukkan aktivitas dari segi nilai gizi, (c) Senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan menurunkan nilai gizi produk yang diasap, dan (d) Komponen beracun. Komposisi kimia asap cair beserta persentasenya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Asap Cair Komposisi Kimia
Kandungan (%)
Air
11-92
Fenol
0.2-2.9
Asam
2.8-4.5
Senyawa Karbonil
2.6-4.6
Ter
1-17
Sumber : Maga (1988) Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, dan peranannya makin meningkat apabila kedua senyawa terdapat secara bersamaan (Darmadji, 1995). Selain fenol, senyawa aldehid, aseton, dan keton juga memiliki daya bakteriostatik dan bakterisidal pada produk asap. Girrard (1992) menyatakan bahwa kandungan asam yang mudah menguap dalam asap akan menurunkan pH, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1985). Fenol selain bersifat bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini terutama pada senyawa fenol dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimetil fenol, 2,6-dimetoksi-4-metil fenol, dan 2,6dimethoksi-4-ethylfenol (Pearson dan Tauber, 1973). Senyawa-senyawa fenolat lainnya yang terdapat dalam asap dan memperlihatkan aktivitas oksidatif adalah pirokathol, hidrokuinon, guaiakol, eugenol, isoeugenol, vanillin, salisilaldehid, asam 2-hidroksibenzoat, dan senyawa-senyawa tersebut hampir semuanya bersifat larut dalam eter (Maga, 1988 ; Fiddler et al., 1970). Senyawa fenol dengan titik didih rendah memiliki sifat antioksidan yang agak rendah. Aktivitas antioksidan dari komponen asam adalah sifat yang penting dalam melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap (Daun, 1979). Asap dalam bentuk cair juga masih mempunyai berbagai sifat fungsional. Fungsi lainnya adalah untuk memberikan flavour yang diinginkan pada produk asap karena adanya senyawa fenol dan karbonil (Pszczola, 1995). Rasa dan aroma khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa guaiakol, 4-metil guaiakol, 2,6-dimetoksi fenol.
7
Girrard (1992) mengatakan bahwa dari berbagai penelitian terdahulu, diketahui bahwa senyawa-senyawa fenolat tertentu seperti guaiakol, 4-metil guaiakol, 2,6-dimetoksi fenol dan seringol menentukan flavour dari bahan pangan yang diasap dimana guaiakol akan memberikan rasa asap dan seringol memberikan aroma asap. Rasa dan aroma yang khas pada makanan yang diasap disebabkan oleh senyawa fenol yang bereaksi dengan protein dan lemak yang terdapat pada makanan (Daun, 1979).
1. Pemurnian Asap Cair dengan Distilasi Unit operasi distilasi merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan komponenkomponen yang ada di dalam suatu larutan atau cairan, yang tergantung pada distribusi komponenkomponen tersebut antara fase uap dan fase cair. Semua komponen-komponen ini terdapat dalam kedua fase tersebut. Fase uap terbentuk dari fase cair melalui penguapan pada titik didihnya (Geankopolis, 1983). Distilasi asap cair dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti poliaromatik hidrokarbon (PAH) dan tar, dengan cara pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas tar dan benzopiren (Darmadji, 2002). Senyawa utama yang terkandung di dalam tar yang merupakan hasil dari suatu proses distilasi adalah senyawa fenol yang terdapat dalam jumlah yang sedikit terutama terdiri dari senyawa piridin dan quinolin (Holleman, 1903).
2. Perkembangan Produksi dan Aplikasi Asap Cair Asap cair adalah kondensasi komponen asam yang biasa digunakan untuk menciptakan flavour asap pada produk (Whittle dan Howgate, 2002). Asap cair sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tetapi baru 10-15 tahun belakangan digunakan secara komersial pada industri pengasapan ikan (Moody dan Flick, 1990). Saat ini asap cair yang beredar di pasaran adalah asap cair yang telah dipisahkan dari komponen tar. Di dalam tar terkandung senyawa PAH yang karsinogenik terhadap manusia. Cara pemisahan komponen tar dari asap cair dilakukan dengan mengekstrak kondensat hasil pirolisis dengan menggunakan pelarut antara lain propana, metana, etilen, amonia, metanol, air, dan campuran dari satu atau lebih komponen tersebut (Plaschke, 2002). Penggunaan asap cair menurut Pearson dan Tauber (1973), pada pembuatan makanan yang diasap adalah dengan cara : (a) Mencampur secara langsung ke dalam emulsi daging, (b) Pencelupan, (c) Pemercikan cairan (spraying), (d) Penyemprotan kabut asap cair ke dalam ruang pengasapan, dan (e) Asap cair diuapkan dengan cara meletakkan asap cair tersebut di atas permukaan yang panas.
E. GC-MS (GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROMETRY) Kromatografi gas adalah suatu teknik analisis yang sangat unik dan baik. Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, kromatografi gas diterapkan pada analisis gas dan uap dari komponenkomponen yang mudah menguap. Sebagai suatu alat analitik, kromatografi gas dapat digunakan untuk analisis dan pemisahan langsung sampel-sampel gas, larutan-larutan, dan padatan yang bersifat mudah menguap (Fardiaz, 1989).
8
Pada dasarnya, suatu kromatografi gas terdiri dari enam komponen utama, yaitu (1) sistem gas pengembang (carrier gas) termasuk tangki penyuplai gas serta pengatur dan alirannya, (2) sistem penyuntikan sampel, (3) kolom pemisah, (4) sistem pendeteksian (recorder), (5) unit thermostat untuk mengatur suhu oven (Fardiaz, 1989). Umumnya identifikasi hasil pirolisis dilakukan menggunakan gas kromatografi-spektra massa atau Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Interpretasi data GC-MS dilakukan dengan mengelompokkan puncak-puncak kromatogram yang berubah pada variasi proses. Senyawa dikelompokkan berdasarkan banyaknya C dalam senyawa dan pola perubahan konsentrasi pada perubahan suhu. Dalam hal ini senyawa mengalami pemecahan rantai karbon pada kenaikan suhu atau senyawa mengalami kenaikan persentase pada kenaikan suhu. Dengan cara tersebut akan diperoleh kelompok senyawa hasil perengkahan (C sedikit) dan senyawa dengan molekul besar, sehingga dapat mengalami perengkahan (C banyak), akan tetapi sulit diamati kelompok senyawa yang mempunyai respon fluktuatif terhadap perubahan laju pemanasan. Kesulitan ini akan dipesan pada data GC-MS yang terdiri dari banyak puncak kromatogram. Akhirnya, teknik interpretasi data tersebut kurang memberikan gambaran kelompok senyawa yang ada dalam hasil pirolisis yang justru kadang-kadang penting dilakukan untuk identifikasi senyawa spesifik (Fatimah dan Nugraha, 2005). Menurut Fardiaz (1989), suhu kolom mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap waktu retensi dan penampilan kolom. Waktu retensi (retention time) merupakan waktu yang dibutuhkan senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detector. Waktu retensi diukur berdasarkan waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak maksimum dari senyawa itu (Anonim, 2008 di dalam Febrianto, 2009). Menurut Reineccius (2006) di dalam Febrianto (2009), perkembangan teknologi kromatografi gas merupakan kemajuan yang sangat berarti dalam karakterisasi komponen khususnya komponen aroma. Kromatografi gas menjadi sangat popular karena mempunyai kemampuan memisahkan yang sangat baik dan sensitivitas yang sangat tinggi. Saat ini, penggunaan kromatografi gas semakin berkembang dengan adanya perangkat tambahan seperti spektrometri massa dan olfactometry. Penerapan kromatografi gas di berbagai bidang dapat diantaranya adalah di bidang : (1) obatobatan dan farmasi, (2) lingkungan hidup, (3) industri minyak, (4) kimia klinik, (5) pestisida dan residunya, (6) pangan. Khusus di bidang pangan, kromatografi gas digunakan untuk menetapkan kadar antioksidan dan bahan pengawet makanan. Di samping itu, juga untuk analisis sari buah, anggur wine, bir, sirup, keju, minuman, aroma makanan, minyak, produk susu, produk-produk penguraian, kontaminan, bahan pemalsu, dan seabagainya (Fardiaz, 1989).
G. BAHAN TAMBAHAN PANGAN Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. Bahan tambahan pangan ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat. Bahan tambahan pangan pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan diuji lama sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ada (Himpunan Alumni Fateta, 2005). Bahan tambahan pangan dapat berupa ekstrak bahan alami atau hasil sintesis kimia. Bahan yang berasal dari alam umumnya tidak berbahaya, sementara bahan artifisial atau sintetik mempunyai resiko terhadap kesehatan jika disalahgunakan penggunaannya (Himpunan Alumni Fateta, 2005). Pada umunya bahan tambahan makanan dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :
9
1. Bahan tambahan makanan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan penambahan itu mempunyai maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk memperbaiki nilai gizi, mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan. Contohnya adalah antioksidan, flavour, dan pengawet. 2. Bahan tambahan makanan yang tidak sengaja ditambahkan (unintentional additives), yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses proses produksi, pengolahan, pengemasan. Contohnya adalah residu pestisida, logam berat, migrasi komponen plastik ke dalam makanan, dsb. (Winarno dan Rahayu, 1994)
1. Pengawet Bahan pengawet dapat dibagi menjadi beberapa golongan umum, yakni antimikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri, khamir, dan kapang; dan ada pula bahan pengawet yang menghambat proses enzimatik dan pematangan yang biasanya terjadi pasca panen (Dalton, 2002). Bahan pengawet yang merupakan bahan tambahan pangan sering ditambahkan dalam makanan. Fungsi pengawet adalah untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar kerusakan bahan makanan khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas mikroba yang memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan pengawet bersifat menghambat atau mematikan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan ini sehingga sering disebut senyawa antimikroba (Saparinto, 2006).
. 2. Antioksidan Antioksidan merupakan salah satu bahan tambahan pangan alami. Antioksidan berfungsi untuk menghambat oksidasi lemak atau melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh, terutama lemak dan minyak. Antioksidan sering digunakan dalam produk makanan olahan komersial. Tujuan utamanya adalah untuk memperpanjang daya simpan dan meningkatkan stabilitas makanan yang banyak mengandung lemak (Saparinto, 2006). Berdasarkan jenisnya antioksidan dibagi menjadi dua tipe yaitu : Asam (beserta garam dan esternya) seperti asam askorbat dan asam sitrat yang digunakan untuk mencegah pelunturan warna pada daging, buah, dan makanan lain. Yang kedua adalah senyawa atau bahan campuran fenol seperti Butylated Hydroxyanisole (BHA) dan tokoferol yang menghalangi terjadinya oksidasi pada makanan terutama pada lemak dan minyak (Silalahi, 2006).
3. Flavour Flavour adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah, dan mempertegas rasa dan aroma suatu makanan (Winarno dan Rahayu, 1994). Salah satu penyedap rasa dan aroma yang dikenal luas di Indonesia adalah vetsin atau bumbu masak dalam berbagai merek. Penyedap rasa tersebut mengandung senyawa yang disebut monosodium glutamat (MSG). Peranan asam glutamat sangat penting, diantaranya untuk merangsang dan mengantar sinyal-sinyal antar sel otak, dan dapat memberikan cita rasa pada makanan (Himpunan Alumni Fateta, 2005). Flavour merupakan bahan tambahan makanan yang paling unik karena belum memiliki standar dalam peraturan dan dianggap tidak berbahaya (Taylor, 1980).
10
III. METODOLOGI
A. ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan adalah reaktor untuk pirolisis, kondensor, rotary vacuum evaporator, hammer mill, disc mill, labu erlenmeyer, bak air, pompa, sudip, cawan alumunium, oven, timbangan, cawan porselen, plastik, tampah, gunting, botol cairan. Peralatan yang digunakan untuk analisis adalah alat GC-MS merek Agilent Technology seri HP 6890. Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah tongkol jagung. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah atapulgit, dan bahan-bahan kimia untuk analisis.
B. METODE PENELITIAN 1. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yang disajikan pada Gambar 1 berikut.
Mulai
Pretreatment tongkol jagung
Karakterisasi bahan baku
Penentuan suhu pirolisis dan jumlah katalis
Penentuan suhu dan tekanan fraksinasi
Analisis GC-MS
Selesai
Gambar 1. Bagan Alir Tahapan Penelitian
11
a. Pretreatment Tongkol Jagung Tongkol jagung memerlukan pretreatment sebelum digunakan dalam proses pirolisis. Tongkol jagung dikeringkan dengan sinar matahari dan atau oven (kabinet oven) sampai kadar air (612%). Selanjutnya hasil tongkol jagung kering dipotong sampai berukuran lebih kecil kemudian dihancurkan dengan hammer mill dengan ukuran 150-250 µm dilanjutkan dengan disc mill (ukuran ± 75 µm).
b. Karakterisasi Bahan Baku Tongkol jagung yang digunakan pada pirolisis harus dikarakterisasi terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang akan digunakan. Karakteristik yang diamati dari tongkol jagung adalah kadar air dan kadar serat. Analisis kadar serat dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Prosedur analisis kadar air dan kadar serat disajikan pada Lampiran 1.
c. Penentuan Perlakuan Suhu dan Konsentrasi Katalis Penentuan perlakuan suhu diperoleh dari hasil Thermogravimetric analyzer (TGA). Pada uji ini terbaca suhu terdekomposisinya suatu bahan. Suhu dan konsentrasi didapatkan dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Purwaningtyas (2010).
d. Penentuan Suhu dan Tekanan Fraksinasi
2. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian berikut ini merupakan penjabaran setiap tahapan penelitian yang dilakukan sesuai dengan urutan tahapan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya. Prosedur penelitian yang dilakukan mencakup (a) pirolisis tongkol jagung, (b) fraksinasi asap cair (c) analisis fisik dan GC-MS asap cair.
a. Pirolisis Tongkol Jagung Tongkol jagung sekitar 50 g dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis dengan penambahan katalis atapulgit sebanyak 1,5% (Amin dan Asmadi, 2007) yakni 0.75 g dengan suhu pembakaran 550oC, serta dialiri gas nitrogen dengan laju 50 cm3/menit (Raveendran et al., 1996). Dari hasil pirolisis dihasilkan padatan, cairan, dan gas.
12
b. Fraksinasi Asap Cair Asap cair sebanyak 500 ml didistilasi menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu dan tekanan yang telah ditentukan. Metode yang digunakan adalah distilasi vakum yang bertujuan menghasilkan perolehan atau distilat yang lebih murni, sedangkan vakum dalam proses ini digunakan untuk menjaga agar suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi, sehingga mencegah kerusakan/dekomposisi bahan akibat panas yang terlalu tinggi dan lama. Distilasi asap cair dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU IPB. Bagan alir prosedur fraksinasi dan analisis asap cair dari tongkol jagung disajikan pada Gambar 2 berikut. Mulai
500 ml asap cair suhu 550oC dengan konsentrasi katalis atapulgit 1,5%
Pengkondisian alat Rotary Vacuum Evaporator
Distilasi vakum dengan tekanan vakum 80 mbar, 90 mbar. dan 100 mbar
60.0oC
62.5oC
65.0oC
destilat
67.5oC
70.0oC
residu
Analisis warna, bau, pH
Analisis GC-MS
Selesai
Gambar 2. Bagan Alir Prosedur Fraksinasi dan Analisis Asap Cair
13
c. Analisis Warna, Bau, dan pH Asap cair yang telah difraksinasi dengan variasi suhu dan tekanan selanjutnya akan dianalisis fisik meliputi, warna, bau, dan pH. Pengamatan terhadap warna dan bau dilakukan secara visualisasi, sedangkan pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. Perlakuan suhu dan tekanan fraksinasi cairan asap cair yang mengalami analisis warna, bau, dan pH disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Perlakuan Suhu dan Tekanan Fraksinasi Asap Cair Tekanan (mbar) 80
Suhu (oC) 60.0
Tekanan (mbar) 90
Suhu (oC) 60.0
Tekanan (mbar) 100
Suhu (oC) 60.0
62.5
62.5
62.5
65.0
65.0
65.0
67.5
67.5
67.5
70.0
70.0
70.0
d. Analisis GC-MS (Gass Chromatography Mass Spectrometry) Analisis GC-MS bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa dalam hasil fraksinasi asap cair untuk mendapatkan produk yang diinginkan berupa pengawet, flavour, dan antioksidan. Analisis asap cair dengan GC-MS dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri Jakarta. Beberapa perlakuan yang diuji kandungan komponen kimianya disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Perlakuan Suhu dan Tekanan yang Mengalami Analisa GC-MS Tekanan (mbar) 80
Suhu (oC) 60.0
90
60.0
100
60.0
100
62.5
100
65.0
100
67.5
100
70.0
100
Sisa
C. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 6 bulan dari bulan April sampai September 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, PAU Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Laboratorium Forensik, Mabes Polri, Jakarta.
14
IV. PEMBAHASAN
A. KARAKTERISIK BAHAN BAKU Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung yang merupakan varietas jagung Hawaii dan memiliki umur tanam 90 hari. Varietas jagung ini biasa digunakan sebagai pakan ternak dengan cara dikeringkan melalui proses penjemuran dengan bantuan sinar matahari. Tongkol jagung yang menjadi bahan baku dalam pembuatan asap cair ini dikecilkan ukurannya terlebih dahulu dengan pemotongan secara manual, kemudian dikeringkan melalui penjemuran dengan bantuan sinar matahari serta pengeringan dengan oven pada suhu ± 80 oC. Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan yang dapat menghambat saat proses pembakaran dan mengakibatkan rendemen yang tidak maksimal. Pengeringan juga dilakukan untuk memenuhi syarat bahan baku yang digunakan pada proses pirolisis yakni di bawah 10%. Selanjutnya tongkol jagung dikecilkan ukurannya menggunakan hammer mill dan disc mill hingga 40-60 mesh. Pengecilan ukuran dimaksudkan untuk memperbesar luas permukaan bahan yang mengalami pemanasan sehingga proses pirolisis dapat berlangsung dengan cepat. Selain itu, pengecilan ukuran bertujuan untuk memudahkan input bahan ke dalam reaktor pirolisis sehingga proses dapat berlangsung dengan baik. Tongkol jagung yang telah siap menjadi bahan baku kemudian diukur kadar air dan kadar serat yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis komposisi tongkol jagung disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Komposisi Kimia Tongkol Jagung Awal. Komponen
Jumlah (%)
Air
6.90
Selulosa
38.34
Hemiselulosa
40.79
Lignin
6.22
Silika
-
Dari hasil analisis komposisi kimia tongkol jagung diperoleh bahwa kadar air bahan sebesar 6.90%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air tongkol jagung telah memenuhi persyaratan kadar air yang ditetapkan untuk proses pirolisis. Menurut Bridgwater (2004), kadar air bahan yang dipirolisis adalah 10-15%. Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini bertujuan untuk mengurangi aktivitas mikroba yang muncul pada bahan apabila kadar air lebih besar dari 10% . Kadar serat menunjukkan jumlah selulosa, hemiselulosa, dan lignin masing-masing sebesar 38. 34 %, 40.79 %, dan 6.22 %. Akan tetapi tidak terdapat kandungan silika pada bubuk tongkol jagung. Kandungan serat pada tongkol jagung dipengaruhi varietas jagung, lama dan kondisi penanaman. Menurut Ye dan Cheng (2002), tongkol jagung mengandung 45% selulosa, 35% hemiselulosa, dan 15% lignin, sedangkan dari hasil analisis menunjukkan tidak terdapat kandungan silika dalam tongkol jagung. Prosedur analisis kadar serat tongkol jagung tertera pada Lampiran 1. Silika merupakan salah satu komponen serat pada tongkol jagung yang berfungsi menjaga tanaman agar tidak mudah rusak oleh ancaman fisik, kimia, dan biologis. Silika merupakan bagian yang paling sulit terdekomposisi diantara lignoselulosik lainnya karena terletak di bagian paling dalam
15
pada dinding sel tanaman. Menurut Raveendran et al. (1996), silika pada padatan tidak mempengaruhi kerja katalis tetapi berpengaruh pada struktur padatan yang dihasilkan serta reaktivitasnya.
B. PRODUKSI ASAP CAIR Tongkol jagung yang telah mengalami pengeringan selanjutnya akan menjadi bahan baku pada proses pirolisis. Sebanyak 50 gram tongkol jagung dan ditambahkan katalis atapulgit sebanyak 1.5% dimasukkan ke dalam reaktor pyrolyzer dengan suhu perlakuan 550oC. Atapulgit merupakan salah satu katalis yang berfungsi sebagai bahan atau senyawaan kimia yang dapat mempercepat laju reaksi (Van Santen dan Niemantsverdriet, 1995). Dalam bentuk koloid, atapulgit dimanfaatkan sebagai peningkat viskositas, pembentuk gel, pengental, penstabil sistem koloid, dan sebagai bahan pengikat. Sedangkan dalam bentuk non koloid, atapulgit dimanfaatkan sebagai absorben, penyaring, dan sebagai katalis (Henin dan Caillere, 1975). Atapulgit termasuk dalam katalis homogen, yaitu katalis yang memiliki fasa yang sama dengan reaktan. Katalis homogen memiliki beberapa kelemahan seperti sulit pada proses pemisahannya dengan produk, menimbulkan korosi pada tangki, dan menimbulkan masalah lingkungan (Ono, 1999). Gas nitrogen dialirkan selama proses dengan laju 50 m3/menit untuk mengurangi kandungan oksigen dalam reaktor (Raveendran et al., 1996). Pemberian gas nitrogen bertujuan untuk mengurangi kadar oksigen yang terdapat pada pyrolyzer. Proses pembakaran dilakukan selama 1 jam 15 menit. Hasil Pembakaran terdiri dari char (arang), gas yang terkondensasi menjadi asap cair, dan gas yang terbuang ke udara. Gas yang telah terkondensasi menjadi asap cair akan difraksinasi dengan metode distilasi vakum menggunakan alat rotary vacuum evaporator. Pemilihan asap cair hasil proses pirolisis bersuhu 550oC dan dengan penambahan katalis atapulgit sebanyak 1.5% untuk difraksinasi disebabkan karena pada kondisi tersebut diperoleh asap cair dengan rendemen terbanyak. Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Purwaningtyas (2010), persentase jumlah terbanyak hasil pirolisis tongkol jagung terdapat pada suhu 550oC dengan penambahan katalis sebesar 1.5%. Peningkatan suhu akan menyebabkan terjadinya penguraian komponen biomassa tongkol jagung, mulai dari hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Penguraian yang semakin meningkat akan meningkatkan banyaknya gas yang dihasilkan. Gas tersebut akan mengalami kondensasi sehingga menghasilkan cairan. Hasil pirolisis menunjukkan peningkatan jumlah rendemen seiring dengan peningkatan suhu. Jumlah cairan meningkat dari suhu 408.53oC hingga diperoleh rendemen terbanyak pada suhu 550oC. Selanjutnya terjadi penurunan rendemen pada suhu di atas 550oC, hal ini terjadi karena peningkatan suhu yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya pemecahan kedua terhadap uap yang dominan sehingga menurunkan rendemen cairan dan meningkatkan jumlah gas yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Zhang et al. (2009) yang menyatakan cairan yang dihasilkan meningkat dari 48.3 % pada suhu 400oC sampai maksimum 56.8 % pada suhu 550oC, kemudian menurun menjadi 54.2 % pada suhu 700oC. Cairan hasil pirolisis tongkol jagung disajikan pada Tabel 6 berikut.
16
Tabel 6. Cairan Hasil Pirolisis Tongkol Jagung Suhu (oC) Katalis Wo (%b/b) (gram) 408.53 1.5 50.75
Cairan (gram) 13.94
Cairan (%) 27.47
450
1
50.5
14.67
29.05
450
2
51
15.365
30.13
550
0.79
50.4
24.935
49.47
550
1.5
50.75
25.255
49.76
550
2.21
51.11
28.805
56.36
650
1
50.5
16.2
32.08
650
2
51
16.515
32.38
691.42
1.5
50.75
14.73
29.02
Sumber : Purwaningtyas (2010)
C. FRAKSINASI ASAP CAIR DENGAN DISTILASI VAKUM Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan suatu zat berdasarkan perbedaan titik didih, sehingga menjadi beberapa bagian murni. Metode fraksinasi yang digunakan untuk memisahkan asap cair hasil pirolisis adalah distilasi vakum menggunakan alat rotary vacuum evaporator. Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan atau didefinisikan juga teknik pemisahan kimia yang berdasarkan perbedaan titik didih. Rotary vacuum evaporator merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memisahkan suatu larutan menjadi beberapa fasa. Sistem vakum digunakan untuk memudahkan pemisahan zat yang memiliki titik didih tinggi agar dapat menguap pada suhu yang lebih rendah. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam asap cair yang bersuhu pirolisis 550oC dan penambahan katalis atapulgit sebanyak 1.5 % diketahui memiliki titik didih yang tinggi (>100 oC), sehingga digunakan vakum untuk menurunkan titik didih tersebut. Titik didih komponen senyawa yang terkandung dalam cairan pirolisis 550oC tertera pada Lampiran 3. Proses fraksinasi berlangsung dengan perlakuan suhu dan tekanan yang berbeda. Sebanyak 500 ml asap cair dimasukkan ke dalam labu rotary vacuum evaporator dan dilakukan proses evaporasi dengan 3 perlakuan tekanan 80 mbar, 90 mbar, dan 100 mbar serta 5 perlakuan suhu 60oC, 62.5oC, 65oC, 67.5oC, dan 70oC. Penentuan perlakuan berdasarkan titik didih senyawa kimia yang terkandung dalam asap cair. Fraksinasi asap cair dilakukan pada kisaran waktu 8-10 menit dengan proses semi sinambung yakni volume hasil fraksinasi pada perlakuan awal, menjadi volume awal pada perlakuan fraksinasi berikutnya dan terjadi proses penggantian air pada kondensor pada tiap perlakuan tekanan yang berbeda. Proses diawali dengan pengaturan suhu dan tekanan terlebih dahulu sesuai dengan kondisi yang ditetapkan yakni suhu paling rendah 60oC dengan tekanan paling tinggi 100 mbar. Proses distilasi vakum dimulai dengan penguapan (evaporasi) terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan pendinginan (kondensasi) sehingga pada labu destilat terdapat tetesan air yang merupakan komponen-komponen yang telah mengalami fraksinasi. Setelah waktu yang ditentukan habis, proses dihentikan dan hasil dimasukan ke dalam wadah yang tersedia. Selanjutnya dilakukan kembali proses
17
serupa, namun dengan suhu dan tekanan yang berbeda. Pengaturan suhu menjadi lebih tinggi dan tekanan menjadi lebih rendah. Pada fraksinasi asap cair diketahui bahwa persentase volume hasil distilasi vakum meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan menurunnya tekanan. Hal ini mempercepat terjadinya proses penguapan dan dengan menurunnya tekanan maka titik didih komponen-komponen senyawa yang berada di dalamnya juga turun sehingga lebih cepat terjadi penguapan. Perbedaan titik didih pada komponen-komponen senyawa yang terkandung dalam asap cair menyebabkan volume hasil fraksinasi yang dihasilkan pada tiap-tiap perlakuan suhu dan tekanan juga berbeda-beda. Hal ini terjadi karena ada komponen senyawa yang menguap di suhu-suhu awal dan ada juga yang menguap dengan memerlukan tekanan yang lebih rendah dan suhu yang lebih tinggi. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk meguapkan tiap-tiap komponen senyawa yang terkandung di dalamnya juga berbeda-beda. Hal tersebut juga saling berpengaruh dengan suhu dan tekanan. Terdapat perbedaan persentase volume pada suhu awal 60oC di tiap tekanan. Persen volume menunjukkan jumlah yang lebih besar dari persen volume berikutnya yang memiliki suhu lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena suhu air pendingin yang masih cukup rendah pada perlakuan-perlakuan awal karena pada tiap perlakuan tekanan dilakukan penggantian air pada kondensor, sehingga proses pendinginan masih cukup baik. Pada tekanan 90 mbar dan suhu 70oC, tidak terdapat cairan yang terfraksinasi akibat suhu yang tinggi dan tekanan yang rendah. Akibatnya seluruh asap cair masuk ke dalam labu destilat. Sama halnya yang terjadi pada perlakuan tekanan 80 mbar dan suhu 67.5oC, 70oC. Asap cair tidak dapat difraksinasi lagi karena suhu yang terlalu tinggi dan tekanan yang terlalu rendah sehingga seluruhnya masuk ke dalam tabung destilat. Hasil fraksinasi asap cair disajikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Hasil Fraksinasi Asap Cair Tekanan
Suhu (oC)
Vo (ml)
Vt (ml)
%Volume
(mbar) 100
90
80
60
500
42
8.4
62.5
458
22
4.8
65
436
24
6.9
67.5
412
28
6.8
70
384
46
11.9
60
338
28
8.2
62.5
310
22
7.1
65
288
22
7.6
67.5
266
24
9.0
70
-
-
-
60
242
38
15.7
62.5
204
24
11.7
65
180
22
12.2
67.5
-
-
-
70
-
-
-
18
Persentase volume menunjukkan jumlah volume yang dihasilkan pada tiap perlakuan fraksinasi asap cair. Pada tekanan 100 mbar dan suhu 60oC diperoleh volume yang cukup besar yakni 42 ml. Berbeda dengan volume yang dihasilkan pada perlakuan berikutnya yakni pada suhu 62.5oC, volume mengalami penurunan menjadi 22 ml. Hal ini disebabkan karena pada suhu awal mulai banyak komponen yang menguap dan terfraksinasi, selain itu suhu air pada kondensor masih cukup rendah sehingga proses kondensasi masih cukup baik dan mengakibatkan titik-titik air yang terbentuk menjadi lebih banyak. Proses meningkatnya volume pada perlakuan berikutnya disebabkan oleh suhu yang meningkat sehingga laju penguapan menjadi lebih cepat dan volume meningkat. Demikian halnya yang terjadi pada tekanan 90 mbar dan suhu 60oC, terjadi peningkatan volume di awal akibat penggantian air kondensor, sehingga proses kondensasi yang terjadi masih cukup baik. Pada suhu 62.5oC volume mengalami penurunan dan kemudian kembali mengalami peningkatan pada suhu yang lebih tinggi yaitu 65oC, dan 67.5oC. Pada tekanan 80 mbar, terjadinya penurunan jumlah volume. Pada suhu 60oC, volume yang dihasilkan sebanyak 38 ml, namun seiring dengan meningkatnya suhu menjadi 62.5oC, volume yang dihasilkan mengalami penurunan yaitu sebanyak 24 ml. Pada suhu 65oC, jumlah volume yang dihasilkan meningkat akibat peningkatan suhu. Ketidakstabilan yang terjadi disebabkan kinerja alat yang kurang ideal sehingga proses evaporasi dan kondensasi yang kurang maksimal. Fraksinasi asap cair pada tekanan 100 mbar dan volume awal 500 ml, jumlah fraksi yang dihasilkan bervariasi untuk tiap perlakuan suhu. Volume tertinggi terdapat pada suhu 70oC, hal ini dapat disebabkan karena proses penguapan yang lebih cepat terjadi akibat suhu tinggi dan sehingga cairan hasil kondensasi menjadi lebih banyak. Proses distilasi vakum menggunakan rotary vacuum evaporator dilakukan dengan 1 kali running untuk tiap perlakuan tekanan. Proses yang dilakukan merupakan proses semi sinambung. Volume awal untuk proses selanjutnya merupakan hasil dari proses distilasi sebelumnya. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 100 mbar disajikan pada Gambar 3 berikut.
50
46 42
45 40
Vt (ml)
35 28
30 22
25
24 Vt (ml)
20
% volume
11.9
15
8.4
10
4.8
6.9
Vo= 500 ml Tekanan = 100 mbar
6.8
5 0 55
60
65
70
75
Suhu oC Gambar 3. Grafik Hasil Fraksinasi pada Tekanan 100 mbar Fraksinasi asap cair pada tekanan 90 mbar serta volume awal 338 ml, volume tertinggi terdapat pada suhu 67.5 C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu tinggi akan meningkatkan laju
19
penguapan. Akibat tekanan rendah, maka titik didih komponen yang terkandung di dalamnya juga menjadi lebih rendah sehingga proses penguapan menjadi lebih cepat. Sedangkan pada suhu 70 oC tidak dihasilkan lagi asap cair yang terfraksinasi. Hal ini terjadi karena asap cair tersebut tidak dapat menguap dan terkondensasi karena tekanan yang cukup rendah (90 mbar), akibatnya cairan pirolisis masuk seluruhnya ke labu destilat. Tekanan yang rendah mengakibatkan daya vakum lebih kuat untuk menarik asap cair menjadi terlalu besar. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 90 mbar disajikan pada Gambar 4 berikut.
28
30
24
25
22
22
Vt (ml)
20 15
Vt (ml) 8.2
10
7.1
7.6
9
% volume 338 Vo Vo= = 338 mlml Tekanan = 90 mbar Tekanan = 90 mbar
5 0 0 55
60
65
70
75
Suhu oC Gambar 4. Grafik Hasil Fraksinasi pada Tekanan 90 mbar
Demikian juga halnya yang terjadi saat fraksinasi (distilasi vakum) pada tekanan 80 mbar. Volume awal sebesar 242 ml. Persentase volume tertinggi berada pada suhu 60oC. Tekanan yang semakin rendah mengakibatkan asap cair tidak dapat difraksinasi lagi pada suhu tinggi, karena tekanan vakum yang sangat rendah berakibat semua cairan pirolisis masuk ke dalam tabung destilat. Dari ketiga grafik dapat terlihat bahwa pada suhu 67.5oC dan 70oC asap cair tidak dapat terfraksinasi lagi karena suhu yang tinggi dan tekanan yang rendah, seluruh asap cair masuk ke dalam tabung destilat sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukannya evaporasi dan kondensasi. Grafik hasil fraksinasi pada tekanan 80 mbar disajikan pada Gambar 5 berikut.
20
40
38
35 30 24
Vt (ml)
25 20
22
15.7 11.7
15
Vt (ml)
12.2
% Volume
10 5
0
Vo = 242 ml Tekanan = 80 mbar
0
0 -5 55
60
65
70
75
Suhu oC Gambar 5. Grafik Hasil Fraksinasi pada Tekanan 80 mbar Peningkatan volume cairan yang terfraksinasi dipengaruhi oleh penguapan karena suhu yang tinggi. Fraksinasi asap cair pada tekanan 80 mbar, menghasilkan jumlah volume yang mengalami penurunan di awal, kemudian terjadi peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh waktu fraksinasi yang dibatasi dan berbedanya titik didih dari tiap komponen yang terkandung dalam asap cair hasil pirolisis. Penggunaan alat yang kurang ideal menjadi salah satu faktor yang menyebabkan proses fraksinasi dengan metode distilasi vakum ini berjalan kurang sempurna. Keterbatasan alat yang hanya mampu bekerja hingga suhu dan tekanan tertentu sehingga volume yang diperoleh juga tidak stabil.
D. ANALISIS WARNA, BAU, DAN pH Analisis yang dilakukan pada hasil fraksinasi asap cair meliputi analisis fisik yang berupa penampakan warna, bau, dan pH. Dari semua sampel hasil fraksinasi asap cair, terlihat bahwa warna yang dihasilkan adalah putih bening. Tidak ada perbedaan warna diantara semua sampel. Suhu dan tekanan tidak mempengaruhi warna pada proses fraksinasi. Perbedaan hanya terjadi pada asap cair sebelum dan sesudah mengalami fraksinasi. Asap cair yang belum mengalami fraksinasi berwarna coklat keruh, sedangkan yang merupakan hasil fraksinasi berwarna putih bening. Distilasi vakum asap cair menghasilkan dua fasa berupa destilat dan residu. Destilat merupakan zat yang mengalami proses evaporasi dan kondensasi yang berwujud cair, sedangkan residu merupakan sisa dari hasil evaporasi dan kondensasi yang biasanya berbentuk zat yang mengalami pemekatan. Bau yang dihasilkan dari asap cair yang telah mengalami fraksinasi adalah bau sangit hasil pembakaran. Tidak ada perbedaan bau diantara semua sampel pada tiap perlakuan. Demikian halnya dengan bau asap cair sebelum dan sesudah mengalami fraksinasi. Baik suhu dan tekanan dari vakum tidak mempengaruhi bau dari zat yang dihasilkan.
21
Analisis pH cairan hasil fraksinasi menggunakan kertas pH. Pengukuran pH dilakukan pada semua sampel hasil fraksinasi. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa pH berkisar antara 3-4. Ini membuktikan bahwa banyak terkandung senyawa-senyawa yang bersifat asam. Perbedaan nilai pH terjadi saat sebelum dan sesudah fraksinasi. Sebelum mengalami fraksinasi, asap cair memiliki nilai pH 5-6, ini menunjukkan sifat yang cenderung asam. Setelah mengalami fraksinasi, pH turun menjadi lebih asam pada kisaran 3-4. Penurunan pH ini terjadi akibat fraksi-fraksi yang terbentuk menjadi lebih murni karena komponen-komponen yang telah terfraksinasi di dalamnya menjadi lebih seragam. Komponen-komponen yang terkandung memiliki konsentrasi (tingkat keasaman) yang lebih tinggi sehingga pH menjadi turun. Grafik hasil analisis pH disajikan pada gambar 6.
4.5
4.3
4
3.7 3.5 3.5 3.5 3.5
3.5
3.4
pH
3.2
Tekanan 100 mbar 3
Tekanan 90 mbar
3
Tekanan 80 mbar 2.5
2 55
60
65 Suhu (oC)
70
75
Gambar 6. Grafik Hasil Analisis pH Pada tekanan 100 mbar, pH terendah berada pada titik suhu 65 oC dimana terdapat banyak komponen asam di dalamnya. Demikian halnya pada tekanan 90 mbar, pH terendah juga berada pada suhu 65oC dengan besarnya nilai pH=3. Hal ini menunjukkan, komponen-komponen yang terkandung di dalamnya memiliki tingkat keseragaman yang cukup baik sehingga kandungan asamnya menjadi tinggi. Berbeda halnya dengan hasil fraksinasi asap cair pada tekanan 80 mbar, pH terendah berada pada titik suhu 62.5oC. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu-suhu awal fraksi-fraksi komponen yang lebih murni sudah terbentuk dengan adanya tekanan yang cukup rendah yang mengakibatkan titik didih dari komponen-komponen yang terkandung di dalamnya juga menjadi lebih rendah. Komponen-komponen yang berada pada hasil fraksinasi dapat diketahui melalui hasil analisis GCMS. Jumlah komponen yang terdapat dalam tiap perlakuan fraksinasi disajikan pada Tabel 8.
E. ANALISIS GC-MS (GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROMETRY) Pengujian GC-MS diperlukan untuk mengetahui komponen kimia yang terdapat dalam hasil fraksinasi asap cair. Salah satu fungsi komponen-komponen tersebut adalah sebagai bahan tambahan
22
pangan. Pengujian dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, Jakarta. Kromatogram hasil pengujian GC-MS tertera pada lampiran 5-11. Umumnya, identifikasi hasil pirolisis dilakukan dengan menggunakan gas kromatogafispektra massa atau Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Interpretasi data GC-MS dilakukan dengan mengelompokkan puncak-puncak kromatogram yang berubah pada variasi proses. Senyawa dikelompokkan berdasarkan banyaknya C dalam senyawa dan pola perubahan konsentrasi pada perubahan temperatur (Fatimah dan Nugraha, 2005). Alat GC-MS yang digunakan memiliki seri HP 6890 yang berasal dari Amerika. Sebelum dilakukan analisa, cairan harus dipreparasi terlebih dahulu untuk memisahkan fase organik dan anorganik. Salah satu syarat bahan yang akan dianalisa menggunakan GC-MS adalah bahan yang terlarut dalam pelarut organik dan tidak mengandung air, karena akan merusak kolom yang merupakan komponen penting pada alat. Cairan diekstrak telebih dahulu menggunakan kloroform yang bertujuan untuk memisahkan fase polar dan nonpolar. Pemilihan kloroform dikarenakan sifatnya yang semi polar sehingga dapat mengekstrak komponen yang polar dan nonpolar. Acap cair bersifat polar karena terlarut dalam air. Namun, terdapat juga zat-zat yang besifat nonpolar di dalamnya, sehingga dipilih pengekstrak yang dapat mewakili sifat keduanya. Kedua fase dipisahkan dengan labu pemisah lalu dipekatkan dengan dialiri gas nitrogen inert. Selama poses peparasi tidak digunakan panas sama sekali karena dikhawatirkan akan mengurangi kandungan zat dalam cairan atau merusak struktur kimianya. Setelah kering, zat dilarutkan dalam methanol yang bersifat polar sesuai sifat asap cair. Cara preparasi sampel untuk analisis GC-MS ini disajikan pada Lampiran 1. Cairan yang telah dipreparasi kemudian diinjeksikan ke dalam alat GC-MS sebanyak ± 5 L. Suhu oven awal yang digunakan adalah 40oC. Ketika kontak dengan panas oven, methanol akan menguap pada menit-menit awal. Oleh karena itu, dipakai waktu delay 2-3 menit untuk menguapkan methanol sehingga hasil analisa untuk menit awal tidak terbaca software. Komponen-komponen yang menguap akan dibawa oleh gas pengemban. Pada alat GC-MS ini, gas pengemban yang akan digunakan adalah helium. Gas helium akan membawa komponen yang teruapkan melewati kolom kapiler menuju detector sehingga membentuk puncak-puncak kromatogam yang menyerupai gunung. Area kromatogram yang terbentuk merupakan jumlah komponen yang terkandung dalam cairan. Puncak kromatogram terbentuk didasarkan pada bobot molekul komponen yang teridentifikasi. Semakin kecil bobot molekulnya, maka akan lebih cepat teridentifikasi, dan semakin kecil pula waktu retensinya. Waktu retensi (retention time) merupakan waktu yang dibutuhkan senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detector. Waktu retensi diukur berasarkan waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak maksimum dari senyawa itu (Anonim, 2008 di dalam Febrianto, 2009). Waktu retensi akan tertera pada puncak kromatogram. Pembacaan waktu retensi dipengaruhi oleh jenis alat GC-MS yang digunakan karena setiap seri memiliki karakteristik tersendiri. Hasil analisa GC-MS selanjutnya diolah menggunakan software MSD Chemstation, Data Analysis tahun 2006. Dari software tersebut, dapat diketahui kandungan komponen dalam cairan beserta kualitas dan kuantitasnya. Kualitas komponen merupakan kemiripan komponen yang terbaca dengan komponen pada database. Semakin tinggi kualitasnya, semakin identik komponen dengan database sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang lebih baik. Kuantitas komponen disajikan dengan % luas area dari total puncak yang terbentuk.
23
Pembacaan data analisis pada penelitian ini menggunakan skala 5.106, nilai threshold sebesar 20, dan menggunakan database wiley 7. Cairan yang dianalisis dengan GC-MS terdapat pada Lampiran 2. Hanya komponen yang memiliki kualitas di atas 90 dan % luas area di atas 1 % yang diambil karena memiliki tingkat keidentikan sebesar 90 % dari database. Sedangkan komponen yang memiliki kualitas di bawah 90 tidak diambil karena dinilai tidak terlalu identik dan kemungkinan merupakan suatu pengotor tetapi memiliki struktur yang mirip dengan komponen dalam database. Grafik hasil analisis GC-MS tekanan 100 mbar dan suhu 60oC, 62.5oC, 65oC, 67.5oC, dan 70oC disajikan pada Gambar 7 berikut.
60 48.23
50
% Luas Area
40
33.32
30
17.24 9.04
10 4.1 0 0
0 58
60
45.97 Fenol
30.41
32.93
20
49.23
Keton 20.67
10.96
Furan Aldehid
10.07 10.96 2.82 7.91 3.5 00 2.81 03.04 02.32 0
62
8.64
64
66
68
70
Hidrokarbon Asam 72
-10 Suhu oC Gambar 7. Grafik hasil analisis GC-MS tekanan 100 mbar suhu 60, 62.5, 65, 67.5, dan 70oC Grafik hasil analisis GC-MS di atas menunjukkan senyawa yang terkandung dalam hasil fraksinasi bertekanan 100 mbar dengan suhu 60oC, 62.5oC, 65oC, 67.5oC, dan 70oC. Analisis dilakukan pada berbagai variasi suhu pada tekanan yang sama. Komponen yang terkandung di dalamnya adalah fenol, keton, furan, aldehid, hidrokabon, dan asam. Keseluruhan komponen ini dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang berupa flavour, antioksidan, dan pengawet. Dari grafik terlihat bahwa jumlah masing-masing komponen berbeda. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan titik didih pada tiap-tiap komponen sehingga menguap dan berkondensasi pada suhu dan tekanan yang bebeda pula. Dari hasil analisis GC-MS untuk hasil fraksinasi menggunakan distilasi vakum terlihat perbedaan jumlah luas area pada semua jenis senyawa. Perbedaan terjadi secara fluktuatif. Pada komponen fenol terjadi peningkatan di awal, namun selanjutnya terjadi penurunan. Kenaikan mulai terjadi pada suhu 62.5oC, dan terjadi perubahan yang cukup signifikan. Namun, % fenol kembali turun pada suhu 65-67.5oC. Hal ini dapat disebabkan karena proses distilasi vakum yang berlangsung dalam 1 kali running untuk semua perlakuan suhu pada tiap tekanan, sehingga fenol banyak dihasilkan pada satu titik suhu dan untuk suhu berikutnya jumlah fenol sudah tidak banyak lagi, namun masih dapat dihasilkan pada suhu-suhu berikutnya. Hal ini terjadi karena proses distilasi dibatasi selama 8-10 menit. Demikian halnya yang terjadi pada komponen keton, tejadi peningkatan jumlah luas area pada titik suhu 60oC dan kembali mengalami penurunan pada suhu 65oC. Pada komponen furan,
24
terjadi peningkatan pada suhu 62.5oC dan kembali menurun pada suhu 67.5oC. Komponen hidrokarbon meningkat jumlahnya pada suhu 60oC dan kembali turun pada suhu 65oC dan komponen asam yang meningkat jumlahnya pada suhu 60oC dan turun pada suhu 67.5oC. Dari semua komponen senyawa ini terjadi peningkatan jumlah pada suhu 60 oC dan 62.5oC dan mengalami penuunan pada suhu 65oC dan 67.5oC. Semua komponen-komponen senyawa ini mengalami peningkatan di awal karena proses penguapan terjadi pada suhu-suhu awal, selanjutnya terjadi penurunan karena jumlahnya yang telah berkurang. Perbedaan terjadi pada komponen aldehid, terjadi penurunan di awal dan kemudian baru terjadi kenaikan jumlah komponen yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan titik didih komponen aldehid, selain itu kendala alat juga dapat mempengaruhi jumlah komponen yang dihasilkan. Komponen aldehid mengalami penurunan pada suhu 60oC dan kembali meningkat pada suhu 65oC. Untuk fraksinasi yang keluar pada suhu rendah adalah aldehid, kemudian keton dan hidrokarbon, dan yang terakhir adalah fenol dan asam. Pengujian GC-MS selanjutnya adalah menganalisa hasil fraksinasi di titik suhu 60oC pada tiga tekanan yang berbeda yaitu 80 mbar, 90 mbar, dan 100 mbar. Tekanan 80 mbar merupakan tekanan paling rendah. Pada komponen fenol, terjadi penurunan jumlah fenol yang dihasilkan seiring dengan peningkatan tekanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan, maka komponen senyawa yang dapat menguap juga semakin sedikit, karena titik didih komponen tersebut juga makin tinggi. Pada komponen keton juga terjadi peningkatan jumlah keton yang dihasilkan seiring dengan tekanan yang makin tinggi sampai tekanan 90 mbar, namun selanjutnya terjadi penurunan, sedangkan komponen furan mengalami hal yang sama dengan fenol, terjadi penurunan jumlah furan seiring dengan meningkatnya tekanan. Grafik hasil analisis GC-MS, tekanan 100, 90, dan 80 mbar suhu 60oC disajikan pada Gambar 8 berikut. 60 49.08
46.74
50
% Luas Area
40
33.32
30.93
30
32.93
20
12.87 11.44 2.94 0
10
9.04 4.1 0
5.37 0
0 -10
70
75
80
85
90
95
Fenol Keton Furan Aldehid Hidrokarbon Asam
100 105
Tekanan (mbar) Gambar 8. Grafik hasil analisis GC-MS, tekanan 100, 90, dan 80 mbar suhu 60oC
Berbeda halnya dengan aldehid dan hidrokarbon, jumlah komponen ini mengalami penurunan pada tekanan yang makin tinggi. Akan tetapi pada tekanan 90 mbar, terjadi peningkatan kembali jumlah komponen tersebut. Hal ini terjadi karena aldehid dan komponen hidrokarbon memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan senyawa lainnya sehingga telah lebih dahulu mengalami penguapan pada tekanan 100 mbar. Proses yang hanya berlangsung dalam sekali running
25
mengakibatkan komponen ini telah terfraksinasi di awal dan jumlahnya semakin menurun pada fraksi berikutnya Sedangkan pada komponen asam, tidak terjadi peningkatan ataupun penurunan jumlah. Komponen asam memiliki titik didih yang lebih tinggi sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat terfraksinasi dalam jumlah banyak. Perbedaan jumlah komponen yang dihasilkan pada tiap tekanan yang berbeda disebabkan karena komponen-komponen yang terkandung di dalam asap cair memiliki titik didih yang berbeda, sehingga pada proses evaporasi tidak semua komponen tersebut mengalami penguapan yang sama, sehingga hanya komponen tertentu yang mengalami kondensasi pada kombinasi perlakuan suhu dan tekanan dapat terfraksinasi pada suhu dan tekanan tersebut. Tekanan vakum bertujuan agar komponen-komponen yang memiliki titik didih tinggi lebih cepat menguap dan terpisah dengan komponen lainnya yang memiliki titik didih berdekatan. Selain itu, kendala alat yang kurang ideal juga mempengaruhi hasil fraksinasi yang diperoleh menjadi kurang optimal. Komponen-komponen yang seharusnya menguap dan terkondensasi pada suhu dan tekanan yang spesifik menjadi tersebar di seluruh perlakuan suhu dan tekanan yang ada. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat yang digunakan untuk proses distilasi vakum. Penggunaan rotary vacuum evaporator sebagai alat untuk proses distilasi vakum tidak mampu mencapai suhu lebih tinggi dan tekanan yang lebih rendah, sehingga pada beberapa perlakuan terjadi peristiwa asap cair seluruhnya masuk ke dalam tabung destilat dan tidak dapat terfraksinasi lagi.
F. KOMPONEN MAYOR DAN MINOR PADA HASIL FRAKSINASI ASAP CAIR Fraksinasi asap cair menunjukkan kandungan senyawa-senyawa yang bermanfaat sebagai bahan tambahan pangan seperti antioksidan, flavour, dan pengawet diantaranya fenol, keton, furan, aldehid, hidrokarbon, dan asam. Dari hasil pengujian GC-MS di titik suhu 60oC pada tekanan 80 mbar, 90 mbar dan 100 mbar, komponen senyawa terbanyak adalah fenol. Fraksi fenol paling dominan tedapat di tekanan 80 mbar. Tekanan yang rendah membantu komponen fenol menguap di titik suhu yang lebih rendah. Berbagai komponen yang dihasilkan pada fraksinasi asap cair disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Komponen Hasil Fraksinasi dan % Total Luas Area Total Luas Area (%) Komponen o
Sampel
Suhu ( C)
Tekanan (mbar)
Fenol
Keton
Furan
Aldehid
Hidrokarbon
Asam
1
60
80
49.08
12.87
11.44
0
2.94
0
2
60
90
46.74
30.93
5.37
0
0
0
3
60
100
33.32
9.04
0
32.93
4.1
0
4
62.5
100
30.41
17.24
0
0
7.91
10.96
5
65
100
48.23
8.64
3.04
0
2.81
20.67
6
67.5
100
49.23
10.07
3.5
0
2.82
2.32
7
70
100
45.97
10.96
0
0
0
0
8
sisa
100
15.72
7.1
0
10.04
9.51
24.8
Berbeda halnya dengan komponen senyawa lainnya, jumlah komponen pada tiap tekanan berbeda dan tidak mengalami perubahan secara linier. Hal ini disebabkan karena komponen fenol,
26
keton, furan, aldehid, hidrokarbon terdiri dari senyawa-senyawa turunan lainnya yang titik didihnya juga berbeda, sehingga jumlah yang diperoleh pada tiap perlakuan tekanan juga berbedabeda.Komponen terbanyak yang ditemukan adalah fenol pada suhu 67.5 oC tekanan 100 mbar. Komponen yang jumlahnya paling sedikit adalah aldehid. Komponen ini dominan pada satu titik suhu 60 oC dan tekanan 100 mbar, namun tidak terdapat pada perlakuan suhu dan tekanan lainnya kecuali di sisa fraksinasi. Komponen asam pada fraksi asap cair tidak ditemukan pada titik suhu 60oC di tekanan 80, 90, dan 100 mbar serta pada suhu 70oC tekanan 100 mbar. Komponen ini dominan berada pada sisa fraksinasi. Komponen asam yang terkandung dalam fraksi asap cair memiliki titik didih yang tinggi (>300 oC) seperti asam stearat dan asam palmitat. Komponen senyawa dan turunannya tertera pada Lampiran 2. Analisis GC-MS pada tekanan 100 mbar pada lima titik suhu yakni 60 oC, 62.5oC, 65oC, o 67.5 C, dan 70oC menunjukkan komponen senyawa terbanyak yang diperoleh adalah fenol. Komponen ini juga ditemukan pada setiap titik suhu. Selanjutnya adalah keton, senyawa ini juga ada di tiap titik suhu pada tekanan 100 mbar, akan tetapi jumlah tidak sebanyak fenol, kemudian berturutturut hidrokarbon, asam, furan, dan aldehid dengan jumlah yang berbeda-beda. Grafik komponenkomponen senyawa beserta % total luas area tertera pada Lampiran 4.
G. SISA FRAKSINASI Sisa fraksinasi asap cair pada tekanan 100 mbar mengandung banyak komponen asam. Hal ini disebabkan karena titik didih asam yang terkandung pada asap cair tersebut cukup tinggi yakni melebihi 300 C, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi pula. Komponen-komponen lainnya masih terdapat dalam cairan sisa fraksinasi, namun dengan persentase yang lebih kecil. Grafik kandungan senyawa kimia sisa fraksinasi disajikan pada Gambar 9 berikut.
Sisa Fraksinasi Persentase
30
20 10 Sisa Fraksinasi 0
Senyawa Gambar 9. Grafik Kandungan Senyawa Kimia Sisa Fraksinasi Pada sisa fraksinasi, terlihat bahwa komponen asam masih banyak tertinggal. Hal ini disebabkan karena asam memiliki titik didih yang tinggi. Namun masih terdapat komponen-komponen lain yang pada suhu dan tekanan awal mengalami fraksinasi, masih terdapat di sisa fraksinasi asap cair tersebut. Hal ini dipengaruhi keadaan alat yang kurang stabil sehingga hasil yang didapatkan menjadi kurang maksimal. Komponen fenol menjadi komponen terbanyak kedua yang ditemukan di sisa
27
fraksinasi setelah asam. Komponen ini telah terfraksinasi di suhu awal, namun masih terdapat di sisa fraksinasi. Demikian halnya dengan komponen-komponen lain seperti keton, furan, aldehid, dan hidrokarbon.
H. APLIKASI ASAP CAIR SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PANGAN Komponen-komponen yang terdapat dalam hasil fraksinasi asap cair tongkol jagung dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Salah satu fungsi dari cairan ini adalah sebagai bahan tambahan pangan sepert pengawet, antioksidan, dan flavour. Secara umum, yang dimaksud sebagai bahan tambahan pangan adalah bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama produksi, pengolahan, pengemasan, atau penyimpanan untuk tujuan tertentu. Menurut Codex Alimentarius, bahan tambahan makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan produk makanan olahan agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Winarno dan Rahayu, 1994). Komponen yang berfungsi sebagai pengawet sebagian besar merupakan senyawa asam, fenol, dan keton. Senyawa asam memiliki pH yang rendah sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu, sedangkan fenol dan keton pada konsentrasi tertentu dapat merusak dinding sel mikroorganisme. Berdasarkan fungsi tersebut, maka ketiga komponen tersebut dapat digunakan sebagai pengawet yang dapat memperpanjang umur simpan makanan. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan makanan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai oleh medium tumbuhnya bakteri atau jamur misalnya pada produk daging, buah-buahan, dsb (Winarno dan Rahayu, 1994). Menurut Winarno dan Rahayu (1994), flavour adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah, dan mempertegas rasa dan aroma suatu makanan. Komponen yang berfungsi sebagai flavour sebagian besar merupakan senyawa fenol, aldehid, furan, asam, dan keton. Keempatnya merupakan senyawa aromatik yang dapat memberikan kesan aroma maupun rasa pada makanan. Antioksidan adalah bahan tambahan makanan yang digunakan untuk mencegah atau menghambat terjadinya proses oksidasi. Antioksidan bisa digunakan pada minyak, lemak, dan makanan yang mengandung minyak dan lemak, misalnya produk ikan dan daging. Selain itu, juga digunakan pada produk buah dan sari buah dalam kaleng (Winarno dan Rahayu, 1994). Antioksidan digunakan untuk melindungi unsur-unsur yang terdapat dalam makanan terutama lemak serta unsur lain seperti vitamin yang juga perlu untuk dilindungi (Taylor, 1980). Senyawa fenol mendominasi fungsi sebagai antioksidan. Beberapa jenis asam dan hidrokarbon dapat juga dijadikan sebagai antioksidan karena berfungsi sebagai zat anti kanker dan biasa terdapat pada tanaman herbal. Pada umumnya, cairan yang mengandung banyak senyawa fenol akan banyak berfungsi sebagai antioksidan.
28
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Proses fraksinasi asap cair dengan vakum distilasi bertujuan untuk menguapkan senyawasenyawa yang terkandung di dalamnya karena memiliki titik didih yang tinggi. Cairan yang telah mengalami fraksinasi memiliki bau yang cukup kuat yakni bau sangit hasil pembakaran. Warna yang dihasilkan adalah bening dan tidak ada perbedaan warna diantara semua perlakuan karena cairan yang telah mengalami fraksinasi merupakan cairan murni dan pengotornya telah tertinggal pada residu. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa peningkatan jumlah asap cair hasil fraksinasi seiring dengan peningkatan suhu dan kemudian mengalami penurunan . Hal ini disebabkan karena fraksinasi dilakukan dalam 1 kali running dan pada rentang waktu tertentu, sehingga apabila komponen senyawa tersebut telah menguap dalam jumlah banyak pada suhu tertentu, maka jumlahnya akan mengalami pengurangan pada semua suhu berikutnya. Berdasarkan hasil penelitian, komponen terbanyak yang berada pada asap cair adalah fenol, kemudian dilanjutkan oleh keton, furan, hidrokarbon, aldehid, dan asam. Komponen-komponen ini dapat berfungsi sebagai bahan tambahan pangan yakni pengawet, anti oksidan, dan flavour. Berdasarkan hasil analisis, maka senyawa aldehid adalah senyawa yang memiliki titik didih paling rendah dan terfraksinasi dengan konsentrasi terbesar pada suhu rendah (60 oC), sementara itu senyawa fenol adalah senyawa dalam jumlah paling besar dan berada pada setiap tekanan (80, 90, dan 100 mbar) dan berada pada semua suhu (60-70oC). Urutan munculnya senyawa pada proses fraksinasi ini adalah aldehid, keton, hidrokarbon, fenol, furan, dan terakhir asam yang tertinggal di residu dari fraksinasi karena asam memiliki titik didih yang tinggi yakni >300 oC.
B. SARAN Perlu dikaji lagi proses fraksinasi asap cair ini dengan metode fraksinasi lain untuk membandingkan hasil yang diperoleh dan penggunaan alat distilasi vakum yang ideal untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal. Selain itu, perlu dilakukan proses lanjut untuk mengetahui pemanfaataan hasil fraksinasi asap cair sebagai bahan tambahan pangan.
29
DAFTAR PUSTAKA
Amin, N.A.S. dan M. Asmadi. 2007. Optimization of Empty Palm Fruit Bunch Pyrolisis over HZSM-5 Catalyst for Production of Bio-oil. Chemical Reaction Engineering Group (CREG), Department of Chemical Engineering, Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, Universiti Teknologi Malaysia. Anand, S. dan O.N. Srivastava. 2004. Formation and Characterization of Y : 247 film through spray pyrolisis technique. Bull. Mater. Sci.,Vol. 27, No. 2 April 2004, pp. 113-119. Anne, O. dan J. Kann. 2001. Determination of Peppermint and Orange Aroma Compounds in Food and Beverages. Proc. Estonian Acad. Sci. Chem., 2001, 50, 4, 217-225. Anonim. 2003. Studi Kasus Implementasi Produksi Bersih Pada Industri Pangan. Direktorat Jendral Industri dan Dagang Kecil Menengah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2009. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jagung Menurut Provinsi 2009. Diakses dari www.bps.go.id pada 16 Februari 2010. Bridgwater, A. V. 2002. The Future of Biomass Pyrolisis and Gassification: Status, Opportunities, and Policies for Europe. Bio-Energy Research Group, Aston University, Birmingham B4 7ET. Bridgwater, A.V. 2004. Biomass Fast Pyrolisis. Review Paper: 0354-9836, 8 (2004), 2. Buckle, K. A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Indonesian University Press, Jakarta. Buranov, A.U. dan G. Mazza. 2004. Biomass Fast Pyrolisis. Review Paper: 0354-9836, 8 (2004), 2. Cook, T.M. dan D.J. Cullen. 1987. Industri Kimia, Operasi, Aspek-aspek Keamanan dan Kesehatan. Terjemahan. PT Gramedia, Jakarta. Czernik, Stefan. 2002. Fluidizable Catalyst for Producing Hydrogen by Steam Reforming Biomass Pyrolysis Liquid. Slide Presentasi. Proceedings of the 2002 U.S. DOE Hydrogen Program Review NREL. National Renewable Energy Laboratory, Golden, Colorado. Dalton, L. 2002. What’s That Stuff Food Preservatives; Antimicrobials, Antioxidants, and Metal Chelators Keep Food Fresh. Journal of Science and Technology Volume 80, Number 45. Darmadji, P. 1995. Produksi Asap Cair dan Sifat-sifat Fungsionalnya. Fakultas Teknologi Pangan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Daun, H. 1979. Interaction of Wood Smoke Component and Foods. Food Technol. 33(5) 66-71. Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV Yasaguna, Jakarta. Eklund. 1982. Inhibitor of Clostridium botulinum Types A and B Toxin Production by Liquid Smoke and NaCl in Hot Process Smoke Flavoured Fish. J. Food Protect. 6: 32-41. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius, Yogyakarta. Fatimah, I dan Nugraha. 2005. Identifikasi Hasil Pirolisis Serbuk Kayu Jati Menggunakan Principal Component Analysis. Jurnal Ilmu Dasar Vol. 6 No. 1, 2005 : 41-47. Fauzi, A. 2004. Isolasi Stronellal dari Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi Metoda Distilasi Vakum. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
30
Febrianto, N. A. 2009. Identifikasi dan Analisa Komponen Aroma pada Lemak Kakao Hasil Refermentasi dengan Metode SPME GC (Solid Phase Microextraction-Gas Chromatography). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fengel, D. dan Wegener. 1995. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Terjemahan S. Hardjono. UGM Press. Yogyakarta. Frassoldati, A., G. Migliavacca2, T. Crippa3, F. Velata3, and T. Farravelli3.2005. Detailed Kinetic Modelling of Thermal Degradation of Biomasses. 1L.E.A.P.-Politecnico di Milano-Italy, 2 Stazione Sperimentale de Combustibiliti – San Donato Milanese-Italy, 3Dipartimento di Chimica Materiali e Ingegneria Chimica-Politecnico di Milano. Geankopolis, G.J. 1983. Transport Process and Unit Operating, 2nd ed. Allyn Bacon. Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis Horwood. New York. Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri, Jilid 1 (Terjemahan). UI Press, Jakarta. Handojo, Linda. 1995. Teknologi Kimia Jilid II. PT Gramedia, Jakarta. Harris, R. S dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan. Terjemahan Achmad S., Bandung Technology Institute Press, Bandung. Henin, S. and S. Caillere. 1975. Fibrous Minerals: in Soil Components, Vol. 2, J.E. Gieseking, ed., Spinger Verlag, New York, 335-349. Himpunan Alumni Fateta. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. FATETA, IPB, Bogor. Holleman, H. F. 1903. A Text Book of Organic Chemistry. John Wiley and Sons, New York. Hollenback, C. M. 1978. Summaries of Addition Paper on Smoke Curing. The Symposium Smoke Curing Advances in Theory of Food Tech. Dallas, Texas June 4-7. Kirk, R. E., dan D.F. Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology Vol. 3. The Interscience Encyclopedia Inc, New York. Maga, J. A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Florida. Moody, M.W dan G.J. Flick. 1990. Smoked, Cured, and Dried Fish. Di dalam Martin, R. E. dan G.J. Flick (eds). The Seafood Industry. Van Nostrand Reinhold, New York. Nevell, T.P. dan S.H. Zeronian. 1985. Cellulose Chemistry and Its Applications. Ellis Harwood United, Chicester. Ono, Y. 1999. Solid Based Catalyst : Recent Development. Di dalam Recent Trends Catalysis. Narosa Publishing House, London. Pearson, A.M dan F.W. Tauber. 1973. Processed Meats, Second Edition. AVI Publishing Company Inc., Nestport Connecticut. Pszczola, Donald E. 1995. Tour Highlight Production and Uses of Smoke-Based Flavors. Food Technol. 49 (1) ; 70-74. Purwaningtyas, A. 2010. Kajian Optimasi Proses Pirolisis Tongkol Jagung untuk Produksi Asap Cair. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB, Bogor. Raveendran, K., A. Ganesh, and K.C. Khilar. 1996. Pyrolisis Characteristics of Biomass and Biomass Component. Journal of Fuel Vol. 75 No. 8, pp. 987-998. Elsivier Applied science Publisher, London.
31
Richana, N., P. Lestina, dan T.T. Irawadi. 2004. Karakterisasi Lignoselulosa dari Limbah Tanaman Pangan dan Pemanfaatannya untuk Pertumbuhan Bakteri RXA III-5 Penghasil Xilanase. Jurnal Pertanian Tanaman Pangan. 23(3)(2004) 171-176. Ritcher, H. 2004. Chemical Characterization and Bioactivity of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons from Non-Oxidative Thermal Treatment of Pyrene-Contaminated Soil at 250-1000oC. Massachusetts Institute of Technology, USA. Saparinto, C. dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Silalahi, J. 2006. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006. Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia. Sjostrom, E. 1993. Wood Chemistry, Fundamentals and Applications, 2nd Edition. Laboratory of Wood Chemistry, Forest Product Departement, Hensinki University of Technology, Espoo, Finlandia. Sastrohamidjojo, Dr. Hardjono. Penerjemah. 1995. Kimia, Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan, Edisi Kedua. UGM Press, Yogyakarta. Slaubaugh, W.H dan T.D. Persons. 1976. General Chemistry. John Wiley and Sons, Inc., New York. Sonobe, T. and N. Worasuwannarak. 2004. Pyrolisis Characteristics of Blends of Agricultural Residues with Lignite. The Joint International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE)” 1-3 December 2004, Hua Hin. Subekti, N. A., Syafruddin, . Effendi, dan S. Sunarti. 2009. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serelia, Maros. Sun, Y. dan J. Cheng. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production. Journal of Bioresource Technology 83 (2002) 1-11. Taylor, R.J. 1980. Food Additives. John Wiley and Sons, New York. Tim Puslitbang Indhan Balitbang Dephan. 2007. Pemanfaatan Serat Rami untuk Pembuatan Selulosa. Departemen Pertahanan Jakarta. Van Santen dan Niemantsverdriet. 1995. Fundamental and Applied Catalyst : Chemical Kinetics and Catalyst. Plenum Press. New York. Vogel, A.L. 1958. Di dalam Johor Ning A.P. 1993. Proses Pemisahan Senyawa Fenol (C6H5OH) dari Limbah Cair Industri Pulp (Black Liquor) dengan Cara Fraksinasi Distilasi. Skripsi. Fateta-IPB, Bogor. Whittle, K. J., P. Howgate. 2002. Glossary www.onefish.org/global/ishTechnologyGlossary Feb 02.
of
Fish
Technology
Terms.
Winarno, F.G. dan T.S. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Worasumannarak, N., T. Sonobe, W. Tanthapanichakoon. 2007. Pyrolisis Behaviors of Rice Straw, Rice Husk, and Corn Cob by TG-MS Technique. Journal of Analytical and Applied Pyrolisis 78 (2007) 265-271. Wyman, C.E. 1987. Application of Corn Stover and Fiber. Di dalam White, Pamela J. dan Lawrence S. Johnson. 2003. Corn: Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc, St. Paul, Minnesotta. Yang, H., R. Yan, H. Chen, D. H. Lee, dan C. Zheng. 2007. Characteristics of Hemicellulose, Cellulose, and Lignin Pyrolisis Journal of Fuel 86 (2007) 1781-1788.
32
Yoder, C.H, F.H. Suydan, dan F.A. Snavely. 1980. Di dalam Purwanto, A. 1995. Kajian Awal Pemisahan Campuran Aseton-Butanol-Etanol Hasil Fermentasi dengan Distilasi Sederhana dan dengan Pendekatan Model Isotherm Flash. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Zaitsev, I., I. Kizeveter, L. Lawnor, T. Makarova, L. Mineer, dan V. Podsevalor. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publishers, Moscow.
33
LAMPIRAN
34
Lampiran 1. Prosedur analisis kimia bahan dan kadar serat hasil pirolisis serta metode preparasi GC-MS 1. Analisa Kadar Air (AOAC, 1999) Penetapan kadar air dilakukan dengan metode oven. Prinsip kadar air adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan jalan pemanasan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 10 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Sebanyak 2-3 g sampel ditimbang di dalam cawan yang telah dioven dan diketahui bobotnya. Sampel dioven pada suhu 105oC selama 5 jam. Sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang bobot akhirnya. Pekerjaan ini diulangi hingga bobotnya tetap. Bobot Awal Sampel (g) – Bobot Akhir Sampel (g) Kadar Air =
x 100 % Bobot Awal Sampel (g)
2. Analisa Kadar Serat a. Penentuan neutral detergent fibre (NDF) atau serat detergen netral (SDN) (AOAC, 1995) Total serat adalah sisa ekstraksi dengan larutan deterjen netral yang disebut serat deterjen netral (SDN). Serat deterjen netral adalah fraksi dinding sel yang terdiri dari selulosa, lignin, dan mineral lainnya. ± 0.5 g contoh dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml, kemudian ditambahkan 100 ml larutan SDN, dipanaskan di atas pemanas listrik, setelah mendidih ditutup dengan sistem refluks dan dibiarkan selama 1 jam. Setelah 1 jam, diangkat lalu larutan disaring ke dalam cawan masir yang telah diketahui bobotnya (W1). Gelas piala dan cawan masir dicuci dengan air panas hingga tak berbusa, kemudian dibilas dengan aseton. Kemudian dikeringkan dalam oven ± 105oC selama semalam. Cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (W2). Cawan dibersihkan lalu dibakar dalam tanur selama 3 jam setelah dicapai suhu ± 550oC W2-W1 Kadar SDN (g/100g) =
x 100 % Bobot Contoh (g)
W1 : bobot cawan kosong W2 : bobot cawan + residu pengeringan dalam oven 105oC b. Penentuan acid detergent fibre (ADF) atau serat deterjen asam (SDA) (Van Eys et al., 1991) SDA adalah sisa ekstraksi dari larutan asam sulfat 1N dan 20 g CTAB (cetyltrimethyl ammoniumbromida). Fraksi ini terdiri dari selulosa, lignin dan silika. ± 1 g bahan dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml lalu ditambahkan 100 ml larutan deterjen asam. Kemudian dipanaskan hingga mendidih dan ditutup dengan alat refluks selama 1 jam. Lalu diangkat dan disaring dalam cawan masir yang telah diketahui beratnya (W 1). Gelas piala dan cawan masir dicuci dengan air panas sampai tidak berbusa. Kemudian bilas secara berurutan dengan aseton dan heksan. Cawan diangkat dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105oC selama semalam. Kemudian diangkat dan didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang (W2). W2-W1 Kadar SDA (g/100g) =
x 100 % Bobot Contoh (g)
Hemiselulosa (g/100) = SDN – SDA
35
c. Penentuan lignin atau acid detergent lignin (ADL), selulosa, dan silika (Van Eys et al., 1991). Ke dalam ADF ditambahkan 3 x 50 ml H2SO4 72 %. Aduk setiap jam agar asam keluar. Setelah tiga jam, sisa asam dalam residu dicuci dengan air panas hingga tidak berbusa lalu dicuci dengan aseton. Cawan dikeringkan pada oven bersuhu 105oC selama semalam. Cawan diangkat, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang (W3). Cawan dibakar dengan tanur bersuhu 550oC selama 3 jam, didinginkan dan ditimbang (W4). W2-W3 Kadar Selulosa (g/100g) =
x 100 % Bobot Contoh (g) W3-W4
Kadar Lignin (g/100g) =
x 100 % Bobot Contoh (g) W4-W1
Kadar Silika (g/100g) =
x 100 % Bobot Contoh (g)
3. Preparasi cairan untuk analisis GC-MS Cairan diekstrak dengan kloroform dengan perbandingan 1:10 di dalam labu pemisah. Kemudian dikocok-kocok beberapa kali dan didiamkan untuk memisahkan komponen terlarut dan tidak terlarut. Bagian bawah dipisah dan pekerjaan tersebut diulang hingga tiga kali. Cairan yang sudah diestrak dikeringkan dengan dialiri nitrogen inert. Selanjutnya dilarutkan dengan methanol secukupnya.
36
Lampiran 2. Komponen Senyawa Hasil Analisis GC-MS Sampel
Suhu (oC)
Tekanan (mbar)
1
60
80
Golongan
RT
%Area
Quality
CAS Number
phenol, 2-methyl-
6.25
8.2
97
000095-48-7
phenol, 2-methoxy-
6.49
10.28
95
000090-05-1
phenol, 4-methyl-
6.62
9.88
96
000106-44-5
phenol, 4-ethyl-
7.97
16.28
91
000123-07-9
phenol, 4-ethyl-2-methoxy-
9.36
3.9
91
002785-89-9
cyclopentanone, 2-methyl-
3
1.83
90
001120-72-5
2-cyclopentene-1-one, 2-methyl-
3.75
1.82
93
001120-73-6
2-cyclopentene-1-one, 3-methyl-
4.55
4.22
94
002758-18-1
2-cyclopentene-1-one, 2,3-dimethyl-
5.6
5
90
001121-05-7
Furan
2-Furanmethanol
3.26
11.44
98
000098-00-0
Hidrokarbon
ethane, 1,1,2,2-tetrachloro
3.91
2.94
95
000079-34-5
Fenol
phenol
5.25
7.21
94
000108-95-2
phenol, 2-methyl-
6.27
3.91
97
000095-48-7
phenol, 2-methoxy-
6.52
9.39
95
000090-05-1
phenol, 4-methyl-
6.66
8.98
96
000106-44-5
phenol, 2,4-dimethyl-
7.71
2.42
97
000105-67-9
phenol, 4-ethyl-
8.01
14.83
91
000123-07-9
cyclopentanone, 2-methyl-
3.01
1.22
90
001120-72-5
2-heptanone
3.51
3.2
90
000110-43-0
2-cyclopenten-1-one, 2-methyl-
3.76
2.97
94
001120-73-6
ethanone, 1-(2-furanyl)-
3.85
2.59
90
001192-62-7
2-cyclopenten-1-one, 3-methyl-
4.56
2.97
95
002758-18-1
2,3-dimethyl-2-cyclopenten-1-one
5.62
3.88
90
001121-05-7
2-nonanone
6.35
6.94
95
000821-55-6
2-undecanone
9.42
7.16
92
000112-12-9
Fenol
Keton
2
60
90
keton
Jenis Senyawa
37
3
60
100
Furan
2-Furanmethanol
3.27
5.37
98
000098-00-0
Fenol
phenol
5.25
3.69
94
000108-95-2
phenol, 2-methyl-
6.27
3.51
97
000095-48-7
phenol, 2-methyl-
6.38
1.35
90
000095-48-7
phenol, 2-methoxy-
6.52
6.38
95
000090-05-1
phenol, 4-methyl-
6.65
5.57
96
000106-44-5
phenol, 2,4-dimethyl-
7.7
2.28
96
000105-67-9
phenol, 2-ethyl-
8.01
10.54
91
000090-00-6
2-cyclopenten-1-one, 2-methyl-
3.77
4.42
94
001120-73-6
2,3-dimethyl-2-cyclopenten-1-one
5.63
2.67
91
001121-05-7
ethanone, 1-phenyl
6.13
1.95
94
000098-86-2
hidrokarbon
benzeneethanol, 2-methoxy-
9.39
4.1
95
007417-18-7
aldehid
2-furancarboxaldehyde
2.99
28.24
94
000098-01-1
2-furancarboxaldehyde
3.08
1.3
93
000098-01-1
2-furancarboxaldehyde, 5-methyl-
4.56
3.39
94
000620-02-0
phenol, 4-ethyl-
7.309
21.48
93
000123-07-9
phenol, 2,6-dimethoxy-
9.849
8.93
97
000091-10-1
benzophenone
13.383
11.5
93
000119-61-9
7,9-di-tert-butyl-1-oxaspiro [4.5]deca-6,9-diene-2,8-dione
16.416
5.74
99
000000-00-0
hidrokarbon
cyclotetradecane
15.915
7.91
98
000295-17-0
asam
hexadecanoid acid
16.73
10.96
99
000057-10-3
fenol
phenol
4.76
11.28
91
000108-95-2
phenol, 2-methyl-
5.72
3.46
97
000095-48-7
phenol, 3-methyl-
6.035
9.5
96
000108-39-4
phenol, 2-methoxy-
6.23
3.61
94
000090-05-1
phenol, 2,4-dimethyl-
7.029
1.78
94
000105-67-9
phenol, 4-ethyl-
7.334
14.93
91
000123-07-9
phenol, 4-ethyl-2-methoxy-
8.881
2.32
91
002785-89-9
Keton
4
62.5
100
fenol keton
5
65
100
38
phenol, 2,6-dimethoxy-
9.841
1.35
91
000091-10-1
2-cyclopenten-1-one, 3-methyl-
4.531
1.07
94
002758-18-1
2-cyclopenten-1-one, 3-methyl-
4.599
1.46
91
002758-18-1
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
5.372
1.7
96
000080-71-7
2,3- dimethyl-2-cyclopenten-1-one
5.533
1.71
94
001121-05-7
3-ethylcyclopent-2-en-1-one
6.137
1.49
91
005682-69-9
2-cyclopenten-1-one, 3-ethyl-2-hydroxy
6.646
1.21
96
021835-01-8
furan
2-Furanmethanol
3.24
3.04
95
000098-00-0
hidrokarbon
ethane, 1,1,2,2-tetrachloro
3.868
2.81
95
000079-34-5
asam
n-hexadecanoid acid
16.841
13.73
99
000057-10-3
9-octadecanoid acid
18.438
1.68
99
000112-80-1
octadecanoid acid
18.667
5.26
99
000057-11-4
phenol
4.727
6.43
94
000108-95-2
phenol, 2-methyl-
5.712
3.98
97
000095-48-7
phenol, 4-methyl-
6.009
9.91
97
000106-44-5
phenol, 2-methoxy-
6.213
4.61
97
000090-05-1
phenol, 2,4-dimethyl-
7.029
1.86
95
000105-67-9
phenol, 4-ethyl-
7.301
16.78
91
000123-07-9
2-methoxy-4-methylphenol-
7.674
1.98
91
000093-51-6
phenol, 4-ethyl-2-methoxy-
8.864
2.44
91
002785-89-9
phenol, 2,6-dimethoxy-
9.841
1.24
93
000091-10-1
2,5-hexadione
4.013
1.16
90
000110-13-4
2-cyclopenten-1-one, 3-methyl-
4.523
3.07
91
002758-18-1
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
5.338
1.35
97
000080-71-7
2,3-dimethyl-2-cyclopenten-1-one
5.508
1.94
94
001121-05-7
2-cyclopenten-1-one, 3-ethyl-2-hydroxy
6.63
1.24
96
021835-01-8
16.425
1.31
99
000000-00-0
3.24
3.5
94
000098-00-0
keton
6
67.5
100
fenol
keton
7,9-di-tert-butyl-1-oxaspiro [4.5]deca-6,9-diene-2,8-dione furan
2-Furanmethanol
39
7
70
100
Hidrokarbon
ethane, 1,1,2,2-tetrachloro
3.869
2.82
95
000079-34-5
asam
hexadecanoic acid
16.73
1.26
97
000057-10-3
9-octadecanoid acid
18.429
1.06
99
000112-80-1
phenol
4.803
6.28
91
000108-95-2
phenol, 2-methyl-
5.771
3.93
95
000095-48-7
phenol, 3-methyl-
6.069
6.56
96
000108-39-4
phenol, 2-methoxy-
6.264
4.46
97
000090-05-1
phenol, 2-ethyl-
6.901
1.62
95
000090-00-6
phenol, 2,5-dimethyl
7.063
2.87
96
000095-87-4
phenol, 4-ethyl
7.394
12.62
91
000123-07-9
phenol, 2-methoxy-4-metyhl
7.708
2.2
91
000093-51-6
phenol, 4-(1-methylethyl)-
8.176
1.17
95
000099-89-8
phenol, 4-ethyl-2-methoxy-
8.915
4.26
95
002785-89-9
2-cyclopenten-1-one, 2-methyl-
3.834
2.08
90
001120-73-6
2-cyclopenten-1-one, 3-methyl-
4.65
1.2
91
002758-18-1
2-cyclopenten-1-one, 3,4-dimethyl
4.998
1.48
91
030434-64-1
2-cyclopenten-1-one, 2,3-dimethyl
5.567
2.34
93
001121-05-7
pyrrolidine, 1-(1-cyclopenten-1-y1)
8.328
1.21
94
007148-07-4
1H-Inden-1-one, 2,3-dihydro-
9.008
1
97
000083-33-0
.beta. Tumerone
13.723
1.65
97
082508-14-3
phenol
4.709
2.9
94
000108-95-2
phenol, 4-methyl-
6.001
2.15
95
000106-44-5
phenol, 4-ethyl-
7.292
3.53
93
000123-07-9
2-methoxy-4-vinylphenol-
9.356
1.73
96
007786-61-0
phenol, 2,6-dimethoxy-
9.832
5.41
95
000091-10-1
2-cyclopenten-1-one, 3-methyl-
4.514
1.2
93
002758-18-1
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
5.33
2.79
96
000080-71-7
2-cyclopenten-1-one, 3-ethyl-2-hydroxy
6.612
1.7
96
021835-01-8
fenol
keton
8
sisa fraksinasi
Fenol
keton
40
hidrokarbon
aldehid asam
ethanone, 1-(4-hydroxy-3,5-dimethoxyphenyl)-
14.496
1.41
93
002478-38-8
cyclododecane
11.327
3.24
97
000294-62-2
cyclododecane
13.731
1.19
98
000294-62-2
dodecane
14.199
1.54
90
000112-40-3
quinoline
8.379
3.54
97
000091-22-5
benzaldehyde, 4-hydroxy-3-methoxy
10.529
6.83
95
000121-33-5
benzaldehyde, 4-hydroxy-3,5-dimethoxy
13.689
1.07
90
000134-96-3
hexadecanoic acid
16.747
8.97
99
000057-10-3
9-octadecanoid acid (Z)-
18.438
10.81
99
000112-80-1
octadecanoid acid
18.608
2.33
98
000057-11-4
9-octadecenamide, (z)-
23.866
2.69
93
000301-02-0
41
Lampiran 3. Hasil Analisis GC-MS beserta Titik Didih dan Struktur Molekul No 1
2
CAS Number
Total Luas Area
Titik Didih (℃)
MF
BM (g/mol)
Nama Produk
Phenol
000108-95-2
37.79
182
C6H6O
94.11
Phenol
phenol, 2-methyl-
000095-48-7
28.34
C7H7O
107.1299
2-methylphenol
phenol, 2-methoxy-
000090-05-1
38.73
205
C7H8O2
124.13
Guaiacol
Golongan Fenol
Keton
Senyawa
phenol, 3-methyl-
000108-39-4
16.06
203℃
C7H8O
108.14
m-cresol
phenol, 4-methyl-
000106-44-5
36.49
202℃
C7H8O
108.14
p-cresol
phenol, 2-ethyl-
000090-00-6
12.16
195-197℃
C8H10O
122.16
2-ethylphenol
phenol, 4-ethyl-
000123-07-9
100.45
218-219
C8H10O
122.16
4-ethylphenol
phenol, 2,4-dimethyl-
000105-67-9
8.34
211℃
C8H10O
122.17
2,4-dimethylphenol
phenol, 2,6-dimethoxy-
000091-10-1
11.52
261℃
C8H10O3
154.16
2,6-dimethoxyphenol
phenol, 4-ethyl-2-methoxy-
002785-89-9
12.92
234-236℃
C9H12O2
152.19
4-ethylguaiacol
cyclopentanone, 2-methyl-
001120-72-5
3.05
139-140℃
C6H10O
98.14
2-cyclopentene-1-one, 2-methyl-
001120-73-6
11.29
158 - 161
C6H10O
96.12892
cyclopentanone, 2-methyl2-cyclopentene-1-one, 2methyl2-cyclopentene-1-one, 3-methyl-
2-cyclopentene-1-one, 3-methyl-
002758-18-1
15.19
74(p=15 mmHg)
C6H8O
96.12892
2-cyclopentene-1-one, 2,3-dimethyl7,9-di-tert-butyl-1-oxaspiro [4.5]deca-6,9-diene2,8-dione
001121-05-7
17.54
C7H10
110.156
000000-00-0
7.05
C7H24O3
276.3707
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
000080-71-7
5.84
2-cyclopenten-1-one, 3-ethyl-2-hydroxy
021835-01-8
4.15
245.2
2-cyclopentene-1-one, 2,3dimethyl7,9-di-tert-butyl-1-oxaspiro [4.5]deca-6,9-diene-2,8-dione
C6H8O2
112.13
C7H10O2
126.15
3-Methyl-1,2-cyclopentanedione 2-cyclopenten-1-one, 3-ethyl-2hydroxy
3
Furan
2-Furanmethanol
000098-00-0
23.31
170℃
C5H6O2
98.1
furfuryl alcohol
4
Hidrokarbon
ethane, 1,1,2,2-tetrachloro
000079-34-5
8.57
147℃
C2H2Cl4
167.85
tetrachloroethane
cyclododecane
000294-62-2
4.43
239
C12H24
168.32
cyclododecane
5
Aldehid
2-furancarboxaldehyde
000098-01-1
29.54
167
C5H4O2
96.08
2-furaldehyde
6
Asam
hexadecanoid acid
000057-10-3
34.92
351.5℃
C16H32O2
256.42
palmitic acid
9-octadecanoid acid
000112-80-1
13.55
360℃
C18H34O2
282.46
oleic acid
octadecanoid acid
000057-11-4
7.59
361℃
C18H36O2
284.48
stearic acid
42
Lampiran 4. Grafik Komponen Senyawa Hasil Analisa GC-MS beserta % Luas Area
43
Lampiran 5. Kromatogram GC-MS Tekanan 80 mbar dan suhu 60 oC
A b u n d a n c e T IC : S A M P E L I
8 0
M B A R
6 0 C 3 8 M L U L A N G 1 .D
4 8 0 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 0 4 2 0 0 0 0 0 2 .5 5 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0 3 6 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 7 .9 8
2 6 0 0 0 0 0 2 4 0 0 0 0 0
3 .2 6
2 2 0 0 0 0 0
6 .4 9
2 0 0 0 0 0 0 1 8 0 0 0 0 0 1 6 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0
2 .3 9
8 .0 7
5 . 66 0.62 . 56 3 3 .9 1 3 . 0 30 . 843. 5 4 3 .7 5 4 .0 1
9 .3 6
6 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
1 4 .0 0
1 6 .0 0
1 8 .0 0
2 0 .0 0
2 2 .0 0
2 4 .0 0
2 6 .0 0
2 8 .0 0
3 0 .0 0
T im e - - >
44
Lampiran 6. Kromatogram GC-MS Tekanan 90 mbar dan suhu 60 oC A b u n d a n c e T IC : S A M P E L II
9 0
M B A R
6 0 C
M L U L A N G .D
2 .5 5 4 8 0 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 0 4 2 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0 3 6 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 8 .0 1 2 8 0 0 0 0 0 2 6 0 0 0 0 0 6 .5 2
2 4 0 0 0 0 0
6 .3 5
2 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0
9 .4 2
1 8 0 0 0 0 0 1 6 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0
8 .1 0
3 .5 1 3 .7 6 3 .2 8 3 .8 5
6 .6 5 5 . 66 3. 2 7
1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0
5 .2 5 3 .0 1
4 .5 7 7 .7 1
6 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
1 4 .0 0
1 6 .0 0
1 8 .0 0
2 0 .0 0
2 2 .0 0
2 4 .0 0
2 6 .0 0
2 8 .0 0
3 0 .0 0
T im e - - >
45
Lampiran 7. Kromatogram GC-MS Tekanan 100 mbar dan suhu 60 oC A b u n d a n c e T IC : S A M P E L III 2 .25 . 69 39 . 7 7
1 0 0
M B A R
6 0 C
M L U L A N G .D
8 .0 1
4 8 0 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 0 6 .5 3
4 4 0 0 0 0 0 4 2 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0 3 6 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0
3 .8 5
3 2 0 0 0 0 0
9 .4 0
3 0 0 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 4 .5 6
2 6 0 0 0 0 0
8 .1 1 2 4 0 0 0 0 0 6 .2 7
2 2 0 0 0 0 02 . 1 6
5 .2 5 6 .6 5
2 0 0 0 0 0 0 1 8 0 0 0 0 0
5 .6 4 6 .1 3
1 6 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
5 .0 0 3 .0 9 22 ..78 76
7 .7 0
3 .3 2 4 .1 5
8 0 0 0 0 0
6 .3 9 6 .3 5
4 .9 4 5 .9 7
1 7 .4 5
6 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
1 4 .0 0
1 6 .0 0
1 8 .0 0
2 0 .0 0
2 2 .0 0
2 4 .0 0
2 6 .0 0
2 8 .0 0
3 0 .0 0
T im e - - >
46
Lampiran 8. Kromatogram GC-MS Tekanan 100 mbar dan suhu 65 oC A b u n d a n c e T IC : S A M P E L 2 .D 7 .3 3 4 8 0 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 0
4 .7 6
4 4 0 0 0 0 0 6 .0 4
4 2 0 0 0 0 0
1 6 .8 4 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0 3 6 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 6 .2 3
2 8 0 0 0 0 0
1 8 .6 7 5 .7 2
2 6 0 0 0 0 0 2 4 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0
3 .2 4 8 .8 8
1 8 0 0 0 0 0 1 6 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0
3 .8 7
7 . 07 3. 6 8 5 .50 . 23 7 6 . 6 5
1 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0
5 .5 3 6 .1 3
6 .3 1 4 .5 3 4 2.46 . 09 5 4 . 0 3 .8 1 5 .2 9
9 .8 4 1 8 .4 3 8 .9 7 1 6 .4 2
4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
1 4 .0 0
1 6 .0 0
1 8 .0 0
2 0 .0 0
2 2 .0 0
2 4 .0 0
2 6 .0 0
2 8 .0 0
3 0 .0 0
T im e - - >
47
Lampiran 9. Kromatogram GC-MS Tekanan 100 mbar dan suhu 67.5 oC A b u n d a n c e T IC : S A M P E L 3 .D 7 .3 0 4 8 0 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 0 4 2 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0 3 6 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 6 .0 1
3 0 0 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 2 6 0 0 0 0 0 2 4 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 4 .7 3
2 0 0 0 0 0 0
6 .2 2
1 8 0 0 0 0 0 1 6 0 0 0 0 03 .2 4
5 .7 1
1 4 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0
8 .8 7
4 .5 2
1 0 0 0 0 0 0
5 .5 1 3 .8 7 4 . 0 24 .59 . 93 4
7 .6 7 7 .0 3
1 16 6. 4. 72 3
4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
1 4 .0 0
1 6 .0 0
1 8 .0 0
2 0 .0 0
2 2 .0 0
2 4 .0 0
2 6 .0 0
2 8 .0 0
3 0 .0 0
T im e - - >
48
Lampiran 10. Kromatogram GC-MS Tekanan 100 mbar dan suhu 70 oC A b u n d a n c e T IC : S A M P E L 4 .D 3 .3 0
4 . 8 05 6. 67. 0.727 7 7 . 3 9
8 .9 1
4 8 0 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 0
3 .8 8
4 2 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0
3 .8 3
3 6 0 0 0 0 0 7 .0 7
3 4 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0
1 3 .7 3
7 .7 1
3 0 0 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 2 6 0 0 0 0 0 6 .1 9
2 4 0 0 0 0 0
8 .3 3 9 .0 1
2 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0
5 .69 . 236 2. 9 1 5 .0 0 5 .5 7
1 8 0 0 0 0 0
4 .5 0 8 .1 8 5 . 0 6 66 . .34 66 1 4 0 0 0 0 0 9 .8 5 7 .5 1 3 .1 5 4 .5 3 1 2 0 0 0 0 0 4 . 6 5 5 . 86 3. 5 0 8 .6 2 1 0 0 0 0 0 0 9 .3 2 5 .4 1 3 . 47 .01 9 55. 3.542. 98 8 9 .9 4 6 . 6 77 . 85 .90 9 1 0 .2 5 8 0 0 0 0 0 4 .2 7 1 1 .5 2 4 .0 3 7 .9 4 6 0 0 0 0 0 1 6 0 0 0 0 0
1 4 .1 6 1 3 .6 3
1 6 .4 2
4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
1 4 .0 0
1 6 .0 0
1 8 .0 0
2 0 .0 0
2 2 .0 0
2 4 .0 0
2 6 .0 0
2 8 .0 0
3 0 .0 0
T im e - - >
49
Lampiran 11. Kromatogram GC-MS Sisa Fraksinasi
A b u n d a n c e T IC : S A M P E L 5 .D 4 8 0 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 0 4 2 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0 3 6 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 2 6 0 0 0 0 0 2 4 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 1 8 0 0 0 0 0 1 6 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0
1 6 .7 4 1 8 .4 3
1 2 0 0 0 0 0
9 .8 4
1 0 0 0 0 0 0 1 0 .5 3
8 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0
1 1 .3 3
5 .3 3
4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 4 .0 0
6 .0 0
8 .0 0
1 0 .0 0
1 2 .0 0
1 4 .0 0
1 6 .0 0
1 8 .0 0
2 0 .0 0
2 2 .0 0
2 4 .0 0
2 6 .0 0
2 8 .0 0
3 0 .0 0
T im e - - >
50