KAJIAN EVALUATIF IMPLEMENTASI PROBLEM BASED LEARNING DALAM PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI BEBERAPA PERGURUAN TINGGI YOGYAKARTA Oleh Fathur Rahman Abstrak: Penelitian ini bertujuan 1) melakukan eksplorasi dan identifikasi proses pembelajaran di kelas yang terdiri dari model dan metode pembelajaran, interaksi dosen dan mahasiswa, serta level partisipasi mahasiswa, dan 2) Mengetahui persepsi mahasiswa terhadap kinerja pembelajaran di kelas, relevansi materi dengan keterlaksanaan dan ketercapaian pembelajaran, serta kinerja dosen dalam proses pembelajaran. Metode yang dikembangkan mengadopsi model monitoring dan evaluasi partisipatoris dalam suatu siklus proyek. Jumlah partisipan (mahasiswa) yang terlibat dalam program ini sebanyak 435 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Kesimpulannya, sebagian besar partisipan menilai bahwa pembelajaran antikorupsi dengan model kasus dapat dikatakan memadai (sedang; 34,5%). Walaupun demikian, sebagian besar partisipan menganggap bahwa model PBL dapat membantu mereka dalam meningkatkan kesadaran kolektif tentang dampak-dampak yang diakibatkan oleh tindakan korupsi. Kata kunci: Problem based learning, evaluasi partisipatoris, pendidikan antikorupsi
A. PENDAHULUAN Salah satu atribusi mendasar yang dapat menjelaskan tentang meluasnya perilaku dan sikap korupsi dalam realitas hidup masyarakat sehari-hari adalah kontribusi pendidikan nilai, moral, dan keagamaan yang minim terhadap pembentukan watak kemanusiaan peserta didik. Begitulah salah satu kesimpulan penting dari penelitian yang dilakukan oleh koalisi antarumat beragama untuk antikorupsi. Investasi kesadaran baru melalui pembentukan karakter (character building) atau melalui pendidikan afektif selain meniscayakan pembentukan kapasitas moral secara teoritik, tetapi juga harus dapat diinternalisasi menjadi sikap individual yang berbasis pada apek moral. Pada dasarnya, rendahnya moralitas dan mentalitas yang barakhir pada maraknya praktik korupsi di Indonesia disebabkan oleh kultur pendidikan yang masih menghasilkan pola dan mentalitas jalan pintas. Pendidikan tidak ditekankan pada pencapaian nilai dengan kerja keras, namun lebih sering ditentukan oleh hasil semata-mata. Kritik-kritik utama yang tertuju pada dunia pendidikan selalu berkisar pada persoalan inovasi proses pembelajaran kelas yang terbatas pada 1
model-model konvensional, yakni ceramah dan pemusatan materi pada level pengetahuan kognitif semata-mata. Tulisan ini akan memaparkan secara ringkas salah satu model pembelajaran yang berbeda dari model-model konvensional sebelumnya, yakni metode belajar yang berbasis masalah atau kasus (problem based learning) kaitannya dengan usaha menyemaikan kesadaran mahasiswa untuk tidak bertindak dan bersikap korup. Memahami asumsi-asumsi dasar dan implikasi dari metode problem based learning akan sangat terkait dengan filosofi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Pendekatan belajar yang berbasis pada problem bersumber dari pandangan-pandangan konstruktivisme dalam filsafat pendidikan. Dalam konteks filosofis, istilah yang muncul kemudian adalah berpikir
konstruktif
(constructive
thinking).
Dasar
berpikir
model
ini
menyatakan bahwa ide dan cara berpikir seseorang dalam memahami sesuatu
secara
aktif
terkonstruksi
dalam
diri.
Sebagaimana
yang
dikemukakan oleh Berger dan Luckman (Bacon, 2003) bahwa berpikir itu tidak hanya dikonstruksi secara psikologis, tetapi juga secara sosiologis. Model berpikir konstruktif menganggap pengetahuan bersifat personal dan publik sekaligus. Dalam pengertian tersebut, usaha untuk memisahkan diri subjek dari objek, memisahkan yang mengetahui dan yang diketahui (the knower and the known) merupakan tindakan yang mustahil dilakukan. Dalam pandangan konstruktivistik Piaget (Keefer, 2002) bahwa seorang pembelajar akan mengetahui objek belajar atau dunia melalui aktivitas
dan
pengalaman-pengalaman
langsung
dengan
objek
pengetahuannya. Tesis yang diajukan oleh Piaget juga diperkuat oleh Vygotsky (Keefer, 2002) bahwa pengetahuan seseorang juga sangat dipengaruhi oleh kedekatannya dengan konteks sosial dan fisik lingkungan. Pandangan-pandangan konstruktivistik tersebut kemudian menjadi dasar radikalisasi cara belajar sepanjang hayat. Invidividu hanya dapat belajar jika ia berhadapan langsung dengan masalah yang sedang dihadapinya. Masalah tersebut dapat berupa pengalaman yang telah lalu atau pengalaman baru. Epistemologi ini kemudian melahirkan revolusi cara belajar baru, seperti experiential learning cycle (Kolb, dalam A. Supratiknya,
2
1999; Thorpe, 2000), inquiry based learning program (Keefer, 2002), dan problem based learning (Keefer, 2002). Istilah problem based learning (PBL) diperkenalkan pertama kali oleh Schumacer
pada
tahun
1960
pada
pendidikan
teknisi
radio
dan
dikembangkan lebih lanjut oleh Rarrows pada tahun 1969 dalam dunia pendidikan medis di McMaster University, Kanada (Sugiharto, 2003). Di Indonesia sendiri, metode PBL berkembang sejak tahun 1992 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Pada tahun-tahun berikutnya, Metode PBL mulai diperkenalkan secara luas di beberapa fakultas kedokteran di Indonesia (Kurniawan, 2003). Dengan kata lain, implementasi PBL lebih banyak diterapkan di pendidikan kedokteran dengan asumsi bahwa dunia kedokteran merupakan salah satu dunia yang aplikatif dan selalu berhadapan dengan problem-problem yang konkrit dan rumit. Metode PBL sendiri sarat dengan pendekatan-pendekatan diskusi kelompok dalam mencari pemecahan masalah. Materi diskusi disesuaikan dengan dengan permasalahan kompleks dalam dunia nyata (White, 1997). Dengan demikian, metode PBL sangat meniscayakan peran aktif dan partisipasi anggota kelompok dalam mengidentifikasi akan yang mereka ketahui dan apa yang belum mereka ketahui. Oleh karena proses pembelajaran selalu dimulai dan berpusat pada masalah (Sugiharto, 2003), maka kelompok mahasiswa yang terdiri dari 5 sampai 8 orang diminta untuk mengamati dengan seksama kasus yang dihadapi dan mendiskusikan caracara pemecahannya. Adapun tanda-tanda perubahan sikap dan perilaku si pembelajar diarahkan pada 1). keterampilan intelektual (intellectual skills), seperti menyelesaikan soal-soal Matematika dengan menggunakan simbolsimbol; 2). Perubahan keterampilan psikomotorik (psychomotor skills), seperti kemampuan membongkar dan memasang kembali mesin karburator pada mahasiswa teknik otomotif; dan 3) mempertajam sikap kritis (critical attitudes), seperti kritis terhadap wacana dan opini yang berkembang (Tyoso, 1997). Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah apakah model konstruktivistik PBL juga dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dasar dan
3
menengah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami dengan baik dan tepat kajian-kajian filosofis tentang pendidikan. Dalam pandangan falsafati modern, komunitas pembelajar haruslah dianggap sebagai subyek aktif dan bukan subyek pasif. Komunitas pembelajar dipandang sebagai tipikal manusia dewasa yang mampu berpikir kritis dan memiliki taraf pengalaman yang unik dan khas. Implikasi gagasan tersebut kemudian melahirkan model pembelajaran aktif (active learning) yang meniscayakan keadaan kelas yang dinamis, interaktif, banyak aktivitas, dan serba aktif. Namun, pemahaman aktif juga perlu dimaknai tidak semata-mata bergerak aktif secara fisik, melainkan upaya sungguh-sungguh mencurahkan pikiran dan daya intelektualitas secara aktif. Dalam proses yang aktif tersebut komunitas pembelajar sangat meyakini bahwa belajar akan lebih bermakna dan bermanfaat apabila mahasiswa menggunakan semua modal inderawi, mulai dari modal auditoris, modal visual, modal kognitif, dan modal psikomotorik sekaligus. Dengan demikian, model konstruktivistik tentunya dapat diklaim sebagai model yang tepat tidak hanya untuk pendidikan tinggi, melainkan juga dapat disemaikan dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran di pendidikan dasar dan menengah.
B. METODE DAN CARA PENELITIAN Pendekatan utama yang diterapkan dalam penelitian ini mengadopsi model penelitian partisipatoris dalam suatu siklus proyek (Participatory Action Research; disingkat PAR). Dalam model PAR ini salah satu metode yang dikembangkan adalah metode monitoring dan evaluasi paritisipatoris. Metode monitoring dan evaluasi partisipatoris merupakan alat untuk belajar dari pengalaman dan menjadi bahan refleksi di masa yang akan datang (Mikkelsen, 2001). Pengertian partisipasi dalam monitoring dan evaluasi itu sendiri mempunyai dua tujuan, yaitu a) merupakan alak manajemen yang dapat membantu orang meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, dan b) merupakan
proses
pendidikan
bagi
partisipan
untuk
meningkatkan
kesadaran dan pemahamannya terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi situasi mereka yang berimbas pada kemampuan kontrol diri yang baik.
4
Secara keseluruhan, kerangka kerja dan siklus program pendidikan antikorupsi meliputi tahap identifikasi masalah, perumusan dan disain perangkat
didaktik-material,
implementasi
model,
dan
refleksi
akhir
(evaluasi). Oleh karena keterbatasan ruang, fokus kajian yang dipaparkan dalam tulsain ini hanya dibatasi pada bagaimana implementasi pembelajaran berlangsung dan refleksi akhir bersama antara partisipan dan fasilitator yang terlibat. Proses identifikasi masalah (rapid assessment) dan tahapan disain pembelajaran akan ditampilkan dalam tulisan yang terpisah. Dalam pelaksanaan evaluasi ini, kerangka kerja yang dibuat meliputi proses perencanaan, pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Pada tahap awal, kelompok mahasiswa ujicoba sebagai responden diminta untuk mengisi skala evaluasi pada akhir perkuliahan. Setelah seluruh proses pengisian skala evaluasi, peneliti mengadakan diskusi kelompok terarah (foccused group discussion) untuk mempertajam hasil skala. Adapun model analisis yang digunakan untuk tahap awal, yaitu melalui analisis statistik-deskriptif untuk tiap-tiap variabel dengan bantuan tabel frekuensi, serta menggunakan uji independent sample t-test (pembandingan jenis kelamin) dan analysis of variance (One-Way ANOVA) untuk mengetahui perbedaan penilaian antarrumpun mata kuliah. Kegiatan ujicoba dilaksanakan sejak tanggal 14
September 2004
sampai 22 Oktober 2004 bertempat di Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas
Negeri
Yogyakarta
(UNY),
Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY), Universitas Sanata Darma (USD), Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Sekolah Tinggi Ilmu Agama Budhha (STIAB Boyolali), STMIK AKAKOM, Poltekes RESPATI, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaaga (UIN SUKA) Yogyakarta. Adapun total jam perkuliahan adalah 2 kali pertemuan (200 menit) ditambah dengan tugas terstruktur-mandiri di luar jam perkuliahan formal (paper kelompok).
5
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Proses pembelajaran yang diimplementasikan dalam penelitian partisipatoris ini lebih banyak menggunakan disain kasus dan permasalahan yang akan didiskusikan oleh mahasiswa. Kecuali kegiatan berbagi pengalaman dan membangun suasana dialogis antar fasilitator (dosen) dan mahasiswa (partisipan), program ini juga menuntut partisipan untuk belajar secara
mandiri
dalam
menemukan
fakta,
data,
dan
teori,
serta
memahaminya lebih lanjut. Pemahaman materi justru tidak diperoleh dari penjelasan dosen, melainkan dari kasus dan masalah yang dibedah oleh mereka
sendiri.
Tahapan-tahapan
pembelajaran
berbasis
kasus
sebagaimana terdapat pada tabel berikut: Tabel 1. Prosedur Diskusi dengan Metode PBL (seven jump)
LANGKAH
AKTIVITAS
Langkah 1
Klarifikasi istilah-istilah dan konsep yang tidak dimengerti secara berkelompok
Langkah 2
Tentukan pokok permasalahan
Langkah 3
Analisis Masalah
Langkah 4
Buatlah kesimpulan dari hasil analisis masalah
Langkah 5
Tentukan informasi apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari
Langkah 6
Kumpulkan tambahan informasi (belajar mandiri)
Langkah 7
Kaji dan buatlah sintesis informasi-informasi yang baru diperoleh dan kaitannya dengan masalah yang dihadapi
Jumlah mahasiswa yang menjadi responden penelitian sejumlah 1006 orang. Dari jumlah tersebut
Grafik 1. Frekuensi dan Prosentase Mahasiswa Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
300
(lihat grafik 1), sebanyak
250
56% responden termasuk
200
dalam kelompok
50
perempuan (242 orang) dan lainnya
150 100
mahasiswa
44%
242 193
44%
56%
0 laki-laki
perempuan
adalah
kelompok mahasiswa laki-laki (193 orang). 435 mahasiswa tersebut juga 6
berasal dari latar belakang mata kuliah yang berbeda-beda. Responden terbesar berasal dari rumpun mata kuliah pendidikan agama dan nilai, yaitu 292 mahasiswa (67%), lalu diikuti oleh kelompok responden dari rumpun mata kuliah umum (kewarganegaraan dan patologi sosial) sejumlah 143 mahasiswa (33%). Tabel 2. Rata-rata dan Deviasi Standar Evaluasi Ujicoba Materi Antikorupsi Berdasarkan Jenis Kelamin FAKTOR-FAKTOR
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
TOTAL
HIPOTETIK
Pengajaran
Mean SD N
26.29 4.72 193
26.96 518 242
26.64 4.44 435
20.00 5.33
Antusiasme Pengajar
Mean SD N
19.55 3.99 193
20.31 3.64 242
19.94 3.83 435
15.00 4.00
Relasi Dosen dan Mahasiswa
Mean SD N
28.18 7.27 193
28.81 6.75 242
28.51 7.01 435
25.00 3.33
Pengelolaan Kelas
Mean SD N
26.84 4.41 193
28.30 3.96 242
27.59 4.24 435
20.00 5.33
Luas Cakupan Materi
Mean SD N
45.39 8.35 193
47.59 6.96 242
46.52 7.74 435
35.00 9.33
Mean SD N
25.19 6.29 193
26.89 5.15 242
26.07 5.79 435
20.00 5.33
Interaksi Antar Kelompok
Ditinjau dari angka rata-ratanya, skala evaluasi yang dideskripsikan secara keseluruhan menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok antara laki-laki dan perempuan. Kontrasnya perbedaan rata-rata antar jenis kelamin dapat diamati pada aspek antusiasme pengajar (Mlaki-laki= 19.55 dan Mperempuan= 20.31), kemampuan pengajar dalam pengelolaan kelas (Mlaki-laki= 26.84 dan Mperempuan= 28.30), luas cakupan materi (Mlaki-laki= 45.39 dan Mperempuan=
47.59),
kemampuan
pengajar
membangun
interaksi
antarkelompok (Mlaki-laki= 25.19 dan Mperempuan= 26.89), Setelah dilakukan uji komparatif dengan menggunakan uji independent sample t-test diketahui bahwa perbedaan yang muncul antara kelompok mahasiswa perempuan dan laki-laki ternyata sangat signifikan (t=5.441, p=0.000). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok mahasiswa perempuan memiliki
7
kcenderungan
penilaian
tinggi
jika
dibandingkan
dengan
kelompok
mahasiswa pria. Analisis data terhadap skala evaluasi juga dapat diamati berdasarkan perbedaan kelompok rumpun mata kuliah. Melalui klasifikasi ini, studi evaluatif dapat mengungkap informasi lebih detail tentang perbedaan kualitas perkuliahan, baik dari segi pengajaran, serta rumpun mata kuliah mana yang memiliki level terbaik. Perbandingan rata-rata evaluasi dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3.Rata-rata dan Deviasi Standar Evaluasi Ujicoba Materi Antikorupsi Berdasarkan Rumpun Mata Kuliah
FAKTORFAKTOR Pengaja-ran
Antusias-me Pengajar
Relasi Dosen dan Mahasiswa Pengelolaan Kelas
Luas Cakupan Materi Interaksi Antar Kelompok
Mk. Umum
Mk. Agama & nilai
TOTAL
HIPOTETIK
Mean SD N
26.60 4.20 143
26.35 4.01 292
26.64 4.44 435
20.00 5.33
Mean SD N
20.43 3.08 143
19.17 3.67 292
19.94 3.83 435
15.00 4.00
Mean SD N
29.98 6.29 143
27.62 7.12 292
28.51 7.01 435
25.00 3.33
Mean SD N
27.66 3.59 143
26.14 3.98 292
27.59 4.24 435
20.00 5.33
Mean SD N
49.58 6.67 143
43.05 8.49 292
46.52 7.74 435
35.00 9.33
Mean SD N
28.03 5.40 143
23.29 6.40 292
26.07 5.79 435
20.00 5.33
Ditinjau dari angka rata-ratanya, skala evaluasi yang dideskripsikan atas dasar klasifikasi rumpun mata kuliah secara keseluruhan menunjukkan perbedaan
yang
cukup
mencolok.
Kontrasnya
perbedaan
rata-rata
antarrumpun mata kuliah dapat diamati pada seluruh aspek yang terdapat dalam skala evaluasi (Tabel 3). Setelah dilakukan uji komparatif dengan menggunakan uji analysis of variance (ANOVA) diketahui bahwa perbedaan yang muncul antarrumpun mata kuliah sangat signifikan (F=14.348, p=0.000). Berdasarkan perhitungan statistik tersebut dapat disimpulkan 8
bahwa kelompok mahasiswa yang berasal dari rumpun mata kuliah umum (kewarganegaraan & patologi sosial) cenderung memberi penilaian yang lebih tinggi dibandingkan dari kelompok mahasiswa dari rumpun mata kuliah agama dan nilai. Grafik 2. Norma Evaluasi Mahasiswa
Tinggi 8.3% Cukup 22.8%
Rendah 17.2%
Kurang 17.2% Sedang 34.5%
Berdasarkan distribusi frekuensi dan prosentase yang tampak pada tabel 3, sejumlah 34,5% mahasiswa memberikan penilaian yang tergolong sedang untuk seluruh dimensi yang dievaluasi. Sebanyak 17,2% mahasiswa memberikan penilaian yang rendah terhadap kegiatan akademik, jumlah mahasiswa yang menilai cukup, yaitu 22,8%, sedangkan kelompok mahasiswa yang memberikan penilaian tinggi sebanyak 8,3% orang. Hasil diskusi kelompok terarah juga menunjukkan relevansi dan konsistensi yang searah dengan temuan hasil skala evaluasi. Sebagian besar partisipan mengungkapkan bahwa penerapan pembelajaran yang berbasis pada kasus atau masalah dapat dijadikan salah satu alternatif dalam mendobrak kebuntuan proses belajar-mengajar di kelas. Mahasiswa mengkritik bahwa kegiatan pembelajaran di kelas seringkali terkesan sangat berorientasi pada apa yang akan diajarkan oleh dosen, sedangkan model problem based learning memberikan perhatian yang lebih besar pada apa yang seharusnya dipelajari oleh mahasiswa.
9
D. KESIMPULAN Beberapa hal penting yang dapat disimpulkan dari penelitian ini, yaitu sebagian besar partisipan menilai bahwa pembelajaran antikorupsi dengan model kasus dapat dikatakan memadai (sedang; 34,5%). Namun, jika dilihat berdasarkan perbandingan rata-rata empiris dan hipotetik per-variabel, angkat yang diperoleh menunjukkan hasil evaluasi yang tinggi terhadap model PBL yang dimaksud. Adapun rata-rata tiap variabel adalah: Aspek pengajaran (26.64), antusiasme pengajar (19.94), relasi dosen-mahasiswa (28.51), pengelolaan kelas (27.59), luas cakupan materi (46.52), dan interaksi antarkelompok (26.07). Sebagian besar partisipan juga menganggap bahwa model PBL dapat membantu mereka dalam meningkatkan kesadaran kolektif tentang dampakdampak yang diakibatkan oleh tindakan korupsi dan membantu mereka untuk mendesain ulang cara belajar yang lebih berorientasi pada apa yang akan dipelajari oleh mereka sendiri secara mandiri dan berkelompok.
REFERENSI Bacon, B. J. T. (2003). More or Less On Metaphor, Studies in Philosophy and Education, 22:139-143 Keefer, M. (2002). Designing Reflections on Practice: Helping Teachers Apply Cognitive Learning Principles in an SFT-Inquiry-Based Learning Program, Interchange Journal, Vol. 33/4, p. 395-417 Kurniawan, Felicia, & Suryawinata, K. (2003). Pendapat Mahasiswa tentang Penerapan Metode Problem Based Learning di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya, Majalah Ilmiah Kedokteran Atmajaya, Vol. 2, No. 2., p. 117-122 Mikkelsen, B. (2001). Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan; Sebuah Buku Pegangan bagi Praktisi Lapangan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sugiharto, Liliana (2003). Skenario yang Efektif untuk Metode Problem Based Learning, Majalah Ilmiah Kedokteran Atma Jaya, Vol. 2/No. 2, p. 111115 Thorpe, M. (2000). Encouraging Students to Reflect as Part of the Assignment Process, Active Learning in Higher Education, Vol. 1(1), p. 79-92 Tyoso, B. W. (1997). Implementasi Paradigma Manajemen Pendidikan Tinggi dan Perwujudannya dalam Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi Menyongsong Abad 21 (Makalah disampaikan pada Lokakarya Aktualisasi Azas Otonomi Perguruan Tinggi Menyongsong Abad 21, 21 Februari 1998, Yogyakarta)
10