KAJIAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA MATTIRO LABANGENG KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN SULAWESI SELATAN
DAFIUDDIN SALIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Dafiuddin Salim NRP. C252080121
ABSTRACT DAFIUDDIN SALIM. A Study on Management Effectiveness of Marine Sanctuary in Mattiro Labangeng Village, Pangkajene Kepulauan District of South Sulawesi. This work was under supervision of YUSLI WARDIATNO and LUKY ADRIANTO.
One of the Marine Sanctuary or Daerah Perlindungan Laut (DPL) in the Pangkajene Kepulauan (Pangkep) district is located at Mattiro Labangeng village. It was founded as an effort to save coral reef ecosystems and to prosper the rural community; especially the local fishermen. However, the existence of this DPL does not automatically solve problems that arose out of coral reef ecosystem management. Few initiatives are therefore needed to restore the original condition gradually. In order to investigate the roles and benefits of the presence of DPL in the conservation of coral reef ecosystem, an assessment is necessary in evaluating the success of the effectiveness of the management of DPL at Mattiro Labangeng village. By this regards, the study intends to evaluate indicators of the effectiveness and to assess how effective is the management of DPL at Mattiro Labangeng village. The research was conducted both in April and September 2010. It was done in territorial waters closed to Mattiro Labangeng village as well as among the villagers of this village, which is located in the Liukang Tupabbiring Utara subdistrict of Pangkep district. Methods applied for this research was field observation, semi-structured interviews and library search over secondary data. Field observation was conducted to obtain ecological data. Each data are collected by different methods: Point Intercept Transect (PIT) method was used to collect data on the condition of coral reefs; Underwater Visual Census (UVC) method was utilized to observe reef fish; and in situ observation method was deployed to collect data of water quality. For institutions and socio-economic information, data collection was conducted in several stages beginning from observation, semistructured interviews and survey. Evaluative analysis on the management of DPL at Mattiro Labangen village is done in two phases, namely (1) Determining the effectiveness of selected indicators through stakeholder analysis based on the International Union for Conservation of Nature (IUCN), (2) Describing the effectiveness of DPL at Mattiro Labangeng village by analyzing several indicators above based on Amoeba, which was obtained from a technique of measuring the value of each indicator compared to the CTV (Critical Threshold Value). Based on all of indicators can be considered as the management of the DPL at Village Mattiro Labangeng effective. Strategic approaches in managing the DPL at Mattiro Labangeng village effectively can be done by several integrated plans with a full attention remained paid to ecological, socio-economic and institutional issues. These strategies include protecting DPL areas, upgrading capacity and their understanding of coral reef ecosystems. Key word: marine sanctuary, effectiveness, indicators, amoeba technique, CTV
RINGKASAN DAFIUDDIN SALIM. Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan LUKY ADRIANTO.
Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) dimaksudkan untuk melindungi terumbu karang beserta komunitas invertebrata yang berasosiasi didalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pulau akan hidup yang lebih baik. Salah satu DPL di Kabupaten Pangkep yang telah berdiri sebagai salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem terumbu karang dan diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat desa, khususnya para nelayan adalah DPL Desa Mattiro Labangeng. Keberadaan DPL tersebut tidak secara langsung dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan DPL yang dapat memulihkan kondisi tersebut secara bertahap. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana tujuan program Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng ini dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal untuk mendapatkan perubahan dan manfaat adanya DPL baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar peran, manfaat dan keberadaan DPL terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang perlu dilakukan kajian efektivitas dalam menilai keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengkaji kondisi ekologi perairan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng, 2) Mengkaji kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng, 3) Mengevaluasi indikator efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng, 4) Menilai efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng, dan 5) Menyediakan strategi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan hasil. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan September 2010 di Desa Mattiro Labangeng Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep. Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan langsung di lapangan (observasi), semi-struktur wawancara dan penelusuran data sekunder. Pengamatan lapangan dilakukan untuk pemenuhan data ekologi, yaitu pendataan kondisi terumbu karang dengan metode Point Intercept Transek (PIT), pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode Underwater Visual Census (UVC) dan data parameter kualitas perairan melalui pengamatan in situ. Metode pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan dilakukan beberapa tahap yakni observasi, semi-struktur wawancara, dan survei. Data yang terkumpul digunakan untuk menganalisis efektivitas Daerah Perlindungan Laut di lokasi penelitian. Analisis evaluasi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu (1) Menentukan indikator efektivitas terpilih melalui analisis stakeholder berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN); (2) Menggambarkan efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng menggunakan analisis terhadap beberapa indikator di atas menggunakan teknik Amoeba yang diperoleh dari nilai setiap pengukuran indikator yang dibandingkan dengan CTV (Critical Threshold Value).
Efektivitas pengelolaan DPL Mattiro Labangeng dalam penelitian ini dapat diketahui melalui penilaian dan evaluasi terhadap indikator-indikator yang dipilih stakeholder, yaitu indikator ekologi (kondisi tutupan karang, kelimpahan ikan target), indikator sosial-ekonomi (pendapatan, nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang, tingkat sikap masyarakat tentang DPL), dan indikator kelembagaan berupa tingkat pelatihan stakeholder. Berdasarkan evaluasi indikator-indikator tersebut, kondisi ekosistem terumbu karang menjadi semakin baik setelah adanya DPL. Hal ini juga terlihat pada indikator sosial ekonomi yang menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan, kenaikan pemanfaatan sumberdaya meski belum melewati nilai ambang batas kritis (CTV) dan dukungan masyarakat terhadap keberadaan DPL yang mencapai 86,66%. Selain itu, keberadaan DPL juga memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pengelolaan DPL yang merupakan indikator kelembagaan. Pengelolaan DPL yang efektif tidak lain adalah tercapainya maksud dan tujuan pengelolaan DPL itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut dan evaluasi indikator yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng saat ini sangat efektif. Hal ini ditunjukkan dari semua nilai indikator sesudah adanya DPL memiliki nilai lebih baik dari sebelum adanya DPL, dan nilai-nilai tersebut tidak melewati ambang batas kritis (critical threshold values/CTV). Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif dapat dilakukan beberapa strategi secara terpadu dengan tetap memperhatikan isu-isu baik secara ekologi, sosial-ekonomi maupun kelembagaan. Strategi ini meliputi rehabilitasi dan mengoptimalisasi areal DPL, peningkatan keterampilan dan kesejahteraan masyarakat, serta pemahaman masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang. Kata kunci : daerah perlindungan laut, efektivitas, indikator, teknik amoeba, CTV.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA MATTIRO LABANGENG KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN SULAWESI SELATAN
DAFIUDDIN SALIM
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Handoko Adi Susanto, S.Pi, M.Sc.
Judul Tesis
:
Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan
Nama Mahasiswa : Dafiuddin Salim Nomor Pokok
: C252080121
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 4 Juli 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Terucap syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang menghantarkan Penulis menyelesaikan Tesis dengan judul Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih Penulis atas selesainya Tesis ini dihaturkan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc (Ketua Komisi Pembimbing), Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto M.Sc (Anggota Komisi Pembimbing) dan Dr. Handoko Adi Susanto S.Pi, M.Sc (Penguji Luar Komisi) atas segala arahan, bimbingan, pengertian, masukan, kritik dan saran demi penyempurnaan tesis ini baik dari segi substansi maupun penulisan Tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya. 3. Ayahanda (Alm) Prof. Dr. H. Abd.Muin Salim atas doa sampai akhir hayat, Ibunda Arhamy Dappung, M.Pd yang mencurahkan seluruh restu, kakak-kakak dan adik terutama Keluarga kakak Arskal Salim PhD, juga Keluarga besar Syahril Syamsuddin atas doa, dukungan dan perhatian kepada Penulis. 4. Keluarga besar M. Arif Manompo, Anita Setianingsih S.Pi, M.Si dan Zul Janwar S.Kel, M.Si (SPL Sandwich 2008), Kepala Dusun dan Kepala Desa, Ketua LPSTK Desa Mattiro Labangeng, Bapak Sofyan (Fasilitator), Bapak Najamuddin (Motivator Desa), Keluarga dg Ngewa, Makka dan Sdr. Ramli S.Kel atas kerjasama dan penyediaan data penelitian. 5. Keluarga A. Muh Hijaz Jalil S.Kel, Nuramin Syafri S.Kel, Irham Rapy S.Kel, Yusran Nurdin Massa S.Kel, Muh Ridwan Salim S.Kel, Suharto S.Kel, Ramlan Jamal S.Kel, Syamsul Bahri S.Kel, Amadhan Takwir S.Kel, Ikhsan S.Hut, M.Si atas bantuan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini. 6. Masayu Maulinna Wardhani, S.Kel, M.Si atas bantuan dan dukungan kepada Penulis selama penyusunan Tesis ini. 7. Rekan-rekan seperjuangan di SPL angkatan XV tahun 2008 (Yar Johan, Adi, Asep, Moko, Mas Heri, Tiwi, Nidya, Yunus, Luky, Bang Tony, Linna, Pak Hasyim), Al Mudzni, Ashar dan Afif terima kasih atas semua bantuan, spirit, kontribusi pemikiran dan idenya. Semoga komunikasi, persaudaraan, perjuangan dan idealisme yang terbangun tidak menjadi sesuatu yang sia-sia. 8. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis sadar memiliki keterbatasan pemikiran dan memungkinkan terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam Tesis ini, sehingga kritik, saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaannya. Penulis berharap Tesis ini bermanfaat dan bisa menjadi sumber informasi yang berguna. Insya Allah. Bogor, Juli 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 25 Juni 1978 dari pasangan Abd Muin salim dan Arhamy Dappung. Penulis merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara. Riwayat pendidikan formal Penulis diawali di SD Negeri Cenderawasih I (1985 – 1991), SMP Negeri 1 Makassar (1991 – 1994) dan SMU Negeri 3 Makassar (1994 – 1997). Pendidikan S1 ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (1999 – 2003). Tahun 2008 Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata-2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains, Penulis melakukan penelitian dengan judul “Kajian Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan”. Penulis dinyatakan lulus pada tahun 2011.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... xxiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... ........ xxvii 1
PENDAHULUAN………………………………………………… ...... 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran.................................................................... ....
1 1 3 4 4 4
2
TINJAUAN PUSTAKA................................................................... ...... 2.1 Ekosistem Terumbu Karang ........................................................... 2.1.1 Fungsi dan Manfaat Ekologi Terumbu Karang.......... ........... 2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekonomi Terumbu Karang.......... ......... 2.2 Daerah Perlindungan Laut .. ............................................................ 2.2.1 Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut................. ......... 2.2.2 Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut..................... ......... 2.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ....................... 2.3.1 Indikator Efektivitas Daerah Perlindungan Laut.......... ......... 2.3.2 Indikator Ekologi Daerah Perlindungan Laut................... ..... 2.3.3 Indikator Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut........... 2.3.3.1 Valuasi Ekonomi dalam Sumberdaya.............. ......... 2.3.3.2 Pendekatan Valuasi Ekonomi.............. ...................... 2.3.4 Indikator Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut............... 2.4 Evaluasi Efektivitas .........................................................................
7 7 7 8 9 12 13 13 14 16 17 17 18 21 22
3
METODOLOGI PENELITIAN.............................................. ............... 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................... 3.2 Peralatan Penelitian .......................................................................... 3.3 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 3.4 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 3.4.1 Pengumpulan Data Responden.......................................... .... 3.4.2 Pengumpulan Data Komponen Ekologi ................................ 3.4.2.1 Data Komunitas Karang.............. .............................. 3.4.2.2 Data Ikan Karang dan Megabentos.............. ............. 3.4.2.3 Data Kualitas Perairan.............. ................................. 3.4.3 Pengumpulan Data Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan.. ...... 3.5 Analisis Data .................................................................................... 3.5.1 Analisis Data Ekologi.................................................. .......... 3.5.1.1 Persentase Tutupan Karang.............. ......................... 3.5.1.2 Kelimpahan Ikan Karang dan Megabentos.............. . 3.5.1.3 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Komunitas Ikan Karang dan Megabentos............... ..
25 25 25 25 27 27 28 28 28 29 30 31 31 31 31 32
3.5.2 Analisis Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan........ .................. 3.5.2.1 Analisis Deskriftif-Kualitatif............ ....................... 3.5.2.2 Analisis Gini Ratio Indeks ............ .......................... 3.5.2.3 Metode Effect on Production ............ ...................... 3.5.2.4 Metode Likert’s Summeted Rating............ ............... 3.5.3 Analisis Efektivitas Daerah Perlindungan Laut .................... 3.5.3.1 Penentuan Indikator Efektivitas Terpilih Berdasarkan Stakeholder .......................................... 3.5.3.2 Evaluasi Efektivitas Daerah Perlindungan Laut...... 3.5.3.3 Analisis Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL..... ... 4
5
SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA MATTIRO LABANGENG ......................................................... 4.1 Kondisi Umum Desa Mattiro Labangeng ........................................ 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi................................ ......... 4.1.2 Penutupan Lahan …………………………........................... 4.1.3 Pemanfaatan Sumberdaya Laut …………………………… 4.2 Kondisi Sistem Ekologi DPL Desa Mattiro Labangeng .................. 4.2.1 Kondisi Terumbu Karang…………………………… .......... 4.2.2 Kondisi Perairan………………………………………. ....... 4.3 Kondisi Sistem Sosial-Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Mattiro Labangeng ................................................................. 4.3.1 Kependudukan…………………………………………... .... 4.3.2 Umur……………………………………………………. ..... 4.3.3 Pendidikan……………………………………………... ...... 4.3.4 Sosial Budaya…………………………………………... ..... 4.4 Pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng .................................... 4.4.1 Penetapan dan Batasan Daerah Perlindungan Laut .............. 4.4.2 Struktur Pengelola Daerah Perlindungan Laut ..................... 4.4.3 Visi dan Misi Daerah Perlindungan Laut .. ........................... 4.4.4 Larangan di Kawasan Daerah Perlindungan Laut................. 4.4.5 Sanksi Pelanggaran........ ........................................................ 4.4.6 Monitoring dan Evaluasi ........................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN........................ ...................................... 5.1 Evaluasi Indikator Ekologi .............................................................. 5.1.1 Kondisi Tutupan Karang Hidup................................ ............. 5.1.2 Perubahan Komposisi Komunitas ……………………… ..... 5.1.2.1 Komunitas Ikan Karang..... ........................................ 5.1.2.2 Komunitas Megabentos..... ........................................ 5.1.3 Kondisi Kualitas Perairan ……………………………... ...... 5.2 Evaluasi Indikator Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan ................... 5.2.1 Produksi Perikanan Tangkap…………………………… ..... 5.2.2 Distribusi Pendapatan ……… ............................................... 5.2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang …………. .... 5.2.4 Ketersediaan Pasar …………………………………... ......... 5.2.5 Struktur Lapangan Pekerjaan/Mata Pencaharian . ................. 5.2.6 Persepsi, Sikap, dan Partisipasi Masyarakat tentang DPL..... 5.2.6.1 Persepsi……………………………………………. .
33 33 33 34 35 36 36 38 38 41 41 41 41 43 44 44 44 44 44 45 46 46 47 47 47 48 49 49 49 51 51 51 54 54 57 59 60 60 63 64 65 66 67 67
5.2.6.2 Sikap…………………………………………….. .... 5.2.6.3 Partisipasi…………………………………………... 5.2.7 Tingkat Pelatihan bagi Stakeholder/Pengelola………... ....... 5.2.8 Tingkat Partisipasi Stakeholder/Pengelola…………... ......... 5.3 Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ........................ 5.3.1 Analisis Stakeholder.......................................... .................... 5.3.2 Indikator Efektivitas Terpilih dan Dampaknya........ ............. 5.3.3 Analisis Efektivitas........ ........................................................ 5.3.4 Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL. .................................. 5.3.5 Strategi Pengelolaan DPL Berdasarkan Hasil........ ...............
69 70 71 73 74 74 75 76 80 81
KESIMPULAN DAN SARAN........................ ...................................... 6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 6.2 Saran ... .............................................................................................
85 85 86
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. .......
87
LAMPIRAN... ................................................................................................
95
6
1
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Ekosistem wilayah pesisir merupakan suatu himpunan integral dari
komponen hayati dan non-hayati. Komponen-komponen ini secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi. Ekosistem pesisir ini merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya ini meliputi pulau-pulau besar dan kecil yang dikelilingi ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Tipologi ekosistem pesisir ditinjau dari daratan menuju kearah laut lepas diawali oleh ekosistem mangrove yang kemudian diikuti oleh padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Masing-masing ekosistem ini memiliki fungsi dan peran yang saling terkait satu sama lain (Yulianda et al. 2009). Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, dan umumnya tumbuh di daerah tropis, serta mempunyai produktivitas primer yang tinggi. Tingginya produktivitas
primer
ini
menjadikan
terumbu
karang
sebagai
tempat
berkumpulnya beraneka biota pesisir dan laut seperti ikan, udang, mollusca, dan lainnya (Supriharyono 2007). Kondisi
terumbu
karang
di
Indonesia
sebagian
besar
sangat
memprihatinkan karena dalam beberapa dekade terakhir mengalami kerusakan yang signifikan. Hasil pengamatan yang dilakukan di bagian barat dan di bagian timur Indonesia menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang hanya 6.48% berada dalam kondisi sangat baik, 24.23 % kondisi baik, 29.22% kondisi rusak dan 40.14% rusak berat (Suharsono 1995). Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia (anthropogenic) termasuk pengerukan batu dan pasir untuk industri konstruksi dan penambangan karang untuk produksi kapur atau batu ekstraksi, praktek penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan bahan peledak dan sianida, muroami, pengambilan karang, dan efek samping dari pariwisata (Jameson et al. 1995; Cesar 1996).
2
Kabupaten
Pangkajene
Kepulauan
(Pangkep)
merupakan
wilayah
kepulauan yang memiliki 117 pulau dan umumnya berukuran kecil, 80 pulau di antaranya berpenghuni. Luas daratan pulau-pulau kabupaten ini adalah 351.5 km², sedangkan luas wilayah lautnya sekitar 17.000 km², dengan sumberdaya alam yang paling utama adalah ekosistem terumbu karang yang berbentuk fringing reefs dan diperkirakan mempunyai luas sebesar 36.000 ha (Jompa 1996). Tingkat kerusakan terumbu karang di Kabupaten Pangkep umumnya tergolong tinggi. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh tingginya tingkat sedimentasi dan pencemaran, serta aktivitas nelayan yang menggunakan jenis alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak, sianida, dan alat tangkap destruktif lainnya. Berdasarkan data COREMAP-PSTK (2002), dilaporkan bahwa dari total luas keseluruhan terumbu karang yang ada di Kabupaten Pangkep, 74.26% dalam kondisi rusak dan hanya 25.74% dalam kondisi baik. Kondisi ini sangat memprihatinkan sehingga produktivitas terumbu karang semakin menurun. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah pencegahan kerusakan dan penerapan sistem pengelolaan yang baik, agar kondisi sumberdaya alam di kawasan kepulauan ini bisa memberi harapan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat terutama kepada mereka yang menggantungkan hidupnya dari ketersediaan sumberdaya alam terumbu karang. Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem terumbu karang di wilayah kepulauan Kabupaten Pangkep adalah dengan membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) di setiap desa yang diinisiasi oleh Kementerian Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP II) pada tahun 2006. Desa Mattiro Labangeng merupakan salah satu desa yang menerima dampak dengan adanya pembentukan DPL. DPL merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat (COREMAP 2006). Menurut Christie et al. (2002), pembentukan DPL dimaksudkan untuk melindungi terumbu karang dan komunitas invertebrata yang berasosiasi didalamnya serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pulau akan hidup yang lebih baik. DPL
yang
diterapkan
di
Desa
Mattiro
Program pengelolaan
Labangeng
diharapkan
dapat
3
mensejahterakan masyarakat desa,khususnya para nelayan. Oleh karena itu, untuk melihat seberapa besar peran, manfaat dan keberadaan DPL terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang perlu dilakukan kajian efektivitas dalam menilai keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Penilaian efektivitas ini menurut Pomeroy et al. (2004) didasarkan pada indikator ekologis, sosialekonomi dan kelembagaan dengan tujuan DPL yang ada 1.2
Perumusan Masalah DPL merupakan salah satu alternatif konservasi suatu kawasan laut di
tingkat desa yang diyakini akan memiliki dampak penting jangka menengah dan panjang dalam upaya melestarikan sumberdaya alam laut dan sekaligus meningkatkan kondisi sosio-ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan (Parks et al. 2006 in Carter 2011). Beberapa daerah yang telah dikonservasi, tujuan dan sasarannya tidak berjalan seperti yang diharapkan dan menghasilkan metode dan objek studi yang relatif tidak relevan dengan kondisi yang ada. Beberapa masalah lain yang dihadapi adalah kurangnya koordinasi pada tingkatan level antara satu stakeholder dan stakeholder lainnya. Walaupun ada maksud peningkatan daerah perlindungan sebagai jaringan antara beberapa daerah yang ada di sekitarnya, faktanya daerah perlindungan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan (Pomeroy et al. 2004). Dengan demikian diperlukan tinjauan dan memahami sejauh mana upaya pengelolaan DPL berjalan secara efektif dan memenuhi tujuan-tujuannya serta bagaimana cara terbaik untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan DPL (Hockings et al. 2006). Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, program pengelolaan DPL di Desa Mattiro Labangeng telah berjalan kurang lebih dari tiga tahun. Namun, keberadaan DPL di Desa Mattiro Labangeng tidak secara langsung dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga diperlukan berbagai upaya pengelolaan DPL yang dapat memulihkan kondisi tersebut secara bertahap. Disamping itu, sejauh manakah tujuan program DPL Desa Mattiro Labangeng ini dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal untuk mendapatkan perubahan dan manfaat adanya DPL baik dari segi ekologi maupun ekonomi.
4
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah: 1. Mengkaji kondisi ekologi perairan DPL Desa Mattiro Labangeng. 2. Mengkaji kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar DPL Desa Mattiro Labangeng. 3. Mengevaluasi
indikator
efektivitas
pengelolaan
DPL
Desa
Mattiro
Labangeng. 4. Menilai efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. 5. Memberikan alternatif strategi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan hasil. 1.4
Manfaat Penelitian Manfaat atau kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai kajian ilmiah dari hasil penelitian yang dapat menjadi acuan dalam penentuan kebijakan akan keberadaan DPL. 2. Sebagai informasi tentang efektivitas Daerah Perlindungan Laut , khususnya DPL Desa Mattiro Labangeng, Kabupaten Pangkajene Kepulauan.. 3. Sebagai langkah positif untuk mengatur dan memperbaiki pengelolaan DPL sehingga mencapai tujuan dan sasaran yang lebih efektif dan efisien. 1.5
Kerangka Pemikiran Pemanfaatan sumberdaya laut yang merupakan common property selalu
akan menerima tekanan dan berdampak pada kerusakan sumberdaya itu sendiri, bila
tidak
mengikuti
kaidah
ramah
lingkungan.
Adanya
DPL
dapat
mengembalikan fungsi ekologis, sosial, ekonomi sumberdaya dan lingkungan laut menuju ke pemanfaatan yang optimal dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya tersebut. Penetapan DPL merupakan salah satu metode pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan untuk menjamin agar sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Penetapan DPL juga dianggap sebagai intstrumen yang terkait dengan aspek ekologis dan kelembagaan/hukum secara bersamaan, selain itu pemanfaatan yang berkelanjutan juga mensyaratkan adanya keuntungan sosial-ekonomi bagi masyarakat.
5
Efektivitas pengelolaan adalah tingkat sejauh mana kegiatan pengelolaan mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan oleh suatu DPL. Tinjauan berulang terhadap efektivitas pengelolaan juga dapat membantu para pengelola untuk mendokumentasikan kinerja upaya-upaya pengelolaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan DPL dan memberikan gambaran tentang kemajuannya kepada para pengambil-keputusan dan pemangku kepentingan (Pomeroy et al. 2004; Carter 2011). Dalam kaitan ini, dengan adanya DPL pada Desa Mattiro Labangeng harusnya telah memberikan manfaat kepada masyarakat setempat
dan
keberlangsungan daerah perlindungan itu sendiri. Untuk mengetahui tercapainya efektivitas dari DPL perlu diidentifikasi tujuan dari pembentukan DPL yang selanjutnya dilakukan analisis beberapa indikator ekologi, sosial-ekonomi dan kelembagaan terkait tujuan pembentukan DPL tersebut. Tujuan pembentukan DPL Desa Mattiro Labangeng berdasarkan Peraturan Desa Mattiro Labangeng Tentang Daerah Perlindungan Laut Tahun 2007 adalah (a) Menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap habitat biota perairan desa; (b) Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa; (c) Meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Beberapa indikator digunakan untuk menggambarkan secara kuantitatif atau kualitatif fenomena yang secara tidak langsung mudah diukur dan dipantau terus menerus. Indikator juga digunakan untuk menilai efektivitas dari kegiatan dan kebijakan dengan mengukur kemajuan sasaran yang diharapkan. Namun, sebelum seleksi dan memilih indikator perlu jelas mendefinisikan hubungan sebab-akibat dari indikator-indikator yang dipilih. Dari kerangka pemikiran ini, dilakukan langkah-langkah dan analisis beberapa indikator untuk mengetahui efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng seperti yang disajikan pada Gambar 1.
6
Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng
Tujuan Daerah Perlindungan Laut
Mengidentifikasi Indikator-Indikator Berdasarkan Tujuan Pembentukan DPL
Indikator Ekologi
Indikator Sosial-Ekonomi
Indikator Kelembagaan
Evaluasi Indikator Ekologis, Sosial-Ekonomi, dan Kelembagaan
Analisis Efektivitas
Efektif?
Tidak
Ya
feedback
Memelihara dan Mempertahankan Pengelolaan DPL
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
Revisi Pengelolaan DPL
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993). Menurut Veron (1995) terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh suhu dan sirkulasi permukaan air. Sementara itu, penyebaran secara longitudinal sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe: (1) terumbu karang tepi, (2) terumbu karang penghalang, dan (3) terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan hayati laut yang beranekaragam. 51% terumbu karang di Asia Tenggara dan 18% terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia. Saat ini lebih dari 480 jenis karang batu di dunia yang telah dideskripsikan. Selain itu keanekaragaman ikan karang tertinggi di dunia ditemukan di Indonesia, dengan lebih dari 1650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur saja (Burke et al. 2002). 2.1.1
Fungsi dan Manfaat Ekologi Terumbu Karang Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang sering tidak
memperhatikan keberlanjutan secara ekologis, hal ini tidak disadari bahwa ada banyak manfaat ekologi dari ekosistem terumbu karang dalam memenuhi
8
kebutuhan ekonomi yang memiliki nilai untuk berkontribusi demi kesejahteraan manusia. Keanekaragaman jenis terumbu karang memiliki manfaat secara ekologi dalam mendukung kehidupan masyarakat. Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang paling kompleks dan paling produktif, serta ekosistem yang atraktif bila dibandingkan dengan ekosistem lain di dunia (Spurgeon 1992). Secara ekologi terumbu karang menjadi tempat mencari makan (feeding grounds), tempat berkembang biak (breeding grounds), daerah asuhan (nursery grounds) dan tempat berlindung berbagai jenis ikan dan avertebrata laut lainnya (Spalding et al. 2001). Terumbu karang khususnya karang tepi dan karang penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut, sebagai penyediaan makanan, tempat tinggal dan perlindungan bagi biota laut. Selain itu terumbu karang mendukung secara biologi kepada ekosistem lamun, mangrove dan laut terbuka. (Bengen 2000). Ekosistem terumbu karang mempunyai banyak manfaat yang beranekaragam, manfaatnya tidak hanya berbentuk sebagai barang tetapi juga sebagai jasa. Manfaat dalam bentuk barang diantaranya sebagai sumber makan, bahan obat-obatan, sedangkan dalam bentuk jasa dari ekosistem terumbu karang diantaranya sebagai objek wisata dan penahan gelombang (Moberg dan Folke 1999). 2.1.2 Fungsi dan Manfaat Ekonomi Terumbu karang Terumbu karang memegang peranan penting dan sangat potensial terutama dalam sektor perikanan, pariwisata dan kesehatan karena diperkirakan lebih dari 12% perikanan dunia merupakan perikanan karang (Lim 1998). Terumbu karang memiliki manfaat yang beragam berupa barang dan jasa bagi kehidupan biota yang berasosiasi maupun bagi manusia. Terkait barang dan jasa ekosistem terumbu karang terbagi ke dalam empat kategori berdasarkan jasa yang disediakan oleh ekosistem terumbu karang yaitu jasa penyedia, jasa pengontrol, jasa kebudayaan dan jasa pendukung (Burke et al. 2008). Terumbu karang menjadi daya tarik utama dalam sektor pariwisata bahari terutama wisata selam, beberapa studi melaporkan bahwa lebih dari 40% wisatawan dunia melakukan penyelaman (Green dan Donelly 2003). Menurut Kenchington et al. 2003, pariwisata merupakan sektor yang menjadi sumber pendapatan utama di beberapa negara berkembang dan seringkali melebihi nilai
9
perikanan negara tersebut. Di Australia misalnya, Great Barrier Reff menarik sekitar 1.8 juta turis dilihat dengan industry bernilai dari US$ 1 milliar per tahun, dibandingkan dengan perkiraan US$ 359 juta untuk nilai tahunan Great Barrier Reff untuk perikanan. Lebih lanjut Burke et al. (2002), mengemukakan bahwa potensi keuntungan bersih pertahun per km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara di estimasi mencapai US$ 20000 – US$ 151000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai, sedangkan untuk potensi pariwisata dan estetika mencapai US$ 23100 - US$ 270.000. Pesatnya perkembangan wisata bahari khusus penyelaman memberikan kontribusi ekonomi cukup besar dalam sejarah pariwisata. Namun beberapa studi melaporkan bahwa aktifitas penyelaman menyebabkan kerusakan terumbu karang secara fisik, biologi, dan kimia seperti kehancuran karang, pemutihan karang dan hancurnya fragmen karang (Anthony et al. 2004). Cesar et al 1996 mengukur kerugian yang ditimbulkan akibat pariwisata adalah US$ 2600 – US$ 435600 per km2. 2.2
Daerah Perlindungan Laut Mengacu pada IUCN (1994), istilah Marine Protected Area (MPA) adalah
daerah-daerah paparan intertidal atau subtidal beserta perairannya yang berasosiasi dengan flora, fauna, sejarah dan budaya yang dilindungi oleh hukum atau semacamnya sebagai upaya melindungi ebagian atau seluruh lingkungan kawasan tersebut. Menurut Kenchington et al. (2003), Marine Protected Area (MPA) merupakan area wilayah laut yang terutama diperuntukkan bagi perlindungan laut dan perlindungan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan kultural dan dikelola dengan baik demi keberlanjutan sumberdaya. Menurut Wiryawan dan Dermawan (2006), definisi tersebut sangat luas menyangkut beberapa tipe pengelolaan laut yang berbeda dan aktivitas perlindungan laut. Berdasarkan definisi tersebut, Marine Protected Area (MPA) hanya merupakan bagian dari Marine Management Area (MMA) atau sebagai aerah “permanen reserve” (no take area) yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, istilah Marine Protected Area (MPA) tidak digunakan dalam menjelaskan aktivitas pengelolaan laut lokal. Kesepakatan ini didasarkan pada persetujuan: 1) istilah “protected” merupakan istilah yang tidak
10
cocok dipakai lagi secara luas di daerah Asia dan Fasifik sehingga digantikan dengan istilah “local marinr management”, 2) istilah “MPA” merupakan istilah formal yang dipakai oleh badan-badan nasional dan internasional (legal authority) yang tidak sama pelaksanaannya dengan MMA dalam suatu wilayah. Istilah MMA secara
ekslusif diartikan sebagai
upaya-upaya
pengelolaan dan
perlindungan non-formal yang dikenal sebagai legalitas MPA. Lebih lanjut Wiryawan dan Dermawan (2006), mengemukakan bahwa MMA dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan antaara kawasan konservasi laut (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses pembentukan dari masing-masing DPL berbasis desa bervariasi. Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat koordinasi pengeolaan kawasan konservasi, yang mempunyai skal dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut seperti penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, industri transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen dari MMA diharapkan suatu kawsan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, karena perlindungan kepada spesies yang berimigrasi dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindungi. Nama yang digunakan untuk pengelolaan kawasan laut tingkat kampung atau desa beragam seperti, Daerah Pelindungan Laut, Kawasan Kelola Laut, Daerah Kelola Laut, Area Pengelolaan Laut, atau Taman Pelestarian Laut. Terlepas dari apa namanya yang jelas konsep tersebut berbeda dengan model inisiatif lainnya yang telah berkembang selama ini. Kawasan pelestarian jenis yang terakhir ini dikembangkan dari, untuk dan bersama masyarakat setempat dengan luas, tujuan dan cara pengaturan yang sangat beragam tergantung dari kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat pesisir setempat (Afif et al. 2005). Daerah Perlindungan Laut-Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat
11
(COREMAP 2006). DPL-BM telah diterapkan oleh banyak proyek yang disponsori oleh bank pembangunan internasional di Asia dimana komponen perlindungan laut merupakan satu dari berbagai strategi pembangunan dan pengelolaan pesisir. Sebagai contoh Program Sektor Perikanan sebesar 150 juta dolar di Filipina dan berbagai proyek bantuan luar lainnya, telah memasukkan konsep DPL berbasis masyarakat ke dalam desain proyek-proyek ini. Negara Filipina memiliki sejarah yang cukup panjang dalam pengembangan DPL berbasis masyarakat ini selama lebih dari dua dekade. DPL berbasis masyarakat ini telah menjadi pendekatan utama pengelolaan pesisir di negara ini dan dipakai sebagai bagian dari kebijakan program desentralisasi. Pada peralihan abad telah ada ratusan DPL yang tersebar hampir di semua wilayah pesisir negara tersebut (Ablaza-Baluyut 1995). Pajaro et al. (1999) mencatat 439 DPL di Filipina dari berbagai jenis, dimana mayoritas dari DPL ini adalah berbentuk daerah perlindungan skala kecil yang dikelola oleh masyarakat dan berukuran kurang dari 30 hektar. Penerapan DPL-BM di Indonesia merupakan konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL-BM, demikian pula akses manusia di dalam kawasan diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa. Penerapan DPL-BM awalnya dilakukan pada DPL di 4 (empat) desa di Provinsi Sulawesi Utara. DPL tersebut merupakan DPL pertama yang dikembangkan di Indonesia dengan fasilitasi pemerintah dan menghasilkan capaian yang memuaskan. Hal ini terbukti bahwa berdasarkan pengalaman di 4 (empat) desa tersebut telah dikembangkan puluhan DPL baru di desa-desa lainnya di Provinsi Sulawesi Utara bahkan di provinsi-provinsi lain (Nikijuluw 2002). Masyarakat diharapkan mengetahui persoalan-persoalan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya pesisir, khususnya pengelolaan terumbu karang, baik yang bersifat negatif maupun positif. Salah satu isu yang menjadi perhatian masyarakat desa-desa adalah degradasi lingkungan laut, seperti kerusakan terumbu karang tempat habitat ikan-ikan. Untuk mengatasi persoalan tersebut
12
dilakukan penetapan kawasan laut menjadi daerah yang tertutup bagi kegiatan eksploitatif, yaitu sebagai daerah perlindungan laut atau marine sanctuary (Crawford dan Tulungen 1998; Kasmidi et al. 1999). 2.2.1 Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan, bahkan pedagang ikan. Namun, di kalangan masyarakat pesisir sendiri, pelaku ekonomi di subsistem produksi primer-nelayan dan pembudidaya ikan seringkali menemui sejumlah masalah, diantaranya ketidakadilan harga, lemahnya
tekhnologi
dan modal, terbatasnya
SDM, terbatasnya
akses
sumberdaya, serta lemahnya organisasi, sehingga posisi mereka pun lemah diantara pelaku-pelaku usaha lainnya (Satria 2009). Standar hidup di masyarakat nelayan pesisir sebagian besar langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perikanan skala kecil. Karakteristik masyarakat perikanan skala kecil umumnya memiliki hubungan tradisi yang kuat, pendidikan yang rendah, usia dewasa dengan pemikiran pendek, masih memiliki pengaruh adat istiadat dan budaya yang besar, marginalisasi dalam perekonomian dan pendapatan yang rendah. Dengan karakteristik yang dimiliki tersebut, sering kali hak ekslusif masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan dibatasi (Berkes et al. 2001; Jimenez-Badillo 2008). Masyarakat nelayan sendiri terjadi interaksi antara individu dan interaksi ini
mengakibatkan
terjadinya
kompetisi.
Saling
berkompetisi
dalam
memanfaatkan sumberdaya terumbu karang akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengelolaan terumbu karang yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya dan kemiskinan. Keinginan masyarakat yang saling berkompetisi merupakan sifat alamiah. Namun sifat ini merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang efektif dan dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat itu sendiri menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan sendiri.
13
Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya terumbu karang adalah upaya mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya yang dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup mereka sendiri-sendiri (Hulu 2009). 2.2.2
Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut Kelembagaan adalah gabungan dari norma dan tingkah laku yang
berlangsung lama dengan tujuan dan maksud yang bernilai untuk pelayanan bersama. Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai lembaga atau organisasi kelembagaan, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Komponen utama dari suatu organisasi kelembagaan adalah adanya tujuan, aturan, sarana dan prasarana, serta adanya sumber daya manusia yang menjalankan organisasi kelembagaan tersebut (Winardi 2003). Menurut Mensah dan Antwi (2002), kelembagaan adalah aspek lain yang harus dihadirkan dalam komunitas masyarakat pesisir (nelayan), hal ini akan menjadikan lebih baik karena nelayan dilibatkan dalam asosiasi yang efektif. Di dalam partisipasinya dapat memberikan pengaruh dalam mendesain dan pelaksanaan kebijakan dalam program yang ditetapkan. Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dilakukan oleh Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Kelembagaan ini terbentuk oleh adanya kolaborasi pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat setempat (CoManagement). LPSTK ini bertugas untuk mengawasi kegiatan yang berdampak pada ekosistem terumbu karang sehingga tidak terjadi upaya pemanfaatan yang tidak bijaksana seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak maupun
menggunakan
racun
sianida.
Lembaga
ini
juga
berfungsi
mensosialisasikan kepada kelompok masyarakat dan masyarakat lainnya untuk sadar akan pentingnya terumbu karang (COREMAP II 2007). 2.3
Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Efektivitas pengelolaan merupakan tingkat dimana pengelolaan mencapai
tujuan dan sasarannya, untuk itu proses monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan DPL perlu dilakukan (Pomeroy et al. 2004). Monitoring yang
14
dilakukan di dalam dan di sekitar DPL memiliki tiga dasar manfaat yang saling terkait, yakni 1) pemahaman yang lebih baik tentang DPL yakni bagaimana DPL dirancang dan memberikan biaya-manfaat secara ekologi dan sosial ekonomi, 2) pengetahuan yang lebih dalam tentang ekosistem laut dan aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi ekositem, dan 3) mengembangkan dan menerapkan metode pengelolaan kelautan yang efektif dalam mencapai tujuan tertentu. Monitoring merupakan komponen integral dari pengelolaan kawasan laut, dengan monitoring dapat memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi perubahan dalam ekosistem laut sebagai akibat dari pelaksanaan program konservasi, terutama daerah dikategorikan sebagai daerah perlindungan laut. Evaluasi sangat penting dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas, meningkatkan desain, dan memberikan informasi tentang kemajuan kepada para pemangku kepentingan. Monitoring didasarkan pada evaluasi atribut spesifik ekosistem secara periodik dan kondisi sosial ekonomi saat ini atau relevan pada DPL (Houde et al. 2001). DPL di Filipina dan Pasifik Selatan telah terbukti efektif dalam menjaga atau melindungi ekosistem terumbu karang, meningkatkan jumlah ikan di dalam daerah perlindungan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL (Alcala 1988; Russ dan Alcala 1994). Daerah Perlindungan Laut juga efektif dalam meningkatkan hasil perikanan dibandingkan dengan pendekatan pengelolaan secara tradisional, DPL dapat lebih sederhana, lebih murah (cost efective) dan merupakan pendekatan yang lebih tepat, khususnya konservasi bagi ekosistem terumbu karang (Hasting dan Botsford 1999). 2.3.1 Indikator Efektivitas Daerah Perlindungan Laut Indikator merupakan sebuah unit informasi yang diukur dan dimonitoring sepanjang waktu dan dapat menberikan informasi perubahan spesifik pada DPL secara periodik. Indikator berfungsi sebagai alat ukur terhadap sesuatu yang tidak dapat langsung diukur atau sesuatu yang sangat sukar untuk diukur, seperti efektivitas. Oleh karena efektivitas merupakan konsep multidisiplin, maka indikator digunakan untuk mengkaji fungsi program DPL. Indikator ini dapat memberikan informasi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran dari sebuah daerah perlindungan (Pomeroy et al. 2004). Tinjauan indikator dapat 1) menggambarkan efektivitas pengelolaan; 2) memberikan pengetahuan tambahan dan pengertian
15
dari kelemahan dan kelebihan dari aksi pengelolaan yang diterapkan; 3) bagi pengelola dan pelaksana dapat menggunakan indikator ini sebagai perubahan rencana pengelolaan dan manajemen yang lebih adaptif; dan 4) memberi pengetahuan tentang dampak terhadap sumberdaya yang ada di daerah tersebut. Menurut IUCN (1994) beberapa indikator untuk mengukur efektivitas pengelolaan dalam kawasan konservasi laut antara lain: a. Kriteria ekologis Keanekaragaman hayati sumberdaya ikan yang masih terjaga keaslian dengan baik. Peningkatan kondisi ekologi, termasuk komunitas biologi dan lingkungan fisik dalam suatu sistem ekologi. Perwakilan dari ekosistem tertentu produktif dan keunikan. Keberadaan habitat, daerah pemijahan, alam lokal dan daerah migrasi jenis ikan yang memiliki nilai pentingnya konservasi. b. Kriteria sosial-ekonomi Dukungan dan komitmen dari masyarakat dan/atau kepentingan para pemangku kepentingan di sekitar kawasan. Potensi konflik pemanfaatan ruang dan potensi ancaman polusi lingkungan lainnya, sedimentasi, pembangunan di kawasan pesisir. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan dari daerah yang relatif kecil. Dukungan untuk adat dan kearifan lokal sejalan dengan norma-norma konservasi. Nilai manfaat di bidang perikanan dan peluang pengembangan pariwisata perairan. Nilai estetika dan kesehatan lingkungan yang dapat mendukung pelestarian sumberdaya ikan. Kemudahan akses ke daerah-daerah seperti ketersediaan infrastruktur jalan dan transportasi. Indikator-indikator dapat didefinisikan sebagai sebuah variabel yang dapat digunakan untuk mengukur status atau kondisi suatu sistem. Informasi yang didapatkan dari indikator sangat penting karena indikator-indikator ini saling
16
berhubungan satu sama lain dan akibatnya dampak dari suatu indikator dapat mempengaruhi keberlanjutan baik secara langsung maupun tidak langsung (Adrianto et al. 2004). Indikator-indikator dapat digunakan pada sejumlah tingkatan yang berbeda untuk tujuan penelitian, pembuat kebijakan, dan sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum. Dengan kata lain, tingkatan yang berbeda ini membutuhkan juga indikator-indikator sesuai dengan kebutuhannya. Untuk tujuan riset, menempatkan metodologi yang konsisten dan data yang bervariasi dan comparable, sedangkan pada pembuat kebijakan menekankan pada indikator pengembangan yang berkelanjutan, jelas, dan mudah dalam menentukan suatu strategi dan pengaplikasiannya (Hanley et al. 1999). 2.3.2 Indikator Ekologi Daerah Perlindungan Laut Empat kategori informasi yang dimasukkan dalam program monitoring yakni 1) struktur komunitas biota laut (kelimpahan, struktur, keanekaragaman jenis, dan distribusi spasial); 2) habitat pemeliharaan atau pemulihan; 3) kualitas air atau kerusakan lingkungan (pencemaran); dan 4) atribut dampak sosial ekonomi. Tiap kategori-kategori ini sangat penting dalam program monitoring daerah perlindungan laut dan untuk menguji apakah daerah perlindungan efektif sesuai dengan tujuannya, maka perlu diadakan pemantauan di beberapa daerah yang melakukan program DPL. Idealnya, jenis metode survei harus cukup ketat untuk mendeteksi 10-25% perubahan biomassa, kepadatan, atau kelimpahan spesies yang ada pada daerah perlindungan laut (Houde et al. 2001). Sebagai contoh, dalam survei ekonomis biota snail di Kenya, ditemukan bahwa terjadi peningkatan populasi dari tujuh menjadi sembilan spesies yang ada pada daerah perlindungan laut (McClanahan 1995 in Houde et al. 2001). Kondisi dan status habitat pada daerah perlindungan laut dan sekitarnya, perlu dimonitor untuk mengevaluasi potensi dan komunitas produksi perikanan. Sebagai contoh, tingkat dan kondisi substrat, lamun, karang, dan bentos, serta kualitas air, harus dipantau secara berkala untuk menentukan trend kondisi daerah perlindungan laut. Terdapat banyak variabel ekologi, biologi yang dapat dimasukkan dalam proses pemantauan misalnya, cuaca, masukan air tawar, sirkulasi, produksi primer, zooplankton, dan komunitas benthik masyarakat. Beberapa penelitian sebelumnya telah banyak melakukan pemantauan indikator
17
lingkungan. Indikator yang relevan dengan daerah perlindungan meliputi oksigen terlarut dan nutrisi untuk menilai eutrofikasi, beban kontaminan untuk polutan kimia beracun, salinitas dan kekeruhan untuk menilai run off, dan klorofil untuk produktivitas primer. Penggunaan indikator tergantung pada lokasi daerah perlindungan. Di Florida Keys pemantauan yang dilakukan adalah memantau persentase tutupan karang hidup dan suhu air untuk mengevaluasi kondisi terumbu karang. Di daerah lain, mungkin ada yang lebih spesifik, monitoring spesies dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk perubahan dalam kualitas lingkungan (Houde et al. 2001). 2.3.3
Indikator Sosial-Ekonomi Daerah Perlindungan Laut Keberlanjutan sosio-ekonomi berfokus pada tingkat makro, yaitu menjaga
atau meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi jangka panjang. Kesejahteraan sosial-ekonomi ini didasarkan pada perpaduan indikator ekonomi dan sosial, dengan fokus pada manfaat berkelanjutan, distribusi manfaat antara pelaku perikanan, dan pemeliharaan sistem kelangsungan hidup secara keseluruhan dalam ekonomi lokal dan global. Keberlanjutan sosio-ekonomi paduan antara kriteria ekonomi (tingkat rent sumber daya) dan kriteria sosial (distribusi ekuitas), kriteria ini tidak terpisahkan juga pada tingkat kebijakan (Adrianto et al. 2004). Indikator ekonomi dimonitoring akan memberikan informasi dalam menentukan bagaimana nilai perikanan dipengaruhi oleh daerah perlindungan laut atau bagaimana kerangka waktu daerah perlindungan laut dapat menguntungkan jika properti ekosistem ditingkatkan dan produktivitas perikanan diperbaiki baik dalam skala lokal maupun regional. Dalam kondisi sosial dan budaya, isu-isu kepuasan juga dapat dimonitoring, terutama melalui survei partisipasi dalam sektor perikanan. Hasil pemantauan (ekologi dan sosial ekonomi) harus teratur untuk
memastikan
bahwa
nelayan
mengetahui
tentang
kinerja
daerah
perlindungan laut (Houde et al. 2001). 2.3.3.1 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang terkandung didalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi, karena
18
hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Beberapa kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala, pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat dan kerugian (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (Adrianto 2006). Mempertahankan sebuah kawasan ekosistem sebagai kawasan preservasi, maka pengambil keputusan perlu mempertimbangkan biaya-biaya langsung yang diperlukan untuk menjaga kawasan tersebut ditambah dengan potensi hilangnya manfaat pembangunan, apabila kawasan tersebut di konversi. Total biaya (costs) inilah yang kemudian menjadi basis bagi pengambilan keputusan dan dapat didekati dengan metode valuasi ekonomi. Dengan demikian tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada di kawasan. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konteks nilai manfaat masyarakat bersih (net gain to society) tidak dipertimbangkan dalam term economic efficiency. Oleh karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (Ledoux dan Tuner 2002 in Adrianto 2006). 2.3.3.2 Pendekatan Valuasi Ekonomi Terdapat beberapa pendekatan metodologi untuk melakukan penilaian (valuasi) dari sebuah ekosistem atau sumberdaya alam. Sebagian besar dari pendekatan tersebut berbasis pada pendekatan biaya (cost-approach) dengan alasan bahwa pendekatan manfaat (benefit-approach) relatif lebih sulit diprediksi (Grigalunas dan Congar 1995 in Adrianto 2006). Menghitung manfaat ekonomi
19
sumberdaya yang berada di kawasan konservasi laut berbeda dengan perhitungan di luar kawasan konservasi laut. Untuk menghitung manfaat ekonomi dan pengelolaan berbasiskan konservasi ada beberapa metode, diantaranya adalah model valuasi ekonomi dan model bioekonomi. Kedua model tersebut bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian jika kondisi data tidak memadai. Selain untuk mengevaluasi kawasan konservasi, model valuasi ekonomi penting digunakan dalam perencanaan pembangunan konservasi laut, diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nilai dari sumberdaya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi pembangunan kawasan konservasi tersebut dan juga sebagai bahan masukan bagi stakeholder apakah bernilai membangun suatu kawasan konservasi laut di kawasan tersebut (Fauzi dan Anna 2005). Boquiren (2006) mengatakan bahwa pendekatan produktifitas merupakan teknik valuasi berdasarkan hubungan fisik antara lingkungan dengan produksi barang dan jasa dari pasar (market good and service). Teknik ini digunakan untuk melihat perbedaan output (produksi) sebagai dasar perhitungan jasa dari terumbu karang. Pendekatan produktifitas sering digunakan untuk mengukur nilai dari sektor perikanan dan pariwisata (surplus produsen) dan juga untuk menilai perubahan nilai dari output sebelum dan sesudah adanya suatu kejadian atau ancaman atau intervensi pengelolaan. Perubahan produksi dalam perikanan digunakan untuk mengkalkulasi hilangnya nilai dari sektor perikanan karena adanya ancaman dan gangguan terhadap terumbu karang seperti penambangan karang, atau bertambahnya nilai perikanan karena adanya intervensi pengelolaan seperti diberlakukannya kawasan konservasi laut (Cesar dan Chong 2004). Suatu
ekosistem
mempunyai
kemampuan
yang
berbeda
untuk
menyediakan produk akhir berupa barang maupun jasa. Sebagai contoh, ekosistem terumbu karang secara ekologi mampu menyediakan produk akhir berupa ikan, udang, kepiting, dan sebagainya. Produk-produk akhir tersebut dalam konteks ini merupakan produktivitas ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode effect on production fungsi ekosistem terumbu karang sebagai penyedia produk tersebut secara ekonomi dapat divaluasi. Secara konseptual, pendekatan produktivitas beranjak dari pemikiran bahwa apabila ada gangguan terhadap sistem sumberdaya alam (misalnya polusi), maka kemampuan
20
sumberdaya alam untuk menghasilkan aliran barang atau jasa menjadi terganggu (injured). Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, yang pada akhirnya akan mengubah pula perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006). Menurut Grigalunas dan Congar (1995) in Adrianto (2006) pendekatan produktivitas sangat berguna apabila produk final dapat secara relatif mudah dinilai dan informasi tentang aliran barang dan jasa dari SDA yang dinilai relatif tersedia. Namun terkadang, konsumen tidak terlalu perhatian terhadap aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, sehingga bagian ini menjadi yang terpenting dalam proses valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan produktivitas ini. Pendekatan produktivitas memandang sumberdaya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, langkah pertama dari pendekatan ini adalah menentukan aliran jasa dari sumberdaya alam yang dinilai kemudian dianalisis hubungannya dengan produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat. Barton (1994) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa EOP diukur dengan menggunakan harga bayangan yang dihitung berdasarkan harga pasar yang telah dijustifikasi dengan menggunakan faktor distorsi market atau ekuitas sosial seperti harga FOB apabila komoditas final produknya diekspor, harga tenaga kerja oportunitas apabila menggunakan tenaga kerja domestik. Pendekatan EOP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena pendekatan ini lebih memfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumberdaya alam yang dinilai. Menurut Hufschmidt et al. (1983) in Adrianto (2006) memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EOP adalah mengidentifikasi input sumberdaya, output dan residual sumberdaya dari sebuah proyek; melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumberdaya; melakukan kuantifikasi keterkatian antar sumberdaya alam; melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi. Metode pendekatan surplus merupakan pengukuran manfaat sumberdaya alam yang tepat karena pemanfaatan sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif
21
penggunaan terbaiknya (Green 1992 in Fauzi 2010). Konsep surplus konsumen merupakan
selisih
mengkonsumsi
manfaat
sumberdaya
ekonomi alam
dan
yang
diperoleh
jumlah
yang
masyarakat dibayarkan
dari untuk
mengekstraksi sumberdaya alam. Surplus konsumen terjadi jika harga yang dibayarkan oleh konsumen terhadap suatu barang lebih tinggi dari harga pasarnya. Surplus konsumen akan terus naik jika konsumen terus membeli produk sampai unit tertentu dan menghentikannya, karena jika diteruskan konsumen tidak akan mendapatkan surplus lagi. Nilai utility dianggap bahwa ukuran kemampuan barang/jasa untuk memuaskan kebutuhan. Besar kecilnya nilai utility yang dicapai konsumen tergantung dari jenis barang atau jasa dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi. Dengan demikian, bila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi nilai guna atau utility sumberdaya, sebaliknya semakin rendah kepuasan dari suatu barang maka utilitynya semakin rendah pula (http://www.ramaalessandro2. multiply. com/journal/item/2). 2.3.4 Indikator Kelembagaan Daerah Perlindungan Laut Salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah adanya sistem kelembagaan. Kelembagaan ini sangat penting peranannya, karena terdiri dari banyak pihak baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan adanya sistem kelembagaan, diharapkan rangkaian tugas, tanggungjawab dan wewenang masing-masing unit beserta jajarannya dapat disinergikan secara jelas dan tidak tumpang tindih guna mencapai tujuan pengelolaan secara efektif dan efisien. Dalam pengelolaan terumbu karang diperlukan keterlibatan pihakpihak terkait (stakeholder) demi tercapainya misi dan tujuan sesuai yang diharapkan dari program yang diciptakan oleh pemeritah pusat untuk dilaksanakan di daerah. Kegiatan dan pengelolaan terumbu karang akan berhasil apabila berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergi oleh semua pihak yang terkait dilibatkan dalam program tersebut. Keberhasilan pelaksanaan program ditentukan antara lain oleh adanya kelembagaan di pusat maupun daerah (COREMAP II 2006). Pengelolaan
sumber
daya
berbasis
masyarakat
(community-base
management) dapat didefenisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung
22
jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya lautnya. Dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat adalah 1) konsensus yang jelas bagi 3 stakeholder utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir dan peneliti (sosial, ekonomi dan sumber daya) dan 2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing stakeholder utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat (Dahuri 2003; Nikijuluw 2002). Menurut Carter (1996), Community-based resource Management (CBRM) didefenisikan sebagai salah satu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi (kelembagaan) dalam masyarakat di daerah tersebut. Kegiatan kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang diperlukan beberapa rencana pengelolaan seperti sekretariat pengelola yang memberi dukungan dan mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan daerah perlindungan laut, termasuk penggalangan partisipasi dan stakeholder. Selain sekretariat sebagai penguatan kelembagaan, pelatihan-pelatihan bagi kelompok masyarakat perlu juga dilaksanakan seperti pelatihan administrasi, pelatihan budidaya laut, pelatihan selam, pelatihan sistem pengawasan ekosistem terumbu karang dan pelatihan rehabilitasi terumbu karang (transplantasi). Monitoring dan evaluasi kelembagaan perlu dilakukan untuk melihat sejauhmana keberhasilan penguatan kelembagaan telah diterapkan. Evaluasi dan monitoring ini dilakukan setiap bulan/tahun sehingga dapat diketahui perkembangannya untuk mencari solusi yang terbaik dalam mencapai tujuan kelembagaan yang diharapkan (Farchan dan I Nyoman 2008). 2.4
Evaluasi Efektivitas Evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi,
efektivitas dan dampak program kegiatan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan obyektif. Evaluasi ini bertujuan untuk menerangkan “apakah” output, efek maupun dampak program/kegiatan tercapai atau tidak. Kegiatan utama evaluasi adalah untuk melihat secara menyeluruh pelaksanaan dan dampak dari suatu program/kegiatan sebagai landasan bagi penyusunan
23
kebijaksanaan dan rancangan program/kegiatan yang akan datang (DKP 2009). Hal yang sama dinyatakan oleh Adrianto (2007), tujuan dari evaluasi adalah analisis mendalam terhadap hasil dan keluaran dari program serta menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan program, hasil dari evaluasi ini digunakan untuk perencanaan masa depan. Pelaksanaan kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada saat program/kegiatan telah dirancang namun belum diimplementasikan, pada saat program/kegiatan masih atau sedang berlangsung dimana indikator kerja diidentifikasi dan dikembangkan dengan tujuan program, dan pada saat program/kegiatan telah berakhir dan menunjukkan dampak (Adrianto 2007; DKP 2009). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) in Adrianto (2007) ada beberapa pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu, pendekatan evaluasi kinerja, evaluasi proses, identifikasi kapasitas pengelolaan, dan evaluasi hasil (outcomes). Ada 4 (empat) manfaat utama dari pelaksanaan evaluasi, yakni: (1) sebagai sarana bantu manajemen dan komunikasi, yang memungkinkan para pengelola atau tim dapat memantau perkembangan pencapaian tujuan, output, dan hasil-hasil dari suatu kegiatan, serta melakukan modifikasi metode dan intervensi, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan dan tim kinerja pengelola, (2) sebagai bagian dari akuntabilitas penggunaan dana masyarakat secara tepat sasaran dan efisien, (3) sebagai umpan balik dan koreksi kebijakan, dengan adanya review atas pelaksanaan kegiatan diharapkan dapat memberikan umpan balik dalam rangka perbaikan intervensi atau kebijakan, (4) beberapa hal dalam pelaksanaan evaluasi merupakan suatu prasyarat atau keharusan dari penyedia dana (funding) (DKP 2009).
24
25
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan September 2010di Desa
Mattiro
Labangeng Kecamatan
Liukang Tupabbiring
Utara,
Kabupaten
Pangkepyang terletak antara 04°48‟13.2”-04°50‟53.9” Lintang Selatan (LS) dan 119°23‟45.0”-119°26‟38.3” Bujur Timur (BT). Pengamatan biofisik perairan dilakukan di Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng.Lokasi penelitian Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Gambar 2. 3.2
Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1
berikut, Tabel 1 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
3.3
Alat Penelitian Floating drough (cm/dtk) Thermometer (°C) Secchi disk(%) Depth gauge(m) Handrefraktometer(o/oo) DO meter(ppm) Scuba Global Positioning System Tape recorder Kapal bermotor Alat tulis bawah air Camera underwater Roll meter (50 m) Kuisioner Buku Identifikasi Karang dan Ikan Karang (Suharsono 2008; Kuiter dan Tonozuka 2001)
Kegunaan/Keterangan mengukur kecepatan arus mengukur suhu perairan mengukur kecerahan mengukur kedalaman mengukur salinitas perairan mengukur oksigen terlarut alatpenyelaman penentuan posisi merekam data responden alat transportasi alat tulis bawah air dokumentasi gambar di bawah air pengukuran transek panduan dalam wawancara mengidentifikasi karang dan ikan karang
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian melalui observasi, survei dan wawancara langsung dengan masyarakat dan stakeholder terkait, sedangkan data sekunder merupakan jenis data yang diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansi terkait dalam bentuk laporan dan publikasi. Jenis data primer dan sekunder ditampilkan pada Tabel 2.
26
Gambar 2 Peta sampling biofisik dan sosial-ekonomi Desa Mattiro Labangeng.
27
Tabel 2 Jenis data primer dan sekunder Kebutuhan data Ekologi - Tutupan benthik - Kelimpahan spesies ikan karang dan megabentos - Kedalaman - Kecerahan - Arus - Suhu - Salinitas - Oksigen terlarut
Jenis Data
Sumber Data
primer primer
insitu insitu
primer primer primer primer primer primer
insitu insitu insitu insitu insitu insitu
Sosial-Ekonomi - Tipologi responden - Hasil tangkapan - Distribusi hasil tangkapan - Sikap - Persepsi - Partisipasi
primer/sekunder primer/sekunder primer primer primer primer
insitu dan koleksi insitu dan koleksi insitu insitu insitu insitu
Kelembagaan - Frekuensi pelaksanaan pelatihan - Partisipasi stakeholder
primer/sekunder primer
insitudan koleksi insitu
3.4
Metode Pengumpulan Data
3.4.1
Pengumpulan Data Responden Penentuan responden dilakukan secara non-probability sampling, yakni
purposive samplingdan accidental sampling (Adrianto 2005). Metode ini dipilih dengan alasan bahwa sifat penelitian spesifik untuk pengelolaan DPL, sehingga responden yang menjadi sumber data adalah responden yang terkait dengan DPL Desa Mattiro Labangeng. Penentuan jumlah responden populasi nelayan representatif digunakan dengan rumus sebagai berikut (Hutabarat et al. 2009): 2……….………………………………………………….………………………….....
Keterangan: n = jumlah contoh yang akan diukur p = proporsi kelompok yang akan diambil contoh-nya q = proporsi sisa dalam populasi contoh Z= nilai tabel Z dari 1/2α, dimana α=0.05 maka Z=1.96 b = persentase perkiraan kemungkinan kesalahan dalam menentukan ukuran contoh
(1)
28
Jumlah penduduk Desa Mattiro Labangeng adalah 1028 jiwa (BPS Kabupaten Pangkep 2009) dan sebanyak 80 orang adalah populasi nelayan yang memanfaatkan daerah terumbu karang dan sekitar perairan Desa Mattiro Labangeng. Berdasarkan hasil rumus penentuan responden populasi nelayan dalam penelitian ini adalah sebanyak 28 responden. Pengambilan responden juga diambil berdasarkan kelompok masyarakat lainnya dengan tujuan mengetahui persepsi, sikap dan partisipasi terhadap keberadaan DPL. 3.4.2
Pengumpulan Data Komponen Ekologi
3.4.2.1 Data Kualitas Perairan Parameter kualitas air yang dibutuhkan sebagai data pendukung diukur untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam tentang kondisi terkini DPL Desa Mattiro Labangeng. Parameter yang diukur diantaranya adalah kedalaman, kecerahan, arus, suhu, oksigen terlarut dan salinitas. 3.4.2.2 Data Komunitas Karang Sampling data komunitas karang dilakukan 1 (satu) kali pada Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng. Pengamatan ini dilakukan secara langsung dengan metode Point Intercept Transek (PIT). Sebelum pemasangan transek garis, terlebih dahulu menentukan keberadaan posisi transek permanen yang dipasang sebelumnya oleh LIPI sebagai pemantauan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan metode manta tow. Pada stasiun penelitian, transek garis dibentangkan sepanjang 25 meter dan diusahakan tetap berpedoman pada garis transek permanen yang ada. Pengamatan dilakukan dengan pengulangan sebanyak 2 kali dan mencatat komponen dasar komunitas karang pada tiap-tiap poin yang dilewati. Pencatatan data komunitas karang hidup dengan metode PIT dapat dilihat pada Gambar 3 (Manuputty dan Djuwariah 2009).
Gambar 3 Pencatatan data komunitas karang dengan metode PIT.
29
Biota lain dan komponen abiotik lainnya juga dicatat yang menyinggung transek garis (roll meter) (English et al. 1997). Penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan metode PIT dan kode-kodenya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3Komponen dasar metode PIT dan kodenya Kategori Dead Coral Dead Coral Alga Acropora Non Acropora Soft Coral Rubble Rock Sand Silt Alga
Kode DC DCA AC NA SC R RK S SI A
Keterangan Karang mati yang masih berwarna putih Karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga filamen Karang Acropora Karang Non-Acropora Karang bentuk lunak Patahan karang bercabang (mati) Substrat dasar yang keras (cadas) Pasir Pasir Lumpuran yang halus Jenis-jenis Makro Alga
Sumber: English et al. 1997; Manuputty dan Djuwariah 2009 3.4.2.3 Data Ikan Karang dan Megabentos Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode Underwater Visual Census (UVC), yaitu pengamatan yang dilakukan 1 (satu) kali di Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng pada transek garis permanen sepanjang 25 meter yang sebelumnya dipasang transek garis (roll meter) dengan pengulangan sebanyak 2 kali. Spesies ikan dan kelimpahannya dicatat pada 2.5 meter ke kiri dan ke kanan dari transek garis seperti yang ditampilkan pada Gambar 4 berikut (Manuputty dan Djuwariah 2009),
Gambar 4 Pengamatan ikan karang dengan metode UVC. Pengamatan ikan karang yang dilakukan pada transek garis dibiarkan selama 5 menit dengan tujuan ikan yang bersembunyi di karang pada saat pemasangan transek garis keluar dari persembunyiannya, kemudian dicatat seluruh spesies ikan yang ada. Untuk kemudahan pengamatan, spesies ikan dibagi atas tiga kelompok utama, yaitu: 1) ikan mayor, kelompok ikan ini diantaranya terdiri dari famili Pomacentridae, Labridae, Apogonidae, dan Pempheridae; 2)
30
ikan target, kelompok ikan ini merupakan ikan yang memiliki ekonomis tinggi. Kelompok ikan target yang di sensus diantaranya terdiri dari famili Serranidae (Rock Cods), Lutjanidae (Snappers), Lethrinidae (Emperors), Haemulidae (Sweetlips), dan Scaridae (Parrotfishes); dan 3) ikan indikator merupakan jenis ikan karang yang mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem tersebut, diantaranya kelompok ikan Chaetodontidae dan Chelmonidae (English et al. 1997; Manuputty dan Djuwariah 2009). Pengamatan organisme megabentos dilakukan dengan metode Reef Check Benthos, yaitu pengamatan diatas transek garis yang sama (25 meter) dengan pengulangan sebanyak 2 kali dan mencatat organisme bentos dan kelimpahannya pada lebar 1 meter ke kanan dan ke kiri dari garis transek. Megabentos yang dicatat dan diamati sepanjang transek adalah lobster, udang karang, bintang berduri, bulu babi, bulu babi berbentuk pensil, teripang, kima kecil (<20 cm), kima besar (>20 cm), lola, dan karang jamur. Mekanisme pengamatan megabentos disajikan pada Gambar 5 berikut (Manuputty dan Djuwariah 2009),
Gambar 5 Pengamatan megabentos dengan metode Reef Check Benthos. 3.4.3
Pengumpulan Data Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan Metode pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan dilakukan
beberapa tahap yakni observasi, semi-struktur wawancara dan survei (Pollnac et al. 2000). Observasi dilakukan untuk mengamati langsung aktivitas masyarakat setempat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya dan pengelolaan terumbu karang. Observasi diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan tentang aktivitas masyarakat, stakeholder, dan kultur budaya. Semi-struktur wawancara didasarkan atas pertanyaan-pertanyaan atau diskusi yang sifatnya terbuka untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang kawasan penelitian. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan informasi
31
kualitatif, identifikasi penduduk lokal dan informasi dari stakeholderstakeholder yang ada. Tahap survei merupakan kegiatan lapangan dengan menggunakan kuisioner yang telah dirancang dan terstruktur dengan baik. Pertanyaan yang akan diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan khusus terkait pengelolaan Daerah Perlindungan Laut. Kegiatan riil dilapangan pada penelitian ini adalah dengan mengunjungi semua aktifitas masyarakat terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di desa tersebut, termasuk ikut dalam penangkapan ikan di wilayah perairan desa. Wawancara terbuka dan kuisioner dilakukan dari rumah ke rumah hingga mengumpulkan beberapa nelayan dan stakeholder di kantor desa guna mencari informasi tentang keberadaan DPL. 3.5
Analisis Data
3.5.1
Analisis Data Ekologi
3.5.1.1 Persentase Tutupan Karang Persentase penutupan karang dihitung berdasarkan metode panduan PIT (Manuputty dan Djuwariah 2009) sebagai berikut: ........................................................................ (2) Keterangan: C = Persen tutupan karang Ni = Jumlah tiap komponen N = Total komponen Kriteria persentase penutupan karang hidup berdasarkan Gomez dan Yap (1988) adalah kriteria buruk dengan kisaran 0.0% - 24.9%; kriteria sedang pada kisaran 25% - 49.9%; kriteria baik dengan kisaran 50% -74.9%; dan kriteria sangat baik dengan kisaran 75% - 100%. 3.5.1.2 Kelimpahan Ikan Karang dan Megabentos Kelimpahan jenis ikan karang dan megabentos dapat dihitung dengan menggunakan rumus Brower et al. (1990) berikut: …………………………………………………………………… (3)
32
Keterangan:
Ni = Kelimpahan ikan atau megabentos (individu/m2) nij = Jumlah total individu dari spesies ke-i A = Luas total daerah pengambilan contoh (m2)
Penentuan kriteria kelimpahan ikan karang di Daerah Perlindungan Laut (DPL) menurut COREMAP II didasarkan pada kelimpahan ikan karang kelompok Ikan Target (Manuputty dan Djuwariah 2009). Kelompok Ikan Target dapat dikategorikan sebagai berikut: “Sedikit” apabila jumlah individu Ikan Target sepanjang transek <25 ekor, “Sedang” apabila jumlah individu Ikan Target sepanjang transek >25-50 ekor, “Banyak” apabila jumlah individu Ikan Target sepanjang transek >50 ekor. 3.5.1.3 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Komunitas Ikan Karang dan Megabentos a. Indeks Keanekaragaman Indeks Keanekaragaman Shannon (H‟) didapatkan berdasarkan rumus Ludwig dan Reynolds (1988), Magurran (2004) di bawah ini: …………………………………………………………. (4) dimana nilai pi diperoleh dengan menggunakan rumus: ………………………………………………………………………….. (5) Keterangan:
H' s pi ni N ln
= Indeks keanekaragaman Shannon = Jumlah jenis = Proporsi jumlah individu ke-i (n/N) = Banyaknya individu spesies ke-i = Total individu seluruh spesies = Log natural
b. Indeks Keseragaman Rasio keanekaragaman hasil pengamatan terhadap keanekaragaman maksimum disebut sebagai ukuran keseragaman, dengan rumus sebagai berikut (Magurran 2004):
H'
…………………………………………………………………….
(6)
33
Keterangan:
E
= Indeks keseragaman
= Indeks keanekaragaman Shannon H' Hmaks = Keanekaragaman maksimum 3.5.2
Analisis Data Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan
3.5.2.1 Analisis Deskriftif-Kualitatif Analisis ini digunakan untuk memaparkan data yang relevan terhadap keefektifan Daerah Perlindungan Laut yang telah diterapkan. Data dianalisis dengan perhitungan sederhana, yakni perhitungan dalam bentuk indeks, total penjumlahan dan persentase dari beberapa indikator yang ada. Hasil dari perhitungan ini digambarkan dalam bentuk grafik yakni pie charts, tabel, dan diagram. Perbandingan juga dilakukan pada beberapa indikator untuk melihat perbedaan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan DPL yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Data kuantitatif ini juga dibandingkan dengan data sekunder yang dikumpulkan dari instansi-instansi terkait untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan mencegah adanya bias data (Pollnac et al. 2000). 3.5.2.2 Analisis Gini RatioIndeks Gini Ratio Indeks (GRI) yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk melihat distribusi pendapatan. Data yang dibutuhkan dalam indeks ini adalah jumlah rumahtangga atau responden dan rata-rata pendapatan atau pengeluaran rumahtangga yang sudah dikelompokkan menurut kelasnya. Rumus untuk menghitung Gini Ratio Indeks (Putong 2010) sebagai berikut: ……………………………………………… (7) Keterangan: GRI = Gini Ratio Indeks fi = Frekuensi responden dalam kelas pendapatan ke-i Fci = Frekuensi kumulatif dari total pendapatan dalam kelas pendapatan ke-i Fci-1 = Frekuensi kumulatif dari total pendapatan dalam kelaspendapatan ke (i-1) Nilai Gini Ratio Indeks berkisar antara 0 dan 1, bila GRI = 0, maka distribusi pendapatan merata mutlak sedangkan bila GRI = 1, maka distribusi pendapatan tidak merata mutlak (sangat timpang). Menurut kriteria H.T Oshima (Suseno 1997 in Putong 2010), nilai GRI terbagi dalam:
34
GRI< 0.3→ distribusi pendapatan relatif merata (ketimpangan rendah) 0.3 ≤ GRI ≤ 0.4→ distribusi pendapatan relatif sedang (ketimpangan sedang) GRI> 0.5 → distribusi pendapatan relatif tinggi (ketimpangan tinggi). 3.5.2.3 Metode Effect on Production Metode Effect on Production (EOP) ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang. Metode ini merupakan pendekatan produktifitas yang memandang sumberdaya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas dan kapasitas produksi dari sumberdaya alam tersebut dinilai dari seberapa besar kontribusi sumberdaya alam tersebut kepada produksi final (Grigalunas dan Congar 1995 in Adrianto 2006). Dalam hal ini, luas kawasan perairan Desa Mattiro Labangeng menjadi input bagi produktifitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat. Adapun langkah-langkah pendekatan EOP (Barton 1994 in Adrianto 2006) yang dihitung dengan perangkat lunak MAPLE 9.5, sebagai berikut: 1. Pendugaan fungsi permintaan ………………………………………………………. (8) Keterangan: Q = Jumlah sumberdaya yang diminta (ikan, udang, kepiting) X1 = Harga X2, X3,..Xn = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga 2. Transformasi intersep baru fungsi permintaan (persamaan 1) …….........................……........ (9) ……….............…...... (10) ………...………………………………..………..……… (11) 3. Transformasi fungsi permintaan (persamaan 4) ke fungsi permintaan asal ………………………….....……………………………………… (12) 4. Menduga total kesediaan membayar (Nilai Ekonomi Sumberdaya) ………………………………………………………………. (13)
35
Keterangan : U = Utilitas terhadap sumberdaya a = Batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta f(Q) = Fungsi permintaan 5. Menduga konsumen surplus ……...……………………..……………………………………. (14) ………………………………………………...…………….…... (15) Keterangan : CS = Konsumen surplus Pt = Harga yang dibayarkan = Rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta X1 = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta 6. Menduga Total Nilai Ekonomi Sumberdaya ………………………………..……………………………..... (16) Keterangan : NET CS N L
= Nilai ekonomi total = Konsumen surplus = Jumlah nelayan = Luas lahan
3.5.2.4 Metode Likert’s Summeted Rating Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat terhadap keberadaan program Daerah Perlindungan Laut, khususnya ekosistem terumbu karang. Penyusunan metode Likert’s Summeted Rating, dapat ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut (Somantri dan Sambas 2006): a. Penentuan sikap terhadap topik apa yang akan diukur. b. Menyusun pernyataan yang merupakan alat pengukur dimensi yang menyusun sikap yang diukur. c. Setiap item diberi pilihan respon. d. Penentuan skor maksimal dan minimal yang mungkin dicapai oleh setiap responden. Penentuan skor maksimal yaitu skor jawaban terbesar dikali
36
e. banyak item dan penentuan skor minimal yaitu skor jawaban terkecil dikali banyak item pernyataan. f. Menentukan nilai median, nilai kuartil 1, dan nilai kuartil 3. g. Penentuan skala yang menggambarkan skor minimal, nilai kuartil satu, nilai median, nilai kuartil ketiga, dan skor maksimal. h. Penentuan range skor dari keempat kategori sikap. 3.5.3 Analisis Efektivitas Daerah Perlindungan Laut Evaluasi pada dasarnya adalah sebuah kegiatan untuk menguji apakah sistem yang diuji bergerak sesuai dengan rencana tujuan atau tidak. Untuk itu diperlukan sebuah set metodologi evaluasi yang dikembangkan secara partisipatif sesuai dengan kondisi lokal (Adrianto 2007). Selain itu, evaluasi juga digunakan untuk menilai tingkat keberlanjutan dan tingkat pengelolaan DPL, guna memberikan gambaran efektivitas pengelolaan sumberdaya tersebut, sehingga tujuan dan sasaran DPL yang ditetapkan dapat tercapai. 3.5.3.1 Penentuan Indikator EfektivitasTerpilih Berdasarkan Stakeholder Penentuan indikator efektivitas terpilih dalam evaluasi pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng merupakan indikator efektivitas yang ada pada International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam Pomeroy et al. (2004) yang ditawarkan kepada stakeholder. Untuk menentukan indikator efektivitas terpilih initerlebih dahulu dilakukan tahap analisis stakeholder (Grimble dan Chan 1995), dalam hal ini penentuan stakeholder yang memiliki kepentingan dan berpengaruh dalam memutuskan pengelolaan DPL. Langkahlangkah yang dilakukan dalam analisis stakeholder, yaitu 1) identifikasi stakeholder, metode untuk mengidentifikasi para stakeholder adalah dengan menggunakan metode kontinum dari stakeholder level makro ke level mikro. Misalnya, stakeholder di lokasi ini yang terlibat adalah stakeholder nasional (Pusat) dan lokal (Kabupaten dan Desa), 2) mengkategorikan stakeholder dalam kelompok prioritas, keterlibatan pemangku kepentingan berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh merekaterhadap proses pengambilan keputusan, dan 3) mekanisme participatif dari beberapa kelompok stakeholder melalui wawancara dan pengisian kuisioner.
37
Penentuan indikator terpilih yang didapatkan dari stakeholder dilakukan dengan cara pemberian bobot tiap-tiap indikator. Pembobotan dilakukan dengan berdasarkan skala Likert’s, dimana bobot yang diberikan adalah 3 untuk kategori sangat penting, bobot 2 untuk kategori penting dan bobot 1 untuk kategori yang kurang penting. Untuk menentukan indikator terpilih dari masing-masing kriteria adalah dengan memilih rata-rata bobot indikator yang paling tertinggi. Penentuan indikator efektivitas terpilih dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang ditawarkan kepada stakeholder beserta nilai kritisnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut, Tabel 4 Kriteria dan nilai ambang batas kritis (Critical Threshold Value/CTV) untuk indikator yang ditawarkan Kriteria
Indikator yang Ditawarkan
Ekologi
a. Kondisi tutupan karang b. Kelimpahan Ikan Target c. Kondisi kualitas perairan
SosialEkonomi
d. Produksi perikanan tangkap e. Ketersediaan pasar f. Pendapatan
g. Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang h. Tingkat persepsi masyarakat i. Tingkat sikap masyarakat j. Tingkat partisipasi masyarakat Kelembagaan k. Tingkat Partisipasi Stakeholder l. Jumlah pelatihan stakeholder
Critical Threshold Value (CTV) > 25% (Gomez dan Yap 1988) > 25 ekor (Manuputty dan Djuwariah 2009) Baku mutu kualitas air untuk terumbu karang (Kepmen LH 04 tahun 2001) MSY 1 (Modifikasi Pomeroy et al. 2004) Rp 4.320.000 (Upah Minimum Kabupaten/UMK) Rp 225.000.000/ha/thn (Modifikasi Munro (1984) in Cesar (1996)) 25%(Modifikasi Pomeroy et al. 2004) 25% (Modifikasi Pomeroy et al. 2004) 25% (Modifikasi Pomeroy et al. 2004) 25% (Modifikasi Pomeroy et al. 2004) 1 (Modifikasi Pomeroy et al. 2004)
3.5.3.2 Evaluasi Efektivitas Daerah Perlindungan Laut Gambaran efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng digunakan analisis terhadap beberapa indikator dengan menggunakan teknik Amoeba. Teknik Amoeba diperoleh dari nilai setiap pengukuran indikator yang sudah dibandingkan dengan CTV (Critical Threshold Value). CTV merupakan nilai kritis atau nilai ideal dari setiap indikator yang terpilih. Dalam penelitian ini nilai CTV diambil dari data sekunder yang terdapat dalam literatur dan hasil penelitian para ahli terdahulu. Masing-masing nilai indikator memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap CTV, dimana setiap indikator dari setiap kriteria memiliki konsekuensi positif terhadap CTV. Semakin besar jarak nilai riil (saat ini) dari nilai kritisnya maka semakin baik keragaan indikator tersebut (Adrianto 2007). Hasil
38
pengukuran terhadap indikator disajikan dalam bentuk diagram layang-layang Amoeba. Diagram yang terbentuk merupakan gambaran efektivitas pengelolaan sumberdaya berdasarkan tinjauan dari aspek ekologi, sosial-ekonomi dan kelembagaan. 3.5.3.3 Analisis Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL Tingkat efektivitas (degree of efectiveness) DPL Desa Mattiro Labangeng dinilai berdasarkan setiap tingkat (indeks) dari indikator-indikator terpilih. Tingkatan tersebut disusun dari 0 hingga 3 dan ditetapkan tingkat efektivitasnya menggunakan kelas persentase 0-100% yang menunjukkan tingkatan tidak efektif hingga
sangat
efektif.Pembobotan
masing-masing
indikator
ditetapkan
berdasarkan analisis stakeholder dengan total nilai bobot adalah 100 menggunakan rumus sebagai berikut (Carter et al. 2011): .............................................................................. (17) Keterangan: N = Bobot indikator Sci = Skor indikator i Sc = Skor total dari seluruh indikator Tingkatan (indeks) efektivitas pengelolaan DPL masing-masing indikator tersaji pada Tabel 5 berikut, Tabel 5 Matriks tingkat efektivitas pengelolaan DPL berdasarkan indikator yang ditawarkan Kriteria Ekologi
SosialEkonomi
Kelembagaan
Indikator yang Ditawarkan a. Kondisi tutupan karang hidup (%) b. Kelimpahan ikan target (Individu/125m2) c. Kondisi kualitas perairan d. Produksi perikanan tangkap (ton/tahun) e. Ketersediaan pasar (unit) f. Pendapatan (Rp ribu/tahun) g. Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang(Rp juta/ha/tahun) h. Persepsi masyarakat (%) i. Sikap masyarakat (%) j. Partisipasi masyarakat (%) k.Tingkatpartisipasi bagi stakeholder (%) l. Jumlah pelatihan stakeholder (Jumlah/tahun)
(Sumber: Pomeroy et al. 2004)
Skor 0
1
2
3
39
Tingkat (indeks) efektivitas pengelolaan DPL pada penelitian ini dianalisis menggunakan rumus sebagai berikut (Carter et al. 2011): ……………………………………………………………………..(18) Keterangan: IEP Ni Nmax
= Indeks efektivitas pengelolaan DPL = Nilai indikator ke-i (bobot x skor) = Nilai maksimum seluruh indikator
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan tingkat (indeks) efektivitas pengelolaan DPL sebagai berikut: 0 - 25 % >25 – 50 % >50 – 75 % >75 – 100 %
: Sangat tidak efektif : Tidak efektif : Efektif : Sangat efektif
40
41
4 SISTEM SOSIAL-EKOLOGIS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA MATTIRO LABANGENG
4.1
Kondisi Umum Desa Mattiro Labangeng
4.1.1
Letak Geografis dan Administrasi Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkep secara geografis terletak
antara 04°48‟13.2”- 04°50‟53.9” LS dan 119°23‟45.0”- 119°26‟38.3” BT. Desa ini secara administrasi termasuk dalam wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Desa ini terdiri dari dua pulau, yakni Pulau Laiya dan Pulau Polewali, dimana kedua pulau ini semua berpenghuni. Pulau Laiya merupakan pusat pemerintahan dari Desa Mattiro Labangeng. Desa Mattiro Labangeng memiliki batas-batas wilayah yakni sebelah utara berbatasan dengan Desa Mattiro Uleng, sebelah barat berbatasan dengan Desa Mattiro Dolangeng, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Mattiro Bulu dan sebelah timur berbatasan dengan pesisir ibukota Kabupaten Pangkep. Batas wilayah desa ini ditunjukkan pada Gambar 6. Desa Mattiro Labangeng memiliki luas total daratan pulau 6.54 ha dan luas hamparan terumbu karang 36.45 ha. Daratan Pulau Laiya memiliki luas 5.26 ha dan paparan terumbunya seluas 34.41 sedangkan daratan Pulau Polewali memiliki luas 1.28 ha dan luas paparan terumbu 2.04 ha. Desa Mattiro Labangeng dapat dijangkau dengan transportasi laut dari Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar. Pulau Laiya sebagai ibu kota dari desa Mattiro Labangeng dapat diakses dengan menggunakan perahu penumpang dari kota Pangkep dengan waktu tempuh kurang lebih 1.5 jam. 4.1.2
Penutupan Lahan Desa Mattiro Labangeng (Pulau Laiya dan Polewali) ditumbuhi oleh
berbagai jenis pohon yang rimbun, di antaranya pohon sukun, mangga, kelor, asam dan pohon kelapa.Walau kedua pulau ini pohonnya rindang namun sumber air tawar tidak ada, kondisi airnya payau sehingga hanya digunakan untuk mandi dan mencuci saja.Sedangkan untuk kebutuhan air minum harus didatangkan dari pulau tetangga atau dari daratan utama Pulau Sulawesi (Kabupaten Pangkajene Kepulauan).
42
Gambar 6 Peta administrasi Desa Mattiro Labangeng.
43
4.1.3
Pemanfaatan Sumberdaya Laut Penangkapan ikan merupakan kegiatan utama warga yang berada di sekitar
pulau hingga ke pesisir Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Hasil tangkapan tidak saja untuk dikonsumsi tetapi juga dijual kepada pengumpul yang ada di pulau atau kepada industri yang ada di Kabupaten Pangkep maupun di Kota Makassar. Pemanfaatan sumberdaya laut berdasarkan penelusuran sejarah masyarakat Desa Mattiro Labangeng dapat dilihat pada Tabel 6 (COREMAP IIPPTK UNHAS 2006). Tabel 6 Sejarah pemanfaatan sumberdaya laut Desa Mattiro Labangeng, Kecamatan LiukangTupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep Tahun
Uraian/Peristiwa
1960-1965
Daerah penangkapan hanya disekitar pulau masing-masing, alat tangkap yang digunakan berupa jala. Sementara sebagian masyarakat Pulau Polewali mencari teripang di sekitar wilayah perairan dekat pulau yang saat itu masih melimpah
1965-1970
Sebagian nelayan beralih membuat alat tangkap berupa bagan tancap yang dipasang di dekat pulau dan menggunakan bagang rakit, yaitu jaring yang diangkat secara vertikal dengan menggunakan 2 buah bodi kapal sebagai penopang konstruksi bagang.
1970-1975
Bagan rakit berubah menjadi bagang rambo dengan menggunakan kapal tunggal yang berukuran besar dan sudah menggunakan mesin generator untuk pencahayaan.
1975-1980
Masyarakat Pulau Polewali umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan, sementara di Pulau Laiya masyarakat selain berprofesi sebagai nelayan juga banyak yang beralih profesi sebagai pedagang kayu dan pelaut.
1980-1990
Pada tahun 1980-an di Pulau Laiya, mulai muncul dan berkembang penangkapan ikan hidup dengan alat tangkap pancing tarik atau “kedo-kedo”, yaitu cara memancing dengan kawat sebagai tali penghantar dan umpan palsu menyerupai ikan, dioperasikan dengan cara ditonda (diseret dengan perahu). Pada era ini masyarakat di kedua pulau mulai membuat “jolloro” yang merupakan sarana transportasi masyarakat. Hadirnya penangkapan ikan hidup memicu maraknya penangkapan ikan hidup secara ilegal (bius) bagi masyarakat Pulau Polewali.
1990-sekarang
Penggunaan alat tangkap trawl mini sudah mulai digunakan, masyarakat mengenal alat ini dari Kalimantan dan dimodifikasi di pulau ini yang lebih kecil. Keberadaan alat tangkap ini sebenarnya illegal, namun di beberapa nelayan masih ditemukan izin penggunaannya. Seiring dengan pasca kenaikan BBM penggunaan trawl mini cenderung menurun karena biaya operasionalnya tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan. Belakangan ini masyarakat Pulau Laiya mulai menggunakan alat pancing cumi-cumi, terutama sejak adanya dukungan pemerintah daerah, yang sekarang berkembang menjadi penangkapan ikan dengan sistem ”rawai” dan masyarakat Pulau Polewali kebanyakan menggunakan alat tangkap kepiting dengan sistem perangkap atau “rakkang”.
44
4.2
Kondisi Sistem Ekologi DPLDesa Mattiro Labangeng
4.2.1
Kondisi Terumbu Karang Memasuki phase II program COREMAP di Kabupaten Pangkep, beberapa
pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan oleh kerjasama pihak terkait diantaranya pihak COREMAP II-PPTK UNHAS Makassar, COREMAP II-LIPI Jakarta. Pengamatan ini dilakukan di perairan pulau-pulau yang ada di Kabupaten Pangkep termasuk Pulau Laiya dan Pulau Polewali Desa Mattiro Labangeng. Penyebaran terumbu karang di Desa Mattiro Labangeng cukup luas sepanjang sisi selatan menuju ke barat, hingga ke utara Pulau Laiya. Berdasarkan data COREMAP II-PPTK UNHAS (2006) dilaporkan kondisi karang pada tahun 2005 tergolong rusak dengan persentase tutupan karang hidup 20%. Sementara pengamatan yang dilakukan COREMAP II-LIPI Jakarta pada tahun 2008, dilaporkan kondisi terumbu karang pada areal DPL didapatkan kondisi persentase tutupan karang hidup sebesar 32 % dan termasuk kategori sedang. 4.2.2
Kondisi Perairan Berdasarkan data penelitian tingkat kabupaten LEMSA (2007), kondisi
perairan meliputi suhu permukaan perairan berkisar 30-31 C, dengan salinitas antara 34-35‰, pH perairan 8.1-8.4 dan kandungan rata-rata TSS perairan 343.3
8 ppm. Kecerahan perairan berkisar antara 54.5-100% dan kecepatan arus
rata-rata 0.04 0.15 m/det dengan arah umumnya ke timur sedangkan arus kuat terjadi di daerah selatan mengarah ke timur. Kadar oksigen terlarut perairan berkisar antara 5.44-6.24 ppm. Kadar nutrien Nitrat 0.06-0.37 ppm, Nitrit 0.0140.026 ppm, Amoniak 0.043-0.045 ppm, Phosphat 0.038-0.326 ppm dan kandungan rata-rata klorofil-a 0.0011
0.007 ppm.
4.3
Kondisi Sistem Sosial-Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Mattiro Labangeng
4.3.1
Kependudukan Penduduk Desa Mattiro Labangeng berjumlah 1028 jiwa yang terdiri dari
laki-laki sebanyak 455 jiwa dan perempuan 573 jiwa. Jumlah penduduk di Pulau Laiya sebanyak 862 jiwa sedangkan di Pulau Polewali sebanyak 166 jiwa (Profil
45
Desa Mattiro Labangeng 2009). Persentase komposisi penduduk Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Gambar 7 berikut,
44.26% 55.74%
Laki-Laki Perempuan
Gambar 7 Komposisi penduduk Desa Mattiro Labangeng. 4.3.2 Umur Umur merupakan salah satu indikator yang ikut mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu. Umur merupakan faktor karakteristik individu berupa kondisi biologis yang berlangsung semasa hidup dan bertambah sejalan dengan perjalanan hidup. Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 responden di lokasi penelitian menunjukkan bahwa struktur umur berkisar antara 18-71 tahun, dimana usia responden di Pulau Laiya berkisar 20-71 sementara di Pulau Polewali berkisar 18-53 tahun. Umur responden yang paling banyak berada pada kisaran umur antara 31-40 tahun, persentase umur responden pada kisaran umur di bawah 20 tahun sebesar 6.67%, pada kisaran umur antara 21-30 sebesar 23.33%, kisaran umur 31-40 sebesar 40%, kisaran umur 41-50 sebesar 16.67%, dan kisaran umur 51-60 sebesar 6.67%. Kisaran umur ditampilkan pada Gambar 8 berikut, 6.67%
6.67% < 20
6.67%
21-30
23.33%
16.67%
31-40
41-50 51-60 40%
>60
Gambar 8 Persentase kisaran umur responden.
46
4.3.3 Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat di desa ini umumnya masih rendah namun semangat
tentang arti
penting pendidikan
sudah
mulai
disadari
oleh
masyarakat.Ini terbukti dengan terdapat sekolah dasar di desa ini, selain itu anakanak mereka sudah banyak yang melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi walaupun pada dasarnya masih menganggap bahwa ijasah identik dengan bekerja sebagai pegawai negeri. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa tingkat pendidikan responden tergolong sangat rendah. Hal ini dilihat sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), dan hanya terdapat 3 orang dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 1 orang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Adapun yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) ada 4 responden, lebih jelasnya jumlah tingkat pendidikan responden di Desa Mattiro Labangeng disajikan pada Tabel 7berikut ini, Tabel 7 Tingkat pendidikan responden Desa Mattiro Labangeng Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Tidak Tamat Sekolah Total 4.3.4
Jumlah 22 1 3 4 30
% 73.33 3.33 10.00 13.33 100
Sosial Budaya Penduduk Desa Mattiro Labangeng didominasi oleh etnik Bugis
Makassar.Didalam interaksi sosialnya khususnya etnik bugis dan makassar berjalan harmonis dan dinamis yang ditandai dengan penggunaan bahasa bugis dan bahasa makassar sebagai bahasa komunikasi sehari-hari oleh penduduk setempat. Kondisi sosial masyarakat di desa ini juga terdapat strata sosial yang ditentukan oleh nilai ketokohan seseorang, kekayaan, garis keturunan dan posisi dalam institusi sosial dan pemerintah. Status sosial ini banyak berpengaruh dalam banyak hal termasuk dalam proses memutuskan suatu perkara (urusan politik, urusan adat-istiadat). Mayoritas masyarakat menyerahkan sepenuhnya berbagai macam urusan termasuk urusan keluarga kepada para elit desa (masyarakat yang memiliki strata sosial yang tinggi).
47
4.4
Pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng
4.4.1
Penetapan dan Batasan Daerah Perlindungan Laut Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng ditetapkan melalui
Peraturan Desa (PERDES) Nomor: 1 Tahun 2007, tentang Aturan Pelaksanaan Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu Desa Mattiro Labangeng Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara Kabupaten Pangkep. Luas DPL Desa Mattiro Labangeng adalah 3.27 ha, yang ditandai 4 (empat) buah pelampung. Titik koordinat pelampung dapat dilihat pada Tabel 8 berikut, Tabel 8 Titik koordinat masing-masing pelampung DPL Desa Mattiro Labangeng DPL
Titik Pelampung
Desa Mattiro Labangeng
1
4° 48‟ 47.2”
119° 25‟ 7.8”
2
4° 48‟ 45.1”
119° 25„10.9”
3
4° 48„52.9”
119°25„15.6”
4
4° 48„54.8”
119°25„12.7”
Posisi LS
BT
Keterangan (ha) Luas 3.27
Sumber: Peraturan desa (Perdes) DPL 2007 4.4.2
Struktur Pengelola Daerah Perlindungan Laut Pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng dilakukan oleh seluruh
masyarakat selaku pengambil keputusan di desa.Namun pada dasarnya prosesproses pelaksanaan dan pembangunan di desa merupakan wewenang kepala desa dan aparat desa bersama dengan Badan Perwakilan Desa (BPD). Struktur organisasi pengelola DPL pada hakekatnya merupakan struktur hirarki fungsional atau hubungan tugas, wewenang dan tanggungjawab dari parapelaku pengelola DPL dalam rangka pelaksanaan program.Agar struktur dapat berjalan dengan baik maka perlu adanya dukungan kemampuan berkomunikasi dan koordinasi dari pelaku yang ada. Pelaku pengelola DPL di tingkat desa merupakan pelaku-pelaku yang berkedudukan dan memiliki wilayah kerja di desa dan mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Para pelaku pengelola DPL di desa meliputi Kepala Desa dan BPD, Fasilitator Masyarakat, Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK), Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan Motivator Desa (MD). Kelembagaan dan hubungan kerja pengelola DPL Desa Mattiro Labangeng dapat dilihat pada Gambar 9 (COREMAP II 2007).
48
SETO
CAMAT
BPD
PEMDES FM LPST K MD
Pokmas Bidang Usaha dan Produksi
Pokmas Bidang Perempuan/Gender
Pokmas Bidang Konservasi
Gambar 9 Struktur organisasi dan hubungan kerja pengelola DPL Desa Mattiro Labangeng. 4.4.3
Visi dan Misi Daerah Perlindungan Laut Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng
memfokuskan pada pengelolaan yang berkelanjutan dengan mendasarkan pada visi
yakni
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan pengelolaan
sumberdaya laut danterumbu karang yang lestari serta berkelanjutan dan untuk mewujudkan visi tersebut maka misi yang diemban adalah: Kesadaran masyarakat meningkat untuk melestarikan lingkungan hidup, khususnya terumbu karang; Taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat meningkat melalui pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan; Keterampilan masyarakat meningkat dalam melakukan kegiatan mata pencaharian alternatif atau sampingan; Pendidikan masyarakat meningkat ke jenjang lebih tinggi dengan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan; Tersedianya sarana prasarana dasar untuk mendukung pembangunan sosial; Terjadi peningkatan kinerja dan kapasitas lembaga desa dalam menjalankan fungsi-fungsi
pelayanan
terhadap
masyarakat.
49
4.4.4
Larangan di Kawasan Daerah Perlindungan Laut Berdasarkan Peraturan Desa (Perdes), kegiatan yang dilarang dilakukan di
areal DPL adalah 1) Pengguna dilarang melakukan kegiatan apapun dalam areal perlindungan laut kecuali setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Desa dan BPD, 2) Segala macam bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang tidak boleh dilakukan. Kegiatan tersebut adalah pengeboman,
pembiusan,
penambangan
karang,
pembuangan
limbah
rumahtangga, industri dan kapal, pembangunan sarana wisata permanen dan reklamasi pantai, 3) Setiap penduduk atau pihak luar dilarang menggunakan alat tangkap yang tidak diperbolehkan dalam wilayah perairan Desa Mattiro Labangeng. 4.4.5
Sanksi Pelanggaran Sanksi pelanggaran yang diberikan bagi pelanggar antara lain: 1) Apabila
pengguna baik masyarakat lokal maupun pendatang melakukan pelanggaran baik dengan sengaja maupun tidak pada wilayah pemanfaatan Desa Mattiro Labangeng, dikenakan sanksi tingkat pertama berupa peneguran sebanyak 3 (tiga) kali secara lisan dan tertulis dengan denda biaya administrasi yang besarnya diatur dalam peraturan desa, 2) Apabila pengguna baik masyarakat lokal maupun pendatang melakukan kegiatan yang merusak dan berulang akan dikenakan sanksi II (tingkat ke-dua) ditambah dengan biaya administrasi yang besarnya diatur dalam peraturan desa, 3) Apabila pengguna baik masyarakat lokal maupun pengguna dari luar melakukan pelanggaran tiga kali berturut-turut akan dikenakan sanksi III (tingkat ke-tiga), didenda berupa biaya administrasi yang besarnya diatur dalam peraturan desa, dan ditambah dengan semua hasil tangkapan dilepas ke habitatnya atau dimanfaatkan kembali oleh masyarakat desa. Selanjutnya, diproses sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia dan pengguna tersebut tidak diperkenankan kembali melakukan aktifitas perikanan dalam wilayah Desa Mattiro Labangeng dan sekitarnya. 4.4.6
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi adalah kegiatan penilaian terhadap pelaksanaan
pengelolaan terumbu karang. Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan
50
secara berkala. Adapun tujuan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yaitu 1) untuk melihat sejauh mana pengelolaan terumbu karang sudah dilaksanakan, 2) untuk melihat kelemahan dan kekurangan dari pengelolaan terumbu karang dan untuk mengadakan perbaikan selanjutnya, 3) untuk melihat efektivitas dari kegiatan yang dipilih dan dilaksanakan, 4) untuk melihat sejauh mana tujuan telah tercapai, apakah keinginan masyarakat telah terpenuhi, 5) untuk menjadikan proses kegiatan ini sebagai proses pembelajaran bagi masyarakat. Indikator monitoring dan evaluasi digunakan untuk menilai dan mengukur keberhasilan isu program yang dilaksanakan, yaitu dengan melihat kondisi atau keadaan yang diharapkan dapat tercapai. Beberapa aspek yang menjadi penilaian evaluasi disesuaikan dengan rencana pengelolaan yang telah disepakati oleh pemerintah desa dan masyarakat yaitu kegiatan-kegiatan fisik dan nonfisik, dampak yang ditimbulkan dari program kegiatan, pengelolaan keuangan dan mobilitas dari proses kegiatan.
51
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Evaluasi Indikator Ekologi
5.1.1
Kondisi Tutupan Karang Hidup Pengamatan kondisi terumbu karang difokuskan di Daerah Perlindungan
Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng. Pada saat pengamatan kondisi perairan cukup jernih dimana kedalaman lokasi penelitian berkisar 6-7 meter dengan kekuatan arus relatif kuat. Pengamatan berlangsung ± 3 jam disebabkan pencarian transek permanen yang telah dipasang oleh LIPI untuk meletakkan transek garis (roll meter) diatasnya. Formasi yang terlihat pada komunitas terumbu karang, tersusun atas penutupan oleh beberapa komponen yakni karang hidup (hard coral), soft coral, karang mati, alga, biotik lainnya (sponge dan gastropoda), dan komponen biotik (patahan karang dan pasir). Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan persentase penutupan karang hidup di DPL Desa Mattiro Labangeng termasuk kategori “Sedang”. Hal ini karena didapatkan persentase karang hidup (hardcoral) sebesar 36%, sementara persentase penutupan bentik yang lain diantaranya adalah softcoral 3%, sponge sebesar 25%, dan komponen dead coral alga (DCA) yakni 12%, selain itu didapatkan komponen Alga sebesar 3%. Hasil pengamatan komponen dan persentase tutupan bentik disajikan pada Lampiran 1 dan Gambar 10. 3% 2%
HC SC
9%
SP 36%
RB
12%
S DCA
9%
DC 1%
25% 3%
OT A
Gambar 10 Persentase tutupan komponen bentik.
52
Pengamatan juga dilakukan pada tahun sebelumnya yakni pada saat sebelum adanya penetapan DPL tahun 2005 oleh PPTK-UNHAS dan pemasangan transek permanen tahun 2008 oleh LIPI. Hasil pengamatan tutupan karang hidup pada tahun 2005 dan 2008 ini menunjukkan adanya kenaikan persentase karang hidup, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 11(COREMAP II-PPTK UNHAS2006; COREMAP II-LIPI 2008; Studi ini 2010). 40 35 30 25
2005
20
2008
15
2010
10 5 0 2005
2008
2010
Gambar 11 Persentase tutupan karang hidup tahun 2005, 2008 dan 2010. Berdasarkan gambar diatas persentase tutupan karang hidup mengalami kenaikan sebesar 6% yakni dari 20% pada tahun 2005 menjadi 26% pada tahun 2008. Kenaikan ini diduga karena adanya penetapan DPL pada sebagian perairan Desa Mattiro Labangeng sehingga aktivitas penangkapan ikan yang secara tidak langsung bisa merusak terumbu karang tidak dilakukan lagi oleh masyarakat setempat. Kenaikan tutupan karang ini semakin bertambah dengan adanya penandaan DPL berupa pelampung pada tahun 2008, dimana penandaan ini dimaksudkan sebagai informasi bagi nelayan Desa Mattiro Labangeng dan nelayan desa lainnya untuk tidak melakukan segala aktivitas perikanan di areal DPL tersebut, sehingga organisme yang ada di areal DPL dapat melakukan recovery maupun berkembang biak. Kenaikan tutupan karang ini terus berlangsung pada pengamatan tahun 2010, hal ini ditunjukkan adanya kenaikan persentase kondisi tutupan karang hidup, yakni dari 26% pada tahun 2008 menjadi 36% pada tahun 2010. Kenaikan ini juga diikuti dengan menurunnya komponen penutupan bentik Dead Coral Alga
53
(DCA) dan pecahan karang (Tabel 9). Selain itu kenaikan tutupan karang pada DPL Desa Mattiro Labangeng dalam kurun waktu 5 tahun dapat terlihat karena selain ditetapkannnya sebagai areal perlindungan, areal DPL ini juga diatur sebagai daerah “larang ambil” atau tertutup secara permanen dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif (pengambilan). Hasil yang sama dapat dilihat pada penelitian Christie et al. (2002), menunjukkan adanya peningkatan tutupan karang (hard coral cover) pada daerah yang dilindungi secara permanen, tutupan karang ini meningkat 20 sampai 46% selama periode 1984-1999. Tabel 9 Persentase penutupan bentik tahun 2008 dan 2010 Persentase Tutupan Komponen Bentik 2008* 2010** Hardcoral HC 26 36 Softcoral SC 0 3 Sponge SP 22 25 Rubble RB 4 1 Sand S 10 9 Dead coral alga DCA 28 12 Dead coral DC 0 2 Other OT 8 9 Alga A 0 3 Silt Si 2 0 Keterangan: * : COREMAP II-LIPI (2008); ** : Studi ini (2010) Kode
Kategori
Pengamatan pada tahun 2008 dan 2010 mengindikasikan adanya pertumbuhan organisme alga dari0% (2008) menjadi 3% (2010) dengan jenis alga yang ditemukan berupa Halimeda dan Turbinaria. Keberadaan alga yang tumbuh di DPL ini diduga karena Desa Mattiro Labangeng merupakan zona dalam yang berbatasan langsung dengan pesisir Kabupaten Pangkep, sehingga pengaruh dari daratan (run-off) Kabupaten Pangkep dapat mempengaruhi perairan desa ini khususnya daerah perlindungan laut (DPL). Hal ini sesuai dengan McCook (2001) yang menyatakan bahwa keberadaan makroalga pada ekosistem terumbu karang yang terdegradasi merupakan akibat dari pengkayaan nutrient dan sedimentasi dari terrestrial run-off. Tingginya aktifitas run-off dari daratan ke perairan Desa Mattiro Labangeng biasanya terjadi pada musim barat hal ini terkait dengan curah hujan yang meningkat pada musim ini.
54
5.1.2 Perubahan Komposisi Komunitas Komposisi komunitas merupakan keanekaragaman dan kelimpahan seluruh spesies yang ada dalam suatu komunitas. Perubahan komposisi komunitas merupakan salah satu indikator yang penting dalam menilai integritas suatu ekosistem termasuk kesehatan ekosistem, fungsi dan ketahanannya terhadap gangguan. Beberapa karakteristik dari komposisi komunitas dalam suatu habitat adalah
kelimpahan/kekayaan
spesies
(richness
spesies),
keanekaragaman
(diversity) dan keseragaman/kemerataan (evenness) (Pomeroy et al. 2004). Data komposisi komunitas (keanekaragaman dan keseragaman) sebelum penetapan DPL tidak ditampilkan karena tidak adanya ketersediaan data. 5.1.2.1 Komunitas Ikan Karang a. Kelimpahan Ikan Karang Kelompok Target Pusat Penelitian Terumbu Karang-Universitas Hasanuddin (PPTK-UH) dan COREMAP II (2006) menemukan 83 individu ikan karang yang terdiri dari 20 spesies di perairan Desa Mattiro Labangeng pada tahun 2005. Jumlah ini terdiri atas 55 ekor ikan kelompok mayor yang didominasi oleh jenis ikan Halichoeres sp., 4 ekor kelompok ikan indikator dari jenis ikan Canthigaster sp., dan 24 ekor kelompok ikan target yang didominasi olehikan Lutjanus lutjanus. Namun, hasil pengamatan tersebut tidak memberikan informasi sepenuhnya tentang keberadaan spesies ikan karang. Hal ini dikarenakan tidak menampilkan kelimpahan ikan pada tahun tersebut. Berbeda dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh LIPI tahun 2008, didapatkan ikan karang sebanyak 189 individu yang terdiri dari 6 famili dan 13 spesies pada luasan area 125 m2 dengan kelimpahan individu ikan karang sebesar 1.51/m2. Hasil penelitian pada perairan yang sama pada tahun 2010 ditemukan lebih banyak individu, yaitu 286 individu yang terdiri dari 16 famili dan 53 spesies pada luasan area 125 m2 dengan kelimpahan individu ikan karang sebesar 2.28/m2 (Lampiran 2). Perbandingan distribusi dan kelimpahan ikan karang di perairan Desa Mattiro Labangeng pada tahun 2008 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 10.
55
Tabel 10 Distribusi ikan karang menurut famili, jumlah spesies dan individu di DPL Desa Mattiro Labangeng No
Nama Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Acanthuridae Caesionidae Haemulidae Lethrinidae Lutjanidae Scaridae Scolopsidae Serranidae Siganidae
10 11
Chaetodontidae Ephippidae
12 13 14 15 16 17
Apogonidae Labridae Pempheridae Pomacentridae Pomachantidae Zanclidae Total spesies dan individu Kelimpahan
Keterangan:
Jumlah Spesies dan Individu 2008* 2010** Spesies Individu/125 m2 Spesies Individu/125 m2 Ikan Target 0 0 1 2 0 0 5 55 0 0 2 2 0 0 1 1 1 4 2 3 0 0 1 2 0 0 1 2 0 0 2 4 1 33 2 8 37 79 Ikan Indikator 1 2 3 5 0 0 1 1 2 6 Ikan Mayor 0 0 5 21 2 4 6 20 1 4 0 0 7 142 19 158 0 0 1 1 0 0 1 1 150 201 13 189 53 286 1.512 2.288
* : COREMAP II-LIPI (2008); ** : Studi ini (2010)
Tabel diatas menunjukkan adanya kenaikan kelimpahan berdasarkan kelompok ikan, baik kelompok ikan target, ikan indikator maupun ikan mayor. Manuputty dan Djuwariah (2009), menentukan kriteria kelimpahan ikan di terumbu karang khususnya di DPL adalah berdasarkan kelompok ikan target, karena kelompok ikan ini bernilai ekonomis dan merupakan target tangkapan nelayan. Ukuran dan kelimpahan ikan karang seperti Serranidae dan Lutjanidae dapat meningkat di DPL dalam jangka waktu yang relatif singkat (McClanahan et al. 2005; Russ et al. 2005). Kelompok Ikan Target diantaranya adalah Serranidae (Rock Cods), Lutjanidae (Snappers), Lethrinidae (Emperors), Haemulidae (Sweetlips), dan Scaridae (Parrotfishes) (English et al. 1997; Manuputty dan Djuwariah 2009). Kelompok ikan target pada tahun 2010 mengalami kenaikan dibandingkan pengamatan pada tahun 2008 dan tahun 2005, dimana berturut-turut dari tahun
56
2005, 2008 dan 2010 kelimpahan kelompok ikan target adalah 24 ekor, 37 ekor dan 79 ekor. Dengan demikian penentuan kriteria kelimpahan berdasarkan kelompok ikan target, didapatkan kelimpahan ikan target pada tahun 2005 termasuk kategori “Sedikit” hal ini karena jumlah individu ikan target yang didapatkan kurang dari 25 individu yakni sebanyak 24 individu, sedangkan pada tahun 2008 termasuk kategori “Sedang” hal ini karena jumlah individu ikan target didapatkan 37 individu, sementara pada tahun 2010 didapatkan jumlah individu kelompok ikan target sebanyak 79 ekor sehingga kelimpahan ikan pada tahun ini termasuk dalam kategori “Banyak”. Data transek pada pengamatan tahun 2008 dan 2010 untuk kelimpahan ikan karang tertinggi secara umum adalah genera Pomacentridae sebanyak 142 individu pada tahun 2008 dan 158 individu pada tahun 2010. Jenis ikan ini masuk dalam kelompok ikan mayor dengan rasio antar kelompok yang paling tinggi. Husain (2000) menyatakan bahwa padatnya jenis-jenis ikan ini berhubungan dengan feeding habit kebanyakan ikan-ikan dari famili Pomacentridae yang planktivores di daerah terumbu. Pada saat sekumpulan ikan Pomacentridae mencari makan, mereka cenderung membentuk schooling yang besar dan memenuhi massa air di terumbu karang. Lieske dan Myers (1994) lebih lanjut menyatakan bahwa penyebaran ikan karang ini juga merujuk pada daerah reef top dan reef edge karena memberikan penyebaran spasial secara vertikal daerah terumbu karang. b. Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Komunitas Ikan Karang Menurut
Mc
Naughton
dan
Wolf
(1998),
bahwa
umumnya
keanekaragaman mengarah kepada keanekaragaman jenis, yang pengukurannya melalui
jumlah
jenis
dalam
komunitas
dan
kelimpahan
relatifnya.
Keanekaragaman merupakan sifat yang khas dari komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah individu tiap jenis sebagai komponen penyusun komunitas (Helvoort 1981). Hasil indeks keanekaragaman dan keseragaman komunitas ikan karang pada kawasan penelitian ditampilkan pada Lampiran 3 dan Tabel 11.
57
Tabel 11 Indeks keanekaragaman dan keseragaman komunitas ikan karang No 1 2
Indeks Keanekaragaman (H') Keseragaman (E)
Pengamatan Tahun 2008 2010 1.731 3.244 0.675 0.817
Berdasarkan Tabel diatas, indeks keanekaragaman Shannon (H‟) pada tahun 2010 sebesar 3.24 sedangkan indeks keanekaragaman pada tahun 2008 sebesar 1.73. Menurut Gray (1981), tinggi rendahnya indeks keanekaragaman komunitas, tergantung pada banyaknya jumlah jenis dan jumlah individu masingmasing jenis. Jika jumlah jenis banyak dan jumlah individu masing-masing jenis hampir merata maka indeks keanekaragaman akan semakin tinggi. Margalef (1972) lebih lanjut menuliskan bahwa indeks Keanekaragaman Shannon pada umumnya memiliki kisaran nilai 1.5 – 3.5 dan hanya sedikit sekali yang mencapai 4.5. Di sisi lain, pada pengamatan pada tahun 2010 jumlah individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama. Kondisi tersebut ditunjukkan dari hasil perhitungan indeks keseragaman yang hampir mendekati nilai 1. Hal berbeda ditunjukkan pada tahun 2008 dengan nilai indeks keseragaman sebesar 0.675 yang diartikan bahwa terdapat beberapa jenis biota yang memiliki jumlah individu relatif banyak dan beberapa jenis lainnya relatif lebih sedikit. 5.1.2.2 Komunitas Megabentos a. Kelimpahan Megabentos Hasil analisis pengamatan biota megabentos tahun 2010 di DPL Desa Mattiro Labangeng ditemukan 14 individu megabentos pada luasan area 50 m2 yang terdiri dari 5 jenis, yaitu Diadema urchin, Mushroom, Sea cucumber, Lobster, Giant clam dengan kelimpahan sebesar 28 individu/5000 m2. Hal ini lebih banyak dibandingkan dengan pengamatan yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2008 yang hanya menemukan 2 individu megabentos pada luasan area 50 m2 yang terdiri dari 2 jenis, yaitu Mushroom dan Giant clam yang berukuran besar dengan kelimpahan sebesar 4 individu/5000 m2. Distribusi biota megabentos di DPL Desa Mattiro Labangeng dapat dilihat pada Tabel 12.
58
Tabel 12 Jumlah biota megabentos di DPL Desa Mattiro Labangeng tahun 2008 dan 2010 No
Biota Megabentos
1 2 3 4 5
Tahun 2008* 0 1 0 0
Diadema urchin Mushroom Sea cucumber Lobster Giant clam sizes: < 20 cm (small Giant clam) 0 >20 cm (large Giant clam) 1 Total Individu 2 Keterangan: * : COREMAP II-LIPI (2008); ** : Studi ini (2010)
2010** 1 8 2 1 1 1 14
Populasi biota ekonomis penting yang telah dilindungi seperti kima raksasa (Tridacna) dan lobster menunjukkan nilai yang sangat rendah (masingmasing 1 individu) pada lokasi penelitian. Organisme kima yang berukuran kurang dan lebih dari 20 cm masing-masing hanya yang ditemukan 1 individu, fenomena ini diduga berhubungan dengan masih tingginya aktifitas pengumpulan kima yang dilakukan sebelum adanya penandaan DPL, akibatnya organisme ini mengalami keterlambatan pemulihan. Organisme ini umumnya dimanfaatkan untuk konsumsi maupun komersil oleh masyarakat setempat pada kebanyakan pulau daerah ini. Populasi kima mungkin akan terus berkurang hingga tingkat kritis jika tidak dilakukan usaha perlindungan. Sementara Giant clam ditemukan dengan ukuran kecil (< 20 cm) sebanyak 1 individu dan ukuran yang besar (> 20 cm) sebanyak 1 individu. b. Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Komunitas Megabentos Hasil indeks keanekaragaman dan keseragaman komunitas megabentos ditampilkan pada Tabel 13 berikut, Tabel 13 Indeks keanekaragaman dan keseragaman komunitas megabentos No
Indeks
1 2
Keanekaragaman (H') Keseragaman (E)
Pengamatan Tahun 2008 2010 0.693 1.352 1.000 0.840
Berdasarkan Tabel 13, indeks keanekaragaman Shannon (H‟) pada tahun 2010 adalah 1.352, nilai ini lebih tinggi dibandingkan indeks keanekaragaman
59
pada tahun 2008 yaitu 0.693 (Lampiran 4). Hasil indeks keseragaman tahun 2010 dengan nilai 0.84 menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis. Sedangkan nilai indeks keseragaman pada tahun 2008 dengan nilai 1 menunjukkan bahwa jumlah individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama. Rahayuningsih (2009) menyatakan bahwa nilai keseragaman yang tinggi menunjukkan bahwa kelimpahan individu pada suatu tempat hampir merata, tidak ada dominasi yang sangat menonjol. Hal yang sama menurut Kartono (2006) keanekaragaman terkait
dengan kelimpahan jenis
dan
keseragaman jenis. Nilai keseragaman yang tinggi menunjukkan tidak ada jenis secara tunggal yang dominan. 5.1.3
Kondisi Kualitas Perairan Lokasi pengukuran kualitas perairan dilakukan sama pada lokasi
pengamatan karang di DPL Desa Mattiro Labangeng. Beberapa parameter kualitas perairan yang diukur langsung di lokasi penelitian adalah parameter suhu perairan, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, kedalaman, dan oksigen terlarut. Hasil pengamatan kualitas perairan ditampilkan pada Tabel 14 berikut, Tabel 14 Hasil pengamatan kualitas perairan No 1 2 3 4 5 6
Parameter
Satuan
Suhu
°C
Kecepatan arus
m/dtk
Salinitas
o
Kecerahan
%
Kedalaman
m ppm
DO
Keterangan:
/oo
Hasil Pengamatan 2007* 2010** 29 30 0.10 0.16 35 34 100 85.71 6-7 7 6.24 6.02
* : LEMSA (2007); ** : Studi ini (2010)
Parameter kualitas perairan di perairan Desa Mattiro Labangeng secara umum dapat dikatakan dalam kondisi baik, mengingat kualitas perairan masih berada pada kisaran yang menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme dan hasil pengukuran beberapa parameter menunjukkan tidak ada perbedaan yang begitu mencolok dengan pengamatan sebelumnya.
60
5.2
Evaluasi Indikator Sosial-Ekonomi dan Kelembagaan
5.2.1
Produksi Perikanan Tangkap Alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Desa Mattiro Labangeng
bervariasi, namun dalam penelitian ini hanya mengkaji alat tangkap dengan operasi penangkapan di daerah terumbu karang termasuk gosong dan perairan sekeliling desa. Alat tangkap ikan tersebut meliputi Bubu Kepiting (rakkang), Bubu Ikan (bubu bambu), Pancing Ikan (rinta‟), Jaring Insang (palanra‟) dan Pancing Cumi. Hasil tangkapan ikan yang didapatkan nelayan berupa ikan pelagis, cumi-cumi, sotong, kepiting, rajungan dan ikan-ikan karang untuk kepentingan konsumsi dan dijual ke pengumpul. Jumlah hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan sangat bergantung pada musim (kecuali bubu kepiting) dan jumlah alat tangkap yang dimilikinya. Rata-rata hasil tangkapan tiap tripnya berkisar antara <1-20 kg. Hasil tangkapan yang dominan diperoleh nelayan pancing antara lain ikan kembung/banyar (Rastrelliger sp), sunu (Plectrodomus maculatus), dan cumi-cumi (Loligo sp), sementara nelayan bubu kepiting adalah hasil tangkapan yang dominan adalah rajungan, komoditi ini merupakan komoditi yang tidak mengenal musim, akan tetapi paling melimpah masa penangkapannya pada musim penghujan. Menurut PPTK-UH (2009), masa-masa paceklik bagi nelayan terjadi pada musim barat yaitu sekitar bulan Desember hingga bulan Maret. Pada musim ini banyak nelayan yang tidak melaut karena kondisi perairan laut yang berbahaya namun aktivitas penangkapan ikan dilakukan di sekitar pulau.Pada musim timur terjadi pada bulan-bulan Mei hingga bulan Oktober dan musim pancaroba (peralihan) terjadi pada bulan April dan November. Secara rinci alat tangkap dan hasil perikanan nelayan Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Jenis alat tangkap dan hasil perikanan nelayan Desa Mattiro Labangeng Alat tangkap Bubu Kepiting Pancing ikan Pancing Cumi Bubu Bambu Jaring Insang
Jumlah Alat/nelayan (unit) 100-500 1-3 1-3 1-4 1-2
Hasil Tangkapan/trip (Kg) 5 - 20 1-5 1-7 1-4 3-8
Tangkapan
Daerah Penangkapan
kepiting, rajungan ikan karang, pelagis cumi;sotong ikan karang ikan karang, pelagis
sekitar pulau sekitar pulau;gosong sekitar pulau;gosong tubir karang sekitar pulau;gosong
61
Pada umumnya sebagian besar nelayan Desa Mattiro Labangeng adalah penangkap kepiting, pemancing cumi-cumi dan pemancing ikan (atau merangkap pemancing cumi-cumi dan ikan). Nelayan penangkap kepiting melakukan aktivitasnya pada pagi dan sore hari. Nelayan ini memasang bubu 2 kali dalam sehari, biasanya pemasangan bubu dilakukan pada subuh hari dan mengambil serta memasangnya kembali pada siang hingga sore hari. Lamanya waktu pemasangan dan pengambilan bubu biasanya 2-3 jam, tergantung jumlah alat tangkap (bubu) yang dimilikinya, dimana jumlah alat tangkap nelayan bubu kepiting berkisar 100 hingga 500 unit. Bubu kepiting ini dipasang pada kedalaman 15 hingga 20 meter, pemasangan ini menggunakan tali yang diturunkan sedemikian rupa dan ditandai dengan pelampung sehingga antara pelampung satu dengan yang lainnya dapat dikenal sesama antara nelayan bubu kepiting. Memancing ikan dilakukan pada siang hari hingga menjelang sore hari sedangkan memancing cumi dilakukan pada malam hari karena sangat bergantung pada pencahayaan bulan. Menurut nelayan setempat memancing cumi-cumi biasa dilakukan selama 7-10 jam, lamanya memancing ini tergantung pada cahaya bulan. Pada hari ke-8 hingga hari ke-15, lamanya pancaran cahaya bulan adalah 6 hingga 10 jam dan cahayanya muncul pada jam 7 malam hingga jam 5 subuh, sehingga waktu yang panjang ini dimanfaatkan nelayan untuk memancing cumicumi. Waktu penangkapan dan jumlah tangkapan cumi-cumi yang didapatkan oleh nelayan sebenarnya tidak pasti, memancing cumi sepanjang malam dibantu dengan cahaya bulan belum menjamin adanya hasil tangkapan. Berdasarkan beberapa pengalaman nelayan, penangkapan cumi-cumi yang tinggi dapat juga terjadi ketika cahaya bulan sudah hampir hilang atau cahaya bulan mulai muncul. Adapun lokasi penangkapan nelayan adalah di sekitar perairan desa dan gosonggosong yang ada di Desa Mattiro Labangeng, yang ditampilkan pada Gambar 12. Produksi perikanan tangkap secara keseluruhan nelayan Desa Mattiro Labangeng pada tahun 2010 rata-rata 1214.75 kg/tahun/nelayan. Hal ini jauh lebih tinggi dibanding dengan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 yang hanya mencapai 141.4 kg/tahun/nelayan dan 132.2 kg/tahun/nelayan pada tahun 2005. Perbedaan produksi perikanan tersebut dikarenakan adanya program motorisasi, bantuan alat tangkap dan modal usaha setelah penetapan DPL pada tahun 2007.
62
Gambar 12 Peta lokasi penangkapan sumberdaya ikan Desa Mattiro Labangeng.
63
5.2.2 Distribusi Pendapatan Hasil wawancara dan perhitungan pendapatan didapatkan nilai pendapatan tiap responden yang bervariasi. Perhitungan pendapatan responden didasarkan pada pendapatan dan pengeluaran selama melakukan aktifitas penangkapan. Perhitungan ini didasarkan pada jenis dan jumlah alat tangkap, jenis perahu, kebutuhan melaut, jumlah trip, musim, serta jumlah hasil tangkap. Hasil perhitungan nilai pendapatan bersih dari responden untuk jenis alat tangkap bubu kepiting rata-rata Rp 11 juta/tahun, jenis alat tangkap pancing cumi dan pancing ikan berkisar Rp 6 juta hingga 8 juta/tahun. Nilai pendapatan tersebut sudah termasuk biaya operasional, biaya penyusutan dan biaya perawatan (Lampiran 5). Pendapatan responden berdasarkan jenis alat tangkap secara rinci tersaji pada Tabel 16. Tabel 16 Distribusi pendapatan berdasarkan jenis alat tangkap Alat tangkap Bubu Kepiting Pancing Cumi Pancing Cumi dan Ikan Bubu Bambu Jaring Insang Tetap Total Rata-rata
Jumlah Responden (n) 11 6 7 1 3
Rata-rata Pendapatan Kotor/Tahun (Rp) 29.054.545 13.274.667 15.751.318 11.169.000 18.953.500
Rata-rata Total Biaya/Tahun (Rp) 17.972.327 7.255.567 5.711.245 6.031.500 14.506.333
Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun (Rp) 11.082.218 6.019.100 6.776.504 5.137.500 4.447.167 7.997.626
Tabel 16 menunjukkan bahwa nelayan dengan alat tangkap Bubu Kepiting memiliki pendapatan tertinggi dibanding dengan alat tangkap lain. Tingginya nilai pendapatan ini didukung oleh jumlah alat tangkap yang dimiliki masing-masing nelayan mencapai100-500 unit/nelayan, selain itu frekuensi penangkapan nelayan Bubu Kepiting sangat menentukan jumlah hasil tangkapan. Nelayan Bubu Kepiting pada umumnya tidak dipengaruhi oleh faktor cuaca dan pemasangan alat tangkapnya tidak jauh dari perairan Desa Mattiro Labangeng, sehingga memiliki pendapatan yang relatif tinggi. Berbeda dengan nelayan yang pendapatannya rendah sangat dipengaruhi faktor alam, seperti nelayan Pancing Cumi yang sangat tergantung pada saat bulan purnama, nelayan Pancing Ikan dan Jaring Ikan yang sangat tergantung pada faktor cuaca. Musim penghujan umumnya ikan cukup banyak, namun di ombak yang cukup besar pada musim ini menyebabkan nelayan
64
tidak berani menangkap ikan. Namun demikian, berdasarkan perhitungan Gini Ratio Indeks (GRI) didapatkan sebesar 0.22 (Lampiran 6) diindikasikan bahwa distribusi pendapatan relatif merata atau tidak adanya ketimpangan pendapatan antar kelas pendapatan nelayan (GRI<0.3). Perhitungan pendapatan pada tahun 2004 dan 2005 juga dilakukan untuk melihat perbandingan pendapatan antara tahun 2004 dan 2005 (sebelum adanya penetapan DPL) dengan pendapatan tahun 2010 (setelah adanya penetapan DPL). Perbandingan pendapatan nelayan rata-rata terlihat bahwa besaran pendapatan pada tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil tangkapan dan nilai inflasi berturutturut sebesar Rp 1.602.600/tahun dan Rp 1.413.500/tahun. Nilai pendapatan ini lebih rendah dibanding dengan nilai pendapatan nelayan rata-rata pada tahun 2010 yang mencapai Rp 7.997.625/tahun, sementara nilai upah minimun kabupaten (UMK), yaitu Rp 4.320.000/tahun. Dengan demikian, pendapatan rata-rata nelayan pada tahun 2010 (setelah adanya penetapan DPL) masih berada di atas upah minimun kabupaten (UMK) dibanding pendapatan nelayan pada 2004 dan 2005 (sebelum adanya penetapan DPL). Peningkatan pendapatan nelayan di Desa Mattiro Labangeng tersebut mengindikasi hasil yang dicapai karena adanya program DPL oleh pemerintah (Program COREMAP). 5.2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang Mengintegrasikan multi kriteria dalam satu kerangka kerja dapat memberikan keuntungan dalam menghasilkan suatu analisis benefit-cost, dimana analisis benefit-cost ini dapat efektif bila sasaran sosial-ekonomi mencapai nilai maksimal, dan nilai ekologi dapat memberikan manfaat (Brown et al. 2000). Seperti diketahui ekosistem terumbu karang yang ada di dalam DPL dan di perairan Desa Mattiro Labangeng memberikan nilai kontribusi yang besar bagi kehidupan masyarakat setempat terutama dalam jumlah hasil penangkapannya. Jumlah hasil penangkapan sangat terkait dengan nilai suatu sumberdaya laut (ekosistem terumbu karang). Melalui pendekatan Effect on Production (EOP), nilai sumberdaya dan manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang sebelum adanya pembentukan DPL dan setelah terbentuknya DPL di Desa Mattiro Labangeng dapat diduga. Dengan menggunakan program Maple 9.5 diperoleh nilai utility dan konsumen surplus, seperti tersaji pada Tabel 17.
65
Tabel 17 Pendugaan nilai utility dan surplus konsumen sebelum dan sesudah adanya DPL dari sumberdaya ekosistem terumbu karang/tahun
Sebelum Penetapan DPL
142.43
2.1432 x107
1.9425 x 107
Nilai Sumberdaya Terumbu Karang (Rp) 4.2635 x 107
Setelah Penetapan DPL
1214.75
4.3993 x 107
2.3730 x 107
5.2084 x 107
Waktu Pemanfaatan
Rata-Rata Penangkapan (Kg)
Utility (Rp)
Surplus Konsumen (Rp)
Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai utility terhadap sumberdaya ikan sebelum adanya DPL sebesar Rp 21.432.852.42/tahun dengan konsumen surplus sebesar Rp19.425.986.72/tahun. Sedangkan nilai utility setelah adanya penetapan DPL sebesar Rp43.993.552.87/tahun, dengan konsumen surplus sebesar Rp 23.730.950.27/tahun. Nilai ini diperoleh dari luas ekosistem terumbu karang 36.45 ha, dimana rata-rata penangkapan sebelum adanya DPL sebesar 142.43 kg/tahun dan rata-rata penangkapan setelah adanya DPL sebesar 1214.75 kg/tahun. Nilai utility dan surplus konsumen sebelum penetapan DPL (2005) menunjukkan kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen dari hasil sumberdaya terumbu karang sebelum adanya penetapan DPL termasuk rendah, sedangkan setelah penetapan DPL (2010) terdapat peningkatan pada nilai utility dan surplus konsumen, sehingga apabila dihitung manfaat ekonomi atau nilai ekonomi terumbu karang sebelum adanya DPL dari aktivitas perikanan tangkap sebesar Rp 42.635.910.51/ha/tahun, nilai ini lebih rendah dibandingkan setelah ditetapkannya DPL yakni nilai ekonomi terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap sebesar Rp 52.084.390.18/ha/tahun (Lampiran 7 -12). Dengan demikian terdapat kenaikan nilai sumberdaya terumbu karang di Desa Mattiro Labangeng, Kabupaten Pangkep. 5.2.4
Ketersediaan Pasar Pemasaran atau pengumpul hasil perikanan di Desa Mattiro Labangeng
saat ini tersedia 2 tempat yakni di Pulau Laiya dan Pulau Polewali. Pedagang pengumpul ini mendapatkan hasil tangkapan langsung dari nelayan dan kemudian di bawa ke pengumpul yang ada di Kabupaten Pangkep atau ke Kota Makassar.
66
Jalur pemasaran ikan juga dilakukan oleh nelayan sendiri dengan langsung membawa atau menjual ikan ke Kabupaten Pangkep atau Kota Makassar. Pedagang pengumpul didesa ini masih berskala kecil dan belum bisa melayani ikan dengan jumlah puluhan ton. Pedagang pengumpul yang ada di Pulau Laiya menerima berbagai jenis ikan termasuk udang dan teripang yang ditangkap nelayan dari luar Pulau Laiya atau Pulau Polewali, sedangkan pedagang pengumpul di Pulau Polewali masih terbatas hanya melayani pembelian kepiting untuk nelayan setempat dan beberapa jenis ikan tertentu. Pomeroy et al. (2004) menyebutkan bahwa ketersediaan pasar merupakan hal yang penting dalam sektor perikanan karena berhubungan langsung dengan mata pencaharian dan pendapatan masyarakat sebagai nelayan, sehingga dapat diketahui dinamika pasar. Selain itu, ketersediaan pasar juga sangat bermanfaat untuk menentukan akses masyarakat nelayan ke dalam pasar dan modal, serta berkontribusi terhadap terbukanya peluang pekerjaan.Ketersediaan pasar untuk nelayan Desa Mattiro Labangeng ditampilkan pada Gambar 13.
(a) (b) Gambar 13 Pengumpul ikan di Pulau Laiya (a) dan Pulau Polewali (b) Desa Mattiro Labangeng. 5.2.5 Struktur Lapangan Pekerjaan/Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat Desa Mattiro Labangeng sebagian besar adalah nelayan (54% dari 177 pekerja pada sektor ekonomi), sehingga sangat tergantung pada sumberdaya di sekitar tempat tinggalnya. Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 80 orang dari 95 orang nelayan memanfaatkan kawasan terumbu karang di sekitar perairan Desa Mattiro Labangeng sebagai daerah penangkapan ikan, sisanya merupakan nelayan skala besar yang menangkap ikan di luar perairan desa tersebut. Kebutuhan hidup
67
masyarakat dipenuhi dengan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat yang tinggal di desa ini sangat tergantung pada sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan yang ada dilaut yang ketersediaannya sangat ditentukan oleh kondisi ekosistem terumbu karang yang ada. Kondisi lingkungan alam yang baik akan cenderung mendukung hasil yang lebih baik pula terhadap mata pencaharian mereka. Terdapat 18% masyarakat desa ini bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) dan umumnya digeluti para anak muda yang ikut pengusaha kayu. Kayu sebagai barang yang diperjual belikan didapatkan dari Kalimantan dan dipasarkan kembali di wilayah Sulawesi. Namun belakang ini terlihat penurunan jumlah kapasitas kayu yang didatangkan karena terkendala dengan ketatnya aturan perijinan akibat banyaknya kasus Illegal Logging, sehingga ABK maupun pengusaha kayu cenderung berprofesi ganda sebagai nelayan. Mata pencaharian lainnya sebagai pedagang/pengusaha 10%, jasa sebanyak 8%, PNS dan pengrajin masing-masing sebanyak 2% dan 6% sebagai tukang. Banyaknya pekerja menurut sektor ekonomi tahun 2008 di Desa Mattiro Labangeng dapat terlihat pada Gambar 14 (Profil Desa Mattiro Labangeng 2009).
8%
Nelayan Tukang
18%
Pedagang/pengusaha
2% 2%
54% 10% 6%
PNS Pengrajin ABK Jasa
Gambar 14 Persentase struktur lapangan kerja masyarakat Desa Mattiro Labangeng. 5.2.6
Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat tentang DPL
5.2.6.1 Persepsi Persepsi atau pemahaman berperan dalam cara memperoleh pengetahuan khusus tentang obyek atau suatu kejadian, karena persepsi melibatkan kognisi (pengetahuan) termasuk interpretasi obyek (Hulu 2009). Persepsi masyarakat tentang DPL diketahui dengan mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan
68
terkait tentang DPL dan program-programnya yang diadakan oleh pemerintah dalam hal ini COREMAP II. Berdasarkan metode Likert’s Summeted Rating didapatkan persepsi “sangat paham” akan keberadaan program DPL sebesar 30% dan persepsi “paham” sebesar 70% seperti yang ditampilkan pada Tabel 18. Tabel 18 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan program DPL Kategori Sangat Paham Paham Tidak Paham Sangat Tidak Paham Jumlah
Skor 60-75 45-59 30-44 15-29
Frekuensi 9 21 0 0 30
% 30 70 0 0 100
Tabel 17 diatas menunjukkan bahwa persepsi “sangat paham” memberikan arti bahwa sebanyak 9 orang atau 30% dari keseluruhan responden sangat paham tentang keberadaan DPL dan program-programnya. Kemudian persepsi “paham” menunjukkan sebanyak 21 orang atau 70% dari keseluruhan responden paham tentang DPL (Lampiran 13). Berdasarkan item-item pertanyaan yang diajukan, umumnya responden mengenalkeberadaan Program DPL dilakukan oleh COREMAP. Beberapa hal yang diketahui oleh mereka adalah1) COREMAP bertujuan menjalankan program penyelamatan dan perlindunganterumbu karang, 2) Untuk melindungi terumbu karang agar ikan tetap banyak, 3) Untuk melestarikan terumbu karang agar ikan tidak pergi ketempat lain, 4) Untuk menjaga dan mengrehabilitasikan terumbu karang, dan 5) Untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang. Responden umumnya juga tahu mengapa pemerintah melarang masyarakat membom ikan atau menggunakan racun sianida. Resiko yang diketahui oleh mereka adalah 1) Risiko terhadap manusia itu sendiri, 2) Hancurnya terumbu karang serta jenis-jenis ikan yang kecil, 3) Penggunaan sianida, merusak serta membunuh plankton-plankton yang ada serta terumbu karang, 4) Bila dibom terumbu karang akan hancur, sehingga ikan-ikan akan pindah jauh cari tempat lain 5) Populasi ikan akan berkurang karena ikan-ikan yang masih kecil juga mati, sehingga ikan akan semakin berkurang, 6) Populasi ikan akan berkurang dan terumbu karang akan hancur, dan 7) Di masa yang akan datang ikan-ikan akan berkurang bahkan habis.
69
Responden juga merasa bahwa penghasilan mereka bertambah sejak adanya Program COREMAP. Responden juga ditanya tentang persepsi mereka mengenai masa kini dan mendatang mengenai kondisi perairan di desa mereka dan persepsi responden adalah bahwa mereka tidak yakin akan kondisi di masa depan, kemungkinan kondisi akan memburuk di masa mendatang. Tampak bahwa masyarakat khawatir bahwa ada ancaman, meskipun sudah ada upaya untuk membuat lebih baik dalam program-program DPL, namun responden tidak melihat bahwa upaya ini sudah cukup untuk mengatasi ancaman lingkungan. 5.2.6.2 Sikap Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai (Soetrisno 1995 in Hulu 2009). Melalui kuisioner, pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada responden untuk mengetahui sikap masyarakat dalam mendukung kegiatan program DPL. Berdasarkan metode Likert’s Summeted Rating didapatkan sikap “sangat positif” sebesar 33.33% dan sikap “positif” sebesar 53.33%, sikap “negatif” sebesar 13.33% dan 0% sikap “sangat negatif” seperti yang ditampilkan pada Tabel 19 berikut ini, Tabel 19 Sikap masyarakat terhadap keberadaan program DPL Kategori Sikap Sangat Positif Sikap Positif Sikap Negatif Sikap Sangat Negatif Jumlah
Skor 40-50 30-39 20-29 10-19
Frekuensi 10 16 4 0 30
% 33.33 53.33 13.33 0 100
Berdasarkan Tabel diatas tampak bahwa persentase tertinggi sikap tiap responden adalah pada kategori “sikap positif” (53.33%). Kategori ini menunjukkan bahwa terdapat 16 orang atau 53.33% dari keseluruhan responden positif dalam mendukung kegiatan program DPL. Kategori sikap “sangat positif” memberikan arti bahwa sebanyak 10 orang atau 33.33% dari keseluruhan responden sangat positif dalam mendukung keberadaan DPL dan programprogramnya. Kemudian kategori sikap “negatif” menunjukkan bahwa terdapat
70
sebanyak 21 orang atau 70% dari keseluruhan responden memilih sikap negatif dalam mendukung keberadaan DPL dan program-programnya (Lampiran 14). Pada umumnya masyarakat antusias dalam menjaga keberadaan DPL, hal ini dilihat beberapa anggota LPSTK dan masyarakat ikut dalam survei dan monitoring kondisi terumbu karang, baik di DPL dan diluar DPL. Selain itu ikut membantu petugas dalam melarang segala kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti yang pernah terjadi di sekitar perairan desanya, mereka melarang dan menegur beberapa nelayan luar yang mencoba menangkap ikan di dalam DPL dan melakukan pengeboman diluar DPL. Mungkin atas kesadaran ini yang membuat mereka melarang praktek penangkapan ikan secara destruktif karena mereka tahu bahwa jumlah ikan menurun akhir-akhir ini. Mereka juga umumnya sadar bahwa hasil tangkapan mereka menurun dan pendapatan mereka dari hasil penangkapan ikan juga menurun. Disamping itu responden juga ditanya tentang sikap mereka
dan ketaatan kepada
peraturan-peraturan
terkait
ditetapkannya sebagian perairan mereka sebagai daerah terlarang dalam segala aktivitas penangkapan ikan, hasil yang didapatkan semua responden mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. 5.2.6.3 Partisipasi Partisipasi masyarakat sangat penting dalam menentukan keberhasilan program kegiatan yang dilaksanakan. Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pengelolaan adalah keterlibatan atau keikutsertaan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil sehingga tujuan bersama menyangkut kepentingan umum dan individu dapat memberikan manfaat yang besar. Salah satu bentuk partisipasi dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat ikut berperan aktif dalam pengelolaan DPL. Kegiatan ini tidak hanya langsung di lapangan tapi bagaimana masyarakat ikut dalam pengembangan dan pengetahuan tentang DPL pada pelatihan-pelatihan atau pertemuan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Terdapat beberapa responden pernah ikut kegiatan pelatihan atau pertemuan seperti 1) Pertemuan tentang penyalahgunaan bahan peledak dan bius/racun sianida, 2) Penyuluhan tentang cara melestarikan terumbu karang, 3) Rapat tentang cara-cara untuk menjaga kelestarian terumbu karang, 4) Penyuluhan
71
bagaimana menjaga terumbu karang, dan 5) Nonton bersama tentang masalah terumbu karang sehingga masyarakat juga tahu akan pentingnya terumbu karang. Sikap
responden
secara
keseluruhan
didapatkan
sikap
“sangat
berpartisipasi” sebesar 26.67% atau terdapat 8 orang dari keseluruhan responden sangat berpartisipasi dalam kegiatan ini. Sikap “berpartisipasi” sebesar 63.33%, merupakan sikap yang paling tinggi dan menunjukkan bahwa terdapat 19 orang dari keseluruhan responden berpartisipasi dalam kegiatan ini. Sikap “tidak berpartisipasi” sebesar 10% atau terdapat 3 orang dari keseluruhan responden tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini dan 0% untuk sikap “sangat tidak berpartisipasi”, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 15 dan Tabel 20. Tabel 20 Bentuk partisipasi masyarakat terhadap keberadaan program DPL Kategori Sangat Berpartisipasi Berpartisipasi Tidak Berpartisipasi Sangat Tidak Berpartisipasi Jumlah
Skor 60-75 45-59 30-44 15-29
Frekuensi 8 19 3 0 30
% 26.67 63.33 10.00 0 100
Bentuk partisipasi lainnya dapat juga dilihat dari jenis alat tangkap yang digunakan oleh responden, umumnya mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu pancing. Alat tangkap lainnya yang digunakan adalah jaring insang yang tergolong ramah lingkungan dan bubu. Upaya yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah bagaimana mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem pantai dan daratan pulau serta menjaga kebersihan pantai dan melindunginya dari abrasi secara ramah lingkungan dengan tidak menggunakan batu karang sebagai penahan ombak. Untuk itu, upaya pembinaan perlu ditingkatkan melalui peningkatan fungsi pusat informasi COREMAP secara maksimal. 5.2.7
Tingkat Pelatihan bagi Stakeholder/Pengelola Pomeroy et al. (2004), menyatakan tingkat pelatihan yang diberikan oleh
stakeholder (pengelola) merupakan ukuran sejauhmana kemampuan pengetahuan dan keterampilan dan sikap dalam menghadapi tantangan di masa akan datang. Pemberian pelatihan bagi stakeholder akan membangun kapasitas lembaga bukan
72
hanya secara teknis dan manajemen tetapi membentuk sikap dan pola tingkah laku. Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder LPSTK, beberapa pelatihan dan pertemuan telah diikutinya, baik tingkat lokal dan nasional. Pelatihan ini memberikan nilai plus dalam pengetahuan tentang DPL dan program-programnya. Pelatihan ini juga dipraktekkan bersama dengan masyarakat lainnya dan diantara pelatihan yang telah diikuti oleh stakeholder antara lain (http://www.coremap.or.id/pelatihan/): Pelatihan Penilaian Ekosistem Terumbu Karang Metode Point Intercept Transect (PIT) dilaksanakan di Kabupaten Pangkep pada tahun 2010. Workshop Evaluasi dan Percepatan Pelaksanaan CRITC dilaksanakan di Jakarta pada tahun 2009. Pelatihan Pengenalan Metode PIT Untuk Penilaian Kesehatan Terumbu Karang dilaksanakan di Kabupaten Pangkep pada tahun 2008. Pelatihan
Metode
Penilaian
Ekosistem
Terumbu
Karang
Lanjutan
dilaksanakan di Kabupaten Pangkep pada tahun 2007. Pelatihan Keuangan Desa pada tahun 2006. Pengenalan Biota serta Identifikasi Jenis-Jenis Ekosistem Terumbu Karang dilaksanakan di Jakarta (Pulau Pari-Kepulauan Seribu) pada tahun 2005. Menurut Pomeroy et al. (2004), pelaksanaan pelatihan dan workshop bagi stakeholder dapat dijadikan sebagai ukuran efektivitas dalam program. Hal ini berarti semakin banyak pelatihan dan workshop diadakan bagi stakeholder pengelola akan memberikan pengetahuan dan kemampuan yang mandiri dan kepuasan dalam mengelola sumberdaya laut terutama DPL. Beberapa pelatihan yang didapatkan stakeholder ditampilkan pada Gambar 15 berikut,
Gambar 15 Pelatihan penilaian ekosistem terumbu karang dan workshopevaluasi pelaksanaan CRITC.
73
5.2.8
Tingkat Partisipasi Stakeholder/Pengelola Penilaian tingkat partisipasi stakeholder diukur pada keaktifan stakeholder
dalam memutuskan dan keterlibatan terhadap pengelolaan DPL sehingga dengan visi dan misi seorang stakeholder dapat dipertimbangkan oleh pemerintah pusat atau manager pengelola DPL (Pomeroy et al. 2004). Keterlibatan stakeholder tidak hanya di lingkungan sendiri namun harus aktif antar jejaring pihak pengelola DPL lainnya yang ada di Kabupaten Pangkep. Pihak LPSTK Desa Mattiro Labangeng bersama pihak LPSTK desa lainnya telah mendukung pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) untuk Kabupaten Pangkep. Peran pihak LPSTK ini memfasilitasi pemangku kepentingan lokal dan masyarakat desa dalam menyalurkan masukanmasukan dan isu-isu pengelolaan pada rencana pengembangan DPL skala desa menjadi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) skala kabupaten yang baru saja di deklarasikan pada tahun 2010. Menurut Cormick (1979) in Husain (2008), peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan didasarkan pada sifatnya, yakni yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Peran serta masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu, dimana keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Sedangkan dalam konteks peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Upaya penetapan kawasan akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh stakeholder baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta di wilayah setempat. Dengan demikian pihak LPSTK dan masyarakat Desa Mattiro Labangeng yang akan terkena dampak dari penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ini, diharapkan berperan aktif dalam upaya mendapatkan manfaat lebih besar dari pemanfaatan ruang yang mencakup wilayahnya dan meminimalisasi konflik pemanfaatan ruang dengan berorientasi keuntungan dan kesejahteraan masyarakat.
74
5.3
Efektivitas Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
5.3.1 Analisis Stakeholder Keberhasilan pengelolaan DPL didasarkan pada pencapaian maksud dan tujuan pengelolaan DPL. Keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng ini tidak lepas dari peran stakeholder yang terlibat di dalamnya. Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan bersama DPL ini sangat penting dalam mendukung terlaksananya pengelolaan DPL
yang baik.
Masing-masing
stakeholder mempunyai peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. Nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder diketahui melalui analisis stakeholder (Lampiran 16). Berdasarkan klasifikasi garis linier dalam analisis stakeholder pada Gambar 16, stakeholder yang berada diatas garis linier menunjukkan tingkat kepentingan pengaruh stakeholder yang tinggi, sedangkan stakeholder yangberada di bawah garis linier menunjukkan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder yang rendah. 7.00 6.00 Kepentingan
5.00 4.00 3.00
X7 X9
X11 X10
X2 X4
X8
X5 X3 2.00 Keterangan: X12 X1= Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil X6X7= Kelompok nelayan 1.00 X2= COREMAP Phase II (pusat) X8= Sektor privat X3= Dinas Perikanan dan Kelautan X9= Nelayan 0.00 X4=LSM X10=Aparat desa 0.00 1.00 2.00 X11=3.00 4.00 X5= Akademisi Anggota LPSTK Pengaruh X6= Publik Figur X12= Pengumpul
X1
5.00
6.00
7.00
Gambar 16 Analisis stakeholder DPL Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkep Analisis penilaian skorterhadap stakeholder pada gambar di atas terlihat bahwa posisi stakeholder di atas garis linier adalah Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (X1), COREMAP II (pusat) (X2), Dinas Perikanan dan Kelautan (X3), LSM (X4), Kelompok Nelayan (X7), Nelayan (X9), Aparat Desa (X10) dan Anggota LPSTK (X11), sedangkan stakeholder yang berada dibawah
75
garis linear adalah Akademisi (X5), Publik Figur (X6), Pengumpul (X8) dan Sektor Privat (X12). Stakeholder yang berada diatas garis linier tersebut yang menentukan indikator efektivitas terpilih dan diharapkan menentukan kebijakankebijakan yang akan diambil terkait dengan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif. 5.3.2
Indikator Efektivitas Terpilih dan Dampaknya Penentuan indikator efektivitas terpilih didapatkan berdasarkan analisis
stakeholder, yakni indikator-indikator efektivitas yang ada pada IUCN (International Union for Conservation of Nature) dalam Pomeroy et al. (2004) dipilih oleh stakeholder dan dianggap indikator yang menggambarkan efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng. Kriteria indikator efektivitas ini dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu ekologi (kondisi tutupan karang dan kelimpahan ikan target), kriteria sosial-ekonomi (pendapatan, sikap masyarakat dan nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang), dan kelembagaan (jumlah pelatihan stakeholder) (Lampiran 17). Indikator tersebut ditentukan batas kritisnya (Critical Threshold Value/CTV) dan dipadukan menggunakan grafik Amoeba (Brink Ten et al. 1991; Ridaura et al. 2002; Glaser 2003). Penilaian dampak dilihat dengan membandingkan kondisi ekologi, sosial-ekonomi dan kelembagaan sebelum dan setelah penetapan DPL dengan nilai batas kritis (Critical Threshold Value/CTV). Pengelompokkan indikator efektivitas terpilih beserta nilai kritis dan dampaknya dapat dilihat pada Tabel 21 berikut, Tabel 21 Indikator efektivitas terpilih beserta nilai CTV dan dampaknya Kriteria Ekologi
SosialEkonomi
Kelembagaan
Indikator Terpilih a. Kondisi Tutupan Karang b. Kelimpahan Ikan Target
Unit
Kondisi Sebelum Sesudah (2005) (2010)
CTV
%
> 25
20
36
Individu
> 25
24
79
c. Pendapatan d. Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang e. Sikap masyarakat
Rp/thn Rp/ha/thn
4.320.000 225.000.000
1.508.050 42.635.910
7.997.625 52.084.390
>25
-
86.66
f. Jumlah pelatihan stakeholder
Jumlah/thn
1
4
4
%
76
5.3.3
Analisis Efektivitas Efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng ditampilkan dengan
menggunakan teknik Amoeba yang tersaji dalam bentuk diagram yang terlihat pada Gambar 17.
Kondisi Tutupan Karang(%)
Kelimpahan Ikan Target (ekor)
Jumlah pelatihan stakeholder
Pendapatan (Rp/Thn) Sikap Masyarakat
(%) Nilai ekonomi Sumberdaya TK (Rp/Ha/Thn)
Keterangan: EKOLOGI
SOSIAL-EKONOMI
KELEMBAGAAN
Critical Threshold Value (CTV) Sebelum DPL Setelah DPL
Gambar 17 Hasil analisis efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng menggunakan teknik Amoeba.
77
Hasil yang dicapai (efektivitas) dalam pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng diketahui melalui pengukuran pada beberapa indikator ekologi, sosialekonomi dan kelembagaan dengan membandingkan data 2 tahun yang berbeda (tahun 2005 dan tahun 2010). Tahun 2005 merupakan kondisi sebelum terbentuknya
DPL,
sedangkan
tahun
2010
merupakan
kondisi
setelah
terbentuknya DPL Desa Mattiro Labangeng. Berdasarkan analisis efektivitas menggunakan teknik Amoeba, nilai-nilai indikator secara umum setelah penetapan DPL terlihat bahwa keragaan (performance) indikator semakin baik dibandingkan dengan beberapa indikator sebelum adanya penetapan DPL.Hal ini dikarenakan nilai-nilai tersebut belum melewati nilai ambang batas kritis (CTV). Keberhasilan pengelolaan DPL pada tahun 2010 terlihat dengan adanya peningkatan nilai setiap kriteria baik ekologi, sosial-ekonomi dan kelembagaan dibanding dengan kondisi sebelum terbentuknya DPL pada tahun 2005 yang terurai sebagai berikut: a. Kriteria Ekologi Persen tutupan karang hidup Pengelolaan DPL yang efektif di DPL Desa Mattiro Labangeng ditunjukkan dengan kondisi terumbu karang dari tahun ke tahun yang memiliki kecenderungan pemulihan kondisi karang yang lebih baik. Hal ini terlihat dari kondisi persentase tutupan karang hidup sebesar 20% sebelum penetapan DPL (2005) mengalami peningkatan menjadi 36% setelah adanya penetapan DPL (2010). Meski terjadi peningkatan persen penutupan, kondisi terumbu karang di perairan DPL ini tidak berada di bawah batas nilai kritis yang ditetapkan oleh Gomez dan Yap (1988) sebesar 25%. Kondisi tutupan karang di perairan ini masih dalam kondisi sedang dengan tutupan kurang dari 50% dan masih dibawah kategori baik (Gomez dan Yap 1988). Kelimpahan ikan target Pemulihan ekosistem terumbu karang melalui pengelolaan DPL yang efektif ini juga terlihat pada kelimpahan jumlah ikan target yang mengalami kenaikan. Terjadi kenaikan kelimpahan kelompok ikan target di perairan DPL Desa Mattiro Labangeng yakni dari 24 ekor (2005) menjadi 79 ekor (2010). Manuputty dan Djuwariah (2009) menentukan kriteria kelimpahan ikan di
78
terumbu karang (DPL) berdasarkan kelompok ikan target. Hal ini dikarenakan kelompok ikan tersebut memiliki nilai ekonomis dan merupakan target tangkapan nelayan. Kenaikan ikan target pada tahun 2010 ini juga masih berada diatas nilai kritisnya (>25 ekor), sehingga dari indikator ini kondisi kelimpahan ikan karang berdasarkan kelompok ikan target dapat dikatakan lebih baik dari tahun sebelumnya maupun jumlah ideal yang telah ditetapkan. b. Kriteria Sosial-Ekonomi Tingkat sikap masyarakat Pemahaman masyarakat Desa Mattiro Labangeng terhadap keberadaan DPL sangat ditentukan oleh informasi yang mereka dapat tentang nilai-nilai penting dari ekosistem terumbu karang tersebut. Analisis pemahaman ini didasarkan pada jawaban yang diberikan responden dan hanya dilakukan pada tahun 2010 sebagai bentuk evaluasi keberadaan DPL dengan batas kritis sebesar 25%. Tingkat sikap masyarakat nelayan menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendukung keberadaan DPL, hal ini ditunjukkan dengan nilai persentase sikap dukungan masyarakat yang mencapai sebesar 86.66%. Dengan demikian, indikator tersebut dapat dikatakan sebagai penentu keberhasilan dalam pengelolaan DPL. Pendapatan Kondisi perekonomian nelayan Desa Mattiro Labangeng diukur melalui pendapatan per tahun yang dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebagai nilai batas kritis. Sebelum penetapan DPL pada tahun 2005 ratarata pendapatan nelayan Desa Mattiro Labangeng adalah Rp 1.413.500/tahun. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding dengan nilai pendapatan rata-rata nelayan setelah adanya DPL pada tahun 2010 yang mencapai Rp 7.997.625/tahun dengan nilai batas kritis dari UMK sebesar Rp. 4.320.000/tahun. Pendapatan nelayan pada tahun 2005 masih berada di bawah UMK, sedangkan pada tahun 2010 rata-rata pendapatan nelayan melebihi nilai UMK. Dengan demikian, berdasarkan peningkatan nilai pendapatan nelayan ini dapat dikatakan bahwa kondisi perekonomian nelayan Desa Mattiro Labangeng juga mengalami peningkatan menjadi lebih baik.
79
Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang digunakan untuk melihat perubahan nilai ekosistem terumbu karang setelah adanya gangguan, dalam hal ini adanya penetapan sebagian perairan Desa Mattiro Labangeng sebagai daerah yang dilindungi. Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya terumbu karang, yang pada akhirnya akan mengubah perilaku pemanfaatannya. Perubahan perilaku pemanfaatan ini akan mengubah nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006). Berdasarkan grafik Amoeba menunjukkan adanya perubahan nilai ekosistem terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap. Nilai ekosistem terumbu karang sebelum adanya penetapan DPL sebesar Rp 42.635.910.51/ha/tahun, nilai ini lebih rendah dibandingkan setelah ditetapkannya DPL yakni sebesar Rp 52.084.390.18/ha/tahun. Jika dibandingkan dengan nilai CTV maka nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang sebelum dan sesudah adanya penetapan DPL tidak melebihi nilai idealnya. Nilai kritis (CTV) yang menjadi pembanding adalah Rp 225.000.000/ha/thn (Modifikasi Munro 1984 in Cesar 1996). Nilai CTV ini merupakan nilai maksimum sustainable yield (MSY) dari sumberdaya ikan dan invertebrata yang dapat dikonsumsi (Munro 1984 in Cesar 1996). Hal ini juga berarti nilai sebelum dan setelah adanya DPL menunjukkan perikanan tangkap yang masih dalam batas normal dan tidak menunjukkan penangkapan yang lebih (overfishing). c. Kriteria Kelembagaan Tingkat pelatihan stakeholder Kemandirian stakeholder dalam menghadapi tantangan-tantangan DPL dimasa akan datang ditentukan melalui jumlah pelatihan yang dilaksanakan dan diikuti. Pelatihan bagi stakeholder sebelum dan sesudah adanya DPL dilakukan 4 kali dalam setahun.Hal ini juga merupakan program pemerintah (COREMAP II) dalam hal ini tersedianya budget untuk pelaksanaan pelatihan dan juga disesuaikan dengan kebutuhan stakeholder yang ada di daerah. Jika dibandingkan dengan nilai CTV (1) untuk pelaksanaan pelatihan, maka jumlah pelatihan yang didapatkan oleh stakeholder tiap tahun telah cukup untuk pengembangan diri maupun kelembagaan di daerahnya masing-masing.
80
5.3.4
Tingkat Efektivitas Pengelolaan DPL Analisis tingkat efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng dalam penelitian
ini dilakukan untuk mengukur tingkat efektivitas pengelolaan DPL pada tahun penelitian (2010) dan didasarkan pada indikator-indikator terpilih yang ditetapkan tingkatannya (indeks). Hasil analisis tingkat efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng tersaji pada Tabel 22. Tabel 22 Matriks tingkat efektivitas Kriteri a Ekologi
SosialEkonom i
Kelembagaan
18
Skor Nilai Riil 1
0 0-25
1 > 25-50
2 >50-75
3 >75-100
b. Kelimpahan Ikan Target (Individu)
18
3
0-25
> 25-50
>50-75
>75-100
c. Pendapatan (Rp ribu/tahun)
16
2
<4.32
4.32-8.64
8.64-12.96
> 12.960
d. Nilai ekonomi Sumberdaya TK (Rp juta/ha/tahun)
16
3
>225
>150-225
75-150
<75
e. Sikap masyarakat
15
3
0-25
>25-50
>50-75
>75-100
f. Jumlah pelatihan stakeholder (Jumlah/tahun)
15
3
0
1
2
>2
Sub Kriteria
Bobot
a. Kondisi Tutupan Karang (%)
Bobot x Skor Total Tingkat Efektivitas
Skor
242 82
(Sumber: Studi ini dan Skala Likert) Berdasarkan hasil perhitungan tingkat efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng berada pada skor 82 % dan dikategorikan sangat efektif. Menurut Carter et al. (2011), skor dan tingkat yang dicapai melalui setiap tinjauan tidak ditujukan untuk menentukan status “pasti” dari efektivitas pengelolaan, tetapi untuk lebih mencerminkan tingkat pencapaian relatif terhadap tujuan akhir dan tujuan-tujuan yang digunakan untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan tersebut pada masa yang akan datang. Selain itu, Carter et al. (2001) menyebutkan bahwa pada tingkatan tersebut merupakan tingkat tertinggi dari efektivitas pengelolaan kawasan perlindungan laut. Pada tingkatan ini menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut tersebut telah dikelola dengan kelembagaan yang berfungsi penuh. Hal ini dikarenakan DPL Desa Mattiro Labangeng sudah
81
berjalan lebih dari 3 tahun, sehingga telah melalui beberapa tahapan pengelolaan, yaitu (1) pengelolaan bagi kawasan perlindungan yang baru berjalan, (2) dikelola secara minimum, (3) dikelola dengan penegakan aturan dan (4) dikelola secara berkelanjutan, sehingga mencapai tingkatan tersebut. Dengan demikian, pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang telah dianalisis dan berada pada kategori sangat efektif pada penelitian ini diharapkan akan meningkatkan pelestarian keanekaragaman hayati laut dan pada gilirannya dapat memperkuat layanan
ekosistem
yang
bermanfaat
untuk
mendukung
pembangunan
berkelanjutan masyarakat setempat. 5.3.5
Srategi Pengelolaan DPL Berdasarkan Hasil Keberadaan DPL Desa Mattiro Labangeng ditujukan untuk menentukan
pola pengelolaan yang mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang bersifat dapat pulih (terumbu karang). Hal ini memiliki arti yang sangat penting bagi komunitas nelayan setempat karena bentuk pengelolaan keseluruhan yang diserahkan kepada masyarakat dengan memberdayakan peran dan kemampuan masyarakat yang pada saatnya dapat mewujudkan kemerataan kesejahteraan. Kenaikan persentase terumbu karang, jumlah ikan target dan berakhir pada peningkatan pendapatan masyarakat merupakan suatu wujud nyata efektivitas pengelolaan daerah perlindungan laut yang secara keseluruhan ditentukan oleh tingkat pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap keberadaan DPL serta dukungan dari penguatan kelembagaan melalui berbagai pelatihan dari program-program pemerintah. Berdasarkan hasil analisis tutupan karang untuk DPL Desa Mattiro Labangeng terlihat bahwa kenaikan yang dicapai tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan DPL Desa Mattiro Deceng pada tahun 2008-2010 yang berturut-turut sebagai berikut: 42%, 53% dan 54% (COREMAP-LIPI 2008; COREMAP II 2009 in Setianingsih 2010). Dengan demikian, DPL Desa Mattiro Deceng mengalami peningkatan persentase tutupan karang hidup sebesar 12% selama 2 tahun DPL terbentuk. Peningkatan tersebut lebih tinggi dibanding dengan DPL Desa Mattiro Labangeng hanya mengalami kenaikan persentase tutupan karang sebesar 16% sejak terbentuk DPL (2005-2010). Hal ini dikarenakan DPL Desa Mattiro Deceng sistem pengawasan dan penandaan DPL
82
yang lebih baik dibanding DPL Desa Mattiro Labangeng. Penandaan batas DPL oleh masyarakat Desa Mattiro Deceng dilakukan sejak terbentuknya DPL pada tahun 2006. Penandaan berupa pelampung ini sangat berguna sebagai informasi bahwa di zona tersebut merupakan zona larang ambil atau tidak ada lagi aktivitas perikanan. Pengelolaan DPL yang bijaksana dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, seperti DPL Kelurahan Pasar Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara (Hulu 2009) dan Kawasan Kelola Laut (KKL) di Pulau Saponda Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Subhan 2010). Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengelolaan DPL/KKL yang efektif di kedua lokasi tersebut, hal ini dapat dilihat karena adanya peningkatan nilai indikator baik secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara rinci perbandingan indikator beberapa DPL di Indonesia ditampilkan pada Tabel 23. Tabel 23 Perbandingan keragaan/indikator DPL yang ada di Indonesia Nama DPL KKL Pulau Saponda Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara
Keragaan/Indikator Tutupan Karang (%)
Sebelum DPL 25.08
Sesudah DPL 40.37
Kelimpahan Ikan Target (Individu/250 m2)
65
404
6
14
885500/bulan
1127700/bulan
Tutupan Karang (%)
45
54
Kelimpahan Ikan Target (Individu/250 m2)
40
114
5
3
39.31
44.84
251
370
41
21
500000/bulan
3000000/bulan
Tutupan Karang (%)
20
36
Kelimpahan Ikan Target (Individu/250 m2)
24
79
4
6
1.508.050
7.997.625
Kelimpahan Ikan Indikator (Individu/250 m2) Pendapatan (Rp/bulan) DPL Desa Mattiro Deceng Kabupaten Pangkajene Provinsi Sulawesi Selatan
DPLKelurahan Pasar Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara
Kelimpahan Ikan Indikator (Individu/250 m2) Tutupan Karang (%) Kelimpahan Ikan Target (Individu/250 m2) Kelimpahan Ikan Indikator (Individu/250 m2) Pendapatan (Rp/bulan)
DPL Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkajene Provinsi Sulawesi Selatan
Kelimpahan Ikan Indikator (Individu/250 m2) Pendapatan (Rp/bulan)
Pustaka Subhan 2010
Setianingsih 2010
Hulu 2009
Salim 2011
83
Keberhasilan dari kegiatan pengelolaan juga sangat bergantung pada kesiapan dan partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu penyiapan lembaga pengelola di masyarakat sangat penting dan perlu ditingkatkan dengan cara melakukan koordinasi antar lembaga desa dan lembaga di luar desa, membentuk jaringan kerja dan pendampingan untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif. Pengelolaan DPL yang efektif tidak lain adalah tercapainya maksud dan tujuan pengelolaan DPL itu sendiri. Pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng dapat pula dikembangkan dalam sebuah kerangka kerja yang menyeluruh sesuai dengan Martinez et al. (2009) yang didasarkan pada pendekatan pengelolaan spesies, habitat, ekosistem secara keseluruhan, potensi konflik kepentingan, serta keragaman stakeholder. Hal ini ditujukan untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan lembaga yang berkepentingan dalam sebuah konsep kerangka kerja agar DPL tersebut berkelanjutan. Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif dapat dilakukan beberapa strategi secara terpadu dengan tetap memperhatikan isu-isu baik secara ekologi, sosial-ekonomi maupun kelembagaan. Strategi
ini
meliputi
perlindungan
areal
DPL,
peningkatan
kualitas
matapencaharian, dan peningkatan kapasitas masyarakat. Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif disajikan pada Gambar 19.
84
Pengelolaan DPL Efektif Tujuan Pengelolaan DPL
Indikator Ekologi
Indikator Sosial-Ekonomi
Indikator Kelembagaan
Fungsi dan Manfaat Ekologi
Fungsi dan Manfaat Ekonomi
Fungsi dan Manfaat Sosial
PerlindunganDPL
Peningkatan Kualitas Mata Pencaharian
Peningkatan Kapasitas Masyarakat
Pengembangan ekowisata kepulauan Alternatif budidaya perikanan sebagai mata pencaharian Menjalin hubungan kerjasama dengan pihak lain yang memberi kontribusi ekonomi.
Monitoring Menjaga tanda batas DPL Transplantasi karang Pengadaan rumpon
Pelaksanaan pelatihan untuk pelatih (TOT) tentang ekosistem terumbu karang Pelatihan pengelolaan DPL berbasis masyarakat
Penguatan Pengelola DPL
Keterangan:
Goal Indikator Isu Strategi Kegiatan
Gambar 19 Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng.
85
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Kondisi ekologi di perairan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Mattiro Labangeng digambarkan melalui persentase penutupan karang hidup dan kelimpahan ikan target termasuk dalam kategori sedang, kelimpahan megabentos menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis serta jumlah individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama, dan parameter kualitas air berupa suhu perairan, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, kedalaman, dan oksigen terlarut secara umum dapat dikatakan dalam kondisi baik. 2. Sosial ekonomi masyarakat sebagai nelayan di sekitar DPL Desa Mattiro Labangeng digambarkan melalui perikanan tangkap yang dipasarkan di Pulau Laiya dan Pulau Polewali, yaitu ikan pelagis, cumi-cumi, sotong, kepiting, rajungan dan ikan-ikan karang yang secara keseluruhan rata-rata produksi pada tahun 2010 mengalami peningkatan produksi per tahun dengan nilai pendapatan rata-rata per tahun per nelayan juga melebihi Upah Minimum Kabupaten
(UMK),
sehingga
berdasarkan
data
tersebut
didapatkan
peningkatan pada nilai ekonomi terumbu karang dari aktivitas perikanan tangkap. 3. Berdasarkan indikator ekologi menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang dan kelimpahan ikan target menjadi semakin baik setelah adanya DPL. Hal ini juga terlihat pada indikator sosial-ekonomi yang menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan, kenaikan pemanfaatan sumberdaya dan dukungan masyarakat terhadap keberadaan DPL. Selain itu, keberadaan DPL juga memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pengelolaan DPL yang merupakan indikator kelembagaan. 4. Efektivitas DPL Desa Mattiro Labangeng menunjukkan hasil efektif yang ditunjukkan dari semua nilai indikator sesudah adanya DPL memiliki nilai lebih baik dari sebelum adanya DPL, dan nilai-nilai tersebut tidak melewati ambang batas kritis (critical threshold values/CTV).
86
5. Strategi pendekatan pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng yang efektif dapat dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan isu-isu secara ekologi, sosial-ekonomi maupun kelembagaan. Strategi ini meliputi perlindungan areal DPL, peningkatan kapasitas masyarakat, dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang.. 6.2 Saran 1. Indikator efektivitas pengelolaan DPL Desa Mattiro Labangeng dapat disempurnakan melalui penilaian parameter kualitas perairan secara komprehensif (kimia, fisika dan biologi). Hal ini dikarenakan kawasan tersebut berbatasan langsung dengan daratan Kabupaten Pangkep yang memungkinkan run-off dari daratan mencemari perairan dan merusak habitat di perairan Desa Mattiro Labangeng. 2. Bentuk penilaian efektivitas DPL tingkat desa dapat diterapkan dan disempurnakan pada pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang baru terbentuk di Kabupaten Pangkep.
87
DAFTAR PUSTAKA
Ablaza-Baluyut E. 1995. The Philippine fisheries sector program. In: Coastal and Marine Environmental Management: Proceedings of a Workshop. Bangkok, Thailand, 27-29, March, 1995. Asian Development Bank. 156177pp. Adrianto L, Yoshiaki M, Yoshiaki S. 2004. Assessing Local sustainability of Fisheries System: a multi-criteria participatory approach with the case of Yoron Island, Kagoshima prefecture, Japan. Mar Pol 29: 9-23. Adrianto L. 2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Dept. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fak.Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Bogor. Adrianto L. 2007. Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Marginal Fisheries ommunity Development 2004-2006. [Working Paper]. Kerjasama Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan Badan Perencanaan Pembagunan Nasional. Afif S A, S N Hodijah, Imran M A, Christien I. 2005. Kajian Kebijakan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia : Desentralisasi dan Peran serta Masyarakat di Era Otonomi Daerah. Yayasan KEHATI. Jakarta. Alcala A C. 1988. Effects of marine reserves on coral fish abundance and yields of Philippine coral reefs. Ambio 17(3): 194-199. Anthony B, Inglis J. 2004. Increased Spatial and Temporal Variability in Coral Damage Caused by Recreational Scuba Diving. Ecol Appl. 12(2): 427-440. Bengen D G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Berkes F, Mahon R, McConney P, Pollnac R, Pomeroy R. 2001. Managing Smallscale Fisheries: Alternative Directions and Methods. Ottawa, Canada: International Development Research Centre, 320pp. Boquiren A C. 2006. Towards a Framework for Valuation or Environmental Resources: Monetization and Ingtangibles. Artikel. Dept. of Economics and Political Science. College of Social Science. University of the Phillipines-Baguio. 11pp. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. 2009. Kecamatan Liukang Tupabbiring Dalam Angka Tahun 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Sulawesi Selatan. Brink Ten B J E, Hosper S H, Colin F. 1991. A quantitative method for description and assessment of ecosystems: the AMOEBA-approach. Mar Pollut Bull 23: 265–270.
88
Brower J E, Zar J H, Von Ende. 1990. General Ekology, Field and Labaoratory Methods for General Ecology. Ed Ke-3. Iowa: America W M. C. Brow Company Publisher Dubugue. Brown K, W Neil Adger, Emma T, Peter B, David S, Kathy Y. 2000. Trade-off Analysis For Marine Protected Area Management. [Papers Series]. CSERGE. Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Reef at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute. Burke L, Greenhalgh S, Prager D, Cooper E. 2008. Coastal Capital-Economic Valuatioan of Coral Reefs In Tobago and St. Lucia. World Resource Institute. 76pp. Carter E, A Soemodinoto, A White. 2011. Panduan untuk Meningkatkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia. BaliIndonesia: Program Kelautan The Nature Conservancy Indonesia. Carter J A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumber daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan dan Pusat Penelitian Sumber daya Manusia dan Lingkugan Universitas Indonesia, Jakarta; Dalhousie University, Environmental Studies Centres Development in Indonesia Project. Cesar H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. The World Bank and Environmental Sustainable Development Vice Presidency. Jakarta. Cesar H, Chong C K. 2004. Economic Valuation and Socioeconomics of Coral Reef: Methodological Issues and Three Case Studies. Worldfish Center Contribution No. 1721. 27pp. Christie P, A White, E Deguit. 2002. Starting Point or Solution?Community-based marine protected areas in the Philippines. J Envir Manag 66:441-454. [COREMAP-PSTK] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II. 2002. Final Report: Ecological Assessment of the Spermonde Archipelago, South Sulawesi. PSTK-Unhas. Sulawesi Selatan. [COREMAP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II. 2006. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. Vol. 2. Dir. Jend. Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. [COREMAP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II. 2006. Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat. Dir. Jend. Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. [COREMAP II-PPTK UNHAS] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II-Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep. Sulawesi Selatan.
89
[COREMAP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II. 2007. Pedoman Umum Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Dir. Jend. Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. [COREMAP II-LIPI] Coral Reef Rehabilitation and Mangement Program Phase II-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia . 2008. Studi Baseline Terumbu Karang di Lokasi Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Pangkep. Jakarta. Crawford B R, J Tulungen. 1998. Methodological approach of Proyek Pesisir in North Sulawesi. Working Paper. Proyek Pesisir USAID/BAPPENAS NRM II Program. 7pp. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan Dan Perikanan. 2009. Pedoman Umum Pemantauan Dan Evaluasi Mitra Bahari. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. English S C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd Edition). Asean-Australia Marine Science Project. Australia Institute of Marine Science. Townsville. Farchan M, I Nyoman S. 2008. Penguatan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang Di Banten. Mitra Bahari 2 (3): 85-93. Fauzi A. 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Cet. ketiga. Jakarta. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Glaser M. 2003. Interrelations between Mangrove Ecosystems, Local Economy and Social Sustainability in the Caete Estuary. North Brazil. Wetl Ecol Manag 11: 265-272. Gomez E D, H T Yap. 1988. Monitoring Reef Condition, dalam Coral Reef Management Handbook. Second Edition. R.A. Kenchingtondan Bryget E.T. Hudson (Editor) Unesco Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Gray J S. 1981. The Ecology of Marine Sediments. An Introduction to the Structure and Function of Benthic Communities. Florida: Cambridge University Press. Green E, Donelly R. 2003. Recreational Scuba Diving in Caribbean Marine Protected Area: Do the Users Pay?. Ambio. 32(2):140-144. Grimble R, Chan M-K. 1995. Stakeholder Analysis for Natural Resource Management in Developing Countries. Nat Resour For 19: 113-124. Hanley N, Ian M, Robin F, Mike W. 1999. Measuring Sustainability: A time of alternative indicators for Scotland. Ecol Econ 28: 55-73. Hastings A, L W Botsford. 1999. Equivalence in yield from marine reserves and traditional fisheries management. Science 284: 1537-1538.
90
Helvoort VB. 1981. A Study on Bird Population in The Rural Ecosystem of West Java, Indonesia a Semi Quantitative Approach. Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningen-The Nederland. Hockings M, Stolton S, Leverington F, Dudley N, Courrau J. 2006. Evaluating Effectiveness: A Framework for Assessing Management Effectiveness of Protected Areas. Second edition. Gland Switzerland and Cambridge, UK: IUCN (The World Conservation Union). 105pp. Houde E, F C Coleman, P Dayton, D Fluharty, G Kelleher, S Palumbi, A M Parma, S Pimm, C Roberts, S Smi, G Somero, R Stoffle, J Willen. 2001. Marine Protected Area: Tools For Sustaining Ocean Ecosystems. Committee On The Evaluation Design, And Monitoring Of Marine Reserves And Protected Areas In The United States. National Academy Press. Washingtron, D.C. USA. http://www.coremap.or.id/pelatihan/. Tentang Pelatihan-Pelatihan bagi Stakeholder yang Diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dikunjungi pada tanggal 11-Desember 2010. http://ramaalessandro2.multiply. com/journal/item/2. Tentang Nilai Guna (utility). Dikunjungi pada tanggal 21 Desember 2010. Hulu T. 2009. Efektifitas Pengelolaan Terumbu Karang Di Kawasan Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara. [Thesis] Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Husain A A A. 2000. Keanekaragaman Ikan Karang di Taman Laut Nasional Takabonerate, Sulawesi Selatan. Torani 10(2): 61-68. Husain A A A. 2008. Peran Serta Masyarakat Dalam Mendukung Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pada Kec. Liukang Tupabbiring. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas. INCUNE-DKP Kabupaten Pangkep. Hutabarat A A, Fredinan Y, Akhmad F, Sri H, Kusharjani, Luky A. 2009. Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Buku Jilid Kedua. Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan RI dan SECEM-Korea International Cooperation Agency. Bogor. Hutcheson K. 1970. A Test for Comparing Diversities Based on the Shannon Formula. J Theor Biol 29: 151-154 [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. IUCN, Gland, Switzerland, and Cambridge, U.K. Jameson S C, McManus J W,Spalding M D. 1995. State of The Reefs: Regional and Global Perspectives. ICRI Washington. Jimenez-Badillo L. 2008. Management Challenges of Small-Scale Fishing Communities in a Protected Reef System of Veracruz, Gulf of Mexico. Fish Manag Ecol 15: 19-26.
91
Jompa J. 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs On Spermonde Archipelago, South Sulawesi. [Thesis] MC Master-Canada. Kartono AP. 2006. Diktat Ekologi Kuantitatif. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Kasmidi M, A Ratu, E Armada, J Mintahari, I Maliasar, D Yanis, F Lumolos, N Mangampe. 1999. Profil Sumberdaya Wilayah Pesisir Desa Blongko, Kecamatan Tengah, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Proyek Pesisir. Coastal Resources Center. University of Rhode Island, Narragansent Rhode Island. USA. Kenchington R, Ward T, Hegerl E. 2003. The Benefit of Marine Protected Areas. Department of Environment and Heritage: Commonwealth of Australia. Australia. Kuiter R H, Tonozuka T. 2001. Pictorial Guide to: Indonesia Reef Fisher. Part 1, 2, and 3. Zoo Netics. Seaford Victoria. Australia. [LEMSA] Lembaga Maritim Nusantara. 2007. Profil Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pangkep 2007. Makassar. Sulawesi Selatan. Lieske E, R Myers. 1994. Reef Fishes of the World. Periplus Edition, Singapore. 400pp. Lim L C. 1998. The Concepts and Analysis of Carrying Capacity: A Management Tool for Effevtive Planning. Report Produce Under Bay Bengal Programme. Part I. Madras. India. Ludwig J M, J F Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. A Wiley Intersciences Public. 92pp. Magurran A E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton University Press. Princeton New Jersey. Magurran A E. 2004. Measuring Biological Diversity. Blackwell Science. Ltd. Australia. 107-114pp. Manuputty A E W, Djuwariah. 2009. Panduan Metode Point Intercept Transect (PIT) Untuk Masyarakat. COREMAP II-LIPI. Jakarta. Margalef R. 1972. Homage to Evelyn Hutchinson Or Why There Is An Upper Limit To Diversity. Trans. Connect. Acad Arts Scien 44: 211-235. Martinez C O, F G Casalduero, J T. Bayle-Sempere, C Valle, J LSanchez-Lizaso , A Forcada ,C B C PSanchez-Jerez, P Martin-Sosa, J M. Falcon, F Salas, M Graziano, R Chemello, B Stobart, P Cartagena, A Perez-Ruzafa, F Vandeperre, S Planes, A B E Rochel. 2009. A Conceptual Framework for The Integral Management of Marine Protected Areas. J Ocean Coast Manag 52: 89–101. McClanahan TR, Mwaguni S, Muthiga NA. 2005. Management of The Kenyan Coast. Ocean Coast Manag 48:901–931. McCook L J. 2001. Competition Between Corals and Turf along Gradient of Terrestrial Influence in The Nearshore Central Great Barrier Reef. Coral Reef 19:419-425.
92
Mc Naughton S J, Wolf LL. 1998. Ekologi Umum (Edisi Kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mensah J V, Antwi B K. 2002. Problems of artisanal marine fishermen in Ghana: the way ahead. Singapore. J Trop Geog 23: 217–235. Moberg F, Folke C. 1999. Ecological Goods and Services of Coral Reef Ecosystems. Ecol Econ 29:215-233. Nikijuluw V P H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT Pusaka Cidesindo. Jakarta. Nybakken J W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan: H M Eidman, Koesoebiono, D G Bengen, M Hutomo, S Sukardjo: PT Gramedia. Jakarta. 459pp. Pajaro M, F Olano, B San Juan. 1999. Documentation and review of marine protected areas in the Philippines: a preliminary report. Haribon Foundation for the Conservation of Natural Resources. Metro Manila, Philippines. [PERDES] Peraturan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Tahun 2007. Pollnac R, L Bunce, P Townsley, Robert P. 2000. Socioeconomic Manual For Coral Reef Management. Global Coral Reef Monitoring Network (GCRMN). Pomeroy R S, Parks J E, Watson L N. 2004. How Is Your MPA Doing? A Guide book of Natural and Social Indicators for Evaluating Marine Protected Area Management Effectiveness. IUCN-The World Conservation Union. [PPTK-UH] Pusat Penelitian Terumbu Karang. 2009. Strategi Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa Mattiro Labangeng Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara. Penelitian Tingkat Kabupaten. COREMAP II DKP Kab. Pangkep. Profil Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkep 2009. Putong I, 2010. Economics Pengantar Mikro dan Makro. Edisi 4. Mitra Wacana Media. Jakarta. Rahayuningsih M. 2009. Komunitas Burung di Kepulauan Karimunjawa Jawa Tengah: Aplikasi Teori Biogeografi Pulau [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ridaura S L, O Masera, M Astier. 2002. Evaluating the Sustainability of Complex Socio-Environmental Systems the MESMIS Framework. Ecol Indic 2: 135-148. Russ G R, Alcala A C. 1994. Sumilon Island Reserve: 20 years of hopes and frustrations. Naga 7(3): 8-12. Russ G R, Stockwell B, Alcala A C. 2005. Inferring Versus Measuring Rates of Recovery in No-Take Marine Reserves. Mar Ecol Prog 292:1–12.
93
Saaty T L. 1991. Pengambilan Keputusan. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut untuk rakyat. IPB Press. Bogor. Setianingsih A. 2010. Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Di Desa Mattiro Deceng Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan. [Thesis] Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Somantri A, Sambas A M. 2006. Aplikasi Statistika dalam Penelitian. Pustaka Setia. Bandung. Sorokin Yu I. 1993. Coral Reef Ecology. New York: Springer-Verlag. Spalding M D, Ravilious C, Green E P. 2001. World Atlas of Coral Reefs. Prepared at The UNEP World Conservation Monitoring Center. University of California Press. Berkeley. USA. Spurgeon J P. 1992. The Economic Valuation of Coral Reefs. Mar Poll Bull 24: 529-536. Subhan. 2010. Kajian Efisiensi Pengelolaan Kawasan Kelola Laut Di Pulau Saponda, Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. [Thesis] Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suharsono. 1995. Kondisi Terumbu Karang di Indonesia pada umumnya dan khususnya Pulau Lombok. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. Suharsono. 2008. Jenis-Jenis Karang yang Umum Diijumpai di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta. Veron J E N. 1995. Corals in Space and Time: The Biogeography and Evolution of the Scleractinia. Australian Institute Marine Science Cape Ferguson, Townsville, Queensland. UNSW Press. Winardi. 2003. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Raja Grafindo Persada, Cet. kedua. Jakarta. Wiryawan B, Dermawan A. 2006. Panduan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (Marine Management Area/MMA) di Wilayah Coremap II Indonesia Bagian Barat. Coral Reef Rehabilitation And management Program Yulianda F, Akhmad F, Armin A H, Sri H, Kusharjani. 2009. Ekologi Ekosistem Perairan Laut Tropis. Buku Jilid Kesatu. Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan RI dan SECEM-Korea International Cooperation Agency. Bogor.
94
95
Lampiran 1 Pengamatan komponen ekosistem terumbu karang Pengamatan I Transek
Komponen
Pengamatan II Identifikasi
0.5
NA
Astreopora
1
AC
Acropora
1.5
NA
Oxypora
2
SP
2.5
Transek
Komponen
Identifikasi
25.5
NA
Porites
26
NA
Astreopora
26.5
SC
Soft Coral
Sponge
27
DC
Dead Coral
SP
Sponge
27.5
NA
Turbinaria
3
NA
Echinophyllia
28
NA
Turbinaria
3.5
NA
Porites
4
NA
Euphyllia
4.5
SP
Sponge
5
S
Sand
28.5 29 29.5
DCA SP DCA
Dead Coral Alga Sponge Dead Coral Alga
30
NA
Euphyllia
NA
Porites
5.5
DC
Dead Coral
30.5
6
NA
Cyphastrea
31
6.5
NA
Montipora
31.5
7
NA
Montipora
32
S
Sand
7.5
AC
Acropora
32.5
S
Sand
8
NA
Euphyllia
33
NA
Favia
8.5
SP
Sponge
33.5
NA
Merulina
9
SP
Sponge
34
SP
Sponge
9.5
SP
Sponge
34.5
10
NA
Echinophyllia
10.5
DCA
Dead Coral Alga
11
SP
Sponge
11.5
S
Sand
DCA NA
DCA
Dead Coral Alga Montipora
Dead Coral Alga
35
NA
Favites
35.5
SP
Sponge
36
DCA
Dead Coral Alga
36.5
OT
Other
OT
Other
12
NA
Favites
37
12.5
NA
Favites
37.5
13
SP
Sponge
38
13.5
SP
Sponge
38.5
14
SP
Sponge
39
14.5
SP
Sponge
39.5
SP
Sponge
15
SP
Sponge
40
NA
Lobophyllia
40.5
NA
Favites
15.5
DCA
Dead Coral Alga
16
SC
Soft Coral
16.5
SP
Sponge
17
OT
Other
17.5
RB
Rubble
18
OT
Other
18.5 19
DCA OT
Dead Coral Alga Other
41
DCA
Dead Coral Alga
OT
Other
S
Sand
DCA
S
Dead Coral Alga
Sand
41.5
NA
Leptoria
42
SP
Sponge
42.5
NA
Turbinaria
43
AC
Acropora
43.5
NA
Leptastrea
44
AC
Acropora
96
Lampiran 1 (Lanjutan) Pengamatan I Transek
Komponen
Identifikasi
Pengamatan II Transek
Komponen
Identifikasi
DCA
Dead Coral Alga
19.5
SP
Sponge
44.5
20
SP
Sponge
45
OT
Other
45.5
SP
Sponge
46
S
Sand
20.5
DCA
Dead Coral Alga
21
SC
Soft Coral
21.5
A
Alga
22
OT
Other
22.5
AC
Acropora
23
S
Sand
23.5
SP
Sponge
24
A
Alga
24.5
NA
Goniopora
25
AC
Acropora
46.5
NA
Leptoria
47
NA
Heliophora
47.5
A
Alga
48
SP
Sponge
48.5
SP
Sponge
49
S
Sand
49.5
OT
Other
50
SP
Sponge
97
Lampiran 2 Pengamatan ikan pada tahun 2010 dengan metode UVC A. Target Pengamatan Pengamatan Spesie Nama Spesies s I II Acanthurus nigrofuscus
1
Individ u
3
1
2
13
11
12
3
3
3
11
15
13
Caesio lunaris
21
13
17
Caesio teres
17
3
10
2
0
1
2
0
1
1
1
1
3
1
2
Pterocaesio diagramma Pterocaesio pisang Caesio caerulaurea
Diagramma pictum Plectrohinchus Orientalis Lethrinus Lentjan Lutjanus carponotatus
5
2 1 2
1
1
1
Scarus dimiatus
1
1
3
2
Scolopsis ciliatus
1
2
2
2
2
0
1
3
3
3
7
5
6
Lutjanus boutton
Epinephelus hexagonatus Cephalopholis boenak Siganus vermicularis Siganus lineatus Jumlah spesies dan individu
2 2 17
3
1
2
95
63
79
1
1
1
5
1
3
0
2
1
B. Indikator Heniochus acuminatus Heniochus diphreutus
3
Heniochus singularis Platax pinnatus
1
1
1
1
Jumlah spesies dan individu
4
7
5
6
Apogon Aureus
3
1
2
Apogon chrysopomus
2
4
3
1
1
1
C. Mayor
Cheilodipterus quinqelineatus
5
Cheilodipterus macrodon
11
5
8
Cheilodipterus Lineatus
9
5
7
Cheilinus fasciatus
1
1
1
Epibulus insidiator
3
7
5
2
2
2
Halichoeres chloropterus Halichoeres melanurus
6
1
1
1
Halichoeres scapularis
2
4
3
Labroides dimidiatus
7
9
8
Premnas biaculeatus
1
1
1
Abudefduf septemfasciatus
5
3
4
Abudefduf bengalensis
5
5
5
Abudefduf sexfasciatus
3
1
2
98
Lampiran 2 (Lanjutan) C. Mayor Pengamatan Spesies I
Pengamatan II
Individu
Abudefduf vaigiensis
4
4
4
Amblyglyphidodon curacao
2
0
1
Amblyglyphidodon ternatensis
3
1
2
Dischistodus melanotus
2
2
2
Dischistodus prosopotaenia
8
2
5
Amphiprion clarkii
1
3
2
5
1
3
37
63
50
Nama Spesies
Amphiprion ocellaris Chromis ternatensis
19
Chromis amboinensis
29
13
21
Chrysiptera leucopoma
7
17
12
Chrysiptera unimaculata
1
1
1
Chrysiptera parasema
38
36
37
Pomacentrus brachialis
4
0
2
Pomacentrus nigromanus
5
2
3
Pomacentrus moluccensis
1
1
1
Caetodontoplus mesoleucus
1
2
0
1
Zanclus Canescens
1
2
0
1
Jumlah spesies dan individu Total spesies dan Individu Kelimpahan
32 53
201 286
2.288
99
Lampiran 3 Indeks struktur komunitas ikan karang Tahun 2008 Nama Spesies
Jumlah Individu
H'
E
Abudefduf bengalensis
2
0.01
-4.55
0.05
0.019
Amblyglyphidodon ternatensis
15
Chromis fumea
20
0.08
-2.53
0.20
0.078
0.11
-2.25
0.24
0.093
Chromis ternatensis
90
0.48
-0.74
0.35
0.138
Dischistodus melanotus
2
0.01
-4.55
0.05
0.019
Halichoeres nigrescens
2
0.01
-4.55
0.05
0.019
Halichoeres scapularis
2
0.01
-4.55
0.05
0.019
Lutjanus biguttatus
4
0.02
-3.86
0.08
0.032
Neoglyphidodon crossi
5
0.03
-3.63
0.10
0.037
Parachaetodon ocellatus
2
0.01
-4.55
0.05
0.019
Pempheris oualensis
4
0.02
-3.86
0.08
0.032
Premnas biaculeatus
8
0.04
-3.16
0.13
0.052
33
0.17
-1.75
0.30
0.119
1.73
0.675
Siganus lineatus N= Jumlah spesies = Hmaks =
Pi
Ln Pi
189 13 2.565
Tahun 2010 Nama Spesies
Jumlah Individu
Pi
Ln Pi
H'
E
Abudefduf bengalensis
5
0.017
-4.047
0.071
0.018
Abudefduf septemfasciatus
4
0.014
-4.270
0.060
0.015
Abudefduf sexfasciatus
2
0.007
-4.963
0.035
0.009
Abudefduf vaigiensis
4
0.014
-4.270
0.060
0.015
Acanthurus nigrofuscus
2
0.007
-4.963
0.035
0.009
Amblyglyphidodon curacao
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
Amblyglyphidodon ternatensis
2
0.007
-4.963
0.035
0.009
Amphiprion clarkii
2
0.007
-4.963
0.035
0.009
Amphiprion ocellaris
3
0.010
-4.557
0.048
0.012
Apogon Aureus
2
0.007
-4.963
0.035
0.009
Apogon chrysopomus
3
0.010
-4.557
0.048
0.012
Caesio caerulaurea
13
0.045
-3.091
0.141
0.035
Caesio lunaris
17
0.059
-2.823
0.168
0.042
Caesio teres
10
0.035
-3.353
0.117
0.030
Caetodontoplus mesoleucus
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
Cephalopholis boenak
3
0.010
-4.557
0.048
0.012
Cheilinus fasciatus
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
Cheilodipterus Lineatus
7
0.024
-3.710
0.091
0.023
Cheilodipterus macrodon
8
0.028
-3.577
0.100
0.025
Cheilodipterus quinqelineatus
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
100
Lampiran 3 (Lanjutan) Nama Spesies
Jumlah Individu
Pi
Ln Pi
H'
E
Chromis amboinensis
21
0.073
-2.611
0.192
0.048
Chromis ternatensis
50
0.175
-1.744
0.305
0.000
Chrysiptera leucopoma
12
0.042
-3.171
0.133
0.077
Chrysiptera parasema
37
0.129
-2.045
0.265
0.034
Chrysiptera unimaculata
1
0.003
-5.656
0.020
0.067
Diagramma pictum
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
Dischistodus melanotus
2
0.007
-4.963
0.035
0.005
Dischistodus prosopotaenia
5
0.017
-4.047
0.071
0.009
Epibulus insidiator
5
0.017
-4.047
0.071
0.018
Epinephelus hexagonatus
1
0.003
-5.656
0.020
0.018
Halichoeres chloropterus
2
0.007
-4.963
0.035
0.005
Halichoeres melanurus
1
0.003
-5.656
0.020
0.009
Halichoeres scapularis
3
0.010
-4.557
0.048
0.005
Heniochus acuminatus
1
0.003
-5.656
0.020
0.012
Heniochus diphreutus
3
0.010
-4.557
0.048
0.005
Heniochus singularis
1
0.003
-5.656
0.020
0.012
Labroides dimidiatus
8
0.028
-3.577
0.100
0.005
Lethrinus Lentjan
1
0.003
-5.656
0.020
0.025
Lutjanus boutton
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
Lutjanus carponotatus
2
0.007
-4.963
0.035
0.005
Platax pinnatus
1
0.003
-5.656
0.020
0.009
Plectrohinchus orientalis
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
Pomacentrus brachialis
2
0.007
-4.963
0.035
0.005
Pomacentrus moluccensis
1
0.003
-5.656
0.020
0.009
Pomacentrus nigromanus
3
0.010
-4.557
0.048
0.005
Premnas biaculeatus
1
0.003
-5.656
0.020
0.012
Pterocaesio diagramma
12
0.042
-3.171
0.133
0.005
Pterocaesio pisang
3
0.010
-4.557
0.048
0.034
Scarus dimiatus
2
0.007
-4.963
0.035
0.012
Scolopsis ciliatus
2
0.007
-4.963
0.035
0.009
Siganus lineatus
2
0.007
-4.963
0.035
0.009
Siganus vermicularis
6
0.021
-3.864
0.081
0.020
Zanclus Canescens
1
0.003
-5.656
0.020
0.005
3.244
0.817
N= Jumlah spesies = Hmaks =
286 53 3.970
101
Lampiran 4 Indeks struktur komunitas megabentos Tahun 2008 Nama Spesies
Jumlah Individu
Pi
Ln Pi
H'
E
Mushroom
1
0.500
-0.693
0.347
0.5
>20 cm (Large Giant Clam)
1
0.500
-0.693
0.347
0.5
0.693
1
N=
2
Jumlah spesies =
2
Hmaks =
0.693
Tahun 2010 Nama Spesies
Jumlah Individu
Pi
Ln Pi
H'
E
Diadema urchin
1
0.071
-2.639
0.189
0.117
Mushroom
8
0.571
-0.560
0.320
0.199
Sea cucumber
2
0.143
-1.946
0.278
0.173
Lobster
1
0.071
-2.639
0.189
0.117
< 20 cm (small Giant Clam)
1
0.071
-2.639
0.189
0.117
>20 cm (Large Giant Clam)
1
0.071
-2.639
0.189
0.117
1.352
0.840
N= Jumlah spesies = Hmaks =
14 5 1.609
102
Lampiran 5 Distribusi pendapatan berdasarkan jenis alat tangkap Responden
Alat tangkap
Pendapatan Kotor/Thn (Rp)
Total Biaya/Thn (Rp)
Pendapatan Bersih/Thn (Rp)
Golla dg Nassa
Bubu Kepiting
33286000
20738000
12548000
Dg Suro Dg Tutu
Bubu Kepiting Bubu Kepiting
28968000 28186000
18950000 18512500
10018000 9673500
Ahmad Akbar
Bubu Kepiting
28305000
18312500
9992500
Darwis Dg Ngemba Dg Tammu
Bubu Kepiting Bubu Kepiting
30702000 28356000
19788100 16364500
10913900 11991500
Asdar
Bubu Kepiting
28152000
17161000
10991000
Ikbal Dg Lawa
Bubu Kepiting
27999000
16025000
11974000
Ahmad Dg Ngewa
Bubu Kepiting
34714000
21844000
12870000
Nurdin Dg Pasang
Bubu Kepiting
24956000
14825000
10131000
Alimuddin
Bubu Kepiting
25976000
15175000
10801000
Total
319600000
197695600
121904400
Rata-Rata
29054545
17972327
11082218
Muhammad Damin
Pancing Cumi dan Ikan
14508000
7835000
6673000
Ashar
Pancing Cumi dan Ikan
14611800
8457000
6154800
Sattu
Pancing Cumi dan Ikan
14563125
8552000
6011125
Burhanudding
Pancing Cumi dan Ikan
16254000
8590000
7664000
Basri
Pancing Cumi dan Ikan
16061500
9820200
6241300
Makka
Pancing Cumi dan Ikan
18791000
10956000
7835000
H. Rusli
Pancing Cumi dan Ikan
15469800
8613500
6856300
Total
110259225
62823700
47435525
Rata-Rata
15751318
5711245
6776504
11400000
4700000
6700000
Damang
Pancing Cumi Pancing Cumi
13509000
8056900
5452100
Jumaidi
Pancing Cumi
13965000
7842500
6122500
Sidik
Pancing Cumi
10906000
3819000
7087000
Abd Rahman
Pancing Cumi
14592000
9077000
5515000
Ramli
Pancing Cumi
15276000
10038000
5238000
Total
79648000
43533400
36114600
Rata-Rata
13274667
7255567
6019100
11169000
6031500
5137500
Baharuddin P
Dg Tola
Bubu Bambu Total
5137500
Rata-Rata
5137500
Abd Muis
Jaring Insang Tetap
17563000
12988800
4574200
Haeruddin
Jaring Insang Tetap
19252500
15295200
3957300
Borahima
Jaring Insang Tetap
20045000
15235000
4810000
Total
56860500
43519000
13341500
Rata-Rata
18953500
14506333
4447167
103
103
Lampiran 6 Perhitungan Gini Ratio Indeks (GRI) Kelas Pendapatan (Rp) 1.782.540 - 5.739.840 5.739.841 - 7.522.380 7.522.381 - 9.304.920 9.304.920 - 11.087.460 11.087.461-12.870.000 12,8
Frekuensi Pendapatan(f)
% Frekuensi Pendapatan
Jumlah Pendapatan/Kelas (Rp)
7 8 2 7 4
0.25 0.28 0.07 0.25 0.14
34.684.100 51.846.025 15.499.000 72.520.900 49.383.500 223.933.525
% Pendapatan/Kelas 0.15 0.23 0.07 0.32 0.22
% Kumulatif Pendapatan (Fc) 0.15 0.39 0.46 0.78 1
Fc-1
0.15 0.39 0.46 0.78
Fc+Fc-1
f*(Fc+Fc-1)
0.54 0.85 1.24 1.78
0.15 0.06 0.31 0.25 0.78
GRI=0,22
104
Lampiran 7 Hasil tangkapan, harga ikan dan karakteristik responden sebelum penetapan DPL No
Q
P (Inflasi)
A
Ed
F
Ex
1
120.4
15300
40
6
8
2
108.7
15300
55
6
3
192.3
16105
71
6
4
165.6
15300
35
5
285.2
16105
6
114.8
7
49.7
8
I
Ln (Q)
Ln (A)
Ln (Ed)
Ln (F)
Ln (Ex)
Ln (I)
8
1219164
4.791
9.636
3.689
1.792
2.079
2.079
14.014
4
3
1040154
4.689
9.636
4.007
1.792
1.386
1.099
13.855
4
30
2474036
5.259
9.687
4.263
1.792
1.386
3.401
14.721
6
5
7
1910724
5.110
9.636
3.555
1.792
1.609
1.946
14.463
30
6
7
4
3970190
5.653
9.687
3.401
1.792
1.946
1.386
15.194
15300
40
6
5
15
1133484
4.743
9.636
3.689
1.792
1.609
2.708
13.941
16105
18
6
2
2
177463
3.906
9.687
2.890
1.792
0.693
0.693
12.087
94.3
16105
38
2
4
10
895746
4.546
9.687
3.638
0.693
1.386
2.303
13.705
9
263.6
13981
75
3
7
20
2950774
5.574
9.545
4.317
1.099
1.946
2.996
14.898
10
195.6
13981
30
6
5
5
2000066
5.276
9.545
3.401
1.792
1.609
1.609
14.509
11
202.3
17476
53
6
4
15
2800777
5.310
9.769
3.970
1.792
1.386
2.708
14.845
12
154.3
15379
20
3
4
2
1638362
5.039
9.641
2.996
1.099
1.386
0.693
14.309
13
102.4
14680
30
6
4
4
768614
4.629
9.594
3.401
1.792
1.386
1.386
13.552
14
109.3
14680
25
6
4
5
869906
4.694
9.594
3.219
1.792
1.386
1.609
13.676
15
220.2
13282
28
6
4
9
2190078
5.395
9.494
3.332
1.792
1.386
2.197
14.599
16
104.5
13981
32
9
4
4
726397
4.649
9.545
3.466
2.197
1.386
1.386
13.496
17
99.7
16777
37
6
5
5
938049
4.602
9.728
3.611
1.792
1.609
1.609
13.752
18
87.5
12583
23
6
3
3
366395
4.472
9.440
3.135
1.792
1.099
1.099
12.811
19
100.3
18175
21
6
3
4
1088335
4.608
9.808
3.045
1.792
1.099
1.386
13.900
20
77.8
17476
38
6
5
12
625015
4.354
9.769
3.638
1.792
1.609
2.485
13.346
Keterangan: Q = Hasil tangkapan Ed = Pendidikan P = Harga ikan inflasi F = Jumlah tanggungan A = Umur Ex = Pengalaman 104
Ln (P)
I = Pendapatan
105
105
Lampiran 8 Hasil perhitungan regresi metode effect on production (EOP) sebelum penetapan DPL Desa Mattiro Labangeng SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.9855
R Square
0.9713
Adjusted R Square
0.9581
Standard Error
0.0911
Observations
20
ANOVA df
SS
Regression
MS
6
3.6639
0.6106
Residual
13
0.1079
0.0083
Total
19
3.7719
Coefficients Intercept
Standard Error
t Stat
F 73.5250
P-value
Significance F 2.8214E-09
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
7.1481
2.2186
3.2218
0.0066
2.3550
11.9412
2.3550
11.9412
X Variable 1
-1.1033
0.2255
-4.8922
0.0002
-1.5905
-0.6160
-1.5905
-0.6160
X Variable 2
-0.0320
0.0901
-0.3559
0.7275
-0.2267
0.1626
-0.2267
0.1626
X Variable 3
0.0232
0.0636
0.3647
0.7211
-0.1143
0.1607
-0.1143
0.1607
X Variable 4
-0.0983
0.0930
-1.0574
0.3095
-0.2993
0.1026
-0.2993
0.1026
X Variable 5
0.0028
0.0454
0.0618
0.9516
-0.0954
0.1010
-0.0954
0.1010
X Variable 6
0.6124
0.0390
15.6710
8.0363E-10
0.5280
0.6968
0.5280
0.6968
106
Lampiran 9 Perhitungan nilai manfaat sebelum penetapan DPL > restart; > b0:= 7.14814434561791; b1:= -1.103308302321; b2:= -0.0320803465807735; b3:= 0.023227614304987; b4:= -0.0983738568341625; b5:= 0.00281367678223197; b6:= 0.612438304540952; rata_lnP:= 9.638 ; rata_lnA:= 3.533 ; rata_lnEd:= 1.688 ; rata_lnF:= 1.469 ; rata_lnEx:= 1.839 ; rata_lnI:= 13.984 ; qrata:= 142.43 ; N:= 80 ; L:= 36.45 ;
b0 := 7.14814434561791 b1 := -1.103308302321 b2 := -0.0320803465807735 b3 := 0.023227614304987 b4 := -0.0983738568341625 b5 := 0.00281367678223197 b6 := 0.612438304540952 rata_lnP := 9.638 rata_lnA := 3.533 rata_lnEd := 1.688 rata_lnF := 1.469 rata_lnEx := 1.839 rata_lnI := 13.984 qrata := 142.43 N := 80 L := 36.45 > lna:=b0+b2*rata_lnA+b3*rata_lnEd+b4*rata_lnF+b5*rata_lnEx+b6*rata_lnI;
lna := 15.49901310 > a:=exp(lna); 6
a := 5.38438200710 > b:=b1;
b := -1.103308302321 > f(Q):=(Q/a)^(1/b); 6
f(Q) :=
1.26143762310 Q
0.9063649736
107
Lampiran 9 (Lanjutan) > plot(f(Q),Q=0..qrata);
P
> U:=int(f(Q),Q=0..qrata); 7
U := 2.14328524210 > X1:=(qrata/a)^(1/b);
X1 := 14090.18958 > Pt:=X1*qrata; 6
Pt := 2.00686570210 > CS:=U-Pt;
7
CS := 1.942598672 10 > Nilai_Ekonomi:=CS*N/L;
7
Nilai_Ekonomi:= 4.26359105110
108
Lampiran 10 Hasil tangkapan, harga ikan dan karakteristik responden setelah penetapan DPL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Q 1958 780 438 600 1704 1658 1665 852 711 1544 1806 735 574 768 1668 804 863 756 706 874 1656 1647 2042 1468 1812 1688 1528 708
P 17000 18600 25500 19000 17000 17000 17000 17150 19000 11375 17000 19000 19000 19000 17000 19000 16875 21500 22750 21500 17000 17000 17000 17000 10625 11875 17000 21850
A
Ed 40 55 71 35 30 40 18 38 75 30 53 20 30 25 28 32 37 23 21 38 35 37 48 43 37 40 37 41
108
Keterangan: Q = Hasil tangkapan P = Harga ikan A = Umur
F 6 6 6 6 6 6 6 2 3 6 6 3 6 6 6 9 6 6 6 6 6 6 2 6 6 6 6 6
Ex 8 4 4 5 7 5 2 4 7 5 4 4 4 4 4 4 5 3 3 5 6 5 7 7 5 7 5 6
8 3 30 7 4 15 2 10 20 5 15 2 4 5 9 4 5 3 4 12 12 15 20 17 15 20 13 15
I 12548000 6673000 5137500 6700000 10018000 9673500 9992500 6154800 5452100 4574200 10913900 6122500 7087000 5515000 11991500 5238000 6011125 7664000 6241300 7835000 10991000 11974000 12870000 10131000 3957300 4810000 10801000 6856300
Ed = Pendidikan F = Jumlah tanggungan Ex = Pengalaman
Ln(Q) 7.580 6.659 6.082 6.397 7.441 7.413 7.418 6.748 6.567 7.342 7.499 6.600 6.353 6.644 7.419 6.690 6.760 6.628 6.560 6.773 7.412 7.407 7.622 7.292 7.502 7.431 7.332 6.562
Ln(P) 9.741 9.831 10.146 9.852 9.741 9.741 9.741 9.750 9.852 9.339 9.741 9.852 9.852 9.852 9.741 9.852 9.734 9.976 10.032 9.976 9.741 9.741 9.741 9.741 9.271 9.382 9.741 9.992
I = Pendapatan
Ln (A) 3.689 4.007 4.263 3.555 3.401 3.689 2.890 3.638 4.317 3.401 3.970 2.996 3.401 3.219 3.332 3.466 3.611 3.135 3.045 3.638 3.555 3.611 3.871 3.761 3.611 3.689 3.611 3.714
Ln (Ed) 1.792 1.792 1.792 1.792 1.792 1.792 1.792 0.693 1.099 1.792 1.792 1.099 1.792 1.792 1.792 2.197 1.792 1.792 1.792 1.792 1.792 1.792 0.693 1.792 1.792 1.792 1.792 1.792
Ln (F) 2.079 1.386 1.386 1.609 1.946 1.609 0.693 1.386 1.946 1.609 1.386 1.386 1.386 1.386 1.386 1.386 1.609 1.099 1.099 1.609 1.792 1.609 1.946 1.946 1.609 1.946 1.609 1.792
Ln(Ex) 2.079 1.099 3.401 1.946 1.386 2.708 0.693 2.303 2.996 1.609 2.708 0.693 1.386 1.609 2.197 1.386 1.609 1.099 1.386 2.485 2.485 2.708 2.996 2.833 2.708 2.996 2.565 2.708
Ln(I) 16.345 15.714 15.452 15.718 16.120 16.085 16.117 15.633 15.512 15.336 16.206 15.627 15.774 15.523 16.300 15.471 15.609 15.852 15.647 15.874 16.213 16.298 16.370 16.131 15.191 15.386 16.195 15.741
109
109
Lampiran 11 Hasil perhitungan regresi metode effect on production (EOP) setelah penetapan DPL Desa Mattiro Labangeng SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.9546
R Square
0.9113
Adjusted R Square
0.8859
Standard Error
0.1562
Observations
28
ANOVA df
SS
Regression
MS
6
5.2678
0.8779
Residual
21
0.5125
0.0244
Total
27
5.7804
Coefficients
Standard Error
t Stat
F 35.9707
P-value
Significance F 5.4337E-10
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
Intercept
11.5903
1.9983
5.7999
9.3190E-06
7.4345
15.7462
7.4345
15.7462
X Variable 1
-1.8538
0.1780
-10.4090
9.5571E-10
-2.2242
-1.4834
-2.2242
-1.4834
X Variable 2
-0.1291
0.1465
-0.8815
0.3879
-0.4338
0.1755
-0.4338
0.1755
X Variable 3
0.0580
0.0893
0.6495
0.5230
-0.1278
0.2439
-0.1278
0.2439
X Variable 4
-0.0384
0.1332
-0.2880
0.7761
-0.3156
0.2388
-0.3156
0.2388
X Variable 5
0.0989
0.0637
1.5520
0.1355
-0.0336
0.2314
-0.0336
0.2314
X Variable 6
0.8683
0.0927
9.3626
6.0603E-09
0.6754
1.0611
0.6754
1.0611
110
Lampiran 12 Perhitungan nilai manfaat setelah penetapan DPL > restart; b0:= 11.59038973 b1:= -1.85384708 b2:= -0.1291684 b3:= 0.058051317 b4:= -0.038401685; b5:= 0.098913657 b6:= 0.868319182 rata_lnP:= 9.775 rata_lnA:= 3.575 rata_lnEd:= 1.678 rata_lnF:= 1.558 rata_lnEx:= 2.099 rata_lnI:= 15.837 qrata:= 1214.75 ; N:= 80 ; L:= 36.45 ;
; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
b0 := 11.59038973 b1 := -1.85384708 b2 := -0.1291684 b3 := 0.058051317 b4 := -0.038401685 b5 := 0.098913657 b6 := 0.868319182 rata_lnP := 9.775 rata_lnA := 3.575 rata_lnEd := 1.678 rata_lnF := 1.558 rata_lnEx := 2.099 rata_lnI := 15.837 qrata := 1214.75 N := 80 L := 36.45 > > lna:=b0+b2*rata_lnA+b3*rata_lnEd+b4*rata_lnF+b5*rata_lnEx+b6*rata_lnI;
lna := 25.12538364 > a:=exp(lna); 10
a := 8.162354835 10 > b:=b1;
b := -1.85384708 > f(Q):=(Q/a)^(1/b); 5
f(Q) :=
7.69198803610 Q
0.5394188177
111
Lampiran 12 (Lanjutan) > plot(f(Q),Q=0..qrata);
P
> U:=int(f(Q),Q=0..qrata); 7
U := 4.39935528710 > X1:=(qrata/a)^(1/b);
X1 := 16680.47137 > Pt:=X1*qrata; 7
Pt := 2.02626026010 > CS:=U-Pt;
7
CS := 2.373095027 10 > Nilai_Ekonomi:=CS*N/L;
7
Nilai_Ekonomi:= 5.20843901810
112
Lampiran 13 Persepsi masyarakat Desa Mattiro Labangeng terhadap program DPL Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 3 3 4 3 4 4 4 3 3 4 3 4 5 4 5 4 3 5 3 5 4 4 5 5 5 3 3 2 2 5
2 3 3 4 3 5 5 5 3 3 4 2 4 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 4 3 3 2 3 5
3 3 3 3 5 3 3 3 3 3 3 5 5 4 4 3 3 3 3 4 3 4 4 5 5 5 2 3 3 1 5
4 3 2 4 4 4 4 4 3 3 4 5 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 2 4
5 3 2 4 5 4 4 4 3 3 4 4 3 4 2 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 3 2 3
Item Pertanyaan 6 7 8 9 10 11 3 2 2 2 2 4 3 2 2 2 3 3 4 4 4 4 4 3 4 5 3 4 5 2 4 5 3 4 4 3 4 4 5 5 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 3 4 5 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 3 4 5 4 2 4 4 3 3 3 3 4 4 5 5 5 4 3 4 4 4 3 3 4 4 3 3 3 3 4 4 2 3 3 2 4 4 3 3 3 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 5 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 3 3 5 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 4 5 4 2 2 2 3 5 5 4 4 2 5 Total
Skor Maksimal = 5x15 = 75 Skor Minimal = 1x15 = 15 Nilai Median = (75+15)/2 = 45 Nilai Kuartil I = (15+45)/2 = 30 Nilai Kuartil III = (75+45)/2 = 60
12 3 4 4 4 4 5 5 4 3 3 4 4 4 5 3 5 4 3 5 3 4 4 4 4 4 3 4 4 3 5
13 3 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 5 3 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3
14 3 4 4 3 3 5 5 4 3 3 4 3 4 3 3 5 3 3 4 3 4 5 2 4 2 3 4 4 4 3
15 3 3 4 5 4 5 5 4 4 3 4 3 4 4 4 5 3 3 3 3 4 5 4 4 3 3 4 4 3 3
Jumlah 42 43 58 63 58 66 66 55 51 51 54 56 61 56 54 66 50 52 53 52 58 62 59 62 58 48 49 51 42 61 1657
113
Lampiran 14 Sikap masyarakat Desa Mattiro Labangeng terhadap program DPL Reponden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 3 2 4 2 5 4 4 4 3 3 4 2 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 5 3 2 4
2 3 2 4 3 2 4 4 3 2 3 4 4 4 3 4 4 2 4 4 1 4 4 3 3 3 3 4 3 3 3
3 3 3 3 3 5 5 5 2 2 3 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 3 2 3 4 4 3 5
4 3 2 4 2 4 2 2 4 3 3 3 4 2 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3 3 3 2 4
Skor Maksimal = 5x10 = 50 Skor Minimal = 1x10 = 10 Nilai Median = (10+50)/2 = 30 Nilai Kuartil I = (10+30)/2 = 20 Nilai Kuartil III = (50+30)/2 = 40
Item Pertanyaan 5 6 7 3 3 4 2 2 3 4 4 4 3 3 3 3 5 5 5 4 5 5 4 5 5 4 3 2 2 3 3 2 3 4 4 4 4 4 5 4 4 4 3 2 3 2 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 2 3 3 3 3 5 4 3 3 3 3 3 2 4 3 2 3 2 2 3 4 4 5 Total
8 3 3 4 2 5 4 5 4 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3 3 4 3 3 3 2 4
9 4 5 4 5 3 4 4 4 3 4 4 5 4 1 5 4 4 5 3 5 4 5 1 4 4 3 5 1 5 4
10 4 5 5 5 4 5 5 5 4 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 4 4 4 4 5
Jumlah 33 29 40 31 41 42 43 38 27 32 39 41 38 30 39 40 38 43 40 38 40 39 30 34 38 31 37 29 28 42 1090
114
Lampiran 15 Partisipasi masyarakat Desa Mattiro Labangeng terhadap program DPL Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 3 3 4 3 4 4 4 3 3 4 3 4 5 4 5 4 3 5 3 5 4 4 5 5 5 3 3 2 2 5
2 3 3 4 3 5 5 5 3 3 4 2 4 4 4 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 4 3 3 2 3 5
3 3 3 3 5 3 3 3 3 3 3 5 5 4 4 3 3 3 3 4 3 4 4 5 5 5 2 3 3 1 5
4 3 2 4 4 4 4 4 3 3 4 5 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 2 4
5 3 2 4 5 4 4 4 3 3 4 4 3 4 2 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 3 2 3
6 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 5 4 3 3 4 5 5
Skor Maksimal = 5x15 = 75 Skor Minimal = 1x15 = 15 Nilai Median = (75+15)/2 = 45 Nilai Kuartil I = (15+45)/2 = 30 Nilai Kuartil III = (75+45)/2 = 60
Item Pertanyaan 7 8 9 10 2 2 2 2 2 2 2 3 4 4 4 4 5 3 4 5 5 3 4 4 4 5 5 5 4 5 5 5 4 3 4 5 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 5 4 4 3 3 3 4 5 5 5 4 4 4 3 4 3 3 3 4 2 3 3 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 5 4 4 3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 2 2 2 5 4 4 2 Total
11 4 3 3 2 3 4 4 4 3 3 3 3 4 2 3 4 3 3 2 3 4 4 3 3 3 3 3 4 3 5
12 3 4 4 4 4 5 5 4 3 3 4 4 4 5 3 5 4 3 5 3 4 4 4 4 4 3 4 4 3 5
13 3 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 5 3 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3
14 3 4 4 3 3 5 5 4 3 3 4 3 4 3 3 5 3 3 4 3 4 5 2 4 2 3 4 4 4 3
15 3 3 4 5 4 5 5 4 4 3 4 3 4 4 4 5 3 3 3 3 4 5 4 4 3 3 4 4 3 3
Jumlah 42 43 58 63 58 66 66 55 51 51 54 56 61 56 54 66 50 52 53 52 58 62 59 62 58 48 49 51 42 61 1657
115
115
Lampiran 16 Analisis stakeholder Tingkat Kepentingan Tingkat Pengaruh Rata-Rata 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 1 Pusat Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2 3 5 1 3 2 2.67 3 7 5 3 6 COREMAP Phase II (pusat) 5 7 6 2 6 4 5.00 2 6 2 4 7 2 Lokal Dinas Perikanan dan Kelautan 3 2 4 1 1 2 2.17 6 4 2 2 6 LSM 2 2 4 6 7 2 3.83 1 3 7 4 6 Akademisi 1 1 4 2 1 4 2.17 1 1 3 4 4 Publik Figur 1 1 4 1 1 1 1.50 1 1 2 2 4 Kelompok nelayan 7 7 5 7 6 3 5.83 2 1 3 5 4 Sektor privat 4 3 5 3 2 1 3.00 4 1 5 4 5 Nelayan 6 7 4 5 3 4 4.83 1 1 2 4 4 Aparat desa 4 4 3 6 5 2 4.00 5 3 4 3 4 Anggota LPSTK 5 7 7 3 5 5 5.33 1 5 6 5 6 Pengumpul 1 1 2 4 3 1 2.00 2 3 4 4 1 42 47 56 45 48 37 30 38 48 48 62 TOTAL Keterangan: sangat penting (7), penting (5), sedang (3), kurang penting (1), rata-rata (2,4,6) (Saaty 1991). No Tingkat
Stakeholders Group
Daftar Pertanyaan : 1. Tingkat Kepentingan Alat tangkap Daerah perlindungan laut Rehabilitasi dan konservasi Distribusi hasil dan harga tangkapan Mata pencaharian alternatif Pengawasan kelembagaan
2. Tingkat pengaruh Status daerah perlindungan laut Pendapatan Asli Daerah Alokasi dana untuk pengelolaan Ketersediaan lapangan kerja Peningkatan pendapatan nelayan
Rata-Rata 4.80 4.20 4.00 4.20 2.60 2.00 3.00 3.80 2.40 3.80 4.60 2.80
116
Lampiran 17 Penentuan indikator terpilih oleh stakeholder Kriteria Ekologi
Stakeholder
Sub Kriteria
Total
Rata-Rata Score
X1 3
X2 3
X4 2
X7 3
X9 2
X10 3
X11 2
18
2.57
Kelimpahan Ikan Karang (Target)
3
3
1
3
3
2
3
18
2.57
Kelimpahan Megabentos
2
3
1
1
2
2
2
13
1.86 2.29
Kondisi Tutupan Karang Hidup
Kondisi Kualitas Perairan
3
3
2
1
1
3
3
16
1
2
1
2
3
2
1
12
1.71
3
16
2.29 2.29
Rata-rata skor Sosial-ekonomi
Produksi Perikanan Tangkap Pendapatan
2.32 2
3
1
3
3
1
Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang
1
2
2
3
3
2
3
16
Ketersediaan pasar
1
3
2
1
3
1
2
13
1.86
2
13
1.86 1.57
Struktur Lapangan Pekerjaan/Mata Pencaharian
1
2
2
3
2
1
Persepsi Masyarakat tentang DPL
1
1
1
3
3
1
1
11
Sikap Masyarakat tentang DPL
2
3
1
1
3
2
3
15
2.14
Partisipasi Masyarakat tentang DPL
1
2
1
3
3
1
2
13
1.86
Tingkat Partisipasi bagi Stakeholder (Pengelola)
3
3
1
1
1
2
3
14
2.00
Tingkat Pelatihan Stakeholder (Pengelola)
2
3
2
2
3
1
2
15
2.14
Rata-rata skor Kelembagaan
1.95
Rata-rata skor
116
Keterangan : Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (X1), COREMAP Phase II (pusat) (X2), LSM (X4), Kelompok nelayan (X7), Nelayan (X9), Aparat desa (X10), Anggota LPSTK (X11). Sangat penting (3), Penting (2), Kurang penting (1).
2.07
117
Lampiran 18 Perhitungan bobot tingkat efektifitas DPL Desa Mattiro Labangeng
Indikator
Skor indikator (Sci)
1
18
18
1
18
3
54
2
18
18
3
54
3
54
3
16
16
2
32
3
48
4
16
16
3
48
3
48
5
15
15
3
45
3
45
6
15
15
3
45
3
45
98
100
Tingkat Efektivitas
Bobot Skor Skor N x Skor (N) Tertinggi
82
242
N x Skor Tertinggi
294
118
Lampiran 19 Kuisioner responden pada masing-masing kelompok masyarakat
No. ................ Kuisioner : Nelayan
KUISIONER KAJIAN EFEKTIVITAS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Uraian
Tanda Tangan
Nama
Pewawancara Nama Responden Alamat Hari/Tanggal Waktu Wawancara Lokasi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
I.
DATA IDENTITAS TEMPAT a. Provinsi
: ………………………………………………
b. Kabupaten
: ………………………………………………
c. Kecamatan
: ……………………………………………….
d. Kelurahan
: ……………………………………………….
e. Dusun
: ……………………………………………….
II. PROFIL RESPONDEN Petunjuk: Isilah dengan tanda silang (√) pada jawaban yang dipilih, sesuai dengan keadaan dan pendapat responden. 1. 2.
Jenis Kelamin Status
: :
Laki-laki Menikah
Perempuan Belum Menikah
119
3.
Jumlah Anggota Keluarga
:
orang
4.
Usia
:
tahun
5.
Pendidikan
:
Tidak sekolah SLTA/Sejenisnya SLTP/sejenisnya
SD/sederajat Perguruan Tinggi Tidak Tamat
6.
Pekerjaan
:
Nelayan Utama Nelayan Pemilik
Nelayan Sambilan
7.
Status/Posisi
Nakhoda Motoris
ABK Lainnya:
8.
Lama Domisili
:
< 5 th > 15 th
5-10 th 11-15 th
9.
Pendapatan/bulan
:
< Rp.500.000,Rp.501.000,-750.000,Rp.750.000,- 1.000.000,> Rp.1.000.000,-
10. Sejak Kapan Menjadi Nelayan
:
< 5 th > 15 th
11. Pekerjaan Utama
:
5-10 11-15
III. AKTIVITAS PENANGKAPAN 1. Tentang Unit Penangkapan dan Trip Penangkapan a.
Nama Kapal
:
b.
No Selar (Jika ada)
:
c.
Nama Pemilik Kapal
:
d.
Ukuran Kapal
: L (LOA) : D (Dalam):
e.
Merk Mesin Utama
:
f.
Bahan Bakar Utama
:
Solar Lainnya :
B (Lebar) :
Minyak Tanah Bensin
120
g.
Kebutuhan BBM/Trip
:
h. Tempat : Mendapatkan BBM
SPDN Lainnya:
SPBN
i.
Harga BBM/liter
:
Rp. 5.500
Lainnya:
j.
Jenis Alat Tangkap
:
Buat sendiri Pesan
Beli jadi
Echosounder Radio komunikasi
k. Ukuran Alat tangkap Panjang : Lebar/Dalam : Jumlah : l.
Sumber/asal alat tangkap
m Alat Bantu Penangkapan
:
GPS Lainnya
n. Jenis Perbekalan
:
Es Air Lainnya (Rokok, Beras, gula) Garam
o. Harga Perbekalan
:
Es: Air: Lainnya :
p. Cara Mendapatkan Perbekalan
:
Toke/Juragan Lainnya :
Beli di KUD Beli di pelabuhan
q. Sumber Modal Kerja (Perbekalan)
:
Sendiri Lainnya
Bank Koperasi
r.
Jumlah ABK
:
Orang
s.
Lama Trip
:
Hari
t
Biaya per Trip
:
u. Berapa Trip/Tahun
:
Trip
2. Hasil Tangkapan a. Jenis Tangkapan
:
121
b. ∑ Hasil Tangkapan (Kg)
:
c. Harga Ikan per Kg
:
d. ∑ ikan yang dikonsumsi (kg) : e. Rata-rata Ukuran Hasil Tangkapan : f.
Apakah ada Perubahan Ukuran Hasil Tangkapan Beberapa Periode Terakhir
:
Semakin kecil
Tetap
Semakin besar
g. Mengapa terjadi Perubahan : Ukuran 3. Daerah Penangkapan dan Taktik Penangkapan a. Daerah Penangkapan (Fishing Ground/FG)
b. Lama Menuju FG
:
-
Lainnya
:
:
Jam
c. Bagaimana Proses Penentuan FG Peta FG dari DKP Pencarian dengan alat bantu Mendatangi rumpon Pengalaman d. Taktik Penangkapan
:
Menggunakan rumpon Menggunakan pencahayaan (light fishing) Menggunakan echosounder/fish finder Menggunakan umpan Lainnya :
e. Apakah ada perubahan FG beberapa periode terakhir ini : f.
Sebelumnya dimana
g. Kenapa Berubah h. Jenis Rumpon
Ya Tidak
: : Daun Kelapa Rapia Rumpon Tanam (Rongsokan) Lainnya:
122
i.
Jenis Umpan (Jika menggunakan Umpan) :
4. Pendapatan a.
Sistem Pemasaran Ikan
b.
Rata-rata Harga Ikan per KG
c.
Sistem Bagi Hasil Juragan Nakhoda ABK
: : : :
Rata-rata Penghasilan/Trip
:
d.
:
TPI Lainnya:
Tengkulak
% % % Rp
IV. PERSEPSI TENTANG PROGRAM DPL ........................... (isi nama desa) 1. Apakah Ekosistem Terumbu Karang sangat penting bagi anda? a. Cukup penting d. Kurang penting b. Penting e. Tidak penting c. Sangat penting 2. Apakah saudara mengetahui keberadaan program DPL-COREMAP a. Sangat tahu b. Tahu c. Kurang tahu d. Tidak tahu e. Sangat tidak tahu 3. Apakah program DPL-COREMAP yang ada saat ini bermanfaat bagi anda? a. Cukup bermanfaat d. Kurang bermanfaat b. Bermanfaat e. Tidak bermanfaat c. Sangat bermanfaat f. Sangat tidak bermanfaat 4. Bagaimana akses pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Sangat sulit d. Mudah b. Sulit e. Sangat mudah c. Biasa 5. Bagaimana kondisi terumbu karang sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Semakin buruk d. baik b. buruk e. Semakin baik c. Tetap
123
6. Apakah adanya program ini, pengetahuan anda tentang konservasi/terumbu karang meningkat? a. Cukup meningkat d. Kurang meningkat b. Meningkat e. Tidak meningkat c. Biasa 7. Bagaimana hasil produksi yang anda dapatkan sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Semakin menurun d. Meningkat b. Menurun e. Semakin meningkat c. Stabil 8. Bagaimana pendapatan anda sebelum dan sesudah adanya program DPLCOREMAP? a. Semakin menurun d. Meningkat b. Menurun e. Semakin meningkat c. Stabil 9. Bagaimana kondisi infrastruktur sebelum dan sesudah adanya program DPL? a. Semakin baik d. Kurang baik b. Baik e. Tidak baik c. Biasa 10. Apakah adanya program ini, dapat meningkatkan produksi per unit tangkapan? a. Cukup meningkat d. Kurang meningkat b. Meningkat e. Tidak meningkat c. Biasa 11. Apakah adanya program ini, keluarga anda dapat membeli perabotanperabotan rumah tangga? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 12. Apakah adanya program ini, keluarga anda dapat membangun dan memperbaiki kondisi rumah anda? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja
124
13. Apakah adanya program ini, keluarga anda tidak lagi bergantung dengan renternir/punggawa? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 14. Apakah adanya program ini, pelaku destruktif fishing semakin berkurang? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 15. Apakah adanya program ini, dapat meningkatkan keterampilan dan usaha ekonomi anda? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja V. SIKAP TENTANG PROGRAM DPL ........................... (isi nama desa) 1. Apakah program DPL di desa ini perlu dilanjutkan? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 2. Apakah saudara mendukung pelatihan dan bimbingan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 3. Apakah saudara mengembangkan usaha berdagang atau warung sebagai usaha mata pencaharian alternatif? a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja 4. Apakah saudara memiliki sikap untuk terlibat dalam mengawasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja 5. Apakah saudara setuju dengan setiap program dan kegiatan dalam program DPL ini? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja
125
6. Apakah saudara setuju dengan sosialisasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 7. Apakah saudara setuju dengan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 8. Apakah saudara setuju dengan pembelajaran dan kegiatan pengelolaan terumbu karang pada keluarga anda? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 9. Apakah saudara setuju dengan hukuman bagi pelaku destruktif fishing? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 10. Apakah saudara setuju untuk memberikan informasi kepada keluarga tentang larangan destruktif fishing? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja VI. PARTISIPASI TENTANG PROGRAM DPL ..................... (isi nama desa) 1. Apakah saudara berpartisipasi dalam kegiatan program DPL di desa ini? a. Sangat aktif d. Tidak aktif b. Aktif e. Sangat tidak aktif c. Biasa saja 2. Apakah saudara berpartisipasi dalam pengembangan program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 3. Apakah kegiatan program DPL ini mengganggu waktu kerja anda? a. Sangat tidak mengganggu d. Menggenggu b. Kurang mengganggu e. Sangat mengganggu c. Biasa saja
126
4. Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan kelembagaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 5. Apakah saudara diberi kesempatan dalam mengeluarkan pendapat atau pertanyaan pada pelatihan-pelatihan program DPL ini? a. Sangat diberi kesempatan d. Kurang diberi kesempatan b. Diberi kesempatan e. Sangat tidak kesempatan c. Biasa saja 6. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 7. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pendapatan? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 8. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan kesempatan dalam mengembangkan usaha mata pencaharian alternatif? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 9. Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja
10. Apakah saudara berpartisipasi untuk tidak terlibat dalam destruktif fishing? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 11. Apakah saudara berpartisipasi dalam mengawasi dan memonitoring sumberdaya terumbu karang desa? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja
127
12. Apakah saudara berpartisipasi dalam menyukseskan program DPL di desa ini? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 13. Apakah saudara berpartisipasi dalam mengikuti semua pelatihan-pelatihan yang diadakan program pemerintah? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 14. Apakah saudara berpartisipasi ikut memasarkan hasil tangkapan nelayan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 15. Apakah saudara berpartisipasi dalam rangka pengembangan pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 16. Sebutkan berapa kali anda telah mengikuti pelatihan dan pertemuan yang diadakan? ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ..........................................................................
128
Lampiran 19 (Lanjutan) Nomor .............. Kuisioner : Pemasar
KUISIONER KAJIAN EFEKTIVITAS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Uraian
Tanda Tangan
Nama
Pewawancara Nama Responden Alamat Hari/Tanggal Waktu Wawancara Lokasi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
I.
DATA IDENTITAS TEMPAT a. Provinsi
: ……………………………………………….
b. Kabupaten
: ……………………………………………….
c. Kecamatan
: ……………………………………………….
d. Kelurahan
: ……………………………………………….
e. Dusun
: ……………………………………………….
II. PROFIL RESPONDEN Petunjuk: Isilah dengan tanda silang (√) pada jawaban yang dipilih, sesuai dengan keadaan dan pendapat responden. 1.
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Perempuan
2.
Status
:
Menikah
Belum Menikah
129
3.
Jumlah Anggota Keluarga
:
orang
4.
Usia
:
tahun
5.
Pendidikan
:
Tidak sekolah SLTA/Sejenisnya SLTP/sejenisnya
SD/sederajat Perguruan Tinggi Tidak Tamat
6.
Pekerjaan
:
Pemasar
Lainnya :
7.
Lama Domisili
:
< 5 th > 15 th 11-15 th
5-10 th
8.
Pendapatan/bulan
:
< Rp.500.000,Rp.501.000,-750.000,Rp.750.000,- 1.000.000,> Rp.1.000.000,-
9..
Sejak Kapan Menjadi pedagang
:
< 5 th > 15 th
5-10
III. TENTANG AKTIVITAS PEMASARAN PRODUK PERIKANAN 1. Pemasaran ikan a
Jenis ikan yang dipasarkan
:
b
Wilayah Pemasaran
:
c
Jenis Transportasi
:
1. 2 3. ...
2. Pendapatan a. Rata-rata Harga Beli Ikan per KG 1. : Rp 2. : Rp 3. : Rp 4. : Rp 5. : Rp
11-15
130
b. Rata-rata Harga Jual Ikan per KG 1 : Rp 2 : Rp 3 : Rp 4 : Rp 5 : Rp c. Jenis Biaya Produksi selain Ikan (Bahan Pembantu)?
:
d. Biaya Transportasi
:
f.
:
Pendapatan/siklus
IV. PERSEPSI TENTANG PROGRAM DPL............................. (isi nama desa) 1. Apakah Ekosistem Terumbu Karang sangat penting bagi anda? d. Cukup penting e. Penting f. Sangat penting
d. Kurang penting e. Tidak penting
2. Apakah saudara mengetahui keberadaan program DPL-COREMAP a. b. c. d. e.
Sangat tahu Tahu Kurang tahu Tidak tahu Sangat tidak tahu
3. Apakah program DPL-COREMAP yang ada saat ini bermanfaat bagi anda? a. Cukup bermanfaat b. Bermanfaat c. Sangat bermanfaat
d. Kurang bermanfaat e. Tidak bermanfaat f. Sangat tidak bermanfaat
4. Bagaimana akses pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Sangat sulit b. Sulit c. Biasa
d. Mudah e. Sangat mudah
131
5. Bagaimana kondisi terumbu karang sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Semakin buruk d. baik b. buruk e. Semakin baik c. Tetap 6. Apakah adanya program ini, pengetahuan anda tentang konservasi/terumbu karang meningkat? a. Cukup meningkat d. Kurang meningkat b. Meningkat e. Tidak meningkat c. Biasa 7. Bagaimana hasil produksi yang anda dapatkan sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Semakin menurun d. Meningkat b. Menurun e. Semakin meningkat c. Stabil 8. Bagaimana pendapatan anda sebelum dan sesudah adanya program DPLCOREMAP? a. Semakin menurun d. Meningkat b. Menurun e. Semakin meningkat c. Stabil 9. Bagaimana kondisi infrastruktur sebelum dan sesudah adanya program DPL? a. Semakin baik d. Kurang baik b. Baik e. Tidak baik c. Biasa 10. Apakah adanya program ini, dapat meningkatkan produksi per unit tangkapan? a. Cukup meningkat d. Kurang meningkat b. Meningkat e. Tidak meningkat c. Biasa 11. Apakah adanya program ini, keluarga anda dapat membeli perabotanperabotan rumah tangga? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja
132
12. Apakah adanya program ini, keluarga anda dapat membangun dan memperbaiki kondisi rumah anda? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 13. Apakah adanya program ini, keluarga anda tidak lagi bergantung dengan renternir/punggawa? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 14. Apakah adanya program ini, pelaku destruktif fishing semakin berkurang? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 15. Apakah adanya program ini, dapat meningkatkan keterampilan dan usaha ekonomi anda? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja V. SIKAP TENTANG PROGRAM DPL ........................... (isi nama desa) 1. Apakah program DPL di desa ini perlu dilanjutkan? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 2. Apakah saudara mendukung pelatihan dan bimbingan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 3. Apakah saudara mengembangkan usaha berdagang atau warung sebagai usaha mata pencaharian alternatif? a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja
133
4. Apakah saudara memiliki sikap untuk terlibat dalam mengawasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja 5. Apakah saudara setuju dengan setiap program dan kegiatan dalam program DPL ini? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 6. Apakah saudara setuju dengan sosialisasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 7. Apakah saudara setuju dengan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 8. Apakah saudara setuju dengan pembelajaran dan kegiatan pengelolaan terumbu karang pada keluarga anda? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 9. Apakah saudara setuju dengan hukuman bagi pelaku destruktif fishing? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 10. Apakah saudara setuju untuk memberikan informasi kepada keluarga tentang larangan destruktif fishing? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja VI. PARTISIPASI TENTANG PROGRAM DPL ..................... (isi nama desa) 1. Apakah saudara berpartisipasi dalam kegiatan program DPL di desa ini? a. Sangat aktif d. Tidak aktif b. Aktif e. Sangat tidak aktif c. Biasa saja
134
2. Apakah saudara berpartisipasi dalam pengembangan program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 3. Apakah kegiatan program DPL ini mengganggu waktu kerja anda? a. Sangat tidak mengganggu d. Menggenggu b. Kurang mengganggu e. Sangat mengganggu c. Biasa saja 4. Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan kelembagaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 5. Apakah saudara diberi kesempatan dalam mengeluarkan pendapat atau pertanyaan pada pelatihan-pelatihan program DPL ini? a. Sangat diberi kesempatan d. Kurang diberi kesempatan b. Diberi kesempatan e. Sangat tidak kesempatan c. Biasa saja 6. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 7. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pendapatan? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 8. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan kesempatan dalam mengembangkan usaha mata pencaharian alternatif? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 9. Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja
135
10. Apakah saudara berpartisipasi untuk tidak terlibat dalam destruktif fishing? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 11. Apakah saudara berpartisipasi dalam mengawasi dan memonitoring sumberdaya terumbu karang desa? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 12. Apakah saudara berpartisipasi dalam menyukseskan program DPL di desa ini? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 13. Apakah saudara berpartisipasi dalam mengikuti semua pelatihan-pelatihan yang diadakan program pemerintah? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 14. Apakah saudara berpartisipasi ikut memasarkan hasil tangkapan nelayan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 15. Apakah saudara berpartisipasi dalam rangka pengembangan pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 16. Sebutkan berapa kali anda telah mengikuti pelatihan dan pertemuan yang diadakan? .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .......................................
136
Lampiran 19 (Lanjutan)
Nomor ................ Kuisioner : Masyarakat Lain/Pengelola
KUISIONER KAJIAN EFEKTIVITAS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT Uraian
Tanda Tangan
Nama
Pewawancara Nama Responden Alamat Hari/Tanggal Waktu Wawancara Lokasi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
I.
DATA IDENTITAS TEMPAT a. Provinsi
: ………………………………………………
b. Kabupaten
: ………………………………………………
c. Kecamatan
: ……………………………………………….
d. Kelurahan
: ……………………………………………….
e. Dusun
: ……………………………………………….
II. PROFIL RESPONDEN Petunjuk: Isilah dengan tanda silang (√) pada jawaban yang dipilih, sesuai dengan keadaan dan pendapat responden. 1
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Perempuan
137
2
Status
:
Menikah
Belum Menikah
3
Jumlah Anggota Keluarga
:
orang
4
Usia
:
tahun
5
Pendidikan
:
Tidak sekolah SLTA/Sejenisnya SLTP/sejenisnya
SD/sederajat Perguruan Tinggi Tidak Tamat
6
Pekerjaan
:
Penjual/Toko Warung Lainnya :
Bengkel
7
Lama Domisili
:
< 5 th > 15 th 11-15 th
5-10 th
8
Pendapatan/bulan
:
< Rp.500.000,Rp.501.000,-750.000,Rp.750.000,- 1.000.000,> Rp.1.000.000,-
9
Sejak Kapan Menjadi ..........
:
< 5 th > 15 th 11-15
5-10
III. KONDISI USAHA 1. Besaran/type usaha? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… 2. Jenis-jenis biaya? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… 3. Pendapatan? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ………………………………………
138
Catatan tentang kondisi usaha: ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… IV. PERSEPSI TENTANG PROGRAM DPL ........................... (isi nama desa) 1. Apakah Ekosistem Terumbu Karang sangat penting bagi anda? a. Cukup penting d. Kurang penting b. Penting e. Tidak penting c. Sangat penting 2. Apakah saudara mengetahui keberadaan program DPL-COREMAP a. Sangat tahu b. Tahu c. Kurang tahu d. Tidak tahu e. Sangat tidak tahu 16. Apakah program DPL-COREMAP yang ada saat ini bermanfaat bagi anda? a. Sangat bermanfaat d. Tidak bermanfaat b. Bermanfaat e. Sangat tidak bermanfaat c. Kurang bermanfaat 17. Bagaimana akses pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Sangat sulit d. Mudah b. Sulit e. Sangat mudah c. Biasa 18. Bagaimana kondisi terumbu karang sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Semakin buruk d. baik b. buruk e. Semakin baik c. Tetap 19. Apakah adanya program ini, pengetahuan anda tentang konservasi/terumbu karang meningkat? a. Cukup meningkat d. Kurang meningkat b. Meningkat e. Tidak meningkat c. Biasa
139
20. Bagaimana hasil produksi yang anda dapatkan sebelum dan sesudah adanya program DPL-COREMAP? a. Semakin menurun d. Meningkat b. Menurun e. Semakin meningkat c. Stabil 21. Bagaimana pendapatan anda sebelum dan sesudah adanya program DPLCOREMAP? a. Semakin menurun d. Meningkat b. Menurun e. Semakin meningkat c. Stabil 22. Bagaimana kondisi infrastruktur sebelum dan sesudah adanya program DPL? a. Semakin baik d. Kurang baik b. Baik e. Tidak baik c. Biasa 23. Apakah adanya program ini, dapat meningkatkan produksi per unit tangkapan? a. Cukup meningkat d. Kurang meningkat b. Meningkat e. Tidak meningkat c. Biasa 24. Apakah adanya program ini, keluarga anda dapat membeli perabotanperabotan rumah tangga? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 25. Apakah adanya program ini, keluarga anda dapat membangun dan memperbaiki kondisi rumah anda? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 26. Apakah adanya program ini, keluarga anda tidak lagi bergantung dengan renternir/punggawa? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja
140
27. Apakah adanya program ini, pelaku destruktif fishing semakin berkurang? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja 28. Apakah adanya program ini, dapat meningkatkan keterampilan dan usaha ekonomi anda? a. Sangat setuju d. Kurang setuju b. Setuju e. Tidak setuju c. Biasa saja V. SIKAP TENTANG PROGRAM DPL ........................... (isi nama desa) 11. Apakah program DPL di desa ini perlu dilanjutkan? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 12. Apakah saudara mendukung pelatihan dan bimbingan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 13. Apakah saudara mengembangkan usaha berdagang atau warung sebagai usaha mata pencaharian alternatif? a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja 14. Apakah saudara memiliki sikap untuk terlibat dalam mengawasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat berpeluang d. Tidak berpeluang b. Berpeluang e. Sangat tidak berpeluang c. Biasa saja 15. Apakah saudara setuju dengan setiap program dan kegiatan dalam program DPL ini? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 16. Apakah saudara setuju dengan sosialisasi pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja
141
17. Apakah saudara setuju dengan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 18. Apakah saudara setuju dengan pembelajaran dan kegiatan pengelolaan terumbu karang pada keluarga anda? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 19. Apakah saudara setuju dengan hukuman bagi pelaku destruktif fishing? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 20. Apakah saudara setuju untuk memberikan informasi kepada keluarga tentang larangan destruktif fishing? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja VI. PARTISIPASI TENTANG PROGRAM DPL ..................... (isi nama desa) 17. Apakah saudara berpartisipasi dalam kegiatan program DPL di desa ini? a. Sangat aktif d. Tidak aktif b. Aktif e. Sangat tidak aktif c. Biasa saja 18. Apakah saudara berpartisipasi dalam pengembangan program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 19. Apakah kegiatan program DPL ini mengganggu waktu kerja anda? a. Sangat tidak mengganggu d. Menggenggu b. Kurang mengganggu e. Sangat mengganggu c. Biasa saja 20. Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan kelembagaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja
142
21. Apakah saudara diberi kesempatan dalam mengeluarkan pendapat atau pertanyaan pada pelatihan-pelatihan program DPL ini? a. Sangat diberi kesempatan d. Kurang diberi kesempatan b. Diberi kesempatan e. Sangat tidak kesempatan c. Biasa saja 22. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya terumbu karang? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 23. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan peningkatan pendapatan? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 24. Apakah saudara dengan ikut berpartisipasi dapat memberikan kesempatan dalam mengembangkan usaha mata pencaharian alternatif? a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Biasa saja 25. Apakah saudara berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 26. Apakah saudara berpartisipasi untuk tidak terlibat dalam destruktif fishing? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 27. Apakah saudara berpartisipasi dalam mengawasi dan memonitoring sumberdaya terumbu karang desa? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 28. Apakah saudara berpartisipasi dalam menyukseskan program DPL di desa ini? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja
143
29. Apakah saudara berpartisipasi dalam mengikuti semua pelatihan-pelatihan yang diadakan program pemerintah? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 30. Apakah saudara berpartisipasi ikut memasarkan hasil tangkapan nelayan? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 31. Apakah saudara berpartisipasi dalam rangka pengembangan pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa? a. Sangat berpartisipasi d. Tidak berpartisipasi b. Berpartisipasi e. Sangat tidak berpartisipasi c. Biasa saja 32. Sebutkan berapa kali anda telah mengikuti pelatihan dan pertemuan yang diadakan? ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ..........................................................................
144
Lampiran 20 Kuisioner tingkat keterpentingan stakeholder
KUISIONER TINGKAT KETERPENTINGAN STAKEHOLDER IDENTITAS STAKEHOLDER*) 1. Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2. COREMAP Phase II (pusat) 3. Dinas Perikanan dan Kelautan 4. LSM 5. Akademisi 6. Publik figur 7. Kelompok nelayan 8. Sektor privat 9. Nelayan 10. Aparat desa 11. Anggota LPSTK 12. Pengumpul Berilah tanda (√) pada kolom tingkat keterpentingan untuk menentukan tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh pada seluruh kegiatan di kawasan Daerah Perlindungan Laut Desa Mattiro Labangeng Kabupaten Pangkep. No 1 2 3 4 5 6
Tingkat Kepentingan
Tingkat Keterpentingan 1 2 3 4 5 6 7
Alat Tangkap Daerah Perlindungan Laut Rehabilitasi dan konservasi Distribusi hasil dan harga tangkapan Mata pencaharian alternatif Pengawasan kelembagaan
No Tingkat Pengaruh Status daerah perlindungan laut 1 Pendapatan Asli Daerah 2 Alokasi dana untuk pengelolaan 3 Ketersediaan lapangan kerja 4 Peningkatan pendapatan nelayan 5 Keterangan: *) Lingkari Sangat penting (7), penting (5), sedang (3), kurang penting (1), rata-rata (2,4,6) (Saaty 1991)
145
Lampiran 21 Kuisioner penentuan indikator terpilih oleh stakeholder
KUISIONER PENETAPAN INDIKATOR TERPILIH IDENTITAS STAKEHOLDER*) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil COREMAP Phase II (pusat) LSM Kelompok nelayan Nelayan Aparat desa Anggota LPSTK
Kriteria Ekologi
Indikator yang ditawarkan Kondisi Tutupan Karang Hidup Kelimpahan Ikan Karang (Target) Kondisi Kualitas Perairan
Sosialekonomi
Produksi Perikanan Tangkap
Unit
Tingkat keterpentinga n**) 1 2 3
% Individu/125 m2 Ton/thn
Pendapatan Rp. Ribu/thn Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Rp. Karang Juta/ha/thn Ketersediaan pasar Jumlah Struktur Lapangan Pekerjaan/Mata % Pencaharian Persepsi Masyarakat tentang DPL % Sikap Masyarakat tentang DPL % Partisipasi Masyarakat tentang DPL % Kelemba Tingkat Partisipasi bagi Stakeholder % gaan (Pengelola) Tingkat Pelatihan Stakeholder Jumlah/thn (Pengelola) *) Lingkari **) Beri tanda (√) pada kolom Sangat penting (3), Penting (2), Kurang penting (1).