KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH
Oleh : Agus Supiyan C64104017
Skripsi
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2008
Agus Supiyan C64104017
iii
RINGKASAN AGUS SUPIYAN. Kajian Daerah Rawan Tsunami Berdasarkan Citra Satelit ALOS di Cilacap, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan ITA CAROLITA. Bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran melanda wilayah daratan Pulau Jawa termasuk daerah pesisir Cilacap yang menyebabkan kerugian baik secara material maupun non material yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena Pantai Cilacap yang dekat dengan lempengan tektonik yang terus selalu bergerak. Penelitian ini dilakukan sebagai simulasi serta prediksi area limpasan tsunami disekitar pesisir Pantai Kabupaten Cilacap berdasarkan analisis penginderaan jauh dengan metode integrasi pemodelan tsunami dengan data ALOS (Advanced Land Observing Satellite). ALOS adalah satelit pemantau lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pemantauan bencana alam dan memiliki resolusi spasial yang tinggi dan bersifat stereo. Sensor PRISM (Panchromatic Remote-Sensing Intsrument for Stereo Mapping) adalah sensor optis yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan citra stereo yang dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan DEM. Saat ini kajian DEM digunakan untuk menghasilkan berbagai informasi, seperti : peta kontur, kemiringan lahan dan animasi 3D. Informasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan program kegiatan pemetaan lahan dan manajemen bencana tsunami. Digital Elevation Model (DEM) yang digunakan pada penelitian ini untuk menentukan daerah rawan tsunami di Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan kondisi topografinya. Penentuan daerah rawan tsunami berdasarkan penggunaan lahannya diperoleh dengan cara penggabungan (overlay) antara model tsunami dengan peta penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap yang berasal dari citra ALOS. Penggunaan metode pansharpan adalah cara untuk meningkatkan informasi pengkelasan yang lebih banyak dan akurat . Model Tsunami Universitas Tohoku menggunakan data DEM sebagai salah satu faktor yang menentukan seberapa jauh tsunami dapat menjangkau daratan. Selain DEM, faktor batimteri, serta kekuatan gempa turut mempengaruhi tinggi dan limpasan tsunami yang dihasilkan. Pemilihan skenario gempa yang digunakan model tsunami ini yaitu 7.7 Mw, 8.7 Mw, serta 8.9 Mw bertujuan untuk mengkaji seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan pada tiap skenario gempanya. Tiga skenario gempa yang dapat menghasilkan tsunami yaitu 7.7 Mw, 8.7 Mw, serta 8.9 Mw menggenangi beberapa desa pesisir di Kabupten Cilacap. Desa Tegal Kamulyan adalah Desa rawan tsunami dengan tingkat kerusakan yang paling besar yaitu 7.87 ha pada skala gempa 7.7 Mw, 120.914 ha pada skala gempa 8.7 Mw, dan 142.513 ha pada skala gempa 8.9 Mw. Hal ini disebabkan landainya topografi dan tipe penggunaan lahan yang padat pemukiman dibandingkan dengan desa lain yang terkena limpasan tsunami.
KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Agus Supiyan C64104017
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SKRIPSI Judul Skripsi
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: :
KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Agus Supiyan C64104017
Disetujui, Dosen pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA NIP. 131 471 372
Ir. Ita Carolita, M.Si NIP. 300 001 380
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus : 12 September 2008
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, yang selalu membimbing selangkah demi selangkah sehingga skripsi dengan judul ”Kajian Daerah Rawan Bencana tsunami Berdasarkan Citra Satelit ALOS di Kabupaten Cilacap, JawaTengah” dapat terselesaikan. Skripsi ini dibuat agar dapat mengkaji daerah rawan tsunami di Pantai Selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan tiga skenario gempa. Penentuan daerah rawan tsunami melalui integrasi antara data penginderaan jauh yaitu ALOS dengan model tsunami Tohoku berdasarkan area limpasannya (inundation). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Ita Carolita, M. Si selaku komisi pembimbing serta Ir. Aris Subarkah, MT selaku pembimbing lapangan. JAXA dan LAPAN yang telah memberikan izin dalam hal penggunaan data. Semua pihak yang telah memberi masukan, dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak – pihak yang berkepentingan, dan dapat diimplementasikan sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Bogor, September 2008
vii
UCAPAN TERIMA KASIH Skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak yang membimbing dan mendorong serta memberikan dukungan pada penulis untuk dapat menyelesaikannya, oleh karenanya penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT, atas karunia dan rahmat Nya menuntun setiap hamba Nya ke jalan kebenaran. 2. Nabi Muhammad SAW, suri tauladan bagi saya dan kita sebagai umatNya. 3. Dosen pembimbing pembimbing skripsi, Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Ita Carolita, M.Si, atas segala bantuan dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Dosen pembimbing lapang, Ir. Aris Subarkah, M.T, atas segala bimbingan dan arahan pengolahan di bidang tsunami modelling sehingga terselesaikannya skripsi ini.. 5. Pihak BMG, Indra Gunawan S.Si, yang telah banyak memberi masukan dan bimbingan. 6. Semua anggota keluarga, Ayahanda Sumarna dan Ibunda Aminah, Ela, Asep, Irma, dan anggota keluarga lain yang selalu mendoakan saya . 7. Sahabat- sahabatku : Guntur dan Dody (P2b), Imam (Ra), Bayu (Al), Dion (Mil), Asep (Men) dan Budi yang selalu menjadi bagian dalam cerita hidup penulis. 8. Seorang wanita yang akan selalu dalam mata, pikiran, dan hati penulis. 9. Teman-teman ITK 41 yang telah memberi semangat dan dukungan. 12. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL
...................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR
................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN
............................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar belakang ........................................................................... 1.2 Tujuan ........................................................................................
1 1 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2.1 Kondisi umum lokasi penelitian ................................................. 2.2 Definisi dan batasan wilayah pesisir ........................................... 2.3 Gelombang tsunami dan Pembangkitnya ..................................... 2.3.1. Pengertian dan karakteristik gelombang tsunami ……….... 2.3.2. Faktor-faktor penyebab tsunami ...................................... 2.3.3. Pembangkit tsunami ......................................................... 2.4 Pemodelan gelombang tsunami .................................................. 2.4.1. Persamaan penjalaran gelombang tsunami ....................... 2.4.2. Persamaan kontinuitas ................................................... 2.4.3. Deformasi dasar Laut ..................................................... 2.5 Faktor-faktor kerawanan tsunami ............................................... 2.5.1. Pengertian dan karakteristik citra ALOS ......................... 2.5.2. Digital Elevation Model (DEM) ...................................... 2.5.3. Metode pansharpan ALOS .............................................. 2.5.4. Penutupan/penggunaan lahan ..........................................
3 3 5 7 7 9 13 14 16 17 17 18 19 22 24 26
3. BAHAN DAN METODE ....................................................................... 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ......................................................... 3.2 Alat dan bahan .............................................................................. 3.2.1 Alat ..................................................................................... 3.2.2 Bahan ................................................................................. 3.3 Metode penelitian .......................................................................... 3.3.1 Pengolahan citra awal ..................................................... 3.3.2 Penurunan data elevation model ..................................... 3.3.3 Pengolahan pansharpan ALOS ...................................... 3.3.4 Pengolahan penutupan/penggunaan lahan ...................... 3.4 Pengolahan Pemodelan Tsunami ................................................... 3.4.1 Pre-processing (pengolahan awal) ................................... 3.4.2 Processing (pacu model) ................................................. 3.4.3 Post-processing (interpretasi) .......................................... 3.5 Integrasi model dan citra ................................................................
31 31 32 32 33 33 34 34 39 39 41 43 47 50 51
ix
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 4.1 Digital Elevation Model (DEM) ...................................................... 4.2 Pengukuran ketinggian dari citra ALOS ................................................ 4.3 Pansharpan ALOS ........................................................................... 4.4 Peta penutupan/penggunaan lahan ................................................... 4.5 Tsunami modeling ............................................................................. 4.5.1 Area simulasi dan batimetri .............................................. 4.5.2 Sumber gempa ................................................................... 4.5.3 Area genangan tsunami ...................................................... 4.6 Ketinggian tsunami (run-up tsunami) ................................................ 4.7 Integrasi (overlay) data penginderaan jauh dengan model tsunami....... 4.7.1 Limpasan tsunami dan DEM .............................................. 4.7.2 Limpasan tsunami pada Land Use ..................................... 4.7.3 Limpasan tsunami di desa/kecamatan ................................ 4.8 Penentuan daerah rawan tsunami Kabupaten Cilacap ...................... 5. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
54 54 57 64 67 70 70 75 77 83 89 89 93 99 107
............................................................. 112
........................................................................... 114
......................................................................................... 117
RIWAYAT HDUP
................................................................................. 137
x
DAFTAR TABEL
Keterangan umum ALOS
2.
Keterangan umum sensor PRISM
3.
Keterangan umum AVNIR
4.
Keterangan umum PALSAR
5.
Ukuran minimum unit penggunaan lahan
.....................................
28
6
Informasi sensor penurunan DEM ALOS
......................................
38
7.
Parameter triangulasi DEM
...........................................................
38
8.
Posisi pengukuran topografi (survey LAPAN dan BPPT)
..............
56
9.
Perbandingan topografi survey lapangan, ALOS dan SRTM ...........
62
10. Data statistik perbandingan topografi ...............................................
62
11. Area (domain) topografi dan area batimetri
...................................
71
.............................................................................
75
12. Parameter gempa
..............................................................
Halaman 20
1.
.................................................
20
.............................................................
21
.........................................................
22
13. Luasan limpasan tsunami (7.7 SM) pada kelas topografi (ha)
........
90
14. Luasan limpasan tsunami (8.9 SM) pada kelas topografi (ha)
........
91
15. Luasan limpasan tsunami (8.7 SM) pada kelas topografi (ha)
.......
92
16. Luasan area limpasan tsunami (7.7 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) .........................................................................................
94
17. Luasan area limpasan tsunami (8.9 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ........................................................................................
96
18. Luasan area limpasan tsunami (8.7 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ........................................................................................
98
19. Area limpasan tsunami (7.7 SM) pada Desa/Kecamatan (ha)
........
99
20. Area Limpasan tsunami (8.9 SM) pada Desa/Kecamatan (ha)
.......
103
21. Area Limpasan tsunami (8.7 SM) pada Desa/Kecamatan (ha)
......
106
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman ......................................... 4
1. Lokasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 2. Perbandingan panjang gelombang tsunami 3. Jenis-jenis patahan
.......................................
8
............................................................................
10
4. Lempeng-lempeng tektonik Indonesia 5. Sejarah gempa tsunami tahun 1973-2007
..............................................
11
...........................................
11
6 Parameter orientasi sesar strike, dip, dan arah slip
............................
13
.....................................
14
...............................................................
15
7. Gelombang yang terbentuk akibat deformasi 8. Skema numerik beda hingga
9. Model bidang sesar dalam kerangka model penjalaran gelombang 10. Satelit ALOS (Jaxa, 2006)
....
18
.................................................................
19
11. Perbedaan DEM dan DTM dan DSM 12. Peta lokasi penelitian
................................................
23
..........................................................................
31
13. Prinsip pengukuran DEM dengan sifat paralak satelit
.......................
35
..........................................................
41
..........................................................................
43
..............................................................................
47
14. Bagan alir metode pansharpan 15. Lokasi domain model 16. Pembuatan domain
17. Sejarah tsunami Indonesia
..................................................................
18. Bagan alir proses pacu model (running) tsunami modelling 19. Diagram alir keseluruhan penelitian
..............
49
.................................................
53
20. Lokasi pengamatan topografi Teluk Penyu (Cilacap) 21. Citra ALOS PRISM
48
.........................
55
...........................................................................
58
22. Digital Elevation Model Kabupaten Cilacap 2D
...............................
59
..........................................
61
......................
61
..........................
63
...................................................
64
................................................
65
23. Perbandingan DEM ALOS dan SRTM 90
24. Grafik perbandingan (a) DEM ALOS dan (b) DEM SRTM 25. Digital Elevation Model Cilacap 3D (Teluk Penyu) 26. Citra ALOS AVNIR (hasil croping) 27. ALOS PRISM-Nadir (hasil croping)
28. Citra ALOS pansharpan (PRISM-AVNIR)
.....................................
29. Penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap 30. Grid area batimetri dan topografi
66
..............................
68
........................................................
71
xii
31. Peta batimetri (GRID-A) Pulau Jawa
.................................................
32. Kalsifikasi perairan Indonesia (Sumber : TNI AL, 2005) 33. Peta batimetri (GRID-D) Kab. Cilacap 34. Posisi epicenter dan kekuatan gempa
72
...................
73
..............................................
74
................................................
76
35. Penjalaran tsunami 7.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam
....................
78
36. Penjalaran tsunami 8.9 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam
.....................
79
37. Penjalaran tsunami 8.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam
.....................
80
38. Maksimum run-up tsunami ..................................................................
82
39. Run-up tsunami 7.7 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT)….
84
40. Run-up tsunami 7.7 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT)…
84
41. Penjalaran tsunami berdasarkan waktu tempuh (arrival time)
...........
85
42. Run-up tsunami 8.9 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT)…
86
43. Run-up tsunami 8.9 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT) ..
86
44. Run-up tsunami 8.7 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT) …
87
45. Run-up tsunami 8.7 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT) ..
88
46. DEM dan limpasan tsunami 7.7 SM
................................................
89
47. DEM dan limpasan tsunami 8.9 SM
...................................................
90
48. DEM dan limpasan tsunami 8.7 SM
.................................................
92
49. Area limpasan tsunami 7.7 SM pada penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Cilacap .........................................................................
89
50. Area Limpasan Tsunami 8.9 SM pada Penggunaan/Penutupan Lahan di Kabupaten Cilacap .........................................................................
95
51. Area Limpasan Tsunami 8.7 SM pada Penggunaan/Penutupan Lahan di Kabupaten Cilacap ........................................................................
97
52. Area limpasan tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap
...................
99
................................
100
53. Run-Up tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap
54. Area Limpasan tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap 55. Run-Up tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap
....................
102
...............................
104
56. Area limpasan tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap
..................
105
...............................
107
58. Luasan area kelas penggunaan lahan pada tiap Desa di Kab. Cilacap....
108
59. Luasan area kelas topografi pada tiap Desa di Kab. Cilacap
108
57. Run-up tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap
...........
xiii
60. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 7.7 SM
.............................
109
61. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 8.9 SM
.................................
110
62. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 8.7 SM
....................................
111
xiv
DAFTAR LAMPIRAN 1. Survey lapangan
..............................................................................
2. Foto-foto kegiatan survey lapangan
................................................
3. Tabel hasil survey lapangan (track GPS dan wawancara)
Halaman 117 117
................
128
4. Tabel hubungan skala tsunami 7.7 dengan tutupan lahan ..................
129
5. Tabel hubungan skala tsunami 8.7 dengan tutupan lahan ..................
129
6 Tabel hubungan skala tsunami 8.9 dengan tutupan lahan ..................
130
7. Tabel hubungan kelas topografi dengan desa ....................................
130
8. Tabel pengukuran tinggi gelombang tsunami .......................................
125
9. Data USGS 2008
136
...........................................................................
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Wilayah pesisir Indonesia merupakan daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Pentingnya pesisir bagi manusia khususnya para nelayan adalah diperolehnya sumber penghidupan dari berbagai aktivitas di sekitar pesisir laut. Namun disamping mempunyai potensi sumberdaya yang besar, wilayah pesisir Indonesia juga memiliki potensi bencana yang besar. Hal ini disebabkan karena wilayah Indonesia terletak pada daerah pertemuan empat lempeng tektonik (lempeng Eurasia, Indo-Australia, Samudera Pasifik, dan lempeng Filipina) yang tiap waktu terus bergerak. Indonesia sebagai negara kepulauan secara geologis rentan terhadap bencana alam pesisir. Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa mengancam penduduk pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya yang besar membuatnya harus diperhitungkan. Menurut Arnold (1986) in Diposaptono dan Budiman (2005), Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan tinggi di dunia. Dibandingkan dengan gempa di Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi gempa 10 kali lipatnya. Gempa-gempa tersebut sebagian besar berpusat di dasar Samudra Hindia dan beberapa di antaranya mengakibatkan gelombang laut besar (tsunami). Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki pantai yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Daerah Teluk Penyu adalah salah satu bagian dari pantai yang dimiliki Kabupaten Cilacap yang rawan terhadap bahaya tsunami karena letaknya berdekatan dengan patahan lempeng
2
Indo-Australia di Selatan Pulau Jawa. Salah satu bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran melanda wilayah pesisir Cilacap menyebabkan kerugian baik secara material maupun non material yang besar. Penelitian mengenai daerah rawan tsunami yang berbasis penginderaan jauh saat ini sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai daerah rawan tsunami dengan menggunakan integrasi pemodelan dan data penginderaan jauh, saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para peneliti, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi di dunia. Data topografi yang biasa dijadikan sebagai faktor kerawanan tsunami adalah data SRTM. Rendahnya tingkat akurasi topografi dari SRTM ini menyebabkan perlu adanya data topografi yang memiliki ketelitian yang lebih tinggi dari SRTM yaitu data DEM dari citra satelit penginderaan jauh. Penelitian mengenai daerah rawan bencana tsunami di Cilacap ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis daerah rawan terkena bencana tsunami berdasarkan analisis menggunakan penginderaan jarak jauh dan model tsunami.
1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian daerah rawan bencana tsunami yang difokuskan pada kajian limpasan (inundation) secara spasial dengan menggunakan Digital Elevation Model ALOS dan pemodelan tsunami di daerah pesisir Cilacap, Jawa Tengah.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi umum lokasi penelitian Daerah penelitian berlokasi di Pantai Selatan Cilacap Jawa Tengah. Posisi geografis Kabupaten Cilacap berada antara 07°30’00” LS - 07°45’20” LS dan 108°04’30” BT - 109°30’30”BT, dengan luas wilayah 225.360,840 ha. Kabupaten Cilacap terbagi menjadi 24 kecamatan dengan jarak terjauh dari barat ke timur 152 km dari Dayeuhluhur ke Nusawungu, dan dari utara ke selatan 35 km yaitu dari Cilacap ke Sampang. Desa-desa tersebar di 21 kecamatan, sedangkan kelurahan terdiri dari 3 kecamatan (Gambar 1). Berikut adalah kecamatan-kecamatan yang tersebar di Kabupaten Cilacap ini : Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karang pucung, Sidareja, Gandrungmangu, Kedungreja, Patimuan, Cipari, Bantarsari, Kawunganten, Jeruklegi, Kesugihan, Maos, Sampang, Kroya, Adipala, Binangun, Nusawungu, Kampung laut ( BAPPEDA Cilacap, 2005). Sedangkan batas-batas wilayah kabupaten Cilacap ini adalah sebagai berikut : Sebelah utara
: Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas
Sebelah selatan
: Samudera Hindia
Sebelah timur
: Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen
Sebelah barat
: Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar
Ibukota Kabupaten Cilacap adalah Cilacap, dimana meliputi kecamatan Cilacap Utara, Cilacap Tengah, dan Cilacap Selatan. Cilacap dulunya merupakan Kota Administratif, namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif,
4
dan Kota Administratif Cilacap kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Cilacap. Diantara kota-kota kecamatan yang cukup signifikan di Kabupaten Cilacap adalah: Majenang, Karangpucung, Sampang, Sidareja, dan Kroya. Majenang menjadi pusat pertumbuhan kabupaten Cilacap di bagian Barat sedangkan Kroya dan Sampang menjadi pusat pertumbuhan di Bagian Timur.
Gambar 1. Lokasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (BAPPEDA Cilacap, 2005)
Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah. Luas wilayahnya sekitar 6,6% dari total wilayah Jawa Tengah yaitu sekitar 2.142,57 Km2 atau lebih kurang 225.360,84 Ha diatas ketinggian 0 – 1.146 meter. Begitu luasnya, membuat kabupaten ini memiliki dua kode telepon (Wikipedia, 2007). Bagian utara adalah daerah perbukitan salah satu puncaknya adalah Gunung Pojoktiga (1.347 meter). Sedangkan bagian selatan merupakan dataran rendah. Kawasan hutan menutupi lahan Kabupaten Cilacap bagian utara, timur,
5
dan selatan. Di sebelah selatan terdapat Nusa Kambangan, yang memiliki Cagar Alam Nusakambangan. Bagian barat daya terdapat sebuah inlet yang dikenal dengan Segara Anakan. I bukota kabupaten Cilacap berada di tepi pantai Samudera Hindia. Penduduk Kabupaten Cilacap setiap tahun terus bertambah, menurut hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2004 mencapai 1.709.908 jiwa yang terdiri dari laki-laki 855.838 jiwa dan perempuan 854.070 jiwa. Selama 5 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 0,69 persen, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000 (1,20 persen), dan terendah pada tahun 2004 (0,31 persen). Pertumbuhan ini merupakan pertumbuhan penduduk yang terendah sejak tahun 1984 (Wikipedia, 2007). Berdasarkan hubungan antara tsunami dan karakteristik seismotektonik, Diposaptono (2005) membagi ke dalam enam zona seismotektonik. Kabupaten Cilacap termasuk zona B yang memiliki tingkat kerawanan tsunami yang tinggi dengan periode ulang sekitar 10-15 tahun.
2.2. Definisi dan batasan wilayah pesisir Wilayah pesisir adalah suatu daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencangkup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dan pantai adalah
6
daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah (Triatmodjo, 1999). Wilayah pesisir adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, yang memiliki ciri geosfer yang khusus, kearah darat dibatasi oleh pengaruh sifatsifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat Pada bentang lahan pesisir (coastal landscape) tercakup perairan laut yang disebut dengan pantai atau tepi laut, adalah suatu daerah yang meluas dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang. Pertemuan antara air laut dan daratan ini dibatasi oleh garis pantai (shore line), yang kedudukannya berubah sesuai dengan kedudukan pada saat pasang surut, pengaruh gelombang dan arus laut (Triatmodjo, 1999). Sedangkan menurut Diposaptono (2005) pengertian daerah pesisir merupakan daerah yang memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Walaupun demikian sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku, namun terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Penelitian ini menggunakan batasan pesisir yang ditinjau untuk kepentingan pengelolaan wilayah rawan tsunami Kota Cilacap. Pertimbangan tersebut diambil berkaitan dengan pendekatan spasial yang digunakan dalam penelitian ini untuk identifikasi dan analisis daerah limpasan tsunami.
7
2.3 Gelombang tsunami dan Pembangkitnya 2.3.1 Pengertian dan karakteristik gelombang tsunami Secara harfiah, tsunami berasal dari Bahasa Jepang. “Tsu” berarti pelabuhan dan “nami” adalah gelombang. Secara umum tsunami diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan. Jadi, dapat dideskripsikan tsunami sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Gangguan impulsif itu bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran (land-slide) (Diposaptono dan Budiman, 2005). Hal diatas disetujui oleh Ingmanson dan Wallace (1973) bahwa tsunami merupakan gelombang laut yang mempunyai periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan di laut. Panjang gelombang tsunami dapat mencapai 240 km di laut terbuka seperti samudera pasifik dengan panjang gelombang rata-rata 4600 m dengan kecepatan gelombang mencapai 760 km/jam Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gaya impulsif ini bersifat transien, yakni gelombangnya bersifat sesaat. Gelombang ini berbeda dengan gelombang laut lainya yang bersifat kontinyu seperti gelombang laut yang ditimbulkan oleh gaya gesek angin atau gelombang pasang surut yang ditimbulkan oleh gaya tarik benda angkasa. Periode gelombang angin hanya beberapa detik (kurang dari 20 detik). Sementara itu periode gelombang tsunami berkisar antara 10-60 menit (Barber, 1969 in Diposaptono dan Budiman, 2005). Perbedaan gelombang tsunami dengan gelombang yang dibangkitkan oleh angin adalah terletak pada gerakan airnya. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin hanya menggerakan air laut bagian atas.
8
Namun pada gelombang tsunami menggerakan seluruh kolom air dari permukaan sampai dasar. Perbedaan gelombang- gelombang tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan panjang gelombang antara gelombang yang disebabkan oleh angin, gelombang pasang surut, dan gelombang tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2005)
Ciri lainnya dari tsunami adalah panjang gelombangnya yang besar, bisa mencapai puluhan kilometer. Kecepatan rambatnya di laut dalam (deep sea) berkisar dari 400 sampai 1000 km/jam. Kecepatan penjalaran tsunami tersebut sangat tergantung dari kedalaman laut dan penjalarannya dapat mencapai ribuan kilometer dari pusatnya. Selama penjalaran dari tengah laut (pusat terbentuknya tsunami) menuju pantai, kecepatan semakin berkurang karena gesekan dengan
9
dasar laut yang semakin dangkal. Akibatnya, tinggi gelombang di pantai menjadi semakin besar karena adanya penumpukkan massa air akibat adanya penurunan kecepatan. Ketika mencapai pantai, gelombang naik (run-up) ke daratan dengan kecepatan yang berkurang menjadi sekitar 25-100 km/jam (Diposaptono dan Budiman, 2005).
2.3. 2 Faktor-faktor penyebab terjadinya tsunami Terjadinya tsunami di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Dari berbagai tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, 90 % disebabkan oleh gempagempa tektonik, 9% disebabkan oleh gunung berapi, dan 1% oleh tanah longsor (Diposaptono dan Budiman, 2005). A. Tsunami akibat gempa tektonik Gempa tektonik merupakan gerakan-gerakan retakan yang akan menyebabkan pergerakan vertikal massa batuan bukan pergerakan horizontal massa batuan. Jika proses tersebut terjadi di dasar laut maka akan menyebabkan perubahan muka laut yaitu terbentuknya puncak dan lembah gelombang yang berukuran 150 km antara puncak gelombang yang satu dengan puncak gelombang berikutnya ke segala arah. (Diposaptono dan Budiman, 2005). Berbagai pergerakan massa batuan yang disebabkan oleh gempa tektonik ini dapat dilihat pada (Gambar 3). Proses terjadinya gempa tektonik dimulai dengan adanya pergerakan dua lempeng yang saling berbatasan saling bergerak reatif terhadap sesamanya. Aktivitas tektonik yang disebabkan adanya pergerakan dua lempeng tersebut menimbulkan energi elastis yang dapat terakumulasi dari waktu ke waktu
10
sehingga menyebabkan pembentukan pegunungan, lembah, gunung api dan tsunami yang terletak pada batas-batas lempeng. Batas lempeng yang terbentuk terdiri dari 3 jenis yaitu, konvergen, divergen, dan singgungan.
Gambar 3. Jenis-jenis patahan : (a) sesar turun (normal fault), (b) sesar naik (reverse fault), (c) sesar horizontal (strike slip) (Diposaptono dan Budiman, 2005)
Zona konvergen ditandai dengan gerakan dua lempeng yang berbatasan itu ke bawah lempeng benua. Zona ini terdiri dari dua jenis; tumbukan dan subduksi. Pada zona tumbukan, kedua lempeng bergerak saling mendekati karena mempunyai berat jenis sama sehingga lempeng melipat ke atas. Sedangkan pada zona subduksi, kedua lempeng yang bertumbukkan mempunyai berat jenis yang berbeda. Apabila gempa dengan patahan naik maupun turun (lebih dari beberapa meter secara mendadak dan vertikal) terjadi di laut dengan kedalaman mencapai ribuan meter. Secara empiris, jika gempanya berkekuatan lebih dari 6,5 SM, dan pusat gempa berada pada kedalaman kurang 60 km dari dasar laut, maka tsunami akan terjadi (Diposaptono dan Budiman, 2005).
11
Gambar 4. Lempeng-lempeng tektonik Indonesia (Gunawan, 2007)
Berdasarkan catatan, gempa tektonik memang menyumbang kontribusi terbesar terjadinya tsunami baik di dalam maupun luar negeri. Di Indonesia sepanjang tahun 1600 sampai 2005 telah terjadi 107 kali tsunami. Dari jumlah itu, sebanyak 98 kali tsunami disebabkan gempa bumi, sembilan kali karena letusan gunung berapi, dan satu kali oleh tanah longsor di dasar laut (Gambar 5).
Gambar 5. Sejarah gempa tsunami tahun 1973-2007 (USGS, 2008)
12
Memang tidak semua gempa bisa menghasilkan tsunami. Berdasarkan hasil penelitian, tsunami bisa terwujud jika kekuatan gempa minimal 6,5 SM. Syarat lain, pusat gempanya berada kurang dari 60 km dari permukaan laut (gempa dangkal). Selain itu gempa tersebut harus menghasilkan deformasi dasar laut secara vertikal cukup besar, lebih dari 2 meter. Jadi, jika ada gempa tektonik yang terjadi pada kedalaman lebih dari 60 km, tidak akan menghasilkan tsunami walaupun kekuatan gempanya diatas 6,5 SM. . B. Tsunami akibat tanah longsor Penyebab kedua terjadinya tsunami adalah adanya longsor besar yang disebabkan oleh gempa, kegiatan gunung berapi, atau longsor di dasar laut. Tanah longsor tersebut runtuhnya bebatuan dalam jumlah yang banyak kemudian menimbulkan gelombang dengan puncak gelombang bisa mencapai 535 meter di atas garis pantai.
2.3.3 Pembangkit Tsunami Tsunami yang terjadi menyebabkan fluktuasi muka laut secara mendadak berkaitan erat dengan kegiatan bumi yang terus-menerus bergerak dinamis. Sebagian besar tsunami dibangkitkan oleh deformasi vertikal dasar laut yang berasosiasi dengan penyesaran, gempa-gempa, erupsi vulkanik di bawah laut.
13
Parameter-paramter sesar seperti panjang dan lebar sesar, energi atau magnitude, kedalaman pusat gempa, slip dan mekanisme fokus (strike, dip, dan sudut slip) adalah paramter-parameter yang utama dari sumber gempa (Gambar 6)
Gambar 6. Parameter orientasi sesar strike, dip, dan arah slip (Diposaptono dan Budiman, 2005)
Strike (jurus) merupakan arah garis horizontal yang terletak pada bidang sesar. Dip (kemiringan) adalah sudut kemiringan foot wall terhadap bidang horizontal. Rake adalah sudut pergeseran antara strike dengan garis bidang sesar. Tsunami biasanya terjadi pada gempa-gempa dangkal yang mengakibatkan reformasi pada kerak bumi yang selanjutnya memberikan pengaruh yang kuat terhadap perubahan dasar laut. Dua struktur yang menimbulkan tsunami perubahan-perubahan tersebut dapat berupa struktur sesar naik (thrusting fault) atau sesar normal (normal fault). Kedua sesar tersebut mengakibatkan perubahan kerak bumi dalam arah vertikal yang dimanifestasikan oleh komponen dip-slip yang dapat membangkitkan tsunami. Hal itu dapat dijelaskan karena pergerakan vertikal lantai Samudera dapat menyebabkan perubahan massa air di atas lantai Samudera yang bergerak tersebut. Jika lantai Samudera naik (uplift) atau turun dengan cepat
14
sebagi respon terhadap gempa bumi, maka akan menaikkan dan menurunkan air laut dalam skala besar, mulai dari lantai Samudera sampai permukaan.
Gambar 7. Gelombang yang terbentuk akibat deformasi (L. Manshinha dan D.E. Smylie, 1971)
2.4 Pemodelan Gelombang Tsunami Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanan dari sebuah sistem yang lebih kompleks (Soetaert dan Herman, 2001). Model-model suatu ekosistem umumnya lebih sederhana dari arti sesungguhnya. Proses kegiatan yang menggunakan pendekatan sistem sebagai kerangka bahasan dikenal dengan istilah permodelan (modelling). Pemodelan tsunami adalah upaya untuk mensimulasikan penjalaran gelombang tsunami yang disebabkan oleh deformasi dasar laut (gempa). Pemodelan tsunami pada dasarnya bertujuan memperkirakan sebaran tinggi dan limpasan tsunami dalam ruang dan waktu.
15
Pembangkitan, penjalaran, dan run-up tsunami dapat dihitung dengan menggunakan metode beda hingga (finite difference method atau FDM). Pada dasarnya notasi numerik beda hingga sering ditulis fi,j dimana f adalah variabel suatu fungsi dan subskrip i,j menunjukkan nomor sel dimana variabel tersebut berada. Subskrip i menunjukkan nomor sel pada arah-x dan subskrip j menunjukkan nomor sel pada arah sumbu-y. Jarak antara dua titik dalam arah-x adalah ∆x dan jarak antara dua titik dalam arah-y adalah ∆y. Untuk fungsi yang berubah terhadap waktu serta berubah terhadap jarak, notasi skema numeriknya ditulis seperti fi,jn dimana n adalah langkah waktu ke-n.
Gambar 8. Skema numerik beda hingga (Immamura, 2006) Metode numerik beda hingga didasari pada persamaan matematik dalam bentuk deret yang disebut deret Taylor. Pendekatan untuk menyelesaikan deret Taylor ini terdiri dari 3 cara yaitu : hampiran beda maju (forward difference), hampiran beda mundur (backward difference) dan hampiran beda tengah (central difference). Metode beda hingga yang digunakan pada model tsunami menggunakan: forward difference
∂η ( x, t ) ∂η ( x, t + Δt ) − ∂η ( x, t ) = + o(Δt ) dan ∂t Δt
central difference
1 1 ∂η (t ) ∂η (t + 2 Δt ) − ∂η (t − 2 Δt ) = + o(Δt ) ∂t Δt
(2.1) (2.2)
16
Penggunaan metode beda hingga ini biasanya digunakan untuk interpolasi dalam perhitungan numerik, aproksimasi, dan diferensiasi.
2.4.1 Persamaan Penjalaran Gelombang Tsunami
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu faktor penyebab utama tsunami adalah adanya gerakan dasar laut akibat gempa bumi yang dapat menimbulkan perairan dangkal atau gelombang panjang (long wave). Teori gelombang dangkal menyebutkan bahwa syarat terjadinya gelombang dangkal adalah jika nilai perbandingan antara kedalaman air yang dilalui oleh gelombang tersebut dan panjang gelombangnya lebih kecil dari 1/20. Teori ini menjelaskan bahwa percepatan vertikal air dapat diabaikan, karena besarnya lebih kecil daripada percepatan gravitasi. Sehingga berdasarkan pendekatan ini gerak vertikal dan partikel air tidak berpengaruh pada distribusi tekanan. Persamaan momentum dalam koordinat z dengan kondisi dinamik pada permukaan p=0 memberikan tekanan hidrostatik : P = -ρ.g.(z- η)
(2.3)
Berdasarkan kondisi batas dinamik dan kinematika dasar maka diperoleh persamaan integrasi Teori Gelombang Dangkal ( Immamura, 2006):
(2.4)
Dimana,
D
: total kedalaman yang diberikan oleh h+ η,
τx, dan τy
: gesekan dasar dalam arah x dan y
A
: visikositas Eddy horizontal (konstan)
17
2.4.2
Persamaan Kontinuitas
Selain persamaan gerak yang mempengaruhi model tsunami ini, persamaan kontinuitas sebagai persamaan konversi massa tiga dimensi juga mempengaruhi untuk fluida incompresible (Imammura, 2006). ∂η ∂u ∂v + + =0 ∂t ∂x ∂y
(2.5)
Persamaan di atas berlaku untuk dimana saja di dalam fluida. Untuk menyederhanakan persamaan di atas maka diperlukan syarat batas. Sehingga hasil akhirnya adalah sebagai berikut :
∂η ∂M ∂N + + =0 ∂t ∂x ∂y
(2.6) Dimana :
(2.7)
Dimana M dan N adalah discharge fluks dalam arah x dan y
2.4.3 Deformasi Dasar Laut
Menurut Manshina, 1971 in Abietto, 1997 deformasi dasar laut diestimasi melalui parameter-parameter patahan. Paramater patahan ini ada dua macam yaitu: parameter statik (panjang, lebar, dislokasi, slip, dan sudut kemiringan) dan dinamik (kecepatahan patahan dan pertambahan waktu dislokasi). Parameter-parameter bidang sesar tersebut anatara lain adalah : a. Strike (jurus) Ф, merupakan arah garis horisontal yang terletak pada bidang sesar di ukur searah jarum jam dari arah utara serta dengan asumsi haning wall berada di sebelah kanan ( 0˚≤ Ф ≤360˚ )
18
b. Dip (kemiringan) δ adalah sudut kemiringan foot wall terhadap bidang horisontal ( 0˚≤ δ ≤90˚ ) c.
Rake (sudut pergeseran) λ merupakan sudut antara strike dengan garis bidang sesar arau slip yang merupakan arah hanging wall. Rake bernilai positif pada sesar naik dan bernilai negatif pada sesar normal ( -180˚≤ λ ≤180˚ )
Gambar 9. Model bidang sesar dalam kerangka model penjalaran gelombang (Abietto, 1997)
2.5 Sistem Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh informasi tentang objek daerah atau gejala yang didapat dengan analisis data yang diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,1990)
19
2.5.1 Pengertian dan Karakteristik Citra Alos
Pada penelitian ini data penginderaan jauh yang dipakai adalah data citra dari satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite). ALOS yang diluncurkan pada tahun 2006 adalah satelit pemantau lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan survey sumber daya alam.
Gambar 10. Satelit ALOS (JAXA, 2006)
ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Satellite adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS dilengkapi dengan 3 instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang dirancang untuk dapat memperoleh data Digital Terrain Model (DTM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) untuk pemantauan penutup lahan secara lebih tepat, dan PhasedArray type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk pemantauan permukaan bumi dan cuaca pada siang dan malam hari (Ginting et al, 2003)
20
Satelit ALOS telah diluncurkan oleh Badan Luar Angkasa Jepang (JAXA) pada bulan Januari 2006 dan telah berhasil merekam informasi permukaan bumi. Resolusi untuk high resolution mode dan ScanSAR masingmasing 10 meter dan 100 meter. Secara umum satelit ini memiliki karakteristik yang dapat dijelaskan pada tabel dibawah ini : Tabel 1. Keterangan umum ALOS Alat peluncuran Tempat peluncuran Berat Satelit Power Waktu Operasional Orbit
Roket H-IIA Pusat Ruang Angkasa Tanagashima 4 000 Kg 7 000 W 3 sampai 5 Tahun Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period : 46 hari Sub cycle 2 hari Tinggi Lintasan : 692 km di atas Equator Inclinasi : 98,2 0
Sumber : JAXA, 2006
Panchromatic Remote-sensing Instrumen for Stereo mapping (PRISM) adalah instrumen penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor pankromatik dengan resolusi spasial 2.5 m dan memiliki kemampuan untuk mengambil obyek yang sama pada permukaan bumi dari 3 posisi yang berbeda. Di bawah ini tabel karakteristik sensor PRISM : Tabel 2. Keterangan umum sensor PRISM Panjang Gelombang Banyaknya Optik Base to High Ratio S/N MTF Resolusi Spasial Lebar Cakupan Jumlah Detektor Sudut pengambailan Panjang Bit
Sumber : JAXA, 2006
0.52 – 0.77 µm 3 buah ( Forward, Nadir, Backward) 1.0 ( Forward dengan Backward) Diatas 70 0.2 atau lebih 2.5 m 35 km ( Triplet Mode ) 70 km (hanya pengambilan tegak) 28 000 / Kanal (lebar cakupan 70 Km) 14 000 / Kanal (lebar cakupan 35 Km) 1.5 Derajat 8 bit
21
Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor ini digunakan untuk tujuan pemetaan dan klasifikasi penutup/penggunaan lahan skala regional, dengan memiliki kemampuan cross track pointing untuk pemantauan bencana alam. Tabel 3. Keterangan umum AVNIR Kanal Observasi
S/N MTF Resolusi Lebar Cakupan Jumlah Detector Sudut pengambailan Panjang bit Sumber : JAXA, 2006
Kanal-1 : 0.42 – 0.50 µm Kanal-2 : 0.52 – 0.60 µm Kanal-3 : 0.61 – 0.69 µm Kanal-4 : 0.76 – 0.89 µm > 200 Kanal 1-3 : > 0.25 Kanal 4 : > 0.20 10 m ( Nadir) 70 km (Nadir) 7000 / Kanal - 44 to +44 Derajat 8 bit
PALSAR merupakan salah satu sensor untuk pengamatan cuaca dan permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari JERS-1 SAR. Sensor Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) ini mempunyai keistimewaan dapat menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam maupun siang hari. Resolusi untuk high resolusion mode dan ScanSAR masing-masing 10 meter dan 100 meter.
22
Tabel 4. Keterangan umum PALSAR Mode Frekuensi Lebar Kanal
Fine
ScanSAR 1270 MHz (L - BAND) 28 / 14MHz
Polarimetric
HH atau VV / HH Polarisasi Resolusi Spasial Lebar Cakupan Incidence Angle NE Sigma 0 Panjang bit Ukuran Antena
+HV atau VV + VH 10 m (2 look)/ 20m(4 look) 70 Km 8-60 derajat < - 23 dB (70 Km) < -25 dB (60 Km) 3 bit / 5 bit
HH atau VV 100 m (multi look) 250 – 350 Km 18-43 derajat < - 25 dB 5 bit
HH+HV+VH+VV 30 m 30 Km 8 –30 derajat < - 29 dB 3 bit / 5 bit
AZ: 8.9 m x EL: 2.9 m
Sumber : JAXA, 2006
2.5.2 Digital Elevation Model (DEM)
Digital Elevation Model (DEM) merupakan data dijital dengan format raster yang memiliki informasi koordinat posisi (x,y) dan elevasi (z) pada setiap selnya. Data ini digunakan untuk menggambarkan kondisi topografi suatu wilayah. Data DEM dapat dibuat berdasarkan data titik tinggi (spot height) yang dapat diperoleh dari pengolahan foto udara, citra satelit secara fotogrametri atau citra RADAR melalui proses interferometri. Data DEM ini dapat diperoleh dengan beberapa cara seperti dengan pengolahan berbagai peta topografi atau peta rupa bumi. Namun secara konvensional DEM diperoleh melalui survey lapangan dengan menggunakan berbagai alat survey (Hajar, 2006). DEM berbeda dengan DTM (Digital Terrain Model) dan DSM (Digital Surface Model). DEM merupakan informasi ketinggian permukaan bumi yang ditampilkan dengan perbedaan warna (warna hitam memperlihatkan daerah topografi rendah, sedangkan warna putih memperlihatkan daerah topografi tinggi), DTM merupakan informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa tutupan lahan diatasnya, sedangkan DSM merupakan informasi tutupan lahan dari
23
permukaan bumi beserta tutupan lahan diatasnya misal, daerah perkotaan yang memperlihatkan 3D dari gedung-gedung.
DEM: Digital Elevation Model
Rendah
DTM: Digital Terain Model
DSM: Digital Surface Model
Tinggi
Gambar 11. Perbedaan DEM dan DTM dan DSM (Trisakti, 2006)
Akurasi dari data ini tergantung dari sumber titik tinggi dan resolusi spasial suatu data DEM. Apabila titik tinggi diperoleh dari garis kontur peta pada skala 1 : 50.000, maka ketelitian yang diperoleh dari data DEM ini nantinya memiliki akurasi yang tinggi dan semakin tinggi resolusi spasial yang dimiliki suatu data DEM, maka semakin tinggi akurasi data yang dihasilkan (Ermapper,2004). Pengolahan data DEM akan mengahasilkan kesalahan atau sink dari proses interpolasi yang akan berpengaruh terhadap akurasi data. Sink tersebut perlu dihilangkan agar mendapatkan data yang memiliki keakurasian data yang tinggi. Pengolahan data DEM menggunakan data titik atau garis tinggi dapat dilakukan melalui proses interpolasi dengan beberapa cara seperti Inverse Distance Weigted Spline dan Kriging (Ermapper,2004).
24
Data ketinggian suatu objek dari satelit bisa didapatkan dengan beberapa metode, yaitu diantaranya: DEM yang dihasilkan dari interpolasi, yaitu melakukan interpolasi terhadap titik ketinggian (dimana titik berisi informasi ketinggian Z dan koordinat XY) atau interpolasi terhadap garis kontur untuk menghasilkan DEM. Cara kedua yaitu dengan penurunan DEM mengunakan citra stereo, yaitu menggunakan 2 atau lebih citra yang diperoleh dari sudut pandang yang berbeda. Dan cara lainnya yaitu dengan Radar Interferometri (InSAR) atau teknik dimana data dari sensor radar dari satelit penginderaan jauh (contoh: ERS, JERS-1, RadarSAT dan PALSAR-ALOS) digunakan untuk memetakan ketinggian (topografi) dari permukaan bumi.
2.5.3 Metode Pansharpan Alos
Image fusion merupakan kombinasi dua atau lebih dari image/citra yang berbeda untuk menghasilkan image baru dengan menggunakan berbagai algorithma. Pan-Sharpenning merupakan salah satu jenis image data fusion. Data citra berwarna dengan resolusi rendah digabungkan dengan data monokrom yang beresolusi tinggi yang hasilnya adalah sebuah image data citra berwarna dengan resolusi tinggi. Menurut Prahasta (2008) data fusion merupakan menggabungkan atau mengkombinasikan (fusi) data (dengan cakupan wilayah yang sama) yang berasal dari berbagai (rekaman) sensor satelit (dan dengan resolusi-resolusi spasial yang berbeda) merupakan cara yang sangat efektif dan efisien dalam memberdayakan sumber-sumber basis data spasial secara optimal. Salah satu dari sekian banyak
25
bentuk dari aktifitas ini adalah Pan-sharpen yang mengkombinasikan citra digital pankromatik (band tunggal yang beresolusi spasial lebih tinggi) dengan citra digital multi-spektral (beberapa band berwarna tetapi memiliki resolusi spasial lebih rendah). Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah citra digital mutispektral dengan resolusi yang sama dengan pankromatik. Hasilnya digunakan sebagai alat bantu pada interpretasi citra digital secara visual. Image data sebaiknya tercatat dengan akurasi level tinggi terlebih dahulu menggunakan fusion algorithma, diantaranya : 1. HSV (or HSI) Sharpenning
Hue Saturation Intensity (Hue Saturation Value) menggunakan resolusi rendah image RGB (Red Green Blue). Band pankromatik disesuaikan dan diganti untuk intensity band. Gambar HSI di convert kembali ke tempat RGB. 2. Color Normalized (Brovey) Sharpenning
Digunakan untuk mendapatkan teknik Sharpenning dengan menggunakan kombinasi matematika image berwarna dan data resolusi tinggi. Fusion i = (MULTi/MULTi Sum)x PAN
(2.8)
Dimana i (=1,2,3..) merupakan band particular dalam MS Image dan MULTi SUM = MULTI1 + MULTI2 + MULTI3
(2.9)
Setiap band di Image Color dikalikan dengan rasio data resolusi tinggi dibagi dengan jumlah color bands. Fungsi otomatis dari color bands sampai ukuran pixel dengan resolusi tinggi menggunakan nearest neighbor, bilinnear, atau cubic convolution technique. Hasil keluaran gambar RGB akan mendapatkan nilai pixel dari input data resolusi tinggi.
26
3. PC Spectral Sharpenning
Digunakan untuk Sharpen Spectral Image data dengan data resolusi tinggi menggunakan prinsip transformasi komponen hasil data multispectral. PC band 1 digantikan dengan band resolusi tinggi dengan skala yang sesuai dengan PC band 1 sehingga tidak ada distorsi informasi spectral. Kemudian, digunakan untuk transform kembali. Data multispectral otomatis memperbaiki nilai pixel resolusi tinggi menggunakan nearest neighbor, bilinnear, atau cubic convolution technique. 4. Gram Schmidt Algoritm
Merupakan Kodak/ RSI yang memiliki algoritma Sharpenning. Algorithma ini merupakan dasar dalam persamaan rotasi di alam untuk PCA.
(2.10)
(2.11) Dimana, u dan v adalah vector ortogonal
2.5.4 Penutupan/Penggunaan Lahan
Dalam perencanaan dan pegembangan suatu wilayah, diperlukan antara lain peta tutupan lahan. Dalam pembuatan peta tutupan lahan, dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, misalnya dengan menganalisa citra satelit (Winardi dan Cahyono, 2005). Istilah penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Danau, pohon, dan es glasial merupakan penutup lahan.
27
Sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Survey geologi Amerika Serikat telah menyusun sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan untuk digunakan dengan data penginderaan jauh yang dilaporkan dalam USGS Profesional Paper 964 (5). Informasi penggunaan lahan dan penutup lahan sebaiknya disajikan pada peta secara terpisah dan tidak dijadikan satu sistem klasifikasi USGS. Akan tetapi dari segi praktisnya lebih efisien menggabungkan dua sistem tersebut apabila data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data utama untuk kegiatan pemetaanya. Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS disusun berdasarkan kriteria berikut : 1. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari 85 persen. 2. Ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus tidak kran lebih sama. 3. Hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain. 4. Sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas. 5. Kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahanya. 6. Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda.
28
7. Kategori harus dapat dirinci ke dalam sub-kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan. 8. Pengelompokkan kategori harus dapat dilakukan. 9. Dapat dibandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutupan lahan pada masa yang akan datang. 10. Bila memungkinkan lahan multiguna dapat dikenali. Sistem klasifikasi USGS juga menyajikan kategori penggunaan lahan/ penutupan lahan terdiri dari 4 tingkatan yang terdiri dari : sistem klasifikasi tingkat I yang disusun untuk digunakan pada citra skala kecil seperti citra Landsat. Tingkat II disusun untuk digunakan pada foto udara skala kecil. Citra yang paling banyak digunakan untuk pemetaan tingkat II adalah foto udara inframerah berwarna dengan ketinggian terbang tinggi. Untuk pemetaan pada tingkat III, sejumlah besar informasi penunjang harus diperoleh disamping informasi yang diperoleh dari foto udara skala sedang. Sejalan dengan itu maka untuk pemetaan pada tingkat IV juga harus diperoleh sejumlah besar informasi penunjang, disamping yang diperoleh dari foto udara skala besar. Ukuran minimum suatu daerah yang dapat dipetakan dalam kelas penggunaan lahan/penutup lahan tergantung pada skala dan resolusi citra. Tabel 5. Ukuran Minimum Unit Penggunaan lahan/Penutup lahan (Lillesand/Kiefer, 1990) Tingkat Interpretasi Citra Skala Peta yang Ukuran Minimum reperentatif Dipetakan I. (Satelit) 1 : 500.000 150 ha II. (Foto udara skala kecil)
1 : 62.500
2.5 ha
III. (Foto udara skala menengah)
1: 24.000
0.35 ha
29
Lahan pertanian secara luas dapat diartikan sebagai lahan yang penggunaanya terutama untuk menghasilkan makanan dan serabut. Kategori ini meliputi penggunaan seperti tanaman semusim dan padang, rumput buah-buahan, jeruk, anggur, daerah pembibitan dan tanaman hias. Lahan hutan adalah daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentasi penutup tajuk) 10 persen atau lebih, batang pohonya menghasilkan kayu atau produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim atau tata air lokal. Kategori air antara lain: sungai, kanal, danau, waduk, teluk, dan muara. Daerah yang berair dangkal dimana timbul vegetasi aquatik, diklasifikasikan sebagai kategori air. Lahan gundul ialah lahan yang kemampuannya terbatas untuk mendukung kehidupan dan vegetasi atau penutup lainnya kurang dari sepertiga luas daerahnya. Seperti yang telah disebutkan diatas, sebidang lahan mungkin dapat dikelompokkan dalam lebih dari satu kategori sehingga diperlukan suatu definisi khusus untuk menjelaskan prioritas klasifikasinya. Apabila obyek mempunyai lebih dari satu kategori, maka harus diambil kategori yang utama.Misalnya,daerah pemukiman yang penutupan vegetasinya cukup lebat dan memenuhi kriteria lahan hutan, maka harus dimasukkan dalam kategori lahan bangunan/ lahan terbangun. Penentuan daerah rawan tsunami yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan daerah limpasan tsunami pada penutupan/penggunaan lahannya. Remote sensing (RS atau penginderaan jauh) merupakan salah satu alat mutakhir guna menunjang kegiatan riset tsunami seperti halnya dalam pembuatan DEM dan penuutupan/penggunaan lahan.
30
Citra satelit secara global, visual, digital, dan multi temporal dapat memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di daerah pesisir, baik sebelum, sewaktu, maupun setelah tsunami. Identifikasi daerah yang berpotensi mengalami bencana tsunami dilakukan secara bertahap dengan empat langkah sebagai berikut : 1. Identifikasi jalur lempeng yang berpotensi menyebabkan gempa dan tsunami baik near field ataupun far field. 2. Mengannalisis aspek historis kejadian gempa yang mempunyai pusat di bawah laut. 3. Analisis aspek historis kejadian tsunami Indonesia terutama mekanisme pembangkitan tsunami. 4. Simulasi numerik hubungan antara pembangkit tsunami dan tinggi tsunami melalui pemodelan matematika dari hasil analisis gempa dan tsunami sebelumnya. Penelitian mengenai daerah rawan tsunami yang berbasis penginderaan jauh saat ini sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai daerah rawan tsunami dengan menggunakan integrasi pemodelan dan data penginderaan jauh, saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para peneliti, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi di dunia. Seperti halnya yang telah dilakukan peneliti dari LAPAN dan BPPT yang telah memodelkan tsunami dengan menggunakan data ALOS PRISM (Nadir-Forward) dan SRTM pada tahun 2007 di Cilacap, Jawa Tengah.
31
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan lokasi penelitian
Lokasi penelitian terletak di Perairan Cilacap, Kabupaten Cilacap yang secara administratif merupakan salah satu kabupaten di Pulau Jawa yang termasuk ke dalam Propinsi Jawa Tengah. Lokasi Penelitian terletak antara 07°38’54” LS 07°48’33” LS dan 108°57’22” BT - 109°06’57”BT (Gambar 12). Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Februari 2008 sampai dengan bulan September 2008. Proses pengolahan data dilakukan dalam tiga tahap yaitu: pengolahan data Penginderaan Jarak Jauh dilakukan di Laboratorium Komputer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta Timur sedangkan pengolahan tsunami modeling dilakukan di Laboratorium balai Pengkajian Dinamika Pantai BPPT Yogyakarta serta survey lapangan.
Gambar 12. Peta lokasi penelitian
32
3.2 Alat dan bahan 3.2.1 Alat
Peralatan yang dipakai dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri dari : 1. Perangkat keras pengolah citra yaitu : •
Berupa seperangkat PC (Personal computer) berbasis Intel dengan sistem operasi Windows yang digunakan untuk mengolah data citra.
•
Printer sebagai pencetak data
•
Flash disk 1 GB dan Hard disk external 40 GB sebagai media penyimpan data
2. Perangkat lunak berupa software-software yang digunakan untuk mengolah data citra ALOS yaitu : •
Perangkat lunak pengolah image processing, pembuatan DEM dari citra, serta perangkat lunak untuk menyajikan layout citra
•
perangkat lunak pengolahan pre-processing model (input data sumber/parameter tsunami), processing model (running model/pacu model), dan post-processing model (Interpretasi dan animasi).
3. Global Positioning System (GPS), sebagai alat dalam kegiatan survey lapangan 4. Kamera digital memori 512 MB dan alat perekam suara, sebagai alat dokumentasi dan wawancara dalam kegiatan survey lapangan.
33
3.2.2 Bahan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Data Primer Data primer yang digunakan penelitian ini meliputi : Citra satelit ALOS (Advanced Land Observation Satellite), data batimetri GEBCO (General Bathymetric Chart of the Oceans ) serta data topogarfi yang didapatkan saat survey lapangan (data pengukuran DEM LAPAN dan BPPT dan data cek lapangan terhadap data penutupan/penggunaan lahan) .
2. Data Sekunder Data citra SPOT terkoreksi, data posisi dan kekuatan gempa USGS, serta data program pemodelan tsunami Universitas Tohoku serta data lapangan seperti wawancara dan hasil groundchek data tutupan/penggunaan lahan yang mendukung penelitian ini. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25000 serta peta penutupan/penggunaan lahan Kabupten Cilacap skala 1:25000 .
3.3 Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan analisis penginderaan jarak jauh dengan metode integrasi data model numerik dengan data citra untuk memperoleh daerah rawan tsunami. Alur pengolahan penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu pengolahan penurunan DEM dari citra, pengolahan pemodelan tsunami sebagai input data kerawanan tsunami, dan integrasi citra dengan model.
34
3.3.1 Pengolahan citra awal
Penelitian ini menggunakan data citra ALOS (Advanced Land Observing Satellite) sensor PRISM yang diakuisisi 05 Mei 2007 dan sensor AVNIR pada tanggal 04 Januari 2007 dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Namun citra yang diperoleh tidah sepenuhnya digunakan dalam analisis, untuk itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping). Pemotongan citra ini bertujuan untuk membatasi daerah sesuai lokasi penelitian. Selanjutnya dilakukan pemulihan citra yaitu koreksi geometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak objek. Distorsi ini dihasilkan oleh faktor seperti variasi tinggi satelit, ketegakan dan kecepatan satelit (Lillesand and Kiefer, 1990). Setelah koreksi geometrik dilakukan maka didapat citra yang sesuai dengan posisi sebenarnya di bumi.
3.3.2 Penurunan Data Elevation Model
Pengukuran Data Elevation Model (DEM) pada prinsipnya berhubungan dengan sifat stereo yang dipandang sebagai objek. Data ketinggian suatu objek dari satelit bisa didapatkan dengan beberapa metode, yaitu diantaranya: interpolasi, penurunan dari citra stereo, dan Interferometri. Paralak citra menunjukkan perubahan yang tampak pada posisi relatif suatu obyek yang tak bergerak, yang disebabkan oleh perubahan posisi pengamatan. Gambar 13 , melukiskan sifat paralak pada citra stereo satelit ALOS yang bertampalan yang dipotret di atas medan yang beraneka. Perhatikan posisi
35
relatif titik 1 dan 2 yang berubah dengan berpindahnya posisi pengamatan (dalam hal ini titik pengamatan).
Gambar 13. Prinsip pengukuran DEM dengan sifat paralak satelit (Trisakti, 2006)
Teleskop1 akan melakukan merekam bagian puncak dan bagian dasar objek pada waktu yang sama (waktu t1), sedangkan teleskop 2 akan merekam terlebih dahulu pada bagian puncak objek (waktu t2 dan jarak X2 dari posisi rekam sensor 1) kemudian merekam bagian dasar (waktu t3 dan jarak X1 dari posisi rekam sensor 1). Sehingga terjadi perbedaan waktu dan jarak untuk merekam antara bagian puncak dan dasar objek sebesar t3-t2 dan X1-X2. Perbedaan ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan posisi antara puncak dan dasar objek pada citra perekaman arah miring, sedangkan pada citra perekaman
36
tegak lurus, puncak atau dasar objek akan mengacu hanya pada posisi dasar objek. Perbedaan ini disebut perbedaan paralak atau jarak paralak Δp yang besarnya sama dengan jarak perekaman arah miring antara puncak dan dasar objek X1-X2, atau Δp= X1-X2. Sudut arah miring terhadap garis vertikal (atau sudut yang dibentuk antara telescop 1 dan teleskop 2) adalah sebesar α, dimana tan α senilai dengan X1 dibagi ketinggian satelit dari permukaan bumi, atau B/H Selanjutnya ketinggian objek Δh dapat dihitung dengan formula trigonometri sederhana yaitu: tan α = (X1-X2)/Δh. Sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut Δh = (X1-X2)/tan α
(3.1)
Δh = Δp/ (B/H)
(3.2)
Δh = H*Δp/B
(3.3)
Data Elevation Model (DEM) yang digunakan pada penelitian ini merupakan data penurunan DEM dari citra ALOS PRISM. Penurunan DEM dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi data yang berbeda, sebagai contoh adalah kombinasi antara Nadir-Forward, Nadir-Backward atau ForwardBackward, atau kalau memungkinkan adalah triplet Nadir-Forward-Backward. Namun yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan kombinasi Nadir-Backward. Citra stereo ALOS PRISM (Nadir dan Backward) dipilih area kajian penelitian yang sama dan sesuai dengan cropping area sehingga overlap antara keduanya tepat. Setelah penyiapan data, maka proses selanjutnya adalah proses penurunan DEM. Data yang digunakan selain data PRISM juga data hasil
37
pengukuran ketinggian topografi menggunakan DGPS (Differential GPS) sebagai referensi. Data DGPS ini diperoleh dari pengukuran lapangan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan dan Teknologi Penideraan Jarak Jauh LAPAN, AIT (Asian Institute of Technology) dan data DGPS BPPT . Data DGPS ini merupakan data GCP (XYZ), (XY) untuk koordinat horisontal dan (Z) untuk koordinat vertikal. Tingkat akurasi GCP referensi yang digunakan, jumlah GCP, distribusi sebaran GCP, RMSE dari nilai paralaks dan ketepatan peletakan titik GCP. Proses pemasukan input-input parameter yang diperlukan seperti penyesuaian zona 49 UTM (dareah kajian Cilacap) dan parameter sensor (disajikan pada Tabel 6). Proses selanjutnya adalah masukan data DGPS hasil pengukuran lapangan sebagai data referensi untuk menyesuaikan posisi topografi dengan ALOS PRISM. Pengambilan GCP pada tiap-tiap sensor disesuaikan dengan data referensi satu-persatu posisi dengan tepat. Untuk menambah keakuratan dan mempercepat pembuatan DEM yang dibuat maka diperlukan titik ikat otomatis.
Semakin banyak titik ikat maka
ketelitian semakin baik, yang direkomendasikan minimal 50 titik Sehingga pada penelitian ini menggunakan titik ikat sebanyak 50 buah titik. Side incidence adalah posisi satelit yang bias bergerak ke kiri atau ke kanan. Track incidence adalah sudut yang dibentuk dari Backward-Nadir atau Forward-Nadir. Ground resolution adalah ukuran sebenarnya di bumi dalam setiap sel di citra. Sensor line along axis pada sumbu Y karena paralak terjadi pada sumbu Y (proses masukkan informasi sensor terlihat pada Tabel 6).
38
Tabel 6. Informasi Sensor penuruan DEM ALOS Frame Editor Forward Tab Frame Attributes 1,5 Side incidence (degrees) 26,57 Track incidence (degrees) 2,5 Ground resolution (meters) y Sensor line along axis Sensor Information Tab General Focal length (mm) Principal point x0 (mm) Principal point y0 (mm) Pixel size (mm) Sensor columns Tab Model Parameters X Y Z Omega Phi Kappa
Nadir
Backward
1,5 0 2,5 y
1,5 –26,57 2,5 y
Forward
Nadir
Backward
1939 0 0 0,007 16247
1939 0 0 0,007 14650
1939 0 0 0,007 16214
2 2 2 1 1 2
2 2 2 1 1 2
2 2 2 1 1 2
Nilai RMSE yang didapatkan merupakan nilai yang menunjukkan seberapa besar ketelitian DEM yang kita dapatkan. Semaikn kecil nilai RMSE nya maka semakin baik ketelitian Dem yang dihasilkan. Sehingga setelah proses triangulasi selesai, maka penurunan DEM bisa dilakukan Tabel 7. Parameter Triangulasi DEM Tab Parameter General Maximum normal iterations Iterations with relaxation Convergence value (pixels) Compute accuracy for unknowns Image coordinate unit for report Point Type
Keterangan / nilai 5 3 0,001 Dinonaktifkan Pixels Same weighted values (X, Y, Z = 2,5 Æ resolusi spasial ALOS Prism = 2,5 m) Diaktifkan, nilai 3 Advanced Simple gross error check options Use image observations of check point Diaktifkan in triangulation Consider earth curvature in Dinonaktifkan Dinonaktifkan calculation Define topocenter (degrees)
39
3.3.3 Pengolahan pansharpan ALOS
Citra ALOS yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ALOS PRISM dan AVNIR. Karakteristik PRISM termasuk citra panchromatik yang memiliki resolusi tinggi yaitu 2.5 m. Sedangkan karakteristik AVNIR memiliki resolusi lebih rendah dibandingkan PRISM yaitu 10 m dengan multispektral. Metode pansharpan ini bertujuan untuk mendapatkan data citra yang memiliki karakteristik citra yang lebih baik yaitu memiliki resolusi tinggi (2.5 m) dan termasuk multispektral. Langkah pertama adalah koreksi geometri kedua citra sehingga ketika proses fusion atau pansharpaning dilakukan akan mendapatkan citra pansharpan yang tepat. Koreksi citra AVNIR terhadap citra yang sudah terkoreksi yaitu dengan menggunakan citra SPOT, kemudian citra PRISM (Nadir) dikoreksi geometrik terhadap citra AVNIR yang sudah terkoreksi sebelumnya. Algoritma metode pansharpan yang digunakan pada penelitian ini adalah algoritma Gramd Smith karena algoritma ini adalah algoritma fusion citra yang paling baik secara visual untuk membedakan objek-objek pada penutupan/penggunaan lahan. Misalnya dapat membedakan antara tanah dan vegetasi secara lebih jelas dibandingkan dengan algoritma yang lain.
3.3.4 Pengolahan Penutupan Lahan
Klasifikasi merupakan proses penglemopokkan nilai reflektansi dari setiap obyek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification).
40
Data citra ALOS yang digunakan untuk mendapatkan citra terklasifikasi berdasarkan tutupan lahanya yaitu menggunakan data citra ALOS AVNIR (Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer) dan ALOS PRISM ( Nadir). Kandungan informasi dapat diperoleh melalui kegiatan klasifikasi dan interpretasi data, interpretasi dibatasi pada pengenalan penggunaan/penutup lahan (land cover) yang didefinisikan sebagai pengenalan tipe kemunculan obyek yang ada di permukaan bumi, seperti bangunan urban, tanam tanaman, air dan lain-lain. Dengan demikian, melalui pengenalan penggunaan/penutup lahan dapat diketahui sebaran, bentuk, luasan dan lokasi berbagai obyek di permukaan bumi. Proses pengolahan awal adalah dengan menggunakan metode Pansharpan.. Metode Pansharpan ini menggunakan citra PRISM sebagai citra yang memiliki resolusi spasial 2.5 m dengan monospketral dan citra AVNIR sebagai citra yang memiliki resolusi spasial 10 m dengan multispektral. Setelah kedua citra yang memiliki resolusi spasial dan sensor yang berbeda diintegrasikan maka dihasilkan citra baru yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi dengan disertai sifat multispektral. Setelah proses pansharpan dilakukan maka dilakukan proses klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Banyaknya kelas klasifikasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada penelitian ini pemilihan tutupan/penggunaan lahan ditujukan untuk mendapatkan daerah kalsifikasi yang digenangi tsunami dan daerah rawan tsunami. Pemilihan kelas klasifikasi yang dipilih peneliti terdiri dari kelas : pemukiman/bangunan, industri, sawah, tambak,ladang, lahan terbuka, vegetasi lain, mangrove, pasir, kebun/perkebunan. Serta informasi penggunaan lahan yang berasal dari digitasi pada peta
41
penutupan/penggunaan lahan yaitu: rumah sakit, jalan, sekolah, dan tempat peribadatan.
Citra ALOS
ALOS PRISM
ALOS AVNIR
Pankromatik
Multi spektral
Fusion / Pan sharpening Ortho rectification Klasifikasi Unsupervised Land Use Map/Landcover
Gambar 14. Bagan alir metode pansharpan
3.4 Pengolahan Pemodelan Tsunami
Model tsunami yang digunakan dalam penelitian ini, hanya dibangkitkan oleh pergerakan dasar laut akibat gempa. Sedangkan persamaan gerak gelombang yang digunakan adalah persamaan gerak gelombang panjang suku-suku linier. Hal ini cukup mewakili karena model tsunami dalam penelitian ini berjenis ” Near Fields Tsunami” dimana jarak antara pembangkit tsunami dengan pantai cukup dekat, kurang dari 2000 km. Demikian pula untuk suku gesekan dasar dalam perhitungan ini belum digunakan.
42
Persamaan di bawah ini adalah persamaan dasar penjalaran gelombang tsunami yang digunakan dalam model ini (Immamura, 2006)
∂η ∂M ∂N + + =0 ∂t ∂x ∂y
dimana,
(3.3)
M = ∫ udz = ū (h + η) , discharge fluks dalam arah x N = ∫ vdz = v (h + η) , discharge fluks dalam arah y g = percepatan gravitasi bumi h = kedalaman perairan η = elevasi muka air laut Program ini hanya digunakan untuk gelombang tsunami. Pengaruh
gelombang yang diakibatkan angin dan pasang surut tidak diperhitungkan. Paras muka laut diberikan oleh pasang surut saat tersebut dan diasumsikan konstan selama pemodelan tsunami. Hal ini dikarenakan simulasi tsunami hanya memiliki durasi sekitar satu hingga tiga jam. Syarat batas tertutup dalam model ini menggunakan asumsi garis sebagai dinding. Sehingga tidak ada aliran yang melewatinya, dan gelombang terefleksi secara sempurna. Dengan kondisi stabil jika h jauh lebih besar dari η
C Dimana,
Δt ≤1 Δx
C = kecepatan penjalaran gelombang Δt= spatial waktu Δx= spatial grid dalam arah –x
(3.4)
43
Pengolahan model dilakukan tiga tahapan yaitu : pre-processing, processing, dan post processing. Proses pengolahan awal (pre-processing ) adalah membuat input data sumber atau parameter tsunami dan data dasar. Tahap selanjutnya adalah proses running model atau pacu model. Tahap terakhir dari pengolahan model tsunami pada penelitian ini yaitu tahap interpretasi dan animasi. 3.4.1 Pre-processing
Pembuatan data input model berupa data batimetri GEBCO, DEM citra ALOS yang telah dibuat pada tahap pengolahan citra sebelumnya. Pada pembuatan input ini daerah domain yang digunakan oleh program terdiri dari empat domain. Sehingga selain daerah kajian, maka dibuat tiga domain lainnya. Keempat domain yang digunakan menggunakan metode nested grid.
Gambar 15. Lokasi domain model
Jumlah input batimetri dan topografi terdiri dari empat buah, domain D merupakan daerah kajian penelitian yaitu di cilacap, sedangkan domain B, C, dan domain A merupakan daerah nonkajian yaitu meliputi daerah yang luasannya lebih besar dibandingkan domain D.
44
Penentuan domain dilakukan dengan menggunakan software Mapsource sehingga batas penentuan domain lebih mudah dan jelas. Batas penentuan daerah kajian penelitian disesuaikan dengan batas daerah citra dan DEM yang telah ditentukan sebelumnya sehingga pada saat dilakukan overlay akan tepat. Sedangkan untuk daerah nonkajian ditentukan dengan syarat luasan domain C < domain B < domain A. Langkah Pembuatan input domain D dilakukan dengan mengintegrasikan data batimetri GEBCO dengan DEM ALOS. Proses pengintegrasian ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Global Mapper 8.0, Textpad, Transform, Surfer 8.0, dan GEBCO Centenary edition. Proses pembuatan input domain D dimulai dengan membuat terlebih dahulu input data dari SRTM 90. Hal ini dilakukan untuk membantu pada tahap pemasukan data batimetri terhadap DEM. Pengolahan dimulai pembuatan topografi dan garis pantai dari data SRTM. Kemudian pembuatan batimetri dari GEBCO sesuai batas domain D. Proses selanjutnya yaitu penggabungan data dan interpolasi data dengan metode kriging yaitu data topografi, garis pantai, dan batimetri pada software Surfer 8.0. Data hasil interpolasi dibaca dengan menggunakan software Transform. Kemudian file tersebut disimpan dalam bnetuk ekstensi *hdf untuk kemudian digabung dengan data batimetri. Setelah input data SRTM dan GEBCO selesai maka sebelum diintegrasikan dengan DEM ALOS, maka data DEM tersebut harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk data ASCII sehingga dapat dibaca dan diintegrasikan dengan data batimetri. Proses konversi data DEM menjadi data ASCII menggunakan software ENVI 4.3. Agar dapat dibaca pada software yang
45
sama yaitu Transform maka data ASCII tersebut dibuka dengan Textpad lalu header citra dihilangkan dan disimpan dalam bentuk *txt dan dibuka dengan Transform. Program pemodelan tsunami ini hanya dapat membaca pada ukuran grid 30 x 30. Sehingga data DEM perlu dibuat sama ukuran gridnya menjadi ukuran 30 x 30. Hal ini disebabkan kemampuan dari media running program yaitu komputer yang ada pada saat ini tidak mampu untuk menjalankan program pada grid yang berukuran lebih kecil dari 30 x 30 sehingga pembuat program menentukan ukuran grid yang berukuran 30 x 30. Setelah pembuatan input dari data SRTM dan GEBCO selesai maka dilakukan pengintegrasian batimetri dari input SRTM-GEBCO terhadap DEM. Sehingga dihasilkan input model domain D yang terdiri dari DEM sebagai topografi dan batimeri. Proses ini memerlukan penyesuaian ukuran grid antara data DEM dan GEBCO sehingga untuk memudahkan proses penggabungan data, nomor grid dirubah dari UTM menjadi ukuran nomor grid satuan dengan interval 1.0 dan dimulai dengan nomor grid satu. Proses penggabungan data dengan cara memasukkan data batimetri ke dalam data DEM ALOS pada posisi grid sel yang sama. Misalnya pada sel (20,15) artinya pada baris ke-20 dan kolom ke-15 pada DEM memiliki nilai 0 (perairan), maka diisi dengan nilai pada data GEBCO pada sel yang sama yaitu (20,15). Demikian seterusnya sehingga semua sel yang bernilai nol pada data DEM terisi dengan data batimetri pada GEBCO. Selanjutnya dilakukan pembuatan pembuatan file input domain C, B, dan domain A. Proses pembuatan ketiga input ini dengan menggunakan data
46
GEBCO (topografi dan kedalaman laut). Batas-batas penentuan domain sesuai dengan batas yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada tahap pembuatan input domain A, B, dan C ini hampir sama dengan pembuatan input domain D. Tetapi pada proses ini hanya menggunakan data GEBCO sebagai data dasar. Hal ini disebabkan selain domain A, B, dan C ini bukan daerah kajian penelitian juga adanya keterbatasan data ALOS yang digunakan pada pembuatan input model. Proses pembuatan di mulai dengan penentuan daerah domain pada software GEBCO kemudian disimpan dalam bentuk grid data dengan ekstension *asc. Kemudian diolah dengan menggunakan software Surfer 8.0 dengan proses interpolasi kriging dengan space grid sesuai dengan luasan grid domainnya disimpan dalam bnetuk *dat. Kemudian ketiga file input diatas dibuka dengan software Transform dan disimpan dalam bentuk *hdf untuk masing-masing domain. File input A,B, dan C di atas bukan merupakan input model. Untuk membuat input model domain A, B, dan C maka untuk input domain C adalah gabungan antara input domain D dan domain C . Caranya yaitu dengan merubah kembali nomor sel ke dalam bentuk UTM, kemudian pada posisi koordinat UTM domain D pada domain C disi dengan semua data pada file input domain D. Sehingga input domain C adalah data topografi dan batimetri dari domain D dan domain C hasilnya dapat dilihat pada Gambar 16 Untuk mendapatkan input domain B dan A dilakukan proses yang sama seperti pada pengolahan domain C. Sehingga didapatkan file input domain C, B,
47
dan domain A (grid-c, grid b, dan grid-a) yang digunakan pada tahap selanjutnya yiatu tahap processing.
Domain D (DEM ALOS)
Domain C Batimetri GEBCO
Gambar 16. Pembuatan domain C (gabungan input D dan C)
3.4.2 Processing
Tahap pacu model (running model) ini adalah proses simulasi model dari input-input yang disiapkan pada proses sebelumnya serta input parameter gempa sehingga dihasilkan sebuah model simulasi tsunami dengan menggunakan software Fortran 9.0
48
Parameter gempa yang digunakan pada model ini adalah : kekuatan gempa (Mw) dan posisi gempa (Xo,Yo). Selain itu parameter waktu tempuh simulasi yang dijalankan model disesuaikan dengan kondisi yang diinginkan peneliti yaitu waktu tempuh tsunami hingga menjalar ke daratan selama 3 jam. Pada tahap ini proses pansharpan disimulasikan berdasarkan tiga kasus yang berbeda. Simulasi model yang dilakukan pertama adalah pansharpan untuk kejadian tsunami berdasarkan tsunami 17 Juli 2006 dengan parameter gempa (posisi, kekuatan, dan waktu tempuh) yang disesuaikan dengan data sekunder yang didapat dari data USGS. Data sejarah gempa dasar laut yang menyebabkan tsunami 17 Juli 2006 yaitu terjadi akibat gempa dengan kekuatan gempa 7.7 Mw pada posisi gempa di titik -10.28 LS dan 107.82 BT (Gambar 17).
Epicentrum gempa dasar laut
Gambar 17. Sejarah tsunami Indonesia (Gunawan, 2007)
Skenario kedua pada tahapan processing model ini adalah simulasi model pada posisi gempa yang sama dengan kekuatan gempa lebih besar daripada
49
7.7 Mw. Pada penelitian ini, kekuatan gempa 8.9 Mw dipilih sebagai perbandingan pengaruh besarnya kekuatan gempa pada daerah gempa yang sama. Sedangkan untuk skenario ketiga maka dipilih sebagai simulasi model untuk posisi dan kekuatan gempa yang berbeda yang dipilih oleh peneliti. Untuk simulasi ketiga ini dipilih posisi gempa yang berbeda dengan posisi gempa berdasarkan sejarah terjadinya gempa tetapi masih berada pada daerah subduksi. Proses kinerja program dapat dilihat pada Gambar 18.
INPUT I MAX , J MAX INPUT DX , DY INPUT TOTAL SEC OUTPUT (OUT SEC) FILE OUTPUT SEC INPUT BATIMETRI INPUT DEFORMASI
CEK AREA KOMPUTASI
No
WAKTU > TOTAL WAKTU Yes OUTPUT
Gambar 18. Bagan alir proses pacu model (running) tsunami modelling
50
Masukan (i,j) berupa data utama pengolahan model berupa data topografi yang berasal dari penurunan DEM dari citra stereo. Input model memiliki increment dx-dy sesuai ukuran tiap grid (A,B,C, dan D). Total input model yang digunakan pada program ini terdiri dari empat input dimana input domain D adalah grid kajian pada penelitian ini. Batimetri dan topografi (DEM) Cilacap adalah input proses pacu model dengan adanya parameter gempa sehingga menimbulkan deformasi vertikal dasar laut. Proses selanjutnya adalah proses komputasi yang menghitung setiap nilai pada tiap sel. Jika waktu pacu model sudah melebihi total waktu (3 jam), maka proses komputasi selesai. Tetapi jika waktu pacu model kurang dari waktu total, maka proses komputasi akan terus dilanjutkan sampai menghasilkan output model yaitu nilai run-up tsunami.
3.4.3 Post Processing
Pada tahap ini hasil simulasi model yang telah didapatkan dari proses sebelumnya berupa luasan genangan (innudation) tsunami di daratan serta tinggi (run-up) tsunami. Kemudian agar pengkajian simulasi dapat diinterpretasikan secara sederhana, maka peyajian peta dan video animasi diolah dengan menggunakan software Xview, Bmp2Avi, dan Matlab sebagai sarana penyajian interpretasi model. Untuk menyajikan tinggi fluktuasi muka air laut yang diakibatkan oleh gelombang tsunami maka dapat disajikan dengan bantuan Matlab 6.5 dengan program yang sudah dapat dieksekusi. Program ini adalah program untuk menampilkan fluktuasi muka air laut dari model yang sudah didapatkan sebelumnya.
51
Sedangkan untuk menampilkan video animasi dari hasil simluasi model dengan menggunakan software Bmp2Avi dan Xview. Perangkat lunak Xview adalah software untuk mengkonversi hasil simulasi dari bentuk *txt menjadi bentuk gambar dengan ekstensi *bmp. Setelah itu pembuatan video animasi menggunakan software Bmp2Avi sehingga menghasilkan video hasil simulasi model dalam bentuk *avi.
3.5 Integrasi Model dan Citra
Proses integrasi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi daerah yang tergenang tsunami serta ketinggiannya pada daerah kajian yaitu di Cilacap. Proses integrasi ini dilakukan dengan mengoverlay hasil genangan (innudation) model dengan tutupan lahan dan penggunaan lahan. Proses overlay dilakukan dengan menggunakan software Arc.View 3.4. Dimana daerah genangan maksimum terlebih dahulu diregistrasi terlebih dahulu dengan empat titik sudut GCP pada ujung-ujung model. Kemudian proses overlay dilakukan dengan citra atau peta sesuai analisis kajian yaitu daerah mana saja yang terkena tsunami beserta luasannya pada tiga skenario yang berbeda. Pengkelasan tinggi tsunami, pengkelasan topografi darat pada tiap skenario dengan menggunakan sistem pengkelasan supervised, dimana banyaknya kelas serta interval kelas ditentukan sesuai dengan nilai terendah dan tertinggi dari kelas tersebut dengan menggunakan training area. Pada skenario gempa 8.9 Mw dan 8.7 Mw, banyaknya kelas tinggi tsunami dibagi menjadi 5 kelas dengan selang interval 1 m, sedangkan skenario gempa 7.7 Mw menggunakan selang 0.5
52
kemudian ditamplikan di Arc.view dan dilakukan analisis hubungan antara dua kelas. Untuk mengetahui luasan limpasan tsunami pada kelas penggunaan lahannya, maka dilakukan analisis tabular antara kedua kelas tersebut dengan perintah intersection theme di Arc. View 3.4. Hasilnya adalah data tabular dan overlay antara dua kelas tersebut. Penentuan daerah rawan tsunami didasarkan atas luasnya limpasan pada area topografi rendah dengan tipe penggunaan lahan yang paling berbahaya dan dianggap rawan jika terjadi tsunami jika menggenangi kelas tersebut. Urutan tipe penggunaan lahan tersebut adalah tipe penggunaan lahan pemukiman, lahan terbangun seperti industri,sekolah, dan tempat peribadatan, area budidaya, serta area tutupan lahan alami, dan kelas tidak terlalu bahaya jika tsunami menggenanginya, misal pohon atau semak/rumput. Proses selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 19. Pada penelitian ini data ALOS yang digunakan untuk menurunkan DEM adalah ALOS Backward-Nadir, sedang pada penelitian sebelumnya telah dilakukan penurunan DEM ALOS Forward-Nadir dan SRTM oleh peneliti LAPAN. Kemudan penelitian mengenai daerah rawan tsunami dengan menggunakan metode integrasi penginderaan jauh dan model numerik tsunami juga telah dilakukan oleh peneliti LAPAN bekerja sama dengan peneliti BPPT pada tahun 2007.
Citra ALOS AVNIR
Citra ALOS PRISM
Citra ALOS PRISM
Koreksi geometrik
Penentuan GCP
Pansharpan
Running DEM
Klasifikasi
DEM
Landcover/ Land Use
Tsunami Inundation Modeling
Citra ALOS PRISM
Data Lapangan
Batimetri GEBCO
Parameter Gempa
Genangan Maksimum
overlay Daerah Prediksi Genangan Daerah Rawan Tsunami
Gambar 19. Diaglam alir keseluruhan penelitian
53
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Digital Elevation Model ( DEM)
Penentuan daerah rawan tsunami dengan menggunakan pemodelan numerik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: faktor topografi, batimetri , dan gempa sebagai sumber pembangkit tsunami. Menurut Trisakti (2006) data digital Elevation Model atau DEM adalah model dijital yang memberikan informasi bentuk permukaan bumi (topografi) dalam bentuk data raster atau bentuk data lainnya. DEM terdiri dari 2 informasi, yaitu: data ketinggian dan data posisi koordinat dari ketingian tersebut di permukaan bumi. Menurut Trisakti (2006) mengatakan bahwa DEM berbeda dengan data yang mempunyai informasi ketinggian lainnya seperti DTM (Digital Terrain Model) dan DSM (Digital Surface Model).
DEM merupakan informasi
ketinggian permukaan bumi yang ditampilkan dengan perbedaan warna (warna hitam memperlihatkan daerah topografi rendah, sedangkan warna putih memperlihatkan daerah topografi tinggi), DTM merupakan informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa tutupan lahan diatasnya, sedangkan DSM merupakan informasi tutupan lahan dari permukaan bumi beserta tutupan lahan diatasnya (sebagai contoh, daerah perkotaan yang memperlihatkan 3D dari gedung-gedung) Pengukuran ketinggian topografi dilaksanakan pada bulan.Desember 2007 oleh pihak LAPAN dan BPPT di sepanjang Teluk Penyu Cilacap. Pengukuran dilakukan pada 18 titik pengamatan oleh LAPAN yaitu menyebar diseluruh wilayah cilacap, sedangkan 15 titik pengamatan dilakukan oleh BPPT di sepanjang pantai Teluk Penyu Cilacap.
55
Gambar 20. Lokasi pengamatan topografi Teluk Penyu (Cilacap) Pengamatan dilakukan di daerah Sidanegara, Tegal Kamulyan, Kebonmanis, Donan, Lomanis, Menganti, Sidakaya, Mertasinga, dan Gunung Simpang. Survey LAPAN dilaksanakan menyebar ke seluruh bagian Cilacap. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sampling titik ketinggian topografi yang mewakili seluruh bagian Cilacap. Selain itu, titik pangamatan dilakukan pada titik stasiun yang bersifat konstan seperti persimpangan jalan, jembatan, atau disekitar lapang terbuka. Sedangkan untuk survey BPPT dilakukan pengamatan pada
56
daerah sepanjang pantai. Hal ini dimaksudkan untuk mengamati titik ketinggian topografi daerah dekat pantai yang rawan terkena tsunami. Tabel 8. Posisi Pengukuran Topografi (Survey LAPAN dan BPPT) (Carolita dan Subarkah, 2008) Koordinat
No x 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Tinggi (m) y
7.68669 7.74117 7.74095 7.72077 7.68887 7.66188 7.69408 7.75193 7.71916 7.71599 7.7054 7.69944 7.70108 7.69023 7.68834 7.75162 7.74254 7.74251 7.74035 7.74005 7.73666 7.73447 7.72828 7.72796 7.71768 7.71279 7.70939 7.70734 7.69944 7.72562 7.74245 7.74646 7.74352
109.01214 109.01012 108.9977 108.99946 109.0013 109.04763 109.0346 109.01994 109.02745 109.03007 109.03894 109.04979 109.05072 109.06954 109.0745 109.01969 109.01974 109.0194 109.01982 109.01879 109.02058 109.02111 109.02306 109.02259 109.02879 109.03277 109.03596 109.04009 109.04979 109.0088 109.0183 109.01932 109.01946
Survey (LAPAN dan BPPT) 4.684 5.036 7.079 2.519 3.674 3.399 7.54 5.33 2.04 2.994 0.836 0.961 1.127 3.032 0.452 2.049 3.874 2.68 2.817 3.852 1.524 2.235 2.145 2.595 1.568 2.426 1.64 1.504 1.475 1.418 1.583 1.115 3.032
Tabel 8 menunjukkan posisi pengukuran dan ketinggian topografi daerah Cilacap yang dilakukan oleh LAPAN dan BPPT. Topografi pada stasiun
57
pengukuran dilakukan dengan menggunakan GPS differensial dengan kalibrasi benchmark Cilacap untuk mengukur ketinggian topografi. Ketinggian maksimum pada stasiun pengukuran adalah 7.54 m di Desa Tritih Lor pada posisi 7.69408 LS dan 109.0346 BT . Sedangkan topografi terendah adalah 0.452 m pada posisi 7.68834 LS dan 109.0745 BT yaitu di Desa Tegal Kamulyan .
4.2 Pengukuran Ketinggian dari Citra ALOS
Panchromatic Remote-sensing Instrumen for Stereo mapping (PRISM) adalah instrument penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor pankromatik dengan resolusi spasial 2.5 m dan memiliki kemampuan untuk mengambil obyek yang sama pada permukaan bumi dari 3 posisi yang berbeda. Sensor ini mempunyai 3 teleskop untuk merekam citra stereo dari arah depan (Forward), arah tegak lurus (Nadir ) dan arah belakang (Backward) searah dengan orbit satelit (along track). Secara visual perbedaan anatara kedua citra dapat dilihat pada Gambar 21. Penurunan DEM dari citra membutuhkan citra yang memiliki sifat stereo seperti yang dimiliki PRISM dimana setiap teleskop (nadir , backward, dan forward) terdiri dari 3 cermin dan beberapa detektor CCD untuk melakukan perekaman dengan menggunakan metoda push-broom scanning. Teleskop pada arah tegak lurus dapat merekam citra dengan swath 70 Km, sedangkan arah depan dan arah belakang merekam dengan swath sebesar 35 Km. Sudut yang dibentuk teleskop arah depan dan arah belakang terhadap arah tegak lurus adalah 23.80, ini bertujuan untuk menghasilkan data stereo dengan rasio lebar (base)/tinggi (height)
58
yang mendekati nilai 1. Kombinasi citra stereo tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan DEM dengan akurasi yang cukup untuk memetakan permukaan bumi dalam skala 1:25.000 atau lebih besar (JAXA, 2006).
Gambar 21. Citra ALOS PRISM
Pada penelitian ini dilakukan penurunan DEM dari citra ALOS PRISM dengan metode penurunan DEM mengunakan citra stereo, yaitu menggunakan 2 citra yang diperoleh dari sudut pandang yang berbeda yaitu citra PRISM Nadir dan citra PRISM Backward) daerah Cilacap khususnya di Teluk Penyu yang menjadi daerah kajian penelitian. Kedua citra hasil crooping mewakili wilayah pantai di selatan Kabupaten Cilacap yang menjadi daerah yang rawan terkena tsunami.
59
Penurunan DEM dari citra stereo seperti ALOS atau ASTER berdasarkan prinsip waktu dan jarak perekaman sensor yang ada pada satelit. yang biasa disebut perbedaan paralak atau jarak paralak Δp yang besarnya sama dengan jarak perekaman arah miring antara puncak dan dasar objek. Untuk memperoleh ketinggian objek dapat ditentukan dari perhitungan jarak paralak tersebut. Berikut adalah gambar hasil penurunan DEM dari cita stereo ALOS pada Gambar 22. (Lang H. and Welch (1999) in Trisakti et al. (2006))
Gambar 22 Digital Elevation Model Kabupaten Cilacap 2D
Kabupaten Cilacap merupakan dataran rendah dimana daerah timur mempunyai konfigurasi pantai melengkukng ke arah timur laut sampai muara
60
Sungai Serayu. Pada penelitian ini dapat diketahui topografi Cilacap mempunyai ketinggian maksimum yaitu 65.28 m. Hal ini ditunjukkan secara visual dimana semakin tinggi topografi daratan maka warna yang ditunjukan akan mempunyai gradasi warna yang lebih putih atau cerah. Dan sebaliknya semakin gelap warna pada citra DEM maka semakin rendah topografi. Daerah kajian penelitian pada umumnya berwarna gelap sehingga menunjukkan dataran yang rendah. Sedangkan warna cerah pada citra di atas menunjukkan dataran tinggi yang mempunyai topografi yang tinggi yaitu Pulau Nusakambangan. Proses pembuatan DEM ini memerlukan nilai triangulasi dan Control Point yang baik. Semakin kecil nilai RMS maka semakin tinggi tingkat akurasinya. Untuk menambah ketelitian dan mempercepat pembuatan DEM, diperlukan titik ikat (tie point) selain GCP/CP yang telah dimasukkan. Titik ikat tersebut dapat membantu dalam pembuatan DEM agar proses pembuatan menjadi lebih cepat dan mudah. Semakin banyak titik ikat otomatis, maka semakin baik hasil akurasinya. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 50 titik ikat otomatis yang ditambahkan. Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada posisi yang sama (ditunjukkan dengan transek 6 stasiun) data topografi ALOS memiliki data yang lebih menyerupai topografi sebenarnya dan relief lebih halus dibandingkan dengan DEM SRTM. Hal ini disebabkan tingginya akurasi DEM ALOS yang diturunkan dari citra stereo (PRISM) dengan resolusi 2.5 m dibandingkan dengan SRTM resolusi 90 m. Akurasi dari data ini tergantung dari sumber titik tinggi dan resolusi spasial suatu data DEM. Semakin tinggi resolusi spasial yang dimiliki
61
suatu data DEM, maka semakin tinggi akurasi data yang dihasilkan (Prahasta,2008).
(a)
(b)
Gambar 23. Perbandingan DEM ALOS dan SRTM 90 Terlihat pada Gambar 24 merupakan hasil pengolahan DEM ALOS dan SRTM 90 m dalam bentuk grafik. Secara visual terlihat relief dari DEM ALOS lebih rapat dan halus dibandingkan DEM SRTM 90. Selain itu nilai topografi yang dimiliki DEM ALOS lebih menyerupai keadaan topografi sebenarnya dibandingkan dengan nilai ketinggian SRTM (Tabel 9).
Gambar 24. Grafik perbandingan (a) DEM ALOS dan (b) DEM SRTM
62
Tabel 9. Perbandingan topografi survey lapangan, ALOS dan SRTM Koordinat No
Tinggi (m)
x
y
Survey
ALOS
1
280733
9149830
4.6840
4.4499
2
280538
9143803
5.0360
3
279538
9149583
4
284636
5
Bias Ketinggian
SRTM
[Survey-ALOS]
[Survey-SRTM]
9.8956
0.2341
5.2116
5.4283
10.6924
0.3923
5.6564
7.0790
7.6504
7.7269
0.5714
0.6479
9152592
2.5190
2.0814
4.8757
0.4376
2.3567
282726
9146598
3.6740
2.8800
5.9341
0.7940
2.2601
6
283699
9147774
3.3990
3.1393
4.3814
0.2597
0.9824
7
284894
9148439
7.5400
7.3244
10.4338
0.2156
2.8938
8
284997
9148258
5.3300
4.1077
3.8738
1.2223
1.4562
9
287068
9149467
2.0400
2.0791
4.0000
0.0391
1.9600
10
287615
9149679
2.9940
2.9818
2.1803
0.0122
0.8137
11
281599
9142652
0.8360
0.8268
4.8862
0.0092
4.0502
12
281608
9143898
0.9610
0.9356
6.0000
0.0254
5.0390
13
281494
9143931
1.1270
1.3118
10.7914
0.1848
9.6644
14
281690
9144307
3.0320
2.8195
9.9942
0.2125
6.9622
15
281747
9144549
0.4520
0.6299
4.8532
0.1779
4.4012
16
281959
9145235
2.0490
2.1650
5.9419
0.1160
3.8929
17
281907
9145270
3.8740
1.4949
5.9992
2.3791
2.1252
18
282586
9146410
2.6800
2.2400
6.8785
0.4400
4.1985
19
283022
9146953
2.8170
1.9759
5.5492
0.8411
2.7322
20
283373
9147331
3.8520
3.1393
4.3814
0.7127
0.5294
21
283827
9147560
1.5240
1.4537
5.1872
0.0703
3.6632
22
284894
9148439
2.2350
2.2923
6.9946
0.0573
4.7596
23
280384
9145522
2.1450
2.1423
2.0004
0.0027
0.1446
24
281556
9143222
2.5950
2.8800
8.6893
0.2850
6.0943
25
279351
9146054
1.5680
1.5691
4.0000
0.0011
2.4320
26
282439
9146246
2.4260
2.2288
3.8312
0.1972
1.4052
27
281600
9143656
1.6400
1.7709
3.2041
0.1309
1.5641
28
281563
9143659
1.5040
1.9614
3.7082
0.4574
2.2042
29
281570
9143547
1.4750
1.4537
5.1872
0.0213
3.7122
30
279168
9143820
1.4180
1.8928
4.3730
0.4748
2.9550
31
283215
9149024
1.5830
1.4812
2.9410
0.1018
1.3580
32
281627
9142617
1.1150
1.0044
2.8639
0.1106
1.7489
33
281441
9143665
3.0320
3.0031
2.9175
0.0289
0.1145
Tabel 10. Data statistik perbandingan bias topografi Topografi
ALOS (m)
SRTM (m)
Rata-rata
0.3399
3.0300
Maksimum
2.3791
9.6644
Minimum
0.0011
0.1145
63
Tingkat ketelitian DEM yang berasal dari citra stereo ALOS dapat dilihat pada table 9. Secara keseluruhan data ketinggian yang terukur pada saat survey lapangan hampir sama dengan data ketinggian dari ALOS. Rata-rata ketinggian pada area pengamatan di lapangan mencapai 2.7 m. Nilai ketinggian ini hampir menyerupai dengan rata-rata ketinggian yang berasal dari DEM ALOS yaitu sebesar 2.5 m. Nilai bias ketinggian ALOS lebih kecil (0.3 m) dari pada nilai bias SRTM (3.03 m) terhadap topografi sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketelitian ALOS lebih tinggi karena mendekati nilai topografi sebenarnya.
Berikut adalah tampilan DEM ALOS dalam bentuk 3 dimensi (Gambar 25).
Gambar 25. Digital Elevation Model Cilacap 3D (Teluk Penyu)
Gambar 25 menunjukkan topografi Cilacap berdasarkan tampilan 3 dimensi. Warna kuning muda menunjukkan topografi bernilai nol atau terlihat pada gambar ketinggian nol termasuk perairan. Sedangkan semakin warna
64
cokelat kebiru-biruan, maka menunjukkan topografi yang lebih tinggi. Terlihat kisaran topografi Cilacap termasuk topografi yang landai berkisar antara 0 m hingga 43 m
4.3 Pansharpan ALOS
Selain PRISM, satelit buatan Jepang ini juga memiliki instrumen yang dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial yang dapat digunakan untuk tujuan pemetaan dan klasifikasi penutupan/penggunaan lahan skala regional yaitu AVNIR (terlihat pada Gambar 26). Sensor AVNIR ini memiliki resolusi spasial (10 m) yang lebih rendah dibanding resolusi spasial PRISM (2.5 m) tetapi memiliki multispektral. Pengolahan pansaharpan ini bertujuan untuk mendapatkan data citra yang memiliki karakteristik citra yang lebih baik yaitu memiliki resolusi tinggi (2.5 m) dan termasuk multispektral yang dapat digunakan untuk pengolahan selanjutnya yaitu pemetaan penutupan atau penggunaan lahan.
Gambar 26. Citra ALOS AVNIR (hasil croping)
65
Gambar di atas adalah citra AVNIR croping dan zooming dengan kombinasi RGB 321. Pemotongan dan pembesaran citra dilakukan untuk mengetahui perbandingan tampilan dengan PRISM pada area pemotongan yang sama sehingga dapat terlihat jelas setelah dilakukan proses pansharpan . Selain itu penajaman citra dilakukan dengan membuat komposit citra RGB. Komposit dilakukan pada kanal 3,2, dan kanal 1 secara berurutan untuk RGB. Kombinasi RGB 321 tersebut mempunyai tingkat kekontrasan yang baik, terutama untuk obyek perairan, vegetasi darat, dan lahan kering. Sehingga kombinasi tersebut yang paling sesuai untuk penampakan penutupan/ penggunaan lahan.
Gambar 27. ALOS PRISM –Nadir (hasil croping)
66
PRISM nadir hasil pemotongan citra pada Gambar 27 memperlihatkan citra alos yang mempunyai resolusi spasial yang tinggi yaitu 2.5 m dan pankromatik (monospektral). Area yang terekam pada sensor ini bisa memberikan informasi yang lebih detil dibandingkan AVNIR. Tetapi meskipun area yang terekam lebih jelas tetapi sifatnya yang monospektral, maka setelah dilakukan pansarhpan dengan metode Gram Schmidt Algoritm (terlihat pada Gambar 28)
AVNIR 10 m
Phansarpan-Multispektral 2.5 m
PRISM 2.5 m Gambar 28. Citra ALOS pansharpan (PRISM-AVNIR)
Menurut Prahasta (2008) pansharpening adalah penggabungan atau mengkombinasikan (fusi) data (dengan cakupan wilayah yang sama) yang berasal dari berbagai (rekaman) sensor satelit (dan dengan resolusi-resolusi spasial yang
67
berbeda) yang mengkombinasikan citra digital pankromatik (band tunggal yang beresolusi spasial lebih tinggi) dengan citra digital multi-spektral (beberapa band berwarna tetapi memiliki resolusi spasial lebih rendah). Hasil penggabungan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda ini adalah citra lebih jelas dengan resolusi 2.5 m dan multspektral sehingga dapat mempermudah dalam ekstraksi informasi pada pembuatan peta penutupan atau penggunaan lahan.
4.4 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan (Land Use)
Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokkan nilai reflektansi dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tak terbimbing (Unsupervised classification) dan digitasi peta penggunaan lahan sebagai informasi tambahan. Hasil klasifikasi secara digital tidak terlalu baik, masih ada kelas-kelas yang tercampur. Maka proses editing dilakukan untuk memisahkan kelas-kelas yang tercampur dengan cara editing region tiap kelas. Kelas penutupan.penggunaan lahan hasil ekstraksi dari pansharpan ALOS menghasilkan kelas-kelas penutupan/penggunaan lahan akurasi yang tinggi. Hal ini telah dibuktikan oleh peneliti langsung dengan survey lapangan. Dari 53 stasiun pengamatan, maka 50 stasiun sesuai dengan hasil lapangan (dapat dilihat pada lampiran)
68
Gambar 29. Penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap Menurut Purbowaseso (1995) satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan pentutpan lahan terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk satu tujuan dimaksud. Pada penelitian ini pembuatan peta penutupan lahan/penggunaan lahan dimaksudkan untuk mengklasifikasi area penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Cilacap yang rawan terhadap tsunami. Kelas penutupan/penggunaan lahan yang dapat diekstrak dari citra ALOS pada penelitian ini terdiri dari 16 jenis/kelas penggunaan lahan: pemukiman dan bangunan, industri, sawah, tambak, ladang, lahan terbuka, semak/rumput, vegetasi
69
lain, mangorve, pasir, dan sungai/perairan. Sedangkan informasi tambahan hasil digitasi dari peta rupa bumi Bakosurtanal skala 1:25000 adalah jalan, rumah sakit, sekolah, dan tempat peribadatan. Pembuatan peta penutupan/penggunaan lahan pada penelitian ini dibuat berdasarkan metode pansaharpan dari citra ALOS AVNIR (resolusi spasial 10 m) dan PRISM (2.5 m) sehingga pengkelasan yang dihasilkan lebih memberikan informasi kelas-kelas penggunaan lahan yang lebih banyak dibandingkan jika hanya mengggunakan sensor AVNIR saja. Tujuan metode ini adalah untuk memunculkan kelas-kelas yang tidak bisa dibedakan dengan kelas yang berdekatan nilai pantulannya, seperti kelas vegetasi lain (pohon-pohon disekitar area pemukiman, serta kelas rumput dan semak akan sulit dibedakan dengan vegetasi lain). Hal ini membantu dalam pengkelasan penutupan/penggunaan lahan untuk area rawan tsunami. Sistem pengkalsifikasian yang digunakan penelitian ini adalah sistem klasifikasi lahan dan penutupan lahan USGS (United State Geological Survey) tingkat I dengan menggunakan data penginderaan jauh. Hal ini sesuai dengan kriteria yang diberikan USGS (Purbawoseso, 1995) yaitu : level kecermatan interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari 85 persen, hasil yang dapat diulang dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain (dalam hal ini sudah ada penelitian mengenai penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Cilacap ini dan hasilnya adalah kurang lebih sama ), sistem klasifikasi dapat diterapkan untuk daerah yang luas yaitu area kabupaten, kategorisasi memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya.
70
4. 5 Tsunami Modeling
Pemodelan tsunami saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para peneliti untuk dapat memprediksi tinggi awal gelombang tsunami akibat deformasi dasar laut dan perhitungan run-up gelombang pantai. Oleh sebab itu pada penelitian ini, pemodelan tsunami adalah input utama yang akan memberikan informasi secara spasial mengenai daerah yang rawan yang akan terkena tsunami berdasarkan area genangan/limpasan tsunami. Faktor-faktor yang berperan dalam pemodelan tsunami ini adalah karakter dasar laut yang ditunjukkan dengan batimetri, topografi daratan yang merupakan hasil penurunan DEM dari ALOS, serta faktor pembangkit gelombang tsunami yaitu gempa dasar laut yang berpotensi menghasilkan deformasi dasar laut dan berpotensi menimbulkan tsunami.
4.5.1 Area Simulasi dan Batimetri
Area genangan yang disimulasikan adalah daerah domain D atau area kajian saja yaitu di sekitar Pantai Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap. Sedangkan Area A, B, dan area C tidak dilakukan simulasi genangan karena tidak termasuk area kajian penelitian. Pembuatan domain model berdasarkan metode nested area. Hal ini penting untuk mempermudah proses komputasi. Perhitungan komputasi dimulai dari domain tersempit (D) hingga terluas (Grid A). Berikut adalah area topografi dan area batimetri sebagai input model (Gambar 30).
71
Gambar 30. Grid area batimetri dan topografi (Tsunami Modeling Program) Tabel 11. Area (Domain) Topografi dan Area Batimetri Posisi No 1
2
3
4
Grid A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4
Geografi 11.56 6.47 6.47446 11.55195 8.55 7.455 7.44879 8.55715 7.98 7.584 7.58116 7.98298 7.80851 7.64926 7.64853 7.80926
105.02
113.13 105.01973 113.16 108.316 109.708 108.32319 109.70452 108.711 109.337 108.71316 109.33543 108.95545 109.11656 108.95622 109.11585
UTM 502181 8722100 735569 502181 735569 204531 357428 204531 357428 247677 316533 247677 316533 274542 292237 274542 292237
9284347 9284347 8722100 9053868 9175743 9175743 9053868 9117213 9161340 9161340 9117213 9136325 9154022 9154022 9136325
Batimetri adalah ukuran keadaan profil laut yang berhubungan dengan tinggi rendahnya dasar laut (Dishidros,2007). Karakter dasar laut yang berubah
72
pada setiap kedalamannya mempengaruhi penjalaran tsunami. Pengaruh penjalaran tsunami dari tengah laut (pusat terbentuknya tsunami) menuju pantai, kecepatan semaking berkurang karena gesekan dengan dasar laut yang semakin dangkal. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Diposaptono (2006) mengenai gelombang di tempat dangkal bahwa tsunami merupakan gelombang perairan dangkal yang dipengaruhi oleh perbandingan antara kedalaman laut dan panjang gelombang yang lebih kecil dari seperduapuluh (1/20). Data batimetri yang digunakan pada penelitian ini adalah data batimetri GEBCO (General Bathymetric Chart of the Oceans ) yang berasal dari bank data berupa Digital Atlas GDA Software Interface. Data batimetri yang tersimpan pada software GDA Software Interface ini, mencangkup data-data yang terekam oleh GEBCO dalam selang 1 menit per satu grid dengan luasan 1.85 km.
Gambar 31. Peta batimetri (GRID-A) Pulau Jawa
73
Dalam pemodelan tsunami ini, tsunami modeling program memerlukan area simulasi yang terdiri dari empat grid atau domain yang disimulasikan yaitu domain D, C, B, dan domain A berbentuk nested grid . Dimana domain A adalah area terluas yang disimulasikan oleh model. Domain A dalam model ini meliputi daerah Pulau Jawa, khususnya Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan Domain B, dan C adalah area yang lebih kecil dari area A. Domain D adalah area penelitian yaitu di Kabupaten Cilacap khususnya di Teluk Penyu Cilacap. Area grid A terletak pada posisi 6.46 -11.56 Lintang Selatan dan 105.02113.13 Bujur Timur dengan interval kedalaman 500 m. Kedalaman laut tertinggi pada area simulasi adalah 7500 m. Profil kedalaman dasar laut selatan di Pulau Jawa ini termasuk laut dalam dan curam karena memiliki profil yang khas dimana setelah beberapa meter dari pantai maka ketinggian kedalaman semakin meningkat sehingga laut selatan ini termasuk laut dalam (Gambar 32).
Gambar 32. Kalsifikasi perairan Indonesia (Sumber : TNI AL, 2005)
74
Hal ini ditetapkan oleh TNI AL pada Laporannya yang berjudul Rencana Pembangunan Jangka Panjang TNI AL (2005), warna biru menunjukkan laut dalam (deep water) dan merupakan laut terbuka (open sea). Warna merah menunjukkan laut dangkal (shallow water) terdiri dari Dangkalan Sunda di Barat dan Dangkalan Sahul di Timur, sedangkan warna hijau menunjukkan laut dalam (deep water) tetapi di luar laut terbuka (non open sea).
Gambar 33. Peta batimetri (GRID-D) Kab. Cilacap Input batimetri domain D adalah area kajian tsunami inundation yang menjadi wilayah domain topografi daratan Cilacap (DEM ALOS) yang telah dibuat sebelumnya yaitu terletak pada posisi 7.64 -7.80 Lintang Selatan dan 108.95-109.11 Bujur Timur. Terlihat pada Gambar bahwa semakin mendekati pantai maka kontur semakin dangkal dan hampir homogen area sepanjang Pantai Teluk Penyu yaitu pada kedalaman < 6 m yang ditunjukkan dengan warna kontur
75
yang semakin biru muda. Kedalaman laut maksimum adalah sebesar 55 m. Jika merujuk Gambar 31 maka area grid D ini adalah termasuk laut dangkal (berwarna merah). 4.5.2 Sumber Gempa
Pemodelan tsunami secara spasial pada penelitian ini dilakukan berdasarkan tiga skenario yang berbeda. Model pertama adalah simulasi model berdasarkan sejarah tsunami yang telah terjadi yaitu kejadian tsunami tsunami 17 Juli 2006 dengan parameter gempa (posisi, kekuatan, dan waktu tempuh) yang disesuaikan dengan data sekunder yang didapat dari data USGS. Data sejarah gempa dasar laut yang menyebabkan tsunami 17 Juli 2006 yaitu terjadi akibat gempa dengan kekuatan gempa 7.7 SM pada posisi gempa di titik -10.28 LS dan 107.82 BT dengan kedalaman pusat gempa 20.4 km. Sedangkan model yang kedua adalah model tsunami skenario yang ditentukan berdasarkan analisis dan prediksi peneliti sendiri yaitu model tsunami pada posisi epicenter gempa yang sama yaitu di titik -10.28 LS dan 107.82 BT dengan kedalaman pusat gempa yang sama pula yaitu 20.4 km. Tetapi dengan kekuatan gempa 8.9 SM (sesuai tsuanami Aceh 2004). Dan model ketiga adalah model skenario prediksi tsunami yaitu dengan kekuatan gempa 8.7 SM dan posisi gempa yang pernah terjadi pada tahun 2008 yaitu tepatnya pada 8.49 LS dan 108.78 BT. Tabel 12. Parameter gempa NO Gempa Xo 1 Skenario 1 -10.28 2 Skenario 2 -10.28 -9.195 3 Skenario 3
Yo 107.82 107.82 109.59
M 7.7 8.9 8.7
D 2.28 9.09 7.22
L 78.82 314 249
W 39 157 125
76
Menurut Budiman dan Diposaptono (2005) parameter sesar yang dihasilkan gempa seperti panjang dan lebar sesar, energi atau magnitude, kedalaman pusat gempa, slip dan mekanisme fokus (strike, dip, dan sudut slip) adalah parameter-parameter yang utama dari sumber gempa. Namun parameter sesar yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari komponen posisi gempa (Xo, Yo), kekuatan gempa (SM), dislokasi gempa (derajat), panjang (L) dan lebar (W) patahan yang diakibatkan gempa.
pusat gempa
pusat gempa (a)
(b)
pusat gempa (c)
Gambar 34. Posisi epicenter dan kekuatan gempa (a) 7.7 SM (b) 8.9 SM (c) 8.7 SM
77
Ketiga pusat gempa di atas adalah gempa-gempa yang pernah terjadi di area pantai selatan Pulau Jawa. Berdasarkan data USGS pusat gempa yang pernah terjadi pada tahun 17 Juli 2006 berada pada jarak 220 km dari arah utara Pulau Christmas, 245 km dari arah barat Tasikmalaya, 265 km dari arah selatan Bandung, dan 355 km dari arah Utara Jakarta. Sedangkan pada skenario gempa ketiga berdasarkan gempa yang terjadi pada tahun 2008 yang jaraknya lebih dekat dengan Cilacap yaitu sekitar 165 km. Skenario ketiga dipilih untuk melihat pengaruh dari parameter jarak dan kekuatan gempa pada posisi yang lebih dekat dengan daerah kajian. Gempa dengan kekuatan 7.7 SM menghasilkan gempa yang mempunyai panjang patahan 78.82 km, lebar patahan 39 km, dan sudut dislokasi sebesar 2.28 derajat. Gempa dengan kekuatan 8.9 SM menghasilkan panjang patahan sebesar 314 km, lebar patahan 157 km, dan sudut dislokasi sebesar 9.09 derajat. Gempa berkekuatan 8.7 SM menghasilkan panjang dan lebar patahan sebesar 249 km dan 125 km dengan besar dislokasi 7.22 derajat. Pembangkitan tsunami dipengaruhi oleh besarnya kekuatan gempa dengan ditunjukkan perbedaan hasil lebar dan panjang patahan serta sudut dislokasi akibat patahannya.
4.5.3 Area Genangan Tsunami (Inundation Area of Tsunami)
Gelombang Tsunami awal akibat gempa bumi, akan menjalar keseluruh arah. Akibat adanya perbedaan kontur kedalaman, maka akan terjadi pembelokan arah dan tinggi gelombang tsunami. Di bawah ini disajikan tiga skenario pembangkitan gelombang tsunami pada dua waktu tempuh simulasi yaitu 1 jam dan 2 jam setelah pembangkitan.
78
(meter) (a)
(meter) (b)
Gambar 35. Penjalaran tsunami 7.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam Gempa di dasar laut dengan kekuatan energi magnitude 7.7 SM menghasilkan tsunami di beberapa daerah diantaranya : Pangandaran , Kebumen , Yogyakarta, dan hingga terasa di daerah Cilacap (daerah kajian penelitian). Pada satu jam pertama waktu simulasi, penjalaran tsunami belum sampai ke daerah Cilacap, terlihat pada Gambar (a) sudah terlihat adanya area yang terkena tsunami namun masih dalam skala yang tidak terlalu luas akibat Tsunami. Penjalaran tsunami pada setelah dua jam waktu simulasi, maka tsunami mulai terasa dampaknya di daerah Cilacap dengan kondisi perairan belum terdapat fluktuasi gelombang yang signifikan dengan perairan disekitarnya, dampak yang ditimbulkan tsunami di sekitar pesisir Cilacap meskipun tidak sebesar dampaknya di daerah lain seperti Pangandaran. Berdasarkan data BMG (2008), area
79
genangan tsunami pada tanggal 17 Juli 2006 di daerah Cilacap mencapai 300 m di daerah karang Tirta dan Ngantik Kisik. Pemilihan skenario penjalaran tsunami ini didasarkan Tsunami yang terjadi di Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006. Energi magnitude dan posisi sesar yang disimulasikan sudah disesuaikan dengan kondisi pada waktu tsunami 17 Juli 2006, tetapi waktu yang digunakan untuk mengsimulasikan belum ada data historis yang pasti mengenai waktu awal pembangkitan sampai air surut kembali, pada penelitian ini peneliti menggunakan waktu simulasi 3 jam (10800 detik) dengan asumsi waktu 3 jam tersebut adalah waktu tempuh dimana tsunami sudah terasa pengaruhnya di Pantai Cilacap.
(meter)
(meter)
(a)
(b)
Gambar 36. Penjalaran tsunami 8.9 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam
80
Seperti halnya simulasi skenario tsunami dengan kekuatan gempa 7.7 SM, pada gempa 8.9 SM pun masih belum terasa di area pesisir pada jam ke-1 (3600 detik pertama). Namun kondisi perairan sudah terdapat fluktuasi gelombang yang diakibatkan oleh tsunami dengan kisaran tinggi gelombang lebih besar (terlihat secara visual warna merah muda) dibanding yang dihasilkan gempa dengan kekuatan 7.7 SM pada waktu tempuh yang sama. Sedangkan pada jam ke-2 waktu simulasi, pengaruh tsunami di area Cilacap sudah sangat terasa dampaknya, baik itu tinggi maupun luasan limpasan air akibat tsunami. Simulasi dengan kekuatan 8.9 SM adalah kekuatan gempa yang pernah terjadi di Indonesia yang menjadi peristiwa yang paling dahsyat sekaligus mengerikan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
(meter) (a)
(meter) (b)
Gambar 37. Penjalaran tsunami 8.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam
81
Skenario ketiga adalah tsunami yang disebabkan oleh kekuatan gempa sebesar 8.7 SM pada posisi epicenter yang lebih jauh lebih dekat dengan area pantai di Cilacap tetapi masih pada area dekat zona subduksi dasar laut. Skenario ini bertujuan untuk melihat pengaruh jarak epicenter dan kekuatan gempa terhadap area yang lebih dekat dengan area kajian penelitian yaitu di Teuk Penyu, Cilacap Jawa Tengah. Pada waktu tempuh 1 jam pertama waktu simulasi, dampak tsunami sudah langsung terasa di pesisir Cilacap, jika dibandingkan dengan dua skenario sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya tsunami yang dihasilkan tergantung dari faktor jarak dari sumberr gempa dan kekuatan gempa yang membangkitkan tsunami. Walaupun kekuatan gempa lebih kecil yaitu 8.7 SM dibandingkan skenario simulasi tsunami kedua yaitu sebesar 8.9 SM, namun pengaruh jarak pusat gempa terhadap daerah Cilacap adalah sangat besar. Area penjalaran tsunami lebih cepat dibandingkan dengan yang lainnya.
(a)
(b)
82
(c)
Gambar 38. Maksimum run-up tsunami (a) 7.7 SM (b) 8.9 SM (c) 8.7 SM Simulasi model dengan tiga skenario yang berbeda memperlihatkan area maksimum genangan atau limpasan tsunami yang berbeda pula. Menurut Iida (1963) in Diposaptono dan Budiman (2005) menyebutkan hubungan linier antara kekuatan gempa yang ditunjukkan dengan skala Iida. Dimana, gempa dengan kekuatan 7 SR dapat menghasilkan skala tsunami 1-2 dengan energi tsunami yang dihasilkan (0.1-0.4)x 1023erg. Sedangkan gempa yang berkekuatan 8-9 SM bisa menghasilkan skala lebih dari 3 artinya, energi yang ditimbulkan lebih dari 1.6 x 1023 erg. Selain dari pengaruh kekuatan gempa dan posisi gempa, maka pengaruh lainnya yang sangat berpengaruh terhadap area genangan atau limpasan akibat tsunami yaitu topografi (DEM ALOS) wilayah disekitar pantai yang menentukan kelandaian pantai dan seberapa jauh tsunami menghempas ke daratan serta
83
batimetri (GEBCO) sebagai faktor yang berpengaruh di dalam penjalaran tsunami di laut (pusat gempa) hingga pantai. Pengaruh kedalaman laut terhadap penjalaran tsunami didasarkan pada teori tsunami sebagai gelombang dangkal. Dari dasar laut sampai permukaan laut pergerakan orbit air bolak-balik dengan kecepatan yang hampir sama. Apabila sudah mendekati tepi pantai, orbit bundaran tidak tutup lagi karena dampak gesekan dasar laut yang berubah seiring dengan berkurangnya kedalaman laut. Semakin dangkal maka air laut terdorong naik karena adanya konversi kecepatan yang berkurang menjadi ketinggian gelombang tsunami.
4.6 Ketinggian tsunami (Run-up Tsunami)
Naik atau turunnya permukaan air laut akibat tsunami mengikuti teori elastic body (benda elastis). Ibarat bola karet, apabila ditekan satu bagian, maka pada bagian lain akan mengembang. Apabila dasar laut terjadi tonjolan naik, maka permukaan air meningkat, sehingga permukaan laut di dekat pantai naik secara mendadak (Diposaptono dan Budiman, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi muka air laut yang diakibatkan tsunami bersifat transien dan kontinu. Di bawah ini disajikan grafik tinggi fluktuasi muka air laut yang diakibatkan tsunami di dua titik pengamatan yaitu -7°46’36.6” LS dan 109°05’30.3” BT sebagai titik pengamatan kesatu yang letaknya dekat dengan sumber gempa pada kedalaman 18 m. Posisi pengamatan kedua yaitu lokasi yang dekat dengan pesisir/daratan di Desa Karang Kandri pada posisi -7°41’28.5” LS dan 109° 05’31.7” BT dan kedalaman 1.5 m . Hal ini bertujuan untuk mengetahui penjalaran tsunami di dua titik lokasi yang berlainan.
84
Gambar 39. Run-up tsunami 7.7 SM (Posisi -7:46: 36.6 dan 109:05:30.3 BT) Pada Gambar 39 menunjukkan hubungan antara tinggi gelombang dengan waktu tempuh simulasi model tsunami. Pada grafik terlihat bahwa tsunami mulai terlihat tinggi di posisi dekat sumber gempa pada waktu kurang lebih ke- 3300 detik (menit ke-55) dengan ketinggian tsunami mencapai 1.08 meter. Kemudian beberapa menit kemudian menurun dengan ketinggian kurang dari 0.4 m (dibawah MSL -0.001 m). Tsunami mulai terlihat tinggi kembali hingga 0.58 m pada waktu ke-7620 detik (menit ke-127 menit). Tinggi tsunami di titik pengamatan berkisar antara (0-1.2) m dari MSL (mean Sea Level) dari titik acuan. Nilai negatif pada grafik menujukkan tinggi gelombang dibawah nilai -0.001 (MSL) yaitu berkisar antara (0-0.8) m.
Gambar 40. Run-up tsunami 7.7 SM (Posisi -7:41: 28.5 LS 109: 05:31.7 BT)
85
Gambar 40. menunjukkan hubungan antara tinggi tsunami (run-up) dengan waktu tempuh simulasi pada titik pengamatan yang letaknya lebih mendekati daratan (dekat Desa Karang Kandri) atau lebih jauh dari pusat sumber gempa. Pada grafik dapat diketahui bahwa tinggi tsunami tertinggi mencapai 1.49 m di atas MSL (-0.01 m) pada detik ke-2160 (menit ke-41). Hal ini menunjukkan bahwa penjalaran tsunami pada posisi pertama sudah lebih terjadi dibandingkan pada posisi pengamatan kedua karena titik pengamatan pertama lebih dekat sumber gempa dibandingkan dengan titik pengamatan kedua yang lebih dekat dengan pesisir.
Gambar 41. Penjalaran Tsunami berdasarkan Waktu Tempuh (Arrival time) (BMG, 2008) Berdasarkan pengolahan tsunami Pangandaran oleh BMG, tsunami baru terasa dampaknya pada menit ke-25 (Gambar ). Waktu tempuh yang berbeda dengan simulasi model disebabkan oleh perbedaan jarak sumber gempa yang dipakai oleh simulasi BMG dengan pada penelitian ini yang menggunakan posisi
86
sumber gempa USGS sehingga arrival time yang dibutuhkan tsunami masuk ke daratan juga berbeda.
Gambar 42. Run-up Tsunami 8.9 SM (Posisi -7:46: 36.6 dan 109:05:30.3 BT) Sebelum terjadi perubahan muka air laut di titik ini, kondisi perairan masih terlihat tenang. Namun perubahan muka air laut mulai terlihat pada menit ke-34 dimulai terjadinya penurunan muka air laut hingga 0.25 m di bawah MSL. Tinggi gelombang yang dihasilkan mencapai 3.49 m pada menit ke-54, tetapi 2 menit sebelumnya terjadi penurunan fluktuasi muka air laut hingga 2.47 m di bawah MSL (0.15 m).
87
Gambar 43. Run-up Tsunami 8.9 SM (Posisi -7:41: 28.5 LS 109: 05:31.7 BT) Gambar 42 . menunjukkan grafik hubungan tinggi tsunami dengan waktu tempuh pembangkitan tsunami. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa skenario model tsunami untuk kekuatan gempa 8.9 SM dimaksudkan untuk prediksi tsunami jika pada masa yang akan datang terjadi kembali tsunami pada posisi sumber gempa yang sama dengan kekeuatan gempa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tsunami 17 Juli 2006. Dari grafik dapat diketahui bahwa tinggi tsunami yang dihasilkan gempa berkekuatan 8.9 SM jauh lebih besar dibandingkan tsunami yang dihasilkan gempa berkekuatan 7.7 SM. Hal ini ditunjukkan tinggi tsunami tertinggi mencapai 4.36 m diatas MSL (0.49 m) pada detik ke-10440 (menit ke-174). Tingginya tsunami pada titik pengamatan ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa tsunami akan mengalami perubahan tinggi dan kecepatan di perairan dangkal (pantai) yang disebabkan kehilangan energi akibat berkurangya kecepatan sehingga energi tersebut ditransfer ke dalam bentuk pembesaran tinggi gelombang. Akibatnya panjang gelombang di laut dangkal memendek dan menimbulkan gelombang yang lebih tinggi (Diposaptono dan Budiman, 2005).
88
Gambar 44. Run-up Tsunami 8.7 SM (Posisi -7:46: 36.6 dan 109:05:30.3 BT) Tsunami yang diakibatkan oleh gempa dasar laut dengan kekuatan 8.7 SM mulai terlihat di posisi pengamatan kesatu yaitu pada waktu menit ke-47 dengan ketinggian tsunami mencapai 2.1 m. Setelah beberapa detik kemudian maka air mulai turun hingga di bawah MSL (0.25 m) dengan ketinggian 1.29 m pada menit ke-115. Namun di titik ini, air mengalami tinggi maksimum pada menit ke-131 yaitu setinggi 2.9 m. Setelah mencapai titik kedua maka air mengalami kenaikan yang sangat besar disbanding di titik pengamatan yang pertama. Hal ini disebabkan adanya pendangkalan dasar laut sehingga terjadi peningkatan tinggi gelombang akibat perubahan energi kecepatan menjadi tinggi gelombang.
Gambar 45. Run-up Tsunami 8.7 SM (Posisi -7:41: 28.5 LS 109: 05:31.7 BT)
Terlihat tinggi air maksimum pada tsunami dengan kekuatan gempa 8.7 SM mencapai 5.59 m pada menit ke-36 dan turun hingga 1.4 m dibawah MSL (-0.06 m) setelah 5 menit kemudian.
89
4.7 Integrasi (Overlay) Data Penginderaan Jauh dengan Model Tsunami
Penentuan daerah rawan tsunami di kabupaten Cilacap berdasarkan metode pemodelan tsunami (area limpasan tsunami) didasarkan pada kondisi topografi daratan di sekitar pesisir dan penutupan/penggunaan lahannya.
4.7.1 Limpasan Tsunami dan Citra DEM ALOS (PRISM)
Kelas-kelas topografi dihasilkan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Peneliti membagi lima kelas topografi yaitu : (0-2 m), (2-4 m), (4-6 m), (6-8 m), dan (8-10) m. Pemilihan kelas-kelas topografi didasarkan atas nilai ketinggian terendah lebih besar dari 0 m dan tertinggi lebih kecil dari 10 m. Tinggi tsunami yang terukur pada model adalah tinggi tsunami yang di atas topografi bukan dari MSL.
90
Gambar 46. DEM dan Limpasan Tsunami 7.7 SM Tabel 13. Luasan limpasan tsunami (7.7 SM) pada kelas topografi (ha) Kelas Ketinggian Topografi (m) 0-2 2-4 4-6 6-8 8-10
Kelas Ketinggian Tsunami (m) 0-0.5 0.5-1 1-1.5 58.92 8.42 2.55 6.89 2.55 0 2.29 0 0 1.53 0.26 0 0 0 0
Gambar 46 memperlihatkan luasan tsunami pada kelas-kelas topografi Cilacap yang digunakan pada penelitian ini. Dan tabel 10. menunjukkan area luas limpasan tsunami pada kelas topogarfi yang dihasilkan gempa yang berkekuatan 7.7 SM . Luasan limpasan tsunami tertinggi berada pada kelas topografi (0-2) m dengan kelas tinggi tsunami (0-0.5) m yaitu sebesar 58.924 ha. Landainya topografi daratan mempengaruhi seberapa luas masuknya tsunami ke daratan. Hasil survey lapangan menunjukkan bahwa hampir 90% area terkena tsunami sama dengan model yang dihasilkan (Lampiran 3).
91
Gambar 47. DEM dan Limpasan Tsunami 8.9 SM Hasil overlay DEM dan limpasan tsunami menunjukkan bahwa pengaruh topogarfi terhadap luasan limpasan tsunami dapat dilihat pada Gambar 47. Tsunami yang dihasilkan gempa berkekuatan 8.9 SM menunjukkan area limpasan yang lebih besar dibanding dengan tsunami yang dihasilkan gempa berkekuatan 7.7 W.
Tabel 14. LuasanLimpasan Tsunami (8.9 SM) pada kelas Topografi (ha) Kelas Ketinggian Topografi (m)
Kelas Ketinggian Tsunami (m) 0-1
0-2 2-4 4-6 6-8 8-10
1-2 218.48 163.39 24.85 2.28 0
2-3 85.74 53.64 7.04 1.66 0
3-4 70.20 32.93 3.94 1.24 0
4-5 110.17 13.88 2.69 1.86 0
11.60 1.86 1.04 1.04 0.21
Tabel 14 menunjukkan kelas ketinggian topografi yang paling rendah (02) m adalah kelas yang paling banyak terkena tsunami yaitu sebesar 218.479 ha. Dibanding dengan topografi yang lebih tinggi dari 2 m. Pada tiap kelas ketinggian tsunami menunjukkan bahwa ketinggian (0-2) m adalah wilayah yang lebih banyak terkena tsunami. Topografi rendah memberikan limpasan tsunami dengan mudah hingga mencapai ratusan meter. Bahkan pada kelas tinggi tsunami 3-4 m, tsunami menggenangi hingga 110.17 ha. Hal ini menunjukkan daerah yang memiliki topografi yang relatif rendah lebih berpotensi untuk digenangi tsunami lebih luas dibandingkan daerah yang memiliki topografi lebih tinggi.
92
Gambar 48. DEM dan limpasan tsunami 8.7 SM Prediksi tsunami yang dibangkitkan oleh gempa yang berkekuatan 8.7 SM menunjukkan area limpasan area tsunami yang jauh lebih besar. Terlihat pada Tabel. bahwa area terluas limpasan berada pada kelas topografi (0-2) m dengan tinggi tsunami (1-2) m yaitu sebesar 245.498 ha. Tabel 15. Luasan limpasan tsunami (8.7 SM) pada kelas topografi (ha) Kelas Ketinggian Topografi (m) 0-2 2-4 4-6 6-8 8-10
0-1 141.99 98.04 5.87 3.04 0.41
Kelas Ketinggian Tsunami (m) 1-2 2-3 3-4 245.50 46.79 137.54 192.83 4.46 33.83 29.78 5.67 5.06 2.43 1.62 3.04 0.81 0 0
4-5 0 0.20 0 0 0
93
4.7.2 Limpasan Tsunami pada Penutupan/penggunaan Lahan
Selain faktor topografi yang landai, maka penentuan daerah rawan tsunami didasarkan pada penutupan/penggunaan lahannya. Area yang bisa dikategorikan rawan tsunami yaitu berdasarkan penggunaan lahannya bagi kepentingan masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Peta penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan dari citra ALOS memberikan informasi penutupan/penggunaan lahan yang lebih akurat. Hal ini penting untuk penentuan prediksi daerah rawan tsunami berdasarkan limpasaan tsunami yang menghempas tipe penggunaan lahan tertentu.
Gambar 49. Area limpasan tsunami 7.7 SM pada penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Cilacap
94
Tabel 16. Luasan Area Limpasan Tsunami dan pada Tipe Penggunaan Lahan (ha) Kelas Landuse Pemukiman Industri Jalan Lahan Terbuka Tambak Sawah Pasir Vegetasi Lain
0-0.5
Kelas Skala Tsunami (m) 0.5-1 6.63 1.53 12.75 1.53 11.22 4.08 25.76 4.08 27.29 7.91 3.32 0.77 0.77 1.02 4.34 0.77
1-1.5 0 0 2.04 2.04 3.57 0.26 0.51 0.26
Tabel 16 menunjukkan hubungan kelas penggunaan/penutupan lahan yang terkena tsunami dengan kelas skala tinggi tsunaminya. Kelas pemukiman menjadi kelas pertama dalam penentuan area rawan tsunami. Hal ini disebabkan area pemukiman merupakan lahan yang paling penting dan akan menjadi rawan tsunami apabila area tersebut terkena tsunami. Sedangkan kelas kedua adalah kelas-kelas penggunaan untuk kepentingan masyarakat dalam hal penggunaan untuk industri, fasilitas umum seperti jalan dan lapangan (lahan terbuka), dan budidaya seperti sawah, tambak, dan ladang dan kelas terakhir adalah kelas penutupan lahan yang tidak terlalu rawan jika dibandingkan dengan kelas pemukiman atau budidaya. Kelas pemukiman terbesar yang terkena tsunami 7.7 SM adalah 6.63 ha dengan tinggi tsunami 0-0.5 m. Sedangkan kelas penutupan/penggunaan lahan yang terkena tsunami yang paling besar adalah kelas tambak. Hal ini deisebabkan tsunami dengan kekuatan gemap 7.7 SM menghempas area yang tidak terlalu jauh ke daratan dan hanya menggenangi kelas dekat pesisir yaitu pada kelas tambak sebesar 27.293 ha
95
Gambar 50. Area limpasan tsunami 8.9 SM pada penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Cilacap
Gambar 50. memperlihatkan area genangan tsunami yang dihasilkan gempa berkekuatan 8.9 SM. Terlihat pada peta di atas, daerah limpasan tsunami lebih besar dibandingkan dengan tsunami 7.7 SM dan merusak beberapa penutupan/penggunaan lahan yang lebih besar (Tabel 17)
96
Tabel 17 . Luasan Area Limpasan Tsunami dan pada Tipe Penggunaan Lahan (ha) Kelas Landuse Pemukiman Industri Sekolah Tempat Ibadah Jalan Lahan Terbuka Tambak Sawah Pasir Vegetasi lain Ladang Rumput/Semak Kebun/Perkebunan
0-1 132.98 22.62 17.85 23.00 316.92 57.08 20.08 159.62 5.50 51.37 4.65 0.63 0.63
Kelas Skala Tsunami (m) 1-2 2-3 3-4 34.88 22.62 16.49 11.21 2.54 17.76 2.23 0 2.23 8.62 0 2.87 91.51 49.10 71.42 30.02 23.47 26.22 19.45 17.12 41.44 66.60 51.37 32.14 2.75 3.38 1.48 15.86 4.86 5.07 1.48 0.21 0 0.21 0 0 0 0 0
4-5 3.81 0.42 0 0 4.46 2.11 11.84 4.65 0.21 0 0 0 0
Kelas penutupan/penggunaan lahan yang terkena tsunami jauh lebih banyak dan besar dibanding tsunami yang dihasilkan gempa yang lebih kecil. Kelas penggunaan lahan tambahan yang terkena limpasan tsunami adalah sekolah dan tempat peribadatan. Kelas pemukiman yang terkena tsunami sebesar 132.98 ha dengan tinggi tsunami 0-1 m. Kelas penutupan/penggunaan lahan terbesar yang terkena genangan tsunami 8.9 SM ini adalah jalan yaitu sebesar 316.92 ha dengan ketinggian tsunami. Kebun atau perkebunan menempati kelas yang paling sedikit tergenang tsunami. Hal ini menunjukkan bahwa kelas kebun/perkebunan di Kabupaten Cilacap berada di area topografi yang tinggi sehingga kecil kemungkinan akan tergenang tsunami. Luas area tergenang tsunami pada kelas kebun hanya mencapai 0.63 ha pada kelas ketinggian tsunami 0-1 m
97
Gambar 51. Area limpasan tsunami 8.7 SM pada penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Cilacap
Skenario ketiga memperlihatkan area genangan tsunami jauh lebih merusak tipe penutupan/penggunaan lahan yang berada di Kabupaten Cilacap. Hal ini disebabkan meskipun kekuatan gempa yang membangkitkan tsunami lebih kecil dari skenario sebelumnya, namun dampak yang ditimbulkan lebih besar karena pengaruh jarak dari pusat gempa lebih dekat dibandingkan dengan skenario sebelumnya.
98
Tabel 18. Luasan Area Limpasan Tsunami dan pada Tipe Penggunaan Lahan (ha) Kelas Landuse Pemukiman Industri Sekolah Rumah Sakit Tempat Ibadah Jalan Lahan Terbuka Tambak Sawah Pasir Vegetasi lain Ladang Rumput/Semak Kebun/Perkebunan
0-1 163.03 18.46 1.27 0.14 1.13 124 45.65 16.91 203.75 0.99 54.95 11.70 0.14 2.82
Kelas Skala Tsunami (m) 1-2 2-3 3-4 66.51 31 6.34 14.65 16.06 3.52 0.42 0.14 0 0.14 0 0 0.99 0 0 58.62 23.67 11.70 39.31 38.89 14.23 17.05 49.46 24.52 122.59 55.38 17.61 1.41 2.54 1.13 19.87 7.61 2.68 3.38 0 0 0 0 0 0.14 0.14 0
4-5 0 0 0 0 0 0 0.14 0 0 0.71 0.42 0 0 0
Area pemukiman yang terkena tsunami sebesar 1630.29 ha dengan tinggi tsunami 0-1 m, sedangakan kelas penggunaan lahan sawah menjadi area yang paling besar terkena tsunami yaitu sebesar 203.751 ha pada ketinggian tsunami yang sama. Pada skenario ketiga memperlihatkan kondisi limpasan tsunami yang lebih luas dan lebih banyak merusak tipe penutupan/penggunaan lahan. Hal ini terlihat pada Tabel 15. adanya kelas tambahan yang terkena tsunami yaitu rumah sakit yang pada kedua skenario sebelumnya kelas tersebut belum terkena tsunami. Ini menunjukkan bahwa pada tsunami yang berkekuatan 8.7 SM adalah kondisi atau skenario paling buruk karean telah merusak area penutupan/penggunaan lahan yang lebih besar.
99
4.7.3 Limpasan Tsunami di Desa, Kabupaten Cilacap
Tsunami sangat merugikan manusia, khususnya pada wilayah yang rawan tsunami sperti di Cilacap. Selain karena topografinya termasuk dataran rendah juga karena letaknya yang langsung berhadapan dengan zona patahan di Samudera Hindia. Wilayah yang terkena tsunami mengindikasikan wilayah tersebut rawan tsunami.
Gambar 52 . Area limpasan tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap Tabel 19. Area Limpasan tsunami pada Desa (ha) Nama Desa Menganti Karang kandri Slarang Cilacap Selatan Tegal Kamulyan Mertasinga
Kelas Skala Tsunami (m) 0-0.5 18.176 49.280 3.185 0.750 7.870 4.310
0.5-1 1.686 12.742 1.124 0.562 3.373 0.562
1-1.5 0.750 4.122 0 0 0.187 0.750
1.5-2 0 0 0 0 0.187 0
100
Tsunami yang dihasilkan gempa tektonik pada tanggal 17 Juli 2006 telah merusak beberapa wilayah di kabupaten Cilacap. Dalam penelitian ini area tergenang tsunami menacapai 49.280 ha di Karang Kandri dengan tinggi tsunami 0-0.5 m di atas topografi tersebut dan jarak terjauh limpasan tsunami hingga 355.96 m dari garis pantai di desa Karang Kandri. Hal ini disebabkan selain
letaknya dekat pantai, Desa Karang Kandri juga memiliki topografi yang lebih rendah dibandingkan daerah lainnya sehingga tsunami masuk lebih luas di desa tersebut. Desa yang terkena tsunami paling kecil adalah Kecamatan Cilacap Selatan yaitu seluas 0.75 ha. Hal ini disebabkan desa atau kecamatan tersebut memiliki topografi yang lebih tinggi serta terlindung dari tsunami oleh Pulau Nusa Kambangan yang topografinya tinggi.
Gambar 53. Run-up tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap
101
Informasi ketinggian tsunami (run-up) yang dibangkitkan gempa dengan kekuatan 7.7 SM melanda beberapa wilayah di Cilacap. Tinggi tsunami tertinggi terletak di Desa Slarang setinggi 1.3 m dari atas topografi desa tersebut. Tsunami masih terasa hingga Sidakaya, namun ketinggian tsunami di desa tersebut tidak terlalu besar hanya 0.27 m. Namun jika dibandingkan data BMG (2006) hasil Survey Tsunami Jepang-Korea-Indonesia tinggi tsunami 17 Juli 2006 mencapai 5 meter di Lengkong (tidak termasuk area kajian penelitian) dengan jarak terjauh inundation dari garis pantai sepanjang 400 m. Di wilayah Adipala (tidak termasuk area kajian penelitian), ketinggian tsunami mencapai 4.66 m dengan jarak terjauh hingga 1000 m. Perbedaan pengukuran run-up dan inundation tsunami hasil survey lapangan dan hasil model disebabkan oleh perbedaan titik pengamatan dan pengukuran. Pada model penelitian ini tinggi run-up tsunami dihitung berdasarkan tinggi tsunami dari topografi di titik tersebut. Sedangkan pada pengamatan survey lapangan, pengukuran run-up tsunami dihitung dari MSL. Selain itu adanya arrival time yang dihasilkan model hanya didasarkan atas waktu pacu model selama 3 jam. Hal ini disebabkan tidak adanya data history tsunami dari mulai pembangkitan hingga run down tsunami yang akurat yang dimiliki pemerintah. Namun pada dasarnya model yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki akurasi yang baik. Hal ini telah dibuktikan dengan pengukuran data tide gauge oleh peneliti BMG lalu dibandingkan dengan hasil model. Maka hasilnya model Tohoku University memiliki akurasi mencapai +1 (100%) (Gunawan, 2007)
102
Gambar 54. Area limpasan tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap Kekuatan gempa 8.9 SM mengakibatkan kerusakan yang besar pada penggunaan lahan manusia seperti pemukiman (Gambar 54). Limpasan tsunami hingga mencapai jarak 599.48 m dari garis pantai di desa Tegal Kamulyan hingga Desa Salarang. Area yang tergenang tsunami berdasarkan pembagian desa di Kabupaten Cilacap dapat dilihat pada tabel 20. Tingkat kerusakan tsunami berdasarkan klasifikasi tinggi tsunami. Pengukuran jarak limpasan tsunami dengan mengukur tegak lurus dari garis pantai mencapai limpasan tsunami terjauh.
103
Tabel 20. Area Limpasan tsunami pada Desa (ha) Kelas Skala Tsunami (m) Nama Desa Desa Baru Sidanegara Tambakreja Menganti Karang Kandri Slarang Kalisabuk Buton Sidakaya Cilacap Tegal Kamulyan Gumilir Mertasinga Kebon Manis Gunung Simpang
0-1 39.36 32.57 7.47 5.09 13.91 92.63 0.68 11.88 65.83 54.97 142.51 9.50 15.27 1.02 51.58
1-2 34.61 0 0.68 3.39 25.11 76.69 0 5.09 12.56 6.45 71.60 1.70 3.39 1.02 19.34
2-3 1.02 0 0 12.56 54.63 41.40 0 6.11 0 1.70 22.40 0.34 23.41 0 0
3-4
4-5
1.02 0 0 27.15 108.58 13.57 0 4.41 0 0.68 0 0 4.75 0 0
0 0 0 3.05 26.47 1.70 0 3.05 0 0 0 0 0 0 0
Kerusakan yang diakibatkan pada skenario ini lebih meluas hingga 15 desa/kecamatan di Kabupaten Cilacap. Hal ini tentu lebih besar dibandingkan tsunami dengan gempa 7.7 SM. Maka prediksi wilayah yang tergenang tsunami jauh lebih luas meliputi : Desa Baru, Sidanegara, Tambakreja, Menganti, Karangkandri, Slarang, Kalisabuk, Buton, Sidakaya, Cilacap, Tegal Kamulyan, Gumilir, Mertasinga, Kebon Manis, Gunung Simpang. Desa Tegal Kamulyan adalah desa paling banyak terkena limpasan tsunami hingga 142.513 ha dengan ketinggian tsunami 0-1 m. Sama halnya di Tegal Kamulyan, Desa Karang kandri juga termasuk area terkena limpasan tsunami yang tidak kecil yaitu sebesar 108.581 ha pada ketinggian tsunami 3-4 m.
104
Gambar 55. Run-up tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap Gambar 55 mennjukkan tinggi tsunami pada skenario gempa 8.9 SM menghasilkan interval tinggi tsunami 1.5 – 3.75 m di beberapa titik pengamatan. Pada umumnya tsunami yang dihasilkan lebih dari 1 m berada di desa/kecamatan Karang Kandri dan Slarang dengan tinggi maksimum berada di Slarang. Jika dibandingkan dengan tinggi tsunami dengan skenario gempa 7.7 SM, tinggi tsunami dengan kekuatan gempa 8.9 SM menghasilkan tinggi tsunami yang lebih tinggi dan menyebar diseluruh pesisir Cilacap. Namun seperti halnya skenario gempa satu (7.7 SM), maka keduanya memiliki pusat area yang paling rawan terkena tsunami yaitu Desa Slarang dan Karang Kandri.
105
Gambar 56. Area Limpasan Tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap Dampak tsunami 8.7 SM menghasilkan area genangan tsunami yang jauh lebih besar dibandingkan dua skenario gempa sebelumnya yaitu 7.7 SM dan 8.9 SM. Pada gempa 8.9 SM ini area limpasan mencapai 843.92 m dari garis pantai yang berada hingga Desa Slarang (Gambar 56). Secara visual area tergenang tsunami terlihat paling luas hingga lebih dari 800 m berada di area yang jauh dari Pulau Nusakambangan. Hal ini menyebabkan Desa yang tidak terlindung Pulau Nusakambangan mendapat limpsan tsunami yang lebih luas. Informasi luasan limpasan tsunami yang dibangkitkan gempa berkekuatan 8.7 SM ini dapat dilihat pada tabel 21.
106
Tabel 21. Area Limpasan tsunami pada Desa (ha) Nama Desa Sidanegara Tambakreja Menganti Karang Kandri Sidakaya Cilacap Tegal Kamulyan Gumilir Mertasinga Kebon Manis Gunung Simpang Slarang Kalisabuk Buton
Kelas Skala Tsunami (m) 0-1 44.32 1.89 3.06 22.63 70.02 36.54 120.94 27.35 21.22 20.27 58.23 134.61 2.59 13.44
1-2 5.19 0 2.83 37.25 17.21 5.89 102.32 8.96 4.01 14.85 40.08 90.29 1.89 6.37
2-3
3-4
0 0 28.29 114.34 0 1.65 30.41 1.18 21.92 0 1.89 26.88 0 7.07
4-5
0 0 15.32 39.61 0 0.00 9.43 0 8.72 0 0 2.83 0 2.12
0 0 0 0 0 0 0.24 0 0.24 0 0 0 0 1.89
Luas area genangan tsunami terbesar terletak di Desa Slarang hingga mencapai 134.613 ha dengan ketinggian tsunami 0-1 m. Sedangkan wilayah Tegal Kamulyan menempati urutan kedua daerah rawan tsunami dengan prediksi luasan tsunami hingga 120.939 ha pada ketinggian tsunami yang sama yaitu 0-1 m dengan jarak terjauh limpasan mencapai 843.92 m dari garis pantai. Skenario gempa 8.7 SM (Skala Magnitude) menghasilkan tsunami yang lebih besar. Hal ini terlihat pada area limpasan yang tergenang tsunami lebih jauh mencapai daratan dibandingkan dua skenario sebelumnya. Faktor jarak sumber gempa terhadap daratan sangat mempengaruhi besarnya tsunami yang dihasilkan. Meskipun kekuatan gempa juga mempengaruhi tetapi faktor jarak terhadap sumber gempa pada penelitian ini lebih berpengaruh. Sehingga tingkat kerusakan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan tsunami dengan kekuatan gempa 8.9 SM (Skala Magnitude).
107
Gambar 57. Run-up tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap Tinggi tsunami pada skenario ketiga yaitu tsunami yang dihasilkan gempa 8.7 SM memiliki run-up yang menyebar dan tinggi tsunami yang lebih tinggi dibanding dengan kedua skenario sebelumnya. Seperti yang terlihat pada Gambar 57, tinggi tsunami menyebar diseluruh pesisir dengan ketinggian 0.5-3.75 m. Run-up tsunami paling tinggi berada di desa Karang Kandri yaitu sekitar 3.7 m dari topografi titik pengamatan.
4.8 Penentuan Daerah Rawan Tsunami Kabupaten Cilacap
Penentuan daerah rawan tsunami pada penelitian ini didasarkan pada prediksi area tergenang tsunami dengan menggunakan tiga model skenario gempa. Daerah tergenang tsunami pada kekuatan gempa dasar laut 7.7 SM, 8.7 SM dan
108
8.9 SM menunjukkan area pesisir merupakan daerah rawan tergenang tsunami. Namun dalam penentuan daerah rawan tsunami, faktor kelas penggunaan lahan ikut mempengaruhi. Sehingga suatu daerah bisa dikatakan rawan jika daerah tersebut memiliki kriteria jenis penutupan/penggunaan lahan yang paling penting.
Gambar 58 . Luasan area kelas penutupan/penggunaan lahan pada tiap Desa di Kab. Cilacap
Gambar 59 . Luasan area kelas topografi pada tiap Desa di Kab. Cilacap
109
Gambar ( 58 dan 59) menunjukkan luasan jenis-jenis penggunaan lahan tiap desa dan luasan area tiap desa berdasarkan kelas topografinya. Tsunami akan mudah menghempas pada daerah yang memiliki topografi yang rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan terjal dan landainya morfologi pantai akan mempengaruhi jangkauan tsunami yang menghempasnya. Pada pantai yang terjal, tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai daratan karena sebagian tsunami tersebut akan tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai, sedangkan pada pantai yang landai seperti pantai Cilacap ini, tsunami dapat menerjang sampai beberapa kilometer masuk ke daratan. Desa Tegal kamulyan adalah desa yang memiliki topografi yang rendah (0-2) m yang paling luas dibandingkan dengan desa lainnya yaitu sebesar 158 ha. Sedangkan Desa Karang kandri adalah desa yang memiliki luas topografi lebih dari 8 m paling luas yaitu sebesar 19.665 m. Namun desa ini juga memiliki topografi yang rendah yang cukup luas yaitu sebesar 126.648 ha.
Gambar 60. Tingkat kerusakan jenis penutupan/penggunaan lahan oleh limpasan tsunami 7.7 SM
110
Tsunami dengan kekuatan gempa dasar laut 7.7 SM menggenangi daerah Karang Kandri paling luas mencapai 49.28 ha dengan luas topografi 0-2 m sebesar 126.648 ha. Namun jika dibandingkan desa pesisir lain yang tergenang tsunami, maka desa yang bisa dikatakan rawan tsunami adalah desa Tegal Kamulyan karena wilayah ini merupakan daerah yang padat area pemukiman (Gambar 61) dengan topografi 0-2 m yang lebih luas yaitu 158.220 ha dibandingkan Karang Kandri.
Gambar 61. Tingkat kerusakan jenis penutupan/penggunaan lahan oleh limpasan tsunami 8.9 SM Sedangkan pada skenario gempa kedua menunjukkan Desa Tegal Kamulyan adalah desa rawan tsunami dengan luasan limpasan tertinggi sebesar 142.513 ha pada kelas tinggi tsunami 0-1 m. Tingkat kerusakan penggunaan lahan tipe pemukiman dan bangunan sebesar 132.982 ha dan luasan topografi 0-2 m sebesar 158.220 ha. Data ini menujukkan bahwa desa ini termasuk daerah rawan
111
tsunami jika pada terjadi gempa dengan kekuatan 8.9 SM pada posisi epicenter dibanding desa lain yang tergenang tsunami.
Gambar 62. Tingkat kerusakan jenis penutupan/penggunaan lahan oleh limpasan tsunami 8.7 SM
Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami berkekuatan gempa 8.7 SM lebih tinggi dibanding dua skenario sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari Gambar , misalnya tingkat kerusakan penggunaan lahan jenis pemukiman mencapai 163.029 ha. Nilai ini lebih besar disbanding tsunami dengan kekuatan 8.9 SM yang hanya merusak kelas pemukiman sebesar 132.982 ha. Area rawan tsunami daerah pesisir Cilacap pada skenario gempa 8.7 SM menjukkan bahwa desa Tegal Kamulyan adalah desa yang paling rawan dibandingkan desa-desa lainnya yang tergenang tsunami di Kabupaten Cilacap. Hal ini disebabkan desa ini merupakan area pesisir yang memiliki tipe penggunaan lahan padat pemukiman dan bangunan dibanding dengan desa lainnya yang terkena limpasan tsunami juga.
112
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
DEM hasil penurunan dari citra ALOS memiliki ketelitian yang lebih detil dengan relief menyerupai topografi sesungguhnya. Begitu pula metode pansharpan AVNIR dan PRISM pada penelitian ini mempengaruhi banyaknya informasi pengkelasan landuse sehingga tingkat ketelitian data penutupan/penggunaan lahan semakin akurat. Parameter gempa (kekuatan,serta jarak sumber gempa), topografi dan faktor kedalaman laut pada penelitian ini mempunyai pengaruh terhadap besarnya area limpasan tsunami di daerah peisisir pantai Cilacap. Semakin besar kekuatan gempa maka tingkat kerusakan tsunami semakin tinggi. Jarak sumber gempa mempengaruhi limpasan tsunami yang semakin luas di daerah pesesisir Cilacap. Tiga skenario gempa yang dapat menghasilkan tsunami yaitu 7.7 Mw, 8.9 Mw serta 8.7 Mw menggenangi beberapa desa pesisir di Kabupten Cilacap. Desa Tegal Kamulyan adalah Desa rawan tsunami dengan tingkat kerusakan yang paling besar yaitu 7.87 ha pada skala gempa 7.7 Mw, 142.513 ha pada skala gempa 8.9 Mw, dan 120.914 ha pada skala gempa 8.7 Mw. Jarak terjauh limpasan mencapai 355.96 m, 599.48 m dan 843.92 m dari garis pantai di Desa Tegal Kamulyan pada tiap skenario. Hal ini disebabkan landainya topografi dan tipe penggunaan lahan yang padat pemukiman dibandingkan dengan desa lain yang terkena limpasan tsunami.
113
5.2 Saran
Penelitian selanjutnya disarankan membandingkan model dengan menggunakan DEM interferometri, sehingga dapat diketahui perbandingan tingkat akurasi dari model DEM yang dihasilkan. Pada penelitian ini metode pansharpan yang digunakan adalah metode algoritma Gram Schmidt, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya menggunakan algoritma yang lain sehingga dapat diketahui tingkat akurasi tiap algoritma penggabungan citra. Selain itu penggunaan parameter-parameter gempa selain: posisi epicenter, dip, panjang sesar, lebar sesar dan kekuatan gempa yang lebih bervariasi sehingga dapat membedakan pengaruh dari tiap parameter gempa tersebut.
114
DAFTAR PUSTAKA
Abietto, A. Y. 1997. Model Numerik Penjalaran Gelombang Tsunami Biak Tahun 1996. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Geofisika dan Metereologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung, Bandung BAKOSURTANAL. 1990. Permasalahan dan Dinamika Pantai pada Daerah Wisata Pantai Baron dan Krakal Yogyakarta . http:// ugm.co.id (24 Mei 2008) BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Cilacap. 2005. Cilacap Dalam Angka 2005. BAPPEDA. Cilacap. Carolita, I. dan A. Subarkah. 2007. Tsunami hazard assessment of Cilacap, IndonesiaIntegrating numerical model with remote sensing and GIS. Indonesia National Aeronautics and Space Institute (LAPAN). Agency for the Assessment & Application of Technology, Indonesia (BPPT). Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA). GIC Asia Institute of Technology Diposaptono, S. 2005. Kebutuhan Riset Tsunami untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Dalam : Prosiding Penerapan Hasil Riset untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia. BPPT. Hlm: 207-233 Diposaptono, S dan Budiman. 2005. Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor Ermapper. 2004. ER Mapper 6.0 : Helping People Manage the Earth. Earth Resource Mapping Pty Ld Ginting, R, Bambang, dan Idriawan. 2003. Kajian Sateli Masa Depan – ALOS. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Deputi Bidang Penginderaan Jauh. LAPAN Gunawan, I. 2007. Tsunami Propagation and Inundation Modeling Using ComMit Interface. BMG : Jakarta Gunawan, I dan Fachrizal. 2006. Survey Tsunami Pantai Selatan Jawa : Pangandaran-Cilacao-Kebumen-Yogyakarta. BMG : Jakarta Hajar, M. 2006. Pemetaan Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Studi kasus : Kota Padang. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1988. Pengantar Oseanografi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
115
Iingmason, D. E., dan W.J.Wallace. 1973. Oceanography an Introduction. Wadsworth Publishing Company. California Imammura. 2006. Tsunami Modelling Manual. Disaster Control Research Center, Tohoku University. Jepang JAXA. 2006. ALOS User handbook. Earth Observation Research Center Japan Aerospace Exploration Agency. Japan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). 2007. Berita Inderaja. Deputi Bidang Penginderaan Jauh. Lillesand, T.M dan F.W. Kiefer.,1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Diterjemahkan oleh R. Dulbahri. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. Mansinha, L. And D.E. Smylie. 1971. Surface Deformation due to Shear and Tensor Fault in Falf-space. Bull. Seism. Soc.Ame. Vol. 75, Pages 11351154. Prahasta, E. 2008. Remote Sensing. PT Iinformatika. Bandung Purbowaseso, B. 1995. Penginderaan jauh terapan. Universitas Indonesia-Press : Jakata Soetaert, K., dan P. Herman. 2001. Ecological modelling lecture notes. Centre for Estuarine and Marine Ecology. Netherlands Institut of Ecology Sutanto, 1998. Penginderaan Jauh, Jilid I. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. vii+252 h. TNI-AL. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Panjang TNI-AL. http:// google.co.id/batimetri indonesia (24 Mei 2008) Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Trisakti, B. 2006. Digital Elevation Model Menggunakan Citra Stereo Satelit Optis dan Potensi Pemanfaatanya. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. LAPAN: Jakarta USGS. 2008. Harvard Moment Tensor Solution. http://usgs.com/earthquake havard (12 Juni 2008) Wikipedia.2007. Kabupaten Cilacap http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cilacap (10 Februari 2008)
116
Winardi, W dan A. Cahyono. 2005. Studi Perubahan Tutupan Lahan dengan Citra Landsat Menggunakan Geographic Resources Analyis Support System ( GRASS). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Program Studi Teknik Geodesi. Institut Sepuluh November. Surabaya
L A M P I R AN
117
1. Survey Lapangan
Gambar 63. Posisi stasiun survey lapangan penelitian 2. Foto-foto kegiatan survey lapangan No Stasiun
: 01
Jenis pengg. lahan : Masjid
Gambar 1. Masjid Alun-alun
Latitude
: 07o 43' 40,5" LS
Longitude
: 109o 00' 39,3" BT
Waktu
: 05:46 WIB
Elevasi
: 19 m
Tsunami 2006
: Tidak terkena
Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena
118
No Stasiun
: 02
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gambar 2. Tugu
Latitude
: 07o 43' 59,3" LS
Longitude
: 109o 00' 55,1" BT
Waktu
: 05:50 WIB
Elevasi
: 20 m
Tsunami 2006
: Tidak terkena
Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena
No Stasiun
: 03
Jenis pengg. lahan : Sekolah
Gambar 3. SMP 8 Cilacap
Latitude
: 07o 44' 51,3" LS
Longitude
: 109o 01' 17,1" BT
Waktu
: 05:57 WIB
Elevasi
: 16 m
Tsunami 2006
: Tidak terkena
Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena
No Stasiun
: 04
Jenis pengg. lahan : Industri
Gambar 4. Pertamina
Latitude
: 07o 44' 51,0" LS
Longitude
: 109o 01' 09,3" BT
Waktu
: 06:50 WIB
Elevasi
: 25 m
Tsunami 2006
: Tidak terkena
Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
119
No Stasiun
: 05
Jenis pengg. lahan : Pasir
Gambar 5. Pasir pantai Cilacap
Latitude
: 07o 44' 34,7" LS
Longitude
: 109o 01' 11,2" BT
Waktu
: 07:08 WIB
Elevasi
: 22 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 06
Jenis pengg. lahan : Dermaga
Gambar 6. Dermaga
Latitude
: 07o 44' 32,2" LS
Longitude
: 109o 01' 15,6" BT
Waktu
: 07:15 WIB
Elevasi
: 21 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 07
Jenisi pengg. lahan : Vegetasi lain
Gambar 7. Vegetasi lain
Latitude
: 07o 44' 31,9" LS
Longitude
: 109o 01' 08,5" BT
Waktu
: 07:25 WIB
Elevasi
: 22 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
120
No Stasiun
: 08
Jenis pengg. lahan : Permukiman
Gambar 8. Permukiman
Latitude
: 07o 44' 24,3" LS
Longitude
: 109o 01' 07,6" BT
Waktu
: 07:31 WIB
Elevasi
: 21 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 10
Jenis pengg. lahan : Industri
Gambar 9. PT Antam Tbk
Latitude
: 07o 44' 15,9" LS
Longitude
: 109o 01' 06,1" BT
Waktu
: 07:38 WIB
Elevasi
: 21 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 11
Jenis pengg. lahan : Jalan
Gambar 10. Jalan
Latitude
: 07o 44' 07,5" LS
Longitude
: 109o 01' 08,2" BT
Waktu
: 07:43 WIB
Elevasi
: 22 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
121
No Stasiun
: 14
Jenis pengg. lahan : Jembatan
Gambar 11. Jembatan
Latitude
: 07o 44' 01,2" LS
Longitude
: 109o 01' 10,5" BT
Waktu
: 07:56 WIB
Elevasi
: 16 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 18
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gambar 12. Pelabuhan
Latitude
: 07o 43' 40,6" LS
Longitude
: 109o 01' 27,2" BT
Waktu
: 08:32 WIB
Elevasi
:7m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena No Stasiun
: 20
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gamb 13. Pembangunan gedung
Latitude
: 07o 43' 36,3" LS
Longitude
: 109o 01' 21,5" BT
Waktu
: 08:50 WIB
Elevasi
: 20 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
122
No Stasiun
: 23
Jenis pengg. lahan : Sawah
Gambar 14. Sawah
Latitude
: 07o 43' 15,8" LS
Longitude
: 109o 01' 13,7" BT
Waktu
: 09:08 WIB
Elevasi
: 20 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena
No Stasiun
: 24
Jenis pengg. lahan : Jalan
Gambar 15. Jalan
Latitude
: 07o 43' 09,3" LS
Longitude
: 109o 01' 10,8" BT
Waktu
: 09:18 WIB
Elevasi
: 19 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena
No Stasiun
: 27
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gambar 16. Gedung Olahraga
Latitude
: 07o 43' 00,2" LS
Longitude
: 109o 01' 14,8" BT
Waktu
: 09:31 WIB
Elevasi
: 21 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena
123
No Stasiun
: 28
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gambar 17. Lapangan Tenis
Latitude
: 07o 43' 09,0" LS
Longitude
: 109o 01' 17,9" BT
Waktu
: 09:39 WIB
Elevasi
: 23 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 31
Jenis pengg. lahan : Sawah
Gambar 18. Sawah
Latitude
: 07o 42' 57,1" LS
Longitude
: 109o 01' 27,6" BT
Waktu
: 10:09 WIB
Elevasi
: 22 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : Tidak terkena
No Stasiun
: 32
Jenis pengg. lahan : Industri
Gambar 19. Industri ikan asin
Latitude
: 07o 42' 53,7" LS
Longitude
: 109o 01' 39,2" BT
Waktu
: 10:16 WIB
Elevasi
: 25 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
124
No Stasiun
: 33
Jenis pengg. lahan : Jembatan
Gambar 20. Jemb. Tegalkatilayu
Latitude
: 07o 42' 54,4" LS
Longitude
: 109o 01' 39,8" BT
Waktu
: 10:19 WIB
Elevasi
: 22 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 34
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gambar 21. TPI Tegalkatilayu
Latitude
: 07o 42' 55,9" LS
Longitude
: 109o 01' 42,3" BT
Waktu
: 10:20 WIB
Elevasi
: 22 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 35
Jenis pengg. lahan : Perkebunan
Gambar 22. Perkebunan
Latitude
: 07o 42' 56,3" LS
Longitude
: 109o 01' 42,9" BT
Waktu
: 10:25 WIB
Elevasi
: 13 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
125
No Stasiun
: 36
Jenis pengg. lahan : Tambak
Gambar 23. Tambak
Latitude
: 07o 42' 57,5" LS
Longitude
: 109o 01' 51,4" BT
Waktu
: 10:33 WIB
Elevasi
: 17 m
Tsunami 2006 : Tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 38
Jenis pengg. lahan : Pasir
Gambar 24. Pasir
Latitude
: 07o 42' 53,5" LS
Longitude
: 109o 01' 57,6" BT
Waktu
: 11:45 WIB
Elevasi
: 24 m
Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 41
Jenis pengg. lahan : Lahan Terbuka
Gambar 25. Lahan Terbuka
Latitude
: 07o 42' 25,5" LS
Longitude
: 109o 02' 16,0" BT
Waktu
: 11:46 WIB
Elevasi
: 25 m
Tsunami 2006 : tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
126
No Stasiun
: 45
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gambar 26. RS. Pertamina
Latitude
: 07o 42' 11,4"LS
Longitude
: 109o 02' 32,0" BT
Waktu
: 13:03 WIB
Elevasi
: 20 m
Tsunami 2006 : tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 47
Jenis pengg. lahan : Jalan
Gambar 27. Jalan ke PLTU
Latitude
: 07o 41' 43,9"LS
Longitude
: 109o 03' 26,1" BT
Waktu
: 13:40 WIB
Elevasi
: 19 m
Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 48
Jenis pengg. lahan : Sawah
Gambar 28. Sawah
Latitude
: 07o 41' 35,3" LS
Longitude
: 109o 03' 43,1" BT
Waktu
: 14:00 WIB
Elevasi
: 13 m
Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
127
No Stasiun
: 49
Jenis pengg. lahan : Bangunan
Gambar 29. TPI Lengkong
Latitude
: 07o 41' 28,6" LS
Longitude
: 109o 04' 00,3" BT
Waktu
: 14:26 WIB
Elevasi
: 19 m
Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 51
Jenis pengg. lahan : Industri
Gambar 30. PLTU Mertasinga
Latitude
: 07o 42' 09,2" LS
Longitude
: 109o 01' 28,1" BT
Waktu
: 15:00 WIB
Elevasi
: 27 m
Tsunami 2006 : terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : terkena
No Stasiun
: 53
Jenis pengg. lahan : Jalan
Gambar 31. Kota Cilacap
Latitude
: 07o 42' 09,4" LS
Longitude
: 109o 01' 28,5" BT
Waktu
: 17:00 WIB
Elevasi
: 26 m
Tsunami 2006 : tidak terkena Prediksi 8.7-8.9 SM : tidak terkena
128
3. Tabel hasil survey lapangan (track GPS dan wawancara) No
Jenis/Tipe
Latitude (LS)
Longitude (BT)
Waktu
Elevasi (m)
Tsunami 2006
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Masjid Alun-alun Tugu Cilacap (bangunan) SMP 8 (sekolah) Pertamina (industri) Pasir Darmaga (bangunan) Pohon (vegetasi lain) Permukiman Pohon (vegetasi lain) PT Antam Tbk (industri) Jalan SDN 10 Permukiman Jembatan Jalan Darmaga (bangunan) Vegetasi Pelabuhan Samudera Cilacap HNSI (bangunan) Bangunan Jembatan Sawah Sawah Jalan Sawah Jalan Gedung Olahraga (bangunan) Lap. Tenis Jalan Permukiman Sawah Industri ikan asin Jembatan TPI Tegalkatilayu Kebun Tambak Pasir Pasir Jalan Vegetasi Tanah terbuka Tegalkamulyan
07o 43' 40,5" 07o 43' 59,3" 07o 44' 51,3" 07o 44' 51,0" 07o 44' 34,7" 07o 44' 32,2" 07o 44' 31,9" 07o 44' 24,3" 07o 44' 23,1" 07o 44' 15,9" 07o 44' 07,5" 07o 44' 04,3" 07o 44' 00,2" 07o 44' 01,2" 07o 44' 03,9" 07o 43' 47,1" 07o 43' 44,5" 07o 43' 40,6" 07o 43' 37,4" 07o 43' 36,3" 07o 43' 30,3" 07o 43' 26,9" 07o 43' 15,8" 07o 43' 09,3" 07o 43' 07,5" 07o 43' 03,0" 07o 43' 00,2" 07o 43' 09,0" 07o 43' 09,6" 07o 43' 00,6" 07o 42' 57,1" 07o 42' 53,7" 07o 42' 54,4" 07o 42' 55,9" 07o 42' 56,3" 07o 42' 57,5" 07o 42' 58,5" 07o 42' 53,5" 07o 42' 37,1" 07o 42' 28,6" 07o 42' 25,5" 07o 42' 14,2"
109o 00' 39,3" 109o 00' 55,1" 109o 01' 17,1" 109o 01' 09,3" 109o 01' 11,2" 109o 01' 15,6" 109o 01' 08,5" 109o 01' 07,6" 109o 01' 05,2" 109o 01' 06,1" 109o 01' 08,2" 109o 01' 04,2" 109o 01' 04,8" 109o 01' 10,5" 109o 01' 16,3" 109o 01' 26,3" 109o 01' 21,6" 109o 01' 27,2" 109o 01' 20,9" 109o 01' 21,5" 109o 01' 19,4" 109o 01' 13,3" 109o 01' 13,7" 109o 01' 10,8" 109o 01' 09,2" 109o 01' 13,9" 109o 01' 14,8" 109o 01' 17,9" 109o 01' 27,8" 109o 01' 29,0" 109o 01' 27,6" 109o 01' 39,2" 109o 01' 39,8" 109o 01' 42,3" 109o 01' 42,9" 109o 01' 51,4" 109o 01' 52,8" 109o 01' 57,6" 109o 02' 08,5" 109o 02' 14,1" 109o 02' 16,0" 109o 02' 23,7"
5:46 5:50 5:57 6:50 7:08 7:15 7:25 7:31 7:33 7:38 7:43 7:46 7:49 7:56 8:10 8:24 8:30 8:32 8:48 8:50 8:55 9:01 9:08 9:18 9:22 9:27 9:31 9:39 9:43 10:07 10:09 10:16 10:19 10:20 10:25 10:33 10:38 11:45 11:36 11:40 11:46 12:00
19 20 16 25 22 21 22 21 23 21 22 21 23 16 24 20 20 7 29 20 28 23 20 19 18 16 21 23 22 20 22 25 22 22 13 17 21 24 24 18 25 3
Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Terkena
129
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
RS. Pertamina Masjid Pertamina RS. Pertamina Kebun Jalan Sawah/jalan TPI Lengkong Sawah PLTU PLTU Mertasinga Kota/jalan
07o 42' 09,1" 07o 42' 09,6" 07o 42' 11,4" 07o 42' 00,8" 07o 41' 43,9" 07o 41' 35,3" 07o 41' 28,6" 07o 41' 25,7" 07o 41' 07,11" 07o 42' 09,2" 07o 42' 09,4"
109o 02' 29,2" 109o 02' 28,2" 109o 02' 32,0" 109o 02' 45,8" 109o 03' 26,1" 109o 03' 43,1" 109o 04' 00,3" 109o 04' 09,0" 109o 05' 05,0" 109o 01' 28,1" 109o 01' 28,5"
12:27 12:56 13:03 13:27 13:40 14:00 14:26 14:32 14:50 15:00 17:00
19 19 20 29 19 13 19 20 20 27 26
Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Tidak terkena Terkena Terkena Tidak terkena
54
Terminal
07o 42' 09,1"
109o 01' 30,0"
17:30
33
Tidak terkena
4. Tabel hubungan skala tsunami 7.7 dengan tutupan lahan Kelas Skala Tsunami (m)-7.7 MW Kelas Landuse
0-0.5
Pemukiman
0.5-1 6.6320915
1-1.5 1.5304827
0
Industri
12.7540221
1.5304827
0
Jalan
11.2235394
4.0812871
2.0406435
Lahan Terbuka
25.7631246
4.0812871
2.0406435
Tambak
27.2936073
7.9074937
3.5711262
Sawah
3.3160457
0.7652413
0.2550804
Pasir
0.7652413
1.0203218
0.5101609
Vegetasi Lain
4.3363675
0.7652413
0.2550804
ladang
0
0
0
Rumput/Semak
0
0
0
Kebun/Perkebunan
0
0
0
5. Tabel hubungan skala tsunami 8.7 dengan tutupan lahan No
Kelas Landuse
Kelas Skala Tsunami (m)-8.7 MW 0-1
1-2
2-3
3-4
>4
1
Pemukiman
163.0288329
66.5078731
30.9994324
6.340793
0
2
Industri
18.4587529
14.6542771
16.0633422
3.5226628
0
3
Sekolah
1.2681586
0.4227195
0.1409065
0
0
4
Rumah Sakit
0.1409065
0.1409065
0
0
0
5
Tempat Ibadah
1.1272521
0.9863456
0
0
0
6
Jalan
123.9977295
58.6171085
23.6722938
11.69524
0
7
Lahan Terbuka
45.6537095
39.3129165
38.890197
14.231558
0.140907
8
Tambak
16.9087813
17.0496878
49.4581853
24.517733
0
130
9
Sawah
203.7508145
122.5886643
55.3762587
17.613314
0
0.9863456
1.4090651
2.5363172
1.1272521
0.704533
7.6089516
2.6772237
0.42272
10
Pasir
11
Vegetasi lain
54.9535392
19.867818
12
Ladang
11.6952404
3.3817563
0
0
0
13
Rumput/Semak
0.1409065
0
0
0
0
14
Kebun/Perkebunan
2.8181302
0.1409065
0.1409065
0
0
6. Tabel hubungan skala tsunami 8.9 dengan tutupan lahan No
Kelas Landuse 1
Pemukiman
2 3
Kelas Skala Tsunami (m)-8.9 MW 0-1
1-2
2-3
3-4
>4
16.490694
3.805545
132.98265
34.884161
22.6218498
Industri
22.6218498
11.2052153
2.5370299
17.759209
0.422838
Sekolah
17.8546912
2.2318364
0
2.2318364
0
4
Tempat Ibadah
22.9956328
8.6233623
0
2.8744541
0
5
Jalan
316.9207697
91.5052926
49.1004009
71.418765
4.463673
6
Lahan Terbuka
57.0831725
30.0215204
23.4675265
26.215976
2.114192
7
Tambak
20.08482
19.4505625
17.1249518
41.438155
11.83947
8
Sawah
159.6214639
66.5970346
51.3748553
32.135712
4.651222
9
Pasir
5.4968981
2.748449
3.3827065
1.4799341
0.211419
10
Vegetasi lain
51.3748553
15.8564368
4.8626406
5.0740598
0
11
Ladang
4.6512215
1.4799341
0.2114192
0
0
12
Rumput/Semak
0.6342575
0.2114192
0
0
0
13
Kebun/Perkebunan
0.6342575
0
0
0
0
7. Tabel hubungan kelas topografi dengan desa Desa/Kecamatan Sidanegara Tambakreja Tritih Wetan Tritih Lor Menganti Karang Kandri Slarang Kalisabuk Kuripan Kuripan kl Sidakaya Cilacap Tegalreja Tegal Kamulyan Gumilir
0-2 129.895 5.954 1.443 5.954 38.788 126.648 33.195 5.593 0.361 12.087 116.004 56.829 13.531 158.220 16.417
Kelas Topografi 2-4 4-6 6-8 256.183 14.252 0.722 125.205 71.262 2.526 0.541 0.000 0.000 100.849 106.803 0.000 76.494 252.033 235.977 47.628 59.175 148.658 55.566 34.278 6.495 30.670 29.948 10.283 0.722 0.361 0.000 34.819 34.098 90.205 64.587 1.985 0.000 90.205 5.593 2.526 87.319 4.330 0.000 121.055 2.887 0.541 127.009 174.637 39.149
8-10 0.000 0.000 0.000 0.000 14.613 19.665 0.000 2.706 0.000 10.464 0.180 2.165 0.180 0.541 0.361
131
Mertasinga Tritih kulon Karang Tal Kebon manis Donan Gunung Simpang Lomanis Kutawaru
24.536 148.117 126.287 35.360 36.804 107.525 50.876 222.807
54.484 196.106 180.230 113.839 222.626 174.096 262.317 52.680
292.084 246.440 166.699 84.252 15.335 7.577 79.922 0.361
156.957 35.902 11.185 3.067 1.985 0.541 17.319 0.000
6.675 2.526 6.495 0.541 0.000 0.000 10.283 0.000
8. Tabel pengukuran tinggi gelombang tsunami
Waktu (detik) 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720 780 840 900 960 1020 1080 1140 1200 1260 1320 1380 1440 1500 1560 1620 1680
Run-up Tsunami (meter) di dua Posisi Pengamatan 7.7 Mw 8.9 Mw 8.7 Mw 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
132
1740 1800 1860 1920 1980 2040 2100 2160 2220 2280 2340 2400 2460 2520 2580 2640 2700 2760 2820 2880 2940 3000 3060 3120 3180 3240 3300 3360 3420 3480 3540 3600 3660 3720 3780 3840 3900 3960 4020 4080 4140 4200 4260
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.51 0.89 0.92 1.08 0.89 0.68 0.47 0.26 0.06 -0.12 -0.25 -0.36 -0.43 -0.45 -0.18 -0.24 -0.18 -0.2 -0.28 -0.35
0 0 0 0 0 0.06 0.95 1.49 0.79 -0.28 -0.51 -0.68 -0.43 -0.3 -0.32 -0.16 0.07 0.1 0.05 -0.17 -0.09 -0.15 -0.16 -0.12 -0.04 0.01 0.1 0.02 0.09 0.02 -0.05 -0.1 -0.12 -0.12 -0.09 -0.07 -0.01 0 -0.01 0.03 -0.04 -0.06 -0.02
0 0 0 0 0 -0.02 -0.25 -0.52 -0.59 -0.5 -0.76 -0.76 -0.91 -0.82 -0.86 -0.91 -1.05 -1.11 -1.22 -1.39 -1.63 -1.86 -2.19 -2.47 -0.93 3.49 2.99 2.27 2.34 1.61 1.13 0.61 0.54 0.62 0.92 0.08 -0.22 -0.1 -0.13 0.06 0.11 0.05 -0.15
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -0.01 -0.08 -0.19 -0.31 -0.44 -0.56 -0.68 -0.76 -0.84 -0.91 -0.97 -1.03 -1.08 -1.12 -1.17 -1.21 -1.25 -1.28
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2.1 2.17 1.93 1.78 1.63 1.6 2.42 2.27 2.01 1.75 1.53 1.27 1.09 0.86 0.64 0.45 0.32 0.21 0.09 0.03 0.03 -0.07 -0.19 -0.27 -0.32
0 0 0 0 0 0.21 4.38 5.59 4.31 2.2 -0.61 -0.51 -1.41 -1.05 0.07 0.34 -0.08 0.13 -0.44 -0.94 -1.04 -1.2 -1.16 -0.98 -0.96 -0.62 -0.44 -0.22 -0.08 -0.24 -0.19 -0.11 -0.26 -0.25 0.08 0.33 0.55 0.66 0.35 0.72 0.17 -0.25 -0.39
133
4320 4380 4440 4500 4560 4620 4680 4740 4800 4860 4920 4980 5040 5100 5160 5220 5280 5340 5400 5460 5520 5580 5640 5700 5760 5820 5880 5940 6000 6060 6120 6180 6240 6300 6360 6420 6480 6540 6600 6660 6720 6780 6840
-0.4 -0.32 -0.13 -0.07 0.02 0.05 0.02 0.03 -0.08 -0.14 -0.26 -0.2 -0.17 -0.09 0.12 0.04 -0.03 -0.14 -0.27 -0.4 -0.47 -0.16 -0.1 0.15 0.25 0.16 0.08 -0.05 -0.2 -0.24 -0.11 -0.3 -0.34 -0.01 -0.11 -0.16 0 0.04 -0.03 0.05 0.21 0.09 0.06
-0.05 -0.04 -0.04 0.09 -0.07 0.14 -0.09 -0.31 0.43 -0.11 -0.21 -0.08 -0.77 -0.05 -0.75 -0.41 -0.14 -0.12 -0.23 0.07 0.2 0.09 0.04 -0.07 -0.04 -0.05 -0.05 -0.15 -0.33 -0.26 -0.17 -0.21 -0.04 0.04 0.36 0.46 0.3 0.46 0.55 0.15 0.11 0.16 0.06
-0.07 -0.34 -0.29 -0.36 -0.42 0.12 0.52 0.77 0.67 0.87 1.05 1.28 1.71 2.08 2.08 1.64 1.48 1.47 1.08 0.98 1.08 1.05 0.85 1.11 1.21 1.29 1.55 1.86 1.63 1.73 1.76 0.93 0.83 -0.55 -1.25 -1.74 -1.04 -1.82 -1.89 -0.98 -1.16 -1.09 -1.76
-1.31 0.49 1.13 1.53 1.9 1.92 1.9 1.77 1.61 1.58 1.33 1.09 0.83 0.54 0.29 0.11 0.34 0.35 0.37 0.42 0.54 0.45 0.51 0.51 1.28 1.29 1.68 2.4 3.35 3.63 3.76 3.29 2.72 2.35 2.13 1.86 1.51 1.12 0.84 0.64 0.47 1.56 1.62
-0.33 -0.37 -0.39 -0.38 -0.05 -0.09 -0.22 -0.34 -0.42 -0.52 -0.61 -0.64 -0.19 -0.14 -0.31 -0.5 -0.62 -0.69 -0.74 -0.8 -0.81 -0.86 -0.95 -1.04 -1.12 -1.16 -0.94 -1.05 -1.12 -1.19 -1.21 -0.43 -0.53 -0.66 -0.83 -0.94 -1 -1.07 -1.11 -1.12 -1.17 -1.2 -1.24
-0.27 -0.4 -0.22 -0.31 -0.55 -0.68 -0.54 -0.8 0.13 -0.37 -0.19 0.28 -1.48 0.28 -0.88 -2.04 -2.37 -2.01 -2.19 -2.32 -1.48 -1.31 -1.46 -1.82 -1.47 -0.91 -0.63 -1.28 -1.94 -1.7 -1.25 -1.08 -1.06 -0.89 0.24 1.52 2.25 3.16 4.5 3.45 2.6 2.17 1.7
134
6900 6960 7020 7080 7140 7200 7260 7320 7380 7440 7500 7560 7620 7680 7740 7800 7860 7920 7980 8040 8100 8160 8220 8280 8340 8400 8460 8520 8580 8640 8700 8760 8820 8880 8940 9000 9060 9120 9180 9240 9300 9360 9420
0 0 -0.11 -0.21 -0.3 -0.19 -0.11 0.13 0.27 0.48 0.58 0.53 0.59 0.41 0.38 0.54 0.38 0.38 0.38 0.42 0.47 0.37 0.26 0.33 0.14 0.05 -0.04 -0.1 -0.1 -0.15 -0.17 0.1 0.04 -0.04 -0.01 0.18 0.05 0.02 0 0.32 0.33 0.21 0.25
-0.03 -0.01 0.1 0.28 0.34 0.22 0.06 0.25 0.04 -0.03 0.06 0.05 0.02 0.01 -0.07 -0.11 -0.16 0.17 -0.02 -0.08 -0.01 -0.11 -0.06 -0.08 0.08 0.24 0.01 -0.1 0.1 0.08 0.06 0.06 0.11 -0.1 0.12 0.12 -0.01 0.21 0.02 -0.1 -0.01 0.09 0.01
-1.15 -0.87 -0.81 -1.24 -1.19 -1.42 -2.05 -3.09 -2.93 -2.34 -2.3 0.15 1.1 2.01 2.05 1.42 1.23 0.57 -0.02 -0.67 -1.11 -1.51 -2 -2.09 -1.78 -1.68 -1.06 -0.69 -0.4 -0.01 1.09 1.37 1.08 1.33 2.19 1.28 1.71 2.07 1.83 1.28 0.45 0.11 -0.41
1.61 1.84 1.5 1.25 1.02 0.8 0.52 0.32 0.13 -0.04 0.03 -0.1 -0.22 -0.3 -0.37 -0.45 -0.54 -0.62 -0.68 -0.73 -0.78 -0.81 -0.83 -0.85 -0.88 -0.91 -0.93 -0.95 -0.97 -0.99 -1 -0.4 0.9 1.2 1.48 1.57 1.42 1.14 0.82 0.49 0.35 0.13 -0.07
-1.29 -1.08 -0.66 -0.74 -0.73 -0.89 0.83 1.11 1.18 1.2 1.3 1.38 1.34 2 2.65 2.56 2.9 2.89 2.63 2.57 2.43 2.19 2.07 1.81 1.6 1.46 1.87 1.39 1.07 0.79 0.58 0.41 0.28 0.26 0.1 0.08 0.84 0.75 0.58 0.35 0.17 0.34 1.26
1.16 1.12 1.31 1.71 1.84 1.35 0.68 0.53 0.68 0.08 0.67 1 0.32 -0.13 -0.49 -0.66 -0.58 0.34 -0.13 0.46 -0.34 -0.07 -0.23 -0.86 -0.21 0.09 0.28 0.33 1.23 1.43 1.09 0.59 0.42 -0.06 0.12 -0.14 -0.11 -0.07 0.1 0.04 0.27 0.24 0.31
135
9480 9540 9600 9660 9720 9780 9840 9900 9960 10020 10080 10140 10200 10260 10320 10380 10440 10500 10560 10620 10680 10740 10800
0.13 0.05 0.04 -0.02 -0.19 -0.31 -0.34 -0.4 -0.52 -0.52 -0.53 -0.32 -0.42 -0.15 -0.21 -0.29 -0.13 -0.26 -0.34 -0.39 -0.31 -0.46 -0.54
-0.11 -0.12 -0.11 -0.18 -0.28 -0.37 -0.25 -0.22 -0.1 -0.12 -0.14 -0.21 -0.15 -0.1 -0.19 0.02 0.12 -0.06 -0.03 0 0.04 0.19 0.12
0.4 0.43 0.45 0.14 0.24 -0.02 0.43 0.16 -0.05 -0.18 0.56 0.54 1 1.45 2.15 2.6 2.96 2.9 2.22 1.46 1.02 0.49 -0.49
-0.25 -0.39 -0.5 -0.61 -0.68 -0.75 0.19 0.75 0.9 1.92 1.97 2.11 2.19 2.92 3.25 3.91 4.36 4.2 3.91 3.45 2.94 2.61 2.44
1.26 1.28 1.07 0.83 0.75 1.19 1.13 1.22 0.97 0.74 0.62 0.46 0.31 0.2 0.05 -0.11 -0.27 -0.38 -0.41 -0.5 -0.62 -0.73 -0.82
-0.12 -0.69 -1.06 -1.77 -2.02 -2.23 -1.89 -1.11 -1.64 -1.27 -1.53 -1.32 -1.04 -1.31 -1.56 -1.15 -0.65 -0.14 0.58 0.18 0.33 0.35 0.84
136
9. Data USGS 2008 Harvard Moment Tensor Solution Magnitude 7.7 SOUTH OF JAVA, INDONESIA Monday, July 17, 2006 at 08:19:28 UTC
July 17, 2006, SOUTH OF JAVA, INDONESIA, MW=7.7 CENTROID, MOMENT TENSOR SOLUTION HARVARD EVENT-FILE NAME M071706A DATA USED: GSN MANTLE WAVES: 73S,194C, T=150 CENTROID LOCATION: ORIGIN TIME 08:20:39.1 0.2 LAT 10.28S 0.01;LON 107.82E 0.01 DEP 20.4 0.7;HALF-DURATION 50.0 MOMENT TENSOR; SCALE 10**27 D-CM MRR= 1.49 0.01; MTT=-1.21 0.01 MPP=-0.28 0.01; MRT= 3.60 0.14 MRP=-0.90 0.07; MTP= 0.32 0.01 PRINCIPAL AXES: 1.(T) VAL= 4.06;PLG=55;AZM= 13 2.(N) -0.19; 1; 104 3.(P) -3.87; 35; 195 BEST DOUBLE COUPLE:M0=4.0*10**27 NP1:STRIKE=289;DIP=10;SLIP= 95 NP2:STRIKE=104;DIP=80;SLIP= 89