ISSN 1693-7945
Vol.VII No.4 Nov 2016
KAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN) Oleh: Indri Yanti1 dan Rinto Anugraha NQZ2 1 Fakultas Teknik, Universitas Wiralodra, Jawa Barat 2 FMIPA,Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Awal bulan (month) Hijriyah terjadi ketika bulan (moon) mengalami fase bulan baru (new moon) yaitu bujur ekliptika bulan sama dengan bujur ekliptika matahari. Pergerakan serta posisi bulan dan matahari dapat dihitung dengan menggunakan algoritma Meeus. Algoritma Meeus merupakan algoritma hasil reduksi dari algoritma ELP dan VSOP. Sehingga sukusuku koreksi yang digunakan algoritma Meeus lebih sedikit dibandingkan algoritma ELP dan VSOP, namun hasil yang diperoleh masih akurat. Ini terlihat pada hasil yang diperoleh untuk fase konjungsi, perbedaannya hanya beberapa detik saja dibandingkan dengan hasil dari Accurate Times (Mohammad Odeh). Accurate Times merupakan software yang menggunakan algoritma VSOP dan ELP secara lengkap. Dalam penentuan awal bulan Hijriyahseringkali terjadi perbedaan pada satu lokasi tertentu. Perbedaan ini terkait kriteria hisab yang digunakan. Kriteria hisab tersebut diantaranya Wujudul Hilal (WH), MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Setiap kriteria hisab memiliki standar dan syarat dalam menentukan awal bulan Hijriyah. Kriteria hisab yang berbeda inilah yang menjadi penyebab adanya perbedaan terkait awal bulan Hijriyah. Hasil perhitungan menunjukan kriteria terbaik kalender Islam Nasional dan Internasional dimiliki MABIMS. Kata Kunci: Algoritma Meeus, Fase Bulan Baru, Konjungsi, Kriteria Hisab PENDAHULUAN Matahari dan bulan merupakan benda langit yang erat kaitannya dengan bumi. Bulan bergerak mengelilingi bumi, sedangkan bumi selain berotasi pada sumbunya juga bergerak mengelilingi matahari. Gerak benda-benda langit ini mengikuti hukum mekanika Newton. Pergerakan benda-benda langit ini dapat dihitung secara matematis, yang hasilnya dapat bermanfaat untuk manusia. Salah satu contohnya, gerak bulan dapat digunakan untuk sistem penanggalan. Macam-macam sistem penanggalan sangat banyak salah satunya yaitu sistem penanggalan Islam yang menggunakan pergerakan bulan (moon) untuk menentukan awal bulan (month) dalam tahun Hijriyah. Matahari dan bulan merupakan benda langit yang erat kaitannya dengan bumi. Bulan bergerak mengelilingi bumi, sedangkan bumi selain berotasi pada sumbunya juga bergerak mengelilingi matahari. Gerak benda-benda langit ini mengikuti hukum mekanika Newton. Pergerakan benda-benda langit ini dapat dihitung secara matematis, yang hasilnya dapat bermanfaat untuk manusia. Salah satu contohnya, gerak bulan dapat digunakan untuk sistem penanggalan. Macam-macam sistem penanggalan sangat banyak salah satunya yaitu sistem penanggalan Islam yang menggunakan pergerakan bulan (moon) untuk menentukan awal bulan (month) dalam tahun Hijriyah. Pada penentuan awal bulan Hijriyah sering terjadi perbedaan. Contohnya di Indonesia sudah sering terjadi dan menjadi perhatian masyarakat serta pemerintah. Walaupun hingga saat ini tidak sampai mengakibatkan masalah serius tetapi hal ini berpotensi meresahkan 80
ISSN 1693-7945
Vol.VII No.4 Nov 2016
masyarakat. Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah umat Islam, seperti bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Perbedaan pendapat merupakan rahmat yang dapat memacu penggalian pengetahuan secara komprehensif, akan tetapi penyatuan lebih menentramkan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang dapat menyatukan tetapi tetap berlandaskan pada dalil-dalil yang syar’i. Terjadinya perbedaan penentuan awal bulan Hijriyah disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam dalam menentukan awal bulan baik yang menggunakan metode rukyat maupun hisab. Rukyat merupakan aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali nampak setelah terjadi konjungsi. Konjungsi adalah ketika bujur ekliptika bulan sama dengan bujur ekliptika matahari dilihat dari bumi. Adapun hisabberasal dari bahasa arab al-his𝑎b yang secara harfiah berarti perhitungan atau pemeriksaan (Anwar, S.dkk., 2009). Jadi hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan sebagai landasan dimulainya awal bulan dalam tahun Hijriyah. Hisab awal bulan secara astronomis ini ada berbagai kriteria dengan prinsip dan teknik penentuan tertentu. Macam-macam kriteria hisab tersebut diantaranya adalah kriteria hisab Wujudul Hilal (WH), kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura), dan adapula yang menggunakan kriteria imkanurrukyat (LAPAN). Banyaknya kriteria dalam metode hisab inilah yang menimbulkan perbedaan pendapat mengenai awal bulan Hijriyah, apalagi jika dibandingkan dengan hasil rukyat lokal, maupun rukyat dari berbagai negara. Karena setiap metode hisab memiliki kriteria hisab sendiri. Perbedaan terjadi bukan karena data atau perhitungan astronomi, tetapi pada interpretasi data astronomis pada wilayah agama, yaitu penentapan kapan masuknya bulan Hijriyah (Islam) baru. Belum adanya kalender Islam terpadu yang dapat digunakan oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia juga merupakan salah satu yang mendasari terjadinya perbedaan tersebut. Munculnya Universal Hejri Calendar (UHC) adalah sesuatu yang sangat ditunggutunggu oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk terwujudnya kalender Islam global ini namun ada banyak kendala yang harus dihadapi, diantaranya masyarakat dunia yang sudah terbiasa menggunakan kalender Gregorian (kalender Masehi), dan kendala yang lainnya menyangkut kalender Islam itu sendiri. Penelitian ini menggunakan algoritma Meeus dalam menentukan waktu terjadinya konjungsi. Berbagai algoritma telah dirumuskan untuk bisa mendapatkan data tentang pergerakan dan posisi benda-benda langit seperti bulan dan matahari. Posisi bulan dapat dihitung dengan ketelitian sangat tinggi. Algoritma paling modern untuk menentukan posisi bulan adalah algoritma ELP (Perancis: ÉphémérideLunaire Parisienne).Algoritma ELP membutuhkan suku-suku koreksi yang sangat banyak hingga mencapai ribuan suku (Chapront, J., and Francou, G., 2003). Algoritma ELP perlu dipersingkat menjadi algoritma Meeus dengan mereduksi suku-suku koreksinya (Meeus, J., 1998). Selain algoritma Meeus, ada juga algoritma Brown yang digunakan untuk menghitung posisi bulan dengan suku-suku koreksi lebih sedikit dari algoritma Meeus (Anugraha, R., 2012). Namun untuk keperluan praktis, algoritma Brown sudah cukup akurat untuk menentukan posisi bulan (Anugraha, R., 2012). Selain posisi bulan yang dapat ditentukan, posisi matahari pun dapat ditentukan dengan akurat melalui algoritma VSOP87 (Perancis: Variations Séculaires des Orbites Planétaires) (Bretagnon, P., dan Francou, G., 1988). Algoritma Meeus juga dapat digunakan untuk menghitung posisi matahari. Dari ribuan suku koreksi dalam algoritma VSOP87 maka yang diperhitungkan dalam algoritma Meeus adalah sekitar ratusan suku-suku yang besar saja (Anugraha, R., 2012). Penelitian ini dilakukan untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut dengan cara mengkaji algoritma Meeus untuk menentukan awal bulan Hijriyah menurut tiga macam kriteria hisab pada lokasi dan waktu tertentu serta mencari kriteria yang terbaik untuk 81
Vol.VII No.4 Nov 2016
ISSN 1693-7945
dijadikan rujukan dalam pembuatan kalender Hijriyah. Ketiga kriteria hisab tersebut yakni kriteria Wujudul Hilal (WH), MABIMS, dan LAPAN. METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan algoritma Meeus untuk menghitung kapan terjadinya konjungsi kemudian dipadukan dengan tiga jenis kriteria hisab (Wujudul Hilal, MABIMS, dan LAPAN). Perpaduan antara algoritma Meeus dengan ketiga kriteria hisab tersebut digunakan untuk menghitung dan mendeskripsikan posisi bulan dan matahari pada saat konjungsi selama 100 tahun Masehi, yaitu dari tahun 2000 sampai 2100. Selanjutnya digunakan untuk menghitung dan membandingkan tiga kriteria hisab (WH, MABIMS, dan LAPAN) terkait awal bulan Hijriyah untuk kota Jakarta. Kemudian untuk menghitung dan membandingkan tiga kriteria hisab (WH, MABIMS, dan LAPAN) terkait awal bulan Hijriyah untuk kota Jakarta dan Makkah, serta mengkaji kriteria hisab yang dapat menjadi rujukan pembuatan kalender Islam nasional ataupun internasional.. Kalender Islam disusun berdasarkan lama rata-rata satu bulan sinodik yaitu 29,530588853 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Ini adalah rata-rata dari satu bulan baru ke bulan baru berikutnya. Meskipun, dengan banyaknya faktor koreksi dari pergerakan matahari, bumi dan planet lainnya, rentang waktu antara satu bulan ke bulan berikutnya dapat bervariasi dari angka tersebut. Tabel 1. Perbedaan lokasi Jakarta dan Makkah Keterangan Jakarta Makkah (Ka’bah) ′ Bujur Geografis 106°50 43′′ BT 39°49′ 31′′BT Lintang Geografis 6°12′ 41′′ LS 21°25′ 22′′LU Ketinggian dari Permukaan 0 0 Laut(km) Zona Waktu Lokal
UT + 7
UT + 3
Setelah waktu rata-rata satu bulan sinodik diketahui maka tahap berikutnya yaitu menentukan waktu dan lokasi yang akan diteliti. Lokasi ini menyangkut bujur geografis, lintang geografis, zona waktu lokal serta ketinggian dari permukaan laut. Pada penelitian ini lokasi yang diambil adalah Jakarta dan Makkah (Ka’bah). Tahap berikutnya, posisi bulan dan matahari dihitung berdasarkan algoritma Meeus setelah sebelumnya waktu matahari terbenam (sunset) dan waktu bulan terbenam (moonset) pada hari terjadinya konjungsi tersebut dihitung. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi apakah moonset terjadi setelah sunset atau sebaliknya. Setelah waktu moonset, sunset, serta posisi bulan dan matahari diketahui, maka ketiga kriteria tersebut dibandingkan untuk dua lokasi yang berbeda yaitu Jakarta dan Makkah (Ka’bah) untuk ketiga kriteria hisab. Antara satu kriteria dengan kriteria lain dibandingkan terkait dengan kapan awal bulan Hijriyah terjadi, durasi atau umur dari bulan-bulan Hijriyah, apakah secara konsisten menghasilkan lama satu bulan Hijriyah selalu 29 atau 30 hari, parameter selang-seling terkait umur bulan (month), dan apakah ada selama tiga bulan berturut-turut menghasilkan durasi bulan (month) yang sama. Kemudian dibandingkan kapan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawwal dan awal bulan Dzulhijjah di Jakarta dan Makkah (Ka’bah) pada waktu yang sama menurut ketiga kriteria tersebut. Identifikasi selanjutnya yaitu terkait prosentase kesamaan hasil yang diperoleh dari tiap kriteria hisab.
82
Vol.VII No.4 Nov 2016
ISSN 1693-7945
HASIL DAN PEMBAHASAN Algoritma Meeus digunakan untuk menghitung posisi bulan dan matahari serta untuk mengetahui kapan terjadinya konjungsi. Sedangkan ketiga kriteri hisab digunakan untuk ,mengetahui kapan terjadinya bulan baru atau awal bulan Hijriyah. Fase Konjungsi Bulan Proses pertama yang dilakukan pada penelitian ini yaitu menyusun algoritma Meeus untuk menentukan fase konjungsi bulan selama 100 tahun, yaitu dari tahun 2000 M sampai 2100 M. Dengan kata lain, nilai k diambil mulai dari 0 hingga 1237. Fase konjungsi sama dengan fase bulan baru, yaitu bujur ekliptika bulan sama dengan bujur ekliptika matahari Tabel 2. Daftar waktu fase konjungsi bulan untuk kota Jakarta K Tanggal Bulan Tahun Waktu (LT) 0 7 1 2000 1:13:42 1 5 2 2000 20:03:18 2 6 3 2000 12:16:49 3 5 4 2000 1:12:01 … … … … … 1237 10 1 2100 19:55:27 Pada tabel 2 di atas, k adalah nomor lunasi bulan. k = 0 bersesuaian dengan fase konjungsi bulan pada tanggal 7 Januari 2000 untuk Jakarta. Setelah waktu terjadinya fase konjungsi diketahui maka selanjutnya selisih waktu antara dua lunasi dihitung. Selisih waktu antara dua lunasi ini menunjukkan durasi satu bulan, dari fase konjungsi satu ke fase konjungsi berikutnya yaitu dengan cara mengurangi nilai Julian Day (JD) berikutnya dengan Julian Day (JD) sebelumnya.Proses selanjutnya yaitu menghitung bujur ekliptika bulan. Hal ini disebabkan ketika menganalisa fase konjungsi maka bujur ekliptika bulan dan matahari harus diketahui. Perbandingan Tiga Kriteria Hisab: Wujudul Hilal (WH), MABIMS dan LAPAN Setelah posisi benda langit diketahui dengan algoritma Meeus, selanjutnya dilanjutkan dengan membandingkan ketiga kriteria hisab. Tabel 3. Prosentase datangnya awal bulan yang sama untuk 3 kriteria hisab No Kriteria Jumlah Prosentase lunasi (Jumlah / 1238) 1 WH = MABIMS 952 76,9 % 2
WH = LAPAN
803
64,9 %
3
MABIMS = LAPAN
1075
86,8 %
4
WH = MABIMS = LAPAN
796
64,3 %
Pada tabel 3 tersebut, yang memiliki prosentase terbesar terkait kesamaan kapan terjadinya awal bulan Islam yaitu antara MABIMS dan LAPAN sebesar 86,8 %. Hal ini dikarenakan angka-angka yang digunakan pada kriteria MABIMS lebih dekat ke LAPAN dibandingkan ke Wujudul Hilal. Posisi kedua yang memiliki prosentase terbesar yaitu antara WH dan MABIMS sebesar 76,9 %. Dan urutan ketiga yaitu antara WH dan LAPAN hanya 64,9 %. Ketika ketiganya dibandingkan, yang artinya ketiga kriteria hisab tersebut harus memiliki nilai JD yang sama maka hanya 796 buah lunasi yang sama atau sama dengan 64,3 %. Urutan prosentase tersebut terkait dengan syarat dari masing-masing kriteria hisab. WH memiliki syarat nilai yang paling kecil dibandingkan dua kriteria hisab yang lainnya terkait 83
Vol.VII No.4 Nov 2016
ISSN 1693-7945
selisih altitude bulan dan matahari saat sunset yaitu 0 derajat. Sedangkan MABIMS dan LAPAN memiliki syarat nilai yang lebih besar dibandingkan WH, secara berturut-turut yaitu 2 derajat dan 4 derajat. Untuk syarat elongasi, WH tidak memiliki syarat elongasi (artinya syarat elongasi WH = 0 derajat). Sedangkan syarat elongasi dari MABIMS dan LAPAN berturut-turut adalah 3 derajat dan 6.4 derajat. Terkait syarat moon age, WH mensyaratkan moon age minimal 0 jam, MABIMS minimal 8 jam, sedangkan LAPAN tidak mensyaratkan moon age secara eksplisit. Namun ketiganya sama-sama memiliki syarat mutlak yaitu konjungsi sebelum sunset. Terkait syarat-syarat dari masing-masing kriteria tersebut, terlihat kecenderungan syarat nilai yaitu urutannya WH – MABIMS – LAPAN. Artinya, ketika WH = MABIMS maka bisa jadi LAPAN berbeda, dan saat MABIMS = LAPAN bisa jadi WH berbeda. Jadi bisa disimpulkan ketika WH = LAPAN maka seharusnya MABIMS memiliki nilai yang sama. Akan tetapi ini tidak secara mutlak terjadi seperti itu, karena ternyata ada sedikit anomali. Tabel 4. Umur bulan Islam pada 3 kriteria untuk k = 0 – 20 Umur WH 30 29 30 29 30 29 29 29 30 29 30 30 30 29 30 30 29 30 29
1bulan MABIMS 30 30 29 30 29 29 29 30 29 30 29 30 30 30 29 30 30 29 29
(hari) LAPAN 30 30 29 30 29 29 30 29 29 30 30 29 30 30 29 30 30 29 29
Jika melihat kalender Islam yang diterbitkan pemerintah, terlihat pola yang teratur dan dikenal juga istilah tahun kabisat. Yaitu, Muharram 30 hari, Shafar 29 hari, Rabi’ul Awwal 30 hari, Rabi’ul Akhir 29 hari, Jumadil Awwal 30 hari, Jumadil Akhir 29 hari, Rajab 30 hari, Sya’ban 29 hari, Ramadhan 30 hari, Syawwal 29 hari, Dzulqa’dah 30 hari, dan Dzulhijjah 29 (30) hari. Walaupun pada hasil perhitungan dari algoritma Meeus tidak seteratur pola pada kalender yang dikeluarkan pemerintah namun perhitungan melalui algoritma Meeus juga terdapat pola selang-seling pada umur satu bulan Islam. Perbandingan Tiga Kriteria Hisab Antara Jakarta dan Makkah (Ka’bah) Perhitungan untuk kota Makkah menggunakan algoritma Meeus dan proses perhitungannya sama dengan kota Jakarta. Nilai k yang dihitung yaitu dari k = 0 hingga k = 1237. Parameter yang digunakan untuk membandingkan 2 kota ini yaitu banyaknya frekuensi 84
ISSN 1693-7945
Vol.VII No.4 Nov 2016
awal bulan Islam yang sama antara Jakarta dan Makkah untuk ketiga kriteria, distribusi perbedaan satu hari pada awal bulan pada kota Jakarta dan kota Makkah untuk ketiga kriteria, dan banyaknya frekuensi yang sama untuk awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah pada kota Jakarta dan kota Makkah untuk ketiga kriteria. Tabel 5. Perbandingan waktu terjadinya awal bulan Ramadhan antara Jakarta dan Makkah pada tahun 2011 – 2013 Masehi untuk ketiga kriteria Bulan Ramadhan K 143 155 167 WH Jakarta 01/08/2011 20/07/2012 09/07/2013 Makkah 01/08/2011 20/07/2012 09/07/2013 MABIMS Jakarta 01/08/2011 21/07/2012 10/07/2013 Makkah 01/08/2011 20/07/2012 10/07/2013 LAPAN Jakarta 01/08/2011 21/07/2012 10/07/2013 Makkah 01/08/2011 21/07/2012 10/07/2013 Tabel 6. Perbandingan waktu terjadinya awal bulan Syawwal antara Jakarta dan Makkah pada tahun 2011 – 2013 Masehi untuk ketiga kriteria Bulan Syawwal k 144 156 168 WH Jakarta 30/08/2011 19/08/2012 08/08/2013 Makkah 30/08/2011 19/08/2012 08/08/2013 MABIMS Jakarta 31/08/2011 19/08/2012 08/08/2013 Makkah 31/08/2011 19/08/2012 08/08/2013 LAPAN Jakarta 31/08/2011 19/08/2012 08/08/2013 Makkah 31/08/2011 19/08/2012 09/08/2013 Tabel 7. Perbandingan waktu terjadinya awal bulan Dzulhijjah antara Jakarta dan Makkah pada tahun 2011 – 2013 Masehi untuk ketiga kriteri Bulan k WH
Dzulhijjah 146 158 Jakarta 28/10/2011 17/10/2012 Makkah 28/10/2011 17/10/2012 MABIMS Jakarta 28/10/2011 17/10/2012 Makkah 28/10/2011 17/10/2012 LAPAN Jakarta 28/10/2011 17/10/2012 Makkah 28/10/2011 17/10/2012
170 06/10/2013 06/10/2013 06/10/2013 06/10/2013 07/10/2013 06/10/2013
Ketiga tabel di atas hanya melampirkan sampel dari 1238 data. Yaitu hanya menunjukan waktu terjadinya awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah untuk tahun 2011, 2012 dan 2013. Terlihat dari ketiga tabel tersebut, WH menghasilkan waktu terjadinya awal bulan dari ketiga bulan tersebut selalu sama antara Jakarta dan Makkah. Sedangkan dua kriteria yang lainnya ada kondisi di mana terjadi perbedaan waktu satu hari. Contohnya, pada kriteria MABIMS terjadi perbedaan tanggal terjadinya awal bulan Ramadhan antara Jakarta dan Makkah. Makkah memasuki 1 Ramadhan pada tanggal 20 Juli 2012 sedangkan Jakarta pada tanggal 21 Juli 2012. Tetapi perlu diperhatikan di sini, sampel ini hanya diambil untuk waktu 3 tahun saja, yaitu tahun 2011, 2012 dan 2013. Jadi tidak bisa disimpulkan jika kriteria hisab WH lebih baik dibandingkan dengan MABIMS ataupun LAPAN.
85
ISSN 1693-7945
Vol.VII No.4 Nov 2016
SIMPULAN Semua kriteria hisab memiliki potensi kesamaan hari terkait awal bulan antara Jakarta dan Makkah. Jika terjadi perbedaan hari pun hanya 1 hari. Ini terkait zona waktu yang hanya selisih 4 jam antara Jakarta dan Makkah. DAFTAR PUSTAKA Anugraha, R., 2012, Mekanika Benda Langit, Jurusan Fisika FMIPA UGM, Yogyakarta. Anwar, S., Fathurohman, O., Azhari, S. dan Shadiq S., 2009, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Penerbit Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta Bretagnon, P., dan Francou, G., 1988, Planetary theories in rectangular and spherical variables. VSOP87 solutions, Astron. Astrophys. 202, 309-315. Chapront, J., and Francou, G., 2003, The lunar theory ELP revisited. Introduction of new planetary perturbations, Astron. Astrophys. 404, 735-742. Meeus, J., 1998, Astronomical Algorithms Second Edition, Willmann-Bell, Inc., Virginia.
86