KAJI EFISIENSI TERMAL PADA PEMBANGKIT DAYA LISTRIK
BERSKALA MIKRO
Teguh Wibowo
Staff Pengajar Program Studi Teknik Aeronautika
Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Bandung Jl. Gegerkalong Hilir, Ds. Ciwaruga, Bandung 40162 Telp: (62) (22) 2013 789 ext. 267, Fax: (62) (22) 2013 889
Abstrak Sampai saat ini pembangkit termal masih menjadi tulang punggung bagi sistem kelistrikan di dunia. Energi panas dirubah kedalam bentuk kerja mekanis, dan dari kerja mekanis menjadi listrik. Efisiensinya berada pada kisaran 30 sampai 50 %. Hal ini berarti bahwa hanya separuh atau bahkan kurang dari energi panas yang tersedia pada pembangkit yang dapat diwujudkan sebagai energy listrik.,sedangkan sisa panas lainnya didisipasi ke udara sekelilingnya. Sebagai hasilnya, daya pembangkit tersebut dinilai tidak atau kurang efisien.Telaah lebih rinci diwujudkan dalam kajian efisiensi secara numeric berdasarkan kombinasi parameter-parameter fisik yang diolah baik dari produk daya listriknya maupun sisa energy yang dapat dirubah menjadi listrik. Dari ragam jenis pembangkit juga diklasifikasikan tingkat rata-rata capaian produksinya, sehingga diperoleh prioritas jenis pembangkit yang dapat direkomendasikan setelah memasukkan factor regional dari masing-masing kordinat dimana suatu pembangkit akan dibangun.
Kata Kunci: The backbone, net efficiency, photovoltaic, exergy content, hydro-power.
energi panas, begitu juga titik acuan yang digunakan dalam penghitungan efisiensi.
1. PENDAHULUAN Pembangkit listrik di Indonesia telah diklasifikasikan menurut kapasitas produksi dayanya, pembangkit listrik tenaga hydro misalnya, menurut besarnya daya yang dihasilkan dikategorikan seperti tampak pada table berikut:
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) adalah pembangkit listrik berskala kecil (kurang dari 100 kW), yang memanfaatkan tenaga (aliran) air sebagai sumber penghasil energi. PLTMH termasuk sumber energi terbarukan dan layak disebut clean energi karena ramah lingkungan. Dari segi teknologi, PLTMH dipilih karena konstruksinya sederhana, mudah dioperasikan, serta mudah dalam perawatan dan penyediaan suku cadang.
Sementara pembangkit termal yang prinsip kerjanya dengan merubah panas (melalui energi mekanik) kedalam bentuk energy listrik. Jenis stasiun pembangkit yang banyak dijumpai didunia industri adalah yang berbahan baku batubara, gas dan stasiun pembangkit nuklir. Mengingat pembangkit termal merupakan tulang punggung sistem kelistrikan didunia, dan hanya memiliki efisiensi 30 sampai dengan 50 %, Berdasarkan kajian tersebut maka pembangkit termal dianggap tidak layak atau boros, sehingga perlu dikaji lanjut untuk memperoleh tingkat produktifitas yang lebih baik. Guna mengevaluasi terhadap anggapan/kesimpulan tersebut perlu ditinjau sifat-sifat fisik dari
2. DEFINISI EFISIENSI Efisiensi dari sebuah pembangkit daya dinyatakan dalam notasi η (eta) dan didefinisikan sebagai berikut: ߟൌ
݈݈݅݊ܽ݇݅ݏ݄ܽ݅݀݃ݕ݇݅ݎݐݏ ݁݊݁݊ܽ݇ݑݏܽ ݉݅݃ݎ
Efisiensi pembangkit biasa dinyatakan dalam prosen (%), sehingga perlu dikalikan dengan pengali 100 dan difinisi tersebut berlaku pada berbagai pembangkit. Walaupun kelihatannya mudah tetapi dalam prakteknya masih menimbulkan permasalahan. Pertama pembangkit itu sendiri menggunakan energy listrik untuk mengoperasikan lampu, pompa dan sebagainya. Sehingga dengan menggunakan total keseluruhan listrik yang dibangkitkan akan merupakan efisiensi kasar (gross efficiency), sementara dengan mengurangkan daya pembangkit yang digunakan tersebut akan memberikan efisiensi bersih (net efficiency). Perbandingannya hanya terletak pada dasar pemaknaan yang digunakan. Kedua, satu hal yang harus diperhatikan adalah, parameter apasaja yang diambil sebagai masukan dalam persamaan untuk menghitung efisiensi tersebut. Sebagai contoh, didalam sebuah stasiun pembakaran batubara, masukan dapat menggunakan energy kimia yang terkandung didalam batubara tersebut (yakni energi yang dapat dirubah menjadi panas dalam sebuah proses pembakaran dan kemudian menjadi listrik. Akan tetapi, apa yang terjadi bila batubara tersebut mempunyai tingkat kelembaban yang tinggi dan memerlukan konsumsi energi yang
sangat tinggi untuk proses pengeringan(menguapkan airnya)? Maka dalam hal ini jumlah energi panas yang tersedia untuk membangkitkan listrik secara signifikan akan lebih rendah disbanding energi yang terkandung didalam batubara tersebut. Hal yang terjadi bila proses pembakarannya tidak sempurna dan abu batubara yang tersisa atau berhamburan keudara bebas sebagai debu bersama gas buang. Juga panas yang terbuang bersama flue gas tidak tersedia untu membangkitkan listrik.
Jadi untuk pembangkit daya konvensional para ahli sepakat menggunakan energy kimia yang terkandung dalam batubara (atau gas / oil), karena energy tersebut akan digunakan pada pembakaran sempurna, tetapi mengurangkan energi penguapan air didalam flue gas (karena panas tersebut biasanya terbuang lewat cerobong, dan tidak dapat digunakan). Untuk pembangkit daya nuklir, secara konvensi untuk menggunakan energy termal reactor (thermal power) untuk menghitung efisiensi. Ketentuan ini berlaku untuk pembangkit termal, tetapi bagaimana dengan jenis stasiun daya yang lainnya? Untuk stasiun daya hydro, ketentuannya adalah agar menggunakan energy potemsial dari air dengan mempertimbangkan ketinggian dari stasiun hydro( bukan ketinggian telaga terhadap permukaan laut, juga bukan terhadap jarak dari pusat bumi). Untuk sebuah stasiun daya surya ((photovoltaic), adalah dengan mengambil energy surya yang diterima, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada luasan permukaan penerima dari sebuah stasiun (bukan keseluruhan luasan yang dicakup oleh pembangkit, tetapi hanyalha luasan aktif dari sel surya saja). Energi yang diterima pada luas permukaan suatu media surya tersisa yang dipertimbangkan (tidak termasuk pantulan antara masing-masing sel surya).
Untuk pembangkit tenaga angin, yang dipertimbangkan hanya energi kinetic dari angin yang mengenai luasan rotor secara aktif, dengan mengabaikan (misalnya) ruang spasi antar stasiun-stasiun pembangkit. Untuk masing-masing pembangkit, ketentuan yang berlaku sudah jelas dan ketentuan tersebut telah dipilih secara pragmatis. Hal tersebut akan mempermudah didalam penghitungan untuk keseluruhan jenis stasiun pembangkit, namun akan mempersulit untuk membuat pernyataan yang membandingkan berbagai jenis stasiun daya
3. KELEBIHAN STASIUN TERMAL Panas, yang sering kita sebut dengan energi termal dibangkitkan melalui pembakaran batubara, minyak (oil), biomasa, limbah dsb. Dipindahkan (dengan efisiensi lebih dari 90%) ke air didalam sebuah boiler suatu pembangkit. Air ini secara berurutan menjadi uap, dari rangkaian “Uap-air”nya pembangkit tersebut kita dapatkan kembali ahmpir keseluruhan panas pembakaran. Selanjutnya, perlu dipahami bahwa energy termal tersebut terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama adalah yang mempunyai potensi untuk melakukan kerja, oleh karena itu dapat dirubah kedalam energy kimia dan secara berangsurangsur menjadi listrik. Bagian kedua dapat dirubah kedalam kerja karena alasan fisik, dan bagian ini tidak tersedia untuk membangkitkan listrik. Dalam bahasa fisika, bagian pertama dikenal sebagai ‘exergy’, sedangkan bagian disebut anergy. Pembagian lanjutan dari dua bagian tersebut tidak ditetapkan sebagai sifat energy panas, akan tetapi sangat tergantung pada parameter prosesnya (tekanan dan temperature uap dari panas yang tersimpan pada suatu medium pada umumnya), dan pada
factor-faktor lingkungan (terutama temperature luarnya). Kandungan exergy akan meningkat bila temperature uapnya semakin tinggi dan berkurang pada temperature ambient. Kandungan exergy dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
ܧ =
ܶ െ ܶ ܶ
Dimana: EX = kandungan exergy Tm= temperatur medium yang menyimpan energy termal ( yakni, uap panas ) Te = temperature lingkungan Semua temperature dinyatakan dalam sebagai temepratur absolute, yakni dalam derajat Kelvin dengan nilai titik zero absolute (kurang lebih 273 0C). Kandungan exergy dinyatakan dalam prosen, sehingga harus dikalikan dengan pengali 100. Pada persamaan tersebut dapat ditunjukkan bahwa kandungan exergy akan meningkat dengan bertambahnya Tm and berkurangnya Te. Dengan dasar tersebut maka para pembuat pembangkit termal berjuang agar temperaturnya setinggi mungkin. Tetapi dengan meningkatkan uap, tekanan juga meningkat dengan signifikan. Batasan ditentukan oleh kemampuan boiler untuk bertahanterhadap tekanan yang tinggi pada temperatur tinggi, sehingga peningkatan stasiun daya sangat tergantung peningkatan bahan boiler yang tahan terhadap panas. Saat ini, pada umumnya spesifikasi pembangkit daya berada berkisar 540 0C dan 260 bar, dan sejauh ini evolusinya belum berakhir. Kedua faktor yang memepengaruhi kandungan exergy adalah temperature lingkungan, Jika kita dapat mengoperasikan sebuah pembangkit daya pada sebuah lingkungan pada zero
absolute dan mendinginkan uap sampai zero absolute, semua anergi akan hilang dan enegi panas didalam uap yang dibangkitkan pada pembangkit tersebut akan merupakan exergy murni. Kemudian keseluruhan energy panas dapat dirubah menjadi listrik. Dalam prakteknya, meskipun temperature lingkungan berada diatas zero absolute dan energi panas akan selalu mempunyai exergi dan komponen anergi, yang mengatur suatu berada diatas batas untu efisiensi. Kalau kita kembali pada pembangkit daya, disini uap-lah yang menyebabkan turbine berputar. Sementara itu kandungan exergi dari uap tersebut dirubah menjadi kerja mekanik denga efisiensi yang sangat tinggi (mendekati 100 %). Kerja ini diperoleh dari energy panas atau ekstraksi sehingga diistilahkan exergi. Kerja mekanik turbin kemudian dipindahkan pada poros generator, dimana selanjutnya dirubah menjadi listrik (seklali lagi, dengan efisiensi yang sangat tinggi). Dengan cara ini, exergi didalam panas hamper keseluruhan dirubah menjadi listrik. Didalam teori, exergi dapat dirubah seluruhnya menjadi listrik. Dalam tersebut, efisiensi suatu pembangkit akan sama dengan exrgy yang terkandung. Seberapa dekat hal tersebut akan sampai pada nilai teoritis adalah sangat ditentukan oleh kualitas teknis pada suatu pembangkit. Kandungan exergi dari panas akan tinggal didalam uap. Setelah meninggalkan turbin, pada temperature dan tekanan rendah, uap akan kehilangan potensinya untuk menunjukkan kerja. Temperaturnya berada jauh diatas lingkungannya. Tidak lama kemudian, energy termalnya dapat diperoleh untuk menunjukkan kerja dan membangkitkan listrik. Sehingga limbah panasnya diistilahkan dengan anergi dan terbuang ke atmosfir. Apada umumnya melalui menara pendingin (cooling tower). Selain semua itu, tidak bisa dihindari, tetapi
bagian yang tidak terpakai dari energy panas tersebut membatasi efisiensi maksimum yang dapat dicapai. Efisiensi riil daru sebuah stasiun daya selalu berada dibawah kandungan exergi. Semakin dekat dengan kandungan exerginya, maka stasium daya tersebut lebih baik. Jarak antara kandungan exergi dengan efisiensi pembangkit dikatakan kualitas teknis suatu stasiun daya.
4. DAYA HYDRO
Sampai pada batas tertentu, kondisinya adalah sama untuk sebuah pembangkit hydro, disini juga, air yang keluar stasiun daya masih mempunyai enegi potensial. Energinya juga tidak dapat digunakan pada sekitar stasiun (tidak tersedia kemiringan yangsesuai). Rupanya, energi potensial yang tersisa dibuang ke lingkungan bersama air yang meninggalkan stasiun. Dengan kata lain, energi potensial dari air hanya dapat digunakan dibawah tingkatan dimana dia berada dalam kesetimbangan dengan lingkungan, dalam hal ini dinyatakan sebagai ketinggian. Paralel dengan stasiun daya termal sebelumnya. Berikut ini kita dapat menggunakan panas uap hanya pada tingkat dimana yang mendekati kesetimbangan dengan lingkungan, yang dalam hal ini dinyatakan sebagai temperature. Pada kedua kasus tersebut, energi yang tersisa didalam media(air atau uap) tidak dapat digunakan dan dibuang ke lingkungan. Perbedaannya hanya pada pendifinisian terhadap efisiensi. Pada daya hydro, efisiensi didefinisikan dengan mengambil sebagai energi masukan hanya pada bagian enrgi, yang mana dapat digunakan pada kondisi lingkungan tertentu, meninggalkan bagian yang tidak berguna dari persamaan. Sementara pada stasiun daya termal, efisiensi didefinisikan dengan merujuk pada zero absolute, dengan menyertakan kedalam masukan energi untuk bagian energi yang tidak dapat digunakan secara praktis.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila efisiensi pembangkit daya hydro lebih besar dibanding stasiun daya termal, tetapi sebagai kesimpulan bahwa pembangkit yang secara teknis lebih kecil dan penuh dengan limbah tidak diijinkan. Jika harus membandingkan pembangkit daya dari jenis yang berbeda, efisiensi pembangkit termal seharusnya dihitung berdasarkan kandungan exergi dan kemudian dibandingkan dengan efisiensi konvensional pada stasiun hydro atau seharusnya menghitung energi potensial pada pembangkit. Secara teknis, kedua jenis pembangkit tersebut kurang lebih ekwivalen.
5. KESIMPULAN Perbedaan utama antara dua jenis adalah, bahwa stasiun termal menggunakan energi utama (bila dibakar dengan bahan bakar fosil), sementara sumber energi hydro dapat diperbarui. Pembangkit termal tidak dapat dioperasikan, tetapi sepanjang suplai bahan bakar berakhir, kita dapat menggunakannya pada skala besar dan dalam prkteknya disetiap tempat. Sebaliknya, pembangkit hydro hanya dapat dikonstruksi pada lokasi yang sangat terbatas dan hanya dapat digunakan dengan tambahan air yang mengalir. Pembedaan lebih lanjut dapat dibuat berdasarkan resiko dan efek lingkungan. Sangatlah perlu untuk mewujudkannya, berhubung masalah limbah dari stasiun termal tersebut tidak terpecahkan (emisi yang tak dapat dihindarkan dari karboondiokasida yang secara iklim beresiko), jauh-jauh sebelumnya masalah lingkungan akan membatasi penggunaan stasiun termal, berikutnya ditambah lagi dengan keterbatasan suplai bahan bakar. Seperti pada stasiun yang lain, ada batasan-
batasan fisik dari efisiensi dikarenakan definisi yang telah disepakati. Sebagai contoh, pada pembangkit daya jenis angin (bayu), hal yang dapat mengurangi kecepatan angin sampai nol, Karena digunakan angin harus dihilangkan untuk digantikan dengan angin yang baru. Sisa energi kinetic didalam angin tidak digunakan, tetapi telah termasuk dalam definisi energi Berdasarkan definisi ini, efisiensi masukan. maksimum teoritis sebuah pembangkit bayu adalah 59,3 % yang dalam prakteknya yang dapat terealisasi sekitar 40 %.
Untuk energi surya (photovoltaic) juga ada batas-batas fisik, karena photon (quanta cahaya) dengan energi yang tidak cukup tidak dapat berkontribusi dalam pembangkitan listrik. Sementara denga terlalu banyak telah merubah surplus energinya kedalam panas yang tidak berguna. Akan tetapi untuk menghitung efisiensi, energi masukan didefinisikan sebagai total energi photon yang diradiasikan ke luas permukaan yang aktif. Untuk silicon sebagai bahan aktif, efisiensi teoritis maksimum berdasar difinisi ini adalah sekitar 28 %, saat ini nilai yang dicapai oleh pembangkit sekitar 15 %. Didalam tabel, ditunjukkan efisiensi tertentu yang dapat dicapai oleh pembangkit modern. Harus ditekankan sekali lagi bahwa perbandingan efisiensi antara beberapa jenis pembangkit tidak terlalu bermakna akibat konvensi yang ditentukan dalam pendefinisian efisiensi. Sebagai pelengkap, efisiensi suatu wahan atau motor listrik juga disertakan dalam tabel. Sebagai tambahan, sangatlah penting untuk mewujudkan bahwa pembangkit termal (hard coal, lignite, gan dan nuklir) dapat memproduksi listrik sepanjang hari dan sepanjang tahun, bila perlu. Akan tetapi disisi lain, listrik dari energi terbarukan hanya tersedia bila tersedia air, angina atau sinar matahari yang cukup. Kolom ketiga dari tabel menyajikan nilai ketersediaan energi tahunan dari berbagai jenis pembangkit (untuk kondisi
di Negara jerman). Ketersediaan 50 % berarti bahwa pengoperasian pembangkit pada daya penuh selama setengah tahun, atau pada contoh pembangkit surya (photovoltaic), ketersediaan energi 10 % berarti bahwa pembangkit rata-rata beroperasi hanya pada 10 % dari skala dayanya. Bahkan bila hanya mempertimbangkan waktu-waktu cerah, maka rata-rata keluarannya terbatas pada 20 %. Beberapa nilai ketersediaan energi tampak mengecewakan (rendah), dan bahkan sangat buruk seperti yang ditunjukkan diakhir kolom dari tabel: pembangkit denga basis energi terbarukan tidak hanya mempunyai ketersediaan energi yang rendah, tetapi juga tidak sesuai denga jadwal pengoperasian. Berarti sangat tergantung kondisi cuaca dan tidak dapat dioperasikan sesuai permintaan. Hal tersebut akan mengganggu bila kita memerlukan secara mendadak. Ketersediaan energi dan kemampuan beroperasi sesuai permintaan adalah tolok ukur yang lebih sesuai terhadap kemampuan sebuah teknologi daya untuk menyelamatkan suplai listrik dari sebuah ekonomi modern daripada efisiensi.
Tabel 1. Ketersediaan energi
DAFTAR PUSTAKA
1.
F. P. Incropera and D. P. DeWitt, and Mass Transfer, Sixth Fundamentals of Heat Edition, Wiley, USA (2004). 2. J. Taborek, Shell-and-tube heat exchangers: single-phase flow, in Heat Exchanger Design Handbook, Vol. 3 (1988) pp. 3.3.1±3.3.11-5
3.
4.
5.
Richard C. Byrne, Secretary, Standards of The Tubular Exchanger Manufacturers Association (TEMA). Ninth Edition, Tarrytown New York. 2007 T.S. Jone, J.S. Brezizer, Jr., M. Carlos, C.V. Kropas-Hughes, ASME V Boiler and Pressure Vessel Code 2004 An International Code, The American Society of Mechanical Engineers. L.E. Hayden, Jr., B.P. Halbrook, P. Stumpf, ASME Code for Pressure Piping, B31.5 - 2001. An American National Standard, The American Society of Mechanical Engineers.
6. Saunders, Shell-and-tube heat exchangers: elements of construction, in Heat Exchanger Design Handbook Vol 4 (1988) pp. 4.2.1-1±4.2.524.