KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM (Tela’ah Kesederajatan Agama Dan Sosial) Ahmad Royani Mahasiswa Program Pascasarjana Konsentrasi Hukum Pendidikan Islam STAIN Jember Abstrak :
Dalam proses penentuan pasangan dianjurkan untuk memilih yang sefaham, seimbang, setingkat dan sederajat. Meskipun ini bukan suatu keharusan, tetapi ini dimaksudkan agar menghasilkan keserasian dalam rangka menghindarkan cela. Karena seringkali kegagalan dalam membina sebuah rumah tangga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang mencolok, baik perbedaan dalam agama maupun dalam strata sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menjadi sumber perselisihan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakharmonisan keluarga. Pendapat senada juga diungkapkan oleh para psikolog yang menganjurkan, agar antara dua pasangan jangan sampai ada perbedaan yang jauh, apalagi bertentangan antara satu dengan lainnya, baik dalam tingkatan pemahaman, sosial dan kepribadiannya. Kata Kunci: Kafa’ah, Perkawinan, Islam Latar Belakang Islam merupakan agama yang universal, kekal, dan tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Islam adalah salah satu agama yang berisikan pedoman dan ajaran serta aturan yang mengatur kepentingan umat manusia secara menyeluruh. Dengan fleksibilitas yang dimiliki ia mampu mengantisipasi segala persoalan akibat perubahan-perubahan zaman sehingga tetap relevan di segala aspek kehidupan. Dalam kehidupan ini, semua makhluk hidup baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan diciptakan berpasang-pasangan yang merupakan hukum alam untuk kelangsungan dan melestarikan alam semesta. Akan tetapi Allah Swt tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau tidak ada aturan. Oleh sebab itu untuk menjaga kehormatan dan martabat tersebut, Islam telah mengatur hubungannya yang benar dan sah dalam hal seksualitas, yaitu melalui jalan yang disebut dengan perkawinan.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
103
Ahmad Royani Pengaturan hukum perkawinan ini akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Perkawinan adalah “manifestasi dari salah satu unsur fitrah manusia, yaitu hubungan tarik menarik yang alami antara dua insan yang berbeda jenis kelamin. Mengingkari adanya hubungan tarik menarik itu akan sama halnya dengan mengingkari hukum alam yang telah digariskan oleh Tuhan”.1 Maka dalam konteks inilah pernikahan menjadi media sekaligus sebagai faktor yang signifikan dalam membangun nilai-nilai insaniyah. Semua ini mengisyaratkan bahwa pernikahan yang suci adalah yang didasarkan kepada aspek kemanusiaan yang esensial.2 Dalam al-Qur’an Surah ar-Ruum :21, Allah Swt berfirman, yang Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah bahwa Dia telah menciptakan untuk kamu jodoh-jodohmu dari kalangan kamu sendiri, agar kamu merasakan sakinah (ketentraman) dalam jodoh-jodoh itu, serta dibuat oleh-Nya mawaddah dan rahmah diantara sesamamu. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda (kebesaran Tuhanmu) bagi kaum yang berfikir”.3 Pernikahan bagi umat manusia dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Orang yang melangsungkan pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahinya melainkan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.4 Guna tujuan tersebut, maka alQur’an antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental dan ekonomi bagi yang ingin melangsungkan perkawinan. Walaupun kemudian para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan untuk menolak calon peminang.5 Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt dalam Surat an-Nur ayat 32 sebagai berikut :
ْ َا ِْن يَّك ُْونُ ْوا فُقَ َرآ َء يُ ْغنِ ِه ُم هللا ُِم ْن ف... ع ِل ْي ٌم َ س ٌع ِ ض ِل ِه َو هللا َُوا Artinya: “...Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya.6
1
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2005), 23. 2 Subhan Nurdin, Kado Pernikahan Buat Generasiku,( Bandung: Mujahit Pres, 2002), 78 3 Depag RI, Al Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta, 1982), 644. 4 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2000), 14. 5 Quraisy Shihab, Wawasan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), 192. 6 Depag RI, Al-Qur’an, 549.
104 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM Akan tetapi sebelum memasuki jenjang pernikahan, ada fase yang harus dilalui dan dikenal dengan istilah khitbah (meminang). Meminang termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan sebuah pernikahan. Meminang maksudnya adalah seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.7 Melihat calon tunangan merupakan hak yang tidak saja dimiliki oleh laki-laki, perempuanpun mempunyai hak yang sama. Dia berhak melihat laki-laki yang meminangnya agar dapat mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkan ketertarikan sebagaimana yang dilakukan laki-laki, sehingga ia dapat memberikan keputusan apakah peminangan itu perlu diteruskan atau diurungkan. Dalam proses penentuan pasangan dianjurkan untuk memilih yang sefaham, seimbang, setingkat dan sederajat. Meskipun ini bukan suatu keharusan, tetapi ini dimaksudkan agar menghasilkan kesearasian dalam rangka menghindarkan cela. Karena seringkali kegagalan dalam membina sebuah rumah tangga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang mencolok, baik perbedaan dalam agama maupun dalam strata sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menjadi sumber perselisihan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakharmonisan keluarga. Pendapat senada juga diungkapkan oleh para psikolog yang menganjurkan, agar antara dua pasangan jangan sampai ada perbedaan yang jauh, apalagi bertentangan antara satu dengan lainnya, baik dalam tingkatan pemahaman, sosial dan kepribadiannya.8 Itulah sebabnya Rasululllah Saw dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Daruquthni mengingatkan agar tidak menikahkan sepasang calon suami istri, jika mereka tidak sekufu’ ب (رواه ِ ج ذَ َوا َ ألمنَعَنَّ ت ََز َّو َ ْب اِالَّمِ نَ اْألَح َ ْت اْألَح ْ ِ سا ِ سا )الدرقطني Artinya: “Sungguh saya akan mencegah perkawinan perempuanperempuan bangsawan kecuali kawin dengan laki-laki yang sekufu)HR. Daruqutni)”.9 Jumhur ulama menyatakan bahwa keharmonisan dan kebahagiaan suatu rumah tangga berasal dari keharmonisan pasangan tersebut. Islam 7
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 41. 8 Subhan Nurdin, Kado Pernikahan, 93. 9 Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 21.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
105
Ahmad Royani sendiri tidak menginginkan seorang wanita didampingi oleh seorang yang tidak seagama dan secara sosial kehidupannya kurang baik. Oleh sebab itu dalam rangka keserasian kehidupan suatu rumah tangga amatlah logis bila kafa’ah diperhatikan oleh para wali. Dalam tradisi yang berkembang di masyarakat, istilah kafa’ah memang belum banyak dikenal, namun pada tataran aplikatif tanpa disadari hal itu terjadi dengan sendirinya. Kesetaraan tetap menjadi hal yang diprioritaskan. Suatu misal, seorang perempuan mendapatkan laki-laki yang secara sosial ataupun diniyahnya (agama) dianggap tidak sekufu’ maka hal tersebut tidak akan lepas dari sorotan masyarakat. Biasanya masyarakat cenderung menyayangkan apabila terjadi hal yang demikian. Hal ini tidak berlebihan karena menurut Fakhruddin Ar-Razi keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (istrinya). Istripun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik.10 Meskipun demikian, semuanya kembali lagi kepada karakter dan kepribadian masing-masing. Namun sebagai sebuah ikhtiar, tidak ada salahnya dan bahkan akan sangat baik apabila kesetaraan (sekufu’) ini menjadi bahan pertimbangan sebelum melangkah lebih jauh memasuki dunia pernikahan. Ruang Lingkup Kafa’ah Dalam Perkawinan Islam 1. Pengertian Kafa’ah berasal dari bahasa Arab كفي ءyang berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara.11 Sedangkan Ensiklopedi Islam dan Kamus Fikih Islam memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kafa’ah atau kufu’ yakni memiliki arti sebanding, setaraf, seimbang, keserasian atau kesesuaian.12 10
Quraisy Shihab, Wawasan, 211. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia :Antara Fikih Munakahat Dan UU Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006), 140. 12 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 845. lihat juga Mujieb Abdul, Dkk., Kamus Fiqih Islam (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), 147. 11
106 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM Kata kufu’ atau kafa’ah dalam pengertian perkawinan Islam mengandung arti bahwa adanya persesuaian keadaaan antara calon suami dengan calon istrinya. Suami seimbang kedudukannya dengan istrinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan dan kekayaannya. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya. Sedangkan menurut sumber lain menyatakan bahwa yang diamaksud kufu’ dalam perkawinan adalah laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, setara dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam ahklak serta kekayaan.13 Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah adanya keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama yaitu ahklak dan ibadah. Persoalan kafa’ah dalam perkawinan menjadi salah satu faktor penting dalam rangka membinan keserasian kehidupan suami istri. Posisi yang setara antara pasangan suami istri diharapkan mampu meminimalisir perselisihan yang berakibat fatal bagi kelanggengan hubungan rumah tangga. Sehingga dengan adanya kafa’ah (kesederajatan), maka tidak ada peluang untuk saling merendahkan. Adapun keterkaitan kafa’ah dengan wali mujbir merupakan pembahasan yang tidak dapat dipisah karena kewenagan seorang wali untuk memaksakan perkawinan kepada anak yang ada dalam perwaliannya sehingga ia disebut wali mujbir, dengan salah satu syaratnya adalah adanya kesepadanan atau yang dikenal dengan istilah kufu’ dalam fikih. 2. Peranan Wali Mujbir Dalam Perspektif Kafa’ah Masalah yang sering terjadi menyangkut perkawinan ialah wali. Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu pernikahan. Menurut Maliki dan Syafi’i, bahwa keberadaan wali adalah termasuk salah satu rukun nikah. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hanbali bahwa wali merupakan salah satu dari syarat nikah.14 Menurut jumhur Ulama, wali diartikan sebagai lelaki dari keluarga terdekat dalam keturunan atau nasab yang menjadi salah satu penentu sahnya akad nikah.15 Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya. Adapun 13
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat, 50 Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam, 2004), 59. 15 Subhan Nurdin, Kado Pernikahan, 104. 14
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
107
Ahmad Royani perbedaan dua pendapat di atas hanya tentang pelabelan saja, beda menyebutkan termasuk syarat atau rukun. Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan adalah sama, bahwa suatu pernikahan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan adalah batal atau tidak sah. Agaknya, kuatnya kedudukan wali sebagai wali disebabkan dukungan ayat dan hadits yang digunakan para Ulama sebagai dalil, walaupun harus jujur diakui tidak ada satu ayatpun yang secara eksplisit menyebut wali sebagai rukun nikah, kendatipun terdapat hadits Nabi yang menyebutkan keberadaan wali: aynstsa sbs sagabes ”Diriwayatkan dari imam Ahmad bin Husain dari Imran, sungguh Rasululah SAW telah bersabda: tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).16
سلَّ ُم اَيُّ َما ا ِْم َرا َ ٍة لَ ْم يَ ْن ِك ُح َها ا َ ْل َو ِل ُي َ صلّ َى هللا َ ع َْن عَا ِئ َ س ْو ُل هللا َ علَ ْي ِه َو ُ شةُ قَالَتْ َر اب َ َ صا بِ َها فَلَ َها َمه ِْر َها بِ َما ا َ َ فَنِكَا ُح َها بَا ِط ٌل فَنِكَا ُحها َ ِط ٌل فَنِكَا ُح َها بَا ِط ٌل فَ ِإ ْن ا َ ص س ْل َطانُ َو ِل ُّي َم ْن الَ َو ِل ُّي لَهُ (رواه ابو داود وبن ماجه ْ ِِم ْن َها فَ ِإ ْن ا ُّ ست َ َج ُر ْوا فَال .)واحمد Artinya: “Dari Siti Aisyah R.A. yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: setiap perempuan yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya batal; maka nikahnya batal; maaka nikahnya batal. Jika terlanjur terjadi, maka perempuan itu berhak memperoleh mahar (mas kawin) karena keterlanjurannya itu, dan bilamana para wali itu berselisih, maka penguasalah yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali” (H.R. Abu Daud.Ibnu Majah dan Akhmad). Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas-secara tertib-dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab dan lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur Ulama, seperti Imam Malik dan Syafi’I, menyatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.17 Diantara wali itu ada yang paling dominan, yaitu ayah dan kakek. Menurut Imam Syafi’I, mereka dapat memaksakan pernikahan kepada putrinya yang masih gadis tanpa meminta persetujuan yang bersangkutan. Orang yang mempunyai hak paksa atau hak ijbar ini 16
Ibnu Hajar al- Asqalani, Terjemah Bulughul Maram (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 476. 17 Muhammad Asmawi, Nikah. Lihat juga Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat.
108 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM disebut wali mujbir. Mujbir artinya orang yang berhak menikahkan anak perempuan yang masih gadis tanpa diminta kerelaannya dan si anak tidak berhak menentukan pilihan (meneruskan atau tidak) apabila ia dinikahkan sewaktu belum baligh.18 Wali Mujbir adalah wali yang diperbolehkan memaksa anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang dipilihnya tanpa minta izin terlebih dahulu pada anaknya.19 Definisi yang sama diungkapkan oleh sumber lain yang menyatakan wali mujbir adalah wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan laki-laki dalam batas-batas yang wajar.20 Jadi wali Mujbir adalah wali yang berhak memaksakan pernikahan kepada anak perempuannya yang masih gadis meskipun tanpa harus meminta izin kepada anak gadis yang akan dinikahkan tersebut, sedangkan hak ijbar adalah hak yang dimiliki oleh wali mujbir untuk memaksakan pernikahan kepada anak gadis tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fikih Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Sehingga tidak mengherankan apabila hal ini menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan adanya kawin paksa. Pandangan ini dilatar belakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak ijbar. Adapun yang dimaksud dengan hak ijbar adalah hak seorang ayah (ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian. Jika dihubungkan dengan reaitas sosial yang berkembang didalam kehidupan masyarakat, hak ijbar ini tetap ada sehingga sampai hari ini, adanya fenomena nikah paksa tetap terjadi dalam budaya masyarakat. 2.1 Sebab Perkawinan Paksa Oleh Wali Mujbir Dalam hal mengapa seorang wali mujbir memaksakan suatu perkawinan kepada anak perempuannya, ini disebabkan oleh beberapa sebab sebagai berikut: a. Seorang wali mujbir memaksakan perkawinan disebabkan oleh orang yang dipaksakan tersebut kehilangan kemampuan, seperti orang gila 18
Al Hamdani, Risalah Nikah,114. Muhammad Asmawi, Nikah, 77. 20 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2001), 202. 19
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
109
Ahmad Royani dan anak-anak yang belum mencapai umur (tamyiz). Dalam hal ini akadnya tetap dianggap sah meskipun tanpa melihat ridla atau tidaknya orang yang diakadkan.21 b. Wali mujbir memaksakan perkawinan juga disebabkan adanya kekhawatiran orang tua terhadap calon pilihan anak perempuannya. Kekhawatiran tersebut dikarenakan jika sang calon tersebut mempunyai cacat lahir maupun batin, seperti cacat moral sehingga akan berakibat buruk terhadap perkawinannya nanti dan hilangnya kemaslahatan anak perempuannya tersebut.22 c. Adanya rasa takut untuk memilih calon pendamping bagi si anak gadis sehingga memaksa orang tua untuk memaksakan perkawinan kepada putrinya tersebut dengan calon pilihan orang tuanya, sehingga dalam hal ini bisa dikatakan bahwa hanya karena kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya.23 d. Kondisi usia seorang anak perempuan yang sudah kritis, maksudnya adalah bahwa seorang perempuan yang belum menikah padahal usianya sudah selazimnya untuk menikah. Ini mengakibatkan adanya paksaan orang tua untuk menikahkan anak perempuannya. 2.2 Faktor-Faktor Gugurnya Hak Ijbar Dari Wali Mujbir Pemberian hak istimewa bagi wali Mujbir ini bukanlah tanpa batas dan persyaratan tertentu. Oleh sebab itu, hak Ijbar dari wali Mujbir dapat gugur jika ada salah satu faktor di bawah ini yang menjadi alasannya. Adapun faktor-faktor gugurnya hak ijbar dari wali mujbir, yaitu: a. Tiadanya kesepadanan antara mempelai laki-laki dengan gadis yang dipaksakan pernikahannya (tidak sekufu) Wahbah az Zuhaili dalam kitabnya al-fikih Islami wa adillatuhu menyatakan: Dapat dipahami dari pernyataan diatas, Jumhur Ulama bersepakat, apabila seorang wali menikahkan perempuan dengan lakilaki yang tidak sekufu’ dengannya maka perempuan ini berhak membatalkan pernikahan terseebut. Sebaliknya, apabila seorang perempuan memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu’ dengannya, maka walinya berhak menolak dan menuntut pembatalan atas pernikahan tersebut. Kufu’ itu adalah hak perempuan dan walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan keridlaanan bersama. 21
Muhammad Asmawi, Nikah, 80. Rahmad Hakim, Hukum perkawinan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), 61. 23 Ibid., 64. 22
110 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM b. Adanya pertentangan atau perselisihan antara calon mempelai24 Sesuai dengan tujuan perkawinan yakni membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka apabila ada perselisihan dan pertentangan antara kedua calon, wali mujbir tidak berhak memaksakan hak ijbarnya lagi sebab dikhawatirkan pernikahannya nanti tidak akan bertahan lama sehingga akan merugikan semua pihak, baik pihak mempelai pria maupun wanita, juga pihak orang tua yang bersangkutan. c. Adanya perselisihan antara mempelai perempuan yang dinikahkan dengan wali mujbir yang menikahkan.25 Orang tua sering menjadi sosok yang menyeramkan manakala harus diajak berkomunikasi mengenai calon pasangan. Seolah ada ketakutan bahwa orang tua tidak akan merestui calon yang kita pilih. Gambaran bahwa orang tua adalah penjegal yang sadis, sungguh sangat keliru. Hal ini karena orang tua adalah sosok yang sarat dengan kasih sayang. Kesungguhan dan keikhlasan mereka dalam membimbing, melindungi dan mendidik merupakan sebuah wujud nyata kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, tidak benar bila orang tua memilihkan pasangan hidup dianggap sebagai bentuk intervensi dan otoriter. Salah satu kesalahan umum yang sering terjadi dan mengakibatkan adanya konflik antara orang tua dengan anak adalah kesalahan komunikasi. Sikap orang tua yang semula bersifat protektif bisa berubah menjadi penentang karena si anak berkomunikasi dengan cara yang tidak tepat. Hal inilah yang kemudian menjadi awal adanya perselisihan anak dengan orang tua atau walinya. d. Apabila calon suami tidak sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkannya akad nikah.26 Karena “mahar (mas kawin) adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya”.27 Apabila laki-laki yang akan dinikahkan kepada putrinya tesebut akan mengecewakan (membahayakan) putrinya kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu, misalnya orang itu buta atau orang yang sangat sudah sangat tua sekali sehingga tidak ada harapan akan mendapat kegembiraan dalam pergaulannya.28
24
Ibid., 60 Ibid. 26 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih, 96 27 Quraisy Shihab, Wawasan, 204. 28 Sulaiman Rasyid, fikih Islam (Bandung: Algensindo, 2002), 385-386 25
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
111
Ahmad Royani 3. Hukum Kafa’ah Lantas bagaimanakah hukum kafa’ah dalam Islam? Beragam jawaban yang dikemukakan oleh para fuqaha. Di dalam al Qur’an tidak ada nash yang secara jelas menerangkan konsep kafa’ah, sehingga tidak mengherankan apabila di kalangan jumhur ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum kafa’ah. Jumhur ulama berpendapat bahwa kafa’ah amat penting untuk kelangsungan dan kelanggengan suatu perkawinan, meskipun menurut mereka kafaah tidak termasuk syarat sahnya suatu perkawinan dalam arti kafaah hanya semata keutamaan dan sah pernikahan antara orang yang tidak sekufu’. Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
)ب (رواه الدرقطني ِ ألمنَعَنَّ ت َ َز َّو َج ذَ َوا َ ْب اِالَّ ِمنَ اْألَح َ ْت اْألَح ْ ِ سا ِ سا Artinya: “Sungguh saya akan mencegah perkawinan perempuanperempuan bangsawan kecuali kawin dengan laki-laki yang sekufu”.29 Sedangkan Ibn Hazm pemuka madzhab dhahiriyah, mutlak tidak mengakui adanya kafa'ah dalam perkawinan. Ia berpendapat bahwa setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh menikah dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan perempuan penzina.30 Sedangkan yang menjadi landasan atau dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surah al-Hujurat :10
... ٌاِنَّ َماا َ ْل ُم ْؤ ِمنُ ْونَ ََ ا ِْخ َوة
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara” (QS. alHujurat:10).31 Allah Swt kemudian juga menjelaskan perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat anNisa’: 24 sebagai berikut:
...َوا ُ ِح َّل لَ ُك ْم َما َو َرا َء ذَ ِل ُك ْم...
Artinya: “Dan dihalalkan bagimu perempuan-perempuan selain yang demikian (mahram)” (QS. An-Nisa :24).32 29
Al Hamdani, Risalah,76, Ibid., 16. 31 Depag RI, Al-Qur’an, 846. 32 Ibid., 121. 30
112 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM Demikianlah pandangan ulama tentang kafa’ah. Satu hal yang perlu ditekankan meskipun kafa’ah bukan salah satu rukun atau syarat sahnya pernikahan, namun kafa’ah merupakan sebuah ikhtiar dalam rangka mewujudkan sebuah rumah tangga yang ideal dalam bingkai mawaddah warahmah. 4. Waktu Berlakunya Kafa’ah Kafa’ah atau kufu’ diukur pada waktu berlangsungnya akad dalam suatu perkawinan. jika selesai akad terjadi kekurangan ataupun keadaannya berubah, maka hal itu tidak mengganggu dan tidak membatalkan apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikah. Karena syarat-syarat perkawinan hanya diukur ketika berlakunya akad nikah.33 Apabila seseorang pada waktu akad mempunyai mata pencaharian yang terhormat, mampu memberi nafkah dan termasuk orang yang saleh, kemudian berubah menjadi hina, tidak sanggup memberi nafkah atau fasik terhadap perintah Allah dan semuanya terjadi setelah selesainya akad, maka akadnya tetap berlaku. Kerana masa selalu berganti dan orang tidak selamanya tetap keadaannya.34 Jadi kafa’ah dinilai pada waktu terjadinya akad dalam suatu perkawinan. apabila keadaannya berubah sesudah selesainya akad, maka hal tersebut tidak mempengaruhi akad ataupun akan membatalkan perkawinan di kalangan Ulama, baik mengenai kedudukannya dalam perkawinan maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafa’ah. Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafa’ah, penulis membaginya menjadi dua segi, yaitu:
a. Dalam Segi Agama
Ada dua penafsiran atau versi yang berbeda mengenai kufu’ dalam hal agama ini, yaitu yang pertama tolok ukur kufu’ dalam agama dinilai dari keIslaman nasab (leluhur/nenek moyang)nya. Apabila seorang perempuan mempunyai ayah dan kakek Islam diangggap tidak sekufu dengan orang yang punya ayah dan kakek bukan Islam. Seorang yang hanya mempunyai orang tua yang Islam sekufu dengan orang yang hanya mempunyai satu orang tua yang Islam, sebab perceraian dapat dituntut oleh ayah dan kakeknya. Hak menuntut cerai itu
33 34
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih, 62. Al-Handani,Risalah, 25.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
113
Ahmad Royani tidak akan berpindah kepada selain ayah dan kakeknya.35 Sedangkan Pendapat yang kedua, mengartikan ukuran kafa’ah dalam hal agama (dien atau dinayah) adalah tingkat ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Bahkan Ulama Malikiyah beranggapan bahwa hanya inilah satu-satunya yang dapat dijadikan kriteria atau tolok ukur kafa’ah. Alasan yang dikemukakan oleh golongan Maliki adalah firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
َّاِن
ار ْفوا ُ اس اِنَّا َخلَ ْقن َك ُم ِم ْن ذَك ٍَر َوا ُ ْنثى ََوجعَ ْلنَا ُك ْم ُ َشعُوبًا َوقَبَآئِ َل ِلتَع ُ َََّ اَيُّ َها الن قلى ع ِل ْي ٌم َخ ِبي ٌْر َ اَك َْر َم ُك ْم ِع ْن َد هللا َاتْق ُك ْم اِنَّ هللا
قلى
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu”( Q.S.al-Hujurat:13).36 Ayat ini mengakui bahwa nilai kemanusiaan pada setiap orang adalah sama, tak seorangpun lebih mulia dengan yang lain, kecuali karena ketakwaannya dengan menunaikan kewajibannya kepada Allah dan kepada sesama manusia. Penulis sepakat dengan apa yang diungkapakan oleh pendapat yang kedua di atas. Agama seharusnya menjadi penilaian yang paling utama untuk menentukan pilihan pasangan hidup. Karena orang yang mengamalkan ajaran agama pasti bisa menciptakan keharmonisan rumah tangga. Agama mengajarkan etika dan sopan santun hubungan antar sesama. Khususnya dalam hal rumah tangga, Islam mengatur hak dan kewajiban suami istri.
b. Dalam Segi Sosial
Ada beberapa hal yang menjadi kriteria atau tolok ukur kafa’ah dalam segi sosial ini, diantaranya yaitu: 1) Nasab atau Keturunan Yang dimaksud unsur keturunan adalah bahwa orang tua pria itu ada, dikenal, dan berasal dari keluarga baik-baik.37 Dikalangan Imam madzhab 35
Ibid., 20. Depag RI, Al-Qur’an, 847. 37 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, 846. 36
114 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menafsirkan unsur keturunan ini, akan tetapi mereka memiliki definisi yang berbeda dengan pendapat di atas. Kufu’ dalam pandangan mereka dikhususkan berlaku pada kalangan bangsa Arab, karena bangsa Arab sangat memelihara dan menjaga silsilah keturunan dan mereka sangat bangga dengan hal tersebut. Landasan pendapat tersebut berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Hakim:
ُ ب ا َ ْكفَا ُء بَ ْع ض ُه ْم ِلبَ ْع ٍد قَ ِبيَلَ ٍة ِلقَ ِبيٍل َح ٌّي ِل َح ّي ٍ َو َر ُج ٌل ِل َر ُج ٍل اِالَّ َحائِكًا ا َ ْو ِح َجا ًما ُ اََ ْلعَ َر )(رواه الحاكم
Artinya: “Para orang Arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu. Kabilah yang satu sekufu’ dengan lainnya, kelompok yang satu sekufu’ dengan yang lainnya, laki-laki yang satu sekufu’ dengan lainnya, kecuali tukang bekam”(HR. al-Hakim).38
Sebenarnya jika dikaji ulang pendapat di atas, akan terasa sekali bahwa hal tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengakui akan kelompok-kelompok manusia, suku, kaum, dan bangsa akibat pengaruh alam dan kehidupan sosial budaya, tapi perbedaan kelompok tidak membawa perbedaan harkat manusia. Dalam Islam konsep masyarakat disebut umat yang mempunyai arti sangat luas tanpa dibatasi oleh suku, ras, golongan, kedudukan dan pangkat serta tempat, kecuali agama. Perbedaan antara mereka adalah tidak terletak pada kemanusiaanya, akan tetapi pada jauh-dekanya dia dari Tuhan. Atau dengan kata lain tingkat ketakwaanya. Jika ditarik pada konteks kekinian, dari dua definisi di atas, definisi pertama penulis anggap lebih tepat dan sesuai. Namun demi menentukan pilihan, manusia harus berusaha dan berikhtiar. Manusia diberi kewenangan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Mengetahui unsur keturunan ini dimaksudkan untuk mengetahui karakter dan kebiasaannya. Sebab manusia hidup dengan karakternya sendiri-sendiri. Sedangkan karakter terbentuk oleh budaya dan kebiasaan lingkungan. Penilaian terhadap nasab tidak semata untuk kesenangan dan kepentingan sesaat, tetapi juga untu kepentingan anak dan keturunan yang akan menjadi generasi penerus selanjutnya.
38
Slamet Abidin dan Aminuddun, Fikih, 54.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
115
Ahmad Royani 2). Merdeka Merdeka adalah pembebasan atau pernyataan tidak lagi mengikat budak.39 Ada lagi yang menafsirkan bahwa yang dimaksud merdeka adalah bebas dari perhambaan atau penjajahan.40 Sedangkan pengertian merdeka menurut Ulama madzhab Hanafi, Syaf’i, dan madzhab Hanbali adalah bahwa pria itu bukan budak, karena status budak tidak sama dengan status orang merdeka.41 Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak sekufu dengan perempuan yang neneknya tidak pernah menjadi budak. Hal ini karena perempuan merdeka bila dinikahi oleh lakilaki budak dianggap tercela. Begitu juga bila dinikahi laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.42 Jadi menurut pendapat ini bahwa seorang perempuan yang merdeka dianggap tidak sekufu’ dengan seorang laki-laki budak ataupun bekas budak, dan pada kenyataannya sekarang tidak ada lagi perbudakan meski itu di negara Timur Tengah sekalipun dimana perbudakan tumbuh subur dan berkembang di jazirah Arab tersebut. c. Kekayaan Kriteria yang ketiga tolok ukur kafa’ah dalam segi sosial adalah kekayaan. Yang dimaksud kekayaan adalah kesanggupan membayar mahar dan nafkah perkawinan nantinya,43 bukan kaya dalam arti orang yang memiliki harta yang melimpah. Hal ini senada dengan pendapat dari madzhab Hanafi. Menurut mereka, bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar mahar dan memberi nafkah, atau salah satu diantaranya maka dianggap tidak kufu. Yang dimaksud dengan kekayaan untuk memberi mahar adalah sejumlah uang yang dapat dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta.44 Sedangkan golongan Syafi’ipun memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dengan di atas. Yang menjadi sandaran hukum adalah hadits Nabi yang berbunyi:
)ب ا َ ْل َما ُل َواْلَك ََر ُم اَ لت َّ ْق َو ْى (الحد يث َ ا َ ْل َح ُ س
Artinya: “Kebangsawanan ada pada kekayaan alam dan kemuliaan pada takwa” (al Hadits).45 39
Abdul Mujieb, Dkk, 206. Tim Penyusun Kamus Bahasa, 736. 41 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 846. 42 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih, 59. 43 Dewan Redaksi, Ensilkopedi Islam, 846. 44 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih, 60. 45 Ibid., 69. 40
116 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM Jadi dapat ditarik kesimpulan dari beberapa pendapat di atas bahwa kekayaan menjadi sebuah ukuran dalam menentukan pantas atau tidaknya seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Hal ini bisa dipahami oleh penulis sebab apabila seorang perempuan yang terbiasa hidup dalam kemewahan mendapatkan seorang suami yang berasal dari keluarga kelas ekonomi golongan bawah, maka laki-laki tersebut akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dan nafkah baik itu bagi istri ataupun bagi anak-anaknya. d. Tidak Cacat Syarat kufu’ lain adalah sehat jasmani dan rohani. Jadi seorang lakilaki yang tidak memiliki kesempurnaan (cacat) baik itu jasmai ataupun rohani seperti gila, berpenyakit kusta atau lemah syahwat, maka ia kemudian dianggap tidak kufu’ dengan seorang perempuan yang memiliki kesempurnaan secara fisik dan mental. Dalam kitab al-Mughni dikatakan, kecacatan tidak menjadi ukuran kufu’, karena pernikahan orang cacat itu tidak batal. Hanya pihak perempuan mempunyai hak untuk menerima dan menolak, dan bukan walinya. Karena yang menempuh resikonya adalah perempuan tetapi wali boleh mencegahnya kalau perempuan itu menikah dengan orang gila, tangannya buntung atau kehilangan jari-jarinya.46 Nampaknya pendapat yang kedua ini lebih menekankan pada konteks kewajiban kafaah yang merupakan hak dari anak dan walinya. Seorang perempuan kemudian diberikan hak khiyar untuk melanjutkan atau tidak pernikahan bila pihak laki-laki dipandang tidak sekufu’ dengannya dan sudah menjadi kewajiban dari wali untuk menolaknya jika dianggap hal itu mendatangkan kemudratan bagi anak perempuan tersebut. Ada satu hal yang perlu diingat, bahwa semua kriteria yang menjadi tolok ukur dalam kafa’ah ini menjadi tidak berlaku lagi apabila masing– masing pihak (anak dan walinya) tidak mempersoalkan hal-hal yang dijadikan standart kafa’ah tersebut. d. Pekerjaan Unsur lain dalam kriteria kafa’ah adalah pekerjaan atau mata pencaharian. Seorang perempuan dari keluarga yang pekerjaaanya tetap dan terhormat dianggap tidak sekufu dengan laki-laki yang rendah penghasilannya.47 Akan tetapi jika pekerjaannya itu hampir bersamaan 46 47
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih, 61. Al Hamdani, Risalah, 21.
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
117
Ahmad Royani tingkatnya, maka dianggap tidak menjadi halangan atau sudah dianggap memenuhi standart kufu. Sedangkan untuk mengetahui pekerjaan itu tidak dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya suatu pekerjaan terhormat di suatu tempat dianggap tidak terhormat di tempat atau masa yang lain.48 Penutup Kafa’ah merupakan sebuah upaya atau ikhtiar untuk mewujudkan keluarga sakinah sebagai model keluarga qur’ani yang diidamkan oleh setiap keluarga muslim. Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan dalam membina rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. kafa’ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang atau serasi akan cenderung lebih mudah untuk menuai konflik. Pada kategori agama, sepakat para Ulama untuk menempatkannya sebagai satu-satunya yang dapat dijadikan kriteria kafa’ah. Kriteria din/dinayah ini dimaknai sebagai tingkat ketaatan dalam beragama secara personal. Sedangkan pada kategori sosial, ada salah satu unsure, yaitu unsur merdeka yang sudah tidak berlaku karena tidak lagi relevan dengan fenomena yang berkembang. Oleh sebab itu, dibutuhkan kriteria baru yang lebih sesuai. Adapun alternatif kriteria yang ditawarkan adalah pendidikan. Karena tingkat pendidikan yang berbeda akan mempengaruhi jalinan komunikasi diantara pasangan suami istri. Padahal komunikasi yang baik adalah kunci keharmonisan suatu hubungan rumah tangga.
48
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7 (Bandung: Al Ma’arif, 1998), 45.
118 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM Daftar Pustaka Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999). Alam, Andi Syamsu, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan (Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2005). Asmawi, Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004). al-Asqalani, Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram (Jakarta: Pustaka Amani, 2002). Depag RI, Al Qur’an Dan Terjemahnya (Jakarta, 1982). Depag RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2000). Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994). Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2002). Rasyid, Sulaiman, fikih Islam (Bandung: Algensindo, 2002). Nurdin, Subhan, Kado Pernikahan Buat Generasiku (Bandung: Mujahit Pres, 2002) Sabiq, Sayyid, fiqih sunnah 7(Bandung: Al-Ma’arif, 1998). Shihab, Quraisy, Wawasan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997). Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2001). Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia :Antara Fikih Munakahat Dan UU Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006).
Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013
119
Ahmad Royani
120 Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1 April 2013