KADAR ION Fe PADA JARINGAN OTOT PERI-IMPLAN TIKUS DENGAN IMPLAN BIODEGRADASI Fe BERPORI
FITRI APRIAN HARJO
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kadar Ion Fe pada Jaringan Otot Tikus Peri-implan dengan Implan Biodegradasi Fe Berpori adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Fitri Aprian Harjo NIM B04100072
ABSTRAK FITRI APRIAN HARJO. Kadar Ion Fe pada Jaringan Otot Peri-implan Tikus dengan Implan Biodegradasi Fe Berpori. Dibimbing oleh DENI NOVIANA dan HERA MAHESHWARI Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kadar ion Fe yang berasal dari proses degradasi implan logam Fe berpori pada jaringan otot paha peri-implan tikus. Penelitian ini menggunakan 60 ekor tikus putih Sprague Dawley dengan rataan berat 175 gram. Tikus dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan ukuran pori implan 450 µm, 580 µm, dan 800 µm serta kontrol. Hewan diimplan di bagian os femur kemudian dilakukan pengambilan sampel otot peri-implan pada hari ke-7, 14, dan 30 pascaoperasi. Kadar ion Fe pada sampel otot peri-implan diukur menggunakan atomic absorption spectrophotometer (AAS). Pada semua jaringan otot peri-implan dari keempat kelompok perlakuan terdeteksi adanya ion Fe. Kadar ion Fe di jaringan otot paha peri-implan tikus mengalami peningkatan terutama otot yang dekat dari implan dibandingkan otot yang jauh dari implan (p<0.05). Peningkatan kadar ion Fe paling tinggi ditunjukkan oleh jaringan otot yang diimplan dengan implan Fe berpori 450 µm pada hari pengamatan ke-7 dibandingkan dengan implan yang lain (p<0.05). Secara umum, kadar ion Fe mengalami penurunan selama 30 hari pengamatan. Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa kadar ion Fe lebih tinggi pada jaringan otot paha peri-implan tikus yang dekat dari implan dan secara umum mengalami penurunan konsentrasi sepanjang waktu pengamatan. Kata kunci: Implan Fe berpori, jaringan otot peri-implan, kadar ion Fe
ABSTRACT FITRI APRIAN HARJO. Fe Ion Level at Peri-implant Muscle Tissue of Rat with Biodegradable Fe Porous Implant. Supervised byDENI NOVIANA dan HERA MAHESHWARI The aim of this study was to determine the level of Fe ions derived from the degradation process of Fe porous metal implants in rat’s peri-implant femoral muscle tissue. This study used 60 Sprague-Dawley white rats with an average weight of 175 grams. Rats were divided into four groups based on implant pore size of 450 µm, 580 µm, 800 µm and controls. Implant were inserted onto the right femoral bone and the peri-implant muscle samples were collected at days 7, 14, and 30 after surgery. The level of Fe ion in peri-implant muscle samples was measured using atomic absorption spectrophotometer (AAS). Fe ions were detected in all peri-implant muscle tissues from each group. Fe ion level in femoral muscle tissue were increased, especially at the peri-implant site which were close to the implant compared to those which were distant from the implant (p<0.05). The highest level of Fe ions are shown by femoral muscle tissue implanted with 450 µm Fe porous implant at observation day-7 (p<0.05). In general, the levels of Fe ion decreased during the 30 days of observation. As conclusion, higher level of Fe ions are shown by the muscle that close to the implant and the ion level are generally decreased during the observation time. Key words: Fe ion level, Fe porous implant, peri-implant muscle tissue
KADAR ION Fe PADA JARINGAN OTOT PERI-IMPLAN TIKUS DENGAN IMPLAN BIODEGRADASI Fe BERPORI
FITRI APRIAN HARJO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Kadar Ion Fe pada Jaringan Otot Peri-implan Tikus dengan Implan Biodegradasi Fe Berpori Nama : Fitri Aprian Harjo NIM : B04100072
Disetujui oleh
Prof Drh Deni Noviana, PhD Pembimbing I
Dr Drh Hera Maheshwari, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 hingga Februari 2014 adalah mengenai implan, dengan judul Kadar Ion Fe pada Jaringan Otot Periimplan Tikus dengan Implan Biodegradasi Fe Berpori. Skripsi ini disusun dalam rangka memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof Drh Deni Noviana, PhD dan Ibu Dr Drh Hera Maheswari, MSc selaku komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan perbaikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Selain itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drh Devi Paramitha selaku ketua tim penelitian, Dr Drh M. Fachrul Ulum dan temanteman tim penelitian yakni Risti, Dwida, Aniza, Rere, dan Fajar yang telah banyak membantu selama proses penelitian. Dan kepada pak Katim serta pak Kosasih, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya selama proses penelitian berlangsung. 3. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk Indri Saptorini (Tatat) yang selalu memberikan semangat hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik. 4. Teman-teman kontrakan yaitu Jefri, Mulyana, Danu, Hendi dan Suri yang juga memberikan masukan dan dukungan selama penulis menyusun skripsi ini. Serta Mamat, Kukuh, Deni, Andra, Gambreng dan teman-teman Acromion 47 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. 5. Serta yang pasti tidak pernah terlupakan, ungkapan terima kasih terbesar dan terdalam penulis sampaikan untuk Bapak dan Ibu tercinta serta adik, Bulek, Om, Ayu, Tutut, dan Dimas, Endah serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya serta semangatnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga selanjutnya skripsi ini dapat bermanfaat. Fitri Aprian Harjo B04100072
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Tulang Biomaterial Terdegradasi Besi (Fe) Porous Degradasi Jaringan Peri-implan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan Percobaan Bahan Alat METODE PENELITIAN Aklimatisasi Persiapan Material Implan Preparasi Hewan Penanaman Material Implan Pengambilan Sampel Otot Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Degradasi Implan pada Jaringan Otot Kadar Ion Fe pada Jaringan Otot Peri-implan Tikus Kadar Ion Fe Berdasarkan Jenis Biomaterial Implan Fe Berpori Kadar Ion Fe Berdasarkan Hari Pengamatan Sampel SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
xi xi 1 1 2 2 2 2 2 3 3 4 4 5 5 5 5 5 6 6 6 7 7 7 8 9 9 9 11 12 13 14 16
DAFTAR TABEL 1 Kadar Fe pada otot paha periimplan tikus dengan implan biodegradasi Fe berpori 450 µm, 580 µm, dan 800 µm
10
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Atomic absorption spectrophotometer (AAS) Alur aklimatisasi Ukuran-ukuran pori implan Fe berpori terdegradasi Sampel otot paha tikus yang disayat dan dipisahkan dari tempat implantasi menjadi dua kelompok otot Perlakuan selama panen Warna cokelat pada jaringan otot paha periimplan tikus Kadar ion Fe pada jaringan otot paha periimplan tikus berdasarkan ukuran pori implan Kadar ion Fe pada jaringan otot paha periimplan tikus berdasarkan hari pengamatan
6 6 7 8 8 9 11 12
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha mempercepat proses persembuhan tulang yang mengalami fraktur adalah dengan penggunaan biomaterial sebagai implan pada tulang. Biomaterial adalah material yang digunakan untuk perawatan masalah klinis yang bersifat sementara seperti penyempitan arteri, fraktur tulang serta kelainan kongenital pada jantung (Hermawan dan Mantovani 2009). Kenyataannya, penggunaan biomaterial terkadang memiliki keterbatasan, antara lain membutuhkan sayatan tambahan, dapat menyebarkan penyakit menular, operasi berulang, serta harga yang cukup tinggi (Stavropoulos 2008). Hal tersebut yang mendasari penelitian mengenai jenis biomaterial semakin banyak dilakukan guna mengoptimalkan sifat-sifat mekanis dan degradasinya. Biomaterial yang sedang dikembangkan untuk aplikasi biomedis khususnya bidang ortopedik adalah implan berbahan logam besi (Fe), khususnya Fe berpori. Fe berpori merupakan logam terdegradasi berbahan dasar Fe yang memiliki struktur berpori. Struktur ini dipilih dengan tujuan untuk mempercepat proses degradasi Fe dalam jaringan (Daud dan Hermawan 2013). Aplikasi di bidang ortopedik mengharuskan implan terdegradasi mampu melakukan pemindahan muatan secara berangsur-angsur atau terserap tubuh selama proses persembuhan tulang sebagai komponen yang menurun kemampuannya (Ulum et al. 2013a). Implan yang dapat terserap oleh tubuh memiliki keuntungan yaitu dapat mencegah adanya proses pembedahan kedua untuk pengangkatan implan akibat interaksi material tidak terdegradasi yang tidak dapat terserap oleh tubuh (Windhagen et al. 2013). Seiring dengan proses persembuhan tulang, implan Fe berpori sedikit demi sedikit mengalami korosi. Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa atau produk yang tidak dikehendaki. Purnama et al. (2010) menegaskan bahwa korosi mampu menghasilkan produk-produk degradasi akibat implan yang berkontak dengan lingkungan biologis, reaksi lanjutan, mekanisme baru ataupun disebabkan suatu hal yang tidak diketahui. Pelepasan senyawa hasil korosi tersebut menyebabkan logam implan terkikis dan mengalami perubahan bentuk. Perubahan kondisi logam implan akibat degradasi dan jaringan otot periimplan secara in vivo di dalam tubuh dapat diamati menggunakan alat bantu radiografi (Noviana et al. 2013a) dan ultrasonografi (USG) (Noviana et al. 2013b). Produk-produk hasil proses korosi Fe berpori dalam hal ini dapat terakumulasi di jaringan sekitar implan (peri-implan) seperti tulang, otot maupun kulit berupa ion Fe. Besarnya kadar ion Fe pada jaringan peri implan dapat diukur menggunakan alat atomic absorption spectrophotometer (AAS).
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar ion Fe yang berasal dari proses degradasi implan Fe berpori pada jaringan otot peri-implan tikus menggunakan alat AAS. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kadar ion Fe yang terdapat pada jaringan otot peri-implan tikus. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan dalam pemilihan logam Fe terdegradasi sebagai biomaterial implan pada tulang.
TINJAUAN PUSTAKA Tulang Menurut Djuwita et al. (2012), tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki fungsi utama sebagai pembentuk rangka dan alat gerak tubuh, pelindung organ-organ internal, serta tempat penyimpanan mineral (kalsium fosfat). Tulang terdiri atas bahan organik dan anorganik. Kurang lebih 20% tulang terdiri atas air dan sisanya terdiri atas bahan anorganik dengan komponen utama yaitu kalsium fosfat, kalsium karbonat, magnesium, fluoride, sodium, fosfor, mangan, timah dan tembaga (McGavin & Zachary 2007). Kerusakan pada tulang akibat trauma fisik dapat menyebabkan terjadinya fraktur. Jaringan tulang bersifat dinamis karena secara konstan mengalami pembaharuan yang dikenal dengan proses remodeling (Djuwita et al. 2012). Remodeling tulang ditujukan untuk pengaturan homeostasis kalsium, memperbaiki jaringan yang rusak akibat pergerakan fisik, kerusakan minor karena faktor stres dan pembentukan kerangka pada masa pertumbuhan (Fernandez et al. 2006).
Biomaterial Terdegradasi Menurut Navarro et al. (2008), biomaterial merupakan jenis material yang dapat ditanamkan pada tubuh manusia ataupun hewan coba sebagai unsur utama dari suatu perangkat yang dirancang dengan tujuan melaksanakan fungsi biologis tertentu seperti menggantikan atau memperbaiki jaringan tulang, tulang rawan atau ligamen, dan tendon. Pengertian lain menjelaskan bahwa biomaterial adalah segala jenis material baik yang bersifat alami ataupun buatan manusia yang secara keseluruhan atau merupakan bagian dari struktur kehidupan dan bahan biomedis dengan tujuan untuk menambah ataupun mengganti fungsi sesungguhnya (Tathe et al. 2010). Biodegradasi material implan logam adalah proses kerusakan dan penurunan kemampuan logam akibat reaksi antara logam dengan zat di lingkungan sekitar, khususnya lingkungan tubuh.
3 Ide penggunaan implan terdegradasi adalah untuk mengatasi masalah medis yang bersifat sementara seperti stenosis arteri dan fraktur tulang karena keduanya membutuhkan bahan mekanik yang baik serta sifat degradasinya terkontrol (Hermawan et al. 2007). Proses degradasi tersebut dapat menghasilkan partikelpartikel degradasi. Partikel-partikel degradasi dalam jumlah besar berbahaya bagi tubuh, sehingga pertimbangan keamanan, biokompatibilitas serta distribusi dan sirkulasinya di jaringan tubuh harus diketahui dengan baik (Paramitha et al. 2013). Kecepatan biodegradasi dari biomaterial implan harus seimbang dengan proses persembuhan jaringan agar tidak terjadi gangguan persembuhan akibat hilangnya sokongan implan sebelum waktunya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dambatta et al. (2013) yaitu material implan harus memiliki kecepatan biodegradasi yang sesuai dengan persembuhan jaringan, serta adanya biokompatibilitas untuk jaringan tubuh.
Besi (Fe) Berpori Besi (Fe) merupakan elemen esensial bagi tubuh yang mengandung komponen esensial untuk berbagai enzim dalam tubuh (Hermawan et al. 2007). Fungsi Fe meliputi transportasi dalam reaksi biokimia, aktivasi oksigen secara seluler, dekomposisi lipid, protein, dan DNA melalui reaktifitasnya dengan molekul oksigen (Purnama et al. 2010). Fe murni berpotensi dimanfaatkan dalam aplikasi biomedis terutama sebagai implan biomaterial (Daud dan Hermawan 2013). Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan Ulum et al. (2013a) bahwa logam terdegradasi seperti magnesium, besi, dan campurannya telah dikenal sebagai material biomedis untuk implan yang bersifat sementara. Salah satu kelemahan Fe adalah kecepatan degradasinya yang sangat lambat. Penambahan campuran logam (alloy) dan pengembangan struktur berpori telah banyak dilakukan karena dianggap dapat mempercepat proses degradasi serta meningkatkan proses fiksasi dengan jaringan tulang. Pori pada struktur implan Fe bertujuan untuk mempercepat proses degradasi Fe (Daud dan Hermawan 2013).
Degradasi Interaksi antara implan biomaterial dengan jaringan dan cairan tubuh disebut degradasi, yang dapat menghilangkan, meningkatkan, atau mengganti elemen tubuh, dan sering menimbulkan gangguan jaringan (Shi 2003), sedangkan korosi merupakan suatu bentuk penurunan kualitas material akibat adanya reaksi kimia dengan lingkungan (Rudyardjo 2011). Fe merupakan logam yang paling lazim mengalami degradasi. Korosi menyebabkan terjadinya kerusakan permukaan logam sehingga menjadi tidak stabil akibat adanya interaksi dengan lingkungan (Wirjoadi et al. 2013). Penelitian terbaru menemukan fakta bahwa kekasaran permukaan implan dapat berimbas pada kecepatan korosi material implan (Zhen et al. 2013) Salah satu syarat mutlak bagi suatu material implan yaitu material tersebut harus memiliki ketahanan degradasi yang tinggi sehingga kinerjanya sebagai material orthopaedic tidak boleh menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh.
4 Material implan yang terdegradasi di dalam tubuh dapat memberikan dua pengaruh yang merugikan. Pengaruh yang pertama adalah material implan tersebut melemah sehingga terjadi kegagalan yang prematur. Kedua adalah reaksi jaringan yang mendorong ke arah pelepasan produk-produk karat dari implan sehingga menyebabkan alergi pada jaringan (Rudyardjo 2011). Produk-produk karat hasil degradasi tersebut diduga dapat terdepo pada jaringan di sekitar implan.
Jaringan Peri-implan Tubuh manusia dan hewan adalah lingkungan yang korosif bagi logam dan paduannya karena dapat terjadi reaksi oksigenisasi. Awal terjadinya proses degradasi adalah akibat kondisi yang bervariasi dari permukaan implan yang ditanamkan. Air, biomolekul bebas, dan ion terlarut di sekitar permukaan implan dapat bereaksi beberapa saat sejak dilakukan penanaman implan. Penanaman implan tersebut kemudian dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi ion tertentu pada jaringan peri-implan. Kenaikan yang terjadi adalah akibat proses degradasi secara in vivo dari logam biodegradasi sehingga melepaskan ion-ion logam ke jaringan yang ada di dekatnya dan selanjutnya terjadi perubahan kandungan ion logam di dalam darah (Ulum et al. 2013b). Hal tersebut kemudian dapat menimbulkan respon dari jaringan peri-implan dan sel-sel darah khususnya leukosit seperti polimorfonuklear (PMN) atau neutrofil. Selain itu, efek lain dari degradasi implan di dalam tubuh antara lain dapat menyebabkan pertumbuhan jaringan peri-implan terganggu, gangguan pada kondisi fisiologis tubuh secara sistemik, dan akumulasi atau deposisi debris metal pada jaringan atau organ tertentu (Noviana et al. 2012).
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Atomic absorption spectrophotometry adalah teknik analisis untuk mengukur konsentrasi dari suatu elemen (Stafilov & Karadjova 2009). Atomic absorption spectrophotometry adalah metode yang kini banyak digunakan untuk analisis maupun perhitungan suatu elemen secara cepat. Teknik ini sangat sensitif hingga dapat mengukur kandungan suatu elemen per biliun gram (µg dm -3) dari suatu sampel. Prinsip pengukurannya didasarkan pada penyerapan energi radiasi yang dilepaskan oleh atom-atom bebas. Nama alat yang digunakan untuk teknik uji ini adalah atomic absorption spectrophotometer (AAS). Supriyanto et al. (2007) menyatakan bahwa alat AAS banyak dipilih untuk mengukur logam. Hal ini dikarenakan alat ini memiliki sensitifitas tinggi, mudah digunakan, murah, sederhana, cepat, dan sampel yang dibutuhkan sedikit. Adapun komponen peralatan spektrofotometer terdiri dari sumber radiasi, penembak emisi, pengatur sinyal, monokromator, multiplikasi foto, amplifier, dan pembaca hasil. Melalui alat ini, kadar ion Fe pada jaringan otot peri-implan tikus dapat diketahui.
5
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu pada bulan Desember 2013 hingga Februari 2014 dimulai dari persiapan hingga pengambilan data. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bedah Divisi Bedah dan Radiologi serta Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan serta Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB). Pengujian sampel jaringan otot tikus dilakukan menggunakan alat AAS di Laboratorium Nutrisi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Hewan Percobaan Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan Sprague Dawley sebanyak 60 ekor dengan rataan berat 175 gram. Tikus dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan ukuran pori pada implan. Kelompok I diimplan menggunakan material logam Fe dengan ukuran pori 450 µm (n=15). Kelompok II diimplan menggunakan material logam Fe dengan ukuran pori 580 µm (n=15). Kelompok III diimplan menggunakan material logam Fe dengan ukuran pori 800 µm (n=15). Kelompok IV adalah kontrol yang diasumsikan sebagai kondisi awal perlakuan (n=15). Penelitian dengan hewan coba tikus ini telah mendapatkan persetujuan dari komisi etik hewan IPB dengan adanya sertifikat ACUC nomor 62014 IPB.
Bahan Material logam Fe berpori berdiameter pori 450 µm, 580 µm, dan 800 µm dan ukuran panjang serta lebar 5 x 2 mm dengan ketebalan kurang dari 0.5 mm. Bahan-bahan yang digunakan pada aklimatisasi antara lain anthelmentik praziquantel 50 mg dan pyrantel 144 mg, antiprotozoa metronidazole 125 mg/5 ml, antibiotik doxycycline 100 mg. Obat bius menggunakan ketamine 10% injeksi dan xylazine 2% injeksi. Desinfeksi menggunakan alkohol 70% dan iodine tincture 3%. Penjahitan dilakukan menggunakan benang Vycril® polyglactin 910 ukuran 5/0 dan plester Hypafix®. NaCl fisiologis berfungsi sebagai pembersih jaringan. Perawatan tikus menggunakan pakan komersial dan air secara ad libitum.
Alat Alat yang digunakan antara lain kandang tikus dengan ukuran kandang 40 x 30 cm, timbangan digital untuk tikus, timbangan halus material implan, sonde lambung, syringe, mistar, alat bedah minor, retractor, bor bedah, centrifuge, dan AAS. Mesin AAS yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1 Atomic absorption spectrophotometer (AAS) Sumber: Penulis
METODE PENELITIAN Aklimatisasi Aklimatisasi dilakukan selama 7 hari preoperasi dengan tujuan agar tikus yang digunakan dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi kandang dan laboratorium selama penelitian berlangsung. Aklimatisasi hari ke-1 dilakukan dengan pemberian praziquantel dan pyrantel 10 mg/kg BB. Selanjutnya, aklimatisasi hari ke-2 hingga ke-6 dilakukan pemberian doxycycline 10 mg/kg BB. Aklimatisasi dilanjutkan pada hari ke-7 dengan pemberian metronidazole 10 mg/kg BB. Pemberian sediaan dilakukan sebanyak satu kali sehari menggunakan alat sonde lambung secara peroral. Berikut gambar alur aklimatisasi penelitian (Gambar 2).
Hari ke- 1
2
3
4
5
6
7
Keterangan: Praziquantel 50 mg dan pyrantel 100 mg dosis 10 mg/kg BB Doxycycline 100 mg dosis 10 mg/kg BB Metronidazole 125 mg/5 ml dosis 10 mg/kg BB Gambar 2 Alur aklimatisasi Persiapan Material Implan Material logam implan yang digunakan diperoleh dari Alantum, Korea, berupa lembaran Fe berpori dengan ukuran diameter 450, 580, dan 800 µm. Implan dipotong dengan ukuran panjang dan lebar 5 x 2 mm serta ketebalan kurang dari 0.5 mm (n=15). Selanjutnya, implan disterilisasi menggunakan sterilisator uap pada suhu 100 oC selama 60 menit dilanjutkan dengan proses
7 sterilisasi menggunakan sterilisator UV selama 60 menit. Penanaman material logam implan pada tikus dilakukan melalui prosedur operasi atau pembedahan. Faktor yang membedakan antara ketiga jenis implan adalah ukuran pori implan. Implan berpori 800 µm memiliki ukuran pori paling besar, sedangkan implan berpori 580 µm dan 450 µm secara berturut-turut memiliki ukuran pori sedang dan paling kecil. Bentuk dari implan Fe berpori yang diimplankan ke tulang paha tikus dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3 (a) Fe berpori 450 µm, (b) Fe berpori 580 µm, (c) Fe berpori 800 µm
Preparasi Hewan Tahap preparasi dimulai dengan pembiusan tikus menggunakan kombinasi ketamin-xylazin secara perinjeksi dengan dosis masing-masing 20 mg/kg BB dan 5 mg/kg BB melalui rute intramuskular pada daerah gluteal. Selanjutnya, rambut tikus pada bagian lateral paha kanan dicukur dan didesinfeksi dengan iodin tincture 3% pada bagian yang telah dicukur lalu dilakukan implantasi.
Penanaman Material Implan Tikus yang telah dipreparasi kemudian dilakukan penanaman implan. Pertama, kulit disayat pada daerah paha tepat di atas m. biceps femoris. Selanjutnya, otot tersebut dipreparir dan dikuakkan hingga terlihat tulang paha (os femur) di bagian dalam. Tulang tersebut dikuakkan menggunakan retraktor dan dilakukan pengikiran sedalam ±1 mm pada bagian diafise dari korteks os femur. Selanjutnya, implan diletakkan pada celah yang dikikir. Daerah implantasi ditetesi satu tetes (±0.05 ml) antibiotik penicillin 300.000 IU. M. biceps femoris dijahit dengan jahitan simple suture menggunakan benang Vycril® 5/0 begitu pula dengan kulit. Luka jahitan diberikan iodine tincture 3% dan ditutup dengan plester Hypafix®. Pemberian antibiotik doxycycline 10 mg/kg BB dilakukan pada postoperasi selama 3 hari berturut-turut untuk menghindari infeksi pascaoperasi.
Pengambilan Sampel Otot Pengambilan Sampel Otot Tikus yang dikorbankan pada hari ke-7, 14, dan 30 kemudian diambil organ kaki sebelah kanannya mulai dari jari hingga pangkal os femur. Implan yang
8 tersisa dikeluarkan dari jaringan. Jaringan otot direndam dengan BNF 10%. Selanjutnya, bagian tulang yang diimplantasi diamati posisinya. M. biceps femoris yang dekat dan jauh dengan titik implantasi diambil dengan cara disayat menggunakan blade membentuk persegi panjang. Sebelumnya, perubahan warna pada jaringan didokumentasikan dengan foto digital (Samsung GT-I8160®). Bagian m. biceps femoris yang dekat dan jauh dengan titik implantasi disayat menjadi dua bagian terpisah yaitu otot yang dekat dari implan (±0.1 mm) dan otot yang jauh dari implan (±5 mm). Tahap terakhir, sampel otot diukur kadar ion Fe yang terkandung dengan alat AAS. Gambar sampel A dan sampel B serta perlakuan selama Pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4 Sampel otot paha tikus yang disayat (a) dan dipisahkan (b) dari tempat implantasi menjadi dua kelompok otot (c). Panah merah adalah otot yang dekat dari implan (sampel A) dan panah kuning adalah otot yang jauh dari implan (sampel B). Tempat implan ditunjukkam oleh panah hitam .
Pembedahan untuk mengambil implan pada lima ekor tikus di tiap kelompok perlakuan.
Pembedahan untuk mengambil implan pada lima ekor tikus di tiap kelompok perlakuan.
Implan dikeringkan untuk ditimbang.
Implan dikeringkan untuk ditimbang.
Penyiapan
Penyiapan otot.
sampel
otot.
sampel
Lima ekor tikus dari tiap kelompok perlakuan dibedah dan diambil implannya. Implan dikeringkan ditimbang.
untuk
Penyiapan sampel otot dan pemeriksaan kandungan Fe pada otot di sekitar implan dengan AAS.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel
Desember 2013
Januari 2014
Februari 2014
Gambar 5 Perlakuan selama pengambilan sampel otot Analisis Data Data diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel dan SPSS® 16 dengan prosedur ONEWAY ANOVA untuk melihat perbedaan antar kelompok.
9 HASIL DAN PEMBAHASAN Degradasi Implan pada Jaringan Otot Implan Fe berpori yang diimplan pada tulang paha tikus diduga dapat mempengaruhi jaringan sekitarnya, khususnya jaringan otot paha tikus periimplan. Hal tersebut diperkuat dengan kondisi bagian otot yang dekat dengan implan tampak lebih cokelat merah, sedangkan bagian otot yang jauh tidak nampak adanya warna cokelat. Warna cokelat pada otot paha tikus peri-implan dapat diamati secara makroskopis (Gambar 6).
(A)
(B)
(C)
Gambar 6 Jaringan otot paha peri-implan tikus terlihat adanya warna cokelat dengan (A) implantasi implan Fe berpori 450 µm, (B) implantasi implan Fe berpori 580 µm, (C) implantasi implan Fe berpori 800 µm. Selama proses persembuhan terjadi, implan akan mengalami degradasi atau korosi. Biomaterial implan Fe dapat mengalami degradasi karena berinteraksi dengan jaringan ataupun cairan tubuh. Pada proses korosi ini, implan logam akan mengalami proses oksidasi, sedangkan oksigen mengalami proses reduksi. Adapun rumus kimia korosi besi adalah 4Fe 2++O2+8H2O → 2Fe2O3.H2O(s)+8H+ (Lusiana 2010). Produk degradasi implan Fe berpori biasanya disebut karat. Karat hasil degradasi implan Fe berpori ini menyebabkan timbulnya warna cokelat merah pada jaringan otot paha di sekitar daerah implantasi. Ion Fe dalam karat ini dapat berpartisipasi dalam berbagai reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak sel. Hal ini ditegaskan oleh Noviana et al. (2012) bahwa proses korosi atau degradasi implan logam dapat terjadi di dalam tubuh yang berupa ion dan secara potensial mempengaruhi bagian tubuh inang baik lokal maupun sistemik. Kadar Ion Fe pada Jaringan Otot Peri-implan Tikus Proses degradasi dan adanya akumulasi ion Fe pada jaringan otot periimplan menandakan terjadinya pelepasan ion-ion Fe dari implan. Pelepasan ionion Fe ini dapat meningkatkan kadar ion Fe pada jaringan otot paha peri-implan tikus. Peningkatan kadar ion Fe pada jaringan otot peri-implan dapat diketahui dengan menggunakan alat AAS. Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan deteksi AAS terlihat bahwa kandungan besi (Fe) dalam otot paha tikus mengalami peningkatan. Kandungan Fe pada otot peri-implan yang dekat dari implan memiliki kadar yang lebih tinggi
10 dibandingkan otot yang jauh dari implan dan menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Perbedaan kadar Fe pada kedua bagian otot tersebut secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kadar Fe pada otot paha peri-implan tikus dengan implan biodegradasi Fe berpori 450 µm, 580 µm, dan 800 µm Kadar ion Fe pada perlakuan implan berpori (ppm) Hari ke-
Sampel otot 450 µm
580 µm f
800 µm e
A 680.6±40.9 266.9±10.7 49.6±8.7abc abcd abc B 90.4 ± 55 52.05 ± 31.4 17.8 ± 14.5a cde cde A 217.2 ± 110 215.9 ± 95.6 90.5 ± 66.9abcd 14 a ab B 9.5 ± 7.8 38.4 ± 30.4 43.9 ± 41.07ab de de A 237.6 ± 15.3 235.5 ± 88.3 211.8 ± 52.8cde 30 abc a B 62.63 ± 47.2 3.2 ± 0.9 46 ± 22.5ab a A 11.67±1.6 Kontrol B 9.09±2.8a Keterangan: huruf superskrip (a,b,c,d) yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05). Sampel A adalah otot yang dekat dari implan dan sampel B adalah otot yang jauh dari implan. 7
Data pada tabel di atas menjelaskan bahwa kadar ion Fe antara otot yang dekat dan jauh dari implan Fe berpori 450 µm pada hari ke-7, 14, dan 30 adalah berbeda nyata (p<0.05) dilihat dari superskrip. Begitu pula halnya dengan implan Fe berpori 580 µm yang menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) kadar ion Fe antara otot yang dekat dan jauh pada hari pengamatan ke-7, 14, dan 30. Perbedaan tidak nyata (p>0.05) ditunjukkan oleh kadar ion Fe dari implan Fe berpori 800 µm. Kadar ion Fe antara otot yang dekat dan jauh dari implan Fe berpori 800 µm tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada hari pengamatan ke-7 dan 14. Perbedaan yang nyata terlihat pada hari pengamatan ke-30 antara otot yang dekat dengan otot yang jauh dari implan. Kadar Fe yang berbeda nyata dapat terjadi akibat perbedaan posisi otot. Posisi otot peri-implan yang dekat dari implan menyebabkan ion Fe hasil degradasi implan terakumulasi lebih banyak. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan bahwa proses degradasi secara in vivo dari logam biodegradasi dapat melepaskan ion-ion logam ke jaringan yang ada di dekatnya (Ulum et al. 2013a). Sebaliknya, otot dengan posisi yang jauh dari implan memiliki kadar ion Fe yang lebih rendah karena letaknya yang lebih jauh. Ion Fe dapat terdistribusi hingga bagian otot yang jauh dari implan akibat penyebaran ion melalui cairan ekstraseluler serta adanya peran makrofag. Paramitha et al. (2013) menjelaskan bahwa produk degradasi terlepas ke cairan ekstraseluler dan terjadi penyebaran. Ditambah lagi, respon imunitas tubuh yang dilakukan oleh makrofag kemudian akan memfagosit produk degradasi dan menyebabkan penyebaran produk degradasi tersebut pada jaringan otot (Paramitha et al. 2013). Hal-hal tersebut yang menyebabkan penyebaran produk degradasi menjadi lebih luas. Berdasarkan data di atas, terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) dari kadar Fe implan berpori 450 µm, 580 µm, dan 800 µm bila dikelompokkan menurut hari pengamatan. Kadar ion Fe otot yang dekat dari implan Fe berpori 450 µm memperlihatkan tren penurunan. Selain itu, perbedaan yang nyata
11 (p<0.05) pada hari pengamatan ke-7 dan 14 tetapi tidak terlihat perbedaan nyata (p>0.05) pada hari pengamatan ke-30. Hal tersebut juga terlihat pada otot yang dekat dari implan Fe berpori 580 µm yang menunjukkan tren kadar ion Fe yang semakin menurun seiring pertambahan hari pengamatan. Hasil berbeda diperlihatkan oleh bagian otot yang dekat dari implan Fe berpori 800 µm yang memiliki kadar ion Fe lebih rendah pada hari ke-7 namun meningkat pada hari ke14 dan 30 (p>0.05). Meskipun kadar ion Fe yang dihasilkan tidak berbeda nyata, tetapi tren terjadinya peningkatan kadar ion Fe dapat terlihat pada implan dengan ukuran pori 800 µm ini. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan desain implan, permukaan ataupun ukuran pori pada implan yang mempengaruhi luas permukaan implan terhadap jaringan di sekitarnya. Semakin kecil ukuran pori pada struktur implan, maka akan semakin besar terjadinya interaksi dengan jaringan sekitar akibat luas permukaan yang besar. Chrzanowski et al. (2008) menjelaskan bahwa semakin luas permukaan implan maka akan semakin tinggi tingkat korosi yang terjadi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap korosi yaitu kondisi hidrodinamik mikroorganisme di sekitar implan, jarak antara jaringan tubuh dengan material implan, desain implan serta permukaan material, suhu tubuh, kadar oksigen, dan kadar ion inorganik (Virtanen 2011). Semakin besar proses korosi terjadi maka pelepasan ion Fe semakin tinggi yang sebanding dengan kadar ion Fe terakumulasi pada jaringan otot peri-implan. Kadar Ion Fe Berdasarkan Jenis Biomaterial Implan Fe Berpori Kadar ion Fe dari masing-masing jenis implan Fe berpori selama 30 hari pengamatan (hari ke-7, 14 dan 30) memiliki pola tersendiri bila diamati dalam bentuk grafik. Hasilnya menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan kadar ion Fe. Pola dari kadar ion Fe berdasarkan ukuran pori implan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Kadar ion Fe pada jaringan otot paha tikus yang dekat dari implan (sampel A ) dan jauh dari implan (sampel B ) dengan implantasi Fe berpori 450 µm (A), 580 µm (B), dan 800 µm (C) selama 30 hari pengamatan. Garis vertikal di atas balok data menunjukkan galat baku dengan menggunakan standar error.
Grafik di atas menunjukkan perbedaan kadar ion Fe antara hari ke-7 hingga ke-30 berdasarkan pada jenis implan Fe. Kadar ion Fe dari jenis implan Fe berpori 450 µm pada hari ke-7 lebih tinggi dibandingkan hari ke-14 dan ke-30 begitu pula yang terlihat pada implan Fe berpori 580 µm. Kadar ion Fe pada hari ke-7
12 memperlihatkan kadar ion Fe yang tinggi akibat proses korosi implan logam besi meningkat pada hari pertama pascaimplantasi. Proses korosi ini dipengaruhi oleh diameter pori implan. Semakin kecil diameter pori implan, maka permukaan implan akan semakin luas sehingga mempermudah terjadinya interaksi dengan jaringan. Interaksi antara implan dan jaringan dapat mengakibatkan terjadinya proses degradasi implan. Hal ini ditegaskan oleh Chrzanowski et al. (2008), bahwa semakin luas permukaan implan maka akan semakin tinggi tingkat korosi yang terjadi. Gambar grafik untuk implan Fe berpori 800 µm menunjukkan tren yang berbeda yaitu berupa peningkatan. Kadar ion Fe pada hari ke-7 lebih rendah dibandingkan kadar ion hari ke-14 dan 30. Hal ini disebabkan oleh luas permukaan implan yang sempit akibat ukuran pori yang besar sehingga ion Fe yang terlepas melalui proses degradasi menjadi sedikit. Selain itu, luas permukaan implan yang sempit menyebabkan interaksi implan dengan jaringan sulit terjadi sehingga proses degradasi pun lambat. Kadar ion Fe pada hari ke-14 dan 30 menunjukkan peningkatan. Peningkatan kadar ion Fe ini dapat dihubungkan dengan proses persembuhan jaringan yang semakin meningkat. Hal ini ditegaskan oleh Cheville (2006) bahwa Bony callus atau jaringan tulang baru terbentuk setelah minggu ke-1 sampai ke-4 setelah kerusakan tulang dan setelah itu akan digantikan oleh tulang dewasa. Jaringan tulang peri-implan yang mengalami persembuhan akan berinteraksi dengan implan Fe berpori 800 µm sehingga terjadi proses degradasi. Invasi jaringan baru ke dalam pori implan semakin baik seiring bertambahnya hari. Oleh karena itu, kadar ion Fe semakin meningkat pada hari ke-14 hingga 30. Kadar Ion Fe Berdasarkan Hari Pengamatan Sampel Berdasarkan hari pengamatan, kadar ion Fe pada jaringan otot peri-implan dapat berbeda antar jenis implan. Kadar ion pada pada hari ke-7 cenderung lebih tinggi dibandingkan hari ke-14 dan ke-30 (Gambar 8).
Gambar 8 Kadar ion Fe pada jaringan otot paha tikus yang dekat dari implan (sampel A ) dan jauh dari implan (sampel B ) dengan implantasi Fe berpori 450 µm, 580 µm, dan 800 µm selama 30 hari pengamatan. Garis vertikal di atas balok data menunjukkan galat baku dengan menggunakan standar error.
Tingginya kadar ion Fe pada hari ke-7 diduga disebabkan pula oleh respon benda asing atau foreign body response (FBR). Penanaman implan dan perlukaan pada jaringan yang berhubungan dengan implan dapat menimbulkan gejala
13 peradangan serta respon persembuhan luka yang dinamai FBR (Jacquelline et al. 2010). Menurut Jacquelline et al. (2010) pula bahwa gejala peradangan tersebut biasanya terjadi pada fase akut yang terjadi beberapa jam hingga beberapa hari setelah implantasi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya proses degradasi akibat interaksi logam besi dengan cairan dan jaringan tubuh. Implan yang terdegradasi kemudian melepaskan ion Fe ke lingkungan tubuh. Posisi jaringan otot yang berada sangat dekat dengan implan akhirnya menjadi tempat akumulasi ion Fe yang dilepaskan oleh implan. Berbanding terbalik dengan kadar ion Fe implant berpori 450 µm dan 580 µm, kadar ion Fe jaringan otot paha peri-implan tikus dengan implan berpori 800 µm menunjukkan kadar paling tinggi di hari pengamatan ke-30. Kondisi ini dapat dihubungkan dengan interaksi permukaan implan dengan jaringan peri-implan. Menurut Subhaini dan Herda (2008) bahwa interaksi interface antara implan dengan jaringan hidup sekitarnya menginformasikan bahwa komposisi, energi permukaan, dan kekasaran permukaan mempengaruhi terjadinya oseointegrasi. Salah satu cara meningkatkan kekasaran permukaan implan adalah dengan pori. Semakin besar ukuran diameter pori maka permukaan implan semakin tidak kasar sehingga terjadinya interaksi antara implan dengan jaringan membutuhkan waktu yang lama. Akibatnya, kadar ion Fe tinggi pada hari pengamatan ke-30 dengan perlakuan implantasi menggunakan implant berpori 800 µm.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kadar ion Fe pada jaringan otot paha peri-implan tikus mengalami peningkatan setelah diukur menggunakan atomic absorption spectrophotometer (AAS). Kadar ion Fe tertinggi dimiliki oleh jaringan otot dekat implan yang diimplan dengan implan Fe berpori 450 µm pada hari pengamatan ke-7. Adanya ion Fe pada jaringan otot peri-implan menandakan bahwa implan Fe berpori yang diimplan pada os femur tikus melepaskan ion Fe ke jaringan otot paha peri-implan tikus melalui proses degradasi. Saran Saran yang diajukan berdasarkan penelitian ini adalah perlu dilakukan pengujian secara in vitro. Selain itu, penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada lokasi implantasi yang berbeda dengan struktur implan yang berbeda.
14 DAFTAR PUSTAKA Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. 3th Edition. USA: Blackwell Publishing. Page 112-115. Chrzanowski et al. 2008. Chemical, corrosion and topographical analysis of stainless steel implants after different implantation periods. J Biomater Appl. 5 (8): 728. Dambatta MS, Murni NS, Sudin I, Hermawan H. 2013. The degradation rate anad cytocompatibility of Zn-3Mg alloy. Eur Cells Mater. 26 (5): 46. Daud M, Hermawan H. 2013. The interaction of fibroblast cells on the surface of pori iron. Eur Cells Mater. 26 (5): 49. Djuwita I, Pratiwi I A, Winarto A, Sabri M. 2012. Proliferasi dan Diferensiasi Sel Tulang Tikus dalam Medium Kultur In Vitro yang Mengandung Ekstrak Batang Cissus quadrangular Salisb. JKH. 6 (2): 75-80. Fernandez I., Gracia M A A, Pingarron M C, Jerez LB. 2006. Physiological Bases of Bone Regeneration II. The Remodeling Process. J Med Oral Patol Cir Bucal. 11: 151-157. Hermawan H, Dube D, Mantovani D. 2007. Development of Degradable Fe35Mn Alloy for Biomedical Application. Adv Mat Researc. 15-17: 107-112. Hermawan H, Mantovani D. 2009. Degradable metallic biomaterials: the concept, current developments and future directions. Minerva Biotec. 21 (4): 207216. Jacqueline MM, Fotios P, Diane JB. 2010. Biomaterial/Tissue Interactiobs: Possible Solutions to Overcome Foreign Body Response. The AAPS Journal. 12 (2): 188-196 Lusiana. 2010. Analisa laju korosi dengan penambahan unsur modifikasi Molibdenum dan Niobium terhadap material biokompatibel Ti-6Al dalam larutan darah sintetis [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Navarro M, A Michiardi, O Castano, dan JA Planell. 2008. Biomaterials in orthopaedics. J R Soc Interface. 5 (10): 1137-1159. Noviana D, Estuningsih S, Ulum MF, Paramitha D, Utami NF, Utami ND, Hermawan H. 2012. In vivo study of iron based material foreign bodies in mice (Mus musculus albinus). Proceeding ICBEMA 7th: 91-94. Noviana D, Nasution AK, Ulum MF, Hermawan H. 2013a. Degradation of Febioceramis composites at two different implantation sites in sheep animal model observed by X-ray radiography. Eur Cells Mater. 26 (5): 56. Noviana D, Nasution AK, Ulum MF, Hermawan H. 2013b. Monitoring of early biodegradation of Fe-biocheramic composites by B-mode ultrasonography imaging in sheep animal model. Europ Cells and Mater. 26 (5): 57. Paramitha D, Estuningsih S, Noviana D, Ulum MF, Hermawan H. 2013. Distribution of Fe-based degradable materials in mice skeletal muscle. Europ Cells and Mater. 26 (5): 55. Purnama A, Hermawan H, Couet J, Mantovani D. 2010. Assessing the biocampatability of degradable metallic materials: state-of-the-art and focus on the potentialof genetic regulation. Acta Biomater. 6 (7): 1800. Rudyardjo DI. 2011. Perilaku korosi material gelas metalik berbasis zirkonium untuk material implan. JIS. 11 (2): 234-240. Shi D. 2003. Biomaterials and Tissue Engineering. Cincinnati (US): Springer.
15 Stafilov T, Karadjova I. 2009. Atomic absorption spectrometry in wine analysis. Maced J Chem Chem Eng. 28 (1): 17-31. Stavropoulos A. 2008. Deproteinized bovine bone xenograft. Orthop Biol Med (2): 119-151. Subhaini, Herda E. 2008. Perlakuan pada permukaan titanium implant untuk mendapatkan osseointegrasi. Dent J. 13 (1): 28-32. Supriyanto C, Samin, Kamal Z. 2007. Analisis cemaran logam berat Pb, Cu, dan Cd pada ikan air tawar dengan metode spektrometri nyala serapan atom (SSA). Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir; 2007 Nov 21-22; Yogyakarta (ID): Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN. 147-152. Tathe A, Ghodke Mangesh Nikalje AP. 2010. A Brief Review: Biomaterials and Their Application. Inter J Pharmacy and Pharmaceutic Science. 2 (4). Ulum MF, Arafat A, Noviana D, Yusop AH, Nasution AK, Abdul Kadir MR, Hermawan H. 2013a. In vitro and in vivo degradation evaluation of novel iron-bioceramic composites for bone implant applications. Mater Sci Eng C. 36: 336-344. Ulum MF, Paramitha D, Estuningsih S, Noviana D, Hermawan H. 2013b. Metal ion level and polymorphonuclear leukocyte cells number as determination factors for early in vivo rejection of biodegradable metals. Eur Cells Mater. 26 (5): 59. Virtanen S. 2011. Biodegradable Mg and Mg alloys: Corrosion and biocompatibility. Mater Sci Eng 176 (20): 1600-1608. Windhagen H, Radtke K, Weizbauer A, Diekmann J, Noli Y, Kreimeyer U, Schavan R, Stukenborg-Colsman C, Waizy H. 2013. Biodegradable magnesium-based screw clinically equivalent to titanium screw in hallux valgus surgery: short term results of the first prospective, randomized, controlled clinical pilot study. Biomed Eng Online. 12 (62): 1-10 Wirjoadi, Susita L, Siswanto B, Sudjatmoko. 2013. Pengaruh proses nitridasi ion pada biomaterial terhadap kekerasan dan ketahanan korosi. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Teknologi Akselerator dan Aplikasinya 13: 25-36. Zhen Z, Xi TF, Zheng YF. 2013. A review on in vitro corrosion performance test of biodegradable metallic materials. T Nonferr Metal Soc. 23: 2283-2293.
16
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Sangatta pada tanggal 6 April 1992. Penulis merupakan putera pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Moch. Ridwan dan Kasmirah. Penulis memulai pendidikan di SDN 023 Sangkima, Kutai Timur dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Sangkima dan lulus pada tahun 2007. Selanjutnya penulis berhasil menempuh pendidikan tingkat menengah di SMAN 1 Sangatta Utara, Kutai Timur hingga lulus pada tahun 2010. Penulis diterima dan masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI pada tahun 2010. Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, penulis aktif berorganisasi di Himpunan Profesi Ruminansia sebagai koordinator pelaksanaan acara Himpro. Selain itu, penulis juga aktif bermain music dan tergabung dalam grup band FKH untuk mewakili angkatan dalam berbagai acara di kampus Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.