Volume 8 Nomor 1 Juni 2012
ISSN: 1907-0969
Jurnal Pendidikan Islam
Irfani
Pencerahan untuk Peradaban
Volume 8 Nomor 1 Juni 2012
ISSN: 1907-0969
Jurnal Pendidikan Islam
Irfani Pencerahan untuk Peradaban
Pengarah Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo Penanggung Jawab (Dekan Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo) Dr. Lukman Arsyad, M. Pd Redaktur Momy A. Hunowu, S. Ag., M. Si Penyunting Drs. Hi. Muh. Arif, M.Ag., Jhems Richard Hasan, M.Hum Redaktur Pelaksana Burhanuddin AK Mantau, S. Ag., M. Pd. I., Hj. Yanti Manoppo, S. Ag., M. Pd. I Sekretaris Dra. Hj. Nurtin Tuli., Drs. Abdurrahman Mala, M. Pd. Arten Mobonggi, S. Ag. M.Pd
Terbit atas Kerjasama: Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo dengan Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo
ii
DAFTAR ISI
INTERKONEKSI PENGEMBANGAN ILMU-ILMU KEADABAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN Bermawy Munthe .........................................................................................................
1
METODE PENDIDIKAN DALAM PERSFEKTIF HADIS (Suatu Analisas dengan pendekatan Syarah Maudu’i) Muhiddin Tahir ............................................................................................................
15
PENERAPAN METODE CATATAN TERBIMBING BERBANTUAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF PADA KD KETENTUAN HAJI Nur Ainiyah .................................................................................................................
33
PESERTA DIDIK DALAM PANDANGAN PENDIDIKAN: (Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi) Supi’ah ..........................................................................................................................
43
OPTIMALISASI PEMBELAJARAN BAHASA ARAB Kaharuddin Ramli ........................................................................................................
57
TINJAUN PAEDAGOGIS TENTANG HAKIKAT TAKDIR Syarifa Suhra ................................................................................................................
67
EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM Arhanuddin ...................................................................................................................
77
MENILIK KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH (sebuah fenomena kedaerahan) Arten H. Mobonggi .......................................................................................................
91
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN FUNGSI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Buhari Luneto ..............................................................................................................
107
PENGEMBANGAN PERANGKAT PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Burhanudin Ak. Mantau..............................................................................................
121
iii
KONSEP DASAR PEMBANGUNAN PENDIDIKAN ISLAM Djailany Haluty ...........................................................................................................
137
KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Herson Anwar...............................................................................................................
147
PERAN EDUKATIF ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN EMOSI DAN NALAR ANAK PEREMPUAN Munirah ........................................................................................................................
161
MENINGKATKAN RANAH KOGNITIF DAN AFEKTIF PESERTA DIDIK MELALUI MODEL JIGSAW PADA MATA PELAJARAN PAI Ruwiah Buhungo .........................................................................................................
169
PERKEMBANGAN EMOSI ANAK YANG JAUH DARI ORANGTUA (IBU) Sitriah Salim Utina ......................................................................................................
181
EFEKTIFKAH PENDIDIKAN KITA? Yanty K Manoppo ........................................................................................................
187
iv
INTERKONEKSI PENGEMBANGAN ILMU-ILMU KEADABAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN Oleh: Bermawy Munthe UIN Sunan Kalijaga (
[email protected])
Makalah ini meneliti interkoneksi pengembangan ilmu-ilmu keadaban dan strategi pembelajarannya khususnya di pendidikan tinggi dengan mendiskusikan karakteristik ilmu keadaban, strategi pengembangannya melalui pembelajaran, fungsi stategi pembelajaran dalam pengembangan ilmu keadaban, kompleksitas dwi-domain kognitif dan afektif dalam strategi pembelajarannya dan interkoneksi tabiat ilmu keadaban dengan pengembangan strategi pembelajaran dalam perspektif psikologi kognitif. Srategi pembelajaran sebagai kunci peningkatan jaminan kualitas pembelajaran pendidikan tinggi karena dosen adalah ujung tombak perobahan. Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien memungkinkan kualitas kompetensi hasil belajar yang baik akan memungkinkan tingkat kualitas kompetisi yang baik pula. This paper examines the development of the civil sciences (Ilmu-ilmu Keadaban) and its learning strategies. It is particularly focused on higher education by discussing the characteristics of the civil sciences, its development strategy through learning function in the development of civilization, the complexity of cognitive domain and affective learning strategies and interconnecting nature of civil sciences with the development of learning strategies in cognitive psychology perspective. Learning strategy is the key factor to improvement of learning quality assurance in higher education because lecture is the agent of change. Effective and efficient learning strategy enables to improve the good quality of leaning outcomes competency. Kata Kunci: interkoneksi, ilmu-ilmu keadaban, strategi pembelajaran
A. Pendahuluan Dengan menggunakan perspektif psikologi kognitif, makalah ini berupaya meneliti pengembangan ilmu-ilmu keadaban dan strategi pembelajaran sebagai sebuah keniscayaan khususnya di pendidikan tinggi sebuah keniscaan sesuai dengan tabiatnya. Hal itu dilatarbelakangi beberapa pikiran bahwa pembelajaran merupakan satu dari tiga dharma pendidikan tinggi. Kualitas pelayanan pengajaran dosen sangat strategis karena dosen adalah ujung tombak perobahan dari belum kompeten menjadi kompeten yang berhadapan langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa sabagai out-put. Sehingga keberhasiilan perubahan kualitas pembelajaran satu bangsa berada di kualitas proses pembelajaran dosen. Pengembangan kurikulum mata kuliah menjadi tanggungjawab langsung dosen pengampu. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi pada level mata
1
kuliah menuntut dosen mastering keterampilan pembelajaran guna mencapai hasil belajar atau standar kompetensi yang diinginkan. Dalam era informasi, teknologi dan iklim kompetisi, kualitas kompetensi lulusan memaksa secara mutlak lembaganya untuk meningkatkan profesionalisme mengajar dosennya. Semakin tinggi kualitas kompetensi hasil belajar yang dimiliki mahasiswa semakin tinggi pula tingkat kualitas kompetisi yang dimainkannya kelak. Kenyataan mengatakan bahwa mayoritas dosen yang mengajar di pendidikan tinggi bukan berlatar belakang ilmu kependidikan. Mereka belum tentu dipersiapkan untuk mengajar di pendidikan tinggi. Mengajar di pendidikan tinggi memiliki satu premis yang mengatakan bahwa Mastering the subject matter is a prerequisite to good teaching BUT is no guarantee of it.1 Kecakapan (skill) pelayanan pembelajaran mahasiswa (andragogy) adalah satu seni yang menuntut penguasaan kerangka teori, konsep, metode, strategi atau tehnik pembelajaran. Juga, menjadi seorang dosen di pendidikan tinggi bukan sosok karakter yang langsung jadi; ia mengalami proses perkembangan untuk menjadi. B. Karakteristik Ilmu Keadaban Dalam konteks pengembangan keilmuan di beberapa perguruan tinggi di Indoneisa, Ilmu keadaban dapat dikatakan sebagai bidang studi kebudayaan atau peradaban (liberal studies) 2 yang diterjemahkan ke dalam lingkup studi sastra dan bahasa (klasik dan moderen). Di lingkungan perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama, pengembangan ilmu keadaban (fakultas adab) diterjemhkan ke dalam beberapa program studi, yaitu program studi bahasa dan sastra Arab, program studi sejarah dan kebudayaan Islam atau sejarah peradaban Islam, program ilmu perpustakaan, program Perpustakaan dan Informasi Islam dan yang terakhir program studi sastra Inggris (UIN Sunan Kalijaga). Berbeda dengan Universitas Kairo, Fakultas Adab tampaknya andalan program studinya justru mengembangkan program studi filasafat di samping program studi sastra moderen dan klasik. Di Universitas Kuwait, fakultas Adab (yang berkembang menjadi fakultas Adab dan Sosial) justru mengembangkan program studi musik dan seni di samping program studi bahasa dan sastra. Selanjutnya, disamping bangunan epistimologi setiap keilmuan sangat diperlukan sebagai landasan pengetahuan yang bersifat ilmiah, ilmu keadaban sebagai disiplin ilmu tentu saja harus mempunyai ciri khas dasar dan batas ilmu yang jelas kuat (baca: epistimologi). Pertama, objek studi keadaban adalah manusia bukan benda-benda mati, baik yang ada di alam maupun dalam diri 1 Peter Franz Renner, The Art of Teaching Adults: How to become an exceptional instructor & facilitator, (Vancouver: Training Associates, 1999). 2 Liberal studies/liberal education atau cultural studies disebut juga dengan ilmu humaniora. Di Indonesia cultural studies menggantikan Humaniora dalam ruang lingkup studi sastra dan bahasa kllasik. Lihat Kuntowijoyo, "Epistimologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora Dalam Perspektif Pemikiran Islam" dalam Integrasi Sains dan Islam: Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains, (Yogyakarta: Suka Press, 2004), h. 62.
2
Interkoneksi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keadaban dan Strategi Pembelajaran
manusia. Meskipun menjadikan manusia sebagai objek, tetapi subject mattter keadaban berbeda dengan kedokteran, misalnya. Kedokteran membicarakan aspek luar dari manusia secara biologis atau fisis, sedangkan perhatian keadaban adalah inner side, mental life, dan mind affected world. Kedua, ilmu keadaban tidak meneliti keajekan-keajekan (regularities) yang ada pada alam dan manusia lalu menghasilkan hukum-hukum seperti halnya ilmu-ilmu alam yang nomothic, tetapi melukiskan keunikan objeknya. Keadaban memahami, memaknai, mengerti dan tidak menerangkan. Ilmu Keadaban melihat subject matter dengan empati intelektual, tidak menjadikannya semata-mata menjadi objek. Ketiga, ilmu keadaban tidak pernah mengklaim sebagai ilmu yang value-free sepenuhnya, sebab setiap pemaknaan selalu melibatkan pemaknanya. Walaupun demikian, harus mematuhi sumber, harus tuntas mencari sumber, sumberhnya harus valid dan tidak boleh menyembunyikan keterangan apapun. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam yang bebas nilai dalam arti siapapun yang melakukan penelitian tanpa memandang atributnya hasilnya akan sama. Keempat, manusia mempunyai free-will dan kesadaran, karena itulah, manusia bukan benda yang sudah ditentukan oleh hukum-hukum kausalitas. Determenisme dalam segala bentuk (ekonomi, lingkungan alam, lingkungan sosial, politik, budaya) hanya berharga sebagai dependent variable, tetapi tidak pernah menjadi independent variable.Kelima, validitas ilmu keadaban terletak dalam keabsahan sumbernya. Sumber ilmu keadaban adalah sign (tanda), yang berupa kata-kata, isyarat, fakta, peristiwa dan mind affected structure. Melalui menangkap dunia dalamnya. Hanya sign-lah yang membuat ilmu keadaban dapat menangkap dunia dalamnya, begitu pula, hanya sign-lah yang membuat ilmu keadaban berharga untuk disebut ilmu.3 C. Strategi Pengembangan Ilmu Keadaban melalui Pembelajaran Berkaitan dengan pengembangan ilmu keadaban, tantangan terbesar tampaknya bahwa ilmu keadaban "tidak menjanjikan" (promising dicipline) kepada pasar, seperti mahasiswa. Ilmu keadaban tidak semua sebagai ilmu terapan seperti ilmu eksakta. Sebagian program studi ilmu keadaban nyaris "kiamat" atau tidak ada penggemarnya seperti program studi sejarah dan kebudayaan Islam. Bahkan ketika program studi ini tidak didukung kebijakan strategis dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang mengambil program studi ini kemungkinan sekali program studi ini tinggal menunggu "nafas-nafas kematian". Hal ini sebagaimana yang dialami beberapa program studi di uinversitas di negara maju, semisal program studi sejarah atau sejenisnya telah tiada. Program studi ini untuk serjana satu (under-graduate) tidak menjadi pilihan-pilihan, layaknya pelihan sajian acara dari saluran-saluran stasion televisi. Hal ini karena lulusannya sulit memperoleh pekerjaan, apalagi 3 Bagian tulisan ini menilai ilmu–ilmu keadaban dengan memamfaatkan bagaimana Kuntowijoyo menilai ilmu-ilmu humaniora, Ibid., h. 63-64..
Bermawy Munthe
3
program studi ini sulit merumuskan jenis profesi apa yang tepat untuk calon lulusannya. Ketika seseorang melakukan benchmarking terhadap profile jenis program studi ini, tampaknya ia akan menemukan kesulitan yang relative sama. Pada sisi desain bahan ajar, desain kompetensi dan desain strategi, salah satu tantangan moderenitas adalah aplikasi pembelajaran atau pengajaran yang berbasis kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan membantu mahasiswa untuk memahami makna materi yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (pribadi, sosial dan kultural), sehingga mahasiswa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan atau konteks ke permasalahan atau konteks lainnya. Pembelajaran kontekstual dapat difahami dari beberapa objek formal. Pertama, Problem-Based Learning, yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi pembelajar untuk belajar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dalam rangka memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi ajar. Kedua, Authentic Instruction, yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenalkan pembelajar untuk mempelajari konteks bermakna melalui pengembangan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata. Ketiga, Inquiry-Based Learning, pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Keempat, Project-Based Learning, pendekatan pembelajaran yang memperkenalkan pembelajar untuk bekerja mandiri dalam mengkonstruk pembelajarannya (pengetahuan dan keterampilan baru), dan mengkulminasikannya dalam produk nyata. Kelima, Work-Based Learning, pendekatan pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar dan menggunakannya kembali di tempat kerja. Keenam, Service Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui proyek/ tugas terstruktur dan kegiatan lainnya. Ketujuh, Cooperative Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil mahasiswa untuk bekerja sama dalam rangka memaksimalkan kondisi belajar untuk menguasai kompetensi belajar. Jawaban konkrit terhadap tantangan konten ilmu keadaban adalah bagaimana membuat dia sebagai ilmu terapan dengan menggunakan pendekatan baru seperti teknik ilmu keadaban. Sedangkan jawaban konkrit terhadap (proses) pembelajaran kontekstual tampaknya alternatif yang paling tepat adalah strategi pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif akan memudahkan kemungkinan pencapaian kompetensi atau hasil belajar. Pembelajaran aktif menawarkan jawaban terhadap berbagai kondisi belajar, apatah dia bersifat individual atau kolaboratif, mengembangkan priorknowledge atau informasi baru,
4
Interkoneksi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keadaban dan Strategi Pembelajaran
D. Fungsi Stategi Pembelajaran dalam Pengembangan Ilmu Keadaban Strateri pembelajaran partisipatoris aktif satu alternatif pengayaan pembelajaran tradisonal (baca: normative lecturing atau ceramah normatif). Strategi pembelajaran merupakan satu elemen dari empat unsur utama untuk sebuah desain pembelajaran, yaitu Desain Materi (Content Design), Desain Kompetensi/Tujuan Pembelajaran/Hasil Pembelajaran (Competency, Learning Objectives Design), Desain Metode/Strategi/Teknik Pembelajaran (Instructional Strategies Design) dan Desain Evaluasi (Evaluation Design). 4 Desain strategi pembelajaran mutlak dikontekstualisasikan dengan desain materi perkuliahan, desain kompetensi/tujuan pembelajaran dan desain evaluasi yang didasarkan pada prosedur dan teknik evaluasi yang fair. Proses pembelajaran seyogyanya dilaksanakan dengan strategi yang bervariasi dan relevans, seperti interactive lecturing, resitasi, diskusi kelompok kecil dan kelompok besar, pembelajaran individual dan kolaboratif. Fungsi Strategi Pembelajaran adalah untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi. Tentunya tujuan pembelajaran atau kompetensi mutlak didasarkan pada proses disamping akan menghasilkan produk atau karya sehingga mahasiswa akan terlibat aktif dalam pembelajaran guna penerapan-penerapan teori yang pada gilirannya menghasilkan karya juga. Bahkan, jika dinilai mendukung kompetensi yang akan dikembangakan, mahasiswa mencoba mengaplikasikan teori ke dalam praktek. Seperti mahasiswa melaksanakan praktek sebagai kesempatan uji-coba, refleksi pengalaman setelah praktek, melakukan de-briefing dan memberikan feed-back yang konstruktif dalam suasana bebas resiko. E. Kompleksitas Domain Kognitif dan Afektif dalam Strategi Pembelajaran Ilmu Keadaban Mendesain strategi pembelajaran mutlak harus sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai dosen dan mahasiswa. Strategi pembelajaran adalah alat atau media bukan tujuan pembelajaran. Media pembelajaran dapat berupa pustaka, lapangan, laboratorium dan akses informasi dan teknologi. Strategi atau metode pembelajaran dikatakan tepat jika ia sesuai dengan pengembangan kompetensi sebagai totalitas hasil belajar dengan mempertimbangkan ranah-ranahnya. Yairtu ranah kognitif/aqliyah atau afektif/nafsaniyah atau psikomotorik/jusmaniyah atau ruhaniyah. Dapat dipastikan bahwa ilmu keadaban sebagai studi ilmu sosial dan humaniora mengembangkan berbagai tingkat berpikir sederhana sampai kompleks. Pengajaran bidang keilmuan ini membutuhkan strategi pembelajaran yang tepat (seperti dalam tabel). Pengembangan berpikir ini menjadi tujuan 4 Bermawy Munthe, Kunci Praktis Desain Pembelajaran, Yogyakarta: CTSD (Center for Teaching Staff Development) UIN Sunan Kalijaga, 2009), h. 30-40.
Bermawy Munthe
5
pembelajaran atau hasil pembelajaran dari matakuliah tertentu. Pengembangan hasil belajar ini dapat dikelompokkan menjadi wilayah atau domain kognisi. Benyamin Bloom menjelaskan bahwa domain kognisi atau al-‘Aqlaniyah terdiri dari 6 tingkatan dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks, yaitu Knowledge (pengetahuan), Comprehension (pemahaman), Aplication (penerapan), Analysis (analisis), Synthesis (sintesis) dan Evaluation (penilaian). Berpikir pada level Knowledge (pengetahuan) antara lain kemampuan untuk mengingat kembali tentang fakta, istilah, aturan tertentu sebagai hasil belajar, seperti kemampuan menghapal atau melafalkan kembali surat al-Fatihah (alQur’an), lagu Indonesia Raya setelah terjadi prose pembelajaran. Pada tingkat ini disarankan menggunakan strategi-strategi seperti Lecture, programmed instruction, drill and practice. Tingkat kedua, berpikir pada level Comprehension (pemahaman) antara lain kemampuan untuk menjelaskan tentang konsep, kaidah, prinsip tertentu dengan kemampuan bahasa mahasiswa, seperti menjelaskan dengan bahasa sendiri istilah tafsir bi al-ra’yi dalam studi tafsir, metode semiotik dalam studi kritik teks setelah terjadi proses pembelajaran. Pada tingkat ini disarankan menggunakan strategi-strategi seperti Lecture, modularized instruction, programmed instruction. Tingkat ketiga, berpikir pada level Aplication (penerapan) antara lain kemampuan untuk menerapkan prinsip atau kaidah atau formula tertentu, seperti kemampuan untuk menerapkan prinsip-prinsip Simple Present Tense ke dalam penyusunan kalimat secara benar setelah terjadi prose pembelajaran. Pada tingkat ini disarankan menggunakan strategi-strategi Discussion, simulation and games, CAI, modularized instruction, field experience, laboratory. Tingkat keempat, berpikir pada level Analysis (analisis) antara lain kemampuan untuk meguraikan sesuatu berdasarkan elemen-elemen, unsur-unsur atau bagian-bagian dari satu bangunan tertentu, seperti kemampuan menguraikan keseluruhan unsur yang ada dalam struktur teks. Pada tingkat ini disarankan menggunakan strategistrategi Discussion, independent/group project, simulation, field experience, role playing, laboratory. Tingkat kelima, berpikir pada level Synthesis (sintesis) antara lain kemampuan untuk menyusun atau merangkai atau mendesain sesuatu yang mencakup semua elemen yang dibutuhkan, seperti kemampuan untuk membuat sebuah ringkasan, sebuah karangan, sebuah desain gambar rumah. Pada tingkat ini disarankan menggunakan strategi-strategi Independent/group project, field experience, role playing, laboratory. Tingkat keenam, berpikir pada level Evaluation (penilaian) antara lain kemampuan untuk menilai atau mempertimbangkan sesuatu berdasarkan norma tertentu atau perspektif tertentu, seperti kemampuan menilai poligami dari sudut psikologi wanita, menilai karya sastra The Satanic Verses dari sudut semiotika. Pada tingkat ini disarankan menggunakan strategi-strategi Independent/group project, field experience, laboratory. Jika ilmu keadaban memiliki nilai-nilai seperti kepribadian yang menjadi tujuan pembelajaran, maka ia dimasukkan ke dalam kelompok domain afeksi
6
Interkoneksi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keadaban dan Strategi Pembelajaran
atau nafsaniyah membutuhkan strategi pembelajaran yang tepat (seperti dalam tabel). David R.Krathwohl 5 menjelaskan bahwa domain afeksi atau al_nafsaniyah terdiri dari 5 level. Tingkat domain itu dimulai dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks, yaitu 1.Receiving, 2. Responding, 3. Valuing, 4. Organization, 5. Characterization. Kemampuan pada tingkat yang tinggi akan sekaligus telah memenuhi kemampuan dibawahnya. Tingkat kemampuan Receiving adalah pengembanagn nilai tentang to aware of; passively attending to certain phenomena and stimuli; i.e, listening, Responding adalah pengembanagn nilai tentang to compliesto given expectations by attending or reacting to stimuli or phenomena; i.e, interests, Valuing adalah pengembanagn nilai tentang display behaviour consistent with single blief or attitude in situations where he is not forced to comply or obey. Organizing adalah pengembanagn nilai tentang committed to set of values as displayed by behaviour and Characterizing adalah pengembanagn nilai tentang total behaviour is consistent with values internalized. Kemampuan receiving disarankan menggunakan strategi-strategi seperti lecturing, discussion, modularized instruction, field experience. Hal ini karena ia merujuk pada pengembangan kemampuan internal mahasiswa untuk menunjukkan sesuatu misalnya kesadaran, kemauan, perhatian atau mengakui sesuatu misalnya kepentingan, perbedaan. Ia dapat juga merujuk pada kemauan mahasiswa mengikuti satu penomena atau stimulus tertentu (kegiatan kelas, buku-teks, musik dll.) Dari sisi mengajar, ini berkaitan dengan getting, holding and directing perhatian mahasiswa. Tujuan pembelajaran pada tingkatan ini berkisar dari keperdulian sederhana tentang sesuatu sampai pada perhatian yang selektif. Kemampuan Responding disarankan menggunakan strategi-strategi seperti discussion, simulation, modularized instruction, role playing, field experience. Ini karena ia merujuk pada pengembangan kemampuan internal mahasiswa untuk mematuhi sesuatu misalnya peraturan, tuntutan, perintah, atau ikut secara aktif tentang sesuatu misalnya di laboratorium, dalam diskusi, dalam kelompok, belajar dalam kelompok tentir, Ia merujuk pada partisipasi aktif mahasiswa. Pada tingkatan ini mahasiswa tidak hanya mengikuti satu kegiatan tertentu tetapi dia juga memberikan reaksi terhadapnya pada batas tertentu. Tujuan pembelajaran pada tingkatan ini menekankan perolehan dalam merespon (membaca materi yang ditugaskan), kemauan merespon (secara sukarela membaca tidak hanya yang ditugaskan) atau kepuasan dalam merespon (membaca demi kepuasan atau kesenangan). Sikap tertarik adalah tingkat yang paling tinggi dalam kategori responding. Kemampuan Valuing disarankan menggunakan strategi-strategi seperti discussion, independent/group project, simulation, role playing, field 5
David R. Krathwohl dkk. Taxonomy of Education Ogjectives Hand Book II: Affective Domain (New York: David Mckay Company Inc., 1964), h. 5.
Bermawy Munthe
7
experience. Ini karena ia merujuk pada pengembangan kemampuan internal mahasiswa untuk menerima suatu nilai, menyukai, menyepakati, menghargai sesuatu misalnya karya seni, sumbangan ilmu, pendapat, bersikap positif atau negatif, mengakui. Ia merujuk pada penilaian mahasiswa terhadap sesuatu (fenomena, obyek atau behavior). Penilaian ini berkisar dari penerimaan yang lebih sederhana terhadap nilai (hasrat untuk meningkatkan kecakapan kelompok) sampai pada yang lebih kompleks komitmen (merasa bertanggungjawab terhadap fungsi efektif kelompok) Kemampuan Valuing ini dikonsentrasikan pada internalisasi sejumlah nilai-nilai tertentu, tetapi tanda untuk nilai-nilai ini dinyatakan pada prilaku-/overt (jelas, terang, lahir) behaviour/prilaku mahasiswa. Tujuan pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan prilaku/behaviour yang konsisten dan cukup stabil untuk membuat nilai dapat diidentifikasi secara jelas. Kemampuan organizing disarankan menggunakan strategi-strategi seperti discussion, independent/group project, field experience karena ia merujuk pada pengembangan kemampuan internal mahasiswa untuk membentuk sistem nilai, menangkap relasi antar nilai, bertanggungjawab, mengintegrasikan nilai. Ia berkaitan dengan sikap menyatukan nilai-nilai yang berbeda, memecahkan konflik-konflik di antara mereka dan memulai membangun satu sistem nilai yang konsisten secara internal. Kemampuan ini menekankan pada kemampuan membedakan, menghubungkan dan mensitesis nilai. Tujuan pembelajaran adalah berkaitan dengan konseptualisasi satu nilai (recognizes tanggungjawab setiap individu untuk meningkatkan hubungan insani) atau dengan mengorganisasi satu sistem nilai (mengembangkan satu rencana kerja yang memuaskan kebutuhannya demi jaminan ekonomi dan pelayanan sosial). Inti tujuan pembelajaran adalah mengembangkan filosofi hidup mahasiswa. Kemampuan characterizing disarankan menggunakan strategi-strategi seperti Independent project, field experience karena ia merujuk pada pengembangan kemampuan internal mahasiswa untuk menunjukkan sesuatu (misalnya: kepercayaan diri, disiplin pribadi, kesadaran), mempertimbangkan dan melibatkan diri. Pada tingkat ini mahasiswa memiliki satu sistem nilai yang mengontrol prilakunya sepanjang waktu untuk mengembangkan satu karakter sebagai satu life style. Prilaku ini bersifat perpasive, consistent dan pridictable. Tujuan pembelajaran pada tingkatan ini mencakup range aktifitas yang luas, tetapi penekanan utama adalah prilaku menjadi typical atau karak-teristik mahasiswa. Inti tujuan pembelajaran adalah character building yaitu pembentukan pola-pola umum adjusment (personal, social emotional). F. Interkoneksi Tabiat Ilmu Keadaban dengan Pengembangan Strategi Pembelajaran Pembelajaran ilmu-ilmu keadaban sebagai ilmu humaniora yang menuntut hasil kompetensi analisis, sintesis dan evaluasi menjadi keniscayaan menginterkoneksikan strategi pembelajaran yang lebih banyak untuk memberikan
8
Interkoneksi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keadaban dan Strategi Pembelajaran
kesempatan kepada mahasiswa untuk berkontribusi dan partisipasi dalam proses perubahan. aktif. Strategi pembelajaran Confusius yaitu What I do, I understand menjadi pilihan karena ia sesuai dengan cara belajar untuk melakukan analisis, sintesis dan evaluasi. Strategi ini melibatkan mahasiswa berperan aktif dalam praktek (berbuat) dalam proses pembelajaran karena dengan perbuat atau praktek mahasiswa telah berkesempatan untuk memahami apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Bahkan dengan strategi pembelajaran6 “What I teach to another, I master” memungkinkan maahasiswaa untuk berperan sebagai dosen karena mahasiswa mengajari kawan-kawannya seperti melalui presentasi makalah. Dengan strategi ini mahasiswa telah mampu mengajarkan sesuatu kepada orang lain niscaya ia telah berusaha menguasai materinya. Strategi ini didasarkan pada asumsi bahwa, pertama, apa yang dialami mahasiswa dalam proses pembelajaran semata melalui pendengaran (strategi ceramah) niscaya akan cenderung terlupakan karena dosen berkata 100-200 kata per-menit sedangkan mahasiswa mampu mendengar hanya 50-100 kata per-menit. Kedua, strategi pembelajaran yang memamfaatkan kemampuan mendengan dan melihat, bagi Mal Siberman, keberhasilan pembelajaran relative kecil. Sedangkan strategi yang memamfaatkan kemampuan secara sinergis pendengaran, penglihatan bertanya tentang sesuatu atau mendiskusiskan sesuatu dengan mahasiswa lain, mahasiswa mulai memahami materi atau telah mulai terjadi keberhasilan pembelajaran. Selanjut-nya, strategi yang melibatkan kemampuan secara sinergis pendengaran, penglihatan, diskusi dan berbuat (baca:praktek) sesuatu, mahasiswa memperoleh pengetahuan dan kecakapan. Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan potensi diri dalam belajar karena ia berkaitan dengan kesenangan dalam megembangkan diri. Untuk memuaskan mahasiswa dalam proses pembelajaran, dosen disarankan untuk memperhatikan gaya belajar mahasiswanya. Gaya belajar (learning style: Visual learners= see, Auditory learners= hear dan Kinesthetic learners= involve) merupakan karateristik dan preferensi atau pilihan individu mengenai cara memperoleh informasi, mengorganisasinya, menafsirkannya atau meresponnya serta memikirkan iformasi tersebut. Ketika dosen menyadari bagaimana kecenderungan gaya mahasiswa menyerap dan mengolah informasi, memungkian dosen membuat proses pembelajaran lebih mudah sesuai dengan kecenderungan gaya mahasiswa. Dalam pembelajaran, banyak mahasiswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan strategi yang sama, akan tetapi para mahasiswa mempunyai tingkat penguasaan pemahaman yang berbeda-beda. Perbedaan itu tidak hanya disebabkan oleh ragam kecerdasan mahasiswa akan tetapi juga ditentukan kecederungan cara belajar yang dimiliki masing-masing mahasiswa. Mahasiswa yang senang membaca mungkin kurang bisa belajar dengan baik jika dia harus mendengarkan ceramah dosen atau juga diskusi.
6
Ibid. h. 31.
Bermawy Munthe
9
Demikian juga dengan mahasiswa yang senang diskusi, mereka kurang belajar dengan baik jika ia harus mendengarkan ceramah dosen. Mahasiswa-mahasiswa visual lebih banyak senang mengikui ilustrasi atau membaca sendiri instruksi karena mereka lebih senang menggunakan indra mata sebagai alat untuk menyerap informasi. Mahasiswa-mahasiswa auditorial lebih senang belajar kalau informasi dia dengarkan langsung dari dosen karena ia lebih senang memamfaatkan telinganya sebagai alat menyerap informasi. Sementara mahasiswa-mahasiswa kinestetik lebih senang kalau dibiarkan mengerjakan sendiri atau praktek langsung apa yang dipelajarinya. Meskipun demikian, dengan ketiganya (potensi visual, potensi auditorial dan potensi kinestetik) 22 dari 30 mahasiswa dapat belajar dengan efektif 8 mahasiswa lebih menyenangi salah satunya. Sehingga proses pembelajaran mutlak mempertimbangkan asumsi yang mengatakan bahwa “Teaching has to be multisensory and filled with variety”, yaitu sebuah proses pembelajaran mutlak memamfatkan berbagai macam potensi indra yang ada dan dipenuhi dengan berbagai variasi.strategi pembelajaran. Kecenderungan gaya belajar mahasiswa dapat juga dilihat dari sisi lain. Learners as activist (mahmahasiswa sebagai aktifis) yang lebih menyukai proses pembelajaran eksperimental, simulasi, studi kasus, dan mengerjakan tugas-tugas. Kedua, learners as reflector (mahasiswa sebagai reflector) yang lebih menyukai proses pembelajaran yang memamfaatkan strategi elisitasi, brainstorming, diskusi, debat dan seminar. Ketiga, learners as theorist yang lebih menyukai proses pembelajaran yang memamfaatkan strategi riset atau membaca buku langsung, membuat analogi, membandingkan antar teori. Keempat, learners as pragmatist (mahasiswa sebagai pragmatis) yang lebih menyukai proses pembelajaran yang memamfaatkan strategi pengalaman konkrit di laboratorium, bekerja di lapangan dan observasi. Paling tidak ada tiga teori mengajar 7 . Pertama, mengajar sebagai satu proses transmisi atau penuturan. Mengajar mahasiswa adalah satu usaha dosen untuk menuangkan sebanyak-banyak materi pelajaran kepada mahasiswa dengan lebih mengandalkan pemamfaatan kemampuan mendengar (auditori) mahasiswa. Peran besar dosen menjadi seperti seorang tuhan atau dewa yang meneteskan wahyu kepada nabinya atau pesuruhnya sehingga pengetahuan seperti wahyu (already made) yang sudah jadi. Dalam evaluasi hasil belajar cenderung hanya mengandalkan pen and paper. Kedua, mengajar sebagai satu usaha doaen hanya mengolah proses pengorganisasian aktivitas mahasiswa. Tampaknya mahasiswa dalam proses pembelajaran hanya menekankan pada kesibukan mahasiswa mengejakan sesuatu tanpa bimbingan atau pengarahan klarifikasi sejauh mana keberhasilan proses pembelajaran. Peran dosen menjadi seorang Event Organizer seperti panitia pelaksanaan acara show-biz musik di satu tempat sehingga strategi 7
10
P. Ramsden, Learning To Teach in Higher Education, (New York: Rutledge, 1982).
Interkoneksi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keadaban dan Strategi Pembelajaran
pembelajaran adalah apa saja yang didapatkan mahasiswa dalam proses. Peran mahasiswa adalah belajar memenuhi tuntutan dosen. Sedangkan ilmu pengetahuan seperti sebuah usaha semampu mahasiswa atau sedapatnya tanpa melihat atau mengukur kompetensi yang diinginkan. Evaluasi hasil belajar mahasiswa tidak jelas atau seadanya. Ketiga, mengajar adalah sebuah proses untuk memperoleh hasil belajar atau kompetensi oleh mahasiswa. Peran dosen dapat beragam seperti fasilitator, motivator, katalisator atau model sesuai kompetensi yang diharapkan dosen. Peran besar mahasiswa adalah mengolah sendiri atau menciptakan ilmu pengetahuan atau mencoba mengaitkannya dengan pengetahuan yang sudah ada. Ilmu pengetahuan adalah hasil rekayasa atau konstruksi mahasiswa sehingga strategi pembelajaran yang paling tepat adalah pembelajaran aktif yang sesuai dengan tingkat kompetensi yang diharapkan. Untuk membandingkan tiga teori diatas matriks dibawah ini mungkin dapat membantu. No
What, Who, Why and How
1
Fungsi Dosen
2
Peran Dosen
3
Peran mahasiswa
Teaching as telling or transmission • Mencerdaskan • Mencerahkan • Merubah • • • •
“Tuhan” Dewa Instruktur Dictator
• "Nabi"
Ilmu pengetahuan
• Tetesan wahyu • (Already made) • Content Oriented
5
Strategi pembelajaran
• Ceramah
6
Hasil belajar
• Seingat mahasiswa
7
Asesmen belajar
• Hapalan
4
hasil
Teaching as organizing student activities • Mencerdaska n • Mencerahkan • Merubah • Event Organizer
Teaching as making learning possible • Mencerdaskan • Mencerahkan • Merubah
• Fasilitator • Motivator • Katalisator • Model • Mentor • Pencipta ilmu • Pencipta ilmu pengetahuan pengetahuan • Pencari ilmu • Pencari ilmu pengathuan pengathuan • Hasil rekayasa • Temuan sendiri mahasiswa • Competency oriented • Activity oriented • Pembelajaran • Pembelajaran aktif aktif inovatif • Students centered dan bebas Laerning • Sedapat • Sesui kompetensi mahasiswa yang diharapkan • Seadanya • Sesui kompetensi yang diharapkan
Tampaknya ada kemiripan otak bekerja dengan komputer bekerja. Otak manusia perlu di-ON-kan dulu sebelum bekerja yang lebih jauh dengan mengembangkan afersepsi atau menumbuhkan motivasi sebelum masuk ke Bermawy Munthe
11
informasi yang lebih detail lebih sulit. Juga, komputer memiliki soft ware seperti program-program, memiliki folder-folder tempat penyimpanan data atau informasi (file-file), mempunyai sistem penyimpanan ke dalam folder-folder dan juga meiliki sistem pemanggilan ulang informasi (file) dari folder. Sebagaimana komputer, otak manusia juga memiliki soft ware yang kompleks yang terdiri dari ratusan juta folder tempat penyimpanan informasi, dan juga meiliki sistem pemanggilan ulang informasi (file) dari folder. Pembelajaran aktif atau inovatif untuk yang lebih efektif dan efisien menurut perspektif kepentingan mahasiswa-mahasiswa sangat banyak membantu kemampuan mereka menyimpan informasi hasil belajar (ranah kognisi, afeksi dan psikomotor) ke dalam Ingatan Jangka Panjang (Long Term Memory) otak. Hasil belajar dalam Ingatan Jangka Panjang dimungkinkan benyak berhasil berdasarkan kerja Working Menory yang didukung oleh pembelajaran aktif seperti memnggunakan berbagai strategi untuk memberi pengkodean, meenemukan kembali, mentransformasikan atau mengintegrasikan guna menyimpan hasil belajar. Working Menory Process menuntut dosen-dosen bekerja cerdas, intensif dan penuh komitmen keberhasilan pembelajaran. Ada beberapa mamfaat pembelajaran aktif sebagai efek langsung atau tidak langsung dari proses pembelajaran mahasiswa-mahasiswa. Pembelajaran aktif membantu mahasiswa-mahasiswa mengeksplor atau mencari satu perspektif berbeda karena mungkin berbeda pengalaman hidupnya atau berbeda kecenderungan harapan atau tuntutan hasil belajarnya. Kedua, pembelajaran aktif mendorong kesadaran mahasiswa terhadap sikap tolereansi hal-hal yang berbeda, ambiguitas dan kompleks, Ketiga, pembelajaran aktif aktif membantu mahasiswa mengenal dan mencari akar asumsi-asumsinya. Keempat, mendorong mahasiswa-mahasiswa terbiasa belajar mendengar yang santun dan atentif. Kelima, pembelajaran aktif mengembangkan sikap menghargai terhadap tumbuhnya perbedaan pandangan dan sikap, Keenam, pembelajaran aktif menumbuhkan sikap dan kebiasaan egalitas di antara mahasiswa-mahasiswa khususnya. Ketujuh, pembelajaran aktif membantu mahasiswa-mahasiswa selalu terkait dengan topic pelejaran. Kedelapan, pembelajaran aktif menunjukkan kepada mahasiswa-mahasiswa sikap hormat terhadap ucapan dan pengalaman mahasiswa-mahasiswa. Kesembilan, pembelajaran aktif membantu mahasiswamahasiswa belajar PROSES dan KEBIASAAN berpikir yang demokratis Kesepuluh, pembelajaran aktif membuktikan kepada mahasiswa-mahasiswa sebagai kopencipta ilmu pengetahuan di samping dosen. Kesebelas, pembelajaran aktif mengembangkan kapasistas mengkomunikasikan pikiran dan ide secara jelas. Keduabelas, pembelajaran aktif kebiasaan belajar kolaboratif, Ketiga belas, pembelajaran aktif menumbuhkan wawasan luas dan membuat mahasiswa-mahasiswa lebih empatis. Keempatbelas, pembelajaran aktif membantu mahasiswa-mahasiswa mengembangkan berpikir sintesis (merangkum berbagai unsur menjadi satu kesatuan yang utuh). Kelimabelas, pembelajaran aktif menggiring kearah terjadinya transformasi intelektual.
12
Interkoneksi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keadaban dan Strategi Pembelajaran
G. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, ternyata interkoneksi pengembangan ilmu-ilmu keadaban dan strategi pembelajaran sebuah keniscayaan khususnya melalui tradisi pembelajaran di perguruan tinggi sesuai dengan tabiat dan karakteristiknya karena ilmu keadaban yang lebih mengembangkan kompleksitas dwi-domain kognisi dan afeksi. Fungsi strategi pembelajaran aktif yang jauh lebih berpusat pada mahasiswa merupakan sebuah media untuk pengembangan ilmu keadaban. Interkoneksi ini kedua sisi ini dalam proses pembelajaran memungkinkan partisipasi dan keterlibatan aktif mahasiswa yang pada gilirannnya memudahkan terjadinya perubahan dari belum bisa menjadi bisa dan dari belum kompeten menjadi komepeten. Angelo, Thomas 1993 A Classroom Assessment Techniques: A Handbook for College Teachers, San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Apps, J.W. 1991 “Towards A Working Philosophy of Adult Education”, dalam Continuing Education dan ERIC Clearinghouse on Adult Education, No. 36, Syracuse: Syracuse University Publications dalam, 1973. Apps, J.W., Mastering the Teaching Adult, Malabar, Fla.: Krieger. Blank, William, E. 1982 Handbook for Developing Competency-Based Training Programs, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Brookfield, S. 1986 Understanding and Faciliting Adult Learning, San Francisco: Jossey-Bass. Cafarella, Rosemary S. 1994 , Planning Programs for Adult Learners: A Practical Guide For Educators, Trainers and Staff Developers, San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Canno, Robert dan David Newble 1995 , A Handbook for Teachers in Universities & Colleges, Adelaide: Cogan Page, 1995. Cranton, Patricia, 1995 , Planning Instruction for Adult Learners, Toronto: Wall & Emerson, Inc. Cranton, Patricia, 1992 , Working With Adult Learners, Toronto: Wall & Emerson, Inc., 1992. Cranton, Patricia, 1988 , “Selecting Instructional Strategies,” JOURNAL OF HIGHER EDUCATION, 57 3 , 259-0298. Cross, K. Patricia 1984 , Adults as Learners, San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Cross, K. Patricia 1981 , Adult Learners: Increasing Participation and Facilitating Learning, San Francisco, California: Jossey-Bass, Inc. Publisher. Bermawy Munthe
13
Cruickshank, Donald R., dan kawan-kawan 1995 , The Act of Teaching, Toronto: McGraw-Hill, Inc. Fraser, Kym, 1996 , Student Cantered Teaching: The Development and Use of onceptual Frameworks, Jamison Centre, Australia: Higher Education Research and Development Society of Australia. Knowles, Malcolm, The Modern Practice of Adult Education, New York: Association Press, 1980. Lovel-Troy, L. dan Eickman, P. 1992 , Course Design for College Teacher, New Jersey: Educational Technology Publication. McKeachie, Wilber J, Ed. , 1994 , Teaching Tips, Toronto: DC, Hearth and Company. Munthe, Bermawy, 2009 , Kunci Praktis Desain Pembelajaran, Yogyakarta: CTSD Center for Teaching Staff Development Novak, J., 1977 , A Theory of Education, Ithaca, New York: Cornell University Press. Novak, J.D. 1991 , “Clarify with Concept Maps”, The Science Teacher, 58:7, October. Ramsden, P., 1992 , Learning To Teach in Higher Education, New York: Rutledge. Renner, Peter, 1994 The Art of Teaching Adults, Vancouver; Training Associates. Silberman, M., 1996 , Active Learning: 101 Strategies To Teach Any Subject, Toronto: Alyn Bacon. Toohey, Susan 1999 Designing Courses for Higher Education, Buckingham; SRHE and Open University Press. Zaini, Hisyam, dkk. 2011 , Strategi Pembelajaran Aktif, CTSD Center for Teaching Staff Development
14
Interkoneksi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keadaban dan Strategi Pembelajaran
METODE PENDIDIKAN DALAM PERSFEKTIF HADIS (Suatu Analisas dengan pendekatan Syarah Maudu’i) Muhiddin Tahir STAI As’adiyah, Sengkang
[email protected] Abstrak Untuk mewujudkan kondisi yang ideal tersebut, salah satu alternative yang harus dilakukan adalah melakukan kajian hadits Nabi Saw. dengan segala pembahasannya. Salah satu kajian hadits yang dimaksud yaitu kajian tentang metode pendidikan. Karena metode memiliki kedudukan penting dalam pembelajaran baui umum maupun agama. Sejarah telah mencatat bahwa telah terjadi keajaiban-keajaiban pada saat Nabi-Nabi Allah melakukan sosialisasi Agama (dakwa dengan berbagai proses, dan kadang tak berdaya oleh kenyataan hidup manusia, namun akhirnya bisa meyusun suatu strategi (metode) dalam memperoleh kemaslahatan. Kesemuanya itu bisa tejadi atas rahmat Allah. Banyak kisah keajaiban yang diabadikan dalam Al-Qur’an dan Hadts yang menjadi bukti bahwa betapapun perkasanya seseorang, ia tetap sebagai segelintir makhluk kecil yang tak berdaya ditengah kondisi alam yang berubah-ubah. Metode tidak bisa dipisahkan dengan proses pendidikan. Keduanya adalah petunjuk Allah. Sehingga masing-masing dari keduanya harus menyatu secara seimbang dalam kehidupan seorang muslim. Kata Kunci: Metode, Pendidikan, dan Hadis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia lahir dan batin. Didalam agama Islam terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Petunjuk-petunjuk dalam Islam mengenai berbagai metode hidup dan kehidupan manusia terdapat dalam sumber ajaran-ajarannya yaitu Kitab Al-Qur’an dan Hadits/sunnah Nabi Saw yang maha agung. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin harus dapat menawarkan dan memberikan alternatif-alternatif dan pemecahan terhadap berbagai problem umat manusia. Al-Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk bagi umat Islam sendiri dan umat manusia pada umumnya disegala ruang dan waktu seharusnya dapat dipahami secara sistematis dan terpadu, pemahaman yang mendalam, luas, utuh, dan dinamis sekaligus di amalkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam proses pembelajaran Nabi Muhammad saw. dalam mengembang misi risalahnya senantiasa mengunakan metode dalam menerapkan pendidikan sebagai
15
sesuatu yang urgen dengan cara mengadakan pembelajaran kepada para sahabatnya supaya mereka memahami ajaran-ajaran Islam secara universal.1 Jadi dapat dikatakan bahwa metode pendidikan bagi umat manusia, terutama umat Islam pada khususnya merupakan kebutuhan dasar untuk memenuhi fungsi, peran, dan eksistensi kemanusiaannya. Metode pendidikan dapat dilakukan lewat jalur formal dan nonformal, serta memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses pengembangan kepribadian anak. Sebab metode merupakan proses untuk mencapai tujuan dapat mengantar peserta didik berfikir tenang dan jerni dan menerima menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan kepadanya. Di banyak hadis ditemukan yang berkenaan dengan contoh-contoh metode yang dilakukan oleh nabi dalam melakukan pembelajaran (dakwah) kepada sahabat-sahabatnya. Misalnya; hadis tentang pentingnya menunjukkan sikap keteladanan kepada peserta didik, orang tua memberikan pendidikan terhadap anak mereka; hadis tentang keutamaan mendidik anak; Hadis-hadis tersebut secara tematik bisa ditelusuri dalam Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawiyah, bisa juga melalui Mu’jam Miftah Kunus al-Sunnah, dan di era sekarang dapat pula ditelusuri melalui CD Rom Hadis dalam program komputerisasi. Kenyataan ini, berimplikasi tentang pentingnya penelitian hadis-hadis tentang metode pendidikan yang terdapat dalam berbagai kitab hadis. Lebih penting lagi, bila hadis-hadis tersebut dielaborasi dengan metode tematik2 dengan tetap memperhatikan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti kegiatan takhrij alhadits, naqd al-hadits dan fiqh al-hadits. B. Rumusan dan Batasan Masalah Berdasar dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah pokok yang menjadi pembahasan penulis adalah bagaimana konsep Metode Pendidikan dalam perspektif hadis maudhu’i ? Sejalan dengan rumusan masalah pokok tersebut, maka pembahasan ini dibatasi dalam beberapa sub masalah sebagai berikut : 1
Bahaking Rama, Sejarah Pendidikan Islam; Pertumbuhan dan Perkembangan Hingga Masa Khulafaurrasyidin (Jakarta:Paradotama Wiragemilang, 2002), h. 5. 2 Istilah metode tematik dalam pengkajian hadis Nabi merupakan terjemah dari al-manhaj al-mawdhu’iy fiy syarh hadīś. Istilah ini mengandung pengertian pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontologisnya maupun aspek epistimologis dan aksiologisnya secara keseluruhan, atau salah satu aspek, seperti aspek ontologisnya saja, dan atau salah satu sub dari salah satu aspeknya. Lihat Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis; Sebuah Rekonstruksi Epistimologis “Orasi Pengukuhan Guru Besar”, tanggal 31 Mei 2007 (Makassar: UIN Alauddin 2007), h. 4.
16
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
1. 2. 3. II.
Bagaimana pengertian Metode Pendidikan ? Bagaimana redaksi hadis-hadis Metode Pendidikan? Bagaimana analisis tematik hadis-hadis Metode Pendidikan? PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Pendidikan Term “metode” berasal dari kata “method” yang berarti melaksanakan. 3 Dalam istilah bahasa Inggris methode diartikan sebagai suatu cara mengerjakan sesuatu obyek. 4 Sedangkan metode diartikan sebagai cara kerja ilmiah yang bersifat umum, bersangkutan dengan jenis, sifat, dan bentuk mengenai cara-cara aturan dan patokan jalannya perbuatan, dan persetujuan 5 Metode dapat diartikan sebagai suatu cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud atau tujuan, ataupun cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.6 Sedangkan Langeveld, menjelaskan bahwa yang dimaksud pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.7 Adapun Mohammad Nasir menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu bimbigan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. 8 Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian yang dipublikasikan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si
3
Budi Kurniawan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Cipta Pelajar, 1997), h. 270 4 Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Efistimologis Memanfaatkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin ilmu,orasi Pengukuhan Guru Besar (Ujungpandang; IAIN Alauddin, 1999), h. 9 5 Andi Rasdiyana Amir, Matei Mata Kuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam 2, PPS, (Ujungpandang: IAIN, 2002). Lihat juga Neneng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1998), h. 3 6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 580 7 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 59 8 Lihat Muhammad Natsir, Capita Selekta (Bandung : Gravenhage, 1954), h.87 Muhiddin Tahir
17
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.9 Sedangkan menurut -Qardhawi memberi pengertian pendidikan sebagai pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan menyiapkan manusia untuk lebih hidup, baik dalam damai dan perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya.10 Dari beberapa pandangan ahli pendidikan di atas, jelaslah bahwa pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat. Jadi metode pendidikan yang dimaksud dalam makalah ini adalah suatu proses yang teratur, terencana dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud atau tujuan, ataupun cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan pendidikan (pembelajaran) yang ditentukan. B. Redaksi Hadis-hadis tentang Metode Pendidikan Langkah awal untuk mengetahui redaksi hadis-hadis tentang Metode Pen- adalah, melakukan takhrij al-hadīś.11 Untuk selanjutnya agar hadis-hadis tersebut diketahui kualitsanya maka dilakukan kegiatan naqd al-sanad,12 dan naqd al-matn.13 1. Takhrij al-Hadis Takhrij al-hadis dapat dilakukan dengan metode bi alfaz dan bi al-mawdu’i. Takhrij yang disebutkan pertama berdasarkan lafal dan takhrij yang disebutkan kedua berdasarkan topik masalah. 14 Karena kajian ini menggunakan metode tematik, maka takhrij dilakukan 9
M.Nglim Purwanto, op. cit., h. 59 Lihat Dr. Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasyah/Hasanal-Banna, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 39 11 Takhrij al-hadis adalah kegiatan pencarian hadis sampai menemukannya dalam berbagai kitab hadis yang disusun langsung oleh mukharrij-nya. Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan hadis secara lengkap dari segi sanad dan matan. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 42-42. 12 Naqd al-sanad adalah pemberian penilaian terhadap para periwayat dari thabaqat ke thabaqat dengan cara men-tajrih atau men-ta‘dil. Ibid., h. 6465. 13 Naqd al-matan adalah penelitian terhadap teks hadis mengenai susunan lafal dan kandungan matan. Ibid., h.131-135 14 Uraian lebih lanjut lihat H.Arifuddin Ahmad, Prof.Dr.H.M.Syuhudi Ismail; Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Intimedia dan Insan Cemerlang, 2003), h. 179-180 10
18
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
adalah takhrij bi al-mawdhu’i. Namun untuk hadis tertentu, tetap digunakan takhrij dengan metode bi alfaz. Pasilitas takhrij yang penulis digunakan adalah kitab Mu’jam dan CD. Rom Hadis melalui program komputer. Dengan merujuk judul pembahasan, dan rumusan masalah yang menjadi inti pembahasan kajian ini, maka hadis-hadis yang akan ditakhrij adalah yang bertemakan tentang metode pendidikan dan dapat diklasifikasi atas beberapa tema yakni tentang metode pendidikan (Atharikatu talimiyah), urgensi metode tersebut; prinsip-prinsip memberikan pendidikan pada anak didik dalam proses pembelajaran baik di lingkungan formal maupun non formal. a. Takhrīj hadis tentang urgensi pendidikan jasmani hadisnya adalah “D# ÀÎok# ÇÁ# ËLE]wà# ÓkÎtÁ# lU¹D# h\D# RÏFkEÁ”. Hadis ini, diperoleh dari informasi al-Mu’jam al-Mufahras melalui kata “ÓkÎtÁ ",15 dan dari kata tersebut diketahui bahwa hadisnya hanya terdapat 1 (satu) riwayat dari satu mukharrij yakni riwayat al-Turmūziy. b
Takhrīj hadis tentang Metode pendidikan Mufahras ditemukan data sebagai berikut :
######Õ¾Éà#c#EÅDÍ#˾Éà#c#ùc # #45/#½D#=#S # #4945#/464#/4#=#Ã\ c
Takhrīj hadis tentang hadis tentang Prinsip-prinsip dalam metode pendidikan dalam Bukhari dan Sunan al-Turmuzi kitab qadar hadis ke-12,.
Dari proses takhrij yang telah dilakukan, maka dapat diklasifikasi lebih lanjut redaksi hadis-hadisnya dengan cara mengutip susunan sanad dan matan-nya secara lengkap berdasarkan tema-tema hadis tersebut sebagai berikut : a Redaksi hadis tentang Urgensi Metode Pendidikan
#çÇLè #çOÎïÏFô #EæÆTæ hî \ æ #çmDînd æ ½ö D#ûlÁì Eæ©#ÑìLFô #çÇLè #çlÁì Eæ©#EæÆTæ hî \ æ #ïÑÂì | æ Êè Y æ ½ö D#āѾì©æ #çÇLè #çlx è Åæ #EæÆTæ hî \ æ #=#æÃü¾o æ Íæ #ìËÐè ¾ô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#úÀÎçokæ #æÀEµ#=#æÀEôµ#ìËü¾½D#ìhMè ©æ #úÇLè #úlÏúlX æ #èǪæ Êú ÐìLFô #èÇ©æ #ÕæoÎçÁ 15
CD Hadis Ibid., juz I, h. 14. Ibid., h. 47
16
Muhiddin Tahir
19
##ìÔÁæ EæÐ¶ì ½D##úÄÎè Ï##J#EæÊLì #æ¿Âì ©æ #èÇÁæ #êçlXôFÍ#EæÉ#úlX è Fô #ç˾ô±##÷ÔÆæ p æ \ æ #÷ÔÆî ço#úÄßèoKú ½ö D#Ñì±#îÇo æ #èÇÁæ #ìËÐè ¾ô©æ ##æÈEô¹#÷ÔÙæ Ðò o æ #÷ÔÆî ço#úÄßèoKú ½ö D#Ñì±#îÇo æ #èÇÁæ Íæ #ê×Ñ ès æ #èÃÉì kú ÎçXõF#èÇÁì #çyõ¶Æè çÏæ #èÈFô ##úlÐè ì ##Çè Áì #èÃÉì kú DæmÍè Fô #èÇÁì #çyõ¶Æè Ïæ #èÈF#úlÐè ì ##èÇÁì #ìÔÁæ EæÐ¶ì ½D##úÄÎè Ïæ ##Õô½J#EæÊLì #æ¿Âì ©æ #èÇÁæ ##çkmè Íú Í##Õô½Jú #EæÉçkmè Íú # #4:+þpÁ##ÌDÍk#,#ê×èÑs æ æ #èÇ©æ O í lè \ æ Çú Lè ¼ ì EæÂo ì Çè ©æ Ëì ü¾½D hì Mè ©æ ÑìLFô _û w ì EæÅ Çè ©æ Ò ï kú næ Y æ ½ö D R í Lì EæT çÇLè Ñ ï ¾ì©æ EæÆTæ hî \ #DÎçÅÎõ¹Íæ # DÎç|ô EæMPæ # Þô Íæ # DÍçho æ Eæ]Pæ # Þô # Àæ Eôµ# Ãæ ü¾o æ Íæ # Ëì Ðè ¾ô©æ # Ëü¾½D# Õü¾w æ #Ñ î Mì Æî ½D# Èî Fô # q û Åæ Fô # # 4;+ÒjÁ½D#ÌDÍk,#EéÅDæÎc è Jú #ìËü¾½D#ægEæM©ì æ #îÈFô # q û Åæ Fô # Çè ©æ O í lè \ æ Çú Lè ¼ ì EæÂo ì Çè ©æ Ëì ü¾½D hì Mè ©æ ÑìLFô _û w ì EæÅ Çè ©æ Ò ï kú næ Y æ ½ö D R í Lì EæT çÇLè Ñ ï ¾ì©æ EæÆTæ îh\ #EéÅDæÎc è Jú #ìËü¾½D#ægEæM©ì #DÎçÅÎõ¹Íæ #DÎç|ô EæMPæ #ôÞÍæ #DÍçho æ Eæ]Pæ #ôÞ#æÀEôµ# Ãæ ü¾o æ Íæ #ìËÐè ¾ô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #îÑMì Æî ½D # #+þpÁ#ÌDÍk, #ÕLöÞ#ÀEµ###þoÍ#Ëо©#D#Õ¾w#ÕMÅ#ÈF#Ölªs#ÞD#ÃÆ#ÕLD#Ç©##NsÎ\#ÇL#lÊs#Ç© # #+hD#ÌDÍk,#EºQ²½EcEÁ#ÓkÎtÁ#Õ±EÂQªÂQXD#ν#EÂÊÆ©#D#Ñ{k#l©Í#lºL #Ëо©#D#Õ¾w#D#ÀÎok#Rª#ÀζÏ#»¾Á#ÇL#qÅF#Rª#ÀEµ#Õ©#ÞD#·¾c#ÎLD#Ç© # #+ËXEÁ#ÇL#ÌDÍk,#Ô½#ß{#Õ¾©#«Â
Þ#RÁF#ÈD#þoÍ b Redaksi hadis tentang Prinsip dalam Menerapkan Pendidikan
#=# ÀEµ# # ËÆ©# # D# # Ñ{k# # Óô læ Ïè læ çÉ# ÕLôF# Çè © _û w ì EæÅ Çè ©æ Õô¾ªè Ïæ çÇLè ÕæÐ] è Ïæ EæÆTæ îh\ æ õÔMæ Ðè Qæ õµ EæÆTæ îh\ æ ##æÇÏúlp ò ªæ çÁ#DÎçUªæ Mè çP#èýô Íæ #æÇÏúlp ò Ðæ çÁ#èÃçQUè ªì çL#EæÂÅî Kú ±ô 111#=ÀEµ#æÃü¾o æ Íæ #ìËèоô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#çÀÎçokæ #æÀEôµæ # #4<+ÖkEdM½D##ÌDÍk, #ìËü¾½D# hì Mè ©æ # çÇLè # çlLì EæX# Ç© O í lè \ æ Çú Lè ¼ ì EæÂo ì Çè ©æ Ëì ü¾½D hì èÐMæ ç© ÑìLFô _û w ì EæÅ Çè ©æ R í Lì EæT çÇLè Ñ ï ¾ì©æ EæÆTæ îh\ æ #èÃõº½ô # y æ c î kæ # ÑìQü½D# Ëì ü¾½D# Ôì x æ c è çlLì # Ãè õºÐè ¾ô©æ æ# =# ÀEµ# Ãæ ü¾o æ Íæ # Ëì Ðè ¾ô©æ # Ëü¾½D# Õü¾w æ # Ëì ü¾½D# Àæ Îçokæ # Èî Fô # #53+ÕØEpƽD##ÌDÍk,#EæÉÎõ¾Mæ öµEô± 17
Iman Bukhari , Shahi Bukhari, dalam Cd. Rom, hadis ke-1875. Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, dalam CD. Rom Hadis al-Kutub al-Tis’ah, hadis ke-1874 19 Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Bairut: Dar al-Qutub al-Ilmiah, 1992), h. 321 20 al-Nazai, op. cit., h. 125. 18
20
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
#çÇèLD# èÇ©# Çú Âæ \ è lî ½D# hì Mè ©æ # Çú Lè # ×ì Eô¾ªæ ½ö D# Çè ©æ # lû ²ô ªè X æ # çÇLè # ç¿ÐìªÂæ o è Jú # EæÅlæ Mæ c è Fô # lû Y è ç\# çÇLè # Ñ ï ¾ì©æ # EæÆTæ hî \ æ #EæÂÅî Kú ±ô #úÇÏòh½D#Ñì±#îÎõ¾ç®½ö DæÍ#èÃõ¹EîÏJú Íæ 111#=#æÃü¾o æ Íæ #ìËÐè ¾ô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#çÀÎçokæ #ÀEµ#=Àæ Eôµ#ûrEîM©æ # ##54+ÕØEpƽD##ÌDÍk,##úÇÏòh½D#Ñì±#ïÎõ¾ç®½ö D#çÃõº¾ôMè µô #æÈEô¹#èÇÁæ #ô»¾ôÉè Fô #çÇèLD# èÇ©# Çú Âæ \ è lî ½D# hì Mè ©æ # Çú Lè # ×ì Eô¾ªæ ½ö D# Çè ©æ # lû ²ô ªè X æ # çÇLè # ç¿ÐìªÂæ o è Jú # EæÅlæ Mæ c è Fô # lû Y è ç\# çÇLè # Ñ ï ¾ì©æ # EæÆTæ hî \ æ #EæÂÅî Kú ±ô #úÇÏòh½D#Ñì±#îÎõ¾ç®½ö DæÍ#èÃõ¹EîÏJú Íæ 111#=#æÃü¾o æ Íæ #ìËÐè ¾ô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#çÀÎçokæ #ÀEµ#=Àæ Eôµ#ûrEîM©æ 55 í#+hF#ÌDÍk,##úÇÏòh½D#Ñì±#ïÎõ¾ç®½ö D#çÃõº¾ôMè µô #æÈEô¹#èÇÁæ #ô»¾ôÉè Fô Hadis-hadis yang telah ditakhrij akan diteliti lebih lanjut baik dari segi sanad dan matannya. Penelitian pada segi sanad diteliti dengan mengacu pada tolokukur jarh 23 dan ta’dīl. 24 Untuk efisensi penelitian sanad maka dipilih salah satu hadis. Sekaitan dengan itu, penulis menetapkan sebuah hadis dengan tema urgensi metode untuk diteliti secara cermat. Hadis tersebut diriwayat Iman Aturmisi. Berdasarkan kritik sanad ini menunjukkan bahwa adalah berkualitas sahih. Kesahihan sanad tersebut memberi isyarat bahwa kegiatan kritik matan hadis data dilanjutkan masing-masing pribadi periwayat tampak muttasil terhindar dari syaz dan illat maka sanad yang diteliti berkualitas sahih al-sanad. Di sisi lain, tidak tampak adanya kerancuan dalam matan targib (motivasi) tentang urgennya bagi pendidik untuk melaksanakan tugasnya atau tanggung jawabnya sebagai pendidik dalam mempersiapkan anak-anak mereka. C. Analisis Tematik Hadis-hadis Metode Pendidikan 1 Hadis Tentang Macam-Macam Metode dalam Aspek Pendidikan Tantangan pendidikan yang juga merupaka tantangan umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, bahkan dari abad ke abad, tentu sangat variatif. Tiap-tiap masa dan era 21
Hisamuddin al-Hindi Juz V, op. cit., h. 81 Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam CD. Rom Hadis Musnad al-Bashriyyin, hadis ke-19995 23 Jarh adalah menampakkan suatu sifat dalam diri perawi yang mencacatkan keadilannya, atau merusak hafalan ingatannya, yang dapat menyebabkan riwayatnya batal, atau lemah, atau ditolak. Lihat Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib, Usūl al-Hadīś; ‘Ulūmuhu Wa Musthalahuh (Cet.X; Damsyiq: Dār al-Ma’ārif, 1988), h. 330. Terdapat beberapa term yang menunjukkan sifatsifat cacat atau ketercelaan bagi perawi, misalnya akzab al-nās, kazzāb, matrūk al-hadīś atau zāhib al-hadīś dan yang semakna dengannya. 24 Ta’dīl adalah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adil, dan menjadikan riwayatnya dapat diterima. Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib, ibid., h. 132 22
Muhiddin Tahir
21
memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Dakwah yang dipaketkan ke masyarakat sudah barang tentu harus mengikuti irama pasar. Hadis Nabi Saw memberi petunjuk yang sangat arif:
# # 1#Ãζ©#khµ#Ѿ©#rEƽD#þºÅ#ÈF#EÅlÁD Artinya: (Kami diperintahkan untuk berdialog, berbincang, dan beraudiensi dengan manusia sesuai tingkat dan kadar intelektualnya).25 Hadis ini menyiratkan makna bahwa pembinaan umat harus disusun dan ditata sedemikian rupa dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat sehingga materi maupun metode dan medianya benar-benar sesuai dengan fenomena masyarakat dan cocok dengan segala pasar. Tentu saja penyesuaian pembinaan umat melalui dakwah ini tidak serta merta diartikan bahwa apa pun yang menjadi trend masyarakat harus diikuti. Prinsip Islam tentu saja harus tetap dijaga dan dipertahankan sebab tujuan tidak mungkin harus menghalalkan segala cara. Dalam hadis Rasulullah saw dinyatakan:
#ægEæM©ì #DÎçÅÎõ¹Íæ #DÎç|ô EæMPæ #ôÞÍæ #DÍçho æ Eæ]Pæ #ôÞ#æÀEôµ#æÃü¾o æ Íæ #ìËèоô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #îÑMì îƽD#îÈFô #ûqÅæ Fô #èÇ©æ # #59+þpÁ#ÌDÍk,#EéÅDæÎc è Jú #ìËü¾½D Guna memantapkan ukhuwah tersebut pertama kali al-Quran menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi. Dalam QS al-Maidah (5):48 dinyatakan :
#Ǻ½Í# Óh\Í# ÔëÁF# ú¾ª# D# ×EsνÍEXEÊÆÁÍ# Ô©ls# úÆÁ# EƾªX# ¿ë º½# 111 # #SDD#DζMQoE±#úP×IÁ#Õ±#ùξMн Terjemahnya: Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan seandainya Allah menghendaki, niscaya Din menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.27 Sehubungan dengan itulah, maka kegiatan dalam lembaga pendidikan, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam secara keseluruhan baik secara individual sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya 25
Bukhari, Shahi Bukhari (Bairut : Dar al-Kitab al-Arabi, t.th), h. 167 Jalāl al-Dīn al-Suyūtiy, Al-Jāmi' al-Saghīr al-Basyīr al-Nazir, juz I (t.tp: Dār al-Fikr, t.th), h. 149. 27 Departemen Agama RI, op. cit, h. 160. 26
22
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
masing-masing maupun secara kelembagaan yang diorganisir oleh kelompok atau individu. Adagium klasik bahwa Islam sesuai dan relevan dengan segala situasi, ruang, dan waktu hanya berlaku bila ia antara lain ditopang oleh kegiatan-kegiatan pendidikan misalnya secara strategik, taktis, profesional, dan mengikuti irama perkembangan masyarakat dengan segala tantangan dan dinamikanya. a. Metode Keteladanan. Salah satu tujuan utama pendidikan adalah perubahan perlahan masyarakat serta transformasi kontinu masyarakat untuk makin mendekatkan diri mereka kepada jalan yang lurus, karena Islam mengajarkan dan membimbing orang untuk tidak menjadi saleh dan benar sendiri saja.
1+þpÁ#ÌDÍk,#Õ¾Éà#c#EÅDÍ#˾Éà#c#ùc28# Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik (pembinaannya) untuk keluarganya.Dan Aku adalah yang paling baik untuk melakukan pembinaan keluargaku.” Kehidupan Rasulullah saw sebagai ayah, kebaikannya dalam berinteraksi dengan anak kecil, para sahabat, dan tetangganya juga merupakan teladan. Pemberian contoh teladan sangat efektif karena sasaran akan lebih mudah dan lebih cepat menyerap nilai-nilai Islam melalui contoh-contoh konkrit29. Iman yang benar seperti yang diisyaratkan Nabi bukan sekedar pengakuan atau ucapan, namun harus diwujudkan dalam perbuatan30. Seorang pria bisu yang pergi ke mesjid setiap hari dan sering menolong orang yang kesusahan, meskipun ia tidak pernah berbicara sepatah katapun akan memberikan imbas yang lebih kuat terhadap masyarakat di sekelilingnya dari pada ucapan seorang Kiai yang sering menyerukan kebaikan, namun ia sendiri tidak pernah melakukan kebaikan tersebut. Pada dasarnya, kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia. Peniruan bersumber dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok yang lain 28
h. 121.
Imam Muslim, Shahih Muslim Juz II (Dar al-Qutub al-Ilmiah, 1994),
29
Dedi Mulyana, Nuansa-nuansa Komunikasi (Cet. I; Bandung: Rosda Karya, 1999), h. 55 30 Ibid. Muhiddin Tahir
23
(empati) sehingga dalam peniruan itu, anak-anak cenderung meniru orang dewasa, kaum lemah cenderung meniru yang kuat, serta bawahan cenderung meniru atasannya. Pada hakekatnya, peniruan itu berpusat pada tiga unsur penting sebagai berikut: Pertama, kesenangan untuk meniru dan mengikuti. Hal ini umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja. Mereka terdorong oleh keinginan samar yang tanpa disadari membawa mereka pada peniruan gaya bicara, cara bergerak, cara bergaul, dan perilaku lain dari orang yang dikagumi. Rasululah mengingatkan kecenderungan saling mempengaruhi antar manusia dan menyeru umat manusia untuk mewaspada’i manfaat dan kerugian kecenderungan tersebut. Nabi saw bersabda:
#Ñì±# Çî o æ # Çè Áæ # =# Ãæ ü¾o æ Íæ # Ëì Ðè ¾ô©æ # Ëü¾½D# Õü¾w æ # Ëì ü¾½D# Àú Îçokæ # Àæ Eµ# =# Àæ Eôµ# Ëì ü¾½D# hì Mè ©æ # Çú Lè # lú ÏúlX æ # Çè ©æ #èÈFô ##úlÐè ì ##èÇÁì ##ìÔÁæ EæÐ¶ì ½D##úÄÎè Ï##J#EæÊLì #æ¿Âì ©æ #èÇÁæ #êçlXôFÍ#EæÉ#úlX è Fô #ç˾ô±##÷ÔÆæ p æ \ æ #÷ÔÆî ço#úÄßèoKú ½ö D ##çkmè Íú Í##Õô½Jú #EæÉçkmè Íú #ìËÐè ¾ô©æ ##æÈEô¹#÷ÔÙæ Ðò o æ #÷ÔÆî ço#úÄßèoKú ½ö D#Ñì±#îÇo æ #èÇÁæ Íæ #ê×Ñ ès æ #èÃÉì kú ÎçXõF#èÇÁì #çyõ¶Æè çæÏ # #64+þpÁ##ÌDÍk#,#ê×Ñ ès æ #èÃÉì kú DæmÍè Fô #èÇÁì #çyõ¶Æè Ïæ #èÈF#úlÐè ì ##èÇÁì #ìÔÁæ EæÐ¶ì ½D##úÄèÎÏæ ##Õô½J#EæÊLì #æ¿Âì ©æ #èÇÁæ Terjemahnya: “Barang siapa yang berbuat jejak baik dalam Islam, maka baginya pahala itu dan pahala orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala para pengikut itu. Barangsiapa yang membuat jejak buruk, maka baginya dosa pembuat jejak itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat, tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa pengikut itu”. Sabda Rasulullah saw itu merupakan seruan kepada para sahabat untuk memberikan sadaqah kepada segolongan kaum Muslim. Namun tidak ada seorang pun yang melakukannya. Kemudian mengulangi seruannya hingga bangkitlah para sahabat. Hasilnya ada sahabat yang datang dengan sepikul kurma, kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain. Maka mereka berlomba-lomba membawa harta miliknya untuk disedekahkan. Setelah itu Rasulullah menyeru lewat sabda di atas. Kedua, kesiapan untuk meniru. Setiap periode usia manusia kesiapan dan potensi yang terbatas untuk periode tersebut. Karena itulah, Islam mengenakan kewajiban salat pada anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun.
31
24
Imam Muslim Juz IV, op. cit., h. 83. Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
Ketiga, setiap peniruan terkadang memiliki tujuan yang sudah diketahui oleh sipeniru atau boleh jadi tujuan itu sendiri tidak jelas, bahkan tidak ada. Pada dasarnya, di kalangan anak-anak peniruan lebih cenderung didorong oleh tujuan kehidupan yang defensive. Rasulullah dalam aktivitas mendidik masyarakatnya dengan keteladanan sehingga dalam waktu yang relatif singkat Islam dapat diterima dengan baik. Memang Allah mengutus beliau sebagai teladan bagi manusia dalam mewujudkan tujuan dakwah Islam melalui firmanNya QS al-Ahzab (33) : 21 :
#æl¹ ô iæ Íæ #úlc æ àìæ Dö #æÄÎè Ðæ ½DæÍ#ôD#DèÎçXlè Ïæ #æÈEô¹#èÇÂæ ½ì #øÔÆæ p æ \ æ #øÓÎæ o è õF#ìD#úÀÎè çokæ #Õì±#èÃõº½ô #æÈú Eì ¹ ô #èh¶ô ½ô # ##DélÐè Uì ¹ ô #õD Terjemahan: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.32 Ali, sahabat setia yang mengenal Nabi saw lebih dari dirinya, tidak sanggup melukiskan akhlak Nabi saw. Ketika Saad bin Hisyam bertanya kepada Aisyah ra. tentang akhlak Rasulullah saw, Aisyah balik bertanya, ”Apakah kamu membaca al-Qur’an?” ”tentu saja,” jawab Saad. ”Akhlaknya al-Qur’an.” Ketika Aisyah didesak lagi untuk memperincinya, dia menyuruh orang untuk membaca sepuluh ayat surah al-Mu’minun.33 Kepribadian, karakter, perilaku, dan interaksi beliau dengan manusia merupakan pengejawantahan hakekat al-Qur’an, etika, dan hukumhukmnya secara praktis, manusiawi, dan dinamis. Lebih dari itu, akhlak beliau merupakan perwujudan landasan dan metode pendidikan. Pada dasarnya peserta didik sangat cenderung memerlukan sosok pendidik yang teladan dan anutan yang mampu mengarahkan manusia pada jalan kebenaran dan sekaligus menjadi perumpamaan yang menjelaskan cara mengamalkan syariat Allah swt. Keteladanan Rasulullah Saw dapat dilihat dalam berbagai kesempatan. Misalnya dalam kondisi yang memerlukan pengorbanan seperti perang, berinfaq, dan sebagainya. Dalam berperang, Rasulullah saw menerapkan sistem keberanian dan kesabaran yang patut dijadikan teladan oleh seluruh manusia. Pada perang Khandaq, beliau mengikatkan batu ke 32
Ibid, h. 666. Hisamuddin al-Hindi, Kanz al-Ummal Juz X (Muassasah al-Risalah, 1993), h. 87. 33
Muhiddin Tahir
25
perutnya untuk menahan lapar lalu menggali parit bersama para sahabat. Beliau memberikan semangat kepada seluruh sahabatnya dengan cara melibatkan diri ke dalam kancah peperangan. B. Metode Musyawarah
#ÌDÍk,# D# ÀÎok# ÇÁ# ËLE]wà# ÓkÎtÁ# lU¹D# h\D# RÏFkEÁ# =ÀEµ# ÓlÏlÉ# ÑLD# Ç© # #+ÖjÁ½D Artinya: Aku tidak melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya setelah Rasulullah Saw. (HR. Tirmidzi)34
#ÕLöÞ#ÀEµ###þoÍ#Ëо©#D#Õ¾w#ÕMÅ#ÈF#Ölªs#ÞD#ÃÆ#ÕLD#Ç©##NsÎ\#ÇL#lÊs#Ç© # #+hD#ÌDÍk,#EºQ²½EcEÁ#ÓkÎtÁ#Õ±EÂQªÂQXD#ν#EÂÊÆ©#D#Ñ{k#l©Í#lºL Artinya: Jika kamu berdua bersepakat dalam suatu musyawarah, akan tidak akan menyalahi kesepakatan kalian berdua. (HR. Ahmad).35
#Ëо©#D#Õ¾w#D#ÀÎok#Rª#ÀζÏ#»¾Á#ÇL#qÅF#Rª#ÀEµ#Õ©#ÞD#·¾c#ÎLD#Ç© # #+ËXEÁ#ÇL#ÌDÍk,#Ô½#ß{#Õ¾©#«Â
Þ#RÁF#ÈD#þoÍ Artinya: Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. (HR. Ibnu Majah)36 Disamping mengisyaratkan sebuah nilai keterbukaan dalam musyawarah, juga membersikan sebuah nilai tanggung jawab masing-masing anggota. Untuk ini, penting kiranya kita mengingat kembali peristiwa kehidupan Rasulullah pada perang Uhud sebagai yang ditulis oleh Lukman Hakim adalah demikian "sebuah berita diterima oleh Rasulullah Saw. dari Abbas Ibn Abdul Muthalib, bahwa pasukan Quraisy sudah tiba di kaki gunung Uhud sekitar 7,5 kilometer dari Madinah. Kaum Quraisy yang sakit hati atas kekalahan mereka pada perang Badar, berniat menebus kekalahan dengan menyerang Madinah diam-diam."37
34
Lihat Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Turmuziy, Sunan al-Turmuziy, dalam CD. Rom, kitab al-ilm op. cit., hadis ke-27 35 Lihat Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam CD. Rom Hadis Musnad al-Bashriyyin, hadis ke-19995 h. 22 36 Lihat ibid., h. 20 37 Lihat Lukman Hakim, "Tentang Keterbukaan", Majallah Bulanan Media Dakwah, No. 197, November 1999, h. 41
26
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
Peristiwa tersebut di atas, sungguh bernilai amat luhur. Membersihkan bukan saja tradisi bermusyawarah yang sudah di hidupkan dan merupakan bagian terpenting bagi jati diri kaum muslim, tetapi juga mengindikasikan semangat kerendahan hati untuk saling bicara dan mendengar, saling mengoreksi dan dikoreksi. C. Metode Kelemah#Lembutan.
#ÑìÆUè ªæ Mè Ïæ #èýô #æËü¾½D#îÈJú #111#æÃü¾o æ Íæ #ìËÐè ¾ô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#úÀÎçokæ # ÀEµ#=#æÀEôµ#ìËü¾½D#ìhMè ©æ #úÇLè #úlLì EæX#èÇ©æ # #6;+þpÁ#ÌDÍk,##Délp ò Ðæ çÁ#Eé¾Āªæ çÁ#ÑìÆUæ ªæ Læ #èǺ ì ½ô Íæ #EéQÆò ªæ Qæ çÁ#ÞæÍ#EéQÆò ªæ çÁ Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk menyusahkan dan menyengsarakan, tapi sebagai pendidik yang memudahkan. Ketika Rasulullah Saw mengutus Abu Musa al-Asyari dan Mudden bi Jabal ke Yaman, beliau memberikan nasihat yang sangat pendek namun padat. Kepada kedua sahabatnya memberi pesan bahwa hendaknya mereka jangan mempersulit, jangan berbuat yang orang lain bisa menjauhi, serta juga berselisih. Hadis tersebut dipertegas oleh QS Ali Imran(3) ayat 159 Allah swt berfirman:
#»½Î\# ÇÁ# DÎ|²Å# Þ# N¾¶½D# §Ð¾# E¦±# Rƹ# νÍ# Ã# Rƽ# D# ÇÁ# Ôk# EÂM± #D#ÈJ#D#Õ¾©#¿ù¹ÎQ±#RÁn©#DiK±#lÁàD#Õ±#ÃÉkÍEsÍ#Ã#l®QoÍ#ÃÊÆ©#³©E± # #¾¹ÎQD#N Terjemahan: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.39 Akhlak yang lemah lembut itu dijelaskan dengan ayat selanjutnya yaitu tidak Fazhzhan40 dan tidak Ghalizhal qalbi.Fakhruddin al-Razi menjelaskan perbedaan antara Fazhzhan dan Ghalizhal qalbi dengan memberikan contoh. 38
Imam Bukhari, op. cit., h. 137 Ibid., h. 100. 40 Fazhazhan artinya lisan yang kasar, sering menyakiti orang lain dan tingkah laku yang mengganggu orang lain. 39
Muhiddin Tahir
27
Mungkin ada orang yang akhlaknya tidak jelek, tidak pernah mengganggu orang lain, lidahnya tidak pernah menyakiti orang tetapi dalam hatinya tidak pernah ada rasa kasihan kepada orang lain. Orang ini tidak kasar, tetapi dalam hatinya tidak ada rasa kasih sayang. Ia tidak Fazhzhan tapi Ghalizhal qalbi. Kedua sifat itu tidak boleh menempel pada diri seorang pendidik dan pemimpin.41 2. Prinsip dalam Metode Pendidikan Prinsip seorang guru yang harus dimiliki dalam proses pembelajaran yaitu prinsip kemudahan sebagaimana Rasulullah bersabda :
#=ÀEµ#æÃü¾o æ Íæ #ìËèоô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#çÀÎçokæ #æÀEôµæ#=#ÀEµ##ËÆ©##D##Ñ{k##ôÓlæ èÏlæ çÉ#ÕLôF#èÇ© # #75+ÖkEdM½D##ÌDÍk,##æÇÏúlp ò ªæ çÁ#DÎçUªæ Mè çP#èýô Íæ #æÇÏúlp ò Ðæ çÁ#èÃçQUè ªì çL#EæÂÅî Kú ±ô 111 Artinya : Sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk memberikan kemudahan dan bukan membuat kesulitan. Allah Yang Maha Bijaksana tidak mungkin menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw dengan sebuah syariat yang umum dengan cara mempersulit penganutnya sehingga mereka tidak mampu menjalankan syariat Islam. Allah SWT menurunkan syariat ini, menginginkan rahmat dan kemudahan kepada umat manusia.43 Bahkan tidak ada satupun dari sunah Rasulullah Saw yang memberatkan dan mempersulit manusia. Rasulullah menyatakan dirinya sendiri bahwa beliau diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam. Dalam hadist yang lain Rasululah bersabda:
#ìËü¾½D#ìÔx æ c è çlLì #èÃõºÐè ¾ô©æ æ#=#ÀEµ#æÃü¾o æ Íæ #ìËÐè ¾ô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#æÀÎçokæ #îÈFô #ìËü¾½D#ìhMè ©æ #çÇLè #çlLì EæX#Ç© # #77+ÕØEpƽD##ÌDÍk,#EæÉÎõ¾Mæ µö Eô±#èÃõº½ô #æyc î kæ #ÑìQü½D Artinya : Sesungguhnya Allah didatangkan kemudahan sebagaimana dia benci ma’siat dilakukan kepada-Nya.
41
Fakhruddin al-Rasy, al-Tafsir al-Kabir, (Mesir: Matbaah al-Misriyah, 1939), h. 87. 42 Bukhari op. cit. h. 134 43 Mustafa Malaikah, Fi Usul al-Dakwah Muktabisat Min Kutub alDuktur Yusuf Qardhawi, diterjemahkan oleh Samson Rahma dengan judul Manhaj Dakwah Yusuf Qardhawi (Cet I, Pustaka al-Kausar, Jakarta, 2001). H. 54. 44 al-Nazai, op. cit., h. 125.
28
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa hendaknya mengambil kemudahan yang memang Allah sudah berikan. Salah satu petunjuknya adalah bahwa jika dihadapkan pada dua perkara, maka dia akan memilih yang lebih gampang dari keduanya, sepanjang pilihan itu tidak termasuk dosa. Hal tersebut dinyatakan secara jelas di dalam al-Quran bahwa Allah swt menghendaki umatnya kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran. Allah berfirman dalam QS al-Baqarah (2) :185). Ayat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran adalah memberi kemudahan dan menghilangkan kesukaran. Begitu juga penjelasan Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa tidak ada bahaya dan juga tidak boleh membahayakan. Pernyataan Rasulullah ini menunjukkan bahwa tujuannya adalah untuk menyingkirkan bahaya dari manusia. 45 Itulah sebabnya Rasulullah bersabda untuk menyikapi sikap ekstrim ini dengan sabdanya :
#úÇÏòh½D#Ñì±#îÎõ¾ç®½ö DæÍ#èÃõ¹EîÏJú Íæ 111#=#æÃü¾o æ Íæ #ìËÐè ¾ô©æ #Ëü¾½D#Õü¾w æ #ìËü¾½D#çÀÎçokæ #ÀEµ#=Àæ Eôµ#ûrEîM©æ #çÇèLD#èÇ© 79 # ## +ÕØEpƽD##ÌDÍk,##úÇÏòh½D#Ñì±#ïÎõ¾ç®½ö D#çÃõº¾ôMè µô #æÈEô¹#èÇÁæ #ô»¾ôÉè Fô #EæÂÅî Kú ±ô Artinya : Jangalah kalian bersikap ekstrim dalam beragama, karena sesungguhnya orang-orang terdahulu celaka karena sikap ekstrim mereka dalam agama. Ibnu Taimiah sebagaimana dikutip Mustafa Malaikah menyatakan bahwa maksud sabda Rasulullah yang menyatakan janganlah bersikap ekstrim dalam agama dalah bersikap umum dan mencakup semua bentuk tindakan yang berlebih-lebihan, baik dalam aqidah maupun dalam perbuatan. Sedangkan yang dimaksud dengan ghuluu (ekstrim) adalah tindakan melampaui batas. Pernyataan Rasulullah Saw pada umatnya agar tidak melakukan tindakan ekstrim dan berlebih-lebihan bukan disebabkan apa-apa. Itu tidak lain karena tindakan ekstrim mengandung aib yang menyertainya. Menurut Muhammad Husain Fadhlullah, kata hikmah pada hadis di atas, adalah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukakan suatu perbuatan. Dengan kata lain selalu memperhatikan realitas yang terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun sosial.47
45
Abd. Majid al-Najjar, Fi Figh al-Tadayyan, Fahman wa Tanzila, diterjemahkan oleh Badaruddin Faudah dengan judul Pemahaman Islam Antara Ra’yu dan Wahyu, (Cet. I; Bandung: Remaja Raoda Karya, 1997), h.34. 46 Jalāl al-Dīn al-Suyūtiy, Al-Jāmi' al-Saghīr al-Basyīr al-Nazir, juz I (t.tp: Dār al-Fikr, t.th), h. 140 47
Muhammad Husain Fadhhillah, op.cit, h. 46
Muhiddin Tahir
29
III.
PENUTUP Berdasarkan uraian dalam makalah ini, maka penulis akan menarik beberapa poin yang terpenting yang merupakan kesimpulan secara keseluruhan terhadap penjelasan-penjelasan yang tertera di atas sebagai berikut: 1. Jadi metode pendidikan yang dimaksud dalam makalah ini adalah suatu proses yang teratur, terencana dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud atau tujuan, ataupun cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan pendidikan (pembelajaran) yang ditentukan. 2. Dalam memilih suatu metode yang realistis (praktis) dalam melakukakan suatu perbuatan (pembelajaran). Dengan kata lain selalu memperhatikan realitas yang terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun sosial pesertadidik , Prinsip Metode Pendidikan dalam perspektif Hadis yaitu keteladanan, kelemah lembutan, dan Musyawarah sedang prinsip yang harus dimiliki pendidik yaitu kebijaksanaan dan kemudahan
30
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
DAFTAR PUSTAKA Rama, Bahaking. Sejarah Pendidikan Islam; Pertumbuhan dan Perkembangan Hingga Masa Khulafaurrasyidin. Jakarta:Paradotama Wiragemilang, 2002 Ahmad, Arifuddin. Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis; Sebuah Rekonstruksi Epistimologis “Orasi Pengukuhan Guru Besar”, tanggal 31 Mei 2007. Makassar: UIN Alauddin 2007 Kurniawan, Budi Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Cipta Pelajar, 1997 Salim, Abd. Muin Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Efistimologis Memanfaatkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin ilmu,orasi Pengukuhan Guru Besar Ujungpandang; IAIN Alauddin, 1999 Amir, Andi Rasdiyana Matei Mata Kuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam 2, PPS, Ujungpandang: IAIN, 2002 Muhajir, Neneng. Metodologi Penelitian Kualitatif,Yogyakarta: Rakesarasin, 1998 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Purwanto, M. Ngalim Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994 Muhammad Natsir, Capita Selekta Bandung : Gravenhage, 1954 Qardhawi, Yusuf Pendidikan Islam dan Madrasyah/Hasanal-Banna, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta : Bulan Bintang, 1980 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Turmuzi, Abu Isa Muhammad bin Isa al. Sunan al-Turmuzi, dalam CD. Rom Hadis al-Kutub al-Tis’ah, hadis ke-1874 Bukhari, Imam Shahih Bukhari. Bairut: Dar al-Qutub al-Ilmiah, 1992 Hanbal, Abu Abdullah Ahmad bin Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam CD. Rom Hadis Musnad al-Bashriyyin, hadis ke-19995. Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib, Usūl al-Hadīś; ‘Ulūmuhu Wa Musthalahuh Cet.X; Damsyiq: Dār al-Ma’ārif, 1988 Suyūtiy, Jalāl al-Dīn al- Al-Jāmi' al-Saghīr al-Basyīr al-Nazir, juz I (t.tp: Dār alFikr, t.th Imam Muslim, Shahih Muslim Juz II (Dar al-Qutub al-Ilmiah, 1994), h. 121. Mulyana, Dedi Nuansa-nuansa Komunikasi. Cet. I; Bandung: Rosda Karya, 1999 Hindi, Hisamuddin al- Kanz al-Ummal Juz X (Muassasah al-Risalah, 1993), h. 87. Hanbal, Abu Abdullah Ahmad bin Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam CD. Rom Hadis Musnad al-Bashriyyin, hadis ke-19995 h. 22
Muhiddin Tahir
31
Hakim, Lukman "Tentang Keterbukaan", Majallah Bulanan Media Dakwah, No. 197, November 1999, Rasy, Fakhruddin al- al-Tafsir al-Kabir, Mesir: Matbaah al-Misriyah, 1939. Malaikah,Mustafa Fi Usul al-Dakwah Muktabisat Min Kutub al-Duktur Yusuf Qardhawi, diterjemahkan oleh Samson Rahma dengan judul Manhaj Dakwah Yusuf Qardhawi. Cet I, Pustaka al-Kausar, Jakarta, 2001 Najjar, Abd. Majid al- Fi Figh al-Tadayyan, Fahman wa Tanzila, diterjemahkan oleh Badaruddin Faudah dengan judul Pemahaman Islam Antara Ra’yu dan Wahyu, (Cet. I; Bandung: Remaja Raoda Karya, 1997 Suyūtiy, Jalāl al-Dīn al- Al-Jāmi' al-Saghīr al-Basyīr al-Nazir, juz I. t.tp: Dār alFikr, t.th
32
Metode Pendidikan dalam Persfektif Hadis
PENERAPAN METODE CATATAN TERBIMBING BERBANTUAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF PADA KD KETENTUAN HAJI Oleh. Nur Ainiyah Universitas Negeri Semarang. Email.
[email protected] ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan penerapan metode catatan terbimbing berbantuan MPI yang dibuktikan dengan peningkatan hasil belajar siswa, terdapat perbedaan hasil belajar pada kelas kontrol dan kelas eksperimen, terdapat pengaruh variabel aktivitas terhadap variabel hasil belajar, dan adanya respon positif siswa terhadap pembelajaran. Pada penelitian ini digunakan metode penelitian quasi eksperimen dengan model one group pretest – posttest kontrol. Sampel dari penelitian ini adalah siswa kelas VIII MTsN Borobudur tahun 2011/2012. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan rata – rata hasil belajar pada kelas eksperimen dan kontrol, hasil postes kelas kontrol dan eksperimen berbeda nyata, Variabel Aktivitas belajar berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar, siswa pada kelas eksperimen mempunyai respon positif terhadap pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian tersebut hendaknya dilakukan penelitian pengembangan perangkat pembelajaran lebih lanjut pada mapel fiqih dengan menciptakan inovasi pembelajaran yang lebih bervariasi agar dapat mencipatakan proses pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk belajar. The objective of this research is to find out the effectiveness of the application of guidance notes method through multimedia interactive learning which is proven by the improvement of the students’ learning result, there is differentiation between the result of learning in class control and class experiment, there is affect to the variable activity toward the result of learning, and there is positive respond to the learning activities. This research used quasi experiment method with one group model pre test and post test control. The sample of this research is the students of VIII grade MTSN Borobudur Magelang in 2011/2012. The result of research indicated that there is improvement of the students learning in class experiment and class control, the result of post test in class control and class experiment is different significantly. The variable of the students’ activities result affected significantly to the result of learning. The students in class experiment have positive respond to the learning activities. Based on the research result it should be done another research about the development of learning instrument in fiqih by creating learning innovation with more variety to create teaching and learning process to motivate students in learning. Kata kunci: Haji, Metode Catatan Terbimbing, Aktivitas Belajar, Hasil Belajar
33
A. Pendahuluan Pendidikan agama Islam mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam kurikulum pendidikan nasional, salah satu tugasnya adalah membentuk karakter siswa yang berkepribadian, berakhlak mulia dan bertaqwa, hal ini juga tertuang Dalam Undang - undang no 19 tahun 2005 yang menyatakan bahwa pendidikan agama termasuk dalam kelompok mata pelajaran akhlak mulia. Secara lebih khusus mata pelajaran Pendidikan Agama Islam diarahkan untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam bagi siswa, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan penggunaan, pengamalan dan pembiasaan. Materi pendidikan agama Islam merupakan bagian dari pendidikan yang harus diajarkan pada setiap satuan pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dalam proses pembelajarannya harus mengacu pada standar proses pendidikan nasional yaitu Pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpastisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik ( PP no 19 tahun 2005 ). Madrasah Tsanawiyah merupakan sekolah yang berbasis agama oleh karena itu materi pendidikan agama di Madrasah Tsanawiyah dibagi menjadi empat mata pelajaran yang meliputi Al quran hadits, Akidah akhlak, Fiqih, dan SKI. Didalam penelitian ini, Peneliti lebih memfokuskan penelitian pada mata pelajaran Fiqih dengan standar kompetensi: memahami hukum Islam tentang haji dan umroh, pada Kompetensi dasar: mengidentifikasi Hukum Islam tentang ketentuan ibadah haji. Materi Hukum Islam tentang ketentuan ibadah haji terdiri dari konsep pembahasan materi yang sangat luas. maka menjadi hal yang sangat menarik jika guru dapat menyajikan materi dengan desain pembelajaran yang tepat, karena selama ini penyampaian materi lebih banyak bersifat teacher centered, dimana guru lebih aktif dan lebih sering menggunakan metode ceramah sehingga suasana kelas menjadi monoton dan membosankan bagi siswa, dan akhirnya tujuan dari pembelajaran tidak tercapai dengan baik Salah satu variasi metode yang dapat dipilih guru dalam PBM adalah metode catatan terbimbing. Metode ini merupakan pengembangan dari strategi pembelajaran Inquiry – Discovery (penyelidikan dan penemuan), dimana strategi ini menekankan kepada penyelidikan yang dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk – petunjuk guru. Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk pertanyaan membimbing. (Sumiati, 2008: 103) Menurut Larzarus (1996: 3) ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menyusun catatan terbimbimg yaitu: a. Catatan terbimbing akan efektif jika dibuat berdasarkan materi yang sedang diajarkan.
34
Penerapan Metode Catatan Terbimbing Berbantuan Multimedia Pembelajaran Interaktif
b.
Harus Berisi gagasan utama, setidaknya yang akan dibahas dalam pembelajaran. c. Dapat menggunakan format Kata kunci, definisi, masalah – masalah yang terkait dan sudut pandang yang membangun (hindari definisi yang membingungkan siswa). Salah satu variasi yang dapat dikembangkan dalam catatan terbimbing adalah menyediakan formulir atau lembar yang telah dipersiapkan. Lembar ini menginstruksikan siswa untuk membuat catatan sewaktu guru mengajar. Ada bermacam – macam bentuk catatan terbimbing yang dapat dibuat olah guru, yang paling sederhana di antaranya adalah mengisi bagian-bagian kalimat yang kosong pada lembar kerja yang berisi pokok materi yang sedang dipelajari. (Melvin L Silbermen, 2011: 123): Kelebihan dari metode catatan terbimbing adalah guru dapat mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, sangat efektif jika diterapkan pada materi pelajaran yang mencakup konsep – konsep luas sementara waktu belajar terbatas. Selain dapat mendengar melalui penuturan siswa juga dapat mengobservasi materi melalui demonstrasi, dan metode ini dapat diterapkan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar. Pemilihan metode catatan terbimbing merupakan salah satu alternatif metode yang diharapkan dapat mengatasi kejenuhan siswa dalam mengikuti PBM khususnya tentang materi ibadah haji sehingga muncul motivasi siswa dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan metode catatan terbimbing siswa dapat lebih berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran karena siswa dituntut untuk menyimak secara jeli materi yang sedang diajarkan, untuk mengisi lembar isian yang telah disediakan oleh guru. Agar pembelajaran dapat berlangsung secara mandiri (student centered), lebih menarik dan bermakna maka digunakan multimedia pembelajaran interaktif (MPI) sebagai pembelajaran. Hal ini juga akan membantu guru dalam menyampaikan pelajaran yaitu lebih sistematis dan dapat memberi penekanan pada topik pembahasan. Multimedia pembelajaran interaktif adalah alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan –batasan dan cara mengevaluasi pembelajaran yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi mata pelajaran yang diharapkan sesuai dengan kompleksitasnya. (Susilana, 2008: 125) Prinsip umum dalam pengembangan metode catatan terbimbing berbantuan multimedia pembelajaran interaktif adalah agar pembelajaran lebih menarik, interaktif dan menyenangkan. Adapun langkah-langkah dalam melaksanakan metode catatan terbimbing berbantuan MPI yang didesain dalam penelitian ini adalah: a. Guru menjelaskan tujuan dari pembelajaran b. Guru memberikan penjelasan kepada siswa mengenai penggunaan MPI pada pembelajaran Fiqih yang akan dilaksanakan Nur Ainiyah
35
c.
Guru membagikan lembar catatan yang telah dipersiapkan sebelumnya kepada setiap siswa. Lembaran ini berupa catatan dengan beberapa bagian kalimat yang dikosongi. d. Guru menginstruksikan kepada siswa untuk mengisi bagian yang kosong tersebut dengan memperhatikan dan melihat tampilan materi dalam MPI yang akan ditayangkan (di dalam tayangan MPI akan diberikan tanda pada beberapa kata kunci). e. Masing-masing siswa menyimak materi yang terdapat dalam MPI kemudian mengisi lembar soal yang telah dibagikan oleh guru f. Diakhir pelajaran beberapa siswa menampilkan hasil pekerjaannya dan siswa yang lain menyimak dan memberikan pendapat g. Guru memberikan umpan balik positif dan memberikan penguatan terhadap materi yang sedang dipelajari h. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. i. Guru memberikan tugas secara berulang kepada siswa. Tujuan dari penulisan artikel ini yaitu untuk mengetahui keefektifan penerapan metode catatan terbimbing berbantuan MPI yang dibuktikan dengan (1) hasil belajar siswa mencapai ketuntasan, (2) terdapat perbedaan hasil belajar pada kelas kontrol dan kelas eksperimen, (3) variabel aktivitas siswa berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa, (4) respon siswa terhadap pembelajaran dengan menerapkan metode catatan terbimbing berbantuan MPI sangat baik. B. METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan quasi eksperimen dengan one group pretest – posttest. (Soegiyono, 2010: 111)
O1 X O2 O3 O4
O1 O2 O3 O4 X
= pretest kelas eksperimen = posttest kelas eksperimen = pretest kelas kontrol = posttest kelas kontrol = treatment berupa penerapan model
Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas VIII tahun ajaran 2011/2012 semester genap yang berjumlah 273 dengan delapan kelas pararel, untuk uji coba dilakukan pada dua kelas yaitu satu kelas sebagai kelas kontrol dan satu kelas lainnya sebagai kelas eksperimen atau kelas yang diberi perlakuan. sampel diambil dengan tehnik purposive sampling. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah (1) tes, untuk pengambilan data pretes dan postes pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen; (2) lembar observasi, untuk pengambilan data aktivitas belajar pada kelas kontrol dan kelas eksperimen; (3) angket, untuk pengambilan data respon siswa terhadap pembelajaran pada kelas eksperimen.
36
Penerapan Metode Catatan Terbimbing Berbantuan Multimedia Pembelajaran Interaktif
Instrumen tes dalam penelitian ini berbentuk tes pilihan ganda yang berjumlah 20 soal yang mewakili setiap indikator pembelajaran yang dikembangkan. Instrumen tes diberikan pada kelas kontrol dan eksperimen sebelum (pretes) dan sesudah (postes) dilakukan pembelajaran. Pretes bertujuan untuk mengetahui kemampuan rata – rata awal siswa, sedangkan postes bertujuan untuk mengetahui kemampuan rata – rata siswa setelah dilakukan pembelajaran Instrumen observasi aktivitas siswa dalam penelitian ini merupakan lembar penilaian terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung yang berupa lembar pengamatan. Terdapat 9 item kriteria pengamatan yang berkaitan dengan indikator aktivitas siswa. Penyekoran dilakukan dengan skala 1–4, dengan kategori 1 = sangat buruk, 2 = buruk, 3 = baik, 4 = sangat baik. Sehingga diperoleh skor minimal sebesar 9 dan skor maksimal sebesar 36, Sedangkan klasifikasi skor aktivitas siswa adalah sebagai berikut: Tabel 1. Klasifikasi Skor Aktivitas Siswa Interval Kategori 9 ≤ x < 15 Sangat rendah 15 ≤ x < 22 Rendah 22 ≤ x < 29 Tinggi 29 ≤ x ≤ 36 Sangat tinggi Instrumen angket dalam penelitian digunakan untuk mengambil data respon siswa. Terdapat 10 item pertanyaan yang berhubungan dengan respon siswa terhadap pembelajaran. Penyekoran dilakukan dengan membuat skala jawaban “ya” dan “tidak”, dengan skor 1 = ya dan skor 0 = tidak, sehingga diperoleh skor minimal sebesar 0 dan skor maksimal sebesar 10, kemudian dilakukan analisis dengan cara menjumlahkan kategori jawaban siswa dengan klasifikasi sebagai berikut : Tabel 2. Klasifikasi Skor Respon Siswa Interval Kategori 0≤x<3
Tidak Baik
3≤x<6
Baik
6 ≤ x ≤ 10
Sangat Baik
Tehnik analisis data pada penelitian ini meliputi: Pertama, Uji ketuntasan hasil belajar siswa dilakukan dengan uji banding satu sampel. Hasil belajar siswa dikatakan mencapai KKM atau tuntas jika nilai yang diperoleh siswa dalam tes kompetensi 75 dengan ketuntasan klasikal 75%, Dengan
Nur Ainiyah
37
analisis hasilnya adalah terima jika sig > 5% sebaliknya tolak jika sig < 5%. Kedua, uji perbedaan; dimaksudkan untuk membandingkan rataan hasil belajar siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dengan mengasumsikan bahwa kedua kelas mempunyai varians yang sama maka analisis hasilnya adalah terima jika sig 5% dan tolak jika sig < 5%. (Sukestiyarno, 2010:110) Ketiga, uji regresi sederhana; dimaksudkan untuk menguji apakah variabel aktivitas belajar berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Analisis hasilnya terima jika F hitung < F tabel, sebaliknya tolak jika F hitung > F artinya menerima atau persamaan adalah linier. tabel. Dengan menolak Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan seberapa besar pengaruh variabel X terhadap variabel Y dengan melihat nilai determinasi . C. Hasil dan Pembahasan Keefektifan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini dibuktikan dengan mengamati aktifitas siswa dalam pembelajaran, respon siswa terhadap pembelajaran dan hasil belajar siswa. Observasi terhadap aktivitas siswa dilakukan pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen yang dilakukan oleh 3 observer dan dilakukan selama tiga kali pertemuan. Data rata-rata aktivitas belajar kelompok eksperimen sebesar 26 berada pada rentang 22 ≤ x < 29 artinya kategori aktivitas siswa tinggi, sedangkan Data rata-rata aktivitas siswa kelas kontrol sebesar 22 berada pada rentang 22 ≤ x < 29, artinya kategori aktivitas siswa berada pada kategori tinggi. Jadi dapat disimpulkan jika aktivitas siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Angket respon dalam penelitian ini hanya diberikan pada kelas eksperimen. Data penelitian menunjukkan jika rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran adalah sangat baik. Artinya penerapan metode catatan terbimbing berbantuan MPI dalam pembelajaran ibadah haji menurut sebagian besar siswa merupakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan dan memotivasi siswa untuk belajar Penerapan metode catatan terbimbing berbantuan multimedia pembelajaran interaktif terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa mencapai ketuntasan individu yang telah ditetapkan sebesar 75 dan ketuntasan klasikal sebesar 75%. Rata-rata nilai postes kelas eksperimen 84,6 ≥ 75, begitu juga rata-rata nilai postes kelas kontrol 79,4 ≥ 75, berarti kedua kelas dapat mencapai ketuntasan individu. Hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
38
Penerapan Metode Catatan Terbimbing Berbantuan Multimedia Pembelajaran Interaktif
Tabel 3. Tes Hasil Belajar Kelompok Pre-test Post-tes KKM Eksperimen 62,8 84,6 75 Kontrol 62,6 79,4 75 Sumber: Data Primer, 2012 Uji ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal dilakukan dengan membandingkan jumlah siswa yang mencapai KKM dengan jumlah total siswa dalam satu kelas. Berdasarkan perhitungan jumlah peserta didik kelas eksperimen yang mencapai KKM berjumlah 35 dari 36 jumlah keseluruhan siswa dalam satu kelas atau 97% > 75%, sedangkan untuk kelas kontrol peserta didik yang mencapai KKM berjumlah 28 dari 36 jumlah keseluruhan siswa, atau 78 % > 75%. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4. Tes Hasil Belajar Kelompok Jumlah siswa Total siswa % KKM(%) mencapai KKM Eksperimen 35 36 97 75 Kontrol 28 36 78 75 Sumber: Data Primer, 2012 Dari data diatas dibuktikan bahwa penerapan metode catatan terbimbing berbantuan multimedia pembelajaran interaktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa ditunjukkan dari kenaikan rata-rata hasil belajar pretes dan postes pada kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol, baik pada ketuntasan individu maupun pada ketuntasan klasikal Uji beda hasil belajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 5. Hasil Uji Beda pada Kelas Kontrol Dan Kelas Eksperimen Levene's Test t-test for Equality of Means Equality of Variances F sig t df Sig.(2tailed) Equal Variance 1.722 1.94 3.037 70 .003 Assumed Equal Variance not 3.037 68.294 .003 Assumed Sumber:Data Primer, 2012 Dari Tabel di atas dapat diperoleh simpulan bahwa dilihat dari nilai kesamaan dua varians diperoleh F adalah 17,22 dan sig adalah 1,94 atau 19,4 % (lebih dari 5%). Ini berarti H0 diterima, artinya kedua sampel mempunyai varians yang sama atau kelas kontrol dan kelas eksperimen mempunyai rata-rata kemampuan kognitif yang sama. Selanjutnya dipilih Equal Variance Assumed, diperoleh sig adalah 0,03 atau 3% (kurang dari 5%). Ini berarti H0 ditolak.
Nur Ainiyah
39
Artinya kedua sampel mempunyai nilai rata-rata ketuntasan yang berbeda atau terjadi perbedaan nilai postes pada kelas kontrol dan kelas eksperimen Uji pengaruh variabel independen (aktivitas belajar) terhadap variabel dependen (hasil belajar) pada kelompok eksperimen diperoleh nilai F = 50,186 dan signifikansi 0,000 berarti ditolak atau regresi linier. Sedangkan untuk mengukur besarnya pengaruh aktivitas terhadap hasil belajar diperoleh nilai R2 = 0,596 yang artinya ada sumbangan variabel aktivitas belajar sebesar 59,6% terhadap hasil belajar peserta didik, sedangkan 41,4% merupakan pengaruh factor diluar penelitian. Persamaan regresi dalam penelitian dapat dituliskan sebagai berikut: Y = 31,237 + 0,701X. Model tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan aktivitas siswa dalam pembelajaran fiqih dengan menerapkan metode catatan terbimbing berbantuan MPI sebesar satu satuan akan diikuti dengan kenaikan hasil belajar siswa sebesar 0,701% begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan, jika guru dapat menyiapkan perangkat pembelajaran yang baik didasarkan pada pertimbangan karakter materi, kebutuhan siswa dan tingkat perkembangan siswa, maka tujuan pembelajaran akan tercapai dengan baik. Begitu juga dalam penerapan metode catatan terbimbing berbantuan MPI dalam KD hukum islam tentang ketentuan ibadah haji, menunjukkan beberapa kelebihan sebagai berikut: (1) siswa akan lebih aktif dalam pembelajaran. Penerapan metode catatan terbimbing secara langsung berdampak pada keaktifan siswa dalam belajar. Metode ini merangsang siswa untuk melakukan visual activity dan writing activity, .(2) siswa dapat belajar mandiri. Penerapan multimedia pembelajaran interaktif (MPI) dapat merangsang siswa untuk belajar dan berinteraksi secara mandiri dengan media pembelajaran yang telah dibuat oleh guru. Didalam MPI siswa dapat mempelajari materi, membaca tugas, bahkan mengerjakan latihan soal berupa kuis secara mandiri. Penggunaan MPI ini secara langsung melibatkan listening activity dan emotional activity pada siswa, (3) guru dapat mengkonstruksi pengetahuan siswa secara lebih sistematis melalui penerapan metode catatan terbimbing yang berupa lembar kerja yang telah disusun sebelum pembelajaran dengan urutan dan struktur yang baik, (4) guru lebih mudah mengatur waktu dalam proses pembelajaran. Pemanfaatan lembar catatan terbimbing dan MPI memudahkan guru untuk mengkondisikan perhatian siswa terhadap pembelajaran, sehingga dapat menggunakan waktu pembelajaran secara lebih efektif, (5) sikap siswa terhadap perkembangan teknologi komputer dalam pembelajaran menjadi lebih positif.
40
Penerapan Metode Catatan Terbimbing Berbantuan Multimedia Pembelajaran Interaktif
D. Kesimpulan Pengembangan perangkat pembelajaran fiqih dengan menerapkan Metode Catatan Terbimbing Berbantuan MPI pada KD hukum islam tentang ketentuan ibadah hajidi MTsN Borobudur dinyatakan efektif tebukti dari: (1) Terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen, (2) Rata – rata nilai postes kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol, (4) Respon siswa terhadap pembelajaran dalam kategori sangat tinggi, artinya siswa mendukung, merasa senang, dan tertarik terhadap pembelajaran sehingga secara praktis tujuan pembelajaran fiqih dapat tercapai dengan baik, (5) Terdapat pengaruh yang signifikan variabel aktivitas belajar terhadap hasil belajar. Guru hendaknya mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menerapkan prinsip student centered salah satunya dengan menerapkan metode catatan tebimbing berbantuan MPI, tujuannya agar pembelajaran lebih menarik, memotivasi dan mampu mencapai tujuan pembelajaran dengan baik.
Nur Ainiyah
41
DAFTAR PUSTAKA
Asyhar, R. (2011). Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Larzarus, B. (1996). unl. edu. Retrieved from unl. edu: http://www.unl.edu/csi/pdfs/flexible.pdf (diunduh pada tanggal 11 Mei 2011) Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005. (2005). Jakarta: Depdiknas. Silberman, M. L. (2011). Active learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif . Bandung : Nusa Media Soegiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabheta Sukestiyarno. (2010). Olah Data Penelitian Berbantuan SPSS. Semarang: Universitas Negeri Semarang Sumiati. (2008). Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima Susilana, Rudi dan Cepi Riyana. (2008). Media Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima
42
Penerapan Metode Catatan Terbimbing Berbantuan Multimedia Pembelajaran Interaktif
PESERTA DIDIK DALAM PANDANGAN PENDIDIKAN: (Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi) Oleh: Supi’ah Abstrak Tulisan ini menyuguhkan 3 teori besar dalam pendidikan atau aliran-aliran dalam pendidikan yang menjadi pijakan dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. ketiga aliran ini; aliran nativisme, empirisme dan konveregensi secara khusus membidik eksistensi peserta didik sebagai salah satu unsur penting dalam pendidikan untuk dididik dan dikembangkan. Dua aliran pertama sangan kontradiktif, aliran nativisme sangat meyakini bahwa peserta didik tidak mungkin dapat dipengaruhi oleh lingkungannya karena sudah memiliki bawaan sejak lahir, sementara aliran empirisme membantah bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi peserta didik untuk didik. Di tengah pertentangan sengit ini, aliran ketiga datang menengahi dengan menegaskan bahwa kedua faktor itu sangat berpengaruh dalam pendidikan. sebagai akhir dari ulasan ini, penulis menyimpulkan dua faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya mutu hasil perkembangan peserta didik pada dasarnya terdiri atas dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kata Kunci: Aliran dalam Pendidikan, Peserta didik
A. Pendahuluan Hubungan antara manusia dengan pendidikan diawali dari pertanyaan: “apakah manusia dapat dididik? Ataukah manusia dapat tumbuh dan berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik?” Kedua pertanyaan tersebut sejak lama telah menjadi bahan kajian para ahli pendidikan di Barat, yaitu sejak zaman Yunani Kuno. Alasan yang cukup mendasar menjadi sebab pengkajian itu adalah karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Ketiga aliran tersebut adalah empirisme, nativisme, dan konvergensi Sampai saat ini aliran-aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, makalah ini selanjutnya akan mengembangkan kajian ke arah bagaimana peserta didik dalam ketiga pandangan aliran tersebut. B. Pembahasan 1. Peserta Didik Dalam Pandangan Empirisme Aliran empirisme merupakan antitesa dari aliran nativisme yang akan dijelaskan kemudian. Empirisme secara etimologis berasal dan kata bahasa Inggris empiricism dan experience 1 Kata-kata ini berakar dan kata bahasa 1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 197.
43
Yunani épnczpla (empeiria) dan dan kata experiefia 2 yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey3 berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera. Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai empirisme, di antaranya, doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.4 Menurut aliran ini, adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di sekitar manusia terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuannya, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.5 Tokoh perintis aliran empirisme adalah Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen. Namun oleh Thomas Hobbes aliran ini menjadi sangat mekanistik. Menurutnya, karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo hornvni lupus yang berarti bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lain6. Kemudian oleh John Locke, seorang filosof Inggris yang mengembangkan teori “Tabula Rasa” atau (meja him), berpandangan bahwa seorang anak yang lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai
2
Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy (Vol. 2; New York: The MacMifian Company & The Free Press, 1967), h. 499. 3 A.R. Lacey, A Dictionazy of Philosophy (New York: Routledge, 2000), h. 88. 4 Lorens Bagus, op. cit., h.197-198. 5 Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode do/am Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasurnantri (penyunting), Ilmu dalam Percpektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 102, 6 Aliran Klasik dalam Pendidikan” www.safaril1acol1ection.com, 25 Desember 2008. Lihat pula, Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Bandung: alMa’arif, 1996), h. 52.
44
Peserta Didik dalam Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan.7 Mengomentari teori ini, John Locke mengatakan: Pengetahuan adalah hasil dari proses neuro-kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindra atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ badani yang disebut otak.8 Di samping tokoh tersebut, terdapat juga ahli pendidikan lain dan mempunyai pandangan yang hampir sama dengan John Locke, yaitu Helvatus (seorang ahli filsafat Yunani), berpendapat bahwasanya manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama yaitu suci dan bersih. Pendidikan dan lingkunganlah yang akan membuat manusia berbeda-beda. Demikian pula seorang pemikir zaman Aufklarung bernama Claude Adrien Helvetius (17151771) telah merumuskan jawaban dan pertanyaan; Bagaimana dapat terjadi agar manusia liar itu dapat menjadi manusia yang kuat dan terampil, beradab serta kaya akan ilmu pengetahuan dan gagasan-gagasan? Ketika itu seolah-olah manusia berkelas-kelas. Di satu pihak pendidik sebagai pemburu dan lain pihak memperoleh didikan sosial dan macam-macam didikan. Mereka membangkitkan kepercayaan bahwa lingkungan dan pendidikan dapat membentuk manusia ke arah mana saja yang dikehendaki pendidik.9 Keadaan tersebut memang ada kebenarannya, karena lingkungan dan pendidikan relatif dapat diukur dan dikuasai manusia dan keduanya memegang peranan utama dalam menentukan perkembangan kepribadian manusia. Termasuk dalam aliran ini adalah aliran progresivisme yang bersifat evolusionistis dan percaya pada kemampuan-kemampuan manusia untuk mengadakan perubahan-perubahan. Ada dua aspek utama teori empiris. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek). Kedua adalah bahwa pengujian kebenaran dan fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia. Pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu harus memenuhi persyaratan pengujian publik. Aspek lain adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu. Selain itu, kaum empiris juga mempergunakan prinsip keserupaan, yakni bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka manusia memiliki cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu.10 Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengalaman empirik yang diperoleh dan lingkungan akan berpengaruh besar 7 Umar Tirharahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan (Cet. II Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 194. 8 Ruhcitra, Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan (www. marine_exchanqe. 28 Oktober 2008). 9 H.M. Djumberansyah Indar, Filsafat Pendidikan (Cet. I; Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 42-43. 10 Ruhcitra, op. cit.
Supi’ah
45
dalam menentukan perkembangan anak. Pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.11Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan belajar peserta didiknya. Misalnya, suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak ini tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal. Contoh lain, ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika seseorang sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika dikatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta untuk dijelaskan bagaimana dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian dikatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.12 Olehnya itu, sebagaimana makna dasarnya, empiris yang berarti pengalaman atau kepercayaan terhadap pengalaman, tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi lahiriah manusia. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian, kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience). 13 Dengan kata lain bahwa seorang anak manusia lahir dalam keadaan suci dalam pengertian anak bersih tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran yang dalam ilmu pendidikan disebut juga aliran “optimisme paedagogis” ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan atau pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak 11
Aliran Pendidikan: Empirisme” www.indoskripsi.com. 11 Juli 2008. Ibid 13 Teori Kiasik Aliran Pendidikan” www.safarilla_ collection, corn, 25 Desember 2008. 12
46
Peserta Didik dalam Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
kecil. Manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik atau ke arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidik-pendidiknya. Jadi, lingkunganlah yang menjadi penentu perkembangan seseorang. Baik buruknya perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan.14 Dalam teori belajar mengajar, aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik dalam kehidupan seharihari didapatkan dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. 15 Melengkapi teori ini, diungkapkan sebuah cerita tentang anak manusia yang hidup di bawah asuhan serigala. Anak yang bernama Robinson Crussoe ini sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang ganas. la tetap hidup dan berkembang atas bantuan air susu serigala sebagai induknya. Serigala itu memberi Crussoe makanan sesuai selera serigala sampai dewasa. Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kisah ini tampaknya diangkat untuk membantah teori nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu ingin membuktikan bahwa lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.16 Menurut Redja Mudyahardjo, aliran empirisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. 17 Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka. Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa peserta didik sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung. 18 Memang amat sukar dipungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan dan masa depan peserta didik. Dalam hal ini, lingkungan keluarga (bukan bakat 14
H.M. Arifin dan Rasid Aminuddin, Dasar-dasar Pendidikan (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998), h. 5. Lihat pula, “Aliran Pendidikan” www.anakcirernaL corn, 13 Juni 2008. 15 Hartoto, Aliran-aliran Pendidikan (Makassar: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar, 2008), h. 45. Lihat juga, “Aliran Pendidikan” www.fatamorghana.wordpress. 2 Juli 2008, 17 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awa] tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Penththkan di Indonesia (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 152. 18 ibid
Supi’ah
47
pembawaan dan keluarga) dan lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya mutu perilaku dan masa depan seorang peserta didik. Kondisi sebuah kelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan kumuh dengan kemampuan ekonomi di bawah garis rata-rata dan tanpa fasilitas umum seperti masjid, sekolah, serta lapangan olahraga, telah terbukti menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan anak-anak nakal. Anak-anak di lingkungan seperti itu memang tak punya cukup alasan untuk tidak menjadi brutal, lebih-lebih apabila kedua orangtuanya kurang atau tidak berpendidikan. Faktor orangtua atau keluarga terutama sifat dan keadaan mereka sangat menentukan arah perkembangan masa depan para peserta didik yang mereka lahirkan. Sifat orangtua (parental trait) yang dimaksud ialah gaya khas dalam bersikap, memandang, memikirkan, dan memperlakukan peserta didik. Misalnya, kelahiran bayi yang tidak dikehendaki (akibat pergaulan bebas) akan menimbulkan sikap dan perlakuan orangtua yang bersifat menolak (parental rejection). Sebaliknya, sikap orangtua yang terlalu melindungi anak juga dapat mengganggu perkembangan anak. Perilaku memanjakan anak secara berlebihan, menurut hasil penelitian Chazen, ternyata berhubungan erat dengan penyimpangan perilaku dan ketidakmampuan sosial anak pada kemudian hari.19 Namun demikian, perlu pula dikemukakan suatu fakta yang ironis, yakni di antara para siswa yang dijuluki nakal dan brutal, khususnya di kota-kota, ternyata cukup banyak yang muncul dari kalangan keluarga berada, terpelajar, dan bahkan taat beragama. Sebaliknya, tidak sedikit anak pintar dan berakhlak baik yang lahir dan keluarga bodoh dan miskin atau bahkan dari keluarga yang tidak harmonis di samping bodoh dan miskin. Jika teori ini digiring pada perspektif Islam, sebuah hadis Rasulullah Saw menyebutkan bahwa: Artinya: Dan Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw, bersabda: setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan suci, orang tualah yang menjadikan Ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Begitupula pendidikan Islam dari sudut etimologi sering digunakan istilah ta’lim atau tarbiyah yang berasal dan kata dasar allama dan rabb, yang mengandung makna mengajar dan berkonotasi kepada lingkungan atau pendidikan.20 Sangat jelas terlihat bahwa agama Islam pada hakekatnya menempatkan kegiatan pendidikan sebagal awal dan misi Rasulullah sebagaimana ayat pertama yang diwahyukan Allah dimulai dengan “iqra” yang artinya “bacalah”.
19
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan den,gan Pendekatan Barn (Cet. X; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 45. 20
Ahmad Taf sir, Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Fakultas Tarbiyah Press, 2000), h. 109; H.M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan; Berdasarkan Kurikulum NasionaiFakultas Tarbiyah (Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 35.
48
Peserta Didik dalam Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
2. Peserta Didik Dalam Pandangan Nativisme Aliran nativisme berasal dan kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar).21 Sebagai sebuah aliran dalam filsafat pendidikan, nativisme menjadi doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama atau pelopor aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman, 1788-1860). Tokoh yang lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dan Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya “inti” privasi atau jati diri manusia. 22 Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan. Aliran nativisme berpandangan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrat dan kelahiran tidak mendapat pengaruh dari alam sekitar atau pendidikan sekalipun, dan itulah yang disebut kepribadian manusia. Potensi-potensi dan faktor pembawaan yang bersifat kodrati sebagai pribadi seseorang, bukanlah hasil pendidikan. Tanpa potensipotensi heriditas yang baik, tidaklah mungkin seseorang mendapatkan taraf yang dikehendaki, meskipun mendapatkan pendidikan yang maksimal.23 Menurut nativisme, kemungkinan seorang anak yang mempunyai potensi heriditas rendah maka akan tetap rendah walaupun ia sudah dewasa dan sudah dididik. Anak yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik. Hal itu tidak akan diubah oleh ketentuan pendidikan, karena potensi itu bersifat kodrati. Pendidikan tidak sesuai dengan bakat dan potensi peserta didik, juga tidak akan berguna bagi perkembangan peserta didik sendiri, sebab mereka akan kembali ke bakatnya. Mendidik menurut aliran ini tiada lain. sebagai membiarkan peserta didik tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki peserta didik.24 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan menurut aliran ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau manfaat yang diberikan oleh pendidikan tidaklah lebih dan sekedar memoles permukaan peradaban dan tingkah laku sosial, sedang lapis yang lebih dalam dan kepribadian peserta didik tidak perlu ditentukan. Aliran nativisme merupakan penganut dari salah satu ajaran filsafat idealisme, yakni bertolak dan Ieinitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga 21
Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Rake Press, 1984), h. 85. Pendapat lain menyebutkan dalam tahun 1788-1880, lihat, “Aliran Pendidikan: Empirisme” www.indoskripsi.com, op. cit,; H.M. Arifin, loc. cit. 22 Sumadi Suryabrata, op. cit, h. 86 23 H.M. Djumberansyah Indar, op. cit., h. 43. 24 Ibid
Supi’ah
49
faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Karena keyakinannya yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam, maka mereka di dalam ilmu pendidikan disebut juga aliran Pesimisme Paedagogis.25 Dengan kata lain aliran nativisme berpandangan bahwa segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir. Jadi, perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya jika ayahnya pintar, maka kemungkinan besar adalah bahwa anaknya juga pintar. Dengan demikian, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.26 Para ahli yang menganut teori ini mengklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi perkembangan anak adalah unsur genetik individu yang diturunkan dari orang tuanya. Individu berkembang dalam cara yang terpola, sebagai contoh, di manapun seseorang hidup, Ia akan duduk sebelum berjalan, tumbuh cepat pada masa bayi dan berkurang pada masa anak, berkembang fisiknya dengan maksimum pada masa remaja, dan seterusnya. Saya kurang sependapat dengan teori ini, karena selain ditentukan oleh faktor genetik, pertumbuhan dan perkembangan manusia juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Misalnya, masa tumbuh-kembang bayi ketika belajar berjalan, berbicara, atau merespon stimulus dari luar, selain ditentukan oleh faktor intelegensi yang dimilikinya sejak lahir (pembawaan) juga dipengaruhi oleh lingkungannya, seperti makanan, gizi, latihan, dan pendidikan.27 Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dan orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.28 Senada dengan itu, diungkapkan oleh Sumadi Suryabrata bahwa para penganut aliran nativisme berpandangan bahwasanya bayi itu lahir sudah dengan 25 Aliran Pendidikan” www.anakciremai.com, bc. cit.; “Aliran Pendidikan” .fatamorcthana.wordpress.com. loc. cit. Lihat pula, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Pembawoan, Ketuivnan, dan Lingkungan (Jawa Barat: Balal Pelatihan Guru, t.th.) h. I. 26 Hartoto, op. cit., h. 47. Lihat pula, “Aliran Pendidikan: Empirisme” www.indoskripsi. çg, bc. cit. 27 ibid.; M. Buehori, PsikobogiPendithkan (Jakarta: Alcsara Barn, 1989), h. 58. 28 Hartoto, loc. cit.
50
Peserta Didik dalam Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak Iahir. 29 Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajamya. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar. Aliran nativisme hingga kini masih cukup berpengaruh di kalangan beberapa orang ahli, tetapi sudah tidak semutlak dulu lagi. Di antara ahli yang dipandang sebagai nativis ialah Noam A. Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli linguistik yang terkenal. Chomskyi menganggap bahwa perkembangan penguasaan bahasa pada manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh proses belajar, tetapi juga (yang lebih penting) oleh adanya “biological predisposition” (kecenderungan biologis) yang dibawa sejak lahir. Namun demikian, Chomsky tidak menafikan sama sekali peranan belajar dan pengalaman berbahasa, juga lingkungan. Baginya, semua ada pengaruhnya, tetapi pengaruh pembawaan bertata bahasa jauh lebih besar lagi bagi perkembangan bahasa manusia.30 Teori ini kemudian dapat pula dibawa dalam perspektif Islam dengan melihat pada konteks ayat dalam Qs. al-Syams (91): 9; Terjemahnya: "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya" Menyimak konteks ayat tersebut dipahami bahwa setiap manusia pada dasamya telah diberikan dua potensi dalam dirinya yakni potensi kebaikan dan potensi keburukan. Kedua potensi ini memberikan keniscayaan kepada manusia untuk memilih salah satunya. Sehingga ketika potensi jujur yang mendominasi dalam diri seorang manusia maka dia akan cenderung berbuat hal-hal yang negatif. Sebaliknya, ketika potensi taqwa mendominasi, maka kecenderungan untuk berbuat yang positif akan lebih dikedepankan. 3. Peserta Didik dalam Pandangan Konvergensi Aliran konvergensi berasal dan kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting bagi perkembangan anak. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, 29 30
Umar Tirharahardja, op. cit., h. 196. Muhibbin Syah, op. cit., h. 44.
Supi’ah
51
maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saja tanpa disertai oleh pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup. Misalnya, tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi aktual (menjadi kenyataan), jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia31. Perintis aliran konvergensi adalah Louis William Stem (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya sama berpengaruh terhadap hasil perkembangan peserta didik. Hasil perkembangan dan pendidikan pesera didik tergantung pada besar kecilnya pembawaan serta situasi lingkungannya.32 Lebih lanjut dikatakan bahwa seorang anak dilahirkan di dunia disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk.33 Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasan anak tersebut tidak berkembang. ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.34 Pandangan ini semula bermaksud melakukan sintesa (kompromi dan kombinasi) terhadap pandangan nativisme dan empirisme. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya banyak orang yang berkeberatan dengan pendapat tersebut dan mengatakan kalau perkembangan manusia itu hanya ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan, maka hal ini tak ubahnya kehidupan hewan. Sebab hewan itu pertumbuhannya hasil dari pembawaan dan lingkungan. Hewan hanya terserah kepada pembawaan keturunannya dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. Perkembangan pada hewan seluruhnya ditentukan oleh kodrat, oleh hukum alam. Sedangkan manusia berbeda dengan hewan di samping dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, manusia aktif dan kreatif dalam mewujudkan perkembangan itu.35 Pada manusia, walaupun dalam keadaan pembawaan yang sama, bahwa pengaruh lingkungan juga dapat dibuktikan. Kemampuan dua orang anak kembar yang ketika lahirnya sudah dapat ditentukan oleh dokter bahwa pembawaan mereka sama, tetapi juga dibesarkan dalam lingkungan yang berlainan mereka akan berlainan pula perkembangan jiwanya. Pada contoh yang lain dapat pula dikemukakan misalnya kemampuan dua orang anak yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama untuk mempelajari bahasa, maka hasilnya tidak akan sama. Hal ini disebabkan adanya kuantitasi pembawaan dan
31
Indar, op. cit., h. 45. Ibid., 45. 33 Umar Tirharahardja dan La Sula, op. cit., h. 198. Lihat juga, Ibid. 34 Crijns dan Reksosiswojo, limu Mendidik (Jakarta: Noordhoff Kolif, 1963), h. 142; Zakiah Darajad, Ilmu Pendidikan Islam (Yakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 54. 35 H.M. Djumberansyah Indar, bc. cit; Lihat pula, “Aliran Pendidikan” www. anakciremai.com, bc. cit. 32
52
Peserta Didik dalam Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
perbedaan situasi atau suasana lingkungan, walaupun lingkungan kedua anak tersebut menggunakan bahasa yang sama.36 Berdasarkan kenyataan itu, maka William Stern menyusun teori konvergensi dalam skema dua garis yang menuju kepada suatu titik pertemuan (garis pengumpul) sebagai berikut: 37 Hasil pendidikan/perkembangan Oleh karena itu, menurut Djumberansyah, perkembangan pribadi sesungguhnya adalah basil proses kerjasama antara potensi heriditas (internal) dan lingkungan serta pendidikan (eksternal). Interaksi antara pembawaan dan lingkungan (termasuk pendidikan) akan mencapai hasil yang diharapkan, apabila peserta didik sendiri harus memainkan peranan yang aktif dalam mencernakan segala pengalaman yang diperolehnya.38 Lebih jauh Kohnstamm menambahkan dengan kemauan. Dengan demikian menurutnya, kemampuan seseorang akan berjalan dengan baik dan dapat dikembangkan secara maksimal, apabila ada perpaduan antara faktor dasar (potensi), faktor ajar (bimbingan) serta kesadaran dan individu peserta didik itu sendiri untuk mengembangkan dirinya. Jadi di samping faktor potensi bawaan dan bimbingan dan lingkungan, untuk mengembangkan diri, seorang peserta didik perlu didorong oleh motivasi intrinsik (dorongan dari dalam dirinya). 39 Sampai sejauh manakah pengaruh pembawaan jika dibandingkan dengan lingkungan terhadap perkembangan masa depan seseorang. Jawabannya mungkin berbeda antara setiap orang. Sebagian orang mungkin lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungannya. Namun dalam hal pembawaan yang bersifat jasmaniah hampir dapat dipastikan bahwa semua orang sama, yakni akan berbentuk badan, berambut, dan bermata sama dengan kedua orangtuanya. Sebagai contoh, anak-anak keturunan Barat umumnya berambut pirang, berkulit putih, bermata biru, dan berperawakan tinggi besar, karena memang warisan orangtua dan nenek moyang mereka demikian. Akan tetapi, dalam hal pembawaan yang bersifat rohaniah, sangat sulit untuk dikenali. Banyak orang yang ahli di bidang “X” tetapi anaknya ahli di bidang “Y”. Anak ini sudah diusahakan agar mempelajari bidang “X” supaya sama dengan orangtuanya, tetapi ia menolak dan menunjukkan kecenderungan bakat “Y”. Ternyata setelah mengikuti pengajaran bidang “Y”, anak yang berasal dari keturunan yang ahli di bidang “X” itu benar-benar ahli di bidang “Y”, bukan bidang “X”. Hal ini tentunya tidak mengasumsikan adanya penyelewangan bakat dan pembawaan keturunan.40 Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orangtuanya itu, setelah ditelusuri ternyata watak dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya atau anak-anak cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat tersembunyi sampai beberapa generasi.41
36
H.M. Djumberansyah Indar, op. cit., h. 45-46. Ibid 38 ibid 39 H. Jalaluddin, TeologiPendidikan (Cet U; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 47. 40 Muhibbin Syah, op. cit., h. 47. 41 Ibid 37
Supi’ah
53
M. Ngalim Purwanto dalam hal ini mengatakan bahwa manusia bukan hasil belaka dari pembawaan dan lingkungannya, manusia tidak hanya diperkembangkan tetapi juga memperkembangkan dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang dapat dan sanggup memilih dan menentukan sesuatu yang mengenai dirinya secara bebas. Karena itulah ia bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya, ia dapat juga mengambil keputusan yang berlainan daripada yang pernah diambilnya. Proses perkembangan manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor pembawaan yang telah ada pada orang itu dan faktor lingkungan yang mempengaruhi orang itu. Aktivitas manusia itu sendiri dalam perkembangannya turut menentukan atau memainkan peran juga. Hasil perkembangan seseorang. tidak mungkin dapat dibaca dari pembawaannya dan lingkungannya saja.42 Maka dari itu, peserta didik yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa peserta didik. Jadi dari pandangan teori konvergensi dapat disimpulkan bahwa: 1. Pendidikan itu serba mungkin diberikan kepada peserta didik. 2. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk. 3. Hasil pendidikan adalah tergantung dari pembawaan dan lingkungan. Selanjutnya, hasil dari proses perkembangan seorang peserta didik tidak dapat dijelaskan hanya dengan menyebutkan pembawaan dan lingkungan. Artinya, keberhasilan seorang peserta didik bukan karena pembawaan dan lingkungan saja, karena peserta didik tersebut tidak hanya dikembangkan oleh pembawaan dan lingkungannya, tetapi juga oleh diri peserta didik itu sendiri. Setiap orang, termasuk peserta didik tersebut, memiliki potensi selfdirection dan self-discivline yang memungkinkan dirinya bebas memilih antara mengikuti atau menolak sesuatu (aturan atau stimulus) lingkungan tertentu yang hendak mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, peserta didik itu sendiri memiliki potensi psikologis tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam konteks lingkungan tertentu.43 C. Penutup Berdasarkan uraian mengenai ketiga aliran-aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan proses perkembangan peserta didik tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya mutu hasil perkembangan peserta didik pada dasarnya terdiri atas dua macam yaitu:
54
42
Ibid. Bandingkan, Hartoto, op. cit., h. 47.
43
Muhibbin Syah, bc. cit.
Peserta Didik dalam Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
1. Faktor intern, yakni faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri. 2. Faktor eksternal, yakni hal-hal yang datang atau di luar diri peserta didik yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi mereka dengan lingkungannya. Pada garis besarnya, ketiga aliran pendidikan tersebut telah menampilkan dua pandangan yang berbeda tentang hubungan manusia dengan pendidikan. Pertama, berpandangan pesimis (nativisme), sedangkan aliran kedua memiliki pandangan yang optimis (empirisme dan konvergensi). Namun tampaknya dalam perkembangan berikutnya, pandangan yang kedua (optimisme) lebih dominan. Manusia memang hampir tak mungkin dapat berkembang secara maksimal tanpa intervensi pihak luar, dan oleh sebab itu manusia memerlukan pendidikan. Ketika ketiga aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan dengan teori pembelajaran, maka tampak bahwa kedua aliran yang telah disebutkan (nativismeempirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuhkembang seorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang itu. Di antara persamaan nativisme dengan Islam adalah, keduanya mengakui pentingnya faktor pembawaan. Keduanya mengakui bahwa pendidik lebih identik berfungsi sebagai fasilitator. Tetapi dalam Islam seorang pendidik mempunyai tanggungjawab yang lebih, yaitu terbentuknya mental iman dan takwa kepada Allah Swt. Sedangkan hubungannya dengan konvergensi, keduanya mengakui bahwa faktor dasar (bakat) dan faktor ajar (pendidikan) penting bagi pembentukan dan pengembangan kepribadian anak didik. Tetapi dalam Islam, arah dan tujuan pendidikan sudah jelas, yaitu beribadah kepada Allah, menjadi khalifah di muka bumi, dan menata bumi, sehingga adanya keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Sementara itu, konvergensi lebih mengarah kepada kehidupan duniawi.44
44
Suyanto, “Aliran Dalam Pendidikan” Artikel, (www.belajaryuk.com, 23 November 2008),
h. 6.
Supi’ah
55
Daftar Pustaka Arifin, H.M. dan Rasid Aminuddin. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Buchori, M. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru, 1989. Crijns dan Reksosiswojo. Ilmu Mendidik. Jakarta: Noordhoff Kolif, 1963. Darajad, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Yakarta: Bumi Aksara, 1992. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Pembawaan, Keturunan, dan Lingkungan. Jawa Barat: Balai Pelatihan Guru, t.th. Edwards, Paul (ed.), The Encyclopedia of Philosophy. Vol. 2; New York: The MacMillan Company & The Free Press, 1967. Hartoto. Aliran-aliran Pen didikan. Makassar: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar, 2008. Honer, Stanley M. dan Thomas C. Hunt. Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Indar, H.M. Djurnberansyah Filsafat Pendidikan. Cet. I; Surabaya: Karya Abditarna, 1994. Jalaluddin dan Abu Ahmad Zen. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Bandung: alMa’arif, 1996. Jalaluddin, H. TeologiPendidikan. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Lacey, A.R. A Dictionary of Philosophy. New York: Routledge, 2000. Mudyahardjo, Redja Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi A wal tentang Dasardasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Ruhcitra. Rasionalisme, Empirisme, dan Me/ode Keilmuan. www. marine_exchange, corn, 28 Oktober 2008. Sabri, H.M. Alisuf. Psikologi Pen didikan; Berdasarkan Kurikulum Nasional Fakultas Tarbiyah. Cet. I; Jakarta: Pedoman ilmu Jaya, 1995. Suryabrata, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press, 1984. Suyanto. “Aliran Dalam Pendidikan” Artikel www.belajaryuk.com, 23 November 2008. Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cet. X; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Tafsir, Ahmad. Episternologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fakultas Tarbiyah Press, 2000. Tirharahardja, Umar dan La Sula. Pengantar Pendidikan. Cet. II Jakarta: Rineka Cipta, 1996. – Aliran Klasik dalam Pendidikan” www.safarilla_coJlection.com. 25 Desember 2008. Aliran Pendidikan” www anakciremal corn, 13 Juni 2008. Aliran Pendidikan” www.fatamorghana. wordpress. corn. 2 Juli 2008
56
Peserta Didik dalam Pandangan Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi
OPTIMALISASI PEMBELAJARAN BAHASA ARAB Oleh: Kaharuddin Ramli Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Pare-pare (
[email protected]) Abstrak Dalam mewujudkan efektifitas pembelajaran bahasa Arab, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai konstruksi dalam pembelajaran bahasa, yaitu tujuan pembelajaran, kapabilitas tenaga pengajar, kemampuan peserta didik, pendekatan, metode, teknik/media, materi pelajaran dan tujuan pembelajaran. Para pengajar pada umumnya telah maklum bahwa bagaimanapun baiknya suatu pedoman pembelajaran tidak berarti harus sekaligus menjamin secara keseluruhan berhasilnya program pembelajaran tersebut. Masih banyak faktorfaktor lain yang harus diperhatikan antara lain tentang kemampuan pengajar untuk menciptakan kondisi kesiagaan dan membang-kitkan minat serta kegairahan belajar para mahasiswa, memberikan motivasi dalam sikap belajar dan sebagainya. Jika ini yang berlaku di PTAIN, maka hal ini akan memudahkan pembelajaran bahasa khususnya bahasa Arab. In realizing effectiveness of learning the Arabic language, particularly at the State Islamic universities, there are several things should be taken into account as a construction in language learning acquistion, i.e. learning objectives, faculty capabilities, ability of learners, approaches, methods, techniques or media, subject matter and learning objectives. The teachers in general, it is understood that no matter how good of a guideline does not mean learning should also guarantee the overall success of the learning program. There are still many other factors to consider, among others, about the ability of teachers to create conditions of readiness and generate interest and excitement of students learning, provide motivation in learning attitudes and so on. If this matter really happens in PTAIN, then this will facilitate the learning of Arabic language in particular. Kata Kunci : efektifitas, pembelajaran, bahasa Arab, PTAIN A. Pendahuluan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) sebagai sub sistem Pendidikan Nasional dan Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Islam bertugas untuk melaksanakan pendidikan, penelitian dan pe-ngabdian pada masyarakat, dalam rangka menciptakan generasi muda yang berkualitas dan pembentukan manusia yang sehat jasmani dan rohani, berwawasan luas, terutama kemampuan
57
dalam menguasai ilmu-ilmu agama Islam dan berakhlak mulia. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang siap menghadapi arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri juga memikul tang-gung jawab moral dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia diharapkan dapat memberi-kan pendidikan dan pembelajaran agama serta menjadi pusat pengem-bangan dan pendalaman ilmu pengetahuan agama Islam, sehingga nantinya diharapkan melahirkan sarjanasarjana muslim yang berilmu, beriman dan berakhlak mulia. Salah satu pensyaratan untuk mewujudkan hal tersebut adalah penguasaan bahasa yang memadai, karena bahasa merupakan kunci ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kekurangan di bidang bahasa (baca : Inggris dan Arab) masih terdapat di kalangan mahapeserta didik, seperti penguasaan bahasa Arab yang seharusnya sudah dapat digunakan untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan Islam dan menggali kitab-kitab yang ditulis dalam baha-sa Arab. Memang, persoalan bahasa bukan hanya masalah lembaga perpengajaran tinggi saja, tetapi telah menjadi masalah umum, sehing-ga hal ini menjadi tanggung jawab bersama, baik lembaga-lembaga pendidikan maupun para pakar bahasa. Berbagai usaha untuk mening-katkan penguasaan bahasa Asing telah dilakukan, baik dengan menja-dikannya sebagai mata kuliah maupun melakukan kegiatan-kegiatan ektsra yang bertujuan untuk peningkatan kemampuan bagi mahasiswa. Kaitannya pembelajaran bahasa di perguruan tinggi, me-mang harus diakui bahwa pembelajaran bahasa Asing (baca : Arab) secara umum belum memperoleh hasil yang maksimal, walaupun berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak. Terbukti dengan banyaknya mahasiswa mempelajari bahasa dengan memerlukan waktu lama, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Berbagai kendala dan penyebab dari ketidakmaksimalan pembelajaran bahasa tersebut dapat ditemukan diantaranya karena pengajar tidak mengajarkan bahasa, tetapi ia banyak mengisi pelajaran untuk mengajar tentang bahasa, sehingga terkadang seorang pengajar kelihatan lancar dan hebat di dalam menjelaskan pelajaran, sementara peserta didik tidak paham apa yang dipelajarinya. Pengajar bahasa seperti itu adalah pengajar yang berpatokan pada bagaimana mengana-lisis bahasa itu, dan tidak berpatokan bagaimana memakai bahasa itu. Hal inilah yang mempengaruhi pembelajaran bahasa asing di perguruan tinggi, sehingga kurikulum dan silabus yang telah disusun terkadang tidak efektif dalam pelaksanaannya, karena adanya kemampuan mahasiswa yang berfariasi, sistem dan pola pembelajaran yang tidak sesuai, pemberdayaan tenaga pengajar yang kurang maksimal dan sebagainya.
58
Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Arab
B. Sekilas Tentang Bahasa Arab Bahasa Arab adalah salah satu bahasa yang termasuk rumpun bahasabahasa Semit yang berdiam di sebelah Selatan, tepatnya di wilayah Irak 1 Dengan demikian, hubungan antara bahasa Arab dengan Semit sangat kuat. Menurut Abdul Wahid Wa’fiy, informasi yang sempat terekam dalam sejarah yang sampai kepada kita tentang sejarah bahasa Arab adalah temuan dari prasasti tentang Arab Baidah yang diperkirakan hidup pada abad pertama sebelum masehi, sedangkan Arab Badiah nanti setelah abad kelima masehi, sehingga priodisasi pertumbuhan bahasa Arab sangat sulit untuk dilacak.2 Hal yang senada dikemukakan oleh Anwar G. Chejne bahwa data bahasa Arab secara tertulis masih sangat sedikit jika dibanding dengan bahasa-bahasa lain, 3 sehingga priodisasi bahasa Arab dan kesusastraannya hanya terbatas pada masa Jahiliyah, masa munculnya Islam, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Masa bani Umaiyah, dan masa bani Abbasiah, masa kemunduran dan masa modern. 4 Berkaitan dengan priodisasi tersebut di atas, bahwa yang diperpegangi oleh para ahli tentang pertumbuhan bahasa Arab, yaitu sejak pra Islam (Jahiliyah) 5 yang mana pada saat itu sudah ada karya-karya sastra Arab baik syair ataupun pidato yang tidak menonjolkan dialek-dialek tertentu, menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Dengan jalan ini, kemudian terbentuklah suatu bahasa Arab kesusastraan, yang menjadi bahasa baku (standar) yang dipergunakan oleh setiap penyair dalam menyampaikan ideidenya. Jelaslah bahwa menjelang datangnya Islam telah lahir bahasa Arab standar, yang menjadi lingua frangca ( )ا اكbagi masyarakat Arab. Dalam pembagian bahasa Arab terbagi dua kelompok besar yaitu; Arab Baidah dan Arab Baqiah. Bahasa Arab Baidah disebut pula bahasa Arab alNuqusy, karena informasi tentang bahasa ini hanya diperoleh melalui tulisan pada lempengan batu, dan bahasa Arab Baidah ini sudah punah ditelan masa. Bahasa Arab Baidah ini dituturkan oleh orang Arab yang berdomisili di sebelah utara Hijaz atau berdekatan bangsa Aramiah.6 Bahasa Arab Baidah ini terbagi atas tiga bagian; Lihyan, Samud, dan Shafa. 1 Lihat Abdul Wahid Wa’fi, Fiqh al-Lughah, (Cet. V; al-Qahirah: Lajnah al-Bayan al-Arabî, 1962), h. 10-11. 2 Ibid., h. 97. 3 Anwar G. Chejne, Anwar G. Chejne., The Arabic Language Its Role in History, diterjemahkan oleh Aliuddin Mahyuddin dengan judul Bahasa Arab dan Peranannya dalam Sejarah, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h. 39. 4 Lihat Muljanto Sumardi dan AR Partosentono, Pedoman Pembelajaran Bahasa Arab pada PerPembelajaran Tinggi Agama /IAIN (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama DEPAG RI), h. 171. Lihat pula Karl Brokleman, Tarîkh al-Adâb al-‘Arabî, Jilid I, (Cet. IV; alQahirah: Dâr al-Ma’rif, t.th), h. 36-38. 5 Lihat Muhammad Suyuti Suhaib., Kajian Puisi Arab Pra Islam, (Cet. I; Jakarta: al-Quswa, 1990), h. 1-2. 6 Abdul Wahid Wa’fi., Op.Cit, h. 98-101.
Kaharuddin Ramli
59
Bahasa Arab Baqiyah terbagi kepada dua bagian,7 yaitu Arab al-Aribah yang berasal dari Qahtan. Bani Qahtan dengan dua suku induknya, Kahlan dan Himyar, mendirikan Himyar dan Tababi’at. Disebut dalam Alquran “Tabba”. Selain itu mereka pula mendirikan kerajaan Saba’ kira-kira abad ke-8 SM. Bani Qahtan inilah yang memerintah semenanjung Arabiyah sesudah al-Arab alBaidah. Tersebarnya bahasa Arab Baqiyah tidak lepas dari pengaruh dan peran Islam pada saat itu yang melakukan perluasan wilayah. Tunduknya wilayah tersebut memungkinkan bahasa Arab Baqiyah dipelajari, apalagi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama adalah Al-Quran yang ditulis dalam bahasa Arab, andai kata bukan karena Al-Quran kemungkinan besar bahasa Arab punah pula seperti halnya bahasa Semit lainnya. Itulah sebabnya bahasa Arab Baqiyah bertahan dan tidak lenyap selama Alquran masih saja ada dipermu-kaan bumi ini. C. Metode Pembelajaran Bahasa Arab Metode pembelajaran bahasa asing untuk pembelajaran baha-sa Arab, merupakan ilmu yang baru berkembang kemudian, jauh di belakang perkembangan metode pembelajaran bahasa Inggris. Akibatnya gagasan tentang pembelajaran bahasa Arab belum bisa menciptakan sebuah metode yang betulbetul independen dan tidak terikat dengan metode dari luar. Akibatnya adalah mengadopsi dan meminjam metode-metode dari barat. Metode pembelajaran tersebut telah ada sejak beberapa abad yang silam seiring dengan sejarah pembelajaran bahasa asing di Eropa. Yaitu bermula pada masa Romawi Kuno dan abad kedua pertengahan, masa Renaissance, abad ketuju belas dan kedelapan belas, abad kesembilan belas dan dua puluh. Perkembangan metode pembelajaran bahasa dari masa ke masa ini, pada dasarnya hanya berkisar pada dua metode saja, yaitu metode yang mementingkan penguasaan bahasa lisan secara aktif dan metode yang mementingkan penghafalan aturan-aturan gramatika, kemudian kembali lagi, dan seterusnya.8 Sepanjang sejarah perkembangannya, tuntutan masyarakat pun telah mengalami perubahan, yaitu dari bahasa klasik ke bahasa-bahasa modern. Dengan makin berkembangnya perdagangan antar bangsa, terutama pada masa setelah revolusi industri, dirasakan bahwa bahasa Latin dan Yunani tidak lagi cukup berfungsi sebagai alat komunikasi antar bangsa, terutama bagi para pedagang dan indus-trialis. Mereka menghendaki bahasa-bahasa asing modern seperti bahasa Inggris, Prancis dan Jerman sebagai gantinya. Sayang sekali, karena harus berkompetisi dengan bahasa Latin dan Yunani, bahasa-bahasa modern ini diajarkan dengan teknik-teknik mengajar bahasa Latin dan Yunani, 7
Mustafa Inaniy, al-Wasith Fî al-Adab al-‘Arabî Wa Tarîkhuhu, (Mesir: Dâr al-Ma’rif, t.th). h. 5-6. 8 Lihat Muljanto Sumardi. Op.Cit., h. 31.
60
Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Arab
juga dengan berbagai macam metode lainnya yang berasal dari abad IX atau permulaan abad XX.9 Metode-metode yang dikembangkan pada masa tersebut, sampai sekarang masih banyak digunakan di beberapa belahan dunia, meskipun dengan bentuk dan nama yang berbeda-beda tergantung kondisi dan situasi setempat. Metodemetode tersebut tetap eksis dan diterapkan dalam pembelajaran bahasa. Para pakar berbeda di dalam mencatat jumlah metode, tetapi perbedaan tersebut tidak terlalu prinsipil karena mungkin saja hanya perbedaan nama. William Francis Mackey misalnya mencatat ada lima belas metode mengajar bahasa yang selama ini lazim digunakan, yaitu: Direct Method, Natural Method, Reading Method, Grammar Method, Translation Method, Grammar-Translation Method, Eclectic Method, Unit Method, Language Control Menthod, Mim-mem Method, Practice Theory Method, Cognate Method, dan Dual La-nguage Method.10 Di samping itu, tentu saja masih ada metode lainnya dengan nama yang berbeda, walaupun kalau dilihat isinya tidaklah banyak perbedaan. D. Konstruksi Pembelajaran Bahasa arab di PTAIN Para pengajar pada umumnya telah maklum bahwa bagaimanapun baiknya suatu pedoman pembelajaran tidak berarti ha-rus sekaligus menjamin secara keseluruhan berhasilnya program pem-belajaran tersebut. Masih banyak faktorfaktor lain yang harus diperhatikan antara lain tentang kemampuan pengajar untuk mencip-takan kondisi kesiagaan dan membangkitkan minat serta kegairahan belajar para mahasiswa, memberikan motivasi dalam sikap belajar dan sebagainya. Bukan hanya itu, dalam mewujudkan efektifitas pembelajaran bahasa, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai konstruksi dalam pembelajaran bahasa, yaitu tujuan pembelajaran, kapabilitas tenaga pengajar, kemampuan peserta didik, pendekatan, metode, teknik/me-dia, materi pelajaran dan tujuan pembelajaran. 1. Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran merupakan unsur yang sifatnya imple-mentasi dari pendekatan yang tertuang dalam kurikulum. Tujuan ini harus jelas, sehingga proses belajar mengajar dapat terarah. De-ngan tujuan pembelajaran yang jelas, maka akan mempengaruhi di dalam pemilihan metode, teknik/strategi pembelajaran dan pemilihan materi. Dalam hal ini, pembelajaran berbahasa secara umum adalah menum-buhkan dan mengembangkan keterampilan berbahasa peserta didik, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
9
Ibid. Lihat Jos. Daniel Parera, Op.Cit., h. 19.
10
Kaharuddin Ramli
61
2. Kapabilitas Tenaga Pengajar Faktor yang mempunyai pengaruh besar adalah kapabilitas dan personalitas seorang pengajar yang memadai dan menarik. Pengajar yang baik adalah mereka yang selalu mempersiapkan diri dan menguasai faktorfaktor tersebut di atas. Ia harus menjadi sosok yang menarik dan tidak menjadi monster yang mesti dita-kuti oleh peserta didik. Tawa, senyum dan canda seorang pengajar dapat dianggap sebagai pembantu dalam membangkitkan semangat dan ketertarikan peserta didik dalam belajar dan menciptakan sua-sana yang menyenangkan, sehingga siwa betul-betul dapat meneri-ma menikmati pelajaran bahasa (baca: Arab) dengan senang hati tanpa ada unsur keterpaksaan dan tekanan. 3. Kemampuan Peserta didik Yaitu adanya pembagian dan pengelompokan peserta didik sesuai dengan kemampuan. Hal ini sangat perlu karena akan mempengaruhi dalam pemilihan metode, teknik dan materi pelajaran. Proses belajar mengajar tidak akan efektif apabila terdapat kemampuan yang berfariasi sementara materi yang disampaikan sama. Hal ini akan mengakibatkan adanya kelompok peserta didik yang akan kewalahan dalam mengikuti pelajaran, bahkan akan merasa dirugikan dengan materi yang tidak sesuai dengan kemampuannya. 4. Pendekatan Setelah ketiga faktor tersebut di atas terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah menentukan pendekatan. Pendekatan ini meru-pakan suatu aksioma, sesuatu yang baku dan tidak dapat lagi dibantah akan kebenarannya. pendekatan dapat diketahui dengan melakukan diskusi tentang ide-ide, prinsip-prinsip pembelajaran bahasa atau keadaan alamiyah bahasa itu sendiri. Hasil dari diskusi tentang hal tersebut, maka itulah pendekatan. Pendekatan ini dalam pembelajaran bahasa adalah seperang-kat asumsiasumsi yang antara satu dengan yang lainnya saling terkait. Asumsi-asumsi ini saling terkait dan berhubungan dengan karakter bahasa dan proses pembelajaran. Pendekatan juga bisa dartikan sebagai cara pandang. Hal ini sangat menentukan arah dan orientasi pembelajaran,11 5. Metode Kata metode berasal dari bahasa Inggris method yang berarti cara di dalam melakukan sesuatu. Dalam bahasa Arab, metode disamakan dengan yang berarti cara atau jalan, atau juga dapat diartikan sebagai cara yang berencana dan teratur di dalam berbuat sesuatu. Istilah metode dalam tinjauan terminologi berarti rencana yang menyeluruh, yang berhubungan dengan penyajian materi pelajaran secara teratur
11 Abdul Hamid, et al., Pembelajaran Bahasa Arab (Cet. I; Malang : UIN Malang Press, 2008), h. 2.
62
Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Arab
dan tidak saling bertentangan dan didasarkan atas suatu pendekatan 12. Dengan demikian, pemilihan metode haru sesuai dengan pendekatan apa yang dipergunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran tersebut. 6. Teknik Teknik berasal dari bahasa Inggris yaitu Technique yang berarti kemahiran atau keahlian. Atau cara mengerjakan sesuatu dan kemampuan menerapkan suatu metode. Sementara dalam bahasa Arab istilah ini sepadan dengan kata أب. Teknik merupakan usaha untuk memenuhi metode dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa dalam kelas. Oleh karena itu, teknik digunakan semestinya konsisten dengan metode dan karenanya pula tetap didasarkan pada pendekatannya, misalnya salah satu asumsi (pendekatan) bahasa bahwa ia bersifat manusiawi dan aural-oral (yaitu bahasa adalah bagaimana ia didengar dan diucapkan).Tentunya dengan berdasarkan dengan pendekatan ini kita mencari metode dan teknik yang mengarah kepada kemahiran mendengar dan berbicara. Teknik ini lebih bersifat aplikatif, karena itu sering disebut gaya pembelajaran. Dikatakan demikian karena aspek ini bersentuhan langsung kondisi nyata seorang pengajar dalam menjabarkan metode ke dalam langkahlangkah aplikatif. 13 Dari segi pelaksanaan, teknik terlihat lebih khusus dibandingkan dengan metode, sebab teknik merupakan penjabaran praktis atas metode yang digunakan. Teknik ini banyak bergantung pada kemampuan pribadi seorang pengajar dalam mempergunakan teknik dan media pembelaja-ran serta komposisi kelas. Ketika seorang pengajar tidak dapat menga-tasi perbedaan kemampuan peserta didik, tujuan pembelajaran dan materi, maka tidaklah disebut pengajar yang memiliki kemampuan teknik pembelajaran yang baik. Atau ketika seorang pengajar merasa malu apabila ia dikunjungi oleh beberapa orang karena takut bahwa pengunjungnya akan salah paham tentang teknik yang ia gunakan, maka ia tidaklah disebut sebagai pengajar yang memiliki kepribadian yang tangguh. 7. Materi Materi dalam pembelajaran sangat penting artinya dalam menambah dan meningkatkan efektifitas pembelajaran. Bermafaat tidaknya suatu bahan ajar dalam proses pembelajaran sangat tergan-tung pada kemampuan pengajar dalam mengembangkan dan meman-faatkan, sehingga langkah-langkah pengembangan bahan ajar yang baik dan memenuhi syarat perlu dikuasai.14 Menurut H. G. Tarigan bahwa materi yang baik adalah materi yang harus menunjang tujuan yang telah ditetapkan. Bahkan pelajaran harus pula sesuai 12 Selanjutnya lihat Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Cet. I; Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), h. 168. 13 Ibid. 14 Abdul Hamid, Op.Cit., h. 70.
Kaharuddin Ramli
63
dengan taraf perkembangan dan kemampuan peserta didik, menarik dan merangsang serta berguna bagi peserta didik, baik untuk perkembangan pengetahuannya maupun keperluan tugasnya di lapangan.15 Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Muhammad ‘Abd al-Qadir Ahmad bahwa ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan di dalam memilih materi, pertama: dalam pemilihan materi, seorang pengajar harus dituntut untuk betul-betul dapat memilih materi yang tepat dan baik dari segi ide maupun dari segi bentuk. Dalam hal ini, materi tersebut harus tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, karena apa yang dilihat pertama oleh peserta didik, maka itulah yang akan berbekas dalam dirinya. Kedua: materi tersebut sesuai dengan tingkat kecerdasan peserta didik. Ketiga: Materi tersebut seharusnya terkait dengan lingkungan dan kehidupan peserta didik di mana mereka berada. Keempat: materi harus sesuai dengan waktu/jam pelajaran yang disediakan, sehingga pengajar dapat menyajikan sesuai dengan yang direncanakan. Kelima: Materi tersebut harus sistimatis yang terkait antara sebelum dan sesudahnya.16 Oleh karena itu, materi/bahan ajar sangat penting dan mendu-duki posisi yang penting dalam proses pembalajaran bahasa Arab. Inilah beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pembela-jaran bahasa Arab di Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam rangka mewujudkan pembelajaran bahasa Arab yang efektif. Berbagai penun-jang tersebut mempunyai urgensitas yang sama, dan tidak bisa dipi-sahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, jika konstruksi pembelajaran bahasa ini dapat dibangun, maka usaha untuk mengefektifkan pembelajaran bahasa di Indonesia, khususnya di UIN/IAIN dan STAIN dapat segera diwujudkan sesuai dengan yang diharapkan. E. Kesimpulan Memang untuk mencari sebuah pola dan sistem yang betul-betul dapat mengatasi persoalan ini tidaklah mudah, tetapi dengan kembali menengok beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pembelajaran bahasa dan merekonstruksi bangunan-bangunan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dan pedoman dalam menyusun kurikulum dan sillabus yang berlaku di PTAIN dalam rangka meng-efektifkan pembelajaran bahasa. Dengan demikian, perlu ada upaya perbaikan dan pembena-han dalam pembelajaran bahasa Arab di PTAIN, dalam rangka upaya rekonstruksi untuk mewujudakn efekifitas pembelajaran bahasa Arab, baik itu terkait dengan tujuan pembelajaran, profesio-nalitas dosen, kemampuan peserta didik, media dan sarana pembela-jaran. Bahkan juga dengan kurikulum dan silabi/materi dalam rangka mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
15
Lihat Djago Tarigan dan H. G. Tarigan, Teknik Pembelajaran Keterampilan Berbahasa (Cet.I; Bandung: Angkasa, 1990), h. 9. 16 Lihat M. ‘Abd al-Qadir Ahmad, Op.Cit., h. 21-22.
64
Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Arab
DAFTAR PUSTAKA Anwar G. Chejne, Anwar G. Chejne, 1996, The Arabic Language Its Role in History, diterjemahkan oleh Aliuddin Mahyuddin dengan judul Bahasa Arab dan Peranannya dalam Sejarah, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Brokleman, Karl, t.th, Tarîkh al-Adab al-‘Arabî, Jilid I, Cet. IV; al-Qahirah: Dâr al-Ma’rif. Hamid, Abdul, et al., 2008, Pembelajaran Bahasa Arab, Cet. I; Malang : UIN Malang Press. Hermawan, Acep, 2011, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Cet. I; Bandung : Remaja Rosdakarya. Inaniy, Mustafa, t.th, al-Wasith Fî al-Adab al-‘Arabî Wa Tarîkhuhu,, Mesir: Dâr al-Ma’rif. Suhaib, Muhammad Suyuti, 1990, Kajian Puisi Arab Pra Islam, Cet. I; Jakarta: al-Quswa. Sumardi, Muljanto dan AR Partosentono, Pedoman Pembelajaran Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Agama /IAIN, Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama DEPAG RI. Tarigan, Djago dan H. G. Tarigan, 1990, Teknik Pembelajaran Keterampilan Berbahasa, Cet.I; Bandung: Angkasa. Wahid, Abdul Wa’fi, 1962, Fiqh al-Lughah, Cet. V; al-Qâhirah: Lajnah alBayan al-Arabî Yunus, Fath A’li, et al. 1981. Asâsiyah Ta’lim al-Lughat al-A’rabiyah wa alTarbiyah al-Dîniyah, Kairo: Dâr al-Saqafah li al-Taba’ah.
Kaharuddin Ramli
65
66
Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Arab
TINJAUN PAEDAGOGIS TENTANG HAKIKAT TAKDIR Oleh: Syarifa Suhra Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone (
[email protected])
Abstrak Artikel ini ingin mengedukasi kepada muslim tentang hakikat takdir. Dalam al-Qur’an dijelaskan hal-hal takdir dan ketentuannaya. Takdir termasuk sebaha-gian dari pada Iman kepada Allah. Muslim yang percaya dan meyakini tentang takdir Allah, maka tentunya akan berusaha dengan sungguh-sungguh di dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan dunianya dan keselamatan akhiratnya. Manusia akan mengetahui kekurangan dan kelemahannya serta keterbatasannya dalam hal menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya yang terjadi di luar kemampuannya. Kemudian dari segi yang lain, dengan adanya takdir Allah, maka manusia akan menerima kenyataan hidup dengan penuh kerelaan. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih menunjukkan bahwa manusia mampu mengubah perjalanan hidupnya dengan perbuatan-perbuatan baiknya, amal shaleh. This article is aimed to educate Muslims about the nature of destiny. The destiny is comperehensively described in the Koran. The destiny is the main pillar of faith (iman). Muslim who believes in destiny from Allah, surely, will do his best to achieve happiness and safety in this world and hereafter. One will find out their strength, weaknesses, and limitations in determining what is going to happen to him. Besides that, with the belief to the destiny or fate, one would keenly accept the reality of his live with a great eagerness. Most verses withi the Koran and valid hadiths show that human are able to change his journey of life by good deeds and good acts. Kata Kunci: takdir, Muslim, pendidikan, pedagogis.
A. Pendahuluan Salah satu ketentuan pokok dalam prinsip aqidah adalah keharusan meyakini segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt terhadap makhluk-Nya, baik maupun jelek dari ketentuan Allah. Hakekat takdir menurut ketentuan aqidah Islam yaitu bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah swt dalam azal. Bagi orang Islam diharuskan menyakini dengan seyakinyakinnya bahwa segala yang ada di muka bumi ini sudah menjadi ketentuan Allah keberadaannya, dan hal ini haruslah diyakini oleh setiap orang Is-lam. Dalam hal takdir atau ketentuan Allah swt, dalam Al-Qur’-an telah dijelaskan yaitu pada surah al-Ra’d ayat 8 yang ber-bunyi:
kû Dæh¶ö Âì Lì #çÌhæ Æè ©ì #í×Ñ ès æ #ï¿õ¹Íæ “Segala sesuatu itu di sisi allah adalah dengan ketentuan tak-dir”.1 1
Q.S. Al-Ra’d : 8
Syarifa Suhra
67
Di dalam kehidupan sehari-hari manusia ditutut beramal sekuat tenaga baik untuk kepentingan duniawi maupun untuk kepentingan ukhrawi. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah swt. dalam surah ar-Ra’d ayat 11 yang berbunyi :
#èÃÊú p ì ²õ ÅôGLì #EæÁ#DÍçlÐò ®æ Ïç #ÕîQ\ æ #ûÄÎè ¶ô Lì #EæÁ#çlÐò ®æ Ïç #Þ#æ˾ü½D#îÈJú “…….Sesungguhnya Allah tidak meragukan keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.2 Ayat ini mengisyaratkan perlunya manusia dengan penuh kesungguhan untuk mendapatkan kebaikan dan kehidupannya. Ini berarti manusia tidak akan mungkin mendapatkan kebahagiaan dalam hidup tanpa kerja yang sungguhsungguh. Kenyataan dalam kehidupan manusia seringkali diperhadapkan antara keharusan mengimani takdir dengan keharusan bekerja sehingga terkadang menimbulkan keresahan. Nampaknya, antara ketentuan takdir dan perintah untuk bekerja terhadap perbedaan tinjauan dari segi pengertiannya masingmasing, sebab firman Allah swt, menyatakan bahwa segala sesuatu sudah ada ketentuan yang ditakdirkan atas-nya, sedang di lain pihak allah swt menyatakan bahwa setiap orang hanya akan mendapatkan sesuatu kalau ada kerjanya. Sebagaimana dalam firman Allah swt, dalam surah al-Najm ayat 39 yang berbunyi:
Õæªo æ #EæÁ#üÞJú #úÈEæpÅúå½ì #æqÐè ½ô #èÈFô Íæ “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selian apa yang telah diusahakan”.3 Pada hakekatnya semua ketentuan tersebut tidaklah berten-tangan karena ayat yang pertama dengan ayat yang kedua terdapat keterkaitan yang tak terpisahkan. Hal yang demikian dapat diba-yangkan oleh manusia dalam kehidupannya misalnya di kala se-orang dalam keadaan haus tentunya mengharapkan air, tetapi tidak mungkin ia mendapatkan air apabila tidak berusaha memperoleh-nya. Dalam kenyataan kehidupan manusia yang merasa terancam karena tidak dapat menyakini kemungkinan masa depan kehidu-pannya tanpa pegangan yang pasti. Oleh karena itu manusia di samping diharuskan menyakini bahwa segala ketentuan menyang-kut nasib manusia di tangan Tuhan. Dan tidak mungkin seorang mengetahuinya karena tuhan sengaja merahasiakan agar manusia di dalam kehidupannya bekerja dengan bersungguh-sungguh, di sam-ping mengharapkan bantuan Allah swt dengan keyakinannya. Di sinilah letak aspek pendidikannya yang sangat besar dari aqidah takdir yang mendorong manusia untuk cermat membuat perhitu-ngan di dalam kehidupannya. Dari uraian di atas, maka pe-nulis da-pat memberi beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
2 3
68
Q.S. Al-Ra’d : 11 Ibid., h. 874.
Tinjaun Paedagogis Tentang Hakikat Takdir
Apa itu hakekat takdir terkait hal ihwal manusia? Aspek pendi-dikan Islam apa saja yang terkandung dalam hakekat takdir? B. Pengertian Takdir Menurut Bahasa, takdir adalah ketentuan Allah sejak asal. 4 Dalam alMunjid, dikatakan bahwa takdir ialah:
# #×E|¶½D#ÇÁ#D#Ó#k#h¶Ï#EÁ Maksudnya” Ketentuan Allah terhadap nasib sesuatu”.5 Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa takdir ialah ketentuan Allah swt. Sejak asal terhadap semua mahluk-Nya mulai dari terkecil seperti atom-atom sampai kepada yang terbesar seperti alam ini termasuk di dalamnya masyarakat manusia. Di dalam ilmu kalam takdir ini diistilahkan dengan Qadha dan Qadar. Kata “Qadha” dapat berarti untung, nasib6 sedang kata “Qadar” dapat berarti hukum Tuhan, kadar sebanyak, kuasa dan upaya.7 Dari pengertian tersebut dapatlah dipahami bahwa: Qadha dan Qadar ialah hukum Tuhan terhadap nasib segala sesuatu. Menurut Istilah menurut Sayyid Sabiq: Taqdir adalah sesuatu peraturan yang tertentu telah dibuat oleh Allah swt. Untuk segala yang ada dalam alam semesta yang maujud ini. Jadi peraturan tersebut merupakan unda-ng-undang umum atau kepastian yang diikatkan di dalamnya sebab dengan musababnya juga antara sebab dan akibatnya.8 Iman an-Nawawy memberikan pengertian takdir yang dikutip oleh Sayyid Sabiq, mengatakan bahwa: Sesungguhnya segala yang maujud ini, oleh Allah Taala sudah digariskan sejak zaman Qidam dahulu Dia swt. Maha mengetahui apa saja yang akan terjadi di atas segala sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah ditetapkan olehnya. Jadi terjadinya itu nanti pasti akan cocok menurut sifat-sifat dan keadaan yang khusus tetap seperti yang digariskan oleh Allah swt. Itu.9
4 Disadur dari W. J. S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. V; Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976), h. 996. 5 Louis Ma’luf, Al-Munjid Fielluhah. Juz XXIII (Libanon: Darul Masyrik, 1972), h. 612. 6 Disadur dari Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawy, Kamus al-Marbawy (Mekah: Darul Basi Lit Tahabaah Wan-Nasrah Abbas Ahmad Basi, t. th.), h. 140 7 Disadur dari Ibid., h. 116 8 Sayyid Sabiq, Al-Aqidatul Islamiyah, diterjemahkan oleh Muhammad Abdai Rathomi, dengan judul Aqidah Islam (Cet. IX; Bandung: CV Diponegoro, 1989), h. 149 9 Ibid., h. 150
Syarifa Suhra
69
Haji Taib Tahir Abdul Muin memberikan pengertian Qa-dha dan Qadar (takdir) yang dikutip oleh Sahri Muhammad dan Ra-sunah Azis, Mengatakan bahwa takdir menurut al-Qur’an mem-punyai beberapa pengertian: 1. Takdir berarti hukum, hal ini sesuai dengan firman Allah swt. Dalam alQur’an surah an-Nisaa’ ayat 65 yang berbunyi:#
#Ñì±# DÍçhY ì Ïæ # Þ# îÃçT# Ãè Êç Ææ Ðè Læ # læ Y æs æ # EæÂÐì±# ¼ ô Îçº Ā ] æ Ïç # ÕîQ\ æ # Èæ ÎçÆÁì Ýè Ïç # Þ# » ô òLkæ Íæ # ßô±
#÷EÂÐì¾p è Pæ #DÎç¾Āp æ Ïç Íæ #æRÐè | æ µô #EîÂÁì #÷EXæl\ æ #èÃÊú p ì ²õ ÅôF ‘Maka dari Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak bermain hingga mereka menjadikan kamu, hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’.10 2. Takdir berarti perintah, hal ini sesuai dengan firman Allah swt. Dalam surah al-Israa’ ayat 23 yang berbunyi:
çÌEîÏJú#üÞJú#DÍçhçMªè Pæ #üÞFô #ô»ïLkæ #Õæ|µô Íæ ‘Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan me-nyembah selain dia......’.11 3. Takdir berarti Iradhah, hal ini sesuai dengan firman Allah swt. Dalam surah Ali’Imran ayat 47 yang berbunyi:
Èç ÎõºÐæ ±ô #èǹ õ #ç˽ô #çÀÎõ¶Ïæ #EæÂÅî Kú ±ô #÷DlèÁFô #Õæ|µô #DæiJú #ç×EætÏæ “Apabila Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka Allah hanya untuk berkata kepadanya: “jadilah” lalu jadilah dia’. 12 4. Takdir berarti mewujudkan sesuatu dengan sebaik-baiknya, seindahindahnya dan serapi-rapinya. 5. Takdir artinya menggambarkan atau memberi tahu. Hal itu sesuai dengan firman Allah swt. Dalam al-Qur’an surah al-Israa’ ayat 4 berbunyi sebagai berikut:
#úÇÐè Pæ lî Áæ #úkè àô D#Ñì±#îÈhç p ì ²ö Qç ½ô #ìOEæQº ì ½ö D#Ñì±#æ¿ÐìØDlèoJ#ÑìÆLæ #Õô½Jú #EæÆÐè | æ µô Íæ # ‘Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu”bahwa sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali.........’.13 Dengan mengambil lima dasar pengertian tersebut, maka Syekh Muhammad Abduh menerangkan bahwa Qadha adalah pergantungan Ilmu Ilahy 10
Q.S. An-Nisaa’ : 65 Q.S. Al-Israa’ : 23 12 Q.S. Al-Israa’ : 47 13 Q.S. Al-Israa’ : 4 11
70
Tinjaun Paedagogis Tentang Hakikat Takdir
yang rapi dengan sesuatu kenyataan, ke-mustian hukum karena Iradhah Allah swt. Adapun pengertian Qa-dar ialah ilmu yang sangat luas, meliputi segala apa yang terjadi, dan semua yang berhubungan dengan itu yang sekiranya terjadi, pada saat kemarin, sekarang dan kelak kemudian hari, pasti sesuai apa yang telah diketahui oleh Allah swt.14 Golongan Asy-ariyah mena’rifkan qadha perpautan iradat Allah dengan sesuatu sejak azali, dengan menarifkan qadha dengan perpautan kodrat Allah swt. Untuk mewujudkan sesuatu sesuai dengan ketetapannya. Golongan Maturidiyah mena’rifkan qadar dengan per-pautan ilmu Allah yang azali dan mena’rifkan qadar dengan “per-pautan qudrat Allah untuk mewujudkan sesuatu sesuai dengan qa-dha yang telah ditetapakan.15 Muhammad Abdai Rathomi, menulis dalam bukunya “Tiga Serangkai Sendi Agama” mengatakan bahwa: Yang dimak-sud dengan qadha ialah “ketetapan”, sedangkan qadar ialah “kepas-tian” yang keduanya telah ditetapkan oleh Allah swt. Untuk seluruh makhluknya.16 Dari beberapa pengertian tersebut dapatlah dipahami bah-wa qadha dan qadar (takdir) ialah segala sesuatu yang terjadi di alam ini, berdasarkan ketentuan Allah swt. Yang telah ditentukan sejak asali. C. Aspek-aspek pendidikan yang terkandung Dalam aqidah takdir 1. Memperkuat Keimanan Terhadap Kekuasaan Allah Di antara pilar iman ialah beriman kepada takdir, dan ini adalah salah satu syarat manusia sehingga dikatakan muslim. Di dalam rukun iman yang enam, salah satu di antaranya adalah beri-man kepada takdir yang sudah merupakan ketentuan Allah yang wajib diimani oleh setiap muslim dan muslimat Seorang muslim menyadari, bahwa dirinya bukanlah ma-khluk yang dibiarkan begitu saja, tetapi alam semesta ini ada yang mengaturnya berdasarkan kehendaknya-Nya. Dia-lah Maha Pencip-ta dan menciptakan kehidupan dengan tujuan qadar-qadar-Nya. Sebagaimana firman Allah swt. Dalam surah atTaghabun ayat 11 yang berbunyi:
#í×Ñ ès æ #ò¿õºLì #ç˾ü½DæÍ#çËMæ ¾ö µô #ìhÊè Ïæ #ìËü¾½EìL#èÇÁì Ýè Ïç #èÇÁæ Íæ #ì˾ü½D#úÈiè Kú Lì #üÞJú #íÔMæ ÐìxÁç #èÇÁì #æOEæwFô #EæÁ êÃÐ쾩æ 14
Disadur dari Sahri Muhammad dan Rasuna Azis, Pengantar Menuju Revolusi Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Malang: Yayasan Pusat Studi Avicenna, 1981), h. 73-74. 15 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 87. 16 Disadur dari Muhammad Abdai Rathomi, Tiga Serangkai Sendi Agama (Cet. VII; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), h. 59.
Syarifa Suhra
71
‘Tidaklah terjadi barang sesuatu malapetaka, melainkan dengan izin Allah. Dan siapa yang percaya kepada Allah akan dipimpin Allah hatinya (kepada kebenaran). Dan Allah itu Maha Tahu terhadap sesuatu’.17 Dengan ayat tersebut di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa di dalam hal kejadian terhadap segala sesuatu, baik itu bagi manusia, terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan bahkan terhadap alam semesta ini, itu adalah merupakan izin atau ketentuan takdir Allah. Setiap muslim harus percaya bahwa Allah-lah yang me-ngetahui apa-apa yang akan terjadi pada hamba-hamba-Nya, tidak ada sesuatu keuntungan dan kerugian pun yang menimpah manusia kecuali dengan kehendak Allah. Dan itulah yang dika-takan makna beriman kepada qadar. Selanjutnya seorang muslim percaya, bahwa takdir Allah meliput segala aktifitas manusia dan kejadian-kejadian yang ada pada dirinya dengan sedetail-detailnya. Kesehatan, sakit, kesedihan, kekayaan, dan segala yang berkaitan dengan kehidupan manusia semua itu terjadi karen takdir yang meliputi alam semesta ini. Sesuai dengan firman Allah swt. Dalam surah al-Hadid ayat 22 yang berbunyi:
#èÈFô # ¿ú Mè µô # Çè Áì # O í EæQ¹ ì # Ñì±# üÞJú # Ãè º õ p ì ²õ Åè Fô # Ñì±# ÞæÍ# ú kè àô D# Ñì±# Ôí Mæ ÐìxÁç # Çè Áì # O æ EæwFô # EæÁ êìpæÏ#ìËü¾½D#Õô¾æ©#ô»ì½æi#îÈúJ#EæÉôFælèMæÅ ‘Tidaklah sesuatu bencana yang terjadi di bumi atau pada diri kamu sendiri, melainkan itu ada dalam kitab sebelum kami lak-sanakan terjadinya. Sesungguhnya hal yang demikian itu bagi Allah mudah belaka’.18 Kepercayaan kepada qadha dan qadar ini mengajarkan bahwa segala yang terjadi di alam ini, termasuk yang menimpa diri manusia itu sendiri, tidaklah terlepas dari takdir atau ketentuan Tuhan. Tidak lepas qadar, artinya jangka waktu yang telah diten-tukan, takdir Tuhan itu ada, dan antara lain dapat dibuktikan de-ngan apa yang terjadi pada diri manusia itu sendiri, seperti kapan dan di mana manusia itu lahir, manusia tidak memilihnya. Manusia ketika lahir ke dunia, maka manusia tidak memilih ibu dan bapak tidak memilih bangsa dan tanah air. Bahkan juga tidak memilih jenis laki-laki dan perempuan dan sebagainya.19 Dengan melihat uraian di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa dengan meyakini takdir Allah, akan dapat memperkuat kei-manan kita terhadap kekuasaan Allah. Sebab kita sadar akan kekua-saan dan kebesaran Allah terhadap makhluknya, selain itu dapat pula kita menyadari bahwa apa yang terjadi dan menimpa diri kita adalah karena kehendak Allah sehingga kita sadar dan merasa kecil atas segala kehendak Allah. Selajutnya, dengan takdir Allah, maka manusia semakin sadar akan kebesaran Allah, sehingga akan menimbulkan ketaatan, kepatuhan terhadap apa 17
Q.S. At-Taghabun : 11 Q.S. Al-Hadid : 22 19 Humaidi Tatapangarsa, Akhlak Yang Mulia (Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980), h. 36. 18
72
Tinjaun Paedagogis Tentang Hakikat Takdir
yang diperintahkan oleh Allah dan senan-tiasa ridha serta rela melakukan yang baik. 2. Mendidik Manusia dapat Menerima Kenyataan Hidup Takdir menurut apa yang telah kami terangkan pada bab terdahulu adalah termasuk sebahagian daripada Iman kepada Allah, bahkan merupakan sebahagian azas dari agama Islam. Tetapi jangan kehendaknya menafsirkan takdir Allah ini. Yang menulis maksudnya percaya kepada takdir Allah bukanlah harus memper-cayai begitu saja, bahwa segala sesuatu yang diketahui Allah itu pasti akan terjadi dengan tidak mengindahkan sebab-sebab dan unsur-unsur yang semestinya harus ada sebagai syarat atas timbul-nya kejadian itu dan takdir Allah itu tidak berarti bahwa sesuatu itu mesti terjadi walaupun sebab-sebabnya berjauhan dan tidak lenyap dari syarat-syarat tersebut. Sebagai seorang muslim yang percaya dan meyakini tentang takdir Allah, maka tentunya akan berusaha dengan sung-guh-sungguh di dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan du-nianya dan keselamatan akhiratnya. Sebab setiap muslim yakni bahwa Allah-lah yang mengetahui dan menguasai hal ihwal hamba-hamba-Nya dan tidak ada suatu apapun yang menimpa manusia kecuali dengan kehendak-Nya. Dari uraian di atas dapat kita lihat adanya hubungan antara pendidikan dengan takdir tersebut. Di mana manusia akan mengetahui kekurangan dan kelemahannya serta keterbatasannya dalam hal menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya yang terjadi di luar kemampuannya. Kemudian dari segi yang lain, de-ngan adanya takdir Allah, maka manusia akan menerima Kenyataan hidup dengan penuh kerelaan. Untuk lebih memperjelas relefansi takdir dengan kemam-puan manusia menerima kenyataan hidup, maka dapat kita lihat sebagai berikut: a. Dengan meyakini bahwa takdir Allah meliputi segala aktifitas manusia dan kejadian yang ada pada dirinya, maka hal tersebut akan dapat mendidik manusia dari kegoncangan bathin, kere-sahan dan kecemasan sehingga akan terdidik menjadi orang yang sabar dan tetap menjadi orang yang bersyukur dari apa yang menimpahnya. b. Dengan mempercayai adanya takdir, akan mendidik manusia terhadap ketentraman bathin dan tidak mudah dipermainkan oleh kenyataan hidup, hal ini sesuai dengan firman Allah swt. Dalam surah al-Hadid ayat 23 yang berbunyi:
# õ #N ï ] ì Ïç # Þ# Ëç ¾ü½DæÍ# Ãè ¹ õ EæPH# EæÂLì # DÎç\læ ²ö Pæ # ÞæÍ# Ãè º õ Pæ Eô±# EæÁ# Õô¾©æ # DèÎo æ Gö Pæ # ßèк ô ½ì ûkÎçdô±#ûÀEæQèdçÁ ‘Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang lepas dari tanganmu dan tiada bangga terhadap apa yang diberikan Allah kepada kamu, dan
Syarifa Suhra
73
Allah itu tiada menyintai setiap orang yang sombong lagi membangkan diri’.20 c. Dengan adanya takdir tidak akan membuat seseorang sombong dan membanggakan diri terhadap apa yang diperolehnya, sebab ia yakin bahwa semua ini adalah takdir Allah. Dan juga mendidik manusia untuk optimis dalam berikhtiar.21 3.
Mendidik Manusia Untuk Optimis dan Berusaha Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih menunjuk-kan bahwa manusia mampu mengubah perjalanan hidupnya dengan perbuatan-perbuatan baiknya, amal shaleh, sedekah, berbuat baik antara sesama manusia, taubat, silaturrahami, pengabdian kepada orang tua, istigfar, syukur terhadap nikmat dan lain sebagainya yang dapat mengubah perjalanan hidup dan dapat mengganti takdir yang jelek kepada takdir yang baik. Demikian pula ia mampu me-ngubah perjalanan hidupnya dari yang baik kepada yang buruk. Sebenarnya manusia tidak dipaksa satu perjalanan hidup tertentu dan garis-garis hidup yang tak diganggu gugat. Tidak pula dia harus menjalani ketentuan itu baik ia mampu maupun tidak. Tetapi perjalanan hidup dan apa yang telah digariskan itu keduanya dapat berubah dan berganti karena syukur atau ingkar terhadap nikmat, karena taqwa atau maksiat, dan lain sebagainya.22 Semua penjelasan di atas telah jelas bahwa takdir telah dapat memberikan dorongan dan membuat manusia untuk selalu optimis dalam berusaha. Sebab manusia tidak akan pernah tahu tentang apa yang akan terjadi pada dirinya, kecuali yang manusia ketahui adalah apa yang telah berlaku terhadap dirinya. Sehingga dengan takdir akan mendidik manusia untuk bersikap optimis dalam beraktivitas. D. Kesimpulan Sebagai penutup dari tulisan ini maka penulis dapat mena-rik kesimpulan secara global dari tulisan ini sebagai berikut: Takdir dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting dan merupakan salah satu rukun Iman yang wajib diper-cayai oleh setiap orang muslim dan muslimat. Keberadaan manusia di bumi ini tidak akan terlepas dari takdir yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Namun demikian manusia dapat saja memperbaiki takdir tersebut melalui jalan berbuat shaleh, sedekah, berbuat baik kepada sesama manusia, istigfar, syukur terhadap nikmat yang dapat mengubah perlajalanan hidupnya dari takdir yang jelek menuju takdir yang baik. Dalam hidup dan kehidupan manusia, selalu dituntut untuk bekerja sekuat tenaga dalam rangka mencari kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat dengan penuh rasa optimis, sedangkan yang berhak menentukan berhasil tidaknya dari 20
Q.S. Al-Hadid : 23 Arifin Jami’an M., Memahami Taksir (Cet. I; Surabaya: CV. Bintang Pelajar, 1986), h. 17. 22 Syekh Ja’far Subhani, Memilih Takdir Allah (Cet. I; Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990), h. 39. 21
74
Tinjaun Paedagogis Tentang Hakikat Takdir
apa yang diusahakan manusia itu adalah Allah melalui ketetapan yang telah ditentukan-nya atau yang telah ditakdirkan-Nya. Konsekuensi dari keharusan beriman kepada takdir ini akan melahirkan orang yang mampu bersabar ketika ditimpa musibah dan bersyukur ketika memperoleh kenikmatan. Hubungan takdir dengan pendidikan tergambar jelas dalam beberapa hal, seperti: kepercayaan kepada takdir akan memperkuat keimana kepada Allah swt., takdir dapat mendidik seseorang untuk sabar, tabah menerima apa yang menimpahnya baik yang bersifat mudharat maupun yang bersifat menyenangkan dengan kata lain rela menerima kenyataan hidup. Dan dengan takdir ini akan membuat seseorang optimis dalam berusaha serta penuh semangat dalam menjalankan segala aktivitasnya.
Syarifa Suhra
75
DAFTAR PUSTAKA Al-Marbawy, t. th, Muhammad Idris Abdul Rauf Kamus al-Marbawy Mekah: Darul Basi Lit Tahabaah Wan-Nasrah Abbas Ahmad Basi. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, 1972, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam Jakarta: Bulan Bintang. Departemen Agama RI., 1983/1984, Al-Qur’an dan Terjema-hannya Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an. Jami’an, Arifin. M., 1986, Memahami Taksir Cet. I; Surabaya: CV. Bintang Pelajar. Louis Ma’luf, 1972, Al-Munjid Fielluhah. Juz XXIII Libanon: Darul Masyrik. Poerwadarmita, W. J. S., 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia Cet. V; Jakarta: PN. Balai Pustaka, Rathomi, Muhammad Abdai, 1990., Tiga Serangkai Sendi Agama Cet. VII; Bandung: PT. Al-Ma’arif. Sahri Muhammad dan Rasuna Azis, 1981, Pengantar Menuju Revolusi Ilmu Pengetahuan Dalam Islam Malang: Yayasan Pusat Studi AVICENNA. Sayyid Sabiq, Al-Aqidatul Islamiyah, 1989, diterjemahkan oleh Muhammad Abdai Rathomi, dengan judul Aqidah Islam Cet. IX; Bandung: CV Diponegoro. Subhani, Syekh Ja’far, 1990, Memilih Takdir Allah Cet. I; Jakarta: Pustaka Hidayah.. Tatapangarsa, Humaidi, 1980, Akhlak Yang Mulia Cet. I; Sura-baya: PT. Bina Ilmu.
76
Tinjaun Paedagogis Tentang Hakikat Takdir
EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Arhanuddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Manado (
[email protected])
Abstrak Pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Perbedaan yang paling menonjol antara pendidikan Islam dan pendidikan umum adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam. Metode Pengembangan Pendidikan Islam Sebagai suatu metode, biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut : Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan. Kedua, Metode pencarian bahan. Ketiga, Metode pembahasan. Keempat, Pendekatan. Dalam pendidikan Islam, kerangka epistemologi yang dikembangkan harus memadukan dan mensinergikan antara nalar bayani, burhani dan irfani. Islamic education is the process of preparing the younger generation to fill the role, transferring knowledge and Islamic values are aligned with human function to charity in the world and reap the results in the hereafter. The most prominent difference between Islamic education and general education is that education is the establishment of Islam is not only important for personal happiness of the world, but also for happiness hereafter. Besides trying to establish private Islamic schools that adopt the teachings of Islam, methods development of Islamic Education as a method usually requires the following four things: First, the materials to be used. Second, material search method. Third, the method of discussion. Fourth, approach. In Islamic education, the epistemological framework developed to integrate and synergize between reason Bayani, Burhani and Irfani. Kata Kunci: pendidikan Islam, epistemologi, antroposentris, teosentris, agama.
A. Pendahuluan Secara ontologis pendidikan pada hakikatnya adalah untuk ma-nusia, sebab ia merupakan hasil pemikiran yang dilakukan oleh dan untuk manusia guna mencapai aktualisasi diri di dunia. Sebagai produk pemikiran manusia, pendidikan bersifat relatif dan sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas perumusnya. Di sisi lain, secara epistemologis sebaik apapun hasil pemikiran manusia tentang pendidikan bersifat relatif, sebab ia sangat tergantung pada konteks sosial dan tingkat pengalaman dan pengetahuan manusia, sementara manusia sendiri bersifat terbatas. Dengan pemahaman ini tidak ada alasan untuk men-taqdis-kan hasil pemikiran manusia di masa lalu yang dianggap baku (mabni) dan statis, sebab ketika realitas yang dibatasi ruang dan waktu berubah dan berbeda, maka respon manusia juga harus berubah jika tidak ingin jumud.
77
Sebenarnya berbicara tentang persoalan pendidikan sama halnya membicarakan tentang kehidupan manusia, sebab pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi kemanusiaannya, mulai dari ayunan hingga liang lahad, min almahd ila al-lahdi. Proses ini hanya berhenti ketika nyawa sudah tidak ada dalam raga manusia. Dalam Islam pendidikan diperlukan untuk membantu meneguhkan eksistensi dalam mengemban fungsi ‘âbid dan khalîfah. Eksistensi manusia sangat ditentukan oleh sejauhmana ia mampu menjalankan kedua fungsi tersebut. Selain itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk yang unik dan multidimensional, baik sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu yang khas dengan berbagai potensinya, dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia harus dilakukan sebelum proses pendidikan dilak-sanakan. Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidi-kan yang tidak sesuai dengan misi di atas. Dalam prakteknya, pendidikan tidak berfungsi sebagai proses transformasi pada diri peserta didik dan masyarakat. Bahkan, praktek pendidikan seringkali menjadi biang terjadinya problem sosial. Hal ini antara lain dapat dili-hat dari adanya kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cende-rung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, sen-tralistis, mekanis, verbalis, kognitif, dan misi pendidikan telah misleading.1 Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Praktek pendidikan Islam yang dianggap misleading ini merupakan bukti bahwa belum ada pemahaman yang memadai tentang konsep dan implementasi pendidikan Islam dalam era kontem-porer. Pendidikan Islam banyak mengalami reduksi, baik dari aspek makna maupun prakteknya. Tidak berdayanya (powerlessness) pen-didikan Islam tersebut menjadi keprihatinan bersama, mulai dari pakar dan praktisi pendidikan di lembaga pendidikan formal, tokoh masyarakat hingga orang tua di rumah. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Bahkan, ia menjadi part of the problem. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan reinterpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan. Perubahan paradigma tersebut antara lain berkaitan tentang pendidikan yang harus diselenggarakan dengan pendekatan akademis, bukan birokratis, pendidikan harus berorientasi mencetak peserta 1 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), h. 157-158
78
Eksistensi Pendidikan Islam
didik bermental mencari ilmu, bukan menunggu ilmu, peserta didik harus dididik mencadi orang aktif, bukan pasif, pendidikan harus berorientasi pada peserta didik (student-oriented), bukan pendidik atau negara (teacher and stateoriented), manusia harus dilihat secara antroposentris yang teosentrik, bukan hanya antroposentris, pengelolaan pendidikan tidak boleh sentralistis, tapi harus desentralistis, pendidikan agama tidak boleh disampaikan secara dogmatis saja, dan pendidikan harus bersifat inklusif, integralistik dan holistik.2 Yang jelas, pola pendidikan Islam yang selama ini berjalan harus dilakukan pergeseran atau perubahan menjadi pola lain yang lebih membumi terhadap realitas empirik. Ini berarti perlu melakukan transformasi dari the existing education ke the other new and better one.3 Terma transformasi yang dimaksudkan adalah mengim-plikasikan perlunya melakukan pergeseran dari pola pendidikan Islam konvensional, menjadi pola baru yang mampu menjawab tantangan zaman. 4 Hanya saja, perubahan ini tidak akan berjalan efektif jika dilakukan secara ad hoc dan fragmental, namun harus secara integrated dan holistik, dalam arti bahwa peninjauan harus dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek-aspek dalam pendidikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan ulasan secara utuh dan instant terhadap persoalan perubahan paradigma pendidikan, namun hanya sebagai bahan diskusi untuk mengurai benang kusut problem pendidikan Islam, khususnya yang ada di Indonesia. Dari beberapa uaraian di atas yang telah dipaparkan oleh penulis, untuk mensistematiskan pembahasan dalam tulisan ini, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan antara lain: Pengertian Pendidikan Islam? Ruang Lingkup Pendidikan Islam? dan Epistemologi Pendidikan Islam? B. Pengertian Pendidikan Islam Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi dan pengertian. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendi-dikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan 2
“Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik” lihat (Tashfîrul Afkâr; Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun: 2001), h. 77-83. 3 Keprihatinan terhadap praktek pendidikan, khususnya pendidikan agama, belakangan banyak disorot oleh berbagai kalangan karena dianggap tidak mampu memberikan nilai, etika, dan moral bagi peserta didik. Bahkan, pendidikan agama seringkali menjadi alat politik atau kepentingan kelompok tertentu. Untuk menyebut beberapa nama yang concern terhadap hal ini adalah Musa Asy'arie, Haidar Baqir, Frans Magnis Suseno, dan Azyumardi Azra. 4 Di antara tulisan yang mencoba menitikberatkan pada pencarian format baru pendidikan Islam adalah lihat Jurnal Ta’dib dengan judul “Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, (Vol. IV; No. 02, September 2001), h. 89-113 dan “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural” dalam M. Amin Abdullah dkk., lihat juga “Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural” (IAIN Sunan Kalijaga dan KLS; Yogyakarta, 2002), h. 345-374.
Arhanuddin
79
menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau me-ngaktifkan kekuatan/potensi anak.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.6 Para ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan definisi pendidikan Kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yang dibina dalam kegiatan ini. JOE Park umpamanya merumuskan pendidikan sebagai the art or process of imparting or acquiring knowledge and habit through instructional as strudy. 7 Di dalam definisi ini tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction). Sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Mayer Grene mendefinisikan pendidikan dengan usaha manusia untuk menyaiapkan dirinya untuk suatu kehidupan bermakna. Di dalam definisi ini aspek pembinaan pendidikan lebih luas.8 Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.9 Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan partum-buhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakat-nya. Adapun pendidikan Islam memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan pengertian pendidikan secara umum. Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan Islam, diantaranya Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang,
5
Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Pendidikan Nondikotomik,” (Cet. I; Yogyakarta: Gama Media: 2002), h. 65 6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” ,(Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 232 7 Ibid., h. 69 8 Ahmad Tafsir, “Metodologi Pengajaran Agama Islam”, (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya:1995), h. 5-6. 9 Karnadi Hasan “Konsep Pendidikan Jawa”, (dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3; Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang: 2000), h. 29.
80
Eksistensi Pendidikan Islam
dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.10 Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindah-kan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.11 Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.12 Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaranajaran Islam.13 C. Ruang Lingkup Pendidikan Islam Penjelasan mengenai ruang lingkup pendidikan Islam me-ngandung indikasi bahwa pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas me-ngenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin 14 menyatakan bahwa mempelajari pendidi-kan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan Islam, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam 10 Yusuf al-Qardhawi, “Tarbiyah al-Islâmiyah wa al-Madrasah Hasan al-Banna”, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, “Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna”, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39 11 Hasan Langgulung, “Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam”, (Cet. I; Bandung: al-Ma`arif, 1980), h. 94 12 Endang Saifuddin Anshari, “Pokok-pokok Pikiran tentang Islam”, (Cet. I; Jakarta: Usaha Interprises, 1976), h. 85 13 Azyumardi Azra, “Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam”, (Cet. I; Ciputat: Logos, 1999), h. 6 14 Abuddin Nata, M.A., “Filsafat Pendidikan Islam”, (Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 76
Arhanuddin
81
kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan. Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At Tarbiyah Al Islâmiyah Wa Falsafatuhâ” yaitu: 1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. 2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendi-dikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus. 3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya. 4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan. 5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan. Metode Pengembangan Pendidikan Islam Sebagai suatu metode, biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut : Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan. Kedua, Metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfâzh al Qur’ân al Karîm karangan Muhammad Fu'ad ‘Abd Baqî dan Mu’jam al muhfahras li Alfâzh al Hadîts karangan Weinsink. Ketiga, Metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah. Keempat, Pendekatan dalam hubungan-nya dengan pembahasan tersebut di atas
82
Eksistensi Pendidikan Islam
harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas hal tersebut.15 Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena. D. Epistemologi Pendidikan Islam Praktik pendidikan Islam yang selama ini berjalan tidak terlepas dari kerangka epistemologi yang dimiliki para praktisi pendi-dikan. Sebab, dari model berpikir inilah konstruk pengetahuan dibangun dan disebarluaskan kepada peserta didik. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang berpandangan bahwa ilmu pendidikan Islam hanya bersumber dari teks (agama), maka yang diajarkan kepada peserta didik sebatas yang ada dalam buku, tidak ada upaya mendialogkan dengan realitas. Sebaliknya, ketika seseorang berpandangan bahwa yang menjadi sumber pengetahuan hanya realitas, maka dia akan bertumpu pada problem riil saja. Lalu, dihadapkan pada berbagai persoalan di atas, epistemologi seperti apa yang tepat untuk mengem-bangkan pendidikan Islam. Makalah ini tidak berpretensi memberikan jawaban secara komprehensif, namun sebagai ikhtiar membangun kerangka epistemologi pendidikan Islam yang dapat memberikan alternatif pemecahan mutakhir pendidikan. Dalam hal ini pandangan Muhammad ‘Abid al-Jabiri tentang tiga kerangka epistemologi pemikiran Islam dapat dijadikan sebagai inspirasi, yaitu bayâni, burhâni, dan ‘irfâni. Bayani (explanatory), secara etimologis, mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan, dan ketetapan. 16 Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma`, dan ijtihad.17 Dalam pandangan al-Jabiri, secara historis sistem epistemologi bayani merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Epistemologi ini dominan dalam bidang keil-muan pokok seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih), ulum al-Qur'an (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis), teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari berbagai aturan dan prosedur untuk menafsir-kan sebuah wacana (interpreting discourse), sekaligus menentukan berbagai prasyarat bagi pembentukan wacana.18 15
Ali Saifullah, “Antara Filsafat dan Pendidikan,” (Cet. I; Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 82 16 Andy Dermawan, “Ibda Bi Nafsika Tafsir Baru Keilmuan Dakwah”, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 63 17 Muhammed `Abid al-Jabiri, “Bunyah al`Aql al-`Arabî”, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al`Arabiy,1993), h. 383-384 18 Muhammad Abed al-Jabiri, “Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam”, terj. M. Nur Ichwan (Cet. I; Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 28
Arhanuddin
83
Konsepsi dasar dari sistem ini berupaya mengkombinasikan pelbagai metode fikih, yang dikembangkan al-Syafi'i, dengan berbagai metode retorika, yang dikembangkan oleh al-Jaiz. Konsepsi tersebut terpusat pada relasi antara ujaran dan makna, di samping tambahan prasyarat yang dilontarkan oleh fuqaha dan teolog mutakhir, yaitu mengenai kepastian, analogi, materi subyek dari laporan, dan pelbagai tingkat otentisitas. Berbagai upaya di atas pada akhirnya menghasilkan sebuah teori pengetahuan bayani dalam semua tingkat pengetahuan. Pada level logika internal, teori pengetahuan tersebut diarahkan oleh konsep indikasi, yang berpengaruh pada gaya bahasa puitik, pengungkapan, pemahaman, komunikasi, serta reseptifitas. Demikian juga pada level materi pengetahuan, yang tersusun dari al-Qur’an, hadis, gramatika, fikih, puisi serta prosa Arab, begitu juga pada level ideologis, sebab kekuatan otoritatif yang menentukan di balik berbagai tingkatan ini adalah dogma Islam. Dengan demikian, berarti bahwa sejak semula telah berlaku larangan untuk menyamakan antara pengetahuan dengan keimanan kepada Allah. Pada level epistemologis, manusia dianggap sebagai makhluk yang diberkati dengan kapasitas bayani-nya, berdasarkan nalar bawaan dan nalar yang diperoleh. Nalar bawaan sebagai pemberian Allah, sementara nalar yang diperoleh dari proses pembentukan adalah tindak lanjut dari proses perenungan yang ditentukan oleh otentisitas transmisi. Menurut al-Jabiry sumber epistemologi bayani adalah nas atau teks. Dengan kata lain, corak berpikir ini lebih mengandalkan pada otoritas teks, tidak hanya teks wahyu namun juga hasil pemikiran keagamaan yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan dalam nalar bayani ini adalah lughawiyah.19 Pola berpikir bayani ini berlaku untuk disiplin ilmu seperti fikih, studi gramatika, filologi, dan kalam. Beberapa prinsip yang dipegangi dalam corak bayani adalah infisal (diskontinu) atau atomistik, tajwiz (tidak ada hukum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks). Kerangka berpikir yang diterapkan dalam disiplin ilmu di atas cenderung deduktif, yaitu berpangkal dari teks. Dalam keilmuan fikih menggunakan qiyâs al-'illah sementara dalam disiplin kalam meng-gunakan qiyâs al-dalâlah. Selain itu, corak berpikir bayani cenderung mengeluarkan makna yang bertolak dari lafadz, baik yang bersifat 'am, khas, mushtarak, haqiqah, majaz, muhkam, mufassar, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutashabih. Metode pengembangan corak berpikir ini adalah dengan cara ijtihadiyah dan qiyas. Dalam model berpikir bayani, akal berfungsi sebagai penge-kang atau pengatur hawa nafsu. Akal cenderung menjalankan fungsi justifikatif, repetitif, dan taqlidî. Otoritas ada pada teks, sehingga hasil pemikiran apa pun tidak boleh bertentangan dengan teks. Karena itu, dalam penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat dialektik (jadâliyah) dan al-'uqûl al-mutanâsifah, sehingga 19
M. Amin Abdullah, “al-Ta'wîl al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” dalam M. Amin Abdullah dkk., “Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural”, (Cet. I; Yogyakarta: IAIN Su-Ka dan Kurnia Kalam Semesta: 2002), h. 23
84
Eksistensi Pendidikan Islam
cenderung defensif, apologetik, polemik, dan dogmatik. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh pola berpikir logika Stoia, bukan logika Aristoteles. Yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara teks atau nas dengan realitas. Dari tiga rumpun keilmuan menurut al-Jabiri, yakni bayani, burhani, dan irfani, agaknya yang pertama yang mendominasi dalam tradisi keilmuan di lingkungan lembaga pendidikan Islam. Sebab, ada kecenderungan dijadikannya hasil pemikiran keagamaan yang ada di berbagai karya para fuqaha dan mutakallim sebagai pijakan utama, bahkan ada keengganan untuk tidak beranjak dari produk keilmuan tersebut sehingga cenderung kurang mampu menjawab dan memberi-kan alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan kontemporer. Padahal, menurut Amin Abdullah ada kelemahan mencolok dari nalar epistemologi bayani, yaitu ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Biasanya, corak berpikir ini cenderung mengambil sikap mental yan bersifat dogmatik, defensif, apologetis, dan polemis dengan semboyan kurang lebih “right or wrong is my country.”20 Hal ini terjadi karena fungsi akal hanya untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Padahal, dalam realitasnya, seringkali terjadi ada jurang antara yang terdapat dalam teks dengan pelaksana-annya, sebab akan sangat bergantung pada kualitas pemikiran, penga-laman dan lingkungan sosial tempat teks tersebut dipahami dan ditaf-sirkan. Belum lagi jika hasil pemahaman terhadap teks tersebut dikaitkan dengan pihak lain, baik dari aspek aliran, kelompok, dan kultur lain maka akan menunjukkan kerumitan tersendiri yang tidak dapat diselesaikan sekedar hitam putih karena menyangkut kecenderungan, visi, dan misi yang berbeda meskipun sama-sama bertolak dari teks yang sama. Sementara itu, jika sumber pengetahuan dalam nalar bayani adalah teks, maka suumber pengetahuan dalam nalar burhani adalah realitas (al-waqi') baik dari alam, sosial, dan humanities. Karena itu, lebih sering disebut sebagai al“ilm al-husûli. Yaitu, ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, bukannya lewat otoritas teks atau intuisi. Premis ini disusun lewat kerja sama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat labora-torium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer mendalam. Peran akal dalam nalar burhani sangat besar sebab ia diarahkan untuk mencari sebab akibat. Menurut Amin Abdullah, untuk mencari sebab musabab yang terjadi pada peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, maka akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk memahami realitas sosial keagamaan 20
Ibid., h. 27
Arhanuddin
85
akan lebih tepat jika meng-gunakan pendekatan semacam antropologi, sosiologi, kebuda-yan, dan sejarah. Fungsi akan lebih pada analisa dan menguji secara terus-menerus kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumus-kan lewat premis-premis logika keilmuan. Fungsi akan yang lebih bersifat heuristik ini dengan sendirinya akan membentuk budaya kerja penelitian, baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif atau verifikatif. Pendekatan dalam nalar ini adalah filosofis dan saintifik. Nalar ini lebih menekankan pada pemberian argumen dalam mencermati berbagai fenomena empirik sekaligus memberikan alternatif peme-cahan. Fenomena sosial dan alam tidak sekedar diterima sebagai hukum sunnatullah yang tiada makna, namun ia menuntut kreatifitas manusia untuk merenungkan tentang tujuan ia diciptakan dan apa manfaat yang dapat diambil oleh manusia. Karena itu, diperlukan pemikir yang berteologi qadariyah dengan pandangannya yang bebas, kreatif dan bertanggung jawab, bukan teologi jabariyah yang berpandangan bahwa manusia ibarat wayang yang cenderung kurang aktif memikirkan fenomena alam. Bertolak dari uraian di atas, maka diperlukan orang yang bernalar kritis, bukan nalar komunal. Di antara ciri orang dengan nalar kritis adalah dia mempunyai kesadaran tentang problem yang ada di sekitarnya dan aktif mencari dan memberikan alternatif pemecahan. Dalam pandangan Iqbal, orang semacam ini disebut mempunyai kesadaran kenabian, bukan kesadaran mistik, sebagaimana disinggung sebelumnya. Kesadaran kenabian antara lain ditandai oleh kemam-puannya membaca problem realitas dan memberikan alternatif pemecahan tetapi tetap dalam eksistensinya sebagai makhluk Tuhan. Selain nalar kritis, epistemologi burhani juga menuntut orang untuk mampu membuat abstraksi dari berbagai fenomena yang dibaca. Apa yang tampak dalam realitas, menurutnya, tidak sekedar dilihat dari yang ada di permukaan, namun ada nomena yang perlu dicermati. Dengan demikian, jenis argumen yang ada dalam nalar burhani adalah demonstratif, baik secara eksploratif, verifikatif, dan ekspla-natif. Dalam nalar ini, lebih banyak dituntut untuk menunjukkan bukti dan penjelasan tentang suatu pemahaman atau fenomena. Nalar ini dipenuhi dengan argumen yang bersifat pembuktian, deskripsi dan elaborasi tentang sesuatu. Nalar ini berpangkal dari beberapa prinsip dasar yang diguna-kan, yaitu idrak al-sabâb (nizam al-sabâbiyah al-thabît), prinsip kausalitas; al-hatmiyah (kepastian, certainty); al-mutabaqah bayn al-'aql wa al-nizhâm al-tabi'ah. 21 Prinsip-prinsip tersebut ber-pandangan bahwa apa yang terjadi dalam realitas empirik dan fenomena alam pada dasarnya berlaku hukum sebab akibat. Karena itu, untuk memahaminya diperlukan upaya untuk mencari akar penyebab dengan mengkaji penyebab dan akibat sekaligus, akibat yang sama belum tentu
21
86
Muhammed `Abid al-Jabiri, Op.Cit., h. 389
Eksistensi Pendidikan Islam
penyebabnya sama. Sebaliknya, sebab yang sama belum tentu mempunyai akibat yang sama. Dalam konteks pendidikan, nalar burhani sangat diperlukan. Sebab, obyek pendidikan adalah manusia dengan berbagai tantangan-nya. Ketika konsep tentang manusia berubah, maka model pendidikan juga harus diubah. Begitu juga, ketika persoalan yang dihadapi manusia berubah, maka format dan praktik pendidikan juga perlu disesuaikan jika tidak ingin ketinggalan. Kurang berkembangnya pemikiran pendidikan Islam antara lain disebabkan oleh tidak adanya nalar burhani. Pendidikan Islam terjebak pada orientasi melangit yang kurang kontekstual dan aktif memberikan alternatif pemecahan sosial. Tidak heran jika tidak muncul teori-teori pendidikan Islam dari para pemikir pendidikan. Terlebih jika dikaitkan dengan problem masya-rakat yang majemuk, pendidikan Islam seakan gagap memberikan al-ternatif pemecahan yang transformatif sebagaimana diuraikan di atas. Praktisi pendidikan relatif sibuk mencari argumen pembenar berda-sarkan teks (keagamaan) dan cenderung defensif, bukan transformatif sebagaimana dicontohkan Nabi. Sementara itu, kerangka ketiga berpikir yang ditawarkan al-Jabiri adalah 'irfani. Yang menjadi sumber pengetahuan dalam 'irfani adalah pengalaman (experience), yaitu al-ru'yah al-mubâshirah, direct experience, al-'ilm alkhudûri, preverbal knowledge. Yang menjadi dasar dari sistem epistemologi irfani adalah adanya prinsip dikotomi antara zahir dengan batin. Batin mempunyai status lebih tinggi dalam hirarki pengetahuan model epistemologi ini. Dalam nalar irfani dan bayani sama-sama ada analogi, namun keduanya berbeda. Analogi dalam nalar irfani didasarkan atas penyerupaan, ia tidak terikat oleh aturan, serta dapat menghasilkan jumlah bentuk yang tidak terbatas, sementara dalam nalar bayani didasarkan pada penyerupaan langsung. Analogi dalam nalar irfani dapat mengambil bentuk kiasan (tamtsil) atau metafor. Al-Jabiri menyatakan bahwa ada tiga tipe analogi dalam epistemologi irfani. Pertama, penyerupaan yang dida-sarkan pada korespondensi numeris. Kedua, penyerupaan didasarkan pada suatu representasi. Ketiga, penyerupaan retoris dan puitis. Dia memandang bahwa sistem epistemologi ini telah menjadi sistem produktif dalam bidang keilmuan sastra dan seni. Cara memperoleh nalar ini menurut al-Jabiri adalah dengan al-dhawqiyah (al-tajribah al-bathiniyah) dan al-riyâdhah, al-mujahadah, al-kashfiyah, alishraqiyah, al-laduniyah, penghayatan batin/tasawuf. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam nalar ini adalah psiko-gnosis, intuitif, dhawq, al-la 'aqlaniyah. Dalam epistemologi ini fungsi akal adalah partisipatif, al-hads wa alwijdan, bila hijab. Nalar ini lebih menekankan pada pengalaman langsung, sehingga yang lebih banyak terlibat adalah rasa. Sebagai contoh, untuk memahami orang yang sakit gigi tidak bisa hanya mengetahui tentang ciri-ciri penyakit gigi dalam buku, namun harus mendasarkan langsung pada orang yang pernah menderita penyakit ini, kalau perlu yang bersangkutan pernah Arhanuddin
87
mengalaminya, sehingga gambaran yang dimunculkan lebih sahih meskipin kondisi antara satu orang dengan yang lain kadang berbeda-beda. Kerangka teori yang digunakan dalam nalar ini mulai dari yang zahir ke batin, tanzîl dan ta'wîl, nubuwwah dan wilayah, dan haqîqi dan majazi. Dibandingkan dengan nalar bayâni, nalar 'irfâni lebih bebas dalam memahami yang tersurat. Imajinasi ranah ini lebih luas dan membuka berbagai kemungkinan secara bebas. Karena itu, hasil dari nalar ini adalah kreatifitas dalam pencarian makna sebagai hasil berimajinasi yang kadang hasilnya bertolak belakang dengan hasil nalar bayani. Karena itu, kadang terjadi benturan antara hasil pemahaman bayani dan irfani. Kalau yang menjadi tolok ukur nalar bayani adalah kesesuaian dengan teks, maka dalam nalar 'irfâni yang menjadi tolok ukur adalah memahami perasaan orang lain, simpati, empati. Keputusan tidak didasarkan pada yang tersurat atau formalitas, namun lebih pada yang tersirat dan apa yang dirasakan pihak lain. Karenanya, dalam nalar ini tidak muncul judgment secara satu arah. Kesimpulan hanya muncul setelah mendengar pemahaman dan perasaan pihak lain. Dalam studi Islam keilmuan yang termasuk dalam kategori ini adalah tasawuf dan akhlak. Konsep tentang Tuhan misalnya, tidak sekedar didasarkan ada dasar tekstual dalam nas, namun apa yang dirasakan oleh seorang hamba ketika berhadapan dengan Tuhan. Konsep mendekatkan diri terhadap Tuhan sangat berbeda dengan nalar bayani. Jika dalam bayani mendekatkan diri pada Tuhan lebih didasarkan pada ukuran formal fiqhiyah, sementara pada nalar 'irfani lebih pada upaya mendekatkan diri secara spiritual dan mental dengan Tuhan, sehingga ukurannya cenderung subyektif meskipun tanpa meninggalkan ajaran formal, namun yang lebih ditekankan adalah aspek esoterik. Dalam pendidikan Islam di mana makna ajaran Islam cenderung dimaknai secara formal-keilmuan, maka menurut nalar ini, pendidikan berjalan terlalu kering. Sebab, ajaran Islam ibarat hanya berisi tumpukan dogma yang kaku dan cenderung formalis. Kadang pemahaman formalis menyebabkan terjadinya klaim-klaim kebenaran antara satu pihak dengan pihak lain karena menganggap pijakannya paling jelas dan menganggap pihak lain tidak jelas sumbernya. Dalam pandangan Amin Abdullah ketiga nalar keilmuan di atas tidak dapat berdiri sendiri (isolated entities), namun harus saling berhubungan antara satu nalar dengan yang lain. Dalam diri seseorang harus ada ketiga nalar tersebut sehingga ketika mencermati dan menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami secara sepihak dan satu alur, namun dilihat secara komprehensif, baik dari aspek formal, makna, dan penyebab terjadinya hal tersebut. Sebaiknya, pemahaman secara adhoc dan fragmental dihindari sebab akan berakibat pada solusi yang dimunculkan juga akan cenderung kurang lengkap dan parsial. Begitu juga dengan pendidikan Islam, kerangka epistemologi yang dikembangkan harus memadukan dan mensinergikan ketiga jenis tersebut. Dominannya nalar bayani dalam pendidikan Islam harus diimbangi oleh nalar
88
Eksistensi Pendidikan Islam
burhani yang secara kritis dan pro-aktif mencari alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan kontemporer. Dengan nalar burhani, maka akan diketahui apakah praktik pendidikan Islam selama ini sudah efektif dan produktif dalam melakukan transformasi individual dan sosial atau belum. Jika belum, maka perlu ada kajian kritis tentang konsep-konsep pendidikan Islam yang selama ini diterima begitu saja, misalnya konsep tentang peserta didik, konsep tentang pendidik, konsep pembelajaran, konsep kurikulum, konsep evaluasi, dan seterusnya. Pada akhirnya, jika nalar bayani dan burhani berkembang, maka solusi yang ditawarkan melalui proses pendidikan Islam akan selalu aktual, kontekstual, tapi tetap transendental. Untuk itulah, nalar 'irfani juga harus disinergikan dalam praktik pendidikan. Sebab, dalam bahasa Bloom, 'nalar 'irfani analog dengan ranah afektif yang mengembangkan aspek empati dan simpati. Jika hal ini dikembangkan, maka akan muncul banyak kearifan dalam praktik pendidikan. Berbagai perbedaan dalam pemahaman dan penafsiran agama tidak akan menimbulkan prasangka, apalagi konflik, karena ranah afektif (nalar 'irfâni) dikembangkan. E. Kesimpulan Dari beberapa pemaparan dalam pembahasan di atas dalam tulisan ini, maka adapun yang dapat di simpulkan dari pembahasan tersebut adalah: 1. Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebaha-giaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafas-kan ajaran-ajaran Islam. 2. Uraian tentang ruang lingkup Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingku-ngan. 3. Dalam pendidikan Islam sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa sampai saat ini pendidikan Islam masih berkutat pada tiga model epistemologi yaitu, epistemologi bayâni (teks), burhâni (rasional) dan ‘Irfâni (intuisi). Tulisan ini diharapkan mampu menjadi sarana untuk menjelaskan dan menganalisa secara otentik terhadap eksistensi pendidikan Islam yang ada selama ini. Diharapkan juga dari tulisan ini dapat menjadi sumbangan positif bagi kajian dan telaah ilmiah terhadap pemikiran pendidikan Islam, demi pengembangan pemikiran pendidi-kan dalam Islam di masa depan.
Arhanuddin
89
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin, dkk., 2002, “Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural” IAIN Sunan Kalijaga dan KLS; Yogyakarta. Afkar, Tashfirul, 2001, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun. Al-Jabiri, Muhammad Abed, 2003, “Kritik Kontemporer atas Filsafat ArabIslam”, terj. M. Nur Ichwan (Cet. I; Yogyakarta: Islamika. Al-Jabiri, Muhammed `Abid, 1993,“Bunyah al` Aql al-`Arabî”, Beirut: alMarkaz al-Tsaqafi al-`Arabî. Al-Qardhawi, Yusuf, 1980,“Tarbiyah al-Islâmiyah wa Madrasah Hasan alBannâ”, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, “Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna” Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang. Anshari, Endang Saifuddin, 1976, “Pokok-pokok Pikiran tentang Islam”, Cet. I; Jakarta: Usaha Interprises. Azra, Azyumardi, 1999,“Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam”, Cet. I; Ciputat: Logos. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994,“Kamus Besar Bahasa Indonesia” Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka. Dermawan, Andy, 2005, “Ibda Bi Nafsika Tafsir Baru Keilmuan Dakwah”, Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana. Hasan, Karnadi, 2002, “Konsep Pendidikan Jawa”, dalam Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3; Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo Semarang. Langgulung, Hasan, 1980,“Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam”, Cet. I; Bandung: al-Ma`arif. Mas’ud, Abdurrahman, 2002,“Menggagas Pendidikan Nondiko-tomik,” Cet. I; Yogyakarta: Gama Media. Nata, Abuddin, 1997,“Filsafat Pendidikan Islam”, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Rahman, Fazlur, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press. Saifullah, Ali, 1983, “Antara Filsafat dan Pendidikan,” Cet. I; Surabaya: Usaha Nasional. Tafsir, Ahmad, 1995,“Metodologi Pengajaran Agama Islam”, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya.
90
Eksistensi Pendidikan Islam
MENILIK KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH (Sebuah Fenomena Kedaerahan) Oleh : Arten H. Mobonggi Abstrak Tulisan ini secara khusus menampilkan fenomena lokal kebijakan pendidikan dalam bingkai otonomi daerah. Didahului dengan pandangan beberapa ahli tentang plus-minus otonomi daerah terhadap kebijakan pendidikan. Selanjutnya mengurai secara runtut tentang konsep otonomi daerah dan konsep desentralisasi. Pembahasan sekaligus menghasilkan 3 pokok pemikiran tentang pendidikan dengan mengacu pada semangat otonomi daerah dan perubahan paradigma pendidikan. Ketiga pokok pikiran tersebut adalah Kebijakan Pendidikan, perencanaan pendidikan, program pendidikan serta persoalanpersoalan mendesak pendidikan Nasional. Pada bagian akhir, tulisan ini menawarkan delapan langkah yang mesti ditempuh pemerintah menuju peningkatan kualitas pendidikan. Kata Kunci: Kebijakan Pendidikan, Otonomi Daerah A. Pendahuluan Dalam pandangan saya yang sederhana mengenai isyu adanya kebijakan pendidikan pada era otonomi pada hakekatnya akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan secara umum saat ini sangat memprihatinkan. Saya menyelami lebih dalam nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan saat ini di daerah Gorontalo adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan pasar di berbagai bidang. Paling tidak, penyebab rendahnya mutu pendidikan saat ini di Provinsi Gorontalo antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Di era reformasi ini telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi UndangUndang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa
91
dan semangat otonomi. Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra ; bahwa dengan era otonomi daerah : ”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan. Agar dampak positif dapat benarbenar terwujud, kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius.1 Fiske menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.2 Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata Abdul Madjid dalam tulisannya ”Pendidikan Tanpa Planning”, bahwa rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum komprehensifnya pendekatan perencanaan yang digunakan. Perencanaan pendidikan, katanya, hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen ”tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. 3 Demikian halnya yang dikemukakan oleh pemerhati dunia pendidikan bahwa ”pembuatan implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam, misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak realistis, tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan manipulatif-koruptif ”.
1
Azyumardi Azra. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 12 2 Fiske, E.B. Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. (Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1998), h.5 3 Media Koran, Kedaulatan Rakyat, 2006
92
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
B. PEMBAHASAN 1. Konsep Otonomi Daerah Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Dengan demikian, mulamula otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri. Sementara itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pandangan yang menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas. Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, Arten H. Mobonggi
93
pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundangundangan. 2. Konsep Desentralisasi Pendidikan Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI. Desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”. Lain halnya dengan Nuril Huda, dia mengartikan desentralisasi sebagai “delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower levels”. Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter dalam buku “Leading Change”, menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan dan Yuli Andi : menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat, lebih luwes dan konstruktif.4 4
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (PPS Universitas Brawijaya, 1998), h. 209218.
94
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen dan Postlethwaite mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of education or local education authority, to a lower organizational level, such as individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar 5 desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun. Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang diserahkan. Williams membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan. Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur, menyediakan dana dan fungsifungsi implementasi kebijakan lainnya. Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat dari para ahli. Husen dan Postlethwaite menguraikan mengenai alasan desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the 5
Fakry Gaffar. Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober, 1990, h. 18
Arten H. Mobonggi
95
improvement of schools, (b) the belief that local participation is a logical form of governance in a democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara, Fiske menyebutkan sekurangkurangnya ada empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi. Sementara itu, Kacung Marijan melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. 6 Sedangkan Arbi Sanit memandang penerapan desentralisasi secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional.7 Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi JawaLuar Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural. Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. 3. Paradigma Baru Dalam Pendidikan Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat dominan ke 6 Abdurrahmansyah. Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah 1, 2001, h. 58. 7 Arbi Sanit. Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian, Desember 2000, h.1
96
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia usaha.8 Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas tentang Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari “Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut. a) Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan. Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah. Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi. Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school 8
Fasli Jalal. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. (Yogyakarta: Penerbit Adicita Karya Nusa, 2001), h.5
Arten H. Mobonggi
97
policy) masing-masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan “pendidikan berbasis masyarakat”. Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelaskelas ruang belajar. b) Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up; Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach) Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah. Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. c) Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan. Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain. Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik.
98
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. d) Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif. Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana. Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah. e) Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat. Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional. f) Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”. Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabatpejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolahsekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan” dari Arten H. Mobonggi
99
sebagian pejabat birokrat yang menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah. Dalam era reformasi, terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar ”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. g) Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lainlain, diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi. C. Hasil Pemikiran dan Pembahasan Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen perencanaan lainnya. Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional8, terjadi perubahan paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Setiap perencanaan pembangunan daerah selanjutnya harus ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), untuk periode satu tahun.
100
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota. Berikut gambaran mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut. 1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis. 2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini. 3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan kabupaten/kota. 4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah. 5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop). 6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah. 7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang direncanakan. Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program pendidikan. 1. Kebijakan Pendidikan. Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas Arten H. Mobonggi
101
untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan. Sementara, menurut Slamet P.H., kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi Situasi dan kebijakan etik. Sedangkan Noeng Muhadjir membedakan antara kebijakan substantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantif. Sementara itu, mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut. Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan memperhatikan kebijakan yang sederajat yang lain; Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan; Kebijakan yang dibuat harus adil; Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu; Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah ada; Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi; Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar dan up to date; Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan terlebih dulu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik. 2. Perencanaan Pendidikan Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek dalam
102
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota. Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/kota. Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang menggunakan teknik analisis SWOT, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya. 3. Program Pendidikan Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. 4. Persoalan-persoalan Mendesak Pendidikan Nasional a) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya. Menciptakan sistem insentif untuk menumbuhkan aspirasi pendidikan (voucher pendidikan, berorientasi kultural, berbasis masyarakat, dan Pemerataan dan perluasan pendidikan peningkatan gizi. kesempatan pendidikan. Menarik keterlibatan daerah dalam pembangunan pendidikan. Rekruetmen tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan. Studi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh James Coleman9 yang berjudul Equality of Educational Opportunity. Coleman membedakan secara konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif, dengan pemerataan pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif lebih menekankan pada kesamaan memperoleh 9 Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994) h. 29
Arten H. Mobonggi
103
b)
c)
kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya. Komponenkomponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas diungkapkan oleh Schiefelbein dan Farrel. Dalam studinya di Chili, mereka menggunakan landasan konsep pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan konsep mereka, pemerataan pendidikan atau equality of educational opportunity tidak hanya terbatas pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah (pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi lebih dari itu, murid tersebut harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk, belajar, lulus, sampai dengan memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti dalam kehidupan di masyarakat. Kualitas pendidikan. Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan eksternal. 10 Faktor internal meliputi jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya. Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Efisiensi pendidikan; Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio
10
Dodi Nandika. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. (Jakarta: LP3ES, 2007),
h.16
104
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
d)
e)
keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain. Relevansi pendidikan. Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya, program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswasiswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja. Pengembangan Kapasitas. Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan.
D. Kesimpulan 1. Kesimpulan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan/dirangkum hal-hal sebagai berikut: a. Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. b. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. c. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. d. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. e. Dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap Arten H. Mobonggi
105
perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benarbenar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan atau ditargetkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69. Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-218. Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,1,29-38. Arbi Sanit. Et al. (Desember 2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian. Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan. Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota). Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro. Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota. Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober. Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana Indonesia.
106
Menilik Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (Sebuah Fenomena Kedaerahan)
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN FUNGSI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Oleh: Buhari Luneto Abstrak Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah dan masyarakat yang dilayani melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Melalui penerapan manajemen berbasis sekolah, masyarakat didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari perencanaan pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah. Makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya͘ A. Pendahuluan Sekolah sebagai salah satu lembaga yang menyediakan pendidikan terhadap masyarakat, tentunya membawa konsekuensi-konsekuensi konseptual dan teknis antara fungsi pendidikan yang diemban oleh sekolah dengan apa-apa yang dibutuhkan masyarakat. Sekolah memerlukan dukungan masukan dari masyarakat dalam menyusun program pendidikan yang relevan, sekaligus melaksanakan program pendidikan tersebut. Sedangkan masyarakat memerlukan jasa sekolah untuk mendapatkan program-program pendidikan bagi anakanaknya sesuai dengan yang dibutuhkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara sekolah dan masyarakat saling membutuhkan. Masyarakat dalam hal ini merupakan pengguna jasa sekolah, sudah seharusnya ditempatkan pada posisi yang setara dalam proses pengelolaan dan pengendalian mutu pendidikan di sekolah. Masyarakat perlu diberikan kepuasaan sebagai pengguna jasa pendidikan, karena peran aktifnya dalam dunia pendidikan merupakan bukti aktualisasi kepekaan dan tanggung jawabnya untuk merintis, mengelola dan menciptakan mutu pendidikan. Dalam konteks ini sekolah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melahirkan berbagai kebijakan bagi peningkatan penyelenggaraan mutu pendidikan di sekolah. Partisipasi masyarakat sangat berperan dalam mengembangkan dan memajukan mutu pendidikan di sekolah. Semakin besar tingkat partisipasi yang
107
ditunjukkan masyarakat, semakin besar pula rasa memiliki, semakin besar rasa memiliki, semakin besar pula tanggung jawab, dan semakin besar rasa tanggung jawab, semakin besar pula dedikasinya. Dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan serta dapat menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di sekolah tersebut. Namun realita yang terjadi di lapangan saat ini, tingkat partisipasi masyarakat utamanya orang tua peserta didik dalam mendukung penyelenggaraan pelaksanaan fungsi manajemen berbasis sekolah di sekolah masih rendah, hal ini terindikasi dalam hal pengambilan keputusan keputusan sehubungan penentuan rencana kebijakan program sekolah dan mengawasinya, seringkali tidak datang menghadiri pertemuan rutin sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan terlibat dalam pengembangan iklim sekolah. Indikasi yang nampak di mana sebagian masyarakat bersikap acuh tak acuh dan kurang memberi dukungan terhadap pelaksanaan program yang diselenggarakan sekolah, mulai dari tahapan proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai pada evaluasi program sekolah. Hal ini terjadi karena adanya anggapan yang keliru dari masyarakat bahwa pemberian swadaya atau sumbangan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut telah ditafsirkan sebagian masyarakat sebagai sebuah partisipasi kepada sekolah. Di samping itu komunikasi masyarakat dengan pihak sekolah tidak efektif, karena hanya terjadi dua kali dalam setahun yaitu saat penerimaan raport dan kenaikan kelas, demikian pula informasi yang disampaikan oleh sekolah sangat minim yaitu biasanya terjadi melalui pemberitahuan perubahan besaran iuran komite sekolah dan pemberitahuan tunggakan yang harus dilunasi orang tua peserta didik. Permasalahan yang dihadapi tersebut, diharapkan dapat diatasi melalui pelaksanaan fungsi manajemen berbasis sekolah dengan memilih langkahlangkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi masyarakat yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menjadi kekuatan dan/atau peluang dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah. B. Pengertian Partisipasi Masyarakat Sampai kini, partisipasi melahirkan pandangan yang beragam dan mempunyai makna masing-masing. Pertanyaan sederhana menyangkut
108
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah
partisipasi masyarakat : “siapa yang diajak dan siapa yang mengajak ?”. Apakah masyarakat yang harus berpartisipasi dalam kegiatan yang dilaksanakan tersebut ? Ataukah masyarakat sebagai insiders yang mengajak orang berpartisipasi dalam kegiatan yang diprakarsasi sendiri. Partisipasi adalah sesuatu yang ditetapkan secara bersama-sama antar pimpinan, masyarakat dan bawahan yang dilaksanakan dengan cara sadar untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Kata kuncinya: ditetapkan secara bersama, pimpinan, masyarakat, bawahan. Partisipasi masyarakat sebagai peran serta masyarakat dan pemerintah yang dilakukan secara sadar dan gotong royong berdasarkan kesepakan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pengertian ini menggambarkan bahwa partisipasi sebagai proses aktif dalam pemberian sesuatu baik materi maupun non materi dari kelompok masyarakat dalam rangka solusi pemecahan masalah.1 Partisipasi sesungguhnya lahir dari desakan kebutuhan psikologis yang mendasar setiap individu. Keinginan untuk berpartisipasi didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan, ingin memperoleh pengakuan, dan hasrat untuk bergantung pada orang lain, tetapi juga sebaliknya sebagai tempat orang bergantung. Masyarakat ingin berpartisipasi karena ingin dipandang sebagai milik dari suatu kelompok. Ia tidak ingin dilihat sebagai orang yang menyendiri.2 Partisipasi adalah rangkaian penyampaian gagasan dn aktualisasi peran masyarakat yang dilakukan secara sadar dan tanpa paksaan, bertujuan untuk pengembangan anggota masyarakat ke arah yang lebih baik, dan dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum, budaya, dan demokrasi.3 Dari pendapat ini menggambarkan bahwa masyarakat ingin berperan serta karena ada niat untuk membentuk dan mempertahankan harga diri, ingin memperoleh otonomi, tanggung jawab, serta kekuasaan mengambil keputusan pada pekerjaannya. Ia ingin memperlihatkan bahwa ia mempunyai pendapat, tidak menjadi soal apakah pendapat itu diterima atau tidak. Ia ingin memperoleh penghargaan bahwa ia mampu berperan serta. Ada dua jenis pengertian partisipasi yang beredar di masyarakat. Pengertian yang pertama adalah pengertian yang diberikan oleh perencana pengembangan masyarakat formal di Indonesia (pemerintah). Menurut pengertian ini partisipasi adalah sebagai dukungan masyarakat terhadap rencana atau proyek pengembangan masyarakat yang dirancang dan ditentukan tujuanya oleh perencana. Pengertian kedua partisipasi adalah sebagai keterlibatan
1 Ointoe Emyot Reiner & Isnaeni. Mencipta Gagasan, Mendorong Gerakan (Pengalaman Mendorong Partispasi Publik). (Manado: Yayasan SERAT Kerjasama CSSP/USAID, 2005), h.119 2 Salusu. Pengambilan Keputusan Stratejik. (Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit), (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), h.233 3 Sumarto Sj. Hetifah. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), h.188
Buhari Luneto
109
seseorang atau kelompok secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu.4 Dalam pandangan sosiologis, pengertian pertama mengandung hakikat sebagai bentuk mobilisasi rakyat dalam pengembangan masyarakat. Mobilisasi hanya dapat mengatasi permasalahan pengembangan masyarakat secara pragmatis dan bersifat jangka pendek. Oleh karena itu kiranya tepat kalau menggunakan pengertian kedua sebagai elaborasi dari pengertian partisipasi. Dengan kata lain, pengertian ini melihat bahwa masyarakat merupakan sesuatu yang ”turbelent” atau penuh dengan nilai sosialbudaya dan dinamis sehingga dalam model tersebut masyarakat merupakan sistem yang mandiri. Berdasar pada pemahaman in, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal tradisi, nilai, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama. Implikasi dari pengertian ini, adanya kelompok menjadi urgen dan perlu dalam upaya mengembangkan partisipasi. Setiap individu dan kelompok adalah pelaku, yang berhak menetapkan segala sesuatu berdasarkan pada tata nilai, tradisi, kemampuan, tujuan, dan bagaimana cara mencapai tujuan itu. Dengan demikian yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat disini adalah diartikan sebagai keterlibatan masyarakat setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan, khususnya dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di sekolah. C. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Partisipasi merupakan ciri terpenting dalam pelaksanaan kegiatan. Huntinton membedakan partisipasi ke dalam dua kategori yaitu partisipasi sukarela dan partisipasi mobilisasi. Kedua partisipasi ini mempunyai pengaruh besar terhadap proses kebijakan. Ada banyak cara untuk berpartisipasi, terutama di kalangan masyarakat desa, misalnya dengan cara: ikut serta menyumbang dalam berbagai kegiatan, membayar pajak, atau menghadiri pertemuan/rapat desa, mengajukan usul, mengkritik serta berdemonstrasi sekalipun merupakan perwujudan partisipasi.5 Lebih lanjut ada tujuh tipologi partisipasi masyarakat yaitu sebagai berikut. 1. Partisipasi Pasif/Kumulatif Tipologi partisipasi pasif atau kumulatif, memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Masyarakat diberi tahu apa yang sedang atau telah telah terjadi; (b) Pengumuman sepihak (seperti pemerintah atau pelaksanaan) tanpa
4
Yakob, dkk. Pengembangan Masyarakat (Manusia Satu Sama Lain Salin Mendidik Dengan Perantara Dunia. (Gorontalo: Andrag Gikapress, 2009), h.42 5 Ointoe Emyot Reiner & Isnaeni,op.cit, h.65
110
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah
memperhatikan tanggapan masyarakat; (c) Informasi yang diperlukan terbatas pada kalangan profesional di luar masyarakat umum. 2. Partisipasi dengan cara memberikan informasi Tipologi partisipasi dengan cara memberikan informasi, memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan; (b) Masyarakat tak punya kesempatan terlibat dalam proses pengambilan keputusan; (c) Akurasi hasil keputusan tak dibahas bersama masyarakat. 3. Partisipasi Melalui Konsultasi Tipologi partisipasi melalui konsultasi, memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Masyarakat berpartisipasi dengan acara konsultasi; (b) Pihak luar mendengarkan, menganalisa masalah dan pemecahannya; (c) Tidak ada peluang bagi pembuatan keputusan bersama masyarakat; (d) Para profesional tak berkewajiban mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untu ditindaklanjuti. 4. Partisipasi Insentif Materiil Tipologi partisipasi insentif materiil, memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Masyarakat menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja demi mendapatkan upah/imbalan; (b) Masyarakat dilibatkan dalam eskperimen atau proses pembelajaran; (c) Masyarakat tak punya andil untuk melanjutkan kegiatan pada saat insentif yang disediakan habis. 5. Partisipasi Fungsional Tipologi fungsional, memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan; (b) Pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan lama yang telah disepakati; (c) Awalnya masyarakat tergantung pada pihak luar, tapi pada saatnya mampu mandiri. 6. Partisipasi Interaktif Tipologi partisipasi interaktif, memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Masyarakat berperan dalam analisis bersama untuk perencanan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan; (b) Cenderung melibatkan cara yang interdisipliner untuk mencari perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematas; (c) Masyarakat punya peran kontrol atas keputusan mereka sehingga punya andil dalam seluruh kegiatan. 7. Partisipasi Mandiri (self mobilization) Tipologi partisipasi mandiri (self mobilization), memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Masyarakat mengambil inisitaif secara bebas tidak dipengaruhi pihak luar untuk mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; (b) Masyarakat mengembangkan kontak-kontak dengan lembagalembaga lain untuk mendapatkan bantuan teknis dan sumber daya yang dibutuhkan; (c) Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumber daya yang ada. Dengan demikian partisipasi masyarakat ternyata merupakan konsep yang multidimensional atau yang memiliki aneka ragam bentuk. Dengan mengklasiBuhari Luneto
111
fikasi partisipasi dalam berbagai bentuk, ia dapat efektif untuk mencapai hasil, karena kriteria efektivitas akan tergantung pada faktor situasional seperti sifat dan karakteristik dari setiap individu. D. Manajemen Berbasis Sekolah Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “schoolbased management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu model pengelolaan sekolah yang memberikan kewenangan dan otonomi lebih luas kepada kepala sekolah bersama guru, orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan pembelajaran yang kreatif, aktif, menyenangkan dan memperoleh dukungan partisipasi masyarakat secara optimal. Pengertian tersebut mengandung maksud bahwa pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendekatan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat. Myers dan Stonehill mengartikan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai suatu strategi untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui pengalihan otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke daerah dan ke masing-masing sekolah, sehingga kepala sekolah, guru peserta didik, dan orang tua peserta didik mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap proses pendidikan, dan juga mempunyai tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang menyangkut pembiayaan, personal, dan kurikulum sekolah.6 Dari pendapat tersebut dapat dikatakan Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat program-program sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengambilan keputusan bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. 6
Umaedi, dkk. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008),
h.44
112
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah
Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Tujuan implementasi program Manajemen Berbasis Sekolah adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.7 Dari pendapat tersebut secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional. Kehadiran MBS merupakan pengejawantahan dari bentuk diberlakukannya Otonomi daerah yang berimbas pada otonomi pendidikan, dengan demikian pendidikan harus ditempatkan sebagai institusi yang otonom dan terlindungi dari segala bentuk gangguan politik atau kepentingan apapun. Sekolah harus menjadi institusi yang netral dan terlindungi dari segala bentuk gangguan.8 Dari pendapat ini dapat dikatakan bahwa MBS bertujuan untuk memberikan alternatif kepada sekolah menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai kepada para siswa. Otonomi dalam pengelolaan merupakan suatu potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja staff, menawarkan dan menggali partisipasi masyarakat dan kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah yang lebih rinci yaitu: (1) Meningkatkan peran serta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; (2) Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, dan pemerintah; (3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai; (4) Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan 7 Satori, Djam’an. Pemberdayaan MBS Dalam Menunjang Implementasi KTSP. Makalah disajikan dalam Forum Tenaga Kependidikan di Lembang. http://blog.beswandjarum. com/thantienhidayati/2009/1/2), h.11 8 Ibid, h.11
Buhari Luneto
113
kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat; (5) Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing; (6) Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.9 Dari berbagai tujuan yang telah dikemukakan, dapat dikatakan secara garis besar bahwa Manajemen Berbasis Sekolah diterapkan dengan tujuan agar sekolah diberi kewenangan untuk mengelola sekolahnya semaksimal mungkin sesuai dengan visi dan misi sekolah tersebut, agar mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Dalam pelaksanaannya kewenangan pengambilan keputusan tidak berada pada kepala sekolah seorang diri, tetapi dilakukan secara kolektif bersama warga sekolah dibantu dengan partisipasi masyarakat. E. Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajemen Tuntutan untuk melakukan perubahan dalam paradigma kebijakan partisipasi masyarakat untuk penyelenggaraan program pendidikan di sekolah, sebenarnya haruslah berangkat pada apa yang diharapkan oleh masyarakat dalam arti yang sesungguhnya. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung program-program pendidikan di sekolah, harus dilakukan dengana cara meningkatkan keterlibatan warga masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan oleh perseorangan atau kelompok dalam kegiatan tersebut.Dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan termasuk pendidikan, Pemerintah hanyalah fasilitator untuk mewujudkan harapan-harapan itu. Pola perencanaan seperti itu, biasanya dikenal dengan kebijakan pembangunan yang partisipastif.10 Bagaimana proses kebijakan pembangunan yang partisipatif, termasuk upaya sekolah dalam meningkatkan partisipasi masyarakat yaitu sebagai berikut: Pertama, proses perumusan atau kebijakan melibatkan stakeholder pendidikan, yang setidak-tidaknya terdiri dari: unsur warga sekolah, LSM dan unsur-unsur organisasi sosial yang independen lainnya termasuk ormas, pelaku dunia usaha, unsur akademisi, tokoh masyarakat dan sebagainya.11 Kedua, program yang dilahirkan merupakan kesepakatan dari masyarakat atas masalah yang dihadapi dan dibutuhkan masyarakat. Dalam konteks ini, catatan atau proses-proses perumusan program (atau catatan dari pertemuan stakeholder)menjadi sangat penting. Hasil-hasil pertemuan stakeholder itu, oleh pihak yang memfasilitasinsya, dikonfirmasi kembali kepada mereka, sehingga benar-benar sebagai keputusan bersama. Ketiga, agenda kerja sekolah dibuka ke publik. Program sekolah yang hendak dilakukan haruslah diumumkan kepada masyarakat luas, dilakukan melalui pengumuman-pengumuman yang mudah dijangkau oleh masyarakt luas. Hal ini menjadi sangat penting karena merupakan salah satu bagian substansi 9
Suryosubroto. Manajemen Pendidikan Di Sekolah. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.18 Laode, Ida. Kesulitan Membalik Paradigma Elitis Ke Partisipasi Yang Berorientasi Sosial Dalam Pembangunan. (Jakarta: INCIS-CSSP-USAID, 2003), h.150 11 Ointoe Emyot Reiner & Isnaeni,op.cit, h.74 10
114
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah
dari menciptakan transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, dimana diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi melakukan pemantauan dalam proses-proses implementasi agenda itu. Misalnya: ketika masyarakat mengetahui agenda pembahasan anggaran pendidikan di sekolah, maka masyarakat secara langsung dapat hadir memantaunya, termasuk dalam memberikan tanggapan atau kritik terhadapnya. Keempat, akomodasi terhadap kritik dan saran dari masyarakat. Pihak sekolah harus bersifat terbuka terhadap kemungkinan kritik dan saran terhadap program atau agenda pemerintahan desa. Kritik dan saran itu diakomodasikan dalam arti diterima dan diolah sebagai masukan untuk perbaikan dan atau tambahan agenda pemerintah desa. Pendekatan komitmen adalah membangun budaya keterlibatan yang tinggi (high involvement culture) yang dicapai melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam meningkatkan partisipasi, diberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengambil keputusan sendiri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dengan asumsi bahwa orang yang dekat dengan pekerjaan adalah orang yang tahu mengenai pekerjaannya.12 Terkait dengan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah, dapat diklasifikasikan menjadi 7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat yang lebih tinggi. Tingkatan tersebut terinci sebagai berikut: (1) Peran serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia, dalam hal ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak ke sekolah. (2) Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. yaitu masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, dan/atau tenaga. (3) Peran serta secara pasif. Artinya, menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh pihak sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orangtua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya. (4) Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya. (5) Peran serta dalam pelayanan. Orangtua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan sebagainya. (6) Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan/ dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/ masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan, masalah jender, gizi. Dapat juga berpartisipasi dalam mencatat anak usia sekolah di lingkungannya agar sekolah siap menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dsb. (7) Peran serta dalam pengambilan keputusan. Orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah. Dalam implementasinya peran serta masyarakat juga berpengaruh penting dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, karena dengan adanya keterlibatan masyarakat maka keputusan-keputusan yang diambil akan lebik 12 Rochaety, Eti, dkk. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.142
Buhari Luneto
115
baik khususnya dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Masyarakat juga ikut serta dalam mengawasi dan membantu sekolah dalam kegiatan yang ada termasuk kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di sekolah yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi akan memberikan beberapa keuntungan yaitu: (1) Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru; (2) Bertujuan bagaimana memanfatkan budaya local; (3) Efektif dalam melakukan pembinaan peeserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, dan iklim sekolah; (4) adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan.13 Dengan demikian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan proses manajemen yang terdiri dari pengintegrasian, pengkoordinasian dan pemanfaatan dengan melibatkan secara menyeluruh elemen-elemen yang ada pada sekolah untuk mencapai tujuan (mutu pendidikan) yang diharapkan secara efisien. Manajemen diartikan sebagai proses merencana, mengorganisai, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala askepknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien. 14 Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah tidak terlepas dari fungsi-fungsi manajemen yang mencakup: fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi untuk menilai tingkat kepercayaan sasaran program MBS yang telah ditetapkan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.15 1. Fungsi Perencanaan Perencanaan, merupakan proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Perencanaan juga merupakan kumpulan kebijakan yang secara sistematik akan disusun dan dirumuskan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan serta dapat sipergunakan sebagai pedoman kerja. Perencanaan merupakan usaha sadar dan pengambilan keputusan yang telah diperhitungkan secara matang tentang hal-hal yang dikerjakan di masa depan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.16 Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan/disepakati pada sekolah yang bersangkutan, termasuk anggaran yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan. Dengan kata lain perencanaan adalah kegiatan menetapkan lebih dahulu tentang kegiatan yang harus dilakukan, prosedurnya serta metode pelaksanaannya untuk mencapai sesuatu tujuan organisasi atau satuan organisasi.17 13
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), h.24-
14
Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008),
25 h.1 15 Aqib, Zainal & Rohmanto, Elham. Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah. (Bandung: Yrama Widya, 2008), h.138 16 Siagian, P. Sondang. Fungsi-Fungsi Manajerial. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h.37 17 Umaedi, dkk, op.cit, h.12
116
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah
Pada langkah awal perumusan rencana MBS, hal-hal yang perlu dilaksanakan adalah: (a) Mengidentifikasi sistem, budaya dan sumber daya, mana yang perlu dipertahankan dan mana yang harus dirubah dengan memperkenalkan terlebih dahulu format yang baru dan tentunya lebih baik; (b) Membuat komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggung jawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya dan sumber daya yang cukup mendasar; (c) Hadapilah penolakan terhadap perubahan dengan memberi pengertian akan pentingnya perubahan demi mencapai tujuan bersama; (d) Bekerja dengan semua unsur sekolah dalam menjelaskan atau memaparkan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan program-program penyelenggaraan MBS; (e) Menggaris bawahi prioritas sistem, budaya dan sumber daya yang belum ada dan sangat diperlukan. Begitu pentingnya perencanaan dalam mencapai tujuan, Umaedi dkk, mengatakan bahwa perencanaan yang baik merupakan 50% keberhasilan. Perlu diingat di sini bahwa sasaran tahunan sebagai dasar perencanaan adalah rumusan sasaran mutu yang diharapkan akan tercapai pada kurun waktu satu tahun ke depan dengan fokus layanan (program) dan hasilnya terhadap siswa. Programprogram dan kegiatan pendukung yang berkaitan dengan pengadaan dan pembinaan ketenagaan, sarana pendidikan, penciptaan lingkungan, dan pendanaan harus diupayakan sedapat mungkin ada kaitannya dengan sasaran mutu yang akan dicapai bagi siswa pada tahun yang bersangkutan.18 2. Fungsi Pelaksanaan Pelaksanaan, merupakan kegiatan untuk merealisasikan rencana menjadi tindakan nyata dalam rangka mencapai tujuan secara efektik dan efisien. Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu maka fungsi-fungsi terkait hendaknya memanfaatkan sumber daya secara maksimal, efektif dan efisien. Tahap pelaksanaan pada dasarnya menjawab bagaimana semua fungsi manajemen sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan lembaga yang telah ditetapkan melalui kerjasama dengan orang lain dan dengan sumber daya yang ada, dapat berjalan sebagaimana mestinya (efektif dan efisien). Pelaksanaan juga dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan merealisasikan kegiatan yang telah direncanakan.19 Dengan demikian dalam pelaksanaan MBS, tampak jelas bahwa partisipasi masyarakat secara umum adalah memberikan dukungan dalam berbagai hal seperti: mendukung pembelajaran di sekolah, menyediakan lingkungan belajar yang kondusif di rumah, dan menjalin hubungan yang harmonis dengan warga sekolah. 3. Fungsi Pengawasan Pengawasan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamati secara sistematis dan berkesinambungan; merekam; memberi penjelasan, petunjuk, pembinaan, dan meluruskan berbagai hal yang kurang tepat; serta memperbaiki kesalahan. Pengawasan merupakan proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.20 18
Ibid, h.14 Ibid, h.15 20 Siagian, P. Sondang, op.cit, h.125 19
Buhari Luneto
117
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa pengawasan yan dimaksud dalam penelitian ini adalah pengamatan terhadap seluruh kegiatan dalam hal: pelaksanaan program-program pembelajaran yang dilaksanakan sekolah, penjadwalan program pembelajaran, kondisi ketenagaan pendidikan sarana dan prasarana yang ada, anggaran, memantau angka mengulang sekolah dan memantau angka bertahan di sekolah untuk meningkatkan penyelenggaraan mutu pendidikan di sekolah 4. Fungsi Evaluasi Evaluasi sebagai salah satu tahapan dalam MBS merupakan kegiatan yang penting untuk mengetahui kemajuan dan hasil yang dicapai sekolah dalam melaksanakan fungsinya sesuai rencana yang telah dibuat oleh masing-masing sekolah. Evaluasi pada tahap ini adalah evaluasi menyeluruh menyangkut pengelolaan semua bidang dalam satuan pendidikan, yaitu bidang teknis edukatif (pelaksanaan kurikulum/proses pembelajaran dengan segala aspeknya), bidang ketenagaan, bidang keuangan, bidang sarana prasarana, dan administrasi ketatalaksanaan sekolah. 21 Dengan melakukan penilaian terhadap pelaksanaan MBS, masyarakat akan dapat menilai apakah MBS benar-benar mampu menyelenggarakan program sekolah dengan baik khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan.22 Adapun komponen-komponen yang akan dievalusi dalam pelaksanaan MBS, yaitu terdiri dari: konteks, masukan, proses, hasil dan dampaknya. Konteks adalah kebutuhan, jadi evaluasi konteks berarti evaluasi tentang kebutuhan pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Masukan adalah segala unsur yang harus tersedia dan siap, karena dibutuhkan untuk kelangsungan proses. Unsur yang dimaksud dapat berupa perangkat-perangkat lunak dan keras bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar. Sementara proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain, fokus evaluasi pada proses adalah pemantauan implementasi MBS, sehingga dapat ditemukan informasi tentang konsistensi antara rancangan dan proses pelaksanaan yang mendukung tercapainya sasaran misalnya: proses belajar mengajar, kepemimpinan sekolah, lingkungan sekolah yang aman, tertib dan nyaman, pengelolaan tenaga pendidikan, memiliki kebersamaan yang kompak. Sedangkan hasil pendidikan adalah hasil riil dari pelaksanaan MBS.23 Dari kerangka uraian tersebut, dapat dipahami bahwa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan dapat melakukan upaya: (1) sebaiknya selalu mengadakan pertemuan secara bersama dengan mengundang seluruh anggota masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan program sekolah. (2) Program yang dilakukan haruslah diumumkan kepada masyarakat supaya mereka mengetahui dan sekaligus bisa memantau dalam implementasinya. (3) adanya ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan saran dan kritik secara langsung tentang penyelenggaraan program pendidikan di sekolah. Dengan demikian dapat dikatakan partisipasi masyarakat ditinjau dari kualitas program akan meningkat apabila: (1) dari segi kemanfaatannya: apakah 21
Umaedi, dkk, op.cit, h.23 Aqib, Zainal & Rohmanto, Elham, op.cit, h.142 23 Ibid, h.143 22
118
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah
program yang ada dan atau dilakukan itu memberi manfaat positif terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Untuk mengetahui hal ini maka ditanya tentu saja adalah masyarakat yang terkait dengan program itu. (2) dari segi aplikasi programnya: apakah program pendidikan itu dapat diukur, dapat dilakukan dengan dukungan dana dan sumber daya lainnya yang ada, dapat dilakukan dalam suatu periode waktu yang telah ditentukan. (4) transparansi program: apakah agenda atau program-program yang akan dilaksanakan di sekolah secara efektif bisa dijangkau oleh masyarakat. (5) seberapa banyak jumlah pengaduan (kritik dan saran) dari masyarakat, dan apakah semua itu telah diproses secara rasional dan objektif. Robert A. Dahl menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi paling tidak ditujukan lima prinsip utama yaitu: (1) adanya prinsip hak yang tidak diperbedakan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya; (2) adanya partisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi masyarakat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusankeputusan yang diambil; (3) adanya pengertian yang menunjukkan bahwa masyarakat mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang diambil; (4) adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh masyarakat, yang menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang istimewa untuk membuat keputusan dan dilakukan melalui proses pengambilan keputusan yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak; (5) adanya inclusiveness yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh masyarakat.24 Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut, dipercaya akan mampu menjamin bahwa semua warga sekolah akan diperlakukan sama dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam arti mempunyai akses dalam proses penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tanpa adanya diskriminasi. F. Penutup Efektivitas pendidikan dapat dilihat dari sudut prestasi yaitu mampu menampung masukan yang banyak dan menghasilkan tamatan yang banyak, bermutu dalam arti mampu bersaing di dalamnya adanya keterkaitan dan kesepadanan dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah dalam mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, sumber belajar serta sistem administrasi secara keseluruhan, yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik melalui Komite Sekolah. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, menggambarkan fungsi-fungsi manajemen pendidikan yang dimulai dari perencanaan hingga evaluasi. Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan perencanan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya untuk meningkatkan mutu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan, pengembangan budaya sekolah, pemberian sanksi dan hadiah, hubungan kerja, penganggaran dan pengalokasian dana sampai evaluasi kinerja tenaga kependidikan dan prestasi peserta didik.
24
Idjehar, Budairi MuhHAM Versus Kapitalisme. (Yogyakarta: Insist Pers, 2003), h.200
Buhari Luneto
119
DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal & Rohmanto, Elham. 2008. Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah. Bandung: Yrama Widya Depdiknas. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Idjehar, Budairi Muh. 2003. HAM Versus Kapitalisme.Yogyakarta: Insist Pers Laode, Ida. 2003. Kesulitan Membalik Paradigma Elitis Ke Partisipasi Yang Berorientasi Sosial Dalam Pembangunan.Jakarta: INCIS-CSSP-USAID Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya Ointoe Emyot Reiner & Isnaeni. 2005. Mencipta Gagasan, Mendorong Gerakan (Pengalaman Mendorong Partispasi Publik). Manado: Yayasan SERAT Kerjasama CSSP/USAID Jakarta Rochaety, Eti, dkk. 2006. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Salusu. 2006. Pengambilan Keputusan Stratejik. (Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit) Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Satori, Djam’an. 2006. Pemberdayaan MBS Dalam Menunjang Implementasi KTSP. Makalah disajikan dalam Forum Tenaga Kependidikan di Lembang. http://blog.beswandjarum.com/thantienhidayati/2009/1/2/ Siagian, P. Sondang. 2007. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: Bumi Aksara Sumarto Sj. Hetifah. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta Umaedi, dkk. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka Yakob, dkk. 2009. Pengembangan Masyarakat (Manusia Satu Sama Lain Salin Mendidik Dengan Perantara Dunia. Gorontalo: Andrag Gikapress
120
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah
PENGEMBANGAN PERANGKAT PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Oleh: Burhanudin Ak. Mantau Abstrak Masalah penilalain afektif dirasakan penting untuk dilakukan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Guru Pendidikan Agama Islam harus merancang kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan guru Pendidikan Agama Islam melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat penilaian ranah afektif mata pelajaran Pendidikan Agama Islam serta penafsiran hasil pengukurannya.
A. Pendahuluan Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tuntutan penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mencakup tiga ranah, yaitu kemampuan berpikir, keterampilan melakukan pekerjaan, dan perilaku. Setiap peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya satu sama lain berbeda. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir tinggi dan perilaku amat baik, namun keterampilannya rendah. Demikian sebaliknya ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir rendah, namun memiliki keterampilan yang tinggi dan perilaku amat baik. Ada pula peserta didik yang kemampuan berpikir dan keterampilannya sedang/biasa, tetapi memiliki perilaku baik. Jarang sekali peserta didik yang kemampuan berpikirnya rendah, keterampilan rendah, dan perilaku kurang baik. Peserta didik seperti itu akan mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat, karena tidak memiliki potensi untuk hidup di masyarakat. Padahal setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat. Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi kemampuan menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.ϭ Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri.Ϯ Semua kemampuan ini harus 1
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.50 Arifin, Zainal, Evaluasi Pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur), (Bandung: Remaja Rosdakarya offset, 2009), h.184 2
121
menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat. Pelaksanaan penilaian pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah selama ini lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek afektif kerapkali diabaikan. Padahal penilaian afektif dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam perlu untuk dilakukan karena kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Tentunya semua kemampuan afektif tersebut merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Oleh karena itu guru Pendidikan Agama Islam harus mampu mengembangkan penilaian afektif yang tepat agar tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat tercapai. B. Pengertian Ranah Penilaian Afektif Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: (1) receiving (2) responding (3) valuing (4) organization (5) characterization by evalue or calue complex.ϯ Receiving atau attending (= menerima atua memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attenting juga sering di beri pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilainilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri kedalam nilai itu atau meng-identifikasikan diri dengan nilai itu. Contah hasil
3
122
Hamzah B. Uno. Perencanaan Pembelajaran. (Jakarta. Bumi Aksara, 2009), h.37
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
belajar afektif jenjang receiving , misalnya: peserta didik bahwa disiplin wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak di siplin harus disingkirkan jauh-jauh. Responding (= menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajarinya lebih jauh atau menggeli lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan. Valuing (menilai=menghargai). Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat pada diri peseta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Organization (=mengatur atau mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai denagan nilai lain., pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya. Characterization by evalue or calue complex (=karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalal suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini adalah siswa telah memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT yang tertera di Al-Quran menyangkut
Burhanudin Ak. Mantau
123
disiplinan, baik kedisiplinan sekolah, di rumah maupun di tengah-tengan kehidupan masyarakat. Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah: Menerima (memperhatikan), Merespon, Menghargai, Mengorganisasi, dan Karakteristik suatu nilai. C. Ciri-ciri Ranah Penilaian Afektif Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah tes. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.ϰ 1. Sikap Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, 4 Muslich, Masnur. Authentic Assesment: Penilaian Berbasis Kelas dan Kompetensi. (Bandung: Refika Aditama, 2010), h.43-44
124
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif. 2.Minat Minat adalah kesadaran yang timbul bahwa objek tertentu sangat disenangi sehingga melahirkan perhatian terhadap objek tersebut. Makdunya minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Crites mengemukakan bahwa “Minat adalah pilihan kesenangan dalam melakukan kegiatan dan dapat membangkitkan gairah seseorang untuk memenuhi kesediaannya yang dapat diukur melalui kesukacitaan, keterkaitan, perhatian, dan keterlibatan.5 Menurut Berhard bahwa ”Minat timbul atau muncul tidak secara tiba-tiba, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja, dengan kata lain, minat dapat menjadi penyebab kegiatan dan penyebab partisipasi dalam kegiatan.6 Minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak berperan juga dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan belajar seorang siswa. Aspek afektif adalah aspek yang mengidentifikasi dimensidimensi perasaan dari kesadaran emosi, disposisi, dan kehendak yang mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang. 3. Konsep Diri Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat. Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut: pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan 5
Aqib, Zainal & Rohmanto, Elham. Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah. (Bandung: Yrama Widya, 2008), h.103 6
Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. (Bandung: Alfabeta, 2006), h.112
Burhanudin Ak. Mantau
125
peserta didik, peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai. 4. Nilai Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat. 5.Moral Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang. Ranah afektif lain yang penting adalah: 1) Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain. 2) Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik. 3) Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan. 4) Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.
126
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
D. Langkah-Langkah Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Ada 11 (sebelas) langkah dalam mengembangkan instrument penilaian afektif, yaitu sebagai berikut.ϳ 1. Menentukan spesifikasi instrumen Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif, yaitu instrumen (1) sikap, (2) minat, (3) konsep diri, (4) nilai, dan (5) moral. Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat. Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran. Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh. Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan. Instrumen moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang ditampilkan dan laporan diri melalui pengisian kuesioner. Hasil pengamatan dan hasil kuesioner menjadi informasi tentang moral seseorang. Dalam menyusun spesifikasi instrumen perlu memperhatikan empat hal yaitu (1) tujuan pengukuran, (2) kisi-kisi instrumen, (3) bentuk dan format instrumen, dan (4) panjang instrumen. Setelah menetapkan tujuan pengukuran afektif, kegiatan berikutnya adalah menyusun kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi (blue-print), merupakan matrik yang berisi spesifikasi instrumen yang akan ditulis. Langkah pertama dalam menentukan kisi-kisi adalah menentukan definisi konseptual yang berasal dari teori-teori yang diambil dari buku teks. Selanjutnya mengembangkan definisi operasional berdasarkan kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang dapat diukur. Definisi operasional ini kemudian dijabarkan menjadi sejumlah indikator. Indikator merupakan pedoman dalam menulis instrumen. Tiap indikator bisa dikembangkan dua atau lebih instrumen. 7 Mardapi, Djemari. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes. (Yogyakarta: Mitra Cendikia Press, 2008).
Burhanudin Ak. Mantau
127
2. Menulis instrumen Penilaian ranah afektif peserta didik dilakukan dengan menggunakan instrumen penilaian afektif sebagai berikut. a. Instrumen sikap Definisi konseptual: Sikap merupakan kecenderungan merespon secara konsisten baik menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya kegiatan sekolah. Sikap bisa positif bisa negatif. Definisi operasional: sikap adalah perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek. Objek bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran. Cara yang mudah untuk mengetahui sikap peserta didik adalah melalui kuesioner. Pertanyaan tentang sikap meminta responden menunjukkan perasaan yang positif atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan. Kata-kata yang sering digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan seseorang; menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk, diingini-tidak diingini. Contoh indikator sikap terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam misalnya: a. Membaca buku pelajaran Pendidikan Agama Islam b. Mempelajari Pendidikan Agama Islam c. Melakukan interaksi dengan guru Pendidikan Agama Islam d. Mengerjakan tugas yang diberikan guru Pendidikan Agama Islam e. Melakukan diskusi tentang Pendidikan Agama Islam f. Memiliki buku m Pendidikan Agama Islam Contoh pernyataan untuk kuesioner: a. Saya senang membaca buku Pendidikan Agama Islam b. Tidak semua orang harus belajar Pendidikan Agama Islam c. Saya jarang bertanya pada guru tentang pelajaran Pendidikan Agama Islam d. Saya tidak senang pada tugas pelajaran Pendidikan Agama Islam e. Saya berusaha mengerjakan soal-soal Pendidikan Agama Islam sebaikbaiknya f. Memiliki buku Pendidikan Agama Islam penting untuk semua peserta didik b. Instrumen minat Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajarantersebut. Definisi konseptual: Minat adalah keinginan yang tersusun melalui pengalaman yang mendorong individu mencari objek, aktivitas, konsep, dan keterampilan untuk tujuan mendapatkan perhatian atau penguasaan. Definisi operasional: Minat adalah keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek. Contoh indikator minat terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam:
128
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Memiliki catatan pelajaran Pendidikan Agama Islam. Berusaha memahami Pendidikan Agama Islam. Memiliki buku Pendidikan Agama Islam. Mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam. Contoh pernyataan untuk kuesioner: Catatan pelajaran Pendidikan Agama Islam saya lengkap. Catatan pelajaran Pendidikan Agama Islam saya terdapat coretan-coretan tentang hal-hal yang penting. Saya selalu menyiapkan pertanyaan sebelum mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam. Saya berusaha memahami mata pelajaran Pendidikan Agama Islam Saya senang mengerjakan soal Pendidikan Agama Islam. Saya berusaha selalu hadir pada pelajaran Pendidikan Agama Islam. c. Instrumen konsep diri Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh oleh peserta didik. Definisi konsep: konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri yang menyangkut keunggulan dan kelemahannya. Definisi operasional konsep diri adalah pernyataan tentang kemampuan diri sendiri yang menyangkut mata pelajaran. Contoh indikator konsep diri: Memilih mata pelajaran yang mudah dipahami. Memiliki kecepatan memahami mata pelajaran. Menunjukkan mata pelajaran yang dirasa sulit. Mengukur kekuatan dan kelemahan fisik. Contoh pernyataan untuk instrumen: Saya sulit mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam Saya mudah memahami pelajaran Pendidikan Agama Islam Saya merasa sulit mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam Saya perlu waktu yang lama untuk memahami pelajaran Pendidikan Agama Islam. d. Instrumen nilai Nilai merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta didik. Kegiatan yang disenangi peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh nilai (value) peserta didik terhadap kegiatan tersebut. Misalnya, ada peserta didik yang menyukai pelajaran Pendidikan Agama Islam dan ada yang tidak, ada yang menyukai pelajaran Pendidikan Agama Islam dan ada yang tidak. Semua ini Burhanudin Ak. Mantau
129
dipengaruhi oleh nilai peserta didik, yaitu yang berkaitan dengan penilaian baik dan buruk. Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana ia berbuat atau keinginan berbuat. Nilai berkaitan dengan keyakinan, sikap dan aktivitas atau tindakan seseorang. Tindakan seseorang terhadap sesuatu merupakan refleksi dari nilai yang dianutnya. Definisi konseptual: Nilai adalah keyakinan terhadap suatu pendapat, kegiatan, atau objek. Definisi operasional nilai adalah keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Misalnya keyakinan akan kemampuan peserta didik dan kinerja guru. Kemungkinan ada yang berkeyakinan bahwa prestasi peserta didik sulit ditingkatkan atau ada yang berkeyakinan bahwa guru sulit melakukan perubahan. Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang positif ditingkatkan sedang yang negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan. Contoh indikator nilai adalah: Memiliki keyakinan Menyakini keberhasilan Menunjukkan keyakinan atas kemampuan guru. Mempertahankan keyakinan akan harapan masyarakat Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai peserta didik: Saya berkeyakinan bahwa prestasi belajar Pendidikan Agama Islam dapat ditingkatkan. Saya berkeyakinan bahwa kinerja guru Pendidikan Agama Islam sudah maksimal. Saya berkeyakinan bahwa hasil belajar Pendidikan Agama Islam yang dicapai peserta didik adalah atas usahanya. Selain melalui kuesioner ranah afektif peserta didik, sikap, minat, konsep diri, dan nilai dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik afektif peserta didik dilakukan di tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui keadaan ranah afektif peserta didik, perlu ditentukan dulu indikator substansi yang akan diukur, dan pendidik harus mencatat setiap perilaku yang muncul dari peserta didik yang berkaitan dengan indikator tersebut. e. Instrumen Moral Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui moral peserta didik. Contoh indikator moral sesuai dengan definisi tersebut adalah: Memegang janji Memiliki kepedulian terhadap orang lain Menunjukkan komitmen terhadap tugas-tugas Memiliki Kejujuran
130
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Contoh pernyataan untuk instrumen moral: Bila saya berjanji pada teman, tidak harus menepati. Bila berjanji kepada orang yang lebih tua, saya berusaha menepatinya. Bila berjanji pada anak kecil, saya tidak harus menepatinya. Bila menghadapi kesulitan, saya selalu meminta bantuan orang lain. Bila ada orang lain yang menghadapi kesulitan, saya berusaha membantu. Kesulitan orang lain merupakan tanggung jawabnya sendiri. Bila bertemu teman, saya selalu menyapanya walau ia tidak melihat saya. Bila bertemu guru, saya selalu memberikan salam, walau ia tidak melihat saya. Saya selalu bercerita hal yang menyenangkan teman, walau tidak seluruhnya benar. Bila ada orang yang bercerita, saya tidak selalu mempercayainya. 3. Menentukan skala instrumen Skala yang digunakan untuk mengukur ranah afektif seseorang terhadap kegiatan suatu objek diantaranya skala sikap. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Ada tiga komponen sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek yang dihadapinya. Afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap objek tersebut. Oleh sebab itu, sikap selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu. Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu didukung atau ditolaknya, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif. Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataanpernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju. 4. Menentukan pedoman penskoran Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran. Apabila digunakan skala Thurstone, maka skor tertinggi untuk tiap butir 7 dan skor terendah 1. Demikian pula untuk instrumen dengan skala beda semantik, tertinggi 7 terendah 1. Untuk skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap butir 5 dan terendah 1. Dalam pengukuran sering terjadi kecenderungan responden memilih jawaban pada katergori tiga 3 (tiga) untuk skala Likert. Untuk menghindari hal tersebut skala Likert dimodifikasi dengan hanya menggunakan 4 (empat) pilihan, agar jelas sikap atau minat responden.
Burhanudin Ak. Mantau
131
Skor perolehan perlu dianalisis untuk tingkat peserta didik dan tingkat kelas, yaitu dengan mencari rerata (mean) dan simpangan baku skor. Selanjutnya ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui minat masing-masing peserta didik dan minat kelas terhadap suatu mata pelajaran. 5. Menelaah instrumen Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: a) butir pertanyaan/pernyataan sesuai dengan indikator, b) bahasa yang digunakan komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, c) butir peranyaaan/ pernyataan tidak bias, d) format instrumen menarik untuk dibaca, e) pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas, dan f) jumlah butir dan/atau panjang kalimat pertanyaan/pernyataan sudah tepat sehingga tidak menjemukan untuk dibaca/dijawab. Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang digunakan adalah yang sesuai dengan tingkat pendidikan responden. Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen. Panjang instrumen berhubungan dengan masalah kebosanan, yaitu tingkat kejemuan dalam mengisi instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak lebih dari 30 menit. Langkah pertama dalam menulis suatu pertanyaan/pernyataan adalah informasi apa yang ingin diperoleh. 6. Merakit instrumen Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan format tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan. Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan sebaiknya dipisahkan dengan cara memberi spasi yang lebih, atau diberi batasan garis empat persegi panjang. Urutkan pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab atau mengisinya. 7. Melakukan ujicoba Setelah dirakit instrumen diujicobakan kepada responden, sesuai dengan tujuan penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau orang tua peserta didik. Pada saat ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden atas kejelasan pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang digunakan, dan waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen. Waktu yang digunakan disarankan bukan waktu saat responden sudah lelah. Selain itu sebaiknya responden juga diberi minuman agar tidak lelah. Perlu diingat bahwa pengisian instrumen penilaian afektif bukan merupakan tes, sehingga walau ada batasan waktu namun tidak terlalu ketat.
132
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
8. Menganalisis hasil ujicoba Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap butir pertanyaan/ pernyataan. Jika menggunakan skala instrumen 1 sampai 7, dan jawaban responden bervariasi dari 1 sampai 7, maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat dikatakan baik. Namun apabila jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong tidak baik. Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda.Bila daya beda butir instrumen lebih dari 0,30, butir instrumen tergolong baik. Indikator lain yang diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan indeks reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal 0,70. Bila indeks ini lebih kecil dari 0,70, kesalahan pengukuran akan melebihi batas. Oleh karena itu diusahakan agar indeks keandalan instrumen minimal 0,70. 9. Memperbaiki instrumen Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan yang tidak baik, berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik, namun hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan instrumen harus diperbaiki. Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden ujicoba. Instrumen sebaiknya dilengkapi dengan pertanyaan terbuka. 10. Melaksanakan pengukuran Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan ruangan yang digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah lelah. Ruang untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya (penerangan) yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan agar responden tidak saling bertanya pada responden yang lain agar jawaban kuesioner tidak sama atau homogen. Pengisian instrumen dimulai dengan penjelasan tentang tujuan pengisian, manfaat bagi responden, dan pedoman pengisian instrumen. 11. Menafsirkan hasil pengukuran Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan jumlah butir pertanyaan/pernyataan yang digunakan. Misalkan digunakan skala Likert yang berisi 10 butir pertanyaan/ pernyataan dengan 4 (empat) pilihan untuk mengukur sikap peserta didik. Skor untuk butir pertanyaan/pernyataan yang sifatnya positif: Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju. (4) (3) (2) (1) Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat negatif Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju. (1) (2) (3) (4)
Burhanudin Ak. Mantau
133
Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 = 40, dan skor terendah 10 butir x 1 = 10. Skor ini dikualifikasikan misalnya menjadi empat kategori sikap atau minat, yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik), rendah (kurang), dan sangat rendah (sangat kurang). Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan minat atau sikap peserta didik pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Selanjutnya dapat dicari sikap dan minat kelas terhadap mata pelajaran tertentu. Penentuan kategori hasil pengukuran sikap atau minat dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1: Kategorisasi sikap atau minat peserta didik untuk 10 butir pernyataan, dengan rentang skor 10 –40. Skor peserta didik Kategori Sikap atau Minat Lebih besar dari 35 Sangat tinggi/Sangat baik 28 sampai 35 Tinggi/Baik 20 sampai 27 Rendah/Kurang Kurang dari 20 Sangat rendah/Sangat kurang Pada tabel di atas dapat diketahui minat atau sikap tiap peserta didik terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Bila sikap peserta didik tergolong rendah, maka peserta didik harus berusaha meningkatkan sikap dan minatnya dengan bimbingan pendidik. Sedang bila sikap atau minat peserta didik tergolong tinggi, peserta didik harus berusaha mempertahankannya. E. Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Afektif Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu: a) laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan dengan pengisian angket anonim, b) pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif siswa dan perlu lembar pengamatan. Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah: 1. Menerima (memperhatikan), meliputi kepekaan terhadap kondisi, gejala, kesadaran, kerelaan, mengarahkan perhatian 2. Merespon, meliputi merespon secara diam-diam, bersedia merespon, merasa puas dalam merespon, mematuhi peraturan 3. Menghargai, meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai, komitmen terhadap nilai 4. Mengorganisasi, meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami hubungan abstrak, mengorganisasi sistem suatu nilai Karakteristik suatu nilai, meliputi falsafah hidup dan sistem nilai yang dianutnya. Contohnya mengamati tingkah laku siswa selama mengikuti proses belajar mengajar berlangsung. Skala yang sering digunakan dalam instrumen
134
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
(alat) penilaian afektif adalah Skala Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda Semantik. Contoh Skala Thurstone:
Minat terhadap Agama Islam
Pernyataan Saya senang belajar Pendidikan Agama Islam Pelajaran Pendidikan Agama Islam bermanfaat Pelajaran Pendidikan Agama Islam membosankan Dst… Contoh Skala Likert:
7
6
pelajaran
5
4
Pendidikan
3
2
1
Minat terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam
Pernyataan Pelajaran Pendidikan Agama Islam bermanfaat Pelajaran Pendidikan Agama Islam sulit dipelajari Pelajaran Pendidikan Agama Islam membosankan Dst… Keterangan: SS : Sangat setuju S : Setuju TS : Tidak setuju STS : Sangat tidak setuju
SS
S
TS
STS
F. Penutup Cukup banyak ranah afektif yang penting untuk dinilai. Namun yang perlu diperhatikan adalah kemampuan guru untuk melakukan penilaian. Ranah afektif yang penting dikembangkan adalah sikap dan minat peserta didik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan instrumen afektif sebagai berikut: 1) Menentukan definisi konseptual atau konstruk yang akan diukur; 2) Menentukan definisi operasional; 3) Menentukan indikator; 4) Menulis instrument. Instrumen yang dibuat harus ditelaah oleh teman sejawat untuk mengetahui keterbacaan, substansi yang ditanyakan, dan bahasa yang digunakan. Hasil telaah digunakan untuk memperbaiki instrumen. Selanjutnya instrumen tersebut di ujicoba di lapangan. Hasil ujicoba akan menghasilkan informasi yang berupa variasi jawaban, indeks beda, dan indeks keandalan instrumen. Hasil ujicoba digunakan untuk memperbaiki instrumen. Hal yang penting pada Burhanudin Ak. Mantau
135
instrumen afektif adalah besarnya indeks keandalan instrumen yang dikatakan baik adalah minimal 0,70. Penafsiran hasil pengukuran menggunakan dua kategori yaitu positif atau negatif. Positif berarti minat peserta didik tinggi atau sikap peserta didik terhadap suatu objek baik, sedang negatif berarti minat peserta didik rendah atau sikap peserta didik terhadap objek kurang. Demikian juga untuk instrumen yang direncanakan untuk mengukur ranah afektif yang lain. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur), Bandung: Remaja Rosdakarya offset Aqib, Zainal & Rohmanto, Elham. 2008. Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah. Bandung: Yrama Widya Hamzah B. Uno. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Komalasari, Gantina, dkk. 2011. Asesmen Teknik Non Tes dalam Perspektif BK Komprehensif. Jakarta: Indeks. Mardapi, Djemari. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press Muslich, Masnur. 2010. Authentic Assesment: Penilaian Berbasis Kelas dan Kompetensi. Bandung: Refika Aditama Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
136
Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
KONSEP DASAR PEMBANGUNAN PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Djailany Haluty Abstrak Tulisan ini mengurai secara ringkas konsep dasar pembangunan pendidikan Islam. Pembangunan atau pengembangan pendidikan Islam ke depan menjadi sangat urgen mengingat pendidikan Nasional sedang mengalami tantangan yang sangat besar sehingga perlu menyiapkan sumberdaya manusiayang mampu berkompetisi, minimal bisa bertahan dalam persaingan global. Beberapa konsep dasar pembangunan pendidikan Islam dimaksud adalah penguatan nilai dalam kehidupan, kualifikasi dan konsistensi subjek pendidikan, serta strategi penanganan. Pembangunan pendidikan merupakan suatu akfititas yang luhur tetapi juga kompleks permasalahannya. Oleh karena itu, dibutuhkan penguasaan yang memadai terhadap konsep-konsep dasar, khususnya dalam menyusun suatu program pendidikan. Keterpaduan dan sinergitas antara “nilai”, “pelaku”, dan “strategi” semoga dapat memudahkan upaya kita dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan yang “memanusiakan”. Kata Kunci: Konsep dasar, Pendidikan Islam A. Pendahuluan Tantangan terbesar pendidikan nasional dalam menghadapi berbagai kecenderungan global seperti liberalisme, komunikasi tanpa batas dan perdagangan bebas adalah penyiapan sumber daya manusia yang mampu berkompetisi secara produktif dan sehat dalam berbagai sektor. Mampu mempertahankan jati dirinya, baik sebagai insan beragama maupun sebagai masyarakat berbudaya. Keberagamaan dan kebudayaan adalah khazanah kemanusiaan yang begitu berarti dalam konteks kehidupan kebangsaan yang majemuk. Dalam kaitan itu, fenomena perkembangan abad muktahir ini menghendaki adanya suatu sistem pendidikan yang komprehensif. Karena perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan siswa / santri yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan komunikasi, dan kesadaran akan ekologi lingkungan. Dengan kata lain, seimbang antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan IMTAQ. 1 Dengan mengembangkan sistem pendidikan yang komprehensif ini, maka peran pendidikan dalam upaya memanusiakan manusia dapat berjalan maksimal. Pendidikan yang komprehensif perlu dibangun di atas pondasi yang kokoh sehingga pendidikan tidak hanya dijadikan “alat” untuk mencapai 1 Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), h. 1
137
kepentingan-kepentingan pragmatis dan temporal, melainkan menjadi sarana pemanusiaan, yang pada urutannya dapat memberikan solusi atas problemproblem kemanusiaan seperti kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan bahkan fenomena memudarnya nilai-nilai moral dan karakter bangsa. Pendidikan yang baik seyogyanya berkaitan secara fungsional dengan kehidupan. Memberikan pengaruh positif bagi perkembangan pemikiran, memenuhi kebutuhan pengembangan serta pembinaan jasmani dan rohani individu dan masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam kaitannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti ekonomi, budaya dan juga pemeliharaan lingkungan yang sehat, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Menarik untuk dicermati pandangan Sudarman Danim bahwa pendidikan sejati merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Dengan kata lain, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama peserta didik. Pendidikan yang dimaksudkan dalam konteks ini lebih dari sekedar sekolah (education not only education as schooling) Sejatinya, pendidikan persekolahan memfokuskan diri pada pembentukan kemampuan nalar intelektual dan keterampilan motoris. Pembentukan nalar emosial dan afeksi, termasuk perilaku bermoral untuk sebagian menjadi tugas pendidikan dalam makna jaring-jaring kemasyarakatan.2 Berpijak dari pemikiran itulah, maka dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang konsep dasar pembangunan pendidikan Islam, sebagai modal dasar yang sangat penting dalam mewujudkan sebuah sistem pendidikan Islam yang dapat “menjawab persoalan” kemanusiaan dan kebangsaan, dan bukannya menambah persoalan. Konsep dasar pembangunan pendidikan Islam dimaksud adalah: B. Penguatan Nilai dalam Kehidupan Pengertian nilai antara lain bermakna, (1) harga: (2) banyak sedikitnya isi, kadar, mutu: (3) sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. 3 Dalam Encyclopedia Brittanica diuraikan bahwa Value is determination quality of an object which involves any sort of appreciation on interest. 4 Nilai adalah penetapan atau kualitas objek yang mencakup atau melibatkan sejumlah penilaian dan kepentingan.
2 Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan (Cet.II: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 63-64 3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 690 4 Lihat dalam Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 109 ȱ
138
Konsep Dasar Pembangunan Pendidikan Islam
Penguatan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting bagi kehidupan seperti nilai akhlak; kejujuran, kesetiaan, kebersamaan, dan penghormatan antar sesama manusia, sesungguhnya sangat penting dikembangkan dan ditingkatkan dalam berbagai aktifitas pendidikan, baik di lembaga-lembaga formal maupun lembaga non formal dan informal. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan perangkat komunikasi yang sangat cepat saat ini sangat berpengaruh terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang luhur tersebut di atas. Pengaruh televisi, hand phone, lebih-lebih perkembangan “dunia maya” (internet) di satu sisi memberikan manfaat yang sangat besar, tetapi di sisi lain juga membawa pengaruh yang tidak baik bagi moral terutama di kalangan peserta didik. Dibutuhkan pendampingan, komunikasi dan pendekatan yang tepat dari para pendidik, terutama orang tua dalam menghadapi peserta didik, baik dalam upaya pencegahan maupun dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi peserta didik. Belakangan ini, penguatan nilai-nilai kemanusiaan, menjadi isu yang sangat hangat di kalangan masyarakat karena selama ini lembaga pendidikan dinilai gagal dalam membentuk karakter peserta didiknya menjadi manusia yang bermoral. Hal ini tergambarkan dari keberadaan para pemimpin di negeri ini sebagai hasil atau output dari lembaga pendidikan yang tidak menunjukkan nilai moral yang baik, seperti terlibat korupsi, mafia hokum dan kejahatan lainnya yang sangat merugikan orang banyak. Dalam konteks ini, isu pendidikan karakter menjadi sangat dibutuhkan. Secara harfiah karakter artinya “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi ” . Dalam kamus Psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang yang biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relative tetap. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat5. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan 5
Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, Konsep, Urgensi Dan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (online) http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/27/konsep-urgensi-danimplementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/ diakses tanggal 2 Desember 2011.
Djailany Haluty
139
mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilainilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran nilainilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat6. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilainilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Melalui program ini diharapkan setiap lulusan memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah7. Pendidikan karakter di sekolah sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah. Budaya sekolah yang dimaksud yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model 6
M. Furqon Hidayatullah. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas. (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 17. 7 Kemendiknas. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 2010), h.123.
140
Konsep Dasar Pembangunan Pendidikan Islam
lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri. C. Kualifikasi dan Konsistensi Subjek Pendidikan Perubahan paradigma pendidikan menjadi paradigma pembelajaran berkonskuensi logis terhadap perubahan dalam pengelolaan proses pembelajaran. Proses perubahan ini berimplikasi pada tuntutan kualifikasi akademik, kualitas kompetensi akademik, dan kompetensi profesional pengelola proses pembelajaran tersebut. Dalam hal ini, pengelola proses pembelajaran adalah pendidik (guru). Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pendidik profesional harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik, sedangkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan usia dini, dasar, dan menengah meliputi empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, yang diperoleh pada Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), setelah yang bersangkutan memiliki kualifikasi akademik setingkat sarjana (S1) atau diploma empat (D4). Sesuai dengan kerangka acuan aspek legal sistem nasional pendidikan, mereka yang memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) pendidikan (S.Pd) yang mengikuti Pendidikan Profesi Guru dengan model bersamaan (concurrent), diharapkan dapat memiliki kompetensi akademik dan kompetensi profesional, yang berpeluang besar untuk dapat melahirkan guru-guru yang profesional. Pembangunan pendidikan membutuhkan kehandalan subjek atau pelaku pendidikan (tenaga pendidik dan kependidikan) dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan lebih khusus lagi dalam menguatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas. Bebarapa parameter yang dapat dijadikan ukuran kehandalan, antara lain: 1. Kemampuan memahami dan menyelami masalah-masalah yang dihadapi para remaja/pemuda kita saat ini. Untuk dapat memahami dan menyelami masalah yang dihadapi peserta didik, selayaknya guru memiliki kompetensi akademik. Kompetensi akademik Djailany Haluty
141
diajukan dengan prinsip penguasaan disciplinary content dan pedagogical content secara mengorkestra, yang dapat dijabarkan ke dalam subkompetensi (a) kemampuan mengenal peserta didik secara mendalam, (b) penguasaan bidang studi yang menyangkut substansi dan epistimologi ke-ilmuan (disciplinary content), dan pengemasan bidang keilmuan tersebut menjadi bahan ajar sesuai dengan konteks kurikuler mapun karakteristik peserta didik (dalam subkompetensi inilah peluang LPTK untuk mengkriet dan memvariasi programnya menjadi multi exit sehingga menjadi menarik dan sesuai kebutuhan lapangan), (c) kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, yang mampu memfasilitasi pembentukan kemampuan yang utuh yang mampu memadukan antara dimensi pengetahuan (factual, konsep, procedual, dan metakognitif) dengan dimensi proses (pengetahuan, pemahaman aplikasi, analisis/mengkaji, evaluasi dan mencipta) seperti yang dikemukakan Anderson & Krathwohl (2001), sehingga pembentukan sikap dan keterampilan kognitif, personal dan sosial maupun psikomotorik yang diperoleh melalui latihan menjadi terbentuk secara utuh, dan (d) kemampuan mengembangkan keterampilan profesional secara berkelanjutan. Hal ini harus tertanam menjadi kebiasaan dan sikap profesional guru dalam kesehariannya, yang didapatkan berdasarkan hasil refleksi dari dampak kinerjanya (reflective practitioner).8 2. Ketepatan dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi peserta didik. 3. Ketabahan dan kreatifitas dalam berkomunikasi, berinteraksi dan mendampingi peserta didik dalam mentransfer pengetahuan dan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Kedua hal tersebut di atas dapat dilakukan oleh guru atau pendidik yang menjadi subyek pendidikan ketika dia memiliki kompetensi professional. subkompetensi profesional ini meliputi (1) keterampilan menerapkan kompetensi akademik dalam proses pembelajaran dan (2) keterampilan berhubungan sosial dengan pihak terkait dalam rangka peningkatan dan efektivitas pembelajaran yang mendidik. Keterampilan (kompetensi) personal merupakan unsur kunci bagi guru profesional, sehingga menjadi unsur kunci pula dan termasuk dalam sub- kompetensi profesi guru karena, bila ditelusuri lebih jauh pembentukan kompetensi ini bukanlah merupakan dampak instruksional effects dari suatu pendidikan formal yang diikuti calon guru. Ia lebih banyak merupakan nurturant effects dari pencapaian kompetensi akademik dan kompetensi profesional, dan bahkan juga telah terbentuk dasar – dasarnya dari pendidikan sebelumnya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian, kompetensi personal ini dapat dideskripsi dengan indikator beriman dan taqwa, berahlak mulya, arif demokratis, mantap, berwibawa, stabil,
8
N. Dantes, Pendidikan Profesi Guru Dalam Kaitannya Dengan Peningkatan Profesionalisme Guru (Refleksi Tentang Struktur Program LPTK), Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007, h. 453.
142
Konsep Dasar Pembangunan Pendidikan Islam
dewasa, jujur dan sportif, yang terjadinya bersenyawa pada saat proses pencapaian kompetensi akademik dan profesional. Ketiga parameter kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan di atas sangat penting dikembangkan untuk menyatukan dua agenda utama, yaitu: pertama, implementasi kebijakan dan kurikulum pendidikan yang menjadi tugas pokok dan fungsinya, dan kedua dalam pelaksanaan tugas-tugas pembinaan dan pengembangan potensi bakat minat dan kecenderungan peserta didik, baik dengan pendekatan individual maupun pendekatan klasikal. D. Strategi Penanganan Pendidikan merupakan pilihan strategis bagi suatu bangsa untuk bangkit dari keterpurukan. Begitu pun bagi Indonesia, sudah menjadi keharusan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Secara tegas upaya untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tersebut tertuang dalam lembaran yuridis negara berupa Undang-undang tentang sistem pendidikan nasional. Melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan sudah sejak zaman dahulu bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh dan lengkap meliputi berbagai aspek. Pendidikan tidak hanya berorientasi pada aspek akademis semata dalam rangka penguasaan ilmu dan teknologi. Kemajuan teknologi dan ekonomi tidak menjamin hadirnya rasa bahagia di hati manusianya, malah dapat membawa dampak pada hilangnya jati diri dan makna kehidupan. Pendidikan yang dikembangkan seharusnya seimbang antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Menghadirkan spiritualitas dalam pendidikan akan memberi makna besar terhadap kehidupan bangsa. Keyakinan terhadap keberadaan Tuhan akan menimbulkan komitmen kuat untuk selalu memberikan yang terbaik untuk bangsa.9 Selanjutnya, strategi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa-bangsa untuk melaksanakan semua sumber daya bangsa-bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai; (2) ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam kondisi yang menguntungkan. 10 Sementara dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia An English-Indonesian Dictionary, strategi berasal dari kata “strategy” yang berarti
9 Ary G. Agustian, Peran ESQ dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan. Pidato dies natalis ke-44 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei 2008. (Yogyakarta: UNY Press, 2008), h. 15. 10 Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III Cet. 3 ( Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 1092.
Djailany Haluty
143
ilmu siasat (perang), siasat, akal. 11 Dari berbagai pengertian strategi di atas, dapat ditarik titik simpul bahwa secara teoritik strategi adalah segala daya upaya untuk menggunakan berbagai sumber daya yang ada untuk mencapai ataupun mewujudkan suatu tujuan yang telah ditetapkan. Pembangunan Pendidikan tentu saja membutuhkan strategi yang tepat, yaitu menggunakan segala sumber daya kependidikan yang ada berdasarkan prinsip keseimbangan, kesinambungan, dan prinsip pembinaan. Prinsip-prinsip ini sangat dibutuhkan dalam upaya merancang program pendidikan, implementasi program, dan evaluasi program yang diterapkan dalam suatu satuan pendidikan. Pertama, prinsip keseimbangan. Prinsip ini menuntut kemampuan kita untuk menempatkan sumber daya pendidikan seperti media dan sarana prasarana untuk menunjang suatu program pendidikan yang kita susun secara efektif dan efisien, dengan tidak mengabaikan hasil atau mutu yang kita inginkan dari suatu program pendidikan. Sebetulnya, prinsip keseimbangan telah diajarkan dalan Islam. Bila kita mempelajari al-Qur’an secara seksama, dapat kita simpulkan bahwa wahyu Islam yang diajarkan Rosulullah Muhammad Saw menampilkan adanya suatu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi (Akherat). Segala sesuatu di alam ini berada dalam kondisi seimbang dan berada dalam keteraturan yang sangat menakjubkan. Ini merupakan bukti adanya Sang Pencipta, Sang Pengatur alam raya iniPrinsip keseimbangan ini dapat juga diterapkan dalam menata pembangunan pendidikan Islam yaitu dengan menyeimbangkan sumberdaya manusia dan sarana prasarana pendidikan. Prinsip kesinambungan. Prinsip ini mengharuskan kita menyusun program yang tidak hanya sekali jalan saja, tetapi benar-benar dapat dikembangkan dari satu program ke program yang lain. Sebagai contoh, ketika menyusun program pembinaan moral atau karakter siswa, perlu diperhatikan tahap-tahap perkembangan berpikir dan emosi para peserta didik. Dengan begitu, maka suatu program dapat dilaksanakan secara berjenjang dengan pendekatan yang berbeda meskipun materinya sama untuk semua jenjang pendidikan. Sebagai contoh misalnya, seringkali kita mendengar keluhan-keluhan guru akan tulisan akan yang jelek, bentuk tulisan yang salah, belum mampu perkalian di kelas III atau IV, belum lancarnya siswa dalam membaca di kelas IV dan lain lain. Kalau dilihat, kenyataan ini terjadi disebabkan kurangnya kesinambungan antar tingkatan kelas-kelas. Sesungguhnya semua pendidik sudah memahami pentingnya kesinambungan antara satu kelas dengan kelas di atasnya. Hal ini suatu keharusan karena pada masing-masing tingkatan memiliki kemampuankemampuan yang harus dikuasai anak sebagai fondasi bagi tingkat kemampuan di kelas berikutnya.
11
John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Cet. XXIII; Jakarta: 1996),
h.
560.
144
Konsep Dasar Pembangunan Pendidikan Islam
Kepincangan jelas akan terjadi bila konsep materi di kelas rendah belum dikuasai, sehingga guru di kelas berikutnya harus mengulang kembali dasardasar materi di kelas di bawahnya. Tentunya hal ini besar pengaruhnya pada pencapaian tujuan di kelas tersebut. Begitu seterusnya yang akhirnya di kelas VI yang dituntut meluluskan siswa dengan kemampuan yang memenuhi standar kelulusan (SKL) yang telah ditetapkan. Masalah di atas tak akan terjadi, apabila kesadaran akan tanggung jawab penuh masing-masing guru kelas untuk menanamkan konsepnya, keterampilan serta pengetahuan yang harus dikuasai pada tiap siswa benar-benar dilaksanakan. Namun demikian guru kelas di atasnya juga harus melanjutkan dengan senantiasa memperhatikan dan menjaga serta memupuknya, sehingga guru tetap dapat mengontrol, yang selanjutnya dapat digunakan guru sebagai dasar untuk menuju materi yang lebih kompleks dan mendalam. Prinsip ketiga, pembinaan. Suatu program pendidikan tentu saja disusun berdasarkan tujuan-tujuan tertentu yang disepakati. Kendati demikian, pelaksanaan suatu program tidak saja dilihat dari hasil atau pencapaian tujuan, melainkan juga ditekankan pada proses. Dengan penekanan pada proses ini berarti kita memperhatikan aspek pembinaan terhadap peserta didik dalam kegiatan program pendidikan yang kita jalankan. E. Penutup Pembangunan pendidikan merupakan suatu akfititas yang luhur tetapi juga kompleks permasalahannya. Oleh karena itu, dibutuhkan penguasaan yang memadai terhadap konsep-konsep dasar, khususnya dalam menyusun suatu program pendidikan. Keterpaduan dan sinergitas antara “nilai”, “pelaku”, dan “strategi” semoga dapat memudahkan upaya kita dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan yang “memanusiakan”. Amin. Semoga.
Djailany Haluty
145
DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary G, Peran ESQ dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan. Pidato dies natalis ke-44 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei 2008. Yogyakarta: UNY Press, 2008. Dantes, N, Pendidikan Profesi Guru Dalam Kaitannya Dengan Peningkatan Profesionalisme Guru (Refleksi Tentang Struktur Program LPTK), Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1994. John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia Cet. XXIII; Jakarta: 1996 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993 Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005 Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan Cet.II: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III Cet. 3 Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 1092.
146
Konsep Dasar Pembangunan Pendidikan Islam
KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Oleh : Herson Anwar Abstrak Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengahtengah masyarakat plural. Keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan. Pendidikan multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka. A. Pengertian Pendidikan Multikultural Akar kata mulitkultural adalah kebudayaan. 1 Secara etimologis, multikultural dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya).2 Secara hakiki, kata itu mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik, sehingga setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan3. Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur). Secara lebih singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman buda.4 Sedangkan Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan
1
Zakiyuddin Baidhowi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 1-2. 2 Lihat dalam makalah Parsudi Suparlan.”Menuju Masyarakat Multikultural”, dalam simposium internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002. 3 Imron,Mashadi, Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Balai Litbang Agama. Jakarta.2009, hlm. 48 4 H.A Dardi Hasyim, Yudi Hartono. Pendidikan Multikultural di Sekolah. UPT penerbitan dan percetakan UNS. Surakarta. Hlm. 28
147
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural5. Lebih lanjut, multikultural pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikultural dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.6 Sementara multikultural menurut Lawrence Blum sebagaimana dikutip oleh Akhyar Yusuf Lubis mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. 7 Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.8 Multikultural mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.9 Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia; Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilainilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya. Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, 5 Musa Asy’arie, 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546. di Unduh Rabu, 28 Maret 2012. 6 Azyumardi Azra, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”,http://www.kongresbud.budpar.go.id/ayyumardi/azra.htm, di Unduh Sabtu, 9 Mei 2011. 7 Akhyar Yusuf Lubis, Deskontruksi Epistemologi Modern (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), hlm. 174. 8 http:www.duniaesai.com/antro/antro3.html, di Unduh Rabu, 28 Maret 2012. 9 http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme, di Unduh Rabu, 28 Maret 2012.
148
Konsep Pendidikan Multikultural
politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masingmasing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural. Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Nonrecognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompokkelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged. Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
Herson Anwar
149
B. Sketsa Sejarah Multikultural Kelahiran gagasan multikultural secara etimologis marak digunakan sekitar tahun 1950-an di Kanada yang menggambarkan bahwa masyarakat Kanada merupakan masyarakat yang “multikultural dan multilingual” tetapi ada yang mengatakan bahwa multikultural muncul pertama kali di Switzerland pada tahun 1957 namun menjadi sebuah istilah yang populer baru sekitar tahun 1960 di Kanada. Pada tahun 1970, multikultural dimasukkan kedalam kebijakan kepegawaian dibeberapa negara yang salah satu pelopornya adalah Kanada. Multikultural diadopsi di negara tersebut pada tahun 1971 dengan persetujuan komisi kerajaan dalam bentuk aturan pemerintah berupa diakuinya “bilingualisme dan bikulturalisme” bahasa dan budaya Inggris dan Prancis. Aturan tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan terhadap keluhan kaum minoritas Kanada yang merupakan keturunan Prancis (France Canadians). Keputusan tersebut tidak diterima begitu saja oleh masyarakat Kanada, terutama masyarakat asli Kanada yang mengatakan bahwa France Canadians lebih sedikit dari Ukranian Canadians yang juga memiliki budaya tersendiri, meski berbahasa Inggris sebagaimana orang Kanada asli (British Canadians). Akibatnya, “bilingualisme dan bikulturalisme” dibuat secara resmi oleh pemerintahan Kanada menjadi “bilingualisme dan multikultural”. Pada tanggal 8 Oktober 1971 implementasi terhadap multikultural melalui penggunaan dwi bahasa diberlakukan. Setelah pemilu 1984, kaum konservatif, yang memenangi pemilu, tidak menindaklanjuti keputusan di atas. Akibatnya kritik terhadap realisasi kebijakan pemerintah semakin tajam dan pada akhirnya, tanggal 2 Juli 1988 kerajaan Kanada memberikan mandat untuk memulai dilakukannya pemeliharaan terhadap multikultural di Kanada. Bahkan secara simbolis ditegaskan bahwa Kanada adalah bangsa yang multikultural.10 Setelah itu, kata tersebut semakin cepat menyebar di berbagai negara yang memiliki bahasa ibunya adalah bahasa Inggris, Australia, Amerika, dan United Kingdom, merupakan beberapa negara yang kemudian mengikuti Kanada. Dengan kemenangan kaum buruh pada pemilu 1997, kebijakan pemerintahan United Kingdom pada akhirnya dipengaruhi oleh kebijakan multikultural.11 Sejarah dan perkembangan multikultural di atas, bagaimanapun juga tidak bisa lepas dari kondisi dunia pada saat itu. Setelah perang dunia kedua usai, banyak bermunculan negara-negara baru akibat terlepas dari imperialisme. Pengakuan terhadap negara-negara baru yang sedang berkembang tersebut secara tidak langsung diakui pula kebudayaan yang terdapat didalamnya. Di samping itu, dengan usainya perang dunia kedua, pengakuan terhadap hak asasi manusia dan pemerintahan yang demokratis semakin berkembang di berbagai negara bekas jajahan.
10
Multikulturalisme dalam http://www.wikipedia.org.com. di Unduh, Minggu 14 November
11
Ibid.
2010.
150
Konsep Pendidikan Multikultural
Perkembangan selanjutnya, dengan ditemukannya peralatan teknologi menjadi salah satu titik tolak pendukung penyebaran berbagai budaya yang terdapat diberbagai belahan dunia. Arus globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mempersempit kawasan dunia secara nyata dari seluruh penjuru dunia dapat dikenali namun tidak dapat dipungkiri bahwa imperialisme kebudayaan Barat sangat mendominasi kebudayaan-kebudayaan lainnya. Dampak dari dominasi Barat tersebut adalah lahirnya monokulturalisme merupakan salah satu bentuk perlawanan yang sesuai untuk terpeliharanya masing-masing budaya dari berbagai negara di dunia. Pemikiran terhadap lahirnya multikultural juga tidak dapat dilepas dari para pemikir (filosof) besar. John Rowls dan Charles Taylor merupakan dua diantara pemikir kontemporer yang sangat berpengaruh terhadap lahirnya multikultural. Ide social contract Rousseau, 12 pemikiran kategori imperative Kant, 13 dan utilitarianisme Bentham dan Mill 14 dihidupkan kembali oleh John Rowls dan menjadi dasar pemaparan teori-teori dalam A Theory of Juctice.15 Dengan demikian secara historis lahirnya multikultural disejumlah negara cukup dinamis, mengapa demikian sebab multikultural kelahirannya merupakan antitesa dari pemahaman dan sikap monokultural yang terlembagakan begitu 12
The Social Contact merupakan salah satu buku yang ditulis oleh Jean Jacques Rousseau dan dipublikasikan pada tahun 1962. Pada baris pertama buku tersebut terdapat kalimat yang sangat terkenal yang dikemukakan oleh Rousseau tentang manusia yakni “manusia lahir dalam keadaan bebas dan manusia berada dimana-mana dalam keadaan terikat” buku tersebut ditulis oleh Rousseau dengan tujuan untuk menggambarkan suatu masyarakat yang akan menjadi suatu kebebasan. The Social Contact dikatakannya sebagai kontrak dimana antara individu untuk menyerahkan kebebasan mereka demi terjaminnya sebuah komunitas yang bisa saling menghormati di antara individu. Hal tersebut dimungkinkan akan dapat terpeliharanya kebebasan individu. Lebih jelasnya mengenai istilah dan konsep tentang kontrak sosial bisa dirujuk dalam Jean Jacques Rousseau, The Sosial Contact, trans, by G.D.H.Cole, London: Dent, 1955. untuk edisi Indonesia rujuk dalam Jean Jacques Rousseau terj. Sumardjo (Jakarta: Erlangga, 1986), hlm. 67. 13 Kategori imperativ yang merupakan hukum moral yang dikemukakan oleh Imanuel Kant dalam bukunya yang berjudul Critique of Practicial Reason. Kant berargumen mengenai kategori imperative, bahwa setiap manusia memiliki kesadaran, sebagai suatu hukum moral yang terdapat dalam jiwa mereka. Kant selanjutnya berpendapat bahwa agar manusia menjadi bermoral maka ia perlu suatu kebebasan berkehendak dan untuk menentukan baik maupun buruknya suatu tindakan diperlukan suatu keyakinan terhadap Tuhan. Lihat dalam George Boeree, Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, terj. Abdul Qodir Sholeh (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2005), hlm. 186-187. 14 Utilitarianisme mengakui bahwa kebahagiaan tidak hanya terbatas pada kesenangan fisik dan dalam kehidupan tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mencari kesenangan umum dalam mencapainya akan ditemukan motivasi-motivasi humanistic. Dengan kata lain bahwa nilai-nilai moral sebenarnya dapat diajarkan dan tidak dipengaruhi oleh kualitas karakter bawaan manusia, selanjutnya oleh Mill dikatakan bahwa, diperlukan suatu kebebasan individu karena kebebasan individu akan membuat individu-individu tersebut menjadi lebih baik dan menjadikannya dapat berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Ibid., hlm. 274-275. 15 John Rowls, Theory of Juctice (Cambridge: Havard University Press, 2003), untuk edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia rujuk dalam John Rawls, Teori Keadilan, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo (Jakarata: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 172.
Herson Anwar
151
kuat dalam kehidupan sosial masyarakat dunia sampai tahun 1960-an. Antitesa ini awalnya hanya menjadi keinginan oleh segelintir orang tetapi kemudian mengkristal seperti bola salju hingga mampu menembus batas teritorial, sosial, psikologis dan kultural masyarakat. C. Multikultural: Antara Ideologi16 dan Realitas Dalam kurun waktu tertentu, multikultural adalah istilah yang samar, ambivalen dan debatabel. Di satu sisi, ada keingin yang kuat untuk mengatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan lain adalah baik atau setidak-tidaknya mengandung kebaikan sehingga kita dapat mengambil manfaat darinya. Terkadang kita menyadari, bahwa di masa lalu kita kerap memberi penilaian yang salah terhadap kebudayaan-kebudayaan lain, suatu penilaian yang didasarkan pada informasi yang tidak akurat dan pemahaman yang kurang memadai. Di sisi lain, ada pula keinginan untuk mengisolasi kebudayaankebudayaan lain tersebut dalam penilaian negatif kita. Penilaian negatif ini muncul dari pengalaman masa lampau dan juga sikap protektif terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain. Bagi para pengkritik multikultural, pengabsahan atas isme ini merupakan agenda politik yang jahat; sedangkan bagi para pendukungnya, multikultural adalah bermaksud baik. Dua padangan yang berbeda ini menunjukan bahwa makna, respon, dan kritik atas multikultural adalah bergantung pada perspektif individu yang memahaminya. Secara eksplisit, pertentangan itu mucul karena multikultural lebih dipandang sebagai ideologi dari pada realitas keragaman kultur yang hidup dalam masyarakat, bentuk pemerintahan, sistem ekonomi, sisitem keagamaan atau intelektual, atau bahkan kebudayaan. 16 Ideologi adalah sebuah istilah yang lahir pada tahun 1796 yang dikemukakan filsuf Prancis bernama Destutt de Tracy dan kemudian dipakai Napoleon. Istilah itu berasal dari dua kata ideos yang artinya gagasan, dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ideologi adalah sebuah ilmu tentang gagasan. Adapun gagasan yang dimaksud adalah gagasan tentang masa depan, sehingga bisa disimpulkan bahwa ideologi adalah sebuah ilmu tentang masa depan. Gagasan ini juga sebagai cita-cita atau kombinasi dari keduannya, yaitu cita-cita masa depan. Sungguh pun cita-cita masa depan itu sebagai sebuah utopia, atau impian, tetapi sekaligus juga merupakan gagasan ilmiah, rasional, dan bahkan juga empirisme yang bertolak dari masa kini. Ideologi ini tidak sekedar gagasan, melainkan gagasan yang diikuti dan dianut oleh sebagian kelompok besar manusia atau bangsa, sehingga karena itu ideologi bersifat menggerakan manusia merealisasikan gagasan tersebut. Meskipun gagasan seseorang, betapapun ilmiah, rasional, dan luhurnya, belum bisa disebut ideologi, apabila belum dianut oleh banyak orang dan diperjuangkan serta diwujudkan dengan aksi-aksi yang berkesinambungan. Dawam Raharjo, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1-4. Sementara Kalr Mannheim mengatakan bahwa ideologi tampak sebagai battle cry atau propaganda perang, propaganda kelompok, partai atau sekte tertentu yang berusaha membentuk opini publik tentang berbagai problem yang sedang diperdebatkan, dengan cara ini mereka dapat memobilisasi massa untuk berjuang demi kepentingan mereka. Dari segi proses, Mannheim menghubungkan ideologi dengan utopia dan mendorong para pembacanya untuk mengakui ideologi sebagai manipulasi sikap dan kepercayaan yang bersifat partisan. Lihat Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikulturalisme (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 2.
152
Konsep Pendidikan Multikultural
Untuk memahami multikultural, dibutuhkan alternatif pemaknaan tentang ideologi. Pandangan dua tokoh berikut ini-Antonio Gramsci dan Michel Bahktin-tampaknya penting untuk dilihat. Selama awal abad 20, dua intelektual ini memusatkan perhatiannya pada problem ideologi. Meskipun Gramsci menitiberatkan pada teori politik dan Bakhtin menekankan kritik sastra, proyek kedunya bertemu dalam beberapa titik. Menurut mereka, ideologi lebih merupakan masalah “partisipasi” dari pada dominasi atau manipulasi; dalam arti luas lebih merupakan persoalan “pandangan dunia” (word view) daripada propaganda partisan. Jadi, ideologi adalah sistem kepercayaan yang komprehensif yang diakui oleh berbagai kelompok sosial, dan dengan berbagai macam alasan. Ideologi memberi peluang atas konstribusi berbagai kelompok. Ketika membahas Prancis pada abad 16, Bakhtin menekankan peran semua rakyat dalam batasan-batasan bagi otoritas unilateral raja dan dalam membentuk dan menyediakan pandangan bagi otoritas yang sah. Bakhtin tidak pernah membenarkan distribusi kekuasaan yang tidak adil antara raja dan rakyat, bahkan ia menyatakan bahwa raja hanya mewakili, menjustifikasi dan melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang ditentukan rakyatnya. Para pengkritik maupun pendukung multikultural sama-sama menujukan minat pada pembahasan ideologi dari Gramsci dan Bakhtin. Bahkan, keduaya juga memfokuskan pada agenda politik, kutural dan pendidikan tertentu sehingga kecurigaan sering muncul antara dua kelompok ini. Kondisi ini membuat negosiasi atau percakapan antara keduanya menjadi sulit; mereka juga gagal memahami relasi yang suram antara multikultural sebagai ideologi dan realitas multikultural dalam masyarakat global yang saling tergantung dan mempengaruhi. Salah satu aspek yang menonjol dan menggelisahkan dari multikultural telah melahirkan kecendrungan banyak akademisi multikulturalis untuk melihat kemajuan mereka sebagai wakil bagi kemajuan masyarakat. Para akademisi ilmu politik kontemporer adalah wakil bagi perjuangan politik masa lalu. Ini mengimplikasikan bahwa keberhasilan akademik kaum perempuan atau anggota dari kelompok tertindas-memberikan keuntungan ex post facto bagi seluruh perempuan. Sikap semacam ini menunjukan hubungan antara multikultural sebagai ideologi dan politik praktis yang meliputi banyak sekolah dan perpendidikan tinggi. Bagaimanapun ada pertanyaan yang akan tetap muncul apakah politik identitas akan tergambar sebagai senjata kaum multikulturalis, atau apakah multikultural telah mengalami penurunan nilai menjadi senjata bagi politik identitas. Setidaknya keberanian untuk memunculkan pertanyaan semacam ini adalah upaya mendorong kita untuk berusaha memahami relasi antara multikultural sebagai ideologi dan masyarakat multikultural sebagai fakta sosial.17 17 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikulturalisme (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 2-3.
Herson Anwar
153
Terlepas dari sikap kita terhadap multikultural, masyarakat multikultural adalah sebuah fakta, fakta yang menantang presuposisi dan aspirasi kita. Di luar itu semua, adalah sebuah fakta bahwa semakin bercampur baurnya penduduk seluruh dunia memberikan tekanan pada pemerintahan, sistem pendidikan, dan ekonomi yang telah mapan. Penduduk dunia hidup dalam kedekatan dan berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang etnik dan kebangsaan. Karena itu kita percaya bahwa semua orang terlahir berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing, namun disparitas dalam kebudayaan, sumberdaya, dan harapan-harapan ini pula yang melahirkan ketidakpuasan dan konflik sosial. Dan ketika perbedaan nasionalitas, etnisitas, dan ras muncul bersamaan dengan perbedaan agama, posisi sosial dan ekonomi, potensi untuk berbenturan semakin besar. Singkatnya realitas dunia multikultural kini sedang hadir di hadapan kita dan akan semakin menunjukan intensitas dan ekstensitas dalam banyak aspek. Yang dibutuhkan saat ini adalah “pandangan dunia” yang mengajak untuk menghargai kebudayaan-kebudayaan orang lain dan tetap loyal pada kebudayaan kita sendiri. Inilah esensi multikultural yang sedang diperbincangkan dan menjadi tumpuan harapan masa depan yang lebih manusiawi.18 D. Signifikansi Multikultural dalam Konteks ke-Indonesiaan Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyak pulau yang dipersatukan di bawah kekuasaan satu Negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis, agama dan budaya. Karena itu yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah amat beragam (yang memang tidak bisa disangkal), melainkan cara kita memandang dan mengelola keragaman tersebut. Saya kira di sinilah letak pentingnya “multikultural” yang kiranya dapat dimaknai sebagai suatu pandangan dan pengkuan secara positif sehingga mampu hidup berdampingan secara damai serta saling menguatkan satu sama lain ditengah realitas keragaman. Para pendiri bangsa ini jelas sangat menyadari akan masalah keragaman ini. Pertanyaan penting yang harus dijawab mereka saat mendirikan Negara ini adalah: atas dasar apakah kiranya segala yang beraneka ragam itu dapat disatukan? Sejarah mencatat bahwa ada dua jawaban yang berbeda terhadap masalah ini. Satu kelompok mengatakan bahwa kita bisa bersatu atas dasar “kebangsaan” dan satu kelompok lagi mengatakan bahwa kita bisa bersatu atas dasar “agama” yakni agama Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa ini. Sejarah bangsa kita juga penuh dengan catatan mengenai dialektika yang terus menerus terjadi antara paham kebangsaan di satu pihak dan paham keislaman di pihak lain. Dialektika ini kadang berujung pada tindakan kekerasan yang 18
154
Ibid., hlm. 4.
Konsep Pendidikan Multikultural
berdarah-darah, tetapi kadang pula terjadi suatu sintesis secara damai. 19 Tampaknya di sinilah letak signifikansinya multikultural dalam konteks keindonesiaan. Seringkali peristiwa konflik sosial, kerusuhan, dan kekerasan yang terjadi di tanah air-antara lain seperti yang terjadi di Ambon, Poso, Sampit-patut dijadikan entry point (titik masuk) mengurai kembali realitas kemajemukan atau pluralisme yang menjadi salah satu pembentuk identitas bangsa ini….apakah serangkaian konflik, kerusuhan, dan kekerasan disebabkan, antara lain, karena adanya cara pandang yang kurang benar terhadap realitas kemajemukan? Sebab, selama bertahun-tahun, realitas kemajemukan menunjukan prestasi yang menggembirakan, karena memang terdapat resistensi yang cukup kuat terhadap segala faktor yang dapat menjadi memicu munculnya konflik dan yang sejenisnya. Keadaan ini, tentu saja, meskipun bukan satu-satunya, tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah yang memang cukup penetratif terhadap segala aktivitas kehidupan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam mengelola kemajemukan misalnya, penetrasi itu dilakukan dengan cara memproduksi ideologi sebagai derivasi dari ideologi dominan Pancasila. Selama Orde Baru, Pancasila betul-betul menjadi ideologi yang sangat efektif dalam mengukuhkan kekuasaan pemerintah. Segala bentuk wacana yang berada diluar mainstream pemerintah, dengan mudah dicap anti Pancasila. Rupanya ini sangat efektif pula dalam mengelola kemajemukan. Dalam pandangan pemerintah, kemajemukan harus tunduk di bawah paradigma kesatuan. Dalam konteks ini, SARA, sebagai reproduksi ideologi, menjadi senjata ampuh untuk membungkam segala bentuk wacana aktivitas masyarakat yang dinilai merusak sendi-sendi kesatuan. Dengan instrumen ideologis ini, di tambah lagi dengan instrumen pemerintah yang bersifat represif secara fisik, di permukaan kehidupan sosial masyarakat memperlihatkan kerukunan. Meskipun begitu, yang terjadi sebenarnya kerukunan yang semu dan absurd. Yang juga bisa dikatakan, kerukunan yang dipaksakan.20 Meskipun bangsa kita mengaku berasaskan Bhineka Tunggal Ika yang berarti “berbeda tetapi tetap satu,” beberapa kenyataan yang telah terjadi ditanah air semakin membuat kita sadar bahwa kenyataan perbedaan dalam masyarakat malah membuat kita terpecah belah saling menghujat dan membunuh. Di Ambon ratusan bahkan ribuan orang terbunuh dan terluka akibat konflik dengan nuansa perbedaan agama, sementara di Kalimantan Timur, Sampit, juga terjadi konflik dengan nuansa perbedaan lainnya, yakni perbedaan etnis. Dampak buruk dari konflik-konflik tersebut sangat nyata: ribuan pengungsi, ratusan rumah yang terbakar hingga trauma psikologis yang diderita oleh mereka yang mengalaminya. 19 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 44-45. 20 Syamsul Arifin, Islam Indonesia: Sinergi Membangun Civil Islam dalam Bingkai Keadaban Demokrasi (Malang: UMM Pres, 2003), hlm. 117-118.
Herson Anwar
155
Perbedaan adalah petanda keragaman, dan keragaman seharusnya tidak menimbulkan malapetaka tetapi justru melahirkan keindahan dan harmoni, sebagaimana sebuah taman yang indah biasanya dihiasi oleh bunga-bunga beraneka warna. Lalu, mengapa yang terjadi justru sebaliknya? mengapa orang terjebak pada logika perbedaan dan melupakan titik-titik temu di antara yang berbeda itu? Bagaimana seharusnya kita menangani berbagai perbedaan tersebut agar ia tidak menjelma menjadi kekuatan yang destruktif, yang mengahancurkan diri kita sendiri?21 Kenyataan ini perlu disadari oleh masyarakat kita agar perbedaan tidak selalu memunculkan konflik dan kekerasan. Sayangnya, budaya kita masih lebih kondusif untuk tumbuhnya iklim kekerasan, ketimbang dialog dan pengertian. Kita belum bisa menerima dan merayakan perbedaan. Jika muncul masalah, selalu saja melibatkan emosi dan kekerasan dalam menyelesaikan. Maka wajar kalau peserta didik di sekolah senang berkelahi, karena mereka telah terkondisikan untuk itu.22 Oleh karena itu menjadi begitu penting dan mendesak untuk mendorong lahirnya pemahaman dan sikap multikultural ditengah kesalahan pemaknaan atas sebuah keragaman yang sering diekpresikan oleh kelompok tertentu dengan tindakan anarkis, brutalisme, premanisme-menghakimi individu atau komunitas lain yang berbeda baik karena alasan kepentingan agama maupun bukan, pada hal kalau kita sedikit merenung dan menyadari bahwa perbedaan itu adalah hukum alam (sunatullah) yang harus kita maknai dan sikapi dengan arif dan bijaksana sehingga melahirkan harmoni kehidupan yang mampu memberi kedamaian-keadaban yang hakiki bukan dengan tindakan yang saling menegasikan karena hanya akan menguras air mata, energi bahkan meminta tumbal manusia yang takterperikan. E. Multikultural dalam Respon Agama Peter L. Berger mengatakan bahwa dalam menghadapi serbuan keragaman itu, agama-agama, atau lebih tepat lembaga-lembaga agama mencoba memperkuat kedudukan agama dengan: (1) mengembangkan rasionalitas pengelolaan lembaga-lembaga agama, sejak dari soal manajemen, penggalangan dana hingga pelaksanaan program-program; (2) membuka kerjasama dengan mereka yang sebelumnya dianggap saingan atau musuh (hal ini terutama dilakukan pada keadaan yang tidak memungkinkan bagi satu agama untuk ‘mengalahkan’ saingannya); (3) membuat standarisasi ajaran-ajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya; (4) memberikan peran yang
21
Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, hlm. 63. Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peredaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 125. 22
156
Konsep Pendidikan Multikultural
luas kepada mereka yang selama ini di anggap tergolong awam dalam soal-soal agama.23 Selain empat strategi di atas, ada tiga model strategi yang secara umum dilakukan oleh agama-agama didunia dalam menghadapi situasi keragaman saat ini yaitu: (1) strategi penaklukan atau revolusi keagamaan; (2) pengasingan diri; dan (3) dialog. Strategi yang pertama adalah menaklukan keragaman atau menyatukan keragaman di bawah satu pandangan agama yang dianggap paling benar. Rezim Franco di Spanyol yang didirikan pada tahun 1930-an mencoba menegakkan negara di bawah panji-panji Kristus. Dalam Islam, ada beberapa gerakan yang ingin mendirikan negara Islam atau bahkan kekhalifahan Islam yang sudah lama pudar itu. Mereka beranggapan bahwa kelemahan umat Islam saat ini karena telah menyimpang dari ideal-ideal Islam masa lalu dan tunduk pada pengaruh Barat. Karena itu, gerakan ini sangat anti Barat dan anti pandangan-pendangan yang mencoba memisahkan antara agama dan negara. Ernest Gellner berpendapat bahwa kencendrungan untuk monopoli kebenaran dan menolak yang yang berbau Barat ini sangat kuat dalam Islam, karena itu “Mengatakan bahwa sekularisasi terjadi dalam Islam bukan satu pernyataan yang mengandung pertanyaan. Penyataan ini jelas salah. Islam masih sama kuatnya ketika seabad yang lalu. Dalam beberapa hal, ia bahkan masih lebih kuat”, katanya.24 Tentu saja, kita tidak bisa membuat generalisasi bahwa semua gerakan Islam punya kecendrungan seperti yang dikemukakan Gellner, karena bagaimanapun gerakan-gerakan Islam sangat beragam: dari yang konservatif, liberal, hingga yang radikal dan fundamentalis.25 Strategi kedua yang dikembangkan oleh agama dalam menghadapi keragaman adalah pengasingan diri (self isolation). Dari pada hanyut terbawa arus deras kemajemukan yang membingungkan, orang kemudian mencoba membuat benteng-benteng pertahanan dengan membangun subkultur-subkultur. Melalui lembaga-lembaga pendidikan yang secara khusus dikelola oleh lembaga keagamaan seperti sekolah-sekolah Katolik dan Protestan di tanah air, mereka berharap nilai-nilai dan keyakinan agama dapat dipertahankan. Sejalan dengan itu, Abdurrahman Wahid juga pernah membuat analisis mengenai kedudukan pesantren sebagai benteng nilai-nilai yang disebutnya sebagai subkultur.26 Strategi yang terakhir adalah keberanian untuk menghadapi keragaman dan berdialog dengannya. Strategi ini memang berat karena dibutuhkan keberanian, kesiapan mental dan bahkan material untuk dapat berdialog dengan 23
Peter L. Berger, “The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion” dalam Mujiburrahman, Mengidonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarat: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 70-71. 24 Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (London: Routledge, 1992), hlm. 5. 25 John L. Esposito, “The Islamic Threat, Myth or Reality?” dalam Mujiburrahman, Mengidonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarat: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 72. 26 Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 36-40.
Herson Anwar
157
baik. Namun, melihat perkembangan masyarakat saat ini, strategi dialog merupakan strategi yang paling realistis dibanding dua strategi lainnya. Bagaimanapun, strategi penaklukan atau revolusi keagamaan akan meminta biaya yang sangat mahal, bahkan sangat besar kemungkinannya akan menuntut banyak korban, baik karena tindak kekerasan ataupun karena diisolasi oleh dunia melalui embargo ekonomi. Sementara itu, strategi pengasingan diri hanya akan efektif untuk jangka waktu yang pendek. Dalam jangka panjang, strategi ini lambat laun akan jebol. Sebab, siapa yang bisa mencegah televisi, dan internet masuk kedalam kamar tidur kita? Untuk ke depan, tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali membuka diri untuk berdialog. Ini juga berarti adanya kesiapan kita untuk menerima hal-hal baik dari orang lain. Sayangnya, dialog akan menjadi kata indah yang tak banyak artinya jika ia hanya sekedar sandiwara. Para pemimpin agama dapat berdialog dengan akrab namun umat yang dibawah tetap diselimuti oleh rasa saling curiga. Hal ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka yang di bawah melainkan juga kesalahan mereka yang tidak menjalankan hasil dialog itu setelah turun ke lapangan. Selain itu, jika kita sependapat bahwa dialog yang ideal haruslah dilakukan oleh mereka yang sederajat (between equals), maka kita akan menemukan masalah-masalah lainnya. Jika kita mencermati lebih jauh, tiga strategi di atas sebenarnya juga merupakan pantulan dari pandangan teologis tertentu terhadap kemajemukan. Bagi mereka yang ingin menerapkan strategi penaklukan, biasanya mereka memiliki pandangan yang eksklusif dalam arti bahwa Islam dipahami sebagai sebuah sistem unik yang harus dibedakan dan dipertentangkan dengan yang lain. Islam adalah kebenaran mutlak dan setelah itu tidak ada kebenaran lain yang perlu didengar. Sedangkan bagi mereka yang mencoba mengasingkan diri, pandangan teologisnya boleh jadi sejalan dengan yang pertama namun diiringi sikap rendah diri sehingga merasa tidak mampu berhadapan dengan lawanlawannya. Sebaliknya, mereka yang berani melakukan dialog biasannya dilandasi oleh pandangan bahwa meskipun ‘kita’ dan ‘mereka’ berbeda tapi sekurangkurangnya ada titik temu yang dapat membuat kita saling menghargai dan bahkan bekerjasama. Misalnya YB. Mangunwijaya, tokoh Katolik Indonesia ini, sering menunjuk kepada Dokumen Konsili Vatikan II yang telah mengakui adanya unsur-unsur mulia dalam agama-agama non-Kristen. Di antara tokohtokoh Islam, Nurcholis Madjid telah mencoba mengembangkan konsep pluralisme dalam perspektif Islam dengan cara melihat makna dasar dari alIslam sebagai kepasrahan kepada Tuhan dan membawa konsep Ahl al-Kitab bisa diperluas kepada agama-agama lain selain Yahudi dan Kristen. Sementara Abdurraham Wahid telah mencoba menawarkan pandangan bahwa lima jaminan dasar, yaitu jaminan keselamatan jiwa, akal, harta, keturunan, dan agama yang
158
Konsep Pendidikan Multikultural
merupakan tujuan syari’at Islam dapat dijadikan acuan sebagai titik temu antara Islam dan agama-agama lain.27 F. Kesimpulan: 1. Akar kata mulitkulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikultural dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran atau paham). Secara hakiki, kata itu mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik, sehingga setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. 2. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural 3. Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. 4. Sejarah dan perkembangan multikultural, tidak bisa lepas dari kondisi dunia. 5. Seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilainilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1988). Akhyar Yusuf Lubis, Deskontruksi Epistemologi Modern (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006). Azyumardi Azra, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun MultikulturalismeIndonesia”,http://www.kongresbud.budpar.go.id/ayyu mardi/azra.htm, di Unduh Sabtu, 9 Mei 2011. Dawam Raharjo, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). 27
Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, hlm. 72-74.
Herson Anwar
159
Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (London: Routledge, 1992). George Boeree, Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, terj. Abdul Qodir Sholeh (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2005). H.A Dardi Hasyim, Yudi Hartono. Pendidikan Multikultural di Sekolah. UPT penerbitan dan percetakan UNS. Surakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme, di Unduh Rabu, 28 Maret 2012. http:www.duniaesai.com/antro/antro3.html, di Unduh Rabu, 28 Maret 2012. Imron,Mashadi, Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Balai Litbang Agama. Jakarta.2009. John L. Esposito, “The Islamic Threat, Myth or Reality?” dalam Mujiburrahman, Mengidonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarat: Pustaka Pelajar, 2008). John Rowls, Teori Keadilan, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo (Jakarata: Pustaka Pelajar, 2006). Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peredaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003). Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 44-45. Multikulturalisme dalam http://www.wikipedia.org.com. di Unduh, Minggu 14 November 2010. Musa Asy’arie, 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546. di Unduh Rabu, 28 Maret 2012. Parsudi Suparlan.”Menuju Masyarakat Multikultural”, makalah dalam simposium internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002. Peter L. Berger, “The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion” dalam Mujiburrahman, Mengidonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarat: Pustaka Pelajar, 2008). Syamsul Arifin, Islam Indonesia: Sinergi Membangun Civil Islam dalam Bingkai Keadaban Demokrasi (Malang: UMM Pres, 2003). Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikulturalisme (Jakarta: Erlangga, 2005).
160
Konsep Pendidikan Multikultural
PERAN EDUKATIF ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN EMOSI DAN NALAR ANAK PEREMPUAN Oleh: Munirah Abstrak Emotional education on children is started since he stepped on stage thought to act independently. The purpose of education is shaping the personality and emotional integrity so that when a person reaches the age of maturity, then he can perform all the obligations which rest upon him as well. Meanwhile, logical education is therefore the duty of parents to children because of reason education has closed ties between a child with his family and his community and his god. Logical education also determines the position of children and opened his eyes to look at all things surrounding them in this world.
Kata Kunci: Peran Edukatif Orang Tua, Pendidikan Emosi dan Nalar
A. Pendahuluan Pendidikan emosi mencakup perasaan, emosi, inklinasi, kecenderungan, dan lain sebagainya.1 Pendidikan emosi berawal sejak ia menginjak tahap berpikir untuk bertindak mandiri, dan berterus terang, berani, senang melakukan kebaikan kepada orang lain, menekan amarah dan menghiasi diri dengan semua keunggulan mental dan moral. Tujuan dari pendidikan emosi adalah membentuk kepribadian, integritas, dan asesorisnya sehingga ketika mencapai usia baligh nanti dapat melakukan semua kewajiban yang diembankan kepadanya dengan bentuk yang sempurna dan makna yang dalam.2 Emosi menciptakan ruang yang luas dalam diri anak perempuan. Emosi membentuk diri dan membangun kepribadiannya. Jika emosi yang membentuk anak perempuan seimbang, maka ia kelak akan tumbuh menjadi manusia normal dalam menapaki masa depan dan di segala aspek kehidupan. Sebaliknya jika emosi yang membentuk tidak stabil, melonjak atau berkurang, maka anak akan menemui mata rantai yang tidak baik akhirnya. Emosi yang berlebihan membuatnya tumbuh menjadi anak manja yang tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban kehidupan dengan sungguhsungguh dan energik. Sedangkan miskin emosi akan membuatnya tumbuh menjadi orang yang keras dan ganas terhadap semua orang di sekelilingnya. Karena itu, bangunan emosional mempunyai nilai penting khusus dalam konfigurasi mental anak perempuan sekaligus pembentukannya. Bangunan 1 Al-Mabruk Usman Ahmad, Tarbiyah al-Aulād wa al-Abā’ fi al-Islām, (Beirut: Dār alQutaibah, 1413 H.), h. 96. 2 Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al-Aulād fi al-Islām, (Halb: Darussalam, 1401 H.), h. 299.
161
inilah yang menjadi lahan orang tua untuk memainkan peran yang lebih besar. Karena keduanya merupakan sumber utama bagi sinar emosi yang membentuk mental anak-anak. Selain itu keduanya merupakan elemen penting yang menjadi guide dan menjadi pelabuhan untuk merasakan hangatnya kasih sayang dan nikmatnya kebapakan dan keibuan.3 Memenuhi berbagai kebutuhan emosional merupakan hal penting dalam kehidupan. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, anak perempuan akan sulit beradaptasi dengan dirinya sendiri dan orang lain; karena indikator-indikator tergantung pada sejauh mana tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut.4 Mengingat anak perempuan adalah amanat bagi kedua orang tuanya, Islam pun memerintahkan dan mewajibkan mereka untuk mananamkan dasardasar kesehatan mental pada diri anak sejak dini yang menjadikannya mampu menjadi manusia yang memiliki akal yang matang, pemikiran yang benar, perilaku yang seimbang, dan keinginan yang luhur . orang tua juga dituntut untuk membebaskan anak perempuan dari segala faktor yang menjadi penghalang kemuliaan dan pengalaman, menghancurkan eksistensi dan kepribadiannya yang membentuk penglihatan kehidupan dengan pandangan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.5 Selanjutnya pendidikan nalar berarti membentuk nalar anak dengan segala disiplin keilmuan yang berbeda dan bermanfaat, dengan kebudayaan ilmiah modern yang diperlukannya, pencerahan pemikiran dan peradaban agar nalarnya matang dan terbentuk secara ilmiah dan berperadaban sehingga dia mampu berpikir dengan benar dan dependen, sehinggga dapat menghukum terhadap banyak hal menjadi baik dengan perantara pengetahuannya dan mengambil manfaat dari orang lain.6 Pendidikan nalar juga dapat diartikan sebagai pendidikan yang memperhatikan nalar memberinya suplai nutrisi dan membekalinya dengan berbagai hal yang meningkatkan vitalitas dan egresivitasnya, memberinya kemampuan melihat, merenung, menganalisis dan mengambil konklusi.7 Lebih lanjut pendidikan nalar merupakan salah satu kewajiban bapak kepada anaknya, karena pendidikan nalar yang membuat anak sejak kecil mempunyai ikatan erat antara dirinya dengan keluarga dan masyarakatnya, kemudian berlanjut antara dirinya dengan penciptanya. Selain itu pendidikan nalar juga menentukan posisinya dan membukakan matanya untuk melihat semua hal yang mengitarinya di dunia yang luas ini.
3 Muhammad Nūr Suwaid, Manhaj al-Tarbiyah al-Nabāwiyah li al-Tifl, (Beirut: Muassasah al-Rayyan, 1414 H.), h. 179. 4 Abdul Ghani Abbud, dkk., al-Usrah al-Muslimah wa al-Usrah al-Mu’āsirah, (Kairo: Dār al-Fikri al-Arabiy, 1400 H.), h. 425-426. 5 Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., h. 298. 6 Al-Mabruk Usman, op. cit., 163. 7 Ali Abdul Halim Mahmud, h. 259.
162
Peran Edukatif Orang Tua dalam Pendidikan Emosi dan Nalar Anak Perempuan
B. PEMBAHASAN 1. Peran Edukatif dalam Pendidikan Emosi Begitu pentingnya beragam kebutuhan emosional dan kiat-kiat khusus bagi orang tua dalam memenuhi agar anak perempuan dapat mencapai perkembangan tingkat emosional yang terbaik. Untuk itu dibutuhkan beberapa hal yang perlu dipenuhi yaitu: a. Memenuhi Kebutuhan Anak Perempuan akan Cinta Keamanan, Kasih Sayang, dan Kelembutan Peran orang tua terhadap kebutuhan rasa aman, merupakan salah satu kebutuan emosional terpenting bagi anak perempuan, dan mengharapkan rasa aman merupakan harapan yang sangat urgen baginya. Dia tidak akan melakukan apa pun kecuali ketika mereka merasa tenang dan merasa aman, kehilangan rasa aman akan membuatnya bingung, takut dan tidak tenang. Selain itu dibutuhkan kasih sayang orang tua terutama ibu yang merupakan keniscayaan untuk membuat anak-anak merasa aman dan tenang. Kasih sayang diperlukan untuk menambah kepercayaan anak-anak terhadap ibunya, kepercayaan terhadap dirinya sendiri, dan terhadap semua anggota keluarganya.8 b. Memenuhi Kebutuhannya Akan Rasa Penghargaan Anak perempuan membutuhkan perasaan bahwa dia dihargai dan mendapatkan apresiasi dari orang lain. Hal itu adalah salah satu faktor yang akan berbekas dalam jiwanya dan berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya. Keengganan untuk mendengarkan perkataan, memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap usulan dan harapan yang dilontarkannya, tidak adanya respek dari orang tua terhadap segala aktivitasnya, dan tidak ada keterlibatan orang tua dalam berbagai kegiatan, mulai dari menulis, belajar, bermain, atau lainnya, semua itu dengan sendirinya akan merampas antusias dan hasrat yang menggelora dalam dirinya serta akan membuat memandang dirinya seolah dia adalah barang dagangan yang tak berguna dan tidak ada artinya. Pada akhirnya dia menjadi tidak bersemangat, tidak peduli untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah dan sekolah, serta tidak merasakan cinta yang cukup dan penghargaan yang dia butuhkan dari orang tuanya yang belum menunjukkan sikap perhatian, memahami atau sikap kebersamaan kepadanya.9 Oleh sebab itu anak perempuan perlu mendapat perhatian agar dirinya merasa bahwa ia adalah tempat kebahagiaan, kekaguman, dan kebanggaan bagi kedua orang tuanya. Karena itu orang tua harus mengakui eksistensi anak perempuan mereka, menerimanya sebagai orang yang mempunyai harga, serta memperlihatkan padanya bahwa dia dan segala kerja kerasnya adalah dua hal yang dibutuhkan orang lain. 8 Hannan Athiyah ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2007), h. 107. 9 Ahmad Mukhtar al-Jabi, Daur al-Usrah fi Himāyah al-Ahdās min al-Inhirāf wa alJarīmah, Majalah al-Arabiyah, (Riyadh: t.p., 1410), h. 83.
Munirah
163
c. Memenuhi Kebutuhannya Akan Keberhasilan dan Prestasi Anak perempuan membutuhkan keberhasilan dan prestasi; karena dia selalu berusaha untuk mengeksplorasi, observasi dan meneliti sampai dia mengenal lingkungan di sekelilingnya dan sampai dia berhasil mengelilingi dunia di sekitarnya. Kalangan ahli pendidikan Islam telah menunjukkan telah menunjukkan betapa berharganya usaha memotivasi seseorang dengan memberikan apresiasi padanya ketika melakukan pekerjaannya dengan benar atau menyelesaikan tugas yang diembankan padanya. Karena itu Ibnu Jamaah mengatakan, jika seorang pendidik melihat anak melakukan pekerjaannya dengan tepat, dan tidak dikhawatirkan akan menimbulkan kekaguman yang berlebihan, dia harus menyampaikan ucapan selamat dan penghargaan kepada anak tersebut sambil memujinya di depan teman-temannya demi membangkitkan semangat dirinya dan mereka semua dalam meningkatkan kemampuan.10 d. Memenuhi Kebutuhan Anak Perempuan terhadap Pembelajaran Normanorma Perilaku Anak perempuan membutuhkan pembelajaran norma-norma perilaku, misalnya doktrin/ajaran agama, pranata sosial, adat dan tradisi. Hal itu perlu diberikan selama ia menjalani proses adaptasi sosial, membangun relasi dengan orang lain dan berinteraksi dengan mereka. Pada usia 2-6 tahun, anak perempuan hidup dalam dunianya sendiri, sebuah dunia yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Hal itu terjadi karena hanya berkutat pada persoalan personalitas dan jauh dalam objektivitas dalam melihat dunia luar. Itu disebabkan ketidakmampuannya untuk melakukan diferensiasi, karena dia hidup dalam personalitas (hanya berkutat pada persoalan seputar diri sendiri); dimana dia tidak memahami arah pandangan orang lain dan tidak mampu mengkombinasikan arah pikiran dengan apa yang dia lihat. e. Memenuhi Kebutuhan Anak Perempuan terhadap Kekuasaan Pengontrol, Instruktif, dan Orientatif Anak perempuan memerlukan kekuasaan pengontrol dan instruktif yang mengarahkan perilakunya, membatasi segala tindakannya dan membantunya dalam membedakan antara yang baik dengan buruk, antara yang benar dan salah, antara yang moralitas dan amoral, dan antara kebiasaan dan taklid yang diperbolehkan agama dan yang dilarang. Dia juga perlu membentuk kepribadian, mendidik karakter, membangun personalitasnya yang memungkinkan untuk membedakan antara yang boleh dan yang tidak boleh, menjalankan kewajibankewajibannya, mengetahui hak-haknya, bertindak berdasarkan ilham dari suara hatinya, mampu melepaskan diri dari bantuan orang lain agar di masa depan kelak menjadi orang yang mampu mengandalkan diri sendiri, mengarungi kehidupan tanpa rasa takut dan beban, serta menjadi manusia sosial yang dapat 10 Ibnu Jamaah, Tażkirah al-Sāmi’ wa al-Mutakallim fi Adāb al-‘Ậlim wa al-Muta’allim, (t.t.: t.p., t.th.), h.54.
164
Peran Edukatif Orang Tua dalam Pendidikan Emosi dan Nalar Anak Perempuan
berpartisipasi dalam masyarakatnya,11 seandainya anak tidak matang dalam perilaku dan tindakannya, maka akan selalu tidak bertanggung jawab. f. Memenuhi Kebutuhan Anak Perempuan akan Perasaan Diterima Anak perempuan selalu memerlukan perasaan diterima dan mendapat respon. Pendidikan Islam menyadari hal tersebut dan mengetahui bahwa anak membutuhkan perasaan diterima oleh orang-orang di sekelilingnya tanpa memperhatikan jenis kelaminnya. Hal itu karena mensuperiorkan anak atau menerima jenis tertentu membuat anak jenis lain merasa tidak aman dan dirinya semakin yakin bahwa dirinya adalah tempat sasaran kekejian orang lain. Hal tersebut sama buruknya dengan memperlihatkan rasa benci padanya, mengucilkannya, tidak menyukainya dengan cara mengabaikannya, tidak ada perhatian terhadap persoalan makan, pakaian dan tempat-tempat, mengancamnya memberi hukuman fisik dengan maksud untuk melatih kedisiplinan dan taat, mengancamnya dengan pembuangan, atau menghalangi dari apa saja yang disukainya dan lain sebagainya ketika dia melakukan sebuah dosa, merendahkannya dengan mengkritik, mencela, atau mengucapkan namanama atau julukan yang mengejek, atau membandingkan dirinya dengan anak lainnya dengan sesuatu yang melukai perasaannya.12 g. Memenuhi Kebutuhan Anak Perempuan Akan Permainan Bermain merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi anak perempuan. Menyediakan semua sarana permainan tersebut membuat anak merasa puas dan tenang, mempengaruhi keinginan dan hasratnya terhadap pengetahuan secara umum. Bermain merupakan salah satu media penting yang membantu pemahaman anak perempuan terhadap dunia yang mengitarinya. Bermain juga merupakan salah satu wahana untuk mengekspresikan diri anak. Bermain memiliki andil peran dalam mengobati beragam kondisi mental, bahkan terkadang menjadiaktivitasdefensif pengganti. Bermain juga ikut andil dalam mengobati kondisi psikologis anak-anak yang tertutup. Sebab melalui permainan mereka dapat didorong untuk menyelesaikan pekerjaan apapun sebagai reaksi dari semangat permainan tersebut. Dari sini secara bertahap mereka akan terbiasa untuk menggabungkan diri dalam sebuah komunitas. Selain itu, bermain berandil memenuhi sejumlah kebutuhan psikologi anak seperti kebutuhan untuk memiliki, umpamanya, di mana ketika anak perempuan memiliki boneka atau mainan apa pun lainnya maka dia akan merasa bahwa ada beberapa hal dalam rumah yang menjadi kekuasaannya. Selain itu bermain juga dapat menciptakan kondisi mental yang aktif dan agresif bagi anak yang mengalami gangguan secara psikologis. h. Memenuhi Kebutuhan Anak Perempuan untuk Berkumpul Bersama TemanTeman
11
Abdurrasyid Abdul Azis Salim, al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Turūq Tadrīsuhā, (Kuwait: Dār al-Buhūş al-Ilmiyyah, 1395 H.), h. 34-35. 12 Hannan Athiyah at-Thuri, op. cit., h. 129.
Munirah
165
Persahabatan adalah faktor penting dalam perkembangan mental anak perempuan dan karakter sosialnya. Ia mempunyai pengaruh yang sangat dalam pada nilai-nilainya, kebiasaan dan perilakunya secara umum. Anak perempuan membutuhkan teman-teman seusianya atau yang sejajar dengan usianya, dimana dia dapat ikut bermain bersama, beraktivitas dan berinteraksi dengan mereka. Dengan jalinan persahabatan dengan teman-temannya ini dia akan berkembang secara mental dan sosial. Sebagai bentuk apresiasi atau urgensi pendidikan bagi sekumpulan teman-teman, segenap eksponen dan pakar pendidikan menyarankan kepada orang tua agar memilihkan teman yang berakhlak mulia dan mempunyai kebiasaan yang baik sebagai teman sepermainan anak-anak mereka. 2. Peran Edukatif dalam Pendidikan Nalar Nalar dalam diri manusia berperan sentral sebagai penentu dibebani atau tidak seseorang dengan suatu kewajiban. Oleh karena itu al-Qur’an pun memerhatikan upaya pengembangan kemampuan nalar dan penyadarannya, sebab kemajuan sains dan kultural manusia ditentukan oleh kedua upaya ini. Pendidikan nalar pada umumnya adalah pengembangan kemampuan penalaran yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat kecenderungan fitrah dan turunan masing-masing orang.13 Setelah memaparkan ulasan singkat tentang pentingnya pendidikan dalam kehidupan anak perempuan. Selanjutnya akan dikemukakan beberapa hal penting untuk menciptakan pendidikan nalar yang benar bagi anak perempuan dan menggemblengnya agar siap menerima berbagai tugas yang bakal dipikulnya di masa depan. Agar pendidikan ini dapat merealisasikan tujuantujuannya maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Sajikan informasi yang sesuai kaidah pertumbuhan dan kemampuan daya tangkap. Sebab jika informasi dan atau cara penyajiannya pada anak di atas kemampuannya, hal itu akan membuatnya tidak dapat memahami informasi tersebut, juga akan menghambat pertumbuhan akalnya dan membuatnya tidak percaya diri (self confidence). b. Jangan biarkan anak begitu saja setelah disuguhi informasi, kecuali jika memang sudah yakin bahwa si anak mampu memahami dan menyerapnya hingga informasi tersebut menjadi jelas di dalam pikirannya. Berlebihlebihan dalam menyuguhkan informasi pada anak akan membuatnya tidak mampu membedakan berbagai informasi dan akan cenderung mencampur adukkannya sehingga lebih lanjut ia pun tidak akan mampu menggunakannya pada tempat semestinya.
13 Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Membangun Keluarga Qur’ani Panduan Untuk Wanita Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 229.
166
Peran Edukatif Orang Tua dalam Pendidikan Emosi dan Nalar Anak Perempuan
c. Gunakan pendekatan kritis, dengan cara menjelaskan berbagai sisi kelebihan dan kekurangan informasi yang disuguhkan sambil mendorong anak untuk melakukan penilaian sendiri. d. Berikan informasi-informasi yang akurat dan dapat dipercaya agar bangunan kebudayaan di dalam pikiran anak bersih sejak awal. Hal itu dapat dilakukan dengan merujuk pada sumber-sumber yang terpercaya. e. Latih anak untuk menerapkan informasi dan menyelesaikan masalah dalam kehidupan empiris. Sebab jika sampai usaha yang telah dicurahkan dalam proses pembelajaran anak tidak menunjukkan hasil dan pengaruhnya dalam kehidupan mereka, usaha tersebut dapat dikatakan sia-sia. f. Dorong anak untuk mencari kebenaran dengan pendekatan objektif agar konsistennya memegang dan mengikuti kebenaran tersebut memiliki fondasi yang kokoh sehingga tidak akan tergoyahkan oleh kerancuan-kerancuan yang disebarkan oleh orang-orang sesat. g. Arahkan dan pusatkan aktivitas penalaran anak dalam kerja-kerja otak secara berkesinambungan. Pengarahan ini harus tunduk pada asas-asas pendidikan. Kaitannya dengan titik ini, sterilkan anak dari kegelisahan, konflik kejiwaan, gangguan akal dan problematika keluarga, serta psikologis lainnya. Juga segala sesuatu yang dapat menjadi penghambat efektivitas akal, aktivitas dan konsentrasinya. Serta segala sesuatu yang bisa menghambat pertumbuhan akal anak secara sehat, meletihkannya, dan mengeliminasi vitalitasnya. Orang tua harus tahu bahwa pendidikan dalam Islam tidak terbatas pada satu disiplin ilmu tertentu maupun satu aspek kehidupan saja, akan tetapi mencakup seluruh disiplin ilmu dan keahlian, entah itu disiplin agama maupun umum (dunia) yang berhubungan dengan kehidupan anak. C. Kesimpulan Memenuhi berbagai kebutuhan emosional merupakan hal penting dalam kehidupan. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, anak perempuan akan sulit beradaptasi dengan dirinya sendiri dan orang lain; karena indikator-indikator tergantung pada sejauh mana tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut. pendidikan nalar merupakan salah satu kewajiban bapak kepada anaknya, karena pendidikan nalar yang membuat anak sejak kecil mempunyai ikatan erat antara dirinya dengan keluarga dan masyarakatnya, kemudian berlanjut antara dirinya dengan penciptanya. Selain itu pendidikan nalar juga menentukan posisinya dan membukakan matanya untuk melihat semua hal yang mengitarinya di dunia yang luas ini.
Munirah
167
DAFTAR PUSTAKA
Abbud, Abdul Ghani. dkk., al-Usrah al-Muslimah wa al-Usrah al-Mu’āsirah. Kairo: Dār al-Fikri al-Arabiy, 1400 H. Ahmad, al-Mabruk Usman. Tarbiyah al-Aulād wa al-Abā’ fi al-Islām. Beirut: Dār al-Qutaibah, 1413 H. al-Jabi, Ahmad Mukhtar. Daur al-Usrah fi Himāyah al-Ahdās min al-Inhirāf wa al-Jarīmah, Majalah al-Arabiyah. Riyadh: t.p., 1410. Al-Jauhari, Mahmud Muhammad. dan Mahmud Muhammad al-Jauhari, Membangun Keluarga Qur’ani Panduan Untuk Wanita Muslimah. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005. al-Jauhari, Mahmud Muhammad. dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Membangun Keluarga Qur’ani Panduan Untuk Wanita Muslimah. Jakarta: Amzah, 2005. Jamaah, Ibnu. Tażkirah al-Sāmi’ wa al-Mutakallim fi Adāb al-‘Ậlim wa alMuta’allim. t.t.: t.p., t.th. Salim, Abdurrasyid Abdul Azis al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Turūq Tadrīsuhā. Kuwait: Dār al-Buhūş al-Ilmiyyah, 1395 H. Suwaid, Muhammad Nūr. Manhaj al-Tarbiyah al-Nabāwiyah li al-Tifl. Beirut: Muassasah al-Rayyan, 1414 H. ath-Thuri, Hannan Athiyah. Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak. Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2007. Ulwan, Abdullah Nasih. Tarbiyah al-Aulād fi al-Islām, (Halb: Darussalam, 1401 H.
168
Peran Edukatif Orang Tua dalam Pendidikan Emosi dan Nalar Anak Perempuan
MENINGKATKAN RANAH KOGNITIF DAN AFEKTIF PESERTA DIDIK MELALUI MODEL JIGSAW PADA MATA PELAJARAN PAI Oleh: Ruwiah Buhungo Abstrak Tujuan setiap pembelajaran adalah mendapatkan hasil belajar yang optimal baik dalam ranah kognitif, juga dalam ranah afektif yang berkaitan dengan nilai dan sikap yang digunakan peserta didik dalam mengikuti proses belajar di sekolah. Nilai dan sikap peserta didik dalam mengikuti proses belajar menunjukkan positif ataupun negatif akan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan proses pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran PAI. Oleh karena itu diperlukan cara atau model pembelajaran yang bisa mengembangkan ranah kognitif dan afektif peserta didik dalam belajar PAI sehingga hasil belajarnya pun bisa lebih optimal. Salah satu cara adalah dengan menggunakan pembelajaran model jigsaw. Melalui penerapan model pembelajaran ini menjadikan peserta didik memiliki ketergantungan positif untuk saling membantu dalam penguasaan dan pemahaman materi pelajaran karena dalam pembelajaran model jigsaw kelompok dibentuk heterogen sehingga dalam setiap kelompok peserta didik yang berkemampuan lebih akan membantu dalam proses pemahaman peserta didik yang berkemampuan rendah dan peserta didik yang berkemampuan sedang akan segera menyesuaikan dalam proses pemahaman materi, sehingga disini selain ketergantungan positif juga terjadi komunikasi antar anggota kelompoknya dan interaksi tatap muka. A. Pendahuluan Salah satu indikator keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari penguasaan subjek belajar terhadap materi yang diajarkan. Pada akhirnya untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik ini, seorang pendidik harus melakukan kegiatan evaluasi terhadap hasil belajar yang telah dilakukannya. Selain untuk memperoleh informasi tingkat kemampuan para peserta didik, kegiatan evaluasi juga dimaksudkan sebagai masukan bagi pendidik untuk memperbaiki metode ataupun strategi pembelajaran yang dilakukannya. Terkait dengan kegiatan evaluasi ini, biasanya ada 3 (tiga) ranah yang kerap dievaluasi, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Secara mudah ranah pertama ini lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan kognitif dari peserta didik, biasanya untuk mengukur kemampuan ini pendidik akan menanyakan tingkat pengetahuan peserta didik tentang materi yang diajarkan Kemampuan kognitif ini banyak dilakukaan saat pendidik ingin mengevaluasi tingkat hapalan hingga kemampuan analisis dan evaluasi subjek didik terhadap materi yang diajarkannya. Kemampuan afektif, lebih menekankan pada sisi afeksi (rasa/sikap) yang dimiliki peserta didik, dan untuk mengukur aspek ini biasanya pertanyaan yang diajukan menghendaki respon yang melibatkan ekspresi, perasaan, nilai-nilai
169
ataupun pendapat pribadi. Ranah afektif tentu saja akan sangat tepat jika pendidik berkeinginan untuk mengukur sikap, nilai-nilai yang dimiliki peserta didik, sebagaimana tuntutan pada materi Pendidikan Agama Islam. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang lebih banyak melibatkan interaksi aktif antar peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru maupun peserta didik dengan lingkungan belajarnya. Peserta didik belajar bersama-sama dan memastikan bahwa setiap anggota kelompok telah benar-benar menguasai materi yang sedang dipelajari. Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari penerapan pembelajaran kooperatif ini yaitu peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang bagus, menerima dengan senang hati karena adanya kontak fisik antar peserta didik, serta dapat mengembangkan kemampuan sosial peserta didik. Terdapat banyak tipe dalam pembelajaran kooperatif salah satunya adalah model jigsaw. Pembelajaran model jigsaw adalah pembelajaran yang fleksibel artinya bisa dimodifikasi dengan metode belajar yang lain. Tujuan setiap pembelajaran adalah mendapatkan hasil belajar yang optimal baik dalam ranah kognitif, juga dalam ranah afektif yang berkaitan dengan nilai dan sikap yang digunakan peserta didik dalam mengikuti proses belajar di sekolah. Nilai dan sikap peserta didik dalam mengikuti proses belajar menunjukkan positif ataupun negatif akan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan proses pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan cara atau model pembelajaran yang bisa mengembangkan ranah kognitif dan afektif peserta didik dalam belajar sehingga hasil belajarnya pun bisa lebih optimal. B. Pengertian Ranah Kognitif Ranah kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam kawasan kognisi. Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan sejak dari penerimaan stimulus eksternal oleh sensori, penyimpanan dan pengolahan dalam bentuk otak menjadi informasi hingga pemanggilan kembali informasi ketika diperlukan untuk menyelesaikan masalah.1 Ranah kognitif meliputi variabel-variabel berikut: 1) tingkatan hafalan, mencakup kemampuan menghafal verbal materi pelajaran berupa fakta, konsep, prinsip dan prosedur; 2) tingkatan pemahaman, meliputi kemampuan membandingkan (menunjukkan persamaan dan perbedaan), mengidentifikasi karakteristik, generalisasi, dan menyimpulkan; 3) tingkatan aplikasi, mencakup kemampuan menerapkan rumus, dalil atau prinsip terhadap kasus-kasus nyata yang terjadi di lapangan; 4) tingkatan analisis meliputi kemampuan mengklasifikasi, menggolongkan, memerinci, mengurai suatu objek: 5) tingkatan sintesis meliputi kemampuan memadukan berbagai unsur atau komponen, menyusun, membentuk, mengarang, menggambar dan sebagainya: 6) 1
170
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.50
Meningkatkan Ranah Kognitif dan Afektif Peserta Didik
tingkatan evaluasi/penilaian mencakup kemampuan menilai terhadap objek studi dengan menggunakan kriteria tertentu.2 Bloom membagi tingkat kemampuan atau tipe hasil belajar yang termasuk ranah kognitif menjadi 6 (enam), yaitu: pengetahuan hafalan, pemahaman atau komprehensi, penerapan aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.3 a. Pengetahuan hafalan Pengetahuan hafalan atau yang dikatakan Bloom dengan istilah ”knowledge” ialah tingkat kemampuan yang hanya meminta responden atau testee untuk mengenal atau mengetahui adanya konsep, fakta, atau istilah-istilah tanpa harus mengerti, atau dapat menilai, atau dapat menggunakannya. Dalam hal ini testee biasanya hanya dituntut untuk menyebutkan kembali (recall) atau menghafal saja.4 Tipe pengetahuan hapalan termasuk tingkat yang paling rendah meskipun demikian, pengetahuan yang lebih tinggi. Disesuaikan dengan perkembangan tingkat kemampuan berpikir peserta didik.5 b. Pemahaman Pemahaman atau komprehensi adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan testee mampu memahami arti atau konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini testee tidak hanya hafal secara verbalistis, tetapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang ditanyakan. Secara hierarkis, hasil belajar pemahaman ini dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) pemahaman tingkat rendah adalah pemahaman penerjemahan, yaitu mulai dari penerjemahan dalam arti yang sebenarnya, mengartikan slogan, mengartikan lambing, sampai menerapkan prinsip-prinsip tertentu, 2) tingkat madya adalah pemahaman penafsiran, yaitu mulai dari menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok, menghubungkan pengetahuan tentang subjek, predikat, dan objek sehingga dapat mengetahui perbedaan kalimat aktif dan pasif, dan 3) pemahaman tingkat tinggi adalah pemahaman ekstrapolasi, yaitu kemampuan melihat dibalik yang tertulis/tersurat, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi dari suatu kejadian, atau dapat memperluas persepsi terkait dengan waktu, dimensi, kasus.6 c. Penerapan aplikasi
2
Arifin, Zainal, Evaluasi Pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur), (Bandung: Remaja Rosdakarya offset, 2009), h.184 3 Purwanto, Ngalim. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.43 4 Ibid.,h.44 5 Ibid.,h.44 6 Muslich, Masnur. op.cit.,h.41
Ruwiah Buhungo
171
Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi konkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori atau petunjuk teknis. Kuncinya suatu situasi akan tetap dilihat sebagai situasi baru bila tetap terjadi proses pemecahan masalah. Kecuali itu ada satu unsure lagi yang perlu masuk, yaitu sesuatu yang umum sifatnya untuk diterapkan pada situasi khusus. d. Analisis Ranah kognitif setingkat lebih tinggi dari aplikasi adalah analisis. Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjasi unsure-unsur atau bagian-bagian yang tetap terpadu. Yang dianalisis bisa menyangkut sistematika, proses, atau acara kerja suatu kegiatan. Bila kecakapan analisis telah dapat berkembang pada seseorang, maka ia akan dapat mengaplikasikannya pada situasi baru secara kreatif.7 e. Sintesis Berpikir sintesis merupakan salah satu terminal untuk menjadikan orang lebih kreatif, dan berpikir kreatif inilah yang hendak dicapai dalam pendidikan. Seseorang yang kreatif sering menemukan atau menciptakan sesuatu. Kreativitas ini berseiring dengan cara berpikir divergen atau sintesis. Dengan kemampuan sintesis, orang mungkin menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu, atau menemukan abstraksinya atau operasionalnya. Dengan kreativitasnya ia akan dapat mengembangkan kreativitasnya.8 f.
Evaluasi Jenis ranah kognitif adalah evaluasi. Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dikaitkan dengan tujuan, gagasan, cara kerja, solusi, metode, materi, dan sebagainya. Dilihat dari segi tersebut maka dalam evaluasi perlu adanya suatu kriteria atau standar tertentu. Oleh karena itu, kemampuan memberikan evaluasi tentang kebijakan mengenai kesempatan belajar, kesempatan kerja, dapat mengembangkan partisipasi serta tanggung jawabnya sebagai warga negara patut pada diri setiap orang. Yang perlu dipahami adalah pengembangan kemampuan evaluasi yang dilandassi pemahaman, aplikasi, analisis dan sintesis akan mempertinggi mutu evaluasi.9 Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu: pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rebdah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. 7
ibid.,h.43 ibid.,h.43 9 ibid.,h.45 8
172
Meningkatkan Ranah Kognitif dan Afektif Peserta Didik
C. Pengertian Ranah Afektif Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif. Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization. 10 a. Tingkat receiving Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.11 b. Tingkat responding Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya. c. Tingkat valuing Valuing melibatkan penentuan nilai,keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara
10 11
Muslich, Masnur. op.cit.,h.41 ibid.,h.42
Ruwiah Buhungo
173
jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi. d. Tingkat organization Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup. e. Tingkat characterization Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial. Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan. Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.12 a. Sikap Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan. Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya PAI, harus lebih positif setelah 12
174
ibid.,h.43-44
Meningkatkan Ranah Kognitif dan Afektif Peserta Didik
peserta didik mengikuti pembelajaran PAI dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif. b. Minat Minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi. Siswa akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki minat yang tinggi. Dengan kata lain seorang siswa akan belajar baik apabila ada faktor pendorongnya, sehingga guru dituntut memiliki kemampuan membangkitkan minat belajar siswanya sehingga dapat mencapai tujuan belajar.13 Penilaian minat dapat digunakan untuk: 1) mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran, 2) mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya, 3) pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik, 4) menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas, 5) mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama, 6) acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi, 7) mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik, 8) bahan pertimbangan menentukan program sekolah, 9) meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Terdapat juga fungsi-fungsi lain dari minat belajar yaitu: ”Sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi, seseorang melakukan uatu usaha karena adanya motivasi atau minat yang kuat”. Memperhatikan pendapat ini, maka dapat dipahami fungsi minat belajar sangat memegang peranan penting dalam meningkatkan prestasi belajar, karena dapat mendorong, menentukan dan menyeleksi segala perbuatan belajar yang dilakukan oleh siswa.14 c. Konsep Diri Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif 13
Mulyana. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Konsep, Karakteristik, dan Implementasi). (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), h.115 14 Prasetia Irawan. Teori Belajar dan Motivasi. (Jakarta: Depdikbud, 2001), h.13
Ruwiah Buhungo
175
atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat. d.
Nilai Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat. e. Moral Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya: menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang. Ranah afektif lain yang penting adalah: 1) kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain; 2) Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik; 3) Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan; 4) Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang. Jika melihat tahapan ranah afektif, maka nampaknya untuk mengukur ranah afektif memang memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Hal ini disebabkan, ranah afektif bukan hanya sekadar mementingkan penguasaan materi kognisi ataupun keterampilan, lebih dari itu pengukuran afektif menginginkan terinternalisasinya nilai-nilai yang telah diajarkan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Dengan sendirinya untuk menilai sisi afektif peserta didik, maka yang harus dilakukan guru adalah dengan mengikuti proses anak itu sendiri secara individual.
176
Meningkatkan Ranah Kognitif dan Afektif Peserta Didik
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan ranah afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. E. Meningkatkan Ranah Kognitif dan Afektif Melalui Model Jigsaw Pada Mata Pelajaran PAI Secara etimologi Jigsaw berasal dari bahasa inggris yaitu gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah Fuzzle, yaitu sebuah teka teki yang menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model jigsaw ini juga mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (jigsaw), yaitu peserta didik melakukan sesuatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan peserta didik lain untuk mencapai tujuan bersama.15 Model pembelajaran kooperatif jigsaw (Model tim ahli) dikemukakan oleh Aronson, Blanney, dan Stephen, Sikes dan Snapp, tahun 1978. Pembelajaran kooperatif teknik Jigsaw adalah suatu pembelajaran kooperatif dimana dalam proses pembelajaran setiap peserta didik dalam kelompok disilang dan memperoleh tugas yang berbeda. Anggota kelompok yang memperoleh tugas sama dikumpulkan jadi satu dan mempahas tugas tersebut (kelompok kooperatif). Tiap anggota setelah selesai mengerjakan harus kembali kekelompok semula untuk menyampaikan hasil pembahasan (ahli informasi), sehingga kelompok pembahas kembali kekelompok semula dengan membawa berbagai informasi permasalahan yang berbeda untuk menyampaikan kepada teman sejawat dalam kelompok.16 Model jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja kelompok peserta didik dalam bentuk kelompok kecil. Pembelajaran model jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara peserta didik belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai dengan enam orang secara heterogen dan peserta didik bekerja sama salaing ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Dalam model pembelajaran jigsaw ini peserta didik memiliki banyak kesempatan untuk mengemukanakan pendapat, dan mengelolah imformasi yang didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya. 15
Lie, Anita. Cooperatif Learning. (Jakarta: Grasindo, 2002), h.28 Djafar, Saifudin. Model Jigsaw. (http://mrjafar.files.wordpress.com/ 2008/10/model-pembelajaran-jigsaw1.pdf. Diakses: 9 Desember 2011), h.1 16
Ruwiah Buhungo
177
Metode jigsaw merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang menitikberatkan pada pengelompokkan peserta didik dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda ke dalam kelompok-kelompok kecil. Kepada peserta didik diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerjasama dengan baik dalam kelompoknya, seperti: menjelaskan kepada teman sekelompoknya, menghargai pendapat teman, berdiskusi dengan teratur, peserta didik yang pandai membantu yang lebih lemah dan sebagainya.17 Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997): Kelompok Asal
Kelompok Ahli Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw Adapun langkah-langkah pembelajaran model jiqsaw dalam meningkatkan ranah kognitif dan afektif peserta didik pada mata pelajaran PAI adalah sebagai berikut. a. Peserta didik dibagi dalam kelompok kecil 3-5 orang peserta didik b. Setiap anggota kelompok diberi tugas yang berbeda. c. Tiap peserta didik dalam kelompok membaca bagian tugas yang diperolehnya. d. Guru memerintahkan peserta didik yang mendapat tugas yang sama berkumpul membentuk kelompok baru (Kelompok Ahli) untuk mendiskusikan tugas tersebut. 17
178
Lie, Anita. op.cit, h.28
Meningkatkan Ranah Kognitif dan Afektif Peserta Didik
e. Setiap peserta didik pada kelompok-kelompok baru mencatat hasil diskusinya untuk dilaporkan pada kelompok semula (kelompok lama). f. Selesai diskusi dengan tim ahli, masing-masing kembali kekelompok asal (semula) untuk menyampaikan hasil diskusi ke anggota kelompok asal dan secara bergilir atau bergantian dari tim ahli yang berbeda tugasnya. g. Setelah seluruh peserta didik selesai melaporkan, guru menunjuk salah satu kelompok untuk menyampaikan hasilnya, dan peserta didik lain diberi kesempatan untuk menanggapinya. h. Guru dapat mengklarifikasi persamaan serta disimpulkan. F. Penutup Penggunaan model jigsaw menganut system gotong-royong yang dapat mencegah timbulnya agresivitas dalam system kompetisi dan keterasingan dalam system individu. Pembelajaran model ini ternyata mampu menciptakan norma-norma yang mendukung akademik di kalangan peserta didik yang mempunyai dampak terhadap kemampuan belajar peserta didik. Agar model pembelajaran jigsaw dapat berjalan dengan baik dalam meningkatkan ranah kognitif dan afektif pada mata pelajaran PAI, maka disarankan kepada guru untuk mempersiapkan terlebih dahulu langkah-langkah kerja secara jelas dikelompok ahli maupun dikelompok asal. Saat kegiatan pembelajaran menggunakan model jigsaw, guru perlu mengamati kegiatan peserta didik, agar kesulitan yang dialami peserta didik dapat segera diketahui dan memberikan pengarahan seperlunya manakala menemui kelompok yang mengalami kesulitan menyelesaikan masalah yanh dipelajarinya.
Ruwiah Buhungo
179
DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid, Dian Andayani. 2006. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur), Bandung: Remaja Rosdakarya offset Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran PAI Sekolah Dasar, Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud . 2005. Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Depdikbud Djafar, Saifudin. Model Jigsaw. (http://mrjafar.files.wordpress.com/2008/10/ model- pembelajaran-jigsaw1.pdf. Diakses: 9 Desember 2011 Lie, Anita. 2002. Cooperatif Learning. Jakarta: Grasindo Lynne Hill. 2008. Pembelajaran Yang Baik. Jakarta: Bulettin PGRI Kuningan Mulyana. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Konsep, Karakteristik, dan Implementasi). Bandung: Remaja Rosda Karya Muslich, Masnur. 2010. Authentic Assesment: Penilaian Berbasis Kelas dan Kompetensi. Bandung: Refika Aditama Prasetia Irawan. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: Depdikbud Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Purwanto, Ngalim. 2004. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya
180
Meningkatkan Ranah Kognitif dan Afektif Peserta Didik
PERKEMBANGAN EMOSI ANAK YANG JAUH DARI ORANGTUA (IBU) Oleh: Sitriah Salim Utina Abstrak Kesempatan pertama bagi anak untuk mengenal dunianya adalah dalam keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Keluarga adalah peletak dasar bagi perkembangan anak secara keseluruhannya, termasuk perkembangan emosinya. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang utuh akan berbeda emosinya dengan anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh sekalipun bukan dalam bentuk perpecahan keluarga. Terutama anak yang jauh dari ibunya. Ketiadaan ibu dalam jangka waktu cukup lama akan menyebabkan sang anak menderita serta menolak dan menganggap asing ibunya. Ketidaksenangan lantaran ditinggal pergi sang ibu dalam waktu cukup lama, umumnya diperlihatkan sang anak dengan bersikap egois, menolak kehadiran sang ibu, menghindar ketika hendak dipangkunya, dan enggan tersenyum padanya. Kehidupan emosional anak yang kehilangan ibunya niscaya akan terguncang hebat. Dalam keadaan demikian ia bukan hanya kehilangan orang yang paling mulia yang menjadi sandarannya, namun juga kehilangan dinding pengaman yang menjadi tempat berlindung siang dan malam. Kata Kunci : Anak, perkembangan emosi, ibu, perpisahan.
A. Pendahuluan Anak adalah buah hati yang selalu didamba, curahan kasih sayang dan pelipur lara. Anak juga merupakan harapan bagi kedua orangtuanya. Anak bukan hanya sekedar makhluk kecil yang membutuhkan bantuan oranglain, namun lebih dari itu, anak juga merupakan amanah yang harus kita jaga, kita didik dan di berikan kasih sayang sesuai dengan hak-haknya. Anak merupakan amanah Allah yang tak terhingga nilainya bagi orangtua. Anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar mereka kelak mampu memilkul tanggungjawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial maupun spritual1. Sejak dalam kandungan, perkembangan anak akan dipengaruhi oleh keluarga terdekatnya, dalam hal ini adalah kedua orangtuanya. Anak akan dapat tumbuh kembang dengan sempurna apabila ayah ibunya mengetahui bagaimana mendidik anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Anak adalah sosok individu yang menjalani proses perkembangan yang pesat, bagi kehidupan selanjutnya. Perkembangan anak merupakan proses perubahan perilaku dari tidak matang menjadi matang, dari sederhana menjadi kompleks. Anak memiliki dunianya sendiri yang khas, yang ber1
Abu Huraerah, Child Abuse, (Bandung: Nuansa, 2007), hal.11
181
beda dengan dunia orang dewasa sebuah tempat mereka menunbuhkembangkan kualitas kepribadian dan kecerdasan emosional serta ketrampilan hidup yang sangat penting kelak ketika mereka dewasa. Masa kanak-kanak sering juga di sebut masa-masa keemasan atau masa pembentukan kecerdasan emosi anak, masa inilah yang harus dimanfaatkan orangtua dengan optimal, dimana mereka akan belajar nilai-nilai, belajar dari orang-orang terdekat disekitar mereka, dan masa ini anak sangat peka untuk mendapatkan rangsangan-rangsangan baik yang berkaitan dengan fisik motorik, intelektual, sosial, bahasa, dan emosional. Satu bagian dari tahap perkembangan anak adalah perkembangan kecerdasan emosi, anak dapat melipatgandakan kecerdasan emosinya melalui latihan-latihan, salah satu bentuk latihan untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak adalah melalui interaksi antara orangtua dengan anak dalam bentuk pengasuhan. Anak yang mendapatkan stimulasi perkembangan kecerdasan emosinya akan tumbuh menjadi anak yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik. Dengan begitu, maka sikap dan perilaku anak akan berkembang dengan baik menuju kearah perkembangan yang positif2. Kesempatan pertama bagi anak untuk mengenal dunianya adalah dalam keluarga. Oleh karena itu orangtua harus dapat memberikan dasar yang baik bagi anak-anaknya, agar anak dapat berkembang dengan optimal. Sementara itu, teladan ayah dan ibu dirumah, menjadi pelajaran yang berharga bagi anak, dari merekalah anak dapat melipatgandakan kecerdasan emosinya. Untuk melatih kecerdasan emosi anak, kuncinya ada pada orangtua. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dalam pendidikan emosinya. B.
Pembahasan Emosi adalah merupakan satu reaksi kompleks yang mengait satu tingkat tinggi kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam, serta dibarengi perasaan yang kuat, atau disertai keadaan afektif. Emosi juga dapat dirumuskan sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku3. Perkembangan emosi anak akan berkembang dengan baik apabila ia tumbuh dalam keluarga yang sempurna. Keluarga adalah peletak dasar bagi perkembangan anak secara keseluruhannya, termasuk perkembangan emosinya. Keluarga adalah satuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial. Hal itu didasarkan atas kenyataan, bahwa sebuah keluarga adalah sebagai satuan kekerabatan yang 2
Umi Fahridah, http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/p/index/assoc/HASHe9b9.dir/doc.pdf, 2006. Diakses tanggal 5 Mei 2010. 3 J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal.163.
182
Perkembangan Emosi Anak Yang Jauh Dari Orangtua (Ibu)
juga merupakan satuan tempat tinggal, yang ditandai adanya kerjasama antara anggota keluarga, dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak, berkomunikasi, saling mempengaruhi, meneladani, mendidik berbahasa, bersikap dan berperilaku, menanamkan nilai-nilai kesopanan4. a. Kehilangan Sosok Ibu Anak yang tumbuh dalam keluarga yang utuh akan berbeda emosinya dengan anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh sekalipun bukan dalam bentuk perpecahan keluarga. Terutama anak yang jauh dari ibunya. Kehidupan emosional anak yang kehilangan ibunya niscaya akan terguncang hebat. Dalam keadaan demikian ia bukan hanya kehilangan orang yang paling mulia yang menjadi sandarannya, namun juga kehilangan dinding pengaman yang menjadi tempat berlindung siang dan malam. Sosok ibu adalah pembimbing sekaligus kawan karib bagi anakanaknya. Ya, baginya, sosok ibu merupakan sumber mata air cinta,; selalu menolongnya ketika ditimpa bencana dan membantunya menghadapi pelbagai kesulitan hidup. Kehilangan ibu sama artinya dengan kehilangan sebagian besar keaku-an sang anak. Seorang anak akan merasa kehilangan ibunya, baik karena bepergian, perceraian, kepindahan, maupun kematian. Dalam keadaan apapun, kehilangan sosok ibu akan menghambat perkembangan emosional sang anak yang tak terperikan5. Seorang anak harus hidup bersama ibunya minimal sampai ia menamatkan pendidikan dasarnya. Keharusan ini dilandasi sejumlah alasan. Antara lain, pentingnya proses pendidikan, mengingat sosok ibu merupakan arsitek pembinaan kepribadian, emosi, dan moral anak-anak yang terbentuk dan sempurna sejak awalnya. Seorang anak kecil tentu tidak dapat dipisahkan dari ibunya, karena ia tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya, kecuali hanya sedikit saja. Selain itu ia tidak mampu menerima curahan perasaan oranglain yang masih asing baginya. Seorang anak akan menganggap kehidupan tanpa pendamping (lantaran berpisah dengan ibunya) tak ubahnya kehidupan yang diselimuti kegelapan. Dengan itu, ia akan merasa tersiksa dan terus dirundung kegelisahan. Seorang anak yang hidup jauh dari ibunya akan senantiasa bersedih dan sulit tertawa. Jika perpisahan tersebut berlangsung lama, ia akan kehilangan nafsu makan, kulitnya menjadi pucat, mengalami guncangan jiwa, sering terbangun secara tiba-tiba dari tidurnya di malam hari, dan gemar memprotes. Apabila memang terpaksa harus berpisah dengan anaknya, seorang ibu harus menentramkan sang anak dengan 4
Hasan Tholhah, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Keluarga, (Jakarta:Mitra Abadi Press, 2009), hal.v 5 Qaimi Ali, Buaian Ibu Diantara Surga dan Neraka, (Bogor: Cahaya, 2002), hal. 293.
Sitriah Salim Utina
183
mengatakan bahwa dirinya akan segera kembali untuk menjenguk. Adalah keliru jika kita mengaggap bahwasanya seorang anak kecil tidak mampu membedakan ibunya dengan orang lain serta sanggup memikul derita perpisahan dengan sang ibu. Perpisahan dengan ibu akan mempengaruhi tindakan dan kejiwaan sang anak. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa sebagian anak yang berpisah dari ibunya cenderung egois, berkepribadian labil, tidak mampu mengendalikan emosi, tidak mau bertanggungjawab, dan sulit bergaul dengan anggota masyarakat lainnya. Sebagian anak lainnya cenderung bersikap sewenang-wenang, mencoba lari dari rumah, merasa kekurangan kasih sayang, dan jiwanya tidak pernah tentram6. Semakin lama seorang anak ditinggal ibunya, semakin besar dan semakin banyak pula pengaruh buruk yang akan menimpa dirinya. Keadaan seperti perasaan terasing, menolak kehadiran ibu, dan ketidakpedulian akan segera menguasai dirinya. Pada akhirnya sang anak akan menolak dan menghapus kerinduan dalam hatinya terhadap sang ibu. Berikut ini contoh kasus yang terjadi pada diri penulis. Faiz adalah seorang anak laki-laki yang manis dan lucu. Faiz memiliki 2 orang kakak perempuan, dan ia anak bungsu dari 3 bersaudara. Pada usia 2,3 tahun ia harus berpisah dari ibunya, karena sang ibu harus melanjutkan sekolah di luar daerah. Faiz kecil pada waktu itu belum memahami dengan benar apa arti perpisahan. Bersama ayah dan kedua kakaknya ia harus melihat kepergian sang ibu. Faiz tidak menangis namun ia hanya diam dan bungkam. Kalau ditanya tentang ibunya ia hanya mengatakan bahwa ibunya pergi. Lima bulan berlalu, ibunya pulang. Reaksi Faiz saat itu adalah memandang ibunya dengan pandangan asing, dan tidak bereaksi apapun. Ketika ibunya menggendongnya ia hanya diam sambil terus memandang wajah ibunya. Beberapa saat lamanya barulah Faiz mengenali wajah ibunya. Yang terjadi kemudian Faiz selalu berusaha untuk bersama ibunya dan tidak mengijinkan ibunya jauh dari pandangannya walaupun hanya sedetik. Bahkan untuk sekedar mandi atau sholat, sang ibu harus berupaya agar punya waktu untuk melakukannya dengan cara mengalihkan perhatian Faiz darinya. Tiga minggu kemudian sang ibu harus balik lagi ke kota tempat ia menuntut ilmu. Faiz kembali hanya memandang kepergian ibunya dalam diam. Seperti ada pertanyaaan dalam dirinya kenapa ibunya harus pergi lagi meninggalkan dirinya. Yang terjadi berikutnya adalah setiap kali ibunya menelponnya ia tidak mau bicara, begitu juga dengan kakak-kakaknya. Mereka protes dengan cara kanak-kanak mereka. Faiz tumbuh menjadi anak yang agresif, dan semua keinginannya harus dipenuhi, dan egois. Dalam menunjukkan emosinya,
6
184
Ibid, hal.295
Perkembangan Emosi Anak Yang Jauh Dari Orangtua (Ibu)
Faiz suka melempar apa yang ada di tangannya dan membanting tubuhnya. Sumber : Pengalaman/ceritera pribadi Perpisahan dengan ibu yang terjadi berulang kali akan menumpulkan perasaan dan kepekaan sang anak. Menurut DR. Ali Qaimi, faktor-faktor yang akan menimbulkan pengaruh yang sangat berbahaya bagi kepribadian seorang anak yang ditinggal ibunya, antara lain7: 1. Lamanya perpisahan. Semakin lama seorang anak berpisah dengan ibunya, semakin buruk pula pengaruh yang ditimbulkannya. 2. Usia anak ketika berpisah. Semakin muda usia sang anak, semakin besar pula pengaruh perpisahan itu baginya. 3. Kondisi anak pada saat perpisahan. Kondisi anak yang tidak prima sewaktu berpisah dengan ibunya akan menimbulkan pelbagai akibat yang sangat buruk. 4. Tipe pengasuh. Seorang pengasuh yang tidak toleran dan tidak memiliki belas kasih akan memberikan pengaruh buruk pada anak. 5. Pemenuhan tuntutannya. Pemberian makanan dan perlakuan yang tidak sesuai akan berakibat buruk bagi pendidikan sang anak. Adakalanya seorang anak menangis sewaktu ditinggal ibunya. Dalam hal ini, seseorang harus berusaha menghentikan tangisnya. Hibur, bimbing, dan tenangkanlah setahap demi setahap agar dirinya mau berhenti menangis. Bukan hanya perpisahan dalam waktu lama yang akan menimbulkan kegelisahan. Perpisahan sementarapun akan berakibat sama. Misalnya, muncul berbagai keresahan dalam diri sang anak yang menyebabkan dirinya selalu tidur gelisah, kehilangan nafsu makan, berperilaku menyimpang, melanggar kedisiplinan, dan suka menentang. Ibu harus berbicara dan meyakinkan anaknya bahwa dirinya akan segera kembali. Kalau terpaksa harus bepergian jauh, kaum ibu harus memberitahukan sang anak. Hendaknya kaum ibu jangan meninggalkan anaknya bila sang anak masih berusia 2 tahun, karena anak yang berusia 2 dan 3 tahun tidak dapat berada jauh dari ibunya. Seorang anak yang belum berusia tiga tahun tidak dapat ditinggalkan walaupun hanya dalam sehari. Di usia ini, ia menggantungkan hidupnya secara penuh kepada sang ibu. Seorang anak dapat ditinggal sehari atau 2 hari setelah mencapai usia 3 atau 4 tahun. Ketika mencapai usia 6 tahun, seorang anak dapat ditinggalkan selama beberapa minggu tanpa merasa menderita. Pada saat itu, kehidupan dunianya telah terpuaskan. Pada usia ini, sang anak mulai mengayunkan langkah pertamanya menuju tahap kemandirian hidup. Semakin bertambah usia seorang anak, semakin besar pula kesiapan dirinya untuk ditinggal pergi. Ketiadaan ibu dalam jangka waktu cukup lama akan menyebabkan sang anak menderita serta menolak dan menganggap asing ibunya. 7
Ibid, hal.296-297
Sitriah Salim Utina
185
Ketidaksenangan lantaran ditinggal pergi sang ibu dalam waktu cukup lama, umumnya diperlihatkan sang anak dengan bersikap egois, menolak kehadiran sang ibu, menghindar ketika hendak dipangkunya, enggan tersenyum padanya, dan lain-lain. Masalah ini tentu berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan kematangan berpikirnya. Semakin matang dan jelas pemikirannya, semakin dirinya mampu menanggung derita lantaran ditinggal pergi. Bagaimanapun, seorang anak harus diyakinkan bahwa sang ibu tetap mencintai, memikirkan, dan menginginkan dirinya, sekalipun tidak berada di sampingnya. C. Kesimpulan Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang melibatkan perpaduan antara gejolak fisiologis dan perilaku yang terlihat8. Perkembangan emosi anak akan berkembang dengan baik apabila ia tumbuh dalam keluarga yang sempurna. Keluarga adalah peletak dasar bagi perkembangan anak secara keseluruhannya, termasuk perkembangan emosinya. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang utuh akan berbeda emosinya dengan anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh sekalipun bukan dalam bentuk perpecahan keluarga. Terutama anak yang jauh dari ibunya. Anak yang jauh dari ibunya dalam tempo yang lama akan mengakibatkan anak tumbuh menjadi pribadi yang egois, agresif, atau sensitif. Apabila anak terpaksa ditinggalkan dalam tempo yang lama , maka hendaknya sang ibu dan seluruh keluarga meminimalisir efek yang akan terjadi. Anak hendaknya di beri kasih sayang dan perhatian yang cukup, agar anak merasa tidak terlalu kehilangan. Komunikasi dengan anak hendaknya dijalin dengan baik, agar anak memahami bahwa sekalipun jauh sang ibu tetap memperhatikan, menyayangi, dan mencintai dirinya. DAFTAR PUSTAKA Chaplin, J.P, 2006, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, RajaGrafindo Persada Hasan Tholhah, 2009, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Keluarga, Jakarta Selatan, Mitra Abadi Press Huraerah Abu, 2007, Child Abuse, Edisi Revisi, Bandung, Nuansa Mansur, DR, 2007, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Umi Faridah, 2006, Emosi Anak Usia 3 Tahun, http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/p/index/assoc/HASHe9b9.dir/doc.p df, 2006). Qaimi Ali, DR, 2002, Buaian Ibu Diantara Surga dan Neraka, Bogor, Cahaya 8 DR. Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 56.
186
Perkembangan Emosi Anak Yang Jauh Dari Orangtua (Ibu)
EFEKTIFKAH PENDIDIKAN KITA? Oleh: Yanty K Manoppo Abstrak Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tentang efektivitas pendidikan di Indonesia. Pertanyaan ini berangkat dari fenomena-fenomena kemanusiaan dalam hal ini kemorosotan moral yang datang silih berganti terpampang di depan mata yang dipertontonkan oleh kaum elit dan para pemimpin di negeri ini. Salah satu hal yang perlu dipertanyakan sebagai penyumbang terbesar terhadap permasalahan ini adalah sistem pendidikan nasional yang tidak mampu mengarahkan budaya-budaya negative yang telah berurat berakar. Sebagai perbandingan, di akhir ulasan, dikemukakan bagaimana sistem pendidikan Jepang mampu menciptakan masyarakat yang berkarakter. Kata Kunci: Sistem Pendidikan Nasional
A. Pendahuluan Saat ini bangsa kita sedang mengalami apa yang dinamakan devaluasi1 nilai dan moralitas yang terpuruk. Sebut saja beberapa kasus korupsi besar yang sampai saat ini belum terselesaikan. Kasus Gayus, Nazarudin, Nunun Nurbaeti dan masih banyak nama nama di belakang mereka yang terjerat kasus ‘uang’, yang katanya justru banyak penguasa negeri ini berada dibalik kasus-kasus tersebut. Belum lagi banyak penyimpangan moral di mana mana, kasus asusila, pembunuhan sadis, pengeboman, bakar diri dan terbaru pelanggaran hak asasi manusia di Lampung dan Sumatera Selatan. Sungguh sakit negeri ini. Berdasarkan fenomena tersebut di atas, penulis tertarik untuk mempertanyakan, di mana peran pendidikan kita? Apakah pendidikan hanya menghasilkan manusia bermentalitas tidak jujur dan tidak manusiawi? B. Pembahasan Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. hal ini sebagaimana diungkap Dan ternyata kurikulum tidak bisa mengakomodir kebutuhan anak dalam pendidikan. Pendidikan sebagai media kultural untuk membentuk manusia, atau media memanusiakan manusia ternyata perlu ditinjau kembali. Sekolah semestinya adalah tempat di mana anak-anak menemukan kejujuran, kesederhanaan dan sikap egaliter. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya, belajar saling mengasihi, belajar saling membagi. Di sana anak-anak memperoleh perlindu1 Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing. Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah (http://id.wikipedia.org/wiki/Devaluasi), tapi dalam tulisan ini, devaluasi digunakan dalam istilah nilai moral yang artinya sama yaitu menurun.
187
ngan dari penipuan, kebohongan, kedustaan, di sana mereka belajar tentang demokrasi, kejujuran, kebebasan berbependapat, cinta kasih. Pokoknya sekolah adalah tempat memanusiakan manusia yang berkarakter mulia dan berbudi luhur. Sekarang yang terjadi, proses pendidikan tidak ubahnya sebagai penjara sosial. Di mana proses yang terjadi di kelas adalah pemasungan kreativitas anak didik dan karenanya pendidikan tidak pernah melahirkan manusia yang kritis dan cerdas, serta bermoral. Apa yang telah dikemukakan di atas sebenarnya hanya sebagian kecil dampak dari sistem dan model pendidikan yang lebih bersifat kodian atau belum tuntas, artinya masih kurang memberi perhatian kepada pengembangan individualitas yang jujur, bermoral dan kerja keras. Hampir seluruh kegiatan di sekolah belum banyak usaha nyata untuk menumbuhkan minat siswa untuk cinta kepada kerja keras, cinta kepada kejujuran, cinta kesederhanaan, kepedulian terhadap orang lain. Mentalitas jalan pintas menjadi sebuah pilihan, rupanya tidak sejalan dengan budaya bangsa kita. Di kalangan siswa budaya ini cukup tumbuh subur, seperti budaya nyontek, budaya plagiat. Yang lebih memprihatinkan adalah proses pendidikan yang lebih mengutamakan bagaimana anak bisa lulus dalam Ujian Nasional tanpa memperhatikan proses pembentukan moral dan etika hidup. Dan alangkah parahnya, lagi-lagi konsep kejujuran yang seharusnya diperlihatkan oleh pendidik justru hancur dengan kecurangan pada saat Ujian Nasional yang dilakukan oleh oknum pengawas ujian yang notabene adalah guru (pendididik). Melihat realitas di atas, sekolah hendaknya melakukan reorientasi pendidikan menuju kepada pengembangan individualitas dan menempatkan nilai humanitas pada spektrum yang paling utama. Coba kita buka lembaran masa lalu tentang proses pendidikan, di mana cara mendidik yang diterapkan adalah cara mendidik kapitalis. Di mana anak dituntut harus bisa mengetahui berbagai ilmu dengan cara menghapal. Kita ambil contoh, mengajar Matematika, dulu ketika siswa tidak dapat menghapal perkalian maka si anak dihukum dengan berdiri di depan kelas atau berdiri di atas kursi sampai berdiri di atas meja sekalipun. Apa yang terjadi kemudian, memang si anak terjadi perubahan dengan hukuman seperti itu dengan bisa menghafal sebagaimana yang dikehendaki gurunya. Tapi secara psikis apakah cara itu bisa membuat anak merasa dihargai sebagai manusia? Apalagi sebagai anak yang sedang berkembang baik fisik maupun mental.Yang ada, anak terbentuk menjadi manusia pendendam.Tumbuh dalam dirinya sifat egois, ingin menang sendiri, ingin berkuasa, merasa dirinya hebat dan selalu ingin memaksakan kehendaknya, dan hasilnya bisa kita lihat sekarang. Korupsi di mana-mana, pembunuhan, bahkan anak membunuh orang tua dan sebaliknya orang tua membunuh anaknya yang belum berdaya, perampokan, pemerkosaan dan masih banyak lagi kejahatan moral. Bukankah ini hasil pendidikan masa lalu. Sebenarnya apa yang perlu kita ubah dalam system pendidikan kita?
188
Efektifkah Pendidikan Kita?
Perilaku kekerasan akademis seperti ini banyak terjadi dalam lingkup pendidikan, mulai dari lingkup sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dengan kadar pelanggaran yang berbeda. Pada masa kini dalam lingkup akademik perilaku kekerasan dipandang sebagai perilaku negatif dan tidak terpuji. Mengecilkan arti anak sebagai manusia yang perlu dihargai sebagai pribadi manusia. Pendidikan yang dikatakan media kultural untuk membentuk “manusia’berubah fungsi menjadi penjara psykis bagi manusia itu sendiri. Paling tidak, ada beberapa hal yang menurut penulis,merupakan penyebab kemerosotan hasil pendidikan kita: 1. Materi pelajaran sekolah yang monoton. Siswa diberikan banyak materi tetapi kurang dalam pengembangan kreatifitas baik dalam bentuk pengembangan ide dan gagasan serta penanaman moral dan etika.Alhamdulillah sudah ada upaya inovasi dalam pendidikan tentang pendidikan karakter. Tapi sayang masih banyak guru yang belum paham bagaimana penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di sekolah. 2. Guru yang belum berkualitas. Masih banyak guru yang ogah-ogahan dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran, entah karena guru sendiri yang kurang paham dengan inovasi-inovasi yang dia harus lakukan dalam membelajarkan siswa ataukah dia tahu tapi malas melakukan perubahan dalam proses pembelajaran. Sertifikasi guru yang belum memperlihatkan dampak yang signifikan. Pasalnya,dengan adanya sertifikasi dengan tujuan guru bisa meningkatkan kualitas dengan dibarengi peningkatan kesejahteraan, yang terjadi ada sebagian guru yang merasa terbebani dengan pemenuhan jam pelajaran dan pembuatan laporan yang dirasakan cukup ‘ribet’. Sehingga mereka kurang memperhatikan kualitas pembelajaran. 3. Lingkungan sekolah yang tidak mendukung penanaman nilai moral dan etika. Aturan-atuaran sekolah yang yang menjadi komitmen tapi kemudian dilanggar, disiplin yang tidak tegas , program-program sekolah yang tidak mengakomodir penanaman etika dan moral. 4. Orang Tua yang tidak mendukung Banyak orang tua yang hampir seluruh waktu dan perhatiannya pada pekerjaan dan karir.Sehingga bimbingan yang diperoleh anak di sekolah kurang terealisasikan di rumah.Suasana rumah tidak mendukung pengembangan diri si anak. Satu contoh, anak di sekolah di ajarkan tentang sholat, tetapi di rumah..jangankan anak di suruh sholat oleh orang tua, anak melihat orang tuanya tidak disiplin dalam melaksanakan sholat atau bahkan tidak pernah melihat orang tuanya sholat. Rupanya kita patut intropeksi diri, baik lembaga sekolah, guru maupun orang tua.Kita perlu berkaca dari Negara-negara yang maju dalam
Yanty K Manoppo
189
pendidikannya.Sebagai contoh Jepang. Faktor yang menyebabkan kemajuan pendidikan di Jepang2 adalah: 1. Sekolah di Jepang tidak mahal, harga buku di Jepang dapat dijangkau oleh semua kalangan dan kurikulum pendidikan yang berkualitas baik. 2. Jepang tetap memegang teguh dan mempertahankan unsur-unsur tradisinya yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan komitmennya dalam mengembangkan perasaan simpati, penghargaan, dan semangat. Nilai-nilai tradisi yang yang melekat kuat pada bangsa Jepang menjadi suatu faktor pendorong bagi kemajuan Jepang Misalnya: semangat samurai yang digunakan untuk belajar dan menyerap ide-ide baru. Dalam semangat samurai terdapat nilai-nilai etos kerja yang tinggi, jujur, dan ulet. Nilai-nilai tersebut telah menyatu dengan sendirinya dalam pribadi orang Jepang dan menjadi suatu karakterisitik orang Jepang. Nilai-nilai semangat samurai akan memicu bangsa Jepang untuk giat bekerja bahkan mereka tidak akan mengeluh ketika mereka bekerja keras sehingga mereka akan memperoleh hasil yang memuaskan dari kerja keras mereka. Hasil itulah yang akan membawa bangsa Jepang menuju ke tingkat yang lebih tinggi lagi dan lebih maju dari bangsa-bangsa lainnya. 3. Orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan mudahnya mereka dalam mengucapkan terima kasih (arigato) atas bantuan orang lain. 4. Orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain yang dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadeshita (maaf, anda telah bersusah payah). Perlunya setiap orang harus berusaha yang dilambangkan dengan ucapan ganbotte kudasai (berusahalah!). 5. Orang Jepang memiliki semangat yang pantang menyerah yang dikenal dengan semangat bushido ( semangat kesatria). 6. Budaya malu yang sampai saat ini masih melekat dan telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang. Bagi orang Jepang, mereka akan malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar norma dan peraturan yang telah menjadi kesepakatan umum. Bahkan seringkali budaya malu berakibat pada tindakan bunuh diri orang Jepang. Di Jepang, bunuh diri merupakan lambang dari tindakan pertanggungjawaban mereka. Mereka malu karena tidak dapat berbuat yang terbaik untuk orang-orang di sekitarnya atau mereka malu atas tindakan yang mereka lakukan. 7. Budaya sopan santun juga masih dimiliki oleh bangsa ini. Di zaman yang serba menggunakan teknologi ini, bangsa Jepang tetap tidak melupakan sikap sopan santunnya. Hal ini dicirikan dengan sikap membungkukkan 2 Syarwi, Pangi. 2011. Comperative Sistem Pendidikan Jepang Dengan Indonesia. Melalui :http://pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=58:comperativesistem-pendidikan-jepang-dengan-indonesia&catid=8:makalah&Itemid=103 diakses 4 April 2012.
190
Efektifkah Pendidikan Kita?
separuh badan ke muka ketika mereka bertemu dengan orang lain. Sikap santun bangsa Jepang yang lain adalah bagaimana mereka dengan refleks mengucapkan kata maaf ( gomennasai ) dalam setiap kondisi yang dianggap merugikan orang lain. C. Penutup Melihat fenomena ini, kiranya kita perlu kembali mengalisis Tri pusat pendidikan oleh Ki Hajar Dewantoro yang melahirkan embrio pemikiran tentang sistem pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso sungtulodo dan ing Madya Mangun Karso3. Pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab guru tetapi juga orang tua dan masyarakat.Harusnya, secara embrional, pendidikan itu harus dilihat dalam kekuatan keluarga. Bagaimana orang tua dan masyarakat mendidik anak-anaknya (filsafat ing ngarsa asung tuladha).Guru kedudukannya ada dalam proses persekolahan. Guru adalah fasilitator (ing madya mangun karsa), yang aktif mendorong anak ke arah yang benar. Pada dasarnya mendidik adalah tanggung jawab yang mesti ditangani orang tua dan guru. Orientasi filosofi mendidik sederhana saja, yaitu berupaya menanamkan nilai-nilai kemandirian, kesederhanaan, dan komunikasi, dan sekaligus memberi bekal untuk meneruskan hidup. Guru hendaknya memberi teladan kepada anak didik untuk hidup sederhana dan mengembangkan nilai-nilai hidup normatif berdasarkan ajaran agama. Dan dalam keseharian, guru selalu diupayakan memegang kaidah hidup selalu memberi contoh yang baik kepada anak didiknya. Sistem pendidikan harus dikembangkan dengan memberi kepercayaan kepada anak didik sepenuhnya.Untuk itu, guru harus memiliki idealisme dan panggilan hati (beruf) untuk mencintai anak didiknya.Sikap ini tidak dapat diperoleh dari bangku sekolah, tetapi perlu dilatih dalam kehidupan keseharian. Bagi orang tua, juga harus menyadari bahwa dalam hidup, manusia tidak hanya mengejar kemewahan materi, tapi hendaknya juga menyiapkan diri di masa akhir dunia. Dengan demikian, orang tua akan lebih siap dan bertanggung jawab dalam membangun kepribadian anak. Masyarakat juga memegang peran penting dalam pendidkan moral anak. Lingkungan masyarakat yang tidak mendukung pembentukan nilai-nilai moral.Peran Ulama dalam masyarakat juga dibutuhkan untuk melakukan pencerahan moral, demikian juga media yang harus turut berperan dalam memberikan nilai-nilai edukasi. Indonesia sebetulnya memiliki filsafat Pancasila sebagai landasan filosofi pendidikan. Pada masa lalu, Pancasila kehilangan spiritnya karena inkonsistensi sikap dari bangsa kita.Filsafat Pendidikan Pancasila mengajarkan banyak hal, mulai dari unsur religi, demokrasi, human relation, sampai keadilan.Tetapi masuknya liberalisme dan kapitalisme membuat kita menjadi sangat 3 Darsiti Suratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Majelis Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 17.
Yanty K Manoppo
191
behavioristik.Anak didik dipaksa untuk kreatif, inovasi dan bebas, tetapi guru tidak bertanggung jawab pada pembentukan nilai-nilai anak.Liberalisme dan kapitalisme hanya melahirkan kemampuan memilih peluang, tetapi tidak menghasilkan sikap dan moral. Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan?Itulah yang harus kita kerjakan sekarang ini.Merubah wajah pendidikan, kembali kepada roh filosofi pendidikan kita.Semoga.
DAFTAR PUSTAKA Suratman, Darsiti, Ki Hajar Dewantara, Jakarta: Majelis Pendidikan dan Kebudayaan, 1985 Syarwi, Pangi. 2011. Comperative Sistem Pendidikan Jepang Dengan Indonesia. Melalui :http://pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article& id=58:comperative-sistem-pendidikan-jepang-denganindonesia&catid=8:makalah&Itemid=103 diakses 4 April 2012
192
Efektifkah Pendidikan Kita?
TRANSLITERASI
â î û
ا
= a
خ
= kh
ش
= sy
غ
= g
ن
= n
ب
= b
د
= d
ص
= sh
ف
= f
و
=w
ت
= t
ذ
= dz
ض
= dh
ق
= q
هـ
= h
ث
= ts
ر
= r
ط
= th
ك
= k
ي
= y
ج
= j
ز
= z
ظ
= zh
ل
= l
ء
= ’
ح
= h
س
= s
ع
= ‘
م
= m
= Panjang = Panjang = Panjang
193
Syarat-Syarat Penulisan untuk Jurnal Irfani A. Tulisan berupa hasil kajian dan penelitian, pemikiran di bidang pendidikan islam dan atau tinjauan buku (Book Review), yang terkait dengan pendidikan. Tulisan tersebut belum pernah dipublikasikan di media lain. B. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris maksimal 20 halaman kuarto spasi 1.5, dilengkapi dengan abstrak antara 200-250 kata. C. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis, Abstrak (baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (Sub judul-sub judul, sesuai dengan kebutuhan), Penutup (kesimpulan), Catatan-Catatan dan Daftar Rujukan. D. Kata atau istilah asing yang belum diubah mejadi kata Indonesia atau belum menjadi istilah teknis, diketik/ditulis dengan huruf miring. E. Penulis artikel menyertakan biodata singkat dalam bentuk esai. F. Tulisan ditulis dalam bentuk file dalam disket disertai dengan print outnya. G. Catatan-catatan berupa referensi ditulis sebagai foot note (catatan kaki). Teknik penulisan catatan kaki adalah sebagai berikut: Buku: Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 43. Buku Terjemahan: Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), 316. Artikel dalam Buku: Achmad Satori Ismail, “Gender Perspektif Fikih”, dalam Membincang Feminisme, ed. Nanang Kosasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 135137. Artikel dalam Jurnal: Fathurrahman Djamil, "Muhammad Quraish Shihab wa Arauhu alFiqhhiyyah", dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 6, No. 2, 1999, 171190. Artikel dalam Surat Kabar: Rumadi, “Epistemologi Islam Liberal”, Media Indonesia, Jum’at, 28 April 2000, 4. Skripsi, Tesis, Disertasi Ahmad Qorib, "Metode Ijtihad Ibn Hazam al-Zhahiri", Disertasi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 45. H. Tulisan dikirimkan ke alamat: Redaksi Irfani, Jln. Gelatik No. 1 Kampus I Kota Gorontalo Tlp. (0435) 827031
194