Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi
PSIKOLOGIA ISSN: 185-0327 www.jurnal.usu.ac.id/psikologia
GAMBARAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA PENDERITA SINUSITIS KRONIS
Riri Amaliah dan Indri Kemala Nasution Psikologia: Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi Tahun 2014, Vol. 9, No. 2, hal. 74-81 Artikel ini dapat diakses dan diunduh pada: www.jurnal.usu.ac.id/psikologia Editor: Indri Kemala Omar K. Burhan Vivi Gusrini Pohan
Dipublikasikan oleh:
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Jl. Dr. Mansyur No. 7 Medan. Telp/fax: 061-8220122 Email:
[email protected]
74
Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 2, hal. 74-81
GAMBARAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA PENDERITA SINUSITIS KRONIS Riri Amaliah dan Indri Kemala Nasution Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis. Sinusitis kronis dapat menjadi salah satu hambatan pada remaja dalam melakukan penyesuaian sosial. Teori penyesuaian sosial dari Schneider (1964) digunakan berdasarkan aspek penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus instrinsik. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Prosedur pengambilan partisipan dilakukan berdasarkan teori atau konstrak operasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan 1 yang menderita sinusitis kronis mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah dan masyarakat dikarenakan adanya perasaan malu untuk menjalin hubungan dengan oranglain. Namun partisipan 1 tersebut mampu melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga dengan baik karena adanya dukungan serta perhatian dari anggota keluarga. Partisipan 2 yang mengalami penyakit sinusitis kronis, dapat mengatasi segala hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat. Lingkungan yang positif dalam menanggapi penyakit sinusitis kronis serta adanya dukungan serta perhatian dari beberapa pihak membuat partisipan 2 tersebut dapat dengan baik melakukan penyesuaian sosial meskipun dengan kondisi penyakit sinusitis kronis. Selain itu, ada faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada kedua partisipan, yaitu faktor kepribadian dan jenis kelamin. Kata-kata kunci: Sinusitis kronis, penyesuaian sosial, remaja
OVERVIEW OF THE SOCIAL ADJUSTMENT IN ADOLESCENTS CHRONIC SUNISITIS PATIENTS
ABSTRACT This study aims to describe the social adjustment in adolescence patients with chronic sinusitis. Chronic sinusitis can be one of the obstacles for adolescent social adjustment. The theory of social adjustment of Schneider (1964) is used based on the aspect of social adjustment in the family, school and community through qualitative research with intrinsic case study approach. Participants in this study are 2 people. Participants sampling procedure is based on the theory or operational construct. The results of this study indicates that participant 1 who suffer from chronic sinusitis have problems in social adjustment in the school and community environment due to feelings of shame to build relationships with other people. However participant 1 are able to adjust well in family environment because of the support and care from the family members. Participant 2 who experience chronic sinusitis, can overcome all obstacles in social adjustment in the family, school and community environment. Positive environment in response to chronic sinusitis disease and the support and attention of several parties cause participants 2 can socially adjusted well despite the condition of chronic sinusitis. In addition, there are other factors that influence the social adjustment on both participants, that is the personality factors and sex. Keywords: Chronic sinusitis, social adjustment, adolescents
Remaja merupakan salah satu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam siklus kehidupan manusia. Masa remaja juga merupakan masa transisi dari anakanak ke masa dewasa. Remaja akan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui sebagai persiapan memasuki tugas perkembangan tahap berikutnya (Hurlock, 1999). Masa akhir remaja merupakan masa yang kritis,
yaitu saat untuk berjuang melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa Hurlock (1999). Keberhasilan remaja melalui masa transisi ini dipengaruhi baik oleh faktor fisik, psikis maupun sosial (Thornburg, 1982). Hurlock (1999) mengatakan bahwa keadaan fisik sangat mempengaruhi penyesuaian
*Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan kepada Indri Kemala Nasution melalui email:
[email protected]
Rekomendasi mensitasi: Amaliah, R., & Nasution, I. K. (2014). Gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis. Psikologia, 9(2), hal. 74-81.
75
seseorang. Adanya cacat fisik atau penyakit tertentu sering menjadi latar belakang terjadinya hambatan sosial. Matches dan Kahn dalam Hurlock, (1999) mengatakan bahwa dalam interaksi sosial, penampilan fisik yang menarik merupakan potensi yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai hasil yang menyenangkan. Hasil penelitian dari Pope, Philips, Olivardia (2000) menunjukan bahwa wanita lebih memperhatikan penampilan fisik dibandingan pria, Pria lebih cenderung tidak peduli dengan semua kondisi yang bisa memperburuk penampilannya. Penyakit kronis merupakan penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan (Belsky, 1990). Banyak orang dengan penyakit kronis merasa sadar diri tentang masalah kesehatan mereka, bahkan adanya stigma yang ingin mereka sembunyikan dari orang lain (Scambler dalam Sarafino, 2011). Jadi, penyakit kronis dapat menghambat tumbuh kembang remaja karena hampir seluruh hidupnya dalam kondisi terkena penyakit, meskipun beberapa penderita penyakit kronis tetap bisa menjalankan hidupnya seperti orang normal biasanya. Salah satu fenomena di lingkungan sekitar adalah seorang remaja yang menderita penyakit sinusitis kronis. Penyakit sinusitis kronis tersebut merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007).Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan yang paling banyak terjadi di dunia serta merupakan penyakit yang sering ditemukan pada praktek dokter sehari-hari (Mangunkusomo, 2007). Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis. Sinusitis dikatakan kronis ketika penyakit tersebut berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan terjadi perubahan histologis mukosa sinus yang irrevisible (Hilger, 1997). Banyak gejala-
gejala yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis tersebut. Beberapa gejala infeksi sinusitis yang ditimbulkan berupa demam, perasaan umum tidak sehat (malaise), dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Gejala lain yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis ini berupa sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada. Secret mukopurulen merupakan cairan yang bersifat kental berwarna kehijauan yang terkadang seperti nanah (Sobol, 2011). Masalah kesehatan kronis seperti ini biasanya mengharuskan pasien dan keluarganya membuat penyesuaian perilaku, sosial dan emosional. Belajar dari penyakit kronis yang serius dengan cepat mengubah cara mereka melihat diri mereka dan kehidupan mereka (Sarafino, 2011). Pollin (1984) menyatakan bahwa individu akan menghadapi penyesuaian penting selama tiga kali, yaitu ketika kondisi kronis tersebut di diagnosa, ketika penyakitnya semakin memburuk dan pada titik dimana situasi tersebut harus diatasi oleh orang medis. Hurlock (1999) menerangkan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga. Penyesuaian sosial itu sendiri merupakan kemampuan remaja dalam menyesuaikan dirinya pada lingkungan sekitarnya, sehingga tercapai hidup yang selaras dan harmonis. Schneiders (1964) menegaskan bahwa penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Penyesuaian sosial juga
76
disebut sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Hasil penelitian Hamzah, Nurul, (2010) mengenai perbedaan penyesuaian sosial remaja yang tinggal yang tinggal bersama orang tua dan remaja yang tinggal di pondok pesantren menjelaskan bahwa terdapat perbedaan penyesuaian sosial remaja berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan penyesuaian sosial antara laki-laki dan perempuan yaitu penyesuaian sosial remaja perempuan lebih tinggi dari pada remaja laki-laki. Dari perbedaan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal remaja itu sendiri seperti kematangan fisik dan kemampuan sosio empatis, sedangkan faktor eksternal adalah bagaimana lingkungan dan budaya memberikan fasilitas yang positif terhadap perkembangan sosial remaja itu sendiri. Penyesuaian sosial tersebut meliputi penyesuaian di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, kondisi lingkungan, serta budaya dan agama. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, perkembangan yang terjadi pada remaja meliputi aspek fisik, kognitif dan sosial. Kondisi fisik seperti kesehatan yang kurang baik seperti dalam penelitian ini, yaitu penyakit sinusitis kronis dapat mengganggu penyesuaian sosial seorang remaja. Remaja melakukan penyesuaian sosial secara baik atau tidak bergantung pada bagaimana remaja melakukan penyesuaian sosial terhadap keluarga, lingkungan sekolah serta masyarakat dengan efektif. Melalui penelitian kualitatif ini, kami berharap dapat memberikan gambaran mengenai penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis
PENYESUAIAN SOSIAL Schneiders (1964) juga menyebutkan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial adalah proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Aspek penyesuaian sosial menurut Schneiders, (1964) yaitu, penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, penyesuaian sosial di lingkungan sekolah, penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat. METODE Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus intrinsik. Responden penelitian ini adalah remaja akhir penderita sinusitis kronis. Teknik pengambilan partisipan berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode utama yang dilakukan dalam penelitian ini untuk pengambilan data adalah wawancara dan observasi. Keseluruhan proses penelitian dilakukan di Kota Lubuk Pakam dan Kisaran. Partisipan Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang remaja penderita sinusitis kronis. Adapun pemilihan partisipan dilakukan berdasarkan dua karakteristik, yaitu: (1) Batasan usia remaja adalah 1519 tahun (Santrock, 2003), (2) Penderita sinusitis kronis yang berlangsung sekitar 3 bulan sampai waktu yang tidak terbatas (Cody, 1991).
77
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi sebagai metode pengumpulan data. Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman umum yang mencantumkan isuisu yang harus diliput tanpa mencantumkan urutan pertanyaan sehingga partisipan mendapatkan keluwesan dalam memberikan jawaban namun tetap di ranah aspek penelitian yang ingin diketahui peneliti. Bentuk pertanyaan yang akan diajukan kepada partisipan adalah pertanyaan terbuka (open question) dimana partisipan dapat menjaga arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian. Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi serta perilaku yang muncul pada partisipan. Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara HASIL Partispan menjalani kehidupan selama bertahun-tahun dengan kondisi mengidap penyakit sinusitis kronis. Berikut adalah penjelasan mengenai penyesuaian sosial yang dilakukan partisipan berdasarkan aspek-aspek penyesuaian sosial yang baik. Penyesuaian Sosial di Lingkungan Keluarga Pada kedua partisipan, penyesuaian sosial di lingkungan keluarga baik. Hubungan partisipan 1 dengan anggota keluarganya seperti orangtua serta adikadiknya cukup baik. Partisipan 1 juga mengaku kalau keluarganya begitu perhatian dengan kondisi ia saat ia sakit. Bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga partisipan 1 terutama orangtuanya seperti mengajak responden checkup kedokter.
Partisipan 2 juga merasa anggota keluarga perhatian serta peduli akan kondisi partisipan dan memberikan dukungan dalam proses penyembuhan. Hubungan partisipan dengan anggota keluarga juga terjalin dengan baik. “Orangtua tanggapannya ya baikla kak, peduli sama ku, diajak berobat, kontrol teruskan . . . ee aku anak pertama kak jadi gak punya abang atau kakak, adek ada . . kalau adek tanggapannya ee ngejekngejek ee maksudnya, karena bau mungkinkan kak jadi kadang mau bilang kau bau bang.” (Partisipan ke-2, pada wawancara ke-1)
Penyesuaian Sosial di Lingkungan Sekolah Pada partsipan 1, penyesuaian sosial di lingkungan sekolah tidak baik. Hal tersebut dikarenakanan, partisipan 1 merasa memiliki hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah terkait penyakit sinusitis kronis seperti, kondisi kesehatan yang kurang sehat serta beberapa gejala yang membuat orang di sekitar partisipan merasa kurang nyaman. “Susah cari kawan, gak ada yang mau duduk sebangku, kemana-mana sendiri, kalo di rumah kadang-kadang ikut nongkrong malam minggu kan, ya gitu dikacangi, ya paling ikut ketawa-ketawa aja, ee jarang la main…” (Partisipan 1, pada wawancara ke-3)
Hal tersebut juga pernah dirasakan partisipan 2. Namun seiring berjalannya waktu beberapa hambatan dapat diatasi oleh partisipan 2 dengan menjelaskan kepada teman-temannya akan kondisi kesehatan partisipan.
“…kalok sekarang, itulah kak, diajak orangtua checkup kan ke rumah sakit, makanya di suruh operasi kemaren tuh.”
“Menurut aku, ee sakit gini awalnya penyesuaian di lingkungan yah susah, tapi setelah aku kasi tau ke orang kalau kayak gini itu karena sakit yah orang ngerti jadi akupun gak susah cari kawan. Siap itu orang gak ada juga yang ngejek kayak anak-anak gitu kak . . kalau ditanya baik atau gak ee….”
(Partisipan 1, pada wawancara ke-3)
(Partisipan 2, pada wawancara ke-2)
78
Penyesuaian Sosial di Lingkungan Masyarakat Pada partisipan 1, penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat juga tidak begitu baik. Partisipan 1 merasa malu dan minder untuk mengikuti aktifitas di lingkungan masyarakat karena bau yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis kronis. “Minder la, takud kalo orang tu tau, Jadi kalo lagi maen diem aja . Makanya dulu mainnya sama anak-anak kecil.” (Partisipan 1, pada wawancara ke-3)
Lain halnya dengan patisipan 1 yang terlihat inferior, partisipan 2 merasa mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang yang ada di lingkungan masyarakat. Dengan menjelaskan kepada orang akan kondisinya dan mengurangi bau yang keluar dari hidung dengan membawa sapu tangan, partsipan 2 tersebut mampu melawan rasa malu yang ia raskaan. “Semuanya tergantung diri kita kak, kalau kita gak ngopeni kata-kata orang tentang kita pasti mudah bergaul, apalagi cowokcowok kan kak, gak pala sibuk dengan kekurangan kita, berfikir positif aja sama semua ejekan orang, sinusitis ini walaupun bauk-bauk banyak kok yang mau bekawan samaku kak, pacar pun aku punya (tertawa terbahak-bahak) , kalau soal ganggu aktifitas atau gak, yah kalau pas sakit nyeri hidung ini ialah ganggu, kalau ingus ini tiap saat pasti ganggu, yah inisiatif lah bawa sapu tangan yakan, buang ingus biar gak pala bau kali hidung ini, itu ajanya kak.” (Partisipan 2, pada wawancara ke-1)
DISKUSI Berdasarkan aspek penyesuaian sosial di dalam lingkungan keluarga kedua partisipan memiliki hubungan yang baik dengan anggota keluarga serta adanya perhatian yang diberikan dari anggota keluarga terhadap partisipan. Adanya dukungan dari keluarga membuat partisipan dapat melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga dengan baik. Schneider (1964) menyatakan bahwa kondisi lingkungan khusunya lingkungan
rumah dan keluarga memberikan peran yang besar terhadap penyesuaian sosial remaja. Dimana kondisi keluarga yang baik, seperti hubungan antar anggota keluarga baik, atau adanya dukungan secara emosional dari orangtua dapat membantu remaja melakukan penyesuaian sosial dengan baik. Dalam lingkungan sekolah, partisipan 2 tetap aktif mengikuti beberapa kegiatan yang ada disekolah serta tidak memiliki hambatan dalam menjalin hubungan dengan teman di sekolah karena ia bersikap terbuka kepada teman-temannya serta mampu mengatasi masalah tersebut dan membuat temannya mengerti akan kondisi partisipan. Menurut Eysenk (dalam Pervin, 2001), individu yang penyesuaian diri di lingkungan baik adalah individu yang aktif, bersifat terbuka, serta mudah bergaul. Beberapa hal tersebut merupakan salah satu faktor yang membuat partisipan 2 dapat melakukan penysuaian sosial dengan baik. Berbeda dengan partisipan 1 yang tidak aktif mengikuti kegiatan yang di laksanakan oleh pihak sekolah dengan alasan malas karena tidak mempunyai kawan serta alasan lain seperti kondisi kesehatan yang terkadang tidak memungkinkan untuk mengikuti kegiatan sekolah, seperti kepala pusing, ingusnya meler jadi membuat partisipan 1 malu atau bahkan terkadang mimisan. Ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah pada remaja akan tercipta hubungan yang kurang harmonis. Hurlock, (1999) menyatakan bahwa tidak mengikut berbagai aktifitas di sekolah membuat remaja tidak mampu melakukan penyesuaian sosial dengan baik yang akan mengakibatkan ketidakpuasan pada diri sendiri karena ada perasaan dikucilkan dan mempunyai sikap-sikap menolak diri. Akibatnya remaja tidak mengalami saat-saat yang menggembirakan seperti yang dinikmati oleh teman-teman sebayanya. Hasil penelitian dari Pope, Philips, Olivardia (2000) menunjukan bahwa wanita lebih memperhatikan penampilan
79
fisik dibandingan pria. Wanita lebih cenderung memikirkan reaksi orang lain kepadanya kalau ia tidak memiliki penampilan yang bagus. Kondisi partisipan 1 yang mengidap penyakit sinusitis kronis, yang membuat setiap harinya hidung responden mengeluarkan aroma tak sedap membuat partisipan merasa minder serta malu akan penampilannya. Partisipan takut semakin banyak orang mengetahui kondisi ia yang sakit sinusitis terutama karena bau yang keluar dari hidung partisipan serta adanya tanggapan negatif tentang kondisi partisipan. Hal tersebut membuat partisipan 1 mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat. Menurut Berne et al (1990) tanggapan dari oranglain dapat meningkatkan kesehatan atau dapat merusak kesehatan berasal dari interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Tanggapan orang di lingkungan masyarakat yang positif dengan kondisi partisipan 2, membuat partisipan 2 merasa tidak ada suatu hal yang mempersulit ia dalam bergaul. Kesimpulan 1) Penyesuaian sosial di lingkungan keluarga yang baik pada kedua partisipan dikarenakan adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga, dukungan serta perhatian dari anggota keluarga, membuat kedua partisipan mampu menjalankan segala aktifitas dengan lebih baik. 2) Penyesuaian sosial di lingkungan sekolah pada partisipan 2 cukup baik dikarenakan partisipan 2 mampu mengatasi segala hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah serta mampu menjalin hubungan yang baik dengan teman dan komponen sekolah. Lain halnya dengan partisipan 1 yang merasa minder dan malu dengan kondisi sinusitis kronisnya, sehingga mengalami hambatan dalam
melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah. 3) Penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat pada partisipan 1 juga mengalami hambatan dikarenakan partisipan 1 takut semakin banyak orang yang mengetahui kondisi penyakit sinusitis kronisnya yang mengeluarkan bau tak sedap. Namun penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat pada partisipan 2 baik. Partisipan 2 menjelaskan kepada orang lain akan kondisi sinusitis kronisnya yang mengeluarkan bau tak sedap. 4) Faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada kedua partisipan ialah kepribadian dan jenis kelamin. Partisipan 1 yang merupakan seorang wanita yang inferior, memiliki sifat tertutup dan kurang pandai bergaul membuat partisipan 1 kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial. Lain halnya dengan partisipan 2 yang merupakan laki-laki yang memiliki sifat terbuka, memiliki teman yang cukup banyak dan dapat menjalin hubungan yang sehat dengan temantemannya meskipun dengan penyakit sinusitis kronis. Saran Saran Penelitian selanjutnya 1) Pada penelitian selanjutnya dapat memperhatikan faktor tipe kepribadian dalam melakukan penyesuaian sosial karena menurut hasil penelitian, tipe kepribadian bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial. 2) Pada penelitian selanjutnya, dapat melihat perbedaan jenis kelamin dalam melakukan penyesuaian sosial karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, wanita lebih mementingkan penampilan fisik daripada pria dan hal tersebut bisa
80
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial. Saran Praktis 1) Para remaja diharapkan mengetahui aspek-aspek serta fakor-faktor apa saja yang harus dipenuhi agar dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik dan efektif di lingkungan . 2) Para orang tua, komponen sekolah dan masyarakat diharapkan memberikan perhatian, dukungan secara emosional pada remaja penderita sinusitis kronis agar dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik di lingkungannya, karena ternyata dukungan dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sangat membantu penyesuaian sosial pada penderita penyakit kronis. REFERENSI
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (ed. 6). Jakarta : FK UI, hal : 118-122. Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional Poerwandari, Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi UI. Santrock, John W. (2003). Adolescence (Perkembangan remaja) (ed 7). Jakarta: Erlangga. Sarafino, Edward P. (2011). Health Psychology. Biopsychosocial Interactions Seventh Edition. United States: John Wiley & Sons. Schneiders, Alexander A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Holt Rinehart & Winston.
Berne, R. M., & Levy, M. N. (1990). Principles of Physiology. USA: Wolf Publishing Limited International Student Edition.
Sobol, S.E.. (2011). Sinusitis, Maxillary, Scute, Surgical Treatment. Available from: www.emedicine.com. [Accessed 2 April 2011].
Cody, D Thane, Kern, Eugene, & Pearson, W Bruce. (1991). Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: EGC.
Soetjipto, D. & Mangunkusumo, E. (2007). Rhinore, Infeksi Hidung dan Sinus. Dalam: Soepardi, EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FK-UI. 145-149.
Hamzah, Nurul. (2010). Perbedaaan penyesuaian sosial remaja yang tinggal bersama dengan orang tua dengan remaja yang tinggal di pondok pesantren. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Hilger, P. A. (1997). Applied Anatomy and Physiology of the Nose. In: Adams G. C., Boeis L. R., Hilger P. A. Fundamental of otolaryngology (6th ed) Philadephia: W.B. Saunders Co: 1997: 187-195. Hurlock, E.B. (1999) . Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Ed. 5). Jakarta: Erlangga
Suhapti. 1995. Gender Dan Permasalahannya. Buletin Psikologi, 3(1), 44-49. Pope, Philips dan Olivardia. (2000). Media Influences on Body Image and Disordered Eating Among Indigenous Adolescent Australians. Thornburg, H. D. (1982). Developmental psychology (2nd Ed). Monterey, California: Brooks and Cole Publishing Company. Tucker, R. and Schow, R., 2008. Odontogenic Disease of the Maxillary Sinus. In: Oral and Maxillofacial
81
Surgery (5th ed). London: Elsevier.
Mosby