Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
PENGHAPUSAN SANKSI PIDANA TERKAIT KEWAJIBAN PEMBERI KERJA UNTUK MENGIKUTSERTAKAN PEKERJANYA DALAM PROGRAM JAMINAN SOSIAL Ratih Dheviana Puru Hitaningtyas1
Email:
[email protected] Abstract This article aims to analyze the reason of eliminated of criminal sanction on employer obligation to opt in their worker to social security. By using statute approach, conseptual approach and historical approach obtained result that the reason of eliminated of criminal sanction are (i) the inclusion of criminal sanction in previous regulation was ineffective (ii) the eliminated of criminal sanction is in line with the aim of provision of social security, and (iii) the eliminated of criminal sanction is corresponding with the principal of social security. Keywords: criminal sanction, social security
Pendahuluan Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD NRI 1945”). Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hakhak dasar pekerja/ buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 21
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
Jurnal Panorama Hukum
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.2 Dengan kata lain bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan ketenagakerjaan dalam rangka pembangunan nasional adalah melalui peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Atas dasar itu, setiap peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan didasarkan pada peningkatan perlindungan kepada tenaga kerja sebagai pelaku dan tujuan pembangunan nasional. Perlindungan tersebut haruslah komprehensif di setiap aspek, baik dalam masa pre-employment, during employment dan post-employment. Diundangkannya
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perburuhan
merupakan wujud tanggung jawab Negara dalam melindungi hak-hak warga negaranya. Hak-hak mana sebagian daripadanya merupakan hak asasi manusia, tidak terkecuali hak atas jaminan sosial3. Sebagai bagian dari hak asasi manusia penyelenggaraan jaminan sosial didasarkan pada beberapa asas yaitu: asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.4 Sebelum diundangkannya Undang-undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut “UU SJSN”), hak atas jaminan sosial bagi pekerja ini diatur dalam pasal 99 Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut “UUK”) sebagai payung hukum peraturan perundang-undangan perlindungan pekerja dan Undang-undang no 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut “UU Jamsostek”). Pada pasal 3 UU Jamsostek disebutkan bahwa pemberi kerja harus mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial. Pasal tersebut membebankan pemberi kerja untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek yang merupakan hak dasar pekerja sesuai amanat pasal 99 UUK. Untuk menjamin terlaksananya kewajiban tersebut, UU Jamsostek menerapkan adanya sanksi yang tertuang di dalam pasal 29, yang pada intinya menetapkan pelanggaran terhadap pasal 3 dikenakan hukuman
2
Bagian “Menimbang” Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 Lembaran Negara RI tahun 2003 No 39 (selanjutnya disebut “UUK”). 3 Pasal 28H ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar “Mengingat” dalam Undangundang SJSN dan pasal 41 Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 4 Pasal 2 Undang-undang No 40 tahun 2004 tentang SIstem Jaminan Sosial Nasional 22
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,Kewajiban untuk mengikutsertakan pekerja dalam program jamsostek tertuang kembali di dalam peraturan pengganti dari UU SJSN. Pasal 13 undang-undang tersebut menyebutkan pemberi kerja wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek. Namun demikian UU ini tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait pelanggaran terhadap pasal dimaksud sebagai jaminan terlaksananya ketentuan tersebut. Pada prinsipnya UU SJSN memang tidak mengatur tentang sanksi. Ketentuan tentang sanksi pidana baru muncul pada Undang-undang No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disingkat “UU BPJS”). Namun, ketentuan pidana pada pasal 55 UU BPJS ini hanya diberlakukan pada pelanggaran terhadap pasal 19 ayat (1) dan (2) UU BPJS tentang kewajiban pemberi kerja untuk memungut iuran yang menjadi beban pekerja dan menyetorkannya ke BPJS, yang berupa sanksi pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,(satu milyar rupiah). Sedangkan untuk pelanggaran terhadap kewajiban pemberi kerja mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek hanya dikenakan sanksi administrasi (pasal 17 jo pasal 15 UU BPJS). Ketentuan pasal 55 jo pasal 19 tersebut bermakna bahwa sanksi pidana akan diberlakukan terhadap pemberi kerja yang tidak memungut dan membayar iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya tersebut dan wajib menyetorkannya kepada BPJS bukan berkaitan dengan kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek. Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah seperti tersebut di bawah ini.
Rumusan Masalah Apa dasar penghapusan sanksi pidana terkait kewajiban pemberi kerja dalam mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial pada peraturan perundangundangan tentang jaminan sosial?
23
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
Metode Penelitian Bertitik tolak pada isu tentang penghapusan pengaturan sanksi pidana bagi pemberi kerja yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang merupakan hak normatif pekerja pada UU SJSN, maka analisa difokuskan pada bahan hukum baik primer, sekunder maupun tersier dengan menggunakan metode pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach), Pendekatan Konsep (Conseptual Approach) dan Pendekatan Sejarah (Historical Approach). Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi interpretasi gramatikal, interpretasi historis dan interpretasi sistematis.
Pembahasan Ratio Legis Pengaturan Ketentuan Sanksi Pidana dalam Hukum Perburuhan Hukum pertama kali ditemukan sebagai gejala dalam hidup bersama manusia dalam rangka mengatur hidup bersama, baik itu dalam hubungan publik maupun dengan orang perseorangan. Hukum pertama muncul dalam bentuk peraturan yang menentukan hak dan kewajiban orang terhadap orang lain maupun dengan Negara, maka kekuasan Negara membentuk hukum agar ditaati oleh semua orang. Apabila ada orang yang tidak taat pada aturan hukum, maka kepada mereka akan dikenakan hukuman atau sanksi.5 Salah satu hakikat dari hukum adalah hukum dapat dipaksakan berlakunya bila perlu dengan campur tangan Negara. Karena itu, dalam hukum itu sendiri terdapat unsur kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang tunduk kepada hukum yang bersangkutan. Sebagai ekuivalensi dari kewajiban, hukum juga menyediakan alat Negara untuk menjamin hak-hak tertentu bagi warga negaranya. Paksaan, kewajiban, dan penjaminan hak terhadap warga masyarakat dimaksudkan agar suatu sistem keteraturan yang dirancang oleh hukum dapat berjalan dengan baik dan tertib, sehingga muncul konsep ketertiban umum. 6
5
6
HM. Agus Santoso, (2014), Hukum, Moral dan Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, hlm. 129 Munir Fuady, (2014), Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, cet. 3, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta hlm. 105-1089 24
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
Menurut Munir Fuady, karakteristik dari suatu ketertiban hukum antara lain adalah bahwa berlakunya suatu ketertiban hukum hanya dapat dipaksakan dengan sanksi-sanksi tertentu.7 Menurut Achmad Ali, sanksi (eksternal) merupakan unsur essensial dari kaidah hukum, hal itulah yang membedakannya dengan kaidah sosial non hukum. Dengan sanksi itulah, masyarakat dibawa untuk mematuhi kaidah hukum. Dengan sanksi tersebut, ketaatan masyarakat terhadap hukum dapat dipertahanan. Lebih lanjut Achmad Ali memberikan gambaran, “Kita tidak dapat membayangkan suatu kaidah dinamakan hukum tanpa adanya sanksi. Suatu ‘aturan’ tanpa ancaman sanksi akan lebih berkonotasi pernyataan biasa daripada sebagai kaidah hukum.”8 Dalam memberikan perlindungan kepada pekerja, peraturan perundangundangan di Indonesia menempatkan dalam dua wilayah hukum yaitu hukum publik dan hukum privat.9 Hubungan hukum antara pemberi kerja dan pekerja adalah termasuk dalam ranah privat dari hukum perburuhan yang merupakan hubungan hukum yang bersifat suboordinatif. Meski hubungan tersebut lahir dari suatu perjanjian, yakni perjanjian kerja, yang semestinya para pihak dianggap mempunyai kedudukan yang seimbang. Namun keberadaan asas-asas perjanjian pada umumnya sukar untuk diterapkan pada perjanjian kerja, khususnya terkait asas kebebasan berkontrak, dimana pada asas tersebut menghendaki adanya kebebasan para pihak untuk menuangkan kepentingannya ke dalam perjanjian.10
7
Ibid Achmad Ali, (2015), Menguak Tabir Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 63 9 Sebenarmya pandangan mengenai pembagian hukum dalam hukum publik dan hukum privat ditolak oleh banyak orang karena menurut mereka kriteria kepentingan umum sebagai lawan dari kepentingan khusus tidak tepat untuk membedakan hukum publik dengan hukum privat karena semua hukum ditujukan untuk kepentingan umum termasuk juga hukum privat juga untuk semua orang bukan orang tertentu. Tetapi dalam pembahasan tentang perlindungan hukum bagi pekerja ini pembedaan antara hukum privat dan hukum publik tetap penting dilakukan untuk mengetahui dan membedakan campur tangan pemerintah dalam perlindungan hukum bagi pekerja. 10 Asas kebebasan berkontrak didasari oleh ideologi individualism yang mana hal tersebut akan berdampingan dengan asas hukum perjanjian yang lain yakni asas pacta sunt servanda yang menilai bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berlaku menjadi undang-undang. Hal ini akan sangat menakutkan bilamana asas kebebasan berkontrak berlaku 100% terhadap perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja dan pemberi kerja, yang mana kedudukan kedua yang pada dasarnya memang tidak sama disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi. Dimungkinkan kepentingan dari pihak pemberi kerjalah yang lebih banyak tertuang di dalam perjanjian kerja tersebut. Dalam hal terjadi sengketa, maka apa yang tertulis di dalam perjanjianlah yang akan dijadikan dasar oleh pengadilan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Baca juga Ridwan Khairandy, (2015), Kebebasan Berkontrak dan 25 8
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
Sifat subordinatif dari hubungan hukum antara pemberi kerja dengan pekerja memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk turut campur dalam hubungan yang bersifat privat tersebut dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang membebankan beberapa kewajiban kepada pemberi kerja yang harus dipenuhi, bilamana pemberi kerja tidak memenuhi kewajiban tersebut, seperangkat sanksi telah dipersiapkan. Salah satu sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni sanksi pidana. Sanksi pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan adalah satunya terkait pelanggaran terhadap hak normatif pekerja yakni upah dan jaminan sosial tenaga kerja. Penjelasan di atas memberi makna bahwa diterapkannya sanksi pidana dalam peraturan hukum terkait kewajiban pemberi kerja untuk mengikutsertakan pekerjanya adalah sesuai dengan semangat Negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang dinilai posisinya lebih lemah.
Penghapusan
Sanksi
Pidana
pada
Kewajiban
Pemberi
Kerja
dalam
Mengikutsertakan Pekerjanya dalam Program Jamsostek Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straft. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif maupun pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukuman pidana.11 Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan bidang hukum lain. Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Hal yang mana bukan merupakan tujuan akhir. Kapan suatu norma atau kaidah atau peraturan hukum itu harus ada sanksi pidana? Atas pertanyaan ini, Wirjono Prodjodikoro memberikan jawaban, jika disimpulkan, sebagai berikut12: - Norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi Pacta Sunt Servanda versus Itikad Baik: Sikap yang Harus Diambil Pengadilan, Yogyakarta: FH UII Pers 11 Andi Hamzah, (2008), Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 27 12 Wirjono Prodjodikoro, (2003), Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm. 17-19 26
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertamatama harus ditanggapi dengan sanksi pidana. - Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimatum remidium. - Tanda-tanda batas antara hukum pidana di satu pihak dan hukum perdata, hukum tata Negara dan hukum tata usaha Negara di pihak lain, terletak pada rasa keadilan - Objektivitas dari rasa keadilan yang menjadi ukuran sampai di mana harus diadakan sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan hukum. Terkait hal tersebut, Agus Santoso mendefinisikan apa yang dimaksud dengan adil atau keadilan itu. Adil menurut Agus Santoso, terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif jadi tidak subjektif, apalagi sewenang-wenang. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relative, setiap orang tidak sama adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum di mana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tesebut.13 Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima. Sebagian menyebutkan dengan istilah legal justice atau keadilan hukum yang merujuk pada pelaksanaan hukum menurut prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Negara hukum. Ada pula istilah social justice atau keadilan sosial yang didefinisikan sebagai konsepsikonsepsi umum mengenai social firmness atau keadilan sosial yang mungkin dapat dan mungkin tidak berselisih dengan konsepsi keadilan individu atau keadilan secara umum.14
13 14
Agus Santoso, op.cit., hlm. 85 Ibid, hlm.86 27
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar Negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai keadilan yang harus tewujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Seperti yang tertuang di dalam pasal 6 ayat (1) huruf g UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi: “Materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan”. Terkait dengan hal tersebut asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu asas dalam penyelenggaran jaminan sosial. Peraturan perundang-undangan tidak mendefinisikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan asas ini, namun hal tersebut dapat dimaknai bahwa sasaran dibentuknya perlindungan jaminan sosial secara nasional ini adalah untuk memberikan perlindungan terkait jaminan sosial kepada sebanyak-banyaknya warga Negara dengan cara yang lebih baik dan perolehan manfaat yang lebih baik bagi pesertanya. Oleh karenanya perubahan pengaturan dalam sistem jaminan sosial perlu dilakukan. Salah satu langkah yang sangat tepat dilakukan adalah dengan mengubah prinsip prolaba menjadi nirlaba. Karena sasaran dari sistem jaminan sosial berdasarkan peraturan perundangundangan tentang penyelenggaraan jaminan sosial adalah kepesertaan yang mencakup seluruh rakyat Indonesia, hal ini membawa konsekuensi perubahan terhadap pengaturan tentang sanksi yang diberikan apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban untuk peserta jaminan sosial. Pencantuman ketentuan sanksi pidana tidak sejalan dengan sasaran penyelenggaraan jaminan sosial, karena bilamana pemberi kerja dinyatakan telah melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya dan dinyatakan dipidana berdasarkan ketentuan pidana yang dimaksud, tidak menjamin bahwa pekerja akan diikutsertakan ke program jaminan sosial sebagai tujuan dikenakannya sanksi tersebut. Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang mengatur tentang kewajiban pemberi kerja dalam mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek telah dimintakan judicial review dengan melalui putusan No 70/PUU-IX/2011. Kutipan dasar pertimbangan pemohon adalah sebagai berikut15: 15
Poin 4 Alasan-alasan Permohonan Pengajian Undang-undang, Putusan Mahkamah Kosnstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011, hlm. 6 28
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
“Senyatanya, ancaman pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) kepada pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerja/buruhnya menjadi peserta jaminan sosial berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU Jamsostek, tidak dapat menjadi “alat paksa” bagi pemberi kerja atau perusahaan untuk mendaftarkan pekerja/buruhnya menjadi peserta jaminan sosial. Bahkan, akibat ketentuan a quo telah banyak menimbulkan konflik norma dan mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial atas tidak diikutsertakannya pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan menjadi peserta jaminan sosial, yang mengadakan aksi mogok kerja menuntut untuk didaftarkan menjadi peserta jaminan sosial, namun berujung pada pemutusan hubungan kerja.” Alasan tersebut dapat dimaknai bahwa, pencantuman sanksi pidana pada peraturan hukum terkait kewajiban pemberi kerja untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek tidak sejalan dengan tujuan dari undang-undang yang berupaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja itu sendiri, karena sanksi pidana nyatanya tidak dapat menjadi alat paksa untuk dapat diterapkannya pasal tersebut, bahkan berimbas pada pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja bilamana pekerja menuntut haknya untuk dapat diikutsertakan dalam program jamsostek. Sejalan dengan hal tersebut, saksi ahli dari pihak pemohon telah memberikan analisisnya, bahwasanya sebaiknya sifat sanksi untuk permasalahan tersebut janganlah represif, melainkan haruslah yang bersifat persuasif, agar keikutsertaan pekerja dalam program jamsostek meningkat sesuai dengan tujuan dibentuknya peraturan perundangundangan tersebut.16 Hal mana lebih sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan jaminan sosial. Sangat disayangkan bilamana pencantuman sanksi pidana yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, justru berbalik menjadi senjata pemutus hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi kerja, dalam hal demikian hak warga Negara untuk tetap bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak yang juga tertuang di dalam konstitusi menjadi tidak terpenuhi.
16
Putusan MK no 70/PUU-IX/2011 hlm. 18 29
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
Sanksi yang tercantum di dalam suatu kaedah hukum hendaknya dapat menjadi daya paksa bagi terlaksananya kaedah atau peraturan hukum yang diberi sanksi tersebut. Hal ini yang membedakan peraturan atau kaedah hukum dengan kaedah sosial. Oleh karena terdapat keistimewaan dari sanksi dalam kaedah hukum, yaitu: 1) Sanksi dalam kaedah hukum bersifat tegas, dapat dipaksakan (melalui aparat pelaksana hukum) secara langsung termasuk kepada mereka yang tidak sukarela (tidak memiliki kesadaran hukum) untuk menaatinya. Ketegasan sanksi hukum juga dapat dilihat pada penjatuhan sanksi yang dapat memaksa seseorang untuk menaatinya, seperti penjara atau denda. Dalam hal demikian, semestinya sanksi pidana yang tertuang di dalam pasal 29 UU Jamsostek dapat menjadi daya paksa untuk ditaatinya pasal yang dikenai sanksi tersebut, yakni pasal 4 ayat (1), namun kenyatannya, masih banyak pemberi kerja yang tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek 2) Sanksi kaedah hukum bersifat eksternal, ada paksaan dari luar diri manusia untuk menaatinya. Paksaan dari luar ini, tentu saja, lebih efektif dibanding sanksi-sanksi yang bersifat internal, oleh karena seseorang yang tidak menaati kaedah hukum secara sadar, akan dipaksakan untuk itu. Yang menjadi permasalahan dalam penegakan hukum ketenagakerjaan. Menyikapi hal tersebut, Surya Tjandra, dalam disertasinya yang berjudul Labour Law and Development in Indonesia memberikan setidaknya 5 strategi agar penegakan hukum di bidang Perburuhan di Indonesia dapat berlaku secara efektif, yang salah satunya dalam kutipan berikut ini:17 “…to increase the effectiveness of labour law enforcement is through diversification of the enforcement strategis. This proposition states that it is not be enough anymore to rely on traditional forms of ‘command and control’ law, given the globalization of economics, and the growing power of private firms and economic markets. In the traditional ‘command and control’ form of law, the law will mandate standards, and will direct employers and employess to
17
Surya Tjandra, Labour Law and Development in Indonesia, Disertasi, diakses melalui https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/37576 pada 1 Agustus 2016, hlm. 275 30
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
comply with it or be subject to sanction. Although the command and control model can be crucial in sanctioning extreme labour abuses, it can also produce unexpected consequences, such as resistance from companies through various forms. It might not be realistic to expect a developing country like Indonesia, which has ineffective inspection mechanism due to limited numbers of labour inspectors and widespread breaches of the law, to police company violations and enforce compliance. Further, over-policing might lead to resistance from the companies; including potential falsification of documents, coaching of workers under threat of dismissal, and even bribing of incpectors.” Sehingga dapatlah disimpulkan, alasan yang menjadi dasar dihapuskannya sanksi pidana pada peraturan hukum terkait kewajiban pemberi kerja dalam mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek adalah bahwa pencantuman sanksi pidana yang harapannya dapat memberikan perlindungan hukum bagi pekerja, ternyata justru menjadi ancaman diputuskannya hubungan kerja antara pemberi kerja dengan pekerja. Dalam hal demikian, ketentuan ini tidak berlaku efektif. Dengan kata lain bahwa penghapusan sanksi pidana telah sejalan dengan tujuan dari penyelenggaran jaminan sosial, yakni agar cakupan keikutsertaan masyarakat pada program jaminan sosial meningkat dan menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama pekerja yang terikat hubungan kerja.
Kesimpulan Dasar penghapusan sanksi pidana pada peraturan hukum terkait kewajiban pemberi kerja untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja adalah (i) tidak efektifnya pencantuman sanksi pidana pada peraturan sebelumnya, tujuan pencantuman yang harapannya untuk memberikan perlindungan hukum kepada pekerja, justru mengancam keberlangsungan hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi kerja, (ii) penghapusan sanksi pidana sesuai dengan tujuan penyelenggaraan jaminan sosial, yaitu untuk mendapatkan kepesertaan yang sebanyak-banyaknya sebagai wujud dari hak konstitusional warga Negara, (iii) penghapusan sanksi pidana sesuai dengan asas penyelenggaraan jaminan sosial, terutama asas keadilan sosial yang merupakan asas yang bersifat idiil. 31
Jurnal Panorama Hukum
Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ISSN : 2527-6654
Daftar Pustaka Ali, Achmad, (2015), Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group Fuadi, Munir, (2014), Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, cet. 3, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group Hamzah, Andi, (2008), Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta Prodjodikoro, Wirjono, (2008), Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama Santoso, Agus, (2014), Hukum, Moral dan Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group Website Tjandra, Surya, Labour Law and Development in Indonesia, Disertasi, diakses melalui https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/37576 pada 1 Agustus 2016 http://www.tenagasosial.com/2013/08/unsur-unsur-tindak-pidana.html pada 5 Maret 2016.
32
diakses