JURNAL MEMBANGUN JEMBATAN INTERAKSI MAHASISWA MUSLIM DAN KRISTEN (Proses Pencapaian Kesepahaman Bersama melalui Peace Camp Komunitas Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) di Yogyakarta)
Oleh: ANY HIDAYATI D0212017
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2017
MEMBANGUN JEMBATAN INTERAKSI MAHASISWA MUSLIM DAN KRISTEN (Proses Pencapaian Kesepahaman Bersama melalui Peace Camp Komunitas Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) di Yogyakarta)
Any Hidayati Dwi Tiyanto
Program Studi Ilmu Imu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
Abstract Intolerance cases in Indonesia mostly aimed to Islam and Christian. It inspires a lot of sporadic movements of religion and tolerance, include in Yogyakarta. Based on those situation, an interfaith community named Young Interfaith Peacemaker Community was built. This research includes in qualitative research that is using explanatories case study. Design of this research is holistic single case study. It takes The Theory of Communicative Action of Jurgen Habermas that divided into four claims named truth claim, normative rightness claim, sincerety claim, dan comprehensibility claim. It chooses 20 Peace Camp alumni and four fasilitators as responden using purposive sampling and snowballing sampling. It uses observation, indepth interview, and literatures for collecting data. This data literally verify using resource validity also pattern matching and explanation as analysis technique. Mutual understanding in this Peace Camp attained by slide, video, Scriptual Reasoning text, game, and discusion. Mutual meaning didn’t actually happen in the building tower game. Imam and Pastor film without subtitle did the same. The culmination point was seen in Ask Forgiveness session. Over all, this Peace Camp successfully bridging interaction between Muslim and Christian. However, there are a lot of residents still reject this kind of interfaith activity. Keywords: mutual understanding, Communicative Action
interaction
2
bridge,
The
Theory
of
Pendahuluan Indonesia mengakui enam agama resmi yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Keberagamaan semacam ini bisa jadi menciptakan Indonesia yang bhineka tetapi bisa juga malah memicu konflik atau perseteruan. Tahun 2016, catatan kasus intoleransi antarumat beragama terbilang cukup banyak. Misalnya kasus pengusiran jemaah Ahmadiyah di Bangka pada awal bulan Februari1. Bahkan kasus tentang agama pun merambat ke ranah politik kala Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, diduga melakukan penistaan agama dan berujung dengan demo akbar di awal bulan November.2 Franz Magnis Suseno pernah mengatakan bahwa kasus perselisihan saat ini cenderung mengarah pada dua komunitas agama terbesar di dunia dan Indonesia yaitu Islam dan Kristen. Isu kerukunan dan toleransi bukan tidak disadari oleh orang-orang Indonesia. Karena sadar akan keragaman itulah sila pertama Pancasila yang diambil dari Piagam Jakarta 1945, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebelum Indonesia merdeka, 1928, perkumpulan pemuda seluruh Nusantara membuat sebuah pertemuan yang menghasilkan teks Sumpah Pemuda sebagai perwujudan bahwa perbedaan yang mereka miliki tidak akan menghapus jati diri mereka sebagai orang Indonesia. Di masa selanjutnya, gerakan-gerakan sporadis pemuda yang peduli kerukunan antarumat beragama mulai bermunculan untuk menjaga toleransi di Indonesia agar tetap sehat. Selain aksi kelompok tertentu, bermunculan pula komunitas yang memfokuskan diri pada perdamaian lintas agama, salah satunya adalah Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC). Komunitas ini berdiri di Kota Pelajar, Yogyakarta, oleh dua mahasiswa Ph.D gabungan Universitas Gadjah Mada,
1
Ananda Teresia, Usir Jemaah Ahmadiyah, Bupati Bangka Dikecam PBNU, https://m.tempo.co/read/news/2016/02/05/078742557/usir-jemaah-ahmadiyah-bupati-bangkadikecam-pbnu, diakses pada 28 Maret 2016. 2 Prima Gumilang, Hasyim Muzadi Minta Kasus Ahok Diutamakan Ketimbang Demo #411, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161111173825-20-172065/hasyim-muzadi-minta-kasusahok-diutamakan-ketimbang-demo-411/ , diakses pada 22 November 2016.
3
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana, yaitu Andreas Jonathan dan Ayi Yunus Rusyana. Mengapa Yogyakarta? Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) khususnya Kota Yogyakarta menjadi kota pertemuan banyak pelajar dari berbagai daerah. Namun, ibarat sebuah paradoks provinsi ini memiliki catatan kasus intoleransi yang cukup tinggi. Menurut Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika angka intoleransi di DIY setidaknya ada 15 kasus sepanjang tahun 2015.3 Itu artinya setiap bulan sedikitnya ada satu kasus intoleransi terjadi. Bahkan, The Wahid Institute mencatat bahwa pada 2014 DIY menduduki posisi kedua setelah Jawa Barat dalam kasus intoleransi, yaitu 21 kasus.4 YIPC memiliki kegiatan tahunan sebagai ajang perekrutan anggota baru sekaligus upaya memperkenalkan pendidikan perdamaian melalui 12 nilai perdamaian yang diadopsi dari Peace Generation, organisasi serupa yang bermarkas di Bandung, dan dialog lintas agama yang diberi nama Student Interfaith Peace Camp (SIPC). Agar setiap alumni SIPC (selanjutnya akan disebut Peace Camp) mampu menyerap, memahami dan mengaplikasikan pendidikan perdamaian tersebut dengan baik, proses penyampaian selama Peace Camp memiliki andil cukup besar di dalamnya. Proses penyampaian informasi yang baik akan mempengaruhi hasil yang didapatkan. Proses ini nantinya akan menjawab pertanyaan mengenai kesepahaman
yang tercapai dan bagaimana cara
kesepahaman itu tercapai selama tiga hari dua malam. Rumusan Masalah Bagaimana proses terjadinya kesepahaman antara mahasiswa Muslim dan Kristen selama Peace Camp yang diselenggarakan oleh Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) di Yogyakarta?
3
Shinta Maharani, Kasus Intoleransi di Yogyakarta Tinggi, https://m.tempo.co/read/news/2016/03/11/173752571/kasus-intoleransi-di-yogyakarta-tinggi diakses pada 15 Juli 2016. 4 Ahmad Mustaqim, Intoleransi di Yogyakarta Makin Merisaukan, http://jateng.metrotvnews.com/peristiwa/ob3p738k-intoleransi-di-yogyakarta-makin-merisaukan diakses pada 15 Juli 2016.
4
Tinjauan Pustaka 1. Komunikasi Harold D Lasswell mengemukakan bahwa komunikasi tergambar dengan menjawab pertanyaan who, says what, in what channel, to whom, dan with what channel. Pertanyaan inilah yang kemudian diturunkan menjadi lima unsur komunikasi, yaitu: a.
Sumber (sender), adalah orang atau individu yang mengirim pesan.
b.
Pesan, yaitu informasi, gagasan, ide, simbol, stimuli yang menjadi isi komunikasi.
c.
Saluran atau media, adalah sarana yang digunakan untuk perantara penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan.
d.
Penerima (receiver), ialah pihak yang menerima pesan dari komunikator.
e.
Efek, yaitu keadaan yang dialami oleh penerima setelah diterpa pesan.
2. Komunikasi Interpersonal, Kelompok, dan Antarkelompok Komunikasi interpersonal adalah komunikasi sentral dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi interpersonal kemudian akan berkembang menjadi komunikasi kelompok kala jumlah partisipannya lebih dari dua orang. Mills dalam Shaw, dikutip oleh Walgito, mengartikan kelompok sebagai “just what are these small groups we are referring to? To put it simply, they are units composed of two or more person who come into contact for a purpose and who consider.”5 Kontak antara dua kelompok yang berbeda akan menumbuhkan komunikasi antarkelompok. Kontak tersebut bisa berakhir dengan kerja sama atau juga konflik tergantung dari interaksi yang terjadi di dalamnya. Kelompok yang melakukan kontak dengan membawa stereotip dan prasangka bisa jadi akan menumbuhkan kondisi yang tidak stabil, konflik. Sedangkan kontak komunikatif yang berorientasi pada tujuan untuk mencari titik temu akan memperbaiki relasi interpersonal anggota kelompok-kelompok tersebut.
5
Bimo Walgito, Psikologi Kelompok, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hlm. 7.
5
3. Komunikasi Sebagai Proses Proses komunikasi berhubungan dengan bagaimana pesan diolah dan diinterpretasikan oleh komunikator sehingga efek yang ditimbulkan selaras dengan makna awal yang dimaksudkannya. Pengolahan pesan adalah proses menginterpretasikan makna dan dapat digambarkan sebagai proses mendeteksi tanda-tanda fisik yang kemudian dianalisis menjadi kata atau frasa. Jika pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat diterima dan diolah dengan baik oleh komunikan maka kesepahaman makna akan tercapai di kedua belah pihak. Namun, kesepahaman yang harus dicapai dalam Peace Camp tidak hanya sebatas komunikator (YIPC) dengan komunikan (peserta) tetapi juga kesepahaman di antara peserta. Seperti telah dipaparkan dalam latar belakang penelitian, Peace Camp mempertemukan dua komunitas agama yang memiliki pemahaman berseberangan, Islam dan Kristen. Untuk itulah Peace Camp dapat dikatakan sebagai jembatan interaksi antara Islam dan Kristen. Mengapa? Secara harfiah, jembatan berarti penghubung dan kegiatan Peace Camp akan menghubungkan tiga titik destinasi yaitu fasilitator, peserta Islam, dan peserta Kristen. Tiga destinasi ini selama tiga hari dua malam akan melakukan interaksi satu sama lain baik di dalam maupun di luar sesi acara. Jadi, Peace Camp sebagai jembatan interaksi nantinya akan mengarah pada sebuah kegiatan yang menghubungkan tiga destinasi untuk saling mempengaruhi satu sama lain. 4. Hambatan Komunikasi dan Konflik Lintas Agama Pemikiran sempit adalah salah satu hambatan komunikasi dalam konflik tertentu. Kelompok eksklusif pun suatu saat dapat memunculkan ketidaktahuan atau kekurangan informasi mengenai kelompok lain yang menghambat komunikasi antarkelompok. Kesenjangan antara penduduk mayoritas dan minoritas pun bisa menjadi pemicu konflik. Kelompok mayoritas yang mendominasi secara kuantitas dalam suatu daerah secara sadar maupun tidak, dapat melakukan tekanan konformitas kepada pihak minoritas. R. Tockary6 6
Indonesian-Netherlands Cooperattion in Islamic Studies (INIS), Konflik Komunal di Indonesia Saat ini, (Jakarta: INIS, 2003), hlm.55-57.
6
menyebutkan bahwa konflik dapat dipicu karena nasionalisme berdasarkan etnis (etnosentrisme), penduduk asli (nativisme), dan paradigma klaim kebenaran seperti dakwah dan misionaris keagamaan. 5. Perdamaian dalam Dialog Qaisra Khan dalam paper-nya, Spiritual and Cultural Care in Recovery7, menyebutkan bahwa fokus untuk mewujudkan perdamaian dan inspirasi antarindividu adalah dengan menemukan keterkaitan yang sama satu sama lain, bukan terpaku pada label yang disandang orang tersebut. Label ini bisa berupa agama, budaya, ras, gender, atau hal lain yang berbeda. Dialog, peduli, dan mau mendengarkan adalah beberapa hal yang mampu memberikan dampak positif dalam membangun kesamaan di atas perbedaan label. Laura Toussaint dalam jurnalnya yang berjudul Diversity, Activism, and Global Concerns in The U.S. Peace Movement8 pun mengatakan bahwa “building trust among people from different social groups is a key factor in building such unity”. Jika orang-orang dari berbagai latar belakang mau untuk peduli, mendengar, berdialog, serta saling percaya maka akan muncul persatuan. 6. Klaim Kesahihan Milik Jurgen Habermas The Theory of Communication Action (Teori Tindakan Komunikatif) adalah karya besar Jurgen Habermas di era 1980-an. Menurut Habermas demokrasi radikal atau kebebasan dalam berpendapat dapat diperoleh melalui jalan konsensus. Saat berkomunikasi, seseorang tentunya menginginkan lawan bicaranya mampu mencerna apa yang dia sampaikan. Habermas menyebut kondisi ketercapaian maksud tersebut sebagai ‘klaim-klaim kesahihan’ (validity claims). Untuk mencapai hasil konsensus yang sama tanpa adanya paksaan, Habermas menyebut ada empat klaim yang harus disepakati bersama. Pertama, ‘klaim kebenaran’ (truth) yang dicapai jika ada kesepakatan mengenai dunia alamiah dan objektif. Kedua, kesepakatan tentang pelaksanaan
7
Quisra Khan, Spiritual and Cultural Care in Recovery, Emerald Group Publishing Limited, dipublikasikan secara online pada 4 November 2006, hlm. 25, 27-28. 8 Laura Toussaint, Diversity, Activism, and Global Concerns in The U.S. Peace Movement In Analyzing Gender, Intersectionality, and Multiple Inequalities: Global, Transnational and Local Contexts, Log Cit., hlm. 274.
7
norma-norma dalam dunia sosial, ‘klaim ketepatan’ (normative rightnes). Ketiga, kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang, ‘klaim autentisitas atau kejujuran’ (sincerety). Terakhir yaitu ‘klaim komprehensibilitas’ (comprehensibility) yang merupakan puncak kesepakatan dari semua klaim sebelumnya. Metodologi Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Nantinya tidak hanya akan menggunakan penjabaran atau pendeskripsian temuan yang ada di lapangan tetapi juga menginterpretasikannya. Lokasi penelitian yang diambil adalah area Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) baik yang dilaksanakan oleh regional Yogyakarta maupun YIPC Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Penelitian ini menitikberatkan pada proses atau aktivitas komunikasi selama kegiatan Peace Camp. Jenis studi kasus yang dipilih adalah studi kasus eksplanatoris yang berfokus pada menjawab pertanyaan tentang bagaimana sesuatu bisa terjadi. Desain studi yang dipakai adalah studi kasus tunggal holistik. Kasus tunggal yang diangkat adalah kasus yang menyangkut sebuah teori atau konsep yang telah diuji sebelumnya guna memastikan, mengubah, atau mengembangkan pernyataan terdahulu. Sumber data yang digunakan terbagi menjadi dua yaitu data primer dan sekunder. Data primer berasal dari pengamatan langsung dalam acara Student Interfaith Peace Camp Nasional pada tanggal 24-26 Juli 2016 yang dilaksanakan di Wisma Kinasih, Kaliurang, Yogyakarta dan wawancara kepada 20 alumni Peace Camp serta empat fasilitator. Teknik pengambilan sampel yang saya pilih adalah purposive sampling dan snowballing sampling. Pemilihan teknik pengambilan sampel ini didasari pada informan yang sesuai dan penulis anggap dapat menjawab rumusan masalah penelitian ini. Validitas data yang digunakan adalah triangulasi sumber. Teknik analisis digunakan berupa analisis penjodohan pola dan eksplanasi. Proposisi utama dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pencapaian kesepahaman bersama dalam
8
kegiatan Peace Camp untuk menjembatani interaksi antara mahasiswa Islam dan Kristen di Yogyakarta. Proposisi utama ini kemudian akan dijodohkan dengan empat klaim yang terdapat dalam Teori Tindakan Komunikatif milik Jurgen Habermas sebagai proposisi tandingan. Klaim tersebut terdiri dari klaim kebenaran (truth), klaim ketepatan normatif (normative rightness), klaim autentisitas atau kejujuran (sincerety), dan klaim komprehensibilitas (comprehensibility). Penyajian dan Analisis Data 1. Perjumpaan Pertama dengan Peace Camp Peace Camp Juli 2016 merupakan Peace Camp yang diikuti peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Materi yang disampaikan selama Peace Camp berupa pendidikan perdamaian dan dialog lintas agama. Pendidikan perdamaian yang disampaikan selama Peace Camp diadopsi dari 12 nilai perdamaian Peace Generation (Pisgen). Sedangkan dialog lintas agama dirancang oleh internal YIPC berupa A Common Word, Scriptual Reasoning, dan Mengenal Islam dan Kristen.
Bagan 3.1 Susunan Kegiatan Peace Camp Sumber: Olahan penulis Peace Camp secara keseluruhan terbagi dalam empat bagian yaitu materi, diskusi, berbagi (sharing), dan permainan. Bagian materi terdiri dari materi dalam slide presentasi, teks Scriptual Reasoning dan format video. Sesi diskusi adalah sesi bertukar argumentasi mengenai tema yang sesi saat itu.
9
Sedangkan berbagi (sharing) lebih kepada pengalaman pribadi mereka sesuai dengan tema yang sedang dibahas. Dan terakhir, permainan, mengarah pada kegiatan fisik yang mengajak peserta untuk terlibat langsung dalam sebuah permainan yang menganalogikan sesi yang sedang dibawakan. Tidak semua kegiatan di setiap bagian Peace Camp mewakili sebuah komunikasi lintas agama. Hal ini dikarenakan pendidikan perdamaian oleh Peace Generation (Pisgen) yang disampaikan dalam Peace Camp tidak seluruhnya hanya menyinggung mengenai toleransi antarumat beragama tetapi toleransi secara umum dengan suku, ras, maupun golongan tertentu. Materi yang disampaikan selama Peace Camp adalah gabungan dari 12 nilai perdamaian yang dirancang oleh Pisgen, Scriptual Reasoning oleh University of Cambridge, dan materi hasil racikan internal YIPC. 2. Kesepakatan Nilai Objek (Truth Claim)
Bagan 3.2 Kebenaran Nilai Objek dalam Peace Camp Sumber: Olahan penulis Kesepahaman bersama mengenai objek Islam dan Kristen selama Peace Camp terlihat dalam bagian materi slide dan teks Scriptual Reasoning (SR). Bagian slide menyajikan materi pendidikan tentang mengenal Islam dan Kristen dan A Common Word. Proses komunikasi dalam fase ini cenderung 10
satu arah yaitu dari fasilitator (komunikator) kepada peserta (komunikan). Namun, sesi SR berjalan dialogis karena konsep pada sesi ini dibuat cair yang mana fasilitator dan peserta secara bergantian berganti peran sebagai komunikator dan komunikan. Kesamaaan nilai objek dalam fase ini ditunjukkan saat insiden pertentangan makna perempuan dan kesetaraan yang diungkapkan Ghofur pada SR kedua menunjukkan interaksi verbal untuk mencapai sebuah kesepakatan bersama. Sedangkan suasana yang hening dan tanpa suara pada saat penyampaian materi Mengenal Islam dan Kristen serta A Common Word adalah wujud dari pesan verbal yang dibalas dengan gerak nonverbal. 3. Kesepahaman Norma Sosial (Normative Rightness Claim)
Bagan 3.3 Ketepatan Normatif dalam Peace Camp Sumber: Olahan penulis Film Cheng Cheng Po dan The Imam and The Pastor, diskusi kekerasan atas nama agama, dan permainan mewarnai dengan satu pensil warna serta membangun menara adalah kegiatan Peace Camp yang mengarah pada diperolehnya kesepakatan mengenai nilai dan norma sosial dalam masyarakat. Proses pencapaian kesepahaman bersama dalam sesi ini berjalan lebih dinamis saat diskusi dan permainan. Setiap peserta memiliki posisi yang setara untuk
11
mengemukakan pendapat untuk menanggapi komunikator. Peran peserta dan fasilitator secara bergantian menjadi komunikator dan komunikan. Sedangkan saat pemutaran video hampir sama dengan fase klaim kebenaran, linear. Respon yang ditunjukkan oleh peserta berupa bahasa nonverbal seperti tertawa atau memperhatikan video tersebut dengan saksama. Namun, ketiadaan teks terjemahan di film The Imam and The Pastor sepertinya sedikit mengurangi penerimaan pesan film tersebut. Kemudian, diskusi yang tidak terlalu panjang mengenai kekerasan atas nama agama membuat penulis tidak begitu memahami bagaimana proses interaksi di dalamnya. Di sesi permainan susun menara, pesan yang diharapkan sampai ke peserta ternyata gagal. Menurut pengakuan salah seorang alumnus, sesi permainan hanya menyisakan memori menyenangkan yang tidak berhubungan dengan kontennya. 4. Kesesuaian Batiniah dan Ekspresi (Sicerety Claim)
Bagan 3.4 Kejujuran dalam Diskusi Peace Camp Sumber: Olahan penulis Klaim kesahihan ketiga adalah kejujuran yang muncul dalam diskusi. Tiga diskusi mengudar prasangka antara Islam dan Kristen setelah menulis kertas prasangka dogmatik dan praktika adalah salah satunya. Pada sesi ini setiap orang di aula tempat penyelenggaraan Peace Camp memiliki porsi yang sama untuk menjawab, berargumentasi atau menyanggah pernyataan dalam kertas prasangka mengenai agama mereka, termasuk fasilitator. Sesi ini
12
membuka tabir prasangka melalui kejujuran setiap peserta untuk berinteraksi satu sama lain. Diskusi Scriptual Reasoning menjadi tahap kejujuran selanjutnya. Dengan berdiskusi dan membagikan hikmah yang peserta dapatkan dalam teks, maka peserta dapat berargumentasi secara lisan. Mereka secara terbuka berbagi mengenai cara mereka memaknai setiap ayat suci dalam teks SR. Kemudian diskusi tentang Misi dan Dakwah mendekatkan mereka pada pemahaman konsep tersebut menurut penganutnya, Misi bagi umat Kristen dan Dakwah bagi Islam. 5. Saling Mengerti dan Memahami (Comprehensibility Claim) Menurut Teori Tindakan Komunikatif, klaim kesahihan paling puncak adalah klaim komprehensibilitas yang dicapai setelah memenuhi kriteria klaim kebenaran, klaim ketepatan normatif, dan klaim kejujuran. Dalam Peace Camp momen saling mamaafkan adalah tahapan puncak untuk mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan selama tiga hari. Melalui empat perwakilan yang terdiri dari satu perempuan dan satu laki-laki Islam serta satu perempuan dan satu laki-laki Kristen, peserta mengungkapkan terima kasih atas pengalaman yang telah mereka alami selama tiga hari dua malam dan meminta maaf apabila melakukan kesalahan atau tindak tutur yang tidak mengenakkan. Tokoh dalam proses komunikasi tahap ini adalah peserta. Mereka secara dialogis saling berbalas maaf dan terima kasih atas segala pengalaman yang didapat selama Peace Camp. Bahkan sebelum mereka kembali ke kotanya masing-masing, mereka bertamasya bersama sebagai pesta perpisahan. Ini menunjukkan bahwa iklim kekeluargaan mereka terbangun setelah berinteraksi secara terus menerus selama tiga hari dua malam. 6. Peace Camp sebagai Jembatan Interaksi Jembatan interaksi selama Peace Camp telah terbangun melalui fase klaim-klaim kesahihan dan memiliki kemungkinan untuk terus menyebar seiring semakin banyaknya alumni. Hal ini dikarenakan dampak dari Peace Camp tidak berhenti hanya selama kegiatan berlangsung saja. Jauh setelah Peace Camp berakhir, para alumni masih mengingat materi yang mereka dapat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, para alumni
13
memiliki tantangan baru dalam mengaplikasikan pendidikan perdamaian. Tantangan itu muncul dari lingkungan sekitar yang masih menaruh curiga terhadap kegiatan yang berbau lintas agama. Secara keseluruhan Peace Camp telah melahirkan sebuah kesepahaman bersama mengenai pentingnya dialog lintas agama terutama antara Islam dan Kristen. Kesadaran akan perbedaan agama kemudian menggiring peserta menuju kesepakatan mengenai pentingnya interaksi lintas agama yang sesuai dengan norma sosial. Kejujuran dan keterbukaan untuk menceritakan keimanan yang mereka anut membuat pondasi interaksi antarpeserta terbangun. Kesimpulan Kesepahaman bersama tercapai dalam sesi materi slide, video, teks Scriptual Reasoning, permainan, dan diskusi. Namun, kesepahaman makna tidak tercapai saat permainan susun menara. Film Imam dan Pastor tanpa teks terjemahan juga mengurangi proses pemahaman pesan. Puncak kesepahaman terlihat saat sesi Meminta Maaf. Secara keseluruhan Peace Camp telah menjembatani interaksi antara mahasiswa Muslim dan Kristen. Namun, masih banyak masyarakat yang menolak kegiatan lintas agama semacam ini. Saran Penulis memiliki beberapa saran yang semoga dapat bermanfaat untuk komunitas maupun pembaca yang budiman, yaitu: 1. Selama beberapa bulan bekerja sama dengan YIPC dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis menemukan bahwa komunitas ini memiliki sistem kearsipan yang lemah. Penulis sempat menerima data yang salah kirim, dokumen yang hilang karena tidak ada data cadangan (back up) bahkan kesimpangsiuran pemegang dokumentasi acara. Seiring bertambahnya usia semoga ke depannya YIPC lebih matang lagi dalam hal kearsipan. 2. Jika berminat untuk melanjutkan penelitian ini, penulis menyarankan untuk meneliti efek yang ditimbulkan Peace Camp dalam jangka panjang. Selain untuk mengetahui apakah nilai-nilai yang diberikan selama Peace Camp benarbenar diaplikasikan atau tidak, penelitian seperti ini bisa membantu YIPC 14
untuk menemukan bukti nyata alasan mengapa jumlah peserta Peace Camp yang memutuskan untuk aktif di YIPC tak pernah mencapai 50%. 3. Untuk penelitian yang menggunakan studi kasus terutama yang mengambil Teori Tindakan Komunikatif Jurgen Habermas, lebih baik mempelajari lebih dulu seluk beluk penelitian dan apa yang dibutuhkan dalam analisis menggunakan teori ini jauh-jauh hari sebelum terjun ke lapangan.
Daftar Pustaka Berger, C. R. et.al. (2014). Handbook Ilmu Komunikasi terj. Derta Sri Widowatie. Bandung: Nusa Media. Coley, J. S. (2014). Social Movements and Bridge Building: Religious and Sexual Identity Conflicts. Emerald Group Publishing Limited, dipublikasikan dalam jaringan pada 7 Oktober 2014, hlm. 125-151. Creswell, J. W. (2013). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Ed Ketiga, terj. Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ____________ . (2014). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di Antara Lima Pendekatan, terj. Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Devito, J. A. (2001). The Interpersonal Communication. US: Addison Wesley Longman Inc. Gumilang, P. Hasyim Muzadi Minta Kasus Ahok Diutamakan Ketimbang Demo #411. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161111173825-20172065/hasyim-muzadi-minta-kasus-ahok-diutamakan-ketimbang-demo411/, diakses pada 22 November 2016. Habermas, J. (1984). The Communicative Action Vol 1. English Version, terj. Thomas McCarthy. Boston: Beacon Press. Hardiman, B. F. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif,: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. _____________. (2013). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Cetakan kelima. Yogyakarta: Kanisius. HOPE (House Of Prayer for Everyone). (2008). A Common Word. Australia: Halal Books. Indonesian-Netherlands Cooperattion in Islamic Studies (INIS). (2003). Konflik Komunal di Indonesia Saat ini. Jakarta: INIS. Ismail, F. (2014). Dinamika Kerukunan Antraumat Beragama (Konflik, Rekonsiliasi, dan Harmoni). Bandung: Remaja Rosdakarya.
15
Khan, Q. (2006). Spiritual and Cultural Care in Recovery, Emerald Group Publishing Limited, dipublikasikan dalam jaringan pada 4 November 2006, hlm. 24-28. Maharani, S. Kasus Intoleransi di Yogyakarta Tinggi, https://m.tempo.co/read/news/2016/03/11/173752571/kasus-intoleransi-diyogyakarta-tinggi, diakses pada 15 Juli 2016. McCarthy, T. (2011). Teori Kritis Jurgen Habermas, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Moloeng, L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Ed Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, D. (2011). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mustaqim, A. Intoleransi di Yogyakarta Makin Merisaukan, http://jateng.metrotvnews.com/peristiwa/ob3p738k-intoleransi-diyogyakarta-makin-merisaukan, diakses pada 15 Juli 2016. Silalahi, U. (2012). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama. Steenbrink, K. (1995). Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. Tentang kami. http://yipci.org/tentang-kami/, diakses pada 29 Maret 2016. Teresia, A. Usir Jemaah Ahmadiyah, Bupati Bangka Dikecam PBNU, https://m.tempo.co/read/news/2016/02/05/078742557/usir-jemaahahmadiyah-bupati-bangka-dikecam-pbnu, diakses pada 28 Maret 2016. Toussaint, L. (2011). Diversity, Activism, and Global Concerns in The U.S. Peace Movement In Analyzing Gender, Intersectionality, and Multiple Inequalities: Global, Transnational and Local Contexts, Emerald Group Publishing Limited, dipublikasikan dalam jaringan pada 08 Maret 2015, hlm. 263-285. Tubbs, S. L dan Sylvia Moss. (1996). Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi, terj. Deddy Mulyana dan Gembirasari. Bandung: Remaja Rosdakarya. Walgito, B. (2007). Psikologi Kelompok. Yogyakarta: Andi Offset. Wood, J. T. (2010). Interpersonal Communication Everyday Encounters International Edition. Canada: Wadsworth. Yin, R. K. (2013). Case Study Research: Design and Methods atau Studi Kasus: Desain dan Metode, terj. M. Djauzi Mudzakir. Jakarta: Rajawali.
16