Volume 1, Nomor 2, Februari 2014
Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia
Vol. 1
NO. 2 Hal. 165 – 327 Februari 2014
ISSN 2338-4557
Volume 1, Nomor 2, Februari 2014
Diterbitkan oleh : Pengurus Pusat Forum Manajemen Indonesia Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia mulai diterbitkan pada tahun 2013 Frekuensi Penerbitan : Februari, Juni, Oktober Penanggung Jawab : Dr. Sri Gunawan (Univ Airlangga) Ketua Pengurus Pusat Forum Manajemen Indonesia Dewan Penasehat Prof. Dr. Sucherly (Univ Padjadjaran) Prof. Dr. Syahnur Said (Univ Muslim Indonesia Makasar) Pemimpin Redaksi : T. Aria Auliandri, MSc. (Univ Airlangga) Dewan Redaksi : Erni Tisnawati Sule (Univ Padjadjaran) Budi Eko Soetjipto (Univ Negeri Malang) Idris Gautama (Univ Bina Nusantara) Ratih Hurriyati (Univ Pendidikan Indonesia) Palti M.T. Sitorus (IM Telkom) Fatchur Rohman (Univ Brawijaya) Prasetyo Hadi (UPN Surabaya) D. Agus Harjito (Univ Islam Indonesia Jogjakarta) Heru Tri Sutiono (UPN Jogjakarta) Ramadania (Univ Tanjungpura) Rudy Aryanto (Univ Bina Nusantara) Indrianawati Usman (Univ Airlangga) Alamat Redaksi : Pengurus Pusat Forum Manajemen Indonesia Universitas Airlangga, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Kampus B, Jalan Airlangga 4, Surabaya 60286 Fax 031 5026288, Email
[email protected]
Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia (JMBI) diterbitkan oleh Pengurus Pusat Forum Manajemen Indonesia, secara berkala tiga kali dalam setahun. JMBI bertujuan untuk menyebarluaskan hasil penelitian dibidang manajemen dan bisnis kepada para akademisi, praktisi, mahasiswa, dan pihak yang berminat. JMBI menerima kiriman artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke JMBI tidak dikirim atau dipublikasikan dalam jurnal yang lain. Penentuan artikel yang dimuat dalam JMBI melalui proses review oleh tim dewan redaksi JMBI dengan mempertimbangkan antara lain: terpenuhinya persyaratan baku publikasi jurnal, metode riset yang digunakan, signifikansi, dan kontribusi hasil penelitian terhadap pengembangan keilmuan manajemen. i
ISSN 2338-4557
Volume 1, Nomor 2, Februari 2014
DAFTAR ISI
165-186
STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU (STUDI PADA SMP NEGERI 21 KOTA MALANG) Dyah Sawitri, Andarwati, Sri Winarti
187-196
TESTING THE EXISTENCE OF JANUARY EFFECT IN INDONESIA AND KUALA LUMPUR SHARI’AH COMPLIANCE Helma Malini, Mohamad Jais
197-213 214-228 229-247
PERANCANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM PADA BAGIAN DIKLAT PT DIRGANTARA INDONESIA Joeliaty, Ajeng Pritha Aryani
248-263 264-279 280-294
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY: ANALISIS VARIABEL ANTESEDEN DAN KONSEKUENSI Masmira Kurniawati, Sri Hartini, Lilik Rudianto
BUDAYA ORGANISASI, KOMPETENSI DAN KINERJA KARYAWAN PADA PT. ANGKASA PURA II (PERSERO) KANTOR CABANG BANDAR UDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU Raden Lestari Garnasih
KETEPATAN DAN KESALAHAN PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PIONIR DAN PEMIMPIN PASAR Ervina Triandewi, Fandy Tjiptono
PEMETAAN STORE DESIGN DAN VISUAL MERCHANDISING DISTRO DI KOTA BANDUNG Jurry Hatammimi, Brhiyawan RH Cendekia
ANALYSIS ON THE PREPARATION OF INTERNATIONAL STANDARD IMPLEMENTATION TO INDONESIA AUTOMOTIVE INDUSTRY EXPECTED PERFORMANCE FACING ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Muhammad Ikhsan, Nila K. Hidayat, Linus Pasasa
295-312
PENGARUH KESADARAN NILAI, INTEGRITAS, GRATIFIKASI PERSONAL, DAN PENGHINDARAN RISIKO TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU PADA PRODUK LAGU BAJAKAN Sony Kusumasondjaja, Syahrial Ashari
313-327
PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL, REPUTASI UNDERWRITER DAN IPO UNDERPRICING Zulhawati
ii
Pedoman Penulisan Artikel Ilmiah 1. Artikel diketik tidak lebih dari 6.000 kata atau antara 15-16 halaman (huruf Times New Roman, font 12) pada halaman kertas A4. 2. Marjin halaman atas, bawah, kanan, dan kiri adalah 1” dan jarak 1,5 spasi. 3. Sistematika pembahasan dalam artikel setidaknya terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut: a. Judul b. Nama Penulis c. Jabatan dan Alamat Korespondensi Penulis d. Abstrak: Disajikan di awal teks dan maksimal 200 kata dalam Bahasa Inggris. Abstrak diikuti dengan sedikitnya empat kata kunci (keywords). e. Pendahuluan: Menguraikan latar belakang (motivasi) penelitian, rumusan masalah penelitian, pernyataan tujuan, dan (jika dipandang perlu) organisasi penulisan artikel. f. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis: Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk mengembangkan hipotesis atau proposisi penelitian dan model penelitian (jika dipandang perlu). g. Metode Penelitian: Memuat metode seleksi, pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional variabel, serta metode analisis data. h. Hasil dan Pembahasan: Memuat hasil analisis penelitian dan pembahasan hasil penelitian. i. Simpulan: Berisi pembahasan mengenai temuan dan simpulan penelitian. j. Daftar Referensi: Memuat sumber-sumber yang dikutip dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat di daftar referensi ini. 4. Kutipan langsung yang panjang (lebih dari 3,5 baris) diketik dengan jarak baris satu dengan indented style (bentuk berinden). 5. Semua halaman termasuk lampiran dan referensi harus diberi nomor urut halaman. 6. Setiap tabel atau gambar diberi nomor urut, judul, dan sumber (bila relevan). Judul tabel ditulis di atas tabel sedangkan judul gambar ditulis di bawah gambar. Sumber gambar/tabel ditulis di bawah gambar/tabel. 7. Kutipan dalam teks sebaiknya ditulis di antara kurung buka dan kurung tutup yang menyebutkan nama akhir penulis, tahun tanpa koma, dan nomor halaman jika dipandang perlu. Contoh: a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Miller 1977). Jika disertai nomor halaman: (Miller 1977: 245) b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (Jensen dan Meckling 1976) c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari dua penulis (Laporta dkk. 2000 atau Laporta et al. 2000) d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang berbeda (Sharpe 1963; Litner 1964) e. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (Miller 2003, 2008). Jika tahun publikasi sama (Jensen 1986a, 1986b) f. Sumber kutipan yang berasal dari pekerjaan suatu institusi sebaiknya akronim institusi yang bersangkutan, misalnya (UNAIR 2008) 8. Setiap artikel harus memuat daftar referensi (hanya yang menjadi sumber kutipan) dengan ketentuan penulisan sebagai berikut: a. Daftar referensi disusun sesuai alfabet nama penulis atau nama institusi. b. Susunan setiap referensi: nama penulis, tahun publikasi, judul jurnal atau buku teks, nama jurnal atau penerbit, nomor halaman. Contoh: Abel, A.B. 1983. Optimal Investment under Uncertainty. American Economics Review 73/1: 228-233. Abowd J.M, dan D.S. Kaplan. 1999. Executives Compensation: Six Questions that need Answering. NBER working paper: 1-37. American Accounting Association. 1977. Committee on Concepts and Standards for External Financial Reports. Statement on Accounting Theory and Theory Acceptance. Sarasota, FL: AAA. Megginson, W.L. 1997. Corporate Finance Theory. Addison-Wesley Educational Publishers Inc. 9. Setiap penyerahan artikel harus melampirkan uraian singkat bibliografi penulis dan anggota tim penulis (jika ada). 10. Penyerahan artikel Artikel diserahkan dalam bentuk soft copy melalui e-mail kepada:
alamat redaksi PENGURUS PUSAT FORUM MANAJEMEN INDONESIA
Universitas Airlangga Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Kampus B, Jalan Airlangga 4, Surabaya 60286 Fax 031 5026288 Email
[email protected]
iii
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU (STUDI PADA SMP NEGERI 21 KOTA MALANG) Dyah Sawitri Fakultas Ekonomi dan Bisnis, PPs. Magister Manajemen Universitas Gajayana Malang e-mail:
[email protected] Andarwati Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang e-mail:
[email protected] Sri Winaryati SMP Negeri 23 Malang, Kota Malang e-mail:
[email protected] ABSTRAKSI Fokus penelitian ini adalah: Peran kepala sekolah SMPN 21 Kota Malang dalam meningkatkan profesionalisme guru; Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan kendala dalam peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang; Strategi kepala sekolah SMPN 21 Kota Malang menangani kendala dalam peningkatan profesionalisme guru. Metode penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif dengan metode pengambilan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi kepada informan. Temuan penelitian terkait dengan fokus penelitian: Kepala sekolah dalam meningkatkan pofesionalisme guru SMPN 21 Kota Malang. Pertama, dengan mengoptimalkan fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin, pendidik, supervisor, pencipta iklim sekolah dan wirausahawan. Kedua, Faktor kendala dalam peningkatan profesionalime guru antara lain: masih adanya tenaga pendidik yang merangkap tugas, rendahnya semangat tenaga pendidik dalam meningkatkan kompetensinya, menumpuknya beban tugas yang diberikan kepada tenaga pendidik dan sarana prasarana pendukung proses kegiatan belajar mengajar yang belum memadai. Sedangkan faktor pendukung meliputi: dukungan Dinas Pendidikan Kota Malang dalam hal penciptaan sekolah unggulan, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar sekolah dan partisipasi Komite Sekolah yang maksimal. Ketiga, kepala sekolah memberikan pembinaan kedisiplinan, memberikan penghargaan (reward), memberikan motivasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, memberikan persepsi yang baik terhadap prestasi kerja para tenaga pendidik. Kata kunci: Strategi, kepala sekolah, profesionalisme guru.
165
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
PENDAHULUAN Sejak tahun 2005, isu mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian (UndangUndang No 20 Tahun 2005). Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang diasumsikan telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul sepanjang hayat. Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas pekerjaannya. Sehingga penelitian tentang strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru penting dilakukan karena beberapa alasan: Pertama, kepala sekolah adalah sebagai pengelola instansi pendidikan tentu saja mempunyai peran yang teramat penting, karena ia sebagai designner, pengorganisasian, pelaksana, pengelola tenaga kependidikan, pengawas, pengevaluasi program pendidikan dan pengajaran di lembaga yang dipimpinnya. Kedua, secara operasional kepala sekolah memiliki standar kompetensi untuk, menyusun perencanaan strategis, mengelola tenaga kependidikan, mengelola kesiswaan, mengelola fasilitas, mengelola sistem informasi manajemen, mengelola mutu pendidikan, mengelola kelembagaan, mengelola kekompakan kerja (team work) dan pengambil keputusan. Ketiga, gurupun memepunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai ujung tombak pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar, dilapangan guru berperan sebagai transformator (orang yang memindahkan) ilmu pengetahuan, teknologi, menanamkan keilmuan, ketaqwaan dan membiasakan peserta didik berakhlakul karimah serta mandiri. Keempat, guru dalam melaksanakan tugas yaitu membantu murid/ siswa dalam proses pembelajaran masih banyak kendala diantaranya: masih adanya guru yang merangkap tugas, rendahnya guru dalam meningkatkan kompetensi, menumpuknya beban tugas, kurangnya sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan sistem kerja sama yang baik antara kepala sekolah, guru, staff tata usaha dan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan pendidikan di sekolah.
166
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa sajakah Strategi yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang? 2. Apa saja factor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang? 3. Bagaimana upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam menangani faktor kendala peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang? Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut : 1. Untuk menggambarkan dan mengetahui peran yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang. 2. Untuk mengetahui factor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang. 3. Untuk mengetahui strategi yang dilakukan kepala sekolah dalam menangani faktor kendala peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang. LANDASAN TEORI Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk menghadapi persaingan dalam organisasi dituntut adanya kemampuan dalam mengadakan perubahan. Setiap perubahan saharusnya harus memiliki unsur keunggulan kualitas. Dalam dunia pendidikan terlebih di organisasi Perguruan tinggi, pengendalian kualitas merupakan suatu keharusan. Seperti pernyataan Pannen (1997) bahwa, pengendalian kualitas pendidikan berfungsi guna membina peraturan-peraturan pendidikan dan standar pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa. Apa sebenarnya kualitas itu?, dikatakan oleh Evan dan Dean, (2003) dalam Nursya’bani Purnama, (2006:9) kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau layanan menyangkut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan dan atau bersifat laten. Cushway (1994:13) menyatakan bahwa sumber daya manusia didefinisikan sebagai “Part of the process that helps the organizational achieve its objectives”. Karena sumber daya manusia adalah potensi yang merupakan asset penting yang berfungsi sebagai modal dalam organisasi.karena itu pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi dapat meningkatkan keahlian, ilmu pengetahuan dan sikap karyawan. Ungkapan ini telah dinyatakan oleh Lusthaus dkk. (2002:48) yang menyatakan: “Developing human resources in an organization means improving employee performance by increasing or improving their skills, knowledge and attitudes”. Selain itu juga sumber daya manusia adalah merupakan potensi manusiawi sebagai penggerak orgasisasi, hal ini telah dikatakan oleh (Nawawi, 2005). Kepemimpinan Sekolah Masa Depan Tantangan nyata bagi pemimpin sekolah dalam dekade mendatang menurut Neil Shipman, Direktur dari Interstate School Leaders Licensure Consertium (ISLLC), adalah lebih menitik beratkan pada proses belajar mengajar dari pada sekedar menjadi seorang manajer (Hoy & Miskel, 1987).
167
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
The Interstate School Leaders Licensure Consortium (ISLLC) (konsorsium kewenangan pemimpin sekolah antar negara bagian) of the Council of Chief State School Officer (dalam Suyitno 2008) menjelaskan pentingnya kepemimpinan dalam proses belajar mengajar dan menjelaskan enam standar. Seorang kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dapat menaikkan tingkat keberhasilan semua siswa melalui: a. Memberi fasilitas pengembangan, memberikan gagasan, implementasi, dan pengurusan visi pembelajaran yang dibuat bersama dan didukung masyarakat sekolah. b. Memberi anjuran, memelihara, dan mendukung budaya sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi pembelajaran siswa dan pertumbuhan profesional bagi staff / guru. c. Menjamin manajemen organisasi, pelaksaaan dan sumber-sumber dalam rangka mencapai lingkungan belajar yang aman, efektif dan efisien. d. Melakukan kerja sama dengan keluarga, anggota masyarakat, menanggapi minat dan kebutuhan masyarakat, dan memanfaatkan sumber-sumber pada masyarakat. e. Berperilaku secara integritas, penuh kejujuran dan beretika. f. Memahami, menanggapi pengaruh politik, sosial dan ekonomi, dan konteks budaya. (ISLLC 1997) Profesionalisme Guru Sebenarnya apakah seorang guru itu harus profesional? Dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa standar nasional pendidikan yang terdiri atas standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, megajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional dalam pendidikan perlu dimaknai bahwa guru haruslah orang yang memiliki instink sebagai pendidik, mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
168
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Secara utuh sosok kompetensi guru meliputi (a) pengenalan peserta didik secara mendalam; (b) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (diciplinary content) maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah (pedagogical content); (c) penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan; dan (d) pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara berkelanjutan. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 menyatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: “Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru”. (Pasal 7 (ayat 1) UU No 14 Tahun 2005) Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu (Suyitno, 2008). Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. (Suyitno, 2008).
169
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Kerangka Pikir Berdasarkan masalah, tujuan, dan kajian teori, maka kerangka pikir pada penelitian ini adalah, sebagai berikut: Strategi Kepala Sekolah Supervisor, administrator, motivator, leader dan manager
Faktor Kendala
Faktor Pendukung
Upaya-upaya Menangani Pembinaan disiplin, memberi motivasi, penghargaan dan persepsi
Peningkatan Profesional Guru Sumber: Kementerian Dikbud ( 2012), Sergiovanni (1991), diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 1. Strategi Kepala Sekolah Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Didasarkan pada cakupan dan realitas yang ingin dikaji strategi kepala sekolah dalam upaya peningkatan profesionalisme guru yang cenderung dapat didekati secara studi kasus, maka penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini disesuaikan dengan permasalahan yang muncul dan tujuan penelitian yang ingin memperoleh gambaran menyeluruh tentang strategi kepala sekolah dalam upaya peningkatan profesionalisme guru. Hal ini juga ditegaskan (Suyitno 2006) bahwa metode kualitatif cocok digunakan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu fenomena. Pemilihan metode kualitatif ini akan memiliki berbagai implikasi dalam penelitian yang akan dilakukan berdasarkan ketergantungan logis pada aksioma-aksioma sebagaimana yang diungkapkan oleh Lincoln dan Guba (1985). Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian kualitatif sebagaimana dinyatakan Arikunto (1998) dapat berupa orang (person), tempat (place), dan simbol (paper). Sedangkan menurut Spradley (Sugiono, 2006; Faisal, 1990) menunjuk pada tiga kategori, yakni pelaku (actor), aktivitas (activity), dan tempat (place). Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka sumber data penelitian ini terdiri dari empat kategori sebagai berikut:
170
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti 1.
2.
3.
4.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sumber data berupa orang/pelaku sebagaimana telah diuraikan sebelumnya meliputi kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, komite sekolah dan pihak lain terkait yang memiliki peran dalam upaya-upaya kearah optimalisasi potensi dalam pengembangan kinerja gueu di SMPN 21 Kota Malang. Penentuan sumber data pihak-pihak tersebut dilakukan secara purposive dan snowball dengan pertimbangan tertentu. Penetapan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, komite sekolah sebagai informan dengan menggunakan teknik purposive sampling didasarkan pada pertimbangan peran mereka yang spesifik sesuai job kerjanya sehingga dipandang representatif untuk dijadikan sumber data. Pertimbangan lain, bahwa subyek cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan dan menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat keterlibatannya, subyek masih terlibat secara penuh/aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian peneliti, dan subyek mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai. Berikutnya snowball sampling merupakan teknik penentuan sumber data yang semula jumlahnya sedikit lamalama menjadi besar sehingga spesifikasi sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya. Teknik ini menurut Lincoln & Guba (1985), memiliki karakteristik, yakni desain sampel sementara, pemilihan unit sampel yang menggelinding seperti salju, pemilihan sampel disesuaikan kebutuhan, dan dipilih sampai jenuh. Dalam penelitian ini mula-mula peneliti menentukan kepala sekolah dan salah seorang guru untuk diminta informasi mengenai upaya peningkatan profesionalisme guru, program dan kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya optimalisasi potensi guru berikut aspek-aspek yang melingkupinya. Setelah wawancara berlangsung ternyata banyak informasi mengenai permasalahan tersebut yang dapat digali pada guru-guru lainnya, sehingga peneliti menggali informasi kepada guru lain yang dimaksud oleh guru pertama, demikian seterusnya seterusnya. Sumber data berupa tempat, yakni SMPN 21 Kota Malang sebagai institusi pendidikan yang melaksanakan pengembangan kompetensi guru untuk mendukung peningkatan profesionalisme guru. Sumber data berupa aktivitas, dalam hal ini merujuk pada berbagai kegiatan yang relevan dengan fokus masalah penelitian. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gagasan, konsep, pemikiran, maupun aktivitas dalam arti practical. Lebih spesifik sumber data dalam bentuk kegiatan ini diantaranya kegiatan rapat-rapat, kegiatan monitoring dan evaluasi kinerja, kegiatan supervisi, rapat komite sekolah, pertemuan rutin pagi (briefing) dan sebagainya. Peneliti mengamati berbagai kegiatan tersebut sambil merekam dalam bentuk catatan, gambar dan rekam suara. Sumber data berupa simbol (paper) dalam penelitian ini antara lain simbol-simbol kelembagaan, atribut sekolah, atribut guru dan sebagainya yang manjadi karakteristik SMPN 21 Kota Malang. Termasuk dalam sumber ini, yakni suasana lingkungan sekolah, keberadaan sarana pendidikan, dan slogan-slogan yang mengarah pada peningkatan kompetensi guru untuk mendukung peningkatan mutu SMPN 21 Kota Malang yang terpasang di lingkungan sekolah.
Metode Pengumpulan Data Untuk dapat mengungkap pelaksanaan pengelolaan pembiayaan pendidikan, dalam penelitian ini memerlukan beragam teknik pengumpulan data. Teknik yang akan dipergunakan untuk mengungkap permasalahan secara holistik, antara lain teknik observasi partisipatif (participant observation), yang taraf partisipasinya menyesuaikan konteks, wawancara mendalam (in-depth interview) dan dokumentasi (documentation). Sebagaimana dinyatakan (Suyitno 2007), bahwa dalam penelitian kualitatif dengan natural setting lebih banyak menggunakan ketiga teknik tersebut.
171
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Teknik Pengamatan Partisipatif Teknik pengamatan partisipatif digunakan untuk menyelidiki berbagai keadaan dan kegiatan yang relevan dan memiliki makna penting bagi pencapaian tujuan penelitian ini. Teknik pengamatan partisipatif digunakan untuk mengamati implementasi pengelolaan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pelayanan publik. Teknik Wawancara Mendalam Dalam teknik wawancara mendalam (indepth interview) ini, peneliti melakukan wawancara kepada kepala sekolah dan guru serta komite sekolah sebagai informen utama (key informan), dilanjutkan dengan pihak terkait yang lain secara berkelanjutan, menggunakan pertanyaan-pertanyaan non-terstruktur yang mengarah pada fokus penelitian (focused interview), namun pada latar tertentu dilakukan pendalaman (probing question). Teknik ini dimaksudkan agar subyek terteliti dapat memberikan informasi sebanyak mungkin serta dapat mengemukakan pemikiran, gagasan dan tindakannya seluas dan sebebas mungkin dalam kaitannya dengan ketrampilan manajerial kepala sekolah dalam mengawal sekolah sebagai organisasi pelayanan publik. Teknik wawancara ini dilakukan juga kepada kepala sekolah, guru, komite sekolah atau wali murid. Teknik Dokumentasi Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dipergunakan untuk menggali berbagai data, peristiwa dan kebijakan yang terdokumentasikan dan sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan jenis-jenis dokumentasi tersebut secara umum dapat di bedakan menjadi dua, yakni dokumen yang sifatnya internal dan eksternal. Dokumen internal diantaranya Surat Keputusan Kepala Sekolah, dan Komite Sekolah, sumber-sumber pembiayaan sekolah, tata kerja, instruksi, tata tertib kedisiplinan, laporan rapat, keputusan pimpinan dan semacamnya yang digunakan internal sekolah sendiri. Sedangkan dokumen eksternal adalah segala macam peraturan dan perundang-undangan serta kelengkapan lain yang terkait dengan penyelenggaraan satuan pendidikan. Definisi Operasional Untuk lebih jelas dan terhindar dari kesalahan dalam memahami istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka dibawah ini akan dirumuskan dan dijelaskan definisi dari istilah-istilah tersebut. 1. Strategi yang dimaksud di sini adalah cara dan seni yang dipakai kepala sekolah dalam merumuskan rencana yang cermat dan menetapkan kebijakan sekolah khususnya dalam membina dan meningkatkan profesional guru dengan memanfaatkan sumber daya. 2. Kepala sekolah adalah seorang guru yang memimpin suatu sekolah. Kepala sekolah pada SMPN 21 Kota Malang berperan sebagai manajer, sebagai leader, sebagai administrator, sebagai supervisor (pengawas utama), sebagai climate maker (pembina iklim kerja), sebagai educator (pendidik) dan sebagai entrepreneur atau wiraswastawan (Dit. Dasmen. Standar Kompetensi 2002:8). 3. Profesionalisme guru adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu (Suyitno, 2008).
172
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Metode Analisis Data Mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (dalam Suyitno 2007) bahwa penelitian ini dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sehingga datanya sampai pada titik jenuh, lebih jelasnya ditunjukkan pada Gambar 2 sebagai berikut: Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data Kesimpulan: Penggambaran/ Verifikasi
Sumber : Diadopsi dari Miles dan Huberman 1984, dioleh peneliti, Tahun 2013.
Gambar 2. Analisa Data Model Interaktif Setelah data tentang strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru direduksi selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk tertentu yang lazim dinamakan display data (penyajian data) sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Display data dalam penelitian ini antara lain disajikan dalam bentuk uraian, bagan, hubungan antar kategori dan matriks. Tujuannya untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan (display dan verifikasi). Siklus analisis data prosesnya tidak sekali jadi, melainkan berinteraktif secara bolakbalik, disajikan pada Gambar 3. Penjelajahan, Pelacakan Kenyataan Lapangan
Pemahaman Teoritis Deskripsi
Ikhtisar dan Pilihan Data
Pola-Pola Tema-tema Konsep-konsep Kategori-kategori
Sumber: Diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 3. Siklus Analisis Data 173
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Peran Kepala Sekolah dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru SMPN 21 Malang Peran kepemimpinan yang diterapkan oleh Kepala SMPN 21 Kota Malang meliputi: sebagai peran sebagai pengelola, pemimpin, pendidik, administrator, penyelia, pencipta iklim kerja dan wirausahawan diharapkan mampu membawa lembaga pendidikannya kearah perkembangan yang lebih baik dan sanggup untuk berkompetisi di masa depan. Hal yang sama juga peneliti temukan dalam dokumentasi sekolah di antaranya berbunyi sebagai berikut : Kepala sekolah sebagai manajer, meliputi aspek-aspek di antaranya: 1. Kemampuan menyusun program, dengan indikator: a. Memiliki proram jangka panjang (8 tahun) b. Memiliki program jangka menengah (4 tahun) c. Memiliki program jangka pendek (1 tahun) 2. Kemampuan menyusunorganisasi/personalia, dengan indikator: a. Memiliki susunan program sekolah b. Memiliki personalia pendukung c. Menyusun personalia untuk kegiatan temporer 3. Kemampuan menggerakkan staf, guru,dan karyawan, dengan indikator: a. Memiliki program pembinaan b. Mengkoordinasikan staf yang sedang melaksanakan tugas 4. Kemampuan mengoptimalkan sumber daya sekolah. a. Memanfaatkan sumber daya manusia secara optimal b. Memanfaatkan sarana prasarana c. Membuat sarana prasarana menjadi milik sekolah. (Dok. Profil SMPN 21 Kota Malang tahun 2012/2013) Menjalankan peran sebagai seorang manajer, Kepala SMPN 21 Kota Malang dengan selalu mengutamakan asas musyawarah melakukan perencanaan, pengorganisasian dan memimpin, serta mengendalikan program yang telah menjadi ketetapan bersama. Sedangkan dalam menjalankan perannya sebagai leader (pemimpin), Kepala SMPN 21 Kota Malang, tampak mengayomi, mengutamakan kerjasama, saling percaya mempercayai, dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang dapat dilihat dari gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya. Itulah makanya kepala sekolah sengaja menerapkan gaya kombinasi antara gaya kepemimpinan mendikte, menjual dan mendelegasikan. Hal ini untuk menyikapi sebuah fakta bahwa kondisi para tenaga pendidik di sekolah tersebut memiliki tingkat profesionalisme yang tidak sama. Menjalankan perannya sebagai leader ini, Kepala SMPN 21 Kota Malang selalu memimpin, mengarahkan, mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya mempercayai. Dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang dapat dilihat dari gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya. Sebaliknya sangat jauh dari kesan memanfaatkan kekuasaannya untuk menakut-nakuti, anak buah serba salah, menjadikan suasana kerja menjadi tegang dan menakutkan. Peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai seorang tenaga pendidik (educator), Kepala SMPN 21 Kota Malang menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme para tenaga pendidik/guru, memberikan pembinaan kepada semua tenaga pendidik baik melalui rapat sekolah secara rutin maupun yang bersifat situasional, misalnya 174
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
simulasi pembelajaran yang baik, model-model pembelajaran yang menarik, seperti team teaching dan moving class. Demikian juga dalam menjalankan perannya sebagai administrator kepala SMPN 21 Kota Malang secara spesifik telah melakukan pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan dan pendokumenan seluruh program sekolah, meskipun kegiatankegiatan tersebut telah dibagi habis dengan tenaga kependidikan lain yang terkait. Yang meliputi pengelolaan kurikulum, pengelolaan administrasi peserta didik, pengelolaan administrasi personalia, pengelolaan administrasi sarana dan prasarana, pengeloaan administrasi kearsipan, dan pengelolaan administrasi keuangan. Sedangkan dalam pelaksanaan perannya sebagai supervisor, kepala SMPN 21 Kota Malang telah melakukan pengawasan serta pengendalian terhadap kinerja tenaga pendidik yang merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah bisa terarah pada tujuan yang telah ditetapkan, sekaligus sebagai tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga pendidik tidak melakukan penyimpangan dalam melaksanakan pekerjaannya. Kegiatan tersebut dilakukan dengan melalui program kunjungan kelas, pembicaraan individual, diskusi kelompok dan simulasi pembelajaran, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan pembinaan untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi oleh para tenaga pendidik. Meski masih belum dapat menggunakan sistem organisasi tenaga pendidik modern, yakni dengan memanfaatkan seorang supervisor secara khusus yang lebih independen, kepala sekolah telah berusaha memberikan layanan yang lebih baik kepada para tenaga pendidik. Hal ini dilakukannya sebagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja tenaga pendidik. Pelaksanaan dalam menjalankan perannya sebagai supervisor ini, Kepala SMPN 21 Kota Malang, sangat memperhatikan prinsip-prinsip kolegial, konsultatif dan sangat demokratis serta memposisikan dirinya sebagai orang yang berada di tengah-tengah para bawahannya, tidak tampak seperti layaknya seorang diktator yang selalu mendominasi setiap kegiatan kependidikan. Hubungan kepala sekolah dengan para tenaga pendidik bukan sebagai atasan dan bawahan, namun menampilkan dirinya sebagai kolega dalam bekerja yang mengutamakan sharing dari pada memberi perintah secara langsung.
175
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Merencanakan
Program Sarana
Mengorganisa sikan SDM
1. MANAGER Memimpin
Dana
Mengndalikan
Informasi
TUJUAN
Gaya Mengayomi Kerjasama
2. LEADER
Saling percaya Bimbingan model pembelajran Menerima kritik Moving kelas Membina Mental
Team teching Seminar, diklat, lokakarya
3. EDUCATOR
Memberdayakan media Elektronik Memberikan Kesempatan Olahraga Membina Fisik
Memanfaatkan Gedung Memnfaatkan Sarpras yang tepat
Pencatatan Proker Menyusun Proker
4. ADMISTRATOR
Mengarsip Proker
Pengawasan
5. SUPERVISOR Pengendalian
Kunjungan kelas Bimbingan Individual Diskusi kelompok Simulasi Pembelajaran
Kegiatan Menarik dan Menyenangkan Pemenuhan Kebutuhan Sosio,Psiko, Fisik
6. PENCIPTA IKLIM Wisata sambil Belajar Menginformasikan Program Sekolah
Inservise training guru 7. WIRAUSAHAWAN
Training teacher exellent Smart teaching
Sumber: Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 4. Peran Kepala Sekolah dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
176
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Penciptaan iklim kerja yang kondusif agar para tenaga pendidik lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya, juga dilakukan oleh kepala SMPN 21 Kota Malang dengan memperhatikan prinsip-prinsip bahwa: para tenaga pendidik akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, maka kepala sekolah mengadakan wisata sambil belajar di Perpustakaan Pemerintah Daerah Kota Malang sekali waktu yang diikuti oleh semua siswa dan didampingi oleh guru-gurunya. Kepala sekolah selalu menginformasikan semua tujuan pendidikan kepada para tenaga pendidik, agar mereka mengetahui tujuan dia bekerja serta melibat-kan para tenaga pendidik dalam penyusunan tujuan pendidikan. Dan yang lebih menarik lagi bahwa kepala sekolah menjanjikan sebuah hadiah (reward) bagi setiap tenaga pendidik yang berprestasi dalam melaksanakan tugasnya. Namun demikian juga kadang-kadang harus memberi hukuman kepada para guru yang dinilai melanggar aturan/tata tertib lembaga. Sedangkan dalam hal pelaksanaan peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai wirausahawan, kepala SMPN 21 Kota Malang telah melakukan pembaharuan-pembaharuan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi para tenaga pendidik, di antaranya inservise training guru minimal sekali dalam setahun, antara lain yang pernah dilakukan kerja sama dengan Universitas Negeri Malang mengadakan “Training Teacher Exellent”, dengan tema “ Smart Teaching pendekatan Neo Psikologi”, dan lain-lain. Temuan mengenai peran kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru dapat dilihat pada Gambar 4. Temuan mengenai kendala dan pendukung dalam peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang dapat dilihat pada Gambar 5, sebagai berikut: Faktor kendala: 1. Pendidik yang rangkap tugas 2. Rendahnya semangat untuk meningkatkan kompetensi 3. beban kerja pendidik yang terlalu banyak. 4. Sarana prasarana yang kurang memadai
Peningkatan profesionalisme guru
Upaya menangani kendala
Guru Profesional Faktor pendukung: 1. Dukungan dari Dinas Pendidikan menuju sekolah unggulan. 2. Tingkat sosioekonomi masyarakat sekitar sekolah 3. partisipasi komite sekolah
Sumber : Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 5. Faktor Kendala dan Pendukung dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
177
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Temuan mengenai upaya-upaya menangani kendala-kendala dalam peningkatan profesionalisme guru dapat dilihat pada Gambar 6, sebagai berikut:
Pembinaan Disiplin
Upaya Menangani Kendala Peningkatan Kinerja Guru
Pemberian Motivasi
Kinerja Guru Meningkat
Penghargaan/Reward
Persepsi
Sumber : Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 6. Upaya Menangani Faktor Kendala Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru Pembahasan Dalam pembahasan ini, terdapat (tiga) buah tema yang akan dibahas secara berturutturut sebagaimana yang tercantum dalam fokus penelitian, yaitu: (1) Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. (2) Kendala dan Pendukung Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru. (3) Strategi Kepala Sekolah menangani Faktor Kendala Peningkatan Profesionalisme Guru. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Kinerja kepala sekolah SMPN 21 Kota Malang dalam pengelolaan pemberdayaan guru dapat ditegaskan bahwa dari hasil penelitian, kepala sekolah telah mampu mengelola dengan baik meskipun ada kendala, namun kendala tersebut dapat diatasi dengan kemampuan mengelola, memimpin, dan mengarahkan yang mengutamakan kerjasama serta saling percaya-mempercayai. Aktifitas proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan, guru sebagai salah satu pemegang utama di dalam menggerakkan kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan. Tugas utama seseorang guru ialah mendidik, mengajar, membimbing, melatih, oleh sebab itulah tanggung jawab keberhasilan pendidikan berada di pundak guru. Guru sebagai juru mudi dari sebuah kapal, mau kemana arah dan haluan kapal dihadapkan, bila juru mudinya pandai dan terampil, maka kapal akan berlayar selamat ditujuan, gelombang dan ombak sebesar apapun dapat dilaluinya dengan tenang dan tanggungjawab. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang juru mudi harus melalui pendidikan dan latihan khusus serta dengan memiliki keahlian khusus. Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda 178
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
terdepan dan dapat diukur keberhasilannya (Xaviery 2004). Hal tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian ini yang dirumuskan dalam proposisi sebagai berikut: Proposisi minor I
: jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai manager dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru. Proposisi minor II : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai pemimpin dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru. Sedangkan dalam menjalankan perannya sebagai leader (Pemimpin), Kepala SMPN 21 Kota Malang tampak mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya mempercayai. Dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang dapat dilihat dari gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya. Menjadi guru profesional juga memerlukan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan khusus. Manajemen berbasis sekolah merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Norma Sitepu 2006). Hal tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian ini yang dirumuskan dalam proposisi sebagai berikut: Proposisi minor III : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai edukator baik mental maupun fisik dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru. Proposisi minor IV : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai administrator dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru. Proposisi minor V : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai supervisor dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru. Proposisi minor VI : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai pencipta iklim dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru. Perubahan peran guru yang tadinya sebagai penyampai pengetahuan dan pengalihan pengetahuan dan pengalih keterampilan, serta merupakan satu-satunya sumber belajar, berubah peran menjadi pembimbing, pembina, pengajar, dan pelatih. Dalam kegiatan pembelajaran, guru akan bertindak sebagai fasilisator yang bersikap akrab dengan penuh tanggung jawab, serta memperlakukan peserta didik sebagai mitra dalam menggali dan mengolah informasi menuju tujuan belajar mengajar yang telah direncanakan. Faktor-Faktor Kendala dan Pendukung Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru Yang dimaksud dengan profesionalisme disini adalah kemampuan dan keterampilan guru dalam merencanakan, melaksanakan pengajaran dan keterampilan, merencanakan dan melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa. Beberapa kendala dalam melaksanakan peningkatan professional guru, adalah dari factor internal yang menjadi sangat penting dan utama. Hal ini seperti yang ditunjukkan dalam proposisi sebagai berikut:
179
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Proposisi minor I : jika dalam organisasi pendidikan terdapat pendidik yang rangkap tugas, rendahnya semangat untuk meningkatkan kompetensi, beban kerja pendidik yang terlalu banyak, sarana prasarana yang kurang memadai maka upaya peningkatan profesionalisme guru akan terhambat. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) memberikan fasilitas dan bantuan kepada sekolah. Hal ini senada dengan proposisi sebagai berikut: Proposisi minor II : Jika dalam organisasi pendidikan terdapat dukungan dari Dinas Pendidikan menuju sekolah unggulan, tingkat sosioekonomi masyarakat sekitar sekolah yang tinggi dan partisipasi komite sekolah maka akan mendukung upaya peningkatan profesionalisme guru. Strategi Kepala Sekolah Menangani Kendala Dalam upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Sekarang ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based competition. Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi. Strategi pemberdayaan merupakan salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran (Wahibur Rokhman 2003), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk memberikan wewenang dan tanggung jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kedisiplinan juga menjadi unsur penting bagi seorang guru. Kedisiplinan ini memang menjadi kelemahan bangsa Indonesia, yang perlu diberantas sejak bangku sekolah dasar. Untuk itu hanya mungkin bila guru hidup dalam kedisiplinan sehingga anak didik dapat meneladaninya. Kedisiplinan adalah salah satu faktor yang penting dalam suatu organisasi. Dikatakan sebagai faktor yang penting karena disiplin akan mempengaruhi kinerja pegawai dalam organisasi. Semakin tinggi disiplin pegawai, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapai. Disiplin adalah merupakan cerminan besarnya tanggungjawab seseorang dalam melakukan tugas – tugas yang diberikan kepadanya yang mendorong gairah dan semangat kerja seseorang. Pada umumnya disiplin yang baik apabila pegawai datang ke kantor ataupun perusahaan dengan teratur dan tepat waktu. Mereka berpakaian serba baik pada tempat bekerjanya. Mereka menggunakan bahan-bahan dan perlengkapan dengan hati-hati. Mereka menghasilkan jumlah dan kualitas pekerjaan yang memuaskan dan mengikuti cara kerja yang ditentukan oleh perusahaan dan menyelesaikan dengan sangat baik (Hasibuan, 2000). Dari hasil penelitian di lapangan sering terlihat beberapa guru tidak disiplin waktu, seenaknya bolos, tidak disiplin dalam koreksi pekerjaan siswa sehingga siswa tidak mendapat masukan dari pekerjaan mereka. Ketidakdisiplinan guru tersebut membuat siswa ikut-ikutan suka bolos dan tidak tepat mengumpulkan perkerjaan rumah. Yang perlu diperhatikan di sini adalah, meski guru sangat disiplin, ia harus tetap membangun komunikasi dan relasi baik dengan siswa. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah mengupayakan dengan memberikan pembinaan kedisiplinan terhadap para tenaga pendidik yang meliputi perihal pengembangan pola perilaku tenaga pendidik, peningkatan standar perilaku tenaga pendidik serta menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat. Hal ini sejalan dengan temuan dalam penelitian ini dalam bentuk proposisi sebagai berikut: 180
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti Proposisi mayor
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
: Jika kepala sekolah berusaha untuk menumbuhkan disiplin, memberikan penghargaan sesuai dengan prestasi, memotivasi dan memberikan persepsi yang baik kepada guru maka akan mengurangi hambatan dalam upaya peningkatan profesionalisme guru.
Manajemen peningkatan kompetensi guru bermuara pada pertumbuhan manusiawi dan profesionalisme guru (Mantja, 2002). Dalam hal ini, hubungan antara kepala sekolah dan guru bersifat proaktif mengupayakan perbaikan, pengembangan, peningkatan keefektifan dan didasarkan atas kekuatan persepsi, bakat/potensi, dan minat individu. Artinya, kepala sekolah hendaknya memiliki kepedulian terhadap kebutuhan manusiawi dan profesionalisasi guru dalam tiga perspektif. Pertama, keterlibatan guru dengan segala keunikan kepribadiannya, bakatnya, mengupayakan promosi yang wajar berdasarkan kemampuan kerja guru. Kedua, kepedulian kepala sekolah terhadap pengembangan guru. Ketiga, program peningkatan profesionalisme guru dilakukan secara kolaboratif antara kepala sekolah dan guru dalam rangka meningkatkan keefektifan sekolah. Keempat, perspektif tersebut dalam proses manajemen bersifat interdependensi dinamis. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini, di satu sisi merupakan proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk mengakomodasi proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan. Untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan beberpa paradigma, diantaranya paradigma desire, trust, confident, credibility, accountability, communication. Paradigma desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b) memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi untuk meningkatkan kinerja, dan (d) menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk melakukan self-control. Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d) menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja. Paradigma Confident merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win solution. Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan paradigma credibility, adalah (a) memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru lain untuk melakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas. Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d)
181
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e) menyediakan periode dan waktu pemberian feedback. Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan kebijakan open door communication, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalah secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk crosstraining. SIMPULAN 1. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru SMPN 21 Kota Malang a. Kepala sekolah selalu mengutamakan asas musyawarah dalam menyusun perencanaan, pengorganisasian dan kepemimpinan, serta dalam mengendalikan program yang telah menjadi ketetapan bersama. b. Dalam hal menjalankan perannya sebagai leader, kepala sekolah selalu memimpin, mengarahkan, mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya mempercayai dan memberdayakan tenaga pendidik melalui kerja sama, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga pendidik dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah. c. Dalam menjalankan perannya sebagai leader (pemimpin) ini, kepala sekolah menggunakan gaya kombinasi antara gaya kepemimpinan mendikte, menjual dan mendelegasikan. d. Dalam menjalankan perannya sebagai seorang tenaga pendidik (educator), kepala sekolah menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme para guru, memberikan bimbingan baik melalui rapat sekolah secara rutin maupun yang bersifat situasional. e. Dalam menjalankan perannya sebagai supervisor, kepala sekolah telah melakukan pengawasan serta pengendalian terhadap kinerja guru yang merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah bisa terarah pada tujuan yang telah ditetapkan, memperhatikan prinsip-prinsip kolegial, konsultatif dan sangat demokratis serta memposisikan dirinya sebagai orang yang berada di tengah-tengah para bawahannya. f. Dalam menjalankan perannya sebagai menciptakan iklim kerja yang kondusif agar para guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya, dengan selalu menginformasikan semua tujuan pendidikan kepada para guru. g. Dalam menjalankan perannya sebagai wirausahawan kepala sekolah melakukan pembaharuan-pembaharuan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi para guru. 2. Faktor-Faktor Kendala dan Pendukung dalam Peningkatan Profesionalisme Guru di SMPN 21 Kota Malang Faktor Kendala Faktor Kendala dalam upaya peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang meliputi: a. Masih adanya tenaga pendidik yang merangkap tugas di lembaga lain yang hal ini dinilai dapat mengganggu konsentrasi dalam bekerja. b. Rendahnya semangat tenaga pendidik dalam meningkatkan kompetensinya juga dapat berpengaruh pada kinerjanya.
182
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
c. Menumpuknya beban tugas yang diberikan kepada tenaga pendidik dapat menimbulkan rasa jenuh dalam tugasnya yang berakibat menurunnya semangat dan gairah bekerja secara maksimal. d. Sarana prasarana pendukung proses kegiatan belajar mengajar yang belum memadai. Faktor Pendukung Sedangkan faktor pendukung dalam upaya peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang meliputi: a. Dukungan Dinas Pendidikan Kota Malang dalam hal penciptaan sekolah unggulan. b. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar sekolah yang memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan akan memberikan kontrol baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyelenggaraan sekolah. c. Partisipasi Komite Sekolah yang maksimal baik dalam pemberian ide/gagasan, koreksi serta terlibat dalam perumusan-perumusan kebijakan sekolah. 3. Strategi Kepala Sekolah dalam Menangani Kendala-Kendala dalam Peningkatkan Profesionalisme Guru SMPN 21 Kota Malang Upaya-upaya yang dilakukan oleh kepala SMPN 21 Kota Malang, untuk menangani kendala-kendala dalam peningkatan profesionalisme guru antara lain: a. Berusaha untuk menumbuhkan disiplin guru sebagai tenaga pendidik untuk mengembangkan pola perilaku, meningkatkan standar perilakunya. b. Pemberian motivasi, baik motivasi yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. c. Pemberian penghargaan (reward). Dalam hal ini kepala sekolah secara terbuka menawarkan sebuah penghargaan (reward), yang dikhususkan bagi para tenaga pendidik yang berhasil meraih prestasi yang ada hubungannya dengan kegiatan akademik dilembaganya. d. Persepsi, dalam upaya untuk meningkatkan kinerja guru, juga dilakukan oleh kepala sekolah dengan memberikan perhatian penuh terhadap prestasi kerja para tenaga pendidik dengan menggunakan panca indera langsung. Hal ini dilakukan oleh kepala sekolah dengan didasari oleh asumsi bahwa dengan pemberian persepsi yang baik diyakini akan dapat menimbulkan iklim kerja yang lebih kondusif serta akan mampu meningkatkan produktivitas kerja. KETERBATASAN PENELITIAN Keterbatasan penelitian ini pada metode pengambilan sampelnya, karena tidak semua guru menjadi sampel sehingga belum bisa digunakan untuk menarik kesimpulan secara general. Untuk memperjelas hasil penelitian ini, diharapkan ada peneliti lebih lanjut untuk hasil yg bisa digeneralisasikan dalam strategi yang terkait dengan profesional guru. SARAN BAGI PENELITI BERIKUTNYA Dari proses pengolahan data dapat diketahui bahwa hasil penelitian yang terkait dengan strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru, ditemukan beberapa faktor penghambat dalam upaya tersebut . Sehingga perlu dikaji lebih lanjut temuan pada penelitian-penelitian lain yang sejenis sehingga bisa didapatkan penyempurnaan-penyempurnaan temuan dan akan dapat dijadikan referensi untuk penelitian berikutnya.
183
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
DAFTAR REFERENSI Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta Bogdan, R. C & S. J Taylor. 1993. Introduction to Qualitative Research Method; A Phenomenological Approach to the Social Science, Alih Bahasa Arief F, John Wiley and Sons-Usaha Nasional, New York- Surabaya. Bogdan, R. C., & Biklen,.S.K. 1998. Qualitative Research In Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston : Allyn and Bacon. Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi, Mmanajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Cipta. Jakarta. Cushway, Barry. 1994. Human resource management Fast-track MBA series Kogan Page: Pennsylvania State University Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia. Depdiknas. 2004. Pola Pembinaan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan PGSD. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2005. Undang-Undang RI Nomor 14 Tentang Guru dan Dosen.Jakarta: Depdiknas. Dimyati, H M. 2004. Paradigma dan Prinsip-Prinsip Penelitian Kualitatif. Makalah Lokakarya Metodologi Peneliitian Kualitatif. Lembaga Penelitian UM Malang Echols, John M. dan Hasan Shadily. 1997. Kamus Inggris-Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Faisal, Snapiah. 1990. Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: PT. UsahaUsaha Nasional. Fathan, A. 2005. Konsep dan Metode Penelitian Kualitatif beserta contoh proposal penelitiannya. Malang: PPs-UM Prodi Pendidikan Geografi Tidak dipublikasikan.. Fattah, N. 2003. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah MBS. dan Dewan Sekolah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy. Fullan. 2001. The Meaning of Educational Change. New York: Teachers College Press. Hasballah. 1999. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hasibuan, Malayu SP. 2001. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara. Hoy & Miskel, 1987. Education Administration.: Theory, Research and Practice. New York: Random Hause. 184
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
King, Patricia. 1993. Performance Planning and Appraisal. New York: McGraw-Hill Book Company. Lamatenggo. 2001. “Kinerja Guru: Korelasi antara Persepsi Guru terhadap Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja dan Kinerja Guru SD di Gorontalo”. Tesis. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Lincoln, Y. S & Guba E. G, 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hill: SAGE Publication. Inc. Luthans, F. 2002. Positive organizational behavior: Developing and managing psychological strengths. Academy of Management Executive, 16(1): 57-72 Malhotra, N.K. 1996. Marketing Research An Applied Orientation. Prentice Hall International. London Mantja, W. 2007. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas. Moedjiarto. 2001. Sekolah Unggul: Metodologi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Duta Graha Pustaka. Moleong, L. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mudhoffir, 1993. Prinsip-prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Bandung: Remaja Karya. Mulyana, D. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: PT. RajaGrafindo Persada. Nunung Chomzanah dan Atingtedjasutisna. 1994. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung : Penerbit Armico. Pannen dan Purwanto. 1997. Punulisan Bahan Ajar. Jakarta: Depdikbud Purnama, Nursya’bani. 2006. Yogyakarta: Ekonisia.
Manajemen
Kualitas:
Perspektif
Global.
Purwanto, Ngalim. 1998. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen serta UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS. Bandung: Penerbit Citra Umbara. Robbins, Stephen R. 2003. Perilaku Organisas Jilid I. Terjemahan Tim Indeks. Jakarta: PT. Ineks Kelompok Gramedia. Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sahertian. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan: Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Sawitri, Dyah. 2008. Program Pelatihan dan Pengembangan manajemen Sumber daya Manusia: Perspektif Teori Strategik. Jurnal Sosio-Religia Vol 7 No 4. Agustus 2008. 185
Dyah Sawitri Andarwati Sri Winarti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sergiovanni, T. J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Massachusetts: Alyn and Bacon. Siagian, Sondang P. 1992. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Siagian, Sondang P. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Silahahi, Ulbert. 2002. Studi tentang Ilmu Administrasi: Konsep, Teori, dan Dimensi. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sitepu, Bintang P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Steers, Richard M. 1985. Efektivitas Organisasi, Erlangga, Jakarta Strengthening Educational Leadership; The ISLLC Standards. Murphy, Joseph; Shipman, Neil; Pearlman, Mari Streamlined Seminar, v16 n1 p1-4 Sep 1997 Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Adminitrasi. Edisi Kelimabelas. Bandung: CV. Alfabeta. Supriadi, D. 2000. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah.Yogyakarta: Adicita. Sutopo 1999. Administrasi, Manajemen dan Organisasi. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Suyitno dan Tanzeh, 2007. Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya. Elkhaf Suyitno, 2008. Kepemimpinan Pendidikan dalam Orientasi Efektivitas Organisasi, Surabaya, Elkhaf. Suyitno, 2011. Model Pembinaan dan Supervisi Pendidikan. Malang, Sinar Akademika Malang. Tim Penyusun. 2010. Pedoman Format Penulisan Tesis, Program Pascasarjana Univ. Gajayana Malang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Wahibur, Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai kesuksesan organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam Usmara, A Ed..: Paradigma baru manajemen sumber daya manusia. 121-133. Yogyakarta: Amara Book. Wahjosumidjo. 1999. Kepemimpinan Kepala Sekolah: Permasalahannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Tinjauan
Teoritik
dan
Xaviery. 2004. Benarkah Wajah Sekolah Ada Pada Kepala Sekolah. Diambil dari www.diknas.go.id.
186
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Testing the Existence of January Effect in Indonesia and Kuala Lumpur Shari’ah Compliance
Helma Malini Faculty of Economy Department of Management Tanjungpura University West Kalimantan Indonesia Mohamad Jais Faculty of Economics and Bussines University Malaysia Sarawak Department of Management and Finance Sarawak Malaysia
Abstract This paper investigates the existence of January Effect in Indonesia and Malaysia Shari’ah stock market and the implication for stock market efficiency. Shari’ah Compliance is relatively a new industry both for Indonesia and Malaysia, although the growth is continously increasing over the year. There are significant differences between investing in Shari’ah compliant than the conventional stock market, since Shari’ah capital market have to followed a set of rules form the stock exchange and also followed Islamic capital market law and principles. Study that focusing about Shari’ah compliance both for Indonesia and Malaysia is still rare, that is why this study taking one step further by examining the january effect in Indonesia and Malaysia Shariah compliance. Regression model with dummy variables and monthly price of companies that classified in the Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance from January 2000 to December 2012 to test the Janaury effect in the stock return of Indonesia Shari’ah compliance and Kuala Lumpur Shari’ah compliance. It was empirically found that, although Janaury anomaly does not exist in Indonesia Shari’ah compliance and in Kuala Lumpur Shari’ah compliance. Other result showed that both Shari'ah compliance also enjoyed significant return in other month beside January which is July for Indonesia and September, October and November for Malaysia, which raises question against Efficient Market Hypothesis (EMH).
Keywords: Calendar effects, Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance, January Effect, Efficient Market Hypothesis
187
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
I. Introduction For almost ten years after the publication of Fama’s classic exposition in 1970, the Efficient Markets Hypothesis (EMH) dominated the academic and business scene. According to this hypothesis the market is efficient if its price are formed on the basis of all available information. Stock market is efficient not only if all relevant information about the company are incorporated into stock price, but also influence investor rationality in taking investment decisions. The assumption that investors are rational and therefore value investments rationally – that is, by calculating the net present values of future cash flows, appropriately discounted for risk – has not been supported by empirical evidence. Rather the evidence shows that investors are affected by herd instinct, a tendency to “churn” their portfolios, and a tendency to under-react or over-react to news or asymmetrical judgements about the causes of previous profits and losses. Furthermore, many alleged anomalies have been detected in the patterns of historical share prices. The best known are calendar anomalies. The objective of this study is to investigated the existence of “turn-of-the-year” or January effect in Islamic capital market or familiar with the term of Shari’ah compliant. The January effects a seasonal irregularity of the financial market where tock prices tend to fall towards the end of December and then recuperate quickly in the first month of the New year, i.e., January. Monthly value of Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance for ten years from 2000 to 2012, has been employed for detecting January effect of Shari’ah compliance from both countries. Regression modles coupled with dummy variables is used to test the existence of January effect. The reason for choosing Shari’ah compliant as the backgorund of study is looking at the growth of the industry both in Indonesia and Malaysia. In Indonesia about 86.1% of 230 million of population are Muslim, which makes Indonesia the biggest Muslim majority country in the world. Therefore, Indonesia offers bright prospects for the development of Islamic capital market. Based on the 2012 Indonesian Islamic Capital Report, the development of Shari’ah stocks on the Indonesia Shar’iah Securities List shows an increasing number from 173 in 2007 to 253 Shari’ah stocks in 2012. As March 2012, the percentage of Shari’ah stocks have exceeded the percentage of conventional stocks at 50.7%. While in Malaysia the growth of Shari’ah compliance is very significant showed by number of listed companies in 2012 were 766 and the percentage of exceeded the percentage of conventional stocks at 82.3%. Thus making comparison between Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance are appropriate since not only both countries are geographically closed but also of the strong correlation and integration of Shari’ah stock market in both countries.
II. Literature Review
The January effect is a calendar-related market anomaly in the financial market where financial security prices increase in the month of January. This creates an opportunity for investors to buy stock for lower prices before January and sell them after their value increases. Therefore, the main characteristics of the January Effect are an increase in buying securities before the end of the year for a lower price, and selling them in January to generate profit from the price differences. The recurrent nature of this anomaly suggest that the market is not efficient, as market efficiency would suggest that this effect should disappear. Keim 188
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
(1983) shows that a large part of the year return is due to January effect and especially to the excess return obtained in the first days of trading in January; the relation between the company size and the excess return being negative. Horowitz, Loughran and Savin (2000) are consistent with the existence of January effect - the existence of higher average return in January in comparison with the average returns for the rest of the year's months, but their paper does not support the negative relation between the excess return in January and the company's size. January effect has also been detected in Canada (Berges, McConnell, & Schlarbaum, 1984), Japan (Kato & Schallheim, 1985), Malaysian (Nassir & Mohammad, 1987), U.K. (Mills & Coutts, 1995), Greece (Mills, Siriopoulos, Markellos & Harizanis, 2000), Chile, Greece, Korea, Taiwan and Turkey (Fountas & Segredakis, 2002), India (Pandey, 2002), Sweden (Hellstrom, 2002), Nepal (Bahadur & Joshi, 2005), Poland, Romania, Hungary and Slovakia (Asteriou & Kovetsos, 2006), Argentina (Rossi, 2007). However, conflicting results are also available. For instance, January effect in Jordon (Maghayereh, 2003), Greece (Flores, 2008), Brazil, Chile and Mexico (Rossi, 2007) wasn’t detected. December, and new information effect. Tax-loss selling hypothesis (Branch, 1977) asserts that in December, i.e., end of tax year, investors tend to sell out the stocks held to realize capital losses. This helps them in reducing tax paid by them on their gains. As a result of this downward trend in market, stock prices go down. As the new tax year starts in January, investors again start to buy stocks and this upward drift pushes the stock prices up. Window dressing hypothesis (Haugen & Lakonishok, 1988) posits that, to manipulate their performance, fund managers, avoid showing losers at their credit at year end, and thus start selling loser stocks from their fund and let only the winners stay in their portfolio. However, on January, fund managers reverse their action and start selling winners and put small stocks back in the portfolio. These window dressing actions by the fund managers create artificial downward pressure (and low returns) in December and upward pressure in the market (and high returns) in January.
III. Research Method 3.1 Data This Section offers a brief description of the research method and the data set. Using daily closing price of Indonesia Shari’ah compliance and Malaysia shari’ah compliance from the period of 2000 : 1 to 2012 : 12. The companies that classified as Shari’ah in Indonesia are 214 companies while in Malaysia there are 766 companies. Since Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance has experienced major structural changes with the potential for affecting market efficiency, we divide our chosen sample period into three following sub periods of differing market stages : 1. January 1, 2000 – 2004; periods during its early stages of Indonesia Shar’iah compliance and Malaysia Shari’ah compliance development. In the early stages showed that many turbulances influence the establishment of shari’ah indices in both countries specially in term of policy and socialization.
189
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
2. January 1, 2005 – 2008; periods during which the Indonesia Shari’ah Compliance and Kuala Lumpur Shari’ah compliance stock market grew significantly in size and number. The growth of Indonesia Shari’ah Compliance and Malaysia Shari’ah compliance are because both countries has implemented and formulated socialization process. 3. January 1, 2009 – 2012 periods after market crash. The period after market crash showed that both shari’ah index in Indonesia and Malaysia are reluctant to several crisis such as Subprime mortgage crisis in US and debt crisis in Europe. The stages allowed us to test for the presence of January effect over shorts period of time. It also enables us to determine whether there was January effect in the Indonesia and Malaysia Shari’ah compliant. 3.2 Methodology Monthly return of DSI Index is calculated as the natural log of [today’s Index Value / previous day’s Index Value]:
Rt = In(
)
(1)
Where: Rt = Monthly return of ISC and KLSC Pt = Closing value of ISC and KLSC Index at time t. Pt-1= Closing value of ISC and KLSC Index at time t-1. The reasons to choose logarithm returns over general return are justified by both theoretically and empirically. Theoretically, logarithmic returns are analytically more tractable when linking together sub-period returns to form returns over longer intervals. Empirically, logarithmic returns are more likely to be normally distributed which is prior condition of standard statistical techniques (Strong, 1992). To test the existence of monthly seasonality, the following basic regression model is used: Rt =
C + β2Dfeb + β3Dmar +β4Dapr + β5Dmay +β6Djun + β7Djul + β8Daug + β9Dsep + β10Doct + β11Dnov + β12Ddes+ μᵗ
(2)
Where, Rt is the monthly return and the intercept term, C , indicates the average return for January. Di is a dummy variable that takes the value of 1 in month and i zero otherwise. For instance, DFeb = 1 if the return is on February and 0 otherwise; DMar = 1 if the return is on March and 0 otherwise; DDec = 1 if the return is on December and 0 otherwise and so on. The OLS coefficients β2 to β12 indicate the difference in return between January and the i th month of the year. The stochastic disturbance term is denoted by μᵗ
190
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
IV. Result and Discussion
Figure 1. ISC (Indonesia Shari’ah Compliance) Monthly Return from 2000-2012
Figure 1 showed the monthly return for Indonesia Shariah compliance from the year 2000-2012. The monthly return from the January until December showed volatility. The graphics noted in certain months Indonesia having increasing and decreasing towards their monthly return. On average month of the year showing stability of monthly return. May 2007 showed increasing of the monthly return at 208.29, while on December 2003, July 2005, and July 2010 are showing decreasing in the monthly return with average point of -99.00. From the behavioural investor perspective we can see that investor the movement related to investor behaviour particularly during crisis and the increasing of oil prices in Indonesia that happened in 2004, which was the first democration general election in Indonesia, continoued with the increasing of oil price in 2006 and subprime mortgage crisis in 2008.
Figure 2. KLSC (Kuala Lumpur Shariah Compliance) Monthly Return From 2000-2012
Figure KLSC (Kuala Lumpur Shari’ah Compliance) monthly return from 2000-2012
191
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Monthly return for Kuala Lumpur Shari’ah compliance was showing stability although in year 2008 and 2010 there was some decreasing point. Looking back at that year there was national election in Malaysia (2008) and several bombing that happened in praying places (2010), although Malaysian society is very sensitive towards the increasing of oil prices, the monthly return showed no reaction at 1.74 point. From the behavioural perspective we can see that investor in Kuala Lumpur Shari’ah Compliance were more prone to the social and political condition in their country including global financial crisis that surely bring severe impact to the investing condition. Return data has been tested for unit roots employing the augmented Dickey-Fuller (ADF) test. The results of the ADF test, presented in table 1, leads to rejection of the hypothesis of a unit root, so that the monthly in Indonesia and Kuala Lumpur Shari’ah compliance returns series can be taken to be stationary.
Table 1 Test for unit roots for Indonesia Shari’ah Compliance (ISC) and Kuala Lumpur Shari’ah compliance (KLSC) ISC 1 Lag 5 Lag 10 Lag
ADF With Constant KLSC
-09.5882 (6.339e-024)*** -6.38915 (1.726e-011)*** -3.96975 (9.861e-007)***
-10.5643 (6.738e-028)*** -8.23940 (1.834e-001)*** -5.674543 (8.872e-016)***
ISC
ADF Without Constant KLSC
-11.7343 (7.683e-025)*** -7.46633 (1.71e-011)*** -5.02877 (1.782e-005)***
-9.9836 (9.764e-034)*** -6.56453 (1.71e-043)*** -5.08733 (1.756e.004)***
Note: figures in the parentheses show p-values. *** indicates significant at 1% level.
Table 2 Summary Statistics of Monthly Returns Indonesia Shari’ah compliance Statistics January February March April May June July August September October November December
Observations 289 231 242 231 242 231 220 187 242 241 242 231
Mean -0.0186 -0.0221 -0.0022 -0.0125 0.0252 0.0506 -0.0081 0.0109 0.0271 0.0413 0.0191 -0.0046
t-stats -0.2213 -0.1626 -0.2893 -0.2344 -0.0831 -0.0804 -0.1431 -0.1566 -0.0618 -0.1521 -0.1714 -0.2671
Variance 0.5576 0.2183 0.3134 0.2137 0.2396 0.2859 0.1879 0.1696 0.3159 0.5692 0.2546 0.1469
Skewness 1.2512 -2.8137 -0.0844 -0.2885 1.0748 1.0064 0.6904 0.016 2.7519 2.9903 0.6453 -2.6359
Kurtosis 4.2594 11.2397 1.8952 1.7653 2.3908 1.4775 0.3974 1.7085 10.188 12.9692 0.4085 11.4431
Table 2 provides a summary of statistics on the mean returns for each month of Indonesia Shari’ah compliance. The descriptive statistics run for the whole periods : 2000-2010. The results showed that mean return for Indonesia is positive in the month of May, June, August, September, October and November while the rest of the month is showed negative returns, while March suffers lowest return, June observes the highest return in stock market in 192
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Indonesia Shari’ah Market. Returns exhibit negative skewness (i.e., data are skewed to the left) for four months and positive skewness (i.e., data are skewed to the right) for eight months. Five months have kurtosis greater than three which represents leptokurtic distribution, i.e., flatter tails than the normal distribution. Table 3 Summary Statistics of Monthly Returns Kuala Lumpur Shari’ah compliance Statistics January February March April May June July August September October November December
Observations 198 209 231 242 242 231 220 209 231 242 231 165
Mean 0.03226 -0.01322 -0.01444 -0.01327 -0.01704 -0.00550 -0.01062 -0.01421 0.01295 0.01286 0.01731 0.00686
t-stats -0.02603 -0.01350 -0.01211 -0.07890 0.02123 0.03271 0.01791 0.01867 0.01951 0.04460 0.02112 -0.01622
Variance 0.02124 0.01378 0.00872 0.01210 0.01316 0.01295 0.01486 0.01731 0.00886 0.01583 0.01173 0.01568
Skewness -0.7388 -0.3467 -0.5260 -0.1227 -0.2084 -0.0804 -0.8530 -0.3603 -0.4229 -0.4008 -0.1519 -0.4416
Kurtosis 7.8385 5.3195 10.797 5.7002 6.1468 7.5173 7.2839 7.6900 7.1434 8.4188 11.346 5.8470
Table 3 provides a summary of statistics on the mean returns for each month of Malaysia Shari’ah compliance. The descriptive statistics run for the whole periods : 2000-2010. The results showed that mean return for Malaysia Shari’ah compliance is positive in the month of January, September, October, November and December. while the rest of the month is showed negative returns, while June suffers lowest return, January observes the highest return in stock market in Malaysia Shari’ah compliance. Returns exhibit negative skewness (i.e., data are skewed to the left) for four months and positive skewness (i.e., data are skewed to the right) for eight months. Five months have kurtosis greater than three which represents leptokurtic distribution, i.e., flatter tails than the normal distribution. Table 4 Regression analysis for period 2000-2012 (dependent variable: logarithmic return) Indonesia Shariah Compliance Coefficient
Intercept (C) DFebruary DMarch DApril DMay DJune DJuly DAugust DSeptember DOctober DNovember DDecember R-squared
-0.0332656 -0.0233915 0.0312119 -0.0112227 -0.0313121 -0.0233192 0.0120816 0.0454851 -0.0232023 0.0480856 -0.0310151 -0.0321086 0.1321742
Std. Error
0.0214116 0.0325412 0.0125851 0.0140731 0.0340714 0.0060752 0.693472 0.0342541 0.0340752 -0.0340752 0.0360752 0.0875114
t-ratio
-0.5163 -0.6374 0.2205 -0.0612 -1.0508 -0.4865 0.7944 -0.1163 -0.0140 1.0432 -0.7100 -1.3249 Adjusted R-squared
p-value
0.26295 0.41281 0.42111 0.83204 0.25460 0.65810 0.48119 0.59969 0.88991 0.20911 0.35473 0.12942 0.02225
Note: *** indicates significant at 1% level;** indicates significant at 5% level; * indicates significant at 10% level.
193
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Table 4 shows regression results for the partial sample period January, 2000 to December, 2012. In this sample period, the mean return for January is negative while the July effect is positively stand out and reliable. This result showed that January effect is not exist in Indonesia Shari’ah compliance and investor were not influence to effect and event that happened around december until January. The result also parallel with the theory of Efficient Market Hypothesis where is no investor could earn abnormal profit during certain month or taking advantages towards new information that arrives in certain month. Table 5 Regression analysis for period 2000-2012 (dependent variable: logarithmic return) Kuala Lumpur Shariah Compliance Coefficient
Intercept (C) DFebruary DMarch DApril DMay DJune DJuly DAugust DSeptember DOctober DNovember DDecember R-squared
-0.00892203 -0.00633712 -0.00611287 0.00236818 0.01332322 0.543435623 0.0123706 0.0251077 0.024021 0.0564435 0.5644554 -0.8383415 0.34804
Std. Error
0.0322269 0.1310779 0.1210778 0.0310889 0.0411779 -0.021077 0.0332779 0.0410877 0.0210669 -0.0210669 0.0891669 0.0326196
t-ratio
-0.3082 -0.3231 -0.2358 -0.0653 -0.6692 0.0448 -0.0220 0.3833 1.0241 1.5430 0.3428 -0.0956 Adjusted R-squared
p-value
0.65272 0.70715 0.81377 0.54915 0.34657 0.04165 0.88043 0.56939 0.21251 0.65290 0.54357 0.9237 0.00289
Note: *** indicates significant at 1% level; ** indicates significant at 5% level; * indicates significant at 10% level.
Table 5 shows regression result for the partial sample period January, 2000 to December, 2012. In this sample period, the mean return for January is negative while the September, October and November effect positively stand out and reliable. The result of Kuala Lumpur Shari’ah compliance also the same with Indonesia Shari’ah compliance that the existence of January effect is non existence, although in July, august, september and november investor could earn profit above abnormal return, which also against the Efficient Market Hypothesis. Through the period of 2000-2012, January anomaly in Indonesia Shari’ah Compliance is not found. Although during the sample period, mean stock return in December to April was negative. April is the first month of the financial year in Indonesia, and the absence of significant positive return in July rejects usefulness of tax-loss selling hypothesis. The same result also came from the Kuala Lumpur Shari’ah compliance where January effect is not found, although first month of the financial year start at January in Malaysia. However, there are significant positive June anomaly in Indonesia Shari’ah Compliance and April anomaly for Kuala Lumpur Shari’ah compliance. Both result are parallel with Efficient Market Hypothesis. The existence of significicant positive in July for Indonesia Shari’ah Complianve and September, October and November for Kuala Lumpur Shari’ah compliance showed that investor enables to forecast future stoc prices by observing the current trend in stock market and can devise investment strategies which may help them to outperform the market.
194
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
V. Conclusion
To explain the non existence of January effect in Indonesia Shari’ah compliance, we can give several explanation; First, from behavioural perspective or more known as holiday pyschology, this term more related or against to the Efficient Market Hypothesis, where during holiday investor tend to taking a break from investing activity which is happened in christmas holiday followed with the new year holiday, and after the break, January would be a proper month to start investing, while in Indonesia and Malaysia investor tend to react normally during the holiday season. Second, investing in Shari’ah compliance meaning that this compliance is more sensitive to riba or interest rather than tax, although tax is great motivation to earn benefit at the ehnd of the year, but the wash rule of 30 days expiration date does not interest investor in Shariah compliance.
References Asteriou, D., & Kovetsos, G. 2006. Testing for the existence of the January effect in transition economies. Applied Financial Economic Letters, 2(6), 375-381. http://dx.doi.org/10.1080/17446540600706817 Bahadur, K. C. F., & Joshi, N. K. 2005. The Nepalese stock market: efficiency and calendar anomalies. Economic Review, 17(17). Berges, A., Mcconnel, J. J., & Schlarbaum, G. G. 1984. The turn of the year in Canada. Journal of Finance, 39(1), 185-192. http://dx.doi.org/10.1111/j.1540-6261.1984.tb03867.x Branch, B. 1977. A tax loss trading rule. Journal of Business, 50(2), 198-207. http://dx.doi.org/10.1086/295930 Fama, E. F. 1970. Efficient capital markets: A review of theory and empirical work. Journal of Finance, 25(2), 383-417. http://dx.doi.org/10.2307/2325486 Floros, C. 2008. The monthly and trading month effects in Greek stock market returns: 1996-2002. Managerial Finance, 34(7), 453-464. http://dx.doi.org/10.1108/03074350810874415 Fountas, S., & Segredakis, K. N. 2002. Emerging stock markets return seasonalities: the January effect and The tax-loss selling hypothesis. Applied Financial Economics, 12(4), 291-299. http://dx.doi.org/10.1080/09603100010000839 Haugen, R. A., & Lakonishok, J. 1988. The incredible January effect: the stock market’s unsolved mystery. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin. Hellstrom, T. 2002. Trends and calendar effects in stock returns (Working Paper). Retrieved from http://www.citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary? Horowitz, J.L., T. Loughran, and N.E. Savin, 2000, “Three Analyses of the Firm Size Premium,” Journal of Empirical Finance, 7, 143-153. Kato, K., & Schallheim, J. S. 1985. Seasonal and size anomalies in the Japanese stock market. The Journal Of Financial and Quantitative Analysis, 20(2), 243-260. http://dx.doi.org/10.2307/2330958 Keim, D. 1983. Size-related anomalies and stock return seasonality: Further empirical evidence. Journal of Financial Economics, 12(1), 12-32. http://dx.doi.org/10.1016/0304405X(83)90025-9 195
Helma Malini Mohamad Jais
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Maghayereh, A. 2003. Seasonality and January effect anomalies in an emerging capital market. The Arab Bank Review, 5(2), 25-32. Mills, T. C., & Coutts, J. A. 1995. Calendar effects in the London Stock Exchange FT-SE Indices. European Journal of Finance, 1(1), 79-94. http://dx.doi.org/10.1080/13518479500000010 Mills, T. C., Siriopoulos, C., Markellos, R. N., & Harizanis, D. 2000. Seasonality in the Athens Stock Exchange. Applied Economics Letters, 10(2), 137-142. Nassir, A., & Mohammad, S. 1987. The January effect of stocks traded on the Kuala Lumpur stock exchange: an empirical analysis. Hong Kong Journal of Business Management, 5, 33-50. Pandey, I. M. 2002. Is there seasonality in the SENSEX monthly returns? Working Paper, No.WP 2002-09-08. Retrieved from http://www.iimahd.ernet.in/publications Rossi, M. 2007. Calendar anomalies in stock returns: evidence from South America. Bachelor Thesis, Lappeenranta University of Technology. Strong, N. 1992. Modelling abnormal returns: a review article. Journal of Business, Finance and Accounting, 19 (4), 533-553.
196
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Perancangan Knowledge Management System pada Bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia Joeliaty Ajeng Pritha Aryani Program Studi Manajemen Dan Bisnis Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Padjadjaran Abstract The problem that emerged on every organization now days especially company is how to increase sustainable knowledge from their human resources that suitable with the challenges faced. However, a lot of organizations such as PT Dirgantara Indonesia is not yet or have not discovered hidden knowledge within their employees. Therefore, the objective of this research is to find a constructive plan, implementation and evaluation of Knowledge Management System (KMS) that should be applied to PT Dirgantara Indonesia. Research method used on this paper is descriptive qualitative methodology, 10-step knowledge management roadmap, and differentiation quantitative test. The results from this research are implementations on business startegy of PT Dirgantara Indonesia on their Training and Education Department, with personal approach. Knowledge that needs to be followed is career analysis method, English language ability, SAP creation and system analysis. Those implementations are running through online forum such as intranet portal and offline forum such as scheduled formal forum.
Keywords : knowledge management strategy, knowledge management system, 10 steps roadmap, SECI model, MOODLE I.Pendahuluan Perubahan dunia ini mengarah ke fenomena bahwa sumber ekonomi bukan lagi dalam bentuk money capital atau sumber daya alam, tapi ke arah knowledge capital. Persaingan ini oleh Peter F. Drucker disebut sebagai “knowledge to knowledge competition”. Artinya, semakin kuat pengetahuan dari SDM suatu organisasi, semakin kuat daya saingnya. Maka, masalah yang dihadapi setiap organisasi, khususnya perusahaan, pada saat ini adalah bagaimana agar perusahaan mampu meningkatkan pengetahuan secara berkelanjutan dari SDM-nya yang sesuai dengan tuntutan tantangan yang dihadapi. Namun, banyak organisasi belum atau tidak mengetahui potensi pengetahuan tersembunyi yang dimiliki oleh karyawannya. Setiap orang mengetahui bahwa organisasinya mengetahui sesuatu, tetapi seringkali tidak tahu bagaimana mendapatkan informasi tersebut atau mendapatkan nama ahli terkait informasi tersebut (Burk 1999). Hal ini didukung oleh Riset Delphi Group yang menunjukkan bahwa pengetahuan dalam organisasi tersimpan dalam struktur : 42% dipikirkan (otak) karyawan, 26% dokumen kertas, 20% dokumen elektronik, 12% knowledge base elektronik. Fakta umum ini memang terjadi dimana-mana, bahwa aset pengetahuan sebagian besar tersimpan dalam pikiran kita yang disebut tacit knowledge. Oleh karena itu, knowledge management ada untuk menjawab persoalan ini yang proses mengubah 197
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
tacit knowledge menjadi knowledge yang mudah dikomunikasikan dan didokumentasikan (explicit knowledge). Kesadaran untuk menerapkan pendekatan knowledge management ke dalam strategi bisnis diperlukan karena terbukti perusahaan yang menjadikan pengetahuan sebagai sumber daya utamanya senantiasa mampu mendorong perusahaan lebih inovatif yang bermuara pada kepemilikan daya saing perusahaan. Posisi pengetahuan yang sedemikian penting dalam konteks daya saing perusahaan saat ini membuat Komite Malcolm Baldrige memasukkan kriteria knowledge management ke dalam salah satu dari tujuh kriteria penilaiannya. PT Dirgantara Indonesia atau Indonesian Aeorospace (IAe) adalah industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan ini dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. PT DI didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000. PT DI didukung oleh 3.720 tenaga kerja yang semula berjumlah 9.670 orang. Dalam rangka menyediakan sumber daya teknisi pendukung produksi part pesawat terbang pada tahun 1978 dibentuklah PUSDIKLAT di bawah Direktorat Umum. Dalam perkembangannya PUSDIKLAT berubah menjadi Diklat yang merupakan pusat penyelenggaraan training baik teknis maupun nonteknis di bawah Departemen Pelatihan dan Pengembangan SDM. Diklat kini hanya memiliki 12 orang karyawan setelah adanya lay off massal. Bagian Diklat yang merupakan pusat penyelenggaraan training memiliki peran penting dalam proses operasional di PT Dirgantara Indonesia. Dengan jumlah karyawan yang sedikit, Diklat harus terus mampu menjadi ‘penyedia kompetensi’ bagi karyawan PT DI secara terus menerus dan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, masing-masing individu menjadi spesialis dan tidak adanya pendistribusian pengetahuan antarkaryawan. Dengan banyaknya pengetahuan yang terus mengalir, maka perlu ditangkap, diklasifikasi, disimpan, disebarkan, dan diaplikasikan sehingga menjadi nilai pengetahuan yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pekerjaan karyawan dan keberlangsungan training di Diklat. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijabarkan diatas, maka dirumuskan masalah yang akan dianalisis sebagai berikut : Bagaimana perbandingan metodologi knowledge management secara teori dan praktek? Bagaimana perancangan knowledge management system yang sebaiknya diterapkan di bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia yang mencakup pemilihan infrastruktur teknologi, penerapan model SECI, rancangan implementasi KMS, portal intranet, pengelolaan implementasi (perubahan, budaya, dan reward), dan instrumen evaluasi KMS? Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan perbandingan metodologi knowledge management secara teori dan praktek dan untuk mendapatkan rancangan knowledge management system yang sebaiknya diterapkan di bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia yang mencakup pemilihan infrastruktur teknologi, penerapan model SECI, rancangan implementasi KMS, portal intranet, pengelolaan implementasi (perubahan, budaya, dan reward), dan instrumen evaluasi KMS. 198
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
II. Kajian Pustaka Tiwana (2000) mendefinisikan knowledge management sebagai pengelolaan knowledge perusahaan dalam menciptakan nilai bisnis (business value) dan menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage) dengan mengoptimalkan proses penciptaan, pengomunikasian, dan pengaplikasian semua knowledge yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan bisnis. Davidson dan Voss (2002) mendefinisikan knowledge management sebagai sistem yang memungkinkan perusahaan menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja perusahaan. Sementara menurut Karl-Erick Sveiby (1998) knowledge management adalah seni penciptaan nilai dari intangible asset. Menurut Paul L. Tobing (2007), knowledge management system adalah mekanisme dan proses yang terpadu dalam penyimpanan, pemeliharaan, pengorganisasian informasi bisnis dan pekerjaan yang berhubungan dengan penciptaan berbagai informasi menjadi aset intelektual organisasi yang permanen. Michel Polanyi (1966) membedakan pengetahuan dalam dua bentuk yaitu tacit dan explicit knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang masih berada dalam otak atau pikiran manusia/individu yang tersimpan dalam pengalaman individu dan faktor-faktor tak berwujud, seperti kepercayaan pribadi, perspektif, dan sistem nilai. Tacit knowledge sulit untuk diartikulasikan dengan bahasa formal. Isinya mencakup pemahaman pribadi, intuisi, dan firasat. Sebelum dikomunikasikan, tacit knowledge harus diubah dalam bentuk kata-kata, model, atau angka-angka yang dapat dipahami. Explicit knowledge atau terkadang disebut pengetahuan formal adalah pengetahuan yang dapat diartikulasikan dan telah dikodifikasikan sehingga bisa disampaikan dalam bahasa, juga termasuk nomor dan kata, tanda matematika, spesifikasi, manual, dal lainnya. Pengetahuan eksplisit juga siap disebar pada yang lainnya. Selain itu pengetahuan eksplisit bisa dengan mudah diproses oleh komputer, alat elektronik, atau basis data penyimpanan. Nonaka dan Takeuchi (The Knowledge Creating Company, 1995 : 63-69) lebih lanjut mendiskusikan empat gaya konversi atau ciptaan pengetahuan yang diperoleh dari kedua macam pengetahuan. Keempat gaya konversi ini disebut model SECI (S:Sosialization, E:Externalization, C: Combination, ,dan I:Internalization). Model pertama diberi nama oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dengan istilah sosialisasi. Sosialisasi meliputi kegiatan berbagi pengetahuan tacit antar individu. Model kedua adalah eksternalisasi. Eksternalisasi membutuhkan penyajian pengetahuan tacit ke dalam bentuk yang lebih umum sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Model yang ketiga, kombinasi meliputi konversi pengetahuan eksplisit ke dalam bentuk himpunan pengetahuan eksplisit yang lebih kompleks. Model terakhir, internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi dari pengetahuan eksplisit ke dalam pengetahuan tacit organisasi. Hansen dan kawan-kawan (1999) mengemukakan bahwa ada dua jenis strategi knowledge management, yakni strategi kodifikasi dan personalisasi. Strategi kodifikasi adalah salah satu strategi KM yang menitikberatkan perhatian sistem knowledge management organisasi terhadap pengelolaan explicit knowledge, termasuk di dalamnya penggunaan database pengetahuan yang tersimpan dalam storage komputer/server. Strategi personalisasi adalah strategi KM yang meniktikberatkan sistem knowledge management organisasi terhadap 199
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
konektivitas antar individu. Strategi ini biasanya dipakai pada organisasi yang memerlukan penggunaan tacit knowledge yang tinggi di dalam suatu organisasi. III.Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Dirgantara Indonesia bagian Diklat , yang terdiri dari 12 karyawan , sebagai populasi. Untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif untuk melakukan prosedur penyusunan rancangan knowledge management system, yang mengacu pada metodologi 10-step Knowledge Management Roadmap sebagai berikut :
Sumber : Amrit Tiwana (2000 : 101)
200
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sedangkan untuk mengetahui strategi penerapan manajemen pengetahuan yang dilakukan PT Dirgantara , digunakan metode uji beda antara strategi personalisasi dan strategi kodifikasi. IV.Hasil dan Pembahasan Berikut adalah langkah-langkah metodologi 10 step roadmap yang dilaksanakan PT Dirgantara Indonesia Bagian Diklat. Langkah 1 : Analisis Infrastruktur Keadaan infrastruktur Diklat : • Telah memiliki jaringan LAN dan dimanfaatkan untuk keperluan internet (128 Kbps) dan intranet (100 Mbps) • Topologi jaringan LAN : star dan peer to peer • Hardware yang dimiliki : 5 komputer di ruangan kelas, 12 komputer utk masingmasing karyawan, 2 laptop, 7 printer, dan 5 unit telepon • Software yang dimiliki : OS, Ms. Office, Visual Basic, PHP, MySql, Camtasia, CATIA, Adobe Acrobat, Browser • Keperluan intranet menggunakan Ms. Outlook dengan email add masing-masing yang telah diberikan perusahaan • Keperluan internet menggunakan 2 user id yang digunakan secara bergantian • Secara keseluruhan para karyawan sudah merasa cukup dengan infrastruktur yang ada tetapi masih merasa kurang pada memory komputer terutama untuk keperluan explorasi database dan penggunaan CATIA Advance. Gambar 1 Topologi jaringan LAN di Diklat
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
201
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Langkah 2 Mengintegrasikan Knowledge Management Dengan Strategi Bisnis Tabel 2 Analisis SWOT Strength (S) 1. Diklat memiliki trainer yang semuanya telah bersertifikat TOT 2. Trainer adalah para ahli di bidangnya dengan pengalaman yang lebih dari 20 tahun sebagai trainer 3. Menjadi tumpuan pelaksanaan training (efek regulasi) untuk seluruh unit di perusahaan 4. Memiliki fasilitas kelas, bengkel dan laboratorium lengkap 5. Trainer multi tasking baik secara struktural maupun bidang pengajaran Opportunity (O) 1. Hubungan yang harmonis dengan seluruh unit 2. Masih sangat sedikitnya sekolah/pendidikan industri penerbangan 3. Beberapa airliner dan bandara sudah melakukan lobi untuk melakukan kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan tenaga mekanik pesawat terbang berlisensi
Weakness (W) 1. Diklat hanya memiliki sedikit karyawan yaitu 12 orang 2. Hampir semua karyawan Diklat mendekati masa pensiun 3. Tidak jelasnya batas waktu policy tentang regenerasi 4. Kurang adanya dukungan keuangan dari perusahaan 5. Operasional kurang leluasa karena birokrasi yang cukup panjang
Threat (T) 1. Adanya kebijakan zero recruitment pada bagian non produksi 2. Kebijakan dukungan pemerintah yang masih belum jelas, karena eksistensi sebuah industry pesawat terbang sangat tergantung pada campur tangan pemerintah (industry strategis perlu dukungan dan biaya yang besar) Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Dengan memperhatikan kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O), dan ancaman (T), maka strategi yang dapat dilakukan Diklat PT DI adalah : 1. Analisis kekuatan (S) dan peluang (O) : mengembangkan Diklat sebagai training center pencetak tenaga mekanik pesawat terbang yang berlicense
202
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
2.
3.
4.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Analisis kekuatan (S) dan ancaman (T) : Meningkatkan pembelajaran para trainer dengan penyediaan sumber-sumber atau tools pembelajaran Mengadakan forum-forum untuk mengevaluasi metode pelatihan yang ada agar kualitasnya bisa meningkat dan tetap hemat biaya Analisis kelemahan (W) dan peluang (O) : Mengadakan kerja sama dengan pihak eksternal untuk menyelenggarakan sekolah/training center Memanfaatkan hubungan yang harmonis dengan seluruh unit untuk melancarkan kegiatan operasional Analisis kelemahan (W) dan ancaman (T) : Memaksimalkan potensi karyawan yang ada dengan melakukan training dan pemberian insentif Melakukan kodifikasi pengetahuan untuk meminimalisir pengetahuan yang keluar
Setelah mengolah hasil kuesioner strategi bisnis dengan uji beda independen/bebas hasilnya adalah sebagai berikut : Tabel 3 Hasil uji beda strategi bisnis Group Statistics Strategi Bisnis Total Kodifikasi
Std. Deviation
N
Mean
12
24.5833 3.20393
Std. Mean
Error
.92489
personalisasi 12 32.0833 4.88892 1.41131 Sumber : Data primer yang diolah, 2010 Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa fokus pengembangan KMS di bagian Diklat adalah personalisasi yaitu lebih fokus pada pertukaran pengetahuan tacit antarkaryawan. Berdasarkan hasil kuesioner, knowledge gap yang ada di bagian Diklat adalah , pengetahuan yang perlu ditindaklanjuti karena memiliki knowledge gap tinggi, yaitu >1 adalah : - Career analysis method - Bahasa inggris - Cara pembuatan satuan pelajaran - Analisis sistem - Administrasi umum Langkah 3 : Merancang Infrastruktur KM Untuk mendukung penerapan Knowledge Management di bagian Diklat perlu dilakukan bebrapa pengembangan diantaranya : Topologi yang digunakan diubah dari peer to peer menjadi client and server Penyediaan satu buah komputer server dengan spesifikasi : Intel® Core™2 Duo Processor E7500 (3M Cache, 2.93 GHz, 1066 MHz FSB), HDD 2x 72GB, Gigabyte G31M-ES2C, dan Kingston 2GB PC6400 DDR2 (Spesifikasi komputer server harus lebih tinggi dari spesifikasi komputer client) 203
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Penambahan RAM dan HD pada komputer client menjadi Kingston 1GB PC6400 DDR2 dan HDD 2x 80GB Software Linux/Windows Server 2003/2008 Software XAMPP dan MOODLE
Langkah 4 : Memeriksa dan Menganalisis Pengetahuan Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwan kondisi dokumen dan pengetahuan di bagian Diklat adalah sebagai berikut : • Pengetahuan karyawan sebagian besar berupa tacit knowledge • Hardcopy dokumen-dokumen yang ada sulit ditemukan dan disimpan karena tidak terklasifikasi sehingga terkadang kerja para karyawan tidak efisien • Dokumen masih belum dikelola dengan baik sehingga sering terjadi duplikasi hasil pekerjaan • Bagian Diklat memiliki “bank data” tetapi data yang ada tidak update (banyak datadata dan knowledge yang terdokumentasi pada masing-masing individu) • Belum ada mekanisme untuk saling berbagi informasi dan knowledge • Tidak adanya sistem penghargaan/reward Langkah 5 : Mendesian tim KM Dalam penelitian kali ini, karena objek penelitiannya adalah bagian dari perusahaan maka yang dirancang bukanlah tim/divisi Knowledge Management tetapi dalam penerapannya di Diklat hanya membutuhkan seorang administrator yang fungsinya sebagai berikut : Melakukan perancangan sistem dokumentasi dan implementasinya Menjamin beroperasinya portal intranet Mengatur hak akses setiap individu dalam portal Mengelola administrasi sistem Mengelola konten yang akan diupload ke portal Melakukan evaluasi rutin atas implementasi Knowledge Management Menjalankan program knowledge sharing melalui forum tatap muka yang bervariasi Menyediakan fasilitator untuk setiap forum Langkah 6 : Membuat cetak biru KM Penerapan model SECI bagian diklat adalah :
204
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Gambar 2 Penerapan model SECI di Diklat Socialization Externalization -
-
Knowledge Sharing Mempelajari pengetahuan/ketrampilan baru dan mempraktekan langsunng Rapat formal secara berkala Evaluasi kerja Diskusi informal
-
S
E
I
C
Internalization -
Pelatihan untuk karyawan diklat Buletin/surat edaran dari perusahaan Papan pengumuman di bagian diklat
Dokumentasi hasil rapat Dokumentasi bahan mengajar Penyimpanan bahan mengajar dalam database diklat
Combination -
Penggunaan fasilitas internet dan intranet Diskusi masalah atau hal terkait pekerjaan melalui milis
Sumber : data primer yang diolah, 2010 Langkah 7 : Mengembangkan sistem KM Untuk menerapkan KMS maka perlu dibuat forum online berupa portal intranet dan forum offline berupa forum knowledge sharing secara formal dan berkala. Bentuk forum offline dapat berupa evaluasi pelatihan yang ada dan knowledge sharing materi-materi pelatihan. Portal online yang dibuat menggunakan software MOODLE.
205
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Gambar 3 user interface portal online
Sumber : Data primer yang diolah, 2010 Langkah 8 : Rencana Implementasi KMS Dalam implementasinya, seperti yang telah dipaparkan peneliti, tahapan yang harus dilakukan adalah: 1. Mengembangkan infrastruktur yang ada dengan menambahkan komputer server, mengubah topologi yang ada dan menambah software server dan MOODLE 2. Mengangkat seorang administrator yang berasal dari bagian Diklat sendiri yaitu orang yang selama ini bertanggung jawab atas pengelolaan IT. 3. Mengimplementasikan KMS yang berupa portal intranet yang telah dibuat oleh peneliti 4. Menjalankan forum tatap muka secara reguler satu bulan sekali Forum tatap muka yang dapat dilakukan : - evaluasi metode mengajar - evaluasi pelatihan yang ada - knowledge sharing materi-materi baru yang dapat ditambahkan - knowledge sharing mengenai buku-buku, ilmu-ilmu baru yang relevan dengan pekerjaan 5. Mengimplementasikan model penerapan SECI yang telah dibuat oleh peneliti 6. Melakukan evaluasi atas penerapan knowledge management yang ada Langkah 9 : Rencana Pengelolaan Perubahan, Budaya Dan Reward Tabel 7 Pengelolaan Perubahan Kondisi saat ini Perubahan yang perlu dilakukan Jarang melakukan rapat Melakukan rapat secara rutin Belum ada mekanisme Melakukan knowledge sharing baik knowledge sharing secara formal dan informal lewat forum tatap muka dan forum online Pengetahuan sebagian besar Melakukan dokumentasi data berupa tacit knowledge 206
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Hardcopy yang ada sulit Melakukan pengklasifikasian data ditemukan Data terdokumentasi pada Menyerahkan data-data untuk masing-masing individu didokumentasikan pada “bank data” Tidak adanya sitem reward Menerapkan KMS berbasis reward Dokumentasi rapat hanya Melakukan dokumentasi notulen pada beberapa individu rapat pada portal Karyawan sudah tidak Melakukan update data pada “bank pernah mengupdate “bank data” data” Tidak menggunakan portal Membiasakan penggunaan portal intranet intranet untuk pekerjaan sehari-hari Sumber : Data primer yang diolah, 2010 Dalam rangka mendorong terbentuknya budaya knowledge sharing tersebut, bagian Diklat harus memenuhi berbagai persyaratan organisasional atau kultural berikut: Adanya komitmen dari manajemen melalui kebijakan, anjuran dan memberi teladan (contoh) knowledge sharing dalam berbagai kesempatan. Keteladanan dapat dilakukan melalui pembuktian bahwa dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, semua masalah dapat dipecahkan secara lebih mudah, efisien dan cepat. Kepemimpinan dalam KM adalah secara terus menerus dan konsisten memberi inspirasi kepada karyawan tentang aktivitas dan manfaat KM secara nyata bagi semua elemen organisasi. Pemimpin harus menciptakan iklim bahwa seorang karyawan tidak lagi merasa sendirian dalam memecahkan masalah apapun dalam pekerjaan. Budaya perusahaan yang memberikan iklim kepercayaan dan keterbukaan Adanya kemauan dari pemimpin divisi untuk mempromosikan knowledge sharing dan kolaborasi Divisi menghargai knowledge, pembelajaran, dan inovasi Memiliki struktur informal yang fleksibel Membangun kepercayaan antar karyawan Dalam penerapannya, di bagian Diklat belum ada penilaian kerja dan tindaklanjutnya seperti reward ataupun insentif. Rancangan bentuk reward yang dapat diterapkan adalah : • •
Forum tatap muka Setiap kontribusi yang dapat dijadikan perbaikan dan tambahan serta sebagaibahan pengambilan keputusan akan mendapat reward 5% gaji tetap Forum online Tabel 8 Rancangan reward KMS Bentuk Frekuensi Reward kontribusi Akses ke > 30x/bulan 1% gaji tetap portal Menyimpan, Minimal tiap 3% gaji tetap updating adanya materi dalam pelatihan database 207
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Knowledge > 5x /bulan sharing Interaksi di >10x/bulan forum Kontribusi terbaik
5% gaji tetap 4% gaji tetap
Diberikan training/seminar sesuai bidangnya Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Langkah 10 : Membuat instrumen evaluasi KMS Untuk membuat instrumen evaluasi Knowledge Management System, peneliti mengacu pada pendekatan indikator dari Department of The Navy (DON) Amerika Serikat. Tabel 9 Indikator performansi KM DON Inisiatif KM Special Group
Interest
Direktori Expertis
Sistem Kolaborasi
Indikator Sistem • • • •
Jumlah Kontribusi Frekuensi Update Jumlah Anggota Rasio jumlah kontributor dengan jumlah anggota
• Jumlah akses ke situs • Frekuensi penggunaan • Jumlah kontribusi
• Jumlah Pengguna • Jumlah Paten yang dihasilkan • Jumlah artikel dan presentasi yang dihasilkan
Indikator Output
Indikator Outcome
• Jumlah masalah yang diselesaikan
•
• waktu penyelesaian masalah • waktu untuk mencari expert
•
• Jumlah proyek • Jumlah produk baru • Rata-rata learning curve
•
Peningkatan mutu dan efisiensi • Pengetahuan yang di capture peningkatan mutu dan efisiensi • waktu dan uang yang dihemat melalui pemanfaatan knowledge expert Pengurangan jumlah delay • Waktu tanggap yang lebih cepat terhadap proposal • Pengurangan learning curve bagi karyawan baru
Sumber : metric guide for KM Intitiatives DON, 2005 208
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
a. Evaluasi forum online Tabel 10 Form evaluasi forum online No. Nama Karyawan
Waktu akses
Informasi/bentuk Jumlah kontribusi Kontribusi
Sumber : Data primer yang diolah, 2010 Selain itu MOODLE dalam fiturnya jg terdapat menu reports yang dapat menunjukkan aktivitas pengguna pada web. Berikut contoh laporannya : Gambar 4 Fitur report di MOODLE
209
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Gambar 5 Live Log MOODLE
b. Evaluasi forum offline Tabel 11 Form evaluasi forum offline No. Nama Karyawan
kehadiran
Informasi
Jumlah Kontribusi
Rencana pengukuran ROI KMS di bagian Diklat : Tabel 12 Rencana pengukuran ROI KMS No. Deskripsi Cost 1 Biaya Pengembangan a. Perangkat Lunak dan Keras yang Baru 1. Pengembangan Hardware Server 2. Server Operating System 3. Pengembangan Hardware Client b. Biaya Lain
Jumlah Unit
1 unit 1 unit 1 paket 12 unit
210
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
1. Pelatihan bagi operator dan manajemen 2. Maintanance perangkat dan jaringan Benefit Peningkatan produktivitas karyawan 1. Efisiensi biaya training 2. Lebih sedikit kesalahan yang terjadi 3. Efisiensi biaya operasional 4. Efisiensi waktu karyawan menjadi 5. level produktif setelah pelatihan Benefit yang disebutkan pada tabel di atas bisa terjadi karena dengan penerapan knowledge management system para karyawan diberi fasilitas lengkap untuk mendapatkan ilmu dan pembelajaran sehingga kualitas dan produktivitas pekerjaannya akan meningkat. Dengan demikian biaya training dan operasional akan bisa semakin ditekan. Kemudian, adanya dokumentasi data dengan klasifikasi data yang baik akan menurunkan tingkat kesalahan yang dilakukan karyawan. Selain itu, dengan metode konversi pengetahuan yang tepat akan memperpendek kurva belajar para karyawan sehingga waktu karyawan menjadi level produktif akan menjadi semakin cepat pula. VI.Kesimpulan Dan Saran 4.1.Kesimpulan metodologi knowledge management pada dasarnya terdiri dari menyelaraskan strategi KM dan strategi perusahaan, merancang infrastruktur, merancang tim atau struktur, implementasi yang harus terdapat portal intranet yang mengacu pada seven layers, dan terakhir evaluasi penerapan KM yang menyeluruh. Strategi bisnis bagian Diklat adalah strategi personalisasi yaitu lebih fokus pada pertukaran pengetahuan tacit antarkaryawan. Pengetahuan yang perlu ditindak lanjuti karena memiliki knowledge gap yang besar adalah career analysis method, bahasa inggris, cara pembuatan SAP , dan analisis sistem. Perlu dilakukan pengembangan infrastruktur yaitu pengubahan topologi LAN dari peer to peer menjadi client and srever, penyediaan komputer server, penambahan RAM dan HD pada komputer client, dan penggunaan software windows server, xampp, dan MOODLE Kondisi pengetahuan yang ada di bagian Diklat adalah sebagian besar berupa tacit knowledge dan pengelolaan dokumen kurang baik sehingga kerja karyawan kurang efektif dan efisien Kebutuhan karyawan tehadap IT tinggi terlihat dari nilai kumulatif jawaban responden mengenai perlunya penambahan beberapa tools IT untuk mendukung pekerjaan sebesar 531 dari 662 yang berarti berada dalam interval kategori setuju. Skill karyawan terhadap teknologi tinggi terlihat dari nilai kumulatif jawaban responden mengenai pemahaman menggunakan teknologi sebesar 455 dari 600 yang berarti berada dalam interval kategori setuju. Penerapan KMS dilakukan dengan melaksanakan forum online berupa portal intranet dan forum offline berupa forum formal secara berkala 211
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
4.2.Saran Strategi bisnis Diklat adalah strategi personalisasi maka lebih dibutuhkan berbagai forum tatap muka yang sebagai media knowledge sharing dan knowledge creation. Perlu dilakukannya pelatihan untuk menangani pengetahuan yang memiliki knowledge gap yaitu career analysis method, bahasa inggris, cara pembuatan SAP , dan analisis sistem agar gap tersebut dapat hilang Melakukan implementasi KMS secara menyeluruh Mendeklarasikan peran dan value yang ditawarkan kepada perusahaan. Hal ini penting di samping untuk meyakinkan manajemen dan anggota organisasi lainnya akan perlunya implementasi KM. Adanya dukungan atasan dan budaya yang kondusif untuk menciptakan adanya knowledge sharing yang efektif
212
Joeliaty Ajeng Pritha Aryani
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
V.Daftar Pustaka Burk, M. 1999. Knowledge Management : Everyone Benefit by Sharing Information. Public roads Vol 63 No. 3. Davidson, Carl & Philip Voss. 2002. Knowledge Management : An Introducing to Creating Competitive Advantage From Intelectual Capital. New Zealand : Tandem Press. Hansen et al. 1999. What’s your strategy for managing knowledge? Harvard Business Review, March–April, pp. 106–115. Nonaka, Ikoujiro and Hirotaka Takeuchi. 1995. The Knowldedge Creating Company – How Japanese Create The Dynamics of Innovation . New York : Oxford University Press. Paul L. Tobing. 2007. Knowledge Management : Konsep, Arsitektur, dan Implementasi. Yogyakarta : Graha Ilmu. Ross, MV dan Schulte, WD. 2005. Knowledge management in a Millitary Enterprise. Elsevier Inc. Sveiby, K.E. 1998. Measuring Intangible and Intellectual Capital. www.sveiby.com/article/MeasuringIntangibleandIntellectualCapital Tiwana, Amrit. 2000. The Knowledge Management Toolkit : Practical Techniques for Building A Knowledge Management System. New Jersey : Prentice Hall.
213
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY: ANALISIS VARIABEL ANTESEDEN DAN KONSEKUENSI Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto Departemen manajemen FEB Universitas Airlangga Email :
[email protected]
ABSTRACT This study is exploratory in nature and tries to explain buying consumer behavior of environmental friendly product. Specifically, this study focuses on the antecedents and consequences of corporate social responsibility (CSR) strategy and its impact on marketing outcome using qualitative method. Information on identification of consumer’s buying decision process of green marketing products, types of CSR, and marketing outcomes based on customer’s perspectives are gathered through in-depth interview. Nine propositions in relation to the antecedents and consequences of corporate social responsibility strategy from customer perspectives proposed from this study are: (1) consumer perception of CSR activity objectives influences consumer evaluation on CSR activity; (2) consumer evaluation on CSR activity influences consumer buying decision; (3) CSR activity influences customer value; (4) CSR activity creates consumer skepticism toward company; (5) product-related CSR activity which directly impact on consumer will increase consumer attitude toward product; (6) CSR activity influences consumer perception on company’s and product’s image and increase company as well as brand reputation; (7) consumer judgment on CSR activity influences consumer loyalty; (8) consumer characteristics strengthen the impact of CSR toward consumer buying decision; (9) consumer culture of collectivism influences their attitude toward CSR activity and buying decision of environmental friendly product. Keywords: corporate social responsibility, green marketing, marketing outcome, qualitative method PENDAHULUAN Pada pasar global seperti sekarang ini persaingan antar perusahaan semakin tinggi. Para pemasar harus mempertimbangkan peran yang semakin luas, antara lain tanggung jawab etis dan lingkungan. Dengan kata lain masyarakat menuntut dunia bisnis tidak hanya memikirkan keuntungan perusahaannya, namun harus memperhatikan pihak-pihak lain di sekitarnya. Corporate social responsibility (CSR) yang ada di perusahaan sangat beragam, seperti green product, philanthropy dan cause-related Marketing. Banyak teori yang menyatakan bahwa strategi perusahaan, termasuk strategi CSR, bertujuan untuk meningkatkan marketing outcome yakni respon positif konsumen, baik kognitif, afektif maupun konatif seperti loyalitas, word of mouth, dan pembelian ulang (Kotler & Keller, 2012). Banyak studi empiris yang mendukung teori tersebut, antara lain Rahim et al. (2011) membuktikan bahwa philanthropic responsibility akan berpengaruh pada perilaku konsumen dan Ali & Israr (2012) membuktikan bahwa organization green image berpengaruh signifikan terhadap niat pembelian konsumen. Namun banyak pula studi empiris 214
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
yang tidak sejalan dengan teori tersebut (Ali et al., 2010; Becker-Olsen et al., 2006). Ide penelitian ini didasarkan adanya theoritical gap pada hubungan kausal antara corporate social responsibility terhadap marketing outcome perusahaan. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjembatani theoritical gap tersebut. Adapun temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah kejelasan teori mengenai corporate social responsibility, baik kejelasan mengenai variabel anteseden maupun variabel konsekuensi dari strategi tersebut. Untuk menjelaskan teori corporate social responsibility digunakan pendekatan kualitatif untuk menggali/mengeksplorasi variabel-variabel anteseden dan konsekuensi. LANDASAN TEORI Green Marketing Menurut American Marketing Asociation (AMA) green marketing merupakan strategi pemasaran suatu produk yang diasumsikan sebagai produk ramah lingkungan, pengembangan produk yang didesain untuk meminimalisasi dampak negatif pada lingkungan alam, dan meningkatkan kualitasnya. Green marketing merupakan usaha perusahaan dalam memproduksi, mempromosikan, dan mengemas produk dengan cara yang sensitif atau responsif pada masalah lingkungan. Strategi green marketing meliputi: 1) menawarkan produk yang etis; 2) memproduksi produk yang tidak hanya bertujuan komersil, tapi juga memenuhi kebutuhan konsumen; 3) berkomunikasi dengan jujur dan menyampaikan pesan yang bertanggung jawab; 4) mengembangkan transportasi dan sistem logistik yang tidak menyebabkan polusi serta ramah lingkungan; 5) melakukan advertising dengan jelas dan benar; dan 6) memahami kebutuhan konsumen dan stakeholder di masa depan. Implementasi green marketing melibatkan banyak faktor seperti ecological, political, humanitarian, equality, sustainability, eco-conscious consumers, conservation, fair trade, dan CSR (corporate social responsibility) (Ashok, 2004) Corporate Social Responsibility Terdapat konsep pemasaran baru terkait perhatian pada lingkungan yang dikenal dengan Holistic marketing. Holistic marketing didasarkan pada pengembangan, desain, dan implementasi program pemasaran, proses, dan segala aktivitas yang menunjukkan keluasan dan saling ketergantungan di antaranya (Kotler & Keller, 2012). CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan salah satu bentuk aplikasi dari holistic marketing. Di Indonesia, CSR dinyatakan dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007. Pasal 74 ayat 1 undangundang tersebut menyatakan bahwa “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang penanaman Modal pasal 15 (b) juga menyatakan bahwa “setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” CSR merupakan bentuk perhatian dari kalangan pebisnis untuk berbagi kepada pihak luar yang membutuhkan. Terdapat beberapa cara untuk mengimplementasikan inisiatif CSR seperti cause-related marketing, phylanthropy, atau green product. CSR dapat menurunkan sikap skeptis konsumen terhadap perusahaan dan meningkatkan sikap positif dan pada akhirnya dapat mempengaruhi niat membeli (Szykman et al., 1997). CSR sebagai strategi perusahaan tentu diharapkan akan membawa dampak positif pada pemasaran (marketing outcome). Green & Peloza (2011) menunjukkan bahwa CSR berpengaruh terhadap loyalitas. Penelitian yang dilakukan di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat maupun Eropa menemukan bahwa perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosialnya berhasil membuat pelanggan mereka menjadi loyal. 215
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Berkaitan dengan perilaku pembelian konsumen, ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen dalam membeli suatu produk, antara lain faktor eksternal dan faktor internal konsumen ataupun strategi pemasaran perusahaan (Schifman & Kanuk, 2007; Kotler & Keller, 2012). Faktor eksternal konsumen antara lain meliputi budaya, kelompok referensi, dan strategi pemasaran perusahaan. Faktor internal konsumen antara lain meliputi persepsi, proses pembelajaran, dan sikap konsumen. Pemahaman mengenai tahapan keputusan yang dilalui konsumen ini penting dalam penyusunan strategi pemasaran termasuk strategy corporate social responsibility. Terdapat beberapa bentuk program CSR yang dapat diimplementasikan oleh perusahaan seperti cause promotion, cause-related marketing (CRM), corporate social marketing, corporate philanthropy, corporate volunteering dan socially responsible business (Kotler & Nancy, 2005). Pada cause promotion, perusahaan menggunakan isu tertentu untuk mendapatkan atau meningkatkan perhatian (awareness) dari konsumen. Isu yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sesuai dengan bidang bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, disini perusahaan berusaha mengajak konsumen (masyarakat) untuk meluangkan waktu atau dana mereka untuk membantu suatu permasalahan yang terjadi. Dalam CRM, perusahaan akan mengajak konsumen (masyarakat) untuk menggunakan atau membeli produk dari perusahaan, yang nantinya sebagian dari keuntungan hasil penjualan produk tersebut akan disumbangkan pada instansi tertentu atau untuk mengatasi dan mencegah suatu masalah tertentu di masyarakat. Corporate social marketing merupakan kegiatan dimana perusahaan berusaha untuk merubah kebiasaan-kebiasaan di masyarakat (yang kurang baik) dalam suatu isu tertentu, misalnya isu kesehatan seperti bahaya kanker akibat kebiasaan-kebiasaan tidak sehat (merokok, dsb.), atau isu di bidang lingkungan hidup dan juga di bidang sosial dan kemanusiaan. Pada program CSR yang berbentuk corporate philanthropy ini, perusahaan memberikan sejumlah bantuan dalam bentuk dana, jasa atau barang pada pihak-pihak lain yang membutuhkan, baik itu perorangan, lembaga atau organisasi tertentu. Pada community volunteering, perusahaan berusaha mengajak segala elemen di dalam perusahaan (karyawan) untuk turut serta berpartisipasi pada kegiatan corporate social responsibility yang sedang dijalankan oleh perusahaan. Dalam socially responsible business, perusahaan melakukan perbaikan dalam sistem kerja maupun supply chain miliknya dengan tujuan mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan. Program CSR sudah mulai bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Adapun isi undang-undang tersebut yang berkaitan dengan CSR, yaitu: Pada pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, berbunyi: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; 2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; 3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 25 (b) Undang–Undang Penanaman Modal menyatakan kepada setiap penanam modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dari kedua pasal diatas dapat kita lihat bagaimana pemerintah Indonesia berusaha untuk mengatur kewajiban pelaksanaan CSR oleh perusahaan atau penanam modal
216
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Di sisi lain masyarakat mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi pada usaha memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral untuk mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun masyarakat lokal, karena seiring waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukan, namun juga menuntut untuk bertanggung jawab sosial. Penerapan program CSR juga merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (good coporate governance). Diperlukan tata kelola perusahaan yang baik agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera. Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara berkelanjutan pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan baku produksi yang diambil dari alam. Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspekaspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial. Perilaku Pembelian Konsumen Banyak tahapan yang dilalui konsumen dalam keputusan pembelian yaitu tahap pengenalan masalah, mengumpulkan informasi, mengevaluasi alternatif, memilih alternatif dan yang terakhir post consumption (Kotler & Keller, 2012). Post consumption ini penting bagi manajer karena terkait dengan respon konsumen untuk pembelian ulang produk yang ditawarkan. Perusahaan harus memahami tahapan keputusan pembelian tersebut. Tahapan 217
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
pembelian tersebut tidak baku untuk setiap proses namun tergantung pada jenis produk yang akan dibeli maupun banyak tidaknya pertimbangan yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan pembelian (high involvement/low involvement product). Tujuan utama pemasar adalah melayani dan memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Oleh karena itu, pemasar perlu bagaimana memahami bagaimana konsumen berperilaku dalam usaha memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Perilaku konsumen merupakan serangkaian aktivitas konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk meliputi proses menyeleksi, membeli dan mempergunakan barang dan jasa sehingga memuaskan kebutuhan dan hasratnya. Beberapa aktivitas melibatkan mental dan proses emosional, sebagai tambahan dalam reaksi fisik. Perilaku konsumen berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti fakotr budaya dan sosial maupun faktor-faktor internal seperti faktor personal dan psikologis. Secara lebih rinci, yang termasuk dalam dalam faktor-faktor eksternal adalah faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor politik, dan strategi bauran pemasaran (marketing mix) yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Sedangkan yang tergolong faktor internal secara lebih rinci meliputi faktor-faktor dari dalam diri konsumen sendiri seperti kebutuhan, motivasi, persepsi, sikap, dan kepribadian terhadap suatu jenis produk atau jasa. Secara sederhana pengambilan keputusan konsumen terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: input, proses dan output (Shiffman & Kanuk, 2007:443). Input adalah pengaruh eksternal yang dapat berupa informasi mengenai suatu produk dan pengaruhnya terhadap nilai, sikap dan perilaku konsumen. Proses menjelaskan bagaimana konsumen membuat keputusan. Proses tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu pengenalan kebutuhan(need recognition), pencarian sebelum pembelian (prepurchase search) dan evaluasi alternatif (evaluation of alternatives). Tahap pengenalan kebutuhan dimulai dengan adanya motif yang menimbulkan ketegangan dalam diri. Pada tahap pencarian sebelum pembelian, konsumen merasakan adanya kebutuhan yang harus dipuaskan melalui pembelian produk atau jasa. Output dari proses pembelian adalah perilaku membeli dan evaluasi setelah pembelian. Dalam melakukan pembelian ada dua macam, yaitu: trial atau percobaan yakni bila konsumen membeli produk atau merek untuk pertama kalinya. Bila konsumen mendapat kepuasan maka, ia cenderung untuk melakukan pembelian ulang. Evaluasi pembelian berguna untuk mengurangi ketidakpastian konsumen. Dalam melakukan pembelian, konsumen melewati beberapa tahap, dimulai dengan adanya masalah, kemudian konsumen mencari informasi, menyeleksi alternatif pemecahan masalah, kemudian mengambil keputusan. Pada tahap ini konsumen dipengaruhi oleh adanya motivasi yang merupakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan tindakan dan merupakan kekuatan yang bersifat internal dan eksternal yang mengarahkan perilaku demi pencapaian tujuan. Dasar dari motivasi adalah mencari kesenangan, pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan yang lebih tinggi, serta bila kebutuhan telah terpenuhi, konsumen akan mengurangi atau dapat pula meningkatkan tegangan. Tugas pemasar adalah mengenali kebutuhan pasar sasaran dan menciptakan stimulus yang akan memberikan motivasi kepada konsumen agar ia melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan. Setelah konsumen menyadari adanya masalah, konsumen akan menuju pembelian, untuk itu tahap selanjutnya dari proses pembelian konsumen adalah mencari alternatif pemecahan masalah. Konsumen akan mencari informasi baik secara internal maupun eksternal. Para ahli psikologi menggambarkan proses belajar sebagai proses perubahan pikiran serta perilaku manusia yang bersifat cenderung permanen yang diakibatkan dari pengalaman yang dialaminya. 218
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Konsumen mendasarkan pilihan yang dipengaruhi oleh sikap yang telah terbentuk, termasuk di dalamnya adalah sikap terhadap merek-merek yang tersedia dalam membuat keputusan pembelian. Sikap adalah kecendrungan yang dipelajari dalam menanggapi suatu obyek secara konsisten, apakah menyukai atau tidak menyukai. Para psikolog dan pemasar berkeyakinan bahwa sikap konsumen merupakan campuran dari kepercayaan, perasaan dan kecenderungan terhadap perilaku. Sikap merupakan hasil proses belajar seseorang. Proses pengolahan informasi akan menimbulkan keinginan untuk membeli walaupun keinginan tersebut belum tentu harus dilaksanakan. Pemasar menggunakan promosi dan strategi harga untuk mempengaruhi konsumen agar membeli produk yang ditawarkannya. Manusia selalu termotivasi untuk berperilaku ke arah pemenuhan kebutuhan dan pemuasan keinginan yang belum terpenuhi. Rasa puas tersebut dapat dirasakan apabila nilai produk melebihi dari apa yang diharapkan konsumen. Apabila konsumen merasa puas dari produk yang dikonsumsinya maka, ia akan melakukan pembelian ulang (repeat purchase). Namun, apabila sebaliknya apabila produk tersebut tidak memberikan kepuasan maka, ia akan berpaling ke produk lain yang memberikan kepuasan lebih dari produk sebelumnya. Menurut Kotler & Keller (2012) konsumen akan menjalani sejumlah proses dalam pengambilan keputusan. Berikut ini adalah proses–proses pada saat sebelum dan setelah melakukan pembelian suatu produk, yaitu problem recognition, information source, alternatives evaluation, purchase decision, post-purchase evaluation. Problem recognition merupakan sebuah proses dimana konsumen akan membeli sebuah produk sebagai solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya. Konsumen tidak dapat menentukan produk apa yang akan dibeli, jika tidak ada pengenalan masalah yang muncul. Information source merupakan sebuah proses lanjutan dari pengenalan masalah dimana konsumen akan termotivasi untuk mencari informasi dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Proses pencarian informasi tersebut dapat berasal dari dalam memori (internal) maupun berdasarkan pengalaman orang lain (eksternal). Alternative evaluation merupakan sebuah proses lanjutan dari pencarian informasi, dimana setelah konsumen tersebut mendapatkan berbagai macam informasi konsumen tersebut akan mengevaluasi alternatif–alternatif strategis apa saja yang akan dipilih untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Purchase decision merupakan sebuah proses lanjutan dari evaluasi alternatif dimana konsumen akan membuat keputusan pembelian suatu produk yang diinginkan. Terkadang konsumen memerlukan waktu yang cukup lama sebelum konsumen tersebut memutuskan untuk membeli produk yang diinginkan, karena adanya hal-hal yang masih perlu dipertimbangkan. Post-purchase evaluation merupakan sebuah proses setelah konsumen membeli suatu produk dimana konsumen akan mengevaluasi apakah produk tersebut sesuai dengan keinginannya. Didalam proses ini, dapat terjadi kepuasan dan ketidakpuasan konsumen. Konsumen akan merasa puas jika produk yang telah dibeli sesuai dengan keinginannya dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan terhadap merek produk tersebut pada masa yang akan datang. Tetapi sebaliknya, konsumen akan merasa tidak puas jika barang yang telah dibeli tidak sesuai dengan keinginannya dan hal ini akan menurunkan permintaan konsumen pada masa yang akan datang. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang bertujuan untuk mengembangkan teori dengan menjelaskan hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yakni in-depth interview mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen
219
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
dalam pembelian green product, bagaimana proses pembelian konsumen dalam green product, serta respon konsumen. Penelitian ini ingin mengeksplorasi dan menginvestigasi perilaku konsumen dengan menggunakan grounded theory. Grounded theory adalah proses investigasi secara induktif dimana peneliti merumuskan sebuah teori tentang fenomena dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang relevan secara sistematis. Grounded theory menurut Goulding (2003) merupakan metode dimana teori didasarkan pada perkataan dan tindakan individual dalam suatu penelitian, metode ini cocok untuk mempelajari tindakan individu yang memiliki elemen interaksi dalam tindakannya. Pengembangan teori merupakan tujuan dari peneliti sesuai dengan relevansi yang muncul dari data. Keuntungan dari penggunaan metode ini adalah peneliti dapat melihat permasalahan melebihi apa yang terlihat di permukaan, memungkinkan intrepretasi sebelum mengembangkan konsep terakhir, dan dapat menunjukkan penjelasan dengan data pendukung. Penelitian bertujuan mengeksplorasi dan mengidentifikasi bagaimana strategi green marketing yang merupakan salah satu bentuk CSR yang dilakukan oleh perusahaan akan mempengaruhi proses keputusan pembelian dan respon konsumen terkait produk yang ramah lingkungan. Sumber dan Teknik Pengambilan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat langsung dari hasil wawancara responden. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sumber eksternal seperti media, buku, dan literatur lainya. Penelitian ini menggunakan non probabilty sampling dengan sumber data dipilih secara accidental sampling yang mana partisipan dipilih secara kebetulan kepada konsumen yang menggunakan produk ramah lingkungan atau produk yang diproduksi oleh perusahaan yang melakukan kegiatan corporate social responsibility yang secara kebetulan ditemui dan bersedia untuk dijadikan partisipan In-depth interview pada responden terpilih dipilih sebagai teknik wawancara yang dipilih. Burns & Bush (2010) menjelaskan bahwa teknik ini merupakan satu rangkaian penyelidik yang diajukan satu persatu kepada responden dengan pewawancara langsung untuk mendapatkan ide dari apa yang dipikirkan oleh subyek tentang sesuatu atau kenapa subyek melakukan suatu hal dengan cara tertentu. Teknik ini dilakukan secara intens langsung face to face dan mendalam untuk menghasilkan informasi yang berkualitas. Dalam penelitian ini digunakan semi-structured in-depth interview dalam pengambilan data karena dengan demikian wawancara dapat dilakukan secara lebih fleksibel dan data yang tidak tampak bisa diobservasi. Pengambilan data dilakukan terus menerus sampai peneliti mencapai theoretical saturation, yakni pada saat tidak ada data tambahan yang dapat ditemukan yang akan ditambahkan kedalam kategori yang dikembangkan dan diuji maka pengambilan data kemudian dihentikan (Pace, 2003). Jarratt (1996) menyatakan bahwa keuntungan dari menggunakan teknik semistructured in-depth interview antara lain peneliti dapat menyelidiki, menanyakan banyak pertanyaan tambahan, dan menggali sedalam mungkin subyek sehingga informasi yang didapat sangat kaya, dalam dan mengandung banyak informasi. Kelemahanya teknik ini kurang terstruktur sehingga respon yang didapat bisa sangat bermacam macam. Untuk itu peneliti membutuhkan guideline pertanyaan untuk memfokuskan interview dengan responden.
220
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Variabel penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah aktivitas corporate social responsibility, proses keputusan pembelian, dan respon konsumen. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mendefinisikan variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka variabel penelitian tersebut didefinisikan sebagai berikut : 1. Aktivitas Corporate Social Responsibility adalah aktivitas yang dilakukan perusahaan yang terkait dengan kegiatan kegiatan yang relevan dengan masalah lingkungan sosial maupun lingkungan alam. 2. Proses Keputusan Pembelian adalah tahapan yang dilalui konsumen dalam memutuskan penggunaan suatu produk. Tahapan tersebut meliputi a) identifikasi kebutuhan, b) pencarian informasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, c) evaluasi berbagai alternatif yang memungkinkan, d) pemilihan alternatif/keputusan pembelian, e) post consumption. 3. Respon Konsumen adalah tanggapan konsumen atas aktivitas–aktivitas yang dilakukan perusahaan terkait kegiatan corporate social responsibility. Respon bisa berupa kognitif, afektif, konatif, dan perilaku. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji reliabilitas berhubungan dengan seberapa konsisten peneliti dalam melakukan penelitian dengan menggunakan teknik yang diulang-ulang pada obyek yang sama akan memberikan hasil yang sama (Gremler, 2004). Untuk mendapatkan data yang andal tergantung pada kemampuan penilai atau pemberi kode untuk tetap konsisten mengklasifikasikan data pada spesifik kategori, dimana diskusi penilai ini terjadi antara intrajudge reliability dan interjudge reliability. Intrajudge reliability merupakan seberapa konsisten seorang penilai membuat keputusan kategori selama penelitian sedangkan interjudge reliability merupakan tingkatan dimana dua atau lebih penilai setuju bahwa observasi harus diklasifikasikan dengan cara tertentu. Validitas data dalam pendekatan kualitatif didapat dari cara triangulasi (Creswell & Miller, 2000; Guion, Diehl, & McDonald, 2011) dengan mengkombinasi sumber data yang berbeda untuk melihat data. Triangulasi dilakukan dengan melakukan cek silang data kepada sumber yang berbeda. Dalam penelitian ini data diperoleh dengan wawancara pada konsumen lalu dicek dengan sumber pada akademisi dan sumber media. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Hasil Penelitian Penelitian ini berfokus membahas tentang bagaimana perilaku pembelian konsumen khususnya produk yang diproduksi oleh perusahaan yang melakukan kegiatan CSR, dan bagaimana respon konsumen terhadap aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan. Data didapatkan oleh peneliti dengan melakukan wawancara kepada 14 orang dengan durasi masing-masing sekitar 45 menit wawancara. Adapun karakteristik demografi dari informan adalah sebagai berikut. Tabel 1 Karakteristik Informan Penelitian Informan 1
Umur 29
2
47
Pekerjaan Karyawan Bank Niaga Karyawan Hotel
Pendidikan Produk yang dibeli Sarjana Teknik The Bodyshop Lingkungan SMA Lampu Philips
221
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
3 4 5
36 48 27
6 7 8
47 47 38
9
18
10 11. 12
38 29 31
13 14
38 32
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Garden Karyawan Carefour Ibu rumah tangga Karyawan Bank Bukopin Wiraswasta Dosen unesa Karyawan swasta (Teh Botol Sosro) Mahasiswa Guru SMA Wiraswasta Karyawan swasta (Granito) Wiraswasta Karyawan swasta
D3 Ekonomi Sarjana Sarjana Psikologi Sarjana ekonomi S3 Sarjana ekonomi SMA
Batik Mangrove, The Bodyshop Lampu philips, sayuran organik Tas dari eceng gondok, batik pewarna alami AC low watt AC low watt, lampu Philips AC low watt
Sarjana Sarjana ekonomi Sarjana teknik
Gelas daur ulang, sabun mandi eco green AC low watt AC low watt, lampu Philips Produk The Bodyshop
Sarjana teknik Sarjana
Sabun mandi Pemanas surya
Peneliti kemudian menganalisis hasil wawancara dengan menemukan pola dari transkip hasil wawancara dan merumuskannya dalam laporan. Mengadopsi pendapat Gremler (2008), uji reliabilitas dilakukan dengan berfokus pada interjudge reliability, yaitu sejauh mana satu atau dua juri setuju dengan cara peneliti mengklasifikasikan dan memberi kode dengan cara tertentu. Satu juri didatangkan dan menyaksikan peneliti melakukan coding. Uji validitas dalam penelitian ini mengadopsi pendapat Shah & Corley (2006) yaitu memperpanjang waktu observasi, triangulasi sumber data, dan hasil wawancara diteliti oleh subyek. Dalam penelitian ini validasi dicapai dengan triangulasi berupa pengumpulan data yang lebih dari satu sumber, wawancara dilakukan terus menerus dan berhenti ketika data yang didapat secara garis besar sudah sama. Data yang didapat juga diperkuat dengan peer debriefing yaitu dengan membicarakan masalah penelitian dengan tanya jawab kepada teman sejawat yang cukup mengerti dengan permasalahan penelitian. Setelah data terkumpul dan sudah melalui uji reliabilitas dan validitas ringkasan hasil wawancara terangkum dalam tabel berikut Tabel 2 Ringkasan Hasil Wawancara Tema Karakteristik responden terkait lingkungan
Pertanyaan Bagaimana kepedulian anda pada sesama
Bagaimana kepedulian anda pada lingkungan alam Bagaimana sikap anda pada keadilan
Kategori Orang seharusnya membantu orang lain yang kurang beruntung Menolong orang yang dalam kesulitan adalah sangat penting Saya tidak khawatir kondisi lingkungan di masa depan, generasi yang akan mampu menjaganya dengan baik Orang butuh menjaga diri sendiri, tanpa perlu mengkhawatirkan orang lain Setiap orang di dunia harus diperlakukan sama Setiap orang harus tinggal di lingkungan yang aman
Frek. 6 4 5
5 6 5
222
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto Pemahaman CSR
Apa yang anda fahami tentang CSR
Alasan perusahaan melakukan CSR
Ide CSR
Proses Keputusan Pembelian
Bentuk –bentuk CSR bagaimana yang diharapkan/dipandang positif konsumen
Kebutuhan apa yang membuat anda membeli Produk tersebut
Bagaimana anda mendapatkan informasi ttg produk dan kegiatan CSR perusahaan Evaluasi alternatif
Bagaimana evaluasi setelah konsumsi
Respon atas CSR aktivity dan green product
Bagaimana respon terhadap CSR aktivity yang dilakukan perusahaan
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Perusahaan memproduksi produk tidak berbahaya Perusahaan mengelola limbahnya Perusahaan ikut membantu masalah masyarakat Perusahaan menjaga lingkungan alam Perusahaan menggunakan bahan dari alam Bentuk promosi yang baru Bentuk promosi terselubung Kewajiban perusahaan untuk menutupi rasa bersalahnya Untuk menarik simpati masyarakat Membuka lapangan pekerjaan baru Memberikan fasilitas/kegiatan untuk masyarakat Memberi beasiswa Menjaga kelestarian alam Membuat barang yang berkualitas Membuat barang yang ramah lingkungan/tidak bahaya Membantu orang miskin Barangnya berkualitas Efisiensi biaya operasional Barangnya unik Ikut menjaga lingkungan Dihargai teman-teman Menjadi konsumen yang cerdas Barang yang aman/tidak bahaya Aktif mencari informasi Sumber informasi media Sumber informasi teman Sumber informasi brosur dari perusahaan Dasar evaluasi adalah dana Dasar evaluasi kualitas barang Dasar evaluasi adalah manfaat Dasar evaluasi adalah pendapat teman Dasar evaluasi adalah keterlibatan perasaan bangga/senang Akan rekomendasi ke teman teman Akan membeli lagi Puas, telah melakukan pilihan dgn benar Kecewa, barang terlalu mahal Curiga harga barang dinaikkan Curiga itu hanya kebohongan publik Tidak sebesar yang diberitakan Suka pada aktivitas CSR Membeli produk yang melakukan aktivitas CSR sama artinya ikut melakukan kegiatan CSR Perusahaan yang melakukan aktivitas CSR adalah perusahaan besar/bereputasi baik
10 6 6 9 9 1 4 1 1 3 7 8 6 10 4 2 9 4 3 5 3 3 2 10 7 2 2 7 8 7 5 2 7 5 5 2 7 6 7 2 3
2
223
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto Bagaimana respon terhadap keberadaan green product
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Produk bermanfaat bagi lingkungan Produk bermanfaat bagi diri sendiri Suka mengkonsumsi karena merasa menjadi konsumen yang cerdas Suka mengkonsumsi karena menjadi orang yang peduli lingkungan
8 11 2 3
Diskusi Penelitian ini berfokus pada penemuan pola tentang bagaimana perilaku pembelian konsumen terkait produk yang dihasilkan perusahaan yang melakukan aktivitas CSR. Berikut adalah proposisi sebagai hasil intrepretasi peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan melakukan CSR sebagai “bentuk promosi yang terselubung”, “aktivitas untuk menarik simpati masyarakat”, “bentuk promosi baru” atau merupakan “kewajiban perusahaan untuk menutupi rasa bersalahnya”. Namun ada pula informan yang menyatakan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan “menjaga lingkungan” atau sebagai salah satu bentuk kebaikhatian membantu masyarakat. Sedangkan di Indonesia terdapat aturan yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan aktivitas CSR. Demikan pula dengan informan akademisi yang menyatakan bahwa alasan utama perusahaan melakukan aktivitas CSR adalah keberadaan undang-undang dan keinginan perusahaan untuk menjaga image perusahaan dalam masyarakat. Dengan demikian disusun proposisi 1: Persepsi konsumen tentang tujuan aktivitas CSR mempengaruhi evaluasi konsumen tentang kegiatan CSR tersebut. Dalam penelitian ini semua informan adalah para konsumen produk ramah lingkungan atau produk dari perusahaan yang melaksanakan kegiatan CSR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para informan tersebut telah memiliki pemahaman yang baik mengenai konsep CSR, bahwa CSR merupakan “aktivitas perusahaan dengan memproduksi produk tidak berbahaya”, “perusahaan mengelola limbahnya”, “perusahaan ikut membantu masalah masyarakat” atau “perusahaan menjaga lingkungan alam”. Terkait dengan hal tersebut Kotler & Keller (2012) menyatakan salah satu dari empat komponen yang menjadi karakteristik pemasaran holistik adalah pemasaran kinerja (performance marketing). Di dalam pemasaran kinerja (performance marketing) dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh perusahaan tidak hanya berasal dari program dan aktivitas pemasaran yang mereka lakukan, namun juga sebagai hasil dari perusahaan yang memberikan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan terkait dengan kepatuhan mereka terhadap hukum, etika dan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan. Lee & Shin (2010) ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kesadaran konsumen akan aktivitas CSR terhadap minat pembelian (purchase intention). Berdasar uraian di atas disusunlah proposisi 2: Evaluasi konsumen atas aktifitas CSR yang dilakukan perusahaan mempengaruhi keputusan pembelian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa informan menyatakan alasan pembelian produk ramah lingkungan dengan alasan ekonomis, antara lain: “efisiensi biaya operasional” atau “barangnya berkualitas”. Alasan kedua adalah alasan emosional, seperti dinyatakan oleh informan “merasa menjadi konsumen yang cerdas” atau “merasa ikut menjaga lingkungan alam”. Selain itu terdapat pula alasan sosial seperti “dihargai temanteman” atau “barangnya unik”. Dan alasan terakhir adalah alasan fungsioanal, yaitu mendapatkan “barang yang aman/tidak berbahaya”. Menurut Ali et al. (2010), aktivitas CSR secara potensial dapat menciptakan nilai tambah bagi perusahaan karena CSR mengkombinasikan aspek sosial dan lingkungan dalam menjalankan bisnisnya. Jika dikelola dengan baik, pendekatan CSR dapat menciptakan nilai bagi dua pihak, yaitu bisnis itu sendiri 224
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
dan masyarakat secara simultan. Menurut Green & Peloza (2011) yang penting untuk diperhatikan oleh manajer adalah kemampuan untuk membedakan nilai CSR yang akan diterjemahkan dalam pengaruh yang berbeda pada isu sosial dan lingkungan. Ketika seorang pelanggan memilih produk yang mengandung CSR dalam bentuk nilai fungsional, tersebarnya produk secara luas di antara ribuan atau jutaan konsumen akan memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat. Ketika CSR ditambahkan pada fitur produk, maka konsumen akan selalu mengingat manfaat fungsional CSR yang menciptakan tingkat kesadaran dan keterlibatan yang lebih tinggi akan akibat dari konsumsi. Dapat disusun proposisi 3: Aktivitas CSR berdampak pada nilai yang diterima konsumen, baik nilai ekonomis, nilai fungsional, nilai emosional, maupun nilai sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar informan menunjukkan kecurigaan terhadap akitivitas CSR yang dilakukan perusahaan. Diantaranya “curiga harga barang dinaikkan”, “curiga bahwa aktivitas itu hanya kebohongan publik”, dan kegiatan CSR yang diinformasikan “tidak sebesar yang diberitakan”. Dalam hal ini Trudel & Cotte (2009) menemukan bahwa konsumen bervariasi pada keinginan untuk membayar untuk sebuah produk etis dari perusahaan di dasarkan pada ekspektasi mereka terkait dengan perilaku etis dari perusahaan ini. Dengan demikian dapat disusun proposisi 4: Aktivitas CSR membuat konsumen menjadi skeptis pada perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan semua informan merasa bahwa produk yang ramah lingkungan “bermanfaat bagi diri sendiri” karena “barang aman/tidak berbahaya”. Lebih lanjut Hasil dari pelaksanaan aktifitas CSR terhadap tanggapan pelanggan meliputi evaluasi yang bersifat positif terhadap perusahaan (Brown & Dacin, 1997), tingginya niat beli konsumen (Mohr & Webb, 2005). Dengan demikian dapat disusun proposisi 5: Aktivitas CSR terkait produk yang langsung dapat dirasakan konsumen meningkatkan sikap positif konsumen terhadap produk. Hasil penelitian menunjukkan informan merasa bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas CSR adalah “perusahaan besar atau perusahaan yang bereputasi [baik]”. Hellen et al. (2006) mengatakan bahwa aktivitas CSR meningkatkan kredibilitas merek/perusahaan. Corporate social responsibility seringkali digunakan sebagai kriteria penting untuk mengendalikan reputasi perusahaan, dimana reputasi perusahaan juga berhubungan dengan corporate credibility yang dimiliki oleh perusahaan. Ahmad & Buttle (2001) menyatakan sekarang ini diyakini bahwa menjadi perusahaan yang memiliki tanggungjawab sosial dapat meningkatkan reputasi dan citra yang lebih baik di pasar. Maka disusun proposisi 6: Aktifitas CSR berdampak pada persepsi konsumen atas citra perusahaan dan produk serta meningkatan kredibilitas perusahaan dan merek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan dalam mengevaluasi keputusan pembeliannya menyatakan akan “merekomendasikan ke teman”, “akan membeli lagi”, karena merasa “puas, telah melakukan dengan benar”. Namun informan yang berpemahaman negatif terhadap CSR, seperti “[CSR merupakan] bentuk promosi terselubung”, “[CSR hanya] untuk menarik simpati masyarakat” membuat konsumen merasa curiga pada aktivitas CSR tersebut sehingga dalam evaluasi atas keputusan pembeliannya, informan merasa kecewa karena “barang terlalu mahal”. Aktivitas CSR akan menambah nilai produk yang dirasakan konsumen. Aktivitas CSR ini akan menciptakan loyalitas (Onlaor & Rotchanakitumnuai, 2010; Zdravkovic et al., 2010; Mohr, Webb, & Harris, 2001). Dengan demikian disusun proposisi 7: Penilaian konsumen atas aktivitas CSR mempengaruhi loyalitas konsumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informan memiliki tingkat kepedulian pada lingkungan yang bervariasi. Beberapa informan mengatakan “orang harus diperlakukan sama”, namun beberapa orang lagi menyatakan bahwa “orang butuh menjaga diri sendiri 225
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
tanpa perlu mengkhawatirkan orang lain”. Sedangkan apabila dilihat dari karakteristik pendidikan informan, hampir semua informan berpendidikan tinggi (Sarjana) dan berada pada usia produktif (29-47 tahun) di mana hampir semuanya adalah karyawan. Menurut informan akademisi, karakteristik konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian produk ramah lingkungan adalah konsumen yang “berusia 30-45 tahun, berpendidikan tinggi, tingkat ekonomi yang cukup”. Lebih lanjut informan akademisi tersebut menyatakan bahwa antara karakteristik demografi dengan kepedulian lingkungan ini dapat berinteraksi dalam mempengaruhi keputusan pembelian. Sen & Bhattacharya (2001) menyatakan bahwa ketika konsumen altruistic mempersepsikan merek yang mencoba untuk memproyeksikan citra CSR dengan mengasosiasikannya melalui suatu social cause, konsumen akan berusaha membuat penilaian pada kredibilitas merek tersebut berdasarkan attribution of motivation, dimana tetap meyakinkan konsumen bahwa brand tersebut sesuai dengan personal identities konsumen dan untuk memuaskan kebutuhan dasar definisi personal. Altruistic value yang ada pada diri konsumen akan mempengaruhi perilaku mereka dalam merespon aktivitas CSR, seperti yang disampaikan oleh Stren, Kalof & Mohamed (2009). Maka dapat disusun proposisi 8: Karakteristik konsumen (umur, pendidikan, pendapatan dan kepedulian pada lingkungan memperkuat pengaruh CSR terhadap keputusan pembelian konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan memiliki budaya kebersamaan, yaitu mereka mengatakan bahwa “setiap orang seharusnya membantu orang lain yang kurang beruntung”, atau “adalah sangat penting menolong orang lain yang dalam kesulitan”. Rojanasak & Ken (2009) mengatakan bahwa pengaruh inisiatif CSR terhadap brand preference dipengaruhi oleh nilai budaya. Dengan demikian dapat disusun proposisi 9: Budaya konsumen yang kolektivism (lebih mengutamakan kebersamaan) mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR dan keputusan pembelian produk ramah lingkungan. Sembilan proposisi tersebut merupakan suatu hubungan kausal antara proposisi satu dengan proposisi lainya. Keterkaitan semua proposisi hasil penelitian satu dengan proposisi lainya dapat dilihat dalam gambar berikut Tujuan CSR - Peraturan - Kebaikan hati - promosi
Aktivitas CSR - Bagi diri konsumen - Bagi lingkungan -
Budaya konsumen Karakteristik (demografi dan kepedulian)
Respon Konsumen - Value - Loyalitas - Skeptis - Sikap - Image - Kredibilitas
Gambar 1 Model CSR: Variabel Anteseden dan Konsekuensi
226
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat 9 proposisi sebagai hasil penelitian ini, yaitu: 1) persepsi konsumen tentang tujuan aktivitas CSR mempengaruhi evaluasi konsumen tentang kegiatan CSR tersebut; 2) evaluasi konsumen atas aktifitas CSR yang dilakukan perusahaan mempengaruhi keputusan pembelian; 3) aktivitas CSR berdampak pada nilai yang diterima konsumen baik nilai ekonomis, nilai fungsional, nilai emosional, maupun nilai sosial; 4) aktivitas CSR membuat konsumen menjadi skeptis pada perusahaan; 5) aktivitas CSR terkait produk yang langsung dapat dirasakan konsumen meningkatkan sikap positif konsumen terhadap produk; 6) aktivitas CSR berdampak pada persepsi konsumen atas citra perusahaan dan produk serta meningkatan kredibilitas perusahaan dan merek; 7) penilaian konsumen atas aktivitas CSR mempengaruhi loyalitas konsumen; 8) karakteristik konsumen (umur, pendidikan, pendapatan dan kepedulian pada lingkungan memperkuat pengaruh CSR terhadap keputusan pembelian konsumen; 9) budaya konsumen yang kolektivism (lebih mengutamakan kebersamaan) mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR dan keputusan pembelian produk ramah lingkungan. Ditemukan variabel moderasi pada hubungan aktivitas CSR dan respon konsumen pada CSR yaitu karakteristik konsumen berupa demografi dan kepedulian pada lingkungan yang pada awalnya dianggap sebagai varienel anteseden. Hasil penelitian kualitatif yang berupa proposisi-proposisi penelitian ini perlu dijabarkan dalam bentuk hipotesis yang nantinya perlu diuji secara kuantitif. Agar hasil penelitian lebih terfokus, maka penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan objek penelitian yang spesifik. DAFTAR REFERENSI Ahmad R., Buttle F. 2001. Customer retention: a potentially potent marketing management strategy. Journal of Strategic Marketing, 9 (1), 29-45. Ali A., Israr A. 2012. Environtment friendly product: factors that influence the green purchase intentions of Pakistani Consumers. Pakistani Journal Technology Science, pp 84-117. Ali I., Rehman KU., Yilmaz, AK., Nazir S., Ali JF. 2010. Effects of corporate social responsibility on consumer retention in cellular industry of Pakistan. African Journal of Business management, Vol.4(4), pp. 475-485. Ashok R. 2004. Marketing Strategies: A Contemporary Approach. New Jersey: Prentice Hall. Becker-Olsen KL., Cudmore BA., Hill, RP. 2006. The impact of Perceived Corporate Social Responsibility on Consumer Behavior. Journal of Business Research, 59, pp. 46-53. Brown TJ., Dacin PA. 1997. The company and the product: corporate associations and consumer product responses. The Journal of Marketing, 68-84. Burns AC., Bush RF. 2010. Marketing Research. New Jersey: Prentice Hall. Creswell JW., Miller DL. 2000. Determining validity in qualitative inquiry. Theory Into Practice, 39 (3), 124-130. Goulding, C. 2003. Issues in representing the postmodern consumer”, Qualitative Market Research: An International Journal, 6 (3), 152-159. Green T., Peloza J. 2011. How does corporate social responsibility create value for consumers? Journal of Consumer Marketing, 28/1, pp. 48-56. Gremler DD. 2004. The critical incidence technique in service research. Journal of Service Research, 7 (1), 65-89.
227
Masmira Kurniawati Sri Hartini Lilik Rudianto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Guion LA., Diehl DC., McDonald D. 2011. Triangulation: Establishing the Validity of Qualitative Studies. Working paper: University of Florida. Jarratt DG. 1996. A comparison of two alternative interviewing techniques used within an integrated research design: a case study in outshopping using semi-structured and nondirected interviewing techniques. Marketing Intelligence & Planning, 14 (6), 6-15. Kotler P., Keller KL. 2012. Marketing Management. New Jersey: Prentice Hall. Kotler P., Nancy L. 2005. Corporate social responsibility: doing the most good for your company and your cause. Resource Policy, 27, 61-75. Lee, KH., Shin D. 2010. Consumers’ responses to CSR activities: The linkage between increased awareness and purchase intention. Public Relation Review, 36, pp. 193-195 Mohr LA., Webb DJ., Harris KE. 2001. Do Consumers expect companies to be socially responsible? The impact of Corporate Social responsibility of buying behavior. Journal of Consumer Affairs, 35, pp. 45-72. Mohr LA., Webb DJ. 2005. The effects of corporate social responsibility and price on consumer response. Journal of Consumer Affairs, 39, 121-147. Onlaor W., Rotchanakitumnuai S. 2010. Enhancing Customer Loyalty towards CSR of Thai Mobile Service Provider. World Academy of Science, Engineering and Technology, 66, 1574-1578. Pace S. 2004. A Grounded Theory of the Flow Experiences of Web Users. International Journal of Human-Computer Studies, 60, 327–363. Rahim R., Jalaludin F., Tajuddun K. 2011. The Importance Of Corporate Responsibility On Consumer Behaviour In Malaysia. Asian Academy of Management Journal, 16, pp 119139. Schifman, LG., Kanuk LL. 2007. Consumer Bahavior. International Edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Sen S., Bhattacharya CB. 2001. Does doing good always lead to doing better? Consumer reactions to corporate social responsibility. Journal of marketing Research, 38 (2), 225243. Shah SK., Corley KG. 2006. Building Better Theory by Bridging the Quantitative– Qualitative Divide. Journal of Management Studies, 43 (8), 1821-1835. Trudel R., Cotte J. 2009. Does it pay to be good. MIT Sloan Management Review, 50 (2), 6168. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Webb & Mohr. 1998. Do Consumer Expect Companies to be Socially Responsible? The Impact of CSR on Buying Behavior. The Journal of Consumer Affairs, Vol. 35, No. 1 Zdravkovic S., Magnusson P., Stanley, SM. 2010. Dimensions of fit between a brand and a social cause and their influence on attitudes. International Journal of Research in Marketing, 27(2), 151-160.
228
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
BUDAYA ORGANISASI, KOMPETENSI DAN KINERJA KARYAWAN PADA PT. ANGKASA PURA II (PERSERO) KANTOR CABANG BANDAR UDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU Raden Lestari Garnasih Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau
[email protected]
ABSTRACT ORGANIZATIONAL CULTURE , COMPETENCE AND EMPLOYEES PERFORMANCE IN ANGKASA PURA II (LIMITED) AIRPORT BRANCH SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU This study aims to determine how the variables influence organizational culture and competencies on the performance of employees at PT Angkasa Pura II (Limited) Branch Airport Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. This study uses primary data is data obtained from interviews and questionnaires giving to all employees at PT Angkasa Pura II (Limited) Branch Airport Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. Secondary data relating to the object and organizational structure. The population is the entire workforce of about 291 employees and 74 employees were sampled. The method of analysis used in this study is the method of multiple linear regression. From the results of testing that has been done, the results of the partial test (t test) showed that the variables of organizational culture and competence partially significant effect on employee performance. The results of the calculation of the coefficient of determination (R2) is equal to 0.538 which means that the culture of the organization and competence variables jointly affect the performance of employees by 53.8%, while the remaining 46.2% is influenced by other variables were not examined in the study this. Keywords: organizational culture, competencies, and employee performance
Pendahuluan Kinerja organisasi yang merupakan akumulasi dari kinerja karyawan selalu menjadi tujuan setiap organisiasi. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena kinerja yang dihasilkan akan menentukan keberlangsungan hidup organisasi. Sebaliknya kinerja yang buruk akan mempengaruhi organisasi dalam mengembangkan dirinya, seperti melakukan ekspansi perusahaan, pengembangan produk, perbaikan sistem dan teknologi, dan sebagainya. Oleh sebab itu kinerja karyawan akan selalu menjadi tujuan dari setiap aktifitas di dalam organisasi. Kinerja merujuk pada tingkat pencapaian tujuan di tempat kerja yang ditetapkan dalam kerja karyawan (Cascio 2006). Peneliti-peneliti lain memiliki pikiran yang berbeda mengenai kinerja. Banyak para peneliti menggunakan istilah kinerja untuk mengekspresikan tingkatan ukuran dari efisiensi transaksi input dan output (Stannack 1996).
229
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain adalah budaya organisasi. Setiap organisasi memiliki budaya atau kumpulan nilai sendiri yang unik dan organisasi yang berbeda memiliki makna yang lengkap tentang budayanya. Agar supaya tujuan-tujuan organisasi dan mencapai persaingan kompetitif, semua organisasi yang sedang berkembang merekrut individu-individu yang berkinerja tinggi. Di lain sisi, individu membutuhkan dukungan budaya organisasi untuk membantu mereka mencapai tujuan-tujuan individu. Oleh karena itu, sebuah organisasi dengan sadar mengkoordinasikan sistem yang dikarakteristikkan dengan interaksi individu, kelompok, dan organisasi satu sama lain dan berinteraksi efektif tergantung pada budaya organisasi yang mempertajam kinerja karyawan (Kozlowski & Klein, 2000). Budaya organisasi merupakan perilaku bersama karyawan organisasi, yang terbentuk dari nilai-nilai organisasi, visi, bahasa kerja, sistem dan simbol-simbol ( Saher, et al 2012). Selanjutnya Schein menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi cara orang dan kelompok berinteraksi satu sama lain, klien, dan stakeholder yang lainnya. Hofstede (1991) menyatakan bahwa budaya mempengaruhi bagaimana orang berperilaku dan berpikir , jadi sangat penting untuk memahami budaya organisasi dalam organisasi. Jim Grives (2000) mendukung dengan kuat bahwa pengembangan organisasi dapat meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Agar dapat mencapai budaya dengan berhasil, pimpinan tidak boleh mengabaikan budaya organisasi karena budaya organisasi dapat digunakan sebagai keunggulan bersaing selama pengembangan organisasi (Sun 2008). Pada dasarnya fungsifungsi budaya organisasi mencerminkan budaya dalam dua tujuan yakni pertama, penciptaan perasaan identitas di dalam individu dan komitmen terhadap organisasi; kedua, penciptaan sebuah persaingan pada para anggota (terutama karyawan baru) di dalam organisasi untuk dapat memahami perilaku dengan baik dan kestabilan sistem sosial (Martins 2000). Kompetensi merupakan faktor yang berperan dalam menghasilkan kinerja karyawan. Kompetensi merupakan karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkannya memberikan kinerja yang unggul dalam pekerjaan. Apabila karyawan memiliki kompetensi yang terdiri pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang baik maka akan memiliki kinerja yang baik pula ( McCleland dalam Yuniarsih dan Suwatno 2009). Kompetensi juga memberi manfaat yang besar bagi suatu organisasi. Jika kompetensi ini dimiliki oleh para karyawan , maka organisasi akan lebih mudah untuk mencapai kinerja yag diharapkan. Beberapa manfaat kompetensi tersebut adalah (Manopo 2011) ; pertama, manfaat proses seleksi berbasis kompetensi antara lain; meminimalkan biaya investasi atas merekrut orang-orang yang ternyata tidak memenuhi harapan perusahaan, menyediakan gambaran yang jeals mengenai peryaratan jabatan Kedua, manfaat pelatihan dan penegembangan berbasis kompetensi, antara meliputi; menjadikan organisasi untuk fokus pada perilaku dan keterampilan yang relevan, menjadikan kegiatan pelatihan dan pengembangan llebih efektif, dan menyediakan kerangka bagi atasan untuk melakukan bimbingan. PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa kebandarudaraan dan pelayanan lalu lintas udara Angkasa Pura II sebagai Air Navigation Service Provider (ANSP) senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pelayanannya baik dari fasilitas, prosedur kerja maupun kemampuan personil, sehingga mampu melaksanakan misinya untuk mengelola jasa pelayanan lalu lintas udara yang mengutamakan keselamatan penerbangan dan kepuasan pelanggan.
230
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Pengukuran kinerja karyawan PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif kasim II Pekanbaru dilakukan dengan menggunakan konsep KPI (Key Performance Indicator). Penilaian dilakukan oleh atasan langsung dari karyawan yang dinilai. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, secara umum KPI di perusahaan ini belum mampu mencapai standar perusahaan dengan nilai 4, dengan rincian : a. Nilai 4, untuk hasil kerja di atas 90% dan menemukan hal baru yang dikategorikan sebagai inovasi b. Nilai 3, untuk hasil kerja di ata 90% c. Nilai 2, untuk hasil kerja 70% - 90% d. Nilai 1, untuk hasil kerja kurang dari 70%. Perusahaan juga masih menghadapi berbagai persoalan yang sangat mengganggu keberlangsungan pencapaian kinerja yang diharapkan, yakni : masih terdapatnya perilaku karyawan yang melanggar Standard Operating Procedure (SOP) yang ada. Internalisasi kejujuran, masih belum dapat dijalankan oleh semua karyawan. Masih banyak karyawan yang tidak jujur dengan diri sendiri ketika menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. Terutama kejujuran dalam bidang tugasnya, jika ada pekerjaan yang salah selalu mengelak dan beralasan dengan bekerja untuk mengamankan dirinya. Dalam pelaksanaan pekerjaan masih sering terjadi konflik kecil yang terkait dengan dengan persoalan perilaku karyawan. Misalnya, dalam hal keterlambatan pelaporan pekerjaan ke kantor pusat sering terjadi yang disebabkan kurang adanya kerjasama antar bagian. Rata-rata keterlambatan laporan ke kantor pusat sampai satu minggu. Karyawan juga belum mampu beradaptasi dengan budaya kerja yang berorientasi pada prestasi. Masih ditemukan banyak karyawan yang bekerja dengan caranya sendiri padahal budaya kerja sudah ditetapkan oleh perusahaan untuk dijadikan pedoman. Namun banyak karyawan yang tidak menjalankan pekerjaannya sesuai dengan Standar Operating Procedure (SOP) yang ada. Masih ditemukan karyawan yang enggan menanggapi perubahan terhadap sistem pelaksanaan pekerjaan baru. Karyawan masih banyak yang menolak terhadap proses pembaharuan dalam sistem manajemen. Sebagai contoh, ketika diperlakukan ketentuan baru tentang perlunya karyawan menilai diri sendiri, mereka umumnya enggan untuk merubah kebiasaan. Dari uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Apakah budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru. 2. Apakah kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh budaya organisasi dan kompetensi terhadap kinerja karyawan PT. Angkas Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru.
231
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Landasan Teori 1. Kinerja Karyawan Kinerja merujuk pada kepada kemampuan (physical dan psychologiacal) untuk melakukan sebuah tugas khusus di dalam sebuah pola yang dapat diukur sebagai skala tinggi, menengah atau rendah . Kata kinerja dapat digunakan untuk menjelaskan aspek-aspek seperti kinerja sosial, kinerja organisasi, kinerja karyawan, dan kinerja individu., dan sebagainya. Para peneliti (Roe, 1999; Campbell, Mc.Cloy. Oppler, & Sager, 1993; Campbell, 1990; Kanfer, 1990) cenderung mengidentifikasikan dua dimensi kinerja, yakni sebagai dimensi kegiatan (aspek perilaku) dan dimensi hasil (aspek prestasi). Kinerja karyawan didefenisikan sebagai produktivitas dan output karyawan sebagai hasil pengembangan karyawan yang pada akhirnya akan berdampak pada efektivitas organisasi. (Hameed, Waheed 2011). Suatu perusahaan tentu membutuhkan karyawan sebagai tenaga kerjanya guna meningkatkan produk dan jasa yang berkualitas. Mengingat karyawan merupakan asset penting bagi perusahaan, banyak hal yang perlu diperhatikan terkait dengan peningkatan kinerjanya. Kinerja (performance) berasal dari akar kata ‘to perform” yang mempunyai beberapa pengertian : (1) to do or carry out execute, (2) to discharge of fulfill as a vow, (3) to portray, as character in a play, (4) to tender by the voice or musical instrument, (5) to execute or complete an undertaking (6) to act a part in a play, (7) to perform music, (8) to do what is expected of a person or machine. (The Scribner Bantam English Dictionary, (1979) dalam Sedarmayanti (2011). Artinya: (1) melakukan, menjalankan,melaksanakan, (2) memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar, (3) menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan, (4) menggambarkannya dengan suara atau alat music (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab, (6) melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan (7) memainkan (pertunjukan) music, (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh sesorang atau mesin. Ivansevich mendefenisikan kinerja karyawan sebagai tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu menurut Rivai (2011) kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Kinerja karyawan didefenisikan sebagai produktivitas dan output karyawan sebagai hasil pengembangan karyawan yang pada akhirnya akan berdampak pada efektivitas organisasi. (Hameed, Waheed, 2011). Robbins&Judge (2011) mendefinisikan kinerja karyawan sebagai ukuran hasil kerja, yaitu ukuran dari hasil yang menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pemenuhan kebutuhan karyawan akan berdampak pada produktivitas karyawan. Karyawan yang produktif dan kompeten akan menghasilkan output berkualitas yang berdampak pada peningkatan pendapatan perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja perusahaan. Kinerja karyawan merujuk pada tingkat pencapaian tujuan di tempat kerja yang ditetapkan dalam kerja karyawan (Cascio 2006). Peneliti-peneliti lain memiliki pikiran yang berbeda mengenai kinerja. Banyak para peneliti menggunakan istilah kinerja karyawan untuk mengekspresikan tingkatan ukuran dari efisiensi transaksi input dan output (Stannack,1996)
232
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
2. Budaya Organisasi Budaya organisasi dikonsepkan sebagai nilai-nilai dan keyakinan yang tersebar di dalam organisasi untuk mempertajam pola-pola perilaku karaywan (Kotter and Haskett, 1992). Gordon and Cummins (1979) mendefenisikan budaya organisasi sebagai dorongan yang memperkenalkan usaha-usaha dan kontribusi anggota organisasi dan menyediakan pemahaman-pemahaman yang tinggi tentang apa dan bagaimana sesuatu dicapai, bagaimana tujuan saling dihubungkkan dan bagaimana setiap karyawan dapat mempertahankan tujuantujuannya. Banyak pakar telah mengemukakan definisi dan dimensi yang berkenaan dengan budaya perusahaan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa Corporate Culture telah menjadi topik yang populer pada banyak literatur Manajemen sejak tahun 1980-an. Hofstede menyimpulkan bahawa budaya organisasi sebagai proses kolektif pemikiran yang membedakan anggota-anggota organisasi dengan organisasi lain. Selanjutnya budaya organisasi dapat bermakna dapat menjaga karyawan untuk tetap berada dalam garis dan berakselearasi terhadap tujuan- tujuan organisasi. Peters dan Watermans (1982) bahkan mengemukakan bahwa Budaya Perusahaan merupakan konsep yang sederhana, namun menyeluruh dan memiliki konsekuensi yang tinggi. Lebih lanjut Peters dan Watermans (1982) mengemukakan bahwa budaya yang kuat akan lebih efektif daripada budaya yang lemah. Budaya organisasi dirancang oleh Schein (1990) sebagai keseluruahn fenomena seperti pengelolaan alami, ritual, iklim dan nilai-nilai perusahaan. Didasarkan pada Martins dan Terblanche (2003), budaya secara mendalam dihubungkan dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang tersebar di dalam sebuah organisasi. Budaya organisasi menghubungkan karyawan dengan nilai-nilai organisasi, norma-norma, cerita-cerita, keyakinan dan prinsip-prinsip serta memasukkan semua hal tersebut sebagai standar perilaku dan aktivitas. Klein, et.el (1995) memposisikan budaya organisasi sebagai nilai inti kegiatan organisasi yang secara menyeluruh berdampak pada efektivitas menyeluruh dan kualitas produk dan jasa. Schein (2004) myawan dan bentuk mamanjemen, mendefenisikan budaya organisasi sebagai kekuatan dinamis di dalam organisasi yang melibatkan, menguatkan dan berinteraksi, serta dipertajam melalui karyawan dan gerak manajemen, perilaku dan kebiasaan. Budaya yang kuat dianggap merupakan budaya yang relatif lebih efektif sedangkan budaya yang lemah relatif lebih homogen Menurut hasil penelitian Institute for Research on Intercultural Cooperation (IRIC) bahwa budaya yang kuat memiliki korelasi yang signifikan dengan budaya yang berorientasi pada hasil. Selanjutnya, Graham (2004) mengungkapkan bahwa budaya organisasi yang berbasis kinerja mengakui bahwa kesuksesan mereka bergantung pada keberhasilan kinerja karyawan mereka. Kemampuan organisasi untuk melaksanakan misinya dan mencapai tujuan organisasi, bergantung pada kompetensi, inovasi, dan produktivitas karyawannya. Manajemen dalam organisasi ini berkomitmen kuat untuk menciptakan kondisi dan konsekuensi yang mendukung dan mempertahankan kinerja yang baik dan berkelanjutan. Organisasi dengan budaya yang berbasis kinerja menghasilkan hasil yang lebih baik dan pelanggan yang lebih puas. Perusahaan juga memiliki karyawan yang lebih bahagia. Gordon dan DiTomaso dan Denison (1990) berpendapat bahwa karakteristik budaya bisa mempengaruhi kinerja tetapi dikendalikan atau dikondisikan dengan conteks khusus. Mereka lebih jauh berargumen bahwa budaya dapat mengarahkan kepada kinerja yang lebih tinggi dengan jika terdapat kepastian perubahan-perubahan faktor lingkungan. Akhir-akhir ini, para peneliti berargumentasi bahwa sifat-sifat budaya dicopy dan pada akhirnya menjadi sumber keberlangsungan organisasi. Pandangan yang didasarkan pada sumber daya (RBV) 233
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
(Barney 1986 dan 1991) menyarankan bahwa keberlangsungan bergantung kepada nilai-nilai, kelangkaan dan keberlangsungan perhatian pada budaya. Terdapat hubungan antara budaya organisasi dan kinerja (Ogbonna dan Harris 2000). Penelitian lain menyatakan bahwa budaya yang kuat memiliki andil dalam mencapai kesuksesan organisasi (Deal and Kennedy 1982). Penelitian ini menyatakan bahwa hasil study mengindikasikan bahwa dua bentuk budaya , yakni birokrasi dan komunitas tidak memiliki hubungan langsung terhadap kinerja. Menariknya, birokrasi dan komunitas memiliki masing-masing karakteristik integrasi, kohesif internal, dan kemantapan kesamaan yang menciptakan budaya yang kuat. Hasil studi lain menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang mendalam pada variasi proses organisasi, karyawan dan kinerjanya (Sahzad, Luqman, Khan, Shabbir 2012). Penelitian ini lebih lanjut menyatakan bahwa jika karyawan komitmen dan memiliki kesamaan norma-norma dan nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki organisasinya, maka akan dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh. Penelitian lain menyatakan terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dengan kinerja dengan variable antara adaptation (Stoica dan Minet 1999). Kekuatan budaya berkorelasi secara signifikan dan positif dengan kepuasan kerja. Temuan ini mengungkapkan bahwa organisasi yang memiliki kekuatan budaya kerja yang lebih tinggi, lebih mungkin untuk memiliki kepuasan pekerjaan yang lebih tinggi dan berimplikasi terhadap kinerja organisasi yang lebih baik. (Mallack dkk. 2003). Selanjutnya, Graham (2004) mengungkapkan bahwa budaya organisasi yang berbasis kinerja mengakui bahwa kesuksesan mereka bergantung pada keberhasilan kinerja karyawan mereka. Kemampuan organisasi untuk melaksanakan misinya dan mencapai tujuan organisasi, bergantung pada kompetensi, inovasi, dan produktivitas karyawannya. Manajemen dalam organisasi ini berkomitmen kuat untuk menciptakan kondisi dan konsekuensi yang mendukung dan mempertahankan kinerja yang baik dan berkelanjutan. Organisasi dengan budaya yang berbasis kinerja menghasilkan hasil yang lebih baik dan pelanggan yang lebih puas. Perusahaan juga memiliki karyawan yang lebih bahagia. Budaya organisasi yang diterapkan pada PT. Angkasa Pura II (Persero) meliputi: (Buku Perjanjian Kerja Sama , PKB, PT. Angkasa Pura II) : dapat dipercaya, kejujuran, kepedulian, kelugasan, integritas, bebas dari konflik kepentingan, kelancaran aliran, perilaku etikal, keinsanan korporasi yang baik, kehati-hatian dan pengendalian resiko. 3. Kompetensi Kompetensi merupakan karakteristik individu yang mendasari kinerja atau perilaku di tempat kerja (Wibowo 2007) . Pendapat lain dikemukakan oleh Lucia dan Lepsinger dalam Manopo (2011:12) menyatkan bahwa kompetensi menggambarkan kombinasi perilaku antara pengetahuan , keterampilan, dengan karakteristik yang diperlukan untuk menunjukkan perannya dalam organisasi secara efektif dan kinerja yang sesuai di dalam organisasi. Ada dua istilah yang muncul dari dua aliran yang berbeda tentang konsep kesesuaian dalam pekerjaan. Istilah tersebut adalah Competency (kompetensi) yaitu deskripsi mengenai perilaku, dan Competence (kecakapan) yang merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan. (Palan, 2007:5). Walau perbedaan arti kedua istilah tersebut diterima secara umum, namun penggunaannya masih sering dipertukarkan, yang menyebabkan setiap orang memiliki pengertian yang berbeda-beda. Umumnya orang menggunakan istilah kompetensi dan sejenisnya menciptakan pengertian sendiri sesuai dengan kepentingannya.
234
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Kompetensi didefenisikan oleh Miller (1990) sebagai mengetahui bagaimana melakukan sesuatu. Defenisi lain dari kompetensi adalah merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan dan prestasi, kemampuan untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan dan penyesuaian dalam praktek (Sanford, 1989). .. Kompetensi merupakan suatu karakteristik yang mendasar dari seseorang individu, yaitu penyebab yang terkait dengan acuan kriteria tentang kinerja yang efektif. (Spencer & Spencer, 1993:9). Penyesuaian tekonologi dalam komunikasi di Perusahaan kecil untuk meningkatkan kompetensi sebagai upaya peningkatan kinerja. (Wainwright dkk. 2005). Di dalam buku Human Resources Development PT. Angkasa Pura II (Persero) disebutkan bahwa indikator kompetensi adalah sebagai berikut : orientasi kepada prestasi, adaptasi, bertindak proaktif, komunikasi, memimpin perubahan, membangun jaringan dan orientasi pada keuntungan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kinerja karyawan dan kompetensi berhubungan langsung dan menjadi penting dalam sektor ekonomi. Di samping itu banyak faktor yang memiliki hubungan positif terhadap kinerja dan kompetensi. Hasil penelitian Ainon (2003) menyatakan ada individu-individu yang memiliki tingkat kompetensi tinggi tetapi rendah kinerja disebabkan tidak menggunakan kompetensinya. Oleh sebab itu kinerja yang lebih tinggi juga dihasilkan melalui disiplin dan kerja keras. Kompetensi mempengaruhi kinerja juga dinyatakan oleh Ismail dan Abidin (2010) Dari pemaparan di atas maka, kerangka berpikir pada penelitian ini adalah : Budaya Organisasi Kinerja Karyawan
Kompetensi
Hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja karyawan pada PT. (Persero) Angkasa Pura II Cabang Kantor Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. 2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kompetensi terhadap kinerja karyawan pada PT. (Persero) Angkasa Pura II Cabang Kantor Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. Metode Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II , jalan Perhubungan Udara, Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru , Propinsi Riau.
235
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sampel pada penelitian ini adalah 74 orang karyawan dari 291 populasi. Metode penarikan sampel dilakukan dengan stratified random sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode stratified Random Sampling . Penulis mengelompokkan populasi berdasarkan divisi yang ada di PT (Persero) Angkasa Pura II dengan perhitungan sebagai berikut Tabel 1 Jumlah Populasi dan Sampel Berdasarkan Divisi No. 1 2 3
Divisi Populasi Sampel Pelayan Operasi 178 45 Teknik 60 15 Keuangan Administrasi dan 53 14 Komersial Jumlah 291 74 Sumber: Data Olahan PT. Angkasa Pura II (Persero) Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru
Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan penyebaran kuesioner, dimana kuesioner yang disebarkan berisi pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan skala Likert. Operasional Variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 2 : Operasional Variabel Penelitian Variabel Kinerja Karyawan (Y) adalah a. hasil atau tingkat b. keberhasilan seseorang c. secara keseluruhan selama d. periode tertentu pada PT. e. Angkasa Pura II Cabang f. Kantor Bandar Udara Sultan g. Syarif Kasim II Pekanbaru
Budaya Organisasi (X1) a. adalah nilai-nilai yang b. diterima bersama oleh c. anggota organisasi yang d. menjadi dasar berperilaku e. karyawan PT. Angkasa Pura II Cabang Kantor Bandar f. Udara Sultan Syarif Kasim II g. pekanbaru h. i. j.
Indikator komitmen pada perusahaan, orientasi pada pelanggan, kerjasama, keteraturan dan keakuratan, jiwa kepemimpinan, pengembangan, pengambilan keputusan
Skala Pengukuran Ordinal
(Human Resources Development PT. Angkasa Pura II) dapat dipercaya, Ordinal kepedulian, kelugasan, integritas, bebas dari konflik kepentingan, kelancaran aliran , perilaku etikal, keinsanan korporasi yang baik, kehati-hatian, pengendalian resiko 236
Raden Lestari Gamasih
Kompetensi (X2) adalah a. karakteristik dasar seseorang b. yang mempengaruhi cara c. seseorang berpikir dan d. bertindak dalam bekerja di e. PT. Angkasa Pura II Cabang f. Kantor Bandar Udara Sultan g. Syarif Kasim II Pekanbaru.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
(Perjanjian Kerja Bersama/PKB PT. Angkasa Pura II) orientasi pada pelanggan, Ordinal adaptasi, bertindak proaktif, komunikasi, memimpin perubahan, membangun jaringan, orientasi pada keuntungan (Human Resources development PT. Angkasa Pura II (Persero).
Uji instrumen yang dilakukan meliputi uji validitas, reliabilitas, normalitas data, heterokedasitas, multikorelasi, dan autokorelasi. Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis pengaruh antara variabel bebas dan terikat adalah dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil data yang berhasil dikumpulkan akan diubah terlebih dahulu dari data yang berbentuk ordinal kepada data yang berbentuk interval dengan menggunakan metode MSI (Method of Successive Interval). Hal ini dilakukan untuk memenuhi sebagian syarat analisis parametrik.
Hasil dan Pembahasan 1. Profil Responden 2. Dari hasil penyebaran kuesioner, maka dihasilkan profil responden meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini : Tabel 3: Profil Responden No. 1.
2.
3.
Profil responden Jenis Kelamin : Laki – laki Perempuan Usia : < 30 tahun 30- 40 tahun >40 tahun Tingkat Pendidikan: SMA/SMK Diploma Sarjana
Persentase 68,92 31,08 18,92 52,70 28,38
22,97 31,08 45,95 237
Raden Lestari Gamasih
4.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Masa Kerja <5 tahun 5 – 10 tahun >10 tahun
29,73 43,24 27,03
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa dari identitas jenis kelamin, responden didominasi oleh laki-laki (68,92%). Hal ini merupakan hal yang lumrah mengingat PT. Angkasa Pura II merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa kebandarudaraan yang menuntut para pekerja untuk bekerja di lapangan sehingga karyawan lebih banyak laki-laki. Usia para karyawan didominasi oleh usia 30 – 40 tahun, yakni 52,70%, yang artinya sebagian besar karyawan berada pada usia produktif. Hal ini memberi nilai positif bagi perusahaan, karena usia produktif adalah usia yang diharapkan mampu menyelesaikan setiap pekerjaan sesuai dengan targetnya masing-masing. Dari aspek tingkat pendidikan, sebagian besar karyawan berpendidikan sarjana (S1) (45,95%). Hal ini menunjukkan bahwa organisasi memiliki karyawan yang memiliki tingkat intelektualnya yang cukup baik, sehingga diharapkan para karyawan memiliki kemampuan dan mampu dengan baik menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya organisasi yang ada sehingga mampu menciptakan kinerja karyawan sesuai target yang ditetapkan. Masa kerja karyawan sebagian besar berada pada 5-10 tahun, dan hanya 27,93% berada pada masa kerja di bawah 5 tahun. Kondisi ini menunjukkan kan karyawan memiliki loyalitas yang baik, dan semakin lama mereka bekerja pada perusahaan maka semakin baik kompetensi mereka dalam mengerjakan setiap pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan. Semakin lama karyawan bekerja pada organisasinya juga akan berdampak pada kemampuan mereka untuk lebih memahami nilai-nilai budaya tempat mereka bekerja, yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja optimalnya. 3. Hasil Uji Instrumen 1. Uji Validitas Pada uji validitas, sampel yang digunakan sebanyak 74 responden. Pengujian validitas dilakukan dengan membandingkan nilai korelasi r hitung dengan r tabel, dengan kriteria pengujian: Jika r hitung ≥ r tabel maka item-item pernyataan dinyatakan valid Jika r hitung < r tabel maka item-item pernyataan dinyatakan tidak valid. Untuk menetukan nilai r tabelnya df = jumlah sampel – 2, yang berarti df = 74 – 2 = 72. Dari tabel r dengan alpha 5% diketahui nilai df sebesar 0,229 dan nilai ini dibandingkan dengan nilai r hitung. Nilai r hitung dalam uji ini adalah pada kolom Item –Total Statistics (Corrected Item – Total Correlation). Nilai uji validitas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4 : Hasil Uji Validitas Instrument Variabel Kinerja
Item 1 2 3 4 5 6 7
r hitung 0.832 0.774 0.665 0.738 0.706 0.674 0.625
t tabel 0.299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
238
Raden Lestari Gamasih
Budaya Organisasi
Kompetensi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
1
0.657
0,299
Valid
2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7
0.708 0.702 0.611 0.717 0.735 0.693 0.605 0.433 0.608 0.631 0.654 0.712 0.767 0.734 0.716 0.539
0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299 0,299
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Hasil uji validitas menunjukkan nilai r hitung berkisar antara 0,433 sampai 0,832, sedangkan r tabel adalah 0,299, (r hitung > r tabel), dan ini berarti bahwa semua data saduah valid. Sedangkan uji reliabilitas menujukkan hasil yang reliabel, dimana nilai reliabilitasnya adalah lebih 0,6. Dan ini berarti alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini reliabel. 4. Uji Reliabilitas Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keandalan dan instrumen pernyataan yang valid. Pengujian dilakukan dengan menggunakan cronbach’s alpha. Batsan nilai dalam uji adalah 0.6. Jika nilai reliabilitas kurang dari 0.6, maka tingkat keandalannya kurang baik. Tabel 5: Hasil Uji Reliabilitas Instrument Variabel Kinerja Budaya Organisasi Kompetensi
Cronbach’s Alpha 0.902 0.898 0.887
Keterangan Reliabel Reliabel Reliabel
Dari tabel 5 diketahui hasil pengujian nilai reliabilitas ketiga variabel berada di atas 0.6. Artinya adalah bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.
5. Analisis Regresi Linear Berganda Dari hasil tanggapan responden data kemudian diolah untuk mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dilihat dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Berikut adalah hasil olahan data :
239
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tabel 6 : Hasil Analisis Regesi Linear Berganda Model
(Constant) Budaya Organisasi Kompetensi
Unstandarized Coeficients B Std Error .092 .375 .310 .120 .528 .115
Standardized Coeficient Beta .286 .508
t
Sig
.245 2.592 4.602
.807 .012 .000
Sumber : Data Olahan Dari hasil pada tabel 6 dibuat persamaan regresi linear berganda sebagai berikut : Y = 0.092 + 0.310 X1 + 0.528 X2 Makna dari persamaan di atas adalah : a. Nilai konstanta sebesar 0.092 bermakna bahwa apabila budaya organisasi dan kompetensi diasumsikan konstan atau nol, maka kinerja karyawan bernilai 0.092 b. Nilai koefisien regresi variabel budaya organisasi sebesar 0.310, bermakna bahwa setiap peningkatan budaya organisasi sebesar satu satuan, akan meningkatkan kinerja sebesar 0.310 dengan asumsi variabel lain tetap. c. Nilai koefisien regresi kompetensi sebesar 0.528 bermakna setiap peningkatan variabel kompetensi sebesar satu satuan , akan meningkatkan kinerja sebesar 0.528 dengan asumsi variabel lain tetap. 6. Uji t ( Parsial ) Hasil uji t (parsial) dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel. Dengan α = 5% t tabel sebesar 1,994. Hasil uji t sebagai berikut : 1. Variabel budaya organisasi (X1) memiliki t hitung (2,592) > t tabel (1,994) dengan sig 0,012 < 0,05. Artinya variabel budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan. 2. Variabel kompetensi (X2) memiliki t hitung (4,602) > t tabel (1,994), dengan sig. (0,000) < 0,05. Artinya variabel kompetensi berpengaruh terhadap kinerja karyawan. 7. Uji Koefisien Determinasi (R ) Analisis determinasi dalam regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui persentase sumbangan pengaruh variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen. Berikut adalah hasil olahan data SPSS: : Tabel 7 : Koefisien Determinasi Berganda ( R ² ) Model
R
R Square
.733
.538
Adjusted Square .525
R Std. Error of Durbin The Estimated Watson .515824 1.755
240
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Dari tabel 7 nilai R Square sebesar 0.538. Artinya adalah bahwa sumbangan pengaruh variabel independen (budaya organisasi dan kompetensi) terhadap variabel dependen (kinerja karyawan) adalah sebesar 53,8%, sedangkan sisanya sebesar 46,2 % dipengaruhi oleh variabel yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Pembahasan 1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja karyawan Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa hipotesis yang menyatakan “Diduga terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan pada PT (Persero) Angkasa Pura II Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru”, dapat diterima. Budaya organisasi yang merupakan seperangkat nilainilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar merupakan landasan bagi karyawan untuk berperilaku. Nilai budaya yang mengkristal dalam diri setiap karyawan akan memberikan dampak positif bagi pencapaian kinerja. Dari hasil jawaban responden, implementasi nilai-nilai budaya pada perusahaan ini berada pada kategori baik. Karyawan memiliki komitmen untuk peduli terhadap tumbuh kembang perusahaannya. Kelugasan karyawan dalam mengambil keputusan yang cerdas, cermat, cepat dan tegas juga diiplementasikan dengan baik oleh karyawan. Karyawan memiliki integritas yang baik, selalu menciptakan kelancaran pekerjaan . Sebagai perusahaan jasa, karyawan juga menjunjung tinggi etika dalam bekerja , selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas, dan memiliki perhatian terhadap resiko dari pengambilan keputusan yang dilakukan. Hasil penelitian ini didukung oleh Ogbonna da haris (2000) yang menyatakan terdapat hubungan antara budaya organisasi dan kinerja. Penelitian lain juga menyatakan bahwa budaya yang kuat memiliki andil dalam mencapai kesuksesan organisasi (Deal and Kennedy 1982). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Kotter dan Heskett (1992) yang mengemukakan bahwa budaya organisasi mempunyai dampak positif terhadap kinerja karyawan. Hasil studi lain menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang mendalam pada variasi proses organisasi, karyawan dan kinerjanya (Sahzad, Luqman, Khan, Shabbir 2012). Penelitian ini lebih lanjut menyatakan bahwa jika karyawan komitmen dan memiliki kesamaan norma-norma dan nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki organisasinya, maka akan dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini dikemukakan oleh Nugroho (2006) hasil penelitian menyimpulkan bahwa secara parsial budaya organisasi memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Rashid (2003) juga menyimpulkan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.
2. Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan. Hipotesis yang menyatakan “Diduga terdapat pengaruh dari variabel kompetensi terhadap kinerja karyawan pada PT (Persero) Angkasa Pura II Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru”, dapat diterima. Berdasarkan hasil deskriptif kompetensi karyawan berada pada kategori baik atau sesuai dengan yang ditetapkan perusahaan, walaupun belum mencapai tingkat sangat baik/sangat sesuai. Para karyawan sudah mampu berpikir dan bertindak dengan cepat. Kemampuan 241
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
karyawan menjalin kerjasama dengan jejaring kerja untuk kelancaran dan keberhasilan pekerjaan juga sudah dimiliki karyawan dengan baik. Karyawan juga sudah mampu bekerja dengan berorientasi pada keuntungan perusahaan dengan memaksimalkan kontribusi dari unit kerja. Hasil penelitian ini didukung oleh Wainwright, dkk (2005) yang menyatakan bahwa kompetensi dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kinerja melalui penyesuaian kemampuan komunikasi (Wainwright dkk. 2005). Pengaruh kompetensi terhadap kinerja ini juga didukung oleh Winanti (2011) yang menyimpulkan bahwa secara parsial kompetensi memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian lain juga dilakukan oleh Sumarno (2008) hasil penelitian menyimpulkan bahwa secara parsial kompetensi memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian yang dilakukan ini memiliki keterbatasan yang diharapkan dapat disempurnakan oleh para peneliti berikutnya. Penilaian kompetensi dan kinerja karyawan masih bersifat persepsi. Peneliti tidak melakukan penilaian terhadap hasil kinerja karyawan yang bersifat kuantitatif, misalnya pada para pekerja lapangan (divisi teknis), mereka memiliki penilaian kinerja seperti berapa kali melakukan kesalahan, berapa kali karyawan melakukan ketidaktepatan waktu pengerjaan tugas. Peneliti-peneliti berikutnya dapat menguji bagaimana pengaruh kepemimpinan yang dilihat dari aspek keteladanan dan komitmen mereka terhadap penerapan budaya organisasi. Kepemimpinan akan mempengaruhi budaya organisasi yang pada akhirnya akan berdampak pada pencapaian kinerja karyawan. Hal ini menjadi penting karena nilai-nilai budaya akan mengkristal dalam diri setiap karyawan manakala adanya keteladanan dan komitmen dari pimpinan dalam menjalankan nilai-nilai budaya tersebut.
Simpulan Implementasi nilai-nilai budaya pada perusahaan berada pada kategori baik. Namun demikian, ada beberapa nilai-nilai budaya yang harus diperkuat oleh pimpinan perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai “ dapat dipercaya dengan melaksanakan transaksi secara jujur dan memegang teguh janji” berada pada kategori cukup baik. Karyawan juga masih belum terbebas dari konflik-konflik kepentingan untuk tidak menyatukan kepentingan pribadi dan perusahaan. Sekalipun secara umum implementasi nilai budaya berada pada kategori baik, tetapi perusahaan harus tetap terus meningkatkan pengkristalan nilai-nilai tersebut dalam diri setiap karyawannya, sehingga diharapkan PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru akan menjadi perusahaan yang mampu memberikan pelayanan prima baik kepada eksternal maupun internal konsumennya. Walaupun kompetensi berpengaruh pada kinerja dan dikategorikan pada tingkat baik/sesuai dengan yang ditetapkan organisasi. Namun demikian terdapat beberapa kompetensi yang masih harus ditingkatkan, karena dari hasil penelitian deskriptif terdapat kompetensi karyawan yang belum optimal atau berada pada kategori “cukup”. Kompetensi tersebuat adalah: karyawan belum terlalu mampu bekerja dengan berorientasi pada prestasi, karyawan belum bisa dengan cepat beradaptasi dengan individu atau kelompok, komunikasi antar karyawan juga belum menunjukkan hasil yang optimal, dan terakhir karyawan juga belum mampu dengan baik mengikuti perubahan yang dilakukan perusahaan. Pimpinan perusahaan harus lebih memberikan perhatian yang besar pada kemampuan-kemampuan
242
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
tersebut. Dengan demikian diharapkan peningkatan kualitas karyawan dapat meningkat dan pada akhirnya akan menghasilkan kinerja yang diharapkan.
243
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Daftar Referensi Ainon, M., 2003. Psikologi Kejayaan. PTS Publication and Distribution Sdn, Bhd, Pahang Barney, J. B. 1986. Organizational Culture: Can it be a Source of Sustained Competitive Advantage? Academy of Management Review, 11, 656-665. Cascio, W. F. 2006. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Life, Profits. McGraw-Hill Irwin Deal, TE. And kennedy, A.A . 1982. Corporate Cultures : The Rites and Ritual of Corporate Life, Reading, MA : Addison-Wesley Denison, D. R., & Mishra, A. K. 1995. Towards a theory of organizational culture and effectiveness. Organisation Science, 6(2), 204-23. Gordon G., & Cummins W. 1979. Managing management climate. Toronto, Canada, Lexington Books. Graham, Julia. Spring 2004. Developing a Performance-Based Culture , The Journal for Quality and Participation 27.1 : 4-8. Gordon G., & DiTomaso N. 1992. Predicting corporate from performance organizational culture. Journal of Management Studies, 29, 783-798. Hameed, Abdul; Waheed, Aameer, 2011. Employee Development and Its Affect on Employee Performance A Conceptual Framework, Journal of Business and Social Science . Vol. 2 No. 13/Special Issue-July Hofstede and Hofstede, 2005 Cultures and Organizations, 2nd Edition Ismail, Rahmah; Abidin, Zainal, Syahida. 2010. Impact of workers’ competence on their performance in the malaysian private service sector, BEH, Business and Economic Horizons Volume 2 July pp 25-36 Klein, A. 1996. Validity and reliability for competency-based systems: reducing litigation risks. Compensation and Benefits Review, July/August, 31-7. Kotter, J. P., & Heskett, J. L. 1992. Corporate Culture and Performance New York: Free Press. Kozlowski, S. W. J., & Klein, K. J. 2000. A multilevel approach to theory and research in organizations: Contextual, temporal, and emergent processes. In K.J. Klein & S. W. J. Kozlowski (Eds.), Multilevel theory, research, and methods in organizations (pp. 3-90). San Francisco: Jossey-Bass. Legge, K. 1994. Managing Culture: Fact or Fiction. In Sisson, K. (ed.), Personnel Management: A Comprehensive Guide to Theory and Practice in Britain (pp. 397-433). Oxford: Blackwell. 244
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Mallack, Larry A; Lyth, David M; Olson, Suzan D; Ulshafer, Susan M;Sardone, Frank J. 2003. Culture, the Built Environment and Healthcare Organizational Performance . Managing Service Quality 13.1 : 27-38. Martin, E. C., & Terblanche F. 2003. Building organizational culture that stimulates creativity and innovation. European Journal of Innovation Management, 6(1), 64-74. Manopo, Christine. 2011. Competency Based Talent and Performance Magement System. Jakarta: Salemba Empat. Miller, G. 1990 . The assessment of clinical skills/competence/performance. Academic Medicine, 65(9):S63 ,7. Nugroho, Bambang. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja (Studi Empiris pada PT. Bank Tabungan Negara Cabang Bandung), Thesis. Ogbonna and Harris, 2000. Leadership Style, Organizational Culture and Performance; Emprical evidence from UK Companies. Int. J. Of Human Resource Manegement 11;4 August 2 766-788 Peters, T. J., & Waterman, R. H. 1982. In Search of Excellence. New York, NY: Harper & Row. Rashid, Abdul, Zahid. 2003. The Influence of Corporate Culture and Organizational Commitment on Performance. Journal of Management Development< Vo. 22 iss;8 pp.708728 Saher, Noreen; Podsiadlowski, Astrid; Khan, Amanullah, Muhammad. 2012. Organizational Culture and Organizational Sustainainability in the Liberalized Economy of Pakistan; A case Study of Service Sector Firm. Interdiciplinary Journal Of Contemporary Reserch In Business, Vol. 3, No. 11, March. Sanford, B. (Ed.). 1989. Strategies for maintaining professional competence: A manual for professional associations and faculty. Toronto, Canada: Canadian Scholars Press, Inc. Schein, E. M. 2004. Organizational culture and leadership (3rd ed.). Jossy-Bass. Sedarmayanti. 2011, Manajemen Sumber Daya Manusia Shahzad, Fakhar; Luqman, Adeel; Khan, Rashid; Shabbir,Lalarukh. 2012. Impact of Organizational Culture on Organizational Performance: An Overview. Indiciplinary Journal of Contemporary Research In Business, Vol. 3, No. 9 January. Spencer & Spencer. 1993 A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or situation. Stannack, p. 1996. Perspective on employees Performance. Management Research News, 119 (4/5), 38-40
245
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Stoica, Michael; Minet Schindehutte. 1999. Understanding Adaptation in Small firms: Links to Culture and Oerformance. Journal of Developmental Entrepreneurship 4.1: 1-18. Su, Shili, Organizational Culture and It Themes. 2008. International Journal of Busines and Management, Vol 3, No. 12 Dec,, Scholl of Foreign Language, Ludong University, Shandong Province, China Wainwright, David ; Green, Gill; Mitchel, Ed;Yarrow,David. 2005. Toward a Framework For Benchmarking ICT Practice, Competence and Performance in Small Business Wibowo. 2011. Manajemen Kinerja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 7. Willmott, H. 1993. Strength is Ignorance: Slavery is Freedom: Managing Culture in Modern Organizations. Journal of Management Studies, 30(4), 515-51. Winanti, Marliana Budhiningtias, Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja karyawan pada PT.Frisian Flag Indonesia wilayah Jawa Barat. http://jurnal.unikom.ac.id/ jurnal/pengaruhkompetensi-terhadap.24 Vol.7, No. 2 Yuniarsih, Tjutju dan Suwatno. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Teori, Aplikasi dan Isu Penelitian. Bandung : Alfabeta.
246
Raden Lestari Gamasih
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
BIBLIOGRAFI PENULIS Nama
: Raden Lestari Garnasih
Tempat/Tgl. Lahir
; Pekanbaru/13 Juni 1968
NIP
: 19680613 199403 2002
Jabatan
; Lektor
Instansi
: Fakultas Ekonomi Universitas Riau,
Jurusan
: Manajemen
Hasil Penelitian
(4 tahun terakhir)
:
1. Analisis Pengaruh Disiplin, pembinaan dan Pengawasan terhadap Prrestasi Kerja PNS pada Kantor Lurah di Pekanbaru. (research grantt) 2. Pemakalah pada seminar regional Syariah Accounting a Jorney t Madanism Society 3. Pengaruh kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional dan komitmen organisasional terhadap kinerja dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau 4. Kajian dan Profil UKM di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau 5. Pengaruh Kompetensi dan Kecerdasan Emosional terhadap kinerja guru SMAN 8 Pekanbaru. 6. Persepsi Profesi Sales di Mata Freshgraduate Universitas Riau.
================================================================== =
247
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
KETEPATAN DAN KESALAHAN PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PIONIR DAN PEMIMPIN PASAR Ervina Triandewi dan Fandy Tjiptono Universitas Atma Jaya Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT Pioneer and market leader positions are sources of unique differentiation and competitive advantages. Empirical studies have suggested that pioneer or leader brands tend to be evaluated more favourably than follower brands. However, consumers’ ability to recognize pioneer or market leader brands accurately is limited. In fact, their perception and misperception of market pioneership and market leadership may affect their beliefs and decision making processes. The present study aims to investigate consumers’ ability to identify pioneer and market leader brands across three product categories representing high-tech products, low involvement goods, and services. It also analyzes consumer evaluation, attitude, and purchase intention of brands perceived as market leaders, pioneers, and followers. Data were collected using self-administered questionnaires from a convenient sample of 225 college students in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Four hypotheses adapted from Kamins et al. (2003) were examined using F-tests, post-hoc tests with Tukey and Duncan Multiple Range Test (DMRT), and pairwise t-tests. The results indicate that consumers have lower ability to recognize pioneer brands than market leader brands (70.89% versus 29.95%). In general, consumers have more favourable evaluation, attitude, and purchase intention of brands perceived as pioneers or market leaders than those perceived as followers. Keywords: Market pioneer, market leader, pioneer advantages, misperception, follower. PENDAHULUAN Menjadi yang pertama dan memimpin pasar dalam sebuah kategori produk merupakan salah satu bentuk diferensiasi ekstrinsik yang mampu membedakan sebuah merek dengan me-too brands (Carpenter dan Nakamoto 1989; Golder dan Tellis 1993; Trout dan Rivkin 2008; Kamins et al. 2003). Status pionir pasar (market pioneer) merefleksikan kemampuan perusahaan untuk berinovasi dalam pasar produk yang dimasuki, sedangkan status pemimpin pasar (market leader) diasosiasikan dengan kualitas produk yang unggul (Kamins dan Alpert 2004). Sejumlah riset empiris mengindikasikan bahwa status pionir dan pemimpin pasar berpotensi memberikan keunggulan kompetitif bagi merek bersangkutan (Carpenter dan Nakamoto 1989; Kalyanaram dan Urban 1992; Min et al. 2006). Status pionir dan pemimpin pasar merupakan diferensiasi yang unik karena umumnya hanya terdapat satu pionir dan satu pemimpin pasar dalam sebuah kategori produk spesifik. Kendati demikian, dalam praktik, konsumen acapkali keliru mempersepsikan mana yang merupakan merek pionir atau merek pemimpin pasar dan mana yang bukan (Alpert dan Kamis 1995; Turnbull et al. 2000). Ketika dihadapkan dengan begitu banyak alternatif merek dan produk, konsumen sering mengalami situasi yang disebut tyranny of choice (Trout dan Rivkin 2008) dan akibatnya mereka mengalami kebingungan atau consumer confusion (Leek dan Kun 2006; Walsh et al. 2007; Edward dan Sahadev 2012). Tantangan bagi pemasar 248
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
adalah bahwa persepsi konsumen (baik akurat maupun tidak akurat) tentang status pionir dan pemimpin pasar berpengaruh signifikan terhadap evaluasi, sikap, dan niat beli konsumen atas merek yang dipersepsikan (Kamins dan Alpert 1995; Kamins et al. 2003). Kamins et al. (2003) secara spesifik menguji kemampuan konsumen di Amerika Serikat dalam mengidentifikasi pemimpin pasar dan pionir pasar pada kategori produk hightech dan low-involvement. Mereka menemukan bahwa mayoritas responden keliru mengidentifikasi pionir dan pemimpin pasar. Menariknya, merek-merek yang dipersepsikan sebagai pionir dan pemimpin pesar mendapat keuntungan berupa evaluasi, sikap, dan niat beli yang lebih besar dibandingkan merek-merek yang dipersepsikan sebagai merek pengikut (follower brands). Riset ini bermaksud mereplikasi dengan beberapa modifikasi penelitian yang dilakukan Kamins et al. (2003). Selain konteks merek yang beredar atau tersedia di Indonesia, riset ini juga menambahkan satu kategori jasa, yaitu bank umum. Secara spesifik, rumusan masalah dalam penelitian ini ada dua, yaitu (1) bagaimana kemampuan konsumen dalam mengidentifikasi merek pionir dan pemimpin pasar? dan (2) bagaimana evaluasi, sikap, dan niat beli konsumen terhadap merek-merek yang dipersepsikan sebagai merek pionir, pemimpin pasar, maupun follower? TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pionir Pasar Istilah pionir pasar (market pioneer) seringkali diinterpretasikan secara berbeda-beda (Tjiptono 2011). Schmalensee (1982), misalnya, mendefinisikan pionir sebagai merek yang pertama kali muncul dalam sebuah kategori baru. Robinson dan Fornell (1985) menegaskan bahwa pionir merupakan perusahaan yang pertama kali masuk ke sebuah pasar baru. Urban et al. (1986) merumuskan bahwa pionir adalah produk pertama yang memasuki sebuah pasar. Golder dan Tellis (1993) mengkritisi bahwa definisi-definisi tersebut memungkinkan ada beberapa inventor sebuah kategori produk, karena sebuah produk yang benar-benar baru bisa saja direalisasikan menggunakan beberapa gagasan dan proses. Padahal, belum tentu semua inventor tersebut memasarkan produknya pertama kali. Oleh karena itu, Golder dan Tellis (1993) mendefinisikan pionir secara lebih spesifik sebagai merek yang pertama kali dikomersialisasikan dalam sebuah kategori produk baru. Sebuah merek pionir diyakini memiliki keunggulan spesifik yang dikenal dengan istilah first-mover advantages (Lieberman dan Montgomery 1988). Keunggulan tersebut meliputi dua aspek, yakni consumer-based advantages dan producer-based advantages (Golder dan Tellis 1993; lihat Tabel 1 untuk rangkuman hasil riset terdahulu tentang keunggulan pionir). Keunggulan berbasis pelanggan mencakup sejumlah aspek, di antaranya konsumen cenderung lebih loyal dan enggan beralih merek karena telah familiar dan memiliki pengalaman dengan merek pionir (Schmalensee 1982; Lieberman dan Montgomery 1988; Alpert et al. 1992), merek pionir menjadi standar industri dan prototype dalam kategori produk bersangkutan (Schmalensee 1982; Carpenter dan Nakamoto 1989; Carson et al. 2007), konsumen memiliki perilaku, persepsi, niat beli, dan perilaku pembelian yang positif serta dapat mengingat status merek pionir daripada merek lain (Kamins dan Alpert, 1995; Rettie dan Hillar 2002), dan merek pionir cenderung lebih diingat, dikenal, dipilih, dan dapat meningkatkan niat beli konsumen (Kardes et al. 1993; Rettie dan Hillar 2002). Sementara itu, keunggulan berbasis produsen meliputi hambatan masuk bagi later entrants dalam bentuk pengendalian aset langka berupa akses pasokan bahan mentah dan bahan baku, karyawan potensial, dan jejaring distribusi, peluang mendapatkan perlindungan hak paten, kesempatan menjadi monopolis sementara, potensi melakukan perluasan merek, 249
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
dan raihan pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan pesaing (Robinson dan Fornell 1985; Lieberman dan Montgomery 1988; Kalyanaram dan Urban 1992; Schnaars 1994). Tabel 1. Keunggulan Pionir No. 1.
Peneliti Schmalensee (1982)
Tujuan Penelitian Mengeksplorasi perilaku rasional konsumen dalam menanggapi keterbatasan informasi mengenai kualitas produk. Mengidentifikasi sumbersumber keunggulan pionir.
Metode/Konteks Studi eksploratoris
Temuan Utama Later entrants lebih sulit bersaing, terutama jika merek pionir mampu membuktikan kualitas dan memuaskan konsumen.
Analisis 371 consumer products
Urutan memasuki pasar (order of entry) merupakan determinan utama pangsa pasar. Urutan memasuki pasar berbanding terbalik dengan pangsa pasarnya. Merek yang pertama kali masuk akan mendapatkan pangsa pasar terbesar, sedangkan yang paling lambat mendapatkan pangsa pasar yang paling kecil. Pionir memiliki keuntungan jangka panjang dan pangsa yang lebih tinggi dibandingkan early followers dan later entrants.
2.
Robinson dan Fornell (1985)
3.
Urban et al. (1986)
Meneliti pengaruh urutan memasuki pasar terhadap pangsa pasar.
82 merek pada 24 kategori.
4.
Lambkin (1988)
129 bisnis yang masih baru mulai dan 187 bisnis yang berkembang.
5.
Lieberman dan Montgomery (1988)
Meneliti pengaruh order of entry terhadap tingkat kinerja pionir, early followers, dan late entrants. Meneliti keunggulan dan kerugian potensial pionir.
6.
Robinson (1988)
Meneliti keunggulan pangsa pasar pionir pada industrial goods.
1.209 industri bisnis manufaktur dari data PIMS.
7.
Carpenter dan Nakamoto (1989)
Eksperimen 48 mahasiswa S2.
8.
Golder dan Tellis (1993)
Meneliti pengaruh urutan memasuki pasar terhadap preferensi dan proses pembelajaran konsumen. Menganalisis kesuksesan dan kegagalan pionir berdasarkan tingkat kesuksesan, pangsa pasar, dan kepemimpinan pasar.
Survei literatur mengenai keunggulan dan kerugian perusahaanperusahaan first mover.
Analisis 500 merek dalam 50 kategori.
Keunggulan pionir: Pionir memiliki keleluasaan dalam mendapatkan sumber daya dan menentukan strategi ceruk pasar yang belum terjamah. Keengganan konsumen untuk berpindah berkaitan dengan switching costs dan loyalitas. Kelemahan pionir: Kehadiran para pesaing (late movers) dapat mengurangi keunggulan pionir. Kebutuhan konsumen yang dinamis menciptakan kesempatan bagi late movers, kecuali jika pionir dapat segera meresponnya. Pionir memiliki pangsa pasar, kualitas produk, lini produk, dan pasar yang lebih besar/luas dibandingkan later entrants. Merek pionir lebih dipilih oleh konsumen dan menjadi prototype dalam kategori produk bersangkutan. Hampir setengah (47%) pionir pasar gagal dan memiliki pangsa pasar (rata-rata 10%) yang jauh lebih rendah daripada yang ditemukan di studi lain. Hanya 11% pionir yang juga merupakan pemimpin pasar
250
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
No.
Peneliti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tujuan Penelitian
Metode/Konteks
Menginvestigasi pengaruh status pionir pada proses pengambilan keputusan konsumen. Menginvestigasi perilaku konsumen berdasarkan memori, sikap, dan persepsi terhadap keunggulan merek pionir.
Eksperimen 115 mahasiswa MBA.
Kerin et al. (1996)
Menjelaskan hubungan antara order of entry, tipe merek, dan pangsa pasar.
Analisis 2.500 scan perilaku panelis.
12.
Song (1999)
Meneliti keuntungan pionir dengan membandingkan industri jasa dan manufaktur.
Survei 2.419 manajer perusahaan manufaktur dan jasa dari 9 negara.
13.
Bohlmann et al. (2002)
Mengkaji potensi keunggulan pangsa pasar yang mungkin diraih pionir.
Studi pada 36 kategori produk (18 high-tech & 18 lowinvolvement goods).
14.
Rettie dan Hillar (2002)
Meneliti keunggulan merek pionir berdasarkan perspektif konsumen.
Survei 560 rumah tangga di Inggris.
9.
Kardes, et al. (1993)
10.
Kamins dan Alpert (1995)
11.
Survei 560 rumah tangga di AS.
Temuan Utama Pemimpin pasar memiliki kesuksesan jangka panjang dan rata-rata memasuki pasar 13 tahun setelah pionir. Merek pionir lebih diingat, dikenal, dan dipilih oleh konsumen dibandingkan dengan follower brands. Konsumen memiliki perilaku, persepsi, niat berperilaku, dan perilaku pembelian yang positif terhadap merek pionir. Konsumen mengingat merek pionir lebih baik daripada merek lain. Keunggulan pionir lebih besar dalam kategori produk baru dan brand extensions. Kombinasi kedua hal tersebut adalah yang terbaik. Manajer dari semua negara menganggap bahwa pionir berhubungan dengan pangsa pasar dan keuntungan yang lebih tinggi. Risiko pionir lebih dirasakan penting oleh manajer perusahaan manufaktur daripada jasa. Keuntungan biaya dan diferensiasi pionir lebih dirasakan oleh manajer perusahaan manufaktur daripada jasa. Pionir lebih baik pada kategori produk yang menonjolkan keragaman produk daripada kategori produk yang menonjolkan kualitas. Pionir pada ketegori produk dengan high vintage effects (terutama pada high-tech goods) menunjukkan pangsa pasar yang lebih rendah dan tingkat kegagalan yang lebih tinggi. Konsumen dapat mengingat status merek pionir daripada merek lain. Komunikasi mengenai status pionir meningkatkan niat beli.
251
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
No. 5.
Peneliti Carson, et al. (2007)
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tujuan Penelitian Meneliti pengaruh evolusi desain produk secara simultan pada kelanggengan keunggulan pionir sebagai prototype.
Metode/Konteks
Temuan Utama
Eksperimen 97 mahasiswa S1 4 merek
Pionir memiliki keunggulan prototype setelah pengenalan awal di pasaran dibandingkan dengan me-too brands. Keunggulan prototype yang dimiliki oleh pionir akan menurun jika produk pionir tersebut tidak melakukan inovasi (stagnan). Keunggulan prototype yang dimiliki oleh merek pionir akan meningkat apabila pionir secara aktif melakukan inovasi yang mendahului/selangkah di depan me-too brands.
Kepemimpinan Pasar Kamins et al. (2003) mendefinisikan pemimpin pasar sebagai merek dalam sebuah kategori yang memiliki pangsa pasar paling besar di antara semua merek lain dalam kategori tersebut, didasarkan pada hasil penjualan. Menurut Pleshko dan Heiens (2012), tingkat kepemimpinan pasar diasosiasikan dengan kinerja sebuah perusahaan. Kepemimpinan pasar dipandang tidak hanya sekedar pangsa pasar, melainkan juga termasuk atribut kinerja, seperti teknologi, inovasi, kualitas, dan reputasi (Simon 2009). Status pionir pasar tidak selalu berkaitan dengan posisi sebagai pemimpin pasar, apalagi dalam jangka panjang. Riset Golder dan Tellis (1993) dan Schnaars (1994) menunjukkan dengan gamblang bahwa banyak di antara pionir yang berguguran. Dari total 212 perusahaan yang memasarkan produk yang benar-benar baru, 66 di antaranya adalah pionir, dan hanya 23%-nya saja yang mampu bertahan selama kurang lebih 12 tahun, namun pada pionir yang memulai sebuah pasar baru disertai peningkatan inovasi dapat bertahan selama kurang lebih 12 belas tahun sebanyak 61% (Min et al. 2006). Trout (2001) mengingatkan bahwa kesuksesan dapat menimbulkan arogansi sehingga perusahaan menjadi kurang objektif, terlalu cepat puas diri, dan meremehkan kemajuan pesaing. Pengembangan Hipotesis Kesalahan Persepsi Konsumen Persepsi merupakan suatu proses memilih, memilah, mengatur, dan menginterpretasikan informasi dari dunia luar melalui reseptor sensorik (pancaindera) terhadap stimulus dasar (cahaya, warna, dan suara) yang memengaruhi tindakan, keputusan, dan kebiasaan dalam berbelanja (Schiffman dan Kanuk 2010; Solomon et al. 2012). Setiap individu memiliki persepsi yang unik didasarkan pada pengalaman, kebutuhan, keinginan, hasrat, dan ekspektasi masing-masing (Schiffman dan Kanuk 2010). Implikasinya, persepsi dalam pemasaran bahkan sering lebih penting daripada realitas karena persepsi dapat memengaruhi tindakan konsumen selanjutnya (Kotler dan Keller 2012). Ries dan Trout (2000) bahkan menegaskan bahwa pemasaran bukan mengenai pertarungan produk, melainkan pertarungan persepsi. Jacoby dan Hoyer (1982) menguraikan bahwa kesalahan persepsi konsumen terjadi ketika penerima pesan membuat kesimpulan secara tidak benar atau mendapatkan arti yang membingungkan dari suatu komunikasi. Dalam konteks pionir dan pemimpin pasar, Kalyanaram et al. (1992) menemukan bahwa urutan memasuki pasar memengaruhi pembelajaran dan menciptakan bias pada penentuan preferensi terhadap pionir. Sayangnya, 252
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
dalam praktik, tidak sedikit pionir dan pemimpin pasar yang tidak mengkonfirmasi status pionir dan pemimpin pasarnya. Akibatnya, para pesaing berpeluang merebut klaim tersebut melalui media iklan, logo, dan kemasan yang pada akhirnya menimbulkan misleading advertising. Kamins et al. (2003), misalnya, menemukan bahwa sebesar 81,9% responden keliru mengidentifikasi merek pionir yang bukanlah pemimpin pasar saat ini. Dengan demikian, H1a dan H1b dirumuskan sebagai berikut: H1a: Mayoritas responden akan mengalami kesalahan persepsi dalam mengidentifikasi pemimpin pasar. H1b: Mayoritas responden akan mengalami kesalahan persepsi dalam mengidentifikasi merek pionir. Keuntungan Dipersepsikan Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar Trout dan Rivkin (2008) dan Denstadli et al. (2005) menyatakan bahwa merek yang pertama kali ‘menancap’ dalam ingatan konsumen dianggap sebagai merek superior sedangkan sisanya adalah merek kelas dua. Berdasarkan fenomena double jeopardy, merek besar dan terkenal memiliki atribut yang kuat, seperti pada merek pionir dan pemimpin pasar, yang cenderung menikmati keuntungan dengan memiliki lebih banyak pelanggan dan tingkat loyalitas yang lebih tinggi (Ehrenberg et al. 1990). Dengan demikian, H2a dan H2b dirumuskan sebagai berikut: H2a1: Evaluasi konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin pasar dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower. H2a2: Sikap konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin pasar dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower. H2a3: Niat beli akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin pasar dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower. H2b1: Evaluasi konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower. H2b2: Sikap konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower. H2b3: Niat beli akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower. Keuntungan Kesalahan Persepsi Konsumen Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar Banyak merek follower yang berusaha memposisikan diri dan menciptakan kesan pada konsumen bahwa mereknya adalah pionir dan pemimpin pasar. Ironisnya, terdapat beberapa pemimpin pasar yang justru tidak mengkomunikasikan kepemimpinan mereka (Trout dan Rivkin 2008). Padahal dari sisi konsumen, posisi perusahaan sebagai pemimpin pasar diasosiasikan sebagai produk yang berkualitas, dipercaya dan dapat diandalkan (Kamins dan Alpert 2004). Persepsi yang akurat memang akan memberikan keuntungan lebih pada pemegang status yang sesungguhnya, namun persepsi yang keliru justru akan memberikan keuntungan bagi merek-merek follower yang dianggap sebagai pionir dan pemimpin pasar (Kamins et al. 2003). Oleh sebab itu, hipotesis H3a dan H3b dirumuskan sebagai berikut: H3a1: Evaluasi konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan sama/ekuivalen dengan evaluasi konsumen yang mampu mengidentifikasi pemimpin pasar sejati (true market leader).
253
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
H3a2: Sikap konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan sama/ekuivalen dengan sikap konsumen yang mampu mengidentifikasi pemimpin pasar sejati. H3a3: Niat beli konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan sama/ekuivalen niat beli konsumen yang mampu mengidentifikasi pemimpin pasar sejati. H3b1: Evaluasi konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir akan sama/ekuivalen dengan evaluasi konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir sejati (true pioneer). H3b2: Sikap konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir akan sama/ekuivalen dengan sikap konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir sejati. H3b3: Niat beli konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir akan sama/ekuivalen niat beli konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir sejati. Persepsi Konsumen Terhadap Pemimpin Pasar vs. Pionir Hellofs dan Jacobson (1999) meneliti pengaruh pangsa pasar pada perceived quality dan menemukan bahwa konsumen mempersepsikan produk dengan pangsa pasar besar memiliki kualitas unggul, terutama pada merek dengan harga premium. Berdasarkan psikologi kepemimpinan pasar, Trout dan Rivkin (2008) menegaskan bahwa konsumen memiliki tendensi untuk mengagumi, memercayai, dan menyukai merek besar yang diasosiasikan dengan kesuksesan, status, dan kepemimpinan. Kamins et al. (2003) menyatakan bahwa market pioneership merupakan prestasi masa lalu, sedangkan kepemimpinan pasar adalah prestasi saat ini. Oleh karena itu, mereka berargumen bahwa informasi saat ini (kepemimpinan pasar) lebih bermanfaat bagi informasi masa lalu (pioneership). Dengan demikian, H4a, H4b, dan H4c dirumuskan sebagai berikut: H4a: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan dievaluasi secara lebih baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir. H4b: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan memiliki sikap konsumen yang lebih baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir. H4c: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan memiliki niat beli konsumen yang lebih baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir. METODE PENELITIAN Konteks Penelitian Penelitian ini merupakan replikasi studi Kamins et al. (2003) yang meneliti produk high-tech dan low-involvement. Obyek penelitian dalam riset ini mencakup produk high-tech, low-involvement goods, dan jasa. Sektor jasa diwakili bank umum (BRI = pionir, Bank Mandiri = pemimpin pasar, BNI, dan BCA), produk high-tech diwakili smartphone android (HTC = pionir, Samsung = pemimpin pasar, Sony, dan LG), dan produk low-involvement diwakili minyak angin aromatherapy roll-on (Safe Care = pionir, Fresh Care = pemimpin pasar, Herborist, dan V Fresh). Sumber konfirmasi status dalam setiap kategori produk berasal dari peraturan perundang-undangan, data publikasi konvensional Bank Indonesia, serta artikel dari website-website resmi yang reliabel. Instrumen Pengukuran Riset ini menerapkan survei dengan kuesioner berupa 75 pertanyaan tertutup yang diadaptasi dari Kamins et al. (2003). Jumlah pertanyaan per kategori produk adalah 4 item 254
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
identifikasi pionir dan pemimpin pasar, 5 item evaluasi, 3 item sikap, dan 1 item niat beli. Skala yang dipergunakan untuk pertanyaan mengenai identifikasi dan variabel evaluasi adalah dengan check point. Sedangkan untuk variabel sikap dan niat beli menggunakan 7 point Likert scale. Pada identifikasi pionir dan pemimpin pasar, responden diminta untuk menjawab merek dalam ketiga kategori produk yang mereka persepsikan sebagai pionir dan pemimpin pasar. Responden kemudian diminta menjawab seberapa yakinkah bahwa jawaban mereka jawaban tepat. Pada variabel evaluasi, sikap, dan niat beli, responden diminta mengevaluasi keempat merek dalam ketiga kategori produk. Pada variabel evaluasi, responden diminta membandingkan 4 merek dalam ketiga kategori produk yang diteliti berdasarkan lima atribut (paling dapat diandalkan, paling terpercaya, berteknologi paling tinggi, nilai terbaik (best value), dan bercitra terbaik). Mereka diminta memberi tanda centang () pada salah satu merek yang mereka anggap terbaik untuk setiap atribut. Oleh sebab itu, setiap merek berkemungkinan mendapat tanda centang antara 0 dan 5. Indeks evaluasi adalah 0 (tanpa centang), 0,2 (1 centang), 0,4 (2 centang), sampai 1 (5 centang). Pada variabel sikap, meliputi: sangat tidak baik (unfavorable)-sangat baik (favorable), sangat tidak suka-sangat suka, dan sangat negatif-sangat positif (skoring 1-7). Pada variabel niat beli, responden diberi pertanyaan seberapa inginkah mereka membeli merek-merek tersebut (skoring 1-7). HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Responden Sebanyak 255 kuesioner didistribusikan pada mahasiswa/i di enam perguruan tinggi swasta dan negeri, yaitu UAJY, UKDW, USD, ISI, UMY, dan UGM. Namun, hanya 213 kuesioner yang terisi lengkap dan dapat dianalisis lebih lanjut (response rate 83,53%). Mayoritas responden adalah pria (60,6%), memiliki uang saku per bulan kurang dari Rp 1 juta (53,1%), dan berusia antara 18-20 tahun (70,4%). Reliabilitas dan Validitas Multiple-item scales yang digunakan adalah evaluasi dan sikap. Kedua-duanya reliabel dengan Cronbach’s Alpha masing-masing 0,802 (evaluasi) dan 0,917 (sikap). Semua item individual juga valid, dengan nilai r-hitung yang lebih besar daripada r-tabel (0,134). Variabel niat beli tidak diuji reliabilitas dan validitas karena hanya memiliki 1 item pertanyaan. Kesalahan Persepsi Konsumen Terhadap Merek Pionir dan Pemimpin Pasar Statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis kesalahan persepsi konsumen terhadap pionir dan pemimpin pasar (lihat Tabel 2). Berdasarkan rata-rata kesalahan persepsi konsumen pada ketiga kategori produk, mayoritas responden cenderung keliru mengidentifikasi pionir dibandingkan pemimpin pasar (70,89% vs. 29,95%). Persentase kesalahan persepsi konsumen terhadap pionir tertinggi terdapat pada kategori smartphone android, yaitu 85,33% dan terendah pada bank umum, yaitu 56,19%. Untuk kesalahan persepsi konsumen terhadap pemimpin pasar, persentase tertinggi terdapat pada kategori bank umum (67,78%) dan terendah pada smartphone android (9,05%). Dengan demikian, H1a ditolak dan H1b diterima.
255
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tabel 2. Kesalahan Persepsi Responden Berdasarkan Kategori Produk Kategori
Kesalahan Persepsi terhadap Pionir Jumlah Persentase
Kesalahan Persepsi terhadap Pemimpin Pasar Jumlah Persentase
Bank Umum
107/188*
56,91%
122/180
67,78%
Smartphone Android
157/184
85,33%
18/199
9,05%
Minyak Angin Aromatherapy Roll-on
116/164
70,73%
25/172
14,53%
380/536
70,89%
165/551
29,95%
Rata-rata
Catatan: * Jumlah responden yang keliru dalam mengidentifikasi merek pionir dan pemimpin pasar namun yakin bahwa jawabannya tepat. Contoh pada kategori bank umum kolom kesalahan persepsi terhadap pionir tertulis angka 107/188. Artinya, dari total sampel 213 orang, terdapat 188 responden yang keliru mengidentifikasi merek pionir bank umum dan sebanyak 107 orang di antaranya merasa yakin bahwa jawabannya tepat.
Terdapat tiga faktor yang mungkin menyebabkan responden mengalami kesalahan persepsi terhadap tiga kategori produk tersebut. Pertama, faktor historis berkenaan dengan usia kategori produk dapat menyebabkan kekeliruan persepsi. Usia kategori produk yang cukup tua (bank umum) cenderung membuat responden sulit untuk mengingat sang pionir, terlebih jika responden tidak berada di era yang sama ketika kategori produk tersebut pertama kali muncul. Hal tersebut kemudian dapat memicu adanya primary effect yang tidak selaras dengan fakta sesungguhnya. Kedua, faktor similarity juga dapat disinyalir menjadi penyebab kesalahan persepsi. Pada kategori minyak angin aromatherapy roll-on, merek pionir (Safe Care) dan pemimpin pasar (Fresh Care) memiliki kemiripan baik dari nama merek maupun kemasan, sehingga responden mengalami kebingungan dalam mengidentifikasi dan kemudian muncullah kesalahan persepsi dalam proses identifikasi (Kocyigit dan Ringle 2011). Ketiga, status pionir dan pemimpin pasar yang tidak diklaim oleh sebuah merek juga dapat berpotensi membuat responden keliru dalam mengidentifikasinya, sehingga responden hanya sekedar menebak berdasarkan merek yang sering didengar atau terkenal (Kamins dan Alpert 1995). Hal itu kemudian menimbulkan recency effect, dimana responden cenderung mempersepsikan merek yang lebih familiar, memiliki pamor, dan sering muncul dalam aktivitas pemasaran sebagai pionir. Faktor popularitas merek, familiaritas, kekuatan jejaring distribusi, dan intensitas komunikasi pemasaran berkontribusi pula pada tingginya akurasi identifikasi pemimpin pasar. Keuntungan Dipersepsikan Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar Uji F-test dan post-hoc test digunakan untuk menguji H2a dan H2b. Dari 36 kasus, terdapat 13 hasil F-test yang tidak signifikan. Hasil uji yang tidak signifikan mencerminkan tidak adanya perbedaan pada ketiga status merek (pionir, pemimpin pasar, dan follower). Hasil uji yang tidak signifikan banyak ditemukan pada kategori high-tech, khususnya pada variabel sikap dan niat beli. Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan sikap dan niat beli konsumen yang mempersepsikan merek-merek smartphone android (HTC, LG, Samsung, dan Sony) sebagai pionir, pemimpin pasar, maupun follower. Untuk 23 hasil F-test yang signifikan diuji lebih lanjut menggunakan Tukey dan Duncan Multiple Range Test (DMRT) (lihat Tabel 3a, 3b, dan 3c).
256
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tabel 3a. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Evaluasi Konsumen No. 1.
Kategori Produk Bank umum (jasa)
Merek BCA BNI BRI Mandiri
2.
Smartphone android (hightech)
HTC LG Sony
3.
Minyak angin aromatherapy roll-on (lowinvolvement
Fresh Care Herborist Safe Care V Fresh
P-L 0,0164 (p=0,939) -0,231*** (p=0,005) -0,068 (p=0,268) -0,015 (p=0,963) 0,039 (p=0,773) -0,137 (p=0,106) -0,087 (p=0,637) 0,009 (p=0,990) 0,105 (p=0,107) 0,102 (p=0,401) -0,124** (p=0,017)
P-F 0,440*** (p=0,000) 0,081 (p=0,112) 0,087*** (p=0,008) 0,185*** (p=0,002) 0,107* (p=0,000) 0,115*** (p=0,001) 0,108*** (p=0,008) 0,387*** (p=0,010) 0,184*** (p=0,000) 0,277*** (p=0,000) 0,079*** (p=0,009)
Mean difference L-P L-F -0,0164 0,424*** (p=0,939) (p=0,000) 0,231*** 0,311*** (p=0,005) (p=0,000) 0,068 0,154*** (p=0,268) (p=0,001) 0,015 0,200*** (p=0,963) (p=0,000) -0,039 0,067 (p=0,773) (p=0,418) 0,137 0,252*** (p=0,106) (p=0,000) 0,087 0,196 (p=0,637) (p=0,094) -0,009 0,378*** (p=0,990) (p=0,007) -0,105 0,079 (p=0,107) (p=0,200) -0,102 -0,379*** (p=0,401) (p=0,000) 0,124** 0,204*** (p=0,017) (p=0,000)
F-P -0,440*** (p=0,000) -0,081 (p=0,112) -0,087*** (p=0,008) -0,185*** (p=0,002) -0,107*** (p=0,000) -0,107*** (p=0,001) -0,108*** (p=0,008) -0,387*** (p=0,010) -0,184*** (p=0,000) -0,277*** (p=0,000) -0,079*** (p=0,009)
F-L -0,424*** (p=0,000) -0,311*** (p=0,000) -0,154*** (p=0,001) -0,200*** (p=0,000) -0,067 (p=0,418) -0,252*** (p=0,000) -0,196 (p=0,094) 0,378*** (p=0,007) -0,079 (p=0,200) 0,379*** (p=0,000) -0,204*** (p=0,000)
Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Oleh sebab itu, untuk merek Samsung tidak dilakukan uji Tukey. 2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.
Tabel 3b. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Sikap Konsumen No. 1.
Kategori Produk Bank umum (jasa)
Merek BCA BRI Mandiri
2.
Minyak angin aromatherapy roll-on (lowinvolvement
Fresh Care Herborist Safe Care
P-L 0,253 (p=0,711) -0,578** (p=0,047) -0,053 (p=0,980) -0,034 (p=0,989) 0,108 (p=0,973) -0,052 (p=0,984)
P-F 4,222*** (p=0,000) 0,285 (p=0,181) 0,563 (p=0,070) 1,281** (p=0,016) 0,724** (p=0,012) 0,552*** (p=0,006)
Mean difference L-P L-F -0,253 3,968*** (p=0,711) (p=0,000) 0,578** 0,863*** (p=0,047) (p=0,001) 0,053 0,616*** (p=0,980) (p=0,002) 0,034 1,315*** (p=0,989) (p=0,007) -0,108 0,615 (p=0,973) (p=0,324) 0,052 0,603 (p=0,984) (p=0,085)
F-P -4,222*** (p=0,000) 0,285 (p=0,181) 0,563 (p=0,070) -1,281** (p=0,016) -0,724** (p=0,012) -0,552*** (p=0,006)
F-L -3,968*** (p=0,000) -0,863*** (p=0,001) -0,616*** (p=0,002) -1,315*** (p=0,007) -0,615 (p=0,324) -0,603 (p=0,085)
Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Pada kategori smartphone android, tak satupun merek yang berbeda nilai sikap konsumennya. Demikian pula halnya dengan BNI dan V Fresh. 2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.
257
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tabel 3c. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Niat Beli No. 1.
Kategori Produk Bank umum (jasa)
Merek BCA BRI Mandiri
2.
Minyak angin aromatherapy roll-on (lowinvolvement)
Fresh Care Herborist Safe Care
P-L 0,378 (p=0,382) -0,565 (p=0,199) -0,191 (p=0,832) 0,164 (p=0,852) -0,235 (p=0,913) 0,098 (p=0,963)
P-F 1,378*** (p=0,000) 0,285 (p=0,392) 0,690 (p=0,062) 2,500*** (p=0,000) 0,709** (p=0,015) 0,962*** (p=0,000)
Mean difference L-P L-F -0,378 1,000*** (p=0,382) (p=0,000) 0,565 0,851** (p=0,199) (p=0,026) 0,191 0,882*** (p=0,832) (p=0,000) -0,164 2,336*** (p=0,852) (p=0,000) 0,235 0,944 (p=0,913) (p=0,189) -0,098 0,864** (p=0,963) (p=0,036)
F-P -1,378*** (p=0,000) -0,285 (p=0,392) -0,690 (p=0,062) -2,500*** (p=0,000) -0,709** (p=0,015) -0,962*** (p=0,000)
F-L -1,000*** (p=0,000) -0,851** (p=0,026) -0,882*** (p=0,000) -2,336*** (p=0,000) -0,944 (p=0,189) -0,864** (p=0,036)
Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Pada kategori smartphone android, tak satupun merek yang berbeda nilai sikap konsumennya. Demikian pula halnya dengan BNI dan V Fresh. 2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.
Pada kategori bank umum, smartphone android, maupun minyak angin aromatherapy roll-on, terdapat perbedaan evaluasi antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir maupun pemimpin pasar dengan merek yang dipersepsikan sebagai follower pada ketiga kategori produk. Sebanyak 10 dari 11 kasus menunjukkan perbedaan yang signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir dengan follower dengan nilai antara 0,000 sampai 0,010. Terdapat 8 dari 11 kasus yang menunjukkan perbedaan signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dengan follower dengan nilai antara 0,000 sampai 0,007 pada variabel evaluasi. Skor P-F dan L-F menunjukkan nilai mean difference positif, artinya ketika merek-merek tersebut dipersepsikan sebagai pionir maupun pemimpin pasar, evaluasi konsumen terhadap merek tersebut lebih baik jika dibandingkan ketika merek-merek tersebut dipersepsikan sebagai follower. Hasil uji Tukey untuk sikap konsumen menunjukkan bahwa secara umum terdapat perbedaan signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir maupun pemimpin pasar dengan merek yang dipersepsikan sebagai follower pada jenis kategori bank umum (jasa) dan smartphone android (low-involvement). Perbedaan signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir dengan follower dijumpai pada 4 dari 6 kasus ( antara 0,000 sampai 0,016). Begitu pula dengan merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dengan follower ( antara 0,000 sampai 0,007). Skor positif pada P-F dan L-F mengindikasikan bahwa sikap konsumen yang mempersepsikan merek-merek tersebut sebagai pionir maupun pemimpin pasar lebih baik dibandingkan sikap konsumen yang mempersepsikan merek-merek bersangkutan sebagai follower. Untuk kategori high-tech (smartphone android), tidak dilakukan uji lanjut karena tidak ditemukan perbedaan yang signifikan berdasarkan variabel sikap pada hasil F-test. Perbedaan signifikan juga dijumpai pada merek yang dipersepsikan sebagai pionir versus follower (4 dari 6 kasus) dan pemimpin pasar versus follower (5 dari 6 kasus) pada kategori jasa dan low-involvement product. Hasil pada Tabel 3c menunjukkan bahwa niat beli konsumen yang mempersepsikan merek-merek tersebut sebagai pionir dan pemimpin pasar lebih besar dibandingkan ketika merek-merek tersebut dipersepsikan sebagai follower. 258
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Khusus untuk kategori high-tech product, tidak dijumpai perbedaan signifikan dalam hal sikap konsumen dan niat beli. Sementara untuk evaluasi konsumen, perbedaan signifikan ditemukan pada 3 merek, kecuali Samsung. Tampaknya status pionir, pemimpin pasar, dan follower tidak berkaitan erat dengan sikap dan niat beli konsumen untuk smartphone android. Faktor-faktor lain, seperti harga, fitur, dan desain, mungkin lebih dipertimbangkan konsumen dalam memilih produk ini. Dengan demikian, H2a1 dan H2b1 mengenai evaluasi diterima, untuk H2a2 dan H2b2 mengenai sikap diterima untuk kategori produk bank umum dan minyak angin aromatherapy roll-on, serta H2a3 dan H2b3 mengenai niat beli diterima untuk kategori produk bank umum dan minyak angin aromatherapy roll-on. Keuntungan Kesalahan Persepsi Konsumen Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar Hipotesis ketiga menyatakan bahwa penilaian konsumen terhadap follower brands yang keliru diidentifikasi sebagai pemimpin pasar atau pionir akan sama dengan penilaian konsumen terhadap pemimpin pasar atau pionir sejati. Dengan kata lain, merek-merek yang keliru dipersepsikan akan mendapatkan manfaat atau keuntungan yang sama dengan merekmerek yang dipersepsikan secara akurat. Pengujian dilakukan dengan membandingkan ratarata skor evaluasi, sikap, dan niat beli untuk kasus accurate identification dan kesalahan persepsi untuk merek pemimpin pasar dan pionir. Hasil uji pairwise t-test untuk kepemimpinan pasar pada Tabel 4 menunjukkan perbedaan penilaian konsumen dijumpai pada 5 dari 9 kasus. Dalam hal ini, pemimpin pasar sejati mendapatkan penilaian lebih tinggi daripada follower brands yang keliru dipersepsikan sebagai pemimpin pasar. Sementara itu, merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pemimpin pasar menikmati evaluasi yang sama dengan pemimpin pasar sejati pada smartphone android dan minyak angin aromatherapy, sikap yang sama pada bank umum, serta niat beli yang sama pada minyak angin aromatherapy. Dengan demikian, H3a1 diterima untuk kategori smartphone android dan minyak angin aromatherapy, H3a2 diterima untuk bank umum, serta H3a3 diterima untuk minyak angin aromatherapy. Untuk market pioneership, hanya 1 dari 9 kasus yang menunjukkan bahwa pionir sejati mendapatkan penilaian lebih baik daripada merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir. Sisanya, merek-merek yang keliru dipersepsikan justru menikmati keuntungan yang sama dalam hal evaluasi, sikap, dan niat beli konsumen. Jadi, H3b1 dan H3b3 diterima untuk semua kategori, sedangkan H3b2 diterima untuk bank umum dan minyak angin aromatherapy roll-on. Hal ini merefleksikan kekuatan persepsi konsumen dalam mempengaruhi penilaiannya terhadap sebuah merek. Keuntungan merek pionir dan pemimpin pasar sejati dapat direbut oleh merek-merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir atau pemimpin pasar. Tabel 4. Keuntungan Accurate Identification versus Misperception
No.
Kategori Produk
1.
Bank umum
2.
Smartphone android
3.
Minyak angin aromatherapy roll-on
Kepemimpinan Pasar Follower Pemimpin Dipersepsikan Pasar Sebagai t-test Sejati Pemimpin Pasar Skor Rata-rata Evaluasi 4,529 0,389 0,116 (=0,020)** -0,634 0,349 0,440 (=0,571) 0,435 0,297 0,226 (=0,693)
Market Pioneership Pionir Sejati
Follower Dipersepsikan Sebagai Pionir
0,314
0,116
0,302
0,440
0,320
0,226
t-test
2,358 (=0,100) -1,053 (=0,370) 0,673 (=0,549)
259
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Skor Rata-rata Sikap 1,881 2,358 1. Bank umum 5,680 4,149 5,498 4,149 (=0,157) (=0,100) 3,565 4,748 2. Smartphone android 5,401 5,037 5,394 5,037 (=0,038)** (=0,018)** 4,122 2,589 Minyak angin 3. 5,295 4,532 5,186 4,532 aromatherapy roll-on (=0,026)** (=0,081) Skor Rata-rata Niat Beli 10,392 2,358 1. Bank umum 5,714 4,877 5,526 4,877 (=0,002)*** (=0,100) 7,098 2,561 2. Smartphone android 5,267 4,642 5,190 4,642 (=0,006)*** (=0,083) 2,959 1,875 Minyak angin 3. 5,128 3,954 4,972 3,954 aromatherapy roll-on (=0,060) (=0,158) Catatan: Evaluasi dinilai dengan skor antara 0-1, sikap dan niat beli menggunakan skoring antara 1 sampai 7. ** Signifikan pada = 5%; *** Signifikan pada = 1%.
Persepsi Konsumen Terhadap Pemimpin Pasar vs. Pionir Untuk menguji apakah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dinilai lebih baik daripada merek yang dipersepsikan sebagai pionir, pengujian dilakukan dengan mengacu pada kolom L-P pada Tabel 3a, 3b, dan 3c. Hasilnya, hanya terdapat 3 dari 23 kasus yang mengindikasikan bahwa merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dinilai lebih baik daripada pionir. Dapat disimpulkan bahwa secara umum persepsi konsumen (evaluasi, sikap, dan niat beli) terhadap pemimpin dan pasar dan pionir tidak berbeda signifikan. Ini mungkin dikarenakan status pionir dan pemimpin pasar merupakan hal yang ambigu bagi sebagian konsumen. Bisa jadi mereka mempersepsikan pemimpin pasar saat ini adalah juga pionir di kategori bersangkutan. Itu juga sebabnya tingkat kesalahan persepsi konsumen terhadap pionir lebih tinggi dibandingkan tingkat kesalahan persepsi konsumen terhadap pemimpin pasar. Konsekuensinya, H4a, H4b, dan H4c ditolak. SIMPULAN DAN IMPLIKASI MANAJERIAL Simpulan Riset ini menemukan bahwa kekeliruan persepsi konsumen terhadap pionir lebih tinggi dibandingkan pemimpin pasar (70,89% vs. 29,95%). Tidak terdapat perbedaan persepsi (evaluasi, sikap, dan niat beli) yang signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir dan pemimpin pasar, baik pada kategori jasa, high-tech, maupun low-involvement product. Akan tetapi, secara umum merek-merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar atau pionir mendapatkan penilaian yang lebih baik dibandingkan merek follower, terutama untuk bank umum dan minyak angin aromatherapy. Implikasi Manajerial Perusahaan penyandang status pionir perlu mengkomunikasikan statusnya agar keunggulan pionir dapat dimaksimalkan. Selain itu, melihat dari kemampuan mayoritas responden yang lebih baik dalam mengidentifikasi pemimpin pasar, maka akan lebih bagus jika merek pionir mampu meraih posisi sebagai pemimpin pasar. Dalam hal ini tidaklah cukup hanya menjadi pionir saja, tetapi merek pionir harus berusaha menjadi pemimpin pasar, sehingga posisi akan semakin kuat dengan dua kemenangan yang diperoleh (Trout dan Rivkin 2008). Bagi pemimpin pasar, berbagai upaya dalam rangka mengkomunikasikan dan/atau mengklaim status perlu dilakukan, misalnya mencantumkan prestasi-prestasi yang diraih pada 260
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
kemasan atau menginformasikan pada konsumen melalui media massa mengenai capaian pangsa pasar. Bila klaim status tidak dilakukan, maka merek follower siap menikmati keuntungan pionir dan pemimpin pasar lewat misperception effects. DAFTAR REFERENSI Alpert, F.H., A.M. Kamins, dan J.L. Graham. 1992. An Examination of Reseller-Buyer Attitudes toward Order of Brand Entry. Journal of Marketing 56: 25-37. Bohlmann, J.D., P.N. Golder, dan D. Mitra. 2002. Deconstructing the Pioneer’s Advantage: Examining Vintage Effects and Consumer Valuations of Quality and Variety. Management Science 48/9: 1175-1195. Carpenter, G.S. dan K. Nakamoto. 1989. Consumer Preference Formation and Pioneering Advantage. Journal of Marketing 26: 285-298. Carson, S.J., R.D. Jewell, dan C. Joiner. 2007. Prototypically Advantages for Pioneer over Me-Too Brands: The Role of Evolving Products Designs. Journal of the Academy of Marketing Science 35: 172-183. Denstadli, J.M., R. Lines, dan K. Gronhaug. 2005. First Mover Advantages in the Discount Grocery Industry. European Journal of Marketing 39/7-8: 872-884. Edward, M. dan S. Sahadev. 2012. Modeling the Consequences of Customer Confusion in a Service Marketing Context: An Empirical Study. Journal of Services Research 12/2: 127-146. Ehrenberg, A.S., G.J. Goodhardt, dan T.P. Barwise. 1990. Double Jeopardy Revisited. Journal of Marketing 54: 82-91. Golder, P.N. dan G.J. Tellis. 1993. Pioneer Advantage: Marketing Logic or Marketing Legend? Journal of Marketing Research 30: 158-170. Hellofs, L.L. dan R. Jacobson. 1999. Market Share and Customer's Perceptions of Quality: When Can Firms Grow Their Way to Higher Versus Lower Quality? Journal of Marketing 63: 16-25. Jacoby, H. dan W.D. Hoyer. 1982. Viewer Miscomprehension of Televised Communication: Selected Findings. Journal of Marketing 46: 12-26. Kalyanaram, G. dan G.L. Urban. 1992. Dynamic Effects of the Order of Entry on Market Share, Trial Penetration, and Repeat Purchases for Frequently Purchased Consumer Goods. Marketing Science 11/3: 235-250. Kamins, M.A. dan F.H. Alpert. 1995. An Empirical Investigation of Consumer Memory, Attitude, and Perceptions Toward Pioneer and Follower Brands. Journal of Marketing 59: 34-45. Kamins, M.A. dan F.H. Alpert. 2004. Corporate Claims as Innovator or Market Leader: Impact on Overall Attitude and Quality Perceptions and Transfer to Company Brands. Corporate Reputation Review 7/2: 147-159. Kamins, M.A., F.H. Alpert, dan L. Perner. 2003. Consumers' Perception and Misperception of Market Leadership and Market Pioneership. Journal of Marketing 19: 807-834. Kardes, F.R., G. Kalyanaram, M. Chandrashekaran, dan R. Dornoff. 1993. Brand Retrieval, Consideration Set, Composition, Consumer Choice, and Pioneering Advantage. Journal of Consumer Research 20: 62-75. Kerin, R.A., G. Kalyanaram, dan D.J. Howard. 1996. Product Hierarchy and Brand Strategy Influences on the Order of Entry Effect for Consumer Packaged Goods. Journal of Product Innovation and Management 13: 21-34.
261
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Kocyigit, O. dan C.M. Ringle. 2011. The Impact of Brand Confusion on Sustainable Brand Satisfaction and Private Label Proneness: A Subtle Decay of Brand Equity. Journal of Brand Management 19/3: 195-212. Kotler, P. dan K.L. Keller. 2012. Marketing Management, 14th ed. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. Lambkin, M. 1988. Order of Entry and Performance in New Markets. Strategic Management Journal 9: 127-140. Leek, S. dan D. Kun. 2006. Consumer Confusion in the Chinese Personal Computer Market. Journal of Product and Brand Management 15/3: 184-193. Lieberman, M.B. dan D.B. Montgomery. 1988. First-Mover Advantages. Strategic Management Journal 9: 41-58. Min, S., M.U. Kalwani, dan W.T. Robinson. 2006. Market Pioneer and Early Follower Survival Risks: A Contigency Analysis of Really New versus Incrementally New Product-Markets. Journal of Marketing 70: 15-33. Pleshko, L.P. dan R.A. Heiens. 2012. The Market Share Impact of the Fit Between Market Leadership Efforts and Overall Strategic Aggressiveness. Business and Economics Research Journal 3/3: 1-15. Ries, A. dan J. Trout. 2000. Positioning: The Battle for Your Mind, 20th Anniversary Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Rettie, R. dan S. Hillar. 2002. Pioneer Brand Advantage with UK Consumers. European Journal of Marketing 36/7-8: 895-911. Robinson, W.T. 1988. Sources of Market Pioneer Advantages: The Case of Industrial Goods Industries. Journal of Marketing Research 25: 87-94. Robinson, W.T. dan C. Fornell. 1985. Sources of Market Pioneer Advantages in Consumer Goods Industries. Journal of Marketing Research 22: 305-317. Schiffman, L.G. dan L.L. Kanuk. 2010. Consumer Behavior, 10th ed. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. Schmalensee, R. 1982. Product Differentiation Advantages of Pioneering Brands. The American Economic Review 72/3: 349-365. Schnaars, S.P. 1994. Managing Imitation Strategies: How Later Entrants Seize Markets from Pioneers. New York: The Free Press. Simon, H. 2009. Hidden Champions of the 21st Century: Success Strategies of Unknown World Market Leaders. New York: Springer. Solomon, M.R., G.W. Marshall, dan E.W. Stuart. 2012. Marketing: Real People, Real Choices, 7th ed. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. Song, X.M., C.A. Benedetto, dan Y.L. Zhao. 1999. Pioneering Advantages in Manufacturing and Service Industries: Empirical Evidence from Nine Countries. Strategic Management Journal 20: 811-836. Tjiptono, F. 2011. Manajemen & Strategi Merek. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Trout, J. 2001. Big Brands Big Trouble: Lessons Learned the Hard Way. New York: John Wiley & Sons, Inc. Trout, J. dan Rivkin, S. 2008. Differentiate or Die: Survival in Our Era of Killer Competition, 2nd ed. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc. Turnbull, P.W., S. Leek, dan G. Ying. 2000. Customer Confusion: The Mobile Phone Market. Journal of Marketing Management 16: 143-163. Urban, G.L., T. Carter, S. Gaskin, dan Z. Mucha. 1986. Market Share Reward to Pioneering Brands: An Empirical Analysis and Strategic Implications. Management Science 32/6: 645-659. 262
Ervina Triandewi Fandy Tjiptono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Walsh, G., T. Hennig-Thurau, dan V.W. Mitchell. 2007. Consumer Confusion Proneness: Scale Development, Validation, and Application. Journal of Marketing Management 23/7-8: 697-721.
BIBLIOGRAFI PENULIS Ervina Triandewi adalah alumnus Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Topik riset yang diminatinya adalah perilaku konsumen, khususnya dalam hal pembelian merek orisinal dan merek tiruan, persepsi konsumen terhadap status pionir dan pemimpin pasar, dan isu-isu terkait lainnya. Fandy Tjiptono adalah staf akademik di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ia telah menerbitkan sejumlah buku, di antaranya Pemasaran Strategik, Pemasaran Global, Manajemen & Strategi Merek, Pemasaran Jasa, dan Total Quality Management. Selain itu, beberapa tulisan ilmiahnya telah dipublikasikan dan forthcoming di beberapa jurnal internasional bergengsi, seperti Journal of Business Ethics, Marketing Intelligence & Planning, Journal of Promotion Management, dan Social Responsibility Journal. 263
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
PEMETAAN STORE DESIGN DAN VISUAL MERCHANDISING DISTRO DI KOTA BANDUNG Jurry Hatammimi & Brhiyawan RH Cendekia Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Telkom Jl. Telekomunikasi, Terusan Buah Batu, Dayeuh Kolot, Bandung 40257
[email protected] /
[email protected]
ABSTRACT One of the evidence of creative industry growth in fashion sector in the city of Bandung is the establishment of many distro or distribution outlet. There are 4 distro that has the highest sales level, i.e Ouval Research, Unkl347, Dloops, and Black Id. The four distro were trying to show differentiation in terms of store design and visual merchandising to make up the store uniqueness and influencing buying behavior. Beside there is no research about the mapping of distro in the city of Bandung yet, especially about their store design and visual merchandising, this study will also show the difference of the four distro even though they have some similarities. This study aims to determine the perceptual map of store design and visual merchandising which applied by each distro. By using Multi Dimensional Scaling, there are consumer assessment in making perceptual maps include shopping convenience, easy to find goods, shopping experience, signage, entrance, cash wraps, promotional aisle, windows, fitting room, traffic flow, alignment rack with the theme, the attractiveness of presentation techniques, and impulse purchase. The research shows Ouval Research superior in largely indicators namely shopping convenience, easy to find goods, shopping experience, signage, entrance, promotional aisle, windows, fitting room, the attractiveness of presentation techniques, and impulse purchase. Unkl347 win in two indicators namely cash wraps and alignment rack with the theme. Dloops only win in the traffic flow indicator. Black Id ranks fourth at all indicators. Keywords: Perceptual Map, Store Design, Visual Merchandising, Distribution Outlet
264
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
PENDAHULUAN Distribution store atau Distro yang dikenal oleh masyarakat kota besar di Indonesia lebih dimaknai sebagai tempat dijualnya pakaian dengan merek tertentu dan dijual dalam jumlah yang terbatas. Menurut Bank Indonesia (2008:1-2), distro bermula dari Bandung sejak tahun 1993 namun baru berkembang pada tahun 1998. Kota Bandung pada tahun 2012 memiliki jumlah penduduk sebesar 2.455.517 orang (BPS Kota Bandung 2013). Menghubungkan dengan target utama pasar distro yaitu mereka yang berusia sekitar 15 – 29 tahun, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bandung di rentang usia tersebut adalah berjumlah 264.190 orang atau 10,76 % dari total penduduk Kota Bandung. Dengan melihat persentase tersebut, usaha distro masih dianggap berpotensi untuk terus dikembangkan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah 2010 (BPS Kota Bandung 2012), tingkat rata-rata konsumsi pakaian per kapita sebulan penduduk Kota Bandung pada tahun 2010 sebesar 2,67% dari total pengeluaran atau Rp. 23.783. Tingkat konsumsi itu berada di posisi ke-3 jumlah pengeluaran terbanyak dari sub golongan bukan makanan. Jumlah konsumsi pakaian tersebut jika dihitung per tahun maka bernilai Rp. 285.396 per orang. Jika menghitung proyeksi konsumsi pakaian khusus bagi penduduk Kota Bandung yang berusia 15 - 29 tahun, maka akan tercatat nilai sebesar Rp. 75.398.769.240 dalam satu tahun. Hal ini jelas merupakan potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor pariwisata pun memiliki andil meningkatkan potensi ekonomi bagi distro. Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, pada tahun 2011 terdapat 6.712.824 wisatawan yang berkunjung ke Bandung. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa wisata belanja (fashion) adalah jenis wisata yang paling diminati. Tercatat 2.401.312 wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung melakukan wisata belanja (fashion). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi pasar bidang fashion di kota Bandung adalah sangat besar. Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (KUKM & Perindag) Kota Bandung mencatat ada tujuh jenis tempat yang dikategorikan sebagai pasar modern yang merupakan saluran distribusi bidang fashion seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Data Potensi Pasar Modern di Kota Bandung No. Kategori Jumlah 1. Supermarket 27 2. Hypermarket 9 3. Departement Store 16 4. Pusat perdagangan 7 5. Mall 22 6. Distro 135 7. Factory Outlet 98 Jumlah 314 Sumber: Dinas KUKM dan Perindag Kota Bandung, 2012 Seluruh fashion retail yang tercatat dalam Tabel 1 memiliki cara dan strategi khusus untuk bersaing satu sama lain tentunya demi memenangkan persaingan. Persaingan yang ada terjadi lebih kuat lagi di dalam kategori yang sama. Penelitian Dewi (2010:6) menyebutkan paling tidak ada 32 distro di kota Bandung yang memiliki umur lebih dari 4 tahun pada tahun 2009. Selain itu diketahui pula tingkat 265
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
permintaan produk distro di Kota Bandung pada tahun 2009 adalah sebagaimana tercantum pada Tabel 2. Empat distro di Kota Bandung yang memiliki jumlah permintaan terbanyak. Distro tersebut adalah Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id. Distro merupakan fashion store yang menjual produknya sendiri dan sangat menonjolkan sisi eksklusifitas store design. Setiap distro memiliki cara masing-masing dalam menarik konsumen dari segi layout toko, display produk, desain interior maupun eksterior. Penelitian Nento (2005:92) menjelaskan bahwa ada korelasi yang kuat antara visual merchandising dengan minat beli konsumen pada Flexi Center Dago, begitu juga Stiefi (2012:87) menambahkan terdapat hubungan yang sangat kuat antara store layout dengan minat beli. Hasil penelitian Nento (2005) & Stiefi (2012) sejalan dengan teori yang dikatakan oleh Levy & Weitz (2009:507) bahwa ada pengaruh yang signifikan antara perilaku membeli dengan store design & merchandise presentation. Dibandingkan fashion retail lainnya, keberadaan distro di Kota Bandung adalah yang terbanyak dengan jumlah 135 distro (Dinas KUKM & Perindag Kota Bandung 2012). Mengingat perkembangan distro yang pesat dan sebagai fashion retail di Kota Bandung dengan jumlah terbanyak saat ini, penelitian terkait store design dan visual merchandising perlu dilakukan terhadap distro. Empat distro dengan permintaan terbanyak (Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id) dapat dijadikan obyek penelitian tersebut. Tabel 2 Permintaan Produk Distro Per 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Distro Ouval Research Unkl 347 Dloops Black Id Blankwear Kuya Gaya Air Plane System Cosmic Skaters Green Light Flashy Yodium Freedom Evil Order Wadezig 3 Second Proshop Coffee Park Provider Diery Invictus
Jumlah Permintaan (unit) 38.401 37.579 36.230 30.237 26.720 26.375 25.632 23.651 23.348 22.654 21.935 21.206 20.671 19.721 18.810 18.237 17.997 16.325 15.190 14.237 14.197 266
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Mountly Volta Folks Omnium Gummo Black Jack Rock Star God Inc Badger Frontline Rollink Tee Company
13.590 13.436 13.001 12.826 11.110 10.798 10.540 8.208 8.125 6.761 6446
Sumber: Dewi (2010:6) Keempat distro tersebut dipilih juga karena memiliki kesamaan segmentasi berdasarkan usia, tingkat ekonomi, kedekatan wilayah penjualan, dan kesamaan dalam konsep yang mengusung tema urban. Selain karena belum adanya penelitian yang melakukan pemetaan terhadap distro di Kota Bandung khususnya terhadap empat distro dengan permintaan terbanyak pada unsur store design dan visual merchandising-nya, penelitian ini ingin pula menunjukkan perbedaan posisi keempat distro tersebut berdasarkan persepsi konsumennya meskipun keempatnya memiliki beberapa kesamaan. Berdasarkan beberapa hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta persepsi konsumen terhadap store design dan visual merchandising distro Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id. LANDASAN TEORI Retail Strategy Levy & Weitz (2009:134) menjelaskan arti retail strategy adalah pernyataan yang mengidentifikasikan target pasar yang dituju retailer, format retail yang di desain untuk memuaskan kebutuhan target pasarnya, serta perencanaan dalam membuat sustainable competitive advantage yang bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama serta tidak mudah ditiru oleh pesaing. Menurut Levy & Weitz (2009:134) retail format menjelaskan tentang operasional perusahaan berkaitan dengan retail mix, antara lain tipe merchandise dan jasa yang ditawarkan, penetapan harga, program promosi dan periklanan, desain toko dan visual merchandising, tipe lokasi, serta customer service. Store Design dan Visual Merchandising Store design dan visual merchandising termasuk ke dalam bagian store management yang mempengaruhi keunikan toko. Perusahaan sebisa mungkin memberikan keunikan tersendiri serta membuat desain yang menarik agar suasana toko yang tercipta mendukung proses belanja konsumen. Levy & Weitz (2009:508) menjelaskan bahwa store design memiliki peran yang penting dalam membuat serta memperkuat brand image. Menurut Levy & Weitz (2009:508) tujuan dari desain toko adalah untuk mengimplementasikan strategi retailer, mempengaruhi perilaku membeli, memberikan fleksibilitas, mengontrol biaya desain dan perawatan, serta memenuhi aspek legal. 267
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia a.
b.
c.
d.
e.
f.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Implementasi strategi retailer Desain toko harus selaras dengan kebutuhan target pasar yang ditentukan karena desain toko merupakan salah satu bagian dari positioning untuk membentuk image perusahaan dalam pikiran konsumen. Mempengaruhi perilaku pembeli Menurut Levy & Weitz (2009:509) desain toko yang baik akan menarik konsumen untuk berkunjung, mempermudah konsumen untuk menemukan barang yang dicari, memotivasi dan memberi dorongan kepada konsumen untuk melakukan pembelian lain yang tidak direncanakan sebelumnya, serta memuaskan konsumen dengan pengalaman berbelanja yang menyenangkan. Fleksibilitas Fleksibilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan untuk mengganti komponen didalam toko jika sewaktu-waktu ada perubahan konsep toko, kehadiran barang baru, serta promo-promo yang diadakan retailer. Mengontrol biaya Perbedaan produk yang dijual berarti berbeda pula desain toko yang dibuat. Hal ini akan mempengaruhi kebijakan perusahaan dalam mengimplementasikan desain toko. Sebagai contoh Levy & Weitz (2009:510) menjelaskan dengan mengeluarkan biaya lebih pada faktor pencahayaan berarti akan membuat produk yang dipajang lebih menarik. Hal ini diharapkan akan meningkatkan penjualan produk tersebut. Aspek legal Beberapa negara menetapkan kebijakan perlindungan terhadap orang dengan kebutuhan khusus. Hal ini tentu saja berpengaruh pada desain toko yang harus dapat mengakomodir semua golongan tak terkecuali orang dengan kebutuhan khusus. Design trade-offs Trade-offs ini berkaitan dengan mengimplementasikan alternatif desain yang menguntungkan dengan menghilangkan beberapa keuntungan lain. Levy & Weitz (2009:512) memberikan salah satu contoh trade-off yang dihadapi oleh retailer yaitu memberi dorongan kepada konsumen untuk lebih konsumtif atau memberi kemudahan dalam mencari produk. Sebagai contoh barang Z yang memiliki penjualan tinggi ditaruh di ujung toko dengan harapan konsumen yang ingin membeli barang Z berjalan melewati beberapa rak produk agar ada hasrat untuk membeli produk lain, namun hal ini justru akan mengurangi kenyamanan konsumen yang hanya ingin membeli barang Z. Alternatif lain bisa diimplementasikan dengan menaruh barang Z di depan toko untuk memberikan kenyamanan kepada konsumen dengan pertimbangan tidak akan ada konsumen yang berkeliling toko terlebih dahulu sebelum membeli barang Z.
Store Design Store design menurut Levy & Weitz (2009:508) mencakup layout, signage, serta feature areas. a. Layouts Layout mencakup susunan bagian toko yang terbagi atas wilayah tertentu yang memisahkan jenis produk atau fungsi tertentu. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh Levy & Weitz (2009:512-515) layout dibuat untuk memudahkan konsumen dalam mencari barang, mengefisiensikan biaya melalui penggunaan ruang yang optimal, mengarahkan konsumen pada lokasi tertentu di dalam toko, memberikan kenyamanan berbelanja, serta memberikan pengalaman belanja yang menyenangkan. Layout toko dapat merepresentasikan tema toko serta image yang ingin dimunculkan. Layout dapat di sesuaikan dengan kebutuhan toko berdasarkan barang yang dijual. 268
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Menurut Levy & Weitz (2009:512-515) Layout toko dapat dibuat seperti lorong-lorong, dibentuk asimetris, atau dikondisikan seperti jalur agar konsumen melewati seluruh bagian toko mengikuti layout yang dibentuk. b. Signage & Graphics Signage merupakan penanda suatu produk atau penanda arah yang menunjukan suatu tempat di dalam toko. Menurut Levy & Weitz (2009:516) selain dapat membantu konsumen mencari bagian departemen, produk, dan informasi, graphics seperti panel foto juga harus mencirikan karakteristik sebuah toko. Ada beberapa fungsi komunikasi visual dalam implementasi di sebuah toko, antara lain seperti yang diungkapkan Levy & Weitz (2009:516-517): (1) Lokasi Signage dapat digunakan untuk menunjukan lokasi suatu tempat atau produk tertentu. Biasanya signage penunjuk lokasi digunakan oleh toko yang memiliki lahan yang luas seperti mall atau suatu gedung. (2) Category signage Category signage digunakan untuk menunjukan tempat sesuai dengan tipe produk. Levy & Weitz (2009:516) menjelaskan bahwa category signage digunakan antar sektor yang ada dalam toko untuk membedakan tipe produk, category signage biasanya ditempatkan dekat dengan barang yang ditawarkan. (3) Promotional signage Tipe signage ini untuk menunjukan promosi atau diskon yang sedang diselenggarakan oleh toko. Levy & Weitz (2009:516) menjelaskan biasanya promotional signage ditempatkan di jendela depan toko agar orang-orang tahu mengenai promo yang sedang berlangsung. (4) Point of sale Point of sale ditempatkan di dekat produk sehingga konsumen dengan mudah mengetahui harga dan informasi detail produk, seperti diskon dan lain sebagainya (Levy & Weitz 2009:516). (5) Lifestyle image Levy & Weitz (2009:517) menjelaskan bahwa lifestyle image dapat bervariasi seperti gambar orang atau suatu tempat. Jenis signage ini bertujuan untuk membuat mood yang mendorong konsumen untuk membeli. Saat ini signage tidak hanya dalam bentuk media konvensional tetapi juga dalam bentuk digital. Media digital dapat lebih menarik konsumen karena sifatnya yang dinamis. Beberapa contoh digital signage antara lain video clip serta penunjuk harga digital (Levy & Weitz 2009:517) c. Feature Areas Feature areas menurut Levy & Weitz (2009:518) adalah area di dalam toko yang dibentuk agar menarik perhatian konsumen. Feature areas juga bisa dijadikan sebagai petunjuk arah bagi konsumen. Feature areas dibagi menjadi entrances (jalan masuk), freestanding display, cash wraps (kasir), end caps, promotional aisle/area (area promosi), walls (tembok), windows (jendela/etalase toko), dan fitting rooms (ruang ganti) (Levy & Weitz 2009:518-521). (1) Entrances (jalan masuk) Pada bagian ini biasanya dipajang hal-hal mengenai produk yang dijual di toko. Toko ponsel memajang ponsel dengan teknologi terkini, toko pakaian memajang baju keluaran terbaru, dan seterusnya. Fetterman & O’Donnel (2006) dalam Levy & Weitz (2009:518) menerangkan bahwa area ini disebut area decompression zone karena merupakan tempat orang berpindah dari lingkungan luar ke lingkungan dalam toko. 269
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Entrances area juga merupakan tempat untuk menarik konsumen agar mau berkunjung. Freestanding displays Bagian ini merupakan rak atau manekin yang dipajang pada lorong untuk tujuan menarik konsumen (Levy & Weitz 2009:518). Levy & Weitz (2009:518) menambahkan freestanding displays bisa merupakan boneka (manekin), barang terbaru, atau barang paling menarik yang dimiliki toko. Sifat freestanding display hampir sama dengan bagian entrances yaitu untuk menarik konsumen. Cash wraps (kasir) Tempat ini merupakan tempat di mana orang-orang melakukan pembayaran atas barang yang dibelinya. Seringkali pengunjung mengantri dan menunggu cukup lama untuk melakukan pembayaran. Menurut Levy & Weitz (2009:518-519) dikarenakan banyak pengunjung yang menunggu maka dibagian ini retailer biasanya memajang produk-produk yang mendorong konsumen untuk membelinya seperti permen, majalah, serta pisau cukur. End caps Menurut Levy & Weitz (2009:519) end caps merupakan bagian yang ada di ujung rak, bisa berupa pajangan, produk-produk promosi, atau poduk musiman. Retailer memanfaatkan bagian ini juga untuk mendorong konsumen melakukan pembelian lebih banyak. Promotional aisle / area (area promosi) Area ini merupakan area khusus yang disediakan retailer untuk barang-barang yang sedang dalam masa promosi atau barang yang bersifat musiman. Area ini dapat berganti setiap minggu atau dalam periode yang singkat sesuai dengan jangka waktu promosi yang berlaku. Walls (tembok) Area tembok juga dapat dijadikan untuk memajang produk yang dijual. Kelebihan dari penggunaan tembok adalah retailer dapat menyisakan banyak ruang untuk dijadikan tempat hilir mudik konsumen atau dimanfaatkan sebagai display produk lain. Windows (jendela) Jendela merepresentasikan produk yang dijual di toko. Dengan desain dan display yang unik, jendela bisa dijadikan alat untuk menarik konsumen (Levy & Weitz 2009:520). Menurut Levy & Weitz (2009:520) yang perlu diperhatikan dalam menata sebuah jendela toko adalah bahwa yang terpajang di jendela merupakan barang yang juga dijual di toko sehingga konsumen tidak merasa tertipu dengan apa yang dipajang di jendela. Fitting rooms (ruang ganti) Retailer yang bergerak dalam bidang fashion umumnya memiliki fitting room untuk mencoba pakaian yang akan dibelinya. Grant (2007) dalam Levy & Weitz (2009:521) mengatakan bahwa fitting room merupakan tempat yang krusial yang menjadi salah satu penentu keputusan konsumen dalam pembelian. Fitting room dengan suasana yang baik akan menambah nilai dari pengalaman berbelanja. Levy & Weitz (2009:520) menambahkan bahwa kondisi fitting room haruslah cukup luas, bersih dan nyaman.
270
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Visual Merchandising Visual merchandising berkaitan dengan penyajian produk dan toko untuk menarik konsumen. Yang termasuk dalam faktor visual merchandising adalah (Levy & Weitz 2009:527): a. Fixture Fixture merupakan rak atau gantungan untuk menaruh produk yang dijual agar dengan mudah dapat diketahui oleh konsumen. Levy & Weitz (2009:527) menjelaskan fungsi rak salah satunya adalah untuk memperlihatkan produk (display merchandise) serta untuk mendukung traffic flow sehingga konsumen tertarik untuk melihat dan berkeliling ke tiaptiap rak. Levy & Weitz (2009:527) juga menambahkan penggunaan rak harus serasi dengan tema/desain toko secara keseluruhan. Terdapat empat jenis fixture yang umum digunakan oleh toko fashion yaitu straight rack, rounder, dan four-way, sedangkan untuk barang lain pada umumnya menggunakan tipe gondola (Levy & Weitz 2009:527). b. Presentation techniques Teknik penyajian menjadi salah satu faktor yang ada dalam visual merchandising. Menurut Levy & Weitz (2009:528-530) ada beberapa teknik penyajian produk yang bisa diterapkan dalam retail business, antara lain sebagai berikut: (1) Idea-oriented presentation Teknik penyajian ini menekankan pada ide atau gagasan produk yang dibuat oleh retailer. Retailer sebisa mungkin menunjukan bagaimana seharusnya produk ini dipakai serta mendeskripsikan bagaimana produk ini terlihat jika sedang digunakan. (2) Style / item presentation Style presentation menyajikan produk sesuai dengan tipe dan jenis produk. Tipe ini menurut Levy & Weitz (2009:529) paling banyak diimplementasikan oleh para retailer. Selain itu Levy & Weitz (209:529) juga menambahkan style presentation akan memudahkan konsumen mencari barang dalam satu bagian. Retailer mengumpulkan seluruh barang yang berjenis sama dalam satu bagian, dengan begitu konsumen dapat dengan mudah membandingkan produk yang memiliki jenis sama. Sebagai contoh fashion retailer mengumpulkan kaos lengan panjang dalam satu rak. (3) Color presentation Teknik penyajian menggunakan kesamaan warna dari produk yang ada. Penyusunan ini bisa diimplementasikan pada ritel fashion dengan mengurutkan produk berdasarkan warna. Teknik ini juga bisa mencirikan toko pada image tertentu, sebagai contoh jika suatu fashion retail pria menjual produk untuk digunakan saat suasana formal maka toko tersebut bisa menggunakan warna dominan netral seperti krem atau coklat. (4) Price lining Price lining berarti mengurutkan produk berdasarkan harga yang menunjukan klasifikasi produk (Levy & Weitz 2009:529). (5) Vertical merchandising Teknik ini menyajikan produk secara vertikal dengan susunan produk yang sama pada satu garis lurus. Levy & Weitz (2009:529) menjelaskan bahwa teknik ini didasari pada pergerakan alamiah mata (eye’s natural movement) yang selalu melihat secara berurutan dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah. (6) Tonnage merchandising Tonnage merchandising merupakan teknik penyajian dimana satu jenis barang dalam jumlah yang banyak dikumpulkan pada satu tempat. Dengan teknik ini retailer 271
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
berusaha untuk meningkatkan citra harga dengan meyakinkan konsumen bahwa stok sedang banyak sehingga harga lebih terjangkau (Levy & Weitz 2009:529). (7) Frontal presentation Teknik penyajian ini menampilkan dan mengekspos produk dengan sangat terbuka (frontal) untuk menarik konsumen. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyajikan produk secara lebih intens. Sebagai contoh retailer membuat replika produk dengan ukuran yang lebih besar dari biasanya atau juga bisa dibuat gambar dengan ukuran yang besar jika ingin meningkatkan penjualan suatu produk. Kerangka Pemikiran Store design menurut Levy & Weitz (2009:508) mencakup layout, signage, serta feature areas. Layout mencakup susunan bagian toko yang terbagi atas wilayah tertentu yang memisahkan jenis produk atau fungsi tertentu. Signage merupakan penanda suatu produk atau penanda arah yang menunjukan suatu tempat di dalam toko. Feature areas adalah area di dalam toko yang dibentuk agar menarik perhatian konsumen dan juga bisa dijadikan sebagai petunjuk arah bagi konsumen. Feature areas dibagi menjadi entrances (jalan masuk), freestanding display, cash wraps (kasir), end caps, promotional aisle/area (area promosi), walls (tembok), windows (jendela / etalase toko), dan fitting rooms (kamar pas) (Levy & Weitz 2009:518-521). Visual merchandising berkaitan dengan penyajian produk dan toko untuk menarik konsumen (Levy & Weitz 2009:527). Fixture merupakan rak atau gantungan untuk menaruh produk yang dijual agar dengan mudah dapat diketahui oleh konsumen, unsurnya adalah traffic flow dan keselarasan dengan tema. Teknik penyajian Menurut Levy & Weitz (2009:528-530) terdiri dari Idea-oriented presentation, Style/item presentation, Color presentation, Price lining, Vertical merchandising, Tonnage merchandising, dan Frontal presentation. Sebagai empat distro dengan permintaan terbanyak, Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id akan dibuatkan peta 3 aspek store design dan 2 aspek visual merchandising-nya berdasarkan persepsi konsumen sebagaimana tertera pada gambar 1.
Peta Posisi: 1. Ouval Research 2. Unkl347 3. Dloops 4. Black ID
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sumber: pengolahan data penulis
272
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
METODE PENELITIAN Agar dapat membandingkan antara masing-masing store design dan visual merchandising, maka indikator yang diambil dalam penelitian ini merupakan indikator yang sama-sama dimiliki tiap distro yang menjadi objek penelitian. Indikator yang diambil dicocokan dengan kondisi lapangan penerapan store design dan visual merchandising tiap distro. Penjelasan sub variabel dan indikatornya tertera pada tabel 3. Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah orang yang pernah mengunjungi Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id pada satu tahun terakhir. Dikarenakan populasi tidak diketahui pasti jumlahnya, maka untuk menentukan jumlah sampel yang akan diteliti penulis menggunakan persamaan Bernoulli. Tingkat kepercayaan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar 95 %, tingkat ketelitian (α) 5%. Dari tabel distribusi ditemukan bahwa Error! Reference source not found. = 0,025 sehingga Z = 1,960. Tingkat kesalahan ditentukan sebesar 10% dengan probabilitas kuesioner benar (diterima) atau salah (ditolak) 0,5. Berdasarkan kriteria tersebut, persamaan Bernoulli untuk mencari sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Variabel Operasional Variabel
Sub Variabel Layout Signage & Graphic
Store Design Feature Areas
Fixture Visual Merchandising
Presentation techniques
Indikator Kenyamanan berbelanja Kemudahan dalam mencari barang Shopping Experience Signage yang merepresentasikan karakteristik toko Entrances Cash Wraps Promotional Aisle Windows Fitting Rooms Traffic flow Keselarasan dengan tema Kemenarikan teknik penyajian
Impulse purchase Sumber: pengolahan data penulis Hasil dari perhitungan sampel di atas menunjukan jumlah sampel minimum adalah 97 buah yang kemudian penulis bulatkan menjadi 100 buah. 273
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling dengan menggunakan metode convenience sampling. Teknik pengambilan sampel dengan non-probability sampling menurut Cooper & Schindler (2011:388) dianggap lebih menghemat biaya. Convenience sampling merupakan pengambilan sampel yang dilakukan secara bebas kepada siapapun yang ditemui. Walaupun convenience sampling tidak memiliki pengawasan untuk memastikan keakuratan, tetapi metode ini masih merupakan prosedur yang dapat digunakan (Cooper & Schindler 2011:385). Uji validitas dalam penelitian Multi Dimensional Scaling (MDS) dilakukan dengan memperhatikan R Square (RSQ). Maholtra (1999) dalam Simamora (2005:268) menyebutkan RSQ yang dapat diterima adalah yang lebih besar dari sama dengan 0,6 (RSQ ≥ 0,6). Semakin besar RSQ yang didapat maka semakin baik pula model MDS yang dihasilkan (Simamora, 2005:268). Setelah dilakukan pre test dengan menyebarkan kuesioner kepada 30 responden dan pengolahan data menggunakan SPSS maka didapatkan RSQ = 0,991 yang berarti data yang dihasilkan adalah valid. Uji reliabilitas dalam penelitian MDS menggunakan stress measure. Hasil data yang dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan tabel 4 berikut. Tabel 4. Indikator Stress Stress (persen) Goodness of Fit 20 Poor 10 Fair 5 Good 2,5 Excelent 0 Perfect Sumber: Simamora (2005:269) Dari hasil pre test yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 30 responden dan pengolahan data menggunakan SPSS maka didapatkan Stress sebesar 13% yang berarti fair. Teknik analisis data menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) adalah untuk mengetahui persepsi responden terhadap suatu objek dibandingkan dengan objek lain. Penyajian data menggunakan diagram yang memperlihatkan pemetaan persepsi responden. Menurut Hair, Jr et al (2010:568) MDS yang juga biasa disebut perceptual mapping merupakan teknik analisis untuk mengolah pendapat konsumen yang memiliki kesamaan pada bidang multidimensional. Penelitian ini memaparkan bagaimana tiap distro berkompetisi dalam hal store design dan visual merchandising. Penilaian dilakukan oleh responden untuk membandingkan tiaptiap distro. Hasil dari penelitian ini nantinya akan memaparkan peta persaingan yang terjadi diantara distro berdasarkan atribut store design dan visual merchandising. Selain akan memperlihatkan peta persaingan masing-masing distro dari segi store design dan visual merchandising, grafik MDS akan memperlihatkan distro mana yang unggul dalam salah satu indikator serta memperlihatkan distro mana yang tidak memiliki penilaian baik dari responden. Penilaian dihitung berdasarkan kedekatan jarak antara indikator dan objek yang digambarkan pada grafik MDS. Penghitungan jarak dilakukan dengan menggunakan jarak euclidean (euclidean distance). Jarak euclidean dapat menunjukan perbandingan secara pasti jarak antara setiap objek. Menurut Hair, Jr et al (2010:506) euclidean distance adalah cara mengukur panjang garis lurus antara dua objek yang ada di grafik. Berikut rumus euclidean distance menurut Hair, Jr et al (2010:523):
274
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Gambar 2. Euclidean Distance Sumber: Hair, Jr et al (2010:523) Dari perhitungan menggunakan rumus tersebut, semakin kecil angka yang dihasilkan maka semakin dekat pula jarak antara objek yang berarti semakin ketat pula persaingannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diolah menghasilkan peta persepsi yang akan memperlihatkan posisi masing-masing objek penelitian dengan variabel store design dan visual merchandising.
Gambar 3. Peta Persepsi Store Design dan Visual Merchandising Sumber: pengolahan data penulis Output yang dihasilkan dari pengolahan data di SPSS 20 merangkum seluruh posisi objek dan item penilaian kedalam satu peta persepsi. Semakin dekat jarak antara objek penelitian dengan titik indikator maka semakin unggul pula objek tersebut pada indikator itu. Kenyamanan Berbelanja Ouval Research dinilai paling unggul dalam hal kenyaman berbelanja yang dihasilkan dari layout yang terbentuk. Dloops dan Unkl347 berada di posisi kedua dan ketiga, sedangkan Black Id berada pada peringkat keempat.
275
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Kemudahan Mencari Barang Dalam indikator ini Ouval Research menempati urutan pertama sebagai distro dengan layout yang paling memudahkan dalam mencari barang. Sementara itu urutan berikutnya ditempati oleh Dloops, Unkl347, serta Black Id. Shopping Experience Pada indikator shopping experience Ouval Research berada pada posisi pertama. Responden menilai layout toko yang diterapkan oleh Ouval Research memberikan pengalaman berbelanja yang paling menyenangkan dibanding ketiga distro yang lain. Posisi dua, tiga, dan empat secara berurut ditempati oleh Dloops, Unkl347, dan Black Id. Signage yang Merpresentasikan Karakter Toko Responden memilih Ouval Research sebagai distro dengan signage yang paling representatif dibanding ketiga distro yang lain. Posisi selanjutnya disusul oleh Dloops, Unkl347, serta Black Id. Entrance Pada indikator entrance responden menilai Ouval Research memiliki desain pintu masuk yang paling mendorong rasa ingin berkunjung ke dalam toko. Ouval Research berada di posisi pertama disusul Dloops, Unkl347 serta Black Id. Cash Wraps Menurut penilaian responden penataan cash wraps yang paling mendorong rasa ingin membeli barang yang dipajang di meja kasir selagi menunggu transaksi adalah Unkl347. Sedangkan posisi dua, tiga, dan empat ditempati oleh Ouval Research, Dloops, serta Black Id. Promotional Aisle Berdasarkan atribut promotional aisle yang paling unggul adalah Ouval Research dengan euclidean distance sebesar 0,6388. Posisi selanjutnya ditempati oleh Unkl347, Dloops, serta Black Id. Windows Dari penilaian responden dapat dilihat bahwa Ouval Research menduduki peringkat pertama dalam indikator windows. Responden menganggap Ouval Research paling unggul dalam menarik konsumen melalui etalase toko. Peringkat kedua, ketiga, dan keempat ditempati Unkl347, Dloops, lalu Black Id. Fitting Rooms Dari keempat distro yang diteliti, responden menilai Ouval Research memiliki fitting room paling nyaman dibanding distro lainnya. Peringkat kedua yang memiliki fitting room ternyaman adalah Dloops, disusul Unkl347, serta Black Id. Traffic Flow Pada indikator traffic flow responden menilai Dloops merupakan distro dengan pengaturan rak yang paling menarik sehingga membuat konsumen memiliki ketertarikan untuk terus berkeliling toko. Posisi dua, tiga, dan empat secara berurut adalah Ouval Research, Unkl347, serta Black ID. Keselarasan Rak dengan Tema Toko Hasil dari penilaian responden terhadap indikator ini adalah bahwa Unkl347 merupakan distro yang dianggap paling memiliki keserasian antara penggunaan rak dengan desain toko. Posisi dua, tiga, dan empat secara berurut diisi oleh Dloops, Ouval Research, dan Black Id . Kemenarikan Teknik Penyajian Penilaian responden memilih Ouval Research sebagai distro yang paling menarik dalam teknik penyajian. Posisi kedua dengan teknik penyajian yang menarik adalah Dloops. Selanjutnya posisi ketiga dan keempat ditempati oleh Unkl347 dan Black Id.
276
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Impulse Purchase Berdasarkan indikator impulse purchase, distro yang paling unggul dalam teknik penyajian yang mendorong rasa ingin membeli adalah Ouval Research. Peringkat dua, tiga, dan empat secara berurut ditempati oleh Unkl347, Dloops, serta Black ID. Pembahasan Pemetaan store design dan visual merchandising berdasarkan persepsi konsumen yang telah dibahas di atas menunjukan keunggulan distro di masing-masing indikator. Peta persepsi terbentuk dari penilaian konsumen terhadap penerapan store design dan visual merchandising distro sesuai fakta di lapangan. Walaupun ada persamaan segmentasi berdasarkan usia, tingkat ekonomi, letak lokasi penjualan, serta konsep yang sama-sama mengusung tema urban, namun tiap distro tetap memiliki perbedaan pada desain produk sesuai ciri khas masing-masing. Selain itu tiap distro juga dapat memiliki segmen yang berbeda dalam hal lain seperti pekerjaan, hobi, komunitas tertentu, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan peta persepsi yang terbentuk sesuai dengan data jumlah permintaan yang disusun oleh Dewi (2010:6). Jika diakumulasikan lalu diurutkan berdasarkan perolehan peringkat satu dalam tiap indikator, maka keempat distro mendapatkan peringkat yang sama dengan peringkat jumlah permintaan seperti tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Jumlah Permintaan dengan Hasil Pemetaan Store Design dan Visual Merchandising No. 1 2 3 4
Nama Distro
Jumlah Permintaan Tahun 2009 (unit)
Akumulasi perolehan peringkat satu pemetaan store design dan visual merchandising
Ouval Research 38.401 10 Indikator Unkl 347 37.579 2 Indikator Dloops 36.230 1 Indikator Black Id 30.237 0 Indikator Sumber: Dewi (2010) & Pengolahan Data Penulis
Unkl347, Dloops, dan Black Id hampir dalam setiap indikator selalu kalah dibandingkan Ouval Research. Hal ini bisa saja terjadi karena Unkl347, Dloops, dan Black Id memiliki segmen khusus yang lebih sempit selain segmentasi berdasarkan usia. SIMPULAN Berdasarkan peta persepsi konsumen mengenai store layout dan visual merchandising: 1. Ouval Research unggul dalam sebagian besar indikator dibanding dengan distro lainnya. Dari 13 indikator yang dinilai oleh responden, ada 10 indikator di mana Ouval Research berada pada posisi pertama sebagai distro yang dipersepsikan lebih baik dibandingkan ketiga distro lainnya, indikator tersebut adalah kenyamanan berbelanja, kemudahan mencari barang, shopping experience, signage yang mewakili karakteristik toko, entrance, promotional aisle, windows, fitting rooms, kemenarikan teknik penyajian, serta impulse purchase. 2. Unkl347 memiliki keunggulan dalam indikator cash wraps serta keselarasan rak dengan tema toko secara keseluruhan, karena dipersepsikan lebih baik dibanding dengan ketiga distro lainnya. 277
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Penataan cash wraps yang dimiliki Unkl347 dianggap oleh responden adalah yang paling menarik sehingga memunculkan rasa ingin membeli barang yang dipajang dimeja kasir. Hal ini menjadi keuntungan bagi Unkl347 untuk mengoptimalkan profit dari penjualan barang yang dipajang di meja kasir. 3. Berdasarkan 13 indikator yang dinilai, Dloops hanya unggul pada satu indikator yakni traffic flow yaitu pengaturan rak yang paling menarik. Pengaturan rak yang Dloops terapkan dinilai paling membuat konsumen tertarik untuk terus berkeliling toko. 4. Black Id dalam keseluruhan indikator menempati urutan keempat. Pengaturan store design dan visual merchandising yang dilakukan oleh Black Id mendapat penilaian yang paling tidak baik dibanding tiga distro lainnya. Oleh karena itu pada peta persepsi posisi Black Id berada jauh dari seluruh atribut yang dinilai. 5. Berdasarkan akumulasi perolehan peringkat satu dari tiap indikator distro yang dinilai, urutan hasil penelitian ini ternyata sesuai dengan urutan jumlah permintaan distro yang dijelaskan oleh Dewi (2010:6). Ouval Research di peringkat pertama, Unkl347 di peringkat kedua, Dloops di peringkat ketiga, dan Black Id di peringkat keempat. Hasil ini berbanding lurus dengan Teori Levy & Weitz (2009:507) yang mengatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara perilaku membeli dengan store design & visual merchandising. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Nento (2005:92) dan Stiefi (2012:87) yang mengatakan ada korelasi kuat antara visual merchandising dan store layout dengan minat beli konsumen. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Ouval Research hendaknya membenahi pemakaian rak yang saat ini digunakan. Hal ini dikarenakan penilaian responden yang menyatakan bahwa penggunaan rak di Ouval Research kurang sesuai dengan tema toko secara keseluruhan. Dari empat distro yang diteliti, Ouval Research berada di posisi tiga di bawah Unkl347 dan Dloops. Penyelarasan rak dengan tema toko secara keseluruhan nantinya akan membuat desain toko menjadi lebih berkarakter sehingga pembentukan image dan persepsi konsumen akan menjadi lebih kuat. 2. Unkl347 mendapatkan penilaian yang tidak terlalu baik di delapan indikator. Indikator itu antara lain adalah kenyamanan berbelanja, kemudahan mencari barang, shopping experience, signage yang merepresentasikan karakter toko, entrance, fitting room, traffic flow, serta kemenarikan teknik penyajian. Namun dari keseluruh indikator tersebut Unkl347 sebaiknya terlebih dahulu memperbaiki teknik penyajian produknya agar lebih menarik lagi. Teknik penyajian produk bisa diurutkan misalnya berdasarkan warna agar konsumen lebih tertarik untuk membeli. Selain itu Unkl347 juga hendaknya membenahi layout toko agar dapat memudahkan konsumen dalam mencari barang yang dibutuhkan. Dua perbaikan ini disarankan oleh penulis karena tidak terlalu membutuhkan banyak biaya dan waktu. Dalam jangka panjang tentunya perbaikan secara menyeluruh lebih dianjurkan demi mendapatkan penilaian konsumen yang lebih baik. 3. Dloops memiliki empat indikator yang mendapat penilaian tidak terlalu baik dari konsumen, antara lain cash wraps, promotional aisle, windows, serta impulse purchase. Sebaiknya Dloops terlebih dahulu memperbaiki tempat barang promosi serta penataan barang yang dipajang di meja kasir. Perbaikan tersebut bertujuan untuk memaksimalkan profit dengan mengoptimalkan tampilan barang agar konsumen mau membeli produk yang sedang dalam masa promosi maupun yang dipajang di meja kasir. 4. Black Id adalah satu-satunya distro yang selalu menduduki peringkat empat di setiap indikator. Dalam hal ini pembenahan menyeluruh untuk meningkatkan penilaian konsumen sangat diperlukan. Namun begitu perbaikan jangka pendek yang dapat 278
Jurry Hatammimi Bhriawan RH Cendekia
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
diterapkan adalah melalui pembenahan pada aspek kemudahan mencari barang, kemenarikan teknik penyajian, serta impulse purchase. Ketiga aspek itu hendaknya lebih diperhatikan agar produk yang dipajang tetap menarik untuk dibeli. 5. Walaupun peta persepsi memperlihatkan distro mana yang paling unggul dalam atribut tertentu namun tiap distro harus tetap memperhatikan segmentasi dan target pasar yang dituju sehingga pengembangan store design dan visual merchandising selanjutnya akan tetap terfokus dan tidak terpengaruh oleh pesaing dengan target pasar yang berbeda. 6. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan mengenai perumusan strategi store design dan visual merchandising yang diinginkan oleh konsumen serta pemetaan strategi lokasi yang diterapkan distro berdasarkan persepsi konsumen.
DAFTAR REFERENSI BPS Kota Bandung. (2013). Kota Bandung Dalam Angka 2013. Bandung: BPS. BPS Kota Bandung. (2012). Survey Sosial Ekonomi Daerah 2010. Bandung: BPS. Bank Indonesia. (2008). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Distro. Jakarta: Bank Indonesia. Dewi, Hanni Puspita. (2010). Pengaruh Fitur, Promosi, dan Pangsa Pasar, Terhadap Permintaan Kaos, Kemeja, dan Celana pada Industri Kreatif di Kota Bandung (Studi pada Distro di Kota Bandung). Tugas Akhir UPI: tidak diterbitkan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. (2012). Rekapitulasi Data Potensi Pariwisata di Kota Bandung Tahun 2011 Triwulan IV. Bandung: Disbudpar. Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan Kota Bandung. (2012). Data Potensi Pasar Modern / Pasar Tradisional. Bandung: Dinas KUKM & Perindag Cooper, Donald R., & Schindler, Pamela S. (2011). Business research method (eleventh edition). New York, America: McGraw-Hill Education. Hair Jr, Joseph F., Black, William C., Babin, Barry J., Anderson, Rolph E. (2010) Multivariate Data Analysis A Global Perspective. New Jersey: Pearson Education Inc. Levy, Michael., & Weitz, Barton A. (2009). Retailing Management -7/E. Boston: McGraw Hill-Irwin. Nento, Prima R. Susanti. (2005). Hubungan Visual Merchandising Display dengan Minat Beli Konsumen (Studi Kasus pada Flexi Center Dago Bandung). Skripsi STMB Bandung: tidak diterbitkan. Simamora, Bilson. (2005). Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Stiefi, Deswitha Arvinci. (2012). Pengaruh Store Layout Terhadap Minat Beli (Studi Pada Toko Sepatu Payless di Margocity). Tugas Akhir Universitas Indonesia: tidak diterbitkan. 279
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
ANALYSIS ON THE PREPARATION OF INTERNATIONAL STANDARD IMPLEMENTATION TO INDONESIA AUTOMOTIVE INDUSTRY EXPECTED PERFORMANCE FACING ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Muhammad Ikhsan, Nila K. Hidayat, Linus Pasasa
[email protected],
[email protected],
[email protected] Management Study Program - Swiss German University
Abstract This is largely due to the substantial range of networking and interconnectivity brought on by the positive surge of development in global trade that enables companies to expand their business overseas and reach out to more than just domestic markets scene. The ASEAN Economic Community 2015 is a challenge to make a single barrier free market all through of the 10 (ten) member countries, devoid of barriers its services, capital, and allowing goods, and skilled labor to move freely across borders. ASEAN Member States are agreed to implementing UNECE Wp. 29 for to be a basis harmonization automotive technical regulation in ASEAN region. The purpose of this thesis is to measure a correlation between UNECE International Automotive Standard and The Indonesia Automotive Industry (expected) performance. As a result it has been concluded that correlations between UNECE International Automotive Standard and Indonesia Automotive Industry performance does exists. Implementing UNECE International Standard bring technologies, economic and social benefits into the country and the manufacturing and it will helps to contribute an improvement in Automotive Industry in Indonesia. Process documentation and control is the major influence towards improving the performance of Automotive Industry in Indonesia and Supplier Related Benefits is the factor that gives a significant influence for improvement Indonesia Automotive Industry performance. Keywords : AEC 2015, UNECE International Automotive Standard, ASEAN MRA, Indonesia Automotive Industry.
INTRODUCTION In conjunction with the globalization in the automotive industry, it is required international harmonization of technical requirements for motor vehicles. The goals are reducing the cost and time of development of the automotive industry and avoid a repeat of an administrative procedure in the national automotive industry. ASEAN has three top automotive producers: Thailand, Malaysia, and Indonesia, and all used an advantage of the government schemes to promote prosperous automotive industry and that report for 90% of motor vehicle output (passenger vehicles and truck) in ASEAN.
280
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
PRODUCTION OF MOTOR VEHICLES Country
2011
2012
2013 January November
Thailand
1.457,795
2.453,717
2.298,193
Indonesia
837.948
1.065,557
1.113,555
Malaysia
533.515
569.620
548.420
SALES OF MOTOR VEHICLES Country
2011
2012
Thailand
794,081
1,436,335
2013 January - November 1,216,751
Indonesia
894,164
1,116,212
1,132,174
Malaysia
600,123
627,753
595,300
Table 1 ASEAN Top Three Automotive Production and Sales Source: ASEAN Automotive Federation (AAF) All of ASEAN members have agreed to achieve economic integration by establishing the ASEAN Economic Community (AEC), including for automotive sector. The establishment of AEC is intended as a means to enhance the competitiveness of the ASEAN region, to boost economic growth, to reduce poverty and to improve the living standard of the ASEAN countries (Sosesatro, 2008). ASEAN Member States have agreed that UN Regulations set up in the UNECE 1958 Agreement should be the basis for the harmonization of technical regulations for automotive products in the region. The ASEAN Mutual Recognition Agreement provide a mutual frame of recognition for the conformity assessment results (testing, inspection and certification) of the 19 automotive systems that divided by two, which are 14 regulations for automobile and 5 regulations for motorcycle systems (EIBD, 2012). Indonesian automotive industry has SNI (Standar Nasional Indonesia) as their based technical regulation for domestic product. In this case, SNI already adopt some international standard for the product, but is not 100% (a hundred percent) complying with UNECE international standard for automotive. To make Indonesia automotive industry competitive in the region facing ASEAN Economic Community 2015, they should make UNECE international automotive standard as a basis technical regulation in the region. Indonesia automotive industry has not implementing full international standard yet for their technical regulation, thus in this study the researcher analyzes the impact by implementing full standardization to the expected performance of Indonesia automotive industry.
281
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS Globalization At the present time, there are vast opportunities for business expansion especially overseas. This is largely due to the substantial range of networking and interconnectivity brought on by the positive surge of development in global trade that enables companies to expand their business overseas and reach out to more than just domestic markets scene. As mentioned before in literature review, since early 1990s there has been a significant increase in global strategy and organization as so many different issues has been addressed in a range of perspectives resulting in various methods of keeping up with global competitive market, and also develop the general understanding of the intrigue of competing in global market. No clear definition exists to what defines the Internationalization process (Fillis, 2001) gives a broad definition about the Internationalization process as explained; “Internationalization is a continuous process of choice between policies which differ maybe only marginally from the status quo. It is perhaps best conceptualizes in terms of the learning curve theory. Certain stimuli tempt a firm to shift to a higher export phase, the experience (or learning) that is gained then modifies the firm’s insights, prospects and indeed managerial capacity and competence. ); and new stimuli then induce the firm to move to the next higher export stage, and so on” (Cunningham and Homse, 1982; cited by Ajdari, 2007; p. 3). Other opinions posit that globalization goes together with an internationalization concept and the core question is whether the firm should internationalize its activities along a variety of dimensions including where it sells its products or services, where it produces these products or services, where it outsources key inputs and where it obtains the know-how or technology to produce these products or services (Lessard, D. 2003). ASEAN Economic Community 2015 The ASEAN Economic Community 2015 is a challenge to make a single barrier free market all through of the 10 member countries, devoid of barriers its services, capital, and allowing goods, and skilled labor to move freely across borders. Although ASEAN as a whole will likely benefit from becoming a single, fully integrated economy, the definition and means of achieving it have not been clearly defined (Lloyd 2005; Hew and Soesastro 2003). The ASEAN Economic Community Blueprint, established to fast – track the ASEAN Economic Community (AEC) establishment by 2015, envisioned ASEAN as a highly competitive region, fully integrated into the global economy, possessing a single market production base, and characterized by equitable economic development (Goh, 2008). The ASEAN Leaders at their Summit in Kuala Lumpur in December 1997 decided to transform ASEAN into a stable, prosperous, and highly competitive region with equitable economic development, and to reduce poverty and socio-economic disparities (ASEAN Vision 2020). At the Bali Summit in October 2003, ASEAN Leaders declared that the ASEAN Economic Community (AEC) shall be the goal of regional economic integration (Bali Concord II) by 2020. In addition to the AEC, the ASEAN Security Community and the ASEAN Socio-Cultural Community are the other two integral pillars of the envisaged ASEAN Community. All the three pillars are expected to work in tandem in establishing the ASEAN Community in 2020 (ASEAN Economic Blueprint). According to Soesastro (2008), The idea of a single market and production base is essentially about providing consumers in the region with an expended market from which they can fulfill their consumption needs and producers in the region with an expended space in which they
282
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
can undertake their production activities without having to worry about national (administrative) boundaries in the region. The AEC meant to be a single market and production base, with a free movement of goods, services, investment, skilled labor and free flow of capital. The AEC should also foster equitable economic development in the region and reduce poverty and socio-economic disparities by the year 2020 (ASEAN Secretariat, 2007). ASEAN Mutual Recognition Agreement MRA is an agreement from all ASEAN countries to mutually recognize or accept some or all aspects of the assessment results such as test results or certificates (Soesastro, 2008). Through MRAs, products that are tested and certified before export can enter the importing country directly without having to undergo similar conformity assessment procedures in the importing country. With the increasing importance of standardization and conformity assessment in international trade, MRAs have emerged as a key strategy to facilitate trade by reducing the need for multiple testing and certification that incur unnecessary costs to exports and delay delivery to market (MRA Framework Agreement). ASEAN Mutual Recognition Arrangement identify for conformity assessment activities could be an important means of eliminating Technical Barriers to Trade and enhancing market access and that such mutual recognition could be of particular interest to small and medium-sized businesses in ASEAN and MRAs could contribute positively in encouraging greater international harmonization of standards and regulations and that any such MRAs would require confidence in the other Member States' capacity and competence to test or assess conformity to a Member State's own requirements. The harmonization of automotive product standards is essential as basis for a single manufacturing base. As work has begun within ASEAN on the alignment of technical requirements, 50 UNECE regulations have been identified where 19 of those have been prioritized and will form part of the Mutual Recognition Arrangement (MRA) for automotive products in ASEAN. This research has limitation from 19 UNECE regulations to be only focused on 14 regulations for 4-wheels components. This are the list of 14 regulations will adopt by ASEAN Member States by UNECE:
ITEM NEEDED R13
Series 11 (Braking system)
R13H
Series 00 (Braking for passenger car)
R14
Series 06 (Seatbelt anchorage)
R16
Series 06 (Seatbelt)
R17
Series 07 (Seat)
R25
Series 04 (Head restraint)
R30
Series 05 (Pneumatic tyre – passenger)
R43
Series 02 (Safety glass)
R46
Series 02 (Rear – view mirror)
283
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
R49
Series 05 (Emission for heavy vehicle)
R51
Series 02 (Noise emission at least 4 – wheel)
R54
Series 00 (Pneumatic tyre – commercial)
R79
(Steering Equipment)
R83
(Emission for light vehivle)
International Standard Organization To facilitate the international coordination and unification of industrial standards” was the primary reason behind the meetings between delegates from 25 countries that took place at the Institute of Civil Engineers in London in 1946. Short of a year later, the new organisation ISO was officially up-and-running. More than 19,500 international standards have been published since then, standards that cover virtually all of technology and manufacturing aspects that has been taken care of by members from 164 countries and 3,368 technical bodies from all around the world and accommodated by over 150 full-time workers in the ISO’s headquarter in Geneva, Switzerland. Ensuring safe, reliable, environmentally friendly and good quality products and services is the primary intentions of the ISO international standards. These standards may also be considered as strategic tools to achieving efficient process and in the way also minimize errors and waste, and ultimately reducing costs for businesses, and increasing productivity. Furthermore, these international standards will be of a great help in facilitating free and fair global trade by accommodating companies to access new markets, and level the playing field for companies and businesses from developing countries. International Standards bring technological, economic and societal benefits. They help to harmonize technical specifications of products and services making industry more efficient and breaking down barriers to international trade. Conformity to International Standards helps reassure consumers that products are safe, efficient and good for the environment. International Standards are strategic tools and guidelines to help companies tackle some of the most demanding challenges of modern business. They ensure that business operations are as efficient as possible, increase productivity and help company access new markets. The benefits includes: cost savings, enhanced customer satisfaction, access to new markets, increased market share, environmental benefits. Industrial Organizational Theory Coming back to the global strategy it is needed to mention that according to Zou and Cavusgil (1996) the literature regarding global strategy is mainly dominated by the industrial organization (IO) perspective (Bartlett and Ghoshal, 1991). While the IO approach has enriched understanding of the external market and industry forces which drive globalization, it generally has neglected a business’s idiosyncratic internal characteristics (Bartlett and Ghoshal, 1991). It means that business performance is not solely determined by global strategy and that internal organizational characteristics also play an important role. As a result, domination by the IO perspective can lead to incomplete explanation of global strategy and performance. In the IO-based model, competitive advantage is viewed as a position of superior performance that a business attains through offering undifferentiated products at low prices or
284
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
offering differentiated products for which customers are willing to pay a price premium (see Porter, 1980). It can be said that Porter (1980; 1985) made the most influential contribution to the field employing IO economics. Using a structural analysis approach, (Porter, 1980) outlines an analytical framework that can be used in understanding the structure of an industry. (Porter, 1980; 1985) suggested generic strategies (low cost leadership, differentiation, and focus) that can be used to match particular industry foci and, thereby, build competitive advantage (cited in Hoskisson, Hitt, Wan, &Yiu, 1999). United Nations Economic Commissions for Europe Working Parties 29 (ENECE Wp. 29) One of the five United Nations’ regional commissions is the United Nation Economic Commissions for Europe (UNECE) was formed in 1947. Environmental policy, Inland transport, Sustainable energy, European statisticians, Trade, Timber, Housing and land management, Economic cooperation and integration are the areas that is covered by the expertise of UNECE that comprises 56 countries in Europe, North America, Regions of Caucasus, and Central Asia. Resolution No. 45 of the Subcommittee on Road Transport (SC.1) of the Economic Commission for Europe of the United Nations (UNECE) established World Forum for Harmonization of Vehicle Regulations (WP.29), which previously known as the Working Party on the Construction of Vehicles. In order to instigate the general technical provisions set in the Convention on Road Traffic adopted in Geneva in 1949, the resolution called for the establishment of a working party of experts competent in the field of technical requirements for vehicles, and in the end, those provisions identified vehicle characteristics as a major cause of road traffic crashes, deaths and injuries. The United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) envisioned to eliminate technical barriers to the trade in motor vehicles internationally, and subsequently develops harmonized requirements for the systems used for motor vehicles between the Contracting Parties to the Revised 1958 Agreement and ensuring that such vehicles and systems offer a high level of safety and environmental protection. Generic Strategy Michael Porter (1980) detailed the three generic strategies available to a firm: cost leadership, differentiation, and focus strategies. Firms must make a choice if the firm is to attain a competitive advantage vis-à-vis its rivals. Modern manufacturing systems and technologies support global mass customization, which in turn supports the strategic position the firm has chosen. The key is to align business process with customers’ need using mass customization (Salvador, Martin de Holan, and Piller, 2009). Generic strategy is a core idea about how a firm can best compete in the marketplace. From a scheme developed by Michael Porter, many planners believe that any long term strategy should derive from a firm’s attempt to seek a competitive advantage based on one of three generic strategies: a. Striving for overall low-cost leadership in the industry. Low-cost leaders depend on some fairly unique capabilities to achieve and sustain their low-cost position. Examples of such capabilities are having secured suppliers of scarce raw materials, being in a dominant market share position, or having a high degree of capitalization. Low-cost leadership are maximize economies of scale, implement cost-cutting technologies, stress reductions in
285
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
overhead and in administrative expenses, and use volume sales technique to propel themselves up the earning curve. b. Striving to create and market unique products for varied customer groups through differentiation. Strategies dependent on differentiation are designed to appeal to customers with a special sensitivity for a particular product attribute. By stressing the attribute above other product qualities, the firm attempts to build customer loyalty. The product attribute also can be the marketing channels through which it is delivered, its image for excellence, the features it includes, and the service network that supports it. c. Striving to have special appeal to one or more groups of consumer or industrial buyers, focusing on their cost or differentiation concerns. A focus strategy, whether anchored in a low-cost base or a differentiation base, attempts to attend to the needs of a particular market segment. Likely segments are those that are ignored by marketing appeals to easily accessible markets, to the “typical” customer, or to customers with common applications for the product. A firm pursuing a focus strategy is willing to service isolated geographic areas; to satisfy the needs of customers with special financing, inventory, or servicing problems; or to tailor the product to the somewhat unique demands of the smallto medium-sized customer. HYPHOTHESIS Hypothesis 1:
Hypothesis 2: Hypothesis 3:
There is a correlation between International Automotive Standard implementation dimensions and Indonesian Automotive Industry (expected) performance parameters. Continuous improvement is the major significant influence of UNECE International Standard implementation dimensions. Business related benefits are the major significant influence of Indonesia Automotive Industry (expected) performance parameters.
RESEARCH METHODOLOGY This study conducted in 30 medium to large scale automotive manufacturing companies in Indonesia which is in the midst of implementing UNECE international standard. Primary and secondary data are gathered from various sources. Questionnaire and interviews from Indonesia Automotive Industry while keeping the focus on braking system are the method by which the primary data are gathered with the intention to determine the obstacles of the preparation of implementing International Automotive Standard (UNECE Wp. 29) based on ASEAN MRA Agreement for facing ASEAN Economic Community 2015. A sampling method is used to collect the data. The sampling method selected only a handful part of the population to represent the whole population. In this case, the survey was conducted with the help of 30 manufacturing companies that are members of GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia or Association of Indonesian Automotive Industry).
286
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Data Estimate of True Proportion Sampling Error Confidence Level
0.9 0.05 95%
Intermediate Calculations Z Value -1.9600 Calculated Sample Size 138.2925 Result Sample Size Needed
139
Finite Populations Population Size Calculated Sample Size Sample Size Needed
37 29.3577 30
The result from the questionnaire helps to recognize the success factor for the international standard implementation in Indonesian automotive standard particularly on the safety system implementation manufacturing industry. Member companies of GAIKINDO and random samplings from randomly researcher-selected companies with better possibility of relation with the study are the samples from which the survey is conducted, and with the members of GAIKINDO, the interview was performed several times in order to gather the qualitative information required to understand the research issues better. In this research the research using Structural Equation Modelling (SEM) for analyze the data because the model needs more data and have a high level of complexity. Structural Equation Modelling (SEM) is a statistical technique using a combination of statistical data for testing and estimating causal relationships between observed (measured) and unobserved (latent) variables, and also the relationship between two or more variables (Burns & Bush, 2006). To demonstrate the relationship between observed and unobserved variables, and also the define the interconnections between the two, examiners used the path diagram as a SEM tool. The visual model and the way that the hypotheses are connected to the problem can be explained by the diagram. The path diagram in this research is constructed by using AMOS Software (Analysis of Moment Structures). The correlation coefficient is an index number, constrained to fall between the range of -1.0 and +1.0 that communicates both the strength and the direction of a linear relationship between two variables (Burns & Bush, 2006).
287
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
RESULT AND DISCUSSION Path Diagram
Expected Indonesia Automotive Industry Performance
From the model above showing that there are 14 factors will influence regarding an improvement for Indonesia automotive industry by implementing UNECE international automotive standard. This study will examine the most factors from UNECE International automotive standard and also from Indonesian automotive industry will contribute towards improving for Indonesian automotive industry. Hypothesis 1:
There is a correlation between International Automotive Standard implementation dimensions and Indonesian Automotive Industry (expected) performance parameters.
Factor UNECE International Automotive Standard Implementation
Correlation r 0.77
Correlation r2 52.29%
Association Moderate
288
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that UNECE International Automotive Standard have a strong correlation with Indonesia Automotive Industry with coefficient correlation 0.77 or contribute 52.29% and moderate association. Therefore, hypothesis 1 above is accepted. The interpretation table above that shown UNECE International Automotive Standard has a strongest correlation Indonesia Automotive Industry performance. It means that international standardization have a significant contribution on improvement Indonesia Automotive Industry performance. Hypothesis 2: Continuous improvement is the major significant influence of UNECE International Standard implementation dimensions. Factor Continuous improvement
Correlation r 0.60
Correlation r2 36.00%
Association Moderate
Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that continuous improvement is not a strongest influence of UNECE International Automotive Standard with coefficient correlation 0.60 or contribute 36.00% and of moderate association. Therefore, hypothesis 2 above is rejected. The interpretation of table above, showing that continuous improvement factor is not significantly influence UNECE International Automotive Standard on contributing to improve Indonesia Automotive Industry performance. Hypothesis 3: Business related benefits are the major significant influence of Indonesia Automotive Industry parameters. Factor Business related benefits
Correlation r 0.67
Correlation r2 44.89%
Association Moderate
Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that business related benefits factor is not a strongest correlation with coefficient correlation 0.67 or contribute 44.89% and moderate association. Therefore, hypothesis 3 above is rejected. The interpretation of table above that shows business related benefits is not a strongest correlation on implementing UNECE International Automotive Standard. In this research that business related benefits is not significantly improved by implementing UNECE International Standard. Analysis of implementing the International Automotive Standard for the Indonesia Automotive Industry Benefits in economy, technology, and society are just some of the advantage that international standard can bring into any industry. Compliance to international standard may help to synchronise technical specifications of any products and services and therefore
289
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
removing any trade barriers, which will eventually makes the industry more effective and consumers are encouraged to think that the products are safe and environmentally friendly because it has passed the international standard, of which will ultimately resulting in increased customer satisfaction and sales. Supported by some facts and result from the questionnaire, below are the researcher’s analyses of the benefits of implementing International Standard for Indonesia Automotive Industry for facing ASEAN Economic Community 2015.
Figure above shows that the most profitable benefit nominated by Indonesian automotive companies in Indonesia is the ability to access new market or make the companies itself to be ready more globally, and it supposed to be chance for Indonesian automotive companies to increase their market share. The other benefits are by implementing international standard would be enhanced quality and customer satisfaction, because nowadays the customer awareness about quality of safety is increased following many traffic accidents. By implementing International Standard the exporter could be reduce their cost of doing process fit and proper test in destination export country. This process is rather expensive and could be entirely eliminated if Indonesia implements the international standards, and could ultimately be highly profitable in terms of cutting the cost for the companies because the companies do not need to perform those tests before exporting anymore. Economic Implication of UNECE International Standard Implementation to the Indonesian’s automotive industry Even Indonesia is still based on SNI (Standard National Indonesia) but the roadmap to implement UNECE as international standard will bring a great benefits including economic implication. The International Standard will make Indonesia automotive industry competitive in the region facing ASEAN Economic Community 2015. Thus, it relates with the increasing volumes of export. The manufacture will gain a potential access to new global market and as well reducing any technical trade barriers. Technical barriers for each country it would be different because each government apply different technical requirements to protect their domestic market. Implementing international standard also will bring new technological
290
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
benefits for Indonesian domestic production and it would definitely be an advantage for Indonesian Industry. Conclusion To achieve the goals of ASEAN Economic Community, ASEAN Member States should liberalize trade in goods, service, investment, and labor. ASEAN Mutual Recognition Arrangement (MRA) is one of several ASEAN mechanisms to facilitate trade liberalization. To facilitate the liberalization of trade in ASEAN Region, the main efforts is to harmonize standard of existing as well as on trade in goods. The ASEAN Member States have agreed that the UNECE International Standard especially in Wp. 29 for Automotive Standard should be the basis for harmonization of the automotive technical regulation in ASEAN. In the agreement there are 14 standards that should be harmonized for the ASEAN Member States, but in this research only focus on safety system. The findings of this research are there strong correlations between UNECE International Standard and Expected Indonesia Automotive Industry Performance. The result from statistical method shows that UNECE International Standard will enhance Indonesia Automotive Industry performance. There are 7 factors will influence UNECE International Standard on affecting Indonesia Automotive Industry performance parameters, such as: management commitment, resources issues, customer orientation, process documentation and control, quality function, feed-back control and auditing, and continuous improvement. From this validates shown that process documentation and control has a biggest impact for the Indonesia Automotive Industry for enhancing company performance. From the Indonesia Automotive Industry side, there are 7 factors as an indicator for performance parameters such as: business related benefits, technological benefits, operational benefits, production benefits, supplier related benefits, employee related benefits, customer related benefits. This validates shown that supplier related benefits are the major factors would be affected on implementing UNECE International Standard. Supplier related benefits can effectively contribute for the Indonesia Automotive Industry in realization implementing UNECE International Standard. There are many benefits for Indonesia Automotive Industry on implementing UNECE International Standard. Based on the questionnaire results include an open answer question, this research reveals that the main benefits for the manufacturing companies are prepared them into global market and it supposed to be chance for Indonesia Automotive Industry for increase market share. To support manufacturing companies ready for global, implementing international standard also helping to reduce trade barriers. Implementation international standard will reduce cost of doing proper and test because the manufacturing company already fulfil the requirement standard for global. There are many benefits for manufacturing companies if implementing International Standard. The findings suggest that effective of UNECE International Standard implementation can significantly contribute towards realization of strategic manufacturing performance improvement for competing in the highly dynamic global market place.
291
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
References Ajdari, B. (2007). Impact of e-commerce on internationalization of Iranian’s SMEs, Master Thesis, Luleå University of Technology, Department of Business Administration and Social Sciences. Amit, R., & Schoemaker, P. J. H. (1993). Strategic assets and organizational rent. Strategic Management Journal, 14(1), 33-46. http://dx.doi.org/10.1002/smj.4250140105 ASEAN Economic Blueprint, www.asean.org/archive/5187-10.pdf. Accessed on 14thNovember 2013) ASEAN Secretariat. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta, November 2007 Bartlett, C. and Ghoshal, S. (1991). Global strategic management: impact on the new frontiers of strategy research, Strategic Management Journal, Vol. 12, pp. 5-16 Burns, A. C., & Bush, R. F. (2006). Marketing Research (5th Edition ed.). Pearson International Edition. Caves, R. and Williamson, P. (1985). What is Product Differentiation, Really? The Journal of Industrial Economics (34), 1985, pp. 113 132. Collis, D.J. (1991). A resource-based analysis of global competition: the case of the bearings industry. Strategic Management Journal, Vol. 12, pp. 49-68. Revised April 18th, 2010 Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2011). Business Research Methods (11th Edition ed.). McGraw Hill. Crook, T. R., Ketchen, D. J., Combs, J. G., & Todd, S. Y. (2008). Strategic resources and performance: a meta-analysis. Strategic Management Journal, 29(11), 1141-1154. http://dx.doi.org/10.1002/smj.703 Daft, R. (1983). Organization Theory and Design. West. New York, NY. Revised April 18th , 2010. Fillis, I. (2001). Small firm internationalization: an investigative survey and future research directions, Management decision, Vol. 39 No. 9, pp. 767-783. Revised April 17th, 2010 Goh, C. Y. (2008). ASEAN Infrastructure Financing Mechanism: Concepts and progress. Paper presented at the ASEAN Infrastructure Financing Mechanism Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 10 November 2008. Grant, R. M. (2002). Contemporary Strategy Analysis, (4th ed.). Oxford: Blackwell Publishers Inc. Hew, D. and Soesastro, H. (2003). Realizing the ASEAN Economic Community by2020:ISEAS and ASEAN-ISIS Approaches, ASEAN Economic Bulletin, IS-EAS. Hoskisson, Hitt, Wan & Yiu, (1999). Theory and Research in Strategic Management: Swings of a Pendulum, Journal of Management, 25(3): 417-465. Jain, Sanjiv Kumar; Inderpreet Singh Ahuja. (2012). An evaluation of ISO 9000 initiatives in Indian industry for enhanced manufacturing performance, http://search.proquest.com/docview/1095558499/fulltextPDF/1429AE385B83E3EE7D2/1?ac countid=48290. Accessed on November 12th, 2013. Kogut, B. (1988). Joint ventures: theoretical and empirical perspectives. Strategic Management Journal, 9, 319–32. 292
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lessard D. (2003). Frameworks for global strategic analysis. Journal of Strategic Management Education 1, Senate hall Academic Pusblishing (1). pp. 8-10 Revised May 30th, 2010 Lloyd PJ (2005). What is a single market? An application to the case of ASEAN. ASEAN Econ Bull 22:251–265 Newbert, S. L. (2007). Empirical research on the resource based view of the firm: an assessment and suggestions for future research. Strategic Management Journal, 28(2), 121146. http://dx.doi.org/10.1002/smj.573 Newbert, S. L. (2008). Value, rareness, competitive advantage, and performance: a conceptual-level empirical investigation of the resource-based view of the firm. Strategic Management Journal, 29(7), 745-768. http://dx.doi.org/10.1002/smj.686 Pearce, J. A., & Robinson, R. B. (2013). Strategic Management: Planning for Domestic and Global Competition (13th Edition ed.). McGraw Hill. Porter, M. (1980). Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York: Free Press. Porter, M. E. 1985. Competitive Advantage. New York: The Free Press. Salvador, F., Martin de Holan, P., & Piller, F. (2009). Cracking the code of mass customization. MIT Sloan Management Review, 50(3), 71-78. Schwandt, (1997). Qualitative Inquiry: A Dictionary of Terms Sage. Sekaran, U., & Bougie, R. (2009). Research Methods for Business A Skill Building Approach (5th Edition ed.). John Wiley & Sons Ltd. Sekaran, U., & Bougie, R. (2012). Research Methods for Business. A Skill Building Approach. Forth Edition. John Wiley & Sons Soesastro, H. (2008). Implementing the ASEAN Economic Community Blueprint. The ASEAN Community: Unblocking the Roadblocks (pp.30-38). Singapore: Institute for Southeast Asian Studies. Thee, K. W. (1990). Indonesia: Technology Transfer in the Manufacturing Industry, In Soesastro, H. and M. Pangestu (eds.), Technological Challenge in the Asia-Pacific Economy, Sydney: Allen & Unwin. Zikmund, W., & Babin, B. (2012). essentials of marketing research , 5th Ed. Ohio:Cengage Learning Zou, S. and Cavusgil C (1996). Global strategy: a review and an integrated conceptual framework. European Journal of Marketing,Vol.30, pp. 52. Revised April 18th, 2010 Zou, S. and Cavusgil C (1996). Global strategy: a review and an integrated conceptual framework. European Journal of Marketing,Vol.30, pp. 52. Revised April 18th, 2010
293
Muhammad Ikhsan Nila K. Hidayat Linus Pacasa
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Web References EIBD 2012 Recommendation, http://eibdconference.com/assets/files/Recomendation2012/EIBD%20Recommendation%20Book%20C ontent%20FINAL%20for%20web.pdf (Accessed on 7thNovember 2013) http://www.asean.org/news/item/asean-framework-agreement-on-mutual-recognitionarrangements (Accessed on 15thNovember 2013) http://www.asean.org/news/item/asean-vision-2020 (Accessed on 18thNovember 2013) http://www.asean.org/news/item/asean-vision-2020 (Accessed on 18thNovember 2013) http://www.iso.org/iso/home/about.htm (Accessed on 19hNovember 2013) http://www.iso.org/iso/home/standards.htm (Accessed on 19hNovember 2013) http://www.iso.org/iso/home/standards/benefitsofstandards.htm (Accessed on 19hNovember 2013) http://www.unece.org/fileadmin/DAM/trans/main/wp29/wp29wgs/wp29gen/wp29inf/121/blu ebook.pdf (Accessed on 19hNovember 2013) http://www.unece.org/trans/main/wp29/meeting_docs_wp29.html (Accessed on 19hNovember 2013) United Nations Economic Commission for Europe – UNECE, http://www.unece.org/ (Accessed on 19hNovember 2013)
294
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Pengaruh Kesadaran Nilai, Integritas, Gratifikasi Personal, dan Penghindaran Risiko terhadap Sikap dan Perilaku pada Produk Lagu Bajakan Sony Kusumasondjaja & Syahrial Ashari, Universitas Airlangga Abstract The increasing adoption of pirated music products in Indonesia intesifies the needs to understand factors influecing consumers to buy pirated music products. This study examines the impact of value consciousness, personal integrity, risk avoidance, and personal gratification on consumer attitude toward pirated music products and their intention to buy the products. Data was collected through mall-intercept survey distributed on several music concerts involving 150 music lovers. Findings suggest that consumers who are aware of product value tend to have favorable attitued and intention toward pirated music products, meanwhile consumers whose high level of personal integrity, risk avoidance, and personal gratification also have positive attitude and intention toward the pirated music products. Research contributions and implications are also discussed. Kata Kunci: kesadaran nilai, risiko, sikap, niat konsumen, online marketing 1. Latar Belakang Masalah Produk musik di Indonesia tidak saja berada pada ranah seni karena saat ini sudah berkembang menjadi industri yang cukup besar. Awal perkembangan industri musik di Indonesia ditandai dengan munculnya rekaman musik dalam pita kaset pada tahun 1967 setelah pada masa sebelumnya piringan hitam menjadi media rekaman produk musik. Kaset segera menggantikan peran piringan hitam karena alasan kepraktisan dan harga jual yang lebih murah. Dan alasan yang sama pula yang membuat konsumen Indonesia saat ini lebih memilih mendengarkan musik melalui Compact Disc daripada pita kaset. Penjualan fisik album CD di pasar Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup bagus. Menurut laporan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) Januari 2009, 85% total penjualan produk musik Indonesia tahun 2008 dikuasai musik dalam negeri. Pada tahun 2006, total penjualan produk musik sebesar 26 juta kopi, tahun 2007 sebesar 19 juta kopi, sedangkan tahun 2008 total penjualan sebesar 15 juta kopi. Walaupun mengalami penurunan, penjualan musik Indonesia lebih besar dibandingkan penjualan musik luar negeri (Kompas, 2012). Potensi industri musik juga berkembang seiring kemajuan teknologi saat munculnya peralihan dari teknologi analog ke digital pada awal tahun 2000. Perubahan teknologi tersebut membuat musisi lebih mudah merekam dan mengolah sendiri musiknya dengan lebih cepat. Kemajuan teknologi Internet juga memudahkan produser rekaman untuk mempromosikan dan mendistribusikan produk musik. Sayangnya, perkembangan teknologi digital dan Internet tidak hanya membantu perkembangan industri musik Indonesia karena pada saat yang bersamaan juga menciptakan musuh besar industri tersebut yang berwujud kemudahan pembajakan lagu. Asiri mencatat, sejak 2007 angka pembajakan produk rekaman musik mencapai lebih dari 90%. Rasio peredaran album CD musik bajakan dan legal di tahun 2007 mencapai 96% : 4%, angka ini diprediksikan terus bertambah (Sindo, 2010). Hal ini berarti bahwa dari 10 kaset atau CD yang beredar hanya satu buah yang original dan legal. Asiri menghitung, setidaknya tiap tahun kerugian dari pembajakan ini mencapai Rp 1-2 triliun (Sindo, 2010).
295
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Salah satu hal yang mendorong semakin menjadi-jadinya transaksi pembajakan musik di era digital adalah kemudahan untuk memperoleh produk musik yang diinginkan. Konsumen tidak perlu pergi ke penjual CD pinggir jalan dan membayar 5000 rupiah. Cukup bermodalkan komputer dan koneksi Internet, konsumen dapat dengan mudah mengunduh dan mendengarkan lagu apapun yang diinginkan sebanyak apa pun melalui situs-situs file sharing dengan gratis. Bila dibandingkan dengan biaya memperoleh produk musik secara legal yang berkisar mulai Rp 25.000 hingga Rp 150.000 per keping CD, kemudahan dalam memperoleh dan menggunakan lagu bajakan menjadi alternatif menarik bagi konsumen Indonesia. Selain itu, ukuran file lagu yang relatif lebih kecil daripada ukuran file film atau software membuat pembajakan lagu relatif lebih mudah dilakukan dan lebih sulit dihentikan daripada pembajakan film atau software. Apalagi, kemunculan lagu-lagu baru jauh lebih sering daripada kemunculan film atau software baru. Lagu-lagu tersebut biasa disimpan di perangkat-perangkat handheld terbaru seperti telepon genggam dan pemutar musik mobile untuk didengarkan sambil beraktivitas. Lebih-lebih lagi, saat ini sungguh mudah menemukan situs-situs Internet penyedia lagu-lagu populer yang dapat diunduh secara cuma-cuma. Tingginya kebutuhan dan adanya kemudahan inilah yang mendorong kegiatan pembajakan lagu melalui teknologi digital dan Internet. Sebenarnya ada sebagian konsumen yang tidak meyakini atau tidak memahami bahwa tindakan tersebut termasuk perbuatan ilegal. Mereka yang memahami pun seringkali tidak peduli pada aturan hukum karena melihat tidak ketatnya sanksi hukum yang diberikan pada konsumen produk bajakan. Itulah sebabnya sebagian dari mereka tidak segan menggunakan musik gratis di tempat umum, memutarnya terang-terangan tanpa rasa takut, bahkan dengan eksplisit menyarankan atau menawarkan kepada teman-teman mereka yang lain untuk menggunakan lagu atau musik tersebut. Faktor yang lain yaitu tentang daya beli konsumen musik Indonesia yang cukup rendah, sehingga besar sekali keinginan konsumen untuk membayar lebih murah sebuah produk musik bajakan meskipun mendapatkan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan produk yang asli. Dengan perbandingan harga yang sangat jauh, banyak konsumen musik Indonesia yang lebih memilih membeli produk bajakan daripada produk resmi. Penelitian Gupta et al (2004) menemukan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembajakan produk secara ilegal. Faktor yang ditemukan mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembajakan produk secara ilegal adalah kesadaran akan nilai produk (value consciousness), kecenderungan untuk menjaga sikap jujur dan sikap positif diri sendiri (integrity), kebutuhan untuk memperoleh pengakuan sosial (personal gratification), dan kecenderungan untuk menghindari kegiatan yang berisiko (risk aversion). Penelitian ini mengadaptasi penelitian Gupta et al. (2004) tersebut karena hasil penelitian empiris tentang sikap terhadap musik bajakan di Indonesia masih jarang ditemukan padahal hal ini marak terjadi. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana kesadaran nilai produk, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko berpengaruh pada sikap terhadap musik bajakan konsumen musik Indonesia. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan yang dijawab oleh penelitian ini adalah (1) apakah kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko berpengaruh secara simultan terhadap sikap pada produk lagu bajakan? dan (2) apakah sikap pada produk musik bajakan berpengaruh terhadap niat menggunakan produk lagu bajakan ?
296
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
2. Landasan Teori 2.1. Manajemen Pemasaran dan Konsep Pemasaran Pemasaran menurut Kotler dan Keller (2012) dapat dibedakan atas definisi sosial serta manajerial. Definisi sosial dari pemasaran, yaitu suatu proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan menukar produk yang mempunyai nilai secara bebas dengan pihak lain. Sedangkan menurut definisi manajerial, pemasaran seringkali diartikan sebagai seni dalam menjual produk. Namun penjualan bukanlah hal yang paling penting dalam pemasaran itu sendiri. Peter Drucker dalam Kotler dan Keller (2012) menambahkan bahwa tujuan pemasaran adalah untuk mengetahui dan memahami konsumen dengan baik, sehingga produk yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, yang selanjutnya dapat meningkatkan penjualannya. Sedangkan The American Marketing Association memberikan definisi pemasaran sebagai proses dari perencanaan dan pelaksanaan konsep, penetapan harga, promosi, dan distribusi dari ide, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan individual maupun organisasional (Kotler dan Keller, 2012). Perusahaan sekarang ini sudah banyak yang bergeser dari product-centered, dimana perusahaan hanya membuat dan menjual produk, ke customer-centered, dimana perusahaan berusaha untuk memahami dan merespon apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh konsumen. Tugas dari pemasaran sendiri bukanlah mencari konsumen yang tepat bagi produk, namun membuat produk yang tepat bagi konsumen. Kebutuhan dan keinginan konsumen menjadi fokus utama bagi perusahaan, dan filosofi consumer-oriented inilah yang kemudian dikenal dengan konsep pemasaran (Schiffman dan Kanuk, 2013). Konsep pemasaran sendiri menurut Kotler dan Keller (2012) mengacu pada konsep yang menyatakan bahwa kunci untuk meraih tujuan organisasional adalah dengan menjadi lebih efektif daripada pesaing dalam menciptakan, mengantarkan, dan mengkomunikasikan nilai produk lebih tinggi kepada konsumen yang menjadi target pasarnya. Senada dengan yang dikemukakan oleh Kotler, Schiffman dan Kanuk (2013) menyatakan bahwa asumsi kunci yang mendasari konsep pemasaran adalah, untuk mencapai kesuksesan perusahaan harus menentukan kebutuhan dan keinginan konsumen dari target pasar yang spesifik dan memberikan kepuasan yang diharapkan dengan lebih baik dibandingkan dengan pesaing. 2.2. Nilai Pelanggan dan Kesadaran Nilai Kotler dan Keller (2012) menyatakan bahwa customer value atau nilai pelanggan merupakan kombinasi kualitas pelayanan, harga dari suatu produk. Berdasarkan konsep ini, nilai pelanggan bersumber dari benefit ekonomi, benefit pelanggan dan benefit emosional. Buttle (2004) mengatakan bahwa pelanggan menggunakan istilah nilai untuk empat pengertian yang berbeda, yaitu: 1.
Nilai adalah harga yang murah. Beberapa pelanggan mengatakan bahwa harga yang paling murah adalah nilai yang terbaik.
2.
Nilai adalah mendapatkan apa yang diinginkan dari suatu produk atau jasa. Pelanggan ini mendefinisikan nilai dalam artian manfaat yang mereka terima dan bukannya harga yang mereka terima melainkan harga yang harus pelanggan bayar.
3.
Nilai adalah kualitas yang didapatkan atas harga yang dibayar. Pelanggan menganggap nilai sebagai pertukaran antara harga yang mereka bayarkan dan kualitas yang mereka dapatkan.
297
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
4.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Nilai adalah semua yang didapatkan atas semua pengorbanan yang telah diberikan.
Perbedaan pandangan tentang nilai dapat ditangkap dalam sebuah definisi tentang nilai yaitu nilai adalah persepsi pelanggan tentang keseimbangan antara manfaat yang diterima dengan pengorbanan yang diberikan untuk mendapatkan manfaat tersebut. Kotler dan Keller (2012) mengatakan bahwa “Customer perceived value is difference between the perspective customer’s evaluations of all beenfits and all the costs of an offering and the perceived alternatives”. Bisa diartikan bahwa perceived value sebagai trade – off yang dihadapi konsumen antara kualitas dan harga yang dirasakan ketika mengevaluasi sebuah merek atau dengan kalimat lain bahwa customer value dihasilkan dari evaluasi konsumen atas keterkaitan antara harga yang harus mereka bayarkan dari kualitas yang akan mereka dapatkan dari produk yang akan mereka konsumsi. Menurut Cateora dan Graham (2007) price-quality relationship dianggap ideal jika memenuhi harapan dasar dan tidak lebih, memungkinkannya untuk diberi harga secara kompetitif. Dalam beberapa situasi, konsumen mengembangkan harapan mengenai pricequality relationship (Mowen dan Minor, 2001:107). Secara umum, keterkaitan harga dan kualitas mendorong konsumen untuk mengharapkan produk berkualitas tinggi pada saat harga yang harus mereka bayarkan tinggi, begitu pula sebaliknya. Bagi kebanyakan konsumen Indonesia yang menganggap harga sebagai komponen yang sangat penting dalam keputusan pembelian produk, faktor kesadaran pada nilai pelanggan (value consciousness) berperan penting dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Lichtenstein et al. (1990) mendefinisikan value consciousness sebagai perhatian untuk membayar harga yang lebih rendah dengan kendala kualitas. Dalam konteks produk bajakan, penelitian sebelumnya menemukan bahwa harga merupakan elemen utama yang menentukan kecenderungan konsumen untuk membelinya (Maldonado dan Hume, 2005:110). Bloch et al. (1993) juga menambahkan bahwa ketika harga barang dari barang bajakan mempunyai keungggulan terhadap barang asli, maka konsumen akan lebih memilih barang bajakan. Menurut Shaari dan Halim (2006) produk bajakan biasanya akan sedikit mengabaikan kualitas barang. Mereka tidak mengharapkan kualitas yang tinggi dari barang bajakan, melainkan lebih pada manfaat fungsionalnya. 2.3. Integritas Personal Teori psikoanalitik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan bahwa perilaku manusia dikuasai oleh kepribadiannya. Mowen dan Minor (2001) menjelaskan bahwa kepribadian atau personality sendiri berasal dari perjuangan dinamis antara dorongan fisiologis dalam diri dan tekanan sosial untuk menaati hukum, aturan , dan kode moral. Tekanan sosial untuk menaati hukum, aturan, dan kode moral timbul dari sistem superego seseorang. Superego adalah sesuatu yang ideal yang ada dalam diri manusia serta dapat menjadi motivasi untuk bertindak secara bermoral dan menaati hukum. Pernyataan diatas didukung oleh moral competence theory dari Kohlberg (1976), yang menyatakan bahwa perilaku konsumen dapat dipengaruhi oleh perasaan terhadap hukum (personal sense of justice) dari konsumen itu sendiri. Integrity berkaitan dengan standar etika dan kepatuhan konsumen terhadap hukum (Wang et al., 2005:342). Steenhaut dan Van Kenhove (2006) dalam Phau dan Teah (2009) menyatakan bahwa pengaruh nilai dasar seperti integrity dapat mempengaruhi keputusan untuk tidak bertindak tidak etis. Dijelaskan oleh Ang et al. (2001) dalam penelitiannya di konteks konsumsi produk bajakan, konsumen yang lawful-minded dan memiliki integritas tinggi cenderung untuk tidak berhubungan dengan barang bajakan. Sebaliknya konsumen yang 298
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
mempunyai integritas yang rendah cenderung untuk merasa tidak bertanggung jawab dengan tindakannya dalam mengkonsumsi produk bajakan. 2.4. Gratifikasi Personal Personal gratification berkaitan dengan keinginan konsumen untuk memperoleh pemenuhan atas apa yang diinginkan, mendapatkan pengakuan sosial, serta menikmati kenyamanan dalam hidup (Phau dan Teah, 2009). Dijelaskan oleh Phau dan Teah (2009) bahwa konsumen yang memiliki perasaan mengenai personal gratification yang tinggi mempunyai kecenderungan yang rendah untuk dapat menerima produk dengan kualitas sedikit rendah. Dalam konteks penelitian produk bajakan, konsumen yang memiliki personal gratification yang tinggi cenderung untuk mengkonsumsi produk berkualitas tinggi karena memberikan jaminan kenyamanan lebih besar bagi diri mereka dalam proses konsumsinya (Phau dan Teah, 2009). Sebaliknya, konsumen yang membeli barang bajakan bersedia untuk mengorbankan kualitas dan jaminan kenyamanan yang diasosiasikan dengan barang asli. Konsumen dengan personal gratification rendah tidak menilai kenikmatan dengan memiliki barang dengan kualitas yang lebih baik, serta tidak memiliki perasaan memperoleh prestasi atau penghargaan dengan memiliki barang asli (Ang et al., 2001:224). 2.5. Risk Avoidance Fraedrich dan Ferrell (1992) mengukur dampak risiko yang dirasakan dan filsafat moral pada pembuatan keputusan secara etis. Hal ini diringkas enam aspek risiko, yaitu keuangan, kinerja, fisik, psikologis, sosial, dan risiko secara keseluruhan, dari literatur masa lalu. Menurut Tan (2002), keuangan, kinerja, sosial, dan penuntutan adalah aspek yang paling penting dari risiko yang berlaku di konteks pembajakan perangkat lunak. Begitu pun pada pembajakan musik, berfokus pada efek risiko penuntutan sikap pembajakan untuk alasan berikut. Pertama, karenabiaya pembelian CD musik bajakan tidak sangat mahal, risiko keuangan sangat rendah. Kedua, seperti yang disebutkan, dengan munculnya era digital, performance CD bajakan biasanya dapat memiliki kualitas sebagus asli satu. Oleh karena itu, risiko performance tidak sangat kuat. Akhirnya, konsep risiko sosial sangat mirip dengan konsep konsensus sosial di literatur intensitas moral. Untuk mempermudah, konsep risiko pengaruh sosial akan dimasukkan di bagian berikutnya tentang intensitas moral. Hampir sama dengan pendapat Tan (2002), Chiou, Huang dan Lee (2005) mengusulkan bahwa risiko sangat penting dalam mempengaruhi sikap pembajakan konsumen. Perilaku membeli CD musik bajakan adalah melanggar hak cipta. Konsumen akan menanggung risiko tindakan hukum oleh pemegang hak cipta. 2.6. Sikap Konsumen Peter dan Olson (1999:120) mendefinisikan sikap secara umum sebagai evaluasi menyeluruh dari seseorang terhadap sebuah konsep. Secara spesifik, Schiffman dan Kanuk (2013:253) menyatakan, “In a consumer behavior context, an attitude is a learned predisposition behave in a consistenly favorable or unfavorable way with respect to a given object.” Artinya adalah dalam konteks perilaku konsumen, sikap merupakan pembelajaran dari kecenderungan seseorang untuk berperilaku dengan cara menyukai atau tidak menyukai secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap terdiri dari tiga komponen penting, yaitu komponen kognitif (cognitive component), komponen afektif (affective component), dan komponen konatif (conative component), yang disebut tricomponent attitude model (Schiffman dan Kanuk, 2013:256). Komponen pertama adalah kognisi, yaitu pengetahuan dan persepsi yang didapat dari kombinasi antara pengalaman dari sikap terdahulu dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber.
299
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Pengetahuan dan pengalaman tersebut diperoleh dari bentuk kepercayaan (beliefs), dimana konsumen percaya bahwa sikap memiliki berbagai atribut dan perilaku tertentu yang akan mengarah pada hasil tertentu pula. Kedua, afeksi adalah emosi atau perasaan dari konsumen tentang produk atau merek. Emosi dan perasaan tersebut seringkali diperlakukan oleh para peneliti sebagai evaluasi dasar, maksudnya adalah emosi dan perasaan tersebut merupakan penilaian umum seseorang terhadap sesuatu. Dan, komponen ketiga adalah konatif yang berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak secara khusus terhadap sesuatu. Attitude Towars Piracy merupakan bentuk dari attitude-toward-object model yang merupakan salah satu tipe dari multiattribute attitude models. Multiattribute attitude models menggambarkan sikap dari konsumen terhadap sesuatu yang merupakan fungsi dari persepsi konsumen dan penilaian atribut-atribut atau kepercayaan pada objek khusus (Schiffman dan Kanuk, 2013:259). Schiffman dan Kanuk (2013:259) mengatkan bahwa attitude-towardobject model merupakan model yang sesuai untuk mengukur sikap terhadap suatu kategori produk (atau jasa) atau merek tertentu. Berdasarkan model tersebut, sikap konsumen terhadap suatu kategori produk (atau jasa) atau merek tertentu. Berdasarkan model tersebut, sikap konsumen terhadap sebuah produk atau merek tertentu merupakan fungsi dari kehadiran (atau ketidakhadiran) serta evaluasi dari kepercayaan dan atau atibut-atribut yang ada dalam produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen secara umum bersikap suka terhadap suatu produk yang mereka percaya mempunyai atribut-atribut yang dinilai positif, sebaliknya konsumen akan bersikap tidak suka terhadap suatu produk yang mereka anggap idak mempunyai atribut-atribut yang dapat memberi kepuasan. Menurut Ang et al. (2001) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi attitude toward piracy dari konsumen yaitu kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko. Mowen dan Minor (2010) mengemukakan dua model dari multiattribute models untuk mengidentifikasi bagaimana konsumen mengkombinasikan kepercayaan mereka tentang atribut produk untuk membentuk sikap terhadap berbagai alternative merek, korporasi, atau objek lainnya. Dua model tersebut adalah model sikap terhadap objek, atau model Fishbein dan model keinginan berperilaku. 2.7. Niat untuk Menggunakan Produk Seluruh tindakan konsumen dalam memutuskan untuk menggunakan dan tidak menggunakan suatu produk berawal dari niat. Niat berkaitan dengan keinginan terhadap suatu hal yang biasanya diikuti oleh tingkah laku yang mendukung keinginan tersebut. Niat (intention) merupakan keinginan berperilaku yang didefinisikan sebagai keinginan konsumen untuk berperilaku menurut cara tertentu dalam rangka memiliki, membuang, dan menggunakan produk atau jasa. Jadi, konsumen dapat membentuk keinginan untuk mencari informasi, memberitahukan orang lain tentang pengalamannya dengan sebuah produk, membeli produk atau jasa tertentu, atau membuang produk dengan cara tertentu (Mowen dan Minor, 2002:322). Dalam penelitiannya, Ajzen dan Fishben (1980) mengasumsikan behavioral intention sebagai “the motivational factors that influence a behavior, they are indications of how hard people are willing to try, of how much of an effort they are planning to exert, in order to perform the behavior.” Berdasarkan Theory of Reasoned Action, faktor yang mempengaruhi niat adalah sikap pada tindakan, dan norma subyektif menyangkut persepsi seseorang, apakah orang lain yang dianggap penting akan mempengaruhi perilakunya (Schiffman dan Kanuk, 2013). Berdasarkan penelitian dari Ajzen (1998), Schiffman dan Kanuk (2013) mendefinisikan niat berperilaku (intention) sebagai kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau
300
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
tidak melakukan suatu pekerjaan. Niat untuk menggunakan produk diawali oleh adanya kesadaran akan kebutuhan dan adanya sikap positif terhadap suatu produk. 3. Pengembangan Hipotesis Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko terhadap niat untuk menggunakan melalui sikap terhadap produk bajakan dilakukan oleh Phau dan Ng (2009), dalam penelitian yang berjudul “Predictors of Usage Intention of Pirated Software”. Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk mengetahui perbedaan sikap antara konsumen yang menggunakan dan tidak menggunakan software bajakan. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko terhadap sikap pada software bajakan. Selain itu, juga meneliti apakah sikap pada software bajakan berpengaruh terhadap niat untuk menggunakan software bajakan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa sikap pada software bajakan dipengaruhi positif oleh kesadaran nilai dan dipengaruhi secara negatif oleh penghindaran risiko. Sedangkan integritas dan gratifikasi personal bukan merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap sikap pada software bajakan. Hasil lainnya adalah bahwa sikap pada software bajakan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap niat untuk menggunakan software bajakan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ian Phau dan James Ng (2009), adalah variabel yang dipakai seluruhnya sama. Penelitian ini juga menggunakan kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal dan penghindaran risiko sebagai variabel bebas, sikap terhadap produk bajakan sebagai variabel intervening, dan niat untuk menggunakan produk bajakan sebagai variabel terikat. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menggunakan musik sebagai obyek penelitian. Phau dan Ng (2009) menggunakan software sebagai obyeknya. Selain itu penelitian ini tidak menambahkan dua faktor yang ditambahkan Phau dan Ng (2009) yaitu normative dan informative susceptibility sebagai variabel bebas, karena pada penelitian tersebut tidak memiliki pengaruh pada sikap terhadap produk bajakan. Kesadaran nilai adalah persepsi konsumen terhadap harga dan kualitas produk, apakah harga yang konsumen bayarkan sesuai dengan kualitas produk yang didapatkan (Zeithaml 1988, p. 14). Orang yang mempunyai kesadaran nilai tinggi diperkirakan mempunyai sikap terhadap produk bajakan yang positif. Hal ini disebabkan oleh persepsi konsumen yang menganggap produk bajakan mempunyai manfaat fungsional yang sama dengan produk versi asli, dengan harga yang lebih murah (Wang et al., 2005:342). Berdasarkan penjelasan ini, diajukan hipotesis sebagai berikut: H1: Kesadaran nilai berpengaruh positif terhadap sikap pada produk lagu bajakan. Integritas berkaitan dengan etika dan kepatuhan konsumen terhadap hukum. Cordell et al. (1996) dalam Ang et al. (2001) berpendapat bahwa konsumen yang lebih lawful-minded mempunyai kecenderungan yang rendah untuk membeli barang bajakan. Sedangkan konsumen yang mempunyai standar etika yang rendah lebih tidak mempunyai tanggung jawab apabila membeli barang bajakan. Sehingga mereka tidak menganggap bahwa tindakan mereka tidak etis. Jadi, dengan membandingkan dengan konsumen yang mempunyai integritas rendah, maka konsumen yang memiliki integritas tinggi diperkirakan mempunyai sikap negatif terhadap sikap pada produk bajakan (Ang et al., 2001:224). Berdasarkan penjelasan ini, diajukan hipotesis sebagai berikut:
301
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
H2: Integritas diri berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan. Gratifikasi personal berhubungan dengan kebutuhan konsumen untuk mendapatkan pemenuhan atas apa yang diinginkan, mendapatkan pengakuan sosial, serta menikmati kenyamanan dalam hidup Ang et al., (2001). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bloch et al., (1993), konsumen yang membeli barang bajakan memiliki kepercayaan diri yang rendah, kurang sukses, dan merasa statusnya rendah sehingga kebutuhan untuk memberikan gratifikasi untuk dirinya sendiri pun rendah. Maka, konsumen yang lebih ingin memperoleh gratifikasi personal yang tinggi diperkirakan mempunyai sikap negatif terhadap produk bajakan. H3: Gratifikasi personal berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan. Penghindaran risiko dalam konteks ini mengacu pada tingkat toleransi risiko individu untuk terlibat dalam aktivitas ilegal yang berhubungan dengan produk bajakan. Karakteristik pribadi konsumen tentang risk aversion merupakan komponen yang cukup penting dalam pengambilan keputusan konsumen. Hal ini dapat disimpulkan dari apa yang dikatakan Hofstede dan Bond, (1984) tentang definisi risk aversion yakni sejauh mana seseorang merasa dirinya terancam oleh situasi yang tidak pasti, dan kemudian menciptakan keyakinannya sendiri yang bertujuan untuk mencoba menghindari kondisi ketidakpastian tersebut. Oleh karena pengambilan keputusan konsumen sudah pasti tidak dapat dihindarkan dari adanya faktor risiko, (Cunningham et al. 2005) maka konsumen secara otomatis akan menciptakan suatu perilaku tertentu sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindari segala bentuk risiko yang dapat muncul dari keputusannya tersebut. Sementara kepedulian terhadap kesadaran nilai dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan produk bajakan, takut terhadap hukuman pidana juga harus dapat mencegah perilaku tersebut (Albers-Miller, 1999). Literatur menyelidiki keterlibatan konsumen dalam perilaku terlarang telah menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara keseriusan dari hukuman dan tindak kriminal. Penelitian juga telah membuktikan bahwa ada juga hubungan terbalik antara kemungkinan tertangkap yang dirasakan dan perilaku kriminal (Hollinger and Clark, 1983). Sebaliknya, dapat juga dikatakan bahwa ada kecenderungan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam kegiatan “gelap” jika ada anggapan resiko tertangkap yang lebih rendah. Oleh karena itu, keuntungan yang didapatkan dalam hal sikap terhadap musik bajakan mungkin dibatasi oleh rasa takut tertangkap dan dihukum oleh hukum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukum hak cipta dan beratnya hukuman menempatkan kontrol perilaku individu atas niat untuk menggunakan produk bajakan. Kemudian disimpulkan dalam Phau dan Ng (2009) bahwa seseorang yang lebih menghindari risiko lebih cenderung memiliki sikap negatif terhadap produk lagu bajakan. H4: Penghindaran risiko berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan. Teori perilaku terencana (TPB) yang mencakup sikap, norma subyektif, dan kendali perilaku jelas memiliki pengaruh terhadap niat seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal. Seperti yang telah dikemukakan oleh Beck dan Ajzen (1991), bahwa TPB secara akurat mampu memprediksi perilaku tidak jujur seseorang. Sehingga, landasan seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal juga dapat diprediksi menggunakan TPB seperti halnya yang dilakukan peneliti sebelumnya untuk meneliti hal-hal yang mendahului pembajakan musik (Wang dkk., 2009). Unsur pertama dalam TPB ialah sikap. Sikap dijelaskan melalui tindakan seseorang pada suatu perilaku tertentu merupakan faktor penting yang mendahului niat (Ajzen, 1985). Pembentukan sikap terjadi akibat pengaruh yang kuat oleh pengalaman pribadi, pengaruh keluarga dan teman, pemasaran langsung, dan media massa (Schiffman dan
302
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Kanuk, 2013). Kemudian disimpulkan dalam Wang dkk. (2009) bahwa semakin positif sikap seseorang terhadap sesuatu, maka makin besar juga niat seseorang dalam melakukan hal tersebut. H5: Sikap pada produk lagu bajakan berpengaruh positif terhadap niat menggunakan musik bajakan. Berdasarkan uraian pengembangan hipotesis di atas, model analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Gambar 1. Model Analisis Kesadaran Nilai (X1) Integritas (X2)
Gratifikasi Personal (X3)
Sikap pada produk lagu bajakan (Z)
Niat menggunakan produk lagu bajakan (Y) (Y)
Penghindaran Risiko (X4)
4. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif eksplanatori yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kesadaran nilai, integritas diri, penghindaran risiko, dan gratifikasi terhadap sikap konsumen terhadap produk musik bajakan serta niat konsumen untuk mengkonsumsinya. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari (Malhotra, 2006). Populasi dari penelitian ini ialah Generasi Y yang berdomisili di Surabaya, dikarenakan Generasi Y lebih heterogen dalam istilah rasial dan sosioekonomis daripada Generasi X (Mowen and Minor, 2001). Generasi Y adalah 72 juta anak-anak dari Generasi X, di mana yang pertama akan mencapai dewasa pada tahun 2000. Generasi Y adalah mereka yang lahir antara tahun 1978 dan 2000 (Yarrow and O’Donnell, 2009), yang berarti saat ini mereka berusia 13 tahun sampai dengan 35 tahun, yang mewakili 28 persen dari populasi sekarang dan menyaingi 30 persen Generasi X yang dilahirkan antara tahun 1965 dan 1980 (Mowen and Minor, 2001). Sampel penelitian ini adalah konsumen musik Indonesia yang pernah membeli atau mengunduh musik bajakan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah kuesioner yang disebarkan pada beberapa acara konser musik di Surabaya untuk memperoleh responden yang memang secara intensif mengkonsumsi musik. Terdapat sejumlah 150 responden yang berpartisipasi pada
303
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
penelitian ini. Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 52% pria, 75% berusia di bawah 30 tahun, 35% berstatus mahasiswa, 33% memiliki pendapatan per bulan di atas Rp 3.500.000,-. Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel kesadaran nilai diadaptasi dari Lichtenstein et al. (1990), sedangkan indikator variabel integritas dikembangkan dari penelitian Vinson et al (1997), ). indikator gratifikasi personal dikembangkan dari Ang et al. (2001:227), dan indikator variabel penghindaran risiko dalam penelitian ini dikembangkan dari penelitian Donthu and Gilliland (1996). Untuk mengukur variabel sikap pada produk musik bajakan digunakan indikator yang diadaptasi dari Kwong et al (2003), sementara pengukuran yang digunakan untuk menilai niat untuk menggunakan produk musik bajakan diadaptasi dari Wang et al. (2005:350). Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian tersaji pada Tabel 1. Item di kuesioner disajikan dengan menanyakan tingkat kesetujuan responden atas pernyataan-pernyataan yang tersaji. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert 1-5, di mana 1 menunjukkan sangat tidak setuju dan 5 menunjukkan sangat setuju. Pengujian reliabilitas dan validitas menunjukkan bahwa semua item di kuesioner dinilai reliabel dan valid. Untuk menganalisis data, menguji hipotesis, dan menguji model penelitian, penelitian ini menggunakan program SPSS versi 18. Tabel 1 Indikator Variabel Penelitian Variabel Kesadaran Nilai
Indikator a. Saya sangat peduli tentang harga murah, tapi saya juga peduli tentang kualitas produk. b. Ketika berbelanja, saya membandingkan harga produk dari merek yang berbeda untuk memastikan saya mendapatkan harga terbaik. c. Ketika membeli sebuah produk, saya selalu mencoba untuk mendapatkan kualitas yang maksimal untuk uang yang saya habiskan. d. Ketika saya membeli produk, saya ingin memastikan bahwa saya menjadikan uang saya bernilai. e. Saya biasanya berbelanja untuk harga yang lebih murah, tapi masih harus memenuhi persyaratan kualitas tertentu sebelum saya akan membelinya. f. Saat saya berbelanja, saya biasa membandingkan informasi harga setiap barang untuk merek yang saya beli biasanya. g. Saya selalu memeriksa harga produk di toko kelontong, untuk memastikan bahwa saya mendapatkan nilai terbaik untuk uang yang saya habiskan.
Referensi Lichtenstein et al (1990)
304
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Integritas Personal
Gratifikasi Personal
Penghindaran risiko
Sikap
Niat Menggunakan Produk Bajakan
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
a. Saya tidak mau menggunakan produk bajakan. b. Saya menghargai hasil kerja orang lain dengan cara tidak menggunakan produk bajakan c. Saya lebih suka menggunakan produk lagu asli meski harganya lebih mahal. a. Penting bagi saya untuk mendapatkan hidup yang nyaman. b. Penting bagi saya untuk mendapatkan hidup yang menyenangkan. c. Penting bagi saya untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. d. Saya adalah orang yang menghargai kesenangan diri. e. Saya adalah orang yang menghargai pengakuan sosial. a. Saya lebih suka menjadi aman daripada menyesal karena menggunakan produk bajakan. b. Saya ingin memastikan risiko yang bisa saya hadapi sebelum menggunakan produk bajakan c. Saya menghindari hal-hal yang berisiko karena menggunakan produk bajakan. a. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk membeli produk bajakan jika kebanyakan orang melakukannya. b. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk membeli produk bajakan jika saya tidak akan membeli satupun yang asli dalam kondisi apapun. c. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk membeli produk bajakan a. Saya akan merekomendasikan untuk menggunakan produk lagu bajakan kepada orang lain. b. Bila ada permintaan, saya akan mempertimbangkan untuk memberikan produk lagu bajakan untuk digunakan oleh orang lain. c. Saya akan mempertimbangkan untuk menggunakan produk lagu bajakan sebagai alternatif pilihan. d. Saya akan menggunakan produk lagu bajakan.
Vinson et al. (2000)
Ang et al. (2001)
Donthu and Gilliland (1996)
Kwong et al. (2003)
Wang et al. (2003)
5. Hasil dan Pembahasan Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dalam hal ini adalah pengaruh variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) dengan Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z). Berikut akan dipaparkan hasil pengujian regresi linier berganda :
305
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tabel 1. Besarnya Pengaruh Variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) Terhadap Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z) Model Summary
Model 1
R ,443a
R Square ,196
Adjusted R Square ,174
Std. Error of the Est imat e 1,138
a. Predictors: (Const ant ), Penghindaran Risiko, Gratif ikasi Personal, Kesadaran Nilai, Int egrit as
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat diperoleh beberapa bahwa kolom R menunjukkan bahwa korelasi/hubungan antara variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) dengan Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z) sebesar 0,443 atau sebesar 44,3% atau kurang kuat. Kolom R square atau koefisien determinasi adalah 0,196. Hal ini berarti bahwa 19,6% variasi variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) Terhadap Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z) sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Standard error of estimate (SEE) adalah 1,138. makin besar SEE akan membuat model regresi kurang tepat dalam memprediksi variabel dependen. Tabel 2. Hasil Pengujian Regresi Linier Berganda Coeffici entsa Unstandardized Coef f icients Model 1
(Constant) Kesadaran Nilai Integritas Gratif ikasi Personal Penghindaran Risiko
B 20,442 ,091 -,164 -,111 -,223
Std. Error 1,513 ,031 ,058 ,043 ,053
Standardized Coef f icients Beta ,219 -,216 -,193 -,323
a. Dependent Variable: Sikap pada produk lagu bajakani
Berdasarkan Tabel 2 di atas maka persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dalam penelitian ini serta bermanfaat untuk mengetahui arah perubahan variabel kesadaran nilai (X1), integritas (X2), gratifikasi personal (X3) dan penghindaran risiko (X4) terhadap sikap pada produk lagu bajakan (Z) adalah sebagai berikut : Y = 20,442 + 0,091X1 - 0,164X2 - 0,111X3 - 0,223X4 + e Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dalam hal ini adalah pengaruh variabel sikap pada produk (Z) terhadap Niat untuk Menggunakan Produk Lagu Bajakan (Y). Berikut akan dipaparkan hasil pengujian regresi linier berganda :
306
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Tabel 3 Besarnya Pengaruh Variabel Sikap Pada Produk (Z) Terhadap Niat Untuk Menggunakan Produk Lagu Bajakan (Y) Model Summary
Model 1
R ,195a
Adjusted R Square ,031
R Square ,038
Std. Error of the Est imat e 1,321
a. Predictors: (Const ant ), Sikap pada produk lagu bajakani
Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa kolom R menunjukkan bahwa korelasi/hubungan antara variabel sikap pada produk (Z), dengan niat untuk menggunakan produk lagu bajakan (Y) sebesar 0,195 atau sebesar 19,5% atau kurang kuat. Kolom R square atau koefisien determinasi adalah 0,038. Hal ini berarti bahwa 38% variasi variabel sikap pada produk (Z), sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Standard error of estimate (SEE) adalah 1,321. makin besar SEE akan membuat model regresi kurang tepat dalam memprediksi variabel dependen. Tabel 4. Hasil Pengujian Regresi Linier Berganda Coeffi ci entsa Unstandardized Coef f icients Model 1
(Constant) Sikap pada produk lagu bajakani
B 14,210
St d. Error 1,402
,209
,086
St andardized Coef f icients Beta ,195
a. Dependent Variable: Niat untuk menggunakan produk
Berdasarkan Tabel 4 di atas maka persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dalam penelitian ini serta bermanfaat untuk mengetahui arah perubahan variabel sikap pada produk (Z), terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan (Y) adalah sebagai berikut : Y = 14,210 + 0,209 X1 +e Tabel 5. Hasil Pengujian Hipotesis (Uji F) ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 45,821 187,672 233,493
df 4 145 149
Mean Square 11,455 1,294
F 8,851
Sig. ,000a
a. Predictors: (Const ant), Penghindaran Risiko, Gratif ikasi Personal, Kesadaran Nilai, Integritas b. Dependent Variable: Sikap pada produk lagu bajakani
307
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa besarnya nilai F hitung adalah 8.851 dengan taraf signifikan sebesar 0,000 dan dapat diketahui bahwa pada kolom sig/significance mempunyai angka signifikansi di bawah 0,05. Oleh karena itu secara simultan variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) berpengaruh Terhadap Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z). Berdasarkan hasil pengujian maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan kesadaran nilai (X1), integritas (X2), gratifikasi personal (X3) dan penghindaran risiko (X4) dapat meningkatkan sikap pada produk lagu bajakan (Z). Tabel 6. Hasil Pengujian Hipotesis (uji t) Coeffi ci entsa Correlations Model 1
(Constant) Sikap pada produk lagu bajakani
t 10,135
Sig. ,000
Zero-order
2,415
,017
,195
Part ial ,195
Part ,195
a. Dependent Variable: Niat untuk menggunakan produk
Dari hasil uji t yang tersaji pada Tabel 6 diketahui besarnya nilai koefisien korelasi (r) antara sikap pada produk lagu bajakan dengan niat untuk menggunakan produk lagu bajakan adalah sebesar 0,195 sedangkan besarnya koefisien determinasi yang menunjukkan pengaruh antara sikap pada produk lagu bajakan terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan adalah sebesar (0,195)2 = 0,0380 atau 3,80 %, Nilai t hitung variabel antara sikap pada produk lagu bajakan adalah 2.415 dengan tingkat signifikansi 0,017 dimana nilainya kurang dari 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial antara sikap pada produk lagu bajakan berpengaruh signifikan terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa secara bersama-sama kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko, berpengaruh signifikan terhadap sikap pada produk bajakan. Hasil ini didasarkan pada hasil pengujian regresi linier berganda dengan signifikansi sebesar 0.000 yang berarti secara bersama-sama kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko, berpengaruh terhadap sikap pada produk bajakan. Hal ini berarti bahwa hipotesis H1 terdukung. Berpengaruh positif dan signifikan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa apabila semakin baik secara bersama-sama kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko maka sikap pada produk bajakan juga akan meningkat. Konsumen yang mempunyai kesadaran nilai tinggi diperkirakan mempunyai sikap terhadap produk bajakan. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa persepsi konsumen yang menganggap produk bajakan mempunyai manfaat fungsional yang sama dengan produk versi asli, dengan harga yang lebih murah (Wang et al., 2005:342). Konsumen yang mempunyai standar etika yang rendah lebih tidak mempunyai tanggung jawab apabila membeli barang bajakan. Sehingga mereka tidak menganggap bahwa tindakan mereka tidak etis. Jadi, dengan membandingkan dengan konsumen yang mempunyai integritas rendah, maka konsumen yang memiliki integritas tinggi diperkirakan mempunyai sikap negatif terhadap sikap pada produk bajakan (Ang et al., 2001). 308
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bloch et al., (1993), konsumen yang membeli barang bajakan memiliki kepercayaan diri yang rendah, kurang sukses, dan merasa statusnya rendah sehingga kebutuhan untuk memberikan gratifikasi untuk dirinya sendiri pun rendah. Maka, konsumen yang lebih ingin memperoleh gratifikasi personal yang tinggi diperkirakan mempunyai sikap negatif terhadap produk bajakan. Selain itu penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ian Phau dan James Ng (2009), hasil dari penelitiannya tersebut adalah bahwa ada pengaruh antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko terhadap niat untuk menggunakan melalui sikap terhadap produk bajakan. Hofstede dan Bond, (1984) mengatakan tentang definisi risk aversion yakni sejauh mana seseorang merasa dirinya terancam oleh situasi yang tidak pasti, dan kemudian menciptakan keyakinannya sendiri yang bertujuan untuk mencoba menghindari kondisi ketidakpastian tersebut. Oleh karena pengambilan keputusan konsumen sudah pasti tidak dapat dihindarkan dari adanya faktor risiko, maka konsumen secara otomatis akan menciptakan suatu perilaku tertentu sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindari segala bentuk risiko yang dapat muncul dari keputusannya tersebut. Sementara kepedulian terhadap kesadaran nilai dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan produk bajakan, takut terhadap hukuman pidana juga harus dapat mencegah perilaku tersebut (Albers-Miller, 1999). Keuntungan yang didapatkan dalam hal bersikap terhadap musik bajakan mungkin dibatasi oleh rasa takut tertangkap dan dihukum oleh penegak hukum dan akan dijatuhi hukuman. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukum hak cipta dan beratnya hukuman menempatkan kontrol perilaku individu atas niat untuk menggunakan produk bajakan. Kemudian disimpulkan dalam Ian Phau dan James Ng (2009) bahwa seseorang yang lebih menghindari risiko lebih cenderung memiliki sikap negatif terhadap produk lagu bajakan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sikap pada produk bajakan berpengaruh terhadap niat menggunakan produk. Hasil ini didasarkan pada hasil pengujian regresi linier sederhana dengan signifikansi sebesar 0.017 yang berarti sikap pada produk bajakan berpengaruh signifikan terhadap niat menggunakan produk. Berpengaruh positif dan signifikan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa apabila semakin baik sikap pada produk bajakan maka niat menggunakan produk lagu bajakan akan meningkat. Niat seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal. Seperti yang telah dikemukakan oleh Beck dan Ajzen (1991), bahwa TPB secara akurat mampu memprediksi perilaku tidak jujur seseorang. Sehingga, landasan seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal juga dapat diprediksi. Apabila semakin kuat sikap seseorang dalam menggunakan lagu bajakan maka niat akan menggunakan produk music bajakan akan semakin kuat pula. Pembentukan sikap terjadi akibat pengaruh yang kuat oleh pengalaman pribadi, pengaruh keluarga dan teman, pemasaran langsung, dan media massa. Kemudian disimpulkan dalam Wang dkk. (2009) bahwa semakin positif sikap seseorang terhadap sesuatu, maka makin besar juga niat seseorang dalam 6. Simpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pengaruh secara simultan antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, penghindaran risiko, terhadap sikap pada produk lagu bajakan. Penghindaran risiko memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap sikap pada produk lagu bajakan
309
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
dibandingkan tiga faktor yang lain yang diamati. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap pada produk lagu bajakan berpengaruh terhadap niat menggunakan produk lagu bajakan. Diharapkan bagi masyarakat untuk mencintai dan menghargai produk asli dari bidang musik yaitu lagu dengan tidak melakukan pembajakan dan mengkonsumsi musik secara legal, selain itu diharapkan bagi konsumen untuk mempertimbangkan dan memastikan risiko sebelum menggunakan lagu bajakan dan akan merugikan industri musik untuk lebih berkembang. Bagi pihak musisi dan pihak-pihak yang terkait dalam usaha mengurangi perilaku mengkonsumsi musik secara ilegal yang semakin meluas di masyarakat, untuk lebih gencar dalam memberikan informasi serta penyuluhan kepada konsumen mengenai dampak negatif dan risiko yang akan dialami oleh baik industri musik Indonesia juga oleh konsumen sendiri. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian di luar variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini mengingat terdapat pengaruh dari variabel lain, ataupun mengkombinasikan variabel sikap pada produk nilai, integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko dengan variabel lain di luar variabel dalam penelitian ini.
Referensi Ajzen, I. dan Fishbein, M. 1977. Attitude-Behavior Relations: A Theoretical and Review of Empirical Research, Psychology Bulletin, Vol. 84: 888-918.
Analysis
Albers-Miller, N.D. 1999. Consumer Misbehavior: Why People Buy Illicit Goods. Journal of Consumer Marketing, Vol. 16/3: 273-287 Ang, S.H., Cheng, P.S., Lim, E.A.C., dan Tambyah, S.K. 2001. Spot the Difference: Consumer Responses towards Counterfeits. Journal of Consumer Marketing, Vol. 18/3: 219235 Bao, Y., Zhou, K.Z., dan Su., C. 2003. Face Consciousness and Risk Aversion: Do They Affect Consumer Decision-Making?. Psychology & Marketing, Vol. 20/8, 2003: 733-755. Bloch, P.H., Bush, R.F., dan Campbell, L. 1993. Consumer ‘accomplices’ in Product Counterfeiting: A Demand-side Investigation. Journal of Consumer Marketing. Vol. 10/4: 2736. Buttle, F. 2004. Customer Relationship Management. Oxford: Elsevier/ButterworthHeinemann. Chiou, J-S., Huang, C-Y., dan Lee, H-H. 2005. The Antecedents of Music Piracy Attitudes and Intentions. Journal of Business Ethics, Vol. 57: 161-174. Cordell, V.V., Wongtada, N., dan Kieschnick, Jr., R.L. 1996. Counterfeit Purchase Intentions: Role of Lawfulness Attitudes and Product Traits as Determinants. Journal of Business Research, Vol.35: 41-53.
310
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Cunningham, L.F., Gerlach, J.H., Harper, M.D., dan Young, C.E. 2004. Perceived Risk and the Consumer Buying Process: Internet Airline Reservations. International Journal of Service Industry Management, Vol. 16/4: 357-372. Donthu, N. dan Gilliland, D. 1996. The Informecial Shopper. Journal of Advertising Research, Vol. 36: 69-76. Fraedrich, J.P. dan Ferrell. O.C. 1992. The Impact of Perceived Risk and Moral Philosophy Type on Ethical Decision Making in Organization. Journal of Business Research, Vol. 24: 283-295. Gupta, P., Gould, S., dan Pola, B. 2004. To pirate or not to Pirate: A Comparative Study of the Ethical Versus Other Influences on the Consumer’s Software Acquisition Mode Decision. Journal of Business Ethics, Vol. 55/3: 255-274. Hofstede, G. dan Bond, M. 1984. The Need for Synergy among Cross-Cultural Studies. Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 15: 417-433. Hollinger, R.C., dan Clark, J.P. 1983. Deterrence in the Workplace: Perceived Certainty, Perceived Severity, and Employee Theft. Social Forces, Vol. 62/2: 398-418. Kotler, Philip, and Kevin Lan Keller. 2012. Marketing Management 14th Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey. Kohlberg, L. 1976. Moral Stages and Moralization: The Cognitive Development Approach in Moral Development and Behaviour Theory. Research and Social Issues, Lickona, T. (ed.) Holt, Rinehart, and Winston: New York: 31-53. Kwong, K.K., Yau, O.H.M., Lee, J.S.Y., Sin, L.Y.M., dan Tse, A.C.B. 2003. The Effects of Attitudinal and Demographic Factors on Intention to Buy Pirated CDs: The Case of Chinese Consumers. Journal of Business Ethics, Vol. 47: 223-235 Linchestein, Donald R., Richard G. Netemeyer, dan Scot Burten. 1990. Distinguishing coupon proneness from value consciousness: an acquisition-transaction utility theory perspective. Journal of Marketing. Vol. 54/3: 54-67. Maldonado, C., dan Hume, E.C. 2005. Attitudes toward Counterfeit Products: An Ethical Perspective. Journal of Legal, Ethical, and Regulatory Issues, Vol. 8/2: 105-115. Malhotra, Naresh K. 2006. Marketing Research An Applied Application 5th edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey. Mowen, John C. and Michael Minor. 2001. Perilaku Konsumen Jilid I edisi kelima (terjemahan). PT. Penerbit Erlangga. Phau, I dan Teah, M., 2009. Devil Wears (Counterfeit) Prada: A Study of Antecedents and Outcomes of Attitudes Toward Counterfeits of Luxuary Brands, Journal of Consumer Marketing, Vol. 26/1: 15-27.
311
Sony Kusumasondjaja Syahrial Ashari
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Phau, I. dan Ng, J. 2009. Predictors of Usage Intentions of Pirated Software. Journal of Business Ethics, Vol. 94: 23-37. Schiffman, L. G. dan Kanuk, L. 2013. Consumer Behavior, International edition, New Jersey: Prentice Hall Inc. Sekaran, U. 2003. Research Methodes for Business: A Skill-Building Approach 4th edition. John Willey & Son, Inc. United States of America. Shaari, H. dan Halim, F. 2006. Consumer Purchase or Pirated VCD: Do Non-Price Factors Matter? International Journal of Business and Society, Vol. 7/2: 119-131. Steenhaut, S. dan Van Kehove, P. 2006. An Empirical Investigation of the Relationships among a Consumer’s Personal Values, Ethical Ideology, and Ethical Beliefs. Journal of Business Ethics, Vol. 64/2: 137-155. Tan, B. 2002. Understanding Consumer Ethical Decision Making with Respect to Purchase of Pirated Software. Journal of Consumer Marketing, Vol. 19/2: 96-111. Vinson, D. E., Munson, J.M., dan Nakanishi, M. 1977. ‘An Investigation of the Rokeach Value Survey for Consumer Research Application’, in W. E. Perreault (ed.), Advances in Consumer Research, Vol. 4 (The Association for Consumer Research, Provo, UT): 247-252. Wang, F., Zhang, H., Zang, H., dan Ouyang, M. 2005. Purchasing Pirated Software: An Initial Examination of Chinese Consumers, Journal of Consumer Marketing, Vol. 22/6: 340351. Yarrow, K. dan O’Donnell, J. 2009. Gen Buy: How Tweens, Teens, and Twenty-Somethings are Revolutionizing Retail. Jossey-Bass, San Francisco, CA Zeithaml et al 1988 Zeithaml, V.A. 1988. Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End Model and Synthesis of Evidence. Journal of Marketing, Vol. 52/3: 2-22.
312
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Pengungkapan Intellectual Capital, Reputasi Underwriter dan IPO Underpricing Zulhawati
[email protected] UTY Yogyakarta
Abstract This study examines the effect of Intellectual Capital Disclosure and Underwriter Reputation to IPO Underpricing the company public on Indonesia Stock Exchange 20072012. The Results of research on the observation period there was 80% of companies experiencing IPO underpricing. Underpricing phenomenon is deliberately done to get the attention of the company's stock price increases in the first day listing or may occur due to information asymmetries between issuers and underwriters among and investors who have information about the issuer's prospects. Information asymmetry can be reduced by presenting financial information and non-financial information in the prospectus, one of non- financial information to be presented is intellectual capital. Information about the underwriter's reputation is also required by investors as a measure of financial information that is relevant and reliable. The results of multiple regression statistical test indicates that intellectual capital disclosure and underwriter reputation negatively affect the level of underpricing. This suggests that the higher intellectual capital disclosure can reduce IPO underpricing, as well as a good underwriter reputation can reduce IPO underpricing. Keywords: IPO underpricing, intellectual capital disclosure, underwriter reputation, information asymmetries 1. Pendahuluan Peningkatan kebutuhan dana perusahaan dapat dipenuhi dengan memilih salah satu dari berbagai alternatif pendanaan yang dapat digunakan. Sumber pendanaan bisa berasal dari internal perusahaan maupun berasal dari external perusahaan. Sumber pendanaan yang berasal dari internal perusahaan dengan memanfaatkan laba yang tidak dibagi. Sedangkan sumber pendanaan yang berasal dari external perusahaan dapat berasal dari utang atau menerbitkan saham. Sumber pendanaan melalui penerbitan saham yang dijual kepada masyarakat umum dikenal dengan penawaran umum atau go public. Perusahaan melakukan go public menjadi salah satu alternatif bagi perusahaan guna memperoleh dana tambahan untuk kegiatan ekspansi atau operasi perusahaan sedangkan bagi investor di pasar modal sebagai salah satu alternatif tempat berinvestasi. Tahapan dalam proses go public, sebelum diperdagangkan di pasar skunder, saham terlebih dahulu dijual di pasar primer atau pasar perdana yang biasa disebut dengan Initial Public Offering (IPO). Investor membeli saham di pasar perdana dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari selisih harga lebih antara harga di pasar skunder dengan di pasar perdana atau initial return. Diperolehnya initial return berarti investor menerima abnormal return melalui IPO yang di lakukan perusahaan. Menurut Jogiyanto (2010:566) investor yang dapat kesempatan untuk membeli sekuritas yang undervalued ini akan dapat menikmati abnormal return yang ada hanya terjadi dengan waktu yang cepat dan tidak 313
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
berkepanjangan. Ini berarti bahwa investor yang membeli beberapa saat setelah pengumuman IPO sudah tidak akan memperoleh abnormal return lagi, karena harga sekuritas sudah mencapai keseimbangan baru. Pada saat perusahaan melakukan IPO yang dilaksanakan di pasar primer (primary market), tidak ada harga pasar saham sampai dimulainya penjualan di pasar sekunder. Pada saat tersebut umumnya investor memiliki informasi terbatas seperti yang diungkapkan dalam prospektus. Dengan demikian investor yang ingin menanamkan modalnya hanya memiliki informasi tentang perusahaan sebatas yang diinformasikan pada prospectus tersebut. Prospectus merupakan suatu laporan yang disyaratkan Bapepam kepada perusahaan yang ingin listing di pasar modal, yang berisikan gambaran umum perusahaan yang memuat keterangan secara lengkap dan jujur keadaan perusahaan dan prospeknya di masa mendatang serta memuat informasi-informasi yang diperlukan sehubungan dengan penawaran umum. Salah satu masalah saat IPO adalah berapa harga yang tepat untuk selembar saham yang akan ditawarkan, dimana harga jual saat IPO ditentukan oleh emiten (perusahaan penerbit) dengan underwriter (penjamin emisi), sedangkan harga saham yang dijual pada pasar skunder ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran. Bila harga saat IPO lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar skunder pada hari pertama, maka disebut dengan overpricing, sebaliknya bila harga saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar skunder pada hari pertama, maka disebut dengan underpricing. Kondisi underpricing sebenarnya merugikan perusahaan, karena secara financial perusahaan tidak mendapatkan dana secara maksimal, tapi menguntungkan bagi investor karena akan menerima initial return dari selisih harga beli di pasar primer dengan harga jual di pasar skunder. Underpricing yang terjadi di Bursa Efek Indonesia sangat tinggi; pada tahun 2007 dari 22 emiten 20 emiten mengalami underpricing, tahun 2008 dari 19 emiten 16 emiten mengalami underpricing, tahun 2009 dari 13 emiten 8 emiten mengalami underpricing, tahun 2010 dari 23 emiten 21 emiten mengalami underpricing, tahun 2011 dari 25 emiten 16 emiten mengalami underpricing, tahun 2012 dari 23 emiten 22 emiten mengalami underpricing. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 diketahui ada 125 emiten yang melakukan IPO ada 100 emiten mengalami underpricing. Permasalahan penting yang dihadapi emiten pada saat melakukan penawaran saham perdana adalah penutupan besarnya harga saham perdana. Sedangkan sebagai pihak yang membutuhkan dana, emiten menginginkan harga yang tinggi. Di sisi lain, harga yang tinggi akan mempengaruhi respon calon investor untuk membeli saham yang ditawarkan. Sebaliknya, penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko yang ditanggungnya. Tipe penjaminan yang berlaku di Indonesia adalah full commitment, dimana pihak penjamin emisi akan membeli saham yang tidak habis terjual saat penawaran perdana. Keadaan ini membuat penjamin emisi berupaya untuk meminimalkan risiko dengan melakukan negosiasi dengan emiten agar harga saham-saham tersebut tidak terlalu tinggi, bahkan cenderung underprice. Fenomena underpricing dapat terjadi karena adanya asimetri informasi, dimana asimetri informasi dapat terjadi antara emiten dengan underwriter, maupun antar investor yang memiliki informasi tentang prospek emiten (Trisnaningsih 2005). Emiten menginginkan harga perdana yang tinggi agar memperoleh dana sebesar yang diharapkan, disisi lain underwriter berusaha meminimalkan risiko penjaminan dengan menentukan harga yang dapat diterima oleh investor.
314
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Pada proses penawaran perdana, emiten membutuhkan keterlibatan penjamin emisi sebagai perantara dalam penjualan saham dengan investor. Tinggi rendahnya harga perdana saham yang akan dibeli investor tergantung kesepakatan antara emiten dengan underwriter, walaupun emiten dan underwriter bersama-sama dalam penentuan harga perdana saham, namun sebenarnya masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Reputasi underwriter menjadi menjadi tolok ukur bagi para investor untuk mendapatkan informasi yang relevan dan dapat dipercaya sebagai pertimbangan investasi. Fakta fenomena underpricing lebih banyak terjadi pada perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana. Meskipun perusahaan telah menggunakan lembaga penjamin dan profesi penunjang yang bereputasi tinggi untuk menilai prospektus yang disediakan oleh perusahaan, hal ini tidak menjamin bahwa underpricing akan turun. Underpricing dapat dikurangi dengan cara menyajikan informasi akuntansi dan informasi non akuntansi dalam prospectus. Informasi akuntansi adalah laporan keuangan yang terdiri atas neraca, perhitungan laba/rugi, laporan arus kas dan penjelasan laporan keuangan. Informasi non akuntansi adalah informasi selain laporan keuangan, salah satu informasi non akuntansi yang perlu disajikan adalah intelektual capital (Lang dan Russel 2000). Meskipun studi tentang underpricing telah banyak dilakukan, namun penelitian ini masih menarik karena tingginya tingkat underpricing, yang secara teori seharusnya tingkat underpricing dapat diminimalisir dengan research gap antar peneliti disamping itu beberapa penelitian hasilnya tidak konsiten. Berdasarkan permasalahn tersebut, maka penelitian ini akan menguji kembali pengaruh Intellectual Capital Disclosure dan Underwriter Reputation terhadap IPO Underpricing. Penelitian dilakukan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2007 sampe 2012. 2. Landasan Teori dan Hipotesis 2.1 Signaling Theory Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan suatu perusahaan dan bagaimana efek pasarnya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk pengambilan keputusan investasi. Teori ini didasarkan pada premis bahwa manajer dan pemegang saham tidak mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Ada informasi tertentu yang hanya diketahui oleh manajer, sedangkan pemegang saham tidak tahu informasi tersebut. Jadi, ada informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara manajer dan pemegang saham. Akibatnya, ketika struktur modal ataupun kondisi perusahaan mengalami perubahan, hal itu dapat membawa informasi kepada pemegang saham yang akan mengakibatkan nilai perusahaan berubah. Dengan kata lain, terjadi pertanda atau sinyal (signalling). Signalling teory menjelaskan bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan atau kegagalan manajemen (perusahaan) disampaikan kepada pemilik (investor). Berdasarkan teori ini perusahaan dituntut memberikan pengungkapan penuh kondisinya agar investor dapat memperoleh informasi yang mendorong keputusan investasi mereka. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu bermanfaat sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi. Apabila pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.
315
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, dimana pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai sinyal baik (good news) atau sinyal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai sinyal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam harga saham, dimana harga saham menjadi naik dan sebaliknya. Dengan demikian informasi akuntansi maupun non akuntansi dapat mempengaruhi ekspektasi investor terhadap intial return setelah IPO. Teori ini yang paling memungkinkan untuk menjelaskan fenomena IPO underpricing secara komprehensif. Dalam teori ini, diasumsikan bahwa emiten memiliki informasi yang sempurna tentang nilai perusahaan dan investor adalah entitas uninformed. Investor kemudian menilai perusahaan sebagai fungsi dari mekanisme signaling yang berbeda-beda. Dalam sebuah penelitian oleh Leland dan Pyle pada 1977, kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa perusahaan dapat memberikan sinyal nilai perusahaan kepada pihak luar dengan menahan beberapa sahamnya (Karlis 2000). Hipotesis ini menegaskan bahwa perusahaan dengan sengaja menurunkan nilai penerbitannya yang memiliki tujuan spesifik untuk mendapatkan perhatian dari kenaikan harga saham pada hari pertama saat listing. Hal tersebut memberikan publikasi tambahan dan eksposur media bagi perusahaan dengan menyediakan nilai perusahaan kepada investor. Teknik ini dianggap sebagai grandstanding IPO dan biasanya akan dilakukan oleh perusahaan yang lebih kecil dan belum lama berdiri yang membutuhkan perhatian investor dan yang nilainya dianggap sangat tidak pasti oleh investor potensial. Oleh karena itu, tingkat undepricing akan berbanding terbalik dengan ukuran atau nilai perusahaan emiten. Willenborg (dalam Karlis 2000) menemukan bahwa meskipun semua perusahaan mendapatkan keuntungan dari reputasi auditor, perusahaan yang memiliki ukuran berbedabeda memilki alasan yang berbeda-beda juga dalam memilih underwriter dan auditor yang presitisius. Jika sebuah perusahaan menggunakan jasa auditor yang memiliki reputasi baik, sinyal yang diberikan kepada investor adalah bahwa perusahaan akan mendapatkan keuntungan dengan hasil analisis laporan keuangan yang lebih akurat (proses audit oleh auditor). Menurut Karlis 2000, teori ini juga mengasumsikan bahwa underwriter mengetahui efek signaling dan menggunakannya saat menyetujui kontrak IPO. Untuk menurunkan risiko penurunan (overpricing), underwriter akan menurunkan harga saham perdana pada saat IPO. Dengan melakukan hal demikian, mereka menurunkan risiko yang dapat merusak reputasi mereka dengan penawaran yang undersubscribed dan overpriced, atau menyeret mereka dalam proses pengadilan efek yang melibatkan investor dalam emiten yang memiliki risiko tinggi. Ketidakpastian perusahaan dalam melakukan emisi saham dan motif perusahaan untuk menjaga dan meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah katalis-katalis di balik tujuan underwriter untuk menurunkan harga penawaran saham perdana. Determinan yang paling penting dalam ketidakpastian adalah nilai pasar emiten yang disetujui dan ukuran perusahaan emiten. Oleh karena itu, teori ini memprediksi bahwa jika nilai pasar emiten berkurang, maka tingkat underpricing akan meningkat. Karena, di dalam banyak kasus, nilai nilai pasar emiten berhubungan secara langsung dengan nilai dan ukuran perusahaan penerbit, teori ini memenuhi tren yang sebelumnya disebutkan tentang underpricing pada masa sekarang. Dalam teori ini juga disebutkan bahwa jika ukuran dan reputasi underwriter semakin besar, maka underwriter akan cenderung untuk menurunkan nilai penerbitan.
316
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
2.2 Asimetri Informasi Asimetri informasi adalah kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi. Asimetri informasi terjadi karena sifat dasar manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri, manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang dan manusia selalu menghindari risiko. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, menyebabkan informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan. Emiten, underwriter (penjamin emisi), masyarakat pemodal adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penawaran perdana pada saat terjadinya underpricing karena adanya asimetri informasi yang menjelaskan perbedaan informasi. Model Baron (1982), menganggap underwriter memiliki informasi lebih mengenai pasar modal, sedangkan emiten tidak memiliki informasi mengenai pasar modal. Oleh karena itu, underwriter memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk membuat kesepakatan harga IPO yang maksimal, yaitu harga yang memperkecil risikonya apabila saham tidak terjual semua. Karena emiten kurang memiliki informasi, maka emiten menerima harga yang murah bagi penawaran sahamnya. Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga sahamnya, maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam menetapkan harga. Sehingga underwriter menawarkan harga perdana sahamnya dibawah harga ekuilibrium. Oleh karena itu akan menyebabkan tingkat underpricing semakin tinggi (Murni 2004). 2.3 Underpricing Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham yang diperdagangkan di pasar perdana lebih murah dibandingkan ketika diperdagangkan di pasar skunder dan memungkinkan investor memperoleh initial return positif. Fenomena underpricing inilah yang menarik investor untuk membeli saham perusahaan yang menjanjikan keuntungan bila dijual di pasar skunder. Fenomena underpricing terjadi karena adanya asimetri informasi sebagai akibat tidak seimbangnya informasi antara underwriter dengan emiten. Harga saham yang terjadi di pasar skunder ditentukan oleh mekanisme kekuatan penawaran dan permintaan. Sedangkan harga saham yang dijual di pasar perdana (IPO) telah ditentukan lebih dahulu berdasarkan kesepakatan antara emiten dan penjamin emisi. Perbedaan penentuan harga ini terjadi karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Emiten menginginkan dana yang banyak sesuai kesepakatan harga yang telah ditentukan, sementara underwriter berusaha menjual di pasar perdana dengan harga lebih murah untuk menarik investor, hal ini dilakukan untuk memperkecil risiko karena saham tidak laku dijual. Emiten akan menerima harga yang murah bagi penawaran sahamnya karena kurang memiliki informasi tentang investor. Implikasinya semakin sedikitnya informasi yang dimiliki emiten dan semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga saham untuk investor, maka lebih besar permintaan jasa underwriter dalam menetapkan harga. Sebagai kompensasi atas informasi yang diberikan oleh underwriter, emiten mengijinkan underwriter menawarkan harga sahamnya dibawah harga ekuilibrium. Dengan demikian semakin besar ketidakpastian akan semakin besar risiko yang dihadapi underwriter, maka tingkat underpricing semakin tinggi. Underpricing merupakan biaya tidak langsung bagi perusahaan yang melakukan IPO. Artinya, bila harga saham dapat diterima di pasar dengan harga yang lebih tinggi, kenapa tidak dijual dengan harga tersebut, yaitu harga pada saat penutupan hari pertama dipasar sekunder. Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisir underpricing
317
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada investor (Beatty 1989). Mc Donald dan Fisher (1973) dalam Nyoman dan Suad (2004:426) menyatakan bahwa pada saat terjadinya underpricing, perbedaan antara offering price dengan harga pasar setelah penawaran perdana merupakan “rent” atau bayaran yang didistribusikan oleh penjamin emisi kepada pembeli awal saham, sehingga IPO akan meningkat dengan tajam setelah diperdagangkan di pasar sekunder. Investor tidak akan membeli saham jika informasi yang didapat tidak cukup meyakinkan untuk mendapatkan keuntungan pada pembelian saham perdana. Sedangkan biaya penyebaran informasi perusahaan yang sempurna pada calon pembeli tidak murah, sehingga untuk mengkompensasikan informasi yang kurang tersebut perusahaan melakukan underpricing. Semakin tinggi ketidakpastian semakin tinggi pula tingkat underpricing yang ditanggung perusahaan. 2.4 Pengungkapan Intelektual Capital Intelektual capital adalah intelektual yang diformalkan, ditangkap, dan dimanfaatkan untuk menghasilkan asset senilai lebih tinggi (Guthrie dan Richard 2000). Menurut Bontis (2001) saat ini belum ada standar akuntansi yang mengatur secara sistematis tentang pengidentifikasian, pengukuran, dan pelaporan intelektual capital sehingga pengungkapan masih bersifat sukarela. Intellectual capital disclosure akan meningkatkan relevansi dan reliabilitas laporan keuangan terutama untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan dimasa yang akan datang. Intellectual capital sering didefinisikan sebagai sumber daya pengetahuan dalam bentuk karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang dapat digunakan perusahaan dalam proses penciptaan nilai bagi perusahaan (Bukh et al. 2005). Singh dan Van der Zahn (2007; 2008) dalam penelitiannya menggunakan indeks pengungkapan intellectual capital yang dikembangkan dari indeks penelitian sebelumnya oleh Bukh et al. (2005). Indeks pengungkapan tersebut dari 84 item yang membagi intellectual capital menjadi 6 komponen, yaitu: karyawan ada 28 item, pelanggan ada 16 item, teknologi informasi ada 6 item, proses ada 9 item, riset dan pengembangan (R&D) ada 9 item, serta pernyataan strategis ada 16 item. 2.5 Reputasi Underwriter Penjamin emisi efek adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban membeli sisa efek yang tidak terjual (Jogiyanto 2010). Sedangkan menurut Tandelilin (2011) penjamin emisi berperan sebagai lembaga perantara emisi yang menjamin penjualan sekuritas yang diterbitkan emiten. Penjamin emisi merupakan mediator yang mempertemukan emiten dan investor. Underwriter harus membuat strategi untuk mengalokasikan saham kepada investor dan harus dapat memberikan informasi berharga mengenai harga IPO. Adanya hubungan antara investor (investor institusi) dengan underwriter dimasa lalu, memungkinkan underwriter mengalokasikan saham lebih besar untuk investor yang sama dalam industri yang sama. Pengalokasian saham yang besar kepada investor institusi, akan mempengaruhi besarnya underpricing karena adanya kepentingan underwriter dalam menyukseskan penjualan saham perdana yang dijaminnya serta kontrol yang dimiliki oleh investor institusi dalam mempengaruhi level aktivitas IPO dan dalam membentuk level underpricing. 2.6 Modal Intelektual dan Underpricing
318
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Berdasarkan teori signaling, emiten dan underwriter biasanya dengan sengaja akan menurunkan harga penawaran saham perdana dengan tujuan untuk mengkompensasi investor atas adanya informasi asimetri yang terjadi. Teori ini juga menjelaskan bagaimana informasi asimetri dapat dikurangi dengan cara salah satu pihak memberikan signal informasi kepada pihak lain. Agar sinyal tersebut efektif, maka harus dapat ditangkap pasar dan dipersepsikan baik, serta tidak mudah ditiru oleh perusahaan yang berkualitas buruk. Salah satu informasi yang dapat dijadikan sinyal adalah pengumuman yang dilakukan oleh emiten. Peningkatan pengungkapan informasi keuangan dan non-keuangan dalam prospectus dianggap sebagai mekanisme potensial untuk mengurangi asimetri informasi yang terjadi pada saat IPO (Bukh 2003). Pengungkapan intelektual capital menjadi salah satu komponen penting dalam pengungkapan di dalam prospectus. Dengan adanya pengungkapan intelektual capital, diharapkan dapat mengurangi terjadinya informasi asimetri sehingga investor dapat menerima sinyal positif dengan memperoleh lebih banyak informasi mengenai perusahaan dan menilai perusahaan dengan lebih baik. Ketidakpastian yang dapat mempengaruhi tingkat underpricing dapat berkurang dan underpricing akan lebih rendah. Dari paparan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1: Pengungkapan intelektual capital berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing 2.7 Reputasi Underwriter dan Underpricing Semakin besar ketidakpastian akan semakin besar risiko yang dihadapi underwriter, maka akan menyebabkan tingkat underpricing semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena underwriter menggunakan kesanggupan penuh (full commitment underwriting) sehingga underwriter mengikatkan diri untuk menawarkan saham kepada publik dan membeli sisa saham. Keadaan ini membuat underwriter berusaha menjual di pasar perdana kemudian membeli saham yang tidak laku dengan harga sama dengan penawaran di pasar perdana. Agar saham habis terjual, maka underwriter berusaha menekan harga. Reputasi penjamin emisi dapat digunakan sebagai sinyal untuk mengurangi tingkat ketidakpastian yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi yang terdapat dalam prospectus dan memberi sinyal bahwa informasi privat dari emiten mengenai prospek perusahaan di masa yang akan datang. Pasar percaya bahwa underwriter yang bereputasi baik tidak akan menjamin perusahaan yang berkualitas rendah. Sehingga semakin tinggi reputasi underwriter maka mencerminkan risiko perusahaan IPO tersebut rendah serta rendah pula tingkat ketidakpastian harga saham di masa yang akan datang, sehingga tingkat underpricing juga rendah (Carter dan Steven 1990). Dari paparan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H2: Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap IPO underpricing 3. Metoda Penelitian Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu seluruh perusahaan yang melakukan IPO dan mengalami underpricing di Bursa Efek Indonesia periode Januari 2007- Desember 2012. Data yang diperlukan meliputi data kuantitatif berupa data harga penawaran saham perdana (offering price) saham, harga penutupan (closing price) saham hari pertama di pasar skunder. Data kualitatif yang diperlukan berupa data pengungkapan intelektual capital dan underwriter. Data tersebut diperoleh dari www.idx.co.id, IDX Fact book, IDX Statistic 2007 – 2012, ICMD 2007 –
319
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
2012, PDEB UGM, Media masa, internet serta publikasi lain yang dapat membantu penelitian ini. Berikut jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini: Tabel 1 Sampel penelitian Keterangan Jumlah Perusahaan yang melakukan IPO periode 2007 - 2012 125 Perusahaan yang tidak underpricing (22) Perusahaan yang laporannya keuangannya negatif (3) Sampel yang digunakan 100
Untuk menjawab hipotesis digunakan model sebagai berikut: UNDί = α + β1ICi + β2URi + β3SIZEi + ε α β ε UNDi ICi RUi SIZEi
= Konstan = Koefisien regresi = residual error = Tingkat underpricing perusahaan i = Modal Intellectual perusahaan i = Reputasi Underwriter perusahaan i = Ukuran perusahaan i
Tingkat underpricing perusahaan (notasi UND) Underpricing diukur dengan menggunakan initial return atau return awal yaitu selisih antara harga saham pada hari pertama penutupan (closing price) pada pasar skunder dikurangi harga di pasar perdana dibagi dengan harga di pasar perdana closing price – offering prices Initial Return = -------------------------------------- x 100% offering prices
………… (1)
Intellectual Capital (notasi IC) Pengungkapan intelektual capital digunakan indek untuk menentukan persentase pengungkapan dalam prospectus dengan content analysis. Content analysis dilakukan dengan membaca laporan prospectus atau annual report setiap perusahaan sampel dan memberi kode dikotomi tanpa mempertimbangkan bobot masing-masing yaitu memberi skor 1 jika atribut intelektual capital diungkapkan, dan skor 0 jika atribut intelektual capital tidak diungkapkan. Selanjutnya, indeks pengungkapan dihitung dengan cara berikut; Jumlah IC yang diungkapkan dalam prospectus Indek intelektual capital = ---------------------------------------------------------- x 100% … (2) Jumlah IC yang seharusnya diungkapkan
320
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Jumlah pengungkapan intelektual capital yang seharusnya dalam penelitian ini ada 84 item yang digunakan oleh Singh dan Van der Zahn (2007) dengan menggunakan indeks pengungkapan intellectual capital yang dikembangkan dari indeks penelitian sebelumnya oleh Bukh et al. (2005). Indeks pengungkapan tersebut dari 84 item yang membagi intellectual capital menjadi 6 komponen, yaitu: karyawan ada 28 item, pelanggan ada 16 item, teknologi informasi ada 6 item, proses ada 9 item, riset dan pengembangan (R&D) ada 9 item, serta pernyataan strategis ada 16 item.
Reputasi Underwriter (notasi RU) Reputasi underwriter diukur dengan memberi kode 1 untuk penjamin emisi yang masuk peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total trading frequency dan kode 0 untuk penjamin emisi yang tidak masuk peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total trading frequency. Ukuran perusahaan (sebagai variabel control = notasi size) Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan logaritma natural (ln) dari total asset yang dimiliki perusahaan pada periode terakhir sebelum melakukan IPO. Menurut Martani dan Chastina 2005, perusahaan dengan asset besar akan memberikan sinyal bahwa perusahaan memiliki prospek bagus dan dapat mengurangi ketidakpastian dimasa yang akan datang. Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat underpricing. 4. Hasil dan Pembahasan
Variabel IPO Underpricing IC Disclosure Size
N 100 100 100
Tabel 2 Deskripsi data Minimum Maksimum Mean 0,014 0,710 0,297 .071 0,675 0,341 18,718 31,519 27.644
Deviasi Std. 0.211 0.157 2.078
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata underpricing saham dari pengamatan terhadap 100 perusahaan lebih dari 25%, rata-rata pengungkapan modal intelektual pada perusahaan kurang dari 50%. Emiten yang mengalami underpricing terendah 1,4% adalah PT Elang Mahkota Teknologi Tbk, sedangkan emiten dengan tingkat underpricing tertinggi adalah 71% terjadi pada perusahaan Bekasi Asri Pemula Tbk, Triwira Insanlestari Tbk, Destinasi Tirta Nusantara Tbk, PT Bank Sinarmas Tbk, dan PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk, Tri Bayan Tirta Tbk, dan Waskita Karya Tbk. Pengungkapan modal intelektual terendah 7,1% oleh PT Golden Retalindo Tbk dan pengungkapan modal intelektual tertinggi 67,5% PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Tabel 3 Deskripsi data berdasar kelompok pengungkapan Keterangan IPO Underpricing IC Disclosure
Sampai 50% Jumlah sampel Rata-rata 84 19,22% 86 29,59%
Lebih dari 50% Jumlah sampel Rata-rata 16 65,19% 14 61,79%
321
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
IPO Underpricing
IC Disclosure Sampai 50% 29,5%
IC Disclosure lebih dari 50% 27,45%
Pada tabel 3 terlihat bahwa dari 100 sampel perusahaan yang diamati dengan tingkat underpricing kurang dari 50% lebih banyak daripada perusahaan yang mengalami underpricing lebih dari 50%. Perusahaan dengan tingkat pengungkapan intellectual capital kurang dari 50% juga lebih banyak dari perusahaan dengan tingkat pengungkapan intellectual capital lebih dari 50%. Perusahaan yang mengungkapkan intelektual capital sampai 50% mengalami underpricing lebih besar dari perusahaan yang mengungkapkan intellectual capital lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan intellectual capital akan semakin rendah tingkat underpricing saham. Tabel 4: Deskripsi data untuk reputasi underwriter Keterangan Tidak masuk peringkat Masuk Peringkat Total
Frekuensi 42 58 100
Persen 42 58 100
Pada tabel 4 tersebut terlihat bahwa penjamin emisi yang masuk peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total trading frequency lebih dari 50%. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih dari 50% penjamin emisi dalam perusahaan sampel adalah penjamin emisi yang berkualitas termasuk dalam peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total trading frequency. Hasil Analisis Regresi untuk menguji hipotesis dapat dilihat pada tabel 5 berikut: Tabel 5 Hasil uji hipotesis Koefisien Constant 0.474 Modal Intelektual -0.292 Reputasi Underwriter -0.144 Ukuran Perusahaan 0.00 ependen Variabel: Underpricing F Statistik: 6.341 R2 : 0,165
T Sig VIF 1.783 0.078 0.033 1.040 -2.163 0.001 1.017 -3.561 0.023 0.982 1.047 Durbin-Watson; 1.805 Signifikansi: 0,001 Adjusted R2 : 0,139
signifikan pada α = 5%, R2 dan Adjusted R2 untuk menguji besarnya korelasi, F Statistik untuk menguji model
Pada tabel 5 dapat dilihat hasil uji asumsi klasik gejala multikolonearitas data dengan VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 10 menunjukkan bahwa model regresi terbebas dari gangguan multikolinearitas (Ghozali 2007). Hasil uji autokolerasi menujukkan nilai DurbinWatson berada diantara nilai du – 4 du atau antara 1,6819 – 2,3181 berarti tidak terjadi gejala autokorelasi dalam model regresi. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 16,5% dan adjusted R2 sebesar 13,9%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel modal intelektual dan 322
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
reputasi underwriter hanya dapat menjelaskan 16,5% (13,9%), sehingga masih banyak variabel yang bisa diteliti berkaitan dengan underpricing saham saat IPO. Hasil regresi berganda menunjukkan nilai F statistik kurang dari 5%, hal ini menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini dapat digunakan. Hasil uji hipotesis pada tabel 5 terlihat bahwa nilai signifikansi untuk variabel intellectual capital disclosure dan reputasi underwriter signifikan dibawah 5% dengan angka t negative. Hal ini menunjukkan bahwa intellectual capital disclosure dan reputasi underwriter secara negative mempengaruhi tingkat underpricing. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intellectual capital disclosure, maka dapat mengurangi underpricing, begitu juga reputasi underwriter yang baik dapat mengurangi underpricing. Intellectual capital disclosure dapat mengurangi asimetri informasi antara investor dengan agen perusahaan yang dapat mempengaruhi tingkat underpricing. Intellectual capital disclosure dapat menjadi salah satu sumber informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan dalam proses pembuatan keputusan, karena intellectual capital disclosure dapat membuat laporan keuangan menjadi lebih relevan dan reliabel terutama untuk memprediksi kinerja keuangan di masa yang akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa investor mulai mempertimbangkan intellectual capital disclosure sebagai salah satu hal yang diperhatikan untuk pengambilan keputusan dalam membeli saham perdana. Reputasi underwriter merupakan sinyal bagi pasar. Underwriter dengan reputasi yang baik akan memberikan sinyal positif terhadap pasar karena underwriter dengan reputasi yang baik memiliki banyak informasi di pasar modal dan lebih memiliki kemampuan dalam mengelola harga saham. Dengan adanya sinyal positif yang diberikan oleh underwriter dengan reputasi yang baik, maka tingkat underpricing dapat dikurangi. 5. Simpulan Pengujian menggunakan analisis regresi memperoleh hasil bahwa intellectual capital disclosure dan reputasi underwriter berpengaruh negative terhadap underpricing saham. Hal ini mengindikasikan bahwa intellectual capital disclosure yang tinggi dan reputasi underwriter yang baik dapat mengurangi underpricing saham saat IPO di Bursa Efek Indonesia. Hasil pengujian koefisien determinasi dalam penelitian ini masih rendah sehingga perlu menguji dengan menambah variabel lain seperti leverage, ROE, kondisi perekonomian, struktur kepemilikan, rata-rata kurs, jenis industry, karakteristik investor dan reputasi auditor. Penelitian selanjutnya juga dapat menguji intellectual capital disclosure dengan cara memisahkan pengungkapan yang wajib (mandatory) dengan pengungkapan yang sukarela (voluntary).
323
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Daftar Referensi Baron. 1982. A Model of the Demand for Investment Banking Advising and Distribution Services for New Issues. Journal of finance 37/4: 955-976. Beatty, Randolph P. 1989. Auditor Reputation and the Pricing of Initial Public Offerings. The Accounting Review. Vol 64/4: 693-709. Bontis, Nick. 2001. Assessing Knowledge Assets: A Review of the Models Used to Measure Intellectual Capital. International Journal of Management Reviews. Vol. 3/1: 41-60. Bukh, Per Nikolaj. 2003. The Relevance of Intellectual Capital Disclosure: A Paradox?. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol. 16/1: 49-56. Bukh, Per Nikolaj. Christian Nielsen. Peter Gormsen. dan Jan Mouritsen. 2005. Disclosure of Information on Intellectual Capital in Danish IPO Prospectuses. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol. 18/6: 713-732. Carter, Richard dan Steven Manaster. 1990. Initial Public Offerings and Underwriter Reputation. The Journal of Finance. Vol. 45/4: 1045- 1067. Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Guthrie, James dan Richard Petty. 2000. Intellectual Capital Literature Review; Measurement, reporting, and Management. Journal of Intellectual Capital, Vol 1, No. 2: 156-176 Jogiyanto, Hartono. 2010. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Ketujuh. Yogyakarta: BPFE Karlis, Peter L. 2000. IPO Underpricing. The Park Place Economist. Vol. 8: 81-89. Lang, Mark H. dan Russel J. Lundholm. 2000. Voluntary Disclosure and Equity Offerings: Reducing Information Asymmetry or Hyping the Stock?. Contemporary Accounting Research. Vol. 17/4: 623-662. Martani, Dwi dan Yolana, Chastina. 2005. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Fenomena Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana di BEJ Tahun 1994 – 2001. Proceedings. Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo, Indonesia: 538-553. Murni, Siti Asiah. 2004. Pengaruh Luas Ungkapan Sukarela dan Asimetri Informasi Terhadap Cost of Equity Capital pada Perusahaan Publik di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 7/2: 192-206. Nyoman, T dan Suad Husnan. 2004. Perbandingan Abnormal Return Emisi Saham Perdana Perusahaan Keuangan dan Non-keuangan di Pasar Modal Indonesia: Pengujian Terhadap Hipotesis Informasi Asimetri. Sosiosains. XVII/3
324
Zulhawati
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Singh, Inderpal dan Mitchell Van der Zahn. 2007. Does Intellectual Capital Disclosure Reduce an IPO’s Cost of Capital? The Case of Underpricing. Journal of Intellectual Capital, Vol. 8/3: 404-516. Singh, Inderpal dan Mitchell Van der Zahn. 2008. Determinants of Intellectual Capital Disclosure in Prospectuses of Initial Public Offerings. Journal of Accounting and Business Research. Vol. 38/5: 409-431. Tandelilin, Eduardus. 2011. Analisis Investasi & Manajemen Portofolio. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Trisnaningsih. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol/2: 195–210
Lampiran Daftar Perusahaan Sampel No CODE Emiten 1 BISI Bisi Internasioanal Tbk 2 WEHA Panorama Transportasi Tbk 3 BKDP Bukit Dramo Property Tbk 4 SGRO Sampoerna Agro Tbk 5 MNCN Media Nusantara Citra Tbk 6 MCOR Bank Windu Kentjana Internasional Tbk 7 PKPK Perdana Karya Perkasa Tbk 8 LCGP Laguna Capital Griya Tbk 9 DEWA Darma Henwa Tbk 10 BACA Bank Capital Indonesia Tbk 11 GPRA Perdana Gapuraprima Tbk 12 WIKA Wijaya Karya ( persero) Tbk 13 ACES Ace Hardware Indonesia Tbk 14 PTSN Sat Nusapersada Tbk 15 JSMR Jasa Marga( Persero) Tbk 16 17 18 19 20 21 21 23 24
JKON CSAP ASRI ITMG COWL ADRO BAEK BAPA DBSDE
Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk Catur sentosa Adiprana Tbk Alam Sutera Reality Tbk Indo Tambangraya Megah Tbk Cowell Development Tbk Adaro Energy Tbk Bank Ekonomi Raharja Tbk Bekasi Asri Pemula Tbk Bumi Serpong Damau Tbk
IPO Date 28-Mei-07 31-Mei-07 15-Jun-07 18-Jun-07 22-Jun-07 3-Jul-07 11-Jul-07 13-Jul-07 26-Sep-07 04-Okt-07 10-Okt-07 9-Jul-07 6-Nov-07 8-Nov-07 12-Nov-07 04-Des-07 12-Des-07 18-Des-07 18-Des-07 19-Des-07 16-Jul-08 8-Jan-08 14-Jan-08 6-Jun-08
325
Zulhawati
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
YPAS ELSA GZCO TPIA TRAM TRIL KOIN SIAP HOME INDY PDES BWPT DSSA INFC TRIO BBTN BCIP BPFI MKPI EMTK PTPP BIPI ROTI GOLD SKYB BCBR IPOL GREEN BUVA BRAU HRUM ICBP TBIG KRAS APLN MIDI BSIM MFMI MBSS SRAJ HDFA
Yanaprima Hastpersada Tbk Elnusa Tbk Gosco Plantations Tbk Candrha Asri Putra chemical Tbk Trada Maritime Tbk Triwira Insanlestari Tbk Kokoh Inti Arebama Tbk Sekawan Inti Pratama Tbk Hotel Manadarin Regency Tbk Indika Energy Tbk Destinasi Tirta Nusantara Tbk BW Plantation Tbk Dian Swastatika Sentosa Tbk Inovisi Invracom Tbk Trikomsel Oke Tbk Bank Tabungan Negeri ( persero) Tbk Bumi Citra Permai Tbk Batavia Prosperindo Finance Tbk Metropolitan Kentjana Tbk PT Elang Mahkota Tbk PT Pembangunan Perumahan ( persero) Tbk PT Benakat Petroleum Energy Tbk PT Nippon Indosari Corporindo Tbk PT Golden Retailendo Tbk PT Skybee Tbk PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk PT Indopoly Swakarsa Industri Tbk PT Evergreen Invesco Tbk PT Bukit Uluwatu Villa Tbk PT Brau Coal Energy Tbk PT Harum Energy Tbk PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk PT Tower Bersama Infrastructur Tbk Krakatau Steel Tbk PT Agung Podomoro Land Tbk PT Midi utama Indenesia Tbk PT Bank Sinarmas Tbk PT Multi Feeling Mitra Indonesia Tbk Mitrabahtera Segara Sejati Tbk Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk HD Finance Tbk
5-Mar-08 6-Feb-08 15-Mei-08 26-Mei-08 10-Sep-08 28-Jan-08 9-Apr-08 17-Okt-08 17-Jul-08 11-Jun-08 8-Jul-08 27-Okt-09 10-Des-09 3-Jul-09 14-Apr-09 17-Des-09 11-Des-09 1-Jun-09 10-Jul-09 12-Jan-10 9-Feb-10 11-Feb-10 28-Jun-10 7-Jul-10 7-Jul-10 8-Jul-10 9-Jul-10 9-Jul-10 12-Jul-10 19-Agust-10 06-Okt-10 07-Okt-10 25-Okt-10 10-Nop-10 11-Nop-10 30-Nop-10 13-Des-10 29-Des-10 6-Apr-11 11-Apr-11 10-Mei-11
326
Zulhawati
66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
BULL SIMP TIFA PTIS ALDO STAR SUPR ARII GEMS FIFA ABMM SDMU BAJA PADI TELE ESSA BEST RANC TRIS KOBX TOBA MSKY ALTO GLOB GAMA BJTM IBST NIRO PALM NELY TAXI BSSR ASSA WIIM WSKT
Buana Listya Tama Tbk Salim Ifomas Pratama Tbk Tifa Fince Tbk Indo Straits Tbk Alkondo Naratama Tbk Star Petrocem Tbk Solusi Tunas Pratama Atlas Resources Tbk Golden Energy Mines Tbk Fisi Media Asia Tbk ABM Investama Tbk Sidomulyo Selaras Tbk Saranacentral Bajatama Tbk Minna Padi Investama Tbk Tipnone Mobile Indonesia Tbk Surya Essa Perkasa Tbk Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk Supra Boga Lestari Tbk Trisula Internasional Tbk Kobexindo Tractors Tbk Toba Bara Sejahtera Tbk MNC Sky Vision Tbk Tri Bayan Tirta Tbk Global Teleshop Tbk Gading Develop Tbk Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk Inti Bangun Sejahtera Tbk Nirvana Development Tbk Provident Agro Tbk Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk Express Transindo Utama Tbk Baramulti Suksesarana Tbk Adi Sarana Tbk Wismilak Inti Makmur Tbk Waskita Karya Tbk
23-Mei-11 9-Jun-11 8-Jul-11 12-Jul-11 12-Jul-11 13-Jul-11 11-Okt-11 08-Nop-11 17-Nop-11 21-Apr-11 06-Des-11 12-Jul-11 21-Des-11 9-Jan-12 12-Jan-12 1-Feb-12 10-Apr-12 7-Jun-12 28-Jun-12 5-Jul-12 6-Jul-12 9-Jul-12 10-Jul-12 10-Jul-12 11-Jul-12 12-Jul-12 31-Aug-12 13-Sep-12 08-Okt-2012 11-Okt-2012 2-Nov-12 8-Nov-12 12-Nov-12 18-Nov-12 19-Nov-12
327
INDEX 10 Steps Roadmap
(197)
AEC 2015
(280)
ASEAN MRA
(280, 286)
Calendar Effects
(187, 195, 196)
Competencies
(229)
Corporate Social Responsibility
(214, 215, 216, 220, 221, 225, 227, 228)
Distribution Outlet
(264)
Efficient Market Hypothesis
(187, 194, 195)
Employee Performance
(167, 229, 244)
Follower
(248, 249, 251, 253, 254, 256, 257, 258, 259, 260, 261,262)
Green Marketing
(214, 215, 220)
Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance
(187, 188, 189)
Indonesia Automotive Industry
(280, 281, 286, 288, 289, 290, 291)
Information Asymmetries
(313)
Intellectual Capital Disclosure
(313, 315, 318, 323, 324, 325)
IPO Underpricing
(313, 315, 316, 319, 321, 322, 324)
January Effect
(187, 188, 189, 190, 194, 195, 196)
Kesadaran Nilai
(295, 296, 297, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309)
Knowledge Management Strategy
(197)
Knowledge Management System
(197, 198, 199, 200, 208, 211, 213)
Market Leader
(248, 253, 261)
Market Pioneer
(248, 249, 262)
Marketing Outcome
(214, 215)
Misperception
(248, 259, 261)
MOODLE
(197, 204, 205, 206, 209, 210, 211)
Niat Konsumen
(295, 303)
Online Marketing
(295)
Organizational Culture
(229, 244, 245, 246)
Perceptual Map
(264, 274)
Pioneer Advantages
(248. 262)
Qualitative Method
(214)
Risiko
(251, 295, 296, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 314, 316, 317, 319)
SECI model
(197)
Sikap
(167, 168, 179, 215, 216, 218, 219, 222, 225, 226, 227, 249, 251, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 295, 296, 299, 300, 301, 302, 303, 305, 305, 306, 307, 308, 309, 310)
Store Design
(264, 266, 267, 268, 272, 273, 274, 275, 277, 278, 279)
Strategi
(165, 166, 167, 170, 172, 173, 174, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 185, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 211, 212, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 250, 262, 263, 265, 267, 268, 279, 318)
Underwriter Reputation
(313, 315, 324)
UNECE International Automotive Standard
(280, 281, 288, 289)
Visual Merchandising
(264, 266, 267, 271, 272, 273, 274, 275, 277, 278, 279)
INDEX PENULIS Dyah Sawitri, Andarwati, Sri Winarti
165
STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU (STUDI PADA SMP NEGERI 21 KOTA MALANG) Helma Malini, Mohamad Jais
187
TESTING THE EXISTENCE OF JANUARY EFFECT IN INDONESIA AND KUALA LUMPUR SHARI’AH COMPLIANCE Joeliaty, Ajeng Pritha Aryani
197
PERANCANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM PADA BAGIAN DIKLAT PT DIRGANTARA INDONESIA Masmira Kurniawati, Sri Hartini, Lilik Rudianto
214
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY: ANALISIS VARIABEL ANTESEDEN DAN KONSEKUENSI Raden Lestari Garnasih
229
BUDAYA ORGANISASI, KOMPETENSI DAN KINERJA KARYAWAN PADA PT. ANGKASA PURA II (PERSERO) KANTOR CABANG BANDAR UDARA SULTAN SYARIF KASIM II PEKANBARU Ervina Triandewi, Fandy Tjiptono
248
KETEPATAN DAN KESALAHAN PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PIONIR DAN PEMIMPIN PASAR Jurry Hatammimi, Brhiyawan RH Cendekia
264
PEMETAAN STORE DESIGN DAN VISUAL MERCHANDISING DISTRO DI KOTA BANDUNG Muhammad Ikhsan, Nila K. Hidayat, Linus Pasasa
280
ANALYSIS ON THE PREPARATION OF INTERNATIONAL STANDARD IMPLEMENTATION TO INDONESIA AUTOMOTIVE INDUSTRY EXPECTED PERFORMANCE FACING ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Sony Kusumasondjaja, Syahrial Ashari
295
PENGARUH KESADARAN NILAI, INTEGRITAS, GRATIFIKASI PERSONAL, DAN PENGHINDARAN RISIKO TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU PADA PRODUK LAGU BAJAKAN Zulhawati PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL, REPUTASI UNDERWRITER DAN IPO UNDERPRICING
313
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS INDONESIA Nama
: _________________________________________________________________________
Institusi
: _________________________________________________________________________
Alamat
: _________________________________________________________________________
No. Telp / Fax
: _________________________________________________________________________
Email
: _________________________________________________________________________
No. HP
: _________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________
Dengan ini berminat untuk mengajukan berlangganan JMBI ________________________ eksemplar JMBI no. ___________ vol. ___________
@ Rp. 100.000
1 Volume, JMBI no. ___________ - ___________ vol. ___________
@ Rp. 275.000
___________ eksemplar Reprint JMBI untuk :
@ Rp. 25.000
Artikel dengan Judul ___________ Nama penulis ___________ No. ___________ Vol. ___________ Dan melakukan pembayaran secara transfer sebesar _______________________________________________ __________________________________________ melalui Bank BNI UNAIR ac. 0173762686 an. Nuri Herachwati
INFORMASI PEMASANGAN IKLAN JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS INDONESIA 1 (satu) halaman format warna dicover belakang
Rp. 5.000.000
1 (satu) halaman format warna dihalaman belakang
Rp. 4.000.000
1 (satu) halaman format hitam putih
Rp. 2.500.000
½ (setengah) halaman format warna
Rp. 2.000.000
½ (setengah) halaman format hitam putih
Rp. 1.500.000
alamat redaksi PENGURUS PUSAT FORUM MANAJEMEN INDONESIA
Universitas Airlangga Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Kampus B, Jalan Airlangga 4, Surabaya 60286 Fax 031 5026288 Email
[email protected]
alamat redaksi PENGURUS PUSAT FORUM MANAJEMEN INDONESIA
Universitas Airlangga Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Kampus B, Jalan Airlangga 4, Surabaya 60286 Fax 031 5026288 Email
[email protected]
ISSN 2338-4557