ISSN: 1410-4113 Sdz\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ Volume 18 Nomor
Agustus 2006
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial (Social Science)
Hubungan Karakteristik Personal dan Karakterisitik Lingkungan dengan Proses Pengambilan Keputusan Petani dalam Kegiatan Pemasaran Sayuran Pengembangan Agribisnis melalui Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) dengan Pola Kemitraan di Wilayah Kota Malang
Persepsi dan Sikap Penegak Hukum terhadap Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sesuai dengan Undang-undang Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004 di Jawa Timur
Ibu Bekerja di sektor Publik dan Pengaruhnya terhadap Pola Konsumsi dan Status Gizi Keluarga di Kota malang dan Batu
Peringkat Masalah dan Tindakan dalam Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Kabupaten Malang
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Media Anak-anak
Pengembangan Agroindustri Skala Kecil dan Menengah dengan Pendekatan Klaster Industri Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah Berkaitan dengan Pemilihan Langsung Inovasi Visi Politik Perempuan dalam Pemilu 2004
1
Sunarti, Hamidah Nayati Utami
138-144
Moch. Agus Junaidi, Tatiek Kurniawati A.
145-152
Sri Wahyuningsih, Umu Hilmy, Lucky Endrawati, Estu Mahendra, Dhia Al Uyun, Mufatikhatul Farikhah
153-161
Siti Asmaul M., Nur Atifah, Sisti Narsito Wulan
162-175
Nuddin Harahab, Harsuko Riniwati, Muh. Musa, Zainal Abidin
176-183
Sasa Djuarsa Senjaya
184-191
Isti Purwaningsih, Retno Astuti
192-202
Isrok
203-213
Sri Kustina
214-224
2
Persepsi dan Sikap Penegakan Hukum Terhadap Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sesuai Dengan Undang-undang Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004 di Jawa Timur Sri Wahyuningsih, Umu Hilmy, Lucky Endrawati, Estu Mahendra, Dhia Al-Uyun dan Mufatikhatul Farikhah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ABSTRAK Diterima tanggal 1 September 2005, disetujui tanggal 5 Juli 2006 Dengan diundangkannya UU No.23 Th.2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Penghapusan KDRT), maka terdapat masalah tentang persepsi dan sikap penegak hukum dalam menangani kasus-kasus KDRT yang selama ini hanya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Analisis terhadap persepsi dan sikap penegak hukum tersebut diharapkan dapat mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong penegak hukum belum atau sudah mengimplementasikan ketentuan UU Penghapusan KDRT. Untuk itu penelitian empiris dilakukan, dengan pemilihan lokasi di Pamekasan, Surabaya, Jember, Bondowoso, Tulungagung dan Ponorogo, dengan responden: polisi, Jaksa dan hakim di lokasi tersebut. Data primer dan sekunder digunakan serta analisis latent dan manifest dilaksanakan dengan teknik pengujian komparatif dan rasionalisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa persepsi penegak hukum terhadap KDRT cukup baik, namun masih belum peka gender, karena pengaruh budaya patriarkhis masih cukup signifikan, sehingga sebagian dari mereka masih menganggap bahwa KDRT bukan kejahatan melainkan hanya merupakan problem keluarga. Kedua, penegak hukum sebagian masih menggunakan KUHP, sehingga implementasi UU Penghapusan KDRT belum optimal dilakukan. Ketiga, faktor-faktor penyebabnya adalah sebagian besar penegak hukum belum memahami UU tersebut dengan baik, sehingga khawatir pelaku lolos dari jeratan hukum, mereka menggunakan KUHP sebagai juncto maupun berdiri sendiri. Oleh karena itu upaya-upaya untuk melatih mereka perlu dilakukan, juga pembuatan modul untuk pelatihan tersebut. Selain itu advokasi kepada para penegak hukum juga penting untuk dilakukan supaya mereka dapat berkoordinasi dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT. Kata kunci: persepsi dan sikap
The Perception and The Attitude of The Legal Officer to Handle The Domestic Violence According to The Law Number 23/2004 About Retiring of Domestic Violence at East Java Abstract
With the establish by Law No.23 Th.2004 on the Elimination of Domestic Violence (UU PKDRT), so there are many problems about perceptions and attitudes of legal officers in handling domestic violence cases who had only used the Book of Criminal Law (KUHP). Analysis of the perceptions and attitudes of legal officers expected to reveal the factors that encourage legal officers have already implemented UU PKDRT. For the empirical research carried out, with the selection of locations in Pamekasan, Surabaya, Jember, Bondowoso, Tulungagung and Ponorogo, with respondents: police, prosecutors and judges in those locations. Primary and secondary data use and analysis of latent and manifest comparative technics carried out by engineering and rationalization. The results show that the perception of legal officers to domestic violence is quite good, but still not gender sensitive, because the influence of patriarchal culture is still quite significant, so some of them still think that domestic violence is not a crime but only a family problem. Second, some law enforcement agencies still use the Criminal Code, so that the implementation of the Law on the Elimination of Domestic
3
Violence do not optimal. Third, the factors are the most legal officers do not understand the law well, so concerned actors escape the law, they used the Penal Code as amended or stand alone. Therefore, efforts to train them to do, also the manufacture of modules for training. In addition to his advocacy of law enforcement is also important to do so they can coordinate in resolving domestic violence cases. Key words: perception and attitudes
PENDAHULUAN Kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dewasa ini makin meningkat baik secara kuantitas maupun secara kualitasnya, baik pada level nasional, regional maupun lokal. Kasus di Jawa Timur, yang korbannya perempuan dan anak, 2003-2004, rata-rata 5-15 telah diputus secara inkrah (Hilmy, dkk. 2005). Jumlah kasus yang diproses lebih dari itu, namun banyak kasus yang dihentikan karena berbagai alasan. Di tingkat nasional 80% kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kasus KDRT, dan di Jawa Timur hal itu meningkat empat kali lipat (Kolibonso, R.S, 1998, Katjasungkana, D., 2003). Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pada 22 September 2004, membuktikan terwujudnya „law in book‟ dan pengakuan Pemerintah bahwa dulu KDRT yang dianggap sebagai skeleton in closet (Harkrisnowo, H. 2004), kini menjadi tindak pidana atau urusan publik. Sosialisasi dan advokasi ke berbagai pihak (Team Work Lapera, 2001), telah dilakukan sebagai upaya menegakkan hukum atau „law in action‟. Namun, kendala budaya patriarkhi yang sudah mendarah daging atau ngoyod nampak jelas pada sebagian besar dakwaan yang hanya mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KDRT sangat kompleks dan tidak cukup diselesaikan lewat peradilan, tetapi harus diberantas sampai akar permasalahan-nya dengan counter culture terhadap ideologi patriarkhi (Smart, Carol. 1991). UU Penghapusan KDRT merupakan undangundang yang bersifat reformatif terhadap tindak pidana yang berada di ranah domestik dan mengkategorikannya sebagai perbuatan yang merepresentasikan ketidak adilan gender yang harus dihentikan (Fakih, M. 1996). UU Penghapusan KDRT memiliki kelebihankelebihan sebagai berikut: (a) UU Penghapusan KDRT mengatur 4 (empat) macam KDRT; (b)
menetapkan ancaman pidana minimal dan maksimal; (c) mewajibkan penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban dan mewajibkan keluarga, tenaga kesehatan, pekerja sosial, pendamping dan pembimbing rohani untuk memberikan layanan dan pemulihan kepada korban. Substansi hukum yang bagus, telah diimplementasikan oleh beberapa hakim perempuan yang memvonis dengan pidana yang lebih tinggi (Chalid, H. 2004), seharusnya diikuti oleh hakim laki-laki, agar sensitif dan responsif terhadap kesetaraan dan keadilan gender melalui penerapan social relations approach (March, C. et all 1999). Mentaati kode etik, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, termasuk saksi korban, dengan mewujudkan keadilan (Kansil, dkk. 2003). Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis (1) persepsi dan sikap penegak hukum tentang KDRT telah sesuai dengan UU Penghapusan KDRT atau tidak; (2) dasar hukum yang digunakan; (3) faktor-faktor yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum tersebut; dan (4) upaya-upaya konkrit yang diperlukan agar penegak hukum dapat menegakkan UU Penghapusan KDRT secara lebih optimal. KAJIAN PUSTAKA Hukum nasional saat ini merupakan hasil dari suatu perjalanan sejarah panjang. Awalnya pandangan tentang the supremacy state of law atau rechtstaat, dipakai orde baru untuk meligitimasikan aliran positivisme rechtstaat (Pound dalam Wignjosoebroto; 2002), hukum sebagai tools of social engineering yang sangat berguna untuk menyukseskan pembangunan. Keadaan itu berubah, ketika muncul aliran „critical legal studies‟ (CLS) yang berkembang pada tahun 1970-an yang bertolak dari keprihatinan melihat kenyataan banyak problem sosial politik dan hukum yang disebabkan oleh
4
pengambilan keputusan yang kontroversial oleh para eksekutif pengontrol kebijakan publik yang sepihak demi kepentingan politik „the industrial and military establishment‟, sehingga tidak lagi mudah lagi dikontrol oleh rakyat sebagai pencari keadilan. Pendekatan „social constructionism‟ dan hermeneutik juga secara tegas menolak faham univeralisme (Wignjosoebroto; 2002: 104). Kepatuhan dan perlawanan tehadap struktur sosial tergantung pada persepsi orang dalam menangkap gejala sekelilingnya. Maskovitz (1969) mengemukakan bahwa: ‘perception there is a global or wide range response to set a stimuli or set of stimuli, a response which utilizes and integrates information beyond that contained in the stimulus it self’. Pendapat serupa dikemukakan oleh Braca (1955). Tapi Berlyne berpendapat berbeda, yakni ada 4 faktor yang perlu diperhatikan: (1) hal-hal yang diamati dari sebuah rangsangan yang bervariasi; (2) dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu; (3) dari arah alat-alat inderawi; (4) cenderung kearah tertentu sesuai dengan pengalaman dan kemampuan yang memberikan persepsi. Dari segi kognitif, pengalaman masa lalu, latar belakang budaya, motivasi, suasana hati, dan sikap (Berrelson dan Steiner, 1982), timbul karena faktor internal dan eksternal (Thoha: 1983). Persepsi berpengaruh terhadap sikap, sekaligus perilaku (F.E. Kast; 1970), sementara Gibson (1950) juga menegaskan bahwa sikap merupakan faktor yang menentukan perilaku. Dalam pembahasan yang lebih terinci, Chung dan Leon (1981) menggambarkan proses persepsi seseorang, yakni adanya perceptual input dan object events yang diseleksi, diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan (mekanisme persepsi) dan menghasilkan atitudes, opini dan feeling yang akhirnya menjadi perilaku seseorang. Dalam hal penegak hukum yang sedang menjalankan penegakan hukum dalam penanganan kasus-kasus KDRT, persepsi mereka tentang pelaku kejahatan, pemberian sanksi, perlindungan terhadap korban yang kebanyakan perempuan dan anak, hubungan antara pelaku dan korban berdasarkan struktur sosial di masyarakat yang kebanyakan masih patriarkhis; merupakan dasar dari sistem berjalannya hukum menurut Friedman (1977); sehingga proses terbentuknya persepsi dan sikap diprediksikan akan berpengaruh dalam penegakan hukum.
Undang-undang Penghapusan KDRT dibuat dari inisiatif masyarakat, sehingga sebagian dari substansinya merupakan pengalaman masyarakat, beserta nilai-nilai dan norma-norma yang harus ada berdasarkan teori-teori ilmu hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu Fakih (1996: 12-17) berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan yang terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan, usia dan gender, oleh karenanya menganalisis dengan analisis sosial saja tidaklah cukup, melainkan harus disertai analisis gender. Teori pemidanaan pada umumnya terdiri dari teori absolut dan teori relatif. Teori absolut berpendapat bahwa pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan suatu kejahatan (quia peccatum est); jadi menurut Johannes Andenaes yang didukung oleh Immanuel Kant, tujuan utama penjatuhan pidana adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah tujuan sekunder. Sedangkan teori relatif berpendapat bahwa pemberian pidana adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat yang oleh Johannes Andenaes disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defense) dan oleh Nigel Walker dikategorikan sebagai teori reduktif (the reductive point of view). Dalam pada itu Sholehuddin (2003) mengemukakan tentang ide dasar sanksi pidana dan sanksi tindakan (Double track system), yang seharusnya diimplementasikan dalam kebijakan legislasi. Sampai pertengahan abad 20, penjahat merupakan perhatian utama di bidang kriminologi. Baru pada tahun 1977, Michalowski dalam Meier mengemukakan bahwa hubungan hukum dengan masyarakat ada yang melalui consensus, pluralis dan conflict. Moeljatno (1982) yang menyadur pendapat Hurwitz mengemukakan tentang sebabsebab seseorang melakukan kejahatan yang dimulai dari faktor biologis dan faktor lingkungan. Selanjutnya Moeljatno (1982) mengemukakan tentang „hidden criminality’ yang sangat penting dalam mengkaji kekerasan dalam rumah tangga. „Hidden criminality’ diartikan sebagai kejahatan yang sungguh-sungguh dilakukan tapi tidak diketahui jumlah sebenarnya (dark number). Di Indonesia, kajian tentang korban tindak pidana belum banyak mendapat perhatian, minimnya tulisan-tulisan ilmiah, produk
5
perundang-undangan bahkan berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang membahas dan memberikan perlindungan terhadap permasalahan korban tindak pidana merupakan buktinya. Pada hal tidak ada pengalaman dalam kehidupannya yang dapat disetarakan seramnya apabila berada didalam suatu fase ancaman kekerasan. Walaupun peran korban dalam mewujudkan suatu tindak pidana penganiayaan berat yang sedang menimpanya yang disebut oleh Schafer (1968: 66-68) sebagai interpersonal relationship antara pelaku dan korbannya memang ada atau telah baku dan normal (Reiff, 1977: 4), maka tidaklah bijaksana untuk menyatakan bahwa semua korban tindak pidana penganiayaan berat itu adalah demikian adanya. Stookey (1977:19) menulis, bahwa sudah basi dan sia-sia untuk menyatakan bahwa korban adalah pihak yang terlupakan dalam peradilan pidana. Sistem peradilan pidana yang seharusnya menjadi wadah penyelamat dan pemulihan penderitaan korban, tetapi yang terjadi acapkali justru menambah penderitaannya dengan post crime victimization (Reiff, 1979). Kajian tentang sistem hukum menurut Friedman (1977) terdiri dari struktur, substansi dan kultur dalam proses berjalannya sistem hukum. Selanjutnya Friedman mengemuka-kan bahwa struktur merupakan suatu kerangka kerja tentang bagaimana institusi aparat penegak hukum, dalam penelitian ini kepolisian, kejaksaan atau pengadilan diorganisasikan. Substansi yang adalah hukum positif (UU Penghapusan KDRT) yang digunakan oleh institusi tersebut yang merupakan patron atau “kerangka batas” menurut von Benda-Beckman (1983) dari setiap individu atau aktor-aktor yang ada di dalam institusi tersebut. Kultur atau budaya hukum yang lebih lanjut diartikan sebagai ideologi, harapan dan opini tentang hukum, merupakan kunci dari berjalannya sistem hukum. Kepatuhan dan perlawanan menurut Hikam (1990): (1) adanya otoritas moral sebagai basis hubungan-hubungan dan stabilitas sosial; (2) keharusan struktural yang menentukan tindakantindakan dan perilaku-perilaku individual, termasuk kepatuhan atau perlawanannya terhadap kekuasaan; (3) adanya proses dialektik dari struktur dan agen serta kesadaran sebagai pendekatan untuk memahami proses kepatuhan sosial dan perlawanan.
Apabila telaah teoritis dari Hikam ini diterapkan pada individu (Friedman, 1977) atau agen (Hikam, 1990), maka dalam penelitian ini individu dapat dibagi menjadi dua pihak, pihak yang satu adalah individu yang berperkara – terdiri dari pelaku dan keluarganya serta korban dan keluarganya; sedangkan pihak lainnya adalah para penegak hukum. Seluruh „stake-holder‟ ini mempunyai ideologi, harapan dan opini yang berbeda tentang substansi hukumnya. Hal ini mempengaruhi kepatuhan dan perlawanan masing-masing terhadap hukum.
METODE PENELITIAN Paradigma dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme yang memahami realitas sebagai suatu konstruksi sosial; dan kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku sesuai dengan konteks spesifik yang relevan oleh pelaku sosial. Dengan paradigma yang demikian itu, maka konsep hukum yang digunakan adalah konsep yang mengemukakan bahwa hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim secara konkrit yang tersistematisasi melalui proses yudisial, sehingga tipe kajiannya adalah mengkaji perilaku hakim. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah UU Penghapusan KDRT sudah diimplementasikan oleh penegak hukum di Jawa Timur, sebagai upaya law enforcement dalam mencapai keadilan. Keadilan dapat tercipta bila semua pihak baik negara (baca pemerintah), masyarakat, termasuk para penegak hukum memiliki persepsi dan sikap kesetaraan dan keadilan jender (Sumiarni, E. 2004). Oleh karena itu jenis penelitian empiris dilakukan. Penelitian ini telah dilakukan di Jawa Timur dengan sampel lokasi 3 area: (1) wilayah pantai utara Jawa yang diwakili oleh Kabupaten Pamekasan dan Kota Surabaya; (2) wilayah „kulonan‟ yang diwakili oleh Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Tulungagung; (3) wilayah „wetanan‟ yang diwakili oleh Kabupaten Jember dan Bondowoso. Alasan pemilihan kabupaten dan kota tersebut adalah: (a) karena hasil penelitian Hilmy, dkk. (2005) menunjukkan bahwa kasuskasus yang korbannya perempuan dan anak ada di daerah tersebut; (b) wilayahnya dibagi berdasarkan geografi yang berbeda. Variabel dalam penelitian ini adalah: pendidikan formal, pelatihan, umur, jenis kelamin, pengalaman menyelesaikan kasus-kasus KDRT, pengetahuan, pemahaman, sikap, perilaku aparat penegak hukum; selain itu kendala, upaya dan
6
harapan dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT juga dideskripsikan dan dikaji. Data primer dalam penelitian ini adalah data tentang pengetahuan, persepsi, sikap, dan perilaku (yang berwujud sebagai opini) penegak hukum dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga beserta harapan-harapan mereka dalam upaya optimalisasi penegakan UU Penghapusan KDRT. Sedangkan data sekundernya adalah ketentuan peraturan perundang-undang yang terdiri dari: (1) KUHP, UU Penghapusan KDRT, dan KUHAP; (2) BAP dan Putusan Hakim yang belum dan/atau sudah memiliki kekuatan hukum tetap tentang kasus-kasus KDRT. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa dan hakim di Jawa Timur. Adapun sampelnya diambil secara purposive, yaitu polisi, jaksa dan hakim yang ada di daerah yang telah ditentukan dan pernah menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga setelah bulan Oktober tahun 2004 (UU Penghapusan KDRT disahkan pada bulan September 2004). Teknik pengambilan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan wawancara terstruktur dan wawancara bebas yang menggunakan „interview-guide‟. Sedangkan data sekunder: (1) tentang peraturan (KUHP, KUHAP dan UU Penghapusan KDRT) didapatkan dengan mengkopy dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Universitas Brawijaya; (2) tentang Berita Acara Pemeriksaan (BAP) didapat dengan mencatatnya dari kepolisian; (3) berkas penuntutan dicatat dari kejaksaan; dan (4) berkas perkara proses peradilan didapat dari pengadilan yang bersangkutan. Data primer yang dihasilkan diolah dengan tahapan sebagai berikut: pertama-tama data hasil wawancara bebas akan direduksi dahulu dengan membuang informasi yang tidak berkaitan dengan masalah yang diteliti; selanjutnya data yang sudah tereduksi akan dianalisis dengan „content analysis‟ dengan teknik analisis „latent‟ maupun „manifest‟. Untuk mendeskripsikan informasi dan interaksi para „stake-holders‟ teknik triangulasi data akan digunakan. Pengujian dalam penelitian tidak didasarkan pada konsep statistik (Pudjirahardjo; 1992), melainkan atas dasar teknik pengujian „comparative analysis‟ dan „rationalization‟; di mana persepsi penegak hukum di ketiga wilayah dibandingkan dan disimpulkan berdasarkan
interpretasi dengan teknik „latent‟ dan „manifest‟ tersebut. Data sekunder tentang peraturan perundangan akan diinterpretasikan dengan teknik interpretasi gramatikal, formal dan kontekstual progresif. Dokumen hukum yang terdiri dari BAP dan berkas-berkas penuntutan dan perkara akan dianalisis dengan „content-analysis‟ juga dengan menggunakan teknik „latent‟ maupun „manifest‟. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi identitas penegak hukum meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, pengalaman, pelatihan. Walaupun responden yang tidak menjawab pertanyaan cukup besar jumlahnya (lebih dari setengahnya), tapi data tersebut menunjukkan bahwa hampir 40% responden yang menyatakan bahwa KDRT merupakan tindak pidana. Adapun pengetahuan dan pemahaman tentang gender dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus. Sisanya memiliki persepsi memiliki persepsi bahwa KDRT itu merupakan problem keluarga, karena itu sebaiknya didamaikan dan tidak setuju kalau pelakunya dihukum, kecuali kalau korban menderita luka-luka yang cukup serius atau cacat seumur hidup atau mati. UU PKDRT dianggap terlalu melindungi isteri, pada hal suami punya kewajiban untuk mendidik istri. Persepsi penegak hukum ini sesuai dengan pendapat Bracca (1955) yang berpengaruh terhadap penjatuhan sanksi sebagaimana juga dikemukakan oleh F.E Kast (1970) dan sejalan dengan hal ini Gibson (1950) menegaskan bahwa sikap merupakan faktor yang menentukan perilaku, tabel berikut menunjukkan hal itu. Tabel 1: Persepsi penegak hukum tentang tindak pidana KDRT PERSEPSI
1. Karena tindak pidana dilakukan di RTG korban harus dilindungi, diselamatkan 2. Bermanfaat utk menyelesaikan kasus 3. Didamaikan dulu kalau tidak bisa, diproses, karena pelaku pencari
POLI -SI n % 1 4,2
JAKSA N % 0 0,0
HAKIM n % 0 0,0
12 50,0
4 22,2
6 31,6
1 4,2
0 0,0
0 0,0
7
nafkah 4. Merupakan problem keluarga, untuk mendidik isteri 5. Terlalu melindungi isteri, pada hal suami punya kewajiban mendidik isteri 6. Tidak menjawab
0 0,0
1 5,6
0 0,0
0 0,0
2 11,1
1 5,3
11 61,1 18 100,0
12 63,2 19 100,0
10 47,1 Jumlah 24 100,0 Sumber: data primer, 2005
Bagi sebagian penegak hukum, gender merupakan suatu permasalahan yang hanya membela dan mengutamakan kaum perempuan, padahal pada kenyataannya gender adalah suatu konsep yang menginginkan adanya suatu kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam hukum, terutama dalam perlindungan korban. Dalam hal sikap, dari hasil penelitian yang menunjukkan adanya keengganan untuk mempersoalkan gender; sebagian besar responden menyatakan tidak setuju kalau keuangan terbatas maka pendidikan diberikan anak perempuan; dan keharusan isteri di rumah walaupun punya ijasah perguruan tinggi; hal ini menunjukkan adanya indikasi kultur atau budaya yang dapat menghambat berjalannya sistem hukum atau implementasi UU Penghapusan KDRT. Sebagaimana yang diungkap dalam kerangka teori Friedman (1977) bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yakni substansi, struktur dan kultur. Ketiga komponen inilah yang menentukan bekerjanya sistem hukum. Data pada tabel berikut menunjukkan hal itu. Tabel 2: Sikap penegak hukum tentang tindak pidana KDRT Sikap Ada ibu memukuli anak, karena anak minta sesuatu, ibu tidak punya uang 1. ibu tsb melanggar UU, hrs diproses 2. ibu hanya diperingatkan saja 3. dilihat per kasus dan
POLISI n %
JAKSA n %
HAKIM n %
12 50,0
6 33,3
7 36,8
10 41,7 0 0,0
10 55,6 1 5,6
9 47,4 1 5,3
situasi/kondisinya 4. tidak menjawab Jumlah Suami menyiram istri dg air ketika istri tdk mau melakukan hubungan seksual 1. kalau istri lapor, harus diproses 2. istri dinasehati, supaya melayani suami dg baik dan lebih sabar 3. bukan tindak pidana 4. jawaban 1dan 2
2 8,3 24 100,0 n %
1 5,6 18 100,0 n %
2 10,5 19 100,0 n %
18 75,0 4 16,7
9 50,0 5 25,8
10 51,6 8 42,1
1 5,6 2 11,1 1 5,6 18 100,0
0 0,0 0 0,0 1 5,3 19 100,0
1 4,2 0 0,0 5. tidak menjawab 1 4,2 Jumlah 24 100,0 Sumber: data primer, 2005
Dasar hukum yang digunakan oleh penegak hukum untuk menangani kasus-kasus KDRT, berdasarkan data sekunder dapat dideskripsikan sebagai berikut: (a) Di Kota Surabaya, Kabupaten Jember, Bondowoso, dan Ponorogo, penggunaannya ada 4 (empat) macam: (1) digunakan KUHP saja; (2) KUHP dengan UU PKDRT dan/atau UU Perlindungan Anak, baik KUHP sebagai dakwaan primer maupun susider dst; (3) KUHP digunakan sebagai juncto dalam dakwaan dan sebaliknya; (4) UU PKDRT saja; (b) sedangkan di dua lokasi lainnya, Pemekasan dan Tulungagung, sudah menggunakan UU PKDRT. Adapun faktor-faktor yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum sebagaimana yang tersebut dalam data sekunder menunjukkan: (1) kalau menggunakan KUHP, mereka merasa bahwa pembuktiannya lebih mudah, karena mereka telah menggunakan KUHP sejak mereka diangkat menjadi penegak hukum; (2) di satu lokasi hakim dan jaksanya mengakui bahwa informasi tentang undang-undang baru kepada mereka lambat sampainya, sehingga mereka tidak dapat menggunakannya sebagai dasar hokum; (3) karena pelakunya yang merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga merupakan faktor penting yang mendorong penegak hukum untuk mengenakan pasal-pasal dalam KUHP maupun UU PKDRT yang mengatur
8
tentang delik aduan yang digunakan untuk menangani kasus-kasus kekerasan fisik. Kelanjutan kehidupan ekonomi keluarga merupakan pertimbangan penting; (4) sebagian yang lain telah menggunakan pasal-pasal dalam UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak untuk kasus-kasus yang korbannya anak, ini sering dimulai dari pemahaman kepolisian sebagai instansi terdepan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia (kasus di Tulungagung) atau hakimnya (kasus di Pamekasan). Jadi koordinasi antar ketiga penegak hukum sangat penting dalam berjalannya sistem hukum pada umumnya dan dalam penanganan kasus-kasus KDRT khususnya. Dalam hal persepsi penegak hukum yang menganggap bahwa kriminologi itu penting dan berpengaruh untuk menyelesaikan kasus-kasus KDRT sesuai dengan pendapat Hurwitz yang disadur oleh Moelyatno (1982) hanya 23 % responden. Sedangkan dalam hal viktimologi, data yang ada menunjukkan adanya 16,4% responden yang menyatakan bahwa viktimologi berguna untuk memperluas wawasan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Adapun sikap penegak hukum terhadap kasuskasus KDRT dapat dilihat dari banyaknya banyaknya responden yang memilih jawaban yang kedua (kasus dihentikan dan keluarga didamaikan), hal ini dibuktikan dengan selalu lebih besarnya persentase jawaban kedua dari jawaban pertama (kalau korbannya anak, kasus harus dilanjutkan), baik responden keseluruhan maupun antar instansi penegak hukum. Hal yang demikian membuktikan bahwa pendapat Scharf (1968) dan Reiff (1977) digunakan oleh para penegak hukum di Indonesia untuk penanganan kasus-kasus KDRT. Apalagi jawaban lain-lain juga tidak jauh dari pilihan jawaban kedua, lihat kondisi dan situasi (5%) dan kalau korban mengalami luka yang parah, maka kasus tetap dilanjutkan. Dalam hal persepsi penegak hukum terhadap teori tentang pemidanaan (penology), data yang ada menunjukkna bahwa hanya 3,3% penegak hukum menyatakan bahwa penologi baik untuk menambah wawasan para penegak hukum dan hanya 9,8% yang menyatakan bahwa penologi dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus. Sedangkan 86,9% responden tidak menjawab, tidak mengetahui atau belum pernah mendengar istilah penologi atau pemidanaan. Untuk menguji sikap penegak hukum, maka mereka diminta untuk menyikapi 2 (dua) kasus
KDRT. Kasus pertama adalah kasus tentang “marital rape”. Kasus ini dipertanyakan untuk menguji pemahaman dan sikap penegak hukum tentang gender dan budaya patriarkhi mereka serta sikap mereka terhadap pemidanaan kasus kDRT. Kedua, kasus yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yakni istri yang mengomeli suami dan suami memukulinya. Kedua kasus ini cukup menentukan dalam menguji sikap penegak hukum. Hasilnya, data yang ada menunjukkan bahwa sifat patriarkhi para penegak hukum masih kental, karena sekitar seperempat dari jumlah responden secara keseluruhan masih memilih jawaban bahwa tidak ada perkosaan antara suami-istri, karena seorang istri punya kewajiban untuk melayani suaminya. Namun demikian, jumlah yang memilih jawaban kedua cukup menggembirakan dilihat dari persentasenya, yakni antara 40-70% untuk masing-masing instansi dan separuh lebih untuk penegak hukum secara keseluruhan. Pada pertanyaan yang kedua, nampaknya masingmasing instansi memilih jawaban kedua (kalau istri melapor, suami harus dihukum) cukup tinggi persentasenya, antara 50-75%, hanya 10-20% yang memilih jawaban pertama yaitu: suami tetap harus dihukum. Pada hal dalam UU PKDRT, hanya korban yang mengalami luka ringan yang merupakan delik aduan seperti pada jawaban kedua, sebaliknya kalau tidak, maka perbuatan suami tersebut merupakan delik biasa yang tanpa laporan korbanpun kalau ada pihak lain (saudara, tetangga) yang melapor, penegak hukum wajib memproses kasusnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak kasus KDRT yang menjadi “hidden criminality”. Dengan deskripsi dan analisis yang demikian itu, dalam hal penologi dapat disimpulkan bahwa setengah dari penegak hukum masih belum memahami penologi, terutama instansi kepolisian, sehingga seringkali menyebabkan kesalahan dalam menerapkan peraturan, di samping ketidak cermatan membaca isi pasal, juga karena budaya patriarkhi mereka yang masih kental dalam menjalankan tugasnya. Terakhir tentang upaya-upaya konkrit yang diperlukan untuk menegakkan UU PKDRT secara lebih optimal adalah: (1) menambah pengetahuan tentang KDRT dan pengetahuan “bantu” yang terkait, yakni: gender, kriminologi, viktimologi dan penology terhadap para penegak hukum terutama kepolisian.
9
Penyebabnya adalah rendahnya jumlah aparat kepolisian yang lulusan Fakultas Hukum, 5 dari 24 orang responden yang berpendidikan S1 dan hanya 3 yang lulusan S1 Fakultas Hukum. Lagi pula kuliahnya dilakukan sambil bekerja, sehingga sering kurang fokus dalam menjalani studi. Alasan-alasan ini yang memunculkan ide bahwa instansi kepolisian lebih membutuhkan pengetahuan bantu dari pada instansi yang lain. 1. Untuk instansi kejaksaan dan pengadilan (hakim) hampir sama, meskipun sebagian besar sudah tahu 4 pengetahuan terkait dari kuliah dan membaca buku atau makalah, tapi pengetahuan tentang gender dan KDRT persentasenya lebih rendah dari instansi kepolisian. KDRT masih dianggap sebagai problem keluarga, sehingga masing-masing pihak harus tahu hak dan kewajibannya dan kalau terjadi kasus kekerasan sebaiknya didamaikan saja. Kultur atau budaya hukum mereka yang menjadi penyebabnya. Dengan keadaan yang demikian itu instansi kejaksaan dan pengadilan lebih membutuhkan pembelajaran yang lebih mendalam tentang gender dan implikasinya akan kekerasan terhadap perempuan dan anak; selain itu pembelajaran tentang tindak pidana KDRT untuk mengubah persepsi dan sikap mereka yang sudah merupakan budaya hukum yang melekat erat dalam pribadi sebagian polisi. 2. Koordinasi antar penegak hukum sangat penting untuk menuju optimalisasi penegakan hukum UU PKDRT. Dari hasil pengalaman Tim Peneliti (Wahyuningsih, dkk.; 2004-2005) yang menjadi anggota “Sekretariat Tetap Komite Perlindungan Anak Provinsi Jawa Timur”. 3. Adapun substansi yang perlu dicantumkan dalam modul yang nantinya dapat digunakan untuk melatih aparat penegak hukum dalam upaya mengoptimalisasi penegakan hukum UU PKDRT adalah: (a) gender dan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya dan KDRT khususnya; (b) Visum et repertum dan organ reporduksi; (c) kebijakan dan hukum berkeadilan gender; (d) penanganan korban KDRT dalam proses penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan oleh kepolisian dan kejaksaan; (e) sidang dan putusan kasus KDRT oleh hakim.
PENUTUP Dari latar belakang sampai dengan akhir bagian deskripsi dan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan dan direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1. Walaupun kebanyakan penegak hukum yang paham akan KDRT cukup banyak, yakni sekitar 2/3 (dua pertiga), tapi 1/3-nya (sepertiga) masih dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang patriarkhis, sehingga sikap mereka masih menganggap bahwa KDRT bukan kejahatan, melainkan hanya merupakan problem keluarga, masih cukup banyak. Dengan sikap tersebut, mereka sering mendamaikan pelaku dengan memberikan nasehat terlebih dahulu. Adapun persepsi dan sikap penegak hukum terhadap kriminologi, viktimologi dan penologi berurutan, tentang kriminologi masih banyak yang tahu dan paham, sehingga sikapnya terhadap pelaku lebih jelas, tidak demikian dengan viktimologi jumlah yang mengetahui dan memahami lebih sedikit dan penologi paling kecil jumlahnya. Dari jumlah responden yang lebih kecil tersebut, sikap mereka terhadap kasus-kasus yang diujicobakan dalam kuesioner senada dengan pengetahuan dan pemahamannya tersebut. 2. Dasar hukum yang digunakan dalam menangani kasus-kasus KDRT: a) empat dari enam lokasi penelitian masih menggunakan KUHP dalam menangani kasus-kasus KDRT, b) dua lokasi lainnya, Pemekasan dan Tulungagung, sudah menggunakan UU PKDRT. 3. Faktor-faktor yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum sebagaimana yang tercantum dalam data sekunder tersebut: a) karena UU PKDRT masih tergolong baru, penegak hukum kebanyakan masih mengalami kesulitan untuk mengumpulkan bukti dari saksi maupun saksi korban atau alat bukti yang lain. b) berbeda dengan KUHP yang sudah lama mereka pakai, penegak hukum kebanyakan sudah memahami betul kekurangan dan kelebihan KUHP, cara mencari bukti yang cepat dan mudah. c) kelanjutan ekonomi keluarga merupakan pertimbangan dalam menggunakan pasal
10
sebagai dasar dakwaan bagi pelaku maupun membuat putusan tentang hukuman apa (penjara, percobaan, dll.) dan berapa lama pelaku harus menjalani hukuman. d) sebagian kecil dari penegak hukum mengemukakan alasan tidak menggunakan UU Penghapusan KDRT adalah informasi tentang undang-undang baru selalu terlambat di wilayah mereka. 4. Upaya-upaya konkrit yang diperlukan untuk menegakkan UU PKDRT secara optimal: a) pelatihan penegak hukum dimana fokus perhatiannya berbeda satu dengan lainnya. Kepada polisi yang penting adalah pengetahuan penunjangnya (gender, kriminologi, viktimologi, penologi dan KDRT); sedangkan untuk jaksa dan hakim lebih pada menggugah perubahan perspektif gendernya dan implikasinya terhadap KDRT. b) penyamaan persepsi antar instansi penegak hukum. c) koordinasi antar penegak hukum, perlu digalakkan dengan menggunakan wadah PPT atau LPA yang sudah ada di Jawa Timur maupun di beberapa kabupaten/kota. REKOMENDASI Dengan kesimpulan yang demikian itu direkomendasikan: 1. Walaupun persepsi dan sikap penegak hukum terhadap KDRT positif, tapi dalam menangani kasus-kasus, kebiasaan menggunakan pasalpasal yang tercantum dalam KUHP serta budaya patriarkhi masih melingkupi mereka, sehingga pelatihan penggunaan UU Penghapusan KDRT serta mengubah budaya patriarkhi harus dilakukan. 2. Untuk itu modul pelatihan disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi harus dipersiapkan. 3. Mengadvokasi ketiga instansi penegak hukum untuk mau bekerjasama dalam melaksanakan pelatihan tersebut secara koordinatif dengan menggunakan lembaga-lembaga antara lain Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) atau Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang sudah ada di Jawa Timur.
DAFTAR PUSTAKA Bracca, A.; 1955; Psychology the Science of Behavior. Fakih, Mansour; 1996; Menggeser Konsepsi Gender. Pustaka Pelajar; Yogyakarta. Gibson, J.J.; 1950; The Perception of the Visual World; Boston, H. Miffin. Gunawan, C.I.; 2003; Nyanyian Hati Nurani. Penerbit Universitas Negeri Malang. Harkrisnowo, Harkristuti; 2004; Menyimak RUU Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Jurnal Legislasi Indonesia Volume 1 No. 1 Juli 2004. Hilmy, dkk; 2005, Sensitivitas Aparat Penegak Hukum Dalam Proses Penegakan Hukum pada Kasus-kasus Trafficking, Laporan Penelitian yang tidak dipublikasikan, PPHG FH Unibraw. Johanes Andenaes;1974; Punishment and Deterrence; Michigan University Press; Michigan. Kalibonso, Rita Serena; 1998; Perempuan Menuntut Keadilan; Penerbit Mitra Perempuan bekerjasama dengan the Ford Foundation; Jakarta. Kansil; dkk.; 2003; Pokok-pokok Etika Profesi Hukum; PT Pradnya Paramita, Jakarta. Kast, F.E.; 1970; Organization and Management; Mc Grow Hill Koyo Kuasa, Tokyo. Katjasungkana, Soka Handina; 2003; Pelatihan Dasar Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Pendawa Perkasa. Surabaya. March Candida, et all.; 1999; A Guide to GenderAnalysis Frameworks; Oxfam Print Unit; Oxford. Maskovitz; 1969; General Psychology; H. Miffin; Boston. Megginson; dan Chung, H.; 1981; Organization Behavior; Row Publishers, New York. Muhammad, Abdulkadir; 2003; Hukum dan Penelitian Hukum; PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Moeljatno, L.;1982; Kriminologi; disadur dari Criminology oleh Stepahan Hurwitz; Bina Aksara; Jakarta. Smart, Carol; 1989; Feminism and The Power of Law; Routledge; London. Sumiarni, Endang; 2004; Jender dan Feminisme; Jalasutra; Yogyakarta. Wahyuningsih, Sri; 2004; Laporan Tahunan Dian Mutiara Crisis Centre Malang.
11
Thoha, Miftah; 1983; Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya; CV Rajawali; Jakarta. Team Work Lapera; 2001; Politik Pemberdayaan. Lapera Pustaka Utama; Jogjakarta Raymond J. Michalowski; 1977; „Perspective and Paradigm; Structuring Criminological Thought‟; dalam Theory in Criminology, Contemporary Views yang diedit oleh Robert F. Meier. Reiff; Robert; 1979; „The Invisible Victim‟; Basic Books; inc.; New York. Schafer; Stephen, 1968; The Victim and His Criminal, a Study in Functional Responsibility; Random House. Sholehuddin; M.; 2003; Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana; Ide Dasar Double Track System & Implementasinya; Raja Grafindo Persada; Jakarta Stookey; John A.; (1977) The Victim’s Perspective on American Criminal Justice; dalam Joe Hudson Criminal Justice, a Critical of Assesment of Sanction; Lexington Books; 1977.
74