ISSN 1907-3046
JURNAL ILMIAH
PANNMED (Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist) VOL. 9, NO. 3, JANUARI – APRIL 2015 TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER)
Penanggung Jawab: Dra. Ida Nurhayati, M.Kes. Redaktur: Drg. Herlinawati, M.Kes. Penyunting Editor: Soep, SKp., M.Kes. Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes Nelson Tanjung, SKM., M.Kes. Dra. Ernawaty, M.Si, Apt Desain Grafis & Fotografer: Rina Doriana, SKM, M.Kes Julia Hasanah Sekretariat: Yusrawati Hasibuan, SKM, M.Kes. Elizawarda, SKM., M.Kes. Dina Indarsita, SST, M.Kes. Alamat Redaksi: Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5 Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan Telp: 061-8368633 Fax: 061-8368644
DAFTAR ISI Editorial Pengaruh Ketebalan Pasir dalam Saringan Pasir dan Arang Kayu Terhadap Penurunan Kadar Besi (FE), Kekeruhan dan Warna Air Sumur Gali oleh Suprapto, TH.Teddy Bambang S, Mustar Rusli.…….......195-201 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pasien TB Paru di RA 3 RSUP Haji Adam Malik Medan oleh Soep......................................202-205 Pengaruh Latihan (ROM) Pasif Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas pada Pasien Stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014 oleh Zainuddin Harahap..............................................206-209 Uji Efek Antibakteri Ekstrak Daun Teh (Camellia sinensis L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli oleh Amriani, Lanny Permata Sari........................................................................210-214 Pengaruh KB Suntik Depo Medroksi Progesteron Asetat (DMPA) Terhadap Peningkatan Berat Badan Ibu di Klinik Bersalin Sahara Padangsidimpuan Tahun 2014 oleh Rosmawaty Harahap..........................215-221 Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja di SMK Negeri 1 Kutalimbaru oleh Jujuren br Sitepu....................................................................222-225
P Pengetahuan dan Dukungan Suami Berhubungan dengan Tindakan Pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 oleh Dewi Meliasari.............................................226-230 Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kesehatan Fisik Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 oleh Efendi Sianturi.....................................................231-237 Ketepatan Pemeriksaan Radiologi dan BTA Apusan Langsung dengan Kultur dalam Diagnosis Tuberkulosis Paru di Medan oleh Erfiyani S, Amira Permatasari Tarigan.............................................238-244
Erosi Gigi pada Anak Usia Remaja di SMP Raksana Medan oleh Ameta Primasari, Uta Juliani.........245-249 Komunikasi Terapeutik pada Pasien Pre Oparatif Efektif Menurunkan Tingkat Kecemasan Pasien oleh Irwan Batubara.......................……….................250-252 Pengaruh Penambahan Minyak Atsiri Jahe Terhadap Bilangan Peroksida Minyak Goreng Bekas oleh Mangoloi Sinurat, Togar Manalu, Suryani M.Florence Situmeang.................................................…...…253-256 Pengetahuan PUS yang Baik Tentang Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) Tidak Berhubungan dengan Tindakan Penggunaan AKDR di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang oleh Masrah.................................................……257-262 Tingkat Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut dengan Penyuluhan Menggunakan Media Flip Chart dan Boneka Animasi pada Anak Kelas V SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014 oleh Asnita Bungaria Simaremare, Rosdiana T Simaremare..........................................................263-267 Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan Cakupan Pemeriksaan Kehamilan di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 oleh Ida Nurhayati, Elizawarda.........................................268-271 Tingkat Pengetahuan Anak Tentang Pemeliharaan Kebersihan Gigi dan Mulut Terhadap Ohi-S dan Terjadinya Karies pada Siswa/i Kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 oleh Sri Junita Nainggolan..........................................272-276 Hubungan Perilaku Pasien dalam Perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Melitus di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 oleh Suriani Ginting, Wiwik Dwi Arianti..............................................277-281 Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS pada Proses Persalinan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan oleh Suswati.........................……282-287 Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kepatuhani Orangtua yang Mempunyai Anak dengan Leukemia dalam Menjalani Terapi Kemoterapi di RB4 RSUP H.A.Malik Medan Tahun 2014 oleh Tiurlan Mariasima Doloksaribu, Risma Dumiri Manurung.............................................................288-291 Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi di Rumah Bersalin Sam Kampung Baru Medan Tahun 2014 oleh Wildan................................................292-296
Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas dalam Terhadap Nyeri Menstruasi pada Siswi SMA 3 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 oleh Ratni Siregar, Ramlan Nasution, Elly Indrani Harahap................................................................297-301
Diterbitkan oleh : POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN Jl. Jamin Ginting KM. 13,5 Kel. Lau Cih Medan Tuntungan Kode Pos : 20136 www.poltekkes-medan.ac.id/pannmed
PENGANTAR REDAKSI Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan. Jurnal PANNMED Edisi Januari – April 2015 Vol. 9 No. 3 yang terbit kali ini menerbitkan sebanyak 21 Judul Penelitian. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit 2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini. Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang berkualitas seperti harapan kita bersama.
Redaksi
PENGARUH KETEBALAN PASIR DALAM SARINGAN PASIR DAN ARANG KAYU TERHADAP PENURUNAN KADAR BESI (FE), KEKERUHAN DAN WARNA AIR SUMUR GALI
Suprapto, TH.Teddy Bambang S, Mustar Rusli Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak Air minum yang mengandung besi (Fe) cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Menurut Permenkes RI Nomor :416 / Menkes/Per/IX/1990 yang memenuhi syarat kadar maksimum yang diperbolehkan untuk zat besi (Fe) pada air bersih : 1,0 mg/l, kekeruhan : 25 NTU dan warna : 50 TCU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ketebalan pasir dalam saringan pasir dan arang kayu terhadap penurunan kadar besi (Fe),kekeruhan dan warna air sumur gali. Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan pre and postes control design. Sampel air sumur gali diambil dari Kelurahan Aur Medan Maimun sebanyak 100 liter. Pretest kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna sampel air sumur gali yaitu 1,20 mg/l,18,13 NTU dan 33,80 TCU . Postest yaitu hasil pengukuran kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna sampel air setelah air dialirkan sebanyak 3 liter pada saringan pasir dan arang kayu (pasir Ø : 0,5 - 0,7mm dan arang kayu Ø : 0,5 mm – 1,0 cm).Ketebalan pasir pertama 40 cm dan kedua 50 cm). Kontrol menggunakan media saringan pasirkerikil,tebal pasir 60 cm. Replikasi dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali. Alat pengukuran kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna digunakan Spectrofotometer DR 2800. Analisa data dilakukan dari univariat, bivariat. Uji kenormalan dengan Kolongorov test, setelah data normal dilakukan uji t-test dan Anova dengan tingkat kepercayaan (α = 0,05). Diperoleh ada pengaruh ketebalan pasir 40 cm, 50 cm dalam media saringan pasir dan arang kayu terhadap penurunan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna air sumur gali (p-value = 0,000 < α =0,05), ketebalan pasir 50 cm dalam media saringan pasir dapat menurunkan kadar besi (Fe) sebesar 92,82%. Masyarakat di kota Medan yang memiliki sumur gali yang airnya mengandung kadar besi (Fe) > 1,0 mg/l dapat menggunakan media saringan pasir dan arang kayu dengan ketebalan pasir 50 cm. Petugas Puskesmas dapat mensosialisasikan kepada masyarakat tentang media saringan pasir dan arang kayu dapat menurunkan kadar besi air sumur gali dengan ketebalan pasir 50 cm Kata Kunci : Ketebalan pasir, saringan,(Fe),kekeruhan,warna
Latar belakang masalah Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan, tanpa air yang tersedia yang cukup dan memenuhi syarat kehidupan di dunia tak dapat berlangsung. Kebutuhan air yang pertama bagi terselenggaranya kesehatan yang baik adalah tersedianya air bersih yang memadai dari segi kuantitas dan kualitasnya yaitu memenuhi syarat fisik, kimia,mikrobiologik dan radioaktif. Menurut Permenkes RI Nomor :416 / Menkes/Per/IX/1990 yang memenuhi syarat fisik yaitu tidak berbau, jumlah zat padat terlarut (TDS) :1500 mg/l, kekeruhan : 25 NTU, tidak berasa, warna : 50 TCU. Syarat kimia yaitu tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya (beracun) dan atau melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan seperti zat besi (Fe) : 1,0 mg/l. Berdasarkan Riskesdas (2013) pada saat ini prosentase rumah tangga di Indonesia yang memenuhi akses terhadap sumber air minum 66,8%, pada umumnya pemakaian air per-orang/hari rumah tangga 50-99,9 liter
(28,3%) dan 100-300 liter (40%). Pada tahun 2010 di Indonesia 27,9% rumah tangga masih menggunakan sumur gali. Pada sumur gali sering terdapat kadar besi (Fe) yang tinggi. Hal ini akan dapat menimbulkan masalah dan kerugian pada manusia. Air minum yang mengandung besi (Fe) cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Selain itu dalam dosis besar dapat merusak dinding usus, rusaknya organ-organ penting seperti : pankreas, otot jantung dan ginjal. Sering kali kematian disebabkan kerusakan dinding usus ini. Kadar besi (Fe) yang lebih dari 1,0 mg/l akan menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi dalam air melebihi 10 mg/l air akan berbau seperti telur busuk, sangat tidak diinginkan oleh keperluan rumah tangga karena dapat menyebabkan bekas karat pada pakaian, porselen dan alat-alat lainnya (Slamet Juli Sumirat, 2004). Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
195
Penyakit (BTKLPP) Medan salah satu sampel air sumur gali kepala keluarga di Jalan Trikora Gang Bersatu Kecamatam Medan Denai kualitas airnya mengandung kadar besi (Fe) tertinggi sebesar : 3,0 mg/l, dengan suhu : 24,5 ºC dan pH : 7,5 Pada umumnya masyarakat disana belum mendapatkan air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Medan (Nainggolan Laris, 2013). Upaya untuk menurunkan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna air sumur gali ini, salah satu cara dapat dilakukan dengan menggunakan saringan pasir lambat (Slow sand filter) (BPPT,1999). Saringan pasir lambat adalah saringan yang menggunakan pasir sebagai media filter dengan ukuran butiran sangat kecil, namun mempunyai kandungan kuarsa yang tinggi. Proses filtrasi yang terjadi pada saringan pasir lambat, terjadi dengan memisahkan air dari kandungan kontaminan berupa partikel tersuspensi dan koloid, serta bakteri, dengan cara melewatkan air pada suatu media berpori. Pada prinsipnya material ini dapat berupa material apa saja, seperti lapisan granular pasir, batu yang dihancurkan, antrachite, kaca, sisa arang,dll. Pada prakteknya di lapangan, media berpori yang paling sering digunakan adalah pasir, karena pasir mudah ditemui dalam jumlah banyak, biaya yang murah, dan hasil pengolahan yang diberikan juga sangat memuaskan. Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu terhadap penurunan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna pada air sumur gali? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu terhadap penurunan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna pada air sumur gali. Tujuan Khusus. 1. Untuk mengetahui pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu setinggi 40 cm , 50 cm terhadap penurunan kadar besi ( Fe) pada air sumur gali. 2. Untuk mengetahui pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu setinggi 40 cm , 50 cm terhadap penurunan kadar kekeruhan pada air sumur gali. 3. Untuk mengetahui pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu setinggi 40 cm , 50 cm terhadap penurunan kadar warna pada air sumur gali. Hipotesa 1. Ada pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu setinggi 40 cm dan 50 cm terhadap penurunan kadar besi ( Fe) pada air sumur gali. 2. Ada pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu setinggi 40 cm dan 50 cm terhadap penurunan kadar kekeruhan pada air sumur gali.
196
3. Ada pengaruh ketebalan pasir dalam media saringan pasir dan arang kayu setinggi 40 cm dan 50 cm terhadap penurunan kadar warna pada air sumur gali. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian di laksanakan di ruang Laboratorium Poltekkes Kemenkes RI Medan Jl.Jamin Ginting Km 13,5 Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan. Waktu Penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan bulan Mei – Agustus 2014. Desain Penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yaitu mengetahui pengaruh ketebalan saringan pasir dan arang kayu terhadap penurunan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna pada air sumur gali. Desain penelitian ini menggunakan rancangan pre and postes control design. Replikasi yang dilakukan sebanyak 8 (delapan ) kali,berdasarkan rumus ( t -1)( r -1) ≥ 15 ( Hannafiah,2003 ) Instrumen penelitian a. Meteran b. Spectrofotometer DR 2800. Populasi dan Sampel. 1. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh air sumur gali yang mengandung kadar besi (Fe) yang tinggi ( > 1,0 mg/l ). 2. Sampel adalah sebahagian dari populasi yaitu diambil satu sumur gali yang hasil pemeriksaan kadar besi (Fe) airnya : 1,30 mg/l berlokasi di Jalan Brigjen Katamso dalam Kelurahan Aur Medan Maimun.. 3. Teknik Pengambilan sampel. Cara pemilihan sampel ialah dengan teknik purposive sampling, yaitu proses penarikan yang didasarkan suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri yaitu : a. Air sumur gali yang memiliki kadar Fe : > 1,0 mg/l b. Air sumur gali keruh dan berwarna kuning. c. Air sumur gali berlokasi di Jalan Brigjen Katamso dalam kelurahan Aur kota Medan. d. Pengambilan sampel air sumur gali dilakukan pada pagi hari pukul 09.00 - 0.00 Wib. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer diperoleh dari hasil pemeriksaan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna sebelum dan sesudah perlakuan. 2 Data Sekunder yang diambil adalah data gambaran daerah lokasi penelitian Air sumur gali.
Pengolahan Data Data yang terkumpul dari hasil pemeriksaan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna air sumur gali sebelum dan sesudah penyaringan dengan menggunakan alat Spectrofotometer DR 2800 baik terhadap kelompok perlakuan dan kontrol, kemudian ditabulasi, disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Analisa Data. Analisa data dilakukan dengan cara : a. Univariat :yaitu data yang telah diolah ditabulasi dengan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti. Prosentase penurunan dari masing-masing variabel dihitung dengan rumus : a/b x 100 %. Keterangan : a = Penurunan kadar variabel setelah perlakuan b = kadar awal variabel sebelum perlakuan. b. Bivariat : data univariat di buat cross tabel antara ketebalan saringan pasir dan arang kayu dengan penurunan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna air sumur gali sebelum perlakuan, kontrol dan sesudah perlakuan. Uji kenormalan terlebih dahulu dilakukan dengan test Kosmogorov, setelah data yang diperoleh normal selanjutnya untuk melihat pengaruh ketebalan saringan pasir dan arang kayu dengan penurunan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna air sumur gali dilakukan Uji t-test dependent. Untuk melihat perbedaan ketebalan saringan pasir dan arang kayu terhadap penurunan kadar besi (Fe), kekeruhan dan warna air sumur gali dilakukan uji Anova (Analisis of variance) apakah secara bermakna berpengaruh dengan tingkat level significancy atau pada α = 0,05. Selanjutnya untuk melihat perbedaan dari masingmasing variabel dilanjutkan dengan menggunakan uji
“Tuckey-test”. Analisis data penelitian menggunakan bantuan komputerisasi.
dengan
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel air di Laboratorium Kementerian Kesehatan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Kelas I Medan sebelum dan setelah penyaringan didapatkan hasil sebagai berikut : Analisis Univariat. 1. Kadar zat besi (Fe), kekeruhan dan warna Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata kadar besi (Fe), air sumur gali sebelum melalui saringan pasir dan arang kayu pada kontrol, ketebalan pasir 40 cm dan 50 cm sebesar 1,20 mg/l dengan SD = 0,0000; rata-rata penurunan kadar besi (Fe) sesudah perlakuan pada kontrol adalah 1,112 mg/l (92,70%) dengan SD = 0,00463 , pada ketebalan pasir 50 cm adalah 1,113 mg/l (92,82 %) dengan SD = 0,00518 dan pada ketebalan pasir 40 cm adalah 1,05 mg/l (89,06 %) dengan SD = 0,0991. Selanjutnya rata-rata kekeruhan air sumur gali sebelum perlakuan adalah sebesar 18,13 NTU , SD = 0,0000; dan rata-rata penurunan kekeruhan setelah perlakuan pada kontrol sebesar 12,00 NTU (66,19%) dengan SD = 0,02900; pada ketebalan pasir 50 cm sebesar 4,63 NTU (25,53%) dengan SD = 0,02295, serta ketebalan pasir 40 cm sebesar 5,29 NTU (29,22 %) dengan SD = 0,01188. Kemudian dilihat dari kadar warna air sumur gali sebelum melalui saringan pasir dan arang kayu rataratanya 33,80 TCU dengan SD = 0,000, setelah perlakuan rata-rata penurunan warna air sumur gali pada kontrol 11,10 TCU (32,84%), dengan SD = 0,1598; ketebalan pasir 50 cm = 9,69 TCU (28,67%) dengan SD = 0,01927; dan ketebalan pasir 40 cm sebesar 6,13 TCU (18,13 %) dengan SD = 0,05303. Dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Prosentase penurunan kadar Fe, kekeruhan dan warna air sumur gali sebelum dan sesudah melalui media saringan pasir dan arang kayu
No.
Var.
Mean Sebelum
Rata-Rata penurunan setelah perlakuan Kontrol
%
SD
50 cm
%
SD
40cm
%
SD
Perlakuan
1. Besi (Fe)
1,20 ( mg/l )
1,112
92,70
0,00463
1,113
92,82 0,00518
1,05
89,06 0,00991
2.
18,13 (NTU)
12,00
66,19
0,02900
4,63
25,53 0,02295
5,29
29,22 0,01188
11,10 32,84 33,80 (TCU) *) waktu kontak air seluruhnya sama ( 15 menit ).
0,01598
9,69
28,67 0,01927
6,13
18,13 0,05303
3.
Kekeruhan Warna
197
Analisis Bivariat 2. Pengaruh ketebalan pasir dalam saringan pasir dan arang kayu pada sampel air sumur gali dengan penurunan kadar Fe. Tabel 2. Hasil uji beda rata-rata uji t-Test dependent kadar Fe,kekeruhan dan warna air sumur gali berdasarkan ketebalan pasir pada saringan pasir dan arang kayu Ketebalan Rata-rata Rata-rata Pasir kadar Fe kadar Fe t Df P 95% Confidence sebelum sesudah Interval of the DifFerence perlakuan perlakuan Lower Upper Kontrol 40 cm
0,0875 0,1313
679,749 305,024
0,0863
608,669
1,20 50 cm
0,000 0,000
1,10863 1,06046
1,11637 1,07704
0,000
1,10942
1,11808
7
3. Pengaruh ketebalan pasir dalam saringan pasir dan arang kayu pada sampel air sumur gali dengan penurunan kadar kekeruhan. Tabel 3. Hasil uji beda rata-rata uji t-Test Dependent Kadar kekeruhan berdasarkan ketebalan pasir pada saringan pasir dan arang kayu Ketebalan Mean Mean Pasir sebelum sesudah t df p 95% Confidence perlakuan perlakuan value Interval of the Difference Lower Upper Kontrol 40 cm
6,1288
1170,456
12,8438
1258,848
18,13 50 cm
11,97700
12,02550
0,000
5,27632
5,29618
0,000
4,60956
4,64794
7 13,5013
570,416
Berikut penjelasan dari tabel di atas, hasil uji tTest Dependent pada tabel 2 diatas terlihat bahwa ada pengaruh ketebalan pasir baik pada kontrol (60 cm) dengan confidence level (α = 5%) dapat diketahui t = 679,749, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 ( p < α = 0,05 ) dengan interval confidence ( 1,10863-1,11637) yang berarti ada pengaruh perbedaan penurunan kadar Fe air sumur gali pada kontrol setelah melalui saringan pasir dan arang kayu. Pada ketebalan pasir 40 cm diketahui t = 305,024, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 ( p < α = 0,05 ) dengan interval confidence (1,06046-1,07704) yang berarti ada pengaruh perbedaan penurunan kadar Fe air sumur gali setelah melalui saringan pasir dan arang kayu. Demikian juga pada ketebalan pasir 50 cm diketahui t = 608,669, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 (p < α = 0,05) dengan interval confidence (1,10942-1,11088) yang berarti ada pengaruh perbedaan penurunan kadar Fe air sumur gali setelah melalui saringan pasir dan arang kayu.
198
0,000
Dari hasil uji t-Test Dependent pada tabel 3 diatas terlihat bahwa ada pengaruh ketebalan pasir baik pada kontrol (60 cm) dengan confidence level (α = 5%) dapat diketahui t = 1170,456, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 ( p < α = 0,05 ) dengan interval confidence ( 11,97700-12,02550) yang berarti ada pengaruh ketebalan pasir pada kontrol terhadap perbedaan penurunan kadar kekeruhan air sumur gali pada kontrol setelah melalui saringan pasir dan arang kayu. Pada ketebalan pasir 40 cm diketahui t = 1258,848, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 ( p < α = 0,05 ) dengan interval confidence ( 5,27632-5,29618) yang berarti ada pengaruh ketebalan pasir 40 cm terhadap perbedaan penurunan kadar kekeruhan air sumur gali setelah melalui saringan pasir dan arang kayu. Demikian juga pada ketebalan pasir 50 cm diketahui t = 570,416, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 ( p < α = 0,05 ) dengan interval confidence (4,60956-4,64794) yang berarti ada pengaruh ketebalan pasir 50 cm terhadap perbedaan penurunan kadar kekeruhan air sumur gali setelah melalui saringan pasir dan arang kayu.
4. Pengaruh ketebalan pasir dalam saringan pasir dan arang kayu pada sampel air sumur gali dengan penurunan kadar warna. Tabel 4.
Hasil uji beda rata-rata uji t-Test Dependent kadar warna air sumur gali berdasarkan ketebalan pasir pada saringan pasir dan arang kayu Ketebalan Mean Mean Pasir sebelum sesudah t Df p 95% Confidence perlakuan perlakuan value Interval of the DifFerence Lower Upper Kontrol 33,80
40 cm
22,7038
1964,026
27,6688
327,000
0,000
11,08289
11,10961
0,000
6,08691
6,17559
0,000
9,67389
9,70611
7 24,1100
50 cm
1422,103
Dari hasil uji t-Test Dependent pada tabel 4 diatas terlihat bahwa ada pengaruh ketebalan pasir baik pada kontrol (60 cm) dengan confidence level (α = 5%) dapat diketahui t = 1964,026, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 (p < α = 0,05) dengan interval confidence (11,08289-11,10961) yang berarti ada pengaruh ketebalan pasir pada kontrol terhadap perbedaan penurunan kadar warna air sumur gali pada kontrol setelah melalui saringan pasir dan arang kayu. Pada ketebalan pasir 40 cm diketahui t = 327,000, df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 (p < α = 0,05) dengan interval confidence (6,086916,17559) yang berarti ada pengaruh ketebalan pasir 40 cm terhadap perbedaan penurunan kadar warna air sumur gali setelah melalui saringan pasir dan arang kayu. Demikian juga pada ketebalan pasir 50 cm diketahui t = 1422,103 df = 7, dan nilai Probabilitas = 0,000 ( p < α = 0,05 ) dengan interval confidence (9,67389-9,70611) yang berarti ada pengaruh ketebalan pasir 50 cm terhadap perbedaan penurunan kadar warna air sumur gali setelah melalui saringan pasir dan arang kayu Uji perbedaan pengaruh ketebalan pasir 1. Uji beda penurunan kadar besi ( Fe ) Tabel 5. Penurunan kadar besi (Fe) air sumur gali pada perlakuan Terhadap masing-masing ketebalan pasir Sum of Mean Squares Df Square F Sig. Between Groups Within Group Total
0,011 0,001 0,012
2 21 23
0,005 0,000
107,646 0,000
F-hitung pada uji Anova diatas adalah 107,646 dengan probabilitas yaitu 0,000, karena α = 0,05, maka ada perbedaan pengaruh ketebalan pasir pada kontrol (60 cm), 40 cm dan 50 cm sebelum dan sesudah perlakuan terhadap penurunan kadar besi (Fe) air sumur gali pada saringan pasir dan arang kayu.
Untuk melihat uji beda, selanjutnya pada tabel 6 dapat dilihat lebih jelas seperti pada hasil sebagai berikut : Tabel 6.
Uji beda ketebalan pasir terhadap penurunan kadar besi (Fe) air sumur gali dalam saringan pasir dan arang kayu
(I) Ketebalan (J) Ketebalan pasir pasir
Mean Std.Error Sig. 95% Confidence DifFerence Interval (I-J) Lower Upper Kontrol (K ) (60 cm) (40 -0,04375* 0,00349 0,000 -0,0510 -0,0365 0,00125 0,00349 0,724 -0,0060 0,0085 cm) (50 cm) Ketebalan (40 cm) K (60 0,04375* 0,00349 0,000 0,0365 0,0510 cm) (50 cm) 0,04500* 0,00349 0,000 0,0377 0,0523 0,00349 0,724 -0,0085 0,0060 Ketebalan (50 cm) K (60 -0,00125 cm) (40 cm) -0,04500* 0,00349 0,000 -0,0523 -0,0377
Terlihat pada tabel 6 uji beda pengaruh ketebalan pasir pada Kontrol (60 cm) dengan ketebalan pasir (40 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar besi (Fe) air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (0,0510—0,0365), dengan ketebalan pasir (50 cm) tidak memiliki beda nyata dengan nilai pvalue = 0,724 > α = 0,05, pada 95%-CI (-0,0060-0,0085). Perbedaan ketebalan pasir (40 cm) dengan Kontrol (60 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar besi (Fe) air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (0,0365-0,0510). Ketebalan pasir (40 cm) dengan ketebalan pasir (50 cm) juga memiliki beda nyata penurunan kadar besi (Fe) dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (0,0377-0,0523). Perbedaan ketebalan pasir (50 cm) dengan Kontrol (60 cm) tidak memiliki beda nyata penurunan kadar besi (Fe) air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,724 > α = 0,05, pada 95%-CI (0,0085-0,0060). Tetapi pada ketebalan pasir (50 cm) dengan ketebalan pasir (40 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar besi (Fe) dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (0,05230,0377).
199
2. Uji beda penurunan kadar kekeruhan Tabel 7. Penurunan kadar kekeruhan air sumur gali pada perlakuan Terhadap masing-masing ketebalan pasir Sum of Mean Squares Df Square F Sig. Between 266,339 Groups 0,011 266,350 Within Group Total
2 133,170 264763,46 0,000 21 0,001 23
F-hitung pada uji Anova diatas adalah 264763,46 dengan probabilitas yaitu 0,000, karena α = 0,05, maka ada perbedaan pengaruh ketebalan pasir pada kontrol (60 cm), 40 cm dan 50 cm sebelum dan sesudah perlakuan terhadap penurunan kadar kekeruhan air sumur gali pada saringan pasir dan arang kayu. Untuk melihat uji beda, selanjutnya pada tabel 8 dapat dilihat lebih jelas seperti pada hasil sebagai berikut :
3. Uji beda penurunan kadar warna Tabel 9. Penurunan kadar warna air sumur gali pada perlakuan Terhadap masing-masing ketebalan pasir Sum of Df Mean F Sig. Squares Square Between 104,783 2 52,391 45699,565 0,000 21 0,001 Groups 0,024 104,807 23 Within Group Total F-hitung pada uji Anova diatas adalah 45699,565 dengan probabilitas yaitu 0,000, karena α = 0,05, maka ada perbedaan pengaruh ketebalan pasir pada kontrol (60 cm), 40 cm dan 50 cm sebelum dan sesudah perlakuan terhadap penurunan kadar warna air sumur gali pada saringan pasir dan arang kayu. Untuk melihat uji beda selanjutnya, pada tabel 10 dapat dilihat lebih jelas seperti pada hasil sebagai berikut : Tabel 1.
Tabel 8.
Uji beda ketebalan pasir terhadap penurunan kadar kekeruhan air sumur gali dalam saringan pasir dan arang kayu
(II) Ketebalan (J) Mean Std.Error Sig. 95% Confidence Ketebalan DifFerenc Interval pasir pasir(I-J) Lower Upper Kontrol (60 cm) (40 cm) -6,71500* 0,01121 0,000 -6,7383 -6,6917 -7,37250* 0,01121 0,000 -7,3958 -7,3492 (50 cm) Ketebalan(40 cm) K (60 6,71500* 0,01121 0,000 6,6917 6,7383 -0,65750* 0,01121 0,000 -0,6848 -0,6342 cm) (50 cm) Ketebalan(50 cm) K (60 7,37250* 0,01121 0,000 7,3492 7,3958 0,65750* 0,01121 0,000 0,6342 0,6808 cm) (40 cm)
Terlihat pada tabel 8 uji beda ketebalan pasir pada Kontrol (60 cm) dengan ketebalan pasir (40 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar kekeruhan air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (6,7383 - (-6,6917), dengan ketebalan pasir (50 cm) juga memiliki beda nyata dengan nilai pvalue = 0,000 > α = 0,05, pada 95%-CI (-7,3989 – (-7,3492).Perbedaan ketebalan pasir (40 cm) dengan Kontrol (60 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar kekeruhan air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (6,6917-6,7383). Ketebalan pasir (40 cm) dengan ketebalan pasir (50 cm) juga memiliki beda nyata penurunan kadar kekeruhan dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI ( 0,6848 - (- 0,6342). Perbedaan ketebalan pasir (50 cm) dengan Kontrol (60 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar kekeruhan air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (7,3492 - 7,3958). Ketebalan pasir (50 cm) dengan ketebalan pasir (40 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar kekeruhan dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (0,6342 - 0,6808).
200
Uji beda ketebalan pasir terhadap penurunan kadar warna air sumur gali dalam saringan pasir dan arang kayu
(III) Ketebalan Ketebalan pasir pasir
(J)
Mean Std.Erro Sig. Difference r (I-J)
Kontrol (60 cm) (40 cm) -4,96500* -1,40625* (50 cm) Ketebalan (40 cm) K (60 4,96500* 3,55875* cm) (50 cm) Ketebalan (50 cm) K (60 1,40625* -3,55875* cm) (40 cm)
0,01693 0,01693 0,01693 0,01693 0,01693 0,01693
95% Confidence Interval Lower Upper
0,000 -5,0002 0,000 -1,4415 0,000 4,9298 0,000 3,5235 0,000 1,3710 0,000 -3,5940
-4,9298 -1,3710 5,0002 3,5940 1,4415 -3,5235
Terlihat pada tabel 10 uji beda ketebalan pasir pada Kontrol (60 cm) dengan ketebalan pasir (40 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar warna air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (5,0002 - (-4,9298), dengan ketebalan pasir (50 cm) juga memiliki beda nyata penurunan kadar warna dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (-1,4415 – (1,3710). Perbedaan ketebalan pasir (40 cm) dengan Kontrol (60 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar warna air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (4,9298 - 5,0002). Ketebalan pasir (40 cm) dengan ketebalan pasir (50 cm) juga memiliki beda nyata penurunan kadar warna dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI ( 3,5235 - 3,5940). Perbedaan ketebalan pasir (50 cm) dengan Kontrol (60 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar warna air sumur gali dengan nilai pvalue = 0,00 < α = 0,05, pada 95%CI (1,3710 - 1,4415). Ketebalan pasir (50 cm) dengan ketebalan pasir (40 cm) memiliki beda nyata penurunan kadar warna dengan nilai pvalue = 0,000 < α = 0,05, pada 95%-CI (-3,5940 – (-3,5235).
Kesimpulan 1. Ketebalan pasir 40 cm dan 50 cm dalam media saringan pasir dan arang kayu dapat menurunkan kadar besi (Fe) yaitu 89,06 % dan 92,82 %. 2. Ada pengaruh ketebalan pasir 40 cm, 50 cm dalam media saringan pasir dan arang kayu (p-value = 0,000 < α = 0,05) terhadap penurunan kadar besi (Fe) air sumur gali. 3. Ada pengaruh ketebalan pasir 40 cm, 50 cm dalam media saringan pasir dan arang kayu (p-value = 0,000 < α = 0,05) terhadap penurunan kadar kekeruhan air sumur gali. 4. Ada pengaruh ketebalan pasir 40 cm, 50 cm dalam media saringan pasir dan arang kayu (p-value = 0,000 < α = 0,05) terhadap penurunan kadar warna air sumur gali. Saran 1. Masyarakat di daerah kota Medan yang memiliki sumur gali apabila airnya mengandung kadar besi (Fe) tidak memenuhi syarat kesehatan (> 1,0 mg/l), agar air sumur gali memenuhi syarat kesehatan dapat menggunakan saringan pasir dan arang kayu dengan ketebalan pasir minimal ≥ 50 cm. 2. Petugas Puskesmas/Dinas Kesehatan Kota Medan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mengatasi air sumur gali yang mengandung kadar besi (Fe) dengan menggunakan media saringan pasir dan arang kayu dengan ketebalan pasir minimal 50 cm. 3. Penelitian selanjutnya perlu melakukan uji coba untuk menurunkan kekeruhan dan warna air sumur gali agar sesuai dengan standar kualitas air minum perlu penambahan ketebalan pasir ≥ 70 cm dalam media saringan pasir dan arang kayu. Daftar Pustaka Aimyaya, 2013; Saringan pasir arang, http://nanosmart filter.com, diakses tanggal 17 Nopember 2013. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1999; Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Peningkatan Kualitas air, Direktorat TeknologiLingkungan Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan, Jakarta. Boyd, C.E, 1988; Water Quality in warm water Fish Ponds, Fourth Printing, Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. Chandar Budiman, 2006; Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit buku Kedokteran EGC. Depkes RI ;1990; Permenkes RI, No: 416/ Menkes/SK/XI/1990 Tentang Syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih, Jakarta.
-----------------;2010; Riset Kesehatan Dasar Tentang Penyediaan Air Bersih, Jakarta Effendi, H, 2003; Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber daya Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta. Hannafiah Kemas Ali, 2003; Rancangan Percobaan Teori & Aplikasi, cetakan 8, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Herman, Hermawan; 2006; Pengaruh ketebalan saringan pasir lambat model IOS-SF terhadap penurunan Total Coli-form dan Coli-tinja sebagai dampak penurunan kekeruhan pada air kolam sebagai air bersih, Thesis, Undip, Semarang. Huisman (1974); Slow Sand Filter, University of Technology, Netherlands. Kusnaedi, 2006; Mengolah air gambut dan Air Kotor untuk minum, Penebar, Swadaya, Jakarta. -------------, 1998; Pengolahan air, Bagian Peneribitan PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Moore, J.W, 1991; Inorganic Contaminants of Surface Water, Springer-Verlag New York. M.Ridwan Saifudin dan Dwi Astuti,2005; Kombinasi media filter untuk menurunkan kadar besi (Fe), Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Vol.6 No.1 Tahun 2005 : 49 - 64. Meilita, T, 2007; Arang Aktif (Pengenalan dan proses pembuatannya), http://library.usu.ac.id/Arang Aktif, diakses tanggal 8 Nopember 2013. Nusa, Idaman Said, 1999; Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Kualitas Air , Peneribit Direktorat Teknologi Lingkungan,Deputi Bidang TIEML,BPPT, Jakarta. Safira Astari, Rofiq Iqbal; Realibility of Slow Sand Filter for Water Treatment; Prodi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITBBandung. Satrio, Wibowo, Teknik Penjernihan Air, http://aimyaya.com/id, diakses tanggal 8 Nopember 2013. Slamet Juli Sumirat, 2004; Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sugandi,E.Sugiarto,1994; Rancangan Percobaan Teori dan Analisis, Andi Offset, Yogyakarta. Suyono, 1993; Pengelolaan Sumber Daya Air, Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. V.Darsono dan Teguh Sutomo, 2002; Pengaruh diameter dan ketebalan pasir dalam Saringan pasir lambat terhadap penurunan kadar (Fe), Jurnal Teknologi Industri, Vol.VI.No.4, Oktober 2002 : 213-224.
201
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KECEMASAN PASIEN TB PARU DI RA 3 RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
Soep Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Penyakit TBC sudah di kenal sejak dahulu kala. Penyakit ini di sebabkan oleh kuman /bakteri mycobacterium tuberculosis.Kuman ini pada umumnya menyerang paru-paru, seperti kelejar bening,kulit,usus/saluran pencernaan, selaput otak dan sebagainya. Kecemasan adalah respon atau pengalaman yang menyakitkan yang dialami oleh seseorang terhadap berbagai alat-alat dalam yang tunduk dibawah jaringan syaraf bebas, seperti jaringan jantung, alat pernafasan, kelenjar-kelenjar peluh, dan lainlain. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal berupa ancaman tarhadap integritas biologis dan ancaman terhadap konsep diri. Pengumpulan data di lakukan dengan mengunakan kuisioner. Hasil peneltian ini menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasian TB paru di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan berdasarkan usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang ada di RA 3 dengan sampel 37 orang. pembahasan hasil penelitin bahwa responden yang menunjukkan kecenderungan memilik tingkat kecemasan, pasien yang berusia 46-50 tahun memiliki tingkat kecemasan sebanyak (35,1%). Responden yang berjenis kelamin laki-laki memiliki tingkat kecemasan sebanyak (56,8%). Responden yang berpendidikan SMA yang memiliki tingkat kecemasan sebanyak (35,1%). Kata Kunci : Tingkat Kecemasan
PENDAHULUAN Penyakit TBC sudah di kenal sejak dahulu kala. Penyakit ini di sebabkan oleh kuman /bakteri mycobacterium tuberculosis. Kuman ini pada umumnya menyerang paru-paru, seperti kelejar bening, kulit, usus/ saluran pencernaan, selaput otak dan sebagainya. Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya 150 ribuan orang meninggal akibat tuberculosis (TBC). Artinya, setiap hari ada sekitar 300 orang yang meninggal akibat TBC di Negara kita. Diperkirakan jumlah penderita di Indonesia sekitar 10% dari jumlah penderita TBC didunia. Worl Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TBC control 2005 menyatakan terdapat 22 negara dikatagorikan sebagai hing-burden countries terhadap TBC. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang TBC di dunia. (WHO 2004). Berdasarkan survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2007 prevalansia angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 /1000 penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Berdasarakan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2007, TBC menduduki rangking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4 dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem parnafasan. Hasil survei prevalensi tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110/100.000 penduduk. Bila seseorang menderita TBC, ada satu hal yang penting yang harus diperhatikan dan di lakukan, yaitu 202
keteraturan minum obat TBC sampai dinyatakan sembuh. Pada umumnya, pengobatan panyakit TBC akan selesai dalam jangka waktu 6 bulan, yaitu 2 bulan pertama setiap hari (tahap intensif) di lanjutkan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan tahap lanjut. Hal ini yang secara ekonomi berhubungan dengan pendapatan keluarga, terlebih kepada keluarga yang pendapatannya rendah. Dimana dalam pengobatan TBC ini menimbulkan dampak bahwa banyak penderita TBC yang merasa bosan karena pengobatan yang lama dan pengobatan yang dirasakan mahal. Selain itu keadaan ekonomi mempengaruhi faktor fisik, kesehatan, dan pendidikan. Dimana apabila faktor tersebut cukup baik maka akan mengurangi beban fisiologis dan pisikis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan tipe kepribadian. Sedangkan faktor eksternal berupa ancaman terhadap integritas biologis dan ancaman terhadap konsep diri. Diperkirakan Bahwa dari populasi orang dewasa di Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun. (http://kesehatan.kompasiana.com) Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap harga diri atau identitas diri yang sangat mendasar
bagi keberadaan individu. Kecemasan di komunikasikan secara interpersonal dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, menghasilkan peringatan yang berharga dan penting untuk upaya memelihara keseimbangan diri dan melindungi diri. Dilihat dari faktor sosial budaya khususnya dari segi pekerjaan. Dimana pada umumnya penderita yang bekerja mudah mengalami kecemasan karena mempunyai kesibukan, sehingga dapat memudahkan menimbulkan keluhan-keluhan dari gejala TBC. Dan mereka akan takut kehilangan pekerjaan akibat penyakit yang mereka derita. Selain itu juga takut atau cemas berinteraksi dengan orang lain. Disamping faktor ekonomi dan sosial budaya, penyebab kecemasan dapat dilihat yang penting dalam timbul kecemasannya. Di samping itu juga pola hidup dapat mempengaruhi kecemasan pada penderita TBC. Pola kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol sangat jelas berhubungan dengan penyakit TBC. Namun dalam pengobatan TBC, salah satu unsur yang penting adalah merobah pola hidup dengan memodifikasi pola hidup seperti perbaikan nurisi, olahraga dan menghilangkan stres dan kecemasan yang timbul. Tidak hanya itu, penderita TBC merasa cemas dan was-was tentang kepercayaan masyarakat setempat. Kepercayaan-kepercayaan lokal mengenai tuberculosis dan penyebab pasti berlainan di berbagai Negara, berbagai daerah, berbagai kebudayaan, dan bahkan pada kelompokkelompok masyarakat yang berbeda yang tinggal di dalam daerah yang sama. Agama, kasta, suku,, atau tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pendapat masyarakat. Di beberapa daerah ada masyarakat yang percaya bahwa TBC di sebabkan oleh roh jahat yang memasuki pasien. Meskipun ada pasien yang mengetahui bahwa TBC marupakan panyakti yang menular, tetapi ada yang berpendapat bahwa orang tertentu dapat kena penyakit itu karena di santet. Di daerah kabanyakan orang biasa mangira bahwa orang dapat terkena TBC dari potongan kayu yang dipakai untuk membersihkan gigi. Di tempat lain gejala tersebut sering barkaitan dengan dosa, akibat perzinahan (Sulianti 2007) Tuberkulosis sebagian besar menyerang usia produktif antara 15 dan 45 tahun sehingga selain meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, penyakit ini juga menurunkan produktivitas masyarakat. Peningkatan kasus infeksi HIV/AIDS juga berkorelasi dengan peningkatan kasus tuberkulosis ini. Data menunjukkan, 3 persen dari kasus baru tuberkulosis terjadi pada pasien dengan HIV positif. Padahal, beberapa daerah memiliki insiden HIV tinggi, seperti di Papua, Kalimantan Barat, Bali, Sumatera Utara, dan Jakarta. Gambaran tuberkulosis pada HIV kadangkadang tidak khas, terutama bila HIV-nya sudah lanjut, sehingga mungkin tidak terdiagnosis dan berdampak pada keterlambatan pengobatan. Selain itu, pemberian obat anti-TB bersamaan dengan pemberian obat antivirus (ARV) untuk menangani HIV-nya bisa meningkatkan efek samping. Itu sebabnya mengapa kematian pasien HIV lebih cepat karena infeksi tuberkulosis. (kompas 2011).
Data penderita penyakit TBC yang di peroleh dari RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 20112012 menunjukan bahwa penderita TBC ada sebanyak 372 orang dan semua pasien TBC tersebut di rawat di rawat di RA 3 RSUP Haji Adam Malik Medan. Kepedulian masyarakat terhadap penanggulangan dan pemberantasan penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia, hingga saat ini masih sangat rendah. Padahal korban meninggal akibat TBC di Indonesia jumlahnya sangat fantastis, sekitar 175.000 per tahun atau sekitar 500 orang perharinya. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriktif dengan desain ―Cross Sectional‖ yaitu suatu metode yang merupakan pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) yang bertujuan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada pasien TB paru di RA 3 RSUP Haji Adam Malik Medan 2013. Penelitian ini di lakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013. Waktu penelitian ini akan di lakukan pada bulan Februari-Juli Tahun 2013. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah penderita TBC sebanyak 372 orang yang di rawat di RA 3 RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011-2012. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 372 orang. Cara untuk memperoleh sampel minimal menurut Arikunto (2006) adalah bila populasi lebih dari 100 maka pengambilan sampel sekitar 10-15% dan 20-25% dari total popolasi, dimana popolasi berjumlah 372 orang, dan peneliti mengambil 10% dari total populasi. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu kuisoner yang berisikan pertanyaannya sesuai dengan variable yang diteliti. Sedangkan data lain (data sekunder) di peroleh dari RSUP Haji Adam Malik Medan. Data di kumpulkan dengan menggunakan kuisoner yang dalam penelitian ini merupakan data primer. Sebelum responden mengisi kuisoner, responden di minta kesediannya untuk menyatakan persetujuan menjadi responden dalam penelitian ini, yang dilampirkan bersama dengan kuisoner oleh keluarga maupun peneliti dan peneliti menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti responden. Setelah itu semua pertanyaan dijawab, peneliti mengumpulkan kembali lembar jawaban responden, dan mengucapkan terima kasih atas kesediannya menjadi respondent. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat Dari hasil observasi berdasarkan usia diperoleh responden dengan usia 26-35 tahun yaitu sebanyak 7 responden (18,9%), responden yang berusia 36-45 tahun sebanyak 10 responden (27,0%), responden yang berusia 46-50 tahun sebanyak 13 responden (35,1%), dan responden yang berusia 50 tahun ke atas sebanyak (18,9%). Jenis kelamin responden laki-laki sebanyak 21 orang (56,8%), dan responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 16 orang (43,2%). Responden dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 1 203
orang (2,7%), SMP sebanyak 5 orang (13,5%), SMA sebanyak 13 orang (35,15), AKADEMI sebanyak 11 orang (29,7%), dan responden dengan pendidikan S1 sebanyak 7 orang (18,9%). 2. Analisis Bivariat Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Responden Yang Memiliki Tingkat Kecemasan Di RA 3 RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 No
Usia
1 26-35 Tahun 2 36-45 Tahun 3 46-50 Tahun 4 50 tahun ke atas Jumlah
Ringan 1
Tingkat Kecemasan Sedang Berat Panik 1 5 -
F 7
Jumlah % 18,9%
0
1
6
3
10
27,0%
1
3
7
2
13
35,1%
1
1
5
0
7
18,9%
3
6
23
5
37
100%
Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan usia responden yang memiliki tingkat kecemasan terhadap penyakit TB paru diketahui mayoritas responden berusia 46-50 tahun memiliki tingkat kecemasan berat sebanyak 7 responden dari 13 responden (35,1%), diikuti usia 36-45 tahun mayoritas responden dengan tingkat kecemasan berat sebanyak 6 responden dari 10 responden (27,0%), serta usia 26-35 tahun dan 50 tahun ke atas masing-masing memiliki tingkat kecemasan mayoritas 5 responden dari 7 responden (18,9%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Yang Memiliki Tingkat Kecemasan Di RA 3 RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 Jenis Kelamin 1 Laki-laki 2 Perempuan Jumlah
No
Tingkat Kecemasan Ringan Sedang Berat Panik 2 3 12 4 1 3 11 1 3 6 23 5
Jumlah F % 21 56,8% 16 43,2% 37 100%
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin responden yang memiliki tingkat kecemasan terhadap penyakit TB Paru mayoritas laki-laki memiliki tingkat kecemasan berat sebanyak 12 orang dari 21 responden (56,8%), dan minoritas perempuan dengan tingkat kecemasan berat sebanyak 11 responden dari 16 orang (43,2%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden Yang Memiliki Tingkat Kecemasan Di RA 3 RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 No 1 2 3 4 5
204
Tingkat Tingkat Kecemasan Pendidikan Ringan Sedang Berat Panik SD 0 0 0 1 SMP 1 0 4 0 SMA 1 3 8 1 AKADEMI 1 1 7 2 S1 0 2 4 1 Jumlah 3 6 23 5
Jumlah F % 1 2,7% 5 13,5% 13 35,1% 11 29,7% 7 18,9% 37 100%
Dari tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa berdasarkan tingkat pendidikan responden yang memiliki tingkat kecemasan terhadap penyakit TB paru mayoritas tingkat pendidikan SMA dengan tingkat kecemasan berat sebanyak 8 responden dari 13 responden (35,1%) diikuti pendidikan Akademi dengan tingkat kecemasan berat sebanyak 7 responden dari 11 orang (29,7%), pendidikan SMP dan S1 dengan tingkat kecemasan berat masingmasing 4 responden dari 5 (13,5%) dan 7 responden (18,9%), sedangkan responden dengan pendidikan SD hanya 1 (2,7%) responden dan memiliki tingkat kecemasan panik. 2. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 37 responden yang memiliki tingkat kecemasan terhadap penyakit TB paru dari tabel 1 dapat diketahui bahwa berdasarkan usia responden yang memiliki tingkat kecemasan terhadap penyakit TB paru diketahui mayoritas responden berusia 46-50 tahun memiliki tingkat kecemasan berat sebanyak 7 responden dari 13 responden (35,1%). Usia merupakan salah satu faktor internal yang berkontribusi terhadap timbulnya kecemasan pada orang tua, Bahkan ada yang berpendapat bahwa faktor usia muda lebih mudah mengalami cemas daripada usia tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya (Kaplan & Sadock). Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa jenis kelamin responden yang memiliki tingkat kecemasan terhadap penyakit TB Paru mayoritas laki-laki memiliki tingkat kecemasan berat sebanyak 12 orang dari 21 responden (56,8%). Laki-laki lebih cenderung mengalami kecemasan dibandingkan dengan perempuan, hal ini dikarenakan lakilaki dirasa lebih sensitif terhadap permasalahan, sehingga mekanisme koping laki-laki lebih kurang baik dibandingkan perempuan. Hal ini ditegaskan pada hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih menempati posisi tingkat kecemasan dibandingkan perempuan. Dari tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan tingkat pendidikan responden yang memiliki tingkat kecemasan terhadap penyakit TB paru mayoritas tingkat pendidikan SMA dengan tingkat kecemasan berat sebanyak 8 responden dari 13 responden (35,1%). Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan Status pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang menyebabkan orang tersebut mengalami stres dibanding dengan mereka yang status pendidikan dan status ekonomi yang tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap 37 responden menunjukkan bahwa responden cenderung memiliki tingkat kecemasan berat. Hal dapat ditunjukkan
bahwa dari 13 responden (35,1%) usia 46-50 tahun sebanyak 7 responden memiliki tingkat kecemasan berat, dari 16 responden (43,2%) dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 11 responden memiliki tingkat kecemasan berat, dan dari 13 responden (35,1%) dengan tingkat pendidikan SMA sebanyak 8 responden memiliki tingkat kecemasan berat. Saran Bagi keluarga yang memiliki pengetahuan cukup, diharapkan lebih meningkatkan pengetahuannya untuk mengurangi rasa cemas pasien. Bagi pendidikan keperawatan perlu ditingkatkan pengetahuan agar dapat mengukur tingkat kecemasan pasien, sehingga pasien lebih merasa tenang lagi. Bagi petugas kesehatan, diharapakan kepada petugas kesehatan supaya memberikan penyuluhan tentang cara mengurangi rasa cemas pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA Alsagaff dan Mukty, 2005, Dasar Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga, Surabaya. Aditama, Tjandra Yoga, 2002, Tuberkulosis Paru, Diognosa, Terapi, Dan Masalahnya, ikatan dokter: Jakarta.
Arikunto, S, 2006, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi, Jakarta. Crofton J, Horner N, 2002, Tuberkulosis Klinis, Cetakan I, Widya Medika: Jakarta Danusantoso, Halim,2003, Ilmu Penyakit Paru, Hipokrates: Jakarta. Depkes RI, 2007, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Hawari D, 2001, Manajemen Stress, cemas dan depresi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Hudoyo Ahmad, 2008, Tuberkulosis Mudah Diobati, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta Notoatmojo Soekidjo, 2002, Metode Penelitian Kesehatan, Rinenka Cipat: Jakarta. Nursalam, 2003, Konsep Dan Penerapan Metedologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika : Jakarta Suliswati,dkk, 2005,Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC: Jakarta. Suliwati, Taufan, 2004, Pengobatan Tuberkulosis Paru Masih Menajdi Masalah, Jakarta. Soekanto Soerjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada: Jakarta.
205
PENGARUH LATIHAN (ROM) PASIF TERHADAP KEKUATAN OTOT EKSTREMITAS PADA PASIEN STROKE DI RUANG RA4 RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2014
Zainuddin Harahap Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak Stroke merupakan syndrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan aliran darah otak non-traumatik. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan one group pretest dan posttest. Penelitian dilakukan pada Ruang Rindu A4 RSUP Haji Adam Malik Medan, yang dilaksanakan mulai bulan Desember 2013 sampai dengan Mei 2014 dengan populasi 87 orang. Teknik pengambilan sampel dengan cara accidental sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan kebetulan bertemu yang berjumlah 12 responden. Hasil penelitian diketahui bahwa kekuatan otot ekstremitas atas pada pasien stroke non hemoragik sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif memiliki tingkat kekuatan otot yang sangat kecil, kekuatan otot ekstremitas atas pada pasien stroke non hemoragik sesudah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif, terjadi perbaikan atau peningkatan. Adanya pengaruh yang signifikan antara sebelum dilakukan latihan Range of Motion (ROM) pasif, terjadi perbaikan atau peningkatan dan adanya pengaruh yang signifikan antara sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif dan setelah tujuh hari pemberian latihan Range Of Motion (ROM) pasif. Hal ini perlu ditingkatkan dengan memberikan latihan lebih lama minimal 4 minggu. Setelah itu, perlu diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kekuatan otot pasien stroke. Kata Kunci : Kekuatan otot ekstremitas, stroke
PENDAHULUAN Stroke merupakan syndrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan aliran darah otak non-traumatik (Arief, 2000). Stroke adalah penyakit neurologis terbanyak yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada kecacatan, kematian, dan ekonomi keluarga, akibat dari adanya disfungsi motorik dan sensorik (Subianto, 2012) Pasien dengan stroke akan mengalami gangguan-gangguan yang bersifat fungsional. Gangguan sensoris dan motorik post stroke mengakibatkan gangguan keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak, serta gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi yang hilang akibat gangguan kontrol motorik pada pasien stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi, hilangnya kemampuan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu) (Irfan, 2010 Santoso & Ali, 2013). Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan di Indonesia sekitar 56,5%. Stroke pada orang dewasa akan berdampak menurunnya produktivitas dan menjadi beban
206
berat bagi keluarga, sehingga penderita stroke diharuskan mampu untuk beradaptasi dengan kondisi akibat stroke (Sutrisno, 2007 Murtaqib, 2013). Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2001 ada 20,5 juta jiwa di dunia terkena stroke. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga, dimana setiap tahun dilaporkan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 di antaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa serangan stroke berulang (Sutrisno, 2007). Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa kematian akibat stroke meningkat seiring dengan kematian akibat penyakit jantung dan kanker kurang lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030 (Wayan, 2012). Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Yayasan Stroke Indonesia (Yastroksi) menyebutkan bahwa 63,52 per 100.000 penduduk Indonesia berumur di atas 65 tahun diperkirakan terkena stroke. Survey ASEAN Neurological Association (ASNA) penelitian di 28 Rumah Sakit seluruh Indonesia menyebutkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan
profil usia dibawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5% (Rasyid, 2011). Prevalensi Stroke tertinggi ada di Kabupaten Nias Selatan yaitu 9,6% dan terendah di Kabupaten Serdang Bedagai yaitu 2,4% (Riskerdas 2007, Depkes 2008). Penderita stroke yang mengalami kelemahan otot dan tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat dapat menimbulkan komplikasi, salah satunyaadalah kontraktur. Kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi, gangguan aktivitas sehari-hari dan cacat yang tidak dapat disembuhkan (Asmadi, 2008). Angka kecacatan akibat stroke umumnya lebih tinggi daripada angka kematian, perbandingan antara cacat dankematian adalah 4:1. Menurut Pusat Data dan Informasi PERSI, stroke menempati urutan pertama dalam hal penyebab kecacatan fisik (Persi, 2001 Murtaqib, 2013). Meskipun upaya pencengahan telah dilakukan namun insiden dengan laju mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan sebasar 62% untuk stroke selanjutnya. Terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup dari stroke yang mempunyai beberapa kecacatan; dari angka ini, 40% memerlukan bantuan dalam beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Pasien stroke yang mengalami keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri. Keterbatasan ini dapat identifikasi pada klien yang pada salah satu ekstremitas mempunyai keterbatasan gerakan atau klien yang mengalami imobilisasi seluruhnya. Latihan rentang gerak dapat aktif (klien menggerakkan semua sendinya dengan rentang gerak tanpa bantuan), pasif (klien tidak dapat menggerakkan dengan mandiri dan perawat menggerakkan setiap sendi dengan rentang gerak). Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat bermanfaat dalam menjaga sifat fisiologis dari jaringan otot dan sendi (Potter & Perry, 2006). Banyak efek samping yang menyertai stroke, misalnya depresi. Pasien cenderung berubah jadi murung, putus asa, sedih, dan kecewa. Mereka merasa tidak punya harapan hidup lagi karena sejumlah keterbatasan yang dimiliki. Jika kesedihan itu terus berlanjut, dan tidak diisi dengan menjalani rehabilitasi, kondisi pasien akan semakin buruk. Ia bisa menyendiri di kamar dan melakukan bunuh diri. Selain itu, tingkat kecacatan bakal menjadi parah. Organ-organ yang lumpuh bertambah banyak. Organ yang semula masih bisa diperbaiki menjadi lumpuh dan tak dapat dinormalkan kembali, khususnya anggota gerak. Jika tidak dijaga, akan menyebabkan atrofi otot-otot anggota gerak. Hal ini perlu diperhatikan. Jenis penelitian dapat diberikan sedini mungkin untuk menghindari adanya komplikasi akibat kurang gerak serta mencegah otot yang tidak digunakan secara berlebihan, atrofi, kontraktur sendi. Pemberian terapi latihan ini sangat bermanfaat, sehingga dianjurkan untuk mengapilikasinya pada pasien stroke (Kwakkel, 2004). Pemberian terapi secara terpadu dan sedini mungkin maka semakin besar kemungkinan pengembalian fungsi, juga komplikasi akibat
imobilisasi dapat dicegah dan kecacatan lebih lanjut dapat dihindari sehingga dapat mandiri tanpa tergantung pada orang lain. (Bethesda,2008). Salah satu rehabilitasi tersebut adalah latihan rentang gerak atau Range Of Motion (ROM). Range Of Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kekuatan otot dalam pemberian latihan Range Of Motion (ROM), beberapa diantaranya adalah usia, jenis kelamin, dan frekuensi serangan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Vica Melsa Rahmi di RSUP H Adam Malik Medan 2012, terdapat peningkatan kekuatan otot yang dilakukan pada 10 pasien dengan rata-rata peningkatan otot meningkat antara intervensi (0,30) dan sesudah intervensi (1,80) dan dari hasil penelitian sebelumnya dilakukan Maria Astrid di Rumah Sakit Saint Carolus Jakarta Tahun 2011, terdapat peningkatan kekuatan otot meningkat antara antara intervensi (2,93) dan sesudah intervensi (4,2) (Rahmi, 2012). Rehabilitasi penderita stroke yang digunakan adalah gerakan pasif denggan menggerakkan sendi-sendi pasien untuk mencegah terjadinya atrofi otot gerak. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) misalnya, rehabilitasi yang tepat bisa menurunkan persentase angka kematian akibat stroke dari 40% menjadi 25%, bahkan di Unit Pelayanan Khusus Stroke Soeparjdo Roestam unit swadana RSCM bisa ditekan hingga 13 persen (Sutrisno, 2007). Penderita stroke harus dimobilisasi sedini mungkin ketika kondisi klinis neurologis dan hemodinamik penderita sudah mulai stabil. Mobilisasi dilakukan secara rutin dan terus menerus untuk mencegah terjadinya komplikasi stroke, terutama kontraktur. Latihan ROM merupakan salah satubentuk latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan pada penderita stroke. Latihan ini adalah salah satu bentuk intervensi fundamental perawat yang dapat dilakukan untuk keberhasilan regimen terapeutik bagi penderita dan dalam upaya pencegahan terjadinya kondisi cacat permanen pada penderita stroke paska perawatan di rumah sakit, sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan penderita pada keluarga, meningkatkan harga diri dan mekanis mekoping penderita. Lewis (2007) mengemukakan bahwa sebaiknya latihan pada penderita stroke dilakukan 2 kali dalam sehari untuk mencegah komplikasi, semakin dini proses rehabilitasi di mulai, maka kemungkinan penderita mengalami defisit kemampuan akan semakin kecil. Penelitian menunjukan bahwa latihan ROM dapat meningkatkan fleksibilitas danrentang gerak sendi. Latihan ROM dilakukan selama 1 minggu dan 2 minggu, 1 hari 2 kali yaitu pagi dan sore selama 10-15 menit, maka memiliki kesempatanuntuk mengalami penyembuhan dengan baik (Murtaqib, 2013). Data yang diperoleh dari RSUP. Haji Adam Malik Medan, jumlah penderita stroke yang dirawat 207
inap Tahun 2011 berjumlah 421 orang, pada Tahun 2012 berjumlah 448, dan pada Tahun 2013 berjumlah 474 orang. Setelah dilakukan observasi pada 6 pasien tingkat kekuatan otot pasien tersebut menurun dan kemampuan mereka beraktivitas rendah. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh latihan ROM pasif terhadap kekuatan otot ekstremitas pada pasien stroke di ruang RA4 RSUP H Adam Malik Medan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan one group pretest dan posttest. Lokasi penelitian di Ruang Rindu A4 RSUP Haji Adam Malik Medan, dan dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan Mei 2014. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap Stroke Non Hemoragik di Ruang RA4 mulai bulan Oktober sampai Desember berjumlah 87 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara accidental sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan kebetulan bertemu (Alimul, 2009). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 12 responden. Data diperoleh melalui data primer atau data langsung yang diperoleh saat penelitian, selain itu peneliti juga menggunakan data sekunder yang didapat dari sumber-sumber yang ada diruang rawat inap medical record RSUP Haji Adam Malik Medan. Data kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa univariat untuk mengetahui hasil distribusi dan persentase dari setiap variabel dan bivariat untuk melihat pengaruh antar variabel bebas (latihan ROM pasif) dengan variabel terikat (kekuatan otot), maka uji yang digunakan adalah uji t dependen yang sering disebut paired t-test, dengan tingkat keprcayaan 95%, bila nilai ρ< 0,05, maka Ho ditolak dan jika ρ>0,05, maka Ha diterima.
kedua 4 responden (34%). Berdasarkan lama perawatan responden dengan lama perawatan 2 minggu sebanyak 8 responden (66%), 3 minggu 4 responden (33%). Berdasarkan tingkat kekuatan otot sebelum dilakukan latihan Range of Motion (ROM) pasif, responden dengan tingkat kekuatan otot 1 sebanyak 8 responden (67%) dan tingkat kekuatan otot 2 sebanyak 4 responden (33%). Berdasarkan tingkat kekuatan otot sesudah dilakukan latihan Range of Motion (ROM) pasif, responden dengan tingkat kekuatan otot 1 sebanyak 2 responden (17%), tingkat kekuatan otot 2 sebanyak 3 responden (25%) dan tingkat kekuatan otot 3 sebanyak 7 responden (58%). Hasil pengukurun responden berdasarkan tingkat kekuatan otot ekstremitas atas pada responden 1,3,9 sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) Pasif tingkat kekuatan ototnya masing-masing nilai 1 sesudah dilakukan latihan masing-masing meningkat menjadi nilai 3. Pada responden 2,7,12 sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) Pasif tingkat kekuatan ototnya masingmasing nilai 1 sesudah dilakukan latihan masing-masing meningkat menjadi nilai 2. Pada responden 4,6,8,10 sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) Pasif tingkat kekuatan ototnya masing-masing nilai 2 sesudah dilakukan latihan masing-masing meningkat menjadi nilai 3. Sedangkan responden 5 dan 11 sebelum dan sesudah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) Pasif nilainya masih tetap 1, tidak mengalami peningkatan. 2.
Bivariat Dari hasil penelitian, sebelum dilakukan Range Of Motion (ROM) pasif pada pasien stroke non hemoragik, kekuatan otot ekstremitas atas responden menunjukkan nilai kekuatan otot yang kecil dengan nilai 1-2. Namun setelah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif pada seluruh responden, terjadi peningkatan kekuatan otot ekstremitas atas yang didominasi dengan nilai kekuatan otot 3.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Univariat Dari hasil observasi terhadap responden dengan pengaruh latihan (ROM) pasif terhadap kekuatan otot ekstremitas pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014 berdasarkan jenis kelamin sebanyak 8 responden (67) laki-laki, 4 responden (33%) perempuan. Berdasarkan usia responden dengan usia 45-65 tahun sebanyak 6 responden (50%) sedangkan responden dengan usia <45 dan >65 tahun masing-masing sebanyak 3 responden (25%), dan usia 45-65 tahun 6 responden (50%). Berdasrkan pekerjaan, responden bekerja sebagai IRT sebanyak 4 responden (33%), buruh/petani 1 responden (8%), wiraswasta 5 responden (42%) dan PNS 2 responden (17%). Berdasarkan suku responden dengan suku Aceh sebanyak 2 responden (17%), suku Batak 5 responden (41%), suku Jawa 2 responden (16%) dan suku Karo 3 responden (25%). Berdasarkan frekuensi serangan responden dengan serangan pertama sebanyak 8 responden (66%), serangan
208
Pembahasan Dari hasil penelitian ini peneliti menemukan bahwa ρ = 0,068, berarti Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya ada pengaruh latihan Range Of Motion (ROM) pasif terhadap peningkatan kekuatan otot ekstremitas atas pada pasien stroke non hemoragik. Hasil penelitian ini sesuai dengan Astrid (2011), yang menyatakan ada pengaruh latihan Range Of Motion (ROM) pasif terhadap peningkatan kekuatan otot. Selain itu, karakteristik demografi responden sangat mempengaruhi peningkatan kekuatan otot. Kekuatan otot sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif pada usia 45-65 tahun sebesar 50% hal ini disebabkan karena penurunan aktivitas yang dapat menyebabkan timbulnya kelemahan otot serta atrofi. Dan terjadi peningkatan otot setelah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif kekuatan otot 2 menjadi kekuatan otot 3. Dan pada usia <45 tahun terjadi peningkatan kekuatan otot yang signifikan dari kekuatan otot 1 menjadi kekuatan otot 3. Kekuatan otot pada pria lebih besar 25% dari pada wanita. Hal ini terjadi akibat pria memiliki
hormon testosterone yang merupakan anabolic steroid. Pada penelitian ini kekuatan otot pada laki-laki dari 1 menjadi 3 (66,7%). Pada wanita kekuatan otot 2 menjadi kekuatan otot 3 (33,3%). Pada peningkatan kekuatan otot untuk suku terbanyak adalah suku batak dari kekuatan otot 1 menjadi kekuatan otot 3 (41,7%). Hal ini dikarenakan suka batak lebih temperamen dari suku-suku lainnya, sehingga mempercepat peningkatan kekuatan otot. Peningkatan kekuatan otot sangat dipengaruhi frekuensi serangan. Frekuensi serangan pertama terjadi peningkatan kekuatan otot antara kekuatan otot 1 menjadi kekuatan otot 3 (66,7%). Peningkatan kekuatan otot sangat berpengaruh bila banyak beraktivitas. Dari penelitian ini peningkatan kekuatan otot terjadi pada wiraswasta karena wiraswasta lebih banyak beraktivitas. Peningkatan kekuatan otot dari antara 1 menjadi kekuatan otot 3 (33,3%) Menurut pendapat Smeltzer & Bare (2002), bahwa regulitas dalam latihan bagi pasien stroke merupakan hal yang paling penting karena perbaikan kekuatan otot dan pemeliharaan rentang gerak dapat dicapai hanya melalui latihan harian. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kekuatan otot ekstremitas atas pada pasien stroke non hemoragik sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif memiliki tingkat kekuatan otot yang sangat kecil. Kekuatan otot ekstremitas atas pada pasien stroke non hemoragik sesudah dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif, terjadi perbaikan atau peningkatan. Adanya pengaruh yang signifikan antara sebelum dilakukan latihan Range of Motion (ROM) pasif, terjadi perbaikan atau peningkatan. Adanya pengaruh yang signifikan antara sebelum dilakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif dan setelah tujuh hari pemberian latihan Range Of Motion (ROM) pasif. Disarankan bagi perawat untuk memberikan latihan Range Of Motion (ROM) pasif kepada pasien stroke yang mengalami kelemahan otot secara teratur dalam bentuk latihan dua kali sehari selama 15-30 menit dengan pengulangan empat kali setiap gerakan. Karena terbukti berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot pasien. Kepada Instalansi Rumah Sakit perlu memasukkan latihan Range Of Motion (ROM) pasif kedalam prosedur tetap dalam perawatan pasien stroke, karena latihan Range Of Motion (ROM) pasif. Terbukti meningkatkan kekuatan otot pasien. Dan bagi peneliti selanjutnya diharapkan waktu pemberian latihan lebih lama minimal 4 minggu. Setelah itu, perlu diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kekuatan otot pasien stroke. DAFTAR PUSTAKA Alimul A. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisa Data.Salemba Medika: Jakarta. Al Diwanto, Masde. 2009. Tips Mencegah Stroke, Hipertensi dan SeranganJantung. Paradigma Indonesia: Yogyakarta.
Astrid Maria. 2011. Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Terhadap Kekuataan Otot, Luas Gerak Sendi dan Kemampuan Fungsional Pasien Stroke. Bethesda. 2008. Terapai Latihan. Available from: www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/312 12/7/cover.pdf Bustan M. N. 2007. Epidimiologi: Penyakit Tidak Menular, cetakan 2,Rhineka Cipta: Jakarta Depkes. 2010. Kekuataan Otot.Available from: www.depkes.go.id Kusyati, Eni. 2006. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium. EGC:Jakarta Lumbantobing. S. M. 2007. Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak. FKUI: Jakarta. Mulyatsih Enny & Ahmad A. 2010. Stoke Petunjuk Perawatan Pasien Pasca Stroke di Rumah. FKUI: Jakarta Muttaqin, 2008. Asuhan keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika: Jakarta Murtaqib, 2013. Latihan Range Of Motion (ROM) Pasif Dan Aktif Selama 1-2 Minggu Terhadap Perbedaan Peningkatan Rentang Gerak Sendi Pada Penderita Stroke Di Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember, Universitas Jember Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Rhineka Cipta: Jakarta. Potter, P. A & Perry, A. G. 2006. Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. EGC: Jakarta. Santoso & Ali, 2013. Perbedaan Efektivitas ROM Aktif Dengan ROM Aktif Asistif (Spherical Grip) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pada Pasien Stroke Non hemoragik DiKecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadyah Pekajangan Pekalongan Shadine, Mahannad, 2010. Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke & Serangan Jantung. Keen Books: Jakarta Simatupang D. 2011. Jurnal PANNMED, vol 6 no 2. USU press: Medan Smeltzer, S. C. Dan Bare. B. G. 2002. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth, Edisi 8 vol 1. EGC: Jakarta Smeltzer, S. C. Dan Bare. B. G. 2002. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth, Edisi 8 vol 3. EGC: Jakarta. Subianto, Rendra 2012 Pengaruh Latihan ROM (Range Of Motion) Terhadap Mobilisasi Pada Pasien Stroke, Universitas Muhamaddiyah Ponorogo Sutanto. 2010. Cekal Penyakit Modern. Andi Offset: Yogyakarta Sutrisno, Alfred. 2007. Stroke????. Gramedia Pustaka Umum: Jakarta. Wayan, 2012.Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) Pasif Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pada pasien Stroke Non Hemoragik.
209
UJI EFEK ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN TEH (Camellia sinensis L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Escherichia coli
Amriani, Lanny Permata Sari Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak ditumbuhi beraneka ragam tanaman yang berpotensi sebagai tanaman obat tradisional. Salah satu tanaman yang dapat berguna sebagai obat adalah tanaman teh (Camellia sinensis L.).Tanaman teh mengandung katekin yang berkhasiat sebagai antibakteri dan antidiare. Tujuan penelitian ini untuk melihat efek antibakteri ekstrak daun teh terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak daun teh yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Bakteri adalah sel prokariotik dan uniselular. Bakteri Escherichia coli merupakan salah satu bakteri gram negatif dan dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran kemih dan diare. Ekstrak daun teh dibuat secara perkolasi dengan menggunakan etanol 96% sebagai cairan penyari yang kemudian diuapkan dengan rotavapor. Uji aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan metode difusi yaitu menggunakan media agar yang telah ditanami bakteri, kemudian dibuat 6 hole. Lima hole ditetesi larutan uji yaitu ekstrak daun teh 2%, 3%, 4%, 5%, 6% dan satu hole ditetesi kontrol negatif yaitu alkohol 96%. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, zona hambatan antibakteri yang memuaskan adalah 14-16 mm. Dari data hasil pengamatan dapat dilihat bahwa ekstrak daun teh 2% belum dapat dikatakan sebagai antibakteri, tetapi sudah dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Ekstrak daun teh 3%, 4%, 5% dan 6% telah dapat dikatakan sebagai antibakteri dengan masing-masing diameter zona hambatnya 14,1 mm; 14,9 mm; 15,1 mm; 15,8 mm. Ekstrak daun teh 3% merupakan konsentrasi hambat minimum dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Kontrol negatif yaitu etanol 96% ternyata tidak memiliki efek antibakteri. Kata Kunci : Daun teh, Antibakteri, Escherichia coli
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak ditumbuhi beraneka ragam tanaman yang berpotensi sebagai tanaman obat tradisional. Sejak dahulu masyarakat Indonesia telah memanfaatkan tanaman obat tersebut sebagai salah satu upaya untuk mengobati penyakit. Pemanfaatan tanaman obat merupakan warisan budaya nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun hingga ke generasi sekarang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Diantara keanekaragaman tanaman, salah satu yang dapat berguna sebagai obat adalah tanaman teh (Camellia sinensis L.). Bagian tanaman teh yang digunakan sebagai obat adalah daunnya. Daun teh mengandung beberapa zat-zat antara lain polifenol 3040%, kafein, minyak atsiri dan tanin. Polifenol daun teh yang terkenal adalah katekin (Trubus vol. 10). Katekin memiliki khasiat sebagai antibakteri (Rossi, 2010). Selain itu juga berkhasiat sebagai antidiare (The Merck Index, 2006). Daun teh berguna untuk mengatasi sakit kepala, penyubur dan menghitamkan rambut, diabetes mellitus, mengurangi terbentuknya karang gigi, infeksi saluran cerna dan diare (Dalimartha, 1999). Pada masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah 210
perkebunan, daun teh biasa digunakan dalam usaha pertolongan awal pada penderita diare (Department of Food Science and Technology, 2010). Di daerah Jawa orang yang menderita diare juga biasanya diberikan air teh panas (Werner, dkk., 2010). Di Cina, teh juga digunakan untuk mengobati penyakit disentri dan diare (Heinrich, et.al, 2009). Salah satu penyebab penyakit diare dikarenakan infeksi bakteri Escherichia coli. Bakteri Escherichia coli merupakan salah satu bakteri gram negatif. Bakteri ini umumnya ditemukan dalam usus besar manusia dan dapat juga menyebabkan penyakit lain seperti pneumonia, meningitis dan infeksi saluran kemih. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti ―Uji Efek Antibakteri Ekstrak Daun Teh (Camellia sinensis L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli”. Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat efek antibakteri ekstrak daun teh terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan untuk mengetahui pada konsentrasi berapa ekstrak daun teh (Camellia sinensis L.) tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Selain itu juga penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa daun teh dapat dijadikan sebagai penyembuhan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli dan bagi akademis, gagasan ini dapat mendorong dan mengkaji lebih lanjut untuk memformulasi sediaan yang dibuat dari daun teh yang dapat digunakan dalam penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli. METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental secara uji mikrobiologi di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Medan. Pengambilan Sampel Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah daun teh varietas assamica yang masih muda yang tumbuh di daerah Perkebunan Sidamanik Kabupaten Simalungun. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive yaitu sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari tempat lain. Alat dan Bahan Alat-alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah : Autoklaf, batang pengaduk, beaker glass, botol berwarna gelap, cawan petri, erlenmeyer , gelas ukur, Incubator, jangka sorong, kain flannel, kapas, kawat ose, kertas perkamen,kertassaring,labutentukur,lampuspiritus,mikrosk op,oven,percolator, plastikdanKaret, rak tabung reaksi, ring percolator, spidol, statip, mat pipet 5 ml, tabung reaksi,tali atau benang. Bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini : Daun Teh (Camellia sinensis L.), Etanol 96%, Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), Media Mueller Hinton Agar (MHA), Nutrient Agar, Bakteri Escherichia coli, Larutan Kristal violet, Larutan Lugol, Larutan Fuchsin, Suspensi Mc. Farland dan Aquadest. Pengolahan Sampel Daun teh yang masih segar dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel dengan air bersih, lalu ditiriskan. Iris daun teh dengan lebar 0,3 cm (3 mm). Keringkan pada suhu kamar, terlindung dari sinar matahari langsung kemudian daun yang sudah kering dihaluskan hingga menjadi serbuk. Perhitungan Pembuatan Ekstrak Daun The Pada penelitian ini, ekstrak dibuat dengan cara perkolasi dengan menggunakan cairan penyari etanol 96%. 100 bagian ekstrak cair yang akan dibuat = 2500 gram Maka 10 bagian serbuk daun teh = 250 gram Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, Bj alkohol = 0,812 - 0,816 0,812+0,816 Maka Bj rata-ratanya = = 0,814 2 Volume 100 bagian ekstrak cair :
v= v=
𝑚 𝑏𝑗
2500 𝑔
0,814 𝑔/𝑚𝑙
= 3071 ml
5 bagian cairan penyari untuk membasahi serbuk daun teh: 5 𝑥 3071 𝑚𝑙 = 153, 55 𝑚𝑙 = 153, 6 𝑚𝑙 100
Pembuatan Ekstrak Daun Teh Sepuluh (10) bagian (250 gram) serbuk daun the ditimbang lalu dimasukkan ke dalam wadah. Kemudian ditambahkan 5 bagian (153,6 ml) cairan penyari yaitu etanol 96%, diaduk hingga semua permukaan serbuk daun teh basah dan diamkan selama 3 jam. Serbuk daun teh dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil ditekan hati-hati dengan menggunakan batang pengaduk. Etanol 96% dimasukkan ke dalam perkolator secara perlahan-lahan sehingga terdapat selapis cairan penyari di atas serbuk daun teh yang berada dalam perkolator. Perkolator ditutup dengan menggunakan plastik, lalu didiamkan selama 24 jam. Pipet kapiler dibuka dan dibiarkan cairan penyari (etanol 96%) menetes dengan kecepatan 1 ml/ menit. Etanol 96% ditambahkan ke dalam perkolator hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas serbuk daun teh. Perkolat ditampung hingga warna perkolat yang keluar terakhir tidak berwarna lagi. Akhirnya Perkolat diuapkan dengan rotavapor pada suhu tidak lebih dari 500C hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh adalah 29,22 gram. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Daun Teh Daun teh yang digunakan untuk obat diare secara empiris dilakukan dengan cara merebus daun teh yang masih muda dan segar sebanyak 20 g dengan 3 gelas air, sehingga diperoleh konsentrasinya: 1 gelas air = 200 ml 3 gelas air = 600 ml 20 𝑔 𝑥 100% = 3,33% 600 𝑚𝑙 Kosentrasi daun teh yang dibuat secara empiris adalah 3,33%, maka pada penelitian ini peneliti mengambil konsentrasi di bawah dan di atas konsentrasi 3,33% yaitu 2%, 3%, 4%, 5%, 6% Untuk membuat ekstrak daun teh konsentrasi 6%: 6% = 6 g/100 ml Maka untuk membuat 50 ml: 50 𝑚𝑙 𝑥6𝑔 =3𝑔 100 𝑚𝑙 Ekstrak kental daun teh ditimbang sebanyak 3 g kemudian dicukupkan dengan etanol 96% hingga 50 ml. Untuk membuat 6 ml ekstrak daun teh 5%, dibuat dengan pengenceran ekstrak daun teh 6%, yaitu: V1.N1 = V2.N2 V1. 6% = 6. 5% V1 = 5 ml. Maka pipet 5 ml ekstrak daun teh 6%, tambahkan etanol 96% sampai 6 ml Untuk membuat 6 ml ekstrak daun teh 4%, dibuat dengan pengenceran ekstrak daun teh 6%, yaitu: 211
V1.N1 = V2.N2 V1. 6% = 6. 4% V1 = 4 ml. Maka pipet 4 ml ekstrak daun teh 6%, tambahkan etanol 96% sampai 6 ml Untuk membuat 6 ml ekstrak daun teh 3%, dibuat dengan pengenceran ekstrak daun teh 6%, yaitu: V1.N1 = V2.N2 V1. 6% = 6. 3% V1 = 3 ml. Maka pipet 3 ml ekstrak daun teh 6%, tambahkan etanol 96% sampai 6 ml Untuk membuat 6 ml ekstrak daun teh 2%, dibuat dengan pengenceran ekstrak daun teh 6%, yaitu: V1.N1 = V2.N2 V1. 6% = 6. 2% V1 = 2 ml. Maka pipet 2 ml ekstrak daun teh 6%, tambahkan etanol 96% sampai 6 ml Prosedur Kerja Pembuatan Media Eosine Methylen Blue Agar (EMBA) Jumlah media yang harus dilarutkan dalam 1 liter aquadest pada etiket adalah 36 g/l. Banyaknya EMBA yang diperlukan untuk 50 ml adalah: 50 𝑚𝑙 𝑥 36 𝑔 = 1 ,8 𝑔 1000 𝑚𝑙 Pembuatan: EMBA ditimbang sebanyak 1,8 gram, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeye dan dilarutkan dengan aquadest sebanyak 50 ml lalu dianaskan sampai mendidih. Setelah mendidih diangkat dan erlenmeyer ditutup dengan kapas dan dilapisi dengan kertas perkamen, kemudian ikat dengan benang. Sterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit, setelah steril, diangkat dari autoklaf dengan perlahanlahan dan hati-hati. Dinginkan sejenak, kertas perkamen yang diikatkan pada Erlenmeyer dibuka kemudian dituang ke dalam cawan petri secara aseptis dan dibiarkan agar dingin dan memadat. Pembuatan Media Mueller Hilton Agar (MHA) Jumlah media yang dilarutkan dalam 1 liter aquadest pada etiket adalah 34 g/l. Banyaknya MHA yang diperlukan 100 ml adalah: 100 𝑚𝑙 𝑥 34 𝑔 = 3,4 𝑔 1000 𝑚𝑙 Pembuatan: MHA ditimbang sebanyak 3,4 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml, kemudian dipanaskan sampai mendidih, diangkat dan erlenmeyer ditutup dengan kapas, lalu dilapisi dengan kertas perkamen, kemudian ikat dengan benang.Kemudian sterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit
212
Pembuatan Media Nutrien Agar (NA) Jumlah media yang harus dilarutkan dalam 1 liter aquadest pada etiket adalah 20 g/L. Banyaknya Nutrien Agar yang dibutuhkan untuk 20 ml adalah: 20 𝑚𝑙 𝑥 20 𝑔 = 0,4 𝑔 1000 𝑚𝑙 Pembuatan: Nutrien Agar ditimbang sebanyak 0,4 g, lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer, larutkan dengan aquadest sebanyak 20 ml serta dipanaskan sampai mendidih. Setelah mendidih diangkat, lalu dibagi dalam beberapa tabung (sesuai kebutuhan), ditutup dengan kapas, dilapisi dengan kertas perkamen kemudian diikat dengan benang dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah steril, angkat dari autoklaf dengan perlahan-lahan dan hatihati. Setelah disterilkan kemudian dinginkan, kertas perkamen yang diikatkan pada tabung dibuka kemudian tabung yang berisi Nutiren Agar dimiringkan untuk memperoleh agar miring dan dibiarkan sampai membeku, setelah itu dilakukan penanaman bakteri dengan menggoreskan bakteri secara zig-zag pada media. Larutan NaCl 0,9% Larutan ini digunakan untuk mensuspensikan bakteri dan pengenceran bakteri. Pembuatan: NaCl ditimbang sebanyak 0,9 g lalu dilarutkan dengan aquadest hingga 100 ml dalam labu tentukur, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Suspensi Standar Mc. Farland Pembuatan: Larutan Asam Sulfat dicampur dengan Larutan Barium Klorida didalam tabung reaksi dan dikocok homogen. Apabila kekeruhan suspensi bakteri uji sama dengan kekeruhan suspensi standar Mc. Farland, maka konsentrasi suspensi bakteri adalah 108 koloni/ ml. Pembiakan Bakteri Ambil satu ose dari suspensi bakteri Escherichia coli, kemudian ditanam ke media EMBA dengan cara menggoreskan, Inkubasi dalam inkubator pada suhu 370 C selama 24 jam lalu diamati pertumbuhan koloni pada media. Hasil yang diperoleh koloni berwarna hijau dengan kilap logam dan bintik biru kehijauaan ditengahnya menunjukkan Escherichia coli (+), lalu dilakukan pengecatan gram dengan cara: Ambil biakan bakteri yang telah berumur 24 jam, letakkan pada kaca objek yang telah diberikan aquadest lebih dahulu, lalu fiksasi
Tambahkan kristal violet, diamkan 1 menit, kemudian bilas dengan aquadest dan tambahkan larutan lugol, biarkan selama 1 menit Setelah 1 menit lugol dibilas dengan aquadest, kemudian tuangi dengan alkohol 96% setetes demi setetes hingga warna Kristal violet hilang, kemudian bilas kembali dengan aquadest Tambahkan larutan Fuchsin diamkan kira-kira 20 detik, bilas dengan aquadest lalu keringkan dengan kertas hisap secara hati-hati Amati hasilnya di bawah mikroskop dengan perbesaran 10X40 dan 10X100 Jika bakteri tersebut adalah Escherichia coli hasil yang diperoleh di bawah mikroskop adalah bakteri berwarna merah yang merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang Lalu koloni spesifik Escherichia coli diambil satu ose lalu ditanamkan pada Nutrien Agar miring, inkubasi dalam inkubator pada suhu 370 C selama 24 jam
Pengenceraan Bakteri Escherichia coli 1 ml larutan NaCl 0,9% dimasukkan kedalam tabung kosong, kemudian ditambahkan satu ose biakan bakteri Escherichia coli yang berumur 18-24 jam yaitu biakan yang berasal dari Nutrien Agar. Kemudian tambahkan terus larutan NaCl 0,9% sampai diperoleh suspensi dengan kekeruhan yang sama dengan suspensi standar Mc. Farland, maka konsentrasi suspensi bakteri adalah 108 koloni/ml. Suspensi bakteri dimasukkan dengan menggunakan pipet sebanyak 0,1 ml kedalam tabung reaksi kemudian tambahkan 9,9 ml larutan NaCl 0,9%, sehingga konsentrasi suspensi bakteri adalah 106 koloni/ml. Uji Efek Antibakteri Ekstrak Daun Teh terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli 1. Sterilkan semua alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Buat persediaan inokulum. 3. Pipet 0,1 ml suspensi bakteri dengan konsentrasi 106 koloni/ ml ke dalam 100 ml media MHA dengan suhu 450 - 500C lalu kocok sampai homogen, kemudian tuang segera sebanyak 15 ml kedalam cawan petri steril, lalu biarkan memadat. 4. Buat 6 hole, 5 hole untuk ekstrak daun teh,1 hole untuk etanol 96% sebagai kontrol negatif. 5. Tetesi masing-masing ke dalam hole 0,1 ml ekstrak daun teh dengan konsentrasi 2%, 3%, 4%, 5%, 6% dan pada 1 hole 0,1 ml etanol 96% 6. Kemudian cawan petri diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370C. 7. Kemudiaan dilihat dan diukur zona hambatan berupa daerah yang tampak jernih yang tidak ditumbuhi oleh bakteri Escherichia coli 8. Percobaan dilakukan triplo yaitu dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing ekstrak daun teh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran hasil penelitian dilakukan dengan mengukur zona hambatan ekstrak kental daun teh dengan konsentrasi 2%, 3%, 4%, 5%, 6% terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dimana terlihat daerah jernih disekitar lubang difusi (hole), seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Tabel. Hasil pengamatan zona hambatan ekstrak daun teh terhadap pertumbuhan Escherichia coli dengan satuan mm FI. Ed IV: Zona Pengamatan Zona Hambatan Hambatan Konsentrasi sebagai Rata- rata zona Ekstrak Daun Pertumbuhan Bakteri hambatan (mm) Antibakteri (mm) (mm) Teh 2% 3% 4% 5% 6% Etanol 96%
I 12,5 13,8 15,2 15 15,7 0
II 12,3 14,3 14,6 15,4 15,7 0
III 12 14,1 14,9 15 16 0
12,3 14,1 14,9 15,1 15,8 0
14-16
Penelitian ini menggunakan sampel ekstrak kental daun teh dengan tujuan untuk menguji efek antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dengan menggunakan metode difusi agar yaitu punch hole (lubang difusi). Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, zona hambatan antibakteri yang memuaskan adalah 14-16 mm. Dari data hasil pengamatan tabel 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi ekstrak daun teh 2% belum dapat dikatakan sebagai antibakteri, tetapi sudah dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Ekstrak daun teh pada konsentrasi 3%, 4%, 5% dan 6% telah dapat dikatakan sebagai antibakteri. Konsentrasi ekstrak daun teh 3% merupakan konsentrasi hambat minimum karena rata-rata diameter zona hambat minimum pada konsentrasi tersebut adalah 14,1 mm. Dari hasil pengamatan juga terlihat bahwa perbandingan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak daun teh berbanding lurus dengan penambahan konsentrasi ekstrak daun teh. Semakin besar konsentrasi maka zona hambatan juga akan semakin besar karena konsentrasi yang lebih besar mengandung lebih banyak zat aktif antibakteri. Kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 96% ternyata tidak memberikan daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli atau tidak memiliki efek antibakteri. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan a. Ekstrak daun teh memiliki efek antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada konsentrasi di atas atau sama dengan 3%. b. Ekstrak daun teh pada masing-masing konsentrasi 2%, 3%, 4%, 5% dan 6% mempunyai daya hambat yaitu 12,3 mm; 14,1 mm; 14,9 mm; 15,1 mm dan 15,8 mm.
213
c.
Tiap konsentrasi memberikan luas daerah hambat yang berbeda. Semakin besar konsentrasi maka zona hambatan juga akan semakin besar.
Saran Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk: a. Meneliti efek antibakteri ekstrak daun teh terhadap jenis bakteri lain. b. Meneliti khasiat lain dari ekstrak daun teh. DAFTAR PUSTAKA Ajisaka. 2012. Teh Khasiatnya Dahsyat. Surabaya: Stomata Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid I. Jakarta: Trubus Agriwidya Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta . 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta Department of Food Science and Technology. 2010. Mendapatkan Khasiat Teh dari Pangan dan Kreasi Sendiri. [online]. Available at:
[Accessed 20 June 2014] Heinrich, M., Joanne, B., Gibbons, S. 2009. Farmakognosi dan Fitoterapi. Penerjemah: Syarief, W.R. Jakarta: EGC
214
Pelczar, M.J, Jr. dan E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 1. Penerjemah: Hadioetomo, R.S, dkk. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia . 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Penerjemah: Hadioetomo, R.S, dkk. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga Rossi, A. 2010. 1001 Teh: Dari Asal Usul, Tradisi, Khasiat Hingga Racikan Teh. Yogyakarta: Penerbit Andi Setiawan, L. 2005. Prosedur Laboratorium Dasar untuk Laboratorium Klinis Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Setyamidjaja, D. 2000. Teh: Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Syamsuhidayat, S.S & Johnny, R.H. 1991. Inventaris Tanaman Obat. Departemen Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan The Merck Index. 2006. An Encyclopedia of Chemicals, Drugs and Biologicals 14th ed. USA: Merck & Co.,INC. Trubus volume 10. 2012. Herbal Indonesia Berkhasiat: Bukti Ilmiah & Cara Racik Edisi Revisi. Depok: PT Trubus Swadaya Werner, D., Carol, T., Jane, M. 2010. Apa yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter. Yogyakarta: Penerbit Andi Widyaningrum, H. 2011. Kitab Tanaman Obat Nusantara. Yogyakarta: Medpress.
PENGARUH KB SUNTIK DEPO MEDROKSI PROGESTERON ASETAT (DMPA) TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN IBU DI KLINIK BERSALIN SAHARA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2014
Rosmawaty Harahap Prodi Kebidanan Padangsidempuan, Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Salah satu kontrasepsi yang populer di Indonesia adalah kontrasepsi suntik.Kontrasepsi suntik yang digunakan adalah Depo Medroksi Progesteron Acetat (DMPA) dan Cyclofem. Kontrasepsi suntik memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan dari kontrasepsi suntik adalah terganggunya pola haid diantaranya adalah amenorrhea, muncul bercak (spotting), terlambatnya kembali kesuburan setelah penghentian pemakaian, peningkatan berat badan. Efek samping kontrasepsi suntik yang paling tinggi frekuensinya yaitu peningkatan berat badan Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh penggunaan KB suntik DMPA terhadap peningkatan berat badan di Klinik Bersalin Bidan Sahara Padangsidimpuan Tahun 2013. Metode Penelitian ini bersifat penelitian dengan rancangan case control. Populasi semua akseptor KB suntik 3 bulan dengan jumlah sampel 15 sampel untuk kelompok kasus dan kontrol. Analisa data menggunakan Odd Ratio dan Mantel dan Haenszel. Hasil Penelitian diperoleh akseptor yang mengalami peningkatan berat badan selama memakai KB Suntik DMPA sebanyak 12 orang (80,0%) dan yang tidak mengalami peningkatan berat badan sebanyak 3 orang (20,0%). Hasil uji dengan odd ratio Cochran & Mantel Haenszel didapatkan hasil X2 hitung (1.200) < X2 Tabel (3,841) atau p (0,273) > α (0,050) dan CI (1,172; 30,725). Kesimpulan dari penelitian ini adalah Akseptor KB DMPA lebih berisiko mengalami kenaikan berat badan 6.000 lebih besar dibandingkan bukan akseptor KB DMPA, sehingga disarankan kepada responden dapat menjaga pola makannya untuk mengurangi kenaikan berat badan selama menjadi akseptor KB DMPA. Kata Kunci: KB Depo Medroksi Progesteron Asetat, Peningkatan `Berat Badan PENDAHULUAN Salah satu masalah terpenting yang dihadapi oleh negara berkembang, seperti di Indonesia yaitu ledakan penduduk. Ledakan penduduk mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Hal ini karena minimnya pengetahuan serta pola budaya pada masyarakat setempat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Indonesia telah menerapkan program keluarga berencana (KB) yang dimulai sejak tahun 1968 dengan mendirikan LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) yang kemudian dalam perkembangannya menjadi BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Gerakan Keluarga Berencana Nasional bertujuan untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk dan juga untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Hartanto, 2010). Visi Keluarga Berencana Nasional adalah ―Keluarga Berkualitas‖. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misinya sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga (Sarwono, 2006).
Keluarga Berencana menurut UU No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Secara umum tujuan lima tahun ke depan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan visi dan misi program KB di muka adalah ―membangun kembali dan melestarikan pondasi yang kokoh bagi pelaksana program KB Nasional yang kuat di masa mendatang, sehingga visi untuk mewujudkan keluarga berkualitas 2015 dapat tercapai‖ (Handayani, 2010). Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan adalah KB hormonal suntikan, dan merupakan salah satu alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama), yang tidak membutuhkan pemakaian setiap hari. Depo Medroksiprogesteron Asetat atau DMPA merupakan alternatif yang sangat baik bagi wanita yang menginginkan kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif dan memiliki masalah kesehatan yang merupakan kontraindikasi penggunaan metode kontrasepsi apapun yang mengandung esterogen. Permasalahan kesehatan reproduksi masih banyak sekali yang harus dikaji, tidak hanya tentang organ reproduksi saja tetapi ada beberapa aspek, salah satunya 215
adalah kontrfasepsi. Saat ini tersedia banyak metode atau alat kontrasepsi meliputi: IUD, suntik, pil, implant, kontap, kondom (BKKBN, 2008). Salah satu kontrasepsi yang populer di Indonesia adalah kontrasepsi suntik. Kontrasepsi suntik yang digunakan adalah Noretisteron Enentat (NETEN), Depo Medroksi Progesteron Acetat (DMPA) dan Cyclofem. Pencapaian peserta KB aktif semua metode kontrasepsi pada tahun 2006 di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 4.778.608 yang terdiri atas peserta AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) sebanyak 498.366 (10.4%), peserta MOP (Medis Operasi Pria) sebanyak 68.473 (1.4%), peserta MOW (Medis Operasi Wanita) sebanyak 291.035 (6.1%), peserta implant sebanyak 442.778 (9.3%), peserta suntikan 2.560.039 (53.6%), peserta pil 862.307 (18%), peserta kondom sebanyak 55.610 (1.2%). Pencapaian tertinggi pada suntikan (53.6%) dan pencapaian terendah pada kondom (1.2%) (BKKBN Jawa Tengah, 2010). Kontrasepsi suntik mempunyai efek samping berupa amenorea, pendarahan bercak (spotting), perubahan berat badan (meningkatnya/menurunnya berat badan), tetapi efek samping ini jarang menimbulkan bahaya dan cepat hilang (Saifudin, 2006). Perubahan berat badan terutama peningkatan berat badan, jarang disebabkan oleh progesteron dosis rendah, tetapi mungkin menjadi masalah bagi sebagian kecil pemakaian Depo Medroksi Progesteron Asesat (DMPA). Pertambahan ringan sebesar 1-2 kg sering kemudian menjadi stabil setelah pemakaian dilanjutkan tetapi sejumlah kecil wanita terus mengalami perubahan berat badan selama mereka memakai metode kontrasepsi suntik, mekanisme utama tampaknya adalah peningkatan nafsu makan disertai peningkatan penimbunan simpanan juga terdapat efek anabolik ringan (Glasier, 2010). Faktor yang mempengaruhi perubahan berat badan akseptor KB suntik adalah adanya hormon progesteron yang kuat sehingga merangsang hormon nafsu makan yang ada di hipotalamus. Nafsu makan yang lebih banyak dari biasanya karena tubuh kelebihan zat-zat gizi yang oleh hormon progesteron dirubah menjadi lemak dan disimpan di bawah kulit. Perubahan berat badan ini akibat adanya penumpukan lemak yang berlebih hasil sintesa dari karbohidrat menjadi lemak progesteron meningkatkan kadar insulin basal dan insulin yang diinduksi oleh karbohidrat yang dicerna. Perubahan berat badan dipengaruhi oleh beberapa faktor, secara umum faktor tersebut dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup faktor-faktor hereditas seperti gen, regulasi termis, dan metabolisme. Faktor eksternal mencakup aktivitas fisik, dan asupan makanan. Faktor internal yang bertanggung jawab terhadap massa tubuh adalah suatu faktor yang tidak dapat dikendalikan secara sadar oleh orang-orang yang melakukan diet. Dua factor eksternal berat badan secara langsung dan bersumber dari luar tubuh yang sangat dominan adalah aktivitas fisik maupun asupan nutrisi. Seseorang dapat dengan mudah mengurangi berat badannya tanpa perlu mengkonsumsi obat-obatan pembakar lemak dan semacamnya dengan meningkatkan aktivitas serta mengurangi asupan makanan ke dalam tubuhnya. Umumnya pertambahan berat badan tidak 216
terlalu besar, bervariasi antara kurang dari 1 kg sampai 5 kg dalam tahun pertama. Untuk mendapatkan gambaran nyata tentang kejadian peningkatan berat badan yang dialami akseptor kontrasepsi suntik maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kontrasepsi suntik dengan peningkatan berat badan (Hartanto, 2010). WHO (1990) menyatakan pertambahan berat adalah masalah yang nyata dan dapat diperkirakan. Terjadi peningkatan berat sebesar rata-rata 5,4 pon (2,7 kg) untuk tahun pertama, 8,1 pon (4 kg) setelah 2 tahun, dan 13,8 pon (7 kg) setelah 4 tahun pemakaian (Cunningham,2008). Berdasarkan data di Puskesmas Grabagan Tuban bulan Januari s/d Desember 2009 dari 367 kasus efek samping, perubahan berat badan merupakan efek samping tertinggi yaitu 125 kasus (1,82% dari PASM) sehingga dapat diambil kesimpulan pemakaian alat kontrasepsi suntik kejadian efek samping perubahan berat badan terbanyak. Berdasarkan data pada tahun 2009 di Polindes Sekar Arum Desa Ngarum jumlah akseptor KB Aktif pada tahun 2009 tercatat 199 akseptor suntikan DMPA, diantaranya 154 akseptor (77,38%) mengalami kenaikan berat badan, 23 akseptor (11,56%) dengan berat badan tetap dan 22 akseptor (11,06%) dengan berat badan turun. Pada tahun 2008 telah dilakukan penelitian oleh Agustina Rohani dengan judul ―Pengaruh Pemakaian Kontrasepsi Suntik Depo progestin terhadap perubahan berat badan di BPS Yuni Winarta di Desa Weru Kabupaten Sukoharjo‖. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya korelasi antara pemakaian kontrasepsi suntik depo progestin dengan perubahan berat badan. Penelitian yang dilakukan di University of Texas Medical Branch (UTMB) wanita yang menggunakan kontrasepsi medroxyprogesterone acetate, rata-rata mengalami peningkatan berat badan sebanyak 11 pon atau 5,5 kg dan mengalami peningkatan lemak tubuh sebanyak 3,4% dalam waktu 3 tahun pemakaian (Semararatih 2009). Terjadi peningkatan berat rata-rata 5,4 pon (2,7 kg) untuk tahun pertama, 8,1 pon (4 kg) setelah 2 tahun, dan 13,8 pon (7 kg) setelah 4 tahun pemakaian (Cunningham,2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harylian (2010), kontrasepsi suntik DMPA yang mengalami peningkatan berat badan sebanyak 68,6%, spotting 19,1%, amenorhoe 21,3%. Kesimpulannya banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan berat badan pada akseptor DMPA, tetapi peningkatan ini tidak sepenuhnya terjadi pada semua akseptor. Peningkatan berat badan lebih banyak terjadi pada akseptor yang memakai DMPA lebih dari tiga tahun lamanya. Hasil penelitian Abbey B, Berenson menunjukan bahwa terdapat tiga faktor resiko yang dapat meningkatkan berat badan yaitu: usia, paritas, dan nafsu makan yang akan perlahan meningkat setelah enam bulan pemakaian DMPA. Penelitian lainnya, menyatakan bahwa akseptor DMPA memiliki risiko dua kali lipat dibandingkan akseptor lainnya untuk mengalami obesitas selama 3 tahun pemakaian (Semararatih, 2009). Studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan Januari 2013 di Klinik Bersalin Bidan Sahara Kota Padangsidimpuan, jumlah akseptor KB suntik sebanyak 12
akseptor, 7 akseptor menggunakan KB suntik DMPA dan 5 akseptor yang mengunakan KB suntik lain. Mengingat pentingnya pembahasan yang berkaitan dengan pengaruh KB suntuk depo medroksi progesteron acetat terhadap peningkatan berat badan ibu, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut yang berjudul ― Pengaruh KB Suntik Depo Medroksi Progesteron Acetat (DMPA) Terhadap Peningkatan Berat Badan Ibu Di Klinik Bersalin Bidan Sahara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013‖.
Berdasarkan teori dan tinjauan teoritis penelitian tentang pelaksanaan tindakan pencegahan infeksi oleh Bidan Praktek Swasta (BPS) pada proses pertolongan persalinan di willayah kerja Puskesmas Sitinjak Kabupaten Tapanuli Selatan. Dengan subjek yang akan diteliti yaitu tentang tindakan cuci tangan, tindakan pemakaian sarung tangan, pengelolaan cairan antiseptik, pemrosesan alat bekas pakai, dan pengelolaan sampah medik.
TUJUAN PENELITIAN
Desain Penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan untuk melakukan prosedur penelitian. Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengidentifikasi tindakan pencegahan infeksi yang dilakukan oleh BPS dalam proses pertolongan persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sitinjak Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2013.
Dari perumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan KB suntik DMPA terhadap peningkatan berat badan ibu di Klinik Bersalin Bidan Sahara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah a. Untuk mengidentifikasi peserta KB suntik Depo Medroksi Progesteron Acetat (DMPA) di Klinik Bersalin Bidan Sahara Kota Padangsidimpuan Tahun 2014. b. Untuk mengidentifikasi peningkatan berat badan ibu di Klinik Bersalin Bidan Sahara Kota Padangsidimpuan Tahun 2014. c. Untuk mengetahui pengaruh KB Suntik Depo Medroksi Progesteron Acetat (DMPA) terhadap peningkatan berat badan ibu di Klinik Bersalin Bidan Sahara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Manfaat Teoritis 1. Menambah khasanah pengetahuan tentang risiko peningkatan berat badan sebagai akibat dari penggunaan KB Suntik. 2. Sebagai acuan untuk peneliti lebih lanjut Manfaat Praktis 1. Dosen Pelayanan KB Sebagai bahan masukan bagi dosen dalam memberikan pembelajaran kepada mahasiswa tentang pelayanan KB 2. Mahasiswa Program Studi D-III Kebidanan.Sebagai bahan informasi dan masukan dalam meningkatkan proses belajar mata kuliah Pelayanan KB. 3. Tempat Penelitian Sebagai bahan untuk meningkatkan mutu pelayanan KB terhadap ibu akseptor KB
METODE PENELITIAN
POPULASI DAN SAMPEL Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian atau yang akan diteliti (Suyanto, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh BPS yang melakukan pertolongan persalinan di Wilayah kerja Puskesmas Sitinjak Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu sebanyak 34 orang. Sampel .Penentuan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan total sampling yaitu seluruh populasi dijadikan sebagai sampel penelitian yaitu sebanyak 34 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Berdasarkan hasil penelitian, tentang pelaksanaan tindakan pencegahan infeksi pada proses pertolongan persalinan oleh bidan praktik swasta sebagai responden dengan item observasi yang meliputi, prosedur cuci tangan, pemakaian sarung tangan, pengelolaan cairan antiseptik, pemrosesan alat bekas pakai serta pengelolaan sampah medik. Dalam melakukan tindakan pencegahan infeksi dapat dikategorikan dengan tindakan benar, dan tidak benar, berdasarkan daftar tilik yang telah disediakan sebagai tolak ukur untuk penilaian. Kategori tindakan responden secara kompeten adalah responden melakukan item-item prosedur penting yang sifatnya prinsip dilakukan keseluruhan secara kompeten yang dapat menunjang kualitas pelayanan kesehatan. Sedangkan pada kategori tindakan tidak kompeten adalah responden tetap melakukan item tindakan tetapi tidak sempurna secara keseluruhan artinya bukan berarti responden tidak melakukan item tindakan tersebut. Hal tersebut dapat kita ketahui dari keterangan berikut ini.
217
A. Tindakan Responden Berdasarkan Prosedur cuci tangan Berdasarkan hasil penelitian, tindakan responden dalam melakukan tindakan prosedur cuci tangan menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan kompeten yaitu 18 orang (52,9%). Tindakan cuci tangan merupakan salah satu aspek asepsis yang vital. Oleh karena itu tindakan cuci tangan merupakan salah satu prosedur yang sangat penting dari pencegahan timbulnya nfeksi, karena flora kuman di kulit terdiri dari mikroorganisme yang menetap dan sementara setiap kita berhadapan dengan resiko terjadinya infeksi, dapat di hilangkan dengan cara mencuci tangan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pryana (2008) tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi dalam menangani persalinan di klinik bersalin Griya medika di Banjar Tulang Bawang Jawa tengah, mendapati hasil bahwa sebagian besar responden melakukan tindakan prosedur cuci tangan dengan kategori tindakan kompeten yaitu sebanyak 5 orang (90%). Menurut Elliot (1996), mencuci tangan merupakan cara penting untuk mengendalikan infeksi yang erat kaitannya dengan meningkatkan kesehatan yang positif. Sedangkan menurut Garner (1986) menyatakan cuci tangan merupakan satu-satunya prosedur klinis yang paling penting dilakukan untuk menghilangkan dan meminimalkan penularan penyakit serta mempertahankan lingkungan bebas dari infeksi. Menurut peneliti tangan merupakan perantara utama yang menyebabkan terjadinya infeksi silang ketika seseorang melakukan suatu tindakan terutama dalam melakukan pertolongan persalinan. Beberapa mikroorganisme dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan orang lain serta dari peralatan selama bekerja sehari-hari. Organisme ini disebut dengan flora peralihan dan mudah dihilangkan dengan mencuci tangan. Anjuran cuci tangan yang baik adalah dengan mencuci tangan pada air mengalir dengan menggunakan sabun kemudian mengeringkan dengan menggunakan handuk pribadi. Mencuci tangan dengan menggosok kedua permukaan tangan dengan kuat dengan menggunakan air sabun kemudian dibilas dengan air mengalir akan dapat menghilangkan mikroorganisme sebanyak mungkin. Sesuai dengan tujuan pelayanan yang menunjang kualitas asuhan yang diberikan pada proses pertolongan persalinan, yang menyatakan bahwa pengendalian pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan mencuci tangan baik sebelum maupun sesudah melakukan tindakan. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, tindakan responden dalam melakukan tindakan cuci tangan lebih banyak dengan kompeten. Hal ini sesuai dengan pilar ketiga safemotherhood yang telah ditetapkan dalam Standar Operasional prosedur Asuhan Persalinan Normal yang telah
218
diikuti oleh seluruh responden dalam memberikan pertolongan persalinan, yang mengharuskan bahwa setiap penolong persalinan harus menciptakan persalinan aman, sehat serta bebas dari infeksi yang di harapkan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi. B. Tindakan Responden Berdasarkan Pemakaian Sarung tangan Berdasarkan hasil penelitian, tindakan responden dalam hal pemakaian sarung tangan menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori kompeten yaitu 25 orang (73,5%). Sarung tangan harus digunakan oleh seluruh petugas kesehatan yang memberikan pertolongan persalinan, terutama ketika kontak dengan cairan tubuh atau darah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Gisca di Rumah Sakit Ethanol (2009) di Palembang, tentang pengetahuan dan tindakan bidan untuk mengendalikan kejadian infeksi, mendapati bahwa sebagian besar bidan mempunyai pengetahuan yang baik tentang pengendalian infeksi yang diaflikasikan melalui tindakan dengan baik juga dalam melakukan pemakaian sarung tangan untuk mengendalikn kejadian infeksi di Rumah Sakit Ethanol, di Palembang. Menurut Tenosis (2001), melakukan tindakan dengan menggunakan sarung tangan telah terbukti sangat efektif untuk mencegah kontaminasi pada tangan petugas kesehatan yang menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Jika memungkinkan sangat dianjurkan untuk pemakaian sarung tangan dengan sistem sekali pakai/disposable. Apabila menggunakan sarung tangan pakai ulang, maka sarung tangan harus melalui proses dekontaminasi dengan proses cuci bilas, kemudian disterilkan atau dengan DTT (Kormiewich 1990). Menurut peneliti, berdasarkan observasi yang dilakukan bahwa sebagian besar responden melakukan tindakan pemakaian sarung tangan dengan kompeten. Hal ini menunjukkan bahwa sesuai dengan kompetensi yang telah dimiliki oleh seluruh responden berdasarkan standar operasional prosedur dalam pemberian asuhan persalinan normal, yang menekankan bahwa dalam setiap memberikan pertolongan persalinan, penolong harus meminimalkan kejadian resiko terjadinya komplikasi termasuk kejadian infeksi yang dapat dicegah dengan pemakaian sarung tangan. Pemakaian sarung tangan merupakan aspek vital yang kedua untuk pencegahan infeksi, setelah tindakan cuci tangan. Dengan menggunakan sarung tangan dalam memberikan pertolongan persalinan maka setiap penolong telah berupaya untuk mengurangi resiko dirinya terkena infeksi serta menularkan infeksi, mencegah penularan flora kulit dari dirinya kepada pasien. Serta mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu
pasien dengan pasien yang lain atau yang disebut dengan infeksi silang. C. Tindakan Responden Berdasarkan Pengelolaan cairan antiseptik Berdasarkan hasil penelitian, tindakan responden dalam hal pengelolaan cairan antiseptik menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan tidak kompeten yaitu 32 orang (94,1%) didapati tidak melakukan tindakan pengelolaan cairan antiseptik dengan kompeten Hasil penelitian ini sejalan dngan penelitian yang dilakukan Pryana (2008) tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi dalam menangani persalinan di Klinik bersalin Griya Medika di Banjar Tulang Bawang Jawa tengah, mendapati hasil bahwa sebagian besar responden tidak melakukan pengelolaan cairan antiseptik dengan tindakan tidak kompeten yaitu sebanyak 5 orang (90%) dengan jumlah responden sebanyak 6 orang. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti terhadap 34 orang responden yang melakukan pertolongan persalinan dalam mengelola cairan antiseptik, khususnya ketika melakukan pengisian ulang, 23 orang responden tidak mencantumkan waktu ketika melakukan pengisian ulang cairan antiseptik. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap responden yang tidak mencntumkan waktu pada pengisian ulang cairan anti septik, mereka menganggap hal ini tidak terlalu berdampak terhadap pelayanan yang diberikan, dan juga adanya faktor kebiasaan yang sudah sering diabaikan atau hampir dilupakan. Menurut peneliti, memberikan tanggal ketika melakukan pengisian ulang cairan antiseptik merupakan hal yang penting, hal ini disesuaikan juga dengan daftar tilik yang menganjurkan bahwa setiap melakukan pengisian ulang cairan antiseptik diharuskan mencantumkan hari dan tanggal. Karena waktu dapat mempengaruhi kadar konsetrat dari cairan antiseptik tersebut, sehingga akan mempengaruhi efektifitas dari mutu pelayanan yang dampaknya terhadap pengendalian infeksi. Menurut Hulin et all (2002) antiseptik dirancang untuk meminimalkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh tanpa merusak atau mengiritasi kulit atau lapisan mukosa, di mana zat tersebut digunakan. Karena kulit tidak mungkin disterilisasi, menyiapakan kulit dengan larutan antiseptik meminimalkan mikroorganisme yang mungkin akan mengkontaminasi luka pembedahan dan menyebabkan terjadinya infeksi. Semua jenis antiseptik dapat tercemar.. Mikroorganisme yang mencemari antiseptik diantaranya Stafilokokkus, basil gram negatif dan beberapa endospora. encemaran larutan antiseptik dapat dicegah dengan cara sebagai berikut: Jika kemasan antiseptik yang besar, maka untuk pemakaian sehari-hari tuang dalam wadah kecil.
Buat jadwal rutin yang tetap untuk menyiapakan larutan antiseptic dan bersihkan wadah pemakaian sehari-hari. Cuci wadah hingga bersih dengan sabun dan air kemudian keringkan sebelum diisi kembali. Beri lebel wadah pada pengisian ulang lengkapi dengan tanggal setiap kali pengisian ulang. Larutan antiseptik sebaiknya disimpan ditempat yang tidak terpapar dengan matahari. D. Tindakan Responden Berdasarkan Pemrosesan Alat Bekas Pakai Berdasarkan hasil penelitian, tindakan responden dalam hal pemrosesan alat bekas pakai menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan tidak kompeten yaitu 21 orang (61,8%). Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti mengenai pemrosesan alat bekas pakai, tindakan responden dalam hal menyikat alat instrumen hanya 18 orang responden yang melakukan dengan benar. Hasil penelitian ini sejalan dngan penelitian yang dilakukan Pryana (2008) tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi dalam menangani persalinan di Klinik bersalin Griya Medika di Banjar Tulang Bawang Jawa tengah, mendapati hasil bahwa sebagian besar responden tidak melakukan pengelolaan cairan antiseptik dengan tindakan benar yaitu sebanyak 5 orang (90%). Berdasarkan wawancara dengan responden yang tidak menyikat alat instrumen sesuai dengan tolak ukur, responden menganggap bahwa hanya sekali penyikatan saja atau hanya direndam, maka alat-alat instrumen tersebut sudah dianggap bersih dari cairan tubuh atau darah pada proses persalinan. Menurut Rutala (1993) Pemrosesan alat bekas pakai dengan upaya pencegahan infeksi direkomendasikan melalui tiga langkah pokok yaitu: 1.Dekontaminasi 2. Pencucian dan pembilasan 3. Sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi Dekontaminasi adalah langkah awal yang penting dalam penanganan peralatan, perlengkapan, sarung tangan dan benda-benda lain yang terkontaminasi. Segera setelah pemakaian rendam alat-alat dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Tindakan ini akan dengan cepat membunuh virus Hepatitis B dan virus HIV/ AIDS. Pastikan bahwa benda-benda yang terkontaminasi, telah terendam seluruhnya dalam larutan klorin. Kerja larutan klorin akan cepat mengalami penurunan sehingga harus diganti paling sedikit setiap 24 jam, atau lebih cepat jika terlihat telah kotor atau keruh. Pencucian dan pembilasan adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme ada peralatan/perlengkapan yang kotor atau yang sudah digunakan. Baik sterilisasi atau Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) menjadi kurang tanpa proses pencucian sebelumnya.
219
Sterilisasi adalah metode sterilisasi yang paling murah dan efektif, tetapi juga paling sulit dilakukan secara benar. Meskipun sterilisasi adalah cara paling efektif untuk membunuh mikroorganisme, sterilisasi tidak selalu memungkinkan dan praktis. DTT adalah satu-satunya alternatif untuk situasi tersebut. DTT bisa dicapai dengan merebus atau mengukus. Untuk peralatan, perebusan seringkali merupakan metode DTT yang paling sederhana dan efisien. E. Tindakan Responden Berdasarkan Pengelolaan Sampah Medik Berdasarkan hasil penelitian, tindakan responden dalam hal pemrosesan alat bekas pakai menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan tidak kompeten yaitu 24 orang (70,6%). Menurut Mujeeb (2003) setelah selesai melakukan suatu tindakan dalam asuhan persalinan dan sebelum melepaskan sarung tangan, segera meletakkan sampah terkontaminsi yang berupa kain kasa, gulungan kapas, dan perban dimasukkan kedalam tempat sampah yang kedap air atau kantung plastik yang telah disediakan khusus sebelum sampah dibuang. Berusaha menghindarkan terjadinya sampah terkontaminasi dengan permukaan luar kantung. Pembuangan secara benar untuk benda-benda tajam terkotaminasi adalah dengan menempatkannya dalam wadah tahan bocor seperti kotak karton yang tebal atau wadah yang terbuat dari logam untuk menghindari kejadian kontaminasi sampah medik. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti bahwa tindakan responden dengan teori dan daftar tilik untuk pencegahan infeksi dalam mengelola sampah medik terjadi kesenjangan. Peneliti menemui masih kurangnya kesadaran dari masing-masing responden untuk bekerja sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan untuk mencegah terjadinya infeksi pada proses pertolongan persalinan. Penanganan sampah terkontaminasi yang benar, jika dilakukan dengan tepat sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), akan memberikan dampak yang positif, baik bagi tenaga kesehatan atau penolong persalinan, serta klien bahkan lingkungan masyarakat. Karena dengan pengelolaan sampah medik yang dilakukan oleh responden secara benar sesuai SOP, maka responden telah mampu meminimalkan penyebaran infeksi dengan cara: 1. Melindungi petugas pembuangan sampah dari perlukaan 2. Melindungi penyebaran infeksi terhadap para petugas kesehatan. 3. Mencegah penularan infeksi pada masyarakat sekitarnya 4. Membuang bahan-bahan berbahaya seperti bahan toksik dan radioaktif.
220
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tindakan dalam hal prosedur cuci tangan oleh responden menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan kompeten yaitu 18 orang (52,9%). 2. Tindakan dalam hal pemakaian sarung tangan oleh responden menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan kompeten yaitu 25 orang (73,5%). 3. Tindakan dalam hal pengelolaan cairan antiseptik oleh responden menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan tidak kompeten yaitu 32 orang (94,1%). 4. Tindakan dalam hal pemrosesan alat bekas pakai oleh responden menunjukkan bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan tidak kompeten yaitu 21 orang (61,8%). 5. Tindakan dalam hal pengelolaan sampah medik oleh responden menunjukkan, bahwa sebagian besar dengan kategori tindakan tidak kompeten yaitu sebanyak 24 orang (70,6%). . SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan kepada beberapa pihak sebagai berikut : 1. Bidan Praktik Swasta Dengan masih terdapatnya bidan praktik swasta yang memiliki tindakan pencegahan infeksi dengan kategori tidak kompeten, dalam melakukan prinsip pencegahan infeksi yang meliputi prosedur cuci tangan, memakai sarung tangan, mengelola cairan antiseptik, pemrosesan alat bekas pakai serta pengelolaan sampah medik. Bidan praktik swasta diharapkan: 1. Dapat meningkatkan ilmu dalam pencegahan infeksi melalui pelatihan sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan. 2. Bidan praktek swasta diharapkan mengikuti pendidikan secara berkala, mengenai pencegahan infeksi. 3. Perlu dilakukan tim pengawasan untuk melakukan evaluasi serta laporan rutin untuk setiap tindakan pelayanan khususnya untuk penilaian pencegahan infeksi sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan. 4. Adanya pemberian reward bagi bidan praktik swasta teladan serta punishment untuk setiap tindakan yang kurang baik dalam memberikan pelayanan. 5. Menyediakan buku-buku tentang pencegahan infeksi sebagai buku panduan cara melakukan asepsis yang benar.
Semua kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam memberikan asuhan pertolongan persalinan kepada pasien menyangkut pelaksanaan tindakan pencegahan infeksi yang pada akhirnya dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu dan anak. 2.
Peneliti Selanjutnya Diharap kan melakukan penelitian lanjutan tentang pencegahan infeksi baik di klinik bersalin,di wilayah kerja puskesmas bahkan di rumah sakit. Dengan menggunakan variabel-variabel yang berbeda untuk mewujudkan asuhan persalinan yang aman, bersih dan bebas dari Infeksi untuk mewujudkan dengan misi Indonesia sehat sejahtera. DAFTAR PUSTAKA Arikunto Suharsimi, 2006, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Rineka Cipta, Jakarta. Barata, 2007, Selamatkan Ibu dan anak Indonesia www.bkkbn online.com, Juni 2007 Bryar, R,2008, Teori Praktek Kebidanan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta Bungin Burhan, 2008, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta Putra Grafika. Bungin Burhan, 2008, Analisis Data Penelitian Kulitatiff, Jakarta Putra Grafika. Depkes RI, 2004, Panduan Lengkap pencegahan infeksi, Diknakes bekerjasama dengan JHPIEGO/MNH, JNPK-KR Jakarta Dinkes Propsu, 2008, Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara 2007, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara,Medan Hidayat, A, 2008, Kuliah Konsep Kebidanan Plus Materi Bidan Delima, Mitra Cendikia Yogyakarta Jhonson Ruth et al 2005, Buku Ajar Praktik Kebidanan, Edisi I, EGC, Jakarta.
Manuaba
IBG, 1998, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, buku Kedokteran, EGC, Jakarta. 2001, Kapita Selekta Penatalaksanaan Turin Obstetri Ginekologi Dan KB, BUKU KEDOKTERAN EGC, Jakarta. Muchtar, Rustam, 1999, Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta Notoatmodjo Soekijo, 2002, Metodelogi Penelitian Kesehatan, Rineke Cipta, Jakarta , 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta Prasetyo, B, et.al, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan Aplikasi, Divisi buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Pustaka B, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Prawiroharjdjo Sarwono, 2002, Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal Yayasan Bina Pustaka, Jakarta. ,2003, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta. Saifuddin Abdul Bari, 2004, Panduan Pencegahan Infeksi untuk Pelayanan Kesehatan, Cetakan II, Jakarta Soepardan Suryani, 2008, Konsep Kebidanan, Edisi I, EGC, Jakarta Sofyan Mustika, 2006, Bidan Menyongsong Masa Depan, Jakarta Zoelkifly, 2007, Jumlah Angka Kematian Ibu di ASEAN www.klinis.wordpress.com.
221
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO PADA REMAJA DI SMK NEGERI 1 KUTALIMBARU
Jujuren br Sitepu Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan Abstract Everyone has experienced to be adolescence. At this period, it will experience achange process both biological and psychological. The change influenced by society, close friend and mass media. The level of this research is an level of result, related to physical prosperity, bouncing and contact social, not only face from disease or weakness in all matter of related to health reproduce, function and its process. Adolescent attitude in this research is an attitude which is done to avoid the sexual contagion. It is a disease which is resulted by free sexual that happened of adolescent. Therefore, sex education to adolescent how to take care the reproduction organ to be healthy. Venereal diseases have been recognized, but after found a new disease the term changed to be sexual of transmitted Disease (STD) or sexual sectional. This research is analytic descriptive with a cross sectional research. It means that the data are taken at the same time. This research is done on October 2013 in SMUN 1 Kutalimbaru . The population is student of class ,11,12,13 SMUN 1 Kutalimbaru amount 257 samples. The conclusion from this research is the result of this research is counted by 68 % adolescent categorized as sex active, there is no relation meaning between levels of reproduction health of knowledge with the sexual contagion. From the statistical test with the level of mistake is a 5 % (0,05) and P value is 0,673, so Ho is refused there is no relation meaning between adolescent attitudes with the sexual contagion, from the statistical test with the level of mistake is a 5 % (0,05)and P value is 1000, so Ho is refused. Keywords: Reproduction health, risk sexual behavior
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yangmemungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah kesehatan yang sempurna fisik, mental, sosial dan lingkungan serta bukan semata mata terbebas dari penyakit/kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya (Melyana,2005). Dengan adanya pengertian kesehatan reproduksi menurut WHO dan UndangUndang Kesehatan maka kita harus menjaga segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya sehingga akan tercipta suatu perilaku seksual yang sehat. Pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih amat kurang sampai saat ini. Kurangnya pemahaman ini amat jelas yaitu dengan adanya berbagai ketidaktahuan yang ada di masyarakat tentang seksualitas yang seharusnya dipahaminya. Sebagian dari masyarakat masih amat percaya pada mitos – mitos yang merupakan salah satu pemahaman yang salah tentang seksual.
222
Pemahaman tentang perilaku seksual remaja merupakan salah satu hal yang penting diketahui sebab masa remaja merupakan masa peralihan dari perilaku seksual anak – anak menjadi perilaku seksual dewasa. Remaja mempunyai sifat yang unik, salah-satunya salah satunya adalah sifat ingin meniru sesuatu hal yang dilihat, kepada keadaan, serta lingkungan di sekitarnya. Disamping itu remaja mempunyai kebutuhan akan kesehatan seksual, dimana kebutuhan kesehatan seksual tersebut sangat bervariasi.(Kusmiran,2011) Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya, antara lain boleh atau tidaknya melakukan pacaran, melakukan onani/mastrubasi nonton bersama atau ciuman. Ada beberapa kenyataan-kenyataan lain yang cukup membingungkan antara apasaja yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kebingungan ini akan menimbulkan suatu perilaku seksual yang kurang sehat di kalangan remaja. Perasaan atau berdosa tidak jarang dialami oleh kelompok remaja yang pernah melakukan onani dalam hidupnya. Hal ini di akibatkan adanya pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang di pertentangkan dengan pemahaman agama, yang sebenarnya harus saling menyokong. (Soetjiningsih,2010)
Perkembangan ini akan berlangsung mulai sekitar 12 sampai 20 tahun.Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adat istiadat, budaya, agama, dan kurangnya informasi dari sumber yang benar. Hal ini akan mengakibatkan berbagai dampak yang justru amat merugikan kelompok remaja dan keluarganya (Soetjiningsih, 2010). Data Badan Pusat statistik tahun 2013, didapat jumlah penduduk Indonesia 237 juta jiwa dari jumlah penduduk tersebut didapat jumlah remaja 62 juta jiwa dan 92% pelajar itu sudah melakukan kissing, petting dan oral sex, 62% pernah melakukan hubungan intim, 22.7% siswi SMA pernah melakukan aborsi.(Soetjiningsih, 2010). Bila tidak disadari dengan pengetahuan yang cukup, mencoba hal baru yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi bisa memberikan dampak yang akan menghancurkan masa depan remaja dan keluarga. (Tarwoto,2010) Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendapatkan hasil yang mencengangkan setelah melakukan penelitian di 17 kota besar di Indonesia pada termasuk Sumatera Utara pada tahun 2008 di temui dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA ebanyak 62,7% remaja SMP tidak perawan dan 21,2% remaja mengaku pernah aborsi. Perilaku seks bebas pada remaja tersebar di kota dan desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin. Data BKKBN menunjukan pada tahun 2010 di JABODETABEK, remaja yang hilang keperawanannya mencapai 51%. Remaja perempuan yang kegadisannya sudah hilang: Surabaya 54%, Medan 52%, Bandung 47%, Yogyakarta 37%. Masturbasi atau onani merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan oleh para remaja. Dari laporan penelitian yang dilaporkan oleh SIECUS ( Sex Information and Education Council of the United States ) menunjukkan bahwa 88% remaja laki – laki pada umur 16 tahun melakukan masturbasi dan remaja perempuan sebanyak 62%. Frekuensinya makin meningkat sampai pada masa sesudah pubertas. Mereka mempunyai daya tarik seksual terhadap lawan jenis yang sebaya. Masturbasi ini dilakukan sendiri – sendiri dan juga dilakukan secara mutual dengan teman sebaya sejenis kelamin, tetapi sebagian dari mereka juga melakukan masturbasi secara mutual dengan pacar (Soetjiningsih, 2010). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan didapatkan data bahwa dari kelas 10,11 dan kelas 12 SMU Negeri 1Kutalimbaru memiliki remaja akhir (usia 15-20 tahun) 574 siswa, tergolong berperilaku baik akan tetapi ada beberapa remaja yang perilaku seksualnya dapat dikatakan buruk. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu status ekonomi yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang kurang, pengaruh penyebaran rangsangan seksual (pornografi) melaluimedia massa seperti VCD, telpon genggam, internet dan lingkungan pergaulan yang buruk sehingga karakter remaja dibentuk oleh lingkungan sekitarnya.
METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4 September – 14 September 2013. Sedangkan tempat penelitiannya di.SMUN I Kutalimbaru. B. Populasi dan sample 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek peneliti (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa sebanyak 574 di SMUN Negeri 1 Kutalimbaru. Dari jumlah populasi tersebut diperoleh sample sebanyak 257 siswa, dengan kriteria inklusi remaja yang berusia 14 – 24 tahun dan tercatat aktif sebagai siswa di SMU Negeri 1 Kutalimbaru dan tinggal di daerah atau desa kutalimbaru. 2. Sampel Pengambilan sample dengan berstrata, proporsional dan acak (stratified proportional random sampling dari kelas 1 sebanyak 95 siswa, kelas 2 sebanyak 82 siswa dan kelas 3 sebanyak 80 siswa. C. Teknik pengumpulan data Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner pada responden. Pengumpulan data di SMU Negeri 1 Kutalimbaru dengan meminta kesediaan siswa untuk mengisi kuesioner. D. Instrumen penelitian Indtrumen penelitian yang dunakan dalam peneloitian ini adalah kuesioner tertutup yang disusun secara terstruktur yang berisi pertanyaan – pertannyaan yang harus diisi oleh responden. Kuesioner untuk mengukurpengetahuan yang berhubungan dengan perilaku tentang kesehatan reproduksi. E. Pengolahan dan Analisa data Langkah-langkah dalam analisis data meliputi : 1. Editing : mengedit kuesioner yang telah diteliti. 2. Coding : memberi kode tertentu untuk setiap pertanyaan. 3. Tabulating : data nilai dikumpulkan dan dikelompokkan secara teliti dan teratur ke dalam tabel. 4. Analiting : pengolahan data dengan menggunakan program SPSS. HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Responden Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 90 remaja akhir (usia 15-20 tahun) yang berdomisili di desa Kutalimbaru serta masuk dalam kriteria menjadi responden. Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi : jenis kelamin, yang tidak ditampilkan dalam tabel berikut ini
223
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di SMA Negeri I Kutalimbaru Bulan Oktober 2013 Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (n) (%) Laki-laki 96 37,3 Perempuan 161 62,7 Total 257 100 Berdasarkan tabel 1 tersebut, dapat diketahui bahwa paling sedikit responden dalam penelitian ini adalah laki – laki yaitu sebanyak 96 responden (37,3 %). Hal ini menunjukkan bahwa sedikit sekali responden mempunyai karakter yang lebih mudah terangsang dan tertarik pada persoalan seksualitas, dan secara tidak langsung mendorongnya untuk lebih permissive dalam berperilaku seksuai B. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja 1. Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi Dari analisis data untuk tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi didapatkan skor minimum 5 dan skor maksimumnya 34. Berdasarkan hasil tersebut maka pengetahuan remaja dikategorikan menjadi tiga jenjang, yaitu tingkat pengetahuan kurang, cukup dan baik. Pengetahuan baik = 76-100 %, cukup = 56-75 % dan kurang <56%. Dengan batasan tersebut maka hasil pengukuran tingkat pengetahuan meliputi pengetahuan baik adalah yang terbesar yaitu sebanyak 134 responden (52 %), pengetahuan kurang adalah yang terkecil yaitu sebanyak 23 responden (9%) dan pengetahuan cukup sejumlah 35 responden (39 %). 2. Perilaku Seksual Distribusi perilaku seksual ditentukan oleh jumlah skor dari setiap item pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya. Dari hasil analisis data dapat dikemukakan skor minimum = 0 dan skor maksimum = 7. Berdasarkan hasil tersebut maka perilaku seksual remaja dikategorikan menjadi tiga jenjang yaitu perilaku kurang baik,cukup baik, dan baik. Perilaku baik = 76-100 %, cukup 56-75 % dan kurang <56 %. Dengan batasan tersebut maka hasil pengukuran perilaku seksual remaja di SMA Negeri 1 Kutalimbaru adalah sebagian besar remajanya berperilaku seksual baik yaitu sebanyak 164 responden (64 %), yang berperilaku kurang baik sebanyak 67 responden (26 %), dan yang berperilaku cukup baik sebanyak 26 responden (10 %). Ini berarti bahwa rata-rata responden penelitian memiliki perilaku seksual yang baik. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pengetahuan yang baik khususnya tentang kesehatan reproduksi dan penyebaran rangsangan seksual di daerah penelitian masih tergolong sedang, serta sudah ada kegiatan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang dilakukan puskesmas Kutalimbaru secara rutin ke sekolahsekolah termasuk SMA negri I Kutalimbaru sehingga remaja di daerah tersebut rata-rata memiliki
224
perilaku seksual yang Data mengenai distribusi frekuensi perilaku seksual responden Tabel 2. Disrtibusi Frekuensi Perilaku Seksual Remaja Di SMU Negeri 1 Kutalimbaru 0ktober 2013 Kategori Perilaku Frekuensi Persentase Seksual (n) (%) Kurang 26 10 Cukup 67 26 Baik 164 64 Total 257 100 C. Hasil Analisis Regresi Sederhana Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja Berdasarkan pengujian regresi sederhana pada tabel 10, menunjukkan hasil bahwa nilai t hitung > tabel (2,699 > 2,000) sehingga Ho ditolak atau Ha diterima. Jadi ada pengaruh antara faktor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi terhadap perilaku seksual. Nilai R square (R2) sebesar 0,076, hal ini berarti bahwa 7,6 % dari perilaku seksual remaja bisa dijelaskan oleh variabel pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, sedangkan 92,4 % sisanya dijelaskan oleh variabel di luar model. Hasil pengujian tersebut jug didukung dengan nilai probabilitas (Sig.) = 0,008 lebih kecil daripada tingkat signifikansi yang telah ditentukan, yaitu = 0,05. Nilai probabilitas (Sig.) = 0,008 berarti Ha diterima atau ada pengaruh antara faktor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi terhadap perilaku seksual remaja. Tabel 3.
Pengujian Regresi Sederhana antara Faktor Pengetahuan Kesehatan Reproduksi terhadap Perilaku Seksual Remaja di SMU Negeri I Kutalimbaru
Variabel Faktor pengetahuan kesehatan reproduksi
B
Nilai t
0,097 2,699
Signifikansi 0,008
R square 0,076
Sebagian besar responden dalam penelitian memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang tergolong baik yaitu sebanyak 47 responden (52,2 %). Seperti diungkapkan oleh Handayani (2011) dalam penelitiannya, bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat sesuatu hal dapat mempengaruhi niat untuk ikut dalam suatu kegiatan. Sehingga semakin baik pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi maka akan semakin baik pula perilaku seksualnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ancok bahwa antara pengetahuan dan perilaku sangat berkaitan erat. Pengetahuan bermanfaat dan akibat buruk sesuatu hal akan membentuk sikap, kemudian dari sikap itu akan muncul niat. Niat yang selanjutnya akan menentukan apakah kegiatan akan dilakukan atau tidak. Sehingga semakin baik pengetahuan tentang kesehatan reproduksi maka semakin baik perilaku seksualnya (Anggraeni, 2011). Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Dan diperkuat oleh teori Green bahwa pengetahuan merupakan faktor predisposisi menentukan terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. (Notoadmodjo, 2003). KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan remaja akhir (usia 15 – 20 tahun) di SMU Negeri 1 Kutalimbaru rata-rata mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang baik. Faktor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi memberikan pengaruh terhadap perilaku seksual remaja di SMU Negeri Kutalimbaru DAFTAR PUSTAKA Ali, M. dan Asrori, M. (2004) Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.Jakarta : PT Bumi Aksara Arikunto, S. (2005) Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Arikunto, S. (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta Azwar, S. (2004) Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bawono, Anton (2006) Multivariate Analysis dengan SPSS. Jawa Tengah : STAIN Salatiga Press Dariyo, A. (2004) Psikologi Perkembangan Remaja. Bandung : Ghalia Indonesia Dianawati, A. (2004) Psikologi Seks untuk Remaja. Jakarta : Kawan Pustaka Depertemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat; 2008 Jakarta Effendy,N.(1998) Dasar-dasar Keperawatan Masyarakat. Jakarta : EGC Niken (2005) Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Pornografi pada Siswa-siswi di SMK Negeri 9 Surakarta. Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta :UGM Notoatmodjo, S. (2003) Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam (2007) Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Sarwono (2004) Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada Soetjiningsih (2010) Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto Sugiyono (2006) Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabet
225
PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN SUAMI BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN PEMERIKSAAN IVA PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS) DI DESA SUNGGAL KANAN TAHUN 2014
Dewi Meliasari Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan `
Abstrak Kanker serviks adalah kanker kedua yang paling umum pada wanita dengan 500.000 kasus baru dan 250.000 kematian tiap tahun. Menurut Yayasan Kanker Indonesia setiap hari ditemukan 40-45 kasus dengan jumlah kematian 20-25 orang dan yang beresiko mengidap mencapai 48 juta orang. Sampai tahun 2012 jumlah perempuan yang diskrining sekitar 575.503 orang dengan jumlah IVA (+) sekitar 25.805 orang (4,5%), suspek kanker serviks 666 (1,2 per 1000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan dukungan suami dengan tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014. Jenis penelitian bersifat analitik dengan pendekatan Cross Sectional menggunakan data primer melalui kuesioner. Populasi penelitian berjumlah 1545 Pasangan Usia Subur (PUS). Teknik pengambilan sampel secara Propotional Random Sampling sebanyak 94 PUS. Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) berdasarkan hasil uji Chi-Square p=0,00 < 0,05 dan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) berdasarkan hasil uji Chi-Square p=0,00 < 0,05. Disimpulkan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) agar dapat menggali pengetahuan dan informasi tentang tindakan pemeriksaan IVA serta mendapat dukungan penuh dari suami untuk melakukan pemeriksaan IVA. Kata Kunci : Pengetahuan, Dukungan Suami, IVA
Latar Belakang Kanker Serviks adalah kanker kedua yang paling umum pada wanita di seluruh dunia, dengan sekitar 500.000 kasus baru dan 250.000 kematian setiap tahun. Hampir 80% kasus terjadi dinegara berkembang. Sementara menurut data Yayasan Kanker Indonesia, angka prevalensi wanita pengidap kanker serviks di Indonesia tergolong besar. Setiap hari ditemukan 40-45 kasus dengan jumlah kematian mencapai 20-25 orang. Adapun jumlah wanita yang beresiko mengidapnya mencapai 48 juta orang. Dan WHO menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan insiden kanker serviks tertinggi didunia. (WHO, 2013) Melihat perkembangan jumlah penderita dan kematian akibat kanker serviks, diperkirakan bahwa 10% wanita di dunia sudah terinfeksi Human Papilloma Virus (HPV). Di antara sekian jenis virus HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks ialah tipe 16 dan 18. HPV dapat menginfeksi serviks sehingga terjadilah kanker serviks. (Tilong, 2012) Kanker serviks jarang ditemukan pada wanita muda berusia dibawah 20 tahun, kanker ini cenderung terjadi pada wanita paro baya. Sebesar 50% kasus ditemukan pada wanita usia 35-55 tahun, 50% nya lagi ditemukan pada wanita dibawah usia 35 tahun. (Soebachman, 2011) Saat ini telah dikenal beberapa metode skrining dan deteksi dini kanker leher rahim yaitu tes pap smear,
226
IVA, pembesaran IVA dengan gineskopi, kolposkopi, servikografi, thin prep dan tes HPV. Namun yang sesuai dengan kondisi di negara berkembang termasuk Indonesia adalah dengan menggunakan metode IVA, karena tekniknya mudah/sederhana, biaya rendah/murah, dan tingkat sensitivitasnya tinggi, cepat dan cukup akurat untuk menemukan kelainan pada tahap kelainan sel (displasia) atau sebelum pra kanker. Untuk itu dianjurkan tes IVA bagi semua perempuan berusia 30 sampai 50 tahun dan perempuan yang sudah melakukan hubungan seksual. (Tilong, 2012) Bila dibandingkan dengan pemeriksaan pap smear, IVA meningkatkan deteksi hingga 30%. Studi di Afrika Selatan menemukan bahwa IVA akan mendeteksi lebih dari 65% lesi dan kanker invasif sehingga direkomendasikan oleh peneliti sebagai skrining sitologi. Sebagai perbandingan, di Zimbabwe skrining IVA oleh bidan memiliki sensitivitas dan spesifisitas adalah 77% dan 64%, dibandingkan 43% dan 91% untuk pap smear. Di India skrining yang dilakukan oleh perawat terlatih memiliki sensitivitas 96%, sedangkan pap smear 62%. Namun spesifitas IVA adalah 68% (Emilia, 2010) Sampai dengan tahun 2012 jumlah perempuan yang telah diskrining sekitar 575.503 orang dengan jumlah IVA (+) sekitar 25.805 orang atau 4,5%, suspek kanker leher rahim 666 (1,2 per 1000). Sejak pencanangannya hingga tahun 2013, Pemerintah telah memperluas pelaksanaan deteksi dini kanker tersebut ke 140 kabupaten
di 31 provinsi, yang dilaksanakan oleh 500 dari 9500 Puskesmas. Pada tahun 2013, telah ada 202 pelatih atau trainers yang terdiri dari dokter spesialis obstetri ginekologi, dokter spesialis bedah onkologi, dokter spesialis bedah, dan diperkuat oleh 1.192 providers atau pelaksana program terdiri dari dokter umum dan bidan. (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2013) Penyebab wanita tidak mau melakukan pemeriksaan IVA adalah kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pemeriksaan, takut terhadap hasil pemeriksaan, ketakutan merasa sakit pada pemeriksaan, rasa malu diperiksa oleh dokter pria atau pun bidan dan kurangnya dorongan keluarga terutama suami. (Kartikawati, 2013) Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal. Suami sebagai kepala rumah tangga dapat berperan serta dalam kesehatan Reproduksi. Bentuk peran serta tersebut dapat berupa pemberian dukungan terhadap kesehatan reproduksi (Setiati, 2009) Dari survei awal yang dilakukan di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 diketahui bahwa dari 1545 Pasangan Usia Subur (PUS), hanya 126 orang (8%) yang sudah melakukan pemeriksaan IVA.Berdasarkan permasalahan tersebut diatas penulis tertarik untuk meneliti ―Hubungan Pengetahuan dan Dukungan Suami dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014‖. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian untuk Mengetahui Hubungan Pengetahuan dan Dukungan Suami dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Sunggal Kanan Medan, Kecamatan Sunggal dan waktu penelitian adalah dilakukan mulai bulan Februari - Juli 2014. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitik k dengan pendekatan Cross Sectional . Desain ini dipilih karena pengambilan data dilakukan dalam waktu yang bersamaan , kemudian dinilai bagaimana hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.. Populasi dan Sampe Populasi adalah seluruh Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan sebanyak 1545 orang.Cara pengambilan sampel dengan cara Propotional Random Sampling. Teknik ini digunakan untuk mempermudah mengambil sampel disetiap dusun dengan jumlah populasi yang berbeda. Dengan menggunakan rumus diatas dibutuhkan sampel minimal 94 orang responden.
Analisis Data Analisa penelitian menggunakan uji Chi-Square, yaitu untuk melihat hubungan antara dua variabel atau lebih, HASIL DAN PEMBAHASAN berdasarkan hasil penelitian yang berjudul ―Hubungan Pengetahuan dan Dukungan Suami Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014‖. Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh hasil sebagai berikut: Pengetahuan Distribusi pengetahuan dengan tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Pengetahuan Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Pengetahuan f % Baik Cukup Kurang Total
19 30 45 94
20,2 31,9 47,9 100
Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa 94 responden mayoritas mempunyai pengetahuan kurang yaitu 45 orang (47,9%), pengetahuan cukup yaitu 30 orang (31,9%), dan pengetahuan baik yaitu 19 orang (20,2%). Dukungan Suami Distribusi dukungan suami dengan tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi Dukungan Suami Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Dukungan f % Suami Mendukung 30 31,9 Tidak 64 68,1 Mendukung Total 94 100 Berdasarkan tabel 2 di atas, diketahui bahwa 94 responden mayoritas tidak mendukung yaitu 64 orang (68,1%), dan minoritas responden mendukung yaitu 30 orang (31,9%). Tindakan Pemeriksaan IVA Distribusi tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 dapat dilihat sebagai berikut:
227
Tabel 3. Distribusi Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Tindakan F % Pemeriksaan IVA Ya 23 24,5 Tidak 71 75,5 Total 94 100 Berdasarkan tabel 3 di atas, diketahui bahwa 94 responden mayoritas tidak melakukan pemeriksaan IVA yaitu 71 orang (75,5%), dan minoritas responden melakukan tindakan pemeriksaan IVA yaitu 23 orang (24,5%). Analisa Bivariat Analisa bivariat untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan dan Dukungan Suami Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan di Tahun 2014, diuraikan sebagai berikut: Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4. Tabulasi Silang Hubungan Dukungan Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Dukungan Suami Mendukung Tidak mendukung Total
Tindakan Pemeriksaan IVA Ya Tidak n % n % 23 76,7 7 23,3
N 30
% 100
0
0
64
100
64
100
23
24,4
71
75,6
94
100
Jumlah
p 0,00 < 0,05
Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa dari 30 orang responden yang mendapat dukungan suami yaitu 23 orang (76,7%) melakukan tindakan pemeriksaan IVA dan dari 64 responden yang tidak mendapat dukungan suami semuanya tidak melakukan tindakan pemeriksaan IVA. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa p = 0,00 < 0,05 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan dengan tindakan pemeriksaan IVA. Pembahasan Tindakan Pemeriksaan IVA di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 94 responden mayoritas tidak melakukan pemeriksaan IVA yaitu 71 orang (75,5%), dan minoritas responden melakukan tindakan pemeriksaan IVA yaitu 23 orang (24,5%). Banyak nya ibu yang tidak melakukan pemeriksaan IVA karena pengetahuan ibu tentang tindakan
228
pemeriksaan tersebut masih kurang serta tidak disertai dukungan dari suami. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2013) bahwa dari 97 orang ibu yang belum pernah melakukan tindakan pemeriksaan IVA sebanyak 91 orang (93,8%). Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 19 orang ibu yang berpengetahuan baik sebanyak 12 orang ibu (63,1%) dengan tindakan pemeriksaan IVA, dari 30 orang ibu yang berpengetahuan cukup sebanyak 6 orang (20%) dengan tindakan pemeriksaan IVA, dan dari 45 orang ibu yang berpengetahuan kurang sebanyak 5 orang (11,1%) dengan tindakan pemeriksaan IVA. Hasil uji ChiSquare menunjukkan bahwa p = 0,00 < 0,05 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tindakan pemeriksaan IVA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Artiningsih (2011) yang berjudul Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Pasangan Usia Subur Dengan Pemeriksaan IVA Dalam Rangka Deteksi Dini Kanker Cerviks bahwa dari 48 orang responden yang berpengetahuan kurang sebanyak 35 orang (72,9%). Dari hasil uji Chi-Square diperoleh p value (0,00 < α 0,05) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan deteksi dini ca. cerviks dengan IVA Test. Artiningsih menyatakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi ibu dalam melakukan deteksi dini dalam upaya pencegahan kanker serviks adalah pengetahuan ibu yang bisa didapatkan dari media informasi ataupun lingkungan ibu. Semakin baik pengetahuan ibu maka akan semakin baik pula dukungan ibu dalam tindakan preventif (melakukan deteksi dini dengan IVA Test). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan dan mendefenisikan (Notoatmojo, 2012). Menurut asumsi peneliti dari hasil penelitian, responden kurang dalam pemahaman tentang tindakan pemeriksaan IVA. Ini dikarenakan oleh pengetahuan yang kurang atau pendidikan ibu yang masih rendah sehingga ketidaktahuan tentang tindakan pemeriksaan IVA. Faktorfaktor yang menyebabkan wanita tidak melakukan tindakan deteksi dini kanker serviks adalah rendahnya persepsi kerentanan terhadap penyakit kanker serviks yang dirasakan wanita, kurangnya pengetahuan tentang pentingnya deteksi dini kanker serviks dan faktor-faktor resiko kanker serviks seperti rasa takut dan sakit terhadap deteksi diini kanker serviks, mahalnya biaya pemeriksaan dan rasa malu ibu dilakukannya pemeriksaan IVA tersebut. Namun tidak bisa menyalahkan satu pihak saja, sepenuhnya masih bergantung pada kemauan dan kesadaran ibu sendiri. Diharapkan pihak tenaga kesehatan
dapat memperluas dan menambah pengetahuan ibu mengenai deteksi dini dengan menggunakan IVA test melalui sosialisasi/penyuluhan. Hubungan Dukungan Suami Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 30 orang responden yang mendapat dukungan suami yaitu 23 orang (76,7%) melakukan tindakan pemeriksaan IVA dan dari 64 responden yang tidak mendapat dukungan suami semuanya tidak melakukan tindakan pemeriksaan IVA. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa p = 0,00 < 0,05 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan dengan tindakan pemeriksaan IVA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rizmeyni (2011) yang berjudul Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Partisipasi Wanita Usia Subur Dalam Upaya Deteksi Dini Penyakit Kanker Leher Rahim Di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai bahwa dari 86 orang suami yang mendukung istrinya untuk melakukan tindakan pemeriksaan IVA sebanyak 80 orang (93,02%). Kebanyakan suami tidak mendukung dikarenakan masih rendahnya pengetahuan suami serta sumber informasi terhadap pemeriksaan IVA tersebut. Caplan (1976) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memliki fungsi dukungan yaitu dukungan pengharapan, dukungan nyata, dukungan informasi dan dukungan emosional. Dukungan pengharapan dari suami merupakan dukungan yang terjadi bila ekspresi yang positif diberikan kepada individu. Diharapkan suami dapat menjadi penyemangat dan memberi persetujuan disaat ibu melakukan tindakan pemeriksaan IVA. Dukungan nyata dari suami seperti saat suami memberi uang, menyediakan transportasi dimana itu sangat berguna untuk ibu agar termotivasi melaksanakan tindakan pemeriksaan IVA. Dukungan informasi dari suami seperti memberitahukan kepada ibu bahwa tindakan pemeriksaan IVA sejak dini sangat lah penting dimana dapat mencegah kanker serviks diharapkan suami dapat menguatkan motivasi ibu agar melakukan tindakan pemeriksaan IVA. Dukungan emosional dari suami seperti memuji dan memberikan perhatian kepada istri saat melakukan tindakan pemeriksaan IVA akan membuat istri merasa berharga, nyaman, aman, terjamin dan disayangi. Dukungan emosionalberpengaruh langsung dengan tindakan pemeriksaan IVA sehingga apabila suami tidak memberikan dukungan maka akan terhambatnya keinganan ibu untuk melakukan pemeriksaan IVA. Menurut asumsi peneliti, Diberbagai wilayah di Indonesia terutama di dalammasyarakat yang masih tradisional (patrilineal) menganggap istriadalah konco wingking, yang artinya bahwa kaum wanita tidaksederajat dengan kaum pria, dan wanita hanyalah bertugas untukmelayani kebutuhan dan keinginan suami saja. Serta masih adanya suami yang memarahi dan tidak memberi izin jika ibu melakukan tindakan pemerisaan IVA karena
suami mengganggap hal tersebut tidaklah penting dan membuang-buang waktu saja. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan sumber informasi yang diperoleh suami masih kurang tentang pemeriksaan IVA. Diharapkan adanya penyuluhan pada sarana maupun tempat dimana suami sering berkumpul dan berinteraksi agar suami mau mendukung untuk melakukan tindakan pemeriksaan IVA dan istri terhindar dari kanker serviks. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan penelitian yang berjudul ―Hubungan Pengetahuan dan Dukungan Suami Dengan Tindakan Pemeriksaan IVA Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Desa Sunggal Kanan Tahun 2014‖, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengetahuan responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang yaitu 45 orang (47,9%), pengetahuan cukup yaitu 30 orang (31,9%), dan pengetahuan baik yaitu 19 orang (20,2%). 2. Mayoritas suami yang tidak mendukung sebanyak 64 orang (68,1%) dan minoritas suami yang mendukung sebanyak 30 orang (31,9%). 3. Adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) bahwa p=0,00 < 0,05 4. Adanya hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tindakan pemeriksaan IVA pada Pasangan Usia Subur (PUS) bahwa p=0,00 < 0,05. Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Suami Diharapkan kepada suami agar mendukung istri untuk melakukan tindakan pemeriksaan IVA dan lebih menghargai keputusan istri untuk melakukannya. 2. Bagi peneliti selanjutnya Agar dijadikan sebagai bahan masukan untuk menambah koleksi buku-buku bacaan dan jurnal penelitian yang mendukung dalam proses penelitian. DAFTAR PUSTAKA Anolis, C, Andhita. 2011. 17 Penyakit Wanita Yang Paling Mematikan. Yogyakarta:Buana Pustaka. Artiningsih, N. 2011. Jurnal Kesehatan Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Pasangan Usia Subur Dengan Pemeriksaan IVA Dalam Rangka Deteksi Dini Kanker Cerviks. http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail &d_id=21605diakses tanggal 02 Juli 2014 Pukul 23.00 WIB. Dinas Kesehatan Kota Medan, 2012, Profil Kesehatan Kota Medan, pdf file http://litbangkemenkes.com diakses tanggal 13 April 2014 pukul 12.10 wib Emilia, O. dkk. 2010. Bebas Ancaman Kanker Serviks. Yogyakarta:Media Pressindo.
229
Hidayah, dkk. 2013 Jurnal Kesehatan Hubungan Antara Perilaku Ibu Dengan Deteksi Dini Ca. Cerviks Menggunakan IVA Test Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2013. http://poltekkespalembang.ac.id/userfiles/file s/hubungan_antara_perilaku_ibu_dengan_de teksi_dini_ca_good.pdf diakses tanggal 01 juli 2014 pukul 21.00 WIB. Indrawati, M. 2009. Bahaya Kanker Bagi Wanita & Pria. Jakarta: AV Publisher. Kartikawati, E. 2013. Awas!!! Bahaya Kanker Payudara & Kanker Serviks. Bandung:Buku Baru. Manan, El. 2011. Kamus Pintar Kesehatan Wanita. Yogyakarta: Buku Biru. Rizmeyni, 2011. Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Partisipasi Wanita Usia Subur Dalam Upaya Deteksi Dini Penyakit Kanker Leher Rahim Di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 37424/3/Chapter%20II.pdf di akses tanggal 3 Juli 2014 Pukul 20.00 WIB. Simatupang, M, dkk, Jurnal Kesehatan Pengaruh dan Sikap tentang Kanker Serviks Terhadap Pemeriksaan IVA pada WUS di Desa Tuntungan II Kec. Pancurbatu Tahun 2013. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
230
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta. Sarwono, P. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta:PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Setiati, E. 2009. Waspada 4 Kanker Ganas Pembunuh Wanita. Yogyakarta: Andi. Soebachman, A. 2011. Awas! 7 Kanker Paling Mematikan. Yogyakarta: Syura Media Utama. Tilong, D, Adi. 2012. Bebas Dari Ancaman Kanker Serviks. Yogyakarta: Flash Books. Wati, K. 2010. Jurnal Kesehatan Perilaku Ibu Dalam Pemanfaatan Layanan Metode IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) Sebagai Upaya Deteksi Dini Kanker Serviks Di Desa Dagang Kerawan Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2010. http://repository.usu.ac.id.Diakses tanggal 29 Januari 2014 Pukul: 22.00 WIB. WHO, 2013. Kespro dan Seksual. http://www.who.int/mediacentre/index.html. Yuli, E. Jurnal Kesehatan Pengaruh Persepsi Wanita Pasangan Usia Subur (PUS) Tentang Kanker Leher Rahim (KLR) Dan Program Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Terhadap Pemanfaatan Pelayanan IVA Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2010. http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 14 Februari 2014 Pukul 15.00 WIB.
PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KESEHATAN FISIK LANSIA DI DUSUN III DESA HUTARAO KECAMATAN BANDAR PULAU KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2014
Efendi Sianturi Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstract The elderly is seen as a group of people who are at risk of experiencing health problems are complex and progressive. One of the many problems that arise in the nursing group is social disorder because many things affect this kind of support group members of the family and the environment. Penilitian goal was to determine the effect of family support on the physical health of the elderly in the village of Dusun III Hutarao shavings Airport District Island District in 2014. This research uses analytical design with a cross-sectional design with Chi-Square Test to determine the effect of family support on the physical health of the elderly in the village of Dusun III Hutarao Island County Airport District shavings. The population is elderly and samples obtained 37 elderly aged 60 years and older who are still able to move. The result showed that the majority of informational support in less categories that affect the physical health of the elderly with a value of p = 0.001, which means there is a connection informational support to the physical health of the elderly. On the support of a majority vote by both categories of the physical health of the elderly with p = 0.0810 which means it does not influence the assessment of physical health support elderly. On the support of the majority of the categories of emotional support were less influence on the physical health of the elderly with a value of p = 0.004, which means there is a relationship between emotional support to the physical health of the elderly. In the category of family support mayorita obtained either with p = 0.026, which means there is the influence of family support on the physical health of the elderly. Research goal should be advised of the educational institutions in order to add material about the physical health of family support for the elderly and the results can be used as a reference for further research while for elderly people who have to pay more attention or providing support to the elderly so that the physical health of the elderly can be maintained better. Keywords : Family Support, Physical Health, the Elderly
A.
LATAR BELAKANG
Penggolongan lansia menurut WHO meliputi : middle age (45 – 49 tahun), elderly (60-74 tahun), old (75-79 tahun), very old ( diatas 90 tahun). Penelitian yang pernah dilakukan di Amerika menyatakan bahwa 11% laki-laki dan 18% wanita pada lansia mengalami sindrom depresi. Selain kemunduran fisik, sering kali munculnya depresi pada lansia terjadi karena kurangnya perhatian keluarga terutama anak, dan orang-orang terdekat. Salah satunya adalah masalah dukungan sosial, terutama dukungan dari orang-orang terdekatnya. Sampai sekarang ini, penduduk di 11 negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia di atas 60 tahun berjumlah 142 juta orang dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 3 kali lipat di tahun 2050. Pada Hari Kesehatan Sedunia tanggal 7 April 2012, WHO mengajak negaranegara untuk menjadikan penuaan sebagai prioritas penting mulai dari sekarang. Rata-rata usia harapan hidup di negara-negara kawasan Asia Tenggara adalah
70 tahun, sedangkan usia harapan hidup di Indonesia sendiri termasuk cukup tinggi yaitu 71 tahun, berdasarkan Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011 (WHO, 2012). Indonesia tergolong negara dengan struktur penduduk lanjut usia (aging structured population ) karena jumlah penduduk kelompok lanjut usia di Indonesia tahun 2000 adalah 14.439.967 dari jumlah penduduk Indonesia dan tahun 2006 mencapai ± 19.000.000 orang atau 8,9%. Pada tahun 2010 diprediksikan jumlah kelompok lanjut usia meningkat menjadi 9,58% dan pada tahun 2020 sebesar 11,20%.(Depkes,2008). Berdasarkan data UNESCAP tahun 2011, jumlah penduduk di kawasan Asia mencapai sebanyak 4,22 miliar jiwa atau 60% dari penduduk dunia. Saat ini, populasi lansia – penduduk berusia 65 tahun atau lebih - di Jepang dan Korea Selatan telah melampaui populasi lansia negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Sementara itu, populasi lansia Cina dan negara-negara berkembang lainnya akan menyusul 231
sekitar tahun 2050. Populasi lansia di Asia Tenggara saat ini masih di bawah level rata-rata dunia, namun pada tahun 2040 akan jauh di atas rata-rata populasi lansia di dunia. Di Asia Tenggara, Singapura mempunyai penduduk lansia terbanyak. Thailand, Vietnam, dan Indonesia berada pada posisi ―segera‖ sedangkan negara-negara lain akan menyusul di tahuntahun yang akan datang. Sementara itu, Total Fertility Rate (TFR) di Asia Tenggara saat ini sekitar 2,3 anak per wanita, sedikit di atas TFR dunia yang 2,4 anak per wanita. Namun, Asia Timur mempunyai tingkat kelahiran 1,5 anak per wanita, jauh di bawah replacement level fertility atau 2,1 anak per wanita. Hal ini mengindikasikan suatu kondisi khusus terkait lansia di wilayah ini yang akan berdampak pada perkembangan ekonomi dan sosial (BKKBN, 2012). Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih dari 19 juta, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010 jumlah lansia sebanyak 14,439.967 jiwa (7,18%) dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 23.992.553 jiwa (9,77%) sementara pada tahun 2011 jumlah lansia sebesar 20 juta jiwa (9,51%), dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Depkes, 2012). Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2011, jumlah penduduk lansia mencapai sekitar 24 juta jiwa. Padahal, tahun 1970 silam, jumlah penduduk lansia di Indonesia baru mencapai 2 juta jiwa. (BKKBN,2011) Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2010, jumlah lansia yang memperoleh pelayanan kesehatan sebanyak 380.730 orang (49,68%) dari seluruh populasi lansia sebanyak 766.422 orang (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara ,2010). Peningkatan populasi kelompok lanjut usia diikuti pula dengan berbagai persoalan bagi lanjut usia itu sendiri seperti : penurunan kondisi fisik dan psikis, menurunnya penghasilan akibat pensiun, kesepian akibat ditinggal oleh pasangan atau teman seusia, depresi karena ketidak-mampuan bersosialisasi, merasa terasingkan/ terisolasi karena hilang kontak dengan keluarga. Kelompok lanjut usia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko mengalami gangguan kesehatan yang kompleks dan progresif. Salah satu masalah keperawatan yang banyak muncul pada kelompok tersebut adalah gangguan sosial karena banyak hal yang mempengaruhi kelompok ini baik dari dukungan anggota keluarga maupun dari lingkungan. Dukungan keluarga merupakan sumber dukungan yang pertama bagi lanjut usiadan sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan terhadap fungsi sosial berbeda-beda dalam berbagai tahapan siklus kehidupan.
232
Pembinaan kesehatan lansia melalui wadah BKL di posyandu lansia (Public Health Nursing) yang ditujukan untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan adanya pembinaan melalui program posyandu lansia diharapkan terjadi peningkatan perilaku hidup sehat oleh lansia di kehidupan sehari-hari. Jumlah penduduk lansia di Kabupaten Asahan sebanyak 61.619 jiwa dengan kategori 28.833 jiwa memiliki keadaan kesehatan yang baik, 22.118 jiwa memiliki keadaan kesehatan yang cukup dan 10.688 jiwa memiliki keadaan kesehatan yang kurang dan dengan kriteria bahwa lansia yang memerlukan bantuan orang lain dalam berpakaian sebanyak 3.353 jiwa, memerlukan bantuan dalam hal buang air kecil dan besar sebanyak 2.857 jiwa, memerlukan bantuan mandi sebanyak 2.857 jiwa , memerlukan bantuan makan dan minum sebanyak 2.971 jiwa dan memerlukan bantuan menyiapkan makan sebanyak 9.830 jiwa sementara lansia yang sering melakukan aktivitas dalam hal menonton TV sebanyak 35.001 jiwa, membaca sebanyak 1.420 jiwa, piknik sebanyak 1.032 jiwa, olahraga 552 jiwa, kegiatan sosial 12.764 jiwa, memancing sebanyak 336 jiwa dan memelihara taman sebanyak 1.749 jiwa dengan jumlah 52.764 jiwa dan menurut kategori sumber pendapatan, lansia yang bekerja sebanyak 24.224 jiwa, pensiun sebanyak 6.390, memiliki tabungan 308 jiwa, suami/ isteri bekerja sebanyak 6.450 jiwa, dari anak menantu sebanyak 17.581 dan dari orang lain sebanyak 286 jiwa dengan jumlah 57.876 jiwa (Data Statistik Indonesia , Kabupaten Asahan, 2012). Dari survei pendahuluan yang dilakukan ditemukan bahwa masih ada para lansia yang kesehatan fisiknya masih jauh dari standar kesehatan seperti ada 2 orang lansia yang sudah tidak dapat berjalan lagi dan harus dipapah keluarganya kemudian ada 1 orang lansia yang kurang diperhatikan dari keluarganya. Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa dukungan keluarga terhadap kesehatan fisik lansia masih jauh dari harapan lansia tersebut. Tingginya angka permasalahan kesehatan fisik lansia membuat penulis tertarik dalam penelitian tentang permasalahan lansia yang ada di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah adakah pengaruh dukungan keluarga terhadap kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014. C. TUJUAN PENELITIAN 1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan.
2. a.
b.
c.
d.
D.
Tujuan Khusus Untuk mengetahui pengaruh dukungan informasi terhadap kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Untuk mengetahui pengaruh dukungan penilaian terhadap kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Untuk mengetahui dukungan instrumental terhadap kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Untuk mengetahui dukungan emosional terhadap kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. MANFAAT PENELITIAN 1.
2.
E.
Bagi Perkembangan IPTEK Sebagai informasi, wawasan dan masukan untuk pengembangan penelitian tentang kesehatan fisik pada lansia. Bagi keluarga lansia dan Masyarakat : Sebagai masukan bahwa pentingnya memperhatikan kesehatan fisik lansia dalam keluarga.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan rancangan analitik dengan desain cross sectional untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap
kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai dengan Desember 2014. Populasi dan Sampel Populasi Populasi penelitian adalah lansia yang berumur 60 tahun keatas yang berada di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan . Sampel Sampel adalah lansia yang berumur 60 tahun keatas yang masih dapat beraktivitas dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 37 lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. F.
HASIL PENELITIAN
Analisa Univariat 1. Dukungan Informasional Dukungan informasional keluarga lansia meliputi bantuan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan, saran, usulan yang bermanfaat untuk menekan munculnya stres pada lansia yang dapat mempengaruhi kesehatan lansia khususnya kesehatan fisik lansia. Dari hasil penelitian diperoleh data dukungan informasional yang dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Dukungan Informasional Keluarga Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 No Dukungan Informasional Frekuensi (n) Persentase (%) 18,9 1. Baik 7 30 81,1 2. Kurang Total 37 100 2. Dukungan Penilaian Tabel 2. Distribusi Frekuensi Dukungan Penilaian Keluarga Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 No. Dukungan Penilaian Frekuensi (n) Persentase (%) 23 62,2 1. Baik 14 37,8 2. Kurang Total 37 100 3. Dukungan Instrumental Tabel 3. Distribusi Frekuensi Dukungan Instrumental Keluarga Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 No Dukungan Instrumentasl Frekuensi (n) Persentase (%) 13 35,1 1. Baik 24 64,9 2. Kurang Total 37 100
233
4. Dukungan Emosional Tabel 4. Distribusi Frekuensi Dukungan Emosional Keluarga Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 No Dukungan Emosional Frekuensi (n) Persentase (%) 11 29,7 1. Baik 26 70,3 2. Kurang Total 37 100 5. Dukungan Keluarga Tabel 5. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 No Dukungan Keluarga Frekuensi (n) Persentase (%) 1. Baik 21 56,8 2. Kurang 16 43,2 Total 37 100 Analisa Bivariat 1. Pengaruh Dukungan Informasional Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Tabel 6. Distribusi Pengaruh Dukungan Informasional Terhadap Kesehatan Fisik Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 Kesehatan Fisik Lansia Total Dukungan No Sehat Tidak Sehat Value Informasional n % n % n % 7 18,9 0 0 7 18,9 1. Baik 10 27,0 20 54,1 30 81,1 0,001 2. Kurang Total 17 45,9 20 54,1 37 100 2. Pengaruh Dukungan Penilaian Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Tabel 7. Distribusi Pengaruh Dukungan Penilaian Terhadap Kesehatan Fisik Lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 Kesehatan Fisik Lansia Total No Dukungan Penilaian Sehat Tidak Sehat Value n % n % n % 8 21,6 15 40,5 23 62,2 1. Baik 9 24,3 5 13,5 14 37,8 0,810 2. Kurang Total 17 45,9 20 54,1 37 100 3. Pengaruh Dukungan Instrumental Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Tabel 8. Distribusi Pengaruh Dukungan Instrumental Terhadap Kesehatan Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 Kesehatan Fisik Lansia No Dukungan Instrumental Sehat Tidak Sehat n % n % 10 27,0 3 8,1 1. Baik 7 18,9 17 46,0 2. Kurang Total 17 45,9 20 54,1
Fisik Lansia di Dusun III Desa Total n 13 24 37
Value % 35,1 64,9 100
0,005
4. Pengaruh Dukungan Emosional Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Tabel 9. Distribusi Pengaruh Dukungan Emosional Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 Kesehatan Fisik Lansia Total No Dukungan Emosional Sehat Tidak Sehat Value n % n % n % 9 24,3 2 5,4 11 29,7 1. Baik 8 21,6 18 48,6 26 70,3 0,004 2. Kurang Total 17 45,9 20 54,1 37 100
234
5. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Tabel 10. Distribusi Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2014 Kesehatan Fisik Lansia Total No Dukungan Sehat Tidak Sehat Value n % n % n % 13 76,5 8 40,0 21 29,7 1. Baik 4 23,5 12 60,0 16 70,3 0,026 2. Kurang Total 17 100 20 100 37 100 G.
PEMBAHASAN
1
Pengaruh Dukungan Informasional Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Hasil penelitian yang dilakukan di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan menunjukkan bahwa keluarga kurang memberikan perhatian dalam hal informasi tentang pemeriksaan kesehatan lansia di Posyandu lansia, kurangnya memberikan informasi tentang adanya penyuluhan tentang lansia yang dilakukan dari Dinas Kesehatan setempat serta kurangnya informasi tentang pentingnya selalu menjaga kesehatan lansia. Hal ini terjadi karena keluarga lansia lebih mengutamakan pekerjaan dari keluarga lansia tersebut. Interaksi atau komunikasi antara lansia dan keluarga lansia berjalan seperti biasa yang dijalani pada saat lansia belum memasuki usia lansia. Dari hasil kuesioner diketahui bahwa masih ada keluarga yang tidak menganjurkan lansia untuk memeriksakan kesehatan secara rutin. Untuk melakukan pemeriksaan kesehatan hanya terjadi apabila lansia mengalami gangguan kesehatan sehingga hal inilah yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan fisik lansia. Menurut Wills menyatakan bahwa dukungan dapat berupa pemberian informasi, nasehat, dan bimbingan. Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung-jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari keluarga dengan menyediakan feed back. Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi (Wills dalam Suriani, 2008). Keluarga berfungsi sebagai sumber informasi berupa nasehat, saran dan usulan untuk dapat menekan munculnya stres pada lansia (Friedman dalam Suriani, 2008) 2. Pengaruh Dukungan Penilaian Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Dukungan penilaian dapat berupa pemberian informasi kepada seseorang bahwa dia dihargai dan diterima dimana harga diri seseorang dapat ditingkatkan dengan mengkomunikasikan kepadanya. Bahwa ia bernilai dan diterima meskipun tidak luput dari kesalahan (Cohent & Wills dalam Suriani, 2008). Dari hasil yang diperoleh tersebut diatas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Yenni di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan
Bukit Tinggi yang menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan penilaian keluarga dengan kesehatan fisik lansia (Yenni, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan menunjukkan bahwa keluarga lansia telah memberikan dukungan penilaian yang baik yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah terhadap lansia. Walaupun hasil menunjukkan bahwa dominan dukungan penilaian pada kategori baik, namun dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dukungan penilaian dengan kesehatan fisik lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. 3.
Pengaruh Dukungan Instrumental Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Hasil penelitian yang diperoleh di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2013 menunjukkan bahwa keluarga kurang memperhatikan makanan yang bergizi, pemenuhan keuangan bagi para lansia atau kebutuhan lainnya yang berhubungan dengan dukungan instrumental. Kebutuhan berupa nutrisi atau makanan dan vitamin diberikan kepada lansia sama pada waktu lansia sebelum memasuki usia lansia sehingga dapat mempengaruhi kesehatan fisik lansia. Dukungan instrumental termasuk dukungan finansial, pemberian bantuan, pemberian pelayanan, menyiapkan transportasi dan menyiapkan bantuan fisik pada anggota keluarga dimana keluarga dianggap sebagai sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya kesehatan, makanan dan minuman. Dukungan ini bersifat nyata dan bentuk materi untuk bertujuan meringankan beban bagi individu keluarga termasuk lansia sehingga keluarga merupakan sumber pertolongan yang praktis dan konkrit yang mencakup dukungan atau bantuan seperti uang, peralatan, waktu, serta modifikasi lingkungan (Friedman dalam Suriani, 2008). Biasanya semakin bertambah umur manusia, maka selera makan semakin berkurang dan keadaan fisik lansia menurun. Berdasarkan hal tersebut, perlu diperhatikan gizi pada makanan serta vitamin dan perawatan lansia. Untuk kebutuhan gizi tersebut, keluarga memberikan makanan atau vitamin dengan memperhatikan : makanan yang disajikan sesuai dengan selera lansia, makanan yang disajikan memenuhi kebutuhan gizi yang disarankan dokter, penyajian makanan dilakukan secara teratur serta dalam porsi sesuai dengan anjuran kesehatan lansia, makanan diberikan dalam bentuk lunak untuk menghindari obstipasi dan memudahkan mengunyah bagi lansia (Nugorho, 2008). 235
Pengaruh Dukungan Emosional Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Banda Pulau Kabupaten Asahan Tahun 2013 menunjukkan bahwa keluarga lansia tidak memberikan perhatian khusus dalam hal dukungan emosional terhadap lansia. Keadaan hubungan emosional antara lansia dengan keluarga lansia berjalan seperti pada saat lansia belum memasuki usia lansia. Hal ini terjadi karena kebiasaan hidup keluarga yang memiliki lansia di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Banda Pulau Kabupaten Asahan beranggapan bahwa kebutuhan emosional dari lansia dan kebutuhan emosional sebelum lansia merupakan kebutuhan yang sama. Keluarga berfungsi sebagai tempat yang aman dan damai serta membantu dalam penguasaan emosi. Pemberian empati, cinta, kejujuran dan perawatan serta memiliki kekuatan yang hubungannya konsisten sekali dengan status kesehatan. Manfaatnya adalah secara emosional menjamin nilai-nilai individu (baik laki-laki ataupun perempuan) akan selalu terjaga kerahasiannya dari keingintahuan orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan di dengar (Kaakinen, 2010). Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dan afeksi, kepercayaan perhatian dan perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengar keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka (Sarafino, 2006)
berperan di lingkungan, untuk memenuhi kebutuhan lansia seperti sandang, pangan, dan papan serta untuk merawat lansia yang mengalami masalah kesehatan.
5.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta Akhmad Purnama, 2009. Kepuasan Hidup Dan Dukungan Sosial Lanjut Usia, B2P3KS PRESS, Yogyakarta BKKBN, 2012. Modul Bina Keluarga Lansia Medan Boedhi Darmojo, 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-2. FK-UI Press. Jakarta Depkes, 2012. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi petugas Kesehatan. Jakarta Fatimah, 2009. Lanjut Usia Sebagai Tahap Akhir dari Siklus Kehidupan Manusia. Harlock, 2011. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. PT. Erlangga. Jakarta Kaakinen. J.R,et.al, 2010. Family Health Care Nursing: Theory practice and Research (Fourth Edition). Philadelphia: T.A. Davis Company. Kuntjoro, 2010. Masalah Kesehatan Lanjut Usia. Maryam,dkk,2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika: Jakarta.
4.
Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kesehatan Fisik Lansia Hasil ini menunjukkan bahwa keluarga di Dusun III Desa Hutarao Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan telah memberikan dukungan keluarga kepada lansia yang meliputi dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Walaupun pada dukungan penilaian diperoleh bahwa tidak ada pengaruh terhadap kesehatan fisik lansia, namun secara umum diperoleh dukungan keluarga yang diberikan pada lansia sudah baik. Dalam hal ini fungsi keluarga telah berjalan dengan baik dimana interaksi antara keluarga dengan lansia dapat terlaksana dengan baik yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi perawatan kesehatan, fungsi ekonomi. Peran keluarga terhadap lansia telah berjalan dengan baik untuk kelangsungan hidup lansia tersebut dimasa tuanya. Fungsi keluarga untuk memberikan dukungan pada lansi sebagai pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung, proses perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar
236
H.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Ada pengaruh dukungan informasional terhadap kesehatan fisik lansia dengan nilai p value=0,001 2. Tidak ada pengaruh dukungan penilaian terhadap kesehatan fisik lansia dengan nilai p value=0,810. 3. Ada pengaruh dukungan instrumental terhadap kesehatan fisik lansia dengan nilai p value=0,005. 4. Ada pengaruh dukungan emosional terhadap kesehatan fisik lansia dengan nilai p value=0,004. 5. Ada pengaruh dukungan keluarga terhadap kesehatan fisik lansia dengan nilai p value =0,026 Saran 1. Bagi keluarga lansia dan masyarakat Agar lebih memperhatikan kebutuhan informasi tentang pemeriksaan kesehatan lansia dan penyuluhan tentang lansia, meningkatkan interaksi antara keluarga lansia dengan lansia, kebutuhan gizi lansia serta menjaga rasa nyaman lansia di keluarga lansia sehingga kesehatan fisik lansia dapat terjaga dengan lebih baik . 2. Bagi peneliti selanjutnya Di dalam melakukan penelitian tentang dukungan keluarga terhadap kesehatan fisik lansia agar menambah jumlah sampel dan metode lain dari penilitian ini sehingga hasil yang diperoleh lebih valid. DAFTAR PUSTAKA
Maramis, 2006. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga. Jakarta Mubarok, 2009. Konsep Keluarga. Jakarta Nugroho, Wahjudi SKM. 2008.Keperawatan Gerontik Edisi 32 Cetakan 1.Jakarta : EG Prasetyo, 2008. Gambaran Kemampuan (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) lanjut Usia dalam Pemenuhan Perawatan Diri di Panti Tresna Wredha Budi Mulya Jakarta Timur Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010. Sarafino, 2006. Health Psychology Biopsychosocial Interaction. 5 th edition. United States of America : John Wiley & S Sekilas Tentang Kabupaten Aceh Singkil. www.acehprov.go.id Setiawati, 2008. Lanjut Usia Sebagai Tahap Akhir dari Siklus Kehidupan Manusia
Sudjana, 2005. Metode Statiska. Bandung : Sinar Baru Algensindo Suryani, 2008. Penerimaan Diri Pada Lanjut Usia Ditinjau Dari Kematangan Emosi WHO, 2012. Maternal mortality in 2011. (http://www. who.int) diakses tanggal 26 Maret 2013. Yenni, 2011. Hubungan Dukungan Keluarga Dan Karakteristik Lansia Dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan Bukit Tinggi. Tesis. Zainnudin, 2009. Pengaruh Pelayanan Terhadap Kesehatan Jiwa Manusia Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Wredha Karya Kasih Medan Polonia.
237
KETEPATAN PEMERIKSAAN RADIOLOGI DAN BTA APUSAN LANGSUNG DENGAN KULTUR DALAM DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU DI MEDAN
Erfiyani S*, Amira Permatasari Tarigan** Dinas Kesehatan, Binjai, **Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstract Lung tuberculosis is one of transmitted diseases which are caused by Mycobacterium tuberculosis through nuclei droplet. Diagnosis for lung tuberculosis is usually detected by the examination of direct sputum removal, thorax photo, and Culture. The type of the research was descriptive study by using diagnostic test and the samples consisted of sputum and thorax photo. The sputum was taken accidentally, in the morning, and accidentally which was examined by using Ziehl Nelsen method and culture. The objective of the research was to find out the effectiveness of examining direct BTA removal and radiology which were compared with Culture. The samples were taken from Private Practice of Tuberculosis Specialists in Medan and in BP4, Medan which had fulfilled inclusive criteria, radiology examination and three times of phlegm taking for direct BTA removal and culture were performed; after that, radiology diagnostic test for direct BTA removal was compared with Culture. 60 samples on direct removal method indicated the value of sensitivity of 59.38%, specificity of 92.86%, value of positive prediction of 90.48%, value of negative prediction of 66.7%, ratio of positive likelihood of 8.31, and ratio of negative likelihood of 0.44. Radiology method indicated sensitivity of 62.63%, specificity of 82.14%, the value of positive prediction of 80.77%, value of negative prediction of 67.65%, ratio of positive likelihood of 3.67, and ratio of negative likelihood of 0.42. Of the 21 samples, positive BTA which underwent minimum lung damage of 4 (6.7%), moderate damage of 9 (15.0%), and wide damage of 5 (8.3%). The result of the research showed that radiology examination indicated that the value of sensitivity was higher than direct removal method, compared with culture as gold standard in BTA examination.That clinical benefit was bigger in direct removal method can be seen from the value of positive prediction which was higher than radiology method so that it is recommended that both examination techniques be used to diagnose lung tuberculosis. Keywords : Direct BTARemoval, Radiology Compared with Culture PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang penting bagi kesehatan. Berdasarkan laporan WHO tahun 2010, terdapat 8,5 juta kasus baru tuberkulosis atau sama degan 128 kasus per 100.000 penduduk dan 1,2-1,5 juta kasus kematian per tahun.Wilayah Asia menanggung bagian yang terberat dari beban tuberkulosis paru global yakni sekitar 59% dari kasus tuberkulosis paru di dunia. Jumlah kasus tertinggi pada 2011 adalahNegara India (2-2,5 juta), Cina (0,9-1,1 juta), Afrika Selatan (0,4-0,6juta), Indonesia (0,4-0,5juta) dan Pakistan (0,3-0,5 juta).1 Kasus TB di Indonesia bulan Mei 2010 tercatat 294.732 kasus dan telah diobati, serta lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi basil tahan asam (BTA) positif.2 Hasil pendataan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2010, tercatat 73,8 persen penderita tuberkulosis paru BTA (+) atau sebanyak 15.614 orang. Hasil survey P2M Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan merupakan yang terbesar penderitanya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk dari tiap 238
kabupaten/kota. Penderita suspek TB sebanyak 11.487 orang, dengan BTA (+) sebanyak 1.843 orang.3,4 Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan radiologi saat ini dapat dianggap tidak lengkap.Karena suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan BTA sebagai uji diagnosis belum dapat digantikan dengan uji laboratorium lain, sebenarnya metode ini kurang sensitif karena baru memberikan hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.5 Sementara itu untuk mendapatkan kuman pada pemeriksaan kultur dibutuhkan jumlah sekitar 50–100 kuman/ml sputum.6Metode kultur sendiri memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karena sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari pada pewarnaan BTA. Tuberkulosis (TB) Paru Struktur dan morfologi Mycobacterium tuberculosis (M.TB) berbentuk batang, lurus atau sedikit melengkung tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 mikron, panjang 1-4 mikron dinding M.tuberkulosis sangat
kompleks terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mikobakterium sulfolipid yang berperan dalam virulensi.7,8 Gejala klinik dan pemeriksaan fisik Keluhan umum yang dirasakan penderita TB diantaranya: batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih, demam, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lainlain.3Pada umum TB paru yang dicurigai adalah bagian apeks, bila dicurigai adanya infiltrasi yang luas pada paru, maka suara perkusi akan redup dan pada auskultasi akan terdapat suara napas bronkhial juga suara tambahan berupa ronkhi basah, bila terdapat kavitas pada paru maka perkusi memberikan suara yang hipersonor dan auskultasi memberikan suara amforik.9 Pemeriksaan RadiologiToraks Foto toraks digunakan untuk mendiagnosis banyak kondisi yang melibatkan dinding toraks dan struktur yang berada pada kavitas toraks termaksud paruparu dan jantung.Bagian paru yang paling sering terkena adalah bagian apikal dan segmen posterior lobus superiorkarena pada bagian apikal dan subapikal paru mempunyai tekanan oksigen lebih tinggi bila dibanding dengan tempat lain. Pada tekanan oksigen yang tinggi ini virulensi Mycobacteria dapat meningkat.Luasnya proses yang tampak pada foto toraks terdiri dari lesi minimal (minimal lesion), lesi sedang (moderat lesion) dan lesi luas (far advance).10 Pemeriksaan BTA Mikroskopis Pemeriksaan sputum di laboratorium mikrobiologi diagnosis penyakit TB masih didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis metode pewarnaan Zehl-Nielsen atau di kenal metode pewarnaan (Smear), yang mendeteksi basil kuman Mycobacterium Tuberculosis Complek (MTC).Walaupun telah banyak metode diagnosis TB yang telah dikembangkan, termaksud teknik molekuler, pewarnaan BTA apusan langsungdan kultur yang menggunakan media Lowenstein-Jensen (LJ) masih merupakan metode standart baku emas dalam mendiagnosis penyakit TB aktif.11 Pemeriksaan mikroskopis apusan langsung dengan tahap pertama, pengumpulan specimen yaitu pengumpulan dahak yang berasal dari saluran napas bagian bawah berupa lendir yang berwarna kuning kehijauan (mukopurulen) pasien berdahak dalam keadaan perut kosong, sebelum makan dan minum dan membersihkan rongga mulut terlebih dahulu dengan berkumur air bersih. Tahap kedua yaitu pembuatan pembuatan apusan sputumdengan cara sediaan di atas kaca setelah kering lalu difiksasi diatas nyala api spritus Tahap ketiga yaitu pewarnaan dengan cara Ziehl Nielsendengan cara sediaan digenangi dengan asam alkohol (HCl-Alkohol 3%) atau
asam sulfat 25% sampai warna merah fuchsin hilang. Kemudian dibilas dengan air mengalir. Tetesin dengan methilin Blue 0,3% sampai menutupi seluruh permukaan, diamkan selama 10-20 detik dan bilas dengan air mengalir, lalu dibiarkan kering di udara terbuka. Dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen akan tampak berwarna merah dengan latar belakang biru.12,13, Kultur Kultur kuman merupakan cara pemeriksaan yang akurat karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (89.9%) dan 100% sehingga dipakai sebagai diagnosis pasti tuberkulosis paru. Selain untuk mengidentifikasi kuman Mycobacterium, metode pemeriksaan kultur juga digunakan untuk menegakkan diagnosa tuberkulosis, sedangkan test resistansi kuman bermanfaat untuk terapi dimana sekarang ini sudah banyak kuman Mycobacterium yang resisten dengan obat anti tuberkulosis. Teknik kultur yang biasanya dipakai di laboratorium adalah Kultur pada media padat.14 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan uji diagnostik yaitu uji sensitifitas dan spesifisitas. Tempat dan waktu penelitian Rumah Sakit BP4 Medan dan Praktek Dokter Paru Swasta di Medan serta pemeriksaan dilakukan di Ruang Radiologi Paru BP4 dan Laboratorium Mikrobiologi Terpadu Fakultas Kedokteran USU selama 4 bulan mulai Juli–Oktober 2013. Tujuan penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui ketepatan pemeriksaan radiologi dan BTA apusan langsung dengan kultur dalam diagnosis tuberkulosis paru. 2.
Tujuan Khusus a. Mengetahui ketepatan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal positif dan nilai ramal negatif pemeriksaan metode apusan langsung. b. Mengetahui ketepatan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal positif dan nilai ramal negatif pemeriksaan radiologi. c. Mengetahui perbandingan ketepatan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal positif dan nilai ramal negatif dari pemeriksaan radiologi dan BTA apusan langsung dengan kultur terhadap diagnosis tuberkulosis paru.
Populasi dan Sampel Populasi adalah seluruh pasien suspek tuberkulosis di Kota Medan pada bulan Juli-Oktober 2013 dengan jumlah sampel sebanyak 60 orang berdasarkan rumus uji hipotesis satu sampel menurut Lemeshow.15
239
Kriteria Inklusi Sampel a. Suspek dewasa ( > 15 tahun) b. Pasien TB paru yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah memakai OAT kurang dari satu bulan. c. Sputum penderita tidak bercampur darah. CARA KERJA 1.
Pemeriksaan radiologi foto toraks Hasil pemeriksaan foto toraks bila terdapat lesi kelainan pada paru-paru maka pasien adalah kriteria pasien tuberculosis. 2.
Metode spusan langsung Ose dipanaskan sampai merah.selanjutnya didinginkan. Kemudian dimasukkan ke dalam botol berisi pasir alkohol 70% dan digoyang-goyangkan untuk melepaskan partikel yang melekat.Kembali ose dibakar sampai merah. Sedian fiksasi jangan terlalu lama di dilewatkan di atas api lampu spritus.Sedian digenangi dengan larutan carbol fuchsin 0,3% dan dipanaskan. Kemudian didinginkan dan dicuci.Sedian kemudian digenangi dengan asam alkohol (HCL alkohol 3%) sampai warna carbol fuchsin hilang dan dicuci kembali. Kemudian sedian kembali digenangi dengan methylene blue 0,3% sampai terbentuk latar belakang biru. kemudian diperiksa di bawah mikroskop perbesaran 1000 kali. Hasil pemeriksaan berdasarkan standart International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (IUATLD) sesuai dengan standart WHO. 3.
Metode Kultur Sputum 1 bagian tambahkan dengan 2 bagian NaOH 4%.Vortex sampai homogeny, selanjutnya centrifuse 3000g selama 15 menit.Buang supernatant, tambahkan aquadest sampai tanda tertinggi.Centrifuse lagi 3000g selama 15 menit dan buang supernatant.Inokulasi secukupnya (100µl) pada 2 media Lowensten-Jensen (LJ), kemudian ratakan pada permukaan media tutup botol Mac Cartney dan longgarkan (jangan rapat-rapat).Selanjutnya Selanjutnya disimpan dalam inkubator 37ºC.Mengamati pertumbuhan setiap minggu, negatif bila sampai minggu ke 8 tidak ada pertumbuhan. Analisis Data Analisa data secara deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel. Uji diagnostik dengan tabel 2x2, kemudian dihitung nilai sensitivitas, spesifitas, nilai ramal positif dan nilai ramal negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif. HASIL PENELITIAN . Karakteristik demografi Distribusi responden lebih banyakditemukan berumur 15-55 tahun 43 orang (71,7%), kemudian kelompok umur > 55 tahun 17 orang (28,3%). Responden lebih banyaklaki-laki 43 orang (71,7%), dan perempuan 17 orang (28,3%). Responden lebih banyaksuku Batak 32
240
orang (53,3%), suku Jawa 23 orang (38,3%), suku Aceh sebanyak 2 orang (3,3%) dan minoritas suku Melayu, Minang dan Nias dimana frekuensi masing-masing sebanyak 1 orang (1,7%). Responden lebih banyak bekerja sebagai wiraswasta 24 orang (40,0%), IRT 13 orang (21,7%), pensiunan 7 orang (11,7%), karyawan/pegawai swasta 5 orang (8,2%), PNS/POLRI dan Pelajar/Mahasiswa masing-masing 4 orang (6,7%), dan yang bekerja sebagai buruh/petani 3 orang (5,0%). Responden lebih banyak berpenghasilan Rp. 1.000.000–3.000.000 yaitu 41 orang (68,9%), berpenghasilan lebih kecil dari Rp. 1.000.000 yaitu 10 orang (16,7%), dan responden minoritas berpenghasilan lebih besar Rp. 3.000.000 yaitu 9 orang (15%). Deskriptif pemeriksaan BTA metode Apusan langsung Hasil pemeriksaan BTA metode apusan langsung temuan BTA (+) paling banyak dari sampel sputum pagi 21 sampel (35,0%), kemudian sampel sputum sewaktu pertama 19 sampel (31,7%) dan yang paling sedikit adalah sampel sputum sewaktu kedua 17 sampel (28,3%). Tabel 1. Hasil Pemeriksaan BTA Metode Apusan Langsung (Sewaktu, Pagi, Sewaktu) Hasil BTA Metode Apusan Langsung Sewaktu Pagi Sewaktu n (%) n (%) n (%) Positif 19 (31,7) 21 (35,0) 17 (28,3) Negatif 41 (68,3) 39 (65,0) 43 (71,7) Total 60 (100,0) 60 (100,0) 60 (100,0) Deskriptif pemeriksaan BTA metode radiologi Hasil pemeriksaan metode radiologi menggunakan sputum pagi ditemukan radiologi positif 26 sampel (43,3%) dan radiologi negatif 34 sampel (56,7%). Tabel 2. Hasil Pemeriksaan BTA dengan Metode Radiologi Pemeriksaan Radiologi Frekuensi % (Luas Lesi) Radiologi Negatif 34 56,7 Lesi Minimal 5 8,3 Lesi Sedang 13 21,7 Lesi Luas 8 13,3 Total 60 100 Perbandingan metode apusan langsung (pagi) dengan pemeriksaan radiologi Hasil pemeriksaan BTA menggunakan metode apusan langsung ditemukan BTA (+) lebih banyak pada sampel sputum pagi 21 sampel (35,0%), kemudian sampel sputum sewaktu pertama 19 sampel (31,7%) dan yang lebih sedikit pada sampel sputum sewaktu kedua 17 sampel (28,3%). Kondisi menggambarkan pengambilan sputum pada pagi lebih banyak ditemukan BTA positif dibandingkan dengan sewaktu pertama, dan sewaktu kedua.
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan BTA Apusan Langsung Sputum Pagi dengan Metode Radiologi Apusan Radiologi Total Langsung + n (%) n (%) n (%) + 18 (30,0) 3 (5,0) 21 (35,0) 8 (13,3) 31 (51,77) 39 (65,0) Total 26 (43,3) 34 (56,7) 60 (100) Pemeriksaan metode apusan langsung dengan sputum pagi diperoleh lesi yang lebih besar pada sputum BTA(+) dibandingkan dengan BTA(-) pada pemeriksaan yang sama. Keadaan ini terlihat dari 26 orang yang positif secara pemeriksaan radiologi diperoleh yang paling banyak dengan lesi sedang pada apusan langsung positif 9 orang (34,6%) sedangkan pada lesi sedang dengan pemeriksaan apusan langsung negatif 4 orang (15,4%). Tabel 4. Uji Silang Antara Pemeriksaan Metode Apusan Langsung (Pagi) terhadap Pemeriksaan Radiologi (Luas Lesi) Pemeriksaan Radiologi (Luas Lesi) Lesi Minimal Lesi Sedang Lesi Luas Total
Pemeriksaan Metode Apusan Langsung (Sputum Pagi) + 4 (15,4%) 1 (3,8%) 9 (34,6%) 4 (15,4%) 5 (19,2%) 3 (11,5%) 18 (69,2%) 8 (30,8%)
Total 5 (19,2%) 13 (50,0%) 8 (30,8%) 26 (100,0%)
. Deskriptif pemeriksaan BTA Metode kultur Hasil pemeriksaan metode kultur menggunakan sputum pagi lebih banyak ditemukan BTA positif 32 sampel (53,3%) dan lebih sedikit BTA negatif 28 sampel (46,7%). Tabel 5. Hasil Pemeriksaan dengan Metode Kultur (Sputum Pagi) Hasil BTA Metode Kultur n % Positif 32 53,3 Negatif 28 46,7 Total 60 100.0 Perbandingan Metode Apusan Langsung dan Kultur Hasil pemeriksaan BTA positif dengan metode apusan langsung adalah 21 sampel sputum dan BTA negatif 39 sampel. Sedangkan metode kulturditemukan BTA positif 32 sampel dan negatif 28 sampel.Dari 21 sampel yang positif secara apusan langsung diperoleh sebanyak 9,5% (2 orang) sampel yang positif secara apusan langsung namun negatif secara kultur. Sedangkan dari sampel yang negatif secara apusan langsung ditemukan sebesar 33,3% (13 orang ) positif secara kultur. Hasil uji diagnosis antara pemeriksaan mikroskopis metode apusan langsung (Table 8) mempunyai sensitivitas sebesar 59,38%, spesifisitas sebesar 92,86%, nilai ramal positif sebesar 90,48% nilai
ramal negatif sebesar 66,67%, rasio kemungkinan positif sebesar 8,31 dan rasio kemungkinan negatif sebesar 0,44. Tabel 6. Perbandingan Metode Apusan dan Kultur Apusan Kultur Langsung + n (%) n (%) + 19 (90,5) 2 (9,5) 13 (33,3) 26 (66,7) Total 32 (53,3) 28 (46,7)
Langsung Total n (%) 21 (100) 39 (100) 60 (100)
Hasil uji silang pemeriksaan radiologi (luas lesi) dengan metode kultur Temuandari 26 orang BTA positif secara radiologi diperoleh sebanyak 5 orang BTA negatif secara kultur dan sebanyak 21 orang positif secara kultur. Dari 26 orang yang positif secara radiologi terbagi kedalam tiga kelompok yakni 5 orang (8,3%) dinyatakan memiliki lesi minimal, 13 orang (21,7%) dengan lesi sedang dan 8 orang (13,3%) dengan lesi luas. Berdasarkan jumlah responden maka diperoleh lesi palingbanyak adalah radiologi dengan lesi sedang, dan paling sedikit adalah lesi minimal pada pemeriksaan radiologi. Namun apabila dibandingkan antara lesi terhadap pemeriksaan kultur maka akan diperoleh nilai paling tinggi adalah hasil pemeriksaan radiologi dengan lesi sedang 18,3% (11 orang), pemeriksaan radiologi dengan lesi minimal 6,7% (4 orang) dan radiologidengan lesi luas 10,0% (6 orang). Tabel 7. Hasil Uji Silang Pemeriksaan Radiologi (Luas Lesi) dengan Pemeriksaan Metode Kultur Pemeriksaan Radiologi (Luas Lesi) Radiologi Negatif Lesi Minimal Lesi Sedang Lesi Luas Total
Positif 11 (18,3%) 4 (6,7%) 11 (18,3%) 6 (10,0%) 32 (53,3%)
Kultur Negatif 23 (38,3%) 1 (1,7%) 2 (3,3%) 2 (3,3%) 28 (46,7%)
Total 34 (56,7%) 5 (8,3%) 13 (21,7%) 8 (13,3%) 60 (100%)
Hasil uji diagnostik metode apusan langsung dan radiologi terhadap kultur Kemampuan pemeriksaan metode radiologi dalam mendiagnosis tuberkulosis paru 3,25% lebih tinggi dibandingkan apusan langsung yang artinya bahwa metode radiologi ini mampu mendeteksi diantara penderita TB adalah sebesar 3,25 % lebih tinggi dari apusan langsung. Spesifisitas pemeriksaan radiologi lebih rendah 10,72 % dari BTA apusan langsung, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemeriksaan radiologi untuk menyingkirkan subjek yang tidak menderita tuberkulosis paru 10,72 % lebih rendah dari metode apusan langsung. Nilai ramal positif menunjukkan besarnya peluang subjek menderita tuberkulosis paru bila hasil pemeriksaannya positif, dalam penelitian ini pemeriksaan BTA apusan langsung memberikan manfaat klinis dalam penegakan kasus tuberkulosis sebesar 9,71% lebih besar dari radiologi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kesalahan dalam pembacaan hasil foto atau
241
dapat juga kesalahan dari tenaga radiologi dalam tehnik pengambilan foto sehingga memberi hasil yang negatif. Nilai ramal negatif menunjukkan besarnya peluang subjek tidak menderita TB paru bila hasil BTA negatif dalam penelitian ini diperoleh bahwa nilai ramal negaif metode apusan langsung lebih rendah 0,98% dibandingkan radiologi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk menentukan subjek dan tidak sakit dari total subjek yang negatif lebih baik pada metode radiologi dibandingkan metode apusan langsung Rasio kemungkinan positif lebih besar pada apusan langsung yakni 8,31 dibandingkan radiologi sehingga metode apusan langsung lebih kuat menunjukkan hubungan antara hasil test positif dengan keadaan seseorang yang benar-benar sakit dibandingkan metode radiologi. Ratio kemungkinan negatif di dapat pada metode apusan lansung sebesar 0,44 dan radiologi adalah 0,42 artinya kemampuan seseorang untuk tidak sakit jika hasil ujinya negative adalah tinggi tinggi LR- ≤ 1. Tabel 8. Hasil Uji diagnostik Metode Apusan Langsung dan Radiologi terhadap Kultur Pemeriksaan Sensitifitas Spesifisitas Nilai ramal positif Nilai ramal negatif Rasio kemungkinan positif Rasio kemungkinan negatif
Metode Apusan Langsung (%) 59,38 % 92,86 % 90,48 % 66,67 %
Metode Radiologi (%) 62,63 % 82,14 % 80,77 % 67,65 %
8,31
3,67
0,44
0,42
DISKUSI Karakteristik responden Subjek penelitian YAITU ini diperoleh mayoritas responden berumur 15-55 tahun 43 orang dan kelompok umur >55 tahun 17 orang, dengan insiden terbesar pada kelompok umur 41-59 tahun 25%. Penelitian Hiswani16didapatkan penyakit TB paru paling sering pada usia muda (usia produktif) 15-59 tahun, dengan terjadinya transisi demografi.Pada usia lanjut yaitu lebih dari 55 tahun penyebabnya adalah sistem immonologis yang menurun sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termaksud penyakit TB. Data Riskesdas (2007)17 diketahui prevalensi TB paru cendrung meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65 tahun Responden lebih banyak laki – laki 43 orang (71,7%) dan perempuan 17 orang (28,3%). Haryono dalam Helper Sahat Manalu18mendapatkan penderita TB paru lebih banyak laki-laki 54,5% dibandingkan perempuan 45,5%, Long19 melaporkan prevalensi TB Paru dua pertiga pada laki-laki dan sepertiganya perempuan, Yueng dkk (2002)20 mendapatkan prevalensi pada laki-laki 65,7% dan perempuan 30,3% di Hongkong. WHO juga menyatakan angka kejadian TB lebih besar pada laki-laki disebabkan karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan aktivitas sosial.1
242
Berdasarkan suku bangsa diperoleh Batak sebanyak 32 orang (53,3%) karena mayoritas responden yang datang ke BP4 dan Praktek Dokter Paru Swasta bersuku Batak. Hal ini didukung oleh data statistik dari Badan Pusat Statistik Kota Medan bahwa suku Batak presentasi penduduknya di Kota Medan menempati urutan kedua yaitu sebesar 21%. Status pekerjaan terbanyak pada wiraswasta termaksud didalamnya pedagang, sebanyak 24 orang (40%) dengan penghasilan terbesar 1-3 juta (68,9%),Hiswani21 menyatakan faktor sosial ekonomi dengan keadaan rumah dan kepadatan serta lingkungan tempat kerja yang buruk dapat menyebabkan penularan TBC pendapatan keluarga juga sangat erat juga dengan penularan TB karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak layak untuk memenuhi syarat-syarat kesehatan. Pradono22 dalam penelitiannya menyatakan bahwa keluarga yang mempunyai pendapatan yang lebih tinggi akan lebih mampu menjaga kebersihan lingkungan, penyediaan air minum membeli makanan yang memadai serta mampu membiayai pemeliharaan kesehatan yang mereka perlukan. Ketepatan pemeriksaan BTA metode apusan langsung dan radiologi terhadap kultur Luas lesi pemeriksaan radiologi menunjukkan jumlah sampel yang sputumnya positif mengandung kuman M. tuberculosis dan mengalami lesi paru yang minimal 6,7% (4 orang), jumlah sampel yang positif mengandung kuman M. tuberculosis dan mengalami lesi sedang 15,0% (9 orang) dan jumlah sampel yang positif mengandung kuman M.tuberculosis dan mengalami lesi luas 8,3% (5 orang) dari total sampel yang positif. Sampel yang sputumnya negatif mengandung kuman M.tuberculosis mengalami lesi minimal 1,7% (1 orang) dan jumlah sampel yang sputumnya negatif mengandung kuman M.tuberculosis mengalami lesi sedang 6,7% (4 orang) dan lesi luas 5,0% (3 orang). Hasil tersebut menunjukkan jumlah sampel diperoleh yang paling banyak adalah pada lesi sedang. Pada radiologi positif sebanyak 15,0% (9 orang), sedangkan pada lesi sedang dengan pemeriksaan radiologi negatif 6,6% (4 orang). Sejalan dengan penelitian Nurjihad23 di RS Persahabatan Jakarta yang menunjukkan jumlah sampel yang sputumnya positif mengandung kuman BTA dan mengalami lesi paru yang minimal adalah 23,1% (21 orang), jumlah sampel yang positif mengandung kuman BTA dan mengalami lesi sedang adalah 39,5% (36 orang) dan jumlah sampel yang positif mengandung kuman BTA dan mengalami lesi luas adalah 37,4% (34 orang), dalam hal ini penelitian ini juga mendapat hasil yang lebih banyak pada gambaran paru lesi sedang . Berbeda dengan penelitian Soesanti24 menunjukkan jumlah sampel BTA dan mengalami lesi luas 7 orang (14%) lesi sedang sebanyak 13 orang (26%) dan lesi minimal sebanyak 20 orang (40%). Mulyadi25di RSUDZA Banda Aceh yang mendapatkan hasil radiologi dari BTA positif dari jumlah sampel 34 orang dengan gambaran lesi luas sebanyak 16 orang (47,1%), lesi sedang 12 orang (35,3%) dan lesi minimal 6 orang (17,6%), Penelitian
Laurensius26 di UP4 Propinsi Kalimantan Barat mendapatkan luas lesi dari BTA positif dari 34 sampel didapat lesi minimal 3 orang (8,8%), lesi Sedang 12 orang (35,9%) dan lesi luas 19 orang (55,9%). Penelitian Hilaluddin27 ditemukan lesi yang paling banyak adalah lesi luas 30 orang (44,1%), lesi minimal 20 orang (29,4%), lesi minimal 18 orang (26,4%). Hubungan antara tingkat kepositifan BTA dan radiologi toraks terhadap kultur didapat hasil analisis data dari 26 orang penderita TB paru yang positif diperoleh lesi minimal 4 orang (6,7%), lesi sedang 9 orang (15,0%) dan lesi luas 5 orang (8,3%) sedangkan pada pemeriksaan apusan langsung negatif didapati lesi minimal 1 orang (1,7%), lesi sedang 4 orang (6,7%) dan lesi luas 3 orang (5,0%). Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Khair28, membuktikan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hasil pemeriksaan sputum BTA dengan gambaran foto toraks pada penderita tuberkulosis paru.Penelitian Mulyadi dkk25 di RSUZA Banda Aceh juga mendukung bahwa dari 15 orang BTA positif terdapat lesi luas 57,1% dan pada BTA negatif juga di jumpai kelainan radiologi lesi luas 20%. Dalam penelitian ini memperlihatkan TB paru dengan hasil sputum BTA negatif juga didapatkan lesi sedang dan lesi luas secara radiologi. Secara teori apabila dijumpai lesi luas secara radiologi seharusnya sputum BTA positif dan berpotensi menular25. Shabir dalam Laurensius26 melaporkan bahwa BTA positif menggambarkan jumlah bakteri yang lebih banyak pada lesi paru dibandingkan dengan jumlah bakteri pada BTA negatif.Terdapat korelasi yang kuat dan searah antara tingkat kepositipan BTA dan luas lesi radiologi yang disimpulkan semakin luas lesi pada gambaran radiologi maka semakin tinggi tingkat kepositipan BTA. Pemeriksaan radiologi sendiri merupakan salah satu pemeriksaan yang di perlukan dalam menegakkan diagnosis TB paru pada pasien dengan BTA negatif selain itu juga untuk menilai kerusakan struktur paru yang diakibatkan oleh kuman TB. Namun sama seperti pemeriksaan BTA pemeriksaan radiologi juga mempunyai kekurangan.Ismail29menyatakann manisfestasi radiologi pada pasien TB paru bersifat atipikal. Kelainan radiologi pada TB paru mempunyai kemiripan dengan penyakit paru lainnya seperti kelainan paru yang disebabkan oleh jamur karena lesi yang paling sering ditemukan di lapangan atas paru disertai pembetukan lubang (kavitas) selain itu lesi TB paru juga menyerupai infiltrant dan berbentuk bercakbercak menyerupai sarang tuberkulosis,9 sehingga pada penelitian ini sebaiknya pemeriksaan radiologi juga harus ditunjang dengan pemeriksan BTA dalam mendiagnosis TB paru. Dari penelitian-peneliatin di atas lesi minimal pada kepositipan BTA lebih sedikit dibandingkan dengan lesi sedang dan lesi luas ini disebabkan karena pada awal gejala penyakit pasien mengeluh batuk, cendrung terlambat meminta pertolongan sarana kesehatan dibanding keluhan selain batuk, sedangkan keluhan batuk sering dianggap keluhan biasa yang dapat sembuh sendiri atau karena pengaruh rokok atau debu pada penelitian Sabrina30di RS Dr M Djamil Padang mendapat hasil tahun 1998-2002
mencapai 52,94% dari seluruh pasien yang dirawat, BTA sputum positif didapat pada 30,54% pasien dan lesi luas secara radiologi 89,13 % dari data diatas dapat dilihat kasus TB yang dirawat cukup tinggi dengan lesi luas penyebab dari terjadinya keadaan tersebut dapat dikarenakan keterlambatan pasien dalam berobat atau keterlambatan dalam mendiagnosis. KESIMPULAN 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Tuberculosis Report. Geneva: WHO;2012.p 17. Menteri Kesehatan RI. Rencana Aksi Nasional: Informasi Strategi Nasional Pengendalian TB Indonesia 2011-2014. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta; 2011. Departemen Kesehatan RI.Keputusan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNo. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB)Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2009. Raunak P, Gita N, Swapna K, Vijay K, Preeti. Time to Sputum Conversion in Smear Positive Pulmonary TB Patients on Category I DOTS and Factors Delaying it. 2012: Vol. 60: 22-26. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of the fastplaquetb Assay for Direct Infection of Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635-40. Grange JM. Micobacterium in : Greenwood David, Slack RC, Peutheres JF, Medical. Microbiology, 16 ed, Chruchill Livingstone2002. Zulfikri A. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi V, Jilid III, Jakarta: Internapublishing 2009. Yunus, F dkk. Pulmonologi Klinik, Jakarta, Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2002. Rasad. Tuberkulosis Paru In : Rasad Kartoleksono S, Ekayuda eds. Radiologi Diagnosis FK-UI Jakarta 2000.p. 126 – 139. Salman KF. Lembar Fakta Tembagaku dan Tuberkulosis, Merokok Meningkatkan Resiko Timbulnya Penyakit Tuberkulosis (TBC), Jakarta: Puspaswara 2005. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: 2011. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Cetakan PertamaJakarta: 2007. Departemen Kesehatan RI.Keputusan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNo. 364/MENKES/SK/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB)Menteri Kesehatan Republik Indonesia.Jakarta : 2009. Yoga, TA. Masalah Tuberkulosis Paru dan Penanggulangannya, Jakarta: Universitas Indonesia; 2005.
243
15. Lemeshow S, et al. Besar Sampel dalam Penelitian, Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 1997. 16. Hiswani, Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. 2011. 17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2007. 18. Helper Sahat Manalu dkk. Penelitian Mengenai Faktor Sosial Budaya yang Mempengaruhi Ketaatan Berobat Penderita TB Paru. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan Badan Litbagkes Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2004. 19. Long NH, Joansson E, Lonnroth K, Erikson B, Winkvist A, Diwan VK Longger delays In Tuberculosis among women in Vietnam 1999; 3:388-39 20. Yueng MC, Noerdjojo K, Tan J, Tam M, Tuberculosis in the eldery in Hongkong 2002; 6:771-9. 21. Hiswani, Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. 2011. 22. Pradono, Kesehatan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Arkeologi Kesehatan. Vol 6 No 2 Agustus 2007. 23. Nurjihad A, Soepandi PZ, Nawas A, Jusuf A, Bachtiar A. Perbandingan Akurasi Pemeriksaan Mikroskopis Apusan BTA Sputum 3 Kali Pagi (PPP) dan Sewaktu (SPS) pada Penderita
244
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan. Jurnal Respir Indo 2003: 23(3):161-70. Soesanti Inne. Hubungan Antara Hasil Pemeriksaan Mycobakterium Tuberkulosis dengan Hasil Pemeriksaan Foto Rongen pada Penderita TB Paru di RS Paru Pamekasan Madura. 2006.p. 1-7. Mulyadi dkk. Hubungan Tingkat Kepositipan Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) dengan Gambaran Luas Lasi Radiologi Toraks Pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Dirawat di SMF Pulmonologi RSUDZA Aceh. 2011. p.133-135. Laurensius Ivan Pentakosta. Hubungan Hasil Pemeriksaan Sputum Basil Tahan Asam (BTA) dengan Gambaran Luas Lasi Radiologi pada Pasien Tuberkulosis Paru di UP4 Provinsi Kalimantan Barat 2011-2012. Hilaluddin S. Hubungan Pemeriksaan Dahak Dengan Kelainan Radiologis Pada Penderita TBC Paru Dewasa FK USU 2005. Khair F. Hubungan Antara Hasil Pemeriksaan Sputum BTA (Basil Tahan Asam) dengan Gambaran Foto Thorax pada Penderita Tuberkulosis Paru di RS PKU (Pembina Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah Surakarta. Fakutas Kedokteran Muhammadiyah Surakarta. 2010. Ismail Y. Pulmonary Tuberculosis-A Review of Clinical Features and Diagnosis in 232 Cases. Medical Journal of Malaysia2004; 59(1): 56 – 64. Sabrina E. dkk. Keterlambatan Diagnosis Tuberkulosis Paru di RS Dr Djamil Padang. 2007.
EROSI GIGI PADA ANAK USIA REMAJA DI SMP RAKSANA MEDAN
Ameta Primasari, Uta Juliani Departemen Biologi Oral, FKG USU
Abstrak Erosi gigi adalah suatu keadaan terkikisnya jaringan keras gigi yang disebabkan oleh proses kimiawi zat asam yang bersifat irreversible. Faktor etiologi erosi gigi dapat berupa faktor intrinsik dan ekstrinsik. Erosi gigi juga dipengaruhi oleh faktor resiko seperti faktor biologis, faktor kimia dan faktor sikap. Struktur gigi permanen muda pada anak usia 13-14 tahun rentan terhadap erosi gigi sehingga mengakibatkan tingginya prevalensi erosi gigi pada remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi erosi gigi pada anak usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deksriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel pada penelitian adalah seluruh siswa SMP Raksana Medan berusia 13-14 tahun dan duduk di kelas VIII dan IX. Pemeriksaan erosi gigi menggunakan indeks erosi dari O’Sulivan. Hasil Penelitian menemukan 4 (2%) siswa terkena erosi gigi, dimana tiga orang diantaranya berumur 13 tahun dan sisanya berumur 14 tahun. Erosi gigi yang terjadi pada siswa hanya sebatas enamel saja dimana kurang dari setengah permukaan gigi insisivus rahang bawah. Dapat disimpulkan bahwa erosi gigi yang terjadi pada siswa yang berumur 13-14 tahun di SMP Raksana Medan Tahun 2010-2011 hanya 2% saja, hal ini dapat disebabkan frekuensi konsumsi minuman ringan yang rendah dan terjadinya proses remineralisasi yang baik pada para remaja tersebut. Kata Kunci : Erosi gigi, demineralisasi, reminelasisai, remaja, minuman ringan, indeks erosi Pendahuluan Erosi gigi merupakan suatu proses kronis kehilangan jaringan keras gigi dan bersifat irreversible. Erosi diakibatkan proses kimiawi zat asam yang tidak melibatkan bakteri. Pelarutan bahan-bahan mineral gigi muncul ketika gigi berkontak dengan senyawa yang bersifat asam baik endogen maupun eksogen. Penyebab eksogen terdiri dari makanan dan minuman, obatobatan yang bersifat asam, klorin dari kolam renang dan bahan pekerjaan yaitu agen yang bersifat korosif. Penyebab endogen erosi gigi terdiri dari bulimia, refluks makanan dari saluran cerna bagian atas karena gastritis, dan penyakit gastro esophageal refluks.1 Survey Nasional Kesehatan Gigi Anak di Inggris (1993) pertama sekali menemukan adanya erosi gigi pada anak-anak. Dari 17.061 orang anak yang diperiksa lebih dari setengah anak yang berusia 5-6 tahun menderita erosi gigi sedangkan pada anak di atas sebelas tahun hampir 25% mengalami erosi gigi.2 Sedangkan di Brazil prevalensi erosi gigi pada anak 1314 tahun mencapai 34,1%. Penelitian terakhir pada tahun 2010 yang dilakukan di Cina Selatan menunjukkan prevalensi erosi gigi pada anak 12-13 tahun mencapai 27,3 %.3,4 Perkembangan terhadap lingkungan sosial dan kognitif anak sangat berkembang pesat pada usia 13-14 tahun. Pada masa ini anak mulai beradaptasi dan menyesuaikan dengan keadaan dan perubahan zaman sehingga anak biasanya mudah terpengaruh trend yang sedang berlaku. Dewasa ini banyak sekali pemasaran
berbagai jenis makanan dan minuman yang mempunyai sifat merusak gigi salah satunya makanan dan minuman yang bersifat asam yang dapat menyebabkan erosi gigi. Di Inggris lebih dari 82 % remaja yang berumur 13-18 tahun mengkonsumsi minuman ringan secara reguler.5 Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa erosi gigi merupakan penyakit gigi dan mulut terbesar ketiga.2 Erosi gigi saat ini belum menjadi prioritas dari program kesehatan nasional di Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak adanya data mengenai jumlah penderita erosi gigi padahal data tersebut sangat diperlukan untuk memahami besarnya masalah yang akan dihadapi. Survei epidemiologi mengenai erosi gigi telah banyak dilakukan di negara maju maupun berkembang dan hasilnya menunjukkan perbedaan prevalensi erosi gigi pada setiap negara dikarenakan letak geografis, dan kelompok umur berbeda. Pada anak usia 13-14 tahun gigi insisivus dan molar pertama permanen cenderung lebih lama terekspos oleh zat asam. Prevalensi erosi pada anak khususnya pada gigi desidui umumnya lebih tinggi, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan tebal enamel dan dentin yang lebih tipis dibandingkan dengan gigi permanen, lemahnya ketahanan reduksi enamel terhadap proses kimia dan mekanis. Oleh karena itu proses terjadinya erosi pada gigi desidui atau permanen muda akan lebih cepat bila dibandingkan dengan gigi permanen.6 Kondisi demineralisasi terjadi apabila pH larutan yang mengelilingi permukaan gigi lebih rendah 245
dari 5,5 dan konsentrasi asam yang tidak dapat berdissosiasi lebih tinggi di permukaan enamel daripada di dalam enamel, pH minuman yang rendah akan meningkatkankonsentrasi ion hidrogen dan dapat merusak hidroksiapatit pada gigi. Demineralisasi enamel terjadi melalui proses difusi yakni terjadinya perpindahan molekul/ion yang larut dalam air atau dari dalam enamel ke saliva karena adanya perbedaan konsentrasi dari asam di permukaan dengan di dalam enamel gigi. Enamel merupakan lapisan terluar dari gigi yang terbentuk dari kristal-kristal yang tersusun dalam ikatan kompleks kalsium hidroksiapatit. Kalsium ini sangat menentukan kekerasan permukaan enamel gigi didukung juga oleh pH saliva. Pada pH rendah dapat menyebabkan sistem buffer terganggu sehingga dapat menyebabkan kelarutan mineral enamel gigi.7,8 Proses erosi gigi dimulai dari adanya pelepasan kalsium enamel, bila hal ini terus berlanjut maka akan mengakibatkan kehilangan sebagian dari elemen enamel, dan bila telah mencapai dentin maka akan terasa ngilu. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar enamel terdiri dari hidroksiapatit atau flourapatit. Kedua unsur tersebut dalam suasana asam akan larut menjadi Ca, PO4-3, dan F-1, OH-. Ion H+ akan bereaksi dengan gugus PO4-3,F-1 atau OH- membentuk HSO-4,H2SO-4, HF dan H2O sedangkan yang kompleks terbentuk CaHSO4, CaPO4 ,dan CaHPO4. Kecepatan melarutnya enamel dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH), konsentrasi asam waktu melarutkan ion kalsium dan fosfat. Dimana pada akhirnya akan terjadi remineralisasi oleh saliva, tetapi hal ini juga harus ditambah dengan tindakan flourisasi seperti topikal aplikasi flour, menggunakan pasta gigi yang mengandung flour dan kumur-kumur flour.9,10 Penelitian Rika Mayasari (2010) di SMP Raksana juga menunjukkan banyaknya anak yang
mengkonsumsi minuman ringan dengan frekuensi 2 kali sehari sebanyak 37,5 % sehingga memungkinkan terpapar asam penyebab erosi gigi semakin tinggi.7 Penelitian ini ingin mengetahui prevalensi pada gigi anak-anak remaja di Medan khususnya di SMP Raksana Medan. Bahan dan Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada gigi geligi siswa berusia 13-14 tahun di SMP Raksanan Medan. Dimana dengan banyaknya faktor etiologi dan faktor resiko erosi gigi pada anak dan remaja seperti yang diuraikan diatas maka akan dilihat berapa tingginya angka prevalensi erosi gigi yang terjadi pada anak usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan. Jenis Penelitian adalah penelitian deksriptif dengan pendekatan cross sectional dimana pengukuran hanya dilakukan satu kali pada siswa SMP Raksana Medan usia 13-14 tahun. Kriteria ekslusi pada pada penelitian ini yakni para siswa yang memiliki kelainan pada rongga mulutdan mempunyai kebiasaan buruk seperti bruksism Indeks Erosi Gigi Pemeriksaan klinis erosi gigi ini dilakukan pada tempat yang terang dengan cahaya matahari yang cukup. Pemeriksaan ini dilakukan dengan kaca mulut yang sebelumnya gigi akan dibersihkan dari debris dengan menggunakan kapas terlebih dahulu. Dalam penelitian ini digunakan indeks O’sullivan yang nantinya dapat mengetahui distribusi, keparahan dan jumlah gigi yang terkena erosi.
Tabel.1 Indeks Keparahan Erosi Gigi Menurut O’sullivan Indeks Erosi Keterangan Kode 0 Normal enamel Kode 1 Etching Kode 2 Hanya kehilangan enamel. Kode 3 Kehilangan enamel ( enamel-junction terlihat) Kode 4 Kehilangan enamel dan telah mencapai enamel dentin junction Kode 5 Kehilangan enamel dan dentin serta telah mencapai pulpa Kode 9 Tidak dapat diidentifikasi ( seperti pada mahkota dan restorasi gigi yang luas) Tabel 2. Tempat Terjadinya Erosi Gigi Indeks Erosi Keterangan Kode A Hanya pada bagian labial atau bukkal saja. Kode B Hanya pada bagian lingual atau palatal saja. Kode C Hanya pada bagian oklusal atau insisal saja. Kode D Pada bagian labial dan insisal/oklusal. Kode E Pada bagian lingual dan insisal/oklusal. Kode F Semua bagian pada gigi. Hasil Peneiltian Data dari SMP Raksana Medan diketahui sampel penelitian pada siswa kelas IX lebih banyak daripada siswa kelas VIII dengan jumlah sebesar 110 siswa (54,5%). Jumlah sampel perempuan lebih sedikit bila dibandingkan dengan sampel laki-laki dengan persentase 96 siswa (45,5%). Siswa yang berumur 14 tahun sebesar siswa (56,4%) dan lebih banyak daripada siswa berumur 13 tahun.
246
Tabel 3. Indeks Keparahan Erosi Dan Keluasan Erosi Gigi Pada Anak Usia 13-14 Di Smp Raksana Medan Tahun 20102011 No Keterangan Jumlah Persentase (%) 1. Indeks Keparahan Erosi 198 siswa 98 Kode 0 : Normal enamel. 0 siswa 0 Kode 1 : Etching. 4 siswa 2 Kode 2: Hanya kehilangan enamel. Kehilangan enamel (enamel-junction terlihat). 0 siswa Kode 3 : Kehilangan enamel dan telah mencapai enamel 0 dentin junction 0 siswa Kode 4 :Kehilangan enamel dan dentin serta telah mencapai pulpa 0 Kode 9 :Tidak dapat diidentifikasi (seperti pada mahkota 0 siswa dan restorasi gigi yang luas). 0 2. Keluasan Erosi Yang Terkena 4 siswa 2 Kode (-) : Kurang dari setengah permukaan yang terkena erosi. 0 siswa 0 Kode (+) :Lebih dari setengah permukaan gigi yang terkena erosi. Pada 202 siswa sampel penelitian didapatkan bahwa siswa yang terkena erosi gigi sebesar empat siswa dan persentase 2%. Dua diantaranya berumur 13 tahun (1%) dan sisanya berumur 14 tahun (1%). Hasil penelitian menunjukkan luas daerah gigi yang terkena erosi gigi tidak mencapai setengah dari permukaan gigi dengan persentase sebanyak empat orang (2%) saja. Pemeriksaan erosi gigi pada siswa usia 13-14 tahun SMP Raksana Medan ditemukan keparahan erosi gigi hanya mencapai enamel saja sebanyak empat orang (2%). Tabel 4. Daerah Yang Terkena Erosi Pada Anak Usia 1314 Tahun Di Smp Raksana Medan Tahun 20102011. Keterangan
Kode A : Hanya pada bagian labial atau bukkal saja. Kode B Hanya pada bagian lingual atau palatal saja. Kode C : Hanya pada bagian oklusal atau incisal saja. Kode D : Pada bagian labial dan insisal/oklusal. Kode E :Pada bagian lingual dan incisal/oklusal. Kode F : Semua bagian pada gigi.
Jumlah 0 siswa
Persentase (%) 0
0 siswa
0
2 siswa
1
2 siswa
1
0 siswa
0
0 siswa
0
Gigi yang paling banyak terkena erosi gigi adalah gigi insisivus rahang bawah. Berdasarkan tabel 4 didapatkan bagian gigi yang terkena erosi gigi pada bagian insisal sebanyak dua orang (1%) serta pada bagian inisisal dan labial sebesar dua orang (1%).
Tabel 5. Jenis Kelamin Dan Tempat Terjadinya Erosi Gigi Pada Anak Usia 13-14 Di Siswa Smp Raksana Medan Tahun 2010-2011 No Jenis Keparahan Jumlah Persentase Kelamin Erosi Gigi 1. Laki-Laki Hanya terkena1 siswa 1,06 bagian labial dan insisal Normal 105 siswa 98,94 2. Perempuan Terkena bagian1 siswa insisal dan labial
1,04
Terkena bagian2 siswa insisal saja
2,08
Normal
96 siswa 96,88
Jumlah erosi gigi lebih banyak terkena pada siswa perempuan yakni sebanyak tiga siswa (1,5%) dan satu siswa (0,5%) pada siswa laki-laki. Pada tabel 5 menunjukkan bagian gigi yang terkena erosi pada siswa laki-laki adalah pada insisal dan labial gigi sebanyak satu siswa (1,06%). Sedangkan pada siswa perempuan dua siswa terkena pada bagian insisal gigi sebesar dua orang (2,08%) serta satu siswa terkena pada bagian insisal dan labial gigi dengan persentase 1,04%. Pada penelitian siswa usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan didapatkan bahwa jenis minuman ringan yang paling sering dikonsumsi oleh siswa SMP Raksana Medan adalah coca-cola sebesar 70 siswa (34,7%) dan minuman yang paling sedikit dikonsumsi siswa adalah fruit tea sebanyak 4 siswa (2,0%). Para siswa tidak setiap hari meminuman ringan tersebut sebanyak 188 siswa (93,1%). Pembahasan Hasil penelitian pada siswa usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan didapatkan penderita erosi gigi hanya sebanyak empat siswa (2%) saja. Penelitian yang 247
dilakukan menggunakan metodologi penelitian dan indeks erosi yang sama dengan penelitian Peres dkk di Brazil Selatan dan Ping Wang dkk, di selatan Cina. Prevalensi erosi gigi pada anak usia 12-13 tahun sebesar 13% dari 499 orang. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ping Wang, dkk di Cina Selatan mendapatkan prevalensi erosi pada anak usia 12-13 tahun sebesar 27,3% dari 1.499 orang.11,12 Faktor kimia penyebab erosi gigi merupakan suatu faktor yang kompleks. Keadaan ini kadang juga dihubungkan dengan keberadaan pH, ion kalsium, fosfat, dan flour yang terdapat di dalam minuman ringan. Hal tersebut merupakan hal yang penting yang menyebabkan terjadinya erosi gigi. Derajat kejenuhan pada gigi juga penting karena hal ini akan berhubungan dengan proses hilangnya mineral dari gigi. Semakin besar sifat buffering pada makanan dan minuman maka semakin besar lama waktu yang diperlukan saliva untuk menetralkan asam, sehingga dapat meningkatkan proses demineralisasi. Kapasitas buffer pada setiap makanan dan minuman berbeda sehingga berbeda juga kecepatan kerusakannya13 Sifat adhesi yang terdapat di dalam makanan dan minuman juga berpengaruh. Ketika asam berkontak dengan enamel dan terjadi pelikel. Dipermukaan enamel terdapat hidrogen yang apabila terkena asam akan terurai sehingga dapat menguraikan prisma enamel. Hal ini akan menjadi kompleks apabila asam terpapar pada dentin karena di dentin banyak mengandung matriks organik sehingga dapat terjadi degradasi kimia. Bahan chelating pada asam sitrat dapat langsung melarutkan mineral gigi sampai menurunkan 32% dari kalsium pada saliva.9 Faktor biologis seperti saliva, pelikel, lidah dan jaringan lunak merupakan hal yang saling berkaitan dengan perkembangan erosi gigi. Saliva merupakan salah satu faktor penting untuk melindungi gigi terhadap pengaruh asam. Penelitian menunjukkan bahwa erosi gigi seringkali ditemukan pada daerah gigi yang tidak memiliki cukup pelikel. Meningkatnya aliran saliva berperan penting pada akumulasi pelikel bersamaan dengan peningkatan aksi buffer dari saliva.9 Saliva berfungsi sebagai pertahanan gigi terhadap erosi gigi karena saliva dapat menetralisasi pH rongga mulut dengan sistem buffer menyediakan ion kalsium dan fosfat untuk membantu proses remineralisasi. Hasil penelitian pada penderita hiposalivasi seperti pada pasien yang mengonsumsi obat-obatan dan yang sedang dalam pengobatan radiasi pada kepala dan leher menunjukkan bahwa erosi gigi berhubungan dengan aliran saliva yang rendah. Kondisi mulut kering karena penuaan juga diindikasikan dapat mempengaruhi perkembangan erosi gigi walaupun sampai sekarang belum ada penelitian yang membuktikannya.9,14 Faktor biologis biasanya berkaitan erat dengan keseimbangan antara elemen-elemen gigi geligi dan cairan mulut (saliva). Saliva merupakan cairan rongga mulut yang berfungsi melindungi jaringan rongga mulut dengan cara pembersihan secara mekanis dan kimiawi. Kandungan dalam saliva di dalam saliva seperti ion kalsium dan fosfat juga dapat mempengaruhi proses demineralisasi di dalam rongga mulut.9,13
248
Gigi yang paling banyak terkena erosi adalah gigi insisivus rahang bawah. Kemungkinan faktor penyebabnya adalah konsumsi minuman ringan. Gigi insisivus rahang bawah lebih cepat erupsi bila dibandingkan dengan gigi lainnya dalam rongga mulut serta gigi insisvus merupakan gigi yang pertama kali terpapar asam pada minuman ringan ketika dikonsumsi. Bagian gigi yang paling banyak terkena erosi pada siswa usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan adalah bagian insisal hal ini mungkin dikarenakan bagian insisal gigi adalah bagian yang pertama erupsi bila dibandingkan dengan bagian gigi yang lain sehingga lebih lama terpapar oleh asam. Hasil penelitian Al Majed, dkk pada anak 12-14 tahun di Saudi Arabia menemukan bahwa 91 % erosi terjadi di bagian insisal atau oklusal gigi sedangkan erosi gigi yang terjadi pada bagian palatal lebih sering disebabkan oleh faktor intrinsik seperti vomitus.15 Keparahan erosi yang didapatkan pada siswa usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan hanya sebatas enamel saja sebesar 2%. Penelitian yang dilakukan Peres, dkk di Brasil ditemukan indeks keparahan erosi juga mencapai enamel saja dan penelitian yang dilakukan oleh Al Majed, dkk di Saudi Arabia juga menemukan keparahan erosi hanya mencapai enamel sebesar 44%. Pada dentin terdapat banyak kandungan bahan anorganik dan juga bahan organik yang dapat bertindak sebagai penghalang berdifusinya asam pada permukaan gigi. Terjadinya erosi gigi yang progresif terlihat pada prisma dan interprismatik enamel.11,15-17 Sedangkan keluasan erosi yang terjadi hanya kurang dari setengah permukaan gigi yakni sebesar empat siswa (2%) hal ini sejalan dengan penelitian Peres,dkk di Selatan Brazil hal ini diakibatkan karena gigi anak terekspos asam penyebab erosi dalam level yang rendah dan waktu yang singkat.11 Penyebab erosi gigi karena konsumsi minuman ringan sebenarnya tidak hanya disebabkan rendahnya pH yang terkandung didalamnya tetapi juga disebabkan oleh kandungan mineral seperti kalsium, fosfat, dan flour. Sekarang ini minuman ringan yang beredar di pasaran telah banyak mengandung mineral tersebut. Hasil penelitian Lussi, dkk menunjukkan bahwa minuman yang dapat menyebabkan erosi gigi adalah yang mengandung 0,5 mmol/I kalsium ditambah 0,5 mmol/I fosfat dan 0,031 mmol/I flouride dalam satu kemasan minuman asam.16Pada minuman ringan yang paling banyak dikonsumsi oleh siswa SMP Raksana Medan yakni cocacola terkandung 0,8 mmol/I dan 0,13 flouride. Dengan adanya kandungan kalsium, fosfat dan flour yang terdapat pada minuman coca-cola resiko terjadinya erosi gigi pada siswa usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan dapat berkurang. Hasil penelitian ditemukan bahwa jumlah siswa yang terkena erosi lebih banyak terjadi pada siswa perempuan bila dibandingkan dengan siswa laki-laki dimana jumlah siswa perempuan yang terkena erosi sebanyak tiga siswa (1,5%). Pada penelitian Kunzai, dkk pada anak usia 12 tahun di Kuba ditemukan jumlah anak perempuan yang terkena erosi gigi lebih banyak bila dibandingkan dengan anak laki-laki dengan persentase sebesar 29.9% dan pada anak lelaki sebesar 25,7% hal ini
diperkirakan karena anak perempuan lebih menyukai minuman ringan dan buah-buahan bila dibandingkan dengan anak laki-laki tapi sampai sekarang tidak dapat dijelaskan dengan pasti hubungan antara erosi gigi dengan jenis kelamin.18-20 Berbedanya hasil penelitian yang dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya dapat dikarenakan berbedanya letak geografis dan pola diet yang berbeda pada masyarakat tersebut. Sebagian besar masyarakat Eropa meminum minuman ringan ataupun anggur (Wine) sebagai pengganti air putih. Demikian juga survey di Guangdong Cina menemukan bahwa penduduk Guangdong mengkonsumsi dua juta liter minuman ringan pada bulan Januari sampai Oktober 2007. 17 Sedangkan pada masyarakat Indonesia, minuman ringan hanya sebagai minuman selingan saja. Pada sampel yang diberi minuman asam sitrat 1% hasilnya menunjukkan bahwa pH akan kembali menjadi normal dalam waktu dua menit dan terdapat pada permukaan palatal dari gigi insisivus sentralis maksila dan 45 menit pada permukaan palatal molar satu maksila. Perbedaan ini mungkin terjadi karena anatomi gigi dan jaringan lunak yang dapat mempengaruhi pola retensi erosi.18,19 Hasil survei pada siswa usia 13-14 tahun di SMP Raksana Medan menemukan hampir semua sampel penelitian sering mengkonsumsi minuman ringan tapi frekuensi konsumsi minuman ringan tersebut tidak setiap hari sehingga resiko terpapar erosi menjadi menurun. Remineralisasi terjadi dengan kembalinya struktur email secara alamiah yakni kalsium dan fosfat dari saliva pada kondisi jenuh. Fluoride juga memiliki pengaruh besar dalam peranannya menghambat proses demineralisasi dan meningkatkan proses remineralisai melalui pembentukan flourapatit dan kalsium flourida.18-20 Erosi gigi juga dipengaruhi oleh cara konsumsi minuman ringan dimana resiko berkontaknya asam dengan permukaan gigi akan berkurang jika mengkonsumsi dengan menggunakan sedotan karena asam akan dialirkan langsung ke pangkal tenggorokan. Dan tindakan berkumur atau mengkonsumsi air putih setelah konsumsi asam juga akan mengurangi resiko terkena erosi gigi karena asam akan dinetralisir langsung oleh air tersebut. Kesimpulan Erosi gigi pada remaja dapat terjadi jika mempunyai kebiasaan makan atau meminum yang mengandung asam sehingga terjadinya proses demineralisasi. Proses Demineralisasi dan remineralisasi saling berganti bergantung pada tingkat keasaman saliva di rongga mulut. Menerapkan gaya hidup yang sehat seperti mengurangi konsumsi minuman yang mempunyai pH rendah (asam), mengkonsumsi air putih yang banyak dapat mengurangi resiko terjadi erosi gigi.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14. 15.
16.
17.
18.
19. DAFTAR PUSTAKA 20. 1.
Kevin HK, Smales RJ, Kaldonis JA. The diagnosis and control of extrinsic acid erosion of tooth
substance. General Dentistry ; Juli – Agustus 2003 ; 350-3 Nunn Hj, dkk. Dental erosion- changing prevalence? A review of british national children’s surveys. J. Pediatric dentistry. 2003. 98-105. Prasetyo EA. Keasaman minuman ringan menurunkan kekerasan permukaan gigi. Den J. 2005 ; 60-3 Pintauli S. Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat pencegahan dan pemeliharaan. Medan : USU Press, 2008 ; 21-4 Al daigan YH, Shaw L, Smith A. Tooth surface loss : dental erosion in a group british 14-year-old school children part II : influence of dietary intake. British Dental J 2001; 190 ; 258-61 Gandara BK, Trulove EL. Diagnosis and management of dental erosion. J. Contemporary Dent Practice. 1999; 1-17 Mayasari Rika. Perubahan Aliran saliva pada konsumsi minuman ringan pada siswa SMP Raksana Medan. Medan. Tesis (unpublished). 2010. Bamise CT, Kolawol KA, Oloyede. The determinants and control of soft drink-incited dental erosion. Rev Clin Pesq Odontol 2009; 5; 141-54 Carolina Anna, Marques. Insight into preventive measures for dental erosion. Oral science journal. 2009; 17 (2) : 75-86. Lussi A, JaeggiT, Zero D. The role of diet in the aetiology of dental erosion. Caries Res 2003 : 38; 3448 Peres KG, dkk. Dental erosion in 12 year old schoolchildren : a cross sectional study in southern brazil. Journal of Pediatric dentistry. 2005: 249-55 Ping W, Huan C.H, Jian H.C, Huan Y.L. The prevalence of dental erosion and associated risk factors in 12-13 year old school children in southern china. BMC Public Health 2010:1-9 Lussi A, Dental erosion from diagnosis to therapy. Department of preventif, restorative and pediatric dentistry school of medicine. University of bern. 2006 Wang X, Lussi A. Assesment and management of dental erosion. Dental the clinics. 2010 : 565-78 Al Majed S, Ebrahimi M, Mahmodi E. Dental erosion and its risk factors in 12-year-old school children in mashad. Shiraz Univ Dent J 2006 ; 9 :13-7 Lussi A, Schaffner M, Bern TJ, Switzerland. Dental erosion-diagnosis and prevention in children and adults. Int Dent J 2007 ; 57; 385-89. Chu CH, Pang K, dkk. Dietary behavior and knowledge of dental erosion among Chinese adult. BMC oral health. 2010: 1-7 Ameichi BT, Higham SM. Dental erosion: possible approaches to prevention and control. Journal of dentistry. 2005:243-52. Frauhofer JA, dkk. Dissolution of dental enamel in soft drinks. J of operative dentistry. 2004:308-12. Wongkhantee S, dkk. Effect of acidic food and drinks on surface hardness of enamel, dentine, and tooth coloured filling materials.2005:1-7.
249
KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN PRE OPARATIF EFEKTIF MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN
Irwan Batubara Prodi Kebidanan Padang Sidimpuan Poltekkes Kemenkes Medan `
Abstrak Kecemasan pre operasi merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dianggap sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh dan kehidupannya sendiri. Pasien pre operasi mengalami kecemasan 77,6%, komunikasi terapeutik signifikan menurunkan tingkat kecemasan pasien pre operasi 65,5% (Sawitri, 2004). Di RSUD Kota Padangsidimpuan umumnya pasien operasi terencana mengalami kecemasan, ada yang menjekaskan karena terpaksa, penundaan jadwal operasi dan komunikasi terapeutik belum dilaksanakan terencana. Untuk mengetahui pengaruh Komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani opeasi di RSUD Padangsidimpuan. Quasi eksperimen. Rancangan dengan rangkaian one group pre test, post test design. Pre test (sebelum intervensi) dan post test (setelah intervensi). Populasi pasien pre operasi terencana yang dirawat di ruang rawat inap bedah Rumah Sakit Umum Daerah Padangsidimpuan, purposif sampling dari bulan September-Oktober 2014 berjumlah 30 responden. Analisis data menggunakan uji t berpasangan (paired t-test) memenuhi syarat uji parametrik. Pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pre operatif dari hasil uji t test untuk data berpasangan antara sebelum dan sesudah intervensi komunikasi terapeutik diperoleh nilai korelasi = 0,658 dengan nilai probabilitas 0,000 atau jauh dibawah 0,05 hal ini menyatakan bahwa kedua variabel mempunyai korelasi yang sangat erat dan benar benar berhubungan secara nyata. Salah satu syarat uji t berpasangan adalah kedua variabel saling berkorelasi tinggi. Komunikasi terapeutik pada pasien pre oparatif efektif menurunkan tingkat kecemasan pasien. Tim perawatan mempersiapkan psikologis pasien pre operatif dengan metode komunikasi terapetik yang terencana. Kata Kunci : Komunikasi terapeutik, kecemasan pre operatif
PENDAHULUAN Kecemasan adalah suatu ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan (Maramis, 1995). Diperkirakan jumlah orang yang mengalami kecemasan baik akut maupun kronik mencapai 5% dari jumlah penduduk Indonesia (Hawari, 2011). Kecemasan merupakan perasaan yang paling umum dialami pasien yang dirawat di Rumahsakit maupun keluarganya, khususnya pasien yang harus menjalani operasi dengan berbagai macam alasan diantaranya: cemas menghadapi ruangan operasi dan peralatannya, menghadapi cacat anggota tubuh, takut mati saat dianastesi, bila operasi gagal dan cemas masalah biaya operasi. Tindakan operasi merupakan ancaman potensial aktual terhadap integritas seseorang yang dapat mengakibatkan reaksi stres fisiologis maupun fsikologis (Long, 1990 ). Kecemasan pre operasi merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dianggap sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh dan kehidupannya sendiri (Brunner dan Suddarh, 1996). Perawat yang melakukan asuhan
250
keperawatan komprehensif memegang peranan penting untuk mengurangi kecemasan pasien dengan metode komunikasi terapeutik yang direncanakan dan berfokus pada kesembuhan pasien (Mahmud, 2009). Suatu penelitian di Civil Hospital Karachi Pakistan, yang dilakukan Masood Jawaid (2006), rata rata responden dalam keadaan cemas dengan nilai mean sebesar 57,65 dan standar deviasi sebesar 25,1, kecemasan karena takut dengan pembiusan atau anestesi. Penelitian Sawitri, 2004 tentang pengaruh pemberian informasi pra bedah terhadap kecemasan pasien pre operasi di Rumah Sakit umum Islam Kustati Surakarta menjelaskan bahwa pasien yang mengalami kecemasan sebanyak 77,6%, Setelah pemberian informasi pra bedah diperoleh hasil yaitu 65,5% tidak cemas dan sisanya 34,5% mengalami kecemasan. Hasil penelitian pengaruh pemberian informasi (komunikasi Terapeutik) terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di Rumah sakit Haji Adam Malik Medan, 84,6% responden mengalami kecemasan ringan dan 15,4% responden mengalami kecemasan sedang dan setelah dilaksanakan komunikasi Terapeutik,
92,3% responden mengalami cemas ringan dan 7,7% yang mengalami kecemasan sedang (Setiawan, 2005) RSUD Padangsidimpuan merupakan salah satu rumahsakit pemerintah yang letaknya strategis dan tempat rujukan di wilayah Tapanuli bagian selatan. Data medikal record RSUD Padang sidimpuan rata rata pasien operasi yang memakai anestes umum sebanyak 50 orang perbulan dan termasuk anak anak sampai orangtua. Informasi yang diperoleh dari Kepala ruangan rawat inap bedah bahwa komunikasi terapeutik belum terlaksana karena belum adanya pedoman atau panduan bagi perawat dalam melaksanakan komunikasi terapetik untuk mengurangi tingkat kecemasan pasien pra operasi. Peneliti termotivasi untuk mendiskripsikan pengaruh Komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi di ruang rawat inap bedah RSUD Kota Padangsidimpuan. METODE PENELITIAN Penelitian dengan rancangan quasi eksperimen dengan rancangan rangkaian one group pre test, post test design, untuk mendiskripsikan tingkat kecemasan pasien pre operasi sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan komunikasi terapeutik. Populasi pasien pre operasi terencana yang dirawat di ruang rawat inap bedah lebih satu hari, jenis kelamin lakilaki dan usia ≥ 20 - 60 tahun. Purposive sampling yaitu pasien pre operasi yang terencana pada bulan September sampai Oktober 2014 berjumlah 30 responden. Variabel independen tingkat kecemasan pasien pre operatif sebelum intervensi komunikasi terapeutik dan variabel dependen tingkat kecemasan pasien pre operatif setelah intervensi komunikasi terapeutik. Analisis Univariat untuk mendiskripsikan tingkat kecemasan pasien pre operatif sebelum dan sesudah dilaksmenanakan intervensi komunikasi terapeutik. Analisis Bivariat dengan program SPSS, uji statistik t berpasangan ( paired t-test ) data memenuhi syarat uji parametrik. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian tingkat kecemasan pasien pre operasi yang dirawat di ruang rawat inap RSUD Padangsidimpuan terhadap 30 responden: Perbedaan tingkat kecemasan sebelum intervensi, kecemasan sedang 93,33% dan berat 6,67% dan sesudah intervensi, kecemasan ringan 86,67% dan kecemasan sedang 13,33%. Uji t Berpasangan Tabel 1. Gambaran nilai rata rata (mean) pada uji t berpasangan Nilai rata rata (Mean) SD ________________________________________________________________ Sebelum intervensi * 20,27 2,392 Sesudah intervensi ** 10,77 2,144 *Minimum=16 Maksimum=25 **Minimum=7 Maksimum=17
Berdasarkan tabel 1, diperoleh nilai rata rata (mean) kecemasan sebelum intervensi 20,27 dan sesudah intervensi 10,77 artinya terjadi perbedaan dari sebelum dan sesudah intervensi, dapat disimpulkan bahwa intervensi komunikasi terapeutik memberikan pengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi. Tabel 2 Uji t test gambaran nilai korelasi Sebelum intervensi & Sesudah intervensi
N
Korelasi
P- value
30
0,658
0,000
Dari hasil uji t test untuk data berpasangan antara sebelum dan sesudah intervensi komunikasi terapeutik diperoleh nilai korelasi = 0,658 dengan nilai probabilitas 0,000 atau jauh dibawah 0,05 hal ini menyatakan bahwa kedua variabel mempunyai korelasi yang sangat erat dan benar benar berhubungan secara nyata. Salah satu syarat uji t berpasangan adalah kedua variabel saling berkorelasi tinggi. Tabel 4. 3 Uji t test gambaran nilai t hitung dengan t tabel Sebelum intervensiSesudah intervensi
t
df
P- value
27,543
29
0,000
Dari uji t test diatas diperoleh nilai t sebesar 27,543 dan nilai tabel diperoleh dari tingkat signifikansi α= 5% dengan derajat kebebasan (df n-1) = 29 sebesar 2,045, artinya nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel . Dari perbandingan nilai t hitung dengan t tabel dan perbandingan probabilitas dengan signifikansi diperoleh nilai –t hitung < - t tabel (-27,543 < -2,045) atau t hitung > t tabel (27,543 > 2,045) dan probabilitas < signifikansi (0,000 < 0,05) berarti ada pengaruh antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi yang dirawat di ruang rawat inap bedah RSUD Padangsidimpuan. PEMBAHASAN 1. Tingkat kecemasan responden sebelum dan sesudah intervensi komunikasi terapeutik Berdasarkan penelitian tingkat kecemasan sebelum intervensi 93,33% responden mengalami kecemasan sedang dan 6,67% responden mengalami kecemasan berat. Tingkat kecemasan sesudah intervensi 86,67% responden mengalami kecemasan ringan dan 13,33% responden pada tingkat kecemasan sedang. Sesuai dengan teori Psikodinamika bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis atau psikologis yang tidak disadari ( Freud, 1993 ) dan tindakan operasi merupakan ancaman potensial aktual terhadap integritas seseorang yang mengakibatkan reaksi stres psikologis yaitu kecemasan dalam menghadapi operasi berupa cemas menghadapi ruang operasi dan peralatannya, cemas menghadapi cacat anggota tubuh, cemas dan takut mati saat dibius, cemas bila operasi gagal (Long, 1990). Hal ini sesuai penelitian (Tanjung, 2004) bahwa pasien pre operasi yang dirawat di RS Imelda
251
Medan mengalami kecemasan yang meningkat dalam menghadapi operasi. Tingkat kecemasan pasien pre operasi dipengaruhi perbedaan situasi dan kondisi kehidupan di rumah dan diruang perawatan rumah sakit dengan berbagai keterbatasan sosial, diantaranya komunikasi, hubungan kekeluargan. Penjelasan yang santun dari perawat teknik komunikasi terapeutik tim perawatan: tahapan persiapan operasi, hubungan penyakit dengan tindakan operasi dalam upaya penyembuhan penyakitnya dan pendekatan spiritual megurangi tingkat kecemasan pasien. Sikap perawatan yang menunjukkan empati, pendengar aktif dengan penuh kesabaran sangat membantu dalam meningkatkan pemahaman penerimaan pasien. Secara umum pasien merasa pasrah terhadap rencana operasi yang dihadapinya, pasien dengan penyakit kronis merasa operasi adalah tindakan yang paling tepat, juga aspek spritual pasien pre operasi meningkat sehingga lebih tenang menjalani operasi dan menganggap operasi upaya terbaik dalam penyembuhan penyakitnya. 2. Pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan dan kegiatannya di pusatkan untuk kesembuhan pasien ( Purwanto, 1994 ). Perawat dapat mengurangi atau menurunkan kecemasan pasien dengan tindakan perawatan yang difokuskan pada komunikasi terapeutik dan pendidikan kesehatan terhadap pasien dan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dari 30 orang responden tentang tingkat kecemasan sebelum dan sesudah intervensi komunikasi terapeutik dengan analisis data menggunakan program aplikasi SPSS diperoleh nilai correlation kedua variabel = 0,658 dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05 menyatakan hubungannya sangat erat maka dapat dikatakan bahwa komunikasi terapeutik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Selama proses komunikasi berlangsung, umumnya pasien mengekspresikan kecemasan dan perasaannya tentang penyakit yang dialaminya dan operasi yang akan dijalaninya. Selain itu keluarga pasien berada disamping pasien memberikan dukungan dan motivasi, sesuai dengan ( Friedman, 1998 ) dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Selama komunikasi berlangsung pasien dan keluarga mengajukan pertanyaan berkaitan dengan penyakit dan prosedur operasi yang akan dilakukan. Pasien yang akan menjalani operasi di Rumah sakit, sebaiknya diberi informasi yang berhubungan debngan operasi itu sendiri: 1) Persiapan psikologis dan fisik, 2) Sikap pasien dalam kegiatan operasi, 3) perawatan pasien post operasi dan 4) harapan pasien dan tim perawatan sesudah operasi. Pada
252
pelaksanaan komuniksi traupeutik perawat harus memiliki kesabaran, menunjukkan sikap ingin membantu dan menjadi pendengar yang aktif. Adapun orang yang paling tepat untuk memberi informasi tersebut adalah perawat, karena perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan,memiliki fungsi sebagai pendidik. Komunikasi terapeutik metode efektif yang dapat digunakan oleh tim perawatan dalam menurunkan kecemasan pasien pre operasi, sehingga pasien dapat menerima dan meyakini bahwa operasi yang akan dijalaninya upaya terbaik menyembuhkan penyakitnya. DAPTAR PUSTAKA Angel, (2013). Peran dan fungsi perawat diakses melalui File:///C:/User/PERSONAL/Downloads/ Peran dan Fungsi Perawat , 30/04/2013 Azizah, M, L. (2011). Aplikasi praktek klinik keperawatan jiwa,Graha Ilmu, Yogyakarta. Bernard & Gary, (2000) dalamMulyana, D, Prof, M.A.,Phd. ( 2001). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Media Ilmu, Jakarta. Brunner, & Suddarth. (1996). Tex book Medical Surgical Nursing, Piladelpia,Lippincott- Raven Publishers. Djafar, N. (2012). Tehnik-tehnik komunikasi terapeutik diakses melalui File:///C:/Users/PERSONAL/Downloads/komunik asi-terapeut.htm,04/06/2013. Hawari, D. (2011) : Managemen stres, cemas dan depresi, FK UI, Jakarta. Long, (1990), Maramis,(1995), Roan, (1989), Stuard, & Sunden, (2006), Wibisono, (1990), Artikel Keperawatan Kesehatan, diakses melalui File:///C:/Users/PERSONAL/Dounloads/teorikecemasan.html, 02/05/2013. Masood Jawaid, (2006), Sawitri, (2004), Setiawan, (2005), Artikel keperawatan Kesehatan, diakses melalui http://pojok perawat.wordpress.com/2012/12/08. Machfoedz, M. (2009). Komunikasi Keperawatan Komunikasi Terapeutik, Ganbika, Yogyakarta. Notoatmojo, S. Prof, Dr. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka cipta, Jakarta. Potter, & Perry. ( 2005). Buku ajar Fundamental Keperawatan, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Rohani, & Setio, H. (2013). Panduan praktek keperawatan komunikasi, PT Citra Aji Paraman, Yogyakarta. Tanjung, M.S. (2004), Efek Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RS Imelda, Skripsi Sarjana Keperawatan, USU, Medan. Sekaran, U. (2006), Metode Penelitian Bisnis, Salemba Empat, Jakarta
PENGARUH PENAMBAHAN MINYAK ATSIRI JAHE TERHADAP BILANGAN PEROKSIDA MINYAK GORENG BEKAS
Mangoloi Sinurat 1, Togar Manalu 2, Suryani M.Florence Situmeang 3 Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes RI Medan Abstrak Minyak goreng adalah bahan dasar yang mudah berpengaruh dalam proses penggorengan yang dapat menyebabkan kerusakan struktur minyak goreng tersebut, kerusakan minyak goreng ini dapat juga diakibatkan oleh pemakaian minyak goreng yang berulang ulang dan penyimpanan pada tempat terbuka sehingga menyebabkan terjadinya oksidasi pada ikatan rangkap minyak. Minyak goreng yang telah teroksidasi berwarna coklat dan berbau tengik dan dapat menyebabkan penyakit Diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah dan kanker pada manusia. Syarat Mutu standard minyak goreng yang ditetapkan oleh SNI untuk bilangan peroksida minyak goreng tidak lebih dari = 10mek O2/kg. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bilangan peroksida minyak goreng bekas penggorengan sebelum dan sesudah penambahan minyak atsiri jahe yang dipakai penjual gorengan disekitar Pasar Gambir Tembung.Sampel minyak goreng bekas diambil dari 10 pedagang gorengan yang ada dipasar Gambir tembung pada bulan Juni 2014.Metode pemeriksaan dilakukan secara eksperimen laboratorium dengan titrasi iodometri. Untuk menguji normalitas data dilakukan uji Kolmogrov Smirnov. Dari hasil uji tersebut diperoleh nilai masing-masing sebagai berikut : 0.892, 0.909, 1.000, 0.951, 0.824 dan 0.597, dimana masing-masing nilai> 0.5, ini berarti seluruh data berdistribusi Normal.Dari hasil lembar uji T independen diperoleh bilangan peroksida minyak goreng bekas sebelum penambahan minyak atsiri jahe 91.945 dan setelah penambahan minyak atsiri jahe sebanyak 20 tetes terjadi penurunan bilangan peroksida minyak goreng bekas menjadi 9.79 dengan nilai probabilitas (P) = 0.000 (P ˂ 0,05) Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan minyak atsiri jahe dapat menurunkan bilangan peroksida minyak goreng bekas. Kata Kunci: Minyak goreng bekas, Minyak Atsiri Jahe, Bilangan peroksida
PENDAHULUAN Minyak goreng segar merupakan zat makanan penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia, selain itu minyak juga merupakan sumber energi yang lebih effektip dibanding karbohidrat dan protein. Oksidasi lemak akan berlangsung jika persediaan karbohidrat telah menipis akibat asupan karbohidrat yang rendah. Walaupun energi yang dihasilkan oleh satu gram lemak lebih tinggi (sekitar 9 kalori) dari energi hasil oksidasi karbohidrat, lemak disebut sumber energi kedua setelah karbohidrat. Seperti halnya karbohidrat lemak juga berfungsi sebagai protein sparer karena dapat menghemat fungsi protein. Hal ini terjadi karena persediaan energi telah dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak, sehingga protein tetap dapat digunakan untuk fungsi utamanya sebagai zat pembangun. (Tejasari, 2005). Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau lemak hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan sebagai bahan pangan atau untuk mengoreng makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa, dan penambah nilai kalori bahan pangan.
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu (F. G. Winarno, 2004). Minyak goreng curah selama ini didistribusikan dalam bentuk tanpa kemasan yang berarti bahwa minyak goreng curah sebelum digunakan banyak terpapar oksigen. Selain itu para pedagang biasanya juga menggoreng secara terus-menerus yang berakibat meningginya suhu minyak (200 – 250°C) serta ada juga yang melakukan beberapa kali penggorengan pada minyak yang sama sehingga hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi yang lebih tinggi. Menurut deMan (1999) setiap peningkatan suhu 10°C laju kecepatan oksidasi akan meningkat dua kali lipat. Kecepatan oksidasi lemak akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah (Siti Aminah, 2010). Penggorengan merupakan proses thermal-kimia yang menghasilkan karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur krispi penampakan dan flavor yang diinginkan, sehingga makanan gorengan sangat popular (Boskou, et al, 2006; Warner, 2002). Selama penggorengan terjadi hidrolisa,
253
oksidasi dan dekomposisi minyak yang dipengaruhi oleh bahan pangan dan kondisi penggorengan (Chatzilazarou, et al, 2006). Produksi komponen- komponen di dalam minyak selama penggorengan ditransfer dari bahan makanan yang digoreng, beberapa dari komponen tersebut dapat menurunkan daya terima konsumen dan memberikan efek yang merugikan kesehatan (Siti Aminah, 2010) Konsumsi minyak di masyarakat cukup tinggi. Umumnya pedagang mengoreng makanan menggunakan minyak curah yang dipakai secara berulangulang. Pedagang tersebut tidak mengetahui bahaya minyak goreng yang digunakan berulang. Ada beberapa ciri atau tanda dari kerusakan minyak dan lemak salah satu adalah timbulnya bau dan rasa tengik, proses ini disebut proses ketengikan. Proses ini dipercepat oleh adanya cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida Proses oksidasi ini sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan anti oksidan. Peroksidan akan mempercepat proses oksidasi sedangkan anti oksidan adalah berfungsi menghambat proses oksidasi (Winarno.F.G, 2004) Jahe(Zingiber officinale Roxb) banyak dipakai untuk industry makanan, minuman dan obat obatan, jahe mengandung minyak atsiri 1,7%-4%. Komponen minyak atsiri jahe adalah seskuiterpen-zingiberen, sedangkan kandungan lainnya adalah α felanderen, d-kampen, asetil heptanon, n-desil aldehid, borneol, sineol, linalool, sitral dan sesquiterpen alcohol. Kandungan minyak atsiri jahe berfungsi sebagai anti oksidan yang dapat mengurangi kecepatan oksidasi pada minyak goreng. Anti oksidan diperoleh secara sintetik maupun secara alamiah, anti oksidan ini ada yang segaja ditambahkan kedalam minyak, misalnya asam askorbat, takoferol dan lesitin sedangkan anti oksidan yang sintetik yaitu butylated hydrokxyanisole (BHA), butylated hydroksi toluene.(Winarno,FG 2014). Bedasarkan SNI 7709:2012 bahwa standar angka peroksida untuk minyak goreng adalah maksimal 10mekO2/kg. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Aisah, Siti dan kawan kawan tahun 2010 yang berjudul : Penurunan angka peroksida dan Asam lemak bebas(FFA) Pada proses bleaching minyak goreng bekas oleh karbon aktip polong buah kelor dengan aktivasi NaCl Fakultas Sain dan Tehnologi jurusan Kimia UIN Maliki Malang METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium yang bersifat analitik,
254
yang bertujuan mengetahui pengaruh penambahan minyak atsiri terhadap bilangan peroksida pada minyak goreng bekas yang dipakai penjual gorengan apakah memenuhi standar mutu SNI 7709:2012. Sampel pada penelitian ini adalah 10 minyak hasil penggorengan dari penjual gorengan yang paling banyak pembeli dari total populasi penjual gorengan yang diambil secara acak di Pasar Gambir Tembung. PELAKSANAAN PENELITIAN Bilangan peroksida dianalisa pada minyak sebelum dan sesudah dipakai. Kemudian dihitung bilangan peroksida pada minyak goreng bekas setelah ditambah minyak atsiri mulai dari 4 tetes, 8 tetes, 12 tetes, 16 tetes, dan 20 tetes. Kalium iodida yang ditambahkan berlebih ke dalam contoh akan bereaksi dengan peroksida yang ada pada lemak atau minyak. Banyaknya iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan standar tiosulfat menggunakan indicator kanji. Siapkan 1kg jahe kemudian dicuci dengan bersih lalu diiris tipis selanjutnya dimasukkan kedalam labu destilasi dan hubungkan keperangkat alat destilasi. Kemudian pisahkan campuran air dan minyak atsiri dengan alat corong pisah, sehingga didapat minyak atsiri.Timbang dengan teliti (5 ± 0,05) g contoh (W) kedalam Erlenmeyer asah 250ml yang kering.Tambahkan 30 ml pelarut, tambahkan 0,04 gr minyak atsiri jahe, tambahkan 1 gram kristal kalium iodida tutup dengan plastik dan simpan ditempat gelap 30 menit, tambahkan 50 ml air suling kemudian tutup Erlenmeyer dengan segera. Kocok dan titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,0020 N hingga warna kuning hampir hilang, kemudian tambahkan indikator kanji 0,5 - 1 ml dan lanjutkan peniteran, kocok kuat untuk melepaskan semua iod dari lapisan pelarut hingga warna biru hilang, catat Volume larutan natrium tiosulfat 0,0020 N yang terpakai.Hitung bilangan peroksida dalam contoh HASIL PENELITIAN Perhitungan Bilangan peroksida dilakukan terhadap minyak goreng sebelum digunakan dan sesudah digunakan setelah penambahan minyak atsiri. Rata-rata penurunan bilangan peroksida pada penambahan peroksida terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Rata-rata penurunan bilangan peroksida dan persentase penurunan bilangan peroksida sebelum penambahan dan sesudah penambahan minyak atsiri pada minyak goreng bekas. Penambahan Minyak Atsiri Jahe 0 tetes 4 tetes (mek 8 tetes 12 tetes (mek 16 tetes (mek 20 tetes (mek No (mek O2/kg) O2/kg) (mek O2/kg) O2/kg) O2/kg) O2/kg) 1 91.47 51.19 29.07 22.59 16.24 10.11 2 104.4 64.40 45.69 28.54 21.77 14.15 3 80.60 48.40 38.12 25.08 24.96 12.49 4 107.20 60.18 50.48 30.17 22.55 3.79 5 95.07 60.58 49.67 31.69 19.26 10.11 6 81.37 57.51 31.52 22.60 22.30 10.10 7 88.24 58.60 41.20 25.38 19.24 10.31 8 89.83 50.95 44.78 28.71 22.44 9.934 9 88.47 52.87 37.29 23.11 20.78 6.96 10 92.89 51.45 44.60 27.20 22.47 9.990 Rata2Bilangan 91.95 55.61 41.44 26.50 21.20 9.79 Peroksida (mekO2/kg) Persentase 0 39.5 54.9 71.2 76.9 89.4 penurunan bilangan peroksida Tabel diatas menunjukkan adanya penurunan bilangan peroksida pada minyak goreng bekas yang ditambah. Untuk melihat Normalitas data pada Bilanganperoksida (mek O2/kg) mulai dari tanpa penambahan minyak atsiri jahe, penambahan minyak atsiri 4 tetes, 8 tetes, 12 tetes, 16 tetes dan 20 tetes dilakukan uji Kolmogrov Smirnov. Dari hasil uji tersebut diperoleh nilai masing-masing sebagai berikut : 0.892, 0.909, 1.000, 0.951, 0.824 dan 0.597, dimana masing-masing nilai > 0.5, ini berarti seluruh data berdistribusi Normal.Berdasarkan hasil uji T independen untuk penentuan kadar bilangan oksidasi minyak goreng bekas sebelum penambahan minyak atsiri jahe nilai rata rata = 91.945mek O2/kg.Penambahan minyak atsiri jahe 4 tetes bilangan peroksida minyak goreng bekas menurun = 55.61mek O2/kg dengan nilai probilitas (P) = 0.000(P ˂ 0,05). Pada penambahan 8 tetes minyak atsiri bilangan peroksida minyak goreng rata rata = 41.44mek O2/kg dengan nilai probilitas (P) = 0.000(P ˂ 0,05). Pada penambahan 12 tetes minyak atsiri bilangan peroksida minyak goreng rata rata = 26.50mek O2/kgdengan nilai probilitas (P) = 0.000(P ˂ 0,05).Pada penambahan 16 tetes minyak atsiri bilangan peroksida minyak goreng rata rata = 20.20mek O2/kgdengan nilai probilitas (P) = 0.000(P ˂ 0,05). Pada penambahan 20 tetes minyak atsiri bilangan peroksida minyak goreng rata rata = 9.745mek O2/kgdengan nilai probilitas (P) = 0.000(P ˂ 0,05) artinya ada perbedaan significant setiap penambahan minyak atsiri jahe. PEMBAHASAN Penyebab kenaikan bilangan peroksida adalah minyak goreng yang digunakan berkali-kali oleh para pedagang, kebanyakan para pedagang menggunakannya lebih dari empat kali bahkan ada pedagang yang baru mengganti minyak gorengnya setelah digunakan selama dua hari berturut-turut.
Frekuensi penggorengan yang makin sering mengakibatkan kandungan peroksidanya semakin meningkat, hal ini dikarenakan reaksi oksidasi termal yang terjadi pada saat penggorengan. Oksidasi termal yakni oksidasi yang dikarenakan adanya pemanasan dan adanya paparan udara, yang mengakibatkan terbentuknya peroksida. Hal tersebut sesuai hasil penelitian oleh Aisyah dkk.(2010) bahwa peningkatan angka peroksida diakibatkan proses oksidasi pada proses pemasakan/pemanasan minyak goreng. Oktaviani (2009) juga mengemukakan bahwa bilangan peroksida meningkat disebabkan pemanasan mimyak goreng. Selain itu Standar mutu menurut SNI menyebutkan kriteria minyak goreng yang baik digunakan adalah yang berwarna muda dan jernih, serta baunya normal dan tidak tengik. Hal tersebut dikemukakan pula oleh Wulyoadi dan Kaseno (2004) bahwa minyak yang rusak akan berwarna coklat, lebih kental, berbusa, berasap serta dihasilkan rasa dan bau yang tidak disukai pada bahan pangan yang digoreng. Tarigan, et al. (2007) menyatakan bau tengik pada minyak disebabkan oleh asam lemak bebas yang dihasilkan selama proses hidrolisis. Menurut Ketaren, (1986)Kerusakan minyak goreng tidak dapat dicegah, namun dapat diperlambat dengan memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu : 1) Oksigen, semakin banyak oksigen semakin cepat teroksidasi 2) Ikatan rangkap, semakin banyak asam lemak tidak jenuhnya semakin mudah teroksidasi. 3) Suhu, suhu penggorengan dan pemanasan yang tinggi akan mempercepat reaksi 4) Cahaya serta ion logam tembaga (Cu 2+) dan besi (Fe 2+) yang merupakan faktor katalis proses oksidasi
255
5)
Antioksidan, semakin tinggi antioksidan ditambahkan semakin tahan terhadap oksidasi. Untuk menghindari penurunan mutu akibat proses oksidasi dapat menggunakan antioksidan. Antioksidan secara harpiah dapat diartikan pencegah oksidasi dengan cara menurunkan konsentrasi oksigen (O2). Dengan memperhatikan faktor penyebab, maka oksidasi ataupun ketengikan dapat diperlambat. Zat antioksidan ini dapat diperoleh secara alamiah, misalnya dari tanaman jahe (yang mengandung minyak atsiri). Untuk mengetahui kerusakan minyak goreng dapat dilihat dari bilangan peroksidanya maksimal 10 mek O2/kg. . KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Minyak atsiri dapat dipergunakan sebagai penurun bilangan peroksida minyak goreng bekas. 2. Terjadi penurunan nilai bilangan peroksida pada minyak goreng bekas setelah penambahan minyak atsiri jahe sebanyak: 4 tetes, 8 tetes, 12 tetes, 16 tetes, 20tetes. 3. Setelah penambahan 20 tetes minyak atsiri jahe maka rata rata minyak goreng bekastelah memenuhi Standar bilangan peroksida (SNI) minyak goreng, yaitu<10 mgO2/kg. 4. Terdapat pengaruh penambahan minyak atsiri jahe yang ditambahkan sebanyak 4 tetes, 8 tetes, 12 tetes, 16 tetes dan 20 tetes yaitu: dari 91,95 menjadi 55,61; 41,44; 26,60; 21,20; 9,79 (39,5%, 54,9%, 71,2%, 76,9%, 89,4%) dengan nilai probabilitas (P) = 0,001 (P < 0,05) 5. Semakin banyak penambahan minyak atsiri jahe maka kadar bilangan peroksida pada minyak goreng bekas semakin menurun SARAN 1. Sebaiknya penyimpanan minyak goreng pada wadah tertutup 2. Minyak goreng bekas jangan digunakan lagi jika sudah berwarna coklat 3. Untuk mendapatkan perbandingan hasil pengujian, dapat dipergunakan minyak atsiri dari tanaman lain 4. Untuk menguji mutu minyak bekas yang telah ditambahkan minyak atsiri perlu dilakukan penelitian dengan metode berbeda 5. Untuk mengetahui kwalitas minyak goreng bekas perlu dilakukan uji parameter lain
256
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Siti. dkk. 2010. Penurunan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas (FFA) pada proses Bleaching Minyak Goreng Bekas oleh Karbon Aktif Polong Buah Kelor dengan Aktivasi NaCl. Jurnal Kimia Vol. 1 No. 2. Jurusan Kimia Fakultas Sains da Teknologi UIN Maliki: Malang. Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng dan Sifat Organoleptik Tempe pada Penggulangan Penggorengan.Jurnal Pangan dan Gizi, Vol. 1 No. 1. Universitas Muhammadiyah Semarang: Semarang. Askandi,1987. Pemeriksaan Minyak Atsiri dari Rimpang Temu putih.ITB. Bandung. Herlina, Netti. dkk. 2002. Lemak dan Minyak. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara: Medan. Ketaren, S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press: Jakarta. Parsaoran, Hotler. “Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit vs Ketahanan Pangan”http://www.academia.edu/4370248/Ekspa nsi_Perkebunan_Kelapa_Sawit_Medan_Bisnis (diakses tanggal 18 April 2014). Ketaren, S. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta: 1986 Nasution, S. 2001. Metode Research. Edisi ke- 4 Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Sastrohamidjojo, Hardjono. 2005. Kimia Organik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Sudarmadji Slamet.Dkk (1994). Prosedure Analisa untuk Bahan Makanan & Pertanian Edisi ke-3, Penerbit Liberti, Yogyakarta. Ira widiastuti, 2008. Sukses Agribisnis Minyak atsiri. Pustaka baru Press : Yogjakarta. R.A. Day, Jr /A.L. Underwood, 2001. Quantitative Analysis Chemistry. Prentice Hal Inc, New York 4th Edition Standar Nasional Indonesia 7709:2012, Syarat Mutu Minyak Goreng Sawit Tejasari. 2005. Nilai Gizi Pangan. Graha Ilmu: Yogyakarta. Trilaksani, 2003 Anti Oksidan : Jenis, Sumber, Mekanisme dan Peran terhadap Kesehatan, IPB Bogor. Widodo, Didik Setiyo & Retno Ariadi. 2010. Kimia Analisis Kuantitatif. ed-1. Graha Ilmu: Yogyakarta Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. ed-11.PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Vogel.I. 2004. Quantitative Inorganic Analysis Long Near Green and Co.
PENGETAHUAN PUS YANG BAIK TENTANG ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM (AKDR) TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN PENGGUNAAN AKDR DI DESA CINTA DAMAI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG
Masrah Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Indonesia memiliki masalah kependudukan dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Upaya Pemerintah untuk menurunkan tingkat pertumbuhan adalah dengan gerakan KB yang alternatifnya melalui kontrasepsi. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) merupakan metode kontrasepsi yang efektif namun kurang diminati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan terhadap tindakan pasangan usia subur (PUS) dalam penggunaan AKDR Di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan.Penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah PUS peserta KB aktif di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan dan sampel penelitian berjumlah 88. Cara pengambilan sampel simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tingkat Pengetahuan PUS pada umumnya baik sebanyak 68,2%, sikap PUS 37,5% , dan Tindakan PUS terhadap penggunaan AKDR hanyak 9,1%. Umur PUS, jenis pekerjaan, jumlah anak, tingkat pendidikan dan Sikap PUS berhubungan dengan tindakan penggunaan AKDR (p=0,000), sementara pengetahuan PUS tidak berhubungan dengan tindakan penggunaan AKDR (p=0,283). Disarankan kepada petugas penyuluh kesehatan atau kader kesehatan pada instansi kesehatan setempat yaitu puskesmas melalui posyandu dan BKKBN untuk meningkatkan promosi tentang AKDR dengan memperhatikan umur ibu, jenis pekerjaaan,jumlah anak dan tingkat pendidikan PUS. Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Tindakan, AKDR, PUS
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara berkembang dengan jumlah peningkatan penduduk yang tinggi. Sebagai salah satu negara yang berkembang Indonesia tidak luput dari masalah kependudukan seperti jumlah penduduk besar dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata, struktur umur muda dan kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan. Upaya mengatasi masalah kependudukan tersebut dilakukan oleh banyak pihak, instansi atau departemen, lembaga, masyarakat dan lain-lain di bidang masing-masing dan secara bersama-sama. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk adalah dengan menurunkan tingkat fertilitas antara lain dengan gerakan KB Nasional bagi Pasangan Usia Subur (PUS). Adapun tujuan Gerakan KB Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Menurut WHO (Comitte Expert, 1970) dalam Sulistiyawati (2011), Keluarga Berencana adalah tindakan
yang membantu individu atau pasangan suami-istri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Agar dapat mencapai hal tersebut, maka dibuatlah beberapa cara atau alternatif, termasuk kontrasepsi atau pencegahan kehamilan dan perencanaan keluarga. Pengetahuan mengenai pembatasan kelahiran dan Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu aspek penting ke arah pemahaman tentang berbagai alat atau cara kontrasepsi yang tersedia. Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) atau disebut juga Intra-uterine contraceptive Device (IUD) merupakan salah satu jenis alat kontrasepsi jangka panjang yang ideal dalam upaya menjarangkan kehamilan. Keuntungan memakai AKDR yakni hanya memerlukan satu kali pemasangan untuk jangka waktu yang lama. AKDR juga merupakan alat kontrasepsi yang aman, karena tidak mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke seluruh tubuh, tidak mempengaruhi produksi ASI dan kesuburan cepat kembali setelah AKDR dilepas. AKDR memiliki efektifitas yang tinggi dalam mencegah kehamilan. Hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) selama periode 1991 sampai dengan 2007 menunjukkan pola penggunaan 257
kontrasepsi masih didominasi oleh kontrasepsi hormonal dan bersifat jangka pendek. Metode kontrasepsi jangka panjang seperti AKDR cenderung mengalami penurunan, yakni 13,3 persen (SDKI 1991), 10,3 persen (SDKI 1997), turun menjadi 6,2 persen (SDKI 2002-2003) dan turun lagi menjadi 4,9 persen (SDKI 2007). SDKI 2012 menunjukkan bahwa wanita muda cenderung untuk memakai alat kontrasepsi modern jangka pendek seperti suntikan dan pil KB, sementara yang lebih tua cenderung untuk memakai kontrasepsi jangka panjang seperti AKDR dan sterilisasi wanita. Kebijakan pemerintah terhadap penggunaan AKDR adalah upaya untuk meningkatkan kesertaan KB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MJKP) bagi Pasangan Usia Subur didukung dengan kebijakan dan strategi nasional secara komprehensif dan mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) Bidang Kependudukan dan KB tahun 2010-2014 serta dengan program lainnya secara terpadu. Strategi yang dikembangkan dalam peningkatan kesertaan PUS terhadap metode kontrasepsi jangka panjang difokuskan pada kemudahan mendapatkan pilihan dan pelayanan KB secara berkualitas (BKKBN, 2011). Berdasarkan laporan akhir tahun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sumatera Utara, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) pada tahun 2013 di Sumatera Utara adalah 2.184.192 PUS, akseptor KB aktifnya adalah 1.519.654 (69,55%) dimana yang menggunakan AKDR/IUD sebanyak 161.274 (7,38%), Metode Operasi Wanita (MOW) sebanyak 111.762 (5,1%), Metode Operasi Pria (MOP) sebanyak 10.766 (0,5%), kondom 113.348 (5,2%), implant 169.387 (7,8%), suntikan 497.670 (22,8%) dan pil 455.447 (20,8%). Banyak perempuan yang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi karena terbatasnya metode yang tersedia, dan ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode tersebut. Tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua akseptor KB. Oleh karena itu berbagai faktor harus dipertimbangkan, seperti status kesehatan, efek samping potensial, konsekuensi kegagalan dan kehamilan yang tidak diinginkan, rencana besarnya keluarga, persetujuan pasangan, norma budaya dan lingkungan bahkan persetujuan orang tua (Pinem, 2009). Dari hasil Laporan akhir tahun 2013 Keluarga Berencana Pemberdayaan dan Perempuan (KBPP) Kabupaten Deli Serdang, jumlah PUS di Kabupaten Deli Serdang adalah 328.273 dimana yang menjadi peserta KB aktif adalah 222.778 (67,86%). Yang menggunakan AKDR adalah sebanyak 27.519 (8,38%), MOW 12.500 (3,80%), MOP 1.893 (0,57%), kondom 22.266 (6,78%), implant 25.941 (7,90%), suntik 63.656 (19,39%), pil 69.003 (21,01%). Sedangkan jumlah PUS di Kecamatan Percut adalah 77.396 PUS. Yang menjadi peserta KB aktif sebanyak 52.979 PUS sekitar 68,45%. Dimana PUS yang menggunakan AKDR/IUD sebanyak 10.540 (13,6%), MOW sebanyak 2.882 (3,7%), MOP 638 (0,8%), Kondom
258
5.788 (7,4%), Implant 8.120 (10,4%), suntik 11.912 (15,3%), dan pil 13.099 (16,9%). Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kecamatan Percut Sei Tuan, pada bulan Mei 2014, jumlah PUS di Desa Cinta Damai sendiri adalah sebanyak 1.020 PUS. Dimana yang menjadi peserta KB aktif adalah sebanyak 725 PUS (71,07%). Pengguna AKDR sebanyak 92 (9,01%), MOW 17 (1,6%), kondom 149 (14,6%), implant 173 (16,9%), suntik 150 (14,7%), pil 144 (14,11%) dan MOP (0%). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan AKDR/IUD berada pada urutan ke-lima dalam pemilihan alat kontrasepsi untuk masyarakat di Desa Cinta Damai. Adapun Desa Cinta Damai ini sendiri berada di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Dengan batas wilayah sebelah utara berbataan dengan Desa Pulau Lalang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Saentis, Sebelah timur berbatasan dengan Desa Batang Kuis, sebelah barat berbatasan dengan Desa Percut. Minat PUS terhadap AKDR dipengaruhi oleh pengetahuan peserta program KB mengenai AKDR. AKDR adalah kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam rahim yang bentuknya bermacam-macam, terdiri dari plastik (polyethylene) ada yang dililit tembaga (Cu) bercampur perak (Ag). Selain itu ada pula yang batangnya berisi hormon progesterone (Suratun dkk, 2010). Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian ― Hubungan Pengetahuan dan Sikap PUS terhadap Tindakan penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan‖. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah hubungan pengetahuan dan sikap PUS terhadap tindakan penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara umur, pekerjaan, jumlah anak, tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap PUS terhadap tindakan penggunaan AKDR Di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan. Hipotesis Ada hubungan antara antara umur, pekerjaan, jumlah anak, tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap PUS terhadap tindakan penggunaan AKDR Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi petugas puskesmas dan BKKBN dalam upaya meningkatkan jumlah akseptor KB AKDR 2. Sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya yang meneliti berkaitan dengan KB AKDR pada PUS.
METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian bersifat analitik dengan rancangan cross sectional untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap PUS terhadap penggunaan AKDR Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua minggu yaitu mulai awal hingga pertengahan bulan Juli 2014. Populasi dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pasangan Usia Subur (pasangan suami istri dimana istrinya berusia 15-49 tahun) yang mengikuti program KB di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan. Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di desa Cinta Damai adalah sebanyak 1.020 pasang. Jumlah peserta KB aktif adalah sebanyak 725 pasang. Sampel Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah secara acak sederhana (Simple Random Sampling), dimana setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Dalam menentukan jumlah sampel dari populasi di bawah 10.000 digunakan rumus sebagai berikut: 𝑁 𝑛= 1 + 𝑁(𝑑)2 Berdasarkan rumus di atas, dengan derajat penyimpangan sebesar 10% atau 0,1 maka diperoleh jumlah sampel sebesar 88 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis Data Data primer dikumpulkan dari lembaran kuesioner yang diberikan secara langsung kepada respoden. Dimana kuesioner berisi pertanyaan dan dipilih jawaban yang telah dipersiapkan.
Data sekunder diperoleh dari Kantor BKKBN Provinsi Sumatera Utara, Kantor Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Deli Serdang, Kantor kecamatan Percut sei Tuan dan Kantor Lurah Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data tentang pengetahuan, sikap dan tindakan Pasangan Usia Subur yang mengikuti program KB diperoleh dari wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Pada penelitian ini pengetahuan, sikap dan tindakan PUS tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.Langkah-langkah pengolahan data dilakukan melalui langkah langkah sebagai berikut: Editing (Penyuntingan Data ),Membuat Lembaran Kode (Coding Sheet),Memasukkan Data (Data Entry) dan akhirnya Tabulasi data. Analisis Data Analisa Data Univariat untuk mendapatkan distribusi frekuensi atau besarnya proporsi dari variabel independen dan variabel dependent sehingga dapat diketahui variasi dari masing-masing variabel Analisis Data Bivariat untuk melihat hubungan anatara pengetahuan dan sikap Pus terhadap tindakan penggunaan AKDR dengan menggunakan uji Chi Sguare HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Cinta Damai Keadaan Desa Cinta Damai Desa Cinta Damai dikepalai oleh Bapak Sumedi, SP. Desa ini terdiri dari lima dusun, yaitu, Dusun I, Dusun II, Dusun III, Dusun IV dan Dusun V. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kepala Desa Cinta Damai, Penduduk desa ini berjumlah 4.260 orang yang terdiri dari 2.379 lakilaki dan 2.241 perempuan. Dengan jumlah kepala keluarga 1.137 kepala keluarga dan jumlah Pasangan usia subur sebanyak 1020 pasang dan aktif mengikuti program KB sebanyak 725. Kebanyakan mata pencaharian penduduk desa ini adalah wirausaha dan bertani.
259
Analisis Univariat Tabel 1.Distribusi Kharakteristik Respondem, Pengetahuan ,Sikap dan Tindakan Pasangan Usia Subur dalam penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) No
Variabel
Jumlah
%
Umur 1 2 3
15 – 30 31 – 40 41 - 49
40 25 23
45,5 28,4 26,1
Tingkat Pendidikan 1 2 3
Rendah Menengah Tinggi
1 2 3
Ibu rumah tangga Bertani/berdagang Guru
1 2 3
1-2 3–4 5–7
1 2 3
Baik Cukup Kurang
1 2 3
Baik Cukup Kurang
1 2 3
Baik Cukup Kurang Jumlah
21 59 8
23,9 67,0 9,1
69 16 3
78,4 18,2 3,4
49 24 15
55,7 27,3 17,0
60 18 10
68,2 20,5 11,4
33 46 9
37,5 55,3 10,2
8 11 69 88
9,1 12,5 78,4 100
Pekerjaan
Jumlah Anak
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Analisis Bivariat Tabel 2. Distribusi Umur, Pekerjaan, Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Sikap Pasangan Usia Subur terhadap Tindakan penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) No
Variabel
Umur 1 15 – 30 2 31 – 40 3 41 - 49 Pekerjaan 1 Ibu rumah tangga 2 Bertani/berdagang 3 Guru Jumlah Anak 1 1-2 2 3–4 3 5-7 Tingkat Pendidikan 1 Rendah 2 Menengah 3 Tinggi Pengetahuan 1 Baik 2 Cukup 3 Kurang Sikap 1 Baik 2 Cukup 3 Kurang
260
Tindakan Cukup
Baik
Kurang
F
Jumlah %
P value
45,5 28,4 26,1
0,000
5 2 1
1 9 1
34 14 21
40 25 23
3 3 2
5 5 1
61 8 0
69 16 3
78,4 18,2 3,4
0,000
35 21 13
49 24 15
55,7 27,3 17,0
0,000
6 1 1
8 2 1 0 2 6
3 7 1
18 50 1
21 59 8
23,9 67,0 9,1
0,000
5 3 0
9 2 0
45 13 11
60 18 10
68,2 20,5 11,4
0,283
7 1 0
10 1 0
16 44 9
33 46 9
37,5 55,3 10,2
0,000
Pembahasan Dari hasil penelitian yang telah disajikan dapat dibuat pembahasan sebagai berikut : 1.
Analisis Univariat Karakteristik Responden Karakteristik responden yang berjumlah 88 orang diperoleh dari hasil wawancara meliputi Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Jumlah anak. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan PUS dalam penggunaan AKDR dapat dilihat dari tabel 1. Analisi Univariat Distribusi Frekuensi Responden kelompok umur 15 – 30 tahun yaitu sebanyak 40 orang (45,5%). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok usia 15 – 30 tahun merupakan umur yang terbaik bagi ibu untuk melahirkan, mengatur dan menjarangkan kehamilan. Distribusi frekuensi tingkat pendidikan responden yang terbanyak ada dalam tiga tingkatan yaitu Rendah sebanyak 21 orang (23,9,7%), Menengah 59 orang (67,0%) dan Tinggi sebanyak 8 orang (9,1%). Distribusi frekuensi pekerjaan responden yang tertinggi adalah ibu rumah tangga yaitu 69 orang (78,4%). Pekerjaan umum responden lainnya yaitu bertani/berdagang 16 orang (18,2%) dan guru 3 orang (3,4%). Distribusi frekuensi jumlah anak, dimana jumlah anak 1-2 orang sebanyak 49 responden (55,7%), 3-4 orang 24 (27,3%) responden, dan 5-7 anak 15 responden (17,0%). Disini dapat dilihat pada umumnya responden memiliki jumlah anak 1 – 2 orang. Distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap AKDR dengan tingkat Pengretahuan Baik 60 orang (68,2%), tinkat pengetahuan Cukup 46 orang (55,3%) dan tingkat pengetahuan Kurang 9 orang (10,2%). Distribusi sikap responden terhadap AKDR dengan tingkat Sikap Baik 33 orang (37,5%), Cukup 46 orang (55,3%) dan Kurang 9 orang(10,2%) Distribusi Tindakan responden dengan tingkat Tingkat Tindakan Baik 8 orang (9,1%), Cukup 11 orang (12,5%) dan Kurang 69 orang (78,4%) 2.
Analisis Bivariat Dari hasil analisis bivariat tabel 2 menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Umur PUS dengan Tindakan penggunaan AKDR di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Serdang Bedagai dengan nilai 0 = 0,000. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nawirah dkk tentang Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Kontrasepsi IUD di Wilayah Kerja Puskesmas Wonomulyo Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polman dengan hasil terdapat hubungan significant antara Umur dan pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai p=0,000 Pekerjaan, jumlah anak, Tingkat Pendidikan dan Sikap Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan, Jumlah Anak, Tingkat Pendidikan dan Sikap bagi PUS dengan tindakan penggunaan AKDR di Desa Cinta
Damai Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Serdang Bedagai dengan nilai masing-masing p= 0,000. Hal ini sesuai dengan penelitian Ediana (2002) tentang Beberapa faktor yang Berhubungan Dengan Pemakaian Alat Kntrasepsi Pada Ibu PUS Di Desa Hargorejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo DIY, yang menyatakan ada hubungan pendidikan (p 0,028), Jumlah Anak (p 0,038), Pengetahuan tentang IUD (p 0,028) Sikap tentang IUD ( p 0,020), Keluarga (p 0,04), Teman (p 0,01) dengan pemakaian alat kontrasepsi. Pengetahuan Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan PUS dengan tindakan penggunaan AKDR di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan dengan nilai p=0,283. Hal ini mungkin saja dikarenakan sikap respondenlah yang lebih dominan dalam mempengaruhi tindakan PUS untuk menggunakan AKDR di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakaukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Simpulan 1. Umur responden 15 – 30 tahun merupakan umur yang terbaik bagi ibu untuk melahirkan, mengatur dan menjarangkan kehamilan 2. Tingkat pendidikan responden adalah Tingkat Menengah yang paling banyak 3. Pekerjaan responden yang paling banyak adalah Ibu Rumah Tangga 4. Jumlah anak responden masih memenuhi kriteria keberhasilan program BKKBN yaitu 1-2 orang 5. Ada hunbungan yang signifikan antara Umur, Pekerjaan, Jumlah Anak, Tingkat Pendidikan dan Sikap PUS terhadap Tindakan Penggunaan AKDR di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Serdang Bedagai dengan nilai p = 0,000 6. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Pengetahuan PUS terhadap Tindakan Penggunaan AKDR di Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Serdang Bedagai dengan nilai p = 0,238 Saran 1.
2.
Kepada tenaga kesehatan harus meningkatkan penyuluhan tentang terutama KB AKDR. Kepada Puskesmas terdekat diharapkan memberi pelayanan dan fasilitas memadai bagi masyarakat yang menggunakan AKDR
lebih KB dapat yang ingin
261
DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Y dkk., 2012. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Rohima Press. Aspuah, S., 2013. Kumpulan Kuesioner dan Instrumen Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Badan Pusat Statistik 2012. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia Laporan Pendahuluan[diakses tanggal 15 mei 2014] BKKBN, 2013. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono http://eprints.Undip.ac.id/6152/1/1508/pdf http://respiratory.unhas.ac.id/bitstream/hndle/12345789/10 707/NAWIRAH%2011112605.pdf?sequence-1 Meliani, N dkk., 2010. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Fitramaya. Notoatmodjo, S., 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S., 2010. Metode Penelitin Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
262
Pinem, S., 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: TIM. Nurwahida.Lilik., 2011. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Prilaku Ibu Usia Subur Tentang AKDR Dalam Program Keluarga Berencana di Kelurahan Ciujung Timur. http://www.perpust.fikik.uinjkt.ac.id/file.../RISET %0NURWAHIDA.pdf [diakses tanggal 22 juli 2014] Pinem, S., 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: TIM Puspitasari, D., dan E. Winarni., 2011. Kajian Implementasi kebijakan Penggunaan Kontrasepsi IUD. Jakarta Timur. Pusat Penelitian dan pengembangan KB-KS. http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusna/dataPB_% 20Diah_edit.pdf [diakses tanggal 15 Mei 2014] Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, cv. Sulistyawati, A., 2011. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Salemba Medika.
TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN PENYULUHAN MENGGUNAKAN MEDIA FLIP CHART DAN BONEKA ANIMASI PADA ANAK KELAS V SD NEGERI 105307 SUKARAYA PANCUR BATU TAHUN 2014
Asnita Bungaria Simaremare, Rosdiana T Simaremare Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Abstrak Penyuluhan merupakan suatu penerangan yang menekankan pada objek tertentu dan hasil yang diharapkan adalah perubahan perilaku individu atau sekelompok orang. Penyuluhan merupakan suatu usaha menyebarluaskan hal-hal yang baru agar masyarakat tertarik melaksanakannya dalam kehidupan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat pengetahuan anak kelas V SD Negeri 064026 tentang kesehatan gigi dan mulut dengan penyuluhan menggunakan media flip chart dan boneka animasi. Jenis penelitiannya adalah deskriptif dengan metode suvei, dengan populasi anak kelas V yang berjumlah 40 orang. Dari hasil penelitian diperoleh tingkat pengetahuan anak sebelum penyuluhan dengan media flip chart yang mendapat kriteria baik 5 responden , kriteria sedang 10 responden dan kriteria buruk 5 responden. Sebelum penyuluhan dengan media boneka animasi yang mendapat kriteria baik 6 responden, kriteria sedang 5 responden dan kriteria buruk 9 responden. Sesudah penyuluhan dengan media flip chart yang mendapat kriteria baik 11 responden, kriteria sedang 9 responden dan kriteria buruk tidak ada. Sesudah penyuluhan dengan media boneka animasi yang mendapat kriteria baik 19 responden, kriteria sedang 1 responden dan kriteria buruk tidak ada. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa penyuluhan dengan menggunakan media boneka animasi lebih meningkatkan pengetahuan anak kelas V SD Negeri 064026. Hal ini dikarenakan boneka animasi lebih menarik perhatian anak-anak, sehingga pesan dalam penyuluhan lebih dapat dipahami. Kata Kunci : Pengetahuan, Flip Chart, Boneka Animasi LATAR BELAKANG Masalah utama kesehatan gigi di Indonesia adalah kurangnya menjaga kebersihan gigi dan mulut. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2004), prevalensi karies di Indonesia mencapai 90.05% dan ini tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Masalah tersebut menjadi perhatian yang sangat penting dalam pembangunan kesehatan yang salah satunya disebabkan oleh rentannya anak usia sekolah dari gangguan kesehatan gigi. Usia sekolah merupakan masa untuk meletakkan landasan kokoh bagi terwujudnya manusia yang berkualitas dan kesehatan merupakan faktor penting yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Karies gigi dan penyakit periodontal adalah penyakit gigi dan mulut yang banyak diderita masyarakat Indonesia (Andhika, 2012). Di Indonesia sebanyak 89% anak dibawah usia 12 tahun menderita penyakit gigi dan mulut. Kondisi itu akan sangat berpengaruh pada derajat kesehatan, proses tumbuh kembang bahkan masa depan anak. Rasa sakit pada gigi dan mulut jelas menurunkan selera makan mereka. Dampak lainnya, kemampuan belajar mereka akan turun sehingga akan berpengaruh pada prestasi belajar hingga hilangnya masa depan
anak. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit gigi dan mulut adalah perlu diadakan penyuluhan kesehatan gigi secara dini pada anak, karena penyuluhan kesehatan gigi merupakan tindakan pencegahan primer sebelum terjadinya suatu penyakit. Penyuluhan kesehatan gigi memegang peranan penting di sekolah terutama untuk meningkatkan kesadaran para anak dalam menjaga giginya agar bertahan lama (Andhika, 2012). Penyuluhan adalah suatu penerangan yang menekankan pada suatu objek tertentu dan hasil yang diharapkan adalah suatu perubahan perilaku individu atau sekelompok orang. Penyuluhan merupakan suatu usaha menyebarluaskan hal-hal yang baru agar masyarakat tertarik dan berminat untuk melaksanakannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penyuluhan juga merupakan suatu kegiatan mendidik sesuatu kepada masyarakat, memberi pengetahuan, informasi-informasi, dan kemampuan-kemampuan agar dapat membentuk sikap dan berperilaku hidup menurut apa yang seharusnya. Hakekatnya penyuluhan merupakan suatu kegiatan dalam rangka mengubah masyarakat menuju keadaan yang lebih baik (Gondoyoewono, 2004). Media merupakan perantara atau pengantar yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan 263
pendidikan atau pengajaran. Media juga dapat menimbulkan minat atau rangsangan dalam belajar. Dimana semakin banyak panca indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh (Suiraoka, 2012). Keberadaan media dalam pendidikan kesehatan gigi sangat diperlukan oleh para tenaga kesehatan. Karena dengan media, pesan-pesan kesehatan dapat disampaikan secara lebih jelas, sehingga sasaran akan menerima pesan tersebut dengan jelas dan tepat. Disamping itu melalui media, sasaran mampu memahami suatu fakta yang dianggap rumit (Suiraoka, 2012). Berdasarkan uraian diatas penulis akan melakukan penelitian mengenai tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dengan metode penyuluhan menggunakan media flip chart dan boneka animasi pada anak kelas V SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014
3.
RUMUSAN MASALAH
Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai dengan bulan November 2014.
Berdasarkan latar belakang diatas, terlihat bahwa pengetahuan anak-anak tentang kesehatan gigi dan mulut masih rendah. Untuk itu peneliti ingin tahu bagaimanakah perbandingan tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut pada penyuluhan dengan menggunakan media flip chart dan boneka animasi. TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perbandingan tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dengan penyuluhan menggunakan media flip chart dan boneka animasi. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak kelas V dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut sebelum diberi penyuluhan. 2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak kelas V tentang kesehatan gigi dan mulut setelah diberi penyuluhan dengan menggunakan media flip chart. 3. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak kelas V tentang kesehatan gigi dan mulut setelah diberi penyuluhan dengan menggunakan media boneka animasi. Manfaat Penelitian 1. Sebagai informasi atau masukan bagi pihak sekolah tentang perbandingan pengetahuan pada penyuluhan menggunakan media flip chart dan boneka animasi pada anak kelas V dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut pada anak kelas V SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014. 2. Menambah pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014 dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut.
264
Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan.
METODE PENELITIAN Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survei yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat pengetahuan anak dengan penyuluhan menggunakan media flip chart dan boneka animasi. Lokasi dan waktu penelitian Lokasi penelitian merupakan daerah atau tempat penelitian dilakukan. Penelitian dilakukan pada anak kelas V di SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014.
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah wilayah generelasisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah anak kelas V SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014. Sampel Penelitian Sampel adalah objek penelitian yang dianggap mewakili keseluruhan populasi. Dalam pengambilan sampel pada penelitian ini mengarah pada pendapat Suharsimi Arikunto (2006) yang mengatakan ―bahwa apabila subjek penelitian kurang dari 100 dapat diambil semua, sehingga sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 40 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari lokasi penelitian, yaitu tentang identitas pasien yang mencakup nama, umur, jenis kelamin, dan alamat. Datadata ini dapat diperoleh dengan memberikan kuesioner. Hal pertama yang dilakukan peneliti adalah peneliti membagi anak kelas V menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan penyuluhan dengan media flip chart dan kelompok kedua diberikan penyuluhan dengan media boneka animasi. A.
Persiapan Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan secara langsung (observasi) dan juga melalui kuesioner. Data langsung diambil oleh peneliti ke lokasi penelitian yaitu pada anak kelas V SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014.
Pada hari pertama sebelum melakukan penyuluhan, peneliti membuat satu tim yang terdiri dari dua orang dan juga mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, yaitu: a. Orang pertama bertugas membagikan kuesioner b. Orang kedua sebagai pembantu yang bertugas untuk memeriksa serta mencatat hasil kuesioner. c. Alat dan Bahan a. Alat terdiri dari: 1. Flip chart 2. Boneka animasi 3. Model 4. Alat tulis b. Bahan terdiri dari: 1. Kuesioner 2. Sikat Gigi B. Pelaksanaan Kegiatan yang dilakukan adalah : 1. Kelompok pertama yang akan diberikan penyuluhan tetap berada didalam kelas, sedangkan kelompok kedua disuruh menunggu diluar kelas. 2. Sebelum memberikan kuesioner terlebih dahulu peneliti menjelaskan maksud dan tujuan datang, kemudian kuesioner dibagikan pada setiap anak untuk di jawab langsung. 3. Setelah kuesioner dijawab oleh anak-anak, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa. 4. Kemudian kuesioner yang sudah dikumpulkan dinilai. 5. Kemudian setelah didapatkan hasil pemeriksaan oleh orang yang pertama, maka orang kedua mencatat hasil yang telah di peroleh. 6. Setelah itu, hari berikutnya kelompok kedua diberikan kuesioner terlebih dahulu. 7. Setelah selesai dijawab, peneliti memeriksa kembali dan menilai hasil jawaban anak. 8. Kemudian diberikan penyuluhan dengan menggunakan media boneka animasi sebagai alat bantu dalam penyuluhan. 9. Kuesioner dibagikan kembali pada anak. 10. Setelah semua anak selesai menjawab, kuesioner dikumpul kembali dan diperiksa. 11. Setelah selesai diperiksa kemudian peneliti menjelaskan kembali jawaban yang benar. 12. Kemudian data-data tersebut dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi. Pengolahan dan Analisa Data Setelah pengumpulan data maka dilakukan analisa data dengan teknik sebagai berikut : 1. Editing (Pemeriksaan) Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang telah diperoleh. Dalam melakukan editing ada beberapa hal yang harus diperhatikan : a. Memeriksa kelengkapan data
2.
3.
b. Memeriksa kesinambungan data c. Memeriksa keseragaman data Coding Coding adalah pemberian kode numeric (angtka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Tabulasi data Tabulasi data dilakukan jika semua masalah dan coding telah selesai, sehingga data selanjutnya dimasukkan kedalam tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 40 anak kelas V SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014, maka didapat hasil sebagai berikut : Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Anak Kelas V SD Negeri 105307 Sebelum Diberi Penyuluhan Dengan Media Flip Chart No 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan Baik Sedang Buruk Total
N 5 10 5 20
% 25% 50% 25% 100 %
Dari tabel di atas terlihat bahwa pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 sebelum diberi penyuluhan tentang Kesehatan Gigi dan Mulut, yang mendapat kriteria baik sebanyak 5 responden (25%), kriteria sedang sebanyak 10 responden (50%) dan kriteria buruk sebanyak 5 responden (25%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Anak Kelas V SD Negeri 105307 Sebelum Diberi Penyuluhan Dengan Media Boneka Animasi No 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan Baik Sedang Buruk Total
N 6 5 9 20
% 30% 25% 45% 100 %
Dari tabel di atas terlihat bahwa pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 sebelum diberi penyuluhan tentang Kesehatan Gigi dan Mulut, yang mendapat kriteria baik sebanyak 6 responden (30%), kriteria sedang sebanyak 5 responden (5%) dan kriteria buruk sebanyak 9 responden (45%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Pada 20 Anak Kelas V SD Negeri 105307 Setelah Diberi Penyuluhan Dengan Media Flip Chart No 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan Baik Sedang Buruk Total
N 11 9 0 20
% 55% 45% 0% 100%
265
Dari tabel di atas dilihat bahwa pengetahuan 20 anak kelas V SD Negeri 105307 setelah diberi penyuluhan tentang Kesehatan Gigi dan Mulut dengan menggunakan Media Flip Chart, yang mendapat kriteria baik sebanyak 11 responden (55%), kriteria sedang sebanyak 9 responden (45%) dan kriteria buruk tidak ada (0%). Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Pada 20 Anak Kelas V SD Negeri 105307 Setelah Diberi Penyuluhan Dengan Media Boneka Animasi No 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan Baik Sedang Buruk Total
N 19 1 0 20
% 95% 5% 0% 100%
Dari tabel di atas dilihat bahwa pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 setelah diberi penyuluhan tentang Kesehatan Gigi dan Mulut dengan menggunakan media boneka animasi, yang mendapat kriteria baik sebanyak 19 responden (95%), kriteria sedang sebanyak 1 responden (5%) dan kriteria buruk tidak ada (0%). PEMBAHASAN Dari tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 sebelum diberi penyuluhan dengan media flip chart tentang Kesehatan Gigi dan Mulut yaitu yang pengetahuannya baik sebanyak 5 orang (25%), yang sedang sebanyak 10 orang (50%), dan pengetahuan yang buruk sebanyak 5 orang (25%). Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian terhadap kesehatan gigi dan mulut. Selain itu belum pernah diadakan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut kepada semua anak. Dari tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 sebelum diberi penyuluhan dengan media boneka animasi tentang Kesehatan Gigi dan Mulut yaitu yang pengetahuannya baik sebanyak 6 orang (30%), yang sedang sebanyak 5 orang (25%), dan pengetahuan yang buruk sebanyak 9 orang (45%). Hal ini juga dikarenakan kurangnya perhatian terhadap kesehatan gigi dan mulut. Selain itu belum pernah diadakan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut kepada semua anak. Dari tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pengetahuan pada 20 anak kelas V SD Negeri 105307 setelah diberi penyuluhan dengan media flip chart yang mendapat kriteria baik sebanyak 11 orang (55%), kriteria yang sedang 9 orang (45%), dan kriteria yang buruk tidak ada (0%). Pengetahuan anak meningkat setelah diberi penyuluhan dengan media flip chart, melalui media ini anak tidak hanya dapat mendengarkan penyuluhan tetapi juga dapat melihat gambar sesuai dengan materi penyuluhan. Tetapi karena flip chart hanya diletakkan dibagian depan kelas dan terlalu kecil untuk sasaran 20 orang maka sebagian anak tidak dapat melihat semua isi dari flip chart, terutama untuk anak yang duduk pada posisi bagian belakang. 266
Dari tabel 4 distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pengetahuan pada 20 anak kelas V SD Negeri 105307 setelah diberi penyuluhan dengan Media Boneka Animasi, yang mendapat kriteria baik sebanyak 19 orang (95%), kriteria yang sedang 1 orang (5%), dan untuk kriteria yang buruk tidak ada (0%). Pengetahuan anak semakin meningkat setelah diberi penyuluhan dengan menggunakan media boneka animasi. Hal ini dikarenakan media ini lebih mendapat perhatian khusus pada sasaran anak-anak. Anak-anak dapat belajar sambil bermain sehingga materi penyuluhan dapat lebih dicerna. Selain itu media ini mudah dibawa-bawa sehingga semua anak kelas V dapat melihat media tersebut termasuk yang duduk pada posisi bagian belakang. Dari hasil penelitian diperoleh dapat dilihat bahwa sebelum diberi penyuluhan pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 tentang kesehatan gigi dan mulut masih rendah. Terutama untuk pertanyaan nomor 2 yaitu tentang penyebab gigi berlubang semua anak menjawab salah (100%). Hal ini terjadi karena pendidikan tentang kesehatan gigi dan mulut pada anak kelas V SD Negeri 105307 masih kurang. Selain itu pada pertanyaan nomor 4 tentang lamanya waktu menyikat gigi juga rata-rata menjawab salah. Sebagian besar anak tahu waktu yang tepat untuk menyikat gigi tetapi masih belum tahu lamanya menyikat gigi yang baik dan benar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diberi penyuluhan pada 20 anak dengan menggunakan media flip chart, pengetahuan anak semakin meningkat dan tidak ada yang mendapat kriteria buruk. Tetapi masih ada anak yang menjawab salah beberapa pertanyaan, sedangkan pada saat penyuluhan dengan media flip chart tergambar dengan jelas dan juga dilengkapi dengan keterangannya. Selain itu posisi duduk pada bagian belakang juga mempengaruhi kesalahan saat menjawab kuesioner. Hal ini dikarenakan kelemahan media flip chart hanya diletakkan didepan kelas dan tidak mudah untuk dipindah-pindahkan karena mudah robek. Selain itu juga kurang menarik bagi anakanak, sehingga merasa bosan pada penyuluhannya (Suiraoka, 2012). Sedangkan dari hasil yang diperoleh setelah diberi penyuluhan pada 20 anak dengan menggunakan media boneka animasi, dapat dilihat bahwa pengetahuan anak sudah baik. Hal ini disebabkan media boneka animasi ini sangat disukai, karena bentuknya yang menarik, sehingga anak lebih semangat mendengarkan penyuluhan yang diberikan dan memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam penyuluhan. Dari hasil penelitian terlihat bahwa media boneka animasi lebih dapat meningkatkan pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307 tentang kesehatan gigi dan mulut. Anak-anak pada usia sekolah dasar lebih dapat memahami jika diberikan penyuluhan dengan cara bermain. Tetapi pada masa usia sekolah dasar, anak juga mengalami masa perubahan fisik yang cepat, masa meraih identitas yang tidak bergantung pada orang lain, masa untuk mengalami kelakuan dan berfikir realitik, sehingga anak pada usia sekolah dasar ini dapat juga memahami dan menerima pesan yang ingin disampaikan dalam penyuluhan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan pada anak kelas V SD Negeri 105307 mengenai tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dengan Penyuluhan menggunakan media flip chart dan boneka animasi diperoleh kesimpulan, yaitu : 1. Tingkat pengetahuan pada 20 anak kelas V SD Negeri 105307 sebelum diberi penyuluhan dengan media flip chart tentang kesehatan gigi dan mulut, terdapat kategori baik sebanyak 5 responden (25%) yang sedang sebanyak 10 responden (50%) dan buruk sebanyak 5 responden (25%). 2. Tingkat pengetahuan pada 20 anak kelas V SD Negeri 105307 sebelum diberi penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut dengan boneka animasi, yang kriteria baik sebanyak 6 responden (30%) yang sedang sebanyak 5 responden (25%) dan buruk sebanyak 9 responden (45%). 3. Tingkat pengetahuan pada 20 anak kelas V SD Negeri 105307 setelah diberi penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut dengan media flip chart, yang kriteria baik sebanyak 11 responden (55%) yang sedang sebanyak 9 responden (45%) dan buruk sebanyak 0 responden (0%). 4. Tingkat pengetahuan pada 20 anak kelas V SD Negeri 105307 setelah diberi penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut dengan media boneka animasi, yang mendapat kriteria baik sebanyak 19 responden (95%) yang sedang sebanyak 1 responden (5%) dan buruk sebanyak 0 responden (0%). 5. Ada perbandingan tingkat pengetahuan anak kelas V SD Negeri 105307sebelum diberi penyuluhan dan setelah diberi penyuluhan dengan menggunakan media flip chart dan boneka animasi. Hal ini disebabkan boneka animasi menarik perhatian anak oleh karena bentuknya menyerupai boneka atau patung, sehingga tingkat pengetahuan anak lebih meningkat menjadi 95%, yang sebelumnya pada penggunaan media flip chart hanya 55%, berarti selisihnya
adalah 40% setelah diberikan penyuluhan dengan media boneka animasi. Saran 1.
2.
3.
4.
Perlunya menggunakan media yang tepat dan sesuai dengan sasaran pada saat melakukan penyuluhan agar pesan yang ingin disampaikan dapat lebih dipahami. Dalam melakukan pendidikan kesehatan gigi, perlu melibatkan guru secara aktif agar selanjutnya guru mampu memberikan pendidikan kesehatan gigi dalam memotivasi anak secara mandiri. Perlunya meningkatkan peran UKGS disekolah agar lebih memotivasi anak sekolah dalam kesehatan gigi. Diharapkan kepada tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelayanan kesehatan gigi secara berkesinambungan untuk mencapai derajat kesehatan gigi dan mulut yang optimal di SD Negeri 105307 Sukaraya Pancur Batu Tahun 2014./
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S., 2006, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta Effendy, N., 1998, Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, EGC, Jakarta Andhika, C., 2012. Kesehatan Gigi dan Mulut
267
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN CAKUPAN PEMERIKSAAN KEHAMILAN DI KLINIK SURYANI KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2014
Ida Nurhayati1, Elizawarda2 1
2
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Medan Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak
Pemeriksaan kehamilan adalah pengawasan sebelum persalinan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu dengan cakupan pemeriksaan kehamilan di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan crossectional menggunakan data primer, di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014. Sebanyak 43 orang dengan menggunakan teknik Accidental Sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu paling banyak ialah pengetahuan baik yaitu 72,1% dan sebesar 65.1% mempunyai sikap positif. Hasil uji chi square menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap ibu dengan cakupan ANC. Disarankan bagi petugas kesehatan di klinik Suryani Kecamatan Medan Johor agar dapat meningkatkan kualitas dan memberikan penyuluhan kesehatan mengenai cakupan pemeriksaan kehamilan. Kata Kunci : Kehamilan, Cakupan Pemeriksaan Kehamilan Latar Belakang Upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu dan balita menjadi sangat penting, khususnya para ibu-ibu hamil dituntut untuk bekerja sama dengan tenaga pelayanan kesehatan guna tercapainya derajat kesehatan ibu dan balita yang semaksimal mungkin. Perilaku ibu hamil dapat menggambarkan adanya kecenderungan menurun atau meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan. AKI berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil (Adri, 2008) Masih tingginya AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) serta lambatnya penurunan angka kematian dimaksud, hal ini bisa dilihat dari hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Tahun 2002 adalah AKI 307/100.000 kelahiran hidup, dan AKB 35/1000 kelahiran hidup. Sedangkan hasil SDKI 2007 AKI 228/100.000 kelahiran hidup, dan AKB 34/1000 kelahiran hidup. Serta target Millennium Development Goals (MDGs) yang sudah harus dicapai pada tahun 2015 yaitu AKI 102/100.000 kelahiran hidup, dan AKB 23/1000 kelahiran hidup. Ini tentunya harus ditindak lanjuti dengan upaya percepatan (Akselerasi) penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir (Upaya PP AKI dan AKB) (Candra, 2010). Angka kematian balita menunjukkan peluang untuk meninggal pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun. Berdasarkan hasil SDKI tahun 2005, angka kematian balita (AKABA) di Sumatera Utara sebesar 67/1000 kelahiran hidup. sedangkan angka rata-rata nasional pada tahun 2007 sebesar 44/1000 kelahiran hidup. 268
angka ini lebih dibandingkan AKABA pada tahun 20022003 yang sebesar 46/1000 kelahiran hidup (Syafei Candra, 2010). AKI maternal dan AKB merupakan indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu mulai dari masa kehamilan, persalinan dan nifas. Berdasarkan laporan dari profil kabupaten atau kota, AKI yang di laporkan di Sumatera Utara hanya 123/100.000 kelahiran hidup, namun ini belum bisa menunjukkan AKI yang sebenarnya di populasi. Berdasarkan estimasi bahwa AKI di Sumatera Utara tahun 2008 adalah 206/100.000 kelahiran hidup. Bila kita lihat angka nasional, hasil SDKI terakhir menyebutkan AKI sebesar 228/100.000 kelahiran hidup (Syafei,2010) Cakupan K1 merupakan gambaran besaran ibu hamil yang melakukan kunjungan pertama ke fasilitas pelayanan kesehatan, untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Sedangkan cakupan K4 ibu hamil adalah gambaran besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan ibu hamil sesuai dengan standar serta paling sedikit empat kali kunjungan dengan distribusi, sekali pada triwulan pertama, sekali pada triwulan dua dan dua kali pada triwulan ketiga umur kehamilan. Angka ini dapat dimanfaatkan untuk melihat Kualitas pelayanan kesehatan kepada ibu hamil (Candra, 2009). Dalam catatan cakupan K4 dalam lima tahun terakhir di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan hal-hal sebagai berikut pada tahun 2003 (68,32 %), tahun 2004 (63,64 %), tahun 2005 (67,76 %) tahun 2006 ( 60,48 % ) dan tahun 2007 (77,95) dari grafik di atas terlihat bahwa cakupan kunjungan K4 ibu hamil di Sumatera Utara
bersifat fluktuatif dari tahun 2003 s/d 2005 mengalami penurunan yakni dari 68,32 % menjadi turun 67,76 %, tahun 2006 naik menjadi 80,48 % lalu kembali turun pada tahun 2007 menjadi 77,95 %. Bila dibanding dengan target Nasional 90%. Dengan demikian hasil pencapaian cakupan program K1 dan K4 masih perlu ditingkatkan seoptimal mungkin sehingga target pencapaian kegiatan 2010 sebesar 95% untuk K1 maupun K4 diwujudkan (Adri, 2008). Indikator yang dapat dipergunakan untuk mengontrol dari keberhasilan program kesehatan ibu adalah salah satunya yakni cakupan pelayanan antenatal (K1,K4) (Candra,2009). Banyak alasan mengapa ibu tidak melakukan pemeriksaan kehamilan (antenatal care) yaitu: 1) Ibu sering kali tidak berhak memutuskan sesuatu. 2) Fasilitas untuk pelayanan antenatal tidak memadai. 3) Tidak mengetahui harus memeriksakan kehamilannya. 4) Transportasi yang sulit. 5) Kurangnya dukungan tradisi dan keluarga yang mengizinkan seseorang wanita meninggalkan rumah untuk memeriksa kehamilan. 6) Takhyul. 7) Ketidakpercayaan dan ketidaksenangan pada tenaga kesehatan. 8) Ibu dan atau anggota keluarganya tidak mampu membayar atau tidak mempunyai waktu untuk memeriksakan kehamilan (Meliani, 2009). Survey pendahuluan yang di peroleh dari Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor menunjukkan bahwa pada tahun 2013 bulan Januari Cakupan K1 sebanyak 92%, K4 sebanyak 88%. Bulan Februari Cakupan K1 sebanyak 95%, K4 sebanyak 92%. Faktor-faktor yang menyebabkan ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya antara lain adalah: (a) Pengetahuan ibu hamil tentang pemeriksaan kehamilan (ANC), dan (b) Sikap ibu hamil terhadap pemeriksaan kehamilan tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan Cakupan ANC Pada Ibu Hamil di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas peneliti tertarik untuk meneliti dan mengetahui ―Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan Cakupan Pemeriksaan Kehamilan (ANC)‖. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Dengan Cakupan Pemeriksaan Kehamilan (ANC) Di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2011. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian survey analitik dengan pendekatan crossectional yaitu penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap, dan variabel terikatnya adalah cakupan pemeriksaan ANC. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor, di lakukan mulai bulan Februari sampai Agustus 2014. Populasi adalah seluruh ibu hamil
yang melakukan pemeriksaan kehamilan di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014. Seluruh populasi dijadikan sampel sebanyak 43 orang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Metode analisa yang digunakan univariabel, bivariabel dan multivariable. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 ditemukan sebanyak 43 orang ibu hamil. dan di dapat distribusi hasil responden berdasarkan pengetahuan, sikap, dan cakupan pemeriksaan kehamilan yang di uraikan sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi Pengetahuan ibu Di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 No Pengetahuan F % 1. Baik 31 72,1 2. Cukup 12 27,9 Total 43 100 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa paling banyak ibu mempunyai pengetahuan baik yaitu 31 orang (72,1%) dan paling sedikit ibu berpengetahuan cukup yaitu 12 0rang (27,9%). Tabel 2. Distribusi Sikap ibu Di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 No Sikap F % 1. Positif 28 65,1 2. Negatif 15 34,9 Total 43 100 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa paling banyak ibu dengan sikap positif yaitu 28 orang (65,1%) dan paling sedikit ibu dengan sikap negatif yaitu 15 orang (34,9%). Cakupan Pemeriksaan Kehamilan Tabel 3. Distribusi Cakupan Pemeriksaan Kehamilan ibu Di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 No Cakupan ANC F % 1. Sesuai Standart 29 67,4 2. Tidak Sesuai Standart 14 32,6 Total 43 100,0 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa paling banyak ibu dengan cakupan pemeriksaan kehamilan sesuai standart yaitu 29 orang (67,4%) dan paling sedikit ibu dengan cakupan pemeriksaan kehamilan tidak sesuai standart yaitu 14 orang (32,6%). Analisa Bivariabel Distribusi hubungan pengetahuan ibu terhadap cakupan pemeriksaan kehamilan dapat dilihat pada tabel berikut:
269
Tabel 4.Distribusi Hubungan Pengetahuan dan sikap ibu Terhadap Cakupan Pemeriksaan Kehamilan Di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 Faktor-faktor yang Cakupan Pemeriksaan Kehamilan berhubungan dengan Jumlah Sesuai Tidak Sesuai P 𝑿𝟐 hit cakupan pemeriksaan Standart Standart Value kehamilan N % N % N % Pengetahuan Baik 24 55,8 7 16,3 31 72,1 5,036 0,032 Cukup 5 11,6 7 16,3 12 27, 29 67,4 14 32,6 43 100 Jumlah Sikap 7,900 0,007 Positif 23 53,4 5 11,7 28 65,1 Negatif 6 14,0 9 20,9 15 34,9 29 67,4 14 32,6 43 100 Jumlah Berdasarkan hasil analisis Chi Square (Person Chi Square) pengetahuan ibu hamil dengan cakupan pemeriksaan kehamilan, diperoleh nilai p value = 0,032 (p<0,05). Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu hamil dengan cakupan pemeriksaan kehamilan di Klinik Suryani Kecamatan Medan Johor. Berdasarkan hasil analisis Chi Square (Person Chi Square) sikap ibu hamil terhadap cakupan pemeriksaan kehamilan, diperoleh nilai p value = 0,007 (p<0,05). Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap ibu hamil terhadap cakupan pemeriksaan kehamilan di Klinik suryani Kecamatan Medan Johor. Pembahasan Hubungan Pengetahuan dengan Cakupan Pemeriksaan Kehamilan (ANC) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa yang berpengetahuan baik dengan sesuai standart dalam cakupan pemeriksaan kehamilan dengan perincian sebagai berikut: responden yang berpengetahuan baik dengan sesuai standart dalam cakupan pemeriksaan kehamilan sebanyak 24 orang (55,8%) sedangkan responden yang berpengetahuan baik dengan tidk sesuai standart sebanyak 7 orang (16,3%) dan yang berpengetahuan cukup dengan sesuai standart sebanyak 4 orang (11,6%) sedangkan yang berpengetahuan cukup tidak sesuai standart sebanyak 7 orang (16,3%). Berdasarkan hasil analisis bivariabel dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh p value = 0,032 menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara variabel hubungan pengetahuan dan sikap ibu dengan cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Notoatmodjo, (2000) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu. Ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dengan adanya dasar pengetahuan maka suatu perilaku akan lebih lenggang dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Sukmadewi (2009) bahwa Pengetahuan mempunyai
270
hubungan yang erat dan signifikan terhadap dilakukannya pemeriksaan antenatal oleh ibu hamil. Pengetahuan yang mempunyai kontribusi tersebut adalah pengetahuan akan menfaat antenatal care yang akan diterima ibu hamil dengan melakukan pemeriksaan antenatal. Menurut peneliti dengan adanya pengetahuan, ibu akan lebih memahami hal-hal yang berhubungan dengan cakupan pemeriksaan kehamilan dan berapa kali ibu harus memeriksakan kehamilannya selama masa kehamilan dan akan lebih mudah mengontrol diri sendiri. Pengetahuan itu sendiri tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal seperti media cetak, internet, koran, majalah dan penyuluhan kesehatan yang akan menambah wawasan seseorang. Jadi, meskipun tidak memungkinkan untuk memperoleh pengetahuan dari pendidikan formal, seseorang dapat menambah pengetahuannya dengan rajin membaca, mengikuti dan mendengarkan penyuluhan – penyuluhan kesehatan dan sebagainya. Hubungan Sikap Dengan Cakupan Pemeriksaan kehamilan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa yang memiliki sifat positif cenderung sesuai dengan standart dengan perincian sebagai berikut : responden yang memiliki sikap positif sesuai standart sebanyak 23 orang (53,4%) sedangkan responden yang memiliki sikap positif yang tidak sesuai standart sebanyak 5 orang (11,7%) dan responden yang memiliki sikap negatif sesuai standart sebanyak 6 orang (14,0%) sedangkan responden yang memiliki sikap negatif tidak sesuai standart sebanyak 9 orang (20,9%). Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p value = 0,007. Nilai p value ini secra statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel hubungan pengetahuan dan sikap ibu dengan cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC). Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bertindak, dan
bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau prilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007). Menurut Sukmadewi Meliana, 2009 Sikap berkaitan dengan situasi, pengalaman orang lain atau pengalaman individu sendiri. Sikap dalam memanfaatkan pelayan kesehatan dapat terbentuk berdasarkan intraksi sebelumnya atau berdasarkan pengetahuan ibu tentang manfaat pelayanan kesehatan. Meurut peneliti sikap sangat mempengaruhi ibu dalam melakukan pemeriksaan kehamilan. Bila memiliki sikap positif maka ibu akan menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab dan akan cenderung melakukan pemeriksaan kehamilan hingga sesuai dengan standart dan begitu sebaliknya. Dari hasil penelitian dapat kita lihat bahwa ibu yang memeriksakan kehamilannya memiliki sikap positif sehingga sebagian besar ibu sesuai standart dalam pemeriksaan kehamilannya. Kesimpulan 1. Sebagian besar responden mempunyai pengetahuan baik. 2. Sikap dan pengetahuan ibu hamil mempunyai hubungan yang signifikan terhadap cakupan ANC. Saran Diharapkan memberikan penyuluhan atau informasi kepada ibu yang memeriksakan kehamilan tentang pemeriksaan kehamilan dan memberitahu berapa kali pemeriksaan yang sesuai standart cakupan pemeriksaan Daftar Pustaka Adri. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cakupan Pemeriksaan Kehamilan (K1 dan K4) di Puskesmas Runding Kota Subussalam Provinsi NAD
Agyarko. 2011. Proverty and ignorance, leading factors of poor reproductive healt. http://www.mudernghana.com Aziz A. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Kusmiyati Y. dkk. 2009. Perawatan Ibu Hamil (Asuhan Ibu Hamil). Yogyakarta: Fitramaya. Kesrepro. Info. 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kehamilan. http://www.kesrepro.info.com Maulana., Heri., & D.J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. Maya, A. 2010. Buku Pintar Kehamilan. Jakarta: EGC. Muallimat. 2009. Asuhan Antenatal (Antenatal Care). http://muallimat.blogspot.com Notoatmodjo. S. 2010 Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. , 2011. Metode Penelitian Perilaku Kesehatan. , 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. , 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. , 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Politeknik Kesehatan. 2006. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI). Medan. Setiawan & Yahmin, 2010. 7T Pada Pemeriksaan Ibu Hamil (ANC). Sukmadewi & Harahap, M. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Hamil Terhadap Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care) di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Timur Kota Langsa. Suryani. Eko & Hesty Widyasih, 2008. Psikologi Ibu dan Anak. Yogyakarta: Fitramaya. Syafei & Candra, 2009. Kesehatan Ibu & Penurunan Angka Kematian. , 2010. Penurunan AKI/AKB Secara Komprehensif.
271
TINGKAT PENGETAHUAN ANAK TENTANG PEMELIHARAAN KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT TERHADAP OHI-S DAN TERJADINYA KARIES PADA SISWA/I KELAS IV SDN 101740 TANJUNG SELAMAT KECAMATAN SUNGGAL TAHUN 2014
Sri Junita Nainggolan Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan `
Abstrak Pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk mempertahankan kesehatan gigi dan mulut yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran sikap dan perilaku seseorang dalam kemampuan pemeliharan dibidang kesehatan gigi dan mulut. apabila kebersihan gigi dan mulut diabaikan dapat menyebabkan kerusakan jaringan gigi dan penyangga gigi. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan metode survey yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak tentang pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut terhadap OHI-S dan terjadinya karies pada siswa/i kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014. Populasi berjumlah 30 siswa/i dan sampel adalah total populasi yang diperiksa. Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut, tingkat pengetahuan tentang menyikat gigi memiliki kriteria pengetahuan baik sebanyak 19 siswa (63,33%). Tingkat pengetahuan tentang diet makanan, ditemukan kriteria pengetahuan baik sebanyak 27 siswa (90%). Untuk tingkat pengetahuan tentang alat bantu dalam pembersihan gigi hanya 4 siswa (13,33%) yang memiliki kriteria baik. Debris indeks rata-rata sedang (1,536), kalkulus indeks rata-rata baik (0,513), OHI-S rata-rata sedang (2,049) dan 26 siswa yang terkena karies (86,667%).Diharapkan peran orang tua dalam mendidik anak untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut agar terhindar dari penyakit gigi dan mulut. Kata Kunci : Pengetahuan anak, OHI-S, karies
Pendahuluan Kesehatan merupakan salah satu penunjang aktivitas manusia. Tanpa adanya kesehatan manusia tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik, apabila kesehatannya terganggu. Dalam UU RI No 36 tahun 2009 BAB 1 pasal 1 ayat 1 kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam UU Kesehatan tahun 2009 BAB VI pasal 93 tentang kesehatan gigi dan mulut. Adapun pasal 93 berisikan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan survei yang dilakukan Departemen Kesehatan RI tahun 2007 menunjukan bahwa secara umum, prevalensi penyakit gigi dan mulut tertinggi meliputi 72,1% penduduk, 46,6% diantaranya karies aktif. Angka itu bukan merupakan angka yang dapat diabaikan karena telah terbukti bahwa penyakit gigi dan mulut dapat mempengaruhi produktivitas masyarakat. Pembangunan dibidang kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu bagian dari pembangunan kesehatan 272
secara menyeluruh yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap peningkatan nilai derajat kesehatan gigi dan mulut di masyarakat. Upaya kesehatan gigi perlu ditinjau dari aspek lingkungan, pendidikan, kesadaran masyarakat dan penanganan kesehatan gigi termasuk pencegahan dan perawatan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, dalam upaya kesehatan gigi perlu diketahui masalah yang berkaitan dengan proses terjadinya kerusakan gigi (Ismu Suharsono Suwelo,1992). Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan. Gigi merupakan salah satu bagian tubuh yang memiliki fungsi. Secara umum fungsi gigi sebagai berikut pertama membantu fungsi bicara, membentuk wajah, membantu proses penyaringan makanan yang masuk ke dalam rongga pencernaan dan alat untuk mengunyah sehingga makanan dapat mudah untuk ditelan dan masuk ke dalam rongga pencernaan berikutnya (Srigupta,2004). Banyak orang tidak mengetahui bahwa gigi dan mulut yang tidak sehat dapat menimbulkan penyakit lain. Hal itu terlihat karena kurangnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan gigi dan mulut terhadap terjadinya karies. Pengetahuan adalah sebuah hasil yang tidak tahu menjadi tahu, ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra
manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Menjaga kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk mempertahankan kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan seseorang. Tujuan kesehatan gigi dan mulut meningkatkan kesadaran sikap dan perilaku seseorang dalam kemampuan memelihara dibidang kesehatan gigi dan mulut dan mampu melakukan pengobatan sedini mungkin dengan cara memberikan pengertian kepada seseorang atau masyarakat tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut terhadap status kebersihan gigi dan mulut dan terjadinya karies. Kebersihan gigi dan mulut bertujuan untuk menghindari terbentuknya plak, yang mempunyai kecenderungan untuk tinggal di dalam rongga mulut dan melekat pada gigi, bila dibiarkan atau tidak dijaga kebersihannya dapat menyebabkan kerusakan gigi misalnya timbulnya lubang pada gigi atau karies dan kerusakan jaringan pendukungnya. Untuk dapat menilai kebersihan gigi dan mulut secara objektif digunakan suatu indeks skor. Indeks adalah angka yang menyatakan keadaan klinis yang didapat pada waktu dilakukan pemeriksaan. Suatu indeks yang digunakan adalah OHI-S yang menggambarkan keadaan kebersihan gigi dan mulut dari responden yang dinilai dari debris atau sisa makanan dan kalkulus atau karang gigi yang terdapat pada permukaan gigi dengan menggunakan Oral Hygiene Index Simplified oleh Green dan Vermilion. Cara penilaian OHIS adalah dengan menjumlahkan skor Debris Indeks (DI) dan Calculus Indeks (CI). Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan sementum disebabkan aktivitas jasad renik yang ada dalam suatu karbohidrat yang diragikan. Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisai pada jaringan keras gigi, diikuti dengan bahan organiknya. Hal ini akan meyebabkan terjadinya infasi bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta penyebaran infeksi kejaringan periapikal dan menimbulkan rasa nyeri. Karies gigi inilah yang apabila tidak dirawat dan dicegah dengan baik dan benar, akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan penyangga gigi sehingga dapat mengakibatkan menurunnya angka derajat kesehatan gigi dan mulut di masyarakat (Sondang Pintauli, 2008). Untuk mencegah terjadinya karies gigi dibutuhkan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut yang optimal. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya gigi berlubang yaitu dengan cara menyikat gigi yang baik dan benar. Masa sekolah dasar antara usia (6-12 tahun) merupakan masa periode usia yang penting bagi perkembangan manusia yang akan datang. Karena anak sekolah dasar merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap penyakit gigi dan mulut seperti masalah gigi berlubang, masalah bau mulut dan masalah pola makan yang baik yang dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian di SDN 101740 Tanjung Selamat
Kecamatan Sunggal tahun 2014, untuk mengetahui bagaimana Tingkat Pengetahuan Anak Tentang Pemeliharaan Kebersihan Gigi dan Mulut Terhadap OHI-S dan Terjadinya Karies Pada Siswa/i Kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak tentang pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut tehadap OHI-S dan terjadinya karies pada siswa/i kelas IV di SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal. Manfaat Penelitian 1. Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi siswa/i SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal dalam pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut terhadap OHI-S dan terjadinya karies. 2. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak sekolah, seberapa besar pengetahuan anak tentang karies gigi kelas IV SDN 101740 Desa Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal. 3. Sebagai masukan bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Medan. Jenis Dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survey dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai tingkat pengetahuan anak tentang pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut terhadap OHI-S dan terjadinya karies pada siswa/i kelas IV di SDN 101740 Tanjung Selamat Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dari penelitian adalah siswa/i kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal tahun 2014 Sampel adalah objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010). Dalam pengambilan sampel pada penelitian ini mengarah pada pendapat Suharsimi Arikunto yang menyatakan bahwa apabila subjek penelitian kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua. Tetapi jika jumlahnya lebih dari 100 dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih. Sampel diambil semua karena jumlahnya kurang dari 100 yaitu berjumlah 30 orang. Hasil Penelitian Data yang dikumpulkan adalah hasil dari penelitian yang dilakukan pada 30 siswa di SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal tahun 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian kuesioner dan pemeriksaan langsung. Setelah data terkumpul analisa data dilakukan dengan membuat tabel distribusi frekuensi.
273
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Anak Tentang Menyikat Gigi Pada Siswa/i Kelas IV Terhadap OHI-S dan Terjadinya Karies di SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 No. Kriteria sampel (n) Persentase (%) 1. Baik 19 63,33% 2. Sedang 9 30% 3. Buruk 2 6,67% Jumlah 30 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat kebersihan gigi dan mulut (Debris Indeks Rata-rata) pada siswa/i kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal tahun 2014 adalah sedang (1,536).
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tentang menyikat gigi dari 30 orang siswa, 19 siswa (63,33%) memiliki tingkat pengetahuan baik, 9 siswa (30%) memiliki tingkat pengetahuan sedang dan 2 siswa (6,67%) memiliki tingkat pengetahuan buruk.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat kebersihan gigi dan mulut (Kalkulus Indeks Ratarata) pada siswa/i kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal tahun 2014 adalah baik (0,536).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Anak Tentang Diet Makanan Pada Siswa/i Kelas IV Terhadap OHI-S dan Terjadinya Karies di SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 No. Kriteria sampel (n) Persentase (%) 1. Baik 27 90% 2. Sedang 3 10% 3. Buruk 0 0% Jumlah 30 100% Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tentang diet makanan dari 30 orang siswa, 27 siswa (90%) memiliki tingkat pengetahuan baik, 3 siswa (10%) memiliki tingkat pengetahuan sedang dan tidak ada siswa yang memiliki tingkat pengetahuan buruk. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Anak Tentang Diet Makanan Pada Siswa/i Kelas IV Terhadap OHI-S dan Terjadinya Karies di SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 No. Kriteria sampel (n) Persentase (%) 1. Baik 27 90% 2. Sedang 3 10% 3. Buruk 0 0% Jumlah 30 100% Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tentang diet makanan dari 30 orang siswa, 27 siswa (90%) memiliki tingkat pengetahuan baik, 3 siswa (10%) memiliki tingkat pengetahuan sedang dan tidak ada siswa yang memiliki tingkat pengetahuan buruk. Tabel 4. Debris Indeks Rata-rata Pada Siswa/i Kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 Jumlah Jumlah Debris Debris Indeks Siswa Indeks Total Rata-rata 30 46,08 1,536
274
Tabel 5. Kalkulus Indeks Rata-rata Pada Siswa/i Kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 Jumlah Jumlah Kalkulus Kalkulus Indeks Siswa Indeks Total Rata-rata 30 15,4 0,513
Tabel 6. OHI-S Rata-rata Pada Siswa/i Kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 Jumlah Siswa Jumlah OHI-S RataKeseluruhan OHI-S rata 30 61,48 2,049 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa OHI-S rata-rata adalah 2,049. Ini berarti tingkat kebersihan gigi dan mulut pada siswa/i kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal tahun 2014 adalah kriteria sedang. Tabel 7. Distribusi Persentase Siswa Yang terkena Karies dan Bebas Karies Pada Siswa/i Kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 No Kriteria sampel (n) Persentase (%) 1. Ada Karies 26 86,667% 2. Tidak Ada Karies 4 13,333% Jumlah 30 100% Berdasarakan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 30 orang siswa terdapat 26 orang siswa yang terkena karies (86,667%) sedangkan 4 orang siswa dinyatakan bebas karies (13,333%). Pembahasan Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tentang menyikat gigi dari 30 orang siswa, 19 orang siswa (63,33%) memiliki tingkat pengetahuan yang baik, 9 orang siswa (30%) memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 2 orang siswa (6,67%) memiliki tingkat pengetahuan yang buruk. Menurut Monang panjaitan (1995) mengatakan bahwa menyikat gigi itu sangat penting, karena menyikat gigi bertujuan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut terutama gigi serta jaringan sekitarnya. Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tentang diet makanan dari 30 orang siswa, 27 orang siswa (90%) memiliki tingkat pengetahuan baik, 3 orang siwa (10%) memiliki tingkat pengetahuan sedang
dan tidak ada siswa yang memiliki tingkat pengetahuan buruk. Kontrol Plak juga dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan berserat. Kebiasaan mengkonsumsi makan-makanan yang mengandung serat tidak merangsang pembentukan plak, melainkan berperan sebagai pengendali plak secara alamiah. Jenis makanan yang mengandung serat misalnya buah-buahan, sayuran hijau, kacang-kacangan dan serealia. Makanan berserat seperti sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung 7595% air. Sayuran dan buah-buahan berserat dan berair akan bersifat membersihkan karena harus dikunyah dan dapat merangsang sekresi saliva. Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan anak tentang alat bantu yang digunakan dalam pembersihan gigi dari 30 orang siswa, 4 orang siswa (13,33%) memiliki tingkat pengetahuan baik, 22 orang siswa (73,33%) memiliki tingkat pengetahuan sedang dan 4 orang siswa (13,33%) memiliki tingkat pengetahuan buruk. Sekalipun seseorang menyikat gigi dengan rajin dan dengan cara yang baik namun ada kalanya daerah interdental sering tidak dicapai oleh sikat gigi. Oleh karena itu plak di daerah interdental tidak dapat dibersihkan. Alat bantu dalam pembersihan gigi seperti benang gigi, tusuk, dan obat kumur yang mana dalam hal ini penggunaanya harus tepat dan benar dalam membersihkan bagian gigi yang tidak dapat dicapai dengan sikat gigi. Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa debris indeks rata-rata pada 30 orang siswa memiliki jumlah debris indeks total 46,08 dengan kriteria sedang 1,536. Debris yaitu sisa-sisa makanan yang tertinggal di dalam mulut, yang terdapat pada permukaan gigi, di antara gigi dan di bawah gingiva setelah seseorang makan. Pada umumnya debris mudah dibersihkan dengan cara gerakangerakan bibir, pipi, lidah dan juga berkumur. Kecepatan pembersihan debris dari rongga mulut bervariasi menurut jenis makanan dan individunya. Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kalkulus indeks rata-rata pada 30 orang siswa yang memiliki jumlah kalkulus indeks total 15,4 dengan kriteria baik yaitu 0,513. Menurut Machfoedz (2008) apabila gigi jarang dibersihkan, maka lama-kelamaan sisa-sisa makanan serta bahan-bahan yang ada di dalam ludah akan bersatu menjadi keras dan melekat pada permukaan gigi. Biasanya dimulai dari daerah leher gigi. Lama kelamaan dapat menyelimuti permukaan mahkota gigi. Karang gigi berwarna kekuning-kuningan. Bila sampai di bawah gusi warnanya menjadi coklat sampai kehitam-hitaman. Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa OHI-S rata-rata pada 30 orang siswa memiliki dengan kriteria sedang yaitu 2,049. Menurut Monang Panjaitan (1995) kebersihan gigi dan mulut adalah pemeliharaan kebersihan rongga mulut dengan pembuangan plak, bakteri melalui penyikatan. Menjaga kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk mempertahankan kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan seseorang. Salah satu upaya untuk memelihara kebersihan gigi dan mulut adalah dengan menyikat gigi. Selain dengan menyikat gigi ada kalanya daerah interdental sering tidak dapat disingkirkan oleh sikat gigi. Untuk dapat membersihkan daerah interdental
diperlukan alat bantu dalam pembersihan gigi misalnya benang gigi dan tusuk gigi. Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa dari 30 orang siswa terdapat 26 orang siswa yang terkena karies (86,667%) sedangkan 4 orang siswa dinyatakan bebas karies (13,333%). Menurut Edwina A.M. Kidd (1992) karies gigi merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan aktivitas jasad renik yang ada dalam suatu karbohidrat yang diragikan. Simpulan Dari hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan anak tentang pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut terhadap OHI-S dan terjadinya karies yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada siswa/i kelas IV SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal tahun 2014 dengan sampel 30 siswa adalah 1. Pengetahuan pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut dengan: Menyikat gigi a. Kriteria baik dengan persentase 66,33% b. Kriteria sedang dengan persentase 30% c. Kriteria buruk dengan persentase 6,67% Diet Makanan a. Kriteria baik dengan persentase 90% b. Kriteria sedang dengan persentase 10% c. Tidak ada siswa yang memperoleh kriteria buruk Alat bantu yang digunakan dalam pembersihan gigi a. Kriteria baik dengan persentase 13,33% b. Kriteria sedang dengan persentase 73,33% c. Kriteria buruk dengan persentase 13,33% 2. Nilai Kebersihan Gigi dan Mulut a. Debris Indeks Rata-rata adalah sedang (1,536) b. Kalkulus Indeks Rata-rata adalah baik (0,513) c. OHI-S Rata-rata adalah sedang (2,049) 3. Persentase siswa/i yang terkena karies adalah 26 siswa (86,667%) 4. Persentase siswa/i yang tidak terkena karies adalah 4 siswa (13,333%) Saran 1. Diharapkan peran orang tua dalam mendidik anak dalam pemeliharaan gigi dan mulut dengan memperhatikan cara dan waktu menyikat gigi dengan cara yang baik dan tepat serta memperhatikan ketersediaan alat bantu dalam pembersihan gigi untuk mendapatkan kebersihan gigi dan mulut yang baik. 2. Diharapkan kepada pihak SDN 101740 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal mengembangkan kerja sama dengan Puskesmas setempat untuk kegiatan Usaha Kesehatan Gigi Sekolah agar diperoleh tingkat kebersihan gigi dan mulut yang lebih baik serta memperluas pengetahuan siswa/i mengenai pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut. 3. Peningkatan motivasi pada siswa/i dan orang tua untuk melakukan perawatan kesehatan gigi dan mulut sedini mungkin memperhatikan kesehatan gigi dan
275
mulut putra-putrinya serta memeriksakan gigi anakanaknya minimal 6 bulan sekali ke dokter gigi. Daftar Pustaka Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Rineka Cipta,Jakarta.S. Srigupta, Aziz Ahmad, 2004, Perawatan Gigi dan Mulut, Prestasi Pustaka. Jakarta. Kidd, E. A. M. Bechal, S. J. 1991. Dasar- dasar Karies Dan Penanggulanganny. EGC. Jakarta. Mahfoeds, I., 2008. Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut Anak-Anak dan Ibu Hamil. Fitramayana. Yogyakarta.
276
Notoatmodjo, S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. __________, 2010. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta. Panjaitan, M, 1995. Ilmu Pencegahan Karies Gigi.Press USU Pintauli, S, Taizo Hamada, 2010. Menjaga Gigi dan Mulut Sehat. USU PRESS Tarigan R, 1995, Karies Gigi. EGC Jakarta http://mydentistdiary.blogspot.com/2010/05/kariesmenurut-kedalamannya-dapat.html
HUBUNGAN PERILAKU PASIEN DALAM PERAWATAN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS DIABETIKUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUANG RINDU A1 DAN A2 RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015
Suriani Ginting, Wiwik Dwi Arianti Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh resisten insulin dan dapat menimbulkan banyak komplikasi seperti Ulkus Diabetikum jika penderita tidak menjaga pola hidup. Untuk mencegah terjadinya Ulkus Diabetikum dibutuhkan perilaku yang mendukung dari penderita Diabetes Melitus itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku pasien dalam perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum pada pasien Diabetes Melitus di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011. Yang menjadi variabel independen adalah Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan sedangkan variabel dependen adalah Ulkus Diabteikum. Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitik dengan menggunakan desain Cross Sectional yang terdiri dari 33 sampel. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara melalui kuesioner dan lembar observasi. Adapun analisa data yang digunakan adalah Univariat, Bivariat (Uji Chi Square), dan Multivariat (Uji Regresi Logistik Ganda). Hasil penelitian berdasarkan analisa bivariat yang menggunakan Uji Chi Square menunjukkan adanya hubungan pengetahuan (p value = 0,040 < 0,05), sikap (p value = 0,027< 0,05), dan tindakan (p value = 0,024 < 0,05) dengan ulkus diabetikum. Sedangkan berdasarkan analisa multivariat yang menggunakan Uji Regresi Logistik Ganda menunjukkan bahwa variabel tindakan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan ulkus diabetikum (OR=6,024). Dengan demikian disarankan kepada pasien untuk mempertahankan perilaku yang mendukung perawatan Diabetes Melitus supaya kejadian Ulkus Diabetikum dapat dicegah. Kata Kunci : Perilaku, Diabetes Melitus, Ulkus Diabetikum
PENDAHULUAN Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, pola penyakit di Indonesia mulai mengalami pergeseran yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, di antaranya diabetes meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit itu diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah (Sudoyo, 2007). Diabetes merupakan gangguan metabolisme (Metabolic Syndrome) dari distribusi gula oleh tubuh. Penderita Diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah cukup, atau tubuh tak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah. Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun bagi tubuh. Sebagai glukosa yang tertahan di dalam darah itu melimpah ke sistem urin untuk dibuang melalui urin. Air kencing penderita Diabetes yang mengandung gula dalam kadar tinggi tersebut menarik
bagi semut, karena itulah gejala ini disebut juga gejala kencing manis (Vitahealth, 2006). Di antara penyakit degeneratif, Diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa mendatang. Diabetes telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Setiap tahunnya ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh Diabetes. Itu berarti ada satu orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan Diabetes. Di Amerika yang sudah maju sekalipun, angka kematian akibat Diabetes bisa mencapai 200.000 orang per tahun (Tandra, 2008). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2000 dalam Waluyo (2009), bahwa ada sekitar 171 juta penduduk dunia menderita Diabetes. Sekitar 60% berada di Asia. Sedangkan dalam buku Soegondo (2008), menurut WHO pada Tahun 2003 terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes di dunia. Angka ini akan bertambah menjadi 333 juta orang di tahun 2025. Diabetes juga telah masuk dalam daftar ―Penyakit Asia‖. Tahun 2003 saja diperkirakan 89 juta penduduk 277
Asia menderita Diabetes. Tercatat 4 dari 5 negara di dunia dengan jumlah penderita Diabetes terbesar di Asia yaitu : India (32,7 juta penderita), RRC (22,6 juta penderita), Pakistan (8,8 juta penderita), dan Jepang (7,1 juta penderita). Angka penderita Diabetes yang didapatkan di Asia Tenggara adalah: Singapura 10,4% (1992), Thailand 11,9% (1995), Malaysia 8% lebih (1997), dan Indonesia 5,7% (1992). (Tandra, 2008). Menurut data WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes Melitus di Asia Tenggara. Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap Diabetes Melitus. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita Diabetes Melitus di Indonesia meningkat tajam 14 juta orang, dimana baru 50% yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30% yang datang berobat teratur (Badawi, 2009). Data yang diperoleh peneliti dari Medical Record RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus yang dirawat inap dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2014 berjumlah 213 orang. Sedangkan jumlah penderita Diabetes Melitus yang dirawat inap dari bulan November 2014 sampai dengan bulan Januari tahun 2015 mencapai 55 orang. Ulkus Diabetikum adalah adanya tukak atau borok dan atau kerusakan jaringan dalam, berhubungan dengan kelainan saraf dan pembuluh darah pada tungkai bawah (Adji, 2007). Menurut penelitian klinik dari beberapa rumah sakit melaporkan prevalensi kaki diabetik di Indonesia khususnya Jakarta 32,9% menempati urutan pertama, sedangkan urutan di bawahnya adalah Surabaya 27,6%, Palembang 25,4%, Ujung Pandang 20,6% dan Semarang 17,3% dari seluruh penderita Diabetes Mellitus yang dirawat di rumah sakit . Gejala dan komplikasi kronis dapat dihindari dengan penanganan yang tepat dan teratur. Karena itu diabetisi (penderita Diabetes) harus mengenal penyakitnya dengan baik, sebab dia sendiri yang harus melaksanakan perawatannya sehari-hari (Soegondo 2008). Sayangnya diperkirakan setengah penderita Diabetes tidak melakukan diagnosis. Penyakit mulai diperhatikan benar-benar ketika seseorang sudah mulai mengalami kerusakan yang bisa dirasakannya. Seorang penderita Diabetes bisa saja menderita kebutaan, luka pada kaki atau kelainan dalam aktivitas berjalan (sulit berjalan atau tampak pincang) (Tjahajadi, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan perilaku pasien dalam perawatan diabetes melitus dengan ulkus diabetikum pada pasien diabetes melitus di Ruang Rindu A1 dan A2 di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain Cross Sectional berupa rancangan penelitian yang menekankan waktu 278
pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2009). Penelitian ini dilakukan di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP. H. Adam Malik Medan, sedangkan waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2014 s/d Januari tahun 2015. Populasi dalam penelitian adalah seluruh pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015. Penentuan besar populasi dalam penelitian ini adalah berdasarkan jumlah pasien Diabetes Melitus yang dirawat bulan November 2014 s/d Januari 2015 sebanyak 55 orang dengan sampel sebesar 33 orang. Data yang diperoleh meliputi data primer yang dikumpulkan langsung dari pasien, meliputi: pengetahuan, sikap, tindakan pasien dalam perawatan Diabetes Melitus, dan kejadian ulkus diabetikum. Dan data sekunder dikumpulkan dari Medical Record meliputi prevalensi penderita Diabetes yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan. Data dianalisis secara univariat untuk mengetahui hasil distribusi dan persentase dari setiap variabel dan bivariat untuk menganalisa hubungan variabel independen dan variabel dependen dengan menggunakan uji chi-square, serta analisis multivariat untuk melihat hubungan antara semua variabel independen dengan variabel dependen pada waktu yang bersamaan dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Dari hasil analisis data diketahui pengetahuan responden tentang perawatan diabetes melitus mayoritas cukup yaitu sebanyak 14 orang (42,4%), baik yaitu sebanyak 10 orang (30,3%) dan kurang sebanyak 9 orang (27,3%). Berdasarkan sikap responden dalam perawatan diabetes melitus diketahui mayoritas positif yaitu sebanyak 19 orang (57,6%) dan negatif sebanyak 14 orang (42,4%). Berdasarkan tindakan responden dalam perawatan diabetes melitus tidak jauh berbeda yaitu sebanyak 17 orang (51,5%) melakukan tindakan dengan baik dan sebanyak 16 orang (48,%) melakukan tindakan dengan tidak baik. Berdasarkan ulkus diabetikum responden, sebanyak 18 orang (54,5%) tidak terjadi ulkus diabetikum dan sebanyak 15 orang (45,5%) terjadi ulkus diabetikum. Analisis Bivariat Dari hasil analisis bivariat antara variabel independen (pengetahuan, sikap, tindakan) dengan variabel dependen (Ulkus Diabetikum) dengan menggunakan uji Chi Square, diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Hubungan Pengetahuan responden DM dengan Ulkus Diabetikum Dari 10 responden dengan pengetahuan baik, sebanyak 8 orang (80%) tidak terjadi ulkus diabetikum dan hanya 2 orang (20%) terjadi ulkus diabetikum. Dari 14 responden dengan
2.
3.
pengetahuan baik sebanyak 8 orang (57,1%) tidak terjadi ulkus diabetikum tetapi 6 orang (42,9%) terjadi ulkus diabetikum. Dan dari 9 responden dengan pengetahuan kurang sebanyak 2 orang (22,2%) tidak terjadi ulkus diabetikum dan sebanyak 7 orang (77,8%) terjadi ulkus diabetikum. Dari hasil uji Chi Square (Pearson Chi Square) didapatkan p value= 0,040 (p < 0,05), sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan pasien tentang perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum. Hubungan Sikap responden DM dengan Ulkus Diabetikum Dari 19 responden dengan sikap positif, sebanyak 14 orang (73,7%) tidak terjadi ulkus diabetikum dan hanya 5 orang (26,3%) terjadi ulkus diabetikum. Dan dari 14 responden dengan sikap negatif, sebanyak 4 orang (28,6%) tidak terjadi ulkus diabetikum tetapi sebanyak 10 orang (71,4%) terjadi ulkus diabetikum. Dari hasil uji Chi Square (Pearson Chi Square) didapatkan p value= 0,027 (p < 0,05), sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara sikap pasien tentang perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum. Hubungan Tindakan responden DM dengan Ulkus Diabetikum Dari 17 responden dengan tindakan baik, sebanyak 13 orang (76,5%) tidak terjadi ulkus diabetikum dan hanya 4 orang (23,5%) terjadi ulkus diabetikum. Dan dari 16 responden dengan tindakan tidak baik, sebanyak 5 orang (31,3%) tidak terjadi ulkus diabetikum tetapi sebanyak 11 orang (68,8%) terjadi ulkus diabetikum. Dari hasil uji Chi Square (Pearson Chi Square) didapatkan p value= 0,024 (p < 0,05), sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara tindakan pasien tentang perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum.
Multivariat Tahapan analisis multivariat diawali dengan pemilihan variabel kandidat dengan pembuatan model dan uji interaksi dengan melakukan analisis bivariat yang menggunakan uji Regresi Logistik Sederhana Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa semua variabel memiliki p value < 0,25 dengan perincian pengetahuan memiliki p value 0,033 < 0,25, sikap memiliki p value 0,009 < 0,25, dan tindakan memiliki p value 0,008 < 0,25. Dengan demikian ketiga variabel tersebut layak masuk ke dalam analisis multivariat. Berdasarkan pengujian Regresi Logistik Ganda variabel pengetahuan memiliki p value 0,216 > 0,05, variabel sikap memiliki p value 0,049 < 0,05, dan variabel tindakan memiliki p value 0,079 > 0,05. Dengan demikian variabel pengetahuan dikeluarkan dari model multivariat karena memiliki p value
terbesar. Sedangkan variabel sikap dan tindakan masuk ke dalam model multivariat selanjutnya. Berdasarkan pengujian Regresi Logistik Ganda sikap memiliki p value 0,039 < 0,05 dengan nilai OR sebesar 5,868 (Perubahan OR 8,46% < 10%) sedangkan tindakan memiliki p value 0,035 < 0,05 dengan nilai OR sebesar 6,024 (Perubahan OR 0,97% < 10%) dan merupakan OR terbesar dibandingkan variabel lainnya setelah pembuatan model multivariat selesai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel tindakan merupakan satu-satunya variabel yang paling dominan berhubungan dengan ulkus diabetikum. PEMBAHASAN Hubungan Pengetahuan Pasien tentang Perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Melitus Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ulkus diabetikum dengan perincian dari hasil analisis univariat didapatkan bahwa mayoritas responden yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 memiliki pengetahuan yang cukup tentang perawatan Diabetes Melitus yaitu sebanyak 14 orang (42,4%). Dari hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square (Pearson Chi Square) diperoleh p value = 0,040 < α= 0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan pasien tentang perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum dimana responden yang memiliki pengetahuan baik mayoritas tidak mengalami Ulkus Diabetikum yaitu sebanyak 8 orang (80%), responden yang memiliki pengetahuan cukup mayoritas tidak mengalami Ulkus Diabetikum yaitu sebanyak 8 orang (57,1%), sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang mayoritas mengalami Ulkus Diabetikum yaitu sebanyak 7 orang (77,8%) Hasil analisis multivariat dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda didapatkan bahwa nilai OR dari variabel pengetahuan (1) adalah 0,796 artinya pasien Diabetes Melitus yang memiliki pengetahuan cukup memiliki resiko mengalami ulkus diabetikum sebesar 0,796 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien Diabetes Melitus yang memiliki pengetahuan baik setelah dikontrol variabel sikap dan tindakan. Sedangkan nilai OR dari variabel pengetahuan (2) adalah 5,828 artinya pasien Diabetes Melitus yang memiliki pengetahuan kurang memiliki resiko mengalami Ulkus Diabetikum sebesar 5,828 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien Diabetes Melitus yang memiliki pengetahuan baik setelah dikontrol variabel sikap dan tindakan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Daniati (2008) di RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ulkus diabetikum pada pasien Diabetes Melitus dimana 53,12% pasien
279
Diabetes Melitus yang berpengetahuan baik tidak mengalami ulkus diabetikum. Menurut asumsi peneliti, semakin tingginya angka kejadian Diabetes Melitus dewasa ini menyebabkan penyakit ini mendapat perhatian masyarakat terutama para penderitanya. Hal ini juga disebabkan oleh karena penyakit ini sangat bergantung pada penderitanya sendiri. Pada saat peneliti melakukan penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden merupakan pasien lama yang pernah dirawat di pelayanan kesehatan dengan penyakit yang sama sehingga telah mendapat cukup informasi mengenai penyakitnya. Hubungan Sikap Pasien dalam Perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Melitus Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa sikap pasien dalam perawatan Diabetes Melitus memiliki hubungan yang bermakna dengan Ulkus Diabetikum dengan perincian dari hasil analisis univariat didapatkan bahwa mayoritas responden yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 memiliki sikap yang positif dalam perawatan Diabetes Melitus yaitu sebanyak 19 orang (57,6%). Dari hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Square (Continuity Correction) diperoleh p value = 0,027 < α= 0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara sikap pasien dalam perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum dimana responden yang memiliki sikap positif mayoritas tidak mengalami Ulkus Diabetikum yaitu sebanyak 14 orang (73,7%), sedangkan responden yang memiliki sikap negatif mayoritas mengalami ulkus diabetikum yaitu sebanyak 10 orang (71,4%). Hasil analisis multivariat dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda didapatkan bahwa nilai OR dari variabel sikap adalah 5,868 artinya pasien Diabetes Melitus yang memiliki sikap negatif memiliki resiko mengalami Ulkus Diabetikum sebesar 5,868 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien Diabetes Melitus yang memiliki sikap positif setelah dikontrol variabel tindakan. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010) bahwa sikap merupakan domain penting dari perilaku seseorang yang belum merupakan suatu tindakan, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Menurut asumsi peneliti, penyakit Diabetes Melitus sangat menuntut sikap positif dari penderitanya dikarenakan penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup seperti pola makan dan olah raga. Sebagian besar responden dalam penelitian telah hidup bersama Diabetes dalam waktu yang cukup lama, sehingga sudah cukup mengenal penyakit ini dengan baik dan juga menyikapinya dengan positif walaupun masih ada sebagian pasien yang kurang kooperatif dengan
280
program perawatan. Jika penderita Diabetes Melitus dapat menyikapinya dengan positif maka resiko komplikasi seperti Ulkus Diabetikum tidak akan terjadi. Hubungan Tindakan Pasien dalam Perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Melitus Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Square (Continuity Correction) diperoleh nilai p value= 0,024 < α= 0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara tindakan pasien dalam perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum dimana responden yang memiliki tindakan baik mayoritas tidak mengalami ulkus diabetikum yaitu sebanyak 13 orang (76,5%), sedangkan responden yang memiliki tindakan tidak baik mayoritas mengalami ulkus diabetikum yaitu sebanyak 11 orang (68,8%). Dari hasil analisis multivariat dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda didapatkan bahwa nilai OR dari variabel tindakan adalah 6,024 artinya pasien Diabetes Melitus yang memiliki tindakan tidak baik memiliki resiko sebesar 6,024 kali lebih tinggi mengalami Ulkus Diabetikum dibandingkan dengan pasien Diabetes Melitus yang memiliki tindakan tidak baik setelah dikontrol variabel sikap. Dari hasil akhir analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa variabel tindakan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian Ulkus Diabetikum karena memiliki nilai OR paling besar dibandingkan variabel pengetahuan dan sikap. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2010) bahwa tindakan merupakan hal apa yang dilakukan oleh responden terkait dengan kesehatan (pencegahan penyakit), cara peningkatan kesehatan, cara memperoleh pengobatan yang tepat dan sebagainya. Setelah sesorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau dinilai baik. Inilah yang disebut praktik atau wujud dari perilaku kesehatan. Menurut asumsi peneliti, keberadaan variabel tindakan sebagai domain perilaku yang paling dominan berhubungan dengan ulkus diabetikum dikarenakan tindakan merupakan wujud dari perilaku. Pengetahuan dan sikap merupakan domain penting dalam membentuk perilaku namun tindakanlah yang menjadi faktor penentu dari akibat perilaku tersebut. Sebagian besar responden telah berupaya dengan baik dalam mengendalikan penyakit yang dideritanya sehingga Ulkus Diabetikum dapat dicegah namun sebagian memiliki tindakan yang tidak baik disebabkan kurang pengetahuan dan perhatian terhadap penyakit yang diderita sehingga menyebabkan terjadinya Ulkus Diabetikum.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis univariat didapatkan bahwa mayoritas pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 memiliki pengetahuan yang cukup tentang perawatan Diabetes Melitus (42,4%). 2. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis univariat didapatkan bahwa mayoritas pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 memiliki sikap yang positif dalam perawatan Diabetes Melitus (57,6%). 3. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis univariat didapatkan bahwa mayoritas pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 memiliki tindakan yang baik perawatan Diabetes Melitus (51,5%). 4. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis univariat didapatkan bahwa mayoritas pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 tidak mengalami ulkus diabetikum (54,5%). 5. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan Ulkus Diabetikum pada pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (p value = 0,040 < α= 0,05). 6. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan Ulkus Diabetikum pada pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (p value = 0,027 < α= 0,05). 7. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tindakan dengan Ulkus Diabetikum pada pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (p value= 0,024 < α= 0,05). 8. Dari hasil penelitian berdasarkan analisis multivariat dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda dapat disimpulkan bahwa domain perilku yang paling dominan berhubungan terhadap kejadian Ulkus Diabetikum pada pasien Diabetes Melitus yang dirawat di Ruang Rindu A1 dan A2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015 adalah tindakan dengan nilai OR sebesar 6,024. Saran 1. Kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan khususnya di Ruang Rindu A1 dan A2 agar lebih meningkatkan pelayanan keperawatan dan
2.
3.
4.
pelaksanaan asuhan keperawatan khususnya dalam meningkatkan perilaku kesehatan pasien Diabetes Melitus atau mengubah perilaku negatif pasien Diabetes Melitus menjadi positif dalam hal perawatan Diabetes Melitus melalui kerjasama dengan keluarga sebagai pendamping pasien yang diharapkan memberikan dukungan pada pasien dalam perawatan penyakit Diabetes Melitus. Kepada institusi pendidikan khususnya Jurusan Keperawatan agar menjadi masukan dalam menerapkan pengetahuan dan mendalami penelitian selanjutnya tentang hubungan antara perilaku pasien dalam perawatan Diabetes Melitus dengan Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Melitus. Kepada pasien diharapkan supaya mempertahankan perilaku yang mendukung perawatan Diabetes Melitus sehingga kejadian Ulkus Diabetikum dapat dicegah karena penyakit Diabetes Melitus sangat tergantung dari perilaku kesehatan penderitanya. Kepada peneliti lain agar meneliti lebih lanjut mengenai faktor lain yang mempengaruhi kejadian Ulkus Diabetikum pada pasien Diabetes Melitus atau melakukan tindak lanjut dari hasil penelitian yang telah ada sehingga hasil penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi penderita Diabetes Melitus
DAFTAR PUSTAKA Badawi, Hasan, 2009, Melawan dan Mencegah Diabetes, Araska Printika, Yogyakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. -------------,2010, Ilmu Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Nurhasan, 2002, Kiat Melawan Penyakit, Pustaka Pelajar, Jogjakarta Nursalam, 2009, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2, Salemba Medika, Jakarta Soegondo, Sidartawan, 2008, Hidup Secara Mandiri dengan Diabetes Melitus, Kencing Manis, Sakit Gula, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Sudoyo, Aru W, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Tandra, Hans, 2008, Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tjahdadi, Vicynthia, 2010, Mengenal, Mencegah, Mengatasi Silent Killer Diabetes, Pustaka Widyamara, Semarang. Vitahealth, 2006, Diabetes, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Waluyo, Srikandi, 2009, 100 Qustions & Answers Diabetes, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
281
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN BIDAN TENTANG PENULARAN HIV/AIDS PADA PROSES PERSALINAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN
Suswati Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan `
Abstrak Bidan merupakan salah satu resiko tertinggi tertularnya HIV/AIDS, apabila tidak memahami bagaimana cara penanggulangan HIV/AIDS dan kewaspadaan universal yang merupakan upaya untuk mencegah kemungkinan terjadinnya penularan infeksi. Di Sumatera Utara terdapat 3 orang bidan yang terinfeksi HIV/AIDS pada saat menolong proses persalinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Penelitian ini bersifat analitik, populasi penelitian ini adalah seluruh bidan yang bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan berjumlah 54 orang, dan seluruhnya dijadikan sampel.Teknik analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square. Dari hasil penelitian ini yang diperoleh bahwa mayoritas bidan berumur > 35 tahun (79,6%), pendidikan D-III (68,5%), lama bekerja > 10 tahun (81,5%). Dari hasil uji chi-square tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel umur,pendidikan dan lama bekerja dengan tingkat pengetahuan bidan. Berdasarkan penelitian mayoritas bidan berpengetahuan kurang tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Hal ini disebabkan karena bidan kurang mendapatkan informasi tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan, sehingga diskriminasi terhadap orang dengan HIV/IADS terjadi khususnya pada ibu yang akan bersalin. Kata Kunci : Pengetahuan,Bidan,Penularan HIV/AIDS, Persalinan
PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian akan menimbulkan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrom). (Zein, 2007). Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 ada 33,2 juta orang yang hidup dengan HIV tercatat 2,5 juta adalah baru terinfeksi. Di Asia jumlah penderita HIV meningkat lebih dari 100%.Dan Indonesia adalah salah satu Negara dengan pertumbuhan epidemi HIV tercepat. (Departemen Kesehatan RI, 2009). Sejak tahun 2007, indonesia sudah dikategorikan sebagai Negara yang berada dalam tahap dari ―Epidemi rendah menjadi Epidemi terkonsentrasi HIV/AIDS‖ yaitu suatu keadaan yang mengindikasikan bahwa tingkat penularan HIV/AIDS sudah cukup tinggi pada populasi beresiko tinggi. Pada kasus HIV/AIDS cara penularan terbanyak melalui hubungan seksual (51,3%), inject Drug User atau IDU (39,6%), transfusi darah (3,1%) dan penularan dari ibu ke bayi (2,6%) (Maryunani, 2009). Dari data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pada akhir 2010 dilaporkan kasus tertinggi tertularnya HIV/AIDS yaitu pada kelompok usia produktif 20 – 29 tahun (47,2%), kelompok umur 30 – 282
39 tahun (31,3%) dan kelompok umur 40 – 49 tahun (9,5%). Dan kelompok termuda yaitu kelompok umur 15 – 20 tahun (2%), kelompok umur 1 – 5 tahun (1%) dan kelompok umur dibawah 1 tahun (2%) (Profil Kesehatan Indonesia, 2011). Mayoritas orang yang terinfeksi HIV berada pada usia reproduksi aktif, maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV – positif akan meningkat di Indonesia. Wanita yang sudah terinfeksi HIV/AIDS akan berpotensial menularkan virus HIV/AIDS kepada bayinya. Oleh karena itu, bidan maupun perawat perlu mengetahui bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan penularan HIV dari ibu ke bayi. Resiko bayi yang terinfeksi pada saat kehamilan berkisar 7%, pada proses kelahiran 15% dan penularan melalui Air Susu Ibu yaitu sebesar 13% (Maryunani,2009). Bidan mempunyai resiko tinggi untuk tertular HIV/AIDS , apabila tidak memahami bagaimana cara penanggulanganHIV/AIDS, kewaspadaan universal (kewaspadaan yang dilakukan secara menyeluruh) yang merupakan suatu upaya untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan infeksi. Untuk itu, prosedur tetap penggunaan alat – alat kesehatan yang digunakan secara berulang, perlu dipahami secara benar sehingga kemungkinan terjadinya penularan penyakit menular tidak akan terjadi. Pelatihan mengenai kewaspadaan universal
merupakan hal yang sangat penting, karena pelatihan ini dapat memberikan peningkatan ilmu pengetahuan dan kewaspadaan bidan dalam menjalankan tugasnya agar terlindung dari tertularnya penyakit HIV/AIDS (Hurek,2008). Hasil survey terpadu dari 2616 kasus HIV/AIDS yang terjadi di Sumatera Utara, Medan menduduki peringkat pertama dengan jumlah 1081 kasus HIV dan 1535 kasus AIDS. Selaras Dengan target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) 2015, Depkes telah mematokkan target untuk membalikkan penyebaran HIV/AIDS (Profil Kesehatan Indonesia, 2011). Dari data survey awal yang diperoleh pada tahun 2011 di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) Voluntary Counseling And Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan menemukan sebanyak 36 kasus kehamilan dengan HIV/AIDS (Pusyansus RSUP HAM,2011). Kasus HIV/AIDS juga telah menyerang bidan.Di Sumatera Utara terdapat 3 orang bidan yang terinfeksi HIV/AIDS karena membantu ibu yang sedang melahirkan. Menurut jamluddin (2009), penularan ini terjadi pada saat proses pertolongan persalinan, dimana mereka tidak menyiapkan perlengkapan yang telah ditentukan. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah apa faktor – faktor yang berhubungan dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS dalam proses persalinan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013. TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan MANFAAT PENELITIAN 1.
2.
Untuk menambah wawasan kepada petugas kesehatan dalam menjaga kewaspadaan dalam perlindungan diri terhadap penularan HIV/AIDS khususnya pada saat proses persalinan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan pada Rumah Sakit sebagai bahan acuan dalam menyusun kebijakan di masa yang akan datang serta pelaksanaan program pelayanan kesehatan khususnya pada pasien yang tertular HIV/AIDS.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bersifat analitik dengan desain ―cross sectional”.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini di lakukan di Wilayah Kerja Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Waktu Penelitian Waktu penelitian yang dilakukan pada bulan Pebruari2013 sampai dengan bulan Juni Tahun 2013. Populasi dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua bidan yang bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2013 yaitu sebanyak 54 orang. Sampel Sampel dalam penelitian ini yang digunakan adalah semua bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2013 yaitu sebanyak 54 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan PengetahuanDi RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2013 No Pengetahuan Jumlah (%) 1. Baik 24 44,4 2. Kurang 30 55,6 Jumlah 54 100 Berdasarkan tabel 1 mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik Medan adalah berpengetahuan kurang sebanyak 30 orang (55,6%) dan minoritas berpengetahuan baik sebanyak 24 orang (44,4%). Umur Umur bidan yang bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2013, dapat dikelompokkan pada umur > 35 tahun dan umur 25 – 35 tahun. Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan UmurDi RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2013 No. Umur Jumlah (%) (Orang) 1. > 35 Tahun 43 79,6 2. 25 – 35 Tahun 11 20,4 Jumlah 54 100 Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa mayoritas umur bidan yang bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan yaitu berumur >35 tahun sebanyak 43 orang (79,6%) dan minoritas berumur antara 25 – 35 tahun sebanyak 11 orang (20,4%).
283
Pendidikan Pendidikan bidan yang bekerja Di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2013 yaitu dikelompokkan menjadi Bidan D-III dan Bidan D-I yang dapat diuraikan sebagai berikut : Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2013 No Pendidikan Jumlah (%) (Orang) 1. D – III 37 68,5 2. D–I 17 31,5 Jumlah 54 100 Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa mayoritas bidan yang berada di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan adalah dengan berpendidikan D – III yaitu sebanyak 37 orang (68,5%) dan minoritas bidan yang berpendidikan D – I yaitu sebanyak 17 orang (31,5%). Lama Bekerja Lama bekerja bidan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan tahun 2013, dapat dikelompokkan > 10 tahun dan antara 5 – 10 tahun yang dapat diuraikan sebagai berikut : Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Lama BekerjaDi RSUP H.Adam Malik MedanTahun 2013 No. Lama Bekerja Jumlah (%) (Orang) 1. > 10 Tahun 44 81,5 2. 5 – 10 Tahun 10 18,5 Jumlah 54 100 Berdasarkan Tabel 4 bahwa mayoritas lama bekerja bidan yaitu lebih dari 10 tahun sebanyak 44 orang (81,5%) dan minoritas lama bekerja bidan yaitu antara 5 – 10 tahun sebanyak 10 orang (18,5%). Analisa Bivariat Hubungan umur dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 5. Distribusi Umur Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 Pengetahuan No Umur
Baik F 1. > 35 Tahun 19 2. 25 – 35 Tahun 5 Jumlah 24
284
% 44,2 45,5 44,4
Kurang F % 24 55,8 6 54,5 30 55,6
Total F 43 11 54
Berdasarkan tabel 5 mayoritas bidan berumur >35 tahun dengan rata – rata tingkat pengetahuan kurang tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan sebanyak (55,8%). Dari hasil uji Chi-square didapat nilai p (0,94) > 0,05, ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan tingkat pengetahuan. Hubungan Pendidikan Dengan Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Hubungan pendidikan dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 6. Distribusi Pendidikan Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 Pengetahuan No Pendidikan Baik Kurang F % F % 1. D – III 18 48,6 19 51,4 2. D – I 6 35,3 11 64,7 Jumlah 24 44,4 30 55,6
Total F 37 17 54
P % 100 100 100
0 , 3 5
Berdasarkan Tabel 6 terdapat mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik berpendidikan D – III dengan rata – rata tingkat pengetahuan kurang tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan sebanyak 51,4%. Dari hasil uji Chi-square diketahui nilai p (0,35) > 0,05, ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan tingkat pengetahuan. Hubungan Lama Bekerja Dengan Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Hubungan lama bekerja dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 7. Distribusi Lama Bekerja Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013 Pengetahuan No Lama Bekerja
Baik F %
1. > 10 Tahun 20 2. 5 – 10 Tahun 4 Jumlah 24
Kurang F %
45,5 24 40,0 6 44,4 30
Total F
54,5 44 60,0 10 55,5 54
P % 100 100 100
P % 100 100 100
0,94
Berdasarkan tabel 7 terdapat mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik dengan lama bekerja > 10 tahun dan rata – rata tingkat pengetahuan
0 , 7 5
bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan kurang yaitu sebanyak 54,5%. Dari hasil uji Chi-square diketahui nilai p (0,75) > 0,05, ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dengan tingkat pengetahuan. Pembahasan Hubungan Umur Dengan Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Dari hasil penelitian terhadap 54 orang bidan, diperoleh hasil uji chi-square tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel umur dengan tingkat pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Berdasarkan hasil penelititan diperoleh mayoritas bidan berumur > 35 tahun sebanyak 43 orang (79,6%) dan minoritas bidan berumur antara 25 – 35 tahun sebanyak 11 orang (20,4%). Uji analisa bivariat diperoleh mayoritas bidan berumur >35 tahun dengan rata – rata tingkat pengetahuan kurang tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan sebanyak (55,8%). Dari hasil uji Chisquare didapat nilai p (0,94) > 0,05, ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan tingkat pengetahuan. Menurut Elisabeth BH dalam Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum dewasa. Menurut asumsi peneliti bahwa golongan umur responden menunjukkan golongan umur produktif yaitu 25 – 35 tahun dan > 35 tahun. Dalam hal ini semakin tua umur seseorang maka tingkat pengetahuan seseorang semakin tinggi karena banyaknya pengetahuan yang didapat dari pengalaman hidup.Dan semakin cukup umur seseorang maka semakin matang tingkat kematangan dan kekuatan seseorang dalam berfikir dan belajar. Hubungan Pendidikan Dengan Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Dari hasil penelitian terhadap 54 orang bidan, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara variabel pendidikan dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh mayoritas bidan berpendidikan D – III yaitu sebanyak 37 orang (68,5%) dan minoritas bidan berpendidikan D – I sebanyak 17 orang (31,5%). Hasil uji bivariat terdapat mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik berpendidikan D – III dengan rata – rata tingkat pengetahuan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan kurang sebanyak 51,4%. Hal ini disebabkan karena bidan kurang memahami tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan, sehingga dengan kurangnya pengetahuan bidan terhadap HIV/AIDS akan beresiko tinggi terhadap terinfeksinya virus HIV/AIDS
Dari hasil uji Chi-square diketahui nilai p (0,35) > 0,05, ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara pendidikan dengan tingkat pengetahuan. Menurut penelitian Resminarti (2002), pendidikan responden tidak mempengaruhi pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Menurut asumsi peneliti bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang dan perilaku seseorang.Pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah menerima informasi. Dengan demikian tingkat pengetahuan seseorang berkaitan dengan tingkat pendidikannya, khususnya untuk bidan yang berpendidikan D-III maka pada umumnya pengetahuan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan lebih tinggi dari pada bidan D-I. Hubungan Lama Bekerja Dengan Pengetahuan Bidan Tentang Penularan HIV/AIDS Pada Proses Persalinan Dari hasil penelitian terhadap 54 orang bidan, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara variabel lama bekerja dengan pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh mayoritas bidan dengan lama bekerja >10 tahun yaitu sebanyak 44 orang (81,5%) dan minoritas bidan dengan lama bekerja 5 – 10 tahun sebanyak 10 orang (18,5%). Hasil uji bivariat terdapat mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik dengan lama bekerja > 10 tahun dan rata – rata tingkat pengetahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan kurang yaitu sebanyak 54,5%. Hal ini disebabkan karena bidan kurang mendapatkan informasi tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan, sehingga dengan kurangnya pengetahuan bidan terhadap HIV/AIDS akan beresiko tinggi terhadap terinfeksinya virus HIV/AIDS kepada bidan serta dapat memberikan pemikiran yang negatif dan diskriminasi (perlakuan yang tidak adil) terhadap orang dengan HIV/AIDS sehingga bidan tidak akan melakukan VCT yang dapat mengakibatkan terjadinya pemun-duran terhadap pencegahan HIV/AIDS. Dari hasil uji Chi-square diketahui nilai p (0,75) > 0,05, ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara lama bekerja dengan tingkat pengetahuan. Menurut Handoko dan latif (2006), lama bekerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat.Faktor – faktor yang mempengaruhi lama bekerja yaitu tingkat kepuasan kerja, lingkungan kerja, pengembangan karier dan kompensasi hasil kerja. Hal ini terkait dengan lama bekerja seorang bidan yaitu semakin lama bekerja maka semakin banyak pula pengetahuan dan pengalaman klinis seorang bidan tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Menurut asumsi peneliti bahwa lama bekerja responden yang relatif panjang (lama) dan memiliki pengalaman kerja yang cukup lama tidak
285
mempengaruhi responden dalam pencegahan penularan HIV/AIDS pada proses persalinan.
Saran 1.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik Medan yaitu berumur > 35 tahun dengan tingkat pengetahuan kurang tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Hal ini disebabkan karena bidankurang mendapatkan informasi tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan, sehingga dengan kurangnya pengetahuan bidan terhadap HIV/AIDS akan beresiko tinggi terhadap terinfeksinya virus HIV/AIDS kepada bidan serta dapat memberikan pemikiran yang negatif dan diskriminasi (perlakuan yang tidak adil) terhadap orang dengan HIV/AIDS khususnya pada ibu yang akan bersalin. 2. Mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik berpendidikan D – III dengan rata – rata tingkat pengetahuan kurang tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Hal ini disebabkan karena bidan kurang memahami tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan, sehingga dengan kurangnya pengetahuan bidan terhadap HIV/AIDS akan beresiko tinggi terhadap terinfeksinya virus HIV/AIDS kepada bidan serta dapat memberikan pemikiran yang negatif dan diskriminasi (perlakuan yang tidak adil) terhadap orang dengan HIV/AIDS sehingga bidan tidak akan melakukan VCT yang dapat mengakibatkan terjadinya pemunduranterhadap pencegahan HIV/AIDS. 3. Mayoritas bidan yang bekerja di RSUP H.Adam Malik dengan lama bekerja > 10 tahun dan rata – rata tingkat pengetahuan bidan kurang tentang penularan HIV/AIDS pada proses persalinan. Hal ini disebabkan karena bidan kurang mendapatkan informasi tentangpenularan HIV/AIDS pada proses persalinan, sehingga dengan kurangnya pengetahuan bidan terhadap HIV/AIDS akan beresiko tinggi terhadap terinfeksinya virus HIV/AIDS kepada bidan serta dapat memberikan pemikiran yang negatif dan diskriminasi (perlakuan yang tidak adil) terhadap orang dengan HIV/AIDS sehingga bidan tidak akan melakukan VCT yang dapat mengakibatkan terjadinya pemunduran terhadap pencegahan HIV/AIDS. 4. Dari hasil uji Chi-square tidak ada hubungan yang signifikan. Hal ini berarti antara umur, tingkat pendidikan dan lama bekerja tidak mempengaruhi tingkat penge-tahuan bidan tentang penularan HIV/AIDS.
286
2.
3.
Adapun saran – saran yang disampaikan yaitu : Bagi Tenaga Kesehatan Diharapkan kepada petugas kesehatan khususnya bidan yang bertugas di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2013, untuk meningkatkan pengetahuan tentang penularan HIV/AIDS agar tidak menjadi resiko tinggi terhadap terinfeksinya virus HIV/AIDS dantidak memberikan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS sehingga tidak terjadinya pemunduran terhadap pencegahan HIV/AIDS serta dapat memberikan meningkatkan kewaspadaan universal (kewaspadaan yang dilakukan secara menyeluruh) yang bertujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan HIV/AIDS dari pasien ke petugas kesehatan. Agar diadakan pelatihan-pelatihan tentang HIV/AIDS khususnya pada saat menolong persalinan. Bagi Institusi Pendidikan Disarankan bagi institusi pendidikanagar menyeleng-garakan seminar-seminar tentang proses penularan HIV/AIDS yang bertujuan untuk menambah wawasan mahasiswi dan disarankan kepada mahasiswi untuk membentuk kelompok KIP-KRR di institusi pendidikan yang bertujuan untuk mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS. Bagi Peneliti Diharapkan kepada peneliti selanjutnya, agar lebih men-dapatkan hasil yang lebih maksimal lagi dari penelitian ini. Dengan melakukan penelitian terhadap sikap bidan dengan pengetahuan tentang penularan dan pencegahan HIV/AIDS pada proses persalinan.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI, 2003. Pedoman Nasional Perawatan Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA, Jakarta. , 2003.Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan, Jakarta. , 2009. Data dan Statistik HIV – AIDS di Daerah dan Kota di Indonesia 2009.http://design.wordpress.com/2009/12/02/ data-statistik-hiv-aids-di-daerah-kota-diindonesia-2009/. Jakarta Kementrian Kesehatan RI,2011.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hutapea,R, 2011. AIDS & PMS dan PERKOSAAN. Edisi II. Rineka Cipta, Jakarta. IBI, 2006. Bidan Menyongsong Masa Depan. Cetakan VII. Jakarta. Jamaluddin, 2009. Dokter,Perawat, dan Bidan Rentan HIV/AIDS. http://www.pemkomedan.go.id/news detail.php?id=3156.
Maryunani,A. 2009. Pencegahan Penularan HIV adari Ibu Ke Bayi Penatalaksanaan Di Pelayanan Kebidanan. Trans Info Media, Jakarta. Notoadmojo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. ,2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta. Nursalam, 2011. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV. Salemba Medika, Jakarta. Politeknik Kesehatan, 2006. Panduan Penyusunan KTI. Medan.
Prawirohardjo,S, 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Pusyansus RSUP HAM, 2013. Angka Kejadian HIV/AIDS pada kasus kehamilan dan persalinan tahun 2009 – 2011. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Medan. Wawan.A, Dewi, M. 2010. Teori & Pengukuran PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MANUSIA. Nuha Medika. Yogyakarta. Yusrawati, 2010. Diklat Biostatistika. Politeknik Kesehatan. Medan.
287
FAKTOR-FAKTOR DOMINAN YANG MEMPENGARUHI KEPATUHANI ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK DENGAN LEUKEMIA DALAM MENJALANI TERAPI KEMOTERAPI DI RB4 RSUP H.A.MALIK MEDAN TAHUN 2014
Tiurlan Mariasima Doloksaribu, Risma Dumiri Manurung Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Leukemia adalah jenis kanker darah, dimana sel darah putih diproduksi melebihi yang seharusnya ada. Leukemia adalah keganasan yang mewakili hampir sepertiga dari semua kanker pada anak, ditandai dengan pucat, kelelahan, memar dan ptekie, nyeri tulang, demam, hepatosplenomegali, limfadenopati, anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Terapi paling efektif untuk penyembuhannya adalah kemoterapi. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi orangtua sebagai support sistem utama bagi anak dalam kepatuhan menjalani kemoterapi. Jenis penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan analisis univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Jumlah sampel 18 responden. Hasil penelitian dengan analisis univariat menunjukkan, tingkat sosial ekonomi responden mayoritas adalah keluarga sejahtera III sebanyak 8 responden (44,4 %), tingkat pengetahuan baik sebanyak 10 responden (55,6%) dan berdasarkan kelompok umur, sebanyak 7 responden (38,88%) kelompok umur 40-49 tahun, 6 responden (33.3%) kelompok umur 30-39 tahun. Analisis bivariat, menurut tingkat sosial ekonomi dari keluarga sejahtera III sebanyak 7 responden (38,8%) patuh, sedangkan yang tidak patuh pada keluarga sejahtera I dan II masing-masing sebanyak 2 responden (11,11%). Responden yang berpengetahuan baik dan patuh mengikuti kemoterapi sebanyak 8 orang (44,4%) sedangkan yang berpengetahuan kurang dan tidak patuh sebanyak 2 responden (11,1%). Berdasarkan kelompok umur 30-39 tahun, dari 6 responden sebanyak 5 responden (83,3%) patuh, kelompok usia 50-59 tahun dari 2 responden sebanyak 1 responden (50%) tidak patuh. Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan merupakan faktor paling dominan yang mempengaruhi kepatuhan orangtua dalam menjalankan kemoterapi bagi anaknya, sehingga disarankan bagi petugas kesehatan untuk memberikan seluas-luasnya informasi tentang penyakit leukemia dan pengobatan yang efektif (kemoterapi) kepada orangtua dengan anak penderita leukemia dalam menjalankan kemoterapi. Kata Kunci : Leukemia, Kepatuhan orangtua, Kemoterapi
PENDAHULUAN Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan, penderita kanker bertambah 6,25 juta per tahun di seluruh dunia. Di Indonesia, diprediksi tiap tahun ada seratus penderita baru dari 100.000 penduduk, 2 persen diantaranya atau 4.100 kasus merupakan kanker anak. Angka ini terus meningkat akibat kurangnya pemahaman orang tua mengenai penyakit kanker dan bahayanya (Cecile & Linda, 2009). Kanker pada anak menurut Birch dan Marsden yang diakui oleh World Health Organization (WHO), terdapat 12 jenis kanker pada anak (Gupta, et al. dalam Pinkerton, Shankar, Matthay, 2007). Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) paling banyak dari semua kanker anak (Duchoslav, 2010). Sesuai data American Cancer Society (2006, dalam Campbell, et al. 2008b) LLA adalah jenis kanker yang paling umum menyerang anak-anak, terhitung hampir sepertiga dari semua diagnosis kanker pada anak di Amerika. Leukemia merupakan jenis kanker 288
yang paling banyak dijumpai pada anak-anak atau berkisar 25-30 persen dari total jumlah kasus yang ada (Cecile & Linda, 2009). Dari semua jenis leukemia, Limfoblastic Leukemia Akut (LLA) adalah kanker yang paling umum pada anak-anak, yang mewakili 23% dari diagnosa kanker diantara anak-anak muda sejak 15 tahun terakhir ini. Penyakit ini terjadi pada sekitar 80% dari semua kasus leukemia pada anak-anak. Puncak insiden terjadi di kelompok usia antara 2-5 tahun dan mempengaruhi anak laki-laki lebih dari perempuan. LLA adalah keganasan yang paling umum didiagnosis pada anak-anak, yang mewakili hampir sepertiga dari semua kanker pediatrik. Tingkat kejadian tahunan untuk LLA mencapai 30,9 kasus per 100 juta penduduk (Meyer et al, 2006.) Menurut Luxner (2005) Leukemia adalah penyakit hemopoietik ganas yang ditandai dengan proliferasi limfosit tidak terbatas, terjadi perubahan yang sangat cepat dimana sel-sel tersebut menggantikan elemen sumsum darah normal. Sebanyak 50% anak dengan LLA mengalami pucat, kelelahan, memar, dan ptekie, 25%
mengalami nyeri tulang, 60% demam dan hepatosplenomegali serta 50% mengalami limfadenopati, terkadang ditemukan adanya massa pada mediastinum. Luxner (2005) menyebutkan lebih jelas bahwa anak dengan LLA mengalami anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Anemia mengakibatkan kelelahan, kelemahan, pucat, dan lesu. Neutropenia menyebabkan demam dan infeksi sedangkan trombositopenia mengakibatkan kulit memar atau purpura, ptekie, epistaksis, melena, dan perdarahan gusi. Infiltrasi leukemia juga menyebabkan hepatosplenomegali, limfadenopati, nyeri tulang dan sendi, anoreksia, nyeri perut, dan penurunan berat badan. Sondheimer (2008). Leukemia adalah suatu jenis kanker darah, dimana sel darah putih diproduksi melebihi yang seharusnya ada. Pengobatan anak dengan LLA mencakup tiga komponen yaitu kemoterapi, radiasi, dan kemoterapi dengan transplantasi sel induk (Duchoslav, 2010). Pengobatan ini menggunakan bahan-bahan kimia untuk membunuh sel kanker. Prinsip kemoterapi adalah mencegah sel-sel kanker untuk membelah diri, menyerang dan menyebar. Kemoterapi mempengaruhi perbanyakan dan pertumbuhan sel tumor, khususnya sel dengan tingkat perbanyakan yang sangat cepat (Duchoslav, 2010). Kemoterapi berperan paling efektif pada pengobatan awal atau pengobatan primer bila dibandingkan dengan metode lain seperti bedah atau terapi radiasi. Dengan modalitas pengobatan yang ada sekarang, bentuk terapi ini menawarkan kesempatan terbesar untuk menyembuhkan pasien dengan kanker. Namun keputusan medis bagi seorang pasien leukemia untuk melakukan kemoterapi merupakan suatu keputusan yang akan mengeluarkan biaya hidup yang besar serta memerlukan kepatuhan yang cukup tinggi untuk menjalani terapi tersebut (Cecile & Linda, 2009). Keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis anak-anak (Bart & Smeth 1994). Kepatuhan orangtua pasien anak dengan leukemia dalam menjalani tindakan kemoterapi sangat diperlukan, mengingat anak penderita leukemia harus menjalani tindakan kemoterapi sampai batas yang ditentukan oleh professional kesehatan. Ashley (2010), menyatakan setiap anak yang menderita leukemia menjalani durasi pengobatan kemoterapi yang berbedabeda. Ada yang mengikutinya secara harian, mingguan maupun bulanan, hal ini dikarenakan berbedanya kekuatan tubuh seorang anak penderita leukemia dalam mengikuti kemoterapi. Pada kenyataannya belum semua anak penderita leukemia menunjukan kepatuhan dalam menjalani kemoterapi tersebut. Savage et al (2008) mengemukakan bahwa secara umum ketidaktaatan meningkatkan resiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang dan memperburuk kesakitan yang diderita. Hurlock (1980) menyebutkan ketidaktaatan ini sebagai masalah medis yang berat dan mentaati rekomendasi pengobatan yang dianjurkan dokter merupakan masalah yang sangat penting. Tingkat ketidaktaatan ini terbukti cukup tinggi dalam seluruh populasi medis yang kronis.
Dunbar dan Stunkard (dalam Neil, 2009) mengemukakan bahwa ketidakpatuhan pasien telah menjadi masalah serius yang dihadapi tenaga kesehatan profesional, untuk itu perlu diketahui tentang kepatuhan serta faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh dari RSUP. H. Adam Malik Medan pada tahun 2012 yaitu dari 45 penderita leukemia, yang menjalani kemoterapi sebanyak 38 orang dan hanya 22 orang diantaranya yang patuh dalam menjalani kemoterapi sedangkan pada tahun 2013 dari 84 orang anak penderita leukemia, yang menjalani kemoterapi sebanyak 63 orang dan hanya 48 orang (76,1%) yang patuh menjalani kemoterapi. Melihat fenomena diatas penulis tertarik untuk meneliti faktor dominan apa sajakah yang mempengaruhi kepatuhan orangtua yang mempunyai anak yang menderita leukemia dalam menjalani tindakan kemoterapi di ruang Rindu B4 RSUP.H.Adam Malik Medan. METODE PENELITIAN Desain penelitian adalah desain penelitian cross sectional, yaitu suatu metode yang merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) dengan jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kepatuhan orangtua yang mempunyai anak dengan leukemia dalam menjalani kemoterapi di ruang rindu B4 RSUP.H.Adam Malik Medan 2014. Populasi penelitian adalah semua orangtua yang mempunyai anak leukemia yang menjalani kemoterapi pada bulan Juli-Agustus 2014 di ruang Rindu B4 RSUP.H.Adam Malik Medan. Pengambilan sampel dengan teknik accidental sampling yaitu semua orangtua yang secara kebetulan bertemu selama penelitian, hingga terpenuhi jumlah sampel yang diinginkan yaitu berjumlah 18 orang. Jenis pengumpulan adalah jenis data primer yaitu data yang langsung diperoleh secara langsung oleh peneliti terhadap sasaran, menjelaskan tujuan penelitian, memberikan surat persetujuan menjadi responden, dan memberi kuesioner yang berbentuk multiple choise (kuesioner tertutup), setelah diisi dikumpul kembali untuk diperiksa kelengkapannya. HASIL PENELITIAN Responden sebanyak 18 orangtua dari anak dengan leukemia yang mengikuti kemoterapi di Ruang Rindu B4. H. Adam Malik Medan. Tabel 1. Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat sosial ekonomi orangtua anak pasien leukemia yang menjalani kemoterapi di ruang RB4 RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014. Sosial Ekonomi F % Keluarga Sejahtera I 3 16,7 Keluarga Sejahtera II 6 33,3 Keluarga Sejahtera III 8 44,4 Keluarga Sejahtera IV 1 5,6 Jumlah 18 100
289
Tingkat sosial ekonomi mayoritas adalah keluarga sejahtera III yaitu sebanyak 8 orang (44,4 %). Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat sosial ekonomi orangtua pasien anak leukemia yang menjalani terapi kemoterapi di ruang RB4 RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014. Sosial Patuh Tidak Patuh Jlh Ekonomi F % F % F % Keluarga 1 5,56 2 11,1 3 16,6 Sejahtera I Keluarga 4 22,2 2 11,1 6 33,3 Sejahtera II Keluarga 7 38,8 1 5,56 8 44,4 Sejahtera III Keluarga 1 5,56 1 5,56 Sejahtera IV Jumlah 13 72,2 5 27,7 18 100 Tingkat sosial ekonomi responden pada keluarga sejahtera III sebanyak 7 orang (38,88%) patuh, sedangkan responden yang tidak patuh pada keluarga sejahtera I dan II masing-masing sebanyak 2 orang (11,11%). Tabel 3. Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pengetahuan orangtua pasien anak leukemia yang menjalani terapi kemoterapi di RB4 RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2014. Pengetahuan F % Baik 10 55,6 Cukup 6 33,3 Kurang baik 2 11,1 Tidak baik Jumlah 18 100 Tingkat pengetahuan orangtua pasien anak leukemia mayoritas adalah baik yaitu sebanyak 10 orang (55,6%). Tabel 4. Distribusi tingkat pengetahuan orangtua pasien anak leukemia yang menjalani terapi kemoterapi berdasarkan kepatuhan di RB4 RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014. PengePatuh Tidak Patuh Jlh tahuan F % F % F % Baik 8 44,4 2 11,1 10 55,5 Cukup 5 27,7 1 5,5 6 33,3 Kurang 2 11,1 2 11,1 baik Jumlah 13 72,2 5 27,7 18 100 Responden yang berpengetahuan baik dan patuh mengikuti kemoterapi sebanyak 8 orang (44,4%) sedangkan responden yang berpengetahuan kurang dan tidak patuh sebanyak 2 orang (11,1%).
290
Tabel 5. Distribusi frekuensi berdasarkan umur orangtua pasien anak leukemia yang menjalani terapi kemoterapi di RB4 RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2014. Umur F % 20-29 3 16,7 30-39 6 33,3 40-49 7 38,9 50-59 2 11,1 Jumlah 18 100 Berdasarkan kelompok umur, sebanyak 7 orang (38,88%) orangtua pada kelompok umur 40-49 tahun, sebanyak 6 orang 33.3%) orangtua pada kelompok umur 30-39 tahun. Tabel 6. Distribusi frekuensi umur orangtua pasien anak leukemia yang menjalani terapi kemoterapi berdasarkan kepatuhan di RB4 RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2010. Umur Patuh Tidak patuh Jumlah F % F % F % 20-29 3 16,6 3 16,6 30-39 5 27,7 1 5,5 6 33,3 40-49 4 22,2 3 16,7 7 38,9 50-59 1 5,6 1 5,5 2 11,1 Jumlah 13 72,2 5 27,8 18 100 Berdasarkan kelompok umur, sebanyak 5 responden (27,78%) pada kelompok umur 30-30 tahun patuh dan kelompok umur 40-49 sebanyak 3 responden (16,7%) tidak patuh. PEMBAHASAN Keberhasilan program pengobatan pasien leukemia dalam manjalani kemoterapi sangatlah dipengaruhi oleh kepatuhan keluarga pasien itu sendiri dalam menjalani terapi kemoterapi yang telah ditentukan oleh profesional kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan orangtua pasien anak leukemia yang menjalani kemoterapi di RB4 RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2010. 1. Sosial Ekonomi Tingkat sosial ekonomi responden pada keluarga sejahtera III sebanyak 7 orang (38,88%) patuh, sedangkan responden yang tidak patuh pada keluarga sejahtera I dan II masing-masing sebanyak 2 orang (11,11%). Tingkat sosial ekonomi seseorang mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam mengikuti program pengobatan yang dikarenakan oleh adanya perbedaan tingkat kesejahteraan seseorang. Sachwartz dan Griffin dalam buku Psikologi Kesehatan karangan Bart & Smeth yang mengatakan bahwa perilaku ketaatan pasien berhubungan dengan tingkat finansial ataupun tingkat kesejahteraan pasien dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan baik kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan perkembangan maupun kebutuhan akan pemenuhan kesehatan. Adapun responden yang memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah memungkinkan responden
untuk patuh dalam terapi maupun pengobatan menjadi berkurang. 2. Pengetahuan Responden yang berpengetahuan baik dan patuh mengikuti kemoterapi sebanyak 8 orang (44,4%) sedangkan responden yang berpengetahuan kurang dan tidak patuh sebanyak 2 orang (11,1%). Pengetahuan seseorang mempengaruhi kepatuhannya dalam program pengobatan. Semakin tinggi pengetahuan seseorang maka semakin tinggi kemampuan cita, rasa, dan karsa yang dimiliki seseorang tersebut sehingga semakin baik pula perilakunya. Namun masih ditemukan responden dengan tingkat pengetahuan baik mempunyai kepatuhan yang kurang yaitu 2 orang (11,11%) , hal ini dapat dihubungkan dengan faktor lain yang mempengaruhi seperti kesibukan bekerja dan kesadaran untuk mengontrol anak yang kurang yang menyebabkan kepatuhan akan pengobatan menjadi berkurang. 3. Umur Berdasarkan kelompok umur 30-39 tahun, dari 6 responden sebanyak 5 responden (83,3%) patuh. Hal ini dikarenakan pada usia ini merupakan masa berkembangnya keseriusan bekerja serta usaha-usaha mempertahankan keberhasilan sehingga dalam hal ini memotivasi orangtua anak untuk patuh terhadap kemoterapi agar kondisi kesehatan anaknya tetap terjaga sehingga tidak mengganggu segala aktifitasnya. Responden pada kelompok usia 50-59 tahun dari 2 responden sebanyak 1 responden (50%) tidak patuh karena pada usia ini merupakan masa dimana berkurangnya kemampuan dan kekuatan terhadap stres, berkurangnya minat dan masa penerimaan atas perubahan-perubahan yang terjadi baik dari perubahan fisik maupun psikis sehingga mengurangi motivasi untuk tetap patuh dalam menjalani terapi kemoterapi. SIMPULAN Dari hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan orangtua yang mempunyai anak dengan leukemia dalam menjalani terapi kemoterapi di RB4 RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 dengan jumlah responden 18 orang didapatkan bahwa status ekonomi keluarga dan tingkat pengetahuan yang baik sangat mempengaruhi kepatuhan orangtua untuk membawa anaknya menjalankan terapi kemoterapi sesuai dengan regimen pengobatan. Umur orangtua juga mempengaruhi kepatuhannya membawa anaknya mengikuti kemoterapi. Orangtua pada kelompok umur 3039, sebanyak 5 (83,3%) dari 6 orang patuh membawa anaknya menjalani kemoterapi. Pada kelompok umur 3039 tahun mengalami penurunan kepatuhan membawa anaknya menjalani kemoterapi, diikuti kelompok umur 4049 tahun, 3 (43%) dari 7 orangtua tidak patuh.
mempunyai anak dengan leukemia agar patuh dalam menjalani terapi kemoterapi yang telah ditetapkan oleh profesional kesehatan. Para profesional kesehatan harus menjelaskan tentang prosedur kemoterapi, dampaknya dan hal-hal yang perlu dilakukan agar orangtua tetap bersemangat membawa anaknya mengikuti prosedur kemoterapi secara teratur sesuai regimen pengobatan DAFTAR PUSTAKA American Cancer Society. (2009). Children and cancer: Information and resources.. diperoleh tanggal 19 Februari 2011. Ashley, S.M. (2008). Rare hematological malignancies. New York: Springer-Heidelberg. Campbell, L.K., Scaduto, M., Slyke, D.V., Niarhos, F., Whitlock, J.A., & Compas, B.E. (2008b). Executive function, coping, and behavior in survivors of childhood acute lymphocytic leukemia. Journal of Pediatric Psychology, 34(3) 317-327. Cecily & Linda. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri edisi 5. EGC, Jakarta Duchoslav, R.L. (2010). The effects of pediatric acute lymphoblastic leukemia on social competence: an investigation into the first three months of treatment; A thesis of Psychology. Utah State University, Logan, Utah digitalcommons.usu.edu/cgi/ viewcontent.cgi?article=1545. Hurlock, E.B. (1980). Development psychology: A lifespan approach, ed-5. (terj. Psikologi perkembangan; suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. oleh: Istiwidayanti & Soedjarwo). Jakarta: Erlangga. Luxner, K.L. (2005). Delmar’s pediatric nursing care plans, 3rd Ed. Clifton Park: Thomson Learning. P 619-632. Meyer, E.C., Ritholz, M.D., Burns, J.P., & Truog, R.D. (2006). Improving the quality of end-of-life care in the pediatric intensive care unit : parents’ priorities and recommendations. Journal Pediatrics; 117,649657. Niven, Niel. 2009. Psikologi Kesehatan, EGC.Jakarta Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta. Jakarta Permono, B., Sutaryo., Ugrasena, I,D,G., Windiastuti, E., & Abdulsalam, M. (2010). Hematologi-onkologi anak, buku ajar. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Savage, E., Riordan,A.O., & Hughes, M. (2008). Quality of life in children with acute lymphoblastic leukaemia: a systematic review. European Journal of Oncology Nursing. 30, 1–13. Smert & Bart. 1994. Psikologi Kesehatan, Grasindo. Jakatra. Sondheimer, J.M. (2008). Current essential pediatric. Colorado: The McGraw-Hill Companies, Inc. Supandiman, Iman.2006. Hematologi Klinik, P.T.Alumni. Bandung.
SARAN Kepada para profesional kesehatan untuk memberikan support sistem kepada orangtua yang
291
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG ANEMIA DENGAN KEPATUHAN MEMINUM TABLET ZAT BESI DI RUMAH BERSALIN SAM KAMPUNG BARU MEDAN TAHUN 2014
Wildan Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Menurut WHO kejadian anemia kehamilan berkisar 20% sampai 89% dengan menetapkan hemoglobin 11 gram/% sebagai dasarnya. Hemoglobin kurang dari 11 gram/% pada wanita hamil dapat menimbulkan dampak mulai saat dalam kandungan, setelah lahir menimbulkan masalah bagi bayi, seperti berat badan lahir rendah, penurunan status imun, kemungkinan gangguan fisiologis, dan tumbuh kembang bayi. Jenis penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dan sampel dari penelitian ini adalah ibu hamil sebanyak 58 orang dengan teknik accidental sampling,dengan menggunakan uji ChiSquare. Ibu berpengetahuan kurang sebanyak 22 orang (37,93%). Responden tidak patuh mayoritas pada umur 20-35 tahun sebanyak 22 orang (56,5%), ibu yang berpendidikan SMP sebanyak 12 orang (66,67%), kehamilan secundipara sebanyak 12 orang (63,15%). Hasil uji Chi-Square menyatakan ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan meminum tablet zat besi (x2 = 15,07), ada hubungan umur dengan kepatuhan meminum tablet zat besi (x2 = 11,46), ada hubungan pendidikan dengan kepatuhan meminum tablet zat besi (x2 = 9,5), ada hubungan paritas dengan kepatuhan meminum tablet zat besi (x2 = 18,24). Ada hubngan pengetahuan ibu hamil tentang anemia kurang dan tidak patuh dalam meminum tablet zat besi.saran:kepada ibu hamil untuk lebih banyak mendapatkan informasi tentang anemia, dan patuh untuk meminum tablet zat besi. Kata Kunci : Pengetahuan, Kepatuhan dan Tablet Besi PENDAHULUAN Upaya pemerintah dalam mengatasi anemia defisiensi besi ibu hami terfokus pada pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil. Departemen Kesehatan masih terus melaksanakan program penanggulangan anemia defisiensi besi pada ibu hamil dengan membagikan tablet besi atau tablet tambah darah kepada ibu hamil sebanyak satu tablet setiap satu hari berturut-turut selama 90 hari selama masa kehamilan (Depkes RI 2010). Salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya anemia defisiensi besi pada ibu hamil adalah rendahnya kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi. Sebanyak 74,16% ibu hamil dinyatakan tidak patuh dalam mengkonsumsi tablet besi (Indreswari, 2008). Hasil penelitian Budi Iswanto di Puskesmas Karangdowo, Klaten dimana pengetahuan tentang anemia defisiensi besi bahwa ibu hamil yang menjadi responden mempunyai pengetahuan tentang anemia defisiensi besi dalam kategori cukup sebesar 47 responden (53,4%) dan yang termasuk kategori baik sebesar 14 responden (15,6%). Sedangkan ibu hamil dengan kategori kurang sebesar 27 responden (30,0%). Dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi dengan kategori patuh sebayak 47 responden (53,41%). Ibu hamil yang tidak patuh dalam mengkonsumsi tablet besi sebanyak 41 responden (46,59%).
292
Kepatuhan dalam mengkonsumsi tablet besi adalah ketaatan ibu hamil melaksanakan anjuran petugas kesehatan untuk mengkonsumsi tablet zat besi. Kepatuhan mengkonsumsi tablet zat besi di ukur dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet zat besi, frekuensi konsumsi perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan besi. Ketidakpatuhan ibu hamil meminum tablet zat besi dapat memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena anemia (Hidayah, 2012). Berdasarkan survei anemia yang dilaksanakan tahun 2005 di 4 kab/kota di Sumatera Utara, yaitu Kota Medan, Binjai, Kab. Deli Serdang dan Langkat, diketahui bahwa 40,50% pekerja wanita menderita anemia. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi anemia adalah dengan pemberian tablet besi (Fe) sebanyak 90 tablet selama masa kehamilan. Cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet besi di Sumatera Utara menunjukkan kenaikan yaitu 62,22% pada tahun 2010 menjadi 75,15% pada tahun 2011 dan 77,37% pada tahun 2012. Peningkatan ini belum mampu mencapai target nasional yaitu 80% (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2012). Menurut WHO kejadian anemia kehamilan berkisar 20% sampai 89% dengan menetapkan
hemoglobin 11 gram/% sebagai dasarnya. Berbagai negara, termasuk di Asia Tenggara diperkirakan terdapat 24.800 ribu wanita hamil yang menderita anemia dan sebagian besar menderita defisiensi besi dan di Indonesia angka prevalensi rata-rata anemia pada wanita hamil sekitar 63,5%, dan 20% di antaranya adalah ADB (Anemia Defisiensi Besi) menepati urutan pertama (Ani, 2013). Berbagai studi melaporkan bahwa ADB (Anemia Defisiensi Besi) pada wanita hamil dapat menimbulkan dampak mulai saat dalam kandungan, setelah lahir, usia sekolah hingga masa dewasa. Salah satu dampak ADB (Anemia Defisiensi Besi) yang lebih awal dapat diamati adalah partus prematurus, yaitu proses kelahiran bayi sebelum aterm. Keadaan ini menimbulkan masalah baru bagi bayi, seperti berat badan lahir rendah, penurunan status imun, kemungkinan gangguan fisiologis, dan tumbuh kembang bayi (Ani, 2013). Berdasarkan survey awal yang dilakukan melalui wawancara di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014 terhadap 30 orang ibu hamil, ditemukan 20 orang (66%) tidak mengetahui tentang anemia dan tidak patuh meminum tablet zat besi sesuai dengan anjuran petugas kesehatan. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ―Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia Dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi di Klinik Bersalin SAM Kampung Baru Medan tahun 2014 ‖. Rumusan Masalah ―Bagaimana Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil tentang Anemia dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014?‖ Tujuan Penelitian mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil tentang anemia dengan kepatuhan meminum tablet zat besi di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan tahun 2014. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Klinik bersalin SAM Kampung Baru Medan. Penelitian ini dilakukan bulan Februari sampai bulan Juli 2014. Desain dan sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil trimester II dan trimester III. Jumlah sampel dalam penelitian 58 orang. Penelitian yang digunakan bersifat analitik dengan desain ―cross sectional” yaitu pengukuran variabel independen dan dependen dilakukan secara bersamaan.
HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Karakteristik Ibu Hamil Yang melakukan ANC di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014 Karakteristik Kategori F % < 20 12 20,70 Umur 20 – 35 39 67,24 > 35 7 12,06 SD 9 15,53 Pendidikan SLTP Sederajat 18 31,03 SLTA Sederajat 16 27,58 Perguruan 15 25,86 Tinggi Primipara 12 20,70 Paritas Secundipara 19 32,75 Multipara 27 46,55 Jumlah 58 100 Berdasarkan tabel 1 diatas, menunjukkan karakteristik responden mayoritas berada pada umur 20-35 tahun yaitu 39 orang (67,24 %) dan mayoritas berpendidikan SLTP sederajat yaitu 18 orang (31,03 %). Dilihat dari paritas, mayoritas dengan paritas multipara yaitu 27 orang (46,55 %). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Responden Tentang Anemia Ibu Hamil di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014 Pengetahuan F % Baik 15 25,86 Cukup 21 36,21 Kurang 22 37,93 Jumlah 58 100 Berdasarkan tabel 2 diatas, diketahui bahwa dari 58 responden, mayoritas mempunyai pengetahuan kurang yaitu 22 orang (37,93%), dan minoritas responden berpengetahuan baik yaitu 15 orang (25,86 %). Kepatuhan Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepatuhan Responden Meminum Tablet Zat Besi Dalam Kehamilan di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014 Kepatuhan F % Patuh 34 58,62 Tidak Patuh 24 41,38 Jumlah 58 100 Berdasarkan tabel 3 diatas, diketahui bahwa dari 58 responden, mayoritas patuh yaitu 34 orang (58,62 %), dan minoritas responden tidak patuh yaitu 24 orang (41,38%).
293
Tabel 4. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia Dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi Di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014 Pengetahuan Kepatuhan Total x2 Tabel Patuh Tidak patuh Hitung F % F % F % 12 80 3 20 15 100 Baik 18 85,72 3 14,28 21 100 Cukup 4 18,18 18 81,82 22 100 Kurang
x2
15,07 5,991
Tabel 5. Hubungan Umur dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan tahun 2014
<20 tahun 20-35 tahun >35 tahun
Kepatuhan Total Patuh Tidak F % F % Dasar 8 88,88 1 11,12 Menengah Pertama 6 33,33 12 66,67 Menengah Atas 9 56,25 7 43,75 Perguruan Tinggi 11 73,33 4 26,67 Pendidikan
Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa hubungan pengetahuan ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi dengan mayoritas patuh sebanyak 18 orang (85,72%) yang berpengetahuan cukup dan minoritas patuh sebanyak 4 orang (18,18%) yang berpengetahuan kurang. Mayoritas tidak patuh sebanyak 18 orang (81,82%) berpengetahuan kurang dan minoritas 3 orang (14,28%) yang berpengetahuan cukup. Berdasarkan hasil uji Chi-Square (x2) dengan = 0,05 maka diperoleh nilai df = 2 hasil x2 hitung adalah 15,07 dan hasil x2 tabel adalah 5,991 Dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (15,07 > 5,991) yang berarti terdapat hubungan pengetahuan dengan kepatuhan meminum tablet zat besi.
Umur
Tabel 6. Hubungan Pendidikan dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014
Kepatuhan Total x2 x2 Tabel Patuh Tidak Hitung Patuh F % F % F % 11 91,6 1 8,4 12 100 17 43,5 22 56,5 39 100 11,46 6 85,7 1 14,3 7 100
Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa hubungan pendidikan ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi mayoritas patuh yang memiliki pendidikan perguruan tinggi sebanyak 11 orang (73,33%) dan minoritas ibu yang patuh yang berpendidikan menengah pertama sebanyak 6 orang (33,33%). Mayoritas ibu tidak patuh yang berpendidikan menengah pertama sebanyak 12 orang (66,67%) dan minoritas ibu tidak patuh yang berpendidikan dasar sebanyak 1 orang (11,12%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square (x2) dengan = 0,05 maka diperoleh nilai df = 3 hasil x2 hitung adalah 9,5 dan hasil x2 tabel adalah 7,815 Dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (9,5 > 7,815) yang berarti terdapat hubungan pendidikan ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. Tabel 7. Hubungan Paritas dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014 Paritas
5,991
Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa hubungan umur ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi mayoritas yang patuh pada umur 20-35 tahun sebanyak 17 orang (43,5%) dan minoritas yang patuh pada umur >35 tahun sebanyak 6 orang (85,7%). Mayoritas ibu tidak patuh pada umur 20-35 tahun sebanyak 22 orang (56,5%) dan minoritas ibu yang tidak patuh pada umur >35 tahun sebanyak 1 orang (14,3%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square (x2) dengan = 0,05 maka diperoleh nilai df = 2 hasil x2 hitung adalah 11,46 dan hasil x2 tabel adalah 5,991 Dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (11,46 > 5,991) yang berarti terdapat ada hubungan umur ibu hamil dengan kepatuhan meminum tablet zat besi.
x2 x2 Tabel Hitung Patuh F % 9 100 18 100 9,5 7,815 16 100 15 100
Primipara Secundipara Multipara
Total x2 x2 Tabel Tidak Hitung Patuh F % F % F % 10 83,33 2 16,67 12 100 7 36,85 12 63,15 19 100 18,24 17 62,97 10 37,03 27 100
Kepatuhan Patuh
5,991
Dari tabel 7 dapat diketahui bahwa hubungan paritas ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi adalah mayoritas ibu yang patuh pada ibu multipara sebanyak 17 orang (62,97%) dan minoritas ibu yang patuh pada ibu secundipara sebanyak 7 orang (36,85%). Mayoritas ibu tidak patuh pada ibu secundipara sebanyak 12 orang (63,15%) dan minoritas ibu tidak patuh pada primipara sebanyak 2 orang (16,67%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square (x2) dengan = 0,05 maka diperoleh nilai df = 2 hasil x2 hitung adalah 18,24 dan hasil x2 tabel adalah 5,991 Dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (18,24 > 5,991) yang berarti terdapat hubungan paritas ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. Pembahasan Tingkat Pengetahuan Responden Pengetahuan memiliki konstribusi yang penting terhadap pemahaman dan penguasaan dalam hal gizi dalam kehamilan. Berdasarkan hasil penelitian dari 58 responden diketahui bahwa mayoritas pengetahuan responden memiliki tingkat pengetahuan kurang yaitu 22 orang
294
(37,93%) dan minoritas dengan pengetahuan baik yaitu 15 orang (25,86%). Pengetahuan sesuai teori Notoatmojo (2012), merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Menurut asumsi peneliti, responden kurang dalam mengetahui tentang meminum tablet zat besi. Ini dikarenakan ibu kurang mengikuti penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan petugas kesehatan, ibu kurang mengerti pentingnya tablet besi dalam kehamilan sehingga ibu tidak patuh meminum tablet zat besi. Tingkat Kepatuhan Responden Berdasarkan hasil penelitian dari 58 responden diketahui bahwa mayoritas responden patuh sebanyak 34 orang (58,62%) dan minoritas tidak patuh sebanyak 24 orang (41,38%). Umur adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja (Wawan, 2010). Paritas adalah banyaknya jumlah anak yang dilahirkan oleh ibu. Jumlah anak dilahirkan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan ibu tentang meminum tablet zat besi. Pada umumnya ibu yang memilki anak lebih dari satu memilki pengetahuan lebih baik dibandingkan yang baru pertama kali melahirkan, pengetahuan tersebut dikarenakan pengalaman melahirkan (Lilis, 2009). Hasil penelitian Sadariah tahun 2012, di Puskesmas Bara-Baraya diperoleh bahwa dari 110 sampel ibu hamil terdapat 43 (39,9 %) ibu hamil yang menderita anemia didapatkan 16 (37,2 %) ibu yang tidak patuh dalam konsumsi tablet zat besi. Tingkat pengetahuan seseorang mengenai tablet Fe berpengaruh terhadap perilaku dalam memilih makanan yang mengandung zat besi. Hal ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri (2006) di Bantul, menyebutkan bahwa ibu hamil yang memiliki pengetahuan mengenai anemia yang cukup baik belum dapat mendorong ibu hamil untuk lebih patuh mengonsumsi tablet Fe akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa sebagian besar ibu hamil yang patuh memiliki pengetahuan yang baik. Menurut asumsi peneliti, kepatuhan ibu meminum tablet zat besi sangat dipengaruhi dengan pengetahuan ibu. Karena semakin baik pengetahuan ibu maka akan semakin patuh ibu meminum tablet zat besi dalam kehamilan. Kurangnya kepatuhan ibu meminum tablet zat besi dapat juga dipengaruhi umur, karena semakin cukup umur tingkat kematangan ibu akan lebih baik dalam berfikir dan patuh meminum tablet zat besi. Pendidikan, karena tingkat pendidikan ibu yang rendah dapat mengakibatkan kurangnya pengetahuan dan kepatuhan ibu dalam meminum tablet zat besi. Dan paritas, karena pengalaman ibu memiliki anak lebih dari satu memiliki pengetahuan dan kepatuhan dalan meminum tablet zat besi.
Hubungan Kepatuhan Terhadap Umur Dari hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden tidak patuh meminum tablet zat besi banyak terdapat pada umur 20-35 sebanyak 22 orang (56,5%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square (x2) dengan = 0,05 maka diperoleh nilai df = 2 hasil x2 hitung adalah 11,46 dan hasil x2 tabel adalah 5,991 Dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (11,46 > 5,991) yang berarti terdapat ada hubungan umur ibu hamil dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. Pada penelitian ini belum menunjukkan adanya kecenderungan semakin tua usia ibu hamil maka anemia semakin besar. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Herlina yang menunjukkan bahwa hubungan yang tidak bermakna antara usia ibu hamil dengan anemia (p > 0.05). Sedangkan pada penelitian Gautam menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (p < 0,05). Menurut asumsi peneliti bahwa umur ibu sangat berpengaruh dengan tidak patuhnya meminum tablet zat besi pada ibu hamil. Umur ibu <20 tahun kurang perhatian dengan kesehatannya dan kurang peduli dengan kehamilannya dimana ibu tidak mengetahui tentang pentingnya tablet zat besi sehingga tidak patuh meminum tablet zat besi, umur 20-35 tahun adalah umur sehat dan aman bagi ibu dimana pengetahuan ibu cukup, sehingga patuh meminum tablet zat besi sedangkan umur >35 tahun umur yang rentan berbahaya karena sering lupa meminum tablet zat besi dan ibu pun menjadi tidak patuh. Hubungan Kepatuhan Terhadap Pendidikan Dari hasil penelitian diketahui bahwa responden yang patuh meminum tablet zat besi mayoritas yaitu ibu yang pada pendidikan perguruan tinggi sebanyak 11 orang (73,33%) dan minoritas pendidikan dasar sebanyak 1 orang (11,12%) ibu tidak patuh meminum tablet zat besi. Berdasarkan hasil uji Chi-Square (x2) dengan = 0,05 maka diperoleh nilai df =3 hasil x2 hitung adalah 9,5 dan hasil x2 tabel adalah 7,815 Dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (9,5 > 7,815) yang berarti terdapat hubungan pendidikan ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. Menurut asumsi penulis, dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa responden yang berpendidikan tinggi lebih mudah menerima dan melakukan saran maupun informasi tentang pentingnya zat besi sehingga lebih patuh dalam mengkonsumsinya, namun hasil penelitian masih ditemukan ibu yang berpendidikan tinggi tidak patuh dalam meminum tablet zat besi. Hal ini dikarenakan ibu tidak peduli pentingnya meminum tablet zat besi dan tidak mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan sehingga ibu tidak patuh meminum tablet zat besi. Hubungan Kepatuhan Terhadap Paritas Dari hasil penelitian diketahuai bahwa responden yang patuh meminum tablet zat besi mayoritas yaitu multipara sebanyak 17 orang (62,96%) dan minoritas primipara sebanyak 2 orang (16,67%) ibu tidak patuh meminum tablet zat besi.
295
Berdasarkan hasil uji Chi-Square (x2) dengan = 0,05 maka diperoleh nilai df = 2 hasil x2 hitung adalah 18,24 dan hasil x2 tabel adalah 5,991 Dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (18,24 > 5,991) yang berarti terdapat hubungan paritas ibu dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. Menurut asumsi peneliti dalam penelitian ini, paritas sangat berhubungan terhadap kepatuhan meminum tablet zat besi karena semakin sering ibu melahirkan semakin banyak pengalaman dan pengetahuan dalam meminum tablet zat besi selama kehamilan sehingga ibu patuh meminum tablet zat besi. Manfaat meminum tablet zat besi anak yg dilahirkan sehat dibanding anak sebelumnya yang dilahirkan yg tidak patuh meminum tablet zat besi, dan ibu pun saat hamil tidak mengalami pusing seperti yang di alaminya pada hamil pertama. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan penelitian yang berjudul ―Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia Dengan Kepatuhan Meminum Tablet Zat Besi Di Rumah Bersalin SAM Kampung Baru Medan Tahun 2014’’, maka dapat diambil kesimpula sebagai berikut : 1. Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu hamil tentang anemia dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. Dari hasil uji Chi-Square (x2) dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (15,07 > 5,991) yang berarti terdapat hubungan pengetahuan dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. 2. Ada hubungan kepatuhan ibu hamil meminum tablet zat besi berdasarkan umur. Dari hasil uji Chi-Square (x2) dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (11,46 > 5,991) yang berarti terdapat hubungan umur dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. 3. Ada hubungan kepatuhan ibu hamil meminum tablet zat besi berdasarkan pendidikan. Dari hasil uji Chi-Square (x2) dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (9,5 > 7,815) yang berarti terdapat hubungan pendidikan dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. 4. Ada hubungan kepatuhan ibu hamil meminum tablet zat besi berdasarkan paritas. Dari hasil uji Chi-Square (x2) dimana x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (18,24 > 5,991) yang berarti terdapat hubungan paritas dengan kepatuhan meminum tablet zat besi. Saran 1. Bagi pimpinan Rumah Bersalin SAM Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan kepada ibu hamil tentang anemia dalam kehamilan sehingga ibu hamil dapat patuh dalam meminum tablet zat besi, ibu berpendidikan rendah pun dapat di beri penjelasan tentang anemia agar ibu tersebut patuh dalam
296
2.
meminum tablet zat besi yang di berikan oleh tenaga kesehatan, begitu juga terhadap ibu yang hanya mempunyai satu anak, sehingga kurang dalam mempunyai pengalaman, ibu dapat di beri penjelasan agar bayi ibu dan ibu akan lebih sehat bila mengkonsumsi tablet zat besi dan patuh meminumnya. Bagi ibu hamil Agar lebih sering mengikuti berbagai penyuluhan oleh tenaga kesehatan, dan menggali informasi dari media masa tentang pentingnya meminum tablet zat besi sehingga ibu patuh dalam meminum tablet zat besi.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad N, Kalakoti P, Bano R, Aarif SM. The prevalence of anaemia and associated factors in pregnant women in a rural Indian community. Australasian Medical Journal. 2010; 3,5, 276280. Diunduh 29 Juli 2014 Almatsier. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ani. 2013. Buku Saku Anemia Defisiensi Besi. EGC. Jakarta Depkes RI, 2010, Profil Kesehatan Indonesia 2009, Jakarta, p. 106-7. www.DepkesRI.com Depkes. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta : Depkes http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/P rofil%20Kesehatan%20Indonesia%202008.pdf Diunduh 7 Mei 2014 Depkes, RI. 2013. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Elvina. 2012. Artikel Kesehatan Waspada Anemia Saat Hamil. http://health.okezone.com/read/2012/09/09/483/ 687153/waspada-anemia-saat-hamil, Sindo. Rabu, 9 September 2012. 07.45 Wib. Diunduh Selasa, 14 Januari 2014 Indreswari, dkk 2008, Hubungan antara Intensitas Pemeriksaan Kehamilan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Konsumsi Tablet Besi dengan Tingkat Keluhan selama Kehamilan. Jurnal Gizi dan Pangan. Notoatmojo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Proverawati, A. 2011. Anemia dan Anemia Kehamilan. Nuha Medika. Yogyakarta Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Graha Ilmu. Yogyakarta Susilawati. 2011. Hubungan Pengetahuan dan sikap dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet zat besi folat pada ibu hamil dengan kejadian anemia gravidarum di Puskesmas Jabon Jombang. [Tesis]. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diunduh 29 Juli 2014 Wawan dan Dewi M. 2011. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Nuha Medika. Yogyakarta.
PENGARUH TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP NYERI MENSTRUASI PADA SISWI SMA 3 KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2014
Ratni Siregar, Ramlan Nasution, Elly Indrani Harahap Prodi Kebidanan Padangsidimpuan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak Nyeri pada saat menstruasi atau haid sering dikeluhkan seorang wanita sebagai sensasi tidak nyaman, bahkan karena timbulnya nyeri tersebut dapat mengganggu aktivitas dan memaksa penderita untuk istrahat dan meninggalkan pekerjaan atau aktivitas rutinnya selama beberapa jam atau beberapa hari. Relaksasi secara umum sebagai metode yang paling efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri sehingga perlu dilakukan penelitian pengaruh terapi relaksasi terhadap nyeri menstruasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan derajat nyeri menstruasi sebelum dengan sesudah dilakukan terapi relaksasi pada siswi SMAN 3 Padangsidimpuan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan disain quasi experimental untuk mengetahui pengaruh relaksasi pernapasan terhadap nyeri menstruasi pada siswi SMAN 3. Jumlah sampel terdiri dari 30 orang yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Pengumpulan data diambil melalui hasil kuisioner dan observasi yang diperiksa berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, dan analisis data berupa analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji-t berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur menarche responden < 11 tahun ada sebanyak 7 orang (23,33%), umur 11 – 13 tahun ada sebanyak 15 orang (50%), dan umur >14 tahun ada sebanyak 8 orang (26,67%). Sebelum pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 4 orang (13,33%), nyeri sedang ada sebanyak 16 (53,33%) orang, dan nyeri berat ada sebanyak 10 orang (33,34%) maka mayoritas responden merasakan intensitas nyeri sedang yaitu sebanyak 16 orang (53,33%). Setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 23 orang (76,67%), nyeri sedang ada sebanyak 7 orang (23,33%), dan nyeri berat tidak ada (0%), maka mayoritas responden merasakan intensitas nyeri ringan sebanyak 23 orang (76,67%). Analisis bivariat menunjukkan adanya perbedaan nilai rerata intensitas nyeri sebelum dan setelah perlakuan sebesar 2,93. Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji T Berpasangan didapatkan nilai P=0,001 < α=0,05 dimana ada perbedaan bermakna antara pre dan post intervensi, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian relaksasi nafas dalam yang signifikan terhadap penurunan intensitas nyeri dismenore pada Siswa SMAN 3 Kota Padangsidimpuan. Kata Kunci : Relaksasi nafas dalam, Nyeri Menstruasi
PENDAHULUAN Latar Belakang Nyeri pada saat menstruasi atau haid sering dikeluhkan seorang wanita sebagai sensasi tidak nyaman, bahkan karena timbulnya nyeri tersebut dapat mengganggu aktivitas dan memaksa penderita untuk istrahat dan meninggalkan pekerjaan atau aktivitas rutinnya selama beberapa jam atau beberapa hari. Karakteristik nyeri ini sangat khas karena muncul secara reguler dan periodik menyertai menstruasi yaitu rasa tidak enak di perut bagian bawah sebelum dan selama haid disertai mual disebabkan meningkatnya kontraksi uterus. Hal ini dilaporkan sebagai dismenore. Istilah dismenorea (dysmenorrhoea) berasal dari bahasa ―Greek‖yang artinya dys (gangguan/nyeri hebat/abnormalitas) – meno (bulan) – rrhea (―flow‖ atau aliran) sehingga dari makna tersebut, dismenore adalah
gangguan aliran darah haid atau nyeri haid (Sherwood, 2012). Wanita yang mengalami nyeri menstruasi (dismenorea) memproduksi prostaglandin 10 kali lebih banyak dari wanita yang tidak dismenorea. Prostaglandin menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus, dan pada kadar yang berlebih akan mengaktivasi usus besar. Penyebab lain dismenorea dialami wanita dengan kelainan tertentu, misalnya endometriosis, infeksi pelvis (daerah panggul), tumor rahim, apendisitis, kelainan organ pencernaan, bahkan kelainan ginjal. (Prawirohardjo, 2002). Studi epidemiologi pada populasi remaja (berusia 12-17 tahun) di Amerika Serikat, Klein dan Litt melaporkan prevalensi dismenorea mencapai 59,7%. Dari mereka yang mengeluh nyeri, 12% berat, 37% sedang, dan 49% ringan. Studi ini juga melaporkan bahwa dismenorea menyebabkan 14% remaja sering tidak masuk sekolah. Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa tidak ada 297
perbedaan prevalensi yang signifikan diantara populasi yang berbeda, Puncak insiden dismenorea primer terjadi pada akhir masa remaja (adolesence) dan di awal usia 20an, insiden dismenorea pada remaja (adolesence) dilaporkan sekitar 92%. Insiden ini menurun seiring dengan bertambahnya usia dan meningkatnya kelahiran (Wicaksono, 2004). Di lingkungan sekolah SMAN 3 Padangsidimpuan diperkirakan 35% siswi sering mengalami nyeri menstruasi pada saat menstruasi dan sekitar 5% siswi SMAN 3 tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya disebabkan nyeri menstruasi (Survei, 2014). Rasa ketidaknyamanan jika tidak diatasi akan mempengaruhi fungsi mental dan fisik individu sehingga mendesak untuk segera mengambil tindakan/terapi secara farmakologis atau non farmakologis. Dalam lingkup kebidanan dikembangkan terapi non farmakologis sebagai tindakan mandiri merupakan suatu kelangsungan kondisi kesejahteraan yang melibatkan upaya merawat diri sendiri secara fisik, mengekspresikan emosi dengan benar dan efektif, menggunakan pikiran dengan konstruktif, secara kreatif terlibat dengan orang lain dan upaya memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Terapi non farmakologis atau holistik untuk mengatasi nyeri dapat menggunakan sentuhan terapeutik, akupresur dan relaksasi. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa nyeri serta dapat digunakan pada saat seseorang sehat ataupun sakit. (Perry, 2006). Relaksasi merupakan intervensi mandiri untuk menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan tegangan otot yang menunjang nyeri, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri (Smeltzer, 2002). Relaksasi secara umum sebagai metode yang paling efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri (National Safety Council, 2003) sehingga perlu dilakukan penelitian pengaruh terapi relaksasi terhadap nyeri menstruasi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan derajat nyeri menstruasi sebelum dengan sesudah dilakukan terapi relaksasi pada siswi SMAN 3 Padangsidimpuan. Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum: Untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap nyeri menstruasi pada siswi SMA 3 Kota Padangsidimpuan. b. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui intensitas nyeri menstruasi sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam pada siswi SMA 3 Kota Padangsidimpuan. b. Untuk mengetahui intensitas nyeri menstruasi setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam pada siswi SMA 3 Kota Padangsidimpuan. Hipothesis 1. Terdapat pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap nyeri menstruasi pada siswa SMAN 3 Kota Padangsidimpuan. 298
Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademik Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangsih akademik mengetahui pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri menstruasi pada remaja. b. Manfaat Terapan Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan pada para bidan dalam memberikan asuhan kebidanan reproduksi pada remaja dengan nyeri menstruasi dengan menggunakan perlakukan teknik relaksasi nafas dalam. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik menggunakan studi quasi eksperimental, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi nafas dalam terhadap nyeri menstruasi. Desaian penelitian adalah pre test and post test only non control goup design. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer. Populasi penelitian ini adalah semua siswi kelas 10 SMA 3 di Kota Padangsidimpuan. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Semua subyek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. Besar sampel dihitung dengan rumus dari Sastroasmoro: n = 𝑧𝛼 𝑥 𝑠 2 d s = simpang baku nilai rerata dalam populasi, (1,75) dari penelitian terdahulu (Wirya, 2013) d = 1,5 α = tingkat kemaknaan 95% n = 1,96 𝑥 1,75 2 0,6 = 30 orang Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan variabel dependen dengan pengujian uji-t berpasangan. Analisis bivariat digunakan untuk menyatakan analisis terhadap dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung dengan menggunakan uji-t berpasangan dengan interval kepercayaan 95% (α = 0,05) bila p < 0,05 maka variabel dinyatakan signifikan. Penyajian data dalam bentuk tabel dan grafik. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data adalah data primer dengan menggunakan lembar observasi yang diisi oleh subjek penelitian.
Metode Analisa Data Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variable independen dengan variable dependen dengan pengujian chi-square. Selanjutnya data diuji dengan analisis regresi logistik. Definisi operasional Untuk lebih menjelaskan dan menghindari kesalahan penafsiran beberapa kata/istilah dalam penelitian ini, peneliti merumuskan definisi operasional kata/istilah tersebut berikut ini. 1. Relaksasi nafas dalam Defenisi : Relaksasi adalah status hilang dari ketegangan otot rangka dimana individu mencapainya melalui praktek nafas dalam yang disengaja (Smeltzer, 2002). Cara ukur : melakukan nafas dalam dan lambat lewat hidung (menahan inspirasi secara maksimal) dan mengeluarkan nafas perlahanlahan lewat mulut. Alat ukur : lembar observasi Hasil ukur: Sebelum dilakukan relaksasi nafas dalam diberi nilai 0, setelah dilakukan diberi nilai 1 Skala ukur : Nominal 2. Dismenorea Defenisi : Nyeri saat haid yang dirasakan responden yang terletak pada perut bagian bawah yang timbul tidak lama sebelum atau bersamaan dengan permulaan haid yang berlangsung beberapa jam atau sampai berhari-hari. Cara ukur : Mengukur tingkat nyeri Alat ukur : Skala nyeri NRS (skala nyeri numeric) Hasil ukur : Tingkat Nyeri Skala ukur : Interval
Tabel 1.
No 1 2 3
Dari tabel 1 diketahui bahwa umur menarche responden < 11 tahun ada sebanyak 7 orang (23,33%), umur 11 – 13 tahun ada sebanyak 15 orang (50%), dan umur >14 tahun ada sebanyak 8 orang (26,67%). Tabel 2.
No 1 2 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri Dismenore Sebelum Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Siswa SMAN 3 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Intensitas Frekuensi Persentase Nyeri (%) Ringan 4 13,33 Sedang 16 53,33 Berat 10 33,34 Total 30 100
Dari tabel 2 diketahui bahwa sebelum pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 4 orang (13,33%), nyeri sedang ada sebanyak 16 (53,33%) orang, dan nyeri berat ada sebanyak 10 orang (33,34%). Tabel 3.
No
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMAN 3 Padangsidimpuan mulai Maret 2014 sampai Agustus 2014. Setelah dilakukan observasi, didapatkan sebanyak 30 orang siswi yang mengalami nyeri menstruasi. Kemudian dilakukan pretest untuk mengetahui intensitas nyeri dan setelah itu dilakukan perlakuan relaksasi nafas dalam dan diukur kembali intensitas nyeri dengan menggunakan kuesioner skala nyeri numerik. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan oleh peneliti langsung kepada responden secara perorangan, mulai dari pre test, memberikan perlakuan dan post test. Waktu yang dibutuhkan untuk satu orang responden adalah sekitar 5 - 10 menit untuk perlakuan.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Menarche Pada Siswa SMAN 3 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Karakteristik Frekuensi Persentase (%) < 11 tahun 7 23,33 11 – 13 thn 15 50 >14 tahun 8 26,67 Total 30 100
1 2 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri Dismenore Setelah Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Siswa SMAN 3 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Intensitas Nyeri Frekuensi Persentase (%) Ringan 23 76,67 Sedang 7 23,33 Berat 0 0 Total 30 100
Dari tabel 3 diketahui bahwa setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 23 orang (76,67%), nyeri sedang ada sebanyak 7 orang (23,33%), dan nyeri berat tidak ada (0%). Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri dismenore dengan menggunakan Uji T Berpasangan. Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
299
Tabel 4. Hasil Analisa Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Intensitas Nyeri Dismenore Pada Siswi SMAN 3 Padangsidimpuan Tahun 2014 Intensitas Nyeri Mean ± SD Beda MeanP Value Sebelum Teknik 6,00 ± 1,74 Relaksasi Nafas Dalam Setelah Teknik 3,07 ± 1,31 Relaksasi Nafas Dalam
2,93
0,001
Tabel 4 menunjukkan setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam maka intensitas nyeri dismonere mengalami penurunan dibandingkan sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam. Rerata intensitas nyeri dismenore menurun dari 6,00 ± 1,74 menjadi 3,07 ± 1,31 setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam. Secara statistik dengan uji t berpasangan terdapat perbedaan bermakna dengan p value 0,001 (< 0,05). Pembahasan Pada penelitian ini didapatkan setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam maka intensitas nyeri dismenore mengalami penurunan dibandingkan sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam. Rerata intensitas nyeri dismenore menurun dari 6,00 ± 1,74 menjadi 3,07 ± 1,31 setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam. Secara statistik dengan uji t berpasangan terdapat perbedaan bermakna dengan p value 0,001 (< 0,05). Dari tabel distribusi frekuensi didapatkan bahwa sebelum pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 4 orang (13,33%), nyeri sedang ada sebanyak 16 (53,33%) orang, dan nyeri berat ada sebanyak 10 orang (33,34%). Setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 23 orang (76,67%), nyeri sedang ada sebanyak 7 orang (23,33%), dan nyeri berat tidak ada (0%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian relaksasi nafas dalam memiliki pengaruh yang sangat baik terhadap penurunan intensitas nyeri dismenore. Desain penelitian dengan pre test and post test non equivalent control group design merupakan kelemahan dalam penelitian ini. Yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah kesulitan dalam melakukan pendekatan terhadap siswi untuk menyepakati waktu pelaksanaan relaksasi nafas dalam. Kekuatan penelitian ini adalah perlakuan benar - benar dilakukan sesuai dengan teori, tidak menggunakan alat, murah, tidak memerlukan bantuan orang lain, gampang dilaksanakan serta tidak memberikan efek samping. Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktifitas simpatik dalam system saraf otonom. Remaja dapat meningkatkan aktifitas komponen saraf parasimpatik vegetative secara stimultan. Teknik tersebut dapat mengurangi sensasi nyeri dan mengontrol intensitas reaksi remaja terhadap rasa nyeri. Hormone adrenalin dan kortisol yang menyebabkan stress akan menurun, remaja dapat meningkatkan konsentrasi dan merasa tenang sehingga
300
memudahkan untuk mengatur pernafasan sampai frekuensi pernafasan kurang dari 60-70 x/menit. Kadar PaCo2 akan meningkat dan menurunkan PH sehingga akan meningkatkan kadar oksigen dalam darah (Smith, 2007). Pada kondisi rileks tubuh akan menghentikan produksi hormon adrenalin dan semua hormon yang diperlukan saat stress. Karena hormon seks esterogen dan progesteron serta hormon stres adrenalin diproduksi dari blok bangunan kimiawi yang sama. Ketika kita mengurangi stres maka mengurangi produksi kedua hormon seks tersebut. Jadi, perlunya rileksasi untuk memberikan kesempatan bagi tubuh untuk memproduksi hormon yang penting untuk mendapatkan haid yang bebas dari nyeri (Sigit, 2010). Dengan merelaksasikan otot- otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemik (Smeltzer, 2002). Teknik relaksasi nafas dalam mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi system saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal indvidu. Pada saat terjadi pelepasan mediator seperti bradikilin, prostagandin dan substansi p, akan merangsang saraf simpatis sehingga menyebabkan vasokonstriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak akan dipersepsikan sebagai nyeri (Tamsuri, 2007). Menurut Smith (2007), setiap manusia mengambil 20,96% oksigen dengan volume tidal 350 ml, maka dalam satu detik manusia mengambil oksigen sebesar 73,36 ml. Dengan memaksimalkan pengembangan paru-paru maka didapatkan volume inspirasi maksimal adalah 3000 ml dengan bernafas maka hemoglobin yang akan lebih banyak mengikat oksigen dengan perkiraan bahwa 1,34 ml x jumlah hb/g, bila Hb 14x 350 ml = 6566 g oksigen per detik yang terbawa oleh darah ke seluruh tubuh. Fungsi hemoglobin adalah mengikat oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari jaringan tubuh dikeluarkan melalui paru-paru, jadi nafas dalam berguna sebagai sarana meditasi atau distraksi, sehingga focus pikiran pasien dialihkan terhadap nyeri sekaligus mengoptimalkan penghirupan oksigen bagi sel-sel yang mengalami stress atau injury. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa umur menarche responden < 11 tahun ada sebanyak 7 orang (23,33%), umur 11 – 13 tahun ada
2.
3.
4.
Saran 1.
2.
3.
4.
sebanyak 15 orang (50%), dan umur >14 tahun ada sebanyak 8 orang (26,67%). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebelum pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 4 orang (13,33%), nyeri sedang ada sebanyak 16 (53,33%) orang, dan nyeri berat ada sebanyak 10 orang (33,34%) maka mayoritas responden merasakan intensitas nyeri sedang yaitu sebanyak 16 orang (53,33%). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam, responden yang merasakan intensitas nyeri ringan ada sebanyak 23 orang (76,67%), nyeri sedang ada sebanyak 7 orang (23,33%), dan nyeri berat tidak ada (0%), maka mayoritas responden merasakan intensitas nyeri ringan sebanyak 23 orang (76,67%). Dari hasil penelitian berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji T Berpasangan didapatkan adanya perbedaan nilai rerata intensitas nyeri sebelum dan setelah perlakuan sebesar 2,93. Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji T Berpasangan didapatkan nilai P=0,001 < α=0,05 dimana ada perbedaan bermakna antara pre dan post intervensi, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian relaksasi nafas dalam yang signifikan terhadap penurunan intensitas nyeri dismenore pada Siswa SMA 3 Kota Padangsidimpuan.
Perlunya sosialisasi berkelanjutan kepada siswi untuk pelaksanaan relaksasi nafas dalam sehingga siswa dapat mandiri melakukan sendiri relaksasi nafas dalam guna penurunan intensitas nyeri dismenore. Perlunya pendekatan berkesinambungan kepada siswi untuk menanamkan pentingnya pelaksanaan relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri menstruasi. Perlu dillakukan penelitian lanjutan dengan mengembangkan desain penelitian dan eksperimen. Mengingat kekuatan dari penelitian ini, maka responden yang telah mendapat perlakuan agar menyebarluaskan manfaat relaksasi nafas dalam kepada wanita yang membutuhkan.
Arrasid. 2007. Studi Kasus Gambaran Penatalaksanaan nyeri pada pasien Tn. H Dengan Post Appendiktomi di Ruang Nusa IndahRSUD Majalengka. Bobak. 2004 Maternity and Gynekologi , Jakarta : EGC Widjanarko,Bambang. 2006. Tinjauan Terapi Pada Dismenore Primer. Majalah Kedokteran Damianus. Vol.5. No.1 Januari Bruner & Sudart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : EGC Mansjoer A. dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. Notoatmodjo, S. (2003). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu perilaku Kesehatan . Jakarta: Rineka Cipta. Perry, AG, Potter PA .2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan;Konsep, Proses dan Praktik , Vol.2 Alih Bahasa. Editor Monica Ester Dkk, Jakarta : EGC Prawirohardjo, S.(2002). Ilmu Kandungan. Edisi 2.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Price S, Wilson LM. 2006. Patofisiologi ; Konsep Klinis Proses-proses Penyakit , Vol I.Jakarta.EGC. Priharjo, R. 2003. Perawatan Nyeri. Jakarta. EGC Sastroasmoro S. 2011. Dasar-dasar Metodologi penelitian klinis. Jakarta: CV.Sagung seto. Sherwood L. Fisiologi manusia. Ed 6. Jakarta: EGC; 2012 Smeltzer & Bare 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 1. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta. EGC Smeltzer & Bare 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2, EGC. Jakarta. Smith D, 2007. Terapi Pernafasan untuk Penderita Asma. Prestasi Pustaka Sigit NP. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Edisi 1. Graha Ilmu. Yogyakarta Tamsuri A, 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta. EGC Wicaksono, H. (2004). Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Wirya I, Sari MD, 2013, Pengaruh Pemberian Masase Punggung Dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Appendiktomi Di Zaal C Rs Hkbp Balige Tahun 2011, Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.1, Juni 2013 ISSN 2338-369091.
DAFTAR PUSTAKA Alimul A. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Surabaya: Salemba Medika. Arikunto, S. 2003. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek . Edisi IV. Jakarta: Rineka Cipta.
301
UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan. Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan. 2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia atau Inggiris maksimal 200 kata. 3. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal dan ditempatkan dibawah judul artikel. Penulis utama harus mencantumkan alamat korespondensi atau e-mail. 4. Kata kunci (keywords) minimal 2 (dua) kata, ditulis di bawah abstrak. 5. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan berakhir dengan sub judul penutup atau simpulan. 6. Naskah diketik rapi satu spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggiris, Font : Times New Roman, size, 11, format : A4 justify. 7. Panjang naskah minimal 4 (empat) halaman dan maksimal 8 (delapan) halaman, termasuk rujukan. 8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote) 9. Tulisan dikirim dalam bentuk hard copy dan soft copy. Hard copy dikirim ke Poltekkes Kemenkes Medan Cq Unit Penelitian. Soft copy : e-mail : [email protected] dan [email protected] 10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan. 11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak dua eksemplar bagi penulis. 12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko pengembalian, atau diambil langsung ke redaktur. 13. Biaya yang dikenakan untuk satu artikel (tulisan) sebesar Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
302