PENGARUH VARIABEL PENDIDIKAN TERHADAP PERSENTASE PENDUDUK MISKIN (STUDI PADA 33 PROVINSI DI INDONESIA, 6 PROVINSI DI PULAU JAWA, DAN 27 PROVINSI DI LUAR PULAU JAWA PADA TAHUN 2006-2011)
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Indah Dewi Nirwana 0910210059
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul : Pengaruh Variabel Pendidikan Terhadap Persentase Penduduk Miskin (Studi pada 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa pada Tahun 2006-2011)
Yang disusun oleh : Nama
:
Indah Dewi Nirwana
NIM
:
0910210059
Fakultas
:
Ekonomi dan Bisnis
Jurusan
:
S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 05 Maret 2013.
Malang, 05 Maret 2013 Dosen Pembimbing,
Dr. Rachmad Kresna Sakti, SE., Msi. NIP. 19631116 199002 1 001
PENGARUH VARIABEL PENDIDIKAN TERHADAP PERSENTASE PENDUDUK MISKIN (STUDI PADA 33 PROVINSI DI INDONESIA, 6 PROVINSI DI PULAU JAWA, DAN 27 PROVINSI DI LUAR PULAU JAWA PADA TAHUN 2006-2011) Indah Dewi Nirwana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh variabel pendidikan yang digambarkan oleh Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Unit yang dianalisis adalah PPM, AMH, APS, AMP, APK, dan RLS pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa buku, kamus, artikel ilmiah, data yang dikumpulkan dan dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Dunia, United Nations Development Programme (UNDP), dan United Nations (UN). Tipe data yang digunakan adalah data panel, berupa data runtun waktu selama tahun 2006-2011 dan data cross section berupa 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provisi di luar Pulau Jawa. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil perhitungan regresi liner berganda menunjukkan bahwa AMH, APS, APM, APK, dan RLS memiliki pengaruh terhadap PPM. Pada perhitungan untuk 33 provinsi di Indonesia pendidikan memiliki pengaruh sebesar 82.8% terhadap kemiskinan, untuk perhitungan pada 6 provinsi di Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh 98.1% terhadap kemiskinan, dan untuk perhitungan pada 27 provinsi di luar Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh sebesar 83.2% terhadap kemiskinan. Perhitungan pada 33 provinsi di Indonesia, APS berpengaruh positif, APM dan RLS berpengaruh negatif, AMH dan APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada tahun 2006-2011. Perhitungan pada 6 provinsi di Pulau Jawa, APS berpengaruh positif, RLS berpengaruh negatif, AMH, APM, dan APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada tahun 2006-2011. Perhitungan pada 27 provinsi di Pulau Jawa, APS berpengaruh positif, APM dan RLS berpengaruh negatif, AMH dan APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada tahunh 2006-2011. Penelitian ini hanya berfokus kepada satu aspek penyebab kemiskinan, yaitu pendidikan yang digambarkan oleh AMH, APS, APM, APK, dan RLS. Pada penelitian selanjutnya dapat memasukkan variabel lain yang diduga memiliki pengaruh terhadap PPM, yaitu produktivitas, pendapatan, investasi, dan tabungan. Impikasi dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kondisi pendidikan dan kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006-2011 dan dapat digunakan sebagai penelitian pendahuluan untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan sebagai salah satu komponen untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Kata kunci: Persentase Penduduk Miskin (PPM), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Analisis Regresi Linier Berganda, Indonesia.
A. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global. Artinya, kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang. Sampai saat ini fenomena kemiskinan terjadi pada banyak negara di dunia. Menurut Todaro dan Smith (2006: 231) kemiskinan masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang signifikan selama lebih dari separuh abad terakhir. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang belum dapat keluar dari masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan terasa sedemikian berat dan sulit sehingga seolah-olah tidak dapat diatasi. Menurut Basri dan Munandar
(2009: 53) sesungguhnya masalah ekonomi apa pun pada dasarnya dapat diatasi apabila megetahui akar penyebab dan segera diatasi. Menurut Suharto (2009: 17) kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor dan jarang ditemukan kemiskinan hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Menurut Bank Dunia (1997: 2) menjadi miskin memiliki hubungan dengan bermacam-macam faktor, mencakup pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang-barang, lokasi geografis, gender, suku, dan keadaan keluarga. Menurut Yustika (2005: 25) kemiskinan sangat terkait dengan kepemilikan modal, kepemilikan lahan, sumber daya manusia, kekurangan gizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, pendapatan perkapita yang rendah, dan minimnya investasi. Pendidikan merupakan salah satu salah faktor penyebab kemiskinan. Menurut Wahid (2008: 84) korelasi antara pendidikan dan kemiskinan sudah lama menjadi isu sentral di banyak negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Untuk mengurangi tingkat kemiskinan perlu diketahui sebenarnya faktor apa saja yang berhubungan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Menurut Bank Dunia (2013) pendidikan merupakan salah satu instrumen yang paling ampuh untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan dan meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan tergambar dari penelitian yang dilakukan di Ghana (Adjasi dan Osei: 2007), Sri Lanka (Silva: 2008), dan Chile (Neilson et.al: 2008). Berdasar uraian di atas penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah variabel pendidikan yang diproyeksikan oleh Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) memiliki pengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Alasan peneliti melakukan pembagian perhitungan antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa untuk mendapatkan gambaran yang lebih spesifik dan akurat akan keterkaitan antara pendidikan dan kemiskinan. Alasan pembagian Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa berdasar pada jumlah dan distribusi penduduk yang didapatkan dari hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010. Dari hasil sensus penduduk tergambar bahwa telah terjadi pemusataan permukiman penduduk, yaitu lebih dari 50% penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa dan kurang dari 50% penduduk tersebar di luar Pulau Jawa (BPS: 2013).
B. KAJIAN TEORITIS Kemiskinan Menurut Piven dan Clowad dan Swanson dalam Suharto (2009: 15) kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Marger (2008: 142) mengkonsepkan kemiskinan dengan 3 (tiga) cara yang berbeda, yaitu kemiskinan absolut, relatif, dan official. Dalam arti absolut, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi di mana orang-orang tidak bisa karena alasan apa pun untuk memenuhi kebutuhan mendasar. Dalam arti relatif, kemiskinan adalah standar dan harapan orang-orang dalam masyarakat pada waktu tertentu. Dalam arti official, pemerintah menerangkan pendapat mengenai siapa yang miskin dan kemiskinan dengan menerapkan ukuran yang sama untuk menghitung kemiskinan dan menghitung jumlah orang miskin Sharp, et.al dalam Kuncoro (1997: 131) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitas rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Menurut Nurkse dalam Kuncoro (1997: 32) ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya. Menurut Marger (2008: 160) ketika seseorang berada dalam kemiskinan, mereka menghadapi ketakutan untuk keluar dan mengatasi masalah ini. Menurut Marger (2008: 161) kaum miskin adalah orang-orang yang berada pada kelas hierarki bawah. Menurut BPS (2012) penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Memperkirakan angka kemiskinan, memerlukan data-data tentang ukuran kesejahteraan dan perkiraan garis kemiskinan. Di Indonesia, ukuran kesejahteraan yang digunakan adalah konsumsi perkapita. Rumah tangga dengan konsumsi perkapita di bawah garis kemiskinan digolongkan miskin (Bank Dunia, 2007: 35). Garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu satu untuk komponen makanan dan satu untuk komponen bukan makanan. Kedua, komponen garis kemiskinan digunakan sebagai komponen utama untuk menghitung daftar kebutuhan dasar minimal. Ini dilakukan untuk setiap provinsi secara terpisah, menurut daerah perkotaan maupun pedesaan untuk memberi gambaran mengenai perbedaan pola konsumsi (Bank Dunia, 2007: 35). Menurut BPS (2012) Persentase Penduduk Miskin (Head Count Index) adalah persentase penduduk yang memiliki tingkat konsumsi dibawah garis kemiskinan. Persentase Penduduk Miskin (PPM) dihitung menggunakan rumus:
(1) Dimana Ξ± = 0; z adalah garis kemiskinan; y i adalah rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q); y i < z; q adalah banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ; n adalah jumlah penduduk. Pendidikan Menurut Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008: 326) pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut Tim Redaksi Longman Advanced American Dictionary (2007: 509) pendidikan adalah proses untuk mengembangkan pikiran seseorang melalui belajar di sekolah atau perguruan tinggi. Variabel pendidikan yang digunakan dalam penelitian adalah Angka Melek Hurf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Menurut UNESCO dalam BPS (2010: 70) melek aksara atau huruf adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan membaca dan menulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuan. Tujuan tersebut berkaitan langsung dengan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Menurut BPS (2011: 111) Angka Melek Huruf (AMH) adalah proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca atau ditulisnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Data AMH tidak diperoleh, sehingga untuk mendapatkan AMH dihitung dengan cara 100% dikurangi dengan Angka Buta Huruf (ABH+AMH = 100%). Menurut BPS (2012) Angka Buta Huruf (ABH) adalah proporsi penduduk usia tertentu yang tidak dapat membaca dan atau menulis huruf latin atau huruf lainnya terhadap penduduk usia tertentu. Dalam penelitian, ABH kelompok usia 15 tahun ke atas, ABH 15-44 tahun, dan ABH 45 tahun ke atas dikelompokkan menjadi satu. ABH dihitung menggunakan rumus: π‘π‘ = π΄π΄π΄π΄π΄π΄15+
π‘π‘ π΅π΅π΅π΅115+ x 100% (2) π‘π‘ ππ15+
π‘π‘ π‘π‘ adalah Angka Buta Huruf penduduk usia 15 tahun ke atas; π΅π΅π΅π΅115+ adalah jumlah penduduk Dimana π΄π΄π΄π΄π΄π΄15+ π‘π‘ usia 15 tahun keatas yang buta huruf pada tahun ke-t; ππ15+adalah jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun ke-t. Menurut BPS (2010: 52) Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS mempertimbangkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Menurut BPS (2010: 53) partisipasi sekolah berkaitan dengan aktivitas pendidikan formal dan non formal seseorang. Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan, khususnya bagi penduduk usia sekolah. APS juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah. Dalam penelitian, APS kelompok usia 7-12 tahun, APS kelompok usia 13-15 tahun, APS kelompok usia 16-18 tahun, dan APS kelompok usia 19-24 tahun dikelompokkan menjadi satu. APS dihitung menggunakan rumus:
π΄π΄π΄π΄π΄π΄ 7 β 12 =
P7β12 ππππππππβ π π π π π π π π π π π π β x 100% (3) P7β12
Dimana APS 7-12 adalah Angka Partisipasi Sekolah penduduk usia 7-12 tahun; P 7-12 Masih sekolah adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang masih sekolah; P 7-12 adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Menurut BPS (2010: 58) Angka Partisipasi Murni (APM) adalah proporsi jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. Sebagai gambaran, misalnya APM SD adalah proporsi jumlah murid SD yang berusia 7-12 tahun terhadap jumlah seluruh anak yang berusia 7-12 tahun. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Bila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan mencapai 100%. Dalam penelitian, APM kelompok SD usia 7-12, APM SMP usia 13-15 tahun, dan APM SM usia 16-18 tahun dikelompokkan menjadi satu. APS dihitung menggunakan rumus: π΄π΄π΄π΄π΄π΄ SD =
P7β12 ππππ x 100% (4) P7β12
Dimana APM SD adalah Angka Partisipasi Murni penduduk yang bersekolah pada jenjang Sekolah Dasar (SD); P7β12 ππππ adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang sekolah di SD; P7β12 adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Menurut BPS (2010: 56) Angka Partisipasi Kasar (APK) mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang sedang mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya. APK merupakan proporsi jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan terhadap jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mancakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Dalam penelitian, kelompok APK SD/MI usia 7-12, APK SLTP/MTs usia 13-15 tahun, dan APK SLTA/MA usia 16-18 tahun dikelompokkan menjadi satu. APS dihitung menggunakan rumus: π΄π΄π΄π΄π΄π΄ ππππ/ππππ =
PSD /MI x 100% (5) P7β12
Dimana APK SD / MI adalah Angka Partisipasi Kasar penduduk yang bersekolah pada jenjang SD / MI; PSD /MI adalah jumalah penduduk yang sekolah di SD / MI; P7β12 adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Menurut BPS (2010: 74) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas merupakan cerminan tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan. RLS merupakan indikator yang menunjukkan rata-rata jumlah tahun efektif untuk bersekolah yang dicapai penduduk. Jumlah tahun efektif adalah jumlah tahun standar yang harus dijalani oleh seseorang untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan. Perhitungan lama sekolah dilakukan tanpa memperhatikan apakah seseorang menamatkan sekolah lebih cepat atau lebih lama dari waktu yang telah ditetapkan. RLS merupakan indikator pendidikan yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sesuai dengan target pemerintah melalui program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan sejak tahun 1994, rata-rata lama sekolah penduduk diharapkan dapat mencapai sebesar 9 tahun (pendidikan dasar), yaitu minimal tamat jenjang pendidikan dasar atau tamat SMP. RLS dihitung menggunakan rumus: π
π
π
π
π
π
= ππππβπ’π’π’π’ πΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎ + πΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎ ππππππππππππππππππ π¦π¦π¦π¦π¦π¦π¦π¦ ππππππππππβ ππππππππππππππππ β 1 (6)
Tahun konversi dari pendidikan yang ditamatkan adalah SD 6 tahun; SMP 9 tahun; SM 12 tahun; Diploma I 13 tahun; Diploma II 14 tahun; Akademi/Diploma III 15 tahun; Sarjana/Diploma IV 16 tahun; Pasca Sarjana 18 tahun; Doktor 21 tahun. Data RLS yang tersedia di BPS hanya pada tahun 2007-2011, sedangkan untuk data pada tahun 2006 tidak tersedia. Sehingga untuk mendapatkan angka RLS pada tahun 2006 peneliti melakukan perhitungan tersendiri dengan cara melakukan ekstrapolasi, yaitu penaksiran atau peramalan berapa angka RLS yang berada di luar batas yang diamati pada tahun 2006.
Hubungan antara Pendidikan dan Kemiskinan Menurut United Nations dalam Todaro dan Smith (2006: 434) pendidikan adalah hal mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Menurut Bank Dunia (2007: 58) kemiskinan memiliki kaitan erat dengan pendidikan yang tidak memadai. Capaian jenjang pendidikan yang lebih tinggi berkaitan dengan konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi. Koefisien korelasi parsial pada umumnya lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedesaan, baik bagi kepala rumah tangga maupun anggota keluarga lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga di daerah perkotaan memperoleh manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga di daerah pedesaan untuk setiap tambahan tahun pendidikan. Melampaui jenjang pendidikan sekolah dasar dapat meningkatkan kesejahteraan secara berarti. Terlihat dari hasil survey Susenas tahun 1999-2002 di daerah perkotaan, kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki korelasi dengan tingkat konsumsi 33% lebih tinggi dibandingkan dengan kepala rumah tangga yang tidak berpendidikan (Bank Dunia, 2007: 58). Menurut Bank Dunia (2007: 49) risiko relatif kemiskinan menurun dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Lulusan sekolah menengah pertama memiliki kemungkinan menjadi miskin 26.7% lebih kecil dari pada lulusan sekolah dasar. Bahkan kemungkinan lulusan sekolah menengah atas dan lulusan universitas menjadi miskin lebih rendah lagi. Menurut Bank Dunia (2007: 66) kenaikan koefisien korelasi pendidikan berimplikasi kepada melebarnya kesenjangan konsumsi antara kepala rumah tangga yang berpendidikan lebih tinggi dan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Menurut Saputro dan Utomo (2010: 98) nilai koefisien faktor pendidikan yang terdiri dari variabel tidak tamat SD, APS, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan angka melek huruf adalah negatif, menunjukkan bahwa hubungan faktor pendidikan dengan P1 adalah negatif. Jika nilai faktor pendidikan meningkat akan menyebabkan peluang P1 akan menurun dan mendekati nol, hal ini menunjukkan bahwa nilai P1 akan berpeluang besar mempunyai nilai di bawah atau sama dengan nilai P1 Indonesia. Menurut Adjasi dan Osei (2007) kesejahteraan rumah tangga meningkat ketika Ibu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Menurut Hill (2002: 275) pendapatan orang yang berpendidikan adalah signifikan. Rata-rata pendapatan perbulan dari lulusan perguruan tinggi sangat tinggi jika dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah atau tidak terdidik sama sekali. Menurut Kyereme dan Thorbecke, Coulombe dan Mckay, dan Grootaert dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) isu ekonomi dan sosial seperti melakukan aktivitas yang dapat menghasilkan pendapatan, pendidikan, dan lain-lain diyakini dapat memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan dan merupakan hal penting dalam pemodelan faktor yang menentukan kemungkinan seseorang menjadi miskin. Menurut Gang et al. dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan terlihat dari kelompok-kelompok kasta dan etnis di pedesaan India. Tercatat bahwa pendidikan khususnya dari tingkat menengah ke atas lebih mungkin untuk dapat mengurangi tingkat kemiskinan pada kasta tertentu. Menurut Coulombe dan Mckay dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) pendidikan memberikan pengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Afrika. Menurut Grootaert dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) pendidikan berpengaruh terhadap pengurangan tingkat kemiskinan dan secara nyata memberikan efek yang jelas pada daerah pedesaan di Cote dβIvoire. Menurut Okurut et al. dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) di Uganda kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan berpeluang semakin besar untuk menjadi tidak miskin. Menurut Adjasi dan Osei (2007: 464) kesejahteraan pada rumah tangga semakin meningkat seiring dengan peningkatan level pendidikan seorang ibu. Menurut Silva (2008) kepala rumah tangga yang berpendidikan, bekerja, dan berpenghasilan secara signifikan akan berpengaruh terhadap standar hidupnya. Menurut Schultz dan Psacharopoulous dalam Silva (2008) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pendidikan dan pendapatan. Menurut Silva (2008) kemiskinan menurun seiring dengan meningkatnya tahun pendidikan. Semakin meningkatnya tahun pendidikan seseorang maka akan menjadi meningkat pula modal manusia yang dimiliki. Semakin meningkat modal manusia yang dimiliki, akan memberikan kontribusi negatif terhadap kemungkinan berada dalam kemiskinan. Pendidikan dapat meningkatkan modal manusia, lalu diimbangi dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja, pendapatan, dan konsumsi. Menurut Neilson et. al (2008) pendidikan berkaitan dengan kemungkinan seseorang untuk dapat keluar atau menurunkan risiko masuk ke dalam kemiskinan. Modal manusia yang dimiliki oleh suatu keluarga diproyeksikan dari pendidikan kepala rumah tanga, serta rata-rata lama sekolah anggota keluarga lainnya.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan meneliti hubungan antar variabel, sehingga variabel-variabel yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur-prosedur statistik (Creswell, 2010: 5). Unit yang dianalisis adalah Persentase Penduduk Miskin (PPM), Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Menurut Kuncoro (2003: 148) unit yang dianalisis adalah objek atau subjek yang akan diamati. Sumber data adalah data sekunder berupa buku, kamus, artikel ilmiah, data yang dikumpulkan dan dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Dunia, United Nations Development Programme (UNDP), dan United Nations (UN). Tipe data yang digunakan adalah data panel. Menurut Gujarati dan Porter (2012: 31) data panel adalah kombinasi data runtun waktu dan data cross section. Data runtun waktu yang digunakan selama tahun 20062011 dan data cross section berupa 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provisi di luar Pulau Jawa. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Model dalam penelitian ini adalah, PPM = Ξ² 1 AMH + Ξ² 2 APS + Ξ² 3 APM + Ξ² 4 APK + Ξ² 5 RLS + ΞΌ (7) Dimana PPM adalah Persentase Penduduk Miskin pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); AMH adalah Angka Melek Huruf pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APS adalah Angka Partisipasi Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APM adalah Angka Partisipasi Murni pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APK adalah Angka Partisipasi Kasar pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); RLS adalah Rata-rata Lama Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (tahun); ΞΌ adalah error term. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006-2011 Banyaknya penduduk yang tersebar pada berbagai pulau di Indonesia menyebabkan terjadinya keragaman. Keragaman antar wilayah merupakan ciri khas Indonesia, selain keragaman persebaran penduduk, Indonesia juga memiliki keragaman yang tergambar dari ketimpangan antar wilayah di daerah pedesaan dan perkotaan. Dengan melintasi kepulauan Indonesia yang luas, akan ditemui perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri. Sebagai contoh pada tahun 2006 Persentase Penduduk Miskin (PPM) di daerah DKI Jakarta 4.57%, Nusa Tenggara Timur 29.34%, dan di Papua 41.52%. Pada tahun 2011 PPM di daerah Riau 8.47%, Sulawesi Barat 13.89%, dan Maluku 23%. Jika melihat kemiskinan dari PPM Indonesia yang bertempat tinggal di kota maupun di desa, maka kemiskinan mengalami penurunan pada setiap tahunnya. Pada tahun 2006 presentase penduduk miskin berjumlah 17.75%, 2007 berjumlah 16.58%, 2008 berjumlah 15.42%, 2009 berjumlah 14.15%, dan 13.13% untuk tahun 2010, dan berjumlah 12.49% pada tahun 2011. Menurunnya PPM pada setiap tahunnya bukan berarti secara langsung penduduk miskin dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Indonesia memiliki jumlah penduduk βhampir-miskinβ yang sangat besar. Penduduk hampir miskin diartikan sebagai penduduk yang hidup di atas garis kemiskinan nasional, yakni memiliki pendapatan sekitar 1.55 dolar AS per hari tetapi termasuk ke dalam 40% kelompok penduduk dengan tingkat penghasilan terendah. Dari hasil analisis penduduk hampir miskin memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan dengan penduduk miskin (Bank Dunia, 2007: 32). Penduduk hampir miskin berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Ketika terjadi guncangan yang relatif kecil sudah cukup untuk mendorong mereka jatuh ke dalam kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, setengah dari seluruh rumah tangga miskin belum termasuk ke dalam keluarga miskin satu tahun sebelumnya, sementara seperempat dari seluruh penduduk Indonesia sudah pernah mengalami kemiskinan setidaknya satu kali selama periode tahun 2008 hingga 2010 (Bank Dunia, 2012: xi). Berdasar kepada data yang diolah dari BPS, diketahui rata-rata PPM Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 14.95%. Terdapat 17 provinsi yang memiliki rata-rata PPM di bawah rata-rata PPM Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Banten, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan terdapat 16 provinsi yang memiliki rata-rata PPM di atas rata-rata PPM Indonesia, yaitu Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Terdapat 3 (tiga) provinsi di Pulau Jawa yang memiliki rata-rata PPM di bawah rata-rata PPM Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Sedangkan Provinsi Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah memiliki rata-rata PPM di atas angka PPM Indonesia. Terdapat 14 provinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki rata-rata PPM di atas rata-rata PPM Indonesia, yaitu Bali, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk 13 provinsi di luar Pulau Jawa memiliki rata-rata PPM di atas ratarata PPM Indonesia, yaitu Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Keterkaitan antara Pendidikan dan Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006-2011 Analisis regresi linier berganda dalam penelitian digunakan untuk menguji pengaruh variabel pendidikan terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM). Menurut Ghozali (2011: 13) regresi linier berganda bertujuan untuk menguji pengaruh 2 (dua) atau lebih variabel independent terhadap 1 (satu) variabel dependent dan umumnya dinyatakan dalam persamaan: Y = Ξ± + Ξ² 1 X 1 + Ξ² 2 X 2 + β¦ + Ξ² n X n + ΞΌ (8) Model regresi linier berganda dalam penelitian digunakan untuk menganalisis data panel. Umumnya dinyatakan dalam persamaan: PPM = Ξ² 1 AMH + Ξ² 2 APS + Ξ² 3 APM + Ξ² 4 APK + Ξ² 5 RLS + ΞΌ (9) Dimana PPM adalah Persentase Penduduk Miskin pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); AMH adalah Angka Melek Huruf pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APS adalah Angka Partisipasi Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APM adalah Angka Partisipasi Murni pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APK adalah Angka Partisipasi Kasar pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); RLS adalah Rata-rata Lama Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (tahun); ΞΌ adalah error term. Berikut hasil analisis regresi liner berganda untuk 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 33 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011 menggunakan SPSS 17: Tabel 1. Nilai Coefficients Hasil Analisis Regresi Linier Berganda untuk 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa
AMH APS APM APK RLS
33 Provinsi di Indonesia 0.033 1.651 -1.219 0.428 -5.931
6 Provinsi di Pulau Jawa -0.082 0.371 0.468 0.041 -4.910
27 Provinsi di luar Pulau Jawa -0.158 2.656 -1.617 0.041 -4.156
Sumber: Data dimodifikasi dari hasil SPSS 17 (2013)
Persamaan regresi linier berganda untuk 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2006-2011: PPM 33provIND = 0.033AMH 33provIND + 0.1651APS 33provIND - 1.219APM 33provIND + 0.428APK 33provIND 5.931RLS 33provIND Dengan interpretasi: 1. Koefisien regresi Angka Melek Huruf (AMH) sebesar 0.033. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.033%. 2. Koefisien regresi Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebesar 1.651. Memiliki arti, apabila APS naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 1.651%. 3. Koefisien regresi Angka Partisipasi Murni (APM) sebesar -1.219. Memiliki arti, apabila APM naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 1.219%. 4. Koefisien regresi Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 0.428. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.428%.
5.
Koefisien regresi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) sebesar -5.931. Memiliki arti, apabila RLS naik sebesar 1 tahun lama pendidikan maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 5.931%. Persamaan regresi linier berganda untuk 6 provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2006-2011: PPM 6provPJ = -0.082AMH 6provPJ + 0.371APS 6provPJ + 0.468APM 6provPJ + 0.041APK 6provPJ β 4.910RLS 6provPJ Dengan interpretasi: 1. Koefisien regresi Angka Melek Huruf (AMH) sebesar -0.082. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 0.082%. 2. Koefisien regresi Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebesar 0.371. Memiliki arti, apabila APS naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.371%. 3. Koefisien regresi Angka Partisipasi Murni (APM) sebesar 0.468. Memiliki arti, apabila APM naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.468%. 4. Koefisien regresi Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 0.041. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.041%. 5. Koefisien regresi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) sebesar -4.910. Memiliki arti, apabila RLS naik sebesar 1 tahun lama pendidikan maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 4.910%. Persamaan regresi linier berganda untuk 27 provinsi di Luar Pulau Jawa (LPJ): PPM 27provLPJ = -0.158AMH 27provLPJ + 2.656APS 27provLPJ β 1.617APM 27provLPJ + 0.041APK 27provLPJ β 4.156RLS 27provLPJ Dengan interpretasi: 1. Koefisien regresi Angka Melek Huruf (AMH) sebesar -0.158. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 0.158%. 2. Koefisien regresi Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebesar 2.656. Memiliki arti, apabila APS naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 2.656%. 3. Koefisien regresi Angka Partisipasi Murni (APM) sebesar -1.617. Memiliki arti, apabila APM naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 1.617%. 4. Koefisien regresi Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 0.041. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.041%. 5. Koefisien regresi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) sebesar -4.156. Memiliki arti, apabila RLS naik sebesar 1 tahun lama pendidikan maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 4.156%. Hasil perhitungan regresi liner berganda menunjukkan bahwa variabel pendidikan yang diwakili oleh variabel Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) memiliki pengaruh terhadap kemiskinan yang tergambar dari Persentase Penduduk Miskin (PPM). Perhitungan pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 20062011 pendidikan memiliki pengaruh 82.8% terhadap PPM, pada 6 provinsi di Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh 98.1% terhadap PPM, sedangkan pada 27 provinsi di luar Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh sebesar 83.2% terhadap PPM. Tabel 2. Pengaruh Variabel Pendidikan Terhadap Kemiskinan pada 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa pada Tahun 2006-2011
Studi Pada 33 Provinsi di Indonesia 6 Provinsi di Pulau Jawa 27 Provinsi di luar Pulau Jawa
Pengaruh Pendidikan terhadap PPM AMH APS APM APK RLS οΌ (+) οΌ (-) οΌ (-) ο» ο» οΌ (+) οΌ (-) ο» ο» ο» ο» οΌ (+) οΌ (-) ο» οΌ (-)
Keterangan: οΌ (+): berpengaruh positif; οΌ (-): berpengaruh negatif; ο»: tidak berpengaruh Sumber: Data dimodifikasi dari hasil SPSS 17 (2013)
Dari kelima variabel pendidikan, jika dilihat secara individual tidak semua variabel berpengaruh terhadap kemiskinan. AMH tidak berpengaruh terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APS berpengaruh positif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APM berpengaruh negatif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa, sedangkan
tidak berpengaruh terhadap PPM pada 6 provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia. 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. RLS berpengaruh negatif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Pendidikan adalah modal penting bagi manusia, karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perbedaan kepemilikan modal ini yang menjadi pembeda kualitas antara satu manusia dengan manusia yang lain. Apabila kualitas sumberdaya manusia rendah maka produktivitasnya akan rendah. Rendahnya produktivitas akan berdampak kepada rendahnya pendapatan yang diterima. Rendahnya pendapatan yang diterima akan berimplikasi kepada rendahnya investasi dan tabungan. Rendahnya investasi dan tabungan akan berakibat pada keterbelakangan dan begitu seterusnya. Hal ini akan terus berada dalam suatu siklus atau lingkaran. Oleh karena itu manfaat dari pendidikan tidak dapat secara langsung (dalam jangka pendek) berpengaruh terhadap kemiskinan. Pengaruh Angka Melek Huruf (AMH) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM( pada tahun 20062011 Angka Melek Huruf (AMH) menjadi tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia pada suatu daerah. AMH memiliki hubungan dengan Angka Buta Huruf (ABH). AMH di Indonesia masih tergolong rendah, karena ABH di Indonesia masih tinggi. Tingginya ABH di Indonesia disebabkan oleh 5 (lima) penyebab utama, yaitu tingginya angka putus Sekolah Dasar, beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta huruf baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat, dan kembalinya seseorang menjadi penderita buta huruf. Rata-rata AMH di Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 90.32%. terdapat 22 provinsi yang memiliki ratarata AMH di atas rata-rata AMH Indonesia, yaitu Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Riau, Maluku, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Gorontalo, Jawa Barat, Kepulauan Riau, Aceh, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Banten, Jambi, Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Papua Barat. Sedangkan 11 provinsi memiliki rata-rata AMH di bawah rata-rata AMH Indonesia, yaitu DI Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Dari hasil perhitungan pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011 AMH tidak berpengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM). Menurut UNESCO dalam BPS (2010: 69) terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan membaca dengan investasi dan kinerja sesorang. Membaca (keaksaraan) akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Sedangkan buta aksara atau buta huruf sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayaan masyarakat. Apabila di suatu provinsi memiliki jumlah penduduk yang dapat membaca semakin tinggi maka akan diimbangi dengan menurunnya PPM. Akan tetapi, pada penelitian ini AMH tidak berpengaruh terhadap kemiskinan pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa. Tidak berpengaruh AMH terhadap PPM karena untuk dapat membaca seseorang tidak harus mengeluarkan biaya. Memiliki kemampuan membaca dapat dimiliki oleh seseorang tanpa harus memasuki dunia pendidikan formal. Selain itu, diduga masih banyak penduduk di Indonesia yang dapat membaca tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan membaca yang dimiliki oleh penduduk Indonesia belum seluruhnya melibatkan pembelajaran berkelanjutan, sehingga masih banyak penduduk yang belum dapat mencapai tujuannya. Hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana penduduk mendapatkan pengetahuan, menggali potensi, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, AMH pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa tidak memiliki pengaruh terhadap PPM pada tahun 2006-2011. Pengaruh Angka Partisipasi Sekolah (APS) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada tahun 2006-2011 Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS adalah indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah dan dapat juga digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah. Rata-rata APS Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 63%. Terdapat 17 provinsi yang memiliki rata-rata APS di atas rata-rata APS Indonesia, yaitu DI Yogyakarta, Aceh, Maluku, Sumatera Barat, Sumatera Utara,
Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau, Bali, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Sedangkan 16 provinsi, yaitu Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Jawa Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua memiliki rata-rata APS dibawah rata-rata APS Indonesia. Menurut BPS (2012) Angka Partisipasi Sekolah (APS) menunjukkan proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada satu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. APS merupakan ukuran daya serap, pemerataan, dan akses sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan, seperti pertumbuhan jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap jenjang sekolah. Menurut BPS (2010: 53) partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Indikator ini juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah. Berdasar kepada hasil perhitungan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa APS memiliki pengaruh yang sama, yaitu berpengaruh positif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Ini menunjukkan bahwa apabila APS meningkat akan berpengaruh terhadap peningkatan PPM. Meningkatnya APS pada 33 provinsi di Indonesia. 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011 tidak dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat menunjukkan semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan penambahan infrastruktur sekolah serta peningkatan akses masuk sekolah, sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau semakin rendah. Partisipasi sekolah menyebabkan Persentase Penduduk Miskin (PPM) semakin meningkat. Hal ini terjadi karena bagi penduduk yang ingin mengikuti aktivitas formal diperlukan biaya. Bagi warga belajar yang berasal dari kalangan rumah tangga kurang mampu atau rumah tangga yang tergolong miskin, biaya pendidikan formal menjadi faktor utama yang menghambat kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat partisipasi sekolah terutama pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi akan dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi masyarakat. Bagi penduduk pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pendidikan masih menjadi barang mahal. Banyak penduduk Indonesia yang tersebar dari Aceh sampai dengan Irian Jaya yang putus sekolah. Angka putus sekolah mulai tingkat SD hingga SMA masih relatif tinggi dan penduduk yang dapat melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi rendah. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan menggambarkan partisipasi sekolah penduduk Indonesia. Pada tahun 2007, 100% penduduk yang masuk SD dan melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80%, sedangkan 20% penduduk putus sekolah. Dari 80% penduduk yang lulus SD, hanya sekitar 61% yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya. Kemudian dari jumlah tersebut, yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48%. Sementara itu, dari 48% jumlah penduduk, yang melanjutkan ke SMA hanya 21% dan yang berhasil lulus hanya sekitar 10%. Sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1.4%. Angka putus sekolah di Indonesia masih relatif cukup tinggi, artinya APS di Indonesia, baik 6 provinsi di Pulau Jawa dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa masih rendah. Menurut UNICEF (2013) cukup tingginya angka putus sekolah dikarenakan orang tua memerlukan tenaga anak mereka yang berada dalam usia sekolah untuk bekerja, alasan lain karena keluarga tak mampu membayar biaya sekolah. Sepertiga dari keluarga termiskin mengatakan mereka tak mampu bayar uang sekolah maupun biaya lain seperti seragam, buku, transportasi dan makanan. Mengindikasikan bahwa masih tinggi biaya pendidikan di Indonesia sehingga, banyak penduduk khususnya penduduk yang tergolong miskin tidak dapat ikut berpartisipasi dalam pendidikan formal. Jadi, diduga program pemerintah yang merupakan implementasi dari penjabaran amandemen UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 yang memiliki tujuan untuk mengurangi beban dan biaya pendidikan bagi penduduk yang dirasa semakin mahal belum berjalan secara efektif dan memberikan dampak yang signifikan di seluruh wilayah Indonesia. Angka Partisipasi Murni (APM) digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat pada waktunya. Apabila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat pada waktunya, maka APM akan mecapai 100%. Nilai APM akan selalu lebih rendah dari APK, karena APK menyangkut anak di luar usia sekolah pada jenjnag pendidikan yang bersangkutan. Jika dilihat dari APM pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2006-2011, tidak ada yang mencapai angka 100%. Rata-rata APM Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 68.77%. terdapat 16 provinsi yang memiliki ratarata APM di atas rata-rata APM Indonesia, yaitu Aceh, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Maluku, Kepulauan
Riau, Bali, Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Tengah. Sedangkan terdapat 17 provinsi yang memiliki rata-rata APM di bawah rata-rata APM Indonesia, yaitu Sulawesi Utara, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Papua Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Menurut BPS (2012) Angka Partisipasi Murni (APM) menunjukkan proporsi jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Apabila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan selalu rendah. APM pada 33 provinsi di Indonesia dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa memiliki pengaruh negatif terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada tahun 2006-2011. Hal ini mengindikasikan bahwa, penduduk memiliki kemampuan untuk dapat sekolah tepat pada waktunya sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Penduduk tidak terbebani dengan biaya pendidikan. Jadi, apabila APM semakin meningkat pada suatu daerah, mengindikasikan bahwa kemiskinan pada daerah tersebut semakin berkurang. APM pada 6 provinsi di Pulau Jawa tidak memiliki pengaruh tehadap PPM, karena di Pulau Jawa banyak peluang untuk dapat bekerja. Banyak penduduk usia sekolah yang harus bekerja di luar waktu sekolah mereka untuk dapat memenuhi kewajiban membayar biaya pendidikan. Kebanyakan dari mereka (warga miskin) dapat bersekolah bukan karena sepenuhnya mampu membiayai pendidikan, tetapi karena mereka bekerja di luar jam sekolah. Selain itu banyak sekolah di Pulau Jawa yang sudah bebas dari biaya pendidikan. Sehingga penduduk dari golongan miskin dapat ikut berpartisipasi dalam pendidikan tepat pada waktunya sesuai dengan usia. Berbeda dengan provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa, belum banyak sekolah yang bebas dari biaya. Oleh karena itu, APS pada 6 provinsi di Pulau Jawa tidak berpengaruh terhadap PPM karena banyaknya bantuan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk miskin yang menjadikan mereka dapat berpartisipasi dalam pendidikan bukan semata-mata karena kemampuan dari segi ekonomi yang menjadikan mereka dapat berpartisipasi. Pengaruh Angka Partisipasi Kasar (APK) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada Tahun 2006-2011 Angka Partisipasi Kasar (APK) memiliki fungsi sebagai indikasi partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Nilai APK bisa lebih dari 100% karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselanggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. Rata-rata APK Indonesia pada tahun 2006-2011, yaitu sebesar 84.99%. Jika dilihat rata-rata APK pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2006-2011, tidak ada yang bernilai lebih dari 100%. Terdapat 18 provinsi yang memiliki rata-rata APS di atas APS Indonesia, yaitu Maluku, Aceh, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Bali, Riau, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah. Sedangkan 15 provinsi, yaitu Jambi, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Papua memiliki rata-rata APK di bawah rata-rata APK Indonesia. APK tidak berpengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APK memberikan gambaran proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut terhadap penduduk pada kelompok usia tertentu. Nilai APK bisa lebih dari 100% karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Adanya anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan atau dapat dikatakan bahwa ada anak yang bersekolah tidak sesuai dengan usianya, seperti keterlambatan untuk mengenyam pendidikan. Keterlambatan ini dapat menjadi indikasi bahwa biaya sekolah menjadi permasalahan bagi seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam pendidikan formal. Akibat tidak dapat berpartisipasi dalam pendidikan formal, maka alternatif yang dapat dilakukan oleh penduduk adalah mengikuti pendidikan melalui jalur lain.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan nasional diselenggarakan melalui 3 (tiga) jalur, yaitu pendidikan formal, nonformal, dan informal. Melaui jalur pendidikan nonformal, Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) menyelenggrakan berbagai program salah satu diantaranya adalah pendidikan kesetaraan yang terdiri dari Program Paket A setara dengan SD, Program Paket B setara SMP, dan Program Paket C setara SM (BPS, 2010: 60). Program pendidikan kesetaraan memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan pendidikan formal (SD, SMP, dan SM), selain waktu dan tempatnya yang fleksibel, program pendidikan kesetaraan memiliki sasaran yang berbeda dengan pendidikan formal. Secara umum sasaran dari program-program pendidikan ini adalah bagi penduduk yang tergolong kurang beruntung, baik dari aspek ekonomis, geografis, dan sosial budaya. Pengaruh Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada Tahu 20062011 Pemerintah membuat program wajib belajar dalam upaya pemerataan pendidikan, penuntasan wajib belajar untuk semua, menghapus kesenjangan gender, dan meningkatkan mutu pendidikan. Pada tahun 1984 program wajib belajar berlangsung selama 6 (enam) tahun dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 9 (sembilan) tahun. Berdasar kepada Undang-Undang No. 21 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh semua warga negara Indonesia, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab terhadap program tersebut. Berdasar kepada Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 pasal 2 ayat (1) wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia dan ayat. Pada ayat (2) wajib belajar bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika dibandingkan dengan wajib belajar 9 (sembilan) tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk Indonesia pada tahun 2006-2011 hanya 7.7 tahun dan hanya penduduk di DKI Jakarta yang memiliki RLS di atas 9 (sembilan) tahun, yaitu sebesar 10.2 tahun. Jika dibandingkan dengan RLS Indonesia terdapat 20 provinsi yang memiliki RLS di atas Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Papua Barat, Maluku Utara, Bengkulu, Banten, Sulawesi Tenggara, Bali, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Jawa Barat. Sedangkan, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua memiliki RLS di bawah RLS Indonesia. Menurut BPS (2011: 119) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) adalah jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang). RLS penduduk 15 tahun ke atas merupakan cerminan tingkat penddikan penduduk secara keseluruhan. Dari hasil perhitungan untuk 33 provinsi, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa RLS menyebabkan Persentase Penduduk Miskin (PPM) semakin menurun. Pendidikan memiliki manfaat yang meningkat seiring dengan bertambahnya lama sekolah (return to education). Menurut Bank Dunia (2007: 119) pada tahun 2002 peningkatan lama sekolah seseorang akan berdampak kepada meningkatnya upah atau pendapatan. Peningkatan upah pekerja pria di perkotaan akibat dari tambahan satu tahun pendidikan untuk seseorang yang hanya mengecap satu tahun pendidikan dapat mencapai 8.3% dan untuk pedesaan 6%. Setelah bertambah lima tahun pendidikan maka manfaat yang diperoleh adalah 10% di perkotaan dan 7.6% di pedesaan. Sedangkan setelah delapan tahun pendidikan manfaat yang diperoleh adalah 11.1% di perkotaan dan 8.8% di pedesaan. Meningkatnya koefisien korelasi bersekolah bagi peningkatan penghasilan dapat mengarah kepada peningkatan ketimpangan karena penduduk kaya memiliki akses yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Untuk menjamin penduduk miskin juga memdapatkan manfaat dari tingginya koefisien korelasi pendidikan bagi peningkatan penghasilan, maka perhatian pada pendidikan menengah juga diperlukan karena pendidkan dasar tidak lagi memadai. Menurut Bank Dunia (2007: 119) terjadinya kegagalan pasar menghambat penduduk miskin untuk dapat mengakses tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun pendidikan memiliki nilai keuntungan yang tinggi,pada kenyataannya penduduk miskin tidak melanjutkan sekolah pada usia belia menandakan adanya kegagalan pasar yang berkaitan dengan kendala kredit sehingga penduduk miskin tidak dapat meminjam uang untuk membiayai sekolah dan informasi yang kurang lengkap mengenai nilai keuntungan bersekolah. RLS penduduk di Indonesia tergolong rendah, selama tahun 2006-2010 RLS berjumlah 7.4 tahun, 7.5 tahun, 7.5 tahun, 7.7 tahun, 7.9 tahun, dan 7.9 tahun.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011. Berdasar kepada penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa kesimpulan: APS memiliki pengaruh menaikkan PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APS berpengaruh terhadap PPM karena bagi penduduk yang ingin mengikuti aktivitas formal diperlukan biaya. Bagi warga belajar yang berasal dari kalangan rumah tangga kurang mampu atau rumah tangga yang tergolong miskin, biaya pendidikan formal menjadi faktor utama yang menghambat kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan. RLS memiliki pengaruh menurunkan PPM) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. RLS menyebabkan PPM semakin menurun karena RLS memiliki manfaat yang meningkat seiring dengan bertambahnya lama sekolah (return to education). Semakin peningkatan lama sekolah seseorang akan berdampak kepada meningkatnya upah atau pendapatan yang akan berdampak kepada kesejahteraan sehingga menurunkan PPM. APM memiliki pengaruh menurunkan PPM pada 33 provinsi di Indonesia dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa, sedangkan tidak memiliki pengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 6 provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Pada 33 provinsi di Indonesia dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa APM mengindikasikan bahwa, penduduk memiliki kemampuan untuk dapat sekolah tepat pada waktunya sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Penduduk tidak terbebani dengan biaya pendidikan. APM pada 6 provinsi di Pulau Jawa tidak memiliki pengaruh tehadap PPM, karena di Pulau Jawa banyak peluang untuk dapat bekerja. Banyak penduduk usia sekolah yang harus bekerja di luar waktu sekolah mereka untuk dapat memenuhi kewajiban membayar biaya pendidikan. Kebanyakan dari mereka (warga miskin) dapat bersekolah bukan karena sepenuhnya mampu membiayai pendidikan, tetapi karena mereka bekerja di luar jam sekolah. Selain itu banyak sekolah di Pulau Jawa yang sudah bebas dari biaya pendidikan. Sehingga penduduk dari golongan miskin dapat ikut berpartisipasi dalam pendidikan tepat pada waktunya sesuai dengan usia. Berbeda dengan provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa, belum banyak sekolah yang bebas dari biaya. AMH tidak memiliki pengaruh terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di Luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Tidak berpengaruh AMH terhadap PPM karena untuk dapat membaca seseorang tidak harus mengeluarkan biaya. Memiliki kemampuan membaca dapat dimiliki oleh seseorang tanpa harus memasuki dunia pendidikan formal. Selain itu, diduga masih banyak penduduk di Indonesia yang dapat membaca tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan membaca yang dimiliki oleh penduduk Indonesia belum seluruhnya melibatkan pembelajaran berkelanjutan, sehingga masih banyak penduduk yang belum dapat mencapai tujuannya. Hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana penduduk mendapatkan pengetahuan, menggali potensi, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. APK tidak memiliki pengaruh terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di Luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APK tidak berpengaruh karena adanya anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan atau dapat dikatakan bahwa ada anak yang bersekolah tidak sesuai dengan usianya, seperti keterlambatan untuk mengenyam pendidikan. Keterlambatan ini dapat menjadi indikasi bahwa biaya sekolah menjadi permasalahan bagi seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam pendidikan formal. Akibat tidak dapat berpartisipasi dalam pendidikan formal, maka alternatif yang dapat dilakukan oleh penduduk adalah mengikuti pendidikan melalui jalur lain seperti mengikuti program pemerintah, yaitu pendidikan kesetaraan tanpa harus mengeluarkan biaya. Diduga perlu adanya variabel perantara untuk mendapatkan gambaran akan pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan, karena diduga variabel pendidikan tidak dapat menggambarkan pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan secara langsung. Saran Berdasar kepada temuan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan maka penelitian, maka peneliti mengajukan beberapa saran yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya: 1. Pada penelitian selanjutnya objek penelitian dapat dikelompokkan lebih rinci untuk mendapatkan gambaran yang lebih spesifik dan akurat. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih spesifik dan
2.
3.
4.
akurat dapat dilakukan dengan cara melihat pengaruh variabel Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terhadap Persentase Penduduk Miskin pada provinsi yang memiliki PPM < 5%, 6-10%, 11-15%, 16-20%, dan 20%+ atau penelitian dapat difokuskan kepada provinsi atau pulau tertentu. Pada penelitian ini hanya menggunakan variabel pendidikan yang digambarkan melalui Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) untuk melihat variabel yang berpengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM). Pada penelitian selanjutnya, dapat menggunakan variabel lain untuk dijadikan variabel independent seperti yang dikemukakan oleh Nurkse dalam Kuncoro (1997: 131-132), yaitu produktivitas, pendapatan, investasi, dan tabungan. Pada penelitian selanjutnya, dapat menggunakan variabel perantara untuk menguji hubungan antara pendidikan dan kemiskinan. Variabel perantara yang dapat digunakan berupa produktivitas, pendapatan, investasi, dan tabungan (Nurkse dalam Kuncoro,1997: 131-132). Pemerintah dapat melakukan peninjauan lebih mendalam mengenai pendidikan di Indonesia karena dari hasil penelitian Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk pada tahun 2006-2011 masih tergolong tinggi. Begitu pula dengan melakukan peninjaun lebih mendalam mengenenai kemiskinan di Indonesia karena masih banyaknya penduduk Indonesia yang belum dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinan. DAFTAR PUSTAKA
Adjasi, Charles K.D. dan Kofi A. Osei. 2007. Poverty Profile and Correlates of Poverty in Ghana. International Journal of Social Economics, Vol. 34, (No. 7): 449-471. Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Pendidikan 2009: Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2011. Ensiklopedia Indikator: Ekonomi dan Sosial. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bank Dunia. (2013). http://data.worldbank.org/topic/education. Diakses pada 3 Januari 2013. Bank Dunia. 1997. Poverty Reduction and the World Bank: Progress ang Challenges in the 1990s. Washington, D.C: The International Bank. Bank Dunia. 2007. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Indonesia: Bank Dunia. Bank Dunia. 2012. Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia: Mengatasi Tantangan Saat Ini dan ke Depan, Juli 2012. Indonesia: Bank Dunia. Basri, Faisal dan Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap MasalahMasalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Ghozali, Imam. 2011. Ekonometrika: Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan SPSS 17. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gujarati, Damodar N. dan Dawn C. Porter. 2012. Dasar-Dasar Ekonometrika Buku 2. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hill, Hal. 2002. Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. http://sp2010.bps.go.id/index.php. Diakases pada tanggal 13 Februari 2013 pukul 09:45.
Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: AMP YKPN. Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Marger, Martin N. 2008. Social Inequality: Patterns and Processes. 4th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, In. Neilson, Christopher, Dante Contreras, Ryan Cooper, dan Jorge Hermann. 2008. The Dynamics of Poverty in Chile. Cambridge University Press, Vol. 40: 251-273. Saputro, Agung Eddy Suryo dan Agung Priyo Utomo. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Secara Makro di Lima Belas Provinsi tahun 2007. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Vol. 6, (No. 2): 89-100. Silva, Indunil De. 2008. Micro-Level Determinants of Poverty in Sri Lanka: a Multivariate Approach. International Journal of Social Economics, Vol. 35, (No. 3): 140-158. Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia: Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan. Bandung: Alfabeta. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Tim Redaksi Longman Advanced American Dictionary. 2007. Longman: Advance American Dictionary. England: Pearson Education Limited. Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi ke sembilan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Wahid, Abdul. 2008. Pendidikan Versus Kemiskinan. Vol. 2, (No. 1): 83-105. Yustika, Ahmad Erani. 2005. Perekonomian Indonesia: Deskripsi, Preskripsi, dan Kebijakan. Malang: Bayumedia Publishing.