Jurnal
AgriTechno Publikasi Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin
ISSN : 1979 - 7362 Volume 7, No. 1 September 2014
Sekapur Sirih... Bismillahirrahmanirrahim, Jurnal ini merupakan salah satu langkah nyata dalam upaya menumbuhkembangkan jejaring pengetahuan (knowledge networking) dalam bidang teknologi pertanian. Agroindustri dan rekayasa di bidang pertanian merupakan suatu keniscayaan untuk menuju ke tahapan perkembangan pertanian yang lebih maju dan berkelanjutan. Jurnal ini memuat beberapa tulisan tentang agroindustri, teknologi pengolahan bahan pangan, kerekayasaan, keteknikan pertanian dan bidang bidang lain yang berkaitan. Kelompok keilmuan tersebut sangat dibutuhkan oleh negara kita yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Kenyataan yang ada telah menunjukkan bahwa bidang pertanian belum berkembang secara optimal dan berada dalam kondisi yang termarjinalkan, bidang pertanian belum menyediakan banyak pilihan untuk menjadi sandaran hidup, kedaulatan pertanian masih sangat lemah, komponen impor yang masih sangat dominan, termasuk komponen teknologi, pada umumnya bersumber dari luar sistem pertanian. Populasi petani masih lebih banyak hanya sebagai pelaku produksi dan sangat sedikit keterlibatannya dalam agribisnis. Untuk menghilangkan marginalisasi, meningkatkan keragaman pilihan profesi dalam bidang pertanian, menguatkan kedaulatan pertanian dan melakukan transformasi dari petani hanya sebagai pelaku produksi menjadi pelaku agribisnis memerlukan dukungan teknologi dan rekayasa yang berkembang di dalam sistem pertanian kita. Keberadaan jurnal ini diharapkan agar dapat memberi manfaat untuk mencapai hal hal tersebut. Keberadaan jurnal ini juga diharapkan agar dapat menambah wawasan untuk saling bersinergi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian di Indonesia. Selain itu, jurnal ini diharapkan agar dapat menjadi media eksternalisasi hasil hasil penelitian dan teknologi agar hasil penelitian dan teknologi yang telah dicapai dapat diketahui dan diakses oleh masyarakat, agar lebih lanjut dapat menata kehidupannya menjadi lebih maju dan mandiri. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua penulis yang telah memberikan pemikiran pemikiran demi memperkaya muatan keilmuan dalam teknologi dalam jurnal ini. Harapan kami agar jurnal ini dapat lebih berkembang secara berkelanjutan pada masa yang akan datang. Makassar, September 2014 Ketua Jurusan Teknologi Pertanian Prof. Dr. Ir. Mulyati Tahir, MS
Jurnal AgriTechno Jurnal AgriTechno merupakan publikasi resmi Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin. Edisi Perdana terbit pada Bulan April 2008. Jurnal ini ditujukan sebagai wahana publikasi hasil-hasil penelitian dasar dan aplikatif yang bermutu dan orisinil. Jurnal ini memuat artikel ilmiah dalam bidang teknik tanah dan air, teknik pasca panen, bangunan dan lingkungan pertanian, aplikasi elektronika dan sistim kendali, peralatan dan mesin budidaya, energi alternatif dan elektrifikasi, teknik pengolahan pangan dan hasil pertanian, keamanan dan mikrobiologi pangan, bioteknologi, dan kimia pangan. Setiap artikel yang dimuat diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu dan meningkatkan pengetahuan tentang bidang ilmu dan teknologi yang terkait. Makalah yang dimuat dalam jurnal ini harus melalui proses review (penelaahan) dan ditelaah oleh dua orang penelaah ahli. Makalah yang dikirim ke redaksi harus mengikuti panduan penulisan yang tertera pada halaman akhir. Makalah dapat dikirim langsung via e-mail atau dikirim via pos dengan menyertakan hardcopy dan softcopy. Makalah yang dimuat dikenakan biaya penerbitan sebesar Rp 250.000 per makalah. Penulis akan memperoleh satu eksemplar. Harga langganan Rp 100.000 per volume (3 nomor). Pemesanan dapat dilakukan via e-mail, pos, atau langsung ke sekretariat. Susunan Redaksi : Penanggung Jawab : Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan Ketua Jurusan Teknologi Pertanian Dewan Redaksi : Ketua: Iqbal Salim (UNHAS). Anggota: Salengke (UNHAS), Meta Mahendradatta (UNHAS), Daniel (UNHAS), Mariyati Bilang (UNHAS), Helmi A. Koto (UNHAS), Suhardi (UNHAS), Ahmad Munir (UNHAS), Suripin (UNDIP), Budi Rahadjo (UGM), Tineke Mandang (IPB). Redaksi Pelaksana : Ketua: Mahmud Ahmad. Sekretaris: Inge Scorpi Tulliza. Bendahara: Sitti Nur Faridah. Teknologi Informasi: Muh. Tahir Sapsal. Promosi: Haerani. Penyunting: Olly S. Hutabarat. Penerbit : Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin. Alamat : Jurnal AgriTechno, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Kampus Unhas Tamalanrea KM 10 Makassar 90245. Tel.: (0411) 431081, 587-085. Fax : (0411) 586-014. E-mail :
[email protected]. Percetakan : Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS).
PANDUAN UNTUK PENULIS Makalah ditulis menggunakan Microsoft Word dan semua kata/kalimat menggunakan Times New Roman (Font 12). Sebelum menulis makalah, sebaiknya dilakukan formatting sebagai berikut: Klik Format, Paragraph, pilih Spacing untuk Before and After = Auto, dan Line Spacing = Single kemudian pilih Alignment = Left. Struktur penulisan makalah Jurnal AgriTechno secara berurutan adalah: judul; penulis, institusi dan E-mail; abstrak; pendahuluan; bahan dan metode; hasil dan pembahasan; kesimpulan; ucapan terima kasih (optional); daftar pustaka; lampiran (optional.). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan di bawahnya dalam Bahasa Inggris, dengan menggunakan Title Case (Caranya: Klik Format, Change Case dan pilih Title Case). Penulis dan Institusinya ditulis berurutan di bawah Judul, yang ditulis dengan menggunakan Title Case. Bila lebih dari satu penulis, ditulis berurutan di bawahnya. Abstract ditulis dalam bahasa Inggris tidak lebih dari 200 kata dan hanya satu kalimat/paragraf menggunakan Sentence Case. Di bawah Abstract harus diberikan keywords maksimal 5 kata/frase kunci. Abstrak memberikan informasi singkat tentang alasan penelitian dilakukan, tujuan yang ingin dicapai, metode yang digunakan dan hasil yang diperoleh serta apa kegunaannya. Pendahuluan menggunakan Sentence Case yang dimulai dengan menjelaskan alasan dilakukannya penelitian, disusul dengan telaah pustaka yang erat kaitannya dengan penelitian, dan diakhiri dengan penyataan tujuan penelitian dan hasil yang ingin dicapai. Bahan dan Metode menggunakan Sentence Case dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Bila menggunakan metode baku, cukup disebutkan namanya saja tidak perlu dijelaskan lagi. Misalnya, bila menggunakan Regresi Linier tidak perlu menuliskan lagi rumusnya. Bila menggunakan metode pengukuran baku tidak perlu dijelaskan lagi tahap-tahapnya. Bila mengunakan metode yang sama dengan yang ada dalam pustaka, cukup dirujuk saja pustaka tersebut. Bila menggunakan banyak peralatan atau instrumen cukup disebutkan yang berperan penting dalam pengukuran. Bila ada modifikasi rumus matematika seperti penurunan, integral dan lain sebagainya, cukup dituliskan hasil akhirnya saja dengan penjelasan setiap variabel, parameter, konstanta, indeks dan simbol yang digunakan lengkap dengan satuannya. Bila ada gambar rancangan alat, proses atau sistem cukup diberikan sketsa bagian intinya saja secara sederhana agar mudah dimengerti. Hasil dan Pembahasan menggunakan Sentence Case, yang menjelaskan kenapa diperoleh hasil demikian dan apa pengaruhnya terhadap faktor-faktor yang
diperhatikan. Apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan atau ada juga kelainannya. Kesimpulan menggunakan Sentence Case, yang menegaskan apakah tujuan penelitian ini sudah tercapai atau masih ada hal-hal yang belum dicapai. Daftar Pustaka menggunakan Sentence Case. Satu pustaka satu kalimat. Diurut berdasarkan abjad. Usahakan pustaka yang dirujuk merupakan tulisan ilmiah yang telah mempunyai ISSN atau ISBN. Pengiriman Makalah bisa melalui pos dan e-mail. Bila dikirim melalui pos, kirimkan hardcopy sebanyak 1 eksemplar dan filenya dalam bentuk CD atau Disket. Pastikan bahwa file terdiri dari: Text.doc, Table.doc, bila ada bersama dengan sejumlah Picture1.jpg, Picture2.jpg, dan jika ada grafik dalam excel dengan grafik.xls, dan seterusnya. Pada CD atau Disket jangan lupa diberi label nama dan alamat email penulis pertama. Bila ada yang belum jelas langsung tanyakan melalui e-mail ke:
[email protected].
ISSN: 1979-7362 Pengaruh Beberapa Model Pengelolaan Lahan Tanaman Kakao Terhadap Aliran Permukaan The influence of several models of land management on plants cacao to the surface run-off Suhardi, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin E-mail:
[email protected]
Abstract Surface run-off is a major factor of occurrence of erosion causing land degradation in the tropics. The land slopes and the percentage of land coverage by mulch can affect the surface run-off. The research purposes are to determine influence of land slope and percentage coverage land by mulch of cocoa crop to the surface run-off. Research is conducted making some plot the measurement of the surface run-off by multiple levels slope and percentage land coverage surface by mulch. The results showed that (1) thick rainfall effect exponentially against large surface run-off; (2) the slope of land has a very big role against the occurrence of surface flow and its correlated directly; (3) the shading of plants can reduce surface flow; and (4) on the high intensity rain, land coverage by mulch can enlarge surface run-off, because rain water hard entrance into the soil. Key words: surface run-off, land slope, land coverage, rainfall Abstrak Aliran permukaan merupakan faktor utama terjadinya erosi yang menyebabkan degradasi lahan di daerah tropis. Kondisi kemiringan lahan dan persentase penutupan lahan oleh serasah dapat mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh kemiringan lahan dan persentase penutupan lahan oleh serasah tanaman kakao terhadap aliran permukaan. Penelitian dilakukan dengan membuat beberapa plot pengukuran aliran permukaan dengan beberapa tingkatan kemiringan dan persentase penutupan permukaan lahan dengan serasah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tebal curah hujan berpengaruh secara eksponensial terhadap besar aliran permukaan; (2) kemiringan lahan memiliki peranan yang sangat besar terhadap terjadinya aliran permukaan dan berkorelasi langsung; (3) naungan oleh tajuk tanaman dapat mengurangi aliran permukaan; dan (4) pada intensitas hujan yang tinggi, penutupan lahan dengan serasah dapat memperbesar aliran permukaan karena air hujan sulit masuk ke dalam tanah. Kata Kunci: Aliran permukaan, Kemiringan Lahan, Penutupan lahan, Curah hujan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
1
ISSN: 1979-7362 Pendahuluan Pengembangan budidaya tanaman kakao terus berlangsung didorong oleh nilai ekonomi yang tinggi dibanding dengan komoditi lain. Disamping itu, hampir seluruh wilayah yang ada di Indonesia sesuai untuk pengembangan tanaman kakao karena tanaman ini tidak mensyaratkan tempat tumbuh yang khusus. Namun, disayangkan bahwa perluasan areal tidak memberikan peningkatan produksi akibat penurunan produktivitas lahan hingga hanya 0,4 – 0,6 ton/ha, dibandingkan dengan potensi produktivitasnya sebesar 1 – 1,5 ton/ha (Anonim1, 2012). Salah satu penyebabnya adalah penurunan kualitas lahan. Oleh karena itu, pelestarian kualitas lahan penting dilakukan, karena dari fakta yang ada bahwa produktivitas kakao di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satu diantaranya adalah penurunan kesuburan tanah. Aliran permukaan memiliki peran yang besar terhadap penurunan kualitas lahan. Hal ini disebabkan karena Aliran permukaan merupakan faktor utama terjadinya erosi yang menyebabkan degradasi lahan di daerah tropis. Setiap macam penggunaan lahan mempunyai pengaruh yang berbeda dengan lainnya terhadap kerusakan tanah oleh erosi (Arsyad, 2006). Di samping model pengelolaan, setiap jenis vegetasi memiliki pengaruh yang berbeda terhadap aliran permukaan (Musa, et al., 2013). Penentuan aliran permukaan secara umum dihitung dengan suatu pendekatan menggunakan persamaan matematika. Namun metode tersebut merupakan suatu pendekatan, sehingga hasilnya tidak actual. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengaruh pengelolaan lahan dan pengaruh jenis tanaman tertentu terhadap aliran permukaan, maka dilakukan pengukuran langsung di lapngan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan plot pengukuran (Haggard, et al., 2005; Akbarimehr and Naghdi, 2012; Sensoy and Kara, 2014). Data hasil pengukuran yang diperoleh juga dapat
digunakan untuk menentukan koefisien aliran permukaan. Dengan demikian, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh model pengelolaan lahan tanaman kakao terhadap aliran permukaan. Penelitian dilakukan dengan cara pengukuran langsung dilapangan sehingga data yang diperoleh dapat digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai dasar dalam penyusunan program pencegahan erosi dan ketersediaan sumberdaya air dalam menunjang suksesnya kegiatan pertanian secara berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kemiringan lahan dan persentase penutupan lahan oleh serasah tanaman kakao terhadap aliran permukaan. Metodologi Penelitian Pelaksanaan Penelitian Pengambilan data lapangan dilakukan di Desa Bengo, Kec. Bengo, Kab. Bone, Sulawesi Selatan pada perkebunan kakao rakyat. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Komputer, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Alat dan Bahan Pada penelitian ini dibutuhkan beberapa alat dan bahan diantaranya petak ukur (plot), pipa untuk pengaliran, bak penampung sedimen, penakar curah hujan menual, volumetrik, selang, meteran, neraca, oven, cawan petri, alat tulis, alat hitung, dan kamera digital, seperangkat computer yang dilegkapi dengan beberapa software. Kebutuhan Data Data yang dibutuhkan berupa data primer yang terdiri atas: 1) tingkat kemiringan lahan; 2) curah hujan harian; dan 3) volume limpasan permukaan.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
2
ISSN: 1979-7362 Prosedur Penelitian 1. 2.
Menentukan lokasi penempatan plot. Mengukur kelerengan plot dengan cara: a. Mengukur beda tinggi dua titik pada plot dengan menggunakan waterpass. b. Menghitung persentase kemiringan dengan rumus : Jarak vert ikal lereng (m) (1) Kemiringan x 100% Jarak mendatar lereng (m)
3. 4.
Mengukur curah hujan untuk setiap kejadian hujan. Menghitung aliran permukaan dengan Metode Plot (Petak) dengan prosedur: a. Melakukan pengukuran air limpasan permukaan setiap kejadian hujan. b. Pengukuran air limpasan permukaan (aliran permukaan).
Rancangan Pelaksanaan Penelitian di Lapangan Data aliran permukaan diperoleh dari hasil pengukuran aliran permukaan untuk setiap plot. Plot dibuat dalam 6 variasi dari kombinasi kemiringan dan persentase tutupan permukaan lahan dengan serasah yang selanjutnya disebut sebagai model pengelolaan lahan. Plot penelitian dibuat dengan memberi pembatas petak dari plastik (terpal). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi percikan air dari luar, masuk ke dalam plot. Bagian bawah pembatas ditanam dengan kedalaman sekitar 10 cm, sedangkan sekitar 20 cm menjadi dinding penahan air limpasan sehingga cukup stabil dan kemungkinan terjadinya rembesan air dari dan/atau keluar petak dapat dihindarkan. Di ujung bawah petak dipasang pipa untuk mengalirkan air dari petak ke drum penampung aliran permukaan.Untuk menampung aliran permukaan, pada ujung bawah petak dipasang bak penampungan yang ditutup di bagian atasnya agar air hujan maupun percikan tanah tidak masuk ke dalam bak tersebut. Stasiun pengamat hujan manual ditempatkan dekat plot pengamatan dengan
tinggi 1,5 m di atas permukaan tanah. Pengamatan dilakukan setelah berakhirnya hujan pada setiap kejadian hujan. Air yang tertampung dalam tabung pengukur dituangkan ke dalam gelas ukur yang sudah tersedia, sehingga volume (V) hujan diketahui, demikian halnya dengan luas permukaan corong diketahui melalui pengukuran diameter. Setiap selesai dilakukan pengukuran, maka semua penampung penakar curah hujan dibuang airnya. Metode Analisis Data Koefisien aliran permukaan ditentukan dengan cara membandingkan antara volume aliran permukaan terhadap volume curah hujan (Norbiato, at al., 2009) atau dengan memplotkan grafik antara curah hujan dengan aliran permukaan. Pada grafik, dapat ditentukan besarnya nilai koesien aliran permukaan berdasarkan persamaan dari kecenderungan (trend) data. Secara matematik, koefisien aliran permukaan dapat dihitung dengan persamaan (Asdak, 2010; FAO, 2012): Aliran Permukaan (mm atau cm 3 ) K (2) Curah hujan (mm atau cm 3 ) dimana K = koefisien aliran permukaan. Hasil Penelitian Gambaran Umum Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Bengo,Kec. Bengo, Kabupaten Bone. Pembuatan plot aliran permukaan dilakukan pada 1 (satu) lokasi perkebunan kakao rakyat. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi bias ketika dilakukan pembandingan antara kondisi yang diujikan. Plot dibuat sebanyak 6 buah dengan berbagai tingkat variasi kelerengan dan penutupan lahan dengan serasah. Plot dibuat bervariasi dimaksudkan agar dapat dilakukan perbandingan antara tiap kondisi. Adapun data kondisi fisik untuk setiap plot sebagai berikut:
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
3
ISSN: 1979-7362 Tabel 1. Lokasi plot aliran permukaan No. Plot 1 2 3 4 5 6
Koordinat outlet (m) 4035'52,4";120002'54,2" 4035'53,8";120002'54,3" 4035'54,6";120002'56,4" 4035'55,7";120002'56,6" 4035'54,0";120002'56,6" 4035'54,0";120002'58,3"
Elevasi Panjang outlet (m) (m dpl) 141 16,58 138 21,36 152 21,60 151 21,25 161 18,45 181 20,23
Setiap plot memiliki luasan yang berbeda dan bentuk yang tidak beraturan. Hal ini dimaksudkan agar setiap plot yang dibuat memiliki kondisi fisik yang seragam. Dengan demikian data yang diperoleh
Beda Lereng Luas Jumlah Luas (m2) Tinggi (%) (m2) pohon / tanaman (m) 3,58 22,11 119,05 17 7,00 5,18 25,00 123,58 17 7,27 8,04 40,10 93,26 16 5,83 10,09 53,95 100,22 16 6,26 6,67 38,77 100,49 10 10,05 10,48 60,56 156,46 20 7,82
benar-benar mewakili kondisi sebenarnya yang digambarkan oleh plot yang bersangkutan. Berikut contoh lay-out plot percobaan dan cara pengukuran luas plot.
Lay out
Plot di lapangan
Gambar 1. Contoh plot pengukuran aliran permukaan. Dari keenam plot percobaan yang telah dibuat, memiliki kondisi penutupan tajuk tanaman (kanopi) dan tutupan tanah oleh serasah tanaman berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi daripada kadar air tanah dan penyerapan tanah terhadap curah hujan sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi aliran permukaan. Adapun kondisi penutupan tajuk dan tutupan tanah seperti pada Tabel berikut:
Tabel 2. Kondisi Naungan dan Penutupan Permukaan Tanah No. plot 1 2 3 4 5 6
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
Penutupan tajuk (%) 80 70 75 60 95 95
Tutupan tanah oleh serasah (%) 100 80 100 90 100 50
4
ISSN: 1979-7362 Perbedaan tanggapan terhadap aliran permukaan oleh perbedaan penutupan tajuk dan serasah disebabkan karena curah hujan yang jatuh, sebelum sampai ke permukaan tanah, air tertahan beberapa saat pada tajuk tanaman sebagai intersep yang selanjutnya akan menjadi aliran batang dan sebagian tertahan pada serasah tanaman di permukaan tanah sebagai air depresi. Kedua jenis aliran ini tidak seluruhnya sampai ke tanah, namun
sebagian hilang dalam bentuk uap oleh evaporasi. Hal inilah yang menyebabkan sehingga lahan ternaungi dan memiliki penutupan permukaan dengan baik memiliki aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan lahan dengan naungan dan penutupan lahan yang kurang. Berikut grafik yang menggambarkan besar aliran permukaan pada beberapa kejadian hujan untuk setiap plot.
Keterangan:
Plot 1: Naungan 80%, Penutupan permukaan tanah 100% Plot 2: Naungan 70%, Penutupan permukaan tanah 80% Plot 3: Naungan 75%, Penutupan permukaan tanah 100% Plot 4: Naungan 60%, Penutupan permukaan tanah 90% Plot 5: Naungan 95%, Penutupan permukaan tanah 100% Plot 6: Naungan 95%, Penutupan permukaan tanah 50% Gambar 2. Aliran permukaan pada beberapa kondisi penutupan lahan.
Gambar 2 menunjukkan bahwa naungan oleh tajuk tanaman dan tutupan oleh serasah sangat berpengaruh terhadap aliran permukaan. Namun dari kedua variable tersebut, naungan memiliki peranan yang baik untuk meminimalisasi aliran permukaan terutama pada kejadian hujan dengan ketebalan hujan yang kecil. Namun dengan ketebalan hujan yang besar, maka penutupan lahan oleh serasah memiliki peranan yang besar, dimana semakin tebal serasah, maka aliran permukaan akan menjadi besar. Hal ini disebabkan karena
serasah yang tebal justru menghalangi masuknya air ke dalam tanah. Hubungan antara Curah Hujan dengan Aliran Permukaan Secara teoritis, hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan dijelaskan dengan menggunakan model sebagai pendekatan. Secara umum, model hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan berupa hubungan eksponensial. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan aliran permukaan oleh curah hujan tidak terjadi
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
5
ISSN: 1979-7362 secara linear (Zakarmoshfegh et al, 2008 dalam Musa et al., 2013). Dengan demikian, maka hanya dengan tebal curah hujan tertentu yang dapat menyebabkan adanya aliran permukaan yang besar dan sebaliknya curah hujan yang kecil tidak dapat menyebabkan aliran permukaan. Berikut model hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan untuk plot 1 sampai dengan plot 6 disajikan dalam Gambar 4. Pada gambar 4 terlihat bahwa seluruh plot menunjukkan kecenderungan hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan berkorelasi secara eksponensial. Hubungan eksponensial memberikan gambaran bahwa aliran permukaan akan meningkat dengan cepat akibat curah hujan meningkat. Hal ini disebabkan karena curah hujan yang besar baik karena intensitas melebihi laju infiltrasi atau karena kejadiannya dalam waktu lama sehingga tanah menjadi jenuh. Pada model kecenderungan tersebut terdapat dua koefisien sebagai penciri yaitu koefisien eksponensial yang merupakan intersep sebagai limit bawah keberlakuan model, sedangkan koefisien variable x (curah hujan) menunjukkan kemiringan persamaan garis. Semakin tinggi nilai koefisien eksponensial menunjukkan bahwa aliran permukaan dapat terjadi pada kondisi wilayah tersebut dengan membutuhkan curah hujan yang lebih besar. Sementara koefisien variable x (curah hujan) menunjukkan sensitifitas perubahan aliran permukaan yang disebabkan oleh perubahan curah hujan. Semakin besar nilai koefisien x, maka lahan tersebut semakin sensitive oleh
perubahan kedalaman curah hujan terhadap besarnya aliran permukaan yang terjadi. Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa plot 1 memiliki koefisien eksponensial yang paling besar sehingga untuk terjadinya aliran permukaan membutuhkan intensitas hujan yang besar atau jumlah hujan yang besar karena kejadiannya berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena plot 1 memiliki kelerengan yang kecil yaitu 20%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbarimehr and Naghdi, 2012 bahwa perbedaan pengaruh kelerengan antara 20% dan di atas 20% sangat signifikan terhadap besar aliran permukaan yang terjadi. Di samping itu. plot 1 memiliki kondisi naungan yang baik 80% dan tutupan tanah yang baik yaitu 100% tertutup oleh serasah. Sementara koefisien variable x terbesar terjadi pada plot 2 yang menggambarkan bahwa pada plot tersebut, begitu aliran permukaan sudah bisa terjadi, maka aliran permukaan akan meningkat dengan cepat akibat peningkatan curah hujan yang kecil. Hal ini terjadi karena pada Plot 2 kondisi naungannya yang relative terbuka yaitu hanya 70% dan tutupan serasah hanya 80% sehingga curah hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah yang menyebabkan tanah lebih cepat jenuh. Tanah yang jenuh, bila ditambahkan air hujan maka seluruh hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Haggard, et al., 2005, yang menyatakan bahwa aliran permukaan yang besar kemungkinan disebabkan karena tanah sudah jenuh dan tertutup.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
6
ISSN: 1979-7362
Plot 1
Plot 2
Plot 3
Plot 4
Plot 5
Plot 6
Gambar 3. Hubungan antara curah hujan terhadap aliran permukaan pada plot 1 sampai dengan plot 6. Plot 6 yang memiliki kelerengan yang paling besar yaitu 60,56%. Lahan tersebut memiliki potensi terjadinya aliran permukaan karena air hujan yang jatuh tidak lebih berpotensi menjadi aliran permukaan dibanding menjadi air tanah melalui infiltrasi. Hal ini disebabkan karena gaya gravitasi yang menyebabkan pergerakan air ke dalam tanah berkurang dan lebih cenderung mengalir sebagai aliran permukaan karena gaya gesek kurang
dibandingkan bila masuk ke dalam tanah karena adanya gaya adhesi antara molekul air dengan partikel tanah sehingga air sulit masuk. Adapun nilai koefisien eksponensial dan koefisien variable x (curah hujan) disajikan pada tabel berikut:
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
7
ISSN: 1979-7362 Tabel 3. Nilai koefisien ekponensial dan variable x (curah hujan) persamaan aliran permukan yang merupakan fungsi curah hujan No.
Plot
Koefiien
Koefisien
eksponensial
curah hujan
1
1
10,200
1,245
2
2
9,410
0,288
3
3
0,022
0,130
4
4
0,150
0,090
5
5
0,231
0,083
6
6
0,639
0,043
1.
2.
3.
4.
penelitian
Akbarimehr, M. and R. Naghdi, 2012. Assessing the Relationship of Slope and Runoff Volume on Skid Trails (Case Study: Nav 3 District). Journal of Forest Science, 58, 2012 (8). pp: 357-362. Anonim1. 2012. Potensi Kakao di Sulawesi Selatan. http://regionalinvestment.bkpm.go.id/ newsipid/id/commodityarea.php. [diakses, 21 Mei 2012]. Arsyad, S., 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press: Bogor.
Kesimpulan Dari hasil disimpulkan bahwa:
Daftar Pustaka
dapat
Hubungan antara curah hujan terhadap aliran permukaan memiliki kecendrungan eksponensial; Kelerengan memiliki peranan yang baik dalam meminimalkan aliran permukaan. Kelerengan berbanding lurus terhadap besarnya aliran permukaan; dan Naungan yang kurang baik menyebabkan aliran permukaan mudah terjadi karena hujan langsung ke permukaan lahan, sehingga jika lahan tidak tertutup serasah maka akan mengalami kejenuhan dalam waktu yang singkat, Tutupan serasahnya dengan persentase yang besar menyebabkan air hujan langsung mengalir sebagai aliran permukaan terutama pada intensitas hujan yang tinggi.
Asdak, C., 2010. Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai, Cetakan kelima. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. FAO, 2012. Rainfall- runoff analysis. http://www.fao.org/koefisien%20run% 20off.htm. [Diakses: 18 Mei 2012]. Haggard, B.E., P.A. Moore Jr. and K.R. Brye, 2005. Effect of Slope on Runoff from a Small Variable Slope Box-Plot. Journal of Environmental Hydrology. Vol. 13, No. 25, Nov 2005. pp: 1 – 8. Musa, J.J., J.K. Adewumi and J. Ohu., 2013. Comparing Developed Runoff Coefficients for Some Selected Soils of Gidan Kwano with Exiting Value. International Journal of Basics and Applied Sciencis. Vol. 1 No. 03, Jan 2013, pp. 473-481. Narbiato, D., M. Borca, R. Merz, G. Bloschl and A. Carton, 2009. Controls on event runoff coefficients in the eastern Italian Alps. Journal of Hydrology. 375 (2009) 312–325.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
8
ISSN: 1979-7362 Sensoy, H. and O. Kara, 2014. Slope shape effect on runoff and soil erosion under natural rainfall conditions. iForest, Biogeosciences and Forestry. vol. 7, (Apr 2014), pp. 110-114.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7 No. 1, September 2014)
9
ISSN: 1979-7362 Penentuan Kualitas Kesegaran Ikan Dengan Citra Mata Menggunakan Support Vector Machine Arham1), I Ketut Eddy Purnama2) Dan Mauridhi Hery Purnomo3) 1,2,3)
Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sukolilo, Surabaya, 60111 Email: 1)
[email protected], 2)
[email protected], 3)
[email protected]
Abstract During this time the fishermen and fish producers in Sinjai identifying fish freshness manually using visible observations. However, the selection of these fish will take a long time, especially in very much, so it requires a system that can automatically detect the freshness of the fish. Detection system that is built requires a computational model to change the fish eye image pixels into a feature eyes that show the freshness of the fish, through the process of pre-processing, feature extraction and classification process using Support Vector Machine. Previous research has been done using a variety of over-the wavelet neural network combined with algorithms. From the results of tests on third grade fish eye image in this study found the highest accuracy of 96%. Keywords: Detection System, the freshness of the fish, pretreatment, feature extraction, Support Vector Machine, The freshness of the fish
Pendahuluan Kabupaten Sinjai dengan potensi perikanan yang cukup besar dan didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pangkalan pendaratan ikan, sehingga sangat memungkinkan bagi pengembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan. Potensi perikanan hasil tangkapan yang paling menonjol seperti ikan cakalang, ikan tuna dan ikan tongkol merupakan penghasil bagi para nelayan di kabupaten sinjai [7]. Setiap tahunnya di Kabupaten Sinjai lewat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), dicanangkan program pengembangan usaha perikanan tangkap, namun dalam penentuan kualitas hasil perikanan para nelayan dan produsen ikan masih menggunakan penyortiran secara manual. Hal ini memerlukan tenaga kerja yang relatif besar, bahkan sering menghasilkan banyak kesalahan. Indera manusia rentan terhadap kelelahan fisik dan mental. Permasalahan tersebut diselesaikan dengan membangun sebuah sistem yang dapat mendeteksi tingkat kesegaran ikan dengan waktu yang relatif cepat.
Sistem deteksi yang dibangun memerlukan sebuah sebuah model komputasi untuk mengubah piksel citra mata ikan menjadi suatu ciri mata yang menujukkan tingkat kesegaran ikan. Tiga permasalahan utama pada sistem, yaitu prapengolahan, ekstraksi ciri dan teknik klasifikasi. Prapengolahan berfungsi mempersiapkan citra agar dapat menghasilkan ciri yang lebih baik pada tahap berikutnya. Pada tahap ini sinyal informasi ditonjolkan dan sinyal pengganggu (derau) diminimalisasi [6]. Pra pengolahan terdiri atas cropping, citra green channel, Filter Gaussian, Ekualisasi Histogram, dan Resize. Penelitian tentang identifikasi kesegaran ikan telah dilakukan oleh Paniran [16] dengan menggunakan alih-ragam wavelet yang digabungkan dengan algoritma JST (jaringan Saraf Tiruan). Pada penelitian ini, metode ekstraksi fitur yang digunakan berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu berdasarkan statistic tekstur dari ciri histogram warna green channel. Uji identifikasi dan klasifikasi kesegaran ikan dilakukan kedalam 3 (tiga)
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
10
ISSN: 1979-7362 kelas dan menggunakan metode Support Vector machine (SVM). Pengklasifikasi SVM menggunakan sebuah fungsi atau hyperplane untuk memisahkan dua buah kelas pola. Berbeda dengan Jaringan Saraf Tiruan yang hanya mencari hyperplane saja, SVM berusaha mencari hyperplane yang optimal dimana dua kelas pola dapat dipisahkan dengan maksimal [14]. Dasar Teori Mutu Ikan Secara umum komoditas/bahan pangan mempunyai sifat mudah mengalami kerusakan/busuk (perishable), tidak terkecuali ikan. Setidaknya ada 2 (dua) alasan mengapa ikan termasuk dalam bahan pangan yang mudah busuk (perishable food) adalah : (1) Tubuh ikan mengandung protein dan air cukup tinggi, sehinggga merupakan media yg baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri mikroorganisme lain, dan (2) Daging ikan mempunyai sedikit tenunan pengikat (tendon), sehingga proses pembusukan pada daging ikan lebih cepat dibandingkan dengan produk ternak atau hewan lainnya. Pengenalan Pola Pengenalan pola adalah suatu ilmu untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif citra atau sifat dari obyek. Pola sendiri merupakan suatu entitas yang terdefinisi, dapat diidentifikasi dan diberi nama. Pola dapat berupa kumpulan hasil pengukuran atau pemantauan dan dapat dinyatakan dalam notasi vektor atau matrik [5]. Struktur sistem pengenalan pola terdapat pada Gambar 1, terdiri dari akuisisi citra, pra pengolahan, ekstraksi ciri dan klasifikasi.
Akuisisi Citra
Pra Pengolahan
Ekstraksi ciri
Klasifikasi
Gambar 1. Struktur sistem pengenalan pola Akuisisi citra merupakan cara untuk mendapatkan citra yang akan digunakan dalam proses pengolahan citra. Dalam penelitian ini citra mata ikan yang akan dilatih dan diuji berasal dari foto kamera. Prapengolahan bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra. Dalam penelitian ini, proses pra-pengolahan terdiri dari cropping citra mata ikan, konversi RGB ke green channel, filter Gaussian, Histogram Equalization dan resize. Cropping merupakan operasi translasi/operasi geometrik. Operasi translasi dapat digunakan untuk memotong citra menjadi citra dengan ukuran yang lebih kecil dengan cara membuang sebagian pikselnya pada arah baris (m) dan kolom (n). Pemotongan citra yang atau sering disebut dengan istilah cropping biasanya digunakan untuk memilih suatu wilayah citra yang dikehendaki (sering disebut dengan istilah ROI atau Region of Interest) atau membuang bagian-bagian pada citra yang tidak dibutuhkan untuk proses pengolahan selanjutnya. Pengolahan warna citra RGB dilakukan dengan cara membaca nilai-nilai Red, Green, dan Blue pada suatu piksel, menampilkan dan menafsirkan warna hasil perhitungan sehingga mempunyai arti sesuai dengan yang diinginkan. Citra skala keabuan memiliki 4 jenis variasi yaitu skala keabuan biasa, red channel, green channel dan blue channel. Untuk mendapatkan citra keabuan digunakan persamaan (1). . I(x,y) = α.R + β.G + γ.B …………(1) Pada penelitian ini digunakan citra green channel (kanal hijau). Citra kanal hijau memiliki refleksi cahaya paling baik sehingga dapat dihasilkan informasi yang signifikan [11].
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
11
ISSN: 1979-7362 Filter Gaussian adalah salah satu filter linier dengan nilai pembobotan untuk setiap anggotanya dipilih berdasarkan bentuk fungsi Gaussian. Filter ini sangat baik untuk menghilangkan derau yang bersifat sebaran normal. Secara alami derau juga memiliki sebaran Gaussian, sehingga secara teoritis akan menjadi netral jika dilawan dengan fungsi lain yang juga memiliki fungsi Gaussian, hal ini disebut sebagai zero mean. Zero mean dari fungsi Gaussian dengan nilai pembobotan 2 dimensi ditunjukkan pada persamaan (2) [1]. =
………………..(2)
Histogram digunakan untuk mengetahui informasi frekuensi pemakaian tingkat keabuan dalam suatu citra. Ekualisasi histogram merupakan metode untuk memperbaiki kualitas citra dengan mengubah sebaran tingkat keabuan citra. Hal ini dimaksudkan agar sebaran tingkat keabuan lebih merata dibandingkan dengan citra aslinya [18]. Distribusi ulang terhadap histogram awal dilakukan dengan memetakan setiap nilai piksel pada histogram awal menjadi nilai piksel baru dengan persamaan (3). n
= max
….(3)
Tekstur merupakan karakteristik atau ciri – ciri dari daerah pada sebuah citra yang membentuk keteraturan pola – pola tertentu untuk membedakan sifat – sifat permukaan suatu benda dalam citra. Tekstur berisi informasi penting tentang penyusunan struktur dari permukaan dan hubungannya terhadap lingkungan sekitarnya. Walau mudah bagi manusia untuk membedakannya, namun sangat sulit bagi komputer digital untuk medefinisikannya. Suatu permukaan citra dapat dianalisis teksturnya dengan aturan – aturan untuk diperbandingkan satu sama lain, atau untuk keperluan interpretasi citra digital. Syarat terbentuknya tekstur yaitu: 1. Adanya pola-pola primitif yang terdiri dari satu atau lebih piksel. Bentuk-
bentuk pola primitif ini dapat berupa titik, garis lurus, garis lengkung, luasan, dan lain-lain yang merupakan elemen dasar dari sebuah bentuk. 2. Pola-pola primitif tadi muncul berulangulang dengan selang jarak dan arah tertentu sehingga dapat diprediksi atau ditemukan karakteristik pengulangannya. Nilai rata-rata dari intensitas di dalam citra atau yang disebut dengan mean merupakan fitur yang sangat umum dalam statistika sebagai nilai yang diharapkan untuk mencirikan suatu citra dan perhitungannya tidak membutuhkan pembentukan matriks co-occurrence terlebih dahulu. Mean atau nilai rata-rata dari intensitas dapat didefinisikan dengan: …………(4)
Dalam hal ini, i adalah aras keabuan pada citra f dan p(i) menyatakan probabilitas kemunculan i dan L menyatakan nilai aras keabuan tertinggi.Rumus di atas akan menghasilkan rerata kecerahan objek. Standar deviasi dapat didefinisikan dengan pengukuran untuk penyimpangan standar yang konsisten untuk semua distribusi normal. Dalam penelitian ini dimaksud adalah distribusi tingkat keabuan dari citra. Adapun besar standar deviasi dapat dihasilkan dengan persamaan: ………..(.5)
Dalam hal ini, σ2 dinamakan varians atau momen orde dua ternormalisasi karena p(i) merupakan fungsi peluang. Fitur ini memberikan ukuran kekontrasan. Fitur skewness merupakan ukuran ketidaksimetrisan terhadap rerata intensitas.Definisinya : .............. (6)
Skewness sering juga disebut sebagai momen orde tiga ternormalisasi.Nilai negatif menyatakan bahwa distribusi kecerahan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
12
ISSN: 1979-7362 condong ke kiri terhadap rerata dan nilai positif menyatakan bahwa distribusi kecerahan condong ke kanan terhadap rerata.Dalam praktik, nilai skewness dibagi dengan (L-1)2 supaya ternormalisasi. Deskriptor energi adalah ukuran yang menyatakan distribusi intensitas piksel terhadap jangkauan aras keabuan. Definisinya sebagai berikut: ……..(7)
Citra yang seragam dengan satu nilai aras keabuan akan memiliki nilai energi yang maksimum, yaitu sebesar 1. Secara umum, citra dengan sedikit aras keabuan akan memiliki energi yang lebih tinggi daripada yang memiliki banyak nilai aras keabuan. Energi sering disebut sebagai keseragaman. Entropi mengindikasikan kompleksitas citra. Perhitungannya sebagai berikut: …(8)
Semakin tinggi nilai entropi, semakin kompleks citra tersebut.Perlu diketahui, entropi dan energi berkecenderungan berkebalikan.Entropi juga merepresentasikan jumlah informasi yang terkandung di dalam sebaran data. Properti kehalusan biasa disertakan untuk mengukur tingkat kehalusan/kekasaran intensitas pada citra. Definisinya sebagai berikut:
klasifikasi lebih dari dua kelas maka selanjutnya dikembangkan lah klasifikasi multiclass (banyak kelas). Pada penelitian ini permasalahan yang diselesaikan adalah permasalahan klasifikasi untuk tiga kelas. Pada dasarnya SVM adalah linear classifier, dan untuk dapat diterapkan pada permasalahan non-linear maka selanjutnya dikembangkan konsep kernel trick pada ruang kerja berdimensi tinggi. Saat ini SVM telah banyak diaplikasikan dalam masalah dunia nyata khususnya dalam permasalahan klasifikasi, dan secara umum hasil yang didapatkan lebih baik dibandingkan metode konvensional lainnya seperti misalnya neural network. Generalisasi yang lebih baik pada support vector machine dikarenakan prinsip support vector machine adalah berusaha menemukan pemisah antar kelas terbaik sedangkan neural network hanya berusaha menemukan pemisah antar kelas.
Gambar
………………(9)
Pada rumus di atas, adalah deviasi standar.Berdasarkan rumus di atas, Nilai R yang rendah menunjukkan bahwa citra memiliki intensitas yang kasar. Perlu diketahui, di dalam menghitung kehalusan, varians perlu dinormalisasi sehingga nilainya berada dalam jangkauan [0 1] dengan cara membaginya dengan (L-1)2. Support Vector Machine (SVM) ; SVM pada awalnya dikembangkan oleh Vapnik untuk klasifikasi dua kelas. Namun karena permasalahan yang banyak dijumpai di dunia nyata adalah permasalahan
2. SVM menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan kelas –1 dan kelas +1
Konsep Support vector machine secara sederhananya dijelaskan sebagai usaha untuk mencari hyperplane yang terbaik yang berfungsi sebagai bidang pemisah antara dua buah kelas pada suatu ruang input. Hyperplane dalam ruang vektor berdimensi d adalah suatu affine subspace berdimensi d-1 yang membagi ruang vektor tersebut ke dalam dua bagian, dimana masing-masing ruang tersebut berkaitan pada kelas yang berbeda [4].
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
13
ISSN: 1979-7362 Pada Gambar 2 diperlihatkan beberapa pattern yang merupakan anggota dari dua buah kelas yaitu kelas +1 dan kelas –1. Dimana pattern yang tergabung pada kelas –1 disimbolkan dengan bentuk kotak berwarna hijau, sedangkan pattern pada kelas +1 disimbolkan dengan bentuk segitiga berwarna biru. Permasalahan klasifikasi secara sederhananya dapat dijelaskan sebagai suatu usaha untuk menemukan garis pemisah (hyperplane) yang memisahkan antara kedua kelompok pattern tersebut. Gambar 2(a). menunjukan adanya beberapa alternatif garis pemisah (discrimination boundaries) yang memisahkan pattern yang menjadi anggota dari dua kelas yang berbeda, disimbolkan dengan garis berwarna merah. Dari beberapa alternatif garis pemisah dapat dicari garis pemisah (hyperplane ) yang terbaik antara kedua kelas tersebut. Hal ini dapat ditemukan dengan cara mengukur margin dari hyperplane tersebut dan mencari nilai maksimalnya. Margin adalah jarak antara suatu hyperplane dengan pattern terdekat dari masingmasing kelas tersebut. Sedangkan pattern yang paling dekat dengan hyperplane disebut sebagai support vector. Gambar 2 (b). menunjukkan alternatif garis pemisah (hyperplane) yang terbaik, yaitu hyperplane dengan posisi terletak tepat pada tengah-tengah antara kedua kelas, ditunjukan dengan garis tebal berwarna merah. Sedangkan pattern yang berbentuk kotak berwarna hijau dan pattern berbentuk segitiga berwarna biru yang berada dalam lingkaran hitam adalah pattern terdekat terhadap hyperplane dan disebut dengan support vector. Prinsip proses pembelajaran pada SVM adalah mencari posisi hyperplane terbaik tersebut. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan SVM untuk multiclass. Pendekatan pertama adalah dengan menggabungkan semua data dalam suatu permasalahan optimasi, pendekatan kedua adalah dengan membangun multiclass classifier, yaitu
dengan cara menggabungkan beberapa SVM biner. Pendekatan pertama menuntut penyelesaian masalah optimasi yang lebih rumit dan komputasi yang tinggi, sehingga pendekatan ini tidak banyak dikembangkan. Metode Penelitian Desain Sistem Proses klasifikasi citra mata ikan dibagi menjadi dua tahap utama, yang pertama adalah prapengolahan dan yang kedua adalah proses klasifikasi menggunakan Support Vector Machine (SVM). Proses prapengolahan atau lebih dikenal pre-processing adalah langkah memperbaiki citra untuk menonjolkan karakter citra yang ingin diekstraksi. Secara keseluruhan skema proses tersebut terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Citra Masukan Citra masukan merupakan citra warna hasil segmentasi yang berupa file citra dengan format bmp (Bitmap). Jumlah data citra yang dimasukkan sebagai input pada tahap pelatihan adalah sebanyak 60 data citra dengan tingkat kesegaran yang bervariasi. ukuran atau dimensi citra sama dengan perincian sebagai berikut :
Gambar 3. Tahap Proses Pelatihan Sistem Deteksi Citra Mata Ikan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
14
ISSN: 1979-7362
Gambar 4. Tahap Proses Pengujian Sistem Deteksi Citra Mata Ikan a. 20 citra mata ikan segar kelas baik. b. 20 citra mata ikan kelas sedang. c. 20 citra mata ikan kelas jelek/busuk Sedangkan jumlah data citra masukan untuk dievaluasi atau diuji adalah sebanyak 30 citra dengan ukuran atau dimensi yang sama, dengan perincian sebagai berikut : a. 10 citra mata ikan segar kelas baik b. 10 citra mata ikan kualitas sedang c. 10 citra mata ikan kualitas jelek/busuk Pre-processing Pada tahap pre-processing, Normalisasi dimensi citra tersebut diimplementasikan pada tahap-tahap yang diuraikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Proses Normalisasi Dimensi Citra Dari blok diagram pada Gambar 5, setiap tahap pemrosesan diimplementasikan dengan rumus dan persamaan yang telah dijelaskan pada bab dua. Hasil dari proses keseluruhan akan memiliki dimensi, sehingga nantinya memudahkan untuk proses pengenalan saat pelatihan. Ekstraksi Fitur Untuk mendapatkan vector input dari citra dibutuhkan suatu identifikasi pola yang kompleks yang melibatkan warna, intensitas, dan analisis tekstur dari citra yang telah di-resize. Proses pencarian nilai ciri atau karasteristik dari citra mata ikan adalah penggunaan nilai rata-rata (mean), simpangan baku (standar deviation), kemencengan (skewness), energy, entropy dan smothness yang dimiliki oleh citra mata ikan yang dihitung berdasar persamaan yang telah diuraikan pada bab 2. Desain Algoritma SVM Pada proses klasifikasi kesegaran ikan digunakan metode support vector machine (SVM). Klasifikasi dengan SVM dibagi menjadi dua proses, yaitu proses pelatihan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
15
ISSN: 1979-7362 dan pengujian. Pada proses pelatihan, SVM menggunakan matrik fitur yang dihasilkan dari proses ekstraksi fitur data pelatihan sebagai input. Sedangkan pada proses pengujian, SVM menggunakan matrik fitur yang dihasilkan dari proses ekstraksi fitur data pengujian sebagai input. Karena jumlah kelas tingkat kesegaran ikan pada penelitian ini lebih dari dua kelas maka proses klasifikasi menggunakan pendekatan SVM untuk multi class. Pada penelitian ini digunakan SVM multi kelas one against one. Menghitung jumlah SVM biner yang digunakan menggunakan rumus k(k-1)/2 (k adalah jumlah kelas)
Proses pelatihan pada setiap SVM biner Memetakan input space ke feature space menggunakan kernel Radial Basis Function
K(x,y) = exp – 𝛾|𝑥𝑖 − 𝑥|2
Menentukan sejumlah support vector dengan cara menghitung nilai alpha α1, ..., αN ( N = sejumlah data pelatihan) menggunakan quadratic programming
positive (TP) menunjukkan citra mata ikan yang seharusnya merupakan anggota suatu kelas teridentifikasi secara benar pada kelas tersebut (V). Nilai False positive (FP) menunjukkan citra mata ikan yang seharusnya bukan merupakan anggota suatu kelas teridentifikasi secara salah pada kelas tersebut. Nilai True negatif (TN) menunjukkan citra mata ikan yang seharusnya bukan merupakan anggota suatu kelas teridentifikasi secara benar pada bukan kelas tersebut (NV). Nilai False negatif (FN) menunjukkan citra mata ikan yang seharusnya bukan merupakan anggota suatu kelas teridentifikasi secara salah pada kelas tersebut. Pemetaan dari masing-masing nilai tersebut dapat dilihat dalam confusion matrix Tabel 1. Berdasarkan keempat nilai yang telah diperoleh tersebut dapat dihitung nilai true positive rate (TPR) yang dikenal dengan istilah sensitivity yaitu citra yang teridentifikasi secara benar berdasarkan persamaan 10.
Subyek to : Data 𝑥𝑖 yang berkorelasi dengan α1 > 0 inilah yang disebut sebagai support vector
Solusi bidang pemisah didapatkan dengan rumus w = setiap 𝑥𝑘 , dengan setiap 𝑥𝑘 ≠ 0
𝛼𝑖 𝑦𝑖 𝑥𝑖 ; b = 𝑦𝑘 - 𝑤 𝑇 𝑥𝑘 untuk
Proses pengujian pada setiap SVM biner Memetakan input space ke feature space menggunakan kernel Radial Basis Function
K(x,y) = exp
– 𝑥− 𝑦 2 2𝜎 2
TPR =
Nilai false positive rate (FPR) atau specificity adalah nilai yang menunjukkan tingkat kesalahan dalam melakukan identifikasi yang diperoleh berdasarkan persamaan 3.2. FPR =
Menghitung fungsi keputusan :
........................................ 10
....................................... 11
f1 =K(xi,xd)wi + bi
Specificity = 1 – FPR ............................ 12 Dimana : i = 1 sampai k ; xi = support vector; xd = data pengujian Menentukan nilai f1 yang paling maksimal. Kelas i dengan fi terbesar adalah kelas dari data pengujian
Gambar 6. Blok diagram proses pelatihan dan klasifikasi menggunakan SVM.
Precision merupakan ukuran kecocokan data yang relevan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut : Precision =
Receiver Operating Characteristics (ROC) Hasil yang diperoleh pada tahap klasifikasi dilakukan perbandingan sehingga diperoleh empat nilai yaitu masing-masing adalah true positive, false positive, true negative dan false negative. Nilai True
..................................13
Sedangkan nilai yang menunjukkan keakuratan dari identifikasi (accuracy) diperoleh dari persamaan 14. Accuracy =
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
..... 14
16
ISSN: 1979-7362 Tabel 1. Confusion matriks
Pengujian ini dilakukan terhadap semua kelas berdasarkan kelompok data pelatihan dan pengujian yang telah dibagi, kelas yang pertama adalah kelas dengan kualitas Ikan Segar, kelas kedua adalah kelas kualitas Ikan Sedang, dan kelas ketiga adalah kelas kualitas ikan Jelek/Busuk. Analisa Hasil Pengujian I dengan Data Uji 21 Sampai dengan 30
Pembahasan dan Analisa Hasil Percobaan terhadap sistem klasifikasi yang dibangun menggunakan 90 data citra mata ikan dengan setiap kelas terdiri dari 30 data. Proses percobaan dilakukan dalam dua tahap, tahap yang pertama adalah pelatihan (training) sedangkan tahap yang kedua adalah tahap pengujian (testing). Tahap pelatihan digunakan untuk mendapatkan koordinat dari support vector, weight, dan bias, sedangkan tahap pengujian adalah menggunakan data-data selain data pelatihan untuk mendapatkan hasil klasifikasi, sehingga dapat diketahui tingkat akurasinya. Proses percobaan sistem klasifikasi dilakukan menggunakan teknik cross validation berdasarkan urutan langkah sebagai berikut : 1. Membagi proses pengujian menjadi 3 kali proses menggunakan kombinasi data pelatihan dan pengujian yang berbeda-beda. 2. Proses pengujian pertama, pada masingmasing kelas digunakan 20 data awal sebagai data latih dan 10 data terakhir sebagai data uji. 3. Proses pengujian kedua, pada masingmasing kelas digunakan data ke 11 sampai dengan 30 sebagai data latih dan data ke 1 sampai dengan 10 sebagai data uji. 4. Proses pengujian ketiga, pada masingmasing kelas digunakan data ke 1 sampai dengan 10 dan 21 sampai dengan 30 sebagai data latih dan data ke 11 sampai dengan 20 sebagai data uji.
Dari perhitungan hasil klasifikasi untuk pengujian I, didapatkan hasil untuk kelas ikan dengan kualitas segar didapatkan hasil spesificty sebesar 0.95, precision sebesar 0.91, dan akurasi 96%. Ikan dengan kualitas sedang didapatkan hasil spesificty sebesar 0.9, precision sebesar 0.82, dan akurasi 90%. Sedangkan Ikan dengan kualitas jelek didapatkan hasil spesificty sebesar 0.9, precision sebesar 0.83, dan akurasi 93%. Berdasarkan hasil akurasi pada masing-masing kelas, pengujian I ini dapat dikatakan sangat baik. Analisa Hasil Pengujian 2 dengan Data Uji 1 Sampai dengan 10 Dari perhitungan hasil klasifikasi untuk pengujian 2, didapatkan hasil untuk kelas ikan dengan kualitas segar didapatkan hasil spesificty sebesar 1, precision sebesar 1, dan akurasi 93%. Ikan dengan kualitas sedang didapatkan hasil spesificty sebesar 0.9, precision sebesar 0.83, dan akurasi 93%. Sedangkan Ikan dengan kualitas jelek didapatkan hasil spesificty sebesar 0.85, precision sebesar 0.77, dan akurasi 90%. Berdasarkan hasil akurasi masing-masing kelas, pada pengujian kedua ini akurasi menurun dibandingkan dengan pengujian pertama. Analisa Hasil Pengujian 3 dengan Data Uji 11 Sampai dengan 20 Dari perhitungan hasil klasifikasi untuk pengujian 3, didapatkan hasil untuk kelas ikan dengan kualitas segar didapatkan hasil spesificty sebesar 0.95, precision
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
17
ISSN: 1979-7362 sebesar 0.9, dan akurasi 93%. Ikan dengan kualitas sedang didapatkan hasil spesificty sebesar 0.85, precision sebesar 0.77, dan akurasi 90%. Sedangkan Ikan dengan kualitas jelek didapatkan hasil spesificty sebesar 0.95, precision sebesar 0.9, dan akurasi 93%. Berdasarkan hasil akurasi masing-masing kelas, pada pengujian ketiga ini akurasi tidak berbeda jauh denga pengujian kedua. Kesimpulan Pada penelitian ini telah dikembangkan sistem klasifikasi kesegaran ikan dengan menggunakan metode statistic tekstur untuk mengekstraksi fitur mata ikan dan metode support vector machine sebagai classifier-nya. Berdasarkan perhitungan hasil klasifikasi dari tiga tahapan pengujian, pengujian I memberikan hasil yang terbaik. Untuk kelas ikan dengan kualitas segar didapatkan hasil specificity sebesar 0.95, precision sebesar 0.91, dan akurasi 96%. Ikan dengan kualitas sedang didapatkan hasil spesificty sebesar 0.9, precision sebesar 0.82, dan akurasi 90%. Sedangkan Ikan dengan kualitas jelek didapatkan hasil spesificty sebesar 0.9, precision sebesar 0.83, dan akurasi 93%. Referensi Ahmad, Usman., 2005. “Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemrogramannya”. Edisi pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu. Ajib Akmah, (2009). “Identifikasi Retina Menggunakan Neural Network”. Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta. Aribowo, A.S.2009.Model Penelusuran Citra Digital pada Database Citra Menggunakan Pendekatan perhitungan Kedekatan Pola Warna.Prosiding Seminar Nasional
Teknik Informatika UPN Yogyakarta.
e-Democracy,
Christiani, Nello, and Taylor, J.S., (2000), “An Introduction to Support Vector Machine and Other kernel-based Learning Methods”, Cambridge University Press. Danoedoro, P.,(2012).”Pengantar penginderaan Jauh Digital”. Penerbit Andi, Yogyakarta. Darma Putra, (2010),”Pengolahan citra digital”, Penerbit Andi Yogyakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai (2013). Erich Paulus, yessica Nataliani, (2007), “GUI Matlab”, Penerbit Andi. Gonzales, R.C.; Woods, R.E; Eddins, S.L. 2004.DigitalImage Processing Using MATLAB. Pearson LPE. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, (2013), “Cara Menentukan Kualitas Mutu Ikan”, Media Penyuluhan Perikanan. J. Odstrcilik, R. Kolar, V. Harabis, J. Gazarek, and J. Jan, \Retinal nerve _ber layer analysis via markov random _elds texture modelling," in 18th European Signal Processing Conference, 2010, pp. 1650{1654. Marvin ch. Wijaya, Agus Prijono,(2007),”Pengolahan citra digital menggunakan matlab”, Penerbit Informatika. Mauridhi Hery Purnomo, Arif Muntasa, (2010), “Konsep Pengolahan Citra Digital dan Ekstraksi Fitur”, Penerbit Graha ilmu. Nugroho, dkk (2003), “Support Vector Machine”. Ilmu Komputer.com.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
18
ISSN: 1979-7362 Muhammad Jatra, dkk, (2007), “Identifikasi iris mata menggunakan metode Analisis Komponen Utama dan perhitungan jarak Euclidean”, Universitas Diponegoro, Semarang. Paniran, (2006). “Pemrosesan citra mata ikan secara digital untuk menentukan kualitas kesegaran daging ikan”. ejournal.ftunram.ac.id. Patrick M. Kocovsky, jean V. Adams, charles R. Bronte (2009), “The Effect of Sample Size on the Stability of Principal Component Analysis of Truss-Based Fish Morphometric”, Transaction of the American Fisheries Society 138;487-496 Rafael C. Gonzalez, (2002), “Digital Image Processing”, Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, New Jersey 07458 Santosa,B.,(2007).”Data Mining terapan dengan Matlab”. Graha Ilmu. Suharto Jati Santoso, dkk.,(2006), “Pengenalan jenis-jenis ikan menggunakan metode Analisis Komponen Utama”, Universitas Diponegoro. T.Sutoyo, dkk., (2009), “Teori pengolahan citra digital”, penerbit Andi. Turk,
M. and Pentland, A.,(1991), “Eigenfaces for recognition,” Journal of Cognitive Neuroscience, 3:71-86.
Widodo, P.P., dkk.,(2013).”Penerapan Data Mining dengan Matlab”. Rekayasa sains.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
19
ISSN: 1979-7362 Pengolahan Sereal dan Ikan Produksi Laboratorium Pengembangan Produk Universitas Hasanuddin Bagi Masyarakat Tani dan Nelayan dalam Rangka Upaya Peningkatan Pendapatan H. Jalil Genisa, Program studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar
Abstract One attempt to reduce poverty for farmers and fishermen through a get second income. Alternative livelihoods is one effort that could be developed in order to increase people’s income in Pinrang. Crop farmers and fishermen catch has not received further treatment, so do the processing into a product lunkhead and fish balls. This study aims to assess the potential livelihood cereals and fish catch as a second income, and to process the results into products lunkhead cereals and fish products into fish balls. The method used there are two descriptive qualitative surveys, and laboratory research in product development Unhas qualitatively with a completely randomized design (CRD). The treatments were given in lunkhead seaweed that is by the addition of glutinous rice flour and seaweed broth, when for the manufacture of fish meatballs namely with the addition of the flying fish meat and seaweed broth. The best results for lunkhead seaweed that is in the addition of 70% + 50% glutinous rice flour porridge seaweed, while the best results for fish meat ball that is in the addition of 60% + 15% flying fish seaweed. It is recommended that farmers and fishermen in the Pinrang be spirited enterprenership. Keywords : Rice, Fish Kite, Seaweed ( Eucheuma cottoni ), Lunkhead, Meatballs. Pendahuluan Pengentasan Kemiskinan yang dapat diterapkan salah satunya adalah memanfaatkan pangan mulai di petik (lepas panen) atau ditangkap (ikan), diolah, dan dijual untuk mendapatkan second income agar pengentasan kemiskinan dapat menurun. Kemiskinan di Kabupaten Pinrang terdapat pada petani penggarap atau petani pemilik lahan yang sempit (0.25 Ha), serta pada daerah pesisir sebagai penangkap ikan (nelayan). Salah satu usaha untuk mengurangi kemiskinan bagi petani dan nelayan melalui pencarian pendapatan kedua (second income). Mata pencaharian alternative (MPA) merupakan suatu usaha baru yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat. Pengolahan tepung beras dengan rumput laut menjadi dodol merupakan cara sederhana untuk memberikan nilai tambah bagi para isteri petani ataupun
nelayan. Saat ini telah dikenal bakso dari campuran ikan dengan rumput laut sebagai bahan pengisi untuk meningkatkan kandungan serat dalam upaya menciptakan pangan fungsional, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji potensi mata pencaharian alternative sebagai pendapatan kedua (second income) bagi petani dan nelayan, serta untuk mendapatkan kandungan gizi hasil olahan sereal (dodol) dan ikan (bakso) di Laboratorium Pengembangan Produk pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Unhas. Bahan dan Metode A. Penelitian Survei Prosedur Metode penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data melalui kuisioner, kemudian dilakukan wawancara individual atau wawancara mendalam (indeep) bagi Bappeda sebagai 20
ISSN: 1979-7362 penentu kebijakan dan stakeholder. Tahapan Penelitian Survei, yaitu : (1). Tahap Persiapan; (2). Survei Lapangan; (3). Pengumpulan Data; (4). Analisis Data; (5). Pelaporan Hasil Sementara/Kemajuan B. Penelitian Di Laboratorium Pengembangan Produk
Daging Ikan
Bahan tambahan : - Bawang merah - Bawang putih - Garam - Merica
Dihancurkan
Direndam air es 15 menit
Bahan tambahan : - Bubur rumput laut - Tepung ketan - Tepung tapioka
Diblender
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut, daging ikan layang, tepung beras ketan, tepung tapioka, gula merah, santan, bawang merah, bawang putih, garam, merica, es batu, dan air bersih. 1. Metode Kerja Pembuatan Dodol Rumput Laut
Diuleni
Pencetakan
Dimasak 30 menit Gula Merah
Santan Kental Bakso Bubur Rumput Laut
Pemanasan T : 650C, t : 20 menit
Tepung Ketan
Pencampuran
Pemasakan dan Pengadukan
Gambar 2. Diagram Pembuatan Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut Parameter pengamatan pada penelitian bakso ikan rumput laut yaitu uji organoleptik (warna, aroma, rasa, kenampakan, kekenyalan).
Pendinginan T : 270C, t : 2 jam
Dodol Laut
Rumput
Gambar 1. Diagram Pembuatan Dodol dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Parameter pengamatan pada penelitian dodol rumput laut yaitu, kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan uji organoleptik (kekenyalan). 2. Metode Kerja Pembuatan Bakso Ikan Rumput Laut
Hasil dan Pembahasan A. Aksi Penelitian Survei Kelompok Tani Berdasarkan hasil survei tersebut, maka 5 lokasi untuk rencana aksi sebagai pelaksanaan penelitian adalah Kecamatan Suppa, Kecamatan Lembang, Kecamatan Lanrisang, Kecamatan Mattirosompe, dan Kecamatan Cempa. Berdasarkan hasil survei pada kelompok tani yang dilakukan di 5 kecamatan yang ada di Pinrang dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
21
ISSN: 1979-7362 Tabel 1. Rekapitulasi Petani yang Tersaring dalam Penelitian Survei di Kabupaten Pinrang No
Kecamatan
1
Suppa
2 3
Mattiro Sompe Lembang
4
Cempa
5
Lanrisang
Sumber :
Desa/Kelurahan/ Dusun
Desa Maritengae, Dusun Barakasanda Desa Mattombong, Dusun Beru Desa Tadokkong Desa tunru’e Desa Dusun Lampe Total
Jumlah Petani Yg Tersaring (Orang) 20
Lembang 21 orang, Kecamatan Cempa 17 orang, dan Kecamatan Lanrisang sebanyak 18 orang. Tabel 2. Rekapitulasi Nelayan yang Tersaring dalam Penelitian Survei di Kabupaten Pinrang No
Kecamatan
19
Desa/Kelurahan/ Dusun
Jumlah Nelayan Yg Tersaring (Orang) 18
19
1
Suppa
Desa Wakka
Mantunru-
15
2
Mattiro Sompe
10
Samaulue, Padang
16
3
Lmbang
4
Cempa
Kel. Pallameang, Dusun Pallameang Desa Sabbang paru Desa Taddang Palie
5
Lanrisang
Kel. Lanrisang, Dusun Jampue
18
89
Data Agregat Petani Yang Tersaring Per Kecamatan tahun 2013
Dari Hasil Survei petani yang terjaring diperoleh masalah-masalah diantaranya petani-petani tersebut merasa masih jarang tersentuh oleh kegiatan-kegiatan pelatihan untuk peningkatan hasil tani mereka sehingga pengetahuan petani mengenai cara peningkatan hasil produksi dan cara penanggulangan hama dan penyakit tanaman pertanian belum dapat teratasi, pengelolaan air masuk kepersawahan yang sering mengalami keterlambatan karena saluran air belum maksimal atau bendungan belum mampu menampung air sehingga petani mengalami hambatan dalam produksinya. Selain itu setelah waktu panen selesai para petani kebanyakan tidak memiliki kegiatan lain selain bertani karena kurangnya keterampilan pada bidang tertentu. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan demi memberikan pengetahuan tambahan pada petani-petani tersebut sehingga pada saat tidak melakukan kegiatan bertani masih memiliki kegiatan sampingan yang bisa menambah penghasilannya. B. Aksi Penelitian Survei Kelompok Nelayan Berdasarkan hasil surei nelayan yang dilakukan di 5 kecamatan yaitu tertera pada table dibawah ini yakni di Kecamatan Suppa sebanyak 18 orang, Kecamatan Mattirosompe 10 orang, Kecamatan
Total Sumber : Data Agregat Nelayan Yang Tersaring Kecamatan Tahun 2013
21 17
84 Per
Hasil survei yang dilakukan diperoleh permasalahan-permasalahan yang dihadapi para nelayan, diantaranya masalah alat tangkap nelayan yang kebanyakan hanya menggunakan pancing, karena kurangnya modal, hambatan alat transportasi yang digunakan masih sederhana berupa perahu tempel dimana kondisi perahunya sudah tua. Selain itu kurangnya pengetahuan nelayan mengenai pengolahan hasil tangkapan sehingga pada saat tidak bisa melaut para nelayan tidak memiliki kegiatan lain. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di lakukanlah pengembangan pengetahuan para nelayan jika tidak melaut sehingga akan memiliki kegiatan lain. Para nelayan diberikan pengetahuan memanfaatkan hasil tangkapan dengan membuat olahan makanan seperti bakso sehingga para nelayan memperoleh pekerjaan sampingan dan juga akan memperoleh pendapatan kedua. C. Hasil Penelitian di Laboratorium Pengembangan Produk Universitas Hasanuddin. 1. Hasil Penelitian Sereal Menjadi Dodol Beras Rumput Laut
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
22
ISSN: 1979-7362 A. Kadar Air Hasil pengukuran kadar air rumput laut yang dihasilkan berkisar antara 16.68-17.4. Kisaran tersebut masih berada pada kisaran kestabilan penyimpanan pangan semi basah yang dianjurkan yaitu 20% berdasar pada SNI 01-2986-1992 Departemen Perindustrian.
Gambar 3. Perbandingan Kadar Air Dodol Beras Rumput Laut dengan Perlakuan yang Berbeda. Semakin tinggi penambahan tepung beras ketan yang diberikan, semakin rendah kadar air yang dihasilkan pada dodol, hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2004), bahwa pati memiliki dua fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin. Proses pemanasan di samping terjadi pembengkakan granula pati juga diikuti dengan peningkatan viskositas. Semakin besar pembengkakan granula, semakin besar viskositas. setelah pembengkakan maksimum, dan pemanasan tetap dilanjutkan dengan suhu diatas 650C, granula pati pecah dimana pati akan menyerap air lebih banyak. B. Kadar Protein Analisa kadar protein dimaksudkan untuk mengetahui kadar protein dalam dodol beras rumput laut. Hasil analisa protein pada dodol rumput laut dengan penambahan tepung beras ketan yang tertinggi yaitu 4.43 (A1),dan yang terendah kadar proteinnya yaitu 3. 37(A2).
Gambar 4. Perbandingan Kadar Protein Dodol Beras Rumput Laut dengan Perlakuan yang Berbeda. Protein merupakan kandungan yang sangat penting dalam bahan makanan. Hal ini disebabkan karena protein berfungsi sebagai bahan bakar dan bahan pembangun serta pengatur dalam tubuh manusia. Protein adalah sumber asam asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno, 1997). C. Kadar Lemak Hasil analisa kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan perbandingan rumput laut dan beras ketan 3.65 (A1). Sedangkan hasil analisa terendah terdapat pada perlakuan perbandingan rumput laut dan tepung beras ketan 2.17 (A3).
Gambar 5. Perbandingan Kadar Lemak Dodol Beras Rumput Laut dengan Perlakuan yang Berbeda. Lemak pada dodol berasal dari santan kelapa yang memilki peran sebagai pemberi flavor. Melarutkan tepung dan gula dan mengurangi sifat melekatnya bahan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
23
ISSN: 1979-7362 penyusun dodol lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sundari (1984), menyatakan bahwa santan dalam pembuatan dodol mengandung lemak berfungsi sebagai media penghantar panas pada waktu pemasakan, menaikkan flavor, membentuk tekstur kalis pada dodol, dan memperbaiki kenampakan dodol. D. Uji Sensori Kekenyalan Hasil uji organoleptik terhadap tingkat kekenyalan dari dodol rumput laut menunjukkan hasil rerata berbeda dengan kontrol. Hasil analisa uji organoleptik menunjukkan perlakuan perbandingan rumput laut dan beras ketan 30% : 70% (A3) memiliki nilai yang mendekati kontrol yaitu 6,9 (agak kenyal). Hal yang berbeda ditunjukkan pada perlakuan perbandingan rumput laut dan beras ketan 50% : 50% (A1) yang memiliki tingkat kekenyalan sangat keras dari kontrol dengan nilai 8,8.
panelis terhadap kekenyalan produk dodol beras rumput laut. 2. Hasil Penelitian Tangkapan Nelayan Ikan Layang Menjadi Bakso Rumput Laut A. Warna Warna bakso ikan rumput laut pada perlakuan dengan penggunaan 25% rumput laut +50% ikan layang, dan penggunaan 20% rumput laut +55% ikan layang, serta penggunaan 15% rumput laut +60% ikan layang, panelis memberikan skor yang tinggi yaitu berkisaran 3,7- 4 ,00 yang artinya disukai panelis.
Gambar
Gambar
6.
Perbandingan Hasil Uji Organoleptik Tingkat Kekenyalan Dodol Beras Rumput Laut dengan Perlakuan yang Berbeda Adanya perbedaan konsentrasi tepung beras dan rumput laut pada tiap perlakuan yang mempengaruhi tingkat kekenyalannya. Kadar amilopektin yang tinggi menyebabkan sangat mudah terjadi gelatinisasi bila bertemu dengan air dan memperoleh perlakuan panas. Hal ini terjadi karena adanya pengikatan hidrogen dan molekul-molekul tepung beras ketan (gel) yang bersifat kental. Kemudian dilakukan pengujian organoleptik metode Hedonik uji aceptibilitas untuk melihat penerimaan
Perbandingan Hasil Uji Organoleptik Tingkat Kesukaan Warna Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut. Proses pemasakan mempengaruhi warna bakso ikan rumput laut karena pada saat pemanasan tersebut terjadi reaksi-reaksi Maillard. Penggunaan rumput laut dan ikan layang mempengaruhi warna bakso ikan rumput laut. Rumput laut mengandung protein sebagai sumber asam amino yang akan bereaksi dengan gula pereduksi pada saat pemasakan sehingga menghasilkan warna kurang terang pada bakso ikan rumput laut. Hal ini didukung oleh pernyataan ( Schwedt, 2005) bahwa reaksi Maillard yang terjadi antara gula reduksi dengan asam. Warna bakso ikan rumput laut tidak seperti warna bakso ikan pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Sunarlim,1992) bahwa penggunaan ikan yang berwarna putih dan tepung tapioka akan mempengaruhi warna dari bakso ikan yang dihasilkan.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
7.
24
ISSN: 1979-7362 B. Aroma Aroma suatu produk makanan menentukan kualitas dan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Aroma produk bakso ikan rumput laut di dipengaruhi oleh penambahan bahan tambahan seperti merica, bawang merah, bawang putih dan garam. Respon panelis terhadap aroma bakso ikan rumput laut menunjukkan nilai yang berkisar antara 4,03,3 yang artinya disukai panelis. Kesukaan panelis terhadap aroma bakso ikan rumput laut ini disebabkan karena penggunaan rumput laut dan ikan layang yang mengandung protein yang tinggi. Selain itu penambahan bahan tambahan seperti merica, bawang merah, bawang putih dan garam. Pada saat pemasakan terjadi reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino yang berasal dari protein yang terkandung dalam ikan layang serta bahan tambahan lainnya sehingga terbentuk aroma bakso ikan rumput laut. Pernyataan tersebut didukung oleh (Schwedt, 2005) bahwa reaksi pembentukan aroma yang terjadi antara gula reduksi dengan asam amino disebut dengan reaksi Maillard. Reaksi tersebut dapat menghasilkan perubahan aroma dan merupakan indikator untuk suatu proses pemanasan bahan pangan.
C. Rasa Rasa produk bakso ikan rumput laut ditentukan dari hasil uji organoleptik terhadap panelis. Uji rasa bakso ikan rumput laut ini melibatkan panca indera lidah, sehingga dapat diketahui tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa produk bakso ikan rumput laut. Hasil uji organoleptik terhadap rasa bakso ikan rumput laut menunjukkan bahwa penilaian panelis terhadap rasa bakso ikan rumput laut berkisar antara 3,7-4,0. Masing-masing perlakuan disukai oleh panelis. Kesukaan panelis terhada rasa bakso ikan rumput laut sangat dipengaruhi oleh penambahan bahan tambahan seperti merica, bawang merah, bawang putih dan garam. sehingga disukai panelis. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Anonim, 2010), bahwa garam berfungsi sebagai bumbu penambah cita rasa dan juga dapat mengawetkan berbagai jenis makanan pangan lainnya. Garam dapat menghambat aktivitas mikroba pembusuk yang dapat mengkontaminasi bahan makanan. Selain itu, pendapat yang sama juga didukung oleh (Winarno, 2004) bahwa garam (natrium klorida) merupakan suatu zat asam basa yang digunakan dalam berbagai makanan sebagai pemberi rasa asin.
Gambar Gambar
8.
Perbandingan Hasil Uji Organoleptik Tingkat Kesukaan Aroma Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut.
9.
Perbandingan Hasil Uji Organoleptik Tingkat Kesukaan Rasa Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut.
D. Kekenyalan Hasil uji kekenyalan bakso ikan rumput laut menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan 25% rumput laut + 50% ikan layang memperoleh skor 4.2, perlakuan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
25
ISSN: 1979-7362 penggunaan 20% rumput laut + 55% ikan layang memperoleh skor 3.8 dan pada perlakuan penggunaan 15% rumput laut + 60% ikan layang memperoleh skor 3.3 yang masing-masing disukai oleh panelis. Uji kekenyalan menunjukkan bahwa panelis menyukai bakso ikan rumput laut dengan skor 4.2, 3.8, dan 3.3. Hal ini dikarenakan adanya penggunaan tepung tapioka yang mengandung amilopektin lebih banyak sehingga dapat memberikan kekenyalan pada bakso ikan rumput laut. Amilopektin berfungsi memberikan sifat renyah dan garing pada bakso. Hal ini sesuai pendapat (deMan, 1997) bahwa dengan penambahan tapioka ini maka produk makanan akan mempunyai keunggulan kualitas baik kenampakan secara fisik, tekstur, rasa, warna, tingkat kegurihan, zat gizi ataupun proses pengolahan yang lebih, mudah dan cepat.
baku. Hal ini sesuai dengan (Anonim, 2010) bahwa faktor pengolahan dan penggunaan bahan baku yang berwarna putih serta bahan tambahan akan membantu memberikan kenampakan pada produk akhir bakso ikan rumput laut yang dihasilkan.
Gambar
11.
Perbandingan Hasil Uji Organoleptik Tingkat Kesukaan Kenampakan Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut. Kesimpulan
Gambar
10.
Perbandingan Hasil Uji Organoleptik Tingkat Kesukaan Kekenyalan Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut
D. Kenampakkan Penilaian panelis terhadap kenampakkan perlakuan dengan penggunaan rumput laut 25% + ikan layang 50%, ikan layang 55% + rumput laut 20% dan perlakuan yang menggunakan ikan layang 60% + rumput laut 15% disukai oleh panelis. Kenampakkan pada bakso ikan rumput laut dipengaruhi karena faktor pengolahan pembentukan adonan yang tidak seragam. Faktor pengolahan sangat memberi respon terhadap produk akhir dari bahan makanan dan penggunaan bahan
Kesimpulan yang dapat ditarik pada penelitian ini adalah : 1. Petani hasil survei melalui kuesioner dari ke lima kecamatan / desa yang terpilih di Kabupaten Pinrang diperoleh permasalahan yakni masih jarang tersentuh oleh kegiatan-kegiatan pelatihan budidaya tanaman dan cara penanggulangan hama dan penyakit untuk peningkatan hasil tani mereka 2. Masalah yang diperoleh nelayan hasil survei dari ke lima kecamatan / desa yang terpilih di Kabupaten Pinrang yaitu perahu yang digunakan masih sederhana (perahu temple/katinting) dan sudah tua, serta alat tangkap umumnya menggunakan pancing, tidak menggunakan pukat karena kurang permodalan 3. Perlakuan yang diberikan pada dodol rumput laut dengan penambahan tepung beras ketan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak dan kadar protein dodol yang dihasilkan artinya kadar lemak dan kadar proteinnya cukup, namun memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air dari dodol rumput laut
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
26
ISSN: 1979-7362 artinya kadar air pada dodol yang dihasilkan masih dalam skala standar yang dipersyarat pada SNI. 4. Perlakuan perbandingan rumput laut dan tepung beras ketan (A3) 30% :70% dengan menghasilkan dodol dengan sensori terbaik dari tingkat kekenyalan dengan skor 6.9 (mendekati kontrol) dan daya terima panelis dengan skor 4 (suka). 5. Dari hasil uji organoleptik bakso ikan dengan rumput laut perlakuan yang terbaik yaitu perlakuan A3 dengan penggunaan ikan layang 60% + rumput laut 15%. Ucapan Terima Kasih Tulisan ini merupakan laporan lengkap hasil penelitian Pengolahan Sereal dan Ikan Produksi Laboratorium Pengembangan Produk Universitas Hasanuddin Bagi Masyarakat Tani dan Nelayan Dalam Rangka Upaya Peningkatan Pendapatan. Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik dari perorangan ataupun pada instansi pemerintahan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Rektor Universitas Hasanuddin selaku pemberi dana melalui LP2M, instansi terkait dan rekan-rekan yang telah membantu sejak dimulainya penelitian ini sampai selesai.
Syarief, Rizal., dan Anies Irawati, 1988. Pengetahuan untuk Bahan Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Bandung. Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sundari. 1984. Teknologi Pangan Perusahaan Jenang Ny. Nira. Ponorogo. Fakultas . Teknologi Pertanian, IPB. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno. F.G. 2004. Kimia Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. http://www.ristek.go.id [diakses 24 September 2010] deMan, J. 1997. Chemistry. Belmont.
Principles of Wadsworth,
Food Inc,
Schwedt, G. 2005. Taschenatlas der Lebensmittelchemie. WILEY-VECH Verlag, Weinheim. Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
27
ISSN: 1979-7362 Lampiran 1.
Lampiran 5.
Tabel Hasil Pengukuran Kadar Air Dodol Beras Rumput Laut Kode Sampel
I
II
III
Total
Skoring Panelis Uji Organoleptik Pada Tingkat Kesukaan Warna Pada Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut
Rataan PANELIS
A1
A2
A3
4
4
5
13
2
4
3
4
11
3
4
4
5
13
4
4
3
3
10
5
4
4
3
11
6
4
4
5
13
7
3
4
4
11
8
4
4
2
10
9
3
4
5
12
10
3
4
4
11
Lampiran 2. Tabel Hasil Pengukuran Protein Dodol Beras Rumput Laut I
II
III
Total
Rataan
A1 4.32 4.42 4.57 13.31 4.43 A2 4.25 4.33 4.54 10.12 3.37 A3 4.21 4.32 4.70 13.23 4.41 Sumber: Data Hasil Penelitian mempelajari Pembuatan Dodol Beras Rumput Laut.
Lampiran 3. Tabel Hasil Pengukuran Kadar Lemak Dodol Beras Rumput Laut Kode Sampel
I
II
III
A1
4.35
2.85
3.76
10.96
3.65
A2
2.16
2.11
3.35
7.62
2.54
A3
2.78
2.32
1.43
6.53
2.17
Total
Rataan
Sumber: Data Hasil Penelitian mempelajari Pembuatan Dodol Beras Rumput Laut.
Lampiran 4. Skoring Panelis Uji Organoleptik pada Tingkat Kekenyalan Dodol Beras Rumput Laut PANELIS I II III IV V VI VII VIII IX X TOTAL RATA - RATA
A1 7 8 9 9 7 6 6 9 7 8 74 7.4
SAMPEL A2 8 9 9 9 9 9 8 9 9 9 88 8.8
TOTAL A3 6 6 9 8 6 6 7 9 6 6 69 6.9
21 23 27 26 22 21 21 27 22 23 233 23.3
TOTAL
1
A1 19.83 16.38 15.98 52.19 17.40 A2 16.3 17.32 17.54 51.16 17.05 A3 17.21 17.89 14.95 50.05 16.68 Sumber: Data Hasil Penelitian mempelajari Pembuatan Dodol Beras Rumput Laut.
Kode Sampel
SAMPEL
TOTAL
37
38
40
115
RATA - RATA
3.7
3.8
4
3.8
Keterangan: 5: sangat suka 4: suka 3: agak suka 2: tidak suka 1: sangat tidak suka
Lampiran 6. Skoring Panelis Uji Organoleptik Pada Tingkat Kesukaan Aroma Pada Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut PANELIS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 TOTAL RATA - RATA
A1 5 4 4 4 4 4 3 4 4 4 40 4
SAMPEL A2 4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 38 3.8
TOTAL A3 3 4 3 3 3 4 4 3 3 3 33 3.3
12 12 11 11 10 12 11 11 11 10 111 3.7
Keterangan: 5: sangat suka 4: suka 3: agak suka 2: tidak suka 1: sangat tidak suka
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
28
ISSN: 1979-7362 Lampiran 7.
Lampiran 9.
Skoring Panelis Uji Organoleptik Pada Tingkat Kesukaan Rasa Pada Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut PANELIS
SAMPEL
Skoring Panelis Uji Organoleptik Pada Tingkat Kesukaan Kenampakan Pada Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut
TOTAL
A1
A2
A3
1
4
4
4
2
4
4
4
3
4
4
4
4
5
SAMPEL
TOTAL
PANELIS
A1
A2
A3
12
1
4
4
5
13
12
2
3
4
4
11
4
12
3
4
4
4
12
4
3
11
4
4
4
5
13
4
3
3
10
5
4
4
5
13
6
4
4
5
13
6
4
4
5
13
7
3
4
4
11
7
3
4
4
11
8
3
4
4
11
8
4
4
4
12
9
4
4
5
13
9
3
4
5
12
10
3
3
4
10
10
3
3
4
10
TOTAL
37
38
40
115
TOTAL
36
39
45
120
RATA - RATA
3.7
3.8
4
3.8
RATA - RATA
3.6
3.9
4.5
4
Keterangan: 5: sangat suka 4: suka 3: agak suka 2: tidak suka 1: sangat tidak suka
Keterangan: 5: sangat suka 4: suka 3: agak suka 2: tidak suka 1: sangat tidak suka
Lampiran 8.
Lampiran 10.
Skoring Panelis Uji Organoleptik Pada Tingkat Kekenyalan Pada Bakso Ikan dengan Penambahan Rumput Laut SAMPEL
TOTAL
PANELIS
A1
A2
A3
1
4
4
3
11
2
4
3
3
10
3
4
4
4
12
4
4
4
3
11
5
5
4
3
12
6
4
4
3
11
7
4
4
3
11
8
5
4
4
13
9
4
4
3
11
10
4
3
4
11
TOTAL
42
38
33
113
RATA - RATA
4.2
3.8
3.3
3.76
Gambar 10. Dodol Rumput Laut
Keterangan: 5: sangat suka 4: suka 3: agak suka 2: tidak suka 1: sangat tidak suka
Gambar 11. Bakso Rumput Laut
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
29
ISSN: 1979-7362 Mempelajari Pola Pengolahan Tanah pada Lahan Kering Menggunakan Traktor Tangan dengan Bajak Rotari Studying Patterns in Dryland Soil Processing Using Hand Tractor with Rotary Plow Ariesman, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Iqbal Salim, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Daniel Useng, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Abstract Cultivation of horticultural crops in Indonesia, is still mostly done conventionally by using human power. Therefore the use of tillage machines is very important for increasing production. Use of hand tractors will increase work capacity and better results compared to using animal power. The purpose of the study was to determine the appropriate tillage patterns using hand tractor with rotary plow implement on dry land in the district Takalar, South Sulawesi. The results of effective field capacity at the edge of the pattern of cultivation is 0.046 hectares / hour while in the middle of the pattern processing in getting the results of 0.057 ha / hr. The results of the working capacity of soil tillage on the edge of the pattern is 21 hours / ha, while the cultivation of land in the middle of the pattern is 17 hours / ha. Efficiency edge pattern is 58%, while the efficiency of central pattern is 72%. Pattern processing is good or suitable for use for tillage on dry land with a rotary plow is the processing center of the pattern. Keywords: hand tractors, rotary plows, tillage, edge pattern, central pattern
Pendahuluan Lahan kering merupakan potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian di Indonesia. Areal lahan kering di Indonesia mencapai 52.4 juta ha yang tersebar di pulau Jawa dan Bali (7.1 juta ha), Sumatra (14.8 juta ha), Kalimantan (7.4 juta ha), Sulawesi (5.1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6.2 juta ha), serta Papua (11.8 juta ha). Untuk memanfaatkan potensi yang ada, perlu dilakukan pengolahan tanah yang merupakan awal dari kegiatan pada budidaya pertanian. Kegiatan pengolahan tanah ini perlu diupayakan secara efektif dan efisien, karena akan mempengaruhi kualitas pengolahan tanah, waktu kerja pengolahan tanah, dan produksi hasil pertaniannya, sehingga diharapkan potensi lahan kering yang besar dapat dimanfaatkan secara maksimal (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1998).
Lahan kering biasanya dimanfaatkan untuk tanaman hortikultura, karena tanaman hortikultura tidak memerlukan air yang melimpah saat pembudidayaannya. Pembudidayaan tanaman hortikultura seperti jagung, sayuran dan tanaman hias sangat perlu dilakukan karena potensi lahan kering yang melimpah (Haerani, 2001). Di Indonesia, budidaya tanaman hortikultura masih banyak dilakukan secara konvensional dengan menggunakan tenaga manusia (manual). Oleh karena itu penggunaan mesin-mesin pengolahan tanah merupakan hal yang sangat penting untuk peningkatan produksi, hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan para petani terhadap perkembangan teknologi sehingga membuat lebih mengutamakan pengolahan tanah secara manual (Haerani, 2001).
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
30
ISSN: 1979-7362 Pengolahan tanah biasanya digunakan alat dengan tenaga tarik hewan atau menggunakan tenaga traktor. Penggunaan tenaga tarik traktor akan meningkatkan kapasitas kerja dan hasil yang didapatkan pada pengolahan akan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan hewan (Haerani, 2001).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan olahan dengan luas 10 x 10 meter, bahan bakar minyak (bensin) sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah traktor tangan bajak rotari, meteran, penggaris, stop watch, labu ukur, patok, timbangan dan alat tuis.
Tujuan utama dari penggunaan mesin - mesin dibidang pertanian adalah untuk meningkatkan produktivitas kerja petani dan mengubah pekerjaan berat menjadi lebih ringan. Kegiatan pengolahan tanah pada lahan kering untuk tanaman hortikultura merupakan kegiatan yang cukup berat, kegiatan ini memerlukan waktu dan tenaga serta biaya yang cukup besar. Mekanisasi pertanian dapat meningkatkan kualitas hasil produksi (Haerani, 2001).
Persiapan (Observasi, Matriks Kerja, Penyediaan dan Pengecekan Alat)
Pelaksanaan (Pengolahan Tanah dengan Bajak Rotari)
Pengamatan Indikator Ukur (Lebar Kerja, cm) (Kedalaman Kerja, cm) (Kecpatan Maju, km/jam) (Kadar Air Tanah, %) (Kapasitas Lapang Teoritis, ha/jam) (Kapasitas Lapang Efektif, ha/jam) (Efisiensi, %) (Slip Roda Traksi, %) (Komsumsi Bahan Bakar, ml/m2)
Beberapa masalah yang ada di atas perlu dilakukan pengujian traktor tangan bajak rotari dengan beberapa pola pengolahan tanah untuk mengetahui efisiensinya, sehingga diharapkan menghasilkan alternatif pola pengolahan tanah yang terbaik untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi para petani sehingga dapat meningkatkan produksi, pendapatan petani dan mengurangi biaya produksi serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pola pengolahan tanah yang sesuai menggunakan traktor tangan dengan implemen bajak rotari pada lahan kering di kelurahan Salaka, kecamatan Pattalassang, kabupaten Takalar.
Analisis Data Pengolahan Tanah
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Analisis Data Kadar Air, Persentase berdasarkan berat, kadar air tanah dapat dihitung dengan persamaan 1 rumus sebagai berikut (Das, 1993) :
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus tahun 2012 di lahan petani kelurahan Salaka, kecamatan Pattalassang, kabupaten Takalar.
.................(1) dimana : KA = Kadar air tanah (%) Wa = Berat tanah awal (g) Wk = Berat tanah akhir (g)
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
31
ISSN: 1979-7362 Kapasitas kerja, didefinisikan sebagai suatu kemampuan kerja suatu alat atau mesin yang memberikan hasil (hektar, kilogram, liter) per satuan waktu. Dihitung dengan persamaan 2 sebagai berikut (Suastawa dkk, 2000) : ……………..(2) dimana : K = Kapasitas kerja (jam/ha) L = Luas lahan hasil pengolahan (ha) WK = Waktu kerja (jam)
................(5) dimana : KLE = kapasitas lapang efektif KLT = kapasitas lapang teoritis Slip (Slippage), Intensitas slip merupakan pengurangan kecepatan maju traktor karena beban operasi pada kondisi lapang. Untuk menghitung slip roda traksi pada pada persamaan 6 berikut (Suastawa dkk, 2000). ..........................(6)
Kapasitas lapang teoritis (KLT) dapat dihitung dengan persamaan 3 rumusnya sebagai berikut (Suastawa dkk. 2000). KLT = 0.36 (v x lP)……………..….(3) dimana : KLT v lP 0.36
= Kapasitas lapang teoritis (ha/jam) = Kecepatan rata-rata (m/s) = Lebar pembajakan rata-rata (m) = Faktor konversi (1 m2/s = 0.36 ha/jam)
Kapasitas lapang pengolahan efektif (KLE) dapat dihitung dengan persamaan 4 dengan rumus sebagai berikut (Suastawa dkk. 2000). …………….…………….(4)
dimana : St = Slip roda traksi (%) Sb = Jarak tempuh traktor saat diberi pembebanan dalam 5 putaran roda (m) So = Jarak tempuh traktor tanpa beban dalam 5 putaran roda (m) Skema petak uji, traktor tangan bajak rotari dengan pola pengolahan keliling tepi dan tengah pada lahan petani, dengan melakukan tiga kali ulangan digambarkan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2 Hasil dan Pembahasan Lebar instrumen pada traktor adalah 109 cm sedangkan lebar pengolahan ratarata setelah pengoprasian adalah 106 cm, hal ini disajikan pada Gambar 4.
dimana : KLE = Kapasitas lapang efektif (ha/jam) L = Luas lahan hasil pengolahan (ha) WK = Waktu kerja (jam) Efisiensi suatu traktor tergantung dari kapasitas lapang teoritis dan kapasitas lapang efektif. Rumus yang digunakan untuk mengetahui efisiensi pengolahan tanah adalah sesuai persamaan 5 berikut (Yuswar, 2004).
Gambar 4. Lebar Pengolahan Tanah Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantara yaitu keterampilan operator saat menjalankan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
32
ISSN: 1979-7362 traktor tangan agar tetap berjalan lurus, pengaruh putaran rotari yang menimbulkan getaran dan goncangan serta saat pengangkatan implemen, apabila traktor menabrak halangan seperti batu, tanah keras, batang maka akan menimbulkan gesekan atau getaran. Sesaat setelah pengolahan tanah dilakukan pengukuran kedalaman olahan sehingga diperoleh kedalaman rara-rata 15 cm, hal ini disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Kedalaman Pengolahan Tanah Hal tersebut dikarenakan ketika implemen menabrak halangan seperti : batu besar, tanah keras atau liat, batang atau tanggul pohon besar yang meyebabkan pengangkatan alat dan menimbulkan getaran, dan tekanan operator saat pengolahan. Slip roda traksi pada saat pengujian adalah berkisar 26% - 27%, dikarenakan keadaan tanah yaitu kadar air yang terkandung dalam tanah adalah 20%. Kapasitas lapang efektif pada pengolahan pola tepi diperolah hasil 0.046 ha/jam sedangkan pada pengolahan pola tengah didapatkan hasil 0.057 ha/jam disajikan pada Gambar 6. Hasil analisis dapat diketahui bahwa pengolahan pola tengah memiliki kapasitas lapang yang lebih besar dari pada pengolaha pola keliling tepi artinya luasan tanah yang dapat diolah dengan pengolahan pola tengah dalam satuan jam lebih luas atau lebih banyak dibandingkan dengan pengolahan pola tepi.
Gambar 6. Kapasitas Lapang Efektif Hal ini dikarenakan tingkat keterampilan operator dan pola pengolahannya yang berbeda sehingga erat hubungannya dengan waktu yang hilang karena belokan selama pengolahan, jumlah belokan pada pengolahan keliling tepi adalah 18 belokan sedangkan belokan pengolahan tengah adalah 16 belokan. Selain itu dipengaruhi oleh pengangkatan alat, akibatnya mempengaruhi kecepatan dan waktu pengolahan, tentunya hal ini mempengaruhi pengolahan luasan dalam satuan waktu. Hasil nilai pengolahan tanah dengan mengamati kapasitas kerja pengolahan tanah pada pola keliling tepi adalah 21 jam/ha sedangkan hasil kapasitas kerja pengolahan tanah pada pola tengah adalah 17 jam/ha disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Kapasitas Kerja Hasil kapasitas kerja pengolahan pola tengah lebih kecil dibandingakan dengan pengolahan pola keliling tepi artinya waktu untuk menyelesaikan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
33
ISSN: 1979-7362 pengolahan lahan dengan pola tengah satuan ha lebih cepat dibandingkan pengolahan pola keliling tepi pada satuan luasan yang sama ini disebabkan tingkat keterampilan operator, operator yang berpengalaman dan trampil akan memberikan hasil kerja dan efisiensi yang lebih baik. Efisiensi pola tepi adalah 58% sedangkan hasil efisiensi diperoleh pada pola tengah adalah 72% disajikan pada Gambar 8 .
Hasil konsumsi bahan bakar dengan luas lahan 300 m2 pada pengolahan tepi adalah sebesar 880 ml sedangkan konsumsi bahan bakar pada pengolahan tengah adalah 720 ml disajikan pada Gambar 9. Hal ini dikarenakan oleh pola pengolahan tanah yang berbeda sehingga mempengaruhi waktu yang hilang karena jumlah belokan yang berbeda diantara kedua pola tersebut, akibatnya lama waktu pengoprasian pengolahan lahan dengan pola tengah lebih cepat dibanding pola keliling tepi dalam menyelesaikan satuan luas. Kesimpulan Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Gambar 8. Efisiensi Pengolahan Tanah Hasil perhitungan perbandingan efisiensi pengolahan tengah lebih kecil dibandingkan dengan pengolahan keliling tepi artinya efisiensi pola tengah lebih baik dibandingakan pengolahan keliling tepi sebagai mana pendapat (Yuswar, 2004) semakin luas tanah yang diselesaikan dalam waktu yang semakin singkat maka dikatakan bahwa pekerjaan mengolah tanah tersebut mempunyai efisiensi tanah yang tinggi.
1. Pola pengolahan yang baik atau sesuai digunakan untuk pengolahan tanah dengan bajak rotari pada lahan petani di kelurahan Salaka, kecamatan Pattalassang kabupaten Takalar adalah pengolahan Pola tengah 2. Pengolahan tanah pola tengah memiliki kapasitas lapang efektif atau kemampuan kerja yang lebih baik dibandingkan pengolahan pola tepi 3. Pengolahan tanah pola tengah memiliki kapasitas kerja atau kemampuan traktor dalam menyelesaikan pengolahan tanah pada satuan ha lebih cepat atau baik di banding pengolahan pola tepi. 4. Pengolahan tanah pola tengah memiliki efisiensi yang tinggi atau dapat penyelesaian pengolahan tanah pada waktu yang singkat dibanding pengolahan pola tepi. 5. Pola pengolahan tepi menggunakan bahan bakar minyak (bensin) lebih banyak dibandingkan pengolahan pola tengah.
Gambar 9. Konsumsi Bahan Bakar
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
34
ISSN: 1979-7362 Daftar Pustaka Das. B.M.1993. Mekanika Tanah (PrinsipPrinsip Rekayasa Geoteknis). Penerbit : Erlangga. Jakarta. Haerani, A. 2001. Kajian Awal Perancangan Alat dan Mesin untuk Budidaya Sayuran, Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian, IPB. Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1998. Statistik Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.Bogor. Suastawa, I. N., W. Hermawan, dan E. N. Sembiring. 2000. Konstruksi dan Pengukuran Kinerja Traktor Pertanian. Teknik Pertanian. Fateta.IPB. Bogor. Yuswar, Yunus. 2004. Perubahan Beberapa Sifat FIsik Tanah dan Kapasitas Kerja Traktor Akibat Lintasan Bajak Singkal pada Berbagai Kadar Air Tanah. Tesis. Program Pascasarjana UNSYIAH. Banda Aceh.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
35
ISSN: 1979-7362 Lampiran-lampiran Lampiran 1. Skema Pengolahan Pola Tepi 1
2
3
10 m 10
10 m Lampiran 2. Skema Pengolahan Pola Tengah 1
2
3
10 m
10 m
Lampiran 3. Perhitungan Data 1. Lebar Kerja Teoritis Instrumen dan Lebar Kerja Lapang Pengujian traktor tangan bajak rotari dilakukan pengukuran lebar pada instrumen bajak rotari yang dipasangkan pada traktor yaitu 109 cm dan jumlah bilah pisau rotari adalah 24 buah. Hasil setelah pengolahan tanah diperoleh lebar pengolahan rata-rata 107 cm + 106 cm + 105 cm = 106 cm 2. Kedalaman Kerja 10 m Pengolahan tanah yang telah dilakukan maka selanjutnya dilakukan pengukuran kedalaman tanah dengan mengambil sampel tiga titik secara acak di daerah olahan tanah, sehingga diperoleh hasil rata-rata 15 cm + 14 cm + 16 cm = 15 cm 3. Kecepatan maju Pengujian kecepatan maju traktor, disajikan pada Tabel 1 berikut ini : No 1 2 3
Kcepatan Maksimal (hp/rpm) 10 m 5.0 / 2000 10 m 5.0 / 2000 10 m 5.0 / 2000 Rata-rata
Jarak (meter)
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
Waktu (detik) 47 : 97 detik 53 : 35 detik 45 : 60 detik 48 : 64 detik
Kecepatan Maju (m/s) 0.21 0.19 0.22 0.21
36
ISSN: 1979-7362 4. Kapasitas Lapang Teoritis dan Kapasitas Lapang Efektif a. Kapasitas Lapang Teoritis, diketahui kecepatan rata-rata traktor tangan bajak rotari adalah 0.21 m/s, lebar pembajakan rata -rata adalah 1.06 m dan 0.36 = Faktor konversi (1 m2/s = 0.36 ha/jam), sehingga diperoleh : * KLT = (v x lP) = (0.21 m/s x 1.06 m) = 0.22 m2/s (Konversi ke ha/jam)
Jadi Kapasitas Lapang Teoritisnya adalah 0.079 b. Kapasitas Lapang Efektif 1) Pola pengolahan tepi, rata-rata kapasitas lapang efektif disajikan pada Tabel 2 berikut ini : Luas Lahan Konversi Konversi KLE No Waktu operasional 2 (m ) (ha) (jam) (ha/jam) 1 100 m2 0.01 11 menit : 37 detik 0.18 0.056 2 2 100 m 0.01 12 menit : 17 detik 0.20 0.050 2 3 100 m 0.01 15 menit : 33 detik 0.25 0.040 Luas 300 m2 rata-rata 13 menit : 29 detik rata-rata 0.049 total Total waktu
39 menit : 27 detik
Jadi total KLE ketiga lahan, total luas lahan 300 m2 = 0.03 ha, pengolahan 39 menit : 27 detik = 0.65 jam sehingga diperoleh : *KLE = L / WK = 0.03 ha / 0.65 jam = 0.046 ha/jam Kapasitas kerja = WK / L = 0.65 jam / 0.03 ha = 21 jam/ha Efisiensi
lama waktu
= KLE / KLT × 100% = 0.046 ha/jam / 0,079 ha/jam x 100% = 58%
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
37
ISSN: 1979-7362
No 1 2 3 Luas total
2) Pola pengolahan Tengah, rata-rata kapasitas lapang efektif disajikan pada Tabel 3 berikut ini : Luas Lahan Konversi Konversi KLE Waktu operasional 2 (m ) (ha) (jam) (ha/jam) 100 m2 0.01 11 menit : 12 detik 0.18 0.056 2 100 m 0.01 9 menit : 54 detik 0.15 0.067 2 100 m 0.01 10 menit : 1 detik 0.17 0.059 300 m2
rata-rata
10 menit : 22 detik
rata-rata
0.061
31 menit : 7 detik Total waktu Jadi total KLE ketiga lahan, total luas lahan 300 m2 = 0.03 ha, lama waktu pengolahan 31 menit : 7 detik = 0.52 jam sehingga diperoleh : *KLE = L / WK = 0.03 ha / 0.52 jam = 0.057 ha/jam Kapasitas kerja = WK / L = 0.52 jam / 0,03 ha = 17 jam/ha Efisiensi = KLE / KLT × 100% = 0.057 ha/jam / 0.079 ha/jam x 100% = 72% 5. Komsumsi Bahan Bakar a) Pada pengolahan lahan dengan pola tepi, seluas 300 m2 = 0.03 ha dibutuhkan waktu selama 39 menit : 27 detik untuk menyelesaikan pengolahan tanah, sehingga diketahui jumlah komsumsi bahan bakar minyak (bensin) yang digunakan sebanyak 880 ml. b) Pada pengolahan lahan dengan pola tengah, seluas 300 m2 = 0.03 ha dibutuhkan waktu selama 31 menit : 7 detik untuk menyelesaikan pengolahan tanah, sehingga diketahui jumlah komsumsi bahan bakar minyak (bensin) yang digunakan sebanyak 720 ml. 6. Menghitung slip Pada pengukuran slip roda traktor dilakukan dua kali ulangan pengoprasian pada tempat yang berbeda, pengoprasian pertama dilakukan pada landasan semen dan pengoprasian kedua dilakukan pada landasan tanah, sehingga diperoleh hasil perhitungan slip roda disajikan pada Tabel 4 berikut ini: Landasan Landasan 5 Putaran Roda 5 Putaran Roda semen tanah No Jarak (so) (sb) (m) Detik Jarak detik Jarak 1 1-6 3 : 43 1.55 m 21 : 86 1.12 m 2 6 - 12 4 : 11 1.50 m 23 : 13 1.08 m St = ( so – sb) / so x 100% = (1.55- 1.12) / 1.55 X 100% = 0.43 / 1.55 X 100% = 0.27 x 100% = 27% St = ( so – sb) / so x 100% = (1.48- 1.10) /1.48 X 100% = 0.38 / 1.48 x 100% Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
38
ISSN: 1979-7362 = 0.26 x 100% = 26% 7. Kadar air tanah Diketahui sampel tanah yang diambil pada lahan adalah 500 g, kemudian dihitung berat tanah tersebut setelah di oven didapatkan berat tanah adalah 400 g, sehingga diperoleh : KA = (Wa-Wk) / Wa x 100% = (500 g – 400 g) / 500 g x 100% = 100 g / 500 g x 100% = 0,2 x 100% = 20% Jadi kandungan air yang terkandung pada tanah pada lahan yang diolah tersebut adalah 20% Lampiran 4. Foto dokumentasi pelaksanaan kegiatan Foto lahan sebelum diolah dan sementara diolah
Perbedaan lahan yang diolah dengan sebelum diolah
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
39
ISSN: 1979-7362
Analisis Jenis Distribusi Curah Hujan dan Kurva Intensity Duration Frequency (IDF) di Kota Makassar AnalysisTypes Distribution of Rainfall and Intensity Duration Frequency (IDF)Curves In Makassar City Dewy Andryani Fernandus, Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin,
[email protected]
Abstract Precipitation is the most important input component in the hydrological cycle. This is due to the depth of the rain will be in the flow of the river, either through surface runoff flow, sub surface flow, and groundwater flow. In the process of changing rain into a stream, to note some properties of the rain, among other things, the rainfall intensity, rainfall duration, rainfall depth, frequency and wide area effect rain. Components and properties of rain will be analyzed from the point of rain and an average rainfall that includes extensive catchment area. Research analysis types and distribution of rainfall Intensity Duration Frequency (IDF) curves, to determine distribution types of rainfall and make IDF curves in the Makkassar area. In research, using daily rainfall data over the 10 years of the three rainfall recording station, the station Makassar, Panakukang and PSDA Sungguminasa obtained from the city of Makassar. The results showed that the type of distribution that is appropriate for the city of Makassar Log Pearson Type III distribution, and obtained the plans rainfall return period of 2, 5, 10, 25, 50 and 100 years that is 121.75 mm, 143.29 mm, 156.27 mm, 171.59 mm, 182.38 mm and 192.76 mm. And based on the IDF curve, high intensity rainfall in the city of Makassar takes place in a fast time is 1-6 hours on each return period. Keyword: Rainfall, hidrology cycle, rainfall intensity, Log Pearson Type III.
40
ISSN: 1979-7362 PENDAHULUAN Hujan merupakan komponen masukan terpenting dalam siklus hidrologi. Hal ini disebabkan kedalaman hujan akan menjadi aliran di sungai, baik melalui aliran limpasan permukaan, aliran antara, maupun aliran air tanah. Dalam proses perubahan hujan menjadi suatu aliran, perlu diperhatikan beberapa sifat hujan, anatara lain, intensitas curah hujan, lama waktu hujan, kedalaman hujan, frekuensi dan luas daerah pengaruh hujan. Komponen hujan dan sifat-sifatanya ini dapat dianalisis dari hujan titik maupun hujan rata-rata yang meliputi luas daerah tangkapan. Dalam pelaksanaan perancangan bangunan-bangunan air (saluran irigasi, drainasi dan bangunan-bangunan air lainnya), analisis hidrologi menjadi bagian yang sangat penting dan perlu penanganan yang cermat. Peran analisis hidrologi menjadi hal yang tidak bisa diabaikan, karena sebelum informasi hidrologi tersedia, maka analisis lain tidak bisa dilakukan. Analisis curah hujan digunakan untuk menentukan jenis distribusi curah hujan pada suatu wilayah dengan menggunakan data curah hujan yang terekam pada stasiunstasiun pencatat hujan, baik data curah hujan jam-jaman, harian, maximum bulanan maupun data domain atau yang paling sering muncul. Dari jenis distribusi curah hujan, dapat ditentukan curah hujan rancangan dengan periode ulang tertentu, intensitas hujan, dan debit puncak, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar dalam pembuatan bangunan-bangunan air. Suatu perencanaan bangunan air harus dilakukan berdasarkan patokan yang benar, dengan harapan dapat menghasilkan rancangan yang dapat berfungsi baik struktural maupun fungsional dalam jangka waktu yang direncanakan. Berdasarkan pernyataan diatas maka perlu dilakukan analisis jenis distribusi curah hujan dan membuat kurva intensitas durasi frekuensi di kota Makassar, sehingga dapat digunakan pada perancangan saluran drainase di kota Makassar.
Metode Penelitian Prosedur penelitian seperti pada bagan alir di bawah ini: Mulai
Data Hujan Harian Maksimum
Uji konsistensi Data Hujan
Hujan Wilayah
Parameter Statistik
Penentuan Jenis Distribusi
Uji Chi-Squared dan Smirnov Kolmogorof
Nilai hitung < Nilai Tabel
Curah Hujan Rencana
Intensitas Hujan
Kurva Intensity Duration Frequency (IDF)
Selesai
Gambar 1: Bagan Alir Prosedur Penelitian
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
41
ISSN: 1979-7362 Hasil Dan Pembahasan
Tabel 1. Hasil Uji Konsistensi Metode RAPS
Gambaran Umum Kondisi Makassar Kota Makassar merupakan ibu kota dari Provinsi Sulawesi Selatan, yang memiliki kondisi rawan banjir. Secara geografis kota Makassar terletak antara 119°24’17” BT - 5°8’6” LS, di pesisir barat daya pulau Sulawesi dan berhadapan dengan selat Makassar, serta dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 m dari permukaan laut. Kota Makassar beriklim tropis dengan temperatur rata-rata berkisar 26.2°C – 29.3°C dan kelembaban udara berkisar 77%. Kota Makassar diapit oleh dua sungai, yaitu sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan Sungai Je’neberang yang bermuara di bagian selatan kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175.77 km2. Uji Konsistensi Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini berasal dari 3 stasiun pencatat hujan, yaitu Stasiun Makassar, Stasiun Panakukang dan Stasiun Sungguminasa. Data curah hujan yang tercatat pada stasiun pencatat hujan merupakan hujan titik (point rainfall). Dalam analisis selanjutnya sebelum data curah hujan ini digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji konsistensi data hujan, karena dapat mempengaruhi ketelitian hasil analisis. Uji konsistensi data hujan, terdapat dua metode yaitu metode kurva massa ganda dan metode RAPS. Untuk uji konsistensi data hujan pada analisis curah hujan kota Makassar ini digunakan uji konsistensi metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums). Hasil uji konsistensi data hujan metode RAPS untuk masing-masing stasiun di sajikan pada Tabel 1.
Nilai Q/√n dan R/√n Nama Stasiun
Hasil Perhitungan
Hasil Tabel
Q/√n = 0.59
Q/√n = 1.05
R/√n = 1.09
R/√n = 1.21
Q/√n = 0.56
Q/√n = 1.05
R/√n = 0.91
R/√n = 1.21
Q/√n = 0.59
Q/√n = 1.05
R/√n = 1.18
R/√n = 1.21
Makassar
Ket
Konsisten
Panakukang
Konsisten
Sungguminasa
Konsisten
Sumber: Data sekunder setelah diolah, 2013.
Berdasarkan hasil uji konsistensi Metode RAPS pada tiga stasiun pencatat hujan, yaitu stasiun Makassar, stasiun Panakukang dan stasiun Sungguminasa pada Tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai Q/√n dan R/√n hasil perhitungan lebih kecil dari nilai Q/√n dan R/√n berdasarkan Tabel 2.1 nilai statistik Q dan R. Pada stasiun Makassar nilai Q/√n = 0.59 < 1.05 dan R/√n = 1.09 < 1.21. Stasiun Panakukang Q/√n = 0.56 < 1.05 dan R/√n = 1.91 < 1.21. Sedangkan stasiun Sungguminasa Q/√n = 0.59 < 1.05 dan R/√n = 1.18 < 1.21. Sehingga data curah hujan dari ketiga stasiun pencatat hujan tersebut konsisten. Sesuai dengan Kadir (2010), nilai Q/n dan R/n yang di dapat dibandingkan dengan nilai Q/n syarat dan R/n syarat, jika lebih kecil maka data masih dalam batasan konsisten. Curah Hujan Wilayah Perhitungan curah hujan wilayah menggunakan data curah hujan harian dari tiga stasiun pencatat hujan, yaitu Makassar, Panakukang dan Sungguminasa selama 10 tahun terakhir. Letak stasiun pencatat hujan ini tidak tersebar merata pada wilayah pengamatan. Sehingga untuk mencari curah hujan wilayah digunakan metode Polygon Thiessen. Hal ini sesuai dengan Sosdarsono
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
42
ISSN: 1979-7362 dan Takaeda (1993), yaitu Polygon Thiessen digunakan jika titik pengamatan tidak tersebar merata, maka perhitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh tiap titik pengamatan. Dengan membuat Polygon Thiessen pada peta topografi kota Makassar dengan menggunakan aplikasi Arcview 3.2, diperoleh luas pengaruh tangkapan hujan untuk masing-masing stasiun pencatat hujan, seperti pada Gambar 2.
Kemudian dikalikan luas daerah pengaruh tiap stasiun dan dibagi dengan luas total wilayah kota Makassar (Kurniawan, 2011). Perhitungan hujan wilayah maksimum dengan metode Polygon Thiessen dapat dilakukan untuk luas daerah yang besar dan stasiun penakar curah hujan yang lebih dari satu. Setelah dilakukan analisis diperoleh hujan wilayah maksimum kota Makassar selama 10 tahun terakhir, seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Hujan Wilayah Maksimum dengan Metode Polygon Thiessen St. Makassar
St. Panakukang
St. Sungguminasa
(mm)
(mm)
(mm)
2003
156
107
121
132
2004
128
93
110
114
2005
141
98
147
134
2006
110
107
119
113
2007
97
181
113
122
2008
181
137
149
159
2009
113
90
95
101
2010
91
80
90
88
2011
217
120
133
164
2012
115
118
112
115
Tahun
Gambar 2: Peta Hasil Polygon Thiessen Kota Makassar. Tabel 2. Luas Pegaruh Stasiun Hujan Terhadap Wilayah Kota Makassar No.
Stasiun
Koef. Thiessen (%)
Luas Daerah Pengaruh
1
Makassar
40.56227703
71.30
2
Pa'nakukang
22.12769685
38.89
3
Sungguminasa
37.31002612
68.58
100
175.77
Total
Sumber: Data sekunder setelah diolah, 2013. Dari hasil perhitungan luas pengaruh stasiun hujan terhadap wilayah kota Makassar, seperti pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa luas daerah pengaruh untuk stasiun Makassar yaitu 71.30 km2, stasiun Panakukang 38.89 km2 dan stasiun Sungguminasa 68.58 km2. Untuk mendapatkan curah hujan wilayah maksimum terlebih dahulu data curah hujan dari masing-masing stasiun dipilih curah hujan maksimum setiap tahunnya.
CH Rencana (mm)
Sumber: Data sekunder setelah diolah, 2013. Berdasarkan pada Tabel 3 diperoleh niali curah hujan wilayah maksimum tertinggi sebesar 164 mm yaitu pada tahun 2011 dan nilai curah hujan wilyah maksimum terendah sebesar 88 mm pada tahun 2010. Analisis Frekuensi Penentuan pola distribusi curah hujan dilakukan dengan menganalisis data curah hujan wilayah maksimum dengan analisis frekuensi. Sesuai dengan pernyataan Suripin (2004), data yang digunakan untuk analisis frekuensi salah satunya adalah data maksimum tahunan, yaitu data yang pada setiap tahun diambil hanya satu besaran
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
43
ISSN: 1979-7362 maksimum yang dianggap berpengaruh pada analisis selanjutnya. Tabel 4. Hasil Perhitungan Dispersi Analisis Frekuensi Curah Hujan. Hasil Dispersi No.
Jenis Distribu si
5.
Parameter Statistik untuk Menentukan Jenis Distribusi Persyaratan
Hasil Hitungan
Kesimpu lan
Normal
Dispersi Statistik
Logaritma
1
Sd
23.9407
0.0832
2
Cs
0.4818
0.0810
3
Ck
1.8602
1.8866
4
Tabel
Cv
0.1929
0.0399
Sumber: Data sekunder setelah diolah, 2013. Berdasarkan Tabel 4. hasil perhitungan dispersi analisis frekuensi curah hujan, dapat diketahui hasil dispersi untuk mean atau harga rata-rata ), deviasi standar (Sd), koefisien kemencengan atau koefisien skewness (Cs), koefisien kurtosis (Ck) dan koefisien variasi (Cv) untuk parameter statistik dan parameter statistik logaritma. Hasil perhitungan dispersi yang diperoleh sangat berpengaruh terhadap analisis penentuan jenis sebaran distribusi. Hasil perhitungan dispersi dapat digunakan untuk mencari curah hujan rencana dengan berbagai periode ulang tertentu. Ada beberapa jenis metode distribusi frekuensi yang dapat diguakan untuk mencari curah hujan rencana. Metode distribusi frekuensi tersebut adalah metode Normal, metode E.J Gumbel Type 1, metode Log Normal dan metode Log Pearson Type III. Hal ini sesuai dengan Girsang (2009), analisis frekuensi adalah salah satu analisis data hidrologi dengan menggunakan statistika untuk memprediksi besaran hujan atau debit dengan masa ulang tertentu.
Tidak Memenuh i
E.J Gumbel Type 1
Tidak Memenuh i
Log Normal Ck = Cv8+6Cv6+15Cv4+16C v2+3 Log Pearson Type III
Tidak Memenuh i
Memenuh i
Cs ≠ 0
Sumber: Data sekunder setelah diolah, 2013. Berdasarkan analisis parameter statistik seperti pada Tabel 4.5 dan sesuai dengan persyaratan parameter statistik untuk menentukan jenis distribusi pada Tabel 6, dapat ditetapkan bahwa jenis distribusi yang cocok dengan sebaran data curah hujan harian maksimum di wilayah Makassar adalah distribusi Log Pearson Type III. Hal ini karena pada data curah hujan mengikuti pola distribusi Normal jika kemungkinan variat yang berada antara dan adalah 68.27% dan yang berada antara
dan
adalah
95.44%, serta nilai Cs (koefisien kemencengan) mendekati 0 dan nilai Ck (koefisien kurtosis) mendekati 3, distribusi E.J Gumbel Type 1 jika nilai Cs = 1.1396 dan Ck = 5.4002, dan distribusi Log Normal jika nilai Cs = 3Cv+Cv3 dan Ck = Cv8+6Cv6+15Cv4+16Cv2+3, serta mengikuti pola distribusi Log Pearson Type III jika nilai Cs ≠ 0 (Jayadi, 2000).
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
44
ISSN: 1979-7362 Sedangkan hasil yang diperoleh pada distribusi Normal, kemungkinan variat yang berada antara dan adalah 70% ≠ 68.27% dan yang berada antara dan adalah 100% ≠ 95.44%, serta nilai Cs = 0.48 ≠ 1.1396 dan nilai Ck = 086 ≠ 5.4002. Pada distribusi E.J Gumbel Type 1 diperoleh nilai Cs = 0.48 dan nilai Ck = 086. Serta pada hasil perhitungan distribusi Log Normal Cs = 3Cv+Cv3, diperoleh nilai Cs = 0.08 ≠ 0.21 dan Ck = Cv8+6Cv6+15Cv4+16Cv2+3, diperoleh nilai Ck = 3.02 ≠ 1.88. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat ditetapkan bahwa jenis distribusi yang cocok dengan sebaran data hujan harian maksimum wilayah Makassar adalah distribusi Log Pearson Type III. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jayadi (2000), bahwa ciri khas statistik distribusi Log Pearson Type III adalah jika nilai Cs ≠ 0. Uji Kesesuaian Distribusi
Tabel 6. Hasil Uji Kesesuaian Metode ChiSquare dan Smirnov Kolmogorof Metode
pada Tabel 7, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa diterima. Hal ini berarti bahwa distribusi pengamatan dan distribusi teoritis (yang diharapkan) tidak berbeda secara nyata atau dapat dinyatakan bahwa jenis distribusi yang digunakan yaitu Log Pearson Type III sudah tepat. Curah Hujan Rencana Berdasarkan hasil analisis frekuensi yang dilakukan diperoleh jenis distribusi yang sesuai dengan sebaran data curah hujan harian maksimum di wilayah Kota Makassar yaitu distribusi Log Pearson Type III. Oleh karena itu, untuk mendapatkan curah hujan rencana dengan periode ulang tertentu metode Log Pearson Type III, parameter statistik yang digunakan adalah parameter statistik logaritma sesuai dengan tabel di bawah ini. Tabel
Setiap distribusi mempunyai ciri khas sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya. Kesalahan dalam pemilihan jenis distribusi dapat menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik over estimate maupun under estimate (Sri Harto, 2000). Pada penilitian ini, uji statistik dilakukan dengan metode Chi-Square dan Smirnov Kolmogorof.
No.
dengan Smirnov Kolmogorof
Nilai Tabel
Nilai Hitung
1
Chi-Square
5.911
3.6
2
Smirnov Kolmogorof
0.41
0.202
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2013.
No.
7.
Hasil Perhitungan Dispersi Distribusi Log Pearson Type III
Dispersi
1
Nilai 2.0866
2
Sd
0.0832
3
Cs
0.0810
4
Ck
1.8866
5
Cv
0.0399
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2013. Berdasarkan hasil perhitungan dispersi distribusi Log Pearson Type III seperti yang tertera pada Tabel 7, maka curah hujan rencana dapat dihitung dengan persamaan 16 dan 17 pada tinjauan pustaka.
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa dengan uji Chi-Square diperoleh nilai tabel pada Tabel 6, sedangkan
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
45
ISSN: 1979-7362 Tabel 8. Hasil Curah Hujan Rencana Berbagai Periode Ulang No.
Periode Ulang (Tahun)
Hujan Rencana (mm)
1
2
121.75
2
5
143.29
3
10
156.27
4
25
171.59
5
50
182.38
6
100
192.76
Hasil perhitungan intenitas curah hujan dengan distribusi Log Pearson Type III, dapat ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Perhitungan Intensitas Curah Hujan Kota Makassar R24 t (Jam)
R2
R5
R10
R25
R50
R100
121.75
143.29
156.27
171.59
182.38
192.76
1
42.21
49.68
54.18
59.49
63.23
66.83
2
26.59
31.29
34.13
37.48
39.83
42.10
3
20.29
23.88
26.05
28.60
30.40
32.13
4
16.75
19.71
21.50
23.61
25.09
26.52
5
14.44
16.99
18.53
20.34
21.62
22.85
6
12.78
15.04
16.41
18.02
19.15
20.24
7
11.53
13.58
14.81
16.26
17.28
18.26
8
10.55
12.42
13.54
14.87
15.81
16.71
9
9.76
11.48
12.52
13.75
14.61
15.44
10
9.09
10.70
11.67
12.82
13.62
14.40
11
8.53
10.04
10.95
12.03
12.78
13.51
12
8.05
9.48
10.34
11.35
12.06
12.75
13
7.63
8.99
9.80
10.76
11.44
12.09
14
7.27
8.55
9.33
10.24
10.88
11.50
15
6.94
8.17
8.91
9.78
10.40
10.99
16
6.65
7.82
8.53
9.37
9.96
10.52
17
6.38
7.51
8.19
9.00
9.56
10.11
18
6.15
7.23
7.89
8.66
9.21
9.73
19
5.93
6.98
7.61
8.35
8.88
9.39
20
5.73
6.74
7.35
8.07
8.58
9.07
21
5.55
6.53
7.12
7.82
8.31
8.78
22
5.38
6.33
6.90
7.58
8.05
8.51
Intensitas Curah Hujan
23
5.22
6.14
6.70
7.36
7.82
8.26
Untuk mendapatkan intensitas curah hujan suatu wilayah, diperlukan data curah hujan jangka pendek atau jam-jaman. Namun data yang tersedia untuk penelitian ini adalah data curah hujan harian. Maka intensitas curah hujan dapat dihitung dengan persamaan Mononobe. Hal ini sesuai dengan Loebis (1992), yang menyatakan bahwa intensitas curah hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian, dengan menggunakan metode Mononobe.
24
5.07
5.97
6.51
7.15
7.60
8.03
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2013. Jenis distribusi frekuensi yang terpilih, menjadi dasar dalam perhitungan curah hujan rencana dengan periode ulang. Pada pemilihan jenis distribusi, pola bentuk sebaran distribusi Log Pearson Type III, merupakan yang paling cocok dengan sebaran data curah hujan harian maksimum wilayah Kota Makassar. Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa hasil perhitungan curah hujan rencana berbanding lurus dengan periode ulang. Semakin besar nilai periode ulang, maka semakin besar nilai curah hujan rancangan. Curah hujan rancangan terkecil terdapat pada periode ulang 2 tahun, curah hujan rencana yaitu 121.75 mm. Sedangkan curah hujan rencana terbesar terdapat pada periode ulang 100 tahun, curah hujan rencana yaitu 192.76 mm.
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2013 Hasil analisis intensitas curah hujan dengan durasi dan periode ulang tertentu dapat dihubungkan ke dalam Kurva Intensity Duration Frequency (IDF). Kurva IDF dapat menggambarkan hubungan antara durasi dn intensitas hujan. Kurva IDF juga dapat dimanfaatkan dalam analisis debit puncak
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
46
ISSN: 1979-7362 dengan metode rasional. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sosrodarsono dan Takaeda (2003), yang mengatakan bahwa lengkung kurva IDF dapat digunakan dalam menghitung debit puncak dengan metode
rasional untuk menentukan intensitas curah hujan rata-rata dari waktu konsentrasi yang dipilih.
Gambar 3: Kurva Intensity Duration Frequency (IDF) kota Makassar. Berdasarkan kurva Intensity Duration Frequency (IDF) pada Gambar 3, menunjukkan bahwa intensitas hujan yang tinggi hanya berlangsung selama 1-6 jam pada setiap periode ulang. Sedangkan hujan yang berlangsung selama 7-24 jam memiliki intensitas hujan yang rendah untuk setiap periode ulang. Sehingga dapat diketahui bahwa hujan yang tinggi berlangsung dalam durasi yang pendek. Hal ini menunjukkan bahwa hujan deras berlangsung dalam waktu yang singkat, dibandingkan dengan hujan yang tidak deras (rintik-rintik) berlangsung dalam waktu yang lama. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung, maka intensitas hujannya cenderung semakin tinggi, dan semakin besar periode ulangnya, semakin besar pula intensitas curah hujan (Suripin, 2004). Kurva Intensity Duration Frequency (IDF) dapat digunakan untuk menentukan debit banjir rencana dengan metode rasional.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis adalah: 1. Data curah hujan yang digunakan dari tiga stasiun pencatat hujan, yaitu stasiun Makassar, Panakukang dan Sungguminasa masih dalam batas konsisten. 2. Pola distribusi curah hujan yang tepat untuk kota Makassar adalah distribusi Log Pearson Type III. 3. Berdasarkan analisis frekuensi dengan distribusi Log Pearson Type III, diperoleh curah hujan rencana periode ulang 2, 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun yaitu 121.75 mm, 143.29 mm, 156.27 mm, 171.59 mm, 182.38 mm dan 192.76 mm. 4. Berdasarkan kurva IDF, intensitas hujan yang tinggi di kota Makassar berlangsung dalam waktu yang cepat yaitu 1-6 jam pada setiap periode ulang.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
47
ISSN: 1979-7362 Saran Saran untuk penelitian selanjutnya agar dalam menganalisis curah hujan sebaiknya menggunakan rekaman data yang lebih panjang dan memperhatikan data curah hujan yang hilang. Daftar Pustaka Girsang; F, 2009. Analisis Curah Hujan untuk Pendugaan Debit Puncak dengan Metode Rasional pada DAS Belawan Kabipaten Deli Serdang. Skripsi, Universitas Sumatera Utara: Medan. Jayadi, R. 2000. Hidrologi I Pengenalan Hidrologi Teknik Sipil. UGM-Press: Yogyakarta. Kadir, R. 2010. Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Di Sungai Marimpa Kecamatan Pinembani. Skripsi: Palu. Kurniawan, T. 2011. Perencanaan Drainase Perkotaan. Loebis, J. 1992. Banjir Rencana untuk Bangunan Air. Candi Buana Kharisma: Jakarta. Suripin. 2004. Sistem Drainasi Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi Offset: Yogyakarta.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
48
ISSN: 1979-7362 Karakteristik Penurunan Kadar Air Dan Perubahan Volume Uwi Ungu Selama Pengeringan (Dioscorea Alata L) Characteristic Decrease In Moisture Content And Changes In The Volume Of Yam Purple During Drying (Dioscorea Alata L) Andi surestyana, Program Studi Keteknikan Pertanian, Universitas Hasanuddin,
[email protected] Junaedi Muhidong, Program Studi Keteknikan Pertanian, Universitas Hasanuddin Salengke, Program Studi Keteknikan Pertanian, Universitas Hasanuddin
ABSTRAK Perbedaan pola penurunan kadar air pada pengeringan Uwi ungu terjadi akibat perbedaan kecepatan udara. Penelitian perubahan sifat fisik dan volume saat pengeringan ini menggunakan bahan Uwi ungu yang diperoleh dari desa Mattampawalie kec. Mare Kab. Bone. Dengan alat pengering tray dryer, uwi ungu dikeringkan dengan menggunakan variasi kecepatan udara (1.0 m/detik, dan 2.0 m/detik dan menggunakan 2 suhu yaitu suhu 40 dan 50oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kecepatan udara pengeringan, maka semakin cepat laju pengeringan baik pada sampel kotak atau pun sampel bulat. Sampel dengan kecepatan udara 1.0 m/s membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama (mencapai sekitar 10 jam) untuk mencapai kadar air kesetimbangan dibandingkan dengan sampel dengan kecepatan udara 2.0 m/s. Ada tiga jenis model pengeringan yang diuji untuk mendeteksi perilaku MR. Ketiga model yang dimaksud adalah model Newton, model Henderson dan Pabis, dan model page. Persamaan model page untuk tiga level kecepatan udara dan dua sampel yang berbeda menunjukkan niali R2 yang lebih besar dibandingkan dengan dua persamaan model lainnya yaitu model Newton dan model Henderson-Pabis. Hal ini menunjukkan bahwa model Page adalah model terbaik untuk merepresentasikan karena memiliki nilai kesesuaian yang besar terhadap karakteristik pengeringan uwi ungu. Kata Kunci : Kadar air, volume uwi ungu, model Page, Newton, Henderson-Pabis Abstract Differences in the pattern of decline in water levels in the drying purple Ube occur due to differences in air velocity. Study the physical properties and volume changes during drying is using materials obtained from Ube purple kec.Mare Kab.Bone Mattampawalie village. Tray dryer with a dryer, Yam purple dried using a variation of the air velocity (1.0 m / sec, and 2.0 m / sec and 2 temperature using the temperature 40 and 50 ° C). The results showed that the higher the speed the drying air, the faster the drying rate of both the sample box or round samples. Samples with air velocity 1.0 m / s require more drying time (approximately 10 hours) to reach equilibrium moisture content compared to samples with air velocity 2.0 m / s. There are three types of drying models were tested to detect the behavior of MR. The third model is the model referred to Newton, Henderson and Pabis models, and models page. Equation models for three-level page air speed and two different samples showed value R2 greater than the other two models, namely the model equations and Newton-Pabis Henderson models. This suggests that the model Page was the best model to represent because it has great value to the suitability of drying characteristics yam purple. Keywords: Moisture Content, The Volume Of Yam Purple, Model Page, Newton, Henderson-Pabis
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
49
ISSN: 1979-7362 Pendahuluan Latar Belakang Uwi (Dioscorea sp) merupakan tanaman umbi yang banyak dijumpai di Indonesia dan mengandung karbohidrat tinggi selain sebagai sumber karbohidrat uwi juga mengandung protein. Pemanfaatannya sebagai sumber karbohidrat belum optimal karena tersingkirkan oleh banyaknya tanaman sumber karbohidrat lainnya (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998 ). Tanaman uwi berasal dari Asia Tenggara dan saat ini daerah sebarannya meluas diberbagai kawasan, terutama di daerah tropis. Di Karibia, tumbuhan ini merupakan tanaman penting dan dibudidayakan Di wilayah yang luas, demikian juga di wilayah Afrika Barat dan Oceania, Di Asia Tenggara, jenis umbi ini umumnya di tanam di Indonesia dan banyak di jumpai di daerah Sunda, Jawa, Sulawesi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998 ). Umbi uwi sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat akan tetapi, untuk memperluas pemanfaatannya, masa simpannya harus diperpanjang, misalnya melalui pengeringan sebelum pengeringan umbi uwi dilakukan, umbi pertama-tama harus dikupas dan diiris tipis agar proses pengeringan dapat berjalan lebih cepat. Kondisi pengeringan harus diatur dengan baik untuk mendapatkan proses pengeringan yang efisien dan kualitas produk yang baik. Hingga saat ini, akan ada hasil penelitian yang dilaporkan dalam literatur menguasai karakteristik pengeringan dan penyusutan umbi uwi selama pengeringan buatan. Selain itu, penentuan model pengeringan yang tepat untuk menggambarkan karakteristik pengeringan umbi uwi yang belum dilaporkan dalam literatur. Berdasarkan penjelasan diatas maka perlu diadakan penelitian untuk mendapatkan sebuah model pengeringan yang mampu representasi perilaku uwi selama pengeringan. Disamping itu perubahan sifat fisik uwi juga sangat penting diamati selama proses pengeringan berlangsung.
Tujuan dan Kegunaan Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan model yang sesuai dengan karakteristik uwi (dioscorea alata) dan perubahan sifat fisik yang terjadi selama proses pengeringan berlangsung. Kegunaan dari penelitian ini adalah menjadi dasar permodelan pengeringan uwi (dioscorea alata) serta memperkaya informasi tentang perubahan sifat fisik uwi selama pengeringan. Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2013. Di Laboratorium Processing Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengering tray dryer model EH-TD-3000 Eunha Fluid Science, Timbangan Digital, Mistar, pisau,Cutter,jangka sorong, Kulkas, Anemometer dan Desikator,sedangkan bahan penelitian adalah Uwi ungu. Prosedur Penelitian Prosedur yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas akhir ini terdiri dari beberapa bagian yakni meliputi persiapan penelitian, Prosedur Pengeringan, Dimensi Pengeringan, Parameter Pengamatan, Pengolahan Data Hasil Dan Pembahasan Pola Penurunan Kadar Air Setelah melakukan penelitian pengeringan uwi ungu dengan dua model yang berbeda (kotak dan bulat) dengan suhu pengeringan 40 dan 50°C dan kecepatan udara masuk dengan menggunakan variasi suhu kecepatan udara (1.0 m/s dan 2,0 m/s untuk pengeringan lapisan tipis), maka diperoleh pola penurunan kadar air (basis
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
50
ISSN: 1979-7362 basah) seperti disajikan pada Gambar 2 (a dan b)
Pola Penuruna Moisture Ratio (MR) Pola Moisture Ratio (MR) yang dihitung dengan menggunakan persamaan yang disajikan pada Bab II disajikan pada Gambar 3.
Gambar
3.
Pola MR selama proses pengeringan untuk (a) uwi ungu kotak
Gambar 2 : Pola penurunan KA-bb selama proses pengeringan untuk (a) Uwi ungu kotak dan (b) Uwi ungu bulat dengan dua kecepatan udara. Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi kecepatan udara pengeringan, maka semakin cepat laju pengeringan pada uwi ungu kotak maupun uwi ungu bulat. Selain itu, gambar diatas menunjukkan bahwa uwi ungu dengan kecepatan udara 1.0 m/s membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama (mencapai sekitar 10 jam) untuk mencapai kadar air kesetimbangan dibandingkan dengan uwi ungu dengan kecepatan 2,0 m/s. Hal lainnya yang ditunjukkan oleh gambar diatas adalah penurunan kadar air untuk uwi ungu bulat cenderung lebih cepat konstan atau mencapai kadar air kesetimbangan dibandingan dengan uwi ungu kotak. Pada grafik tersebut, terlihat jelas bahwa kecepatan udara pengeringan mempengaruhi laju penurunan kadar air bahan dimana kecepatan udara yang lebih tinggi akan cenderung mempercepat proses pengeringan bahan pangan menuju kadar air kesetimbangan.
Gambar 3. (b) uwi ungu bulat pada dua level kecepatan udara pengeringan. Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa pola penurunan MR sejalan dengan pola penurunan kadar air basis basah (KA-bb). Hal ini terjadi karena MR dihitung dari perubahan KA-bb. Pola MR ini selanjutnya digunakan untuk menentukan model pengeringan lapisan tipis terbaik untuk uwi ungu kotak dan uwi ungu bulat. Model Pengeringan Ada tiga jenis model pengeringan yang diuji untuk mendeteksi perilaku MR yang terdapat pada Gambar 3 di atas. Ketiga model yang dimaksud adalah model Newton, model Henderson dan Pabis, dan model Page seperti disajikan pada Tabel 3.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
51
ISSN: 1979-7362 Tabel 03. Daftar model pengeringan lapisan tipis yang diuji. Model Bentuk eksponensial Newton MR= exp (-kt) Henderson & MR= a exp (-kt) Pabis MR= exp (-ktn) Page Sumber: Meisami, dkk 2010. Daftar model pada tabel 4 menunjukkan bahwa nilai konstanta k, a, dan n ditentukan dengan menggunakan MS Excel Solver. Pendekatan yang sama dilakukan oleh Ishak (2013). Analisisnya didasarkan pada usaha untuk meminimalkan total kuadrat dari selisih antara MRprediksi dan MRpengamatan. Untuk analisis ini, Solver akan secara otomatis mencari nilai konstanta yang ada pada model terkait sehingga total kuadrat selisih tadi minimal. Nilai konstanta untuk masing-masing model yang diuji disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4 dan 5 di atas menunjukkan persamaan model Page untuk tiga level suhu dan dua variasi yang berbeda menunjukkan nilai R2 yang lebih besar dibandingkan dengan dua persamaan model lainnya yaitu model Newton dan Henderson-Pabis. Hal ini menunjukkan bahwa model Page adalah model terbaik untuk merepresentasikan karena memiliki nilai kesesuaian yang besar terhadap karakteristik pengeringan lapisan tipis uwi ungu. Konstanta pengeringan (k dan n) pada uwi ungu kotak dan bulat dapat dilihat pada table berikut: Tabel 6. Konstanta pengeringan uwi ungu kotak dan uwi ungu bulat model Page
Tabel 4. Hasil analisa model persamaan uwi ungu kotak
Sumber: Data primer setelah diolah, 2013 Hubungan Antara Data Hasil Pengamatan Dengan Prediksi Model Page
Sumber: Data primer setelah diolah, 2013 Tabel 5. Hasil analisa model persamaan uwi ungu Bulat
Berdasarkan nilai konstanta k dan n dari Tabel 6, prediksi nilai MR dihitung untuk setiap kecepatan udara (1.0 m/s dan 2.0 m/s) dan jenis uwi ungu (uwi ungu kotak dan uwi ungu bulat). Selanjutnya, hasil MR prediksi yang diperoleh digrafikkan bersama nilai MR hasil pengamatan. Grafik ini dapat dilihat pada Gambar 4 untuk uwi ungu kotak dan Gambar 5, untuk uwi ungu bulat. Grafik tersebut menunjukkan selisih antara nilai prediksi model Page dengan hasil pengamatan yang kecil sebagaimana ditunjukkan dengan nilai “slope” yang mendekati 1. 0 dan R2 yang juga mendekati 1. 0.
Sumber: Data primer setelah diolah, 2013 Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
52
ISSN: 1979-7362
(a) Gambar 4. Grafik hubungan model Page dengan data pengamatan untuk uwi ungu kotak pada suhu 50o C dan 40o C kecepatan udara 1.0 menit/detik dan 2.0 menit/detik.
(b) Gambar 6. Pola penurunan volume selama proses pengeringan (a) untuk uwi ungu kotak (b) untuk uwi ungu bulat pada dua level kecepatan udara pengeringan dan dua suhu yang berbeda. Gambar 5. Grafik hubungan model Page dengan data pengamatan untuk uwi ungu bulat pada suhu 50o C dan 40o C kecepatan udara 1.0 menit/detik dan 2.0 menit/detik. Pola Perubahan Pengeringan
Volume
Pada
Saat
Hasil pengamatan terhadap perubahan volume menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan 40 dan 50°C dan kecepatan udara 1.0 m/s dan 2,0 m/s memberikan pengaruh yang sdignifikan terhadap perubahan volume uwi ungu seperti disajikan pada Gambar 6 (a dan b). Kedua gambar ini juga mengindikasikan bahwa pola penurunan volume mengikuti pola eksponensial seperti pola penurunan kadar air pada saat pengeringan.
Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi kecepatan udara pengeringan, maka semakin cepat volume laju pengeringan pada uwi ungu kotak maupun uwi ungu bulat. Selain itu, gambar diatas menunjukkan bahwa uwi ungu dengan kecepatan udara 1.0 m/s membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama (mencapai sekitar 3,5 jam) untuk mencapai kadar air kesetimbangan dibandingkan dengan uwi ungu dengan kecepatan 2.0 m/s. Hal lainnya yang ditunjukkan oleh gambar diatas adalah penurunan volume untuk uwi ungu bulat cenderung lebih cepat konstan dibandingan dengan uwi ungu kotak. Pada grafik tersebut, dapat dilihat pada suhu pengeringan 50oC lebih cepat penurunan volume dibanding dengan suhu pengeringan 40oC. Pada grafik tersebut terlihat jelas bahwa kecepatan udara pengeringan mempengaruhi laju penurunan volume bahan dimana kecepatan udara yang lebih tinggi akan cenderung mempercepat proses pengeringan bahan pangan menuju volume
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
53
ISSN: 1979-7362 konstan. Walaupun demikian, konsistensi perilaku data penurunan volume sepanjang waktu pengeringan tidak sebaik konsistensi data penurunan kadar air. Hal ini terutama dapat dilihat pada perlakukan uwi bentuk lingkaran dengan suhu 40oC dan 50oC pada kecepatan udara 1.0.
bahan mencapai titik konstan dan berat bahan tidak mengalami perubahan lagi.
Pola Penyusutan Volume Dari hasil penyusutan dan kadar menunjukkan pengaruh yang signifkan dengan suhu yang diberikan yaitu suhu 40 dan 50oc dengan kecepatan udara 1.0 dan 2.0, dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini :
Gambar 7. Hubungan antara rasio volume dan kadar air (%)
Gambar 7. Hubungan antara rasio volume dan kadar air (%) Gambar 7 menunjukkan bahwa penyusutan dan kadar air sejalan dan berbanding lurus. Dapat dilihat pada gambar bahwa suhu pengeringan berpengaruh dengan pengeringan begitu pun dengan kecepatan udara memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses pengeringan. Laju Pengeringan Laju pengeringan dapat dilihat pada gambar 8, bagaimana proses pengeringan
Gambar 8 . Hubungan antara kadar air (bb) dan laju pengeringan Gambar 8 menunjukkan bahwa laju pengeringan yang tinggi akan membuat
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
54
ISSN: 1979-7362 adanya gradien kandungan air pada seluruh bahan, sehingga permukaan luar yang berkadar air rendah akan berada pada fase transisi dan membentuk lapisan permukaan yang keras dan berpori sehingga volume bahan tidak berubah lagi. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada uwi ungu (sampel kotak dan sampel bulat) dapat disimpulkan bahwa : 1. Model pengeringan yang paling sesuai berdasarkan karakteristik uwi adalah model Page. 2. Pola penurunan MR (moisture rasio) sejalan dengan pola penurunan kadar air basis kering ( KA-bk ) . 3. Penyusutan dan kadar air sejalan atau berbanding lurus pada proses pengeringan uwi ungu. Daftar Pustaka Anonim, 2013. Dioscorea alata. www.ecocrop .fao.org, 2 juli 2013. Anonim, 2013 ; Forum Kerjasama Agribisnis ;http:// foragri. Blogsome.com/umbi uwi/ 26 juni 2013. Brooker, D. B., F. W. Bakker-arkema and C. W. Hall, 1974. Drying Cereal Grains. The AVI publishing Company, Inc. Wesport. Estiasih, Teti dan Kgs Ahmadi, 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara. Malang Hall, C. W. 1957. Drying and Storage of Agriculture Crops. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Hederson, S. M. and R. L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd ed. The AVI Publ. Co., Inc, Wesport, Connecticut, USA. Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardi, P. C. Rahardja, J. J. Afriastini, R. Wudianto dan W. H.Apriadji. 1986. Bertanam ubiubian. Penebar Swadaya,jakarta. Mayor, L. and A.M. Sereno, 2004. Modeling shrinkage during convective drying of food materials: review. J. Food Eng., 61: 373-386.
Meisami, asl E., S. Rafiee, A. Keyhani and A. Tabatabaeefar, 2009. Mathematical Modeling of Moisture Content of Apple Slices (Var. Golab) During Drying. Department of Agricultural Machinery Engineering, Faculty of Biosystems Engineering,University of Tehran, Karaj, Iran. Pakistan Journal of Nutrition 8 (6): 804-809. Ochse, J. J. 1952. Vegetables of the Dutch East Indies. Dept. Agr., Indus. & Comm. Of the Netherlands East Indies, Buitenzorg, Java. Plantus.2008. Mengenal Plasma Nutfah Tanaman Pangan. http://anekaplanta .wordpress.com /2008 /03 /02 / mengenal-plasmanutfah tanamanpangan ; 2 Maret 2008 Rubatzky,V.E & Yamaguchi, 1998. World Vegetables Principles,Production and Nutritive Value. Kluwer Academic Publishers. Thahir, R. 1991. Mesin-mesin Pengolahan Hasil Pertanian. Makalah Pada Latihan Rekayasa Alat Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Tanaman Industri, tanggal 25 Januari-15 Maret 1991 Puslitbangtri. Bogor Taib, G., Gumbira Said, dan S. Wiraatmadja. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan pangan hasil pertanian PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Winarno, F.G., dan S. Fardias, 1985. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia. Jakarta
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
55
ISSN: 1979-7362 Lampiran Sampel Bentuk Kotak
Sampel Bentuk Bulat (Silinder)
Tanaman Uwi Ungu
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
56
ISSN: 1979-7362 Perilaku Nilai Brix Pada Berbagai Varietas Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L) di Pabrik Gula Camming Kabupaten Bone Amriani, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Junaedi Muhidong, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Iqbal Salim, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Abstract Sugar cane (Sacharum Officinarum L.) is a kind of reeds contains sugar in great quantities within the stem. Sugar cane is the prime basic material in Indonesian sugar industry. One of the efforts to increase the productivity of terrain especially in sugar production is to applying the excellent sugar variety. This thesis aims to detect the influence of sugar diversity into the brix rate which is produced to increase the sugar production. The variety of sugar that was taken as sample are PSBM, CM2012, Triton, Cenning, and SR. The result of this research concludes that the highest brix rate start from variety of CM2012, followed by SR, Triton, PSBM, and the last is Cenning. The lowest brix rate is on variety of Cenning, then followed by variety of CM2012, PSBM, Triton, and SR. Generally, the number of space and the length of stem is on variety of 2012. The general number of space followed by Triton, Cenning, PSBM, and SR, whereas for the general number of the stem length followed by Triton, Cenning, PSBM, and SR. The highest general diameter of stem is on variety of PSBM, then SR on the second position, followed by SR, Triton, Cenning, and the last is CM2012. The work recapitulation for every observed variety along this research indicates that CM2012 is the best variety, followed by Triton, SR, PSBM, and the last is Cenning. Keywords : Sugar cane, variety, brix Pendahuluan Indonesia merupakan produsen gula pasir yang digolongkan sebagai komoditas strategis, sehingga pemerintah berkewajiban menyediakan dalam jumlah yang cukup pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Saat ini produksi gula di Indonesia belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Masalah lain yang berakibat pada rendahnya efisiensi industri gula nasional adalah kondisi varietas tebu yang dipakai menunjukkan komposisi kemasakan yang tidak seimbang antara panen awal, panen tengah dan panen akhir. Hal ini berdampak pada masa giling yang berkepanjangan dan banyaknya tebu panen lambat yang ditebang dan diolah pada masa awal sehingga rendemen menjadi rendah. Penerapan teknologi budidaya tebu juga belum dilaksanakan secara optimal dan banyak tanaman tebu dengan ratun lebih dari 3 kali.
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) adalah salah satu anggota familia rumputrumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah, namun masih dapat tumbuh baik dan berkembang di daerah subtropika, pada berbagai jenis tanah dari daratan rendah hingga ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut (dpl). Tanaman tebu telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa yang memanfaatkan sebagai bahan pangan bernilai tinggi yang dianggap sebagai emas putih, yang secara berangsur mulai menggeser kedudukan bahan pemanis alami seperti madu.Tanaman tebu dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan ke: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Graminales Famili : Graminae Genus : Saccharum
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
57
ISSN: 1979-7362 Species : Saccharum officinarum (Sutardjo,1999). Dinamika petani tebu rakyat dalam penggunaan varietas sangat tinggi dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Fanatisme pemakaian varietas tebu yang menunjukkan produktivitas tinggi yang dilihat di suatu wilayah dengan cepat dikembangkan petani tebu di lain wilayah. Berikut adalah beberapa varietas tebu yang ditanam di wilayah PG. Camming Kab. Bone, Sulawesi Selatan, antara lain PSBM, CM2012, Cenning, Triton, dan varietas SR. Asal usul masuknya beberapa varietas tersebut secara pasti tidak diketahui secara jelas. Namun demikian karena beberapa varietas tersebut sesuai dengan yang diharapkan petani, maka perkembangan dan penyebarannya sangat cepat. Nira adalah cairan yang keluar dari pohon ataupun batang penghasil nira seperti aren, tebu, lontar, sorgum dan tanaman penghasil nira lainnya. Komposisi nira dari suatu jenis tanaman dipengaruhi beberapa faktor yaitu antara lain varietas tanaman, umur tanaman, kesehatan tanaman, keadaan tanah, iklim, pemupukan, dan pengairan. Demikian pula setiap jenis tanaman mempunyai komposisi nira yang berlainan dan umumnya terdiri dari air, sukrosa, gula reduksi, bahan organik lain, dan bahan anorganik (Anonim, 2013b). Brix adalah jumlah zat padat semu yang larut (dalam gr) setiap 100 gr larutan.Satuan brix merupakan satuan yang digunakan untuk menunjukan kadar gula yang terlarut dalam suatu larutan. Semakin tinggi derajat brixnya maka semakin manis larutan tersebut. Sebagai contoh kasus dalam pengolahan nira bahwa nilai brix adalah gambaran seberapa banyak zat pada terlarut dalam nira (Anonim,2013a). Hand refractometer adalah sebuah alat yang biasa digunakan untuk mengukur brix atau padatan yang terlarut dalam suatu larutan. Pengukuran dilakukan dengan cara ujung refractometer ditetesi dengan sampel nira yang akan diukur kadar brix-nya. Setelah ditetesi kemudian dapat dilihat dari
indeks bias refractometer tersebut. Kadar brix ditunjukkan oleh batas tertinggi warna biru muda yang terdapat diskala metrik. Skala metrik tersaji secara vertical,dan angka tertinggi terdapat dibagian atas. Semakin ke atas semakin besar yang menunjukkan pula semakin tingginya kadar brix dalam nira tebu(Anonim,2013b). Standar deviasi disebut juga simpangan baku. Standar Deviasi merupakan variasi sebaran data. Semakin kecil nilai sebarannya berarti variasi nilai data makin sama Jika sebarannya bernilai 0, maka nilai semua datanya adalah sama. Semakin besar nilai sebarannya berarti data semakin bervariasi (Anonim, 2013b). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh keragaman varietas tebu terhadap nilaibrix yang dihasilkan untuk meningkatkan produksi gula. Harapan dari penelitian ini adalah memberi informasi kepada masyarakat tentang hasil kadar gula (brix) tebu dan manfaat batang tebu sebagai bahan bakar boiler, media jamur merang, serta pupuk organik (kompos). Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada saat musim panen tebu (musim giling) pada bulan Desember 2012 di PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) Unit PG.Camming, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Hand refractometer, alat pengukur panjang batang tebu berupa bamboo, jangka sorong, besi corong, dan parang. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah batang tebu baru varietas CM2012, varietas Triton, varietas Cenning, varietas PSBM, dan varietas SR. Tanaman tebu yang digunakan adalah tanaman yang siap panen.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
58
ISSN: 1979-7362 Metode Penelitian 1. Memanen masing-masing 10 (sepuluh) batang tebu baru varietas CM2012, varietas Triton, varietas Cenning, varietas PSBM, dan varietas SR. 2. Mengukur panjang masing-masing batang tebu dengan menggunakan alat pengukur. 3. Mengukur diameter masing-masing batang tebu dengan menggunakan jangka sorong. 4. Memotong batang tebu berdasarkan ruasnya dimana ruas akan diberi atribut ruas 1, 2, ….n, dimana ruas 1 mereprentasikan ruas paling bawah dan ruas n sebagai ruas paling atas yang masih mengandung nira. 5. Mengambil nira sebanyak dua kali pada setiap ruas tebu dengan menggunakan besi corong. 6. Mengukur kandungan brix nira, dua kali peruas, dengan alat hand refractometer. Hasil dan Pembahasan Grafik Hubungan Ruas terhadap Brix Berdasarkan Rata-rata Perbandingan hubungan ruas terhadap nilai brix berdasarkan rata-rata dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah ruas pada tebu maka semakin rendah nilai brix-nya . Pada varietas CM2012 di ruas pertama nilai brixnya 24.5, ruas ke limabrix-nya 23.46, ruas ke sepuluh 21.97, dan pada ruas ke lima belas mencapai nilai brix sebesar 20.03. Varietas Triton masing-masing memiliki nilai brix pada ruas pertama, ke lima, sepuluh, dan lima belas adalah 21.7, 20.98, 19.99, dan 18.53. Begitu pula yang terjadi pada varietas Cenning nilaibrix pada ruas pertama adalah 18.04, ruas kelima 17.07, ruas kesepuluh 14.99, dan ruas kelima belas 12.48. Nilai brix pada ruas pertama pada varietas SR adalah 22.86, ruas kelima 22.4, ruas kesepuluh 20.57, dan pada ruas kelima belas 18.14. Sedangkan varietas PSBM nilai brixnya 21.63, 20.84, 20.05, 18.53 pada masingmasing ruas pertama, kelima, sepuluh, dan lima belas.
Gambar 2. Grafik hubungan ruas terhadap brix berdasarkan rata-rata Gambar 2 menunjukkan varietas CM2012 memiliki nilai brix tertinggi dibandingkan dengan varietas Triton, Cenning, SR, dan varietas PSBM.Hal ini ditunjukkan pada varietas CM2012 nilai brix tertingginya adalah 24.35.Kemudian nilai brix tertinggi SR 22.86, dan nilai brix Triton senilai 21.7.Selanjutnya nilai brix tertinggi pada varietas PSBM adalah 21.63 dan terakhir Cenning dengan 18.04. Grafik hubungan ruas terhadap brix berdasarkan rata-rata nampak linear ke bawah.Hal ini disebabkan semakin tinggi ruas pada tebu tersebut maka semakin rendah pula nilai brix-nya.
Gambar 3. Grafik Model Sebaran Brix Varietas CM2012
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
59
ISSN: 1979-7362
Gambar 4. Grafik Model Sebaran Brix Varietas Triton
Hasil pengamatan terhadap rata-rata brix untuk kelima varietas yang digunakan (CM2012, Triton, Cenning, SR, dan PSBM) disajikan pada gambar 3, 4, 5, 6, dan 7. Dari kelima gambar ini nampak bahwa rata-rata brix mengalami penurunan pada saat posisi ruas semakin tinggi. Peningkatan ini mengikuti pola kwadratik dengan nilai R2 yang sangat baik, 0.983 untuk varietas CM2012, 0.945 untuk varietas Cenning, 0.952 untuk varietas SR, 0.962 untuk varietas PSBM, dan nilai R2 yang cukup baik untuk varietas Triton yaitu 0.648. Grafik Hubungan Ruas terhadap Berdasarkan Standar Deviasi
Gambar 5. Grafik Model Sebaran Brix Varietas Cenning
Brix
Gambar 8 menyajikan perbandingan ruas dan brix berdasarkan standar deviasi.Semakin tinggi posisi ruas pada tebu, variasi nilai brix-nya semakin tinggi pula.Hal ini ditandai dengan semakin tingginya nilai standar deviasi pada ruas yang semakin tinggi. Tampak pada varietas CM2012 nilai standar deviasi pada ruas pertama adalah 0.78 sedangkan pada ruas kesepuluh naik menjadi 1.159. Begitu pula yang terjadi pada varietas Cenning, nilai standar deviasi pada ruas pertama adalah 1.089 dan pada ruas kesepuluh standar deviasinya adalah 1.64.
Gambar 6. Grafik Model Sebaran Brix Varietas SR
Gambar 8. Grafik Hubungan Ruas Terhadap Brix Berdasarkan Standar Deviasi
Gambar 7. Grafik Model Sebaran Brix Varietas PSBM
Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa varietas Cenning memiliki nilai standar deviasi tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya.Hal ini nampak pada nilai standar deviasi pada varietas Cenning adalah 1.089 sedangkan pada varietas CM2012 adalah 0.78.Begitu pula pada varietas lainnya
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
60
ISSN: 1979-7362 nilai standar deviasinya lebih rendah dibandingkan dengan varietas Cenning.Pada varietas PSBM adalah 0.614, pada varietas SR adalah 0.481, dan pada varietas Triton adalah 0.516. Grafik Hubungan Dimensi dan Varietas Gambar 9 menunjukkan hubungan ratarata jumlah ruas terhadap masing-masing varietas. Dari hasil tersebut dapat digolongkan 3 varietas yang memiliki ratarata jumlah ruas tertinggi adalah CM2012, Cenning, dan TRITON sedangkan varietas PSBM dan SR berada pada posisi dua terbawah. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa yang memiliki rata-rata jumlah ruas terbanyak yaitu pada varietas CM2012.CM2012 memiliki jumlah ruas sebanyak 18.7, Triton rata-rata jumlah ruasnya 17.3, Cenning 17.7, SR sebanyak 15.1, dan varietas PSBM jumlah rata-rata ruasnya adalah 16.1.
Gambar 9. Grafik Hubungan Varietas dan Rata-rata Jumlah Ruas Gambar 10 menunjukkan nilai rata-rata diameter tebu pada masing-masing jenis tebu. CM2012 memiliki diameter paling kecil yaitu 2.235 cm sedangkan diameter yang paling besar dimiliki oleh tebu jenis PSBM dengan rata-rata dimeter sebesar 3.2 cm. Sedangkan pada jenis Cenning memiliki rata-rata diameter 2.61 cm, Triton sebesar 2.68 cm, dan pada varietas SR sebesar 2.83 cm.
Gambar 10. Grafik Hubungan Diameter dan Varietas Gambar 11 menunjukkan hubungan panjang batang dan masing-masing varietas yang digunakan. Varietas yang memiliki panjang batang tertinggi yaitu pada varietas CM2012 dengan panjang 254 cm. Kemudian varietas TRITON dan Cenning yang memiliki panjang batang yang hampir sama yaitu 240.5 cm dan 240 cm. Sedangkan pada varietas PSBM panjang batangnya 223.5 cm dan SR 162.6 cm.
Gambar 11. Grafik Hubungan Varietas dan Panjang Tabel 3, 4, 5, 6, dan 7 menunjukkan indeks rasio panjang batang dan jumlah ruas masing-masing varietas. Berdasarkan Tabel dari indeks rasio tersebut dapat diketahui bahwa pada Tabel 3 yang memiliki nilai indeks rasio tertinggi terdapat pada batang 2 dan 3 yaitu 15. Indeks rasio tertinggi pada Tabel 4 terdapat pada batang 9 yaitu 15.3, Tabel 5 terdapat pada batang 1 yati 14.12, Tabel 6 terdapat pada batang 10 yaitu 11.79, sedangkan pada Tabel 7 terdapat pada batang 1 yaitu 14.41.Untuk rata-rata varietas tertinggi terdapat pada varietas Triton yaitu 13.96.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
61
ISSN: 1979-7362 Tabel 3. Indeks Rasio Panjang Batang Dan Jumlah Ruas Varietas CM2012
Tabel 5. Indeks Rasio Panjang Batang Dan Jumlah Ruas Varietas Cenning Batang
Panjang Batang (cm)
Jumlah Ruas
Indeks Rasio (cm/Ruas)
Batang
Panjang Batang (Cm)
Jumlah Ruas
Indeks Rasio (Cm/Ruas)
1
240
17
14.12
1
225
20
11.25
2
260
19
13.68
2
285
19
15
3
235
17
13.82
3
270
18
15
4
260
19
13.68
4
225
19
11.84
5
225
17
13.24
5
275
20
13.75
6
250
18
13.89
6
245
18
13.61
7
220
17
12.94
7
270
18
15.00
8
240
18
13.33
8
260
19
13.68
9
220
17
12.94
9
250
17
14.71
10
250
18
13.89
10
235
19
12.37
rata-rata
240
17.7
13.55
rata-rata
254
18.7
13.62
Tabel 6. Indeks Rasio Panjang Batang Dan Jumlah Ruas Varietas SR Batang
Panjang Batang (cm)
Jumlah Ruas
Indeks Rasio (cm/Ruas)
1
160
16
10.00
2
145
14
10.36
3
175
17
10.29
4
160
15
10.67
5
155
15
10.33
6
170
15
11.33
7
145
14
10.36
8
171
15
11.40
9
180
16
11.25
10
165
14
11.79
rata-rata
162.6
15.1
10.78
Tabel 4. Indeks Rasio Panjang Batang Dan Jumlah Ruas Varietas Triton Batang
Panjang Batang (cm)
Jumlah Ruas
Indeks Rasio (cm/Ruas)
1
230
18
12.78
2
245
17
14.41
3
245
17
14.41
4
255
19
13.42
5
255
20
12.75
6
240
18
13.33
7
235
16
14.69
8
230
16
14.38
9
230
15
15.33
10
240
17
14.12
rata-rata
240.5
17.3
13.96
Tabel 7. Indeks Rasio Panjang Batang Dan Jumlah Ruas Varietas PSBM Batang
Panjang Batang (cm)
Jumlah Ruas
Indeks Rasio (cm/Ruas)
1
245
17
14.41
2
190
15
12.67
3
230
16
14.38
4
200
15
13.33
5
220
16
13.75
6
255
18
14.17
7
225
16
14.06
8
225
16
14.06
9
220
16
13.75
10
225
16
14.06
rata-rata
223.5
16.1
13.86
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
62
ISSN: 1979-7362 Hubungan Brix, Diameter, dan Panjang Grafik hubungan nilai brix, diameter, dan panjang dapat dilihat pada Gambar 12.Dapat diperoleh kesimpulan dari grafik tersebut bahwa semakin panjang batang tebu dan semakin lebar diameternya maka semakin tinggi pula nilai brix dari tebu.
Gambar 12. Grafik Hubungan Brix, Diameter, dan Panjang Rekapitulasi varietas tebu
kinerja
masing-masing
Rekapitulasi kinerja untuk setiap varietas yang diamati selama penelitian disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Skor Kinerja Masing-Masing Kriteria Varietas varietas Brix (1: terendah, 5: tertinggi) Standar deviasiBrix (1: variasi tertinggi, 5: terendah) Rata-rata jumlah ruas (1: terendah, 5: tertinggi) Rata-rata panjang batang (1: terendah, 5: tertinggi) Rata-rata diameter batang (1: terendah, 5: tertinggi) Total Skor
cm20 12 5
2
triton 3
4
cennin g 1
1
psb m 2
3
sr 4
Triton ini sudah bisa dikategorikan sebagai jenis tebu unggul karena hampir semua jenis kategori kinerjanya memiliki nilai yang cukup tinggi.Varietas SR memiliki nilai brix tinggi dan variasi yang paling rendah, namun panjang dan jumlah ruasnya terendah.Sedangkan pada varietas PSBM, walaupun semua kategori skor kinerjanya termasuk sedang, namun varietas ini memiliki diameter batang yang lebih besar daripada jenis-jenis tebu lainnya.Pada varietas Cenning dapat dilihat pada tabel merupakan varietas yang menempati posisi terakhir. Keunggulan varietas CM2012 dan Triton telah diinformasikan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia yang datanya diringkaskan pada Tabel 9. Tabel ini menggambarkan skor penilaian (skala 1 sd 5) untuk tiga parameter (hasil, rendemen dan hablur). Total skor CM2012 dan Triton yang masing-masing sebesar 10 dan 11 jauh lebih tinggi dari varietas lainnya. Tabel 9. Kinerja Masing-Masing Varietas Menurut P3GI cm2012 hasil (ku/ha) rendemen (%) hablur (ku/ha)
psbm
758 (4) 10,97 (5) 65,49 (1)
704 (2) 7,89 (2) 69,5 (3)
triton 740 (3) 8,45 (3) 91 (5)
sr 700 (1) 9,93 (4) 71,14 (4)
cenning 775 (5) 7,51 (1) 69 (2)
5
Kesimpulan 5
3
4
2
1
5
4
3
2
1
1
3
2
5
4
18
17
11
14
15
Berdasarkan tabel ini diketahui bahwa CM2012 merupakan varietas terbaik, diikuti oleh Triton, SR, PSBM dan terakhir Cenning. Kelemahan dari CM2012 hanya terletak pada tingginya variasi brix dan kecilnya diamater batang.Sedangkan Triton menempati posisi kedua terbaik.Varietas
Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Nilai brix tertinggi dari masing-masing varietas yaitu varietas CM2012, diikuti SR, Triton, PSBM, dan terakhir Cenning. Variasi nilai brix terendah terdapat pada varietas Cenning, kemudian varietas CM2012, PSBM, Triton, dan SR. Ratarata jumlah ruas tertinggi berturut-turut terdapat pada varietas CM2012, Cenning, Triton, PSBM, SR. Rata-rata panjang batang tertinggi yaitu CM2012 diikuti varietas Triton, Cenning, PSBM, dan SR. Sedangkan untuk rata-rata diameter batang nilai tertingginya pada varietas PSBM, kemudian posisi kedua varietas
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
63
ISSN: 1979-7362 SR, Triton, Cenning, dan terakhir pada varietas CM2012. 2. Varietas terbaik adalah CM2012, diikuti oleh Triton, SR, PSBM dan terakhir Cenning. Daftar Pustaka Anonim, 2013a.http://www.risvank.com/2011 /12/22/pemurnian-nira-di-pabrikgula. Diakses pada tanggal 15 Januari 2013. Anonim, 2013b. http://elibrary.ub.ac.id/handle/ 123456789/27797. Diakses pada tanggal 15 Januari 2013. Sutardjo, E. 1999. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara, Jakarta.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
64
ISSN: 1979-7362 Profil Sifat Fisik Buah Markisa Ungu (Passiflora edulis f. edulis Sims) Made Widi Pratiwi KD, Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar Junaedi Muhidong, Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar Olly S. Hutabarat, Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar
Abstrak Pengetahuan sifat fisik buah markisa ungu sangat penting dalam masalah penyimpanan, daya gelinding, tingkat kekuatan bahan. Secara umum sifat fisik bahan tergantung pada varietas dan karakteristik, termasuk berat, volume dan perubahan warna. Selama proses penyimpanan bahan, transformasi fisik salah satunya yaitu warna bahan dapat mengalami perubahan. Laju perubahan ini berbanding lurus dengan proses penyimpanan. Sehingga warna menjadi salah satu indikasi lama proses penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik markisa ungu yang terdiri dari berat awal, volume dimensi, kekuatan bahan, Rolling angel, dan mengidentifikasi perubahan warna. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pola distribusi sebaran berat dan volume cenderung sama hampir mengikuti distribusi normal. Pada pengujian terkstur analyzer diketahui bahwa berat dan volume pengaruhnya tidak signifikan terhadap tingkat kekuatan bahan, begitu pula bahwa berat dan volume pengaruhnya tidak signifikan terhadap rolling angle. Perubahan warna Lab* dan munsell selama proses penyimpanan menunjukkan bahwa warna awal buah markisa yang cenderung ungu muda mengalami perubahan menjadi ungu gelap. Hal ini mengidentifikasikan bahwa perubahan warna sangat penting terhadap proses penyimpanan. Kata Kunci: Markisa ungu, Berat, Volume, Tekstur analyzer, Rolling Angel, serta perubahan warna.
PENDAHULUAN Markisa memiliki banyak manfaat maka perlu adanya penanganan pasca panen yang tepat pada buah markisa untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas dari buah markisa. Tanaman markisa yang berasal dari buah mulai berbuah setelah berumur 9 – 10 bulan, sedangkan yang berasal dari stek, mulai berbuah lebih awal, yaitu sekitar 7 bulan. Ukuran menghasilkan sari buah markisa yang berkualitas baik dan buah harus dipanen masak. Buah sebaiknya dipanen minimal pada saat kematangan mencapai 75%, buah panen pada saat persentase warna ungu mencapai 50 – 70% serta melihat tekstur buah yang pas untuk dipanen. Pengetahuan sifat fisik buah markisa ungu sangat penting dalam masalah penyimpanan, daya gelinding, tingkat kekuatan bahan. Secara umum sifat fisik
bahan tergantung pada varietas dan karakteristik, termasuk berat, volume dan perubahan warna. Buah markisa atau passion fruit dihasilkan oleh tanaman yang masuk dalam famili Passifloraceae, yang berupa tanaman merambat atau menjalar hingga 20 meter dan bersifat menahun. Terdapat lebih dari 400 spesies Passiflora, Passiflora edulis merupakan spesies yang paling banyak dibudidayakan. Dari spesies Passiflora edulis, terdapat dua varietas markisa yaitu markisa ungu (Passiflora edulis L.) dan markisa kuning (Passiflora edulis var. flavicarpa) (Samson, 1986). Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat kolorimeter, spektrometer, atau alat-alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Tetapi alat-alat tersebut biasanya terbatas penggunaannya untuk bahan cair yang tembus cahaya seperti sari buah, bir atau warna hasil ekstraksi. Untuk bahan cairan yang tidak tembus cahaya atau padatan,
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
65
ISSN: 1979-7362 warna bahan dapat diukur dengan membandingkannya terhadap suatu warna standar yang dinyatakan dalam angkaangka (Hardiyanti dkk., 2009) Instrument yang sangat berguna dalam mengukur warna adalah kamera digital. Kamera digital memiliki tangkapan warna yang jelas dari setiap pixel dari gambar objeknya. Dengan jenis kamera tertentu, cahaya yang dipantulkan oleh suatu benda dideteksi oleh tiga sensor per pixel. Model warna yang paling sering digunakan adalah model RGB. Setiap sensor menangkap intensitas cahaya dalam merah (R), hijau (G) atau biru (B) spectrum masing-masing. Dalam menganalisis gambar digital dari suatu objek maka terlebih dahulu dilakukan analisis titik, meliputi sekelompok kecil pixel dengan tujuan mendeteksi karakteristik kecil dari objek dan selanjutnya dilakukan analisis global dengan menggunakan histogram warna untuk menganalisis homogenitas dari objek (Leön, 2005). Cara pengukuran warna yang lebih teliti dilakukan dengan mengukur komponen warna dalam besaran value, hue dan chroma. Ketiga komponen itu diukur dengan menggunakan alat khusus yang mengukur nilai kromatisitas suatu bahan. Angka-angka yang diperoleh berbeda untuk setiap warna, kemudian angka-angka tersebut diplotkan ke dalam diagram kromatisitas (Hardiyanti dkk., 2009). Tekstur merupakan atribut atau faktor penting dari kualitas yang menentukan kelayakan dari suatu bahan pangan, baik itu buah maupun sayuran. Walaupun demikian, tekstur bukanlah merupakan suatu atribut tunggal, tetapi merupakan sifat kolektif yang meliputi sifat-sifat
biologis maupun mekanis dari suatu bahan pangan dan merupakan perwujudan dari analisis sensorik terhadap rasa dari bahan pangan itu di mulut konsumen (Abbott dan Harker, 2005). Puncture (metode tusuk) menggunakan jarum sifatnya merusak. Prinsip ini digunakan untuk mengukur kekerasan suatu bahan, dimana permukaan instrumen lebih kecil daripada permukaan benda. Bisa menyebabkan tekanan dan gesekan. Alatnya bisa berbentuk datar, kerucut (conical), lengkung (jari). Dapat digunakan untuk mengukur adonan biskuit (konsistensinya), dan tingkat kematangan buah (Supratomo, 2006). Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2013, di Laboratorium Processing, Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat penguji tingkat kekerasan produk hasil pertanian (Texture Analyzer - TA-XTPlus), jangka sorong, timbangan digital (ketelitian 0,1 g), papan gelinding, kertas label, plastik kedap udara, kawat kasa, kamera digital, penggaris, Alat Pencahayaan Objek dan software Adobe Photoshop CS5. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah markisa ungu (Passiflora edulis) yang berasal dari kecamatan Makale, kabupaten Tana Toraja.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
66
ISSN: 1979-7362 Prosedur Penelitian Mulai
Penyiapan sampel buah markisa ungu
Pengukuran berat sampel markisa ungu
Pengukuran volume sampel markisa ungu
Pengambilan gambar dengan alat pencahayaan objek dengan sudut pencahayaan 45°. Setiap 24 jam selama 7 kali
20 Data volume dan berat dari 100 sampel markisa
Pengukuran rolling angel markisa ungu
Pembuatan wadah
Pengolahan data Lab* dengan menggunakan software photoshop CS5 dan menghitung nilai munsell
Pengujian kekerasan markisa ungu menggunakan tekstur analyzer
Mengetahui sifat fisik
Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan terhadap distribusi berat markisa ungu dilihat pada Table 1 berikut: Tabel 1. Distribusi Sebaran Berat Markisa Ungu
Sebaran Berat Dan Volume Buah Markisa Ungu Hasil pengamatan terhadap distribusi berat dan volume buah markisa ungu disajikan pada gambar 2 dan 3. Gambar 2 merepresentasikan perilaku distribusi berat buah markisa ungu. Gambar 3 mewakili perilaku distribusi volume pada buah markisa ungu. Distribusi berat untuk buah markisa ungu hampir mengikuti distribusi normal, namun condong ke kanan (skewed ke kanan). Begitu juga distribusi volume buah markisa yang cenderung condong kekanan (skewed ke kanan). Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
kelas
kelas bawah
kelas atas
frekuensi
1
30,100
34,381
1
2
34,381
38,663
1
3
38,663
42,944
4
4
42,944
47,225
15
5
47,225
51,506
31
6
51,506
55,788
27
7
55,788
60,069
17
8
60,069
64,350
4 100
67
ISSN: 1979-7362 Pada Tabel 1 menunjukkan nilai distribusi berat markisa ungu, dimana penentuan kelas menggunakan aturan sturges, grafik distribusi berat dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Tabel 2 menunjukkan nilai distribusi volume markisa ungu, dimana puncak distribusi volume juga terjadi pada kelas 6, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Gambar 2. Grafik Distribusi berat buah markisa Pada Gambar 2, dapat dijelaskan bahwa kelas adalah range berat buah markisa ungu dan frekuensi adalah nilai buah markisa ungu. Grafik distribusi berat menjelaskan bahwa puncak distribusi berat terjadi pada kelas 5, hal ini disebabkan nilai frekuensi tertinggi berada dikelas 5 dengan berat batas bawah 47,225 g dan berat batas atas 51,506 g. Dengan rata rata berat yaitu 50,94 g. Berat maksimal 64,35 g dan berat minimum 30,10 g. Serta memiliki Standar deviasi yaitu 5,84 g. Hasil pengamatan terhadap distribusi volume markisa ungu dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Distribusi Sebaran Volume Markisa Ungu
Gambar 3. Grafik Distribusi volume buah markisa Pada Gambar 3, dapat dijelaskan bahwa kelas adalah range volume buah markisa ungu dan frekuensi adalah nilai buah markisa ungu. Grafik distribusi volume menjelaskan bahwa puncak distribusi volume terjadi pada kelas 6 dikarenakan nilai frekuensi tertinggi berada dikelas 6 dengan volume batas bawah 74,266 cm3 dan volume batas atas 79,038 cm3. Dengan rata rata volume yaitu 74,549 cm3. Volume maksimal 88,583 cm3 dan volume minimum 50,406 cm3. Serta memiliki Standar deviasi yaitu 7,05 cm3. Tingkat Kekerasan Markisa Ungu Pada penelitian ini, pengujian tingkat kekerasan markisa ungu dihubungkan dengan berat awal terhadap gaya kemudian volume terhadap gaya. Hubungan keduanya ditunjukkan pada gambar grafik berikut.
kelas
kelas bawah
kelas atas
frekuesi
1
50,406
55,178
1
2
55,178
59,950
2
3
59,950
64,722
3
4
64,722
69,494
20
5
69,494
74,266
23
6
74,266
79,038
24
7
79,038
83,811
16
8
83,811
88,583
11 100
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
68
ISSN: 1979-7362
Gambar 4. Grafik Hubungan berat markisa ungu terhadap gaya.
Gambar 5. Grafik Hubungan volume markisa ungu terhadap gaya. . Dilihat dari ke-2 grafik, dapat disimpulkan bahwa berat dan volume pengaruhnya tidak signifikan terhadap tingkat kekuatan bahan. Dari grafik tersebut tidak terlihat adanya pola yang menunjukkan keterkaitan antara berat terhadap gaya maupun volume terhadap gaya. Hal ini disebabkan karena pengujian tekstur analyzer lebih mengarah terhadap tingkat kekuatan bahan. Rolling Angel Hasil pengukuran Rolling angle menunjukkan hubungan antara berat markisa ungu dengan sudut kemiringan. Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 6 berikut:
Gambar 6. Grafik Hubungan berat markisa ungu Terhadap Rolling angle Hasil pengukuran Rolling angle menunjukkan hubungan antara volume markisa ungu dengan sudut kemiringan. Hasil pengukuran ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 7. Grafik Hubungan volume markisa ungu Terhadap Rolling angle Pada ke-2 grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa berat dan volume pengaruhnya tidak signifikan terhadap rolling angel. Dari grafik tersebut tidak terlihat adanya pola yang menunjukkan keterkaitan antara berat dengan rolling angel maupun volume dengan rolling angel. Hal ini disebabkan karena benda bergerak pada bidang miring diakibatkan oleh adanya komponen gaya berat yang sejajar dengan permukaan bidang miring. Sphericity adalah ukuran yang menggambarkan kecenderungan suatu bentuk bulir kearah bentuk membola. Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014) 69
ISSN: 1979-7362 Variabel yang paling mengontrol sphericity adalah bentuk asal dari butiran tersebut. Pada Gambar 8 dapat dilihat nilai sphericity dari buah markisa ungu sebagai berikut:
Gambar
Gambar 8. Grafik Hubungan sphericity markisa ungu Terhadap Rolling angle Dari Gambar 8 dapat dilihat grafik hubungan sphericity terhadap rolling angel berbentuk sebaran dan tidak adanya pola sehingga tidak dapat diprediksi untuk nilai rolling angel selanjunya. Dan dapat dilihat pada Gambar 8, nilai sphericity pada buah markisa ungu hampir mendekati nilai 1, yang itu artinya buah markisa ungu hampir mendekati bentuk bola. Perubahan Warna Markisa ungu Pengamatan perubahan warna markisa ungu pada penyimpanan suhu ruang setiap 24 jam selama 7 kali. Telah diperoleh nilai Lab* yaitu sebagai berikut: Perubahan Dari Warna Hitam-Putih (Nilai L*) Hasil pengukuran nilai L* (Gambar 9) memperlihatkan bahwa sampel yang diteliti mengalami penurunan yaitu pada hari ke 2 sampai pada hari ke 7 . Berikut ditunjukkan grafik hasil pengolahan data warna untuk nilai rata-rata L* Pada markisa ungu. Gambar 9 berikut.
9. Grafik Hubungan Nilai L* markisa ungu Terhadap Waktu
Berdasarkan Gambar 9, perubahan nilai rata-rata L* pada warna markisa ungu menunjukkan adanya penurunan. Penurunan nilai L* yang terjadi pada hari ke 2 yaitu 49,68, hari ke 3 nilai L* yaitu 48,64, hari ke 4 adalah 47,64, kemudian dihari ke 5 kembali mengalami penurunan menjadi 46,48, hari ke 6 yaitu 45,4 dan hari ke 7 yaitu 44,36. Selanjutnya, Perubahan nilai L* yang mengalami penurunan secara konstan, perubahan warna buah menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Warna awal markisa yang cenderung ungu mengalami perubahan selama penyimpanan menjadi ungu gelap. Hal ini membuktikan bahwa ketika nilai L* semakin menurun, dimana nilai 0 berarti gelap atau hitam dan nilai 100 berarti terang atau putih, maka perubahan warna bahan akan semakin gelap dan begitupun sebaliknya (Anonim, 2013). menyebabkan nilai L* mengalami kenaikan. Perubahan Dari Warna Hijau-Merah (Nilai a*) Hasil pengukuran nilai a* (Gambar 10) menunjukkan bahwa nilai a* pada markisa ungu menunjukkan adanya kenaikan nilai a*. Perubahan nilai a* ditunjukkan pada gambar berikut.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
70
ISSN: 1979-7362
Gambar 10.
Grafik Hubungan Nilai a* markisa ungu Terhadap Waktu Pada Gambar 10, nilai a* pada buah markisa ungu mengalami peningkatan selama proses penyimpanan. Selanjutnya, peningkatan ini relatif konstan hingga periode akhir penyimpanan tersebut. Peningkatan perubahan nilai a* menyebabkan warna buah terlihat kemerahan. Warna awal buah yang cenderung ungu muda selama penyimpanan akan menjadi terlihat ungu gelap kemerahan. Nilai a* merupakan parameter untuk menilai perubahan warna dari hijau ke merah, dimana nilai negatif berarti perubahan warna menuju hijau dan nilai positif berarti perubahan warna menuju merah (Anonim, 2013). Ketika nilai a* semakin meningkat maka perubahan warna akan cenderung menuju ke merah dan begitupun sebaliknya. Perubahan Dari Warna Biru-Kuning (Nilai b*) Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, perubahan rata-rata nilai b* untuk markisa ungu menunjukkan adanya penurunan nilai b*. ditunjukkan pada grafik berikut:
Gambar 11.
Grafik Hubungan Nilai b* markisa ungu Terhadap Waktu Perubahan nilai rata-rata b* pada Gambar 11 memperlihatkan penurunan yang besar selama periode penyimpanan. Selama proses penyimpanan, penurunan yang terjadi relatif konstan sampai periode akhir penyimpanan. Penurunan nilai b* mengakibatkan terjadinya penurunan warna kuning pada markisa. Warna awal markisa yang mirip coklat muda cenderung sedikit kekuningan, selama penyimpanan mengalami perubahan menjadi lebih gelap sebab kandungan warna kuning menjadi lebih sedikit. Nilai b* menunjukkan perubahan warna dari biru ke kuning, dimana nilai negatif berarti perubahan warna menuju biru dan nilai positif berarti perubahan warna menuju kuning (Anonim, 2013). Ketika nilai b* semakin tinggi maka perubahan warna cenderung menuju kuning dan begitupun sebaliknya. Perubahan Nilai C* Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, perubahan rata-rata nilai C* untuk penyimpanan markisa ungu ditunjukkan pada gambar berikut.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
71
ISSN: 1979-7362
Gambar 12. Grafik Nilai C* Pada Markisa ungu Gambar 12 menunjukkan perubahan saturasi warna yang terjadi selama proses penyimpanan. Pada Gambar 12, nilai saturasi warna pada markisa ungu mengalami kenaikan. kemudian relatif konstan hingga pada periode akhir penyimpanan cenderung mulai mengalami perubahan. Dimana semakin tinggi nilai C*, maka semakin tinggi pula saturasi warna yang dihasilkan. Dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai C*, semakin rendah pula nilai saturasi yang dihasilkan.
Gambar 13. Perubahan Nilai ΔE* Pada markisa ungu Perubahan Nilai ΔH* Tingkat perubahan warna yang terjadi selama proses penyimpanan (nilai ΔH*) untuk markisa ungu adalah sebagai berikut.
Perubahan Nilai ΔE* Dari hasil pengolahan data warna, perubahan nilai ΔE* (tingkat perubahan nilai L*, a* dan b*) untuk warna markisa ungu selama proses penyimpanan selama 7 hari ditunjukkan pada Gambar 13 berikut. Grafik perubahan nilai ΔE* pada Gambar 13 menunjukkan perubahan yang terjadi cenderung meningkat. Peningkatan ini terlihat jelas untuk pada Gambar 14. Hal ini menunjukan besarnya perubahan nilai L*, a* dan b* selama proses penyimpanan. Pada grafik tersebut memperlihatkan perubahan mulai dari periode awal penyimpanan sampai pada periode akhir penyimpanan. Nilai L*, a* dan b* pada bahan akan cenderung berubah warna dan bentuk ketika bahan mengalami penyimpanan.
Gambar 14. Perubahan Nilai ΔH* Pada markisa ungu Berdasarkan Gambar 14, grafik perubahan nilai ΔH* (tingkat perubahan warna) menunjukkan peningkatan selama 7 hari selama penyimpanan suhu ruang. Peningkatan yang besar terjadi pada periode awal penyimpanan kemudian perubahan relatif konstan hingga akhir periode penyimpanan. Perubahan nilai ΔH* berbanding lurus dengan perubahan nilai ΔE*, dimana semakin besar perubahan nilai ΔE* maka perubahan nilai ΔH* juga cenderung meningkat.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
72
ISSN: 1979-7362 Teori munsell Dari hasil pengolahan data warna telah diperoleh nilai munsell untuk warna markisa ungu pada proses penyimpanan selama 7 hari. Perbandingan antara nilai Lab* dengan nilai munsell dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Nilai rata-rata Lab* Hari
Hue
Value
Chroma
Notasi munsell
1
3,0 YR
5,08
13,4
3,0 YR 5,08/3
2
11 R
4,9
13,4
11 R 4,9/3
3
7,0 R
4,8
15,5
7,0 R 4,8/3
4
5,0 R
4,7
17,1
5,0 R 4,7/4
5
4,5 R
4,6
16,9
4,5 R 4,6/3
6
2,0 R
4,5
17,1
2,0 R 4,5/4
7
1,5 R
4,4
16,7
1,5 R 4,4/3
Tabel 4. Nilai rata-rata munsell Hari
L*
a*
b*
1
50,8
7,08
11,44
2
49,68
8,84
10,12
3
48,64
12,52
9,24
4
47,64
14,64
8,96
5
46,48
15,04
7,72
6
45,4
15,8
6,48
7
44,36
15,88
5,44
Berdasarkan pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat diketahui bahwa warna markisa ungu yang semakin hari semakin menunjukkan warna gelap. Dilihat dari nilai Hue pada tabel 2 menunjukkan warna markisa ungu semakin menuju ke merah gelap sampai hari ke 7. Begitu pula dengan melihat nilai value pada tabel 2 yang menunjukkan bahwa tingkat kecerahan dari markisa ungu mengalami penurunan yang konstan. Penutup Kesimpulan 1. Pola distribusi sebaran berat dan volume cenderung sama hampir mengikuti distribusi normal. 2. Warna Lab* dan munsell selama proses penyimpanan menunjukkan terjadinya
perubahan, dimana nilai L* menunjukkan warna yg semakin gelap, nilai a* yang semakin kearah merah, nilai b* mengalami penurunan, sehingga warna awal buah markisa yang cenderung ungu muda mengalami perubahan menjadi ungu gelap. 3. Pada pengujian tekstur analyzer diketahui bahwa berat dan volume pengaruhnya tidak signifikan terhadap tingkat kekuatan bahan. 4. Dalam hubungan rolling angle, diketahui bahwa berat dan volume pengaruhnya tidak signifikan terhadap rolling angle. Saran Sebaiknya penelitian ini dilanjutkan dengan meneliti varietas markisa yang lain. Agar menjadi informasi pembanding antara sifat fisik varietas markisa ungu dengan markisa lainnya. Kemudian dalam melakukan sebuah penelitian tentang perubahan warna untuk bahan pangan, disarankan untuk memperhatikan pergeseran atau perubahan sekecil apapun dari bahan. Hal ini sangat penting agar hasil penelitian yang dilakukan lebih akurat dan tidak terjadi kesalahan. Daftar Pustaka Hardiyanti, N., E. J. Kining dan Fauziah Ahmad. 2009. Warna Alami. Jurusan Geografi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Makassar. Leön, K., D. Mery and F. Pedreschi. 2005. Color Measurement in L*a*b* Units From RGB Digital Images . Publication in Journal of Food Engineering Vol. I, Page 1-23. Samson, J.A. 1986. Tropical Fruits.2nd Ed. John Willey and Sons, Inc., New York,USA.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
73
ISSN: 1979-7362 Supratomo, 2006. Bahan Ajar Teknik Pengolahan Pangan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Verheij, Coronel RE. 1997. PROSEA : Sumeber Daya Nabati Asia Tenggara 2. Buah-Buahan yang Dapat Dimakan. PT Gramedia, Jakarta.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
74
ISSN: 1979-7362 Desain Sistem Irigasi Alur Pada Perkebunan Tanaman Jagung di Kabupaten Bone Irrigation System Design Furrow In Corn Oil in Bone regency Sukri, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Unhas, Makassar,
[email protected] Mahmud Achmad, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Unhas, Makassar Sitti Nur Faridah, Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Unhas, Makassar
Abstract Water is a natural resource whose existence is increasingly problematic future in agriculture, because the water allocation for agriculture is relatively more reduced due to competition with household and industrial, and the unfavorable climate changes. Irrigation is intended to provide a water supply to the plant in time, space, quantity, and quality right. So that water distribution is more effective to plant, farmers are generally brought water in between rows of crop by using a hoe or animal drawn plow with the level of irrigation efficiency is only 46.2%. The purpose of this research is to design and test the efficiency of the irrigation system performance design results in the planting furrow irrigated corn in Bone regency. Design flow irrigation is done using software SIRMOD III through design optimization that can improve the provision of water application efficiency and irrigation efficiency values in flow rate and flow velocity in order to obtain the right design. The results showed that the application of water depth 0.11 m, 0.37 m and 0.45 m best values obtained after the design is done using SIRMOD III. At 0.11 m depth of water application with 210 minutes long irrigation application efficiency values obtained 98.88%, 100% irrigation efficiency, distribution efficiency 98.88%, and the percolation of water into the soil 1.12%, and the depth of water 0.37 meter long application with 480 irrigation efficiency values obtained apikasi 98.27%, 100% irrigation efficiency, distribution efficiency 98.22%, and the percolation of water into the soil of 1.78%, while the water depth 0.45 application meters with 580 minutes long irrigation efficiency values obtained apikasi 97.31%, 99.96% irrigation efficiency, distribution efficiency 97.35%, and the percolation of water into the soil of 2.65%. Keywords: Irrigation groove, Corn, Sirmod III, Irrigation Efficiency
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
75
Pendahuluan Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang keberadaannya semakin bermasalah ke depan bagi peruntukan pertanian, karena: (a) jatah air untuk sektor pertanian relatif semakin berkurang akibat kompetisi dengan keperluan rumah tangga dan industri, (b) kerusakan tata hidrologi kawasan yang berdampak semakin rendahnya proporsi air hujan yang tersedia bagi cadangan air, dan (c) adanya perubahan iklim yang kurang menguntungkan (Suryana dkk, 2008). Sebagian besar daerah yang ada di Sulawesi Selatan memiliki potensi yang baik untuk tanaman jagung seperti kabupaten Bone. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Budi daya jagung tidak hanya di lahan kering pada musim hujan, tetapi juga pada lahan sawah tadah hujan dan lahan sawah pada irigasi musim kemarau, terutama pada areal yang ketersediaan air irigasinya kurang memadai untuk budi daya padi. Pengairan tanaman jagung pada musim kemarau bersumber dari air tanah yang dipompa maupun air permukaan dari jaringan irigasi. Agar distribusi air lebih efektif ke tanaman, petani umumnya membuat saluran air di antara barisan tanaman dengan menggunakan cangkul atau bajak ditarik ternak. Pembuatan saluran dengan cangkul memerlukan waktu 176 jam/ha, sedangkan dengan bajak ditarik ternak 24 jam/ha, dengan tingkat efisiensi irigasi hanya 46,2%(Puslitbangtan, 2003). Dengan perkembangan irigasi dalam bidang pertanian, irigasi alur dianggap penting dan tepat untuk pengairan tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan atau menjelang musim kemarau (Purwono dan Heni, 2011). Berdasarkan uraian di atas, maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian
mengenai “Desain Sistem Irigasi Alur Pada Perkebunan Tanaman Jagung di Kabupaten Bone”. Metode Penelitian Penelitian mengenai “Desain Sistem Irigasi Pada Perkebunan Tanaman Jagung di Kabupaten Bone” dilaksanakan pada bulan September sampai pada bulan November 2012, di Desa Samaelo Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Teodolit, Program SRFR/ SIRMOD III, SURFER, CROPWAT 8.0, CLIMWAT 2.0, GPS, kamera, meterán, parang, linggis, cangkul, Selang air, ring sampel, ring infiltrometer, aluminum foil, timbangan digital, palu, karet pengikat,Water pass, Pompa mesin. Bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu plastik, patok kayu, tali rapia, air, dan tanaman jagung. Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi data untuk ketersediaan air, kebutuhan air irigasi, dan data untuk desain system irigasi, membuat kontur lahan pertanaman dengan aplikasi surfer, menghitung kebutuhan air tanaman berdasarkan iklim dan pola tanam yang diterapkan oleh petani setempat dengan Cropwat, membuat desain saluran irigasi alur, kemudian dilakukan optimasi parameter dengan menggunakan perangkat lunak SIRMOD III dengan mengvariasikan nilai debit atau kecepatan aliran untuk mendapatkan nilai efisiensi irigasi dan efisiensi aplikasi tertinggi dengan keseragam distribusi terbaik sepanjang alur, untuk lebih jalasnya dapat di lihat pada bagan alir berikut :
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
76
Hasil Penelitian Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone secara geografis terletak antara 4°13'- 5°6' LS dan antara 119°42'-120°30' BT, seluas 4.559 km². Secara administratif wilayah kabupaten Bone berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Wajo dan Kabupaten Soppeng, sebelah selatan dengan Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Gowa, sebelah barat dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Barru, dan sebelah timur dengan Teluk Bone. Daerah penelitian merupakan tempat penanaman padi pada MT1 dan MT2 sedangkan pada MT3 yang ditanam adalah jagung. Kondisi dimana ketersediaan air untuk tanaman padi sulit untuk dipenuhi. Penelitian ini dilaksanakan pada perkebunan tanaman jagung di Desa Samaelo, Kecamatan Barebbo.
Gambar 1. Curah hujan rata-rata bulanan (actual dan efektif) di Kabupaten Bone Tahun (20032012). Ketersediaan air di daerah penelitian juga disuplai oleh air dari DI Pattiro dengan distribusi ketersediaan air setiap periode (setengah bulanan) rata-rata selama tahun 2005 – 2012. Nilai debit per periode maksimum terjadi pada bulan Juli seperti disajikan pada Gambar 14.
Ketersediaan Air Salah satu faktor penting dalam pengelolaan air untuk pertanian adalah keseimbangan air di lahan. Jika ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan air di lahan khususnya untuk pertanaman, maka kebutuhan air pertumbuhan tanaman dapat dipenuhi sehingga kekurangan air tidak terjadi dan tanaman tidak berada dalam kondisi cekaman kekurangan air (deficit water stress). Salah satu sumber ketersediaan air adalah hujan yang ditunjukkan dengan nilai curah hujan.
Gambar 2. Nilai debit rata-rata tersedia di DI Pattiro (Tahun 2005 – 2012). Kebutuhan Air Kebutuhan air untuk tanaman (evapotranspirasi, ETcrop) dapat diperkirakan dari data evaporasi atau evapotranspirasi potensial (ETo). Dengan menggunakan rumus Etc = Kc x Eto, maka nilai Etc dapat diketahui, dan dengan acuan ketersediaan air di lahan dan deplesi lengas tanah, maka kebutuhan air irigasi dapat ditentukan/dihitung dengan Software Cropwat 8.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
77
kedalaman efektif pemberian air dan lama pemberian air. Ukuran akar jagung pada fase I 0,11 m, fase II mencapai 0,37 m, sedangkan pada fase III panjang akar 0,45 m. Data tersebut merupakan kedalaman air aplikasi yang akan digunakan sebagai kedalaman air irigasi ke dalam tanah. Gambar 3.
Nilai kebutuhan air tanaman aktual (ETcrop) dan kebutuhan air irigasi (Irr Req)
Pada sistem pertanaman jagung dengan jenis tanah lempung berliat, ketersediaan air dalam tanah sangat stabil mengingat tanah dapat memegang air dengan baik. Selama proses pertanaman jagung dilakukan terlihat bahwa deplesi lengas tanah dapat berproses selama ratarata 15 hari dengan tambahan air hujan yang terjadi dengan nilai curah hujan yang kecil. Namun demikian, pada prakteknya petani memberikan air irigasi setiap 10 hari dengan alasan kekhawatiran akan terjadinya stress kekurangan air bagi tanaman.
Berdasarkan hasil pengukuran infiltrasi di lahan sawah untuk jagung hibrida diperoleh data bahwa untuk waktu pemberian air irigasi dapat dilakukan melalui sistem alur. Laju penetrasi air kedalam lahan mencapai 0.5 mm/detik pada saat awal pemberian air dan selanjutnya menuju konstan pada laju 0,083mm/detik. Bila penjenuhan air diberikan sampai kedalaman maksimum perakaran hasil pengukuran, maka dibutuhkan waktu sekira 120 menit untuk pengaliran air dari saluran ke lahan. Waktu ini melebihi waktu untuk proses infiltrasi (opportunity time).
Gambar 5. Laju infiltasi tanah sawah untuk tanaman Jagung Hibrida Gambar 4.
Nilai retensi air tanah, air tersedia (TAM dan RAM) di lahan pertanaman jagung di Kabupaten Bone
Sistem Pemberian Air Untuk wilayah penelitian di Kabupaten Bone, interval pemberian air di lahan mencapai 10 hari dengan cuaca normal (tanpa hujan). Panjang akar tanaman merupakan salah satu indikator yang penting dalam sistem pemberian air irigasi, karena sangat berkaitan dengan
Ketersediaan air di lahan diukur dengan menggunakan current meter untuk mengukur kecepatan aliran air yang selanjutnya digunakan untuk menentukan debit air tersedia (m3/det). Pada saat yang sama juga diukur kemiringan dasar saluran. Hasil pengukuran debit sesaat di saluran irigasi menunjukkan debit 0,00041 m3/detik.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
78
Simulasi Hasil Berdasarkan Penerapan Petani di Lahan Hasil simulasi irigasi alur yang diterapkan oleh petani menunjukkan kondisi dimana kedalaman air aplikasi pada tahap pertumbuhan awal tanaman sebesar hanya 0,11 m. Pada praktek irigasi yang dilakukan petani pada panjang alur 60 m dengan debit alir 0.00041 m3/s dengan ujung alur tertutup menunjukkan bahwa air terpenetrasi ke dalam tanah sedalam lebih 0,11 m atau sedalam 0,37 m pada titik pemasukan air dan 0,40 m pada ujung alur.
Gambar 6. Kedalaman aplikasi air irigasi di lahan pertanaman jagung di Kabupaten Bone Dari data ini menunjukkan bahwa irigasi yang dilakukan petani belum optimal dalam memanfaatkan air. Apalagi bila air sudah diberi pupuk, maka kehilangan pupuk akibat perkolasi akan menjadi besar karena tidak dapat dijangkau oleh akar tanaman yang hanya sedalam 0,11 m pada tahap pertumbuhan awal. Pada kondisi ini nilai efisiensi irigasi hanya mencapai 36,09%, efisiensi aplikasi 32,48%, dan efisiensi distribusi hanya 32,34%. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 32% air yang termanfaatkan, sementara selebihnya terbuang lewat perkolasi. Pada tahap ke 2 dengan kedalaman perakaran rata-rata mencapai 0,37 m, terdapat perubahan profil aplikasi air dengan debit air yag tetap 0,00041 m3/s pada waktu aplikasi selama 4 jam. Nilai ini dianggap oleh sistem sebagai bentuk penerapan air tak terkontrol, karena
memiliki nilai kedalaman air aplikasi yang kurang di lebih setengah panjang alur sedangkan pada akhir alur mengalami kelebihan air aplikasi.
Gambar 7. Simulasi air aplikasi lahan jagung pada tahap ke-2 mengikuti praktek irigasi petani Dengan dasar ini, maka perlu optimasi desain pemberian air yang dapat meningkatkan efisiensi aplikasi dan nilai efisiensi irigasi. Optimasi dapat dilakukan pada debit aliran, panjang alur, kecepatan alur, dimensi saluran agar diperoleh desain yang tepat. Simulasi Berdasarkan Hasil Desain Desain irigasi alur dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SIRMOD III. Model simulasi yang digunakan adalah tipe hydrodynamic, ujung alur tertutup tanpa penggunaan kembali, bentuk penampang alur parabola atau trapezoidal dan panjang alur 60 m untuk target aplikasi atau kedalaman air aplikasi 0,11 m, 0,37 m, dan 0,45 m. Kedalaman Air Aplikasi 0,11 meter Hasil simulasi irigasi alur yang telah didesain dengan kedalaman air aplikasi pada tahap pertumbuhan awal tanaman sebesar hanya 0,11 m, dengan jarak antar alur dikurangi dari 1,6m menjadi 0,8m dan debit dari 0,00041m3/s menjadi 3 0,0004m /s. Waktu pengairan divariasikan dari 190 menit, 200 menit, 205 menit, dan 210 menit untuk mendapatkan hasil
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
79
simulasi terbaik. Hasil simulasi dapat diamati pada gambar berikut ini.
Gambar 9. Hasil simulasi untuk kedalaman air aplikasi 0,37 meter Gambar
8.
Hasil simulasi untuk Kedalaman Air Aplikasi 0,11 meter.
Dari gambar di atas, untuk lama pengairan 190 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 99,04%, efisiensi irigasi 100%, efisiensi distribusi 98,94%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 1,06%, untuk lama pengairan 200 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 97,72%, efisiensi irigasi 100%, efisiensi distribusi 97,61%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 2,39%, untuk lama pengairan 205 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 95,08%, efisiensi irigasi 98,66%, efisiensi distribusi 95,09%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 4,91%, danuntuk lama pengairan 210 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 98,88%, efisiensi irigasi 100%, efisiensi distribusi 98,88%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 1,12%. Kedalaman Air Aplikasi 0,37 meter Hasil simulasi irigasi alur yang telah didesain dengan kedalaman air aplikasi 0,37 m, dengan jarak antar alur 0,8 m dan debit dari 0,0004m3/s ditingkatkan menjadi 0,0006 m3/s. Lama pengairan divariasikan dari 470 menit, 480 menit, 520 menit, dan 525 menit.
Dari data hasil simulasi di atas pada kedalam air aplikasi 0,37 meter, untuk lama pengairan 470 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 95,58%, efisiensi irigasi 98,59%, efisiensi distribusi 95,38%, dan air yang terperkolasi ke dalam tanah 4,63%, untuk lama pengairan 480 diperoleh nilai efisiensi apikasi 98,27%, efisiensi irigasi 100%, efisiensi distribusi 98,22%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 1,78% untuk lama pengairan 520 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 86,31%, efisiensi irigasi 91,66%, efisiensi distribusi 85,78%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 14,31%, dan untuk lama pengairan 525 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 91,92%, efisiensi irigasi 97,12%, efisiensi distribusi 91,61%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 8,42%. Kedalaman Air Aplikasi 0,45 meter Hasil simulasi irigasi alur yang telah didesain dengan kedalaman air aplikasi 0,45 m, dan debit ditingkatkan menjadi 0,000615 m3/s dengan lama pengairan yang divariasikan dari 550 menit, 580 menit, 600 menit, dan 620 menit.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
80
Gambar 10. Hasil simulasi I untuk kedalaman air aplikasi 0,45 meter. Dari gambar grafik di atas pada kedalaman air aplikasi 0,45 meter, untuk lama pengairan 550 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 97,86%, efisiensi irigasi 100%, efisiensi distribusi 97,72%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 2,28%, untuk lama pengairan 580 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 97,31%, efisiensi irigasi 99,96%, efisiensi distribusi 97,35%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 2,65%, untuk lama pengairan 600 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 90,96%, efisiensi irigasi 96,02%, efisiensi distribusi 90,68%, dan air yang terperkolasi kedalam tanah 9,35%, dan untuk lama pengairan 620 menit diperoleh nilai efisiensi apikasi 89,15%, efisiensi. Dapat diamati bahwa pada semua kedalaman air aplikasi memiliki nilai efisiensi yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman. Pada kedalaman air aplikasi 0,11 m dianjurkan menggunakan lama pengairan 210 menit dengan debit 0,0004 m3/s, pada kedalaman air aplikasi 0,37 m dianjurkan menggunakan lama pengairan 480 menit dengan debit 0,0006 m3/s, dan untuk kedalaman air aplikasi 0,45 meter dianjurkan menggunakan lama pengairan 550 menit atau 580 menit dengan debit 0,000615 m3/s.
adalah 0,00041 m3/detik untuk semua kedalaman air aplikasi, kemudian dalam desain debit berubah sesuai dengan kedalaman air aplikasi (0,0004 m3/detik untuk 0,11 meter, 0,0006 m3/detik untuk 0,37 meter, dan 0,000615 m3/detik untuk 0,45 meter). Waktu yang diterapkan oleh para petani adalah 240 menit untuk semua kedalaman air aplikasi (0,11m, 0,37m, dan 0,45m), kemudian dalam desain waktu pengairan berubah sesuai dengan kedalaman air aplikasi (210 menit untuk 0,11 meter, 480 menit untuk 0,37 meter, dan 550 menit dan 580 menit untuk 0,45 meter).Efisiensi irigasi yang diperoleh berdasarkan hasil desain mencapai 100% sedangkan menurut aplikasi nilai efisiensi irigasi 36%. Berdasarkan penelitian yang telah saya lakukan, saya menyarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan agar diperoleh desain yang lebih maksimal dengan efisiensi distribusi yang lebih merata dari awal pemasukan hingga ujung alur. Daftar Pustaka Achmad, M., 2011. Hidrologi Teknik. Universitas Hasanuddin: Makassar. Brouwer, C., 1988. Irrigation Water Management Irrigation Methods. Training manual no 5. FAO Land and Water Development Division, FAO: Roma. Departemen Pekerjaan Umum, 1986. Petunjuk Perencanaan Irigasi. Direktorat Jenderal Pengairan: Jakarta. FAO,
Kesimpulan dan Saran
2006. Crop Evapotranspiration (guidelines for computing crop water requirements). FAO Irrigation and Drainage Paper No. 56, FAO, Roma.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa debit yang diterapkan oleh para petani Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
81
Kay, M., 1986. Surface Irrigation: Systems and Practice. Cranfield Press, Bedford, UK. Kartasapoetra dan Sutedjo, M.M., 1994. Teknologi Pengairan Pertanian (Irigasi). Bumi Aksara: Jakarta. Walker, W.R., 1989. Guidelines for designing and evaluating surface irrigation system. FAO Irrigation and Drainage Paper No 45, FAO: Roma. Walker, W.R., 2003. Surface Irrigation Simulation, Evaluasi and Design. Utah State University.
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
82
Lampiran
Lampiran 1. Diagram Alir Proses Penelitian
MULAI
KEBUTUHAN AIR TANAMAN
KETERSEDIAAN AIR
DATA CURAH HUJAN
DATA DEBIT IRIGASI
DATA TANAH
DATA TANAMA NAN
DATA IKLIM
CROPWATT 8.0 TOPOGRAFI LAHAN
KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN IRIGASI,WAKTU PEMBERIAN AIR
INFILTRASI
DESAIN SISTEM IRIGASI
SIMULASI DENGAN MENGGUNAKAN SIRMOD III
HASIL
Tidak
Ya SELESAI
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
83
Lampiran 2 : Tampilan Awal Perangkat Lunak SIRMOD III
Jurnal AgriTechno (Vol. 7, No. 1, September 2014)
84
Jurnal AgriTechno Volume 7, No. 1, September 2014 ISSN : 1979 - 7362 Daftar Isi Uraian
Hal
Pengaruh Beberapa Model Pengelolaan Lahan Tanaman Kakao Terhadap Aliran Permukaan Suhardi…………………………………………………………..……… 1 Penentuan Kualitas Kesegaran Ikan Dengan Citra Mata Menggunakan
Support Vector Machine
Arham, I Ketut Eddy Purnama dan Mauridhi Hery Purnomo..…………..
10
Pengolahan Sereal Dan Ikan Produksi Laboratorium Pengembangan Produk Universitas Hasanuddin Bagi Masyarakat Tani Dan Nelayan Dalam Rangka Upaya Peningkatan Pendapatan H. Jalil Genisa ………………………………………………………….. 20 Mempelajari Pola Pengolahan Tanah pada Lahan Kering Menggunakan Traktor Tangan dengan Bajak Rotari Ariesman, Iqbal Salim, Daniel Useng…………………………………….
30
Analisis Jenis Distribusi Curah Hujan dan Kurva Intensity Duration Frequency (IDF) di Kota Makassar Dewy Andryani Fernandus ………………………………………………
40
Karakteristik Penurunan Kadar Air Dan Perubahan Volume Uwi Ungu Selama Pengeringan (Dioscorea Alata L) Andi Surestyana, Junaedi Muhidong, dan Salengke.........................................
49
Perilaku Nilai Brix Pada Berbagai Varietas Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L) di Pabrik Gula Camming Kabupaten Bone Amriani, Junaedi Muhidong dan Iqbal……………………………………
57
Profil Sifat Fisik Buah Markisa Ungu (Passiflora edulis f. edulis Sims) Made Widi Pratiwi KD, Junaedi Muhidong dan Olly .S. Hutabarat..............
65
Desain Sistem Irigasi Alur Pada Perkebunan Tanaman Jagung di Kabupaten Bone Sukri, Mahmud Achmad dan Sitti Nur Faridah............................................... 75