Jurnal
AgriTechno Publikasi Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin
ISSN : 1979 - 7362 Volume 5, No. 1 September 2012
Sekapur Sirih... Bismillahirrahmanirrahim, Jurnal ini merupakan salah satu langkah nyata dalam upaya menumbuhkembangkan jejaring pengetahuan (knowledge networking) dalam bidang teknologi pertanian. Agroindustri dan rekayasa di bidang pertanian merupakan suatu keniscayaan untuk menuju ke tahapan perkembangan pertanian yang lebih maju dan berkelanjutan. Jurnal ini memuat beberapa tulisan tentang agroindustri, teknologi pengolahan bahan pangan, kerekayasaan, keteknikan pertanian dan bidang bidang lain yang berkaitan. Kelompok keilmuan tersebut sangat dibutuhkan oleh negara kita yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Kenyataan yang ada telah menunjukkan bahwa bidang pertanian belum berkembang secara optimal dan berada dalam kondisi yang termarjinalkan, bidang pertanian belum menyediakan banyak pilihan untuk menjadi sandaran hidup, kedaulatan pertanian masih sangat lemah, komponen impor yang masih sangat dominan, termasuk komponen teknologi, pada umumnya bersumber dari luar sistem pertanian. Populasi petani masih lebih banyak hanya sebagai pelaku produksi dan sangat sedikit keterlibatannya dalam agribisnis. Untuk menghilangkan marginalisasi, meningkatkan keragaman pilihan profesi dalam bidang pertanian, menguatkan kedaulatan pertanian dan melakukan transformasi dari petani hanya sebagai pelaku produksi menjadi pelaku agribisnis memerlukan dukungan teknologi dan rekayasa yang berkembang di dalam sistem pertanian kita. Keberadaan jurnal ini diharapkan agar dapat memberi manfaat untuk mencapai hal hal tersebut. Keberadaan jurnal ini juga diharapkan agar dapat menambah wawasan untuk saling bersinergi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian di Indonesia. Selain itu, jurnal ini diharapkan agar dapat menjadi media eksternalisasi hasil hasil penelitian dan teknologi agar hasil penelitian dan teknologi yang telah dicapai dapat diketahui dan diakses oleh masyarakat, agar lebih lanjut dapat menata kehidupannya menjadi lebih maju dan mandiri. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua penulis yang telah memberikan pemikiran pemikiran demi memperkaya muatan keilmuan dalam teknologi dalam jurnal ini. Harapan kami agar jurnal ini dapat lebih berkembang secara berkelanjutan pada masa yang akan datang. Makassar, September 2012 Ketua Jurusan Teknologi Pertanian Prof. Dr. Ir. Mulyati Tahir, MS
Jurnal AgriTechno Jurnal AgriTechno merupakan publikasi resmi Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin. Edisi Perdana terbit pada Bulan April 2008. Jurnal ini ditujukan sebagai wahana publikasi hasil-hasil penelitian dasar dan aplikatif yang bermutu dan orisinil. Jurnal ini memuat artikel ilmiah dalam bidang teknik tanah dan air, teknik pasca panen, bangunan dan lingkungan pertanian, aplikasi elektronika dan sistim kendali, peralatan dan mesin budidaya, energi alternatif dan elektrifikasi, teknik pengolahan pangan dan hasil pertanian, keamanan dan mikrobiologi pangan, bioteknologi, dan kimia pangan. Setiap artikel yang dimuat diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu dan meningkatkan pengetahuan tentang bidang ilmu dan teknologi yang terkait. Makalah yang dimuat dalam jurnal ini harus melalui proses review (penelaahan) dan ditelaah oleh dua orang penelaah ahli. Makalah yang dikirim ke redaksi harus mengikuti panduan penulisan yang tertera pada halaman akhir. Makalah dapat dikirim langsung via e-mail atau dikirim via pos dengan menyertakan hardcopy dan softcopy. Makalah yang dimuat dikenakan biaya penerbitan sebesar Rp 200.000 per makalah. Penulis akan memperoleh satu eksemplar. Harga langganan Rp 100.000 per volume (3 nomor). Pemesanan dapat dilakukan via e-mail, pos, atau langsung ke sekretariat. Susunan Redaksi : Penanggung Jawab : Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan Ketua Jurusan Teknologi Pertanian Dewan Redaksi : Ketua: Iqbal Salim (UNHAS). Anggota: Salengke (UNHAS), Meta Mahendradatta (UNHAS), Daniel (UNHAS), Mariyati Bilang (UNHAS), Helmi A. Koto (UNHAS), Suhardi (UNHAS), Ahmad Munir (UNHAS), Suripin (UNDIP), Budi Rahadjo (UGM), Tineke Mandang (IPB). Redaksi Pelaksana : Ketua: Mahmud Ahmad. Sekretaris: Inge Scorpi Tulliza. Bendahara: Sitti Nur Faridah. Teknologi Informasi: Muh. Tahir Sapsal. Promosi: Haerani. Penyunting: Olly S. Hutabarat. Penerbit : Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin. Alamat : Jurnal AgriTechno, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Kampus Unhas Tamalanrea KM 10 Makassar 90245. Tel.: (0411) 431081, 587-085. Fax : (0411) 586-014. E-mail :
[email protected]. Percetakan : Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS).
PANDUAN UNTUK PENULIS Makalah ditulis menggunakan Microsoft Word dan semua kata/kalimat menggunakan Times New Roman (Font 12). Sebelum menulis makalah, sebaiknya dilakukan formatting sebagai berikut: Klik Format, Paragraph, pilih Spacing untuk Before and After = Auto, dan Line Spacing = Single kemudian pilih Alignment = Left. Struktur penulisan makalah Jurnal AgriTechno secara berurutan adalah: judul; penulis, institusi dan E-mail; abstrak; pendahuluan; bahan dan metode; hasil dan pembahasan; kesimpulan; ucapan terima kasih (optional); daftar pustaka; lampiran (optional.). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan di bawahnya dalam Bahasa Inggris, dengan menggunakan Title Case (Caranya: Klik Format, Change Case dan pilih Title Case). Penulis dan Institusinya ditulis berurutan di bawah Judul, yang ditulis dengan menggunakan Title Case. Bila lebih dari satu penulis, ditulis berurutan di bawahnya. Abstract ditulis dalam bahasa Inggris tidak lebih dari 200 kata dan hanya satu kalimat/paragraf menggunakan Sentence Case. Di bawah Abstract harus diberikan keywords maksimal 5 kata/frase kunci. Abstrak memberikan informasi singkat tentang alasan penelitian dilakukan, tujuan yang ingin dicapai, metode yang digunakan dan hasil yang diperoleh serta apa kegunaannya. Pendahuluan menggunakan Sentence Case yang dimulai dengan menjelaskan alasan dilakukannya penelitian, disusul dengan telaah pustaka yang erat kaitannya dengan penelitian, dan diakhiri dengan penyataan tujuan penelitian dan hasil yang ingin dicapai. Bahan dan Metode menggunakan Sentence Case dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Bila menggunakan metode baku, cukup disebutkan namanya saja tidak perlu dijelaskan lagi. Misalnya, bila menggunakan Regresi Linier tidak perlu menuliskan lagi rumusnya. Bila menggunakan metode pengukuran baku tidak perlu dijelaskan lagi tahap-tahapnya. Bila mengunakan metode yang sama dengan yang ada dalam pustaka, cukup dirujuk saja pustaka tersebut. Bila menggunakan banyak peralatan atau instrumen cukup disebutkan yang berperan penting dalam pengukuran. Bila ada modifikasi rumus matematika seperti penurunan, integral dan lain sebagainya, cukup dituliskan hasil akhirnya saja dengan penjelasan setiap variabel, parameter, konstanta, indeks dan simbol yang digunakan lengkap dengan satuannya. Bila ada gambar rancangan alat, proses atau sistem cukup diberikan sketsa bagian intinya saja secara sederhana agar mudah dimengerti. Hasil dan Pembahasan menggunakan Sentence Case, yang menjelaskan kenapa diperoleh hasil demikian dan apa pengaruhnya terhadap faktor-faktor yang
diperhatikan. Apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan atau ada juga kelainannya. Kesimpulan menggunakan Sentence Case, yang menegaskan apakah tujuan penelitian ini sudah tercapai atau masih ada hal-hal yang belum dicapai. Daftar Pustaka menggunakan Sentence Case. Satu pustaka satu kalimat. Diurut berdasarkan abjad. Usahakan pustaka yang dirujuk merupakan tulisan ilmiah yang telah mempunyai ISSN atau ISBN. Pengiriman Makalah bisa melalui pos dan e-mail. Bila dikirim melalui pos, kirimkan hardcopy sebanyak 1 eksemplar dan filenya dalam bentuk CD atau Disket. Pastikan bahwa file terdiri dari: Text.doc, Table.doc, bila ada bersama dengan sejumlah Picture1.jpg, Picture2.jpg, dan jika ada grafik dalam excel dengan grafik.xls, dan seterusnya. Pada CD atau Disket jangan lupa diberi label nama dan alamat email penulis pertama. Bila ada yang belum jelas langsung tanyakan melalui e-mail ke:
[email protected].
ISSN: 1979-7362 SIMULASI TATAGUNA LAHAN DERDASARKAN TINGKAT BAHAYA EROSI DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI JENEBERANG Deni indrowanto1, Siti Nur Faridah2, dan Totok Prawitosari2 Alumni Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar . 2 Staf Pengajar Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar 1
Abstrak Erosi merupakan proses atau peristiwa yang menyebabkan terlepasnya partikelpartikel tanah sebagai akibat dari tenaga air ataupun tenaga angin. Pola pengelolaan lahan yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada kaidah system konservasi yang tepat, akan berdampak pada kerusakan alam yang ditandai dengan menurunnya tingkat kualitas tanah. Hulu Daerah Aliran Sungai DAS Jeneberang merupakan suatu kawasan yang terletak di areal Pegunungan Bawakaraeng.penelitian ini bertujuan untuk menentukan model penggunaan lahan yang tepat pada lokasi penelitian yaitu tepatnya di bagian hulu DAS Jeneberang, sehingga erosi yang terjadi masih berada pada tahap yang diperkenankan. Besarnya nilai erosi pada penelitian ini di analisis dengan menggunakan model persamaan USLE (E=R.K.LS.C.P), dimana factor vegetasi (C) dan faktor teknik konservasi atau penggunaan lahan (P) yang menjadi factor utama dalam proses simulasi.Skenario simulasi nilai C, P yang dilakukan antara lain :(1) Penghutanan (hutan sedang) (2) Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng < 45 %. (3) Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng< 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi. (4) Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng< 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi + Perttanaman tanaman tahunan pada lahan dengan lereng < 25%. (5) Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng< 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi + Perttanaman tanaman tahunan pada lahan dengan lereng < 25% + Pertanaman tanaman semusim (wortel, kentang, dll) pada lahan dengan lereng < 15%. Dari ke lima model tersebut apabila mengacu pada kriteria yang digunakan dalam pemilihan alternatif model, maka model simulasi ke limalah yang paling tepat untuk menentukan model penggunaan lahan yang optimal, sehingga erosi yang terjadi masih dalam laju yang diperkenankan. Kata Kunci :Simulasi, Erosi, Lahan, DAS PENDAHULUAN DAS merupakan ekosistem yang memerlukan perhatian khusus, terutama didaerah hulu sungai yang terdapat diareal dataran tinggi atau areal pegunungan.Kerusakan alam yang terjadi dibagian hulu dapat berakibat fatal pada daerah hilir, sehingga pola penanganan atau pemanfaatan lahan di sekitar DAS harus dilakukan dengan memperhatikan pola system konservasi yang tepat.DAS Jeneberang merupakan daerah yang mengalirkan air yang jatuh diatas daerah tersebut ke aliran sungai Jeneberang.Sungai Jeneberang sendiri memilki hulu sungai di
sekitar puncak Gunung Bawakaraeng pada ketinggian sekitar 1900 meter diatas permukaan laut (mdpl).Sungai ini mengalir dari tengah pulau Sulawesi bagian Selatan kearah pantai Barat Sulawesi Selatan, melalui waduk Bili-Bili dan bermuara di bagian selatan Kota Makassar.Hal ini menyebabkan DAS Jeneberang seluas 60.762 ha ini membentang dari timur ke barat.Bentuk pola aliran sungai yang dendritik dengan dua cabang sungai besar yaitu Salo Malino di bagian utara dan Salo Kausisi di bagian Selatan, dengan bagian hulu yang lebih luas dan mengerucut ke arah waduk Bili-Bili.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 1
ISSN: 1979-7362 Bentuk morfologi yang menonjol di sekitar hulu DAS Jeneberang adalah kerucut gunung bawakaraeng dan sebagian gunung lompobatang, yang menjulang mencapai ketinggian 2876 mdpl yang tersusun oleh batuan gunung api Pristosen. Sementara bagian hilir DAS Jeneberang yang merupakan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan merupakan dataran rendah yang sebagian besar terdiri dari daerah rawa dan daerah pasang surut.Sungai Jeneberang merupakan salah satu sungai besar yang membentuk dataran di daerah ini. Pada tanggal 24 maret tahun 2004 terjadi peristiwa longsor besar dinding kaldera gunung bawakaraeng dimana volume material yang longsor sebanyak 300 juta meter kubik dan menimbulkan kerugian sangat besar. Peristiwa tersebut terjadi karena kondisi alam pada daerah hulu DAS Jeneberang mengalami kerusakan. Kerusakan alam tersebut diakibatkan oleh pengelolaan areal atau lahan dibagian hulu DAS Jeneberang yang tidak berdasarkan system konservasi yang tepat. Pola pengelolaan lahan yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada kaidah sistem konservasi yang tepat, akan berdampak pada kerusakan alam yang ditandai dengan menurunnya tingkat kualitas tanah yang berada didaerah hulu DAS Jeneberang ayang disebabkan oleh erosi yang berlebihan. Dari berbagai permasalahan yang ada, maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian terhadap laju erosi, di sekitar hulu DAS Jeneberang.Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui teknik pengelolaan lahan yang ideal, agar lingkungan alam tetap terjaga, sehingga kerusakan alam tidak lagi terjadi. Tujuan penelitian ini adalah menentukan model penggunaan lahan yang optimal, sehingga erosi yang terjadi masih dalam laju yang diperkenankan. METODOLOGI Penelitian inidilaksanakan pada bulan Agustus sampai oktober 2009, tepatnya di
daerah Kabupaten Gowa, dan sebagian daerah kabupaten sinjai, selawasi selatan, tepatnya dibagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah 1 unit komputer dengan software ArcView 3.3., Microsoft Excel, dan Microsoft Word.Bahan yang digunakan adalah Peta dalam bentuk digital yaitu berupa Peta Rupa Bumi, Peta Stasiun Penakar Hujan, Peta Penggunaan Lahan, peta lereng, dan Peta Jenis Tanah. Penelitian ini berdasarkan pada perbedaan faktor vegetasi dan faktor teknik konservasi atau penggunaan lahan dengan mengasumsikan nilai-nilai c dan p pada lahan yang akan dilakukan konservasi berdasarkan pada tabel C dan P dalam Arsyad (2006), Sinukaban (1989), dan Asdak (2002), dan faktor lain dianggap seragam. Adapun indikator yang digunakan adalah nilai TSL. Penelitian ini dilaksanakan secara terstruktur dapat dilihat pada Gambar 3. Spesifikasi Masalah
Analisis Kebutuhan
Identifikasi Sistem Pengumpulan Data Fisik
Perumusan Model
Nilai TSL Data Variabel Erosi
Pengolahan Data Variabel Erosi
Perhitungan Nilai Erosi
Skenario C-P
Nilai Erosi Erosi > TSL tertimbang Evaluasi kelayakan Erosi ≤ TSL tertimbang
Model Penggunaan Lahan
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan mencukupkan data sekunder yang
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 2
ISSN: 1979-7362 merupakan variabel penentu besarnya erosi yaitu: • Data stasiun penakar hujan (data 10 tahun terakhir yakni tahun 1998-2008, dari Pos Pengamatan BP DAS Jene berang) • Peta Tanah dan Peta Penutupan Lahan, Kabupaten Goa, skala 1:200.000 ( BP DAS Jene berang) • Peta Rupa Bumi Indonesia, Lembar DAS Jene berang, Skala 1:50.000 (Bakosurtanal, 1992) Tahap selanjutnya yaitu membuat peta daerah lokasi penelitian dengan cara deleniasi peta pada daerah hulu DAS jeneberang. Hasil kombinasi dari jenis peta membentuk suatu peta sementara yang akan dijadikan sebagai peta kerja dalam melakukan penentuan terhadap besar erosi pada lahan di daerah penelitian. Setelah itu kita menetapkan unit lahan yang terdapat pada peta lokasi penelitian berdasarkan iklim, thopografi, serta jenis tanah. Penetapan unit lahan dapat kita lakukan dengan cara mengoverley dari beberapa jenis peta. Setelah itu kemudian kita menghitung besarnya erosi tiap unit lahan. Prediksi erosi tanah dihitung dengan metode USLE dengan formulasi sebagai berikut : E = R.K.LS.C.P dimana : E = Besarnya Erosi Tanah (ton/ha/tahun) R = Faktor Erosivitas Hujan K = Faktor Erodibilitas Tanah LS= Faktor Panjang dan Kecuraman Lereng C = Faktor Penutupan dan Manajemen Lahan P = Faktor Konservasi Tanah Erosi tertimbang =
Unit lahan Luas Total Areal
x Erosi
1. Besarnya Erosi (E) Besarnya erosi permukaan, yang terjadi pada suatu daerah atau wilayah.
2. Erosivitas Hujan (R) Erosivitas hujan adalah intensitas hujan yang dinyatakan dalam mm/jam/hari, yang dihitung dalam rata-rata bulanan dalam duabelas tahun terakhir (1996-2007), dan menggunakan data stasiun curah hujan terdekat. Data curah hujan diperoleh dari badan metereologi dan geofisika, Maros. Faktor R dihitung dengan persamaan: Rm = 6,119 x (Rain) m 1,21 x (Days) m -0,47 x (Max P) m 0,53 Dimana : R m = erosivitas curah hujan bulanan ratarata (EI30) (Rain) m = jumlah curah hujan bulanan ratarata (cm) (Days) m = jumlah hari hujan bulanan ratarata pada bulan tertentu (Max P) m = curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu dalam cm. R = Σ (Rm) m=1 dimana : R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata = jumlah Rm selama 12 bulan 3. Faktor Erodibilitas Tanah (K) Erodibilitas tanah adalah kemampuan tanah menyerap air dan kemampuan tanah menyimpan air yang datang dari aliran permukaan tanah. Penentuan nilai K dalam penelitian ini menggunakan tabel nilai erodibilitas jenis tanah, yang dikemukakan oleh Departemen Kehutanan RI dalam Hardiyatmo (2006) dan Sinukaban (1989). 4. Panjang dan kemiringan Lereng (LS) Panjang dan kemiringan lereng, adalah jarak dari awal terjadinya erosi sampai pada tempat terjadinya sedimentasi. Sedangkan kemiringan lahan adalah persen kelerengan lahan. Nilai LS lokasi penelitian, ditentukan dengan menggunakan formula, dengan terlebih dahulu menentukan panjang dan kemiringan lereng lokasi penelitian. Faktor panjang lereng (L) ditentukan secara matematik sebagai berikut (Arsyad, 2006): S = (0,43 + 0,30 s + 0,04 s2)/6,61
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 3
ISSN: 1979-7362 S = kemiringan lereng aktual (%) LS = L1/2(0,0138+0,00965 S+0,00138 S2) L= panjang kemiringan lereng (m) S= kemiringan lereng (%) 5. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Faktor vegetasi dan pengelolaan tanaman adalah faktor yang meunjukkan keseluruhan pengaruh vegetasi, serasah, kondisi permukaan tanah, dan pengeolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang. Faktor vegetasi dan pengelolaan tanaman ditentukan berdasarkan nilai yang dikemukakan oleh Arsyad (2006) dan Sinukaban (1989). 6. Tindakan Konservasi (P) Tindakan konservasi adalah tindakan mempertahankan kondisi lahan atau areal agar tidak terjadi erosi, yang dapat berimplikasi pada kerusakan lahan. Nilai P, dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan tabel P dalam Arsyad (2006), Sinukaban (1989), dan Asdak (2002). Faktor P merupakan nisbah besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu misalnya diolah menurut arah lereng, penanaman sesuai garis kontur, gulidan teras, yang akan disesuaikan dengan kondisi dilapangan. Erosi yang dipebolehkan atau nilai TSL (Tolerable Soil Loss) diduga dengan menggunakan metode Hammer (1981), dengan mempertimbangkan penelitian Hardjowigeno (2003). Pendugaan nilainya dihitung menurut rumus: Konsep ini, disebut laju TSL yang ditentukan menurut fungsi hubungan yang dikemukakan oleh Hammer (1982) sebagai berikut: KE x FKT
TSL = UGT
Unit lahan TSL tertimbang =
Luas Total Areal
x TSL
Aplikasi model dilakukan dengan metode simulasi dan teknik skenario. Simulasi model disertai dengan asumsiasumsi dasar yaitu: 1. Nilai faktor erosivitas, nilai faktor erodibilitas dan nilai faktor panjang dan kemiringan lereng bersifat tetap. 2. Setelah terjadi perubahan lahan akibat proses alamiah atau disebabkan oleh proses usaha-usaha yang dilakukan oleh manusia. 3. Setelah terjadi perubahan lahan pada areal hulu DAS Jene berang, dilakukan konservasi berupa teras bangku. Simulasi model dengan cara melakukan skenario pada nilai C (nilai faktor penggunaan lahan atau vegetasi) dan P (nilai faktor tindakan konservasi). Scenario nilai C dan P, dalam penelitian ini ditentukan dengan berdasarkan pada tabel C dan P dalam Arsyad (2006), Sinukaban (1989), dan Asdak (2002). Indikator kelayakan model penggunaan lahan yaitu nilai TSL tertimbang. jika erosi tertimbang lebih besar daripada nilai TSL tertimbang, maka akan dilakukan pengulangan simulasi nilai C dan P. Jika erosi tertimbang lebih rendah atau sama dengan nilai TSL tertimbang, maka model penggunaan lahan untuk penanggulangan erosi dikatakan layak. HASIL DAN PEMBAHASAN
DAS Jeneberang memiliki kondisi topografi yang bervariasi mulai dari datar, landai, curam, hingga sangat terjal, tetapi daerah hulu pada umumnya didominasi oleh lereng yang curam antara 3045%.Salah satu penduga penyebab terjadinya erosi yaitu tingkat curah hujan.Pada kawasan hulu DAS Jeneberang tingkat curah hujan yang terjadi cukup tinggi, selain itu daerah tersebut juga Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 4
dimana : TSL : Laju erosi yang masih dapat dibiarkan (ton/ha/tahun) KE : Kedalaman Efektif FKT : Faktor kedalaman tanah sebagai fungsi dari sifat tanah (sub Ordo USDA) UGT : Umur guna tanah (Tahun).
ISSN: 1979-7362 memiliki musim bulan kering. Jenis tanah yang tersebar disekitar kawasan hulu DAS Jeneberang antara lain di dominasi oleh jenis tanah Tropaqueps dengan luas areal 6690.456 ha, Dystrandeps dengan luas areal 5240.388 ha serta jenis tanah Dystropeps dengan luas areal 494.367 ha. Penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang didominasi oleh sebagian hutan seluas 4525.573 ha, semak belukar sebanyak 2950.583 ha, sawah sebanya 2474.881 ha, pertanian lahan kering sebanyak 2169.913 ha serta tanah terbuka sebesar 304.261 ha.Pada umumnya daerah hulu DAS Jeneberang memiliki tingkat erosi yang tinggi, sehingga masih memerlukan penanganan yang tepat untuk menanggulangi erosi yang terjadi pada areal tersebut. Model Prediksi Erosi Metode USLE Erosivitas adalah hal yang paling berpengaruh terhadap proses terjadinya erosi tanah. Bila semakin tinggi curah hujan, maka akan semakin tinggi pula tumbukan air hujan pada permukaan tanah, sehingga akan memperbesar terjadinya erosi percikan. Selain itu, akan memperbesar pula aliran permukaan tanah (run off). Hal tersebut, menyebabkan semakin besar potensi akan terjadinya erosi yang dipercepat pada suatu wilayah yang tidak memiliki tanaman penutup permukaan.Secara umum daerah hulu DAS Jeneberang memiliki intensitas cura hujan yang tinggi.Pada penelitian kali ini nilai erosivitas hujan (R) lokasi penelitian untuk dua stasiun masing-masing stasiun CH Tinggi moncong sebesar 79.099, dan stasiun CH Malino sebesar 112.628.Nilai tersebut di peroleh berdasarkan hasil perhitungan curah hujan harian selama 11 sampai 12 tahun terakhir. Data Curah hujan yang digunakan diperoleh dari stasiun penakar hujan Tinggi Moncong dan stasiun penangkar hujan Malino, kabupaten Gowa.
Gambar 1.Peta Stasiun cura hujan Sumber : Hasil analisa data, 2010. Nilai erodibilitas sangat ditentukan oleh jenis tanah yang terdapat pada areal lokasi penelitian kemudian di sesuaikan dengan tabel nilai K yang sudah ditentukan. Jenis tanah yang ada di areal penelitian yaitu dystrandepts, dystropepts, dan tropaquepts. Tabel 1. Nilai Erodibilitas No 1 2 3
Jenis Tanah dystrandepts dystropepts tropaquepts TOTAL
Nilai Faktor Erodibilitas (K) 0.31 0.21 0.32
Luas Area (ha) 5240.388 494.367 6690.456 12425.211
Sumber : Jenis tanah di lokasi penelitian yang disesuaikan dengan tabel nilai erodibilitas (K) dari beberapa sumber, Departemen Kehutanan RI pada Haryatmo (2006) dan Sinukaban (1989)
Gambar 2.Peta Jenis Tanah Sumber : Hasil analisa data, 2010 Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 5
ISSN: 1979-7362 Daerah lokasi penelitian yaitu tepatnya di areal hulu DAS jeneberang memiliki Panjang dan kemiringan lerengyang sangat bervariasi, mulai dari datar berbukit, datar bergelombang, bergelombang, curam hingga sangat curam. Karena daerah lokasi penelitian berada didaerah hulu DAS, maka Pada umumnya daerah hulu memiliki tingkat kemiringan lereng yang curam. Semakin tinggi tingkat kecuraman lereng maka akan semakin besar nilai erosi yang ditimbulkan apabila daerah tersebut tidak didukung oleh tanaman penutup yang baik. Tabel 2. Nilai faktor panjang dan kemiringan lereng beserta luasannya pada lokasi penelitian. N o
kelas lereng
LS
Kelas B ( 3 - 8 % )
0.74
158.175
2
Kelas C ( 9 - 15 % )
2.12 - 4.19
3253.705
3
Kelas D ( 16 - 25 % )
5.77 - 11.18
3522.522
4
Kelas E ( 26 - 45 % )
13.66 - 31.10
4066.701
5
Kelas F ( > 45 % )
33.78 - 108.05
1424.108
Sumber
:
No
LANDUSE
1
sawah
2 3
semak belukar Pertanian Lahan Kering Hutan Sekunder Tanah Terbuka
4 5
TOTAL
Sumber
luas area (ha)
1
TOTAL
hutan sekunder berupa hutan alam dengan serasah banyak yaitu sekitar 4525.573 ha. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 . Nilai faktor penggunaan lahan dan konservasi beserta luasannya pada lokasi penelitian. Nilai Faktor (c)
LUAS AREA
0.01 0.30
2474.881 2950.583
0.40
2169.913
0.05
4525.573
0.30
304.261 12425.21
: Jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian, yang disesuaikan dengan tabel C dari beberapa sumber, Arsyad (2006).
12425.211
Hasil analisa data, 2010.
Gambar 4. Peta Penggunaan Lahan Sumber : Hasil analisa data, 2010 Prediksi Erosi
Gambar 3. Peta Lereng Sumber : Hasil analisa data, 2010 Besarnya nilai faktor C sangat ditentukan oleh tanaman penutup yang ada pada lokasi areal penelitian. Penggunaan lahan pada lokasi penelitian memiliki variasi yang berbeda dengan didominasi
Untuk mengetahui besarnya nilai prediksi erosi tanah dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu tahap analisis keseragaman lahan untuk memperoleh unitunit lahan yang relatif seragam.Hasil tahap pertama tersebut diperoleh 189 unit lahan.Tahap kedua adalah memprediksi laju erosi tanah masing-masing unit lahan dengan menggunakan parameter-parameter yang merupakan komponen metode USLE.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 6
ISSN: 1979-7362 Besarnya nilai erosi tanah maksimum yang dapat diperkenankan (Tolerable Soil Loss) perlu diketahui dengan maksud untuk mengetahui batasan tanah yang hilang sebagai jaminan produktifitas tanah yang optimal dan terciptanya pemanfaatan tanah yang lestari.Nilai TSL setiap model penggunaan lahan terdapat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Nilai Tolerable Soil Loss (TSL) pada Lokasi Penelitian No
JENIS TANAH
KE
UG
FK
TSL
LUAS (ha)
1
tropaquepts
1500
400
0.95
35.63
494.367
2
dystrandepts
1500
400
1.00
37.50
5240.388
3
dystropepts
1500
400
1.00
37.50
6690.456
4
TOTAL
12425.211
Sumber : Hasil Analisa Data, 2010 Gambar 5. Peta Sebaran nilai TSL Sumber : Hasil Analisa Data, 2010 Nilai TSL setiap jenis tanah pada Tabel 4 lebih kecil dibanding hasil perhitungan prediksi erosi sebagian besar unit lahan.Dengan demikian, diperlukan penggunaan dan pengelolaan lahan untuk dapat menekan laju erosi yang diperoleh hingga mencapai nilai yang lebih kecil atau sama dengan TSL pada setiap jenis tanah pada lokasi penelitian.
Hammer (1981), menyatakan bahwa tingkat bahaya erosi pada suatu lahan dapat dievaluasi dengan membandingkan jumlah erosi yang terjadi terhadap erosi yang diperbolehkan dari lahan tersebut. Mengetahui besarnya nilai tingkat bahaya erosi adalah salah satu tujuan dalam memprediksi erosi pada suatu lahan.Dengan diketahuinya perkiraan jumlah erosi pada suatu lahan maka selanjutnya dapat diketahui tingkat bahaya atau ancaman dari erosi yang terjadi di lahan tersebut. Tingkat bahaya erosi menekankan bahwa kehilangan tanah pada level atau jumlah tertentu akan memberikan pengaruh yang berbeda pada satuan unit lahan, tergantung tingkat toleransi tanah tersebut terhadap erosi, tanah-tanah dengan solum sangat dalam (>1.5m) serta topsoil yang tebal akan memiliki nilai toleransi yang tinggi dibanding tanah-tanah dengan solum dan top soil yang tipis. Dengan demikian, nilai jumlah kehilangan tanah yang sekecilpun kadang-kadang memiliki resiko yang sangat besar terhadap lahan bersangkutan jika tanah pada unit tersebut memiliki solum dan topsoil yang tipis.Tingkat bahaya erosi sering dikaitkan dengan umur guna tanah. Dengan demikian jika besarnya erosi yang diperbolehkan telah diketahui, maka selanjutnya dapat ditetapkan indeks atau tingkat bahaya erosi dengan persamaan 𝑒𝑟𝑜𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑇𝐵𝐸 = 𝑇𝑆𝐿 Tabel 5. Nilai Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Lokasi Penelitian No
TBE
TOTAL (Ton/Tahun)
EROSI
LUAS AREA (ha)
1
Rendah
50238.91
8375.742
2
Sedang
218221.87
2579.904
3
Tinggi
131911.99
676.291
570384.89
889.701
970757.66
12521.638
4
Sangat Tinggi TOTAL
Sumber : Hasil Analisa Data, 2010
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 7
ISSN: 1979-7362 itu. Pertimbangan selanjutnya yaitu Tolerable Soil Loss (TSL) tertimbang. Skenario CP yang di eksperimenkan diusahakan menekan ancaman erosi yang terjadi pada areal tersebut. Konstruksi konservasi secara mekanik dengan teras bangku memiliki nilai faktor P sebesar 0,04 (Arsyad, 2006). Pada kondisi lahan terbuka, maka faktor C di skenariokan dengan penanaman vegetasi. Penanaman vegetasi diarahkan pada penggunaan vegetasi yang tepat dan Gambar 6. Peta Nilai TBE Hulu DAS disesuaikan dengan pertimbangan Jeneberang kemampuan lahan. Skenario penggunaan Untuk lahan yang memiliki nilai erosi lahan dengan penghutanan bertujuan untuk yang lebih besar dari nilai TSL maka perlu mengembalikan areal konsesi dilakukan Permodelan skenario pertambangan ke kondisi awal sebelum penggunaan lahan, Sehingga erosi yang dilakukan eksploitasi penambangan yang terjadi masih dalam tahap yang pada awalnya didominasi oleh hutan. Hutan diperkenankan. Skenario CP alam berfungsi untuk turut membantu dan dieksperimenkan dengan berbagai mencegah erosi yang berlangsung secara penggunaan lahan yang secara cepat. Seperti halnya yang diungkapkan berkelanjutan dapat memulihkan kerusakan Kartasapoetra (2000) bahwa hutan pada lahan maupun pencegahan terhadap umumnya berperan untuk: (1) menghalangi kerusakan lahan yang akan terjadi ke tumbukan-tumbukan langsung butir-butir depan. Nilai Faktor CP adalah nilai hujan sehingga daya tumbuk butir-butir kombinasi antara pengendalian erosi hujan tersebut telah dapat/sangat direduksi; metode vegetatif dan mekanik. Asdak (2) mengurangi kecepatan aliran (2002) mengungkapkan teknik konservasi permukaan (run off) dan melindungi yang paling banyak dilakukan adalah pengikisan-pengikisan oleh aliran kombinasi antara cara vegetatif dan cara permukaan; (3) mendorong perkembangan mekanik. Usaha untuk memantapkan biota tanah yang dapat memperbaiki sifat jurang yang disebabkan oleh erosi parit, fisik dan kimia tanah, dan akar-akarnya misalnya diperlukan penanaman vegetasi. dapat mempengaruhi sedemikin rupa, Untuk dapat tumbuh dengan baik, vegetasi kapasitas infiltrasi tanah pun menjadi tersebut memerlukan pra kondisi yaitu meningkat sehingga aliran air permukaan keadaan tanah yang stabil. menjadi berkurang; (4) berperan menambah Model pengunaan lahan sebagai bentuk bahan organik tanah, dan resistensi tanah penanggulangan erosi dilakukan dengan terhadap erosi menjadi bertambah. pertimbangan (1) prioritas pada lahan usaha Skenario penggunaan lahan hutan tani; (2) lebih banyak melibatkan produksi dengan tumbuhan bawah penutup masyarakat tani; (3) menerapkan tindakan tanah bertujuan untuk menekan erosi yang pengelolaan yang wajar (appropriate), dipercepat khususnya pada daerah dengan murah dan mudah untuk dilaksanakan. lereng curam agar pengendalian erosi dapat Penerapan penggunaan lahan juga maksimal. Kondisi lahan yang sebagian disesuaikan dengan pertimbangan cenderung curam, masih memiliki potensi kemampuan lahan. Rahim (2000) untuk mempercepat erosi maka penutupan menyatakan bahwa penggunaan lahan tanah perlu dimaksimalkan dengan secara tepat guna dan berhasil guna hanya tumbuhan bawah penutup. Seta (1987) akan terjadi bila dilakukan berdasakan menyatakan bahwa pertajukan tanaman kemampuan alami yang dimiliki oleh lahan Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 8
ISSN: 1979-7362 utama yang tumbuh pada suatu areal tertentu, jika berlapis dengan tanaman penutup lahan dan serasah akan memberikan ketahanan berganda terhadap pukulan butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Hutan produksi yang dimaksud diarahkan pada hutan produksi tebang pilih, agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Penggunaan lahan dengan model demikian mengupayakan pemanfaatan lahan oleh masyarakat tani dan mengurangi potensi erosi yang akan dipercepat. Penanaman tanaman tahunan dan tanaman semusim selain sebagai langkah konservasi juga bertujuan sebagai komoditi petani. Tanaman-tenaman tersebut cukup resisten terhadap erosi. Dukungan konstruksi teras bangku pada areal pertanaman semusim pada lereng demikian mengurangi erosi yang dipercepat. Tabel 6. Skenario CP No
Kenario CP
Keteranga n
1
Tanpa tindakan pengelolaan
-
2
Penghutanan (hutan sedang)
Simulasi 1
3 4
5
6
Penghutanan + Hutan produksi pada lereng< 45 % Penghutanan + Hutan produksi pada lereng< 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi Penghutanan + Hutan produksi pada lereng< 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi + Perttanaman tanaman tahunan pada lahan dengan lereng < 25% Penghutanan + Hutan produksi pada lereng< 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi + Perttanaman tanaman tahunan pada lahan dengan lereng < 25% + Pertanaman tanaman semusim (wortel, kentang, dll) pada lahan dengan lereng < 15%
Tabel 7. Erosi total Luas daerah yang disimulasikan dan yang tidak disimulasikan No
AREA
TOT_EROSI (ton/tahun)
LUAS (ha)
1
Disimulasikan
921153.6
4145.896
2
Tidak Disimulasi
50238.91
8375.742
TOTAL
971392.51
12521.638
Sumber : Hasil Analisa Data, 2010.
Gambar 6 . Peta sebaran daerah simulasi Sumber : Hasil Analisa Data, 2010 Tabel
Simulasi 2 Simulasi 3
Simulasi 4
Simulasi 5
8.
Konstribusi erosi berbagai simulasi skenario CP pasca eksploitasi pada areal konsesi pertambangan
No
SKENARIO SIMULASI
1
EROSI_AWAL
971392.51
2
SIMULASI_1
63630.38
3
SIMULASI_2
268754.24
4
SIMULASI_3
62577.46
5
SIMULASI_4
64891.72
6
SIMULASI_5
64852.81
Erosi Total (ton/tahun)
Sumber : Hasil Analisa Data, 2010.
Sumber : Hasil Analisa Data, 2010 Hasil simulasi dengan berbagai skenario CP menunjukkan bahwa terdapat 6 model penggunaan lahan untuk penanggulangan erosi pada areal hulu DAS jeneberang. Unit Lahan yang sudah memiliki nilai nilai erosi lebih kecil atau sama dengan nilai TSL tidal akan disimulasikan lagi. Besarnya lahan yang disimulasi dan yang tidak disimulasi dapat dilihat pada Tabel 7.
Gambar 7. Peta simulasi 1
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 9
ISSN: 1979-7362 Sumber
Sumber
: Hasil Analisa Data, 2010
Gambar 8.Peta Simulasi 2 : Hasil Analisa Data, 2010
Gambar 9. Peta simulasi 3 Sumber : Hasil Analisa Data, 2010
Sumber
Gambar 10. Peta simulasi 4 : Hasil Analisa Data, 2010
Gambar 11. Peta simulasi 5 Sumber : Hasil Analisa Data, 2010 Tindakan penanggulangan erosi berdasarkan hasil simulasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tanpa tindakan dengan luas areal 12521.638 ha 2. Penghutanan (hutan sedang) dengan luas area 4145.896 ha 3. Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng < 45 % dengan luas area 4145.896 ha 4. Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng < 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi dengan luas area 4145.896 ha 5. Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng < 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi + Perttanaman tanaman tahunan pada lahan dengan lereng pada lahan dengan lereng < 25% dengan luas area 4145.896 ha 6. Penghutanan + Hutan produksi pada lahan dengan lereng < 45 % + Penutupan tanah sebagian pada areal hutan produksi + Perttanaman tanaman tahunan pada lahan dengan lereng < 25% + Pertanaman tanaman semusim (wortel, kentang, dll) pada lahan dengan lereng < 15% dengan luas area 4145.896 ha. Pada prinsipnya tindakan konservasi dengan menggunakan model pendekatan pada simulasi diatas mengacu pada nilai TSL yang ada pada masing masing unit lahan. Nilai TSL digunakan sebagai indikator layak atau tidak layaknya model penggunaan lahan. Apabila nilai erosi lebih besar dibanding nilai TSL, maka simulasi model penggunaan lahan dikatakan tidak layak. Model penggunaan lahan dikatakan layak apabila nilai erosinya lebih kecil atau sama dengan nilai TSL yang ada pada setiap unit lahan. Gambar peta untuk simulasi 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 dapat dilihat pada Gambar 9, 10, 11, 12, 13, Peta Simulasi Tataguna Lahan.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 10
ISSN: 1979-7362 KESIMPULAN Dari keenam model dengan lima simulasi maka simulasi ke limalah yang paling tepat untuk menentukan model penggunaan lahan yang optimal, sehingga erosi yang terjadi masih dalam laju yang diperkenankan.
Mitchel, K.J., 1975. Dynamic and Simulated Yield of Douglas-Fir in The Society of American Foresters. Printed in the United States of America. Overcash, M., and J. Davidson, 1980. Environmental Impact of Nonpoint Source Pollution.Ann Arbor Science Publishers Inc., Ann Arbor, USA.
DAFTAR PUSTAKA Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjamada University Press, Yogyakarta. Arsyad, S., 2006.Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haan, C.T., Johnson, H. P. and Brakensiek, D. L., 1982. Hydrologic Modelling of Small Watersheds.An ASEA Monograph.American Society of Agricultural Engineers. Hardjowigeno, S., 2003.IlmuTanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Jeffers, J.N.R. 1978. An Introduction to System Analysis ; With Ecological Applications, London : Edward Arnold Publ., Ltd. Kartasapoetra, A.G., 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Rineka Cipta, Jakarta. Kartasapoetra, A.G.,1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Untuk Merehabilitasinya, Bina Aksara, Jakarta.
Paembonan, S., 1982.Analisis Sistem Biofisik daerah Aliran Sungai.Desertasi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pairunan, A.K., J. L. Nanere, Arifin, S. S. R. Samosir, R. Tangkaisari, J. R. Ibrahim dan H. Asmadi, 1997. Dasar– dasar Ilmu Tanah, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Makassar. Russel, E. W., 1988. Soil Condition and Plant Growt, Elevent Edition. English Language Book Society/Longman, Ovan. Soerianegara, I., 1978. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Buku II. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Stallings, Jr., 1857. Soil Conservation, Prentice Hall Inc, Englewood Cliff. New York. Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi, Yogyakarta. Utomo, W. H., 1989. Konservasi tanah di Indonesia Suatu Rekanan dan Analisis.Rajawali Press, Jakarta.
Menetsch, T.J., and G.L. Park, 1997.System Analysis and Simulation Wischmeier, W. H. and D. D., 1978.Predicting Rainfall Erosion With Applications to Economic and Social System, Part I.Departement of Losses- A Guide to Conservation Electrical and System Science Planning.USDA Agriculture Michigan state University, Michigan. Handbook No. 537, Washington. Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 11
ISSN: 1979-7362 UJI KINERJA PEMBANGKIT LISTRIK SISTEM HIBRID TENAGA ANGIN – MATAHARI DI KABUPATEN BANTAENG Mistianto1, Ahmad Munir2, dan Abdul Waris2 Alumni Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar . 2 Staf Pengajar Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar 1
ABSTRAK Pembangkit listrik sistem hibrid terdiri atas dua bagian utama, yaitu pembangkit listrik tenaga surya dan kincir angin.. Pembangkit listrik tenaga surya terdiri atas dua buah modul solar collector yang mengubah energi matahari secara langsung menjadi energi listrik. Pembangkit listrik tenaga angin terdiri atas sebuah turbin. Angin yang berhembus akan menggerakkan bilah kincir (blade), kemudian memutar sudut turbin yang dihubungkan oleh sebuah poros ke generator. Listrik dari kedua pembangkit kemudian ditampung pada baterai penyimpanan dan dialirkan ke sebuah inverter sebelum akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menjalankan lampu dan peralatan elektronik lainnya. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap input sistem yang meliputi kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari, dan output sistem: arus listrik, tegangan listrik yang dihasilkan per unit pembangkit listrik dan tegangan listrik gabungan yang dihasilkan oleh sistem pembangkit hibrid. Data hasil pengukuran selanjutnya dianalisis untuk mengetahui efisiensi dan kapasitas input – output sistem pembangkit hibrid. Berdasarkan hasil penelitian, Panel Surya pada sistem pembangkit hibrid dapat menghasilkan tegangan secara kontinyu, sedangkan Kincir angin hanya dapat menghasilkan tegangan jika kecepatan angin >2.8 m/s, di bawah itu angin tidak mampu untuk memutar bilah kincir sehingga tidak menghasilkan tegangan sama sekali. Kapasitas Input Total Pembangkit Listrik Sistem Hibrid Tenaga Angin – Matahari sebesar 12.6 Ah, sedangkan kapasitas Output hanya 11.7 Ah. Hasil ini menunjukkan kinerja positif dari pembangkit listrik sistem hibrid yang terpasang. Kata Kunci : Pembangkit, listrik, system hybrid, tenaga angin-matahari PENDAHULUAN
Upaya – upaya pencarian sumber energi alternatif selain fosil menyemangati para peneliti di berbagai negara untuk mencari energi lain yang kita kenal sekarang dengan istilah energi terbarukan. Energi terbarukan dapat didefinisikan sebagai energi yang secara cepat dapat diproduksi kembali melalui proses alam. Energi terbarukan meliputi energi air, panas bumi, matahari, angin, biogas, biomass serta gelombang laut. Beberapa kelebihan energi terbarukan antara lain: Sumbernya relatif mudah didapat, dapat diperoleh dengan gratis, minim limbah, tidak mempengaruhi suhu bumi secara global, dan tidak terpengaruh oleh kenaikkan harga bahan bakar (Rosenberg et al, 1983).
Energi adalah salah satu tantangan yang kita hadapi pada abad 21 ini. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Professor Ricards Smalley dari Rice University mengenai masalah terbesar yang akan dihadapi manusia untuk 50 tahun mendatang, ternyata energi menduduki peringkat pertama. Cadangan sumber energi fosil di seluruh dunia terhitung sejak 2002 yaitu 40 tahun untuk minyak, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara. Dengan keadaan semakin menipisnya sumber energi fosil tersebut, di dunia sekarang ini terjadi pergeseran dari penggunaan sumber energi tak terbaharui menuju sumber energi yang terbahurui (Anonim B, 2009). Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
12
ISSN: 1979-7362 Kombinasi dari penggunaan listrik tenaga angin, tenaga surya, dan tenaga micro hidro mampu mengatasi krisis energi dan mengurangi pencemaran lingkungan. Untuk tenaga angin selama kincir berputar maka suplai listrik terus terpenuhi walau hari sudah gelap. Ingatlah bahwa matahari meradiasi 1,74 x 1.014 kWh ke bumi setiap jam. Jadi bumi menerima 1,74 x 1.017 watt. Kelemahan listrik tenaga angin pada bunyi bising kincir dan resiko tersambar petir serta tidak cocok untuk daerah jalur penerbangan. Apalagi kalau banyak yang bermain layang - layang atau banyak burung terbang jadi mudah tersangkut. (Anonim H, 2009). Pengembangan pembangkit listrik tenaga angin dan surya, baik secara terpisah maupun secara hibrid di pedesaan sangat dibutuhkan, terutama dengan melihat sulitnya akses listrik dari PLN untuk daerah – daerah terpencil, sehingga pengembangannya diharapkan dapat berkelanjutan secara mandiri. Listrik yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan rumah tangga seperti penerangan dan kegiatan agroindustri skala rumah tangga seperti pada proses pengeringan hasil pertanian, sortasi, sumber energi pada mesin penetas pada usaha peternakan unggas, dan lain – lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar potensi listrik di Desa Bontolojong, Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik setempat dengan menggunakan pembangkit listrik sistem hibrid tenaga angin – matahari. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dan rujukan bagi para stake holder dalam penyediaan sumber listrik alternatif yang ramah lingkungan untuk daerah – daerah terpencil.
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bontolojong, Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan berlangsung pada bulan Oktober – November 2009. Bahan dan Alat Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. 2 Buah Panel Surya kapasitas @50 Wp b. 1 Set Turbin Angin dengan kincir, kapasitas 300 W c. 2 Buah Baterai (aki), kapasitas @60 Ah d. 1 Buah Inverter, kapasitas daya 500 watt e. 6 buah lampu CFL @5 watt Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Anemometer digital b. Avometer analog c. Pyranometer d. Multimeter digital Metodologi Penelitian Uji kinerja pembangkit listrik sistem hibrid tenaga angin – matahari meliputi pengukuran terhadap input sistem : kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari, dan output sistem: arus dan tegangan listrik yang dihasilkan pembangkit hibrid. Untuk mengetahui kemampuan sistem dalam penyediaan tenaga listrik, dilakukan uji pembebanan dengan menggunakan 6 unit lampu CFL @5 watt. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa secara deskriptif.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 13
ISSN: 1979-7362 Prosedur Penelitian Adapun pengamatan dan pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut:
•
a. Pengamatan Terhadap kinerja pembangkit listrik tenaga angin: • Pembangkit diinstall dan dioperasikan. • Mengukur kecepatan angin di areal pembangkit setiap 30 menit selama 7 jam (pukul 09.00 – 16.00). • Mengukur tegangan yang dihasilkan sebelum dihubungkan ke kontrol daya (charge controller) setiap 30 menit selama 7 jam (pukul 09.00 – 16.00). b. Pengamatan Terhadap kinerja pembangkit listrik tenaga matahari: • Pembangkit dioperasikan dalam kondisi di bawah sinar matahari langsung. • Mengukur intensitas radiasi matahari di areal pembangkit setiap 30 menit selama 7 jam (pukul 09.00 – 16.00). • Mengukur tegangan yang dihasilkan sebelum dihubungkan ke kontrol daya (charge controller) setiap 30 menit selama 7 jam (pukul 09.00 – 16.00).
30 menit selama 7 jam (pukul 09.00 – 16.00). Tegangan listrik pada Inverter diukur pada kondisi pembangkit listrik tanpa dimuati beban.
d. Pengamatan pemakaian daya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit hibrid. • Mengukur daya tersimpan pada baterai. • Menyalakan semua lampu CFL secara bersamaan dan mengukur arus dan tegangan. • Mencatat lama waktu yang digunakan hingga daya pada baterai habis dan lampu padam. Analisis Data
c. Pengamatan terhadap kinerja gabungan pembangkit listrik sistem hibrid tenaga angin – matahari: • Kedua pembangkit dioperasikan bersama – sama. • Mengukur kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari di areal pembangkit setiap 30 menit selama 7 jam (pukul 09.00 – 16.00). • Mengukur tegangan listrik dan arus output pada Inverter setiap Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
a. Menghitung daya input pada sistem pembangkit hibrid b. Menghitung daya output pada sistem pembangkit hibrid. c. Menghitung durasi pemakaian daya pada baterai penyimpanan. d. Membandingkan besar kapasitas input dan output pada sistem pembangkit hibrid untuk mengetahui efisiensi sistem, hal – hal yang menjadi indikator adalah sebagai berikut: 1. Kapasitas Input >> Kapasitas Output (Ah in >> Ah out ), artinya bahwa sistem pembangkit sangat efisien dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut. Besar kapasitas daya yang dihasilkan mampu untuk memenuhi kebutuhan beban listrik yang dibutuhkan. 2. Kapasitas Input = Kapasitas Output (Ah in = Ah out ), artinya bahwa sistem pembangkit mampu menutupi kebutuhan beban listrik yang dibutuhkan, namun sistem ini kurang layak untuk dikembangkan karena 14
ISSN: 1979-7362 cadangan energi untuk backup tidak ada. 3. Kapasitas Input < Kapasitas Output (Ah in < Ah out ), artinya bahwa sistem pembangkit listrik tidak mampu memenuhi kebutuhan beban yang dibutuhkan, sehingga tidak layak untuk dikembangkan lebih lanjut. Jika sistem pembangkit ini telah terpasang, kemungkinan ada kesalahan pada saat dilakukan survey lokasi, atau kesalahan pada proses installasi pembangkit. Nilai ideal perbandingan Kapasitas Input - Kapasitas Output adalah: Ah in = 3Ah out .
hari hujan berkisar 71 hari pada tahun 2004. Musim hujan dengan angin barat jatuh pada bulan Oktober sampai September. Dengan adanya kedua musim tersebut sangat menguntungkan bagi sektor pertanian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Lokasi Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak sekitar 120 km arah selatan Makassar, Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan dengan posisi 5o21'13" 5o35'26" Lintang Selatan dan 119o51'42" 120o05'27" Bujur Timur. Kabupaten Bantaeng sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Bulukumba. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba. Di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto. Letak geografi Kabupaten Bantaeng yang strategis memiliki alam tiga dimensi, yakni bukit pegunungan, lembah dataran dan pesisir pantai. Dengan dua musim dan perubahan iklim setiap tahunnya yang dikenal di daerah ini dengan nama musim barat antara bulan Oktober sampai dengan bulan Maret dan musim timur antara bulan April sampai bulan September. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan tahunan ratarata setiap bulan 56,25 mm dengan jumlah
Gambar 2 : Peta Kec. Uluere Kabupaten Bantaeng Deskripsi Pembangkit Listrik Sistem Hibrid Pembangkit listrik sistem hibrid terdiri atas dua bagian utama, yaitu pembangkit listrik tenaga surya dan kincir angin sebagai pembangkit listrik tenaga angin. Pembangkit listrik tenaga surya terdiri atas dua buah modul solar collector yang mengubah energi matahari secara langsung menjadi energi listrik. Energi pada cahaya matahari berbentuk radiasi elektromagnetik dari gelombang panjang (infra merah) sampai gelombang pendek (ultraviolet). Pembangkit listrik tenaga angin terdiri atas sebuah turbin. Angin yang berhembus akan menggerakkan bilah kincir (blade), kemudian memutar sudut turbin yang dihubungkan oleh sebuah poros ke generator.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 15
ISSN: 1979-7362 Panel surya yang terpasang pada sistem pembangkit berjumlah 2 buah dengan kapasitas tegangan masing – masing sebesar 12 volt. Kedua panel dirangkai secara seri sehingga besar kapasitas tegangannya menjadi sekitar 24 volt. Tegangan sebesar ini diharapkan mampu untuk membangkitkan daya sebesar kurang lebih 100 watt. Listrik yang dihasilkan dari kedua pembangkit disalurkan ke sebuah kontrol daya (Charge Controller). Kontrol daya berfungsi untuk mengatur tegangan dan arus dari panel surya dan turbin kincir ke baterai penyimpanan. Kontrol daya adalah komponen penting pada kebanyakan sistem pengisian daya diatas 10 W. Kontrol daya melindungi baterai dari bahaya kelebihan beban dan melindungi panel lain dari aliran arus balik. Untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan oleh kedua pembangkit listrik, dibutuhkan sebua baterai penyimpanan yang bersifat bisa diisi ulang. Baterai penyimpanan yang digunakan pada sistem pembangkit ini berjumlah 2 buah dengan kapasitas 12 volt dan 60 Ah. Kedua baterai dipasang seri sehingga kapasitas total baterai menjadi 24 volt. Energi listrik yang tersimpan dalam baterai masih berupa listrik arus DC, agar bisa dimanfaatkan untuk menjalankan peralatan elektronik yang menggunakan arus AC, dibutuhkan sebuah inverter untuk mengubah arus listrik DC menjadi AC. Selanjutnya listrik telah siap digunakan untuk menjalankan peralatan – peralatan elektronik rumah tangga seperti radio, televisi, dan lain – lain.
Gambar 3 : Pembangkit Listrik Tenaga Surya terpasang.
Gambar 4 : Pembangkit Listrik Tenaga Angin terpasang. Kinerja Pembangkit Listrik Tenaga Surya Gambaran kinerja pembangkit listrik tenaga surya di lapangan diperoleh melalui pengukuran tingkat radiasi matahari yang dikonversi menjadi tegangan dan arus listrik yang mengalir dari panel surya menuju inverter. Pengukuran dilakukan setiap 30 menit dari pukul 09.00 sampai pukul 16.00 setiap hari selama satu minggu.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 16
ISSN: 1979-7362 Tabel 1 : Hasil rata – rata pengukuran pada pembangkit tenaga surya.
9:00 977.29 24.36 1.03 9:30 884.14 23.59 1.36 10:00 961.86 23.03 1.21 10:30 881.71 23.06 1.49 11:00 973.86 25.27 1.23 11:30 950.29 25.59 0.78 12:00 965.00 25.23 0.76 12:30 883.86 25.03 0.77 13:00 644.14 25.33 0.91 13:30 805.71 24.11 0.85 14:00 909.57 25.31 0.65 14:30 884.57 25.41 0.66 15:00 870.57 24.77 0.67 15:30 839.29 24.21 0.64 16:00 681.00 23.84 0.47 R 874.19 24.54 0.90 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2009
Tegangan (volt)
I (Amp)
Gambar 6 : Rata – rata hasil pengukuran tegangan pada sel surya.
Arus (Amp) 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
Jam Pengamatan
16:00
15:00
14:00
13:00
12:00
11:00
10:00
Gambar 7 : Rata – rata hasil pengukuran arus pada sel surya. 9:00
Radiasi (W/m2)
Intensitas Radiasi (W/m2) 1200,00 1000,00 800,00 600,00 400,00 200,00 0,00
26,00 25,00 24,00 23,00 22,00 21,00
Jam Pengamatan
Kuat Arus (Amp)
Pukul
V (Volt)
Q (W/m2)
Tegangan (Volt)
Jam Pengamatan
Gambar 5 : Rata – rata hasil pengukuran tingkat radiasi matahari.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai rata – rata radiasi matahari sebesar 874.19 W/m2, rata – rata tegangan dan arus yang omasuk pada baterai sebesar 24,54 Volt dan 0,90 Amp. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa nilai radiasi matahari terbesar diperoleh pada pagi hari hingga menjelang siang (pukul 09.00 – 11.00) dan berangsur turun pada siang hari hingga sore hari. Hal ini disebabkan karena pada pagi hari langit masih bersih dari partikel – partikel uap air (kabut), sedangkan pada siang hingga sore hari nilai radiasi matahari berkurang karena kabut mulai turun sehingga secara langsung ikut mempengaruhi tingkat radiasi yang sampai ke permukaan bumi.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 17
ISSN: 1979-7362
Kinerja Pembangkit Listrik Tenaga Angin Gambaran kinerja pembangkit listrik tenaga angin di lapangan diperoleh melalui pengukuran tingkat kecepatan angin di areal pembangkit yang dikonversi menjadi tegangan dan arus listrik yang mengalir dari kincir angin menuju inverter. Pengukuran dilakukan setiap 30 menit dari pukul 09.00 sampai pukul 16.00 setiap hari selama satu minggu. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan diperoleh rata – rata kecepatan angin di sekitar areal pembangkit sebesar 2.36 m/s, dan tegangan rata – rata sebesar 4.94 V. Nilai rata – rata harian yang diperoleh dapat dlihat pada Tabel 2 di bawah.
Tabel 2 : Hasil rata – rata pengukuran pada pembangkit tenaga angin. Pukul
Wind (m/s)
V (Volt)
9:00 2.44 6.99 9:30 2.33 6.50 10:00 1.51 0.00 10:30 2.44 4.46 11:00 2.10 2.86 11:30 1.71 5.71 12:00 0.94 0.00 12:30 0.90 0.00 13:00 1.10 3.60 13:30 2.07 8.93 14:00 2.41 6.99 14:30 3.04 9.86 15:00 3.21 9.86 15:30 3.70 9.21 16:00 2.44 0.00 R 2.16 5.00 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2009
Kecepatan Angin Kec. Angin (m/s)
Partikel debu dan uap air akan bersifat sebagai pen-difusi radiasi matahari sehingga tingkat radiasi yang masuk ke panel surya akan berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim B (2009) bahwa intensitas radiasi matahari akan berkurang oleh penyerapan dan pemantulan oleh atmosfer saat sebelum mencapai permukaan bumi. Ozon di atmosfer menyerap radiasi dengan panjang gelombang pendek (ultraviolet) sedangkan karbondioksida dan uap air menyerap sebagian radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (infra merah). Selain pengurangan radiasi bumi langsung (sorotan) oleh penyerapan tersebut, masih ada radiasi yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas, debu, dan uap air dalam atmosfer.
4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
Jam Pengamatan
Gambar 8 : Grafik Rata – rata hasil pengukuran kecepatan angin.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 18
ISSN: 1979-7362
Tegangan (volt)
Tegangan Listrik 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
Jam Pengamatan
Gambar 9 : Grafik Rata – rata hasil pengukuran tegangan pada kincir angin.
listrik tenaga angin ke baterai penyimpanan dimungkinkan jika kapasitas tegangan pada pembangkit lebih besar daripada kapasitas tegangan pada baterai penyimpanan. Syarat utama terjadinya perpindahan arus pada dua buah sistem terhubung adalah adanya beda potensial antara kedua sistem tersebut, karena pada sistem pembangkit listrik tenaga angin diharapkan adanya perpindahan arus dari pembangkit ke baterai untuk pengisian baterai, maka kapasitas tegangan sistem pembangkit harus lebih besar dari tegangan baterai penyimpanan yang terpasang. Pemakaian Daya Listrik
Untuk memperoleh gambaran kinerja pembangkit listrik tenaga angin yaitu dengan menempatkan sebuah anemometer digital pada tiang kincir dan diamati setiap 30 menit. Data hasil pengukuran menunjukkan bahwa bilah kincir dapat berputar jika kecepatan angin pada areal pembangkit >3.8 m/s. Arah angin yang berubah – ubah juga membuat putaran kincir menjadi tidak maksimal karena bilah dan ekor kincir akan selalu berputar horizontal menyesuaikan dengan datangnya arah angin. Pada Tabel 2 terlihat bahwa rata – rata kecepatan angin di areal pembangkit adalah sebesar 2.16 m/s dan tegangan yang dihasilkan sebesar 5.00 Volt. Tegangan sebesar ini masih jauh dari tegangan baterai yang sebesar 12 volt sehingga pembangkit listrik tenaga angin selama proses pengukuran tidak mampu menyuplai arus ke baterai penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Reeves (2003) yang mengatakan bahwa perpindahan arus dari sistem pembangkit
Listrik yang dihasilkan dari pembangkit hibrid dialirkan pada dua buah batterai penyimpanan dengan kapasitas masing – masing 60 Amps. Dari batterai, listrik kemudian dialirkan menuju ke sebuah inverter yang berfungsi untuk mengubah arus DC dari batterai menjadi arus AC yang akan digunakan sebagai sumber energi peralatan elektronik rumah tangga. Pengujian durasi pemakaian daya batterai pada penelitian ini menggunakan 6 buah bola lampu CFL @5 watt. Sebelum lampu dinyalakan, dilakukan pengukuran terhadap daya awal pada kedua batterai. Selanjutnya lampu dinyalakan serentak pada pukul 18.00. Durasi selama lampu menyala hingga padam dicatat setiap harinya dan daya baterai setelah pemakaian dicatat. Data perbandingan durasi pemakaian daya per hari dapat dilihat pada Gambar 10 berikut
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 19
ISSN: 1979-7362
Pemakaian Daya PLTH Daya (watt) 248 85
2
177 76
55
48
1
192
172
164
Durasi (menit)
3
4
153
149 66
5
47
31 6
7
Hari Ke-
Gambar 10: Perbandingan Besar Daya dan Durasi Pemakaian Daya listrik pada PLTH. Kapasitas Hibrid
Kerja
Pembangkit
Listrik
Kapasitas kerja Pembangkit Listrik Sistem Hibrid Tenaga Angin – Matahari meliputi perbandingan kapasitas Input dan Output daya. Hasil Perhitungan kapasitas daya input Pembangkit Listrik sistem hibrid tenaga angin matahari dan proyeksi kebutuhan daya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 dibawah ini: Tabel 3: Perhitungan kebutuhan daya/arus Daya dlm 1 hr (Wh) 4 120.96
Lama Jml. Teg. Arus Daya, P aktif Jenis Beban (unit)* (volt)* (Amp)* (Watt)** (jam)***
Kuat Arus dalam 1 hr (Ah)
Lampu CFL
6
12
0.42
30.24
10.08
TV 14"
2
220
0.30
65
2
130
1.2
Charger HP 3 1.9 0.07 0.399 Jumlah Keperluan Daya /arus dalam 1 hari Sumber : Data Primer setelah diolah, 2009
2
0.80 251.76
0.42 11.7
Catatan: * Data Teknik pada masing – masing beban terpasang ** Data Pengukuran *** Lama pemakaian yang diharapkan.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 20
ISSN: 1979-7362
Tabel 4: Perhitungan Daya/Arus input yang dihasilkan sistem pembangkit listrik hibrid. Daya Kuat Lama Dalam Arus Jenis Jumlah V Arus Daya Pengisian 1 Hari Dalam 1 Generator Unit* (Volt)* (I)* (Watt)** (Jam)** (Wh) hari (Ah) Sel Surya 2 24.54 0.90 44.172 7 309.204 12.6 Kincir Angin 1 5.00 0.00 0.00 0 0.00 0.00 Jumlah Daya /arus listrik total yang dihasilkan dalam 1 hari 309.204 12.6 Sumber : Data Primer setelah diolah, 2009 Catatan . * Data pengukuran lapangan generator surya/kincir ** Data pengukuran rata-rata lama penyinaran/aliran angin.
Pada Tabel 3 diperoleh data perkiraan besar kebutuhan daya/arus yang dibutuhkan oleh 3 rumah penduduk yang disuplai oleh pembangkit hibrid. Total daya/arus yang diperlukan adalah 251.76 Wh dan 11.7 Ah. Energi sebesar ini adalah perkiraan energi untuk menjalankan 6 buah lampu CFL selama 4 jam, televisi warna 14” selama 2 jam, dan Charger HP sebanyak 3 buah dengan asumsi digunakan selama 2 jam/hari.
pembangkit mampu untuk menyuplai kebutuhan energi listrik penduduk di sekitar pembangkit, meskipun pembangkit yang beroperasi maksimal hanya satu. Sedangkan pembangkit listrik tenaga angin belum mampu beroperasi secara maksimal karena kebutuhan angin di sekitar pembangkit belum tercukupi.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa kapasitas input total yang mampu dihasilkan oleh pembangkit hibrid adalah sebesar 12.6 Ah sedangkan total daya yang dihasilkan pembangkit adalah sebesar 309.204 Wh. Seluruh energi input hanya disuplai oleh pembangkit listrik tenaga surya. Pembangkit listrik tenaga angin belum mampu menyuplai daya dan arus karena kecepatan angin di lokasi pembangkit pada saat pengukuran tidak mencukupi untuk memutar bilah kincir. Hal ini disebabkan oleh pada bulan oktober – desember, kabupaten Bantaeng secara umum berada pada puncak musim penghujan sehingga kecepatan anginnya secara umum sangat rendah. Hal berbeda yang diperoleh pada saat survey lokasi pada bulan agustus sebelumnya, dimana kecepatan angin pada saat survey awal cukup tinggi hingga mencapai rata – rata 8.0 m/s.
Kesimpulan
KESIMPULAN
1. Panel Surya pada sistem pembangkit hibrid dapat menghasilkan tegangan secara kontinyu, sedangkan Kincir angin hanya dapat menghasilkan tegangan jika kecepatan angin >2.8 m/s, di bawah itu angin tidak mampu untuk memutar bilah kincir sehingga tidak menghasilkan tegangan sama sekali. 2. Sistem pembangkit ini sangat layak untuk dikembangkan lebih lanjut karena mampu untuk memenuhi kebutuhan listrik penduduk di sekitar pembangkit. DAFTAR PUSTAKA Anonim B, 2009. Listrik Tenaga Surya. www.forumsains.com. Diakses Sabtu 9 Mei 2009.
Dari data diatas dapat diketahui bahwa perbandingan kapasitas input energi Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 21
ISSN: 1979-7362 Anonim F, 2009. Why Solar Energy. www.us.sunpowercorp.com. Diakses Sabtu 9 Mei 2009 Anonim H, 2009. Energi Angin. www.id.wikipedia.org. Diakses Kamis, 13 Agustus 2009. Anonim M. 2009. Panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya. www.panelsurya.com. Diakses, Kamis 13 Agustus 2009. Reeves, A. 2003. Wind Energy for Electric Power - A REPP Issue Brief, REPP (Renewable Energy Policy Project), Washington. Rosenberg, N.J., Blad, B.L. and Verma, S.B. 1983. Microclimate: The Biological Environment. John Willey & Sons Inc. New York. P 1 – 93.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 22
ISSN: 1979-7362 PENGARUH PENAMBAHAN LESITIN DAN SUHU CONCHING TERHADAP SIFAT REOLOGI PASTA KAKAO (Theobroma cacao L) Budi Akra1, Salengke2, Dan Supratomo2 Alumni Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar . 2 Staf Pengajar Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar 1
Abstrak Pasta cokelat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi produk cair atau semicair. proses conching adalah tahap yang sangat menentukan perubahan reologi pasta coklat dimana suhu, penambahan pengemulsi, dan lama proses conching mempengaruhi perubahan viskositas tampak pasta coklat dan parameter reologi selama proses conching . Lesitin merupakan pengemulsi alam yang paling umum digunakan. Lesitin berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan pasta sehingga mengurangi kekentalan pasta coklat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan viskositas, koefesien konsistensi, dan index aliran selama proses conching pasta coklat. Parameter perlakuan meliputi penambahan lesitin (0%, 0.4% , 0.8%), suhu conching (40°C, 50°C, 60°C dan 70°C) serta lama conching (3 sampai 24 jam dan pengukuran akhir pada jam ke 30). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lesitin dan perlakuan suhu mempengaruhi penurunan viskositas mempengaruhi perubahan Nilai Index Aliran serta nilai konsistensi (K). Nilai Energi Aktivasi (Ea) untuk n sangat bervariasi sedangkan nilai Ea untuk K relatif lebih stabil selama proses conching Kata Kunci: Reologi, Lesitin, Suhu, Conching akan mempengaruhi rasa enak dan PENDAHULUAN kelembutan coklat ketika terasa pada lidah Proses pengolahan kakao (theobroma selama lemak dalam coklat tersebut meleleh cacao L) sangat menentukan mutu akhir oleh adsorpsi panas dalam mulut. Hal lain yang sangat berpengaruh pada yang dihasilkan. Proses pengolahan sangat menentukan cita rasa khas dari kakao sifat reologi pasta coklat adalah penambahan (theobroma cacao L), mengurangi dan pengemulsi pada pasta coklat. Pengemulsi menghilangkan cita rasa yang tidak berfungsi untuk menurunkan viskositas dan diinginkan. Salah satu bentuk pengolahan dapat mengikat atau menyimpan lemak pada biji kakao adalah pengolahannya menjadi cokelat sehingga tidak menimbulkan bunga pasta coklat. Pasta coklat berasal dari biji coklat. Pengemulsi yang umum digunakan Penambahan lesitin coklat yang dibuat jadi semi cair dan cair adalah lesitin. yang tahap akhirnya melalui proses (pengemulsi) pada proses conching akan mengurangi gesekan internal lemak coklat conching. Concing adalah tahapan tahapan proses sehingga mencegah terjadinya gumpalan. pengemulsi dapat pengerjaan flak cokelat kedalam bentuk Penambahan pasta secara terus menerus selama selang peningkatkan kualitas pelelehan dalam waktu tertentu. Alatnya disebut conche, mulut dan menambah lezat cita rasa coklat . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk yakni sebuah wadah logam yang berisi grinder besi yang berfungsi sebagai mengetahui perubahan sifat reologi pasta penggerinda (grinder) pasta. Proses coklat dengan penambahan lesitin selama conching akan mempengaruhi viskositas proses conching pada beberapa suhu. yang berarti akan mempengaruhi sifat reologi pasta coklat. Perubahan sifat reologi Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 23
ISSN: 1979-7362 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Teknik Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, berlangsung pada bulan November 2009-Januari 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kakao (Theobroma cacao L.) kadar air maksimal 7% terfermentasi. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, mesin penyangrai, mesin pemisah nib, mesin pemasta, mesin conching, viscometer DV-E, gelas ukur, dan alat tulis menulis. Proses conching dilakukan selama 30 jam untuk tiap sampel. Pengukuran nilai viskositas pasta dilakukan setelah 3 jam proses conching, selanjutnya dilakukan setiap jam sampai pada jam ke-30. Pengukuran nilai viskositas pasta dilakukan dengan menggunakan Viskometer DV-E dengan perlakuan suhu 40°C, 50°C, 60°C, 70°C dan penambahan lesitin 0,4%, 0,8%, serta tanpa penambahan untuk tiap-tiap suhu. Parameter yang dilakukan adalah mengamati perubahan pasta coklat dan mengetahui nilai viskositas tampak dan persen torsi untuk mengetahui hubungan antara shear rate dan shear stress dan dapat digunakan menghitung besarnya energy aktivasi (Ea) berdasarkan waktu conching. - Persiapan Bahan Biji kakao (theobroma cacao L) fermentasi disangrai selama 30 menit pada suhu 120°C untuk memperoleh aroma dan cita rasa yang khas. Selanjutnya pemisahan antara kulit biji dan biji (nib). Dilanjutkan dengan pelumatan (penghalusan) biji untuk menghasilkan pasta cokelat. - Pengukuran viskositas pasta coklat Menyiapkan pasta coklat untuk proses conching antara suhu 40°C, 50°C, 60°C dan 70°C, serta penambahan lesitin dengan konsentrasi 0% (kontrol), 0,4% dan 0,8% untuk tiap-tiap suhu conching. Kemudian melakukan proses conching selama 30 jam dan mengambil sampel setiap jam setelah 3 jam proses counching. Setelah itu mengukur nilai viskositas pasta coklat menggunakan
viscometer DV-E dengan tingkat kecepatan 5, 6, 10, 12, 20, 30, 50, 60, dan 100rpm dan mencatat nilai % torque yang ditampilkan dan kecepatan putaran untuk menentukan viskositas pasta dan menentukan hubungan antara suhu dan penambahan lesithin dengan viskositas. Hubungan antara viskositas tampak dan shear rate dapat diketahui melalui beberapa tahapan. Pertama menghitung shear stress rata-rata melalui persamaan: 𝜎𝑎 = 𝑘𝛼𝜎 (𝐶 ∗𝑑𝑖𝑎𝑙 𝑟𝑒𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔) 𝜎𝑎 = shear stress rata-rata (Pa); dimana 𝑘𝛼𝜎 = shear stress conversion factor (Pa); 𝐶 = Konstanta pegas viskometer, tergantung pada model Brookfield yang digunakan; 𝑑𝑖𝑎𝑙 𝑟𝑒𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 = % Torque yang ditampilkan pada Brookfield Viskometer (Briggs dan James, 1997). Kemudian menghitung flow behavior indeks melalui slop antara shear stress rata- rata dengan kecepatan putaran 𝑑 (𝑙𝑜𝑔10 𝜎𝑎 ) 𝑛= 𝑑 (𝑙𝑜𝑔10 𝑁) dimana 𝑛 = flow behavior index; 𝜎𝑎 = shear stress rata-rata (Pa); 𝑁 = kecepatan putaran (rpm) (Briggs dan James, 1997). Setelah mendapatkan nilai index aliran , shear rate dapat dihitung melalui persamaan: 𝛾̇ = 𝑘𝑁𝛾 (𝑁) dimana 𝛾̇ = shear rate (s -1); 𝑘𝑁𝛾 = shear rate conversion factor (min s -1), merupakan fungsi pada nomor spindle dan flow behavior index.; 𝑁 = kecepatan putaran (rpm) (Briggs dan James, 1997). Pengaruh suhu terhadap viskositas tampak dapat digambarkan dengan hubungan Arrhenius: η𝑎 = η∞𝐴 exp(𝐸𝑎 /𝑅𝑇) dimana η𝑎 adalah viskositas tampak pada suatu tetapan shear rate, η∞𝐴 adalah faktor frekuensi, 𝐸𝑎 adalah energy aktivasi (J mol-1), R adalah tetapan gas (J mol-1 K-1), dan T adalah suhu (K) (Rao, 1999).
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 24
ISSN: 1979-7362 HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai viskositas pasta coklat dapat dibaca pada layar ( display ) viskometer dengan. Nilai viskositas pasta coklat secara grafik semaki lama semakin menurun. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 1, 2, 3 dan 4. Nilai viskositas suhu 40°C menurun setiap jamnya. hal tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
diperoleh nilai viskositas = 22.6 Pa.s dan nilai shear rate = 1.81 1/s. Untuk penambahan lesitin 0.4%, hasil pengukuran awal jam ke 5 (5 rpm) diperoleh nilai viskositas = 40.8 Pa.s dan nilai shear rate = 1.90 1/s sedangkan pada jam ke 30 diperoleh nilai viskositas = 26 Pa.s dan nilai shear rate = 1.36 1/s. grafik viskositas kontrol 50 derajat celsius,
a.
40
grafik viskositas kontrol 40 derajat Celsius, 45
35
Viscosity, Pa.s
30
W ak tu 5 10 20 30
40
Viscosity, Pa.s
a.
W ak tu 5 10 20 30
35
30
25 20 15
25
10
20
5
15
0
10
10 10
0
20 Shear Rate, 1/s
30
40
45
35
Viscosity, Pa.s
W ak tu 5 10 20 30
60
W ak tu 5 10 20 30
40
b.
grarik viskositas 40 derajat celsius, lesitin 0,4%
Viscosity, Pa.s
30
grafik viskositas 50 derajat celsius, lesitin o,4%
40
70
b.
20 Shear rate, 1/s
50 40
30 25 20 15
30
10
20
0
10
10 0
10
20 Shear rate, 1/s
30
40
20 Shear rate, 1/s
30
40
grafik viskositas 50 derajat celsius, lesitin 0,8% W ak tu 5 10 20 30
50
grafik viskositas 40 derajat celsius, lestin 0,8% Wak tu 5 10 20 30
80
Viscosity, Pa.s
70
40
c.
60
Viscosity, Pa.s
90
c.
30
20
50 10
40
0
30 20 10
0
5
10 15 Shear rate, 1/s
20
25
Gambar 1. Grafik viskositas pada suhu 40°C, a .( 0% lesitin), b.(0.4% lesitin), c.(0.8% lesitin). Pengukuran nilai viskositas pada suhu 50°C (gambar 2) tanpa penambahan lesitin menujukkan bahwa nilai viskositas menurun berdasarkan lama proses counching, seperti yang tertera pada gambar 4. Hasil pengukuran awal jam ke 5 (5 rpm) diperoleh nilai viskositas = 38.6 Pa.s dan nilai shear rate = 1.82 1/s sedangkan pada jam ke 30
10
20 Shear rate, 1/s
30
40
Gambar 2. Grafik viskositas pada suhu 50°C, a.( 0% lesitin), b.(0.4% lesitin), c.(0.8% lesitin). Hasil pengukuran awal jam ke 5 (5 rpm) untuk suhu 50°C dengan penambahan lesitin 0.8% diperoleh nilai viskositas = 50.8 Pa.s dan nilai shear rate = 1.99 1/s sedangkan pada jam ke 30 diperoleh nilai viskositas = 28.8 Pa.s dan nilai shear rate = 1.96 1/s. Grafik penurunan tingkat viskositas pasta coklat pada suhu 60°C tanpa penambahan lesitin dapat dilihat pada gambar 3.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 25
ISSN: 1979-7362 grafik viskositas kontrol 60 derajat celsius
a
40
W ak tu 5 10 20 30
35
Viscosity, Pa.s
30 25 20 15 10 5 0
10
20 Shear rate, 1/s
30
40
grafik viskositas 60 derajat celsius, lesitin 0,4%
b.
50
Waktu 5 10 20 30
Viscosity, Pa.s
40
30
20
Pada pasta coklat yang diberi perlakuan suhu 60 °C pada saat proses conching memperlihatkan tekstur yang lebih halus dari perlakuan suhu 40°C dan 50°C. Penurunan nilai viskositas untuk suhu 70°C dapat dilihat pada gambar 4. dengan perlakuan tanpa penambahan lesitin (kontrol), penembahan lesitin 0.4% dan penambahan lesitin 0.8%. Pada gambar terlihat bahwa tingkat penurunan yang berbeda untuk setiap grafik. Hal ini disebabkan tingkat kehalusan pasta yang berbeda serta dan adanya pengaruh dari pemberian lesitin tersebut. grafik viskositas kontrol 70 derajat celsius
a 25 0
10
20 30 Shear rate, 1/s
40
50
Viscosity, Pa.s
0
grafik viskositas 60 derajat celsius, 0,8%
c..
Waktu 5 10 20 30
40 35
Viscosity, Pa.s
Waktu 5 10 20 30
30
10
20 15 10 5
30
0
25 20
b.
15
10
20 Shear rate, 1/s
30
40
grafik viskositas 70 derajat celsius, lesitin 0,4% Waktu 5 10 20 30
40
10
0
10
20 Shear rate, 1/s
30
40
Gambar
Viscosity, Pa.s
5
30
20
3. Grafik viskositas pada suhu 60°C, a.( 0% lesitin), b.(0.4% lesitin), c.(0.8% lesitin). Berdasarkan grafik diatas, untuk penambahan lesitin 0% pada jam ke 5 (5 rpm) diperoleh nilai viskositas = 37 Pa.s dan grafik viskositas 70, lesitin 0,8% nilai shear rate = 2.08 1/s sedangkan pada c. 35 jam ke 30 diperoleh nilai viskositas = 16 30 Pa.s dan nilai shear rate = 1.77 1/s. Untuk 25 penambahan lesitin 0,4% pada jam ke 5 (5 20 rpm) diperoleh nilai viskositas = 46 Pa.s 15 dan nilai shear rate = 2.047 1/s sedangkan pada jam ke 30 diperoleh nilai viskositas = 10 16.2 Pa.s dan nilai shear rate = 1.66 1/s. 5 Penambahan lesitin 0.8% pada jam ke 5 (5 0 10 20 30 40 Shear rate, 1/s rpm) diperoleh nilai viskositas = 39.8 Pa.s dan nilai shear rate = 1.79 1/s sedangkan Gambar 4. Grafik viskositas 70°C, a.( 0% lesitin), b.(0.4% lesitin), c.(0.8% pada jam ke 30 diperoleh nilai viskositas = lesitin). 12.1 Pa.s dan nilai shear rate = 1.55 1/s. 10
0
0
5
10
15 20 Shear rate, 1/s
25
30
35
Viscosity, Pa.s
Waktu 5 10 20 30
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 26
ISSN: 1979-7362
Nilai index aliran (n) tanpa penambahan lesitin tidak memperlihatkan perubahan yang berarti dari jam ke jam selama proses conching. Seperti pada suhu 40°C nilai n pada awal perhitungan = 0.68, pada jam berikutnya nilai n = 0.69 dan jam berikutnya = 0.61. Hal tersebut jg terjadi pada grafik penambahan lesitin 0,4% . Grafik penambahan lesitin 0.8% memperlihatkan hal yang berbeda. Pada suhu 60°C mengalami kenaikan dari jam ke jam. Contohnya pada jam ke 5 nilai n = 0.61, pada jam ke 20 nilai n = 0.73 dan pada jam ke 30 nilai n = 0.74. Akan tetapi, tidak terjadi perubahan yang berarti pada suhu 40°C, 50°C dan 70°C
Grafik perhitungan nilai index aliran tanpa penambahan lesitin 0.85
Suhu 40 derajat celsius 50 derajat celsius 60 derajat celsius 70 derajat celsius
Index aliran (n)
0.80 0.75 0.70 0.65 0.60 0.55 0.50
b.
0
5
10
15 20 Lama Conching
25
30
grafik perhitungan nilai index aliran (n) dengan penambahan lesitin 0.4% Suhu 40 derajat celsius 50 derajat celsius 60 derajat celsius 70 derajat celsius
0.9
Index aliran (n)
Metode Mitschka (Mitschka method) dipergunakan untuk menghitung nilai index aliran (n) dan koefesien konsistensi (K) yang dapat diperoleh dari logaritma pada shear stress dan kecepatan putaran (rpm). Nilai index aliran (n) menggambarkan perubahan hubungan antara tegangan permukaan terhadap kecepatan putaran spindel selama proses conching berlangsung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada gambar 5.
a.
0.8
0.7
0.6
0.5 0
c..
5
10
15 20 Lama Conching
25
30
Grafik perhitungan nilai index aliran dengan penambahan lesitin 0.8% 1.0
Suhu 40 derajat celsius 50 derajat celsius 60 derajat celsius 70 derajat celsius
0.9
Index aliran (n)
Pada pengukuran viskositas untuk suhu 70°C memperlihatkan nilai viskositas yang lebih rendah dari 40°C, 50°C, 60°C dan terkstur yang lebih halus dan lebih encer serta tidak berpasir saat dikomsumsi. Penurunan nilai viskositas disebabkan oleh adanya perubahan ukuran partikel coklat yang semakin lama semakin mengecil dan tegangan permukaan semakin menurun pada coklat. Penurunan tegangan permukaan disebabkan oleh penambahan lesitin yang berfungsi untuk mengikat lemak sehingga mengurangi gesekan internal pada coklat. Index aliran (n) dan consistency cofficient (K)
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3
0
5
10
15 20 Lama Conching
25
30
Gambar 5. Grafik nilai n, a.( 0% lesitin), b.(0.4% lesitin), c.(0.8% lesitin). Dari grafik nilai n berdasarkan penambahan lisithin tersebut memperlihatakan bahwa nilai index aliran (n) tidak dipengaruhi oleh lama proses conching kecuali pada penambahan lesitin 0.8% untuk suhu 60°C memgalami peningkatan. Dari keseluruhan data memperlihatkan nilai n kurang dari 1, hal tersebut menunjukkan bahwa pasta coklat sifat alirannya adalah pseudoplastic. Nilai log K merupakan prediksi nilai shear stress ketika kecepatan putaran spinde adalah nol selama proses conching berlangsung.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 27
ISSN: 1979-7362 Nilai log K memperlihatkan penurunan nilai yang tidak beraturan pada grafik tanpa penambahan lesitin. Pada grafik penambahan lesitin 0.4% terlihat penurunan nilai log K sedikit linear pada suhu 60°C. Pada penambahan lesitin 0.8% memperlihatkan penurunan grafik yang linear pada 50°C, 60°C dan 70°C. Nilai log K terendah pada akhir conching adalah suhu 70°C untuk kontrol yaitu 6.32, untuk penambahan lesitin 0.4% terendah pada suhu 70°C yaitu 4.1873465 dan pada penambahan lesitin 0.8% terendah pada suhu 60 °C yaitu 4.37. a.
Dari grafik nilai log K berdasarkan suhu tersebut memperlihatakan bahwa nilai log K dipengaruhi oleh lama proses conching. Semakin lama proses conching maka nilai log K semakin menurun. Penambah lesitin 0.8% perlakuan suhu 60°C memperlihatkan pengaruh yang besar pada penurunan grafik nlai K. Energi aktivasi (Ea) Energi aktivasi merupakan hasil perhitungan dari turunan persamaan Arhenius yang menggambarkan hubungan antara suhu dengan viskositas selama proses conching.
Grafik perhitungan nilai log K tanpa penambahan lesitin 22.5
Suhu 40 derajat celsius 50 derajat celsius 60 derajat celsius 70 derajat celsius
Consistensy coefficient (K)
20.0 17.5
Hasil perhitungan nilai energi aktivasi (Ea) pada proses cocnching pasta coklat dapat dilihat pada grafik dibawah ini
15.0
Garfik perhitungan nilai Energi Aktivasi (Ea)
12.5
100
nilai Ea untuk nilai K Ea untuk nilai n
10.0
80
7.5
60 0
5
10
15 20 Lama Conching
25
Nilai Ea
5.0 30
40 20 0
Grafik perhitungan nilai log K dengan penambahan lesitin 0.4%
b.
Suhu 40 derajat celsius 50 derajat celsius 60 derajat celsius 70 derajat celsius
Consistensy coefficient (K)
30 25
-40
0
5
10 15 20 Lama conching (jam)
25
30
20
Gambar 7. Grafik perhitungan nilai energi aktivasi (Ea)
15 10 5 0
0
5
10
15 20 Lama Conching
25
30
c.. Grafik perhitungan nilai log K dengan penambahan lesitin 0.8% Suhu 40 derajat celsius 50 derajat celsius 60 derajat celsius 70 derajat celsius
40 Consistensy coefficient (K)
-20
30
20
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa nilai n yang tidak stabil dan nilainya beragam. Pada pengukuran awal nilai n = -8.56 J mol-1 , pada pengukuran selanjutnya nilai n = 25.14 dan diakhir proses conching nilai n = 44.08 J mol-1. Sementara itu, nilai K lebih cenderung stabil dari awal sampai akhir proses conching. Pada awal conching nilai K = 6.33 J mol-1 dan pada akhir proses conching nilai K = 11.69 J mol-1.
10
0
0
5
10
15 20 Lama Conching
25
30
Gambar 6. Grafik nilai K, a.( 0% lesitin), b.(0.4% lesitin), c.(0.8% lesitin). Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 28
ISSN: 1979-7362 Rao, M Ananda. 1999. Rheology of Fluid and Semisolid Foos, Principles and Applications. An Aspen Publisher. Berdasarkan hasil yang diperoleh, Inc. Gaithersburg. Maryland maka dapat disimpulkan bahwa: KESIMPULAN
1. Suhu conching mempengaruhi sifat Sharma, Shri. K., Molvaney, Steven, J., Rizvi, Syed, S.H,. 2000. Food reologi pasta cokelat. Process Engineering. Cornel 2. Viskositas tampak dan koefisien University. New York. konsistensi cenderung turun selama proses conching tetapi index aliran Steef, J.F dan Briggs J.L. 1997. konstan. Research/Aplication Nota; Using 3. Pemberian pengemulsi (lesitin) Brookfield Data and Mitschka penurunan viskositas tampak pada suhu Metode to Evaluation Power Law dibawah 60°C tetapi cenderung Foods. Michigan State University. menaikkan viskositas dan koefisien East Lansing. konsistensi (K) pada suhu diatas 60°C. Steiner, E.H. 1958. A New Rheological Relationship to Express the Flow Properties of Melted Chocolate, Anonim A. Logikuliner-Chocolate, Part Rev Int Chocolatiere. Deux. http://www.jalansutra.or.id. Tanggal akses 01 Maret 2008. Wahyudi, T., dan Yusianto. 2008. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya. Anonim B. Process-Chocolate. Jakarta http://www.brookfieldengineering.com. Tanggal akses 10 Juni 2008. DAFTAR PUSTAKA
Beckett, S.T. 1999. Industrial Chocolate Manufacture and Use. Blackwell Science Ltd. Hartomo dan Widiatmoko. 1993. Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Andi Offset. Yogyakarta. Mulato, S., S. Widyotomo, Misnawi, Sahali, dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Manifie, W. Belnard. 1999. Chocolate, Cocoa and Confectinery Sains Technology. An Aspen Publication. London.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 29
ISSN: 1979-7362 MEMPELAJARI KARAKTERISTIK TINGKAT KEKERASAN PADI VARIETAS CILIWUNG DAN CIHERANG BERDASARKAN LETAK BULIR PADA MALAI Abdul basith1, Junaedi Muhidong2, dan Supratomo2 Alumni Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar . 2 Staf Pengajar Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar 1
ABSTRAK Beras adalah bahan makanan pokok dibeberapa negara Asia Tenggara, umumnya masyarakat menyukai beras yang bermutu baik dalam hal ini memiliki warna bening, persentase beras kepala tinggi dan kadar amilosa sedang (20-25%). Di Indonesia, mutu beras lebih dikenal berdasarkan cara pengolahan, seperti beras tumbuk atau beras giling, berdasarkan derajat sosoh seperti beras slip, berdasarkan asal daerah seperti beras Ciliwung dan Ciherang yang banyak diminati. Kedua varietas ini mempunyai keunggulan antara lain rasa nasi yang enak, pulen dan kadar amilosa yg baik. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kualitas beras adalah butir rusak dan pecah. Ini diakibatkan oleh perlakuan yang dilakukan saat penggilingan. Pada proses ini besarnya rendemen giling dan kehilangan hasil serta mutu beras hasil penggilingan tergantung pada tingkat kekerasan bulir. Penelitian ini fokus pada perbedaan pola tingkat kekerasan varietas Ciliwung dan Ciherang pada tiap posisi di malai. Ada 2 metode digunakan dalam penelitian ini, yang pertama pengukuran tingkat kekerasan campuran dimana beberapa bulir gabah yang memiliki posisi yang sama dari beberapa malai yang berbeda dari varietas padi yang sama digabungkan. Mengingat jumlah bulir yang digunakan/ digabungkan sangat terbatas sehingga variasi antar bulir yang diperoleh tidak merepresentasikan keadaan sesungguhnya, maka pengukuran yang kedua dilakukan bulir per bulir dari tiap-tiap malai. Pengukuran kedua ini selanjutnya disebut sebagai pengukuran tingkat kekerasan individual. Kadar air dari sampel untuk pengukuran individual juga diuji untuk mengetahui sebarannya, sekaligus untuk melihat apakah ada keterkaitan antara kekerasan individual dan kadar airnya. Hasil penelitian menunjukkan pola tingkat kekerasan varietas Ciherang secara konsisten lebih rendah sepanjang posisi batang malai dan cabang malai daripada varietas Ciliwung. Hal ini menunjukkan pola yang diduga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap banyaknya beras patah hasil penggilingan varietas Ciherang yang selalu lebih tinggi dari pada varietas Ciliwung. Kata Kunci: Kekerasan, padi, ciliwung, ciherang PENDAHULUAN Sektor pertanian sebagai titik tolak pembangunan didasarkan pada strategi pembangunan untuk memperbaiki ekonomi dengan pembaharuan dibidang pertanian untuk meningkatkan produksi melalui penerapan teknologi baru disektor pertanian. Padi merupakan bahan makanan pokok pada
berbagai negara sehingga penelitian tentang beras terus mendapat perhatian. Sebagai bahan makanan pokok, konsumen di beberapa negara Asia Tenggara umumnya menyukai beras yang bermutu baik, yang dalam hal ini memiliki warna bening, persentase beras kepala tinggi, dan kadar amilosa sedang (2025%). Di Indonesia, mutu beras lebih dikenal berdasarkan cara pengolahan, seperti beras
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 30
ISSN: 1979-7362 tumbuk atau beras giling, berdasarkan derajat sosoh seperti beras slip, berdasarkan asal daerah seperti beras Ciliwung dan Ciherang yang banyak diminati. Kedua varietas ini mempunyai keunggulan antara lain rasa nasi yang enak, pulen dan kadar amilosa yg baik. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kualitas beras adalah butir rusak dan pecah. Ini diakibatkan oleh perlakuan yang dilakukan saat penggilingan. Pada proses ini besarnya rendemen giling dan kehilangan hasil serta mutu beras hasil penggilingan tergantung dari pada tingkat kekerasan bulir. Asma (2009) membuktikan bahwa terdapat perbedaan rendemen beras patah dan menir antara varietas Ciliwung dan Ciherang pada saat digiling dengan menggunakan perlakuan yang sama, termasuk level kadar awal. Penelitian ini bertujuan untuk memahami perbedaan kekerasan bulir padi varietas Ciherang dan Ciliwung serta pola tingkat kekerasan bulir menurut posisinya pada malai. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai informasi untuk petani dan pemulia tanaman tentang tingkat kekerasan bulir padi khususnya varietas Ciliwung dan Ciherang. METODOLOGI
dan Ciliwung yang diperoleh dari Kabupaten Soppeng serta Kabupaten Maros. Prosedur Penelitian Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat kekerasan yang konsisten antara Varietas Ciherang dan Ciliwung, maka pengukurannya dilakukan dengan menggabungkan beberapa bulir (5 bulir) yang berasal dari posisi yang sama dari lima malai berbeda. Pengukuran ini selanjutnya disebut sebagai pengukuran tingkat kekerasan campuran. Mengingat jumlah bulir yang digunakan/ digabungkan sangat terbatas sehingga variasi antar bulir yang diperoleh tidak merepresentasikan keadaan sesungguhnya, maka pengukuran yang kedua dilakukan bulir per bulir dari tiap-tiap malai. Pengukuran kedua ini selanjutnya disebut sebagai pengukuran tingkat kekerasan individual. Kadar dari sampel untuk pengukuran individual juga diuji untuk mengetahui sebarannya, sekaligus untuk melihat apakah ada keterkaitan antara kekerasan individual dan kadar airnya. Prosedur Pengukuran Tingkat Kekerasan Campuran
1. Sampel berasal dari petani yang dipanen pada bulan agustus 2009, jumlah malai Tempat dan Waktu yang diambil per varietas sebanyak 100 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan malai. Juli hingga Agustus 2010. Bertempat di 2. Malai-malai tersebut disimpan dalam Laboratorium Processing Program Studi amplop plastik menurut varietasnya. Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi Kadar air gabah pada malai-malai tersebut Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. dibiarkan setimbang, tanpa perlakuan pengeringan khusus. Hal ini dimaksudkan Alat dan Bahan agar tingkat kekerasan gabah terkait Alat yang digunakan dalam penelitian ini murni ditentukan oleh karakteristik yaitu Analisa Tekstur TA-XT plus, software gabahnya, tanpa pengaruh perlakukan Microsoft Excel dan Exponent 32, timbangan lainnya. digital dan oven, plat kayu ini berfungsi 3. Malai yang digunakan dalam penelitian sebagai landasan bulir gabah saat ditekan. ini berjumlah 50 batang atau separuh dari Bahan yang digunakan dalam penelitian sampel yang ada, dari masing-masing ini yaitu dua jenis varietas gabah, Ciherang varietas. Penentuan jumlah batang malai ini erat kaitannya dengan frekuensi Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 31
ISSN: 1979-7362 pengukuran yang akan dilakukan. Bulirbulir gabah tersebut dipisahkan berdasarkan posisinya pada malai kemudian digabungkan pada satu amplop. Posisi gabah diatur menurut gambar berikut. 4. mempersiapkan alat analisa tekstur dengan meletakkan plat kayu persegi empat yang telah dipersiapkan sebelumnya dan mengaktifkan software Texture Exponent 32 pada komputer. 5. Meletakkan bulir gabah keatas plat kayu dan melakukan uji tekstur dengan metode kompresi/ tekanan (compression test). Pengujian dilakukan terhadap 5 bulir dari tiap posisi
Gambar 1. Urutan posisi gabah pada malai 6. Menyimpan data mentah dari hasil pengukuran kedalam komputer dan mencatat data Force, Distance serta Time. Data ini digunakan untuk menghitung energi yang diperlukan memecahkan gabah. 7. Hasil observasi (energi) tadi diplot kedalam grafik menggunakan software Microsoft Excel. Rumus energi yang dimaksud adalah:
Dimana;
e F D T
= Energy (Nm/sec) = Force (gaya) (N ) = Distance (jarak) (m) = Time (waktu) (sec)
8. Nilai rata-rata energi yang dibutuhkan untuk meretakkan/ mematahkan bulir gabah dihitung dengan rumus sederhana berikut:
Dimana; kebutuhan energi X1… = nilai pengukuran energi individual n = jumlah data, dalam hal ini 5 Prosedur Pengukuran Tingkat Kekerasan Individual 1. Sampel yang digunakan adalah gabah siap panen yang berumur 120 hari dan diperoleh dari Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Marioriawa Kabupaten Soppeng. Sampel berasal dari petani yang dipanen pada bulan Juni 2010. Jumlah malai yang diambil per varietas sebanyak 50 malai. 2. Malai-malai tersebut langsung dimasukkan kedalam amplop plastik menurut varietasnya masing-masing. Kadar air gabah pada malai-malai tersebut dibiarkan setimbang dengan kondisi lingkungan, tanpa perlakuan pengeringan khusus. 3. Malai yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua batang, masing-masing satu batang dari tiap varietas. Bulir dari tiap posisi dipisahkan untuk dilakukan pengukuran tingkat kekerasan. 4. Penomoran pada bulir diberikan dari 1 sampai 5 terhitung dari ujung tiap posisi sedangkan posisi itu sendiri terhitung dari atas ke bawah malai (Gambar 2). 5. Mempersiapkan alat analisa tekstur dengan meletakkan plat kayu persegi
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 32
ISSN: 1979-7362 empat yang telah dipersiapkan sebelumnya dan mengaktifkan software Texture Exponent 32 pada komputer. 6. Meletakkan bulir gabah keatas plat kayu dan melakukan uji tekstur dengan metode kompresi/ tekanan (compression test). Pengujian dilakukan terhadap 5 bulir dari tiap posisi.
Parameter Observasi Hasil pengukuran yang diperoleh berupa grafik hubungan antara Force (massa), Distance (panjang) dan Time (waktu). Dari grafik hasil pengukuran diperoleh informasi total energi dan pola tingkat kekerasan pada tiap malai dari kedua varietas padi tersebut. Analisa Data
7. Menyimpan data mentah dari hasil pengukuran kedalam computer dan mencatat data Force, Distance serta Time. Data ini digunakan untuk menghitung energi yang diperlukan memecahkan gabah. 8. Hasil observasi tadi diplot kedalam grafik menggunakan software Microsoft Excel. 9. Menghitung kadar air dari bulir pada posisi yang sama. 10. Menghitung rata-rata. Prosedur Individual
Pengukuran
Kadar
Air
Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode pengovenan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Menyiapkan bahan yang akan diukur kadar airnya. 2. Bahan tersebut dipisahkan ke atas almunium foil menurut posisi, kemudian ditimbang sebagai berat awal. Setelah itu bahan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1050C selama kurang lebih 24 jam. 3. Bahan dikeluarkan dari oven kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat akhirnya. 4. Selanjutnya menghitung kadar airnya.
Dimana; m = kadar air basis basah (%) a = berat awal (g) b = berat akhir (g)
Hasil observasi akan diplot ke dalam grafik untuk menvisualisasikan perbedaan tingkat kekerasan antara bulir padi menurut posisinya pada malai. HASIL DAN PEMBAHASAN Ada dua tingkat kekerasan yang akan diuraikan mendetail berikut ini, yaitu tingkat kekerasan campuran dan individual. Campuran di sini dimaksudkan sebagai gabungan beberapa bulir gabah yang memiliki posisi yang sama dari beberapa malai yang berbeda dari varietas padi yang sama. Sedangkan individual berarti hasil pengukuran individual bulir padi dari satu posisi pada individual malai. Perilaku energi yang dibutuhkan untuk meretakkan bulir gabah dari kedua bentuk pengukuran ini disajikan berikut ini. Sebaran Tingkat kekerasan Campuran Varietas Ciliwung Berikut ini adalah grafik pola perbedaan energi yang dibutuhkan untuk meretakkan bulir tiap posisi pada malai padi varietas ciliwung campuran; Gambar 2 menunjukkan sebaran tingkat kekerasan, yang direfleksikan dengan energi, yang dievaluasi dengan menggunakan model polinomial tidak dapat menggambarkan adanya tren hubungan antara posisi bulir pada malai varietas Ciliwung dengan tingkat kekerasannya, koefisien determinasi (R2) sangat kecil yakni 0.090. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keseragaman kekerasan bulir
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 33
ISSN: 1979-7362 antar posisi cukup baik. Keseragaman ini nampak sepanjang cabang malai dan batang malai.
Gambar 2. Pola Energi pada Tiap Posisi Bulir 1 & 2 Varietas Ciliwung Campuran Varietas Ciherang Observasi yang telah dilakukan juga untuk varietas Ciherang. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3. Dibandingkan dengan varietas Ciliwung, pola tingkat kekerasan bulir antar posisi bulir lebih nampak pada varietas Ciherang ini, R2 sebesar 0.612 dan 0.357. Rata-rata energi yang dibutuhkan oleh bulir yang berada pada posisi yang paling jauh dari batang malai konsisten lebih tinggi dari pada bulir kedua terjauh dari batang malai. Indikasi lainnya yang ditunjukkan varietas Ciherang adalah semakin dekat posisi bulir ke arah batang malai dan semakin jauh dari ujung atas batang malai, tingkat kekerasannya semakin turun. Hal ini dapat dilihat pada tingkat kekerasan rata-rata untuk bulir-bulir yang ada pada posisi kedua dari ujung cabang malai dan posisi ke 6, 7 dan 8 ke arah bawah batang malai. Pola ini diduga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap tingkat beras patah hasil penggilingan varietas Ciherang yang selalu lebih tinggi dari pada varietas Ciliwung sebagaimana ditemukan oleh Asma (2009).
Gambar 3. Perbedaan Energi pada Tiap Posisi Bulir 1 & 2 Varietas Ciherang Campuran Varietas Ciliwung vs Varietas Ciherang Untuk melihat perbandingan tingkat kekerasan rata-rata antara varietas Ciliwung dan Ciherang, berikut ini disajikan Gambar 4 yang memperlihatkan perbandingan tingkat kekerasan varietas Ciherang secara konsisten lebih rendah dari pada varietas Ciliwung sepanjang posisi pada batang malai.
Gambar 4. Grafik hubungan antara ratarata energi bulir pada tiap posisi varietas Ciliwung dan Ciherang campuran.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 34
ISSN: 1979-7362 Sebaran Tingkat kekerasan Individual Gambar 5 menunujukkan pola perbedaan energi yang dibutuhkan untuk meretakkan bulir tiap posisi pada malai padi varietas Ciliwung dan Ciherang individual;
Varietas Ciliwung vs Varietas Ciherang Untuk melihat perbandingan tingkat kekerasan rata-rata posisi bulir pada cabang malai antara varietas Ciliwung dan Ciherang, Gambar 6 memperlihatkan perbandingan tersebut. Dari gambar ini, nampak bahwa tingkat kekerasan varietas Ciherang secara konsisten lebih rendah dari pada varietas Ciliwung sepanjang posisi bulir pada cabang malai.
Gambar 5. Pola Energi pada Tiap Posisi cabang malai varietas Ciliwung & Ciherang Individual Varietas Ciliwung Gambar 5 menunjukkan pola sebaran tingkat kekerasan, direfleksikan dengan energi, yang dievaluasi dengan menggunakan model polinomial tidak dapat menggambarkan adanya tren hubungan antara energi pada tiap posisi cabang malai. Rendahnmya nilai R2 sebesar 0.228 menunjukkan bahwa total tingkat keseragaman kekerasan bulir pada tiap cabang malai cukup baik.
Gambar 6. Grafik hubungan antara rata-rata energi bulir varietas Ciliwung dan Ciherang individual Sebaran Kadar Air Varietas Ciliwung Dan Ciherang Individual Pengukuran kadar air hanya dilakukan pada metode individual menngunakan metode oven pada pelaksanaanya.
Varietas Ciherang Gambar 5 menunjukkan tren hubungan antara total energi dan posisi cabang malai dengan nilai R2 = 0.716 pada varietas Ciherang individual. Seperti yang terlihat pada posisi 5, 6, 7 dan 8, tingkat kekerasan mengalami penurunan. Ini berarti semakin jauh cabang malai dari ujung atas batang tingkat kekerasannya semakin menurun, mengindikasikan pada posisi tersebut tingkat beras patah varietas Ciherang individual lebih tinggi dibandingkan varietas Ciliwung individual.
Gambar 7. Perbedaan sebaran kadar air varietas ciliwung dan ciherang Individual Gambar 10 adalah hasil uji kadar air varietas ciliwung dan ciherang individual yang menunjukkan adanya pola kadar air yang berbeda. Dimana pada pola varietas Ciliwung Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 35
ISSN: 1979-7362 terlihat konsisten sedangkan pada ciherang terlihat pola yang semakin rendah. Hasil pengukuran ini dapat dijelaskan bahwa pada varietas ciliwung memiliki kadar air yang cenderung tinggi pada hampir disetiap posisinya. Sementara varietas ciherang yang terlihat tidak konsisten pada penyebaran kadar airnya dan cenderung menunjukkan penurunan. Hal ini sejalan dengan Soemardi dan Ridwan Thahir (1991) bahwa, dalam proses penggilingan gabah, rendahnya rendemen dan tingginya kadar beras pecah masih menjadi masalah di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan karena kondisi mutu gabah yang kurang optimal. Mutu gabah saat digiling terutama ditentukan oleh kadar air gabah. Kadar air gabah yang terlalu rendah menyebabkan banyaknya gabah yang retak, sehingga meningkatkan jumlah beras patah saat penggilingan. Dengan demikian, tinggi rendahnya kadar air dalam gabah saat digiling akan mempengaruhi mutu beras yang dihasilkan. Selanjutnya mutu beras akan menentukan nilai jual kepada konsumen. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Dari kedua metode yang dilakukan dalam penelitian ini, metode campuran dan individual tidak bisa menunjukkan adanya pola atau tren tingkat kekerasan bulir untuk varietas Ciliwung. Seabliknya pola yang konsisten ditunjukkan pada varietas Ciherang. 2. Tingkat kekerasan varietas Ciherang secara konsisten sepanjang posisi batang malai dan cabang malai lebih rendah daripada varietas Ciliwung. 3. Tingkat kekerasan pada posisi bulir yang jauh dari pucuk batang malai untuk varietas Ciherang nampak semakin lebih rendah dari pada posisi pada bagian ujung batang malai.
4. Pengukuran tingkat kekerasan dengan metode individual lebih memberikan gambaran pola sebaran tingkat kekerasan yang lebih baik daripada metode pencampuran. DAFTAR PUSTAKA Anonim A, 2009., Kep. Bersama Dirjen Bina Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI Dan Kepala Bulog. Bulog Jakarta, Indonesia. Anonim B, 2009. Sistem Standarisasi Pertanian, Pusat Standarisasi dan Akreditasi, Jakarta. Anonim C, 2010. Texture Analyzer. http://duniaanalitika.wordpress.com/2009/ 12/16/texture-analyzer/.Diakses pada tanggal 5 april 2010. Anonim D, 1983. Aplikasi Teknik Nuklir, Bidang Pertanian dan Biologi, Risalah Pertemuan Ilmiah Jakarta. Tgl. 9 – 11 juni 1982. Diselenggarakan Oleh Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi – BATAN. Jakarta. Andrizal, MM. 2003. Penuntun Praktis Penggilingan Padi. Direktoral Jendral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta. Damardjati dan Purwani, 1991. Mutu Beras Dalam Padi, Edisi Ke-3. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Darwis S.N., 1979. Agronomi tanaman padi. Dalam BATAN 1983. Aplikasi Teknik Nuklir, Bidang Pertanian dan Biologi, Risalah Pertemuan Ilmiah Jakarta. Tgl. 9 – 11 juni 1982. Diselenggarakan Oleh Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi – BATAN. Jakarta. Hadiwyoto dan Soehardi, 1980. Penanganan Lepas Panen I. Dep. P dan K. RI. PT. Gramedia. Jakarta.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 36
ISSN: 1979-7362 Hanny, 2002. Beras Makanan Pokok Sumber Protein.http://www.gizi.net/cgi-bin / berita /fullnews. cgi? newsid1028376933,9249, Diakses pada tangga 14 agustus 2010.
Lampiran 2: Tabel Data pengukuran tingkat kekerasan varietas Ciherang campuran bulir 1 dan 2. Ciherang bulir 1 campuran
Instron., 2008. Food Texture Analysis http://www.instron.com/ diakses pada tanggal 16 maret 2010. Judith A. Abbott and D. Roger Harker., 2005 Texture. The Holticulture and Food Reseacrh Institute of New Zealand Ltd. Rosenthal, Andrew J., 1999. Food Texture; Measurement and Perception, Aspen Publichers, inc. Oxford. United Kingdom. Soemardi dan Ridwan Thahir. 1991 Penangan Pascapanen Padi. Bogor.
.
Taib, Gunaif., Gumbira Said, dan Sutedja Kiratmadja, 1998. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Cetakan I. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta LAMPIRAN Lampiran 1 : Tabel Data pengukuran tingkat kekerasan varietas Ciliwung campuran bulir 1 dan 2. Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8 Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
Ciliwung bulir 1 campuran F (N) D (m) T (dtk) E (Nm/dtk) 4.088 0.479 0.32 6.119225 2.6513 0.351 0.235 3.960027 2.2661 0.321 0.215 3.38334 2.7161 0.366 0.245 4.057521 2.6114 0.351 0.235 3.900431 2.7404 0.389 0.26 4.10006 3.916 0.486 0.325 5.855926 3.8671 0.441 0.295 5.780987 Ciliwung bulir 2 campuran F (N) D (m) T (dtk) E (Nm/dtk) 3.4398 0.464 0.31 5.148604 1.2067 0.321 0.215 1.801631 2.4186 0.351 0.235 3.612462 2.9221 0.306 0.205 4.361769 3.8303 0.404 0.27 5.731264 1.3012 0.306 0.205 1.942279 3.3857 0.366 0.245 5.057821 2.5462 0.366 0.245 3.803711
Posisi
F (N)
1 2 3 4 5 6 7 8
2.0186 2.0182 1.9465 3.2115 3.0877 2.5399 1.6301 2.2337
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
F (N) 2.0495 2.6546 2.3981 1.5797 2.1249 2.2742 1.7336 0.9414
D (m)
T (dtk)
E (Nm/dtk)
0.344 0.23 3.019123 0.321 0.215 3.01322 0.374 0.25 2.911964 0.366 0.245 4.797588 0.321 0.215 4.610008 0.396 0.265 3.795473 0.321 0.215 2.433777 0.419 0.28 3.342573 Ciherang bulir 2 campuran D (m) T (dtk) E (Nm/dtk) 0.321 0.215 3.059951 0.374 0.25 3.971282 0.344 0.23 3.586723 0.224 0.15 2.359019 0.269 0.18 3.175545 0.344 0.23 3.401412 0.269 0.18 2.590769 0.246 0.165 1.403542
Lampiran 3: Tabel Data rata-rata energi bulir 1 dan 2 Ciliwung campuran. Rerata Bulir Rerata Bulir Posisi Ciliwung Ciherang 1 5.6339145 3.039537 2 2.880829 3.492251 3 3.497901 3.2493435 4 4.209645 3.5783035 5 4.8158475 3.8927765 6 3.0211695 3.5984425 7 5.4568735 2.512273 8 4.792349 2.3730575
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 37
ISSN: 1979-7362 Lampiran 4: Tabel Data pengukuran tingkat kekerasan varietas Ciliwung campuran.
Lampiran 5: Tabel Data pengukuran tingkat kekerasan varietas Ciherang campuran.
ciliwung bulir 1 individual Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
F (N) D (m) T (dtk) 2.3983 0.531 0.355 2.6586 0.486 0.325 3.1908 0.374 0.25 2.2676 0.636 0.435 2.2244 0.299 0.2 2.754 0.374 0.25 2.6914 0.329 0.22 2.3982 0.321 0.215 ciliwung bulir 2 individual
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
F (N) D (m) T (dtk) 2.8451 0.501 0.355 2.9142 0.456 0.305 2.6968 0.329 0.22 2.4659 0.366 0.245 2.7919 0.381 0.255 3.1426 0.419 0.28 2.4556 0.314 0.21 4.0539 0.434 0.29 ciliwung bulir 3 individual
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
F (N) D (m) T (dtk) 2.2515 0.539 0.36 2.7825 0.501 0.335 2.6321 0.381 0.255 2.6282 0.314 0.21 2.158 0.314 0.21 2.9767 0.434 0.29 2.5117 0.329 0.22 2.3502 0.336 0.225 ciliwung bulir 4 individual
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
F (N) D (m) T (dtk) 2.2261 0.381 0.255 2.0662 0.374 0.25 1.9739 0.314 0.21 2.8801 0.381 0.255 2.5776 0.336 0.226 2.6451 0.456 0.305 1.8278 0.314 0.216 2.714 0.306 0.205 ciliwung bulir 5 individual
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
F (N) 3.2616 2.4703 2.8319 2.0161 2.7598 3.0135 2.8524 2.8462
D (m) 0.621 0.411 0.389 0.284 0.396 0.344 0.381 0.344
T (dtk) 0.415 0.275 0.26 0.19 0.265 0.23 0.255 0.23
E (Nm/dtk) 3.587316 3.97563 4.773437 3.315388 3.325478 4.119984 4.024866 3.580568 E (Nm/dtk) 4.015197 4.356968 4.032942 3.683753 4.171427 4.702676 3.671707 6.066871 E (Nm/dtk) 3.370996 4.161291 3.932667 3.929785 3.226724 4.454786 3.756133 3.509632 E (Nm/dtk) 3.326055 3.091035 2.95145 4.303208 3.832184 3.954641 2.65708 4.051141 E (Nm/dtk) 4.880611 3.691976 4.236958 3.013539 4.124078 4.507148 4.261821 4.256925
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8
Ciherang bulir 1 individual D F (N) (m) T (dtk) 2.6315 0.441 0.295 1.9935 0.336 0.225 2.2573 0.276 0.185 2.1151 0.299 0.2 2.0217 0.344 0.23 1.8891 0.299 0.2 1.9465 0.374 0.25 1.1453 0.216 0.145
E (Nm/dtk) 3.933869 2.97696 3.367648 3.162075 3.02376 2.824205 2.911964 1.706102
ciherang bulir 2 individual D E Posisi F (N) (m) T (dtk) (Nm/dtk) 1 1.2114 0.261 0.175 1.806717 2 1.0666 0.336 0.225 1.592789 3 2.5575 0.321 0.215 3.818407 4 2.6248 0.329 0.22 3.925269 5 2.1195 0.366 0.245 3.166273 6 2.0604 0.336 0.225 3.076864 7 2.1885 0.366 0.245 3.269351 8 2.4638 0.396 0.265 3.681754 Ciherang bulir 3 individual D E Posisi F (N) (m) T (dtk) (Nm/dtk) 1 2.6036 0.389 0.26 3.895386 2 2.4097 0.374 0.25 3.604911 3 2.1387 0.381 0.255 3.195469 4 1.988 0.284 0.19 2.971537 5 2.308 0.299 0.2 3.45046 6 1.8116 0.306 0.205 2.704144 7 2.0046 0.306 0.205 2.992232 8 2.3841 0.321 0.215 3.559517 Ciherang bulir 4 individual D E Posisi F (N) (m) T (dtk) (Nm/dtk) 1 2.9964 0.471 0.315 4.480331 2 2.459 0.344 0.23 3.677809 3 2.1105 0.366 0.245 3.152829 4 2.5351 0.359 0.24 3.792087 5 2.0992 0.314 0.21 3.138804 6 0.5717 0.209 0.14 0.853466 7 1.1364 0.209 0.14 1.696483 8 1.9866 0.276 0.185 2.963792 Ciherang bulir 5 individual D Posisi F (N) (m) T (dtk) E (Nm/dtk) 1 1.8951 0.306 0.205 2.828783 2 2.5131 0.326 0.22 3.723957 3 1.9781 0.299 0.2 2.95726 4 2.5085 0.419 0.28 3.753791 5 2.3989 0.374 0.25 3.588754 6 2.3308 0.366 0.245 3.48193 7 0.6669 0.224 0.15 0.995904 8 0.8649 0.209 0.14 1.291172
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 38
ISSN: 1979-7362 Lampiran 6: Tabel data rata-rata energi bulir 1 dan 2 ciliwung campuran Bulir 1 2 3 4 5
Rerata Posisi Ciliwung 3.837833375 4.337692625 3.79275175 3.52084925 4.121632
Rerata Posisi Ciherang 2.988322875 3.042178 3.296707 2.969450125 2.827693875
Lampiran 7: Tabel Data hasil pengukuran kadar air varietas ciliwung dan ciherang individual Kadar air ciherang Posisi aw ak M KA (%) 1 0.149 0.114 0.234899 23.48993 2 0.144 0.121 0.159722 15.97222 3 0.144 0.114 0.208333 20.83333 4 0.142 0.107 0.246479 24.64789 5 0.141 0.108 0.234043 23.40426 6 0.146 0.115 0.212329 21.23288 7 0.147 0.109 0.258503 25.85034 8 0.146 0.119 0.184932 18.49315 kadar air ciliwung posisi aw ak M KA (%) 1 0.144 0.119 0.173611 17.36111 2 0.145 0.114 0.213793 21.37931 3 0.146 0.117 0.19863 19.86301 4 0.141 0.109 0.22695 22.69504 5 0.143 0.116 0.188811 18.88112 6 0.139 0.112 0.194245 19.42446 7 0.134 0.108 0.19403 19.40299 8 0.148 0.114 0.22973 22.97297
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 39
ISSN: 1979-7362 PENDUGAAN PERTUMBUHAN BAKTERI PADA IKAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DAN IKAN BARONANG (Siganus guttatus) SELAMA PENYIMPANAN Rina Apriana1, Helmi A.Koto2, dan Junaedi Muhidong2 Alumni Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar . 2 Staf Pengajar Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar 1
Abstrak Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan busuk bila tidak langsung dikonsumsi. Ikan akan segera mengalami kerusakan oleh bakteri jika disimpan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, untuk meminimalkan bakteri yang merusak tersebut maka ikan perlu disimpan pada suhu dingin. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ikan kerapu sunu dan ikan baronang,dengan perlakuan yang sama pada dua suhu penyimpanan yaitu suhu ruang dan suhu dingin dengan 2 kali pengulangan. Penyimpanan suhu ruang selama 120 menit dengan 5 kali pengambilan sampel dan selang waktu 30 menit sedangkan untuk suhu dingin penyimpanan dilakukan selama 240 menit dengan selang waktu 60 menit. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa jumlah pertumbuhan pada suhu ruang lebih cepat dibanding dengan suhu dingin begitu pula juga dengan konstanta laju pertumbuhan bakteri. Kata Kunci : Bakteri, Ikan kerapu sunu, Ikan baronang, Penyimpanan
PENDAHULUAN
menduga waktu yang optimum dalam penyimpanan ikan, karena informasi mengenai pertumbuhan bakteri sangat penting bagi produsen maupun konsumen dalam pemanfaatan ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai konstanta laju pertumbuhan bakteri selama penyimpanan suhu ruang dan suhu dingin (media es).
Ikan termasuk komoditas yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat dibandingkan dengan daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan ikan setelah penangkapan sangat dipengaruhi oleh teknik penangkapan, kondisi biologis ikan, serta teknik penanganan dan penyimpanan di atas kapal. Oleh karena itu, segera setelah ikan ditangkap harus secepatnya diawetkan dengan pendinginan atau METODOLOGI pembekuan karena mikroorganisme Penelitian ini dilakukan pada bulan merupakan penyebab utama kerusakan ikan, maka kita harus memberi perlakuan-perlakuan Agustus – September 2010 di Laboratorium khusus untuk menghindari kondisi-kondisi Mikrobiologi dan Bioteknologi Pangan Teknologi Pertanian Fakultas yang mempercepat pertumbuhan Jurusan mikroorganisme. Kecepatan pertumbuhan Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar. mikroorganisme meningkat sangat cepat pada Alat yang digunakan adalah gelas piala, tabung reaksi, batang pengaduk, cawan petri, suhu tinggi dan kondisi yang tidak higienis. Pola dari pertumbuhan bakteri perlu diketahui labu Erlenmeyer, pipet volume, inkubator, untuk menduga laju dari kerusakan pada ikan penangas air, timbangan analitik, termometer, yang disebabkan oleh bakteri atau untuk Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 40
ISSN: 1979-7362 sampel. Ikan ini disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin (media es). Sampel yang digunakanadalah lendir di permukaan kulit ikan dan dagingnya. Waktu pengamatan terhadap masing – masing suhu penyimpanan : • Suhu ruang, yang diamati sebanyak 5 kali tiap selang waktu 30 menit (0; 30; Sterilisasi Alat 60; 90; 120) dengan 2 kali dan Media NA pengulangan. • Suhu dingin (media es), yang diamati sebanyak 5 kali tiap selang waktu 60 menit (0; 60; 120; 180; 240;) dengan Ikan Kerapu Sunu dan 2 kali pengulangan. Ikan baronang disortir Parameter Pengamatan Parameter yang diamati dalam peneltian ini adalah pertambahan jumlah bakteri selama penyimpanan suhu ruang dan suhu dingin. Penyimpanan suhu ruang Prosedur Pengamatan dan suhu dingin Semua alat yang digunakan disterilkan terlebih dahulu baik alat yang digunakan dalam penyimpanan bahan, pembuatan suspensi maupun dalam pengerjaan analisa dengan cara : Pengambilan sampel pada • Peralatan dicuci sabun dan dibilas sampai masing – masing suhu untuk bersih lalu ditiriskan. tiap pengamatan yang telah • Untuk mencegah kontaminasi, setelah ditentukan disterilkan cawan petri dan peralatan lainnya dibungkus dengan aluminium foil. • Peralatan yang tahan panas disterilkan Isolasi Bakteri dalam autoklaf selama 15 – 30 menit pada suhu 121 0C kemudian di ovenkan pada suhu 110 0C selama 2 – 3 jam. Alat – alat yang tidak tahan panas dan tidak Menghitung jumlah berhubungan langsung dengan bahan koloni bakteri hanya dibersihkan. • Labu Erlenmeyer berisi media agar Gambar 1. Diagram Alir Penelitian ditutup dengan kapas dan aluminium foil. • Aquadest untuk pengenceran di pipet ke Perlakuan dalam tabung reaksi masing – masing Ikan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 ml kemudian ditutup dengan adalah ikan kerapu sunu dan ikan baronang kapas kemudian dengan aluminium foil. segar yang diperoleh dari tempat penangkaran • Media agar dan aquadest disterilkan ikan. Ikan tersebut disortir sehingga diperoleh dalam autoklaf selama 15 menit pada keseragaman berat dan ukuran yang dijadikan suhu 121 0C. Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 41 autoklaf 1020 AG, oven, lemari es, rak tabung, Bunsen laminar flow, lap kasar, pisau. Bahan yang digunakan adalah ikan kerapu sunu dan ikan baronang segar, aquades steril, spiritus, alkohol, kapas, aluminium foil, es batu, kertas label, media NA sintetik, NaCl.
ISSN: 1979-7362
a. Sampel daging ikan dari tiap suhu penyimpanan masing - masing 1 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi I yang berisi 9 ml aquadest dan NaCl 0,25 % lalu dikocok hingga homogen dan rata. Kemudian dipipet 1 ml suspensi dari tabung reaksi I ke dalam tabung reaksi II (10-1). Kemudian dipipet lagi dari tabung reaksi II sebanyak 1 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi III (10-2), begitu seterusnya hingga (10-4). b. Media NA yang telah dicairkan ke dalam pemanas air dituang secara aseptic ke dalam cawan petri yang telah berisi suspense. Cawan tersebut diputar searah jarum jam hingga suspensi tercampur rata dalam media NA. c. Cawan didiamkan hingga suspensi tadi membeku kemudian dibungkus kembali dan disimpan dengan posisi terbalik dalam inkubator pada suhu ruang selama 48 jam. d.Koloni bakteri dihitung pada masing – masing cawan. Perhitungan Hasil Pengamatan Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah bakteri adalah metode hitungan cawan sehingga diasumsikan bahwa setiap sel bakteri yang hidup dalam suspense akan tumbuh menjadi satu koloni msetelah diinkubasi dalam media biakan yang sesuai. Setiap koloni dianggap berasal dari satu koloni yang membelah menjadi banyak sel, meskipun mungkin juga berasal dari satu sel yang letaknya berdekatan. Penentuan jumlah bakteri adalah : Jumlah bakteri = jumlah koloni per cawan x 1/factor pengenceran Nilai K diperoleh dengan persamaan regresi eksponensial hubungan logaritma jumlah bakteri terhadap waktu pengamatan 𝑑𝐶 = 𝑘𝐶………(1) 𝑑𝑡 Atau 𝑑𝐶 = 𝑘𝑑𝑡 𝐶
𝑐
𝑡 𝑑𝐶 � = � 𝑘𝑑𝑡 𝐶 𝑡0
𝑐0
ln
𝐶 = 𝑘(𝑡) 𝐶0
𝐶 = 𝑒 𝑘𝑡 𝐶0 𝐶 𝐶 = 𝐶0 . 𝑒 𝑘𝑡 > 0 Dengan integrasi persamaan (1) diperoleh : 𝐶 = 𝐶𝑜 . 𝑒 𝑘𝑡 Ket : C = jumlah bakteri pada waktu penggamatan Co = jumlah bakteri awal k = konstanta laju pertumbuhan t = waktu pengamatan HASIL DAN PEMBAHSAN Jumlah Pertumbuhan Bakteri Ikan kerapu sunu dan ikan baronang segar diperoleh dari penangkaran ikan. Ikan kerapu sunu dan ikan baronang tersebut diberikan perlakuan yang sama. Penyimpanan ikan ditempatkan pada dua suhu yaitu suhu ruang (270C - 290C) dan suhu dingin (00C - 30C) dengan waktu yang berbeda. Tabel 2. Jumlah Bakteri Ikan Kerapu Sunu Pada Penyimpanan Suhu Ruang (270C - 290C) Tot.
Ulangan Waktu (menit)
I
II
Bakteri
Rata – rata
(koloni/g
(koloni/g)
Log.
) 0
30
60
90
120
16 x
19 x
104
104
32 x
28 x
104
104
67 x
55 x
126 x
104
104
104
88 x
74 x
162 x
104
104
104
101 x
92 x
193 x
104
104
104
35 x 104
17,5 x 104
5,243
60 x 104
30 x 104
5,477
63 x 104
5,799
81 x 104
5,908
96,5 x 104
5,984
Untuk penyimpanan suhu ruang waktu penyimpanan dilakukan selama 120 menit sedangkan untuk penyimpanan suhu dingin Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 42
ISSN: 1979-7362 selama 240 menit. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 kali dengan pengulangan 2 kali dengan selang waktu 30 menit untuk suhu ruang, untuk suhu dingin dengan selang waktu 60 menit. Tabel 3. Jumlah Bakteri Ikan Kerapu Sunu Pada Penyimpanan Suhu Dingin (00C- 30C) Waktu (menit) 0 60 120 180 240
Ulangan I
II
10 x 104 14 x 104 20 x 104 25 x 104 29 x 104
12 x 104 17 x 104 23x 104 28 x 104 32 x 104
Tot. Bakteri (koloni/g)
Rata – rata (koloni/g)
Log.
22 x 104
11x 104
5,041
31 x 10
4
15,5 x 10
4
5,190
43 x 104
21,5 x 104
5,332
53 x 104
26,5 x 104
5,423
61 x 104
30,5 x 104
5,484
Rata - rata Koloni Bakteri (104) (koloni/gram)
120 y = 19,936e0,0147x 105 R² = 0,9367 90 75 60 45 30 y = 11,765e0,0043x 15 R² = 0,9705 0 0 30 60 90 120150180210240270
suhu dingin suhu ruang
120 menit terjadi peningkatan jumlah koloni bakteri, pada ikan kerapu sunu jumlah rata – rata koloni bakteri menjadi 4 96,5 x 10 koloni/gram. Pengambilan sampel untuk suhu dingin pada 0 menit diperoleh jumlah rata – rata koloni bakteri yaitu 11 x 104 koloni/gram dan setelah 240 menit rata – arat jumlah pertumbuhan bakteri yaitu 30,5 x 104 koloni/gram. Penyimpanan dari 0 menit – 120 menit pertumbuhan koloni bakteri sangat cepat karena disimpan pada suhu ruang yang merupakan kondisi suhu yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Beda halnya dngan penyimpanan suhu dingin yang pertumbuhannya lambat. Pada suhu ruang atau suhu tinggi aktivitas kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan bakteri sangat cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Buckle (2007) yang menyataka bahwa apabila suhu naik kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat begitupun sebaliknya jika suhu turun metabolisme turun dan pertumbuhan diperlambat. Tabel 4. Jumlah Bakteri Ikan Baronang Pada Penyimpanan Suhu Dingin (270C280C)
Lama Penyimpanan (menit)
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Lama Penyimpanan Dengan Rata-rata Koloni Bakteri Ikan Kerapu Sunu Pada Suhu Ruang (270C - 290C). Dan Suhu Dingin (00C - 30C). Berdasarkan grafik hubungan antara lama penyimpanan ikan kerapu sunu pertumbuhan dengan rata – rata koloni bakteri pada suhu ruang mengalami peningkatan pertumbuhan bakteri lebih cepat dibanding dengan penyimpanan suhu dingin. Pengambilan sampel pada 0 menit untuk suhu ruang diperoleh rata- rata koloni bakteri 17,5 x 104 koloni/gram dan setelah penyimpanan selama Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
Waktu (menit)
Ulangan
Tot. Bakteri (koloni/g)
Rata – rata (koloni/g)
Log.
I
II
0
11 x 104
9x 104
20 x 104
10 x 104
5,000
60
19 x 104
13 x 104
32 x 104
16 x 104
5,204
120
22 x 104
17 x 104
39 x 104
19,5 x 104
5,290
180
25 x 104
22 x 104
47 x 104
23,5 x 104
5,371
240
29 x 104
27 x 104
56 x 104
28 x 104
5,447
43
ISSN: 1979-7362 Tabel 5. Jumlah Bakteri Ikan Baronang Pada Penyimpanan Suhu Ruang (00C 30C) Ulangan
Waktu (menit)
Tot. Bakteri (koloni/gr)
Rata – rata (koloni/ gr)
Log.
29 x 104
14,5 x 104
5,161
I 12 x 104
II 17 x 104
30
30 x 104
36 x 104
66 x 104
33 x 104
5,518
60
76 x 104
62 x 104
138 x 104
69 x 104
5,838
90
96 x 104
90 x 104
186 x 104
93 x 104
5,968
120
118 x 104
107 x 104
225 x 104
112,5 x 104
6,051
0
120 y = 18,271e0,0171x R² = 0,9249
Rata - Rata Koloni Bakteri ( 104) (koloni/gram) 100
suhu Ruang
80
Suhu Dingin
60 40 20
y = 11,226e0,0041x R² = 0,9468
0 0
30 60 90 120 150 180 210 240 270 Lama Penyimpanan (menit)
Gambar 4. Grafik Hubungan Antara Lama Penyimpanan Ikan Baronang Dengan Rata-rata Koloni Bakteri Pada Suhu Ruang (270C - 290C). dan Suhu Dingin (00C - 30C). Berdasarkan grafik hubungan antara lama penyimpanan ikan baronang dengan rata – rata koloni bakteri untuk suhu ruang mengalami peningkatan pertumbuhan yang cepat sedangkan pada suhu dingin pertumbuhan bakteri lambat. mengalami perubahan yang lambat. Pada kondisi perlakuan penyimpanan pada suhu ruang diperoleh jumlah rata – rata koloni bakteri pada penyimpanan 0 menit yaitu 14,5 x 104 koloni/gram hingga pada penyimpanan selama
120 menit diperoleh jumlah rata – rata koloni bakteri yaitu 112,5 x104 koloni/gram. Pada kondisi penyimpanan suhu dingin dengan menggunakan media es batu untuk jumlah rata – rata bakteri pada penyimpanan 0 menit yaitu 10 x 104 koloni/gram sedangkan pada penyimpanan 240 menit yaitu 28x 104 koloni/gram. Beda hal nya dengan penyimpanan dengan suhu ruang, suhu dingin mampu memperlambat aktivitas metabolisme dari bakteri dan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan bakteri juga. Hal ini disebabkan karena suhu yang berakibat akan terjadi perbedaan peningkatan jumlah bakteri dimana suhu dingin memiliki suhu yang rendah dibanding suhu ruang yang mempengaruhi aktivitas pertumbuhan bakteri pada ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Junianto (2003) bahwa pendinginan hanya dapat memperlambat terjadinya pertumbuhan bakteri pada ikan sehingga kesegaran ikan dapat diperpanjang.Penyimpanan ikan dengan suhu dingin tingkat kesegarannya dapat dipertahankan lebih lama bila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu ruang. Konstanta laju Pertumbuhan Bakteri (k) Nilai konstanta laju pertumbuhan bakteri diperoleh dari persamaan regresi eksponensial hubungan logaritma jumlah bakteri terhadap waktu penyimpanan. Untuk konstanta laju pertumbuhan bakteri ikan kerapu sunu yaitu 0.014/menit sedangkan pada ikan baronang yaitu 0.017/menit. Ada perbedaan terhadap konstanta laju pertumbuhan bakteri dimana laju ppertumbuhan bakteri ikan baronang lebih cepat disbanding dengan ikan kerapu sunu. Hal ini sesuai dengan rata –rata jumlah pertumbuhan bakteri pada ikan baronang selama 120 menit yaitu 112,5 x 104 koloni/gram sedangkan ikan kerapu sunu rata –rata jumlah pertumbuhan bakteri bakteri selama 120 menit yaitu 96,5
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 44
ISSN: 1979-7362 x 104 koloni/gram. Pada suhu ruang aktivitas metabolisme dan pertumbuhan bakteri sangat cepat karena pada suhu tersebut meupakan suhu kondisi lingkunagn yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Pada suhu dingin, konstanta laju pertumbuhan bakteri pada ikan kerapu sunu 0.0042/menit sedangkan ikan baronang konstanta laju pertumbuhan bakteri yaitu 0.0045/menit. Ada perbedaan terhadap konstanta laju pertumbuhan bakteri pada suhu ruang dengan suhu dingin, yaitu pada suhu ruang laju pertumbuhan bakteri sangat cepat dibanding suhu dingin. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Junianto (2003), yang menyatakan bahwa pada suhu rendah (dingin atau beku), proses – proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat selain itu pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat diperlambat. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Jumlah koloni bakteri pada ikan baronang lebih banyak dibanding ikan kerapu sunu suhu ruang 2. Konstanta laju pertumbuhan bakteri pada suhu ruang lebih cepat dibanding dengan penyimpanan suhu dingin. 3. Penyimpanan ikan kerapu sunu baik pada suhu ruang selama 120 menit maupun suhu dingin selama 240 menit masih layak untuk dikonsumsi
DAFTAR PUSTAKA Anonim.2010a. Budidaya Ikan Kerapu.http://digilib.brawijaya.ac.id. Di akses tanggal 6 April 2010, Makassar. ______, 2010b Ikan Baronang . http://www.iftfishing.com/pages/?p=2225. Diakses tanggal 6 April 2010.Makassar. Buckle, et al. Ilmu Pangan. 1987. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dwidjoseputro, S., 1996, Mikrobiologi Pangan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fardiaz S., 1992. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangandan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hadioetomo, R., 1990, Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek, Gramedia, Jakarta. Heldman, Dennis R., 1974. Food Process Engineering.Avi Publishing Company, West Port Connecticut. http://ekmon-saurus/bab-5Indra., 2008, Morfologi-mikroba/.html. Diakses pada tanggal 8 April 2010, Makassar. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Swadaya. Jakarta.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 45
ISSN: 1979-7362 TEKNOLOGI PENGELOLAAN SERASAH TEBU DAN PENGARUH KOMPOS TERHADAP TANAMAN Iqbal, Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian, Unhas Makassar .
[email protected]
Abstract Agricultural wastes in the form of litter is a byproduct of sugar cane crops are rich organic material. It is can be reused as a fertilizer plant. The byproduct, among others buds, leaves, and stems of sugar cane left in the land that has dried up. To manage waste into compost takes several stages of activity and techology that can facilitate the process. Activity of these stages include the collection of litter by using trash rake equipment, transportation of litter from the garden into the composting hause using a trailer and tractor or use the truck (pick up), cutting the litter by chopper, fermentation or composting, compost grinding with grinder, and the using a compost sieve to uniform size of the compost particles and to applications in land using compost applicator. Key words: Technology, litter sugar, organic materials, compost
PENDAHULUAN Limbah pertanian berupa serasah tebu merupakan hasil sampingan dari tanaman tebu yang dibudidayakan dan kaya bahan organik yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai pupuk tanaman. Serasah tanaman merupakan limbah yang kaya bahan organik yang bisa diolah menjadi pupuk organik berupa kompos yang akan sangat berperan dalam siklus produksi tanaman karena bermanfaat bagi tanah dan tanaman dalam hal memperbaiki struktur dan pH tanah, serta meningkatkan kehidupan mikroba dan unsur mikro tanah. Untuk mengelola serasah tanaman menjadi kompos diperlukan beberapa tahap kegiatan dan teknologi yang dapat memudahkan proses tersebut. Tahapan kegitan tersebut meliputi pengumpulan serasah dengan menggunakan peralatan trash rake, pengangkutan serasah tebu dari lahan ke rumah kompos menggunakan trailer yang digandengkan pada traktor sebagai tenaga penarik atau menggunakan truk, pencacahan serasah tebu menggunakan chopper, proses fermentasi atau pengomposan, penggilingan
kompos dengan alat penggiling, dan penyeragaman ukuran kompos menggunakan pengayak kompos. Selanjutnya utuk aplikasi di lahan digunakan aplikator kompos Kompos adalah jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh alam atas bahan-bahan organis, terutama daun tumbuh-tumbuhan seperti jerami, kacang-kacangan, sampah dan lain-lain. Cara memperoleh kompos yang baik adalah dengan mengaktifkan perkembangan bakteri yang melakukan penghancuran terhadap bahanbahan organik dalam waktu yang singkat, dan menghindarkan faktor-faktor yang dapat mengurangi kualitas kompos (Sarief 1986). Satu faktor yang harus diketahui di dalam proses pengomposan menurut Suriawiria (2002) adalah bentuk bahan; semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan baik pula proses pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan homogen, lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba. Selain itu, bentuk bahan berpengaruh pula terhadap
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 46
ISSN: 1979-7362 kelancaran difusi oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO 2 yang dihasilkan. Cara pembuatan kompos bermacam-macam, tergantung pada keadaan tempat pembuatan, budaya orang, mutu yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam bahan yang tersedia, dan selera si pembuat. Dibandingkan dengan pupuk anorganik, pemberian kompos (juga pupuk kandang) jauh lebih boros. Walaupun harganya lebih murah dari pupuk anorganik, namun karena pemakaiannya banyak, total biaya pupuknya tetap jauh lebih mahal. Apalagi, pengadaanya masih dibebani lagi dengan biaya angkut (Lingga, 2000). Kompos sebagai salah satu pupuk organik, sangat baik dan bermanfaat untuk segala jenis tanaman, mulai dari tanaman hias, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan sampai pada tanaman pangan dan perkebunan (Suriawiria 2002). Akan tetapi, menurut Syekhfani (2002) kompos mengandung lebih banyak humus dibandingkan kotoran hewan. Jadi, penggunaan kompos lebih ditujukan pada perbaikan sifat fisik tanah, sedang pupuk kandang (terutama ternak unggas) pada sifat kimia tanah. Pengomposan mengurangi volume materi bahan organik mentah, khususnya kotoran ternak yang kandungan airnya cukup tinggi. Pengomposan di lahan jauh lebih murah dari pada membeli kompos jadi.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan pada proses pembuatan kompos antara lain : serasah tebu, kotoran sapi, serbuk gergaji, arang sekam, molases dan EM-4. Adapun alat dan mesin yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : pencacah serasah, penggiling kompos, pengayak kompos, sekop, bak pengomposan dan terpal penutup. Prosedur Penelitian Berikut adalah prosedur penelitian yang dilakukan : 1. Mencacah serasah tebu menggunakan chopper, sehingga serasah menjadi potongan-potongan kecil dengan ukuran 310 cm. 2. Mencampur bahan baku serasah tebu dengan bahan lain seperti kotoran sapi, serbuk gergaji, arang sekam dan bioaktivator. Komposisi bahan serasah tebu 1 ton, 500 kg kotoran sapi, 200 kg serbuk gergaji, 300 kg arang sekam dan 2000 ml bioaktivator. 3. Selanjutnya melakukan fermentasi selama 1-2 bulan dan melakukan pembalikan 1-2 kali/minggu. 4. Kompos matang digiling untuk memperkecil ukuran partikelnya. 5. Melakukan pengayakan untuk menyeragamkan ukuran partikel. 6. Kompos siap untuk digunakan atau dikepak untuk disimpan.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-September 2011 yang berlangsung di rumah kompos Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Batang Kaluku Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Teknologi Pembuatan Kompos Proses pembuatan kompos secara mekanik memerlukan beberapa alat dan mesin guna mendukung kegiatan tersebut, anrata lain:
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 47
ISSN: 1979-7362 1. Traktor Traktor berfungsi sebagai tenaga penarik beberapa peralatan pendukung yang digunakan dalam pengelolaan serasah tebu menjadi kompos pada perkebunan tebu.Traktor adalah kunci dari mekanisasi pertanian yang mulai berkembang saat mesin uap ditemukan pada tahun 1769. Tahun 1780 traktor uap diproduksi yang digunakan untuk kegiatan pengolahan tanah dan sebagai sumber tenaga mesin perontok. Tahun 1920 traktor mengalami perkembangan pesat dengan mulai diproduksinya traktor serbaguna untukpenyiangan dan pemanenan. Saat ini traktor telah diproduksi dengan dilengkapi peralatan canggih yang semakin memudahkan kita dalam melakukan kegitan pertanian.
beberapa bagian dengan fungsi sebagai berikut : -
-
Pengumpan berfungsi sebagai tempat memasukkan serasah Penjepit serasah berfungsi menjepit serasah pada saat dicacah/dipotong Pisau pencacah berfungsi untuk mencacah atau memotong serasah menjadi potonganpotongan kecil Unit penghembus berfungsi untuk mengeluarkan serasah yang telah dipotong
Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan yang dilakukan diperoleh rata-rata kapasitas kerja untuk alat pencacah serasah tebu adalah 125.9 kg/jam dengan kadar air serasah tebu sekitar dari 12 %.
2. Trash Rake
5. Rumah Kompos
Trash rake merupakan suatu peralatan yang menyerupai sisir atau garfu yang berfungsi untuk menarik dan mengumpulkan serasah atau sisa panen dilahan tebu yang digandeng oleh traktor sebagai tenaga penariknya.
Rumah kompos merupakan sesuatu yang penting dalam proses pengomposan atau masa fermentasi kompos. Rumah kompos ini berfungsi sebagai tempat untuk melakukan proses pengomposan. Di tempat in terdapat beberapa alat yang digunakan dalam proses pengomposn seperti pengaduk yang berfungsi untuk mengaduk atau membolak-balikkan kompos yang sedang difermentasi, karung fermentasi, bak fermentasi, pengayak kompos dan lain-lain.
3. Trailer Trailer adalah sebuah bak yang dilengkapi dengan roda yang dapat digandengkan pada traktor sehingga dapat berfungsi sebagai bak pengangkut barang apa saja atau hasil-hasil pertanian. 4. Pencacah Serasah Alat pencacah kompos merupakan salah satu alat yang dapat membantu dalam proses pembuatan kompos secara anaerob yang berasal dari sampah khususnya sampah organik. Alat pencacah kompos biasanya dipakai untuk memperkecil ukuran sehingga proses pengomposan dapat dilakukan dengan baik. Pencacah serasah ini terdiri atas
6. Penggiling Kompos Penggiling kompos berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel kompos setelah difermentasi. Penggiling ini kompos terdiri dari beberapa bagian yaitu : rangka, poros, pisau pencacah yang berfungsi menggiling atau menghancurkan kompos, kap penutup (cover) dan pengumpan bahan/kompos. Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan yang dilakukan diperoleh rata-rata kapasitas kerja untuk alat penggiling kompos adalah 429.4 kg/jam.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 48
ISSN: 1979-7362 7. Pengayak Kompos Pengayak kompos ini berfungsi untuk menyeragamkan ukuran partikel kompos matang yang telah digiling agar mudah dalam pengaplikasiannya di lahan pertanian atau perkebunan. Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan yang dilakukan diperoleh rata-rata kapasitas kerja untuk alat pengayak kompos adalah 138.5 kg/jam.. 8. Pengepak Kompos Pengepak kompos terbuat dari karung plastik yang berguna sebagai wadah atau tempat kompos sebelum diaplikasikan pada tanaman. Selain karung plastik juga diperlukan alat penjahit karung, sehingga kompos tidak tertumpah dan dapat tersimpan dengan baik. Kapasitas karung pengepak yang digunakan adalah 15 kg dengan kecepatan mesin penjahit 30 detik/karung
9. Aplikator Kompos Alat ini terdiri atas beberapa bagian seperti belt conveyor, dan bak kompos dan lubang penyalur kompos. Alat ini berfungsi untuk mengaplikasikan kompos di lahan perkebunan dengan membenamkan kompos di bawah permukaan tanah dengan kapasitas kerja 9 ton/jam.
Gambar 1. (a) Traktor sedang menarik trailer, (b) Alat pencacah serasah tebu, (c) Mesin penggiling kompos, (d)
Rumah kompos, (e) Pengayak kompos, (f) Aplikator kompos Proses Pengomposan Proses pengomposan adalah suatu proses mikrobilogi. Bahan organik dirombak oleh aktivitas mikroorganisme sehingga dihasilkan energi dan unsur karbon sebagai pembangun sel-sel tumbuh. Sumber energi diperoleh dari unsur N pada bahan organik mentah. Pengomposan dapat didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dari bahan organik sampah di bawah kondisi-kondisi terkontrol. Pada proses pengomposan akan terjadi perubahan yang dilakukan oleh mikroorganisme berupa : 1) penguraian selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin serta lainnya menjadi karbondioksida (CO 2 ) dan air, 2) pengikatan unsur hara oleh mikroorganisme akan dilepas kembali setelah mekroorgaisme mati, 3) pembebasan unsur hara senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang akan tersedia bagi tanaman. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengomposan adalah kadar air, suplai oksigen, suhu dan pH (Musnamar 2003). Proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) tahap dalam pengomposan, 2) suhu, 3) tahap dekomposisi bahan, 4) komposisi bahan yang dikomposkan, 5) ukuran partikel, dan 6) kandungan air. Konsumsi oksigen nampak bervariasi (meningkat dan menurun) secara logaritmik dengan perubahan suhu. Kematangan kompos yang digunakan juga menjadi faktor yang mempengaruhi cepat aplikasinya ke tanaman. Kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Badan Standarisasi Nasional (2004) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos, yaitu: 1) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur dan besarnya
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 49
ISSN: 1979-7362 kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat; 2) nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman, 3) tidak berbau dan bebas dari patogen parasit dan biji rumput-rumputan. Kematangan kompos sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang sudah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kandungan kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan tanaman. Oleh sebab itu, kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos. Berdasarkan hasil pengomposan serasah tebu yang dilakukan di pabrik gula Takalar Sulawesi Selatan diperoleh kandungan bahan organik kompos; 0.67 % unsur N, 0.24 % unsur P, 1.22 % unsur K dan 6.9 % unsur C (Lihat Tabel 1). Tabel 1. Kandungan Hara Kompos Serasah Tebu Parameter Jumlah C Organik (%) N Organik (%) C/N ratio P 2 O 5 (%) K2 O (%) Ph
6.90 0.67 10.29 0.24 1.22 6.5
Berdasarkan pengalaman pengomposan yang dilakukan oleh perkebunan tebu PG. Takalar Sulawesi Selatan setiap 4 ton bahan dasar berupa campuran limbah pabrik gula akan menghasilkan kompos matang (C/N 10-20) 11.2 ton atau seperempat dari berat semula.
Pengaruh Kompos Terhadap Tanah dan Tanaman Pemberian bahan organik ke dalam tanah memberikan dampak yang baik terhadap tanah, tempat tumbuh tanaman. Tanaman akan memberikan respon yang positif apabila tempat tanaman tersebut tumbuh memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyediakan zat pengatur tumbuh tanaman yang memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman seperti vitamin, asam amino, auksin dan giberelin yang terbentuk melalui dekomposisi bahan organik (Brady, 1990). Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah mengandung karbon yang tinggi. Pengaturan jumlah karbon di dalam tanah meningkatkan produktivitas tanaman dan keberlanjutan umur tanaman karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan penggunaan hara secara efisien. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa ketersediaan hara bagi tanaman tergantung pada tipe bahan yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan nutrisi lain (misalnya rasio antara C/N, C/P, dan C/S) (Delgado dan Follet, 2002). Penggunaan bahan organik telah terbukti banyak meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Duong et al. (2006) yang memberikan kompos berupa jerami pada tanaman padi sudah memberikan pengaruh setelah 30 hari diaplikasikan. Selain itu, juga ditemukan dampak positif lain seperti meningkatkan ketersediaan makro dan mikronutrien bagi tanaman (Aguilar et al., 1997) Bahan organik yang berasal dari sisa tanaman mengandung bermacam-macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman jika telah mengalami
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 50
ISSN: 1979-7362 dekomposisi dan mineralisasi. Sisa tanaman ini memiliki kandungan unsur hara yang berbeda kualitasnya tergantung pada tingkat kemudahan dekomposisi serta mineralisasinya. Unsur hara yang terkandung dalam sisa bahan tanaman baru bisa dimanfaatkan kembali oleh tanaman apabila telah mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Menurut Brady (1990), gula, protein sederhana adalah bahan yang mudah terdekomposisi, sedangkan lignin yang akan lambat terdekomposisi. Kemudahan dekomposisi bahan organik berkaitan erat dengan nisbah kadar hara. Secara umum, makin rendah nisbah antara kadar C dan N di dalam bahan organik, akan semakin mudah dan cepat mengalami dekomposisi. Oleh karena itu, untuk mempercepat dekomposisi bahan organik yang memiliki nisbah C dan N tinggi sering ditambahkan pupuk nitrogen dan kapur untuk memperbaiki perbandingan kedua hara tersebut serta menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik bagi dekomposer. Selain itu, kandungan bahan juga mempengaruhi proses pengomposan. Selama proses dekomposisi bahan organik, terjadi immobilisasi dan mobilisasi (mineralisasi) unsur hara. Immobilisasi adalah perubahan unsur hara dari bentuk anorganik menjadi bentuk organik yaitu terinkorporasi dalam biomassa organisme dekomposer. Sedangkan mineralisasi terjadi sebaliknya. Kedua kegiatan ini tergantung pada proporsi kadar hara dalam bahan organik. Immobilisasi nitrogen secara netto terjadi bila nisbah antara C dan N bahan organik lebih dari 30, sedangkan mineralisasi netto terjadi bila nisbahnya kurang dari 20. Jika nisbahnya antara 20 hingga 30 maka terjadi kesetimbangan antara mineralisasi dan immobilisasi. Immobilisasi dan mineralisasi tidak hanya terjadi pada unsur nitrogen, tapi juga terjadi pada unsur lain. Pada saat terjadi immobilisasi tanaman akan sulit menyerap
hara karena terjadi persaingan dengan Oleh karena itu, pemberian pemberian bahan organik perlu memperhitungkan kandungan hara dalam bahan organik tersebut. Bahan organik yang memiliki nisbah C dan N rendah, lebih cepat menyediakan hara bagi tanaman, sedangkan bila bahan organik memiliki nisbah C dan N yang tinggi akan mengimmobilisasi hara sehingga perlu dikomposkan terlebih dahulu Daftar Pustaka Herman, D.H. Goenadi. 1999. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri Pupuk Hayati di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 18(3): 91-97. Hoitink, H.A., H.M. Keener. 1993. Science and Engineering of Composting: Design, Environmental, Microbiological, and Utilization Aspect. Ohio Agric. Res.Dev.Or., The Ohio State Univ. Wooster. OH. 728 pp. Hutasoit, G.F., A. Toharisman. 1993. Pengomposan limbah pagrik gula di PG. Jatitujuh, Cirebon. Pros. Seminar Pertemuan Teknis Tengah Tahun I/1991. P3GI, Pasuruan. Qureshi, M.E., M.K. Wegener, F.M. Mason. 2000. Mill Mud Case Study in Mackay: An Economic Study on Recycling Sugar By-Products for the Mackay Region. CRC Sugar Occasional Publication Townsville. pp.17. Khaerudin, Hadi. 2008. Aspek Keteknikan Dalam Budidaya Tebu Dan Proses Produksi Gula di PT. Rajawali II Unit PG Subang Jawa Barat. IPB Notojoewono W. 1970. Soeroengan. Djakarta
Tebu.
PT.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 51
ISSN: 1979-7362 Oezer Y. 1993. Agroteknologi Tebu Lahan Kering. Jakarta : Arikha Media Cipta. P3GI. 1989. Pendayagunaan Lahan Kering untuk Tebu dan Upaya Peningkatan Produktivitasnya. Makalah disampaikan pada Sidang DGI di Jakarta. Rosmarkam, Afandie & Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Stevenson FJ, 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. Second Ed, John Wiley & Son. Inc, USA Sudiatso S. 1982. Bertanam Tebu. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Toharisman, A., 1991. Pengelolaan Tebu Berkelanjutan. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Hermawan W dan Setiawan RPA. 2010. Rekayasa Mesin Pencacah Dan Pembenam Serasah Untuk Budidaya Tanaman Tebu. LPPM IPB, Bogor Widodo. 1991. Pengusahaan TRI di Wilayah Kerja PG. Tasik Madu PTP XV-XVI. Laporan Keterampilan Profesi Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Goenadi , DH dan Santi LP. 2006. Aplikasi Bioaktivator SuperDec dalam Pengomposan Limbah Padat Organik Tebu. Buletin Agron. (34) (3) pp 173 – 180 (2006). Suriawiria U. 2002. Pupuk OrganikKompos Dari Sampah. Bandung: Humaniora
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012) 52
ISSN: 1979-7362 PENERAPAN SIG UNTUK KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KABUPATEN GOWA Mahmud Achmad1, Ahmad Munir1 dan Suhardi1 1
Program Studi Keteknikan Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian UNHAS Makassar Email :
[email protected] ABSTRACT
The capability of GIS in determining the suitability land for agricultural purposes has become wide. The system is capable to process some thematic data using spatial analysis and geoprocessing. It is also able to overly some maps to get the land suitability for certain commodity such as peanut. By processing thematic data through reclassifying and overlaying thematic maps of rainfall, temperature, slope, soil type and landuse into criteria of peanut, we produce the class criteria maps and land suitability map of peanut in Gowa regency. The map is useful for decision makers in the planning of agricultural development in the region as a consideration tool. The result shows that most cultivated land for peanut are classified as properly suitable land with medium constraint. Keywords: GIS, Gowa, Land suitability, and Peanut PENDAHULUAN Perencanaan pembangunan pertanian berkelanjutan Sulawesi Selatan diarahkan pada pola pengelolaan usaha tani berorientasi pada agroindustri dan agrobisnis yang berwawasan lingkungan untuk dapat menciptakan produk berdaya saing tinggi di dalam dan luar negeri. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan pengelolaan sumber daya lahan yang sesuai dengan potensi wilayah. Karena semakin tinggi tingkat kesesuaian lahan yang dikelola untuk suatu komoditi, semakin rendah jumlah masukan (input) yang diperlukan untuk memperoleh tingkat produksi dan mutu dari komoditi tersebut. Kacang tanah telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Sementara produk sampingannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Pemanfaatan kacang tanah yang terbesar adalah untuk bahan makanan dan industri.
Selain untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri, kacang tanah juga di ekspor dalam bentuk polong dan bahan olahan. Untuk keperluan pemasaran secara luas dan ekspor kacang tanah siap dimanfaatkan dalam bentuk olahan, antara lain kacang tanah goreng (roasted peanuts) dan kacang atom (coated peanuts) dengan berbagai nama dagang (trade mark). Bahan olahan berupa kacang asin diproduksi di berbagai daerah di Indonesia misalnya hasil olahan kacang tanah dengan kemasan khusus yang diproduksi oleh PT. Garuda Putra Putri Jaya. Tanaman kacang tanah dapat tumbuh dan berproduksi di hampir semua provinsi di Indonesia. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang membudidayakan tanaman kacang tanah dan merupakan daerah potensi untuk mendkung industry kacang tanah local. Pengembangan agroindustri/agrobisnis kacang tanah perlu ditunjang dengan keadaan sumber daya alam yang sesuai untuk pertumbuhan komoditi. Salah satu
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
53
ISSN: 1979-7362 kabupaten penghasil kacang tanah adalah Kabupaten Gowa. Pengembangan kacang tanah di Kabupaten Gowa memiliki potensi lahan seluas 1250 ha. Pertumbuhan dan produktivitas kacang tanah dipengaruhi oleh iklim, tanah, topografi, lereng, genetik dan budidaya. Hubungan yang erat antara pertumbuhan dan produktivitas tanaman dengan parameter biofisik wilayah menunjukkan bahwa keadaan biofisik ikut menentukan tingkat kesesuaian lahan, dimana pada kondisi tertentu dapat menjadi pembatas yang sifatnya dinamis (berubah-ubah dalam jangka pendek) dan sulit dikendalikan sedangkan tanah sifatnya statis (tidak berubah dalam jangka panjang). Hal ini menyebabkan peranan parameter iklim, tanah, topografi, lereng semakin penting artinya dalam peningkatan produktivitas dan mutu hasil tanaman. Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan dalam proses pemetaan dan analisis sehingga sistem ini banyak digunakan dalam proses perwilayahan komoditi. SIG sangat membantu dalam meningkatkan efisiensi waktu perencanaan dan memiliki ketelitian tinggi dan operasi yang akurat seperti proses koordinasi kegiatan perencanaan serta penataan pengelolaan suatu kawasan lahan permukaan. Salah satu bentuk penggunaan SIG adalah pemetaan kesesuaian lahan komoditi kacang tanah ditinjau dari beberapa keadaan biofisiknya. Peneilitian ini bertujuan mengkaji kesesuaian lahan komoditas kacang tanah dengan sistem informasi geografis di Kabupaten Gowa untuk informasi bagi pengembangan agroindustri dan agroisnisi kacang tanah di Sulawesi Selatan.
pengecekan lapang (ground truth) dan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi terkait seperti: (1) data desa yang membudidayakan kacang tanah tahun 2008 (Informasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Gowa); (2) data curah hujan tahun 2000 sampai 2006 (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Sulawesi Selatan); (3) data suhu, kelembaban dan lama penyinaran tahun 1991 sampai 2005 (BPDAS Jeneberang Walanae); (4) Peta rupa bumi skala 1:50.000 (Bakosurtanal Provinsi Sulawesi Selatan); (5) Peta iklim skala 1:100.000 (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Gowa); (6) Peta jenis tanah skala 1:100.000 (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Gowa); (7) Peta lereng skala 1:100.000 (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Gowa); (8) Peta penggunaan lahan skala 1:100.000 (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Gowa); dan (9) Peta administrasi desa di Kabupaten Gowa skala 1:50.000 (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Gowa). Dengan mengacu pada syarat tumbuh dan berproduksi kacang tanah (Tabel 1), lahan dapat dikelaskan menjadi beberapa kelas kesesuaian lahan (S1 untuk sangat sesuai, S2 untuk sesuai, S3 kurang sesuai, dan N untuk tidak sesuai). Tabel 1. Persyaratan Keadaan Biofisik Lahan untuk Tanaman Kacang Tanah
Sumber:
METODE Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2008 sampai Februari 2009 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dengan menggunakan data primer berupa
Pusat penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 1991
Alur pengolahan data primer dan sekunder disajikan pada Gambar 1.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
54
ISSN: 1979-7362 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penyusunan peta tematik dalam analisis ini dilakukan dengan menggunakan pengolah data spasial. Curah Hujan Kabupaten Gowa memiliki curah hujan berkisar 1049-4056 mm/tahun. Intensitas curah hujan bulanan tertinggi yaitu Januari( 867 mm/bulan) sedangkan curah hujan terendah pada bulan Juli-Oktober. Akumulasi curah hujan bulanan di 16 stasiun curah hujan di Kabupaten Gowa dapat dilihat pada Tabel 2. Curah hujan menyebar merata berdasarkan stasiun yang ada di Kabupaten Gowa. Polygon theissen yang digambarkan pada peta curah hujan
merupakan penentuan batas curah hujan untuk masing-masing tiap wilayah. Tabel 2. Akumulasi curah hujan periode April-Juni dan Juli-Oktober untuk Komoditi Kacang Tanah di Kabupaten Gowa
Peta tematik curah hujan di Kabupaten Gowa disajikan pada Gambar 2.
Gambar 1. Alur pemrosesan data untuk kesesuaian lahan kacang tanah
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
55
ISSN: 1979-7362 pada peta tematik suhu udara di Kabupaten Gowa seperti tersaji pada Gambar 3.
Gambar 2 Peta thematic curah hujan Iklim Suhu udara pada tanaman kacang tanah antara 25-27°C sangat baik untuk pembungaan. Selain suhu udara, suhu tanah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan kacang tanah yaitu antara 2535°C. Berdasarkan peta tematik suhu, maka diperoleh suhu antara 25-27°C yang dapat dikategorikan sesuai dan suhu antara 2225°C atau 27-30°C yang dapat dikategorikan cukup sesuai. Suhu 25-27°C secara mayoritas tersebar merata di wilayah Kecamatan Parangloe, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Bungaya, Tompobulu, Biringbulu dan Bontomarannu. Sedangkan suhu 22-25°C atau 27-30°C tersebar merata di wilayah Kecamatan Somba Opu, Barombong, Pallangga, Bajeng dan Bontonompo. Sedangkan Kecamatan Bontomarannu hanya secara mayoritas tersebar merata di wilayah tersebut. Apabila suhu tanah kurang dari 20°C, tanaman kacang tanah tumbuh lambat, berumur lebih lama dan produksi tanaman relatif sedikit. Suhu udara di atas 330C akan mempengaruhi benang sari. Suhu tanah di atas 40 0C akan menghambat pertumbuhan dan merusak tanaman disebabkan terganggunya proses metabolisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Martulis (1994) bahwa suhu udara di atas 330C akan mempengaruhi benang sari. Inisasi ginofor akan naik apabila suhu udara naik dari 190C menjadi 230C. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
Gambar 3. Peta tematik suhu udara Tanah (Jenis dan Tekstur) Kacang tanah dapat hidup dengan baik pada tanah yang gembur, ringan, berdrainase baik, serta mengandung cukup unsur hara makro dan mikro. Jenis tanah di Kabupaten Gowa terbagi atas beberapa jenis tanah yaitu inseptisols, entisols, oxixols, alfisols dan ultisols. Tanah Inseptisol merupakan tanah muda yang baru berkembang, bertekstur kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung dari pelapukan bahan induknya. Bahan induknya sangat resisten terhadap pelapukan. Strukturnya relatif baik untuk pertumbuhan tanaman, bulk density biasanya sedang tinggi. Keadaan ini menyebabkan inseptisol mempunyai kemampuan menahan air yang rendah, infiltrasi berlangsung relatif cepat. Jika inseptisol terdapat pada daerah yang mempunyai curah hujan rendah maka besar pengaruhnya bagi pertumbuhan tanaman, terutama pada tanaman dengan sistem perakaran dangkal, karena tanaman akan mengalami stress air, walaupun secara struktur dapat mendukung dalam penetrasi akar terhadap tanah serta pori udara yang memadai. Yang termasuk dalam jenis tanah inseptisols adalah distropepts, hydrandepts dan ustropepts. Tanah entisols mempunyai kondisi akuik dan bahan sulfidik di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral; selalu jenuh air
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
56
ISSN: 1979-7362 dan matriksnya tereduksi pada semua harison di bawah kedalaman 25 cm dari permukaan tanah mineral; atau pada suatu lapisan di atas kontak densik, litik atau paralitik, atau lapisan diantara kedalaman 40 cm dan 50 cm di bawah permukaan tanah mineral, mana saja yang lebih dangkal, memiliki kondisi akuik selama sebagian waktu dalam tahun-tahun normal (atau lebih drainase), dan mempunyai satu atau lebih sifat tekstur yaitu (1) tekstur lebih halus dari pasir berlempung dan, 50 persen atau lebih matriksnya; (2) tekstur pasir halus berlempung atau yang lebih kasar dan, 50 persen atau lebih matriksnya; (3) mengandung cukup besi fero aktif untuk dapat memberikan rekasi positif terhadap alpha, alpha-dipyridyl ketika tanah tidak sedang diirigasi. Yang termasuk dalam tanah entisols adalah tropaquents, tropofluvents dan troporthents (PPTA, 1999). Tanah oxixols yang mempunyai kondisi akuik selama sebagian waktu dalam tahuntahun normal (atau telah didrainase), pada suatu harison atau lebih di dalam 50 cm di permukaan tanah mineral, dan mempunyai satu atau lebih sifat yaitu (1) epipedon histik dimana mengandung liat kurang dari 60%; (2) epipedon dengan value warna, lembab, 3 atau kurang, langsung dibawahnya, terdapat suatu harison berkroma 2 atau kurang; (3) di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral, mengandung cukup besi-fero aktif untuk dapat memberikan reaksi positif terhadap alpha, alpha dipyridyl, ketika tanah sedang tidak diirigasi. Yang termasuk tanah oxixols yaitu haplorthox (PPTA, 1999). Tanah alfisols mempunyai gejala redoksimorfik pada semua lapisan diantara batas bawah horizon Ap atau kedalaman 25 cm di permukaan tanah mineral, mana saja yang lebih dalam, dan kedalaman 40 cm; dan pada 12,5 cm bagian atas horizon argilik, natrik, glosik, atau kandik. Yang termasuk dalam tanah alfisols yaitu haplustalfs yang mempunyai kontak litik
di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral (PPTA, 1999). Tanah ultisols hampir sama dengan alfisols akan tetapi pada 12,5 cm bagian atas horizon argilik, atau kandik. Yang termasuk dalam tanah ultisols yaitu tropohumults (PPTA, 1999). Perbedaan jenis tanah disebabkan karena perbedaan bahan induknya, proses terbentuknya, termasuk waktu yang dibutuhkan, kondisi iklimnya dan letak topografinya. Berdasarkan peta tematik tekstur di Kabupaten Gowa, sebaran tekstur tanah didominasi oleh tekstur liat berpasir (halus; agak halus; sedang) dan lempung berliat (kasar). Tekstur tanah halus, agak halus dan sedang yang dapat dikategorikan sebagai sesuai yang tersebar merata di wilayah Kecamatan Somba Opu, Barombong, Pallangga, Bajeng, Bontomarannu, Bontonompo, dan Parangloe. Kecamatan Tinggimoncong, Tombolo Pao, Bungaya, Tompobulu dan Biringbulu jenis tekstur ini mayoritas tersebar dalam wilayah kecamatan. Sedangkan tekstur tanah kasar dapat dikategorikan sebagai tidak sesuai yang secara mayoritas tersebar merata di wilayah Kecamatan Tombolo Pao, Tinggimoncong, Bungaya, Tompobulu dan Biringbulu. Tekstur tanah yang diinginkan untuk syarat tumbuh kacang tanah adalah halus atau agak halus. Dengan adanya sebaran tekstur tanah di Kabupaten Gowa memberikan petunjuk bahwa tekstur tanahnya memiliki sifat melakukan air cukup tinggi daya memegang air dan kesuburannya akan rendah sampai sedang serta cenderung tidak stabil terhadap daya rusak air hujan. Tanaman kacang tanah menghendaki struktur tanah yang gembur, berdrainase dan aerasi yang baik serta tekstur yang halus merupakan persyaratan mutlak untuk pertumbuhan kacang tanah yang optimal.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
57
ISSN: 1979-7362 Kacang tanah masih dapat tumbuh baik pada jenis tanah yang berstruktur kasar yang dikategorikan menjadi tidak sesuai, namun pada saat panen akan banyak polong yang tertinggal di dalam tanah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dalam budidaya kacang tanah pada tanah kasar perlu dibuat bedengan (Pitojo, 2005). Tekstur tanah dalam turut menentukan tata air dalam tanah dan besar kecilnya aliran air permukaan, ditentukan oleh: (1) kecepatan infiltrasi, yaitu kemampuan tanah untuk merembeskan air, yang biasanya dinilai dalam mm setiap satuan waktu; (2) kemampuan penetrasi atau permeabilitas air yang ada di lapisan tanah yang berlainan atau jelasnya kemampuan air yang terdapat pada suatu lapisan untuk menembus lapisan lain yang ada dibawahnya (Kartasapoetra, 1999) Dengan demikian lajunya air permukaan akan mampu melakukan pengikisan pada bagian-bagian tanah permukaan. Gambar 4 menyajikan secara jelas peta tematik tekstur tanah di Kabupaten Gowa.
Gambar 4. Peta tematik jenis tanah Topografi dan Lereng Kemiringan lereng di kabupaten Gowa dibagi atas 4 jenis yaitu <8% yang tersebar merata di Kecamatan Barombong, Pallangga, Bajeng dan Bontonompo serta Kecamatan Sombo Opu, Bontomarannu, Parangloe, Bungaya dan Tinggimoncong hanya secara mayoritas saja tersebar merata di wilayahnya. Lereng 8%-16% secara mayoritas tersebar merata di wilayah Kecamatan Parangloe, Tombolo Pao, Tinggimoncong, Bungaya,
Tompobulu dan Biringbulu. Lereng 16%30% secara mayoritas tersebar merata di wilayah Kecamatan Tombolo Pao, Tinggimoncong, Bungaya dan Tompobulu. Lereng >30% secara mayoritas tersebar merata di wilayah Kecamatan Bungaya, Tompobulu dan Biringbulu. Berdasarkan kemiringan lereng di atas maka dapat dikategorikan menjadi 4 kategori yaitu lereng <8% termasuk dalam kategori sesuai, lereng 8%-16% termasuk dalam kategori cukup sesuai, lereng 16%30% termasuk dalam kategori sesuai marginal dan lereng >30% termasuk dalam kategori tidak sesuai. Tanaman kacang tanah baik ditanam pada daerah dataran rendah kurang dari 600 m di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng <8% (sesuai). Pada tanah yang keadaannya tidak begitu miring (lereng yang tidak begitu curam) maka lajunya air di permukaan akan berkurang (tidak begitu cepat), lebih-lebih kalau tanah yang tidak begitu miring itu keadaannya begelombang. Dalam keadaan demikian kesempatan air di permukaan untuk berinfiltrasi adalah lebih besar, sehingga run off atau lajunya air tidak begitu membahayakan karena daya kikis dan daya angkutnya pun berkurang (agak lemah). Pada tanah-tanah yang mempunyai kemiringan kurang dari 8% atau katakanlah hampir datar, yang memiliki kedalaman yang baik, merupakan tanah yang subur, bebas dari batu-batuan dan kerikil, tidak memperlihatkan gejala-gejala adanya pengikisan, mempunyai curah hujan dan musim yang cocok bagi tanaman kacang tanah. Menurut pendapat Kartasapoetra (1999), usaha penanaman disini memerlukan perlakuan-perlakuan bercocok tanam yang praktis yang baik, seperti rotasi tanaman dengan memperhatikan pemberian pupuk secara teratur.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
58
ISSN: 1979-7362
Pada tanah-tanah yang mempunyai kemiringan antara 8%-16%, kedalaman tanah agak dangkal, memperlihatkan gejala-gejala telah berlangsungnya pengikisan tanah oleh aliran air permukaan, perlakuan-perlakuan praktis yang lebih baik banyak diperlukannya, terutama untuk melindungi tanah dalam jangka waktu panjang dan melindungi kelembaban tanahnya. Sisa-sisa tanaman dapat dibenamkan untuk mendorong kesuburan tanahnya, demikian pula penaburan biji-biji tanaman kacang tanah secara menyilang arah lereng (cross slope seedling of legumes) (Kartasapoetra, 1999). Pada tanah-tanah yang mempunyai kemiringan antara 16%-30% yang pada mulanya merupakan tanah yang subur kemudian terkena pengikisan-pengikisan sehingga lapisan tanah permukaannya (top soil) hampir hilang. Menurut Kartasapoetra (1999), usaha bercocok tanam untuk kacang tanah di sini sebaiknya dilakukan dengan perlakuan kombinasi menurut larikan (strip cropping) selain terasering. Juga pemberian pupuk (pupuk hijau atau organis serta pupuk buatan) dan perlakuan-perlakuan praktis lainnya yang bertujuan memperbaiki tingkat produktivitas tanah dan penghambatan pengikisan perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pada tanah-tanah yang mempunyai kemiringan lebih dari 30% usaha bercocok tanam untuk tanaman kacang tanah adalah tidak untuk dilakukan, karena lerenglereng tanahnya demikian terjal, sulit sekali untuk melakukan pertanaman, Biasanya tanah-tanah pada kemiringan yang lebih dari 30% hanya merupakan sub soil dan biasanya berbatu-batu. Menurut pendapat Kartasapoetra (1999), pada tanah yang mempunyai kemiringan lereng lebih dari 30% dapat dilakukan (1) perbaikan dengan perlakuan-perlakuan
untuk mengolah tanah, menyiapkan bedeng pembibitan, membuat larikan tanaman sejajar dan searah dengan garis kontur atau menyilang lereng; (2) menanaminya dengan cara contour system ganti berganti dengan cara strip cropping dan ada baiknya diperkuat dengan pembuatan sengkedan-sengkedan (terasering); (3) mencegah timbulnya aluralur pada permukaan tanah dengan jalan pembuatan check dam; (4) memasukkan sisa-sisa tanaman ke dalam tanahnya dan memberi pupuk kandang dan pupuk buatan secukupnya. Terasering pada umumnya yaitu suatu saluran yang dapat memperlambat terpenuhinya sebidang tanah miring yang diteras oleh aliran air permukaan karena saluran itu mengatur pembuangannya ke bidang tanah sengkedan lainnya dan di bidang tanah sengkedan ini saluran airnya merupakan pengatur pembuangan pula ke bidang tanah sengkedan lain yang letaknya lebih rendah, demikian seterusnya. Dengan demikian pengikisan dan penghanyutan tanah pun akan sangat minim sekali atau dapat tercegah sama sekali. Terasering (sengkedan) berfungsi untuk (1) mengendalikan erosi (pengikisan dan penghanyutan) dengan mengurangi kemiringan pada tanah atau daerah-daerah yang dijadikan lahan pertanian; (2) menjadikan tanah yang curam agar memungkinkan digunakan sebagai pertanian; (3) untuk menahan dan mengalihkan aliran air permukaan kecepatannya berkurang dan tidak erosif; (4) untuk menahan dan mengawetkan air hujan pada daerah-daerah dengan curah hujan yang rendah. Tanaman kacang tanah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang luas dan kemiringan lereng tetap merupakan kendala yang memberikan pengaruh tidak langsung.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
59
ISSN: 1979-7362 Tanah yang tidak banyak mengandung batu-batuan akan sangat membantu dalam pertumbuhan akar tanaman. Keberadaan batuan permukaan cukup memberikan pengaruh yang negatif terhadap produktivitas dibandingkan jika kondisi tanah kurang bahkan tidak dijumpai batuan permukaan dalam jumlah yang sedikit karena dengan kondisi seperti itu maka perkembangan akar berpengaruh serta berdampak pada ketersediaan air dan hara serta perlu suatu pemupukan. Perkembangan akar pada tanah halus akan lebih baik sehingga pertumbuhannya selalu meningkat disamping ini daya simpan air pun lebih tinggi sehingga ketersediaan air tanaman dan hara dapat terpenuhi (Rukmana, 2003). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada peta tematik kemiringan tanah di Kabupaten Gowa disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta tematik kemiringan tanah Penggunaan Lahan Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas: penggunaan lahan semusim, tahunan dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim yang dalam polanya dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan panen dilakukan setiap musim dengan periode biasanya kurang dari setahun misalnya pada tanaman kacang tanah. Penggunaan lahan tanaman tahunan merupakan penggunaan tanaman jangka panjang yang pergilirannya dilakukan setelah hasil tanaman tersebut secara ekonomi tidak produktif lagi, seperti pada tanaman perkebunan seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa
dan sarananya, lapangan terbang dan pelabuhan. Penggunaan lahan di Kabupaten Gowa dibagi menjadi lahan yang sesuai untuk pertanian terutama tanaman kacang tanah dan lahan yang tidak sesuai bagi pertanian atau dengan komoditi lain. Lahan yang sesuai untuk tanaman kacang tanah adalah tegal/ladang, kebun, belukar dan sawah tadah hujan. Sedangkan lahan yang tidak sesuai untuk tanaman kacang tanah yaitu sawah dan hutan. Tanaman kacang tanah dapat ditanam pada lahan sawah tadah hujan dan tegal/ladang dan dapat ditanam sepanjang tahun, asalkan tersedia kelembaban tanah yang cukup dan drainase tanah dijaga tetap baik. Pengaruh musim tanam terhadap pertumbuhan dan hasil tidak begitu nampak, asalkan drainase dan kelembaban tanah diperhatikan. Lahan belukar dan kebun juga baik untuk lahan tanaman kacang tanah. Sawah pada peta penggunaan lahan merupakan sawah irigasi yang lebih menguntungkan untuk tanaman padi karena merupakan tanaman pokok dan memungkinkan dibudidayakan sepanjang tahun karena adanya suplai air yang mencukupi dengan pemanfaatan irigasi dari beberapa sungai yang mengalir di Kabupaten Gowa. Hutan tidak dapat dijadikan sebagai lahan pertanian karena berfungsi untuk mereduksi kecepatan aliran air permukaan, mereduksi berlangsung-nya pengikisanpengikisan atas tanah disekitarnya juga dapat membantu penahanan air di dalam tanah. Disinilah letak arti atau nilai pentingnya hutan, karena itu hutan tidak dapat dijadikan sebagai lahan pertanian. Pengolahan tanah yang baik yaitu dapat menjaga atau memelihara dengan sebaikbaiknya agar lapisan tanah atasnya/lapisan
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
60
ISSN: 1979-7362 olah tanah tetap dalam keadaan baik serta tidak terangkut/terpindahkan ke tempat lain. Membiarkan lapisan olah tanah (top soils) terangkut ke tempat lain dari tempat asalnya dapat dikatakan sebagai suatu tindakan pengolahan yang tidak baik, meskipun di tempat lain endapanendapannya dapat membentuk tanah yang subur (daerah kaki bukit, dataran). Detail penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta tematik penggunaan lahan Hasil pengolahan data Dari peta tematik yang telah diolah berdasarkan diagram pada Gambar 1 diperoleh hasil data kesesuaian lahan untuk kacang tanah yang disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Peta kesesuaian lahan untuk kacang tanah. Luas lahan yang tidak sesuai untuk komoditi kacang tanah (komoditas lain) yaitu luas kelas lahan S1 sekitar 1.217.356 ha dengan persentase 1,25%, luas kelas lahan S2 sekitar 2.513.472 ha dengan persentase 2,58%, luas kelas lahan S3
sekitar 4.223.343 ha dengan persentase 4,34% dan luas kelas lahan N sekitar 89.425.593 ha dengan persentase 91,8%. Dibawah ini dapat dijelaskan tiap kelas lahan yang ada pada lahan tidak sesuai untuk tanaman kacang tanah. Kelas lahan S1. Tanah pada lahan kelas S1 tidak sesuai untuk ditanami dengan tanaman semusim terutama, tetapi lebih sesuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti tanaman makanan ternak atau dihutankan. Tanah pada lahan kelas S1 terletak pada tempat yang hampir datar, basah atau tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaan tanah. Sebagai contoh tanah lahan kelas S1 adalah: (a) tanah didaerah cekungan yang sering tergenang air sehingga menghambat pertumbuhan tanaman; (b) tanah berbatu; dan (c) tanah di daerah berawa-rawa yang sulit untuk didrainasekan. Kelas lahan S2. Tanah pada lahan kelas S2 tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani semusim, tetapi sesuai untuk vegetasi permanen yang dapat digunakan sebagai tanaman makanan ternak/padang rumput atau dihutankan, dengan penghambat yang sedang. Tanah ini mempunyai lereng yang curam, sehingga mudah tererosi atau lebih mengalami erosi yang sangat berat, atau mempunyai solum tanah yang sangat dangkal. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan tindakan pengawetan khusus seperti pembuatan teras tangga/teras bangku, pengolahan menurut kontur, dan sebagainya. Penggunaan untuk padang rumput harus diusahakan sedemikian rupa sehingga rumputnya selalu menutupi tanah dengan baik. Kelas lahan S3. Tanah pada lahan kelas S3 tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, dan sebaliknya digunakan untuk penanaman dengan vegetasi permanen seperti padang rumput atau hutan yang disertai dengan tindakan
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
61
ISSN: 1979-7362 pengelolaan yang tepat dan lebih intensif dari yang diperlukan pada lahan kelas S2. Tanah pada lahan kelas S3 terletak pada lereng yang sangat curam atau mengalami erosi berat, atau tanah sangat dangkal atau berbatu. Kelas lahan N. Tanah pada lahan kelas N tidak sesuai untuk tanaman semusim dan usaha produksi pertanian lainnya dan harus dibiarkan pada keadaan alami dibawah vegetasi alami. Tanah pada lahan kelas N dapat digunakan untuk cagar alam, hutan lindung atau rekreasi. Tanah pada lahan kelas N merupakan tanah yang berlereng sangat curam atau permukaan tanah sangat berbatu yang dapat berupa batuan lepas (stone) atau batuan singkapan (rock outcrops) atau tanah pasir (di pantai).Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada peta kesesuaian lahan untuk komoditi kacang di Kabupaten Gowa. Berdasarkan hasil peta penyebaran komoditi kacang tanah, maka diperoleh luas potensi areal tanam tanaman kacang tanah yaitu 3.161.448 ha sedangkan luas potensi areal tanam dari hasil revisi Dinas Pertanian yaitu 1.350 ha yang termasuk wilayah Kecamatan Parigi, Bontomarannu, Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Berdasarkan peta penyebaran budidaya untuk komoditi kacang tanah maka diperoleh luas lahan yang sesuai (berpotensi) untuk kacang tanah yaitu 3.161.448 ha dengan persentase 2% dan lahan yang tidak sesuai untuk kacang tanah sekitar 153.813.775 ha dengan persentase 98%. Model penilaian kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai alat untuk penyusunan para perwilayahan komoditas berdasarkan keadaan iklim, tanah dan lereng yang berguna untuk perencanaan tataguna lahan yang mendukung usaha agribisnis. Akan
tetapi dalam kesesuaian lahan ini di prioritaskan pada ketersediaan air di sekitar lahan tersebut. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan pengelolaan sumber daya lahan yang lebih sesuai dengan potensinya, karena semakin tinggi tingkat kesesuaian lahan yang dikelola untuk suatu komiditi, semakin rendah masukan (input) yang diperlukan untuk memperoleh tingkat produksi dan mutu tertentu. KESIMPULAN Peta kesesuain lahan untuk kacang tanah telah dihasilkan berdasarkan kondisi fisik wilayah Kabupaten Gowa yang dapat digunakan sebagai informasi dalam perencanaan pembangunan pertanian di Sulawesi Selatan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. Gowa dalam Angka 2007. Balai Pusat Statistika, Gowa. Anonim, 2003. Pengelolaan Tanaman Terpadu. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta. Atmadilaga, A.H., 1995. Data Base Management System (DBMS) untuk Mendukung GIS. Disajikan pada Short Course Geographic Information System. Pusat Komputer PIKSI, Institut Teknologi Bandung. Tanggal 21-23 November 1995, Bandung. Aziz, L.T., 1995. Sistem Informasi Geografis (SIG) : Konsep dan Aplikasi. Makalah disajikan pada Short Course Geographic Information System. Pusat Komputer PIKSI, Institut Teknologi Bandung. Tanggal 21-23 November 1995, Bandung. Driessen, P.M., N.T. Konijn, 1992. LandUse System Analysis. Wageningen
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
62
ISSN: 1979-7362 Agricultural University Departemen of Soil Science & Geology, Netherlands. FAO, 1996. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bull, Roma. Foth, H. D., 1984. Fundamentals for Land Evalution. John Wiley and Sons, Inc., New York (435). Jhonson, E., 2009. Geographic Information System in Water Resources Engineering. CRC Press, New York. Kartasapoetra, A.G., 1999. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha untuk Merehabilitasinya. Bina Aksara, Jakarta. Kartasapoetra, A.G., 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta. Kasno, Astanto, Winarto, dan Sunardi, 1993. Kacang Tanah. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. Pierce, Francis, J. dan David Clay, 2007. GIS Aplications in Agriculture. CRC Pres, New York.
PPTA (Pusat penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat), 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. PPTA (Pusat penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat), 1991. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Prahasta, 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Cetakan Kedua, Penerbit Informatika, Bandung. Pracaya, 2004. Bertanam Kacang Tanah. Penebar Swadaya, Jakarta. Rukmana, 2001. Kacang Tanah. Cetakan Ketiga, Kanisius, Yogyakarta. Sitorus, S.R.P., 2004. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tarsito, Bandung. Sumarno, 2003. Teknik Budidaya Kacang Tanah. Cetakan Ketiga, Penerbit Sinar Baru, Bandung. Sys, C., E. V. Ranst dan J. Debaveye., 1991. Land Evaluation. Part I-III. General Administrasion For Development Cooperation Place du Champ de Mars 5 bte 57-1050 Brussels, Belgium.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
63
ANALISIS FINANSIAL IRIGASI AIRTANAH PADA BUDIDAYA PADI Suhardi Program Studi Keteknikan Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar email:
[email protected] Abstrak Pengembangan irigasi berkelanjutan harus memenuhi ketiga pilar dari pembangunan berkelanjutan. Aspek ekonomi adalah merupakan salah satu pilar dari pembangunan berkelanjutan yang sangat urgen dalam irigasi airtanah. Hal ini disebabkan karena irigasi airtanah membutuhkan biaya yang sangat besar. Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap biaya irigasi menggunakan airtanah; (2) untuk mengetahui kelayakan penggunaan airtanah untuk irigasi. Analisis ekonomi dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekonomi teknik dimana biaya irigasi dikelompokkan kedalam biaya tetap dan biaya tidak tetap. Komponen biaya selain biaya irigasi adalah biaya pengolahan tanah, biaya bibit, biaya saprodi dan biaya pemeliharaan. Untuk menilai kelayakan usaha tani digunakan metode B/C rasio. Untuk memperoleh luas minimum layak didasarkan pada hasil simulasi dengan skenario berupa: luasan, jumlah jam operasi pompa untuk satu dan dua musim tanam dalam setahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya air irigasi menggunakan pompa per hektar dipengaruhi oleh jumlah musim tanam per tahun, luas usahatani dan jumlah jam operasi pompa per musim. Sedangkan luas minimum layak ditentukan oleh besar kecilnya jam operasi pompa per musim tanam. Hal ini dijelaskan dalam bentuk grafik kecenderungan, yang menunjukkan hubungan antara jam kerja/musim dengan luas minimum layak. Kata Kunci: Analisis Finansial, Irigasi Airtanah, Padi PENDAHULUAN Pembangunan irigasi berkelanjutan harus memenuhi tiga pilar dari pembangunan berkelanjutan. Ketiga pilar yang dimaksud adalah keberlanjutan sumber daya atau lingkungan, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Dibandingkan dengan irigasi air permukaan, irigasi airtanah memerlukan biaya yang relatif besar karena adanya biaya tambahan berupa biaya pengadaan sumur dan pompa serta biaya operasional irigasi airtanah. Dengan demikian, usahatani irigasi airtanah sangat beresiko akan terjadinya kerugian. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan analisa pengujuan efektivitas biaya dalam budidaya padi yang menggunakan irigasi airtanah. Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap biaya irigasi menggunakan airtanah; 2. Mengetahui kelayakan penggunaan airtanah untuk irigasi. 3. Melakukan simulasi untuk memperoleh luas minimum yang layak untuk satu sumur agar usahatani menguntungkan. METODOLOGI PENELITIAN Data yang digunakan berupa data primer yang diperoleh dengan cara pengukuran dan survey langsung di lapangan pada petani pengguna airtanah untuk irigasi di Desa Wajo Riaja, Kec. Tana Sitolo, Kab. Wajo. Data yang dibutuhkan diantaranya : 1) biaya pengadaan sumur; 2) biaya pengadaan unit pompa (mesin dan pompa
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
64
serta peralatan lainnya); 3) biaya operasional pompa; 4) biaya pengolahan tanah, saprodi dan pemeliharaan; dan 5) data produksi. Perhitungan biaya Analisis kelayakan usahatani didasarkan pada analisa untung rugi. Suatu usahatani tanaman padi dianggap layak jika keuntungan di atas antara 20 hingga 30 persen dari biaya pokok produksi (Anonim1, 2007). Komponen biaya dalam analisa usahatani dengan irigasi terdiri atas Biaya Air Irigasi, Biaya Pengolahan Tanah, Biaya Saprodi dan Pemeliharaan. Biaya air irigasi dengan airtanah yang digunakan didasarkan nilai penggunaan langsung dan tidak langsung (Canter, et al., 1997). Namun karena nilai tidak langsung terhadap penggunaan airtanah belum dipertimbangkan di Indonsesia khususnya untuk penggunaan irigasi, maka biaya irigasi hanya didasarkan pada nilai langsung yaitu biaya yang timbul dalam kegiatan irigasi. Hal ini dilakukan karena biaya penggunaan airtanah lebih besar disbanding dengan biaya tidak langsung atau eksternal (Suter, et al., 2012). Perhitungan biaya air irigasi dengan airtanah menggunakan pompa setiap hektar digunakan persamaan Diametan 74 (Soejadmiko, 1974 dalam Irwanto, 1982) yaitu : BAI = RxTx
Ix 24 1 x QxJxE C
di mana: BAI = Biaya air irigasi (Rp/ha) R = Total biaya perjam dari pompa dan motor penggerak (Rp/jam) T = Total jam kerja pompa dan motor penggerak (jam/musim) (Ix24) = Total debit air irigasi yang dibutuhkan per jam selama 24 jam, atau (m3/jam) x (24 jam/hari) = (m3/hari) Q = Kapasitas pompa 3 berdasarkan ukuran pompa (m /jam) J = Rata-rata jam kerja pompa per hari (jam/hari)
E = Efisiensi Irigasi (%) C = Kapasitas mengairi (ha/musim) Total biaya per jam merupakan penjumlahan antara biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap (Fix Cost) Komponen biaya tetap sama sekali bersifat tidak tergantung (independent) terhadap pemakaian daripada mesin atau alat. Biaya tetap per jam tidak berubah dengan perubahan jam kerja tiap tahun dari pemakaian mesin atau alat. Biaya tetap selalu dihitung meskipun alat tidak digunakan. Biaya tetap terdiri atas : 1) Biaya penyusutan (Depreciation cost) Penyusutan mesin dan pompa berlangsung dengan tingkat penurunan yang tetap selama umur pemakaian sehingga digunakan Metode Garis Lurus dengan persamaan (Thuesen dan Fabrycky, 1993): P−S D= N di mana: D = Biaya penyusutan tiap tahun (Rp/thn) N = Perkiraan umur ekonomis (thn) P = Harga beli (Rp) S = Nilai sisa, (% P) (Rp). 2) Biaya bunga modal, pajak dan asuransi (Interest, Tax and Insurance cost) Biaya bunga modal, pajak dan asuransi diperhitungkan untuk mengembalikan nilai modal yang ditanam sehingga pada akhir umur peralatan diperoleh suatu nilai uang “present value”nya sama dengan nilai modal yang ditanam. Besarnya bunga modal, pajak dan asuransi dihitung dengan persamaan : I=
i.(P )( . N + 1) 2.N
di mana: I = Total bunga modal, pajak dan asuransi (Rp/th) i = Total persen bunga modal, pajak dan asuransi (%) 3) Biaya garasi/gudang (Shelter cost) Sl = 1% xP
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
66
di mana: Sl = Biaya Garasi/Gudang (Rp/thn) 4) Biaya dana sosial (Social cost) Besarnya biaya sosial ditentukan berdasarkan catatan pengeluaran biaya social selama mesin pompa ada. Biaya tidak tetap (Variabel cost): Biaya tidak tetap atau biaya operasional bervariasi berdasarkan pemakaian. Biaya tidak tetap mesin pompa terdiri atas: 1) Biaya bahan bakar Mesin pompa yang digunakan adalah mesin diesel, di mana mesin beroperasi secara stationer (tidak berpindah tempat). Besarnya biaya bahan bakar ditentukan dengan persamaan: 0,16 ltr Pemakaian BBM = HP − Jam 2) Biaya perawatan preventif Biaya pemeliharaan preventif untuk mesin pompa terdiri atas: oli mesin, grease/gemuk. 2.a Biaya oli mesin. Mesin penggerak yang digunakan untuk menggerakkan pompa adalah mesin diaesel dengan satu selinder. Besarnya biaya oli mesin ditentukan dengan persamaan: BiayaOli =
0,8lt HPx100 jam
2.b Biaya grease dan seal pompa 3) Biaya reparasi (perbaikan) Mesin pompa hanya berfungsi sebagai sumber tenaga dan bukan untuk menggerakkan/memindahkan atau mengangkat beban, maka biaya reparasi dihitung dengan persamaan: Biaya Perbaikan = 4) Biaya operator
1,2%(P − S ) 100 jam
Biaya operator tergantung pada lokasi tempat bekerja. Untuk daerah penelitian biaya operator ditentukan dengan persamaan: BiayaOperator =
20% xproduksi 2
BT Biaya Me sin per jam = + [BBM + OP + P + O ] X di mana: BT= Total biaya tetap (Rp/thn) X = Jumlah jam kerja per tahun (jam/thn) BBM = Biaya BBM (Rp/jam) OP = Biaya oli dan pelumas (Rp/jam) P = Biaya perbaikan (Rp/jam) O = Biaya operator (Rp/jam). Biaya pengolahan tanah Biaya pengolahan tanah ditentukan berdasarkan pada pengalaman dilapangan. Biaya bibit Biaya bibit ditentukan berdasarkan pada banyaknya bibit yang digunakan (kg) untuk setiap hektar dikalikan dengan harga bibit (Rp/kg). Biaya saprodi Lain Biaya saprodi terdiri atas biaya pupuk, obat-obatan berupa insektisida dan herbisida. Biaya pemeliharaan Biaya pemeliharan diperuntukkan untuk penyiangan, penyemprotan dan kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan usahatani. Total Biaya Produksi Total biaya produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: BP = BAI + BPT + BB + BT + BM di mana: BP = Biaya produksi (Rp/ha) BAI = Biaya Air Irigasi (Rp/ha) BPT = Biaya Pengolahan Tanah (Rp/ha) BB = Biaya Bibit (Rp/ha) BT = Biaya Tanam (Rp/ha) BM = Biaya Pemeliharaan (Rp/ha) Perhitungan pendapatan Pendapatan dalam rupiah per hektar dihitung dengan persamaan: B=Prod x HGP- BP
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
67
di mana: B = Pendapatan (Rp/ha) Prod = Produktivitas (ton/ha) HGP = Harga gabah panen (Rp/ton) Penentuan harga gabah didasarkan Inpres No. 3 tahun 2007, tertanggal 31 Maret 2007. Harga gabah terdiri atas GKP Rp. 2000,-/kg di tingkat petani, Harga GKG Rp 2575/kg di penggilingan, dan beras Rp 4000,-/kg di gudang bulog (Anonim2, 2007). Analisis B/C Rasio Selisih antara pendapatan dan biaya merupakan indikator untuk menyatakan bahwa usahatani mengalami keuntungan atau kerugian. Di samping itu, selisih kedua komponen tersebut dapat dijadikan indikator kelayakan usaha tani. Penentuan nilai B/C ratio dirumuskan sebagai berikut: B B/C = C Usahatani dinyatakan layak jika B/C ratio > 1. Simulasi Kondisi Optimal Kondisi optimal didapatkan dengan melakukan simulasi atas beberapa skenario berupa luasan, lama pengairan dan jumlah musim tanam per tahun. Dalam simulasi tersebut dilakukan asumsi bahwa semakin lama irigasi dalam suatu musim tanam dapat terjadi peningkatan produktivitas lahan ketersediaan energi sinar matahari yang lebih lama. Hal ini disebabkan karena suatu sumur dapat memenuhi kebutuhan air irigasi secara terus menerus. Simulasi tersebut dilakukan dengan metode grafik menggunakan Microsoft Excel. Dari grafik dapat diperoleh persamaan grafik biaya dan pendapatan untuk setiap kasus. Dari persamaan tersebut, maka dapat diketahui luasan yang layak untuk suatu daerah dengan lama irigasi tertentu baik untuk satu musim tanam maupun dua musim tanam per tahun. Luasan minimum yang layak untuk setiap lama pengairan dan banyaknya musim tanam dihitung dengan persamaan: (YB − YC ) ≥ 0 di mana:
Y B = Persamaan garis pendapatan YC = Persamaan garis biaya Simulasi kondisi optimal dilakukan dengan skenario berupa luasan terdiri atas 3, 5 dan 7 ha. Hal ini didasarkan pada kapasitas akuifer sebagai mensuplai air, dan hal ini tidak boleh dilampui dengan penambahan pompa karena hanya akan menambah biaya (Koundouri, 2012) .Sedangkan lama irigasi dibagi atas tiga kelompok berdasarkan pada kondisi yang ada dilapangan yaitu untuk masa tanam awal (720 jam/musim) masa tanam tengah (1.080 jam/musim) dan musim tanam akhir (1.440 jam/musim). Adapun musim tanam terdiri atas satu dan dua musim tanam per tahun. HASIL DAN PEMBAHASAN Biaya Usahatani 1. Biaya Tetap Biaya tetap selalu sama, tidak tergantung pada besar kecilnya usaha. Namun, jika diukur berdasarkan per unit luasan, biaya tetap akan menurun dengan bertambahnya luasan peruntukan dari sebuah pompa. Pada Tabel 1 disajikan hasil perhitungan penurunan biaya tetap karena bertambahnya luasan peruntukan untuk satu unit pompa dan secara grafik penurunan biaya tetap akibat semakin luas areal yang diairi memiliki kecenderungan seperti pada Gambar 1. Tabel 1. Perubahan biaya tetap akibat luas pengairan dan musim tanam Luas (ha) 1 2 3 4 5
Biaya Tetap (Rp/thn) Satu musim tanam 3.108.800 1.554.400 1.036.266 777.200 621.760
Dua musim tanam 1.554.400 777.200 518.133 388.600 310.880
Gambar 1 menunjukkan bahwa semakin luas usahatani, maka biaya tetap pompa per hektar per tahun akan semakin kecil karena faktor pembagi semakin besar. Atas dasar tersebut, sebaiknya luasan yang diairi oleh sebuah sumur seluas mungkin selama kapasitas pompa dan system akifer
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
68
Biaya Tetap (juta Rp/ha)
masih mendukung. Hal lain yang mempengaruhi biaya tetap per hektar per tahun adalah jumlah musim tanam per tahun. Semakin banyak musim tanam per tahun, maka biaya per hektar per tahun akan semakin kecil.
Biaya air irigasi dengan airtanah sebagai sumber irigasi per jam tidak dipengaruhi oleh luas yang diairi melainkan dipengaruhi oleh frekuensi tanam dan jumlah jam operasi pompa per tahun. Hal ini disebabkan karena volume pengambilan hanya dipengaruhi oleh kapasitas pompa dan kemampuan akifer. Adapun biaya air irigasi untuk luas irigasi 3, 5 dan 7 ha dengan frekuensi tanam 1 dan 2 musim tanam per tahun dapat dilihat pada Lampiran 7. Pada Tabel 3 disajikan besarnya biaya air irigasi untuk setiap waktu operasi pompa 720, 1.080 dan 1.440 jam/musim tanam untuk 1 dan 2 musim tanam per tahun dengan luasan 3, 5 dan 7 ha.
4,00 3,00
y = 3E+06x-1 R2 = 1
2,00 1,00
y = 2E+06x-1 R2 = 1
0,00 0
1
2
3
4
5
6
Luas (ha) Satu musim tanam Dua musim tanam
Tabel 3 Biaya air irigasi per hektar
Gambar 1. Biaya tetap untuk satu dan dua musim tanam.
Q Mt
2. Biaya Tidak Tetap
151,2 259,2 345,6 151,2 259,2 345,6
1
Biaya tidak tetap per jam dari mesin dan pompa tidak berubah akibat perubahan umur mesin dan pompa. Hal ini disebabkan karena kinerja mesin tidak berubah sepanjang tahun sehingga biaya per jam tidak berubah. Demikian pula dengan luas yang diairi dan jumlah musim tanam tidak berpengaruh terhadap biaya titak tetap per jam. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan adalah sama untuk seluruh debit yang diinginkan. Besarnya debit pemompaan hanya dipengaruhi oleh kapasitas pompa dan daya dukung akifer, bukan oleh besarnya tenaga mesin. Pada Tabel 2 disajikan biaya mesin per jam untuk satu dan dua musim tanam per tahun. Tabel 2 Total biaya mesin per jam per tahun untuk satu dan dua musim tanam Musim tanam/ tahun 1 2
B Tetap (juta Rp/thn) 3,11 3,11
Biaya mesin/jam(Rp/jam) B.T.Ttp (Rp/jam) 8.606 8.606
3. Biaya Air Irigasi
720 jam/thn 12.924 10.765
1080 jam/thn 11.485 10.046
1440 jam/thn 10.765 9.686
Ix 24
2
Kap J Ef (jam/hr) (%)
(m3/jam) 6,3 10,8 14,4 6,3 10,8 14,4
24 24 24 24 24 24
0,95 0,95 0,95 0,95 0,95 0,95
(ha/ms) 3 5 7 3 5 7
Biaya Air Irigasi (juta Rp/ha) 720 (jam/thn) 3,27 1,96 1,40 2,72 1,63 1,17
1080 1440 (jam/thn) (jam/thn) 4,35 5,44 2,61 3,26 1,87 2,33 3,81 4,89 2,28 2,94 1,63 2,10
4. Total biaya pokok produksi Besarnya biaya pokok produksi per hektar ditentukan oleh besarnya biaya budidaya tanaman dan biaya air irigasi. Dengan demikian, maka besarnya biaya pokok produksi per hektar hanya dipengaruhi oleh luas yang diairi dan jumlah musim tanam per tahun. Makin luas lahan yang diairi, maka biaya pokok produksi per hektar makin kecil. Biaya pokok produksi berkurang dengan bertambahnya luas lahan yang diairi disebabkan karena biaya tetap per hektar berkurang. Demikian halnya, semakin tinggi frekuensi tanam per tahun maka biaya pokok produksi per hektar per tahun makin kecil. Faktor yang dominan mempengaruhi biaya pokok produksi adalah jumlah jam operasi pompa per musim. Makin besar jam operasi per musim tanam, maka biaya pokok produksi semakin besar. Biaya air irigasi mendominasi daripada total biaya pokok produksi. Dominasi biaya air irigasi dapat hingga lebih dari 50% dari total biaya pokok produksi, hal
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
69
ini terjadi jika lama pemompaan lebih dari 1.440 jam per musim tanam dengan luas usahatani hanya 3 ha dan hanya satu musim tanam per tahun. Pengurangan dominasi biaya air irigasi dapat dilakukan dengan mengurangi jam operasi pompa per musim tanam. Pengurangan jam operasi pompa sangat sulit dikendalikan, sehingga cara lain yang dapat dilakukan dan mudah dikendalikan adalah dengan menambah luas usahatani dan atau meningkatkan jumlah musim tanam per tahun. Pendapatan Usahatani Besarnya pendapatan per hektar ditentukan oleh besarnya produktivitas lahan dan harga gabah serta biaya usahatani. Produktivitas lahan dipengaruhi oleh ketersediaan air untuk pemenuhan kebutuhan tanaman dan lama penyinaran sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis. Hal ini ditunjukkan oleh semakin lama irigasi yang mengindikasikan lamanya masa kering atau ketersediaan cahaya matahari yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis semakin besar sehingga dengan ketersediaan air dengan irigasi, maka produktivitas lahan semakin besar. Pemberian air irigasi dengan pompa dapat menjamin ketersediaan air untuk tanaman sepanjang masa pertumbuhannya, sehingga dengan cahaya matahari yang melimpah, maka produktivitas lahan semakin meningkat. Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin lama irigasi dilakukan untuk setiap musim tanam, maka pendapatan semakin besar.
Sementara hasil analisis B/C disajikan pada Tabel 5 berikut: Luas Minimum Layak Luas minimum yang layak, dihitung dengan menggunakan persamaan (90). Dengan melakukan suatu simulasi dengan skenario 1 dan 2 musim tanam per tahun, dengan variasi lama pengairan 740, 1.080 dan 1.440 jam/musim tanam, maka diperoleh suatu model matematika yang merupakan persamaan garis biaya dan pendapatan. Persamaan garis biaya dan pendapatan seperti pada Tabel 6.
Tabel 4. Pendapatan setiap 1 dan 2 musim tanam pada luasan 3, 5 dan 7 ha
Dari Tabel 7, dapat dibuat kecenderungan luas minimum layak untuk setiap jam operasi pompa/musim seperti pada Gambar 2 berikut:
MTP
1
2
Luas (ha) 3 5 7 3 5 7
Tabel 6. Persamaan garis biaya dan pendapatan MT
1
2
Lama pengairan (jam/musim) 740
Persamaan garis Biaya Pendapatan Y C =0,157x+9,7954
Y B =8,7084x-9,7954
1080 1440 740
Y C =0,157x+13,057
Y B =8,797x-13,057
Y C =0,157x+16,318
Y B =8,9479x-16,318
Y C =0,314x+16,318
Y B =17,403x-16,318
1080 1440
Y C =0,314x+22,841
Y B =17,594x-22,841
Y C =0,314x+29,364
Y B =17,896x-29,364
Berdasarkan persamaan biaya dan pendapatan di atas, maka luas minimum layak dapat ditentukan seperti pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Luas minimum layak untuk satu dan dua musim tanam per tahun Jam Kerja per Musim 740 1080 1440
Luas minimum layak (ha) Satu Musim Dua Musim Tanam Tanam 2,29 1,91 3,02 2,64 3,71 3,34
Pendapatan (juta Rp) 720 1080 1440 jam/musim jam/musim jam/musim 16,31 13,33 10,53 33,71 30,93 28,42 51,11 48,52 46,32 35,89 29,94 24,32 70,70 65,13 60,11 105,50 100,32 95,91
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
70
Luas min. layak (ha)
5,00 y = 0,0192x0,7242
4,00
R2 = 1
3,00 2,00
y = 0,0074x0,8408
1,00
R2 = 0,9998
0,00 600
850
1100 Jam kerja/musim
Satu musim tanam
1350
1600
Dua musim tanam
Gambar 2. Grafik luas minimum layak untuk setiap jam operasi pompa/musim. Perbedaan luas minimum layak disebabkan oleh adanya perbedaan jam kerja setiap musim tanam. Penyebab lain dari perbedaan tersebut adalah karena diasumsikan bahwa semakin lama jam operasi pompa setiap musim tanam maka ketersediaan sinar matahari sebagai sumber energi untuk proses fotosintesa semakin lama sehingga dapat meningkatkan produksi produktivitas lahan. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan disimpulkan bahwa:
dapat
1. Ada dua hal yang mempengaruhi biaya tetap/ha/tahun yaitu luasan dan jumlah musim tanam per tahun. 2. Untuk biaya tidak tetap per jam, besarnya tidak dipengaruhi oleh luasan dan umur mesin. Hal ini disebabkan karena besarnya air yang dipompa tidak dipengaruhi oleh luasan yang akan diairi namun dipengaruhi kapasitas pompa dan daya dukung akifer. Sedangkan umur mesin tidak berpengaruh karena diasumsikan bahwa kinerja mesin konstan sepanjang umur ekonomisnya. 3. Biaya air irigasi menggunakan pompa per hektar dipengaruhi oleh jumlah musim tanam per tahun, luas usaha dan jumlah jam operasi pompa per musim.
Biaya air irigasi berbanding terbalik terhadap luasan usahatani dan jumlah musim tanam per tahun, namun berbanding lurus terhadap jumlah jam operasi pompa per musim. 4. Persamaan garis penentuan luas minimum layak terhadap lama pengairan per musim untuk satu musim tanam pertahun adalah y=0,0192x0,7242 dan untuk dua musim tanam pertahun adalah y=0,0074x0,8408. DAFTAR PUSTAKA Anonim1, 2007, Harga Dasar Lebih Ideal. Kompas, Rabu 28 Maret 2007: hal 18, kol 2-5. Anonim2, 2007. Cegah kenaikan Harga Pupuk. Kompas, Senin 2 April 2007: hal 1 kol 2-4 dan hal 15 kol 1-4 Canter, L.W., C.W. Abdalla, R.M., Adam, et al., 1997. Valuing Ground Water: Economic concepts and approaches. National Academi Press. Washington. Irwanto, A.K. 1982. Ekonomi Enjiniring. Bogor: Jur. Keteknikan Pertanian, Fateta, IPB. Koundouri, P., 2012. Grounwater and Economics: Gisser-Sanchez’s Effect Reconsidered. Groundwater, Vol. III. EOLSS. Thuesen, G.J. and W.J. Fabrycky, 1993. Engineering Economy, Edisi ke-8. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Suter, J.F., J.M. Duke, K.D. Messer and H.A. Michael, 2012. Behavior in a Spatially Groundwater Resources: Evidence from the Lab. J: American Journal of Agricultural Economics. 94(5), p: 1094-1112.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
71
Tabel 5. Hasil analisis B/C untuk 1 dan 2 musim tanam/tahun dengan lama jam kerja/musim sebesar 720, 1080 dan 1440 jam. Mt
Luas (ha) 3
1
5
7
3
2
5
7
Jam kerja/ musim
BAI (Rp)
BPT (Rp)
BB (Rp)
BT (Rp)
BM (Rp)
BP (Rp)
BAI/BP (%)
Pendapatan (Rp)
B/C Rasio
720
3.265.146,39
1800000
360000
900000
1650000
7.975.146,39
40,94
16.308.744,32
2,04
1080
4.352.316,07
1800000
360000
900000
1650000
9.062.316,07
48,03
13.333.968,48
1,47
1440
5.439.485,75
1800000
360000
900000
1650000
10.149.485,75
53,59
10.525.098,26
1,04
720
1.959.087,83
3000000
600000
1500000
2750000
9.809.087,83
19,97
33.711.533,30
3,44
1080
2.611.389,64
3000000
600000
1500000
2750000
10.461.389,64
24,96
30.927.912,94
2,96
1440
3.263.691,45
3000000
600000
1500000
2750000
11.113.691,45
29,37
28.420.801,94
2,56
720
1.399.348,45
4200000
840000
2100000
3850000
12.389.348,45
11,29
51.114.322,29
4,13
1080
1.865.278,32
4200000
840000
2100000
3850000
12.855.278,32
14,51
48.521.857,39
3,77
1440
2.331.208,18
4200000
840000
2100000
3850000
13.321.208,18
17,50
46.316.505,62
3,48
720
2.719.742,88
3600000
720000
1800000
3300000
12.139.742,88
22,40
35.889.909,69
2,96
1080
3.806.912,56
3600000
720000
1800000
3300000
13.226.912,56
28,78
29.940.358,01
2,26
1440
4.894.082,25
3600000
720000
1800000
3300000
14.314.082,25
34,19
24.322.617,57
1,70
720
1.631.845,73
6000000
1200000
3000000
5500000
17.331.845,73
9,42
70.695.487,66
4,08
1080
2.284.147,54
6000000
1200000
3000000
5500000
17.984.147,54
12,70
65.128.246,93
3,62
1440
2.936.449,35
6000000
1200000
3000000
5500000
18.636.449,35
15,76
60.114.024,93
3,23
720
1.165.604,09
8400000
1680000
4200000
7700000
23.145.604,09
5,04
105.501.065,62
4,56
1080
1.631.533,95
8400000
1680000
4200000
7700000
23.611.533,95
6,91
100.316.135,84
4,25
1440
2.097.463,82
8400000
1680000
4200000
7700000
24.077.463,82
8,71
95.905.432,30
3,98
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
72
SIMULASI FLUKTUASI MUKA AIR TANAH DI DAERAH PESISIR JENEPONTO Syamsuddin1, Zulvyah Faisal1, dan Suhardi2 PT. Bintang Tirta Pratama, Jl. Bumi Karsa No. 8, Makassar E-mail:
[email protected] 2 Staf Teknik Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. E-mail:
[email protected] 1
Abstrack Groundwater intakes in Jeneponto coastal which were not considering the existing groundwater potential. Therefore, in-depth studies of ground water potential in Jeneponto coastal areas are needed to describe in detail groundwater potential. The study aimed to identify groundwater level dynamics, to know and describe the change of groundwater level contour due to pumping and to visualize groundwater flow directions in Jeneponto coastal areas with a five-year prediction.To obtain the results according to the aims mentioned, groundwater modeling with the Visual Delphi 5.0 program was conducted. The inputs of the program were hydraulic conductivity, hydraulic head, recharge, pumping discharge scenario, evapotranspiration, time interval of observations and grid size. The outputs of the model were groundwater level change dynamics, groundwater level contour map and groundwater flow directions.The results shown that in Jeneponto coastal areas in the districts of Bangkala, Tamalatea, Binamu, Arungkeke, Batang and Tarowang, there were groundwater level fluctuations due to pumping. Some parts of the area had the risk of groundwater level declining from water table. From the analyses, the average of ground water level declining .Based on contour map, the directions of groundwater flows for all Jeneponto coastal areas the groundwater flow pattern majority moved toward the coast. The pattern of groundwater flow in some areas with wells moved to the wells, showing the high intensity of groundwater in takes in those areas. Keywords : Groundwater, groundwater level
PENDAHULUAN Air tanah merupakan sumber daya yang penting dalam penyediaan air. Untuk lebih memahami dan mendalami akan pentingnya memelihara kelestarian air tanah, kita perlu mengetahui terbentuknya air tanah dan keterbatasan keberadaannya di alam ini. Terbentuknya air tanah dijelaskan dengan teori siklus hidrologi yaitu: air laut menguap membentuk awan yang mengandung uap air, awan dihembus oleh angin ke arah daratan, turun ke daratan sebagai hujan, sebahagian mengalir di permukaan sebagai aliran permukaan berupa sungai kembali ke laut, sebahagian masuk ke dalam tanah mengisi pori-pori batuan dalam lapisan pembawa air Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
tanah atau akuifer, kemudian keluar ke permukaan secara alami sebagai mata air atau karena proses aktivitas manusia melalui sumur-sumur gali atau pemboran, mengalir ke laut, menguap kembali menjadi awan dan seterusnya secara berulang. Eksploitasi air tanah yang berlebihan dan kurangnya pengelolaan akan menimbulkan dampak negatif, terutama ditinjau dari aspek hidrogeologi yaitu menurunnya potensi air tanah dan rusaknya daya dukung alami. Beberapa akibat yang ditimbulkan karena adanya pemompaan air tanah yang berlebihan antara lain : terjadinya penurunan muka air tanah, berkurangnya cadangan air tanah dan perubahan arah aliran air tanah. Kabupaten Jeneponto yang terletak di bagian selatan wilayah Provinsi Sulawesi 73
Selatan dengan jarak sekitar 90 km (sekitar 2 jam kearah selatan Kota Makassar). Kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Takalar di bagian utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah timur dengan kabupaten Bantaeng dan di sebelah barat berbatasan lagi dengan kabupaten Takalar. Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten Jeneponto tercatat 74.979 ha (749,79 km2) atau hanya sekitar 1,20 persen dari total luas Provinsi Sulawesi Selatan (62.361,71 km2). Di wilayah kabupaten Jeneponto terdapat sembilan kecamatan dengan ibukota kabupaten Bontosunggu terletak di kecamatan Binamu. Sebagian berada di wilayah pesisir pantai, sehingga masalah air tanah juga dijumpai pada daerah pesisir pantai di Jeneponto. Pengambilan air tanah di daerah pesisir Jeneponto belum didasarkan pada potensi air tanah yang ada pada daerah ini. Belum dilakukan prediksi penurunan muka air tanah akibat pengambilan air tanah di daerah penelitian. Sehingga akan dilakukan studi penurunan muka air tanah pada daerah pesisir Jeneponto, serta prediksi penurunan muka air tanah akibat pengambilan air tanah dengan menggunakan sumur pompa. Pengambilan air tanah secara besar-besaran dari sumur pompa mengakibatkan turunnya permukaan tanah di sejumlah lokasi di daerah pesisir Jeneponto. Pengontrolan yang ketat terhadap pengambilan air tanah melalui sumur pompa perlu dilakukan seiring dengan usaha memulihkan kondisi air tanah. Untuk mencegah semakin turunnya muka air tanah dan permukaan tanah, pola pengambilan air tanah di daerah- daerah tertentu harus dikendalikan. Upaya pengendalian secara teknis akan dilakukan dengan Simulasi Fluktuasi Muka Air tanah di Daerah Pesisir Jeneponto. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
1. Untuk mengidentifikasi dinamika muka air tanah, di daerah pesisir Jeneponto dengan prediksi 5 tahun ke depan. 2. Untuk mengetahui dan menggambarkan perubahan kontur muka air tanah akibat pemompaan di daerah pesisir Jeneponto dengan prediksi 5 tahun ke depan. 3. Untuk menggambarkan arah aliran air tanah di daerah pesisir Jeneponto dengan prediksi 5 tahun ke depan. METODOLOGI Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Data ini diperoleh melalui observasi langsung pada objek penelitian dan pengambilan sampel yang diperlukan. Data primer meliputi pengambilan sampel tanah untuk tiap kecamatan sebanyak 5 titik pengambilan, pengambilan sampel air dan skenario tinjauan kondisi sumur di lokasi penelitian untuk tiap kecamatan yaitu kecamatan Bangkala sebanyak 3 titik pemompaan, kecamatan Tamalatea sebanyak 9 titik pemompaan, kecamatan Binamu sebanyak 12 titik pemompaan, kecamatan Arungkeke sebanyak 6 titik pemompaan, kecamatan Batang sebanyak 7 titik pemompaan, dan kecamatan Tarowang sebanyak 11 titik pemompaan. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sasaran penelitian antara lain data tentang lokasi penelitian, mengenai kondisi iklim, geologi, keadaan alam maupun keadaan penduduk, debit pemompaan air tanah. Juga dapat berupa dokumen yang berhubungan dengan daerah kajian seperti program/proyek yang telah dilaksanakan pemerintah, data statistik Jeneponto dalam angka 2007. Selain itu dikumpulkan juga data kepustakaan yaitu mengumpulkan data yang bersifat teoritis, dokumen, diperoleh melalui buku-buku kepustakaan, diklat, majalah, jurnal, serta 74
buku lain sesuai dengan materi penelitian. Dalam pelaksanaan penelitian, analisis data dapat dilakukan bersamaan dengan proses pengamatan. Jadi selama proses penelitian berlangsung, data yang diperoleh dapat langsung dianalisis dan sebagian melalui proses penelitian di laboratorium. Analisis dan pengolahan data dilaksanakan berdasarkan data yang diperoleh. Melalui tahapan ini diharapkan akan diperoleh data yang akurat sebagai pemecahan masalah yang tepat berkaitan dengan penurunan muka air tanah. Dalam bidang teknik sipil telah banyak berkembang program-program komputer. Perancang atau sarjana teknik sipil cukup memasukkan data-data lapangan dan datadata pendukung, dan selanjutnya program komputerlah yang kemudian menganalisanya. Salah satu diantaranya program komputer dibuat dengan menggunakan bahasa Borland Delphi 5, dapat digunakan untuk mensimulasikan model air tanah termasuk fluktuasi muka air tanah. Untuk melakukan simulasi, diperlukan data sebagai berikut : 1. Porositas (P) Porositas tanah adalah volume kosong (void spaces) antara komponen padatan tanah. Komponen yang mungkin ada dalam suatu massa tanah, terdiri dari komponen padat (solid matrix), yaitu tanah, komponen cair atau larutan tanah, dan ruang kosong atau void, dimana didalamnya terisi uap air dan gas. Dalam penelitian ini porositas ditentukan melalui pengamatan lapangan, dilakukan dengan mengambil contoh tanah kemudian diamati porositasnya. 2. Konduktivitas Hidrolik (K) Konduktivitas hidrolis adalah koefisien permeabilitas yang biasa ditulis dengan simbol K. K dapat didefinisikan sebagai kecepatan spesifik aliran yang melalui media berbutir tersebut untuk setiap untuk Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
setiap unit gradien hidrolis. Besarnya harga K dari suatu jenis tanah tergantung antara lain oleh ukuran butir dan pori. Bila diameter butirnya sangat halus, walaupun porositasnya tinggi, seperti misalnya tanah liat, maka harga K akan rendah. Untuk mengukur konduktivitas hidrolik tanah permukaan digunakan metode ”Contant head Permeameter”. Metoda ini berdasarkan pada asumsi bahwa pada saat kondisi jenuh tercapai, maka laju infiltrasi akan sama dengan nilai K. 3. Head Hidrolis (H) Head hidrolis atau yang sering disebut sebagai piezometric head (karena dapat diukur atau dilihat sebagai permukaan air atau piezometer) merupakan variable yang sangat penting dalam aliran air tanah. Head hidrolis total setara dengan jumlah dari head ketinggian (head elevasi) dan head tekanan. Dimensi dari head adalah panjang (m). 4. Recharge (R) Air dari hujan mencapai tanah melalui infiltrasi dan perkolasi. Perkolasi langsung paling efektif dalam mengimbuh (recharge) air tanah pada tanah yang sangat permeable atau bila muka air tanah dekat dengan permukaan. Jika curah hujan tahunan relatif rendah dan muka air tanahnya berada ratusan kaki di bawah permukaan, maka sedikit atau tidak ada sama sekali imbuhan yang dapat diharapkan dari hujan. Pada penelitian ini recharge didapatkan dari data curah hujan. 5. Debit Pemompaan (Q) Air dapat dipompa berturut-turut dari sumur artinya kondisi besarnya pemompaan yang tetap dapat diperoleh pada permukaan air yang tetap. Jadi air yang keluar dari sumur diperkirakan pertama-tama terjadi pada penurunan air dan umumnya air yang keluar itu sama dengan besar pemompaan. Debit pemompaan untuk masukan program diambil dari analisa kebutuhan air 75
penduduk dan penggunaan lahan untuk irigasi dan kebun. 6. Evapotranspirasi (E) Nilai evapotranspirasi dihitung berdasarkan data klimatologi, berdasarkan data suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Software Yang Digunakan Visual Borland Delphi 5.0 adalah suatu bahasa pemrograman yang terintegrasi berbasis Windows. Borland delphi 5.0 yang sering disebut dengan Delphi 5.0 dapat digunakan untuk membangun suatu aplikasi sederhana, aplikasi berbasis data base sampai dengan aplikasi yang berbasis internet. Delphi 5.0 memiliki berbagai tools sehingga memudahkan pengguna untuk membangun suatu aplikasi. Bahasa pemrograman Delphi merupakan pengembangan dari bahasa Pascal. Struktur menu Delphi dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Pada bagian ini terdapat menu File, Edit, Search, View, Project, Run, Component, Team, Tools, Window dan Help. Untuk membangun aplikasi diperlukan komponen-komponen yang ada pada Delphi. Komponen pada Delphi memiliki dua sifat, yaitu komponen visual dan komponen nonvisual. Komponen visual adalah komponen yang terlihat pada saat aplkasi dijalankan. Contoh dari komponen visual diantaranya label, Edit, Memo, Button dan RadioButton. Komponen nonvisual adalah komponen yang tidak terlihat oleh pemakai pada saat aplikasi dijalankan, tetapi komponen tersebut menghasilkan tampilan sesuai dengan fungsi komponen tersebut. Contoh dari komponen non-visual ini diantaranya adalah MainMenu, PopUpMenu, OpenDialog, dan Timer. Dalam membuat sebuah program yang kompleks, tentunya terdapat prosedurprosedur dan fungsi-fungsi. Di dalam Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
prosedur dan fungsi, dapat mendeklarasikan variabel. Secara mudah dapat dikatakan bahwa variabel digunakan untuk mendeklarasikan tipe data. Variabel ini memiliki dua jenis, yaitu variabel lokal dan variabel global. Variabel lokal adalah variabel yang terdapat pada prosedur dan fungsi, dimana variabel ini hanya bisa dikenali secara lokal (hanya pada prosedur dan fungsi tersebut). Variabel global adalah variabel yang bisa digunakan ke dalam seluruh program, tidak terbatas pada prosedur dan fungsi tertentu.
Gambar 1. Menu Visual Borland Delphi 5.0 Keluaran (Output) Dalam penelitian ini program komputer merupakan implementasi model matematika yang sudah disusun dalam bentuk bahasa program komputer dengan menggunakan Borland Delphi 5. Adapun masukan (input) program yaitu konduktivitas hidraulik, hidraulic head, recharge, skenario debit pemompaan, evapotranspirasi, selang waktu pengamatan dan ukuran grid. Keluaran (output) dari model berupa dinamika perubahan muka air tanah dan pola peta kontur muka air tanah serta arah aliran air tanah. Dalam program tersebut dimasukkan juga kondisi awal dan kondisi batas dari sistem. Selain itu, output model berupa tinggi muka airtanah secara spasial digunakan untuk menggambarkan kontur muka airtanah. Sehingga dengan demikian 76
dapat digunakan untuk mengoptimalisasi penurunan muka air tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pelaksanaan simulasi fluktuasi muka air tanah terdapat beberapa asumsi yang diambil agar kondisi pada kasus ini menjadi lebih sederhana dan mudah namun tetap mengakomodasikan hal-hal penting pada fluktuasi muka air tanah tersebut. Beberapa asumsi tersebut antara lain : 1. Skenario debit pemompaan diasumsikan dari jumlah penduduk pada tiap kecamatan dan penggunaan lahan. 2. Diasumsikan evapotranspirasi sama untuk semua kecamatan. 3. Ketebalan akuifer pada tiap kecamatan diasumsikan sebagai head awal. 4. Ukuran butiran akuifer sebagai dasar penentuan hasil spesifik. 5. Nilai konduktivitas hidrolik didapatkan dari pengambilan sampel tanah pada tiap kecamatan kemudian dilakukan percobaan di laboratorium untuk mendapatkan nilai K. 6. Curah hujan yang digunakan merupakan rata-rata hujan sepanjang tahun ditinjau tiap bulan dengan menggunakan data curah hujan dari stasiun hujan yang terdapat di lokasi studi. Pengolahan Data Setelah semua data pendukung mencukupi, maka pelaksanaan simulasi fluktuasi muka air tanah dapat dilakukan. Dalam penelitian ini, luasan wilayah per kecamatan merupakan kondisi batas (boundary condition) disimulasikan ke dalam program model matematika dengan mengusahakan suatu model yang mendekati kondisi asli lapangan. Pada kondisi batas dimana batas kecamatan sebagai batas sistem, maka batas sistem tersebut tidak ada aliran sehingga fluks diset = 0. Pemodelan yang dilakukan seperti pada gambar 12-25 Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
sebagai hasil eksekusi model secara visual. Pada gambar tersebut terlihat input model terdiri dari : 1. Hasil Spesifik Dengan diketahuinya nilai konduktivitas hidraulik rata-rata sebesar 0,2416 m/jam, maka akuifer termasuk jenis pasiran (Todd, 1995). Jenis akifer tersebut sesuai dengan jenis akifer pada peta litologi dari P2AT. Berdasarkan pengklasifikasian ukuran partikel dalam USDA (Hillel, 1980), ukuran partikel pasiran sekitar 0,12 mm. Nilai ukuran partikel tersebut, diplot kedalam Gambar 2, sehingga diperoleh hasil spesifik sebesar 32% (0,32) dan retensi spesifik 15% serta porositas 46% seperti pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2. Peletakan data antara hasil spesifik, retensi spesifik dan porositas 2. Head Awal Data head awal didapatkan dari pengukuran langsung di lapangan. 3. Konduktivitas Data konduktivitas hidraulik diperoleh dari kegiatan survei langsung dan pengukuran laboratorium. 4. Data Pompa Data pompa berdasarkan pada laju pertumbuhan penduduk pada tahun ke 1 sampai 5 tahun kedepan dan penggunaan lahan untuk kebun dan irigasi. Analisa debit pemompaan didasarkan pada analisa : 77
- Kebutuhan air penduduk Kebutuhan air penduduk diperkirakan berdasarkan perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah (tingkat) pemanfaatan air per kapita, sebagaimana dirumuskan sebagai berikut : Q m = q(u) x P (r) x cp Dimana : Qm = Besarnya kebutuhan air (m3/hari) q(u) = Kebutuhan air domistik dan non domistik daerah pedesaan (ltr/kapita/hari) P(r)=Jumlah penduduk pedesaan/perkotaan (jiwa) cp = Persentase cakupan pengguna air ( 70% - 90%) - Penggunaan lahan (kebutuhan air irigasi dan kebun) Kebutuhan air untuk kebun didasarkan pada pedoman dari pusat Litbang Pengairan pada tahun 1993/1994, dengan asumsi bahwa setiap kepala keluarga dianggap menggarap kebun seluas 200 m2 atau 0,02 Ha. Dan perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Vk = JKK x Qk Dimana : Vk = Kebutuhan air untuk kebun (m3/hari) JKK = jumlah kepala keluarga (KK) Qk = kebutuhan air untuk kebun (0,450 m3/hari/KK) Kebutuhan air irigasi diperkirakan dari perkalian luas lahan yang diairi dengan kebutuhan air Irigasi. Dengan mempertimbangkan iklim regional yang terdiri dari dua musim (penghujan dan kemarau), maka untuk wilayah jeneponto kebutuhan air irigasinya adalah 1,6 lt/dt/ha. Sehingga untuk mendapatkan kebutuhan airnya nantinya akan dikalikan dengan luas
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
lahan yang disesuaikan pada luas masing-masing lokasi penelitian. 5. Iklim (Hujan dan ETo) Pengisian air tanah yang berasal dari air hujan diperoleh dari data curah hujan dari 5 (lima) stasiun hujan di wilayah Kabupaten Jeneponto, yang memberi pengaruh langsung ke lokasi studi. Analisis Hasil Dan Pembahasan Secara umum hasil simulasi dari 6 (enam) kecamatan, menunjukkan terjadinya fluktuasi muka air tanah. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil simulasi dibawah ini untuk daerah Binamu: Fluktuasi muka air tanah dengan model air tanah untuk Binamu disajikan pada Gambar 3- 4 sebagai berikut :
Gambar 3. Hasil Simulasi Untuk Binamu Tahun 2009
78
Gambar 4. Hasil Simulasi Untuk Binamu Tahun 2013
Berdasarkan simulasi pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan prediksi simulasi tahun 2013. Untuk tinjauan sumur satu (SM 1) terjadi penurunan muka air tanah dengan jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -237,30 m menjadi 270,40 m pada tahun 2013. Untuk tinjauan sumur dua (SM 2) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah 3,93 m menjadi -0,28 m pada tahun 2013. Untuk tinjauan sumur tiga (SM 3) terjadi penurunan muka air tanah dengan jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -15,53 m menjadi -21,36 m pada tahun 2013. Sumur empat (SM 4) terjadi penurunan muka air tanah dengan jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -42,56 m menjadi -52,60 m pada tahun 2013. Sumur lima (SM 5) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -161,7 m menjadi 189,50 m pada tahun 2013. Sumur enam (SM 6) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -84,57 m menjadi 99,06 m pada tahun 2013. Sumur tujuh (SM 7) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -137,80 m menjadi -159,40 m pada tahun 2013. Sumur delapan Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
(SM 8) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -50,39 m menjadi 58,88 m pada tahun 2013. Sumur sembilan (SM 9) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -44,44 m menjadi 52,43 m pada tahun 2013. Sumur sepuluh (SM 10) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -151,60 m menjadi -171,20 m pada tahun 2013. Sumur sebelas (SM 11) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah 19,51 m menjadi -24,12 m pada tahun 2013.Sedangkan untuk sumur dua belas (SM 12) jarak muka air tanah dari permukaan tanah tahun 2009 adalah -43,97 m menjadi 50,75 pada tahun 2013. Sehingga berdasarkan kondisi muka air tanah untuk Binamu, menunjukkan semua zona merupakan zona yang beresiko berat (zona kritis) terjadinya penurunan muka air tanah, jika terjadi peningkatan debit pemompaan yang akan mempengaruhi pola aliran air tanah. Selanjutnya Gambar 5 - 6 menunjukkan perubahan kontur dan arah aliran air tanah sebagai berikut: 9378000
70 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 -70 -80 -90 -100 -110 -120 -130 -140 -150 -160
9376000
9374000
9372000
9370000
796000
798000
800000
802000
804000
806000
808000
Gambar 5. Perubahan Kontur dan Arah Aliran Air Tanah pada Tahun 2009 Akibat Pemompaan di Kecamatan Binamu
79
9378000
70 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 -70 -80 -90 -100 -110 -120 -130 -140 -150 -160 -170 -180 -190
9376000
9374000
9372000
9370000
796000
798000
800000
802000
804000
806000
808000
Gambar 6. Perubahan Kontur dan Arah Aliran Air Tanah pada Tahun 2013 Akibat Pemompaan di Kecamatan Binamu Pada Gambar 5 - 6 menunjukkan turunnya muka air tanah jika ditinjau secara keseluruhan pada wilayah Binamu. Pada tahun 2009 adalah -160 m menjadi 190 m di tahun 2013. Pergerakan aliran air tanahnya umumnya didominasi dengan pola aliran utara - selatan, Sedangkan pada sebagian daerah yang terdapat sumur, arah aliran dipengaruhi dengan adanya sumur tersebut. Kecenderungan arah aliran yang sedikit berubah dengan adanya sumur, sebagai dampak eksploitasi air tanah pada daerah tersebut. Pergerakan aliran air tanah yang terjadi untuk wilayah Binamu umumnya merupakan aliran massa dimana pergerakan terjadi dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang rendah (aliran air secara normal). Untuk daerah yang terdapat sumur terjadi aliran difusi. Pergerakan aliran di dalam tanah berlangsung secara simultan atau bersama-sama dimana dapat terjadi aliran massa dan aliran difusi. Secara umum menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi muka air tanah untuk semua wilayah studi. Kondisi tersebut sebagai dampak dari tingginya aktivitas pengambilan air tanah. Penggunaan air tanah Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestariannya dapat menyebabkan penurunan muka air tanah, instrusi air laut dan amblesan tanah. Wilayah penelitian merupakan daerah di sepanjang pesisir pantai jeneponto yang sebagian ditempati oleh perkampungan nelayan cukup padat penduduk, kondisi air tanah umumnya kurang baik karena tingkat salinitasnya tinggi. Tingkat salinitas tinggi dapat disebabkan oleh pengaruh intrusi air laut kedalam lapisan pembawa air tanah, baik dangkal maupun dalam atau kondisi pembentukan lapisan akuifernya pada lingkungan laut. Pada daerah studi, zone yang beresiko terjadinya penurunan muka air tanah dan intrusi air terjadi hampir pada semua wilayah studi. Sebagian wilayah studi masih dianggap aman untuk dilakukan peningkatan pemompaan. Faktor utama yang mempengaruhi pola perubahan muka air tanah disebabkan oleh jumlah pengambilan air tanah dan pola curah hujan. Seperti kita ketahui wilayah jeneponto merupakan daerah dengan intensitas hujan kecil sehingga resapan air juga kecil. Sedangkan untuk permasalahan amblesan tanah (land subsidence) diakibat pengambilan air tanah yang berlebihan dari lapisan akuifer yang tertekan (confined aquifers). Akibat pengambilan yang berlebihan (over pumpage), maka air tanah yang tersimpan dalam pori-pori lapisan penutup akuifer (confined layer) akan terperas keluar dan mengakibatkan penyusutan lapisan penutup tersebut. Refleksinya adalah penurunan permukaan tanah. Amblesan tanah tidak dapat dilihat seketika, tetapi teramati dalam kurun waktu yang lama dan berakibat pada daerah yang luas.
80
Upaya Pengendalian Dari Aspek Teknis Mengingat sebaran air tanah tidak dibatasi oleh batas-batas administratif suatu daerah, maka pengelolaan air tanah berdasarkan aspek teknis seharusnya mengacu pada suatu cekungan air tanah, yakni suatu wilayah yang ditentukan oleh batasan- batasan hidrogeologi, di mana semua kejadian hidrolika (pengisian, pengambilan dan pengaliran air tanah) berlangsung. Batasan-batasan teknis hidrogeologi ini menyangkut geometri dan parameter akuifer, jumlah dan mutu air tanah, pengaliran dan keterdapatan air tanah. Batasan-batasan tersebut menentukan berapa jumlah air tanah yang dapat dimanfaatkan dan bagaimana upaya konservasi air tanah harus dilakukan. Beberapa tindakan upaya pengendalian dampak negatif akibat pemompaan air tanah secara berlebihan, antara lain : 1. Penentuan Lokasi Pemompaan Mengingat keterdapatan lapisan pembawa air tanah tidak merata, maka penentuan lokasi pengambilan air tanah sangat menentukan, agar sumberdaya air tanah dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Disamping itu, pengaruh pengambilan air tanah melalui sumursumur yang berdekatan akan mengakibatkan penurunan muka air tanah yang lebih dalam, maka penentuan lokasi dan jarak antar sumur, akan dapat mencegah pengaruh di atas. 2. Pengaturan Kedalaman Penyadapan Suatu daerah sering mempunyai akuifer berlapis banyak (multi layer aquifer). Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk dilakukan pengaturan kedalaman penyadapan pada lapisan akuifer tertentu. Dengan pengaturan kedalaman penyadapan akan dapat dihindari terjadinya eksploitasi air tanah yang terkonsentrasi hanya pada satu lapisan akuifer tertentu, yang Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
dampaknya tentu berbeda dengan penyadapan yang dilakukan pada beberapa lapisan akuifer. Peruntukan air tanah untuk berbagai keperluan, diatur dengan mengambil air tanah dari berbagai kedalaman yang berbeda. Namun pada dasarnya pengaturan kedalaman penyadapan air tanah tetap mengacu pada prioritas peruntukan air tanah, di mana air minum merupakan prioritas utama di atas segala-galanya. 3. Pembatasan Debit Pemompaan Pembatasan besarnya air tanah yang disadap ini, bertujuan agar penurunan muka air tanah dapat dibatasi pada kedudukan yang aman. Pengertian aman mempunyai arti dapat mencegah terjadinya intrusi air laut pada pengambilan air tanah di daerah pantai, maupun kemungkinan terjadinya amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan air tanah yang tersedia. Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat disediakan sumbersumber pasokan air yang lain, misalnya dari air permukaan. Kondisi hidrogeologi suatu daerah sangat menentukan besar cadangan dan kualitas air tanah, sehingga berapa batas yang aman jumlah debit pengambilan air tanah, sangat berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain. Tetapi secara kualitatif dapat ditentukan, bahwa jumlah pengambilan air tanah hendaknya tidak melebihi jumlah imbuhan air tanah. 4. Penambahan Imbuhan Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama air tanah adalah berasal dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai curah hujan yang relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang relatif panjang. Kondisi ini sangat menguntungkan dalam imbuhan air tanah secara alami, di mana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan penggantian 81
dari defisit air tanah yang terjadi pada musim kemarau. Dengan demikian akuifer akan mendapat penambahan cadangan air tanah. Permasalahannya adalah di daerah-daerah yang telah berkembang, peristiwa pengisian kembali air tanah pada musim hujan terhambat karena adanya perubahan lingkungan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan daerah imbuh air tanah telah berubah fungsi, sehingga hanya sebagian kecil air hujan yang meresap dan mengimbuh air tanah. Pada daerah yang demikian, perlu upaya penampungan air hujan untuk dimasukkan ke dalam sumursumur resapan. 5. Penentuan Kawasan Lindung Kawasan lindung air tanah mengarah kepada penataan ruang suatu daerah dengan maksud untuk melindungi jumlah dan mutu sumberdaya air tanah. Oleh sebab itu, untuk menentukan kawasan lindung air tanah, disamping kondisi hidrogeologi, maka penggunaan lahan dan keberadaan infrastruktur harus dipertimbangkan. Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan, karena sering terjadi pertentangan kepentingan. Misalnya, di daerah imbuh air tanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai daerah pemukiman, industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan yang lain yang berdampak negatif terhadap jumlah maupun mutu air tanah. Oleh sebab itu banyak kendala untuk memberlakukan secara efisien upaya perlindungan air tanah. Meskipun demikian usaha-usaha perlindungan air tanah dapat ditetapkan dari sudut pandang hidrogeologi dan geologi lingkungan.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
KESIMPULAN Dari pembahasan hasil penelitian dan analisis dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Wilayah pesisir Jeneponto yang terletak pada kecamatan Bangkala , Tamalatea, Binamu, Arungkeke, Batang dan Tarowang, menunjukkan terjadinya fluktuasi muka air tanah akibat pemompaan. 2. Sebagian wilayah beresiko terjadinya penurunan muka air tanah. 3. Berdasarkan peta kontur menunjukkan arah aliran air tanah : Untuk wilayah Bangkala , pola arah aliran air tanahnya adalah arah timur laut-barat daya. Untuk wilayah Tamalatea, pola arah aliran air tanahnya bergerak secara acak dengan arah aliran utara-tenggara, timur-barat, dan utara-selatan. Untuk wilayah Binamu, pola arah aliran air tanahnya adalah arah utaraselatan. Untuk wilayah Arungkeke, pola arah aliran air tanahnya adalah arah barat laut-tenggara dan selatan-utara. Untuk wilayah Batang, pola arah aliran air tanahnya adalah arah barat lauttenggara. Untuk wilayah Tarowang, pola arah aliran air tanahnya adalah arah barattimur dan arah barat laut-tenggara. 4. Langkah-langkah dan rekomendasi untuk upaya pengendalian dari aspek teknik: Penentuan lokasi pemompaan. Pengaturan kedalaman penyadapan. Pembatasan debit pemompaan Penambahan Imbuhan Penentuan kawasan lindung.
82
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S, 1976. Pengawetan Tanah dan Air, Akademika Pressindo, Jakarta. Asdak, Chay, 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Edisi III,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bear,J dan A. Verruijt, 1990. Modelling Groundwater Flow and Pollution, D.Reidel Publishing Company, New York. Bouwer,H, 1978. Groundwater Hydrology, Mc Graw Hill Book Company, New York. Chapna, S.C dan R.P. Canal, 1991. Metode Numerik Untuk Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta. Dingman, S.L, 2002. Physical Hydrology, Edisi ke 2 Prentice Hal, New Jersey. Fetter,C.W, 1988. Applied Hydrogeology, ed.2, Merril Publishing Company, New York. Fetter,C.W, 1999. Contaminant Hydrogeology, Prentice Hall, New York. Foth,H.D,1984. Dasar-dasar Ilmu Tanah, Gajah Mada Univ.Press, Yogyakarta. Grim,R.E, 1968. Clay Minereology, ed.2, Mc-Graw Hill Publishing Company, New York. Harto Sri, Br, 1993. Analisis Hidrologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jurnal AgriTechno (Vol. 5, No. 1, September 2012)
J.Kodoatie Robert, 1995. Pengantar Hidrogeologi, Andi Yogyakarta, Yogyakarta. Lonsley,Ray K et al, 1989. Hidrologi Untuk Insinyur, Erlangga, Jakarta. M.Das,Braja, 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis),Erlangga, Jakarta. Munadi, 1995. Perhitungan Matriks dengan Quick Basic, Andi Offset, Yogyakarta. Soewarno, 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri), Nova, Bandung. Sosrodarsono S. dan Takeda K., 1983. Hidrologi untuk Pengairan, Pradnya Paramita, Jakarta. Soemarto C. D., 1986. Hidrologi Teknik, Usaha Nasional, Surabaya. Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Andi, Yogyakarta. Suprihanto Notodarmojo, 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah, Penerbit ITB, Bandung. Simpson, M.J dan T.P. Eleman, 2003. Comparison of Finite Difference and Finite Element Solutions to The Variably Saturated Flow Equation, J Hidrology 270: 49-64. Todd, D.K, 1995. Groundwater Hydrology. Edisi ke-2 John Wiley & Sons, Singapura.
83
Jurnal AgriTechno Volume 5, No. 1, September 2012 ISSN : 1979 - 7362 Daftar Isi Uraian
Hal
Simulasi Tataguna Lahan Derdasarkan Tingkat Bahaya Erosi Di Sub Daerah Aliran Sungai Jeneberang Deni Indrowanto, Sitti Nur Faridah Dan Totok Prawitosari…………………
1
Uji Kinerja Pembangkit Listrik Sistem Hibrid Tenaga Angin – Matahari Di Kabupaten Bantaeng Mistianto, Ahmad Munir dan Abdul Waris………………………………..
12
Pengaruh Penambahan Lesitin Dan Suhu Conching Terhadap Sifat Reologi Pasta Kakao (Theobroma Cacao L) Budi Akra, Salengke, Dan Supratomo………………………………………….
23
Mempelajari Karakteristik Tingkat Kekerasan Padi Varietas Ciliwung Dan Ciherang Berdasarkan Letak Bulir Pada Malai Abdul basith, Junaedi Muhidong, dan Supratomo…………………………. 30 Pendugaan Pertumbuhan Bakteri Pada Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus) Dan Ikan Baronang (Siganus Guttatus) Selama Penyimpanan Rina Apriana, Helmi A.Koto, dan Junaedi Muhidong……………………… 40 Teknologi Pengelolaan Serasah Tebu Dan Pengaruh Kompos Terhadap Tanaman Iqbal……………………………………………………………………. 46 Penerapan Sig Untuk Kesesuaian Lahan Tanaman Kacang Tanah Di Kabupaten Gowa Mahmud Achmad, Ahmad Munir dan Suhardi………………………………
53
Analisis Finansial Irigasi Airtanah pada Budidaya Padi Suhardi .................................................................................................................
64
Simulasi Fluktuasi Muka Air Tanah Di Daerah Pesisir Jeneponto Syamsuddin, Zulvyah Faisal, dan Suhardi.............................................................
73