t67
Pustaka
M. Quraish Shihab, Nasaruddin Umar, Muchlis Hanafi dkk., Ensiklopedia Al-Qur' an, Kaj ian Kos akata, Jakarta: Lentara Hati, Cetakan I, September2007, xii + 1171 (3 jilid).
AYAT-AYAT Al-Qur'an tersusun dalam Bahasa Arab yang termasuk rumpun Bahasa Semit, sama dengan Bahasa Ibrani, Suryani, Akadia, dan Amhar. Kata-kata dalam Bahasa Arab pada dasarnya memiliki dasar tiga huruf mati yang dapat diubah menjadi berbagai bentuk kata. Sehingga, kaitannya dengan AlQur'an, pilihan huruf pada kosakata Arab bukanlah suatu kebetul an, tetapi mengandun g fal safah bahasa tersendi ri. Bahasa Arab sebagai bahasa "resmi" Al-Qur'an memiliki beberapa keunikan, di antaranya Bahasa Arab memiliki kemampuan yang luar biasa
untuk melahirkan makna-makna baru dari akar-akar kata yang dimilikinya. Keunikan bahasa Arab telihat juga pada kekayaanny4 bukan saja pada "kelamin" kat4 atau pada bilangannya yaitu tunggal (mufrad), dual (muiannd), dan jamak, tetapi juga pada kekayaan kosakata dan sinonimnya. Dalam Bahasa Arab, kata "singa" memiliki 500 sinonim. Keunikan lain dari bahasa ini adalah banyaknya kata-kata yang ambigu, dan tidak jarang satu kata memiliki dua atau tiga arti yang berlawanan, tetapi dalam saat yang szuna, seseorang juga dapat menemukan kata yang tidak mengandung kecuali satu makna pasti saja. Bahkan satu huruf tidak jarang memiliki lebih dari satu arti atau sama sekali tidak memiliki arti. Walaupun Al-Qur'an menggunakan kosakata yang digunakan masyarakat Arab ketika ayat-ayat turun, tidak jarang Al-Qur'an mengubah pengertian semantiknya. Bahkan tidak jarang suatu kata diisi dengan pengertian baru yang berbeda dari sebelumnya. Adanya keunikan semantik yang dikandung oleh satu kata Al-Qur'an menjadikannya bukan hanya tidak boleh, tetapi juga tidak mungkin menerjemahkannya secara "redaksional", namun hanya berupa terjemahan makna. Dari sini, betapapun sempumanya, terjemahan Al-Qur'an tidak sama dengan Al-Qur'an, apalagi posisinya. Kekeliruan memahami kosakata Al-Qur'an dalam memberi arti kata, atau muatan yang berlebihan dari kapasitasnya berakibat penafsiran yang keliru. Diperlukan kemampuan untuk menggambarkan makna-makna kosakata Al-Qur'an serta bagaimana kitab suci ini menggunakan, disertai penj elasan makna semantiknya.
Suhuf, Vol. 1, No. 1,2008
Ensiklopedi ini bisa dikatakan merupakan generasi kedua dari edisi 'percobaan' yang terbit tahun 1997 dengan judul Ensiklopedi Al-Qur'an: Kajian Kosakata dan Tafsirnya. Setelah mendapatkan saran, kritikan dan komentar, dilakukan penyempurnaan dengan Tim Revisi yang diketuai Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan penambahan entri-entri baru. Jumlah entri yang sebelumnya hanya 485 buah bertambah menjadi lebih dari 1050 buah. Pengelompokan entri dalam ensiklopedi ini berdasarkan abjad bahasa Indonesia dengan mengikuti transliterasi kata yang bersangkutan dalam bahasa lndonesia.[] Abdul Hakim * Wiyoso Yudoseputro, Jekat-jeiak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama, Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, Fakultas Film & Televisi IKJ, Fakultas Seni Rupa IKJ, Koperasi IKJ, Cetakan, I Juli 2008, xxvi + 244halaman.
DISKUSI kebudayaan Indonesia, utamanya bahasa seni rupa Indonesia lama, tidak bisa lepas dari geopilitik Indonesia saat itu. Indonesia adalah negeri terdiri atas pulau-pulau yang menjadi perlintasan dan perpindahan bangsa-bangsa serta agama sejak pra-sejarah dan pemah dijajah 350 tahun
oleh kolonialisme Belanda. Heterogenitas budaya masyarakat yang tersebar di kepulauan Nusantara disertai proses transformasi dalam kurun waktu tertentu tidak menghasilkan satu jenis produk seni yang berlaku di semua wilayah.
Buku ini membagi secara kronologis perkembangan seni rupa Indonesia lama menjadi tiga fase: kebudayaan pra-sejarah, kebudayaan bemafaskan Hindu-Budha, dan kebudayaan bernafaskan Islam. Tiap tahap sejarah menunjukkan hasil akulturasi budaya lokal dengan kebudayaan yang datang dari luar Nusantara seperti Hindu-Budha dan Islam. Hasil dari akulturasi tersebut mencerminkan local genius berupa generasi saat itu yang mengabadikan jati diri mereka dalam bahasa rupa baru. Dalam proses akulturasi tersebut kesinambungan tradisi menghasilkan transformasi karya cipta seni dalam kebudayaan Indonesia Hindu-Budha maupun kebudayaan Indonesia Islam yang didukung kuatnya kesadaran akan nilai tradisi lama. Kunci keberhasilan dari seni rupa tersebut berupa kemampuan tradisi lama menyelaraskan diri dan mengubah kaidah-kaidah seni asing secara teknis dan estetis sesuai dengan kebutuhan baru. Masing-masing fase tetap memiliki pengaruh terhadap fase-fase sesudahnya dan yang akan datang. Ulasan sejarah seni rupa Indonesia lama dipaparkan pada Bab I. Fase prasejarah atau disebut juga Melayu Tua cenderung bercorak agraris, meskipun kemudian sedikit ada perubahan ke , corak maritim oleh Melayu Muda. Produk-poduk seni zaman ini menun-
Buku
169
jukkan fungsi religi-magis dan sakral seperti terlihat pada lukisan dinding batu, hiasan, kria perunggu, patung, dan bangunan megalitik. Fungsi religi-mistis serta sakral zaman prasejarah terus berkesinambungan hingga fase kedua yakni fase Hindu-Budha. Fase ini merupakan keberlanjutan nilai-nilai tradisi seni asli Indonesia (prasejarah) yang diperkaya seni-seni dari luar seperti Cina dan Campa, hingga akhimya keruntuhan Keraj aan Maj apahit yan g m enyi m bol kan keruntuhan domi nas i kebudayaan Hindu-Budha di Nusantara - secara lokal kemudian bertahan di Bali. Perkembangan fase ini diuraikan pada Bab IL Adapun bab selanjutnya membahas fase ketiga, yakni kebudayaan Islam. Fase ini merupakan hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Budh4 terIihat dari cipta karya para wali dan raja-raja Islam yang menempatkan tradisi seni rupa Indonesia Hindu-Budha sebagai sumber acuan karya cipta baru yang bernafaskan Islam. Hal ini terlihat pada bangunan masjid dan makam-makam tua yang berciri arsitektur Hindu dengan ragam hias floralistisnya. Karya yang masih terlipelihara hingga sekarang bisa dilihat pada seni batik, wayang kulit, kria logam, topeng, dan lain-lain.ll Abdul
Hakim rf
Adrian B. Lapian; Pelayaran dan Perniagaan Nusantara; Jakarta: Komunitas Bambq Agustus 2008; xii + l42halaman.
PADA ABAD ke-16 dan 17 Masehi, ketika teknologi maritim masih terbilang sederhan4 Indonesia secila geografis sangat diuntungkan, karena berada di lintasan garis khatulistiwa yang bisa mengubah atau meredam dampak buruk arah mata angin yang membahayakan pelayaran. Secara garis besar ada dua pelayaran yang menggunakan arah mata angin, yakni
pelayaran ke barat pada musim angin timur pada bulan Oktober, dan pelayaran ke timur pada musim angin barat pada bulat Maret. Selain 8 arah mata angin yang biasa dikenal masyarakat Nusantar4 ada beberapa komuniks pelayar yang menggunakan 17 arah mata angin sebagai pedoman pelayaran mereka, seperti dilakukan masyarakat Sangir [h.16]. Alat navigasi lain yang sudah digunakan saat itu adalah kompas dan peta [h.12]. Suasana langit malam yang cerah juga menjadi keunggulan kawasan maritim Nusantara. Gugusan pulau-pulau yang kaya akan sumber daya alam dan amannya perairan mendorong para pedaganglpelayar Eropa datang ke Nusantara dengan tujuan God, Gold and Glory, hingga Malaka dikuasai Portugis pada awal abad ke-16 (l5l l). Penaklukan Portugis atas Malaka justru memunculkan pusat-pusat pelayaran baru, utamanya poros pesisir utara Jawa - Kalimantan bagian selatan - Brunei - Mindanao [h.56]. Suhu{ Vol. 1, No. 1, 2008
Abad ke-I6 dan 17 masih ditandai dengan kuatnya kebudayaan maritim dibandingkan kebudayaan agraris. Selain Mataram Islam, kerajaankerajaan Islam lainnya masih mengandalkan sistem perdagangan maritim. Pola perdagangannya terbentuk karena tiga unsur, yakni raja, kapal, dan nahkoda. Fungsi rajalsultan adalah sebagai investor. Mereka inilah yang menghimpun modal untuk melengkapi kapal dan muatannya. Adapun nahkoda berperan sebagai pelaksana perdagangan [h.60]. Sistem seperti
ini
disebut partnership atau commenda, yakni menyerahkan barang
dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan, atau memberi uang kepada orang lain sebagai modal [h.65]. Aturan main dari perdagangan maritim termuat dalam hukum amman gappa pasal ke-7, bahwa 'berdagang dengan menanggung risiko samasama' [h. 66]. Kerugian yang ditanggung sama-sama terbatas pada tiga hal, yaitu barang rusak di lautan, dimakan api, atau dicuri. Adapun yang ditanggung oleh pelaksana perdagangan ada tujuh, yaitu diperdagangkan, diperlacurkan, dipergunakan beristri, diboroskan, dipinjamkan, dimadatkan, dan diberikan untuk makan kepada yang menjadi tanggungannnya
lh.66l.
Unsur lain yang memiliki peran penting bagi pelayaran dan perniagaan abad ke-16 dan 17 adalah pelabuhan. Tidak seperti sekarang, pelabuhan abad ke-16 dan 17 bukan saja tempat untuk berlabuh, tetapi juga tempat kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, dan arus yang kuat. Lokasi yang tepat untuk fungsi tersebut adalah sebuah sungai yang agak masuk ke dalam. Pelabuhan berfungsi juga sebagai jalan maritim dan jalan darat, sehingga interaksi awak kapal dan penduduk setempat lebih mudah.
Pelabuhan-pelabuhan Indonesia memiliki penghalang alami berupa gosong pasir, batu karang, sefta benteng di pelabuhan untuk menghalangi para pendatang yang hendak berbuat jahat [01]. Keunggulan lainnya adalah pasang surut air laut yang berbeda-beda karena banyaknya selat, bentuk pantai, iklim laut yang tidak pemah beku, tidak adanya kabut yang menutupi pandangan, serta tidak ada tomado ataupun taifun. Pengelolaan faktor alamiah sangat penting, karena teknologi belum sanggup mengatasi kesulitan iklim dan geografi fisik. Selain sebagai persandaran kapal, pelabuhan juga berfungsi sebagai pasar konkret, yakni tempat hasil hutan dari pedalaman diperdagangkan. Bahan makanan dan air minum juga disediakan untuk konsumsi awak kapal. Ada korelasi erat antara besarnya volume perdagangan dan fre-
kuensi kunjungan kapal serta jumlah kapal yang singgah di suatu pelabuhan [h.96]. Dalam konteks Jawa, pelabuhan Jepara adalah salah satu pelabuhan yang tidak hanya berfungsi ekonomi, tetapi juga sosialpolitik. Dari pelabuhan Jepara inilah ekspedisi-ekspedisi penyeberangan laut Jawa pada masa Sultan Demak bertolak untuk meluaskan kekuasaan
Buku
t7t ke Bangka dan Kalimantan Selatan th. 561. Cerita-cerita tentang para pedagang Arab yang mendirikan pusat pendidikan di sekitar pelabuhan mendukung teori pelabuhan sebagai sarana penyebaran agama.[] Abdul Haffim
* Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Insbipsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Ecole frangaise d'Extr€meOrient, Forum Jakarta-Paris, 2008, l8l halaman.
Masuknya Islam ke Indonesia telah mengukir sejarah tersendiri bagi perkembangan agama di Nusantara Sejak masuknya Islam telah terjadi gelombang islamisasi yang besar. Sedikit demi sedikit daerah demi daerah, kerajaan demi kerajaan, hingga hampir seluruh masyarakat Nusantara beralih kepercayaan dari agama dan kepercayaan sebelumnya ke agama Islam.
Tidak dapat disangkal, terjadi perbedaan di kalangan ahli sejarah
seputar awal masuknya Islam ke Indonesia. Selain babad dan hikayat yang
berisi penuh legend4 prasasti-prasasti Islam tertua abad ke-I5 dan ke-16 dalam bentuk batu nisan dan inskripsi juga memberikan gambaran penyebaran agama Islam dengan adanya riwayat tentang kisah-kisah tokoh dan pembangunan tempat-tempat suci. Namun sayangnya sebagian besar prasasti berbahasa Arab, terlalu singkat dan sukar dipahami maknanya, sehingga sangat dibutuhkan kajian yang teliti dan membandingkannya dengan sumber-sumber arkeologi dan sejarah daerah lain.
Inskripsi-inskripsi Islam tertua di Nusantara memberikan gambaran tentang pengaruh budaya Islam dan bahasa Arab terhadap kebudayaan Nusantara. Inskripsi juga mengisyaratkan betapa kompleksnya referensi agama dan politik seorang tokoh agama di Indonesi4 khususnya di Pulau Jawa pada abad ke-16. Perjuangan seorang ulama atau tokoh politik sering
diabadikan dalam bentuk tulisan-tulisan di batu nisan, meriam, atau dinding mesjid. Penelitian terhadap inskripsi-inskripsi yang tertera di batu nisan, mesjid, dan benda-benda peninggalan kebesaran Islam yang menyebar di berbagai pelosok Indonesia telah dilakukan oleh pakar arkeologi dan sejarawan. Misalnya dua orang peneliti Barat Moquefte (Belanda) dan Paul Ravaisse (Prancis). Sebagaimana penelitian lainnya, kajian yang dilakukan para pakar arkeologi ini belum bersifat final, sehinggga membuka peluang munculnya penelitian baru. Dalam buku ini Claude Guillot dan Ludvik Kalus memaparkan hasil temuan mereka setelah meneliti prasasti yang terdapat di daerah Jawa dan Sumatra. Penelitian
Suhuf, Vol. '1, No. 1,2008
/7* kedua tokoh ini memberikan informasi baru tentang penafsiran dan cerita yang selama ini berkembang. Inskripsi Islam tertua di Indonesia terdapat pada batu nisan Leran (Gresik) berangka tahun 575H/1082 M. Setelah menyelidiki bentuk batu dan unsur geografis yang terkait dengan keberadaan batu ini, keduanya menyimpulkan bahwa batu-batu ini berasal dari luar Pulau Jawa dan dunia Nusantara, yaitu suatu daerah yang dekat dengan pusat historis dunia
Islam. Hal ini menunjukkan telah terjadi kontak dan hubungan antara masyarakat Nusantara dengan daerah-daerah Islam seperti Kairo dan lran. Kesimpulan ini membantah pendapat Ravaisse yang mengatakan bahwa keunikan relief dan warna serta bentuk batu yang kebiru-biruan membuktikan bahwa nisan ini merupakan batu lokal, bukan diimpor dari daerah lain.
Buku ini juga membahas cap Lobu Tua dari Barus (Sumatra), yang memuat dua relief timbul bertulisan Allah dan Muhammad. Cap Lobu Tua
ini diperkirakan berasal dari abad ke-10 atau ke-ll dari daerah
luar
Indonesia. Di pihak lain, syair Melayu yang terdapat di atas salah satu dari kedua batu nisan seorang putri raja di Minye Tujuh, Aceh, yang berangka tahun 781 H (1380 M) juga menunjukkan adanya pengaruh Arab terhddap
ini. Sekalipun tulisan-tulisan dalam prasasti ini tidak semua dapat dibaca, karena ada beberapa kata yang sulit dipahami, namun terlihat pengaruh bahasa Arab dalam penulisan huruf dan tata letak kerajaan
teksnya.
Informasi baru yang sangat menakjubkan dari hasil kajian Claude Guillot dan Ludvik Kalus ini adalah kisah tentang Hamzah Fansuri, seorang penyair Melayu yang terkenal. Dalam penyelidikannya di Mekah, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menemukan batu nisan di sana yang memuat nama Syaikh Hamzah bin 'Abd Alldh al-Fansiifl, meninggal tanggal 9 Rajab 933 (ll April 1527). Diperkirakan nama ini adarah milik penyair sufi Melayu yang dikubur di Mekah. Hamzah tidak hidup pada
paruh kedua abad ke-16, namun hidup lebih awal. Barus, daerah asal penyair ini sejak abad ke-15 telah menjadi pusat agama dan budaya alam Melayu, di samping Pasai dan Malaka.
Claude Guillot dan Ludvik Kalus juga meneliti relief Arab yang terukir di meriam yang terdapat di Banten dan di museum militer lnvaIiden Bronbeek di Arnhem, Belanda. Meriam ini pada awalnya terdapat di istana Aceh di Kutaraja yang direbut oleh Belanda pada tahun 1874. Penelitian ini mempertanyakan kajian sebelumnya yang menjelaskan bahwa asal meriam ini dari kerajaan Turki. Setelah meneliti inskripsi yang terdapat di tiga meriam ini, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menyimpulkan bahwa meriam tersebut bukan berasal dari kiriman resmi pemerintah Turki. Memang sejak abad ke-16 telah terjadi hubungan antara kerajaan Aceh dengan Turki, dan adanya
Buku
173
pemasokan senjata dan pengiriman artileri oleh Turki ke Aceh. Namun meriam itu bukan berasal dari pemerintah Istanbul. Pada meriam lain juga ditemukan nama-nama Chingis Khan, sehingga dapat dipastikan meriam itu berasal dari Gujarat, bukan Turki. Terlepas dari asal meriam ini, jelas telah ada hubungan antara Aceh,
Turki, dan Gujarat sejak abad ke-16. Hubungan ini juga telah banyak menyisakan pengaruh budaya Turki terhadap Aceh. Misalnya, kelembagaan para kasim yang di seluruh Nusantara hanya terdapat di Aceh, dan penyebaran teori-teori keagamaan seperti wahdat al-wujud dan pengaruh Syiitr datam upacara Asyura. Pertanyaan yang masih tersisa, apakah
kemiripan budaya Aceh dengan Turki adalah bukti besarnya peranan orang Turki dalam penyebaran ajaran Maulana Rumi di kepulauan Nusantara?[] Reflita
Suhuf, Vol. 1, No. 1,2008