Nama
: Nadia Anindita Vandari
NPM
: 1406564540
Mata Kuliah
: Penulisan Ilmiah
Kelas
:B
Semester
:1
Tahun Akademik
: 2014/2015
Judul Tulisan
: “Antara Ekspektasi dan Realita: Kontroversi Pemberian
Suplemen Akademis Pada Anak Usia Dini” Premis Utama
: Pemberian suplemen akademis yang berlebihan sejak usia dini
dapat berefek buruk bagi perkembangan mental dan sosioemosional anak serta bagi keturunannya di masa depan.
John C. Maxwell mengatakan, “change is inevitable.” Segala hal di dunia ini mengalami perubahan dan perubahan itu tidak dapat kita cegah. Tren gaya hidup dan pengasuhan anak pun tidak terhindar dari perubahan. Orang tua di zaman sekarang jauh lebih memperhatikan pendidikan dan perkembangan anak-anaknya sejak usia dini dibandingkan dengan orang tua dari generasi sebelumnya (King, 2013). Beberapa minggu yang lalu sebuah pesan berantai terkait hal ini tersebar di berbagai media sosial. Pesan itu bercerita tentang seorang anak berusia enam tahun yang mengalami gangguan jiwa karena tertekan oleh berbagai les tambahan yang diikutinya atas perintah ibunya. Di akhir pesan, terdapat sebuah himbauan bagi para orang tua untuk tetap memperhatikan tahapan perkembangan anak serta untuk tidak mengeksploitasi anak-anaknya demi ambisi orang tua. Terlepas dari kontroversi tentang kebenaran cerita pada pesan tersebut, sebuah pertanyaan besar timbul. Salahkah perilaku orang tua zaman sekarang yang memberikan anaknya berbagai suplemen akademis (les / kursus tambahan) sejak dini? Apa yang terbentuk pada anak-anak pada usia dini biasanya akan mempengaruhi kehidupannya hingga ia dewasa (King, 2013; Taylor, Clayton, & Rowley, 2004), sehingga hal ini perlu diperhatikan oleh para orang tua. Pemberian suplemen
akademis yang berlebihan sejak usia dini dapat berefek buruk bagi perkembangan mental dan sosioemosional anak serta bagi keturunannya di masa depan. Efek negatif pertama yang dapat timbul adalah hilangnya motivasi belajar pada anak. Menurut Seto (1997, dalam Hyoscyamina, 2011), orang tua sebaiknya menanamkan arti belajar pada anak sejak dini agar di masa depan anak termotivasi untuk belajar, namun cara yang dilakukan dalam penanaman arti belajar ini harus mempertimbangkan berbagai hal, seperti kebutuhan, kemampuan, gaya, serta tahapan perkembangan anak. Jika mengambil contoh dari cerita sebelumnya, anak tersebut berusia enam tahun sehingga ia sedang berada pada masa transisi dari tahap pra-sekolah menuju tahap pendidikan dasar. Di satu sisi ia memang harus mulai mengarahkan energinya untuk mempelajari banyak hal dan mengembangkan intelegensinya (Erikson, 1968 dalam King, 2013), namun di sisi lain dunianya masih dunia kanak-kanak yang mencintai permainan. Jika anak pada usia ini waktunya dipenuhi dengan berbagai macam les tambahan, ia akan merasa kehilangan waktu untuk bermain dan lambat laun menjadi jenuh (Hyoscyamina, 2011). Kejenuhan ini akan menurunkan motivasi belajar anak yang berakibat pada menurunnya prestasi akademis (dan juga sebaliknya). Dengan demikian, tujuan penanaman arti belajar yang dimaksudkan untuk meningkatkan motivasi belajar tidak akan tercapai, bahkan berbalik menjadi menurunkan motivasi belajar anak. Selain motivasi yang turun, anak juga akan memiliki skema yang negatif tentang sekolah. Pembentukan skema ini sangat dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku orang tua terhadap anak mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sekolah (Taylor, Clayton, & Rowley, 2004). Orang tua yang memberikan suplemen akademis secara berlebihan akan membuat anak menjadi jenuh. Kejenuhan ini mengakibatkan anak memandang dan mengingat sekolah sebagai suatu hal yang negatif. Dengan memiliki skema yang negatif mengenai sekolah, anak juga akan mengembangkan emosi yang negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sekolah. Emosi yang negatif ini dapat berujung pada pembentukan tingkah laku negatif di sekolah. Efek negatif dari pemberian suplemen akademis secara berlebihan tidak hanya mempengaruhi kehidupan masa sekolah anak, namun juga kehidupan masa depannya. Skema negatif tentang sekolah yang terbentuk saat ia kanak-kanak tersimpan di memori jangka panjangnya dan terbawa hingga ia dewasa dan berkeluarga. Si anak kelak akan memiliki anaknya sendiri dan mengasuh serta membesarkannya. Ketika anaknya memasuki masa pra-
sekolah, memori-memori masa kecilnya akan teraktivasi dan mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya dalam mendidik anaknya (Taylor, Clayton, & Rowley, 2004). Memori dan skema yang teraktivasi kembali ini akan mempengaruhi bagaimana ia mengenalkan dan menanamkan arti belajar pada anaknya. Jika memori dan skema yang teraktivasi bersifat negatif, maka apa yang ditanamkan kepada anaknya akan cenderung negatif pula, sehingga skema anaknya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sekolah akan menjadi negatif. Jika dibiarkan, hal ini dapat berlanjut dari generasi ke generasi, mengakibatkan penyebaran skema negatif mengenai sekolah. Bagaimanapun juga, terdapat beberapa pendapat yang menganggap pemberian suplemen akademis pada anak usia dini sebagai hal yang positif. Mereka yang memiliki pandangan ini beranggapan bahwa pemberian suplemen akademis merupakan perwujudan dari ekspektasi orang tua terhadap prestasi anak. Orang tua tentu menginginkan anaknya untuk memiliki prestasi yang baik di sekolah, sehingga anaknya diikutkan dengan berbagai les tambahan untuk menunjang prestasi akademisnya. Ekspektasi tinggi orang tua mengenai prestasi akademis anak memang merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi kesuksesan anak di sekolah (Taylor, Clayton, & Rowley, 2004). Walaupun demikian, ekspektasi yang tinggi semata tidak cukup untuk membawa anak pada kesuksesan di sekolah. Ekspektasi ini juga harus dibarengi oleh daya tanggap orang tua yang tinggi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya mengharapkan anaknya untuk menjadi berprestasi tanpa memperhatikan pendapat, kebutuhan, dan keinginan anak. Sebaliknya, orang tua harus bersikap responsif terhadap hal-hal tersebut serta turut membimbing dan mengarahkan anaknya dalam mencapai kesuksesan. Perpaduan antara ekspektasi tinggi dan daya tanggap tinggi pada orang tua disebut sebagai pola asuh otoritatif (authoritative parenting) (Maccoby & Martin, 1983 dalam Steinberg, Lamborn, Dornbusch, & Darling, 1992). Pola asuh ini memenuhi tiga aspek penting yang dipercaya dapat menghasilkan perkembangan psikologis yang sehat serta kesuksesan anak di sekolah, yaitu kehangatan orang tua, kontrol terhadap perilaku anak, serta pola asuh yang demokratis (Steinberg, 1990; Steinberg et al., 1989, 1991, dalam Steinberg, Lamborn, Dornbusch, & Darling, 1992). Di samping itu, pola asuh otoritatif juga membentuk anak menjadi mandiri, bertanggung jawab, serta kompeten secara sosial (King, 2013). Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa terdapat dampak negatif berantai dari pemberian suplemen akademis yang berlebihan pada anak usia dini. Padahal anak-anak di
masa sekarang kelak akan menjadi generasi penerus dan mewarisi dunia ini di masa depan. Oleh karena itu, mereka seharusnya diasuh dan dididik dengan cara yang benar agar siap secara kognitif, mental, dan emosional untuk menghadapi masa depan mereka. Orang tua berekspektasi bahwa pemberian suplemen akademis secara berlebihan dapat membantu anak meraih kesuksesan di sekolah, namun pada kenyataannya cara ini bukan cara yang tepat untuk mendidik anak-anak. Orang tua sebaiknya mengasuh dan mendidik anaknya dengan pola asuh otoritatif yang telah terbukti dapat membawa anak pada kesuksesan di sekolah, membentuk anak yang sehat secara psikologis, serta membentuk karakter yang baik pada anak (King, 2013; Steinberg, Lamborn, Dornbusch, & Darling, 1992; Taylor, Clayton, & Rowley, 2004).
DAFTAR PUSTAKA Hyoscyamina, D. E. (2011). Peran keluarga dalam membangun karakter anak. Jurnal Psikologi Undip, 10(2), 144-152. Dipetik November 28, 2014, dari http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/view/2887/2570 King, L. A. (2013). The science of psychology: An appreciative view. New York: The McGraw-Hill Companies. Steinberg, L., Lamborn, S. D., Dornbusch, S. M., & Darling, N. (1992). Impact of parenting practices on adolescent achievement: Authoritative parenting, school involvement, and encouragement to succeed. Child Development, 63, 1266-1281. doi:10.1111/j.1467-8624.1992.tb01694.x Taylor, L. C., Clayton, J. D., & Rowley, S. J. (2004). Academic socialization: Understanding parental influences on children's school-related development in the early years. Review of General Psychology, 8(3), 163-178. doi:10.1037/1089-2680.8.3.163
OUTLINE
Paragraf pembuka: mengapa topik ini penting, premis utama Argumen 1: Menghilangkan motivasi belajar Argumen 2: Membentuk skema negatif tentang sekolah Argumen 3: Mengakibatkan efek negatif yang berantai pada anak keturunannya Argumen yang bertentangan: Sebagai wujud ekspektasi orang tua terhadap prestasi
anak Argumen 4 (kontra-argumen yang bertentangan): Ekspektasi tinggi harus dibarengi
oleh daya tanggap tinggi pola asuh otoritatif Paragraf penutup: mengulang premis utama, kesimpulan, saran