Judul
:
Makna Hidup Penyandang Cacat Tunanetra yang Berprofesi Sebagai Tukang Pijat.
Nama/NPM :
Endah Sri Wahyuni / 10503064
Pembimbing :
Dona Eka Putri, Psi., M.Psi. ABSTRAK
Setiap manusia pasti menginginkan kondisi atau keadaan fisik yang normal. Namun kenyataan menjadi berbeda ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti keterbatasan dalam hal melihat atau sering disebut tunanetra. Mata adalah indera yang mempunyai peranan paling penting dibanding dengan indera lainnya karena selama mata terjaga maka dapat membantu manusia untuk beraktivitas. Terganggunya indera penglihatan seseorang akan kehilangan fungsi kemampuan visualnya untuk merekam objek dan peristiwa fisik yang ada dilingkungannya. Orang yang mengalami tunanetra tidak dapat menjalani kehidupan sesuai dengan keadaan lingkungan dan keinginan yang mereka harapkan termasuk dalam hal mencari pekerjaan. Sama halnya dengan orang normal, penyandang tunanetra juga memerlukan pekerjaan agar dapat melanjutkan kehidupan walaupun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Keinginan untuk dapat hidup mandiri adalah dambaan setiap manusia, begitu juga dengan penyandang tunanetra. Seorang tunanetra pun dapat menemukan makna hidup jika dalam hidupnya mampu menyikapi keterbatasannya. Hidup tetap memiliki makna dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, dan selalu berusaha mencari dan menemukannya. Dari pemaparan di atas, maka timbul pertanyaan mengenai bagaimana gambaran makna hidup subjek yang berprofesi sebagai tukang pijat, mengapa gambaran makna hidup subjek seperti itu, dan bagaimana proses penemuan makna hidup subjek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat, hal-hal yang menyebabkan subjek mempunyai gambaran makna hidup seperti itu dan untuk mengetahui proses yang dilalui subjek dalam hal penemuan makna hidupnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data penelitian ini diperoleh dari dua subjek yang mengalami kebutaan (tunanetra) yang berprofesi sebagai tukang pijat dan merupakan alumni dari sebuah panti sosial bina netra (PSBN) dalam hal ini berasal dari PSBN Tan Miyat Departemen Sosial. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan observasi yang diterapkan pada subjek dan significant others. Dari hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa penemuan makna hidup pada tiap individu berbeda-beda. Makna hidup juga harus dicari dan ditemukan sendiri. Kemudian yang menjadi alasan kedua subjek lebih memilih menjadi
tukang pijat adalah karena kedua subjek menganggap pekerjaan menjadi tukang pijat yang lebih dapat diandalkan daripada melakukan pekerjaan lain yang tidak baik seperti menjadi pengemis atau penipu. Selain itu, kedua subjek juga merasa dapat mengandalkan indera peraba karena indera peraba yang lebih peka dari indera yang lain. Dalam hidup, kedua subjek merasa hidupnya telah bermakna. Kedua subjek merasa hidupnya bermakna ketika kedua subjek merasa dibutuhkan orang lain dan dapat berguna bagi orang lain. Kedua subjek merasa dengan kecacatan yang mereka miliki mereka tidak menyusahkan orang lain dan dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga dari hasil keringat sendiri sebagai tukang pijat bukan dari belas kasihan orang lain. Kedua subjek merasa berarti ketika mampu menolong orang dengan pijatannya sekaligus dapat mencari nafkah. Selain itu kedua subjek merasa bangga karena dengan kecacatan yang kedua subjek miliki tidak mampu menghalangi keduanya untuk terus berkarya dan bekerja. Kedua subjek mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu ingin menjadi tukang pijat yang berhasil, membangun keluarga yang bahagia, dan tidak hidup bergantung pada orang lain. Kata kunci : Makna Hidup, Penyandang Tunanetra, Tukang Pijat.
A. Pendahuluan 1.
Latar Belakang
Seluruh manusia dimuka bumi ini mengharapkan kondisi atau keadaan fisik yang normal saat mereka dilahirkan. Namun kenyataan berkata lain, ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari, seperti keterbatasan dalam hal melihat atau yang sering disebut tunanetra. Pengertian tunanetra dapat dilihat dari segi etimologi bahasa, tuna yang berarti rugi, dan netra yang berarti mata atau cacat mata (Soekini & Suharto,1977). Tunanetra dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor endogen maupun exogen. Faktor endogen adalah faktor yang erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Sedangkan faktor exogen adalah faktor dari luar, misalnya disebabkan oleh penyakit, seperti cataract, glaucoma maupun penyakit yang dapat menimbulkan ketunanetraan (Soekini & Suharto, 1977). Sedangkan menurut Soemantri (2006), pengertian
tunanetra tidak saja hanya untuk mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam belajar. Sama halnya dengan orang normal, penyandang tunanetra juga memerlukan pekerjaan agar dapat melanjutkan kehidupan walaupun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Streers & Porter (dalam Sarah, 1998) berpendapat bahwa terdapat empat alasan yang menyebabkan seseorang bekerja, yaitu pertama karena bekerja merupakan sarana bagi manusia untuk saling bertukar ide atau gagasan, yang kedua karena bekerja secara umum memenuhi beberapa fungsi sosial antara lain tempat bekerja memberikan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru dan membina persahabatan. Alasan ketiga adalah dengan bekerja seseorang mendapatkan status atau kedudukan dalam masyarakat
serta alasan yang terakhir dengan bekerja seseorang mendapatkan identitas, harga diri, aktualisasi diri, dan makna hidup. Seorang tunanetra yang bekerja bukanlah orang yang tidak tahu diri dengan keterbatasannya tetapi karena ia berusaha untuk mencari solusi untuk pemecahan masalah-masalah dalam hidupnya terutama masalah ekonomi. Hidup tetap memiliki makna dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, dan selalu berusaha mencari dan menemukannya. Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan mereka yang berhasil menemukan dan mengembangkannya akan merasakan kebahagiaan sebagai ganjarannya sekaligus terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 2007). Menurut Frankl (dalam Bastaman, 1996) makna hidup tidak dapat ditemukan pada situasi yang menyenangkan saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam keadaan penderitaan yang paling buruk sekalipun. Frankl menyebut hal-hal yang dapat menimbulkan penderitaan sebagai “ The Human Tragic Triads of human existence “, yakni ada tiga macam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia. Tiga macam penderitaan tersebut diantaranya rasa sakit (pain), rasa bersalah (guilt), dan kematian (death). Frankl (dalam Bastaman, 1996) mengatakan bahwa hidup bisa dibuat bermakna melalui tiga jalan antara lain : (1) melalui apa yang dapat seseorang berikan kepada hidup (bekerja, karya kreatif), (2) melalui apa yang kita ambil dari hidup (menemui keindahan, kebenaran, dan cinta), dan (3) melalui sikap yang diberikan terhadap ketentuan
atau nasib yang tidak dapat dirubah (penderitaan yang tidak dapat dihindari). Seorang tunanetra pun dapat menemukan makna hidup jika dalam hidupnya mampu menyikapi keterbatasannya. Selain itu fenomena penyandang tunanetra yang mencari pekerjaan melalui suara seperti menjadi pengamen pun sering terlihat di angkutan umum misalnya di kereta atau di bus kota. Penyandang tunanetra pun identik dengan pekerjaan sebagai tukang pijat atau nama lainnya “maseur”. Sebuah surat kabar ibukota memberitakan bahwa baru-baru ini para “maseur” atau tukang pijat mencatat rekor Muri yaitu 250 pemijat tunanetra berhasil memijat 2000 orang di 5 kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) atau sama dengan memijat 4000 kaki. Para pemijat tunanetra ini tergabung dalam sebuah yayasan Jarima (yayasan Jari Mantap) mengungkapkan bahwa rekor ini merupakan penghargaan kepada jasa pemijat tunanetra yang selama ini seolah tersisihkan oleh pijat-pijat lain yang tidak jelas. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat. Mengapa tukang pijat? Peneliti memilih objek penelitian ini karena melihat fenomena yang ada dimana biasanya penyandang tunanetra lebih memilih pekerjaan ini yang dianggap lebih baik dibanding menjadi pengemis. Sedangkan alasan peneliti menggunakan penyandang tunanetra sebagai objek penelitian karena biasanya penyandang tunanetra menggunakan kemampuan kepekaan indra peraba untuk menunjukkan keahliannya dalam memijat seseorang. Tak heran kebanyakan dari penyandang tunanetra memilih berprofesi sebagai tukang pijat. Selain itu alasan peneliti menggunakan penyandang tunanetra karena peneliti ingin melihat apakah dengan keterbatasan penglihatan yang dimiliki seorang tunanetra mampu atau
tidak mencapai makna dalam hidupnya agar menjadi diri yang mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Dengan tidak bergantung kepada orang lain, seorang tunanetra mampu menyikapi kekurangan dalam dirinya karena bagi manusia mata adalah indra yang paling utama dan merupakan cakrawala dunia, tanpa mata manusia kehilangan kesempatan merekam semua kejadiankejadian penting dalam hidupnya dan dengan mampu menyikapi hal ini dengan penuh kemandirian maka seorang tunanetra layak untuk terus melanjutkan kehidupannya walau tanpa mata sekalipun. Adapun karakteristik tukang pijat yang menjadi objek penelitian disini adalah individu dewasa, dimana salah satu cirri khas pada individu dewasa adalah keinginan dan perjuangannya untuk merasakan arti makna serta tujuan hidup (Corey, 1999). Melihat fenomena yang telah disebutkan diatas, peneliti ingin melihat apakah dengan bekerja sebagai tukang pijat seorang penyandang tunanetra dapat menemukan makna hidup yang sesungguhnya atau apakah para penyandang tunanetra sebenarnya hanya pasrah menerima nasib mereka hanya menjadi tukang pijat dengan keterbatasan yang ada. 2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan terdahulu, maka permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat, mengapa gambaran makna hidup subjek seperti itu, dan bagaimana proses penemuan makna hidup subjek 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang gambaran makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat dan untuk
mengetahui alasan mengapa gambaran makna hidup subjek dapat seperti itu serta untuk mengetahui proses yang dilalui subjek dalam hal penemuan makna hidupnya. 4. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis, penyandang cacat tunanetra memerlukan tambahan ilmu keterampilan selain memijat. Secara psikologis, penyandang cacat tunanetra membutuhkan dukungan baik dari keluarga maupun lingkungan agar dapat diakui keberadaannya. Penemuan makna hidup pada tiap individu berbeda-beda. Makna hidup juga harus dicari dan ditemukan sendiri. Penyandang cacat tunanetra juga membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar agar dapat mewujudkannya. Melalui pengakuan terhadap kemampuan memijat, kedua subjek merasa hidupnya telah bermakna karena bisa membantu orang lain dengan pijatannya dan dapat mencari nafkah sehingga hidup menjadi mandiri. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya terutama mengenai makna hidup penyandang cacat tunanetra. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti pada perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai gambaran makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat. b. Manfaat Praktis proses penemuan makna hidup pada tiap individu berbeda-beda. Makna hidup harus dicari dan ditemukan sendiri. Penyandang cacat tunanetra harus mampu mengatasi keterbatasannya agar dapat hidup lebih bermakna. Dukungan dari lingkungan sangat membantu individu untuk bangkit agar terus berusaha membuat hidupnya bermakna apapun pekerjaanya. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan masukan berupa hasil kajian
mengenai makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat dan agar dapat memberi informasi bagi penyandang tunanetra agar dalam hidupnya dapat menemukan makna hidup meskipun profesinya bukan menjadi tukang pijat. B. Tinjauan Pustaka 1. Makna Hidup a. Pengertian makna hidup Makna hidup adalah sesuatu yang khusus yang dianggap penting, serta bersifat personal bagi seseorang dalam usahanya menemukan tujuan hidup b. Sumber-sumber Makna Hidup Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) tiga sumber makna hidup adalah : a. Nilai-nilai kreatif (creative values) Kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Nilai kreatif dapat diraih melalui berbagai kegiatan. Pada dasarnya seorang bisa mengalami stres jika terlalu banyak beban pekerjaan. Namun, ternyata seseorang akan merasa hampa dan stres pula jika tidak ada kegiatan yang dilakukannya. Kegiatan yang dimaksud tidaklah semata-mata kegiatan mencari uang tetapi pekerjaan yang membuat seorang dapat merealisasikan potensipotensi sebagai sesuatu yang bisa dinilainya berharga bagi dirinya sendiri atau orang lain maupun kepada Tuhan. b. Nilai-nilai penghayatan (experiential values) Keyakinan dan penghayatan akan nilainilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Nilai penghayatan menurut Frankl dapat dikatakan berbeda dari nilai kreatif karena cara memperoleh nilai
penghayatan adalah dengan menerima apa yang ada dengan penuh pemaknaan dan penghayatan yang mendalam. Realisasi nilai penghayatan dapat dicapai dengan berbagai macam bentuk penghayatan terhadap keindahan, rasa cinta dan memahami suatu kebenaran. Makna hidup dapat diraih melalui berbagai momen maupun hanya dari sebuah momen tunggal yang sangat mengesankan bagi seseorang. c. Nilai-nilai bersikap (attitudinal values) Menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal. Nilai terakhir adalah nilai bersikap. Nilai ini sering dianggap paling tinggi karena dalam menerima kehilangan kita terhadap kreativitas maupun kehilangan kesempatan untuk menerima cinta kasih, manusia tetap bisa mencapai makna hidupnya melalui penyikapan terhadap apa yang terjadi. Bahkan di dalam suatu musibah yang tak terelakan, seorang masih bisa menjadikannya suatu momen yang sangat bermakna dengan cara menyikapainya secara tepat. Dengan kata lain penderitaan yang dialami seseorang masih tetap dapat memberikan makna bagi dirinya. c. Karakteristik Makna Hidup Menurut Bastaman (1996) untuk mendapatkan gambaran tentang makna hidup maka perlu diungkapkan mengenai karakteristik makna hidup, yaitu : a. Unik dan personal Maksudnya apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain, dan mungkin dari waktu ke waktu berubah pula.
b. Spesifik dan konkrit Artinya makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari dan tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil renungan filosofis yang kreatif. c. Memberi pedoman dan arah Maksudnya makna hidup dapat memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih terarah. d. Proses Penemuan Makna Hidup Bastaman (1996) mengemukakan bahwa dalam proses perubahan diri dari penghayatan hidup tak bermakna dapat di gambarkan tahapan-tahapan pengalaman tertentu. Hal ini hanya merupakan konstruksi teoritis yang dalam realita sebenarnya tidak selalu mengikuti urutan tersebut (untuk mempermudah pemahaman secara menyeluruh). Tahaptahap ini dapat digolongkan menjadi lima tahapan sebagai berikut : a. Tahap Derita (Peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna) b. Tahap penerimaan diri (Pemahaman diri, pengubahan sikap) c. Tahap Penemuan makna hidup (Penemuan makna dan penentuan tujuan hidup) d. Tahap Realisasi makna (Keterikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup) e. Tahap Kehidupan bermakna (Penghayatan bermakna, kebahagiaan) Peristiwa tragis yang membawa kepada kondisi hidup tak bermakna dapat menimbulkan kesadaran diri (self insight) dalam diri individu akan keadaan dirinya dan membantunya untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi.
2. Tunanetra a. Pengertian Tunanetra Tunanetra yaitu tidak hanya untuk mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup, dimana indera tersebut berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari. b. Faktor - faktor Penyebab Ketunanetraan Menurut Soemantri (2006) ketunanetraan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu : a. Faktor dari dalam (internal) Faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinan karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat dan sebagainya. b. Faktor dari luar (eksternal) Faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya kecelakaan, terkena penyakit yang mengenai mata saat dilahirkan, pengaruh alat medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyarafan rusak, kurang gizi, terkena racun dan virus. Menurut Soekini & Suharto (1977) faktor-faktor ketunanetraan tidak jauh berbeda dengan yang telah dikemukakan oleh Soemantri (2006). Faktor-faktor tersebut adalah faktor endogen dan faktor exogen. Faktor endogen yaitu faktor yang erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan ini, dapat dilihat pada sifat-sifat keturunan yang mempunyai hubungan pada garis lurus, silsilah dan hubungan sedarah.
Misalnya pada perkawinan orang bersaudara. Sedangkan faktor exogen adalah yang berasal dari luar misalnya disebabkan oleh penyakit seperti katarak, glukoma, dan penyakit yang menyebabkan ketunanetraan. Faktor exogen lainnya ialah disebabkan oleh kecelakaan, yang berlangsung dan tidak langsung mengenai bola mata misalnya kecelakaan karena kemasukan benda keras, benda tajam atau cairan yang berbahaya. c. Klarifikasi Tunanetra Tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu (Soemantri, 2006) : a. Buta Seseorang dapat dikatakan buta jika seseorang tersebut sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0). b. Low Vision Individu dapat dikatakan low vision apabila masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 atau jarak individu tersebut hanya mampu membaca headline atau judul pada surat kabar. Menurut Slayton French (dalam Soekini & Suharto, 1977) menggolongkan para penderita tunanetra sebagai berikut : a. Buta total, ialah mereka yang sama sekali tidak dapat membedakan antara gelap dan terang karena memiliki indera penglihatan yang rusak. b. Penderita tunanetra yang masih sanggup membedakan antara gelap dan terang. c. Penderita tunanetra yang masih dapat membedakan antara gelap dan terang serta warna.
d. Penderita tunanetra yang kekurangan daya penglihatannya, mereka dapat diberi pertolongan dengan menggunakan kaca mata. e. Buta warna, yaitu mereka yang mengalami gangguan penglihatan dalam hal membedakan warna. 3. Makna Hidup Penyandang Cacat Tunanetra Yang Berprofesi Sebagai Tukang Pijat Setiap manusia menginginkan dirinya terlahir sempurna. Namun kenyataan tak selalu sejalan dengan keinginan, ketika terdapat keterbatasan dalam diri yang tidak dapat dihindari maka seseorang dituntut agar dapat menentukan jalan nasibnya sendiri. Seorang tunanetra dapat menemukan makna hidup jika dalam hidupnya ia mampu menyikapi keterbatasannya. Bastaman (2007) berpendapat bahwa setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa diri dengan mengubah sikap atas keadaan itu agar tidak terhanyut secara negatif oleh keadaan tersebut. Seorang tunanetra dituntut untuk dapat menyikapi keadaannya tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Seorang tunanetra dituntut agar dapat mandiri menghadapi kehidupannya. Salah satunya dengan bekerja. Ketika seorang tunanetra memutuskan untuk bekerja, akan muncul banyak hambatan dikarenakan keterbatasannya dalam melihat. Hal ini yang menyebabkan stereotipe pada sejumlah penyandang tunanetra untuk bekerja sebagai pengemis, karena mereka berpikir orang lain akan merasa kasihan melihat mereka. Namun bagi sejumlah penyandang tunanetra yang dalam hidupnya tidak ingin menggantungkan diri kepada orang lain akan berusaha menempuh segala cara agar hidupnya lebih berguna. Salah
satunya dengan mengikuti pelatihan yang ada di panti-panti sosial. Ketika mereka memutuskan untuk bergabung dalam suatu lingkungan panti maka mereka termasuk orang-orang yang mampu menyikapi keterbatasannya dengan halhal yang positif agar tujuan hidupnya dapat terpenuhi. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat. Peneliti memilih objek penelitian ini karena melihat fenomena yang ada dimana biasanya penyandang tunanetra lebih memilih pekerjaan ini yang dianggap lebih baik dibanding menjadi pengemis dan berbicara mengenai kepekaan indra peraba, penyandang tunanetra biasanya menggunakan kemampuan indra ini untuk menunjukkan keahliannya dalam memijat seseorang. Tak heran kebanyakan dari penyandang tunanetra memilih berprofesi sebagai tukang pijat. Selain itu alasan peneliti menggunakan penyandang cacat tunanetra karena peneliti ingin melihat apakah dengan keterbatasan penglihatan yang dimiliki seorang tunanetra mampu atau tidak mencapai makna dalam hidupnya agar menjadi diri yang mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Karakteristik tukang pijat netra yang menjadi objek penelitian adalah individu dewasa yang menjadi tukang pijat setelah mengikuti pelatihan pada sebuah panti sosial yang membuka pelatihan kerja bagi penyandang cacat tunanetra, dalam hal ini peneliti akan mengambil objek penelitian yang berasal dari panti sosial Bina Netra Tan Miyat dibawah asuhan Departemen Sosial RI. Sedangkan karakteristik penyandang tunanetra yang menjadi objek penelitian adalah tunanetra yang tergolong low vision. Adapun karakteristik tukang pijat yang menjadi objek penelitian disini adalah individu dewasa, dimana salah satu cirri khas pada individu dewasa adalah keinginan dan
perjuangannya untuk merasakan arti makna serta tujuan hidup (Corey, 1999). C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Kualitatif Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, dimana peneliti bertujuan agar mendapatkan pemahaman yang mendalam dari masalah yang peneliti teliti dan memberikan gambaran melalui pengamatan yang dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi variabel yang dilibatkan. 2. Subjek Penelitian Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah penyandang tunanetra dewasa yang tergolong low vision dan berprofesi sebagai tukang pijat setelah mengikuti pelatihan pada sebuah panti sosial yang membuka pelatihan kerja bagi penyandang cacat tunanetra, dalam hal ini peneliti akan mengambil objek penelitian yang berasal dari panti sosial Bina Netra Tan Miyat dibawah asuhan Departemen Sosial RI. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua orang subjek dengan dua orang significant others untuk tiap subjeknya 3. Tahap-tahap Persiapan a. Tahap Persiapan, peneliti membuat pedoman wawancara dan pedoman observasi yang disusun berdasarkan beberapa teori yang relevan dengan masalah. Selanjutnya peneliti akan mencari calon subjek dengan karakteristik sebagaimana telah disebutkan dalam subjek penelitian. Setiap perkembangan dilaporkan dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. b. Tahap pelaksanaan, Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk melakukan observasi dan wawancara secara terpisah. Setelah itu, peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan wawancara dan hasil observasi ke dalam bentuk verbatim tertulis, kemudian peneliti melakukan analisis data dan interpretasi data sesuai
dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian teknik analisis data. Terakhir peneliti membuat diskusi dan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode dan tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Dalam penelitian ini observasi yang dilaksanakan oleh peneliti adalah pengamatan tidak berperan serta atau non partisipan, karena peneliti tidak terlibat secara langsung dengan aktivitas subjek, peneliti hanya mengamati sesuai waktu yang telah ditentukan atau yang telah dibuat peneliti dengan kesepakatan subjek. Meskipun demikian, informasi atau data yang diperoleh tetap memenuhi kriteria atau standar yang diinginkan. Sedangkan pendekatan wawancara dengan pedoman umum, Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat umum, yang mencantumkan isuisu yang harus diliputi tanpa mencantumkan urutan pertanyaan. Peneliti juga mengembangkan pedoman wawancara berdasarkan kondisi di lapangan, hal ini dilakukan agar lebih efektif dalam menggali informasi yang diperlukan. dengan kesepakatan subjek. 5. Alat Bantu yang Digunakan dalam Penelitian Dalam penelitian, informasi atau data yang dibutuhkan bisa dalam bentuk verbal dan non verbal. Oleh sebab itu dalam melakukan observasi dan wawancara peneliti memerlukan beberapa alat bantu yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mempermudah proses jalannya suatu penelitian. Beberapa sarana atau instrumen yang digunakan adalah menggunakan media perekam suara, catatan atau tulisan tangan, pedoman wawancara, dan pedoman observasi.
c. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam suatu penelitian dengan metode kualitatif, ada beberapa teknik yang digunakan dan salah satu teknik tersebut adalah triangulasi. Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dapat dibedakan menjadi emapat macam yaitu triangulasi data, pengamat, teori, dan metodologis. 7. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh akan di analisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif. Adapun tahapan tersebut adalah mengorganisasikan data,mengelompokkan data, analisis kasus, dan menguji asumsi. D. Hasil dan Analisis 1. Hasil Wawancara dan Observasi a. Gambaran umum subjek Subjek pertama adalah pria berusia 26 tahun dengan tinggi badan kira-kira 160 cm. Subjek memiliki kulit sawo matang dan berambut pendek ikal. Keadaan mata subjek terlihat di kedua bola matanya seperti tertutup semacam selaput putih dan selama proses observasi wawancara berlangsung posisi duduk subjek selalu sama yaitu duduk menyamping dari peneliti atau posisi duduk subjek seperti menyodorkan telinganya karena menurut subjek posisi duduk seperti ini memungkinkan subjek dapat berkonsentrasi menjawab pertanyaan karena dapat dengan jelas mendengarkan suara peneliti. Subjek kedua adalah Subjek adalah pria yang berusia 40 tahun dengan tinggi badan kira-kira 170 cm. Subjek memiliki kulit sawo matang dan berambut hitam pendek. Keadaan mata subjek terlihat
seperti orang normal tidak tampak subjek adalah seorang tuna netra. Kebutaan kedua subjek didapat dengan cara berbeda, subjek pertama buta sejak kecil dikarenakan sakit panas yang sangat tinggi sedangkan subjek kedua buta dari usia 27 tahun. Sehingga subjek kedua sama sekali tidak terlihat seperti penyandang cacat netra karena apabila sedang berbicara dengan orang lain pun posisinya tetap berhadapan dengan lawan bicaranya seperti halnya yang dilakukan oleh orang normal. b. Pembahasan 1. Mengapa subjek lebih memilih menjadi tukang pijat? Pada kasus kedua subjek mengenai latar belakang subjek lebih memilih menjadi tukang pijat dibanding pekerjaan lain, kedua subjek memilih pekerjaan sebagai tukang pijat yaitu karena hanya menjadi tukang pijat yang lebih dapat diandalkan daripada melakukan pekerjaan lain yang tidak baik seperti menjadi pengemis. Motivasi subjek 1 dan subjek 2 pun terdapat kesamaan yaitu merasa termotivasi karena dapat mencari nafkah sekaligus menolong orang yang memerlukan pijatan subjek. Streers & Porter (dalam Sarah, 1998) berpendapat bahwa terdapat empat alasan yang menyebabkan seseorang bekerja, yaitu pertama karena bekerja merupakan sarana bagi manusia untuk saling bertukar ide atau gagasan, yang kedua karena bekerja secara umum memenuhi beberapa fungsi sosial antara lain tempat bekerja memberikan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru dan membina persahabatan. Alasan ketiga adalah dengan bekerja seseorang mendapatkan status atau kedudukan dalam masyarakat serta yang terakhir dengan bekerja seseorang mendapatkan identitas, harga diri, aktualisasi diri, dan makna hidup. Kedua subjek mempunyai alasan lebih memilih menjadi tukang pijat karena kedua subjek beranggapan hanya pekerjaan menjadi tukang pijat yang
cocok dengan keadaan subjek saat ini. Selain subjek dapat mencari nafkah, dengan memijat subjek juga dapat bersosialisasi lebih luas dengan masyarakat baik sesama penyandang cacat maupun dengan orang normal. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua subjek memilih menjadi tukang pijat karena tukang pijat dianggap oleh kedua subjek sebagai pekerjaan yang paling cocok dan dapat diandalkan untuk mencari nafkah daripada melakukan pekerjaan tidak baik seperti menjadi pengemis atau penipu. 2. Bagaimanakah gambaran makna hidup penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat? a. Unik dan personal Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai karakteristik unik dan personal. Kedua subjek berupaya terus berkarya walaupun kedua subjek mengalami kebutaan. Setelah kedua subjek mempunyai keterampilan memijat, subjek mempunyai keinginan untuk berusaha sendiri agar dapat menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Selain itu kedua subjek mengalami perubahan setelah mengalami cacat dan masuk panti bina netra. Dari perubahan emosi sampai penyesuaian terhadap dunia cacat. Frankl (dalam Bastaman, 1996) mengatakan bahwa hidup bisa dibuat bermakna melalui tiga jalan antara lain : (1) melalui apa yang dapat seseorang berikan kepada hidup (bekerja, karya kreatif), (2) melalui apa yang kita ambil dari hidup (menemui keindahan, kebenaran, dan cinta), dan (3) melalui sikap yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang tidak dapat dirubah (penderitaan yang tidak dapat dihindari). Seorang tunanetra pun dapat menemukan makna hidup jika dalam hidupnya ia mampu menyikapi keterbatasannya. Kedua subjek menempuh jalan yang pertama yaitu melalui apa yang dapat seseorang berikan kepada hidup. Subjek 1 dan subjek 2
mewujudkannya dengan bekerja. Walaupun kedua subjek memiliki kecacatan tetapi kedua subjek masih mau berusaha dan tetap bersemangat mempelajari ilmu memijat dari awal. Menurut Bastaman (1996), karakteristik unik dan personal maksudnya adalah apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain, dan mungkin dari waktu ke waktu berubah pula. Bagi subjek 1, hal yang berarti bagi dirinya adalah dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga dengan hasil keringat sendiri bukan dari hasil belas kasihan orang dan subjek menjalani segala sesuatu dengan penuh keyakinan. Sedangkan bagi subjek 2, dapat terus berkarya sesuai dengan pesan ayah subjek, adalah sesuatu yang berarti bagi subjek. Subjek berusaha bangkit ketika subjek mengalami kecacatan pada usia 27 tahun. Dari cita-cita menjadi pengacara terkenal sampai akhirnya subjek menjadi tukang pijat, semua subjek lakukan agar terus berkarya apapun dan siapapun subjek saat ini. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing subjek mempunyai karakteristik unik dan personal pada diri subjek yaitu, pada subjek 1 keinginan untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga dengan hasil keringat sendiri bukan dari hasil belas kasihan orang dan subjek menjalani segala sesuatu dengan penuh keyakinan. Pada subjek 2, keinginan untuk terus berkarya apapun keadaan yang subjek dan siapapun subjek saat ini. b. Spesifik dan konkrit Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai karakteristik spesifik dan konkrit. Kedua subjek mengalami perubahan setelah masuk panti. Subjek 1 dapat beradaptasi dengan masyarakat dan subjek 2 menjadi lebih bisa mengendalikan emosinya. Kedua subjek
merasa berarti ketika mampu menolong orang dengan pijatannya sekaligus dapat mencari nafkah. Kedua subjek juga mengatakan bahwa keputusan bergabung di panti bina netra adalah keputusan yang benar sehingga subjek bisa merancang masa depan dengan keterampilan yang subjek miliki. Sebelumnya tidak terpikir oleh kedua subjek kelak akan menjadi tukang pijat. Kedua subjek juga dalam memaknai sesuatu dari setiap peristiwa melalui perenungan. Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) ada tiga sumber makna hidup, salah satunya yaitu nilainilai kreatif maksudnya kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Nilai kreatif dapat diraih melalui berbagai kegiatan. Pada dasarnya seorang bisa mengalami stres jika terlalu banyak beban pekerjaan. Namun, ternyata seseorang akan merasa hampa dan stres pula jika tidak ada kegiatan yang dilakukannya. Kegiatan yang dimaksud tidaklah semata-mata kegiatan mencari uang tetapi pekerjaan yang membuat seorang dapat merealisasikan potensipotensi sebagai sesuatu yang bisa dinilainya berharga bagi dirinya sendiri atau orang lain maupun kepada Tuhan. c. Memberikan pedoman dan arah Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai karakteristik memberikan pedoman dan arah. Dalam hal ini, setelah menjadi tukang pijat, subjek 1 menemukan tujuan hidup yang ingin diraih sedangkan subjek 2 mengalami perubahan tujuan hidup karena subjek 2 mengalami kebutaan pada usia 27 tahun. Setelah mengalami kecacatan, kedua subjek mempunyai kesamaan tujuan hidup yaitu ingin menjadi tukang pijat yang berhasil dan tidak bergantung dengan orang lain. Menurut Bastaman (1996), karakteristik memberikan pedoman dan arah maksudnya makna hidup dapat memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan sehingga makna hidup seakanakan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih terarah. Kedua subjek mempunyai kesamaan tujuan hidup yaitu ingin menjadi tukang pijat yang berhasil dan tidak bergantung dengan orang lain. Setelah berhasil menentukan tujuan hidup, kedua subjek merasa setiap kegiatannya menjadi lebih terarah dan terfokus pada satu tujuan sehingga hal ini terasa semakin menantang agar subjek dapat memenuhi tujuan hidupnya tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua subjek mempunyai karakteristik memberi pedoman dan arah. Hal ini dapat terlihat dari kesamaan tujuan hidup kedua subjek yaitu ingin menjadi tukang pijat yang berhasil dan tidak bergantung dengan orang lain. 3. Bagaimana proses penemuan makna hidup subjek ? a. Tahap derita Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai tahap derita. Ketika mengetahui dirinya mengalami kebutaan, kedua subjek merasa dirinya syok dan terpukul. Subjek 1 merasa hidupnya setengah putus asa, subjek juga merasa tidak percaya dan tidak terima. Subjek 2 merasa dirinya stres dengan keadaannya sekarang subjek akan jadi apa. Selain itu, subjek 2 pun mengalami peristiwa tragis lain yaitu kematian ibunya yang belum sempat subjek temui. Menurut Frankl (dalam Bastaman, 1996) makna hidup tidak dapat ditemukan pada situasi yang menyenangkan saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam keadaan penderitaan yang paling buruk sekalipun. Frankl menyebut hal-hal yang dapat menimbulkan penderitaan sebagai “ The Human Tragic Triads of human existence “, yakni ada tiga macam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia. Tiga macam penderitaan
tersebut diantaranya rasa sakit (pain), rasa bersalah (guilt), dan kematian (death). Dalam hal ini subjek 2 pernah mengalami dua peristiwa yang cukup tragis yaitu kematian ibunya dan kebutaan yang subjek alami. Dari peristiwa tragis ini kedua subjek berusaha untuk memahami hikmah yang ada dibalik peristiwa ini. Subjek 1 menganggap kebutaan yang subjek alami merupakan karunia sekaligus teguran bagi subjek sedangkan bagi subjek 2 kebutaan ini mampu merubah perilaku subjek yang temperamental dan membuat subjek menjadi pribadi yang lebih sabar. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua subjek telah melewati tahap derita yaitu peristiwa yang subjek anggap cukup tragis yang mempengaruhi kehidupan subjek. b. Tahap penerimaan diri Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai tahap penerimaan diri. Subjek 1 menerima sepenuhnya keadaannya yang cacat ketika subjek masuk panti dan mengetahui banyak yang lebih parah keadaannya dari subjek. Selain itu subjek 1 menganggap hal ini sebagai karunia dari Tuhan. Subjek 2 menerima keadaannya dengan berpikir bahwa Tuhan menciptakan umatnya berpasangan maka perlu ada orang cacat. Subjek 2 merasa hasil perenungan yang subjek lakukan telah berhasil menjadi sarana introspeksi diri setiap tindakan dan akibatnya. Subjek berusaha memahami diri dengan merenungkan diri agar subjek mampu menerima keadaan subjek yang tiba-tiba kehilangan cita-cita karena mengalami kebutaan pada usia 27 tahun. Hal yang membuat subjek mampu memahami diri sendiri adalah agama. Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) tiga sumber makna hidup salah satunya yaitu nilai-nilai penghayatan maksudnya keyakinan dan penghayatan akan nilainilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu
nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Nilai penghayatan menurut Frankl dapat dikatakan berbeda dari nilai kreatif karena cara memperoleh nilai penghayatan adalah dengan menerima apa yang ada dengan penuh pemaknaan dan penghayatan yang mendalam. Kedua subjek mampu menerima kebutaan yang mereka alami sepenuhnya setelah subjek masuk panti. Bastaman (1996) mengatakan bahwa tahap penerimaan diri terdiri dari pemahaman diri dan pengubahan diri. Kedua subjek berusaha memahami diri melalui perenungan yang mereka lakukan dari setiap kejadian yang terjadi dalam hidup subjek sehingga subjek dapat menjadikannya pengalaman hidup agar subjek terjadi pengubahan diri subjek menuju yang lebih baik. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua subjek juga telah melewati tahap penerimaan diri dimana kedua subjek mampu memahami hikmah yang terkandung dari peristiwa tragis yang mereka alami sehingga dapat dijadikan pengalaman hidup. c. Tahap penemuan makna Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai tahap penemuan makna. Subjek 1 mampu menghadapi kekurangan yang subjek miliki tanpa harus melarikan diri adalah dengan usaha yang sedang subjek jalani saat ini bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga, dari hasil kerja keras sendiri bukan dari hasil belas kasihan orang. Dengan masuk panti dan belajar memijat, subjek 1 merasa bisa dan punya keyakinan untuk menggapai masa depan yaitu keinginan subjek untuk berkeluarga dan dari sekarang subjek bisa merancang kehidupan dengan bekal keterampilan yang subjek dapatkan di panti. Menurut subjek yang paling penting adalah subjek berjalan sesuai dengan cita-cita, bersikap sesuai keyakinan, dan tidak saling mengganggu. Subjek tidak pernah berpikir bahwa yang dialaminya sekarang adalah sebuah peristiwa tragis. Hal ini dijadikan oleh subjek sebagai takdir dan
sebuah teguran dari Tuhan. Sedangkan subjek 2 mempunyai prinsip hidup yang selalu dipegang yaitu terus berkarya siapapun kamu. Subjek berusaha membuktikannya dengan berkarya sebagai tukang pijat bahwa sebagai tukang pijat tuna netra bisa berhasil dalam hidup dan tidak bergantung kepada orang lain. Bagi subjek 2, agama dan dukungan keluarga merupakan hal yang membuat subjek mampu menerima keadaan subjek saat ini. Bastaman (1996) mengatakan bahwa tahap penemuan makna terdiri dari penemuan makna dan penentuan tujuan hidup. Kedua subjek telah berhasil menentukan tujuan hidup setelah menemukan pemahaman bahwa dengan menjadi cacat bukan berati dunia berhenti berputar, tanpa melakukan sesuatu tentu tidak akan ada perubahan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua subjek telah melalui tahap penemuan makna yaitu subjek 1 mampu menghadapi kekurangan yang subjek miliki tanpa harus melarikan diri adalah dengan usaha yang sedang subjek jalani saat ini bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga, dari hasil kerja keras sendiri bukan dari hasil belas kasihan orang. Subjek 2, mempunyai prinsip hidup yang selalu dipegang yaitu terus berkarya siapapun kamu. Subjek berusaha membuktikannya dengan berkarya sebagai tukang pijat bahwa sebagai tukang pijat tuna netra bisa berhasil dalam hidup dan tidak bergantung kepada orang lain. d. Tahap realisasi makna Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai tahap realisasi makna. Subjek 1 beranggapan jika hanya berdiam diri di rumah dan tidak melakukan apa-apa tidak mungkin akan terjadi perubahan. Subjek akan terus berusaha untuk menjadikan dirinya berarti bagi keluarga dan masyarakat sekeliling subjek yaitu dengan cara menolong orang lain. Subjek mempunyai komitmen untuk terus berusaha menata diri sendiri menjadi
lebih baik dan untuk mencari masa depan yang cerah. Subjek 2 berusaha membuat dirinya berati baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan sesama netra dengan terus membantu orang dengan ilmu memijat yang subjek kuasai dan ketika subjek diminta menjadi pengajar. Tujuan hidup subjek membuat kegiatan subjek menjadi lebih terarah dan terfokus pada satu tujuan. Komitmen subjek saat ini adalah bekerja keras dengan selalu diiringi doa agar hari esok lebih baik. Subjek terus mengembangkan keterampilan memijat dengan sering mengikuti pelatihan. Menurut Bastaman (1996), tahap realisasi makna meliputi keterikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup. Dimana pada tahap ini dapat terlihat bahwa kedua subjek berusaha melakukan segala upaya untuk mewujudkan tujuan hidup untuk pemenuhan makna hidup yang ingin subjek capai. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua subjek telah melewati tahap realisasi makna yaitu subjek 1, Subjek akan terus berusaha untuk menjadikan dirinya berarti bagi keluarga dan masyarakat sekeliling subjek yaitu dengan cara menolong orang lain. Subjek mempunyai komitmen untuk terus berusaha menata diri sendiri menjadi lebih baik dan untuk mencari masa depan yang cerah. Subjek 2 berusaha membuat dirinya berati baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan sesama netra dengan terus membantu orang dengan ilmu memijat yang subjek kuasai dan ketika subjek diminta menjadi pengajar. Tujuan hidup subjek membuat kegiatan subjek menjadi lebih terarah dan terfokus pada satu tujuan. Komitmen subjek saat ini adalah bekerja keras dengan selalu diiringi doa agar hari esok lebih baik. Subjek terus mengembangkan keterampilan memijat dengan sering mengikuti pelatihan.
e. Tahap kehidupan bermakna Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai tahap kehidupan bermakna. Bagi subjek 1, subjek merasa bermakna ketika subjek merasa sudah bisa diterima oleh lingkungan dan diakui keberadaan subjek dan dapat berguna. Hal yang paling membuat subjek bahagia adalah hati yang tenang, nyaman, dan subjek merasa suasana subjek sendiri sudah tenteram. Biasanya subjek berbagi kebahagiaan dengan keluarga. Sedangkan subjek 2, hal yang paling bermakna bagi subjek adalah subjek tidak bergantung pada orang lain, lebih mandiri dengan keterampilan yang subjek miliki subjek merasa diterima dalam lingkungan. Saat ini subjek sudah merasa bahagia karena dalam hidup subjek tidak pernah mengharapkan sesuatu yang mulukmuluk apalagi saat ini subjek sedang menunggu kelahiran anaknya. Bastaman (2007) mengatakan bahwa hidup tetap memiliki makna dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, dan selalu berusaha mencari dan menemukannya. Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan mereka yang berhasil menemukan dan mengembangkannya akan merasakan kebahagiaan sebagai ganjarannya sekaligus terhindar dari keputusasaan. Kedua subjek berusaha untuk terus mewujudkan agar hidupnya dapat berarti dan bermakna. Menurut Bastaman (1996) tahap kehidupan bermakna meliputi penghayatan makna dan kebahagiaan. Sejauh ini kedua subjek telah merasa hidup sudah cukup bermakna dengan segala yang sudah subjek dapat. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua subjek telah
melewati tahap terakhir dari proses penemuan makna hidup, tahap kehidupan bermakna, yaitu bagi subjek 1, subjek merasa bermakna ketika subjek merasa sudah bisa diterima oleh lingkungan dan diakui keberadaan subjek dan dapat berguna. Hal yang paling membuat subjek bahagia adalah hati yang tenang, nyaman, dan subjek merasa suasana subjek sendiri sudah tenteram. Biasanya subjek berbagi kebahagiaan dengan keluarga. Bagi subjek 2, hal yang paling bermakna bagi subjek adalah subjek tidak bergantung pada orang lain, lebih mandiri dengan keterampilan yang subjek miliki subjek merasa diterima dalam lingkungan. Saat ini subjek sudah merasa bahagia karena dalam hidup subjek tidak pernah mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk apalagi saat ini subjek sedang menunggu kelahiran anaknya. E. Kesimpulan dan saran 1. Kesimpulan a. Alasan subjek lebih memilih menjadi tukang pijat Alasan kedua subjek memilih pekerjaan sebagai tukang pijat yaitu karena hanya pekerjaan menjadi tukang pijat yang lebih dapat diandalkan daripada melakukan pekerjaan lain yang tidak baik seperti menjadi pengemis atau penipu. Selain subjek dapat mencari nafkah, dengan memijat subjek juga dapat bersosialisasi lebih luas dengan masyarakat baik sesama penyandang cacat maupun dengan orang normal. Selain itu hal yang menyebabkan kedua subjek lebih memilih pekerjaan menjadi tukang pijat karena dirasa oleh kedua subjek bahwa dengan memijat, kedua subjek dapat mengandalkan indra peraba karena indra peraba yang lebih peka dari indra yang lain. b. Gambaran makna hidup subjek sebagai penyandang cacat tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat Setiap orang memiliki pengertian yang berbeda dalam mengartikan makna
hidupnya. Apa yang dianggap berarti dan bernilai bagi seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain demikian pula sebaliknya. Hal ini juga terjadi pada kedua subjek yang memiliki profesi yang sama yaitu sebagai tukang pijat netra. Setelah mampu menerima kecacatan dan mampu bangkit, kedua subjek merasa hidupnya telah bermakna. Bagi subjek 1, hal yang berarti bagi dirinya adalah dapat berguna bagi orang lain, dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga dengan hasil keringat sendiri bukan dari hasil belas kasihan orang dan subjek menjalani segala sesuatu dengan penuh keyakinan. Sedangkan bagi subjek 2, dapat terus berkarya sesuai dengan pesan ayah subjek, adalah sesuatu yang berarti bagi subjek. Subjek berusaha bangkit ketika subjek mengalami kecacatan pada usia 27 tahun. Dari cita-cita menjadi pengacara terkenal sampai akhirnya subjek menjadi tukang pijat, semua subjek lakukan agar terus berkarya apapun dan siapapun subjek saat ini dan subjek membuktikannnya dengan menjadi tukang pijat yang maju dan sukses agar dapat membina dan membahagiakan keluarga dan dapat menyekolahkan anak dari hasil memijat. Makna hidup juga bisa ditemukan dalam peristiwa atau pengalaman seharihari yang dianggap paling bermakna. Kedua subjek merasa berarti ketika mampu menolong orang dengan pijatannya sekaligus dapat mencari nafkah. Kedua subjek berusaha memahami hikmah dibalik setiap kejadian sehingga subjek dapat menjadikannya pengalaman hidup. Kedua subjek dalam memaknai sesuatu dari setiap peristiwa melalui perenungan yang dilakukan oleh diri sendiri tanpa bantuan dari orang lain karena subjek beranggapan bahwa pendapat setiap orang berbeda maka kitalah yang paling memahami diri sendiri. Selain kedua hal di atas, makna hidup juga berfungsi sebagai pedoman terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup sehingga makna hidup seolah-olah bersifat menantang. Dalam hal ini, setelah menjadi tukang pijat, subjek 1 menemukan tujuan hidup yang ingin diraih sedangkan subjek 2 mengalami perubahan tujuan hidup karena subjek 2 mengalami kebutaan pada usia 27 tahun. Setelah mengalami kecacatan, kedua subjek mempunyai kesamaan tujuan hidup yaitu ingin menjadi tukang pijat yang berhasil dan tidak bergantung dengan orang lain. Setelah berhasil menentukan tujuan hidup, kedua subjek merasa setiap kegiatannya menjadi lebih terarah dan terfokus pada satu tujuan sehingga hal ini terasa semakin menantang agar subjek dapat memenuhi tujuan hidupnya tersebut. c. Proses penemuan makna hidup subjek Dalam proses penemuan makna hidup, kedua subjek melalui beberapa tahapan. Tahap-tahap ini digolongkan menjadi tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna dan tahap kehidupan bermakna. Kedua subjek mengalami peristiwa yang dianggap cukup tragis yang mempengaruhi kehidupan subjek dimana kedua subjek kehilangan penglihatan. Subjek 1 mengalami kebutaan pada usia 6 tahun sedangkan subjek 2 mengalami kebutaan pada usia 27 tahun. Kedua subjek juga melalui tahap dimana kedua subjek mampu menerima keadaan dengan adanya kesadaran untuk mengubah kondisi diri. Subjek 1 menerima sepenuhnya keadaannya yang cacat ketika subjek masuk panti dan mengetahui banyak yang lebih parah keadaannya dari subjek. Kedua subjek menganggap hal ini sebagai karunia dari Tuhan. Subjek 2 menerima keadaannya dengan berpikir bahwa Tuhan menciptakan umatnya berpasangan maka perlu ada orang cacat.
Tahap penemuan makna juga telah dilalui kedua subjek. Subjek 1 dengan didasari oleh keyakinan pada diri sendiri, subjek mampu menghadapi kekurangan yang subjek miliki tanpa harus melarikan diri adalah dengan usaha yang sedang subjek jalani saat ini bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga, dari hasil kerja keras sendiri bukan dari hasil belas kasihan orang. Subjek 2, mempunyai prinsip hidup yang selalu dipegang yaitu terus berkarya siapapun indidvidunya. Subjek berusaha membuktikannya dengan berkarya sebagai tukang pijat bahwa sebagai tukang pijat tuna netra bisa berhasil dalam hidup dan tidak bergantung kepada orang lain. Setelah mengalami peristiwa tragis yang membawanya kepada kondisi hidup tak bermakna. Hal ini dapat menimbulkan kesadaran diri dan membantu individu untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Pada kedua subjek hal ini tercermin dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi makna hidup. Pada subjek 1, subjek akan terus berusaha untuk menjadikan dirinya berarti bagi keluarga dan masyarakat sekeliling subjek yaitu dengan cara menolong orang lain. Subjek mempunyai komitmen untuk terus berusaha menata diri sendiri menjadi lebih baik dan untuk mencari masa depan yang cerah. Subjek 2 berusaha membuat dirinya berarti baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan sesama netra dengan terus membantu orang dengan ilmu memijat yang subjek kuasai dan ketika subjek diminta menjadi tenaga pengajar sukarela. Komitmen subjek saat ini adalah bekerja keras dengan selalu diiringi doa agar hari esok lebih baik. Subjek terus mengembangkan keterampilan memijat dengan sering mengikuti pelatihan. Setelah kedua subjek melalui tahap demi tahap dalam penemuan makna hidup pada akhirnya kedua subjek merasa dalam hidupnya telah bermakna. Pada subjek 1, subjek merasa bermakna ketika subjek
merasa sudah bisa diterima oleh lingkungan dan diakui keberadaan subjek dan dapat berguna. Bagi subjek 2, hal yang paling bermakna bagi subjek adalah subjek tidak bergantung pada orang lain, lebih mandiri dengan keterampilan yang subjek miliki subjek merasa diterima dalam lingkungan. d. Saran 1. Bagi subjek Disarankan dapat terus mengembangkan dan memperdalam keterampilan yang sudah ada agar dapat membuat kehidupan akan terasa semakin bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Subjek juga diharapkan jangan pantang menyerah dalam menghadapi kenyataan hidup, teruslah berusaha jangan pernah puas dengan hasil hari ini. Selain itu, subjek diharapkan agar berusaha mempelajari keterampilan lain selain memijat yang bisa dilakukan oleh penyandang cacat, jangan biarkan kecacatan menjadi penghalang. Subjek disarankan agar lebih mengikuti kegiatankegiatan yang berguna dan aktif dalam organisasi tuna netra. 2. Bagi orang tua subjek Disarankan agar terus mendukung dan membantu subjek dalam proses subjek menggapai tujuan dan makna hidupnya. Bagi orang tua yang memiliki anak mengalami kecacatan, disarankan agar terus mendukung dalam hal proses percepatan pemulihan keadaan sehingga anak dapat langsung bangkit dan bersemangat menggapai hidup tanpa merasa kecacatan sebagai penghalang. 3. Bagi Kepala Panti, Pekerja Sosial, Pengajar di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tan Miyat Departemen Sosial. Diharapkan dapat membantu siswanya baik ketika masih d dalam maupun di luar panti. Diharapkan siswa yang telah dinyatakan lulus dan diberikan Izin untuk membuka usaha panti pijat sendiri agar dapat dipantau minimal 1 tahun setelah kelulusan karena pada
masa-masa ini siswa banyak mengalami kesulitan untuk memajukan usaha. Selain itu, diharapkan pula, bagi staf PSBN Tan Miyat agar memperlakukan setiap siswa sama seperti memperlakukan orang normal maksudnya apabila siswa ada yang melakukan kesalahan mengerjakan sesuatu maka para staf perlu segera menegurnya, jangan bertindak membenarkan suatu kesalahan karena akan berdampak buruk bagi siswa di kemudian ketika siswa sudah tidak lagi berada di panti. 4. Bagi peneliti selanjutnya Peneliti mengakui bahwa penelitian ini mempunyai kelemahan karena tidak disertai kelengkapan data berupa hasil observasi diluar wawancara maka disarankan bagi peneliti selanjutnya agar melakukan observasi diluar wawancara dengan mengadakan observasi di lain waktu terpisah dari proses wawancara. Selain itu disarankan untuk mengadakan penelitian mengenai dampak makna hidup terhadap pola pikir subjek dalam hal ini subjek penelitian dengan kriteria subjek yang mengalami cacat fisik baik cacat tunggal maupun ganda. DAFTAR PUSTAKA Bastaman, H.D. (1996). Meraih hidup bermakna : Kisah pribadi dengan pengalaman tragis. Jakarta : Paramadina Bastaman, H.D. (2001). Integrasi psikologi dalam islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi : Psikologi untuk menemukan makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta : Raja Grafindo Persada Budiraharjo, P. (1997). Teori kepribadian mutakhir. Yogyakarta : Kanisius Corey, G. (1999). Teori dan praktek : Konseling dan psikoterapi. Alih bahasa :
E. Koeswara. Bandung : Rafika Aditama Departemen sosial. (2002). Sejarah panti sosial. Jakarta : Departemen Sosial Republik Indonesia Effendi, M. (2006). Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta : Bumi Aksara Frankl, V.E. (2003). Logoterapi : Terapi psikologi melalui pemaknaan eskistensi. Alih bahasa : Djamaluddin Ancok . Yogyakarta : Kreasi Wacana Yogyakarta Frankl, V.E. (2004). Man’s search for meaning. Alih bahasa : Lala Hermawati Dharma. Bandung : Nuansa Heru Basuki, A.M. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma Moleong, L.J. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Moleong, L.J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Nazir, M. (1999). Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sarah, R. (1998). Faktor-faktor penyebab kepuasan dan ketidakpuasan perkawinan pada istri pelaut : Studi kualitatif pada lima istri pelaut. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan : model-model kepribadian sehat. Alih bahasa : Yustinus. Yogyakarta : Kanisius
Soekini & Suharto . (1977). Pendidikan anak-anak tunanetra. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Soemantri, S. (2006). Psikologi anak luar biasa. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sukandarrumidi. (2004). Metodologi penelitian petunjuk praktis untuk peneliti pemula. Yogyakarta : Gajah Mada Yogyakarta Press.