Jual Beli Harta Benda Wakaf Menurut Madzhab Syafi’i: Studi Analisis Pemikiran Ibnu Hajar al-Haitami Nurhasanah dan Suprihatin* Abstract: The problem
of this study is how the purchase procedure of wakf property according to the school of Shafi’i jurisprudence, focusing on the thought of Ibn Hajar al-Haytami? The conclusion of this study, Ibn Hajar al-Haytami is one of the followers of Shafi'i’s school of fiqh, (Islami jurisprudence) and he expressly prohibit the sale and purchase of wakf property under any circumstances. According to Al-Haitami property of wakf had broken up his property and belong to Allah. Therefore, property of wakf has not be authorized for sale in the all condition. There is possibility when he banned the sale and purchase of the wakf property, affected by the state of Muslims who was very much with the teachings of Islam or Al-Haitami’s thought of fiqh. Although prohibits selling property of wakf, it allows rent it. The wakf has been relevant to the development of society, especially for Muslims of Indonesia, such as the development of the construction and rental of flats on wakf land, as it has been regulated in the management of productive of wakf in the legislation of wakf.
Keywords: Sale and Purchase, Property of Waqf, Syafi’i’s School of Fiqh Ibnu Hajar al-Haitami
Pendahuluan* Wakaf menurut para Imam madzhab merupakan suatu perbuatan sunah untuk tujuan kebaikan, dan wakaf * Nurhasanah lulus tahun 2013 dari Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiyyah dengan gelar Sarjana Syariah (S.Sy.). Suprihatin, lahir 12 Desember 1967, lulusan tahun 1993 Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lulus S2 tahun 2013 dan mendapatkan gelar Master Bidang Ekonomi Islam dari Universitas Ibnu Khaldun. Saat ini sebagai Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiiyah Fakultas Agama Islam UNISMA Bekasi.
juga merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan. Menurut Al-Minawi yang bermadzhab Syafi’i mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah swt. 1 Dasar hukum wakaf adalah al-Quran dalam surat Ali Imran ayat 92: 1 Al Minawi, At Tauqif ‘ala Muhimat Ta’arif, (Cairo: Alamul Qutub, 1990), h.
340.
1
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
. َُّْٛا ِِ َّّب رُ ِذجُٛ رُ ْٕفِمٌََّٝ ْٓ رََٕب ُي ْاٌجِ َّش َدز Artinya: ‚Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali kamu belanjakan sebagian harta yang kamu senangi‛. Dan salah satu al-Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: َيُٛ أَ َّْ َسص،َُٕٗ ػٌَٝ هللا رَ َؼبَٟ ض ِ َشح َس٠ ُ٘ َشِٝػَٓ اَث ََ إِ َرا َِبدَ اثُٓ آ َد: َصٍَّ َُ لَب َيَٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ هللا ،َ ٍخ٠بس ٍ ٣َّ ِِٓ ث٢ِأمَطَ َغ ػَُٕٗ َػ ٍَُُّٗ إ َ :س ِ ص َذلَ ٍخ َج ٍُاٖ ِضٚ س.ٌََُُٗٛذػ٠ ٍصبٌِخ َ ٌَ ٍذَٚ َٚ ا،ِٗ ُِٕزَفَ ُغ ث٠ ٍٍُ ِػَٚا Artinya: ‚Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya‛ (HR. Muslim).2 Persoalan wakaf bagi ulama mazhab disepakati sebagai amal jariah, namun yang menjadi perbedaan mereka dan pengikutnya adalah permasalahan pemahaman terhadap wakaf itu sendiri, apakah harta wakaf yang telah diberikan si wakif masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada maukuf alaih. Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan wakif dan boleh ditarik kembali oleh oleh si wakif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja yang diperuntukan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian pada tiga 2
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani,
Bulughu al-Maram, (Indonesia: Dar Ihya), h. 191.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
hal, yakni wakaf mesjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tersebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh. Terhadap wakaf mesjid, yaitu apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk kepentingan mesjid, atau seseorang membuat pembangunan dan diwakafkan untuk mesjid, maka status wakaf di dalam masalah ini berbeda. Karena seseorang berwakaf untuk mesjid, sedangkan mesjid itu milik Allah, maka secara spontan mesjid itu berpindah menjadi milik Allah dan putuslah kekuasaan si wakif dalam hal ini. Wakaf yang ditentukan keputusan pengadilan, yaitu apabila terjadi suatu sengketa tentang harta wakaf yang tak dapat ditarik lagi oleh orang yang mewakafkannya atau ahli warisnya. Ka-lau pengadilan memutuskan bahwa harta itu menjadi harta wakaf, terangkatlah khilafiyah setelah adanya putusan hakim. Wakaf wasiat yaitu bila seseorang dalam keadaan masih hidup membuat wasiat, jika ia meninggal dunia, harta yang telah ditentukannya menjadi wakaf. Maka dalam contoh seperti ini kedudukannya sama dengan wasiat, tidak boleh lebih dari 1/3 harta peninggalan. Sesungguhnya yang dilarang untuk itu adalah terhadap berhala dan patung. Terhadap dua inilah yang dilarang, kata Abu Hanifah sambil menjelaskan bahwa Rasul pernah membatalkan wakaf untuk keperluan patung dan berhala. Abu Hanifah
2
menjelaskan, dengan diwakafkannya suatu harta bukan berarti menjadi suatu keharusan untuk lepasnya pemilikan wakif, oleh sebab itu bolehlah rujuk dan mengambil kembali wakaf itu, boleh pula menjualnya, karena menurut Abu Hanifah, wakaf sama halnya dengan barang pinjaman dan sebagaimana dalam soal pinjam meminjam, si pemilik tetap memilikinya, boleh menjual dan memintanya kembali (seperti ‘ariyah). Argumentasi lain yang dijadikan Abu Hanifah sebagai alasan bahwa harta wakaf yang telah diwakafkan tetap menjadi milik wakif dengan menganalogikan dan menyamakannya dengan sa‘ibah seperti yang terdapat dalam surat AIMaidah ayat 103, dan ini sangat dilarang Allah swt. Kedua argumen Abu Hanifah bahwa wakaf sebagai aqad tabarru’, yaitu transaksi dengan melepaskan hak, bukan berarti melepaskan hak atas benda pokoknya, melainkan yang dilepaskan hanya hasil dan manfaat dari benda yang diwakafkan itu. Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.3 Lain hal dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 bahwa 3
Kompilasi Hukum Islam, pasal 215, ayat 1.
3
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.4 Ahmad Azhar Basyir membagi wakaf menjadi dua macam, yaitu pertama: wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan keluarga si wakif, kedua: wakaf khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang sejalan dengan jiwa amalan wakaf dalam hukum Islam yang pahalanya akan terus mengalir, meskipun orang yang memberikan wakaf itu telah meninggal dunia asalkan benda wakaf itu terus dapat diambil manfaatnya.5 Mengenai kedudukan harta wakaf, para ahli hukum Islam pun berbeda pendapat, golongan Hanafiah berpendapat bahwa harta wakaf tetap milik orang yang memberi wakaf, hal ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas r.a di mana Rasulullah pernah bersabda bahwa tidak ada wakaf setelah turunnya surat An Nisaa (ayat 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, pasal 1, ayat 1. 5 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987), cet. Ke-2, h. 6.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
tentang al faraidh). Demikian juga pendapat dari golongan Malikiyah yang mengatakan bahwa harta wakaf dapat kembali kepada si wakif dalam waktu tertentu, atau waktu yang ditentukan sebagaimana yang diikrarkan oleh si wakif, sedangkan golongan Syafi’iyah dan Hanabillah mengatakan bahwa harta wakaf itu putus atau keluar dari hak milik si wakif dan menjadi milik Allah atau milik umum. Begitu pula wewenang mutlak si wakif menjadi terputus, karena setelah ikrar wakaf itu diucapkan, harta tersebut menjadi milik Allah atau milik umum.6 Fenomena yang terjadi saat ini adalah jual beli atau pengalihan fungsi harta benda wakaf yang dikarenakan sudah tidak dapat difungsikan lagi secara optimal sebagaimana mestinya, seperti yang diberitakan pada tanggal 29 Mei 2012 bahwa Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah mengabulkan tiga permohonan rekomendasi ruislag (penukaran/pengalihan fungsi), diantaranya: Permohonan penukaran tanah wakaf di Kel. Duri Pulo Kec. Gambir, Jakarta Pusat, Permohonan penukaran tanah wakaf di Kampung Tambun RT 10/01, Kelurahan Ujung Menteng, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, dan Penukaran tanah wakaf di
6
Faisal Haq, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan Jatim: Garoeda Buana Indah, 1994), cet. Ke-2, h. 37.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
Desa Tritomoyo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur.7 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 40 mengenai perubahan status harta benda wakaf yang berbunyi; Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Pasal 41 1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. 3. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. 4. Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
7
http://www.bwi.or.id
4
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Perubahan status harta benda wakaf para ahli hukum Islam pun berbeda pendapat tentang boleh tidaknya harta wakaf itu ditukar karena tidak bermanfaat lagi. Menurut Kompilasi Hukum Islam perubahan status harta benda wakaf adalah sebagai berikut: (1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. (2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hak-hak tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif dan karena kepentingan umum.8 Sedangkan para fuqaha di kalangan Maliki berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar (terutama benda yang tidak bergerak), walaupun barang tersebut sudah rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tetapi sebagian fuqaha dari golongan Malikiyah ada yang berpendapat bahwa menukar harta wakaf dengan yang lain diperbolehkan.
8
Kompilasi Hukum Islam, pasal 225, ayat 1-2
5
Dengan adanya perbedaan pendapat dalam pemikiran fuqaha tentang pengalihan fungsi wakaf, penulis tertarik mengkaji lebih lanjut tentang kebolehan atau tidak diperbolehkannya harta benda wakaf diperjualbelikan. Apakah dasar pemikiran tersebut berdasarkan al-Quran, alHadits, Ijma, Qiyas, atau Maslahah? Diantara tokoh yang akan penulis teliti adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Seorang tokoh dari kalangan Madzhab Syafi’i, yang mana pemikirannya tentang wakaf tertuang dalam kitab
Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi alMinhaj. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui dasar-dasar argumentasi yang digunakan oleh Ibnu Hajar AlHaitami, dalam membahas jual beli harta benda wakaf. Pokok permasalahan penelitian ini diperinci menjadi sub-sub masalah sebagai berikut: Bagaimana pandangan Ibnu Hajar Al-Haitami tentang jual beli harta benda wakaf? Pemikiran Ibn Hajar al-Haitami Menurut al-Haitami dalam kitab karangannya Tuhfatu al-Muhtaj Bi Syarhi al-Minhaj jual beli dan wakaf merupakan dua hal yang berbeda. Sebagaimana definisi beliau tentang jual beli secara bahasa bermakna ٌُِمَبثٍََخ ٍءَٟ ٌء ثِشَٟ شartinya tukar menukar sesuatu dengan sesuatu lainnya. Sedangkan secara istilah memiliki makna ِالصزِفَبدَحٟر٢ُِمَبثٍََخ َِبي ثِ َّبي ثِشَش ِط ِٗ ا َِٕفَ َؼخ ُِؤثذَحَٚٓ أ١َ ٍِِه ػartinya tukar menukar harta dengan harta dengan syarat sebagai berikut, yaitu harus ada
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
manfaat dalam memiliki barang tersebut atau mengambil manfaatnya untuk selamanya.9 Dasar hukum yang menjadi landasan jual beli ialah al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi: َُٕ ُى١َاٌَ ُىُ ثَٛ َِا أٍُٛرَؤ ُو٢ إَُِٛ َٓ آ٠َب اٌَّ ِزُّٙ٠َآ٠ اض ٍ َْ رِ َجب َسحً ػَٓ رَ َشٛثِبٌجَب ِط ًِ إِالَّ أَْ رَ ُى ...ُِِّٕ ُى Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…‛ Dan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda: 10 .اض ٍ ُغ ػَٓ رَ َش١َإَِّٔ َّب اٌج Artinya: ‚ Sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas suka sama suka‛ Al-Haitami mengatakan jual beli dapat dikatakan sah atau tidak, tergantung dari rukun dan syarat yang harus dipenuhi, diantaranya: 1) Akad ijab dan kabul (ٌ َغخ١ص ِ ). Syaratnya ijab dan kabul harus dilakukan penjual dan pembeli dengan jelas dan tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain selain jual beli, harus saling menerima harga yang disepakati bersama walaupun dengan cara diam atau isyarat, kabul harus
sesuai dengan ijab.11 Sebagaimana Allah swt. berfirman: اٍُٛرَؤ ُو٢ إَُِٛ َٓ آ٠َب اٌَّ ِزُّٙ٠َآ٠ ََْٕٛ ُىُ ثِبٌجَب ِط ًِ ِإالَّ أَْ رَ ُى١َاٌَ ُىُ ثَٛ َِأ ...ُاض ِِّٕ ُى ٍ رِ َجب َسحً ػَٓ رَ َش Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…‛ (QS. AnNisa: 29) Contoh lafadz ijab diantaranya; َ ثِؼزُهatau ه َ ُ ٍََِىزartinya saya jual ini kepada kamu, sedangkan lafadz kabul ُ اِشزَ َشatau ىذ ُ ٍََّّ َ رartinya yaitu; َذ ِِٕه٠ saya beli ini dari kamu.12 2) Adanya orang yang berakad ( )ػَبلِ ٌذyaitu; ( ثَبئِ ٌغpenjual) dan ُِٞشز َِش (pembeli). Syaratnya orang yang telah baligh dan berakal atau orang yang lebih paham mengenai jual beli serta mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli dan tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak.13 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda: اض ٍ ُغ ػَٓ رَ َش١َإَِّٔ َّب اٌج Artinya: ‚ Sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas suka sama suka‛ 3) Adanya benda atau barang (ٗ١ٍد ػٛ اٌّؼمatau ُغ١ِ )اٌ ُّجyang sesuai
9
85.
Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h.
10
Ibid.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
11
Ibid. Ibid., h. 86. 13 Ibid., h. 88. 12
6
dengan syar’i. Syaratnya yaitu: barang yang dijual merupakan barang yang halal dan zatnya bersih dari najis atau hal-hal yang dilarang oleh syar’i, seperti jual beli daging babi atau anjing, khamar, dan lain-lain. Rasulullah saw. bersabda: ُ َّب أََُّٗ َص ِّ َغَٕٙ هللاُ ػَٟ ض ِ ػَٓ َجبثِ ِشث ِٓ َػج ِذ هللا َس َّ ُ َ ،زخ ف ٌا َ َب ػ ،ُ ي ٛ م ٠ ُ ٍ ص ٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍَّٝص َ َ َ َي هللاَُٛسص َ َ َ ِ َ ثِ َّ َّىخَٛ َُ٘ٚ َّ َاٌخ َّ زَ ِخ١َّ ٌاَٚ ّش غ ١ ث َ ش د هللا ْ إ ( َ َ َ َ َ ِ ِ َذ٠َ َي هللا اَ َساَُٛب َسص٠ ًَ ١ِاالَصٕ َِبَ) فَمَٚ ش٠ ِ ٕز ِ اٌ ِخَٚ َبِٙ رُذَُ٘ٓ ثَٚ َُُٓب اٌ ُّضفِٙ ثٍََٝب رُطَِّٙٔزَ ِخ فَئ١َّ ٌ ََ اُُٛشذ َُّ ُ َد َشا ٌَ) ثَٛ ُ٘ ٢( َب إٌَّبسُ ؟ فَمَب َيَِٙضزَصجِ ُخ ث٠َٚ ُدٍُٛاٌ ُج ًََ ه (لَبر َ ٌِ َصٍَّ َُ ِػٕ َذ رَٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ ُي هللاُٛلَب َي َسص َبَِٙ ُُٛ ُشذِٙ ١ٍَ ٌَ َّّب َد َّش ََ َػٌَٝ َد اِ َّْ هللاَ رَ َؼبَُٛٙ١ٌهللاُ ا 14 ٌ َ ُِزّف.)ََُّٕٗ َا ثٍُُٖٛ فَؤ َ َوُُٖٛ ثُ َُّ ثَبػٍَُّٛ َج .ٗ١ٍَك َػ Artinya: ‚Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya pada tahun penaklukkan kota Mekah dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: (sesungguhnya Allah telah mengaharamkan jual beli khamar (arak), bangkai, babi, dan patung berhala), kemudian ada yang bertanya: Wahai Rasulullah bagaimana dengan lemak bangkai yang digunakan untuk melabur perahu dan diminyaki dengan kulitnya serta manusia menggunakannya sebagai penerangan? Rasulullah bersabda: Jangan (tidak boleh) itu haram, kemudian Rasulullah bersabda kembali: Allah melaknat yahudi karena sesungguhnya Allah mengharamkan atas mereka bangkai, yang mana mereka menjual bangkai tersebut dan memakan uangnya.‛ (Muttafaq ‘alaih)
14
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani,
Loc.Cit., h. 159.
7
Syarat selanjutnya yaitu barang yang dijual memiliki manfaat, bukan barang hasil rampasan, barang yang dijual benar-benar dimiliki (kepemilikan sempurna), hal ini berkaitan sebagaimana dengan hadits shohih yang berbunyi ه َ ٍِ َّ َّب ر١ِ ُغ إِالَّ ف١َ( الَ ثtidak ada jual beli kecuali apa-apa yang kamu miliki), dan barang yang dijual harus diketahui bentuk dan keberadaannya.15 Dari beberapa rukun dan syarat yang telah dijelaskan, al-Haitami juga melarang beberapa bentuk jual beli karena dianggap tidak sah atau batal, diantaranya: 1) Jual beli persetubuhan binatang jantan, hal ini sama dengan jual beli mani, karena mengambil upah dan harga air (sperma) dari hasil mengawinkan binatang jantan miliknya dengan binatang orang lain tidak dapat terukur dengan jelas, 16 dan telah diharamkan oleh Rasulullah, sabda Nabi saw: ُي هللاُٛ َسصََٝٙٔ :ُ َّب لَب َيَٕٙ هللا ػَٟ ض ِ َػ ِٓ اث ِٓ ُػ َّ َش َس َ ِ َصٍّ َُ ػَٓ ػَضَٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍّٝص ُٖاَٚ َس.ًِ ت اٌفَذ 17 َّٞبس ِ اٌجُخ Artinya: ‚Dari ibnu Umar berkata, Rasulullah saw. melarang (upah) persetubuhan binatang jantan.‛ (HR. Bukhori)
15 Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h. 89-94. 16 Ibid., h. 110. 17 Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Loc.Cit., h. 161.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
2) Jual beli yang belum jelas (tidak terpenuhinya salah satu syarat jual beli), seperti jual beli binatang yang masih di dalam kandungan, atau jual beli binatang sampai induknya beranak dan beranak pula anaknya ()َٔزَب ُج إٌَّزَبج18 3) Jual beli ()اٌ ُّالَ َِ َضخ, seperti seorang berkata: saya jual kain ini dengan kain tuan, padahal keduaduanya tidak melihat kain-kain tersebut tapi hanya diraba atau dirasa. Begitu pula dengan jual beli ()اٌ َُّٕبثَ َزح, seperti jual beli dengan melempar batu.19 4) Jual beli dengan adanya syarat dan atau jual beli dengan dua harga dalam satu penjualan,20 seperti contoh barang ini harga tunainya 50.000 dan harga hutangnya 75.000. Adapun wakaf dalam kitabnya tersebut, beliau menyebutkan sebagai berikut: َلَفَٚأٚ ُش١ِاٌزَذجٚ ًُ ١ُِ َشا ِدفٗ اٌزَضج٠ ، ُ ٌُغَخ اٌ َذجشَٛ ُ٘ ًَ ِ َِب ُٔمٍَٝجش َػ َ ص ُخ ِِٓ َد َ ش أَف َ َأَدجٚ ،ئَخ٠ٌ َغخً َس ِد 21 . َذخ١بس اٌصّ ِذ َ ٌ ِى ّٓ َد َ َٟ ِ٘ جش ِ َخج٢ اِٟا َسدَح فٌٛا ‚Menurut bahasa wakaf berarti tahanan, hal ini serupa dengan kata tertawan, tertahan, dan menghentikan namun kurang tepat, dan tertahan lebih tepat dari kata menahan akan tetapi menahan merupakan keterangan yang tepat dalam khabar (hadits) shahih.‛ 18
Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h.
111.
19
Ibid. Ibid. 21 Ibid., h. 488.
Kemudian secara istilah diartikan sebagai berikut: ُّ ِىٓ ا ِالٔزِفَبع ثِ ِٗ َِ َغ٠ ش َِبي َ َشَشػًب َدجَٚ ٍَٝ سُلجَ ِزٗ َػِٟصشُف ف َ َطغ اٌز ِ َِٕٗ ثِم١َثَمَبء ػ 22 .َِصشُف ُِجَبح ‚Menurut syara’ ialah menahan harta benda (pokok) yang kekal memungkinkan diperbolehkan untuk mengambil manfaatnya dengan terputusnya hak milik.‛ Keterangan al-Haitami mengenai pengertian wakaf tersebut, secara bahasa lebih tepat diartikan dengan kata menahan, sedangakan yang dimaksud secara istilah yaitu harta yang telah telah diwakafkan akan terputus hak milik dan hak gunanya, dan hanya dapat diambil manfaatnya saja. Al-Haitami menyebutkan pula beberapa dasar hukum wakaf adalah sebagai berikut: 1) Al-Quran surat Ali Imran ayat 2, yang berbunyi; . َُّْٛا ِِ َّّب رُ ِذجُٛ رُ ْٕفِمٌََّٝ ْٓ رََٕب ُي ْاٌجِ َّش َدز Artinya: ‚Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, kecuali kamu belanjakan sebagian harta yang kamu senangi‛. 2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim َيُٛ أَ َّْ َسص،َُٕٗ ػٌَٝ هللا رَ َؼبَٟ ض ِ َشح َس٠ ُ٘ َشِٝػَٓ اَث ََ إِ َرا َِبدَ اثُٓ آ َد: َصٍَّ َُ لَب َيَٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ هللا ،َ ٍخ٠بس ٍ ٣َّ ِِٓ ث٢ِأمَطَ َغ ػَُٕٗ َػ ٍَُُّٗ إ َ :س ِ ص َذلَ ٍخ َج ٍُاٖ ِضٚ س.ٌََُُٗٛذػ٠ ٍصبٌِخ َ ٌَ ٍذَٚ َٚ ا،ِٗ ُِٕزَفَ ُغ ث٠ ٍٍُ ِػَٚا Artinya: ‚Apabila anak adam meninggal dunia maka terputuslah
20
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
22
Ibid.
8
amalnya kecuali tiga perkara, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya‛ (HR. Muslim). 3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim َُٕٗ هللا ػٟض َ ص َ َ أ:ػَٓ اث ِٓ ُػ َّش لَب َي ِ بة ُػ َّش َس َُ ٍّ َصَٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ ِٟ إٌّجَٝ فَؤَر،جَش١َأَسضًب ثِخ ُ ص ضب ً جذ أَس َ َ أِّٝٔي هللا إَُٛب َسص٠ َب فَمَب َيٙ١َِضزَؤ ِِ ُشُٖ ف٠ ّ ََ ل٢صت َِب بي َ َ ل،ُِِٕٗ ٜ أَٔفَشُ ِػٕ ِذَٛ ُ٘ ظ ِ ُجَش ٌَُ أ١َثِخ َ ق َ ص ّذ َ ََب لَب َي فَزِٙصذّلذَ ث َ َرَٚ َبٍَٙإِْ ِشئذَ َدجَضذَ أص ُ سُٛ ُ ُجَب٠ ََب ُػ َّش أَُّٔٗ الِٙث َُ٘تُٛ٠ َالَٚ س َ ٠ َالَٚ َبٍُٙع أَص ُ َ ة َ ص ّذ َ َفَز ِ اٌ ّشلبِٝفَٚ َٝ اٌمشثِٝفَٚ اٌفُمَ َشاءَِٝب فِٙق ث َ ّ ّ َبح ٕ ج ال ، ف١ ض ٌا ٚ ً ١ ج ض ٌا ٓ اث ٚ هللا ً ١ ج ص ٝ ُ َ ِ َ ِ ِ ِ ِ َ ِفَٚ ِ َ َ ُ َُ ُط ِؼ٠َٚ فُٚ ش ؼ ّ ٌب ث ب ٙ ٕ ِ ً و ؤ ٠ ْ أ ب ٙ ١ ٌ ٚ َ َ َ َ َ ِ ِ ِ َ َِٓ ٍََٝػ َ ِ ٌ َ ُِزّف.ً ٍي َِبالّٛ َّ َ َش ُِز١َمًبغ٠ص ِذ ٍُِاٌٍّفعُ ٌِ ُّضَٚ ،ٗ١ٍَك َػ َ Artinya: ‚Dari Ibnu Umar berkata: Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu dia menghadap Nabi saw. dan bertanya: ‚Wahai Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik iru, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?‛ Rasulullah bersabda: ‚Jika suka, engkau tahanlah pokoknya dan engkau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf)‛, kata Ibnu Umar: ‚Lalu Umar menyedekahkannya, tidak dijual pokoknya, tidak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibahkan), dia menyedekahkan pada orang-orang fakir, kerabat atau keluarga terdekat, hamba yang merdeka, orang-orang yang berada di jalan Allah, musafir, dan tamu, tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang
ma’ruf (baik).‛ (Muttafaq ‘alaih dan lafadz bagi Muslim) Wakaf memiliki rukun dan syarat, diantara rukun dan syarat yang dijelaskan al-Haitami, yaitu: 1) Orang yang berwakaf (الفٚ), syaratnya yaitu berakal sehat, baligh (bukan anak-anak), orang yang derma (bukan dalam keadaan tertekan dan terpaksa), dan bukan termasuk orang yang boros (menghambur-hamburkan harta).23 2) Benda yang diwakafkan (فٛلِٛ), syaratnya ialah barang yang diwakafkan harus dapat dilihat dan jelas, milik pribadi atau atas nama pribadi, barang tersebut harus dapat menghasilkan/diambil manfaatnya tanpa habis zat/bentuknya, memilki kemanfaatan yang abadi, tidak disahkan bila hanya mewakafkan manfaatnya saja karena barang/zat aslinya akan dapat berpindah kepemilikan, tidak boleh mewakafkan makanan karena wakaf tidak boleh dari suatu barang yang diambil manfaatnya sementara zat aslinya habis, dan tidak boleh mewakafkan barang yang masih dalam tanggungan sebab barang tersebut bukanlah dalam kepemilikan pribadi.24 3) Penerima wakaf (ٗ١ٍف ػٛلِٛ). Wakaf hendaknya dilaksanakan dengan tujuan kebaikan, maka tidak sah suatu wakaf bila tujuannya untuk 23 24
9
Ibnu Hajar Al-Haitami, Loc. Cit., h.
488.
Ibid., h. 489-490.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
maksiat, seperti mewakafkan perkebunan anggur yang akan dijadikan minuman yang memabukkan ()اٌخَّ ُش. Wakaf seorang muslim kepada kafir dzimmi adalah sah kecuali kepada orang yang murtad dan kafir harbiy, karena keduanya diibaratkan seperti zina muhshin, hendaknya penerima wakaf adalah kerabat terdekat dan orang-orang fakir miskin sebagaimana penerima zakat.25 4) Pernyataan wakaf ( غخ١ص لفٌٛ)ا. Wakaf tidak dapat dinyatakan sah bila hanya dengan tulisan, tetapi harus dengan ucapan yang jelas. ُ َلَٚ Beberapa lafadz wakaf seperti; فذ َ( َوزاsaya wakafkan ini), atau dengan lafaz ‚saya sedekahkan ini untuk selama-lamanya atau saya sedekahkan ini untuk fakir miskin‛ dengan disertai niat wakaf dalam hati, maka hal ini dianggap sah. Namun tidak untuk lafaz ‚saya sedekahkan ini‛ tanpa ada kejelasan maupun niat, maka ini dianggap tidak sah, begitu pula dilarang mewakafkan sesuatu dengan ك١ٍِ( رَؼadanya ikatan/keterkaitan), seperti ‚jika Zaid datang maka saya wakafkan tanah ini‛. Ibnu Hajar al-Haitami juga membagi wakaf menjadi dua macam, yaitu: 1) Wakaf secara lafdziyah (lafaz), yaitu wakaf yang dikhususkan untuk keluarga atau kerabat dekat, seperti dikatakan aku wakafkan untuk anakku, cucuku, dan keturunan selanjutnya hingga akhir. Apabila 25
Ibid., h. 491-493.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
nadzir (dalam hal ini anaknya) meninggal dunia atau sudah tidak mampu lagi untuk mengelola harta benda wakaf, maka dapat digantikan dengan saudaranya yang sederajat namun bila telah tiada barulah digantikan oleh keturunan yang selanjutnya, wakaf tersebut tidak terputus hingga keturunan darinya putus (habis). Wakaf seperti ini bertujuan untuk membela nasib mereka. Seseorang yang hendak mewakafkan sebagian hartanya, sebaiknya lebih dahulu melihat kepada keturunannya atau ahli waris atau kerabat dekat yang sedang membutuhkan pertolongannya, karena itu wakaf ini lebih baik diberikan kepada mereka yang membutuhkan.26 Oleh karena itu, nadzir dalam hal ini harus memiliki syarat, diantaranya: a. Adil secara mutlak ()اٌ َؼذَاٌَخ. Seorang nadzir tidak boleh fasik dan berbohong sekecil apapun itu meskipun dalam keadaan udzur (darurat). b. Mampu atau mencukupi pemahamannya tentang tanggung jawab nadzir (َخ٠)اٌ ِىفَب, seperti baligh (dewasa), amanah, dan mampu secara jasmani serta rohani. c. Ahli dalam mengelola ( ا ِال٘زِذَاء ص ُشف َ ّ اٌزٌَِٝ)إ. Nadzir harus mampu mengelola harta benda wakaf dengan sebaik mungkin, sehingga adanya income yang dihasilkan agar dapat dikembangkan untuk keperluan wakaf
26
Ibid., h. 502-506.
10
dan kemanfaatan untuk kesejahteraan umat. Setelah terpenuhinya syarat-syarat nadzir, maka nadzir harus dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa tugas nadzir ialah:27 a. ( ا ِال َجب َسحmemberikan upah) kepada orang-orang (pihak) yang turut serta dalam pemanfaatan harta benda wakaf. b. اٌؼ َّب َسح (mengembangkan) pemanfataan harta wakaf yang hasilnya digunakan sebagai biaya pemeliharaan harta benda wakaf. c. َبٙلِض َّزَٚ اٌغٍَخ ًُ ١ص ِ رَذ (menghasilkan pemasukan/ pendapatan dan dibagikan kepada yang berhak). 2) Wakaf secara ma’nawiyah (hakikat), yaitu harta yang diwakafkan seseorang atau kelompok orang berarti telah lepas hak miliknya dari benda tersebut dan beralih menjadi kepunyaan Allah. Walaupun benda tersebut dapat diambil manfaatnya untuk kepentingan umum, namun benda yang diwakafkan itu harus tetap dan tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Dikatakan pula oleh pengarang kitab yakni Ibnu Hajar AlHaitami bahwa apabila sesesorang mewakafkan tanahnya misal sebagai tempat pendidikan (seperti pondok pesantren), maka atas segala kekurangan dari yang diwakafkan si wakif maupun kerusakan atas harta benda wakaf harus dipenuhi/ditambahkan oleh nadzir agar harta yang telah
diwakafkan tidak menjadi sia-sia. Disisi lain wakaf juga bertujuan untuk membina dan meningkatkan ketakwaan baik bagi si wakif maupun penerima wakaf itu sendiri, agar benar-benar dapat memelihara dan menjalankan amanah wakaf umat sesuai dengan hukum dan tujuan wakaf itu sendiri, supaya amalan wakaf senantiasa mengalir selama harta wakaf tersebut dimanfaatkan.28 Berdasarkan pada hadits di atas Ibnu Hajar al-Haitami mempertegas keberadaan wakaf dengan mengatakan sebagai berikut: جَش١ ََب ثِخَٙصبث َ َ أَسضًب أ،َُٕٗ هللا ػَٟ ض ِ لَفَ ُػ َّش َسَٚ َٚ طًبَُٚب ُششٙ١ِشَشط فَٚ ،ٍُّ َصَٚ ٗ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ ِٖ ِش ِ َ ثِؤ ،َ٘تُٛ٠ ٢َٚ ، َسسُٛ٠ ٢َٚ ،َبٍُٙجَبع أَص٠ ٢ َُّٗٔ أ:َبِِٕٙ مًب٠ص ِذ َ ُُط ِؼ٠ َٚ أ،فَُٚب ثِبٌ َّؼشِِٕٙ ًَؤ ُو٠ َبٙ١ٌَِٚ َِٓ ّْ َأ ِٟلف فَٚ ّ يَٚ أَٛ َُ٘ٚ ،َْب َّٛ َش ُِز١َغ ِ خ١اُٖ اٌ ّشَٚ َس،ِٗ ١ِّي ف29 .َ٣ا ِإلص ‚Dan Umar ra. mewakafkan tanah miliknya di Khaibar atas perintah Nabi saw, dan syarat-syarat dari padanya ialah: bahwasanya ia tidak menjual zat/barang aslinya, tidak diwarisi dan tidak dihibahkan, dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf (baik). Hal tersebut adalah permulaan wakaf dalam Islam.‛ Untuk memperkuat kedudukan wakaf, Ibnu Hajar al-Haitami juga mengutip pendapat-pendapat ulama (tokoh) terdahulu di kalangan Madzhab Syafi’i, sebagai berikut: 28
27
11
Ibid., h. 516.
29
Ibid., h. 507-511. Ibid., h. 488.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
لفَٛ ٌ أَ ّْ ٘ َزا اٌَِٝ إ،َُٕٗ هللا ػَٟ ض ِ َسٟأَشَبس اٌ ّشبفِ ِؼَٚ ُ َ َٓػَٚ .ّخ١ٍِِ٘ َؼشفٗ اٌ َجب ِ ّخ ٌُ ر١مَخ شَش ِػ١ِف َدمُٚاٌ َّؼش َ ّ ُ ُجَبع٠ ٢ ٗٔصُف أَّٔٗ ٌ َّب َصّ َغ خَ ج َش ػ َّش أُٛ٠ ِٟأَث 30 .َبٍٙأَص 31 ‚Dan Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa hakikat wakaf telah jelas secara syar’i sebelum diketahui orangorang terdahulu. Dan dari Abi Yusuf bahwasanya saat beliau mendengar kabar Umar (mewakafkan tanahnya) sesungguhnya ia tidak menjual pokoknya.‛ ، ثَ ًِ إٌّب ِظش اٌخَ بص:ٟر َس ِػ٢لَب َي اَٚ ّْ َ اس ثِؤَٛ ٔ٤صب ِدت ا َ ِٗ ١ٍَ َػٜإِْ َج َشَٚ َشُد٠ٚ 32 .ٌَٝلف ٍُِه هللا رَ َؼبَٛ ٌا 33 ‚Al-Adzra’i mengatakan: seorang nadzir tidak boleh menghilangkan zat asli (pokok) wakaf karena harta wakaf telah menjadi milik Allah swt.‛ Dari pendapat Ibnu Hajar al-Haitami di atas, memaparkan bahwa kepemilikan harta benda wakaf ini bukan pada kepemilikan individu melainkan berubah menjadi kepemilikan Allah swt. Hal inilah yang menjadikan Ibnu Hajar al-Haitami bersikap 30 31
Ibid.
Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i) : pendiri Madzhab Syafi’i. (Sumber: Dari Buku ,
Imam Syafi’i, Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik, dan Fiqih karya Abdul Syukur dkk) 32 Ibid., h. 511. 33 Al-Adzra’i : ulama Madzhab Syafi’i yang menimba ilmu bersama Tajuddin asSubkiy dan salah satu guru besarnya adalah Taqiyuddin as-Subkiy. (Sumber: Dari Kitab Thabaqat As-Syafi’iyyah karya Tajuddin as-Subkiy)
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
menolak praktik jual beli harta benda wakaf. Beliau mengatakan sebagai berikut: َٞ أ،ًّض َغ اٌ َذ َ َٚ َٚش أ١ِلَ َغ ثَؼ َذ اٌزّؤثَٚ َغ١َأَ ّْ اٌج ٣َ ٌء فَٟضُٗ ش س َ َ ُ َؼب٠ َْش أ١َ ِ ص ًُ ثَمَبء ٍُِ َىُٗ ِِٓ غ٢ا 34 .َبِِٙ ٌِ َؼ َذ٢َٚ َ ٍذ١ٌِ َٕئِ ٍز١َٔظش ِد ‚Bahwasanya jual beli itu terjadi setelah ta’bir atau memberikan barang (yang dimilikinya kepada orang lain/ pembeli), berarti pokok (wakaf) itu selamanya dimiliki/ditahan dan tidak digantikan/dijual dengan sesuatu yang lain, maka seorang nadzir tidaklah memiliki kuasa (kepemilikan) dan tidak boleh menghilangkan (pokok) nya.‛ Pendapat kedua juga dikata-kan Ibnu Hajar al-Haitami dengan mengutip dari sebuah hadits shohih sebagai berikut: ػَٓ اٌ َّبٌِه ثَب ِط ًٌ ٌٍِ َخجَشّٟ ٌَِٚ ٢َٚ ًٍ ١ ِوَٛ ِش ث١ َ ٌَ َِٓ 35 ّ ٌا .) َّب رٍَِّه١ِ ف٢ِ َغ إ١َ ث٢( خ١ص ِذ ‚Disebutkan dalam khabar (hadits) shahih (janganlah menjual sesuatu (barang) selain dari apa-apa yang kamu miliki)‛ Sungguhpun harta benda wakaf tidak boleh diperjual-belikan, namun beliau memperbolehkan untuk disewakan. Beliau mengatakan: ًَمجًَ إٌّم٠ َوخً ٍُِ ًىبٍَُِّٛ ًَّٕخ١ًٕب ُِ َؼ١َُُٔٗ ػَٛفُ وُٛلَّٛ ٌا ّصخ ِ َ َِٕفَ َؼخ رََٚب فَبئِذَح إَٔٙ١ََب َِ َغ ثَمَب ِء ػِِٕٙ ًُ ص ِ َذ٠ 36 .َبٙإِ َجب َسر ‚Barang yang diwakafkan harus terlihat dengan jelas, milik pribadi /atas nama sendiri, dapat menghasil34
Ibid., h. 509. Ibid., h. 93. 36 Ibid., h. 489. 35
12
kan manfaat tanpa membuat habis pokoknya, boleh untuk disewakan.‛ Kemudian beliau menjelaskan kembali sebagai berikut: َْ ِح ثِؤّٛ ُ ثِبٌمٌََٛٚ ،ُِِٕٗ دُٛ ُسثِ ِٗ اٌ َّمصٛاٌ َّز ُو 37 .بس غَب ٌِجًب ِ ِ ُِ ّذح رَمصُذ ثََٝجم٠ ِ بإلصزِئ َج ‚Maksud dari yang telah disebutkan di atas yaitu sekalipun dengan mengusahakan/menguatkan untuk mengekalkan (pokok wakaf) selamanya, berarti dengan menyewakan secara umum (sewa umum)‛ Untuk memperkuat pendapat di atas, Ibnu Hajar al-Haitami juga mengutip pendapat tokoh/ulama terdahulu yang semadzhab dengannya, seperti pendapat as-Subkiy38 dan Ibnu Rif’ah39. Beliau mengatakan: بسح َ ا ِإل َجِٟصً اشزِ َشاط ػٍَ َُ اٌ َّٕفَ َؼخ ف ِ َ فِٟ َِ ّش فَٚ ،ُٗك ثِزٌِهَ فَ َشا ِجؼ َ ٍّ َِب ٌَُٗ رَ َؼٟاٌضّج ِىَٚ ػَٓ اث ِٓ ِسف َؼخ ٌُّش َِ َؼب١ رَ َغ٢ َبّٙٔ٤ َبدَح ُِطٍَمًب٠إِّٔ َّب ٌَُ رَّزَٕغ اٌ ّزَٚ 40 .لفَٛ ٌا ‚Dan penjelasan pada bab syaratsyarat pemanfaatan (harta wakaf) dengan disewakan, yang merupakan 37 38
Ibid.
Taqiyuddin ‘Ali bin Abdul Kafy asSubkiy (683-756 H) : ulama Madzhab Syafi’i dan menjadi rujukan umat Islam dizamannya karena ketinggian ilmu dan kemulian akhlak yang dimilikinya. (Sumber: Dari Kitab Thabaqat AsSyafi’iyyah karya Tajuddin as-Subkiy) 39 Ibnu Rif’ah: ulama Madzhab Syafi’i yang semasa dengan as-Subkiy dan 3 (tiga) dari salah satu ulama yang memberikan julukan kepada as-Subkiy sebagai Imam Muhaditsin, Imam Fuqaha dan Imam Ushuliyyin. (Sumber: Idem) 40 Ibid.. h. 508.
13
dari pendapat Ibn Rif’ah dan asSubkiy yang mana mereka mengaitkan hal tersebut kemudian merujuk kepadanya, sebab secara mutlak (sewa) tidak sulit untuk menambah pendapatan dan karena (sewa) tidak merubah pokok wakaf.‛ A.
Ketidakbolehan Pengalihan Status Kepemilikan Harta Benda Wakaf Wakaf merupakan bentuk ibadah yang nilai pahalanya terus mengalir kepada wakif. Oleh karena itu, hakikat harta benda yang telah diwakafkan ialah milik Allah dan hilangnya hak kepemilikan serta hanya dapat mengambil manfaat darinya saja. Ketidakbolehan menjual harta benda wakaf menurut al-Haitami sebagaimana yang telah dibahas di atas, memiliki dasar atau pun alasan yang mengacu pada teks (nash) berupa hadits Nabi saw. yang mana di dalamnya terkandung makna bahwa harta wakaf tidak boleh dijual pokoknya, tidak diwarisi, dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibahkan). Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang berbunyi: َُٕٗ هللا ػٟض َ ص َ َ أ:ػَٓ اث ِٓ ُػ َّش لَب َي ِ بة ُػ َّش َس َُ ٍّ َصَٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ ِٟ إٌّجَٝ فَؤَر،جَش١ َأَسضًب ثِخ ُ ص ضب ً جذ أَس َ َ أِّٝٔي هللا إَُٛب َسص٠ َب فَمَب َيٙ١َِضزَؤ ِِ ُشُٖ ف٠ بي َ َ ل،ُِِٕٗ ٜ أَٔفَشُ ِػٕ ِذَٛ ُ٘ َّ لَظ٢صت َِب ِ ُجَش ٌَُ أ١َثِخ َ َ َ َ ق َ ص ّذ َ ََب لب َي فزَِٙصذّلذَ ث َ رَٚ َبٍٙإِْ ِشئذَ َدجَضذَ أص ُ َسُٛ٠ َالَٚ َبٍُٙع أَص ُ ُجَب٠ ََب ُػ َّش أَُّٔٗ الِٙث َُ٘تُٛ٠ َالَٚ س ُ َ ّ ة ب ل ش ٌا ٝ ف ٚ ٝ ث ش م ٌ ا ٝ ف ٚ اء ش َ ص ّذ َ َفَز ِ َِ َ ِ َ َ َ اٌفُمَِٝب فِٙق ث ّاٌض ّ ٍَٝ الَ ُجَٕب َح َػ،ف١ ٚ ً ١ ج ض ٌا ٓ اث ٚ هللا ً ١ ج ص ٝ ِ َ ِ ِ ِ ِ َ ِفَٚ ِ َ
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
َُ ُط ِؼ٠َٚ فُٚ ِ َب ثِبٌ َّؼشِِٕٙ ًَ َؤ ُو٠ ََْب أَٙ١ٌَِٚ َِٓ ُاٌٍّفعَٚ ،ٗ١ٍَك َػ ٌ َ ُِزّف.ً ٍي َِبالّٛ َّ َ َش ُِز١َمًبغ٠ص ِذ َ .41ٌٍُِِ ُّض Artinya: ‚Dari Ibnu Umar berkata: Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu dia menghadap Nabi saw. dan bertanya: ‚Wahai Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik iru, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?‛ Rasulullah bersabda: ‚Jika suka, engkau tahanlah pokoknya dan engkau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf)‛, kata Ibnu Umar: ‚Lalu Umar menyedekahkannya, tidak dijual pokoknya, tidak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibahkan), dia menyedekahkan pada orang-orang fakir, kerabat atau keluarga terdekat, hamba yang merdeka, orang-orang yang berada di jalan Allah, musafir, dan tamu, tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf (baik).‛ (Muttafaq ‘alaih dan lafadz bagi Muslim) Alasan al-Haitami atas larangan menjual harta wakaf juga mengacu pada teks (nash) berupa hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim lainnya, khususnya membahas syarat sah akad jual beli salah satunya ialah barang yang akan diperjual-belikan harus
41
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani,
Loc. Cit., h. 159.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
milik pribadi. Sebagaimana hadits Nabi saw. yaitu: هللاَٟ ض ِ ِٗ ػَٓ َج ّذ ِٖ َس١ِت ػَٓ أَث١ ثٓ ُش َؼُٚػَٓ ػَّش ٢ ٍُّ َصَٚ ٗ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ ُي هللاُٛ لَب َي َسص:ُ َّب لَب َيَٕٙػ ِسث ُخ٢َٚ ،غ١ ث ٟ ف ْ ٍ َ ِ ِ َششطَب٢َٚ ،ٌغ١َثَٚ ٌَ ِذ ًّ َصٍَف٠ اُٖ اٌخَّ َضخَٚ َس.ش ِػٕذَن١ َ ٌَ ُغ َِب١َ ث٢َٚ ،َّٓ َض٠ ٌََُِب 42 ّ ص ّذ َذُٗ اٌزّش ِِ ِز .ُاٌ َذب ِوَٚ َ َّخ٠َاثُٓ ُخزَٚ ٜ َ َٚ Artinya: ‚Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: tidak halal pinjam dan jual, tidak (halal) dua syarat dalam satu penjualan, tidak (halal) keuntungan dari barang yang ia (penjual) tidak tanggung, dan (halal) menjual barang yang bukan milikmu.‛ (Diriwayatkan oleh Lima dan disahkan oleh Imam Tarmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim) Pengakuan al-Haitami terhadap hadits tersebut menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan adanya jual beli harta benda wakaf. Sebab harta benda yang telah diwakafkan sepenuhnya telah menjadi milik Allah swt, sehingga nadzir tidak memiliki kuasa (hak milik) atas pokoknya melainkan yang dapat digunakan hanya manfaat dari benda itu sendiri. Hal ini dikarenakan Ibnu Hajar AlHaitami merupakan ulama golongan syafi’iyah yang memiliki pemikiran yang tetap memelihara tradisi intelektualnya. Al-Haitami hidup di zaman kemunduran Islam, tepatnya pada abad modern saat umat Islam harus menghadapi kekuatan bangsabangsa Eropa Barat sepeninggalnya 42
Ibid., h. 162.
14
Ibnu Khaldun.43 Dimana terjadi keprihatinan yang mendalam tentang degradasi sosio moral umat muslim atau disebut revivalisme pra modernis. Pemikiran Al-Haitami lebih cenderung pada teks dari pada melihat kenyataan yang terjadi di lapangan atau situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian (konteks), demi menjaga keaslian yang diajarkan dalam al-Quran dan al-Hadits serta menjaga keutuhan pokok benda wakaf. Pendapat al-Haitami tentang larangan menjual harta benda wakaf selain mengacu pada teks (nash), pendapat beliau juga melihat pada pendapat Abu Yusuf dan Imam Syafi’i, sebagaimana beliau paparkan dalam kitab karangannya yaitu kitab
Nihayatu al-Muhtaj ‘Ala Syarhi alMinhaj, Syeikh Sulaiman bin Umar dalam kitab Hasyiyatu al-Bujairami ‘Ala Syarhi Minhaji ath-Thulab dan
Ibnu Qasim al-Ghazy dalam kitab Hasyiyatu al-Bajury serta salah satu murid al-Haitami yang bernama Zainuddin al-Malibari pengarang kitab Fathu al-Mu’in, yang menjelaskan dalam kitab karangannya masingmasing yaitu membolehkan menjual harta benda wakaf jika terjadi dalam situasi dan kondisi darurat dan hasil penjualannya dibelikan/digantikan dengan barang yang sama atau barang yang lebih baik (bermanfaat). Adapun beberapa pendapat lainnya yang membolehkan jual beli harta benda wakaf, ialah: a. Sebagian para fuqaha golongan Malikiyah yang berpendapat bahwa menukar harta benda wakaf dengan yang lain diperbolehkan, jika dipandang barang tersebut sudak tidak bermanfaat lagi, sebab dengan adanya penukaran maka barang wakaf tidak menjadi sia-sia.44 b. Para ahli hukum di kalangan Madzhab Hambali mengatakan bahwa pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah wakaf tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf. Demikian juga perdebatan tentang boleh tidaknya menjual masjid, dalam hal ini sebagian para fuqaha di kalangan Madzhab Hambali memperbolehkan menjual masjid bila masjid tersebut sudah tidak sesuai
43 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
Muhadharatun al-Waqfi, (Kairo: Dar al-
1984), h. 56.
Fikri Arabi, 1977), h. 163.
Tuhfatu al-Muhtaj Bi Syarhi alMinhaj yang merupakan syarah (penjelasan) dari kitab al-Minhaj karangan Imam Nawawi. Akan tetapi, ada beberapa ulama golongan syafi’iyah lainnya yang memiliki sudut pandang berbeda, yang membolehkan menjual harta benda wakaf dengan pengecualian. Diantaranya: Syeikh Imam Romli yang juga mensyarahkan kitab alMinhaj dalam kitab karangannya
15
44
Muhammad Abu Zahrah,
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
lagi dengan tujuan pokok perwakafan. Hal ini berdasarkan dengan perbuatan sahabat Nabi saw. yakni Umar bin Khattab yang telah mengganti Masjid Kufah yang lama dengan masjid yang baru, juga tempatnya beliau pindahkan sehingga tempat masjid yang lama menjadi pasar.45 c. Sedangan pendapat di kalangan golongan Hanafiyah bahwa dalam hal penukaran tanah wakaf sangat tergantung pada ikrar yang dilakukan oleh si wakif, apabila pada waktu ikrar ada disebutkan boleh ditukar maka penukaran itu sah dilaksanakan.46 d. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 41, yang berbunyi: 1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. 2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. 3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena 45 46
Sayid Sabiq, Op. Cit., h. 1074. Ibid., h. 40.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. 4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. B. Pemberdayaan Harta Benda Wakaf Secara Ekonomi Penegasan al-Haitami mengenai larangan jual beli harta benda wakaf, tidak menyudutkan pemikirannya untuk dapat lebih berkembang, sebab beliau memperbolehkan harta benda wakaf untuk disewakan dengan syarat barang yang disewakan secara umum (sewa umum). Dikarenakan beliau mengacu pada pendapat Ibnu Rif’ah dan as-Subkiy serta Imam Nawawi dalam pemberdayaan harta benda wakaf dengan cara disewakan, dimaksudkan bahwa dengan disewakan harta benda wakaf akan memiliki pendapatan dalam pemanfaatannya tanpa mengurangi pokok harta wakaf. Hal ini dipaparkan beliau dalam kitab
Tuhfatu al-Muhtaj Bi Syarhi alMinhaj. Pendapat al-Haitami dengan memperbolehkan penyewaan harta benda wakaf merupakan pemikiran yang futuristik dan banyak memiliki kemaslahatan. Terbukti di era modern ini, yang mana pengembangan harta benda wakaf secara produktif lebih banyak dilakukan dengan cara
16
menyewakannya. Seperti contoh: Pembangunan rumah sewa berbasis wakaf produktif telah rampung. Sejumlah empat belas unit rumah sewa di bilangan Jl. Kramat Tajur, Ciledug ini pun telah siap dihuni. Menghabiskan dana Rp. 900 juta, komplek rumah sewa di atas lahan 640 m2 ini berpotensi menghasilkan pendapatan hingga Rp. 100 juta di tahun pertama. Rumah sewa berbasis wakaf ini merupakan hasil kombinasi wakaf tanah dan wakaf melalui uang. Tanah wakaf yang tersedia merupakan donasi dari Ibu Nila Utami. Sementara, dana investasi pembangunan berasal dari donasi wakaf melalui uang yang diperoleh dari donatur-donatur Dompet Dhuafa. Pendapatan dari rumah-rumah sewa ini selanjutnya akan diperuntukkan dalam tiga kategori. Alokasi 50% pendapatan akan disalurkan kepada program sosial, baik pendidikan, kesehatan maupun pemberdayaan ekonomi bagi dhuafa. Alokasi 40% pendapatan akan dicadangkan untuk biaya pemeliharaan dan pengembangan program wakaf. Sementara operasional pengelola wakaf (nadzir), akan dialokasikan dari 10% pendapatan sewa. Rumah sewa yang akan diberi nama Griya Sakinah Ciledug ini merupakan aset wakaf produktif baru yang dimiliki Tabung Wakaf Indonesia Dompet Dhuafa. Aset ini menjadi pelengkap atas aset-aset properti produktif lain yang sudah ada seperti ruko, foodcourt dan lapangan futsal. Saat ini, aset wakaf produktif
17
lain yang sedang digarap adalah 6 unit ruko di Zona Madina – Parung dan 15 unit rumah sewa di Ciater – Serpong.47 Analisis A. Keabsahan Akad Ditinjau Dari Hukum Islam Telah kita ketahui bahwa dalam suatu muamalah akan terjadi adanya akad, yakni perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak.48 Begitu pula sama halnya dengan wakaf, sah atau tidaknya harta benda yang akan diwakafkan salah satunya ialah dengan adanya akad (ijab dan kabul). Dalam akad terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, seperti halnya dengan wakaf, jika salah satu rukun tidak dapat dipenuhi maka hal tersebut dianggap tidak sah. Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi dua,49 yaitu: a. Akad Shahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu mengikat 47
http://www.tabungwakaf.com Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Op. Cit., h. 51. 49 Wahbah al-Zuhaily, Op. Cit., h. 240. 48
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
kepada pihak-pihak yang berakad. Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya akad yang shahih itu, para ulama fiqih membaginya kepada dua macam,50 yaitu: 1) Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti akad jual beli dan sewa menyewa. 2) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti akad al-wakalah (perwakilan), al’ariyah (pinjammeminjam), dan al-wadhi’ah (barang titipan). b. Akad Ghair Shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya (fasid), sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Jika kita melihat dari penjelasan di atas, jual beli harta benda wakaf termasuk kepada akad ghair shahih, sebab terdapat kekurangan pada rukun dan syarat, diantaranya: a. Harta benda wakaf bukanlah milik pribadi sehingga kepemilikan harta benda wakaf tidak dimiliki secara pribadi karena bersifat umum dan nadzir tidak mempunyai kekuasaan atas benda tersebut, sedangkan dalam hukum Islam dan menurut kesepakatan kebanyakan ulama bahwa syarat barang yang diperjualbelikan harus miik seseorang (pribadi). 50
Ibid., h. 241.
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
b. Tujuan atau maksud pokok mengadakan akad yang telah dilakukan diawal tidak dapat diganti, berbeda akad maka berbeda pula tujuan pokok akad, sebab tujuan pokok akad wakaf ialah mengambil manfaatnya, barang/benda asalnya tetap, tidak boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan. Apabila terjadi pengalihan fungsi harta benda wakaf seperti dijual, maka tujuan atau maksud pokok akad wakaf akan berubah. c. Akad jual beli harta benda wakaf pada dasarnya memiliki larangan dalam syara’, sebagaimana hadits Nabi saw. yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yang menjelaskan tentang asal permulaan wakaf dan syarat-syaratnya. Oleh karena itu, keabsahan akad jual beli harta benda wakaf adalah fasid. B. Orientasi Akad Tabarru’ ()تَبَ ّرؤا dan Tijarah ( )تِ َجا َرةWakaf Menurut Hukum Islam Wakaf bukan seperti sedekah biasa, tapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya terutama bagi diri si pewakaf. Karena pahala wakaf terus mengalir selama masih dapat digunakan, dan bukan hanya itu saja, wakaf sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan kemajuan. Hal ini termasuk pada akad tabarru’, sebab pada hakikatnya akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah swt. semata. Pewakaf dalam akad ini memberikan sesuatu kepada orang
18
lain yang penggunannya untuk kepentingan umum dan agama. Oleh karena itu, harta benda wakaf adalah untuk memfasilitasi secara kekal semua jalan kebaikan untuk mencapai kemajuan umat Islam. Namun demikian, bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak dapat digunakan dalam kegiatan komersil (mencari keuntungan). Bahkan pada kenyataannya penggunaan akad tabarru’ sering sangat vital dalam transaksi komersil, Karena akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah, salah satunya yaitu pada pemanfaatan harta benda wakaf. Pemanfaatan harta benda wakaf ke dalam akad tijarah yaitu dengan menyewakannya. Menurut jumhur ulama, menyewakan harta benda wakaf hukumnya boleh, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Nawawi yang memperbolehkannya. Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat tentang masa penyewaan benda wakaf. Pemahaman wakaf saat ini harus berorientasi kepada wakaf produktif, tidak hanya untuk kepentingan peribadatan tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan masyarakat seperti pembangunan perumahan/rumah susun, perkantoran, pasar swalayan, industri, penanaman bibit unggul, perikanan dan sebagainya yang hasilnya digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam menuntaskan kemiskin-
19
an.51 Perkembangan pengelolaan aset wakaf saat ini tidak terbatas pada benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak termasuk uang. Di beberapa negara muslim seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan Kuwait, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, hotel, pusat perbelanjaan, uang, saham, real estate, dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif dan hasilnya benarbenar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.52 Kemaslahatan dalam menyewakan benda wakaf sangat dirasakan dibandingkan dengan hanya sekedar digunakan sebagai kepentingan ibadah dan sosial saja. Berkaitan dengan kemaslahatan, Ibnu Taimiyah berpendapat53 bahwa sesungguhnya yang menjadi tujuan pokok wakaf adalah menjaga kemaslahatan. Allah swt menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan menjauhi kerusakan, dan Allah telah mengutus utusan-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan.54 Firman Allah swt. 51
Abdul Manan, Op. Cit., h. 275. Miftahul Huda, Pengelolaan Wakaf Dalam Perspektif Fundraising, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), cet. Ke-1, h. 59. 53 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2010), cet. Ke-47, h. 344. 54 Ibid., 345. 52
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
. ََُْٛٔذ َز٠ ُُ٘٢َٚ ُِٙ ١ٍَفٌ َػٛ َخ٣َاَصٍَ َخ فَٚ َٝفَ َّ ِٓ ارّم Artinya: ‚Maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidakalah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛ (Al-A’raf: 35). Kebutuhan hidup masyarakat yang paling terpenting saat ini yaitu tempat tinggal yang layak untuk dihuni. Pembangunan rumah susun sekarang ini sangat berkembang dengan pesat mengingat semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tempat hunian yang layak. Berdasarkan hal tersebut, agar pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tempat hunian dapat terakomodasi dengan baik, maka di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) menetapkan bahwa selain dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai tertentu, juga diatur pula mengenai pembangun rumah susun melalui pendayagunaan tanah wakaf. Ketentuan yang memperbolehkan pembangunan rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus dengan pendayagunaan tanah wakaf diatur dalam Pasal 18 UU Rusun. Ketentuan dan syarat pendayagunaan tanah wakaf sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU Rusun. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah mengakomodir segala hal yang berhubungan tentang wakaf menuju kepada wakaf produktif. Peraturan perundang-undangan ini telah mempersiapkan seluruh potensi wakaf yang ada di
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
tanah air secara produktif bersamaan dengan lajunya perubahan struktur masyarakat modern yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri. Wakaf harus dikembangkan secara optimal dengan pengelolaan profesional produktif untuk mencapai hasil yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Semua harta wakaf yang mempunyai nilai komersial yang tinggi harus ditata kembali dan hasilnya disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Hajar al-Haitami sekalipun sangat tekstual terhadap larangan jual beli harta benda wakaf, dikarenakan menjaga keaslian yang diajarkan al-Quran dan al-Hadits serta menjaga keutuhan pokok benda wakaf. Namun sikap beliau dalam memberdayakan harta benda wakaf secara ekonomi, yaitu dengan diperbolehkannya untuk menyewakan harta benda wakaf, merupakan sebuah pemikiran yang futuristik, yang mana dampak kemaslahatannya dalam jangka panjang dari pendapat beliau tersebut dapat dirasakan sampai saat ini, dan hal tersebut menjadi salah satu pola dan strategi dalam pengembangan aset wakaf di Indonesia. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Ibnu Hajar Al-Haitami merupakan salah satu pengikut Madzhab Syafi’i, dan beliau secata tegas melarang jual beli harta benda wakaf dalam kondisi
20
apapun. Pendapat ini beliau ambil berdasarkan hadits Rasulullah saw. dari Umar dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang berbunyi: َُٕٗ هللا ػٟض َ ص َ َ أ:ػَٓ اث ِٓ ُػ َّش لَب َي ِ بة ُػ َّش َس َُ ٍّ َصَٚ ِٗ ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ ِٟ إٌّجَٝ فَؤَر،جَش١ َأَسضًب ثِخ ُ ص ضب ً جذ أَس َ َ أِّٝٔي هللا إَُٛب َسص٠ َب فَمَب َيٙ١َِضزَؤ ِِ ُشُٖ ف٠ بي َ َ ل،ُِِٕٗ ٜ أَٔفَشُ ِػٕ ِذَٛ ُ٘ َّ لَظ٢صت َِب ِ ُجَش ٌَُ أ١َثِخ َ ق َ ص ّذ َ ََب لَب َي فَزَِٙصذّلذَ ث َ رَٚ َبٍَٙإِْ ِشئذَ َدجَضذَ أص ُ َسُٛ٠ َالَٚ َبٍُٙع أَص ُ ُجَب٠ ََب ُػ َّش أَُّٔٗ الِٙث َُ٘تُٛ٠ َالَٚ س ُ َ ة َ ص ّذ َ َفَز ِ اٌ ّشلبِٝفَٚ َٝ اٌمشثِٝفَٚ اٌفُمَ َشاءَِٝب فِٙق ث ّاٌض ّ ٍَٝ الَ ُجَٕب َح َػ،ف١ ٚ ً ١ ج ض ٌا ٓ اث ٚ هللا ً ١ ج ص ٝ ِ َ ِ ِ ِ ِ َ ِفَٚ ِ َ َ ُ َُ ُط ِؼ٠َٚ فُٚ ش ؼ ّ ٌب ث ب ٙ ٕ ِ ً و ؤ ٠ ْ أ ب ََٙ١ٌَِٚ َِٓ ِ َ ِ َ ِ َ َ ٌ َ ُِزّف.ً ٍي َِبالّٛ َّ َ َش ُِز١َمًبغ٠ص ِذ ٍُِاٌٍّفعُ ٌِ ُّضَٚ ،ٗ١ٍَك َػ َ Artinya: ‚Dari Ibnu Umar berkata: Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu dia menghadap Nabi saw. dan bertanya: ‚Wahai Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik itu, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?‛ Rasulullah bersabda: ‚Jika suka, engkau tahanlah pokoknya dan engkau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf)‛, kata Ibnu Umar: ‚Lalu Umar menyedekahkannya, tidak dijual pokoknya, tidak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain (dihibahkan), dia menyedekahkan pada orangorang fakir, kerabat atau keluarga terdekat, hamba yang merdeka, orangorang yang berada di jalan Allah, musafir, dan tamu, tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf (baik).‛ (Muttafaq ‘alaih dan lafadz bagi Muslim)
21
Selain hadits yang melarang jual beli harta benda wakaf, beliau juga mengambil dari hadits shahih yang melarang menjual sesuatu yang bukan miliknya (milik pribadi). هللاَٟ ض ِ ِٗ ػَٓ َج ّذ ِٖ َس١ِت ػَٓ أَث١ ثٓ ُش َؼُٚػَٓ ػَّش ٢ ٍُّ َصَٚ ٗ١ٍَ هللا َػٍّٝص َ ُي هللاُٛ لَب َي َسص:ُ َّب لَب َيَٕٙػ ِسث ُخ٢َٚ ،غ١ ث ٟ ف ْ َ ِ ِ شَشطَب٢َٚ ،ٌغ١َثَٚ ٌَ ِذ ًّ َصٍَف٠ ٍ اُٖ اٌخَّ َضخَٚ َس.ش ِػٕذَن١ َ ٌَ ُغ َِب١َ ث٢َٚ ،َّٓ َض٠ ٌََُِب ّ ص ّذ َذُٗ اٌزّش ِِ ِز .ُاٌ َذب ِوَٚ َ َّخ٠َاثُٓ ُخزَٚ ٜ َ َٚ Artinya: ‚Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: tidak halal pinjam dan jual, tidak (halal) dua syarat dalam satu penjualan, tidak (halal) keuntungan dari barang yang ia (penjual) tidak tanggung, dan (halal) menjual barang yang bukan milikmu.‛ (Diriwayatkan oleh Lima dan disahkan oleh Imam Tarmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim) Menurut Al-Haitami harta benda yang telah diwakafkan maka telah putus hak miliknya dan menjadi milik Allah swt. Oleh karena itu, harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diperjual-belikan dalam kondisi apapun. Al-Haitami merupakan ulama golongan syafi’iyah yang mana pemikirannya lebih cenderung pada teks dari pada melihat kenyataan yang terjadi di lapangan (konteks), untuk menjaga keaslian yang diajarkan dalam Al-Quran maupun al-Hadits. Hal ini dikarenakan Ibnu Hajar AlHaitami merupakan ulama golongan syafi’iyah yang memiliki pemikiran yang tetap memelihara tradisi intelektualnya. Al-Haitami hidup di zaman kemunduran Islam, tepatnya pada
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
abad modern saat umat Islam harus menghadapi kekuatan bangsa-bangsa Eropa Barat sepeninggalnya Ibnu Khaldun. Dimana terjadi keprihatinan yang mendalam tentang degradasi sosio moral umat muslim atau disebut revivalisme pra modernis. Ada kemungkinan saat beliau melarang jual beli harta benda wakaf itu, dipengaruhi oleh keadaan umat Islam yang saat itu sangat jauh dengan ajaran-ajaran Islam ataupun syariat. Walaupun pemikiran al-Haitami terlihat sempit dalam hal tersebut, beliau juga memiliki konsistensi dalam pemikirannya yaitu dengan menjaga rukun-rukun dan syaratsyarat jual beli dalam hukum Islam. dan hal itu tidak menyudutkan pemikirannya untuk memberikan kemaslahatan bagi harta wakaf dengan memberdayakannya secara ekonomi yakni ijarah (sewa-menyewa). Kebolehan menyewakan harta benda wakaf ini, sejalan dengan perkembangan masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia saat ini, seperti berkembangnya pembangunan dan penyewaan rumah-rumah susun di atas tanah wakaf, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam manajemen wakaf produktif di dalam undang-undang perwakafan. Daftar Pustaka Al-Asqalani, Al-Hafidz Ibnu Hajar, Bulughu al-Maram, Indonesia: Dar Ihya
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015
Al-Ghazy, Ibnu Qasim, Hasyiyatu alBajuri, Beirut: Dar Ihya al-Turost al-Arabi, 2005, cet. Ke-1, jilid 2, Al-Haitami, Ibnu Hajar, Tuhfatu alMuhtaj bi Syarhi al-Minhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2005, jilid II, cet. Ke-2 Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar at-Taqwa, jilid III Al Minawi, At Tauqif ‘ala Muhimat Ta’arif, Cairo: Alamul Qutub, 1990 Al-Munawir, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004 Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar alFikr al-Mu’ashir, 2005, jilid IV Asy-Syafi’i, Imam Muhammad Ibn Idris, al-Umm, Beirut: Dar alKutub Ilmiah, 2009, cet. Ke-2, jilid 1. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987, cet. Ke-2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Edisi III, cet. Ke-2 Ghazaly, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010, cet. Ke-1 Halim, Abdul, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, cet. Ke-1 Hayy, Syeikh Abdul bin Abdurrahman al-Kattani, Fahras
al-Faharis
Wa
al-Atsbat
Wa
22
Mu`jam al-Ma`ajim Wa alMasyikhat Wa al-Musalsalat, Dar al-Gharb al-Islami, 1982, cet. Ke2. Haq, Faisal, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan Jatim: Garoeda Buana Indah, 1994, cet. Ke-2 Huda, Miftahul, Pengelolaan Wakaf Dalam Perspektif Fundraising, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012, cet. Ke-1. Khallaf, Abdul Wahhab, Ahkam alWaqf, Kairo: Matba’ah al-Misr, 1951 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2012, Edisi Revisi Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Miles, Metthew B., A Haberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI-Press. 1992 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2010, cet. Ke-27 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf., Bandung: Nuansa Aulia, 2012, Edisi Revisi
23
Prihatin, Farida dkk, Hukum Islam,
Zakat dan Wakaf, Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005 Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa (Pustaka al-Kautsar Group), 2007 Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2010, cet. Ke-47 Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, jilid III Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986 Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008 Syukur, Abdul dkk, Imam Syafi’i,
Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik, dan Fiqih, Jakarta: Lentera, 2005 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, Bandung: Nuansa Aulia, 2012, Edisi Revisi Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, 1997. Zahrah, Muhammad Abu, Muhadharatun al-Waqfi, Kairo: Dar al-Fikri Arabi, 1977
Maslahah, Vol. 6, No. 2, November 2015